TIDAK DITERAPKANNYA UNDANG-UNDANG PERADILAN
PIDANA ANAK NO 11 TAHUN 2012 TERHADAP PUTUSAN
NOMOR 025/PID-SUS-ANAK/2015/PNJkt.Pst)
skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Budi Kurniawan
NIM 11140430000085
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Budi Kurniawan. Nim 11140430000085. TIDAK DITERAPKANNYA
UNDANG-UNDANG PERADILAN PIDANA ANAK NO 11 TAHUN 2012
MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Analisis Kasus Putusan
perkara Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst). Program Studi Perbandingan
Mazhab, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan unutuk mengetahui bagaimana pandangan hukum
pidana Islam dan hukum positif terhadap kasus pemerasan dengan kekerasan yang
dilakukan oleh anak di bawah umur serta menganalisis menurut perspektif hukum
pidana Islam dan hukum positif mengenai putusan pengadilan terhadap kasus
tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data
dilakukan dengan metode kepustakaan, penulis melakukan pengidentifikasian
secara sistemis dari sumber yang berkaitan dengan objek kajian. Setelah data
diperoleh penulis menganalisis secara yuridis normatif data yang diperoleh
terhadap objek kajian Perkara Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst. Hasil
penelitian ini menujukkan bahwa dalam pandangan hukum positif hukuman
pidana 5 bulan yang diberikan kepada terdakwa dalam kasus tersebut dapat
dikatakan tidak tepat karena ada perundang-undangan yang tidak diperhatiakan
oleh hakim, dan ditinjau dari hukum pidana Islam ada tentang hukuman bagi
pelaku, pelaku dikenakan hukuman ta’zîr, yaitu kadar dan jenis hukumannya
diserahkan kepada keputusan ijtihad hakim.
Kata kunci : peradilan pidana anak, Putusan Hakim, Hukum Pidana, Hukum Islam
Di bawah bimbingan Pembimbing I Dr. Alfitra, SH, M.Hum dan Pembimbing II
Ahmad Bisyri Abdul Shomad, MA
Daftar Pustaka : 1971 s.d 2016
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحيم
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah kezaman ilmiah seperti
sekarang ini.
Selanjutnya, penulisakan menyampaikan rasa terima kasih tak terhingga
kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik
berupa moril maupun materil. Karena tanpa bantuan dan dukungannya, penulis
tidak akan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis secara
khusus akan menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan FakultasSyari’ah dan
Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah danHukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Ibu Hj. Siti Hana, S.Ag, Lc., M.A, Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab.
3. Bapak Dr. Fuad Thohari, M.Ag, dosen penasehat akademik penulis.
4. Bapak Dr. Alfitra, SH, M.Hum dan Pembimbing II Ahmad Bisyri Abdul
Shomad, MA dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta
memberikan arahan, saran dan ilmunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang tak ternilai harganya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda alm Muhammad Muliha dan Ibunda
Sumirah atas pengorbanan dalam mendidik, mengasuh dan berjuang sampai
ke titik ini dan tak pernah lupa untuk mendoakan, memberikan arahan serta
dukungan kepada penulis. Juga kepada Adik Lia kurniawati dan kakak Ernie
kurniasari yang telah menemani, memberikan doa serta dukungan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
vii
7. Sahabat dan teman terbaik penulis yang telah banyak membantu dalam hal
apapun selama di ciputat, ananda Reno Tri Ramadhan, Fahri Muhammad,
Murtadhi Achmad, Abdullah Mahfud, Abdul Harist, Ahmad Zaelani, Ari Al
Maulana, M. Angga Yuda, Khalil Gibran, Fahmi Fajrianto, Deni Alamsyah,
Sahrul Fauzi, dan Ahmad Tio Handini S.H. Semoga Allah selalu memberikan
kesehatan dan keselamatan. Salam hormat penulis dan ucapan terimakasih
sebanyak-banyak nya yang telah banyak membantu penulis selama 4,5 tahun
berada di ciputat
Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan
yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan
amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis serta pembaca pada umumnya. Aamiin.
Jakarta, 20 Januari 2019
Penulis
viii
1
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf
Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z zet ز
s es س
ix
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q Qo ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrop ء
y ya ي
x
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
a fathah ــــــــــ
i kasrah ــــــــــ
u dammah ــــــــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ــــــــــي ai a dan i
ــــــــــو au a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
â a dengan topi di atas اـــــ
î i dengan topi atas ىـــــ
û u dengan topi di atas وـــــ
xi
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam )ال), dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: اإلجثهاد=al-ijtihâd
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah =الرخصة
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: الشفعة = al-syuî
‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi
huruf “t” (te)(lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شريعة 1
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسالمية 2
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa
jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya. Misalnya, البخاري= al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
xii
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara
terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu almahzûrât الضرورة تبيح المحظورات 1
اإلقتصاد اإلسالمي 2 al-iqtisâd al-islâmî
أصول الفقه 3 usûl al-fiqh
al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah األشياء اإلباحةاألصل فى 4
المصلحة المرسلة 5 al-maslahah al-mursalah
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
BAB 1 : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………….. 8
D. Review Kajian Terdahulu………………………………………... 9
E. Metode dan Teknik Penelian ……………………………………. 10
F. Sistematika Penulisan …………………………………………… 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN ANAK
A. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Di Indonesia……….. 15
B. Anak Menurut Hukum Islam ….............................................………20
BAB III : TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PIDANA
ANAK
A. Pengertian Tindak Pidana Anak ......………………………………..27
B. Tujuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak No 11
Tahun 2012.........................................................................................41
xiv
BAB IV : PUTUSAN HAKIM NOMOR 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.pst DAN
ANALISIS PANDANGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PUTUSAN NOMOR 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
A. Duduk perkara…………………………………………………… 43
B. Amar putusan……………………………………………………. 47
C. Analisis Pandangan hukum positif terhadap putusan Nomor
025/Pid.SusAnak/2015/PN.Jkt.Pst………...........................…… 51
D. Analisis pandangan hukum Islam terhadap putusan Nomor 025/Pid.Sus-
Anak/2015/PN.Jkt……………………............................................ 57
BAB V : PENUTUPAN
A. Kesimpulan …………………………………………………………..62
B. Saran………………………………………………………………….64
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Masalah
Menurut pengetahuan umum, yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang lahir dari hubungan pria dan wanita. Sedangkan anak-anak adalah
seorang yang masih di bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin.
Pengertian yang dimaksud merupakan pengertian yang sering kali dijadikan
pedoman dalam mengkaji berbagai persoalan tentang anak1. Secara nasional,
pengertian anak berdasarkan dari batasan usia anak, di mana anak adalah
seseorang yang belum berumur 18 tahun. Sedangkan dalam Undang-undang
Peradilan Anak No 11 tahun 2012 atau disebut UU SPPA, anak yang telah
berumur 12 tetapi belum berumur 18 di sebut anak yang berkonflik dengan
hukum2
Maraknya prilaku melanggar hukum yang dilakukan oleh anak terjadi
karena beberapa sebab, dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang
cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu
pengetahuan dan perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah
membawa pengaruh terhadap nilai dan prilaku anak3
Meski demikian upaya untuk menghukum anak pelaku tindak pidana yang
diselesaikan di pengadilan bukanlah upaya yang baik untuk masa depan seorang
anak. Karena dengan hukuman pidana anak akan mendapatkan stigma negatif
dimasyarakat nantinya saat kembali. Pelaksanaan diversi sesuai UU SPPA
dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan
perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Upaya
1Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan InstrumenInternasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya,( Yogyakarta. Graha Ilmu, 2013) h., 1. 2Undang-undang peradilan pidana anak no 11 tahun 2012 3Naskah akademik peraturan PerUndang-undangan Tentang Rancangan Undang Unadang
Peradilan Pidana anak.
1
2
pengalihan atau ide diversi ini, merupakan penyelesaian yang terbaik yang dapat
dijadikan formula dalam penyelesaian beberapa kasus yang melibatkan anak
sebagai pelaku tindak pidana. Dengan langkah kebijakan tersebut, yang
penanganannya dialihkan di luar jalur sistem peradilan pidana anak, melalui cara-
cara pembinaan jangka pendek atau cara lain yang bersifat keperdataan atau
administratif4
Di dalam Hukum pidana Islam gugurnya suatu hukuman diantaranya
disebabkan adanya pengampunan dan perdamaian. Menurut mazhab Syafii dan
Hambali, perdamaian mempunyai makna ganda yaitu penganpunan dari tindak
pidana saja dan penganpunan dari tindak pidana dengan mengganti diyat. Kedua
pengertian tersebut merupakan pembebasan hukuman dari keluarga korban5
Pidana penjara bagi anak harus menjadi upaya terakhir dalam setiap
putusan pidana anak, karena akan menimbukan cap atau lebeling oleh masyrakat
kepada anak yang dijatuhi pidana penjara. Sekali cap penjahat itu diletakkan pada
seorang anak maka akan sangat sulit untuk melepaskan diri dari cap tersebut. dan
kemungkinan akan mengidentifikasi anak itu dengan cap yang telah diberikan
masyarakat terhadap anak tersebut6
Tidak diterapkannya undang peradilan pidana anak no 11 tahun 2012
dalamputusan hakim dengan nomor perkara 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
menjadi sebuah permasalahan, pasal 108 UU SPPA menyebutkan Undang-undang
ini berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Sebagaimana yang diketahui UU SPPA disahkan tanggal 30 juli 2012 oleh
Presiden Republik Indonesia, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta.
4Kusno adi, Kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh anak,
(UMM Press Malang, 2009), h., 58-59. 5Ahmad Wardi muslich, Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika, 2005), h., 195. 6 Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan InstrumenInternasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya,( Graha Ilmu, yogyakarta), 2013, h., 23.
3
Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa UU SPPA berlaku
pada 30 juli tahun 2014 yaitu 2 (dua) tahun setelah disahkannya UU SPPA
tersebut, dan kejadian perkara dalam putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dengan nomor perkara 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.pst terjadi pada
tahun 2015. Hal ini sesuai fakta fakta hukum yang tertulis dalam putusan.
Terdakwa yang bernama Muh. Hoeron Damai Sina yang lahir tanggal 05
mei 1999 dan bertempat tinggal di Kecamatan Gambir Jakarta Pusat. Pada saat
menerima dakwaan di persidangan terdakwa masih berumur 16 tahun. Di tuntut
dengan pasal 368 ayat (2) tindak pidana Pemerasan disertai Pengancaman dengan
ancaman 9 (sembilan) tahun penjara dalam KUHP. Sesuai UU SPPA terdakwa
masuk kedalam kategori Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya
disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.7
Di setiap tingkat pemeriksaan, terdakwa wajib diberikan bantuan hukum
dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai
ketentuan Undang-undang. Dalam perkara ini terdakwa yang statusnya masih
anak di bawah umur melakukan tindak pidana bersama dengan orang dewasa
diajukan ke pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dalam register perkara anak
wajib dibuat khusus oleh lembaga yang menangani perkara anak.
Dalam perkara ini terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina melakukan tindak
pidana bersama sama dengan teman dewasa yang berkasnya perkaranya terpisah.
Kenakalan anak yang mengakibatkan anak berkonflik dengan hukum, menurut
Kartini Kartono ada upaya yang harus dilakukan secara terpadu, dengan tindakan
preventif, tindakan penghukuman dan tindakan kuratif.8
7Undang-undang peradilan pidana anak no 11 tahun 2012 8Kartini Kartono, Patologi Sosial 2, kenakalan Remaja, (Jakarta: raja Grafindo Persada,
2010), h., 94-97
4
1. Tindakan Preventif atau tindakan yang dapat mencegah terjadinya
kenakalan anak, berupa:
a. Meningkatkan kesejahteraan keluarga;
b. Perbaikan lingkungan, yaitu daerah slum, kampung-kampung miskin;
c. Mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk
memperbaiki tingkah laku dan membantu remaja dari kesulitan hidup;
d. Menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja;
e. Membentuk kesejahteraan anak-anak;
f. Mengadakan panti asuhan;
g. Mengadakan lembaga reformatif untuk memberikan latihan korektif,
pengoreksian dan asistensi untuk hidup mandiri dan susila kepada anak-
anak dan para remaja yang membutuhkan;
h. Membuat badan supervise dan pengontrol terhadap kegiatan anak
delinkuen, disertai program yang korektif;
i. Mengadakan pengadilan anak;
j. Mendirikan sekolah bagi anak miskin;
k. Mengadakan rumah tahanan khusus bagi anak dan remaja;
l. Menyelenggarakan diskusi kelompok dan bimbingan kelompok;
m. Mendirikan tempat latihaan untuk menyalurkan kreatifitas para remaja
delinkuen dan nondelinkuen.
2. Tindakan Hukuman Tindakan hukuman bagi remaja delinkuen antara lain
berupa: menghukum mereka sesuai dengan perbuatannya, sehingga dianggap
adil dan bisamenggugah berfungsinya hati nurani sendiri hidup susila dan
mandiri.
3. Tindakan Kuratif adalah tindakan bagi usaha penyembuhan kenakalan
anak. Bentuk-bentuk tindakan kuratif, antara lain berupa:
a. Menghilangkan semua sebab-sebab timbulnya kejahatan;
5
b. Melakukan perubahan lingkungan dengan jalan mencarikan orang tua
asuh dan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi perkembangan
jasmani dan rohani yang sehat bagi anak-anak remaja;
c. Memindahkan anak-anak nakal ke sekolah yang lebih baik, atau ke
tengah lingkungan sosial yang baik;
d. Memberikan latihan bagi remaja secara teratur, tertib dan berdisiplin;
e. Memanfaatkkan waktu senggang di camp pelatihan, untuk
membiasakan diri bekerja, belajar dan melakukan rekreasi sehat
dengan disiplin tinggi;
f. Menggiatkan organisasi pemuda dengan program-program latihan
vokasional (kejurun) untuk mempersiapkan anak remaja delinkuen
bagi pasaran kerja dan hidup di tengah masyarakat;
g. Mendirikan klinik psikologi untuk meringankan dan memecahkan
konflik emosional dan gangguan kejiwaan lainnya
Proses penjatuhan hukuman pidana 5 bulan penjara kepada terdakwa
menjadi putusan yang dianggap tidak tepat, kerugian korban berupa materil
sebesar Rp.980.000 belum cukup untuk mempidanakan terdakwa yang masih
anak di bawah umur. Karena pada UU SPPA pasal 9 ayat (2) kesepakatan diversi
harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta
kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk nilai kerugian korban tidak lebih
dari nilai upah minimum provinsi setempat. Dari uraian pasal 9 ayat (2) dapat di
ambil kesimpulan, upaya diversi harus dilakukan kepada terdakwa.9
Anak yang seyogyanya dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan
negara di masa mendatang yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini
karenakan bagaimanapun juga ditangan anak-anaklah suatu bangsa tersebut akan
ditententukan. Semakin maju sebuah suatu bangda semakin besar pula
perhatiannya dalam menciptakan keadaan yang kondusif bagi menumbuh
9 Undang-undang peradilan pidana anak no 11 tahun 2012
6
kembangkan anak-ank dalam rangka perlindungan. Perlindungan yang diberikan
negara terhadap anak-anak meliputi berbagai aspek kehidupan ekonomi, sosial,
budaya, maupun aspek hukum.
Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan upaya perlindungan hukum
terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental right and freedom
of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan
anak.10
Penerapan diversi sebagaimana yang diatur di UU SPPA dilakukan
dengan konsep keadilan restoratif di mana penyelesaiannya melibatkan korban
dan pelaku serta pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya. Terkait dengan
kejahatan yang dilakukan anak di bawah umur, kita semua sepakat bahwa
pelakunya tetap harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, sesuai dengan
asas equality before the law, namun jika melihat pada kerangka perlindungan
anak tentunya tidak bijaksana apabila perlakuan pada anak di bawah umur sama
dengan perlakuan terhadap orang dewasa karena secara fisik dan psikis, kondisi
anak-anak masih labil dibandingkan orang dewasa. Persoalannya adalah jika
anak-anak berada dalam penjara, hak-hak mereka yang dijamin oleh Undang-
undang Perlindungan anak besar kemungkinan tak akan dapat dipenuhi.
Karena seyogyanya peradilan pidana anak dengan keadilan restoratif
bertujuan untuk :11
1. Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak
2. Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan
3. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan
4. Menanamkan rasa tanggung jawab anak
5. Mewujudkan kesejahteraan anak
6. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan
10 Barda Nawawi Arieff, Beberapa aspek Kebijakan Penegakandan Pengembangan Hukum
Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 199) h., 155 11 Naskah aklademik Undang-undang sistem peradilan pidana anak No 11 tahun 2012
7
7. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
8. Meningkatkan keterampilan hidup anak
Proses peradilan pidana anak akan menimbulkan dampak negatif berupa
stigma jahat yang dapat memperbesar tingkah laku menyimpang dan dapat
membentuk karakter kriminal sehingga sulit bagi anak untuk kembali kedalam
masyarakaterkait upaya perlindungan hukum bagi anak khususnya yang
bermasalah dengan hukum, dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak telah diatur khusus mengenai diversi dan keadilan
restoratif dalam penyelesaian perkara anak yang tentunya dengan tujuan agar hak-
hak anak dalam hal ini yang bermasalah dengan hukum lebih terlindungi dan
terjamin. Di mana dalam UU ini diatur bahwa Pada tingkat penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib
diupayakan Diversi.12
Diversi yang merupakan Salah satu implementasi dari keadilan restoratif,
dapat dilakukan mulai tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara
di pengadilan. Hal ini yang harus selalu ditekankan oleh pemerintah dan DPR
dalam proses pembuatan Undang-undang sistem peradilan pidan anak untuk
menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan anak.
Jika upaya diversi tidak dapat terlaksana, Hakim terlebih dahulu
mempertimbangkan pasal 71 UU SPPA tentang pemberian Sanksi pidana yang
dapat dikenakan kepada pelaku tindak Pidana Pokok terdiri atas: Pidana
peringatan, Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga
dan pelayanan masyarakat, Pelatihan kerja, Pembinaan dalam lembaga dan yang
terakhir Penjara.
UU SPPA Pasal 81 ayat (5) menyebutkan bahwa pidana penjara terhadap
anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir, serta apabila keadaan dan
perbuatannya dapat membahayakan masyarakat. Bertujuan supaya hukum lebih
12Lihat Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang peradilan pidana anak No 11 tahun 2012
8
melindungi dan mengayomi anak agar dapat meraih masa depannya yang masih
panjang, sehingga nantinya dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk
lebih memperbaiki dirinya. Selain itu, setiap penjatuhan pidana penjara bagi anak,
tentu harus memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak tersebut.
Proses Hakim dalam memberikan Putusan Perkara Nomor 025/Pid.Sus-
Anak/2015/PN.Jkt.Pst dengan tidak menerapkan UU SPPA dalam proses
pengadailan menjadi sebuah masalah dan penulis akan menjelaskannya lebih luas
di dalam skripsi nantinya.Berdasarkan uraian di atas banyaknya permasalahan
yang terjadi, penulis berfokus pada mengapa tidak diterapkannya UU SPPA
dalam putusan tersebut, dan menjadi dorongan penulis untuk melakukan
penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul:
“TIDAK DITERAPKANNYA UNDANG-UNDANG PERADILAN
PIDANA ANAK NO 11 TAHUN 2012 MENURUT HUKUM POSITIF DAN
HUKUM ISLAM (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 025/Pid.Sus-
Anak/2015/PN.Jkt.Pst)”
B. Indentifikasi, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
dari latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi beberapa
masalah dalam penelitian ini, di antaranya:
1. Ketentuan anak dalam undang-undang
2. Ketentuan anak dalam hukum Islam
3. Penjelasan tindak pidana
4. Penjelasan tindak pidana anak
5. Penjelasan tindak pidana menurut hukum Islam
6. Penjelasan asas asas hukum Islam dan hukum Islam
7. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak No 12 tahun 2012
9
8. Pandangan hukum positif dan hukum Islam dalam terhadap Putusan
perkara Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
9. Penyebab tidak diterapkannya Undang-undang Sistem Peradilan Pidana
Anak No 11 tahun 2012
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini, peneliti membatasi
masalah yang akan di bahas sehingga pembahasannya lebih dan terarah sesuai
yang di harapkan peneliti.
Di sini peneliti hanya akan membahas apa pandangan hukum Positif
dan hukum Islam pada putusan Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
dan apa yang menjadi faktor tidak diterapkannya Sistem Peradilan Pidana
Anak No 11 tahun 2012.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah dan
pembatasan masalah, maka peneliti merumuskan masalah yang akan menjadi
fokus permasalahan, dapet di uraian perumusan masalah sebagai berikut:
a. Apakah yang menjadi penyebab tidak diterapkannya Undang-Undang
Peradilan Pidana Anak No 11 tahun 2012 terhadap putusan perkara nomor
025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst?
b. Bagaimana pandangan Hukum positif dan Hukum Islam terhadap putusan
perkara nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui penyebab tidak diterapkan Undang-Undang
Peradilan Pidana Anak No 11 tahun 2012 terhadap pelaku.
b. Untuk mengetahui pandangan Hukum positif dan hukum Islam
terhadap putuasan Nomor 25/pid.Sus-anak/2015/PN.Jkt.Pst
10
2. Manfaat penelitian
Dalam penelitian ini penulios mengharapkan dapat memberikan manfaat
diantaranya:
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan
ilmu hukum yang menyangkut proses Sistem Peradilan Pidana
Anak di Pengadilan Negeri
b. Bagi masyarakat
Dapat memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat
luas tentang proses Sistem Peradilan Pidana Anak dalam
penyelesaian perkara pidana anak di Pengadilan Negeri
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan
dibahas oleh penulis lainnya, penulis me-review beberapa skripsi dan karya
tulis terdahulu yang pembahasannya hampir sama dengan pembahasan yang
penulis angkat. Dalam hal ini penulis menemukan beberapa skripsi dan karya
tulis terdahulu, yaitu :
1. Skripsi Mufidhatul Mujubah, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga yang berjudul “konsep Diversi dalam
sistem peradilan anak perfektif Hukum Isalm (studi atas UU RI No 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).Dalam skripsi ini
membahas tentang diversi dalam UU SPPA, diversi dalam hukum
Islam dan teori perdamaian (al-sulh), yang membedakan dari skripsi
yang penulis kaji adalah bagaimana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tidak menerapkan UU SPPA dalam kasus pidana anak yang terjadi
ditahun 2015, serta penulis juga menggunakan PERMA No. 4 Tahun
2014 tentang pedoman pelaksanaan UU SPPA dan juga penulis
11
membahas UU perlindungan anak sebagai korban kekerasan dalam
Perkara tersebut.
2. Skripsi Muhammad Iqbal Farhan, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Jakarta yang berjudul “ Penerapan Diversi
Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum Positif dan
Hukum Islam (analisi kasus Putusan Perkara NO 15/Pid.Sus-
Anak/2014/PN.TNG). dalam skripsi ini dijelelaskan penerapan Diversi
dalam kasus tersebut, yang membedakan dari tulisan penulis adalah
tidak diterapkannya UU SPPA dalam proses penyelesaian tindak
Pidana anak analisis kasus No. 025/Pid.Sus-anak/2015/Jkt.Pst.
Dari beberapa skripsi yang penulis temukan hanya membahas mengenai
Diversi dan penerapannya ruang lingkup Pengadilan Negeri saja tetapi belum
ada yang membahas tidak diterapkannya UU SPPA yang berlaku di tahun
2014 tetapi tidak di terapkan pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang
peradilan Pidan anak di tahun 2015. Untuk itu penulis berkeinginan meneliti
masalah ini dalam bentuk skripsi dan sebagai pelengkap karya ilmiah untuk
siapa saja yang membutuhkan.
E. Metode Penulisan
Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan
beberapa metode, antara lain:
1. Jenis Peneltian
Jenis peneltian ini adalah peneltian kualitatif, yakni menggunakan
kebanaran sebuah data. Maka dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan penelitian pustaka (library research) dan deskriftif analisis.
2. Pendekatan masalah
Pendekatan masalah ini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan
menggunakan analisa isi, dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi
12
dari putusan yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkan dengan
masalah yang di ajukan, sehingga dapat menemukan kesimpulan yang objektif
dan sistematis.
3. Jenis data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder, yaitu:
a. Data primer, yaitu data yang bersifat utama dan penting yang
memunginkan untuk mendapatkan sejumlah informasi berkaitan
dengan penelitian, yaitu:
a) Salinan putusan pengadilan negeri Jakarta Pusat putusan
nomor: 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
b) Undang-Undang No 11 tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara
mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan masalah penelitian ini, isu- isu yang berkaitan
dengan masalah ini. Bahan-bahan tersebut digunakan untuk
mendukung, membantu, melengkapi dan membahas masalah-
masalah yang timbul dalam penelitian ini.
4. Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
a. Studi pustaka yaitu mengumpulkan data dengan mencari
konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat atas penemuan yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan
berupa undang-undang, karya ilmiah para sarjana,dan lapotan
lembaga yang berkaitan.
b. Studi Dokumentasi adalah berupa putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat putusan nomor: 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst.
13
5. Teknik analisa data
Setelah melalui beberapa proses pengumpulan data yang dilakukan
dengan macam-macam metode yang dipilih, maka data yang sudah ada akan
diolah dan dianalisa agar mendapatkan hasil yang bermanfaat dari penelitian
ini. Pengolahan data yang dilakukan dengan mengadakan studi dengan teori
kenyataan yang ada ditempat penelitian.
6. Teknik penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku pedoman
penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017
F. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk memberikan
gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan, penulis menyusun skripsi
ini dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut.
Bab I :Merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang maslah,
identifikasi,batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, metode dan teknik penulisan,
sistematika penulisan.
Bab II :Membahas tentang pengertian anak, pengertian tindak pidana pada
anak dan tujuan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak No 11
tahun 2012.
BabIII :Duduk perkara dan Amar putusan putusan Nomor 025/Pid.Sus-
Anak/2015/PN.Jkt.Pst.
Bab IV:Pembahasan Pandangan hukum positif terhadap putusan Nomor
025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst dan pandangan hukum Islam
terhadap putusan Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst.
14
Bab V: Merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan yang menjawab
rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan yang
akan datang
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN ANAK
A. Pengertian Anak
1. Anak menurut Undang-undang di Indonesia
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; dan anak adalah tunas,
potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran
strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksitensi
bangsa dan negara, itulah pengertian anak yang terdapat dalam konsideran UU No.
23 tahun 20021 Tentang perlindungan anak. Karena sangat pentingnya
keberlangsungan anak dalam proses meneruskan cita cita pejuang bangsa dan
beratnya tanggung jawab tersebut, anak harusmendapatkan kesempatan yang sangat
luas untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal, baik secara fisik, mental
maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindunagn yang
mewujudkan kesejahteraan dan jaminan mendapatkan hak haknya serta perlakuaan
tanpa diskriminisasi2
Demikian juga dijelaskan dalam Undang-undang dasar 1945 sebagai norma
hukum tertinggi meyatakan bahwa “ setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindnuang dari kekerasan dan
diskriminisasi3 dengan dicantumkannya hak anak tersebut dalam tubuh batang
konstitusi, maka dapat diartikan bahwa kedudukan dan perlindnuang hak anak
merupakan hal penting yang harus dijalankan dalam kenyataan sehari hari4
1Undang-undang No 23 tahun 2002Tentang perlindungan anak (pada bagian menimbang) 2M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak (Undang Undang -SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika,2013),h., 8. 3 Pasal 28B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 4M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Undang-Undang Sistem Peradialan
Pidana Anak (Undang-undang -SPPA),h., 12
16
Karena negara telah memberikan pernyataan bahwa anak butuh di jaga hak
hak nya agar terus berkembang sesuai keinginan dan tujuan negara, maka dalam
penanganan hukum seorang anak harus berbeda dengan dengan orang dewasa. Oleh
sebab itu perlindungan hukum terhadap anak harus melibatkan lembaga dan
perangkat hukum yang lebih memadai. Untuk itu sistem Undang-undang
perlindungan pidana anak No 11 tahun 2014 dibuat dengan tujuan sebagai perangkat
hukum yang lebih mantap dan memadai dalam melaksanajkan pembinaan dan
memberikanperlindungan terhadap anak.5
Karena adanya berbagai kepentingan yang hendak dilindungi oleh masing
masing lapangan hukum, membawa sebab terjadinya adanya perbedaan penafsiran
terhadap terhadap perumusan kriteria seorang anak. Perumusan seorang anak dalam
berbagai rumusan Undang-undang tidak memberikan pengertian akan konsepsi anak,
melainkan perumusan yang merupakan pembatasan untuk suatu perbuatan tertentu,
kepentingan tertentu dan tujuan tertentu.6
Dalam perumusan makna anak dapat diartikan dari berbagai sisi sudut
pandang pandang kehidupan. sosiologi, agama, dan hukum yuridis menjadikan
pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Disertai
dengan ketentuan hukum atau persamaan kedudukan dalam hukum (equality before
the low) dapat memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang
tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum yang ditentukan oleh ketentuan
peraturan-peraturan hukum itu sendiri, atau meletakan ketentuan hukum yang
memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa
hukum dari anak yang bersangkutan. Hak- hak privilege yang diberikan negara atau
pemerintah yang timbul dari UUD dan peraturan perundang-undangan.
Secara sosiologis masyarakat Indonesia yang berpegang teguh kepada adat,
walaupun diakui adanya perbedaan antara masa usia anak anak dan dewasa, akan
5Wagiati Soetodj , Hukum Pidana Anak (Bandung: Pt refika Aditama,2006)h., 3. 6Nandang Sambas, Peradilan pidana anak di indonesia dan instrumen internasional
perlindungan anak serta penerapannya (Yogyakarta: Graha Ilmu),h., 5.
17
tetapi perbedaan pernbedaan yang ada bukan hanya karena batas usia semata mata
melaikan didasarkan pula pada kenyataan keyataan sosial dalam pergaulan hidup
masyarakat. Seseorang dapat dikatakan dewasa apabila secara fisik telah
memperlihatkan tanda tanda kedewasaan yang dapat mendukung penampilannya.
Pandangan hukum adat, begitu tubuh si anak tumbuh besar besar dan kuat,
mereka dianggap telah mampu melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh
orang tuanya. Pada umumnya mereka dianggap telah mampu memberi hasil untuk
memenuhi kepentingan diri dan keluarganya disamping itu, mereka juga sudah dapat
diterima dalam lingkungannya. Oleh karena itu pendapatannya didengar dan
diperhatikan. Pada saat itu seseorang dapat dikatakan telah cukup dewasa.7
Pengertian Anak dari dalam Agama, sudut pandang yang di maknai oleh
agama khususnya dalam hal ini adalah agama Islam, anak merupakan makhluk yang
lemah dan mulia, yang keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT
dengan melalui proses penciptaan. Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang
mulia dalam pandangan agama Islam, maka anak harus diperlakukan secara
manusiawi seperti diberi nafkah baik lahir maupun batin, sehingga kelak anak
tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia seperti dapat bertanggung jawab
dalam mensosialisasikan dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa
mendatang Dalam pengertian Islam, anak adalah titipan Allah SWT kepada kedua
orang tua, masyarakat, bangsa dan negara yang kelak akan memakmurkan dunia
sebagai rahmatan lil‘alamin dan sebagai pewaris ajaran Islam pengertian ini
mengandung arti bahwa setiap anak yang dilahirkan harus diakui, diyakini, dan
diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima oleh orang tua, masyarakat,
bangsa dan negara.8
Anak dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam penentuan
diatur dengan batasan usia seseorang. Dan penentuan batas usia anak ada
7Nandang Sambas, Peradilan pidana anak di indonesia dan instrumen internasional
perlindungan anak serta penerapannya, h., 2. 8Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Bandung: Kencana, 2014). h,44.
18
ketidaksamaan antara peraturan perundang-undang yang satu dengan peratuan
undang unang yang yainnya sesuai dengan kriteria masing masing peraturan
perundang undanugan tersebut, misalnya:
1. UU No. 1 tahun 1997 tentang perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan
16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki laki
2. UU No. 4 thun 1997 tentang kesejahteraan anak mendefinisikan anak
berusia 21 tahun dann belum menikah
3. UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
berusia 18 tahun dan belum menikah
4. UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia menyebutkan bahwa
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah
menikah
5. UU No. 13 2003 tentang ketenagakerjaan memperbolehkan usia bekerja
adalah 15 tahun.
6. UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional memberlakukan
wajib belajar 9 tahun yang di konotasikan menjadi anak 7 sampai 15 tahun.
Berbagai macam definisi tersebut, menunjukan adanya disharmonisasi
perundang-undangan yang ada, maka pada prakteknya dilapangan akan ada banyak
kendala yang terjadi akibat dari perbedaan tersebut.
Berbagai negara juga berbeda-beda dalam menentukan usia minimum
pertanggungjawaban pidana pada anak, hal ini di sebabkan karena latar belakang
sejarah yang berbeda beda dan kebudayaan masing masing. Akan tetapi batas usia
pertanggungjawaban anak janganlah ditetapkan terlalu rendah dalam mengingat
faktor kematangan emosional, mental dan intelektual anak. Berikut adalah data
19
tentang umur minimal pertanggiungjawaban pidana bagi anak dan umur
pertanggungjawaban pidana dewasa di berbagai negara9
No. Nama Negara
Umur Minimum
Pertanggungjawaban
pidana anak (Tahun)
Umur
Pertanggungjawaban
pidana anak dewas
(Tahun)
1 Australia 10 16,17
2 Austria 15 19
3 Belgia 14 18
4 Denmark 15 18
5 Inggris 10 18
6 Prancis 13 18
7 Hongaria 14 18
8 Italia 14 18
9 Jepang 14 20
10 Belanda 14 18
11 Selandia Baru 12 18
12 Rusia 14,16 18
13 Swiss 15 18
14 swedia 7 18
Sementara itu mengacu pada konvensi PBB tentang hak anak ( convention on
the right of the child) maka definisi anak berarti “setiap manusia di bawah umur 18
tahun, kecuali menurut Undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai
di awal”. Untuk itu UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak memberikan
9Setya wahyudi, , Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Yogyakarta, Genta Publishing 2011 )h., 50
20
definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
berada dalam kandungan.10
Oleh sebab itu Hadi Supeno dalam bukunya berpendapat bahwa semestinya
setelah lahir UU perlindungan anak dalam kelas hukum dikategorikan sebagai lex
specialist, semua ketentuan lainya tentang definisi anak harus disesuaikan termasuk
kebijakan yang dilahirkan serta berkaitann dengan pemenuhan hak anak.11
Begitu pula M Nasir Djamil juga berpendapat karena memang sudah
seharusnya peraturan perundang-undangan yang ada memiliki satu (mono) definisi
sehingga tidak akan menimbulkan tumpang tindih peraturan peraturan yang pada
tataran praktis akan membuat repot penyelenggaraann pemerintahan. Untuk itu
Undang-undang perlindungan anak memang seyogyanya menjadi rujukan dalam
menentukan kebijakan yang berhubungan dalam pemenuhan hak anak.12
2. Anak Menurut Hukum Islam
Di dalam definisi bahas arab, istilah yang sering digunakan untuk anak adalah
ada pula terdapat kata kata yang menunjukkan makna anak dalam pengertian الولد
yang berbeda-beda seperti الصيب dan الطفل (anak bayi) الغالم (remaja) الصغري (anak
kecil). Banyaknya istilah ini muncul karena dalam pandangan Islam dibedakan antara
anak yang masih kecil dengan anak yang sudah baligh. Anak kecil juga ada yang
belum mumayyiz dan adapula yang sudah mumayyiz (kemampuan untuk
membedakan antara yang hak dan bathil).13
Anak menurut syari’at Islam didefinisikan sebagai seseorang yang belum
mencapai umur baligh. Pengertian baligh dalam Islam di artikan sebagai batasan
10M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Undang-undang Sistem Peradialan
Pidana Anak (Undang-undang-SPPA),h., 10 11Hadi supeno, kriminalisasi anak tawanan gagasan radikal peradilan anak tanpa
pemidanaan, (Jakarta pustaka utama,2010) h.,41 12M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Undang-undang Sistem Peradialan
Pidana Anak (Undang-undang-SPPA), h., 11 13Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997)Jilid I, h., 112
21
umur seseorang yang sudah dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara
hukum. baligh dapat ditandai dengan proses pertumbuhan yang alami dari umur
seseorang. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda :
يب حت يتلم، وعن النائم حت يست يقظ، وعن المجنون حت يفيق رفع القلم عن ثالثة: عن الص
Artinya: “tidak dikenakan kewajiban syariatpada tiga orang, yaitu : orang yang tidur
hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga
berakal”(Sunan Abu Dawud, no. 4403 dan Sunan At-Tirmidzi, no. 1423)
Dalam hadist tersebut, ciri-ciri tanda seseorang dapat dikatakan sudah baligh
atau belum baik untuk perempuan dan laki laki adalah (ihtilam), yaitu keluar sperma
untuk laki laki dan haid pertama untuk perempuan. Usia seseorang atas terjadinya
ihtilam baik pada laki laki dan perempuan rata rata usia antara umur 10 – 14 tahun
tergantung masing masing individu masing masing yang ditandai dengan
bermimpi.14
Anak sebenarnya dapat dikatakan sudah dewasa bukan berdasarkan hitungan
usia, melainkan sejak ada tanda tanda perubahan badaniyah (atau disebut dengan
baligh) bagi laki laki dan perempuan. Tanda tanda seorang sudah mencapai baligh itu
ada tiga, seperti dalam kitab Safinatun Najah yaitu :15
حتالم ف الذك ر و الن ثى )فصل( عالمة الب لوغ ثالث: تام خس عشرة سنة ف الذكر و الن ثى و ال
.لتسع سني و اليض ف الن ثى لت سع سني
Tanda-tanda baligh ada 3, yaitu:
1. Sempurna umur 15 tahun untuk laki-laki dan perempuan.
2. Keluar mani bagi laki-laki dan perempuan ketika berumur 9 tahun.
14Ibrahim Hosen, Fiqih perbandingan (jakarta : Balai penerbitan &perpustakaan Islam
Yayasan Ihya ulumuddin Indonesia, Jilid 1, 1971). h., 68. 15Syaikh Salim Bin Sumair Al Hadhramiy, Terjemahan Matan Safinatun Najah,
(Depok:muktabah Ar Razim, 2001), h., 4.
22
3. Haidh bagi perempuan ketika berumur 9 tahun.
Para ahli fiqh berpendapat mengenai tiga masa yang dialami setiap orang sejak ia
lahir sampai dewasa, yaitu;
a. Fase pertama tidak adanya kemampuan berfikir (idrak) Masa ini dimulai
sejak seseorang dilahirkan dan berakhir pada usia tujuh tahun. Pada masa
tersebut seseorang anak dianggap tidak mempunyai kemapun berfikir, dan ia
disebut anak yang belum tamyiz. Sebenernya tamyiz atau masa seseorang
mulai bisa membedakan antara benar dan salah, tidak di batasi dengan usia
tertentu, karena tamyiz tersebut kadang-kadang bisa timbul sebelum usia
tujuh tahun dan kadang-kadang terlambat sesuai dengan perbedaan orang,
lingkungan, kondisi kesehatan akal, dan mentalnya. Akan tetapi, para fuqaha
berpedoman kepada usia dalam menentukan fase-fase tamyiz dan kemampuan
berfikir, agar ketentuan tersebut bisa berlaku untuk semua orang, dengan
berpegang kepada keadaan yang umum dan bisa terjadi pada anak.
Pembatasan tersebut diperlukan untuk menghindari kekacauan hukum. Di
samping itu pembatasan tamyiz dengan umur memungkinkan kepada se
seorang hakim untuk mengetahui dengan mudah apakah syarat tersebut
(kemampuan berfikir) sudah terdapat apa belum, sebab dengan usia anak
lebih lebih mudah mengetahuinya.16
b. Masa kemampuan berfikir yang lemah. Masa ini dimulai sejak seseorang
anak memasuki usia tujuh tahun dan berakhir pada usia dewasa (balig).
Kebanyakan fuqaha membatasi usia balig ini dengan lima belas tahun.
Apabila seseorang anak telah mencapai usia lima belas tahun maka ia sudah
dianggap dewasa menurut hukum, meskipun mungkin saja ia belum dewasa
dalam artian yang sebenarnya. Imam Abu Hanifah menetapkan usia dewasa
16Ahmad Wardi Muslim, Pengantar dan asas hukum pidana Islam fikih jinayah, (Jakarta:
Sinar Grafika,2004), h., 133
23
dengan delapan belas tahun. Menurut satu riwayat sembilan belas tahun untuk
anak laki-laki dan tujuh belas tahun untuk perempuan.
Pada periode kedua ini, seorang anak tidak dikenakan pertanggungjawaban
pidana atas jarimah yang dilakukan baik jarimah hudud, qishash, maupun
ta’zir, akan tetapi, ia dapat dikenakan hukuman pengajaran (ta’dibiyah).
Pengajaran ini meskipun sebenarnya berupa hukuman juga, akan tetapi tetap
dianggap sebagai hukuman pengajaran dan bukan hukuman pidana. Oleh
karena itu, apabila anak tersebut berkali-kali melakukan jarimah dan berkali-
kali pula dijatuhkan pengajaran, namun ia tidak dianggapp sebagai recidivis
atau pengulangan kejahatan. Untuk pertanggungjawaban perdata ia tetap
dikenakan meskipun ia di bebaskan dari tanggung jawaban pidana.
c. Masa berfikir penuh atau sempurna Fase ini dimulai sejak si anak menginjak
usia kecerdasan (dewasa), yaitu ketika menginjak usia lima belas tahun,
menurut pendapat mayoritas fuqaha, atau berusia delapan belas tahun,
menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat populer dalam mazhab
Maliki. Pada fase ini, seseorang dikenai tanggung jawab pidana atas tindak
pidana yang dilakukannya apa pun jenisnya. Dia dijatuhi hukuman hudud
apabila dia bezina atau mencuri dan di-qisas apabila di membunuh atau
melukai demikian pula dijatuhi hukuman ta’zir.17
Kecakapan untuk dikenai hukum atau yang disebut ahliyah al-wujub ( الوجوب ليةھأ
yaitu kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai
kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap manusia ditinjau dari
segi ia adalah manusia, semenjak ia dilahirkan sampai menghembuskan nafas
terakhir dalam segala sifat, kondisi dan keadaannya. Para ahli Ushul membagi
ahliyah al-wujub itu kepada dua macam.18
17Ahmad Wardi Muslim, Pengantar dan asas hukum pidana Islam fikih jinayah, (Jakarta:
Sinar Grafika,2004), h., 133 18Amir Syaifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h,. 426.
24
Ahliyatul Wujub (ahli Wajib) Ialah kelayakan seseorang untuk ditetapkan
kepadanya hak dan kewajiban. Kelayakan inilah yang membedakan manusia dengan
binatang. Kekhususan yang ada pada manusia ini oleh para fuqoha disebut al-
zimmah, yaitu sifat naluri manusia untuk menerima hak orang lain dan menjalankan
kewajiban dirinya untuk orang lain. Ahliyatul wujub cakupannya bersifat
menyeluruh untuk semua jenis manusia tanpa memandang laki-laki atau perempuan,
anak-anak atau sudah balîg, punya akal atau gila, sehat atau sakit. Jadi, setiap
manusia yang mana saja tanpa terkecuali mempunyai kelayakan untuk menerima hak
dan kewajiban. Tidak ada manusia yang lepas dari kelayakan itu. Karena Ahliyatul
wujub itu dipandang sebagai sifat kemanusiaan. Dengan kata lain lebih tegas
Wahbab Zuhaili mengatakan bahwa ahliyatul wujub adalah sebuah ketetapan yang
diperuntukkan untuk manusia dari mulai penciptaannya sampai kepada kematian.
Abdul Wahab Khallaf membagi ahliyaut wujub menjadi dua macam:
a. Ahliyatu al-wujub al-naqisah, yaitu orang yang dianggap layak untuk
mendapatkan hak tetapi tidak layak untuk dibebankan kewajiban atau
sebaliknya. Contoh pertama adalah janin yang berada di dalam perut
ibunya, janin ini berhak mendapatkan warisan, wasiat dan wakaf akan
tetapi tidak dapat dibebani kewajiban pada dirinya terhadap orang lain
seperti memberi nafkah, memberi hibah. Adapun contoh yang kedua
adalah mayat yang meninggalkan hutang.
b. Ahliyatul wujub al-kamilah, yaitu orang yang layak untuk
mendapatkan hak dan layak untuk menjalankan kewajiban. Kelayakan
ini didapat oleh seseorang dimulai sejak lahir, pada masa kanak-
kanaknya, tamyiz, dan setelah balîg. Singkat kata ahliyatul wujub
kamilah selalu dikaitkan dengan kehidupan manusia secara
menyeluruh.
Kecakapan untuk menjalankan hukum yang disebut ahliyah al-ada’ yaitu
kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut
25
hukum. Ahliyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkatan, setiap tingkatan ini dikaitkan
kepada batas umur seseorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah:
1. Yang pertama yakni Adim al-ahliyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu
manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun.
Dalam batas ini seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal.
2. Yang kedua Ahliyah al-ada naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah,
yaqitu manusia yang telah mencapai umur tamziy (kira-kira 7 tahun) sampai
batas dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya
masi lemah dan belum sempurna. Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan atau
perbuatannya terbagi menjadi tiga tingkatan dan setiap tingkatan mempunyai
akbat hukum tersendiri yakni:
a. Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya. Umpamanya
menerima pamberian (hibah) dan wasiat.
c. Tindakan yang semata-mata nerugikannya atau mengurangi hak-hak yang
ada padanya, umpamanya pemberian yang dilakukannya baik dalam bentuk
hibah atau sedekah, pembebasan utang, jual beli dengan harga yang tidak
pantas.
b. Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual
beli, sewa menyewa, upah-mengupah, dan lainnya yang disatu pihak
mengurangi haknya dan dipihak lain menasmbah hak yang ada padanya.
3. Yang ketiga Ahliyah al-ada klimah atau cakap berbuat hukum secara sempurna,
yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa. Usia dewasa dalam kitab-kitab
fiqh ditentukan gengan tanda-tanda yang bersifat jasmani, yaitu bagi wanita telah
memulai haid atau mens dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Menurut
Abu Hanifah umur dewasa untuk laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi
perempuan adalah 17 tahun. tetapi banyak perbedaan tentang hal ini.
Arti pertanggungjawaban pidana sendiri dalam Syari’at Islam adalah
pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan yang dikerjakannya dengan
26
kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari
perbuatannya itu. Pertanggungjawaban itu harus ditegakkan atas tiga hal, yaitu:19
1. Adanya perbuatan yang dilarang.
2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri.
3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.
Ketiga hal tersebut di atas harus terpenuhi, sehingga bila salah satunya tidak
terpenuhi maka tidak ada pertanggungjawaban pidana. Dari ketiga syarat tersebut
dapat diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana dibebankan seseorang selain
anak-anak sampai ia mencapai usia puber, bukan orang yang sakit syaraf (gila), dan
dalam keadaan tidur atau dipaksa.
19Makhrus Munajat, Fikih Jinazah “Hukum Pidana Islam”, (Yogyakarta : Pesantren Nawesa
Press, 2010), h.,, 73.
27
BAB III
TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PIDANA ANAK
A. Pengertian Tindak Pidana Anak
1. Tindak Pidana Anak Menurut Hukum Positif
Menurut Moeljatno, perbuatan Tindak Pidana ialah perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana, terhadap siapa saja yang melanggar larangan tersebut.
Perbuatan tersebut harus juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata
pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.1
Dalam definisinya Moeljatno membedakan secara tegas antara perbuatan dan
pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian terhadap seseorang yang disangka
melakukan tindak pidana, pertama-tama harus dibuktikan dahulu mengenai
perbuatan yang telah dilakukannya apakah telah memenuhi rumusan Undang-undang
atau tidak. Walaupun perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana
yang ditentukan dalam Undang-undang, namun tidak serta merta dan otomatis orang
tersebut harus dihukum, karena harus dilihat pula mengenai kemampuan tanggung
jawabnya. Dan apabila dianggap tidak mampu bertanggung jawab, maka orang
tersebut lepas dari segala tuntutan hukum. Konsep demikian merupakan konsep yang
dipakai dalam sistem angolo saxon yang memisahkan tindak pidana yaitu perbuatan
perbuatan yang dilarang (criminal art) dan pertanggungjawaban pidana yaitu tentang
kapan dan dalam hal apa seseorang telah dapat dijatuhi pidana (criminal
responsibility).2
Dalam istilah hukum pidana tidak kenal istilah “Tindak Pidana Anak” yang
dikenal dalam kepustakaan hukum pidana adalah “Tindak Pidana”. Istilah tersebut
menunjukan kepada perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seseorang,
1 Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya, h., 22. 2Nandang Sambas,Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya, h., 11
28
mungkin seseorang yang telah dewasa atau seorang yang masih di bawah umur.
Dengan demikian istilah tindak pidana anak merupakan gabungan dari dua kata
tindak pidana dan anak yang masing masing mempunyai pengertian tersendiri. 3
Apabila dihubungkan dengan masalah Tindak pidana anak, maka terhadap
anak yang telah melakukan criminal act selain perlu dikaji dalam sifat dan
perbuatannya, patut diuji pula masalah kemampuan bertanggung jawab. Dengan
demikian diperlukan adanya kecermatan bagi hakim dalam menangani anak yang
disangka telah melakukan suatu tindak pidana, untuk menentukan masalah
pertanggungjawaban pidananya.
Tindak pidana anak tidak lepas dari Istilah kenakalan remaja atau dengan kata
lain dari kenakalan Anak yang terjemahan dari “juvenile delinquency”. Kata juvenile
berasal dari bahasa Latin “juvenilis” yang artinya anak-anak, anak muda, ciri
karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode Remaja. Sedangkan kata
delinquent juga berasal dari bahasa Latin “delinquere” yang artinya terabaikan,
mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, kriminal, pelanggar
aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, perbuatan
jahat (durjana) dan dursila. Pengertian juvenile delinquent secara terminologi,
banyak para tokoh-tokoh yang mendefinisikannya. Menurut Simanjutak pengertian
juvenile delinquency ialah suatu perbuatan yang disebut delinquent apabila
perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam
masyarakat di mana ia hidup.4
Menurut Arifin bahwa kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah tingkah
laku atau perbuatan yang berlawanan dengan hukum yang berlaku yang dilakukan
oleh anak-anak antara umur 10 tahun sampai umur 21 tahun. Pembahasan tentang
kenakalan remaja telah didekati secara antar disiplin ilmu baik dari segi rumusan
maupun dari segi pembinaan danpenanggulangan. Istilah kenakalan remaja
3Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya,( yogyakarta. Graha Ilmu, 2013) h., 9 4Sudarsono, Etika Islam Tentang Remaja,(Jakarta; PT. Rineka Cipta, 1991), h., 9.
29
merupakan penggunaan lain dari istilah kenakalan anak sebagai terjemahan dari
“juvenile delinquent”. Menurut Simanjuntak, suatu perbuatan disebut delinquent
apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma masyarakat
di mana ia hidup, suatu perbuatan yang anti sosial di mana di dalamnya terkandung
unsur-unsur anti normative.5
Sedangkan menurut Bimo Walgito merumuskan arti selengkapnya dari
“juvenile delinquent” yakni tiap perbuatan yang bila dilakukan oleh orang dewasa,
maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja. Perbuatan atau perilaku remaja yang
menyimpang dari norma-norma masyarakat, maka perbuatan atau perilaku remaja
tersebut termasuk dalam kenakalan remaja, beliau mengatakan bahwa juvenile
delinquency (kenakalan remaja) bukan hanya perbuatan anak yang melawan hukum
semata, akan tetapi juga termasuk di dalamnya perbuatan yang melanggar norma
Masyarakat. Dewasa ini sering terjadi seorang anak digolongkan sebagai delinquent
jika pada anak tersebut tampak adanya kecenderungan-kecenderungan anti sosial
yang sangat memuncak sehingga perbuatan-perbuatan tersebut menimbulkan
gangguan-gangguan terhadap keamanan ketertiban masyarakat. Misalnya pencurian,
pembunuhan, penganiayaan, judi , minumam, pemerasan, penipuan, penggelapan dan
gelandangan serta perbutan-perbuatan lain yang dilakukan oleh anak remaja yang
meresahkan masyarakat6
Menurut Fuad Hasan, merumuskan definisi “juvenile delinquency” sebagai
berikut perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bila mana
dilakukan oleh orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindakan kejahatan7
Walaupun banyak definisi yang dikemukakan oleh pakah hukum, istilah
juvenile delinquency belum terdapat keseragaman dalam bahasa Indonesia. Beberapa
istilah yang dikenal antara lain adalah kenakan anak, kenakan remaja, kenakalan
5Sudarsono, Etika Islam Tentang Remaja, h.,.15. 6Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rehabilitas, dan Resosialisasi, (Jakarta: Rineka Cipta,
1995), h. 14 7Samsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam, (Jakarta; Amzah, 2010), h., 11
30
pemuda, (delikuensi) kenakalan anak, dan tuna sosial. Kesulitan untuk memberikan
istilah juvenile delinquency dihadapi juga diberbagai negara di asia. Dalam
penelitiannya perbandingan hukum tentang juvenile deliquency yang dibatasi di tujuh
negara di Asia yaitu Burma, Sri Langka, India, Jepang, Pakistan Philipina dan
Thailand dalam mengartikan juveline deliquency menitik beratkan kepada aspek
umur dan sifat dari perbuatan yang dilakukannya. Dengan demikian pengertian
juveline delinquency terbatas pada perbuata perbuatan yang dilakukan oleh mereka
yang tergolong kepada kelompok anak anak.8
Sebenarnya ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus
berhadapan dengan hukum, yaitu:
1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak
menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah ;
2. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran
hukum9
Namun sebenarnya terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh
anak-anak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki
kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis,
agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu
ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan
kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang dan
si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukan anak.
Ada beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya kejahatan
anak, yaitu:
8Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya,( Yogyakarta. Graha Ilmu, 2013) h., 15 9M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Undang-undang Sistem Peradialan
Pidana Anak (Undang-undang-SPPA), h., 33
31
1) Faktor lingkungan
2) Faktor ekonomi / sosial
3) Faktor psikologis.10
Namun, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditegaskan
bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya
kesadaran diri dari yang bersangkutan dan ia juga telah mengerti bahwa perbuatan itu
terlarang menurut hukum yang berlaku. Hal tersebut terlihat jelas dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia, bahwa suatu perbuatan
pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur:
1) adanya perbuatan manusia
2) perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum
3) adanya kesalahan
4) orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan.11
Tindakan kenakalan anak yang dilakukan oleh anak anak merupakan
perwujudan dari masa kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain
seperti yang disyaratkan dalam suatu perbuatan kejahatan yang tercantum dalam
kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) di mana pelaku harus menyadari akibat
dari perbuatannya itu erta pelaku mampu bertanggung jawab terhadap perbuatan
tersebut. Dengan demikian, kurang pas apabila kenakalan anang dianggap sebuah
kejahatan murni.12
Selain itu sitem peradilan pidana anak juga mempunyai asas asas yang terdapat
dalam Pasal 2 Undang-undang sistem perlindungan anak, antara lain :
1. Keadilan, Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah bahwa setiap
penyelesaian perkara Anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi Anak.
2. Nondiskriminasi, Yang dimaksud dengan ”nondiskriminasi” adalah tidak
adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras,
10A. Syamsudin meliala dan E sumaryono, kejahatan anak Suatu Tinjauan dari Psikologis
dan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1985), h., 31 11Wagiati Soetodj, Hukum Pidana Anak (Bandung: PT refika Aditama,2006).h., 12. 12M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Undang-undang Sistem Peradialan
Pidana Anak (Undang-undang-SPPA),h., 34
32
golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum Anak,
urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/atau mental.
3. Kepentingan yang terbaik bagi anak, Yang dimaksud dengan ”kepentingan
terbaik bagi Anak” adalah segala pengambilan keputusan harus selalu
mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak.
4. Penghargaan terhadap pendapat anak, Yang dimaksud dengan
”penghargaan terhadap pendapat Anak” adalah penghormatan atas hak
Anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam
pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi
kehidupan Anak.
5. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, Yang dimaksud dengan
”kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak” adalah hak asasi yang
paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua.
6. Pembinaan dan pembimbingan anak, Yang dimaksud dengan ”pembinaan”
adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan,
profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam
maupun di luar proses peradilan pidana. Yang dimaksud dengan
”pembimbingan” adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku,
pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani
klien pemasyarakatan.
7. Proporsional, Yang dimaksud dengan ”proporsional” adalah segala
perlakuan terhadap Anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan
kondisi Anak.
8. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan
Yang dimaksud dengan “perampasan kemerdekaan merupakan upaya
terakhir” adalah pada dasarnya Anak tidak dapat dirampas
kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan penyelesaian perkara.
9. Penghindaran pembalasan, Yang dimaksud dengan “penghindaran
pembalasan” adalah prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses
peradilan pidana.
2. Tindak Pidana Menurut Hukum Islam (Jarimah)
Dalam Islam, hukum pidana disebut “jinayat” sedangkan dalam perbuatan-
perbuatan pidana disebut “jarimah”. Jinayat menurut bahasa Arab adalah bentuk
33
kata jamak jinayah, yang artinya kesalahan, dosa, kriminal atau perbuatan dosa, dan
yang memperbuat disebut Jinayah.13
Fiqh jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fiqh dan jinayah ( الفقه -الجنايةفقه
يفقه–فقه Pengertian fiqh secara bahasa berasal dari lafaz . (الجنائى , yang berarti
mengerti, atau paham secara mendalam. Sedangkan pengertian fiqh secara istilah
adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’i praktis yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci. Dengan menganalisis definisi fiqh di atas, dapatdisimpulkan bahwa fiqh
adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah yang bersifat praktis dan merupakan hasil
analisis seorang mujtahid terhadap dalil-dalil yang terperinci, baik yang terdapat
dalam Al-qur’an maupun hadist.14
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa materi Fiqh ada dua, yaitu
hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan perbuatan praktis dan dalil-dalil yang
menjadi landasannya. Namun meskipun dapat dibedakan, keduanya bukan
merupakan dua materi yang dapat dipisahkan. Dalil selalu dibutuhkan setiap muncul
hukum. Hukum yang berdiri tanpa dalil, dengan sendirinya akan runtuh. Artinya
hukum yang demikian tidak dapat diamalkan.15
Ada beberapa pandanganyang mengartikan Hukum Pidana Islam, diantaranya
yaitu Sayid Sabiq memberikan definisi jinayah sebagai berikut: Yang dimaksud
dengan jinayah dalam istilah syara’ adalah setiap perbuatan yang dilarang. Dan
perbuatan yang dilarang itu adalah setiap perbuatan yang oleh syara’ dilarang untuk
melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan atau
harta benda.
Abdul Qodir Audah berpendapat bahwa fiqih jinayah adalah perbuatan yang
dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif,
13Mahmud Yunus,Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Pentafsiran Al Qur'an , 197).h.,
92. 14M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, AMZAH: 2016)., h., 4. 15Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, cet. 1, jilid 2, Ichtiar baru Van Hoeve,
h., 572
34
yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota
badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. A. Jazuli berpendapat, pada
umumnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil dari perbuatan
seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang.
Dapat disimpulkan bahwa Tindak pidana dalam hukum Islam disebut dengan
jinayah yakni suatu tindakan yang dilarang oleh syara’ (Al Qur’an dan Hadis)
karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal. Pengertian
dari istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan seseorang dan dalam pengertian
tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. para fuqaha menggunakan istilah
tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti
pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu ada fuqaha yang membatasi
istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud
dan Qishash, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman
ta’zir. istilah lain yang sepadan dengan istila jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-
larangan Syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir16
Dalam penerapan hukum pidana Islam harus memenuhi unsur-unsurnya agar
dapat diterapkan meliputi :
a. Unsur formil adalah setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan
pelakunya tidak dapat dipidana kecuali ada undang-undang mengaturnya.
b. Unsur materiel adalah adanya tingkah laku seseorang yang membentuk
jarimah, baik dengan sikap perbuatan maupun sikap tidak berbuat.
c. Unsur moril adalah pelaku jarimah adalah orang yang dimintai
pertanggung jawaban pidana terhadap yang dilakukannya. Di mana orang
yang dapat dimintai pertanggungjawaban harus memenuhi syarat sebagai
mukallaf.17
16Djazuli, A, Fiqih Jinayah upaya menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), h., 1 17Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika, 2005),h., 28.
35
Dalam Islam seorang akan dikenakan pembebanan hukum apabila seseorang
itu mukallaf. Akal orang yang belum bisa memahami baik itu orang yang lupa, tidur,
gila dan anak-anak tidak bisa diberi beban hukum. Menurut kebanyakan fuqaha,
mereka membatasi usia seorang anak yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana
atas jarimah yang diperbuatnya yaitu setelah si anak mencapai usia 15 tahun.
Sedangkan menurut Ahmad Hanafi yang mengutip pendapat Imam Abu Hanifah,
membatasi kedewasaan pada usia 18 tahun dan menurut satu riwayat 19 tahun.18
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dalam hukum Islam tindak pidana
anak adalah segala perbuatan anak yang melanggar hukum pada saat dia masih
digolongkan kategori usia anak, untuk menandakan seorang anak sudah dibebankan
hukum apabila telah balig. Di mana perkiraan balig-nya seorang anak dikategorikan
usia 15 atau 16 Tahun. Di atas usia tersebut dapat dibebankan hukum atas tindak
pidana yang dilanggarnya.
Arti pertanggungjawaban pidana sendiri dalam syariat Islam ialah pembebanan
seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan
sendiri, di mana ia mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.
Pertanggungjawaban itu harus ditegakkan atas tiga hal, yaitu :
1. Adanya perbuatan yang dilarang.
2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri.
3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut19
Dalam hukum pidana Islam terdapat asas-asasnya yang merupakan prinsip
untuk menguatkan suatu keterangan. Asas hukum pidana, misalnya, adalah tolak
ukur dalam pelaksanaan hukum pidana .20Asas-asas dalam hukum pidana Islam
meliputi :
18A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 37 19 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 175. 20Mohammad Daud Ali, Asas-asas hukum Islam (hukum Islam I) : pengantar ilmu hukum
dan tata hukum Islam di Indonesia,(Jakarta : Rajawali,1990),hal. 113.
36
1. Asas Legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran
dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.
Asas ini berdasarkan Al-Qur’an Surah Al-Israa’ (17) ayat 15:
ا ي هتدي لن فسه ها ول تزر وازرة وزر أخرى وما من اهتدى فإنم ا يضل علي ومن ضلم فإنم
عث رسول بني حتم ن ب كنما معذ
Artinya : “Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya
sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia
tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak
akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul”. (Al-
Qur’an Surah Al-Israa’ayat 15)
Dalam kaidah fiqih ditegaskan pula bahwa: “tidak ada hukum bagi perbuatan
manusia sebelum adanya aturan” serta “hukum asal sesuatu itu adalah boleh
sampai datang petunjuk yang melarangnya”. Asas legalitas terbagi tiga dalam
proses penghukumannya. Pertama, adalah kejahatan kejahatan hudud yaitu
sanksi bagi kejahatan ini diberikan oleh kitab suci Al-Quran dan sunnah Nabi
Muhammad SAW (sebagai hak absolute dari Allah-haq Allah). Kedua,
kejahatan kejahatan Qisas (kejahatan terhadap jiwa dan badan) dan diberikan
sanksi oleh Al-Quran atau sunnah (sebagai suatu hak dari korban atau
keluarganya). Yang ketiga adalah kejahatan kejahatan ta’zir. Kejahatan ini
tidak dijelaskan atau diberikan sanksi oleh Alquran atau sunnah.21
2. Asas tidak berlaku surut dalam hukum pidana Islam
Asas tidak berlaku surut dalam hukum Islam pada kenyataannya
merupakan konsekuensi dari asas legalitas sebelumnya. Asas ini berarti
bahwa Undang-undang harus berlaku bagi perbuatan perbuatan yang
dilakukan setelah diundangkannya ketentuan itu. Asas ini dipergunakan untuk
21Topo santoso, menggagas hukum pidana Islam: penerapan syariat Islam dalam konteks
modernisasi, (asy syaamil pres & grafika 2001) h., 113
37
melindungi seseorang dari penyalahgunaan kekuasaan dari pemegang
otoritas.22
Asas ini berdasarkan Al-Qur’an Surah Al-maidah ayat 93 :
وعملوا ملوا الصمالات جناح فيما طعموا إذا ما ات مقوا وآمنوا ليس على المذين آمنوا وع
يب المحسنني الصمالات ثم ات مقوا وآمنوا ثم ات مقوا وأحسنوا واللم
Artinya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka
makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan
mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap
bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan
berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan. (Al-Qur’an Surah Al-maidah ayat 93).
Para ahli fiqih mdern menyimpulkan bahwa larangan berlaku surut
adalah satu dari prinsip-prinsip dasar (kaidah ushuliah) dari syariah: “tidaka
ada hukum untuk perbuatan perbuatan sebelum adanya suatu nash” secara
singkat tiada kejahatan dan pidana kecuali ada hukumnya lebih dahulu.23
Ahli hukum mesir Abdul Qadir Audah, membagi ada dua
pengecualian asas tidak berlaku surut, yaitu :
a. Bagi kejahatan kejahatan berbahaya yang membahayakan
keamanan dan ketertiban umum.
b. Dalam keadan sangat diperlukan, untuk suatu kasus yang
penerapan berlaku surutnya adalah bagi kepentingan masyarakat.24
3. Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa
seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak
22Sanad Nagaty, The Theory of crime and criminal Responsibility in Islamic law sharia. )
chicago: office of internationl criminal Justice, 1991) h., 41 23Abdul Qadir Audah, Islamic System of Justice.(karachi:International Islamic
Publishers,1987). h., 314. 24Abdul Qadir Audah, Islamic System of Justiceh., 314
38
bersalah sebelum hakimdengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan
dengan tegas kesalahannya itu. Asas ini diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an
yang menjadi sumber asas legalitas dan asas larangan memindahkan
kesalahan pada orang lain yang telah disebutkan.25
Asas ini juga mempunyai dasar hukum dalam Islam, dapat
disimpulkan dari firman Allah:
اجتنبوا كثريا من الظمن إنم ب عض الظمن إث ول تسمسوا ول ي غتب ب عضكم ي أي ها المذين آمنوا
تا فكرهتموه وات مقوا اللم إنم اللم ت وماب رحيم ب عضا أيب أحدكم أن يكل لم أخيه مي
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan
janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. . .” (QS. al-Hujurat: 12)
Setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat
kecuali dibuktikan kesalahannya pada sutu kejahatan tanpa ada keraguan, jika
suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan.26
4. Tidak sahnya hukuman karena keraguan
Berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah adalah asas pembatalan
hukuman karena adanya keraguan sebagaimana hadist “hindarkan hudud
dalam keadaan ragu, lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah
dalam keraguan”. Menurut ketentuan ini putusan untuk menjatuhkan
hukuman harus dilakukan dengan keyakinan tanpa adanya keraguan.27
Menurut Audah, keraguan disini berarti segala hal yang kelihatannya terbukti
25Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007).h.,7. 26 Sanad Nagaty, The Theory of crime and criminal Responsibility in Islamic law sharia. )
chicago: office of internationl criminal Justice, 1991).h.,72 27Topo santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam dalam Konteks
Modernisasi, (Asy syaamil Press&Grafika 2001). h., 121.
39
padahal pada kenyataan tidak terbukti atau segala hal yang sah menurut
ketentuan untuk itu dan yang tidak ada dalam kenyataannya sendiri.28
5. Prinsip kesamaan di hadapan hukum
Pada masa jahiliyah tidak ada kesamaan diantara manusia. Tidak ada
kesamaan antara tuan dan budak, antara pemimpin dan rakyat biasa, antar si
kaya dan si miskin. Akan tetapi dengan datangnya Islam hapuslah semua
perbedaan atas dasar ras, warna Bahasa dsb.29
Asas kesamaan dihadapan hukum (equality before the law). Dasar
hukumnya ialah ketika masa Rasulullah ada seorang wanita yang di dakwa
mencuri, kemudian keluarganya meminta Rasulullah membebaskan dari
hukuman. Rasulullah dengan tegas menolak perantara itu dengan
menyatakan:
ريف ت ركوه، وإذ م كانوا إذا سرق فيهم الش لكم أن ا أهلك الذين ق ب ا سرق فيهم أي ها الناس، إن
د سرقت لق أ الضعيف ، واي هللا لو أن فاطمة بنت مم دهاعت ي ط قاموا عليه الد
Artinya : “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang
sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki
kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan
(tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah
(rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut.
Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku
sendiri yang akan memotong tanganya”30
Dalam hadist tersebut menandakan bahwa ikatan keluarga sekalipun tidak bisa
membuat berubahnya hukum padanya, bahkan menyelamatkannya dari hukum
walaupun dari orang terhormat.
6. Asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain.
28AudahAbdul Qadir Audah, Islamic System of Justice.(karachi:International Islamic
Publishers,1987).h., 254 29Topo santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: penerapan syariat Islam dalam konteks
modernisasi, (Asy syaamil Press & Grafika 2001). h., 123. 30HR. Bukhari No. 6788 dan Muslim No. 1688
40
Asas ini menyatakan setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia maka
perbuatan tersebut mendapatkan imbalan yang setimpal, yaitu perbuatan baik
akan mendapatkan imbalan yang baik dan perbuatan buruk juga akan
mendapatkan imbalan yang buruk. Adapun dasar hukum dari asas ini terdapat
dalam firman Allah dalam surat al-anam, yaitu:.
ها ول تزر وازرة وزر قل أغري اللم أبغي ر با وهو رب كل شيء ول تكسب كل ن فس إلم علي
تم ف يه تتلفون أخرى ثم إل رب كم مرجعكم ف ي ن ب ئكم با كن
Artinya: Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal
Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat
dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian
kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya
kepadamu apa yang kamu perselisihkan". (QS. al-Anam: 164).
Dalam hukum pidana Islam, asas ini berbicara tentang bahwa seseorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, termasuk seorang bapak tidak
dapat menolong anaknya, dan sebaliknya seorang anak tidak dapat menolong
bapaknya, kecuali balasan terhadap seseorang hanyalah berdasarkan pada
sesuatu yang telah diusahakannya.31 Artinya dalam perbuatan pidana yang
dilakukan seseorang, maka tidak dapat dipindahkan atau dialihkan kepada orang
lain meskipun orang lain itu mempunyai hubungan kekeluargaan yang sangat
dekat dengan dirinya
Dalam tanggung jawab atas tindak pidana memang berlaku tanggung jawab
individu, akan tetapi dalam hubungan dengan tanggung jawab persoalan perdata
bisa dialihkan kepihak lain walaupun tanpa ikatan kekeluargaan32
31 Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam, (Yogyakarta: PT. Lkis
Printing Cemerlang, 2010). hlm. 347-348 32 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)., h., 1
41
B. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak
Gordon bazemore mengatakan bahwa tujuan sistem peradilan anak SPPA
berbeda beda tergantung pada paradigm asistem peradilan pidana yang dianut.33
Terdapat tiga paradigma peradilan anak yang terkenal yakni paradigma pembinaaan
individual, (individual treatment paradigm), paradigma retribututive (retributive
paradigm, dan paradigma restoratif (restorestatif paradigm).
1. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak dengan paradigma pembinaan
individual
Yang dipentingkan adalah penekanan pada permasalahan yang dihadapi
pelaku, bukan pada peruatan kerugian yang diakibatkan. Tanggung jawab ini
terletak pada tanggung jawab sistemdalam memenuhi kebutuhan pelaku.
Penjatuhan sanksi dalam sistem peradialn pidana anak dengan paradigma
pembinaan individual adalah tidak relevan insidental dan secara umum tidak
layak. Pencapaian tujuan sanksi ditonjolkan pada indikator hal hal yang
berhubungan dengan apakah pelaku perlu diidentifikasi, apakah pelaku telah
dimintakan untuk dibina dalam program pembinaan khusus dan sejauh mana
program dapat di selesaikan. Putusan ditekannkan pada perintah pemberi
program untuk terapi dan pelayanan. Fokus utama untuk mengidentifikasi pelaku
dan pengembanagn pendekatan positif untuk mengoreksi masalah. Kondisi
delinkuenski ditetapkan dalam rangka pembinaan pelaku. Pelaku dianggap tak
berkompeten dan tak mampu berbuat rasional tanpa campur tangan terapik. Pada
umumnya pelaku dapat dibina, karena pelaku akan memperoleh keuntungan dan
campur tangan terapi.
Pencapaian tujuan diketahui dengan melihat apakah pelaku bisa menghindari
pengaruh buruk dari orang lain /lingkungan tertentu, apakah pelaku hadiir dan
berperan serta dalam pembinaan, apakah pelaku menunjukan kemajuan dalam
sikap dan self control, apakah ada kemajuan dalam interaksi dengan keluarga;
33Setya wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, (Yogyakarta, Genta Publishing) h., 38-40
42
paket kerja probation telah disusun, dan aktivitas rekreasi yang telah
berlangsung. Menurut sistem peradilan pidana dengan paradigma pembinaan
individual, maka segi perlindungan masyarakat secara langsung, bukan baguan
fungsi peradilan anak.34
2. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak dengan paradigma retributif
Ditentukan pada saat pelaku telah dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan sanksi
tercapai dilihat dengan kenyataan apakah pelaku telah dijatuhi pidana dengan
pemidanaan yang tepat, pasti setimpal serta adil. Bentuk pemidanaan berupa
penyekapan pengawasan elektronik, sanksi punitif, denda dan fee. Untuk
menciptakan perlindungan masyarakat dilakukan dengan pengawasan sebagai
strategi terbaik, seperti penahanan penyekapan dan pengawan elektronik.
Keberhasilan perlindungan masyarakat dengan dilihat pada keadaan apakah
pelaku telah ditahan, apakah pelaku residivis berkurang dengan pencegahan atau
penahanan.
3. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak dengan paradigma Restoratif
Ada asumsi dalam sistem peradilan pidan anak dengan paradigma restoratif,
bahwa di dalam pencapaian tujuan penjatuhan sanksi, maka diikutsertakan
korban untuk berhak terlibat dalam proses peradilan. Indikator pencapaian tujuan
penjatuhan sanksi tercapai dengan dilihat apakah korban direstorasi, kepuasan
korban, besar ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah
kesepakatan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan
proses yang terjadi. Bentuk bentuk sanksi yaitu restutif, mediasi pelaku dan
korban, pelayanan korban, restorasi masyarakat pelayanan langsung pada korban
atau denda restoratif.
Pada penjatuan sanksi penggikut sertaan palaku, korban masyarakat, dan para
penegak hukum, secara aktif. Palaku berkerja aktif untuk merestore kerugian
korban, dan menghadapi korban/wakil korban. Korban aktif dalam semua
34 M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Undang-undang Sistem Peradialan
Pidana Anak (Undang-undang-SPPA), h., 45
43
tahapan proses dan akan membantu dalam penentuan sanksi bagi si pelaku.
Masyrakat terlibat sebagi mediator, membantu korban dan mendukung
pemenuhan kewajiban pelaku. Penegak hukum memfasilitasi berlangsungnya
mediasi.
Fokus utama peradilan restoratif untuk kepentingan dan membangun secara
positif, maka anak dan keluarga merupakan sumber utama. Anak dianggap
berkompeten dan mempunyai kemampuan positif, bersifat preventif dan proaktif.
Untuk kepentinagn rehabilitasi pelaku dioperluakn perubahan sikap lembaga
kemasyarakatan dan prilaku orang dewasa rehabilitasi pelaku dilakukan dengan
pelaku yang bersifat learning by doing, konseling dan terapi untuk memotivasi
keterlibatan aktif para pihak.
Tujuan rehabilitasi tercapai dilihat pada keadaan apakah pelaku telah
memulai hal hal positif baru, apakah pelaku diberikan kesempatan untuk
memperaktekkan dan mendemostrasikan prilaku patuh norma, apakah stigma
dapat dicegah, apakah telah terjadi peningkatan keterikatan pada masyarakat?
Rehabilitasi pelaku dalm bentuk keghiatan praktik agar anak memperoleh
pengalaman kerja dan anak mampu mengembangkan proyek kultural sendiri.
Dalam aspek aspek rehabilitasi ini diperlukan secara bersama sama baik peran
pelaku korban dan masyarakat. Dan penegak hukum secara bersinergi.
Untuk meningkatkan perlindungan masyarakat maka pelaku dan korban
masyarakat dan propesonalitas peradilan anak sangat diharapkan perannya.
Pelaku harus terlibat secar konstruktif mengembangkan kompetensi dan kegiatan
restoratif dalm program secar seimbang, mengembangkan kontrol internal dan
berkomitmen dengan teman sebaya dan organisasi anak. Korban memberikan
masukan yang berguna untuk melanjutkan misi poerlindnunag masyarakat dari
ras takut dan kebutuan akan pengawasan pelaku deliunkuen, dan melindungi bagi
korbanj kejahatan lain. Masyarakat memberikan masukan bagi peradilan tentang
informasi latar belakang terjadinya kejahatan. Profesonalitas peradilan anak
menjamin pemenuhan kewajiaban pelaku dan pengawasan, membantu sekolah
44
dan keluarga dalam upaya mereka mengawasi dan mempertahankan pelaku tetap
di dalam masyarakat.
4. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak menurut Beijing Rules
“Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak dan
memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggaran hukum anak akan selalu
sepadan dengan keadadan leadaan baik pada pelanggar hukumnya”. Rules 5.1
Beijing Rules
Dengan demikian tujuan penting dalam peradilan anak adalah memajukan
kesejahteraan anak (penghindarraan dari sanksi sanksi yang sekedar menghukum
semata) dan menekankan pada prinsip proporsionalitas (tidak hanya didasarkan
pada pertimbangan beratnya pelanggaran hukum tetapi juga pada keadaan pribadi
nya. Seperti status sosial, keadaan keluarga kerugian yang ditimbulkan atau
faktor yang berkaitan dengan keadaan pribadi yang akan mempengaruhi
kesepadanan reaksi reaksinya)35
5. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak menurut konvensi hak anak
Dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention of the Rights of the Child)
mengatur tentang prinsip perlindungan hukum terhadap anak yang mempunyai
kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum. Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus
sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention of the Rights of the Child)
sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention of
the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 belum mengatur tentang Pengadilan Anak dan undang-
undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat
35M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Undang-undang Sistem Peradialan
Pidana Anak (Undang-undang-SPPA), h.,50
45
karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang
berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.36
Dasar tujuan tujuan tersebut telah di tuangkan dalam Undang-undang Sistem
Peradilan Pidana Anak No 11 tahun 2014 yang menekankan hukuman pidana bagi
anak adalah kuhuman jalan terakhir dan mengedepankan diversi sebagai
penyelesaian perkara permasalahan hukum yang pelunya masih berstatus sebagi anak
di bawah umur.
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menggantikan Undang-Undang
Nomor 3 tahun 1997 tentangPengadilan Anak. Undang-Undang tentang Pengadilan
Anak tersebut digantikan karena belum memperhatikan dan menjamin kepentingan si
anak, baik anak pelaku, anak saksi, dan anak korban. Dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak hanya melindungi anak sebagai korban, sedangkan anak sebagai
pelaku terkadang diposisikan sama dengan seperti pelaku orang dewasa.
Undang-undang SPPA ini menekankan kepada proses diversi di mana dalam
proses peradilan ini sangat memperhatikan kepentingan anak, dan kesejahteraan
anak. Pada setiap tahapan yaitu penyidikan di kepolisisan, penuntutan di kejaksaan,
dan pemeriksaan perkara di pengadilan wajib mengupayakan diversi berdasarkan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang SPPA.
Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah The
Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan
sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa
penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan
anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.37
Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak dengan paradigma pembinaan individual
yang dipentingkan adalah penekanan pada permasalahan yang dihadapi pelaku,
bukan pada perbuatan/kerugian yang diakibatkan. Penjatuhan sanksi dalam sistem
36 Mohammad Taufik, Weny Bukamo, dan Sayiful Azri,Hukum perlindungan anak dan
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (Jakarta Rineka Cipta, 2013) h., 62 37Setya Wahyudi, , Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Yogyakarta, Genta Publishing 2011), h., 35
46
peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan individual, adalah tidak relevan,
insidental dan secara umum tak layak. Tujuan diadakannya peradilan pidana anak
tidak hanya mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi
masa depan anak dari aspek psikologi dengan memberikan pengayoman, bimbingan
dan pendidikan.38
Tujuan penting dalam peradilan anak adalah memajukan kesejahteraan anak
(penghindaran sanksi-sanksi yang sekadar menghukum semata) dan menekankan
pada prinsip proposionalitas (tidak hanya didasarkan pada pertimbangan beratnya
pelanggaran hukum tetapi juga pada pertimbangan keadaan-keaaan pribadinya,
seperti status sosial, keadaan keluarga, kerugian yang ditimbulkan atau faktor lain
yang berkaitan dengan keadaan pribadi yang akan mempengaruhi kesepadanan
reaksi-reaksinya).39
38Maidin Gultom, , Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia,( Bandung, PT Refika Aditama 2014), h.,. 93 39Setya Wahyudi,, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Yogyakarta, Genta Publishing) , h., 41
47
BAB IV
PUTUSAN HAKIM NOMOR 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.pst DAN
ANALISIS MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Putusan Hakim Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.pst
A. Duduk Perkara
Pada bab ini penulis akan menjelaskan latar belakang kasus yang terjadi
diwilayah Peradilan Negeri Jakarta Pusat yaitu tentang pemerasan disertai
pengancaman. Berkas perkara yang dipelajari disini adalah perkara yang telah
diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Putusan Nomor 025/Pid.Sus-
Anak/2015/PN.Jkt.Pst. Berkas perkara tersebut diperoleh dengan cara pengambilan
data langsungh dari dokumen putusan perkara yang tercatat di Pengadilan Negeri
Jakarta pusat.
1. Fakta Persidangan
Fakta persidangan menceritakan tentang pemerasan disertai pengancaman yang
dilakukan oleh Muh. Hoeron Damai Sina bersama-sama dengan saksi Anton
Setiawan dan Sdr. Sahala (belum tertangkap) Kasus ini berawal pada hari Minggu
tanggal 04 Oktober 2015 sekitar jam 12.00 WIB bertempat di bawah Jalan Layang
Kereta Api samping Masjid Istiqlal Jl. Wijaya Kusuma Kelurahan Pasar Baru
Kecamatan Sawah Besar Jakarta Pusat terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina bersama-
sama dengan saksi Anton Setiawan dan sdr. Sahala telah melakukan pemerasan
terhadap saksi yaitu Aditya Abdel Sofandi dan saksi Riski; Berawal pada hari
Minggu tanggal 04 Oktober 2015 sekitar pukul 07.00 wib, bertempat di Taman
Monas Jakarta Pusat terdakwa bertemu saksi Anton Setiawan dan Sahala (pada
belum tertangkap) lalu saksi Anton Setiawan berkata "yuk kita jalan cari duit nakut-
nakutin orang" lalu terdakwa dan Sdr. Sahala (Belum tertangkap) menjawab "yo"-
Selanjutnya dengan mengendarai 1 (satu) unit sepeda motor Hond Beat warna hitam
nomor Polisi B-6762-PZP miik terdakwa terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina
bersama-sama dengan saksi Anton Setiawan dan Sdr. Sahala (belum tertangkap)
48
dengan berboncengan menuju sekitar taman monas dan lapangan Banteng, kemudian
sekitar pukul 12.00 wib terdakwa melihat saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi
Risski Achmad Gaung S. serta saksi Andika sedang berjalan jalan, lalu saksi Anton
Setiawan dan sdr. Sahala (belum tertangkap) turun dari sepeda motor sedangkan
terdakwa tetap berada di atas sepeda motor sambil mengawasi situasi dalam keadaan
aman. Selanjutnya saksi Anton Setiawan menyuruh ketiga saksi untuk duduk di
trotoar jalan selanjutnya saksi Anton Setawan menghampiri para saksi dan berkata
"tadi adik-adik saya handphone nya diambil di Monas, kamu bukan yang ngambil,
coba keluarin handphone dan benda yang ada dikantong" kemudin sdr. Sahala
(belum tertangkap) berkata " sudah Handphone kasih aja", dan dikarenakan saksi
Aditya Abdel Soffandi dan saksi Risski Achmad Gaung S. serta saksi Andika diam
saja lalu saksi Anton Setiawan berkata" mana handphonenya, kalo tidak dikasih saya
pecahin kepala”.
Setelah ada perkataan tersebut lalu dikarenakan takut saksi Aditya Abdel
Sofandi mengeluarkan 1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2
casing warna putih dan saksi Risski Achmad Gaung S menyerahkan 1 (satu) buah
topi warna merah merk Damitt untuk diserahkan kepada saksi Anton Setiawan.
Kemudiankemudian terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina, sdr. Anton dan sdr. Sahala
(belum tertngkap) pergi meninggalkan saksi yang sebelumnya sdr. Anton
mengatakan kalau gak percaya handphonemu diambil temanmu saya ajak sebagai
jaminan kemudian saksi ikut diboncengin sepeda motor diajak pergi dan sekitar 500
meter saksi disuruh turun.
Setelah terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina bersama-sama dengan saksi Anton
Setiawan (berkas perkara terpisah) dan Sdr. Sahala (belum tertangkap) mendapatkan
1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2 casing warna putih dan 1
(satu) buah topi warna merah merk Damitt dengan mengendarai sepeda motor Hond
Beat warna hitam nomor Polisi B-6762-PZP kemudian pergi meninggalkan para
saksi lalu 1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2 casing warna
putih yang dipegang oleh saksi Anton Setiawan (berkas perkara terpisah) diserahkan
49
kepada terdakwa untuk dijual di Jl. Antara Pasar Baru Jakarta Pusat dengan harga
Rp. 540.000,- (lima ratus empat puluh ribu rupiah) dan uang tersebut oleh saksi
Anton Setiawan (berkas perkara terpisah) diberikan kepada terdakwa dan sdr. Sahala
(belum tertangkap) masing-masing sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu
rupiah).
Atas perbuatan terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina bersamasama dengan saksi
Anton Setiawan (berkas perkara terpisah) dan Sdr. Sahala (belum tertangkap)
tersebut, kedua saksi yaitu Aditya Abdel Sofandi dan Risski Ahmad Gaung S.
menderita kerugian yang ditaksir seluruhnya sebesar Rp.980.000,-(sembilan ratus
delapan puluh ribu rupiah)
2. Dakwaan
Berdasarkan uraian di atas, bahwa terdakwa diajukan oleh Penuntut Umum dengan
dakwaan dakwaan yang berbentuk Tunggal, sehingga langsung dilakukan
pembuktian dakwaan yaitu dalam Pasal 368 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum
Pidana,
3. Tuntutan
1) Menyatakan terdakwa MUH. HOERON DAMAI SINA terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Pemerasan disertai
Pengancaman" sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal
368 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10
(sepuluh) Bulan dikurangi selama berada dalam tahanan dengan perintah
agar tetap ditahan
3) Menyatakan barang bukti:
a. 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Beat warna hitam No. Pol. B-
6762-PZP;
b. 1 (satu) buah kardus warna putih untuk handphone merk Smartfren
Andromex G.2;
50
4) Membebani terdakwa agar membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,-
(dua ribu rupiah).
4. Pertimbangan Hukum Hakim
a. Barang Siapa.
Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang lain, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
dengan bersekutu.
Pembahasan unsur :
1. Unsur Barang Siapa bahwa unsur “Barang Siapa” orientasinya
selalu menunjuk kepada manusia sebagai subjek hukum, pendukung hak
dan kewajiban. Hal ini dapat disimpulkan dari sifat yang melekat pada
suatu tindak pidana yang terdiri dari tiga macam sifat yang bersifat
umum, yaitu melawan hukum, dapat dipersalahkan kepada si pelaku dan
bersifat dapat dipidana, sedangkan masalah penjatuhan pidana senantiasa
bersangkut paut dengan kemampuan bertanggung jawab dalam arti ada
kesalahan. Faktor kemampuan bertanggung jawab adalah menyangkut
masalah akal, oleh karena hanya manusia sebagai mahluk yang berakal,
maka kepada manusia saja dibebani pertanggungjawaban mengenai
kesalahannya, lebih tegas lagi para terdakwa tidak termasuk di dalam
pengertian Pasal 44 KUHAP tersebut. Bahwa terdakwa Hoerun Damai
Sina sebagai manusia pendukung hak dan kewajiban termasuk di dalam
pengertian "barang siapa". Dengan demikian unsur Barang Siapa telah
terpenuhi menurut hukum.
2. Bahwa berdasarkan fakta-fakta di persidangan berupa
keterangan saksi saksi dan terdakwa serta surat, unsur dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
51
untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu. Maka fakta persidangan telah masuk kedalam unsur tersebut.
B. Amar putusan
1. Menyatakan terdakwa MUH. HOERON DAMAI SINA tersebut di atas
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "
Pemerasan disertai Pengancaman.
2. menjatuhkan pidama kepada Terdakwa MUH HOERON DAMAI SINA
selama 5 (LIMA) BULAN.
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4. Menetapkan terdakwa tetap ditahan.
5. Menyatakan barang bukti:
a. 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda beat warna hitam No.Pol.B-
6761-PZp.
b. 1 (satu) buah kardus warna putih untuk hanphone merk Smartfren
Andmex G.2.
6. Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sebesar
Rp.2.000,- (dua riburupiah)
B. Analisisa Pandangan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor
025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst.
Pada paragraf ini penulis akan menyajikan data yang diperoleh selama
melakukan penelitian. Data tersebut diperoleh melalui kepustakaan dan analisis
kasus yang telah menjadi berkas perkara. Yaitu berkas perkara yang telah diputus di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus dan data perkara tersebut diambil dengan
52
cara labgsung dari dokumen putusan perkara yang tercatat di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Fungsi Hukum adalah seperangkat peraturan perundang-undangan yang sudah
disahkan oleh negara dan berlaku bagi setiap warga Negara. Hukum ini dilaksanakan
untuk memberikan perlindungan bagi setiap manusia agar terhindar dari segala
perbuatan kejahatan atau perlanggaran, melalui penegakan itulah keadilan menjadi
nyata.
Pemberian hukuman atau sanksi dalam proses hukum yang berlangsung dalam
kasus pelanggaran hukum oleh anak memang berbada dengan penyelesaian kasus
orang dewasa, karena dasar dasar pemikiran pemberian hukuman oleh negara bahwa
setiap warga negara adalah makhluk yang bertanggung jawab dan mampu
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sementara seorang anak dapat kitakan
belum mampu mempertanggungjawabkan segala kelakuan perbuatannya. Oleh
karena itulah proses penyelesaina hukum bagi anak harus dibedakan dengan
penyelesaian hukum untuk orang dewasa.
Dalam undang No. 11 Tahun 2012 acara pradilan pidanA anak diatur dalam
Bab III mulai dari pasal 16 sampai pasal 62, artinya ada 47 pasal yang mengatur
hukum acara pidana anak. Mengingat hukum acara pidana anak ini sebagai lex
specialis dari hukum acara pidana umum (KUHAP), maka ketentuan beracara dalam
hukum acara dalam hukum acara pidana (KUHAP) berlaku juga dalam acara
peradilan pidana anak, kecuali ditenjtukan dalam Undang-Undang sistem Peradilan
Pidana anak.
Dalam pasal 17 Undang-Undang sistem Peradilan Pidana anak, anak yang
berkaitan dengan hukum diberikan jaminan perlindungan hak-hak anak, maka,
peyidik, penuntut umum, dan hakim wajib memberikan perlindungan khusus bagi
anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat
serta perlindungan khusus dan dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi ytanpa
pemberatan.
53
Dalam pasal 18 Undang-Undang sistem Peradilan Pidana anak menyebutkan
bahwa Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi,
Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan
Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan
hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan
mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara.
Yang paling signifikan perbedaan antara penyelesaian antara sistem peradilan
pidana nak dan biasa adalah adanya penerapan diversi, yaitu melakukan penyelesaian
pelanggaran hukum diluar pengadilan yang dilukan oleh penegak hukum didasari
kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discrection atau diversi.1 Hal ini
dilakukan supaya anak terhindar dari adanya efek negatif pemidanaan berupa
dehumanisasi (menurunnya nilai kemanusiaan), prisonisasi (pengaruh pembelajaran
kejahatan) dan stigmatisasi (cap jahat) juga turut menjadi pertimbangan dalam
mendorong lahirnya kebijakan diversi di Indonesia. Tujuandiversi terdapat dalam
pasal 6 UU sistem peradilan pidana anak:
a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.2
Dalam kasus perkara Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst. terjadi Tindak
pidana pemerasan dengan kekerasan, yaitu memaksa seseorang untuk menyerahkan
sesuatu benda yang diinginkan oleh para pelaku kejahatan dengan disertai dengan
kekerasan adalah sebuah kasus yang seharusnya perlu mendapatkan perhatian
khusus. Karena yang mana kasus pemerasan ini sangat meresahkan masyarakat.
masyarakat tidak lagi merasa nyaman, melainkan akan merasa takut dan was-was
1Marlina, pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana (Medan:
USU Pres, 2010) h., 2 2 Lihat pasal 6 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak
54
apabila berada di ruang publik. Karena tindak pidana pemerasan dapat terjadi kapan
saja. Dan dalam kasus tindak pidana pemerasan ini, menurut penulis kejahatan yang
dilakukan yaitu terdakwa dengan sengaja tanpa hak dan dengan kekerasan memaksa
orang lain untuk memberikan harta benda untuk menguntungkan dirinya sendiri dan
kelompoknya. Dan berdasarkan keterangan tersangka yang telah penulis uraikan
sebelumnya, maka berdasarkan fakta tersebut di atas dapat dianalisa bahwa memang
telah terjadi suatu tindak pidana.
Berdasarkan fakta persidangan dapat petunjuk bahwa telah terjadi tindak
pidana pemerasan, terhadap tersangka yang statusnya masih anak di bawah umur
dapat dikenakan pasal 368 KUHP. Dan dalam menangani perkara tindak pidana
pemerasan atau afpersing ini, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjerat
pelakunya berdasarkan ketentuan pasal 368 ayat (2) KUHP.
Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memutuskan perkara
dengan berdasarkan pada pasal 368 ayat 2 KUHP adalah sudah tepat dari landasan
hukum tersebut,maka hakim menjerat pelaku dengan pasal 368 ayat 2 dikenakan
semua unsur yang harus terdapat di dalam tindak pidana pemerasan yang diatur
dalam pasal 368 ayat 2 pemerasan telah terpenuhi dalam kasus tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina.
Meski proses pengadilan menetapkan terdakwa anak berkaitan dengan hukum
dinyatakan bersalah, maka hakim tetap harus melakukan melakukan pertimbangan
pertimbangan hukum yang ada. Ketentuan ketentuan dalam Undang-undang sistem
perlindungan Anak Nomor 12 tahun 2014. Yaitu mengedepankan keadilan retorative
of justice yang diaplikasikan dalam proses diversi.
Penuntut umum wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah
menerima berkas perkara dari penyidik dan diversi sebagai mana dimaksud,
dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dan apabila diversi gagal penuntut
umum wajib menyampaikan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke
pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian masyrakat.Hal tersebut
55
yang tidak terjadi dalam perkara ini, penuntut umum tidak mengupayakan proses
penyelesaian perkara di luar persidangan.
Putusan hakim yang menjatuhkan hukuman pidana 5 bulan menurut Penulis
dirasa kurang tepat, karena dalam proses penyelesaian perkara ini hakim tidak
melakukan pertimbangan pertimbangan hukum yang ditentukan dalam Undang-
undang Sistem Perdilan PidanaAnak. Karena dalam hal ini berlaku adegium “Lex
specialis derogat legi generalis” atau hukum khusus mengesampingkan hukum
umum. Salah satu yang menjadi pertimbangan hakim adalah pasal 7 ayat (1) dan (2)
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak:3
1. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
2. Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana
Jika dilihat dalam fakta persidangan terdakwa bukan merupakan pengulangan
tindak pidana dan ancaman dalam KUHpidana adalah 9 tahun apabila dilakukan
seorang anak maka ½ dari ancaman KUHP. Ketentuan ½ dari ancaman pidana
penjara diatur dalam pasal 81 (2) “Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa”. Atas pertimbangan itulah seorang penegak hukum baik harus
melakukan diversi terhadap terdakwa yang berstatus Anak berkonflik hukum.
kemudian menurut penulis, penegak hukum juga tidak mempertimbangkan
ketentuan dalam pasal 9 ayat (2) yang berbunyi :
Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga
Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk:
3 Lihat pasal 7 Undang-undang Sistem peradilan Pidana anak
56
1. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
2. tindak pidana ringan;
3. tindak pidana tanpa korban; atau
4. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat4
Dalam pasal 9 ayat (2) kesepakatan diversi harus mendapat persetujuan korban
dan/atau keluarga korban. Dalam poin D juga mengatur bahwa nilai kerugian korban
tidak lebih dari upah minimum provinsi. Jika dilihat fakta persidangan kejadian
perkara terjadi bulan oktober 2015 dan merugikan korban berupa materil sebesar
Rp.980.000 belum cukup untuk memidanakan terdakwa yang masih anak di bawah
umur. Karena pada UU SPPA pasal 9 ayat (2) kesepakatan diversi harus
mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan
Anak dan keluarganya, kecuali untuk: nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai
upah minimum provinsi setempat.
Menurut Peraturan Gubenur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Nomor
176 tahun 2014 tentang upah minimum provinsi tahun 2015 memutuskan upah
minnimum provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 2.700.000,00 (dua juta tujuh ratus
rupiah) perbulan.5 Jumlah tersebut jauh di atas dari kerugian materi yang diderita
korban sebesar Rp 980.00,00 (sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah. Dari uraian
tersebut di ambil kesimpulan, upaya diversi harus dilakukan kepada terdakwa.
Yang menjadi tantangan berat untuk mengimplementasikan undang-undang
sistem peradilan anak bagi pemerintah dan aparat hukum dalam mewujudkan sistem
peradilan pidana yang ideal Undang-undang tersebut yang masih dalam masa transisi
yang infrastruktur yang masih dipersiapkan seperti dalam pasal 105 Undang-undang
sistem peradilan pidana anak:
a. setiap kantor kepolisian wajib memiliki Penyidik;
4 Lihat pasal 9 Undang-undang Sistem peradilan Pidana anak 5 Lihat Peraturan Gubenur DKI Nomor 176 tahun 2014
57
b. setiap kejaksaan wajib memiliki Penuntut Umum;
c. setiap pengadilan wajib memiliki Hakim;
d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
wajib membangun Bapas di kabupaten/kota;
e. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
wajib membangun LPKA dan LPAS di provinsi; dan
f. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial
wajib membangun LPKS.
C. Analisisa Pandangan Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor
025/Pid.Sus- Anak/2015/PN.Jkt.Pst.
Dalam hukum Islam pemerasan disamakan dengan hirabah atau qutta’u al-
tariq, hal ini sesuai pendapat Imam Al-Syafi’i dalam Al-Umm. Para pelaku
perampokan qutta’u al-tariq ialah mereka yang melakukannya penyerangan dengan
membawa sebuah senjata kepada sebuah komunitas orang, sehingga pelaku dapat
merampas harta kekayaan mereak di tempat tempat terbuka secara terng terangan.
Imam Syafii berpendapat apabila perbuatan ini dilakukan di dalam kota jelas dosa
mereka jauh lebih besar, walaupunjenis sanksi hukumannya tetap sama (dengan
apabila dilakukan di tempat terbuka), diantara pelaku tidak boleh dipotong tangannya
kecuali telah terbukti mengambil harta benda senilai seperempat dinar atau lebih. Hal
ini diqiyaskan dalam hadis tentang sanksi bagi pelaku pencurian masing masing
pelaku dalam hirabah ini diberikan sanksi hukum sesuai dengan perbuatannya.
Seseorang harus dihukum mati atau di salib , maka dibunuh terlebih dahulu, sebelum
disalib karena perbuatan pelaku tersebut harus dihukum sebagi tindakan yang di
benci.6 Dalam penjelasannya Imam Al-Syafii juga memberikan penjelasan mengenai
sanksi berdasarkan hisab dan kejahatannya.
6Nurul irfan, Fiqh Jinayah , (Jakarta, AMZAH: 2016),hal.,123
58
Sementara Muhammad Abu Zahrah, dari kalangan hanafiyah, Mendefinisikan
hirabah adalah keluar untuk menyerang dan merampas harta benda yang dibawa oleh
ara pengguna jalan dengan cara paksa, sehingga mereka terhalang halangi dan tidak
bisa berjalan. Hal ini bisa dilakukan dengan berkelompok dan juga individu yang
jelas memiliki kemampuan untuk memutuskan jalan. Baik dilakukan dengan sengaja
pedang atau alat lain. Seperti tongkat kayu batu dan lain lain, yang tujuannya adalah
menakunakuti seseorang.7
Menurut Imam An-nawawi dalam al-majmu’ syarh al muhazdzab. Terhadap
orang yang menghumbusksn senjata dan meneror ornag dijalanan kota besar atau di
luar kota, maka seorang kepala negara harus menindaknya sebab kalau dibiarkan
pasti akan terus semakin kuat menegakan teror tersebut dan akan semakin besar
kerusakan yang terjadi, berupa pembunuhan atau perampasan harta benda. Kalau
para pelaku sudah berhasil ditangkap maka hukumanya adalah ta’zir, akan tetapi
kalau pelaku sudah mengambil dan merampas harta milik orang lain dan telah
mencapai nisobnya, seorang pemimpin wajib menghukum potong tangan kanan
pelaku dan tangan kiri pelaku.
Dari definisi ulama mengenai perampasan di atas, Abdul Qadir Audah
menjelaskan perbedaan perampasan dan pencurian. Perbedaannya adalah cara yang
dilakukan, pencurian dilakukan dengan sembunyi sembunyi sedangkan perampasan
dilakukan terang terangan dengan kekerasan dan teror.8
Menurut M. Athiyah dan Nur Uhbiyati mengemukakan tiga syarat apabila
seorang pendidik ingin menghukum anak dengan hukuman badan, yaitu:9
1. Sebelum usia 10 tahun anak-anak tidak boleh dipukul,
2. Pukulan tidak boleh lebih dari tiga kali (pukulan dengan lidi atau
tongkat kecil),
7Nurul irfan, Fiqh Jinayah ,hal.,123 8Nurul irfan, Korupsi dalam hukum pidana Islam, (Jakarta, AMZAH: 2016), h.,123. 9Aat Syafaat, dkk., Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan
Remaja (Juvenile Delinquency), (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h., 47.
59
3. Diberikan kesempatan kepada anak-anak untuk taubat untuk apa yang
ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan
pukulan atau merusak nama baiknya.
Sedang menurut Abdul Karim Bakkar, adab-adab memberi hukuman adalah:10
1. Anak yang usianya belum 10 tahun tidak boleh dipukul,
2. Tidak memukul kepala atau muka,
3. Tidak memukulnya saat pendidik berada dalam puncak kemarahan,
4. Boleh memberi ancaman saat melihat kesalahan,
5. Setelah marahnya reda barulah memukul,
6. Tidak memukul anak di hadapan orang lain,
7. Pukulan tidak melukai atau membahayakan,
8. Tidak menyuruh kepada anak agar ia meminta maaf sebelum dipukul.
Seorang anak tidak akan dikenakan hukuman had karena kejahatan yang
dilakukannya, karena tidak ada beban tanggung jawab hukum atas seorang anak atas
usia berapapun sampai dia mencapai usia puber, qadhi hanya akan berhak untuk
menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginyayang akan
membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari membuat kesalahan di masa
yang akan datang.
Fuqaha berselisih pendapat tentang siapakah yang harus membayar diyat
tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Menurut Malik dan Abu Hanifah dan
segolongan fuqaha, seluruh diyatnya ditanggung oleh keluarga. Sedangkan menurut
Syafi’i, tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak secara sengaja, diyatnya
dikenakan terhadap harta anak itu sendiri.11
Silang pendapat diantara fuqaha berpangkal pada ketidak jelasan perbuatan
anak-anak antara yang sengaja dengan yang tersalah. Fuqaha yang memandang segi
kesengajaan lebih kuat mewajibkan diyatnya harus diambil dari hartanya sendiri.
10Aat Syafaat, dkk., Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan
Remaja (Juvenile Delinquency), (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h., 49 11Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jillid III, (terj: Imam Ghazali Said, dkk,.) (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), h.,549
60
Sedangkan fuqaha yang memandang kemiripannya dengan tersalah yang lebih kuat
mewajibkan pembayaran diyat itu diambil dari harta keluarganya.12
Sedangkan dalam hukum Islam penyelesaian perkara pidana anak ini berbeda
dengan yang dijelaskan dalam peraturan hukum positif. Di mana dalam hukum
Islam. Penyelesaian perkara terhadap anak ini berbeda dengan hukuman orang
dewasa. Di dalam Islam dikenal dengan pendekatan metode, yaitu pengampunan (al-
‘afwu) dan perdamaian (sulh), sehingga gugurnya suatu hukuman dikarenakan
pengampunan dan perdamaian. Menurut mazhab Syafi’I dan Hambali, perdamaian
mempunyai makna ganda yaitu pengampunan dari tindak pidana saja atau diganti
dengan diyat. Kedua pengertian tersebut pembebasan hukuman dari pihak korban
tanpa menunggu persetujuan dari pihak pelaku.13
Berdasarkan penjelasan di atas dalam kasus perkara Nomor 025/Pid.Sus-
Anak/2015/PN.Jkt.Pst. tindak pidana pemerasan disamakan dengan hirabah dan
sanksinya sesuai dengan perbuatannya. Penulis membagi 2 aspek mengenai sanksi
yang dapat diberikan hakim kepada terdakwa menurut hukum Islam. Yaitu dari
pelakunya:
Berdasarkan pelakunya:
Berdasarkan berkas putusan perkara Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
terdakwa adalah seorang anak yang masih di bawah umur berdasarkan Undang-
undang Sistem Peradilan Pidana anak. menurut ketentuan hukum Islam, anak di
bawah umur khususnya periode mumayyiz, apabila melakukan perbuatan jarimah
atau tindak pidana maka ia akan terbebas dari hukuman had. Namun karena Islam
tidak mengesampingkan kepentingan masyarakat dan suka akan ketentraman dan
kedamaian, maka pelaku jarimah yang belum dewasa tetap dijatuhi hukuman.
12. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jillid III, (terj: Imam Ghazali Said, dkk,.) (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), h., 549. 13Abdul Qadir Awdah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Jilid II, (alih Bahasa: Tim
Tsalisah), (Bogor: Karisma Ilmu, 2007), h., 258
61
Hukuman tersebut adalah hukuman pengajaran, yaitu hukuman yang di dalamnya
mengandung sifat pengajaran.14
Bentuk hukuman ta’zir bagi anak di bawah umur yang malakukan tindak
pidana pemerasan tidak ditentukan dalam hukum Islam tujuannya agar
memungkinkan bagi Hakim memilih hukuman mana yang sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat, maka dibolehkan bagi Hakim menghukum dengan menyerahkan
ke negara atau memasukkan ke tempat rehabilitasi, sekolah, serta meletakkannya di
bawah pengawasan yang khusus atau yang lain, di mana mengandung pengajaran
dan pendidikan yang baik untuk pembelajaran.15
14Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000),
h., 141 15Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), h., 321
62
BAB V
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka peneliti menyimpulkan dari uraia
tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Faktor yang menghambat hakim tidak menerapkan Undang-undang sistem peradilan
anak dalam perkara Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst. Berbagai macam
disharmonisasi perundang-undangan tentang perbedaan usia anak di Indonesia, maka
pada prakteknya di lapangan akan ada banyak kendala yang terjadi akibat dari
perbedaan tersebut.
Hal lain yang menjadi tantangan berat untuk mengimplementasikan undang-undang
sistem peradilan anak bagi pemerintah dan aparat hukum dalam mewujudkan sistem
peradilan pidana yang ideal Undang-haundang tersebut yang masih dalam masa
transisi yang infrastruktur yang masih dipersiapkan
b. Pandangan Hukum Positif terhadap putusan perkaran Nomor 025/Pid.Sus-
Anak/2015?PN.Jkt.pst Pemberian hukuman atau sanksi dalam proses hukum yang
berlangsung dalam kasus pelanggaran hukum oleh anak memang berbada dengan
penyelesaian kasus orang dewasa, karena dasar dasar pemikiran pemberian hukuman
oleh negara bahwa setiap warga negara adalah makhluk yang bertanggung jawab dan
mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara seorang anak dapat
kitakan belum mampu mempertanggungjawabkan segala kelakuan perbuatannya.
Oleh karena itulah proses penyelesainnya hukum bagi anak harus dibedakan dengan
penyelesaian hukum untuk orang dewasa.
kemudian menurut penulis, penegak hukum juga tidak mempertimbangkan ketentuan
dalam pasal 9 ayat (2) yang berbunyi :Kesepakatan Diversi harus mendapatkan
persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan
keluarganya, Dalam pasal 9 ayat (2) kesepakatan diversi harus mendapat persetujuan
63
korban dan/atau keluarga korban. Dalam poin D juga mengatur bahwa nilai kerugian
korban tidak lebih dari upah minimum provinsi. Jika dilihat fakta persidangan
kejadian perkara terjadi bulan oktober 2015 dan merugikan korban berupa materil
sebesar Rp.980.000 belum cukup untuk memidanakan terdakwa yang masih anak di
bawah umur. Karena pada UU SPPA pasal 9 ayat (2) kesepakatan diversi harus
mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan
Anak dan keluarganya, kecuali untuk: nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai
upah minimum provinsi setempat.
Menurut Peraturan Gubenur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Nomor 176
tahun 2014 tentang upah minimum provinsi tahun 2015 memutuskan upah
minnimum provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 2.700.000,00 (dua juta tujuh ratus
rupiah) perbulan.1 Jumlah tersebut jauh di atas dari kerugian materi yang diderita
korban sebesar Rp 980.00,00 (sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah. Dari uraian
tersebut di ambil kesimpulan, upaya diversi harus dilakukan kepada terdakwa.
Sedangkan dalam hukum Islam penyelesaian perkara pidana anak ini berbeda dengan
yang dijelaskan dalam peraturan hukum positif. Di mana dalam hukum Islam.
Penyelesaian perkara terhadap anak ini berbeda dengan hukuman orang dewasa. Di
dalam Islam dikenal dengan pendekatan metode, yaitu pengampunan (al-‘afwu) dan
perdamaian (sulh), sehingga gugurnya suatuhukuman dikarenakan pengampunan dan
perdamaian. Menurut mazhab Syafi’idan Hanbali, perdamaian mempunyai makna
ganda yaitu pengampunan dari tindak pidana saja atau diganti dengan diyat. Kedua
pengertian tersebut pembebasan hukuman dari pihak korban tanpa menunggu
persetujuan dari pihak pelaku.2
Berdasarkan kasus perkara Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst. tindak pidana
pemerasan disamakan dengan hirabah dan sanksinya sesuai dengan perbuatannya.
Penulis membagi 2 aspek mengenai sanksi yang dapat diberikan hakim kepada
1 Lihat Peraturan Gubenur DKI Nomor 176 tahun 2014 2Abdul Qadir Awdah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Jilid II, (alih Bahasa: Tim
Tsalisah), (Bogor: Karisma Ilmu, 2007), h., 258
64
terdakwa menurut hukum Islam. Yaitu dari pelakunya terdakwa adalah seorang anak
yang masih di bawah umur berdasarkan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana
anak. menurut ketentuan hukum Islam, anak di bawah umur khususnya periode
mumayyiz, apabila melakukan perbuatan jarimah atau tindak pidana maka ia akan
terbebas dari hukuman had. Namun karena Islam tidak mengesampingkan
kepentingan masyarakat dan suka akan ketentraman dan kedamaian, maka pelaku
jarimah yang belum dewasa tetap dijatuhi hukuman. Hukuman tersebut adalah
hukuman pengajaran, yaitu hukuman yang di dalamnya mengandung sifat
pengajaran.3
Bentuk hukuman ta’zir bagi anak di bawah umur yang malakukan tindak pidana
pemerasan tidak ditentukan dalam hukum Islam tujuannya agar memungkinkan bagi
Hakim memilih hukuman mana yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat,
maka dibolehkan bagi Hakim menghukum dengan menyerahkan ke negara atau
memasukkan ke tempat rehabilitasi, sekolah, serta meletakkannya di bawah
pengawasan yang khusus atauyang lain, di mana mengandung pengajaran dan
pendidikan yang baik untuk pembelajaran.4
2. SARAN
a. Berdasarkan pemaparan diatas skripsi ini memberikan beberapa saran Akademis
bahwa Undang-undang sistem peradilan pidana anak yang bertujuan memberikan
jaminan perlindungan anak, khususnya anak yang berkonflik dengan hukum,
bahwasany melalui UU No. 11 Tahun 2012 tentang peradilan pidana anak ini,
mampu menghindari anak untuk dihukum pidana, melainkan untuk dibina dan
dibimbing agar mampu menjadi manusia yang utuh, cerdas dan bertanggung
jawabsebagai generasi penerus bangsa yang akan datang. Sehingga kedepan
bangsa ini semakin optimis dan semakin maju karena anak anak dibina dan
3Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000),
h., 141 4Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, h., 321
65
dibimbing secara benar dengan tidak menghukumnya dengan hukum pidana
tetapi hukuman yang mendidik.
b. Saran berikutnya di tunjukan untuk praktisi hukum dan DPR selaku pengawas
Undang Undang, Diversi yang merupakan konsep penyelesaian perkara pidana
anak di luar proses peradilan pidana, harus selalu diupayakan mulai dari
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan, maka seharusnya
penyidik penuntut umum dan hakim wajib menyupayakan diversi sebagai
perintah UU SPPA. Karena hukuman pidana dapat mengganggu perkembangan
dan mental seorang anak. Untuk selanjutnya seharusanya DPR selaku pengawas
Undang-undang harus terus menerus mengawasi agar undang-undang sistem
peradilan pidana anak dapat konsisten dan diterapkan kepada anak yang
berkonflik dengan hukum.
66
DAFTAR PUSTAKA
A. Qirom syamsudin meliala dan E sumaryono, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari
Psikologis dan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1985
Aat Syafaat, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan
Remaja (Juvenile Delinquency), Jakarta: Rajawali Press, 2008.
Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, cet. 1, jilid 2, Jakarta, Ichtiar
baru Van Hoeve, 1996.
Abdul Qadir Audah, Islamic System of Justice. Karachi:International Islamic
Publishers,1987.
.................., Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Jilid II, (alih Bahasa:
TimTsalisah), Bogor: Karisma Ilmu, 2007.
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Ahmad Wardi muslich, Hukum Pidana Islam ,Jakarta:Sinar Grafika, 2005.
....................., Pengantar dan asas hukum pidana Islam fikih jinayah,
Jakarta:Sinar Grafika,2004.
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.
Amir Syaifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011.
........................., Garis-garis Besar Fiqih, Jakarta: Kencana, 2003
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Bandung : Kencana,
2014.
Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997
Djazuli, A, Fiqih Jinayah upaya menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000.
Hadi supeno, kriminalisasi anak tawanan gagasan radikal peradilan anak tanpa
pemidanaan, Jakarta : pustaka utama,2010
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jillid III, (terj:Imam Ghazali Said,
dkk,.)Jakarta,:Pustaka Amani, 2007.
Ibrahim Hosen, Fiqih perbandingan, Jakarta : Balai penerbitan &perpustakaan Islam
Yayasan Ihya ulumuddin Indonesia, Jilid 1, 1971.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
67
Kusno adi, Kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh
anak, Malang : UMM press, 2009.
Mahmud Yunus, KAMUS ARAB INDONESIA, Jakarta: Yayasan Pentafsiran Al
Qur'an , 1997.
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia,Bandung: PT Refika Aditama, 2014.
Makhrus Munajat, Fikih Jinazah “Hukum Pidana Islam”, Yogyakarta : Pesantren
Nawesa Press, 2010.
Marlina, Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana ,
Medan:USU Pres, 2010.
Mohammad Daud Ali, Asas-asas hukum Islam (hukum Islam I) : pengantar ilmu
hukum dan tata hukum Islam di Indonesia,Jakarta : Rajawali,1990.
Mohammad Taufik, Weny Bukamo, dan Sayiful Azri, Hukum perlindungan anak
dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Jakarta: Rineka Cipta, 2013.
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan InstrumenInternasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya, yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, Jakarta: AMZAH, 2016.
.......................,Fiqh Jinayah, Jakarta: AMZAH, 2015.
.........................,Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: AMZAH: 2016.
Peraturan Gubenur DKI Nomor 176 tahun 2014.
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: CV Pustaka Setia,
2000.
..........................,Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Samsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta; Amzah, 2010.
Sanad Nagaty, The Theory of crime and criminal Responsibility in Islamic law
sharia. Chicago: Office of Internationl Criminal Justice, 1991.
Setya wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011
Sudarsono, Etika Islam Tentang Remaja, Jakarta; PT. Rineka Cipta, 1991.
..........................,, Kenakalan Remaja, Rehabilitas, dan Resosialisasi, Jakarta: Rineka
Cipta, 1995.
68
Syaikh Salim Bin Sumair Al Hadhramiy, Terjemahan Matan Safinatun Najah,
Depok: muktabah Ar Razim, 2001.
Terjemahan Al-Quran Departemen Agama RI, 2002 : 386
Topo santoso, Menggagas hukum pidana Islam: penerapan syariat Islam dalam
konteks modernisasi, Asy syaamil pres &Grafika 2001.
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang No 23 tahun 2002 Tentang perlindungan anak
Undang-Undang Peradilan Pidana Anak No. 11 tahun 2012.
Undang-Undang Perlindungan Anak No35 tahun 2014
Undang-Undang No 23 tahun 2002 Tentang perlindungan anak
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT Refika Aditam,2006.
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A NNomor : 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara pidana anak dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa :
Nama Lengkap : Muh. Hoeron Damai Sina.
Tempat Lahir : Jakarta.Umur/Tgl.Lahir : 16 tahun / 05 Mei 1999.Jenis Kelamin : Laki-laki.Kebangsaan : INDONESIA.Tempat Tinggal : JL. Pintu Air II/37 Rt.
03/04 Kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Gambir Jakarta Pusat.
A g a m a : Islam.Pekerjaan : Pelajar.Pendidikan : SMP Paket B.
Terdakwa tersebut telah ditahan berdasarkan surat perintah penetapan/penahanan oleh:
1. Penyidik, sejak tanggal 30 September 2015 sampai dengan tanggal 06 Agustus 2015;
2. Perpanjangan Penuntut Umum, sejak tanggal 07 Oktober 2015 sampai dengan tanggal 14 Oktober 2015;
3. Diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sejak tanggal 26 September 2015 s/d tanggal 30 September 2015;
4. Penuntut Umum, sejak tanggal 12 Oktober 2015 sampai dengan tanggal 16 Oktober 2015;
5. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sejak tanggal 27 Oktober 2015 sampai dengan tanggal 05 Nopember 2015;
6. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sejak tanggal 06 Nopember 2015 sampai dengan tanggal 20 Nopember 2015;
Terdakwa didampingi oleh Penasihat Hukum Wahyudin, SH. POSBAKUM alamat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan Penetapan Hakim tertanggal 10 Nopember 2015;
Terdakwa didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan (BAPAS) Jakarta Pusat Pengadilan Negeri tersebut;
Halaman 1 dari 15 Putusan Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Setelah membaca:• Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 025/
Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst tanggal 29 Oktober 2015 tentang penunjukkan Hakim;
• Penetapan Hakim Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 3 Nopember 2015 tentang penetapan hari sidang pertama hari Kamis, tanggal 5 Nopember 2015;
• Hasil penelitian kemasyarakatan;• Berkas perkara dan surat-surat lain yang bersangkutan;
Setelah mendengar keterangan Saksi-saksi dan Terdakwa serta memperhatikan bukti surat dan barang bukti yang diajukan di persidangan;
Setelah mendengar pembacaan tuntutan pidana yang diajukan oleh Penuntut Umum yang pada pokoknya sebagai berikut:
MENUNTUT :
1. Menyatakan terdakwa MUH. HOERON DAMAI SINA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Pemerasan disertai Pengancaman" sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 368 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) Bulan dikurangi selama berada dalam tahanan dengan perintah agar tetap ditahan
3. Menyatakan barang bukti:• 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Beat warna hitam No. Pol. B-6762-PZP;• 1 (satu) buah kardus warna putih untuk handphone merk Smartfren Andromex G.2;
Dipergunakan dalam perkara lain atas nama Anton Setiawan (berkas perkara terpisah)
4. Membebani terdakwa agar membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).
Setelah mendengar permohonan Terdakwa yang pada pokoknya menyatakan mengakui kesalahannya, dan berjanji tidak ingin mengulanginya lagi dan mohon hukuman yang seringan-ringannya;
Setelah mendengar pembelaan Penasehat Hukum Terdakwa yang pada pokoknya memohon diberikan tindakan dikembalikan kepada orang tua
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
atau setidak-tidaknya dapat meneruskan Pendidikannya di Panti Dinas Sosial milik Pemerintah dengan harapan masih dapat memperbaiki perbuatannya serta dapat keterampilan dan pendidikan dengan harapan akan mendapatkan masa depan yang baik;
Setelah mendengar tanggapan Penuntut Umum terhadap permohonan Terdakwa dan Penasehat Hukum yang pada pokoknya sebagai berikut tetap pada tuntutannya;
Menimbang, bahwa Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Penuntut Umum didakwa berdasarkan surat dakwaan sebagai berikut:
-----Bahwa terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina bersama-sama dengan saksi Anton Setiawan (berkas perkara terpisah) dan Sdr. Sahala (belum tertangkap) pada hari Minggu tanggal 04 Oktober 2015 sekitar jam 12.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu hari dalam bulan Oktober 2015 bertempat dibawah Jalan Layang Kereta Api samping Masjid Istiqlal Jl. Wijaya Kusuma Kelurahan Pasar Baru Kecamatan Sawah Besar Jakarta Pusat atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Negri Jakarta Pusat, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu berupa 1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2 casing warna putih dan 1 (satu) buah topi warna merah merk Damitt yang seluruhnya atau sebagiannya kepunyaan orang lain yaitu milik saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi Risski Achmad Gaung S. atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut :
• Berawal pada hari Minggu tanggal 04 Oktober 2015 sekitar pukul 07.00 wib, bertempat di Taman Monas Jakarta Pusat terdakwa bertemu saksi Anton Setiawan (berkas perkara terpisah) dan Sahala (belum tertangkap) lalu saksi Anton Setiawan (berkas pekara terpisah) berkata “yuk kita jalan cari duit nakut-nakutin orang” lalu terdakwa dan Sdr. Sahala (Belum tertangkap) menjawab “yo”. Selanjutnya dengan mengendarai 1 (satu) unit sepeda motor Hond Beat warna hitam nomor Polisi B-6762-PZP miik terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina bersama-sama dengan saksi Anton Setiawan (berkas perkara terpisah) dan Sdr. Sahala (belum tertangkap) dengan berboncengan
Halaman 3 dari 15 Putusan Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
menuju sekitar taman monas dan lapangan Banteng, kemudian sekitar pukul 12.00 wib terdakwa melihat saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi Risski Achmad Gaung S. serta saksi Andika sedang berjalan lalu saksi Anton Setiawan (berkas Perkara terpisah) dan sdr. Sahala (belum tertangkap) turun dari sepedda motor sedangkan terdakwa tetap berada diatas sepeda motor sambil mengawasi situasi dalam keadaan aman. Selanjutnya saksi Anton Setiawan (berkas Perkara terpisah) menyuruh ketiga saksi untuk duduk di trotoar jalan selanjutnya saksi Anton Setawan (berkas Perkara terpisah) menghampiri para saksi dan berkata “tadi adik-adik saya handphone nya diambil di Monas, kamu bukan yang ngambil, coba keluarin handphone dan benda yang ada dikantong” kemudin sdr. Sahala (belum tertangkap) berkata “ sudah Handphone kasih aja”, dan dikarenakan saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi Risski Achmad Gaung S. serta saksi Andika diam saja lalu saksi Anton Setiawan (berkas terpisah) berkata “ mana handphonenya, kalo tidak dikasih saya pecahin kepala’. Setelah ada perkataan tersebut lalu dikarenakan takut saksi Aditya Abdel Sofandi mengeluarkan 1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2 casing warna putih dan saksi Risski Achmad Gaung S menyerahkan 1 (satu) buah topi warna merah merk Damitt untuk diserahkan kepada saksi Anton Setiawan (berkas perkara terpisah).
• Setelah terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina bersama-sama dengan saksi Anton Setiawan (berkas perkara terpisah) dan Sdr. Sahala (belum tertangkap) mendapatkan 1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2 casing warna putih dan 1 (satu) buah topi warna merah merk Damitt dengan mengendarai sepeda motor Hond Beat warna hitam nomor Polisi B-6762-PZP kemudian pergi meninggalkan para saksi lalu 1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2 casing warna putih yang dipegang oleh saksi Anton Setiawan (berkas perkara terpisah) diserahkan kepada terdakwa untuk dijual di Jl. Antara Pasar Baru Jakarta Pusat dengan harga Rp. 540.000,- (lima ratus empat puluh ribu rupiah) dan uang tersebut oleh saksi Anton Setiawan (berkas perkara terpisah) diberikan kepada terdakwa dan sdr. Sahala (belum tertangkap) masing-masing sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah).
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa atas perbuatan terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina bersama-sama dengan saksi Anton Setiawan (berkas perkara terpisah) dan Sdr. Sahala (belum tertangkap) tersebut, kedua saksi yaitu Aditya Abdel Sofandi dan Risski Ahmad Gaung S. menderita kerugian yang ditaksir seluruhnya sebesar Rp.980.000,-(sembilan ratus delapan
puluh ribu rupiah).
----Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
368 ayat (2) K.U.H.Pidana.
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dakwaannya Penuntut Umum telah mengajukan Saksi-saksi sebagai berikut:1. Saksi ADITYA ABDEL SOFFANDI, dibawah sumpah dimuka persidangan menerangkan sebagai berikut :
• Bahwa saksi daiam keadaan sehat jasmani dan rokhani dimuka persidangan;• Bahwa benar pada hari Minggu tanggal 04 Oktober 2015 sekitar jam 12.00 WIB bertempat dibawah Jalan Layang Kereta Api samping Masjid Istiqlal Jl. Wijaya Kusuma Kelurahan Pasar Baru Kecamatan Sawah Besar Jakarta Pusat terdakwa bersama-sama dengan sdr. Anton dan satuorang lagi yang tidak saksi kenal telah melakukan pemerasan terhadap saksi;• Bahwa benar adapun cara terdakwa melakukan peruatan tersebut dengan cara terdakwa bersama dua orang teman terdakwa datang dari arah belakang dengan mengendarai sepeda motor yamaha beat, lalu salah satu teman terdakwa menyuruh saksi dan teman saksi yang bernama Riski, dan saksi Andika untuk duduk ditrotoar jalan dan setelah saksi duduk sdr. Anton berdiri didepan saksi sedangkan terdakwa duduk diatas sepeda motor kemudian sdr. Anton mengatakan kepada kami "tadi adik-adik saya handphone nya diambil di Monas, kamu bukan yang ngambil, coba keluarin handphone dan benda yang ada dikantong" kemudin sdr. Sahala (belum tertangkap) berkata " sudah Handphone kasih aja", dan dikarenakan saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi Risski Achmad Gaung S. serta saksi Andika diam saja lalu sdr. Anton Setiawan berkata " mana handphonenya, kalo tidak dikasih saya pecahin kepala'. Setelah ada perkataan tersebut lalu dikarenakan takut saksi Aditya Abdel Sofandi mengeluarkan 1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2 casing warna putih dan saksi
Halaman 5 dari 15 Putusan Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Risski Achmad Gaung S menyerahkan 1 (satu) buah topi warna merah merk Damitt untuk diserahkan kepada sdr. Anton Setiawan;• Bahwa benar kemudian terdakwa, sdr. Anton dan sdr. Sahala (belum tertngkap) pergi meninggalkan saksi yang sebelumnya sdr. Anton mengatakan kalau gak percaya handphonemu diambil temanmu saya ajak sebagai jaminan kemudian saksi Andika ikut diboncengin sepeda motor diajak pergi;• Bahwa benar dikarenakan takut terjadi sesuatu dengan saksi Andika lalu saksi melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Sawah Besar pada hari Minggu tanggal 11 Oktober 2015 lalu tidak berapa lama kemudian ada anggota Polisi dari Polsek Sawah Besar memberitahu kepada saksi bahwa para terdakwa telah tertangkap;• Bahwa benar akibat perbuatan terdakwa bersama-sama dengan saksi Anton Setiawan (berkas perkara terpisah) dan Sdr. Sahala (belum tertangkap) tersebut, kedua saksi yaitu Aditya Abdel Sofandi dan Risski Ahmad Gaung S. menderita kerugian yang ditaksir seluruhnya sebesar Rp.980.000,-(sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah).
2. Saksi RISKI ACHMAD GAUNG. S dan Saksi ANDIKA PRASEYA, dibawah sumpah dimuka persidangan menerangkan sebagai berikut;
• Bahwa saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rokhani dimuka persidangan;• Bahwa benar pada hari Minggu tanggal 04 Oktober 2015 sekitar jam 12.00 WIB bertempat dibawah Jalan Layang Kereta Api samping Masjid Istiqlal Jl. Wijaya Kusuma Kelurahan Pasar Baru Kecamatan Sawah Besar Jakarta Pusat terdakwa bersama-sama dengan sdr. Anton dan satu orang lagi yang tidak saksi kenal telah melakukan pemerasan terhadap saksi;• Bahwa benar adapun cara terdakwa melakukan perbuatan tersebut dengan cara terdakwa bersama dua orang teman terdakwa datang dari arah belakang dengan mengendarai sepeda motor Honda beat, lalu salah satu teman terdakwa menyuruh saksi dan teman saksi yang bernama Aditya, dan saksi Andika untuk duduk ditrotoar jalan dan setelah saksi duduk sdr. Anton berdiri didepan saksi sedangkan terdakwa duduk diatas sepeda motor kemudian sdr. Anton mengatakan kepada kami "tadi adik-adik saya handphone nya diambil di Monas, kamu bukan yang ngambil, coba keluarin handphone dan benda yang ada dikantong" kemudin sdr. Sahala (belum
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
tertangkap) berkata " sudah Handphone kasih aja", dan dikarenakan saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi serta saksi Andika diam saja lalu sdr. Anton Setiawan berkata “ mana handphonenya, kalo tidak dikasih saya pecahin kepala. Setelah ada perkataan tersebut lalu dikarenakan takut saksi Aditya Abdel Sofandi mengeluarkan 1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2 casing warna putih dan saksi menyerahkan 1 (satu) buah topi warna merah merk Damitt untuk diserahkan kepada sdr. Anton Setiawan;• Bahwa benar kemudian terdakwa, sdr. Anton dan sdr. Sahala (belum tertngkap) pergi meninggalkan saksi yang sebelumnya sdr. Anton mengatakan kalau gak percaya handphonemu diambil temanmu saya ajak sebagai jaminan kemudian saksi ikut diboncengin sepeda motor diajak pergi dan sekitar 500 meter saksi disuruh turun;• Bahwa benar akibat perbuatan terdakwa bersama-sama dengan saksi Anton Setiawan (berkas perkara terpisah) dan Sdr. Sahala (belum tertangkap) tersebut, kedua saksi yaitu Aditya Abdel Sofandi dan saksi menderita kerugian yang ditaksir seluruhnya sebesar Rp.980.000,-(sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah).
• Bahwa benar pada hari Minggu tanggal 04 Oktober 2015 sekitar jam 12.00 WIB bertempat dibawah Jalan Layang Kereta Api samping Masjid Istiqlal Jl. Wijaya Kusuma Kelurahan Pasar Baru Kecamatan Sawah Besar Jakarta Pusat terdakwa bersama-sama dengan SAKSI dan sdr. Sahala telah melakukan pemerasan terhadap saksi yaitu Aditya Abdel Sofandi dan saksi Risski; • Berawal pada hari Minggu tanggal 04 Oktober 2015 sekitar pukul 07.00 wib, bertempat di Taman Monas Jakarta Pusat terdakwa bertemu saksi Anton Setiawan dan Sahala (belum tertangkap) lalu saksi Anton Setiawan berkata "yuk kita jalan cari duit nakut-nakutin orang" lalu terdakwa dan Sdr. Sahala (Belum tertangkap) menjawab "yo". Selanjutnya dengan mengendarai 1 (satu) unit sepeda motor Hond Beat warna hitam nomor Polisi B-6762-PZP miik terdakwa terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina bersama-sama dengan saksi Anton Setiawan dan Sdr. Sahala (belum tertangkap) dengan berboncengan menuju sekitar taman monas dan lapangan Banteng, kemudian sekitar pukul 12.00 wib terdakwa melihat saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi Risski Achmad Gaung S. serta saksi Andika sedang berjalan lalu saksi Anton Setiawan dan sdr. Sahala (belum tertangkap) turun dari sepedda motor sedangkan terdakwa tetap berada diatas sepeda motor sambil mengawasi situasi dalam keadaan aman. Selanjutnya saksi Anton Setiawan menyuruh ketiga saksi untuk duduk di trotoar jalan selanjutnya saksi Anton Setawan menghampiri para saksi dan
Halaman 7 dari 15 Putusan Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
berkata "tadi adik-adik saya handphone nya diambil di Monas, kamu bukan yang ngambil, coba keluarin handphone dan benda yang ada dikantong" kemudin sdr. Sahala (belum tertangkap) berkata " sudah Handphone kasih aja", dan dikarenakan saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi Risski Achmad Gaung S. serta saksi Andika diam saja lalu saksi Anton Setiawan berkata " mana handphonenya, kalo tidak dikasih saya pecahin kepala'. Setelah ada perkataan tersebut lalu dikarenakan takut saksi Aditya Abdel Sofandi mengeluarkan 1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2 casing warna putih dan saksi Risski Achmad Gaung S menyerahkan 1 (satu) buah topi warna merah merk Damitt untuk diserahkan kepada saksi Anton Setiawan.
Terhadap keterangan saksi, Terdakwa memberikan pendapat keterangan saksi benar;
Menimbang, bahwa Terdakwa di persidangan telah memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:• Bahwa benar pada hari Minggu tanggal 04 Oktober 2015 sekitar jam
12.00 WIB bertempat dibawah Jalan Layang Kereta Api samping Masjid Istiqlal Jl. Wijaya Kusuma Kelurahan Pasar Baru Kecamatan Sawah Besar Jakarta Pusat terdakwa bersama-sama dengan SAKSI Anton Setiawan dan sdr. Sahala telah melakukan pemerasan terhadap saksi yaitu Aditya Abdel Sofandi dan saksi Risski;
• Berawal pada hari Minggu tanggal 04 Oktober 2015 sekitar pukul 07.00 wib, bertempat di Taman Monas Jakarta Pusat terdakwa bertemu saksi Anton Setiawan dan Sahala (belum tertangkap) lalu saksi Anton Setiawan berkata "yuk kita jalan cari duit nakut-nakutin orang" lalu terdakwa dan Sdr. Sahala (Belum tertangkap) menjawab "yo"- Selanjutnya dengan mengendarai 1 (satu) unit sepeda motor Hond Beat warna hitam nomor Polisi B-6762-PZP miik terdakwa terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina bersama-sama dengan saksi Anton Setiawan dan Sdr. Sahala (belum tertangkap) dengan berboncengan menuju sekitar taman monas dan lapangan Banteng, kemudian sekitar pukul 12.00 wib terdakwa melihat saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi Risski Achmad Gaung S. serta saksi Andika sedang berjalan lalu saksi Anton Setiawan dan sdr. Sahala (belum tertangkap) turun dari sepedda motor sedangkan terdakwa tetap berada diatas sepeda motor sambil mengawasi situasi dalam keadaan aman. Selanjutnya saksi Anton Setiawan menyuruh ketiga saksi untuk duduk di trotoar jalan selanjutnya saksi Anton Setawan menghampiri para saksi dan berkata "tadi adik-adik saya handphone nya diambil di Monas, kamu
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
bukan yang ngambil, coba keluarin handphone dan benda yang ada dikantong" kemudin sdr. Sahala (belum tertangkap) berkata " sudah Handphone kasih aja", dan dikarenakan saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi Risski Achmad Gaung S. serta saksi Andika diam saja lalu saksi Anton Setiawan berkata" mana handphonenya, kalo tidak dikasih saya pecahin kepala'. Setelah ada perkataan tersebut lalu dikarenakan takut saksi Aditya Abdel Sofandi mengeluarkan 1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2 casing warna putih dan saksi Risski Achmad Gaung S menyerahkan 1 (satu) buah topi warna merah merk Damitt untuk diserahkan kepada saksi Anton Setiawan.
• Bahwa benar 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Beat warna hitam No. Pol. B-6762-PZP milik orang tua terdakwa.
• Bahwa terdakwa belum pernah dihukum.
Menimbang, bahwa Terdakwa tidak mengajukan Saksi yang meringankan (a de charge);
Menimbang, bahwa Penuntut Umum mengajukan barang bukti sebagai berikut : • 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Beat warna hitam No. Pol.
B-6762-PZP;• 1 (satu) buah kardus warna putih untuk handphone merk Smartfren
Andromex G.2; Dipergunakan dalam perkara lain atas nama Anton Setiawan (berkas perkara terpisah)
Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang diajukan diperoleh fakta-fakta hukum sebagai berikut:• Bahwa benar pada hari Minggu tanggal 04 Oktober 2015 sekitar jam
12.00 WIB bertempat dibawah Jalan Layang Kereta Api samping Masjid Istiqlal Jl. Wijaya Kusuma Kelurahan Pasar Baru Kecamatan Sawah Besar Jakarta Pusat terdakwa bersama-sama dengan SAKSI Anton Setiawan dan sdr. Sahala telah melakukan pemerasan terhadap saksi yaitu Aditya Abdel Sofandi dan saksi Risski;
• Berawal pada hari Minggu tanggal 04 Oktober 2015 sekitar pukul 07.00 wib, bertempat di Taman Monas Jakarta Pusat terdakwa bertemu saksi Anton Setiawan dan Sahala (belum tertangkap) lalu saksi Anton Setiawan berkata "yuk kita jalan cari duit nakut-nakutin orang" lalu terdakwa dan Sdr. Sahala (Belum tertangkap) menjawab "yo"- Selanjutnya dengan mengendarai 1 (satu) unit sepeda motor Hond Beat warna hitam nomor
Halaman 9 dari 15 Putusan Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Polisi B-6762-PZP miik terdakwa terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina bersama-sama dengan saksi Anton Setiawan dan Sdr. Sahala (belum tertangkap) dengan berboncengan menuju sekitar taman monas dan lapangan Banteng, kemudian sekitar pukul 12.00 wib terdakwa melihat saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi Risski Achmad Gaung S. serta saksi Andika sedang berjalan lalu saksi Anton Setiawan dan sdr. Sahala (belum tertangkap) turun dari sepedda motor sedangkan terdakwa tetap berada diatas sepeda motor sambil mengawasi situasi dalam keadaan aman. Selanjutnya saksi Anton Setiawan menyuruh ketiga saksi untuk duduk di trotoar jalan selanjutnya saksi Anton Setawan menghampiri para saksi dan berkata "tadi adik-adik saya handphone nya diambil di Monas, kamu bukan yang ngambil, coba keluarin handphone dan benda yang ada dikantong" kemudin sdr. Sahala (belum tertangkap) berkata " sudah Handphone kasih aja", dan dikarenakan saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi Risski Achmad Gaung S. serta saksi Andika diam saja lalu saksi Anton Setiawan berkata" mana handphonenya, kalo tidak dikasih saya pecahin kepala'. Setelah ada perkataan tersebut lalu dikarenakan takut saksi Aditya Abdel Sofandi mengeluarkan 1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2 casing warna putih dan saksi Risski Achmad Gaung S menyerahkan 1 (satu) buah topi warna merah merk Damitt untuk diserahkan kepada saksi Anton Setiawan.
• Bahwa benar 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Beat warna hitam No. Pol. B-6762-PZP milik orang tua terdakwa.
Menimbang, bahwa selanjutnya Hakim akan mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut diatas, Terdakwa dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya;
Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang berbentuk Tunggal, sehingga langsung dilakukan pembuktian dakwaan yaitu dalam Pasal 368 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Barang Siapa;2. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;Pembahasan unsur:Add.l. Unsur Barang Siapa:
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa unsur “Barang Siapa” orientasinya selalu menunjuk kepada manusia sebagai subjek hukum, pendukung hak dan kewajiban. Hal ini dapat disimpulkan dari sifat yang melekat pada suatu tindak pidana yang terdiri dari tiga macam sifat yang bersifat umum, yaitu melawan hukum, dapat dipersalahkan kepada si pelaku dan bersifat dapat dipidana, sedangkan masalah penjatuhan pidana senantiasa bersangkut paut dengan kemampuan bertanggung jawab dalam arti ada kesalahan. Faktor kemampuan bertanggung jawab adalah menyangkut masalah akal, oleh karena hanya manusia sebagai mahluk yang berakal, maka kepada manusia saja dibebani pertanggung jawaban mengenai kesalahannya, lebih tegas lagi para terdakwa tidak termasuk di dalam pengertian Pasal 44 KUHAP tersebut. Bahwa terdakwa HOERON DAMAI SINA sebagai manusia pendukung hak dan kewajiban termasuk didalam pengertian "barang siapa".Dengan demikian unsur Barang Siapa telah terpenuhi menurut hukum.
Add.2. Unsur “Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu":Bahwa berdasarkan fakta-fakta di persidangan berupa keterangan saksi-saksi dan terdakwa serta surat maka diperoleh fakta bahwa :• Bahwa benar pada hari Minggu tanggal 04 Oktober 2015 sekitar jam
12.00 WIB bertempat dibawah Jalan Layang Kereta Api samping Masjid Istiqlal Jl. Wijaya Kusuma Kelurahan Pasar Baru Kecamatan Sawah Besar Jakarta Pusat terdakwa bersama-sama dengan SAKSI Anton Setiawan dan sdr. Sahala telah melakukan pemerasan terhadap saksi yaitu Aditya Abdel Sofandi dan saksi Risski;
• Berawal pada hari Minggu tanggal 04 Oktober 2015 sekitar pukul 07.00 wib, bertempat di Taman Monas Jakarta Pusat terdakwa bertemu saksi Anton Setiawan dan Sahala (belum tertangkap) lalu saksi Anton Setiawan berkata "yuk kita jalan cari duit nakut-nakutin orang" lalu terdakwa dan Sdr. Sahala (Belum tertangkap) menjawab "yo". Selanjutnya dengan mengendarai 1 (satu) unit sepeda motor Honda Beat warna hitam nomor Polisi B-6762-PZP miik terdakwa terdakwa Muh. Hoeron Damai Sina bersama-sama dengan saksi Anton Setiawan dan Sdr. Sahala (belum tertangkap) dengan berboncengan menuju sekitar taman monas dan lapangan Banteng, kemudian sekitar pukul 12.00 wib terdakwa melihat saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi Risski Achmad Gaung S. serta saksi
Halaman 11 dari 15 Putusan Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Andika sedang berjalan lalu saksi Anton Setiawan dan sdr. Sahala (belum tertangkap) turun dari sepeda motor sedangkan terdakwa tetap berada diatas sepeda motor sambil mengawasi situasi dalam keadaan aman. Selanjutnya saksi Anton Setiawan menyuruh ketiga saksi untuk duduk di trotoar jalan selanjutnya saksi Anton serta saksi Andika diam saja lalu saksi Anton Setiawan berkata " mana handphonenya, kalo tidak dikasih saya pecahin kepala'. Setelah ada perkataan tersebut lalu dikarenakan takut saksi Aditya Abdel Sofandi mengeluarkan 1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2 casing warna putih dan saksi Risski Achmad Gaung S menyerahkan 1 (satu) buah topi warna merah merk Damitt untuk diserahkan kepada saksi Anton Setiawan.
• Bahwa benar 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Beat warna hitam No. Pol. B-6762-PZP milik orang tua terdakwa.
Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Hakim mempertimbangkan sebagai berikut:Ad.1. Setiap orang;
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah siapa saja subjek hukum penyandang hak dan kewajiban;
Menimbang, bahwa Terdakwa MUH.HOERON DAMAI SINA adalah subjek hukum berupa individu sebagai penyandang hak dan kewajiban. Terdakwa MUH.HOERON DAMAI SINA selaku Terdakwa dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dan Hakim, termasuk menjawab pertanyaan Hakim bahwa dialah Terdakwa MUH.HOERON DAMAI SINA sebagaimana identitas Terdakwa tersebut termaktub dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum, dengan sedemikian adalah benar dan tidak terdapat kekeliruan mengenai orangnya, bahwa Terdakwa yang dihadapkan dalam perkara ini adalah Terdakwa MUH.HOERON DAMAI SINA. Dengan demikian unsur ke–1 “setiap orang” telah terpenuhi;Ad.2. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu":.
Menimbang, bahwa dari hasil persidangan diperoleh fakta hukum bahwa terdakwa bersama-sama dengan SAKSI Anton Setiawan dan sdr. Sahala telah melakukan pemerasan terhadap saksi yaitu Aditya Abdel Sofandi dan saksi Risski;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, Bahwa benar adapun cara terdakwa melakukan perbuatan tersebut dengan cara terdakwa bersama dua orang teman terdakwa datang dari arah belakang dengan mengendarai sepeda motor Honda beat, lalu salah satu teman terdakwa menyuruh saksi dan teman saksi yang bernama Aditya, dan saksi Andika untuk duduk ditrotoar jalan dan setelah saksi duduk sdr. Anton berdiri didepan saksi sedangkan terdakwa duduk diatas sepeda motor kemudian sdr. Anton mengatakan kepada kami "tadi adik-adik saya handphone nya diambil di Monas, kamu bukan yang ngambil, coba keluarin handphone dan benda yang ada dikantong" kemudin sdr. Sahala (belum tertangkap) berkata " sudah Handphone kasih aja", dan dikarenakan saksi Aditya Abdel Soffandi dan saksi serta saksi Andika diam saja lalu sdr. Anton Setiawan berkata “ mana handphonenya, kalo tidak dikasih saya pecahin kepala. Setelah ada perkataan tersebut lalu dikarenakan takut saksi Aditya Abdel Sofandi mengeluarkan 1 (satu) buah Handphone merk Smartfren Andromek G.2 casing warna putih dan saksi menyerahkan 1 (satu) buah topi warna merah merk Damitt untuk diserahkan kepada sdr. Anton Setiawan; Bahwa benar kemudian terdakwa, sdr. Anton dan sdr. Sahala (belum tertngkap) pergi meninggalkan saksi yang sebelumnya sdr. Anton mengatakan kalau gak percaya handphonemu diambil temanmu saya ajak sebagai jaminan kemudian saksi ikut diboncengin sepeda motor diajak pergi dan sekitar 500 meter saksi disuruh turun;
Menimbang, bahwa Bahwa benar akibat perbuatan terdakwa bersama-sama dengan saksi Anton Setiawan (berkas perkara terpisah) dan Sdr. Sahala (belum tertangkap) tersebut, kedua saksi yaitu Aditya Abdel Sofandi dan saksi menderita kerugian yang ditaksir seluruhnya sebesar Rp.980.000,-(sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah).
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 368 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tentang Narkotika telah terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan;
Menimbang, bahwa dalam persidangan, Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa mampu bertanggung jawab, maka harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana;
Halaman 13 dari 15 Putusan Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa dipersidangan melalui Kuasa Hukum dan orang tua Terdakwa, mohon terdakwa di jatuhi hukuman yang seringan-ringanya dan orang tua masih sanggup untuk untuk membina serta membimbingnya, untuk itu memohon agar Terdakwa menjalani pembinaan dan pelatihan kerja;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini terhadap Terdakwa telah dikenakan penangkapan dan penahanan yang sah, maka masa penangkapan dan penahanan tersebut harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap diri Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa;Keadaan yang memberatkan:
• Perbuatan Terdakwa mengakibatkan saksi Aditya Sofandi dan Risski Ahmad Gaung S yang masih anak-anak (umur 12 tahun) mengalami trauma ketakutan (psikis).
• Perbuatan terdakwa mengakibatkan saksi yaitu Aditya Abdel Sofandi dan Risski Ahmad Gaung s, menderita kerugian yang ditaksir seluruhnya sebesar Rp.980.000,- (sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah).
• Perbuatan Terdakwa sudah dilakukan berulang kali.Keadaan yang meringankan:
• Terdakwa masih anak-anak dan berumur 16 tahun
• Terdakwa masih mengikuti sekolah SMP paket B• Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya
• Terdakwa belum pernah dihukum
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana, maka haruslah dibebani pula untuk membayar biaya perkara;
Memperhatikan Pasal 368 ayat (2) KUHPidana. Serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;
MENGADILI:1. Menyatakan terdakwa MUH. HOERON DAMAI SINA tersebut
diatas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana " Pemerasan disertai Pengancaman ";
2. menjatuhkan pidama kepada Terdakwa MUH HOERON DAMAI
SINA selama 5 (LIMA) BULAN;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
4. Menetapkan terdakwa tetap ditahan ;
5. Menyatakan barang bukti:
• 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda beat warna hitam No.Pol.B-6761-PZp;
• 1 (satu) buah kardus warna putih untuk hanphone merk Smartfren Andmex G.2;
Dipergunakan dalam perkara lain atas nama Anton Setiawan (berkas perkara terpisah);
6. Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah);
Demikian diputuskan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari SELASA,tanggal 10 Nopember 2015 oleh SUKO PRIYO WIDODO, SH. sebagai Hakim anak yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Hakim Tunggal tersebut, dibantu oleh ABAS BASARI,SH. Panitera Pengganti pada Pengadilan negeri Jakarta Pusat, serta dihadiri oleh DOMO PRANOTO,SH. Penuntut Umum Bapas, Terdakwa didampingi oleh orang tuanya ;
Panitera Pengganti, Hakim Anak,
ABAS BASARI,SH. SUKO PRIYO WIDODO, SH.
Halaman 15 dari 15 Putusan Nomor 025/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jkt.Pst
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15