4
TINJAUAN PUSTAKA
Zat Ekstraktif
Ruang Lingkup dan Pemanfaatan Secara Umum
Ekstraktif merupakan produk akhir dari proses metabolisme dalam pohon
hidup. Istilah zat ekstraktif dalam arti sempit merupakan senyawa kimia yang
terdapat di dalam sel-sel tumbuhan dan bukan merupakan penyusun utama
dinding sel, yang dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut polar dan non
polar (Fengel dan Wegener 1995).
Ekstraktif dapat dibagi dalam dua kategori yaitu metabolit primer dan
metabolit sekunder. Metabolit primer terdapat pada semua jenis tanaman, struktur
kimianya relatif sederhana dan tidak berbeda secara taksonomi. Sedangkan
metabolit sekunder terdapat pada tanaman tertentu saja, komposisinya lebih
komplek daripada metabolit primer dan berbeda secara taksonomi. Metabolit
sekunder dalam pohon meliputi berbagai senyawa, seperti flavonoid, terpena,
fenol, alkaloid, sterol, lilin, lemak, tanin, gula, gum, suberin, asam resin, dan
karotenoid. Konsentrasi metabolit ini bervariasi antar spesies, antar jaringan
(konsentrasi tertinggi berada di kulit, kayu teras, akar, pangkal percabangan dan
jaringan luka), antar pohon dalam spesies yang sama dan antar musim (Forestry
Commision GIFNFC 2007).
Menurut Sjostrom (1998), secara kimiawi ekstraktif kayu dapat
digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu komponen-komponen alifatik (alkohol
lemak, asam lemak, lemak, lilin, suberin), terpen dan terpenoid, dan fenolik
(fenolik sederhana, lignan, stilben, flavonoid). Selain komponen tersebut,
ekstraktif kayu juga terdiri dari komponen-komponen seperti cyclitol, tropolone,
dan asam amino (Liu 2006), alkana, protein, monosakarida dan turunannya (Cole
2009).
Meskipun ada kesamaan keberadaan ekstraktif kayu di dalam famili, ada
perbedaan yang jelas dalam komposisi bahkan di antara spesies-spesies kayu yang
sangat dekat. Zat ekstraktif ini menempati tempat-tempat morfologi tertentu
dalam struktur pohon, seperti fenol dan terpenoid terdapat terutama di dalam kayu
teras dan di dalam kulit (Sjostrom 1998).
5
Kulit merupakan lapisan luar kambium yang mengelilingi batang, cabang,
dan akar yang jumlahnya sekitar 10-15% dari berat pohon. Pada umumnya kulit
kayu lebih kaya kandungan zat ekstraktif baik dari segi kuantitas maupun
kompleksitasnya dibandingkan dengan kayu. Banyak konstituen yang terdapat
dalam kayu juga terdapat dalam kulit walaupun proporsinya berbeda. Ekstraktif
kulit dapat dibagi menjadi konstituen lipofil dan hidrofil. Kandungan total
keduanya dalam kulit biasanya lebih tinggi dibandingkan dalam kayu dan
bervariasi antara 20-40% berat kering kulit. Bagian lipofil terutama terdiri atas
lemak, lilin, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi yang dapat diekstraksi dengan
pelarut-pelarut non polar, sedangkan bagian hidrofil mengandung sejumlah besar
konstituen fenol yang dapat diekstraksi hanya dengan air atau pelarut-pelarut
organik polar (Sjostrom 1998).
Ekstraktif tidak hanya penting untuk mengerti taksonomi dan biokimia
pohon-pohon, tetapi juga penting bila dikaitkan dengan aspek-aspek teknologi.
Beberapa diantaranya berfungsi sebagai cadangan energi, sebagai bagian dari
mekanisme sistem pertahanan pohon terhadap serangan mikroorganisme, berperan
terhadap sifat kayu seperti warna, bau, dan ketahanan terhadap pelapukan, sebagai
bahan dasar yang berharga untuk pembuatan bahan-bahan kimia organik,
misalnya untuk penyamak (indigo, sikonin), pemberi rasa (vanilin, kapsaicin),
pewangi (minyak esensial), stimulan (kafein, nikotin), halusinogen (morfin,
tetrahidrokanabinol), racun (strikniin), dan obat-obatan (kuinin, atropin) (Rowell
1984; Sjostrom 1995; Forestry Commission GIFNFC 2007).
Zat Ekstraktif Sebagai Obat
Senyawa-senyawa metabolit sekunder yang telah berhasil diisolasi, oleh
manusia selanjutnya didayagunakan sebagai bahan obat seperti morfin sebagai
obat nyeri, kuinin sebagai obat malaria, reserpin sebagai obat penyakit tekanan
darah tinggi, vinkristin serta vinblastin sebagai obat kanker, tanin dan haematein
sebagai obat diare dan disentri (Anonim 2008b), dan taxol dari pohon Pacific Yew,
Taxus brevifolia sebagai antikanker (Suwandi 2007). Jenis senyawa polifenol yang
penting adalah flavonoid yang secara pharmakologis memiliki sifat antioxidant.
Taxus simatrana selain mengandung taxol, juga mengandung senyawa flavonoid
yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan. (Darmawan et al. 2006).
6
Zat Ekstraktif Sebagai Antibakteri
Sejumlah senyawa aktif dari ekstraktif kulit kayu memiliki sifat antibakteri.
Hasil penelitian Sanches et al. (2005) terhadap ekstrak kulit batang Psidium
guajava mengunakan pelarut etanol dan air mengandung senyawa triterpene,
flavonoid dan sterol seta menunjukkan sifat antibakteri terhadap bakteri E.coli dan
P.aeruginosa. Bioassay dari ekstrak heksana dan etanol kulit kayu Terminalia
arjuna menunjukkan sifat antibakteri terhadap bakteri gram positif. Kelompok
senyawa yang terkandung dari ekstrak kulit kayu tersebut adalah triterpene (Singh
et al. 2008). Hasil penelitian Muslikhati et al. (1995) terhadap minyak atsiri kulit
kayu dan daun kayu manis Sumatra (Cinnamomum burmanni), ki lemo (Litsea
cubeba), dan kayu kamper (Cinnamomum camphora) terhadap 14 spesies bakteri
menunjukkan bahwa semua minyak atsiri yang diuji mempunyai aktivitas
antibakteri. Kulit kayu Cinnamomum burmanni mempunyai spektrum kerja yang
paling luas terhadap bakteri uji Bacillus subtilis, Serratia marcescens, Salmonella
typhi, Escherichia coli, Shigella dsentriae, Shigella flexneri, dan Klebsiella
pneumoniae. Ekstrak etanol dari kulit kayu Cryptomeria japonica D. Don
mengandung 6 senyawa dalam kelompok diterpenoid yang bersifat antibakteri
yaitu ferruginol, isopimaric acid, sugiol, sandaracopimarol, iguestol, isopimarol.
Ferruginol memiliki aktivitas antibakteri yang paling kuat terhadap E. faecalis, S.
epidermidis, and S. aureus (Li et al. 2007).
Beberapa senyawa aktif dari tanaman famili Euphorbiaceae memiliki
aktivitas antibakteri, antara lain senyawa triterpen pada Acalypha communis
(Gutierrez et al. 2002); tanin corilagin, geraniin dan gallic acid pada Phyllanthus
amarus (Kloucek et al. 2005), senyawa alkaloid, saponin dan tanin dari ekstrak
metanol kulit batang Tetracarpidium conophorum (Ajaiyeoba dan Fadare 2006) ,
dan senyawa phenol, flavonoid serta tanin pada Emblica officinalis (Nair dan
Chanda 2007).
Rambai (Baccaurea motleyana Muell. Arg.)
Klasifikasi dan Morfologi
7
Rambai merupakan tanaman yang berbentuk pohon yang termasuk dalam
famili Euphorbiaceae, secara taksonomi dapat diklasifikasikan sebagai berikut
Secara taksonomi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Baccaurea
Spesies : Baccaurea motleyana (Muell. Arg.)
Pohon rambai tumbuh di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan,
dan Halmahera (Gambar 1). Rambai tumbuh di hutan-hutan tropika dataran
rendah sampai pada ketinggian 500 m dpl. Pohon ini tumbuh baik pada tanah
aluvial di pinggir-pinggir sungai atau di daerah yang tersedia air serta di tempat-
tempat yang tanahnya merupakan tanah liat berpasir kuning.
Gambar 1. Peta penyebaran pohon rambai.
(sumber : Haegens R.M.A.P,2000)
Pohon rambai berumah dua dengan tajuk yang rendah, membulat dan rapat.
Akar tumbuhan ini memiliki bentuk perakaran yang tergolong dalam akar
tunggang. Tinggi pohon 8 – 15 meter dan diameter batang mencapai 40 cm,
bentuk batang bulat, permukaan tidak rata, pangkal batang di atas permukaan
tanah mempunyai banir (pipih dan pendek). Kulit batang tipis dan berwarna
jingga kecoklatan (Gambar 2).
8
a b c
Gambar 2. Rambai (Baccaurea motleyana Muell. Arg.)
a. Pohon rambai
b. Kulit batang
c. Buah
Bentuk daun tanaman ini tergolong dalam daun tunggal, tata letak daun
berseling, tulang daun menyirip, tepi daun rata, permukaan daun bagian atas licin,
ujung daun runcing, warna permukaan daun bagian atas dan bagian bawah sama
hijau. Warna bunga kuning dan buah berwarna hijau setelah masak berwarna
putih (ada panu), permukaan buah licin, bakal buah beruang 1-3 (Tatang, et al.
2000). Pohonnya berbuah banyak yang menyerupai duku dengan kulit buah yang
tipis menutup tiga buah bijinya yang pahit, berwarna hijau dan dikelilingi daging
buah yang bening. Buahnya dapat dimakan mentah atau digodog (Hayne 1987).
Etnobotani Rambai
A. Pemanfaatan Pohon Rambai Sebagai Obat Mata
Secara tradisional kulit batang rambai dapat memulihkan infeksi atau
peradangan pada mata dan berbagai keluhan pada mata (Morton 1987; Tatang, et
al. 2000; Haegens 2000). Etnis Dayak dari beberapa kabupaten di Kalimantan
Barat yang telah lama memanfaatan rambai sebagai obat mata, antara lain dari
Kabupaten Pontianak, Sanggau, dan Kapuas Hulu. Pemanfaatan rambai sebagai
obat mata juga dilakukan oleh etnis Dayak di Sabah Malaysia (Haegens 2000).
Pemanfaatan kulit batang sebagai obat mata masih dapat dijumpai terutama oleh
warga yang tinggal di daerah pedalaman.
Pengetahuan tentang pengobatan tradisional dari kulit batang rambai ini
merupakan warisan nenek moyang. Dalam pemanfaatannya, pohon tua atau muda
9
dapat dipakai, tetapi lebih berkhasiat apabila diambil dari pohon yang sudah tua
atau yang sudah berbuah. Bagian yang digunakan adalah kulit batang bagian
dalam. Cara pemanfaatannya adalah :
(1) Kulit batang yang baru dikupas dari pohon dikikis kulit luarnya untuk
mendapatkan kulit bagian dalam.
(2) Kulit batang bagian dalam dicuci dengan air hingga bersih.
(3) Kulit batang kemudian dimasukkan dalam kain bersih, ditumbuk dan diperas
untuk diambil airnya lalu diteteskan ke mata tiga kali dalam sehari dan
seterusnya sampai sembuh.
(4) Pengambilan kulit batang rambai dari pohonnya dilakukan kembali apabila
dalam dua hari penyakit belum sembuh benar.
Pemanfaatan yang dilakukan terhadap kulit batang rambai adalah dengan
cara memanen langsung dari hutan, ladang karet alam atau kebun. Setelah kulit
diambil dari batangnya, proses pembentukan kembali kulit batang bisa mencapai
3 sampai 5 bulan. Ini berarti tidak menyebabkan kerusakan pada pohon karena
proses pemulihan bisa berlangsung cepat dan kelestarian dari pohon rambai tetap
akan terjaga.
Selama ini kulit batang rambai diperoleh dengan cara memanen langsung
dari hutan atau kebun buah yang dimiliki oleh masyarakat. Umumnya pohon
rambai sudah ada dan tumbuh secara liar di hutan sekitar tempat tinggal.
Budidaya rambai belum menjadi bagian yang mengisi keseharian masyarakat.
Kegiatan budidaya belum banyak dilakukan karena masyarakat belum mengetahui
cara budidaya yang tepat.
B. Pemanfaatan Lain
Pemanfaatan lain dan utama dari pohon rambai adalah dengan
memanfaatkan buahnya untuk dikonsumsi. Bagian buah yang dikonsumsi adalah
daging buah dan kulit buahnya. Daging buah muda dapat dibuat sambal, buah
yang masak dapat langsung dikonsumsi dan kulit buahnya dapat dijadikan bumbu
terutama untuk memasak ikan (Tatang, et al. 2000).
Tanaman dari genus Baccaurea merupakan salah satu jenis komoditi
tanaman buah-buahan binaan Dirjen Hortikltura (Deptan 2006). Buahnya juga
dapat diawetkan menjadi selai dan asinan (Anonim 2008c, Morton 1987). Pohon
10
rambai sering dimanfaatkan sebagai pohon pelindung atau peneduh, pohon
lanjaran uwi dan rotan (Purwanto 2007). Michon dan Foresta (1995) menyatakan
bahwa rambai menghasilkan kayu yang keras dan awet yang sama mutunya
dengan jenis meranti yang terbaik. Kayunya dipakai untuk tiang dan termasuk
kayu bakar yang baik (Hayne 1987).
Kearifan penggunaan pohon rambai di kalangan masyarakat Kalimantan
Barat masih terus terjaga. Masyarakat memanfaatan kayunya bila pohon sudah
tidak produktif lagi dalam menghasilkan buah. Penelitian terhadap sifat fisika
kayu rambai menunjukkan bahwa nilai kadar air kayu normal 12,57% dan
kerapatan kayu kering tanur 0,593 gr/cm3. Sifat mekanika kayu rambai
menunjukkan bahwa kayu rambai digolongkan dalam kelas kuat II-III sehingga
dapat digunakan untuk konstrusi ringan sampai sedang (Torambung dan Dayadi
2005). Masyarakat pedalaman Kalimantan Barat juga menggunakan kayunya
untuk mengobati keputihan.
Bakteri
Bakteri merupakan mikroorganisme prokariotik bersel tunggal dengan
dinding sel, umumnya berkembang biak dengan membelah diri dan tidak
mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasma. Diameter
sekitar 0,5-1,0um dan panjangnya 1,5-2,6µm. Spesies bakteri tertentu
menunjukkan adanya pola penataan sel seperti tunggal, berpasangan, gerombol,
rantai atau filamen (Pelczar dan Chan 1988).
Berdasarkan komposisi dinding sel, bakteri dibedakan menjadi bakteri
Gram positif dan Gram negatif. Bakteri Gram positif memiliki struktur dinding sel
terdiri atas lipid, peptidoglikan dan asam teikoat. Kandungan lipid pada bakteri
Gram positif antara 1 – 4%. Dinding sel Gram positif terdiri dari lapisan tunggal
peptidoglikan yang mencapai lebih dari 50% berat kering sel bakteri. Asam
teikoat sebagai bagian utama dinding sel yang hanya terdapat pada bakteri Gram
positif adalah polimer linear yang diturunkan baik dari gliserol fosfat maupun dari
ribitol fosfat. Bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel berlapis tiga
dengan ketebalan yang tipis (10-15 nm). Komposisi dinding sel terdiri atas lipid
dan peptidoglikan yang berada dalam lapisan kaku sebelah dalam dengan jumlah
sekitar 10% dari berat kering sel bateri. Kandungan lipid pada bakteri Gram
11
negatif cukup tinggi, yaitu 11-22% (Pelczar dan Chan 1988; Cummins 1990;
Williams et al. 1996).
Selain karena virus, debu atau bahan kimia, infeksi atau peradangan pada
mata bisa disebabkan oleh bakteri. Sebagian besar dari struktur mata, yaitu alis,
kelopak mata, dan bulu mata dikolonisasi oleh mikroba, tetapi faktor-faktor yang
bekerja pada bagian ini mirip dengan yang ada pada kulit atau rambut (Wilson
2005). Bakteri penyebab penyakit mata dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Jenis Penyakit Infeksi Mata oleh Bakteri
Jenis Penyakit Bakteri penyebab penyakit
Konjungtivita
Blepharitis
Keratitis
Endophthalmitis
Orbital cellulitis
Dacryocystitis
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniane,
koagulasi-negatif staphylococci, Propionibacterium
spp.
S.aureus, koagulasi-negatif staphylococci
S.aureus, S.pneumoniane, Pseudomonas aeruginosa
S.aureus, S.epidermidis
S.aureus, S.pneumoniane
S.aureus,S.pneumoniane,koagulasi-negatif
Staphylococci
Sumber : Wilson (2005)
Penemuan bahan yang dapat membantu mengatasi kuman ini akan
memberikan sumbangan yang penting bagi upaya pemeliharaan kesehatan.
Penelitian tentang aktivitas antibakteri bunga teleng (Clitoria ternatea L) terhadap
bakteri penyebab konjungtivita menunjukkan bahwa filtrat bunga teleng memiliki
aktivitas hambat tumbuh terhadap bakteri uji Pseudomonas aeruginosa, Bacillus
subtitulis, Eschericia coli dan Staphylococcus aureus. Pada penelitian ini
dilakukan pengujian dengan menggunakan 3 bakteri uji yaitu Staphylococcus
aureus, Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa
Staphylococcus aureus termasuk famili Micrococcaceae dan merupakan
bakteri Gram positif, berbetuk kokus dengan diameter 0,7-0,9 µm, dapat hidup
secara aerob dan anaerob fakultatif, bersifat non motil dan tidak membentuk
spora. Bakteri ini sering ditemukan pada makanan berprotein tinggi seperti telur
dan sosis. S.aureus adalah kelompok bakteri dengan sel berbentuk bola
berpasangan atau tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur.
Koloninya memiliki pigmen yang relatif bervariasi mulai dari putih sampai
kuning keemasan. Mudah tumbuh dalam kebanyakan perbenihan bakteriologi
12
dalam keadaan aerob atau mikroaerob, tumbuh optimum pada suhu 30-37oC, pada
pH optimum 7,0-7,5 dan tumbuh baik pada larutan NaCl 15%. Komponen dinding
selnya tersusun atas peptidoglikan, asam teikoat dan protein (Todar 2004).
Pseudomonas aeruginosa termasuk famili Pseudomonaceae dan termasuk
kelompok bakteri Gram negatif. Bakteri ini dapat hidup secara aerobik bersifat
patogen, dapat menimbulkan kebusukan pada makanan, dapat tumbuh subur pada
suhu 37oC, tidak tahan terhadap panas dan kondisi kering sehingga mudah
dibunuh dengan pemanasan dan pengeringan. Bakteri ini dapat tumbuh pada
perbenihan buatan, membentuk koloni bulat halus dengan fluoresensi kehijauan
dengan bau aromatik yang enak Bakteri ini hanya bersifat patogen dalam tubuh
bila masuk ke daerah pertahanan normalnya tidak ada atau berperan dalam infeksi
campuran. Salah satunya penyebab penyakit infeksi mata (Todar 2004). P.
aeruginosa adalah bakteri batang dengan diameter 0,5-1,0 µm dan panjang 1,5-4,0
µm. Bakteri ini bersifat motil dan mudah tumbuh pada media yang umum. Selain
itu bakteri ini tumbuh baik pada media nitrogen dengan bermacam-macam
senyawa karbon (Burcharan dan Ghibbons, 1974).
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri Gram positif, koloninya
berbentuk bulat, menonjol membentuk pigmen berwarna putih, bergaris tengah
sekitar 0,5-1,5 um, satu-satu atau berpasangan, dinding sel mengandung dua
komponen utama peptidoglikan dari asam-asam tikoat. Metabolisme aerobik dan
anaerobik. Sebagian besar tumbuh pada NaCl 15% atau empedu 40%, peka
terhadap fenol dan derivatnya, senyawa yang mempunyai aktivitas permukaan
salisilanida, karbanilida, halogen (khlor dan yodium). Bakteri ini merupakan flora
normal pada kulit, kelenjar kulit dan selaput lendir.dan saluran pernapasan bagian
atas manusia. S.epidermidis memiliki sifat yg hampir sama dengan S.aureus,
karena selain tergolong bakteri Gram positif bakteri ini juga tidak bergerak dan
membentuk spora. Mudah tumbuh pada suhu 370C pada berbagai media
pembenihan bakteriologik dalam keadaan aerobik atau mikroaerobik. Bakteri ini
dapat menimbulkan penyakit bila habitatnya terganggu, misalnya terdapat luka
maka bakteri ini dapat masuk ke dalam aliran darah dan akan menyebabkan
infeksi pada daerah yang bukan habitatnya.
13
Senyawa Antibakteri
Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi, menimbulkan penyakit, dan
merusak bahan pangan. Mikroorganisme dapat disingkirkan, dihambat, dan
dibunuh dengan cara fisik maupun kimia. Senyawa antimikrob adalah zat yang
dapat menghambat pertumbuhan mikrob dan dapat digunakan untuk kepentingan
pengobatan infeksi pada manusia, hewan dan tumbuhan. Antimikrob meliputi
antibakteri, antifungal, antiprotozoa, dan anti virus (Shunack et al, 1990). Anti
bakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan bahkan dapat mematikan
bakteri dengan cara mengganggu metabolismenya (PelcZar dan Chan, 1988).
Sifat antibakteri dapat berbeda satu sama lain, ada yang berspektrum luas
(broad spectrum) bila menghambat atau membunuh bakteri Gram positif dan
Gram negatif , berspektrum sempit (narrow spectrum) bila menghambat atau
membunuh Gram positif atau Gram negatif saja, dan berspektrum terbatas (limited
spectrum) jika efektif terhadap spesies bakteri tertentu (Djiwoseputro 1990).
Mekanisme kerja anti bakteri dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu
dengan merusak dan menghambat sintesis dinding sel, mengubah permeabilitas
sel, dan menghambat sintesis protein dan asam nukleat. Beberapa faktor dan
keadaan yang dapat mempengaruhi kerja antibakteri antara lain konsentrasi
antibakteri, spesies bakteri, jumlah bakteri, adanya bahan organik, pH lingkungan,
dan suhu (Pelczar dan Chan 1988).
Pengujian Aktivitas Antibakteri
Pengujian atau penetapan aktivitas antibakteri atau antibiotik secara invitro
menurut Wattimena (1991) dapat dikelompokkan menjadi metode difusi agar
menggunakan cakram, silinder atau cekungan sebagai tempat antibiotik dan
metode turbidimetri pada media cair (cara tabung). Pada metode difusi agar,
substansi mikroba diletakkan pada media agar yang telah diinokulasi dengan
bakteri uji sehingga antibakteri dalam media agar akan berdifusi dan akan
membentuk zona bening di sekitar substansi yaitu zona pertumbuhan yang
dihambat selama masa inkubasi. Penentuan aktivitas antibakteri juga dapat
dilakukan dengan menentukan konsentrasi terendah yang menghambat
pertumbuhan (Minimum Inhibitory Concentration) atau konsentrasi terendah yang
mematikan kuman (Minimum Lethal Concentration)
14
Ekstrak akan menimbulkan gradien konsentrasi di dalam agar dan
membentuk penghambatan yang akan terlihat sebagai zona bening jika memiliki
sifat antimikroba. Batas dari zona bening adalah pada saat kekuatan ekstrak sudah
jauh berkurang sehingga tidak lagi menghambat pertumbuhan bakteri uji. Zona
bening yang terbentuk disebut juga diameter penghambatan. Diameter
penghambatan yang terbentuk dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
konsentrasi ekstrak, tingkat kelarutan ekstrak, dan kemampuan ekstrak untuk
berdifusi ke dalam agar (Prescott et al. 2003).
Penentuan daya antibakteri dapat dilakukan dengan menentukan adanya
daya hambat pertumbuhan bakteri atau dilanjutkan dengan menentukan potensi
daya hambat dengan membandingkan antibiotik atau dengan menentukan
koefisien fenol (Estuningtyas et al. 2007). Pada penelitian ini menggunakan
antibiotik kloramfenikol sebagai pembanding.
Gambar 3. Struktur kloramfenikol
Kloramfenikol mempunyai rumus kimia yang cukup sederhana yaitu 1-(p-
nitrofenil)-2-dikloroasetamido-1,3-propandiol. Antibiotik ini bersifat unik di
antara senyawa alam karena adanya gugus nitrobenzen dan antibiotik ini
merupakan turunan asam dikloroasetat (Connors 1992). Kloramfenikol bekerja
dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Kloramfenikol menghambat
enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk
ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein kuman. Kloramfenikol
menghambat sintesa protein pada ribosom 50S bakteri dengan cara mengganggu
transfer asam amino pada bakteri.