ecodrainage di indonesia.doc
TRANSCRIPT
TEKNIK BIOREMEDIASI UNTUK MENDUKUNG PROGRAM ECODRAINAGE DI INDONESIA
Jun 19, '08 1:16 AMfor everyone
Oleh: Dr. Ir. Edwan Kardena (Teknik Lingkungan - ITB Bandung)
• Dapat diartikan sebagai Clean-Up, atau upaya pengembalian kualitas lingkungan kepada kondisi sebelum terjadi pencemaran
• Lebih umum ditujukan pada kasus kasus pencemaran di tanah (termasuk air tanah) atau lahan tercemar
• Namun juga secara luas diartikan untuk pemulihan lingkungan (tidak hanya lahan) tercemar, termasuk lingkungan perairan dan udara
• Di Indonesia saat ini lebih banyak diaplikasikan untuk menanggulangi pencemaran akibat sludge atau ceceran minyak di industri MIGAS
Apakah Bioremediasi dapat diaplikasikan untuk memulihkan atau membersihkan sungai, saluran, kolam, danau yang tercemar?
Bioremediasi Badan Air
• Secara teoritis jauh lebih mudah daripada melakukan pemulihan lahan tercemar namun pada kenyataannya jauh lebih kompleks karena banyak faktor yang terlibat, diantaranya
– Cakupan area pencemaran yang jauh lebih luas
– Stake holder yang lebih banyak
– Polutan lebih mobile
– Dengan demikian maka remediasi badan air berupa sungai, akan jauh lebih kompleks dari pada meremediasi kolam, danau, atau saluran drainase (makro)
• Sebagai contoh: Program Restoring/Cleaning Up the Industrialized Mahoning River, di USA, direncanakan untuk periode 1997-2017 (20 tahun) dengan tahapan:
– Phase 1 : Reconnaissance 1997-1999
– Phase 2 : Feasibility 2002-2004
– Phase 3 : Pre-construction 2005-2006
– Phase 4 : Construction 2007-2017
Bioremediasi badan air dapat dilakukan pada 3 komponen sbb:
• Komponen airnya sendiri (perbaikan kualitas air)
• Komponen padatan yang berada dipermukaan (sampah, skim, busa)
• Komponen sludge atau lumpur yang berada di dasar.
Perbaikan Kualitas Air
• Perbaikan kualitas air harus dilakukan pada level hulu, dalam hal ini sumber-sumber pencemar (begin of pipe approach). Dalam kontek tersebut maka program keberadaan IPAL/WWTP di industri2 atau Sewage Plant suatu kota masuk dalam kategori ini.
• Pencemaran dari daerah pertanian harus dilihat pada persfektif yang lebih luas, melibatkan upaya-upaya teknik pertanian yang lebih bersih misalnya dengan menghindari penggunaan pestisida dari golongan POPs
• Pencemaran dari drainase terutama pada musim hujan harus melibatkan konsep pembuatan jaringan/sistem drainase yang lebih ramah lingkungan (Eco-urban drainage) atau Sustainable Urban Drainage System.
Penyisihan Padatan di Permukaan
• Penyisihan padatan dipermukaan, akan terkait dengan pengelolaan persampahan. Mengurangi volume sampah yang dibuang ke badan air, melakukan pengerukan sampah dipermukaan dan upaya-upaya lain yang relevan.
• Padatan hasil pengerukan apabila berupa sampah maka akan masuk pada sistem pengelolaan persampahan
• Padatan yang bukan berupa sampah, apabila berupa komponen organik maka dapat di Bioremediasi.
Perbaikan Kualitas Dasar Badan Air (Sludge/Lumpur/Endapan)
• Pada umumnya perbaikan kualitas dasar badan air dilakukan secara ek-situ, yaitu dengan mengeruk/mengangkat sludge atau endapan. Namun pada saat ini endapan atau sludge hanya dibiarkan saja tanpa diolah sehingga terkesan memindahkan pencemaran ketempat lain.
• Teknik pengolahan sludge secara ek-situ dapat mengikuti teknik yang sudah umum dalam bioremediasi yaitu diantaranya land-farming, biopile, komposting, windrow.
• Pencemaran oleh logam berat tidak dapat dilakukan dengan teknik bioremediasi seperti diatas, namun dapat dilakukan dengan Phytoremediasi setelah Bioremediasi.
Perbaikan Kualitas Saluran
• Perbaikan kualitas saluran-saluran kecil (drainase makro dan mikro) dapat dilakukan dengan mengangkat materi pencemar yang berada dalam badan saluran, mengumpulkannya pada satu tempat tertentu untuk di bioremediasi secara terpusat.
Sebagaimana laiknya kegiatan clean-up, maka setelah proses bioremediasi maka harus dilakukan upaya-upaya pencegahan agar pencemaran dapat dikurangi atau bahkan ditiadakan.
Tags: teknik bioremediasi
1 comment share
PROSES PENGEMBANGAN SISTEM PENGELOLAAN DRAINASE SECARA TERPADU BERWAWASAN LINGKUNGAN (ECODRAIN)
Jun 18, '08 12:26 AMfor everyone
4.1. Perencanaan
Perencanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) adalah tahapan
awal pengelolaan sebagai upaya untuk menyusun rencana detil dan usulan program investasi yang
komprehensif dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan, berdasarkan kajian
dari berbagai aspek sebagai acuan dalam penyelenggaraan pengelolaan Drainase secara terpadu
berawawasan lingkungan.
Perencanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) dimaksudkan untuk
memaksimalkan segala upaya dan potensi di kawasan/lokasi sehingga rencana pengelolaan Drainase
secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) dapat terlaksana secara berkesinambungan.
Kegiatan perencanaan dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain)
meliputi:
a) Identifikasi Masalah dan Penetapan Kawasan/Lokasi Prioritas ditangani.
b) Penyusunan Studi Kelayakan (Feasibility Study) dan Penyusunan Program Investasi.
c) Penyusunan Studi Pemberdayaan dan Pengelolaan Sampah Terpadu (3R).
d) Penyusunan Studi Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS).
e) Penyusunan Perencanaan Teknis ( Detail Engineering Design ) untuk:
a. Saringan Sampah dan bangunan pelengkapnya; dan
b. Unit perangkap dan pengolahan sedimen;
c. Unit pengolahan air limbah dan bangunan pelengkapnya.
f) Penyusunan Dokumen Usaha Pengelolaan Lingkungan (UKL/UPL).
4.1.1. Identifikasi Masalah Kualitas Air, Sampah, Sedimen dan Pengelolaan Drainase Perkotaan
Tahap awal dalam proses perencanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan
(ecodrain) adalah kegiatan identifikasi dan perumusan masalah dalam pengelolaan Drainase di kawasan
perencanaan (perkotaan). Keluaran dari tahapan ini adalah teridentifikasinya permasalahan sebagai bahan
pertimbangan pengambilan keputusan dalam pelaksanasn kegiatan selanjutnya. Proses identifikasi
permasalahan ini dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan atau Satker (SNVT) Pengembangan
PLP di Provinsi.
Langkah-langkah kegiatan identifikasi dan perumusan masalah dalam pengelolaan Drainase di kawasan
perencanaan (perkotaan) adalah meliputi kegiatan sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data dan informasi kondisi kualitas air permukaan (sungai, waduk, situ, dan pantai)
dan kategori indeks pencemaran air (IP);
2. Mengumpulkan data dan informasi permasalahan sampah dan sedimen, volume timbulan sampah
perairan di saluran Drainase/sungai;
3. Melakukan pengumpulan data informasi kondisi pengelolaan Drainase, persampahan dan air limbah
kota (sistem, teknis operasional, institusi, peraturan, pembiayaan serta peran masyarakat dan
swasta);
4. Merumuskan masalah dalam pengelolaan Drainase (masalah banjir, genangan, Drainase, sampah
sungai dan pencemaran air). Rumusan ini berdasarkan:
a. Penyebab bencana pencemaran air, banjir/genangan dan sampah perairan (spesifik),
b. Skala/besaran akibat (indeks pencemaran air, timbulan sampah perairan, kesehatan
masyarakat, penyebab banjir/genangan), serta
c. Sumber sampah sungai dan pencemaran air dan lokasi banjir/genangan dan pencemaran.
4.1.2. Penetapan Kawasan/Lokasi Prioritas ditangani
Penetapan kawasan/lokasi prioritas ditangani adalah langkah lanjutan dari identifikasi masalah
pengelolaan Drainase. Dimana pada tahapan ini diharapkan dapat ditetapkan kawasan/lokasi sebagai
prioritas di tangani dengan pendekatan secara terpadu. Yang dimaksud kawasan/lokasi adalah
kawasan/lokasi di dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS) dan atau sistem pengaliran saluran
Drainase (DPS), yang tentunya dengan pendekatan penanganan secara kuratif sebagai respon tindakan
darurat yang penanganannya dimulai dari hilir, dan penanganan preventif yang dimulai dari sumber atau
dari hulu.
Dalam penetapan kawasan/lokasi yang akan ditangani dengan model pengelolaan Drainase secara
terpadu berwawasan lingkungan disandarkan pada hasil penilaian terhadap berbagai kriteria, (tabel
variabel, indikator, parameter serta nilai setiap parameter untuk kriteria terlampir).
Kriteria penilaian yang digunakan untuk menilai usulan kawasan/lokasi dalam DAS/DPS yang akan
ditangani adalah:
1. Variabel Kondisi Kualitas Air, dengan indikator yang dinilai adalah Indeks Pencemaran Air (Berat,
Sedang, dan Ringan) dan kelas mutu air;
2. Variabel sampah dan sedimen perairan, dengan indikator timbulan sampah perairan, komposisi
dan karakteristik sampah sungai, sumber sampah perairan, volume sedimentasi, komposisi dan
karakteristik sedimen.
3. Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai, dengan indikator klasifikasi sungai/saluran Drainase
dan luas daerah aliran sungai (DAS/DPS);
4. Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase, dengan indikator kondisi prasarana dan sarana
Drainase (saluran, waduk pengendalian banjir, rumah pompa dan pompa banjir, pintu air,
saringan sampah, bangunan perlintasan, stasiun pengamatan banjir, dsb), kondisi prasarana dan
sarana sanitasi (layanan persampahan dan air limbah) dan indikator kondisi sungai (flora dan
fauna, morfologi sungai, tingkat kerusakan); dan
5. Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran Masyarakat serta Swasta, dengan
indikator komitmen pemerintah kabupaten/kota (sharing pembiayaan, perangkat
hukum/peraturan daerah, kondisi penegakan hukum/peraturan bidang lingkungan terkait keairan,
pembebasan lahan dan penanganan kawasan) dan indikator peran masyarakat serta swasta
(kesadaran mengelola sampah, kesadaran mengelola air limbah dan kesadaran berinvestasi).
Prioritas kawasan/lokasi yang akan ditangani dengan model pengelolaan Drainase secara terpadu
berwawasan lingkungan (ecodrain) ditetapkan berdasarkan urutan sebagai berikut:
1. Prioritas Pertama
Variabel Kondisi Kualitas Air dengan nilai skoring tinggi;
Variabel timbulan dan komposisi sampah dan sedimen perairan dengan nilai skoring
tinggi;
Variabel Banjir, Genangan dan Drainase dengan nilai skoring tinggi;
Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai dengan nilai skoring sedang;
Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase dengan nilai skoring sedang;
Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran Masyarakat serta Swasta
dengan nilai skoring tinggi.
2. Prioritas Kedua
Variabel Kondisi Kualitas Air dengan nilai skoring tinggi;
Variabel timbulan dan komposisi sampah dan sedimen perairan dengan nilai skoring
tinggi;
Variabel Banjir, Genangan dan Drainase dengan nilai skoring sedang;
Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai dengan nilai skoring rendah;
Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase dengan nilai skoring rendah;
Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran Masyarakat serta Swasta
dengan nilai skoring sedang.
3. Prioritas Ketiga
Variabel Banjir, Genangan dan Drainase dengan nilai skoring sedang;
Variabel Kondisi Kualitas Air dengan nilai skoring sedang;
Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai dengan nilai skoring rendah;
Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase dengan nilai skoring rendah;
Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran Masyarakat serta Swasta
dengan nilai skoring sedang.
4.1.3. Tahapan Perencanaan
Dalam tahapan perencanaan terdiri dari kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1) Penyusunan Studi kelayakan (FS/feasibility study)
2) Penyusunan Detil perencanaan teknis (DED)
3) Pengumpulan Data-data
4) Penyiapan Disain
Dalam penyusunan studi kelayakan (feasibility study) dan Detil perencanaan teknis (DED) pengelolaan
Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) agar mengacu pada studi-studi terdahulu di
lokasi/kawasan perencanaan (DAS/DPS), terutama pada rencana induk (masterplan) atau outline plan
Drainase kota, rencana induk (masterplan) atau outline plan pengelolaan persampahan (PTMP) kota,
rencana induk (masterplan) atau outline plan pengelolaan air limbah kota, studi PROPER dan PROKASIH,
serta studi-studi terkait seperti; RTRW Kota/Kabupaten, RDTRK, DED Drainase, air limbah (terpusat
maupun setempat) dan Persampahan.
4.1.3.1. Penyusunan Studi Kelayakan (FS)
Penyusunan FS dan DED melalui tahapan kegiatan yang setiap tahapnya harus dikonsultansikan
dengan pemerintah daerah, masyarakat dan instansi terkait. Lingkup kegiatan penyusunan FS
adalah:
A. Tinjauan Tata Ruang dan Tata Guna Lahan
a) Tinjauan perkotaan (kebijakan umum pembangunan kota/kabupaten, tata ruang kota,
kecenderungan pengembangan kota/kabupaten, tinjauan fisik kota, arah pengembangan
prasarana sarana kota, tinjauan kependudukan, tinjauan sosial ekonomi perkotaan dan tata
ruang daerah aliran sungai).
b) Tinjauan kawasan/lokasi (tinjauan tata guna lahan daerah aliran sungai, tinjauan kepadatan
penduduk daerah aliran sungai, tinjauan prasarana dan sarana kota di daerah aliran sungai,
tinjauan ketutupan lahan di daerah aliran sungai, tinjauan kondisi fisik daerah aliran sungai,
sosial ekonomi di daerah aliran sungai, klimatologi di daerah aliran sungai).
B. Tinjauan Masterplan/Outline Plan Pengelolaan Drainase, Persampahan dan Air Limbah Kota
a) Permasalahan banjir, genangan dan Drainase,
b) Permasalahan persampahan dan sampah sungai,
c) Permasalahan pengelolaan air limbah,
d) Sistem Drainase dalam suatu DAS/DPS,
e) Sistem pengelolaan persampahan,
f) Sistem pengelolaan air limbah,
g) Rekomendasi masterplan/outline plan.
C. Aspek Teknis
a) Kondisi eksisting pengelolaan Drainase, persampahan dan air limbah kota,
b) Kondisi eksisting kesehatan masyarakat, lingkungan (ekosistem sungai, waduk/situ, danau,
pesisir, pantai dan laut) dan kualitas air permukaan,
c) Permasalahan banjir, genangan, Drainase, sampah sungai dan pencemaran sungai,
d) Pengolahan dan analisa data (analisa kebutuhan, sistem pengelolaan Drainase, sampah dan
air limbah di DAS/DPS, dan alternatif pemecahan, pemilihan serta penetapan teknologi),
e) Rekomendasi teknis (rekomendasi untuk di wilayah hilir, tengah dan hulu/sumber).
f) Sistem pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan yang meliputi
pengelolaan Drainase, sampah sungai dan air limbah di suatu DAS/DPS pada setiap
wilayah/segmen di hilir, tengah dan hulu/sumber.
D. Aspek Hukum dan Peraturan
a) Peraturan dan kebijakan daerah,
b) Kondisi eksisting penegakan hukum/penertiban terkait dengan wilayah keairan (sungai dan
Drainase),
c) Permasalahan yang dihadapi,
d) Analisa peraturan dan kebijakan,
e) Rekomendasi aspek hukum peraturan dan kebijakan,
f) Hukum peraturan dan kebijakan yang dibutuhkan.
E. Aspek Kelembagaan
a) Kondisi eksisting: keberadaan institusi/kelembagaan pengelola Drainase, persampahan, dan
air limbah,
b) Permasalahan yang dihadapi,
c) Analisa permasalahan dan rekomendasi,
d) Sistem kelembagaan yang dibutuhkan dalam pengelolaan Drainase secara terpadu
berwawasan lingkungan.
F. Aspek Keuangan dan Pembiayaan
a) Kondisi eksisting: kemampuan pembiayaan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam
investasi pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan dan melakukan
operasi serta pemeliharaan,
b) Permasalahan yang dihadapi,
c) Analisis permasalahan, kelayakan investasi, operasi dan pemeliharaan serta rekomendasinya,
d) Sistem pembiayaan yang dibutuhkan untuk investasi, operasi dan pemeliharaan.
G. Aspek Peran Masyarakat dan Swasta
a) Kondisi eksisting: pengelolaan sampah dan air limbah oleh masyarakat di daerah pengaliran
sungai/saluran, pengelolaan sampah dan air limbah domestik oleh swasta (industri,
perdagangan dan jasa) di daerah pengaliran sungai/saluran dan kesadaran masyarakat dan
swasta dalam pengelolaan Drainase, sampah dan air limbah.
b) Permasalahan yang dihadapi,
c) Analisa permasalahan dan rekomendasi,
d) Bentuk dan peran masyarakat dan swasta yang dikehendaki.
H. Penetapan Model Pengelolaan yang akan dipakai
Penetapan model pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan adalah
berdasarkan kondisi tipologi kota dan segmen/wilayah yang akan ditangani. Dimana pada
tahapan ini harus sudah mulai dikonsultansikan dengan pihak-pihak terkait baik pemerintah,
swasta dan masyarakat.
Adapun kondisi tipologi kota dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan
adalah sebagai berikut:
Perkotaan dengan tinggi daratan < tinggi muka air laut.
Perkotaan dengan tinggi daratan > tinggi muka air laut.
Perkotaan dengan topografi/dataran tinggi.
Sedangkan berdasarkan segmen/wilayah yang akan ditangani adalah:
Kawasan/segmen hilir.
Kawasan/segmen tengah.
Kawasan/segmen hulu atau di sumber.
Penjelasan rinci menyangkut kondisi tipologi akan dijelaskan pada bab 3.
I. Penetapan Prioritas dan Pemilihan Alternatif Teknologi
Penetapan prioritas lokasi/kawasan dalam suatu daerah aliran sungai atau daerah pengaliran
saluran adalah berdasarkan hasil penilaian melalui skoring berbagai variabel, indikator dan
parameter yang telah diberi bobot/skor. Hasil pembobotan dibandingkan dengan prioritas dalam
poin 4.1.2. Tabel variabel, indikator dan parameter seperti disajikan pada lampiran pedoman.
Pemilihan alternatif teknologi adalah berdasarkan volume dan karakteristik fisika-kimia-biologi
yang akan ditangani, kemampuan pembiayaan pusat, daerah, swasta dan masyarakat,
ketersediaan dan kemampuan SDM, pendekatan teknologi yang akan dipakai (teknologi tinggi,
teknologi tepat guna, teknologi ramah lingkungan) dan segmen/wilayah mana yang akan
ditangani (hilir, tengah, hulu dan sumber).
4.1.3.2. Penyusunan Detail Engineering Design (DED)
Penyusunan DED merupakan tahapan kegiatan penyusunan Rencana Detil Teknis berdasarkan
studi kelayakan dan program investasi pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan
lingkungan (ecodrain) yang telah ada serta mengacu pada Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan
ketentuan teknis yang telah ditetapkan.
Penyusunan DED melalui tahapan kegiatan yang setiap tahapnya harus dikonsultansikan dengan
pemerintah daerah, masyarakat dan instansi terkait. Lingkup kegiatan penyusunan DED adalah:
1) Tahap Persiapan;
a. Program kerja penyusunan DED yang berkaitan dengan metode, kegiatan, jadwal
pelaksanaan dan organisasi personil, peralatan dan biaya yang diperlukan.
b. Hasil survei, pengumpulan data dan informasi lapangan (termasuk hasil penyelidikan
tanah, pengukuran topografi) dan membuat interpretasi secara garis besar terhadap KAK
dan hasil konsultansi pemerintah Kabupaten/Kota.
2) Tahap Penyusunan Rencana Detail dengan output;
a. Rencana teknis dan struktur prasarana dan sarana, beserta uraian konsep, studi
pemilihan model dan teknologi, perhitungan teknis (pekerjaan sipil, pekerjaan mekanikal
dan elektrikal, lanskap) dan struktur bangunan sipil (bila ada);
b. Metode dan rencana pelaksanaan kegiatan secara rinci;
c. Penyusunan Pentahapan Pembangunan dan/ atau Pengadaan Peralatan;
d. Dokumen lelang yang terdiri dari gambar-gambar detail, rencana kerja dan syarat-syarat
(RKS), dan rincian volume pekerjaan (BoQ).
e. Rincian Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang meliputi jenis pekerjaan, volume, harga
satuan, analisa harga satuan pekerjaan serta rekapitulasinya;
f. Format-format perijinan (apabila perlu);
g. Laporan detil perencanaan teknis (DED).
3) Tahap Pelelangan;
a. Membantu proyek/panitia pengadaaan kontraktor, menyusun dokumen pelelangan dan
menyusun program pelaksanaan pelelangan.
b. Membantu panitia pengadaaan pada waktu penjelasan pekerjaan termasuk menyusun
berita acara penjelasan pekerjaan, evaluasi penawasan, menyusun kembali dokumen
pelelangan dan melaksanakan tugas-tugas yang sama apabila terjadi lelang ulang.
4) Tahap Penyusunan Petunjuk Penggunaan, Pemeliharaan dan Perawatan (SOP);
a. Penyusunan buku petunjuk penggunaan pemeliharaan dan perawatan prasarana dan
sarana.
5) Tahap Sosialisasi kepada Semua Pihak yang Terkait;
6) Tahap Pengawasan Berkala;
a. Memeriksa secara berkala kesesuaian pelaksanaan pekerjaan dengan rencana,
b. Melakukan penyesuaian gambar dan spesifikasi teknis pelaksanaan bila ada perubahan,
c. Memberikan rekomendasi tentang penggunaan bahan; dan
d. Membuat laporan akhir pengawasan berkala.
4.1.4. Disain Elemen Ecodrain
A. Saringan Sampah manual dan otomatis
1. Pendekatan Analisa Jumlah Sampah yang masuk ke dalam sungai (Sistem DAS)[1]
Sampah yang diproduksi oleh permukiman, daerah perkantoran dan perdagangan, dan fasum dan fasos di
perkotaan dan perdesaan tidak semua dapat terangkut ke Tempat Pengolahan Akhir (TPA) atau tereduksi
dengan kegiatan 3R dan komposting ataupun di timbun/dibakar, ternyata masih ada sebagian dari
prosentase sampah tersebut yang dibuang ke perairan (sungai, danau dan pantai/laut). Dari hasil
penelitian di bebarapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya
didapatkan jumlah prosentase sampah yang cukup besar yang dibuang ke sungai dan saluran-saluran
Drainase, yang secara signifikan juga menyebabkan kegagalan fungsi sarana prasarana Drainase dan
pengendalian banjir karena dapat mengurangi kapasitas saluran serta mengganggu operasional fungsi
pintu air dan instalasi pompa banjir.
Jenis sampah yang sering dibuang ke sungai dan saluran-saluran Drainase tersebut diantaranya adalah
sampah basah seperti sampah sisa-sisa makanan dan sayur-mayur, buah-buahan; sampah kering seperti
kayu, plastik, pakaian, kasur, dan bantal, logam, kaca, keramik; sampah balokan seperti batang pohon
tumbang, balok kayu; sampah binatang seperti bangkai kucing, bangkai ayam, bangkai anjing, dan
bangkai tikus; dan sampah industri pertanian dan perkebunan seperti sisa-sisa pestisida dan herbisida.
Tempat-tempat yang potensial menjadi sumber sampah sungai antara lain:
1. Pasar, tempat-tempat komersil di sepanjang aliran sungai (termasuk dalam DAS Sungai).
2. Pabrik-pabrik, bengkel dan industri (kecil, menengah, dan besar) di sepanjang aliran sungai.
3. Rumah tinggal, permukiman sekolah dan bangunan-bangunan umum di sepanjang aliran sungai
yang tidak dilindungi pagar pengamanan sungai.
4. Kandang-kandang hewan, tempat pemotongan hewan yang dekat aliran sungai.
5. Jalan, lapangan serta pohon-pohon yang berada sepanjang aliran sungai.
Sampah-sampah tersebut ada yang kondisi terapung, melayang dan berada di dasar
saluran/sungai/waduk. Hal ini terjadi tergantung pada sifat-sifat fisik sampah (berat jenis, permukaan
dlsb), yang mana akan menentukan konsep penanganan pemeliharaan dan operasional sarana (O&M) dan
prasarana Drainase. Sampah-sampah tersebut selain menyebabkan dibutuhkannya kegiatan O&M seperti
kegiatan pengerukan, pembuatan screen/floating screen, juga menyebabkan peningkatan biaya
pemeliharaan prasarana dan sarana Drainase dan pengendalian banjir.
Perhitungan Laju Timbulan Sampah Sungai
(i). Faktor-faktor Timbulan Sampah Sungai
Produksi sampah sungai dalam layanan pembersihan ini adalah sampah sungai yang timbul di daerah
perkotaan yang mempunyai jumlah yang lebih sedikit dari jumlah sampah yang ada secara keseluruhan.
Hanya sebagian kecil dari produksi sampah kota yang masuk ke dalam sistem aliran sungai.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
Adanya pola angkutan sampah darat oleh Dinas Kebersihan/Pemda/Pemkot.
Adanya pola angkutan sampah darat oleh swadaya masyarakat setempat.
Adanya pemulung sampah yang memisahkan sampah-sampah logam, plastik, kayu dan lain-
lainnya untuk daur ulang.
Masih terdapatnya lahan-lahan terbuka yang dapat menampung dan menyimpan sampah dan
secara alami dapat direduksi.
Masih terdapatnya daeran sempadan sungai yang terbuka dan belum dipagar sehingga masih
banyak penduduk yang membuang sampah.
Kesadaran sebagian besar masyarakat untuk tidak membuang sampah ke dalam sungai.
Tempat-tempat yang menjadi sumber sampah di sepanjang sistem aliran sungai adalah:
Permukiman kumuh/liar disepanjang sungai.
Permukiman padat disepanjang aliran sungai.
Lokasi-lokasi pasar, tempat-tempat komersial di sepanjang aliran sungai.
Pabrik-pabrik dan industri di sepanjang aliran sungai.
Fasilitas-fasilitas umum di sepanjang aliran sungai.
Kandang-kandang hewan, tempat pemotongan hewan yang dekat aliran sungai.
Jalan-jalan lingkungan, jalan setapak, lapangan, taman serta pohon-pohon yang berada
disepanjuang aliran sungai.
(ii). Produksi Sampah Sungai
Produksi sampah sungai terhadap sampah darat jika dinyatakan dengan persamaan adalah sebagai
berikut:
Qss = Qsd x Kss.............................................................. (4.1)
Dimana :
Qss = Quantitas sampah sungai
Qsd = Quantitas sampah darat
Kss = Koefisien timbulan sampah sungai (0,2 - 0,6%)
Produksi sampah untuk suatu kawasan pemukiman yang berada dipinggir aliran sungai/kali dihitung
berdasarkan banyaknya populasi yang menghasilkan sampah setiap harinya, jika dinyatakan dengan
persamaan adalah sebagai berikut:
Qss = (P x Qsd) +Qnd...................................... (4.2)
Dimana:
Qss = Quantitas sampah sungai
P = Populasi penduduk sepanjang aliran sungai
Qsd = Produksi sampah domestik (liter/orang/hari)
Qnd = Produksi sampah non domestik (daun, pohon, jalanan)
2. Penanganan Sampah dengan Saringan Mesin Otomatis
Upaya yang dilakukan dalam penanganan sampah sungai salah satunya dengan trash rake (Alat
Penangkap/Penyaring Sampah). Trash rake digolongkan dalam dua kategori, kategori ini adalah :
Trash rake kabel hoist/ Cable hoist trash rake
Trash rake mekanikal/ Mechanical trash rake.
1. Trash Rake Kabel Hoist/Cable Hoist Trash Rake
Prinsip kerja trash rake kabel hoist ini menggunakan kabel/w/re rope untuk menggerakan trash rake
(pergerakan naik dan turunnya rake digerakan oleh hoist melalui kabel /wire rope).
Pada trash rake kabel hoist ini ada 2 type yaitu:
a. Trash rake tan pa rel pengarah (Unguided cable hoist trash rake)
Prinsip kerja trash rake jenis ini, rake / garu menggantung bebas, pergerakan naik dan turun
nya rake digerakan oleh hoist melalui kabel /wire rope (seperti terlihat pada Gambar 5.16).
b. Trash rake dengan rel pengarah (Guided cable hoist trash rake)
Prinsip kerja trash rake jenis ini, rake / garu dilengkapi dengan rel pengarah yang letaknya di
kedua belah sisi, sehingga lebar rake bisa lebih besar dan rake lebih stabil. Sedangkan
pergerakan naik dan turun nya rake digerakan oleh hoist melalui kabel /wire rope (seperti
terlihat pada Gambar 7).
Gambar 17. Unguided cable hoist trash rake
Gambar 18. Guided cable hoist trash rake
2. Trash Rake Mekanikal/Mechanical Trash Rake
Trash rake sistem mekanikal ini menggunakan rantai, lengan, hydraulic cylinder dan gerigi untuk
menggerakan trash rake (untuk pergerakan naik dan turun).
Pada trash rake mekanikal ini ada 4 tipe yaitu:
a. Climber Trash Rake
Prinsip kerja trash rake jenis ini yaitu: pergerakan rake diperoleh dari motor penggerak
disambung dengan socket dan chain, pergerakan naik dan turun nya rake digerakan oleh socket
melalui chain.
b. Elbow Arm
Prinsip kerja trash rake jenis ini yaitu: rake dilengkapi dengan dua lengan, sedangkan bagian
ujungnya dilengkapi dengan backhoe untuk pengambilan sampah. Pergerakan naik dan turun
bagian lengan dan backhoe dengan system mekanis atau hydraulic.
c. Sliding Arm Trash Rake
Prinsip kerja sliding arm trash rake ini yaitu: trash rake dilengkapi dengan sliding arm, hydraulic
cylinder dan chain. Pergerakan naik dan turun bagian sliding arm digerakan oleh chain
sedangkan posisi kemiringan trash rake digerakan dengan system hydraulic. Dudukan unit
sliding arm trash rake bisa dipilih fixed atau movable dilengkapi dengan rail.
B. Bioremediasi
Proses bioremediasi adalah salah satu teknik pengurangan atau penghilangan tingkat toksisitas,
mobilitas dan kuantitas bahan pencemar (kontaminan) pada sumber air dan tanah terkontaminasi
menggunakan mikroorganisme (mikroflora atau mikrofauna). Bila menggunakan makroflora (tumbuhan)
disebut phytoremediasi.
Kontaminan yang biasa ditemui pada sumber air dan tanah terkontaminasi adalah kontaminan organik dan
beberapa kontaminan anorganik.
Kontaminan organik berbahaya ditemukan hampir pada seluruh limbah domestik, perkotaan, pertanian,
industri dan kegiatan militer. Sebagai contoh, pestisida dapat masuk kedalam residu tanaman penutup
tanah (crop) seperti rumput, lumpur limbah perkotaan, pembibitan, dan tanah melalui penggunaannya
pada kegiatan pertanian, perumahan, maupun industri. Kontaminan organik lainnya seperti PCBs (Poly
Chlorinated Biphenyls) dan PAHs (Polycylic Aromatic Hydrocarbons) dapat masuk kedalam tanah dari
aktivitas pembakaran bensin atau dari lumpur limbah domestik dan lainnya. Hidrokarbon akan
menghambat pertumbuhan bakal tanaman dan perkecambahan walau tidak ditemukan adanya akumulasi
hidrokarbon didalam tanaman. Demikian pula dengan penggunaan bahan peledak atau komponen peledak
didalam tanah pada aktivitas militer, menimbulkan kontaminan berupa perchlorate yang merupakan
konstituen dari propellan, bahan peledak, dan bateray militer. Perchlorate adalah kontaminan yang larut
didalam air dan dapat mencemari sumber air atau diserap oleh tumbuhan serta berdampak langsung bagi
kesehatan manusia yang mengkonsumsinya.
Kontaminan anorganik seperti beberapa ion logam berat yaitu arsenik (As), timbal (Pb), kadmium (Cd) dan
merkuri (Hg) pada kenyataannya berbahaya bagi kesehatan manusia dan kelangsungan kehidupan di
lingkungan (USDA NRCS, 2000). Walaupun pada konsentrasi yang sedemikian rendah efek ion logam berat
dapat berpengaruh langsung hingga terakumulasi pada rantai makanan. Seperti halnya kontaminan
organik yang telah dijelaskan sebelumnya, logam berat dapat ditransfer dalam jangkauan yang sangat
jauh di lingkungan, selanjutnya berpotensi mengganggu kehidupan biota lingkungan dan akhirnya
berpengaruh terhadap kesehatan manusia walaupun dalam jangka waktu yang lama dan jauh dari sumber
polusi utamanya. Suatu organisme akan kronis apabila makanan yang dikonsumsinya mengandung logam
berat. Proses industri dan urbanisasi memegang peranan penting terhadap peningkatan kontaminan
tersebut karena pemasukan utama kontaminan logam kedalam lingkungan ditemukan dari kegiatan
perkotaan dan pembuangan lumpur limbah industri komoditi seperti industri tekstil, pestisida, kulit,
plastik, pengumpulan besi tua, pengelasan dan lain sebagainya.
Kontaminan organik berbahaya dan residu logam atau produk-produk samping lainnya diatas dapat masuk
kedalam tumbuh-tumbuhan, tanah, dan sedimen dari proses-proses terkait dengan kegiatan domestik,
perkotaan, pertanian, industri dan militer.
Gambar 19. Proses Bioremediasi oleh Mikroorganisme[2]
Teknik bioremediasi dan atau phytoremediasi memang banyak digunakan didalam upaya pemulihan
kondisi sumber air dan tanah terkontaminasi karena terbukti lebih murah biayanya dan efektif
dibandingkan dengan teknik remediasi (pemulihan) menggunakan bahan kimia.
Pada prinsipnya, proses bioremediasi digunakan untuk membuat kontaminan (senyawa) organik menjadi
stabil melalui proses penguapan dan reduksi konsentrasi kandungannya. Dimana kontaminan organik
berbahaya akan terurai (degradasi) secara biologis, menjadi senyawa lain yang lebih sederhana seperti
karbon dioksida, metan, air, garam anorganik, biomassa dan hasil lain yang sangat sederhana
komposisinya (Citroreksoko, 1996). Sedangkan logam-logam berat dalam sumber air atau tanah
terkontaminasi yang berasal dari limbah berbagai pabrik dapat didegradasi keberadaannya dengan teknik
bioremediasi ini melalui proses absorbansi biologis oleh mikroorganisme (mikroalga).
Pengembangan teknik bioremediasi untuk proses minimasi bahkan degradasi bahan pencemar secara
biologis, menjadi teknologi alternatif pengendalian pencemaran sumber-sumber air dan tanah
terkontaminasi secara in situ. In-situ disini dimaksudkan sebagai pengolahan sumber air dan atau tanah
terkontaminasi yang dilakukan ditempatnya semula dihasilkan. Hal ini dimungkinkan karena prinsip proses
bioremediasi memanfaatkan aktifitas mikroorganisme indigenous yang terdapat didalamnya, sehingga
seluruh proses penghilangan dan pengurangan bahan pencemar (kontaminan) dapat dikembangkan
secara langsung di lapangan. Teknik bioremediasi ini dikenal dengan nama bioremediasi intrinsik.
Namun demikian, para praktisi di lapangan lebih memilih menggunakan mikroorganisme endigenous atau
dikenal dengan nama bioremediasi eksintrik. Hal ini disebabkan mikroorganisme endigenous merupakan
mikroorganisme yang telah mendapatkan pengayaan dan pemurnian melalui serangkaian penelitian di
Laboratorium, sehingga lebih unggul dan tidak membutuhkan waktu lama bila diaplikasikan di lapangan.
Teknik bioremediasi yang dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sedimen (endapan) sungai atau bozem
atau waduk adalah secara: (1) in-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat tanah terkontaminasi
berada dan (2) ex-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat lain.
Keuntungan menggunakan teknik in-situ, diantaranya adalah:
Gangguan terhadap lokasi tanah terkontaminasi sangat sedikit (tidak ada penggalian atau
pemindahan tanah)
Karena tidak dipindahkan maka masyarakat atau lingkungan yang beresiko terkena paparan
bahan berbahaya beracun yang ada didalam sedimen (endapan) tersebut lebih sedikit (minimal)
Mengurangi biaya penggalian, pemindahan dan pengangkutan (transportasi) yang sangat mahal
Meniadakan biaya pengadaan lahan yang sesuai dengan persyaratan didalam KepMenLH No. 128
tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi
(petroleum hydrocarbon) dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis
Namun demikian, aplikasi teknik in-situ memerlukan eksplorasi detail dan menyeluruh terkait lokasi
pencemaran dan karakteristik kontaminannya. Ini sangat penting guna menghindari terjadinya perluasan
area pencemaran akibat perpindahan atau perembesan kontaminan ke daerah sekitarnya. Selain itu,
aplikasi teknik in-situ memerlukan penambahan nutrien dan oksigen kedalam sedimen (endapan) guna
mencapai syarat habitat mikroorganisme yang akan digunakan.
Teknik ex-situ membutuhkan biaya yang lebih mahal karena dibutuhkan biaya untuk pekerjaan
penggalian, pengumpulan dan pengangkutan ke lokasi pengolahan. Akan tetapi kelebihan dari teknik ex-
situ adalah dapat diolah dengan beragam cara seperti: (1) landfarming; (2) composting; (3) menggunakan
reaktor lumpur.
Bebarapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum mengaplikasi teknik bioremediasi adalah:
susceptibility dari kontaminan, artinya tidak semua kontaminan dapat didegradasi oleh
mikroorganisme
Kondisi lingkungan dimana teknik biremediasi akan diaplikasikan, artinya proses bioremediasi
dapat dilakukan bila sifat fisik dan kimia lingkungannya dapat dikontrol sesuai kebutuhan
mikroorganismenya
Mengingat diperlukannya faktor-faktor tersebut diatas, maka perlu dilakukan treatability study sebelum
teknik bioremediasi diaplikasikan. Treatability study diperlukan guna mendapatkan informasi yang pasti
terkait karakteristik lokasi pengolahan; sifat fisik & kimia lokasi dan karakteristik kontaminannya. Sehingga
dapat diketahui dengan pasti apakah kontaminan tersebut dapat didegradasi atau tidak; berapa
kecepatan degradasi yang dibutuhkan; bagaimana hasil akhir yang diinginkan dan lain sebagainya.
Untuk penggunaan mikroorganisme pada kedua proses bioremediasi diatas bisa digunakan jenis native
(indigenous) atau mikroorganisme komersial (endogenous). Hanya saja, bila menggunakan
mikroorganisme indigenous, waktu pengolahan yang dibutuhkan akan lebih lama dibandingkan dengan
mikroorganisme komersial.
Pelaksanaan proses bioremediasi pada sedimen (endapan) dapat dilakukan melalui lima (5) tahapan kerja
yaitu:
Tahap 1: Survai Awal
Survai ini dilakukan dengan tujuan mengetahui kondisi lingkungan yang sebenarnya dari
sedimen/endapan yang terkontaminasi yang akan diaplikasi bioremediasi. Hasil dari survai ini pun
menentukan strategi investigasi yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya.
Pada tahap survai ini, semua informasi terkait sedimen/endapan terkontaminasi yang akan diolah harus
didata dengan lengkap. Informasi tersebut diantaranya adalah peta lokasi dan alur aliran air yang existing
di lapangan. Daerah tangkapan (catchment area) terkait jenis-jenis kegiatan yang ada, penggunaan lokasi
(dulunya), saluran Drainase apa saja yang ada dan lain sebagainya sangat menentukan prediksi cemaran
(kontaminan) dan hipotesis selanjutnya.
Tahap 2: Investigasi Lokasi
Investigasi lokasi sedimen/endapan terkontaminasi, dimaksudkan untuk memperoleh data yang mewakili
(representative) kondisi sedimen/endapan untuk penilaian faktor resiko selanjutnya; data tentang
intensitas dan ekstensitas cemaran (kontaminan) dalam sedimen/endapan; kemungkinan ada atau
tidaknya emisi bahan beracun ke udara; kemungkinan ada atau tidaknya ledakan; kemungkinan ada atau
tidaknya intrusi cemaran (kontaminan) ke lingkungan disekitarnya.
Pada phase ini, dilakukan empat (4) jenis pekerjaan yaitu: investigasi; penilaian resiko; pelaporan dan
penentuan garisbesar (outline) dari proses bioremediasi. Pada tahap ini diperlukan pula sampling dan uji
laboratorium terhadap beberapa parameter dan atau kontaminan yang ada.
Tahap 3: Perencanaan Detil Disain Bioremediasi
Objektif dari tahap bioremediasi ini adalah membuat perencanaan detil disain bioremediasi yang sesuai
baik in-situ maupun ex-situ dan mengaplikasikannya dilapangan.
Pada saat perancangan detil disain tidak jarang diperlukan pekerjaan investigasi lahan tambahan guna
mengetahui dengan tepat proses bioremediasi yang sesuai dengan kondisi lapangan dan sesuai pula
dengan persyaratan teknis yang berlaku.
Tahap 4: Operasi & Evaluasi
Objektif dari tahap ini adalah dilakukannya pengecekan terhadap efektifitas proses bioremediasi yang
sedang dilakukan terhadap sedimen/endapan terkontaminasi yang diolah.
Sebelum tahap operasi dan evaluasi ini dimulai, perlu disusun prosedur dan parameter-parameter yang
akan diukur dan diuji (dipantau) sebagai bahan evaluasi, termasuk rencana tanggap darurat (emergency
response) dan sistem alert pada satu keadaan/kriteria dimana proses bioremediasi perlu dihentikan dan
dilakukan evaluasi.
Didalam prosedur yang tersusun akan diuraikan pula frekuensi dan form pelaporan dimana memuat
apakah operasi dan evaluasi tersebut dapat dilanjutkan atau harus dihentikan.
Tahap 5: Pasca Operasi Bioremediasi
Objektif dari tahap ini adalah digunakannya kembali sedimen/endapan yang telah terpulihkan ke area-area
penghijauan disepanjang saluran Drainase perkotaan. Ini bisa dilakukan bila digunakan proses
bioremediasi ex-situ. Untuk itu diperlukan pekerjaan lanjutan yaitu penggalian, pemuatan dan pemindahan
sedimen/endapan yang telah pulih menjadi tanah hidup ke lokasi-lokasi penghijauan yang disediakan.
Namun, bila digunakan proses bioremediasi in-situ dimana tujuan aplikasi proses bioremediasi adalah
menurunkan kadar sedimen terlarut maka objektif dari tahap ini adalah berkurangnya sedimen/endapan
dan bertambahnya daya tampung saluran Drainase tersebut.
Proses Bioremediasi Ex-Situ Tipe Landfarming
Dari survai lapangan yang dilakukan, banyak ditemui kegiatan pengerukan sedimen/endapan pada saluran
Drainase perkotaan (sungai, bozem, waduk, dll) sebagai upaya pembersihan cepat (kuratif). Teknik ini
masih dianggap paling efisien (cepat) walau membutuhkan biaya pengerukan dan transportasi yang cukup
mahal.
Sampai saat ini tidak tersedia data tentang kegiatan paska operasi pengerukan yang dilakukan oleh
instansi terkait. Seolah-olah permasalahan sedimen/endapan telah selesai dengan memindahkannya dari
saluran Drainase ke tempat pembuangan akhir. Padahal bila kita amati di lapangan, sedimen/endapan
yang ditampung pada lokasi penampungan sementara (untuk pengeringan) sebelum dibuang ke tempat
pembuangan akhir, seringkali terbawa kembali ke saluran Drainase. Bahkan menimbulkan pendangkalan
pada saluran-saluran Drainase (got) dan menimbulkan masalah baru.
Dengan adanya aplikasi teknik bioremediasi pada lokasi-lokasi penampungan sementara tersebut,
diharapkan sedimen/endapan tersebut dapat dipulihkan menjadi tanah hidup dan dapat dimanfaatkan bagi
kegiatan penghijauan perkotaan.
Hal penting yang perlu disiapkan sebelum aplikasi bioremediasi dengan tipe landfarming ini adalah:
Penyelidikan (investigasi) terhadap jenis dan karakteristik kontaminan yang ada didalam
sedimen/endapan sebelum dilakukan pengerukan dan pemindahan ke lokasi penampungan
sementara. Data primer hasil sampling kontaminan tersebut menjadi pertimbangan penentuan
langkah pengolahan selanjutnya.
Persiapan tempat penampungan sementara sebagai tempat pengolahan landfarming harus
disesuaikan dengan kriteria lokasi penampungan limbah B3 pada surat KepKaBapedal No. 1 tahun
1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun. Hal ini penting dilakukan mengingat terdapat kontaminan-kontaminan
logam berat yang masuk akibat kegiatan-kegiatan pada catchment areanya.
Pengeringan perlu dilakukan di lokasi penampungan sementara, sehingga perlu disiapkan sistem
Drainase didalam area yang bersifat tertutup (closed cyrcle). Larian air dari Drainase tersebut
harus ditampung dan diolah didalam bioreaktor.
Setelah sedimen/endapan kering, dilakukan pemilahan sampah (ranting, potongan kayu, plastik,
potongan logam dll) secara mekanik dan atau manual. Sampah-sampah tersebut akan
menghambat proses bioremediasi yang akan diaplikasi, sehingga harus dikeluarkan/dibersihkan
dari sedimen/endapan tersebut.
Setelah sedimen/endapan bersih dari sampah, barulah proses bioremediasi dilakukan dengan beberapa
tahapan cara tergantung pada jenis kontaminan apa yang akan didegradasi terlebih dahulu. Tentunya,
kandungan kontaminan yang terbanyak perlu didegradasi terlebih dahulu. Sebagai contoh, bila kandungan
PAHs yang tertinggi, maka bioremediasi yang diaplikasi bertujuan untuk meningkatkan populasi
mikroorganisme pemakan hidrokarbon. Diikuti dengan proses bioremediasi untuk mendegradasi
kontaminan selanjutnya.
Garis besar proses bioremediasi tersebut adalah sebagai berikut:
Dilakukan pencampuran sedimen/endapan dengan menggunakan beckho agar diperoleh
sedimen/endapan yang homogen.
Dilakukan penambahan nutrien (berupa kotoran ayam, kotoran sapi atau pupuk) sebagai bahan
nutrisi bagi mikroorganisme indigenous.
Selain nutrisi, perlu juga penambahan bulk agen seperti limbah serutan kayu, sekam padi atau
limbah bottom ash dari pembakaran batubara. Bulk agen ini dimaksudkan untuk memperoleh
tekstur tanah (moisture) yang disyaratkan.
Dilakukan penyebaran (paparan) sedimen/endapan pada permukaan lahan (tempat
penampungan sementara) secara merata dengan ketinggian maksimal 50 cm.
Selanjutnya untuk mempertahankan kelembaban sedimen/endapan dilakukan penyiraman air
secara rutin. Air yang digunakan untuk penyiraman ini haruslah air bersih dengan pH normal (pH
6-8) dan tidak tercemar oleh minyak, bahan anorganik maupun bakteri lain. Dalam kondisi iklim
kering (panas) diperkirakan konsumsi air mencapai 40.000 liter per hari per lokasi penampungan
sementara. Sedangkan dimusim hujan, kelebihan kandungan air didalam tanah akibat curah
hujan harus bisa dialirkan ke saluran-saluran Drainase agar tidak menghambat operasional alat
berat. Bahkan sebaiknya tersedia terpal untuk menutup sementara permukaan tanah yang diolah
selama turunnya hujan.
Untuk mempertahankan kondisi aerob bagi mikroorganisme indigenous yang ada didalam tanah,
dilakukan dengan cara pembalikan permukaan sedimen/endapan menggunakan traktor dengan
rotovator. Pembalikkan secara rutin dapat mempertahankan pemaparan oksigen diudara
kepermukaan tanah yang sedang diolah terus berlanjut hingga mencapai tanah lapisan dalam
yang telah dibalikkan kepermukaan. Bila kondisi tanah terlihat kompak (liat) maka proses
pembalikkan tanah dilakukan lebih sering guna meningkatkan proses aerasi. Sebaliknya bila
kondisi tanah terlihat berpasir (granular) maka proses pembalikkan dilakukan dengan frekuensi
yang lebih sedikit dibandingkan tanah kompak.
Gambar 20. Operasional Tipe Bioremediasi Landfarming
Untuk mengetahui efektifitas proses bioremediasi yang sedang berjalan, perlu dilakukan
sampling dimulai pada hari ke-10 sejak pemaparan dilakukan. Evaluasi terhadap hasil analisis
sampling tersebut menjadi bahan pertimbangan pengolahan bioremediasi yang perlu dilakukan
selanjutnya.
Gambar 21. Penampang Ø Proses Bioremediasi Landfarming
C. Biofilter
Biofilter atau biasa disebut parit tumbuhan adalah saluran alamiah yang didesain sedemikian rupa dimana
terdapat tumbuh-tumbuhan yang berfungsi mengelola pengaliran limpasan sehingga lebih lambat
mengalir diantara tumbutuhan.
Biofilters efektif jika arus lambat dan dangkal pada saluran parit alamiah. Kondisi ini dapat dicapai bila
kontur kawasan dan kemiringan lereng mendukung pengaliran limpasan diatas. Untuk sistem biofilter,
kondisi yang menyebabkan konsentrasi aliran, seperti tahanan dan belokan, dan saluran yang langsung
crossing ke seberang jalan, harus diperkecil. Gerakan melambat dari aliran melalui tumbuh-tumbuhan
menyediakan kesempatan untuk terjadinya sedimentasi dan tersaringnya partikulat dan degradasi oleh
aktivitas biologi. Dalam berbagai jenis tanah, biofilter juga menyebabkan terjadinya penyerapan hujan ke
dalam tanah, lebih lanjut mengurangi polusi air dan mengurangi debit limpasan (yang akhirnya
mengurangi potensi banjir).
Aliran Lambat, aliran limpasan halus dapat dijaga dengan biofilter yang dibangun dengan menjaga
kemiringan kedua sisi (kemiringan maksimum 3 :1, minimal kemiringan memanjang (direkomendasikan 1
– 2%, dengan check dam untuk kemiringan yang lebih curam), dan suatu flowpath panjangnya sedikitnya
10 feet (minimal 3 meter). Konsep utamanya adalah menggerakan aliran air dengan lambat melalui
tumbuh-tumbuhan.
Gambar 22. Biofilter
Lapisan utama tanah penutup adalah tanah berumput, yang harus tetap dialiri pada musim kemarau. Agar
lapisan tanah berumput yang berfungsi sebagai biofilter dapat bekerja efektif harus sering dipotong secara
rutin dan dirapikan. Dimana kemiringan kurang dari 1% atau dimana air tanah tinggi, tanaman rawa
buatan dapat digunakan dalam biofilter. Jenis tanah lempung, atau jenis tanah lainnya yang dapat
menghalangi tanaman, secara umum tidaklah cocok bagi biofilter.
Biofilter biasanya diaplikasikan lapangan parkir, sepanjang pinggiran lapangan parkir dengan kemiringan
memanjang sampai dengan parit rumput untuk mengumpulkan dan mengolah limpasan hujan dari
permukaan lapangan parkir. Kemiringan batas pavemen lapangan parkir agar diatur sedemikian rupa lebih
tinggi dari pada batas dengan biofilter. Jika air masuk dari beberapa titik pengumpulan, seperti aliran
halus, kontrol erosi agar dapat juga ditempatkan pada beberapa titik termasuk di inlet dan outlet saluran.
Dimana harus diatur puncak hidrograph harus kurang dari 8 cm dan percepatan puncak kurang dari 0,3
m/detik. Limpasan hujan lebat dapat mem-bypass biofilter, atau biofilter dapat di-Disain untuk dapat
mengakomodasi debit banjir yang lebih besar tentunya dengan kualitas air yang terjaga. Lebar alas dari
parit adalah secara umum 60 cm sampai 2,5 meter, dengan tingginya rumput dari 10 cm sampai 15 cm
dan kedalaman air yang maksimum dari kurang dari 5 cm.
D. Pengolahan Kualitas Air dengan Rawa Buatan (Wetland Constructed)
Dalam ekosistem rawa, terdapat aneka ragam organisme. Hampir semua mahluk hidup dibumi terwakili di
dalam rawa, mulai dari organisme mikro hingga organisme makro seperti tumbuhan atau hewan besar.
Bakteri, virus, alga, jamur, protozoa, ikan, katak, burung, binatang melata, binatang menyusui, semuanya
ada di sana. Semua mahluk hidup tersebut membentuk rantai dan jaring makanan, mulai dari pengurai,
produsen, konsumen, berentuk sangat kompleks yang meliputi berbagai organisme yang berada di
berbagai mata rantai jaring-jaring makanan.
Interaksi antar semua komponen ekosistem yang berada dalam rawa tersebut memungkinkan terjadinya
proses daur ulang secara alami bahan pencemar yang tidak bernilai bagi manusia menjadi bahan bernilai
yang terkandung dalam biomassa tumbuhan dan hewan. Proses alam diatas mengilhami pengembangan
model rawa buatan dalam upaya pembersihan air.
Rawa buatan didesain sedemikian rupa diatas sebidang tanah dengan cara membuat pematang, tanggul
dan kolam, sehingga air limbah akan melewati sebagian besar permukaan substrat yang ditanami
tumbuhan akuatik dan semi-akuatik yang bernilai ekonomis seperti sayuran dan buah. Sehingga dapat
disebut pengolahan air dengan metoda rawa buatan (wetland constructed) adalah alternatif lain
pengolahan air yang meniru proses alamiah yang terjadi di lahan basah (rawa) alami.
Gambar 23. Contoh Rawa Buatan Aliran Vertikal (Constructed Wetlands) [3]
Gambar 24. Tampak Atas Rawa Buatan untuk Mengolah Air Limbah[4]
Menurut jenis aliran air, rawa buatan secara umum digolongkan dalam dua bentuk: aliran horisontal dan
aliran vertikal. Dalam sistim aliran horisontal, air memasuki rawa dari satu titik, mengalir dalam rawa
buatan, kemudian keluar dari titik di ujung rawa. Sedangkan dalam rawa buatan aliran vertikal, air
merembes/mengalir secara vertikal baik dari atas ke arah bawah atau dari bawah ke arah atas sistem ke
luar dari sistem.
Rawa buatan aliran horisontal dapat digolongkan lebih lanjut dalam empat bentuk, yaitu:
a. Rawa buatan yang alirannya mengalir di atas permukaan tanah.
b. Rawa buatan yang proses pengaliran airnya lewat substrat tempat tumbuhnya tanaman air.
c. Komninasi bentuk pertama dan kedua
d. Rawa buatan hidroponik aliran tipis yang tidak menggunakan substrat tanah atau pasir.
Sementara itu, rawa buatan aliran vertikal dapat digolongkan ke dalam dua bentuk (lihat gambar 22):
1. Aliran vertikal menurun dimana air dialirkan di permukaan sistem kemudian merembes melalui
substrat yang dipenuhi oleh akar tanaman hingga mencapai dasar rawa buatan untuk ke luar dari
sistem.
2. Aliran vertikal menanjak dimana air disalurkan melalui pipa ke dasar sistem untuk naik pelan-pelan
melalui lapisan substrat sebelum keluar melalui saluran yang letaknya di permukaan substrat.
Agar pembersihan air limbah efektif, rawa buatan (sebagaimana juga rawa alami) membutuhkan lima
komponen (Hammer, 1989 dalam Khiatuddin Maulida, 2003), yakni:
1. Substrat (tanah, pasir, kerikil, dll) dengan berbagai tingkat konduktivitas hidrologis.
2. Tumbuhan yang dapat hidup dalam kondisi anaerob di media yang jenuh dengan air atau tergenang
air.
3. Genangan air (baik yang mengalir di atas atau di bawah permukaan tanah).
4. Hewan yang bertulang belakang dan tidak bertulang belakang.
5. Populasi organisme mikro aerob dan anaerob.
Salah satu komponen rawa buatan adalah tumbuhan/tanaman yang yang bekerjasama dengan micro-
organisme dalam media (tanah, koral, dan air). Penggunaan tanaman disebut dengan konsep
Fitoremediasi yang didefinisikan sebagai teknologi pembersihan, penghilangan atau pengurangan polutan
berbahaya, seperti logam berat, pestisida, dan senyawa organik beracun dalam tanah atau air dengan
menggunakan bantuan tanaman.[5]
Gambar 25. Proses dalam Fitoremediasi [6]
Selain pemanfaatan bagi pemulihan kualitas air, teknik fitoremediasi dapat pula dimanfaatkan bagi
menjaga dan menjamin kualitas kompos dengan fitoteknologi dan ekotoksikologi.[7]
Proses dalam sistim ini berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan
tumbuhan terhadap zat kontaminan/pencemar yang berada disekitarnya.
1. Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media
sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga Hyperacumulation
2. Rhizofiltration (rhizo = akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh akar
untuk menempel pada akar. Proses ini telah dibuktikan dengan percobaan menanam bunga matahari
pada kolam mengandung zat radio aktif di Chernobyl Ukraina.
3. Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin
terserap kedalam batang tumbuhan. Zat zat tersebut menempel erat (stabil ) pada akar sehingga
tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media.
4. Rhyzodegradetion disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, or plented-assisted
bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas microba yang berada
disekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bacteri.
5. Phytodegradation (phyto transformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk
menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang
tidak berbahaya dengan dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi
pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di
luar sekitar akar dengan bantuan enzym yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa
tumbuhan mengeluarkan enzym berupa bahan kimia yang mempercepat proses degradasi.
6. Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat contaminan oleh tumbuhan dalam
bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk
selanjutnya di uapkan ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan
1000 liter perhari untuk setiap batang.
Jenis-jenis tanaman yang digunakan dalam Fitoremediasi
Jenis-jenis tanaman yang sering digunakan di Fitoremediasi adalah; Anturium Merah/Kuning, Alamanda
Kuning/Ungu, Akar Wangi, Bambu Air, Cana Presiden Merah/Kuning/Putih, Dahlia, Dracenia Merah/Hijau,
Heleconia Kuning/Merah, Jaka, Keladi Loreng/Sente/Hitam, Kenyeri Merah/Putih, Lotus Kuning/Merah, Onje
Merah, Pacing Merah/Putih, Padi-padian, Papirus, Pisang Mas, Ponaderia, Sempol Merah/Putih, Spider Lili,
dll.
Gambar 26. Flow Diagram Proses Fitoremediasi dalam Pengolahan Air [8]
Konsep Perencanaan Wetland
Beberapa ketentuan yang diperlakukan untuk membuat sistim ini, yaitu :
1. Unit Wetland didahului dengan bak pengendap untuk menghindari cloging pada media koral oleh
partikel-partikel besar.
2. Konstruksi berupa bak/kolam dari pasangan batu kedap air dengan kedalaman ± 1 meter.
3. Kolam dilengkapi pipa inlet dan pipa berlubang untuk outlet.
4. Kolam diisi dengan media koral (batu pecah atau kerikil) diameter 5 mm s.d. 10 mm, setinggi/setebal
80 cm.
5. Ditanami tumbuhan air dicampur beberapa jenis yang berjarak cukup rapat, dengan melubangi lapisan
media koral sedalam 40 cm untuk dudukan tumbuhan.
6. Dialirkan air limah setebal 70 cm dengan mengatur level (ketinggian) outlet yang memungkinkan
media selalu tergenang air 10 cm dibawah permukaan koral.
7. Disain luas kolam berdasarkan beban BOD yang masuk per hari dibagi dengan Loading rate pada
umumnya untuk daerah tropis ± 40 kg BOD/Ha per hari.
8. Sistem pengolahan limbah denngan wetland disarankan hanya untuk skala lingkungan maksimum
2000 jiwa dan perkantoran atau gedung-gedung sekolah karena kebutuhan lahanya cukup tinggi
antara 1,25 m2/jiwa s.d. 2,5 m2/jiwa dibandingkan fakultatif pond hanya 0,2 m2/jiwa s.d. 0,5 m2/jiwa
atau hanya 1/5 dari kebutuhan lahan rawa buatan.[9]
4.2. Pelaksanaan
4.2.1. Pengorganisasian
Penyelenggaraan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) melibatkan
instansi terkait di pusat dan daerah serta masyarakat di kawasan/lokasi dalam suatu daerah aliran sungai
yang akan ditangani. Dimana diharapkan sejak tahap awal perlu segera dilaksanakan pengorganisasian
agar jalannya kegiatan dapat berlangsung secara efisien dan efektif mencapai hasil yang optimal. Dibawah
ini adalah bagan organisasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan
lingkungan (ecodrain).
Gambar 27. Organisasi Pelaksanaan Program Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan
Lingkungan (ecodrain)
Gambar 28. Usulan Pengaturan Kewenangan Antar Institusi Terkait dalam Pengelolaan Saluran Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan
KEWENANGAN /TANGGUNG JAWAB INSTITUSI
A B C D E F G H I
Aspek Peraturan dan Pengaturan
Penyusunan Pedoman dan Permen/Kepmen Tentang
Ecodrain
X X - - - - - - X
Sosialisasi Undang-undang No 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air terutama terkait dengan Ecodrain
X X - X X - - - -
Penyusunan Perda Provinsi / SK. Gub / Instruksi Gub.
Tentang Pelaksanaan Ecodrain dan penunjukan
Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Ecodrain Tingkat
Provinsi
- - X X - - - - X
Penyusunan Perda Provinsi / SK. Gub / Instruksi Gub.
Tentang Pengendalian Perencanaan Tata Guna Lahan
Dan Perlindungan Alam Daerah Bantaran Sungai
Tingkat Provinsi
- - X X - - - - X
Penyusunan Perda Kabupaten Kota / SK. Bupati
Walikota / SK.Bupati Walikota / Instruksi Bupati Walikota
Tentang Pelaksanaan Ecodrain dan penunjukan
Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Ecodrain Tingkat
Kabupaten Kota
- - - - X X X - X
Penyusunan Perda Kabupaten Kota / SK. Bupati
Walikota / SK.Bupati Walikota / Instruksi Bupati Walikota
Tentang Pengendalian Perencanaan Tata Guna Lahan
Dan Perlindungan Alam Daerah Bantaran Sungai
Tingkat Kabupaten Kota
- - - X - - X - X
Penyusunan Perda Kabupaten Kota / SK. Bupati
Walikota / SK.Bupati Walikota / Instruksi Bupati Walikota
Tentang Mutu / Kualitas Air Sungai
- - - - - - X - X
Aspek Teknis dan Operasional
Perencanaan - - X X X - - - X
Pembangunan Fisik X X X X X - - - -
Pengawasan Fisik X X X X X - - - -
Operasional dan Pemeliharaan (O&P)
- - - X X X - X -
Sosialisasi Pelaksanaan Fisik
- - X X X X X X X
Aspek Pembiayaan
Perencanaan X X X X X - - - -
Pembangunan Fisik X X X X X - - - -
Pengawasan Fisik X X X X X - - - -
Operasional dan Pemeliharaan (O&P) - - - X X X - X -
Sosialisasi Pelaksanaan Fisik - - X X X X X X X
Aspek Peran Masyarakat dan atau Swasta
Pengelolaan Air Limbah dengan SANIMAS X - X X X X X X X
Pengelolaan Sampah dengan Konsep 3 R X - X X X X X X X
KEWENANGAN /TANGGUNG JAWAB INSTITUSI
A B C D E F G H I
Pelatihan dan Capacity Building Kegiatan 3R
dan SANIMAS
X X X X X - - - X
Sosialisasi desain elemen sistem Drainase
Berwawasan lingkungan
X X X X X X X - X
Sumber : Hasil Kajian Konsultan, 2007.
Keterangan:
A = Direktorat PLP Ditjen Cipta Karya.
B = Ditjen SDA melalui Balai Besar Wilayah Sungai.
C = Pemerintah Daerah c.q. BAPPEDA Provinsi.
D = Dinas PU Provinsi.
E = Dinas PU Kabupaten Kota.
F = Dinas Kebersihan Kabupaten Kota.
G = Dinas / Bidang Lingkungan Hidup Kabupaten Kota.
H = Masyarakat / Swasta (KSM).
I = Perguruan Tinggi / Konsultan / LSM / Organisasi Profesi.
4.2.2. Tahap Pelaksanaan
Secara garis besar kegiatan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain)
terbagi dalam dua kegiatan pokok yaitu:
Kegiatan yang bersifat fisik
Kegiatan fisik yang berupa pembangunan prasarana dan sarana, pengadaan barang (M&E),
pemeliharaan dan perawatan.
Kegiatan yang bersifat non fisik
Kegiatan non fisik dapat berupa kegiatan sosialisasi 3R, pengelolaan air limbah domestik dan
pengelolaan hujan integratif yang dapat mengembangkan pengelolaan Drainase.
Dalam tahap pelaksanaan dibagi pada beberapa kegiatan sebagai berikut:
b. Pelaksanaan konstruksi fisik
Pelaksanaan konstruksi fisik merupakan perwujudan fisik dari rencana yang terdapat dalam
studi kelayakan dan detail rencana teknis Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan
Lingkungan (Ecodrain). Pelaksanaan konstruksi antara lain seperti pembangunan pintu air,
bendung spillway, saringan sampah manual maupun otomatis, tempat pembuangan sampah
(TPS) di lokasi saringan sampah dan bantaran sungai, IPAL Sanimas, MCK komunal, kawasan
bioretensi, pavemen berpori, jalan berpori, kawasan parkir ramah lingkungan, rawa buatan,
wetland constructed, dlsb.
1) Kegiatan konstruksi fisik dapat berupa kegiatan mendirikan, memperbaiki atau
memperluas/menambah prasarana dan sarana sesuai dengan dokumen perencanaan
yang telah disepakati pada tahap perencanaan. Dengan pembangunan konstruksi fisik
ini diharapkan permasalahan banjir, genangan, sampah sungai dan pencemaran air
dapat dikurangi, sehingga beberapa permasalahan penting daerah perkotaan dapat
dieliminir, yang pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup, kesehatan
dan kehidupan manusia dan ekosistem perairan (lingkungan) serta kota.
2) Kegiatan fisik sebagaimana disepakati dalam Daftar Isian Proyek (DIP) yang
diselenggarakan secara bersama antara seluruh stakeholder di kawasan yang
bersangkutan.
3) Khusus pada kegiatan fisik dari Pemerintah Pusat (Direktorat PLP – Ditjen Cipta Karya,
Departemen Pekerjaan Umum) pada beberapa kota sebagai pilot project. Diharapkan
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat berkontribusi bagi terwujudnya semua
rencana yang ada dalam studi perencanaan Pengelolaan Drainase Secara Terpadu
Berwawasan Lingkungan (Ecodrain). Kontribusi tersebut dapat berbentuk penyiapan
lahan, tenaga, dan pendanaan fisik, serta komitmen untuk meneruskan program
tersebut secara berkesinambungan.
4) Kegiatan pelaksanaan konstruksi fisik terdiri dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan
konstruksi dan tahap pengakhiran (finishing).
c. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa
Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa merupakan rencana pengadaan barang dan jasa yang
terdapat dalam studi kelayakan dan detail rencana teknis Pengelolaan Drainase Secara Terpadu
Berwawasan Lingkungan (Ecodrain). Pengadaan barang terkait dengan kebutuhan barang
mekanikal dan elektrikal dan perangkat dalam sistem informasi seperti perangkat lunak
(software) dan perangkat keras (hardware). Pengadaaan barang dalam hal ini seperti pengadaan
saringan sampah otomatis, pompa banjir, unit-unit pengolahan otomatis dalam IPAL Sanimas
(disesuaikan teknologi), sarana komposting, daur ulang dan pengangkut sampah, sistem
pengolahan data dan informasi, dlsb. Pengadaan jasa adalah adalah jasa konsultansi dalam
pekerjaan pengawasan dan sosialisasi.
d. Pelaksanaan dan Pengembangan Kegiatan 3R dan SANItasi berbasis MASyarakat (SANIMAS)
Pelaksanaan konstruksi fisik merupakan perwujudan fisik dari rencana yang terdapat dalam
studi kelayakan dan detail rencana teknis Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan
Lingkungan (Ecodrain).
4.2.3. Tahap Operasi dan Pemeliharaan
Fasilitas kegiatan fisik dan bantek pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan
(ecodrain) dari Pemerintah Pusat hanya merupakan stimulan dari Pemerintah Pusat (Direktorat PLP –
Ditjen Cipta Karya) yang selanjutnya setelah diserah terimakan kepada Pemerintah Kota/Kabupaten, maka
pengelolaan pasca pembangunan pada dasarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota/Kabupaten.
4.2.4. Sosialisasi dan Penguatan Peran Masyarakat dan Swasta
Dalam penerapan konsep pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan, penanganan
sampah dengan reduksi sampah dari sumbernya merupakan langkah yang paling efektif dalam
mengurangi timbulan sampah yang akan dibuang ke TPA (tertangani) maupun yang sampah yang
potensial dibuang ke sungai / saluran / waduk dan atau prasarana dan sarana lainnya. Konsep yang dapat
dikembangkan adalah dengan pengelolaan sampah berdasarkan pendekatan 3R (Recycle, Reuse &
Reduce) yang didasari oleh pendekatan pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat.
Pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat adalah suatu pendekatan pengelolaan sampah yang
didasarkan pada kebutuhan dan permintaan masyarakat, direncanakan, dilaksanakan (jika feasible),
dikontrol dan dievaluasi bersama masyarakat.
Dalam pengertian ini pemeran (penguasa, kekuatan) utama dalam pengelolaan sampah adalah
masyarakat. Pemerintah dan lembaga lainnya hanyalah sebagai motivator dan fasilitator.
Fungsi motivator adalah memberikan dorongan agar masyarakat siap memikirkan dan mencari jalan
keluar terhadap persoalan sampah yang mereka hadapi. Tetapi jika masyarakat belum siap, maka fungsi
pemerintah atau lembaga lain adalah menyiapkan terlebih dahulu. Misalnya dengan melakukan pelatihan
study banding dan memperlihatkan contoh-contoh program yang sukses dan lain-lain.
Fungsi fasilitator adalah memfasilitasi masyarakat untuk mencapai tujuan pengelolaan sampah Secara
baik dan pengomposan maka tugas fasilitator adalah memberikan kemamuan masyarakat dengan
berbagai cara misalnya dengan memberikan pelatihan begitu juga jika masyarakat lemah dalam hal
pendanaan, maka tugas fasilitator adalah membantu mencari jalan keluar agar masyarakat mampu
mendapat pendanaan yang dibutuhkan, tetapi harus dilakukan secara hati-hati jangan sampai masyarakat
tergantung.
Mengapa dalam pengelolaan sampah dilakukan secara berbasis masyarakat karena produsen sampah
utama adalah masyarakat, sehingga mereka harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka
produksi.
Sumber sampah yang berasal dari masyarakat, sebaiknya dikelola oleh masyarakat yang bersangkutan
agar mereka bertanggung jawab terhadap sampahnya sendiri, karena jika dikelola oleh pihak lain biasanya
mereka kurang bertanggung jawab bahkan cenderung destruktif.
Faktor yang mempengaruhi sampah, baik kuantitas dan kualitasnya sampah sangat dipengaruhi oleh
berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat. Beberapa faktor yang penting antara lain;
Jumlah penduduk. Dapat dipahami dengan mudah bahwa semakin banyak penduduk semakin
banyak pula sampahnya. Pengelolaan sampah inipun berpacu dengan laju pertumbuhan
penduduk.
Keadaan sosial ekonomi. Semakin tinggi keadaan social ekonomi masyarakat, seakin banyak
jumlah perkapita sampah yang dibuang. Kualitas sapahnya semakin banyak yang bersifat tidak
dapat membusuk. Perubahan kualitas sampah ini, tergantung pada bahan yang tersedia,
peraturan yang berlaku serta kesadaran masyarakat akan persoalan sampah.
Kenaikan kesejahteraan inipun akan meningkatkan kegiatan konstruksi dan pembaharuan
bangunan-bangunan. Transportasi-pun bertambah dengan konsekuensi bertambahnya volume
dan jenis sampah.
Dengan kemmajuan teknologi. Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kuantitas
sampah, karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan produk
manufaktur yang semakin beragam pula.
Kenyataan yang ada saat ini adalah bahan sampah sulit dikelola oleh berbagai hal;
Cepatnya berkembangnya teknologi, lebih cepat daripada kemampuan masyarakat untuk
mengelola dan memahami persoalan sampah.
Meningkatnya tingkat hidup masyarakat, yang tidak disertai dengan keselarasan pengetahuan
tentang persampahan.
Meningkatnya biaya operasional dan pengelolaan sampah.
Penanganan sampah 3 R adalah konsep penanganan sampah dengan cara reduce / mengurangi, reuse /
menggunakan kembali, dan recycle / mendaur ulang sampah mulai dari sumbernya, dalam hal ini adalah
kawasan yang potensial sebagai sumber sampah sungai.
Konsep pengelolaan 3R yang diusulkan dapat dilihat pada gambar 15 berikut.
Gambar 29. Konsep Pengelolaan 3 R di kawasan Daerah Pengaliran Sunga (DPS)i[10]
4.3. Pengendalian Pelaksanaan Kegiatan Ecodrain
Pengendalian adalah segala tindakan yang dilakukan dalam pengorganisasian pengelolaan Drainase untuk
meningkatkan kemungkinan tercapainya maksud dan tujuan yang telah ditetapkan, yakni
memulihkan/meningkatkan kualitas aliran saluran Drainase/sungai perkotaan dari pencemaran yang
diakibatkan oleh sampah dan air limbah rumah tangga dan dan memandu pengelolaan Drainase secara
terpadu agar berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tindakan pengendalian dapat bersifat preventif
(untuk menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan), detektif (untuk menemukan dan
memperbaiki sesuatu hal yang tidak diinginkan yang telah terjadi), atau direktif (untuk menimbulkan atau
mendorong terjadinya sesuatu yang diinginkan).
Tiga tujuan umum pengendalian kegiatan ecodrain adalah untuk:
Meyakinkan terlaksananya tujuan yang telah ditetapkan, termasuk apa yang digariskan dalam
rencana, kebijakan, prosedur, dan semuanya sejalan dengan peraturan dan perundang-undangan
yang mengikat kegiatan;
Menjamin pelaksanaan kegiatan berdsarkan dokumen perencanaan dan studi; dan
Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan.
Studi kelayakan dan Bantuan Teknis (Bantek) merupakan alat kendali pelaksanaan pengelolaan Drainase
secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain). Kegiatan pengendalian dilaksanakan pada setiap
tahapan pelaksanaan sejak tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan
ecodrain.
Pengendalian pelaksanaan dilakukan oleh Satuan Kerja Pengembangan PLP tingkat provinsi dan atau dinas
teknis setempat atau unit pengelola teknis/UPT/badan tertentu sesuai kewenangan yang ditetapkan oleh
kelembagaan pemrakarsa kegiatan ecodrain atau dapat ditetapkan kemudian berdasarkan kesepakatan
para pemangku kepentingan.
4.4. Monitoring dan Evaluasi
Sistem monitoring dan evaluasi kegiatan Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan
(Ecodrain) perlu dilakukan untuk mengendalikan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan mulai dari tahap
persiapan dan perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pemanfaatnannya di lapangan.
Sistem diatas perlu dilengkapi dengan sistem informasi yang terencana sebagai bahan masukan bagi
upaya-upaya Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (ecodrain) pada
lokasi/kawasan lainnya.
Tujuan dari sistem monitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut:
a. Memantau/memonitor perkembangan pelaksanaan kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan
Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain).
b. Mengendalikan kinerja pelaksanaan kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan Drainase secara
terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain).
c. Memberikan bahan masukan untuk persiapan pelaksanaan kegiatan dan pengembangan program
pada tahun berikutnya.
d. Memberikan bahan untuk kelengkapan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan-kegiatan
dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain).
e. Memberikan informasi yang lengkap yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan
program pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain).
Untuk lebih mengoptimalkan kegiatan monitoring dan evaluasi proram dan kegiatan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) perlu dikembangkan mekanisme monitoring dan evaluasi secara berjenjang baik menggunakan perangkat lunak (software) maupun berupa buku laporan
(hardware).
[1] Penyusunan Sistem Pengelolaan Sampah Sungai di DKI Jakarta, Proyek Peningkatan Prasarana Permukiman DKI Jakarta, Ditjen Cipta Karya 1998/1999, Laporan Akhir. Halaman 4-1s.d. 4-3.
[2] Bioremediation by Tina Yu, bahan Ekspose.
[3] Sumber : Brown and Caldwell, Aqua Treatment Technologies, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/ Constructed_wetland
[4] Khiatuddin Maulida, "Melestarikan Sumberdaya Air Dengan Teknologi Rawa Buatan", Gadjah Mada University Press, 2003. Halaman 71.
[5] Fitoremediasi, Upaya Pengolahan Air Limbah Dengan Media Tanaman, Direktorat Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Barat, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 27 Oktober 2003.
[6] Bioremediation by Tina Yu, bahan Ekspose.
[7] Mangkoedihardjo Sarwoko, Fitoteknologi dan Ekotoksikologi dalam Desain Operasi Pengomposan Sampah, Seminar Nasional Teknologi Lingkungan III ITS, Surabaya, 27 September 2005.
[8] Matthew Dempsey, Phytoremediation, December, 1997. http://www.rpi.edu/dept/chem-eng/Biotech-Environ/MISC/webpage1.html
[9] Fitoremediasi, Upaya Pengolahan Air Limbah Dengan Media Tanaman, Direktorat Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Barat, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 27 Oktober 2003.
[10] Modifikasi dari Anonim, Bantek 3 R Bozem Morokembangan, Dinas PU Kota Surabaya Tahun 2007.
Tags: proses ecodrain
0 comments share
Strategi Pengembangan Konsep EcodrainJun 18, '08 12:14 AMfor everyone
Dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) diperlukan strategi dalam
implementasi dan pengembangannya. Strategi pengembangan konsep ecodrain sebagai berikut:
1. Strategi dimulai dari sumber
Terkait dengan penanganan sampah sungai dan pencemaran air oleh limbah cair domestik dan non
domestik ke dalam badan air atau saluran Drainase, konsep penanganan yang paling efektif dengan
biaya penanganan yang jauh lebih murah adalah dengan konsep penanganan pada sumber
pencemar (sampah sungai dan pencemaran air).
Konsep strategi dimulai dari sumber yang dapat diadopsi untuk kondisi di Indonesia adalah seperti
Start at the Source Design Guidance Manual for Stormwater Quality Protection yang
disusun oleh Bay Area Stormwater Management Agencies Association (BASMAA), suatu
asosiasi badan pengelola kualitas air hujan di seluruh delta dan teluk San Francisco.[1] Pedoman ini
ditujukan untuk membantu para perencana, pengembang dan badan-badan perkotaan (Dinas
Pekerjaan Umum, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kebersihan dlsb) untuk mencapai penyelenggaraan
Drainase dengan kualitas air yang memenuhi baku mutu, baik dalam perencanaan sistem Drainase di
kawasan permukiman, pengembangan komersial dan kawasan industri maupun kawasan baru
berkembang.
Aplikasi strategi ini secara konsisten pada skala kawasan merupakan pendekatan manajemen hujan
yang meminimalkan daerah kedap air (permukaan yang terbangun), mereduksi hubungan langsung
antara daerah kedap air dengan sistem pengaliran Drainase dan perencanaan diupayakan agar dapat
menyerupai seperti kondisi alamiah, yang akhirnya akan lebih ekonomis, lebih estetika dan secara
teknis lebih baik. Konsep ini didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
a) Bahwasanya setiap kawasan merupakan bagian dari suatu Daerah Aliran Sungai.
Terkait dengan penyelenggaraan ecodrain, penanganan sampah dan kualitas air sungai yang
paling efektif adalah pada skala kawasan yang merupakan bagian dari suatu DAS. Kegiatan-
kegiatan pengelolaan di skala kawasan merupakan bagian dari pendekatan preventif.
Dimana yang dimaksud kawasan adalah persil rumah tangga, kawasan permukiman,
kawasan perumahan (real estate), dsb.
b) Dimulai dari sumber. Ketika hujan turun ke suatu lahan, secara gravitasi dan fisika tanah
akan menyerap ke dalam tanah. Jika lahan ditutupi oleh lapisan material kedap air seperti
atap, beton, aspal, aliran hujan ini akan mencari permukaan yang lebih rendah berkumpul
dengan aliran hujan lainnya menciptakan limpasan. Jika limpasan ini dikumpulkan pada pipa
pembawa dan saluran yang panjang sebelum diolah, sepanjang jalan akan banyak
kemungkinan dimana kualitas air akan menurun. Strategi “end of pipe”, seperti pembuatan
retention ponds yang besar merupakan komponen penting dalam sistem pengelolaan
Drainase, akan tetapi akan lebih kompleks dan membutuhkan biaya yang sangat besar
dibandingkan strategi yang dimulai dari sumber. Strategi dengan lokasi pengumpulan kecil
(tentunya dengan treatment sederhana), yang dilokasikan pada tempat pertemuan berbagai
limpasan di bawah, berulang secara konsisten pada seluruh proyek, akan menjaga kualitas
air dengan biaya yang lebih rendah. Jika limpasan diserapkan atau ditahan pada sumber
(lahan, kawasan) maka:
(a) Akan lebih murah dan minimal dalam pemeliharaan, jika limpasan kemudian di alirkan sampai pada suatu lokasi kemudian dilakukan pengolahan
(b) biaya dan pemeliharaan akan meningkat, jika limpasan dialirkan langsung sampai ke lokasi pembuangan untuk kemudian diolah .
(c) biaya untuk pengolahan akan sangat tinggi dan lebih membutuhkan pemeliharaan yang intensif, jika limpasan dialirkan langsung sampai ke lokasi pembuangan untuk kemudian diolah.
(d) Tingkat ekonomis yang lebih tinggi, kemungkinan pengelolaan kualitas air hujan adalah pada sumber dari limpasan.
c) Hujan Ringan perlu menjadi Perhatian. Volume hujan dengn intensitas ringan teruslah
meningkat. Karena frekuensinya, hujan ringan, berarti ukuran hujan berulang-ulang sekali
setiap dua tahun lebih meningkat frekuensinya, menjadi sangat banyak dalam total limpasan
(debit) sepanjang waktu. Di daerah hilir seperti kawasan pesisir dan teluk, hujan ringan dapat
mencapai 80% dari curah hujan total tahunan. Dengan mentargetkan pada pengelolaan
hujan ringan, curah hujan dapat dikelola untuk kualitas air melalui suatu sistem pengolahan
air yang yang relatif lebih kecil. Dengan pengelolaan hujan ringan (yang ternyata
frekuensinya yang tinggi) akan memberi kontribusi yang lebih besar dalam pemulihan
pencemaran air. Dimasa lalu, pengelolaan hujan lebih fokus secara eksklusif pada
pengendalian banjir (pengendalian hujan lebat), didalam dalam perancangan hanya ditujukan
untuk perlindungan terhadap banjir dan para perancang telah melalaikan aliran hujan ringan
dan dampaknya. Dengan kewaspadaan betapa pentingnya penanganan hujan ringan bagi
kegiatan perlindungan kualitas air, perencana akan mempertimbangkan hujan ringan, karena
frekuensinya dan kumulatif dampaknya, sama seperti hujan lebat yang tidak sering terjadi.
Gambar 2. Ilustrasi perbandingan biaya pengelolaan hujan sejak di sumber sampai di
pembuangan[2].
d) Sederhana tapi efektif. Karena dalam banyak pengelolaan hujan (saluran Drainase) secara
umum lebih fokus kepada masalah yang lebih kompleks, sistem yang lebih besar, kecil, solusi
sederhana kelihatan sekilas kurang efektif. Hingga kini solusi sederhana hanya bisa menjadi
efektif bilamana harus melalui analisis rekayasa (hidraulik) yang lebih teliti dari pendekatan
yang kompleks. Perbedaannya adalah bahwa sistem yang sederhana secara umum
menggunakan teknologi material yang sederhana dan menggunakan material alamiah yang
menyatu dengan lanskap kawasan, lebih baik dari proses mekanis atau buatan manusia
lainnya dalam pengelolaan hujan.
e) Pendekatan secara terpadu. Sistem pengelolaan hujan (saluran Drainase) dapat menjadi
salah satu elemen organisasi dalam perencanaan (tata ruang) dan desain. Daerah resapan,
drainage swales, dan daerah-daerah retensi dapat diintegrasikan kedalam suatu lokasi
perencanaan yang dapat mengembangkan estetika kawasan dan disiapkan sebagai
sumberdaya bagi kegiatan rekreasi. Sebagai contoh, suatu lansekap kawasan, jika terdapat
parit alamiah dapat juga digunakan sebagai kolam detensi sementara. Parit alamiah
(tumbuhan) dapat ditanami dengan berbagai vegetasi pinggir sungai. Jalan kecil dapat
diletakan disamping parit alamiah, menciptakan sabuk hijau yang menarik yang
mencerminkan bentuk lahan yang alami. Suatu area yang berpasir dapat bertindak sebagai
suatu tempat bermain anak-anak di musim kemarau, tetapi menjadi suatu kolam resapan
dangkal diwaktu musim hujan. Konsumen properti dan pelaku bisnis secara konsisten
menetapkan pengelolaan air hujan sebagai salah satu prasyarat dalam pemilihan lokasi
perumahan maupun daerah bisnis. Suatu disain jaringan dari kolam-kolam dengan parit
alamiah, bila dipelihara secara hati-hati dan ditanami dengan jenis tumbuhan yang menarik,
dapat menjadi salah satu nilai plus dalam meningkatkan daya saing dengan kompetitor bisnis
properti dan daerah komersil lainnya.
Rencana lokasi yang terpadu secara umum akan menghasilkan satu rangkaian prasarana dan
sarana pengelolaan Drainase lebih kecil dibanding suatu waduk pengendalian banjir yang
besar diujung seperti dalam sistem Drainase tradisional. Pendekatan yang terpadu ini tidak
hanya mengurangi biaya dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan, tetapi juga
memaksimalkan nilai-nilai lahan, meningkatkan kelaikan pasar, menambah daya tarik secara
estetika, dan tersedianya peluang tempat rekreasi.
2. Bertindak berdasarkan prioritas
Prioritas penanganan agar difokuskan dalam menangani suatu kawasan/ruas/segmen sungai, saluran
Drainase dan atau badan air lainnya, yang mana disitu rawan terjadi pencemaran air, sampah
perairan, banjir dan genangan. Selain kawasan/ruas/segmen tersebut terjadi tekanan terhadap
perubahan tata guna lahan dengan cepat (kepadatan penduduk dan bangunan yang tinggi), terdapat
permasalahan pencemaran air, sampah sungai dan banjir yang tidak tertangani, dan memiliki nilai
sumber daya ekologi yang tinggi.
Untuk kondisi suatu kota dengan sungai dan atau saluran Drainasenya yang kategori indeks
pencemaran air-nya (IP) telah masuk klasifikasi kategori cemar berat dan cemar sedang, perlu
segera dilakukan kegiatan yang sifatnya responsif dan intervensi serta pemulihan. Untuk sasaran
atau lokasi yang akan ditangani adalah berdasarkan prioritas penanganan. Penetapan prioritas
penanganan adalah berdasarkan hasil penilaian dengan menggunakan perangkat penilaian (scoring
tools), sebagaimana terlampir.
3. Pendekatan manajemen bencana
Kondisi banjir dan Pencemaran Air akibat sampah dan limbah cair perkotaan yang masuk ke saluran
Drainase dapat digolongkan sebagai kondisi bencana sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.
7 Tentang Sumber Daya Air Tahun 2004. Sehingga strategi pendekatan yang dapat dilakukan dalam
pengelolaan Drainase adalah strategi pendekatan manajemen bencana (Disaster Management) yang
bersifat menyeluruh dan terpadu.
Pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) dilakukan secara bertahap,
dari pencegahan sebelum terjadi pencemaran air dan penumpukan sampah perairan (prevention),
penanganan saat pencemaran air dan penumpukan sampah perairan (response/intervention), dan
pemulihan setelah terjadi pencemaran air dan penumpukan sampah perairan (recovery). Tahapan
tersebut berada dalam suatu siklus kegiatan penanggulangan bencana pencemaran air dan
penumpukan sampah perairan yang berkesinambungan, sebagaimana digambarkan pada Gambar 3
yang mencakup beberapa jenis kegiatan seperti ditunjukkan dalam Tabel.
Kegiatan Pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) mengikuti suatu
siklus (life cycle), yang dimulai dari terjadinya pencemaran air dan penumpukan sampah perairan,
kemudian mengkajinya sebagai masukan untuk pencegahan (prevention) sebelum bencana
pencemaran air dan penumpukan sampah perairan terjadi kembali. Pencegahan dilakukan secara
menyeluruh, berupa kegiatan fisik seperti pembangunan saringan sampah dan unit pengolahan air
limbah di wilayah sungai (in-stream) sampai wilayah DAS (off-stream), dan kegiatan non-fisik seperti
sosialisasi 3R.
(Carter, 1991; Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, 2005).[3]
Gambar 3. Siklus Pengelolaan Bencana
Tabel 1. Kegiatan dalam Siklus Pengelolaan Drainase Berwawasan Lingkungan (ecodrain)
SIKLUS KEGIATAN
PENCEGAHAN (Prevention)
Upaya-upaya Struktural
Upaya di dalam badan sungai/saluran/waduk (In-Stream)
Upaya di luar badan sungai/saluran/waduk (Off-Stream)
Upaya-upaya Non-struktural
Upaya pencegahan pencemaran air dan sampah perairan (termasuk sedimen) Jangka Panjang.
Upaya Pengelolaan bencana pencemaran air dan sampah perairan (termasuk sedimen) dalam Jangka Pendek.
PENANGANAN (Intervention/Response)
Reaksi cepat dan penanganan darurat pencemaran air dan sampah perairan dengan:
Pembangunan dan pengadaan saringan sampah mekanis atau manual.
Pembangunan pengolahan kualitas air dengan teknik bioremediasi, dan atau teknik fisika-biologi-kimia lainnya dan sedimen dengan mekanis maupun manual.
Reaksi cepat dan penanganan kesehatan masyarakat akibat waterborne diseases.
PEMULIHAN
(Recovery)
Bantuan kesehatan masyarakat, pemulihan kualitas air dan penanganan sampah perairan
Pembersihan sampah perairan pasca bencana pencemaran air dan atau banjir.
Bantuan pemulihan kesehatan masyarakat.
Penutupan outlet buangan pabrik / komersial area yang potensial pencemar perairan.
Penilaian kerusakan/kerugian akibat bencana pencemaran air/sampah perairan.
Identifikasi dan kajian penyebab terjadinya bencana pencemaran air/sampah perairan.
Sumber : Hasil rumusan diskusi dengan nara sumber, 2007.
Bilamana telah terjadi kondisi darurat bencana pencemaran air, sedimen dan sampah sungai maka
strategi penanganan (intervensi dan responsif) adalah dimulai dari (segmen) hilir yang secara
bertahap bersamaan dengan adanya pemulihan kualitas air menuju ke (segmen) lebih hulu.
4. Ujicoba solusi dan menghemat biaya dengan manajemen pengelolaan adaptif dan
berkelanjutan
Pelaksanaan kegiatan proyek percontohan kegiatan ecodrain yang diujicobakan di Kota Bandung,
Surabaya, Denpasar dan Badung merupakan bagian dari proses ujicoba solusi penanganan saluran
Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan. Diharapkan dari berbagai permasalahan, kendala
dan keberhasilan sejak proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian pelaksanaan dan monitoring
evaluasi kegiatan ecodrain di kota-kota tersebut dapat menjadi suatu pembelajaran ( lesson learned)
bagi pelaksanaan kegiatan serupa dikota lain.
Aplikasi berbagai teknologi dan solusi permasalahan kegiatan ecodrain selanjutnya agar tidak hanya
efektif tetapi juga efisien secara waktu dan pembiayaan dalam suatu konsep pengelolaan yang
fleksibel dan adaptif dengan kondisi dan karakteristik permasalahan yang ditemui.
2.1.1. Pelingkupan Kegiatan Ecodrain
Dalam proses pelingkupan kegiatan ecodrain didasarkan pada faktor-faktor sebagai berikut:
1. Sifat penanganan. Kegiatan ecodrain terdiri dari kegiatan yang sifatnya kuratif/darurat (emergency)
dan pencegahan (prevention).
2. Sumber pencemar air dan sampah perairan. Karena dari hasil studi-studi terdahulu sumber
pencemar air dan sampah perairan berasal dari seluruh wilayah daerah aliran sungai (DAS atau DPS),
maka lingkup pelaksanaan kegiatan ecodrain dapat meliputi seluruh wilayah daerah aliran sungai,
sampai dengan wilayah kewenangan dan tanggung jawab pelaku (stakeholders) Drainase Kota.
Dimana kawasan yang prioritas ditangani adalah kawasan-kawasan strategis perkotaan seperti
kawasan permukiman, kawasan perkantoran pemerintahan, daerah komersial dan industri, serta
kawasan yang berada di wilayah bantaran sungai dan / atau daerah dataran banjir (flood plain). Perlu
dicermati pula menyangkut tanggung jawab wilayah keairan dimana, kegiatan ecodrain dilakukan
pada sungai orde 2, 3, 4 dan /atau sistem Drainase kota saluran sekunder, tersier dan kuarter.
3. Prioritas penanganan. Untuk prioritas lokasi yang akan ditangani adalah berdasarkan hasil
identifikasi terhadap ketegori indeks pencemaran (IP) dan hasil penilaian pembobotan (scoring)
tingkat urgensi penanganan.
Lebih jelasnya pelingkupan kegiatan ecodrain dapat dilihat pada tabel matriks pengelolaan saluran
Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain).
Untuk kondisi dengan indeks pencemaran (IP) = kategori cemar berat (> 10) dan cemar sedang ( 5 < IP ≤
10) dan hasil penilaian pembobotan (scoring) total ≥ 75 maka prioritas urutan lokasi penanganan sebagai
berikut:
1. Prioritas pertama= segmen hilir/muara.
2. Prioritas kedua= segmen tengah.
3. Prioritas ketiga= segmen hulu/sumber.
Untuk kondisi dengan indeks pencemaran (IP) = kategori cemar ringan (1 < IP ≤ 5) dan Baik (0 < IP ≤ 1)
dengan hasil penilaian pembobotan (scoring) total = 45 < S < 75 maka prioritas urutan lokasi penanganan
sebagai berikut:
1. Prioritas pertama= segmen hulu/sumber.
2. Prioritas kedua= segmen tengah.
3. Prioritas ketiga= segmen hilir/muara.
Lebih jelasnya lingkup pelaksanaan kegiatan ecodrain dapat dilihat pada Gambar 4.
[1] Start at the Source Design Guidance Manual for Stormwater Quality Protection, Bay Area Stormwater Management Agencies Association (BASMAA), 1999 Edition.
[2] Start at the Source Design Guidance Manual for Stormwater Quality Protection, Bay Area Stormwater Management Agencies Association (BASMAA), 1999 Edition., p. 10.
[3] Carter, W.N., 1992. Disaster Management (A Disaster Managers Handbook) dan Pengelolaan Bencana Jawa Tengah, Pemprov Jawa Tengah dalam Kodoatie Robert J. & Roestam Syarief, “Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu”, Edisi ke-1, ANDI OFFSET, halaman 246.
0 comments share
Workshop Ecodrain Jun 17, '08 11:52 PM
for everyone
Terkait dengan kegiatan penyusunan Pedoman Ecodrain tahun 2007 yang dilaksanakan oleh konsultan PT. DWIKARA ENVACOTAMA yang telah menghasilkan draft pedoman ecodrain maka pada tanggal 12 Juni 2008 bertempat di Hotel Nikko Jakarta, dilaksanakan workshop dalam rangka penyempurnaan draft pedoman ecodrain edisi 2007 yang dihadiri pakar drainase, persampahan, air limbah dari berbagai institusi perguruan tinggi dan asosiasi terkait.Adapun susunan acara acara workshop sebagai berikut:
1. Sambutan dan Pembukaan oleh Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman yang diwakili oleh Dra. Endang Setyaningrum, MT.
2. Panel I
Draf Pedoman Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) oleh Dr.-Ing. Ir. Dwita M, Dipl.HE (Universitas Indonesia)
Pendekatan Ekohidraulik dan Pendekatan Kualitas Air dalam Penanggulangan Banjir dan Kerusakan Lingkungan oleh Ir. S. Hindarko (Praktisi Drainase Perkotaan).
3. Panel II Pengelolaan dan Pengolahan Kualitas Air dan Sedimen dengan Bioremediasi oleh Dr.Ir. Edwan Kardena
(Teknik Lingkungan - ITB Bandung).
Adapun daftar nara sumber dan peserta dalam workshop sebagai berikut:1. Prof. Dr. Ir. Sulistyoweni Widanarko, Dipl. SE, SKM (Pasca Sarjana – UNIVERSITAS
INDONESIA)2. Dr.-Ing.Ir. Dwita SM. DIPL.HE (Teknik Sipil – Universitas Indonesia)
3. Dra. Endang Setianingrum, MT. (Dit. PLP – Ditjen CIPTA KARYA)
4. Ir. Dodi Krispratmadi, M. Env.E. (Dit. PLP – Ditjen CIPTA KARYA)
5. Dr. Ir. Yadi Suryadi, MT. (HATHI)
6. Dr.Ir. Edwan Kardena (TL – ITB)
7. Ir. Iwan Kridasentausa, M.Sc, Ph.D (Teknik Sipil – ITB)
8. Prof. Dr. Ir. Priana Sudjono, MS., Dipl.Eng. (IATPI Pusat)
9. Ir. El Khobar Muhaemin Nazech, M.Eng (Teknik Sipil – Universitas Indonesia)
10. Ir. Ramadhani Yanidar, MT. (Teknik Lingkungan – UNIVESITAS TRISAKTI)
11. Ir. Ariani Dwi Astuti, MT. (Teknik Lingkungan – UNIVESITAS TRISAKTI)
12. Ir. S. Hindarko (PRAKTISI)
13. Dra. Linda Noviana, MSi (Teknik Lingkungan – UNIVESITAS SAHID)
14. Ir. Ninin Gusdini, MT. (Teknik Lingkungan – UNIVESITAS SAHID)
15. Ir. Dwinanti (Direktorat Pengembangan Akademik – UNIVERSITAS INDONESIA)
16. Ir. Bona Hakim P (Dit. PLP – Ditjen CIPTA KARYA)
17. Laili Amanah, ST, MM. (Dit. PLP – Ditjen CIPTA KARYA)
18. Ir. Deetje Bachrum (PT. DWIKARSA ENVACOTAMA)
19. Ir. Eveline Pandoaaga (PT. DWIKARSA ENVACOTAMA)
20. Dra. Era Meiwanti, MSc. (PT. DWIKARSA ENVACOTAMA)
21. Budiartho Saada, ST. (PT. DWIKARSA ENVACOTAMA)
Tags: workshop ecodrain0 comments share
Prinsip-prinsip dalam Pengelolaan Drainase Secara TerpaduJun 17, '08 11:28 PMfor everyone
Permasalahan banjir dan genangan di kawasan perkotaan di Indonesia adalah tidak terlepas dari
permasalahan kualitas air dan persampahan. Dimana di Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan,
Bandung dsb., sungainya mirip dengan got besar yang airnya berwarna kelam dan berbau menyengat
yang disebabkan oleh pencemaran air yang berasal dari limbah cair rumah tangga, pasar, daerah komersil
dan perkantoran, pertanian, dan industri. Selain itupula masalah sampah yang dibuang ke dalam
saluran/sungai juga telah menjadi salah satu faktor penurunan kapasitas dan kualitas air saluran/sungai
dan menjadi salah satu penyebab banjir yang signifikan di daerah perkotaan. Sehingga dalam upaya
pengelolaan Drainase perkotaan dibutuhkan konsep yang terintegral antara upaya pengelolaan Drainase,
pengelolaan kualitas air dan pengelolaan persampahan sungai/saluran.
Dalam pendekatan pengendalian banjir dan pengelolaan Drainase selama ini di Indonesia dikenal metode
pendekatan struktural dan non struktural. Dimana dalam pelaksanaannya, metode struktural lebih
diutamakan dari metode non struktural, yang kondisi ini berbeda dengan di negara maju yang
mengedepankan metode non struktural baru metode struktural, dan pendekatan tersebut merupakan
unsur dalam pendekatan pengelolaan hujan yang secara terpadu.
Pendekatan ini telah mengalami perkembangan dari pendekatan tradisional sebelumnya di masa lalu,
yang hanya berbasis pendekatan dalam lingkup rekayasa hidraulik murni menuju pendekatan pengelolaan
secara terpadu dengan turut memperhatikan aspek lingkungan dalam pengelolaan. Evolusi dari
pendekatan tradisional menuju pendekatan terpadu dipaparkan sebagai berikut:
Pendekatan Pengelolaan Drainase tradisional:
Pendekatan Pengelolaan Drainase
secara terpadu:
Sistem Drainase Reaktif (penyelesaian masalah) Dikendalikan oleh rekayasa
teknis (hidraulik) saja Perlindungan pada properti Pipa dan saluran Birokrasi kebijakan masih kaku. Menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah Menjurus pada Lingkup kerja
(fokus pada Drainase saja)
Ekosistem Proaktif (prefentif masalah) Dikendalikan oleh tim yang
Interdisiplin. Perlindungan pada properti dan
sumberdaya air. Meniru proses alamiah. Kebijakan berbasis konsensus. Tanggungjawab bersama dengan
pelaku lainnya. Lingkup kerja yang holistik
(pengelolaan Drainase yang integratif dengan tata ruang).
Pedoman prinsipil dalam penerapan pengelolaan Drainase secara terpadu terdiri dari 5 (lima) poin
pedoman yang prinsipil, sebagai berikut:
1. Prinsip pedoman 1 – Pemahaman bahwa hujan adalah sumberdaya
Air hujan tidak dapat dilihat hanya sebagai suatu sistem Drainase dan atau isu-isu pengendalian
banjir tapi dapat dipandang sebagai suatu sumberdaya guna:
Habitat hidup ikan dan spesies perairan lainnya.
Groundwater recharge (terutama di musim kemarau dan bagi cadangan air).
Sumber air bersih (terutama untuk PDAM dan keperluan irigasi pertanian).
Estetika dan wisata air.
2. Prinsip pedoman 2 – Perencanaan dibuat mencakup keseluruhan tingkatan karakteristik
hujan (hujan ringan, lebat dan sangat lebat)
Solusi pengelolaan hujan secara terpadu di suatu kawasan perencanaan secara praktis menampilkan:
Daerah resapan air untuk curah hujan ringan (untuk mereduksi volume limpasan dan
pengendalian kualitas air). Resapan air untuk keperluan infiltrasi dan atau untuk
penggunaan lainnya.
Pengendalian limpasan untuk curah hujan lebat (reduksi debit limpasan) – Debit limpasan
lebat perlu di tampung dan secara perlahan-lahan di alirkan sesuai kondisi alamiah.
Manajemen Pengendalian Banjir untuk curah hujan sangat lebat (aliran puncak dialirkan
pada saluran Drainase yang telah dipersiapkan) – Perlu dipastikan bahwa sistem Drainase
yang ada adalah dapat melayani debit banjir besar ekstrim (sebagai contoh dengan desain
prasarana sarana dengan waktu ulang 100 tahunan).
Gambar 1. Strategi Pengelolaan Drainase Secara Terpadu dalam Pengelolaan Hujan berbagai Spektrum Kejadian Hujan Secara Lengkap[1]
3. Prinsip pedoman 3 – Bertindak berdasarkan prioritas pada suatu DAS yang rawan
Prioritas penanganan agar difokuskan dalam menangani Drainase suatu kawasan yang mana disitu
terdapat tekanan bagi perubahan tata guna lahan dan dibutuhkan segera suatu arahan penanganan.
Selanjutnya yang lainnya adalah:
Memiliki nilai sumberdaya ekologi yang tinggi, atau
Terdapat permasalahan Drainase yang tidak tertangani.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kesehatan DAS, berdasarkan prioritas penanganan
sebagai berikut:
Perubahan fungsi hidrologi
Gangguan dan atau hilangnya eksistensi kawasan bantaran sungai
Degradasi dan atau hilangnya habitat perairan sungai.
Memburuknya kualitas air.
Kebijakan manajemen pengelolaan Drainase dan teknis penanganan di DAS yang rawan dapat
menjadi proyek percontohan.
4. Prinsip pedoman 4 – Perencanaan disusun pada 4 skala – Regional, DAS, lingkungan, dan
kawasan
Pengelolaan hujan secara terpadu mengagendakan perencanaan jangka panjang pada tiap skala baik
regional, DAS, lingkungan maupun kawasan:
Pada skala regional dan DAS – menetapkan tujuan dan prioritas pengelolaan hujan.
Pada skala lingkungan – mengintegrasikan tujuan pengelolaan hujan kedalam komunitas dan
proses perencanaan lingkungan.
Pada skala kawasan – melaksanakan perencanaan teknis pada kawasan dengan mereduksi
volume dan debit limpasan serta mengembangkan kualitas air.
5. Prinsip pedoman 5 – Ujicoba solusi dan menghemat Biaya dengan manajemen pengelolaan
adaptif
Target pencapaian dan pelaksanaan manajemen hujan dapat dioptimalkan setiap waktu didasarkan
pada:
Pemantauan kinerja proyek-proyek demonstratif.
Strategi pengumpulan data dan modeling.
Untuk mencapai kinerja yang diharapkan perlu dilakukan evaluasi secara berkala, sehingga program
pengelolaan hujan dapat diterima.
[1] Stormwater Planning : A Guidebook for British Columbia, Ministry of Water, Land and Air Protection, Canada, May 2002, p. ES-4.
Tags: konseptual ecodrain
0 comments share
Mengapa Perlu Pengembangan Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan?
Jun 17, '08 11:23 PMfor everyone
Pengelolaan Drainase perkotaan dan perdesaan di Indonesia saat ini secara umum dapat dikatakan telah
mengalami kegagalan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kejadian-kejadian yang melanda dihampir semua
kota seperti kejadian banjir, genangan dan pencemaran air serta permasalahan ikutannya seperti
kerusakan habitat perairan (terumbu karang, pantai dan sungai), berkembangnya penyakit yang berasal
dari perairan (waterborne deases), kerugian ekonomi dan keuangan akibat banjir dan masalah kesehatan,
dlsb menjadikan kegagalan pengelolaan Drainase menjadi permasalahan yang membutuhkan
penyelesaian yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.
Akumulasi antara dampak kesalahan dalam pengelolaan hujan dan kesadaran lingkungan tersebut
memberikan inspirasi untuk mengembangkan model pengelolaan Drainase, yakni dengan pendekatan
ecodrain. Pendekatan ini dapat disebut juga dengan pendekatan integralistik dengan implementasi berupa
usaha untuk melakukan pengelolaan Drainase secara komprehensif dan terpadu serta memasukan faktor
ekologi/lingkungan dalam setiap usaha pengelolaan Drainase.
Menurut Maryono (2001)[1] yang mengusulkan Konsep Eko-Drainase (Eco-Drainage Concept) yaitu,
“Release of excess water to the rivers at an optimal time which doesn’t cause hygenic and flood
problems”; Eko-Drainase diartikan suatu usaha membuang/mengalirkan air kelebihan ke sungai dengan
waktu seoptimal mungkin sehingga tidak menyebabkan terjadinya masalah kesehatan dan banjir di sungai
terkait (akibat kenaikan debit puncak dan pemendekan waktu mencapai debit puncak). Dari pengertian ini
dapat diuraikankan ada 2 (dua) pendekatan yang digunakan dalam konsep eko-Drainase yakni
pendekatan eko-hidraulik, yakni pengelolaan Drainase yang dilakukan dengan memperhatikan fungsi
hidraulik dan fungsi ekologi, serta pendekatan kualitas air, yakni upaya meminimalkan dan atau
meniadakan pencemaran air yang dapat menyebabkan masalah kesehatan bagi manusia dan flora-fauna.
Konsep ecodrain merupakan salah satu unsur dari konsep pengelolaan hujan integratif (Integrated Stormwater Management). Pengelolaan secara integratif ini bukan hanya diartikan secara administratif dari hulu ke hilir, namun juga harus diartikan secara substantif menyeluruh menyangkut seluruh aspek yang berhubungan dengan Drainase, yang meliputi semua aspek; aspek teknis operasional pengelolaan Drainase, kelembagaan/institusi, keuangan/pembiayaan, peran masyarakat dan atau swasta dan hukum
peraturan.
[1] Maryono, Agus Dr-Ing.Ir, Eko-Hidraulik Pembangunan Sungai : Menanggulangi Banjir dan Kerusakan Lingkungan Wilayah Sungai, Edisi ke-2, Penerbit, Magister Sistem Teknik Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2005. halaman 28.
Tags: mengapa ecodrain?