ecodrainage di indonesia.doc

52
TEKNIK BIOREMEDIASI UNTUK MENDUKUNG PROGRAM ECODRAINAGE DI INDONESIA Jun 19, '08 1:16 AM for everyone Oleh: Dr. Ir. Edwan Kardena (Teknik Lingkungan - ITB Bandung) Dapat diartikan sebagai Clean-Up, atau upaya pengembalian kualitas lingkungan kepada kondisi sebelum terjadi pencemaran Lebih umum ditujukan pada kasus kasus pencemaran di tanah (termasuk air tanah) atau lahan tercemar Namun juga secara luas diartikan untuk pemulihan lingkungan (tidak hanya lahan) tercemar, termasuk lingkungan perairan dan udara

Upload: nandha-wiguna

Post on 11-Aug-2015

192 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

TEKNIK BIOREMEDIASI UNTUK MENDUKUNG PROGRAM ECODRAINAGE DI INDONESIA

Jun 19, '08 1:16 AMfor everyone

Oleh: Dr. Ir. Edwan Kardena (Teknik Lingkungan - ITB Bandung)

• Dapat diartikan sebagai Clean-Up, atau upaya pengembalian kualitas lingkungan kepada kondisi sebelum terjadi pencemaran

• Lebih umum ditujukan pada kasus kasus pencemaran di tanah (termasuk air tanah) atau lahan tercemar

• Namun juga secara luas diartikan untuk pemulihan lingkungan (tidak hanya lahan) tercemar, termasuk lingkungan perairan dan udara

• Di Indonesia saat ini lebih banyak diaplikasikan untuk menanggulangi pencemaran akibat sludge atau ceceran minyak di industri MIGAS

Page 2: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Apakah Bioremediasi dapat diaplikasikan untuk memulihkan atau membersihkan sungai, saluran, kolam, danau yang tercemar?

Bioremediasi Badan Air

• Secara teoritis jauh lebih mudah daripada melakukan pemulihan lahan tercemar namun pada kenyataannya jauh lebih kompleks karena banyak faktor yang terlibat, diantaranya

– Cakupan area pencemaran yang jauh lebih luas

– Stake holder yang lebih banyak

– Polutan lebih mobile

– Dengan demikian maka remediasi badan air berupa sungai, akan jauh lebih kompleks dari pada meremediasi kolam, danau, atau saluran drainase (makro)

• Sebagai contoh: Program Restoring/Cleaning Up the Industrialized Mahoning River, di USA, direncanakan untuk periode 1997-2017 (20 tahun) dengan tahapan:

– Phase 1 : Reconnaissance 1997-1999

– Phase 2 : Feasibility 2002-2004

– Phase 3 : Pre-construction 2005-2006

– Phase 4 : Construction 2007-2017

Bioremediasi badan air dapat dilakukan pada 3 komponen sbb:

• Komponen airnya sendiri (perbaikan kualitas air)

• Komponen padatan yang berada dipermukaan (sampah, skim, busa)

• Komponen sludge atau lumpur yang berada di dasar.

Perbaikan Kualitas Air

• Perbaikan kualitas air harus dilakukan pada level hulu, dalam hal ini sumber-sumber pencemar (begin of pipe approach). Dalam kontek tersebut maka program keberadaan IPAL/WWTP di industri2 atau Sewage Plant suatu kota masuk dalam kategori ini.

Page 3: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

• Pencemaran dari daerah pertanian harus dilihat pada persfektif yang lebih luas, melibatkan upaya-upaya teknik pertanian yang lebih bersih misalnya dengan menghindari penggunaan pestisida dari golongan POPs

• Pencemaran dari drainase terutama pada musim hujan harus melibatkan konsep pembuatan jaringan/sistem drainase yang lebih ramah lingkungan (Eco-urban drainage) atau Sustainable Urban Drainage System.

Penyisihan Padatan di Permukaan

• Penyisihan padatan dipermukaan, akan terkait dengan pengelolaan persampahan. Mengurangi volume sampah yang dibuang ke badan air, melakukan pengerukan sampah dipermukaan dan upaya-upaya lain yang relevan.

• Padatan hasil pengerukan apabila berupa sampah maka akan masuk pada sistem pengelolaan persampahan

• Padatan yang bukan berupa sampah, apabila berupa komponen organik maka dapat di Bioremediasi.

Perbaikan Kualitas Dasar Badan Air (Sludge/Lumpur/Endapan)

• Pada umumnya perbaikan kualitas dasar badan air dilakukan secara ek-situ, yaitu dengan mengeruk/mengangkat sludge atau endapan. Namun pada saat ini endapan atau sludge hanya dibiarkan saja tanpa diolah sehingga terkesan memindahkan pencemaran ketempat lain.

• Teknik pengolahan sludge secara ek-situ dapat mengikuti teknik yang sudah umum dalam bioremediasi yaitu diantaranya land-farming, biopile, komposting, windrow.

• Pencemaran oleh logam berat tidak dapat dilakukan dengan teknik bioremediasi seperti diatas, namun dapat dilakukan dengan Phytoremediasi setelah Bioremediasi.

Perbaikan Kualitas Saluran

• Perbaikan kualitas saluran-saluran kecil (drainase makro dan mikro) dapat dilakukan dengan mengangkat materi pencemar yang berada dalam badan saluran, mengumpulkannya pada satu tempat tertentu untuk di bioremediasi secara terpusat.

Sebagaimana laiknya kegiatan clean-up, maka setelah proses bioremediasi maka harus dilakukan upaya-upaya pencegahan agar pencemaran dapat dikurangi atau bahkan ditiadakan.

Page 4: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Tags: teknik bioremediasi

1 comment share

PROSES PENGEMBANGAN SISTEM PENGELOLAAN DRAINASE SECARA TERPADU BERWAWASAN LINGKUNGAN (ECODRAIN)

Jun 18, '08 12:26 AMfor everyone

4.1.                 Perencanaan

Perencanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) adalah tahapan

awal pengelolaan sebagai upaya untuk menyusun rencana detil dan usulan program investasi yang

komprehensif dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan, berdasarkan kajian

dari berbagai aspek sebagai acuan dalam penyelenggaraan pengelolaan Drainase secara terpadu

berawawasan lingkungan.

Perencanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) dimaksudkan untuk

memaksimalkan segala upaya dan potensi di kawasan/lokasi sehingga rencana pengelolaan Drainase

secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) dapat terlaksana secara berkesinambungan.

Kegiatan perencanaan dalam  pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain)

meliputi:

a)     Identifikasi Masalah dan Penetapan Kawasan/Lokasi Prioritas ditangani.

b)     Penyusunan Studi Kelayakan (Feasibility Study) dan Penyusunan Program Investasi.

c)     Penyusunan Studi Pemberdayaan dan Pengelolaan Sampah Terpadu (3R).

d)     Penyusunan Studi Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS).

e)     Penyusunan Perencanaan Teknis ( Detail Engineering Design ) untuk:

a.     Saringan Sampah dan bangunan pelengkapnya; dan

b.     Unit perangkap dan pengolahan sedimen;

c.     Unit pengolahan air limbah dan bangunan pelengkapnya.

f)      Penyusunan Dokumen Usaha Pengelolaan Lingkungan (UKL/UPL).

 

4.1.1.               Identifikasi Masalah Kualitas Air, Sampah, Sedimen dan Pengelolaan Drainase Perkotaan

Tahap awal dalam proses perencanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan

(ecodrain) adalah kegiatan identifikasi dan perumusan masalah dalam pengelolaan Drainase di kawasan

Page 5: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

perencanaan (perkotaan). Keluaran dari tahapan ini adalah teridentifikasinya permasalahan sebagai bahan

pertimbangan pengambilan keputusan dalam pelaksanasn kegiatan selanjutnya. Proses identifikasi

permasalahan ini dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan atau Satker (SNVT) Pengembangan

PLP di Provinsi.

Langkah-langkah kegiatan identifikasi dan perumusan masalah dalam pengelolaan Drainase di kawasan

perencanaan (perkotaan) adalah meliputi kegiatan sebagai berikut:

1.     Mengumpulkan data dan informasi kondisi kualitas air permukaan (sungai, waduk, situ, dan pantai)

dan kategori indeks pencemaran air (IP);

2.     Mengumpulkan data dan informasi permasalahan sampah dan sedimen, volume timbulan sampah

perairan di saluran Drainase/sungai;

3.     Melakukan pengumpulan data informasi kondisi pengelolaan Drainase, persampahan dan air limbah

kota (sistem, teknis operasional, institusi, peraturan, pembiayaan serta peran masyarakat dan

swasta);

4.     Merumuskan masalah dalam pengelolaan Drainase (masalah banjir, genangan, Drainase, sampah

sungai dan pencemaran air). Rumusan ini berdasarkan:

a.     Penyebab bencana pencemaran air, banjir/genangan dan sampah perairan (spesifik),

b.     Skala/besaran akibat (indeks pencemaran air, timbulan sampah perairan, kesehatan

masyarakat, penyebab banjir/genangan), serta

c.     Sumber sampah sungai dan pencemaran air dan lokasi banjir/genangan dan pencemaran.

4.1.2.               Penetapan Kawasan/Lokasi Prioritas ditangani

Penetapan kawasan/lokasi prioritas ditangani adalah langkah lanjutan dari identifikasi masalah

pengelolaan Drainase. Dimana pada tahapan ini diharapkan dapat ditetapkan kawasan/lokasi sebagai

prioritas di tangani dengan pendekatan secara terpadu. Yang dimaksud kawasan/lokasi adalah

kawasan/lokasi di dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS) dan atau sistem pengaliran saluran

Drainase (DPS), yang tentunya dengan pendekatan penanganan secara kuratif sebagai respon tindakan

darurat yang penanganannya dimulai dari hilir, dan penanganan preventif yang dimulai dari sumber atau

dari hulu.

Dalam penetapan kawasan/lokasi yang akan ditangani dengan model pengelolaan Drainase secara

terpadu berwawasan lingkungan disandarkan pada hasil penilaian terhadap berbagai kriteria, (tabel

variabel, indikator, parameter serta nilai setiap parameter untuk kriteria terlampir).

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menilai usulan kawasan/lokasi dalam DAS/DPS yang akan

ditangani adalah:

1.     Variabel Kondisi Kualitas Air, dengan indikator yang dinilai adalah Indeks Pencemaran Air (Berat,

Sedang, dan Ringan) dan kelas mutu air;

Page 6: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

2.     Variabel sampah dan sedimen perairan, dengan indikator timbulan sampah perairan, komposisi

dan karakteristik sampah sungai, sumber sampah perairan, volume sedimentasi, komposisi dan

karakteristik sedimen.

3.     Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai, dengan indikator klasifikasi sungai/saluran Drainase

dan luas daerah aliran sungai (DAS/DPS);

4.     Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase, dengan indikator kondisi prasarana dan sarana

Drainase (saluran, waduk pengendalian banjir, rumah pompa dan pompa banjir, pintu air,

saringan sampah, bangunan perlintasan, stasiun pengamatan banjir, dsb), kondisi prasarana dan

sarana sanitasi (layanan persampahan dan air limbah) dan indikator kondisi sungai (flora dan

fauna, morfologi sungai, tingkat kerusakan); dan

5.     Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran Masyarakat serta Swasta, dengan

indikator komitmen pemerintah kabupaten/kota (sharing pembiayaan, perangkat

hukum/peraturan daerah, kondisi penegakan hukum/peraturan bidang lingkungan terkait keairan,

pembebasan lahan dan penanganan kawasan)  dan indikator peran masyarakat serta swasta

(kesadaran mengelola sampah, kesadaran mengelola air limbah dan kesadaran berinvestasi).

Prioritas kawasan/lokasi yang akan ditangani dengan model pengelolaan Drainase secara terpadu

berwawasan lingkungan (ecodrain) ditetapkan berdasarkan urutan sebagai berikut:

1.     Prioritas Pertama

          Variabel Kondisi Kualitas Air dengan nilai skoring tinggi;

          Variabel timbulan dan komposisi sampah dan sedimen perairan dengan nilai skoring

tinggi;

          Variabel Banjir, Genangan dan Drainase dengan nilai skoring tinggi;

          Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai dengan nilai skoring sedang;

          Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase dengan nilai skoring sedang;

          Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran Masyarakat serta Swasta

dengan nilai skoring tinggi.

2.     Prioritas Kedua

          Variabel Kondisi Kualitas Air dengan nilai skoring tinggi;

          Variabel timbulan dan komposisi sampah dan sedimen perairan dengan nilai skoring

tinggi;

          Variabel Banjir, Genangan dan Drainase dengan nilai skoring sedang;

          Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai dengan nilai skoring rendah;

          Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase dengan nilai skoring rendah;

          Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran Masyarakat serta Swasta

dengan nilai skoring sedang.

3.     Prioritas Ketiga

Page 7: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

          Variabel Banjir, Genangan dan Drainase dengan nilai skoring sedang;

          Variabel Kondisi Kualitas Air dengan nilai skoring sedang;

          Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai dengan nilai skoring rendah;

          Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase dengan nilai skoring rendah;

          Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran Masyarakat serta Swasta

dengan nilai skoring sedang.

 

4.1.3.               Tahapan Perencanaan

Dalam tahapan perencanaan terdiri dari kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1)     Penyusunan Studi kelayakan (FS/feasibility study)

2)     Penyusunan  Detil perencanaan teknis (DED)

3)     Pengumpulan Data-data

4)     Penyiapan Disain

Dalam penyusunan studi kelayakan (feasibility study) dan Detil perencanaan teknis (DED) pengelolaan

Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) agar mengacu pada studi-studi terdahulu di

lokasi/kawasan perencanaan (DAS/DPS), terutama pada rencana induk (masterplan) atau outline plan

Drainase kota, rencana induk (masterplan) atau outline plan pengelolaan persampahan (PTMP) kota,

rencana induk (masterplan) atau outline plan pengelolaan air limbah kota, studi PROPER dan PROKASIH,

serta studi-studi terkait seperti; RTRW Kota/Kabupaten, RDTRK, DED Drainase, air limbah (terpusat

maupun setempat) dan Persampahan.

4.1.3.1.      Penyusunan Studi Kelayakan (FS)

Penyusunan FS dan DED melalui tahapan kegiatan yang setiap tahapnya harus dikonsultansikan

dengan pemerintah daerah, masyarakat dan instansi terkait. Lingkup kegiatan penyusunan FS

adalah:

A.       Tinjauan Tata Ruang dan Tata Guna Lahan

a)   Tinjauan perkotaan (kebijakan umum pembangunan kota/kabupaten, tata ruang kota,

kecenderungan pengembangan kota/kabupaten, tinjauan fisik kota, arah pengembangan

prasarana sarana kota, tinjauan kependudukan, tinjauan sosial ekonomi perkotaan dan tata

ruang daerah aliran sungai).

b)   Tinjauan kawasan/lokasi (tinjauan tata guna lahan daerah aliran sungai, tinjauan kepadatan

penduduk daerah aliran sungai, tinjauan prasarana dan sarana kota di daerah aliran sungai,

tinjauan ketutupan lahan di daerah aliran sungai, tinjauan kondisi fisik daerah aliran sungai,

sosial ekonomi di daerah aliran sungai, klimatologi di daerah aliran sungai).

Page 8: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

B.       Tinjauan Masterplan/Outline Plan Pengelolaan Drainase, Persampahan dan Air Limbah Kota

a)   Permasalahan banjir, genangan dan Drainase,

b)   Permasalahan persampahan dan sampah sungai,

c)   Permasalahan pengelolaan air limbah,

d)   Sistem Drainase dalam suatu DAS/DPS,

e)   Sistem pengelolaan persampahan,

f)    Sistem pengelolaan air limbah,

g)   Rekomendasi masterplan/outline plan.

C.        Aspek Teknis

a)   Kondisi eksisting pengelolaan Drainase, persampahan dan air limbah kota,

b)   Kondisi eksisting kesehatan masyarakat, lingkungan (ekosistem sungai, waduk/situ, danau,

pesisir, pantai dan laut) dan kualitas air permukaan,

c)   Permasalahan banjir, genangan, Drainase, sampah sungai dan pencemaran sungai,

d)   Pengolahan dan analisa data (analisa kebutuhan, sistem pengelolaan Drainase, sampah dan

air limbah di DAS/DPS, dan alternatif pemecahan, pemilihan serta penetapan teknologi),

e)   Rekomendasi teknis (rekomendasi untuk di wilayah hilir, tengah dan hulu/sumber).

f)    Sistem pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan yang meliputi

pengelolaan Drainase, sampah sungai dan air limbah di suatu DAS/DPS pada setiap

wilayah/segmen di hilir, tengah dan hulu/sumber.

D.       Aspek Hukum dan Peraturan

a)   Peraturan dan kebijakan daerah,

b)   Kondisi eksisting penegakan hukum/penertiban terkait dengan wilayah keairan (sungai dan

Drainase),

c)   Permasalahan yang dihadapi,

d)   Analisa peraturan dan kebijakan,

e)   Rekomendasi aspek hukum peraturan dan kebijakan,

f)    Hukum peraturan dan kebijakan yang dibutuhkan.

E.        Aspek Kelembagaan

a)   Kondisi eksisting: keberadaan institusi/kelembagaan pengelola Drainase, persampahan, dan

air limbah,

b)   Permasalahan yang dihadapi,

c)   Analisa permasalahan dan rekomendasi,

Page 9: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

d)   Sistem kelembagaan yang dibutuhkan dalam pengelolaan Drainase secara terpadu

berwawasan lingkungan.

F.        Aspek Keuangan dan Pembiayaan

a)   Kondisi eksisting: kemampuan pembiayaan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam

investasi pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan dan melakukan

operasi serta pemeliharaan,

b)   Permasalahan yang dihadapi,

c)   Analisis permasalahan, kelayakan investasi, operasi dan pemeliharaan serta rekomendasinya,

d)   Sistem pembiayaan yang dibutuhkan untuk investasi, operasi dan pemeliharaan.

G.       Aspek Peran Masyarakat dan Swasta

a)   Kondisi eksisting: pengelolaan sampah dan air limbah oleh masyarakat di daerah pengaliran

sungai/saluran, pengelolaan sampah dan air limbah domestik oleh swasta (industri,

perdagangan dan jasa) di daerah pengaliran sungai/saluran dan kesadaran masyarakat dan

swasta dalam pengelolaan Drainase, sampah  dan air limbah.

b)   Permasalahan yang dihadapi,

c)   Analisa permasalahan dan rekomendasi,

d)   Bentuk dan peran masyarakat dan swasta yang dikehendaki.

H.       Penetapan Model Pengelolaan yang akan dipakai

Penetapan model pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan adalah

berdasarkan kondisi tipologi kota dan segmen/wilayah yang akan ditangani. Dimana pada

tahapan ini harus sudah mulai dikonsultansikan dengan pihak-pihak terkait baik pemerintah,

swasta dan masyarakat.

Adapun kondisi tipologi kota dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan

adalah sebagai berikut:

          Perkotaan dengan tinggi daratan < tinggi muka air laut.

          Perkotaan dengan tinggi daratan > tinggi muka air laut.

          Perkotaan dengan topografi/dataran tinggi.

Sedangkan berdasarkan segmen/wilayah yang akan ditangani adalah:

          Kawasan/segmen hilir.

          Kawasan/segmen tengah.

          Kawasan/segmen hulu atau di sumber.

Penjelasan rinci menyangkut kondisi tipologi akan dijelaskan pada bab 3.

Page 10: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

I.         Penetapan Prioritas dan Pemilihan Alternatif Teknologi

Penetapan prioritas lokasi/kawasan dalam suatu daerah aliran sungai atau daerah pengaliran

saluran adalah berdasarkan hasil penilaian melalui skoring berbagai variabel, indikator dan

parameter yang telah diberi bobot/skor. Hasil pembobotan dibandingkan dengan prioritas dalam

poin 4.1.2. Tabel variabel, indikator dan parameter seperti disajikan pada lampiran pedoman.

Pemilihan alternatif teknologi adalah berdasarkan volume dan karakteristik fisika-kimia-biologi

yang akan ditangani, kemampuan pembiayaan pusat, daerah, swasta dan masyarakat,

ketersediaan dan kemampuan SDM, pendekatan teknologi yang akan dipakai (teknologi tinggi,

teknologi tepat guna, teknologi ramah lingkungan) dan segmen/wilayah mana yang akan

ditangani (hilir, tengah, hulu dan sumber).

4.1.3.2.      Penyusunan Detail Engineering Design (DED)

Penyusunan DED merupakan tahapan kegiatan penyusunan Rencana Detil Teknis berdasarkan

studi kelayakan dan program investasi pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan

lingkungan (ecodrain) yang telah ada serta mengacu pada Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan

ketentuan teknis yang telah ditetapkan.

Penyusunan DED melalui tahapan kegiatan yang setiap tahapnya harus dikonsultansikan dengan

pemerintah daerah, masyarakat dan instansi terkait. Lingkup kegiatan penyusunan DED adalah:

1)     Tahap Persiapan;

a.     Program kerja penyusunan DED yang berkaitan dengan metode, kegiatan, jadwal

pelaksanaan dan organisasi personil, peralatan dan biaya yang diperlukan.

b.     Hasil survei, pengumpulan data dan informasi lapangan (termasuk hasil penyelidikan

tanah, pengukuran topografi) dan membuat interpretasi secara garis besar terhadap KAK

dan hasil konsultansi pemerintah Kabupaten/Kota.

2)     Tahap Penyusunan Rencana Detail dengan output;

a.     Rencana teknis dan struktur prasarana dan sarana, beserta uraian konsep, studi

pemilihan model dan teknologi, perhitungan teknis (pekerjaan sipil, pekerjaan mekanikal

dan elektrikal, lanskap) dan struktur bangunan sipil (bila ada);

b.     Metode dan rencana pelaksanaan kegiatan secara rinci;

c.     Penyusunan Pentahapan Pembangunan dan/ atau Pengadaan Peralatan;

d.     Dokumen lelang yang terdiri dari gambar-gambar detail, rencana kerja dan syarat-syarat

(RKS), dan rincian volume pekerjaan (BoQ).

e.     Rincian Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang meliputi jenis pekerjaan, volume, harga

satuan, analisa harga satuan pekerjaan serta rekapitulasinya;

f.      Format-format perijinan (apabila perlu);

g.     Laporan detil perencanaan teknis (DED).

3)     Tahap Pelelangan;

Page 11: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

a.     Membantu proyek/panitia pengadaaan kontraktor, menyusun dokumen pelelangan dan

menyusun program pelaksanaan pelelangan.

b.     Membantu panitia pengadaaan pada waktu penjelasan pekerjaan termasuk menyusun

berita acara penjelasan pekerjaan, evaluasi penawasan, menyusun kembali dokumen

pelelangan dan melaksanakan tugas-tugas yang sama apabila terjadi lelang ulang.

4)     Tahap Penyusunan Petunjuk Penggunaan, Pemeliharaan dan Perawatan (SOP);

a.     Penyusunan buku petunjuk penggunaan pemeliharaan dan perawatan prasarana dan

sarana.

5)     Tahap Sosialisasi kepada Semua Pihak yang Terkait;

6)     Tahap Pengawasan Berkala;

a.     Memeriksa secara berkala kesesuaian pelaksanaan pekerjaan dengan rencana,

b.     Melakukan penyesuaian gambar dan spesifikasi teknis pelaksanaan bila ada perubahan,

c.     Memberikan rekomendasi tentang penggunaan bahan; dan

d.     Membuat laporan akhir pengawasan berkala.

 

4.1.4.               Disain Elemen Ecodrain

A.         Saringan Sampah manual dan otomatis

1.          Pendekatan Analisa Jumlah Sampah yang masuk ke dalam sungai (Sistem DAS)[1]

Sampah yang diproduksi oleh permukiman, daerah perkantoran dan perdagangan, dan fasum dan fasos di

perkotaan dan perdesaan tidak semua dapat terangkut ke Tempat Pengolahan Akhir (TPA) atau tereduksi

dengan kegiatan 3R dan komposting ataupun di timbun/dibakar, ternyata masih ada sebagian dari

prosentase sampah tersebut yang dibuang ke perairan (sungai, danau dan pantai/laut). Dari hasil

penelitian di bebarapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya

didapatkan jumlah prosentase sampah yang cukup besar yang dibuang ke sungai dan saluran-saluran

Drainase, yang secara signifikan juga menyebabkan kegagalan fungsi sarana prasarana Drainase dan

pengendalian banjir karena dapat mengurangi kapasitas saluran serta mengganggu operasional fungsi

pintu air dan instalasi pompa banjir.

Jenis sampah yang sering dibuang ke sungai dan saluran-saluran Drainase tersebut diantaranya adalah

sampah basah seperti sampah sisa-sisa makanan dan sayur-mayur, buah-buahan; sampah kering seperti

kayu, plastik, pakaian, kasur, dan bantal, logam, kaca, keramik;  sampah balokan seperti batang pohon

tumbang, balok kayu; sampah binatang seperti bangkai kucing, bangkai ayam, bangkai anjing, dan

bangkai tikus; dan sampah industri pertanian dan perkebunan seperti sisa-sisa pestisida dan herbisida.

Tempat-tempat yang potensial menjadi sumber sampah sungai antara lain:

1. Pasar, tempat-tempat komersil di sepanjang aliran sungai (termasuk dalam DAS Sungai).

2. Pabrik-pabrik, bengkel dan industri (kecil, menengah, dan besar) di sepanjang aliran sungai.

Page 12: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

3. Rumah tinggal, permukiman sekolah dan bangunan-bangunan umum di sepanjang aliran sungai

yang tidak dilindungi pagar pengamanan sungai.

4. Kandang-kandang hewan, tempat pemotongan hewan yang dekat aliran sungai.

5. Jalan, lapangan serta pohon-pohon yang berada sepanjang aliran sungai.

Sampah-sampah tersebut ada yang kondisi terapung, melayang dan berada di dasar

saluran/sungai/waduk. Hal ini terjadi tergantung pada sifat-sifat fisik sampah (berat jenis, permukaan

dlsb), yang mana akan menentukan konsep penanganan pemeliharaan dan operasional sarana (O&M) dan

prasarana Drainase. Sampah-sampah tersebut selain menyebabkan dibutuhkannya kegiatan O&M seperti

kegiatan pengerukan, pembuatan screen/floating screen, juga menyebabkan peningkatan biaya

pemeliharaan prasarana dan sarana Drainase dan pengendalian banjir.

Perhitungan Laju Timbulan Sampah Sungai

(i).       Faktor-faktor Timbulan Sampah Sungai

Produksi sampah sungai dalam layanan pembersihan ini adalah sampah sungai yang timbul di daerah

perkotaan yang mempunyai jumlah yang lebih sedikit dari jumlah sampah yang ada secara keseluruhan.

Hanya sebagian kecil dari produksi sampah kota yang masuk ke dalam sistem aliran sungai.

Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

Adanya pola angkutan sampah darat oleh Dinas Kebersihan/Pemda/Pemkot.

Adanya   pola   angkutan   sampah   darat   oleh   swadaya   masyarakat setempat.

Adanya pemulung sampah yang memisahkan sampah-sampah logam, plastik, kayu dan lain-

lainnya untuk daur ulang.

Masih terdapatnya lahan-lahan terbuka yang dapat menampung dan menyimpan sampah dan

secara alami dapat direduksi.

Masih terdapatnya daeran sempadan sungai yang terbuka dan belum dipagar sehingga masih

banyak penduduk yang membuang sampah.

Kesadaran sebagian besar masyarakat untuk tidak membuang sampah ke dalam sungai.

Tempat-tempat yang menjadi sumber sampah di sepanjang sistem aliran sungai adalah:

Permukiman kumuh/liar disepanjang sungai.

Permukiman padat disepanjang aliran sungai.

Lokasi-lokasi pasar, tempat-tempat komersial di sepanjang aliran sungai.

Pabrik-pabrik dan industri di sepanjang aliran sungai.

Fasilitas-fasilitas umum di sepanjang aliran sungai.

Kandang-kandang hewan, tempat pemotongan hewan yang dekat aliran sungai.

Page 13: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Jalan-jalan lingkungan, jalan setapak, lapangan, taman serta pohon-pohon yang berada

disepanjuang aliran sungai.

(ii).      Produksi Sampah Sungai

Produksi sampah sungai terhadap sampah darat jika dinyatakan dengan persamaan adalah sebagai

berikut:

Qss     =         Qsd x Kss.............................................................. (4.1)

Dimana :

Qss     =         Quantitas sampah sungai

Qsd     =         Quantitas sampah darat

Kss     =         Koefisien timbulan sampah sungai (0,2 - 0,6%)

Produksi sampah untuk suatu kawasan pemukiman yang berada dipinggir aliran sungai/kali dihitung

berdasarkan banyaknya populasi yang menghasilkan sampah setiap harinya, jika dinyatakan dengan

persamaan adalah sebagai berikut:

Qss     =         (P x Qsd) +Qnd...................................... (4.2)

Dimana:

Qss      =              Quantitas sampah sungai

P           =              Populasi penduduk sepanjang aliran sungai

Qsd      =              Produksi sampah domestik (liter/orang/hari)

Qnd     =              Produksi sampah non domestik (daun, pohon, jalanan)

2.          Penanganan Sampah dengan Saringan Mesin Otomatis

Upaya yang dilakukan dalam penanganan sampah sungai salah satunya dengan trash rake (Alat

Penangkap/Penyaring Sampah). Trash rake digolongkan dalam dua kategori, kategori ini adalah :

Trash rake kabel hoist/ Cable hoist trash rake

Trash rake mekanikal/ Mechanical trash rake.

1. Trash Rake Kabel Hoist/Cable Hoist Trash Rake

Prinsip kerja trash rake kabel hoist ini menggunakan kabel/w/re rope untuk menggerakan trash rake

(pergerakan naik dan turunnya rake digerakan oleh hoist melalui kabel /wire rope).

Pada trash rake kabel hoist ini ada 2 type yaitu:

Page 14: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

a. Trash rake tan pa rel pengarah (Unguided cable hoist trash rake)

Prinsip kerja trash rake jenis ini, rake / garu menggantung bebas, pergerakan naik dan turun

nya rake digerakan oleh hoist melalui kabel /wire rope (seperti terlihat pada Gambar 5.16).

b. Trash rake dengan rel pengarah (Guided cable hoist trash rake)

Prinsip kerja trash rake jenis ini, rake / garu dilengkapi dengan rel pengarah yang letaknya di

kedua belah sisi, sehingga lebar rake bisa lebih besar dan rake lebih stabil. Sedangkan

pergerakan naik dan turun nya rake digerakan oleh hoist melalui kabel /wire rope (seperti

terlihat pada Gambar 7).

Gambar 17. Unguided cable hoist trash rake

Gambar 18. Guided cable hoist trash rake

2. Trash Rake Mekanikal/Mechanical Trash Rake

Trash rake sistem mekanikal ini menggunakan rantai, lengan, hydraulic cylinder dan gerigi untuk

menggerakan trash rake (untuk pergerakan naik dan turun).

Pada trash rake mekanikal ini ada 4 tipe yaitu:

a.       Climber Trash Rake

Prinsip kerja trash rake jenis ini yaitu: pergerakan rake diperoleh dari motor penggerak

disambung dengan socket dan chain, pergerakan naik dan turun nya rake digerakan oleh socket

melalui chain.

b.       Elbow Arm

Prinsip kerja trash rake jenis ini yaitu: rake dilengkapi dengan dua lengan, sedangkan bagian

ujungnya dilengkapi dengan backhoe untuk pengambilan sampah. Pergerakan naik dan turun

bagian lengan dan backhoe dengan system mekanis atau hydraulic.

c.       Sliding Arm Trash Rake

Prinsip kerja sliding arm trash rake ini yaitu: trash rake dilengkapi dengan sliding arm, hydraulic

cylinder dan chain. Pergerakan naik dan turun bagian sliding arm digerakan oleh chain

sedangkan posisi kemiringan trash rake digerakan dengan system hydraulic. Dudukan unit

sliding arm trash rake bisa dipilih fixed atau movable dilengkapi dengan rail.

B.         Bioremediasi

Proses bioremediasi adalah salah satu teknik pengurangan atau penghilangan tingkat toksisitas,

mobilitas dan kuantitas bahan pencemar (kontaminan) pada sumber air dan tanah terkontaminasi

menggunakan mikroorganisme (mikroflora atau mikrofauna). Bila menggunakan makroflora (tumbuhan)

disebut phytoremediasi.

Page 15: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Kontaminan yang biasa ditemui pada sumber air dan tanah terkontaminasi adalah kontaminan organik dan

beberapa kontaminan anorganik.

Kontaminan organik berbahaya ditemukan hampir pada seluruh limbah domestik, perkotaan, pertanian,

industri dan kegiatan militer. Sebagai contoh, pestisida dapat masuk kedalam residu tanaman penutup

tanah (crop) seperti rumput, lumpur limbah perkotaan, pembibitan, dan tanah melalui penggunaannya

pada kegiatan pertanian, perumahan, maupun industri. Kontaminan organik lainnya seperti PCBs (Poly

Chlorinated Biphenyls) dan PAHs (Polycylic Aromatic Hydrocarbons) dapat masuk kedalam tanah dari

aktivitas pembakaran bensin atau dari lumpur limbah domestik dan lainnya. Hidrokarbon akan

menghambat pertumbuhan bakal tanaman dan perkecambahan walau tidak ditemukan adanya akumulasi

hidrokarbon didalam tanaman. Demikian pula dengan penggunaan bahan peledak atau komponen peledak

didalam tanah pada aktivitas militer, menimbulkan kontaminan berupa perchlorate yang merupakan

konstituen dari propellan, bahan peledak, dan bateray militer. Perchlorate adalah kontaminan yang larut

didalam air dan dapat mencemari sumber air atau diserap oleh tumbuhan serta berdampak langsung bagi

kesehatan manusia yang mengkonsumsinya.

Kontaminan anorganik seperti beberapa ion logam berat yaitu arsenik (As), timbal (Pb), kadmium (Cd) dan

merkuri (Hg) pada kenyataannya berbahaya bagi kesehatan manusia dan kelangsungan kehidupan di

lingkungan (USDA NRCS, 2000). Walaupun pada konsentrasi yang sedemikian rendah efek ion logam berat

dapat berpengaruh langsung hingga terakumulasi pada rantai makanan. Seperti halnya kontaminan

organik yang telah dijelaskan sebelumnya, logam berat dapat ditransfer dalam jangkauan yang sangat

jauh di lingkungan, selanjutnya berpotensi mengganggu kehidupan biota lingkungan dan akhirnya

berpengaruh terhadap kesehatan manusia walaupun dalam jangka waktu yang lama dan jauh dari sumber

polusi utamanya. Suatu organisme akan kronis apabila makanan yang dikonsumsinya mengandung logam

berat. Proses industri dan urbanisasi memegang peranan penting terhadap peningkatan kontaminan

tersebut karena pemasukan utama kontaminan logam kedalam lingkungan ditemukan dari kegiatan

perkotaan dan pembuangan lumpur limbah industri komoditi seperti industri tekstil, pestisida, kulit,

plastik, pengumpulan besi tua, pengelasan dan lain sebagainya.

Kontaminan organik berbahaya dan residu logam atau produk-produk samping lainnya diatas dapat masuk

kedalam tumbuh-tumbuhan, tanah, dan sedimen dari proses-proses terkait dengan kegiatan domestik,

perkotaan, pertanian, industri dan militer.

Gambar 19. Proses Bioremediasi oleh Mikroorganisme[2]

Teknik bioremediasi dan atau phytoremediasi memang banyak digunakan didalam upaya pemulihan

kondisi sumber air dan tanah terkontaminasi karena terbukti lebih murah biayanya dan efektif

dibandingkan dengan teknik remediasi (pemulihan) menggunakan bahan kimia.

Pada prinsipnya, proses bioremediasi digunakan untuk membuat kontaminan (senyawa) organik menjadi

stabil melalui proses penguapan dan reduksi konsentrasi kandungannya. Dimana kontaminan organik

berbahaya akan terurai (degradasi) secara biologis, menjadi senyawa lain yang lebih sederhana seperti

karbon dioksida, metan, air, garam anorganik, biomassa dan hasil lain yang sangat sederhana

komposisinya (Citroreksoko, 1996). Sedangkan logam-logam berat dalam sumber air atau tanah

terkontaminasi yang berasal dari limbah berbagai pabrik dapat didegradasi keberadaannya dengan teknik

bioremediasi ini melalui proses absorbansi biologis oleh mikroorganisme (mikroalga).

Page 16: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Pengembangan teknik bioremediasi untuk proses minimasi bahkan degradasi bahan pencemar secara

biologis, menjadi teknologi alternatif pengendalian pencemaran sumber-sumber air dan tanah

terkontaminasi secara in situ. In-situ disini dimaksudkan sebagai pengolahan sumber air dan atau tanah

terkontaminasi yang dilakukan ditempatnya semula dihasilkan. Hal ini dimungkinkan karena prinsip proses

bioremediasi memanfaatkan aktifitas mikroorganisme indigenous yang terdapat didalamnya, sehingga

seluruh proses penghilangan dan pengurangan bahan pencemar (kontaminan) dapat dikembangkan

secara langsung di lapangan. Teknik bioremediasi ini dikenal dengan nama bioremediasi intrinsik.

Namun demikian, para praktisi di lapangan lebih memilih menggunakan mikroorganisme endigenous atau

dikenal dengan nama bioremediasi eksintrik. Hal ini disebabkan mikroorganisme endigenous merupakan

mikroorganisme yang telah mendapatkan pengayaan dan pemurnian melalui serangkaian penelitian di

Laboratorium, sehingga lebih unggul dan tidak membutuhkan waktu lama bila diaplikasikan di lapangan.

Teknik bioremediasi yang dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sedimen (endapan) sungai atau bozem

atau waduk adalah secara: (1) in-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat tanah terkontaminasi

berada dan (2) ex-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat lain.

Keuntungan menggunakan teknik in-situ, diantaranya adalah:

          Gangguan terhadap lokasi tanah terkontaminasi sangat sedikit (tidak ada penggalian atau

pemindahan tanah)

          Karena tidak dipindahkan maka masyarakat atau lingkungan yang beresiko terkena paparan

bahan berbahaya beracun yang ada didalam sedimen (endapan) tersebut lebih sedikit (minimal)

          Mengurangi biaya penggalian, pemindahan dan pengangkutan (transportasi) yang sangat mahal

          Meniadakan biaya pengadaan lahan yang sesuai dengan persyaratan didalam KepMenLH No. 128

tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi

(petroleum hydrocarbon) dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis

Namun demikian, aplikasi teknik in-situ memerlukan eksplorasi detail dan menyeluruh terkait lokasi

pencemaran dan karakteristik kontaminannya. Ini sangat penting guna menghindari terjadinya perluasan

area pencemaran akibat perpindahan atau perembesan kontaminan ke daerah sekitarnya. Selain itu,

aplikasi teknik in-situ memerlukan penambahan nutrien dan oksigen kedalam sedimen (endapan) guna

mencapai syarat habitat mikroorganisme yang akan digunakan.

Teknik ex-situ membutuhkan biaya yang lebih mahal karena dibutuhkan biaya untuk pekerjaan

penggalian, pengumpulan dan pengangkutan ke lokasi pengolahan. Akan tetapi kelebihan dari teknik ex-

situ adalah dapat diolah dengan beragam cara seperti: (1) landfarming; (2) composting; (3) menggunakan

reaktor lumpur.

Bebarapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum mengaplikasi teknik bioremediasi adalah:

          susceptibility dari kontaminan, artinya tidak semua kontaminan dapat didegradasi oleh

mikroorganisme

Page 17: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

          Kondisi lingkungan dimana teknik biremediasi akan diaplikasikan, artinya proses bioremediasi

dapat dilakukan bila sifat fisik dan kimia lingkungannya dapat dikontrol sesuai kebutuhan

mikroorganismenya

Mengingat diperlukannya faktor-faktor tersebut diatas, maka perlu dilakukan treatability study sebelum

teknik bioremediasi diaplikasikan. Treatability study diperlukan guna mendapatkan informasi yang pasti

terkait karakteristik lokasi pengolahan; sifat fisik & kimia lokasi dan karakteristik kontaminannya. Sehingga

dapat diketahui dengan pasti apakah kontaminan tersebut dapat didegradasi atau tidak; berapa

kecepatan degradasi yang dibutuhkan; bagaimana hasil akhir yang diinginkan dan lain sebagainya.

Untuk penggunaan mikroorganisme pada kedua proses bioremediasi diatas bisa digunakan jenis native

(indigenous) atau mikroorganisme komersial (endogenous). Hanya saja, bila menggunakan

mikroorganisme indigenous, waktu pengolahan yang dibutuhkan akan lebih lama dibandingkan dengan

mikroorganisme komersial.

Pelaksanaan proses bioremediasi pada sedimen (endapan) dapat dilakukan melalui lima (5) tahapan kerja

yaitu:

Tahap 1: Survai Awal

Survai ini dilakukan dengan tujuan mengetahui kondisi lingkungan yang sebenarnya dari

sedimen/endapan yang terkontaminasi yang akan diaplikasi bioremediasi. Hasil dari survai ini pun

menentukan strategi investigasi yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya.

Pada tahap survai ini, semua informasi terkait sedimen/endapan terkontaminasi yang akan diolah harus

didata dengan lengkap. Informasi tersebut diantaranya adalah peta lokasi dan alur aliran air yang existing

di lapangan. Daerah tangkapan (catchment area) terkait jenis-jenis kegiatan yang ada, penggunaan lokasi

(dulunya), saluran Drainase apa saja yang ada dan lain sebagainya sangat menentukan prediksi cemaran

(kontaminan) dan hipotesis selanjutnya.

Tahap 2: Investigasi Lokasi

Investigasi lokasi sedimen/endapan terkontaminasi, dimaksudkan untuk memperoleh data yang mewakili

(representative) kondisi sedimen/endapan untuk penilaian faktor resiko selanjutnya;  data tentang

intensitas dan ekstensitas cemaran (kontaminan) dalam sedimen/endapan; kemungkinan ada atau

tidaknya emisi bahan beracun ke udara; kemungkinan ada atau tidaknya ledakan; kemungkinan ada atau

tidaknya intrusi cemaran (kontaminan) ke lingkungan disekitarnya.

Pada phase ini, dilakukan empat (4) jenis pekerjaan yaitu: investigasi; penilaian resiko; pelaporan dan

penentuan garisbesar (outline) dari proses bioremediasi. Pada tahap ini diperlukan pula sampling dan uji

laboratorium terhadap beberapa parameter dan atau kontaminan yang ada. 

Tahap 3: Perencanaan Detil Disain Bioremediasi

Objektif dari tahap bioremediasi ini adalah membuat perencanaan detil disain bioremediasi yang sesuai

baik in-situ maupun ex-situ dan mengaplikasikannya dilapangan.

Page 18: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Pada saat perancangan detil disain tidak jarang diperlukan pekerjaan investigasi lahan tambahan guna

mengetahui dengan tepat proses bioremediasi yang sesuai dengan kondisi lapangan dan sesuai pula

dengan persyaratan teknis yang berlaku.

Tahap 4: Operasi & Evaluasi

Objektif dari tahap ini adalah dilakukannya pengecekan terhadap efektifitas proses bioremediasi yang

sedang dilakukan terhadap sedimen/endapan terkontaminasi yang diolah.

Sebelum tahap operasi dan evaluasi ini dimulai, perlu disusun prosedur dan parameter-parameter yang

akan diukur dan diuji (dipantau) sebagai bahan evaluasi, termasuk rencana tanggap darurat (emergency

response) dan sistem alert pada satu keadaan/kriteria dimana proses bioremediasi perlu dihentikan dan

dilakukan evaluasi.

Didalam prosedur yang tersusun akan diuraikan pula frekuensi dan form pelaporan dimana memuat

apakah operasi dan evaluasi tersebut dapat dilanjutkan atau harus dihentikan.

Tahap 5: Pasca Operasi Bioremediasi

Objektif dari tahap ini adalah digunakannya kembali sedimen/endapan yang telah terpulihkan ke area-area

penghijauan disepanjang saluran Drainase perkotaan. Ini bisa dilakukan bila digunakan proses

bioremediasi ex-situ. Untuk itu diperlukan pekerjaan lanjutan yaitu penggalian, pemuatan dan pemindahan

sedimen/endapan yang telah pulih menjadi tanah hidup ke lokasi-lokasi penghijauan yang disediakan.

Namun, bila digunakan proses bioremediasi in-situ dimana tujuan aplikasi proses bioremediasi adalah

menurunkan kadar sedimen terlarut maka objektif dari tahap ini adalah berkurangnya sedimen/endapan

dan bertambahnya daya tampung saluran Drainase tersebut.

Proses Bioremediasi Ex-Situ Tipe Landfarming

Dari survai lapangan yang dilakukan, banyak ditemui kegiatan pengerukan sedimen/endapan pada saluran

Drainase perkotaan (sungai, bozem, waduk, dll) sebagai upaya pembersihan cepat (kuratif). Teknik ini

masih dianggap paling efisien (cepat) walau membutuhkan biaya pengerukan dan transportasi yang cukup

mahal.

Sampai saat ini tidak tersedia data tentang kegiatan paska operasi pengerukan yang dilakukan oleh

instansi terkait. Seolah-olah permasalahan sedimen/endapan telah selesai dengan memindahkannya dari

saluran Drainase ke tempat pembuangan akhir. Padahal bila kita amati di lapangan, sedimen/endapan

yang ditampung pada lokasi penampungan sementara (untuk pengeringan) sebelum dibuang ke tempat

pembuangan akhir, seringkali terbawa kembali ke saluran Drainase. Bahkan menimbulkan pendangkalan

pada saluran-saluran Drainase (got) dan menimbulkan masalah baru.

Dengan adanya aplikasi teknik bioremediasi pada lokasi-lokasi penampungan sementara tersebut,

diharapkan sedimen/endapan tersebut dapat dipulihkan menjadi tanah hidup dan dapat dimanfaatkan bagi

kegiatan penghijauan perkotaan.

Hal penting yang perlu disiapkan sebelum aplikasi bioremediasi dengan tipe landfarming ini adalah:

Page 19: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

 

          Penyelidikan (investigasi) terhadap jenis dan karakteristik kontaminan yang ada didalam

sedimen/endapan sebelum dilakukan pengerukan dan pemindahan ke lokasi penampungan

sementara. Data primer hasil sampling kontaminan tersebut menjadi pertimbangan penentuan

langkah pengolahan selanjutnya.

          Persiapan tempat penampungan sementara sebagai tempat pengolahan landfarming harus

disesuaikan dengan kriteria lokasi penampungan limbah B3 pada surat KepKaBapedal No. 1 tahun

1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan

Berbahaya dan Beracun. Hal ini penting dilakukan mengingat terdapat kontaminan-kontaminan

logam berat yang masuk akibat kegiatan-kegiatan pada catchment areanya.

          Pengeringan perlu dilakukan di lokasi penampungan sementara, sehingga perlu disiapkan sistem

Drainase didalam area yang bersifat tertutup (closed cyrcle). Larian air dari Drainase tersebut

harus ditampung dan diolah didalam bioreaktor.

          Setelah sedimen/endapan kering, dilakukan pemilahan sampah (ranting, potongan kayu, plastik,

potongan logam dll) secara  mekanik dan atau manual. Sampah-sampah tersebut akan

menghambat proses bioremediasi yang akan diaplikasi, sehingga harus dikeluarkan/dibersihkan

dari sedimen/endapan tersebut.

Setelah sedimen/endapan bersih dari sampah, barulah proses bioremediasi dilakukan dengan beberapa

tahapan cara tergantung pada jenis kontaminan  apa yang akan didegradasi terlebih dahulu. Tentunya,

kandungan kontaminan yang terbanyak perlu didegradasi terlebih dahulu. Sebagai contoh, bila kandungan

PAHs yang tertinggi, maka bioremediasi yang diaplikasi bertujuan untuk meningkatkan populasi

mikroorganisme pemakan hidrokarbon. Diikuti dengan proses bioremediasi untuk mendegradasi

kontaminan selanjutnya.

Garis besar proses bioremediasi tersebut adalah sebagai berikut:

          Dilakukan pencampuran sedimen/endapan dengan menggunakan beckho agar diperoleh

sedimen/endapan yang homogen.

          Dilakukan penambahan nutrien (berupa kotoran ayam, kotoran sapi atau pupuk) sebagai bahan

nutrisi bagi mikroorganisme indigenous.

          Selain nutrisi, perlu juga penambahan bulk agen seperti limbah serutan kayu, sekam padi atau

limbah bottom ash dari pembakaran batubara. Bulk agen ini dimaksudkan untuk memperoleh

tekstur tanah (moisture) yang disyaratkan.

          Dilakukan penyebaran (paparan) sedimen/endapan pada permukaan lahan (tempat

penampungan sementara) secara merata dengan ketinggian maksimal 50 cm.

          Selanjutnya untuk mempertahankan kelembaban sedimen/endapan dilakukan penyiraman air

secara rutin. Air yang digunakan untuk penyiraman ini haruslah air bersih dengan pH normal (pH

6-8) dan tidak tercemar oleh minyak, bahan anorganik maupun bakteri lain. Dalam kondisi iklim

kering (panas) diperkirakan konsumsi air mencapai 40.000 liter per hari per lokasi penampungan

Page 20: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

sementara. Sedangkan dimusim hujan, kelebihan kandungan air didalam tanah akibat curah

hujan harus bisa dialirkan ke saluran-saluran Drainase agar tidak menghambat operasional alat

berat. Bahkan sebaiknya tersedia terpal untuk menutup sementara permukaan tanah yang diolah

selama turunnya hujan.

          Untuk mempertahankan kondisi aerob bagi mikroorganisme indigenous yang ada didalam tanah,

dilakukan dengan cara pembalikan permukaan sedimen/endapan menggunakan traktor dengan

rotovator. Pembalikkan secara rutin dapat mempertahankan pemaparan oksigen diudara

kepermukaan tanah yang sedang diolah terus berlanjut hingga mencapai tanah lapisan dalam

yang telah dibalikkan kepermukaan. Bila kondisi tanah terlihat kompak (liat) maka proses

pembalikkan tanah dilakukan lebih sering guna meningkatkan proses aerasi. Sebaliknya bila

kondisi tanah terlihat berpasir (granular) maka proses pembalikkan dilakukan dengan frekuensi

yang lebih sedikit dibandingkan tanah kompak.

Gambar 20.  Operasional Tipe Bioremediasi Landfarming

          Untuk mengetahui efektifitas proses bioremediasi yang sedang berjalan, perlu dilakukan

sampling dimulai pada hari ke-10 sejak pemaparan dilakukan. Evaluasi terhadap hasil analisis

sampling tersebut menjadi bahan pertimbangan pengolahan bioremediasi yang perlu dilakukan

selanjutnya.

 

Gambar 21. Penampang Ø Proses Bioremediasi Landfarming 

C.          Biofilter

Biofilter atau biasa disebut parit tumbuhan adalah saluran alamiah yang didesain sedemikian rupa dimana

terdapat tumbuh-tumbuhan yang berfungsi mengelola pengaliran limpasan sehingga lebih lambat

mengalir diantara tumbutuhan.

Biofilters efektif jika arus lambat dan dangkal pada saluran parit alamiah. Kondisi ini dapat dicapai bila

kontur kawasan dan kemiringan lereng mendukung pengaliran limpasan diatas. Untuk sistem biofilter,

kondisi yang menyebabkan konsentrasi aliran, seperti tahanan dan belokan, dan saluran yang langsung

crossing ke seberang jalan, harus diperkecil. Gerakan melambat dari aliran melalui tumbuh-tumbuhan

menyediakan kesempatan untuk terjadinya sedimentasi dan tersaringnya partikulat dan degradasi oleh

aktivitas biologi. Dalam berbagai jenis tanah, biofilter juga menyebabkan terjadinya penyerapan hujan ke

dalam tanah, lebih lanjut mengurangi polusi air dan mengurangi debit limpasan (yang akhirnya

mengurangi potensi banjir).

Aliran Lambat, aliran limpasan halus dapat dijaga dengan biofilter yang dibangun dengan menjaga

kemiringan kedua sisi (kemiringan maksimum 3 :1, minimal kemiringan memanjang (direkomendasikan 1

– 2%, dengan check dam untuk kemiringan yang lebih curam), dan suatu flowpath panjangnya sedikitnya

10 feet (minimal 3 meter).  Konsep utamanya adalah menggerakan aliran air dengan lambat melalui

tumbuh-tumbuhan.

Gambar 22. Biofilter

Page 21: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Lapisan utama tanah penutup adalah tanah berumput, yang harus tetap dialiri pada musim kemarau. Agar

lapisan tanah berumput yang berfungsi sebagai biofilter dapat bekerja efektif harus sering dipotong secara

rutin dan dirapikan. Dimana kemiringan kurang dari 1% atau dimana air tanah tinggi, tanaman rawa

buatan dapat digunakan dalam biofilter. Jenis tanah lempung,  atau  jenis tanah lainnya yang dapat

menghalangi tanaman, secara umum tidaklah cocok bagi biofilter.

Biofilter biasanya diaplikasikan lapangan parkir, sepanjang pinggiran lapangan parkir dengan kemiringan

memanjang sampai dengan parit rumput untuk mengumpulkan dan mengolah limpasan hujan dari

permukaan lapangan parkir. Kemiringan batas pavemen lapangan parkir agar diatur sedemikian rupa lebih

tinggi dari pada batas dengan biofilter. Jika air masuk dari beberapa titik pengumpulan, seperti aliran

halus, kontrol erosi agar dapat juga ditempatkan pada beberapa titik termasuk di inlet dan outlet saluran.

Dimana harus diatur puncak hidrograph harus kurang dari 8 cm dan percepatan puncak kurang dari 0,3

m/detik. Limpasan hujan lebat dapat mem-bypass biofilter, atau biofilter dapat di-Disain untuk dapat

mengakomodasi debit banjir yang lebih besar tentunya dengan kualitas air yang terjaga. Lebar alas dari

parit adalah secara umum 60 cm sampai 2,5 meter, dengan tingginya rumput dari 10 cm sampai 15 cm

dan kedalaman air yang maksimum dari kurang dari 5 cm.

D.         Pengolahan Kualitas Air dengan Rawa Buatan (Wetland Constructed)

Dalam ekosistem rawa, terdapat aneka ragam organisme. Hampir semua mahluk hidup dibumi terwakili di

dalam rawa, mulai dari organisme mikro hingga organisme makro seperti tumbuhan atau hewan besar.

Bakteri, virus, alga, jamur, protozoa, ikan, katak, burung, binatang melata, binatang menyusui, semuanya

ada di sana. Semua mahluk hidup tersebut membentuk rantai dan jaring makanan, mulai dari pengurai,

produsen, konsumen, berentuk sangat kompleks yang meliputi berbagai organisme yang berada di

berbagai mata rantai jaring-jaring makanan.

Interaksi antar semua komponen ekosistem yang berada dalam rawa tersebut memungkinkan terjadinya

proses daur ulang secara alami bahan pencemar yang tidak bernilai bagi manusia menjadi bahan bernilai

yang terkandung dalam biomassa tumbuhan dan hewan. Proses alam diatas mengilhami pengembangan

model rawa buatan dalam upaya pembersihan air.

Rawa buatan didesain sedemikian rupa diatas sebidang tanah dengan cara membuat pematang, tanggul

dan kolam, sehingga air limbah akan melewati sebagian besar permukaan substrat yang ditanami

tumbuhan akuatik dan semi-akuatik yang bernilai ekonomis seperti sayuran dan buah. Sehingga dapat

disebut pengolahan air dengan metoda rawa buatan (wetland constructed) adalah alternatif lain

pengolahan air yang meniru proses alamiah yang terjadi di lahan basah (rawa) alami.

Gambar 23. Contoh Rawa Buatan Aliran Vertikal (Constructed Wetlands) [3]

Gambar 24. Tampak Atas Rawa Buatan untuk Mengolah Air Limbah[4]

Menurut jenis aliran air, rawa buatan secara umum digolongkan dalam dua bentuk: aliran horisontal dan

aliran vertikal. Dalam sistim aliran horisontal, air memasuki rawa dari satu titik, mengalir dalam rawa

buatan, kemudian keluar dari titik di ujung rawa. Sedangkan dalam rawa buatan aliran vertikal, air

merembes/mengalir secara vertikal baik dari atas ke arah bawah atau dari bawah ke arah atas sistem ke

luar dari sistem.

Page 22: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Rawa buatan aliran horisontal dapat digolongkan lebih lanjut dalam empat bentuk, yaitu:

a. Rawa buatan yang alirannya mengalir di atas permukaan tanah.

b. Rawa buatan yang proses pengaliran airnya lewat substrat tempat tumbuhnya tanaman air.

c. Komninasi bentuk pertama dan kedua

d. Rawa buatan hidroponik aliran tipis yang tidak menggunakan substrat tanah atau pasir.

Sementara itu, rawa buatan aliran vertikal dapat digolongkan ke dalam dua bentuk (lihat gambar 22):

1. Aliran vertikal menurun dimana air dialirkan di permukaan sistem kemudian merembes melalui

substrat yang dipenuhi oleh akar tanaman hingga mencapai dasar rawa buatan untuk ke luar dari

sistem.

2. Aliran vertikal menanjak dimana air disalurkan melalui pipa ke dasar sistem untuk naik pelan-pelan

melalui lapisan substrat sebelum keluar melalui saluran yang letaknya di permukaan substrat.

Agar pembersihan air limbah efektif, rawa buatan (sebagaimana juga rawa alami) membutuhkan lima

komponen (Hammer, 1989  dalam Khiatuddin Maulida, 2003), yakni:

1. Substrat (tanah, pasir, kerikil, dll) dengan berbagai tingkat konduktivitas hidrologis.

2. Tumbuhan yang dapat hidup dalam kondisi anaerob di media yang jenuh dengan air atau tergenang

air.

3. Genangan air (baik yang mengalir di atas atau di bawah permukaan tanah).

4. Hewan yang bertulang belakang dan tidak bertulang belakang.

5. Populasi organisme mikro aerob dan anaerob.

Salah satu komponen rawa buatan adalah tumbuhan/tanaman yang yang bekerjasama dengan  micro-

organisme dalam media (tanah, koral, dan air). Penggunaan tanaman disebut dengan konsep

Fitoremediasi yang didefinisikan sebagai teknologi pembersihan, penghilangan atau pengurangan polutan

berbahaya, seperti logam berat, pestisida, dan senyawa organik beracun dalam tanah atau air dengan

menggunakan bantuan tanaman.[5]

 

Gambar 25. Proses dalam Fitoremediasi [6]

Selain pemanfaatan bagi pemulihan kualitas air, teknik fitoremediasi dapat pula dimanfaatkan bagi

menjaga dan menjamin kualitas kompos dengan fitoteknologi dan ekotoksikologi.[7]

Proses dalam sistim  ini berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan

tumbuhan terhadap zat kontaminan/pencemar yang berada disekitarnya.

1.       Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media

sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga Hyperacumulation

Page 23: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

2.       Rhizofiltration (rhizo = akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh akar

untuk menempel pada akar. Proses ini telah dibuktikan dengan percobaan menanam bunga matahari

pada kolam mengandung zat radio aktif di Chernobyl Ukraina.

3.       Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin

terserap kedalam batang tumbuhan. Zat zat tersebut menempel erat (stabil ) pada akar sehingga

tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media.

4.       Rhyzodegradetion disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, or plented-assisted

bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas microba yang berada

disekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bacteri.

5.       Phytodegradation (phyto transformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk

menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang

tidak berbahaya dengan dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi

pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di

luar sekitar akar dengan bantuan enzym yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa

tumbuhan mengeluarkan enzym berupa bahan kimia yang mempercepat proses degradasi.

6.       Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat contaminan oleh tumbuhan dalam

bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk

selanjutnya di uapkan ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan

1000 liter perhari untuk setiap batang.

Jenis-jenis tanaman yang digunakan dalam Fitoremediasi

Jenis-jenis tanaman yang sering digunakan di Fitoremediasi adalah; Anturium Merah/Kuning, Alamanda

Kuning/Ungu, Akar Wangi, Bambu Air, Cana Presiden Merah/Kuning/Putih, Dahlia, Dracenia Merah/Hijau,

Heleconia Kuning/Merah, Jaka, Keladi Loreng/Sente/Hitam, Kenyeri Merah/Putih, Lotus Kuning/Merah, Onje

Merah, Pacing Merah/Putih, Padi-padian, Papirus, Pisang Mas, Ponaderia, Sempol Merah/Putih, Spider Lili,

dll.

Gambar 26. Flow Diagram Proses Fitoremediasi dalam Pengolahan Air [8]

Konsep Perencanaan Wetland

Beberapa ketentuan yang diperlakukan untuk membuat sistim ini, yaitu :

1. Unit Wetland didahului dengan bak pengendap untuk menghindari cloging pada media koral oleh

partikel-partikel besar.

2. Konstruksi berupa bak/kolam dari pasangan batu kedap air dengan kedalaman ± 1 meter.

3. Kolam dilengkapi pipa inlet dan pipa berlubang untuk outlet.

4. Kolam diisi dengan media koral (batu pecah atau kerikil) diameter 5 mm s.d. 10 mm, setinggi/setebal

80 cm.

Page 24: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

5. Ditanami tumbuhan air dicampur beberapa jenis yang berjarak cukup rapat, dengan melubangi lapisan

media koral sedalam 40 cm untuk dudukan tumbuhan.

6. Dialirkan air limah setebal 70 cm dengan mengatur level (ketinggian) outlet yang memungkinkan

media selalu tergenang air 10 cm dibawah permukaan koral.

7. Disain luas kolam berdasarkan beban BOD yang masuk per hari dibagi dengan Loading rate pada

umumnya untuk daerah tropis ± 40 kg BOD/Ha per hari.

8. Sistem pengolahan limbah denngan wetland disarankan hanya untuk skala lingkungan maksimum

2000 jiwa dan perkantoran atau gedung-gedung sekolah karena kebutuhan lahanya cukup tinggi

antara 1,25 m2/jiwa s.d. 2,5 m2/jiwa dibandingkan fakultatif pond hanya 0,2 m2/jiwa s.d. 0,5 m2/jiwa

atau hanya 1/5 dari kebutuhan lahan rawa buatan.[9]

4.2.                   Pelaksanaan

4.2.1.               Pengorganisasian

Penyelenggaraan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) melibatkan

instansi terkait di pusat dan daerah serta masyarakat di kawasan/lokasi dalam suatu daerah aliran sungai

yang akan ditangani. Dimana diharapkan sejak tahap awal perlu segera dilaksanakan pengorganisasian

agar jalannya kegiatan dapat berlangsung secara efisien dan efektif mencapai hasil yang optimal. Dibawah

ini adalah bagan organisasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan

lingkungan (ecodrain).

Gambar 27. Organisasi Pelaksanaan Program Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan

Lingkungan (ecodrain)

Gambar 28. Usulan Pengaturan Kewenangan Antar Institusi Terkait dalam Pengelolaan Saluran Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan

KEWENANGAN /TANGGUNG JAWAB INSTITUSI

A B C D E F G H I

Aspek Peraturan dan Pengaturan

Penyusunan Pedoman dan Permen/Kepmen Tentang

Ecodrain

X X - - - - - - X

Sosialisasi Undang-undang No 7 Tahun 2004 tentang

Sumber Daya Air terutama terkait dengan Ecodrain

 

X X - X X - - - -

Penyusunan Perda Provinsi / SK. Gub / Instruksi Gub.

Tentang Pelaksanaan Ecodrain dan penunjukan

Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Ecodrain Tingkat

Provinsi

 

- - X X - - - - X

Page 25: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Penyusunan Perda Provinsi / SK. Gub / Instruksi Gub.

Tentang Pengendalian Perencanaan Tata Guna Lahan

Dan Perlindungan Alam Daerah Bantaran Sungai

Tingkat Provinsi

 

- - X X - - - - X

Penyusunan Perda Kabupaten Kota / SK. Bupati

Walikota / SK.Bupati Walikota / Instruksi Bupati Walikota

Tentang Pelaksanaan Ecodrain dan penunjukan

Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Ecodrain Tingkat

Kabupaten Kota

 

- - - - X X X - X

Penyusunan Perda Kabupaten Kota / SK. Bupati

Walikota / SK.Bupati Walikota / Instruksi Bupati Walikota

Tentang Pengendalian Perencanaan Tata Guna Lahan

Dan Perlindungan Alam Daerah Bantaran Sungai

Tingkat Kabupaten Kota

 

- - - X - - X - X

Penyusunan Perda Kabupaten Kota / SK. Bupati

Walikota / SK.Bupati Walikota / Instruksi Bupati Walikota

Tentang Mutu / Kualitas Air Sungai

 

- - - - - - X - X

Aspek Teknis dan Operasional

Perencanaan - - X X X - - - X

Pembangunan Fisik X X X X X - - - -

Pengawasan Fisik X X X X X - - - -

Operasional dan Pemeliharaan (O&P)

 

- - - X X X - X -

Sosialisasi Pelaksanaan Fisik

 

- - X X X X X X X

Aspek Pembiayaan

Perencanaan X X X X X - - - -

Pembangunan Fisik X X X X X - - - -

Pengawasan Fisik X X X X X - - - -

Page 26: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Operasional dan Pemeliharaan (O&P) - - - X X X - X -

Sosialisasi Pelaksanaan Fisik - - X X X X X X X

Aspek Peran Masyarakat dan atau Swasta

Pengelolaan Air Limbah dengan SANIMAS X - X X X X X X X

Pengelolaan Sampah dengan Konsep 3 R X - X X X X X X X

KEWENANGAN /TANGGUNG JAWAB INSTITUSI

A B C D E F G H I

 

                   

Pelatihan dan Capacity Building Kegiatan 3R

dan SANIMAS

 

X X X X X - - - X

Sosialisasi desain elemen sistem Drainase

Berwawasan lingkungan

 

X X X X X X X - X

 

Sumber :  Hasil Kajian Konsultan, 2007.

Keterangan:

A = Direktorat PLP Ditjen Cipta Karya.

B = Ditjen SDA melalui Balai Besar Wilayah Sungai.

C = Pemerintah Daerah c.q. BAPPEDA Provinsi.

D = Dinas PU Provinsi.

E = Dinas PU Kabupaten Kota.

F = Dinas Kebersihan Kabupaten Kota.

G = Dinas / Bidang Lingkungan Hidup Kabupaten Kota.

H = Masyarakat / Swasta (KSM).

I = Perguruan Tinggi / Konsultan / LSM / Organisasi Profesi.

Page 27: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

4.2.2.               Tahap Pelaksanaan

Secara garis besar kegiatan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain)

terbagi dalam dua kegiatan pokok yaitu:

          Kegiatan yang bersifat fisik

Kegiatan fisik yang berupa pembangunan prasarana dan sarana, pengadaan barang (M&E),

pemeliharaan dan perawatan.

          Kegiatan yang bersifat non fisik

Kegiatan non fisik dapat berupa kegiatan sosialisasi 3R, pengelolaan air limbah domestik dan

pengelolaan hujan integratif yang dapat mengembangkan pengelolaan Drainase.

Dalam tahap pelaksanaan dibagi pada beberapa kegiatan sebagai berikut:

b.     Pelaksanaan konstruksi fisik

Pelaksanaan konstruksi fisik merupakan perwujudan fisik dari rencana yang terdapat dalam

studi kelayakan dan detail rencana teknis Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan

Lingkungan (Ecodrain). Pelaksanaan konstruksi antara lain seperti pembangunan pintu air,

bendung spillway, saringan sampah manual maupun otomatis, tempat pembuangan sampah

(TPS) di lokasi saringan sampah dan bantaran sungai, IPAL Sanimas, MCK komunal, kawasan

bioretensi, pavemen berpori, jalan berpori, kawasan parkir ramah lingkungan, rawa buatan,

wetland constructed, dlsb.

1)     Kegiatan konstruksi fisik dapat berupa kegiatan mendirikan, memperbaiki atau

memperluas/menambah prasarana dan sarana sesuai dengan dokumen perencanaan

yang telah disepakati pada tahap perencanaan. Dengan pembangunan konstruksi fisik

ini diharapkan permasalahan banjir, genangan, sampah sungai dan pencemaran air

dapat dikurangi, sehingga beberapa permasalahan penting daerah perkotaan dapat

dieliminir, yang pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup, kesehatan

dan kehidupan manusia dan ekosistem perairan (lingkungan) serta kota.

2)     Kegiatan fisik sebagaimana disepakati dalam Daftar Isian Proyek (DIP) yang

diselenggarakan secara bersama antara seluruh stakeholder di kawasan yang

bersangkutan.

3)     Khusus pada kegiatan fisik dari Pemerintah Pusat (Direktorat PLP – Ditjen Cipta Karya,

Departemen Pekerjaan Umum) pada beberapa kota sebagai pilot project. Diharapkan

Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat berkontribusi bagi terwujudnya semua

rencana yang ada dalam studi perencanaan Pengelolaan Drainase Secara Terpadu

Berwawasan Lingkungan (Ecodrain). Kontribusi tersebut dapat berbentuk penyiapan

lahan, tenaga, dan pendanaan fisik, serta komitmen untuk meneruskan program

tersebut secara berkesinambungan.

4)     Kegiatan pelaksanaan konstruksi fisik terdiri dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan

konstruksi dan tahap pengakhiran (finishing).

Page 28: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

c.     Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa

Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa merupakan rencana pengadaan barang dan jasa yang

terdapat dalam studi kelayakan dan detail rencana teknis Pengelolaan Drainase Secara Terpadu

Berwawasan Lingkungan (Ecodrain). Pengadaan barang terkait dengan kebutuhan barang

mekanikal dan elektrikal dan perangkat dalam sistem informasi seperti perangkat lunak

(software) dan perangkat keras (hardware). Pengadaaan barang dalam hal ini seperti pengadaan

saringan sampah otomatis, pompa banjir, unit-unit pengolahan otomatis dalam IPAL Sanimas

(disesuaikan teknologi), sarana komposting, daur ulang dan pengangkut sampah, sistem

pengolahan data dan informasi, dlsb. Pengadaan jasa adalah adalah jasa konsultansi dalam

pekerjaan pengawasan dan sosialisasi.

 

 

d.     Pelaksanaan dan Pengembangan Kegiatan 3R dan SANItasi berbasis MASyarakat (SANIMAS)

Pelaksanaan konstruksi fisik merupakan perwujudan fisik dari rencana yang terdapat dalam

studi kelayakan dan detail rencana teknis Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan

Lingkungan (Ecodrain).

4.2.3.               Tahap Operasi dan Pemeliharaan

Fasilitas kegiatan fisik dan bantek pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan

(ecodrain) dari Pemerintah Pusat hanya merupakan stimulan dari Pemerintah Pusat (Direktorat PLP –

Ditjen Cipta Karya) yang selanjutnya setelah diserah terimakan kepada Pemerintah Kota/Kabupaten, maka

pengelolaan pasca pembangunan pada dasarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota/Kabupaten.

 

4.2.4.              Sosialisasi dan Penguatan Peran Masyarakat dan Swasta

Dalam penerapan konsep pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan, penanganan

sampah dengan reduksi sampah dari sumbernya merupakan langkah yang paling efektif dalam

mengurangi timbulan sampah yang akan dibuang ke TPA (tertangani) maupun yang sampah yang

potensial dibuang ke sungai / saluran / waduk dan atau prasarana dan sarana lainnya. Konsep yang dapat

dikembangkan adalah dengan pengelolaan sampah berdasarkan pendekatan 3R (Recycle, Reuse &

Reduce) yang didasari oleh pendekatan pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat.

Pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat adalah suatu pendekatan pengelolaan sampah yang

didasarkan pada kebutuhan dan permintaan masyarakat, direncanakan, dilaksanakan (jika feasible),

dikontrol dan dievaluasi bersama masyarakat.

Dalam pengertian ini pemeran (penguasa, kekuatan) utama dalam pengelolaan sampah adalah

masyarakat. Pemerintah dan lembaga lainnya hanyalah sebagai motivator dan fasilitator.

Page 29: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Fungsi motivator adalah memberikan dorongan agar masyarakat siap memikirkan dan mencari jalan

keluar terhadap persoalan sampah yang mereka hadapi. Tetapi jika masyarakat belum siap, maka fungsi

pemerintah atau lembaga lain adalah menyiapkan terlebih dahulu. Misalnya dengan melakukan pelatihan

study banding dan memperlihatkan contoh-contoh program yang sukses dan lain-lain.

Fungsi fasilitator adalah memfasilitasi masyarakat untuk mencapai tujuan pengelolaan sampah Secara

baik dan pengomposan maka tugas fasilitator adalah memberikan kemamuan masyarakat dengan 

berbagai cara misalnya dengan memberikan pelatihan begitu juga jika masyarakat lemah dalam hal

pendanaan, maka tugas fasilitator adalah membantu mencari jalan keluar agar masyarakat mampu

mendapat pendanaan yang dibutuhkan, tetapi harus dilakukan secara hati-hati jangan sampai masyarakat

tergantung.

Mengapa dalam pengelolaan sampah dilakukan secara berbasis masyarakat karena produsen sampah

utama adalah masyarakat, sehingga mereka harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka

produksi.

Sumber sampah yang berasal dari masyarakat, sebaiknya dikelola oleh masyarakat yang bersangkutan

agar mereka bertanggung jawab terhadap sampahnya sendiri, karena jika dikelola oleh pihak lain biasanya

mereka kurang bertanggung jawab bahkan cenderung destruktif.

Faktor yang mempengaruhi sampah, baik kuantitas dan kualitasnya sampah sangat dipengaruhi oleh

berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat. Beberapa faktor yang penting antara lain;

Jumlah penduduk. Dapat dipahami dengan mudah bahwa semakin banyak penduduk semakin

banyak pula sampahnya. Pengelolaan sampah inipun berpacu dengan laju pertumbuhan

penduduk.

Keadaan sosial ekonomi. Semakin tinggi keadaan social ekonomi masyarakat, seakin banyak

jumlah perkapita sampah yang dibuang. Kualitas sapahnya semakin banyak yang bersifat tidak

dapat membusuk. Perubahan kualitas sampah ini, tergantung pada bahan yang tersedia,

peraturan yang berlaku serta kesadaran masyarakat akan persoalan sampah.

Kenaikan kesejahteraan inipun akan meningkatkan kegiatan konstruksi dan pembaharuan

bangunan-bangunan. Transportasi-pun bertambah dengan konsekuensi bertambahnya volume

dan jenis sampah.

Dengan kemmajuan teknologi. Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kuantitas

sampah, karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan produk

manufaktur yang semakin beragam pula.

Kenyataan yang ada saat ini adalah bahan sampah sulit dikelola oleh berbagai hal;

Cepatnya berkembangnya teknologi, lebih cepat daripada kemampuan masyarakat untuk

mengelola dan memahami persoalan sampah.

Meningkatnya tingkat hidup masyarakat, yang tidak disertai dengan keselarasan pengetahuan

tentang persampahan.

Page 30: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Meningkatnya biaya operasional dan pengelolaan sampah.

Penanganan sampah 3 R adalah konsep penanganan sampah dengan cara reduce / mengurangi, reuse /

menggunakan kembali, dan recycle / mendaur ulang sampah  mulai dari sumbernya, dalam hal ini adalah

kawasan yang potensial sebagai sumber sampah sungai.

Konsep pengelolaan 3R yang diusulkan dapat dilihat pada gambar 15 berikut.

Gambar 29. Konsep Pengelolaan 3 R di kawasan Daerah Pengaliran Sunga (DPS)i[10]

4.3.              Pengendalian Pelaksanaan Kegiatan Ecodrain

Pengendalian adalah segala tindakan yang dilakukan dalam pengorganisasian pengelolaan Drainase untuk

meningkatkan kemungkinan tercapainya maksud dan tujuan yang telah ditetapkan, yakni

memulihkan/meningkatkan kualitas aliran saluran Drainase/sungai perkotaan dari pencemaran yang

diakibatkan oleh sampah dan air limbah rumah tangga dan dan memandu pengelolaan Drainase secara

terpadu agar berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tindakan pengendalian dapat bersifat preventif

(untuk menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan), detektif (untuk menemukan dan

memperbaiki sesuatu hal yang tidak diinginkan yang telah terjadi), atau direktif (untuk menimbulkan atau

mendorong terjadinya sesuatu yang diinginkan).

Tiga tujuan umum pengendalian kegiatan ecodrain adalah untuk:

Meyakinkan terlaksananya tujuan yang telah ditetapkan, termasuk apa yang digariskan dalam

rencana, kebijakan, prosedur, dan semuanya sejalan dengan peraturan dan perundang-undangan

yang mengikat kegiatan;

Menjamin pelaksanaan kegiatan berdsarkan dokumen perencanaan dan studi; dan

Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan.

Studi kelayakan dan Bantuan Teknis (Bantek) merupakan alat kendali pelaksanaan pengelolaan Drainase

secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain). Kegiatan pengendalian dilaksanakan pada setiap

tahapan pelaksanaan sejak tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan

ecodrain.

Pengendalian pelaksanaan dilakukan oleh Satuan Kerja Pengembangan PLP tingkat provinsi dan atau dinas

teknis setempat atau unit pengelola teknis/UPT/badan tertentu sesuai kewenangan yang ditetapkan oleh

kelembagaan pemrakarsa kegiatan ecodrain atau dapat ditetapkan kemudian berdasarkan kesepakatan

para pemangku kepentingan.

Page 31: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

4.4.              Monitoring dan Evaluasi

Sistem monitoring dan evaluasi kegiatan Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan

(Ecodrain) perlu dilakukan untuk mengendalikan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan mulai dari tahap

persiapan dan perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pemanfaatnannya di lapangan.

Sistem diatas perlu dilengkapi dengan sistem informasi yang terencana sebagai bahan masukan bagi

upaya-upaya Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (ecodrain) pada

lokasi/kawasan lainnya.

Tujuan dari sistem monitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut:

a.     Memantau/memonitor perkembangan pelaksanaan kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan

Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain).

b.     Mengendalikan kinerja pelaksanaan kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan Drainase secara

terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain).

c.     Memberikan bahan masukan untuk persiapan pelaksanaan kegiatan dan pengembangan program

pada tahun berikutnya.

d.     Memberikan bahan untuk kelengkapan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan-kegiatan

dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain).

e.     Memberikan informasi yang lengkap yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan

program pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain).

Untuk lebih mengoptimalkan kegiatan monitoring dan evaluasi proram dan kegiatan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) perlu dikembangkan mekanisme monitoring dan evaluasi secara berjenjang baik menggunakan perangkat lunak (software) maupun berupa buku laporan

(hardware).

[1] Penyusunan Sistem Pengelolaan Sampah Sungai di DKI Jakarta, Proyek Peningkatan Prasarana Permukiman DKI Jakarta, Ditjen Cipta Karya 1998/1999, Laporan  Akhir. Halaman 4-1s.d. 4-3.

[2] Bioremediation by Tina Yu, bahan Ekspose.

[3] Sumber : Brown and Caldwell, Aqua Treatment Technologies, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/ Constructed_wetland

[4] Khiatuddin Maulida, "Melestarikan Sumberdaya Air Dengan Teknologi Rawa Buatan", Gadjah Mada University Press, 2003. Halaman 71.

[5] Fitoremediasi, Upaya Pengolahan Air Limbah Dengan Media Tanaman, Direktorat Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Barat, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 27 Oktober 2003.

[6] Bioremediation by Tina Yu, bahan Ekspose.

Page 32: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

[7] Mangkoedihardjo Sarwoko, Fitoteknologi dan Ekotoksikologi dalam Desain Operasi Pengomposan Sampah, Seminar Nasional Teknologi Lingkungan III ITS, Surabaya, 27 September 2005.

[8] Matthew Dempsey, Phytoremediation,  December, 1997. http://www.rpi.edu/dept/chem-eng/Biotech-Environ/MISC/webpage1.html

[9] Fitoremediasi, Upaya Pengolahan Air Limbah Dengan Media Tanaman, Direktorat Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Barat, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 27 Oktober 2003.

[10] Modifikasi dari Anonim, Bantek 3 R Bozem Morokembangan, Dinas PU Kota Surabaya Tahun 2007.

Tags: proses ecodrain

0 comments share

Strategi Pengembangan Konsep EcodrainJun 18, '08 12:14 AMfor everyone

Dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) diperlukan strategi dalam

implementasi dan pengembangannya. Strategi pengembangan konsep ecodrain sebagai berikut:

1. Strategi dimulai dari sumber

Terkait dengan penanganan sampah sungai dan pencemaran air oleh limbah cair domestik dan non

domestik ke dalam badan air atau saluran Drainase, konsep penanganan yang paling efektif dengan

biaya penanganan yang jauh lebih murah adalah dengan konsep penanganan pada sumber

pencemar (sampah sungai dan pencemaran air).

Konsep strategi dimulai dari sumber yang dapat diadopsi untuk kondisi di Indonesia adalah seperti

Start at the Source Design Guidance Manual for Stormwater Quality Protection yang

disusun oleh Bay Area Stormwater Management Agencies Association (BASMAA), suatu

asosiasi badan pengelola kualitas air hujan di seluruh delta dan teluk San Francisco.[1] Pedoman ini

ditujukan untuk membantu para perencana, pengembang dan badan-badan perkotaan (Dinas

Pekerjaan Umum, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kebersihan dlsb) untuk mencapai penyelenggaraan

Drainase dengan kualitas air yang memenuhi baku mutu, baik dalam perencanaan sistem Drainase di

kawasan permukiman, pengembangan komersial dan kawasan industri maupun kawasan baru

berkembang.

Aplikasi strategi ini secara konsisten pada skala kawasan merupakan pendekatan manajemen hujan

yang meminimalkan daerah kedap air (permukaan yang terbangun), mereduksi hubungan langsung

antara daerah kedap air dengan sistem pengaliran Drainase dan perencanaan diupayakan agar dapat

menyerupai seperti kondisi alamiah, yang akhirnya akan lebih ekonomis, lebih estetika dan secara

teknis lebih baik. Konsep ini didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :

Page 33: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

a) Bahwasanya setiap kawasan merupakan bagian dari suatu Daerah Aliran Sungai.

Terkait dengan penyelenggaraan ecodrain, penanganan sampah dan kualitas air sungai yang

paling efektif adalah pada skala kawasan yang merupakan bagian dari suatu DAS. Kegiatan-

kegiatan pengelolaan di skala kawasan merupakan bagian dari pendekatan preventif.

Dimana yang dimaksud kawasan adalah persil rumah tangga, kawasan permukiman,

kawasan perumahan (real estate), dsb.

b) Dimulai dari sumber. Ketika hujan turun ke suatu lahan, secara gravitasi dan fisika tanah

akan menyerap ke dalam tanah. Jika lahan ditutupi oleh lapisan material kedap air seperti

atap, beton, aspal, aliran hujan ini akan mencari permukaan yang lebih rendah berkumpul

dengan aliran hujan lainnya menciptakan limpasan. Jika limpasan ini dikumpulkan pada pipa

pembawa dan saluran yang panjang sebelum diolah, sepanjang jalan akan banyak

kemungkinan dimana kualitas air akan menurun. Strategi “end of pipe”, seperti pembuatan

retention ponds yang besar merupakan komponen penting dalam sistem pengelolaan

Drainase, akan tetapi akan lebih kompleks dan membutuhkan biaya yang sangat besar

dibandingkan strategi yang dimulai dari sumber. Strategi dengan lokasi pengumpulan kecil

(tentunya dengan treatment sederhana), yang dilokasikan pada tempat pertemuan berbagai

limpasan di bawah, berulang secara konsisten pada seluruh proyek, akan menjaga kualitas

air dengan biaya yang lebih rendah. Jika limpasan diserapkan atau ditahan pada sumber

(lahan, kawasan) maka:

(a) Akan lebih murah dan minimal dalam pemeliharaan, jika limpasan kemudian di alirkan sampai pada suatu lokasi kemudian dilakukan pengolahan

(b) biaya dan pemeliharaan akan meningkat, jika limpasan dialirkan langsung sampai ke lokasi pembuangan untuk kemudian diolah .

(c) biaya untuk pengolahan akan sangat tinggi dan lebih membutuhkan pemeliharaan yang intensif, jika limpasan dialirkan langsung sampai ke lokasi pembuangan untuk kemudian diolah.

(d) Tingkat ekonomis yang lebih tinggi, kemungkinan pengelolaan kualitas air hujan adalah pada sumber dari limpasan.

c) Hujan Ringan perlu menjadi Perhatian. Volume hujan dengn intensitas ringan teruslah

meningkat. Karena frekuensinya, hujan ringan, berarti ukuran hujan berulang-ulang sekali

setiap dua tahun lebih meningkat frekuensinya, menjadi sangat banyak dalam total limpasan

(debit) sepanjang waktu. Di daerah hilir seperti kawasan pesisir dan teluk, hujan ringan dapat

mencapai 80% dari curah hujan total tahunan. Dengan mentargetkan pada pengelolaan

hujan ringan, curah hujan dapat dikelola untuk kualitas air melalui suatu sistem pengolahan

air yang yang relatif lebih kecil. Dengan pengelolaan hujan ringan (yang ternyata

frekuensinya yang tinggi) akan memberi kontribusi yang lebih besar dalam pemulihan

pencemaran air. Dimasa lalu, pengelolaan hujan lebih fokus secara eksklusif pada

pengendalian banjir (pengendalian hujan lebat), didalam dalam perancangan hanya ditujukan

untuk perlindungan terhadap banjir dan para perancang telah melalaikan aliran hujan ringan

dan dampaknya. Dengan kewaspadaan betapa pentingnya penanganan hujan ringan bagi

kegiatan perlindungan kualitas air, perencana akan mempertimbangkan hujan ringan, karena

frekuensinya dan kumulatif dampaknya, sama seperti hujan lebat yang tidak sering terjadi.

Gambar 2. Ilustrasi perbandingan biaya pengelolaan hujan sejak di sumber sampai di

pembuangan[2].

Page 34: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

d) Sederhana tapi efektif. Karena dalam banyak pengelolaan hujan (saluran Drainase) secara

umum lebih fokus kepada masalah yang lebih kompleks, sistem yang lebih besar, kecil, solusi

sederhana kelihatan sekilas kurang efektif. Hingga kini solusi sederhana hanya bisa menjadi

efektif bilamana harus melalui analisis rekayasa (hidraulik) yang lebih teliti dari pendekatan

yang kompleks. Perbedaannya adalah bahwa sistem yang sederhana secara umum

menggunakan teknologi material yang sederhana dan menggunakan material alamiah yang

menyatu dengan lanskap kawasan, lebih baik dari proses mekanis atau buatan manusia

lainnya dalam pengelolaan hujan.

e) Pendekatan secara terpadu. Sistem pengelolaan hujan (saluran Drainase) dapat menjadi

salah satu elemen organisasi dalam perencanaan (tata ruang) dan desain. Daerah resapan,

drainage swales, dan daerah-daerah retensi dapat diintegrasikan kedalam suatu lokasi

perencanaan yang dapat mengembangkan estetika kawasan dan disiapkan sebagai

sumberdaya bagi kegiatan rekreasi. Sebagai contoh, suatu lansekap kawasan, jika terdapat

parit alamiah dapat juga digunakan sebagai kolam detensi sementara. Parit alamiah

(tumbuhan) dapat ditanami dengan berbagai vegetasi pinggir sungai. Jalan kecil dapat

diletakan disamping parit alamiah, menciptakan sabuk hijau yang menarik yang

mencerminkan bentuk lahan yang alami. Suatu area yang berpasir dapat bertindak sebagai

suatu tempat bermain anak-anak di musim kemarau, tetapi menjadi suatu kolam resapan

dangkal diwaktu musim hujan. Konsumen properti dan pelaku bisnis secara konsisten

menetapkan pengelolaan air hujan sebagai salah satu prasyarat dalam pemilihan lokasi

perumahan maupun daerah bisnis. Suatu disain jaringan dari kolam-kolam dengan parit

alamiah, bila dipelihara secara hati-hati dan ditanami dengan jenis tumbuhan yang menarik,

dapat menjadi salah satu nilai plus dalam meningkatkan daya saing dengan kompetitor bisnis

properti dan daerah komersil lainnya.

Rencana lokasi yang terpadu secara umum akan menghasilkan satu rangkaian prasarana dan

sarana pengelolaan Drainase lebih kecil dibanding suatu waduk pengendalian banjir yang

besar diujung seperti dalam sistem Drainase tradisional. Pendekatan yang terpadu ini tidak

hanya mengurangi biaya dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan, tetapi juga

memaksimalkan nilai-nilai lahan, meningkatkan kelaikan pasar, menambah daya tarik secara

estetika, dan tersedianya peluang tempat rekreasi.

2. Bertindak berdasarkan prioritas

Prioritas penanganan agar difokuskan dalam menangani suatu kawasan/ruas/segmen sungai, saluran

Drainase dan atau badan air lainnya, yang mana disitu rawan terjadi pencemaran air, sampah

perairan, banjir dan genangan. Selain kawasan/ruas/segmen tersebut terjadi tekanan terhadap

perubahan tata guna lahan dengan cepat (kepadatan penduduk dan bangunan yang tinggi), terdapat

permasalahan pencemaran air, sampah sungai dan banjir yang tidak tertangani, dan memiliki nilai

sumber daya ekologi yang tinggi.

Untuk kondisi suatu kota dengan sungai dan atau saluran Drainasenya yang kategori indeks

pencemaran air-nya (IP) telah masuk klasifikasi kategori cemar berat dan cemar sedang, perlu

segera dilakukan kegiatan yang sifatnya responsif dan intervensi serta pemulihan. Untuk sasaran

atau lokasi yang akan ditangani adalah berdasarkan prioritas penanganan. Penetapan prioritas

Page 35: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

penanganan adalah berdasarkan hasil penilaian dengan menggunakan perangkat penilaian (scoring

tools), sebagaimana terlampir.

3. Pendekatan manajemen bencana

Kondisi banjir dan Pencemaran Air akibat sampah dan limbah cair perkotaan yang masuk ke saluran

Drainase dapat digolongkan sebagai kondisi bencana sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.

7 Tentang Sumber Daya Air Tahun 2004. Sehingga strategi pendekatan yang dapat dilakukan dalam

pengelolaan Drainase adalah strategi pendekatan manajemen bencana (Disaster Management) yang

bersifat menyeluruh dan terpadu.

Pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) dilakukan secara bertahap,

dari pencegahan sebelum terjadi pencemaran air dan penumpukan sampah perairan (prevention),

penanganan saat pencemaran air dan penumpukan sampah perairan (response/intervention), dan

pemulihan setelah terjadi pencemaran air dan penumpukan sampah perairan (recovery). Tahapan

tersebut berada dalam suatu siklus kegiatan penanggulangan bencana pencemaran air dan

penumpukan sampah perairan yang berkesinambungan, sebagaimana digambarkan pada Gambar 3

yang mencakup beberapa jenis kegiatan seperti ditunjukkan dalam Tabel.

Kegiatan Pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) mengikuti suatu

siklus (life cycle), yang dimulai dari terjadinya pencemaran air dan penumpukan sampah perairan,

kemudian mengkajinya sebagai masukan untuk pencegahan (prevention) sebelum bencana

pencemaran air dan penumpukan sampah perairan terjadi kembali. Pencegahan dilakukan secara

menyeluruh, berupa kegiatan fisik seperti pembangunan saringan sampah dan unit pengolahan air

limbah di wilayah sungai (in-stream) sampai wilayah DAS (off-stream), dan kegiatan non-fisik seperti

sosialisasi 3R.

 

(Carter, 1991; Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, 2005).[3]

Gambar 3. Siklus Pengelolaan Bencana

Tabel 1. Kegiatan dalam Siklus Pengelolaan Drainase Berwawasan Lingkungan (ecodrain)

SIKLUS KEGIATAN

PENCEGAHAN (Prevention)

Upaya-upaya Struktural

Upaya di dalam badan sungai/saluran/waduk (In-Stream)

Upaya di luar badan sungai/saluran/waduk (Off-Stream)

Upaya-upaya Non-struktural

Upaya pencegahan pencemaran air dan sampah perairan (termasuk sedimen) Jangka Panjang.

Upaya Pengelolaan bencana pencemaran air dan sampah perairan (termasuk sedimen) dalam Jangka Pendek.

PENANGANAN (Intervention/Response)

Reaksi cepat dan penanganan darurat pencemaran air dan sampah perairan dengan:

Pembangunan dan pengadaan saringan sampah mekanis atau manual.

Page 36: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Pembangunan pengolahan kualitas air dengan teknik bioremediasi, dan atau teknik fisika-biologi-kimia lainnya dan sedimen dengan mekanis maupun manual.

Reaksi cepat dan penanganan kesehatan masyarakat akibat waterborne diseases.

PEMULIHAN

(Recovery)

Bantuan kesehatan masyarakat, pemulihan kualitas air dan penanganan sampah perairan

Pembersihan sampah perairan pasca bencana pencemaran air dan atau banjir.

Bantuan pemulihan kesehatan masyarakat.

Penutupan outlet buangan pabrik / komersial area yang potensial pencemar perairan.

Penilaian kerusakan/kerugian akibat bencana pencemaran air/sampah perairan.

Identifikasi dan kajian penyebab terjadinya bencana pencemaran air/sampah perairan.

Sumber : Hasil rumusan diskusi dengan nara sumber, 2007.

Bilamana telah terjadi kondisi darurat bencana pencemaran air, sedimen dan sampah sungai maka

strategi penanganan (intervensi dan responsif) adalah dimulai dari (segmen) hilir yang secara

bertahap bersamaan dengan adanya pemulihan kualitas air menuju ke (segmen) lebih hulu.

4. Ujicoba solusi dan menghemat biaya dengan manajemen pengelolaan adaptif dan

berkelanjutan

Pelaksanaan kegiatan proyek percontohan kegiatan ecodrain yang diujicobakan di Kota Bandung,

Surabaya, Denpasar dan Badung merupakan bagian dari proses ujicoba solusi penanganan saluran

Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan. Diharapkan dari berbagai permasalahan, kendala

dan keberhasilan sejak proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian pelaksanaan dan monitoring

evaluasi kegiatan ecodrain di kota-kota tersebut dapat menjadi suatu pembelajaran ( lesson learned)

bagi pelaksanaan kegiatan serupa dikota lain.

Aplikasi berbagai teknologi dan solusi permasalahan kegiatan ecodrain selanjutnya agar tidak hanya

efektif tetapi juga efisien secara waktu dan pembiayaan dalam suatu konsep pengelolaan yang

fleksibel dan adaptif dengan kondisi dan karakteristik permasalahan yang ditemui.

 

2.1.1.          Pelingkupan Kegiatan Ecodrain

Dalam proses pelingkupan kegiatan ecodrain didasarkan pada faktor-faktor sebagai berikut:

1.     Sifat penanganan. Kegiatan ecodrain terdiri dari kegiatan yang sifatnya kuratif/darurat (emergency)

dan pencegahan (prevention).

2.     Sumber pencemar air dan sampah perairan. Karena dari hasil studi-studi terdahulu sumber

pencemar air dan sampah perairan berasal dari seluruh wilayah daerah aliran sungai (DAS atau DPS),

maka lingkup pelaksanaan kegiatan ecodrain dapat meliputi seluruh wilayah daerah aliran sungai,

sampai dengan wilayah kewenangan dan tanggung jawab pelaku (stakeholders) Drainase Kota.

Dimana kawasan yang prioritas ditangani adalah kawasan-kawasan strategis perkotaan seperti

kawasan permukiman, kawasan perkantoran pemerintahan, daerah komersial dan industri, serta

kawasan yang berada di wilayah bantaran sungai dan / atau daerah dataran banjir (flood plain). Perlu

Page 37: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

dicermati pula menyangkut tanggung jawab wilayah keairan dimana, kegiatan ecodrain dilakukan

pada sungai orde 2, 3, 4 dan /atau sistem Drainase kota saluran sekunder, tersier dan kuarter.

3.     Prioritas penanganan. Untuk prioritas lokasi yang akan ditangani adalah berdasarkan hasil

identifikasi terhadap ketegori indeks pencemaran (IP) dan hasil penilaian pembobotan (scoring)

tingkat urgensi penanganan.

Lebih jelasnya pelingkupan kegiatan ecodrain dapat dilihat pada tabel matriks pengelolaan saluran

Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain).

Untuk kondisi dengan indeks pencemaran (IP) = kategori cemar berat (> 10) dan cemar sedang ( 5 < IP ≤

10) dan hasil penilaian pembobotan (scoring) total ≥ 75 maka prioritas urutan lokasi penanganan sebagai

berikut:

1. Prioritas pertama= segmen hilir/muara.

2. Prioritas kedua= segmen tengah.

3. Prioritas ketiga= segmen hulu/sumber.

Untuk kondisi dengan indeks pencemaran (IP) = kategori cemar ringan (1 < IP ≤ 5) dan Baik (0 < IP ≤ 1)

dengan hasil penilaian pembobotan (scoring) total = 45 < S < 75 maka prioritas urutan lokasi penanganan

sebagai berikut:

1. Prioritas pertama= segmen hulu/sumber.

2. Prioritas kedua= segmen tengah.

3. Prioritas ketiga= segmen hilir/muara.

Lebih jelasnya lingkup pelaksanaan kegiatan ecodrain dapat dilihat pada Gambar 4.

[1] Start at the Source Design Guidance Manual for Stormwater Quality Protection, Bay Area Stormwater Management Agencies Association (BASMAA), 1999 Edition.

[2] Start at the Source Design Guidance Manual for Stormwater Quality Protection, Bay Area Stormwater Management Agencies Association (BASMAA), 1999 Edition., p. 10.

[3]   Carter, W.N., 1992. Disaster Management (A Disaster Managers Handbook) dan Pengelolaan Bencana Jawa Tengah, Pemprov Jawa Tengah   dalam Kodoatie Robert J. & Roestam Syarief, “Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu”, Edisi ke-1, ANDI OFFSET, halaman 246.

0 comments share

Workshop Ecodrain Jun 17, '08 11:52 PM

Page 38: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

for everyone

Terkait dengan kegiatan penyusunan Pedoman Ecodrain tahun 2007 yang dilaksanakan oleh konsultan PT. DWIKARA ENVACOTAMA yang telah menghasilkan draft pedoman ecodrain maka pada tanggal 12 Juni 2008 bertempat di Hotel Nikko Jakarta, dilaksanakan workshop dalam rangka penyempurnaan draft pedoman ecodrain edisi 2007 yang dihadiri pakar drainase, persampahan, air limbah dari berbagai institusi perguruan tinggi dan asosiasi terkait.Adapun susunan acara acara workshop sebagai berikut:

1. Sambutan dan Pembukaan oleh Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman yang diwakili oleh Dra. Endang Setyaningrum, MT.

2. Panel I

Draf Pedoman Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) oleh Dr.-Ing. Ir. Dwita M, Dipl.HE (Universitas Indonesia)

Pendekatan Ekohidraulik dan Pendekatan Kualitas Air dalam Penanggulangan Banjir dan Kerusakan Lingkungan oleh Ir. S. Hindarko (Praktisi Drainase Perkotaan).

3. Panel II Pengelolaan dan Pengolahan Kualitas Air dan Sedimen dengan Bioremediasi oleh Dr.Ir. Edwan Kardena

(Teknik Lingkungan - ITB Bandung).

Adapun daftar nara sumber dan peserta dalam workshop sebagai berikut:1. Prof. Dr. Ir. Sulistyoweni Widanarko, Dipl. SE, SKM (Pasca Sarjana – UNIVERSITAS

INDONESIA)2. Dr.-Ing.Ir. Dwita SM. DIPL.HE (Teknik Sipil – Universitas Indonesia)

3. Dra. Endang Setianingrum, MT. (Dit. PLP – Ditjen CIPTA KARYA)

4. Ir. Dodi Krispratmadi, M. Env.E. (Dit. PLP – Ditjen CIPTA KARYA)

5. Dr. Ir. Yadi Suryadi, MT. (HATHI)

6. Dr.Ir. Edwan Kardena (TL – ITB)

Page 39: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

7. Ir. Iwan Kridasentausa, M.Sc, Ph.D (Teknik Sipil – ITB)

8. Prof. Dr. Ir. Priana Sudjono, MS., Dipl.Eng. (IATPI Pusat)

9. Ir. El Khobar Muhaemin Nazech, M.Eng (Teknik Sipil – Universitas Indonesia)

10. Ir. Ramadhani Yanidar, MT. (Teknik Lingkungan – UNIVESITAS TRISAKTI)

11. Ir. Ariani Dwi Astuti, MT. (Teknik Lingkungan – UNIVESITAS TRISAKTI)

12. Ir. S. Hindarko (PRAKTISI)

13. Dra. Linda Noviana, MSi (Teknik Lingkungan – UNIVESITAS SAHID)

14. Ir. Ninin Gusdini, MT. (Teknik Lingkungan – UNIVESITAS SAHID)

15. Ir. Dwinanti (Direktorat Pengembangan Akademik – UNIVERSITAS INDONESIA)

16. Ir. Bona Hakim P (Dit. PLP – Ditjen CIPTA KARYA)

17. Laili Amanah, ST, MM. (Dit. PLP – Ditjen CIPTA KARYA)

18. Ir. Deetje Bachrum (PT. DWIKARSA ENVACOTAMA)

19. Ir. Eveline Pandoaaga (PT. DWIKARSA ENVACOTAMA)

20. Dra. Era Meiwanti, MSc. (PT. DWIKARSA ENVACOTAMA)

21. Budiartho Saada, ST. (PT. DWIKARSA ENVACOTAMA)

Tags: workshop ecodrain0 comments share

Prinsip-prinsip dalam Pengelolaan Drainase Secara TerpaduJun 17, '08 11:28 PMfor everyone

Permasalahan banjir dan genangan di kawasan perkotaan di Indonesia adalah tidak terlepas dari

permasalahan kualitas air dan persampahan. Dimana di Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan,

Bandung dsb., sungainya mirip dengan got besar yang airnya berwarna kelam dan berbau menyengat

yang disebabkan oleh pencemaran air yang berasal dari limbah cair rumah tangga, pasar, daerah komersil

dan perkantoran, pertanian, dan industri. Selain itupula masalah sampah yang dibuang ke dalam

saluran/sungai juga telah menjadi salah satu faktor penurunan kapasitas dan kualitas air saluran/sungai

Page 40: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

dan menjadi salah satu penyebab banjir yang signifikan di daerah perkotaan. Sehingga dalam upaya

pengelolaan Drainase perkotaan dibutuhkan konsep yang terintegral antara upaya pengelolaan Drainase,

pengelolaan kualitas air dan pengelolaan persampahan sungai/saluran.

Dalam pendekatan pengendalian banjir dan pengelolaan Drainase selama ini di Indonesia dikenal metode

pendekatan struktural dan non struktural. Dimana dalam pelaksanaannya, metode struktural lebih

diutamakan dari metode non struktural, yang kondisi ini berbeda dengan di negara maju yang

mengedepankan metode non struktural baru metode struktural, dan pendekatan tersebut merupakan

unsur dalam pendekatan pengelolaan hujan yang secara terpadu.

Pendekatan ini telah mengalami perkembangan dari pendekatan tradisional sebelumnya di masa lalu,

yang hanya berbasis pendekatan dalam lingkup rekayasa hidraulik murni menuju pendekatan pengelolaan

secara terpadu dengan turut memperhatikan aspek lingkungan dalam pengelolaan. Evolusi dari

pendekatan tradisional menuju pendekatan terpadu dipaparkan sebagai berikut:

Pendekatan Pengelolaan Drainase tradisional:

 

 Pendekatan Pengelolaan Drainase

secara terpadu:

  Sistem Drainase  Reaktif  (penyelesaian masalah)  Dikendalikan oleh rekayasa

teknis (hidraulik) saja  Perlindungan pada properti  Pipa dan saluran  Birokrasi kebijakan masih kaku.  Menjadi tanggung jawab

pemerintah daerah  Menjurus pada Lingkup kerja

(fokus pada Drainase saja)

  

 

  Ekosistem  Proaktif (prefentif masalah)  Dikendalikan oleh tim yang

Interdisiplin.  Perlindungan pada properti dan

sumberdaya air.  Meniru proses alamiah.  Kebijakan berbasis konsensus.  Tanggungjawab bersama dengan

pelaku lainnya.  Lingkup kerja yang holistik

(pengelolaan Drainase yang integratif dengan tata ruang).

Pedoman prinsipil dalam penerapan pengelolaan Drainase secara terpadu terdiri dari 5 (lima) poin

pedoman yang prinsipil, sebagai berikut: 

1. Prinsip pedoman 1 – Pemahaman bahwa hujan adalah sumberdaya

Air hujan tidak dapat dilihat hanya sebagai suatu sistem Drainase dan atau isu-isu pengendalian

banjir tapi dapat dipandang sebagai suatu sumberdaya guna:

Habitat hidup ikan dan spesies perairan lainnya.

Groundwater recharge (terutama di musim kemarau dan bagi cadangan air).

Sumber air bersih (terutama untuk PDAM dan keperluan irigasi pertanian).

Estetika dan wisata air.

 

Page 41: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

2. Prinsip pedoman 2 – Perencanaan dibuat mencakup keseluruhan tingkatan karakteristik

hujan (hujan ringan, lebat dan sangat lebat)

Solusi pengelolaan hujan secara terpadu di suatu kawasan perencanaan secara praktis menampilkan:

Daerah resapan air untuk curah hujan ringan (untuk mereduksi volume limpasan dan

pengendalian kualitas air). Resapan air untuk keperluan infiltrasi dan atau untuk

penggunaan lainnya.

Pengendalian limpasan untuk curah hujan lebat (reduksi debit limpasan) – Debit limpasan

lebat perlu di tampung dan secara perlahan-lahan di alirkan sesuai kondisi alamiah.

Manajemen Pengendalian Banjir untuk curah hujan sangat lebat (aliran puncak dialirkan

pada saluran Drainase yang telah dipersiapkan) – Perlu dipastikan bahwa sistem Drainase

yang ada adalah dapat melayani debit banjir besar ekstrim (sebagai contoh dengan desain

prasarana sarana dengan waktu ulang 100 tahunan).

Gambar 1. Strategi Pengelolaan Drainase Secara Terpadu dalam Pengelolaan Hujan berbagai Spektrum Kejadian Hujan Secara Lengkap[1]

3. Prinsip pedoman 3 – Bertindak berdasarkan prioritas pada suatu DAS yang rawan

Prioritas penanganan agar difokuskan dalam menangani Drainase suatu kawasan yang mana disitu

terdapat tekanan bagi perubahan tata guna lahan dan dibutuhkan segera suatu arahan penanganan.

Selanjutnya yang lainnya adalah:

Memiliki nilai sumberdaya ekologi yang tinggi, atau

Terdapat permasalahan Drainase yang tidak tertangani.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kesehatan DAS, berdasarkan prioritas penanganan

sebagai berikut:

Perubahan fungsi hidrologi

Gangguan  dan atau hilangnya eksistensi kawasan bantaran sungai

Degradasi dan atau hilangnya habitat perairan sungai.

Memburuknya kualitas air.

Kebijakan manajemen pengelolaan Drainase dan teknis penanganan di DAS yang rawan dapat

menjadi proyek percontohan.

4. Prinsip pedoman 4 – Perencanaan disusun pada 4 skala – Regional, DAS, lingkungan, dan

kawasan

Page 42: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

Pengelolaan hujan secara terpadu mengagendakan perencanaan jangka panjang pada tiap skala baik

regional, DAS, lingkungan maupun kawasan:

Pada skala regional dan DAS – menetapkan tujuan dan prioritas pengelolaan hujan.

Pada skala lingkungan – mengintegrasikan tujuan pengelolaan hujan kedalam komunitas dan

proses perencanaan lingkungan.

Pada skala kawasan – melaksanakan perencanaan teknis pada kawasan dengan mereduksi

volume dan debit limpasan serta mengembangkan kualitas air.

5. Prinsip pedoman 5 – Ujicoba solusi dan menghemat Biaya dengan manajemen pengelolaan

adaptif

Target pencapaian dan pelaksanaan manajemen hujan dapat dioptimalkan setiap waktu didasarkan

pada:

Pemantauan kinerja proyek-proyek demonstratif.

Strategi pengumpulan data dan modeling.

Untuk mencapai kinerja yang diharapkan perlu dilakukan evaluasi secara berkala, sehingga program

pengelolaan hujan dapat diterima.

[1] Stormwater Planning : A Guidebook for British Columbia, Ministry of Water, Land and Air Protection, Canada,  May 2002, p. ES-4.

Tags: konseptual ecodrain

0 comments share

Mengapa Perlu Pengembangan Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan?

Jun 17, '08 11:23 PMfor everyone

Pengelolaan Drainase perkotaan dan perdesaan di Indonesia saat ini secara umum dapat dikatakan telah

mengalami kegagalan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kejadian-kejadian yang melanda dihampir semua

kota seperti kejadian banjir, genangan dan pencemaran air serta permasalahan ikutannya seperti

kerusakan habitat perairan (terumbu karang, pantai dan sungai), berkembangnya penyakit yang berasal

Page 43: ECODRAINAGE DI INDONESIA.doc

dari perairan (waterborne deases), kerugian ekonomi dan keuangan akibat banjir dan masalah kesehatan,

dlsb menjadikan kegagalan pengelolaan Drainase menjadi permasalahan yang membutuhkan

penyelesaian yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.

Akumulasi antara dampak kesalahan dalam pengelolaan hujan dan kesadaran lingkungan tersebut

memberikan inspirasi untuk mengembangkan model pengelolaan Drainase, yakni dengan pendekatan

ecodrain. Pendekatan ini dapat disebut juga dengan pendekatan integralistik dengan implementasi berupa

usaha untuk melakukan pengelolaan Drainase secara komprehensif dan terpadu serta memasukan faktor

ekologi/lingkungan dalam setiap usaha pengelolaan Drainase.

Menurut Maryono (2001)[1] yang mengusulkan Konsep Eko-Drainase (Eco-Drainage Concept) yaitu,

“Release of excess water to the rivers at an optimal time which doesn’t cause hygenic and flood

problems”; Eko-Drainase diartikan suatu usaha membuang/mengalirkan air kelebihan ke sungai dengan

waktu seoptimal mungkin sehingga tidak menyebabkan terjadinya masalah kesehatan dan banjir di sungai

terkait (akibat kenaikan debit puncak dan pemendekan waktu mencapai debit puncak). Dari pengertian ini

dapat diuraikankan ada 2 (dua) pendekatan yang digunakan dalam konsep eko-Drainase yakni

pendekatan eko-hidraulik, yakni pengelolaan Drainase yang dilakukan dengan memperhatikan fungsi

hidraulik dan fungsi ekologi, serta pendekatan kualitas air, yakni upaya meminimalkan dan atau

meniadakan pencemaran air yang dapat menyebabkan masalah kesehatan bagi manusia dan flora-fauna.

Konsep ecodrain merupakan salah satu unsur dari konsep pengelolaan hujan integratif (Integrated Stormwater Management). Pengelolaan secara integratif ini bukan hanya diartikan secara administratif dari hulu ke hilir, namun juga harus diartikan secara substantif menyeluruh menyangkut seluruh aspek yang berhubungan dengan Drainase, yang meliputi semua aspek; aspek teknis operasional pengelolaan Drainase, kelembagaan/institusi, keuangan/pembiayaan, peran masyarakat dan atau swasta dan hukum

peraturan.

[1] Maryono, Agus Dr-Ing.Ir, Eko-Hidraulik Pembangunan Sungai : Menanggulangi Banjir dan Kerusakan Lingkungan Wilayah Sungai, Edisi ke-2, Penerbit, Magister Sistem Teknik Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2005. halaman  28.

Tags: mengapa ecodrain?