Download - Toilet Training
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Pencapaian derajat kesehatan yang optimal bukan
hanya menjadi tanggung jawab dari sektor kesehatan saja, namun sector terkait
lainnya seperti sektor pendidikan, sektor ekonomi, sektor sosial dan pemerintahan
juga memiliki peranan yang cukup besar. Upaya pembangunan di bidang
kesehatan tercermin dalam program kesehatan melalui upaya promotif,
preventif,
kuratif maupun rehabilitatif. Untuk mendukung upaya tersebut
diperlukan
ketersediaan data mengenai penduduk sebagai sasaran program pembangunan
kesehatan (Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2011-2014. 2011).
Depkes RI. (2007) menyatakan pembangunan kesehatan sebagai bagian dari
upaya membangun manusia seutuhnya antara lain diselenggarakan melalui upaya
kesehatan anak yang dilakukan sedini mungkin sejak anak masih dalam
kandungan. Upaya kesehatan yang dilakukan sejak anak masih di dalam
kandungan sampai 5 tahun pertama kehidupannya, ditujukan untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya sekaligus meningkatkan kualitas hidup
anak agar mencapai tumbuh kembang optimal baik fisik, mental, emosional,
maupun sosial serta memiliki intelegensi majemuk sesuai dengan potensi
genetiknya.
1
2
Tujuan Pembangunan Kesehatan sebagaimana yang tercantum didalam Sistem
Ketahanan Nasional (SKN) adalah untuk tercapainya hidup sehat bagi setiap
penduduk Indonesia sehingga mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang
optimal. Untuk itu, perlu ditingkatkan upaya memperluas pelayanan kesehatan
pada masyarakat secara menyeluruh, terpadu, merata, dengan mutu yang baik dan
biaya yang terjangkau. Keberhasilan pembangunan kesehatan berperan penting
dalam meningkatkan mutu daya saing generasi yang mempunyai Sumber Daya
Manusia.
Penduduk sasaran program pembangunan kesehatan sangatlah beragam, sesuai
dengan karakteristik kelompok umur tertentu atau didasarkan pada kondisi siklus
kehidupan yang terjadi. Beberapa upaya program kesehatan memiliki sasaran ibu
hamil, ibu melahirkan, dan ibu nifas; sedangkan beberapa program lainnya dengan
penduduk sasaran terfokus pada kelompok umur tertentu, meliputi : bayi, batita,
balita, anak balita, anak usia sekolah SD, wanita usia subur, penduduk produktif,
usia lanjut dan lain-lain (Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan
Kesehatan 2011 - 2014. 2011).
Sepanjang rentang kehidupannya, semenjak dari masa kehamilan sampai
meninggal manusia selalu mengalami perubahan, baik perubahan dalam bentuk
fisik maupun kemampuan mental psikologis. Perubahan-perubahan tersebut terus
berlangsung karena terjadi pertumbuhan dan perkembangan pada dirinya.
Pertumbuhan dan perkembangan dalam kehidupan manusia merupakan dua sisi
mata uang, yang menunjukkan gambaran yang berbeda namun merupakan dua hal
3
yang tak terpisahkan, bahkan kadang kala dikacaukan pengertiannya (Herawati
Mansur. 2011).
Sigmund Freud cit Sunaryo (2004) dalam teori perkembangannya mengatakan
bahwa anak usia 3-6 tahun termasuk dalam fase anal yaitu ditandai dengan
berkembangnya kepuasan (kateksis) dan ketidakpuasan (antikateksis)
disekitar fungsi eliminasi. Dengan mengeluarkan fases (buang air besar) timbul
perasaan lega, nyaman dan puas. Kepuasan tersebut bersifat egosentrik yaitu anak
mampu mengendalikan sendiri fungsi tubuhnya.
Kebiasaan dalam mengontrol buang air besar dan buang air kecil akan
menimbulkan hal-hal yang buruk pada anak di masa mendatang. Dapat
menyebabkan anak tidak disiplin, manja, dan yang terpenting adalah dimana nanti
pada saatnya anak akan mengalami masalah psikologis. Anak akan merasa
berbeda dan tidak dapat mengontrol buang air besar dan buang air kecil (Ayi.
2012).
Di Indonesia diperkirakan jumlah balita mencapai 30% dari 250 juta jiwa
penduduk Indonesia, dan menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
nasional di perkirakan jumlah balita yang sudah mengontrol buang air besar dan
buang air kecil di usia prasekolah mencapai 75 juta anak. Fenomena ini dipicu
karena banyak hal, pengetahuan yang kurang tentang cara melatih BAB dan BAK,
pemakaian popok sekali pakai, hadirnya saudara baru dan masih banyak hal
lainnya.
4
Melakukan toilet training memang harus melihat kesiapan anak secara fisik
dan mental serta kesiapan orang tua. Namun, prosesnya juga tidak boleh terlambat
dilakukan. Usia dua sampai tiga tahun harus sudah dikenalkan ke toilet, apa itu
BAK dan BAB. Jika sudah lewat dari usia tiga tahun, apalagi ketika akan
memasuki masa sekolah, namun belum diberi toilet training, itu akan berpengaruh
terhadap perkembangan sosial si kecil (Ayi. 2012).
Tidak ada patokan usia kapan toilet training (TT) harus dimulai. Saat
yang
tepat tergantung dari perkembangan fisik dan mental anak. Anak berusia di bawah
12 bulan tidak mempunyai kontrol terhadap kandung kemih dan buang air besar, 6
bulan sesudahnya ada sedikit kontrol. Antara 18 dan 24 bulan beberapa anak
sudah menunjukkan kesiapan, tetapi beberapa anak belum siap sampai usia 30
bulan atau lebih (Rini Sekartini. 2009).
Menurut penelitian American Psychiatric Association dalam Medicastore.
2008, dilaporkan bahwa 10 -20% anak usia 5 tahun, 5% anak usia 10 tahun,
hampir 2% anak usia 12-14 tahun, dan 1% anak usia 18 tahun masih mengompol
(nocturnal enuresis), dan jumlah anak laki-laki yang mengompol lebih banyak
dibanding anak perempuan (http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/134/jtptunimus-
gdl-ekanurulaf-6681-2-bab1.pdf).
Studi teranyar merekomendasikan para orang tua untuk mulai mengenalakan
toilet training saat anak berusia 27-32 bulan. Anak yang baru mulai belajar
menggunakan toilet di atas usia 3 tahun cenderung lebih sering mengompol
hingga usia sekolah. Sebaliknya, bila ibu mulai mengenalkan anak untuk pipis dan
5
buang air besar di toilet sebelum ia berusia 27 bulan justru lebih sering gagal
(Kompas. 2010).
Berdasarkan data awal yang peneliti peroleh di Desa Miruk, Kecamatan
Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar, diperoleh sebanyak 34 ibu yang
memiliki anak usia 2-4 tahun. Dari survey awal yang dilakukan peneliti terhadap
15 orang ibu yang memiliki anak usia 2-4 tahun, 11 diantara anak-anak tersebut
masih memiliki kebiasaan yang salah dalam buang air kecil dan buang air besar.
Misalnya, masih mengompol di malam hari, buang air besar dan buang air kecil di
celana tanpa memberitahu ibu, kurang mandiri dalam hal penggunaan toilet serta
buang air besar dan buang air kecil sambil menangis.
Dari hasil pengamatan sementara peneliti, juga terlihat kurangnya pengetahuan
ibu dalam hal tata cara mengaplikasikan penggunaan toilet terhadap anak-
anaknya, misalnya ibu membentak anaknya pada saat anak mengompol di malam
hari dan buang air besar dan buang air kecil di celana, kemudian kurang tanggap
terhadap anaknya pada saat anak buang air besar dan buang air kecil.
Berdasarkan uraian di atas bahwa keluarga ikut memegang peranan penting
dalam merawat anggota dalam perkembangan yang bisa dicapai seorang anak
terutama dalam kehidupan sehari-hari si anak. Oleh karena itu, peneliti tertarik
melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam
mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa
Miruk Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar.
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian ini
dirumuskan “Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam
mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa
Miruk Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam
mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa
Miruk Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan ibu terhadap pelaksanaan
toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kec. Krueng
Barona Jaya Kab. Aceh Besar.
b. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan ibu terhadap pelaksanaan
toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kec. Krueng
Barona Jaya Kab. Aceh Besar.
c. Untuk mengetahui pengaruh kesiapan psikologis anak terhadap
pelaksanaan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk
Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar.
7
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi ilmu pengetahuan
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan khusus tentang toilet
training pada anak usia 2-4 tahun
2. Bagi peneliti
Sebagai bahan masukan dalam penambahan ilmu pengetahuan dan
pengalaman penulis dalam penerapan ilmu yang diperoleh.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Menambah bahan informasi yang dapat dijadikan referensi bagi
pengembangan ilmu atau penelitian lebih lanjut bagi yang
membutuhkannya khususnya tentang penerapan toilet training pada
anak
usia 2-4 tahun.
4. Bagi masyarakat
Memberikan masukan atau informasi kepada ibu mengenai toilet
training dan perilaku yang seperti apa yang seharusnya dilakukan dalam
melatih toilet training pada anak usia 2-4 tahun.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Toilet Training pada anak
1. Pengertian Toilet Training (Pelatihan Buang Air)
Menurut Hierarki Maslow bahwa kebutuhan dasar manusia yang paling
utama adalah kebutuhan fisik dan biologis. Kebutuhan ini juga berlaku pada
anak, anak butuh makan, minum, menghirup udara segar, kehangatan,
eliminasi baik itu buang air besar maupun buang air kecil. Kesemuanya ini
akan berjalan dengan lancar jika bantuan aktif dari orang tua (Nita Nur
Sugiarti. 2008).
Menurut Gilbert 2003, ada banyak hal yang menyertai pertumbuhan
seorang anak terutama dalam tiga tahun pertama kehidupan. Pertumbuhan dan
perkembangan berlangsung sangat pesat pada lima tahun pertama kehidupan
anak. Proses ini mencakup perkembangan kemampuan kognitif dan perilaku.
Seringkali dalam membesarkan anak, para orangtua terjebak dalam pola pikir
untuk menyelesaikan semua pendidikan anak secepat mungkin, baik itu
berbicara, berjalan, bahkan menggunakan toilet.
Sebenarnya semua hal tersebut merupakan langkah perkembangan normal
yang prosesnya tidak perlu terburu-buru. Menyesuaikan pemberian latihan
dengan usia anak adalah hal yang wajib diperhatikan. Demikian pula dengan
toilet training, di mana orangtua/pengasuh mengajarkan cara-cara buang air
9
kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) di toilet pada anak. Selain itu perlu
diperhatikan teknik pelaksanaan dan sikap orang tua. Berhasil atau tidaknya
fase toilet training ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya
dari seorang anak yaitu kemampuan mengendalikan perkemihan dan
pencernaan
(http://repository.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0808689_chapter2.pdf).
Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak
agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air
besar (Hidayat. 2008).
Toilet Training pada anak adalah latihan menanamkan kebiasaan pada
anak untuk aktivitas buang air kecil dan buang air besar pada tempatnya
(toilet), (Bunda edisi 256. 2011).
Toilet training merupakan cara untuk melatih anak agar bisa mengontrol
hajatnya apakah itu saat ia ingin buang air kecil atau buang air besar, Selain itu
anak diharapkan mampu BAK dan BAB di tempat yang telah ditentukan
(Bunda edisi 256. 2011).
Toilet training adalah upaya pelatihan kontrol buang air kecil dan buang
air besar anak yang masing masing dilakukan oleh sistem perkemihan dan
defekasi
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23318/4/Chapter%20II.pdf).
10
Seseorang mungkin berharap anak segera dapat dilatih untuk melakukan
toilet training. Namun, tak ada patokan waktu yang pasti kapan hal itu
sebaiknya dimulai, apakah di musim semi atau di musim panas, walaupun itu
dianggap ideal. Patokan utamanya adalah kesiapan fisik dan mental anak.
Umumnya, pada anak yang normal mereka akan siap pada usia 18-30 bulan,
atau bahkan pada usia lebih dari itu (Vicki Lansky. 2006).
Peter Stavinoha, penulis buku Stress-Free Potty Training,
mengatakan
bahwa usia tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan kapan anak harus
mulai diajarkan menggunakan toilet. "Meski rata-rata anak sudah bisa
diajarkan di usia 2, 5 tahun tapi tidak semua anak sama. Kuncinya adalah saat
perkembangan fisik, emosi, dan psikologis anak siap” (Kompas. 2010).
Beberapa tanda yang penting pada anak adalah: pola buang air yang lebih
jarang sehingga anak bisa memakai popok kering lebih lama (sekitar beberapa
jam), kemampuan anak untuk mengerti perintah dan penjelasan sederhana,
keinginan untuk menirukan kebiasaan rutin orang dewasa di kamar mandi,
saat anak mulai suka terhadap kerapian dan tidak suka saat merasa dirinya
basah atau kotor. Yang perlu di ingat oleh seorang ibu adalah jika ia memaksa,
hal yang akan terjadi adalah adegan kejar-kajaran dengan si kecil (Vicki
Lansky. 2006).
Jika anak tidak merespon atau menunjukkan minat, atau jika ibu akhirnya
berdebat karena keinginannya berbeda, tundalah seluruh upaya ini sampai
beberapa minggu atau bulan. Sikap seorang ibu sebaiknya tenang dan jangan
11
terlalu banyak memperhatikan anjuran teman atau kerabat (Vicki Lansky.
2006).
Masalah lainnya ialah masalah mengompol (buang air kecil yang tidak
terkontrol) di malam hari sering membuat anak maupun orang tua putus asa.
Umumnya hal ini lebih sering dialami anak laki-laki, dan bisa berlanjut hingga
usia prasekolah, atau bahkan lebih. Sebaiknya ibu minta dokter memeriksa
apakah tidak ada penyebab fisik lain. Hasil penelitian mutakhir menunjukkan
bahwa mengompol dapat dikaitkan dengan reaksi alergi terhadap susu . Atau,
bisa saja mengompol terjadi karena anak tertidur dengan sangat lelap sehingga
tidak membaca tanda-tanda yang diberikan oleh tubuhnya (Vicki Lansky.
2006).
Hal ini dapat ditunjukan anak mampu duduk atau berdiri sehingga
memudahkan anak untuk dilatih buang air besar dan kecil, demikian juga
kesiapan psikologis di mana anak membutuhkan suasana yang nyaman agar
mampu mengontrol dan konsentrasi dalam merangsang untuk buang air besar
atau kecil. Persiapan intelektual pada anak juga dapat membantu dalam proses
buang air besar dan kecil.
Hal ini ditunjukkan apabila anak memahami arti buang air besar atau kecil
sangat memudahkan proses dalam pengontrolan, anak dapat mengetahi kapan
saatnya harus buang air kecil dan kapan saatnya harus buang air besar,
kesiapan tersebut akan menjadikan diri anak selalu mempunyai kemandirian
dalam mengontrol khususnya buang air kecil dan buang air besar (toilet
12
training). Pelaksanaan toilet training dapat dimulai sejak dini untuk
melatih respon terhadap kemampuan untuk buang air kecil dan buang air besar.
Keberhasilan toilet training tergantung pada cara pengajaran bertahap
yang sesuai dengan anak anda. Ibu harus mendukung usaha anak anda. Jangan
menginginkan hasil yang terlalu cepat. Berikan anak pelukan dan pujian jika
mereka berhasil. Bila terjadi kesalahan jangan mamarahi atau membuat
mereka sedih. Hukuman akan membuat mereka merasa bersalah dan membuat
toilet training menjadi lebih lama (Bunda Edisi 256. 2011).
2. Tahapan toilet training
Pengaturan buang air besar dan berkemih diperlukan untuk keterampilan
sosial, mengajarkan toilet training (TT) membutuhkan waktu, pengertian
dan
kesabaran. Hal terpenting untuk diingat adalah bahwa anda tidak dapat
memaksakan anak untuk menggunakan toilet. The American Academy
of
Pediatrics telah mengembangkan brosur ini untuk membantu anak anda
melewati tahap penting perkembangan sosial (Rini Sekartini. 2009).
Pelatihan buang air besar biasanya mulai dilakukan pada saat anak
berumur 2-3 tahun, sedangkan pelatihan buang air kecil dilakukan pada umur
3-4 tahun. Pada umur 5 tahun, kebanyakan anak sudah dapat melakukan
buang air besar sendiri; melepas pakaian dalamnya sendiri, membersihkan dan
mengeringkan penis, vulva maupun anusnya sendiri serta kembali memakai
pakaian dalamnya sendiri.
13
Toilet training memang perlu diajarkan sejak dini pada anak. Tetapi
kebanyakan ibu tidak menunggu sampai sang anak menunjukkan ia ingin
pergi ke toilet sendiri karena takut anaknya tidak akan pernah belajar. Melatih
toilet training juga dapat membantu meringankan beban ibu di saat-saat
harus
menggantikan pampersnya yang sudah kotor. Walau bagaimanapun, sedari
dini anak harus diajarkan toilet training agar melatihnya lebih mandiri (Nita
Nur Sugiarti. 2008).
Mengajarkan toilet training pada anak memerlukan beberapa tahapan
seperti membiasakan menggunakan toilet training pada anak untuk buang
air,
dengan membiasakan anak masuk kedalam WC anak akan lebih cepat
beradaptasi. Anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan
pakaian lengkap dan jelaskan kepada anak kegunaan toilet. Lakukan secara
rutin kepada anak ketika anak terlihat ingin buang air (Nita Nur Sugiarti.
2008).
Anak dibiarkan duduk di toilet pada waktu-waktu tertentu setiap hari,
terutama 20 menit setelah bangun tidur dan selesai makan, ini bertujuan agar
anak dibiasakan dengan jadwal buang airnya. Anak sesekali enkopresis
(mengompol) dalam masa toilet training itu merupakan hal yang normal.
Anak apabila berhasil melakukan toilet training maka orang tua
dapat memberikan pujian dan jangan menyalahkan apabila anak belum
melakukan dengan baik (Nita Nur Sugiarti. 2008).
14
Ibu mungkin berharap anak segera dapat dilatih untuk melakukan toilet
training. Namun, tak ada patokan waktu yang pasti kapan hal itu sebaiknya
dimulai, apakah dimusim semi atau dimusim panas, walaupun itu dianggap
ideal. Patokan utamanya adalah kesiapan fisik dan mental anak (Nita Nur
Sugiarti. 2008).
Prinsip dalam melakukan toilet training ada 2 langkah yaitu melihat
kesiapan anak, persiapan dan perencanaan serta toilet training itu sendiri:
a. Melihat kesiapan anak
Mengajari cara buang air besar yang paling mudah pada anak adalah
ketika anak siap melaksanakan tahapan ini dan ia mampu bekerja sama.
Memulai sebelum anak siap hanya akan mengundang masalah dan sering
menyebabkan kecelakaan dalam pemakaian kamar kecil (Hidayat. 2008).
b. Persiapan dan perencanaan
Prinsipnya ada 4 aspek dalam tahap persiapan dan perencanaan. Hal ini
yang perlu diperhatikan yaitu dengan menggunakan istilah yang mudah di
mengerti oleh anak yang menunjukkan perilaku buang air. Orang tua dapat
memperlihatkan penggunaan toilet pada anak sebab anak-anak cepat
meniru tingkah laku orang tua. Orang tuanya hendaknya segera mungkin
mengganti celana anak bila basah karena enkopresis atau terkena kotoran,
sehingga anak merasa risih bila menggunakan celana yang basah dan
kotor. Meminta padanya untuk memberitahu atau menunjukkan bahasa
tubuhnya apabila ia ingin buang air dan bila anak mampu mengendalikan
15
dorongan buang air maka jangan lupa berikan pujian pada anak (Farida.
2008).
Latihan miksi biasanya dicapai sebelum defekasi karena ini merupakan
aktivitas regular yang dapat diduga. Sementara, defekasi merupakan suatu
sensasi yang lebih besar dari pada miksi, yang dapat menimbulkan
perhatian si anak (Nursalam. Et All. 2005).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan toilet training
a. Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap
pembentukan dan perkembangan perilaku individu baik lingkungan fisik
maupun lingkungan sosio-psikologis termasuk didalamnya adalah belajar
(Sudarajat, 2008).
b. Pendidikan
Tingkat pendidikan berpengaruh pada pengetahuan ibu tentang
penerapan toilet training, apabila pendidikan ibu rendah berpengaruh pada
pengetahuan tentang penerapan toilet training sehingga berpengaruh pada
saat melatih secara dini penerapan toilet training.
Menurut Bloom (1908), untuk kepentingan pendidikan praktis,
dikembangkan manusia dalam tiga ranah perilaku, yaitu pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude), dan praktik atau tindakan (practice).
Mulai 4
dari pengetahuan ibu tentang apa itu toilet training, bagaimana cara toilet
16
training serta apa saja yang dibutuhkan dalam toilet training, setelah ibu
mengetahui tentang toilet training, ibu harus mempersiapkan diri serta balita
untuk latihan toilet training, diharapkan setelah ibu memahami dan
mempersiapkan diri untuk toilet training, ibu dapat mempraktekkan apa yang
telah diketahui dan dipersiapkan untuk toilet training (Notoatmodjo. 2010).
Memang suatu tugas yang besar pada anak adalah toilet training
atau
pendidikan menjadi ceri/bersih. Control volunteer dari spingter ani dan uretha
dicapai pada waktu anak dapat berjalan dan biasanya terjadi antara usia 18-24
bulan (bagi anak yang normal tanpa keterbelakangna mental). Namun, factor
kesiapan psikologis sangat berpengaruh pada kesiapan toilet training (Nursalam,
et All. 2005).
Keberhasilan toilet training tergantung pada: persiapan fisik, persiapan
psikologis, persiapan intelektual (Apriyani Puji Hastuti, 2012)
1) Kesiapan Fisik
Indikator anak kesiapan fisik: anak mampu duduk atau berdiri. Pengkajian
fisik yang harus diperhatikan pada anak yang akan melakukan buang air kecil dan
buang air besar dapat meliputi kemampuan motorik kasar seperti berjalan, duduk,
meloncat dan kemampuan motorik halus seperti mampu melepas celana sendiri.
Kemampuan motorik ini harus mandapat perhatian karena kemampuan untuk
17
buang air besar ini lancar dan tidaknya dapat dilihat dari kesiapan fisik sehingga
ketika anak berkeinginan untuk buang air kecil dan buang air besar sudah mampu
dan siap untu melakukannya. Selain itu, yang harus dikaji adalah pola buang air
besar yang sudah teratur, sudah tidak mengompol setelah tidur (Apriyani Puji
Hastuti, 2012)
2) Kesiapan Psikologis
Indikator kesiapan psikologis: adanya rasa nyaman sehingga anak mampu
mengotrol dan konsentrasi dalam merangsang BAK dan BAB. Pengkajian
psikologis yang dapat dilakukan adalah gambaran psikologis pada anak ketika
akan melakukan buang air kecil dan buang air besar seperti anak tidak rewel
ketika akan buang air besar, anak tidak menangis sewaktu buang air besar atau
buang air kecil, ekspresi wajah menunjukan kegembiraan dan ingin melakukan
secara sendiri, anak sabar dan sudah mau ke toilet selama 5 sampai 10 menit tanpa
rewel atau meninggalkannya, adanya keinginantahuan kebiasaan toilet training
pada orang dewasa atau saudaranya, adanya ekspresi untuk menyenangkan pada
orangtuanya (Apriyani Puji Hastuti, 2012)
3) Kesiapan intelektual
Indiklator kesiapan intelektual: anak paham arti BAK atau BAB memudahkan
pengontrolan anak dapat mengetahui kapan saatnya harus BAB & BAK anak
memiliki kemandirian dalam mengontrol BAB & BAK. Pengkajian intelektual
pada latihan buang air kecil dan buang air besar antara lain kemampuan anak
untuk mengerti buang air kecil dan buang air besar, kemampuan
18
mengkomunikasikan buang air kecil dan buang air besar, anak menyadari
timbulnya buang air kecil dan buang air besar, mempunyai kemampuan kognitif
untuk meniru prilaku yang tepat seperti buang air kecil dan buang air besar pada
tempatnya serta etika dalam buang air kecil dan buang air besar (Apriyani Puji
Hastuti, 2012).
Dalam melakukan pengkajian kebutuhan buang air kecil dan buang air besar,
terdapat beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan selama toilet training,
diantaranya: hindari pemakain popok sekali pakai dimana anak akan merasa
aman, ajari anak mengucapkan kata-kata yang khas yang berhubungan dengan
buang air besar, mendorong anak melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti cuci
muka saat bangun tidur, cuci muka, cuci kaki, dan lain-lain (Apriyani Puji Hastuti,
2012)
4. Cara melatih toilet training pada anak
a. Tehnik lisan
Usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan intruksi pada anak
dengan kata-kata sebelum dan sesudah buang air kecil dan buang air besar.
Cara ini benar dilakukan oleh orang tua dan mempunyai nilai yang cukup
besar dalam memberikan rangsangan untuk buang air kecil dan buang air
besar. Dimana kesiapan psikologis anak akan semakin matang sehingga
19
anak mampu melakukan buang air kecil dan buang air besar (Warta warga,
2009).
Tehnik ini dimana orang tua mengucapkan apa-apa yang ada dalam
pikirannya sendiri, dalam paralel-talk orang tua berperan memverbalkan
apa apa yang mungkin sedang dipikirkan dan dirasakan anak. Dalam hal ini
butuh latihan dan kecermatan orang tua untuk membaca keinginan dan
perasaan anak (Tsurakarta, 2009).
b. Teknik modeling
Usaha untuk melatih anak dalam melakukan buang air kecil dan buang
air besar dengan cara memberikan contoh dan anak menirukannya. Cara
ini juga dapat dilakukan dengan membiasakan anak buang air kecil dan
buang air besar dengan cara mengajaknya ke toilet dan memberikan pispot
dalam keadaan yang aman. Namun dalam memberikan contoh orang tua
harus melakukannya secara benar dan mengobservasi waktu memberikan
contoh toilet training dan memberikan pujian saat anak berhasil dan tidak
memarahi saat anak gagal dalam melakukan toilet training (Warta Warga,
2009).
Dalam terapi bahasa, keterlibatan orang tua sangat mutlak. Karena itu
sebaiknya terapis melibatkan orang tua sejak proses observasi awal,
pembuatan program dan pada tahap terapi. Orang tua tidak harus selalu
hadir diruang terapi, cukup dengan beberapa kali mengajak orang tua
20
mengamati proses terapi dan kemudian melanjutkan model yang sama
dirumah (Tsurakarta, 2009).
B. Manfaat Toilet Training
Dalam Warta Warga (2007), tujuan dari pengajaran toilet training adalah
mengajarkan kepada anak untuk mengontrol keinginannya BAB atau BAK. Hal
ini berhubungan dengan perkembangan sosial anak di mana ia dituntut secara
sosial untuk menjaga kebersihan diri dan melakukan BAB atau BAK pada
tempatnya, yaitu toilet
(http://repository.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0808689_chapter2.pdf).
1. Kemandirian
Toilet Training juga dapat menjadi awal terbentuknya kemandirian anak
secara nyata sebab anak sudah bisa untuk melakukan hal-hal yang kecil seperti
buang air kecil dan buang air besar (Bunda edisi 256, 2011).
2. Mengetahui bagian-bagian tubuh dan fungsinya
Toilet Training bermanfaat pada anak sebab anak dapat mengetahui
bagian-bagian tubuh serta fungsinya (anatomi) tubuhnya. Dalam proses toilet
training terjadi pergantian impuls atau rangsangan dan instink anak dalam
melakukan buang air kecil dan buang air besar (Bunda edisi 256, 2011).
C. Dampak toilet training
21
Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya
perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya yang dapat
mengganggu kepribadian anak atau cenderung bersifat retentive di mana anak
cenderung bersikap keras kepala. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua apabila
sering memarahi anak pada saat buang air atau melarang anak saat berpergian.
D. Konsep Pengetahuan
1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu. Terjadinya pengetahuan adalah setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran, yakni mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif adalah domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo. 2010).
Ahmadi (2003) mengatakan pengetahuan adalah kesan dalam pemikiran
manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya yang berbeda sekali
dengan kepercayaan, takhayul dan penerangan-penerangan yang keliru.
Pengetahuan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain adalah pendidikan formal. Jadi pengetahuan sangat erat hubunganya
dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi,
maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi
22
perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah, mutlak
berpengetahuan rendah pula.
Hal ini mengingat bahwa, peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh
dari pendidikan formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek
mengandung dua aspek yaitu positif dan negative. Kedua aspek ilmiah yang
pada akhirnya akan menentukan sikap seseorang tentang suatu objek tertentu.
Semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan
menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu.
Melalui pengalaman dan penelitian diketahui bahwa perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari
pengetahuan. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007) mengungkap bahwa
sebelum terjadi Adopsi perilaku, di dalam diri sesorang secara berurutan
terjadi proses sebagai berikut:
a) Awareness (kesadaran) yaitu proses menyadari dalam arti
mengetahui stimulus atau objek terlebih dahulu.
b) interest, yakni seseorang mulai tertarik terhadap stimulus
c) Evaluation (evaluasi) yaitu proses menimbang-nimbang baik dan
tidaknya stimulus bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden
sudah lebih baik.
d) Trial, yaitu orang mulai mencoba melakukan sebuah perilaku baru
e) Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus
(Notoatmodjo. 2007).
23
Namun demikian, penelitian selanjutnya membuktikan bahwa tidak
seluruh tahap dilewati dalam pencapaian adopsi. Apabila penerimaan adopsi
sebuah perilaku didasari oleh adanya pengetahuan, kesadaran, dan sikap
positif maka hal tersebut akan menyebabkan perilaku yang langgeng (long
lasting). Sebaliknya apabila perilaku tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran, maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007).
2. Jenis-Jenis Pengetahuan
Pengetahuan seseorang berbeda-beda. Secara garis besar pengetahuan dalam
domain kognitif memiliki enam tingkatan yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai pengingatan (recall) terhadap sebuah materi yang
sebelumnya sudah dipelajari. Termasuk dalam tingkat ini adalah kemampuan
untuk recall atau mengingat kembali sesuatu hal spesifik dari pelajaran
terdahulu. Pengukuran tercapainya kualitas pengetahuan ini adalah dengan
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
Misalnya, tahu bahwa buah tomat banya mengandung vitamin C, jamban
adalah tempat membuang air besar, penyakit demam berdarah ditularkan oleh
gigitan nyamuk Aedes Agepti, dan sebagainya. Untuk mengetahui atau
mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-
pertanyaan, misalnya: apa tanda-tanda anak yang kurang gizi, apa penyebab
penyakit TBC, bagaimana cara melakukan pemberantasan sarang nyamuk, dan
sebagainya (Notoatmodjo. 2010).
24
b. Memahami (comprehension)
Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui, dan dapat menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang
yang telah paham terhadap objek atau materi, maka harus bisa menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya, terhadap
objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui
tersebut pada situasi yang lain. Misalnya, seseorang yang telah paham tentang
perencanaan proses perencanaan, ia harus dapat membuat perencanaan
program kesehatan di tempat ia bekerja atau dimana saja. Orang yang telah
paham metodologi peneletian, ia akan mudah membuat proposal penelitian di
mana saja (Notoatmodjo, 2010).
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam sebuah struktur
pengorganisasian, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan
analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat
25
menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan
sebagainya.
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang
terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa
pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila
orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan,
membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.
Misalnya, dapat membedakan antara nyamuk Aedes Agepty dengan nyamuk
biasa, dapat membuat diagram (flow chart) siklus hidup cacing kremi, dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2010).
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungakan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun suatu hal
baru dari hal-hal yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan,
dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori
atau rumusan yang telah ada (Notoatmodjo, 2010).
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan pekerjaan atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang
26
telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilaksanakan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek
penelitian. Kedalaman pengetahuan yang ingin diukur dapat disesuaikan
dengan tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2010).
3. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan ada 6 yaitu :
a. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang
makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.
Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar
berbentuk sekolah dasar dan madrasah ibtidayah atau bentuk lain yang
sederajat, serta sekolah menengah pertama dan madrasah sanawiyah atau
bentuk lain sederajat, pendidikan menengah terdiri dari pendidikan menengah
umum dan pendidikan tinggi terdiri dari diploma, sarjana, magister, spesialis
dan dokter yang di selengarakan perguruan tinggi (Sisdiknas, 2003).
b. Media / informasi.
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal
dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact)
sehingga
menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi
27
akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi
pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi,
berbagai bentuk media masa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan
lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan
kepercayaan orang.
Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa
membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini
seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan
kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut (Hidayat,
2007).
Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang.
Meskipun seseorang memiliki pendidikan rendah, tetapi jika ia mendapatkan
informasi yang baik dari berbagai media dapat meningkatkan pengetahuan
seseorang (Hidayat, 2007).
Pengetahuan seseorang tidak secara mutlak dipengaruhi oleh pendidikan
karena pengetahuan dapat juga diperoleh dari pengalaman masa lalu, namun
tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami informasi yang diterima yang kemudian menjadi
dipahami.
c. Sosial budaya dan ekonomi
Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran
apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan
bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi
seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan
28
untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan
mempengaruhi pengetahuan seseorang.
d. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap
proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam
lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik
ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
e. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan
masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang
dikembangkan memberikan pengetahuan dan ketrampilan profesional serta
pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan
mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar
secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerja.
Semua pengalaman pribadi dapat merupakan sumber kebenaran
pengetahuan, namun perlu diperhatikan disini bahwa tidak semua pengalaman
pribadi dapat menuntun seseorang untuk menarik kesimpulan dengan benar,
diperlukan berpikir kritis dan logis (Notoadmodjo, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pengetahuan diantaranya
adalah pengalaman, semakin banyak seseorang mendengar, melihat dan
29
melakukan tindakan maka semakin bertambah pengetahuan tentang subjek
tersebut (Taufik, 2007).
f. Usia
Mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola
pikirnya. Menurut teori Notoadmodjo (2007), mengemukakan bahwa makin
tua umur seseorang maka proses-proses perkembangan mentalnya bertambah
baik, akan tetapi pada umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan
mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun. Selain itu
memang daya ingat seseorang dipengaruhi oleh umur. Bertambahnya umur
seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang
diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut
kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang.
Pengetahuan sebagai bagian dari perilaku kesehatan, dipengaruhi oleh 3
faktor utama yaitu:
a. Faktor predisposisi (predisposing factor)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat, tradisi dan
kepercyaan masyarakat, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat
pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut. Untuk berperilaku kesehatan, misalnya menjaga kesehatan ibu
hamil, diperlukan pengetahuan dan kesadaran tentang manfaat. Di samping
itu, kepercayaan, tradisi, dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong
dan menghambat perilaku. Faktor-faktor ini terutama yang positif dapat
30
mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering pula disebut dengan faktor
pemudah.
b. Faktor pemungkin (enabling factor)
Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas untuk
tercapainya perilaku, misalnya perilaku kesehatan masyarakat. Contohnya
adalah ketersediaan air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat
pembuangan tinja, ketersediaan makanan bergizi, dan sebagainya. Termasuk
pula di dalam hal ini fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga medis. Untuk
berperilaku sehat, masyarakat membutuhkan sarana dan prasarana mendukung
yang memadai. Seseorang yang melakukan perilaku sehat bukan hanya karena
kesadaran dan pengetahuan, melainkan juga karena ketersediaan fasilitas.
Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya
perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau
faktor pemungkin pemudah.
c. Faktor penguat (reinforcing factor)
Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh
agama, sikap dan perilaku para petugas, termasuk petugas kesehatan.
Termasuk juga undang-undang, peraturan, baik dari pusat maupun dari perda.
Selain kesadaran dan pengetahuan yang didukung oleh fasilitas yang
memadai, seseorang dalam berperilaku juga membutuhkan perilaku contoh
(acuan) dari tokoh-tokoh. Selain itu peraturan dan undang-undang juga
31
memperkuat keberadaan suatu perilaku.Oleh sebab itu, intervensi pendidikan
hendaknya dimulai dengan memperhitungkan ketiga faktor tersebut, kemudian
intervensinya diarahkan pula pada ketiga faktor tersebut. Pendekatan ini
disebut dengan model Precede, yaitu predisposing, reinforcing, and
enabling cause in educational diagnosis and evaluation
(Notoatmodjo. 2010).
E. Pendidikan
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga
mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Pengetahuan
seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena semakin tinggi pendidikan
seseorang maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya, pendidikan meliputi
SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi (Notoatmodjo. 2005).
Pendidikan dalam arti formal sebenarnya adalah suatu proses paparan/materi
pendidikan kepada sasaran pendidikan (anak didik) guna mencapai perubahan
tingkah laku/tujuan pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan sikap,
kepercayaan, keterampilan aspek-aspek kelakuan lainnya. Setiap individu pada
umumnya menginginkan pendidikan makin banyak dan makin tinggi pendidikan
seseorang maka makin baik tingkat pengetahuan yang dimilikinya (Notoatmodjo.
2005).
Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003, system pendidikan nasional menyatakan
bahwa pendidikan adalah suatu usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
32
mangembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bansa dan negara.
Tingkat pendidikan ibu turut menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memehami pengetahuan yang mereka peroleh. Dari kepentingan
keluarga pendidikan itu sendiri amat diperlukan seseorang agar lebih tanggap
adanya masalh perkembangan anak salah satunya penerapan toilet training di
dalam keluarganya.
Adapun tujuan pendidikan menurut Notoatmodjo (2005) adalah suatu upaya
untuk menanamkan pengetahuan atau pengertian pendapat dan konsep-konsep,
persepsi serta menanamkan tingkah laku. Kebiasaan yang baru semakin tinggi dan
semakin formal tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang semakin besar pula
kegiatan yang bersifat intelek yang dilakukan seperti halnya dalam memilih
tempat pemerikasaan kehamilan untuk mendapatkan pelayanan pada ibu hamil.
Jangka pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan
tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan
yang dikembangkan adalah jenjang pendidikan terdiri dari pendidikan ini
merupakan pendidikan awal selama 9 tahun pertama maka sekolah anak-anak
yaitu menengah. Pendidikan menengah merupakan lenjutan pendidikan dasar,
diakhiri masa pendidikan SMP, para siswa harus mengikuti dan lulus ujian
nasional untuk dapat melanjutkan pendidikan ke SMA. Pendidikan menengah ke
atas merupakan lanjutan dari pendidikan menengah pertama. Pendidikan
33
perguruan tinggi merupakan lanjutan dari pendidikan menengah atas dengan
pengetahuan dan perubahan sifat yang semakin bertambah dewasa (Wordpress.
Com/2008).
F. Kesiapan psikologis anak
Secara umum psikologi diartikan ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia. Atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala jiwa manusia.
Sedangkan jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak yang menjadi
penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan pribadi (personal behavior)
dari
hewan tingkat tinggi dan manusia. Perbuatan pribadi ialah perbuatan sebagai hasil
proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniah, sosial dan
lingkungan (Abu Ahmadi. 2009).
Psikologi kognitif ialah suatu ilmu yang mempelajari proses-proses
membentuk gagasan, menyelesaikan beragam masalah dan membuat keputusan
(Laura A. king. 2010).
Masa prasekolah merupakan fase perkembangan individu pada usia 2-6
tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau
wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal
beberapa hal yang dianggap mencelakakan dirinya (berbahaya), (Herawati. 2011)
Karena manusia pertama-tama tergantung sekali pada orang lain, maka
penting sekali peranan orang tersebut misalkan ibu, terhadap perkembangan
kepribadian anak. Pengaruh orang tua dan lingkungan masa kanak-kanak itu tidak
berhenti dimasa kanak-kanak saja, tetapi berlangsung terus, kadang-kadang
34
sampai seumur hidup, khususnya pengaruh yang berupa pengalaman-pengalaman
yang menegangkan, menakutkan, mengoncangkan, membahayakan dan lain-lain
(Sarwono. 2003).
Pada usia 2-3 tahun seorang anak mulai melihat kemampuan-kemampuan
tertentu pada dirinya. Sikap terhadap orang tua mulai berubah. Disatu pihak masih
membutuhkan orang tua, dilain pihak rasa keakuannya mulai tumbuh dan ia ingin
mengikuti kehendak-kehendaknya sendiri (sarwono.2003).
Menurut Hurlock tahun 1980, buang air yang terkendali atau terlatih
merupakan keterampilan fisik dan motorik yang harus dicapai oleh bayi.
Kemampuan untuk mengendalikan buang air ini sangat bergantung pada
kematangan otot dan motivasi yang dimiliki. Ketika baru lahir bayi belum mampu
mengendalikan buang airnya, sehingga buang air dilakukan setiap saat. Pada usia
4 bulan, interval buang airnya sudah dapat diramalkan (Herawati. 2011).
Pengendalian buang air besar rata-rata dimulai pada usia 6 bulan, dan
kebiasaan pengendalian buang air besar baru terbentuk pada akhir masa bayi.
Sedangkan pengendalian buang air kecil dimulai pada usia 15 hingga 16 bulan,
namun sampai akhir masa bayi pengendalian buang air kecil ini belum sempurna
(Herawati. 2011).
Seorang psikolog perkembangan mengatakan, kalau bayi tidak merasa
mengompol karena selalu pakai pospak, ia jadi kehilangan kesempatan belajar
kenal tanda-tanda mau buang air kecil (BAK) dan keinginan untuk
mengendalikannya hingga tiba di tempat yang semestinya, yakni toilet. Kita sama-
35
sama tahu, bayi mungil belum memiliki kemampuan mengontrol pembuangannya,
baik BAK maupun BAB (http://www.infospesial.net/6303/5-manfaat-ngompol-
pada-anak/)
Kemampuan mengontrol buang air besar (BAB), rata-rata dimulai pada usia 6
bulan. Sedangkan kemampuan mengontrol BAK berkisar antara 15-16 bulan.
Umumnya bayi yang berusia kurang dari 6 bulan akan BAK setiap 1-2 jam sekali.
Memasuki usia 6 bulan ke atas, frekuensi tersebut mulai berkurang. Sayangnya,
tak semua orangtua menyadari bahwa mengompol pada bayi memberikan banyak
manfaat untuk tumbuh kembangnya kelak. http://www.infospesial.net/6303/5-
manfaat-ngompol-pada-anak/).
Tak perlu khawatir bahwa mengompol akan mengganggu tidur si bayi, karena
umumnya setelah diganti popok dan alasnya, ia akan tertidur kembali. Pada masa
tidur itulah tubuhnya aktif memperbaiki sel-sel otak yang rusak dan memproduksi
sekitar 75% hormon pertumbuhan. Namun patut diingat, umumnya bayi tidak
memiliki masalah tidur, ia bisa cepat tertidur pulas kembali setelah ngompol
(http://www.infospesial.net/6303/5-manfaat-ngompol-pada-anak/).
Menurut psikolog Ivonne Edr SPsi, kepala divisi TPA Ubaya, saat yang tepat
untuk memulai toilet training adalah ketika anak dan orang tua sama-sama siap.
”Anak mulai bisa mengenali bahwa popok atau celananya basah atau kotor serta
bisa mengeluarkan kata-kata sederhana seperti ’Ma, pipis’ . Sementara itu, bunda
juga sedang tidak terikat dengan komitmen lain sehingga bisa fokus,” paparnya
(Jawa Pos. 2012).
36
Memasuki usia 18 bulan, pada umumnya si kecil sudah mampu berjalan
untuk menuju ke toilet, tentunya dengan pengawasan orang tua. Pada usia
tersebut, dia juga mulai bisa mengenali ada rasa basah yang tidak nyaman di
tubuhnya. Selain melihat kesiapan fisiknya, perhatikan juga kesiapan mental atau
psikologis si anak. Sebab, seorang anak yang sudah siap secara fisik belum tentu
siap meninggalkan kenyamanan popoknya (Jawa Pos. 2012).
Tahap awal, biasanya anak menunjukkan reaksi fisik atau tanda-tanda saat
ada tekanan dari dalam tubuhnya. ”Tanda-tanda yang diperlihatkan setiap anak
bisa jadi berbeda. Ortu harus peka mengenali ketika anak mengejan, meremas
celananya, menyilangkan kaki, mundur ke pojok, atau bersembunyi. Tandanya dia
akan BAK atau BAB,” urai Ivonne (Jawa Pos. 2012).
Adapun Faktor-faktor yang mendukung Toilet Training pada anak:
a. Kesiapan Fisik
1. Usia telah mencapai 18-24 bulan
2. Dapat jongkok kurang dari 2 jam
3. Mempunyai kemampuan motorik kasar seperti duduk dan berjalan
4. Mempunyai kemampuan motorik halus seperti membuka celana
dan pakaian
b. Kesiapan Mental
1. Mengenal rasa ingin berkemih dan devekasi
2. Komunikasi secara verbal dan nonverbal jika merasa ingin
berkemih.
37
3. Keterampilan kognitif untuk mengikuti perintah dan meniru
perilaku orang lain
c. Kesiapan Psikologis
1. Dapat jongkok dan berdiri ditoilet selama 5-10 menit tanpa
berdiri dulu
2. Mempunyai rasa ingin tahu dan penasaran terhadap kebiasaan
orang dewasa dalam BAK dan BAB
3. Merasa tidak betah dengan kondisi basah dan adanya benda padat
dicelana dan ingin segera diganti
d. Kesiapan Anak
1. Mengenal tingkat kesiapan anak untuk berkemih dan devekasi
2. Ada keinginan untuk meluangkan waktu untuk latihan berkemih
dan devekasi pada anaknya
3. Tidak mengalami koflik tertentu atau stress keluarga yang berarti
(Perceraian), (Warta Warga. 2009).
G. Kerangka Teori
Menurut teori Hidayat yaitu:
1. Dukungan keluarga
2. Kemandirian anak
3. Kesiapan anak
38
a. Kesiapan fisik
b. Psikologis
c. Intelektual
Menurut teori Henry yaitu:
1. Pengetahuan
Menurut teori Notoatmodjo yaitu:
1. Pendidikan
2. Pengalaman
Gambar 2.1. kerangka Teori
Ibu dalam
mengaplikasikan
kesiapan Toilet Training
pada anak usia 2-4 Tahun
39
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
H. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian ini dibuat berdasarkan teori menurut Henry
(2008) yaitu: pengetahuan Toilet training sangat penting dimiliki oleh seorang
ibu. Sedangkan menurut Hidayat (2005) yang menyatakan bahwa kehidupan anak
juga sangat di tentukan dari keberadaanya bentuk dukungan dari keluarga, ketika
masuk fase kemandirian anak dan kesiapan anak. Berdasarkan uraian diatas maka
kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seperti gambar dibawah ini :
Variabel Independen
Pengetahuan Ibu
Pendidikan Ibu
Kesiapan psikologis anak
Gambar 3.1
Variabel Dependen
Ibu dalammengaplikasikan kesiapan Toilet Training pada anak
usia 2-4 Tahun
Kerangka Konsep Penelitian
40
I. Definisi Operasional
VariablePenelitian
DefinisiOperasional
Cara Ukur AlatUkur
Hasil Ukur
Variabel Dependen
Kesiapan ibu
dalam
mengaplikasikan
toilet training
pada anak usia 2-
4 tahun
Latihan
penggunaan
toilet untuk
mengontrol
BAB dan
BAK
Membagikan
kuesioner
kepada ibu yang
memiliki anak
usia 2-4 tahun
Kuesioner - Ada
- Tidak Ada
Variabel Independen
Pengetahuan Ibu Pemahaman
ibu tentang
cara mengajari
toilet training
dengan benar
pada anak
Membagikan
kuesioner
kepada ibu yang
memiliki anak
usia 2-4 tahun
Kuesioner - Tinggi bila
x > 12
- Sedang bila
x = 8-12
- Rendah bila
x < 8
Pendidikan Ibu Pendidikan
formal yang
telah
diselesaikan
ibu
Membagikan
kuesioner
kepada ibu yang
memiliki anak
usia 2-4 tahun
Kuesioner - Tinggi
- Menengah
- Dasar
Kesiapan
psikologis Anak
Adanya rasa
ingin tahu
anak dan rasa
nyaman dalam
mengontrol
BAB & BAK
Membagikan
kuesioner
kepada ibu yang
memiliki anak
usia 2-4 tahun
Kuesioner - Ada bila x
≥ 4
- Tidak Ada
bila x < 4
Tabel 3.1
Definisi Operasional
J. Hipotesa Penelitian
41
1. Ha : Ada pengaruh antara pengetahuan ibu dalam mengaplikasikan
kesiapan toilet training terhadap anak usia 2-4 tahun di desa Miruk,
kecamatan Krueng Barona jaya, kab Aceh Besar.
2. Ha : Ada pengaruh antara pendidikan ibu dalam mengaplikasikan kesiapan
toilet training terhadap anak usia 2-4 tahun di desa Miruk, kecamatan
Krueng Barona jaya, kab Aceh Besar.
3. Ha : Ada pengaruh antara kesiapan psikologis anak dalam
mengaplikasikan kesiapan toilet training terhadap anak usia 2-4 tahun
di desa Miruk, kecamatan Krueng Barona jaya, kab Aceh Besar.
42
BAB IV
METODE PENELITIAN
K. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian
yang bersifat analitik yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan
utama mencari faktor-faktor pengaruh dengan pendekatan cross
sectional (Notoatmodjo, 2005). Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui fakfor-
faktor yang mempengaruhi ibu dalam mengaplikasikan kesiapan toilet training
pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk kec. Krueng barona jaya, kab. Aceh besar.
L. Populasi Dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto. 2010).
Berdasarkan pendapat di atas maka yang akan menjadi populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak dengan usia 2-4 tahun
yang berada atau tinggal di desa Miruk, kecamatan Krueng Barona Jaya,
Kabupaten Aceh Besar yang berjumlah sebanyak 37 orang.
43
b. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil dari polpulasi yang diteliti (Arikunto.
2010). Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah accidental
sampling, dimana semua ibu yang memiliki anak dengan usia 2-4
tahun
yang berada atau tinggal di desa Miruk, kecamatan Krueng Barona Jaya,
Kabupaten Aceh Besar yang berjumlah sebanyak 37 orang pada saat
penelitian dilakukan.
M. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat
Penelitian akan dilaksanakan di desa Miruk, Kecamatan Krueng Barona
Jaya, Kabupaten Aceh Besar tahun 2013.
b. Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 20-29 Juli 2013.
N. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari empat bagian:
1. Bagian 1 terdiri dari data identitas umum dari responden
2. Bagian 2 terdiri dari 1 pertanyaan tentang pelaksanaan (aplikasi) toilet
training
3. Bagian 3 terdiri dari 16 pertanyaan mengenai pengetahuan ibu tentang
toilet training.
4. Bagian 4 terdiri dari 1 pertanyaan tentang pendidikan yang telah ditempuh
ibu secara formal.
44
5. Bagian 5 terdiri dari pertanyaan mengenai kesiapan psikologis anak dalam
aplikasi toilet training.
O. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer yaitu dengan membagikan
kuesioner kepada ibu yang mempunyai anak usia 2-4 tahun. Untuk menghindari
kesalahan teknis dalam memberikan jawaban, peneliti memberi penjelasan tentang
petunjuk dalam pengisian kuesioner. Data sekunder di dapat dari Bidan Desa
setempat.
P. Instrumen Penelitian
Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner atau angket
merupakan pertanyaan tertulis yang diajukan kepada responden. Kemudian
jawaban diisi oleh responden sesuai dengan daftar isian yang diterima (Eko
Budiarto. 2001).
Instrumen penelitian dengan menggunakan penyebaran kuesioner yang di
dalamnya berisi 25 pertanyaan yang terdiri dari, ada tidaknya aplikasi toilet
training pada anak sebanyak 1 pertanyaan, pengetahuan ibu sebanyak 16
pertanyaan, pendidikan ibu sebanyak 1 pertanyaan, kesiapan psikologis anak
sebanyak 7 pertanyaan.
Q. Metode Pengolahan data dan Analisa Data
1. Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan proses yang sangat penting dalam penelitian.
Oleh karena itu, harus dilakukan dengan baik dan benar (Eko Budiarto. 2001).
45
Setelah data terkumpul melalui angket atau kuisioner maka dapat
dilakukan pengolahan data melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi Data (Editing)
Dimana peneliti akan melakukan penelitian terhadap data yang
diperoleh dan diteliti apakah terdapat kekeliruan atau tidak dalam
penelitian.
b. Pemberian Kode (Coding)
Peneliti memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data sehingga
memudahkan dalam melakukan analisis data.
c. Pengelompokan Data (Tabulating)
Pada tahap ini jawaban-jawaban responden yang sama
dikelompokan dengan teliti dan teratur lalu dihitung dan dijumlahkan
kemudian dituliskan dalam bentuk tabel-tabel.
2. Analisa Data
a. Analisa Univariat
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan teknik statistik
sederhana dalam bentuk bivariat, yaitu untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anak
usia 2-4 tahun. Penilaian hasil ukur yang digunakan adalah sebagai
berikut:
46
Menurut Budiarto, 2001 untuk menentukan nilai mean ( x ) dengan
menggunakan rumus:
Mean x
x n
Keterangan:
x = rata-rata (mean)
x = Jumlah data
n = Jumlah responden
Sehingga untuk pengetahuan dapat di kategorikan (Notoatmodjo, 2003):
Tinggi bila : × ≥ ̅�Rendah bila : ×< ̅�Sedangkan analisa data dalam penelitian ini akan ditampilkan dalam
bentuk distribusi frekuensi dengan rumus (Budiarto, 2001):
P =f/n x 100 %
Keterangan :
P = Persentase
f = Frekuensi jawaban sampel
N= Jumlah responden
b. Analisa Bivariat
47
Analisa Bivariat merupakan analisa hasil dari variabel bebas diduga
mempunyai hubungan dengan variabel terikat. Analisa yang digunakan
adalah hasil tabulasi silang. Untuk menguji hipotesa dilakukan analisa
statistic dengan uji Chi - Square Tes (x) pada tingkat kemaknaan 95%
(p.
Value < 0,05). Sehingga dapat diketahui perbedaan tidaknya yang
bermakna secara statistic, dengan menggunakan program khusus SPSS for
windows. Melalui perhitungan Chis - Square selanjutnya ditarik
suatu
kesimpulan, bila nilai P lebih kecil dari nilai (0,05), maka Ho ditolak
dan Ha diterima, yang menunjukkan ada hubungan bermakna antara
variabel terikat dengan variabel bebas.
Data dianalisis dengan statistik deskriptif dan statistik inferensial,
dengan dibantu program SPSS versi 1, 0 (Statistical Product And
Service) dengan ketentuan Chi Square sebagai berikut:
a. Bila tabel 2x2, dan tidak ada nilai Expected (harapan) / E <5, maka
uji
yang dipakai sebaiknya “Continuity Correction (a)”.
b. Bila tabel 2x2, dan ada nilai Expected (harapan) / E <5, maka uji
yang
dipakai adalah “Fisher’s Exact Test”.
c. Bila tabelnya lebih dari 2x2, misalnya 2x3, 3x3 dan lain-lain, maka
digunakan uji “Pearson Chi square”
d. Sedangkan “Uji Likehood Ratio”, biasanya digunakan lebih spesifik,
misalnya analisis statifikasi pada bidang epidemiologi dan juga untuk
mengetahui hubungan linear dua variabel kategori, sehingga kedua
jenis ini jarang dipakai.
48
Kemudian untuk mengetahui ada tidaknya nilai E kurang dari 5 (untuk
melihat ada tidaknya hubungan tiga variabel) , maka dilihat pada
footnote a di bawah kotak Chi Square (Riyanto. 2010).
49
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Miruk merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Krueng
Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar dengan luas wilayah ±67 hektar, yang terletak
disebelah Timur Kota Banda Aceh dengan jarak ke pusat kota Provinsi NAD ±4
KM, dan jarak tempuh ke Pusekesmas ± 1 KM.
Desa Miruk terbagi atas empat dusun yaitu dusun Lampoh ladeh, dusun
Ujoeng krueng, dusun Ujoeng blang, dan dusun Ujoeng mesjid, dengan batas-
batas wilayah :
1. Sebelah Timur Berbatasan dengan Desa Lampermai dan desa Gla menasah
baro
2. Sebelah selatan berbatasan dengan sungai Krueng aceh
3. Sebelah Barat Berbatasan dengan Desa Pango
4. Sebelah Utara Berbatasan dengan Desa Ceurih
Distribusi penduduk desa Miruk Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten
Aceh Besar berdasarkan jumlah penduduk adalah +1234 jiwa dan KK berjumlah
270.
50
B. Hasil Penelitan
Berdasarkan pengumpulan data yang peneliti lakukan mulai dari tanggal 20
Juli sampai dengan Tanggal 29 Juli 2013 pada Ibu yang memiliki anak usia 2-4
tahun di desa Miruk Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten Aceh Besar tahun
2013 dengan jumlah sampel 37 orang diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Analisa Univariat
a. Kesiapan Ibu Dalam Mengaplikasikan Toilet Training
Tabel 5.1Distribusi Frekuensi Kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet training
Pada Anak Yang Berusia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan
Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013
No Kesiapan Ibu Frekuensi %
1 Ada 16 43.2
2 Tidak ada 21 56.8
Total 37 100
Sumber : Data primer diolah tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.1 menunjukan bahwa dari 37 responden, mayoritas
berada pada kategori ibu yang tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan
toilet training yaitu sebanyak 21 responden (56.8%).
51
b. Pengetahuan Ibu
Tabel 5.2Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu dalam Mengaplikasikan Toilet
Training Pada Anak Yang Berusia 2-4 Tahun di Desa Miruk
Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar
Tahun 2013
No. Pengetahuan Frekuensi %
1 Tinggi 13 35.1
2 Sedang 12 32.4
3 Rendah 12 32.4
Total 37 100
Sumber : Data primer diolah tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.2 menunjukan bahwa dari 37 responden, mayoritas
berada pada kategori pengetahuan ibu tinggi dalam mengaplikasikan kesiapan
toilet training yaitu sebanyak 13 responden (35.1%).
c. Pendidikan Ibu
Tabel 5.3Distribusi Frekuensi Pendidikan Ibu Yang Memiliki Anak Usia 2-4
Tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona JayaKabupaten Aceh Besar Tahun 2013
No. Pendidikan Frekuensi %
1 Tinggi 12 32.4
2 Menengah 14 37.8
3 Dasar 11 29.7
Total 37 100
Sumber : data primer diolah tahun 2013
52
Berdasarkan tabel 5.3 menunjukan bahwa dari 37 responden, mayoritas
berada pada kategori pendidikan menengah dalam mengaplikasikan kesiapan
toilet training yaitu sebanyak 14 responden (37.8%).
d. Kesiapan Psikologis Anak
Tabel 5.4Distribusi Frekuensi Kesiapan Psikologis anak terhadap Toilet Training
Pada Anak Yang Berusia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan
Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh BesarTahun 2013
No Kesiapan Psikologis Anak Frekuensi %
1 Ada 16 43.2
2 Tidak ada 21 56.8
Total 37 100
Sumber :data Primer diolah tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.4 menunjukan bahwa dari 37 responden, mayoritas
berada pada kategori anak yang tidak ada kesiapan psikologis yaitu sebanyak 21
responden (56.8%).
53
2. Analisa Bivariat
a. Hubungan Pengetahuan ibu dengan Kesiapan ibu dalam Mengaplikasikan
Toilet Training
Tabel 5.5Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan kesiapan ibu dalam Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan
Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh BesarTahun 2013
No PengetahuanKesiapan Ibu
TotalAda Tidak ada
1 Tinggi 9 (69.2%) 4 (30.8%) 13 (100%)
0.052 Sedang 5 (41.7%) 7 (58.3%) 12 (100%)
3 Rendah 2 (16.7%) 10 (83.3%) 12(100%)
Total 16 (43.2%) 21 (56.8%) 37 (100%)
Sumber : data diolah tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.5 menunjukan bahwa dari 13 responden yang memiliki
pengetahuan tinggi ternyata 9 responden (69.2%) memiliki kesiapan dalam
mengaplikasikan toilet training, dari 12 responden yang memiliki pengetahuan
sedang ternyata 7 responden (58.3%) tidak memiliki kesiapan dalam
mengaplikasikan toilet training, dan dari 12 responden yang memiliki
pengetahuan rendah ternyata 10 responden (83.3%) tidak memiliki kesiapan
dalam mengaplikasikan toilet training.
54
Setelah dilakukan uji statistik dengan Chi Square test diperoleh nilai p value =
0.030 (p value < 0.05), dengan demikian hipotesa (Ha) yang menyatakan ada
pengaruh antara pengetahuan ibu dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan
toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng
barona jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 terbukti (diterima).
b. Hubungan Pendidikan Ibu Dengan Kesiapan Ibu Dalam Mengaplikasikan
Toilet Training
Tabel 5.6Hubungan Pendidikan Ibu Dengan kesiapan ibu dalam Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan
Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh BesarTahun 2013
No PendidikanKesiapan Ibu
TotalAda Tidak ada
1 Tinggi 10 (83.3%) 2 (16.7%) 12 (100%)
0.052 Menengah 5 (35.7%) 9 (64.3%) 14 (100%)
3 Dasar 1 (9.1%) 10 (90.9%) 11 (100%)
Total 16 (43.2%) 21 (56.8%) 37 (100%)
Sumber : data diolah tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.6 menunjukan bahwa dari 12 responden yang
berpendidikan tinggi ternyata 10 responden (83.3%) memiliki kesiapan dalam
mengaplikasikan toilet training, dari 14 responden yang berpendidikan
menengah
ternyata 9 responden (64.3%) tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan
toilet training, dan dari 11 responden yang berpendidikan rendah ternyata 10
55
responden (90.9%) tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet
training.
Setelah dilakukan uji statistik dengan Chi Square Test diperoleh nilai p
value = 0.001 (p value < 0.05), dengan demikian hipotesa (Ha) yang menyatakan
ada pengaruh antara pendidikan ibu dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan
toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng
barona jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 terbukti (diterima).
c. Hubungan Kesiapan Psikologis Anak dengan Kesiapan Ibu
Tabel 5.7Hubungan Kesiapan Psikologis Anak Dengan kesiapan ibu dalam
Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun
di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya
Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013
NoKesiapan
psikologis anakKesiapan Ibu
TotalAda Tidak ada
1 Ada 11 (68.8%) 5 (31.3%) 16 (100%)
2 Tidak ada 5 (23.8%) 16 (76.2%) 21 (100%)
Total 16 (43.2%) 21 (56.8%) 37 (100%)
Sumber : data diolah tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.7 menunjukan bahwa dari 16 responden yang anaknya
memiliki kesiapan psikologis ternyata 11 responden (68.8%), memiliki kesiapan
dalam mengaplikasikan toilet training, dan dari 21 responden yang anaknya
tidak memiliki kesiapan psikologis ternyata 16 responden (76.2%), tidak
memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training.
56
Setelah dilakukan uji statistik dengan Chi Square Test diperoleh nilai p
value = 0.016 (p value < 0.05), dengan demikian hipotesa (Ha) yang menyatakan
ada pengaruh antara kesiapan psikologis anak dengan kesiapan ibu dalam
mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk
Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 terbukti
(diterima).
C. Pembahasan
1. Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Kesiapan Ibu Dalam
Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 13
responden yang memiliki pengetahuan tinggi ternyata 9 responden memiliki
kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training, dari 12 responden yang
memiliki pengetahuan sedang ternyata 7 responden tidak memiliki kesiapan
dalam mengaplikasikan toilet training, dan dari 12 responden yang
memiliki
pengetahuan rendah ternyata 10 responden tidak memiliki kesiapan dalam
mengaplikasikan toilet training.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa semakin kurang baik
pengetahuan responden maka cenderung semakin kurang baik pula kesiapan
ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anaknya.
Penelitian diatas sesuai dengan teori Bloom (1908) yang menyatakan
bahwa, untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan manusia
dalam tiga ranah perilaku, yaitu pengetahuan (knowledge), sikap
(attitude),
dan praktik atau tindakan (practice). Mulai dari pengetahuan ibu tentang
apa
57
itu toilet training, bagaimana cara toilet training serta apa saja yang
dibutuhkan dalam toilet training, setelah ibu mengetahui tentang toilet
training, ibu harus mempersiapkan diri serta balita untuk latihan
toilet training, diharapkan setelah ibu memahami dan mempersiapkan
diri untuk toilet training, ibu dapat mempraktekkan apa yang telah
diketahui dan dipersiapkan untuk toilet training (Notoatmodjo. 2010).
Menurut sarwono (2003) bahwa, Karena manusia pertama-tama
tergantung sekali pada orang lain, maka penting sekali peranan orang
tersebut misalkan ibu, terhadap perkembangan kepribadian anak. Maka
dalam hal ini pengetahuan ibu yang baik sangat berguna terhadap kebiasaan
anak sehari-hari.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Fitriyanty (2011) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara pengetahuan dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan
toilet training kepada anaknya.
Peneliti berasumsi bahwa dalam mengaplikasikan Toilet training
pada anak usia 2-4 tahun, pengetahuan orang tua terutama ibu sangat
dibutuhkan, karena dengan pengetahuan ibu yang baik, ibu dapat
mempersiapkan diri dengan baik dan tepat bagi anak tersebut sehingga
menghasilkan perkembangan anak yang sesuai dengan umurnya terutama
dalam hal buang air besar dan kecil.
58
Selain itu, peneliti berasumsi bahwa banyak orangtua terutama ibu
tidak mengerti tentang toilet training dan manfaat toilet
training, dikarenakan kurangnya informasi yang didapatkan, dan
mereka juga mengatakan pernah mendengar kata toilet training
tapi tidak tahu bagaimana melakukannya dengan tepat. Karena itulah
mereka jarang mengaplikasikan toilet training, jikalaupun ada
melakukan toilet training tetapi tidak sesuai dengan prinsip, tata cara dan
usia anak.
2. Hubungan Pendidikan Ibu Dengan kesiapan ibu
dalam
Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 12 responden
yang berpendidikan tinggi ternyata 10 responden memiliki kesiapan dalam
mengaplikasikan toilet training, dari 14 responden yang berpendidikan
menengah ternyata 9 responden tidak memiliki kesiapan dalam
mengaplikasikan toilet training, dan dari 11 responden yang
berpendidikan
rendah ternyata 10 responden tidak memiliki kesiapan dalam
mengaplikasikan toilet training.
Penelitian ini sesuai dengan teori Soekanto (2003) yang menyatakan
bahwa pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang.
Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai
pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat
pendidikannya lebih rendah. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka ia
akan mudah menerima hal-hal baru dan mudah menyesuaikan dengan hal
yang baru tersebut.
59
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Puspitasari (2012) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara pendidikan dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan
toilet training kepada anaknya.
Peneliti berasumsi bahwa tingkat pendidikan ibu turut menentukan
mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang
mereka peroleh. Dari kepentingan keluarga pendidikan itu sendiri amat
diperlukan seseorang agar lebih tanggap adanya masalah perkembangan
anak salah satunya penerapan toilet training di dalam keluarganya.
Peneliti juga berasumsi bahwa Tingkat pendidikan berpengaruh pada
pengetahuan ibu tentang penerapan toilet training, apabila pendidikan ibu
rendah berpengaruh pada pengetahuan tentang penerapan toilet training
sehingga berpengaruh pada saat melatih secara dini penerapan toilet
training.
3. Hubungan Kesiapan Psikologis Anak Dengan kesiapan ibu
dalam
Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa bahwa dari 16
responden yang anaknya memiliki kesiapan psikologis ternyata 11
responden memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training,
dan
dari 21 responden yang anaknya tidak memiliki kesiapan psikologis
ternyata 16 responden tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan
toilet training.
60
Hasil penelitian sesuai dengan pendapat psikolog Ivonne Edr SPsi,
kepala divisi TPA Ubaya yaitu, saat yang tepat untuk memulai toilet
training adalah ketika anak dan orang tua sama-sama siap. Ibu juga sedang
tidak terikat dengan komitmen lain sehingga bisa fokus (Jawa pos. 2012)
Selain itu hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori Hidayat
(2006) yang menyatakan bahwa suksesnya toilet training tergantung
pada
diri anak dan keluarga, seperti: kesiapan fisik, psikologis dan intelektual
anak.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Fina Amalia (2010), dimana hasil penelitiannya menyatakan terdapat
pengaruh antara kesiapan psikologis anak dengan kesiapan ibu dalam
mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anaknya.
Peneliti berasumsi bahwa kesiapan psikologis anak juga turut
berperan dalam penerapan toilet training, apabila psikologis anak siap
maka
itu akan sangat membantu ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada
anaknya. Peneliti juga berasumsi bahwa dalam mengaplikasikan toilet
training pada anak usia 2-4 tahun, anak tidak hanya harus memiliki
kesiapan psikologis yang baik, karena tidak selamanya anak yang memiliki
kesiapan psikologis yang baik berhasil dalam hal penerapan toilet
training,
karena tingkat kesiapan anak tidak hanya diperoleh dari kesiapan psikologis
semata, tapi juga harus dari kesiapan fisik anak, intelektual anak,
pengetahuan dan pendidikan ibu. Namun, kesiapan psikologis anak yang
baik juga sangat menentukan ibu dalam menerapkan toilet training.
61
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dari tanggal 20 Juli s/d 30 Juli
2013 di desa Miruk Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten Aceh Besar
dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam mengaplikasikan
kesiapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kec. Krueng
Barona Jaya Kab. Aceh Besar tahun 2013, dapat disimpulkan hasil penelitian
sebagai berikut :
1. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kesiapan ibu dalam
mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk
Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar dengan nilai p
value = 0.030.
2. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kesiapan ibu dalam
mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk
Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar dengan nilai p
value = 0.001.
3. Ada hubungan antara kesiapan psikologis anak dengan kesiapan ibu
dalam mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa
Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar dengan
nilai p = 0.016.
62
B. Saran
1. Bagi Peneliti Lain
Diharapkan kepada peneliti lain agar dapat melakukan penelitian
yang lebih luas lagi mengenai kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet
training pada anak sehingga dapat menemukan berbagai permasalahan
yang dapat menghambat proses toilet training pada anak.
2. Bagi Instansi Pendidikan
Diharapkan KTI ini dapat menjadi informasi tambahan bagi
pembaca, dan instansi sebaiknya dapat menyediakan buku bacaan yang
berhubungan dengan penerapan toilet training yang lebih lengkap lagi.
3. Bagi Tenaga Kesehatan
Diharapkan tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang
lebih luas kepada masyarakat tentang pentingnya penerapan toilet
training yang baik pada anak dan mengajarkan kepada masyarakat
bagaimana menerapkan toilet training yang tepat dan sesuai dengan
prinsip, tata cara, usia anak, sehingga pertumbuhan dan perkembangan
anak sesuai dengan usianya.