UNIVERSITAS INDONESIA
MANAJEMEN KASUS SPESIALIS JIWA DEFISIT PERAWATAN DIRI
PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DI RW 02 DAN RW 12
KELURAHAN BARANANG SIANG
KECAMATAN BOGOR TIMUR
KARYA ILMIAH AKHIR
Dwi Heppy Rochmawati
0906573742
PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, JUNI 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
MANAJEMEN KASUS SPESIALIS JIWA DEFISIT PERAWATAN DIRI
PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DI RW 02 DAN RW 12
KELURAHAN BARANANG SIANG
KECAMATAN BOGOR TIMUR
KARYA ILMIAH AKHIR
Disusun guna memenuhi tugas untuk menyelesaikan Mata Ajar KIA
pada Program Spesialis Keperawatan Jiwa
Dwi Heppy Rochmawati
0906573742
PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, JUNI 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
vii
ABSTRAK
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
Karya Ilmiah Akhir, Juli 2012
Dwi Heppy Rochmawati
Manajemen Kasus Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri pada Klien Gangguan
Jiwa di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur
xviii + 180 hal + 19 tabel + 3 skema + 5 lampiran
Jumlah klien gangguan jiwa yang ditemukan adalah 18 orang (2,44%) dari total
penduduk dewasa 737 orang. Angka ini menunjukkan peningkatan dari estimasi
gangguan jiwa di Jawa Barat (0,22%). Defisit perawatan diri adalah salah satu
bentuk gangguan jiwa dan dialami oleh seluruh klien gangguan jiwa yang
ditemukan. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini adalah menggambarkan
management of care kasus spesialis terhadap klien defisit perawatan diri dengan
pendekatan Self Care Orem. Metode yang digunakan adalah studi serial kasus
defisit perawatan diri pada klien gangguan jiwa dengan pemberian terapi spesialis
keperawatan jiwa. Paket terapi yang diberikan : 1 Behaviour theraphy, 2
Behaviour theraphy dan Supportif Theraphy, 3 Behaviour theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group. Terapi diberikan kepada 17 klien (9 skizofrenia, 4
retardasi mental dan 4 demensia). Hasil pelaksanaan terapi adalah paket terapi
ketiga sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan dan menurunkan tanda
gejala klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis skizofrenia dan retardasi
mental. Terapi-terapi tersebut kurang efektif bagi klien demensia. Berdasarkan
hasil di atas perlu direkomendasikan bahwa behaviour theraphy, supportif
theraphy dan self help group dapat dijadikan standar terapi spesialis keperawatan
jiwa bagi klien defisit perawatan diri khususnya dengan skizofrenia dan perlu
dilakukan penelitian lanjut tentang terapi spesialis keperawatan jiwa yang tepat
untuk klien defisit perawatan diri dengan demensia.
Kata kunci : Behaviour theraphy, Self Care Orem, defisit perawatan diri.
Daftar pustaka 57 (1997-2012)
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
viii
ABSTRACT
POST GRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF
INDONESIA
The Last Paper of Science, July 2012
Dwi Heppy Rochmawati
Mental Specialist Case Management Self-Care Deficit for Client of Mental
Disorders at RW 02 and RW 12 Kelurahan Baranang Siang East of Bogor
xviii + 180 page + 19 table + 3 scheme + 5 appendixs
The amount of clients of mental disorders found were 18 people (2.44%) of the
total adult population of 737 people. This amount shows an increase from an
estimate of mental disorder in West Java (0.22%). Self-care deficit is one form of
mental disorder and is experienced by all clients of mental disorders was found.
The purpose of this paper is to describe management of care the scientific end
case specialists to client self-care deficit with Orem’s Self Care approach. The
method used is the serial case study of self-care deficits in psychotic clients with
life-giving therapy nursing specialists. Therapy are : first package of Behavior
Therapy, second package of Behavior Therapy and Supportive Therapy, third
package of Behavior Therapy, Supportive Therapy and Self Help Group. Therapy
was given to the 17 client (9 schizophrenia, 4 mental retardation, and 4 dementia).
The results of the implementation of these therapies is that the package of three
highly effective therapy to improve coping mechanism and reduce the symptoms
signs on the client's self-care deficit with a medical diagnosis of schizophrenia and
mental retardation in performing self-care. These therapies are less effective for
clients with dementia. Based on the above results need to be recommended that
the behavior therapy, supportive therapy and self help group can be made standard
of therapy of nursing specialist self-care deficit of clients and schizophrenia in
particular, and have done research about nursing specialist mental therapy is right
for the client self-care deficits with dementia.
Keywords: Behavior Therapy, Self Care Orem, self-care deficit.
Bibliography 57 (1997-2012)
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahi Robbil Aalamiin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas berkat Rahmat dan Kasih Sayang-Nya Karya Ilmiah Akhir dengan judul
“Manajemen Kasus Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri pada Klien
Gangguan Jiwa di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang
Kecamatan Bogor Timur” dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Karya
Ilmiah Akhir ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk meraih
gelar Spesialis Keperawatan Jiwa pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Selama proses penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini, penulis tidak lepas
mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat membantu.
Maka pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Kepala Kecamatan Bogor Timur beserta seluruh staf yang telah bekerjasama
dan memfasilitasi serta memberikan kesempatan pada mahasiswa dalam
mengembangkan program Community Mental Health Nursing (CMHN) di
Wilayah Kecamatan Bogor Timur khususnya Kelurahan Baranang Siang.
2. Kepala Puskesmas Bogor Timur beserta seluruh staf yang telah bekerjasama
dan memfasilitasi serta memberikan kesempatan pada mahasiswa dalam
mengembangkan progam Community Mental Health Nursing (CMHN) di
Wilayah Puskesmas Bogor Timur.
3. Kepala Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur yang telah
bekerja sama, memfasilitasi dan memberikan kesempatan pada mahasiswa
untuk mengaplikasikan kemampuan perawat spesialis khususnya dalam
mengembangkan program CMHN di Wilayah RW 02 dan RW 12 Kelurahan
Baranang Siang.
4. Dewi Irawaty, M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
x
5. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN, selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
6. Prof. DR. Budi Anna Keliat, S. Kp., M. App. Sc, selaku pembimbing I yang
telah memberikan saran, arahan, bimbingan serta motivasi dalam penyusunan
Karya Ilmiah Akhir ini hingga selesai.
7. Ice Yulia Wardani, S. Kp., M. Kep., Sp. Kep. J., selaku pembimbing II yang
telah memberikan saran, arahan, bimbingan serta motivasi dalam penyusunan
Karya Ilmiah Akhir ini hingga selesai.
8. Mustikasari, S. Kp., MARS., selaku Dosen Wali yang selalu memberikan
arahan dan motivasi untuk tetap semanagt dan maju meraih yang terbaik.
9. Prof. Achir Yani S. Hamid, M.N., D.N.Sc, selaku pengajar Mata Kuliah
Keperawatan Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
10. Herni Susanti, S.Kp., M.N, selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa
pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
11. Novy Helena C.D., S. Kp., M. Sc, selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan
Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia
12. Staf Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia yang telah membekali ilmu, sehingga penulis mampu menyusun
karya ilmiah akhir ini.
13. Seluruh keluarga terutama suami (Hery Apriyanto) dan anak-anakku tercinta
(Kiky, Vicky dan Ricky Ilyasa) yang telah memberikan motivasi dan
dukungan selama proses studi.
14. Rekan-rekan mahasiswa Program Pendidikan Perawat Spesialis Jiwa Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia angkatan Tahun 2009 senasib
seperjuangan.
15. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini, yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
xi
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat untuk semua kebaikan
yang telah penulis terima dan semoga laporan Karya Ilmiah Akhir ini dapat
dipergunakan untuk peningkatan kualitas pelayanan keperawatan jiwa.
Depok, Mei 2012
Dwi Heppy Rochmawati
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .................................................................................
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN ..........................................................................
i
ii
iii
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... iv
PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
ABSTRACT .................................................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................................
DAFTAR ISI ................................................................................................
DAFTAR TABEL ........................................................................................
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
viii
ix
xii
xvi
xvii
xviii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan ................................................................................
1.2.1 Tujuan Umum ...........................................................................
1.2.2 Tujuan Khusus ..........................................................................
9
9
9
1.3 Manfaat Penulisan ..............................................................................
1.3.1 Manfaat Aplikatif ......................................................................
1.3.2 Manfaat Keilmuan .....................................................................
1.3.3 Manfaat Metodologi ..................................................................
10
10
10
11
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Jiwa .................................................................................. 12
2.2 Skizofrenia .........................................................................................
2.2.1 Pengertian .................................................................................
2.2.2 Penyebab ...................................................................................
14
14
15
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
xiii
2.2.3 Tanda dan Gejala .......................................................................
2.2.4 Terapi Psikofarmaka Skizofrenia ..............................................
2.3 Retardasi Mental ................................................................................
2.3.1 Pengertian ..................................................................................
2.3.2 Penyebab ...................................................................................
2.3.3 Tanda dan Gejala .......................................................................
2.3.4 Terapi Psikofarmaka Retardasi Mental .....................................
2.4 Demensia ............................................................................................
2.4.1 Pengertian .................................................................................
2.4.2 Penyebab ...................................................................................
2.4.3 Tanda dan Gejala ......................................................................
2.4.4 Terapi Psikofarmaka Demensia ................................................
16
18
20
20
21
24
25
26
26
27
27
27
2.5 Defisit Perawatan Diri ........................................................................ 29
2.5.1 Pengertian ................................................................................ 29
2.5.2 Stressor Defisit Perawatan Diri ................................................ 29
2.5.3 Respon terhadap Stresor pada Defisit Perawatan Diri ............. 40
2.5.4 Kemampuan Klien Defisit Perawatan Diri ...............................
2.5.5 Tindakan Keperawatan Defisit Perawatan Diri ........................
2.6 Konseptual Model Pelayanan dan Asuhan Keperawatan Jiwa ..........
2.6.1 Teori dan Konsep Model Self Care Dorothy Orem ..................
2.6.2 Konsep Community Mental Health Nursing ............................
2.6.3 Aplikasi dan Kerangka Konsep Proses Keperawatan dengan
Pendekatan Model Orem’s Self Care .......................................
46
52
69
70
75
84
3. MANAJEMEN PELAYANAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
JIWA DI PUSKESMAS BOGOR TIMUR
3.1 Profil Wilayah .....................................................................................
3.1.1 Kecamatan Bogor Timur ............................................................
3.1.2 Kelurahan Baranang Siang ........................................................
3.1.3 RW 02 dan RW 12 .....................................................................
3.2 Manajemen Pelayanan Kesehatan Jiwa ..............................................
88
88
91
92
96
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
xiv
3.2.1 Puskesmas Bogor Timur ............................................................
3.2.2 Kelurahan Baranang Siang ........................................................
3.2.3 RW 02 dan RW 12 .....................................................................
96
96
96
4. PELAKSANAAN DAN HASIL MANAJEMEN ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DEFISIT PERAWATAN DIRI
4.1 Hasil Pengkajian ................................................................................
4.1.1 Karakteristik ............................................................................
4.1.2 Stressor Predisposisi ...............................................................
4.1.3 Stressor Presipitasi ....................................................................
4.1.4 Respon terhadap Stressor ..........................................................
4.1.5 Kemampuan Klien ....................................................................
4.2 Diagnosa Keperawatan dan Diagnosa Medis .....................................
4.3 Rencana Tindakan Keperawatan ........................................................
4.4 Pelaksanaan dan Hasil Tindakan Keperawatan ..................................
4.4.1 Tindakan Keperawatan .............................................................
4.4.2 Hasil .........................................................................................
4.5 Evaluasi dan Rencana Tindak Lanjut .................................................
4.5.1 Evaluasi Keperawatan ..............................................................
4.5.2 Rencana Tindak Lanjut .............................................................
4.6 Hambatan Pelaksanaan Asuhan Keperawatan ...................................
4.6.1 Pelaksanaan Terapi ...................................................................
4.6.2 Lingkungan Perawatan .............................................................
109
109
111
113
114
116
118
120
126
126
138
151
151
151
152
152
153
5. PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik .......................................................................................
5.1.1 Usia ...........................................................................................
5.1.2 Pendidikan .................................................................................
5.1.3 Status Pekerjaan ........................................................................
5.1.4 Status Perkawinan .....................................................................
5.2 Stressor Predisposisi ..........................................................................
154
154
155
156
156
157
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
xv
5.3 Stressor Presipitasi .............................................................................
5.4 Efektifitas Penerapan Terapi pada Klien Defisit Perawatan Diri
dengan Pendekatan Teori Dorothy Orem Self Care Model .............
5.4.1 Respon terhadap Stressor .......................................................
5.4.2 Kemampuan Klien .................................................................
5.5 Efektifitas Penerapan Terapi pada Defisit Perawatan Diri ................
5.3.1 Efektifitas BT ............................................................................
5.3.2 Efektifitas BT+ST, BT+ST+SHG .............................................
159
161
161
163
166
169
169
172
5 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan ...........................................................................................
6.2 Saran ..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
177
179
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 4.1
Distribusi KK Sehat, Risiko dan Gangguan di RW
02 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor
Timur
Distribusi KK Sehat, Risiko dan Gangguan di RW
12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor
Timur
Distribusi Karakteristik Klien dengan Defisit
Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012
(n=18)
94
96
110
Tabel 4.2 Distribusi Stressor Predisposisi Klien dengan
Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-
April 2012 (n=18)
112
Tabel 4.3 Distribusi Stressor Presipitasi Klien dengan
Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-
April 2012 (n=18)
113
Tabel 4.4 Distribusi Respon terhadap Stressor Klien dengan
Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-
April 2012 (n=18)
115
Tabel 4.5 Distribusi Kemampuan Klien dengan Defisit
Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012
(n=18)
117
Tabel 4.6 Distribusi Diagnosa Keperawatan Penyerta Klien
dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober
2011-April 2012 (n=18)
119
Tabel 4.7
Tabel 4.8
Distribusi Diagnosa Medis Klien dengan Defisit
Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012
(n=18)
Rencana Pemberian Terapi Klien dengan Defisit
Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012
119
125
Tabel 4.9 Distribusi Pelaksanaan Terapi Keperawatan Klien
dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober
2011-April 2012 (n=18)
126
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
xvii
Tabel 4.10 Distribusi Pelaksanaan Terapi Keperawatan
Keluarga dengan Klien Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)
131
Tabel 4.11
Tabel 4.12
Tabel 4.13
Tabel 4.14
Tabel 4.15
Tabel 4.16
Tabel 4.17
Tabel 4.18
Tabel 4.19
Distribusi Pelaksanaan Terapi Keperawatan
Kelompok Klien Defisit Perawatan Diri Periode
Oktober 2011-April 2012 (n=18)
Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap
Stressor Klien Defisit Perawatan Diri dengan
Diagnosa Medis Skizofrenia Periode Oktober
2011-April 2012
Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap
Stressor Klien Defisit Perawatan Diri dengan
Diagnosa Medis Retardasi Mental Periode
Oktober 2011-April 2012
Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap
Stressor Klien Defisit Perawatan Diri dengan
Diagnosa Medis Demensia Periode Oktober 2011-
April 2012
Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Pre dan
Post Terapi Klien Defisit Perawatan Diri dengan
Diagnosa Medis Skizofrenia Periode Oktober
2011-April 2012
Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Pre dan
Post Terapi Klien Defisit Perawatan Diri dengan
Diagnosa Medis Retardasi Mental Periode
Oktober 2011-April 2012
Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Pre dan
Post Terapi Klien Defisit Perawatan Diri dengan
Diagnosa Medis Demensia Periode Oktober 2011-
April 2012
Distribusi Kemampuan Keluarga dalam Merawat
Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober
2011-April 2012
Distribusi Kemampuan Kelompok dalam
Merawat Klien Defisit Perawatan Diri Periode
Oktober 2011-April 2012
135
139
140
141
146
147
147
150
151
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Rentang Respon Perawatan Diri
45
Gambar 2.2 Orem’s Self Care Model
72
Gambar 2.3
Gambar 3.1
Aplikasi Penerapan Orem’s Self Care Model
Struktur Pengelolaan Klien Gangguan Jiwa RW
02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang
87
100
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Karaktersitik Klien Defisit
Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober 2011-April
2012
Lampiran 2 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Faktor Predisposisi Klien Defisit
Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober 2011-April
2012
Lampiran 3 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Faktor Presipitasi Klien Defisit
Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober 2011-April
2012
Lampiran 4 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Penilaian Terhadap Stresor
Klien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode
Oktober 2011-April 2012
Lampiran 5 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Kemampuan Klien
Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober
2011-April 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan
fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan
perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain (UU No 36,
2009). Kesehatan jiwa menurut World Health Organization (WHO) tahun
2001 yaitu kondisi sejahtera dimana individu menyadari kemampuan yang
dimilikinya, dapat mengatasi stress dalam kehidupannya, dapat bekerja
secara produktif dan mempunyai kontribusi dalam kehidupan
bermasyarakat. Sedangkan menurut Stuart (2009) kesehatan jiwa adalah
keadaan sejahtera yang ditandai dengan perasaan bahagia, keseimbangan,
merasa puas, pencapaian diri dan optimis. Dari beberapa definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah keadaan atau kondisi yang
sejahtera baik secara emosional, psikologis, maupun sosial, mampu
menyadari tentang diri dan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat
berfungsi secara produktif baik bagi diri sendiri, keluarga maupun
masyarakat.
WHO (2001) menjelaskan bahwa status kesehatan jiwa secara global
memperlihatkan 25% penduduk pernah mengalami gangguan mental dan
perilaku, namun hanya 40% yang terdiagnosis. Selain itu, 10% populasi
orang dewasa pernah mengalami gangguan mental dan perilaku, 20%
pasien di puskesmas teridentifikasi mengalami gangguan jiwa dan satu
orang dari empat rumah tangga mempunyai keluhan gangguan perilaku.
Data WHO (2006) mengungkapkan 26 juta penduduk Indonesia
mengalami gangguan jiwa. Panik dan cemas adalah gejala paling ringan
dan dari total populasi, sekitar 13,2 juta orang mengalami depresi.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
2
Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dari
Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Kemenkes Republik
Indonesia (Kemenkes RI, 2008), prevalensi gangguan mental emosional
seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi
orang dewasa dengan prevalensi tertinggi di Jawa Barat yaitu 20,0%.
Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,46 %, dengan kata
lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima diantaranya
menderita gangguan jiwa berat. Prevalensi gangguan jiwa berat di Jawa
Barat sebesar 0,22 % dan angka tersebut meningkat menjadi 0,40% di kota
Bogor. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah kesehatan
jiwa baik gangguan jiwa ringan hingga berat cukup tinggi dan
membutuhkan penanganan yang serius serta berkesinambungan.
Gangguan jiwa menurut Townsend, (2005) merupakan respon maladaptif
terhadap stresor dari lingkungan internal dan eksternal yang ditunjukkan
dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan
norma lokal dan budaya setempat, mengganggu fungsi sosial, pekerjaan,
dan fisik individu. Disfungsi yang terjadi dapat berupa disfungsi dalam
segi perilaku, psikologik, biologik dan gangguan itu tidak semata-mata
terletak di dalam hubungan antara orang itu dengan masyarakat (PPDGJ
III, 2003). Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-IV-TR) 4th
edition (1994) gangguan jiwa didefinisikan
sebagai kumpulan gejala (sindrom) atau pola klinik yang signifikan dari
perilaku dan psikologis yang terjadi pada individu dan dikaitkan dengan
stress dan ketidakmampuan (kerusakan fungsi dalam satu area atau lebih)
atau meningkatan resiko penderitaan, ketidakmampuan atau kehilangan
kebebasan.
Gangguan jiwa menurut Kaplan dan Sadock (2007), merupakan gejala
yang dimanifestasikan melalui perubahan karakteristik utama dari
kerusakan fungsi perilaku atau psikologis yang secara umum diukur dari
beberapa konsep norma, dihubungkan dengan distress atau penyakit, tidak
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
3
Universitas Indonesia
hanya dari respon yang diharapkan pada kejadian tertentu atau
keterbatasan hubungan antara individu dan lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan gangguan
jiwa merupakan respon maladaptif terhadap stresor yang menyebabkan
disfungsi baik biologis, psikologis atau perilaku dimana disfungsi atau
perubahan ini tidak sesuai dengan norma lokal dan budaya setempat yang
menyebabkan timbulnya penderitaan dan hambatan dalam melaksanakan
peran sosialnya.
Skizofrenia merupakan salah satu diagnosa medis dari gangguan jiwa yang
paling banyak ditemukan dan merupakan gangguan jiwa berat. Menurut
PPDGJ III (tahun 2003) bahwa Skizofrenia termasuk salah satu gangguan
jiwa, selain gangguan mental organik, gangguan mood dan afektif,
gangguan neurotik, gangguan kepribadian, retardasi mental, gangguan
perkembangan psikologis dan gangguan perilaku dan emosional.
Skizofrenia adalah sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan
perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku (Kaplan &
Sadock, 2007). Menurut Durand (2007), retardasi mental adalah gangguan
yang telah tampak sejak masa anak-anak dalam bentuk fungsi intelektual
dan adaptif yang secara signifikan berada dibawah rata-rata. Menurut Ely
Lilly dalam Stuart dan Laraia, (2005) tanda dan gejala dari skizofrenia
dibagi dalam empat dimensi utama yaitu gejala positif, gejala negatif,
gejala kognitif dan gejala depresi atau perubahan mood.
Gejala positif dari skizofrenia adalah halusinasi, delusi, perubahan arus
pikir (arus pikir terputus, inkoheren dan neologisme) dan perilaku bizarre
(agresif, agitasi, repetisi, perilaku stereotip). Gejala negatif yaitu afek
tumpul, ketidakmampuan dalam berpikir, kehilangan motivasi,
ketidakmampuan dalam mengalami perasaan senang dan kegembiraan,
sikap masa bodoh, pembicaraan terhenti tiba-tiba, menarik diri dari
pergaulan sosial dan menurunnya kinerja (bermasalah dalam pekerjaan)
atau menurunnya aktifitas sosial sehari-hari (termasuk perawatan diri).
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
4
Universitas Indonesia
Gejala kognitif yaitu kurang perhatian, mudah terdistraksi, gangguan
memori, ketidakmampuan dalam memecahkan masalah, ketidakmampuan
dalam mengambil keputusan, tidak logis. Sedangkan gejala depresi atau
perubahan mood yaitu dysphoria, keinginan bunuh diri dan
ketidakberdayaan (Stuart & Laraia, 2009).
Penjelasan di atas memberikan makna bahwa individu dengan skizofrenia
mengalami perubahan-perubahan pada perasaan, pikiran dan perilaku
menjadi maladaptif sehingga mempengaruhi individu tersebut dalam
berperan terhadap dirinya atau orang lain. Berdasarkan gejala-gejala
negatif, kognitif dan depresi tersebut dapat dikatakan bahwa klien yang
mengalami gangguan jiwa berat atau skizofrenia beresiko untuk
mengalami Defisit Perawatan Diri.
Defisit perawatan diri adalah kerusakan kemampuan dalam memenuhi
aktifitas kebersihan diri secara mandiri (merawat tubuh dan fungsi tubuh)
yang meliputi aktifitas mandi, berpakaian dan berhias untuk diri sendiri
sesuai situasi dan kondisi, aktifitas makan, dan aktifitas toileting
(Herdman, 2012). Perawatan diri membutuhkan kesadaran dan
pemahaman yang baik untuk memenuhinya, karena perawatan diri
merupakan salah satu kebutuhan yang sangat dasar bagi manusia.
Berdasarkan pengalaman penulis di komunitas, walaupun klien telah
dijelaskan pentingnya perawatan diri dan diajarkan cara-cara memenuhi
kebutuhan perawatan diri hingga dimotivasi dengan menyediakan
kebutuhan untuk perawatan diri namun masih banyak klien belum
melaksanakannya dengan baik. Kondisi ini memberikan arti bahwa
manajemen untuk mengatasi masalah Defisit Perawatan Diri masih ada
yang kurang atau tidak berkesinambungan.
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi
akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk
melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
5
Universitas Indonesia
tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara
mandiri, berhias diri secara mandiri, dan toileting {Buang Air Besar
(BAB)/Buang Air Kecil(BAK)} secara mandiri (WHO & FIK UI, 2006).
Penatalaksanaan klien dengan Defisit Perawatan Diri yang dilakukan di
masyarakat sudah dikembangkan melalui Community Mental Health
Nursing (CMHN). Pelayanan kesehatan jiwa di komunitas diberikan oleh
perawat puskesmas yang telah mendapat pelatihan. Perawat melakukan
manajemen asuhan dengan melakukan kunjungan ke keluarga, sedangkan
kolaborasi terkait pemberian obat atau yang lainnya dilakukan di
puskesmas.
Intervensi keperawatan terdiri dari tindakan keperawatan generalis dan
spesialis. Tindakan keperawatan generalis diajarkan dan dilatih kepada
klien dan keluarga untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri yang
meliputi mandi, berhias, makan dan minum dengan benar serta toileting.
Tindakan keperawatan spesialis Defisit Perawatan Diri antara lain adalah
terapi perilaku, terapi suportif, terapi kelompok swa bantu dan terapi psiko
edukasi keluarga.
Penelitian yang dilakukan oleh Parendrawati (2008) terhadap 110 klien
gangguan jiwa yang mengalami Defisit Perawatan Diri di RSMM Bogor
menunjukkan hasil bahwa dengan pemberian terapi spesialis keperawatan
jiwa token ekonomi menunjukkan peningkatan kemampuan. Kemampuan
klien merawat diri diukur dan diobservasi secara statistik dan
menunjukkan hasil bahwa pada klien Defisit Perawatan Diri yang
diberikan terapi token ekonomi mengalami peningkatan kemampuan
dibandingkan dengan klien Defisit Perawatan Diri yang tidak diberikan
terapi token ekonomi. Pada klien Defisit Perawatan Diri di komunitas,
terapi perilaku token ekonomi yang diberikan oleh penulis menunjukkan
hasil efektif dalam meningkatkan kemampuan klien dalam pemenuhan
kebutuhan perawatan diri.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
6
Universitas Indonesia
Konsep pelayanan keperawatan diterapkan dengan memberi pelayanan
pada tiga strategi pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier. Kegiatan
yang harus dilakukan dalam upaya mencapai tiga pencegahan tersebut
yaitu dengan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan (continuity
care) atau pelayanan yang dilakukan di rumah sakit hingga di masyarakat.
Kegiatan pencegahan primer berupa promosi kesehatan dapat
dikembangkan di masyarakat dalam bentuk community mental health
nursing (CMHN). Kegiatan pencegahan sekunder berupa penyembuhan
atau kuratif dapat dilakukan di rumah sakit jiwa dan puskesmas atau
masyarakat bagi kasus gangguan mental berat dan gangguan mental
emosional. Sedangkan kegiatan pencegahan tersier atau rehabilitatif dapat
dilakukan di masyarakat tidak hanya oleh tenaga kesehatan tetapi juga
dengan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan memberikan
pemahaman, menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat
terhadap masalah kesehatan jiwa warganya.
Upaya untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa diberikan dalam bentuk
pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas. Bentuk pendekatan
manajemen pelayanan kesehatan jiwa komunitas ini dikenal dengan istilah
Community Mental Health Nursing (CMHN) ( Keliat, dkk, 2007). Program
CMHN ini pertama kali dilakukan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
(NAD) dan beberapa tempat lain di Indonesia. Provinsi Jawa Barat
khususnya Kota Bogor merupakan daerah pertama kali dikembangkannya
program CMHN yang bukan karena bencana alam. Program ini
dikembangkan oleh Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
melalui Program Pendidikan Spesialis Keperawatan Jiwa yang
bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Bogor. Pertama kali
dilaksanakan tahun 2006 di Kelurahan Sindang Barang, kemudian tahun
2008 di Kelurahan Bubulak, tahun 2010 di Kelurahan Katulampa dan
mulai tahun 2011 di Kelurahan Baranang Siang. Kegiatan dan
keberhasilan program CMHN ini menunjukkan bahwa program telah
efektif untuk memulihkan masalah kesehatan jiwa pada klien yang masih
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
7
Universitas Indonesia
berada di masyarakat baik yang sudah mengalami gangguan jiwa maupun
yang masih mengalami masalah psikososial atau klien yang mempunyai
risiko untuk mengalami gangguan jiwa.
Kegiatan CMHN yang telah dilakukan penulis di komunitas bekerja sama
dengan pihak Puskesmas Bogor Timur dan Kelurahan Baranang Siang.
Pertama kali yang dilakukan adalah pembentukan RW Siaga Sehat Jiwa,
perekrutan Kader Kesehatan Jiwa dan penyelenggaraan Pelatihan Kader
Kesehatan Jiwa. Kegiatan yang dilakukan oleh kader setelah mengikuti
pelatihan adalah deteksi dini pada keluarga dan diperoleh daftar keluarga
sehat, resiko maupun gangguan jiwa. Bersama kader penulis melakukan
kunjungan rumah dan memberikan asuhan keperawatan pada klien
gangguan jiwa. Program CMHN bertujuan untuk meningkatkan kesehatan
jiwa masyarakat, mempertahankan individu yang sehat jiwa tetap sehat,
mencegah terjadinya gangguan pada kelompok masyarakat yang risiko
atau rentan dan memulihkan klien gangguan jiwa untuk menjadi mandiri
dan produktif. Tujuan dari kelurahan peduli sehat jiwa adalah agar
masyarakat ikut berperan serta dalam mendeteksi pasien gangguan jiwa
yang belum terdeteksi, dan membantu pemulihan pasien yang telah
dirawat di rumah sakit, serta siaga terhadap munculnya masalah kesehatan
jiwa di masyarakat.
Karya Ilmiah Akhir ini dilaporkan dan dianalisis berdasarkan praktik
klinik keperawatan jiwa III di Kelurahan Baranang Siang selama 9 minggu
yaitu dari tanggal 20 Februari sampai dengan 20 April 2012. Kelurahan
Baranang Siang merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah
Kecamatan dan Puskesmas Bogor Timur. Jumlah penduduk berdasarkan
laporan sistem pendataan profil Kelurahan Baranang Siang Bulan
Desember 2011, yaitu sebanyak 24.162 jiwa dengan jumlah KK sebanyak
6608 KK. Kasus gangguan jiwa yang ditemukan sebanyak 91 orang, yang
berarti prevalensi gangguan jiwa di Kelurahan Baranang Siang sebesar
0,59% atau lebih besar dari prevalensi di Jawa Barat yaitu 0,22%
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
8
Universitas Indonesia
(Riskesdas, 2007). Dari 91 orang ini tersebar di 14 RW kelurahan
Baranang Siang, dan 18 orang di antaranya berada di wilayah RW 02 dan
RW 12.
Berdasarkan survey serta pengalaman penulis dalam melakukan
perawatan kepada klien selama di komunitas khususnya RW 02 dan RW
12 Kelurahan Baranang Siang ditemukan beberapa masalah keperawatan.
Dari sejumlah 1.168 penduduk (186 jiwa di RW 02 dan 982 jiwa di RW
12), ditemukan jumlah penduduk dewasa adalah 817 jiwa. Angka
gangguan mental emosional sebanyak 148 jiwa dari 200 jiwa yang
diperkirakan, angka gangguan jiwa yang ditemukan 18 jiwa dari 4 jiwa
berdasarkan estimasi jumlah penduduk dewasa. Angka tersebut meningkat
hampir 450% dari angka gangguan jiwa tingkat nasional yaitu 0,46%.
Masalah keperawatan pada klien gangguan jiwa yang ada di RW 02 dan
RW 12 yaitu halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial, waham, resiko
bunuh diri, perilaku kekerasan/risiko perilaku kekerasan dan defisit
perawatan diri. Dari tujuh masalah keperawatan tersebut yang paling
sering ditemukan adalah masalah defisit perawatan diri, sebanyak 18 orang
(100%) klien mengalami Defisit Perawatan Diri. Penulis melakukan
manajemen asuhan keperawatan pada klien dengan Defisit Perawatan Diri
dengan pendekatan CMHN.
Tindakan keperawatan yang tepat, di tatanan masyarakat sangat diperlukan
dalam mengatasi masalah Defisit Perawatan Diri ini. Tindakan yang sudah
dikembangkan dalam mengatasi Defisit Perawatan Diri ini terdiri dari
tindakan keperawatan generalis dan spesialis. Tindakan keperawatan
generalis yang dilakukan yaitu klien diajarkan dan dilatih untuk memenuhi
kebutuhan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan dan minum
dengan benar serta toileting (BAK dan BAB secara benar). Tindakan
keperawatan spesialis yang tepat dan dapat dilakukan untuk klien dengan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
9
Universitas Indonesia
Defisit Perawatan Diri antara lain adalah terapi perilaku, terapi suportif,
terapi kelompok swa bantu dan terapi psiko edukasi keluarga.
Hasil manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa ini menunjukan hasil
yang signifikan dalam mengubah perilaku maladaptif menjadi adaptif
dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri dan meningkatkan
kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Berdasarkan hal tersebut penulis akan mencoba menganalisis manajemen
asuhan keperawatan spesialis jiwa dan melaporkannya dalam bentuk
Karya Ilmiah Akhir.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Menggambarkan hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa
terhadap pasien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12
Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur dengan
pendekatan model Self Care Dorothea Orem.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Diketahui karakteristik pasien yang mengalami Defisit
Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang
Siang Kecamatan Bogor Timur.
1.2.2.2 Diketahui gambaran kasus yang meliputi stressor, respon
dan kemampuan yang dimiliki klien Defisit Perawatan Diri
di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang
Kecamatan Bogor Timur.
1.2.2.3 Diketahui pelaksanaan manajemen kasus spesialis terhadap
klien yang mengalami Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan
RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor
Timur.
1.2.2.4 Diketahui manajemen kasus yang tepat pada pasien Defisit
Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
10
Universitas Indonesia
Siang Kecamatan Bogor Timur dengan pendekatan model
sistem perilaku Dorothea Orem.
1.2.2.5 Diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
perawatan Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12
Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur dengan
pendekatan model sistem perilaku Dorothea Johnson.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Aplikatif
1.3.1.1 Klien Defisit Perawatan Diri bisa dirawat di komunitas
dengan baik oleh keluarga dan masyarakat yang
berpartisipasi sebagai kader kesehatan jiwa yang telah
dibekali dengan ilmu kesehatan jiwa.
1.3.1.2 Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa, khususnya
pada klien dengan Defisit Perawatan Diri yang diberikan
oleh perawat jiwa di komunitas.
1.3.1.3 Menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun program
kebijakan Puskesmas dalam penanggulangan masalah
gangguan jiwa pada klien Defisit Perawatan Diri di masa
mendatang.
1.3.2 Manfaat Keilmuan
1.3.2.1 Hasil Karya Ilmiah Akhir ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai gambaran peran perawat kesehatan
jiwa komunitas dalam menangani masalah Defisit
Perawatan Diri pada pasien gangguan jiwa di komunitas
1.3.2.2 Masukan bagi pengelola program kesehatan jiwa
masyarakat di Dinas Kesehatan Kota Bogor dalam
merencanakan program-program yang lebih efektif dan
merupakan dasar dalam merumuskan kebijakan dalam
menangani masalah kesehatan jiwa.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
11
Universitas Indonesia
1.3.3 Manfaat Metodologi
1.3.3.1 Dapat dijadikan data rujukan terkait dengan proses belajar
mengajar yang melibatkan mahasiswa program pasca
sarjana terkait dengan manajemen pelayanan kesehatan jiwa
dan asuhan keperawatan jiwa secara nyata di masyarakat.
1.3.3.2 Memperoleh pengalaman dalam penerapan ilmu dan konsep
keperawatan jiwa khususnya dalam menerapkan terapi
spesialis pada kelompok gangguan jiwa dan melakukan
koordinasi serta kerjasama dengan jajaran masyarakat
1.3.3.3 Hasil Karya Ilmiah Akhir ini selanjutnya dapat menjadi
bahan acuan untuk tindak lanjut program bagi spesialis
keperawaan jiwa.
1.3.3.4 Berguna sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya
dalam memberikan gambaran terapi yang efektif bagi
pasien dengan masalah Defisit Perawatan Diri.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
12 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memaparkan tentang konsep-konsep dasar keperawatan dan medis yang
mendasari penulisan Karya Ilmiah Akhir ini, yaitu Gangguan Jiwa, Skizofrenia,
Retardasi Mental, Demensia, Defisit Perawatan Diri dan penatalaksanaan klien
Defisit Perawatan Diri dengan pendekatan Model Self Care Dorothea Orem dan
Community Mental Health Nursing (CMHN).
2.1 Gangguan Jiwa
Tingginya angka gangguan jiwa di Indonesia merupakan hal yang sangat
serius karena mempengaruhi kualitas hidup penderitanya, menimbulkan
beban sosial ekonomi yang tinggi, mengakibatkan kemiskinan, kehilangan
produktivitas, dan disintegrasi keluarga. Menurut Depkes (2008) hasil data
Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas, 2007), menunjukkan prevalensi
gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi
sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa dengan prevalensi tertinggi di
Jawa Barat yaitu 20,0%. Sedangkan gangguan jiwa berat di Indonesia
sebesar 4,6 ‰ dengan prevalensi tertinggi di DKI Jakarta yaitu 2,02% ;
untuk daerah Jawa Barat khususnya Kota Bogor yaitu 0,40%. Hal ini berarti
bahwa dari setiap 1000 jumlah penduduk akan ditemukan sebanyak 4 orang
yang menderita gangguan jiwa di Kota Bogor. Kondisi ini merupakan
masalah yang serius dan membutuhkan penanganan yang sangat efektif.
Gangguan jiwa merupakan sindrom atau pola perilaku, atau psikologis
seseorang yang secara klinik bermakna, dan secara khusus berkaitan dengan
suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (disability) atau secara
bermakna meningkatnya risiko merasa sangat menderita, merasa sakit,
kecacatan, atau kehilangan arti penting dari kebebasan (American
Psychiatric Association, 2000 dalam Townsend, 2005). Disfungsi yang
terjadi dapat berupa disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, biologik dan
gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan antara orang itu
dengan masyarakat (Maslim, 2003).
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
13
Universitas Indonesia
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-
TR) 4th
edition (1994) gangguan jiwa didefinisikan sebagai kumpulan gejala
(sindrom) atau pola klinik yang signifikan dari perilaku dan psikologis yang
terjadi pada individu dan dikaitkan dengan stress dan ketidakmampuan
(kerusakan fungsi dalam satu area atau lebih) atau meningkatan risiko
penderitaan, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan. Gangguan jiwa
walaupun tidak langsung menyebabkan kematian, namun akan menimbulkan
penderitaan yang mendalam bagi individu dan beban berat bagi keluarga,
baik mental maupun materi karena penderita menjadi kronis dan tidak lagi
produktif. Dari penjelasan diatas dapat dikatakan gangguan jiwa adalah
suatu sindrom dari beberapa disfungsi yaitu disfungsi perilaku, psikologis
dan biologis yang mengakibatkan penderitaan bagi diri klien dan keluarga.
Ganguan jiwa ini sangat luas mulai dari yang sangat ringan atau berat
memerlukan perawatan hingga berhasil. Klasifikasi gangguan jiwa ringan
hingga berat didasarkan akan gejala klinis yang ditampakkan oleh klien
(Bastaman, 2010). Gangguan jiwa ringan dicirikan sering dilanda
kecemasan, gangguan panik, sulit berkonsentrasi, serta gangguan tidur,
sedangkan gangguan jiwa berat dicirikan dengan ketidakmampuan
membedakan yang nyata dan tidak nyata, perilaku irasional, agresif, serta
paranoid. Menurut Maslim (2003) yang termasuk dalam gangguan jiwa
adalah : gangguan mental organik termasuk di dalamnya demensia,
skizofrenia, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan
perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik,
gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental,
gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional
dengan onset masa kanak-kanak dan remaja, serta kondisi lain yang menjadi
fokus perhatian klinis.
Berdasarkan penggolongan tersebut, jelaslah bahwa skizofrenia, retardasi
mental dan demensia merupakan gangguan jiwa. Berikut akan diuraikan satu
persatu mengenai skizofrenia dan retardasi mental.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
14
Universitas Indonesia
2.2 Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “ Skizo “ yang artinya retak atau
pecah (split), dan “ frenia “ yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang
yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan
jiwa atau keretakan kepribadian (Hawari, 2001). Skizofrenia merupakan
suatu gangguan jiwa berat yang biasanya diderita pada usia remaja akhir
atau dewasa awal, dikarakteristikkan dengan terjadinya distorsi persepsi,
pikiran, dan emosi yang tidak sesuai (WHO, 2001). Skizofrenia adalah
bentuk parah dari penyakit mental yang mempengaruhi sekitar 7 per seribu
dari populasi orang dewasa, terutama di kelompok usia 15-35 tahun (WHO,
2011).
2.2.1 Pengertian
Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan
perilaku yang aneh (Videbeck, 2008). Sedangkan menurut Kaplan &
Saddock (2007), skizofrenia adalah sekumpulan sindroma klinik yang
ditandai dengan perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain
dari perilaku. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat disebabkan karena
penyakit yang mempengaruhi otak ditandai dengan perubahan
perilaku, emosi dan pikiran.
Penetapan diagnosa skizofrenia berdasarkan gejala-gejala khas yang
ditampakkan seperti halusinasi, delusi. dan gejala khas ini telah
berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih, serta harus ada
suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek pribadi,
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
mampu berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan penarikan
diri secara sosial (Maslim, 2003)
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
15
Universitas Indonesia
2.2.2 Penyebab
Menurut Stuart (2009) penyebab Skizofrenia terdiri atas biologis,
psikologis, sosial dan lingkungan.
a. Biologis
Penyebab skizofrenia dari segi biologis terdiri dari genetik,
neurotransmiter, neurobiologi, perkembangan saraf otak dan teori-
teori virus. Menurut Kaplan & Saddock (2007), pengaruh faktor
genetik terhadap skizofrenia belum teridentifikasi secara spesifik
namun ada 9 ikatan kromosom yang dipercayai untuk terjadinya
skizofrenia yaitu 1q, 5q, 6p, 6q, 8p, 10p, 13q, 15q, dan 22q.
Menurut Shives (2005), anak dengan orang tua yang salah satunya
mengalami skizofrenia mempunyai risiko 10% dan bila kedua
orang tua mengalami skizofrenia maka anak akan berisiko 40%
mengalami skizofrenia juga.
Individu dengan skizofrenia ditemukan bahwa korteks prefrontal
dan korteks limbik otak tidak berkembang dengan sempurna.
Biasanya ditemukan peningkatan volume otak, fungsi yang
abnormal dan neuro kimia yang menunjukkan perubahan pada
sistem neurotransmitter. Fokus pada korteks frontal
mengimplikasikan gejala negatif pada skizofrenia dan sistem limbik
(dalam lobus temporal) mengimplikasikan gejala positif pada
skizofrenia serta sistem neurotransmitter menghubungkan kedua
daerah tersebut terutama dopamin, serotonin dan glutamat (Frisch
& Frisch, 2006).
Menurut teori yang disampaikan bahwa pada masa kehamilan
khususnya pada trimester kedua bila terpapar virus influenza
berisiko untuk terjadinya skizofrenia pada anak (Shives, 2005).
Jadi, berdasarkan keterangan di atas bahwa ditinjau dari faktor
biologis, skizofrenia terjadi karena genetik, kortek prefrontal dan
kortek limbik yang tidak berkembang, pengaruh neurotransmitter
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
16
Universitas Indonesia
serta adanya serangan virus pada masa kehamilan.
b. Psikologis
Penyebab skizofrenia secara psikologis adalah karena keluarga dan
perilaku individu itu sendiri. Faktor keluarga, ibu yang sering
cemas, perhatian yang berlebihan atau tidak ada perhatian, ayah
yang jauh atau yang memberikan perhatian berlebihan, konflik
pernikahan, dan anak yang didalam keluarga selalu dipersalahkan
(Stuart, 2009). Komunikasi dalam bentuk pesan ganda ini
menyebabkan individu yang menerimanya berisiko untuk
mengalami skizofrenia.
c. Sosial dan lingkungan
Penyebab skizofrenia secara sosial dan lingkungan adalah status
sosial ekonomi. Status sosioekonomi mengacu pada pendapatan,
pendidikan dan pekerjaan individu (Lipson et al, 1996 dalam
Videbeck, 2008). Menurut Townsend (2005), banyak hal yang telah
dicoba untuk dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa seperti
skizofrenia dan salah satu faktornya adalah masalah status sosial.
Isaacs (2005) dalam teori keluarga, bagian fungsi keluarga yang
berkaitan dengan peran keluarga dalam munculnya skizofrenia
adalah keluarga yang sangat mengekspresikan emosi (high
expressed emotion). Pola asuh yang dilakukan oleh keluarga yang
terlalu berlebihan menjadi pemicu terjadinya skizofrenia. Baik itu
pola asuh positif maupun negatif.
2.2.3 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala klien yang mengalami skizofrenia yang paling umum
menurut Seagel dan Smith (2011) adalah sosial penarikan, permusuhan
dan kecurigaan, kerusakan kebersihan diri, ekspresi tatapannya datar,
ketidakmampuan menangis atau mengekspresikan kegembiraan,
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
17
Universitas Indonesia
depresi, aneh atau pernyataan tidak rasional, pelupa tidak dapat
berkonsentrasi, ekstreme terhadap kritik, dan aneh penggunaan kata
atau cara bicara. Menurut Ely Lilly dalam Stuart dan Laraia, (2005)
tanda dan gejala dari skizofrenia dibagi dalam empat dimensi utama
yaitu gejala positif, gejala negatif, gejala kognitif dan gejala depresi
atau perubahan mood.
Gejala positif dari skizofrenia adalah halusinasi, delusi, perubahan
arus pikir yaitu arus pikir terputus, inkoheren dan neologisme dan
perilaku bizarre yaitu agresif, agitasi, repetisi, perilaku stereotip.
Gejala negatif yaitu afek tumpul, ketidakmampuan dalam berpikir,
kehilangan motivasi, ketidakmampuan dalam mengalami perasaan
senang dan kegembiraan, sikap masa bodoh, pembicaraan terhenti
tiba-tiba, menarik diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
yaitu bermasalah dalam pekerjaan atau menurunnya aktifitas sosial
sehari-hari yaitu tidak memperhatikan kebersihan diri. Gejala kognitif
yaitu kurang perhatian, mudah terdistraksi, gangguan memori,
ketidakmampuan dalam memecahkan masalah, ketidakmampuan
dalam mengambil keputusan, tidak logis dan gejala depresi atau
perubahan mood yaitu dysphoria, keinginan bunuh diri dan
ketidakberdayaan (Stuart & Laraia, 2005). Berdasarkan beberapa
gejala tersebut dapat dikatakan bahwa klien yang mengalami
gangguan jiwa berat atau skizofrenia berisiko untuk mengalami Defisit
perawatan diri.
Skizofrenia terdiri dari beberapa tipe berdasarkan DSM-IV-TR (APA,
2000 dalam Frisch, 2006) yaitu skizofrenia paranoid dengan tanda
curiga, bermusuhan, garang ; skizofrenia katatonik yaitu seperti
patung, tidak mau makan, tidak mau minum ; skizofrenia hebefrenik,
perilaku seperti anak kecil, merengek-rengek, minta-minta ;
skizofrenia simplek, penampilan seperti gelandangan, jalan terus,
keluyuran ; dan skizofrenia latent, ditandai dengan autustik, seperti
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
18
Universitas Indonesia
gembel. Jenis Skizofrenia yang berisiko untuk terjadi defisit perawatan
diri adalah skizofrenia katatonik, simplek dan latent. Dari beberapa
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia mempunyai
gejala negative dan gejala positif, dimana defisit perawatan diri
merupakan gejala negatif dan cenderung ditunjukan oleh skizofrenia
katatonik simplek dan latent.
Fase skizofrenia dibagi dua yaitu fase akut dan fase kronik. Fase Akut
adalah fase mulai munculnya gejala sampai dengan sebelum 6 bulan,
ditandai dengan Waham ; Halusinasi ; Perubahan arus pikir yaitu arus
pikir terputus dalam pembicaraan terjadi tiba-tiba tanpa bisa
melanjutkan isi pembicaraan, inkoheren yaitu berbicara tidak selaras
dengan lawan bicara (bicara kacau), neologisme yaitu menggunakan
kata-kata yang hanya dimengerti oleh diri sendiri tapi tidak dimengerti
oleh orang lain ; Perubahan perilaku yaitu hiperaktif atau perilaku
motorik yang berlebihan, agitasi yaitu perilaku yang menunjukkan
kegelisahan, iritabilitas yaitu mudah tersinggung. Fase Kronik ditandai
dengan gejala akut, sudah berlangsung 6 bulan atau lebih dengan
tanda atau gejala-gejala yang sama dengan fase akut. Selain itu timbul
gejala-gejala lainnya seperti : Sikap masa bodoh, apatis secara
emosional, gangguan berpikir yang tampak dari pembicaraan yang
tidak terangkai atau aneh, menarik diri dari pergaulan sosial,
bermasalah dalam pekerjaan, tidak memperhatikan kebersihan diri,
gangguan motorik atau pergerakan (Keliat, 2007).
2.2.4 Terapi Psikofarmaka Skizofrenia
Skizofrenia dapat diawali dengan atau tanpa fase prodormal (early
psikosis). Gejala yang tampak pada fase ini adalah gangguan pola
tidur, gangguan napsu makan, perubahan perilaku, afek datar,
pembicaraan yang sulit dimengerti, berfikir tidak realistik, dan
perubahan dalam penampilan. Jika gejala ini muncul dan langsung
mendapatkan terapi maka skizofrenia dapat dihindari. Namun pada
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
19
Universitas Indonesia
beberapa klien, mereka tidak menyadari atau tidak mengalami fase ini
sehingga tidak mendapatkan penangganan awal dan berakhir pada
skizofrenia. Pengobatan skizofrenia lebih efektif bila dimulai sedini
mungkin saat gejala mulai muncul (World Federation for Mental
Health, 2009). Penatalaksanaan pengobatan Skizofrenia mengacu pada
penatalaksanaan Skizofrenia secara umum.
Anti Psikotik
Obat-obat antipsikotik efektif mencegah penyebaran keadaan akut dan
mencegah relaps. Terdapat dua macam obat antipsikotik yaitu
antipsikotik tradisional (tipikal) dan antipsikotik atipikal. Jenis
antipsikotik atipikal merupakan generasi baru antipsikotik. Atipikal
antipsikosis tidak hanya mengatasi gejala skizofrenia tapi juga
meningkatkan kualitas hidup. Varcarolis (2006) menyebutkan
antipsikotik atipikal merupakan pilihan pertama karena memiliki
karakteristik : efek ekstrapiramidal minimal, mengatasi gejala positif
sebaik mengatasi gejala negatif dan meningkatkan neurokognitif.
Obat yang termasuk atipikal antipsikosis yaitu clozapine, risperidone,
olanzapine dan quetiapine. Target kerja kelompok atipikal mengatasi
baik gejala positif maupun negatif. Golongan atipikal mempunyai efek
samping lebih ringan dari golongan tipikal dan walaupun muncul
gejala efek samping, biasanya klien masih bisa mentoleransinya.
Selain itu kelompok atipikal juga bisa mengatasi gejala cemas dan
depresi, menurunkan kecenderungan perilaku bunuh diri dan
memperbaiki fungsi neurokognitif (Varcarolis, 2006). Sedangkan yang
termasuk jenis antipsikotik tipikal yaitu : antara lain haloperidol,
tiflourorazine, chlorpromazine (CPZ) dan loxapine (Varcarolis, 2006).
Target kerja kelompok tipikal adalah mengatasi gejala positif.
Golongan tipikal mempunyai efek samping lebih dari golongan
atipikal (Kuo, 2004 dalam Varcarolis 2006). Pengobatan pada klien
skizofrenia yang paling umum diberikan adalah chlorpromazine tablet
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
20
Universitas Indonesia
dengan pilihan dosis 25 mg dan 100 mg, injeksi dengan dosis 25
mg/ml; haloperidol tablet dengan pilihan dosis 0,5 mg, 1,5 mg dan 5
mg, injeksi 5 mg/ml; dan triheksipenidil tablet sediaan dosis 2 mg.
Efek samping obat antipsikotik dikelompokkan menjadi dua yaitu efek
samping neurologis dan non neurologis. Efek samping neurologis
meliputi gejala ekstrapiramidal berupa reaksi distonia akut, akatisia,
dan Parkinson; kejang dan sindrom maligna neuroleptik. Efek samping
non neorologis mencakup sedasi; fotosensitivitas; dan gejala
antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, kontsipasi,
retensi urin, dan hipotensi ortostatik (Videbeck, 2008).
Obat pencegahan efek ekstrapiramidal diberikan melalui jenis obat
pencegahan sindrom ekstrapiramidal yaitu trihexyphenidil (THP),
biperidin dan diphenhidramine hydrochloride (Varcarolis, Carson &
Shoemaker, 2006). Trihexyphenidil dosis yang digunakan : 1-15
mg/hari dan difehidamin dosis yang diberikan 10-400 mg/hari untuk
semua bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi
ekstrapiramidal akibat obat (Kaplan & Saddock, 1997).
2.3 Retardasi Mental
2.3.1 Pengertian
Menurut PPDGJ III (2003), bahwa retardasi mental merupakan
gangguan jiwa. Menurut American Association on Mental Retardation
(AAMR) (2002) Retardasi mental yaitu : Kelemahan atau
ketidakmampuan kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum
18 tahun) ditandai dengan fase kecerdasan dibawah normal ( IQ 70-
75 atau kurang), dan disertai keterbatasan lain pada sedikitnya dua
area berikut : berbicara dan berbahasa ; keterampilan merawat diri,
ADL ; keterampilan social ; penggunaan sarana masyarakat ;
kesehatan dan keamanan ; akademik fungsional ; bekerja dan rileks,
dan lain-lain.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
21
Universitas Indonesia
Menurut Durand (2007), retardasi mental adalah gangguan yang telah
tampak sejak masa anak-anak dalam bentuk fungsi intelektual dan
adaptif yang secara signifikan berada dibawah rata-rata. Sedangkan
menurut Rosyadi (2009), Retardasi mental adalah suatu keadaan
perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama
terlihat selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada semua
tingkat inteligensia, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan
sosial. Retardasi mental kadang disertai gangguan jiwa atau gangguan
fisik lain.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
retardasi mental adalah keterlambatan pertumbuhan dan
perkembangan yang berlangsung sejak masa kanak-kanak dan
berpengaruh terhadap penurunan kemampuan secara kognitif, bahasa,
motorik, sosial, ketrampilan. Bahkan ada beberapa yang disertai
dengan gangguan jiwa dan atau gangguan fisik lain.
2.3.2 Penyebab
Menurut Kaplan dan Sandock (1997), penyebab dari retardasi mental
dibagi menjadi faktor genetik, faktor prenatal, faktor perinatal,
gangguan didapatkan masa anak – anak, dan faktor lingkungan dan
sosiokultural;
a. Faktor Genetik, meliputi; kelainan kromosom (sindrom down,
fragile X syndrome, sindrom klinefelter, sindrom Cri-du-chat dan
sindrom turner).
Sindrom Down
Pada sindrom down, retardasi mental adalah ciri yang
menumpang. Orang dengan sindrom down cenderung
menunjukkan perburukan yang jelas dalam bahasa, daya ingat,
ketrampilan merawat diri sendiri dan memecahkan masalah pada
usia 30 tahun.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
22
Universitas Indonesia
Fragile X Syndrome
Pada orang dengan fragile X syndrome, merupakan penyebab
tunggal kedua yang tersering dari retardasi mental. Ciri perilaku
orang dengan sindroma ini adalah tingginya angka gangguan
defisit atensi/hiperaktif, gangguan belajar dan gangguan
perkembangan pervasif, seperti gangguan autistik. Defisit dalam
fungsi bahasa adalah pembicaraan yang cepat dan perservatif
dengan kelainan dalam mengkombinasikan kata-kata
membentuk frasa dan kalimat. Orang dengan sindroma X rapuh
tampaknya memiliki ketrampilan dalam komunikasi dan
sosialisasi yang relatif kuat dan fungsi intelektual mereka
tampaknya menurun pada periode pubertal.
Sindrom Cri-du-chat
Anak-anak dengan sindrom tangisan kucing kehilangan bagian
kromosom 5. Mereka mengalami retardasi berat dan
menunjukkan banyak stigmata yang seringkali disertai dengan
penyimpangan kromosom, seperti mikrosefali, telinga yang letak
rendah, fisura palpebra oblik, hipertelorisme dan mikrognatia.
Tangisan seperti kucing yang khas, walaupun akan hilang
dengan sendirinya dengan bertambahnya usia.
b. Faktor Perinatal
Gangguan metabolik seperti fenilketonuria (FKU), penyakit Hartup,
intoleransi ruktosa, galaktosemia. Rubela maternal juga
mengakibatkan kecatatan, sifilis, toksoplamosis atau diabetes,
penyalahgunaan beberapa obat. Selain itu juga malnutrisi dapat
mengakibatkan bayi mengalami risiko retardasi mental.
c. Gangguan didapat pada Masa Anak-Anak
Status perkembangan seseorang anak kadang-kadang berubah
secara dramatik akibat penyakit atau trauma fisik tertentu. Secara
retrospektif, kadang-kadang sulit untuk memastikan gambaran
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
23
Universitas Indonesia
kemajuan perkembangan anak secara lengkap sebelum terjadinya
gangguan, tetapi efek merugikan pada perkembangan atau
ketrampilan anak tampak terganggu.
Infeksi adalah hal yang paling mempengaruhi integritas sereberal,
infeksi yang sering terjadi adalah ensefalitis dan meningitis.
Ensefalitas campak telah hampir dapat dihilangkan dengan
pemakaian vaksin. Sebagian episode ensefalitis disebabkan oleh
virus. Kadang-kadang klinisi harus mempertimbangkan
kemungkinan penyakit masa lalu dengan demam tinggi. Meningitis
yang didiagnosa terlambat juga dapat mempengaruhi
perkembangan kognitif anak.
Trauma kepala pada anak-anak juga menjadi penyebab kecacatan
mental, termasuk kejang, kecelakaan bermotor, kecelakaan di
rumah misalnya jatuh dari meja, dari jendela terbuka. Selain itu,
penyiksaan anak juga menyebabkan retardasi mental.
d. Faktor Lingkungan dan Faktor Sosiokultural
Retardasi mental ringan secara bermakna menonjol di antara orang
yang mengalami gangguan kultural, kelompok sosioekonomi
rendah dan banyak keluarga yang mengalami retardasi mental
dengan retardasi derajat yang sama. Malnutrisi juga menjadi
penyebab kecacatan mental, kemudian perawatan bayi yang buruk,
pemaparan dengan zat toksin. Ketidakstabilan keluarga, sering
pindah, dan pengasuh yang berganti- ganti tetapi tidak adekuat.
Kurangnya stimulus dari orang tua terhadap perkembangan anak
juga menjadi penyebabnya.
Anak yang mengalami retardasi mental, seringkali mempunyai
diagnosa ganda yaitu diagnosa yang mengacu pada retardasi mental
dan yang kedua adalah diagnosa yang berhubungan dengan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
24
Universitas Indonesia
gangguan mental dan diagnosa emosional (Shives, 1998).
Keterlambatan perkembangan kognitif jelas merupakan bagian
yang menyatu dengan retardasi mental ini, karena perkembangan
kognitif merupakan salah satu pertimbangan dalam menetapkan
diagnosa retardasi mental.
Pada keluarga dengan retardasi mental hendaknya menjadi
perencanaan dari intervensi karena keluarga dapat mengalami masalah
psikososial. Penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan anak
yang memiliki kecacatan seringkali mempunyai tingkat stress yang
sangat tinggi (Friedrich, Witmer & Cohen, 1985 dalam Shives, 1998).
Menurut Shives (1998) klien dengan retardasi mental membutuhkan
perawatan yang ekstra dan keluarga membutuhkan tambahan sumber
dan dukungan.
2.3.3 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala anak retardasi mental menurut (Brown, dkk 1991
dalam Sekar, 2007) menyatakan :
a. Lamban dan kesulitan menggeralisasikan dalam mempelajari hal-
hal yang baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari
pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa apa
yang dia pelajari tanpa latihan yang terus menerus.
b. Kemampuan bicara sangat kurang terutama pada retardasi mental
berat.
c. Cacat fisik, ketebatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat
berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka
lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit
menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.
d. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri, pada retardasi
mental berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti :
berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu
memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
25
Universitas Indonesia
e. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim, kesulitan memberikan
perhatian terhadap lawan main.
f. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus, misalnya :
memutar-mutar jari di depan wajahnya dan melakukan hal-hal yang
membahayakan diri sendiri : menggigit diri sendiri, membentur-
beturkan kepala.
g. Perilaku agresif melukai diri.
Ketidakmampuan merawat diri merupakan salah satu tanda dan gejala
pada klien dengan retardasi mental. Klien retardasi mental, baik yang
disebabkan karena faktor genetik, perinatal, faktor didapat pada masa
anak-anak maupun faktor lingkungan dan sosiokultural memiliki
kelainan kognitif sehingga mengalami keterbatasan dalam melakukan
fungsi-fungsi dalam kehidupan sehari-hari, baik secara kognitif,
bahasa, sosial, motorik, termasuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
2.3.4 Terapi Psikofarmaka Retardasi Mental
Terapi yang terbaik diberikan pada klien ini, adalah pencegahan
primer, pencegahan tersier dan pencegahan tertier (Kaplan & Saddock,
1997). Terapi ini hampir sama dengan terapi keperawatan. Pencegahan
primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan atau
menurunkan kondisi yang menyebabkan perkembangan gangguan
mental. Sedangkan pencegahan sekunder adalah jika suatu gangguan
yang disertai dengan retardasi mental telah dikenali, gangguan harus
diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit. Pencegahan tersier
adalah untuk menekan sekuela atau kecacatan yang terjadi setelahnya.
Intervensi farmakologik dalam terapi gangguan mental komorbid pada
klien retardasi mental adalah banyak kesamaan seperti untuk klien
yang tidak mengalami retardasi mental. Semakin banyak data yang
mendukung pemakaian berbagai medikasi untuk klien dengan
gangguan mental yang tidak retardasi mental (Kaplan & Saddock,
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
26
Universitas Indonesia
1997). Beberapa penelitian telah memusatkan perhatian pada
pemakaian medikasi untuk sindroma perilaku berikut ini yang sering
terjadi diantara retardasi mental. Sehingga terapi farmakologi yang
diberikan pada klien ini adalah simptomatis sesuai dengan gejala yang
dialami. Perilaku agresi dan perilaku melukai diri, menggunakan
Lithium (Eskalith) dalam mengendalikannya. Naltrexone (Trexan)
banyak digunakan untuk menurunkan perilaku melukai diri sendiri
pada klien retardasi mental yang memenuhi kriteria autistik infantil.
Selain itu ada Carbamazepine (Tegretol), Valproic acid (Depakene).
Sedangkan untuk gerakan motorik stereotipik, medikasi antipsikotik
seperti haloperidol (haldol) dan chlorpromazine (thorazine) dapat
digunakan untuk menurunkan perilaku stimulasi diri yang berulang.
Kemarahan yang eksplosif dapat diturunkan dengan penghambat-
seperti propanolol dan buspirone.
2.4 Demensia
2.4.1 Pengertian
Demensia adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan dan
degenerasi sel-sel otak secara abnormal, termasuk penurunan
kemampuan daya ingat, disorientasi waktu, orang dan tempat, serta
hilangnya fungsi-fungsi intelektual lainnya (Varcarolis, Carson &
Shoemaker, 2006). Demensia adalah suatu keadaan di mana seseorang
mengalami penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir tanpa
adanya penurunan fungsi kesadaran. Demensia atau kepikunan
seringkali dianggap wajar terjadi pada lanjut usia karena merupakan
bagian dari proses penuaan yang normal.
2.4.2 Penyebab
Menurut Keliat (2011) penyebab demensia adalah : genetik,
penggunaan alkohol, cedera kepala, penyempitan pembuluh darah otak
yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak, kerusakan
jaringan otak yang berlangsung pelan dan bertahap, gangguan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
27
Universitas Indonesia
neurotransmitter (asetilkolin, norepineprin, dan glutamat).
2.4.3 Tanda dan Gejala
Menurut Keliat (2011) klien yang mengalami demensia sedang sampai
berat memiliki tanda dan gejala sebagai berikut : sulit melakukan
kegiatan sehari-hari; daya ingat menurun atau hilang; tidak mengenal
waktu, tempat dan orang; sulit belajar dan mengingat informasi baru;
pelupa (lupa barang miliknya atau lupa kejadian masa lalu); cepat
marah dan sulit diatur; sering mengulang kata-kata; kurang
konsentrasi; kurang kebersihan diri; tremor; kurang koordinasi
gerakan; gangguan keseimbangan (rentan terhadap kecelakaan,
misalnya jatuh)
Menurut Maslim (2003) dalam PPDGJ III apabila ditemukan 4 dari
tanda gejala di atas ditambah dengan adanya masalah kognitif, afektif
dan intelektual akbibat degenerasi sel-sel otak, maka klien didiagnosis
mengalami demensia.
2.4.4 Terapi Psikofarmaka Demensia
Penatalaksanaan atau pengobatan klien dengan demensia yang sering
diberikan adalah benzodiazepin, antipsikotik, dan antioksidan.
Pemberiannya tergantung pada gejala yang dialami oleh klien (Clark,
2000).
a. Benzodiazepin
Salah satu pengobatan demensia adalah dengan menggunakan obat
sedatif atau hipnotik (benzodiazepin). Biasanya diberikan diazepam
tablet 2 mg dengan dosis 2-3 kali sehari atau 5 mg; atau diazepam
(valium) injeksi 10 mg sekali sehari. Efek obat yang diharapkan :
mengurangi kecemasan, menurunkan agitasi, mengurangi stress.
Efek samping obat yang bisa terjadi sedasi atau mengantuk, risiko
ketergantungan, risiko penyalahgunaan zat.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
28
Universitas Indonesia
Tindakan keperawatan untuk efek samping obat sedasi atau
mengantuk, yaitu obat diberikan sebelum tidur sesuai anjuran
dokter, kolaborasi untuk menurunkan dosis obat dan minta obat
yang kurang mengandung sedatif, anjurkan klien untuk tidak
mengendarai kendaraan atau menjalankan kendaraan bila
mengalami sedasi; sedangkan tindakan keperawatan untuk efek
samping risiko ketergantungan dan penyalahgunaan zat, yaitu
anjurkan klien untuk menggunakan obat sesuai dengan resep
dokter, beri pendidikan kesehatan tentang akibat dari
ketergantungan dan penyalahgunaan obat.
b. Antipsikotik dosis rendah
Obat yang biasa diberikan adalah haloperidol atau risperidon. Cara
pemberian haloperidol tablet sediaan 0,5-1 mg dosis 1-2 kali sehari
atau risperidon tablet 0,5-1 mg dosis 2 kali sehari. Efek obat yang
diharapkan yaitu mengontrol agitasi, mengurangi gejala gangguan
psikotik, menurunkan agresi atau perilaku kekerasan. Efek samping
obat haloperidol pada klien demensia yang perlu diwaspadai oleh
perawat adalah mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi
dan hipotensi ortostatik.
Tindakan keperawatan untuk efek samping obat mulut kering yaitu
berikan permen, es, minum air sedikit-sedikit dan membersihkan
mulut secara teratur; pandangan kabur yaitu berikan bantuan untuk
tugas yang membutuhkan ketajaman penglihatan; konstipasi yaitu
makan makanan tinggi serat; sedasi yaitu tidak menyetir atau
mengoperasikan peralatan yang berbahaya; hipotensi ortostatik
yaitu perlahan-lahan bangkit dari posisi baring atau duduk.
c. Antioksidan
Obat yang biasa diberikan adalah vitamin E dosis tinggi yaitu 1000
units yang diberikan dengan dosis 2 kali sehari. Efek obat yang
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
29
Universitas Indonesia
diharapkan adalah mengurangi kerusakan pada fungsi peredaran
darah untuk klien dengan demensia vaskuler. Efek samping
penggunaan obat ini pada klien demensia jarang terjadi.
2.5 Defisit Perawatan Diri
2.5.1 Pengertian
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
atau menyelesaikan aktifitas perawatan diri untuk diri sendiri : mandi;
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri ; aktifitas makan sendiri ; dan
aktifitas eliminasi sendiri (Herdman, 2012). Defisit perawatan diri
menggambarkan suatu keadaan seseorang yang mengalami gangguan
kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri, seperti mandi,
berganti pakaian, makan dan toileting (Wilkinson, 2007). Menurut
beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa defisit perawatan
diri adalah suatu kondisi seseorang yang mengalami gangguan untuk
melakukan aktifitas perawatan diri meliputi mandi, berhias, makan dan
minum serta toileting.
2.5.2 Stressor Defisit Perawatan Diri
Proses terjadinya defisit perawatan diri ini dapat diuraikan terlebih
dahulu dari proses terjadinya gangguan jiwa itu sendiri yang
dihubungkan dengan defisit perawatan diri. Stuart (2009)
menggambarkan dua dimensi yang dapat menjelaskan stressor atau
penyebab terjadinya defisit perawatan diri yaitu meliputi stressor
predisposisi dan stressor presipitasi.
2.5.2.1 Stressor Predisposisi
Stuart (2009) mendefinisikan stressor predisposisi sebagai faktor
risiko yang menjadi sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe
dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik yang biologis,
psikososial dan sosial kultural. Stuart (2009) membedakan stressor
predisposisi menjadi tiga, meliputi biologis, psikologis dan sosial
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
30
Universitas Indonesia
budaya. Stressor predisposisi ini kejadiannya telah berlalu.
Penjelasan secara rinci tentang ketiga stressor predisposisi tersebut
sebagai berikut :
a. Biologis, terkait dengan adanya neuropatologi dan
ketidakseimbangan dari neurotransmiternya. Dampak yang dapat
dinilai sebagai manifestasi adanya gangguan adalah pada perilaku
maladaptif klien (Townsend, 2005). Secara biologi riset
neurobiologikal memfocuskan pada tiga area otak yang dipercaya
dapat melibatkan defisit perawatan diri yaitu sistem limbik, lobus
frontalis dan hypothalamus.
Sistem Limbik merupakan cincin kortek yang berlokasi di
permukaan medial masing-masing hemisfer dan mengelilingi
pusat kutup serebrum. Fungsinya adalah mengatur persyarapan
otonon dan emosi (Suliswati,et al, 2005 : Stuart, 2009). Fungsi
sistem limbik berikutnya adalah menyimpan dan menyatukan
informasi berhubungan dengan emosi, tempat penyimpanan
memori dan pengolahan informasi. Disfungsi pada sistem limbik
menghadirkan beberapa gejala klinik seperti hambatan emosi dan
perubahan kebribadian, isyarat antara rangsangan dan pengalaman
masa lalu, emosi, perilaku saling mempengaruhi, adanya periode
peristiwa ketakutan, amukan, kemarahan dan ketegangan
(Kaplan, Saddock & Grebb, 1997). Berdasarkan penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa klien dengan defisit perawatan
diri mengalami gangguan pada sistem limbik sehingga tidak bisa
mengontrol perilaku untuk dapat merawat diri.
Lobus Frontal berperan penting menjadi media yang sangat
berarti dalam perilaku dan berpikir rasional, yang saling
berhubungan dengan sistem limbik (Suliswati,et al, 2005 : Stuart,
2009). Menurut Townsend (2005) lobus frontal terlibat dalam dua
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
31
Universitas Indonesia
fungsi serebral utama yaitu kontrol motorik gerakan voluntir
termasuk fungsi bicara, fungsi fikir dan kontrol berbagai ekspresi
emosi. Kerusakan pada daerah lobus frontal dapat meyebabkan
gangguan berfikir, dan gangguan dalam bicara/disorganisasi
pembicaraan serta tidak mampu mengontrol emosi sehingga
berperilaku maladaptif. Klien defisit perawatan diri yang
mengalami kerusakan pada lobus frontal mengakibatkan
timbulnya perilaku maladaptif yaitu tidak mampu berperilaku
untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Hypotalamus adalah bagian dari diensefalon yaitu bagian dalam
dari serebrum yang menghubungkan otak tengah dengan hemisfer
serebrum. Fungsi utamanya adalah sebagai respon tingkah laku
terhadap emosi dan juga mengatur mood dan motivasi (Suliswati,
et al, 2005 ; Stuart, 2009). Kerusakan hipotalamus membuat
seseorang kehilangan mood dan motivasi sehingga kurang
aktivitas dan malas melakukan sesuatu. Apabila kerusakan
hipotalamus terjadi pada klien defisit perawatan diri, maka akan
terjadi gangguan mood dan penurunan motivasi sehingga
mengakibatkan klien tidak dapat melakukan aktifitas perawatan
diri.
Selain gangguan pada struktur otak, proses terjadinya gangguan
defisit perawatan diri berdasarkan faktor biologis disebabkan juga
oleh adanya kondisi patologis dan ketidakseimbangan dari
beberapa neurotransmitter. Neurotransmitter tersebut adalah
dopamin, serotonin, norepineprin dan asetilkolin.
Dopamine fungsinya mencakup regulasi gerak dan koordinasi,
emosi, kemampuan pemecahan masalah secara volunter (Boyd &
Nihart, 1998 ; Suliswati, et al, 2005). Transmisi dopamin
berimplikasi pada penyebab gangguan emosi tertentu. Menurut
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
32
Universitas Indonesia
Hawari (2001) fungsi kognitif (alam pikir), afektif (alam
perasaan) dan psikomotor (perilaku) pada klien skizofrenia
dipengaruhi oleh dopamin. Gangguan pada fungsi dopamin akan
menyebabkan terjadinya gangguan fungsi regulasi gerak dan
koordinasi, emosi, serta kemampuan pemecahan masalah. Apabila
gangguan fungsi dopamin ini terjadi pada klien skizofrenia, akan
menyebabkan klien mengalami gangguan dalam regulasi gerak
dan koordinasi, emosi, serta kemampuan pemecahan masalah
sehingga klien tidak dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Serotonin berperan sebagai pengontrol nafsu makan, tidur, alam
perasaan, halusinasi, persepsi nyeri, muntah. Serotonin dapat
mempengaruhi fungsi kognitif yaitu alam pikir, afektif yaitu alam
perasaan dan psikomotor yaitu perilaku (Hawari, 2001). Menurut
Wilkinson (2007) jika serotonin mengalami penurunan akan
mengakibatkan kecenderungan perilaku yang maladaptif. Pada
klien dengan defisit perawatan diri cenderung menunjukkan
perilaku maldapatif. Perilaku maladaftif yang dapat dilihat yaitu
tidak adanya aktifitas dalam melakukan aktifitas perawatan diri
seperti : mandi, berganti pakaian, makan dan toileting.
Norepineprin (Boyd & Nihart, 1998 ; Suliswati, et al, 2005)
berfungsi untuk kesiagaan, pusat perhatian dan orientasi; proses
pembelajaran dan memori. Jika terjadi penurunan kadar
norepinephrine akan mengakibatkan kelemahan yang
menunjukkan kecenderungan klien menampilkan perilaku negatif.
Kelemahan yang terjadi mengakibatkan klien defisit perawatan
diri berperilaku negatif seperti tidak melakukan aktifitas mandi,
tidak berhias, tidak memperhatikan makan dan minum serta tidak
melakukan aktifitas toileting dengan benar.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
33
Universitas Indonesia
Acetylcholine (Ach) (Boyd & Nihart, 1998) berperan penting
untuk belajar dan memori. Jika terjadi peningkatan kadar
acetylcholine akan dapat menurunkan ‘atensi dan mood’.
Penurunan atensi dan mood menyebabkan terjadinya perubahan
fungsi otak sebagai pusat pengatur perilaku manusia. Salah satu
dampak perilaku dari penurunan atensi dan mood ini adalah
defisit perawatan diri. Pada klien defisit perawatan diri terjadi
penurunan atensi dan mood yang dapat dilihat dengan adanya
gejala kurang perhatian untuk dirinya dan malas dalam
beraktivitas. Defisit perawatan diri tidak dapat dikendalikan hanya
dengan psikofarmaka saja tetapi melalui pendekatan psikoterapi
yang mengubah perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif
salah satunya dengan menggunakan terapi perilaku : token
ekonomi.
Pada klien dengan defisit perawatan diri diperkirakan mengalami
kerusakan pada sistem limbik dan lobus frontal yang berperan
dalam pengendalian atau pengontrolan perilaku, kerusakan pada
hipotalamus yang berperan dalam pengaturan mood dan motivasi.
Kondisi kerusakan ini mengakibatkan klien defisit perawatan diri
tidak memiliki keinginan dan motivasi untuk berperilaku secara
adaptif melakukan aktifitas perawatan diri : mandi, berhias,
makan minum dan toileting. Klien defisit perawatan diri juga
diperkirakan mengalami perubahan pada fungsi neurotransmitter.
Perubahan dopamin, serotonin, norepineprin dan asetilkolin
menyebabkan adanya perubahan regulasi gerak dan koordinasi,
emosi, kemampuan memecahkan masalah; perilaku cenderung
negatif atau berperilaku maladaptif; terjadi kelemahan serta
penurunan atensi dan mood.
b. Psikologis, meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian,
moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
34
Universitas Indonesia
komunikasi secara verbal (Stuart, 2009). Beberapa aspek tersebut
diperkirakan ikut berperan menjadi penyebab secara psikologis
terjadinya defisit perawatan diri.
Konsep diri, dimulai dari gambaran diri secara keseluruhan yang
diterima secara positif atau negatif oleh seseorang. Penerimaan
gambaran diri yang negatif menyebabkan perubahan persepsi
seseorang dalam memandang aspek positif lain yang dimiliki.
Peran merupakan bagian terpenting dari hadirnya konsep diri
secara utuh. Peran yang terlalu banyak dapat menjadi beban bagi
kehidupan seseorang, hal ini akan berpengaruh terhadap
kerancuan dari peran dirinya dan dapat menimbulkan depresi
yang berat. Ideal diri adalah harapan, cita-cita serta tujuan yang
ingin diwujudkan atau dicapai dalam hidup secara realistis.
Identitas diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam
mengenal siapa dirinya, dengan segala keunikannya. Harga diri
merupakan kemampuan seseorang untuk menghargai diri sendiri
serta memberi penghargaan terhadap kemampuan orang lain.
Seseorang yang memandang dirinya secara negatif sering
mengabaikan gambaran dirinya, tidak memperhatikan
kebutuhannya dengan baik, sehingga berakibat pula pada tidak
terpenuhinya kebutuhan perawatan diri.
Intelektualitas ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang,
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan. Menurut Potter &
Perry (2005) klien dengan defisit perawatan diri cenderung
memiliki tingkat pengetahuan dan pendidikan yang rendah,
sehingga tidak mampu memutuskan untuk melakukan aktifitas
perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan minum dan
toileting
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
35
Universitas Indonesia
Kepribadian, pada klien defisit perawatan diri biasanya ditemukan
klien memiliki kepribadian yang tertutup. Klien tidak mudah
menerima masukan dan informasi yang berkaitan dengan
kebersihan diri. Klien juga jarang bergaul dan cenderung menutup
diri. Klien memiliki ketidakmampuan untuk mengevaluasi atau
menilai keadaan dirinya dan tidak mampu memutuskan
melakukan peningkatan keadaan menjadi lebih baik.
Moralitas, klien defisit perawatan diri menganggap dirinya tidak
berguna, memandang dirinya rendah, dan negatif. Pandangan
negatif terhadap diri sendiri ini menyebabkan klien mengalami
penurunan motivasi untk melakukan aktifitas perawatan diri.
Kesimpulannya, adanya penilaian diri yang negatif menyebabkan
tidak ada tanggung jawab secara moral pada klien untuk
melakukan aktifitas perawatan diri.
Menurut beberapa penjelasan di atas dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa konsep diri negatif, intelektualitas yang
rendah, kepribadian dan moralitas yang tidak adekuat merupakan
penyebab secara psikologis untuk terjadinya defisit perawatan
diri. Klien defisit perawatan diri memerlukan perhatian yang
cukup besar untuk dapat mengembalikan konsep diri yang
seutuhnya.
c. Sosial Budaya, meliputi status sosial, umur, pendidikan, agama,
dan kondisi politik. Menurut Townsend (2005) ada beberapa hal
yang dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa, salah satunya
adalah dengan masalah status sosial. Masyarakat dengan status
sosial ekonomi yang rendah berpeluang lebih besar untuk
mengalami gangguan jiwa dibandingkan dengan masyarakat yang
memiliki status sosial ekonomi tinggi. Faktor sosial ekonomi
tersebut meliputi kemiskinan, tidak memadainya sarana dan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
36
Universitas Indonesia
prasarana, tidak adekuatnya pemenuhan nutrisi, rendahnya
pemenuhan kebutuhan perawatan untuk anggota keluarga, dan
perasaan tidak berdaya. Termasuk dalam faktor sosial ekonomi
adalah kemampuan untuk menyediakan peralatan dan
perlengkapan mandi : sabun, pasta gigi, sampo, handuk, dll
Potter dan Perry (2005), mengemukakan faktor-faktor yang
mempengaruhi praktik hygiene seseorang adalah citra tubuh,
praktek sosial, status sosial ekonomi, pendidikan yang rendah,
pengetahuan, kultur budaya, motivasi kurang dan kondisi fisik
yang lemah.
Citra tubuh, merupakan konsep subyektif seseorang tentang
penampilan fisiknya. Citra tubuh mempengaruhi cara
mempertahankan perawatan diri. Menurut Struart (2009) citra
tubuh adalah kumpulan sikap individu yang disadari dan tidak
disadari terhadap tubuhnya, termasuk persepsi serta perasaan masa
lalu dan sekarang tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi.
Dapat disimpulkan bahwa citra tubuh sangat berpengaruh bagi
seseorang terutama dalam hal penampilan fisiknya, seseorang
memiliki keyakinan terhadap ukuran, struktur, fungsi dan
penampilan diri untuk melakukan perawatan diri. Citra tubuh yang
negatif menyebabkan penurunan motivasi melakukan aktifitas
perawatan diri.
Tahap Perkembangan, pelajaran kebersihan diri dari orang tua
yang meliputi kebiasaan keluarga, jumlah orang di rumah, dan
ketersediaan peralatan kebersihan diri merupakan beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi perawatan kebersihan diri. Remaja
dapat menjadi lebih perhatian pada kebersihan diri karena ada
ketertarikan pada teman. Dapat disimpulkan bahwa perkembangan
sangat berpengaruh terhadap seseorang untuk melakukan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
37
Universitas Indonesia
perawatan diri sesuai dengan usia dan kelompok kerja.
Pengetahuan, pengetahuan tentang pentingnya kebersihan diri dan
implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik kebersihan
diri. Pembelajaran yang diharapkan dapat menguntungkan dalam
mengurangi risiko kesehatan dan memotivasi seseorang untuk
memenuhi perawatan diri yang diperlukan. Semakin rendah
tingkat pengetahuan seseorang menyebabkan ketidakmampuan
dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Kultur atau budaya, kepercayaan kebudayaan klien dan nilai
pribadi mempengaruhi perawatan diri. Kebudayaan di Asia
kebersihan dipandang penting bagi kesehatan. Beberapa negara di
Eropa, mandi biasa dilakukan hanya sekali dalam seminggu.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kebiasaan yang dimillki
tiap daerah ataupun bangsa dalam hal perawatan diri berbeda-
beda, disesuaikan dengan letak giografis dan kebiasaan
masyarakat setempat
Motivasi, setiap orang memiliki keinginan dan pilihan tentang
waktu untuk mandi, bercukur, dan melakukan perawatan rambut
sesuai dengan kebutuhan. Seseorang juga memiliki pilihan
mengenai bagaimana melakukan perawatan diri. Jika orang
tersebut tidak memiliki motivasi, maka dia tidak mampu
menentukan pilihan, hal ini akan mempengaruhi terpenuhinya
kebutuhan perawatan diri.
Kondisi fisik, orang yang mengalami atau menderita penyakit
tertentu atau yang menjalani operasi seringkali kekurangan energi
fisik atau ketangkasan untuk melakukan perawatan kebersihan
diri. Menurut Wilkinson (2007) defisit perawatan diri sering kali
disebabkan oleh intoleransi aktifitas, hambatan mobilitas fisik,
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
38
Universitas Indonesia
nyeri, ansietas, gangguan kognitif atau persepsi .
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan
bahwa status sosial ekonomi, pendidikan yang rendah, kurangnya
pengetahuan, motivasi yang kurang dan kondisi fisik yang lemah
dapat mempengaruhi klien dalam mempertahankan aktifitas
pemenuhan perawatan diri, sehingga mengakibatkan klien
mengalami defisit perawatan diri.
2.5.2.2 Stressor Presipitasi
Stuart (2009) mendefinisikan stressor presipitasi sebagai suatu
stimulus yang dipersepsikan oleh individu apakah dipersepsikan
sebagai suatu kesempatan, tantangan, ancaman/tuntutan. Stressor
presipitasi bisa berupa stimulus internal maupun eksternal yang
mengancam individu. Komponen stressor presipitasi terdiri atas
sifat, asal, waktu dan jumlah stressor.
Sifat stresor, terjadinya defisit perawatan diri berdasarkan sifat
terdiri dari biologis, psikologis, dan sosial budaya. Sifat stresor
yang tergolong komponen biologis, misalnya penyakit infeksi,
penyakit kronis atau kelainan struktur otak. Komponen psikologis,
misalnya : intelegensi, ketrampilan verbal, moral, kepribadian dan
kontrol diri, pengalaman yang tidak menyenangkan, kurangnya
motivasi. Selanjutnya komponen sosial budaya, misalnya : adanya
aturan yang sering bertentangan antara individu dan kelompok
masyarakat, tuntutan masyarakat yang tidak sesuai dengan
kemampuan seseorang, ataupun adanya stigma dari masyarakat
terhadap seseorang yang mengalami gangguan jiwa sehingga klien
melakukan perilaku yang terkadang menentang hal tersebut yang
menurut masyarakat tidak sesuai dengan kebiasaan dan lingkungan
setempat.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
39
Universitas Indonesia
Asal stresor terdiri dari internal dan eksternal. Stresor internal atau
yang berasal dari diri sendiri seperti persepsi individu yang tidak
baik tentang dirinya, orang lain dan lingkungannya., merasa tidak
mampu, ketidakberdayaan. Stresor eksternal atau berasal dari luar
diri seperti kurangnya dukungan keluarga, dukungan masyarakat,
dukungan kelompok/teman sebaya, dan lain-lain.
Stuart (2009) menjelaskan bahwa waktu dilihat sebagai dimensi
kapan stresor mulai terjadi dan berapa lama terpapar stressor
sehingga menyebabkan munculnya gejala. Lama dan jumlah stresor
yaitu terkait dengan sejak kapan, sudah berapa lama, berapa kali
kejadiannya (frekuensi) serta jumlah stresor. Bila baru pertama kali
terkena masalah, maka penanganannya juga memerlukan suatu
upaya yang lebih intensif dengan tujuan untuk pencegahan primer.
Frekuensi dan jumlah stresor juga mempengaruhi individu, bila
frekuensi dan jumlah stresor lebih sedikit juga akan memerlukan
penanganan yang berbeda dibandingkan dengan yang mempunyai
frekuensi dan jumlah stresor lebih banyak. Dengan kata lain
seorang perawat harus memahami kondisi stresor yang dialami oleh
seorang individu sehingga penanganannya juga akan lebih baik.
Berbagai penyebab/stressor di atas, yang meliputi stressor predisposisi dan
stressor presipitasi yang dialami oleh klien defisit perawatan diri akan
memunculkan beberapa respon. Respon-respon tersebut merupakan pikiran,
sikap, tanggapan, perasaan dan perilaku yang ditunjukkan klien terhadap
kejadian yang dialami.
2.5.3 Respon terhadap Stresor Klien Defisit Perawatan Diri
Menurut Stuart (2009), respon terhadap stressor merupakan suatu
respon dari proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh
individu terhadap stressor dengan tujuan untuk melihat tingkat
kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya. Secara spesifik
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
40
Universitas Indonesia
proses ini melibatkan respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis,
respon perilaku dan respon sosial.
2.5.3.1 Respon Kognitif
Menurut Stuart (2009) respon kognitif adalah penilaian individu
secara kognitif terhadap stressor yang dialami dan merupakan
mediator bagi interaksi antara individu dan lingkungan. Individu
dapat menilai adanya suatu bahaya/potensi terhadap suatu stresor
yang dipengaruhi oleh : a) Pandangan/pengertian : sikap, terbuka
terhadap adanya perubahan, peran serta seseorang secara aktif dalam
suatu kegiatan, dan kemampuan untuk kontrol diri terhadap pengaruh
lingkungan. b) Sumber untuk toleransi terhadap masalah yang
dihadapi selama ini yang berasal dari diri sendiri serta lingkungannya.
c) Kemampuan koping, hal ini seringkali berhubungan dengan
pengalaman secara individual. d) Efektifitas koping yang
dipergunakan oleh klien dalam mengatasi masalahnya. e) Koping
yang tersedia dan dapat dipergunakan oleh klien.
Menurut Herdman (2012) respon kognitif pada klien defisit
perawatan diri meliputi tidak mengetahui cara perawatan diri yang
benar, adanya gangguan kognitif, penurunan persepsi,
ketidakmampuan melihat bagian tubuh dan ketidakmampuan
memahami hubungan spasial. Dapat disimpulkan bahwa respon
kognitif klien defisit perawatan diri adalah adanya penurunan
kemampuan secara kognitif, ketidakmampuan mengambil keputusan
dan ketidakmampuan mengatasi masalah.
2.5.3.2 Respon Afektif
Menurut Stuart (2009) Respon afektif adalah penilaian individu
secara afektif terhadap stressor yang dialami. Hal ini terkait dengan :
1) Ekspresi emosi : respons emosi dalam menghadapi masalah dapat
berupa perasaan sedih, gembira, takut, marah, menerima, tidak
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
41
Universitas Indonesia
percaya, antisipasi, surprise. 2) Klasifikasi dari emosi akan
tergantung pada tipe, lama dan intensitas dari stresor yang diterima
dari waktu ke waktu. 3) Mood dapat berupa emosi dan sudah
berlangsung lama yang akan mempengaruhi suasana hati seseorang.
4) Sikap (attitude): hal ini terjadi bila stresor telah berlangsung lama,
sehingga sudah menjadi suatu kebiasaan/pola bagi individu tersebut.
Menurut Stuart (2009) respon afektif defisit perawatan diri terkait
dengan : sedih, bingung, apatis/pasif, sehingga tidak ada motivasi
untuk melakukan perawatan diri. Tidak memiliki keinginan merawat
diri, tidak berdaya, putus asa, frustasi, gugup, muram, gelisah,
perasaan tidak mampu, perasaan negatif tentang dirinya dan rasa tidak
berguna, berakibat tidak terpenuhinya kebutuhan perawatan diri.
Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Herdman (2012) bahwa
respon afektif klien defisit perawatan diri adalah penurunan motivasi
dan adanya kecemasan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa respon
afektif yang berhubungan dengan klien defisit perawatan diri adalah
adanya perasaan sedih, apatis/pasif, tidak adanya motivasi melakukan
perawatan diri, perasaan negatif tenrhadap dirinya, penurunan mood
dan terbentuknya sikap dan pola yang menetap terhadap penurunan
kemauan perawatan diri karena stressor sudah dialami terlalu lama.
2.5.3.3 Respon Fisiologis
Menurut Stuart (2009) Respons fisiologis adalah penilaian individu
yang dimanifestasikan dengan adanya interaksi neuroendokrin, yang
dapat diperoleh dari hasil pemeriksaan penunjang, meliputi : hormon
pertumbuhan, prolaktin, hormon adenokortikotropik, hormon
luteinising dan stimulasi folikel, hormon tiroid, vasopresin, oksitosin,
insulin, epineprin, norepineprin dan beberapa neurotransmiter lain di
otak. Respons fight atau flight yang dilakukan oleh klien dalam
menghadapi suatu permasalahan akan distimulasi oleh sistem saraf
otonom serta meningkatnya aktivitas dari pituitari adrenal.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
42
Universitas Indonesia
Menurut Herdman (2012) respon fisiologis pada klien defisit
perawatan diri, dapat dilihat dari adanya kelelahan, keletihan,
kelemahan, penurunan muskuloskeletal, penurunan neuromuskuler,
nyeri, ketidaknyamanan. Apabila dihubungkan dengan peran
neurotransmitter norepineprin, bahwa penurunan kadar norepineprin
akan menyebabkan kelemahan sehingga mengakibatkan seseorang
berperilaku negatif. Salah satu perilaku negatif yang ditimbulkan
adalah enggan melakukan aktifitas perawatan diri. Kesimpulannya,
penurunan kadar norepineprin menyebabkan kelelahan dan
mengakibatkan defisit perawatan diri.
2.5.3.4 Respon Perilaku
Respon perilaku merupakan suatu reflek dari respons emosi dan
perubahan fisiologis sebagai suatu kemampuan analisis kognitif
dalam menghadapi suatu situasi yang penuh dengan stres. Respon
perilaku pada defisit perawatan diri bermacam-macam. Menurut
Herdman (2012) perilaku yang ditampilkan klien defisit perawatan
diri meliputi : gangguan kemampuan dalam melakukan atau
menyelesaikan aktifitas perawatan diri : mandi; gangguan
kemampuan dalam melakukan atau menyelesaikan aktifitas berhias;
gangguan kemampuan dalam melakukan atau menyelesaikan aktifitas
makan minum; dan gangguan kemampuan dalam melakukan atau
menyelesaikan aktifitas toileting.
Gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas mandi untuk diri sendiri, meliputi ketidakmampuan untuk
menuju/mengakses kamar mandi; mengeringkan tubuh; mendapatkan
perlengkapan mandi; memperoleh sumber air; mengatur suhu air
mandi; dan ketidakmampuan untuk membersihkan tubuh (Herdman,
2012). Pada klien defisit perawatan diri : mandi, ada yang mengalami
gangguan ketidakmampuan untuk melakukan semua aktifitas di atas,
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
43
Universitas Indonesia
ada juga yang hanya mengalami gangguan ketidakmampuan
melakukan beberapa aktifitas tersebut.
Gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas berpakaian untuk diri sendiri, meliputi gangguan dalam hal
mengikat pakaian; mendapatkan/mengambil pakaian; mengenakan
aksesoris yang diperlukan pakaian; memakai, melepas dan mengganti
sepatu; memakai, melepas dan mengganti kaus kaki; memakai,
melepas dan mengganti aksesoris yang diperlukan pakaian; memilih
pakaian; mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan; mengambil pakaian; menempatkan pakaian di tubuh
bagian bawah; menempatkan pakaian di tubuh bagian atas;
menggunakan alat bantu; menggunakan resleting (Herdman, 2012).
Seperti halnya ketidakmampuan perawatan diri : mandi, pada klien
yang mengalami ketidakmampuan perawatan diri : berhias, tidak
semua klien mengalami ketidakmampuan melaksanakan semua
fungsi di atas, bahkan ada yang hanya melakukan aktifitas
berpakaian secara umum memerlukan bantuan.
Herdman (2012), mengemukakan tentang gangguan kemampuan
untuk melakukan atau menyelesaikan kegiatan makan sendiri,
meliputi ketidakmampuan membawa makanan dari tempat makan ke
mulut; mengunyah makanan; menyelesaikan makan; mengambil
makanan ke tempat makan; membersihkan peralatan makan; menelan
makanan dengan cara yang diterima oleh masyarakat; menelan
makanan dengan aman; menelan makanan yang cukup;
memanipulasi makanan di mulut; membuka container/tempat makan;
mengambil cangkir atau gelas; menyiapkan makanan untuk
dikonsumsi; menelan makanan; dan ketidakmampuan menggunakan
perangkat alat bantu. Klien defisit perawatan diri : makan, pada
kondisi tertentu sesuai tingkatannya memerlukan bantuan untuk
memenuhi kebutuhan makan dan minumnya, mulai dari
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
44
Universitas Indonesia
menyediakan makanan, memulai dan memproses makanan hingga
membersihkan perlengkapan makan.
Gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas toileting untuk diri sendiri, meliputi ketidakmampuan klien
melaksanakan kebersihan toilet yang tepat;
menyiram toilet atau commode; sampai atau menuju toilet atau
commode; memanipulasi pakaian untuk toileting; bangkit dari toilet
atau commode; dan ketidakmampuan untuk duduk di toilet atau
commode (Herdman, 2012). Pada ketidakmampuan ini, pasie
memerlukan bantuan untuk memnuhi kebutuhan toiletingnya baik di
kamar mandi atau bahkan di tempat tidur karena adanaya
keterbatasan fisik.
2.5.3.5 Respons Sosial
Menurut Stuart (2009), respons sosial yaitu memandang masalah
yang muncul berasal dari kegagalan mereka sendiri dengan koping
yang dipergunakannya. Biasanya individu cenderung menyalahkan
dirinya sendiri, bersikap pasif dan perilakunya menarik diri.
Respon sosial defisit perawatan diri pada beberapa individu adalah :
kecenderungan untuk isolasi, partisipasi sosial berkurang, acuh
dengan lingkungan, personal hygiene jelek/tidak terpenuhi, sulit
berinteraksi, tidak tertarik dengan kegiatan yang bersifat menghibur
(Stuart, 2009). Klien biasanya cenderung menarik diri dari pergaulan
lingkungan sosial, karena kebersihan dirinya yang kurang, klien
menghindar bertemu dengan orang lain karena tidak percaya diri.
Respon yang telah diuraikan di atas merupakan sekumpulan tanda dan gejala
pada klien dengan defisit perawatan diri, apabila terdapat pada klien
menyebabkan klien berada pada rentang maladaptif karena ketidakmauan,
ketidaktahuan dan ketidakmampuannya untuk memenuhi kebutuhan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
45
Universitas Indonesia
perawatan diri. Penulis memberikan tindakan keperawatan untuk
menjadikan klien berada pada rentang adaptif.
Rentang Respon Perawatan Diri
Defisit perawatan diri merupakan respon maladaptif klien, sehingga penulis
berupaya untuk mengubah respon maladaptif tersebut menjadi respon
adaptif dengan cara meningkatkan kemampuan-kemampuan klien dan
keluarga untuk bisa memenuhi aktifitas perawatan diri. Perawatan diri
merupakan pola aktifitas kegiatan untuk diri sendiri yang membantu untuk
memenuhi tujuan terkait kesehatan dan dapat ditingkatkan (Herdman, 2012).
Gambar berikut ini menggambarkan tentang rentang respon adaptif dan
maladaptif defisit perawatan diri.
Gambar 2.1 Rentang Respon Perawatan Diri Stuart & Laraia ( 2005)
Gambar 2.1 menjelaskan bahwa klien defisit perawatan diri berada pada
rentang respon maladaptif karena adanya ketidakmauan, ketidakmampuan
dan ketidaktahuan untuk melakukan perawatan diri yang meliputi mandi,
berhias, makan dan minum serta toileting. Apabila klien memiliki kemauan,
kemampuan dan pengetahuan tentang cara melakukan aktifitas perawatan diri
dan dapat melaksanakan kegiatan tersebut secara mandiri, menggunakan alat-
alat untuk membantu perawatan diri hingga memanfaatkan sistem pendukung
Respon Maladaptif
Respon Adaptif
1. Mampu melakukan
perawatan diri secara mandiri
2. Menggunakan alat-alat untuk
membantu perawatan diri
3. Menggunakan dukungan
orang lain untuk melakukan
perawatan diri
1. Tidak mau melakukan
perawatan diri
2. Tidak mampu melakukan
perawatan diri
3. Tidak tahu cara melakukan
perawatan diri
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
46
Universitas Indonesia
yang ada untuk melakukan perawatan diri, maka klien tersebut berada pada
rentang respon yang adaptif.
Berdasarkan keterangan di atas diagnosa keperawatan yang bisa ditegakkan
adalah ketidakmampuan melakukan aktifitas perawatan diri : mandi, berhias,
makan dan minum serta toileting. Tujuan yang akan dicapai terhadap klien
dan keluarga adalah meningkatkan kemampuan klien dan keluarga dalam
memahami dan melaksanakan aktifitas pemenuhan perawatan diri yang
meliputi memenuhi kebutuhan mandi, berhias, makan dan minum serta
toileting.
2.5.4 Kemampuan Klien Defisit Perawatan Diri
Kemampuan atau koping merupakan pilihan atau strategi bantuan untuk
memutuskan mengenai apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi
atau berespon terhadap suatu permasalahan akibat stres yang dialami.
Perawat dapat menentukan tindakan yang tepat dalam melakukan
asuhan keperawatan, dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki
oleh klien. Klien defisit perawatan diri diharapkan memiliki
kemampuan yang meliputi dua hal, yaitu sumber koping dan
mekanisme koping. Menurut Stuart (2009) sumber koping terdiri dari
empat hal, yaitu kemampuan individu (personal abilities), dukungan
sosial (social support), ketersediaan materi (material assets) dan
kepercayaan (positive belief).
Sumber koping adalah beberapa sumber potensi baik secara internal
maupun eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk membantu
menyelesaikan masalah akibat stressor yang ada (Stuart, 2009).
Mekanisme koping adalah upaya sadar dari individu dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi akibat paparan stressor.
Penggunaan mekanisme koping dipengaruhi oleh tingkat stres, sumber
stres, serta kemampuan seseorang dalam menghadapi realitas hidup,
hubungan interpersonal, dan kesuksesan yang ditampilkan (Stuart,
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
47
Universitas Indonesia
2009). Kesimpulannya, sumber koping maupun mekanisme koping
merupakan kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh klien defisit
perawatan diri dalam berespon terhadap stressor sehingga bisa
berperilaku secara adaptif.
2.5.4.1 Kemampuan Individu
Kemampuan individu adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu
dan biasa dilakukan dalam menghadapi masalah. Kemampuan
individu yang perlu dioptimalkan meliputi kemampuan dalam
memahami (kognitif) terhadap masalah yang dihadapi secara rasional.
Kemampuan dalam mengontrol emosi (afektif) terhadap masalah yang
ada. Secara fisiologis dan perilaku yang perlu dioptimalkan adalah
hidup teratur (aktivitas dan istirahat) dan pola makan yang teratur dan
bergizi sehingga asupan energi bisa mensuplai otak dengan baik.
Kemampuan memanfaatkan (dukungan sosial) yang ada dan
menggunakan nilai kepercayaan yang selaras dengan tidak bertolak
belakang dari nilai yang dimiliki.
Menurut Herdman (2012), kemampuan individu yang harus dimiliki
oleh klien defisit perawatan diri adalah kemampuan untuk melakukan
aktifitas perawatan diri dalam hal pemenuhan kebutuhan mandi ;
berhias ; makan dan minum ; serta toileting. Sedangkan pada klien
defisit perawatan diri biasanya didapatkan data rendahnya motivasi
klien dalam merawat diri, keterbatasan intelektual klien yang sangat
mempengaruhi dalam kemampuan perawatan diri dan keterbatasan
fisik serta ketidakmampuan memanfaatkan dukungan sosial.
2.5.4.2 Dukungan Sosial
Stuart (2009) dukungan sosial adalah sumber dukungan yang berasal
dari eksternal dan merupakan komponen terpenting dalam sumber
koping yang perlu dikembangakan. Dukungan sosial adalah dukungan
untuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok atau
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
48
Universitas Indonesia
orang-orang disekitar klien termasuk kader dan dukungan terbaik yang
diperlukan oleh klien adalah dukungan dari keluarga. Klien dengan
defisit perawatan diri sangat memerlukan dukungan sosial ini, karena
dukungan sosial akan membuat individu merasa tidak sendiri dan
berada pada lingkungan keluarga atau masyarakat yang care pada
dirinya. Apabila dukungan sosial tidak adekuat maka seseorang akan
merasa sendiri dan terlalu berat menghadapi stressor/masalahnya.
Keluarga sebagai care giver bagi klien harus memiliki kemampuan-
kemampuan tentang cara merawat klien. Kemampuan-kemampuan
yang harus dimiliki oleh keluarga terdiri dari kemampuan memahami
dan mengerti tentang cara melakukan aktifitas perawatan diri,
kemampuan memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan
perawatan diri pada klien, kemampuan untuk melakukan perawatan
diri pada klien defisit perawatan diri.
Kader kesehatan sebagai sistem pendukung bagi klien juga harus
memiliki kemampuan-kemampuan untuk ikut merawat klien defisit
perawatan diri. Kemampuan yang harus dimiliki oleh kader kesehatan
jiwa adalah kemampuan dalam melakukan kegiatan untuk memberikan
dukungan, dorongan dan motivasi kepada klien untuk melakukan
aktifitas pemenuhan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias,
makan dan minum serta toileting. Kemampuan lain yang harus
dimiliki adalah pengetahuan tentang cara melakukan perawatan diri
dan kader harus siap memberikan bantuan pada klien apabila
diperlukan.
2.5.4.3 Ketersediaan Pelayanan kesehatan dan Finansial Materi
Ketersediaan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat
akan mempermudah dalam mengantisipasi permasalahan kesehatan
termasuk penanganan masalah defisit perawatan diri. Tujuan
ketersediaan pelayanan kesehatan adalah supaya masyarakat mudah
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
49
Universitas Indonesia
mendapatkan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan
diselenggarakan oleh institusi pelayanan kesehatan yang disebut
Rumah Sakit. Menurut UU RI no 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit,dalam BAB VI pasal 19 ayat 1-3 Rumah Sakit sebagai pelayanan
kesehatan terdiri dari Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus.
Rumah Sakit Umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua
bidang dan jenis penyakit. Rumah Sakit Khusus memberikan
pelayanan utama pada satu jenis kekhususan tertentu. Contoh Rumah
Sakit Khusus adalah Rumah Sakit Jiwa. Rumah Sakit Jiwa
memberikan pelayanan kesehatan terkait masalah kesehatan jiwa.
Pelayanan kesehatan harus bisa menjamin dan memberikan
kemampuan pada klien untuk menyelesaikan masalah kesehatan.
Ketersediaan finansial, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
membutuhkan dana. Dana bisa berasal dari dana pribadi, asuransi
kesehatan pribadi atau jaminan kesehatan yang disediakan oleh
pemerintah (JAMKESDA). Klien defisit perawatan diri kebanyakan
menunjukkan kemampuan materi yang lemah atau kurang. Kelemahan
atau kekurangan ekonomi juga menyebabkan klien defisit perawatan
diri tidak mampu menjangkau pusat pelayanan kesehatan. Kelemahan
atau kekurangan ekonomi termasuk ketidakmampuan secara ekonomi
untuk menyediakan peralatan dan perlengkapan perawatan diri.
Peralatan dan perlengkapan perawatan diri tersebut meliputi
menyediakan sabun, pasta gigi, sampo ; pakaian yang memadai ;
makanan yang bergizi dan sarana untuk toileting.
Menurut UU kesehatan nomor 36 tahun 2009 Bab IX pasal 144 ayat 1-
5, dijelaskan bahwa upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin
setiap orang mendapatkan kehidupan kejiwaan yang sehat ; upaya
kesehatan jiwa tersebut terdiri dari tindakan preventif, promotif,
kuratif dan rehabilitatif klien gangguan jiwa dan psikososial ; upaya
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
50
Universitas Indonesia
kesehatan jiwa tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat ; pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab menciptakan
kondisi kesehatan jiwa dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu
dan pemerataan upaya kesehatan ; pemerintah dan pemerintah daerah
berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis
masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan,
termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan jiwa.
Berdasarkan penjelasan di atas, klien-klien defisit perawatan diri yang
tidak mampu secara ekonomi bisa menggunakan fasilitas pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan dalam hal materi terkait perawatan
kesehatannya. Fasilitas yang dimaksudkan adalah fasilitas berupa
jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang bisa didapatkan melalui
persetujuan RT, RW dan Kelurahan setempat. Beberapa klien defisit
perawatan diri yang membutuhkan jamkesda sudah berhasil
memanfaatkan fasilitas tersebut.
2.5.4.4 Kepercayaan
Kepercayaan (positive belief) merupakan keyakinan dan gambaran
positif seseorang sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang
dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh
stresor. Stuart (2009) mengemukakan bahwa keyakinan harus
dikuatkan untuk membentuk keyakinan positif (kognitif) dan dapat
menguatkan afektif, kestabilan fisiologis tubuh, perilaku konstruktif
dan sosial yang baik. Keyakinan yang dimaksud adalah keyakinan
terhadap tenaga kesehatan, keyakinan tentang kemampuan mengatasi
masalah, keyakinan bahwa perilaku dapat diubah dan keyakinan
terhadap pelayanan kesehatan.
Penyimpangan dalam aspek keyakinan pada klien defisit perawatan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
51
Universitas Indonesia
diri biasanya memiliki pikiran negatif terhadap kemampuan diri dalam
melakukan aktifitas perawatan diri. Penyimpangan lain tidak adanya
kepercayaan kepada petugas kesehatan bahwa petugas kesehatan dapat
membantu klien mengatasi masalahnya. Hal ini terbukti dari sebagian
besar perilaku klien dan keluarga dalam mencari pengobatan bagi
klien yang mengalami gangguan jiwa. Orang yang didatangi pertama
kali adalah Dukun, karena mereka percaya bahwa Dukun bisa
membantu kesembuhan mereka. Klien defisit perawatan diri juga
memiliki anggapan bahwa perilaku yang ada pada klien tidak akan
dapat diubah karena sudah terbentuk sejak lama dan bukan merupakan
masalah bagi klien.
Kemampuan-kemampuan yang terdiri dari sumber koping dan mekanisme
koping yang dimiliki oleh klien defisit perawatan diri inilah yang menjadi
perhatian khusus perawat, karena dengan mengetahui sumber koping dan
mekanisme koping tersebut menjadi dasar dalam pemberian suatu terapi
kepada klien defisit perawatan diri. untuk mencapai standar kemampuan
yang harus dimiliki oleh klien dan atau keluarga. Defisit perawatan diri,
diperkirakan sebagai akibat dari kurangnya sumber pendukung internal dan
eksternal, sehingga klien tidak mempunyai motivasi dalam melakukan
kegiatan sehari-hari dalam melakukan perawatan diri.
Berikut ini diuraikan mengenai tindakan keperawatan atau intervensi yang
dilakukan kepada klien dan keluarga klien defisit perawatan diri. Tindakan
keperawatan diberikan untuk melatih klien dan keluarga klien agar memiliki
kemampuan-kemampuan yang bisa digunakan sebagai upaya dalam
melakukan aktifitas pemenuhan perawatan diri yang meliputi mandi,
berhias, makan dan minum serta toileting.
2.5.5 Tindakan Keperawatan Defisit Perawatan Diri
Fokus intervensi keperawatan dalam hal ini terdiri dari dua : (1) Untuk
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan klien dan keluarga
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
52
Universitas Indonesia
melakukan pemenuhan kebutuhan perawatan diri. (2) Untuk
membantu klien dengan keterbatasan dan melakukan perawatan yang
tidak dapat dilakukan klien.
Pada klien defisit perawatan diri, terapi yang dapat diberikan antara
lain terapi generalis (individu, keluarga dan kelompok) dan terapi
spesialis keperawatan jiwa di antaranya yaitu terapi perilaku
(individu), terapi supportif dan self help group (kelompok) serta
psikoedukasi keluarga (keluarga).
2.5.5.1 Tindakan terhadap Klien
Tindakan keperawatan diberikan kepada klien dengan tujuan supaya
klien memiliki kemampuan-kemampuan yang bisa digunakan untuk
memenuhi kebutuhan perawatan diri. Tindakan keperawatan yang
dilakukan tersebut terdiri dari tindakan generalis dan spesialis.
Tindakan Generalis
Tindakan generalis yang dilakukan adalah menjelaskan, melatih dan
mengajarkan kepada klien tentang cara memenuhi kebutuhan
perawatan diri. Hal ini bertujuan supaya klien memiliki kemampuan
secara mandiri untuk menyelesaikan aktifitas mandi, berhias, makan
dan minum serta toileting untuk diri sendiri.
Setelah diberikan tindakan keperawatan ini diharapkan klien mampu
mengungkapkan keinginan untuk meningkatkan kemandirian.
Menurut Herdman (2012) kemandirian yang akan dicapai adalah
kemandirian dalam menjaga kesehatan; kemandirian dalam
mempertahankan hidup; kemandirian dalam mempertahankan
pengembangan pribadi; kemandirian dalam mempertahankan
kesejahteraan; meningkatkan pengetahuan tentang strategi untuk
perawatan diri; meningkatkan tanggung jawab untuk perawatan diri;
dan meningkatkan perawatan diri.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
53
Universitas Indonesia
Tindakan keperawatan generalis yang dilakukan untuk klien defisit
perawatan diri adalah :
a) Memberikan penjelasan tentang pentingnya perawatan diri,
alat-alat yang diperlukan untuk melakukan perawatan diri dan
cara-cara melakukan perawatan diri.
b) Memberikan latihan untuk mengatasi gangguan kemampuan
melakukan atau menyelesaikan aktivitas mandi untuk diri
sendiri, dengan cara melatih dan mengajarkan klien untuk
mandiri memenuhi aktifitasnya. Tindakan yang diberikan
adalah melatih klien untuk menuju/mengakses kamar mandi;
melatih klien untuk mengeringkan tubuh; melatih klien untuk
mendapatkan perlengkapan mandi; melatih klien untuk
memperoleh sumber air; melatih klien untuk mengatur suhu
air mandi; melatih klien untuk membersihkan tubuh
(Herdman, 2012). Asuhan keperawatan yang diberikan
perawat kepada klien defisit perawatan disesuaikan dengan
tingkat kebutuhan yang diperlukan.
c) Memberikan latihan untuk mengatasi gangguan kemampuan
melakukan atau menyelesaikan aktivitas berpakaian untuk
diri sendiri, ditujukan agar klien mampu memenuhi
kebutuhan berhias. Herdman (2012), menyebutkan tindakan
yang diberikan adalah melatih klien untuk mengikat pakaian;
melatih klien untuk mendapatkan/mengambil pakaian;
melatih klien untuk mengenakan aksesoris yang diperlukan
pakaian; melatih klien untuk memakai, melepas dan
mengganti sepatu; melatih klien untuk memakai, melepas dan
mengganti kaus kaki; melatih klien untuk memakai, melepas
dan mengganti aksesoris yang diperlukan pakaian; melatih
klien untuk memilih pakaian; melatih klien untuk
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
54
Universitas Indonesia
mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan;
melatih klien untuk mengambil pakaian; melatih klien untuk
menempatkan pakaian di tubuh bagian bawah; melatih klien
untuk menempatkan pakaian di tubuh bagian atas;
menggunakan alat bantu; melatih klien untuk menggunakan
resleting.
d) Memberikan latihan untuk mengatasi gangguan kemampuan
melakukan atau menyelesaikan kegiatan makan sendiri,
bertujuan untuk memandirikan klien dalam hal pemenuhan
kebutuhan makan dan minum. Herdman (2010), menyebutkan
tindakan yang dilakukan adalah melatih klien untuk
membawa makanan dari tempat makan ke mulut; melatih
klien untuk mengunyah makanan; melatih klien untuk
menyelesaikan makan; melatih klien untuk mengambil
makanan ke tempat makan; melatih klien untuk
membersihkan peralatan makan; melatih klien untuk menelan
makanan dengan cara yang diterima oleh masyarakat; melatih
klien untuk menelan makanan dengan aman; melatih klien
untuk menelan makanan yang cukup; melatih klien untuk
memanipulasi makanan di mulut; melatih klien untuk
membuka container/tempat makan; melatih klien untuk
mengambil cangkir atau gelas; melatih klien untuk
menyiapkan makanan untuk dikonsumsi; melatih klien untuk
menelan makanan; melatih klien untuk menggunakan
perangkat alat bantu.
e) Memberikan latihan untuk mengatasi gangguan kemampuan
melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting untuk diri
sendiri, bertujuan untuk membantu klien memenuhi
kebutuhan toileting. Herdman (2012) menyebutkan tindakan
yang dilakukan adalah melatih klien untuk melaksanakan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
55
Universitas Indonesia
kebersihan toilet yang tepat; melatih klien untuk menyiram
toilet atau commode; melatih klien untuk sampai ke toilet atau
commode; melatih klien untuk memanipulasi pakaian untuk
toileting; melatih klien untuk bangkit dari toilet atau
commode; melatih klien untuk duduk di toilet atau commode.
Tindakan Spesialis
Terapi spesialis keperawatan jiwa yang diberikan meliputi terapi
individu, terapi kelompok dan terapi keluarga. Terapi individu yang
diberikan adalah terapi perilaku token ekonomi, terapi kelompok
yang diberikan pada klien defisit perawatan diri adalah terapi
kelompok suportif dan terapi kelompok swa bantu, sedangkan terapi
keluarga yang diberikan adalah terapi psikoedukasi keluarga.
a. Terapi Perilaku/Behaviour Theraphy
Behaviour Therapy (BT) merupakan terapi spesialis keperawatan
jiwa yang didasarkan atas proses belajar dan mempunyai tujuan
mengubah perilaku negatif menjadi perilaku positif. Salah satu
cara untuk merubah perilaku negatif menjadi positif adalah
dengan token economy. Token ekonomi adalah bentuk dari
reinforcement positif yang digunakan baik secara individu
maupun kelompok klien di ruang psikiatri (Stuart & Laraia,
2005). Token ekonomi yaitu sebuah teknik berdasarkan prinsip
prinsip pengkondisian operan. Token ekonomi didesain bagi klien
gangguan jiwa agar menghasilkan perilaku yang diinginkan.
Pelaksanaan token ekonomi meliputi mengidentifikasi
kemampuan interpersonal yang positif dan perilaku self care klien
yang akan dikuatkan dan mendapatkan dispensasi berupa
tanda/token pada klien apabila kemampuannya meningkat
(Mc.Monagle & Sultana, 2004). Terapi perilaku token ekonomi
ini merupakan proses pendidikan dan peningkatan tingkah laku,
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
56
Universitas Indonesia
sehingga dibutuhkan adanya keterbukaaan, kehangatan, empati
dan komunikasi terapeutik.
Tujuan terapi perilaku ini adalah untuk menghasilkan perubahan-
perubahan positif dalam berbagai perilaku meliputi kesehatan
pribadi, interaksi sosial, kehadiran dan formasi dalam pekerjaan
dan tugas rumah tangga, mengidentifikasi kemampuan
interpersonal yang positif, mengidentifikasi perilaku self care
klien, meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi
perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian tokens (tanda-
tanda). Contohnya pada peningkatan perilaku merawat diri :
mandi, berpakaian/berhias, makan dan toileting.
Terapi perilaku token ekonomi digunakan untuk menghasilkan
perubahan-perubahan positif dalam berbagai tingkah laku yang
meliputi kesehatan pribadi, interaksi-interasi sosial, kehadiran dan
formasi dalam pekerjaan, performasi akademik, tugas-tugas
rumah tangga. Menurut Carson (2000) manfaat lain dari token
ekonomi adalah mengajarkan nilai pada klien karena token
diberikan apabila ada perubahan perilaku. Menurut Gerald Corey
(2003) tujuan prosedur ini adalah mengubah motivasi yang
ekstrinsik menjadi motivasi yang intrinsik. Harapannya adalah
perolehan tingkah laku yang diinginkan akhirnya dengan
sendirinya akan menjadi cukup dengan mengajarkan supaya
memelihara tingkah laku yang baru.
Prinsip terapi ini adalah : Individu menerima token segera setelah
mempertunjukkan perilaku yang diinginkan; bentuk token adalah
suatu obyek yang benar-benar diinginkan klien atau kehormatan
yang penuh arti atau hadiah yang bagus; hadiah dapat bersifat
individual tergantung dari umur, jenis kelamin, hobi, dan tipe
intensitas dari tanda yang tampak pada klien; besarnya
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
57
Universitas Indonesia
reward/hadiah adalah sama nilainya untuk semua individu dalam
suatu kelompok; penggunaan dari hukuman (respon costs) lebih
sedikit risikonya dibandingkan bentuk-bentuk hukuman yang lain;
individu dapat belajar ketrampilan-ketrampilan yang berhubungan
dengan masa depan.
Terapi token ekonomi yang dikembangkan mengacu pada 3 (tiga)
tahapan terapi token ekonomi (Liberman, 2000, Mc.Monagle &
Sultana, 2004 dalam Stuart & Laraia, 2005). Ketiga tahapan terapi
tersebut adalah sesi 1, yaitu mengadakan kontrak; sesi 2, yaitu
melatih kemampuan klien merawat diri : mandi dan
berpakaian/berhias, makan minum dan toileting (BAB dan BAK);
sesi 3, yaitu mengungkapkan manfaat dan hasil dari latihan setiap
sesi serta merencanakan tindak lanjut.
Pada pelaksanaannya, penulis melakukan modifikasi pada
tahapan yang kedua, yaitu melatih kemampuan klien. Modifikasi
tersebut adalah melakukan tahapan kedua melalui 4 kali
pertemuan. Sehingga langkah-langkah pelaksanaan terapi ini
terbagi dalam beberapa sesi, yaitu :
Sesi 1 : Mengidentifikasi dan menyepakati perilaku negative
yang ingin diubah dan token yang akan diberikan jika perilaku
negative tidak dilakukan dan berubah menjadi perilaku positif
Sesi 2 : Melatih kemampuan mengubah perilaku negatif 1
menjadi perilaku positif, yaitu melatih klien untuk melakukan
perawatan diri : mandi dan memberikan token jika sudah
dilakukan
Sesi 3 : Melatih kemampuan mengubah perilaku negatif 2
menjadi perilaku positif, yaitu melatih klien untuk melakukan
perawatan diri : berhias dan memberikan token jika sudah
dilakukan
Sesi 4 : Melatih kemampuan mengubah perilaku negative 3
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
58
Universitas Indonesia
menjadi perilaku positif, yaitu melatih klien untuk melakukan
perawatan diri : makan minum teratur dan memberikan token
jika sudah dilakukan
Sesi 5 : Melatih kemampuan mengubah perilaku negative 4
menjadi perilaku positif, yaitu melatih klien untuk melakukan
perawatan diri : toileting (BAB dan BAK) dengan tepat dan
memberikan token jika sudah dilakukan
Sesi 6 : Mengungkapkan manfaat serta hasil dari latihan setiap
sesi serta merencanakan tindak lanjut dan menulis/mengisi
buku catatan kegiatan harian klien.
b. Terapi Suportif/Supportif Terapi
Supportif group merupakan sekumpulan orang-orang yang
berencana, mengatur dan berespon secara langsung terhadap
issue-isue dan tekanan yang khusus maupun keadaan yang
merugikan. Tujuan awal dari grup ini didirikan adalah
memberikan support dan menyelesaikan pengalaman isolasi dari
masing-masing anggotanya (Grant-Iramu, 1997 dalam Hunt,
2004).
Tujuan terapi suportif adalah memberikan dukungan kepada
individu sehingga mampu mengatasi masalah yang dihadapinya
dengan cara menguatkan daya tahan mental yang ada,
mengembangkan mekanisme baru yang lebih baik untuk
mempertahankan kontrol diri dan mengembalikan keseimbangan
yang adaptif (dapat menyesuaikan diri), sehingga mampu
mencapai tingkat kemandirian yang lebih tinggi serta mampu
mengambil keputusan secara otonom (Maramis, 1998 dan
Rockland, 1989 dalam Stuart & Laraia, 2005).
Prinsip yang harus diperhatikan pada terapi suportif adalah
memperlihatkan hubungan saling percaya, memikirkan mengenai
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
59
Universitas Indonesia
ide dan alternatif untuk memecahkan masalah, mendiskusikan
area yang tabu (tukar pengalaman mengenai rahasia dan konflik
internal secara psikologis), menghargai situasi yang sama dan
bertindak bersama, adanya sistem pendukung yang membantu
(mutual support dan assistance) serta pemecahan masalah secara
individu (Chien, Chan & Thompson, 2006).
Pelaksanaan supportif group terbagi menjadi empat sesi yaitu :
Sesi 1 : mengidentifikasi kemampuan dan sumber pendukung
yang ada.
Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan
mengenai pengetahuan klien dan keluarga tentang defisit
perawatan diri, cara yang biasa dilakukan untuk perawatan diri,
hambatan dalam melakukan serta mengidentifikasi sumber
pendukung yang ada.
Sesi 2 : menggunakan sistem pendukung yang berasal dari
dalam, monitor hasil dan hambatannya
Kegiatan yang dilakukan pada sesi 2 ini adalah mendiskusikan
bersama klien dan keluarga mengenai kemampuan
menggunakan sistem pendukung dari dalam, misalnya keluarga
dan hambatannya. Hasil dari sesi 2 ini adalah klien memiliki
daftar kemampuan dalam menggunakan sistem pendukung
yang berasal dari dalam.
Sesi 3 : menggunakan sistem pendukung yang berasal dari luar,
monitor hasil dan hambatannya.
Kegiatan yang dilakukan pada sesi 3 ini adalah mendiskusikan
bersama klien dan keluarga mengenai kemampuan
menggunakan sistem pendukung dari luar, misalnya kelompok
atau masyarakat dan hambatannya. Hasil dari sesi 3 ini adalah
klien memiliki daftar kemampuan dalam menggunakan sistem
pendukung yang berasal dari luar.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
60
Universitas Indonesia
Sesi 4 : mengevaluasi hasil dan hambatan dalam menggunakan
sistem pendukung baik yang berasal dari dalam maupun yang
berasal dari luar.
Kegiatan yang dilakukan pada sesi ini adalah mengevaluasi
pengalaman yang dipelajari dan pencapaian tujuan,
mendiskusikan hambatan dan kebutuhan yang diperlukan
terkait dengan penggunaan sumber pendukung baik yang
berasal dari dalam maupun dari luar, dan cara memenuhi
kebutuhan tersebut.
c. Kelompok Swa Bantu/Self Help Group
Self help group merupakan satu pendekatan untuk
mempertemukan kebutuhan keluarga dan sumber penting untuk
keluarga dengan gangguan jiwa (Citron, et.all, 1999). Self help
group merupakan suatu kelompok atau peer dimana tiap anggota
saling berbagi masalah baik fisik maupun emosional atau issue
tertentu (Anonim, 2008). Self help group bertujuan untuk
mengembangkan empathy diantara sesama anggota kelompok di
mana sesama anggota kelompok saling memberikan penguatan
untuk membentuk koping yang adaptif. Self help group pada
keluarga dengan gangguan jiwa perlu dilakukan untuk membantu
keluarga mengatasi permasalahannya yang diselesaikan bersama
dalam kelompok.
Hasil penelitian pengaruh self help group terhadap kemampuan
keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa di Kelurahan
Sindang Barang dan Katulampa menunjukkan kemampuan
kognitif dan psikomotor keluarga dalam merawat klien gangguan
jiwa meningkat secara bermakna setelah melaksanakan self help
group (Utami, 2008). Bila dilihat dari hasil tersebut self help
group sangat penting dilakukan pada keluarga yang memiliki
anggota keluarga dengan gangguan jiwa.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
61
Universitas Indonesia
Tujuan dari terapi ini adalah : Membentuk self help group pada
keluarga dengan gangguan jiwa, Melakukan implementasi self
help group pada keluarga dengan gangguan jiwa, Mengevaluasi
self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa,
Mendokumentasian kegiatan self help group pada keluarga
dengan gangguan jiwa.
Prinsip Self help group, Pembentukan self help group harus
memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut ini : Tiap anggota
kelompok berperan secara aktif untuk berbagi pengetahuan dan
harapan terhadap pemecahan masalah serta menemukan solusi
melalui kelompok; Sesama anggota saling memahami,
mengetahui dan membantu berdasarkan kesetaraan, respek antara
satu dengan yang lain dan hubungan timbal balik; Self help group
merupakan kelompok informal dan dibimbing oleh volunteer; Self
help group adalah kelompok self supporting anggota self help
group berbagi pengetahuan dan harapan terhadap pemecahan
masalah serta menemukan solusi melalui kelompok. Pembiayaan
untuk pelaksanaan kegiatan ditanggung bersama kelompok;
Kelompok harus menghargai privacy dan kerahasiaan dari
anggota kelompoknya; Pengambilan keputusan dengan
melibatkan kelompok dan kelompok harus bertanggung jawab
dalam pengambilan keputusan.
Pembentukan kelompok self help group merupakan langkah awal
dalam kegiatan self help group. Pembentukan self help group
dilaksananakan dalam tiga kali pertemuan .
a) Pertemuan pertama : Pembentukan kelompok
Pertemuan ini menjelaskan tentang konsep self help group dan
langkah-langkah pelaksanaan self help group
Menjelaskan tentang konsep self help group meliputi
pengertian self help group, tujuan self help group, prinsip
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
62
Universitas Indonesia
self help group, membuat beberapa kesepakatan (seperti
nama kelompok, anggota kelompok) dan aturan dalam
melaksanakan self help group.
Menjelaskan lima langkah kegiatan self help group :
Langkah I : Memahami masalah
Kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan masalah
yang dihadapi oleh keluarga yang memiliki anggota
keluarga dengan gangguan jiwa. Setiap anggota
mengungkapkan masalah yang dihadapinya. Pertemuan
kedua dan seterusnya mendiskusikan kembali apa ada
masalah lain yang dialami oleh keluarga. Hasil dari langkah
pertama adalah kelompok memiliki daftar masalah.
Langkah II : Cara untuk menyelesaikan masalah.
Kegiatan yang dilakukan adalah peserta saling berbagi
informasi bagaimana cara mengatasi permasalahan yang
terjadi berdasarkan daftar masalah yang sudah dibuat. Bila
penyelesaian masalah tidak ditemukan maka bisa
menggunakan pedoman untuk menyelesaikan masalah.
Materi yang dapat diberikan adalah memberikan informasi
tentang kesehatan jiwa, tanda sehat jiwa, gangguan jiwa
(penyebab, tanda dan gejala, dampak gangguan jiwa bagi
klien dan keluarga), cara yang dapat dilakukan untuk
merawat anggota keluarga seperti berinteraksi, membantu
melakukan perawatan diri (mandi, menyisir rambut,
menggosok gigi, berpakaian), melakukan kegiatan (seperti
menyiapkan makan, mencuci piring, merapihkan rumah,
berbelanja), memberikan pujian klien dan keluarga, cara
memberikan obat. Materi tersebut diberikan oleh anggota
kelompok itu sendiri ataupun oleh tenaga kesehatan yang
ditunjuk dan disepakati oleh kelompok. Pertemuan kedua
dan seterusnya kegiatan yang dilakukan adalah
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
63
Universitas Indonesia
mendiskusikan cara penyelesaian masalah yang lain, apakah
ada tambahan. Jika cara penyelesaian masalah tidak
ditemukan dapat konsul kepada ahlinya. Hasil dari langkah
kedua adalah kelompok memiliki daftar cara penyelesaian
masalah
Langkah III : Memilih cara pemecahan masalah.
Kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan tiap-tiap
cara penyelesaian masalah yang ada dalam daftar
penyelesaian masalah dan memilih cara penyelesaian
masalah dengan mempertimbangkan faktor pendukung dan
penghambat dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Pertemuan ke dua dan seterusnya adalah mendiskusikan
apakah ada cara lain yang dipilih dalam mengatasi masalah.
Hasil dari langkah ke tiga ini adalah daftar cara penyelesaian
masalah yang dipilih
Langkah IV : Melakukan tindakan untuk penyelesaian
masalah.
Kegiatan yang dilakukan adalah tiap peserta melakukan role
play (bermain peran) cara penyelesaian masalah yang telah
dipilih. Pertemuan ke dua dan selanjutnya melakukan role
play cara lain yang telah dipilih oleh kelompok. Hasil dari
langkah ke empat adalah kelompok memiliki daftar
penyelesaian masalah yang sudah dilatih.
Langkah V : Pencegahan kekambuhan.
Kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan cara – cara
mencegah kekambuhan, tanda dan tanda kekambuhan dan
tindakan yang dilakukan saat kekambuhan terjadi.
Pertemuan kedua dan selanjutnya adalah mendiskusikan
tentang cara lain untuk mencegah kekambuhan dan tindakan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
64
Universitas Indonesia
yang dilakukan saat kekambuhan terjadi. Hasil dari langkah
kelima adalah daftar cara mencegah kekambuhan dan
tindakan yang dilakukan jika kekambuhan terjadi.
b) Pertemuan kedua : Pendampingan
Pertemuan kedua dilakukan setelah penjelasan konsep self help
group dan lima langkah kegiatan self help group. Pertemuan ini
dipimpin oleh leader yang ditunjuk oleh kelompok namun
masih didampingi oleh tenaga profesional.
Mendiskusikan masalah yang dihadapi oleh keluarga yang
memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Setiap
peserta mengungkapkan masalah yang dihadapinya.
Kelompok membuat daftar masalah .
Mendiskusikan cara mengatasi permasalahan yang terjadi
berdasarkan daftar masalah yang sudah dibuat. Kelompok
menyusun daftar cara penyelesaian masalah.
Mendiskusikan tiap-tiap cara penyelesaian masalah yang
ada dalam daftar penyelesaian masalah dan memilih cara
penyelesaian masalah. Kelompok membuat daftar cara
penyelesaian masalah yang dipilih.
Melakukan role play (bermain peran) oleh peserta tentang
cara penyelesaian masalah yang telah dipilih. Kelompok
membuat daftar penyelesaian masalah yang sudah dilatih.
Mendiskusikan cara – cara mencegah kekambuhan, tanda
dan tanda kekambuhan dan tindakan yang dilakukan saat
kekambuhan terjadi. Kelompok membuat daftar cara
mencegah kekambuhan dan tindakan yang dilakukan jika
kekambuhan terjadi.
c) Pertemuan ketiga : Pelaksanaan Mandiri
Pertemuan ketiga merupakan tahap akhir pembentukan self
help group, dipimpin oleh leader yang merupakan anggota
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
65
Universitas Indonesia
kelompok tersebut. Peran terapis pada pertemuan ketiga ini
adalah memfasilitasi jalannya kegiatan self help group
Mendiskusikan masalah lain yang dihadapi oleh keluarga
yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa
berdasarkan daftar masalah .Bila ada masalah baru,
kelompok menulis pada daftar masalah.
Mendiskusikan cara mengatasi permasalahan yang terjadi
berdasarkan daftar masalah yang sudah dibuat.
Mendiskusikan cara penyelesaian masalah yang lain yang
ditulis dalam daftar cara penyelesaian masalah.
Melakukan role play (bermain peran) oleh peserta tentang
cara penyelesaian masalah yang telah dipilih.
Mendiskusikan tindakan lain yang dapat dilakukan saat
kekambuhan terjadi.
2.5.5.2 Tindakan terhadap Keluarga
Tindakan keperawatan diberikan kepada keluarga klien dengan
tujuan supaya keluarga klien memiliki kemampuan-kemampuan yang
bisa digunakan untuk membantu klien memenuhi kebutuhan
perawatan diri. Tindakan keperawatan yang dilakukan tersebut terdiri
dari tindakan generalis dan spesialis.
Tindakan Generalis
Tindakan generalis yang dilakukan adalah menjelaskan, melatih dan
mengajarkan kepada keluarga klien tentang cara memenuhi
kebutuhan perawatan diri. Tindakan/intervensi generalis yang
diberikan kepada keluarga bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan keluarga dalam :
a. Mengidentifikasi masalah defisit perawatan diri yang meliputi
pemenuhan aktifitas mandi, berhias, makan dan minum serta
toileting.
b. Mengambil keputusan dalam merawat klien dengan defisit
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
66
Universitas Indonesia
perawatan diri yang meliputi pemenuhan aktifitas mandi, berhias,
makan dan minum serta toileting.
c. Merawat klien dengan defisit perawatan diri yang meliputi
membantu klien dalam pemenuhan aktifitas mandi, berhias,
makan dan minum serta toileting.
d. Memodifikasi lingkungan yang mendukung untuk merawat klien
defisit perawatan diri termasuk menyediakan peralatan untuk
pemenuhan aktifitas mandi, berhias, makan dan minum serta
toileting.
e. Memanfaatkan sistem pelayanan kesehatan yang dapat digunakan
untuk mendukung merawat klien dengan defisit perawatan diri.
Kegiatan yang dilakukan dalam memberikan tindakan keperawatan
generalis kepada keluarga adalah :
a. Mendiskusikan bersama keluarga tentang fasilitas kebersihan diri
yang dibutuhkan oleh klien untuk menjaga perawatan diri klien
b. Menganjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri klien
dan membantu mengingatkan klien dalam merawat diri sesuai
jadwal yang telah disepakati.
c. Menganjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas
keberhasilan klien dalam merawat diri.
Tindakan Spesialis
Tindakan spesilis yang diberikan oleh penulis terhadap keluarga
klien adalah terapi spesialis keperawatan jiwa psikoedukasi keluarga.
Berikut ini dijelaskan secara rinci tentang terapi psikoedukasi
keluarga.
Terapi Psikoedukasi Keluarga/Family Psico Educasy
Family Psychoeducation Therapy adalah salah satu elemen program
perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi
dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
67
Universitas Indonesia
psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan
pragmatik (Stuart, 2009).
Psikoedukasi keluarga merupakan sebuah metode yang berdasarkan
pada penemuan klinik terhadap pelatihan keluarga yang bekerjasama
dengan tenaga keperawatan jiwa profesional sebagai bagian dari
keseluruhan intervensi klinik untuk anggota keluarga yang
mengalami gangguan. Terapi ini menunjukkan adanya peningkatan
outcomes pada klien dengan schizofrenia dan gangguan jiwa berat
lainnya (Anderson, 1983 dalam Levine, 2002).
Prinsip psikoedukasi dapat membantu anggota keluarga dalam
meningkatkan pengetahuan tentang penyakit melalui pemberian
informasi dan edukasi yang dapat mendukung pengobatan dan
rehabilitasi klien dan meningkatkan dukungan bagi anggota keluarga
itu sendiri.
Tujuan utama psikoedukasi keluarga adalah untuk berbagi informasi
tentang perawatan klien dengan gangguan jiwa pada anggotanya
(Varcarolis, 2006). Sedangkan menurut Levine (2002), Stuart (2009)
tujuan psikoedukasi keluarga adalah untuk mengurangi kekambuhan
klien gangguan jiwa, meningkatkan fungsi klien dan keluarga
sehingga mempermudah klien kembali ke lingkungan keluarga dan
masyarakat dengan memberikan penghargaan terhadap fungsi sosial
dan okupasi klien gangguan jiwa. Tujuan lain dari program ini adalah
untuk memberi dukungan terhadap anggota keluarga yang lain dalam
mengurangi beban keluarga terutama beban fisik dan mental dalam
merawat klien gangguan jiwa untuk waktu yang lama.
Sedangkan tujuan khusus dari terapi psikoeduksi ini adalah :
meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan
pengobatan; meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
68
Universitas Indonesia
menurunkan angka kekambuhan; mengurangi beban keluarga;
melakukan penelitian yang berkelanjutan tentang perkembangan
keluarga; melatih keluarga untuk lebih bisa mengungkapkan
perasaan, bertukar pandangan antar anggota keluarga dan orang lain.
Berdasarkan uraian tujuan khusus yang akan dicapai seperti
diuraikan di atas, pencapaian terapi Family Psyhcoeducy dapat
dilakukan dalam 5 sesi, sebagai berikut :
Sesi 1 : Mengidentifikasi masalah yang dihadapi keluarga.
Kegiatan yang dilakukan pada sesi 1 ini adalah penyampaian
tujuan dan kontrak program psikoedukasi kepada keluarga.
Kemudian sharing pengalaman keluarga dalam merawat anggota
keluarga dengan gangguan jiwa (masalah pribadi yang dihadapi
oleh caregiver dan masalah dalam merawat klien defisit
perawatan diri) serta keinginan dan harapan keluarga selama
mengikuti program psikoedukasi keluarga.
Sesi 2 : Mendiskusikan cara merawat klien defisit perawatan diri.
Kegiatan yang dilakukan pada sesi 2 ini adalah penyampaian
materi tentang gangguan jiwa yang dialami oleh klien defisit
perawatan diri yaitu materi tentang pengertian, gejala, etiologi,
prognosis, intervensi dan terapi yang dapat diberikan kepada klien
gangguan jiwa dengan defisit perawatan diri yang disertai dengan
informasi dan demonstrasi serta role play tentang cara merawat
klien dengan gangguan jiwa (khususnya defisit perawatan diri) di
rumah.
Sesi 3 : Manajemen stres keluarga
Kegiatan yang dilakukan pada sesi 3 ini adalah pemberian materi
tentang manajemen stres yang dialami oleh keluarga akibat
merawat klien defisit perawatan diri, hambatan dan cara
mengatasinya yang disertai dengan diskusi dan role play.
Sesi 4 : Manajemen beban keluarga
Kegiatan yang dilakukan pada sesi 4 ini adalah mengidentifikasi
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
69
Universitas Indonesia
adanya tanda-tanda beban yang dialami oleh keluarga dan cara
mengatasi beban yang dialami akibat adanya anggota keluarga
yang menderita gangguan jiwa (khususnya defisit perawatan diri).
Cara berkomunikasi serta latihan asertif bagi keluarga untuk
mengungkapkan perasaan masing-masing disertai dengan diskusi
dan role play.
Sesi 5 : Pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga.
Kegiatan yang dilakukan pada sesi 5 ini adalah mengidentifikasi
hambatan yang dialami oleh keluarga dalam merawat klien
gangguan jiwa (khususnya defisit perawatan diri) di rumah,
hambatan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan dan cara
mengatasi hambatan dalam berkolaborasi, serta diskusi dengan
tenaga kesehatan dari Puskesmas tentang sistem rujukan, advokasi
hak-hak klien gangguan jiwa dan mencari dukungan untuk
pembentukan kelompok suportif dan swabantu.
Beberapa terapi keperawatan di atas diberikan oleh penulis kepada klien
dan keluarganya dalam rangka memberikan asuhan keperawatan yang tepat
untuk mengatasi masalah klien dan keluarga. Keperawatan merupakan
suatu profesi dan diakui sebagai suatu disiplin ilmiah karena profesi
keperawatan didasarkan kepada ilmu pengetahuan yang teoritis.
Penggunaan pengetahuan yang teoritis, pengembangan metode-metode
secara sistematis memberikan peningkatan dan keberhasilan pelayanan
keperawatan sehingga tindakan keperawatan yang dilakukan dapat
dipertanggungjawabkan akhirnya dapat meningkatkan kemampuan dan
kepercayaan diri perawat.
2.6 Konseptual Model Pelayanan dan Asuhan Keperawatan Jiwa
Asuhan keperawatan jiwa diberikan kepada klien defisit perawatan diri
dengan penerapan teori dan model keperawatan yang tepat dan pendekatan
keperawatan. Penulis dalam melakukan asuhan keperawatan klien dengan
defisit perawatan diri ini juga menggunakan teori dan model konsep
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
70
Universitas Indonesia
keperawatan yaitu teori Self Care Dorothy Orem. Pendekatan keperawatan
yang digunakan adalah pendekatan pelayanan keperawatan yang berbasis
komunitas yaitu CMHN (Community Mental Health Nursing) yang
mengutamakan peran serta masyarakat untuk meningkatkan derajat
kesehatan. Berikut ini diuraikan mengenai teori Self Care Orem dan konsep
CMHN.
2.6.1 Teori dan Konsep Model Self Care Dorothy Orem
Teori adalah suatu kumpulan pernyataan untuk menguraikan,
menjelaskan dan meramalkan hubungan dari beberapa konsep untuk
memproyeksikan sebuah fenomena. (Power dan Knapp, 1995, dalam
Tomey, 2006). Teori membantu memberikan pengetahuan kepada
perawat untuk meningkatkan praktik keperawatan dengan cara
menguraikan, menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan
fenomena.
Model merupakan sebuah gambaran yang abstrak dari realitas, sebagai
sebuah cara untuk memvisualisasikan realitas sehingga dapat
mempermudah cara berpikir. Konseptual model memperlihatkan
bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang beraneka ragam
dengan aplikasi berbagai teori untuk memprediksi atau mengevaluasi
berbagai alternatif dari konsekuensi-konsekuensi. Hal ini menjadi
dasar dalam pengembangan dan dalam rangka penerapan terapi
spesialis keperawatan jiwa.
Orem memberi label bagi teorinya Self-care deficit theory of nursing
sebagai teori umum. Teori ini disusun atas tiga teori yang saling
berhubungan:
a. Theory self-care (Perawatan diri)
Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang bisa melakukan atau
mampu berfungsi secara optimal untuk melakukan kegiatan
pemenuhan kebutuhan perawatan dirinya sendiri secara mandiri
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
71
Universitas Indonesia
tanpa bantuan.
b. Theory self-care deficit (Ketidakmampuan perawatan mandiri)
Asumsi teori ini menjelaskan bahwa suatu saat pada kondisi
tertentu, seseorang bisa mengalami kondisi bahwa dia tidak mampu
melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya
sendiri. Sehingga pada kondisi ini individu mengalami self care
defisit.
c. Theory of nursing system (Teori sistem keperawatan)
Asumsi teori ini bahwa ketika seseorang tidak mampu memenuhi
kebutuhan perawatan dirinya secara mandiri, maka dia memerlukan
bantuan, dan perawat sebagai nursing agency harus memberikan
bantuan kepada orang tersebut untuk dapat memenuhi kebutuhan
perawatan dirinya.
Secara umum, keyakinan dari teori self care menurut Orem adalah
bahwa tidak ada keterbatasan pada seseorang untuk melakukan
perawatan bagi dirinya sendiri. Artinya bahwa setiap orang mampu
untuk melakukan kegiatan memenuhi kebutuhan perawatan dirinya
secara mandiri. Tindakan keperawatan yang diberikan sebagai
bantuan bagi klien bertujuan untuk memandirikan klien dalam
pemenuhan perawatan diri/self care.
Gambar 2.2 berikut ini menjelaskan tentang hubungan antara self care
demand, dengan self care agency dan peran nursing agency supaya
terjadi kemampuan pemenuhan self care secara mandiri.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
72
Universitas Indonesia
Gambar 2.2. A conceptual framework for nursing. R, Relationship:<,
deficitrelationship, current or projected
Diambil dari Orem, D.E. (2001). Nursing: Concepts of practice.
[6th
edition. hal.491] St.Louis: Mosby
Keseluruhan kegiatan perawatan diri dilakukan guna memenuhi
kebutuhan perawatan diri seseorang dengan menggunakan metode
yang valid yang diistilahkan Orem sebagai therapeutic self care
demand, yaitu suatu kegiatan yang sengaja dilakukan sesuai
kemampuan didasarkan pada keputusan yang tepat sesuai dengan
keadaan. Perawat menggunakan kegiatan gabungan berarti bahwa
kegiatan perawat perlu dikoordinasi, dilakukan secara serentak atau
berhubungan. Seseorang yang melakukan kegiatan harus mempunyai
pengetahuan sensori dan kewaspadaan pada situasi, serta
merefleksikan pada pengetahuan kemudian membuat keputusan.
Seseorang yang memberikan perawatan diri baik pada diri sendiri atau
pada orang lain disebut sebagai self care agent. Self care agent
dipengaruhi oleh conditioning factor yaitu berbagai faktor internal
atau eksternal setiap individu yang mempengaruhi kemampuannya
SELF-
CARE
SELF-
CARE
AGENCY
SELF-
CARE
DEMAND
D
DEFICIT
NURSING
AGENCY
F
A
K
T
O
R
K
O
N
D
I
S
I
FAKTOR
KONDISI
R R
R
R R
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
73
Universitas Indonesia
untuk melakukan self-care seperti usia, jenis kelamin, tahap
perkembangan, status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem
pelayanan kesehatan, sistem keluarga, gaya hidup, faktor lingkungan,
latar belakang pengalamannya dan ketersediaan sumber daya. Secara
normal, orang yang sudah dewasa mampu melakukan perawatan bagi
diri sendiri, bayi, anak-anak, lansia, orang sakit dan cacat yang
membutuhkan bantuan penuh atau dibantu dalam kegiatan perawatan
diri.
Sel care deficit adalah kondisi yang terjadi ketika hubungan antara
self-care agency dengan self care therapeutic demand tidak seimbang.
Self care agency tidak cukup mampu menggunakan self care
therapeutic demand untuk melakukan kegiatan dalam memenuhi
kebutuhannya. Pada saat inilah diperlukan bantuan dari nursing
agency.
Nursing Agency adalah karakteristik orang yang memenuhi syarat dan
memiliki kemampuan memberikan bantuan untuk memenuhi self
care. Nursing agency merupakan seseorang baik laki-laki atau wanita,
atau salah satu anggota keluarga klien dengan kemampuan khusus
yang bersedia memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan
perawatan diri. Kemampuan khusus harus mereka miliki agar
memungkinkan mereka memberikan bantuan dalam mengatasi
tuntutan kesehatan dan memenuhi kebutuhan perawatan diri bagi
klien.
Orem mengidentifikasi 5 metode yang dilakukan perawat untuk
memberikan bantuan keperawatan yaitu:
a. Memberikan bantuan langsung dalam bentuk tindakan keperawatan.
b. Memberikan panduan, arahan dan memfasilitasi kemampuan klien
dalam memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
c. Mengajarkan klien tentang prosedur dan aspek-aspek tindakan agar
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
74
Universitas Indonesia
klien dapat melakukan perawatan dirinya secara mandiri
d. Memberikan dorongan secara fisik dan psikologik agar klien dapat
mengembangkan potensinya untuk melakukan perawatan secara
mandiri.
e. Menyediakan dan mempertahankan lingkungan yang mendukung
perkembangan pribadi klien untuk meningkatkan kemandirian
dalam perawatan.
Tindakan perawatan sebagai metode bantuan yang diberikan pada
klien menurut theory of nursing system terdiri dari :
a. Wholly compensatory
Perawat mengambil alih semua kebutuhan self care terapeutik klien
atau untuk mengkompensasi ketidakmampuan klien
mengikutsertakan perawatan dirinya atau ketika klien
membutuhkan bimbingan yang kontinu dalam perawatan dirinya.
Diberikan pada klien dengan tingkat ketergantungan tinggi (total
care). Contoh pada klien defisit perawatan diri yang mengalami
keterbatasan fisik, yang tidak mampu melakukan kegiatan
pemenuhan kebutuhan perawatan dirinya secara mandiri.
b. Partly compensatory
Klien dan perawat bersama-sama memenuhi kebutuhan perawatan
diri klien seperti activity daily living atau ambulasi. Perawat
mengambil alih beberapa aktifitas self care yang tidak dapat
dilakukan klien, contoh pada klien defisit perawatan diri yang
berusia lanjut, klien masih dapat melakukan sebagian kegiatan
untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya.
c. Supportive educative system
Yaitu dimana klien membutuhkan bantuan dalam mengambil
keputusan, mengkontrol tingkah laku dan tambahan ketrampilan
serta pengetahuan. Dimana sistem ini klien mampu melakukan
perawatan diri dengan bantuan. Peran perawat adalah menjadikan
klien sebagai self care agent. Contoh pada klien defisit perawatan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
75
Universitas Indonesia
diri dimana keluarganya diajarkan untuk membantu memenuhi
kebutuhan perawatan diri klien dalam hal mandi, berhias, makan
minum dan toileting.
2.6.2 Community Mental Health Nursing
Manajemen adalah proses pelaksanaan kerja yang dilakukan melalui
orang (Gillies, 1994). Manajemen keperawatan adalah pendekatan
sistem yang menjelaskan sebagai suatu proses yang sejajar dan
menunjang proses keperawatan. Proses manajemen keperawatan
selaras proses keperawatan meliputi tahapan pengumpulan data
(pengkajian), diagnosa atau identifikasi masalah kesehatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil. Adanya keselarasan
antara proses manajemen keperawatan dengan proses asuhan
keperawatan diharapkan keduanya saling menopang dalam
mewujudkan pelayanan keperawatan yang professional.
Pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan
kesehatan yang ditujukan untuk masyarakat yang membutuhkannya,
sehingga manajemen pelayanan keperawatan yang adekuat perlu
diterapkan dalam mewujudkan pelayanan keperawatan yang
berkualitas. Pelayanan Keperawatan atau intervensi keperawatan untuk
penanganan masalah gangguan jiwa berdasarkan paradigma sehat yang
dicanangkan Departemen Kesehatan lebih menekankan pada upaya
pencegahan (preventif) dan promotif, namun upaya ini tidak akan
tercapai bila hanya dilakukan di rumah sakit. Oleh karena itu
pandangan hospital based bergeser menjadi community based.
Community Mental Health Nursing (CMHN) memberikan perawatan
dengan metode yang efektif dalam merespon kebutuhan kesehatan
jiwa individu, keluarga atau kelompok. Konsep dari community mental
health ditujukan kepada kesehatan jiwa secara kolektif bagi semua
orang yang tinggal dimasyarakat (Mohr, 2006). Tujuan dari
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
76
Universitas Indonesia
Community Mental Health Nursing (CMHN) yaitu memberikan
pelayanan, konsultasi dan edukasi, informasi mengenai prinsip-prinsip
kesehatan jiwa kepada para agen komunitas lainnya, menurunkan
angka risiko terjadinya gangguan jiwa, dan meningkatkan penerimaan
komunitas terhadap praktek kesehatan jiwa melalui edukasi (Stuart,
2009).
Community Mental Health Nursing (CMHN) yang dikembangkan
diadaptasi dari modul yang dikembangkan oleh FIK UI dan WHO
(2006). Kegiatan CMHN ini dilakukan oleh perawat CMHN yang
berada di Puskesmas Bogor Timur bersama KKJ. Keliat (2011)
menguraikan manajemen keperawatan jiwa komunitas dalam empat
pilar, yaitu Pilar I Manajemen Pelayanan Kesehatan Jiwa Komunitas,
Pilar II Pemberdayaan Masyarakat, Pilar III Kemitraan Lintas Sektor
dan Lintas Program dan Pilar IV Manajemen Kasus Kesehatan Jiwa.
Semua kegiatan ini akan dilakukan oleh perawat CMHN yang berada
di Puskesmas bersama dengan Kader Kesehatan Jiwa. Aplikasi
penerapan tiap pilar tersebut asalah sebagai berikut :
a. Pilar I : Manajemen Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas
Pendekatan manajemen yang digunakan adalah empat fungsi
manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan
pengendalian.
Perencanaan :
Siagian (1990, dalam Keliat, 2011) mendefinisikan
perencanaan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan
penentuan secara matang hal-hal yang akan dikerjakan di masa
mendatang dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Berdasarkan hierarki perencanaan menurut Marquis
dan Houston (1998, dalam Keliat, 2011), kegiatan perencanaan
yang akan ditetapkan di layanan keperawatan kesehatan jiwa
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
77
Universitas Indonesia
komunitas meliputi perumusan visi, misi, filosofi, kebijakan
dan perencanaan.
Rencana kegiatan yang disusun oleh perawat CMHN dalam
penatalaksanaan klien gangguan jiwa dengan defisit perawatan
diri disebut sebagai rencana bulanan. Rencana bulanan perawat
CMHN terdiri dari kegiatan manajerial dan kegiatan asuhan
keperawatan.
Kegiatan manajerial dalam rencana bulanan perawat CMHN
yaitu jadwal supervisi kader dan jadwal rapat/pertemuan
bersama kader. Kegiatan asuhan keperawatan dalam rencana
bulanan perawat CMHN yaitu jadwal memberikan pendidikan
kesehatan untuk kelompok klien gangguan jiwa dengan
masalah defisit perawatan diri; jadwal memberikan asuhan
keperawatan gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan
diri; jadwal melakukan terapi aktifitas kelompok dan
rehabilitasi untuk klien gangguan jiwa dengan masalah defisit
perawatan diri.
Rencana bulanan tokoh masyarakat/kader disusun untuk
membantu menangani masalah defisit perawatan diri pada klien
gangguan jiwa dan keluarga dengan anggota keluarga
mengalami gangguan jiwa di RW 02 dan RW 12. Rencana
yang disusun adalah : menggerakkan keluarga klien gangguan
jiwa untuk mengikuti penyuluhan tentang cara merawat klien;
menggerakkan klien gangguan jiwa untuk mengikuti TAK dan
rehabilitasi; melakukan kunjungan rumah pada klien gangguan
jiwa yang telah mandiri; merujuk kasus gangguan jiwa kepada
perawat CMHN dan mendokumentasikan kegitan yang telah
dilaksanakan dalam buku kegiatan kader.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
78
Universitas Indonesia
Pengorganisasian :
Pengorganisasian adalah pengelompokkan aktifitas untuk
mencapai suatu tujuan, penugasan suatu kelompok tenaga
keperawatan untuk proses koordinasi aktifitas yang tepat, baik
vertikal maupun horizontal, yang bertanggung jawab untuk
mencapai tujuan Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) (Keliat, 2011).
Pengorganisasian di Desa Siaga Sehat Jiwa terdiri dari struktur
organisasi petugas layanan keperawatan kesehatan jiwa
komunitas dan pengelompokkan keluarga pada Desa Siaga
Sehat Jiwa.
Struktur organisasi petugas layanan keperawatan kesehatan
jiwa komunitas di DSSJ dipimpin oleh perawat CMHN
puskesmas. Perawat CMHN bertanggung jawab terhadap
Kelurahan Baranang Siang, ada 2 RW di Kelurahan Baranang
Siang yang menjadi tanggung jawabnya yaitu RW 02 dan RW
12. Perawat CMHN mengorganisir KKJ yang ada di RW 02
dan RW 12.
KKJ di RW 02 dan RW 12 memiliki daftar keluarga yang
sudah dikelompokkan. Pengelompokkan keluarga dilakukan
berdasarkan asuhan keperawatan yang diberikan. Yaitu asuhan
keperawatan untuk keluarga dan klien gangguan jiwa dengan
masalah defisit perawatan diri. Kelompok klien gangguan jiwa
dan keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan
jiwa dengan masalah defisit perawatan diri dijadwalkan untuk
diberikan terapi aktifitas kelompok dan rehabilitasi.
Pengarahan :
Keliat (2011) mendefinisikan pengarahan sebagai langkah
pengejawantahan rencana kegiatan dalam bentuk tindakan guna
mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Kegiatan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
79
Universitas Indonesia
pengarahan yang dilaksanakan pada layanan keperawatan
kesehatan jiwa komunitas yaitu menciptakan budaya motivasi,
menerapkan manajemen waktu, melaksanakan pendelegasian,
melaksanakan supervisi dan komunikasi yang efektif,
melakukan manajemen konflik dan melakukan advokasi serta
negosiasi.
Perawat CHMN melakukan kegiatan komunikasi, supervisi dan
pendelegasian untuk membantu klien gangguan jiwa dengan
masalah defisit perawatan diri. Komunikasi dilakukan kepada
KKJ untuk menjalin dan membina hubungan saling percaya
dalam rangka penangan klien gangguan jiwa dengan masalah
defisit perawatan diri. Supervisi perawat CMHN kepada klien
defisit perawatan diri yaitu mengidentifikasi jumlah kunjungan
klien defisit perawatan diri ke puskesmas dan kepada KKJ
dalam rangka pengawasan untuk memastikan bahwa KKJ
melakukan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi.
Pendelegasian dilakukan oleh perawat CMHN kepada KKJ
untuk menindaklanjuti perawatan di komunitas bagi klien
defisit perawatan diri yang sudah berkunjung ke puskesmas.
Pendelegasian berikutnya kepada KKJ, berupa kewenangan
untuk merujuk kasus klien gangguan jiwa defisit perawatan diri
yang belum berkunjung ke puskesmas agar berkunjung ke
puskesmas.
KKJ melakukan kegiatan pengarahan yang meliputi
komunikasi, supervisi dan pendelegasian. Komunikasi kepada
perawat CMHN dalam hal penanganan klien yang mengalami
gangguan jiwa dan keluarga dengan anggota keluarga
mengalami gangguan jiwa defisit perawatan diri, komunikasi
kepada klien gangguan jiwa defisit perawatan diri dan keluarga
dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dalam
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
80
Universitas Indonesia
pemberian asuhan keperawatan defisit perawatan diri.
Supervisi dilakukan oleh KKJ kepada klien gangguan jiwa
defisit perawatan diri yang sudah mandiri, dan keluarga dengan
anggota keluarga mengalami gangguan jiwa yang sudah
mampu secara mandiri merawat klien gangguan jiwa.
Pendelegasian dilakukan KKJ untuk merujuk kasus klien
gangguan jiwa defisit perawatan diri ke puskesmas kepada
perawat CMHN.
Pengendalian :
Fayol (1984, dalam Keliat, 2011), mendefinisikan
pengendalian atau pengontrolan sebagai metode pemeriksaan
untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan menurut
rencana yang telah disepakati, instruksi yang dikeluarkan,
serta prinsip-prinsip yang ditentukan, yang bertujuan untuk
menemukan kekurangan dan kesalahan sehingga dapat
diperbaiki dan tidak terjadi lagi.
Kegiatan yang dilakukan oleh perawat CMHN dalam hal
pengontrolan adalah monitor dan evaluasi. Perawat CMHN
memonitor KKJ dalam melaksanakan program CMHN di
wilayahnya. Evaluasi kinerja KKJ dilakukan berdasarkan
delapan kemampuan KKJ. Perawat CMHN juga melakukan
monitor dan evaluasi terhadap peningkatan kemampuan klien
gangguan jiwa defisit perawatan diri dalam perawatan diri,
berkurangnya tanda dan gejala yang dialami oleh klien
gangguan jiwa defisit perawatan diri.
KKJ melakukan monitor dan evaluasi terhadap rencana kerja
yang telah disusun terhadap klien dan keluarga untuk
mengatasi masalah defisit perawatan diri. Monitor dan evaluasi
kepada klien mengenai peningkatan kemampuan klien dalam
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
81
Universitas Indonesia
hal memenuhi kebutuhan perawatan diri dan berkurangnya
tanda dan gejala yang dialami klien defisit perawatan diri.
Monitor dan evaluasi kepada keluarga mengenai peningkatan
kemampuan keluarga dalam hal merawat klien gangguan jiwa
dengan masalah defisit perawatan diri.
b. Pilar II : Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pengembangan
potensi pengetahuan maupun ketrampilan masyarakat agar mereka
mampu mengontrol diri dan terlibat dalam pemenuhan kebutuhan
mereka sendiri, Helvi (1998, dalam Keliat, 2011). Manajemen
pemberdayaan masyarakat dalam hal ini adalah Kader Kesehatan
Jiwa (KKJ) di Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) berfokus pada
proses rekruitmen, seleksi, orientasi, penilaian kinerja dan
pengembangan kader.
Pemberdayaan masyarakat dalam hal ini KKJ dilakukan oleh
perawat CMHN. Perawat CMHN sebelum memberdayakan KKJ
harus memiliki kemampuan sebagai perawat CMHN. Kemampuan
tersebut didapatkan melalui pelatihan sebagi perawat CMHN. Jadi
perawat CMHN yang akan memberdayakan KKJ harus mengikuti
pelatihan sebagai perawat CMHN terlebih dahulu.
Kegiatan yang dilakukan oleh perawat CMHN di Pilar II ini
adalah rekruitmen, seleksi, orientasi dan penilaian kinerja KKJ.
Perawat CMHN berkoordinasi dengan kepala desa, kepala dusun,
tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mendapatkan nama
calon KKJ, menentukan KKJ yang memenuhi syarat, melakukan
sosialisasi program CMHN, menyelenggarakan pelatihan KKJ dan
melakukan penilaian kinerja KKJ. KKJ terpilih dan terlatih akan
bersama dengan perawat CMHN memberikan asuhan keperawatan
pada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
82
Universitas Indonesia
Kegiatan yang dilakukan KKJ adalah mengikuti proses
rekruitmen, seleksi dan orientasi. KKJ menjalani proses
rekruitmen karena ketertarikannya untuk memberikan asuhan
keperawatan kepada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit
perawatan diri. KKJ mengikuti penjelasan dan sosialisasi tentang
persyaratan KKJ dari perawat CMHN kemudian memberikan
persetujuan dengan menandatangani surat persetujuan menjadi
KKJ. KKJ mengikuti proses sosialisasi program CMHN yang
disampaikan oleh perawat CMHN dan mengikuti pelatihan KKJ
untuk mendapatkan ketrampilan dan pengetahuan merawat klien
gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
c. Pilar III : Kemitraan Lintas Sektoral & Lintas Program
Helvie (1998, dalam Keliat, 2011) menjelaskan kemitraan adalah
upaya membangun dan mempertahankan hubungan dengan
berbagai profesi dan sektor terkait di masyarakat dengan tujuan
menyelesaikan masalah, merancang program baru dan
mempertahankan dukungan guna meningkatkan kesehatan
masyarakat. Kemitraan dalam layanan kesehatan di komunitas
merupakan bentuk strategi kemitraan lintas program dan lintas
sektor yang terintegrasi berdasarkan prinsip kesetaraan,
keterpaduan, kesepakatan dan keterbukaan (Depkes RI, 2000
dalam Keliat, 2011).
Perawat CMHN melakukan kegiatan kemitraan lintas program
dan lintas sektor, untuk menangani klien gangguan jiwa dengan
masalah defisit perawatan diri. Kemitraan lintas program yang
dilakukan adalah menggalang kerjasama layanan CMHN dengan
puskesmas untuk mengidentifikasi masyarakat yang mengalami
gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri; melakukan
koordinasi dengan dokter di puskesmas untuk pemberian terapi
klien defisit perawatan diri, konsultasi klien dan perujukan kasus;
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
83
Universitas Indonesia
melakukan koordinasi dengan KKJ mengenai klien defisit
perawatan diri yang tidak berkunjung ke puskesmas. Kemitraan
lintas sektor yang dilakukan adalah kerjasama dengan dinas
kesehatan kota, kecamatan dan kelurahan.
KKJ melakukan kegiatan kemitraan lintas program dan lintas
sektor. Kegiatan kemitraan lintas program yaitu melakukan
rujukan kasus klien gangguan jiwa dengan masalah defisit
perawatan diri ke puskesmas dan melaporkan kepada perawat
CMHN mengenai kondisi klien gangguan jiwa dengan masalah
defisit perawatan diri. Kegiatan kemitraan lintas sektor yang
dilakukan KKJ adalah bekerja sama dengan perangkat RT, RW
dan organisasi PKK, Karang Taruna, kelompok pengajian, untuk
mendukung pelaksanaan kegiatan pemberian asuhan keperawatan
kepada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan
diri.
d. Pilar IV : Manajemen Kasus Kesehatan Jiwa Komunitas
Keperawatan kesehatan jiwa komunitas yang profesional
mempunyai ciri praktik yang didasari oleh ketrampilan intelektual,
teknis dan interpersonal. Pendekatan yang digunakan adalah
proses keperawatan yang meliputi pengkajian, penetapan diagnosa
keperawatan, perencanaan tindakan, implementasi dan evaluasi.
Perawat CMHN memberikan asuhan keperawatan dibantu oleh
kader kesehatan jiwa.
Perawat CMHN bertanggung jawab memberikan asuhan
keperawatan jiwa komunitas kepada kelompok klien gangguan
jiwa dan keluarga yang anggotanya mengalami gangguan jiwa.
Perawat memberikan asuhan pada klien dengan perawatan total
(total care) dan perawatan parsial (partial care). Perawat CMHN
diharapkan memiliki kemampuan di bawah ini :
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
84
Universitas Indonesia
Melaksanakan asuhan keperawatan pada kelompok klien yang
mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan
diri
Memberikan pendidikan kesehatan pada kelompok klien yang
mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan
diri
Melaksanakan terapi aktifitas kelompk (TAK) pada kelompok
klien gangguan jiwa
Melakukan rehabilitasi pada klien gangguan jiwa
Kader bertanggung jawab untuk memantau perkembangan klien
yang sudah mandiri (self care). Sedangkan kemampuan yang
harus dimiliki oleh kader adalah :
Mendeteksi keluarga gangguan jiwa
Menggerakkan keluarga klien gangguan jiwa untuk mengikuti
penyuluhan tentang cara merawat klien
Menggerakkan klien gangguan jiwa untuk mengikuti TAK dan
rehabilitasi
Melakukan kunjungan rumah pada klien gangguan jiwa yang
telah mandiri
Merujuk kasus kepada perawat CMHN dan
Mendokumentasikan kegitan yang telah dilaksanakan.
2.6.3 Aplikasi dan Kerangka Konsep Proses Keperawatan dengan
Pendekatan Model Orem’s Self Care dan CMHN
Pemberian asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa dengan
masalah defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan
Baranang Siang dilakukan oleh perawat CMHN bekerja sama dengan
KKJ. Pendekatan yang digunakan untuk memberikan asuhan
keperawatan defisit perawatan diri adalah model Self Care yang
dikemukakan oleh Dorothy Orem dan konsep CMHN.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
85
Universitas Indonesia
Kegiatan pemenuhan kebutuhan perawatan diri dilakukan dengan
menggunakan metode yang diistilahkan Orem sebagai therapeutic self
care demand, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan berdasarkan pada
kebutuhan yang sesuai dengan kondisinya. Kebutuhan perawatan diri
pada klien defisit perawatan diri meliputi aktifitas pemenuhan
perawatan diri : mandi, berhias, makan dan minum serta toileting.
Klien, yang masih dapat memenuhi kebutuhan aktifitas`perawatan diri
masuk sebagai self care agency. Keluarga dan kader juga merupakan
self care agency karena membantu klien dalam memenuhi kebutuhan
perawatan diri. Self care agent dipengaruhi oleh conditioning factor
yaitu berbagai faktor internal atau eksternal setiap individu yang
mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan self care seperti usia,
jenis kelamin, tahap perkembangan, status kesehatan, orientasi sosial
budaya, sistem pelayanan kesehatan, sistem keluarga, gaya hidup,
faktor lingkungan, latar belakang pengalamannya dan ketersediaan
sumber daya.
Self care deficit adalah hubungan antara self care agency dengan self
care therapeutic demand. Self care defisit terjadi ketika self care
agency tidak cukup mampu menggunakan self care therapeutic
demand untuk melakukan pemenuhan kebutuhan perawatan diri. Saat
inilah maka bantuan keperawatan dibutuhkan. Bantuan dibutuhkan
untuk memaksimalkan self care therapeutic demand agar self care
terpenuhi dan dapat melakukan self care agency untuk menangani
masalah defisit perawatan diri.
Nursing Agency dalam hal ini adalah perawat, baik perawat CMHN
maupun perawat mahasiswa. Perawat memberikan bantuan
berdasarkan kondisi dan macam bantuan yang dibutuhkan oleh klien
dan keluarga. Klien menerima asuhan keperawatan dari perawat
berdasarkan tiga macam kondisi, wholly compensatory atau pemberian
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
86
Universitas Indonesia
bantuan total, partly compensatory atau pemberian bantuan sebagian
misalnya pada klien dengan keterbatasan fisik dan supportive
educative system atau memberikan pendidikan kesehatan dan melatih
klien dan keluarganya untuk dapat berperan sebagai self care agency.
Perawat memiliki kemampuan khusus untuk memberikan asuhan
perawatan dalam mengatasi masalah defisit perawatan diri.
Kemampuan khusus yang diberikan oleh perawat kepada klien adalah
memberikan terapi keperawatan jiwa. Terapi yang diberikan adalah
terapi generalis dan terapi spesialis. Terapi generalis diberikan untuk
mengatasi masalah defisit perawatan diri. Sedangkan terapi spesialis
merupakan terapi lanjutan dari terapi generalis. Terapi spesialis yang
diberikan adalah terapi individu (terapi perilaku : token ekonomi),
terapi kelompok (terapi kelompok suportif dan terapi kelompok swa
bantu) dan terapi keluarga (terapi psikoeduksi keluarga).
Gambar 2.3 di bawah ini menjelaskan tentang proses pemberian
asuhan keperawatan pada klien dan keluarga dengan anggota keluarga
mengalami gangguan jiwa dengan defisit perawatan diri, dengan
penerapan model Self Care Orem dan CMHN.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
87
Universitas Indonesia
Gambar 2.3. Aplikasi penerapan diagnosa defisit perawatan diri
dengan menggunakan pendekatan model Self Care – Orem
Terapi Generalis :
Individu : DPD
Keluarga : DPD
Terapi Spesialis Individu :
Terapi Perilaku
Terapi Spesialis Kelompok
– Suppotif
-Swa Bantu
Terapi Spesialis Keluarga
Psikoedukasi keluarga
Kognitif :
- Tidak mampu mengambil
keputusan
- Tidak mampu merawat diri
Afektif :
- Perasaan negatif terhadap
diri
- Sedih
- Merasa tidak mampu
merawat diri
- Kurang motivasi merawat
diri
Fisiologi :
- Lemah/letih/lelah
- Penurunan muskuloskeletal
Perilaku :
- Tidak mandi
- Tidak berhias setelah
mandi
- Tidak makan teratur
- Toileting tidak tepat
Sosial :
- Mengurung diri
- Menghindar dari orang lain
- Menolak interaksi
Kemampuan Klien :
- Ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan
mandi
- Ketidakmampuan berhias
setelah mandi
- Ketidakmampuan makan
dan minum dengan benar
- Ketidakmampuan
melakukan toileting
dengan benar
Kemampuan Klien :
- Mampu memenuhi
kebutuhan mandi.
- Mampu berhias setelah
mandi.
- Mampu makan dan minum
dengan benar
- Mampu melakukan toileting
dengan benar.
Kognitif :
- Mampu mengambil
keputusan
- Mampu merawat diri
Afektif :
- Perasaan positif terhadap
diri
- Tidak merasa sedih
- Merasa mampu merawat
diri
- Memiliki motivasi merawat
diri
Fisiologi :
- Lemah/letih/lelah
- Penurunan muskuloskeletal
Perilaku :
- Mandi
- Berhias setelah mandi
- Makan teratur
- Toileting tepat
Sosial :
- Bersosialisasi
- Berinteraksi dengan orang
lain
Predisposisi :
- Biologi
- Psikologi
- Sosial budaya
Presipitasi : - Biologi
- Psikologi
- Sosial budaya
Ketidakmampuan Keluarga
dalam memberikan
dukungan, bimbingan,
pengarahan dan motivasi
terhadap klien untuk
melakukan perawatan diri :
mandi, berhias, makan
minum dan toileting.
Keluarga memiliki
kemampuan memberikan
dukungan, bimbingan,
pengarahan dan motivasi
terhadap klien untuk
melakukan perawatan diri :
mandi, berhias, makan
minum dan toileting.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
88 Universitas Indonesia
BAB 3
MANAJEMEN PELAYANAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
DI PUSKESMAS BOGOR TIMUR
Bab 3 menguraikan manajemen pelayanan dan asuhan keperawatan di Wilayah
Kecamatan Bogor Timur, Puskesmas Bogor Timur dan Kelurahan Baranang
Siang sebagai lahan praktek dan pelayanan keperawatan jiwa komunitas.
Bertujuan untuk melihat penerapan asuhan keperawatan terhadap klien, keluarga
dan komunitas khususnya kelompok klien gangguan jiwa di Wilayah RW 02 dan
RW 12. Untuk lebih jelasnya, terlebih dahulu diuraikan tentang profil Kecamatan
Bogor Timur yang membawahi Puskesmas Bogor Timur, Kelurahan Baranang
Siang dan profil wilayah RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang.
3.1. Profil Wilayah
3.1.1 Kecamatan Bogor Timur
Kecamatan Bogor Timur dengan total jumlah penduduk 88.619 jiwa,
dipimpin oleh Dra. Rakhmawati, M.Si. Berdasarkan peraturan
pemerintah Nomor 2 Tahun 1995 dan Inmendagri No. 30 Tahun 1995
tanggal 24 Agustus 1995 tentang Perubahan Batas Wilayah
Kotamadya Daerah Tk. II Bogor dan Kabupaten Daerah Tk. II Bogor,
wilayah Kecamatan Bogor Timur dengan luas 1.015 Ha, terdiri dari
dari 6 (enam) kelurahan 318 RT dan 59 RW. Adapun kelurahan
dimaksud adalah : Kelurahan Baranang Siang (Luas 235 Ha),
Kelurahan Sukasari (Luas 48 Ha), Kelurahan Katulampa (Luas 491
Ha), Kelurahan Tajur (Luas 45 Ha), Kelurahan Sindangsari (Luas 90
Ha), Kelurahan Sindangrasa (Luas 106 Ha).
Batas wilayah Kecamatan Bogor Timur adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bogor Utara, Sebelah
Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor,
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bogor Selatan dan
Kecamatan Bogor Tengah dan Sebelah Selatan : berbatasan dengan
Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
89
Universitas Indonesia
SDM yang dimiliki oleh Kecamatan Bogor Timur yaitu : SD/Sederajat
(3 Orang), SMP/Sederajat (5 Orang), SMA/Sederajat (48 Orang),
Diploma 3 (3 Orang), Strata 1/Diploma 4 (17 Orang) dan Strata 2 (2
Orang), sehingga total jumlah SDM di Kecamatan Bogor Timur
adalah 78 Orang. Berdasarkan komposisi tingkat pendidikan dan
jumlah SDM yang dimiliki oleh Kecamatan Bogor Timur
memungkinkan untuk pengoptimalan pencapaian tujuan Kecamatan
Bogor Timur.
Berdasarkan Perda Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2008, susunan
organisasi Kecamatan terdiri dari : Camat, Sekretaris Camat
(membawahi Kasubag Umum dan kepegawaian serta Kasubag
Keuangan), Seksi Pemerintahan ; Seksi Ketentraman dan Ketertiban ;
Seksi Pengendalian Bangunan ; Seksi Sosial ; Seksi Perekonomian.
Bidang Kesehatan tidak nampak pada bagian susunan kepengurusan di
Kecamatan Bogor Timur, hal ini bukan berarti bahwa bidang
kesehatan menjadi hal yang tidak diperhatikan pencapaiannya.
Kegiatan kesehatan tetap dilaksanakan di bawah tanggung jawab
Bidang Sosial.
Visi Kecamatan Bogor Timur adalah “Mewujudkan Kecamatan Bogor
Timur sebagai wilayah permukiman dan Sentra Ekonomi yang
berwawasan Lingkungan”. Visi yang ditetapkan belum
menggambarkan adanya perhatian pada sektor kesehatan, tetapi pada
pelaksanaannya tetap ada kegiatan yang berkaitan dengan dukungan
terhadap sektor kesehatan, contoh : pembinaan posyandu, pelaksanaan
UKS di sekolah-sekolah.
Misi Kecamatan Bogor Timur adalah untuk mewujudkan visi yang
telah ditetapkan, Kecamatan Bogor Timur memiliki misi sebagai
berikut : 1). Penataan pusat-pusat perdagangan dan jasa serta kawasan
permukiman yang tertib, tentram dan aman. 2). Memberikan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
90
Universitas Indonesia
pelayanan yang mudah, cepat dan efisien kepada masyarakat. 3).
Pemanfaatan semaksimal mungkin terhadap potensi yang dimiliki
demi lancarnya penyelenggaraan pemerintahan, tercapainya
peningkatan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat. 4). Memelihara
rasa persaudaraan dan kekeluargaan di dalam masyarakat sebagai
syarat mutlak bagi terlaksananya program-program pembangunan.
Tujuan Kecamatan Bogor Timur sebagai berikut : 1). Meningkatkan
manajemen pemerintahan yang baik. 2). Mewujudkan Bogor Timur
sebagai wilayah permukiman dan sentra ekonomi yang berwawasan
lingkungan yang ditunjang oleh industri non polutan, perdagangan dan
jasa. 3). Meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan kerukunan
hidup beragama. 4). Menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi
di sektor ekonomi. 5). Mengupayakan peningkatan kesehatan,
pendidikan, perekonomian, dan kesejahteraan sosial masyarakat.
Program kesehatan belum terlihat pada visi dan misi yang dimiliki
kecamatan Bogor Timur, tetapi pada butir yang kelima tujuan yang
akan dicapai, sektor kesehatan menjadi salah satu tujuan yang akan
dicapai.
Sasaran yang akan dicapai adalah : 1). Meningkatnya kualitas sumber
daya manusia aparatur Kecamatan. 2). Pemanfaatan lahan yang
memiliki nilai ekonomis tinggi agar dapat dikelola secara tepat dan
professional bagi pengembangan ekonomi masyarakat. 3).
Pemberdayaan dan pembinaan lembaga-lembaga kemasyarakatan
(RT, RW dan LPM) agar dapat berperan lebih optimal bagi penciptaan
iklim yang kondusif bagi pelaksanaan program-program
pembangunan dan pemerintahan. 4). Merangkul para pengusaha yang
ada di wilayah Kecamatan Bogor Timur agar dapat berperan aktif
dalam meningkatkan ekonomi masyarakat melalui penyerapan tenaga
kerja yang berasal dari lingkungan sekitar.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
91
Universitas Indonesia
3.1.2 Kelurahan Baranang Siang
Baranang Siang merupakan salah satu kelurahan yang ada di wilayah
Kecamatan Bogor Timur. Kelurahan Baranang Siang dipimpin oleh
Bapak Dudi Fitri Susandi, S.ST., M.Si. Struktur jabatan yang ada di
Kelurahan Baranang Siang terdiri dari Bidang Sekretariat, Kepala
Seksi Pemerintahan, Kepala Seksi Ekonomi Pembangunan, Kepala
Seksi Kemasyarakatan, Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban.
Bidang Kesehatan ada di bawah Kepala Seksi Kemasyarakatan. SDM
yang dimiliki Kelurahan Baranang Siang keseluruhan berjumlah 15
orang. Terdiri dari 11 orang PNS dan 4 orang tenaga sukarelawan.
Untuk tingkat pendidikan, S 2 sebanyak 1 orang, S 1 sebanyak 2
orang, SMA 6 orang dan SMP 1 orang.
Luas lahan yang dimiliki oleh Kelurahan Baranang Siang adalah 235
Ha dengan topografi dan bentang lahan daratan yang sebagian besar
lahan dipergunakan untuk pertanian dan pemukiman penduduk. Batas-
batas area kelurahan Baranang Siang yaitu sebelah Utara berbatasan
dengan Kelurahan Tegalega, Batas Selatan berbatasan dengan
Kelurahan Sukasari, batas Barat berbatasan dengan Kelurahan
Babakan Pasar dan batas Timur berbatasan dengan Kelurahan
Katulampa. Kondisi geografis terletak pada sekitar 300 m di atas
permukaan laut, suhu udara rata–rata 23 derajat celcius, curah hujan
berkisar 300 mm rata-rata per tahun. Orbita (jarak kelurahan dari
pemerintahan) dari kecamatan sekitar 0,5 km ; dari pemerintah kota
sekitar 2 km ; dari Ibu Kota Propinsi 120 km dan dari Ibu Kota Negara
60 km. Kelurahan Baranang Siang mempunyai 14 RW dengan 83 RT.
Jumlah penduduk berdasarkan laporan sistem pendataan profil
Kelurahan Baranang Siang Bulan Desember 2011, yaitu sebanyak
24.162 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 6608 KK.
Visi Kelurahan Baranang Siang : Sebagai penunjang kota
perdagangan dengan pelayanan Prima. Belum ada unsur kesehatan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
92
Universitas Indonesia
yang ikut ditetapkan dalam visi kelurahan Baranang Siang. Visi
kelurahan lebih menitikberatkan pada pengembangan sektor ekonomi
yang merupakan pembangunan di sektir fisik.
Misi Kelurahan Baranang Siang : a). Mengoptimalkan pelayanan
kepada masyarakat ; b). Mengoptimalkan sektor informal sebagai
penggerak perekonomian masyarakat ; c). Meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap budaya bersih dan sehat. Program kesehatan
tidak dicantumkan secara khusus pada misi kelurahan Baranang
Siang, namun dalam poin c bisa dilihat bahwa sektor kesehatan
menjadi tujuan atau output yang merupakan perhatian penting .
Kelurahan Baranang Siang membawahi 14 RW, mulai dari RW 01
sampai dengan RW 14. Sarana kesehatan yang dimiliki oleh
Kelurahan Baranang Siang adalah Puskesmas 1 buah (Puskesmas
Bogor Timur), Puskesmas Pembantu 1 buah (Puskesmas bantar
kemang), Posyandu 20 buah dan Posbindu 6 buah. Pelayanan
kesehatan yang diberikan berdasarkan kerja sama dengan Puskesmas
Bogor Timur, yaitu melakukan upaya : a). Meningkatkan pelayanan
posyandu ; b). Pelaksanaan gerakan PSN & K3 dan membudayakan
tim Jumantik. Program kesehatan jiwa tidak dikoordinasi secara
khusus oleh kasi yang ada di kelurahan, namun menjadi tugas dan
tanggung jawab kasi sosial dan kemasyarakatan yang dipimpin oleh
ibu Dini Saptirini, S.Sos. Kegaiatn yang telah dilaksanakan anak
pembinaan terhadap anak jalanan dan orang terlantar setiap Hari
Minggu minggu ketiga.
3.1.3 RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang
Wilayah RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang merupakan
wilayah yang menjadi fokus area praktik penulis di Kelurahan
Baranag Siang.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
93
Universitas Indonesia
Profil RW 02 Kelurahan Baranang Siang
RW 02 merupakan wilayah di Kelurahan Baranang Siang yang terdiri
dari 4 RT. Wilayah RW 02 diketuai oleh Bapak Heriawan Buhron.
Selanjutnya RT 01 di ketuai oleh Bapak Sigit, RT 02 diketuai oleh
Bapak Hidajat Bandjaransari, RT 03 diketuai oleh Bapak Refi dan RT
04 diketuai oleh Bapak Mumung Sukadi.
Kelompok usia terbanyak di wilayah RW 02 adalah kelompok usia
dewasa tengah yaitu usia 24-65 tahun dengan jumlah 102 jiwa.
Masalah kesehatan secara umum yang terbanyak adalah
perkembangan lansia (banyak lansia yang tinggal sendiri karena para
anak yang sudah dewasa dan bekerja). Kelompok risiko Hipertensi (17
orang), Diabetes Melitus (7 orang), Asam Urat (4 orang), Jantung (4
orang) dan Asma (2 orang).
Penduduk RW 02 mayoritas beragama Islam, tingkat pendidikan rata-
rata tamat S1, ada yang S2 dan bahkan S3, memiliki pekerjaan tetap
sebagai pegawai pemerintahan dan swasta menetap, kebanyakan
penduduk berusia lanjut. Perangkat RW 02 sangat terbuka dan
kooperatif terhadap praktik mahasiswa spesialis keperawatan jiwa,
sehingga mahasiswa sangat dapat bekerjasama dengan para kader
Kesehatan Jiwa untuk menangani permasalahan kesehatan khususnya
kesehatan Jiwa di wilayah RW 02, dalam rangka mewujudkan Desa
Siaga Sehat Jiwa di Kelurahan Baranang Siang.
Berdasarkan tabel 3.1 dapat dijelaskan bahwa sejumlah 186 jiwa
penduduk terbagi dalam 4 RT, 14 KK di RT 01, 11 KK di RT 02, 13
KK di RT 03 dan 17 KK di RT 04. Sebanyak 165 orang merupakan
penduduk sehat dengan berbagai tingkatan usia, 18 orang penduduk
risiko mengalami gangguan jiwa dan 3 orang mengalami gangguan
jiwa. Klien yang mengalami gangguan jiwa yang ditemukan di RW 02
adalah 3 orang, 1 orang skizofrenia dan 2 orang lainnya retardasi
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
94
Universitas Indonesia
mental. Ketiga klien tersebut akan dirawat bersama dengan KKJ dan
menjadi fokus pemberian asuhan keperawatan jiwa serta dilaporkan
dalam Karya Ilmiah Akhir ini. Jumlah KKJ di RW 02 adalah 6 orang
KKJ dan semuanya sudah mengikuti pelatihan KKJ.
Tabel 3.1
Distribusi Daftar KK Sehat, Risiko dan Gangguan Jiwa
di RW 02 Kelurahan Baranang Siang
No Kriteria RT
∑ 01 02 03 04
1 ∑ KK 14 11 13 17 55
2 ∑ Penduduk 37 40 56 53 186
3 ∑ Sehat 31 32 51 51 165
4 ∑ Risiko 5 6 5 2 18
5 ∑ Gangguan 1 2 0 0 3
Profil RW 12 Kelurahan Baranang Siang
RW 12 merupakan wilayah di Kelurahan Baranang Siang yang terdiri
dari 6 RT. Wilayah RW 12 diketuai oleh Bapak Dadang Tri Komara.
Selanjutnya RT 01 di ketuai oleh Bapak Edi Riadi, RT 02 diketuai
oleh Bapak Arif, RT 03 diketuai oleh Bapak Maryadi, RT 04 diketuai
oleh Bapak Kusnadi, RT 05 diketuai oleh Bapak Agus dan RT 06
diketuai oleh Bapak Iwan. Tabel 3.2 berikut ini menunjukkan
karakteristik penduduk RW 12.
Kelompok usia terbanyak di wilayah RW 12 adalah kelompok usia
dewasa tengah yaitu usia 24-65 tahun dengan jumlah 329 jiwa.
Masyarakat RW 12 merupakan masyarakat yang religius, menjunjung
tinggi nilai-nilai agama. Masalah kesehatan secara umum yang
terbanyak adalah perkembangan remaja (banyak remaja putus sekolah
karena harus bekerja membantu orang tua mencari nafkah), kemudian
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
95
Universitas Indonesia
perkembangan bayi dan balita. Kelompok risiko Hipertensi (32
orang), Asam Urat (15 orang), Asma (15 orang) dan Gastritis (16
orang).
RW 12 memiliki sarana kesehatan berupa dua Posyandu, yaitu
Posyandu Melati 1 dan Posyandu Melati 2. Posyandu Melati 1
memberikan pelayanan kepada warga RT 04, 05 dan 06 setiap bulan
sekali pada hari Rabu Minggu Ketiga. Posyandu ini memiliki 5 orang
kader yang aktif. Sedangkan Posyandu Melati 2 memberikan
pelayanan kepada warga RT 01, 02 dan 03 pada hari Kamis Minggu
ketiga setiap bulan. Posyandu Kamboja memiliki 4 kader yang aktif.
Sedangkan kegiatan pelayanan kepada Lansia dilaksanakan
dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan Posyandu.
Sarana dan prasarana non kesehatan yang dimiliki RW 12 berupa
fasilitas ibadah yaitu 1 buah Mesjid, 3 Mushola, 1 Sekolah Dasar, 1
Madrasah dan 1 PAUD (Pelayanan Anak Usia Dini) yang terletak di
RT 03 wilayah RW 12.
Berdasarkan tabel 3.2 dapat dijelaskan bahwa sejumlah 982 jiwa
penduduk terbagi dalam 6 RT, 47 KK di RT 01, 45 KK di RT 02, 50
KK di RT 03, 43 KK di RT 04, 36 KK di RT 05 dan 41 KK di RT 06.
Sebanyak 837 orang merupakan penduduk sehat dengan berbagai
tingkatan usia, 130 orang penduduk risiko mengalami gangguan jiwa
dan 15 orang mengalami gangguan jiwa. Klien yang mengalami
gangguan jiwa yang ditemukan di RW 12 adalah 15 orang, yang
terdiri dari 9 orang skizofrenia, 4 orang dengan dimensia dan 2 orang
lainnya retardasi mental. Klien tersebut akan dirawat bersama dengan
KKJ dan menjadi fokus pemberian asuhan keperawatan jiwa serta
dilaporkan dalam Karya Ilmiah Akhir ini. Jumlah kader di RW 12
adalah 16 orang KKJ dan semuanya sudah mengikuti pelatihan KKJ.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
96
Universitas Indonesia
Tabel 3.2
Distribusi Daftar KK Sehat, Risiko dan Gangguan Jiwa
di RW 12 Kelurahan Baranang Siang
No Kriteria RT
∑ 01 02 03 04 05 06
1 ∑ KK 47 45 50 43 36 41 262
2 ∑ Penduduk 162 174 182 169 141 154 982
3 ∑ Sehat 136 162 135 135 133 136 837
4 ∑ Risiko 25 12 40 29 7 17 130
5 ∑ Gangguan 1 0 7 5 1 1 15
3.2. Manajemen Pelayanan Kesehatan Jiwa
Manajemen pelayanan kesehatan jiwa adalah kegiatan yang dilakukan
untuk memberikan pelayanan kesehatan jiwa di komunitas. Berikut
diuraiakn tentang pelaksanaan manejemen pelayanan kesehatan jiwa
di Puskesmas Bogor Timur, RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang
Siang.
3.2.1 Puskesmas Bogor Timur
Puskesmas Bogor Timur berada di bawah koordinasi wilayah
Kecamatan Bogor Timur, dipimpin oleh drg. Lindawati, M.KM. SDM
yang dimiliki oleh Puskesmas Bogor Timur yaitu : 3 (tiga) orang
dokter umum, 3 (tiga) orang dokter gigi, 6 (enam) orang perawat, 4
(empat) orang bidan, 1 (satu) perawat gigi, 1 (satu) D1 gizi, 1 (satu)
D1 analis, 1 (satu) D3 kesling, 1 (satu) D3 Farmasi, 1 (satu) S1
Hukum, 1 (satu) D3 Analis, 4 (empat) SMA dan 1 (satu)
berpendidikan SMP. Kepemilikan SDM di Puskesmas Bogor Timur
sudah mewakili beberapa kebutuhan tenaga terkait kesehatan.
Pelaksanaan program CMHN dilakukan oleh Perawat CMHN Ns. Nia
Yuniawati, S.Kep.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
97
Universitas Indonesia
Puskesmas Bogor Timur membawahi 2 kelurahan yaitu Kelurahan
Katulampa dan Kelurahan Baranang Siang. Area yang menjadi lahan
praktik penulis adalah Kelurahan Baranang Siang, yang terdiri dari 14
RW, dengan fokus berada di RW 02 dan RW 12. Puskesmas Bogor
Timur memiliki 2 Puskesmas Pembantu, yaitu Puskesmas Katulampa
yang berada di wilayah Kelurahan Katulampa dan Puskesmas Bantar
Kemang yang berada di wilayah Kelurahan Baranang Siang.
Visi Puskesmas Bogor Timur tahun 2011 adalah Puskesmas Bogor
Timur sebagai Puskesmas PELITA (profesional, berkualitas, tanggap)
dengan pelayanan yang bermutu dan terstandar serta menjadi motor
utama dalam pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat sehat
mandiri. Jelas terlihat pada visi Puskesmas Bogor Timur bahwa
kesehatan merupakan fokus utama pelayanan di puskesmas. Meskipun
tidak ada kaitan visi secara langsung terhadap kesehatan jiwa, tetapi
visi yang ditetapkan oleh Puskesmas Bogor Timur sudah memberikan
perhatian terhadap aspek kesehatan, yang diharapkan cakupannya
tidak hanya masalah kesehatan fisik tetapi juga menyangkut kesehatan
psikis.
Misi Puskesmas Bogor Timur, yaitu : a). Menyelenggarakan
kesehatan prima yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat ; b).
Menggalang kemitraan dengan seluruh potensi masyarakat di wilayah
kerja dalam rangka mendukung kot Bogor sehat ; c). Menggerakan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan bidang
kesehatan ; d). Memberdayakan potensi keluarga dan masyarakat
untuk mampu berperan aktif dalam mewujudkan keluarga sehat
mandiri. Perhatian di bidang kesehatan terlihat jelas pada butir a
dalam penetapan Misi Puskesmas Bogor timur.
Program pelayanan dasar yang sudah dilakukan oleh Puskesmas
Bogor Timur adalah pelayanan wajib dan pelayanan penunjang.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
98
Universitas Indonesia
Pelayanan wajib meliputi : KIA dan KB, Promkes, P2M, BP, Kesling,
dan Gizi. Pelayanan penunjang terdiri dari : laboratorium, kesehatan
lansia, kesehatan jiwa, kesehatan mata dan kesehatan gigi. Pelayanan
inovatif yang dilakukan puskesmaas Bogor timur adalah VCT, IMS,
PMTCT, HR, CST, LJSS, PTRM, PKPR, KDRT, Siaga Maternal, dan
KTR. Pelayanan kesehatan jiwa sudah masuk dalam program
pelayanan dasar yang ditetapkan oleh Puskesmas Bogor Timur dan
dilaksanakan oleh Perawat CMHN Ns. Nia Yuniawati, S.Kep.
Uraian di bawah ini menggambarkan tentang pelaksanaan pelayanan
kesehatan jiwa komunitas Puskesmas Bogor Timur berdasarkan
pendekatan CMHN melalui pelaksanaan empat pilar CMHN. Empat
pilar tersebut adalah Pilar I Manajemen Pelayanan Kesehatan Jiwa
Komunitas, Pilar II Pemberdayaan Masyarakat, Pilar III Kemitraan
Lintas Sektor dan Lintas Program dan Pilar IV Manajemen Kasus
Kesehatan Jiwa.
a. Pilar I : Manajemen Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas
Pilar I kegiatan CMHN meliputi kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. Berikut dibahas
satu persatu mengenai kegiatan Pilar I di RW 02 dan RW 12
bekerja sama dengan Puskesmas Bogor Timur di bawah koordinasi
perawat CMHN Puskesmas Bogor Timur Ns. Nia Yuniawati,
S.Kep. Perawat CMHN sudah mengikuti pelatihan CMHN.
Perencanaan :
Perawat CMHN sudah mengenal program kesehatan jiwa
masyarakat, memiliki visi, misi dan filosofi tentang RW Siaga
Sehat Jiwa. Sudah memiliki rencana bulanan yang terdiri dari
kegiatan manajerial dan kegiatan asuhan keperawatan yang
diberikan untuk klien gangguan jiwa dengan masalah defisit
perawatan diri.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
99
Universitas Indonesia
Kegiatan manajerial perawat CMHN yaitu jadwal supervisi KKJ
untuk RW 02 dan RW 12 serta jadwal rapat/pertemuan bersama
KKJ RW 02 dan RW 12 dilakukan satu bulan sekali. Kegiatan
asuhan keperawatan perawat CMHN yaitu jadwal memberikan
pendidikan kesehatan untuk kelompok klien gangguan jiwa
dengan masalah defisit perawatan diri dilakukan satu bulan
sekali; jadwal memberikan asuhan keperawatan atau home visite
kepada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan
diri dilaksanakan satu bulan sekali; jadwal melakukan terapi
aktifitas kelompok dilakukan seminggu sekali setiap Hari Jumat
di Puskesmas Bogor Timur dan jadwal rehabilitasi untuk klien
gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri
direncanakan selama tiga kali pertemuan.
Rencana bulanan KKJ yang sudah disusun untuk membantu
menangani masalah defisit perawatan diri pada klien gangguan
jiwa di RW 02 dan RW 12 adalah : menggerakkan keluarga
klien gangguan jiwa untuk mengikuti penyuluhan dari perawat
CMHN tentang cara merawat klien, satu bulan sekali;
menggerakkan klien gangguan jiwa untuk mengikuti TAK satu
minggu sekali di Puskesmas Bogor Timur bersama Perawat
CMHN; mengidentifikasi klien gangguan jiwa dengan masalah
defisit perawatan diri yang telah mandiri untuk mengikuti terapi
rehabilitasi; melakukan kunjungan rumah pada klien gangguan
jiwa dengan masalah defisit perawatan diri di RW 02 dan RW
12 yang telah mandiri, satu minggu satu klien; merujuk klien
gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri kepada
perawat CMHN setiap Hari Kamis dan Jumat setiap minggu,
dan mendokumentasikan kegitan yang telah dilaksanakan dalam
buku kegiatan kader setelah melakukan semua kegiatan.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
100
Universitas Indonesia
Pengorganisasian :
Berikut adalah struktur organisasi pengelolaan klien gangguan
jiwa dengan masalah defisit perawatan diri di RW 02 dan RW
12 Kelurahan Baranang Siang yang dirawat oleh perawat
CMHN Puskesmas Bogor Timur bersama KKJ RW 02 dan RW
12 Kelurahan Baranang Siang.
Gambar 3.1 Struktur Pengelolaan Klien Gangguan Jiwa
RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang
PUSKESMAS
BOGOR TIMUR
RT 01 :
Klien : -
RW 02 Baranang Siang RW 12 Baranang Siang
Perawat CMHN
Kelurahan Katulampa
Perawat CMHN
Kelurahan Baranang Siang
Ns. Nia Yuniawati, S.Kep
RT 01 :
Klien : Tn. Und.
Kader : Bapak Hidajat B
RT 02 :
Klien : Tn. An
Kader : Bapak Dedi Suardi
RT 03 :
Klien : 1. Tn. Yyn
2. Tn. Dd
3. Nn. Tn
4. Tn. Rj
5. Ny. Mr
6. Tn. Om
7. Ny. Kk
Kader : 1. Bapak Enung
2. Bapak Nursaputra
3. Ibu Rini
4. Ibu Astri
5. Bapak Maryadi
6. Bapak Edi Riadi
7. Ibu Enung
RT 04 :
Klien : 1. Tn. Ik
2. Ny. Tt
3. Ny. Kp
4. Nn. Is
5. An. Al
Kader : 1. Bapak Suhendar
2. Ibu Ade
3. Ibu Euis
4. Ibu Tina
5. Ibu Emma
RT 03 :
Klien : -
RT 02 :
Klien : 1. Tn. Ttk
2. An. Er
Kader : 1. Bapak Djoko S
2. Ibu Sri W.
RT 04 :
Klien : -
RT 06 :
Klien : Tn. Dn
Kader : Ibu Wawat
RT 05 :
Klien : Tn. Ai
Kader : Bapak TB. Sardrah
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
101
Universitas Indonesia
Struktur organisasi petugas layanan keperawatan kesehatan jiwa
komunitas di DSSJ dipimpin oleh perawat CMHN puskesmas.
Perawat CMHN bertanggung jawab terhadap Kelurahan
Baranang Siang, ada 2 RW di Kelurahan Baranang Siang yang
menjadi tanggung jawabnya yaitu RW 02 dan RW 12. Perawat
CMHN mengorganisir KKJ yang ada di RW 02 dan RW 12.
Perawat CMHN mempunyai daftar klien gangguan jiwa dengan
masalah defisit perawatan diri, 3 orang klien dari RW 02 dan 15
orang klien dari RW 12. Perawat CMHN bertanggung jawab
memberikan asuhan keperawatan kepada 18 orang klien
gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri tersebut.
KKJ di RW 02 dan RW 12 sudah memiliki struktur organisasi
kepengurusan KKJ di bawah binaan Puskesmas Bogor Timur.
RW 02 diketuai oleh Bapak Djoko Suyudono dan RW 12
diketuai oleh Bapak Maryadi. Daftar keluarga di desa siaga
sehat jiwa RW 02 dan RW 12 sudah terindentifikasi dengan
jelas dan sudah didokumentasikan. Sejumlah 18 KK di RW 02
dan 130 KK di RW 12 merupakan keluarga dengan resiko
mengalami gangguan jiwa. Sedangkan jumlah keluarga dengan
anggota keluarga gangguan jiwa sebanyak 3 KK di RW 02 dan
15 KK di RW 12. Dua orang KKJ RW 02 mengelola satu orang
klien gangguan jiwa, sedangkan KKJ di RW 12 masing-masing
mengelola satu orang klien gangguan jiwa.
Pengarahan :
Perawat CHMN bekerjasama dengan KKJ melakukan kegiatan
komunikasi, supervisi dan pendelegasian untuk membantu klien
gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Komunikasi dilakukan kepada KKJ untuk menjalin dan
membina hubungan saling percaya dalam rangka penanganan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
102
Universitas Indonesia
klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Perawat CMHN mengkomunikasikan kepada KKJ mengenai
klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri yang
belum berkunjung ke puskesmas agar berkunjung dan
mendapatkan terapi serta klien yang sudah berkunjung ke
puskesmas untuk ditindaklanjuti penanganannya oleh KKJ.
Supervisi perawat CMHN kepada klien defisit perawatan diri
yaitu mengidentifikasi jumlah kunjungan klien defisit perawatan
diri ke puskesmas. Supervisi perawat CMHN kepada KKJ
dilakukan satu bulan sekali dalam rangka pengawasan untuk
memastikan bahwa KKJ melakukan kegiatan sesuai dengan
tujuan organisasi.
Pendelegasian dilakukan oleh perawat CMHN kepada KKJ.
Pendelegasian ini bertujuan untuk menindaklanjuti perawatan di
komunitas bagi klien defisit perawatan diri yang sudah
berkunjung ke puskesmas. Pendelegasian berikutnya kepada
KKJ, berupa kewenangan untuk merujuk kasus klien gangguan
jiwa defisit perawatan diri yang belum berkunjung ke
puskesmas agar berkunjung ke puskesmas.
KKJ bekerjasama dengan perawat CMHN melakukan kegiatan
pengarahan yang meliputi komunikasi, supervisi dan
pendelegasian. Komunikasi kepada perawat CMHN dalam hal
penanganan klien gangguan jiwa defisit perawatan diri,
komunikasi kepada klien gangguan jiwa defisit perawatan dalam
pemberian asuhan. Supervisi dilakukan oleh KKJ kepada klien
gangguan jiwa defisit perawatan diri yang sudah mandiri
dilakukan satu minggu sekali. Pendelegasian dilakukan KKJ
untuk merujuk kasus klien gangguan jiwa defisit perawatan diri
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
103
Universitas Indonesia
ke puskesmas kepada perawat CMHN setiap Hari Kamis dan
Jumat setiap minggu.
Pengendalian :
Kegiatan yang dilakukan oleh perawat CMHN dalam hal
pengontrolan adalah monitor dan evaluasi. Perawat CMHN
memonitor KKJ RW 02 dan RW 12 dalam melaksanakan
program CMHN di RW 02 dan RW 12. Evaluasi kinerja
terhadap KKJ RW 02 dan RW 12 dilakukan berdasarkan
delapan kemampuan KKJ. Seluruh KKJ di RW 02 yang
berjumlah 6 orang dan KKJ RW 12 yang berjumlah 16 orang
sudah melaksanakan delapan kemampuan KKJ dan dievaluasi
oleh perawat CMHN dengan hasil baik.
Perawat CMHN juga melakukan monitor dan evaluasi terhadap
peningkatan kemampuan klien dan keluarga dengan anggota
keluarga mengalami gangguan jiwa. Klien dan keluarga
menunjukkan peningkatan kemampuan dalam merawat defisit
perawatan diri sehingga mampu melakukan kegiatan perawatan
diri. Klien dan keluarga juga menunjukkan berkurangnya tanda
dan gejala yang dialami oleh klien gangguan jiwa defisit
perawatan diri. Sehingga asuhan keperawatan yang diberikan
oleh perawat CMHN berhasil dengan baik.
KKJ melakukan monitor dan evaluasi terhadap rencana kerja
yang telah disusun terhadap klien dan keluarga untuk mengatasi
masalah defisit perawatan diri. Monitor dan evaluasi kepada
klien mengenai peningkatan kemampuan klien dalam hal
memenuhi kebutuhan perawatan diri dan berkurangnya tanda
dan gejala yang dialami klien defisit perawatan diri. Monitor
dan evaluasi kepada keluarga mengenai peningkatan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
104
Universitas Indonesia
kemampuan keluarga dalam hal merawat klien gangguan jiwa
dengan masalah defisit perawatan diri.
Hasil monitor dan evaluasi KKJ terhadap klien dan keluarga
adalah klien dan keluarga menunjukkan peningkatan
kemampuan dalam merawat defisit perawatan diri sehingga
klien dan keluarga mampu melakukan kegiatan perawatan diri
dengan baik. Klien dan keluarga juga menunjukkan
berkurangnya tanda dan gejala defisit perawatan diri yang
dimiliki oleh klien, sehingga asuhan keperawatan yang
diberikan oleh KKJ telah berhasil.
b. Pilar II : Pemberdayaan Masyarakat
Perawat CMHN Ns. Nia Yuniawati, S.Kep., sudah mengikuti
pelatihan CMHN, dan sudah memiliki kemampuan sebagai perawat
CMHN untuk melaksanakan program CMHN. Kegiatan yang
dilakukan oleh perawat CMHN di Pilar II ini adalah rekruitmen,
seleksi, orientasi dan penilaian kinerja KKJ. Perawat CMHN
berkoordinasi dengan kepala desa, kepala dusun, tokoh agama dan
tokoh masyarakat untuk melakukan kegiatan tersebut.
Perawat CMHN melakukan rekruitmen dan seleksi KKJ di RW 02
dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang, didapatkan 7 orang calon
KKJ dari RW 02 dan 18 orang calon KKJ dari RW 12. Sebanyak
25 orang calon KKJ yang berhasil direkruit hanya 1 orang yang
mengundurkan diri karena tidak ada ijin dari suami calon KKJ.
Perawat CMHN kemudian melakukan seleksi dan menyiapkan
calon KKJ untuk mengikuti pelatihan KKJ.
Perawat CMHN melakukan sosialisasi program CMHN kepada
KKJ. Berikutnya, perawat CMHN melakukan orientasi dan
pelatihan KKJ secara serentak yang diikuti oleh 24 orang KKJ dari
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
105
Universitas Indonesia
RW 02 dan RW 12 yang ada di Kelurahan Baranang Siang. Materi
yang diberikan pada pelatihan adalah : a). Program DSSJ; b).
Deteksi keluarga di masyarakat : kelompok sehat, risiko dan
gangguan; c). Peran serta dalammenggerakkan masyarakat pada
kegiatan penyuluhan; d). Supervisi keluarga dan pasien gangguan
yang telah mandiri; e). Perujukan kasus pasien gangguan jiwa; dan
f). Pelaporan kegiatan KKJ.
Sebanyak 24 orang KKJ mengikuti proses rekruitmen, seleksi,
orientasi dan pelatihan yang diselenggarakan. Seluruh KKJ telah
menguasai pengetahuan dasar tentang kesehatan jiwa dan
penatalaksanaan klien dengan gangguan jiwa. KKJ melakukan
kegiatan deteksi dini keluarga, membuat daftar keluarga sehat,
resiko dan gangguan, menggerakkan massa untuk mengikuti
penyuluhan kesehatan dan melakukan kunjungan rumah. Seluruh
KKJ telah dievalusi kinerjanya oleh perawat CMHN.
KKJ di RW 02 yang berjumlah 6 orang, 3 orang KKJ merawat 3
orang klien gangguan jiwa di RW 02 masing-masing 1 orang klien.
Sedangkan KKJ RW 12 yang berjumlah 16 orang, 15 orang KKJ
merawat 15 orang klien gangguan jiwa di RW 12 masing-masing 1
orang klien. Sehingga jumlah KKJ yang tidak merawat klien
gangguan jiwa di RW 02 adalah 3 orang KKJ dan di RW 12 adalah
1 orang KKJ. KKJ yang tidak merawat klien gangguan jiwa secara
langsung ikut membantu KKJ yang merawat klien gangguan jiwa.
c. Pilar III : Kemitraan Lintas Sektoral & Lintas Program
Perawat CMHN Puskesmas Bogor Timur dan KKJ RW 02 dan RW
12 Kelurahan Baranang Siang melakukan kemitraan lintas sektor
dan lintas program.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
106
Universitas Indonesia
Kemitraan lintas sektoral yang dilakukan oleh perawat CMHN
adalah menjalin kerjasama dengan dinas kesehatan, dinas
pendidikan, dinas sosial, dinas pertanian, kecamatan dan kelurahan.
Kerjasama tersebut dilakukan untuk kelancaran dan pemantauan
kegiatan CMHN di wilayah Kelurahan Baranang Siang khususnya
RW 02 dan RW 12. Kerjasama dengan dinas kesehatan dilakukan
dalam rangka peran serta dan dukungan pelaksanaan kegiatan
terapi kelompok swa bantu (Self Help Group). Kerjasama dengan
dinas pendidikan adalah pelaksanaan program UKS dalam rangka
pembentukan UKS Jiwa pada remaja di SMP dan SMA yang ada di
Kelurahan Baranang Siang dan kerjasama dengan PTRM untuk
klien yang mempunyai riwayat NAPZA. Kerjasama dengan
kecamatan dan kelurahan dilakukan oleh perawat CMHN dalam
rangka penyelenggaraan pelatihan KKJ. Kerjasama dengan
depertemen sosial dan departemen pertanian dalam pelaksanaan
rehabilitasi pada klien gangguan jiwa yang sudah mandiri melalui
“Paguyuban Jiwa Sehat Kota Bogor” berupa budidaya tanaman
dan buah dalam pot dan pembuatan telur asin.
Kemitraan lintas program, perawat CMHN melakukan kerjasama
dengan tenaga kesehatan lainnya, dalam penemuan kasus risiko
masalah psikososial dan klien gangguan jiwa di RW 02 dan RW 12
Kelurahan Baranang Siang. Kerjasama dengan dokter dilakukan
dalam memberikan penatalaksanaan klien gangguan jiwa yaitu
untuk mendapatkan terapi dan rujukan ke Puskesmas Bogor Timur
maupun Rumah Sakit Jiwa untuk mendapatkan perawatan.
Kerjasama dengan KKJ untuk melakukan sistem rujukan klien
gangguan jiwa. Kerjasama dengan Tim ACT Rumah Sakit
Marzoeki Mahdi Bogor dalam pelaksanaan kunjungan klien
gangguan jiwa bersama perawat jiwa komunitas dari RSMM.
Kunjungan dengan Tim ACT ini telah dilakukan 3 kali, dari hasil
kunjungan ada 2 klien harus di rawat di RSMM.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
107
Universitas Indonesia
Kegiatan kemitraan lintas program yang dilakukan oleh KKJ yaitu
melakukan rujukan kasus klien gangguan jiwa dengan masalah
defisit perawatan diri ke puskesmas dan melaporkan kepada
perawat CMHN mengenai kondisi klien gangguan jiwa dengan
masalah defisit perawatan diri. Kegiatan kemitraan lintas sektor
yang dilakukan KKJ adalah bekerja sama dengan perangkat RT,
RW dan organisasi PKK, Karang Taruna, kelompok pengajian,
untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pemberian asuhan
keperawatan kepada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit
perawatan diri.
d. Pilar IV : Manajemen Kasus Kesehatan Jiwa Komunitas
Kegiatan Pilar IV meliputi pemberian asuhan keperawatan jiwa ;
pemberian pendidikan kesehatan pada kelompok klien gangguan
jiwa; memberikan terapi aktifitas kelompok pada klien gangguan
jiwa dan melakukan rehabilitasi pada klien gangguan jiwa.
Asuhan keperawatan jiwa, dilakukan oleh perawat CMHN pada
kelompok gangguan jiwa di wilayah RW 02 dan RW 12 Kelurahan
Baranang Siang. Kegiatan yang dilakukan perawat CMHN adalah
memberikan asuhan keperawatan pada kelompok klien gangguan
jiwa dengan masalah defisit perawatan diri yang membutuhkan
bantuan total sebanyak satu orang klien di RW 12 dan bantuan
parsial pada kelompok klien gangguan jiwa dengan masalah defisit
perawatan diri sebanyak 4 orang klien di RW 12.
Pendidikan kesehatan dilakukan pada kelompok klien gangguan
jiwa dengan masalah defisit perawatan diri. Pemberian pendidikan
kesehatan dilakukan oleh perawat CMHN di RW 02 dan RW 12
satu bulan sekali.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
108
Universitas Indonesia
Terapi Aktifitas Kelompok (TAK), dilakukan pada kelompok klien
gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri. Terapi
aktifitas kelompok ini dilakukan oleh perawat CMHN di
Puskesmas Bogor Timur ketika klien gangguan jiwa berkunjung ke
puskesmas didampingi oleh KKJ dan keluarga. Sudah ada
pendokumentasien pelaksanaan terapi aktifitas kelompok.
Rehabilitasi dilakukan pada klien gangguan jiwa di wilayah RW 02
dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang. Kegiatan yang dilakukan
dikemas dalam bentuk pemberian terapi yaitu terapi self help group
atau kelompok swa bantu. Klien dan keluarga diberikan terapi
berupa pelatihan tanaman dan buah dalam pot dan pembuatan telur
asin. Kelompok Swa Bantu ini dikoordinasi oleh KKJ dan perawat
CMHN Puskesmas Bogor Timur dan diorganisir dalam wadah
perkumpulan kelompok Swa Bantu yang diketuai oleh Bapak Dedi
dengan nama kelompok La Tulipe.
KKJ RW 02 dan RW 12 ikut berperan serta dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa dengan masalah
defisit perawatan diri. KKJ RW 02 dan RW 12 memberikan asuhan
keperawatan pada klien gangguan jiwa yang sudah mandiri. KKJ
RW 02 dan RW 12 menggerakkan kelompok klien gangguan jiwa
untuk mengikuti pendidikan kesehatan. KKJ RW 02 ikut
mendampingi satu orang klien gangguan jiwa dengan masalah
defisit perawatan diri untuk berkunjung ke puskesmas dan
mengikuti terapi aktifitas kelompok, sedangkan KKJ RW 12
mendampingi dua orang klien gangguan jiwa dengan masalah
defisit perawatan diri untuk berkunjung ke puskesmas dan
mengikuti terapi aktifitas kelompok. KKJ RW 12 mengikutsertakan
4 orang klien gangguan jiwa di RW 12 untuk mengikuti terapi
rehabilitasi yang diselenggarakan. Sudah ada pendokumentasian
oleh KKJ di RW 02 dan RW 12 tentang semua pelaksanaan
kegiatan tersebut.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
109 Universitas Indonesia
BAB 4
PELAKSANAAN MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DEFISIT PERAWATAN DIRI
Pada bab ini akan dijelaskan tentang pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien
yang mengalami defisit perawatan diri. Pelaksanaan asuhan keperawatan melalui
proses keperawatan dengan pendekatan model Stuart yang meliputi pengkajian
stressor predisposisi, stressor presipitasi, respon terhadap stressor dan kemampuan
yang dimiliki terhadap stressor. Penegakan diagnosa keperawatan dilakukan
berdasarkan data-data yang ditemukan. Intervensi dan pelaksanaan terapi
keperawatan didasarkan pada pengkajian dan diagnosa keperawatan yang terdiri
dari intervensi generalis dan terapi spesialis.
Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai pelaksanaan manajemen asuhan
keperawatan pada klien defisit perawatan diri yang meliputi hasil pengkajian yang
terdiri dari karakteristik klien, stressor predisposisi dan stressor presipitasi,
diagnosa keperawatan dan diagnosa medik, rencana tindakan keperawatan,
pelaksanaan dan hasil tindakan keperawatan, rencana tindak lanjut dan hambatan
pelaksanaan asuhan keperawatan.
4.1 Hasil Pengkajian
Pengkajian terhadap klien dengan diagnosa keperawatan defisit perawatan
diri dilakukan menggunakan pendekatan konsep stres adaptasi Stuart (2009)
yang dikembangkan dalam bentuk pola pengkajian menggunakan scanning.
Hasil pengkajian yang meliputi karakteristik klien, stressor predisposisi,
stressor presipitasi, respon terhadap stressor dan kemampuan yang dimiliki
klien, terhadap 18 orang klien yang mengalami defisit perawatan diri.
4.1.1 Karakteristik Klien
Karakteristik 18 klien dengan defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12
Kelurahan Baranang Siang yang mendapatkan asuhan keperawatan
dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan
status perkawinan. Seluruh klien bersuku bangsa Sunda dan beragama
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
110
Universitas Indonesia
Islam. Asuhan keperawatan diberikan mulai bulan Oktober 2011-April
2012.
Tabel 4.1
Distribusi Karakteristik Klien dengan Defisit perawatan diri
Periode Oktober 2011-April 2012
(n = 18)
No Karakteristik Klien
Jumlah Prosentase
Skizo RM Dems Skizo RM Dems
(n=9) (n=5) (n=4) (n=9) (n=5) (n=4)
1 Jenis Kelamin
Laki- Laki 8 3 0 44,4 16,7 0,0
Perempuan 1 2 4 5,6 11,1 22,2
2 Usia
< 20 Tahun 0 2 0 0,0 11,1 0,0
21 - 40 Tahun 8 2 0 44,4 11,1 0,0
> 41 Tahun 1 1 4 5,6 5,6 22,2
3 Status
Menikah 3 0 0 16,7 0,0 0,0
Belum Menikah 6 5 0 33,3 27.8 0,0
Janda/Duda 0 0 4 0,0 0,0 22,2
4 Pendidikan
Tidak Sekolah 1 4 0 5,6 22,2 0,0
Pendidikan Dasar 2 1 3 11,1 5,6 16,7
Pendidikan
Menengah
4 0 1 22,2 0,0 5,6
Pendidikan Tinggi 2 0 0 11,1 0,0 0,0
5 Pekerjaan
Bekerja/Sekolah 6 1 0 33,3 5,6 0,0
Tidak Bekerja 3 4 4 16,7 22,2 22,2
6 Lama Sakit
< 10 Tahun 7 1 3 38,9 5,6 16,7
10 - 20 Tahun 1 1 0 5,6 5,6 0,0
> 21 Tahun 1 3 1 5,6 16,7 5,6
7 Lama Rawat
6 bulan 1 2 0 5,6 11,1 0,0
3 bulan 8 3 4 44,4 16,7 22,2
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dijelaskan bahwa klien defisit perawatan diri
sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, yaitu 11 orang klien (61,1%) yang
terdiri dari 8 orang klien (44,4%) skizofrenia dan 3 orang klien (16,7%)
retardasi mental. Usia klien yang mengalami defisit perawatan diri
terbanyak adalah 21-40 tahun, yaitu 10 orang klien (55,6%), yang terdiri
dari 8 orang klien (44,4%) skizofrenia dan 2 orang klien (11,1%) retardasi
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
111
Universitas Indonesia
mental. Sebagian besar klien tidak menikah, yaitu 11 orang klien (61,1%),
yaitu 6 orang klien (33,3%) skizofrenia dan 5 orang klien (27,8%) retardasi
mental. Sebagian besar klien berpendidikan dasar (SD), yaitu sebanyak 6
orang klien (33,3%), yang terdiri dari 2 orang klien (11,1%) skizofrenia, 1
orang klien (5,6%) retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%) demensia.
Klien tidak bekerja sebanyak 11 orang klien (61,1%), yaitu 3 orang klien
(16,7%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang
klien (22,2%) demensia. Lama menderita sakit < 10 tahun, sebanyak 11
orang klien (61,1%), yang terdiri dari 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 1
orang klien retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%) demensia, dan
sebanyak 15 orang klien (83,3%) dirawat selama 3 bulan, yaitu 8 orang
klien (44,4%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%) retardasi mental dan 4
orang klien (22,2%) demensia.
4.1.2 Stressor Predisposisi
Menurut Stuart (2009) stressor predisposisi adalah faktor resiko yang
menjadi sumber terjadinya stres, yang terdiri dari biologis, psikologis dan
sosial kultural. Pada klien dengan masalah defisit perawatan diri, stressor
predisposisi akan diidentifikasi berdasarkan tiga komponen tersebut.
Berdasarkan tabel 4.2 di bawah ini, dijelaskan tentang stressor predisposisi
klien defisit perawatan diri. Stressor predisposisi tersebut dijelaskan dalam
tiga aspek, yaitu aspek biologi, aspek psikologi dan aspek sosio kultural.
Aspek biologis, pada pengkajian aspek biologis didapatkan hasil bahwa
masalah defisit perawatan diri terbanyak disebabkan oleh faktor genetik
yang dialami oleh 8 orang klien (44,4%), yang terdiri dari 3 orang klien
(16,7%), 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 1 orang klien (5,6%)
demensia dan hanya 1 orang klien (5,6%) dengan diagnose medis demensia
yang disebabkan karena penyakit fisik.
Aspek psikologis, seluruh klien yang mengalami masalah defisit perawatan
diri memiliki masalah dengan komunikasi secara verbal, yaitu
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
112
Universitas Indonesia
ketidakmampuan mengungkapkan keinginan dengan baik yaitu 18 orang
(100%), terdiri dari 9 orang klien (50%) skizofrenia, 5 orang klien (27,8%)
retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia, dan sebanyak 5 orang
klien (27,8%) dengan diagnose medis retardasi mental mengalami
keterlambatan tumbuh kembang.
Aspek sosio kultural, sebagian besar faktor sosio kultural klien mengalami
defisit perawatan diri adalah terkait dengan masalah perekonomian atau
ekonomi rendah yaitu sebanyak 15 orang (83,3%), terdiri dari 9 orang klien
(50%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%) retardasi mental dan 3 orang klien
lagi (16,7%) demensia, dan sebanyak 5 orang klien tidak bersekolah
(27,8%), yaitu 1 orang klien (5,6%) skizofrenia dan 4 orang klien (22,2%)
retardasi mental.
Tabel 4.2
Distribusi Stressor Predisposisi Klien Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011 - April 2012
(n = 18)
NO Stressor Predisposisi
Jumlah Prosentase (%)
Skizo RM Dems Skizo RM Dems
(n=9) (n=5) (n=4) (n=9) (n=5) (n=4)
1 Biologi
Genetik 3 4 1 16,7 22,2 5,6
Penyakit Fisik 0 0 1 0,0 0,0 5,6
Narkoba 2 0 0 11,1 0,0 0,0
2 Psikologis
Gangguan konsep Diri 9 2 2 50 11,1 11,1
Terlambat Tumbuh
Kembang
0 5 0 0,0 27,8 0,0
Kepribadian Tertutup 8 2 4 44,4 11,1 22,2
Masalah Komunikasi 9 5 4 50 27,8 22,2
3 Sosio Kultural
Ekonomi Rendah 9 3 3 50 16,7 16,7
Tidak Bekerja 4 3 4 22,2 16,7 22,2
Tidak Sekolah 1 4 0 5,6 22,2 0,0
Tidak Menikah 6 5 0 33,3 27,8 0,0
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
113
Universitas Indonesia
4.1.3 Stressor Presipitasi
Stressor presipitasi dalam hal ini terkait dengan suatu stimulus yang
dipersepsikan oleh individu apakah dipersepsikan sebagai suatu
kesempatan, tantangan, ancaman/tuntutan. Stressor presipitasi ini meliputi
empat hal yaitu sifat stresor, asal stresor, lamanya stresor yang dialami, dan
banyaknya stresor yang dihadapi oleh seseorang (Stuart, 2009).
Tabel 4.3
Distribusi Stressor Presipitasi Klien Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011 - April 2012
(n = 18)
NO Respon terhadap Stressor
Jumlah Prosentase (%)
Skizo RM Dems Skizo RM Dems
(n=9) (n=5) (n=4) (n=9) (n=5) (n=4)
1 Biologis
Putus Obat 6 2 2 61,1 11,1 11,1
Penyakit Infeksi 3 2 0 16,7 11,1 0,0
2 Psikologis
Keinginan tidak terpenuhi 6 4 3 61,1 22,2 16,7
Tdk mampu Ungk keinginan 4 5 4 22,2 27,8 22,2
Kurang Motivasi 6 3 3 61,1 16,7 16,7
Kehilangan orang yang
berarti
7 3 4 38,9 16,7 22,2
3 Sosio Kultural
Masalah Ekonomi 9 3 4 50 16,7 22,2
Bangkrut/PHK 3 0 0 16,7 0,0 0,0
Konflik Keluarga 3 3 2 16,7 16,7 11,1
4 Asal Stressor
Dalam 9 4 3 50 22,2 16,7
Luar 8 3 3 44,4 16,7 16,7
5 Lama Stressor
< 10 tahun 7 1 3 38,9 5,6 16,7
10-20 tahun 1 1 0 5,6 5,6 0,0
> 20 tahun 1 3 1 5,6 16,7 5,6
6 Jumlah Stressor
2 Stressor 0 0 0 0,0 0,0 0,0
3 Stressor 0 0 0 0,0 0,0 0,0
> 3 Stressor 9 5 4 50 27,8 22,2
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
114
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 4.3 di atas dijelaskan tentang stressor presipitasi yang
menggambarkan tentang sifat stressor yang meliputi aspek biologis,
psikologis dan sosio kultural; asal stressor; lama sakit dan jumlah stressor.
Sifat stresor, berdasarkan kasus yang telah dikelola pada 18 klien defisit
perawatan diri ditemukan stressor presipitasi biologis sebagian besar berupa
riwayat putus obat sebanyak 10 orang klien (55,6%), terdiri dari 6 orang
klien (33,3%) skizofrenia, 2 orang klien (11,1%) dan 2 orang klien (11,1%)
demensia. Pada stresor psikologis sebagian besar disebabkan karena
pengalaman yang tidak menyenangkan yaitu sebanyak 14 orang klien
(77,8%), yaitu 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%)
retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Stresor sosio kultural
sebagian besar karena adanya masalah ekonomi yaitu sebanyak 16 orang
klien (88,9%), yaitu 9 orang klien (50%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%)
retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia.
Asal stresor, pada pengkajian asal stressor, sumber permasalahan pada klien
defisit perawatan diri sebagian besar berasal dari individu itu sendiri yaitu
sebanyak 16 orang klien (88,9%), yaitu 9 orang klien (50%) skizofrenia, 4
orang klien (22,2%) dan 3 orang klien (16,7%) demensia. Waktu dan
lamanya stresor, lamanya klien terpapar stresor sebagian besar < 10 tahun
yaitu sebanyak 10 orang klien (55,6%), terdiri dari 7 orang klien (38,9%)
skizofrenia, 1 orang klien (5,6%) retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%)
demensia. Jumlah stresor, seluruh klien yang mengalami masalah defisit
perawatan diri mengalami lebih dari 3 stressor yaitu sebanyak 18 orang
klien (100%), yaitu 9 orang klien (50%) skizofrenia, 5 orang klien (27,8%)
retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia.
4.1.4 Respon Terhadap Stresor
Respon terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi secara
menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap sumber stres dengan
tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
115
Universitas Indonesia
dialaminya (Stuart, 2009). Respon terhadap stresor ini meliputi respon
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan respon sosial.
Tabel 4.4
Distribusi Respon Terhadap Stresor Klien Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011 - April 2012
(n = 18)
NO Respon terhadap Stressor
Jumlah Prosentase (%)
Schi RM Demn Schi RM Demn
(n=9) (n=5) (n=4) (n=9) (n=5) (n=4)
1 Respon Kognitif
Tidak mampu mengambil keputusan 8 4 4 44,4 22,2 22,2
Tidak tahu cara merawat diri 5 4 4 27,8 22,2 22,2
2 Respon Afektif
Perasaan negatif terhadap diri 5 3 3 27,8 16,7 16,7
Sedih 5 1 3 27,8 5,6 16,7
Merasa tidak mampu merawat diri 6 2 4 33,3 11,1 22,2
Tidak ada motivasi merawat diri 5 2 4 27,8 11,1 22,2
3 Respon Fisiologis
Lelah/letih/lemah 5 4 4 27,8 22,2 22,2
Penurunan muskuloskeletal 6 4 2 33,3 22,2 11,1
4 Respon Perilaku
Tidak mandi dengan benar 5 4 3 27,8 22,2 16,7
Tidak berhias setelah mandi 6 4 3 33,3 22,2 16,7
Makan tidak teratur 5 4 3 27,8 22,2 16,7
Toileting tidak tepat 5 4 4 27,8 22,2 22,2
5 Respon Sosial
Mengurung diri 7 4 4 38,9 22,2 22,2
Menghindar dari orang lain 5 1 3 27,8 5,6 75,00
Menolak Interaksi 5 1 2 27,8 5,6 50,00
Pada tabel 4.4 di atas dijelaskan tentang respon terhadap stressor yang
meliputi respon kognitif, afekif, fisiologis, perilaku dan respon sosial.
Respon kognitif, sebagai respon kognitif yang dilakukan klien dengan
defisit perawatan diri adalah tidak mampu mengambil keputusan yaitu
sebanyak 16 orang klien (88,9%), terdiri dari 8 orang klien (44,4%)
skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien
(22,2%) demensia.
Respon afektif, sebagian besar klien dengan defisit perawatan diri
mempunyai respon afektif terhadap stresor terkait dengan masalahnya yaitu
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
116
Universitas Indonesia
merasa tidak mampu merawat diri sebanyak 12 orang (66,7%), terdiri dari 6
orang klien (33,3%) skizofrenia, 2 orang klien (11,1%) retardasi mental dan
4 orang klien (22,2%) demensia.
Respon fisiologis, respon fisik yang ditunjukkan oleh klien defisit
perawatan diri sebagian besar yaitu adanya kelelahan, kelemahan dan
keletihan sebanyak 13 orang klien (72,2%), terdiri dari 5 orang klien
(27,8%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang
klien (22,2%) demensia serta adanya penurunan muskuloskeletal sebanyak
12 orang klien (66,7%), yaitu 6 orang klien (33,3%) skizofrenia, 4 orang
klien (22,2%) retardasi mental dan 2 orang klien (11,1%) demensia.
Respon perilaku, respon perilaku pada klien dengan defisit perawatan diri
yaitu tidak toileting dengan benar sebanyak 13 orang klien (72,2%), yaitu 5
orang klien (27,8%) sizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4
orang klien (22,2%) demensia, serta tidak mandi dengan benar 13 orang
klien (72,2%), yaitu 5 orang klien (27,8%) skizofrenia, 4 orang klien
(22,2%) retardasi mental dan 3 orang klien (17,6%) demensia.
Respon sosial, respon terhadap stresor yang dilakukan oleh sebagian besar
klien defisit perawatan diri terkait dengan respon sosial terbanyak adalah
dengan mengurung diri yaitu 15 orang (83,3%), terdiri dari 7 orang klien
(38,9%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang
klien (22,2%) demensia.
4.1.5 Kemampuan Klien
Kemampuan atau koping adalah pilihan atau strategi bantuan untuk
memutuskan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi masalah. Koping
terdiri dari sumber koping dan mekanisme koping. Sumber koping
merupakan kekuatan yang dimiliki individu dalam berespon terhadap
berbagai stresor yang dihadapi. Menurut Stuart (2009), sumber koping
terdiri dari kemampuan individu (personal abilities), dukungan sosial
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
117
Universitas Indonesia
(social support), ketersediaan materi (material assets) dan kepercayaan
(positive belief).
Tabel 4.5
Distribusi Kemampuan Klien Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011 - April 2012
(n = 18)
NO Sumber kemampuan
Jumlah Prosentase (%)
Skizo RM Dems Skizo RM Dems
(n=9) (n=5) (n=4) (n=9) (n=5) (n=4)
1 Kemampuan klien
a. Tidak mampu untuk mandi 5 4 3 27,8 22,2 16,7
b. Tidak mampu untuk berhias 6 4 3 33,3 22,2 16,7
c. Tidak mampu makan minum teratur 5 4 3 27,8 22,2 16,7
d. Tidak mampu toileting dengan benar 5 4 4 27,8 22,2 22,2
2 Keyakinan positif
a. Tidak yakin terhadap tenaga
kesehatan
7 5 4 38,9 27,8 22,2
b. Tidak yakin akan sembuh 6 5 4 33,3 27,8 22,2
c. Tidak yakin terhadap yankes 7 5 3 38,9 27,8 16,7
3 Dukungan Keluarga
a. Keluarga tdk mengenal 7 5 3 38,9 27,8 16,7
b. Keluarga tdk mampu memutuskan 6 5 3 33,3 27,8 16,7
c. Keluarga tdk mampu rawat klien 8 5 4 44,4 27,8 22,2
d. Keluarga tdk mampu modifikasi 8 5 4 44,4 27,8 22,2
e. Keluarga tdk mampu manfaatkan
yankes
8 5 4 44,4 27,8 22,2
4 Dukungan Kelompok
a. Kelompok tidak memberi moticasi 4 3 4 22,2 16,7 22,2
b. Kelompok tidak tahu cara merawat 5 3 1 27,8 16,7 5,6
c. Kelompok tidak memberi bantuan 5 3 1 27,8 16,7 5,6
Berdasarkan tabel 4.5 di atas dijelaskan tentang kemampuan pada 18 klien
defisit perawatan diri, yang meliputi kemampuan klien, dukungan sosial
yang berasal dari keluarga dan kelompok serta keyakinan positif klien
dengan defisit perawatan diri.
Kemampuan klien, berupa ketidakmampuan klien defisit perawatan diri
yang dikelompokkan berdasarkan ketidakmampuannya dalam memenuhi
kebutuhan perawatan diri mandi, berhias, makan minum dan toileting yang
tersebar secara merata yaitu 12 orang klien (66,7%), yaitu 5 orang klien
(27,8%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 3 orang
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
118
Universitas Indonesia
klien (16,7%) demensia; 13 orang klien (72,2%), yaitu 6 orang klien
(33,3%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 3 orang
klien (16,7%) demensia; 12 orang klien (66,7%), yaitu 5 orang klien
(27,8%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 3 orang
klien (16,7%) demensia ; dan 13 orang klien (72,2%), yaitu 5 orang klien
(27,8%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang
klien (22,2%) demensia.
Keyakinan positif, keyakinan positif yang dimiliki oleh klien dengan defisit
perawatan diri adalah keyakinan tentang kesembuhan, keyakinan terhadap
tenaga kesehatan dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan. Sebanyak 16
orang klien (88,9%) merasa tidak yakin terhadap tenaga kesehatan, mereka
terdiri dari 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 5 orang klien (27,8%)
retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia.
Dukungan, dukungan yang didapatkan klien defisit perawatan diri berasal
dari keluarga dan kelompok. Sebanyak 17 orang klien (94,4%) tidak
mendapat dukungan keluarga dalam melakukan perawatan diri, terdiri dari 8
orang klien (44,4%) skizofrenia, 5 orang klien (27,8%) retardasi mental dan
4 orang klien (22,2%) demensia; dan sebanyak 11 orang klien (61,1%),
yaitu 4 orang klien (22,2%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%) retardasi
mental dan 4 orang klien demensia, tidak mendapat dukungan dari
kelompok untuk melakukan kegiatan perawatan diri, yang meliputi mandi,
berhias, makan minum dan toileting.
4.2 Diagnosa Keperawatan dan Medik
4.2.1 Diagnosa Keperawatan
Klien yang dikelola mahasiswa Residensi memiliki diagnosa lain selain
diagnosa defisit perawatan diri atau disebut juga diagnosa penyerta.
Ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
119
Universitas Indonesia
Tabel 4.6
Distribusi Diagnosa Keperawatan Penyerta
Klien Defisit perawatan diri
Periode Oktober 2011 - April 2012
(n = 18)
No Diagnosa Keperawatan
Jumlah Prosentase (%)
Skizo RM Dems Skizo RM Dems
(n=9) (n=5) (n=4) (n=9) (n=5) (n=4)
1 Defisit Perawatan Diri dan Isolasi Sosial 7 4 4 38,9 22,2 22,2
2 Defisit Perawatan Diri dan Res. Perilaku
kekerasan
7 4 2 38,9 22,2 11,1
3 Defisit Perawatan Diri dan Halusinasi 6 2 2 33,3 11,1 11,1
4 Defisit Perawatan Diri dan Kerusakan Kom.
Verbal
0 2 2 0,0 11,1 11,1
5 Defisit Perawatan Diri dan Harga Diri Rendah 9 2 2 50 22,2 22,2
Berdasarkan tabel 4.6 di atas, dijelaskan bahwa klien yang mengalami
defisit perawatan diri dan memiliki diagnosa isolasi sosial sebanyak 15
orang klien (83,3%), terdiri dari 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 4 orang
klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia; dan
diagnosa defisit perawatan diri dan kerusakan komunikasi verbal 4 orang
(22,2%), terdiri dari 2 orang klien (11,1%) retardasi mental dan 2 orang
klien (11,1%) demensia.
4.2.2 Diagnosa Medis
Tabel 4.7 menggambarkan aspek kolaborasi yaitu dalam penetapan diagnosa
medis pada klien defisit perawatan diri.
Tabel 4.7
Diagnosa dan Terapi Medis Pada Klien Defisit perawatan diri
Periode Oktober 2011 - April 2012
(n = 18)
No Diagnosa Medis
Jumlah
Prosentase
(%)
1
2
3
Skizofrenia paranoid
Demensia
Retardasi Mental
9
4
5
50
22,2
27,8
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
120
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 4.7 di atas, sebanyak 9 orang klien (50%) didiagnosa
skizofrenia paranoid, 4 orang klien (22,2%) didiagnosa dimensia dan 5
orang klien (27,8%) didiagnosa retardasi mental.
4.3 Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana manajemen asuhan keperawatan pada klien dengan defisit
perawatan diri dilakukan berdasarkan pada upaya mencegah dan mengelola
perilaku negatif pada klien. Rencana keperawatan yang ditetapkan pada
klien defisit perawatan diri dan keluarga adalah pemberian terapi generalis
defisit perawatan diri, terapi spesialis perilaku token ekonomi dan terapi
kelompok suportif untuk klien, terapi self help group serta terapi
psikoedukasi keluarga untuk keluarga. Pemberian terapi dilakukan dengan
menggunakan pendekatan self care model Dorothy Orem dan CMHN.
a. Rencana Tindakan Keperawatan untuk Klien
Rencana tindakan keperawatan untuk klien dengan defisit perawatan diri
meliputi rencana pemberian tindakan keperawatan berupa tindakan
generalis defisit perawatan diri dan tindakan spesialis defisit perawatan
diri.
Rencana tindakan keperawatan generalis klien
Rencana tindakan keperawatan generalis yang ditetapkan untuk klien
adalah tindakan keperawatan generalis defisit perawatan diri dengan
tujuan yang pertama adalah klien mampu mengidentifikasi
kemampuan perawatan dirinya. Kemampuan tersebut meliputi
pemenuhan kebutuhan perawatan diri : mandi, kemampuan perawatan
diri : berhias, kemampuan makan dan minum dengan benar serta
kemampuan toileting dengan tepat. Rencana tindakan yang ditetapkan
yaitu bantu klien mengidentifikasi kemampuan perawatan dirinya.
Kemampuan pemenuhan kebutuhan perawatan diri : mandi,
kemampuan perawatan diri : berhias, kemampuan makan dan minum
dengan benar serta kemampuan toileting dengan tepat, motivasi klien
melakukan kegiatan yang sudah dilatih sesuai kemampuan dan
berikan reinforcement positif.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
121
Universitas Indonesia
Tujuan kedua yang ditetapkan adalah klien mampu menjelaskan cara
melakukan perawatan diri mandi, berhias, makan/minum dan toileting.
Rencana tindakan yang ditetapkan adalah jelaskan cara melakukan
perawatan diri mandi, berhias, makan/minum dan toileting, motivasi
klien melakukan kegiatan yang dilatih sesuai kemampuan dan berikan
reinforcement positif.
Tujuan ketiga adalah klien mampu melakukan perawatan diri mandi,
berhias, makan/minum dan toileting. Rencana tindakan yang
ditetapkan adalah latih cara melakukan perawatan diri mandi, berhias,
makan/minum dan toileting, motivasi klien melakukan kegiatan yang
dilatih sesuai kemampuan dan berikan reinforcement positif.
Rencana tindakan keperawatan spesialis klien
Rencana tindakan keperawatan spesialis yang ditetapkan untuk klien
adalah pemberian terapi spesialis perilaku token ekonomi. Terapi
perilaku token ekonomi terdiri dari enam sesi yang telah dimodifikasi
sesuai kondisi dan kemampuan klien defisit perawatan diri. Keenam
sesi yang direncanakan adalah identifikasi dan sepakati perilaku
negative yang ingin diubah dan token yang ingin diberikan; latih
kemampuan mengubah perilaku negatif 1, yaitu tidak mandi menjadi
perilaku positif; latih kemampuan mengubah perilaku negatif 2, yaitu
tidak berhias menjadi perilaku positif; latih kemampuan mengubah
perilaku negatif 3, yaitu tidak makan minum teratur menjadi perilaku
positif; latih kemampuan mengubah perilaku negatif 4, yaitu tidak
toileting dengan tepat menjadi perilaku positif dan motivasi klien
untuk mengungkapkan manfaat serta hasil dari latihan setiap sesi serta
merencanakan tindak lanjut dan menulis/mengisi buku catatan
kegiatan harian klien.
Tujuan terapi perilaku ini adalah untuk menghasilkan perubahan-
perubahan positif pada perilaku kelian defisit perawatan diri meliputi
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
122
Universitas Indonesia
mandi, berhias, makan minum dan toileting; mengidentifikasi
kemampuan interpersonal yang positif; mengidentifikasi perilaku self
care klien; meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi
perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian tokens (tanda-
tanda).
b. Rencana Tindakan Keperawatan untuk Keluarga dan Kelompok
Rencana tindakan keperawatan pada keluarga dan kelompok yang
ditetapkan meliputi rencana tindakan keperawatan generalis defisit
perawatan diri dan tindakan spesialis. Rencana tindakan generalis untuk
keluarga yaitu tindakan generalis defisit perawatan diri dan rencana
tindakan spesialis yaitu tindakan spesialis pemberian terapi psikoedukasi
keluarga. Sedangkan tindakan untuk kelompok yang direncanakan adalah
pemberian terapi suportif kelompok dan terapi kelompok swa bantu.
Rencana tindakan keperawatan generalis keluarga
Rencana tindakan keperawatan generalis yang ditetapkan untuk
keluarga adalah tindakan keperawatan generalis untuk merawat
anggota keluarga yang mengalami defisit perawatan diri. Rencana
tindakan tersebut adalah bantu keluarga mengenal masalah defisit
perawatan diri; bantu keluarga untuk mengambil keputusan merawat
anggota keluarga yang mengalami defisit perawatan diri; bantu
keluarga merawat anggota keluarga yang mengalami defisit perawatan
diri; bantu keluarga memodifikasi lingkungan yang mendukung untuk
merawat anggota keluarga dan bantu keluarga memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan yang ada.
Tujuan yang ditetapkan adalah keluarga mampu mengenal masalah
defisit perawatan diri; keluarga mampu mengambil keputusan untuk
merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri;
keluarga mampu merawat anggota dengan masalah defisit perawatan
diri di rumah; keluarga mampu memodifikasi lingkungan yang
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
123
Universitas Indonesia
mendukung untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit
perawatan diri dan keluarga mampu memanfaatkan pelayanan
kesehatan untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit
perawatan diri.
Rencana tindakan keperawatan spesialis keluarga
Rencana tindakan keperawatan spesialis yang ditetapkan untuk
keluarga adalah pemberian terapi psikoedukasi keluarga. Terapi
psikoedukasi keluarga ini terdiri dari lima sesi. Rencana tindakan yang
ditetapkan pada sesi 1 adalah identifikasi masalah yang dihadapi
keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit
perawatan diri; pada sesi 2, diskusikan bersama keluarga cara merawat
anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri; pada sesi 3,
manajemen stress keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan
masalah defisit perawatan diri; pada sesi 4, manajemen beban
keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit
perawatan diri dan pada sesi 5, diskusikan bersama keluarga untuk
memberdayakan komunitas yang mendukung dalam merawat anggota
keluarga dengan masalah defisit perawatan diri.
Tujuan yang ditetapkan dalam pemberian terapi psikoedukasi keluarga
ini adalah meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang
penyakit dan pengobatan; meningkatkan kemampuan keluarga dalam
merawat anggota keluarga dan upaya menurunkan angka
kekambuhan; mengurangi stress keluarga karena merawat anggota
keluarga; mengurangi beban keluarga dalam merawat anggota
keluarga terutama beban fisik dan mental dalam merawat anggota
keluarga dengan gangguan jiwa untuk waktu yang lama.
Rencana tindakan keperawatan spesialis kelompok
Rencana tindakan keperawatan spesialis yang ditetapkan untuk
kelompok adalah pemberian terapi kelompok suportif dan terapi
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
124
Universitas Indonesia
kelompok swa bantu. Kelompok yang mengikuti terapi ini terdiri dari
klien gangguan jiwa dengana masalah defisit perawatan diri, keluarga
dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa masalah defisit
perawatan diri dan KKJ yang ikut merawat klien gangguan jiwa
masalah defisit perawatan diri.
Rencana pemberian terapi kelompok suportif ini dilakukan empat sesi
dalam empat kali pertemuan. Rencana tindakan pada sesi 1, yaitu
identifikasi kemampuan dan sumber pendukung yang ada. Pada sesi 2,
yaitu identifikasi dan gunakan sistem pendukung yang berasal dari
dalam, monitor hasil dan hambatannya. Pada sesi 3, yaitu identifikasi
dan gunakan sistem pendukung yang berasal dari luar, monitor hasil
dan hambatannya. Pada sesi 4, evaluasi hasil dan hambatan dalam
menggunakan sistem pendukung baik yang berasal dari dalam maupun
yang berasal dari luar.
Tujuan yang ditetapkan dengan pemberian terapi ini adalah
memberikan dukungan kepada individu sehingga mampu mengatasi
masalah yang dihadapinya dengan cara menguatkan daya tahan mental
yang ada; mengembangkan mekanisme baru yang lebih baik dengan
memanfaatkan sistem pendukung dari dalam maupun luar;
mengevaluasi hambatan dalam memanfaatkan sistem pendukung dari
dalam dan dari luar; mempertahankan kontrol diri dan mengembalikan
keseimbangan yang adaptif atau dapat menyesuaikan diri sehingga
mampu mencapai tingkat kemandirian yang lebih tinggi serta mampu
mengambil keputusan secara otonom.
Rencana tindakan terapi kelompok yang kedua adalah pemberian
terapi kelompok swa bantu. Terapi kelompok swa bantu dilaksanakan
setelah selesai pelaksanaan terapi suportif kelompok. Anggota
kelompok swa bantu adalah semua anggota kelompok suportif, yang
terdiri dari klien, keluarga dan KKJ. Rencana terapi ini dilakukan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
125
Universitas Indonesia
dalam tiga kali pertemuan. Pertemuan pertama, rencana yang
ditetapkan adalah bentuk kelompok, jelaskan konsep terapi yang
terbagi dalam lima sesi, pengertian dan tujuan, pertemuan dipimpin
oleh perawat. Pertemuan kedua, pelaksanaan kegiatan dan langkah
terapi dalam lima sesi, dipimpin oleh leader yang ditunjuk oleh
kelompok dengan pendampingan. Pertemuan ketiga, pelaksanaan
kegiatan lima sesi secara mandiri oleh anggota kelompok dipimpin
oleh leader yang ditunjuk oleh kelompok.
Tujuan yang ditetapkan dalam pemberian terapi kelompok swa bantu
adalah membentuk self help group pada klien dan keluarga dengan
gangguan jiwa, melakukan implementasi self help group pada klien
dan keluarga dengan gangguan jiwa, mengevaluasi self help group
pada klien dan keluarga dengan gangguan jiwa dan
mendokumentasian kegiatan self help group pada keluarga dengan
gangguan jiwa.
Tabel 4.8
Rencana Pemberian Terapi Klien Defisit perawatan diri
Periode Oktober 2011 - April 2012
(n = 18)
No Jenis Terapi
Jumlah Prosentase
Skizo RM Dems Skizo RM Dems
(n=9) (n=5) (n=4) (n=9) (n=5) (n=4)
1 Generalis
Individu (DPD) 9 5 4 100,0 100,0 100,0
Keluarga (DPD) 9 5 4 100,0 100,0 100,0
Kelompok (DPD) 9 5 4 100,0 100,0 100,0
2 Spesialis
Individu (Behaviour Theraphy) 9 5 4 100,0 100,0 100,0
Keluarga (Family Psycoeducation) 9 5 4 100,0 100,0 100,0
Kelompok (Supportif Theraphy) 9 5 4 100,0 100,0 100,0
Kelompok (Self Help Group) 9 5 4 100,0 100,0 100,0
Gambar 4.8 di atas menjelaskan rencana pemberian terapi, baik
generalis maupun spesialis kepada klien gangguan jiwa dengan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
126
Universitas Indonesia
masalah defisit perawatan diri, keluarga dengan anggota keluarga
mengalami gangguan jiwa dan kelompok.
4.4 Pelaksanaan dan Hasil Tindakan keperawatan
4.4.1 Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan yang diberikan berdasarkan pada rencana yang telah
ditetapkan yang meliputi terapi generalis dan terapi spesialis yang keduanya
dilakukan oleh penulis selama berpraktik di komunitas. Tindakan
keperawatan dilakukan kepada klien, keluarga dan kelompok.
a. Tindakan Keperawatan untuk Klien
Tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien gangguan jiwa
dengan masalah defisit perawatan diri adalah pemberian terapi generalis
dan terapi spesialis. Pada tabel 4.9 di bawah ini dapat dijelaskan tentang
tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien dengan masalah
defisit perawatan diri yang berada di Kelurahan Baranang Siang.
Tabel 4.9
Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa
Klien Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011 - April 2012
(n = 18)
No Jenis Terapi
Jumlah Prosentase
Skizo RM Dems Skizo RM Dems
(n=9) (n=5) (n=4) (n=9) (n=5) (n=4)
1 Generalis
Individu (DPD) 9 4 4 100,0 80,0 100,0
Keluarga (DPD) 9 5 4 100,0 100,0 100,0
2 Spesialis
Individu (Behaviour Theraphy) 9 4 4 100,0 80,0 100,0
Keluarga (Family Psycoeducation) 9 5 4 100,0 100,0 100,0
Kelompok (Supportif Theraphy) 6 2 0 66,7 40,0 0,0
Kelompok (Self Help Group) 3 1 0 33,3 20,0 0,0
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
127
Universitas Indonesia
Tindakan keperawatan generalis klien
Klien defisit perawatan diri yang mendapatkan terapi generalis
sebanyak 17 orang klien (94,4%) dan 1 orang klien (5,6%) tidak
mendapatkan terapi generalis. Klien yang tidak mendapatkan terapi
generalis adalah karena keterlambatan tumbuh kembang dan
ketidakmampuan klien untuk memproses informasi yang masuk.
Tindakan keperawatan generalis yang dilakukan kepada klien adalah
tindakan keperawatan generalis defisit perawatan diri. Tindakan
pertama pada pertemuan pertama adalah mengidentifikasi kemampuan
klien tentang perawatan dirinya, yang meliputi : mandi, berhias,
makan dan minum dengan benar serta toileting dengan tepat.
Tindakan pertama ini berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan
pada 17 orang klien (94,4%). Klien mampu menyebutkan kemampuan
dan ketidakmampuannya dalam melakukan kegiatan perawatan
terhadap dirinya.
Hasil dari tindakan pertama ini adalah sebanyak 12 orang klien
(70,6%) mengatakan tidak mampu mandi dengan benar dan tidak
mampu makan secara teratur dan 13 orang klien (76,5%) mengatakan
ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri
berhias dan toileting yang tepat.
Tindakan keperawatan yang kedua pada pertemuan kedua adalah
menjelaskan kepada klien tentang cara melakukan perawatan diri
mandi, berhias, makan/minum dan toileting. Tindakan kedua ini
berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan pada 17 orang klien
(94,4%). Sebanyak 9 orang klien (52,9%) mampu menyebutkan
kembali tentang cara perawatan diri yang dijelaskan penulis.
Sebanyak 4 orang klien (23,5%) mengatakan mengerti dan mampu
menyebutkan kembali dengan bantuan. Sisanya, yaitu 4 orang klien
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
128
Universitas Indonesia
(23,5%) mengatakan mengerti dan belum mampu menyebutkan
kembali.
Tindakan keperawatan yang ketiga pada pertemuan ketiga adalah
adalah melatih cara melakukan perawatan diri mandi, berhias,
makan/minum dan toileting, memotivasi klien melakukan kegiatan
yang telah dilatih sesuai kemampuan dan memberikan reinforcement
positif. Tindakan ketiga ini berhasil dilakukan dalam satu kali
pertemuan pada 17 orang klien (94,4%). Hasil dari tindakan ketiga ini
adalah sebanyak 9 orang klien (52,9%), bersedia dan mampu dilatih
untuk melakukan kegiatan perawatan dirinya, yang meliputi mandi,
berhias, makan minum teratur dan toileting dalam satu kali latihan.
Sedangkan 8 orang klien (47%) mengatakan bersedia dan mampu
dilatih dalam 2-3 kali latihan dalam satu kali pertemuan.
Tindakan keperawatan spesialis klien
Tindakan keperawatan spesialis yang dilakukan untuk klien adalah
pemberian terapi spesialis perilaku token ekonomi. Terapi perilaku
token ekonomi dilakukan 6 sesi yang telah dimodifikasi sesuai kondisi
dan kemampuan klien defisit perawatan diri. Dari 18 orang klien, yang
diberikan terapi perilaku token ekonomi adalah sebanyak 17 orang
klien (94,4%). Mereka terdiri dari 9 orang klien (50%) skizofrenia, 4
orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%)
demensia.
Tindakan keperawatan spesialis yang pertama pada pertemuan
pertama adalah mengidentifikasi dan menyepakati perilaku negatif
yang ingin diubah dan token yang ingin diterima oleh klien. Tindakan
ini berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasilnya sebanyak 6
orang klien (35,3%) skizofrenia dan 3 orang klien (17,6%) retardasi
mental mampu menyebutkan dan menyepakati perilaku negatif yang
akan diubah menjadi perilaku positif dengan baik dan menyebutkan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
129
Universitas Indonesia
token yang ingin diterima, sebanyak 4 orang klien (23,5%) demensia
mampu menyebutkan dan menyepakati perilaku negatif yang akan
diubah menjadi perilaku positif dengan bantuan dan menyebutkan
token yang ingin diterima.
Tindakan keperawatan spesialis yang kedua pada pertemuan kedua
adalah melatih kemampuan mengubah perilaku negatif 1, yaitu tidak
mandi menjadi perilaku positif, mandi dengan benar. Tindakan ini
berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasilnya adalah
sebanyak 7 orang klien (41,2%) skizofrenia, mampu dilatih mandi
dalam satu kali latihan dan 4 orang klien (23,5%) retardasi mental, 1
orang klien (5,8%) demensia, mampu dilatih mandi 3 kali latihan
dalam satu kali pertemuan. Sedangkan 6 orang klien (35,2%) tidak
mampu dilatih untuk melakukan perawatan diri mandi.
Tindakan keperawatan spesialis yang ketiga pada pertemuan ketiga
adalah melatih kemampuan mengubah perilaku negatif 2, yaitu tidak
berhias menjadi perilaku positif, mampu berhias. Tindakan
keperawatan ini berhasil dilakukan satu kali pertemuan. Hasilnya
adalah sebanyak 7 orang klien (41,2%) skizofrenia, mampu dilatih
berhias dalam satu kali latihan dan 4 orang klien (23,5%) retardasi
mental, 1 orang klien (5,8%) demensia, mampu dilatih berhias 3 kali
latihan dalam satu kali pertemuan. Sedangkan 6 orang klien (35,2%)
tidak mampu dilatih untuk melakukan perawatan diri berhias.
Tindakan keperawatan spesialis yang keempat pada pertemuan
keempat adalah melatih kemampuan mengubah perilaku negatif 3,
yaitu tidak makan minum teratur menjadi perilaku positif, mampu
makan minum secara teratur. Tindakan ini berhasil dilakukan dalam
satu kali pertemuan. Hasilnya adalah sebanyak 8 orang klien (47,1%)
skizofrenia mampu dilatih makan minum teratur dalam satu kali
latihan dan 3 orang klien (17,6%) retardasi mental mampu dilatih
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
130
Universitas Indonesia
makan minum teratur dengan 2 kali latihan dalam satu kali pertemuan,
serta 4 orang klien (23,5%) demensia mampu dilatih makan minum
teratur dengan 3 kali latihan dalam satu kali pertemuan. Sedangkan 2
orang klien (11,8%) tidak mampu dilatih untuk melakukan perawatan
diri makan minum.
Tindakan keperawatan spesialis yang kelima pada pertemuan kelima
adalah melatih kemampuan mengubah perilaku negatif 4, yaitu tidak
toileting dengan tepat menjadi perilaku positif, toileting dengan tepat.
Tindakan ini berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasilnya
adalah sebanyak 9 orang klien (52,9%) skizofrenia mampu dilatih
toileting dengan tepat dalam satu kali latihan dan 4 orang klien
(23,5%) retardasi mental mampu dilatih toileting dengan tepat 2 kali
latihan dalam satu kali pertemuan, serta 4 orang klien (23,5%)
demensia mampu dilatih toileting dengan tepat 3 kali latihan dalam
satu kali pertemuan.
Tindakan keperawatan spesialis yang keenam pada pertemuan keenam
adalah motivasi klien untuk mengungkapkan manfaat serta hasil dari
latihan setiap sesi serta merencanakan tindak lanjut dan
menulis/mengisi buku catatan kegiatan harian klien. Tindakan ini
berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasilnya adalah
sebanyak 9 orang klien (52,9%) skizofrenia mampu melakukan
dengan baik dalam satu kali latihan dan 4 orang klien (23,5%)
retardasi mental tidak mampu melakukan dengan baik serta 4 orang
klien (23,5%) demensia mampu melakukan dengan pembimbingan
dan bantuan.
Klien yang hanya mendapatkan terapi perilaku token ekonomi
sebanyak 5 orang klien (29,4%). Pelaksanaan pertemuannya yaitu
semua klien selesai semua sesi dengan pertemuan 6 kali. Keterampilan
yang dilatih kepada klien dalam pelaksanaan behaviour theraphy
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
131
Universitas Indonesia
khususnya dengan masalah defisit perawatan diri yaitu melatih
kemampuan mengidentifikasi perilaku negative; mengubah perilaku
negative menjadi perilaku positif terutama dalam hal melakukan
perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan minum, toileting;
menyebutkan manfaat pelaksanaan terapi; dan memasukkan kegiatan
klien dalam buku catatan kegiatan harian.
a. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
Tindakan keperawatan yang diberikan kepada keluarga dengan anggota
keluarga mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan
diri adalah pemberian terapi generalis dan terapi spesialis. Pada tabel
4.10 di bawah ini dapat dijelaskan tentang tindakan keperawatan yang
diberikan kepada keluarga dengan anggota keluarga mengalamai masalah
defisit perawatan diri yang berada di Kelurahan Baranang Siang.
Tabel 4.10
Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa
Keluarga Klien Defisit perawatan diri
Periode Oktober 2011 - April 2012
(n = 18)
No Jenis Terapi
Jumlah Prosentase
Skizo RM Dems Skizo RM Dems
(n=9) (n=5) (n=4) (n=9) (n=5) (n=4)
1 Generalis
Individu (DPD) 9 4 4 100,0 80,0 100,0
Keluarga (DPD) 9 5 4 100,0 100,0 100,0
2 Spesialis
Individu (Behaviour Theraphy) 9 4 4 100,0 80,0 100,0
Keluarga (Family Psycoeducation) 9 5 4 100,0 100,0 100,0
Kelompok (Supportif Theraphy) 6 2 0 66,7 40,0 0,0
Kelompok (Self Help Group) 3 1 0 33,3 20,0 0,0
Tindakan keperawatan generalis keluarga
Keluarga klien defisit perawatan diri yang mendapatkan terapi
generalis sebanyak 18 orang keluarga (100%). Pertemuan pada
keluarga dilakukan sebanyak 5 kali. Tindakan keperawatan yang
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
132
Universitas Indonesia
dilakukan berupa mengevaluasi kemampuan yang dimiliki keluarga
untuk membantu anggota keluarga memenuhi kebutuhan perawatan
diri dan melatih kemampuan yang belum dimiliki keluarga untuk
membantu anggota keluarga memenuhi kebutuhan perawatan diri
yang meliputi mandi, berhias, makan minum dan toileting.
Tindakan keperawatan generalis yang dilakukan untuk keluarga
adalah tindakan keperawatan generalis untuk merawat anggota
keluarga yang mengalami defisit perawatan diri. Tindakan pertama
pada pertemuan pertama adalah membantu keluarga mengenal
masalah defisit perawatan diri. Tindakan ini berhasil dilaksanakan
dalam satu kali pertemuan. Hasil yang didapat adalah sebanyak 18
keluarga (100%) mampu mengenal masalah defisit perawatan diri.
Tindakan kedua pada pertemuan kedua adalah membantu keluarga
untuk mengambil keputusan merawat anggota keluarga yang
mengalami defisit perawatan diri. Tindakan ini berhasil dilaksanakan
dalam satu kali pertemuan. Hasil yang didapat adalah sebanyak 18
keluarga (100%) mampu mengambil keputusan untuk merawat
anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri.
Tindakan ketiga pada pertemuan ketiga adalah membantu keluarga
merawat anggota keluarga yang mengalami defisit perawatan diri.
Tindakan ini berhasil dilaksanakan dalam satu kali pertemuan. Hasil
yang didapat adalah sebanyak 18 keluarga (100%) mampu merawat
anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri.
Tindakan keempat pada pertemuan keempat adalah membantu
keluarga memodifikasi lingkungan yang mendukung untuk merawat
anggota keluarga. Tindakan ini berhasil dilaksanakan dalam satu kali
pertemuan. Hasil yang didapat adalah sebanyak 18 keluarga (100%)
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
133
Universitas Indonesia
mampu memodifikasi lingkungan untukmerawat anggota keluarga
dengan masalah defisit perawatan diri.
Tindakan kelima pada pertemuan kelima adalah membantu keluarga
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada. Tindakan ini
berhasil dilaksanakan dalam satu kali pertemuan. Hasil yang didapat
adalah sebanyak 18 keluarga (100%) mampu memanfaatkan
pelayanan kesehatan untuk merawat anggota keluarga dengan masalah
defisit perawatan diri. Dari 18 keluarga tersebut, 7 keluarga (38,9%)
datang dan memanfaatkan Puskesmas Bogor Timur dan 11 keluarga
(61,1%) memanfaatkan praktik kesehatan swasta di lingkungannya.
Tindakan keperawatan spesialis keluarga
Tindakan keperawatan spesialis yang dilakukan untuk keluarga adalah
pemberian terapi psikoedukasi keluarga. Terapi psikoedukasi keluarga
ini terdiri dari lima sesi. Sebanyak 18 keluarga mendapat terapi
psikoedukasi keluarga, meskipun hanya ada 16 keluarga yang belum
mampu merawat anggota keluarga. Pertimbangan diberikannya terapi
psikoedukasi keluarga bagi 2 keluarga yang telah mampu adalah
mengevaluasi kembali dan menyegarkan pengetahuan serta
ketrampilan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan
gangguan jiwa yang mengalami masalah defisit perawatan diri.
Tindakan yang dilakukan pada sesi 1 adalah mengidentifikasi masalah
yang dihadapi keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan
masalah defisit perawatan diri. Tindakan ini selesai dilakukan dalam
satu kali pertemuan. Hasil yang didapat sebanyak 18 keluarga (100%)
mampu menyebutkan masalah yang dihadapi dalam merawat anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit
perawatan diri.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
134
Universitas Indonesia
Tindakan yang dilakukan pada sesi 2, mendiskusikan bersama
keluarga cara merawat anggota keluarga dengan masalah defisit
perawatan diri. Tindakan ini selesai dilakukan dalam satu kali
pertemuan. Hasil yang didapat sebanyak 18 keluarga (100%) mampu
mempraktikkan cara dalam merawat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Tindakan yang dilakukan pada sesi 3, manajemen stress keluarga
dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan
diri. Tindakan ini selesai dilakukan dalam dua kali pertemuan. Hasil
yang didapat sebanyak 18 keluarga (100%) mampu mengatasi stress
yang dialami merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Tindakan yang dilakukan pada sesi 4, manajemen beban keluarga
dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan
diri dan Tindakan ini selesai dilakukan dalam satu kali pertemuan.
Hasil yang didapat sebanyak 18 keluarga (100%) mampu
menyebutkan masalah yang dihadapi dalam merawat anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan
diri.
Tindakan yang dilakukan pada sesi 5, mendiskusikan bersama
keluarga untuk memberdayakan komunitas yang mendukung dalam
merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri.
Tindakan ini selesai dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasil yang
didapat sebanyak 18 keluarga (100%) mampu memberdayakan
komunitas yang mendukung dalam merawat anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Terapi psikoedukasi keluarga dilakukan pada 18 keluarga klien.
Frekuensi pertemuan sebanyak 6 kali, 1 kali pada sesi 1, 2, 4 dan 5,
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
135
Universitas Indonesia
serta 2 kali pada sesi 3. Pelaksanaan sesi dalam terapi spesialis
psikoedukasi keluarga ini berhasil selesai sampai sesi 5. Kegiatan
yang dilakukan adalah, bersama keluarga mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi dalam merawat klien, mendiskusikan
cara merawat klien dengan defisit perawatan diri, manajemen stress
keluarga, manajemen beban keluarga dan memberdayakan komunitas
yang pendukung untuk merawat klien defisit perawatan diri.
c. Tindakan Keperawatan untuk Kelompok
Tindakan keperawatan spesialis yang ditetapkan untuk kelompok adalah
pemberian terapi kelompok suportif dan terapi kelompok swa bantu.
Kelompok yang mengikuti terapi ini terdiri dari klien gangguan jiwa
dengan masalah defisit perawatan diri, keluarga dengan anggota keluarga
mengalami gangguan jiwa masalah defisit perawatan diri dan KKJ yang
ikut merawat klien gangguan jiwa masalah defisit perawatan diri.
Tabel 4.11
Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa
Kelompok Klien Defisit perawatan diri
Periode Oktober 2011 - April 2012
(n = 18)
No Terapi Jumlah Persentase
(%)
1 Terapi Spesialis
a. Supportif Theraphy:
Klien
Kader
Keluarga
7
18
7
38,9
100
38,9
b. Self Help Group Theraphy :
Klien
Kader
Keluarga
4
18
2
22,1
100
11,1
c. Supportif Theraphy dan Self
Help Group Theraphy
Klien
Kader
Keluarga
4
18
2
22,2
100
11,1
Berdasarkan tabel 4.11 di atas dijelaskan tentang keikutsertaan kelompok
dalam terapi spesialis kelompok. Anggota kelompok terdiri dari klien
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
136
Universitas Indonesia
gangguan jiwa, KKJ dan keluarga dengan anggota keluarga mengalami
gangguan jiwa.
Terapi kelompok suportif diberikan kepada 7 orang klien (38,9%).
Pelaksanaan pertemuan yaitu 7 orang klien selesai mengikuti semua sesi
dengan jumlah pertemuan 4 kali. Pemberian terapi kelompok suportif ini
dilakukan empat sesi dalam empat kali pertemuan.
Tindakan spesialis pada sesi 1, yaitu mengidentifikasi kemampuan dan
sumber pendukung yang ada. Tindakan ini selesai dalam satu kali
pertemuan. Hasilnya adalah 5 orang klien (71,4%) mampu
mengidentifikasi kemampuan secara mandiri dan 2 orang klien (28,6%)
mampu mengidentifikasi kemampuan dengan bantuan. Sedangkan
keluarga, sebanyak 7 keluarga (100%) mengidentifikasi kemampuan
secara mandiri dan kader 18 orang kader (100%) mengidentifikasi
kemampuan secara mandiri.
Tindakan spesialis pada sesi 2, yaitu mengidentifikasi dan menggunakan
sistem pendukung yang berasal dari dalam, monitor hasil dan
hambatannya. Tindakan ini selesai dalam satu kali pertemuan. Hasilnya
adalah 5 orang klien (71,4%) mampu mengidentifikasi kemampuan
secara mandiri dan 2 orang klien (28,6%) mampu mengidentifikasi
kemampuan dengan bantuan. Sedangkan keluarga, sebanyak 7 keluarga
(100%) mengidentifikasi kemampuan secara mandiri dan kader 18 orang
kader (100%) mengidentifikasi kemampuan secara mandiri.
Tindakan spesialis pada sesi 3, yaitu mengidentifikasi dan menggunakan
sistem pendukung yang berasal dari luar, monitor hasil dan hambatannya.
Tindakan ini selesai dalam satu kali pertemuan. Hasilnya adalah 5 orang
klien (71,4%) mampu mengidentifikasi kemampuan secara mandiri dan 2
orang klien (28,6%) mampu mengidentifikasi kemampuan dengan
bantuan. Sedangkan keluarga, sebanyak 7 keluarga (100%)
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
137
Universitas Indonesia
mengidentifikasi kemampuan secara mandiri dan kader 18 orang kader
(100%) mengidentifikasi kemampuan secara mandiri.
Tindakan spesialis pada sesi 4, mengevaluasi hasil dan hambatan dalam
menggunakan sistem pendukung baik yang berasal dari dalam maupun
yang berasal dari luar. Tindakan ini selesai dalam satu kali pertemuan.
Hasilnya adalah 5 orang klien (71,4%) mampu mengidentifikasi
kemampuan secara mandiri dan 2 orang klien (28,6%) mampu
mengidentifikasi kemampuan dengan bantuan. Sedangkan keluarga,
sebanyak 7 keluarga (100%) mengidentifikasi kemampuan secara
mandiri dan kader 18 orang kader (100%) mengidentifikasi kemampuan
secara mandiri.
Tindakan terapi kelompok yang kedua adalah pemberian terapi kelompok
swa bantu. Terapi kelompok swa bantu dilaksanakan setelah selesai
pelaksanaan terapi suportif kelompok. Anggota kelompok swa bantu
adalah semua anggota kelompok suportif, yang terdiri dari klien,
keluarga dan KKJ. Terapi ini dilakukan dalam lima kali pertemuan, satu
kali pertemuan pada sesi 1 dan masing-masing dua kali pertemuan pada
sesi 2 dan 3. Sebanyak 4 orang klien (57,1%) mengikuti terapi kelompok
swa bantu sampai selesai, 3 orang lainnya (42,9%) tidak mengikuti
kegiatan terapi kelompok ini. KKJ yang berjumlah 18 orang KKJ
seluruhnya mengikuti terapi kelompok ini. Keluarga klien yang
mengikuti hanya 2 keluarga (28,6%).
Pertemuan pertama, tindakan yang dilakukan adalah pembentukan
kelompok, menjelaskan konsep terapi yang terbagi dalam lima sesi,
pengertian dan tujuan, pertemuan dipimpin oleh perawat. Hasil yang
didapat pada sesi 1 ini adalah terbentuk kelompok swa bantu. Kelompok
memahami dan mengerti tujuan pembentukan, manfaat dan kegiatan
yang dilakukan.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
138
Universitas Indonesia
Pertemuan kedua dan ketiga, melaksanakan kegiatan dan terapi dalam
lima sesi, dipimpin oleh leader yang ditunjuk oleh kelompok, leader
berasal dari anggota kelompok, leader memimpin terapi dengan
pendampingan. Kegiatan yang dilakukan adalah langkah 1 : memahami
masalah, langkah 2 : mendiskusikan cara untuk menyelesaikan masalah,
langkah 3 : memilih cara pemecahan masalah, langkah 4 : melakukan
tindakan untuk penyelesaian masalah dan langkah 5 : pencegahan
kekambuhan. Hasilnya pertemuan berjalan dengan lancar. Seluruh
anggota kelompok berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Pertemuan keempat dan kelima, melaksanakan kegiatan lima sesi secara
mandiri oleh anggota kelompok dipimpin oleh leader yang ditunjuk oleh
kelompok. Kegiatan yang dilakukan adalah langkah 1 : memahami
masalah, langkah 2 : mendiskusikan cara untuk menyelesaikan masalah,
langkah 3 : memilih cara pemecahan masalah, langkah 4 : melakukan
tindakan untuk penyelesaian masalah dan langkah 5 : pencegahan
kekambuhan. Hasilnya pertemuan berjalan dengan lancar. Seluruh
anggota kelompok berpartisipasi dalam kegiatan ini.
4.4.2 Hasil
Pengukuran hasil kemampuan dilakukan dengan cara membandingkan hasil
pengkajian awal dengan kondisi setelah diberikan terapi spesialis
keperawatan jiwa. Pengukuran dilakukan secara rinci tentang kemampuan
yang dimiliki oleh klien, keluarga dan kelompok.
a. Kemampuan Klien Gangguan Jiwa
Kemampuan klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri
diukur dalam dua hal yaitu respon terhadap streesor dan kemampuan
yang dimiliki.
Respon terhadap Stressor
Respon terhadap stresor dengan masalah defisit perawatan diri diukur
dan dibandingkan sebelum dan setelah mendapatkan terapi generalis
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
139
Universitas Indonesia
maupun terapi spesialis. Respon terhadap stressor klien defisit
perawatan diri meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku
dan sosial.
Tabel 4.12
Distribusi Hasil Evaluasi
Respon terhadap Stressor Pre dan Post Terapi Keperawatan
Klien Skizofrenia dengan Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011-April 2012
No Respon terhadap Stressor
Behaviour Theraphy
(n=9)
Behaviour Theraphy Behaviour Theraphy
Supportif Theraphy (n=6) Supportif Theraphy
Self Help Group (n=3)
Pre Post Selisih % Pre Post Selisih % Pre Post Selisih %
1 Respon Kognitif
a. Tidak mampu mengambil
keputusan 8 3 5 62,5 6 1 5 83,3 3 0 3 100
b. Tidak tahu cara merawat diri 5 0 5 100 3 0 3 100 2 0 2 100
2 Respon Afektif
a. Perasaan negatif terhadap diri 5 3 2 40 3 1 2 66,7 1 0 1 100
b. Sedih 5 1 4 80 3 0 3 100 2 0 2 100
c. Merasa tidak mampu
merawat diri 6 2 4 66,7 4 1 3 75 2 0 2 100
d. Tidak ada motivasi merawat
diri 5 2 3 60 3 1 2 66,7 2 0 2 100
3 Respon Fisiologis
a. Lelah/letih/lemah 5 2 3 60 3 0 3 100 2 0 2 100
b. Penurunan muskuloskeletal 6 1 5 83,3 3 0 3 100 2 0 2 100
4 Respon Perilaku
a. Tidak mandi 5 2 3 60 3 1 2 66,7 2 0 2 100
b. Tidak berhias setelah mandi 6 2 4 66,7 4 0 4 100 2 0 2 100
c. Tidak makan dan minum
teratur 5 1 4 80 3 0 3 100 2 0 2 100
d. Toileting tidak tepat 5 0 5 100 3 0 3 100 1 0 1 100
5 Respon Sosial
a. Mengurung diri 7 1 6 85,7 4 0 4 100 2 0 2 100
b. Menghindari dari orang lain 5 0 5 100 2 0 2 100 0 0 0 0
c. Menolak interaksi 5 0 5 100 2 0 2 100 0 0 0 0
MEAN 5,5 1,3 4,2 76,3 3,3 0,3 2,9 90,6 1,7 0,0 1,7 86,7
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
140
Universitas Indonesia
Tabel 4.13
Distribusi Hasil Evaluasi
Respon terhadap Stressor Pre dan Post Terapi Keperawatan
Klien Retardasi Mental dengan Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011-April 2012
No Respon terhadap Stressor
Behaviour Theraphy
(n=4)
Behaviour Theraphy Behaviour Theraphy
Supportif Theraphy(n=2) Supportif Theraphy
Self Help Group(n=1)
Pre Post Selisih % Pre Post Selisih % Pre Post Selisih %
1 Respon Kognitif
a. Tidak mampu
mengambil keputusan 4 2 2 50 2 2 0 0 1 0 1 100
b. Tidak tahu cara merawat
diri 4 1 3 75 2 0 2 100 1 0 1 100
2 Respon Afektif
a. Perasaan negatif
terhadap diri 3 1 2 66,7 2 0 2 100 1 0 1 100
b. Sedih 1 0 1 100 0 0 0 0 0 0 0 0
c. Merasa tidak mampu
merawat diri 2 0 2 100 2 0 2 100 1 0 1 100
d. Tidak ada motivasi
merawat diri 2 0 2 100 2 0 2 100 1 0 1 100
3 Respon Fisiologis
a. Lelah/letih/lemah 4 1 3 75 2 0 2 100 1 0 1 100
b. Penurunan
musculoskeletal 4 1 3 75 2 0 2 100 1 0 1 100
4 Respon Perilaku
a. Tidak mandi 4 1 3 75 2 0 2 100 1 0 1 100
b. Tidak berhias setelah
mandi 4 1 3 75 2 0 2 100 1 0 1 100
c. Tidak makan dan minum
teratur 4 2 2 50 2 0 2 100 1 0 1 100
d. Toileting tidak tepat 4 1 3 75 2 0 2 100 1 0 1 100
5 Respon Sosial
a. Mengurung diri 4 1 3 75 2 0 2 100 1 0 1 100
b. Menghindari dari orang
lain 1 0 1 100 0 0 0 0 0 0 0 0
c. Menolak interaksi 1 0 1 100 0 0 0 0 0 0 0 0
MEAN 3,1 0,8 2,3 79,4 1,6 0,1 1,5 73,3 0,8 0,0 0,8 80,0
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
141
Universitas Indonesia
Tabel 4.14
Distribusi Hasil Evaluasi
Respon terhadap Stressor Pre dan Post Terapi Keperawatan
Klien Demensia dengan Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011-April 2012
No Respon terhadap
Stressor
Behaviour Theraphy(n=4) Behaviour Theraphy Behaviour Theraphy
Supportif Theraphy(n=0) Supportif Theraphy
Self Help Group(n=0)
Pre Post Selisih % Pre Post Selisih % Pre Post Selisih %
1 Respon Kognitif
a. Tidak mampu
mengambil keputusan 4 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
b. Tidak tahu cara
merawat diri 4 0 4 100 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Respon Afektif
a. Perasaan negatif
terhadap diri 3 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
b. Sedih 3 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
c. Merasa tidak mampu
merawat diri 4 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
d. Tidak ada motivasi
merawat diri 4 0 4 100 0 0 0 0 0 0 0 0
3 Respon Fisiologis
a. Lelah/letih/lemah 4 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
b. Penurunan
muskuloskeletal 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 Respon Perilaku
a. Tidak mandi 3 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
b. Tidak berhias setelah
mandi 3 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
c. Tidak makan dan
minum teratur 3 0 3 75 0 0 0 0 0 0 0 0
d. Toileting tidak tepat 4 0 4 100 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Respon Sosial
a. Mengurung diri 4 0 4 100 0 0 0 0 0 0 0 0
b. Menghindari dari
orang lain 3 0 3 75 0 0 0 0 0 0 0 0
c. Menolak interaksi 2 1 1 25 0 0 0 0 0 0 0 0
MEAN 3,3 1,8 1,5 38,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Berdasarkan tabel 4.12, 4.13 dan 4.14 di atas dapat dibandingkan
tentang respon terhadap stressor klien defisit perawatan diri dengan
diagnosa medis skizofrenia, retardasi mental dan demensia sebelum
dan sesudah diberikan terapi generalis dan terapi spesialis
keperawatan jiwa. Terapi spesialis yang diberikan adalah behaviour
theraphy; behaviour theraphy dan supportif theraphy; serta behaviour
theraphy, supportif theraphy dan self help group theraphy.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
142
Universitas Indonesia
Klien Defisit Perawatan Diri Diagnosa Medis Skizofrenia
Respon kognitif, dijelaskan bahwa terapi yang memberikan efek
khususnya untuk lebih mengurangi respon kognitif ketidakmampuan
mengambil keputusan adalah terapi Behaviour Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group Theraphy yaitu sebesar (100 %).
Sedangkan terapi yang efektif menurunkan ketidaktahuan cara
merawat diri pada klien adalah terapi Behaviour Theraphy (100 %),
Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour
Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy
(100%).
Respon afektif, dijelaskan bahwa terapi yang mempunyai efek
mengurangi respon afektif perasaan negatif terhadap dirinya adalah
terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group
Theraphy (100%). Terapi yang efektif menurunkan kesedihan adalah
terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta
Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group
Theraphy (100%). Terapi yang memiliki efek lebih menurunkan
respon afektif merasa tidak mampu merawat diri adalah terapi
Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group
Theraphy (100%). Sedangkan terapi yang efektif menurunkan respon
afektif tidak ada motivasi untuk merawat diri adalah terapi Behaviour
Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Respon fisiologis, terapi yang mempuyai efek menurunkan respon
fisiologis yaitu kelelahan/kelelatihan dan penurunan muskuloskeletal
adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) dan
terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group
Theraphy (100%).
Respon perilaku, dijelaskan bahwa terapi yang memberikan efek lebih
menurunkan respon perilaku tidak mampu mandi, adalah Behaviour
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
143
Universitas Indonesia
Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%);
efektif meenurunkan respon perilaku tidak berhias, adalah Behaviour
Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy,
Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%); efektif
menurunkan respon perilaku tidak makan minum, adalah Behaviour
Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy,
Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%); serta
efektif menurunkan respon perilaku tidak toileting dengan tepat adalah
terapi Behaviour Theraphy (100%), Behaviour Theraphy dan
Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%)
Respon sosial, terapi yang efektif mengurangi respon sosial
mengurung diri adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif
Theraphy (100%) serta terapi Behaviour Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Terapi yang efektif
mengurangi respon sosial menghindar dari orang lain adalah terapi
Behaviour Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy dan Supportif
Theraphy (100%). Sedangkan terapi yang efektif menurunkan respon
sosial menolak interaksi adalah terapi Behaviour Theraphy (100%)
dan terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%).
Klien Defisit Perawatan Diri Diagnosa Medis Retardasi Mental
Respon kognitif, dijelaskan bahwa terapi yang memberikan efek
khususnya untuk lebih mengurangi respon kognitif ketidakmampuan
mengambil keputusan adalah terapi Behaviour Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group Theraphy yaitu sebesar (100 %).
Sedangkan terapi yang efektif menurunkan ketidaktahuan cara
merawat diri pada klien adalah terapi Behaviour Theraphy dan
Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
144
Universitas Indonesia
Respon afektif, dijelaskan bahwa terapi yang mempunyai efek
mengurangi respon afektif perasaan negatif terhadap dirinya adalah
terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta
Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group
Theraphy (100%). Terapi yang efektif menurunkan kesedihan adalah
terapi Behaviour Theraphy (100%). Terapi yang memiliki efek lebih
menurunkan respon afektif merasa tidak mampu merawat diri adalah
terapi Behaviour Theraphy (100%), Behaviour Theraphy dan
Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Sedangkan terapi
yang efektif menurunkan respon afektif tidak ada motivasi untuk
merawat diri adalah terapi Behaviour Theraphy (100%), Behaviour
Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy,
Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Respon fisiologis, terapi yang mempuyai efek menurunkan respon
fisiologis yaitu kelelahan/kelelatihan dan penurunan muskuloskeletal
adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%)
serta terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help
Group Theraphy (100%).
Respon perilaku, dijelaskan bahwa terapi yang memberikan efek lebih
menurunkan respon perilaku tidak mampu mandi, berhias, makan
minum, dan toileting adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif
Theraphy (100%) dan Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan
Self Help Group Theraphy (100%)
Respon sosial, terapi yang efektif mengurangi respon sosial
mengurung diri adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif
Theraphy (100%) serta terapi Behaviour Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Terapi yang efektif
mengurangi respon sosial menghindar dari orang lain adalah terapi
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
145
Universitas Indonesia
Behaviour Theraphy (100%). Sedangkan terapi yang efektif
menurunkan respon sosial menolak interaksi adalah terapi Behaviour
Theraphy (100%).
Klien Defisit Perawatan Diri Diagnosa Medis Demensia
Respon kognitif, dijelaskan bahwa terapi yang memberikan efek
khususnya untuk menurunkan ketidaktahuan cara merawat diri pada
klien adalah terapi Behaviour Theraphy (100%).
Respon afektif, dijelaskan bahwa terapi yang mempunyai efek
mengurangi respon afektif tidak ada motivasi untuk merawat diri
adalah terapi Behaviour Theraphy (100%).
Respon fisiologis, terapi perilaku yang diberikan kepada klien defisit
perawatan diri dengan diagnosa medis demensia tidak terbukti bisa
menurunkan respon fisiologis kelelahan/kelelatihan dan penurunan
muskuloskeletal.
Respon perilaku, pada klien defisit perawatan diri dengan diagnosa
medis demensia dapat dijelaskan bahwa terapi yang diberikan hanya
mampu mengubah perilaku toileting tidak tepat menjadi tepat yaitu
pemberian terapi Behaviour Theraphy (100%).
Respon sosial, terapi yang efektif mengurangi respon sosial
mengurung diri adalah terapi Behaviour Theraphy (100%). Sedangkan
respon sosial menghindar dari orang lain dan respon sosial menolak
interaksi pada klien defisit perawatan diri yang memiliki diagnosa
medis demensia tidak dapat diubah dengan pemberian terapi perilaku.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
146
Universitas Indonesia
Kemampuan Klien
Kemampuan klien yang diukur di sini adalah kemampuan klien dalam
melakukan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan
minum dan toileting serta positif belief.
Tabel 4.15
Distribusi Hasil Evaluasi
Kemampuan Klien Pre dan Post Terapi Keperawatan
Klien Skizofrenia dengan Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011-April 2012
No Kemampuan Klien
Behaviour Theraphy (n=9) Behaviour Theraphy Behaviour Theraphy
Supportif Theraphy (n=6) Supportif Theraphy
Self Help Group (n=3)
Pre Post Selisih % Pre Post Selisih % Pre Post Selisih %
1 Kemampuan klien
a. Tidak mampu untuk mandi 5 1 4 80 3 0 3 100 2 0 2 100
b. Tidak mampu untuk berhias 6 1 5 83,3 4 0 4 100 2 0 2 100
c. Tidak mampu makan
minum teratur
5 1 4 80 3 0 3 100 2 0 2 100
d. Tidak mampu toileting
dengan benar
5 0 5 100 3 0 3 100 2 0 2 100
2 Keyakinan positif
a. Tidak yakin akan sembuh 4 4 0 0 1 0 1 100 0 0 0 0
b. Tidak yakin terhadap tenaga
kesehatan
5 2 3 60 3 1 2 66,7 1 0 1 100
c. Tidak yakin terhadap
pelayanan kesehatan
5 5 0 0 3 1 2 66,7 1 0 1 100
MEAN 5,0 2,0 3,0 57,6 2,9 0,3 2,6 90,5 1,4 0,0 1,4 85,7
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
147
Universitas Indonesia
Tabel 4.16
Distribusi Hasil Evaluasi
Kemampuan Klien Pre dan Post Terapi Keperawatan
Klien Retardasi Mental dengan Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011-April 2012
No Kemampuan Klien
Behaviour Theraphy (n=4) Behaviour Theraphy Behaviour Theraphy
Supportif Theraphy (n=2) Supportif Theraphy
Self Help Group (n=1)
Pre Post Selisih % Pre Post Selisih % Pre Post Selisih %
1 Kemampuan klien
a. Tidak mampu untuk mandi 4 1 3 75 2 1 1 50 1 0 1 100
b. Tidak mampu untuk berhias 4 1 3 75 2 0 2 100 1 0 1 100
c. Tidak mampu makan minum
teratur
4 1 3 75 2 1 1 50 1 0 1 100
d. Tidak mampu toileting
dengan benar
4 1 3 75 2 0 2 100 1 0 1 100
2 Keyakinan positif
a. Tidak yakin akan sembuh 3 0 3 100 0 0 0 0 0 0 0 0
b. Tidak yakin terhadap tenaga
kesehatan
3 0 3 100 0 0 0 0 0 0 0 0
c. Tidak yakin terhadap
pelayanan kesehatan
3 1 2 66,7 0 0 0 0 0 0 0 0
MEAN 3,6 0,7 2,9 81,0 1,1 0,3 0,9 42,9 0,6 0,0 0,6 57,1
Tabel 4.17
Distribusi Hasil Evaluasi
Kemampuan Klien Pre dan Post Terapi Keperawatan
Klien Demensia dengan Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011-April 2012
No Kemampuan Klien
Behaviour Theraphy (n=4) Behaviour Theraphy Behaviour Theraphy
Supportif Theraphy (n=0) Supportif Theraphy
Self Help Group (n=0)
Pre Post Selisih % Pre Post Selisih % Pre Post Selisih %
1 Kemampuan klien
a. Tidak mampu untuk mandi 3 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
b. Tidak mampu untuk berhias 3 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
c. Tidak mampu makan minum
teratur
3 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
d. Tidak mampu toileting
dengan benar
4 0 4 100 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Keyakinan positif
a. Tidak yakin akan sembuh 4 0 4 100 0 0 0 0 0 0 0 0
b. Tidak yakin terhadap tenaga
kesehatan
1 0 1 100 0 0 0 0 0 0 0 0
c. Tidak yakin terhadap
pelayanan kesehatan
1 0 1 100 0 0 0 0 0 0 0 0
MEAN 2,7 1,3 1,4 57,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
148
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 4.15, 4.16 dan 4.17 di atas, dijelaskan tentang
perubahan kemampuan yang dimiliki oleh klien dalam mengatasi
masalah defisit perawatan diri pada masing-masing diagnosa medis,
yaitu skizofrenia, retardasi mental dan demensia. Kemampuan yang
dapat dijelaskan terdiri dari kemampuan individu dan positif belief.
Klien Defisit perawatan Diri Diagnosa Medis Skizofrenia
Kemampuan individu, terapi yang efektif untuk meningkatkan
kemampuan atau menurunkan ketidakmampuan klien untuk mandi,
berhias dan makan minum adalah terapi Behaviour Theraphy dan
Supportif Theraphy (100%) serta terapi Behaviour Theraphy,
Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Sedangkan terapi yang efektif untuk meningkatkan kemampuan atau
menurunkan ketidakmampuan klien untuk toileting adalah terapi
Behaviour Theraphy (100%), Behaviour Theraphy dan Supportif
Theraphy (100%) serta terapi Behaviour Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Keyakinan positif, terapi yang memiliki efek meningkatkan keyakinan
terhadap kesembuhan adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif
Theraphy (100%). Terapi yang memiliki efek meningkatkan
keyakinan terhadap tenaga kesehatan adalah terapi Behaviour
Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Sedangkan terapi yang memiliki efek meningkatkan keyakinan
terhadap pelayanan kesehatan adalah terapi Behaviour Theraphy,
Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Klien Defisit perawatan Diri Diagnosa Medis Retardasi Mental
Kemampuan individu, terapi yang efektif untuk meningkatkan
kemampuan atau menurunkan ketidakmampuan klien untuk mandi
dan makan minum adalah terapi Behaviour Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Sedangkan terapi
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
149
Universitas Indonesia
yang efektif untuk meningkatkan kemampuan atau menurunkan
ketidakmampuan klien untuk berhias dan toileting adalah terapi
Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta terapi
Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group
Theraphy (100%).
Keyakinan positif, terapi yang memiliki efek meningkatkan keyakinan
terhadap kesembuhan dan meningkatkan keyakinan terhadap tenaga
kesehatan adalah terapi Behaviour Theraphy (100%). Sedangkan
terapi yang memiliki efek meningkatkan keyakinan terhadap
pelayanan kesehatan adalah terapi Behaviour Theraphy (66,7%).
Klien Defisit perawatan Diri Diagnosa Medis Demensia
Kemampuan individu, terapi perilaku yang diberikan pada klien
defisit perawatan diri dengan diagnosa medis demensia hanya efektif
untuk meningkatkan kemampuan atau menurunkan ketidakmampuan
klien untuk toileting yaitu terapi Behaviour Theraphy (100%).
Keyakinan positif, terapi perilaku yang diberikan pada klien defisit
perawatan diri dengan diagnosa medis demensia efektif meningkatkan
keyakinan terhadap kesembuhan, meningkatkan keyakinan terhadap
tenaga kesehatan dan meningkatkan keyakinan terhadap pelayanan
kesehatan yaitu terapi Behaviour Theraphy (100%).
b. Kemampuan Keluarga dengan Anggota Keluarga Gangguan Jiwa
Berdasarkan tabel 4.18 di bawah, dijelaskan tentang perubahan
kemampuan yang dimiliki oleh keluarga dalam merawat klien dengan
masalah defisit perawatan diri.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
150
Universitas Indonesia
Tabel 4.18
Distribusi Kemampuan Keluarga dalam Merawat
Klien Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011 - April 2012
(n = 18)
No
Sumber
Kemampuan
Family Psycoeducation
Theraphy
Family Psycoeducation
Theraphy dan Supportif
Theraphy
Family Psycoeducation
Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help
Group Theraphy
Pre Post Selisih % Pre Post Selisih % Pre Post Selisih %
1 Dukungan Keluarga
a. Keluarga tdk
mengenal
16 0 16 100 5 0 5 100 2 0 2 100
b. Keluarga tdk
mampu
memutuskan
16 0 16 100 5 0 5 100 2 0 2 100
c. Keluarga tdk
mampu rawat klien
16 0 16 100 6 0 6 100 3 0 3 100
d. Keluarga tdk
mampu modifikasi
16 0 16 100 6 0 6 100 3 0 3 100
e. Keluarga tdk
mampu manfaatkan
yankes
15 0 15 100 5 0 5 100 2 0 2 100
MEAN 15,8 0 15,8 100 5,4 0 5,4 100 2,4 0 2,4 100
Dukungan keluarga, terapi yang memiliki efek meningkatkan dukungan
keluarga terhadap klien adalah Family Psycoeducation (100%) baik yang
diberikan secara terpisah maupun yang dipadu dengan antara Family
Psycoeducation Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) dan perpaduan
antara Family Psycoeducation Theraphy dan Supportif Theraphy dan Self
Help Group Theraphy (100%). Terapi-terapi tersebut terbukti efektif
meningkatkan kemampuan keluarga dalam memberikan dukungan
terhadap klien gangguan jiwa dalam hal mengenal masalah, mengambil
keputusan untuk merawat, merawat anggota keluarga, memodifikasi
lingkungan yang mendukung dan memanfaatkan pelayanan kesehatan
untuk merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
masalah defisit perawatan diri.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
151
Universitas Indonesia
c. Kemampuan Kelompok
Berdasarkan tabel 4.19 di bawah, dijelaskan tentang perubahan
kemampuan yang dimiliki oleh kelompok dalam merawat klien dengan
masalah defisit perawatan diri.
Tabel 4.19
Distribusi Kemampuan Kelompok dalam Merawat
Klien Defisit Perawatan Diri
Periode Oktober 2011 - April 2012
(n = 18)
No Sumber Kemampuan Supportif Theraphy Self Help Group
Supportif Theraphy
dan Self Help
Group
Pre Post Selisih % Pre Post Selisih % Pre Post Selisih %
1 Dukungan Kelompok
a. Kelompok tidak
memberikan
motivasi
15 0 15 100 15 0 15 100 15 0 15 100
b. Kelompok tidak
mengetahui cara
merawat diri
15 0 15 100 15 0 15 100 15 0 15 100
c. Kelompok tidak
memberikan
bantuan
kepada klien
15 0 15 100 15 0 15 100 15 0 15 100
MEAN 15 0 15 100 15 0 15 100 15 0 15 100
Dukungan kelompok, terapi yang memiliki efek meningkatkan dukungan
kelompok terhadap klien adalah Supportif Theraphy (100%), Self Help
Group Theraphy (100%) dan perpaduan Supportif Theraphy dan Self
Help Group Theraphy (100%). Terapi-terapi tersebut terbukti efektif
meningkatkan kemampuan kelompok dalam memberikan motivasi
terhadap klien gangguan jiwa, merawat klien gangguan jiwa dan
memberikan bantuan klien gangguan jiwa dalam merawat diri.
4.5 Rencana Tindak Lanjut
4.6.1 Klien : klien yang telah memiliki perilaku positif diharapkan dapat
mempertahankan perilakunya. Perilaku positif yang dimaksud adalah
perilaku dalam hal memenuhi kebutuhan perawatan diri yang meliputi
mandi, berhias, makan minum dan toileting. Kemampuan yang telah
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
152
Universitas Indonesia
dimiliki oleh klien juga diharapkan bisa untuk dipertahankan. Klien yang
mendapatkan pengobatan diharapkan selalu mengkonsumsi obat dan kontrol
secara teratur baik ke Puskesmas maupun ke Rumah Sakit Jiwa. Kelompok
suportif yang telah terbentuk supaya bisa untuk dipertahankan. Produktifitas
yang telah diajarkan diharapkan mampu dipertahankan dan menjadi sumber
penghasilan bagi klien untuk menjalani kehidupannya.
4.6.2 Keluarga :
Keluarga sebaiknya tetap memberikan motivasi kepada klien untuk
melakukan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan dan minum
serta toileting. Keluarga juga hendaknya tetap membantu klien untuk
mempertahankan perilaku positif klien dalam perawatan diri. Keluarga
diharapkan ikut membantu klien dalam hal penyediaan perlengkapan
perawatan diri. Keluarga harus mendukung klien untuk patuh minum obat
dan kontrol secara teratur.
4.6.3 Lingkungan Perawatan :
Lingkungan perawatan yang dimaksud adalah peran serta keluarga dan
masyarakat. Masyarakat atau KKJ yang ikut memberikan bantuan,
dukungan, motivasi kepada klien maupun keluarga. KKJ diharapkan mampu
melakukan kunjungan rumah untuk melakukan evaluasi, dan memberikan
dukungan kepada klien. Evaluasi yang dilakukan adalah sejauh mana klien
mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya dan apakah perilaku positif
yang sudah dimiliki bisa tetap dipertahankan. Bantuan kader diberikan
kepada klien apabila mengalami penurunan motivasi dan klien mengalami
kemunduran dalam hal mempertahankan perilaku.
4.7 Hambatan Pelaksanaan Asuhan Keperawatan
4.7.1 Pelaksanaan Terapi
Karakteristik klien mempengaruhi pelaksanaan terapi. Karakteristik tersebut
adalah tingkat pendidikan dan usia klien. Tingkat pendidikan yang rendah
mempengaruhi dalam pelaksanaan terapi khususnya ketika klien menulis
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
153
Universitas Indonesia
buku kerja dan dalam melakukan evaluasi di buku kerja. Klien yang
mengalami retardasi mental yang tidak mampu menulis karena mengalami
keterlambatan tumbuh kembang. Memerlukan bantuan dan kerjasama
dengan keluarga. Klien dengan usia yang diatas 50 tahun juga memerlukan
pendekatan yang lebih intensif dimana perhatian dan proses berpikirnya
sudah mulai berkurang sehingga penerimaan terapi menjadi agak lama.
Beberapa klien dalam menjalankan latihan yang diajarkan kurang
termotivasi. Hal ini disebabkan klien berpikir bahwa dirinya merasa tidak
memiliki masalah dan tidak menganggap perlu untuk mengubah perilaku
negatifnya atau belum adanya kesadaran diri dan klien berpendapat bahwa
latihan yang dilakukan ternyata juga tidak mengubah kehidupannya.
Motivasi atau kesadaran keluarga dalam membantu klien pada beberapa
keluarga masih kurang. Hal ini terlihat dari tanggung jawab keluarga dalam
membantu dan memberikan motivasi kepada klien untuk melakukan
perawatan diri ketika tidak ada penulis sering diabaikan.
4.7.2 Lingkungan Perawatan
Lingkungan keperawatan yang dimaksud di sini adalah komunitas yang
menjadi tempat bagi klien dan keluarga tinggal. Pemberian asuhan
keperawatan yang kurang berkesinambungan khususnya pemberian terapi
spesialis, merupakan kendala yang sangat mempengaruhi pencapaian asuhan
keperawatan yang diberikan, khususnya pada masalah defisit perawatan diri
di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
154 Universitas Indonesia
BAB 5
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas tentang manajemen kasus spesialis dan manajemen
asuhan keperawatan masalah defisit perawatan diri di Kelurahan Baranang Siang
yang dilakukan mulai bulan Oktober 2011 sampai dengan April 2012. Manajemen
kasus spesialis dibahas berdasarkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan, yaitu
mulai dari karakteristik klien, stressor dan efektifitas penerapan terapi dengan
pendekatan Self Care Orem dan CMHN serta efektifitas penerapan terapi spesialis
untuk mengatasi masalah defisit perawatan diri pada klien gangguan jiwa.
Sedangkan manajemen asuhan keperawatan masalah defisit perawatan diri yang
dibahas, berdasarkan hasil penerapan manajemen asuhan keperawatan jiwa
profesional di Kelurahan Baranang Siang.
5.1 Karakteristik Klien Defisit Perawatan Diri
Hasil pengkajian yang telah dilakukan melalui pendekatan model konsep
Stuart (2009) bahwa proses terjadinya masalah defisit perawatan diri,
dipengaruhi oleh stressor predisposisi, presipitasi, respon terhadap stresor,
sumber koping, dan mekanisme koping yang digunakan klien. Berdasarkan
hal tersebut, maka data yang didapatkan dari hasil pengkajian tersebut sangat
bervariasi untuk masing-masing klien, meskipun dengan masalah keperawatan
yang sama, yaitu defisit perawatan diri.
Karakteristik klien dengan masalah defisit perawatan diri terdiri usia, jenis
kelamin, pendidikan, status perkawinan, status pekerjaan, lamanya mengalami
gangguan, dan jumlah perawatan yang telah dijalani.
5.1.1 Usia
Klien yang dirawat dengan masalah defisit perawatan diri di RW 02 dan
RW 12 Kelurahan Baranang Siang sebagian besar berada pada rentang
usia 21 sampai dengan 40 tahun. Klien defisit perawatan diri yang berada
pada rentang usia tersebut sebanyak 10 orang dari 18 orang klien.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
155
Universitas Indonesia
Menurut Erikson (2000, dalam Stuart & Sundeen, 1995), pada usia ini
individu mulai mempertahankan hubungan saling ketergantungan, memilih
pekerjaan, memilih karir, melangsungkan perkawinan. Usia tersebut
merupakan usia perkembangan dewasa pertengahan, yaitu usia dimana
individu mendapatkan tuntutan dari lingkungan sekitar (keluarga dan
masyarakat) untuk mengaktualisasikan dirinya. Kegagalan untuk
memenuhi tuntutan dari lingkungan sekitar dan melaksanakan tugas
perkembangannya sering diartikan sebagai ketidakmampuan yang akan
mengakibatkan perhatian hanya tertuju pada diri sendiri, perhatian pada
orang lain berkurang, menyalahkan diri dan orang lain yang akhirnya
ditunjukkan dengan penurunan motivasi untuk merawat diri atau defisit
perawatan diri
5.1.2 Pendidikan
Klien yang dirawat dengan masalah defisit perawatan diri memiliki
pendidikan yang bervariasi, mulai SD, SMP, SLTA, D3 bahkan Sarjana.
Tetapi sebagian besar klien yaitu sebanyak 6 orang klien (33,33%)
berpendidikan SD. Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi cara individu
berperilaku, membuat keputusan dan memecahkan masalah, serta
mempengaruhi cara klien berespon terhadap stresor.
Menurut Stuart (2009) bahwa aspek intelektual merupakan salah satu
faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa karena berhubungan dengan
kemampuan seseorang dalam menyampaikan ide atau pendapatnya,
selanjutnya akan berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk
memenuhi harapan dan keinginan yang ingin dicapai dalam hidupnya
sehingga akan lebih minimal untuk terjadinya defisit perawatan diri. Potter
& Perry (2005) mengatakan bahwa defisit perawatan diri biasanya banyak
terjadi pada klien yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
156
Universitas Indonesia
5.1.3 Status Pekerjaan
Klien yang dirawat dengan masalah defisit perawatan diri sebagian besar
dengan riwayat tidak punya pekerjaan (menganggur) yaitu sebanyak 11
orang klien (61,1%). Menurut Townsend (2005) banyak hal yang telah
dicoba untuk dikaitkan dengan masalah defisit perawatan diri, salah
satunya akan terkait dengan masalah status sosial. Faktor status sosial
ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami gangguan jiwa yang
menyebabkan kurangnya motivasi untuk melakukan perawatan diri
dibandingkan pada tingkat sosial ekonomi tinggi.
Vega et al (1999, dalam Stuart, 2009) juga menyebutkan bahwa ada
beberapa penelitian terkait dengan kemiskinan dan kesehatan mental,
hasilnya diyakini bahwa adanya perbedaan risiko untuk mengalami
gangguan jiwa antara kelompok utama yang diukur dari stratifikasi sosial
dan kemiskinan. Kelompok ini lebih rentan dengan masalah kesehatan
jiwa dalam kehidupan sehari-hari. Rendahnya tingkat sosial ekonomi dan
kemiskinan, erat kaitannya dengan ketersediaan materi dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari dan penghargaan oleh lingkungan. Keadaan
kemiskinan juga menunjukan ketiadaan akses, baik akses sumber daya dan
informasi. Kondisi ini mengakibatkan keterbatasan dalam penyelesaian
masalah dan akhirnya individu merasa frustasi dengan kondisinya dan
merasa iri jika melihat kemampuan orang lain.
5.1.4 Status Perkawinan
Klien defisit perawatan diri yang dirawat memiliki status perkawinan
belum menikah lebih banyak yaitu 11 orang klien (61,1%). Salah satu
faktor predisposisi defisit perawatan diri, menurut Stuart (2009) adalah
ketidakmampuan mengungkapkan keinginan, termasuk keinginan hidup
berumah tangga. Berdasarkan pendapat ini dapat dikatakan klien merasa
frustasi dengan kondisinya yang sendiri dan merasa iri jika melihat orang
pacaran dan menikah, Klien merasa malu dan marah pada diri sendiri,
orang lain dan lingkungan. Jika dikaitkan dengan usia, klien berada dalam
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
157
Universitas Indonesia
rentang dewasa muda dimana klien mempunyai tugas perkembangan yang
harus dilalui yaitu mengembangkan hubungan intim dengan lawan jenis
dalam ikatan pernikahan. Tidak terpenuhinya atau kegagalan dalam
memenuhi tugas perkembangan ini merupakan stresor bagi individu yang
berujung pada defisit perawatan diri.
5.2 Stressor Predisposisi
Hasil pengkajian terhadap stressor predisposisi klien dengan defisit perawatan
diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang didapatkan yaitu dari
aspek biologi sebagian besar dari faktor genetik (44,4%). Aspek psikologi
sebagian besar dari ketidakmampuan mengungkapkan keinginan yaitu
(100%) dan dari aspek sosial budaya sebagian besar dari masalah ekonomi
(88,9%).
Faktor biologis pada klien defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12
Kelurahan Baranang Siang sebagian besar karena faktor genetik. Faktor
biologis ini terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidakseimbangan dari
neurotransmiternya. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya
gangguan adalah pada perilaku maladaptif klien (Townsend, 2005). Secara
biologi riset neurobiologikal memfokuskan pada tiga area otak yang
dipercaya dapat melibatkan defisit perawatan diri yaitu sistem limbik, lobus
frontalis dan hipotalamus. Kondisi lain yaitu adanya kondisi patologis dan
ketidakseimbangan dari beberapa neurotransmitter. Neurotransmitter tersebut
adalah dopamin, serotonin, norepineprin dan asetilkolin.
Faktor biologis penting untuk diketahui, terkait dengan terapi psikofarmaka
yang tepat diberikan pada klien. Adanya gangguan dari salah satu komponen
biologis sangat mempengaruhi terapi yang harus diberikan sebagai koreksi
terhadap kekurangan atau berlebihnya fungsi atau produksi hormon yang
mempengaruhi kerja otak. Keterbatasan pemeriksaan neurobiologis atau
bahkan belum dilakukannya pemeriksaan neurobiologis pada klien,
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
158
Universitas Indonesia
menyebabkan terapi psikofarmaka yang diberikan kurang efektif, karena bisa
tidak tepat sasaran.
Stressor predisposisi berikutnya, yaitu aspek psikologis dan sosial budaya.
Aspek psikologis yang menjadi stressor predisposisi terjadinya masalah
defisit perawatan diri pada klien defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12
Kelurahan Baranang Siang, sebagian besar karena ketidakmampuan
mengungkapkan keinginan dengan baik. Biasanya ada kaitannya dengan tipe
kepribadian introvert, gangguan kemampuan komunikasi verbal, menutup diri
dari kemungkinan orang-orang yang memperhatikannya, sehingga tidak
memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya dapat
disebabkan dari kegagalan dari tugas perkembangannya. Menurut Erikson
(2000, dalam Keliat, 2007) untuk mengembangkan hubungan positif setiap
orang harus dapat melalui delapan tugas perkembangan (development task)
sesuai dengan proses perkembangan usia. Kegagalan dalam melaksanakan
tugas perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak
percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis, tidak mampu
merumuskan dan mengungkapkan keinginan, dan merasa tertekan.
Ketidakmampuan mengungkapkan keinginan ini akan menyebabkan individu
menjadi tertekan dan frustasi yang akhirnya berespon dengan menyalahkan
diri dan orang lain di sekitarnya.
Aspek sosial budaya merupakan stressor predisposisi yang juga menentukan
dan sebagian besar klien defisit perawatan diri terkait masalah pekerjaan atau
kondisi ekonomi, ketersediaan tempat tinggal, tuntutan dari masyarakat yang
tidak realistis dengan kemampuan dari Klien. Menurut Townsend (2005),
salah satu penyebab gangguan gangguan jiwa terkait dengan masalah status
sosial ekonomi. Faktor status sosial ekonomi yang rendah lebih banyak
mengalami gangguan jiwa yang menyebabkan kurangnya perawatan diri
dibandingkan pada tingkat sosial ekonomi tinggi.
Pengetahuan tentang beberapa stressor predisposisi pada klien defisit
perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang yaitu dari
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
159
Universitas Indonesia
aspek biologis, psikologis dan sosial budaya menjadi dasar yang kuat bagi
perawat dalam menjalankan proses keperawatan secara holistik yaitu
memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan pendekatan biologis,
psikologis, dan sosial budaya. Pengkajian dan pengetahuan tentang faktor
biologis, psikologis, dan sosial budaya ini juga menjadi dasar bahwa
pemberian terapi keperawatan jiwa tetap diberikan di tingkat pelayanan
komunitas diantaranya pencegahan primer seperti pendidikan kesehatan
tentang kesehatan jiwa dan pendidikan tentang tumbuh kembang beserta
tugas perkembangannya. Pencegahan sekunder yaitu pencegahan terjadinya
gangguan. Serta pencegahan tersier yaitu pengobatan dan perbaikan atau
rehabilitatif kondisi klien gangguan jiwa.
5.3 Stressor Presispitasi
Pengkajian terhadap stressor presipitasi yaitu dari sifat stresor, asal stresor,
waktu dan jumlah stressor pada klien defisit perawatan diri di RW 02 dan RW
12 Kelurahan Baranang Siang. Klien terpapar stresor yang bersifat biologis,
psikologis dan sosial budaya. Presipitasi faktor biologis klien didapatkan
yaitu putus (55,6%). Kondisi putus obat pada klien menurut penulis
dikarenakan pengobatan gangguan jiwa memerlukan waktu yang cukup lama
sehingga kondisi ini membuat kebosanan kepada klien. Pemberian obat pada
klien gangguan jiwa juga pada awalnya lebih banyak memberikan efek
sekunder dari pada efek optimal, hal ini yang memberi anggapan kepada klien
bahwa obat yang dikonsumsinya tidak memberikan efek penyembuhan tetapi
menambah gejala atau efek samping.
Presipitasi faktor psikologis pada klien didapatkan memiliki riwayat
psikologis berupa mengalami kejadian yang kurang menyenangkan yaitu
(77,8%) berupa pengalaman-pengalaman kegagalan dan kehilangan, seperti
kegagalan dalam membina hubungan dengan lawan jenis, kehilangan orang
yang dicintai atau berarti, kegagalan dalam pekerjaan, pola asuh yang tidak
tepat dan kehilangan orang yang berarti. Hal ini sesuai dengan pendapat
Stuart (2009) bahwa faktor psikologis, yang meliputi konsep diri,
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
160
Universitas Indonesia
intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan
ketrampilan komunikasi secara verbal mempengaruhi perilaku seseorang
dalam hubungannya dengan orang lain.
Sedangkan sumber stressor berasal dari internal dan eksternal diri Klien.
Sumber internal adalah kegagalan dan perasaan bersalah yang ditujukan
kepada dirinya karena perasaan frustasi akan kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Sumber eksternal klien yaitu tuntutan dari lingkungan serta kecaman dari
lingkungan yang menyebabkan klien tidak mampu memenuhinya. Kondisi ini
memberikan konflik pada diri dan lingkungan serta munculnya perasaan tidak
berharga. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) dimana faktor
penyebab defisit perawatan diri dari faktor psikologis diantaranya inteligensi,
ketrampilan verbal, moral, kepribadian dan kontrol diri, pengalaman yang
tidak menyenangkan, kurangnya motivasi. Pengalaman yang tidak
menyenangkan dan kurangnya motivasi menimbulkan terjadinya defisit
perawatan diri.
Waktu terpaparnya stressor, klien defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12
Kelurahan Baranang Siang sebagian besar terjadi dalam periode awal,
sebagian besar terpapar stressor dalam jangka waktu yang pendek atau kurang
dari 10 tahun yaitu 55,6%. Jumlah stressor yang dialami sebagian beruntun
dan bermacam-macam. Menurut Stuart (2009), waktu atau lamanya terpapar
stresor, yaitu terkait dengan sejak kapan, sudah berapa lama, serta berapa kali
kejadiannya (frekuensi). Bila baru pertama kali terkena masalah, maka
penanganannya juga memerlukan suatu upaya yang lebih intensif dengan
tujuan untuk tindakan pencegahan primer.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
gangguan jiwa tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi terjadi melalui pross
dengan beberapa penyebab. Keluarga, klien, KKJ dan umumnya masyarakat
hendaknya memahami kondisi ini sehingga bisa melakukan tindakan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
161
Universitas Indonesia
pencegahan untuk terpaparnya kondisi atau kejadian yangbisa merupakan
stressor presipitasi terjadinya gangguan jiwa.
5.4 Efektifitas Penerapan Terapi pada Klien Defisit Perawatan Diri dengan
Pendekatan Teori Dorothy Orem Self Care
Keperawatan adalah seni dan ilmu yang mempunyai tujuan untuk
mengembalikan, memelihara atau mencapai integritas, sistem yang stabil,
penyesuaian dan adaptasi, sehingga sistem dapat berfungsi secara efisien dan
efektif (Tomey, 2006). Pelaksanaan proses keperawatan pada klien dengan
defisit perawatan diri terdiri dari pengkajian, penetapan diagnosa
keperawatan, perencanaan tindakan keperawatan, pelaksanaan tindakan
keperawatan dan pelaksanaan evaluasi terhadap tindakan yang dilakukan.
Pengkajian yang dilakukan dalam manjemen kasus klien dengan defisit
perawatan diri menggunakan pendekatan psikodinamika gangguan jiwa
menurut Stuart (2009). Penggunaan model Stuart ini sangat efektif dalam
menggambarkan kondisi klinis klien dan proses terjadinya gangguan jiwa,
khususnya masalah defisit perawatan diri. Pengkajian yang dilakukan dengan
pendekatan Stuart ini penting untuk mengetahui proses maladaptif dalam
rentang kehidupan klien, yang dapat dijadikan landasan dalam pemberian
terapi keperawatan. Selain itu, dilakukan pula pengkajian sesuai dengan
respon klien sehingga dapat dirumuskan masalah keperawatan berdasarkan
prioritas kebutuhan klien saat ini (here and now).
Hasil pengkajian yang ditemukan pada klien dapat dijelaskan menggunakan
konsep Self Care Orem bahwa stressor yang dialami individu pada klien
defisit perawatan diri yaitu adanya penurunan motivasi diri untuk melakukan
perawatan pada diri sendiri. Penurunan motivasi tersebut ditunjukkan dengan
adanya ketidakseimbangan antara self-care agency dengan self care
therapeutic demand sehingga klien mengalami self care deficit.
Ketidakseimbangan ini adalah kondisi self care agency tidak cukup mampu
menggunakan self care therapeutic demand untuk melakukan pemenuhan
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
162
Universitas Indonesia
kebutuhan perawatan diri. Karena kondisi ini maka klien membutuhkan
bantuan untuk memaksimalkan self care therapeutic demand agar self care
terpenuhi dan dapat bertindak sebagai self care agency untuk menangani
masalah defisit perawatan diri.
Perawatan diri (Self care), asumsinya adalah bahwa setiap orang bisa
melakukan atau mampu berfungsi secara optimal untuk melakukan kegiatan
pemenuhan kebutuhan perawatan dirinya sendiri secara mandiri tanpa
bantuan. Klien pada kondisi ini tidak mengalami masalah, tidak memerlukan
bantuan untuk masalah pemenuhan kebutuhan perawatan dirinya.
Ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan perawatan secara mandiri (Self-care
deficit), asumsinya bahwa suatu saat pada kondisi tertentu, seseorang bisa
mengalami kondisi bahwa dia tidak mampu melakukan kegiatan untuk
memenuhi kebutuhan perawatan dirinya sendiri. Sehingga pada kondisi ini
individu mengalami self care defisit, dan memerlukan bantuan untuk
memenuhi kebutuhan perawatan dirinya.
Sistem keperawatan (nursing system), asumsinya bahwa ketika seseorang
tidak mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya secara mandiri, maka
dia memerlukan bantuan, dan perawat sebagai nursing agency harus
memberikan bantuan kepada orang tersebut untuk dapat memenuhi kebutuhan
perawatan dirinya. Klien menerima asuhan dari perawat berdasarkan tiga
macam kondisi, wholly compensatory atau pemberian bantuan total, partly
compensatory atau pemberian bantuan sebagian misalnya pada klien yang
mengalami keterbatasan fisik dan supportive educative system atau
memberikan pendidikan kesehatan dan melatih klien dan keluarganya untuk
dapat bereperan sebagai self care agency.
Hal inilah yang memberikan dasar bagi pemberian beberapa terapi yaitu
terapi behaviour therapy, terapi suportif, self help group dan psikoedukasi
keluarga. Pemberian terapi spesialis ini juga berdasarkan pendekatan teori
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
163
Universitas Indonesia
Orem’s Self Care yang ditujukan agar klien mampu memenuhi kebutuhan
perawatan dirinya secara mandiri.
Terapi yang diberikan yaitu behaviour therapy, terapi suportif, self help
group dan psikoedukasi keluarga merupakan terapi spesialis keperawatan
jiwa yang merupakan sebuah proses pembelajaran bagi klien untuk
meningkatkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri
yang dilakukannya dengan cara meningkatkan kemampuan, meningkatkan
motivasi dan pengetahuan tentang perawatan diri dan mengubah perilaku
maladaptif tidak mau merawat diri menjadi perilaku adaptif mau merawat
diri. Pelaksanaan terapi tersebut memberi hasil yang baik karena adanya
komunikasi yang baik antara perawat-klien dan adanya peran serta keluarga
dan KKJ dalam .
5.4.1 Respon terhadap Stressor
Respon terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi secara
menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap sumber stres dengan
tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang
dialaminya (Stuart, 2009). Dari hasil evaluasi respon terhadap stressor
pada klien defisit perawatan diri menunjukkan gejala negatif dan
ketidakmampuan. Ini menunjukan bahwa seluruh klien memandang
sumber stressornya adalah sebagai suatu ancaman bagi klien. Hampir
semua klien memiliki respons negatif dalam menghadapi masalah secara
kognitif, afektif, perilaku dan sosial.
Respon kognitif yang dilakukan sebagian besar klien defisit perawatan diri
tidak mampu mengambil keputusan (88,9%). Menurut Stuart (2009),
penilaian kognitif merupakan suatu mediator bagi interaksi antara
individu dan lingkungan. Individu dapat menilai adanya suatu masalah
sebagai ancaman atau potensi dipengaruhi oleh persepsi individu, sikap
terbuka terhadap adanya perubahan, dan kemampuan untuk kontrol diri
terhadap pengaruh lingkungan. Selain itu, penilaian kognitif terhadap
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
164
Universitas Indonesia
masalah, dipengaruhi oleh sumber untuk toleransi terhadap masalah yang
dihadapi, yang berasal dari diri sendiri dan lingkungan. Kemampuan
koping individu juga merupakan hal yang sangat mempengaruhi
bagaimana individu menilai suatu masalah, hal ini seringkali berhubungan
dengan pengalaman secara individual. Efektifitas koping yang biasa
dipergunakan oleh klien dalam mengatasi masalahnya, serta koping yang
tersedia dan dapat dipergunakan oleh klien, mempengaruhi respon
terhadap stresor yang dihadapi.
Respon afektif terhadap stresor terkait dengan sedih, bingung, apatis/pasif,
sehingga tidak ada motivasi untuk melakukan perawatan diri (Stuart,
2009). Ekspresi emosi yang sering ditampilkan oleh klien defisit
perawatan diri, yaitu perasaan tidak mampu melakukan perawatan diri,
perasaan negatif terhadap dirinya dan merasa tidak ada motivasi untuk
merawat diri. Klasifikasi dari emosi akan tergantung pada tipe, lama dan
intensitas dari stresor yang diterima dari waktu ke waktu. Ekspresi emosi
dan perasaan sangat mempengaruhi sikap, yang sudah menjadi suatu
kebiasaan/pola bagi individu tersebut.
Respon fisiologis terhadap stresor pada klien defisit perawatan diri, terkait
dengan adanya kelelahan, keletihan dan kelemahan, keterbatasan
muskuloskeletal yang dialami. Menurut Suliswati (2005) dan Stuart (2009)
kerusakan hipotalamus membuat seseorang kehilangan mood dan motivasi
sehingga kurang aktifitas dan malas melakukan sesuatu. Secara umum
pada klien defisit perawatan diri mengalami kelelahan dan kelemahan,
sehingga tidak melakukan perawatan diri. Respon yang ditampilkan
tersebut merupakan respon negatif, yang dilakukan akibat keterbatasan
kemampuan dalam menyelesaikan masalah, dan respon bahwa stresor
merupakan sesuatu yang harus dihindari, bukan sesuatu yang harus
dihadapi atau diselesaikan.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
165
Universitas Indonesia
Respon sosial ditunjukkan dengan gejala ketidakmampuan pada kegiatan
sosial. Sebagian besar klien defisit perawatan diri (83,3%), memiliki
respon sosial yang tidak sesuai yaitu dengan menghindar dari lingkungan
dan malu terhadap apa yang dialaminya. Hal ini dapat diamati dengan
gejala klien yang menarik diri, tidak mau berinteraksi dengan orang lain
baik secara sukarela maupun atas instruksi perawat dan misalnya menolak
untuk melakukan interaksi.
Terapi perilaku terbukti efektif untuk mengubah perilaku maladaptif
menjadi perilaku adaptif klien defisit perawatan diri khususnya dengan
diagnosa medis skizofrenia yang menderita sakit kurang dari 10 tahun.
Pada klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis skizofrenia yang
menderita sakit lebih dari 10 tahun terapi perilaku bisa diberikan tetapi
dikombinasi dengan terapi suportif dan terapi kelompok swa bantu.
Pada klien defisit perawatan diri khususnya dengan diagnosa medis
retardasi mental, pemberian terapi perilaku juga efektif untuk mengubah
perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif, tetapi hasil akan terlihat
lebih efektif bila pemberian terapi dipadukan dengan terapi suportif dan
swa bantu. Ketidakikutsertaan seluruh klien retardasi mental dalam terapi
kelompok suportif dan swa bantu membuat efektifitas pemberian terapi
tidak bisa diukur dengan maksimal.
Sedangkan pada klien defisit perawatan diri khususnya dengan diagnosa
medis demensia, pemberian terapi perilaku belum cukup efektif untuk
mengubah perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif. Hal ini menurut
penulis, karena adanya keterbatasan kemampuan kognitif pada klien
demensia. Klien demensia mengalami kemunduran dalam hal kognitif
sehingga untuk menyerap informasi dan mempraktikkannya merupakan
suatu upaya yang berat dilakukan dalam jangka waktu yang singkat.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
166
Universitas Indonesia
5.4.2 Kemampuan Mengatasi Masalah Klien Defisit Perawatan Diri
Kemampuan personal yang dimiliki sebagian besar klien yaitu telah dilatih
dan diajarkan bagaimana mengenal tentang masalah defisit perawatan diri
yang dialaminya, mengenal tentang cara mengatasi defisit perawatan diri
yaitu dengan cara latihan merawat diri mandi, berhias, makan minum dan
toileting. Hal ini dikarenakan rata-rata klien (69,5%) menunjukkan
perilaku tidak merawat diri baik tidak melakukan perawatan diri mandi,
berhias setelah mandi, makan minum secara teratur dan toileting dengan
tepat. Kemampuan dasar untuk mengenal dan mengatasi defisit perawatan
diri menunjukkan hasil yang sangat signifikan, hal ini terlihat dari
meningkatnya kemampuan klien defisit perawatan diri dan menurunnya
jumlah klien yang memiliki ketidakmampuan untuk merawat diri.
Menurut penulis keberhasilan ini terjadi karena adanya kerjasama yang
baik antara perawat, keluarga dan kader dalam mendukung dan
berpartisipasi dalam merawat klien defisit perawatan diri. Oleh karena itu
tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi fenomena ini adalah
perlunya peningkatan link atau kesinambungan antara pelayanan di
masyarakat seperti CMHN yang ditingkatkan terus ke seluruh wilayah di
Indonesia. Tindakan yang lain yaitu klien dan keluarga perlu dilatih
kemampuan spesialis dalam mengatasi masalah defisit perawatan dirinya.
Dukungan, dukungan berasal dari keluarga dan kelompok, dan dukungan
yang paling bermakna adalah dukungan dari keluarga. Sebagian besar
kasus yang ditemukan terungkap data bahwa kurangnya dukungan
keluarga untuk membantu klien dalam memenuhi kebutuhan perawatan
diri, menjadi salah satu faktor penentu tidak terpenuhinya kebutuhan
perawatan diri klien. Hal ini terbukti dari meningkatnya angka dukungan
keluarga, dari hanya 2 keluarga (11,1%) yang mendukung menjadi 100%
keluarga mendukungan menjadikan kemampuan klien dalam hal
perawatan diri meningkat.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
167
Universitas Indonesia
Kondisi ini menurut penulis dikaitkan dengan stigma dan beban yang
diterima keluarga atau masyarakat. WHO (2008) mengkategorikan beban
keluarga dengan gangguan jiwa dalam dua jenis yaitu beban obyektif dan
subyektif. Beban obyektif yaitu beban yang berhubungan dengan masalah
dan pengalaman anggota keluarga meliputi gangguan hubungan antar
anggota keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktifitas kerja,
kesulitan finansial dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik anggota
keluarga. Beban Subyektif, yaitu beban yang berhubungan dengan reaksi
psikologis anggota keluarga meliputi perasaan kehilangan, kesedihan,
cemas dan malu dalam situasi sosial, koping stress terhadap gangguan
prilaku dan frustrasi yang disebabkan karena perubahan hubungan.
Laporan WHO (2008), dikatakan bahwa anggota keluarga merupakan
pihak utama yang menanggung beban fisik, emosional dan finansial karena
adanya salah satu anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
Ketidakmampuan keluarga dalam menanggung beban ini mengakibatkan
rendahnya motivasi keluarga dalam memberikan perawatan klien dengan
defisit perawatan diri.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dukungan sosial ini
adalah dengan membentuk sebanyak-banyaknya kelompok pemerhati
gangguan jiwa, pemberian pendidikan kesehatan jiwa dalam upaya
menurunkan diskriminasi dan stigma yang ada, pemberian terapi spesialis
psikoedukasi keluarga dalam mengatasi motivasi yang rendah keluarga
dalam merawat anggota kelurga dengan defisit perawatan diri.
Ketersediaan pelayanan kesehatan dan finansial : sebagian besar klien
termasuk keluarga dengan perekonomian yang rendah, dan tidak memiliki
fasilitas jaminan kesehatan masyarakat (JAMKESMAS) untuk biaya
perawatan dan pengobatan. Adanya program pemerintah terhadap jaminan
kesehatan bagi masyarakat ini merupakan peluang yang baik dalam
mengatasi masalah kesehatan jiwa. Program pemerintah ini sebaiknya
terus ada dan selalu disosialisasikan kepada masyarakat karena ada juga
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
168
Universitas Indonesia
masyarakat yang belum mengetahui akan program pemerintah ini.
Masalah ini telah berhasil diatasi penulis dengan melakukan kerjasama
dengan perangkat RT, RW dan kelurahan untuk memfasilitasi klien
mendapatkan JAMKESMAS.
Hasil pengkajian kemampuan klien berupa keyakinan positif pada
sebagian besar klien defisit perawatan diri, yaitu hanya sebagian kecil
(38,9%) klien yang merasa yakin bisa sembuh. Penghargaan yang rendah
dari lingkungan, kurang diberikan kesempatan dalam menyelesaikan
masalah, dan stigma terhadap gangguan jiwa yang diderita, merupakan
penyebab utama terhadap perasaan tidak mampu dalam menyelesaikan
masalah. Selain itu, rendahnya motivasi klien dalam menyelesaikan
masalah merupakan salah satu penyebab ketidakmampuan dalam
menyelesaikan masalah.
Terapi perilaku terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan klien
defisit perawatan diri khususnya dengan diagnosa medis skizofrenia untuk
melakukan perawatan diri. Pada klien defisit perawatan diri dengan
diagnosa medis skizofrenia efektifitas terapi perilaku ini semakin
meningkat dengan perpaduan terapi kelompok suportif dan swa bantu.
Pada klien defisit perawatan diri khususnya dengan diagnosa medis
retardasi mental, pemberian terapi perilaku juga efektif untuk
meningkatkan kemampuan perawatan diri. Tetapi hasil akan terlihat lebih
efektif bila pemberian terapi dipadukan dengan terapi suportif dan swa
bantu. Ketidakikutsertaan seluruh klien retardasi mental dalam terapi
kelompok suportif dan swa bantu membuat efektifitas pemberian terapi
tidak bisa diukur dengan maksimal.
Sedangkan pada klien defisit perawatan diri khususnya dengan diagnosa
medis demensia, pemberian terapi perilaku belum cukup efektif untuk
meningkatkan kemampuan klien dalam hal perawatan diri. Sehingga perlu
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
169
Universitas Indonesia
diberikan terapi spesialis lain yaitu terapi keluarga untuk membantu klien
memenuhi kebutuhan perawatan dirinya.
5.5 Efektifitas Penerapan Terapi pada Klien Defisit Perawatan Diri
Hasil pelaksanaan terapi behaviour therapy, terapi suportif, terapi kelompok
swa bantu dan terapi psikoedukasi keluarga pada klien defisit perawatan diri
di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang memberikan dampak yang
efektif terhadap perubahan perilaku klien. Khususnya perubahan perilaku
dalam kemampuan mengontrol perilaku negatif menjadi positif. Hasil tersebut
tentunya tidak terlepas dari keterlibatan tim kesehatan, dan keluarga yang
senantiasa memberikan dukungan penuh terhadap perkembangan kondisi
klien.
5.5.1 Efektifitas Behaviour Theraphy pada Klien Defisit Perawatan Diri
Hasil evaluasi pelaksanaan terapi menunjukan bahwa behavior therapy
memberikan dampak yang lebih efektif dalam menurunkan respon klien
khususnya di respon afektif dan sosial. Perilaku merupakan suatu reflek
dari respons emosi dan perubahan fisiologis sebagai suatu kemampuan
analisis kognitif dalam menghadapi suatu situasi yang penuh dengan stres
(Stuart, 2009). Teori ini mendukung bahwa terapi perilaku lebih efektif
untuk menurunkan defisit perawatan diri. Individu yang mendapat stresor
akan berespon positif atau negatif tergantung analisis individu tersebut.
Terapi perilaku ini memberikan hasil yang efektif walaupun dengan
karakteristik klien yang bermacam-macam. Menurut Stuart, (2009) terapi
perilaku ini berfokus pada klien. Manusia adalah mahkluk yang unik
dengan permasalahan yang berbeda serta dengan koping terhadap stressor
yang berbeda pula, ada yang adaptif dan ada yang maladaptif. Koping
yang adaptif ini dapat dipelajari dan terapi perilaku mengacu hal tersebut,
sehingga terapi perilaku dapat dilaksanakan dengan beberapa macam
karakteristik yang ada, walaupun dalam pelaksanaannya ada beberapa
kendala.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
170
Universitas Indonesia
Sejumlah 18 orang klien yang mengalami defisit perawatan diri, 9 orang
dengan diagnosa medis skizofrenia, 4 orang dengan diagnosa medis
demensia dan 5 orang klien dengan diagnosa medis retardasi mental.
Hanya 13 orang klien (72,2%) yang diberikan terapi perilaku token
ekonomi. Klien yang diberikan terapi perilaku adalah 9 orang klien (50%)
dengan diagnosa skizofrenia dan 4 orang klien (22,2%) dengan diagnosa
retardasi mental. Klien dengan demensia, tidak satupun yang diberikan
terapi perilaku.
Pertimbangan yang mendasari tidak diberikannya terapi perilaku pada 1
orang klien dengan diagnosa retardasi mental adalah klien tersebut tidak
mampu berkomunikasi dua arah maupun satu arah. Tidak memiliki
kemampuan berbicara, mendengar, membaca maupun menulis. Sehingga
hal ini sangat menyulitkan penulis untuk memberikan terapi perilaku.
Meskipun dengan memodifikasi pelaksanaan terapi perilaku, penulis tetap
mengalami kesulitan untuk memberikan terapi perilaku klien. Sedangkan
pada 4 orang klien (22,2%) retardasi mental lainnya diberikan terapi
perilaku karena keempat klien tersebut, meskipun tidak mampu membaca
dan menulis, dan mengalami keterlambatan tumbuh kembang, namun klien
masih mampu latih sehingga dengan memodifikasi pelaksanaan terapi,
penulis dapat memberikan terapi perilaku pada keempat klien tersebut.
Pertimbangan tidak diberikannya terapi perilaku pada 4 orang klien
(22,2%) dengan demensia adalah klien tersebut memiliki usia di atas 55
tahun dan mengalami gangguan orientasi realita waktu, tempat dan orang.
Klien tidak mampu mengingat dengan baik, tidak mampu mengenal orang
lain bahkan anggota keluarganya sekalipun tidak mampu diingat, tidak
mengenal waktu dan tempat. Keempat orang klien tersebut mengalami
keterbatasan fisik. Semua kegiatan pemenuhan aktifitasnya dibantu dan
tergantung pada keluarga, klien tidak mampu untuk diberikan informasi
dan diubah secara kognitif, afektif maupun psikomotornya. Sehingga
penulis memutuskan untuk tidak memberikan terapi perilaku kepada klien
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
171
Universitas Indonesia
demensia. Untuk memberikan bantuan kepada klien penulis memberikan
terapi psikoedukasi keluarga.
Terapi perilaku diberikan kepada 9 orang klien (50%) dengan skizofrenia.
Hal ini didukung oleh penelitian Fauziah (2010) yang menyatakan bahwa
klien yang mendapatkan terapi antipsikotik masih dapat berpikir rasional
dan dapat dilatih dalam memecahkan masalah. Terapi perilaku dapat
dilakukan pada klien dengan kondisi akut atau klien skizofrenia dengan
defisit perawatan diri yang diberikan obat antipsikosis.
Evaluasi respon terhadap stressor klien juga didukung oleh penelitian
Parendrawati (2008), dalam penelitian tersebut membuktikan bahwa terapi
perilaku lebih bermakna dalam meningkatkan kemampuan klien defisit
perawatan diri. Kemampuan merawat diri pada klien defisit perawatan diri
yang mengikuti terapi perilaku meningkat atau lebih efektif dibandingkan
dengan klien yang tidak mengikuti terapi perilaku. Perilaku klien defisit
perawatan diri dari maladaptif tidak mampu merawat diri menjadi adaptif
dan mampu merawat diri.
Hasil evaluasi pelaksanaan terapi menunjukan bahwa terapi perilaku ini
memberikan efek khususnya untuk lebih mengurangi respon terhadap
stressor klien dengan defisit perawatan diri pada aspek afektif dan sosial.
Pada respon afektif yaitu mengurangi rasa sedih dengan Behaviour
Theraphy (100%). Pada respon sosial yaitu menurunkan respon
ketidaktertarikan klien untuk berinteraksi sosial, dan hasilnya dengan
Behaviour Theraphy (100%), klien mampu berinteraksi sosial.
Pemberian terapi perilaku ini selain meningkatkan respon terhadap stressor
juga meningkatkan kemampuan klien defisit perawatan diri untuk
melakukan perawatan diri. Melalui pemberian Behaviour Theraphy
keyakinan positif klien mencapai angka maksimal (100%).
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
172
Universitas Indonesia
5.5.2 Efektifitas Kombinasi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy
serta Kombinasi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self
Help Group Theraphy Klien Defisit Perawatan Diri
Kombinasi terapi perilaku dengan supportive theraphy dan self help group
menunjukan hasil yang lebih efektif mengubah perilaku klien defisit
perawatan diri. Hal ini terbukti dengan efektifitas terapi tersebut dalam
pencapaian respon perilaku, fisiologis, afektif, sosial dan kognitif. Karena
selain perilakunya direstrukturisasi oleh terapi perilaku, klien juga
disadarkan akan permasalahan yang dialaminya dengan supportive
theraphy. Klien dalam kelompok disadarkan tentang perilakunya yang
tidak benar yang menyebabkan klien mengalami defisit perawatan diri.
Hasil pengkajian pada klien dengan defisit perawatan diri di RW 02 dan
RW 12 menunjukan bahwa banyak klien yang merasa dirinya tidak
mengalami masalah dan merasa tidak yakin akan sembuh yaitu 61,1%.
Kondisi ini juga dapat dijelaskan oleh teori Self Care Orem yang
mengasumsikan bahwa setiap orang bisa melakukan atau mampu berfungsi
secara optimal untuk melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan
perawatan dirinya sendiri secara mandiri tanpa bantuan. Bantuan hanya
akan diberikan ketika klien tidak mampu menggunakan kemampuannya
untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya. Setelah diberikan tindakan
keperawatan spesialis untuk meningkatkan kemampuan, maka klien
dengan masalah defisit perawatan diri mampu memenuhi kebutuhan
perawatan dirinya secara mandiri.
Apabila pada pemberian terapi perilaku peningkatan respon terhadap
stressor hanya maksimal pada aspek afektif dan sosial, maka pada
pemberian terapi secara kombinasi ini peningkatan respon terhadap
stressor bisa terjadi pada kelima aspek secara maksimal. Dengan adanya
kombinasi terapi ini sangat tepat dilakukan dan hasilnya juga menunjukan
hasil yang lebih efektif dalam menurunkan respon negatif defisit
perawatan diri baik respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
173
Universitas Indonesia
Kombinasi terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy diberikan
kepada 3 orang klien (16,7%). Klien tersebut, 2 orang klien (66,7%)
dengan diagnosa medis skizofrenia dan 1 orang klien (33,3%) dengan
diagnosa medis retardasi mental. Hasil yang dicapai bahwa, klien
menunjukkan peningkatan dalam hal respon terhadap stressor pada lima
aspek yaitu kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial sebesar 100%.
Kemampuan dalam melaksanakan perawatan diri meliputi mandi, berhias,
makan minum dan toileting meningkat 100% dan keyakinan positif klien
berupa keyakinan untuk sembuh, keyakinan terhadap tenaga dan
pelayanan kesehatan meningkat 100%.
Kombinasi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group
Theraphy diberikan kepada 4 orang klien (22,2%). Klien tersebut, 3 orang
klien (75%) dengan diagnosa medis skizofrenia dan 1 orang klien (25%)
dengan diagnosa medis retardasi mental. Hasil kombinasi terapi ini
menunjukkan peningkatan respon terhadap stressor pada lima aspek yaitu
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial secara maksimal yaitu
100%. Peningkatan kemampuan dalam hal memenuhi kebutuhan
perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan minum dan toileting
sebesar 100% serta peningkatan keyakinan terhadap kesembuhan, tenaga
dan pelayanan kesehatan juga mencapai angka maksimal yaitu 100%.
Kesimpulan yang dapat penulis sampaikan bahwa dengan pemberian
terapi Behaviour Theraphy pada 13 orang klien, hasil yang didapatkan
bervariasi. Sebanyak 6 orang klien (46,1%) bisa mencapai hasil yang
maksimal untuk meningkatkan respon terhadap stressor dan meningkatkan
kemampuan klien dalam hal perawatan diri. Tiga orang klien (23,1%)
harus mendapatkan terapi kombinasi Behaviour Theraphy dan Supportif
Theraphy, untuk meningkatkan respon terhadap stressor dan kemampuan
untuk melakukan perawatan diri. Sedangkan 4 orang klien (30,8%) setelah
mendapatkan paket terapi kombinasi Behaviour Theraphy, Supportif
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
174
Universitas Indonesia
Theraphy dan Self Help Group Theraphy baru bisa meningkatkan respon
terhadap stressor dan kemampuan untuk melakukan perawatan diri.
5.5.3 Efektifitas Family Psycoeducation Theraphy untuk Merawat Klien
Defisit Perawatan Diri
Family Psycoeducation Theraphy atau terapi psikoedukasi keluarga
diberikan kepada seluruh keluarga dengan anggota keluarga mengalami
gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri, yaitu sebanyak 18
keluarga (100%). Sebelumnya, seluruh keluarga juga sudah diberikan
terapi generalis defisit perawatan diri untuk merawat anggota keluarga.
Terapi spesialis psikoedukasi keluarga merupakan terapi lanjut dari terapi
generalis yang mengukur aspek kognitif, afektif dan psikomotor keluarga
dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa.
Hasil yang didapatkan adalah 100% keluarga memiliki kemampuan dalam
melaksanakan 5 tugas perkembangan keluarga yang meliputi mengenal
masalah defisit perawatan diri, mengambil keputusan untuk merawat
anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri, melakukan
perawatan pada anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri,
memodifikasi lingkungan yang mendukung untuk perawatan anggota
keluarga dengan masalah defisit perawatan diri dan memanfaatkan
pelayanan kesehatan untuk merawat anggota keluarga dengan masalah
defisit perawatan diri.
Kemampuan yang dimiliki keluarga dari hasil pemberian terapi
psikoedukasi keluarga ini adalah keluarga memiliki kemampuan mengenal
permasalahan yang dihadapi dalam merawat anggota keluarga dengan
masalah defisit perawatan diri, keluarga mampu merawat anggota keluarga
dengan masalah defisit perawatan diri, keluarga mampu memanajemen
stress akibat merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan
diri, keluarga mampu memanajemen beban keluarga akibat merawat
anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri dan keluarga
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
175
Universitas Indonesia
mampu memberdayakan masyarakat untuk merawat anggota keluarga
dengan masalah defisit perawatan diri.
5.5.4 Efektifitas Kombinasi Family Psycoeducation Theraphy dan Supportif
Theraphy serta Kombinasi Family Psycoeducation Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group Theraphy untuk Merawat Klien Defisit
Perawatan Diri
Family Psycoeducation Theraphy atau terapi psikoedukasi keluarga
sebenarnya sudah cukup efektif untuk membantu keluarga mengatasi
masalah defisit perawatan diri pada anggota keluarga. Tetapi kombinasi
terapi ini diberikan secara kelompok sehingga selain mengukur
peningkatan kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarag
dengan masalah defisit perawatan diri juga mengukur kemampuan
kelompok dalam membantu merawat klien gangguan jiwa dengan masalah
defisit perawatan diri.
Hasil pelaksanaan kombinasi terapi ini adalah 100% keluarga memiliki
kemampuan dalam melaksanakan 5 tugas perkembangan keluarga yang
meliputi mengenal masalah defisit perawatan diri, mengambil keputusan
untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri,
melakukan perawatan pada anggota keluarga dengan masalah defisit
perawatan diri, memodifikasi lingkungan yang mendukung untuk
perawatan anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri dan
memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk merawat anggota keluarga
dengan masalah defisit perawatan diri.
Kemampuan keluarga dari hasil pemberian kombinasi terapi ini mencapai
peningkatan maksimal yaitu 100%. Kemampuan tersebut adalah
kemampuan keluarga mengenal permasalahan yang dihadapi dalam
merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri,
kemampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan masalah defisit
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
176
Universitas Indonesia
perawatan diri, kemampuan keluarga memanajemen stress akibat merawat
anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri, kemampuan
keluarga memanajemen beban keluarga akibat merawat anggota keluarga
dengan masalah defisit perawatan diri dan kemampuan keluarga
memberdayakan masyarakat untuk merawat anggota keluarga dengan
masalah defisit perawatan diri.
Sedangkan kemampuan yang dimilikikelompok daripelaksanaan
kombinasi terapi ini mencapai angka maksimal 100%. Kemampuan
tersebut adalah kemampuan memberikan motivasi atau dukungan kepada
klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri, kemampuan
melakukan cara perawatan diri dan kemampuan memberikan bantuan
terhadap klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
177 Universitas Indonesia
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan dibahas simpulan dari penyusunan Karya Ilmiah Akhir dan
saran bagi pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik keperawatan
jiwa komunitas.
6.1 Simpulan
Karya Ilmiah Akhir ini memberikan gambaran tentang manajemen kasus
spesialis pada klien dengan defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12
Kelurahan Baranang Siang. Simpulan dari kegiatan yang sudah dilaksanakan
adalah sebagai berikut : Karakteristik klien dengan masalah defisit perawatan
diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang mayoritas berusia
dewasa (21-40) yaitu sebesar 55,6% atau 10 orang klien, rata-rata klien
berpendidikan dasar yaitu sebanyak 6 orang klien (33,33%), belum menikah
(61,1%) atau sebanyak 11 orang klien dan sebagian besar tidak memiliki
pekerjaan 61,1% atau sebanyak 11 orang klien.
Stressor predisposisi penyebab defisit perawatan diri yang paling banyak
ditemukan adalah pada aspek biologis yaitu genetik (44,4%), pada aspek
psikologis yaitu permasalahan komunikasi verbal atau tidak mampu
mengungkapkan keinginan (100%) dan pada aspek sosio kultural yaitu karena
masalah perekonomian yang rendah (83,3%). Stressor presipitasi yang paling
banyak ditemukan pada klien defisit perawatan diri yaitu pada aspek biologis
karena putus obat (55,6%), pada aspek psikologis yaitu pengalaman yang
tidak menyenangkan (77,8%), pada aspek sosio kultural yaitu karena masalah
perekonomian keluarga (88,9%), dengan jumlah stresor lebih dari 3 stresor
(88,9%).
Diagnosa medis yang paling banyak ditemukan adalah skizofrenia paranoid
(55,6%), sedangkan diagnosa keperawatan yang menyertai diagnosa defisit
perawatan diri yaitu isolasi sosial (83,3%), resiko perilaku kekerasan (72,2%)
dan halusinasi (55,6%). Terapi spesialis keperawatan jiwa yang dilakukan di
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
178
Universitas Indonesia
RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang yaitu terapi perilaku
(behaviour theraphy), terapi suportif (supportif theraphy), terapi kelompok
Swa Bantu (self help group) dan terapi psikoedukasi keluarga (family
psicoeducationy). Klien dengan defisit perawatan diri yang mendapatkan
terapi spesialis menunjukkan perubahan perilaku, ini terlihat dari perubahan
respon terhadap stressor yang dialami oleh klien.
Terapi spesialis keperawatan jiwa dengan defisit perawatan diri tidak
berfokus pada satu terapi saja melainkan merupakan gabungan dari beberapa
terapi sesuai dengan kebutuhan klien. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa keberhasilan klien juga merupakan kombinasi dari macam-macam
terapi modalitas yaitu dari terapi keperawatan, psikofarmaka dari medik dan
lainnya.
Hasil evaluasi pelaksanaan terapi menunjukkan bahwa paket terapi yang
memberikan efek khususnya untuk lebih mengurangi respon terhadap stressor
pada klien dengan defisit perawatan diri dan meningkatkan kemampuan klien
untuk merawat diri adalah Behaviour Theraphy (100%), Behaviour Theraphy
dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group (100%). Dari ketiga paket terapi tersebut,
paket terapi ketiga terbukti paling efektif untuk mengatasi masalah klien
defisit perawatan diri, yaitu Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self
Help Group. Sedangkan terapi untuk keluarga, terapi yang efektif untuk
meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat klien defisit perawatan
diri adalah pemberian terapi Family Psycoeducation, Family Psycoeducation
dan Supportif Theraphy serta Family Psycoeducation, Supportif Theraphy
dan Self Help Group. Dari ketiga paket terapi yang diberikan pada keluarga
tersebut, terapi yang terbukti paling efektif untuk meningkatkan kemampuan
keluarga adalah pemberian paket terapi yang ketiga, yaitu Family
Psycoeducation, Supportif Theraphy dan Self Help Group.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
179
Universitas Indonesia
6.2 Saran
Berdasarkan simpulan hasil Karya Ilmiah Akhir, ada beberapa hal yang dapat
disarankan kepada pihak-pihak terkait dalam rangka meningkatkan pelayanan
kesehatan jiwa khususnya di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang.
6.2.1 Departemen Kesehatan
6.2.1.1 Menyusun kebijakan terkait dengan program pelayanan
keperawatan jiwa spesialistik bagi klien di tatanan komunitas.
6.2.1.2 Menetapkan dan mengatur kebijakan terkait dengan
pelaksanaan fungsi rujukan klien gangguan jiwa, khususnya
klien yang memerlukan pengobatan dari puskesmas ataupun
perawatan di rumah sakit.
6.2.2 Dinas Kesehatan Kota Bogor
6.2.2.1 Bekerja sama dengan Mahasiswa Spesialis Keperawatan Jiwa
dalam melatih perawat puskesmas sebagai perawat CMHN
yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan jiwa
di wilayah kerja masing-masing.
6.2.2.2 Memfasilitasi jalannya program Community Mental Health
Nursing dengan instansi lain seperti Dinas Pendidikan dan
Puskesmas.
6.2.2.3 Mengembangkan program CMHN di wilayah lain seperti
Bogor Utara, Bogor Selatan dan Tanah Sereal.
6.2.2.4 Memfasilitasi pelaksanaan penelitian oleh mahasiswa S-2
Keperawatan Jiwa terhadap terapi-terapi spesialis
keperawatan jiwa di area komunitas.
6.2.3 Puskesmas Bogor Timur
6.2.3.1 Perawat CMHN tidak harus melakukan terapi spesialis tetapi
memonitor perkembangan perilaku klien yang telah dilatih.
6.2.3.2 Memberikan informasi dasar kepada Kader Kesehatan Jiwa
(KKJ) tentang tanda-tanda perilaku menyimpang pada klien
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
180
Universitas Indonesia
sehingga dapat menginformasikan kepada perawat CMHN di
Puskesmas Bogor Timur dan bisa ditindaklanjuti.
6.2.3.3 SHG klien yang telah terbentuk, didampingi oleh Kader
Kesehatan Jiwa (KKJ) dalam hal pelaksanaannya, hendaknya
disupervisi secara berkala oleh perawat CMHN.
6.2.4 Program Spesialis Keperawatan Jiwa
6.2.4.1 Melanjutkan kerjasama dengan pihak rumah sakit, selain
untuk praktik mahasiswa juga untuk pengembangan berbagai
terapi keperawatan spesialistik guna untuk menangani klien
dengan masalah keperawatan risiko defisit perawatan diri.
6.2.4.2 Memfasilitasi praktik mandiri keperawatan jiwa spesialis
melalui program standarisasi dan lisensi praktik keperawatan
jiwa spesialis.
6.2.4.3 Hasil temuan pada Karya Ilmiah Akhir ini hendaknya
digunakan sebagai evidence based dalam mengembangkan
terapi sehingga menjadi modalitas terapi keperawatan jiwa
yang efektif dalam mencegah timbulnya masalah kesehatan
jiwa dan meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat.
6.2.5 Riset Keperawatan
6.2.5.1 Perlunya dikembangkan penelitian tentang efektifitas
beberapa paket terapi spesialis pada klien dengan defisit
perawatan diri.
6.2.5.2 Perlunya pengembangan penelitian untuk menguji efektifitas
terapi dengan komparasi berbagai karakteristik klien.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
American Nurses Association. (2000). Scope and Standard of Psychiatric Mental
Health Nursing Practice. Whasington, D.C: American Nurses
Association.
American Psychological Association. (2001). Publication Manual of the
American Psychological Association. (5th
ed.). Washington, DC:
American Psychological Association.
Anonim. (2008). Self Help Group. http://www.minddisorder.com.diperoleh
tanggal 27 Mei 2012
Badudu, J.S. & Zain, S. (1995). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan
Bastaman, T. K. (2010). Kasus Gangguan Jiwa Ringan Semakin Meningkat.
http : //www.duniapustaka.org/. diperoleh pada tanggal 27 Mei 2012.
Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice.
USA: Lippincott Raven Publisher
______________________. (2002). Psychiatric Nursing Contemporary Practice.
USA: Lippincott Raven Publisher
Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The Nurse Patient Journey. (2th
ed.). Philadelphia: W.B. Sauders Company.
Chien, W.T. ; Chan, S.W.C. & Thompson, D.R. (2006). Effects of a Mutual
Support Group for Families of Chinesse People with Schizopheria : 18-
Months Follow Up. http : //bjp.repsych.org. Diperoleh tanggal 27 Mei
2012.
Citron, et.all. (1999). Self Help Groups for Families of Persons with Mental
Illness: Perceived Benefits of Helpfulness. http://www.proquest.com.
diperoleh tanggal 30 Januari 2008
Corey, G. (2003). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika
Aditama.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Riset Kesehatan Dasar 2007.
http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/IndonesiaNasional.pdf,
diperoleh tanggal 27 Mei 2012.
Dinkes Kota Bogor. (2010). Profil Puskesmas Bogor Timur. Bogor
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Friedman, M. M., 2003. Family Nursing: Research, Theori & Practice. (5 nd
ed).
Connecticut: Appleton & Lange.
Frisch, N.C. & Frisch, L.E. (2006) Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.).
Canada: Thompson corporation
Gillies, D.A. (1994). Nursing Management : A System Approach. (3rd
ed.).
Philadelphia: W.B. Saunders Company
Hawari, D. (2001). Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia,
Jakarta : FKUI
Herdman, T. (2012). Nursing Diagnosis : Definition & Classification 2012–2014.
Indianapolis: Willey – Balckwell.
Hunt. (2004). A Resource Kit for Self Help/Support Group for People Affected by
An Eating Disorder.
Isaacs, A. (2005). Lippincott’s Review Series : Mental Health and Psychiatric
Nursing (3 rd ed). Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Kaplan , H.I. ; Saddock, B.J. & . Grebb,J.A. (1997). Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid I. (7th
ed.). Jakarta : Bina
Rupa Aksara. Jakarta
________________. (2007). Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Psikiatri
Klinis. (Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan Klien dan Keluarga dalam Perawatan Klien
Skizofrenia dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor. Disertasi.
Jakarta. FKM UI. tidak dipublikasikan
Keliat, B.A. & Akemat. (2007). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Keliat, B.A., Akemat, Susanti, H. (2011). Manajemen Kasus Gangguan Jiwa
CMHN (Intermediate Course). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran : EGC
_____________________________. (2011). Manajemen Keperawatan Jiwa
Komunitas Desa Siaga CMHN (Intermediate Course). Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran : EGC
_____________________________. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas CMHN (Basic Course). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran :
EGC
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
_____________________________. (2011). Manajemen Keperawatan
Psikososial & Kader Kesehatan Jiwa CMHN (Intermediate Course).
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran : EGC
Maramis, W.F. (2006). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga
Universitas Press.
Maslim, R. (2003). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari
PPDGJ-III. Direktorat Kesehatan Jiwa. Jakarta
Mohr, W. K. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Potter, P.A. & Perry, A. G. (2005). Fundamental of Nursing : Concepts, Process
and Practice. Philadelphia : Mosby Year Book Inc.
Parendrawati, D.,P. (2008). Pengaruh Terapi Token Ekonomi pada Klien Defisit
Perawatan Diri di RSMM Bogor, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak
dipublikasikan
Rawlin, William & Beck. (1998) Mental Health Psychiatric Nursing a Holistic
Life Cycle Approach. 2nd
edition. St Louis: Mosby Year Book.Inc
Shives, L.R. (1998). Basic Concepts of Psychiatric Mental Health Nursing. (4 th
ed), Philadelphia : Lippincott.
__________. (2005). Basic Concepts of Psychiatric Mental Health Nursing. (6th
ed).Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins
Smith & Segal. (2011). Coping with Grief and Loss. Support fot Grieving and
Breavement. http://www.helpguide.org/mental/grief_loss.htm. Diperoleh
tanggal 27 Mei 2012.
Stuart, G.W & Sundeen. (1995). Principles and Practice of Psychiatric Nursing.
(5th
edition). St. Louis : Mosby
Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of Psychiatric
Nursing. (7th edition). St Louis : Mosby
Stuart, G.W (2009). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (9th edition).
St Louis : Mosby
Suliswati, dkk. (2005). Konsep Dasar keperawatan Kesehatan Jiwa. Cetakan I.
EGC. Jakarta.
Tomey, M.A (2001). Nursing Theories and Their Work. The C.V. Mosby
Company St.Louis : Mosby Years Book Inc.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Tomey, A.M & Alligood, M.R. (2006). Nursing Theories and Their Work. (6th
ed). St. Louis : Mosby Years Book Inc.
Townsend, C.M. (2005). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing. (3th
Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit
Universitas Indonesia. 2008. Pedoman Teknis Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa
Universitas Indonesia. Jakarta: UI
Utami, T.W. (2008). Pengaruh Self Help Group terhadap Kemampuan Keluarga
dalam Merawat Klien Gangguan Jiwa di Kelurahan Sindang Barang
Bogor, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan.
Varcarolis, E.M. (2003), Psychiatric Nursing Clinical Guide; Assesment Tools
and Diagnosis . Philadelphia: W.B Saunders Co
Varcarolis, E.M, Carson, V. B, Shoemaker, N. C. (2006). Foundations of
Psychiatric Mental Health Nursing: a Clinical Approach. (5th
ed). St.
Louis: Saunders Elseviers.
Videbeck, S.,L. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3rd
edition).
Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins.
______________. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Wilkinson, J.M. (2005). Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with Nic
Intervention and Noc Outcomes. (8th
ed). New Jersey: Pearson Prentice Hall.
_____________. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC. Edisi 7. Alih bahasa: Widyawati, dkk. Jakarta:
EGC
WHO. (2001). The World Health Report 2001. World Health Organization
_____. (2006). The Lancet. London : Elseiver Properties SA. Publication Data.
_____. (2009). Improving Health System and Service for Mental Health : WHO
Library Catalouging-in-
_____. (2011). Skizofrenia. http://www.who.int/mental_health/entity/. diperoleh
tanggal 27 Mei 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012