Download - TEATER TRADISIONAL DI JEPANG
TEATER TRADISIONAL DI JEPANG
NIHON NO DENTO GEKIJO
Kertas Karya
Dikerjakan Oleh:
DHAIFINA GHASSANI LUBIS
NIM: 152203027
PROGRAM STUDI D-III BAHASA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TEATER TRADISIONAL DI JEPANG
KERTAS KARYA
Kertas karya ini diajukan Kepada panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah
satu syarat ujian Diploma III dalam Bidang Studi Bahasa Jepang.
Dikerjakan
OLEH:
DHAIFINA GHASSANI LUBIS
NIM: 152203027
PEMBIMBING
Nelvita S.S., M.Hum
NIP: 198411032015042001
PROGRAM STUDI D-III BAHASA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGESAHAN
Diterima Oleh
Panitia Ujian Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian
Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang
Pada
Tanggal : 27 Juli 2018
Hari : Jumat
Program Studi D-III Bahasa Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
Dekan,
Dr. Budi Agustono, M.S
NIP: 190608051987031001
Panitia Tugas Akhir:
No. Nama Tanda Tangan
1. Nelvita S.S., M.Hum ( )
2. Adriana Hasibuan S.S., M.Hum ( )
3. Veryani Guniesti S.S., M.Hum ( )
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui Oleh :
PROGRAM STUDI D-III BAHASA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
Medan, Juli 2018
Ketua Program Studi
Dr. Diah Syafitri Handayani, M.Litt
NIP: 19721228199932001
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim. Assalamualaikum wr.wb, segala puji syukur
penulis saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat hidayah-
Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan kertas karya ini, sebagai syarat untuk
memenuhi ujian akhir Diploma-III Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara. Kertas Karya ini berjudul “TEATER
TRADISIONAL DI JEPANG”.
Dalam hal ini penulis menyadari bahwa apa yang telah tertulis dalam
Kertas Karya ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi dan
pembahasan masalah. Demi kesempurnaan, penulis sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk ke arah perbaikan.
Dalam Kertas Karya ini penulis telah banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak yang cukup bernilai harganya. Untuk ini penulis mengucapkan
banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Diah Syafitri Handayani, M.Litt., selaku Ketua Prodi Bahasa Jepang D-III
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Nelvita S.S., M.Hum selaku Dosen pembimbing yang dengan ikhlas telah
meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan juga arahan
kepada penulis dalam menyelesaikan Kertas Karya ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara, atas didikannya selama masa perkuliahan.
5. Teristimewa kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda H. Harry Noor Lubis dan
Ibunda Sri Meiniza, yang telah memberikan doa, dukungan, bimbingan sehingga
penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini dengan baik.
6. Terima Kasih kepada om, kakak, abang, sepupu dan keponakan Adil
Simangunsong, Kamelia, Senny Siti Permana Lubis Amd, Renny Laili Dwi
Permata Lubis S.Farm., Apt., Muhammad Reno Tri Ananda Lubis Amd., Rahmi
Shafwani, Fitria Nurandita, Fadhla Hani, Debby Carolina, dan Siti Aqilla yang
selalu member dukungan dalam pengerjaan Kertas Karya ini.
7. Untuk sahabat Moniq, Fira, Uyun, Fullah, Rizki, Mira, Indri, Agita, Sonya,
Sasha, Christa, Yulia, Adolf.
Medan, 2018
Penulis
Dhaifina Ghassani Lubis
NIM: 152203027
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1
1.1 Alasan Pemilihan Judul ............................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan ........................................................................ 2
1.3 Batasan Masalah ........................................................................ 2
1.4 Metode Penulisan ...................................................................... 2
BAB II SEJARAH TEATER TRADISIONAL DI JEPANG ................. 3
2.1 Zaman Edo ................................................................................ 3
2.2 Zaman Meiji .............................................................................. 6
2.3 Zaman Taisho .......................................................................... 10
BAB III JENIS-JENIS TEATER TRADISIONAL DI JEPANG .......... 13
3.1 Kabuki ..................................................................................... 13
3.2 Nogaku .................................................................................... 15
3.3 Bunraku ................................................................................... 17
3.4 Kyogen .................................................................................... 19
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 21
4.1 Kesimpulan ............................................................................. 21
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.2 Saran ........................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Judul
Menurut Seni Handayani & Wildan Teater atau drama adalah bentuk
karangan yang memiliki bentuk naskah tertulis yang dipentaskan diatas panggung.
Dan berpijak dengan dua cabang kesenian yakni seni sastra dan seni pentas.
Adapun pengertian teater secara umum, teater istilah lain dari drama, tetapi dalam
pengertian yang lebih luas, teater adalah proses pemilihan teks atau naskah,
penafsiran, penggarapan, penyajian atau pementasan dan proses pemahaman atau
penikmatan dari publik atau penonton. Teater bisa diartikan dengan dua cara yaitu
dalam arti sempit dan luas. Teater dalam arti luas adalah sebagai drama (kisah
hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan orang
banyak dan didasarkan pada naskah yang tertulis). Dalam arti sempit, teater
adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak.
Teater di negara Jepang juga terkenal, teater Jepang memiliki sejarah yang
panjang dan kaya dengan adanya rasa takut akan kesulitan mengikuti jalan cerita
di panggung karena perbedaan bahasa dan budaya, tidak sedikit calon penonton
yang tidak mau mengambil risiko untuk merasa kecewa dan pada
akhirnya memutuskan untuk melewatkan kesempatan besar menikmati salah satu
karya seni besar Jepang apalagi karena sebenarnya banyak teater yang memiliki
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
fasilitas untuk mengakomodir penonton internasional dan membuat
pementasannya dapat dimengerti oleh siapapun.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan kertas karya ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui tentang sejarah teater di Jepang.
2. Menambah pengetahuan mengenai teater di Jepang.
3. Meperoleh wawasan mengenai teater di Jepang.
4. Sebagai salah satu syarat kelulusan dari program studi D-III Bahasa Jepang
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
1.3 Batasan Masalah
Dalam kertas karya ini penulis membahas gambaran umum tentang sejarah teater
tradisional di Jepang.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam kertas karya ini adalah metode
kepustakaan, yaitu mengumpulkan data-data atau informasi dengan membaca
buku serta menggunakan sumber teknologi seperti internet yang berkaitan dengan
masalah yang akan dibahas dalam kertas karya ini. Selanjutnya data dibahas dan
dirangkum kemudian dideskripsikan dalam kertas karya ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB II
SEJARAH TEATER TRADISIONAL DI JEPANG
2.1 Zaman Edo (1603-1868)
Zaman Edo adalah salah satu pembagian periode dalam sejarah Jepang
yang dimulai sejak Shogun pertama Tokugawa Ieyasu mendirikan Keshogunan
Tokugawa di Edo yang berakhir dengan pemulihan kaisar Taisei Hokan dari
tangan Shogun terakhir Tokugawa Yoshinobu sekaligus mengakhiri kekuasaan
Keshogunan Tokugawa yang berlangsung selama 264 tahun.
Pada zaman Edo pemerintahan otonomi daerah berada di tangan lebih dari
dua ratus pejabat daimyo. Peringkat daimyō pada zaman Edo ditentukan oleh
tingkatan kebangsawanan (Kakaku), tingkat jabatan (Kan-i), potensi kekayaan
wilayah Han (Kokudaka), dan deskripsi pekerjaan (Yakushoku). Sebagai klan
terkuat, pemimpin klan Tokugawa dari generasi ke generasi menjabat sebagai
shogun (sei-I taishogun). Keshogunan Tokugawa yang bermarkas di Edo
(sekarang Tokyo) memimpin para daimyo di masing-masing daerah otonom yang
disebut domain (han).
Kelas samurai ditempatkan oleh keshogunan di atas kelas rakyat biasa,
petani, perajin, dan pedagang. Keshogunan mengeluarkan undang-undang yang
mengatur segala aspek kehidupan, dimulai dari potongan rambut dan busana
untuk masing-masing kelas dalam masyarakat. Shogun mewajibkan para daimyo
secara bergantian untuk bertugas di Edo. Mereka disediakan rumah kediaman
mewah di Edo agar tidak memberontak. Kekuatan militer daimyo daerah ditekan,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan diharuskan meminta izin dari pusat sebelum dapat memperbaiki fasilitas
militer. Keshogunan Tokugawa runtuh setelah Perang Boshin 1868-1869. Zaman
Edo juga disebut sebagai awal zaman modern di Jepang. Kesenian garda depan
yang dibawakan Okuni mendadak sangat populer, sehingga bermunculan banyak
sekali kelompok pertunjukan kabuki imitasi. Pertunjukan kabuki yang digelar oleh
sekelompok wanita penghibur disebut Onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan
kabuki yang dibawakan remaja laki-laki disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja
laki-laki). Keshogunan Tokugawa menilai pertunjukan kabuki yang dilakukan
kelompok wanita penghibur sudah melanggar batas moral, sehingga pada tahun
1629 kabuki wanita penghibur dilarang dipentaskan. Pertunjukan kabuki laki-laki
daun muda juga dilarang pada tahun 1652 karena merupakan bentuk pelacuran
terselubung.
Pertunjukan Yaro Kabuki (kabuki pria) yang dibawakan seluruhnya pria
dewasa diciptakan sebagai reaksi atas dilarangnya Onna-Kabuki yang seluruhnya
terdiri dari pria dewasa yang juga memainkan peran sebagai wanita melahirkan
“konsep baru” dalam dunia estetika. Kesenian yaro kabuki terus berkembang pada
zaman Edo dan berlanjut hingga sekarang.
Dalam perkembangannya, kabuki digolongkan menjadi Kabuki-odori
(kabuki-tarian) dan Kabuki-geki (kabuki-sandiwara). Kabuki-odori dipertunjukkan
dari masa kabuki masih dibawakan Okuni hingga masa kepopuleran Wakashu-
kabuki, remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan konon ada
yang disertai dengan akrobat. Selain itu, kabuki-odori juga bisa berarti
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi drama
yang ditampilkan.
Kabuki-geki merupakan pertunjukan sandiwara yang ditujukan untuk
penduduk kota pada zaman Edo dan berintikan sandiwara dan tari. Peraturan yang
dikeluarkan Keshogunan Edo mewajibkan kelompok kabuki untuk “habis-habisan
meniru kyogen” merupakan salah satu sebab kabuki berubah menjadi pertunjukan
sandiwara. Alasannya kabuki yang menampilkan tari sebagai atraksi utama
merupakan pelacuran terselubung dan pemerintah harus menjaga moral rakyat.
Tema pertunjukan kabuki-geki bisa berupa tokoh sejarah, cerita kehidupan sehari-
hari atau kisah perisitiwa kejahatan, sehingga kabuki jenis ini juga dikenal sebagai
Kabuki kyogen. Kelompok kabuki melakukan apa saja demi memuaskan minat
rakyat yang haus hiburan. Kepopuleran kabuki menyebabkan kelompok kabuki
bisa memiliki gedung teater khusus kabuki seperti Kabuki-za. Pertunjukan kabuki
di gedung khusus memungkinkan pementasan berbagai cerita yang dulunya tidak
mungkin dipentaskan.
Sampai pertengahan zaman Edo, Kabuki-kyogen kreasi baru banyak
diciptakan di daerah Kamigata. Kabuki-kyogen banyak mengambil unsur cerita
Ningyo Joruri yang khas daerah Kamigata. Penulis kabuki asal Edo tidak cuma
diam melihat perkembangan pesat kabuki di Kamigata. Tsuruya Namboku banyak
menghasilkan banyak karya kreasi baru sekitar zaman Bunka hingga zaman
Bunsei. Penulis sandiwara kabuki Kawatake Mokuami juga baru menghasilkan
karya-karya barunya di akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji. Sebagai
hasilnya, Edo makin berperan sebagai kota budaya dibandingkan Kamigata mulai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
paruh kedua zaman Edo. Di zaman Edo, Kabuki-kyogen juga disebut sebagai
sandiwara (shibai).
Kyōgen sejak zaman Edo terbagi menjadi tiga aliran utama: aliran Ōkura,
aliran Izumi, dan aliran Sagi. Sekarang hanya tinggal 2 aliran kyōgen yang tersisa,
aliran Ōkura dan aliran Izumi. Awal zaman Edo juga terdapat aliran Nanto-negi
yang berintikan seniman kalangan Jin-nin (Jinin). Pada waktu itu, sebagian besar
kuil Shinto memiliki kelompok Sarugaku dan menggaji orang yang disebut Jinin
untuk bekerja sebagai seniman sekaligus pesuruh. Menurut catatan sejarah, aliran
Nanto-negi tercatat sangat populer pada zaman Muromachi, tapi ketenarannya
mulai memudar di awal zaman Edo sampai akhirnya terserap ke dalam aliran yang
besar. Berbagai aliran kecil yang tidak terkenal juga ikut punah, dan hanya
meninggalkan naskah kyōgen yang sebagian sempat diterbitkan sebagai buku
bacaan pada zaman Edo.
Semasa zaman Tokugawa, Noh mempertahankan perannya sebagai
sumber hiburan bagi para kaum elit. Selama berabad-abad, bahasa dan gaya
penyampaian dari pentas-pentas Noh banyak yang terkodifikasi, bahkan hingga
sekarang.
2.2 Zaman Meiji (1867 – 1912)
Zaman Meiji (1867 – 1912) merupakan salah satu periode yang paling
istimewa dalam sejarah Jepang. Di bawah pimpinan kaisar Meiji, Jepang bergerak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
maju sehingga hanya dalam beberapa dasawarsa mencapai pembentukan suatu
bangsa modern yang memiliki perindustrian modern dan lembaga-lembaga politik
modern.Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, kaisar Meiji memindahkan
ibukota kekaisaran dari Kyoto ke Edo. Edo pun berganti nama baru menjadi
Tokyo (ibu kota Timur). Diumumkanlah undang-undang dasar yang menetapkan
sebuah kabinet dan badan-badan legistlatif. Golongan-golongan masyarakat
selama masa Edo yang membuat masyarakat menjadi terbagi berdasarkan kasta
pun dihapuskan. Kaisar Meiji membawa pencerahan dalam membimbing
bangsanya melewati peralihan yang sangat mencuat. Lalu berakhir pada saat
wafatnya kaisar Meiji pada tahun 1912.
Modernisasi di bidang kebudayaan terus dilakukan pada tahun 1872 (Meiji
V), pemerintah menetapkan sistem pendidikan di mana masyarakat yang memiliki
pekerjaan dan status macam apapun dapat mengikuti pendidikan. Selain itu,
pemerintah Meiji pun mengirimkan banyak mahasiswa ke negara-negara Eropa
dan Amerika dan mengundang banyak ahli teknik dari negara-negara Barat.
Kebudayaan Barat yang maju pun diadopsi oleh pemerintah. Di bidang kehidupan
sehari-hari, diberlakukan kalender Masehi agama Kristen akhirnya diakui karena
adanya kritik-kritik dari luar negeri. Teknik cetak berkembang sehingga koran
yang menyebarluaskan politik dan humaniora banyak diterbitkan. Kebudayaan di
kota-kota besar yang merupakan salah satu kebudayaan yang menghasilkan
kombinasi seni cetak balok kayu, teater Kabuki, novel, mode pakaian, dan
perpustakaan, kebanyakan terikat dengan Geisha atau perempuan yang hadir
setiap kota tempat hiburan. Di Ginza, Tokyo, dibangun bangunan-bangunan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bergaya Barat yang menggunakan batu bata merah dan jalan-jalan raya dinyalakan
lampu-lampu gas yang menerangi jalan.
Di bidang pemikiran, diterapkan pemikiran Barat, seperti bahwa manusia
semuanya bebas dan sederajat, dan memiliki hak yang sama untuk menuntut
pemikiran untuk mendapatkan keadilan dalam mencapai kebahagiaan dan
kebebasannya sehingga pemikiran ini akhirnya meluas di masyarakat. Menurut
karangan Fukuzawa Yukichi, terdapat kata-kata pendahuluan yang berbunyi: "ten
wa hito no ue ni, hito o tsukurazu, hito no shita ni hito o tsukurazu" (dewa tidak
menciptakan manusia berada di atas dan di bawah). Maknanya adalah manusia itu
sederajat dan tidak dibedakan berdasarkan status sosial.
Kabuki pada zaman Meiji pun kepopulerannya tetap tidak tergoyahkan.
Tapi sering menerima kritik, diantaranya kalangan intelektual menganggap isi
cerita kabuki tidak sesuai untuk dipertunjukkan di negara orang beradab.
Kalangan di dalam dan di luar lingkungan kabuki juga menuntut pembaruan di
dalam kabuki, sehingga mau tidak mau dunia pertunjukan kabuki harus diubah
sesuai tuntutan zaman. Kritik terhadap kabuki mengatakan banyak unsur dalam
kabuki yang sebenarnya tidak pantas dimasukkan ke dalam drama kabuki,
misalnya : alur cerita yang tidak masuk akal, tema cerita yang kuno atau berbau
bangsawan, dan trik panggung yang sekadar untuk membuat penonton takjub,
seperti adegan aktor bisa "terbang" atau berganti kostum dalam sekejap. Akibat
kritik yang diterima dunia pertunjukan kabuki sejak zaman Meiji berusaha
mengadakan gerakan pembaruan dalam berbagai aspek teater kabuki. Gerakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pembaruan yang disebut Engeki Kairyo Undo juga melibatkan pemerintahan meiji
yang memang bermaksud mengontrol pertunjukan kabuki. Pemerintah Meiji
bercita-cita menciptakan pertunjukan teater yang pantas dan bisa dinikmati
kalangan menengah dan kalangan atas suatu "masyarakat yang bermoral". Salah
satu hasil gerakan pembaruan kabuki adalah dibukanya gedung Kabuki-za sebagai
tempat pementasan kabuki. Selain itu, pembaruan juga melahirkan genre baru
teater kabuki yang disebut Shimpa.
Karya kabuki yang diciptakan di tengah gerakan pembaruan disebut Shin-
kabuki, dengan karya-karya baru banyak bermunculan hingga di awal zaman
Showa. Penggemar kabuki biasanya tidak menyukai sebagian besar karya kabuki
yang mendapat pengaruh gerakan pembaruan dan dipentaskan sebagai Shin-
kabuki. Penggemar Shin-kabuki cuma penulis terkenal seperti Tsubouchi Shoyo,
Osanai Kaoru, dan Okamoto Kido yang begitu suka hingga menulis naskah baru
untuk kabuki. Sampai sekarang, karya-karya yang tergolong ke dalam Shin-kabuki
yang tidak disukai penggemar hampir tidak pernah dipentaskan. Sejak zaman
Meiji, istilah Nohgaku (能楽 ) sering digunakan untuk menyebut Noh dan
Kyōgen.
Pada akhir zaman Meiji, Bunraku-za menjadi satu-satunya gedung teater
ningyo jōruri yang masih tersisa. Pada tahun 1909, pengelolaan gedung Bunraku-
za berada di bawah perusahaan hiburan Shōchiku. Setelah itu, gedung Bunraku-za
sempat pindah berkali-kali di dalam kota Osaka. Lokasi pertama di dalam kuil
Shinto Goryōjinja di distrik Chuo-ku. Setelah mengalami musibah kebakaran pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tahun 1929, gedung pindah ke Yotsubashi di distrik Nishi-ku. Sewaktu Perang
Dunia II, gedung terbakar akibat serangan udara, tetapi dibangun kembali di
lokasi yang sama pada tahun 1946. Pada tahun 1956, gedung pertunjukan pindah
ke bekas situs teater Benten-za di Dotombori (distrik Chuo-ku).
Kesenian bunraku ini bermula dari pementasan ningyo jōruri oleh seniman
Uemura Bunrakuken I di Osaka sehingga diberi nama "bunraku". Sebelumnya,
kesenian ini juga disebut ayatsuri jōruri shibai (sandiwara johruri ayatsuri), dan
baru secara resmi dinamakan bunraku sejak akhir zaman Meiji (1868-1912).
2.3 Zaman Taisho - Hingga Sekarang
Zaman Taishō ( 大 正 ) atau Periode Taishō adalah salah satu nama
zaman pemerintahan Kaisar Jepang sewaktu Kaisar Taishō (Yoshihito)
memerintah Jepang, sesudah zaman Meiji dan sebelum zaman Shōwa. Zaman ini
dimulai sejak kaisar Yoshihito berkuasa menggantikan kaisar meiji yang wafat
pada 30 juli 1912. Kaisar Yoshihito kemudian mengubah namanya menjadi kaisar
Taishō. Periode ini dikenal dengan zaman Taisho. Pada zaman ini, dibawah
kepemimpinan kaisar Taisho, Jepang terus berkembang sebagai negara maju dan
modern. Kelanjutan modernisasi dari zaman Meiji pada saat itu semakin pesat dan
drastis. Peningkatan di setiap bidang telah menunjukkan keperkasaan Jepang di
Asia dan lebih dari pada itu, Jepang telah disejajarkan dengan negara-negara
Eropa seperti Inggris, Jerman, Belanda, Spanyol, Portugis dan negara maju
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
lainnya. Era Taisho telah menyumbangkan lebih banyak perubahan, dan dapat
dikatakan modernisasi ketika itu telah mencapai kemajuan yang luar biasa. Pada
era Taisho disadari bahwa modernisasi telah memiliki caranya tersendiri untuk
mencapai kedudukan tertinggi yang terkadang sulit dan terkadang juga
menegangkan. Bertolak belakang dengan cara penyerapan kebudayaan dari China
yang terkesan santai pada 1.300 tahun lalu oleh kalangan kecil elit (keluarga
kekaisaran) Yamato. Nilai kebudayaan dan ide politik barat telah berkembang
secara pesat dan menjadi hal yang familiar (biasa) bagi sebagian besar masyarakat
(Mason dan Caiger, 1997: 304).
Era Taisho menjadi awal sejarah industri film di Jepang, pada mulanya
konsep dan ide-ide pemikiran barat dalam pembuatan film ini mengambil cerita
dan aktor teater kabuki dan drama baru. Perbedaannya adalah film menggunakan
teknik akting dan skrip atau naskah. Teater bioskop pertama sebenarnya dibangun
pada tahun 1903, dan pada 1918 para pembuat film Jepang berkiblat pada film-
film asing sebagai inspirasi mereka. Seperti teknik close-up, long-shots, continius
action, simple mobile camera technique, artificial lighting (pencahayaan buatan),
shots on location (syuting lokasi), sub judul, dan aktris untuk peran perempuan,
yang membantu film bebas dari standar nilai estetika masa lalu.
Pementasan kabuki pada zaman sekarang sudah sangat berbeda dengan
pementasan kabuki pada zaman Edo. Kelompok kabuki berusaha memodernisasi
pertunjukan sekaligus memelihara tradisi pementasan. Kabuki sekarang sudah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dianggap sebagai seni pertunjukan tradisional yang sesuai dengan kemajuan
zaman.
Kyogen ini terdiri dari 7 periode sejarah yaitu: dari zaman Nara sampai
zaman Kamakura pada abad 8 sampai 14, pada pertengahan dan akhir zaman
Muromachi pada abad 15 sampai 16, zaman Momoyama pada abad 16, zaman
Edo pada abad 17-19, dan Zaman Modern pada abad 19-20.
Kyōgen diperkirakan dibawa ke Jepang dari China di abad ke-8 atau
sebelumnya. hiburan ini berkembang menjadi sarugaku pada abad berikutnya, dan
pada abad ke-14 awal ada perbedaan yang jelas antara kelompok pemain
sarugaku dari drama yang Noh serius dan Kyōgen yang lucu. Sebagai komponen
Noh, Kyōgen menerima perlindungan dari aristokrasi militer sampai saat
Restorasi Meiji (1868). Sejak itu, Kyōgen tetap dipertahankan dan dikembangkan
oleh keluarga, terutama dari Izumi dan sekolah Okura. Saat ini Kyōgen dimainkan
oleh profesional secara independen dan sebagai bagian dari pertunjukan Noh
hingga sekarang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III
JENIS-JENIS TEATER TRADISIONAL DI JEPANG
3.1. Kabuki
Kabuki (歌舞伎) adalah seni teater tradisional khas Jepang. Aktor kabuki
terkenal dengan kostum mewah dan tata rias wajah yang mencolok. Kabuki
merupakan salah satu dari empat jenis drama atau teater tradisional Jepang.
Perkembagan Kabuki diawali oleh seorang wanita yang bernama Izumi no Okuni
dari kuil Kitano Temangu, Kyoto. Tokoh inilah yang menurut pengamat Kabuki
dianggap sebagai tokoh yang berpengaruh dalam Kabuki. Kesenian garda depan
yang dibawakan Okuni mendadak sangat populer, sehingga bermunculan banyak
sekali kelompok pertunjukan kabuki imitasi. Pertunjukan kabuki yang digelar
sekelompok wanita penghibur disebut Onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan
kabuki yang dibawakan remaja laki-laki disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja
laki-laki).
Dalam perkembangannya, kabuki digolongkan menjadi Kabuki odori
(kabuki tarian) dan Kabuki-geki (kabuki sandiwara). Kabuki odori dipertunjukkan
dari masa kabuki masih dibawakan Okuni hingga di masa kepopuleran Wakashu-
kabuki, remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan konon ada
yang disertai dengan akrobat. Selain itu, Kabuki odori juga bisa berarti
pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi drama
yang ditampilkan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Cerita kabuki yang berasal dari didramatisasi kisah sejarah disebut
Jidaimono. Cerita kabuki dengan kisah berlatar belakang kehidupan masyarakat
disebut Sewamono. Selain itu, penulis cerita kabuki juga senang menggunakan
istilah sekai (dunia) sebagai kerangka dasar cerita, misalnya karya kabuki berjudul
Taiheiki no sekai (太平記の世界 Dunia Taiheiki), Heike monogatari no sekai (平
家物語の世界 Dunia Kisah klan Heike), Sogamono no sekai (曾我物の世界
Dunia Sogamono), atau Sumidagawamono no sekai (隅田川物の世界 Dunia
Sumidagawamono). Penonton biasanya sudah tahu jalan cerita dan akrab dengan
tokoh-tokoh yang tampil dalam cerita. Penonton hanya ingin menikmati jalan
cerita seperti yang dikisahkan penulis cerita kabuki.
Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang
dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi.
Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki.
Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut
Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut
Debayashi. Ciri khasnya berupa irama kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh
para aktor, kostum yang super mewah, make up yang mencolok (kumadori),serta
penggunaan peralatan mekanis untuk mencapai efek-efek khusus di panggung.
Make up menonjolkan sifat dan suasana hati tokoh yang dibawakan aktor.
Kebanyakan lakon mengambil tema masa abad pertengahan atau zaman Edo, dan
semua aktor, sekalipun yang memainkan peranan sebagai wanita adalah pria.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.2 Nōgaku
Noh (能 Nō), berasal dari bahasa Jepang untuk "keterampilan" atau
"bakat", adalah bentuk utama drama musikal Jepang klasik yang telah dilakukan
sejak abad ke-14. Dikembangkan oleh Kan'ami dan putranya, Zeami, ini adalah
seni teater tertua yang masih dilakukan hari ini. Secara tradisional, Nōgaku
mencakup lima drama Noh dengan drama kyōgen komedi di antaranya; program
singkat dari dua drama Noh dan satu kyōgen telah menjadi umum dalam
presentasi Noh hari ini. Permainan okina (翁) dapat disajikan di awal terutama
selama Tahun Baru, hari libur, dan acara-acara khusus lainnya. Noh bersama
dengan Kyogen adalah bagian dari teater Nōgaku.
Noh sering didasarkan pada dongeng dari sastra tradisional dengan
makhluk gaib diubah menjadi bentuk manusia sebagai pahlawan yang
menceritakan kisah. Noh mengintegrasikan topeng, kostum dan berbagai alat
peraga dalam pertunjukan berbasis tarian, yang membutuhkan aktor dan musisi
yang sangat terlatih. Emosi terutama disampaikan oleh gerakan konvensional
bergaya sementara topeng ikonik mewakili peran seperti hantu, wanita, anak-
anak, dan orang tua. Ditulis dalam bahasa Jepang kuno, teks dengan jelas
menggambarkan orang-orang biasa dari abad 12 dan 16.
Bermula pada abad ke-14, Noh merupakan bentuk teater tertua yang
masih dipentaskan hingga hari ini dan menjadi bagian dari "Warisan Budaya Non-
benda”. Noh tak pernah menjadi hiburan untuk publik, dan hanya ditujukan pada
warga kelas atas. Shogun Ashikaga Yoshimitsu adalah yang pertama dari
banyaknya penggemar terbesar dan penyokong setia Noh. Pementasan Noh sering
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kali mengadopsi dongeng tradisional, termasuk elemen-elemen supranatural.
Tokoh protagonis (shite) dan lawan mainnya (waki) didampingi oleh sebuah
paduan suara (jiutai) berisi 6-8 orang dan sekelompok pemain musik (hayashi)
dalam kostum tradisional kimono dan hakama, memainkan seruling dan gendang.
Karena tidak ada tirai dalam teater noh dan penerangan biasanya selalu
dinyalakan selama pementasan, para penonton dapat melihat para pemain keluar-
masuk panggung melalui sebuah jembatan (hashigakari). Meski tidak ada latar
tempat buatan, para aktor yang mengenakan kostum rumit dilengkapi dengan
properti-properti seperti kipas.
Penggemar teater dapat menyaksikan noh di Nasional Nō Teater Tokyo,
Ohtsuki Nō Teater di Osaka, atau, dengan sedikit keberuntungan dan perjuangan,
di salah satu panggung luar ruang yang cantik di kuil-kuil.
Potongan teater Noh diklasifikasikan dalam 5 kelompok.
1. Shinseina; pahlawannya bagaikan Tuhan, tokoh akhirat dsb. Pahlawannya
berdoa di akhir drama.
2. Shura-mono (Jawara); pahlawan ialah jawara, biasanya hampir mati.
3. Kazura-mono (Wanita); pahlawan dan sering romantika cintanya menjadi
fokus.
4. Zatsu-no (Serbaneka) ; Nō yang tidak bisa dikelompokkan atas 4
kelompok lainnya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5. Oni-noh (Oni; setan) ; bukan manusia, seperti oni, tengu, peri, singa ialah
pahlawan dari jenis ini. Terutama dimainkan di akhir drama.
Biasanya, semua pelakon Noh ialah laki-laki. Kemampuan mereka telah
dilatih ayahnya. Saat seorang wanita atau anak perempuan muncul di drama ini,
aktor pria memainkan perannya dengan mengenakan topeng wanita.
Ada 3 macam pelakon Noh: shite, waki dan kyogen. Shite memerankan
pahlawan. Ia berbicara, menyanyi, dan menari. Waki (berarti "pihak") berperan
sebaai kawan Shite, dan biasanya memerankan peran pelancong di tempat
tertentu. Ia memperkenalkan pemirsa dengan dunia drama. Kyogen muncul di
pertengahan drama jika memiliki 2 bagian, dan berperan sebagai warga lokal. Ia
berbicara kepada Waki dan menyuruhnya melihat apa yang belum dilihatnya
sebelum pembicaraan mereka. Hayashi berarti instrumental musik, terdiri atas
drum (Taiko) dan seruling (Fue) yang biasa digunakan di teater.
3.3 Bunraku
Bunraku (文楽 ) adalah sandiwara boneka tradisional Jepang yang
merupakan salah satu jenis ningyo jōruri (人形浄瑠). Istilah bunraku khususnya
digunakan untuk ningyō jōruri, (sandiwara boneka dengan pengiring musik
jōruri) yang berkembang di Osaka. Jōruri atau ditulis sebagai jōruri adalah
sebutan untuk naskah dalam bentuk nyanyian. Penyanyi jōruri disebut tayū, dan
menyanyi dengan iringan musik shamisen.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sebuah boneka dimainkan oleh tiga orang dalang yang disebut ningyō
tsukai. Sewaktu memainkan boneka, dalang tidak menyembunyikan diri dari
pandangan penonton. Gerak-gerik boneka dibuat bagaikan hidup, dengan kedua
tangan dan kaki yang bisa digerak-gerakkan, serta wajah boneka yang bisa
berubah ekspresi sesuai karakter yang dimainkan. Boneka memiliki mekanisme
penggerak pada wajah (mata dan mulut), dan sendi-sendi kedua belah lengan,
kaki, dan jari-jari tangan yang bisa digerak-gerakkan. Dalang hanya bertugas
menggerakkan boneka, sedangkan semua dialog yang diucapkan boneka menjadi
tugas 'tayū' dengan iringan musik shamisen.
Tingkatan dalang diatur hierarki yang ketat, berdasarkan tingkat
keterampilan dan pengetahuan. Dalang paling berpengalaman menggerakkan
bagian kepala dan lengan kanan. Dalang dengan pengalaman di bawahnya
bertugas menggerakkan lengan kiri, sedangkan bagian kaki digerakkan dalang
yang paling junior. Dalang kepala mengenakan geta berhak tinggi (20 cm hingga
50 cm) dari kayu untuk mengimbangi posisi dalang ketiga yang menggerakkan
bagian kaki boneka.
Kementerian Pendidikan Jepang menetapkan bunraku sebagai Warisan
Agung Budaya Nonbendawi. UNESCO menetapkan bunraku sebagai Karya
Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dalam daftar yang
diterbitkan tahun 2003.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.4. Kyogen
Kyōgen (狂言) berasal dari kata “Kyōgen Kigo” yang merupakan istilah
Agama Buddha untuk kata berbunga-bunga atau cerita yang tidak masuk diakal.
Istilah Kyogen-Kigo sering dipakai kritikus sastra sewaktu mengkritik cerita
roman dan puisi. Istilah ini kemudian digunakan untuk salah satu unsur Sarugaku
berupa pertunjukan monomane (seni meniru gerak-gerik dan cara berbicara secara
humor). Sejalan dengan perkembangan Sarugaku, istilah Kyogen akhirnya dipakai
sebagai sebutan untuk teater humor pada pementasan Noh.
Kyōgen (狂言) bisa berarti:
1. Teater humor tradisional Jepang yang merupakan perkembangan unsur
humor pertunjukan Sarugaku. Kyōgen dan Noh merupakan seni tradisional
Jepang yang sama-sama berakar dari Sarugaku. Sejak zaman Meiji, istilah
Nōgaku atau Nohgaku (能楽) sering digunakan untuk menyebut Noh dan
Kyōgen.
2. Salah satu jenis pertunjukan Kabuki yang disebut Kabuki-kyōgen atau
cukup disebut Kyōgen.
Noh adalah teater musikal dengan menggunakan topeng yang disebut
omote dalam istilah noh. Dalam noh, abstraksi dan simbolisme diekspresikan
secara kuat melalui unsur gerak tari, dengan sebagian besar cerita yang
bertemakan tragedi. Sebaliknya, sebagian besar peran dalam kyōgen tidak
diperankan memakai topeng. Kyōgen mengembangkan lebih lanjut unsur-unsur
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
komedi dan seni meniru gerak-gerik (pantomim) yang ada pada Sarugaku,
termasuk naskah dialog dan penggambaran karakter secara realistik. Sebagian
besar cerita yang dipentaskan dalam kyōgen adalah cerita satir (cerita yang
menertawakan kegagalan) dan cerita humor.
Sama halnya seperti noh, peran utama dalam kyōgen disebut shite. Peran
pembantu disebut ado, berbeda dengan noh yang menyebutnya sebagai Waki. Jika
ada lebih dari 2 peran Ado, maka peran tersebut disebut Ado 1 dan Ado 2. Selain
itu, istilah Ado hanya digunakan untuk peran pembantu yang paling menonjol,
sedangkan selebihnya disebut aliran Ōkura atau aliran Izumi. Peran pembantu
yang naik ke panggung secara berkelompok disebut Tachishū, sedangkan
pimpinan kelompok peran pembantu disebut Tachigashira. Sebutan untuk peran
seperti disebut di atas sebenarnya kurang jarang dipakai, kyōgen lebih mengenal
sebutan untuk karakter yang tampil dalam cerita, misalnya: Shu atau Teishu
(majikan), Tarōkaja (pesuruh laki-laki), atau Suppa (peran penjahat).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan.
1. Teater bisa diartikan dengan dua cara yaitu dalam arti sempit dan luas. Teater
dalam arti luas adalah sebagai drama (kisah hidup dan kehidupan manusia
yang diceritakan di atas pentas, disaksikan orang banyak dan didasarkan pada
naskah yang tertulis). Dalam arti sempit, teater adalah segala tontonan yang
dipertunjukkan di depan orang banyak.
2. Budaya seni teater masyarakat Jepang teater dikenal luas dengan tempat atau
sarana menonton bagi masyarakat, namun arti teater beralih fungsi menjadi
apa yang dipertunjukan di dalam konten tersebut. teater identik dengan drama
dengan alur cerita kisah kehidupan tokoh yang disaksikan orang banyak
dengan tujuan tertentu, bisa untuk melestarikan sebuah cerita turun temurun,
mengingatkan sebuah peristiwa dan sebagainya. Perbedaan yang mendasar
antara bioskop dan teater adalah terletak di visualisasi, bahwa teater
menggunakan pemeran yang nyata seperti manusia, dekorasi panggung yang
megah sesuai dengan latar tahun dan kejadian cerita serta dikemas secara
megah dan ekslusif. Teater banyak dipertunjukan di berbagai belahan dunia
sebab teater sedikit banyak mengandung nilai penting dalam seni yang dalam
perkembangannya tidak banyak generasi muda yang melirik untuk
melestarikan berteater yaitu belajar dan menekuni dunia seni drama
pertunjukan budaya seni teater masyarakat Jepang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Teater tradisional di Jepang terdiri dari Kabuki, Nōgaku, Bunraku, dan
Kyōgen.
4.2 Saran.
1. Sebaiknya teater tradisional di Jepang melakukan peningkatan seperti
penerjemah atau ahli bahasa agar para penikmat teater tidak terlalu cepat
merasa bosan ketika menontonnya.
2. Teater juga seharusnya bisa dinikmati dari segala golongan. Mulai dari
golongan bawah sampai atas.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR PUSTAKA
Ronald Cavaye, 1993. Kabuki: A Pocket Guide, english edition
https://id.wikipedia.org/wiki/Jepang
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabuki#Sejarah_kabuki_sejak_zaman_Meiji
http://www.japanindocuteculture.com/2013/10/kabuki-seni-teater-tradisional-
jepang.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Noh
http://pengertianahli.id/2015/04/teater-pengertian-dan-jenis-teater.html
https://www.kompasiana.com/deajiwapraja/5518cd42a333119911b65923/zaman-
meiji-1867-1912
http://gafa-blogs.blogspot.com/2012/05/zaman-taisho-1912-m-1926-m-
keadaan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Ky%C5%8Dgen
https://id.wikipedia.org/wiki/Bunraku
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LAMPIRAN
Gambar 1. Kabuki
Gambar 2. Nohgaku
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 3. Bunraku
Gambar 4. Kyogen
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Teater adalah istilah lain dari drama, tetapi dalam pengertian yang lebih luas,
teater adalah proses pemilihan teks atau naskah, penafiran, penggarapan,
penyajian atau pementasan dan proses pemahaman atau penikmatan dari publik
atau penonton. Proses penjadian drama ke teater disebut proses teater atau
disingkat berteater. Teater bisa diartikan dengan dua cara yaitu dalam arti sempit
dan luas. Teater dalam arti luas adalah sebagai drama (kisah hidup dan kehidupan
manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan orang banyak dan didasarkan
pada naskah yang tertulis). Dalam arti sempit, teater adalah segala tontonan yang
dipertunjukkan di depan orang banyak.
Teater di Negara Jepang juga terkenal, teater Jepang memiliki sejarah yang
panjang dan kaya. Dengan adanya rasa takut akan kesulitan mengikuti jalan cerita
di panggung karena perbedaan bahasa dan budaya, tidak sedikit calon penonton
yang tidak mau mengambil risiko untuk merasa kecewa dan pada
akhirnya memutuskan untuk melewatkan kesempatan besar menikmati salah satu
karya seni besar Jepang apalagi karena sebenarnya banyak teater yang memiliki
fasilitas untuk mengakomodir penonton internasional dan membuat
pementasannya dapat dimengerti oleh siapapun.
Teater tradisional di Jepang ada 4 yaitu Kabuki, Nohgaku, Bunraku, dan
Kyogen. Kabuki (歌舞伎 ) adalah seni teater tradisional khas Jepang. Aktor
kabuki terkenal dengan kostum mewah dan tata rias wajah yang mencolok. Musik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di
sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi. Takemoto (Chobo)
adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki. Selain itu, musik yang
dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza ongaku,
sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut Debayashi. Noh (能
Nō), berasal dari bahasa Jepang untuk "keterampilan" atau "bakat", adalah bentuk
utama drama musikal Jepang klasik yang telah dilakukan sejak abad ke-14.
Dikembangkan oleh Kan'ami dan putranya, Zeami, ini adalah seni teater tertua
yang masih dilakukan hari ini. Secara tradisional, Nōgaku mencakup lima drama
Noh dengan drama kyōgen komedi di antaranya; program singkat dari dua drama
Noh dan satu kyōgen telah menjadi umum dalam presentasi Noh hari ini.
Permainan okina (翁) dapat disajikan di awal terutama selama Tahun Baru, hari
libur, dan acara-acara khusus lainnya. Noh bersama dengan Kyogen adalah bagian
dari teater Nōgaku. Bunraku (文楽) adalah sandiwara boneka tradisional Jepang
yang merupakan salah satu jenis ningyo jōruri (人形浄瑠璃 ningyō jōruri, boneka
jōruri). Istilah bunraku khususnya digunakan untuk ninyo johruri (sandiwara
boneka dengan pengiring musik jōruri) yang berkembang di Osaka. Jōruri atau
ditulis sebagai jōruri adalah sebutan untuk naskah dalam bentuk nyanyian.
Penyanyi jōruri disebut tayū, dan menyanyi dengan iringan musik shamisen.
Sebuah boneka dimainkan oleh tiga orang dalang yang disebut ningyō tsukai.
Sewaktu memainkan boneka, dalang tidak menyembunyikan diri dari pandangan
penonton. Kyōgen berasal dari "kyōgen-kigo" (kyōgen-kigyo) yang merupakan
istilah agama Buddha untuk kata berbunga-bunga atau cerita yang tidak masuk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
akal. Istilah kyōgen-kigyo sering dipakai kritikus sastra sewaktu mengkritik cerita
roman dan puisi. Istilah ini kemudian digunakan untuk salah satu unsur Sarugaku
berupa pertunjukan monomane (seni meniru gerak-gerik dan cara berbicara secara
humor). Sejalan dengan perkembangan Sarugaku, istilah "kyōgen" akhirnya
dipakai untuk sebagai sebutan untuk teater humor pada pementasan Noh.
Dalam konteks sehari-hari, istilah "kyōgen" dalam bahasa Jepang bisa berarti
tindakan untuk menipu orang lain (orang yang pura-pura dirampok disebut
kyōgen-gōtō), berbohong atau bercanda, atau tarian yang memancing tawa.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA