Download - unud-894-605556956-4. bab iv rev.pdf
47
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil dan pembahasan dari data-
data yang diperoleh di lapangan. Data tersebut telah disesuaikan dengan rumusan
masalah dari penelitian ini. Sub bab yang akan dibahas pada bab ini adalah,
gambaran umum Kecamatan Denpasar Barat, kondisi infrastruktur permukiman
kumuh di Kecamatan Denpasar Barat, proses pengadaan infrastruktur dan pihak-
pihak yang terkait didalamnya, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi
infrastruktur tersebut.
4.1 Gambaran Umum Kecamatan Denpasar Barat
Kecamatan Denpasar Barat berada pada bagian barat wilayah Kota
Denpasar yang merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kotamadya
Denpasar, dengan luas wilayah 2.413 Ha.
4.1.1 Kondisi geografis Kecamatan Denpasar Barat
Kecamatan Denpasar Barat terletak pada 08036’24”-08041’59” lintang
selatan dan 115010’23”-115014’14” bujur timur. Adapun batas-batas Kecamatan
Denpasar Barat adalah sebagai berikut:
1) Utara : Kecamatan Denpasar Utara dan Kecamatan Mengwi
2) Barat : Kecamatan Kuta Utara
3) Selatan : Kecamatan Kuta dan Denpasar Selatan
4) Timur : Kecamatan Denpasar Timur dan Denpasar Utara
48
Gambar 4.1 Peta orientasi Kecamatan Denpasar Barat
Sumber : Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Denpasar Barat
tahun 2010
49
Gambar 4.2 Peta administrasi Kecamatan Denpasar Barat
Sumber : Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Denpasar Barat
tahun 2010
50
Bentuk lahan di Kecamatan Denpasar Barat berupa relief datar dan dataran
fluvial dengan ketinggian tempat antara 0-25 m dpl. Seluruh wilayah Kota
Denpasar beriklim tropis sehingga hanya dikenal dua musim, yaitu musim hujan
bulan Oktober-April dan musim kemarau bulan April-Oktober. Jumlah curah
hujan tahun 2005 sekitar 1819 mm, dengan curah hujan bulanan berkisar antara
3-425 mm dan rata-rata 151,6 mm. Temperatur rata-rata pada tahun 2005 berkisar
antara 25,4 º C-28,7 º C.
Berdasarkan aspek geologi dan tata lingkungan, kawasan ini cukup aman
dari bahaya erosi yang relatif kecil karena wilayahnya relatif datar. Namun karena
kawasan memiliki cekungan terutama di Kawasan Pemecutan Kelod, maka aliran
drainase menumpuk pada kawasan tersebut, sehingga selalu mengalami genangan
bila terjadi hujan. Jenis tanah kawasan terdiri dari latosol coklat kekuningan yang
penyebarannya menempati hampir seluruh kawasan.
Sistem Sungai yang terdapat di Kecamatan Denpasar Barat merupakan
bagian dari sungai di wilayah Kota Denpasar dan wilayah Kabupaten Badung.
Sungai-sungai di Kecamatan Denpasar Barat terdiri atas:
a) Sistem Tukad Mati dengan anak-anak sungainya mencakup Tukad Tebe,
Pangkung Kedompang, Tukad Lebak Muding, Pangkung Subak
Srogsogan, Pangkung Danu.
b) Sistem Tukad Badung dengan anak sungainya mencakup Tukad Jurang,
Tukad Langon, Tukad Medih, Tukad Rarangan.
Berdasarkan peta hidrogeologi Bali, wilayah Kecamatan Denpasar Barat
memiliki kandungan air tanah yang mepunyai kandungan setempat 10 lt/det.
51
Keterdapatan mata air di Kecamatan Denpasar Barat ditemukan di daerah aliran
sungai pada bagian hulu dan tengah Tukad Badung dan bagian hulu Tukad Mati
dengan debit yang relatif kecil namun mempunyai kontribusi yang nyata terhadap
kontinuitas aliran sungai yang mewadahi. Manfaat mata air tersebut terutama
adalah untuk fungsi sebagai pebejian (pemandian), dan pemasok air minum yang
langsung dimanfaatkan oleh lingkungan pemukiman serta untuk pengambilan air
suci di campuhan Tukad Badung dengan Tukad Ayung.
4.1.2 Kondisi demografi Kecamatan Denpasar Barat
Kecamatan Denpasar Barat terdiri dari 3 kelurahan dan 8 desa yaitu,
Kelurahan Padang Sambian, Kelurahan Pemecutan, Kelurahan Dauh Puri, Desa
Pemecutan Klod, Desa Padang Sambian Kaja, Desa Padang Sambian Klod, Desa
Dauh Puri Kangin, Desa Dauh Puri Klod, Desa Dauh Puri Kauh, Desa Tegal
Kerta, dan Desa Tegal Harum. Kecamatan Denpasar Barat juga terbagi atas 98
banjar adat yang tersebar pada masing-masing desa ataupun kelurahan, serta
terdiri dari 111 banjar/dusun/lingkungan.
Tabel 4.1 Jumlah dusun/lingkungan di Kecamatan Denpasar Barat
No Desa/
Kelurahan
Luas
(Ha)
Jumlah
Dusun/Lingkungan
1 Desa Padang Sambian Klod 412 12
2 Desa Pemecutan Klod 450 15
3 Desa Dauh Puri Kauh 190 7
4 Desa Dauh Puri Klod 188 11
5 Kelurahan Dauh Puri 60 8
6 Desa Dauh Puri Kangin 59 5
7 Kelurahan Pemecutan 186 15
8 Desa Tegal Harum 50 8
9 Desa Tegal Kertha 35 8
10 Kelurahan Padang Sambian 374 13
11 Desa Padang Sambian Kaja 409 9
JUMLAH 2,413 111
Sumber : Kecamatan Denpasar Barat dalam Angka, 2012
52
Berdasarkan registrasi penduduk Kecamatan Denpasar Barat tahun 2011,
jumlah penduduk di Kecamatan Denpasar Barat adalah 234.182 jiwa, terdiri dari
119.846 jiwa laki-laki dan 114.336 jiwa perempuan. Kepadatan penduduk di
Kecamatan Denpasar Barat pada tahun 2011 adalah 9.705 jiwa/km². Pertumbuhan
penduduk cukup tinggi terutama disebabkan oleh mutasi penduduk dari luar Kota
Denpasar sebagai kensekuensi dari ditetapkannya kawasan Denpasar Barat
sebagai pusat pengembangan permukiman dan perumahan. Pada Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar, Kecamatan Denpasar Barat ditetapkan
antara lain sebagai Kawasan Perdagangan Regional, Kawasan Pengembangan
Permukiman (1.358,86 Ha) dan Kawasan Terbuka Hijau (Profil Kecamatan
Denpasar Barat, 2011).
Tabel 4.2 Jumlah penduduk di Kecamatan Denpasar Barat tahun 2011
No. Desa/ Kelurahan
Luas
Wilayah
(km²)
Rumah
Tangga
Jumlah
Penduduk
Kepadatan
Penduduk
per km²
1 Kelurahan Padang Sambian 3,70 10 131 36 404 9 838,92
2 Kelurahan Pemecutan 1,86 5 954 21 536 11 578,49
3 Kelurahan Dauh Puri 0,60 2 712 9 255 15 425,00
4 Desa Pemecutan Klod 4,42 14 777 46 494 10 519,00
5 Desa Padang Sambian Kaja 4,09 5 970 20 923 5 115,65
6 Desa Padang Sambian Klod 4,12 6 994 24 365 5 913,83
7 Desa Dauh Puri Kangin 0,59 1 061 3 671 6 222,03
8 Desa Dauh Puri Kauh 1,90 7 363 22 097 11 630,00
9 Desa Dauh Puri Klod 1,88 4 868 15 445 8 215,43
10 Desa Tegal Kerta 0,35 5 686 20 412 58 320,00
11 Desa Tegal Harum 0,62 3 534 13 580 21 903,23
TOTAL : 24,13 69 050 234 182 9 705,01
Sumber : Denpasar Barat dalam Angka 2012
Berdasarkan RDTR Kecamatan Denpasar Barat tahun 2010, laju
pertumbuhan penduduk Kota Denpasar adalah 1.94%/thn, sedangkan laju
pertumbuhan penduduk Kecamatan Denpasar Barat lebih kecil dari rata-rata Kota
53
Denpasar yaitu 1,86%/thn. Desa/kelurahan yang paling tinggi laju
pertumbuhannya adalah Kelurahan Dauh Puri, Desa Padang Sambian kelod, Desa
Tegal Harum dan Desa Tegal Kertha. Selanjutnya berdasarkan hasil proyeksi,
maka jumlah penduduk Kota Denpasar tahun 2030 adalah 710.212 jiwa dan untuk
Kecamatan Denpasar Barat dipekirakan adalah 131.927 jiwa.
Gambar 4.3 Peta pemanfaatan ruang Kecamatan Denpasar Barat tahun 2010
Sumber : Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Denpasar Barat
tahun 2010
54
4.1.3 Kondisi infrastruktur Kecamatan Denpasar Barat
Secara garis besar kondisi infrastruktur di Kecamatan Denpasar Barat
dibagi menjadi beberapa aspek yaitu jaringan transportasi, jaringan air bersih,
jaringan drainase, pengelolaan limbah, serta persampahan. Berikut adalah jabaran
dari masing-masing aspek infrastruktur tersebut:
1. Transportasi
Sistem transportasi di Kecamatan Denpasar Barat merupakan bagian dari
sistem transportasi Kota Denpasar, Kawasan Metropolitan Sarbagita dan Provinsi
Bali. Dengan demikian di wilayah Kecamatan Denpasar Barat terdapat jaringan
jalan nasional, jaringan jalan provinsi dan jaringan jalan kota.
Perkembangan panjang jalan dan kondisi jalan di Kecamatan Denpasar
Barat cukup pesat, hal ini disebabkan antara lain dengan dibukanya land
consolidation di wilayah Kecamatan Denpasar Barat. Seluruh desa/kelurahan
serta dusun/banjar di Kecamatan Denpasar Barat sudah dapat dijangkau oleh
kendaraan dengan kondisi jalan yang cukup baik.
55
Gambar 4.4 Jaringan jalan Kecamatan Denpasar Barat tahun 2010
Sumber : RDTR Kecamatan Denpasar Barat tahun 2010
56
2. Jaringan air bersih
Jaringan air bersih di Kota Denpasar dilayani Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) Denpasar dan sebagian PDAM Badung. Tingkat pelayanan
PDAM Denpasar tahun 2006 mencapai 44% atau 266.620 jiwa yang meliputi
53.324 Sambungan Rumah dari total 61.887 sambungan. Sisanya masih
menggunakan sumur pompa dan sumur.
Sumber air baku PDAM Denpasar berasal dari Instalasi Pengolahan Air
(IPA) dan sumur dalam. IPA dilayani oleh IPA Ayung-3 dengan kapasitas 550
lt/dt dan IPA Waribang kapasitas 150 lt/dt. Sumur dalam dilayani 14 buah sumur
bor PDAM. Kapasitas total jaringan PDAM Denpasar adalah 1.115 lt/dt.
Kota Depasar sebagai kota yang sangat berkembang, kota Inti dari
Kawasan Metropolitan Sarbagita, dan Kota Pariwisata Internasional akan
membutuhkan tingkat pelayanan air bersih yang mencukupi di masa datang,
sesuai proyeksi peningkatan jumlah penduduk, serta untuk mengakomodasi
kebutuhan penduduk pendatang dan wisatawan yang ada di Kota Denpasar.
Dengan demikian perlu diantisipasi kebutuhan air bersih sampai tahun 2026.
Untuk memperkirakan kebutuhan air bersih penduduk di Kota Denpasar pada
akhir tahun perencanaan dihitung berdasarkan standar dan asumsi kebutuhan air
bersih di kawasan perkotaan dan modifikasi, yaitu:
a) Standar kebutuhan air bersih perkotaan untuk kebutuhan domestik adalah
150 liter/orang/hari.
b) Kebutuhan air untuk kegiatan perdagangan dan jasa/perkantoran
diasumsikan sebesar 10% dari kebutuhan domestik.
57
c) Kebutuhan air untuk kegiatan kepariwisataan diasumsikan sebesar 20%
dari kebutuhan domestik.
d) Kebutuhan air untuk fasilitas sosial diasumsikan sebesar 10% dari
kebutuhan domestik.
e) Faktor kehilangan air bersih akibat kebocoran yaitu 20% dari total
keseluruhan.
3. Jaringan drainase
Sistem drainase di Kecamatan Denpasar Barat terdiri dari 2 sistem
pembuangan utama (primer) yaitu :
a. Sistem I (sistem saluran pembuangan Tukad Badung)
Sistem pembuangan I yaitu sistem Tukad Badung dengan Saluran Induk
Tukad Badung, batas-batas sistem ini adalah sebelah utara adalah batas Kota
Denpasar, sebelah selatan Tukad Klandis dan Pantai Suwung, sebelah timur JI.
Nangka dan Tukad Klandis, sebelah Barat Jl. Cokroaminoto dan JI. Imam Bonjol.
Sistem I (Tukad Badung) ini terdiri dari beberapa sub sistem yaitu:
1) Sub sistem Tukad Klandis, dengan daerah layanan meliputi Desa Sumerta
Kaja, Kelurahan Dangin Puri Kangin, Kelurahan Dangin Puri Kauh,
Kelurahan Dangin Puri Kaja.
2) Sub sistem Tukad Jurang, dengan daerah layanan meliputi Kelurahan
Peguyangan (sebelah Barat Jalan Ahmad Yani), Desa Ubung Kaja,
Kelurahan Dangin Puri Kaja, Desa Pemecutan Kaja.
58
3) Sub sistem, Tukad Medih, dengan daerah layanan meliputi Desa
Peguyangan Kaja, Kelurahan Peguyangan, Kelurahan Tonja, Kelurahan
Dangin Puri kaja, Jalan Gatot Subroto dan sekitarnya.
4) Sub sistem Tukad Badung Hilir, dengan daerah layanan meliputi Desa
Pemecutan, Desa Pemecutan Kelod, Desa Pemogan, Desa Dauh Puri
Kelod, Desa Dauh Puri.
b. Sistem III (sistem saluran pembuangan Tukad Mati)
Sistem pembuangan III adalah sistem Tukad Mati dengan saluran induk
Tukad Mati dengan sub sistem Tukad Teba, Tukad Mati Hulu dan Tukad Mati
Hilir. Batas sistem ini adalah sebelah utara Jalan Cokroaminoto, sebelah selatan
Pantai Suwung, sebelah timur Jalan Cokroaminoto dan Jalan Imam Bonjol,
sebelah barat adalah batas Kota Denpasar. Sistem III Tukad Mati tediri dari:
1) Sub sistem Tukad Teba dengan daerah layanan Kawasan perumahan
Monang Maning dan sekitarnya, Kelurahan Pemecutan, Desa Ubung.
2) Sub sistem saluran Tukad Padang Sambian, dengan daerah layanan Desa
Padang Sambian dan sekitarnya.
3) Sub sistem saluran Jalan Imam Bonjol, dengan daerah layanan Jalan Imam
Bonjol dan sekitarnya.
4) Sub sistem saluran Padang Sambian Kelod yang melayani daerah Padang
Sambian Kelod dan sekitarnya.
4. Pengolahan limbah
Pengelolaan air limbah rumah tangga saat ini masih berupa penanganan
individual dengan membangun septic tank. Beberapa kegiatan dengan skala besar
59
seperti perkantoran, pusat-pusat perdagangan, kawasan perhotelan, rumah sakit
sudah menggunakan sistem pengolahan terpusat di lingkungannya sendiri.
Pengelolaan air limbah saat ini sedang dalam tahap konstruksi untuk melayani
sebagian wilayah Denpasar (5.326 RT) dan sebagian wilayah Sanur (1.821 RT)
melalui Proyek Denpasar Sawage Development Project (DSDP) dengan
mengembangkan jaringan air limbah terpusat, dengan lokasi pengolahan di
Pemogan seluas 10 Ha.
Pada skala lingkungan atau kolektif, introduksi pengelolaan sanitasi
lingkungan (program Sanimas) yang melayani 150-an rumah tangga telah
diperkenalkan oleh lembaga non pemerintahan di Banjar Pekandelan, Banjar
Balun, serta menyusul di Tegal Kerta.
5. Pengelolaan persampahan
Sumber utama timbulan sampah di kawasan perencanaan yaitu sampah
domestik (rumah tangga) dan sampah non domestik meliputi sampah institusional
(sekolah, kantor dll.), sampah komersial (pasar, toko, dll.), sampah aktivitas
perkotaan (penyapuan jalan, lapangan, dll), sampah klinik, sampah industri,
sampah konstruksi, dan lain sebagainya. Sistem penanganan/pengelolaan sampah
Kota Denpasar pada umumnya melalui urutan kegiatan sebagai berikut:
a) Pengumpulan
b) Tahap pengangkutan
c) Tahap pembuangan-open dumping
Pemerintah Kota Denpasar beserta Pemerintah Kabupaten/Kota Sarbagita
telah mengembangkan kerjasama pengelolaan sampah melalui Badan Pengelola
60
Kebersihan Sarbagita (BPKS), yang saat ini tengah dalam persiapan konstruksi
Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) dengan memakai lahan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Suwung seluas 10 Ha.
4.2 Kebijakan Terkait Infrastruktur Perkotaan
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011-2031, menyebutkan
mengenai kebijakan infrastruktur perkotaan dan ketentuan umum zonasi sistem
jaringan infrastruktur perkotaan.
4.2.1 Infrastruktur perkotaan
Pada kebijakan mengenai infrastruktur perkotaan yang akan dipaparkan
adalah tentang sistem jaringan jalan, sistem jaringan air minum kota, sistem
pengelolaan air limbah kota, sistem persampahan kota, dan sistem drainase kota.
a. Sistem jaringan jalan
Sistem jaringan jalan dan pengembangannya, sebagaimana disebutkan
dalam pasal 18 terdiri atas, jalan bebas hambatan, jalan arteri primer, jalan
kolektor primer, jalan lokal primer, dan jalan sistem sekunder. Ruang untuk
jaringan jalan merupakan ruang yang digunakan untuk ruang pengawasan jalan
(ruwasja), ruang milik jalan (rumija) dan ruang manfaat jalan (rumaja) sesuai
kriteria dan ketentuan sistem jaringan jalan. Sistem jaringan jalan dikembangkan
melalui peningkatan kualitas dan peningkatan kuantitas jaringan jalan.
Peningkatan kualitas jaringan jalan yang dimaksud adalah, (1) pemeliharaan dan
peningkatan kualitas pelayanan jaringan jalan termasuk jembatan dan
61
perlengkapannya yang telah ada terdiri dari status jalan nasional, jalan provinsi,
dan jalan kota, penegasan fungsi jaringan jalan antara fungsi primer dan fungsi
sekunder; dan (2) perkerasan seluruh jaringan jalan sesuai standar berdasarkan
status dan fungsinya. Sedangkan peningkatan kuantitas jaringan jalan terdiri atas:
(1) rencana pengembangan jaringan jalan baru untuk memperlancar arus lalu
lintas regional dan kawasan perkotaan sarbagita; (2) rencana pengembangan
jaringan jalan baru di dalam wilayah Kota Denpasar; dan (3) rencana
pengembangan jaringan jalan baru untuk membuka kawasan baru atau jalan
penghubung antar lingkungan di dalam wilayah desa/kelurahan.
b. Sistem jaringan air minum kota
Pada pasal 29 mengenai sistem jaringan air minum kota, menyebutkan
bahwa sistem jaringan air minum kota terdiri dari (1) pengembangan kapasitas
terpasang pada sistem penyediaan air minum kota; dan (2) pemerataan jaringan
distribusi ke pelanggan. Pengembangan kapasitas terpasang pada sistem
penyediaan air minum kota, dilaksanakan melalui: (a) peningkatan pelayanan
instalasi pengolahan air (IPA) yang telah ada terdiri atas IPA Ayung 1, 2 dan 3
dan IPA Waribang 1 dan 2 yang dikelola PDAM Kota Denpasar; (b) penyediaan
air baku estuary dam tahap I seluas 35 Ha, dan pengembangan waduk muara
(estuary dam) tahap II seluas 105 Ha Pemogan; dan (c) pengembangan kerjasama
sistem penyediaan air minum (SPAM) Sarbagitaku, melalui integrasi IPA yang
telah ada dengan pengembangan IPA baru terdiri atas IPA Ayung di Blusung dan
Kesiman, IPA Penet di Tabanan dan IPA Petanu di Gianyar.
62
Pemerataan jaringan distribusi ke pelanggan dilaksanakan melalui: (a)
pemeliharaan peningkatan pelayanan jaringan distribusi yang telah ada; (b)
kerjasama dengan PDAM Gianyar, PDAM Badung dan pihak ketiga untuk
melayani kawasan-kawasan yang tidak terjangkau jaringan distribusi PDAM Kota
Denpasar; dan (c) pengembangan jaringan distribusi baru pada seluruh wilayah
kota; dan (d) penyebaran hidrant-hidrant umum pada seluruh wilayah kota.
c. Sistem pengelolaan air limbah kota
Pada Pasal 30, sistem pengelolaan air limbah kota terdiri atas: (1) sistem
pengelolaan air limbah perpipaan terpusat skala kota melalui jaringan pengumpul
dan diolah serta dibuang secara terpusat; (b) sistem pembuangan air limbah
setempat secara individual maupun berkelompok skala kecil; dan (3) penanganan
air limbah industri ditangani secara kolektif pada lingkup kawasan peruntukan
industri.
Pengembangan sistem pembuangan air limbah perpipaan terpusat (off
site), dilakukan melalui pendayagunaan dan pemeliharaan Instalasi Pengolahan
Air Limbah (IPAL) Suwung Denpasar Selatan melayani sebagian Kawasan Pusat
Kota Denpasar, sebagian Kawasan Denpasar Selatan dan Kawasan Sanur, serta
sebagian Kawasan Kuta (wilayah Kabupaten Badung) pada tahap I dan perluasan
pada kawasan lainnya pada tahap II, dan tahap III. Pada kawasan-kawasan yang
tidak terlayani jaringan air limbah perpipaan terpusat skala kota, dikembangkan
jaringan air limbah komunal setempat (on-site) dalam bentuk program sanitasi
masyarakat (Sanimas) dan bentuk lainnya yang dapat dikelola masyarakat atau
kerjasama dengan pihak lain.
63
d. Sistem persampahan kota
Sistem persampahan kota yang disebutkan pada Pasal 31 terdiri atas: (1)
jenis sampah yang dikelola; (2) penyelenggaraan sistem pengelolaan sampah; dan
(3) penanganan sampah. Jenis sampah yang dikelola terdiri atas: sampah rumah
tangga (tidak termasuk tinja); sampah sejenis sampah rumah tangga; dan sampah
spesifik. Penyelenggaraan sistem pengelolaan sampah terdiri atas: (a)
pengurangan sampah untuk sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah
rumah tangga meliputi pembatasan timbulan sampah (reduce), pendauran ulang
sampah (recycle), pemanfaatan kembali sampah (reuse), perubahan pola pikir
(reimagine), dan perubahan disain pengelolaan (redesign); (b) penanganan
sampah untuk sampah rumah tangga dan sejenis dikelola melalui pemilahan,
pegumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir; dan (c)
pengelolaan sampah spesifik termasuk sampah limbah B3, diatur dengan
Peraturan Walikota.
Penanganan sampah dilaksanakan melalui: (1) sampah rumah tangga,
sampah pasar, sampah rumah makan/restoran dan sampah hotel dikumpulkan oleh
penghuninya atau petugas sampah, setelah melalui tahapan pengurangan sampah,
kemudian diangkut ke transfer depo atau ke Tempat Pembuangan Sementara
(TPS); (2) sampah jalanan dan sampah lainnya dikumpulkan pada tepi jalan
kemudian diangkut dengan sarana pengangkut sampah ke transfer depo; (3)
sebelum ke TPA sampah dari transper depo dan TPS dapat dibawa ke tempat
pengomposan dengan pemilahan sampah terlebih dahulu; (4) sampah di transfer
depo dan TPS diangkut dengan truk sampah ke tempat pemrosesan akhir (TPA)
64
di IPST Suwung; dan (5) pengelolaan sampah dikelola oleh dinas terkait, desa
pakraman, masyarakat atau swasta.
e. Sistem drainase kota
Sistem drainase kota yang disebutkan pada pasal 32 terdiri atas: (1) sistem
jaringan drainase primer; (2) sistem jaringan drainase sekunder; dan (3) sistem
jaringan drainase tersier. Sistem jaringan drainase primer terdiri atas sistem
pengendalian banjir kota dan wilayah yang lebih luas, dilaksanakan sesuai dengan
master plan sistem pengendalian banjir berdasarkan kerjasama antar daerah; dan
saluran pembuangan utama (sistem saluran pembuangan Tukad Badung, sistem
saluran pembuangan Tukad Ayung, sistem saluran pembuangan Tukad Mati,
sistem saluran pembuangan Niti Mandala-Suwung, dan sistem saluran
pembuangan Pemogan).
Sistem jaringan drainase sekunder berupa saluran pembuangan air hujan
terintegrasi dari lingkungan perumahan sampai saluran drainase makro (saluran
primer) dilengkapi bangunan pengontrol genangan, pembuatan konstruksi baru
(turap/senderan irigasi), rehabilitasi/perkuatan saluran alam, operasi dan
pemeliharaan. Sistem jaringan drainase tersier terdiri atas saluran sekunder dan
tersier yang meliputi parit, saluran-saluran di tepi jalan utama dan saluran-saluran
kecil pada kawasan perumahan.
Pengembangan dan peningkatan sistem jaringan drainase, dilakukan
dengan cara: (a) normalisasi aliran sungai-sungai utama dengan membuat
sodetan/saluran diversi dilengkapi bangunan pelimpah samping dan pintu-pintu di
bagian hilir, serta penyaringan/penangkapan sampah; (b) perbaikan dimensi
65
penampang bangunan-bangunan pelengkap seperti jembatan dan gorong-gorong;
(c) kawasan permukiman baru yang dikelola secara pribadi maupun massal, wajib
menyiapkan sistem drainase dan sumur resapan; (d) penerapan persyaratan
koefisien dasar hijau (KDH) dan pembuatan sumur resapan pada setiap persil
pemanfaatan ruang terbangun, sebelum disalurkan kepada drainase kota; (e)
menyediakan jalan inspeksi sebagai ruang gerak pengelolaan saluran; dan (f)
Pengembangan retarding basin (kolam penampung) pada sistem saluran
pembuangan Tukad Mati, long storage (wadah penyimpan) pada sistem saluran
pembuangan Niti Mandala-Suwung dan Pemogan sesuai masterplan drainase
kota.
4.2.2 Ketentuan umum peraturan zonasi infrastruktur kota
Pada kebijakan mengenai Ketentuan Umum Peraturan Zonasi akan
dipaparkan Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Jaringan Transportasi
Darat, Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Penyediaan Air Minum Kota,
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Pengelolaan Air Limbah Kota,
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Persampahan Kota, serta Ketentuan
Umum Peraturan Zonasi Sistem Drainase Kota.
a. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan jalan
Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan jalan pada pasal 71,
terdiri atas: (1) pemanfaatan ruang di sepanjang sisi setiap fungsi jaringan jalan
ditentukan berdasarkan arahan rencana pola ruang; (2) penetapan lebar minimal
ruang manfaat jalan (rumaja), ruang milik jalan (rumija) dan ruang pengawasan
jalan (ruwasja) setiap ruas jaringan jalan sesuai status, fungsi dan kondisi setiap
66
ruas jaringan jalan; (3) pengaturan persimpangan tidak sebidang pada kawasan
padat lalu lintas, setelah melalui kajian ekonomi, teknis dan budaya; (4)
kewajiban melakukan Analisis Dampak Lalu Lintas (Andal Lalin) sebagai
persyaratan izin mendirikan bangunan bagi pemanfaatan ruang di sepanjang sisi
jalan yang berpotensi mengganggu arus lalu lintas; (5) ketentuan umum sempadan
jalan ditentukan berdasarkan atas lebar badan jalan, telajakan, dan lebar halaman
depan bangunan yaitu sama dengan setengan lebar ruang milik jalan ditambah
lebar telajakan dan lebar halaman depan; dan (6) pelarangan kegiatan dan
pemanfaatan ruang pada rumaja, rumija dan ruwasja yang mengakibatkan
terganggunya fungsi jalan.
b. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem penyediaan air minum kota
Ketentuan peraturan zonasi untuk sistem penyediaan air minum kota pada
pasal 76, terdiri atas: lokasi Instalasi Pengolahan Air (IPA) tidak berdekatan
dengan lokasi pengolahan air limbah dan TPA; lokasi Instalasi Pengolahan Air
(IPA) berdekatan dengan sumber air baku atau berada pada posisi yang cukup
optimal untuk terintegrasi dengan jaringan induk air minum antar sistem; dan
adanya lahan cadangan pengembangan di sekitarnya.
c. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem pengelolaan air limbah kota
Pada Pasal 77 ketentuan peraturan zonasi untuk sistem pengelolaan air
limbah kota, terdiri atas: lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) berada di
luar radius kawasan tempat suci; pengembangan jaringan tidak melewati dan/atau
memotong kawasan tempat suci/pura; pembuangan efluen air limbah ke media
lingkungan hidup tidak melampaui standar baku mutu air limbah; dan penataan
67
lokasi, aktivitas dan teknik pengolahan pada Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) Pemogan; Pengembangan sistem jaringan perpipaan komunal setempat
pada beberapa kawasan yang tidak terjangkau sistem perpipaan kota; pemantapan
pengolahan limbah individu pada kawasan perumahan yang tersebar.
d. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem persampahan kota
Pada Pasal 78 Ketentuan peraturan zonasi untuk sistem persampahan kota,
terdiri atas: Ketentuan umum peraturan zonasi Tempat Pemrosesan Sampah
Sementara (TPS); Ketentuan umum peraturan zonasi Tempat Pemrosesan Sampah
Akhir (TPA); dan Ketentuan umum peraturan zonasi pengangkutan sampah.
Ketentuan umum peraturan zonasi TPS terdiri atas: (1) tersedia fasilitas
pemilahan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam penanganan sampah
serta peningkatan efektivitas program 3R (reuse, reduce, recycle); (2) mudah
dijangkau oleh angkutan sampah; (3) tidak berada pada lahan RTH atau sempadan
badan air; (4) memperhatikan aspek lingkungan dan estetika; (5)
memperhitungkan volume sampah dan jangkauan pelayanan; dan (6) mencegah
perembesan air lindi ke dalam air tanah, mata air dan badan air.
e. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem drainase kota
Pada Pasal 79 Ketentuan peraturan zonasi untuk sistem drainase kota,
terdiri atas: (1) pelarangan kegiatan yang mengganggu fungsi pengaliran dan
keamanan lingkungan pada zona sempadan sungai; (2) integrasi sistem jaringan
drainase, untuk menghindari genangan pada beberapa kawasan kota; (3)
pengembangan jaringan drainase pada seluruh jaringan jalan dan terintegrasi
68
dengan jaringan pengumpul; dan (4) pelarangan dan penerapan sanksi denda bagi
kegiatan pembuangan sampah langsung ke sungai.
4.3 Kondisi Eksisting Infrastruktur Permukiman Kumuh
Berdasarkan Keputusan Walikota Denpasar tanggal 23 juli 2012 No.
188.45/509/HK/2012 tentang Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan
Permukiman Kumuh di Kota Denpasar, jumlah titik permukiman kumuh yang ada
di Kecamatan Denpasar Barat adalah 9 titik. Seperti yang telah dijelaskan pada
bab sebelumnya, titik permukiman kumuh yang akan diteliti nantinya sebanyak 3
titik yang berlokasi di Banjar Jematang, Desa Dauh Puri Kauh; Banjar
Pekandelan, Desa Pemecutan Klod; serta Banjar Buana Asri, Desa Tegal Kertha.
Infrastruktur yang akan dijabarkan adalah jaringan jalan, jaringan air bersih,
pengelolaan dan pembuangan limbah (limbah rumah tangga baik limbah padat
maupun limbah cair, limbah yang berasal dari air hujan (drainase), serta limbah
sampah), serta sarana mandi cuci kakus (MCK).
69
Gambar 4.5 Tiga titik permukiman kumuh lokasi penelitian
Kasus 1
Permukiman Kumuh di Br. Jematang,
Desa Dauh Puri Kauh
Kasus 2
Permukiman kumuh di Br. Buana
Asri, Desa Tegal Kertha
Kasus 3
Permukiman kumuh di Br.
Pekandelan, Desa Pemecutan
Kelod
DESA
TEGAL KERTHA
70
4.3.1 Permukiman kumuh Banjar Jematang (kasus 1)
Banjar Jematang merupakan salah satu Banjar Adat yang terdapat di Desa
Dauh Puri Kauh. Penduduk di lingkungan Jematang terdiri dari 40% penduduk
asli dan 60% merupakan penduduk pendatang (Dinas Tata Kota dan Bangunan
Kota Denpasar, 2007). Permukiman kumuh di lingkungan Jematang terletak di
Jalan Nusa Kambangan Gang Dahlia yang muncul sekitar tahun 1990-an. Lahan
permukiman merupakan lahan warisan milik warga asli lingkungan Jematang
yang telah dibagi, kemudian disewakan kepada pendatang (pihak pertama), dan
kemudian pihak pertama menyewakan kembali kepada pihak kedua.
Bertambahnya jumlah penghuni terkait dengan beberapa hal seperti (1)
penambahan jumlah penghuni akibat mengajak teman-teman satu profesi dan
berasal dari daerah yang sama, (2) jumlah anggota keluarga bertambah akibat
datangnya kerabat dari kampung asal dan (3) informasi lokasi permukiman dari
teman sehingga pada akhirnya tinggal pada lokasi yang sama. Kondisi inilah yang
menyebabkan sebagian besar penghuni pada permukiman ini mayoritas berasal
dari etnis yang sama yaitu etnis Jawa.
Gambar 4.6 Peta lokasi permukiman kumuh di Banjar Jematang
U
71
1. Jaringan jalan
Jaringan jalan pada permukiman ini berkembang seiring dengan
perkembangan jumlah hunian pada wilayah tersebut. Pada awalnya jalan yang
terdapat pada permukiman kumuh di lokasi ini adalah jalan yang berada di timur
permukiman saat ini. Seiring dengan banyaknya kaum pendatang yang menyewa
lahan di lokasi ini, jaringan jalan juga semakin berkembang. Jalan-jalan
lingkungan dengan lebar yang minim disediakan oleh pemilik lahan untuk
menghubungkan antara hunian satu dengan lainnya.
Gambar 4.7 Perkembangan jaringan jalan pada permukiman kumuh di Banjar Jematang
Permukiman
Penduduk asli
Permukiman
pendatang
Permukiman
Permukiman
Permukiman
Jalan lingkungan pada permukiman
(makro)
Jalan permukiman (mikro)
U
Lahan
kosong
Lahan
kosong
Jalan awal Jalan
lingkungan
72
Terdapat 3 jenis jalan pada permukiman kumuh di Banjar Jematang ini,
antara lain:
a) Jalan lingkungan (makro)
Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang ada pada barat
permukiman dekat dengan sungai. Jalan ini memiliki lebar ±4meter
dengan material berupa aspal yang langsung menuju jalan pulau biak dan
jalan nusa kambangan.
Gambar 4.8 Jalan lingkungan pada permukiman kumuh Banjar Jematang
b) Jalan permukiman (gang)
Menurut salah satu pemilik lahan dari permukiman ini, jalan
permukiman di bagian timur permukiman pada awalnya berupa jalan tanah
dengan lebar ±2meter hanya cukup dilalui oleh kendaraan roda dua. Pada
tahun 1998 pemerintah mulai melirik kondisi di permukiman ini dengan
memperbaiki serta memperlebar jalan sehingga, kondisi jalan menjadi
lebih baik yang berupa jalan aspal dengan lebar ±4 meter hingga saat ini.
Gambar 4.9 Jalan permukiman/gang pada permukiman kumuh Banjar Jematang
4 m 4 m
73
c) Jalan kecil/gang (mikro)
Jalan kecil/gang merupakan jalan yang menghubungkan antara rumah
satu dengan lainnya dalam satu wilayah permukiman. Selain merupakan
jalan umum yang bisa dilalui oleh warga, jalan ini juga dimanfaatkan
sebagai ruang yang mendukung aktivitas penghuni permukiman, misalnya
sebagai dapur, tempat mencuci peralatan dapur, tempat meletakkan
barang-barang yang tidak digunakan, tempat parkir kendaraan pribadi,
bahkan ada yang digunakan sebagai tempat melaksanakan usaha-usaha
rumah tangga.
Kondisi jalan permukiman pada permukiman kumuh di Jematang ini
sangat beragam. Terdapat jalan yang sudah menggunakan perkerasan
seperti paving dan semen, serta terdapat juga jalan yang masih berupa
jalan tanah. Lebar jalan berkisar antara 0,8 meter hingga 1,5 meter.
Perkerasan jalan permukiman juga merupakan bantuan dari pemerintah
pada tahun 1998.
Gambar 4.10 Kondisi jalan-jalan kecil pada permukiman kumuh Banjar Jematang
74
2. Air bersih
Sumber air bersih pada permukiman kumuh di Banjar Jematang berasal
dari pompa air, sumur bor, serta sumur gali. Hingga saat ini belum terdapat air
bersih yang bersumber dari PAM. Sebagian besar sumber air bersih yang ada di
permukiman ini dimanfaatkan secara komunal. Berikut merupakan gambaran dari
persebaran lokasi titik-titik sumber air bersih yang berupa pompa air, sumur bor,
serta sumur gali.
Gambar 4.11 Kondisi sumber air bersih pada permukiman kumuh di Banjar Jematang
Berdasarkan hasil observasi di lapangan terdapat 4 pompa air pada
permukiman yang merupakan bantuan dari pemerintah. Kondisi pompa air pada
: Pompa
: Sumur gali
: Sumur bor
: Tangki air
U
75
permukiman ini sudah tidak dapat digunakan lagi. Hal ini disebabkan oleh usia
pompa air yang sudah cukup tua yaitu 31 tahun dihitung sejak tahun 1982, serta
tidak adanya kesadaran masyarakat dalam merawat ataupun memperbaiki pompa
air tersebut.
Sumber air bersih lainnya adalah sumur gali yang masih berfungsi dengan
baik. Air bersih yang diperoleh dari sumur ini dimanfaatkan warga permukiman
untuk mencuci pakaian, perabotan rumah tangga, dan MCK. Selain itu juga
terdapat 13 sumur bor yang letaknya tersebar di wilayah permukiman kumuh ini.
Pada beberapa kasus, air yang diperoleh dari sumur bor ditampung terlebih dahulu
dalam tangki air yang kemudian dialirkan menuju kran pada dapur tiap-tiap
hunian ataupun pada kamar mandi umum.
Gambar 4.12 Sumur pompa
Terdapat beberapa tipe pemanfaatan sumber air bersih pada permukiman
kumuh di lokasi ini, antara lain:
a. Tipe 1, yaitu sumber air bersih yang berupa pompa air yang dapat
digunakan oleh seluruh warga permukiman (komunal).
Mesin pompa
Air tanah dipompa
menuju ke atas dan
disimpan di tangki air
yang ada diatas
Air dari tangki
kemudian dialirkan
menuju kran
Kran air yang
mengalirkan air tanah
sehingga dapat
digunakan
76
b. Tipe 2, yaitu sumber air bersih berupa sumur bor yang juga digunakan
bersama, namun hanya dalam lingkup penghuni kost pada satu lahan
kontrakan.
c. Tipe 3, sumber air bersih yang digunakan secara pribadi oleh satu keluarga
pada satu hunian (kontrakan).
Gambar 4.13 Sistem jaringan air bersih pada permukiman kumuh kasus 1
Sumber air bersih tipe kedua merupakan sumber air bersih yang berupa
sumur bor dan sumur gali yang dimaanfaatkan bersama oleh penghuni kost pada
satu kontrakan. Sumur bor ini terletak pada satu titik yang yaitu di kamar mandi
yang dapat dijangkau oleh penghuni kost. Air dari sumur bor akan dialirkan
menuju kran air yang dimanfaatkan untuk mandi dan mencuci.
1
Tipe 1
2
3
Tipe 2
Tipe 3
U
77
Gambar 4.14 Sistem jaringan air bersih tipe 2
Sumber air bersih tipe yang ketiga juga berasal dari sumur bor. Sumur bor
ini dibuat oleh pengontrak itu sendiri yang kemudian digunakan secara pribadi
oleh satu keluarga. Air yang diperoleh akan dialirkan menuju ruang-ruang yang
membutuhkan seperti dapur dan kamar mandi.
Gambar 4.15 Sumber air bersih tipe 3
3. Pengelolaan limbah
Dalam penelitian ini pengelolaan limbah yang dimaksud adalah
pengelolaan limbah yaitu saluran drainase, limbah rumah tangga, serta
pengelolaan sampah. Berikut akan dijabarkan berdasarkan jenis limbah yang akan
dikelola:
Sumur bor
Kran air
U
Sumur bor yang
digunakan untuk
3 kontrakan
Kran air
Kontrakan
1
Kontrakan
2
Kontrakan
3
U
78
a. Jaringan drainase
Saluran drainase yang terdapat di tengah-tengah permukiman di sepanjang
jalan permukiman memiliki lebar ±20cm dan kedalaman ±30cm, dengan kondisi
yang terbuka sehingga sampah pun dengan mudahnya dibuang ke saluran tersebut
secara tidak bertanggung jawab oleh penghuni permukiman itu sendiri. Hal ini
mengakibatkan pada saat hujan turun aliran air menjadi macet sehingga terjadi
banjir. Sementara saluran drainase pada jalan lingkungan memiliki lebar ± 40cm
dan beberapa terlihat dengan kondisi yang tertutup. Seluruh saluran drainase ini
dialirkan melalui pipa-pipa menuju sungai yang ada pada utara dan barat
permukiman.
Gambar 4.16 Kondisi saluran drainase pada permukiman kumuh kasus 1
U
79
b. Limbah rumah tangga
Limbah rumah tangga pada umumnya dibagi menjadi 2 yaitu limbah padat
dan limbah cair. Pada permukiman kumuh di lokasi ini, sistem pembuangan
limbah padat dan cair yang berasal dari kamar mandi dialirkan menuju septictank
yang terdapat pada masing-masing kamar mandi umum. Limbah cair buangan dari
dapur dialirkan melalui pipa-pipa yang menuju saluran air hujan (got). Selain itu
juga terdapat beberapa kamar mandi yang membuang limbah cair bekas mencuci
ataupun mandi menuju saluran air hujan (got). Saluran ini nantinya akan menuju
ke sungai yang merupakan pembuangan terakhir. Hal ini mengakibatkan
tercemarnya air sungai akibat limbah-limbah tersebut, sehingga air sungai nampak
kotor, tercemar dan berwarna coklat kehitaman. Berbeda dengan kondisi yang ada
di lapangan, menurut Kepala Dusun Jematang, kondisi sungai di permukiman
kumuh pada saat ini justru sudah lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Gambar 4.17 Kondisi pembuangan limbah di permukiman kumuh
kasus 1
ditampung
di SEPTICTANK
Limbah dari
kamar mandi
dialirkan menuju got bermuara ke sungai
80
Secara mikro pembuangan limbah pada hunian di permukiman kumuh ini
dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Pada hunian yang disewakan (kost), hanya terdapat 1 ruang servis
yang digunakan secara komunal.
2) Air limbah yang berasal dari kamar mandi dan dapur dialirkan menuju
saluran yang terdapat di depan kamar mandi berupa got kecil.
3) Air limbah ini nantinya akan dialirkan kembali menuju saluran
drainase pada jalan utama, dan kemudian bermuara ke sungai.
Gambar 4.18 Saluran pembuangan limbah pada hunian 1
4) Untuk hunian yang memiliki fasilitas kamar mandi ataupun dapur
pribadi, limbah dialirkan melalui pipa saluran menuju saluran
pembuangan pada ruas jalan yang terdapat got pada ruas jalan tersebut,
kemudian dialirkan menuju saluran pada jalan utama yang nantinya
bermuara ke sungai.
SUNGAI
Lubang saluran
pembuangan limbah
kamar mandi, dapur,
dan air hujan
Limbah menuju
saluran
pembuangan pada
jalan besar yang
kemudian menuju
sungai
U
81
Gambar 4.19 Saluran pembuangan limbah pada hunian 2
c. Persampahan
Pengelolaan sampah pada lingkungan permukiman ini sebagian dilakukan
secara swadaya dan sebagian dikelola oleh pihak swasta. Secara swadaya, sampah
yang dihasilkan pada tiap-tiap rumah tangga dikumpulkan untuk kemudian
dibakar, serta ada juga yang langsung dibawa ke tempat pembuangan sementara
(TPS) yang berlokasi di Jalan Pulau Biak dekat permukiman. Beberapa dari
masyarakat permukiman kumuh di lokasi ini membayar petugas dari pihak swasta
untuk mengangkut sampah-sampah mereka dan dibawa ke TPS. Namun masih
banyak terlihat masyarakat yang memanfaatkan sungai yang ada dekat
permukiman sebagai tempat membuang sampah secara tidak bertanggung jawab.
Hal ini mengakibatkan kondisi sungai maupun lingkungan sekitar permukiman
menjadi kotor dan menimbulkan polusi udara.
Menuju saluran
pembuangan/got di
jalan besar
Menuju
sungai
U
82
Gambar 4.20 Kondisi persampahan di permukiman kumuh kasus 1
4. Sarana mandi cuci kakus (MCK)
Berdasarkan observasi lapangan, fasilitas kamar mandi yang tersedia di
permukiman kumuh Banjar Jematang ini berjumlah 31 buah. Sebagian besar
kamar mandi yang ada merupakan kamar mandi umum yang disediakan pada satu
kontrakan oleh pemilik kontrakan untuk penyewa kamar pada kontrakan tersebut.
Kondisi sampah yang dibuang di area sekitar sungai
Sampah yang dibuang
di got, sehingga dapat
menyumbat aliran air pada
saluran ini
Lahan kosong dipinggir jalan utama yang dimanfaatkan sebagai tempat
mengumpulkan sampah
U
83
Kondisi fisik dari kamar mandi terlihat kurang baik, dengan lantai yang becek dan
kotor akibat dari tidak adanya saluran pembuangan yang baik. Air bersih pada
kamar mandi bersumber dari sumur pompa yang letaknya dekat dengan kamar
mandi tersebut.
Gambar 4.21 Kondisi kamar mandi pada permukiman kumuh kasus 1
Terdapat tiga tipe sarana MCK di permukiman kumuh ini yaitu kamar
mandi umum/komunal, kamar mandi khusus untuk penghuni kost, serta kamar
mandi pribadi. Kamar mandi umum dibangun oleh pemerintah yang lokasinya
tersebar di empat titik di permukiman ini. Pada masing-masing titik terdapat 2
Kamar mandi umum Kamar mandi khusus
penghuni kost
Kamar mandi pribadi
U
84
buah kamar mandi. Kamar mandi ini juga sudah dilengkapi dengan tangki septik,
sehingga dapat berfungsi secara maksimal. Kamar mandi tipe kedua merupakan
kamar mandi yang disediakan oleh pemilik kost hanya untuk penghuni kost
miliknya. Kamar mandi ini tidak dilengkapi tangki septik, sehingga hanya dapat
digunakan untuk mandi, buang air kecil, dan mencuci. Begitu pula dengan kamar
mandi tipe ketiga yang merupakan kamar mandi pribadi tidak dilengkapi dengan
tangki septik, sehingga warga menggunakan kamar mandi umum terdekat untuk
buang air besar. Warga hanya perlu membayar Rp. 10.000,-/bulan untuk masing-
masing orang untuk operasional kamar mandi umum tersebut.
4.3.2 Permukiman kumuh Banjar Buana Asri (kasus 2)
Permukiman kumuh yang kedua berlokasi di Jalan Resimuka Barat Gang
VII, Banjar Buana Asri, Desa Tegal Kertha. Pada awalnya lahan pada
permukiman kumuh ini merupakan lahan sawah dan tegalan milik dari 2 orang
bersaudara yang merupakan penduduk asli Desa Tegal Kertha. Lahan ini
kemudian disewakan kepada warga pendatang dan mulai berkembang pada tahun
1995. Permukiman kumuh ini terletak berkembang pada satu ruas gang yang
dibatasi oleh jalur sirkulasi di tengah-tengah permukiman. Hingga saat ini sudah
terdapat ±130 rumah pada permukiman ini yang terdiri dari rumah kontrakan yang
digunakan secara pribadi, maupun rumah kontrakan yang kemudian disewakan
kembali berupa kamar kost.
85
Gambar 4.22 Peta lokasi permukiman kumuh Banjar Buana Asri
1. Jaringan jalan
Kondisi jaringan jalan pada permukiman kumuh di Banjar Buana Asri,
Desa Tegal Kertha terlihat cukup tertata, dengan material jalan berupa paving.
Pada awalnya hanya terdapat jalan utama permukiman yaitu Jalan Resimuka Barat
yang merupakan jalan lingkungan, kemudian seiring berkembangnya permukiman
di lingkungan tersebut, maka muncullah jalan-jalan kecil/gang menuju
permukiman-permukiman baru tersebut. Jalan lingkungan merupakan jalan umum
(Jalan Resimuka Barat) yang dapat diakses oleh seluruh warga permukiman
kumuh maupun permukiman disekitarnya. Jalan lingkungan ini adalah akses
utama untuk menuju Gang VII yang merupakan jalan utama pada permukiman
kumuh. Jalan lingkungan memiliki lebar ±3 meter dengan material aspal.
U
86
Gambar 4.23 Kondisi jaringan jalan pada permukiman kumuh kasus 2
Jalan permukiman/gang pada permukiman kumuh ini awalnya disediakan
oleh pemilik lahan dengan kondisi seadanya yang berupa jalan tanah, kemudian
jalan tersebut diperbaiki (dipaving) secara swadaya oleh penyewa lahan pada
permukiman tersebut. Jalan permukiman (gang) memiliki lebar 3 meter dari arah
2 m 3 m
Jalan lingkungan selebar 2-3 meter
merupakan jalan utama (makro) yang
terletak di tengah-tengah permukiman
Jalan-jalan kecil/gang (mikro) yang merupakan
akses menuju kamar kost yang disewakan.
U
Jalan khusus untuk
penghuni pada kost
Jalan lingkungan (jalan
resimuka barat) pada
permukiman kumuh
87
timur dan mengecil ke arah barat dengan lebar 2 meter, hanya cukup untuk
kendaraan roda dua. Jalan pada bagian barat permukiman merupakan jalan buntu
yang langsung menuju sungai. Secara mikro, terdapat jalan kecil dengan lebar ±1
meter dan menggunakan perkerasan berupa semen yang merupakan akses bagi
penghuni kost. Jalan ini dilengkapi dengan saluran drainase dengan lebar 10-15cm
dan kedalaman 5-10cm yang ada pada 1 sisi jalan. Saluran ini langsung terhubung
dengan saluran drainase yang ada pada jalan utama permukiman ini.
2. Air bersih
Sumber air bersih pada permukiman kumuh di lokasi ini menggunakan
sumur bor dan sumur gali. Pada rumah kost sumber air bersih berasal dari sumur
bor yang digunakan secara bersama-sama oleh pemilik kontrakan dan penghuni
kost. Sumur bor ini dibuat oleh pemilik kontrakan yang dalam hal ini adalah
pemilik lahan, untuk kemudian dimanfaatkan oleh penghuni kost. Pada 2 hunian
(kost) yang digunakan sebagai sampel, sumur bor terletak di bagian barat hunian
dengan tangki air yang berada di atas kamar mandi umum pada kost tersebut.
88
Gambar 4.24 Kondisi sumber air bersih pada permukiman kumuh kasus 2
Gambar 4.25 Kondisi sumber air bersih pada permukiman kumuh
kasus 2
Mesin
pompa Tangki air
(sumur
bor)
Sumur bor (kiri);
tangki air yang
digunakan untuk
menampung air dari
sumur bor (kanan)
Sumur gali yang
merupakan
sumber air bersih
pada rumah yang
dihuni oleh pihak
penyewa pertama
U
Jalan
Utama
Permukima
n
Sumur
gali
U
Jalan
utama
permukiman
89
Pada hunian dalam bentuk kontrakan, sumber air bersih yang digunakan
adalah sumur gali. Sumur ini dibuat oleh warga yang menyewa lahan
bersangkutan. Air bersih diangkut secara manual menuju kamar mandi dan dapur
untuk kemudian dimanfaatkan untuk mencuci piring dan pakaian maupun untuk
mandi. Air bersih yang berasal dari sumur bor maupun sumur gali tidak
dimanfaatkan untuk konsumsi oleh warga permukiman, melainkan hanya untuk
aktivitas mencuci dan mandi.
3. Pengelolaan limbah
Seperti pada kasus pertama, limbah yang dimaksud disini adalah drainase,
limbah rumah tangga, serta persampahan, yang akan dijabarkan berdasarkan jenis-
jenis limbah tersebut.
a. Jaringan drainase
Permukiman kumuh di lingkungan Buana Asri ini merupakan daerah yang
rawan banjir. Hal ini disebabkan oleh kondisi lahan yang menurun dari arah timur
ke barat. Kondisi jaringan drainase pada permukiman ini juga kurang baik,
dengan lebar got hanya 20cm pada kanan dan kiri jalan. Menurut kepala
lingkungan di permukiman kumuh ini yaitu Nyoman Diartika, masalah yang
paling sering terjadi di permukiman ini adalah masalah saluran drainase. Jika
terjadi hujan di daerah ini, air hujan yang berasal dari jalan utama (Jalan
Resimuka Barat) akan turun ke saluran drainase di permukiman. Besarnya volume
air hujan dibandingkan dengan saluran drainase permukiman yang memiliki lebar
hanya 20 cm dan kedalaman ±30 cm mengakibatkan saluran ini tidak dapat
90
menampung air hujan dan dialirkan dengan baik, sehingga air hujan akan meluap
dan pada akhirnya akan terjadi banjir di permukiman ini.
Gambar 4.26 Kondisi saluran drainase pada permukiman kumuh
kasus 2
Saluran drainase di lokasi permukiman ini dibuat di bagian kanan dan kiri
jalan utama pada permukiman dengan kondisi yang terbuka. Air yang mengalir
pada saluran ini berasal dari saluran drainase diluar permukiman dan juga berasal
dari saluran drainase di jalan kecil yang ada pada kanan dan kiri jalan utama
permukiman. Setelah terkumpul pada saluran drainase utama di permukiman, air
hujan kemudian dialirkan langsung menuju sungai yang ada di barat permukiman.
Gambar 4.27 Aliran air pada saluran drainase pada permukiman kumuh kasus 2
U
Saluran drainase (got) pada jalan
utama permukiman
Saluran drainase (got) pada jalan
kecil di permukiman
Saluran drainase (got) pada jalan
utama bagian barat
Saluran drainase
(got) kecil
Saluran drainase (got)
utama
Saluran pembuangan
menuju ke sungai
Sungai di ujung barat
permukiman
91
b. Limbah rumah tangga
Pada permukiman kumuh kasus kedua ini, tidak terdapat saluran
pembuangan limbah yang khusus. Secara umum limbah dialirkan pada saluran
drainase (got) yang merupakan saluran pembuangan air hujan. Limbah rumah
tangga yang berasal dari dapur pada masing-masing hunian terlebih dahulu
dialirkan pada saluran drainase (got) kecil di depan hunian, kemudian dari saluran
kecil tersebut akan dialirkan menuju saluran drainase (got) utama di pinggir jalan,
dan bermuara ke sungai. Setiap kamar mandi memiliki septictank masing-masing
yang berfungsi untuk menampung limbah padat yang berasal dari kamar mandi
tersebut.
Gambar 4.28 Saluran pembuangan limbah pada permukiman kumuh
kasus 2
Saluran
pembuangan kecil
menuju ke sungai
Saluran pembuangan
kecil
Saluran
drainase/got
Jalan
utama
permukiman
U
Septictank
Septictank yang terletak pada
jalan kecil yang merupakan
akses bagi penghuni kost
Saluran pembuangan
utama
92
Bagi hunian yang langsung menghadap ke jalan utama, limbah rumah
tangga yang dihasilkan langsung dialirkan menuju saluran drainase (got) utama.
Posisi dapur dan kamar mandi juga berdekatan dengan jalan utama dan saluran
pembuangan yang ada di sepanjang jalan tersebut. Hal ini dapat mempermudah
warga permukiman membuat saluran dari dapur ataupun kamar mandi yang
langsung menuju saluran pembuangan utama. Dari saluran pembuangan utama ini
nantinya akan bermuara ke sungai yang ada di ujung barat permukiman. Kondisi
ini menyebabkan air sungai menjadi tercemar oleh limbah-limbah tersebut.
Gambar 4.29 Saluran pembuangan limbah pada permukiman kumuh
kasus 2
Septictank yang
ada dibawah kamar
mandi
Limbah dapur dialirkan langsung ke
saluran pembuangan utama pada jalan
depan hunian
Saluran pembuangan utama
menuju sungai
Jalan
utama
permukiman
U
SUNGAI
93
c. Persampahan
Kondisi persampahan di lingkungan permukiman kumuh di Banjar Buana
Asri tidak terlalu bermasalah. Pada setiap hunian sudah menyediakan tempat
sampahnya sendiri yang diletakkan di depan rumah masing-masing di pinggir
jalan lingkungan. Sampah yang sudah terkumpul ini nantinya akan dipungut oleh
petugas menuju TPS, warga cukup membayar ke desa setiap bulannya. TPS yang
dimanfaatkan oleh permukiman ini adalah Depo Monang Maning yang terletak di
Desa Monang Maning, ±2km dari permukiman bersangkutan.
Gambar 4.30 Depo Monang Maning yang dimanfaatkan oleh
permukiman kumuh kasus 2
Selain itu terdapat juga warga yang membuang sampahnya di lahan
kosong ataupun langsung ke sungai yang ada di dekat permukiman tersebut. Hal
ini menyebabkan kondisi lingkungan sekitar permukiman dan sungai menjadi
kotor serta polusi udara.
94
Gambar 4.31 Saluran pembuangan limbah pada permukiman kumuh
kasus 2
4. Sarana mandi cuci kakus (MCK)
Terdapat 2 jenis sarana MCK pada permukiman kumuh di Banjar Buana
Asri ini. Jenis yang pertama adalah kamar mandi komunal yang ada pada 1 blok
hunian berupa kontrakan/kost. Kamar mandi ini disediakan oleh pemilik lahan
khusus untuk penghuni kost pada 1 blok hunian tersebut. Kamar mandi ini
biasanya memfasilitasi 5 hingga 6 kamar kost (5-6 KK). Berdasarkan observasi di
lapangan, dengan bentuk blok hunian yang memanjang ke samping, kamar mandi
biasanya diletakkan pada ujung belakang hunian, dalam hal ini pada bagian utara
hunian/kost. Sumber air bersih yang digunakan untuk kegiatan MCK berasal dari
sumur bor yang letaknya dekat dengan kamar mandi. Tangki air untuk
Sungai dan lahan kosong yang
dimanfaatkan sebagai tempat membuang
sampah secara komunal.
Tempat sampah yang ada pada masing-
masing hunian.
95
menampung air sementara diletakkan diatas kamar mandi ataupun diatas bak
kontrol pada hunian.
Gambar 4.32 Sarana MCK pada permukiman kumuh kasus 2
Sarana MCK jenis kedua adalah sarana MCK pribadi yaitu, sarana MCK
pada 1 blok hunian yang berupa rumah kontrakan yang dihuni oleh 1 keluarga.
Sarana MCK dalam hal ini hanya memfasilitasi 1 hunian. Sumber air bersih yang
digunakan untuk kegiatan MCK bersasal dari sumur gali pada hunian tersebut.
Gambar 4.33 Sarana MCK pada permukiman kumuh kasus 2
Jalan
utama
permukiman
U
Jalan
utama
permukiman
U
Sumur gali
yang menjadi
sumber air
bersih untuk
kegiatan MCK
96
4.3.3 Permukiman kumuh Banjar Pekandelan (kasus 3)
Berdasarkan Keputusan Walikota, permukiman kumuh di Banjar
Pekandelan, Desa Pemecutan Klod terletak di Jalan Kertapura Gang Segina VI.
Pada awalnya lahan permukiman ini merupakan lahan milik banjar yang
disewakan kepada pendatang. Lahan ini disewakan dengan tujuan memperoleh
keuntungan, sehingga uang hasil dari sewaan tersebut dapat dipergunakan untuk
kegiatan-kegiatan sosial yang diadakan oleh banjar. Jumlah KK pada lingkungan
permukiman ini adalah 196 KK dengan total jumlah warga sebanyak 448 jiwa.
Gambar 4.34 Peta lokasi permukiman kumuh Banjar Pekandelan
1. Jaringan jalan
Terdapat 3 tipe jalan pada permukiman ini, yaitu jalan lingkungan dan
jalan permukiman/gang, serta jalan kecil pada 1 blok hunian (kost). Jalan
lingkungan yaitu Jalan Kertapura adalah jalan umum yang menjadi akses utama
U
97
menuju Gang Segina VI, dimana gang ini merupakan jalan pada permukiman
kumuh. Jalan lingkungan memiliki lebar ±4 meter dengan material berupa aspal.
Tipe jalan yang kedua adalah jalan permukiman (Gang Segina VI), dengan
kondisi jaringan jalan permukiman/gang ini awalnya masih berupa jalan tanah,
namun sejak tahun 1996 permukiman ini memperoleh bantuan berupa perbaikan
jalan dari pemerintah yang diusulkan oleh pihak banjar. Untuk saat ini kondisi
jalan lingkungan berupa perkerasan semen dengan lebar ±4 meter, sementara ke
arah timur lebar jalan ±3 meter. Jalan pada bagian ujung timur permukiman bisa
dilalui untuk menuju gang yang ada di sebelah selatan, namun bukan merupakan
permukiman dengan kondisi yang kumuh. Jalan ini juga terlihat sudah rusak
dengan adanya bopeng-bopeng pada sebagian jalan.
Gambar 4.35 Kondisi jaringan jalan pada permukiman kumuh
kasus 3
Jalan permukiman selebar 3-4 meter merupakan
jalan utama (makro) yang terletak di tengah-tengah
permukiman
4 m
3 m
3 m 3 m
Jalan menuju permukiman lain (kiri), jalan buntu
(kanan)
U
98
Tipe jalan ketiga adalah jalan kecil yang ada pada 1 blok hunian dalam
bentuk kost. Jalan ini dibangun oleh pemilik kontrakan (penyewa lahan pihak
pertama) yang merupakan akses bagi penghuni kost dengan lebar ±1,5 meter.
Kondisi jalan sudah berupa perkerasan yang menggunakan material semen. Selain
digunakan sebagai akses keluar masuk, jalan ini juga dimanfaatkan sebagai
tempat untuk melakukan aktifitas lainnya seperti mencuci, menjemur pakaian,
serta meletakkan peralatan rumah tangga. Kamar kost yang disewakan terdiri dari
2 deret kamar menghadap ke utara dan selatan yang berhadapan langsung dengan
jalan kecil yang ada di depannya.
Gambar 4.36 Kondisi jaringan jalan kecil pada permukiman kumuh
kasus 3
Jalan umum yang ada pada
hunian dalam bentuk kost
Jalan
utama
permukiman
(3 m)
U
Sebagian badan jalan yang
dimanfaatkan oleh penghuni kost
99
2. Air bersih
Sumber air bersih di lokasi permukiman ini menggunakan sumur bor,
sumur gali, serta ada bebrapa yang sudah menggunakan PAM. Berbeda dengan
kasus permukiman kumuh sebelumnya, sumber air bersih yang digunakan pada
masing-masing hunian tidak berdasarkan pada tipe hunian namun tergantung pada
kemampuan dari masing-masing keluarga. Berdasarkan fungsinya, sumber air
bersih yang digunakan dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu, sumber air bersih yang
digunakan secara komunal serta sumber air bersih yang digunakan secara pribadi.
Gambar 4.37 Kondisi jaringan air bersih pada permukiman kumuh
kasus 3
Berdasarkan pada sampel hunian yang diteliti, sumber air bersih yang
digunakan secara komunal berasal dari sumur gali. Sumur ini dibangun oleh
Sumur gali
Pipa saluran air bersih
menuju kamar mandi
KM/WC
Tempat cuci
Sumur gali
Jalan
utama
permukiman
U
Sumur
Ember untuk
menampung air
100
pemilik kontrakan (penyewa lahan pihak pertama) yang disediakan khusus untuk
penghuni kost dalam 1 blok hunian tersebut. Terdapat 2 sumur gali pada hunian
ini, dimana masing-masing sumur memfasilitasi kebutuhan 1 deret kamar. Air
bersih untuk kamar mandi pada hunian ini juga berasal dari sumur. Air ini
didistribusikan melalui saluran berupa pipa yang dibuat secara manual oleh
pemilik kontrakan. Pada awalnya air yang ditimba ditampung terlebih dahulu
dalam ember pada ujung pipa, kemudian air akan mengalir melalui pipa dengan
kemiringan tertentu menuju penampungan yang ada dikamar mandi.
Selain menggunakan sumur gali sebagai air bersih secara komunal, pada
beberapa hunian juga menggunakan sumur bor, terutama pada 1 blok hunian yang
berupa kost. Sumur bor ini diadakan oleh pemilik kontrakan sebagai penyewa
lahan pihak kedua. Sumur bor juga khusus digunakan bagi penghuni kost pada 1
blok hunian tersebut.
Gambar 4.38 Kondisi jaringan air bersih (sumur bor) pada permukiman kumuh kasus 3
Berbeda dengan permukiman kumuh pada kasus sebelumnya, pada
permukiman kumuh di lokasi ini sudah terdapat beberapa hunian yang
menggunakan PAM sebagai sumber air bersih. Hunian yang digunakan sampel
merupakan rumah dari kepala permukiman.
Tangki air Mesin pompa
101
Gambar 4.39 Kondisi jaringan air bersih (PAM) pada permukiman kumuh kasus 3
3. Pengelolaan limbah
Limbah dibagi menjadi 3 jenis yaitu limbah yang berasal dari air hujan
berupa saluran drainase, limbah rumah tangga, serta limbah sampah.
a. Jaringan drainase
Jaringan drainase pada permukiman di lokasi ini memiliki kondisi dan
fungsi yang cukup baik. Saluran drainase dibuat memanjang di pinggir jalan dari
jalan besar hingga masuk ke jalan permukiman. Lebar saluran ini ±20 cm dengan
kondisi sebagian terbuka pada bagian barat dan sebagian lagi ditutup
menggunakan semen.
Menurut Kepala di lingkungan permukiman ini, saluran drainase berfungsi
dengan baik dikarenakan sudah terdapat Sanimas (sanitasi berbasis masyarakat) di
permukiman ini, sehingga tidak ada lagi warga yang membuang air limbah baik
dari dapur maupun kamar mandi ke saluran drainase. Saluran drainase disini
hanya difungsikan sebagai saluran air hujan yang nantinya akan bermuara ke
sungai yang letaknya agak jauh dengan permukiman.
Meter Air
Distribusi
air bersih
Jalan utama permukiman
U
Kamar mandi
(atas) dan tempat
cuci (bawah) yang
merupakan area
yang difasilitasi
oleh PAM sebagai
sumber air bersih
102
Gambar 4.40 Kondisi saluran drainase pada permukiman kumuh
kasus 3
b. Limbah rumah tangga
Sistem pembuangan limbah di permukiman kumuh ini sudah
menggunakan Sanimas. Sanimas adalah program untuk menyediakan prasarana
air limbah bagi masyarakat di daerah kumuh padat perkotaan. Sanimas merupakan
bantuan dari pemerintah pada tahun 1996. Sanimas merupakan kerjasama antara
Dinas Pekerjaan Umum (PU), Bremen Overseas Research and Development
Agency (BORDA), Badan Lingkungan Hidup (BLH), serta kelompok swadaya
masyarakat. Dengan adanya sanimas ini kondisi pembuangan air limbah menjadi
tertata sehingga tidak dapat mengurangi polusi di sekitar lingkungan permukiman
kumuh ini.
U
Sungai
Permukiman
kumuh (kasus 3)
Sungai
Saluran drainase di sepanjang jalan utama permukiman dari barat
hingga timur permukiman
Saluran drainase bermuara ke sungai
yang letaknya jauh dari permukiman
103
Dalam satu hunian terdapat beberapa bak kontrol dengan jumlah yang
berbeda-beda pada tiap hunian tergantung jumlah pembuangan yang ada pada
hunian tersebut. Pada bak kontrol ini terdapat pipa-pipa saluran yang terhubung
antara hunian satu dengan yang lainnya. Limbah rumah tangga ini nantinya akan
dialirkan menuju saluran komunal yang ada di tepi jalan.
Pada gambar berikut akan ditunjukkan bagaimana keterkaitan antara
sistem pembuangan limbah secara mikro yaitu pada satu hunian yang menuju
sistem pembuangan limbah secara makro atau komunal.
Gambar 4.41 Saluran pembuangan limbah hunian pada permukiman kumuh
kasus 3
Pada contoh hunian yang digunakan sebagai sampel, terdapat 7 buah bak
kontrol yang letaknya tersebar pada area servis di rumah ini. Area servis tersebut
misalnya, tempat cuci, dapur, kamar mandi, serta tempat selip. Menurut kepala
keluarga rumah ini, yang juga merupakan salah satu panitia program pengadaan
Bak kontrol
komunal
Bak kontrol
Septic tank
komunal Jalan utama
permukiman
Saluran
pembuangan
U
104
Sanimas di lingkungan ini, menyebutkan bahwa bak kontrol memang diletakkan
di dekat area-area yang menghasilkan limbah seperti area servis. Limbah rumah
tangga yang dialirkan melalui saluran pembuangan pada masing-masing hunian
ini, kemudian akan dialirkan menuju saluran pembuangan komunal yang ada di
sepanjang jalan utama dan bermuara pada septictank komunal di ujung jalan
permukiman untuk selanjutnya diolah kembali.
Gambar 4.42 Kondisi bak kontrol pada saluran pembuangan limbah
Limbah rumah tangga yang dihasilkan oleh tiap-tiap hunian akan dialirkan
melalui saluran yang ada di pinggir jalan. Limbah tersebut nantinya akan diolah
sedemikian rupa, hingga air limbah ini dapat dibuang ke got tanpa menimbulkan
polusi. Dalam saluran pengolahan limbah ini diberi pemisah berupa sekat-sekat
sebanyak 13 buah yang berfungsi untuk membantu proses pengolahan limbah
tersebut. Terdapat juga 13 buah bak kontrol yang dapat dilihat dari atas
permukaan jalan. Setelah melalui proses pengolahan tersebut, air limbah yang
Bak kontrol 1 Bak kontrol 2 Bak kontrol 3
Bak kontrol 4 Bak kontrol besar
di pinggir jalan
105
sudah bersih akan ditampung pada septictank komunal yang ada di ujung jalan,
dan kemudian air tersebut akan dialirkan menuju got.
Gambar 4.43 Bak kontrol komunal pada saluran pembuangan limbah (sanimas)
c. Persampahan
Pada permukiman ini, sampah dipungut oleh petugas yang dibayar oleh
warga melalui dusun atau banjar. Terdapat juga bak sampah umum yang terdapat
di ujung jalan dekat dengan jalan besar. Selain itu terdapat juga beberapa titik
yang digunakan oleh warga sebagai tempat membuang sampah secara tidak
bertanggung jawab yang menyebabkan kondisi lingkungan permukiman ini
terlihat kotor.
Septictank komunal 13 buah bak kontrol
pengolahan limbah
U
106
Gambar 4.44 Kondisi persampahan di permukiman kumuh kasus 3
4. Sarana MCK
Berdasarkan penggunaannya, sarana MCK dapat dibedakan menjadi 2
jenis yaitu, kamar mandi komunal serta kamar mandi pribadi. Seperti pada kasus
permukiman kumuh lainnya, kamar mandi komunal terdapat pada 1 blok hunian
yang disewakan kembali oleh penyewa lahan dalam bentuk kamar kost. Pada
sampel hunian yang diteliti, dalam 1 blok hunian terdapat 3 kamar mandi yang
disediakan oleh penyewa lahan (pemilik kontrakan) untuk penghuni kost pada
hunian tersebut. Air bersih yang digunakan berasal dari sumur gali yang ada pada
Tumpukan sampah
di pinggir got Bak sampah umum Tumpukan sampah di ujung
timur permukiman
U
Tempat sampah
di depan
masing-masing
hunian
Got yang
dimanfaatkan
sebagai tempat
pembuangan
sampah
107
hunian tersebut. Air ini dialirkan melalui pipa saluran yang dibuat secara manual
oleh pemilik lahan menuju kamar mandi. Kamar mandi diletakkan di bagian
belakang hunian, sehingga mudah diakses oleh seluruh penghuni kost tersebut.
Gambar 4.45 Kondisi sarana MCK di permukiman kumuh kasus 3
Pada sampel hunian berikutnya, sarana MCK digunakan secara pribadi
oleh 1 keluarga pada hunian tersebut. Dalam hal ini penghuni merupakan
penyewa lahan pihak pertama. Sumber air bersih yang digunakan yang
dimanfaatkan untuk aktivitas MCK berasal dari PAM. Berikut adalah gambaran
letak dan kondisi kamar mandi pada hunian yang ditempati oleh 1 keluarga.
KM/WC
U
Sumur sebagai
sumber air bersih
Jalan
utama
permukiman
Kamar mandi pada 1 blok hunian (kost) Lahan kosong yang
dimanfaatkan sebagai
tempat jemur
108
Gambar 4.46 Kondisi sarana MCK di permukiman kumuh kasus 3
KM/WC
U
Jalan utama
permukiman
PAM
sebagai
sumber
air bersih
Kamar mandi pada hunian pribadi
109
Tabel 4.3 Kondisi infrastruktur permukiman kumuh
No. Jenis
Infrastruktur
Kasus
Kasus 1 (Permukiman kumuh
di Br. Jematang)
Kasus 2 (Permukiman kumuh
di Br. Buana Asri)
Kasus 3 (Permukiman kumuh
di Br. Pekandelan)
1 Jalan - Jalan lingkungan (aspal)
- Jalan permukiman/gang (aspal)
- Jalan kecil (paving, semen, tanah)
- Jalan lingkungan (aspal)
- Jalan permukiman/gang (paving)
- Jalan kecil (semen, tanah)
- Jalan lingkungan (aspal)
- Jalan permukiman/gang (semen, tanah)
- Jalan kecil (semen, tanah)
2 Air bersih - Pompa (komunal)
- Sumur bor (komunal & pribadi)
- Sumur Gali (komunal & pribadi)
- Sumur bor
Terdapat pada rumah kontrakan (kost) dan
digunakan secara komunal/bersama
- Sumur Gali
Sumur gali ada yang digunakan bersama dan
ada pula yang terdapat pada masing-masing
hunian dan digunakan secara pribadi
- Sumur bor dan sumur gali terdapat
pada setiap hunian baik rumah
kontrakan (kost) yang digunakan
secara komunal/bersama, maupun pada
rumah kontrakan (pribadi)
- Terdapat beberapa rumah yang sudah
menggunakan PAM
3
Pengelolaan
Limbah
a. Drainase
- Saluran drainase terdapat di sepanjang jalan-jalan
kecil/gang pada permukiman kumuh
- Saluran drainase menuju sungai di utara
permukiman
- Saluran drainase terdapat di sepanjang jalan
lingkungan (1 ruas gang) dan juga langsung
menuju sungai di barat permukiman
- Kondisi saluran drainase cukup baik
dan lancar yang dialirkan ke sungai
yang letaknya cukup jauh dengan
lokasi permukiman
b. Limbah
Rumah
Tangga
- Septictank (off site system)
- Dialirkan ke saluran drainase
- Septictank (off site system)
- Dialirkan ke saluran drainase
- Septictank (off site system)
- Sanimas (on site system)
c. Sampah - Dibawa langsung ke TPS dekat permukiman (Jl.
P.Biak)
- Dikelola oleh pihak swasta
- Dibuang ke sungai dan lingkungan sekitar
- Dikelola oleh desa
- Ada juga yang dibuang ke sungai ataupun di
lahan kosong sekitar permukiman
- Dikelola oleh desa
- Terdapat bak sampah di depan gang
- Ada juga yang dibuang/dikumpulkan
pada lahan kosong di ujung belakang
gang
4 MCK - Kamar mandi bersama
- Kamar mandi pribadi
- Kamar mandi bersama
- Kamar mandi pribadi
- Kamar mandi bersama
- Kamar mandi pribadi
110
4.4 Proses Pengadaan Infrastruktur Permukiman Kumuh
Tabel 4.4 Proses pengadaan infrastruktur permukiman kumuh di Kecamatan Denpasar Barat
Tahap
Pengadaan
Awal
perkembangan Perencanaan Pembiayaan Pelaksanaan Pengelolaan Perbaikan
Pihak Terkait
Pem
ilik
Lah
an
War
ga
per
mu
kim
an
Pem
erin
tah
Des
a
Ban
jar
Sw
asta
Pem
erin
tah
Des
a
War
ga
per
mu
kim
an
Sw
asta
Pem
erin
tah
War
ga
per
mu
kim
an
Ban
jar
Sw
asta
War
ga
per
mu
kim
an
Ban
jar
Sw
asta
Pem
ilik
lah
an
Pem
ilik
lah
an
War
ga
per
mu
kim
an
KASUS 1
(Br. Jematang)
Air
Jalan
Limbah
MCK
KASUS 2
(Br. Buana Asri)
Air
Jalan
Limbah
MCK
KASUS 3
(Br. Pekandelan)
Air
Jalan
Limbah
MCK
1995 1998
1996 2005
1990 1998
111
Proses pengadaan infrastruktur pada permukiman kumuh dibagi menjadi
beberapa tahapan yaitu, tahap pada awal perkembangan, tahap perencanaan, tahap
pembiayaan, tahap pelaksanaan, tahap pengelolaan, serta tahap perbaikan. Pada
masing-masing tahap terdapat pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Pihak-pihak
yang terlibat dalam proses pengadaan infrastruktur permukiman kumuh ini
meliputi, pemilik lahan, warga permukiman, pihak pemerintah, pihak banjar,
pihak desa, serta pihak swasta.
4.4.1 Proses pengadaan infrastruktur pada kasus 1
Kasus pertama, yaitu permukiman kumuh yang berlokasi di jalan Nusa
kambangan Gang Dahlia dan Gang Cempaka, Banjar Jematang Desa Dauh Puri
Kauh. Permukiman kumuh yang berada di Banjar Jematang, Desa Dauh Puri
Kauh diperkirakan muncul sekitar tahun 1990-an. Lahan permukiman ini
merupakan lahan warisan milik warga setempat yang telah dibagi-bagi. Pemilik
lahan masih merupakan warga asli dari Banjar Jematang. Pada tahap awal
perkembangan permukiman, proses pengadaan infrastruktur diawali oleh beberapa
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya yaitu pemilik lahan dan warga yang ingin
menyewa lahan tersebut.
Jaringan infrastruktur yang pertama kali diadakan adalah jalan umum yang
ada di bagian timur lahan yang disewakan. Jalan ini masih berupa jalan tanah
yang disediakan oleh pemilik lahan untuk pengontrak selebar ±2meter. Sementara
untuk infrastruktur lainnya seperti jaringan air bersih (sumur bor, sumur gali) serta
fasilitas MCK dibuat oleh warga permukiman sebagai penyewa lahan.
Infrastruktur tersebut dibuat seadanya sesuai dengan kemampuan dari masing-
112
masing penyewa lahan. Semakin banyaknya warga pendatang yang menyewa
lahan di lokasi ini, begitu pula dengan hunian yang juga semakin bertambah
banyak. Jumlah hunian yang semakin bertambah dari waktu ke waktu ini secara
tidak langsung membentuk jalan-jalan kecil yang menghubungkan kelompok
hunian satu dengan yang lainnya. Kondisi jalan ini berupa jalan tanah dengan
lebar ±0,8 meter hingga ±1,5 meter. Untuk infrastruktur lainnya seperti listrik,
sumur, saluran drainase, pembuangan limbah serta sarana MCK, diadakan secara
swadaya oleh penyewa lahan (pihak 1), yang kemudian dapat digunakan bersama
oleh penyewa kamar kost (pihak 2). Mereka cukup membayar kepada pemilik
kost (pihak 1) atas pemakaian fasilitas yang disediakan tadi.
Pada tahap berikutnya yaitu perencanaan, pihak yang terkait didalamnya
adalah pemerintah dengan dibantu oleh pihak desa setempat. Menurut Kepala
Dusun/Kelian Banjar Jematang, dahulu pernah terjadi wabah penyakit muntaber
di lingkungan permukiman kumuh ini yang disebabkan oleh kondisi lingkungan
permukiman yang buruk dan air tanah yang tercemar. Melihat kondisi
permukiman yang sangat buruk di lokasi ini, pemerintah merasa perlu untuk turun
langsung mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Pemerintah mulai
merencanakan pengadaan infrastruktur yang masih diperlukan dan memperbaiki
infrastruktur yang sudah ada pada permukiman tersebut. Pembiayaan pada
perencanaan ini sepenuhnya dibantu oleh pemerintah setempat yaitu Dinas
Pekerjaan Umum Kota Denpasar.
Pada tahap pelaksanaan, dikerjakan oleh petugas dari pemerintah dengan
dibantu oleh pihak banjar serta warga permukiman. Tahap ini mulai dilaksanakan
113
pada tahun 1998 (8 tahun setelah permukiman ini muncul). Infrastruktur yang
dibantu oleh pemerintah adalah sebagai berikut:
a) Pelebaran serta pengaspalan jalan lingkungan yang mengelilingi
permukiman tersebut. Pada awalnya lebar jalan tersebut adalah 2 meter,
dan kini diperlebar menjadi 4 meter dengan mengambil sedikit lahan
permukiman warga asli maupun lahan sewa pada permukiman kumuh
tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala dusun, perbaikan ini
diperkirakan dilakukan pada tahun 1998. Selain itu dilakukan juga
pemavingan jalan permukiman yang awalnya merupakan jalan tanah
dengan kondisi yang buruk.
Gambar 4.47 Perbaikan jalan oleh pemerintah (Dinas PU)
b) Pengadaan pompa air sebanyak 4 buah yang dapat digunakan secara
komunal atau bersama pada permukiman kumuh. Berdasarkan angka
tahun yang terdapat pada pompa di permukiman kumuh ini, pompa ini
diperkirakan dibangun oleh pemerintah pada tahun 1992. Letak pompa air
tersebar pada permukiman kumuh ini sehingga dapat dijangkau oleh warga
setempat.
Pemavingan pada jalan/gang
kecil pada permukiman
kumuh
Pengaspalan dan pelebaran
jalan lingkungan
114
c) Pembangunan MCK umum sebanyak 3-4 buah. Pembangunan ini
dilakukan bersamaan dengan pengadaan pompa air pada tahun 1992.
d) Pengadaan saluran drainase sepanjang 15 meter yang dikerjakan pada
tahun 2009 hingga 2010. Pekerjaan ini dilkerjakan oleh pihak pemerintah
dengan dibantu warga permukiman secara bergotong royong.
Pembangunan ini dilakukan karena pada permukiman ini sering terjadi
banjir saat hujan turun akibat dari air sungai yang meluap.
Tahap berikutnya adalah pengelolaan, yang dilakukan oleh pihak pemilik
lahan, warga permukiman, pihak banjar, serta pihak swasta. Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan pada tahap ini misalnya, pemakaian infrastruktur yang tersedia
dengan baik, gotong royong di lingkungan permukiman setiap 2 minggu sekali
yang diadakan oleh pihak banjar, serta pemungutan sampah oleh pihak swasta
dengan biaya operasional sebesar Rp. 5000,-/bulan. Selain itu, untuk pengelolaan
kamar mandi/WC umum dikenakan biaya operasional sebesar Rp. 5000,-/bulan
untuk setiap orangnya. Biaya ini dibayarkan ke pemilik kontrakan yang
menyalurkan listrik untuk operasional sumur pompa pada kamar mandi umum
tersebut. Pemilik lahan kurang berperan dalam tahap ini, karena pemilik hanya
menyewakan lahan sedangkan bangunan yang ada adalah milik penyewa lahan
dan merupakan tanggung jawab mereka pula.
Dalam proses pengadaan infrastruktur di lokasi ini khususnya, terdapat
beberapa pihak yang yang terkait antara lain:
115
1) Pemilik lahan
Pemilik lahan dalam hal ini merupakan pihak pertama yang mengadakan
jaringan infrastruktur pada awal lahan mereka disewakan kepada para pendatang.
Jaringan infrastruktur yang diadakan adalah jaringan jalan berupa jalan tanah
selebar ±2 meter pada bagian selatan lahan yang disewakan. Untuk selanjutnya
pemilik lahan menyerahkan sepenuhnya kepada warga yang menyewa lahan
mereka.
2) Penyewa lahan/warga permukiman
Penyewa lahan/warga permukiman memiliki peran penting dalam proses
pengadaan infrastruktur pada hunian masing-masing maupun pada permukiman
itu sendiri. Jalan lingkungan yang ada di tengah-tengah permukiman pada
awalnya dibuat oleh warga permukiman dengan kondisi seadanya yang berupa
jalan tanah dan adapula yang sudah berupa perkerasan. Satu ruas jalan kecil
menjadi tanggung jawab satu ruas permukiman (biasanya terdiri dari beberapa
kontrakan) yang berada di jalan tersebut. Pada hunian masing-masing, warga juga
membuat sarana permukiman seperti kamar mandi yang digunakan sesara pribadi
maupun bersama, serta saluran pembuangan yang dihubungkan dengan saluran
pembuangan makro permukiman ini.
3) Pemerintah
Pihak pemerintah yang berperan dalam pengadaan infrastruktur di
permukiman kumuh ini adalah Dinas PU Kota Denpasar. Pihak pemerintah turun
tangan setelah melihat kondisi lingkungan permukiman kumuh di lapangan,
khususnya di Banjar Jematang yang sangat buruk. Beberapa tahun yang lalu
116
sempat terjadi wabah muntaber di permukiman ini, melihat peristiwa tersebut
pemerintah turun langsung untuk memberi bantuan pada permukiman kumuh ini
dalam bentuk pengadaan dan perbaikan infrastruktur.
Pengadaan infrastruktur yang dilakukan antara lain, pengadaan pompa air
di empat titik pada permukiman yang lokasinya tersebar, pengadaan 8 kamar
mandi umum yang tersebar pada 4 titik. Perbaikan infrastruktur yang dilakukan
pemerintah yakni dalam bentuk pelebaran dan pengaspalan jalan utama
permukiman, pemavingan beberapa jalan lingkungan di permukiman, serta
perbaikan saluran drainase/got. Bantuan ini diharapkan dapat mengatasi
permasalahan yang dihadapi pada permukiman ini.
4) Pihak desa
Kepala desa dalam hal ini berperan sebagai perantara antara pemerintah
dengan warga permukiman kumuh. Selain itu, pihak desa juga memberikan
bantuan berupa pengadaan senderan sungai yang membentang dari arah utara
hingga barat permukiman. Senderan sungai yang dibangun yakni sepanjang 110
meter. Diharapkan nantinya dengan adanya senderan sungai ini, tidak terjadi
banjir lagi pada permukiman yang berada di dekat sungai tersebut seperti
beberapa tahun terakhir.
5) Pihak banjar
Pihak banjar dalam hal ini berperan sebagai pihak yang megajukan
permohonan bantuan kepada desa ataupun pemerintah terkait pengadaan dan
perbaikan infrastruktur di permukiman bersangkutan. Pihak banjar juga tetap
117
mengontrol serta mengawasi kondisi dari permukiman, selain mengurusi masalah
administrasi kependudukan.
6) Pihak swasta
Pihak swasta berperan pada tahap pengelolaan infrastruktur, dalam hal ini
pengelolaan sampah rumah tangga. Beberapa warga permukiman menggunakan
jasa petugas kebersihan untuk mangambil sampah yang mereka hasilkan. Warga
cukup membayar biaya operasional per bulannya, dan petugas pun akan
mengambil sampah secara rutin pada jam-jam tertentu.
4.4.2 Proses pengadaan infrastruktur pada kasus 2
Permukiman kumuh pada kasus kedua berlokasi di Jalan Resimuka Barat
Gang VII, Banjar Buana Asri, Desa Tegal Kertha. Proses pengadaan infrastruktur
pada permukiman kumuh berbeda dengan kasus permukiman kumuh pertama.
Terdapat 3 tahap pada proses pengadaan infrastruktur di permukiman ini yaitu
tahap awal perkembangan, tahap pengelolaan, serta perbaikan. Pada awalnya
lahan permukiman ini merupakan lahan sawah dan tegalan yang kemudian mulai
disewakan oleh pemiliknya pada tahun 1995-an dan terus berkembang hingga
kini.
Pada tahap awal perkembangan pada permukiman ini, infrastruktur yang
yang sudah tersedia adalah jalan pada utara permukiman yaitu jalan resimuka
barat. Pada saat lahan permukiman mulai disewakan, disediakan jalan lingkungan
atau gang oleh pemilik lahan yang berupa jalan tanah. Jalan ini membatasi antara
lahan 1 (utara) dan lahan 2 (selatan) dengan pemilik yang berbeda. Semakin
bertambah padatnya penghuni pada permukiman ini, secara tidak angsung
118
terbentuklah jalan-jalan kecil yang menghubungkan antara jalan utama pada
permukiman dengan hunian warga.
Gambar 4.48 Proses terbentuknya jaringan jalan pada permukiman kumuh
Infrastruktur lainnya seperti sumber air bersih, kamar mandi, saluran
pembuangan dibangun oleh penghuni atau penyewa lahan itu sendiri, karena yang
disewakan dalam hal ini hanya lahan dan bukan bangunan. Pada proses awal,
pihak yang berperan adalah pemilik lahan dan penyewa lahan itu sendiri.
Berbeda dengan proses pengadaan infrastruktur permukiman kumuh yang
pertama, tahap berikutnya pada permukiman kumuh ini adalah tahap pengelolaan.
Hal ini dikarenakan pihak pemerintah belum ada turun langsung dalam proses
pengadaan infrastruktur dalam bentuk apapun. Menurut koordinator pembangunan
Desa Tegal Kertha Bapak Gede Darma Subawa:
”....Tidak adanya bantuan dari pihak Desa maupun pemerintah
dikarenakan lahan tersebut merupakan lahan milik pribadi yang
kemudian disewakan. Untuk memberikan bantuan, harus mengikuti
prosedur yang ada agar tidak menimbulkan protes dari warga lain.
Selain itu lahan ini hanya milik 2 orang pribadi, sehingga peluang
memperoleh bantuan dari Desa maupun pemerintah sangat kecil.”
Lahan sawah/ tegalan
Lahan pemilik 2 yang
disewakan
Lahan pemilik 1 yang
disewakan
Tahap 1 Tahap 2
Tahap 3
119
Berdasarkan penuturan dari salah seorang pihak desa, tidak adanya
bantuan langsung dari pemerintah maupun desa, disebabkan oleh status lahan
yang merupakan lahan pribadi sehingga pada wilayah permukiman kumuh ini
bukan prioritas utama untuk diberikan bantuan dalam hal sarana dan prasarana
umum. Tindakan ini dimaksudkan agar nantinya tidak muncul kecemburuan sosial
dari warga setempat yang juga tidak memperoleh bantuan.
Pada proses pengelolaan infrastruktur pada permukiman ini dilakukan oleh
pemilik serta penyewa lahan, pihak banjar, serta pihak swasta. Secara keseluruhan
proses pengelolaan infrastruktur dilakukan oleh warga permukiman yang
menyewa lahan ini. Terdapat 1 warga yang ditunjuk oleh warga lainnya untuk
menjadi koordinator atau kepala di lingkungan ini. Kepala inilah yang nantinya
akan mengkoordinir pengelolaan jaringan infrastruktur yang ada serta fasilitas
bersama pada permukiman. Kegiatan yang dilakukan secara rutin adalah gotong
royong setiap 1 bulan 1 kali yang melibatkan seluruh warga permukiman. Untuk
pengelolaan sampah, pihak banjar bekerja sama dengan pihak swasta untuk
memungut sampah yang ada pada permukiman ini. Warga cukup membayar biaya
operasional Rp. 10.000/bulan dan meletakkan sampah-sampah mereka didepan
rumah di pinggir jalan lingkungan, agar petugas sampah dapat dengan mudah
mengambil sampah tersebut.
Proses berikutnya adalah perbaikan jaringan infrastruktur yang ada. Pada
tahun 1998 pemilik lahan bekerja sama dengan warga permukiman memperbaiki
jalan lingkungan yang ada pada permukiman tersebut. Kegiatan yang dilakukan
adalah pemavingan jalan lingkungan dari timur permukiman hingga ke barat
120
permukiman yang berbatasan dengan sungai. Untuk pembiayaan pada kegiatan ini
ditanggung oleh pemilik lahan serta warga permukiman yang juga ikut
berpartisipasi. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengadaan infrastruktur
secara keseluruhan di permukiman kumuh ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Pemilik lahan
Pemilik lahan pada permukiman ini berjumlah 2 orang yaitu Bapak Cip
dan Bapak Kembar. Peran dari pemilik lahan dalam proses pengadaan
infrastruktur pada permukiman ini sangat besar, baik pada awal mulai
disewakannya lahan tersebut hingga pada saat dilakukannya perbaikan jaringan
jalan dalam bentuk pemavingan beserta perbaikan saluran drainase. Untuk
pembiayaan pekerjaan tersebut ditanggung oleh pemilik lahan dengan dibantu
oleh penyewa lahan pada permukiman ini.
2) Penyewa lahan/warga permukiman
Penyewa lahan atau warga permukiman merupakan pihak yang ikut
berpartisipasi dalam proses-proses yang ada, baik dari awal perkembangan
permukiman hingga saat ini. Peran penyewa lahan dalam pengadaan infrastruktur
permukiman dilakukan khususnya pada hunian masing-masing yaitu dengan
membuat sarana MCK, mengadakan sumur gali maupun sumur bor sebagai
sumber air bersih, serta membuat saluran-saluran pembuangan limbah rumah
tangga. Penyewa lahan juga ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
perbaikan lingkungan dengan memberikan sejumlah uang untuk biaya operasional
perbaikan jaringan jalan maupun saluran drainase yang digunakan secara
komunal.
121
3) Pihak banjar
Pihak banjar tidak banyak berperan dalam proses pengadaan infrastruktur
pada permukiman ini. Pihak banjar hanya terlibat dalam proses pengelolaan
infrastruktur, khususnya dalam pengelolaan persampahan. Pihak banjar bekerja
sama dengan pihak swasta untuk memungut sampah yang sudah terkumpul pada
permukiman tersebut. Pihak banjar hanya menerima biaya operasional dari warga
permukiman sebesar Rp. 10.000,- / bulan.
4) Pihak swasta
Sama dengan pihak banjar, pihak swasta disini ikut berperan dalam proses
pengelolaan persampahan yang bekerja sama dengan pihak banjar. Sampah-
sampah yang diambil oleh petugas sampah akan dibawa ke TPS yang dekat
dengan lokasi permukiman ini yaitu TPS Monang Maning. Selain mengambil
sampah pada permukiman kumuh ini, petugas juga mengambil sampah pada
permukiman lain disekitar permukiman kumuh.
4.4.3 Proses pengadaan infrastruktur pada kasus 3
Permukiman kumuh pada kasus 3 berlokasi di Jalan Kertapura Gang
Segina VI, Banjar Pekandelan, Desa Pemecutan Kelod. Seperti yang telah
disebutkan pada pembahasan sebelumnya, lahan ini merupakan lahan milik banjar
yang berdasarkan kesepakatan antara pihak-pihak banjar, kemudian disewakan
kepada pendatang. Proses pengadaan infrastruktur pada permukiman kumuh kasus
ketiga ini hampir sama dengan permukiman kumuh kasus pertama yang melewati
beberapa tahapan mulai dari awal perkembangan permukiman, proses
perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, hingga pengelolaan.
122
Pada awal perkembangan permukiman tahun 1995, infrastruktur awal
yang disediakan oleh pemilik lahan, dalam hal ini pihak banjar, adalah jaringan
jalan. Jalan awal masih berupa jalan tanah yang berada di tengah-tengah
sepanjang permukiman. Infrastruktur lain seperti air bersih, sarana MCK, serta
saluran-saluran pembuangan pada masing-masing hunian, dibuat oleh warga
permukiman itu sendiri. Sumber air bersih menggunakan sumur gali dan sumur
bor yang digunakan secara pribadi maupun secara komunal. Demikian pula
halnya dengan sarana MCK. Secara keseluruhan infrastruktur pada permukiman
ini dibuat secara swadaya oleh warga permukiman dengan sedikit bantuan dari
pihak pemilik lahan (banjar).
Proses berikutnya yaitu perencanaan, dalam hal ini adalah perencanaan
program sanitasi berbasis masyarakat (Sanimas) dari Pemerintah Kota Denpasar.
Pada awalnya pemerintah menawarkan program ini ke desa-desa, salah satunya
adalah Desa Pemecutan Klod, dengan sasaran dari program ini adalah kawasan
permukiman padat penduduk di perkotaan. Pihak Banjar Pekandelan kemudian
mengajukan ke desa agar permukiman yang ada di wilayahnya lah yang diberikan
bantuan program Sanimas ini. Berdasarkan atas beberapa pertimbangan, program
Sanimas ini akan diadakan pada permukiman padat penduduk di Gang Segina VI,
Banjar Pekandelan, Desa Pemecutan Klod.
Pelaksanaan Sanimas di lingkungan Segina VI dimulai pada tahun 2005.
Dana pembangunan sebesar Rp 260 juta merupakan bantuan dari Pemerintah Kota
Denpasar, Bremen Overseas Research and Development Agency (BORDA)
melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM) Bali Fokus, dan swadaya
123
masyarakat. Pada saat itu warga setempat melakukan urunan sebesar Rp.
45.000/KK.
Masalah yang dihadapi pada saat perencanaan program ini adalah tidak
adanya lahan kosong yang dapat digunakan sebagai tempat untuk ditanami
bangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Lahan yang bisa digunakan
hanyalah badan jalan. Pihak yang bertugas kemudian mengajukan surat
permohonan menggunakan badan jalan sebagai lokasi IPAL kepada Dinas PU
setempat. Berdasarkan beberapa pertimbangan, kemudian permohonan tersebut
disetujui oleh Dinas PU dengan beberapa ketentuan.
Sanimas di lingkungan ini mulai dibangun pada september 2005. Proses
pembangunannya berjalan lancar tanpa menemukan hambatan yang berarti. Pada
proses pelaksanaannya dilakukan oleh pihak-pihak yang ditugaskan oleh Bali
Fokus yang dalam hal ini sebagai pelaksana teknis di lapangan. Januari 2006
fasilitas Sanimas sudah dapat beroperasi dan digunakan oleh masyarakat
setempat. Hingga kini fasilitas Sanimas melayani 196 KK dengan total jumlah
warga sebanyak 448 jiwa.
Tahapan berikutnya adalah proses pengelolaan yang melibatkan pihak
pemerintah dan lembaga-lembaga terkait yaitu BORDA (Bali Fokus) sebagai
pihak yang memonitoring dan mengevaluasi kondisi dari fasilitas Sanimas ini.
Penerapan Sanimas mengharuskan adanya peran serta warga pada program itu.
Selain urunan saat pembangunan, masyarakat juga diwajibkan membayar iuran
sebesar Rp 5.000/KK setiap bulannya untuk biaya perbaikan dan
pemeliharaannya. Pengelolaan Sanimas ini juga dilaksanakan oleh kelompok
124
swadaya masyarakat (KSM) Segina Asri, kelompok yang dibentuk untuk
pengelolaan Sanimas di Segina VI. Kelompok ini bertanggung jawab mengelola
dana iuran dan menggunakannya untuk pemeliharaan. Kegiatan yang dilakukan
secara rutin dan berkala adalah penyedotan pada IPAL yang tertanam di badan
jalan tersebut, agar pada saat musim hujan yang berkepanjangan, air tidak masuk
kembali melalui kloset pada hunian masing-masing.
Sejak diresmikannya fasilitas Sanimas oleh Pemerintah Kota Denpasar,
fasilitas ini mampu memecahkan persoalan sanitasi yang terjadi pada permukiman
ini. Menurut salah seorang warga yaitu Bapak Andi (2013) mengatakan sebagai
berikut:
“....dulu kalau hujan deras, air dari septic tank bisa meluap ke
dalam rumah melalui saluran toilet. Sekarang sudah nggak lagi. Ini
manfaat yang nyata dirasakan masyarakat di sini....”
Sedangkan menurut kepala lingkungan di permukiman ini yaitu Bapak
Gusti (2013) mengatakan:
”....adik bisa liat sekarang, air yang mengalir di got hanya air
hujan. Air limbah dari rumah tangga sudah tidak disalurkan di got
ini lagi....”
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, terlihat bahwa warga permukiman sangat
puas dengan kinerja dari pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam menangani
permasalahan yang ada pada permukiman padat penduduk di perkotaan.
1) Pemilik lahan (banjar)
Pemilik lahan dalam hal ini adalah pihak banjar yang menyewakan lahan
milik banjar kepada warga pendatang. Pihak Banjar memiliki peran penting dalam
proses pengadaan infrastruktur di permukiman ini. Pada awal lahan ini disewakan,
125
pemilik lahan/pihak banjar menyediakan jaringan jalan yang masih berupa jalan
tanah beserta saluran drainase.
Pada tahun 1996 pihak banjar/pemilik lahan untuk pertama kalinya
mengajukan permohonan bantuan kepada pemerintah. Bantuan yang diajukan
yakni bantuan untuk memperbaiki jaringan jalan pada permukiman yang awalnya
merupakan jalan tanah. Tahun 2005, pada saat Pemerintah Kota Denpasar sedang
gencar-gencarnya menjalankan program Sanimas, pihak banjar mengajukan agar
wilayahnya memperoleh bantuan tersebut yang kemudian disetujui oleh pihak
pemerintah dengan beberapa pertimbangan sebelumnya. Beberapa alasan wilayah
permukiman ini diajukan untuk memperoleh bantuan adalah, wilayah ini
merupakan permukiman yang padat penduduk, terdapat beberapa masalah dalam
hal sanitasi serta saluran pembuangan rumah tangga, sehingga kondisi di
ingkungan ini terkesan kumuh. Melihat permasalahan tersebut, pihak banjar
bersama warga permukiman antusias agar program ini dapat berjalan dengan baik
dan dapat mengatasi permasalahan yang ada.
2) Penyewa lahan/warga permukiman
Penyewa lahan/warga permukiman berperan dalam pengadaan jaringan
infrastruktur yang bersifat mikro pada hunian masing-masing. Infrastruktur
tersebut misalnya; pengadaan sumber air bersih yang dibuat menggunakan sumur
bor serta sumur gali yang digunakan secara komunal maupun pribadi; pengadaan
sarana MCK pada masing-masing hunian/kontrakan; serta pengadaan saluran
pembuangan limbah rumah tangga yang nantinya disalurkan menuju saluran
drainase/got pada saat itu.
126
Keterbatasan kemampuan dalam hal finansial dan pengetahuan, maka
pengadaan sarana dan prasarana permukiman dilakukan seadanya dengan kondisi
yang tidak baik, sehingga berdampak pada warga itu sendiri dan bagi lingkungan
permukiman.
3) Pemerintah (Pemerintah Kota Denpasar, Dinas PU)
Pihak pemerintah yaitu Pemerintah Kota Denpasar juga memiliki peran
yang sangat penting dalam proses pengadaaan jaringan infrastruktur di
permukiman ini. Tahun 1996 pemerintah Dinas PU memberikan bantuan berupa
perbaikan jalan yang awalnya hanya berupa jalan tanah selebar 4 meter dan
panjang ±200 meter beserta saluran drainase.
Pada tahun 2005, Pemerintah Kota Denpasar mengadakan program
Sanimas yang bekerja sama dengan Dinas PU, BORDA/LSM Bali Fokus.
Permukiman di Banjar Pekandelan, Desa Pemecutan Klod merupakan salah satu
permukiman yang memperoleh bantuan program Sanimas ini. Bantuan ini tidak
semata-mata diberikan begitu saja, namun berdasarkan pada beberapa
pertimbangan dan ketentuan yang sudah ditetapkan.
4) Bremen Overseas Research and Development Agency (BORDA)/
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bali Fokus
BORDA merupakan lembaga nirlaba yang berasal dari Jerman yang
banyak membantu dalam bidang sanitasi penanganan air limbah domestik di
wilayah padat hunian perkotaan. BORDA dalam proses pengadaan infrastruktur
ini bekerja sama dengan pihak pemerintah pada program sanimas yang merupakan
kegiatan pengolahan air limbah berbasis masyarakat. BORDA melalui LSM Bali
Fokus berperan penting dalam proses pengerjaan fasilitas Sanimas secara teknis.
127
Pihak ini juga secara rutin melakukan monitoring dan evaluasi terhadap fasilitas
Sanimas di permukiman ini.
4.5 Faktor-faktor Pengaruh Kondisi dan Pengadaan Infrastruktur
Permukiman Kumuh
Pengadaan infrastruktur di perkotaan terutama pada permukiman padat
penduduk, berdasarkan pada kasus yang diteliti terdapat beberapa tahapan dalam
proses pengadaan suatu infrastruktur. Seperti yang telah dipaparkan pada sub bab
sebelumnya, tahapan tersebut dibagi menjadi 6 yaitu, tahap awal perkembangan
permukiman, tahap perencanaan, tahap pembiayaan, tahap pelaksanaan, tahap
pengelolaan, serta tahap perbaikan. Dalam keseluruhan tahapan pengadaan
infrastruktur tersebut, terdapat bebagai pihak/stakeholder yang berperan pada
masing-masing proses. Pihak tersebut yaitu, pemerintah setempat, pihak desa,
pihak banjar, pemilik lahan, penyewa lahan/warga permukiman, serta pihak
swasta.
Infrastruktur maupun fasilitas umum suatu permukiman pada umumnya
tidak serta merta dibangun begitu saja, namun terdapat beberapa dasar
pertimbangan ataupun faktor-faktor yang mempengaruhi infrastruktur tersebut
diadakan oleh pihak-pihak tertentu. Pada 3 kasus permukiman kumuh yang diteliti
yaitu permukiman kumuh di Banjar Jematang (kasus 1), permukiman kumuh di
Banjar Buana Asri (kasus 2), dan permukiman kumuh di Banjar Pekandelan, juga
terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pengadaan infrastruktur di
permukiman tersebut. Berdasarkan pemaparan pada bagian sebelumnya yaitu
mengenai kondisi infrastruktur pada masing-masing kasus permukiman kumuh,
128
proses pengadaan infrastruktur, serta pihak-pihak yang terlibat didalamnya, dapat
ditarik sebuah kesimpulan berupa faktor-faktor yang mempengaruhi pengadaan
infrastruktur pada ketiga kasus yang diteliti. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut :
Tabel 4.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi dan pengadaan infrastruktur
Per
ing
ka
t KASUS 1 KASUS 2 KASUS 3
Air
Jala
n
Lim
bah
MC
K
Air
Jala
n
Lim
bah
MC
K
Air
Jala
n
Lim
bah
MC
K
1 Fb Fb Fb Fb Fa Fa Fa Fa Fa Fc Fc Fa
2 Fa Fa Fd Fa Fc Fc Fd Fc Fb Fb
3 Ff Ff Ff Fa Fd
4 Fa Fe
5 Ff
Keterangan :
Fa : Faktor Status lahan
Fb : Faktor Kondisi fisik infrastruktur yang ada
Fc : Faktor Hak milik lahan
Fd : Faktor Potensi pada site
Fe : Faktor Sumber daya manusia
Ff : Faktor Kondisi site permukiman
4.5.1 Status lahan
Faktor pertama yang mempengaruhi pengadaan infrastruktur permukiman
kumuh pada ketiga kasus yang diteliti adalah status lahan. Status lahan
permukiman kumuh pada ketiga kasus yang diteliti merupakan lahan sewa. Status
lahan sewa sangat berperan dalam proses pengadaan infrastruktur terutama bagi
pemerintah. Pada kasus 2 (Br. Buana Asri) terlihat faktor status lahan berada pada
peringkat pertama yang mempengaruhi pengadaan infrastruktur. Pada
permukiman ini, pemerintah belum pernah terlibat dalam pengadaan maupun
129
perbaikan jaringan infrastruktur. Hal ini dikarenakan oleh status lahan seluruh
permukiman yang merupakan lahan sewa, sehingga permukiman ini tidak menjadi
prioritas bagi pemerintah untuk diberikan bantuan. Pemilik lahan dan warga
permukiman mengadakan jaringan infrastruktur secara swadaya, baik pada tahap
perbaikan maupun pengelolaan.
Pada kasus lainnya, yaitu permukiman kumuh kasus 1 (Br. Jematang) dan
kasus 3 (Br. Pekandelan), faktor status lahan bukan merupakan faktor utama
dalam proses pengadaan infrastruktur permukiman tersebut. Status lahan tetap
menjadi dasar pertimbangan dalam pengadaan maupun perbaikan infrastruktur
sehingga, tidak menimbulkan kecemburuan sosial bagi warga lain di sekitar
permukiman ini.
4.5.2 Kondisi fisik permukiman
Faktor berikutnya adalah kondisi fisik permukiman yang juga
mempengaruhi dalam proses pengadaan infrastruktur. Kondisi fisik permukiman
dalam hal ini adalah kondisi lingkungan pada permukiman yang juga terkait
dengan kondisi infrastruktur yang sudah ada sebelumnya. Pada permukiman
kumuh kasus 1 (Br. Jematang), faktor kondisi fisik permukiman menjadi faktor
utama yang mempengaruhi pengadaan jaringan infrastruktur. Awalnya pemerintah
melihat kondisi permukiman (hunian) yang sangat buruk, serta jaringan
infrastruktur yang seadanya dengan memanfaatkan potensi di sekitar permukiman
secara tidak bertanggung jawab. Menurut Kepala Dusun Banjar Jematang, pernah
terjadi wabah muntaber di permukiman ini, akibat tercemarnya air tanah. Melihat
kondisi ini, pemerintah turun langsung memberikan bantuan pada permukiman ini
130
dalam bentuk pengadaan infrastruktur seperti jalan beserta saluran drainasenya,
pompa air, dan kamar mandi/MCK yang digunakan secara komunal.
Pada kasus 3, kondisi fisik permukiman juga berpengaruh pada proses
pengadaan infrastruktur, terutama dalam hal pengadaan saluran pembuangan
limbah. Pada awalnya pembuangan limbah padat pada permukiman ini mengalami
permasalahan. Saat musim hujan air tanah naik sehingga limbah yang ditampung
pada tangki septik ikut meluap naik dan keluar melalui lubang kloset. Kondisi ini
menjadi salah satu pertimbangan bagi pemerintah untuk memerikan bantuan
berupa fasilitas sanimas yang berfungsi untuk mengolah limbah secara komunal.
Pada kasus 2 (Br. Buana Asri), kondisi fisik permukiman tidak termasuk
dalam faktor yang mempengaruhi pengadaan infrastruktur terutama oleh pihak
pemerintah. Pemilik lahan dan warga permukiman yang bertanggung jawab penuh
atas infrastruktur pada permukiman ini.
4.5.3 Hak milik lahan
Hak milik lahan dalam hal ini adalah pihak sebagai pemilik lahan yang
berperan dalam proses pengadaan infrastruktur. Pengaruh dari faktor hak milik
lahan terlihat pada kasus 3 (Br. Pekandelan), dimana lahan permukiman ini
merupakan lahan milik banjar yang kemudian disewakan kepada pendatang. Pihak
banjar yang merupakan pemilik lahan pada permukiman ini, mempermudah
pemilik lahan dan warga permukiman untuk mengajukan permohonan bantuan
kepada pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur yang sudah ada sebelumnya.
Lain halnya dengan kasus 2, hak milik lahan permukiman ada pada pihak
perseorangan yang merupakan warga desa tersebut. Salah satu penyebab
131
permukiman ini tidak memperoleh bantuan dari pemerintah adalah pemilik lahan
yang berjumlah 2 orang yang hanya merupakan warga biasa. Namun pemilik
lahan bersama warga permukiman tetap membangun jaringan infrastruktur,
seperti jalan dan saluran drainase secara swadaya.
4.5.4 Potensi pada site
Faktor berikutnya adalah potensi pada site permukiman yang juga
mempengaruhi pengadaan infrastruktur. Potensi pada site yang dimaksud,
misalnya sungai, lahan kosong atau tegalan yang dimanfaatkan untuk mendukung
pembangunan infrastruktur. Secara keseluruhan, potensi site menjadi faktor
pengaruh dalam pengadaan infrastruktur khususnya yang berkaitan dengan
pembuangan limbah, baik limbah cair, padat, maupun sampah. Pada kasus 1 dan
3, lokasi permukiman berada dekat dengan sungai. Tidak hanya saluran drainase
yang bermuara ke sungai dekat permukiman, namun juga saluran pembuangan
limbah cair yang berasal dari dapur dan kamar mandi, juga bermuara ke sungai.
Untuk limbah sampah, selain terdapat pihak swasta yang mengangkut sampah-
sampah tersebut, masih ada sebagian warga yang memanfaatkan potensi site yang
ada seperti sungai dan lahan kosong sebagai tempat pembuangan sampah. Hal ini
tentunya dapat merusak lingkungan yang ada di sekitar permukiman tersebut.
4.5.5 Sumber daya manusia
Faktor sumber daya manusia yang dimaksud adalah peran dari masing-
masing pihak yang terkait dalam proses pengadaan infrastruktur hingga tahap
pengelolaannya. Faktor ini terlihat pada kasus 3 dalam pengadaan fasilitas
132
pengelolaan limbah berbasis masyarakat (Sanimas). Kerjasama antara pihak
pemerintah, pihak swasta, pemilik lahan serta warga permukiman itu sendiri
sangat baik, sehingga program Sanimas yang diadakan oleh pemerintah dapat
berjalan dengan baik hingga saat ini. Pihak pemerintah berperan sebagai pihak
yang menaungi diadakannya program ini, sedangkan pihak swasta berperan dalam
pembangunan fasilitas Sanimas, dan warga permukiman melalui suatu organisasi
berperan dalam mengelola fasilitas tersebut.
4.5.6 Kondisi site
Faktor kondisi site secara keseluruhan terkait dengan proses pengadaan
saluran-saluran drainase serta saluran pembuangan limbah. Pada kasus 2 kondisi
site berpengaruh dalam pengadaan saluran pembuangan limbah. Kondisi
kemiringan site pada permukiman ini lebih rendah pada ujung belakang
permukiman, yang juga merupakan letak dari sungai. Saluran-saluran mikro yang
berasal dari hunian masing-masing bermuara pada saluran makro yang ada di
jalan utama permukiman, kemudian saluran ini mengalir ke bbagian belakang
permukiman yaitu ke sungai. Aliran limbah pada saluran ini berjalan lancar,
namun akibat kemiringan site yang semakin ke belakang semakin rendah,
menyebabkan permukiman ini menjadi daerah aliran air yang berasal dari
permukiman yang berada pada daerah yang lebih tinggi.
Berdasarkan penjabaran diatas, dalam proses pengadaan infrastruktur pada
masing-masing kasus permukiman kumuh memiliki beberapa faktor pengaruh
yang sama, dengan tingkat kepentingan yang berbeda-beda. Pada permukiman
kumuh kasus pertama, faktor yang mempengaruhi pengadaan infrastruktur adalah
133
faktor kondisi fisik infrastruktur yang ada (Fb), kemudian faktor berikutnya
adalah faktor status lahan (Fa), faktor kondisi site permukiman (Ff), serta faktor
potensi pada site (Fd). Faktor pengaruh yang dominan pada kasus 1 adalah faktor
kondisi infrastruktur yang ada (Fb). Pada kasus ini, infrastruktur pada awalnya
dibangun oleh pemilik masing-masing lahan bersama dengan warga permukiman
dengan kondisi yang seadanya. Semakin padatnya hunian pada permukiman ini
dengan kondisi infrastruktur yang sangat minim bahkan dapat dikatakan buruk
mengakibatkan kondisi lingkungan permukiman ini juga menjadi buruk. Kondisi
ini yang menyebabkan pemerintah turun langsung memberikan bantuan dalam
pengadaan maupun perbaikan jaringan infrastruktur pada permukiman ini,
sehingga pada saat ini kondisi lingkungan permukiman menjadi lebih baik dari
sebelumnya.
Pada permukiman kumuh kasus kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi
dalam proses pengadaan infastruktur adalah, faktor status lahan (Fa), faktor hak
milik lahan (Fc), faktor potensi pada site (Fd), serta faktor kondisi site
permukiman (Ff). Faktor pengaruh yang paling dominan yaitu faktor status lahan
(Fa). Pada kasus permukiman kumuh yang kedua, status lahan menjadi dasar
pertimbangan yang utama dalam proses pengadaan infrastruktur. Permukiman ini
tidak memperoleh bantuan apapun dari pemerintah terkait dengan infrastruktur.
Hal ini disebabkan oleh status lahan permukiman yang merupakan lahan sewa,
sehingga permukiman ini menjadi prioritas kesekian bagi pemerintah. Oleh karena
itu, warga permukiman bersama dengan pemilik lahan secara swadaya
membangun infrastruktur di permukiman ini.
134
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengadaan infrastruktur pada
permukiman kumuh kasus ketiga adalah, faktor hak milik lahan (Fc), faktor status
lahan (Fa), faktor kondisi fisik infrastruktur yang ada (Fb), faktor potensi pada site
(Fd), faktor sumber daya manusia (Fe), serta faktor kondisi site permukiman (Ff).
Terdapat 2 faktor pengaruh yang paling dominan pada kasus ketiga yaitu faktor
hak milik lahan (Fc), faktor status lahan (Fa). Secara keseluruhan kondisi
permukiman kumuh pada kasus ketiga lebih baik jika dibandingkan dengan
permukiman kumuh pada kasus 1 dan 2. Faktor yang paling berpengaruh dalam
hal ini adalah hak milik lahan permukiman merupakan hak milik banjar yaitu
Banjar Pekandelan. Hal ini mengakibatkan dengan mudahnya permukiman ini
memperoleh bantuan dari pemerintah walaupun status lahan merupakan lahan
sewa, namun tetap berdasar atas pertimbangan-pertimbangan dari pemerintah
dalam memberikan bantuan.
Berdasarkan pemaparan diatas, faktor-faktor pengaruh kondisi dan
pengadaan infrastruktur permukiman kumuh dapat digolongkan menjadi 3 faktor
yang dilihat secara makro yaitu, (1) faktor alam, meliputi kondisi site dan potensi
pada site; (2) faktor buatan, meliputi kondisi fisik permukiman; serta (3) faktor
sosial, meliputi status lahan, hak milik lahan, dan sumber daya manusia.
Keseluruhan faktor ini terkait satu sama lainnya dan memiliki perbedaan pada
setiap kasus permukiman kumuh yang diteliti.