Download - TEORI MORAL DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG …
TEORI MORAL DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAMI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Disusun Oleh :
Khairunnisa
NIM.11150110000007
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019
KEMENTERIAN
AGAMA FORM (FR)
No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089
UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
FITK No. Revisi: : 01
Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Khairunnisa
Tempat/Tgl.Lahir : Bekasi, 2 Oktober 1997
NIM : 11150110000007
Jurusan / Prodi : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam
Perspektif Pendidikan Islami
Dosen Pembimbing : Yudhi Munadi, M.Ag
NIP. 19701203 199803 1 003
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya
sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta, Agustus 2019
Mahasiswa Ybs.
Khairunnisa
NIM. 11150110000007
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
TEORI MORAL DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAMI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Khairunnisa
NIM.11150110000007
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Skripsi
Yudhi Munadi, M. Ag
NIP. 19701203 199803 1 003
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam
Perspektif Pendidikan Islami disusun oleh Khairunnisa, NIM
11150110000007, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah melalui
bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah dan layak diujikan pada
sidang munaqosah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.
Jakarta, 18 Agustus 2019
Yang mengesahkan,
Dosen Pembimbing,
Yudhi Munadi, M. Ag
NIP. 19701203 199803 1 003
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi berjudul Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam
Perspektif Pendidikan Islami disusun oleh Khairunnisa, NIM 11150110000007,
diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada
tanggal 02 September 2019 dihadapan dewan penguji. Oleh karena itu penulis
berhak mendapatkan gelar Sarjana S1 (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Agama
Islam.
Jakarta, 02 September 2019
Panitia Ujian Munaqasah
UJI REFERENSI
Seluruh referensi yang digunakan dalam penulisan skripsi yang berjudul Teori
Moral Development Lawrence Kohlberg dalm Perspektif Pendidikan Islami,
disusun oleh Khairunnisa, NIM. 11150110000007, Jurusan Pendidikan Agama
Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta telah diuji kebenarannya oleh Dosen Pembimbing Skripsi
pada Tanggal 18 Agustus 2019.
Jakarta, 18 Agustus 2019
Pembimbing,
Yudhi Munadi, M. Ag
NIP. 19701203 199803 1 003
i
ABSTRAK
KHAIRUNNISA 11150110000007. TEORI MORAL DEVELOPMENT
LAWRENCE KOHLBERG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
ISLAMI. Program Studi Pendidkan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1440 H/2019 M.
Lawrence Kohlberg membawa teori perkembangan moral yang didasarkan
pada penalaran moral yang merupakan produk rasio atau akal. Penulis mencoba
mengangkat perspektif dari pendidikan Islami.
Metode yang penulis gunakan adalah library research dengan sumber penelitian
bersifat dokumenter dengan landasan teori moral development dan teori
pendidikan Islami.
Teori moral development Lawrence Kohlberg membahas perkembangan
yang dialami seorang anak yang akan mencapai tahap perkembangan tertentu
dengan melalui tahapan moral yang sebelumnya.
Tulisan ini mengungkap perspektif pendidikan Islami terhadap teori moral
development Lawrence Kohlberg. penelitian ini menghasilkan, pertama teori
perkembangan moral berdasarkan antroposentris dan teosentris, kedua benang
merah antara kecerdasan spiritual dengan agama yang disebut dengan kecerdasan
ruhaniah, yang harus dimiliki oleh peserta didik sebagai syarat menjadi manusia
bermoral.
Kata Kunci : Moral Development, Pendidikan Islami,Perkembangan Moral,
Antropologi Agama, Konstruktivisme.
Pembimbing : Yudhi Munadi, M. Ag
Daftar Pustaka :1980 sampai 2018
ii
ABSTRACT
KHAIRUNNISA 11150110000007. THEORY OF MORAL
DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG IN THE PERSPECTIVE OF
ISLAMIC EDUCATION. Islamic Education Study Program, Faculty of
Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University
Jakarta 1440 H / 2019 M.
Lawrence Kohlberg brought a theory of moral development based on
moral reasoning which is a product of reason or reason. The author tries to raise
the perspective of Islamic education.
The method I use is library research with documentary research sources
on the basis of moral development theory and Islamic education theory.
Lawrence Kohlberg's moral development theory discusses the development
experienced by a child who will reach a certain stage of development through the
previous moral stages.
This paper reveals the perspective of Islamic education on Lawrence
Kohlberg's theory of moral development. This research results, first the moral
development theory based on anthropocentric and theocentric, secondly the
common thread between spiritual intelligence and religion called spiritual
intelligence, which must be possessed by students as a condition of being a moral
human being.
Key Word : Moral Development, Pendidikan Islami,Perkembangan Moral,
Antropologi Agama, Konstruktivisme.
Mentor : Yudhi Munadi, M. Ag
Bibliography : 1980 sampai 2018
iii
KATA PENGANTAR
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Alhamdulillah, Maha Suci Allah SWT dengan segala keagungan dan
kebesaran-Nya, segala puji syukur hanya tercurahkan pada-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga atas ridho-
Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun belum mencapai sebuah
kesempurnaan. Namun dengan harapan hati kecil semoga dapat bermanfaat.
Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada junjungan alam, Nabi besar
Muhammad SAW yang syafaatnya selalu didambakan kelak di hari akhir. yang
menjadi cahaya di atas cahaya bagi seluruh alam, beserta keluarga, sahabat dan
pengikutnya yang setia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yudhi Munadhi, MA
sebagai dosen Pembimbing Akademik sekaligus dosen Pembimbing Skripsi yang
telah memberikan banyak ilmu dan pengarahan, kepada kedua orang tua yang
senantiasa memberikan do‟a dan dukungan baik berupa materil maupun
nonmateril, serta kepada teman-teman yang senantiasa memberikan semangat agar
skripsi ini yang berjudul “Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam
Perspektif Pendidikan Islami” dapat selesai tepat waktu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
penyusun mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada seluruh pihak
yang berperan, antara lain:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., sebagai Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Sururin, M.Ag., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abdul Haris, M.Ag., sebagai ketua jurusan Pendidikan Agama Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
4. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag., sebagai Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Yudhi Munadi, M.Ag., sebagai Dosen Penasihat Akademik sekaligus Dosen
Pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan banyak waktu untuk
membimbing, berbagi ilmu, dan memberi nasihat serta arahan.
6. Kedua orang tua saya, Bapak Arif Sadarwan dan Ibu Reswani sebagai pendidikan
pertama yang senantiasa mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mendidik
dan membesarkan putrinya.
7. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan
banyak ilmu dan berbagi pengalaman kepada penyusun selama masa perkuliahan.
8. Teman-teman seperjuangan khususnya Jurusan Pendidikan Agama Islam, Ikatan
Keluarga Alumni Raudhatul Ulum Sakatiga (IKARUS).
9. Serta kepada pihak-pihak lain yang dapat penyusun sebutkan satu persatu yang
turut membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, 18 Agustus 2019
Penulis
v
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
UJI REFERENSI
ABSTRAK ..............................................................................................................i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang........................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 6
C. Pembatasan Masalah ................................................................. 6
D. Rumusan Masalah ..................................................................... 7
E. Tujuan Penelitian....................................................................... 7
F. Manfaat Penelitian..................................................................... 8
G. Metode Peneltian ....................................................................... 8
1. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................ 8
2. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian .............. 8
3. Sumber Data ..................................................................... 9
H. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 9
I. Teknik Analisis Data ............................................................... 10
J. Sistematika Penulisan .............................................................. 10
K. Hasil Penelitian yang Relevan .................................................... 11
BAB II KAJIAN TEORITIS ......................................................................... 14
A. Moral Development dalam Bingkai Konstruktivisme ......... 14
1. Konstruktivisme sebagai Basic Teori Lawrence
Kohlberg .......................................................................... 14
B. Kritik Terhadap Teori Moral Development Lawrence
Kohlberg ................................................................................... 37
1. Kritik Ahli ....................................................................... 37
2. Kritik Tokoh ................................................................... 41
3. Kritik dari Penulis .......................................................... 41
vi
BAB III PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAMI ......................................... 43
A. Antroposentris dan Theosentris ............................................. 43
B. Moral dalam Perspektif Islam ................................................ 52
C. Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia ......................... 58
D. Hubungan Moral dengan Antroposentris ............................. 60
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................... 64
A. Analisis Deskriptif Moral Development Lawrence
Kohlberg ................................................................................... 64
B. Perspektif Pendidikan Islami Menurut Para Ahli ................ 66
C. Moral Development dalam Bingkai Nilai-nilai
Pendidikan Islami .................................................................... 71
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 75
A. Kesimpulan ............................................................................... 75
B. Saran ......................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia pendidikan tidak pernah dapat terpisahkan dari nilai-nilai yang
berpengaruh dalam proses perkembangan peserta didik. Salah satunya masalah
nilai moral, moral merupakan sesuatu yang seringkali menjadi perhatian
masyarakat, tentu urusan moral merupakan satu dari sekian banyak nilai-nilai
penting yang harus dimiliki oleh setiap orang.1Kita sebagai generasi penerus
bangsa, sebagai calon pendidik yang dari tangan kita seharusnya lahir
peradaban bangsa yang bermartabat, tentu kita memiliki peran penting dan
tanggung jawab yang lebih untuk memperhatikan masalah moral
ini.Mengingat perkataan Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan merupakan
daya upaya untuk memajukan dan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak.2
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional juga menyebutkan, bahwa “pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
bertujuan untuk mengambangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.3
Karena pendidikan merupakan salah satu bentuk perwujudan manusia
yang sarat akan perkembangan, maka kita sebagai calon pendidik harus
mampu mendukung pembangunan di masa mendatang, yaitu dengan
memberikan pendidikan yang bukan hanya transfer of knowladge saja kepada
1Zakiyah Dradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),
Hlm 8 2Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenamedia Group, 2012), Hlm 5
3Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Pasal 1, No. 20, Tahun 2003
2
peserta didik,4 tapi juga nilai-nilai moral yang turut berkembang seiring
berkembangnya pengetahuan seorang peserta didik.
Banyak sekali yang membicarakan tentang pendidikan, setiap orang
yang belum merasa puas akan mutu pendidikan merasa perlu untuk ikut andil
dalam memajukan pendidikan. Kita sebagai manusia, memerlukan bantuan
orang lain untuk menjadi manusia, yaitu yang telah memiliki nilai (sifat)
kemanusiaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tujuan pendidikan adalah me-
manusia-kan manusia.Agar tujuan tersebut dapat dicapai maka kita juga harus
paham dengan jelas bagaimana ciri-ciri mausia yang telah menjadi manusia.5
Yang penulis pahami, kita sebagai manusia harus berlaku sebagai
manusia, dengan berbekal akal maka tugas kita berikutnya adalah menelaah
dan menyelami hakikat moral, sehingga sikap terutama sikap manusia
terpelajar berkembang tidak bertentangan dengan perkembangan jiwa dan
akal.6
Dalam menentukan baik buruknya moral seseorang, maka kita perlu
memahami betul apa yang dimaksud dengan moral, bagaimana moral bekerja
dan mempengaruhi perbuatan-perbuatan baik ataukah buruk, melalui tahapan
apa saja moral berkembang, dan seperti apa moral dalam pandangan
pendidikan Islami.7 Dalam hal ini, ada banyak sekali teori-teori moral yang
dikembangkan oleh para ahli, salah satunya adalah Bandura dan Gewirtz yang
menyatakan bahwa moral berkembang dan berlangsung melalui proses latihan
dan peniruan. Sebagai contoh apabila orang tua mereka melakukan hal yang
tidak sewajarnya dan dilihat oleh anaknya seperti perkelahian antara ibu dan
bapaknya, maka hal tersebut beresiko akan ditiru oleh anak-anak mereka.8
Selain itu, perkembangan yang terjadi ialah perkembangan sejak bayi
hingga akhir hayat, ada beberapa teori perkembangan sosial yaitu teori
4Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenamedia Group, 2012), Hlm 4 5Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), Hlm
33 6Poespoprodjo, Filsafat Moral, Cetakan-I, (Bandung: CV Pustaka Grafika, 1999), Hlm 6 7Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan,(Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Hlm 13 8Safnowandi, Teori Perkembangan Kepribadian, Sosial dan Moral, 2012,
(safnowandi.wordpress.com/2012/11/04/teori-perkembangan-kepribadian-sosial-dan-moral/).
Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.17
3
cognitive psychology, dan teori social learning.Sigmund Freud adalah teorisi
pertama yang fokus pada perkembangan kepribadian dan menekankan
pentingnya peran masa bayi dan awal seorang anak dalam membentuk
karakter sesorang, Freud mendasari teorinya dari analisis mengeksplorasi jiwa
pasien antara lain dengan cara mengembalikan mereka ke pengalaman masa
kanak-kananknya. Selain Freud, Gustav Jung juga merupakan salah satu tokoh
perkembangan kepribadian, Jung berpendapat bahwa semua peristiwa
disebabkan oleh sesuatu yang terjadi di masa lalu (mekanistik) dan kejadian
sekarang ditentukan oleh tujuan (purpose). Menurutnya, kegagalan di masa
lalu bukan dijadikan sebagai beban melainkan sebagai stimuli untuk belajar
lebih baik lagi dari kegagalan tersebut.Tokoh perkembangan kepribadian
lainnya adalah Erik H. Erikson, melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu
yang baru dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan
suatu pemikiran yang sangat maju untuk memahami persoalan atau masalah
psikologi yang dihadapi manusia pada era modern seperti sekarang ini.Bagi
Erikson dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara
kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan
sosial.9
Tokoh teori perkembangan sosial dan moral ialah Jean Piaget dan
Lawrence Kohlberg menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa
perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan
berkembang secara bertahap. Serupa dengan pendapat Eliet Turiel, terdapat
beberapa persamaan dengan teori moral judgment Kohlberg, yaitu
bahwasanya perkembangan moral akan lebih baik dipahami dengan
menganalisa moral judgment, menganggap perilaku adalah hasil dari moral
judgment, moralitas terbentuk bukan dari interaksi individu dan
lingkungannya.10
Menurut Thomas Lichona, sebuah perilaku moral saja belum
9Safnowandi, Teori Perkembangan Kepribadian, Sosial dan Moral, 2012,
(safnowandi.wordpress.com/2012/11/04/teori-perkembangan-kepribadian-sosial-dan-moral/).
Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.58 10Agus Abdul Rahman, Teori Perkembangan Moral dan Model Pendidikan Moral, vol. III,
2010, Hlm. 39-39, Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.59
4
cukup, sehingga perilaku moral tersebut harus diimbangi dengan adanya
pengetahuan dan pertimbangan apakah perilaku tersebut termasuk perilaku
moral ataukah bukan.11
Pemikiran yang disumbangkan oleh Piaget dalam
mempelajari, memahami perkembangan sikap moral peserta didik usia sekolah
adalah dengan membuat tahapan, ada tiga tahapan yang dikemukakan Piaget:
(1) Fase absolut, yaitu anak merasakan peraturan merupakan otoritas yang
dihormatinya. (2) Fase realitas, usaha seorang anak menyesuaikan diri untuk
menghindari penolakan dari orang lain, peraturan dirumuskan secara bersama
sehingga dianggap dapat diubah. (3) Fase subyektif, seorang anak
memperhatikan penilaian perilaku. Moral berkembang karena dipengaruhi
upaya melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua, memperluas
interaksi sehingga anak semakin mampu memahami pandangan orang lain
dalam kehidupan bermoral dalam kebersamaan.12
Penulis akan mendalami salah satu teori yang dikembangan oleh salah
seorang tokoh seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu pada teori
perkembangan moral yang dikembangkan oleh Kohlberg.13
Permasalahan moral merupakan permasalahan yang seringkali menjadi
perdebatan dimasyarakat mengenai benar atau tidak benar, pantas atau tidak
pantas mengenai sikap moral seseorang yang berada dalam lingkungan
sosial.14
Pendidikan yang diterima oleh seorang anak dari kedua orang tuanya,
melalui pembiasaan pergaulan hidup, cara berinteraksi, cara menentukan
sikap, akhlak dan lain sebagainya menjadi sebuah teladan yang akan selalu
diingat dan ditiru anak sebagai pedoman.15
11
Agus Abdul Rahman, Teori Perkembangan Moral dan Model Pendidikan Moral, vol. III,
2010, Hlm. 39-39, Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.59 12
Laila Maharani, Perkembangan Moral Pada Anak, 2014,
(https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/konseli). Diakses tanggal 5 April 2019 jam 22.01 13Safnowandi, Teori Perkembangan Kepribadian, Sosial dan Moral, 2012,
(safnowandi.wordpress.com/2012/11/04/teori-perkembangan-kepribadian-sosial-dan-moral/).
Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.17 14Laila Maharani, Perkembangan Moral Pada Anak, 2014,
(https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/konseli). Diakses tanggal 5 April 2019 jam 20.19 15
Zakiyah Dradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),
Hlm 20
5
Sebagaimana pernyataan Al-Ghazali tentang akhlak (moral dalam
Islam), akhlak tersebut merupakan perangai yang sudah tertanam dan menjadi
label dalam diri seseorang, sehingga akan memunculkan perbuatan yang baik
tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Perubahan-perubahan
seringkali terjadi pada beberapa ciptaan Allah, kecuali hal-hal yang sudah
menjadi ketetapan Allah seperti langit dan bintang-bintang. Dalam hal ini,
keadaan dalam diri seseorang yang dapat diadakan kesempurnaannya dengan
jalan pendidikan. Pada dasarnya imam Al-Ghazali mengemukakan dua tujuan
pendidikan Islami, yaitu pertama untuk mencapai kesempurnaan manusia
dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedua sekaligus untuk mencapai
kesempurnaan hidup manusia dalam menjalani hidup dan penghidupannya
dalam mewujudkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.16
Menurut Abuddin Nata, tugas dan tanggung jawab pendidik dalam
melahirkan manusia yang cerdas, berakhlak mulia, unggul dalam ilmu, cakap
dalam keterampilan, dan ramah dalam pergaulan, adalah hal yang semestinya
kita lakukan, sebab manusia-manusia yang demikianlah yang diperlukan di era
global saat ini dan manusia yang seperti itu pula yang dikehendaki oleh Al-
Qur‟an.17
Menyadari pentingnya memperhatikan perkembangan moral peserta
didik, yang sangat berkaitan dengan pendidikan secara hirarki yang
mempengaruhi sikap peserta didik, maka kita perlu melihat teori Moral
Development atau perkembangan moral yang telah dikaji secara umum di
Barat jika dikaitkan dengan unsur-unsur yang ada dalam pendidikan Islami,
maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian yang berjudul “Teori
Moral Development Lawrence Kohlberg dalam Perspektif Pendidikan
Islami”.
16 Sitti Trinurmi, Hakekat dan Tujuan Hidup Manusia dan Hubungannya dengan
TujuanPendidikan Islam, Jurnal Bimbingan Penyuluhan Islam, Vol. 2, No. 1, (Desember 2015),
hlm. 58 17Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Prenamedia Group,
2016). Hlm 13
6
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas kiranya dapat diidentifikasi beberapa
masalah yang muncul, yang bila dikelompokkan menjadi dua kelompok besar
permasalahan yang berkaitan dengan pentingnya peran orang tua dan guru
dalam perkembangan dan pendidikan anak, serta implementasi Undang-
Undang tentang pendidikan dan perbedaan pemikiran ahli psikologi, yang
akan penulis uraikan sebagai berikut:
a. Tentang pentingnya peran orang tua dan guru dalam perkembangan dan
pendidikan anak
1. Bagaimanakah tanggung jawab para orang tua dalam mempersiapkan
perkembangan anak baik dari segi psikologi dan jasmaninya?
2. Apakah pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh guru sudah
cukup untuk membimbing dan mengarahkan peserta didik pada
perkembangan yang baik?
3. Apakah perkembangan yang dialami peserta didik sudah sesuai dengan
tujuan pendidikan itu sendiri?
b. Implementasi Undang-Undang tentang pendidikan, dan perbedaan
pemikiran para ahli psikologi
1. Apakah Undang-Undang dalam pendidikan sudah terimplementasi
sesuai dengan sistem pendidikan yang saat ini mengedepankan
pendidikan karakter?
2. Apakah perbedaan pemikiran yang terjadi di kalangan para ahli
memunculkan konsep perkembangan moral yang sesuai dengan
kebutuhan pendidikan saat ini?
3. Bagaimanakah teori perkembangan moral yang dikembangkan oleh
Lawrence Kohlberg jika dilihat dari sudut pandang pendidikan yang
Islami?
C. Pembatasan Masalah
Setelah mengidentifikasi beberapa permasalahan seperti yang telah
penulis uraikan di atas, penulis tidak akan membahas seluruh permasalahan
7
tersebut, dengan demikian maka agar lebih jelas dan memberi arah yang tepat
serta menghindari meluasnya pembahasan dalam penelitian ini penulis akan
membatasi pada satu permasalahan saja, yaitu mengenai “Teori perkembangan
moral yang dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg jika dilihat dari sudut
pandang pendidikan yang Islami”
D. Rumusan Masalah
Dalam kehidupan bersosial, kita sebagai manusia yang membutuhkan
manusia lainnya dalam berinteraksi, sudah seharusnya kita menjunjung tinggi
nilai-nilai, akhlak, etika, dan moral yang dibutuhkan dalam berperilaku di
dalam komunitas sosial.Secara teoritis Nilai-nilai, akhlak, etika, dan moral
merupakan cakupan dari ranah afeksi (sikap).Namun faktanya, Lawrence
Kohlberg seorang ahli psikologi anak Spanyol mengembangkan teori
perkembangan anak atau yang disebut moral development melalui
perkembangan kognitifnya. Berdasarkan problem statement ini penulis tertarik
untuk memperdalam dan menganalisa teori tersebut, dan lebih fokus kepada
bagaimana teori tersebut jika dilihat dari sudut pandang pendidikan Islami.
Dari problem statement di atas maka penulis menarik benang merah dan
mengangkat beberapa pertanyaan, sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Moral Development?
2. Bagaimana pendidikan Islami menurut para ahli ?
3. Bagaimana Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam bingkai
nilai-nilai pendidikan Islami ?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian moral development.
2. Untuk mengetahui peran pendidikan Islami dalam perkembangan
moral.
3. Untuk mengetahui perkembangan moral atau teori moral development
Kohlberg dalam perspektif Pendidikan Islami.
8
F. Manfaat Penelitian
1. Dapat memberikan kontribusi ilmu pengetahuan kepada penulis
khususnya dan kepada pembaca umumnya.
2. Dapat menambah khazanah pengetahuan penulis sebagai calon yang
mendalami lembaga pendidikan Agama Islam.
3. Penelitian ini menjadi langkah awal dan dapat dikembangkan oleh
peneliti selanjutnya.
4. Dapat menjadi referensi bagi masyarakat umum tentang kajian teori
perkembangan moral dalam Pendidikan Islami.
G. Metode Peneltian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul “Teori Moral Development Lawrence
Kohlberg dalam Perspektif Pendidikan Islami” ini berlangsung sejak
disetujuinya judul proposal skripsi yaitu pada tanggal 27 Desember 2018
sampai dengan 28 Januari 2019, penulis mencari dan mengumpulkan data
dari sumber-sumber tertulis yang didapat dari buku-buku di perpustakaan,
jurnal, dan sumber lainnya yang terdeskripsi mendukung penelitian,
terkhusus yang berkaitan dengan moral, perkembangan moral, pendidikan
Islam, dan teori-teori moral. Dalam pelaksanaannya penelitian ini
bertemepat di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan di
tempat lain yang mendukung dalam mempermudah dalam penulisan
penelitian.
2. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian
Metode penelitian adalah cara berfikir dan berbuat yang telah
dipersiapkan dengan baik untuk mempermudah dalam pengadaan
penelitian dan mencapai suatu tujuan penelitian.18Dalam penelitian yang
18Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mondari Maju, 1996),
Hlm. 20.
9
penulis lakukan, penulis menggunakan jenis penelitian library research
atau studi pustaka, yang mana penelitian yang data-datanya didapatkan
melalui studi pustaka atau dengan literature terkait, studi pustaka adalah
penelitian yang teknik pengumpulan datanya dilakukan di lapangan
(perpustakaan). Karena dalam perpustakaanmerupakan tempat paling ideal
untuk melakukan rekreasi intelektual dan tentu akan membantu dan
mempermudah penulis untuk menemukan berbagai sumber yang relevan
berdasarkan pembacaan terhadap literature-literatur yang mengandung
informasi dan relevansi dengan topik penelitian.19Metode ini berkembang
dan yang menjadi kriterianya adalah tujuan dari penelitian ini, salah
satunya adalah mendapatkan pemahaman yang mendalam dari sudut
pandang subjek yang diteliti.20
Library research (penelitian kepustakaan) artinya adalah penelitian
yang sifatnya kepustakaan murni, yang data-datanya berdasarkan atau
diambil dari bahan-bahan tertulis, baik berupa buku atau yang lainnya
terkait dengan topik pembahasan skripsi ini.21Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk melatih penulis dalam membaca literature-literatur scara
kritis dan untuk mendeskripsikan semua bahan.
3. Sumber Data
Sumber penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi
ini bersifat dokumenter, atau data yang bersifat simbol, kepustakaan, dan
sumber bacaan lain yang dikira relevan dan linier dengan judul skripsi ini.
H. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan selama penelitian ini, sesuai
dengan jenis penelitian yang telah penulis pilih, penulis melakukan kajian
19Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2010), Hlm. 34. 20Nusa Putra, S.Fil., dkk, Penelitian Kualitatif Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2012), Hlm. 18 21Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015), Hlm. 6.
10
kepustakaan, yaitu dengan membaca literature yang berkenaan dengan topik
penulis tentang Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam
Perspektif Pendidikan Islami.Setelah mendapatkan data dari berbagai sumber,
selanjutnya adalah seluruh sumber tersebut dipilih dan disusun menjadi
kerangka penelitian yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Teknik dalam mengumpulkan data ini tidak memungkinkan untuk
penulis membaca seluruh sumber berupa buku yang ada di perpustakaan. Oleh
karena itu penulis memanfaatkan alat riset dan mekanisme standar yang biasa
ada pada perpustakaan seperti ensiklopedia, maupun internet.22
I. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis melakukan analisis data dan
mendeskripsikannya dari setiap sumber yang berhubungan dengan teori
perkembangan moral dalam pendidikan Islam, hal ini dilakukan agar penulis
mengetahui bagaimana perkembangan moral dalam pendidikan Islam.
J. Sistematika Penulisan
Agar lebih jelas dalam memahami penelitian skripsi ini, maka materi-
materi yang dituliskan pada skripsi dikelompokkan menjadi beberapa sub bab
dengan sistematika penyampaian sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN DAN METODE PENELITIAN
Berisi tentang penjabaran latar belakang penelitian, identifikasi masalah,
pembatasan masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian.Tempat dan waktu penelitian, metode dan pendekatan penelitian,
sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, sistematika
penulisan, dan hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian.
BAB II KAJIAN TEORI
Bab ini membahas teori yang berkaitan dengan judul skripsi berupa definisi
dan pengertian yang diambil atau dikutip melalui sumber-sumber, pada bab
22Gorys Keraf, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, hlm. 166
11
ini khusus dibahas seluruh teori yang berkaitan dengan salah satu dari dua
variabel judul skripsi, yaitu membahas tentang teori moral development
Lawrence Kohlberg. Penjabaran akan dipaparkan dalam dua sub bab, sub A
akan membahas moral development dalam bingkai konstruktivisme, sub B
akan membahas tentang kritik terhadap teori moral development Lawrence
Kohlberg.
BAB III KAJIAN TEORI
Dalam BAB III ini akan dipaparkan lanjutan dari teori yang sebelumnya
belum di bahas dalam BAB II, bab ini akan membahas seluruh teori yang
berkaitan dengan variabel judul skripsi yg kedua yaitu mengenai perspektif
pendidikan Islami. Sub-sub judul yang akan dibahas dalam bab ini adalah,
antroposentris dan teosentris, moral dalam perspektif Islam, pertumbuhan dan
perkembangan manusia, hubungan moral dengan antroposentris.
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini lah akan muncul perspektif dari penulis, mengenai seluruh
teori yang akan dipaparkan sekaligus pembahasannya, sub judul yang dibuat
dalam bab ini adalah, analisis deskriptif mengenai moral development
Lawrence Kohlberg, perspektif pendidikan Islami dari para ahli, dan korelasi
moral development Kohlberg dengan nilai-nilai pendidikan Islami dalam
perspektif ahli.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Ini adalah bab penutup dalam penulisan skripsi, dalam bab ini akan dibahas
kesimpulan dan inti dari penelitian yang penulis buat.
K. Hasil Penelitian yang Relevan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telahmelakukan pencarian mengenai
beberapa karya-karya yang relevan dengan topik pembahasan, seperti mengenai
perkembangan moral, pendidikan Islam, teori moral development, akhlak (moral) dalam
Islam dan karya-karya yang berkaitan dengan judul yang dipilih oleh penulis.
Adapun beberapa karya yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya adalah
sebagai berikut:
12
Pertama, skripsi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nanda Etik
Setioasih, (Mahasiswa jurusan Psikologi Universistas Muhammadiyah Malang)
yang berjudul Hubungan antara Perkembangan Moral dengan Perilaku
Prososial Pada Remaja(2016), dalam skripsinya tersebut Nanda Etik
Setioasihmenggunakan metode kuantitatif karena gejala-gejala hasil penelitian tersebut
berwujud data, diukur, dan dikuantitatifkan serta dianalisis dengan teknik statistik.
Dalam penelitiannya tersebut, Nanda menemukan adanya korelasi antara sikap
prososial dengan perkembangan moral seseorang, adanya hubungan positif
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat perkembangan moral seseorang maka
akan semakin tinggi pula perilaku prososialnya dan ketika tingkat perkembangan
moralnya rendah maka akan rendah pula perilaku prososialnya. Penelitian ini
diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dalam bersikap dan berperilaku. Dan untuk
akademisi diharapkan untuk dapat memberikan manfaat teoritis tentang studi
perkembangan moral dan perilaku prososial. Dalam skripsi tersebut, berbeda dengan
apa yang akan penulis sajikan pada proposal skripsi ini, perbedaannya adalah terdiri
dari metode penelitian yang dilakukan, kemudian, konten dari apa yang disampaikan
Nanda, adalah sebuah korelasi antara perkembangan moral dengan sikap prososial
pada remaja, sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan adalah teori
perkembangan moral (Moral Development) dalam perspektif pendidikan Islami.
Kedua, skripsi yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan oleh M.
Nur Hidayat (Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang berjudul
Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Islam (2011), dalam
skripsi tersebut peneliti menggunakan penulisan dengan pendekatan filosofis
educatif dengan metode penelitian deskriptif dan jenis penelitiannya adalah
library research atau penelitian kepustakaan, sama halnya dengan penelitian
yang akan penulis lakukan selanjutnya. Kajian yang dilakukan pada skripsi
tersebut adalah konsep mengembangkan nilai-nilai kepribadian Rasullullah
SAW dalam kegiatan pendidikan. Outputnya adalah diharapkan para praktisi
pendidikan Islam dapat kembali memahami nilai-nilai pendidikan karakter
yang dikembangkan dalam sistem pendidikan Islam.
13
Ketiga, skripsi yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan oleh
Isnawati (Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang berjudul Studi
Komparasi Pemikiran Hasan al-Banna dan Ahmad Dahlan tentang Konsep
Pendidikan Islam (2015), dalam skripsi tersebut peneliti menggunakan jenis
penelitiannya adalah library research atau penelitian kepustakaan, sama
halnya dengan penelitian yang akan penulis lakukan selanjutnya. Dalam
skripsi tersebut peneliti memaparkan pemikiran-pemikiran dari dua tokoh
besar mengenai konsep pendidikan Islam, sedangkan penelitian yang penulis
akan lakukan adalah bagaimana pendidikan Islam itu sendiri dalam proses
perkembangan moral.
Keempat, skripsi yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan oleh
Abdul Aziz (Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang berjudul
Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mengatasi Krisis Akhlak Siswa
(2010), dalam skripsi tersebut peneliti melakukan studi kasus di SMA
Darussalam Ciputat, penelitian tersebut dilakukan dan menghasilkan
kesimpulan bahwa pendidikan Agama Islam sangat berperan penting dalam
mengatasi krisis akhlak pada siswa, jadi yang dikaji dalam skripsi tersebut
adalah peranan pendidikan Agama Islam dalam mengatasi krisis akhlak
(moral) siswa. Skripsi tersebut berbeda dengan penelitian yang akan penulis
lakukan pada bentuk teknik, jenis dan metode penelitian, namun memiliki
kesamaan yang linier pada konten dari apa yang hendak dicapai dari penelitian
yang dilakukan.
14
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Moral Development dalam Bingkai Konstruktivisme
1. Konstruktivisme sebagai Basic Teori Lawrence Kohlberg
a. Eksplorasi dan Elaborasi Teori-teori Pendukung Moral Development
Proses belajar seorang peserta didik, dituntut untuk mampu
mengkonstruksi informasi yang didapatkan di dalam kognisinya agar
ia terlatih untuk membangun pengetahuannya sendiri.23
Pada
umumnya, terdapat teori-teori dasar yang digunakan dalam
pembelajaran, salah satu teori tersebut, ialah teori konstruktivisme.
Dalam teori konstruktivisme, dikatakan bahwa individu-individu
berkembang dengan melalui serangkaian tingkatan.24
Konstruktivisme
dijelaskan pula sebagai teori yang memahami hakikat belajar sebagai
kegiatan manusia dalam membangun, menciptakan pengetahuan
dengan memaknai pengetahuan tersebut sesuai dengan pengalaman
dirinya. Menurut pandangan konstruktivisme, seorang anak secara
aktif membangun pemahaman dan pengetahuan dengan terus menerus
menyesuaikan dan mengakomodasi sebuah informasi baru, sehingga
dengan kata lain konstruktivisme adalah teori perkembangan kognitif
yang memberikan penekanan pada keaktifan siswa dalam membangun
pemahaman mereka tentang pengalaman yang mereka dapatkan dari
kehidupan realita.25
Teori konstruktivisme digagas oleh dua tokoh penting, yaitu
Jean Piaget dan Lev Semonovich Vygotsky.Konstruktivisme ini
berperan besar terhadap pengembangan pendidikan di dunia Barat.26
23Chairil Anwar, Teori-teori Pendidikan Klasik Hingga Kontemporer,(Yogyakarta: IRCiSoD,
2017), hlm. 316 24Sunanik, Perkembangan Anak Ditinjau dari Teori Konstruktivisme, vol. 2, 2014, hlm 2,
Diakses tanggal 3 Mei 2019 jam 21:59 25
Sunanik, Perkembangan Anak Ditinjau dari Teori Konstruktivisme, vol. 2, 2014, hlm 3,
Diakses tanggal 3 Mei 2019 jam 22:23 26
Chairil Anwar,Teori-teori Pendidikan Klasik Hingga Kontemporer,(Yogyakarta: IRCiSoD,
2017), hlm. 317
15
Jean Piaget adalah pencetus pertama dasar teori
konstruktivisme, maka konstruktivisme merupakan sebuah aliran baru
yang lahir di dalam psikologi pembelajaran.Piaget merupakan seorang
tokoh yang beraliran kognitivisme, sehingga konstruktivisme
hakikatnya merupakan pengembangan khusus dari aliran
kognitivisme.27
Piaget berpendapat, manusia pasti memiliki struktur
pengetahuan di dalam otaknya, dikatakan, seperti sebuah kotak-kotak
yang memiliki makna berbeda pada masing-masingnya. Atau dapat
disimpulkan bahwa setiap orang memiliki pengalaman individu, yang
terkadang meski pengalamannya sama, tetapi dimaknai berbeda-beda
oleh masing-masing individu dan tersimpan di dalam kotak ingatan
yang berbeda pula. Pengalaman baru tersebutlah yang akan
dihubungkan dengan struktur pengetahuan yang sudah ada dalam otak
manusia.28
Menurut Vygotsky, pendekatan konstruktivisme dalam belajar
adalah terjadinya interaksi sosial individu dengan lingkungannya.
Bagi Vygotsky, belajar merupakan proses yang melibatkan dua
elemen. Pertama, belajar adalah proses secara biologi sebagai proses
dasar. Kedua, proses secara psikososial yang merupakan proses lebih
tinggi dan memiliki esensi yang erat kaitannya dengan lingkungan
sosial budaya. Sehingga perilaku seseorang yang muncul adalah
karena adanya hubungan antara kedua elemen tersebut.29
Sebagian teoritisi mengkategorikan Vygotsky sebagai seorang
konstruktivisme sosial, dan sebagiannya lagi mengatakan bahwa ia
adalah konstruktivis psikologis, karena tertarik dengan perkembangan
dalam diri individu. Salah satu keunggulan teori pembelajaran adalah
memberikan cara untuk mempertimbangkan yang bersifat psikologis
27
Ibid, hlm. 318 28
Sunanik, Perkembangan Anak Ditinjau dari Teori Konstruktivisme, vol. 2, 2014, hlm 4,
Diakses tanggal 3 Mei 2019 jam 18:56 29
Sunanik, Perkembangan Anak Ditinjau dari Teori Konstruktivisme, vol. 2, 2014, hlm 6,
Diakses tanggal 3 Mei 2019 jam 19.25
16
maupun sosial, Vygotsky menjembatani keduanya. Sebagai contoh,
konsep Vygotsky tentang Zone Of Proximal Development (Zona
Perkembangan Proksimal), wilayah tempat seorang anak
menyelesaikan masalah dengan bantuan (scaffolding) orang dewasa
atau sebayanya yang lebih mampu, disebut sebagai tempat budaya dan
kognisi saling menciptakan.30
Budaya menciptakan kognisi ketika
orang dewasa menggunakan alat-alat dan praktik-praktik dari
budayanya (membaca, menulis, menenun, menari).Kognisi
menciptakan budaya ketika orang dewasa dan anak-anak bersama
membentuk praktik dan solusi masalah baru untuk ditambahkan ke
kelompok budayanya.31
Teori Kohlberg mengenai perkembangan moral secara formal
disebut dengan cognitive-developmental theory of moralization, yang
bermula dari karya Piaget. Asumsi yang diberikan Piaget yakni bahwa
kognisi (pikiran) dan afek (perasaan) berkembang secara paralel dan
keputusan moral merupakan proses dari perkembangan kognisi secara
murni.32
Menurut pemahaman kognitif, belajar adalah proses yang
melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia, sebagai
akibat dari sebuah proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk
memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan,
pemahaman, tingkah laku, keterampilan, dan nilai sikap yang bersifat
relatif dan berbekas.33
Dalam karya John Gibbs edisi ketiga merangkum salah satunya
Teori Kohlberg, dikatakan bahwa teori moral development Kohlberg
mengacu pada moral Judgment atau pendekatan perkembangan
kognitif yang mengacu pada penilaian moral.Agar dapat konsisten
dalam bernalar untuk mengambil keputusan moral ketika menghadapi
30
H. Dadang Supardan, Teori dan Praktik Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran,
vol. 4, No. 1, (2016), hlm. 5 31Ibid. 32Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hlm. 11 33
Chairil Anwar,Teori-teori Pendidikan Klasik Hingga Kontemporer,(Yogyakarta: IRCiSoD,
2017), hlm. 119
17
kondisi yang dilematis, seseorang harus menapaki tahapan demi
tahapan yang disebut dengan tahap perkembangan moral.34
Teori Moral Development Kohlberg, terdapat tahapan-tahapan
sebagaimana yang akanpenulis paparkan, dan masing-masing tahapan
tersebut memiliki struktur dan cara berpikir akan persoalan moral.
Dan perkembangan yang dialami seorang anak, akan mencapai
tahapan-tahapan perkembangan moral tertentu dengan melalui
tahapan moral yang sebelumnya. Karena tahapan tersebut merupakan
integrasi yang hierarkis.35
Dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah suatu
pandangan yang mendasarkan bahwa seseorang mendapatkan
pengetahuan atau konstruksi ketika seseorang yang sedang belajar
tentu diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang pada akhir
proses belajar, pengetahuan tersebut akan dibangun melalui
pengalamannya dari hasil interaksi dengan
lingkungannya.36
Konstruktivisme juga merupakan sebuah gerakan
besar dan memiliki posisi filosofis dalam pendekatan dan strategi
pembelajaran, olehkarenanya konstruktivisme sangatlah berpengaruh
dalam bidang pendidikan, yang memicu munculnya beragam
metode/strategi pembelajaran baru.37
Perspektif konstruktivis yang
marak berkembang bermula dari penelitian yang dilakukan oleh John
Dewey, Jean Piaget, Lev Vygotsky, Jerome Burner, dan para ahli
psikologi lainnya.38
Teori-teori yang serupa, yang menitikberatkan pada bagaimana
seseorang mendapatkan atau memperoleh pengetahuannya, seperti
teori yang dikembangkan oleh David Ausubel, inti dari teori belajar
bermakna atau yang dikenal dengan meaningfull learning adalah
34
Nida, Fatma Laili, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg dalam
Dinamika Pendidikan Karakter, Vol. 10, No. 2, Jurnal Edukasia, (26 Mei, 2014) 35
Darmiyati Zuchdi,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hlm. 12 36Sulthon, Peningkatan Kualitas Pembelajaran Melalui Pendekatan Konstruktivistik dalam
Pendidikan Bagi Anak Usia Dini, vol. 1, No. 1, (Juli-Desember 2013), hlm. 5 37H. Dadang Supardan, Teori dan Praktik Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran,
vol. 4, No. 1, (2016), hlm. 2 38Ibid,
18
bahwa sebuah proses dalam pembelajaran akan mudah dipelajari dan
serta dipahami oleh peserta didik jika guru mampu memberi
kemudahan bagi siswa sehingga siswa mampu mengaitkan
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah tersimpan di
long term memory atau diingatan yang sudah dimiliki peserta
didik.39
Menurut Ausubel subjek yang dipelajari oleh peserta didik
harus bermakna (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan
suatu proses mengaitkan sebuah informasi yang baru pada konsep-
konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang.40
Struktur kognititf ini adalah fakta-fakta, konsep-konsep,
dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh
peserta didik.41
Teori belajar bermakna Ausubel ini sangat dekat
konstruktivisme, karena keduanya menekankan pentingnya peserta
didik mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru
kedalam sistem pengertian yang telah dimilikinya.42
Selain itu, ada juga teori yang dikenal dan dikembangkan oleh
Jean Piaget yaitu cognitive development, dalam teorinya tersebut
Piaget mencurahkan pandangannya mengenai bagaimana cara seorang
anak belajar, ini juga merupakan pandangan konstruktivisme.43
Dalam
konstruktivisme, sebuah pengetahuan tumbuh dan berkembang
melalui pengalaman. Ada tiga dalil pokok dalam perkembangan
mental manusia menurut Piaget; (1) Perkembagan intelektual terjadi
dengan melalui tahap-tahap beruntun yang kemudian selalu terjadi
dengan urutan yang sama. (2) Tahapan tersebut didefinisikan sebagai
kluster dari operasi-operasi mental yang memunculkan tingkah laku
intelektual. (3) Gerak melalui tahapan demikian dilengkapi oleh
adanyakeseimbangan (ekulibration) proses pengembangan yang
39Nur Rahmah, Belajar Bermakna David P. Ausubel di SD/MI, vol. 3, No. 1, (Juni 2015),
hlm. 5 40
Amin Otoni Harefa, Penerapan Teori Pembelajaran Ausubel dalam Pembelajaran,
(Majalah Ilmiah, ISSN: 1829-7463), Edisi 36: Tahun 2013, hlm. 3 41Ibid. 42Ibid, hlm. 7 43Ramlah, Penerapan Teori Perkembangan Mental Piaget Tahap Operasional Konkret pada
Hukum Kekekalan Materi, Jurnal Pendidikan UNISKA, vol. 3, No. 2, November 2015, hlm. 2
19
menguraikan terjadinya interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan
struktud kognitif yang timbul (akomodasi).44
Dalam perkembangan kognitif Piaget, istilah perkembangan
menunjukkan pada bagaimana seseorang tumbuh, menyesuaikan diri,
dan berubah selama hidupnya dengan melalui berbagai perkembangan
seperti perkembangan fisik, kepribadian, perkembangan sosioemosi,
perkembangan kognisi pemikiran, dan juga perkembangan
bahasa.Sehingga perkembangan adalah sebuah pertumbuhan dan
penyesuaian yang berlangsung dengan teratur selama perjalanan
hidup.45
Membahas teori tentang berbagai perkembangan, maka
terdapat banyak sekali teori perkembangan manusia, antara lain adalah
teori perkembangan kognisi dan moral Jean Piaget, teori
perkembangan kognisi Lev Vygotsky, teori perkembangan
kepribadian dan social Erik Erikson, dan juga teori perkembangan
moral Lawrence Kohlberg.46
Teori yang dihasilkan oleh Piaget
bermula pada saat Piaget mempelajari bagaimana dan mengapa
kemampuan mental dapat berubah lama-kelamaan.Menurutnya,
perkembangan tergantung sebagian besar pada manipulasi anak
terhadap interaksinya dengan lingkungan.Pandangan Piaget adalah
pengetahuan berasal dari tindakan.Teori perkembangan kognisi Piaget
menyatakan kecerdasan atau kognisi anak mengalami perubahan dan
kemajuan dengan melalui empat tahapan yang jelas.47
Teori Piaget ini
termasuk salah satu golongan konstruktivisme, yang mana teori ini
berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif merupakan
sebuah proses yang secara aktif membangun sistem pengertian dan
pemahaman tentang realitas dengan melalui pengalaman dan interaksi
yang dialami anak.48
44Ibid, hlm. 3 45Mukhlisah AM., Pengembangan Kognitif Jean Piaget dan Peningkatan Belajar Anak
Diskalkulia, Jurnal Kependidikan Islam, vol. 6, No. 2, Tahun 2015, hlm. 3 46Ibid. 47Ibid, hlm. 4 48Mukhlisah AM., Pengembangan Kognitif Jean Piaget dan Peningkatan Belajar Anak
Diskalkulia, Jurnal Kependidikan Islam, vol. 6, No. 2, Tahun 2015, hlm. 7
20
Thomas Lickona, memperoleh gelar Ph.D dalam bidang
psikologi dari State University of New York, Albany tentang risetnya
yang berkaitan dengan perkembangan penalaran moral anak-anak.
Lickona menyumbangkan pemikirannya tentang pendidikan karakter,
ia menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah sebuah
usaha sengaja untuk membantu seseorang hingga dia memiliki
kemampuan untuk memahami, memperhatikan, dan melaksanakan
nilai-nilai etika, juga untuk mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas
kemanusiaan yang baik secara objektif, bukan hanya baik untuk
perseorangan tapi juga untuk seluruh masyarakat.
Lickona memberikan suatu cara berpikir tentang karakter yang
tepat bagi pendidikan nilai, karakter, moral, yang terdiri dari nilai
operatif , nilai dan tindakan. Menurut Lickona, karakter yang baik
terdiri dari seseorang yang mengetahui hal yang baik knowing the
good, menginginkan hal yang baik desiring the good, dan melakukan
hal yang baik doing the good. Kebiasaan dalam cara berpikir,
kebiasaan dalam hati dan kebiasaan dalam tindakan. Hal tersebutlah
yang diperlukan untuk menjadi arahan suatu kehidupan moral.
Pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Lickona lebih menanamkan
membangun pada habbit atau kebiasaan seorang anak, sehingga
peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan hal
baik. Sehingga misi pendidikan karakter ini membawa misi yang sama
dengan tujuan yang diharapkan dari pendidikan akhlak atau
pendidikan moral untuk mengembangkan moral seseorang.49
Menurut Thomas Lickona, karakter berkaitan dengan konsep
moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku
moral (moral behavior), sehingga dengan tiga komponen tersebut
dapat kita nyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh
pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan
melakukan perbuatan baik.
49 Dalmeri, Pendidikan untuk Pengembangan Karakter (Telaah terhadap gagasan Thomas
Lickona dalam Educating for Character), Jurnal Al-Ulum, Vol. 14, No. 1, (Juni, 2014), hlm. 271
21
Banyaknya teori-teori perkembangan tersebut menunjukkan
bahwa para ilmuwan Barat tidak mengingkari betapa pentingnya
sebuah pendidikan moral dalam setiap perkembangan anak.Termasuk
juga salah satu Ilmuwan atau tokoh yang terkenal dengan teori belajar
sosial (Social Learning) atau terkenal juga dengan teori pembelajaran
melalui observasi (Observational Learning) yaitu Albert Bandura.50
Teori ini mengemukakan tentang sebuah proses perkembangan sosial
dan moral peserta didik yang selalu berkaitan dengan proses belajar,
sebab prinsip dasar belajar yang dihasilkan oleh Bandura ini adalah
belajar sosial dan moral. Proses belajar dimaknai sangat penting
karena amat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan
berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral agama, moral
tradisi, dan norma moral lainnya yang berlaku di masyarakat atau
lingkungan tempat mereka tinggal.51
Teori ini disebut dengan
pembelajaran social-kognitif atau disebut juga sebagai teori
pembelajaran melalui peniruan, teori Bandura ini didasarkan pada tiga
asumsi, antara lain adalah: (a) Individu mendapatkan pelajaran dengan
meniru apa yang ada di lingkungannya terutama perilaku-perilaku
orang lain yang disebut dengan model atau perilaku contoh. (b)
Terdapat hubungan atau ikatan yang erat antara peserta didik dengan
lingkungannya, karena akan terjadi pembelajaran pada keterkaitan
pada tiga pihak yaitu lingkungan, perilaku, dan faktor pribadi lainnya.
(c) Hasil dari pembelajaran tersebut adalah berupa bentuk perilaku
visual dan verbal yang ditunjukkan dalam perilaku sehari-hari.dengan
demikian maka teori ini disebut dengan sosial kognitif karena proses
kognitif dalam diri individu tersebut memiliki peran penting dalam
pembelajaran sedangkan pembelajaran terjadi karena adanya pengaruh
dari lingkungan sekitar individu.52
Teori kognitif sosial berakar pada
pandangan tentang human agency bahwa individu merupakan agen
50Qumruin Nurul Laila, Pemikiran Pendidikan Moral Albert Bandura, vol. III, No. 1, Maret
2015, hlm. 3 51Ibid. 52Ibid, hlm. 6
22
yang proaktif mengikutsertakan dalam lingkungan mereka sendiri dan
dapat membuat sesuatu terjadi dengan tindakan mereka.53
b. Teori Moral Development Lawrence Kohlberg
Lawrence Kohlberg lahir pada tahun 1972, dibesarkan di
Brouxmille, New York.Beliau menamatkan Sekolah Menengah di
Andover Academy di Massachusetts.Kohlberg melanjutkan
pendidikan dan masuk pada Universitas Chicago, ia mengambil
bidang psikologi, dan tertarik dengan Teori Piaget yang saat itu
merupakan gurunya.Pada tahun 1958 Kohlberg lulus S3 dengan
Disertasi Thedevelopment of Modes of Thinking and Choice in year 10
to 16, yang merupakan landasan teori perkembangan moralnya.54
Kohlberg menyatakan bahwa posisi psikologis dan antropologis
tentang moralitas tentu melibatkan penggabungan dari nilai-nilai,
standar, atau norma budaya seseorang.55
Kohlberg juga menyatakan
dalam karangannya, bahwa tujuan dari penelitiannya adalah usaha
untuk memahami hubungan pengembangan pemikiran moral untuk
perilaku moral dan emosi, keduanya adalah hal yang penting untuk
diperhatikan, seperti misalnya emosi, emosi yang terkait erat dengan
moralitas adalah hal-hal positif seperti, simpati, empati, dan rasa
hormat. Emosi tidak dapat mendorong pemikiran dan perilaku
seseorang, sehingga individu tidak akan bertindak nonrasional atau
irasional hanya karena reaksi emosional yang tidak disadari.56
Asumsi yang tertanam dalam pendekatan Kohlberg adalah,
sebuah gagasan bahwa penilaian moral dan sosial sangat erat
53Abd. Mukhid, Self-Efficacy Perspektif Kognitif Sosial dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan, Tadris, vol. 4, No. 1, Tahun 2009, hlm. 3 54Elliot Turiel, The Development of Children’s Orientations towards Moral, Social, and
Personal Oeders: More than a Sequence in Development, Human Development 2008, p. 1,
Diakses tanggal 16 Mei 2019 jam 22.17. 55Ibid, p. 3 56
Elliot Turiel, The Development of Children’s Orientations towards Moral, Social, and
Personal Oeders: More than a Sequence in Development, Human Development 2008, p. 4,
Diakses tanggal 16 Mei 2019 jam 22.44.
23
kaitannya dengan asumsi bahwa seseorang aktif dalam pemikiran.
Dan dalam lingkungan sosialnya, mereka memiliki kecenderungan
emosional atau mental yang peduli dengan kesejahteraan orang lain
serta keadilan dalam setiap hubungan mereka, dan dalam setiap
prosesnya mereka tidak hanya didorong oleh emosi atau biologis yang
tidak disadari.57
Lawrence Kohlberg called his theoretical approach to morality
and moral motivation "cognitive developmental" to describe his
contextualization of moral development within social and non-
social (or physical) cognitive development. one of moral
development kohlberg's chief sources of inspiration, jean piaget,
considered mature morality to be a logic or rationality inherent
in social relations. morality in the cognitive developmental
approach refers mainly to the moral judgment (or reasoned
evaluation) of the prescriptive values of right and wrong. this
approach emphasiezes moral development.58
Teori Moral Development ini menganggap moralitas yang
matang merupakan logika atau rasionalitas yang melekat dalam
hubungan sosial.Moralitas dalam pendekatan perkembangan kognitif
yang mengacu terutama pada penilaian moral dari nilai-nilai
preskriptif benar dan salah. Teori ini berkembang melalui tulisan
disertasi doktor yang dibuat oleh Lawrence Kohlberg pada saat beliau
melanjutkan studi psikologi di University of Chicago, yang mana
terinspirasi dari hasil pemikiran Jean Piaget.59
Piaget melihat bahwa anak yang berbeda umurnya
menggunakan cara berpikir yang berbeda, hal inilah yang
memengaruhi pandangan Piaget mengenai tahap-tahap perkembangan
kognitif anak.60
Dalam pemikirannya tentang perkembangan kognitif, Piaget
menjelaskan mengenai mekanisme dan proses perkembangan kognitif
57Ibid, p. 5 58John C. Gibbs, Moral Development. (New York: Oxford University Press, 2010), Hlm. 39 59Ibid, p. 39 60Chairil Anwar,Teori-Teori Pendidikan Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2017). Hlm 319
24
manusia dari bayi, masa kanak-kanak, hingga menjadi manusia
dewasa yang dapat bernalar dan berpikir.61
Perkembangan pemikiran moral perlu disertai dengan
pengembangan komponen afektif. Dalam proses perkembangan
moral, kedua komponen tersebut, yaitu kognitif dan afektif sama
pentingnya. Aspek kognitif memungkinkan seseorang dapat
menentukan pilihan moral secara tepat, sedangkan aspek afektif
menajamkan kepekaan hati nurani, yang memberikan dorongan untuk
melakukan tindakan bermoral.62
Dalam hal ini Lawrence Kohlberg mengembangkan teori
perkembangan moral yang pada dasarnya berada di ranah afektif,
namun juga berkembang secara kognitif sebagaimana sebuah proses
yang berkembang melalui tahapan-tahapan tertentu.63
Kohlberg mencoba mengembangkan dan meningkatkan
kesadaran penalaran moral dengan cara menekankan pada interaksi.
Menurut Kohlberg aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari
lahir, tetapi sesuatu yang berkembang dan dapat dikembangkan atau
dipelajari. Perkembangan moral ini merupakan proses internalisasi
nilai atau norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan
kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang
berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan moral ini mencakup
aspek kognitif tentang pengetahuan baik atau buruk, benar atau salah,
dan aspek afektifnya yaitu sikap perilaku moral mengenai bagaimana
cara pengetahuan moral tersebut dipraktikkan dalam kehidupan.64
Teori Kohlberg mengenai perkembangan moral secara formal
disebut dengan cognitive-developmental theory of moralization, yang
bermula dari karya Piaget. Asumsi yang diberikan Piaget yakni bahwa
61Ibid. Hlm 321 62Darmiyati Zuchdi,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hlm 8 63Supeni, Maria Goretti, Moralitas dan Perkembangannya, Vol. 33, No. 1, (15 Desember,
2010), Hlm. 15 64Darmiyati Zuchdi,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hlm 11
25
kognisi (pikiran) dan afek (perasaan) berkembang secara paralel dan
keputusan moral merupakan proses dari perkembangan kognisi secara
murni. Bertolak belakang dengan asumsi dari para ahli psikologi pada
masa itu yang mengatakan bahwa pikiran moral lebih merupakan
proses psikolog dan sosial.65
Mereka berasumsi bahwa moralitas
merupakan hasil dari pendidikan perasaan pada usia dini dan sedikit
sekali hubungannya dengan proses berpikir rasional. Yang mereka
percayai adalah bahwa dalam memahami moralitas, seseorang harus
mempelajari proses sosialisasi yang dipelajari anak-anak dengan
mematuhi aturan dan norma masyarakat. Sebagaimana pendapat
Piaget bahwa validitas prinsip-prinsip moral harus tidak terbatas untuk
masyarakat tertentu.Prinsip-prinsip moral tidak dipelajari pada masa
kanak-kanak tetapi merupakan hasil keputusan moral.66
Menurut Kohlberg, moralitas tidaklah diperoleh melalui
lingkungan sosial. Karena ketika seseorang dihadapkan dengan
persoalan nilai-nilai yang bertentangan, maka ia akan kesulitan untuk
memilih nilai yang manakah yang ada dalam lingkungan sosialnya
yang harus dianut. Dengan demikian seseorang akan menghadapi
dilema moral ketika harus memilih dua kebenaran, akan sulit dalam
memutuskannya, maka ia harus benar-benar mempertimbangkan
konsekuensi dari keputusannya.67
Gagasan Piaget dan Kohlberg
mengenai konstruksi moralitas, melihat konstruksi ini dengan
tahapan-tahapan, dengan pendekatan yang berasal dari tradisi
pragmatis Amerika.68
Gagasan umum yang dibawa oleh Kohlberg, yaitu hubungan
antara filsafat moral dan psikologi moral, dasar dan landasan dari
keenam tahapan yang kontroversial, yaitu psikologi moral
65Ibid. 66Ibid. 67Darmiyati Zuchdi,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hlm 12 68Gerhadrd Zecha, Paul Weingartner, Conscience: An Interdisciplinary View, (Holland: D
Reidel Publishing Company), p. 16
26
membutuhkan filosofi moral. Tahap ideal, adalah bentuk rekonstruksi
rasional perkembangan ontogenetik dalam beberapa kategori
moralitas, yang mana seseorang akhirnya dapat memperoleh dan
mencapai urutan tahapan.69
Terkait pendekatan yang digunakan Kohlberg, yaitu antara
psikologi moral deskriptif dan filsafat moral.70
Dalam karya John Gibbs edisi ketiga merangkum salah satunya
Teori Kohlberg, dikatakan bahwa teori moral development Kohlberg
mengacu pada moral Judgment atau pendekatan perkembangan
kognitif yang mengacu pada penilaian moral.
Agar dapat konsisten dalam bernalar untuk mengambil
keputusan moral ketika menghadapi kondisi yang dilematis, seseorang
harus menapaki tahapan demi tahapan yang disebut dengan tahap
perkembangan moral. Setiap tahapan mengandung struktur cara
berpikir mengenai hal-hal yang berkaitan dengan moral. Sebagaimana
disebut tahapan, maka tahap-tahap yang ada tentu berurutan secara
hierarkis. Seorang anak akan mencapai tahap perkembangan moral
tertentu setelah mencapai tahap moral pada tingkat sebelumnya.
Tahapan demikian disebut dengan integrasi yang hierarkis.Artinya,
ketika seseorang meningkat ke tahap yang lebih tinggi struktur
berpikir pada tahap yang lebih tinggi tersebut terintegrasi kembali
dengan struktur berpikir pada tahap yang lebih rendah.71
Pada teori moral development Lawrence Kohlberg memakai
sebuah metodologi, ia menyusun instrumen penelitian untuk
mempermudah dalam mengkualifikasi proses dari penalaran
seseorang tersebut dalam mengatasi dilema moral. Instrument tersebut
disusun juga untuk menemukan tahap kepatutan moral
seseorang.Kohlberg menggunakan wawancara keputusan Judgment
69Ibid, p. 17 70Ibid, p. 18 71Nida, Fatma Laili, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg dalam
Dinamika Pendidikan Karakter, Vol. 10, No. 2, Jurnal Edukasia, (26 Mei, 2014)
27
moral, yang mana terdiri dari tiga dilema hipotesis.Setiap dilema
menghadapkan subjek pada solusi yang sulit dan harus memilih dua
nilai yang bertentangan.Subjek diminta mengatasi suatu masalah dan
memberikan alasan terhadap pemecahan masalah yang dianggapnya
benar.72
Konsep tahapan itulah yang merupakan inti pendekatan
perkembangan kognitif.73Hal ini didukung dengan pernyataan
Durkheim, beliau menyimpulkan tesisnya yang dimulai dengan
pernyataan tegas “bahwa ilmu pengetahuan dapat membantu kita
menentukan jalan bagaimana kita harus mengorientasikan tingkah
laku kita”.74
Menurut Hogan dan Busch peningkatan pertimbangan
mengenai moral pada diri seseorang yang dirancang secara sengaja
melalui pendidikan di sekolah maupun di rumah, dapat membantu
membentuk kepribadian seseorang karena denga terbentuknya
pertimbangan moral pada dirinya maka seseorang akan berperilaku
(behavior) sesuai dengan cara berfikir moral (moral thinking) yang
ada padanya, perilaku yang ada pada diri seseorang berlandaskan pada
pertimbangan-pertimbangan kognitifnya.75
Kontribusi Lawrence Kohlberg dalam bidang perkembangan
moral sangat besar.Dia hampir sendirian dalam berinovasi bidang
pengembangan moral kognitif dalam Psikologi Amerika.Hal demikian
hampir tidak ada pada awal 1960-an, dimulai ketika kohlberg mulai
menerbitkan penelitiannya. Pilihan topiknya pada saat itu adalah
moralitas, penelitian yang dia lakukan menjadikannya semacam
"bebek aneh" dalam psikologi Amerika. Karena hampir tidak ada
ilmuwan sosial terkini, yang mengenal (relativisme) analisis
72Ibid., Hlm. 12 73Ibid., Hlm. 13 74Emile Durkheim, Moral Education, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama). 75Mulya Hasanah, Pendidikan Moral dalam Perspektif Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 2,
Desember 2018, Hlm. 26
28
psikologis, behaviorisme, dan antropologi budaya, menggunakan kata-
kata seperti moralitas atau pengembangan penilaian moral sama
sekali.76
Pandangan yang dimiliki Kohlberg tentang pendidikan adalah
masih revolusioner dan transformatif, hal ini karena Kohlberg
menganggap dan mendefinisikan pendidikan sebagai pendidikan
moral, ia sering mengatakan bahwa pendidikan moral menakutkan
baginya jika tidak kepada orang lain. Bagi Kohlberg, pendidikan di
sekolah harus mengajarkan “yang baik”, sebuah klaim yang
berpegang pada pemahaman bahwa pendidikan adalah sebuah usaha
moral, sarat akan nilai-nilai, dan terhubung dengan masyarakat yang
luas.77
Ide yang dikembangkan oleh Kohlberg, bahwa sistem
pendidikan harus selalu didahulukan dan dikhususkan sebagai bentuk
persiapan pembangunan seumur hidup atau jangka
panjang.Pembangunan untuk jangka panjang harus didasari dengan
perubahan progresif dari waktu ke waktu, domain pengalaman hidup
dan perubahan yang terjadi pada setiap individu saling mempengaruhi
dalam lintas waktu, kapasitas individu dan integrasi untuk
meningkatkan kognitif sosial dan kemampuan pemecahan masalah.78
Teori perkembangan moral dan teori pendidikan moral yang
ditemukan oleh Kohlberg berdasarkan hasil penelitian empirisnya
mengenai tahap-tahap keputusan moral.Kohlberg mendefinisikan
perkembangan moral sebagai gerakan dari tahap satu menuju tahap
berikutnya, dan pendidikan moral berarti merangsang gerakan
tersebut.Untuk memahami teori tersebut maka kita harus betul-betul
tahu mengenai definisi dari masing-masing tahap perkembangan
76John C. Gibbs, Moral Development. (New York: Oxford University Press, 2010), Hlm. 81-
85 77Boris Zizek, Detlef Garz and Ewa Nowak, Moral Development and Citizenship Education
(Kohlberg Revisited), Volume 9 (Taipei: Sense Publisher), p. 28 78Ibid., p. 29
29
moral.Lawrence Kohlberg menggambarkan 3 (tiga) tingkatan yang
menjadi enam tahapan tentang penalaran moral, masing-masing
tingkatan tersebut memiliki 2 tahapan. Enam Tahapan Keputusan
Moral Lawrence Kohlberg adalah79
:
Tabel 1.1 Enam Tahap Keputusan Moral Lawrence Kohlberg
Tingkat dan Tahap Makna Tahap Perspektif Sosial Setiap
Tahap
Tingkat I:
Prakonvensional
Tahap I:
Moralitas Heteronomi
Orientasi kepatuhan dan
hukuman: patuh semata-mata
karena ingin berbuat patuh,
menghindari hukuman fisik atau
kerusakan hak milik
Pandangan egosentrik, tidak
mempertimbangkan
keinginan orang lain dan
tidak menyadari bahwa setiap
orang berbeda-beda.
Tindakan orang lain hanya
dipandang secara fisik, tidak
ada dorongan psikologisnya.
Masih bingung dalam
membedakan antara
pandangan penguasa dengan
pandangan sendiri.
Tahap 2:
Individualisme,
egosentris, minat
pribadi (apa untungnya
bagi saya?), tujuan
instrumental, dan
pertukaran
Menaati peraturan jika sesuai
dengan kepentingannya sendiri,
bertindak untuk memenuhi
keinginan dan kebutuhannya
sendiri dan membiarkan orang
lain bertindak demikian juga.
Benar juga berarti keadilan atau
pertukaran perlakuan, perjanjian
yang adil
Pandangan individualistik
yang konkret. Menyadari
bahwa setiap orang memiliki
keinginan yang hendak
dicapainya, yang mungkin
saking bertentangan:
kebenaran bersifat relative.
Tingkat II:
Konvensional
Berbuat sesuai dengan harapan
orang-orang yang dekat dengan
Pandangan individual dalam
hubungan dengan individu-
79Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008).
Hlm 16
30
Tahap 3:
Orientasi keserasian
Interpersonal dan
Komformitas (sikap
anak baik)
dirinya atau sesuai dengan
harapan orang pada umumnya
mengenai bagaimana menjadi
anak, saudara, dan teman yang
baik. menjadi orang yang baik
itu penting dan bermakna
memiliki motif yang baik.
percaya akan hukum Tuhan,
keinginan menjaga peraturan
dan penguasa yang memiliki
perilaku yang baik.
individu lain. Menyadari
perasaan, persetujuan, dan
harapan bersama yang
mengutamakan keinginan
individu, bertenggang rasa.
Tahap 4:
Sistem Sosial dan Suara
Hati
Melaksanakan tugas-tugas yang
telah disetujui, orientasinya
adalah untuk memenuhi tugas,
menepati hukum. Untuk
menjaga agar lembaga berjalan
dengan menyeluruh dan
menghindari pelanggaran sistem.
Suara hati nurani penting sekali
untuk memenuhi tanggung
jawab seseorang.
Membedakan pandangan
masyarakat dari persetujuan
atau motif antarpribadi.
Menggunakan pandangan
sistem yang mendefinisikan
peran dan aturan;
mempertimbangkan
hubungan individual dalam
kerangka sistem.
Tingkat III:
Pasca Konvensional
atau Memiliki Prinsip
Tahap 5:
Kontrak Sosial atau
Hak Milik dan Hak
Individu
Menyadari bahwa masyarakat
memiliki berbagai nilai dan
pendapat, dan kebanyakan
peraturan mereka bersifat relatif
bagi kelompok mereka.
Biasanya menjunjung tinggi
kemauan rakyat secara
keseluruhan karena memiliki
kontrak sosial. Beberapa nilai
dan hak yang tidak bersifat
relatif (misalnya hak hidup dan
Mengutamakan perspektif
sosial. Kesadaran rasional
setiap individu akan nilai dan
hak sebelum membuat
kontrak sosial.
31
kebebasan) harus dijunjung
tinggi dalam masyarakat,
bagaimanapun pendapat
kelompok mayoritas.
Tahap 6:
Prinsip Etika Universal
Mengikuti prinsip-prinsip etis
pilihan pribadi. Undang-undang
khusus atau persetujuan sosial
biasanya valid karena didasarkan
pada prinsip-prinsip tersebut.
Jika Undang-undang tidak sesuai
dengan prinsip ini, orang tetap
bertindak sesuai dengan prinsip
meski harus melanggar Undang-
undang. Prinsip ini adalah
prinsip universal mengenai
keadilan, persamaan hak-hak
kemanusiaan, dan menghargai
martabat manusia sebagai
individu.
Perspektif pandangan moral
yang berasal dari persetujuan
sosial. Perspektif bahwa
individu rasional menyadari
hakikat moralitas atau
menyadari kenyataan bahwa
orang memiliki tujuan dan
harus diperlakukan sesuai
tujuannya.
Sumber: Lawrence Kohlberg, Moral Stages and Moralization: The cognitive Development
Approach, dalam Reimer, Paolitto, dan Hersh (1983:58-61)
c. Aplikasi Teori Moral Development Kohlberg dalam Pembelajaran
Pemahaman mengenai perkembangan tingkat kognitif,
psikomotorik, afektif merupakan hal yang sangat penting bagi calon
guru, sehingga ketika menjadi guru memiliki pedoman dalam membina
sikap, perilaku, moral dan karakter siswa.Sama pentingnya dengan
pemahaman tentang perkembangan psikologi dan moral anak sejak
kecil sampai dewasa.Beberapa teori yang sering dijadikan guru sebagai
32
dasar pedoman dan pembinaan, dan pembelajaran moral, salah satunya
adalah teori Kohlberg.80
Dalam pendidikan, untuk membangun karakter maka memiliki
tiga komponen penting, yaitu moral knowing, moral feelings, dan
moral action/ moral behavior.Komponen tersebutlah yang menjadi
dasar satu kesatuan yang terus menerus dalam perkembangan moral
anak.81
Oleh karena itu mempelajari bagaimana perkembangan moral
anak akan memberikan manfaat bagi kita sebagai dasar pemahaman
untuk melaksanakan dan mewujudkan pendidikan karakter sesuai
dengan kurkulum yang saat ini berlaku.82
Teori perkembangan moral
Kohlberg ini, merupakan modifikasi dan penyempurnaan atas teori
perkembangan kognitif Piaget. Mengenai bagaimana anak-anak
berpikir tentang hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai moral, yang
mulai dikembangkan oleh Piaget pada tahun 1932 dengan penelitian
yang mendalam, metode yang digunakannya adalah observasi dan
wawancara pada anak-anak berusia 4-12 tahun. Penelitian Kohlberg
mengenai teori perkembangan moral adalah sebagai penyempurnaan
pentahapan yang dikembangan oleh gurunya yaitu Piaget.83
Lawrence Kohlberg berhasil menelurkan kelompok tahapan-
tahapan perkembangan moral menjadi 6 tahapan, yang mana
diperolehnya dengan mengubah dan memodifikasi tiga tahap Piaget/
Dewey kemudian masing-masing dijadikannya tiga tingkatan
kemudian tingkatan tersebut dibagi lagi atas dua tahap.84
Ketiga tingkatan tersebut sebagaimana telah penulis paparkan
pada sub bab sebelumnya, yaitu tingkat prakonvensional,
konvensional, dan pasca-konvesional. Anak yang berada dalam tahap
prakonvensional akan berperilaku “baik” dan peka terhadap pandangan
80H. M. Mukiyat, Model-model Pembelajaran Moral dalam PKn (Salah SatuWahana untuk
Mengembangkan Karakter Bangsa), vol. 17, No. 1, (April2015), hlm. 6 81Fatma Laili Khoirun Nida, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg
Dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, vol. 8, No. 2, Agustus
(2013)., hlm. 4 82Ibid. 83Ibid, hlm. 13 84
Ibid.
33
atau label budaya tentang baik dan buruk, benar dan salah. Namun
anak-anak tersebut hanya memaknai pandangan tersebut dari segala
bentuk fisiknya saja seperti hukmannya, ganjarannya, ataupun
kebaikan.Anak-anak yang berada pada tingkatan ini biasanya anak
yang bekisar usianya di 4 hingga 10 tahun. Dalam tingkatan ini, terbagi
lagi menjadi dua tahap, yaitu: Tahap I, Orientasi hukuman dan
kepatuhan, anak berorientasi pada hukuman dan rasa hormat yang
tidak dipersoalkan terhadap kekuasaan yang lebih tinggi, dengan akibat
fisik sebuah tindakan, mereka akan terlepas dari arti atau nilai
kemanusiawiannya, akan menentukan sifat baik atau buruknya dari
tindakan ini.85
Tahap ke-2, Orientasi relativis-instrumental, perbuatan yang
dilakukan adalah perbuatan benar yang secara instrumental berupa
kepentingan dan kebutuhan individu itu sendiri dan kadang-kadang
memuaskan kebutuhan orang lain. Pada tahap ini hubungan antar
manusia terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal balik, bukan sebuah
kesetiaan, rasa terimakasih, atau keadilan.86
Kedua tahap pada tingkat awal ini disebut dengan Hedonisme
instrumental atau sifat timbal balik menjadi peranan, atau dalam artian
“moral balas dendam”.
Selanjutnya tingkat kedua yaitu tingkat konvensional, pada
tingkatan ini berlaku pada anak usia 10-13 tahun, dalam tingkatan ini
anak-anak akan menuruti dan memenuhi harapan dari keluarga,
kelompok atau bangsa, sehingga dipandang sebagai hal yang bernilai
dalam dirinya tanpa mengindahkan akibat yang mereka dapatkan. Pada
tingkatan ini individu seorang anak bukan hanya sekedar berupaya
untuk menyesuaikan diri dengan tatanan sosialnya, namun juga untuk
85
Fatma Laili Khoirun Nida, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg
Dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, vol. 8, No. 2, Agustus
(2013)., hlm. 14 86Ibid.
34
menjaga, mendukung serta membenarkan sebuah tatanan sosial
tersebut.87
Pada tingkat konvensional ini, ada dua tahapan yaitu; tahap 3,
orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “menjadi anak
baik”. Di tahap ini, perilaku yang baik adalah perilaku menyenangkan
atau membantu orang lain, dan tentunya yang disetujui oleh mereka.
Terdapat banyak konformitas88
dengan gambaran-gambaran mengenai
apa yang dianggap tingkah laku mayoritas atau yang “wajar”.
Kemudian adalah tahap 4, yaitu anak terpatok pada orientasi
hukum dan ketertiban, orientasi pada otoritas, peraturan atau
pemeliharaan aturan sosial.Perbuatan yang benar adalah ketika
menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan
pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu
sendiri.Orang mendapatkan rasa hormat dengan berperilaku
sebagaimana kewajibannya.89
Berikutnya tingkat pasca-konvensional yang terjadi pada usia 13
tahun ke atas, ciri-cirinya adalah adanya dorongan utama menuju ke
prinsip-prinsip moral otonom, mandiri, dan mempunyai validitas dan
penerapan, dan tentu terlepas dari otoritas kelompok-kelompok atau
dari identifikasi individu tersebut terhadap pribadi atau kelompok
tersebut. Pada tingkatan ini muncul usaha yang jelas untuk
merumuskan nilai dan prinsip moral yang dapat diterapkan.
Pada tingkat pasca-konvensional ada dua tahapan yaitu tahap 5;
Orientasi kontrak sosial legalistis.Suatu orientasi kontrak sosial, yang
umumnya bernada dasar legalistis dan utilitarian.Perbuatan yang benar
cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran
yang telah diuji dengan kritis lalu disepakati oleh seluruh
masyarakat.Terdapat suatu kesadaran mengenai relativisme nilai-nilai
87Ibid. 88Konformitasadalah: suatu jenis pengaruh sosial ketika seseorang mengubah sikap dan
tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. 89
Fatma Laili Khoirun Nida, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg
Dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, vol. 8, No. 2, Agustus
(2013)., hlm. 15
35
dan pendapat-pendapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang
sesuai untuk mencapai kesepakatan.
Dalam tingkat ini diakhiri oleh tahap 6 yang berisi Orientasi
Prinsip Etika Universal.Yaitu orientasi pada keputusan suara hati dan
pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, mengacu pada
pemahaman logis, menyeluruh, universalitas dan konsistensi.90
Tingkat
ini disebut dengan moralitas yang berprinsip (Principled
morality).Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih
besar, bukan pada aturan masyarakat yang tertulis ataupun
kewenangan tokoh otoritas.91
Tahap kematangan moral seseorang dicapai tahap demi tahap
sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, tidak dapat dicapai
dengan sendirinya, dan juga tidak setiap orang dewasa mampu
mencapai tingkat yang tertinggi (tahap ke-6), karena untuk mencapai
moral yang baik dan matang diperlukan belajar yang mana dimulai
sejak anak-anak sampai dewasa.Oleh karena itu penting untuk
memperhatikan pendidikan dan pembinaan sikap, perilaku dan moral
anak di sekolah dan keluarga.92
Tiga aras perkembangan moral Kohlberg adalah sebagai berikut:
Principled
Conventional
Premoral
Preschool Usia Sekolah Masa Dewasa
90Ibid, 91Anata Ikrommullah, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence
Kohlberg, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, vol. 28, No. 2, (Agustus 2015), hlm.
5 92
H. M. Mukiyat, Model-model Pembelajaran Moral dalam PKn (Salah SatuWahana untuk
Mengembangkan Karakter Bangsa), vol. 17, No. 1, (April2015), hlm. 7
36
Beberapa pendekatan yang digunakan sebagai dasar dalam merancang
dan menerapkan pembelajaran moral adalah:
a. Konstruktivistic Approach
Pada pendekatan ini siswa secara individual diharuskan untuk
menemukan lalu mengubah informasi yang komplek menjadi
sederhana dan bermakna agar informasi tersebut menjadi
pengetahuan bagi dirinya.Siswa mencari dan menemukan sendiri
nilai yang baik, perilaku, dan sikap yang baik atau buruk. Setelah
proses itu dihayati secara konstan sikap dan perilaku serta moral
yang baik tersebut akan tertanam dalam dirinya tanpa adanya
paksaan dari pihak manapun.
b. Contextual Teaching and Learning
Pendekatan pembelajaran ini adalah pendekatan yang menggiring
siswa kepada realita.Penerapan prosesnya adalah siswa dibawa ke
dunia nyata, seperti sesekali ke sebuah pondok pesantren, panti
asuhan, ataupun ke ladang.Untuk mengamati, dan mempelajari hal-
hal yang terjadi di kehidaupan nyata tersebut.Pendekatan ini
membuat pembelajarn moral tidak lagi abstrak, karena siswa betul-
betul ikut serta merasakannya dalam kehidupan nyata.
c. Avocation Approach atau Ekspresi Spontan
Dalam pendekatan ini siswa diberi kesempatan dan kebebasan
penuh untuk berpendapat, menanggapi, mengekspresikan isi
perasaannya, serta mengemukakan penilaian dengan cara
memberikan stimulus yang mempengaruhi emosional siswa.
d. Moral Reasoning Approach
Yaitu pendekatan untuk mencari kejelasan moral, yang pertama
harus dilakukan oleh pembelajar adalah memunculkan atau
mengadakan stimulus berupa “Dilema Moral” (sebuah masalah
yang penuh konflik) yang dilontarkan kepada
pembelajar.Kemudian mereka diajak terlibat dalam dilemma
37
tersebut, mintalah untuk mengemukakan pendapat dan menentukan
kejelasan moral yang baik dengan melalui diskusi atau dialog.
e. Awarenessm Approach atau Pendekatan Kesadaran
Ini merupakan pendekata kesadaran, melalui sebuah kegiatan siswa
dituntun untuk mengklarifikasi dirinya atau menilai orang lain,
sehingga akan memunculkan kesadaran pada dirinya,
menumbuhkan rasa empati dan kepedulian kepada sesama
manusia.
f. Value Analisis Approach
Dalam pendekatan ini siswa diajak mengadakan analisis nilai-nilai
yang ada dalam suatu kejadian dengan menggunakan media.Lalu
peristiwa tersebut dianalisis mulai dari analisis sederhana seperti
reportasi hingga pengkajian secara akurat, teliti dan tepat.
g. Comitment Approach
Sebuah pendekatan yang akrab disebut kesepakatan, yaitu
kesepakatan yang terjadi antara dua pihak yaitu pembelajar, dan
siswa mengenai isi kegiatan, dan konten atau materi.Dengan
pendekatan ini di dalam pendidikan moral untuk melatih disiplin
dalam pola berpikir dan perilakunya agar senantiasa melakukan
sesuati yang sudah menjadi kesepakatan bersama.
B. Kritik Terhadap Teori Moral Development Lawrence
Kohlberg
1. Kritik Ahli
Teori perkembangan moral Kohlberg sampai saat ini masih menjadi
rujukan dan referensi di banyak tempat, namun meskipun demikian teori
tersebut tidaklah lepas dari adanya kritikan. Kelemahan-kelemahan yang
terkait atas teori tersebut adalah masalah metodologi penelitian yang
digunakan Kohlberg, hubungan antara penalaran moral dan perilaku
38
moral, sifat universalitas dari teori tersebut, gender dan perkembangan
moral serta tinjauan dari filsafat moral.93
Masalah Metodologis, Durkin (1995) membuat pernyataan
mengenai kelemahan teori Kohlberg yaitu adanya masalah metodologis
dalam penelitian Kohlberg. Prosedur skoring yang digunakan adalah
isoterik dan subjektif (dilakukan oleh sebagian besar anggota kelompok
penelitian Kohlberg sendiri di Hardvard), dan tidak stabil karena
menggunakan kriteria yang berbeda-beda pada setiap poin dalam evaluasi
teori). Beberapa ahli menolak adanya pendapat Kohlberg mengenai
konsistensi dalam subjek, selain itu melalui beberapa penelitian
membuktikan individu yang sama dapat memiliki skor yang berbeda pada
satu seri atau jenis dilema. Point nya adalah yakni metodologi Kohlberg
tidak menjamin keabsahan data yang dihasilkan, sehingga sebagian ahli
meragukan tahapan penalaran moral tersebut.
Hubungan antara penalaran moral dan perilaku moral, beberapa
ahli menyatakan bahwa seperti tidak terdapat korelasi yang terlihat secara
konsisten antara perkembangan moral Kohlberg dengan perilaku moral
seseorang, atau dengan kata lain moral yang ada pada diri seseorang,
mungkin tidak nampak dalam perilakunya. Bahkan Kohlberg sendiri
menyatakan bahwa “untuk bertindak secara moral dengan cara yang baik
maka dibutuhkan penalaran moral pada tahap yang tinggi, dan seseorang
akan tidak dapat mengikuti prinsip-prinsip moral (tahap 5 dan 6) jika
seseorang tersebut tidak memiliki pemahaman atasnya atau tidak
mempercayainya”. Kohlberg menyatakan bahwa tahapan moral bukanlah
satu-satunya yang menentukan perilaku moral, artinya masih terdapat
faktor lain yang ikut mempengaruhi seperti misalnya kesepakatan sosial,
persepsi terhadap resiko, dan lainnya. Namun Kohlberg tetap percaya
93Siti Rohmah Nurhayati, Telaah Kritis Terhadap Teori Perkembangan Moral Lawrence
Kohlberg, Jurnal Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006, hlm. 7
39
bahwa tahapan moral adalah salah satu prediktor sebuah perilaku yang
baik.94
Sifat universal dari teori Kohlberg, kritik berikut ini dinyatakan
dalam sebuah buku karya (Hook, 1999) dan (Durkin, 1995) yaitu tahapan
penalaran moral Kohlberg adalah sebuah interpretasi moralitas yang
ditemukan dalam kehidupan masyarakat demokratis Barat, sehingga
kemungkinan tidak akan dapat diterapkan dalam kebudayaan selain Barat.
Gender dan perkembangan moral Kohlberg, sebagian para ahli
mengungkapkan bahwa tahap-tahap penalaran moral Kohlberg tidak
dapat diterapkan dengan seimbang pada laki-laki dan perempuan,menurut
Carrol Gilligan (dalam Durkin, 1995) menyatakan bahwa kerangka kerja
Kohlberg bertitik fokus pada perkembangan konsep keadilan. Yang mana
didasarkan pada cara laki-laki dalam memandang sesuatu, maka terjadilah
bias terhadap perempuan dalam instrumentasi dan prosedur skoring.Dan
faktanya, penelitian yang dilakukan Kohlberg lebih banyak dilakukan
dengan subjek laki-laki. Menurut Gilligan (dalam Hook, 1999) dinyatakan
bahwa perempuan dan laki-laki tidaklah berpikir moralitas dengan cara
yang sama, dalam penelitiannya Gilligan menemukan bahwa dalam
membuat keputusan-keputusan moral, perempuan dinilai lebih banyak
berbicara dibandingkan dengan laki-laki terkait hubungan interpersonal,
tanggung jawab, tidak menyakiti orang lain, dan persoalan pentingnya
hubungan diantara orang-orang.Gilligan menyebut bahwa moralitas
perempuan adalah “orientasi perhatian”. Sehingga berdasarkan perbedaan
gender tersebut Gilligan menyatakan perempuan akan memiliki skor yang
lebih rendah.Menurutnya, laki-laki membuat keputusan moral sesuai dan
berdasarkan dengan isu-isu keadilan, yang mana isu-isu tersebut cocok
dengan tahapan penalaran moral yang tinggi.sebagaimana penelitian yang
dilakukan Holstein (dalam Durkin, 1995) ia menemukan sebagian anak
94Ibid, hlm. 8
40
perempuan berada dalam tahap 3, dan sebagian besar anak laki-laki
berada dalam tahap 4.95
Berikutnya pada jurnal yang ditulis oleh peneliti bernama Agus
Abdul Rahman, ia menuliskan beberapa kritik terhadap teori Kohlberg,
salah satunya kritik yang datang dari Eliot Turiel dalam karyanya social
cognitive domain theory, dalam karya Turiel tersebut sebenarnya terdapat
beberapa kesamaan paradigma antara Turiel dengan Kohlberg yakni
bahwa perkembangan moral akan lebih baik jika dipahami dengan cara
menganalisa moral judgment. Emosi dianggap terpisah dan tidak
mempengaruhi kekuatan moral judgment.Kritik Turiel adalah bahwa
moralitas hanyalah salah satu dari tiga bentuk pengetahuan sosial (social
knowledge).Pengetahuan sosial menurutnya ditandai dengan adanya
heterogeneity dan coexistence antara orientasi sosial, motivasi dan tujuan.
Turiel menyampaikan bahwa untuk dapat memahami fungsi serta
perkembangan moral dalam masyarakat hendaknya juga memahami
kultur dan struktur masyarakatnya, yang mana hal tersebut tidak termasuk
dalam teori perkembangan Kohlberg.96
Dari kalangan cultural psychology dan cross-cultural psychology,
mendapati kritik terhadap klaim bahwa adanya prinsip-prinsip moral yang
bersifat universal sebagaimana yang dikembangankan atau dibahas oleh
Jean Piaget, Lawrence Kohlberg, Carrol Gilligan, dan Elliot
Turiel.Cultural psychology memiliki sebuah premis yang bahwa proses
kultural dan psikologis sama pentingnya dalam memahami perkembangan
moral.Mereka mengakui adanya non-rasionalitas di dalam konsepsi
moral. Jelas berbeda dengan mainstream teori psikologi mengenai moral
yang mengabaikan peran agama dalam pembentukan moralitas, cultural
psychology justru mengakuinya, seperti Shweder dkk (1997) misalnya,
berdasarkan penelitian ethnografis di India, Brazil, dan Amerika yang
95Siti Rohmah Nurhayati, Telaah Kritis Terhadap Teori Perkembangan Moral Lawrence
Kohlberg, Jurnal Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006, hlm. 10 96Agus Abdul Rahman, Teori Perkembangan Moral dan Model Pendidikan Moral,
Psympathic Jurnal Ilmiah Psikologi, vol. III, No. I, Tahun 2010, hlm. 3
41
mengidentifikasi adanya tiga domain moral, yang salah satunya moralitas
yang berhubungan dengan agama, yaitu autonomy, community, divinity.
Artinya, yang ingin Shweder sampaikan adalah perilaku moral individu
juga dapat dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan kelompok
bahkan Tuhan, jadi bukan semata-mata ditentukan oleh moral
reasoning.97
2. Kritik Tokoh
Teori Kohlberg adalah teori perkembangan moral yang dipengaruhi
oleh pemikiran Jean Piaget tentang model perkembangan kognitif, hal ini
berarti teori Kohlberg merupakan gabungan antara teori keadilan Rawls
dan teori perkembangan moral Piaget.Kohlberg lebih fokus pada
penilaian moral dari proses-proses lain yang justru dimasukkan dan
menjadi model yang dibuat oleh James R. Rest, seorang yang dulunya
merupakan pengikut atau yang terbilang sepakat terhadap pemikiran
Kohlberg.Namun ia dan teman-temannya menyimpang dari teori
Kohlberg, pada tahun 1999 mereka membina satu model yang dikenal
dengan neo-Kohlbergian. Perbedaan yang dibawa dalam model yang
dikembangkan oleh Rest adalah lebih menekankan komponen kerjasama
sosial dalam pertimbangan keadilan.Sementara Kohlberg menegaskan
bahwa konsep keadilan adalah berdasarkan kepada individu, pointnya
adalah Rest telah kembali mengonsepkan yang dijustifikasi untuk
menyempurnakan ke enam tahap perkembangan moral dalam konteks
kerjasama sosial berdasarkan pertimbangan keadilan yang dibuat
Kohlberg.98
3. Kritik dari Penulis
Hidup ini merupakan kumpulan dari keputusan yang dilahirkan oleh
keyakinan-keyakinan terhadap sesuatu, sebagai manusia yang mampu
bertahan hidup dengan bergantung pada manusia lain hablu min an-naas,
97Ibid 98Syafrilsyah, dkk., Moral dan Akhlaq dalam Psikologi Moral Islami, Psikoislamedia Jurnal
Psikologi, vol. 2, No. 2, Tahun 2017, hlm. 5
42
tidak cukup jika hanya bergerak dan berkembang sebagaimana teori yang
Kohlberg suguhkan. Seluruh konten yang disampaikan oleh Kohlberg
mungkin merupakan pilihan-pilihan terbaik dalam penelitian yang
dilakukannya, namun tetap saja sebagai muslim, manusia yang hidup dari
yang Maha Hidup dan Maha Menghidupkan, kita juga perlu untuk
mengasah hati dan memperkaya diri dengan nilai-nilai agama yang Tuhan
sampaikan dengan wahyu, dan tidak melepaskan diri dari tali agama
Allah, serta terus melibatkan Allah dalam setiap keputusan kita dengan
cara berdialog dengan potensi yang paling jujur di dalam diri manusia.
Sehingga dengan demikian akan semakin lengkaplah upaya kita untuk
terus belajar menjadi manusia yang kamil.
43
BAB III
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAMI
Jika mendengar atau membaca kata perspektif, yang ada di dalam pikiran
adalah hal-hal yang erat ikatannya dengan sudut pandang, pendapat, dan lain
sebagainya.Dalam penelitian kali ini penulis menggunakan kalimat perspektif
pendidikan Islami, yaitu sudut pandang yang berasal dari para ahli pendidikan
yang telah melakukan interpretasi terhadap sesuatu yang berdasarkan
interpretasinya dari Al-Qur‟an dan Hadits, dalam pendidikan Islami yaitu adalah
berbagai pendapat, banyaknya gagasan, munculnya teori dan segala interpretasi
tentang pendidikan berdasarkan nilai-nilai yang tertuang dalam Al-Qur‟an dan
Hadits.
Maka di bawah ini akan dipaparkan pendapat para ahli yang mendasarkan
pendidikan Islami yang interpretasinya pada Al-Qur‟an dan Hadits.
A. Antroposentris dan Theosentris
Sebelum membahas tentang berbagai perspektif ahli, di sini saya ingin
mengatakan bahwa pandangan manusia itu ada yang berpusat dan didasarkan
dengan pemikiran ansikhatau berpusat pada kemampuan manusia tanpa
campur tangan Tuhan, dan ada yang didasarkan pada spirit ilahiah yang
sering didengar dengan kataAntroposentris dan Theosentris.
Oleh karena itu sub bab ini akan lebih spesifik membahas pemikiran
para ahli antropologi dan theologi terkemuka dalam pandangannya terhadap
agama. Diantaranya adalah E.B. Taylor, yang menyumbangkan pemikirannya
tentang agama dalam karyanya, Primitive Culture.Prinsip yang terkandung
dalam pemikirannya adalah selalu ada hubungan antara pemikiran rasional
dasar dengan evolusi sosial dalam setiap aspek sebuah budaya jika kita
perhatikan lebih dekat.99
Kaitannya dengan agama, Taylor mengakui bahwa
tidak akan ada seseorang yang bisa menjelaskan sesuatu kecuali jika ia telah
tahu sesuatu yang hendak dijelaskan. Sehingga baginya, agama perlu untuk
99Yusron Razak, Ervan Nurtawaban., Antropologi Agama, Cet. 1, (Jakarta: Diterbitkan atas
kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press), Desember 2007, hlm. 43
44
didefinisikan.Kita tidak dapat terus mengikuti hasrat alami untuk
mendeskripsikan agama sekadar hanya keyakinan kepada Tuhan.Dengan
pendekatan demikian hanya akan membuat porsi besar dari ras manusia-
manusia yang sebetulnya religious namun percaya pada tuhan atau dewa yang
lebih banyak dari Kristen dan Yahudi.100
Melalui perkembangan pemikiran
keagamaan, sampai pada tingkatan ini, ketika manusia menyembah dewa
hutan, maka mereka mulai menyadari bahwa daerah-daerah berpohon itu
adalah rumahnya, namun mereka juga mengetahui bahwa mereka bisa kapan
saja meninggalkan rumah ini jika mereka kehendaki.
Berikutnya adalah Emile Durkheim, ia lebih tertarik pada pemikir
Perancis paling terkenal pada abad ke-19 M, yaitu August Comte (1798-
1857), yang mengusulkan agar serupa dengan Taylor dan Frazer, sebuah
model evolusi besar peradaban manusia.
Dalam perspektif dan bingkai pemikiran yang demikian, tingkatan-
tingkatan lebih awal pemikiran manusia, yang pada mulanya dirancang oleh
teologi dan juga ide-ide abstrak para filosof, pada akhirnya mengalami puncak
masa pemikiran positivisti, yaitu kajian-kajian mendalam dari fakta-fakta
yang diobservasi menjadi kunci dari semua pengetahuan. Selama periode
sains ini, yang disebut “agama humanitas” yang baru menggantikan agama
dan filsafat masa lalu yang dipinggirkan.101
Kita sebut kembali bahwa gagasan Tylor dan Fazer fokus pada ide
konvensional yaitu bahwa agama adalah kepercayaan kepada wujud-wujud
supernatural, seperti Tuhan atau dewa-dewa. Namun Durkheim sejak awal
mengklaim bahwa masyarakat-masyarakat primitif normalnya tidak secara
sungguh-sungguh memikirkan dunia yang berbeda, dimana yang satu
dikatakan natural sementara yang lain dikatakan supernatural.
Permasalahan lingkungan dan alam berawal dari mengakarnya filsafat
antroposentrisme dalam jiwa manusia. Antroposentrisme dimaknai dengan
teori etika lingkungan yang memandang pusat alam semesta adalah
100Ibid,hlm. 45 101
Yusron Razak, Ervan Nurtawaban., Antropologi Agama, Cet. 1, (Jakarta: Diterbitkan atas
kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press), Desember 2007, hlm. 43
45
manusia.Sehingga keputusan dan kepentingan manusia itu sendiri yang
menentukan dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan alam secara
langsung atau tidak. Antroposentris ini juga diduga kuat berakar pada ajaran
agama-agama monotheis, termasuk Islam dituduh mengembangkan ajaran
tersebut, ajaran monotheis telah menghilangkan rasa hormat terhadap alam
dan Ilahi, begitu yang tertulis dalam pengantar buku Agama Ramah
Lingkungan.
Jika ditelaah dari sejarahnya, lahirnya filsafat antroposentris berawal
dari filsafat pelepasan manusia dari kukungan Tuhan. Yaitu pada abad
pertengahan, alam pikiran dunia Barat diisi dengan pikiran mitologis, akarnya
pada mitologi Yunani, saat itu Barat sangat terkukung di dalam paham
keagamaan bahwa seolah-olah Tuhan itu membelenggu manusia.102
Paradigm
lama tersebut lama kelamaan mulai ditinggalkan dan digantikan dengan
munculnya renaissance.Muncul pemikiran yang mengatakan bahwa manusia
adalah pusat dari segala sesuatu.Tuhan dan dewa-dewa hanya dianggap
sebagai mitos.Pandangan antroposentrisme lazim dikenal dengan humanisme
yang beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan, melainkan
manusia.Manusialah yang menguasai realitas, yang menentukan nasib bagi
diri mereka sendiri dan kebenaran, sehingga Tuhan dan kitab-kitab suci tidak
diperlukan lagi.
Konsep antroposentrisme adalah merdekanya manusia dan mereka yang
menjadi pusat dari segala sesuatu.Menurut Resmussen sebagaimana yang
dikutip oleh Mary Evelyn dan John A. Grim, yaitu bahwa akar dari segala
sesuatu permasalahan yang terjadi di lingkungan berawal dari filsafat
antroposentrisme, mereka mendefinisikan antroposentrisme sebagai sebuah
teori etika lingkungan yang memandang pusat alam semesta ini adalah
manusia, sehingga kepentingan manusialah yang paling menentukan dalam
pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan alam secara langsung ataupun
tidak.
102Junaidi Abdillah, Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme, Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014), hlm. 3
46
Lebih lanjut, dalam sebuah pendapat yang dikutip oleh Junaidi Abdillah
dalam jurnalnya, dikatakan bahwa konstruksi teologi lingkungan yang sudah
populer dalam masyarakat diduga telah terkontaminasi oleh paham
antroposentrisme. Ditandai dengan melonjaknya kesadaran akan rasa percaya
diri manusia dalam kuasa atas sumber daya alam dan lingkungan. Hal
demikian berkembang sangat pesat sebab manusia percaya diri sebagai
makhluk istimewa dengan berbekal kemampuan rasionalnya.Paham
antroposentrisme meyakini manusia merupakan makhluk yang mempunyai
kelebihan dan kemampuan dibanding makhluk lainnya.
Dalam dimensi kajian Islam, antroposentrisme dikatakan bersumber dari
prinsip-prinsip dasar Islam yang berkaitan dengan konsep hakikat manusia
sebagai makhluk istimewa (super being), sebagai makhluk yang diberi akal
rasional, dan sebagai makhluk yang paling kuasa atas alam dan konsep
khalifah fi al-ardh. Prinsip demikianlah yang merupakan symbol-symbol
teologi yang bias antroposentris.Sehingga dapat dipahami bahwa manusia
adalah makhluk terbaik sebab memiliki akal, manusia makhluk yang dinamis
sedangkan yang lainnya adalah makhluk statis.103
Terdapat beberapa ayat Al-Qur‟an yang dikatakan mengandung nilai
dan paham antroposentrisme.Pertama, konsep manusia sebagai makhluk yang
paling istimewa, terdapat dalam QS.at-Tin ayat 4:
Kedua, ayat yang mengandung makna dan menggambarkan manusia
sebagai makhluk yang berakal yaitu terdapat dalam QS.al- Baqarah ayat 75:
104
103Junaidi Abdillah, Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme, Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014), hlm. 7 104 Artinya: “Apakah kamu masih mengharap mereka akan percaya kepadamu, padahal
segolongan dari mereka mendengar firman Allah lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka mengetahui.”
47
Berikutnya adalah ayat Al-Qur‟an yang menggambarkan manusia
seakan makhluk yang paling berkuasa atas sumber daya alam dan lingkungan,
mereka lantas merasa demikian (manusia) karena menganggap semesta ini
diciptakan hanya untuk manusia.Diantaranya terdapat dalam QS.al-Baqarah
ayat 22:
105
Keempat, ayat-ayat tentang posisi dan kedudukan manusia sebagai
khalifah fi al-ardh atau wakil Allah di bumi.Tercantum dalam QS.al-Baqarah
ayat 30:
106
Dalam keempat dasar di atas, kemudian dibingkai dalam sewadah
teologi lingkungan yang memberi kesan antroposentris.Dalam jurnal yang
mengutip pendapat beberapa ahli, dijelaskan bahwa kekhalifahan bermakna
berarti manusia harus menjadi hamba yang memegang mandat Tuhan untuk
menyelenggarakan kehidupan yang bertanggung jawab.107
Dalam aliran Teologi Islam konsep kebebasan kehendak manusia ini
telah banyak menjadi pertentangan antara kaum Qadariyah dengan kaum
105Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,
dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan
sebagai rezeki untukmu”. 106 Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: mengapa engkau hendak
menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau.” 107Junaidi Abdillah, Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme, Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014), hlm. 15
48
Jabariyah, di mana yang pertama mengakui adanya kebebasan manusia dan
yang lainnya justru menafikannya.
Kita sudah tidak asing dengan sebuah konsep teologi seorang ahli
yang berbunyi wahdat al-wujud, yang membahas kalimat Allah dalam
mengajarkan adam seluruh nama-nama dengan pengertian bahwa manusia
adalah menifestasi nomor wahid dan yang paling sempurna dari seluruh
atribut Allah SWT. Demikianlah konsep yang dibawa oleh Ibnu Arabi, dalam
pandangannya, manusia dan mikrokosmos adalah serupa.Ia sering
menyebutnya dengan istilah mikrokosmos; dunia kecil bagi manusia dan
dunia besar; makrokosmos bagi alam semesta.Dalam sebuah ilustrasi yang
sangat indah, manusia bagi alam semesta ini adalah ruh bagi jasad manusia.
Pendapat di atas semakin memperkuat bahwa antroposentrisme
tidaklah ditemukan diberbagai jalan apa lagi diajarkan di dalam Islam. Dalam
ekologi Islam justru manusia ditempatkan dengan proporsional, karena meski
manusia memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan makhluk Tuhan
yang lain, ia masih menjadi bagian dari lingkungan dan bukan berada di luar
ekosistem keberadaannya. Sejatinya, antroposentrisme tidak lahir dari agama
Islam, pandangan antroposentrisme terkemuka disebabkan oleh banyaknya
penafsiran yang parsial dan atomistik.Islam sendiri memandang manusia
dengan lingkungan alam bersifat simbiosa mutual dan manusia secara
fungsional adalah makhluk pembangun atau khalifah yang seharusnya
amanah dan berihsan.108
Banyak yang perlu kita benahi dalam cara berpikir kita, terutama
terkait permasalahan Tauhid dan sikap percaya atau beriman kepada Allah.
Dalam Agama Islam, kesan yang amat kuat adalah Tauhid hanya memiliki
arti beriman atau percaya kepada Allah, lalu setelah itu kita merasa sudah
cukup memiliki tauhid di dalam hati kita hanya percaya kepada Allah,
padahal jika kita mau mentafakkuri dan mengelaborasi terhadap makna-
makna Al-Qur‟an ternyata yang terjadi sebetulnya tidaklah demikian, sebab
orang-orang musyrik di Makkah yang disebut dalam Al-Qur‟an mereka
108Ibid., hlm. 21
49
memusuhi Rasulullah sedangkan mereka adalah kaum yang sangat dan
sungguh-sungguh percaya kepada Allah. Sebagaimana firman Allah QS. Az-
Zumar ayat 38:
109
Dalam pemikiran mainstream teologi selalu bersifat di mana Tuhan lah
yang menjadi pusat segala kekuatan dan kekuasaan lalu manusia harus tunduk
dan ditundukkan dihadapan Tuhan atau yang kita kenal dengan teosentris,
pemahaman yang ada dalam logika teosentris adalah perjalanan kehidupan
dengan kehadiran Tuhan, Tuhan yang bukan hanya menciptakan manusia
tetapi juga mengintervensi, mendatangi, dan bersemayam dalam kehidupan
duniawi. Teologi adalah wilayah ketuhanan, sedang realitas sosial adalah
wilayah kemanusiaan.110
Teologi dipandang sebagai unsur penting yang mendasari adanya
sebuah agama, yang tanpa teologi maka tidak ada agama dalam keimanan
seseorang.Tujuan dari teologi ini adalah untuk mensucikan (Tanzih) Tuhan.111
Teologi (ilmu kalam) menurut Nurcholis Majid, adalah bidang strategis
yang menjadi landasan dalam upaya pembaharuan pemahaman dan
pembinaan umat Islam, karena sifatnya metodologis. Menurut ahli lain,
teologi adalah aspek yang penting karena fungsinya adalah sebagai refleksi
109 “Artinya: Dan sungguh jika kau (Muhammad) tanyakan kepada mereka, siapakah yang
menciptakan seluruh langit dan bumi? Pastilah mereka akan menjawab, Allah! Katakan: Apakah
telah kamu renungkan sesuatu (berhala) selain Allah itu? Dan jika Dia menghendaki rahmat
untukku, apakah mereka (berhala-berhala) itu mampu menahan Rahmat-Nya?! Katakan
(Muhammad):”Cukuplah bagiku Allah (saja), Kepada-Nyalah bertawakkal mereka yang (mau)
bertawakkal”. 110M. Ghufron, Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju Antroposentris (Telaah
atas Pemikiran Hasan Hanafi), Millati, Journal of Islamic Studies and Humanities, vol. 3, No. 1,
Juni 2018, hlm. 18 111Ibid., hlm. 16
50
kritis terhadap tindakan manusia dalam melihat realitas sosial yang
dihadapinya.
Hassan Hanafi salah seorang ahli yang banyak menghabiskan masa
hidupnya di Mesir, sehingga membuatnya memiliki pandangan lain terhadap
dikotomi yang masih banyak terjadi antara kaum teologis dan antroposentris.
Hassan Hanafi membangun pemikiran baru yang ia tulis dalam karyanya,
mengenai teologi dalam antroposentris. Counter pemikiran yang menganggap
agama adalah caramengenal Tuhan saja (teosentris) justru menuai tafsiran dan
cara pandang lain, yang sebaliknya, yaitu pemahaman bahwa agama adalah
cara seseorang untuk hablum min an-naas/ bermanusia. Cara pandang itulah
yang melahirkan teologi antroposentris yang dibawa oleh Hassan Hanafi.
Pemikiran Hassan Hanafi ini timbul atas kritiknya terhadap pemikiran
kalam (teologi) terdahulu yang dianggapnya jauh dari etos progesivitas
kemanusiaan.Kalimat-kalimat pujian terhadap Allah, dan pernyataan
kelemahan manusia dihadapan kemaha Besaran-Nya, memberikan pengaruh
pasivitas dalam diri manusia, hal demikian menimbulkan kondisi psikologis
yang seakan tidak mampu mengubah keadaan. Jiwa orang islam seakan
diperkerdilkan dan diperlemah dengan selalu menjejalkan dalam kesadaran
manusia ingatan, bahwa Dia yang Maha Besar, sementara diri sendiri serba
lemah dan membutuhkan pertolongan. Demikianlah yang terpatri dalam jiwa
manusia sehingga membuatnya merasa tidak percaya diri ketika berhadapan
dengan penguasa-penguasa temporal baik dalam hal politik, budaya, maupun
penguasa keagamaan.
Oleh sebab itu Hassan Hanafi sangat berambisi untuk membangun
pemikiran teologis yang antroposentris dengan berorientasi pada
pemberdayaan rakyat.Dasar asumsinya adalah teologi yang berkembang
dalam dunia Islam selama ini tidaklah menjawab problema kemasyarakatan
51
manusia sehingga perlu untuk didekonstruksi baik dari segi epistimologisnya,
maupun wacana dan struktur.112
Sehingga pandangan hidup yang teosentris dapat dilihat dengan cara
menjadikan diri dalam kegiatan keseharian yang antroposentris. Keduanya
tidak dapat dipisahkan, konsekwensinya adalah orang yang berketuhanan
dengan sendirinya akan berperikemanusiaan. Teologi antroposentris Hassan
Hanafi adalah wujud kecil sebuah perumusan kembali teologi yang tentu saja
tidak ada maksud untuk mengubah doktrin sentral tentang ketuhanan, tentang
Tauhid, hanya merupakan upaya untuk riorientasi pemahaman keagamaan
secara individual maupun kolektif dalam kenyataan empiris sesuai dengan
perspektif ketuhanan.113
Kohlberg membawa teori dengan tujuan membangun spiritual yang
moralitas tetapi dengan basicsekuler atau antroposentris. Sebagaimana yang
telah dibahas pada bab sebelumnya mengenai apa dan bagaimana teori moral
development Kohlberg. Sebagai contoh bahwa bagi Kohlberg, seorang anak
dapat mengerti bahwa mencuri itu perbuatan yang tidak baik tanpa
menyertakan embel-embel agama di dalamnya.
Berseberangan dengan salah satu pendapat seorang ahli, KH. Toto
Tasmara dalam bukunya beliau mengungkapkan bahwa di dalam qalbu
terhimpun perasaan moral, mengalami dan menghayati tentang salah dan
benar, baik dan buruk, dan berbagai keputusan lainnya yang kelak akan
dipertanggung jawabkan secara sadar. Qalbu atau hati nurani merupakan awal
dari sikap sejati manusia yang paling autentik, yaitu kejujuran, keyakinan,
dan prinsip-prinsip kebenaran.114
Toto Tasmara mengungkapkan, untuk mendapati hati nurani (qalbu)
yang dapat merasakan dan menangkap fungsi indrawi, diperlukan adanya
latihan atau pencerahan (tazkiyah, dan tarbiyatul qulub), yaitudengan cara
112M. Ghufron, Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju Antroposentris (Telaah
atas Pemikiran Hasan Hanafi), Millati, Journal of Islamic Studies and Humanities, vol. 3, No. 1,
Juni 2018, hlm. 22 113Ibid, hlm. 24 114Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah Transcendental IntelligenceMembentuk Kepribadian
yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press 2001), hlm. 47
52
memposisikan qalbu senantiasa menerima cahaya ruh yang berisi kebenaran
dan kecintaan kepada Ilahi.
Seharusnya, manusia yang lahir sebagai makhluk yang dinamis dan
komplek, terlahir dengan fitrah berbagai potensi dalam dirinya, mampu untuk
tetap teguh menjaga kemanusiaannya.Seringkali manusia tidak mengenali
dirinya, sebab tidak mengenali Tuhannya.Manusia menjadi sulit
mengembangkan potensi dirinya.Sebab tidak mengenali potensi diri, manusia
membuat persoalan-persoalan di dalam hidupnya, salah satunya permasalahan
akhlak kemanusiaan atau karakter manusia itu sendiri.
Akhlak adalah akibat dari potensi teologi dalam diri manusia dalam
batin manusia.Teologi antroposentris Hassan Hanafi di atas menjadi salah
satu solusi sebagai dasar membentuk akhlak kemanusiaan atau karakter.115
B. Moral dalam Perspektif Islam
Drs. Sidi Gazalba mengatakan bahwa moral ialah sesuai dengan ide-ide
yang umum diterima tentang tindakan manusia, sehingga beliau
menyimpulkan bahwa moral itu adalah suatu tindakan yang sesuai dengan
ukuran tindakan yang umum diterima oleh kesatuan sosial atau lingkungan
tertentu.116
Secara terminologi perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin
„mores‟ yang merupakan bentuk jamak dari perkataan „mos‟ yang berarti adat
kebiasaan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya
digunakan ketika akan menetukan batas-batas suatu perbuatan seseorang,
kelakuan, sifat, dan perangai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau
tidak layak, patut atau tidak patut. Moral dalam istilah juga dipahami sebagai
(1) prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk. (2)
115Manijo, Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan dengan Teologi Kepribadian Hassan Hanafi
(Perspektif Teologi Antroposentris), Jurnal Fikrah, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2013, hlm. 2 116Abd Haris. Etika Hamka Konstruksi Etik Berbaisis Rasional Religius, (Jakarta: LKiS
Yogyakarta, 2010). Hlm 33.
53
kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah. (3) ajaran atau
gambaran tentang tingkah laku yang baik.117
Dalam kehidupan moral, orang mukmin harus mematuhi ajaran-ajaran
hukum Tuhan. Dengan dipersatukannya segi spiritual dan segi keduniaan,
Islam menjadikan insan muslim seorang yang terlibat dalam moral.118
Ada banyak sekali istilah yang memiliki makna sama ketika
membicarakan tentang etika sosial manusia, diantaranya adalah moral, etika,
dan akhlak. Dalam salah satu karya Rachmat Djatnika yang berjudul Sistem
Etika Islami (Akhlak Mulia), dikatakan persamaan dari akhlak adalah etika dan
moral.119). Dalam hadits lain yang sangat populer juga Rasul menegaskan misi
utamanya itu, beliau bersabda “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan
keluhuran budi pekerti (akhlaq al-kariimah)”. (HR. Baihaqi)
Ajaran akhlak seperti dalam pantulan cermin yang menemukan
bentuknya dengan sempurna pada agama Islam dengan bertitik pangkal pada
Tuhan dan akal manusia. Agama Islam mengandung jalan hidup untuk
manusia yang paling sempurna dan berisi ajaran-ajaran yang akan
membimbing dan menjadi penuntun bagi manusia untuk mendapatkan
kebahagiaan dan kesejahteraan, janji-janji itu semua terkandung dalam Al-
Qur‟an yang diturunkan Allah dan ajaran sunnah yang akan kita teladani dari
Nabi Muhammad SAW.120
Hukum-hukum Islam, yang berisi serangkaian pengetahuan tentang
akidah dan pokok-pokok akhlak dan perbuatan terdapat dalam sumber aslinya
di dalam Al-Qur‟an, Allah SWT berfirman:
117Munari, Tahap Perkembangan Moral Perspektif Barat dan Islam, Artikel, Jurnal
Pendidikan Islam, Hlm 3. 118Lubis, Mawardi, Pengembangan Instrumen Evaluasi Perkembangan Moral Keagamaan
Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, vol. 6, No. 1, (01 Juni, 2004). 119Mulya Hasanah, Pendidikan Moral dalam Perspektif Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 2,
Desember 2018, Hlm. 23 120Abuddin Nata., Akhlak Tasawuf, Cet. 5, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2003. hlm.
67
54
121
Demikian adalah salah satu firman Allah yang menunjukkan betapa jelas
tertera petunjuk-petunjuk bagi manusia berupa pokok-pokok akidah
keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip perbuatan.Di dalam Al-
Qur‟an juga banyak firman-firman Allah yang menyeru kepada kebaikan dan
mencegah untuk melakukan kemungkaran. Sebagaimana ayat berikut:
122
Melalui ayat-ayat di atas, merupakan petunjuk bahwa al-Qur‟an sangat
memperhatikan masalah pembinaan akhlak, dan memberi petunjuk macam-
macam perbuatan yang termasuk akhlak mulia.Apa yang diperintahkan Allah
tersebut, dikerjakan oleh manusia, dan akibatnya pun untuk manusia tersebut.
Allah berfirman di dalam Al-Qur‟an juga mengenai apa-apa saja yang di
larang-Nya, apa saja yang dapat mendekatkan diri pada-Nya, apa saja bahaya
dan keuntungan dari perbuatan yang dilakukan manusia, dan lain sebagainya.
Perhatian Islam terhadap pembinaan akhlak dapat dijumpai dengan
melalui perhatian Nabi Muhammad SAW sebagaimana terlihat dalam
ucapannya dan perbuatannya yang mengandung akhlak.Sebagaimana yang
telah disebutkan dalam hadits sebelumnya, bahwa beliau adalah utusan di
muka bumi ini yang diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.Orang
121 “Artinya: Sesungguhnya Al-Qur‟an ini menunjukkan kepada jalan yang paling lurus dan
memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan
mendapat pahala yang besar”. (Al-Isra: 9) 122 “Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS.
An-Nahl: 90)
55
yang paling berat timbangan amal baiknya di akhirat adalah orang yang
paling baik akhlaknya.123
Dalam rangka pembentukan akhlak, Islam juga menghargai peran dan
pendapat akal pikiran yang sehat yang tidak menyimpang dari jalan al-Qur‟an
dan Sunnah. Ajaran akhlak yang berdasarkan dengan al-Qur‟an dan sunnah
bersifat absolut, universal, dan mutlak. Yaitu tidak dapat ditawar lagi dan
berlangsung sepanjang zaman. Namun, apa yang dijabarkan di dalam al-
Qur‟an dan sunnah secara mutlak dan universal tersebut memerlukan akal
pikiran manusia. Dengan pikiran dan akal manusia dalam menghadapi hal
yang absolut tentu akan melahirkan bentuk yang berbeda-beda yang sesuai
dengan keadaan yang masyarakat akui, maka dengan begitu ajaran akhlak
akan mudah diterima oleh seluruh masyarakat berdasarkan hasil ijtihad akal
pikiran.
Berikutnya, membahas moral, akhlak, akan selalu bersentuhan dengan
pembahasan mengenai etika, kesusilaan dan hubungan diantara satu sama
lain. Etika, secara bahasa berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti
watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika
memiliki arti ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).124
Dengan
begitu, etika juga memiliki hubungan dengan upaya menentukan tingkah laku
manusia.
Pengertian etika selanjutnya dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara,
bahwa etika adalah sebuah ilmu yang mempelajari perihal kebaikan dan
keburukan di dalam hidup manusia secara keseluruhan, terutama yang
mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat menimbulkan atau
merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mencapai tujuannya yang
dapat merupakan perbuatan.125
Ketika pengertian etika dan moral dihubungkan maka ditemukan bahwa
antara etika dan moral memiliki obyek yang sama yaitu membahas tentang
123
Abuddin Nata., Akhlak Tasawuf, Cet. 5, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2003. hlm.
76 124Ibid, hlm. 89 125
Ibid, hlm. 90
56
segala perbuatan manusia yang kemudian barulah ditentukan sebagai baik
atau buruk posisinya. Perbedaan diantara keduanya adalah, dalam etika, untuk
menentukan baik atau buruk nilai perbuatan seorang manusia dengan
menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio.Sedangkan dalam moral
maka tolak ukurnya adalah norma-norma yang berlaku dan tumbuh
berkembang di dalam masyarakat.Dengan begitu etika lebih bersifat
pemikiran yang filosofis dan berada dalam dataran konsep-konsep.Moral,
berada dalam dataran realitas dan timbul dalam bentuk berupa tingkah laku
yang berkembang di masyarakat.
Seseorang yang memiliki kesadaran moral akan senantiasa jujur,
tindakan yang bermoral tentu tidak akan menyimpang dan akan selalu
berpegang pada nilai-nilai yang berlaku, hal itu terjadi jika seseorang
memiliki kesadaran, bukan merupakan dorongan atau paksaan dari sesuatu
melainkan kesadaran dalam diri seseorang tersebut.
Kesadaran moral erat dengan hati nurani, atau dalam bahasa Arab
disebut dengan Fu’ad, dalam bahasa Inggris conscience.Ada tiga hal yang
tercakup sebagai kesadaran moral.Pertama, merasa wajib dan harus untuk
melakukan perbuatan yang bermoral.Kedua, kesadaran moral dapat berwujud
rasional dan obyektif, atau perbuatan yang secara umum diterima oleh
masyarakat atau yang berlaku di dalamnya.Ketiga, kesadaran moral dapat
muncul dalam bentuk kebebasan yang mana manusia dapat menentukan
perilaku dan terpampang nilai kemanusiaan di dalamnya.126
Manusia terlahir dengan fitrah kecerdasan yang terdiri dari lima bagian
utama kecerdasan, yaitu sebagai berikut:
1. Spiritual Intelligence atau kecerdasan ruhaniah, kemampuan seseorang
untuk mendengarkan hati nuraninya, baik buruk dan rasa moral dalam
caramenempatkan diri dalam pergaulan.
126
Abuddin Nata., Akhlak Tasawuf, Cet. 5, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2003. hlm.
95
57
2. Kecerdasan intelektual, kemampuan seseorang memainkan potensi logika,
kemampuan dalam berhitung, menganalisa dan matematik (Logical
mathematical intelligence).
3. Emotional Intelligence, kecerdasan emosional berupa kemampuan
manusia untuk mengendalikan diri (sabar) dan kemampuan untuk
memahami irama, nada, musik, dan nilai estetika.
4. Kecerdasan sosial yaitu kemampuan seseorang dalam menjalin sebuah
hubungan dengan orang lain, baik individu maupun kelompok.
5. Kecerdasan fisik (bodily-kinesthetic intelligence, kemampuan seseorang
dalam mengkoordinasikan dan memainkan isyarat-isyarat tubuhnya.
Semua kecerdasan tersebut, berdiri di atas kecerdasan ruhaniah, sehingga
segala potensi yang dimilikinya membuahkan kemuliaan akhlak.127
Berikutnya terdapat istilah susila, kesusilaan, atau yang berasal dari
bahasa sansekerta yaitu su dan sila.Su berarti baik, bagus, dan sila memiliki
arti dasar, prinsip, peraturan hidup dan norma. Dalam masyarakat susila
sering digunakan sebagai arti hidup yang lebih baik. Seseorang yang bersusila
adalah orang yang dilabeli berkelakuan baik, sehingga susila menggambarkan
keadaan seseorang yang senantiasa menerapkan nilai-nilai yang dipandang
baik.
Di dalam salah satu karya Abuddin Nata yang berjudul akhlak
tasawuf, segala istilah yang telah penulis paparkan di atas merupakan hal
yang saling berhubungan.Bahwa seluruhnya adalah sebagai patokan dalam
menentukan hukum atau nilai suatu perbuatan manusia untuk mengetahui
baik-buruknya.Beliau menyertakan pula perbedaan diantaranya,
perbedaannya terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk
menentukan baik atau buruk.Dalam etika, penilaian baik buruk berdasarkan
penilaian dan pendapat akal pikiran, di dalam moral dan susila adalah
kebiasaan yang berlaku umum di dalam masyarakat, maka pada akhlak
127
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah Transcendental IntelligenceMembentuk Kepribadian
yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press 2001), hlm. 49
58
ukuran yang dijadikan sebagai penentu baik atau buruk sesuatu adalah al-
Qur‟an dan al-Hadits.128
C. Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, hakikatnya adalah makhluk
yang pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan
lingkungan.Manusia makhluk utuh yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani
sebagai potensi pokok. Aspek jasmani manusia sebagaimana disebutkan
dalam surah al Qashash ayat 77, Allah SWT berfirman:
129
Manusia dalam pandangan Islam memiliki aspek jasmani yang tidak
dapat terpisahkan dari aspek rohani ketika manusia masih hidup di
dunia.Selain jasmani manusia juga memiliki aspek akal, seluruh aspek dalam
diri manusia senantiasa tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahapan-
tahapan.Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan dengan ciri yang mesti ada
pada diri Muslim yang sempurna.
Menurut Harun Nasution, baik dimensi material maupun non material
manusia memiliki keduanya, energy atau daya (al-Quwwah). Ada dua energy
atau daya dimensia material manusia, yaitu daya-daya fisik atau jasmani
seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, dan mencium.Kedua daya gerak,
yaitu kemampuan menggerakkan tangan, kepala, kaki, mata dan
sebagainya.Kemudian kemampuan untuk berpindah tempat, berpindah tempat
duduk keluar rumah dan sebagainya.Sementara dimensi non material manusia
128Ibid, hlm. 97 129“Artinya: Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan
di bumi, sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”. (QS. al Qashahs: 77)
59
juga memiliki dua daya yaitu daya berpikir atau ‘aql yang berpusat di kepala
dan daya rasa atau qalb yang berpusat di dada.
Dalam psikologi Islam ada konsep fitrah atau menjadi fitrah yang
merupakan citra seorang manusia yang berpotensi untuk menjadi baik atau
buruk.Fitrah manusia sejak di dalam kandungan ialah setelah ditiupkan ruh,
maka manusia diberi akal pikiran, hati nurani.Yang mana keduanya tentu
terus mengalami pertumbuhan.Pertumbuhan secara fisik yang melalui
tahapan prenatal sampai pada tahap akhir.130
Dengan memiliki fitrah yang kaya akan potensi, manusia mengalami
pertumbuhan dan perkembangan, namun bukan semata-mata perubahan dan
pertumbuhan fisik saja melainkan perkembangan yang terjadi dalam diri
manusia pada akhlaknya, budayanya, moralnya. Akal manusia berkembang,
sehingga dengan akal manusia akan mampu mengerti baik dan buruk. Setelah
mengerti baik dan buruk, maka manusia dapat menentukan dan menilai mana
baik dan buruk.Manusia tidak tumbuh secara fisik saja tetapi juga terjadi
pengembangan di dalam moralnya, akhlaknya, dan lain sebagainya.
Pertumbuhan dan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi
pada setiap makhluk hidup. Perubahan yang terjadi pada seseorang tidak
hanya meliputi apa yang kelihatan seperti perubahan fisik dengan
bertambahnya berat badan dan tinggi badan, tetapi juga perubahan
(perkembangan)dalam segi lain seperti berpikir, emosi, bertingkah laku,
semua anak-anak tumbuh melalui suatu tahapan pertumbuhan dan perubahan
fisik, kognitif, dan emosional yang dapat diidentifikasi.131
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal dapat dicapai
dengan dukungan faktor intrinsik dan ekstrinsik.Peran orang tua, keluarga,
sahabat, guru, dan masyarakat sekitar sangat mempengaruhi tumbuh kembang
seorang anak.Perkembangan dalam akhlak Islam berdasarkan hubungan
130Tarmizi, Konsep Manusia dalam Psikologi Islam, Jurnal al Irsyad, vol. VII, no. 2 Juli-
Desember (2017), hlm. 14 131Wandari Arifia Lathifa, Hubungan Antara Penalaran Moral dengan Kecerdasan Spiritual
pada Siswa Kelas XI di SMK MUhammadiyah 3 Yogyakarta, Skripsipada Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2015. hlm. 3
60
manusia dengan Tuhan, perkembangan moral konvensional menunjukkan
hubungan erat antara sesama manusia yang bersifat empirik.132
Nilai-nilai yang terdapat dalam pendidikan Islami adalah Islam
menginginkan pemeluknya cerdas dan pandai sehingga mampu dalam
menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat.Kekuatan rohani (qalbu) lebih
jauh dan luas daripada kekuatan akal.Kekuatan jasmani terbatas pada objek-
objek dengan wujud materi yang dapat ditangkap oleh indera.
Secara umum, tugas dari pendidikan yang Islami adalah membimbing
dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik sampai pada
tahap yang optimal.133
Imam al Ghazali pada dasarnya mengemukakan dua
tujuan pokok pendidikan Islami, untuk mencapai kesempurnaan hidup
manusia dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.Kedua untuk mencapai
kesempurnaan hidup manusia dalam menjalani kehidupannya untk mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Untuk itu seorang anak yang pasti mengalami pertumbuhan dan
pengembangan dalam setiap tahapannya, penting untuk mendapatkan
pendidikan yang memberikan nilai-nilai ke-Islam-an agar senantiasa
dibimbing dalam melatih qalbu sehingga mampu melewati masa
pertumbuhan dan perkembangan dengan cerdas dan mencapai tujuan seorang
hamba yaitu menjadi insan kamil di muka bumi.
D. Hubungan Moral dengan Antroposentris
Sebagai makhluk biologis dan sosial, agar dapat bertahan hidup maka
manusia sangat bergantung dengan manusia lainnya, bergantung dengan
lingkungan fisik dan sosialnya. Segala bentuk dan cara manusia dalam
bertindak sangat berpengaruh bagi kehidupan sosial, tindakan manusia
132Safrilsyah, dkk., Moral dan Akhlak dalam Psikologi Moral Islami, Psikoislamedia Jurnal
Psikologi, vol. 2, No. 2, (2017), hlm. 10 133Sitti Trinurmi, Hakikat dan Tujuan Hidup Manusia dan Hubungannya dengan Tujuan
Pendidikan Islam. Al-Irsyad Al-Nafs, Jurnal Bimbingan dan Penyuluhan Islam Vol. 2, No. 1,
Desember (2015), hlm. 2
61
ditentukan oleh apa yang mereka pikirkan terutama oleh nilai-nilai dan
kepercayaannya.134
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia akan menjadi label
moral dalam dirinya, dalam perilakunya, baik atau buruk. Moral dan susila
merupakan produk rasio dan budaya masyarakat yang dengan selektif diakui
bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia.
Sebagaimana telah penulis paparkan sebelumnya, memaknai
antroposentris adalah pandangan bahwa manusia adalah pusat dari segala
sesuatu, makhluk atau entitas yang paling penting dari pada makhluk lain, ini
adalah tahap awal perkembangan pikiran manusia. Sehingga dalam menjalani
kehidupan dan menghadapi alam semesta penting bagi manusia untuk
memiliki moral demi menyeimbangkan etika alam yang ada. Moral dan
antroposentris keduanya adalah produk rasio dan budaya masyarakat, salah
satu potensi biologis (otak) adalah kecerdasan spiritual, dalam hal ini sudut
pandang Barat dan Islam tentang kecerdasan spiritual adalah sama, namun
terdapat perbedaannya juga, yaitu bagi masyarakat Barat kecerdasan spiritual
mereka lihat nilai-nilai spiritualnya dalam perspektif budaya, bukan agama.
Sehingga mereka sama sekali melepaskan diri dari keagamaan dan
menganggap bahwa agama tidak dapat memberikan kebebasan pencarian
kebenaran ilmiah, mereka beralasan keberpihakan pada kebenaran ilmiah
yang objektif dan universal.135
Sedangkan sesungguhnya di dalam Islam bahkan untuk seluruh umat,
sebagai hamba Allah SWT, kita diberi seseorang yang dapat kita jadikam
sebagai uswah hasanah, suri tauladan di muka bumi ini contoh dari segi
akhlaknya, moral, sikap dan seluruh perbuatan dan perkataannya, yaitu Nabi
Muhammad SAW.Seharusnya hal tersebut juga membuka mata dan hati
nurani kita sebagai manusia bahwa Islam sangatlah memberikan keleluasaan
dan kebebasan bagi pemeluknya dalam mempergunakan kecerdasan
134Yusron Razaq, Ervan Nurtawaban, Antropologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2007), hlm. 26 135
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah Transcendental IntelligenceMembentuk Kepribadian
yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press 2001), hlm. Xi
62
spiritualnya, melakukan eksplorasi namun tetap berada pada koridor
tauhid.Sebagaimana firman Allah QS.al-A‟raf: 172
136
Dalam ayat di atas, kita diingatkan terhadap janji yang pernah manusia
buat dihadapan Tuhan sebuah kesaksian bahwa Allah itu ahad,wahid. Kita
bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan kita.Dan sebagai manusia makhluk sosial
yang fitrahnya bergantung kepada manusia lainnya untuk bertahan hidup,
bagaimana mungkin melepaskan diri dari Tuhan yang Maha Hidup dan
memberi kehidupan.
Benar bahwa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah fil al ardh
karena manusia memiliki potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk-Nya yang
lain. Oleh karena itu kita diberi akal untuk bertafakur atas apa yang ada di
langit dan di bumi. Karena Allah SWT telah mengatur seluruhnya dengan
sebaik-baiknya, dengan moral, bahkan meski dalam hal berperang pun, diatur
untuk berperang sebaik-baiknya. Sebagaimana diriwayatkan dalam Hadits
Shahih Muslim:
لة وإذا ذبتم إ ن الله كتب الإحسان على كل شىء فإذا ق ت لتم فأحسنوا القت
بة وليحد أحدكم شفرته وليح ذبيحته فأحسنوا الذArtinya: “sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik terhadap segala
sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang
baik. jika kalian hendak menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang
baik. hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan
yang kalian sembelih.”(HR.Muslim)
136“Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak
cucu adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian tehadap roh mereka (seraya
berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami),
kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan,
“Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini”. (Al-A‟raf: 172)
63
Orang yang bermoral dan senantiasa mengikuti kata hati,
mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang dipilihnya dengan hati,
akan mendapatkan kedamaian karena mengenal hakikat penciptaan langit dan
bumi. Dengan begitu manusia akan mencapai tujuannya di dunia yaitu
menjadi sebaik-baiknya hamba yang dapat disebut cerdas spiritualnya
sebagaimana kecerdasan lainnya yang merupakan bagian dari alam.
64
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Deskriptif Moral Development Lawrence Kohlberg
Teori moral development Kohlberg berlandaskan dengan
konstruktivisme, yang merupakan sebuah teori perkembangan kognitif yang
memberikan penekanan pada keaktifan siswa dalam membangun pemahaman
mereka tentang pengalaman yang mereka dapatkan dari kehidupan realita. Kohlberg
meyakini prinsip-prinsip moral adalah alasan untuk suatu tindakan yang sesuai
dengan teori perkembangan kognitifnya, sehingga teori ini adalah merupakan sebuah
struktur dan bukan isi atau contens. Sehingga hasil akhir dari penalaran moral bukan
apa yang baik atau buruk, tetapi bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa
sesuatu itu baik atau buruk.
Seorang tokoh yang populer dalam disiplin ilmiyah dikalangan pendidik,
secara psikologis dan filosofis ia sukses dan dihormati sebagai ilmuwan berdisiplin
khususnya dalam bidang kajian moral.
Teori Kohlberg banyak mendapat kritikan dari kalangan ahli ataupun tokoh-
tokoh lain, karena dianggap berlebihan dalam menekankan penalaran moral sehingga
tidak memperhatikan perilaku moral. Kohlberg menekuni pada pendidikan moral
dengan sistem hidden curriculum, sehingga ia menekankan pengajar atau guru
mampu membantu dalam mewujudkan suatu kondisi yang akan mencerminkan
moral dalam diri peserta didik.
Kohlberg mengutarakan bahwa konsep moralitas merupakan konsep yang
filosofis (etis) daripada sekedar sebuah konsep tingkah laku, dengan analisa
filosofisnya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa struktur esensial moralitas
adalah prinsip keadilan (the principle of justice), selain itu, inti dari keadilan adalah
distribusi hak dan kewajiban yang diatur oleh konsep “equality” dan “reciprocity”.
“Juctice is not a rule or a set of rules: its is a moral principle. By a
moralprinciple we mean a mode of choosing which which is universal, a
ruleof choosing which we want all people to adopt always in all
situations.We know its all right to be dishonest and steal to save a life
because aman’s right to property. We know its sometimes right to kill,
becauseits sometimes just. The German who triad to kill Hitler were doing
right because respect for the equal values of lives demands that we kill
someone murdering others in orders in order to sasve their lives. There
65
are exceptions to rules, than, but no exceptions to principle. A moral
obligations is an obligations to respect the right or clime of another
person. A moral principle for resolving competing claims, yiu versus me,
you versus a third person. There is only one principles basis for
resolving claims: justice or equality. Treat every man’s claim impartially
regardless of the man. A moral principle is not only a rule of action but a
reason for action. As a reason for actions, justice is called resfect for
persons”137
Melalui kutipan di atas, Kohlberg mengatakan bahwa prinsip moral
bukan merupakan aturan-aturan untuk suatu tindakan, namun merupakan
alasan untuk suatu tindakan.Oleh karena itu istilah yang digunakan Kohlberg
adalah “moral reasoning” atau “moral judgment” yang dimaknai dengan
penalaran moral.
Namun demikian, beberapa kelompok psikolog berpandangan bahwa
orang sering membuat keputusan moral tanpa mempertimbangkan nilai-nilai,
seperti nilai keadilan, hukum, hak asasi manusia dan norma etika yang
abstrak. Sehingga dengan hal ini statement yang telah dianalisis oleh
Kohlberg dan psikolog rasionalis lainnya hanya dianggap merupakan
rasionalisasi dari keputusan intuitif. Yang berarti bahwa penalaran moral
kurang relevan terhadap tindakan moral dibandingkan apa yang dikemukakan
oleh Kohlberg.
Lawrence Kohlberg melalui teori perkembangan moralnya ia mengagas
pemecahan dilema moral pada diri seseorang dengan penalaran atau kognitif
sehingga mengabaikan perilaku moral yang sebenarnya merupakan sebuah
menifestasi dari keluhuran moral yang ada dalam diri seseorang. Keluhuran
moral yang ada dalam diri manusia diperoleh dengan pengenalan diri,
sehingga mengantarkan kepada pengenalan yang Maha Abadi, Allah
SWT.siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya.
Kohlberg memilih untuk menggunakan cerita-cerita tentang dilema
moral dalam penelitiannya, melihat bagaimana orang-orang menjustifikasi
tindakan mereka apabila mereka sedang berada dalam persoalan moral yang
137Kusdwirati Setiono, Psikologi Perkembangan Kajian Teori Piaget, Selaman, Kohlberg dan
Terapannya dalam Reset, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 43
66
sama. Konsep teorinya adalah internalisasi atau terjadi perubahan
perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi
perilaku yang dikendalikan secara internal.138
B. Perspektif Pendidikan Islami Menurut Para Ahli
Kata Islam dalam kalimat “pendidikan Islami” menandakan banyaknya
warna dalam sebuah pendidikan tertentu, pendidikan yang berwarna Islam,
pendidikan yang islami adalah yang berdasarkan Islam.Ada banyak definisi
pendidikan yang dimaknai secara formal, seperti pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan ruhani anak didik untuk tujuan membentuk kepribadian yang
utama. Masih banyak definisi-definisi pendidikan yang berasal dari perspektif
para ahli, pada kenyataannya, pendidikan yang dialami seseorang dalam
proses menuju perkembangan yang sempurna, bukan hanya dipengaruhi oleh
orang lain, bukan hanya antara guru dan murid, namun ia juga akan menerima
pengaruh dari selain manusia. Pengaruh lain dapat juga didapati dari budaya,
alam fisik, dan lainnya.139
Orang tua mendidik anaknya, anaknya mendidik orang tuanya, sapi
mendidik pengembalanya begitu pula sebaliknya, segala yang kita sebutkan
dan kita lakukan dapat mendidikkita, begitu pula yang orang lain lakukan
terhadap kita, hal tersebut dapat mendidik kita.
Pendidikan memiliki kegiatan-kegiatan secara garis besar, diantaranya
adalah: (1)Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh diri sendiri, (2) kegiatan
pendidikan oleh lingkungan, (3) kegiatan pendidikan oleh orang lain. Dengan
pembinaan pendidikan yang juga terangkum dalam tiga bagian, (1) daerah
jasmani,(2) daerah akal, (3) daerah hati. Dan tempat pendidikan juga ada tiga
bagian pokok, yaitu (1) di dalam rumah tangga, (2) di masyarakat, dan (3) di
sekolah.
138Suhaidi, Konsep Pembinaan Moral Studi Komparatif antara Al-Ghazali dengan Lawrence
Kohlberg, Thesis (UIN Sultan Syarif Kasim, Riau), 2011, hlm. 147 139Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, cet ke-3 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015),
hlm. 34
67
Dalam karya Ahmad Tafsir dikatakan bahwa mendidik dalam arti
pedagogis tidak dapat disamakan dengan makna pengajaran. Karena
pengajaran adalah suatu kegiatan yang menyangkut pembinaan anak
mengenai segi kognitif, psikomotorik semata, tujuannya agar anak lebih
banyak pengetahuannya dan memiliki kecakapan dalam berpikir kritis,
sistematis, objektif, dan memiliki keterampilan dalam bidang-bidang tertentu
seperti menulis, lari cepat, berenang dan lain sebagainya.140
Dalam hal ini, Sayid Muhammad al-Naquib al-Attas mencoba
menjelaskan ketiga istilah dalam bahasa arab yang menjadi istilah dan
disepakati sebagai pengertian dari pendidikan, yaitu ta’lim, tarbiyah, dan
ta’dib.Ta‟dib merupaka istilah yang dirasa paling tepat sebagai gambaran
pengertian pendidikan, tarbiyah dimaknai masih terlalu luas karena di
dalamnya juga mencakup istilah pendidikan untuk hewan.Ta‟dib merupakan
mashdar dari kata kerja addaba yang berarti pendidikan, menurut al-Attas,
adabun berarti pengenalan dan pengakuan mengenai hakikat bahwa
pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis.Dengan pengertian
adab tersebut, al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut Islam) sebagai
pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan pada
manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam
tatanan wujud sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan
pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud tersebut.
Initi dari definisi al-Attas ialah menghendaki bahwa pendidikan
menurut Islam adalah usaha agar seseorang mengenali dan mengakui tempat
Tuhan dalam kehidupan ini.
Dalam bab sebelumnya telah dipaparkan beberapa pengertian tentang
hakikat manusia,untuk memahami tujuan dari pendidikan Islami maka
penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri manusia sempurna menurut
Islam. Menurut Islam, hakikat manusia adalah makhluk ciptaan Allah.
Pengetahuan mengenai hakikat manusia sesungguhnya ini seharusnya dapat
140Ibid,hlm, 37
68
menjadi tolak ukur manusia dalam menetapkan pandangan hidup bagi
seorang muslim.
Pihak ilmuwan muslim berkesimpulan bahwa menurut al-Qur‟an, pada
awalnya manusia ini adalah makhluk yang percaya dan bersaksi atas ke Esa-
an Tuhan, namun manusia juga memiliki potensi untuk menjadi seseorang
kafir, seorang yang musyrik, meskipun tujuan wujudnya manusia adalah
untuk beribadah kepada Allah SWT. Muhammad Mahmud Hijazi juga
membahas hakikat kejadian manusia yang tiba pada kesimpulan bahwa fitrah
seorang manusia adalah Muslim, lalu Tabataba‟I menyatakan bahwa salah
satu sifat hakiki manusia adalah ingin mencapai kebahagiaan.Hal itu
merupakan sunnatullah untuk manusia.Oleh karenanya, dalam mencapai
kebahagiaan tersebut maka manusia membutuhkan agama.
Menurut Al-Syaibani, manusia memiliki tiga dimensi dalam dirinya
yaitu, badan atau jasmani, akal, dan ruh. Islam sangat mengehendaki agar
seorang muslim itu sehat mentalnya karena inti ajaran Islam (iman) adalah
merupakan persoalan mental. Lalu kesehatan dan kekuatan mental juga
berkaitan dengan potensi menguasai filsafat dan sains serta dalam mengelola
alam. Maka wajarlah bila Islam memandang jasmani yang sehat serta kuat
menjadi salah satu ciri muslim yang sempurna. Dan pada jasmani yang
demikian itu lah terdapat indera yang sehat dan akan berfungsi dengan
baik.141
Berikut adalah ayat yang biasa digunakan dalam ungkapan bentuk
perintah agar terus belajar dan terus menggunakan indera dan akal:
142
Manusia yang sempurna menurut Islam berikutnya adalah cerdas serta
pandai karena itu yang menjadi ciri akal yang berkembang dengan
sempurna.Kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat
itu dinamai cerdas dan pandai ditandai dengan memiliki banyak pengetahuan.
141Ibid,hlm. 59 142 “Artinya: dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. al-Ankabut:43)
69
Akal yang cerdas merupakan karunia dari Tuhan, dengan indikator
kecerdasan umum (IQ), yang kemudian dikenalkan oleh Daniel Goelman
yang disebut dengan (EQ) Emotional Intelligence, dan penemuan yang
dipelopori oleh Dannah Zohsr tentang (SQ) spiritual Intelligence.
Ciri manusia sempurna berikutnya adalah memiliki ruhani yang
berkualitas tinggi, mungkin manusia tidak memiliki pengetahuan untuk
mengetahui hakikat ruh. Dengan uraian di atas kalbu yang berkualitas adalah
kalbu yang penuh dengan iman kepada Allah, dengan begitu akan muncul
manusia yang berpikir dan selalu bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan.
Dalam konferensi Dunia pertama tentang Pendidikan Islami
disimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan Islami adalah manusia yang
menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah SWT.143
para ahli pendidikan
Islami sepakat bahwa tujuan umum pendidikan Islami adalah manusia yang
baik adalah manusia yang beribadah kepada Allah, tujuan ini akan menjadi
arah pendidikan Islami. Al-Syaibani memaparkan beberapa tujuan pendidikan
Islami, yang berkaitan dengan Individu, mencakup perubahan berupa
pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan ruhani, dan kemampuan untuk
bertahan hidup di dunia lalu mempersiapkan hidup untuk di akhirat kelak.
Tujuan berkaitan dengan masyarakat adalah mencakup tingkah laku di
masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, dan memperkaya pengalaman
masyarakat.Dan tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan
pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan
masyarakat.
Di dalam pendidikan ada pandangan yang sepakat bahwa agama tidak
boleh menjadi kurikulum sekolah (kurikulum sekuler), dan pihak lain justru
sepakat bahwa agama merupakan sebuah pokok kurikulum yang menjadi
dasar pendidikan sekolah. Hal ini yang belum terselesaikan dalam konsep
pengintegrasian.
Pendidikan Islami adlaah pendidikan yang berdasar Islam, ajaran Islam
itu bersumber dari Al-Qur‟an, Hadits dan akal. Dasar dan sumber teori
143Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hlm. 37
70
pendidikan Islami itu adalah pengetahuan Tuhan, dan pengetahuan Tuhan,
ada yang tertulis dengan jelas di dalam al-Qur‟an dan Hadits (revealed
knowledge), dan ada yang tertulis pada alam (acquired knowledge).
Ilmu pendidikan di Barat adalah ilmu pendidikan yang berdasar pada
rasio, teori-teori pendidikannya juga dikembangan dari hasil kerja rasio.Rasio
tugasnya meneliti alam dan hasil penelitian itulah yang menjadi teori-teori
pendidikan dan disebut dengan ilmu pendidikan rasional. Jika dibandingakan
dengan konsep pendidikan Islami mka pendidikan barat hanya
dikembangankan dari alam (acquired knowledge). Pandangan-pandangan di
atas menyimpulkan bahwa Tuhan Maha Mengetahui, yang berarti Maha
pintar dan tidak pernah salah.
Pendidikan membantu manusia untuk menjadi manusia, jika seseorang
sudah selesai dalam satu tahapan proses pendidikannya dan dia mampu untuk
menunjukan sikap kemanusiaannya, maka barulah pendidikan itu dianggap
sukses. Akhlak yang rendah akan menyebabkan timbulnya penyakit jiwa pada
manusia, dan akhlak yang rendah timbul juga karena memiliki sebab-sebab,
jika dilihat secara teoritis, iman yang melemah akan menyebabkan
kemerosotan akhlak, menurut Ahmad Tafsir, penyebab melemahnya iman
salah satunya adalah adanya kesalahan dalam desain pendidikan nasional.
Dari Undang-Undang 45 telah diturunkan Undang-Undang nomor 2
Tahun 1989 yang kemudian sudah diganti dengan UU nomor 20 tahun 2003
tentang pendidikan nasional. Bahkan dalam Undang-undang ini tersirat
konsep penting yaitu Keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di dalamnya
dikatakan bahwa “pendidikan Nasional bertujuan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”144
144Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), hlm.
302
71
Dalam pendidikan Islami, untuk membantu meningkatkan mutu
pendidikan di kalangan umat Muslim, meningkatkan mutu pendidikan
Nasional, dan pendidikan Islami untuk membantu meningkatkan mutu
pendidikan dunia dengan konsep yang jelas, filsafat pendidikan yang
dipersiapkan untuk dunia haruslah filsafat pendidikan yang berketuhanan,
yang artinya filsafat itu harus dibangun dengan berdasarkan wahyu Tuhan.
Mengambil hal baik yang dapat kita pelajari dari orang Yunani, kita
mengetahui bahwa sekurang-kurangnya misi universal pendidikan ada dua,
yaitu membuat aturan untuk mengatur manusia dan membuat aturan untuk
mengatur alam.Aturan yang mengatur manusia harus melahirkan manusia
yang berakhlak mulia, dan aturan yang mengatur alam, harus menghasilkan
kemampuan untuk mengetahui hukum alam. Dalam perspektif Islam, dua
tujuan pendidikan itu juga menjadi tujuan universal pendidikan dalam Islam.
Pendidikan menurut Islam haruslah memberikan pendidikan akhlak
agar lulusan berakhlak mulia dan memberikan pendidikan sain agar lulusan
menguasai sain.Seorang manusia sudah merupakan manusia ideal dalam
pandangan Islam bila sudah memiliki akhlak yang mulia dan menguasai sain.
Makna pendidikan dan segala yang terlibat di dalamnya adalah hal yang
sangat penting dalam merumuskan sistem pendidikan dan implementasinya.
Bagi Naquib al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke
dalam diri manusia.145
Dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan adalah
untuk menjadi manusia yang baik, jadi sistem pendidikan Islam haruslah
mencerminkan manusia universal (insan kamil).146
C. Moral Development dalam Bingkai Nilai-nilai Pendidikan Islami
Secara garis besar, kecerdasan spiritual yang datang dari Barat ini sama
dengan kecerdasan spiritual dalam Islam. Yang membedakannya adalah
mereka sama sekali tidak menyentuh dan memaknainya dengan menggali
145Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung:
Penerbit Mizan), Terjemahan buku “The Concept of Education in Islam: A Framework for an
Islamic Philosophy of Educaton”, (Kuala Lumpur, 1980), hlm. 35 146Ibid,hlm. 84
72
pesan-pesan yang menjadi kepercayaan umat Muslim sebagai sumber
pemikiran yang bersifat universal.Orang-orang barat menilai kecerdasan
spiritual lahir dari kognitif manusia, atau mereka percaya bahwa segala
sesuatu merupakan kemampuan manusia atau ansikh.
Teori moral development Kohlberg mencoba untuk membangun
spiritual yang moralis namun dasarnya adalah dengan basic antroposentris.Ia
percaya bahwa banyak sekali manusia yang dapat menjadi baik, berlaku baik,
dan memberi nilai yang baik tanpa adanya ikatan atau sangkut paut terhadap
agama. Sebagaimana telah penulis paparkan mengenai teori Kohlberg yang
mulanya berkembang dari pemikiran Piaget, Piaget banyak mempelajari cara
anak-anak mengenal Tuhan, diantaranya ia mengatakan bahwa Tuhan dikenal
anak-anak secara berangsur-angsur, pada umur kira-kira tujuh tahun atau
delapan tahun anak-anak yang ditanyai oleh Piaget dalam penelitiannya
mengatakan bahwa Tuhan ada di langit, pada umur 10 tahun anak-anak akan
beranjak mengetahui bahwa berbohong itu tidak baik dan merupakan suatu
dosa.Tuhan tidak menyenangi orang yang berdosa.Dan tidak ditemukan
pernyataan yang tegas bahwa manusia membutuhkan agama.Lawrence
Kohlberg yang meneruskan pemikiran Piaget sampai pada puncak akhir
pernyataannya bahwa manusia memerlukan prinsip-prinsip universal tentang
keadilan, persamaan, dan penghormatan terhadap ketinggian harkat
manusia.147
Prinsip-prinsip yang disebutkan memang layak dan tidak salah jika ada
di dalam agama, sehingga dapat disimpulkan bahwa studi Piaget dan
Kohlberg berkesimpulan bahwa manusia memerlukan agama. Jika ditelisik
dari keenam tahapan perkembangan moral yang dibawa Kohlberg, memang
tidak tertulis jelas atau tidak tertulis secara terang-terangan mengenai hal-hal
yang bersinggungan dengan agama, keenamnya hanya berisikan kepatuhan
dan taat pada hukum, mengedepankan hubungan kepada manusia lainnya, dan
berisi tanggung jawab-tanggung jawab yang harus dipenuhi untuk diri
147
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, cet ke-3 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015),
hlm. 52
73
sendiri.Hanya pada point tingkat ke II tahap ke 3 berisi point penting untuk
percaya pada hukum Tuhan.
Dalam point tahapan lainnya, disebutkan bahwa mendengarkan suara
hati nurani merupakan hal yang sangat penting untuk memenuhi tanggung
jawab seseoran.Hal ini serupa dengan konsep pendidikan dan konsep hakikat
diri manusia yang sebelumnya telah dibahas dari berbagai perspektif
ahli.Bahwa dalam diri manusia terdapat tiga unsur, yaitu jasmani, akal, dan
ruhani/ qalb/ hati nurani.
Teori moral development Kohlberg dengan pendidikan Islami,
keduanya sama-sama menginginkan mewujudkan dan menjadikan manusia
menjadi insan kamil yang sukses dalam proses pendidikan di bumi dengan
alam dan manusia sebagai pembelajar dan mampu mengemban tugas sebagai
khalifahfil al-ardh.
Sebenarnya, pertanyaan-pertanyaan manusia yang dahaga mencari
makna hidup, akan terjawab selama manusia mau menerima kebenaran
ilahiah yang diarahkan dan dibimbing melalui kecerdasan ruhaniah, IQ, EQ,
dan SQ harus tunduk pada TQ (Transcendental Intelligence) atau kecerdasan
ruhaniah. Karena nilai spiritual yang tidak dibimbing oleh kebenaran Ilahiah
dapat menumbuhkan khayalan dan bid‟ah yang menghancurkan.148
Titik
terang yang mungkin dapat dimunculkan dari kedua hal yang menjadi sebuah
dasar dari konsep pendidikan, konsep perkembangan moral, seharusnya
memiliki titik singgung antara kecerdasan spriritual dengan agama, berupa
kecerdasan ruhaniah untuk memperbesar potensi keduanya sehingga
berhimpitan secara penuh.
Sehingga kita sebagai manusia mampu menyadari makna pendidikan
yang menjadikan kita bukan hanya terpesona pada ritual-ritual dalam agama
namun kurang maksimal dalam mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-
hari, yang bermakna beragama hanya sebatas pengetahuan, tanpa
148Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence) Membentuk
Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), hlm. xi
74
penghayatan dan akhirnya tidak memiliki pengalaman spiritual atau
beragama.
Sense of responsibility dalam sudut pandang Islam yang disuguhkan
oleh Toto Tasmara bermakna Takwa, merupakan salah satu ciri kecerdasan
ruhaniah. Takwa bukan hanya pengetahuan namun merupakan sebuah
dorongan untuk menunjukkan bukti tanggung jawab atas apa yang
diketahuinya. Sebagai contoh kecil, para pegawai swasta ataupun pelayan
publik sangat mengetahui dan paham bahwa kata dan kalimat yang bermuatan
moral, akan tetapi pada kenyataannya sikap dan perilaku mereka tetap saja
tidak berubah.sehingga pengetahuan mereka tentang berbagai istilah moral,
kejujuran, disiplin, integritas dan lain sebagainya tersebut hanya menjadi
sebatas pengetahuan saja. Dan tanggung jawab lah yang dapat menjadi salah
satu indikator untuk menghadapi dan memberi solusi terhadap persoalan
moral kemudian dilakukan dengan kekuatan hukum yang menunjukkan rasa
tanggung jawab atau moralitas hukum.
75
BAB V
PENUTUP
Sebagai penutup dalam penelitian ini, penulis menyuguhkan kesimpulan
yang berdasarkan dengan analisis hasil penelitian dan memberikan sedikit saran
untuk perbaikan ke depannya.
A. Kesimpulan
Teori moral development Lawrence Kohlberg adalah salah satu dari
sekian banyak teori-teori perkembangan moral yang dapat dijadikan rujukan
dan penambahan wawasan terkait perkembangan moral seseorang, di dalam
teori Kohlberg ini terdapat salah satu point yang di dalamnya berupa konsep
tertulis untuk mengambil keputusan sesuai dengan kata hati nurani, yang
mana di dalam Islam serupa dengan konsep dasar hakikat manusia dan
pendidikan Islami yang menghendaki tumbuhnya seorang manusia menjadi
manusia yang baik yang memiliki ketakwaan dalam hatinya untuk menjadi
tolak ukur dalam menimbang baik dan buruk perbuatan yang akan dilakukan.
Moral development yang disebut sebagai salah satu potensi kecerdasan
spiritual seharusnya bukan hanya menjadi sebuah pengetahuan saja tanpa
agama, justru kecerdasan spiritual yang sempurna apabila disandingkan
dengan agama akan melahirkan kedamaian dan kebebasan dalam memilih
dengan hati tentang keputusan-keputusan dalam hidup karena memiliki
kecerdasan baru yang lahir dari kedua irisan (kecerdasan spiritual dan
agama), yaitu kecerdasan ruhaniah sehingga mampu menjadi manusia yang
tegas dan berani mempertanggung jawabkan derajat kemanusiaan di hadapan
Allah dan di mata manusia.
Pembahasan tentang perkembangan teori kognitivisme dilihat dari
perspektif pendidikan Islami, teori kognitivisme dan konstruktivisme hanya
terbatas pada kemampuan sebagian kecil dari fungsi akal. Teori kognitivisme
memandang belajar adalah sebuah proses seperti “instal” atau pemasangan
perangkat lunak ke dalam kognitif seseorang. Yang mana output-nya adalah
manusia-manusia yang menguasai materi suatu bidang keilmuan namun
76
mereka miskin hati. Bahkan pengetahuan yang diperoleh melalui teori
kognitivisme bersifat lebih antroposentris, karena pada dasarnya kognitif
adalah potensi intelektual semata. Hal penting yang sering terlupakan setelah
seseorang memiliki pengetahuan adalah “bersyukur”, yaitu menggunakan
semua potensi yang dimiliki sesuai dengan tujuan Allah.
B. Saran
Penulis mengharapkan bahwa hasil dari penelitian ini bisa memberikan
sumbangan berupa pemikiran untuk memperbanyak wawasan dan menjadi
upaya untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan pendidikan yang Islami dan
memperbaiki mutu pendidikan dengan menjadikan peserta didik seorang yang
penuh moral dan kasih sayang, dan tumbuh menjadi insan kamil melalui
tahapan-tahapan yang tepat. Adapun saran yang dapat penulis sampaikan
untuk memperbaiki dasar pendidikan yang Islami adalah:
1. Untuk seluruh pendidik pada jajaran dan tingkat sekolah juga segala
sesuatu yang dapat dimaknai sebagai pendidikan (bukan di sekolah) agar
selalu melakukan pelatihan diri untuk mengasah kepekaan ruhanikarena
hal itu akan menjadi pengaruh besar apabila kita bergerak dibidang
pendidikan dan pengajaran dan menjadi tanggung jawab kita untuk
menunjukan versi terbaik sebagai orang yang patut digugu dan ditiru.
2. Sebagai seorang peserta didik kita harus terus menggali sampai menyadari
potensi yang menjadi fitrah dalam diri manusia untuk selalu memperbaiki
diri dimulai dari memperbaiki hati nurani dengan cara terus mengingat
dan selalu berserah kepada Allah SWT, dengan begitu maka akan
sendirinya kita tumbuh melalui tahapan perkembangan yang melahirka
moral-moral baik sesuai dengan yang Allah kehendaki.
3. Sebagai orang tua penting untuk menyadari tanggung jawab utama
menjadi orang tua adalah membantu anaknya untuk melalui setiap fase
dalam hidupnya agar bermakna dan menjadi contoh yang baik bagi anak-
anaknya.
77
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Juanaidi, Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme, Jurnal Studi Agama
dan Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014)
AM, Mukhlisah, Pengembangan Kognitif Jean Piaget dan Peningkatan Belajar
Anak Diskalkulia, Jurnal Kependidikan Islam, vol. 6, No. 2, Tahun
2015
Anwar, ChairilTeori-Teori Pendidikan Klasik Hingga Modern,(Yogyakarta:
IRCiSoD, 2017)
Azra, Azyumardi,Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenamedia Group, 2012)
Drajat, Zakiyah, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1997)
Durkheim, Emile, Moral Education, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama)
Elliot Turiel, The Development of Children’s Orientations towards Moral, Social,
and Personal Oeders: More than a Sequence in Development, Human
Development 2008, p. 1, Diakses tanggal 16 Mei 2019 jam 22.17.
Ghufron, M,Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju Antroposentris
(Telaah atas Pemikiran Hasan Hanafi), Millati, Journal of Islamic
Studies and Humanities, vol. 3, No. 1, Juni 2018
Gibbs, C John, Moral Development.(New York: Oxford University Press, 2010)
Haris, Abd. Etika Hamka Konstruksi Etik Berbaisis Rasional Religius, (Jakarta:
LKiS Yogyakarta, 2010)
Hasanah, MulyaPendidikan Moral dalam Perspektif Pendidikan Islam,Vol. 3, No.
2, Desember 2018
Ikrommullah, Anata, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut
Lawrence Kohlberg, Jurnal Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, vol. 28, No. 2, (Agustus 2015)
Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mondari Maju,
1996)
Keraf, Gorys, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa.
Laila, Qumruin NurulPemikiran Pendidikan Moral Albert Bandura, vol. III, No.
1, Maret 2015
78
Lathifa, Wandari Arifia, Hubungan Antara Penalaran Moral dengan Kecerdasan
Spiritual pada Siswa Kelas XI di SMK MUhammadiyah 3 Yogyakarta,
Skripsipada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta,
Yogyakarta, 2015
Lubis, Mawardi, Pengembangan Instrumen Evaluasi Perkembangan Moral
Keagamaan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, vol. 6, No.
1, (01 Juni, 2004)
Maharani, LailaPerkembangan Moral Pada Anak, 2014,
(https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/konseli). Diakses tanggal 5
April 2019 jam 22.01
Manijo, Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan dengan Teologi Kepribadian Hassan
Hanafi (Perspektif Teologi Antroposentris), Jurnal Fikrah, Vol. 1, No.
2, Juli-Desember 2013, hlm. 2
Muchsin, Bashori, dkk, Pendidikan Islam Humanistik, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2010)
Muhammad, Syed Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Penerbit Mizan),
Terjemahan buku “The Concept of Education in Islam: A Framework
for an Islamic Philosophy of Educaton”, (Kuala Lumpur, 1980)
Mukhid, Abd, Self-Efficacy Perspektif Kognitif Sosial dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan, Tadris, vol. 4, No. 1, Tahun 2009
Mukiyat, M,Model-model Pembelajaran Moral dalam PKn (Salah SatuWahana
untuk Mengembangkan Karakter Bangsa), vol. 17, No. 1, (April2015)
Munari,Tahap Perkembangan Moral Perspektif Barat dan Islam, Artikel, Jurnal
Pendidikan Islam
Nata, Abuddin,Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: PRENAMEDIA
GROUP 2016)
Nazir, Moh, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015)
Nida, Fatma Laili, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg
dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Vol. 10, No. 2, Jurnal
Edukasia, (26 Mei, 2014)
Nurhayati, Siti Rohmah,Telaah Kritis Terhadap Teori Perkembangan Moral
Lawrence Kohlberg, Jurnal Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006
Poespoprodjo, Filsafat Moral, Cetakan-I, (Bandung: CV Pustaka Grafika, 1999)
79
Putra, Nusa, dkk, Penelitian Kualitatif Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2012)
Rahmah, NurBelajar Bermakna David P. Ausubel di SD/MI, vol. 3, No. 1, (Juni
2015)
Rahman, Agus Abdul, Teori Perkembangan Moral dan Model Pendidikan Moral,
vol. III, 2010, Hlm. 39-39, Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.59
Ramlah, Penerapan Teori Perkembangan Mental Piaget Tahap Operasional
Konkret pada Hukum Kekekalan Materi, Jurnal Pendidikan UNISKA,
vol. 3, No. 2, November 2015
Razak, Yusron, Ervan Nurtawaban., Antropologi Agama, Cet. 1, (Jakarta:
Diterbitkan atas kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan
UIN Jakarta Press), Desember 2007
Safnowandi, Teori Perkembangan Kepribadian, Sosial dan Moral, 2012,
(safnowandi.wordpress.com/2012/11/04/teori-perkembangan-
kepribadian-sosial-dan-moral/). Diakses tanggal 4 April 2019 jam
20.17
Setiono, Kusdwirati Psikologi Perkembangan Kajian Teori Piaget, Selaman,
Kohlberg dan Terapannya dalam Reset, (Bandung: Widya
Padjadjaran, 2009)
Suhaidi, Konsep Pembinaan Moral Studi Komparatif antara Al-Ghazali dengan
Lawrence Kohlberg, Thesis (UIN Sultan Syarif Kasim, Riau), 2011.
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2010)
Sulthon, Peningkatan Kualitas Pembelajaran Melalui Pendekatan
Konstruktivistik dalam Pendidikan Bagi Anak Usia Dini, vol. 1, No. 1,
(Juli-Desember 2013)
Sunanik, Perkembangan Anak Ditinjau dari Teori Konstruktivisme, vol. 2, 2014,
hlm 2, Diakses tanggal 3 Mei 2019 jam 21:59
Supardan, DadangTeori dan Praktik Pendekatan Konstruktivisme dalam
Pembelajaran, vol. 4, No. 1, (2016)
Supeni, Maria Goretti, Moralitas dan Perkembangannya, Vol. 33, No. 1, (15
Desember, 2010)
Syafrilsyah, dkk., Moral dan Akhlaq dalam Psikologi Moral Islami,
Psikoislamedia Jurnal Psikologi, vol. 2, No. 2, Tahun 2017
80
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2017)
Tarmizi, Konsep Manusia dalam Psikologi Islam, Jurnal al Irsyad, vol. VII, no. 2
Juli-Desember (2017)
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah Transcendental IntelligenceMembentuk
Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak,
(Jakarta: Gema Insani Press 2001)
Trinurmi, Sitti, Hakikat dan Tujuan Hidup Manusia dan Hubungannya dengan
Tujuan Pendidikan Islam. Al-Irsyad Al-Nafs, Jurnal Bimbingan dan
Penyuluhan Islam Vol. 2, No. 1, Desember (2015), hlm. 2
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Pasal 1 , No. 20,
Tahun 2003
Zizek, Boris, Detlef Garz and Ewa Nowak, Moral Development And Citizenship
Education (Kohlberg Revisited), Volume 9 (Taipei: Sense Publisher),
p. 28
Zuchdi, Darmiyati,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008)