Download - Terobosan Edisi Interaktif Kemerdekaan 2015
Di Mata Masisir
TëROBOSAN
AD
VER
TISI
NG
Edisi Interaktif Kemerdekaan, 25 Agustus 2015
2
TëROBOSAN
- E
dis
i In
tera
ktif
Ke
mer
dek
aan
– A
gust
us
20
15
Sekapur Sirih, Merdeka Sungguhan, atau
Merdeka-merdekaan (?)
Halaman 2
Sikap, Menghayati Kemerdekaan
Halaman 3
Opini, Mari Merdeka(kan)!
Halaman 4
Opini, Berontak adalah Cara Meredeka (?)
Halaman 5
Opini, Alpa
Halaman 6
Opini, Meraba Makna Merdeka
Halaman 7
Opini, 70 Tahun, Indonesiaku Masih Tetap Muda Halaman 8
Opini, Kemerdekaan
Halaman 9
Sastra, Merdeka atau Terjajah l Indonesiaku
Merdeka
Halaman 11
Terbit perdana pada 21 Ok-
tober 1990. Pendiri: Syari-
fuddin Abdullah, Tabrani
Sabirin. Pemimpin Umum:
Furna Hubbatalillah. Pem-
impin Redaksi: Ikmal Al
Hudawi Pemimpin Perus-
ahaan: Nuansa Garini,
Nenden Wia Darojatun. Dewan Redaksi: M.
Hadi Bakri, Abdul Malik, Fachry Ganiardi, Heni
Septianing, Iis Isti’anah. Reportase: Mohammad
Al Chudlori, Syaeful Anam, Muharrid Iqomatud-
din, Anugrah Abiyyu, Amrul Irsyadi, Muhammad
Irfan. Editor: Ainun Mardiyah. Tata Letak: Mo-
hammad Al Chudlori. Karikatur: Rijal W. Rizkil-
lah. Pembantu Umum: Keluarga TëROBOSAN. Alamat Redaksi: Indonesian Hostel-302 Floor
04, 08 el-Wahran St. Rabea el-Adawea, Nasr City
Cairo-Egypt. Telepon: 22609228, E-mail: tero-
[email protected]. Facebook : Terobo-
san Masisir. Untuk pemasangan iklan, pengaduan
atau berlangganan silakan menghubungi nomor
telepon : 01201744923 (Ikmal),
01100159534 (Furna), 01143350499
(Nenden).
Merdeka Sungguhan, atau Merdeka-merdekaan (?)
Tujuh belas Agustus
adalah momen bahagia
yang amat penting bagi
bangsa Indonesia. Bilapun
tak dirayakan dengan festi-
val yang meriah, setid-
aknya cukup hanya dengan
mengenang perjuangan
para pahlawan, yang
mempertaruhkan jiwa,
raga dan hartanya demi
melawan para penjajah,
mengantar Indonesia ke
depan pintu gerbang
kemerdekaan.
Dan di setiap tahun
peringatan, selalu ada per-
tanyaan yang harus dire-
nungkan: Indonesia benar-
benar “merdeka” ataukah
hanya seolah-olah
merdeka(?) Jika melihat
peristiwa 17 Agustus,
tentu kita sudah merdeka.
Akan tetapi jika melihat
kondisi bangsa yang amat
terpuruk, sepertinya
Indonesia masih jauh dari
kemerdekaan yang
sesungguhnya. Apalagi jika
melihat peringatan tahun
ini yang dihiasi dengan
melemahnya nilai tukar
rupiah.
Pertanyaan tersebut
mesti dijawab dari dalam
hati setiap rakyat Indone-
sia. Setiap kita mesti
mengimani, bahwa Indone-
sia adalah negara yang
kaya-raya. Indonesia mem-
iliki kelebihan akan sum-
ber daya, baik sumber
daya alam, maupun sum-
ber daya manusia. Indone-
sia adalah negara yang
kuat. Berkali-kali ditimpa
berbagai krisis, rakyat
tetap terus bertahan. Opti-
misme semacam ini harus
terus ditanamkan pada
hati masing-masing rakyat
Indonesia. Karena makna
sederhana dari wujud ke-
merdekaan adalah, bahwa
Indonesia mampu berdiri
sendiri, dan berdaulat atas
keinginannya sendri.
Te robosan, pada
momen peringatan
kemerdekaan Indonesia
ini, menyajikan bacaan
hangat dan ringan, sebagai
bentuk partisipasi
memeriahkan hari
kemerdekaan kita. Hadir
dengan berbagai opini
dengan tajuk “70
Kemerdekaan Indonesia di
mata Masisir”. Akhirnya,
semoga te robosan terus
mengibarkan bendera
kemerdekaan di dunia
media Masisir, menebar
benih-benih manfaat bagi
para pembaca dengan
berbagai informasi, yang
tersaji dalam berbagai
bentuk tulisan.
“…perjuanganku lebih
mudah karena hanya men-
gusir penjajah, namun
perjuanganmu lebih sulit
karena akan melawan
bangsamu sendiri…”
~Soekarno.
Selamat Membaca!
“Tajam tanpa melukai,
kritis tanpa menelanjangi.”
[ë]
Markaz At-Taqwa
Menerima segala jenis fotokopi
Gamik, Hay Asyir
Hp: 01281551421
TëROBOSAN
—Ed
isi Interakti
f Ke
merd
ekaan –
Agu
stus 2
01
5
Rubrik Sikap adalah editorial buletin TëROBOSAN. Ditulis oleh tim redaksi TëROBOSAN dan mewakili suara resmi dari TëROBOSAN terhadap
suatu perkara. Tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab redaksi.
Menghayati Kemerdekaan
17 Agustus… Bangsa Indonesia merayakan apa yang dinyatakan sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia. Bendera Merah Putih dikibarkan di tiap rumah-rumah, gedung-gedung, perkantor-an, dan di tempat-tempat lainnya.
70 tahun genap usia negara Indonesia, proklamasi kemerdekaan Republik Indone-sia merupakan salah satu tonggak yang sangat bersejarah, serta tak akan dilupakan untuk masyarakat Indonesia sendiri. Begitu gigih para pahlawan Indonesia yang ber-juang untuk menumpas para penjajah yang datang ke Tanah Air tercinta. Para penjajah yang mempunyai tujuan hanya untuk menindas serta menjadikan bangsa Indone-sia ini sebagai budak para penjajah.
Perjuangan seluruh masyarakat Indone-sia dalam upaya mencapai kemerdekaan berlangsung selama berabad-abad lamanya. Berkorban dengan penuh jiwa dan raga tentunya. Perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan tersebut akhirnya dapat di-raih pada tanggal 17 Agustus 1945.
Tetapi apakah negara Indonesia sudah benar-benar menjadi negara yang merdeka? Terkadang pertanyaan ini sudah menjadi trend topic dalam setiap tulisan-tulisan. Yang beranggapan bahwa negara Indonesia belum mendapatkan kemerdekaannya secara utuh. Karena melihat fakta-fakta di lapangan masih banyak masalah-masalah di setiap tahunnya yang belum terselesaikan.
Terlepas dari itu semua, penulis di sini mencoba untuk menyuguhkan kepada para pembaca bagaimana kita menyikapi sebuah kemerdekaan yang sebenarnya. Terkadang orang suka menyudutkan kemerdekaan negaranya (Indonesia), padahal belum mengetahui apa makna dan pentingnya dari sebuah kemerdekaan itu sendiri.
Mendefinisikan kata kemerdekaan ada-lah tidak semudah mengatakannya sebagai slogan, apalagi bila kita kaitkan dengan pelaksanaan praktis dalam lingkup ketata negaraan. Makna suatu kemerdekaan pastilah berbeda bagi setiap orang. Bagi para pedagang, makna suatu kemerdekaan ketika ia dengan bebas berdagang dimana saja untuk menjual barang dagangannya dengan berbagai produknya, ada kapal-kapalan, miniatur perahu jukung dll. Bag-inya kemerdekaan adalah bebas berdagang. Apalagi jika kebebasan itu tidak disertai pungutan uang jasa oleh preman atau pun-gutan liar oleh aparat pemerintah.
Kemerdekaan bagi seorang narapidana adalah keluar dari jeruji, bebas berkeliaran ke mana saja tanpa ada pembatasan. Sudah pasti dengan status narapidana, ke-merdekaan serupa itu tidak ada lagi padan-ya. Bagaikan burung dalam sangkar tidak bisa berbuat apa-apa terbatas dalam pem-batas yang mengelilinginya. Sang narapi-dana baru menyadari betapa berharga sua-tu kemerdekaan yang selama ini dimiliki. Mungkin terbayang perbuatan yang lalu yang menjadikannya berstatus narapidana. Jika dituduh sebagai seorang koruptor, mu-lai dia mengingat-ingat apa yang salah dengan kelakuannya itu. Jika jelas-jelas korupsi dapat dimaklumi, tapi tidak sedikit dari mereka menyandang gelar koruptor akibat suatu "kecelakaan semata."
Bagi seorang pejuang ke-merdekaan, makna suatu ke-merdekaan pastilah mengalami perubahan. Jika pertama-tama makna kemerdekaan itu di-artikan lepas dari cengkraman Belanda dan Jepang, maka kini setelah puluhan tahun Indo-nesia merdeka, pastilah kuali-tas kemerdekaan itu harus berubah. Bukan hanya sekedar itu, para pejuang memaknai kemerdekaan se-bagai suatu keadaan dimana bangsa Indonesia telah ber-hasil mengisi kemerdekaan. Bangsa Indonesia telah men-jelma menjadi bangsa yang handal "sejajar" dengan bangsa-bangsa penja-jah itu.
Kemerdekaan bagi suatu negara adalah suatu jalan ”jembatan emas” atau merupakan pintu gerbang untuk menuju masyara-kat adil dan makmur. Jadi, dengan ke-merdekaan itu bukan berarti perjuangan bangsa sudah selesai. Tetapi, justru muncul tantangan baru untuk mempertahankan dan mengisinya dengan berbagai kegiatan pembangunan.
Kemerdekaan senantiasa mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa, termasuk Indonesia. Prokla-masi kemerdekaan Indonesia dan pengakuannya oleh dunia telah didapatkan bangsa ini dengan perjuangan berat tak kenal pamrih. Dengan modal kemerdekaan, suatu bangsa akan memiliki harga diri dan dapat bersama-sama duduk saling berdampingan dengan bangsa-bangsa di
dunia.
Kecintaan terhadap bangsa dan negara telah dibuktikan oleh para pahlawan dan segenap rakyat Indonesia pada masa mere-but serta mempertahankan kemerdekaan dari penjajah. Ini bertanda betapa pent-ingnya sebuah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dan terlihat bahwa kemerdekaan suatu bangsa adalah hak yang telah dijamin oleh piagam PBB.
UUD 1945 menyatakan, “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pen-jajahan di atas dunia harus dihapuskan ka-rena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”. Alinea pertama pem-bukaan UUD 1945 tersebut jelas menya-takan bahwa kemerdekaan itu adalah hak
sebuah bangsa dan tidak ada satu negara mana pun di dunia mem-iliki hak untuk menjajah negara lain. Karena negara yang dijajah tentunya akan mengalami pen-deritaan yang sangat berat. Ke-merdekaan adalah suatu hak yang akan diperjuangkan oleh seluruh rakyat walaupun dengan mengorbankan jiwa dan raga.
Pengorbanan para pahlawan untuk kemerdekaan dari penjajahan ten-tunya tidak akan sia-sia. Dengan ke-merdekaan, sebuah bangsa dapat
menetukan nasib bangsanya sendiri. Dengan kemerdekaan, sebuah negara dapat menen-tukan pemerintahan dan men-
jamin hak-hak rakyatnya. Kare-na dalam merebut kemerdekaan,
rakyat suatu bangsa berjuang me-lalui perjuangan fisik dan nonfisik.
Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa setidaknya bisa menghargai bagaimana perjuangan para pahlawan dan seluruh rakyat Indonesia yang telah ikut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dengan cara memeriahkan hari kemerdekaan tersebut dan memperbaiki moral para pemuda khusunya, sehingga kita tidak menyiakan perjuangan para pahlawan dan rakyat Indonesia yang telah gugur di medan perang.
[ë]
www.google.com
4
TëROBOSAN
- E
dis
i In
tera
ktif
Ke
mer
dek
aan
– A
gust
us
20
15
Mari Merdeka(kan)! Oleh: Ahmad Muhakam Zein*
Bebaskanlah dirimu dari belenggu penjaja-han siapa dan apa saja (kecuali Allah), maka engkau akan merasakan betapa nikmatnya kemerdekaan yang sesungguhnya- Gus Mus
Perayaan ulang tahun kemerdekaan Indo-
nesia tiap tahunnya selalu dirayakan secara gempita di berbagai daerah. Ragam acara dan aneka perayaan seremonial pun dihelat dengan alasan serta tujuan yang nyaris sama. Yakni, untuk meneladani, merayakan dan mengisi pengulangan tahun peristiwa merdekanya bangsa Indonesia.
Untuk 17 Agustus tahun 2015 ini, Indone-
sia sudah memasuki usia 70 tahun. Usia yang tidak bisa dikatakan muda lagi dan cukup matang sebagai sebuah negara. Di kisaran usia 70 ini, Indonesia sudah tidak seharusnya lagi masih mengalami masa labil dan galau atas berbagai problematika yang dihadapinya. Usia 70 rasanya juga sudah cukup untuk sebenar merealisasikan cita-cita para pahlawan bang-sa yang telah rela berdarah-darah serta mem-pertaruhkan nyawa demi kemerdekaan Indo-nesia di 70 tahun silam. Lantas, sudahkah cita - cita para pejuang bangsa itu kita wujudkan? Bilakah dengan gempita seremonial yang kita lakukan termasuk kategori upaya meneruskan perjuangan kemerdekaan para pejuang? Ke-napa pula setelah kesekian kali kita menelada-ni, merayakan dan berupaya mengisi ke-merdekaan, negeri kita masih berkutat di berbagai problematika kebangsaan yang tak kunjung purna?
Pertanyaan-pertanyaan saya di atas,
semacam diamini oleh JS Furnivall, pakar dan administrator asal Inggris dalam karyanya, Netherlands East Indies: A Study of Plural Economy (1944). Dalam bukunya, Furnivall menyebut Indonesia sebagai improbable na-tion, bangsa yang penuh problematika dan tidak mungkin (bertahan), tersebab sisi plu-ralitasnya. Masyarakat plural sendiri menurut Furnivall adalah masyarakat yang terdiri atas dua unsur atau lebih tatanan sosial yang hidup berdampingan, tapi tanpa bercampur dalam satu unit politik. Tentunya, pertanyaan saya dan pernyataan Furnival di atas memang selayaknya menjadi pemantik yang menarik untuk menjadi bahan refleksi bersama di mo-men perayaan hari ulang tahun RI yang kali ke sekian.
Meski lebih detailnya, Furnivall sudah
tidak dalam konteks skeptis sebagaimana yang saya alami, tapi ia bahkan sudah me-masuki level pesimistis dan naï f. Bisa jadi karena ia kurang observasi dan tidak melihat ada sejumlah faktor pemersatu di tengah plu-ralisme Indonesia. Barangkali Furnivall akan lebih kecele lagi seandainya mendengar pida-to tahunan Presiden Joko Widodo dalam rang-ka HUT Ke-70 Proklamasi Kemerdekaan RI, dan pidato penyampaian keterangan pemerintah atas RUU APBN 2016. Dalam pi-
datonya, Presiden menyatakan, kunci menga-tasi berbagai persoalan itu adalah persatuan. "Sejarah telah mengajarkan kepada kita, kunci untuk mengatasi (berbagai) persoalan terse-but adalah persatuan," terang Sang Presiden
Sayangnya, Presiden Jokowi tidak mem-
berikan kerangka konseptual dan praksis bagaimana persatuan itu dapat diperkuat. Presiden hampir belum menyinggung faktor fundamental yang membuat negara-bangsa Indonesia ini tetap bersatu. Jokowi lebih ber-bicara tentang kemerosotan moralitas bangsa, merosotnya sikap saling menghargai, tenggang rasa dalam masyarakat serta insti-tusi resmi, mulai dari lembaga penegak hukum, ormas, media massa, hingga partai politik. Menurut Presiden, keadaan itu mem-buat Indonesia terjebak dalam lingkaran ego masing-masing yang akhirnya merugikan pembangunan, budaya kerja, dan karakter bangsa. Melalui pidatonya, Presiden men-dorong masyarakat Indonesia untuk bangkit dari skeptisme dan kembali optimis, serta kembali ke dasar fundamental ekonomi dan sosial bangsa Indonesia yang masih kokoh. Presiden juga mengingatkan, tanpa kesan-tunan politik, tata krama hukum dan keta-tanegaraan, serta kedisiplinan ekonomi, Indo-nesia akan kehilangan optimisme dan lamban mengatasi berbagai persoalan yang ada, ter-masuk tantangan ekonomi.
Merdeka(kan) Diri Di mukadimah, saya mengawali opini rin-
gan ini dengan sebuah kata bijak yang saya ambil dari salah satu jejaring sosial punya Gus Mus, Kiai sepuh yang juga dikenal sebagai budayawan asal Rembang. Ketika saya mem-baca wejangan beliau tersebut beberapa hari yang lalu, sontak dalam fikiran saya terbersit untuk menuliskan sebuah catatan yang terkait dengan gempita perayaan 17 Agustus tiap tahunnya. Sebab, saya pribadi sangat mengamini pernyataan beliau itu dan merasa dari status itu ada semacam spirit merdeka yang patut diurai dan digelorakan.
Meski sejatinya, membincang term ke-
merdekaan bagi saya adalah hal yang prob-lematis dan dilematis. Sebab, saya pribadi pun merasa sebagai manusia yang belum merdeka dari banyak hal. Termasuk merdeka dari kedi-rian, kemalasan dan hawa. Terlebih lagi jika melihat di beberapa penjuru nusantara, tidak sedikit rakyat Indonesia yang masih juga be-lum merasakan perbedaan hidup, bahkan sejak ratusan tahun lalu. Mereka masih hidup di pulau-pulau kecil, terbelakang, tak tersen-tuh, dan hidup dalam tekanan hidup yang terus menderanya hingga sekarang. Ke-merdekaan dari hal apa yang harus mereka rayakan, jika dalam hal pokok hidup (ekonomi, kesehatan dan pendidikan) saja mereka masih selalu tertekan serta menjadi ancaman?
Term merdeka sendiri, sebagaimana yang
saya tangkap dari sebuah acara bincang-bincang santai maknanya kini kebanyakan menjadi sangat personal subjektif. Ke-merdekaan bagaikan yatim piatu, sebatang kara dalam arti dan signifikansi, serta harus “rela” diadopsi paksa siapa pun yang memak-nainya. “Merdeka itu saat saya bisa belanja sepuasnya, hang out ke mall, kafe mahal atau starbucks setiap saat dan merdeka adalah saat saya bisa bla bla bla, tanpa adanya gangguan.” Kata ajaib itu kini telah bergeser dan tidak lagi menjadi sebuah komunal objektif. Bahkan, ia sering kali telah bergeser jauh dari semangat universalitas kemerdekaan.
Wabakdu, sikap apa yang harus kita ambil
menyikapi dirgahayu kemerdekaan bangsa Indonesia? Adakah individu kesekarangan yang sebenar telah merdeka? Bilakah ada bangsa di jagat ini yang sebenar merdeka untuk dapat melakukan apa saja tanpa adanya tekanan maupun desakan dari dalam, hingga dari luar bangsanya? Jujur saja, bagi saya per-tanyaan bernada skeptis lagi-lagi muncul dan terasa lebih realistis ketimbang riuh rendah pidato agitasi dari setiap upacaranya.
Meski begitu, perayaan kemerdekaan itu
tetap harus ada, setidaknya ada secara fakul-tatif dan dalam konteks reflektif. Harapannya perayaan itu tidak berhenti pada level merayakan ulang tahun kemerdekaannya semata, tapi juga meneruskan perjuangan yang telah dilakukan para pejuang. Saya jadi teringat statement bung Karno dalam sebuah meme nasehat kepada para pemimpin Indone-sia setelahnya. Bahwa perjuangan saya (Soekarno) tidak begitu berat karena yang saya lawan adalah para penjajah. Tapi per-juangan kalian para pemimpin setelah saya akan terasa lebih berat karena yang dilawan adalah bangsa sendiri. Yakni, kemiskinan yang ada dalam bangsa, korupsi, kriminalitas, krisis moralitas, dan juga soal kesejahteraan penduduk bangsa yang belum merata. Ini barangkali masih berkait kelindan dengan pidato presiden Jokowi untuk tetap merayakan sembari mendoakan agar keadaan Indonesia secara keseluruhan kembali mem-baik seperti optimisme beliau. Setiap warga perlu meningkatkan kembali kesantunan pub-lik dimulai dari masing-masing personal. Se-tiap warga pun perlu memerdekakan dirinya sendiri dari belenggu penjajahan siapa dan apa saja (kecuali Allah), agar bisa merasakan betapa nikmatnya kemerdekaan yang sesungguhnya, sebagaimana dawuh Gus Mus. Jika masing-masing individu sudah berhasil merdeka secara utuh, insya Allah akan berkembang menjadi kemerdekaan bangsa secara kolektif. Walhasil, apa yang dikhawatir-kan pengamat asing semacam Furnivall tidak akan pernah terjadi di Indonesia, meski masyarakatnya plural. Dirgahayu Indonesia!
*Penulis adalah Khodim PCINU Mesir
Periode 2014-2016
TëROBOSAN
—Ed
isi Interakti
f Ke
merd
ekaan –
Agu
stus 2
01
5
Berontak adalah Cara Merdeka (?) Oleh: Choiriah Ikrima Sofyan, Lc.*
Kemerdekaan bangsa Indonesia yang
kita peroleh saat ini adalah anugerah Allah
SWT., yang begitu besar yang diberikan oleh
Allah kepada bangsa Indonesia, terhitung
dari Agustus 1945 hingga sekarang. Maka
kemerdekaan bangsa Indonesia sudah 70
tahun lamanya, terbebas dari penjajah dan
perbudakan bangsa asing.
Indonesia merdeka pada hari Jum’at 17
Agustus 1945, dengan dibacanya proklamasi
oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta
sebagai pendampingnya, bertempat di Jl.
Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat. Proklamasi
yang telah berusia 70 tahun ini meng-
ingatkan kita untuk berkaca kembali, apa
makna kemerdekaan bagi kita? Apa harga
yang harus dibayar untuk proklamasi
“kemerdekaan” yang kita rasakan saat ini.
Merdeka adalah terbebas dari segala
macam belenggu, aturan dan kekuasaan dari
pihak tertentu. Merdeka merupakan sebuah
rasa kebebasan bagi makhluk hidup untuk
mendapatkan hak dalam berbuat seke-
hendaknya. Dalam sebuah Negara, merdeka
berarti bebas dari belenggu, kekuasaan dan
aturan penjajah.
Namun kemerdekaan memiliki prinsip
yang sangat jelas, musyawarah. Hal inilah
yang harus kita ingat bahwa tanpa musya-
warah rakyat Indonesia tidak akan mencapai
kemerdekaannya.
Mengenai kemerdekaan yang tidak ber-
lepas dari musyawarah dapat kita lihat mu-
lai dari dibentuknya Piagam Jakarta dan
perumusan UUD 1945. Pada tanggal 22 Juni
1945, Piagam Jakarta yang memuat dan beri-
si tentang rumusan resmi pertama kali se-
buah pancasila bagi Republik Indonesia,
ditandatangani oleh Sembilan pemimpin
terkemuka Indonesia, termasuk di dalamnya
Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta. Dalam detik
-detik yang menentukan menjelang
pengesahan Piagam Jakarta, Ir. Soekarno
selaku ketua panitia Sembilan dengan gigih
meyakinkan seluruh anggota bidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Ke-
merdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk
menerima rumusan Piagam Jakarta sebagai
gentleman agreement bangsa Indonesia.
Kesemuanya dilakukan tanpa berlepas
dari musyawarah. kembali saya katakan, kita
harus menyadari bahwa kemerdekaan kita
ini diawali dengan musyawarah.
Rosulullah SAW., ketika pertama kali
datang ke madinah, beliau mengadakan per-
janjian dengan yahudi madinah sehingga
dapat tercipta suasana tentram dan aman di
kota baru bagi Islam (madinah), dan Islam
merdeka disana. Hal ini seharusnya dapat
menjadi pegangan kita bahwasanya nabi-
pun membangun risalahnya dimulai dari
musyawarah.
Berbicara tentang kemerdekaan yang
tidak berlepas dari
musyawarah,
lalu apa kai-
tannya dengan
masisir
saat
ini?
“Segala sesuatu
diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala
sesuatu berguna. “segala sesuatu diper-
bolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesua-
tu membangun.
Belum lama ini kita diramaikan oleh me-
dia lokal masisir maupun luar lainnya yang
padat berita mengenai aksi mahasiswa
menuntut Kedutaan Besar Republik Indone-
sia di Kairo untuk menurunkan bpk. Fahmi
Lukman selaku Atase Pendidikan KBRI Kairo
dikarenakan beberapa kebijakannya yang
dinilai tidak sejalan dengan keadaan masisir.
Atas kerugian yang masisir rasakan, ten-
tu hal ini dapat juga diselesaikan dengan
bermusyawarah, akan tetapi musyawarah
tidak akan bisa mencapai kata mufakat keti-
ka antar anggota yang bermusyawarah
mengesampingkan prinsip egaliter, dengan
berpikir bahwa pihak lain lebih rendah dan
tidak “sekasta”. Musyawarah juga tidak akan
mencapai kata mufakat ketika komunikasi
yang dibangun tidak kapabel menjadi jem-
batan antar anggota musyawarah. Pun
musyawarah tidak akan mencapai kata
mufakat jika masing-masing anggota tidak
mendahuluinya dengan keikhlasan hati un-
tuk berlapang dada.
Entah dimana letak kegagalan musya-
warah masisir yang difasilitasi PPMI melalui
kenduri masisir yang diadakan beberapa kali
mengenai kebijakan-kebijakan ATDIK yang
dirasa kurang mendukung pergerakan
masisir, sehingga kemudian berujung pada
aksi damai yang digelar pada tanggal 26 dan
28 Juli 2015 di area KBRI untuk menurunkan
Atase Pendidikan KBRI Kairo.
Menyuarakan aspirasi tentu saja tidak
salah. Itu hak setiap warga Negara. Tapi se-
buah kemerdekaan tanpa rambu – rambu
jelas akan membahayakan bahkan menghan-
curkan, bukan saja diri kita tetapi juga orang
banyak atau bahkan Negara. Kemerdekaan
yang dijalankan atas kepentingan pribadi
atau golongan tanpa aturan atau tanpa me-
mandang prinsip kemerdekaan akan men-
imbulkan banyak permasalahan.
Merdeka bukan juga berarti menjalankan
aturan ataupun “adat” secara kaku. Na-
mun bagaimana seluruh elemen mampu
bermusyawarah, duduk bersama. Disitulah
lesensi kemerdekaan bisa diterapkan.
Misalnya saja satu tahun lalu wihdah pernah
mengadakan agenda silaturahim akbar yang
tidak hanya melibatkan mahasiswi; anggota
wihdah. Tetapi juga terbuka untuk masisir
seluruhnya. Bagi sebagian orang hal ini
mungkin tidak biasa, karenanya saat itu DP
Wihdah beberapa kali melakukan musya-
warah dengan pihak-pihak yang bersangku-
tan. Sayangnya setelah tercapai kata mufa-
kat, ada pihak yang menggerundel. Ternyata
hal ini berimbas pada “agenda bersama”
lainnya,bahkan muncul rumor bahwa hub-
ungan wihdah tidak harmonis dengan salah
satu pihak.
Dari sinilah saya melihat bahwa, ternyata
dalam dinamika organisasi masisir prinsip
kemerdekaan itu tidak sepenuhnya diterap-
kan.
Sudah puluhan tahun negara Indonesia
merdeka, semuanya berkat dari jasa-jasa
para pahlawan kita dalam memperjuangkan
kebebasan dari para penjajah. Sudah
sepatutnya kita sebagai para pemuda
penerus bangsa mengisi kemerdekaan
dengan hal-hal yang positif; lebih belajar lagi
dalam menerapkan prinsip kemerdekaan
dan dapat membangun bangsa ini lebih maju
dan lebih baik lagi dari segala bidang aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, hal tersebut dapat men-
jadi bentuk apresiasi kita kepada para pe-
juang yang telah memperjuangkan ke-
merdekaan Republik Indonesia.
selamat berbahagia dan jangan lupa ber-
syukur. Merdeka !
*Penulis adalah Ketua Wihdah Periode
2014-2015
www.google.com
6
TëROBOSAN
- E
dis
i In
tera
ktif
Ke
mer
dek
aan
– A
gust
us
20
15
Alpa Oleh: Nashifuddin Luthfi*
Lanjut ke hal 10….
Sadar dan mawas diri terhadap segala
situasi yang mengelilingi manusia adalah
bagian dari perangkat manusia bertahan
hidup. Terutama insting menjaga diri dari
situasi yang membahayakan adalah bagian
pula cara manusia bertahan hidup. Akan
tetapi setajam-tajamnya kesadaran dan in-
sting manusia merasakan situasi yang mem-
bahayakan dirinya, terkadang juga mengala-
mi keteledoran untuk mengenali dirinya dari
jebakan keinginan dan hasrat untuk tampil
eksis. Sehingga dengan mudah menerima
pendapat orang lain tanpa filter yang ketat
untuk menyaring makna dan maksud dari
pendapat yang disampaikan kepadanya.
Apalagi pendapat yang mendukung keingi-
nan dan kehendak untuk dikenal publik
dengan nalar populer, keren dan bergaya.
Membuat sifat kritis manusia dan
kesadarannya berubah lembek mengikuti
logika publik, tanpa meragukan apapun
maksud dibalik opini yang disampaikan.
Maksud dari keteledoran yang menjebak
kepribadian manusia di atas adalah
menetapkan standar tinggi cita-cita menjadi
manusia, tapi tidak memahami unsur-unsur
yang bisa membangun cita-cita tersebut. Hal
ini berlaku untuk setiap jenis manusia, baik
dari golongan agamis, intelektual, akademis,
budayawan, politisi dan lain-lain. Sehingga
keterjebakan tersebut menyebabkan bias
untuk mengukur jalan yang seimbang untuk
menjadi idealis atau realistis sebagai manu-
sia sosial. Kecuali kalau memang sudah
menegaskan dirinya sebagai manusia goa
yang tidak perlu berintraksi sosial ataupun
memanfaatkan perangkat teknologi modern,
negara, undang-undang, etika atau pun
komunitas sebagai identitas. Maka menjalani
laku-laku penyendirian dan meniadakan
segala kepentingan sosial dapat dimaklumi
secara hukum klasik seperti manu-
sia goa tersebut. Hidup
ini hanya milik-
ku, bukan
urusan dan
kepent-
ingan
orang
lain.
Si-
kap semacam ini menjadi laku apatis yang
sulit untuk dimengerti dengan logika mod-
ern: rasionalitas. Terutama logika nasionalis
dan agama. Maka jangan biarkan kenyataan
semacam itu melanda Masisir di saat ini.
Karena Masisir adalah manusia, dan sejat-
inya manusia itu ditakdirkan oleh Allah men-
jadi makhluk bersosial dan berbudaya serta
bersuku-suku yang ragam bahasanya. Dan
sikap mengingkari kodrat tersebut adalah
berseberangan dengan nilai asal yang diba-
wa oleh jati diri manusia itu sendiri. Itu tidak
perlu terjadi!
Berangkat dari logika sederhana ini,
penulis ingin mengajak refleksi sejenak
mengenai sudut pandang Masisir dalam
merayakan hari raya kemerdekaan Republik
Indonesia ke 70. Refleksi ini sifatnya tidak
menghakimi ataupun membatasi kebebasan
pembaca untuk mengartikan kemerdekaan
yang dipegang oleh pribadi Masisir secara
lebih eksklusif. Tapi hanya sekedar sebagai
cermin untuk memantulkan wacana atas
kenyataan yang terjadi dan dialami oleh
penulis sendiri beberapa tahun di Mesir ser-
ta fenomena yang berpendar dari aktifitas
Masisir. Tujuannnya adalah sebagai peng-
ingat bahwa kita punya negara yang pernah
berjuang keras untuk bisa meraih ke-
merdekaan dari penjajah. Dan saatnya nanti,
generasi pemuda seperti para mahasiswa
yang harus melanjutkan perjuangan ke-
merdekaan yang diraih oleh para pejuang
kemerdekaan. Apalagi sejarah kemerdekaan
Indonesia sendiri mencatat bahwa para pe-
juang kemerdekaan serta para pengonsep
negara Republik Indonesa adalah golongan
dari kaum muda. Sehingga hal tersebut men-
jadi catatan penting untuk kritikan kepada
generasi bangsa, masyarakat umum dan
penyelenggara negara agar tetap bisa menja-
ga para pemudanya menjadi pemuda pro-
gresif, nasionalis dan bertanggungjawab
untuk kemajuan negara dalam segala bidang.
Dari konsepsi generasi muda sebagai
pemimpin bangsa ke depan seperti gagasan
di atas, sangat tepat untuk digunakan mem-
baca Masisir
sebagai
komunitas
maha-
siswa
Indo-
nesia
yang
se-
dang
belajar di
Mesir. Apalagi Masisir di sini sangat jauh
dari negara Indonesia, sehingga sudut pan-
dangnya bisa memberikan kedalaman logika
untuk menjaga keutuhan NKRI dari segala
gerakan separatis kebangsaan. Hal ini pasti
berbeda dari pembacaan warga Indonesia
yang menetap di Indonesia. Sebab struktur
pemahaman yang mengitari Masisir berbeda
dengan struktur pemahaman yang mengitari
warga Indonesia yang tinggal di Indonesia.
Perbedaan struktur pemahaman ini
mempengaruhi sudut pandang manusia da-
lam menafsirkan hari raya kemerdekaan
Indonesia.
Untuk menegaskan perbedaan yang lahir
dari sudut pandang Masisir, penulis
menyandarkan dua hal penting sebagai uku-
ran penilaian. Pertama, menguatkan dan
membentuk pemahaman lebih mendalam
tentang arti negara, bangsa, republik dan
sejarah yang wajib diperjuangkan sampai
mati. Kedua, menghilangkan relasi primordi-
al Masisir dengan tanah airnya. Dan bersikap
apatis dengan hari penting yang menjadi
sejarah Indonesia.
Tapi dari dua standar di atas, ada
penilaian ketiga yang berada di tengah-
tengah, namun hal tersebut bukan menjadi
pijakan mendasar tafsiran manusia atas
bumi primordialnya. Karena perspektif yang
lahir sudah tidak lagi mewakili nalar asali
kebangsaan, tapi sebagai bentuk kenya-
manan tinggal: bahasa lainnya sebagai tem-
pat singgah. Artinya tidak memperdulikan
lagi arti pentingnya tanah kelahiran. Yang
penting ber-identitas Indonesia dan bisa
berbahasa Indonesia, pemahaman men-
dalam tentang Indonesia tidak perlu dibuk-
tikan lagi. Sudut pandang ketiga ini, tidak
dimasukkan penulis dalam kategori primer,
karena sudut pandang ini tidak bisa menjadi
stadar penetapan untuk menegaskan pema-
haman kebangsaan, nasionalis dan agama.
Sebab masih kabur identitasnya ketika dile-
takkan sebagai ideologi kebangsaan.
Oleh sebab itu, untuk merunut dan men-
erapkan standar dua nilai tersebut, di sini,
penulis mencoba untuk mengkaitkan fenom-
ena yang hadir dari tahun ke tahun yang lalu
dan tahun ini. Serta wacana yang berkem-
bang di Masisir tentang arti kemerdekaan
dan merenungkan nilai sejarahnya. Dari
sana, penulis, menemukan beberapa perisit-
wa penting untuk mengartikulasikan sikap
Masisir tentang hari perayaan kemerdekaan.
Sikap tersebut diantaranya adalah: pertama,
berupa perayaan upacara bendera merah-
www.google.com
TëROBOSAN
—Ed
isi Interakti
f Ke
merd
ekaan –
Agu
stus 2
01
5
Meraba Makna Merdeka Oleh: M. Miftakhudin Wibowo*
Lanjut ke hal 10….
Jumat pagi yang seharusnya khidmat di
kediaman Bung Karno menunggu detik-detik
terakhir proklamasi, berubah menjadi kek-
hawatiran. Orang-orang mulai cemas dan
bertanya keberadaan Bung Hatta yang be-
lum menampakan batang hidungnya. Pa-
dahal waktu telah menunjukan pukul 09.50,
sepuluh menit sebelum teks peresmian ke-
merdekaan RI dibacakan. Berbeda dengan
khalayak ramai yang mulai gelisah, sosok
kharismatik berpeci hitam sahabat Bung
Hatta malah terlihat santai. Bung Karno be-
gitu tenang menghadapi situasi ini. Karena ia
begitu memahami karakter sahabatnya, bah-
wa Hatta adalah pribadi yang selalu tepat
waktu dan memenuhi janji.
Benarsaja, cendikiawan asal tanah
Minang ini datang tepat 5 menit sebelum
pembacaan teks proklamasi dimulai. Tepat
pukul 10.00, semua pemuda dan delegasi
telah berkumpul di halaman kediaman Bung
Karno di jalan Pegangsaan 56. Sang Saka
Merah Putih jahitan Fatmawati dikeluarkan
dan dikibarkan di tiang bambu oleh Chudan-
cho Latief Hendraningrat. Kemudian did-
ampingi Hatta sahabat perjuangannya, Soe-
karno segera membacakan teks proklamasi
dengan tegas dan lugas. Selesai pembacaan
para hadirin menyambutnya dengan
"Merdeka!Merdeka!".
Pekik semangat kemerdekaan bercam-
pur dengan tangis bahagia para kaum hawa
yang mengharu biru. Bangsa baru yang
membawa harapan dan masa depan
cerah telah terlahir pada hari dan
bulan yang berkah. Bangsa
Indonesia
memproklamirkan
diri menjadi
negara yang
merdeka dan
berdaulat tepat
di hari jumat, 17
Agustus 1945 atau
9 Ramadhan 1364.
Lalu, apakah perjuangan hanya berhenti
setelah proklamasi? Tidak! Disini kaum pela-
jar ikut andil menjadi corong penerus berita
kemerdekaan kepenjuru Indonesia bahkan
dunia. Setelah pembacaan dan upacara
selesai, seorang mahasiswa menggunakan
roneo milik Jepang, memperbanyak Teks
Proklamasi. Kemudian disebarkan keseluruh
penjuru kota Jakarta. Terutama ditempelkan
pada media transportasi umum seperti kere-
ta api, trem dan kendaraan lainnya.
Setibanya di Bandung, berita ini disisar-
kan melalui Pemancar radio Malabar, sebuah
pemancar berkekuatan tinggi yang mampu
menyiarkan berita hingga keluar negeri.
Sebut saja Sakt Alamsjah, San Amir dan Dar-
ja adalah mereka yang berjasa menyiarkan
kabar kemerdekaan hingga jauh menembus
samudra Hindia. Kabar ini langsung
didengar oleh Imron Rosjadi SH seorang
mahasiswa Indonesia yang ada di Baghdad,
Iraq. Dari sini kabar kemerdekaan negara
yang telah lama menelan kepahitan penjaja-
han sampai kemahasiswa Indonesia yang
ada di Mesir. Usaha keras para pelajar dan
mahasiswa Indonesia berbuah manis. Mo-
hammad Abdul Mounim, Konsul Jendral Me-
sir di Bombay yang bertindak atas nama Raja
Farouk, datang ke Indonesia dengan memba-
wa keputusan Dewan Liga Arab yang men-
dukung dan mengakui kemerdekaan Indone-
sia. Disini Mesir menjadi negara Arab per-
tama yang mengakui kemerdekaan Negara
dengan berpenduduk muslim terbesar di
dunia.
Makna Merdeka di Usia ke-70
Mengingat sejarah bangsa dan negara
sendiri itu penting untuk
meneguhkan jatidiri
rakyatnya, bahwa kita ada-
lah bangsa yang besar dan
beradab di mata dunia. Bah-
wa kita satu-satunya bangsa di
Asia Tenggara yang merebut
kemerdekaan dengan per-
juangan berat berlumur
darah dan air mata,
bukan dengan per-
janjian ataupun
pemberian seperti
bangsa lainnya. Para pejuang
bangsa kita juga mampu
menyatukan rakyatnya yang
bersuku-suku, ragam bangsa dan
bahasa dengan satu negara
dan bahasa bernama Indone-
sia. Dimana negara-negara di be-
lahan dunia saling bertikai dan berperang
karena berbeda bahasa dan bangsa.
Peringatan kemerdekaan Indonesia selalu
kita rayakan dengan meriah di tanggal 17
bulan kedelapan setiap tahunnya. Namun
ada yang lebih penting dari hanya sekedar
memperingati hari jadi sebuah bangsa. Apa-
lagi tahun ini, Indonesia telah menginjak
usianya yang ke-70. Terlalu tua jika menjadi
usia seorang manusia, namun terlalu ber-
pengalaman jika menjadi usia sebuah nega-
ra. Seharusnya Indonesia dengan SDA
melimpah dan usianya yang cukup berpen-
galaman, mampu menyulap dirinya menjadi
negara maju atau bahkan adidaya.
Namun kenyataan tak semanis harapan,
Bangsa ini ternyata masih terlilit berbagai
masalah yang begitu kompleks. Suap me-
nyuap menjadi mata uang berharga dalam
percaturan politik negerinya. Kemiskinan
adalah baju sebagian besar penduduknya.
Pendidikan hanya dijadikan proyek pencu-
cian uang dengan pergantian kurikulum
yang tak jelas tujuannya. Dimana hukum
negara begitu tajam menembus rakyat na-
mun kebal terhadap pejabat. Serta korupsi
sebagai kudapan ringan di setiap administra-
si negara.
Dari sini lalu muncul pertanyaan,
benarkah bangsa ini masih merdeka? Benar,
kita telah merdeka sejak 1945, tapi apakah
di tahun 2015 ini kita masih benar-benar
merdeka? Tanpa disadari bangsa kita kem-
bali menjadi budak secara perlahan. Kita
mulai kehilangan jatidiri sebagai rakyat yang
berdaulat dan merdeka. Walaupun Indonesia
telah lepas dari penjajahan dan menjadi
negara merdeka sejak tujuh dasawarsa, na-
mun pribadi bangsa tak ubahnya masih men-
tal sahaya. Jiwa patriot yang lantang
meneriakkan kebenaran dan keadilan hanya
legenda yang tersusun rapi dalam buku pela-
jaran sejarah. Di luar itu, kita hanya melihat
tikus-tikus berdasi yang berebut keju politik.
Mereka menjadi penjilat yang tersistem,
bersikap lembut terhadap penjajah dan ber-
tangan besi kepada rakyat sendiri. Sehingga
mental sahaya ini mampu mengantarkan
Indonesia menjadi negara teratas
penyumbang koruptor tingkat dunia. Sebuah
prestasi yang memilukan.
Kemudian apa yang seharusnya kitala-
kukan? Memerdekakan mental dan memulai
perubahan adalah hal yang lebih penting
dilakukan saat ini, dari sekedar larut dalam
euforia sesaat perayaan dirgahayu. Karena
salah satu makna merdeka adalah lepas dari
pengaruh apapun dan bebas dari interup-
siasing. Mental merdeka harus dimiliki se-
tiap lapisan masyarakat Bangsa Indonesia.
Seorang pejabat negara dikatakan merdeka,
saat ia mampu menjadi lidah rakyat bukan
sebaliknya menjadikan jabatan sebagai pen-
yambung kepuasan perutnya. Mengerjakan
segala tugasnya dengan professional dan
tanpa mau disogok atau dibungkam dengan
lembaran rupiah. Pejabat juga harus mampu
menjadi teladan bagi bawahannya.
Pelajar yang benar-benar merdeka ada-
lah mereka yang menggunakan waktunya
www.google.com
8
TëROBOSAN
- E
dis
i In
tera
ktif
Ke
mer
dek
aan
– A
gust
us
20
15
70 Tahun, Indonesiaku Masih Tetap Muda Oleh: Ahmad Ramdani*
Merdeka..!!! teriakan kata-kata ini mung-kin sangatlah berbeda apabila dirasakan pasca dan pra kemerdekaan bangsa Indone-sia. Dimana ketika pasca kemerdekaan orang-orang berjuang mendapatkan haknya kembali, tidak ada perbedaan antara yang tua juga yang muda atau perempuan mau-pun laki-laki, bahkan si kaya dan si miskin pun tak berjarak, mereka semua sama-sama saling bergotong royong dan bersatu. Bagi mereka kami semua adalah satu, satu tanah air Indonesia dan satu tujuan yang sama, merdeka Indonesia raya.
Waktu terus berjalan, tahun pun berganti tahun, seiring berkembangnya zaman semuanya perlahan berubah. Merdeka??? Iya mungkin kami sudah merdeka dari mereka para penjajah, merdeka dari kejamnya kolonialisme tapi tidak dari bangsanya sendiri.
Merdeka? Apa itu merdeka? Apa hanya sebatas bebasnya suatu negara dari jajahan negara lain, apa itu yang dinamakan merdeka? Lalu bagaimana dengan mereka bangsa Indone-sia yang keadaan dan status hidupnya masih dijajah sebuah kemiskinan bahkan keterbe-lakangan dalam moral, akhlak juga pendidi-kan (?)
Mungkin masa sudah berubah, dulu merdeka bagi mereka semua bangsa Indo-nesia, tanpa memandang suku, adat, agama juga status setiap masyarakat, yang kaya juga miskin semua satu Indonesia yang merdeka, tapi sekarang merdeka mungkin hanya bagi mereka yang berdasi juga berke-hidupan mapan dan mewah, bangga akan status mereka tanpa ada rasa peduli akan seksama.
Sadarkah kita, bagaimana sejarah Indo-nesia dahulu, sedikit, 5% kurang lebih mungkin bangsa Indonesia yang melek hu-ruf dan dimana kesusahan, kemiskinan juga keterbelakangan sudah menjadi pakaian bagi bangsa kita ini.
Ingatlah, republik ini didirikan bukan hanya sekadar untuk menggulung kolonial-isme tapi juga untuk menghadirkan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Republik hadir un-tuk menjaga, mensejahterahkan juga menc-erdaskan bangsanya sehinga memung-kinkan untuk berperan dalam negara mau-pun dunia.
UUD 1945 bukan hanya sekadar tulisan yang dijadikan pedoman atau hanya sebatas cita-cita kemerdekaan yang diilustrasikan di dalamnya. Karena kemerdekaan bukan han-ya suatu cita-cita yang abstark atau angan-angan semata, sudah saatnya kita ubah cita-cita itu menjadi sebuah dorongan juga moti-
vasi penggerak diri ini yang dimana pancasi-la tidak menjadi sebuah simbol semata, tapi pengamalan-pengamalan terhadap kan-dungan nilai di dalamnya benar-benar ter-wujud, karena kemerdekaan Indonesia ada untuk kita dan terlahir dari diri kita, dari bangsa Indonesia itu sendiri.
Republik Indonesia ada bukan hanya menjunjung tinggi sebuah cita-cita ke-merdekaan semata, tapi juga telah menjan-
jikan un-tuk
mense-jahterahkan
juga mencerdaskan anak bangsanya, sehingga mampu untuk mengabdi kembali untuk bangsa dan nega-ra.
Kemerdekaan dibangun dari sebuah keringat para pejuang-pejuangnya, mereka semua berkorban tenaga, harta bahkan ban-yak juga darah yang telah dikorbankan un-tuk kemerdekaan Indonesia. Republik ini sedang berusaha melunasi janji-janji mere-ka, perlahan mencoba mensejahterahkan bangsanya, mencerdaskan putra putri bang-sanya, agar kelak mereka dapat berbakti bagi bangsa dan negara bahkan mengharumkan nama Indonesia di manca negara.
Agustus, merupakan bulan yang dinanti-nanti, karena di bulan inilah tanah airku merdeka, tepat pada 17 agustus 1945, ber-bondong-bondong kami rayakan hari itu dengan beragam aktifitas yang bertujuan mempererat solidaritas antar seksama, bahkan juga bertujuan untuk melihat sam-pai mana kreatifitas dan inovasi para pemu-da dan pemudi bumi pertiwi ini.
70 tahun umur Indonesiaku sekarang, serasa tua termakan waktu dan mulai goyah akan kuatnya kemajuan modernisasi. Kita tidak tertinggal dalam masalah pendidikan, tapi seolah moral dan rasa peduli kita mulai terkikis digerogoti rasa egois dan juga kebu-taan akan gemerlap dunia modernisasi ini.
Mungkin sebagian dari kami lupa akan semboyan pancasila, atau tidak lupa mung-kin, tapi tidak terlalu memikirkan juga ingin mengamalkan nilai-nilai yang ada di da-lamnya. Kemiskinan mungkin salah satu
faktor yang paling terlihat jelas, bahwa In-donesia masih belum merdeka, bukan kare-na kolonialisme tapi karena mereka yang menjajah adalah bangsa mereka sendiri.
Apakah karena Indonesia sudah tua? Apakah ini semua karena umurnya yang sudah mendekati masa batasannya? Tidak!!! Indonesia bukan hanya sebongkah tanah, atau sebuah daerah yang tiba-tiba punah termakan oleh waktu, karena Indonesia adalah kami bangsanya yang terus berjuang juga mencintai Indonesia.
Tua? 70 tahun sudah umur Indonesiaku tapi kami masih tetaplah muda, bangsa kami bukan hanya ada dalam satu dekade atau beberapa dekade, karena kami memiliki para penerus bangsa, para pemu-da juga pemudi yang siap berbakti kepada ibu pertiwi
Cinta kami jelas untuk Indonesia, lihat pada agustus ini, semua ramai mengibarkan sang bendera merah
putih dengan penuh kebanggaan. Miskin atau kaya tidak berbeda, bahkan
kami dengan senang dan bangga mencer-itakan bagaimana dulu Indonesia berjuang meraih kemerdekaannya, bercerita kepada mereka indonesia-indonesia muda, mereka para penerus bangsa.
Kemerdekaan bukanlah hanya sebuah cita-cita, angan-angan atau hanya sebatas kata-kata, karena kami selalu memper-juangkan kebebesan kami, selalu berjuang agar Indonesia selalu merdeka, berjuang mengamalkan isi-isi pancasila, karena merdeka bukan hanya sebatas cita-cita tapi juga sebuah janji.
Beratus-ratus tahun kami dijajah, dan baru 70 tahun kami merasakan ke-merdekaan, perjuangan kami baru dimulai dan perjuangan kami tidak akan terhenti, karena kami tahu, kami memiliki Indonesia muda yang siap melanjutkan estafet per-juangan Indonesia ini, yang selalu siap mengabdi kepada tanah airnya dan be-rusaha mewujudkan cita-cita yang sudah kami jadikan sebagai janji kemerdekaan.
Perayaan kemerdekaan, aku tidak tahu bagaimana tahun ini Indonesia merayakan kemerdekaannya, tapi yang jelas ke-merdakaan bukanlah sebatas tentang per-ayaan mengenang jasa-jasa para pejuang, tapi juga sebagai alarm kencang bahwa kita masih memiliki janji, janji untuk memajukan Indonesia juga mensejahterhakan Indonesia kembali, MERDEKA!!!
*Penulis adalah Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Usuluddin Jurusan Tafsir
www.google.com
TëROBOSAN
—Ed
isi Interakti
f Ke
merd
ekaan –
Agu
stus 2
01
5
Kemerdekaan Oleh: Sulhansyah Jibran*
Hari kemerdekaan atau lebih dikenal secara luas dengan independence day adalah hari yang identik dengan upacara dan pengi-baran bendera. Hari dimana suatu bangsa terbebas dari jajahan dan penguasaan suatu bangsa lain yang bersifat zalim atau otoriter. Di Indonesia, hari kemerdekaan jatuh pada tanggal 17 Agustus. Hari dimana presiden pertama Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaan bangsanya kepada dunia secara umum dan terbuka, yang pada akhirnya kedaulatannya pun di-akui oleh semua pihak dan negara-negara lain.
Sejarah perjalanan Indonesia telah ban-yak dituliskan dalam literatur-literatur se-jarah. Sebuah perjalanan yang berdarah-darah telah ditempuh oleh para pejuang pendahulu kita, agar kita, anak cucu mereka tidak lagi merasakan seperti apa pahitnya dijajah di tanah sendiri. Pertanyaannya, apakah benar bangsa kita telah mencapai "kemerdekaan"?
Kemerdekaan merupakan simbol kebebasan. Bebas dalam arti yang sebebas bebasnya. Baik dari jajahan bangsa lain, be-gitu juga bebas dari segala macam bentuk kesulitan yang menyengsarakan rakyat. Lantas, apakah dengan berkibarnya bendera Indonesia dan diproklamirkannya ke-merdekaan pada 17 Agustus 1945 silam menandakan berakhirnya perjuangan kita mencapai kemerdekaan?
Apakah Indonesia Telah Merdeka?
Hal ini sebenarnya sudah jelas bahwa Indonesia telah merdeka sejak hari di-proklamirkannya kemerdekaan 70 tahun silam. Tetapi kemerdekaan seperti apa yang ingin dicapai oleh bangsa ini sebenarnya?
Ketika melihat keadaan Indonesia secara umum, rasanya kita masih jauh dari kata “merdeka”. Kemiskinan yang masih menghantui sebagian besar rakyat, korupsi yang masih menjadi budaya di level atas para pejapat negara, serta kesulitan-kesulitan lain yang seharusnya frekuensinya dapat ditekan atau bahkan dihilangkan sama sekali. Seperti itulah gambaran Indonesia saat ini.
Fakta-fakta diatas seakan kian menegas-kan bahwa cita-cita yang diperjuangkan oleh leluhur kita, para pejuang pendahulu kita tidak bisa kita abaikan hanya dengan telah berkibarnya sang merah putih tiap tahunnya di bulan Agustus. Ada hal lain yang lebih mendasar ketika kita hendak berbicara ten-tang “kemerdekaan”.
Di era perang mata uang dengan negara-negara maju seperti saat ini, hal yang paling menjadi sorotan tentunya dari sektor ekonomi. Keadaan ekonomi negara yang kian memburuk, harga-harga yang semakin meroket, serta merosotnya nilai tukar rupi-
ah merupakan beberapa indikasi jauhnya keadaan ekonomi kita dari kata “merdeka”. Jika berbicara soal potensi, baik potensi sumber daya alam yang sangat melimpah, atau sumber daya manusia, sepertinya su-dah cukup untuk menjadikan Indonesia se-bagai negara yang dapat diperhitungkan kekuatan ekonominya. Lagi-lagi kita seperti dihalangi oleh suatu tabir tak terlihat yang menghalangi kita untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan yang kita inginkan.
Ketika berada dalam keadaan yang sedemikian rupa buruknya, dan ketid-akmampuan kita mengatasinya, kita dapat menarik satu kesimpulan menarik; bahwa kesejahteraan kita mungkin sedang dipin-jam, dijajah, atau digadaikan, demi kepent-ingan sebagian pihak. Baik pihak itu berasal dari tubuh bangsa Indonesia sendiri, atau keterlibatan pihak asing, yang menjajah negeri ini sedemikian rupa.
Lalu, sebagai bagian dari bangsa ini, adakah solusi yang bisa kita tawarkan untuk bangsa yang telah merdeka tetapi ‘belum merdeka’ pada kenyataannya? Dari sedikit fakta yang penulis paparkan diatas, kita dapat meraba satu benang merah yang dapat menghubungkan setiap masalah pada keterpurukan tersebut. Krisis moral, nam-paknya menjadi satu hal yang mendasari berbagai masalah yang menghantui bangsa kita selama ini.
Moral merupakan hal penting yang dapat menentukan maju atau hancurnya suatu bangsa. Tidak perlu memerangi mereka dengan pasukan yang besar dan senjata lengkap untuk membinasakan suatu bangsa. Cukup rusak saja moral dan akhlak masyara-katnya, maka ia akan hancur dengan sendirinya. Ketika kejujuran sudah dicam-pakkan, juga nilai-nilai luhur lainnya ikut diabaikan, terbentuklah satu tatanan masyarakat yang rusak. Yang atas sibuk membodohi dan menguras harta masyarakat dengan melestarikan budaya korupsi, yang bawah sibuk menyalahkan para pemimpin-pemimpin korupnya untuk setiap masalah dan kesulitan yang dihadapi, tetapi tidak mereka sadari bahwa pemimpin tersebut juga lahir dari rahim masyarakat yang sudah tercemar kejujurannya.
Mewujudkan Harapan Akan Ke-merdekaan
Sebagai upaya mewujudkan ke-merdekaan yang hakiki, tentunya perjalanan kita masih sangat panjang. Dibutuhkan keterlibatan semua pihak untuk membawa perubahan yang besar bagi suatu bangsa yang tidak kecil. Peranan setiap lapis masyarakat kita akan berimbas pada dam-pak yang signifikan bagi kesejahteraan kita. Tentunya Mahasiswa dan kaum intelektual muda mempunyai andil yang lebih besar
sebagai agent of change demi membawa perubahan yang kita inginkan.
Fokus terhadap masalah tidak akan me-nyelesaikan masalah tersebut, bahkan tidak jarang malah mengakibatkan masalah yang lebih besar. Tetapi fokus terhadap solusilah yang akan memberikan pencerahan kepada suatu masalah. Dan seperti penulis paparkan sebelumnya, solusi yang dibutuhkan adalah memperbaiki moral dan akhlak bangsa.
Sangat disayangkan ketika bangsa yang mempunyai semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dengan mudahnya diadudomba oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sibuk menyalahkan dan memusuhi golongan yang tidak sepaham atau tidak memiliki kesamaan ideologi dengan golongannya. Maka tak jarang hal ini berujung pada kekerasan hingga mencederai fisik, padahal mereka pun pasti menyadari akan kesamaan rumpun Indonesia. Ini merupakan gambaran lain dari buruknya moral bangsa.
Maka, seperti yang penulis paparkan, membenahi moral bangsa merupakan tugas utama yang harus kita tuntaskan. Sehingga kita tidak perlu takut ketika pemimpin baru yang terpilih dari masyarakat kita akan men-jadi perusak yang hanya bisa memakan dan merampok uang rakyatnya. Kita tidak perlu takut mendapatkan pemimpin yang dengan mudahnya disogok oleh pihak lain, agar membuat keputusan yang merugikan bang-sanya sendiri dengan iming-imingan uang. Dan menurut penulis, ini adalah satu dari sekian banyak cara yang dapat kita tawar-kan untuk mewujudkan cita-cita yang selalu kita angankan, yaitu “kemerdekaan”.
Momen 17 Agustus ini, kita manfaatkan sebagai penyemangat kita, yang akan meng-ingatkan seperti apa perjuangan para pahla-wan terdahulu demi kemerdekaan negara kita, sehingga dengan sendirinya akan mem-bakar semangat juang kita untuk mewujudkan satu bentuk “kemerdekaan” yang hakiki.
Sebagai penutup, penulis ingin mengutip salah satu perkataan bapak kemerdekaan kita, presiden pertama Republik Indonesia, “Perjuanganku lebih mudah karena men-gusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” – Bung Karno.
Happy Independence Day.
*Penulis adalah Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Usuluddin Jurusan Tafsir
10
TëROBOSAN
- E
dis
i In
tera
ktif
Ke
mer
dek
aan
– A
gust
us
20
15
Lanjutan dari hal 6….
Lanjutan dari hal 7….
putih; kedua, even olahraga untuk mem-
peringatinya; ketiga, dialog kebangsaan
tentang tradisi yang sedang berjalan di
Indonesia atau problem yang sedang ter-
jadi di Indonesia. Dari ketiga fenomena ini,
bisa menjadi penanda rasa nasionalis para
Masisir terhadap Indonesia. Meski hal ter-
sebut, tidak bisa mewakili secara kesulu-
ruhan nalar Masisir. Setidaknya bisa men-
jadi pemantik pemaknaan asali sikap pedu-
li Masisir terhadap hari raya kemerdekaan.
Dan yang terpenting adalah memupuk gen-
erasi yang peduli ini tetap menjaga
kesadaran berbangsa dan bernegara lebih
mendalam dan visioner. Sehingga
kedepannya bisa mempengaruhi nalar
komunal Masisir untuk bisa bersama-sama
bersanding dengan tujuan untuk menjaga
keutuhan dan persatuan Indonesia. Dan
bisa menjadi benteng dasar untuk men-
gusir sudut pandang pragmatis atau pun
oportunis sebagai manusia beradab. Maka
Masisir ketika kembali ke Indonesia pun,
tidak serta merta menawarkan gagasan
yang memberantas keragaman suku, bu-
daya, etnis, agama, bahasa dan sejarah
Indonesia. Atau pun menjual aset bangsa
dengan nilai ekonomi kapitalis yang bisa
mencekram masa depan bangsa melalui
hutang dan impor.
Agar hal tersebut tidak terjadi, maka
dibutuhkan kemampuan yang bisa menjaga
rasa nasionalis, serta memupuknya setiap
hari dengan merefleksikan arti ke-
merdekaan. Yakni bebas dari segala kekan-
gan identitas, penjajahan, sejarah dan
kapitalis. Langkah ini bisa memberikan
wacana terus menerus ke setiap individu
tentang arti kebangsaan dan kemerdekaan
agar bisa mengendap dalam diri manusia
sebagai kesadaran primordial. Dengan
kesadaran ini, bisa menjaga Masisir tidak
alpa tentang pentingnya sejarah bangsa,
kemerdekaan, agama, politik, kemanusian
dan kebudayaan. Sehingga perjuangan
Masisir kedepan tidak kosong dari arti
subtansial sebagai warga negara dengan
status: rakyat, kaum beragama, kaum ber-
budaya, beretika dan berhukum nasional.
Harapannya kedepannya, manusia bisa
merdeka sejak dalam pikirannya. Dan tidak
merelakan adanya penindasan kepada
manusia atas nama kekuasaan atau pun
agama. Apalagi menggunakan kekuasaan
yang selalu membenarkan tindakannya,
padahal sudah tahu bahwa hal tersebut
melanggar nilai kemanusiaan dan keadilan
sosial, tapi tetap dijalankan. Hal itu tidak
boleh terjadi. Oleh karena itu, kealpaan
yang sedang melanda Masisir tentang arti
kemerdekaan bangsa Indonesia dan se-
jarahnya bisa disembuhkan dengan mere-
fleksikan arti merdeka dalam dirinya se-
bagai kaum beragama, berbangsa dan ber-
budaya. Tidak menggunakan sifat opor-
tunis untuk memenangkan cita-cita dan
tujuan. Tapi punya landasan ideologis dan
idealis yang seimbang dengan kemasla-
hatan bersama tanpa mencederai satu sa-
ma lain. Karena hal ini kembali pada
pemaknaan bahwa bangsa yang besar ada-
lah bangsa yang
menghargai se-
jarahnya. Tanpa se-
jarah, identitas,
kesadaran beraga-
ma, berbangsa, ber-
sosial, berbudaya, dan
beretika manusia
bukanlah apa-apa,
kecuali hanya sebatas
daging yang bersisikan keinginan-
keinginan tanpa batas.
*Penulis adalah Wakil Ketua IV
PCINU Mesir
untuk belajar dengan sebaik-baiknya, jujur
dalam ujian, berlomba-lomba dalam pres-
tasi dan bermanfaat bagi orang lain. Begitu
pula sebagai warga yang merdeka, mereka
adalah rakyat yang selalu mematuhi pera-
turan negara, mendoakan pemimpinannya
untuk lebih baik, mengerjakan
kewajibannya serta sibuk memberikan
sumbangsih memajukan negara, tanpa ban-
yak menuntut haknya.
Setelah memerdekakan mental
penduduknya, saatnya melakukan peru-
bahan. Sebuah perubahan tak harus ber-
wujud sesuatu yang besar. Namun cukup
dimulai dengan hal yang sederhana, saat ini
dan dari diri sendiri. Niat melakukan peru-
bahan harus segera dilakukan sedini mung-
kin. Mulailah dari perbaikan kualitas karak-
ter dan pribadi, sebelum memulainya kepa-
da orang lain. Sebagai contoh yang paling
sederhana dalam praktek keseharian ada-
lah berlaku jujur dimanapun atau tidak
melakukan kesalahan yang sama untuk
kedua kalinya.
Merdeka diartikan mampu mandiri dan
produktif. Mandiri tanpa tergantung
dengan bangsa lainnya. Dengan mandiri,
secara otomatis negara bertekad dan mem-
fasilitasi segala karya dan produk buatan
anak bangsa. Jika Indonesia mampu me-
menuhi kebutuhannya sendiri tanpa ban-
yak melakukan transaksi impor. Hal ini
akan menguntungkan cadangan devisa
negara. Sehingga nilai tukar Rupiah berang-
sur-angsur kuat dan ekonomi negara stabil.
Ketika ekonomi membaik, akan menambah
jumlah warga yang mampu mengenyam
bangku pendidikan semakin meningkat.
Pendidikan yang baik secara tidak lang-
sung akan mengedukasi rakyatnya untuk
lebih bijak dan memiliki cara pandang yang
lebih luar terhadap sebuah masalah. Ting-
kat pendidikan yang tinggi akan memini-
malisir pecahnya konflik sosial yang meru-
gikan. Keamamanan negara semakin
meningkat dan kesatuan bersama akan
terwujud.
Dalam tahap ini, Indonesia akan benar-
benar menjadi negara yang berdaulat dan
rakyatnya merdeka. Tak hanya sekedar
merdeka, namun rakyatnya menjadi se-
jahtera. Gemah ripah loh jinawi menjadi
kalimat pujian yang kembali dinyanyikan
untuk Indonesia. Negara kita tak lagi tun-
duk dengan kebijakan mengikat model
penjajahan baru. Kita tak lagi impoten
menghadapi ancaman intervensiasing. Ka-
rena kita sudah mulai menjelma menjadi
Macan
Asia. Se-
bentar
lagi raun-
gan sang
Macan
Asia akan
kembali
terdengar dalam beberapa
tahun kedepan. Merdeka!
*Penulis adalah Ketua I Senat
Fakultas Bahasa Arab
ww
w.g
oo
gle
.co
m
www.google.com
TëROBOSAN
—Ed
isi Interakti
f Ke
merd
ekaan –
Agu
stus 2
01
5
Merdeka atau Terjajah Oleh: Putri Rezeki Rahayu*
Celoteh camar di pagi hari hilang terte-lan kebisingan
Menggambarkan rakusnya manusia di bumi dengan kebiadaban
Tak ayal ia malu menampakan diri un-tuk sekedar bersiul menyambut pagi
Ia malu dan tak sanggup berkata pada mereka pengorban jiwa untuk pertiwi
70 tahun negaraku merdeka
Tapi kenapa
Jelata tetap jelata
Ningrat tetap ningrat
Berkeluh kesah sang jelata
Berfoya foya sang ningrat
70 tahun negaraku merdeka
Benar, salah menjadi relatif
Siapa dia yang berkuasa dia punya tin-dak kuasa
Siapa kenal siapa dia mudah masuk birokrat
Siapa berduit dia membeli keadilan
Tak mudah lagi hidup dengan jiwa pah-lawan
Bermodal hati ikhlas untuk pem-bangunan
Tertawa sekitar berdiri berkacak ping-gang
Tak ada topangan sekedar berjalan tel-anjang
Manusia kembali menjadi liar
Lupa segala yang tersisa hanyalah semak belukar
Mencari celah di balik sosok perkasa lagi
kekar
Berlindung, merajuk, tak peduli panas mulai menjalar membuat terkapar
Merdeka atau terjajah
Pahlawan berjuang merdeka
Generasi muda berebut terjajah
Apa ini kegilaan melanda negeri tercinta
* Penulis adalah Pemenang Bilik Sastra VOI Award 2014
Negeriku Indonesia
Tanah subur tanpa gersang didalamnya
Penuh air, tumbuhan dihiasi kekayaan
alam
Pohon-pohon rindang berbalut kesejuk-
kan
Kita adalah bangsa Indonesia
Jangan kau kalah pada nestapa durjana
Para pembantai penyerbu tak kenal
dosa
Kerakusan yang mendarah daging
penuh jera
Tidakkah kita berontak menyaksikan
penjajahan bangsa
Mengatasnamakan kebebasan menjadi
topeng reformasi dunia
Harta kita dirampas, dilecehkan, ke-
hormatan harga diri kita terinjak
Bagi para pejuang bangsa kita tak serta
merta kalah
Walau hanya dengan bambu runcing kau
membaja
Ketika darah syahidmu bercucuran
bagai keringat
Selalu sergap dan ingat dalam per-
kasamu sealam jagat
Tangguh keberanianmu penuh khidmat
Kelak balasan amal pahalamu terlim-
pahkan dari Sang Maha Pemberi Rahmat
Mari perjuangkan hak kemerdekaan
kita
Untuk berdiri kokoh di tanah air Indone-
sia
Menjaga kemerdekaan agar benar-benar
tetap merdeka
Demi kesejahteraan bangsa kita
Supaya Indonesia menjadi lebih berkar-
ya
* Penulis adalah Kru Buletin Tëro-
bosan
Indonesiaku Merdeka Oleh: Syaeful Anam*
ww
w.g
oo
gle
.co
m
www.google.com