11
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kelapa Sawit
Arti Penting Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit yang menghasilkan minyak sawit merupakan
tanaman tropis yang berasal dari Afrika Barat yang tumbuh sebagai tanaman
hibrida di berbagai tempat di dunia, termasuk Asia Tenggara dan Amerika Tengah.
Walaupun ditanam di luar daerah asalnya, tanaman kelapa sawit dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik termasuk di Indonesia. Minyak sawit dengan harga
yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan minyak nabati lainnya ini
digunakan untuk berbagai keperluan industri seperti industri minyak goreng,
industri sabun, kosmetik, lilin, makanan dan untuk bahan baku biodiesel.
Negara-negara di Asia Tenggara merupakan penghasil minyak sawit
terbesar di dunia termasuk Indonesia. Total produksi minyak sawit dunia
meningkat hampir tiga kali lipat selama tiga dasawarsa hingga tahun 2009. Pada
tahun 2009/2010, total produksi minyak sawit diperkirakan 45,1 juta ton, dengan
Indonesia dan Malaysia mencapai lebih dari 85 persen total dunia. Indonesia dan
Malaysia masing-masing memproduksi lebih dari 18 juta ton minyak sawit.
Minyak sawit produksi Indonesia terutama diekspor ke India, Cina dan Eropa
Barat masing-masing 6,7 juta ton, 6,3 juta ton dan 4,6 juta ton (World Growth
2011). Berdasarkan prospek ekonominya yang besar, industri minyak sawit ini
menjadi subsektor yang paling dinamis dan diminati, sehingga perkembanganya
menarik banyak perhatian pelaku bisnis.
Sejarah kelapa sawit di Indonesia dimulai tahun 1915 ketika turunan
kelapa sawit hasil introduksi yang berada di Kebun Raya Bogor ditanam di
Sumatera Utara (Lubis 1992). Di daerah tersebut, kelapa sawit kemudian
berkembang dan selanjutnya dibudidayakan secara komersial. Sejak dua dekade
terakhir terjadi pengembangan areal kelapa sawit yang sangat pesat.
Pengembangan kelapa sawit tidak hanya di Sumatera (69%), tetapi meluas sampai
di Kalimantan (26%), Sulawesi (3%), Papua (1%), dan Jawa (1%) (Tryfino 2006).
Perluasan ini tidak hanya membuka hutan baru tetapi termasuk juga konversi dari
beberapa tanaman perkebunan lainnya. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
12
merupakan tanaman komoditas perkebunan yang penting di Indonesia sebagai
penghasil minyak nabati beserta beberapa produk turunan lainnya. Komoditas
kelapa sawit, baik berupa bahan mentah maupun hasil olahannya menduduki
peringkat ketiga penyumbang devisa nonmigas terbesar bagi negara setelah karet
dan kopi (Sastrosayono 2003).
Pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, industri kelapa sawit
merupakan salah satu agroindustri andalan yang menghasilkan devisa bagi negara.
Perkembangan industri kelapa sawit pada dekade terakhir ini berkembang sangat
pesat sehingga menempatkan Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit
terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Setelah tahun 2005, produksi minyak
sawit dunia diharapkan menjadi penyumbang terbesar dalam produksi minyak
sayur dunia menggantikan minyak kedelai. Disamping itu, krisis energi yang
melanda dunia membuat orang berusaha untuk mencari energi alternatif yang
dapat diperbaharui (renewable energy) menggunakan bahan baku minyak sawit
mentah (crude palm oil) yang direaksikan secara kimiawi untuk memenuhi
spesifikasi teknis sebagai bahan bakar nabati (biodiesel). Potensi minyak sawit
sebagai salah satu bahan baku biodiesel menggantikan bahan bakar minyak bumi
atau fosil membuat permintaan akan minyak sawit dunia semakin tinggi.
Faktor Lingkungan Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit merupakan tipikal tanaman tropis yang dapat
tumbuh dengan baik pada ketinggian kurang dari 400 m di atas permukaan laut
(dpl) dengan kemiringan lereng antara 0- 8%. Topografi datar dan berombak
sampai bergelombang. Suhu udara optimum adalah 27oC dengan rentang suhu
22oC - 33oC sepanjang tahun. Rentang curah hujan rata-rata tahunan antara 1250 -
3000 mm/tahun dengan curah hujan yang optimal 1750 - 2500 mm/tahun. Lama
penyinaran matahari rata-rata 5 - 7 jam/hari. Kecepatan angin 5-6 km/jam untuk
membantu proses penyerbukan. Tanah yang baik sebagai media tanam
mengandung banyak lempung, beraerasi baik dan subur. berdrainase baik,
permukaan air tanah cukup dalam, solum cukup dalam (80 cm), pH tanah 4 - 6,
dan tanah tidak berbatu. Secara umum kelapa sawit dapat tumbuh dan berproduksi
baik pada jenis-jenis tanah ultisols, entisols, inceptisols, andisols dan histosols
(Sugiyono et al. 2002).
13
Dalam bertanam kelapa sawit, pola tanam dapat monokultur ataupun
tumpangsari. Pada masa tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (0 - 3 tahun),
kanopi dan perakaran tanaman masih relatif belum berkembang. Sebagian besar
lahan tersebut akan terbuka dan memperoleh cahaya matahari secara penuh
sehingga dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman sela dalam pola
tumpangsari. Pola ini memungkinkan pendapatan tambahan bagi petani selama
tanaman kelapa sawit belum berproduksi. Ketika tajuk belum saling menutup,
kelapa sawit dapat ditumpang sari dengan segala jenis tanaman pangan seperti
kedelai atau tanaman buah-buahan seperti nanas. Tetapi jika tajuk telah saling
menutup, hanya tanaman yang naungannya sedikit yang dapat ditanam diantara
barisan tanaman kelapa sawit (PPKS 2007). Tanaman penutup tanah (legume
cover crop) seperti tanaman kacang-kacangan pada areal tanaman kelapa sawit
sangat penting karena dapat memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi
tanah, mencegah erosi, mempertahankan kelembaban tanah dan menekan
pertumbuhan tanaman pengganggu (gulma). Penanaman tanaman kacang-
kacangan sebaiknya dilaksanakan segera setelah persiapan lahan selesai.
Tanah tropis kekurangan unsur hara nitrogen (N), fosfat (P) dan kalium
(K) sehingga ketiga unsur hara tersebut harus ditambah melalui pemupukan
anorganik yang terdiri dari 1,3 kg N; 0,2 kg P dan 1,8 kg K untuk setiap tanaman
selama satu tahun. Kekurangan unsur N, P, K dan Mg menghambat pertumbuhan
kelapa sawit sehingga tanaman menjadi kerdil, sementara kekurangan boron (B)
pada tanaman muda dapat mematikan tanaman. Hara K berperan dalam aktifitas
pembukaan dan penutupan stomata, aktifitas enzim dan sintesa minyak dan
meningkatkan ketahanan terhadap penyakit. Kekurangan K menyebabkan bercak
kuning/transparan, white stripe, daun tua kering dan mati. Kekurangan K
berasosiasi dengan munculnya penyakit seperti Ganoderma (Liang 2008).
Peremajaan kebun kelapa sawit biasanya dilakukan setelah umur tanaman
mencapai 25 tahun (Arifin et al. 2000). Beberapa perkebunan kelapa sawit di
Indonesia telah berumur 3-4 generasi. Pada kondisi tersebut kondisi tanah sudah
kurang mampu mendukung usaha yang efisien karena telah mengalami degradasi
sehingga kandungan unsur hara yang ada pada tanah tidak lagi mencukupi untuk
pertumbuhan kelapa sawit, apalagi jika pemakaian bahan kimia dilakukan secara
14
terus menerus pada beberapa generasi tersebut. Pemakaian bahan kimia dalam
bentuk pupuk dan pestisida yang berlebih secara terus menerus juga dapat
menyebabkan punahnya atau tidak berkembangnya biota tanah yang
menguntungkan bagi tanaman. Dengan kondisi tanah yang miskin unsur hara,
tentu tidaklah mudah untuk melaksanakan budidaya kelapa sawit karena
banyaknya masalah yang akan muncul seperti pertumbuhan tanaman yang
terhambat akibat kekurangan hara atau hara terbatas sehingga tanaman tidak dapat
tumbuh dengan baik dan menghasilkan produktivitas yang maksimal. Pada tanah
yang miskin unsur hara akan membuat tanaman kelapa sawit menjadi rentan
terhadap serangan penyakit sehingga tanaman menjadi sakit bahkan mati
(Darmono 2000).
Pengaruh Faktor Abiotik terhadap Pertumbuhan Kelapa Sawit
Kerusakan pada tanaman seringkali tidak hanya disebabkan oleh adanya
serangan hama dan penyakit. Tidak jarang kematian tanaman disebabkan oleh
faktor-faktor lingkungan seperti kelebihan atau kekurangan air, ketinggian yang
ekstrim, pH tanah yang tidak sesuai, suhu yang terlalu ekstrim serta kelebihan
atau kekurangan unsur hara mikro. Tanaman kelapa sawit memiliki perakaran
yang dangkal sehingga mudah mengalami cekaman kekeringan yang dapat
menurunkan pertumbuhan dan produksi. Cekaman kekeringan yang berlangsung
lama dapat menghambat pembukaan pelepah daun muda, daun bagian bawah
cepat mengering, merusak hijau daun, tandan buah mengering dan patah pucuk,
bahkan tanaman mati jika kondisi ekstrim kering terjadi (Caliman & Southworth
1998). Pada fase reproduktif cekaman kekeringan menyebabkan perubahan nisbah
kelamin bunga, bunga dan buah muda gugur, dan tandan buah gagal masak
(Caliman & Southworth, 1998), sehingga menurunkan produksi tandan buah segar
10 % – 40 % dan minyak sawit 21 % – 65 % (Subronto et al. 2000).
Hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS)
menunjukkan bahwa ketinggian tempat (altitude) berpengaruh terhadap
pertumbuhan vegetatif kelapa sawit, baik pada tanaman menghasilkan (TM)
maupun tanaman belum menghasilkan (TBM). Pada tahap awal, terlihat adanya
perbedaan panjang rachis tanaman pada berbagai ketinggian tempat yang
mengindikasikan adanya kompetisi pemanfaatan radiasi surya. Hasil penelitian
15
menunjukkan bahwa rachis pelepah kelapa sawit pada altitude 0 - 250 m dpl (di
atas permukaan laut) nyata lebih panjang dibandingkan dengan rachis pelepah
kelapa sawit pada altitude 251 - 500 m dpl, 501 - 750 m dpl dan 751 - 1000 m dpl.
Untuk kelapa sawit tanaman yang telah menghasilkan (TM), panjang rachis tidak
lagi menunjukkan perbedaan nyata sebagai akibat pertumbuhan tanaman yang
sudah stabil (PPKS 2007).
Kemasaman (pH) tanah mempengaruhi pertumbuhan kelapa sawit. Tanah
mineral masam di daerah tropika yang tidak subur merupakan faktor pembatas
utama terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit. Untuk
menyatakan ketidaksuburan tanah ini umumnya dapat diamati dari adanya
masalah defisiensi unsur hara, terutama fosfat yang disebabkan besarnya jumlah
fosfat yang terfiksasi di permukaan koloid-koloid liat. Diantara beberapa kendala
yang ada pada tanah ultisol, kekahatan P merupakan kendala yang penting dan
utama, Kekahatan P tidak hanya disebabkan oleh kandungan P tanah yang rendah
akan tetapi juga karena sebagian besar P terikat oleh unsur-unsur logam seperti Al
dan Fe sehingga P tidak tersedia di dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman.
Kendala lain yang tidak kalah pentingnya adalah rendahnya kandungan bahan
organik dan muatan-muatan negatif yang rendah pada tanah ultisol. Usaha-usaha
yang dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan P tanah ultisol adalah dengan
cara merubah bentuk P dari bentuk P yang terikat pada fase padat menjadi bentuk
P yang dapat tersedia di dalam tanah dengan cara menaikkan pH tanah,
mineralisasi bahan-bahan organik yang menghasilkan asam-asam organik serta
memanfaatkan mikroba tanah (Amiruddin 2008).
Faktor-faktor abiotik secara tidak langsung juga akan mempengaruhi
kemampuan daya adaptasi tanaman terhadap cekaman biotik patogen. Kondisi
tercekam karena faktor-faktor abiotik seperti cekaman kekeringan, keracunan
logam berat, kemasaman tanah yang tinggi, akan menghambat pertumbuhan
tanaman sehingga tanaman menjadi tidak sehat dan rentan terhadap serangan
penyakit. Pengelolaan faktor-faktor abiotik pada budidaya kelapa sawit perlu
dilakukan agar tanaman memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi pada saat
mengalami cekaman biotik patogen.
16
Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Kelapa Sawit
Salah satu hambatan utama dalam budidaya kelapa sawit ialah adanya
serangan patogen. Di antara penyakit yang ada pada tanaman kelapa sawit,
penyakit busuk pangkal atang (BPB) yang disebabkan oleh fungi Ganoderma
boninense Pat. merupakan patogen yang paling merugikan (Semangun 1990; Treu
1998). Penyakit BPB saat ini menjadi penyakit yang paling mendapat perhatian
serius pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Turner 1981; Darmono 2000).
Pada beberapa kebun kelapa sawit di Indonesia, penyakit ini telah menimbulkan
kematian sampai 80% atau lebih dari seluruh populasi tanaman kelapa sawit,
sehingga mengakibatkan penurunan produksi kelapa sawit per satuan luas
(Susanto et al. 2003).
Dahulu diyakini bahwa G. boninense hanya menyerang tanaman tua, tetapi
pada saat ini G. boninense diketahui menyerang tanaman belum menghasilkan
(TBM) yang berumur 1 tahun. Tingkat kejadian penyakit meningkat sejalan
dengan generasi kebun kelapa sawit. Gejala penyakit akan lebih cepat muncul dan
serangannya lebih berat pada tanaman generasi kedua atau ketiga. Kejadian
penyakit pada tanaman TBM pada generasi satu, dua, tiga dan empat masing-
masing sebesar 0, 4, 7, dan 11%. Sedangkan pada tanaman produktif pada
generasi satu, dua, dan tiga masing-masing sebesar 17, 18, dan 75% (Susanto &
Sudharto 2003). Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit
BPB di lapangan adalah umur tanaman, jenis tanah, status hara dan teknik
replanting (Arifin et al. 2000).
Keparahan penyakit BPB sering terjadi pada daerah pesisir atau pantai.
Khairudin (1990) melaporkan bahwa seri tanah di daerah pesisir atau pantai di
bagian barat Peninsula Malaysia sangat rentan terhadap serangan penyakit BPB.
Tanah-tanah tersebut umumnya merupakan jenis lempung, lempung berpasir
atapun lempung berdebu dengan drainase terbatas dan kapasitas retensi air tinggi.
Akan tetapi, laporan terbaru menyimpulkan bahwa kejadian penyakit BPB pada
tanaman kelapa sawit lebih banyak terjadi di daerah pedalaman, tanah gambut dan
tanah laterit. Laporan mengenai kejadian penyakit BPB pada jenis-jenis tanah
yang berbeda memerlukan kajian yang lebih mendalam bagaimana jenis tanah
berperan dalam menentukan tingkat kejadian penyakit BPB.
17
Status hara tanah mempengaruhi perkembangan penyakit BPB akan tetapi
pengaruhnya lebih terkait dengan sifat fisik, sifat kimia dan biologi dari tanah
tersebut. Di Indonesia, kandungan natrium (Na) yang tinggi dan kandungan
nitrogen (N) yang rendah berkaitan dengan meningkatnya kejadian penyakit BPB
(Akbar et al. 1971). Hasil investigasi terhadap unsur hara makro diketahui bahwa
kandungan nitrogen (N), kalium (K) dan fosfor (P) lebih tinggi pada jaringan
tanaman yang sehat dan sebaliknya kandungan magnesium (Mg) jauh lebih tinggi
di dalam jaringan tanaman yang sakit (Akbar et al. 1971). Perbedaan ini juga
muncul pada unsur mikro, terutama boron (B) dan tembaga (Cu) (Arifin et al.
2000). Pilotti (2005) juga menyatakan bahwa meningkatnya kejadian penyakit
BPB di Papua New Guinea disebabkan cekaman karena jenis tanah, kedalaman
tanah dan rendahnya kandungan hara tanah. Namun demikian tidak ada korelasi
yang jelas apakah penyakit BPB meningkat karena satu faktor atau kombinasi dari
faktor-faktor tersebut.
Sampai saat ini sudah banyak usaha dilakukan untuk mengendalikan
penyakit tersebut yang meliputi pengendalian kultur teknis, mekanis dan kimiawi.
Semua usaha pengendalian tersebut di atas belum memberikan hasil yang
memuaskan dan sampai saat ini penyakit BPB masih menjadi penyakit utama
pada tanaman kelapa sawit (Susanto 2002). Berdasarkan kegagalan pengendalian
yang tidak terpadu tersebut dan sifat Ganoderma yang tertular tanah (soil borne)
(Abadi 1987; Hadiwiyono et al. 1997), maka pengendalian penyakit BPB harus
terpadu antara pemanfaatan tanaman kelapa sawit yang toleran, penggunaan agen
biokontrol superior dan tindakan kultur teknis yang benar. Salah satu alternatif
pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan pemanfaatan
mikroba yang dapat bersimbiosis dengan akar kelapa sawit, seperti fungi mikoriza
arbuskular (FMA).
Ganoderma boninense Pat Penyebab Penyakit Busuk Pangkal Batang
Ganoderma boninense termasuk dalam kelompok jamur pendegradasi
lignin (ligninolitik). Jamur ligninolitik umumnya berasal dari kelompok jamur
busuk putih (white rot fungi) yang tergolong basidiomisetes. Oleh karena itu,
jamur ini memiliki aktivitas yang lebih tinggi dalam mendegradasi lignin
dibandingkan dengan kelompok jamur lainnya (Seo & Kirk 2000). Serat batang
18
tanaman kelapa sawit memiliki komposisi kimia sebagai berikut (% berat kering,
w/w): selulosa 41.2%, hemiselulosa 34.4%, lignin 17.1%, abu 3.4% dan soluble
etanol 2.3%. Syringaldehyde merupakan komponen fenolik paling dominan yang
menyusun 65.6–68.5% dari total monomer fenolik dalam campuran oksidasi. Hal
ini yang menyebabkan batang tanaman kelapa sawit sulit untuk dibiodegradasi
jika dibandingkan tanaman berkayu lignin lainnya (Schwarze 2007). Oleh karena
dinding sel tanaman kelapa sawit tersusun oleh lignin, selulosa dan hemiselulosa,
maka untuk menyerang tanaman, jamur lignolitik harus mampu mendegradasi
ketiga komponen tersebut dengan enzim lignin peroksidase, selulase dan
hemiselulase. Di samping enzim-enzim tersebut, G. boninense juga menghasilkan
enzim amilase, ekstraseluler oksidase, invertase, koagulase, protease, renetase dan
pektinase (Susanto & Prasetyo 2008).
Untuk dapat menimbulkan penyakit pada kelapa sawit, jamur ini
membutuhkan jumlah inokulum yang cukup besar. Inokulum pada kayu karet
dengan volume 432 cm3 dapat menginfeksi bibit kelapa sawit di polibag setelah 6
bulan inkubasi sementara jumlah inokulum 216 cm3 mampu menginfeksi bibit
kelapa sawit setelah 9 bulan inkubasi di polibag. Munculnya basidiokarp kecil
pada bibit kelapa sawit merupakan tanda bibit telah terinfeksi oleh jamur G.
boninense (Susanto & Prasetyo 2008). Penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB)
merupakan patogen tular tanah (soil borne disease), dimana penyebaran utamanya
terjadi melalui kontak akar di dalam tanah, di samping melalui spora lewat udara
(spore airborne) dan inokulum sekunder dalam tanah. Proses infeksi
dipostulasikan terjadi melalui kontak akar dan peranan basidiopora dalam
penyebaran infeksi G. boninense pada batang atas kelapa sawit. G. boninense
dengan cepat mendegradasi pati, lignin dan selulosa yang kemudian secara
ekstensif mendegradasi dinding sel korteks akar. Infeksi selanjutnya akan
mencapai pangkal batang yang akhirnya akan menyebabkan kematian pada
tanaman kelapa sawit. Analisis ultrastruktur mengungkapkan perkembangan
patogen terjadi melalui perubahan yang sangat cepat: dari dinding sel akar yang
terinfeksi, invasi nekrotrofik pada korteks akar, kolonisasi endophytic intraseluler
yang padat pada batang bawah sampai pada pertumbuhan hifa yang sangat masif
di luar akar yang memuncak pada pembentukan basiodiokarp yang akan
19
melepaskan sejumlah besar basidiospora untuk penyebarannya (Arifin et al 2000).
Kejadian penyakit BPB ini pada kelapa sawit sangat tinggi pada area replanting
tanaman kelapa sawit atau pada lahan bekas tanaman kelapa (Arifin et al 1996).
Hal ini diduga karena pada lahan tersebut masih terdapat sisa inokulum
Ganoderma di dalam tanah yang akan menjadi sumber infeksi bagi tanaman
kelapa sawit yang ditanam pada areal tersebut.
Penyakit BPB pada kelapa sawit umumnya diketahui setelah tanaman
kelapa sawit terinfeksi lama. Gejala dini penyakit ini sulit dideteksi karena
perkembangan penyakit ini sangat lambat. Gejala awal penyakit ini sukar terlihat
karena gejala luar tidak sejalan dengan gejala dalam. Gejala akan lebih mudah
dilihat apabila sudah ada gejala lebih lanjut atau sudah membentuk tubuh buah.
Sebagai akibatnya, tindakan pengendalian sudah sulit untuk dilakukan (Turner
1981). Pada tanaman tua, gejala awal terlihat dengan memucatnya warna hijau
pada daun seperti kekurangan air atau unsur hara, mengumpulnya daun pupus
yang tidak membuka pada tajuk, adanya nekrosis pada daun tua dan pada akhirnya
tanaman akan mati dan tumbang. Pada bibit kelapa sawit, gejala awal serangan
jamur G. boninense ini dapat terlihat dengan adanya nekrosis akar pada saat bibit
berumur 9 bulan (Susanto & Prasetyo 2008).
Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA)
Pengertian Umum Fungi Mikoriza Arbuskular
Fungi mikoriza arbuskular (FMA) termasuk ke dalam fungi phylum
Glomeromycota, kelas Glomeromycetes dan empat ordo Glomerales,
Diversisporales, Paraglomerales, Archaeosporales dengan 11 famili dan 17
genera (Schüßler & Walker 2010). Fungi Mikoriza Arbuskular membentuk
simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan dengan akar tanaman, di mana
FMA membantu tanaman dalam penyerapan unsur hara dari dalam tanah terutama
P, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cekaman abiotik dan biotik dan
sebaliknya tanaman menyediakan eksudat akar yang dapat digunakan oleh FMA
untuk metabolismenya. Telah diketahui bahwa FMA meningkatkan penyerapan
hara terutama P dari dalam tanah kepada tanaman. Adanya peningkatan
20
penyaluran hasil fotosintesis berupa karbon oleh tanaman kepada FMA
meningkatkan penyerapan dan transfer P dari FMA kepada tanaman (Bücking &
Shachar-Hill 2005) dan sebaliknya penyerapan dan transfer P akan turun apabila
transfer hasil fotosintesis dari tanaman kepada FMA juga turun. Kemampuan
FMA menyalurkan P kepada tanaman akan berbeda tergantung kepada jenisnya
(Smith et al. 2003). Beberapa jenis FMA sangat sedikit menyalurkan P kepada
tanaman sementara jenis lain penyalurannya sangat tinggi (Smith et al. 2003).
Peranan FMA dalam Penyerapan Hara
Salah satu manfaat FMA adalah meningkatkan penyerapan unsur hara
terutama fosfor (P) dari tanah. Pada tanah-tanah dengan pH rendah atau masam
seperti tanah di daerah tropis, fosfat akan cenderung terikat dengan logam-logam
di tanah seperti Al, Fe dan membentuk kompleks P yang sangat sulit diserap oleh
tanaman. Pada kondisi tanah seperti itu FMA dapat membantu tanaman menyerap
P yang terikat tadi karena FMA dapat menghasilkan enzim fosfatase yang dapat
mengubah atau mengkatalisis hidrolisis kompleks P yang tidak tersedia menjadi P
yang larut dan tersedia bagi tanaman (Menge 1984). Selain itu, FMA juga dapat
meningkatkan penyerapan P anorganik dengan memperpendek jarak dimana unsur
tersebut akan berdifusi ke dalam akar tanaman melalui jalinan hifa yang intensif
(Nowaki et al. 2010). Manfaat yang paling signifikan dari keberadaan FMA
adalah kemampuan FMA untuk mengakuisisi fosfat (P) dari tanah karena hifa
FMA dapat tumbuh di zona deplesi (daerah pengurasan) P tanaman inang
sehingga dapat mengambil P yang tidak dapat diambil oleh tanaman karena
luasnya daerah eksplorasi tanah oleh hifa. Akan tetapi kontribusi penyerapan P
oleh FMA sangat bervariasi tergantung dari jenis tanaman dan jenis fungi.
Banyak hasil-hasil penelitian yang menyebutkan manfaat inokulasi FMA
terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman termasuk kelapa sawit. Hanafiah
(2001) menyatakan bahwa inokulasi ganda FMA dan bakteri Azospirillum
brasiliense dapat meningkatkan keefektifan pemupukan yang hampir menyamai
dengan pemberian 100% pupuk. Hasil percobaan Lukiwati (1996) menyimpulkan
bahwa inokulasi FMA yang dikombinasikan dengan pemupukan batuan fosfat
mampu meningkatkan produksi dan nilai hara hijauan legum pada tanah steril.
Pada tanaman kelapa sawit, hasil penelitian Blal et al. (1990) menyatakan bahwa
21
tanaman kelapa sawit yang diinokulasi dengan FMA menyerap P lebih banyak
dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasi dan merupakan faktor yang
penting bagi optimasi penyerapan unsur P di dalam produksi bibit tanaman kelapa
sawit di daerah tropis. Aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskular pada tanaman kelapa
sawit juga diketahui dapat mengurangi penggunaan pupuk fosfat anorganik
sebanyak 50% (Bakhtiar et al. 2002). Hal ini juga dikuatkan oleh hasil penelitian
Widiastuti (2004) yang menyimpulkan bahwa inokulasi FMA pada bibit kelapa
sawit memperbaiki sistem perakaran sehingga kemampuan menyerap hara lebih
baik, meningkatkan pertumbuhan bibit 2,5 kali dan meningkatkan serapan P
sampai 3,6 kali dibandingkan dengan bibit kelapa sawit yang tidak diinokulasi
FMA, serta mengurangi dosis pupuk hingga 75% dari dosis rekomendasi.
Selain membantu penyerapan fosfat (P), FMA juga diketahui dapat
meningkatkan penyerapan nitrogen (N) dari dalam tanah. Beberapa hasil
penelitian menyimpulkan bahwa FMA mempengaruhi secara langsung hara N
tanaman. Tanaman seledri yang diinokulasi FMA lebih mampu menyerap label 15N dari sumber nitrogen organik maupun anorganik yang ditempatkan dekat
sistem akar, dengan tingginya kadar 15N yang muncul dalam pucuk dan akar
tanaman yang diinfeksi FMA dibandingkan kontrol atau tanpa inokulasi FMA
(Ames et al. 1983). Hasil percobaan menggunakan label N isotop yang dilakukan
oleh Govindarajulu et al. (2005) menyimpulkan bahwa penyerapan N anorganik
oleh FMA di luar akar ditranslokasikan dari miselium ekstraradikal ke miselium
intraradikal sebagai arginin. Sejalan dengan mekanisme tersebut, gen yang
berperan dalam asimilasi N terekspresikan di jaringan ekstraradikal, sementara
gen yang berkaitan dengan pemecahan arginin lebih terekspresikan pada miselium
intraradikal. Konsentrasi tinggi senyawa N anorganik menurunkan infeksi FMA
dan penurunan ini lebih besar jika N dalam bentuk NH4+ (ammonium) daripada
dalam bentuk NO3- (nitrat). Oleh karena nitrat merupakan bentuk N yang sangat
mobil dan lebih tersedia di dalam larutan tanah jika dibandingkan dengan bentuk
ammonium, dapat diprediksi bahwa FMA lebih mempengaruhi penyerapan N dan
translokasi jika sumber N dalam bentuk ammonium (Cooper 1984). Hal yang
sama disampaikan oleh Cheng et al. (2008), di mana tanaman anggur yang diberi
22
pemupukan yang rendahpun membatasi penyerapan N dari residu tanaman
penutup legum oleh hifa FMA dan akar bermikoriza tanaman anggur.
Penyerapan hara lainnya seperti K, Ca, S, Cu, B dan Zn berimplikasi
terhadap hara yang dibantu oleh FMA akan tetapi hasilnya sangat bervariasi.
Tanaman bermikoriza mengandung jumlah total unsur hara yang lebih tinggi
dibandingkan tanaman yang tidak bermikoriza karena besarnya biomasa, akan
tetapi seringkali konsentrasi hara antara tanaman bermikoriza dan yang tidak
bermikoriza relatif sama berdasarkan berat kering tanaman (Cooper 1984).
Penyerapan hara dipengaruhi oleh kadar P tanah dan infeksi oleh FMA.
Konsentrasi unsur hara dalam tanaman bermikoriza menurun dengan
meningkatkannya jumlah P yang diaplikasikan, sehingga konsentrasi Zn, Cu, K
dan S pun menjadi turun sebagai efek dari aplikasi P yang tinggi (Timmer et al.
1980). Translokasi Zn dari tanah ke tanaman sangat dipengaruhi oleh kadar hara P,
pada kadar P tinggi, tanaman tidak dapat menyerap Zn disebabkan karena supresi
infeksi FMA dan eliminasi translokasi hifa. Unsur Ca terlibat dalam transfer P ke
tanaman inang karena kemampuan Ca dalam menstimulasi aktivitas enzim
fosfatase dan menjaga integritas membran plasma (Strullu et al. 1981).
Peranan FMA terhadap Cekaman Abiotik Kekeringan
Selain meningkatkan penyerapan unsur hara tanaman, FMA juga
mempunyai peranan dalam meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman
kekeringan (Marschner 1995). Setiadi (1989) menyatakan bahwa tanaman yang
bermikoriza memiliki kemampuan menghindari pengaruh langsung dari cekaman
kekeringan dengan cara meningkatkan penyerapan air melalui sistem gabungan
akar dan hifa mikoriza. Hifa FMA masih mampu menyerap air dari pori-pori
tanah pada saat akar tanaman sudah tidak dapat lagi menyerap air. Di samping itu,
pertumbuhan jalinan hifa yang sangat intensif dan luas di dalam tanah dapat
memperluas bidang penyerapan air. Yahya et al. (2000) membuktikan bahwa
efisiensi penggunaan air pada bibit kakao yang diinokulasi FMA mencapai
149,2% jika dibandingkan kontrol (tanap inokulasi FMA). Ini menunjukkan
bahwa bibit kakao yang diinokulasi FMA tidak mengalami cekaman kekeringan
oleh karena adanya hifa eksternal FMA yang masih dapat menyerap air dari pori-
pori tanah. Auge (2001) melaporkan bahwa keberadaan FMA pada tanaman
23
meningkatkan resistensi tanaman terhadap cekaman kekeringan dengan cara
mengembangkan strategi penghindaran terhadap kekeringan dengan
mempertahankan potensial air dan dengan strategi peningkatan toleransi terhadap
kekeringan dengan bertahan pada potensial air internal yang rendah. Swasono
(2006) melaporkan bahwa inokulasi FMA meningkatkan adaptasi tanaman
bawang merah terhadap cekaman kekeringan pada tanah pasir pantai dengan cara
memperbaiki pertumbuhan perakaran, meningkatkan serapan air yang
mempengaruhi peningkatkan Kandungan Air Relatif (KAR) daun, efisiensi
serapan air dan hara khususnya P dan N. Di samping itu, Hapsoh et al. (2005)
menyimpulkan bahwa FMA meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap
cekaman kekeringan dengan mekanisme pengaturan tekanan osmotik pada
jaringan tanaman dan mekanisme penghindaran dengan menekan kehilangan air
melalui penurunan luas daun. Peranan FMA pada tanaman kedelai tersebut terlihat
dengan meningkatnya bobot biji kering pada genotip Lokon sebesar 76,42%, pada
genotip Sindoro sebesar 36,68% dan pada genotip MLG 3474 sebesar 34,21%.
Hasil penelitian Rahman et al. (2006) menyimpulkan bahwa pada kondisi
cekaman kekeringan (kadar air tanah 50% KL), tanaman legum pakan yang
bersimbiosis dengan FMA mengembangkan mekanisme adaptasi berupa
pengurangan luas daun serta mempertahankan bobot kering akar. Kartika (2006)
melaporkan bahwa inokulasi FMA meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit
terhadap cekaman kekeringan. Lebih lanjut Kartika menyatakan bahwa ada dua
mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan FMA terhadap
cekaman kekeringan. Pertama melalui mekanisme penghindaran (avoidance)
melalui perbaikan penyerapan hara terutama P, peningkatan kemampuan
penyerapan air melalui perbaikan sistem perakaran, pengurangan luas permukaan
transpirasi, pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar asam absisat,
Abcisic Acid (ABA) daun. Kedua melalui mekanisme toleransi (osmoregulasi)
dengan memproduksi senyawa-senyawa osmotikum glisina-betaina dan prolina
daun, serta pengaturan turgor sel melalui akumulasi kadar ABA daun.
Peranan FMA terhadap Cekaman Abiotik Toksisitas Logam Berat
Tanaman yang bersimbiosis dengan FMA diketahui juga dapat
meningkatkan toleransi tanaman terhadap toksisitas logam berat (Marschner
24
1995). Pada tanah masam seperti tanah-tanah di daerah tropik umumnya P
terdapat sebagai P-aluminium (P-Al) dan P besi (P-Fe) dengan kadar rendah dan
tidak tersedia bagi tanaman. Hambatan penyerapan hara pada tanah masam
disebabkan oleh adanya pengaruh Al secara langsung pada perkembangan akar
tanaman dan pengaruh tidak langsung terhadap serapan hara (Delhaize & Ryan
1995). Hasil penelitian Karti (2003) menyimpulkan bahwa tanaman rumput
toleran Al yaitu Setaria splendida yang diinokulasi dengan FMA dapat
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Hal ini disebabkan karena
terjadi modifikasi kimia oleh tanaman bermikoriza yang mempengaruhi eksudasi
akar berupa asam-asam organik (Smith & Read 2008) dan enzim fosfatase yang
memacu proses mineralisasi P organik (Dodd et al. 1987). Jayachandran et al.
(1992) menjelaskan bahwa pada kondisi kahat P karena toksisitas Al, tanaman
bermikoriza mampu memanfaatkan sumber P yang tidak tersedia melalui
peningkatan laju kelarutan P yang tidak larut dan hidrolisis P yang tidak terlarut
menjadi P yang dapat diserap tanaman. Hasil percobaan Utama & Yahya (2003)
menunjukkan adanya perbedaan tanggap bobot kering akar antar spesies legum
penutup tanah terhadap perlakuan pemberian mikoriza yang ditanam pada tanah
dengan cekaman Al. Perlakuan inokulasi mikoriza pada tanaman legum mampu
mengatasi kekurangan unsur hara P karena struktur hifa internal dan eksternal
mampu meningkatkan penyerapan hara dan air.
Mekanisme lain dari peranan FMA dalam meningkatkan toleransi tanaman
terhadap toksisitas logam berat adalah akumulasi senyawa fenolik di dalam akar,
yaitu senyawa yang mempunyai sifat antimikroba. Seperti yang disimpulkan oleh
Sharda et al. (2008) bahwa akumulasi senyawa fenolik yang tinggi di dalam akar
(percobaan in vitro) dan hanya melepaskan sedikit senyawa tersebut ke dalam
medium merupakan mekanisme toleransi akar bermikoriza terhadap toksisitas
logam berat seperti Pb (plumbum). Simpulan tersebut dikuatkan oleh pernyataan
Jung et al. (2003) bahwa kandungan fenolik yang tinggi di dalam jaringan
tanaman memiliki kecenderungan membentuk senyawa kompleks yang stabil
antara senyawa fenolik (terutama polifenol) dengan logam berat. Senyawa
kompleks tersebut akan membatasi penyerapan logam berat oleh akar tanaman
sehingga mengurangi toksisitas logam berat terhadap tanaman bermikoriza.
25
Peranan FMA terhadap Cekaman Biotik Patogen
Secara umum, FMA tidak banyak menyebabkan perubahan morfologi akar
tanaman inang, akan tetapi secara fisiologi terjadi perubahan yang signifikan,
seperti perubahan konsentrasi zat pengatur tumbuh pada jaringan, meningkatnya
aktivitas fotosintesis dan perubahan penyebaran hasil fotosintesis pada akar dan
pucuk (Linderman 1994). Peningkatan penyerapan unsur hara dari tanah
menyebabkan perubahan pada status hara dari jaringan tanaman inang yang pada
akhirnya akan merubah struktur dan aspek biokimia dari sel-sel akar. Perubahan
ini pada akhirnya akan membuat tanaman lebih sehat, dapat bertahan pada
cekaman lingkungan dan memiliki toleransi ataupun tahan terhadap serangan
penyakit tanaman (Linderman 1994). Setiadi (1989) menyatakan bahwa
mekanisme perlindungan tanaman terhadap infeksi patogen akar dimungkinkan
dengan adanya lapisan hifa yang berfungsi sebagai pelindung fisik masuknya
patogen, adanya senyawa antibiotika yang dilepaskan oleh FMA yang dapat
mematikan patogen serta adanya penggunaan semua eksudat akar oleh FMA
sehingga tercipta lingkungan yang tidak sesuai untuk patogen.
Linderman (1994) menyatakan bahwa Interaksi akar tanaman dengan
mikoriza meningkatkan aktivitas enzim kitinase yang efektif menahan serangan
fungi patogen. Enzim kitinase dapat meningkatkan respon tanaman terhadap
infeksi patogen. Enzim ini bekerja sinergis dengan β-1,3-glukanase, yang
memainkan peranan penting dalam respon pertahanan terhadap infeksi fungi
patogen (Boller 1993). Enzim hidrolitik (selulase, pektinase, xyloglukanase) juga
terlibat dalam penetrasi dan perkembangan FMA dalam akar tanaman serta
meningkatkan proteksi terhadap patogen (Garcia Garrido 2000). Pada akar
bermikoriza akumulasi arginina juga meningkat sehingga menghambat sporulasi
dari fungi patogen Thielaviopsis basicola. Sastrahidayat (1995) melaporkan
bahwa inokulasi FMA pada tanaman tomat mampu menekan serangan Fusarium
oxysporum lycopersici penyebab penyakit busuk akar dengan penyelamatan
produksi sebesar 148,26%. Penelitian Morandi et al. (1984) menemukan bahwa
tanaman kedelai (Glycine max L.) dengan mikoriza meningkatkan konsentrasi
fitoaleksin yang menyerupai senyawa isoflavon. Senyawa tersebut diyakini ikut
berperan dalam meningkatkan resistensi tanaman kedelai terhadap serangan fungi
26
patogen dan juga nematoda akar. Garcia-Garrido & Ocampo (2002)
mengemukakan bahwa asosiasi FMA dengan tanaman dikontrol oleh gen-gen
yang diekspresikan secara diferensial. Gen untuk pertahanan terhadap patogen
seperti enzim pendegradasi dinding fungi seperti kitinase dan ß1,3 glukanase,
enzim yang terlibat dalam biosintesis fitoaleksin seperti fenilalanin ammonia liase
(PAL), kalkon sintase (CHAL), kalkon isomerase dan protein seperti HRGP yang
bersama-sama dengan ß1,3 glukan akan menguatkan dinding sel tanaman
sehingga tanaman lebih tahan terhadap serangan patogen.
Hasil penelitian Hashim (2004) menyatakan bahwa inokulasi FMA pada
bibit kelapa sawit yang diikuti dengan inokulasi fungi patogen Ganoderma,
mampu memperpanjang masa inkubasi fungi patogen untuk menyebabkan infeksi
ataupun menyebabkan kematian pada bibit. Setelah 9 bulan, semua bibit kelapa
sawit yang tidak diinokulasi mikoriza menunjukkan gejala penyakit oleh fungi
Ganoderma. Sementara itu hanya 20% bibit yang diinokulasi mikoriza
menunjukkan gejala penyakit tersebut dan hanya 10% yang menyebabkan
kematian pada bibit kelapa sawit. Hal ini diduga karena: (1) terjadi kompetisi
antara FMA dengan patogen untuk mengokupasi tanaman dan juga kompetisi
mendapatkan hasil fotosintesis dari tanaman; (2) tanaman yang bermikoriza
secara langsung ataupun tidak langsung akan membuat bibit lebih sehat dengan
kekuatan internal resisten yang lebih tinggi terhadap serangan penyakit; (3)
kerapatan akar yang tinggi dengan adanya mikoriza mengurangi kehilangan akar
akibat infeksi oleh penyakit; (4) Penumpukan Ca yang signifikan pada sel
mikoriza menciptakan penghalang bagi penyakit untuk berkembang di dalam akar
kelapa sawit; (5) Produksi metabolit sekunder yang tinggi oleh akar bermikoriza
dapat menghambat penyebaran patogen di dalam akar kelapa sawit (Hashim,
2004). Akan tetapi mekanisme pasti dari hal tersebut di atas masih belum
diketahui dengan jelas.
Peranan FMA terhadap cekaman biotik patogen G. boninense juga
dilaporkan oleh Sarashimatun & Tey (2009), dimana inokulasi FMA pada bibit
kelapa sawit dapat mencegah infeksi G. boninense 100%. Lebih lanjut mereka
menyatakan bahwa inokulasi FMA pada tanaman menghasilkan (TM) umur 20
tahun yang terserang berat oleh G. boninense di lapangan, aplikasi FMA memang
27
tidak dapat mematikan G. boninense akan tetapi dapat memperpanjang umur
produksi dari tanaman kelapa sawit.
Bakteri Endosimbiotik Mikoriza
Pengertian Umum Bakteri Endosimbiotik Mikoriza
Berbagai jenis mikroorganisme termasuk bakteri diketahui hidup di sekitar
mikoriza dan mengambil manfaat dari berbagai jenis senyawa organik yang
dilepaskan oleh tanaman. Mikroorganisme ini termasuk anggota dari kelompok
aerobik dan anaerobik dari bakteri sampai fungi dan protozoa (Garbaye 1991).
Diketahui juga bahwa mikroflora rizosfir memberikan manfaat bagi
perkembangan dan stabilitas mikoriza. Manfaat menguntungkan dari
mikroorganisme ditemukan dalam berbagai kondisi dengan FMA (Paulitz &
Linderman 1989), ektomikoriza (Garbaye & Bowen 1987), helper
mikroorganisme yang umumnya adalah bakteri termasuk beberapa aktinomisetes
(Meyer & LInderman 1986; Paulitz & Linderman 1989).
Banyak bakteri diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman baik
melalui interaksi secara langsung maupun secara tidak langsung dengan akar
tanaman yang digolongkan dalam Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB).
Telah diketahui juga bahwa hampir semua akar tanaman dikolonisasi oleh fungi
mikoriza (baik ektomikoriza maupun mikoriza arbuskular) dan kolonisasi
mikoriza ini umumnya juga meningkatkan pertumbuhan tanaman (Artursson et al.
2006). Akan tetapi selama ini manfaat kolonisasi akar, baik oleh bakteri maupun
oleh mikoriza dipelajari secara terpisah, baru akhir-akhir ini pengaruh sinergis
bakteri dan mikoriza mulai jadi perhatian ilmuwan dengan melihat pengaruh
positif dari kombinasi keduanya terhadap tanaman (Artursson et al. 2006). Fungi
Mikoriza Arbuskular (FMA) dan bakteri dapat berinteraksi secara sinergis untuk
menstimulasi pertumbuhan tanaman melalui beberapa mekanisme seperti
meningkatnya ketersediaan hara, menghambat pertumbuhan fungi yang bersifat
patogen bagi tanaman.
Bakteri endosimbiotik mikoriza ditemukan hanya pada sedikit jenis fungi
termasuk kelompok Glomeromycota (FMA dan Geosiphon pyriforme). Bakteri
endosimbiotik mikoriza ditemukan pada beberapa jenis dari kelompok
28
Gigasporaceae dan hanya satu jenis dari kelompok tersebut yang tidak
mengandung bakteri tersebut yaitu Gigaspora rosea (Bianciotto et al. 2000).
Penelitian terbaru menemukan kurang lebih 20.000 jumlah bakteri ditemukan per
satu spora Gigaspora margarita (Bianciotto et al. 2004; Jargeat et al. 2004).
Bakteri ini dulunya dikenal sebagai genus Burkholderia berdasarkan sekuensing
gen 16S ribosomal RNA, akan tetapi sekarang digolongkan ke dalam takson baru
yaitu Candidatus Glomeribacter gigasporarum (Bianciatto et al. 2003).
Interaksi Mutualisme FMA dan Bakteri Endosimbiotik Mikoriza
Di daerah rizosfir terjadi interaksi antara mikroorganisme dengan fungi
mikoriza arbuskular (FMA) baik yang bersifat mutualisme maupun yang bersifat
antagonis. FMA telah diduga memainkan peranan penting dalam fasilitasi
kolonisasi bumi oleh tanaman pada periode Ordovician, sehingga muncul
spekulasi bahwa keberadaan bakteri endosimbiotik mikoriza pada FMA juga
memberikan kontribusi terhadap kesuksesan kolonisasi awal dari tanaman
terestrial (Redecker et al. 2000). Efektor bakteri endosimbiotik mikoriza yang
memfasilitasi kolonisasi akar tanaman oleh FMA, kemungkinan merupakan enzim
pendegradasi dinding sel tanaman, yang meningkatkan penetrasi FMA dan
penyebaran FMA di dalam sel korteks akar (Frey-Klett et al. 2007) ataupun untuk
melemahkan respon ketahanan tanaman terhadap penetrasi FMA sehingga tidak
terjadi penolakan oleh tanaman (Lehr et al. 2007).
Lumini et al. (2007) membuktikan baru-baru ini bahwa keberadaan bakteri
endosimbiotik mikoriza sangat memperbaiki pertumbuhan pre-simbiotik dari
FMA, sebagaimana ditunjukkan dengan adanya peningkatan elongasi dan
percabangan hifa setelah perlakuan dengan eksudat akar. Diyakini juga bahwa
bakteri endosimbiotik mikoriza membantu pembentukan simbiosis dengan
menstimulasi perpanjangan hifa, meningkatkan kontak akar dengan fungi dan
kolonisasi serta mengurangi pengaruh kondisi lingkungan yang merugikan
terhadap miselia FMA (Frey-Klett et al. 2007). Sebagai contoh, perkecambahan
spora dan pertumbuhan miselia dipicu oleh keberadaan bakteri endosimbiotik
mikoriza melalui produksi faktor-faktor pertumbuhan, melalui detoksifikasi
senyawa antagonis atau melalui penghambatan kompetitor dan antagonis. Hal
yang sama juga ditemukan oleh Bakhtiar et al. (2010), dimana bakteri
29
endosimbiotik mikoriza Bacillus subtilis N43 yang diisolasi dari spora FMA di
daerah rizosfir kelapa sawit memiliki kemampuan mempercepat perkecambahan
spora FMA Gigaspora margarita in vitro.
Di daerah mikorizosfir ditemukan berbagai helper bakteri yang dapat
menghasilkan substrat yang dimanfaatkan oleh FMA, sebagai contoh
perkecambahan spora FMA meningkat dengan adanya bahan yang mudah
menguap yang dihasilkan oleh aktinomisetes (Azcon 1987). Bakteri pengikat
nitrogen (N) di daerah rizosfir juga menguntungkan bagi perkembangan fungi
mikoriza yang menyumbangkan asam amino dan ammonium kepada fungi
mikoriza (Li & Hung 1987). Beberapa mikroorganisme di daerah mikorizosfir
membantu melemahkan akar sehingga memudahkan penetrasi akar oleh Fungi
Mikoriza Arbuskular. Hal ini ditunjukkan oleh hasil Azcon-Aguillar & Barea
(1985) dimana infeksi Trifolium parviflorum oleh FMA distimulasi oleh strain
Pseudomonas sp, yang melepaskan enzim selulolitik dan pektinolitik sehingga
memudahkan FMA untuk melakukan penetrasi dengan memisahkan sel sebelah
luar dari korteks akar. Linderman (2006) menyatakan bahwa populasi bakteri
endosimbiotik mikoriza dapat berubah secara dinamik terhadap waktu dan
dipengaruhi oleh mikroorganisme apa yang ada dalam daerah mikorizosfir
tersebut dan dipengaruhi oleh proses dari pengayaan selektif dari grup fungsional
dari mikroorganisme dari daerah tersebut karena adanya eksudat akar yang
berbeda dari tiap jenis tanaman dan eksudat dari hifa FMA. Lebih lanjut
Linderman (2006) menyimpulkan bahwa fenomena di daerah rizosfir termasuk
peranan spesifik dari beberapa rhizobacteria memainkan peranan bersama dengan
FMA dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan meningkatkan ketahanan
tanaman terhadap patogen tanah dan FMA memainkan peranan yang sangat
signifikan dalam menurunkan kejadian penyakit di daerah rizosfir tersebut.
Penelitian Bakhtiar et al. (2010) juga menemukan bakteri endosimbiotik mikoriza
Bacillus subtilis ZJ06 yang diisolasi dari spora FMA di rizosfir kelapa sawit
mampu menghambat pertumbuhan patogen Ganoderma boninense in vitro bahkan
daya hambat bakteri tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan fungisida nystatin
yang umum digunakan.
30
Area mikorizosfir dipengaruhi oleh keberadaan hubungan tripartit bakteri
rizosfir–FMA–akar dengan karakter spesifik, dimana setiap faktor akan
mempengaruhi pertumbuhan dan kesehatan faktor lainnya (Lioussanne 2010).
Jaringan hifa ekstraradikal dari FMA membentuk suatu area yang mendukung
pertumbuhan beberapa bakteri. Di antara Plant growth promoting bacteria (PGPR),
bakteri pelarut fosfat dan penambat nitrogen telah diketahui berinteraksi secara
sinergis dengan FMA, meningkatkan ketersediaan P dan N bagi tanaman,
meningkatkan pertumbuhannya dan kemungkinan juga memiliki kemampuan
untuk melawan patogen yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Lioussanne
2010). Kemampuan PGPR sebagai biokontrol dimungkinkan melalui pelepasan
senyawa beracun bagi patogen, kompetisi untuk ruang dan hara, pengurangan
ketersediaan Fe dan Mn, modifikasi keseimbangan hormon tanaman dan stimulasi
mekanisme ketahanan tanaman (Lioussanne 2010).