Syukur pada-Mu Tuhan
Terima kasihku tuk semua
Waktu kian terus berlalu, detik demi detik telah kami lewati. Ukiran
pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyedihkan telah mewarnai
perjalanan kami. Terima kasih Tuhan, untuk semua rahmat-Mu yang telah
memampukan kami menjalani parjalanan akhir kuliah kami dalam PPL ini. Tak
terkira waktu yang telah Kau sediakan ini dapat kami isi dengan ukiran
pengalaman hidup yang telah memperkaya hidup kami.
Layaknya orang bijak mengatakan “pengalaman menjadi guru yang terbaik”
demikian pun kami mengakui kebenaran hal itu. Pengalaman menjadi guru kelas,
menghadapi anak yang bermasalah, percekcokan dengan teman kelompok,
berdiskusi dengan guru, bertemu dengan wali murid, itu semua tidak kami
dapatkan dibangku kuliah. Namun di tempat PPL inilah, kami telah memperoleh itu
semua. Pengalaman yang telah kami dapatkan ini, akan kami jadikan oase tuk
hidup kami sebagai seorang guru yang siap di utus untuk melayani dan mendidik
putra-putri bangsa.
Tak berujung terima kasih, kami ucapkan untuk Dosen pembimbing kami Bu
Eny yang telah berkenan membimbing dan mendampingi kami dalam masa PPL ini.
Para dewan Guru SD Kanisius Gayam I Yogyakarta yang telah dengan sukarela
membagi ilmu untuk kami, para putra-putri SD Kanisius Gayam I Yogyakarta yang
tercinta dan teman sekelompok PPL yang telah bekerjasama dengan amat baik.
Seluruh untaian dan ukiran hidup ini dengan hati tulus kami persembahkan
dalam cerita yang coba kami ungkapkan diatas kertas putih. Semoga pengalaman
ini dapat menjadi bekal dan berkat bagi kami untuk perjalanan hidup kami
selanjutnya.
Cintaku Untukmu putra-putri Bangsaku
Bhaktiku Bagimu Negeriku
“Sebuah langkah pertama menuju keberhasilan adalah dimulai dari dalam pikiran”
Richard Doebler
7 Januari 2014 pertama kali sepatu vantofel kami menapaki SD Kanisius
Gayam I Yogyakarta. Yeah SD Kanisius Gayam I Yogyakarta, sebuah sekolah
kanisius kota yang akan kami gunakan untuk praktek sampai tiga bulan yang akan
datang. Perasaan yang tak karuan nampak diwajah kami. Takut, senang, malu, rasa
yang bercampur dihati kami, namun kembali lagi pada tujuan, kami harus
menaklukkan semua rasa itu untuk satu tujuan. Satu tujuan untuk mendapatkan
Gelar sarjana. Kami bertekad untuk masuk dalam kehidupan sekolah dasar dan
memberikan yang terbaik sebagai pertanggungjawaban seorang sarjana sejati.
Sebelum kami bercerita panjang lebar tentang pertempuran kami di SD Kanisius
Gayam I Yogyakarta ijinkan kami memperkenalkan diri.
Tarsisius Ferry Koko Gustomo, rela meninggalkan kota kelahirannya
Lampung untuk menempuh pendidikan di Sanata Darma Yogyakarta. Panggilan saja
dia Koko, seorang laki-laki yang penuh dengan kharismatik. Tidak salah kami
memilihnya untuk menjadi ketua kelompok PPL kami. Walaupun orangnya kecil,
tetapi tanggungjawabnya luar biasa. Agusta Mistiyah, beliau adalah seorang suster
dari kongregasi FSGM. Sr. Alex biasa kami memanggilnya. Beliau adalah seorang
suster yang ceria dan dewasa, walaupun kata anak-anak beliau adalah seorang
suster yang galak. Beliau juga sering menjadi penasehat kami. Yeah itulah suster
Alex yang nama panggilannya tidak nyambung dengan nama panjangnya.
Selanjutnya adalah Dwi, nama lengkapnya adalah Elisabeth Dwi Astuti. Rambut
yang sedikit kriting melekat di kepalanya. Dwi yang sedikit kacau dengan
kecerdasan spasialnya. Dia sangat sering membuang-buang waktu untuk sampai
kesekolah karena jalan yang dipilih berputar-putar. Walaupun demikian dia selalu
sampai di sekolah lebih awal daripada kami. Begitulah Dwi, wanita yang tangguh
menurut kami.
Personil berikutnya adalah dua wanita yang berbadan sedikit besar dari saya,
dia adalah Terry dan Resty. Terry Ayuk Desiana adalah nama panjang dari Terry.
Terry, berambut panjang dengan berat badan kira-kira 70kg. Bisa dibilang sedikit
gendut karena tinggi badannya hanya sekitar 150cm. Terry sering berbicara dan
tertawa dengan not-not tinggi sampai sesekali kami menegurnya. Vincensia Septy
Restiningtias nama lengkap dari Resty. Resty memiliki postur tubuh hampir sama
dengan Terry, ya meskipun sedikit langing sih. Guru-guru juga sering keliru
memanggil Terry dan Resty. Resty adalah seorang yang sering lupa dengan segala
sesuatu yang penting. Sampai kami hanya bisa geleng-gelang kepala dan bilang
resti.. resti.. ketika ada yang ketinggalan. Sosok wanita yang sering melakukan hal
konyol kata anak-anak. Namun begitu, dia sangat baik kepada kami karena sering
mentraktir kami.
Giliran berikutnya adalah Fx. Candra Dwi Putranto, kami memanggilnya Putra
ketika di SD Kanisius Gayam I Yogyakarta. Putra merupakan pribadi yang suka
menolong dan dekat dengan siswa-siswi. Tinggi dan sedikit ganteng melekat pada
penampilan fisiknya, namun sedikit kurang rapi. Tebaran pesonanya inilah yang
membuat Putra memiliki lebih banyak fans fanatik dari pada kami. Fans putra adalah
siswi-siswi perempuan di kelas atas. Ketika putra tidak sibuk, ada saja siswi yang
menyambangi dan mengobrol dengannya.
Laki-laki yang terakhir dikelompok kami adalah Puguh Wismadi, laki-laki ini
sedikit berkulit gelap dari pada kami. Puguh selalu berpakaian rapi. Puguh sering
berangkat ketika bel masuk akan berbunyi. Puguh yang sering duduk diam sendiri
membuat kita sering bingung dengan sikapnya. Puguh pintar dalam berbahasa jawa
ketika berbicara. Dan yang paling terakhir nomor induk mahasiswanya adalah saya,
teman-teman biasa memanggil saya Okta. Darti Oktaviani, itu adalah nama lengkap
saya. Hemm… berbicara tentang saya sepertinya yang paling cepat diingat adalah
cepat lapar. Saya selalu mengemparkan seisi perpustakaan ketika perut sudah tidak
bisa diajak kompromi lagi. Narsis, kata teman-teman ketika melihat saya berfoto
dengan siswa-siswi ketika istirahat. Saya juga sering mengganggu teman yang
sedang berkonsentrasi tinggi. Ya tentu saja, karena saya tidak ingin ikut stres ketika
melihat wajah-wajah yang jelek ketika berpikir. Yeh itulah kami berdelapan,
kelompok PPL SD Kanisius Gayam I Yogyakarta yang kata guru-guru adalah
kelompok yang solid.
Markas PPL kami ada di Perpustakaan SD Kanisius Gayam I Yogyakarta
yang cukup luas. Ketika kalian pernah melihat mahasiswa yang cantik-cantik dan
ganteng-ganteng di sana, ya itulah kami. Dan ini adalah cerita pertempuran kami
yang bisa kalian baca. Jadikanlah inspirasi ketika ada pengalaman yang baik dan
jangan ditiru pengalaman konyol yang pernah kami perbuat selama tiga bulan.
Terimakasih Selamat Membaca!
Aku sadar,
banyaknya
tuntutan yang
dibuat semata-
mata untuk
kepentingan
diriku sendiri
agar kelak aku
dapat menjadi
sosok guru yang
memiliki bibit
yang unggul.
Tantangan Yang Mengembangkan “Sr. Alex”
Setiap orangakan merasa bahagia bila sesuatu yang di kejarnya akan segera
tercapai. Demikian pun dengan aku. Aku sangat senang karena sebentar lagi, aku akan
mengakhiri masa kuliahku. Perjalanan panjang yang telah aku
lalui ini, akan segera berakhir dengan adanya praktek
lapangan yang saat ini sedang aku jalani. Praktek ini aku
jalani sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh pihak kampusku. Walaupun ini sebagai penanda
terakhir bagi perjalanan perkuliahanku, namun ini
tidaklah mudah untuk dijalani. Banyak batu kerikil yang
telah aku lewati. Pengalaman suka duka telah memberi
warna tersendiri disetiap waktu disaat aku menjalani
kegiatan ini.
Pergulatan yang cukup berat aku alami, ketika aku mengalami kesulitan untuk
membagi waktu, membagi tugas, dan sedikit pertentangan yang terjadi diantara
kelompokku. Namun aku bersyukur bahwa musyawarah yang terjadi diantara kami,
dapat menjadi sarana yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah yang terjadi.
Pertentangan terjadi dalam kelompok karena adanya tuntutan yang cukup banyak
yang harus kami lakukan, padahal disini ditempat aku praktek, memiliki keterbatasan
yang harusnya, memang dipahami secara bijaksana oleh kelompok kami sebab hal itu,
memang tidak dapat diubah.
Aku sadar, banyaknya tuntutan yang dibuat semata-mata untuk kepentingan
diriku sendiri agar kelak aku dapat menjadi sosok guru yang memiliki bibit yang
unggul. Namun demikian, hendaknya pembuat kebijakan haruslah lebih bijaksana
agar apa yang telah ditetapkan dapat dengan mudah dijalani mengingat bahwa saat
ini si pelaksana kebijaksanaan, masih ada mata kuliah yang harus dijalani dan tugas
akhir (skripsi) yang harus diselesaikan.
Pengalaman demi pengalaman yang telah aku lewati menjadi sumber kekayaan
bagi diriku sendiri. Ini semua kan ku jadikan bekal dalam perjalananku kelak. Terima
kasihku, kuucapakan untuk para dewan guru SD Kanisius Gayam yang telah tiada
taranya banyak membagikan ilmu untukku, dosen pembimbingku tercinta yang
senantiasa memberikan kelegaan dan penyelesaian masalah yang amat bijaksana dan
teman-temanku tercinta dalam kelompok PPL yang sangat kreatif dan mudah diajak
kerjasama kalian semua menjadi inspirasi bagiku.
Pengakuanku
pada makhluk
kecil itu,
membuatku
merasa
merdeka.
Aku dan “R” “Sr. Alex”
Suara anakyang sedang berlari mengejar temannya di ruang perpustakaan,
membuyarkan lamunanku. Hari ini adalah awal dimana aku akan mengajar di kelas,
layaknya seorang guru kelas. Beragam perasaan muncul dalam diriku bisa tidak ya,
nanti anak-anak mengerti tidak ya akan apa yang aku sampaikan? Anak-anak ribut
tidak ya? Dan masih banyak lagi yang mengacak-acak isi pikiranku.
Aku sendiri mempunyai pergulatan tersendiri dalam diriku. Sebenarnya, aku
merasa cukup berat ketika aku diutus untuk study lanjut di PGSD,
Sanata Dharma. Aku tak pandai bicara, mudah bingung dan
gugup, terkadang juga kurang yakin akan diri sendiri. Dan satu hal
lagi yang membuatku sedih adalah aku tak dapat melafalkan
huruf “R” dengan baik. Aku sendiri tidak mengerti dengan persis
mengapa aku tak dapat melafalkan huruf itu. Pernah suatu hari aku bertanya pada
ayah dan jawabannya sangat menyesakkan diriku sendiri katanya setiap kali aku
belajar alphabet dan sampai pada huruf “R”, aku selalu diam dan kemudian
melompatinya ke huruf selanjutnya. Bila aku dipaksa untuk mengucapkannya aku
lebih suka memilih menangis dan akhirnya tidak jadi belajar. Begitulah yang terjadi
setiap kali aku belajar melafalkan alphabet.
Studi di PGSD pasti dan pasti akan menjadi guru SD. Muncul ketakutan dalam
diriku walau nantinya yang aku hadapi adalah anak-anak kecil namun aku merasa
berat. Terbayang dalam benakku ketika aku masuk kelas satu dan harus mengajar
alphabet dan sampai pada huruf “R” apa yang harus aku lakukan?. Apa aku harus juga
menghindarinya seperti yang pernah aku lakukan saat aku masih kecil?. “Ah,
bagaimana ini, apa yang harus aku buat?”. Hal ini menjadi beban tersendiri untukku.
Jujur saja, jauh dalam lubuk hatiku yang paling dalam, sebenarnya aku tidak siap
untuk ditertawakan, ditolak dan diolok-olok tak terbayangkan kalau hal itu dilakukan
oleh muridku sendiri. “Oh Tuhan, mengapa Kau memilih aku justru dalam
keterbatasanku? “ tanyaku dalam hati.
Hari ini aku tidak sedang bermimpi atau melamun tapi ini kenyataan. Aku
masuk dan mengajar di kelas 2. Anak kelas 2 di sekolah ini cukup kritis, banyak yang
pintar dan berani untuk bertanya dan juga berani mengungkapkan pendapat mereka.
Pada pertengahan pembelajaran, aku telah mempersiapakan soal mencongak untuk
mereka. Sesuai dengan indikator yang telah ditentukan, soal tersebut dibacakan untuk
melihat ketepatan anak dalam mendengarkan. Hingga akhirnya, sampailah pada soal
yang menggunakan huruf “R” beberapa anak bertanya kepadaku “suster gak jelas
ngomong apa?”. Seperti biasanya jika sedang gugup, aku keringatan, kapur yang ku
pegang jatuh dan tampak kacau. Untung saja, aku bisa mengendalikan diriku sendiri
aku langsung menuliskannya di papan tulis walaupun itu tidak boleh aku lakukan.
Namun spontan, itulah yang aku lakukan.
Setelah aku menuliskannya di papan tulis, seorang anak datang kedepan dan
berkata “oh kelereng ya, tadi suster tidak jelas mengatakannya”. Kemudian dengan
jujur dan tanpa beban dalam benakku, aku mengakui “maaf nak suster tidak bisa
mengucapkan huruf “R” dengan baik”. Tanyanya “mengapa suster?”. Jawabku singkat
“tidak apa-apa”. Tampak dalam matanya yang bening, aku melihat dia sudah cukup
mengerti dengan jawabanku dan ia kembali duduk dengan tenang.
Situasi kelas pun tetap tenang tidak seperti yang pernah aku bayangkan. Aku
merasa berbeda ternyata pengakuanku pada makluk kecil itu, membuatku merasa
merdeka. Tak sesulit yang pernah aku bayangkan dia tidak menertawakanku, tidak
mongolok-olok aku atau seburuk yang pernah aku bayangkan. Aku yakin dia tetap
menerimaku. Ini aku rasakan karena mereka tetap antusias mengikuti pelajaran dan
sepertinya mereka tidak mempermasalahkan hal itu. Aku merasa ada kemerdekaan
dalam hatiku. Dalam hati kecilku berbisik kerendahanhati sangat penting tuk ku miliki
dalam setiap langkah hidupku.
Belajar Untuk MenjadiGuru “Koko”
Tak terasaaku di semester 8. Telah kujalani dengan indah perkuliahanku di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dengan mengambil program studi PGSD-S1.
Menjadikan sosok guru SD yang humanis dikemudian hari yang berguna bagi bangsa
mungkin merupakan dambaan dari semua mahasiswa PGSD. Memilih masuk PGSD
merupakan pilihanku sendiri dan ada juga dari segelintir mahasiswa yang pernah
cerita kepadaku memilih “masuk PGSD” karena paksaan dari orang-orang terdekatnya
yang menunjukkan bahwa PGSD merupakan tempat yang tepat baginya. Tuhan pasti
akan menunjukkan jalan yang terbaik jika kita menjalaninya dengan ikhlas hati dan
percaya pada-Nya.
Banyak pengetahuan dan pengalaman yang telah kudapatkan selama aku
kuliah, sebagai bekal menjadi guru SD. Pihak kampus telah membuat program
pengalaman secara langsung di sekolah dasar seperti pramuka, bimbingan belajar,
probaling dan PPL, kesemuannya itu telah aku jalani bersama teman-teman
“seangkatanku”. Pengalaman yang begitu bermakna bagiku adalah Program
Pengalaman Lapangan (PPL).
Selama tiga bulan ini, dari bulan januari-maret 2014 telah kuselesaikan PPL-ku
bersama teman-temanku tujuh mahasiswa PGSD. Aku bersyukur mendapatkan teman-
teman yang begitu baik bagiku sehingga kami dapat menjalani PPL di sekolah dasar
dengan baik. Rasa syukurku kepada Tuhan bukan hanya teman yang telah
kudapatkan tetapi juga bersyukur mendapatkan SD yang begitu “ramah dan nyaman”
untuk kami menjalani selama tiga bulan yang tak terasa sudah berakhir.
Menilik lebih jauh kembali, sebelum kami melakukan PPL di SD. aku
menyadari, banyak permasalahan yang terjadi dari pihak kampus karena kurangnya
persiapan yang begitu matang. Dari cara menentukkan SD yang harus disamakan
dengan SD penelitian dan pembekalan yang tergesa-gesa sehingga mahasiswa tidak
mendapatkan buku panduan PPL ketika pembekalan di ruang Kunjono. Semua itu
menjadi pelajaran bagi kita, yang terjadi biarlah terjadi, yang sudah terjadi kita
perbaiki agar menjadi lebih baik sehingga kejadian itu tidak terjadi lagi dengan adik
tingkat kami.
Program di semester 8 ini, mahasiswa harus dibarengi dengan penelitian
(skripsi) dan PPL. Aku mahasiswa yang melakukan penelitian di SD yang berbeda
dengan PPL. Aku sangat bersyukur dengan SD (PPL) karena begitu baik bagiku dan
begitu pula SD penelitianku, walaupun berbeda tetapi aku bisa menjalaninya dengan
baik.
Aku menyadari saat menjalani tiga bulan lalu, aku merasakan kesibukan yang
begitu melelahkan karena banyaknya dari program-program yang diberikan kampus
untuk kami mahasiswa angkatan 2010.
Kesibukan dari segi kegiatan PPL yang harus dikuasai mahasiswa untuk
“mematangkan” menjadi sosok guru di sekolah dasar. Kami mendapatkan kesempatan
melakukan praktek mengajar di kelas dengan RPP yang telah kami buat, melakukan
bimbingan, kegiatan pramuka dan kegiatan lainnya di sekolah. Begitu bermakna
semua kegiatan yang telah aku dapatkan di SD Gayam.
Kesibukan dari penelitian (skripsi) kami, yang ditargetkan oleh pihak kampus
adalah mahasiswa “lulus” tahun ini. Secara pribadi, aku senang dengan target yang
ditunjukkan kampus untuk kami. Mengadakan program “Payung” untuk memayungi
beberapa mahasiswa dengan judul skripsi yang telah ditentukan dosen. Sehingga
setiap minggunya kami harus meluangkan waktu bersama dosen untuk melakukan
bimbingan berdasarkan kesepakatan dosen dan mahasiswa yang berada di payung
tersebut.
Dengan dibarengi PPL dan penelitian (membuat skripsi) selama tiga bulan ini,
bagiku sangat melelahkan. Ketika aku dititik “terendah”, aku berkata pada diriku “aku
capek, aku lelah, aku pusing”. Ternyata banyak mahasiswa yang merasakan sama
dalam batinnya.
Saat aku dititik “terendah”, aku juga merasa jauh dari KELUARGAKU. Setiap
aku kangen dan merindukan kehangatan dari mereka, aku telpon mereka. Dan
kuceritakan semua pengalamanku saat aku PPL dan skripsi, katanya:
“Wong kuliah ki angel, tapi nyatane masmu ki iso, mesti koe iso”.
(orang kuliah itu memang sulit, tapi nyatanya kakakmu bisa, kamu pasti bisa)
Keluargaku adalah penyemangat hidupku. Aku bahagia dengan keluarga yang
diberikan Tuhan untukku.
Mungkin, program PPL yang dibarengi dengan skripsi merupakan program
yang terbaik untuk para mahasiswa. Dan nyatanya juga, dilihat dari “angkatan” tahun
lalu pun program itu dapat diterapkan.
Akhirnya juga, akupun bisa melewati tiga bulan ini. Terimakasih God n my
family.
Keluarga anda tempat penyemangat dalam hidup.
Hidup Untuk Berefleksi
“Koko”
Suara belsekolah terdengar keras di dalam ruang perpustakaan. Menandakan
kegiatan belajar mengajar harus dihentikan terlebih dahulu. Tak lupa siswa dan guru
berdoa kepada Tuhan Yesus sebagai tanda terimakasih karena proses belajar mengajar
dapat berjalan dengan baik. Dengan keramaiannya, siswa pun berlari keluar untuk
istirahat.
Walaupun terik matahari sudah berada di bayangan lurus, tidak menghentikan
keceriaan mereka untuk istirahat di luar kelas. Bermain bola, bermain egrang, bermain
petak umpet, dan masih banyak permainan lainnya yang mengundang keceriaan
mereka saat bersama temannya. Mengungkapkan bahwa kebahagian yang seperti ini
yang diinginkan mereka saat bersama orang terdekatannya.
Tak seperti biasa, aku ingin melihat mereka berada di halaman sekolah karena
kesibukaanku untuk mengerjakan tugas di perpustakaan. Terdengar, langkah kaki dari
setiap anak yang ingin menuju perpustakaan. Satu-persatu datanglah mereka untuk
membaca, meminjam buku, dan mengintip aktivitas kami saat di perpustakaan. Aku
tak menghiraukan mereka berada di perpustakaan, tetapi ada salah satu anak
mendekati aku yang sedang mengerjakan tugas, dan menghentikan aku.
Dan anak itupun berkata kepadaku “Pak Koko, lagi ngapain?”
“Pak Koko lagi kerja tugas” jawabku kepada anak selalu ceria setiap aku melihatnya.
“Kenapa kamu tidak main dengan teman-temanmu?” tambahku kepadanya.
“Lagi pengen disini” jawab anak itu.
Kuajak dia untuk duduk di dekatku dan kuhentikan pekerjaaanku.
“Tadi belajar apa?” tanyaku kepadanya.
“Matematika” jawabnya.
“Pak Koko, lagi kerja apa?” tanya anak padaku.
“Pak Koko lagi membuat refleksi harian” sambil kutunjukkan lembar kertas refleksiku
kepadanya.
Kuijinkan dia, untuk membaca refleksi harianku. Anak itupun membaca sekilas
tulisanku, yang telah aku tulis.
Dan katanya kepadaku “Kok refleksi seperti itu to pak?”
Akhirnya kuceritakan tentang kegiatanku jika setiap hari aku membuat refleksi
harian. “Ia.. bapak itu membuat refleksi tiap hari. Refleksi yang bapak tulis adalah
kegiatan yang telah bapak lakukan” sambil menunjukkan lagi lembar refleksiku.
“Pernah, kamu membuat refleksi seperti ini?” tanyaku lagi kepadanya.
“Belum pernah, Pak Koko” jawab anak. “Nah... sekarang coba, mulai hari ini. Kamu
setiap hari membuat refleksi. Satu kalimat saja. Kamu tulis kegiatan, yang terjadi dari
kamu bangun pagi sampai mau tidur yang paling berkesan atau yang paling kamu
senangi. Satu kalimat saja” kujelaskan dia untuk membuat refleksi harian.
Anak itupun tersenyum.Kujelaskan lagi, “Kamu kerjakan sebelum kamu tidur,
kamu ingat-ingat kegiatan hari ini. Besok kapan-kapan bapak lihat”. Bel sekolah pun
berbunyi tanda bahwa kegiatan belajar mengajar dimulai kembali.
Setelah beberapa minggu berlalu, dengan aktivitasku. Kujalani seperti biasa
dengan kenyamanan dan keramahan berada disini. Anak itu pun menghampiri aku
dan berkata kepadaku “Pak Koko, aku udah buat refleksi”.“Oooo ia.... Bagus itu”
kagetku dihadapannya dan tak terlalu terpikirkan bahwa ternyata dia mengerjakan
apa yang telah aku minta. “Pak Koko, nanti liat ya?” mengharapkan aku melihat
refleksinya.
Bel istirahat berbunyi menandakan bahwa anak-anak akan istirahat.
“Ni... Pak Koko” sambil memberikan buku refleksi hariannya kepadaku, saat aku di
perpustakaan.
Ku kulihat dan ku baca isi buku tersebut. Ternyata dia benar-benar membuat
refleksi harian setiap hari. Walaupun hanya kegiatan sederhana yang dia tuliskan, dia
telah belajar untuk mengingat-ingat kegiatan telah dilakukkan setiap hari. Dan
menurut aku bahwa kegiatan-kegiatan yang dituliskannya merupakan kegiatan yang
berguna.
“Bagus” sambil aku memberikan satu jempol kepadanya.
Dan tambahku sambil mengembalikan buku refleksinya “Dikerjakan lagi ya, besok
kalau kamu sudah besar kamu akan tersenyum melihatnya”.
Dengan keceriaannya yang ditunjukkan kepadaku, Aku menyadari bahwa kita
memang perlu berefleksi atas semua kegiatan yang telah kita lakukan setiap hari.
Berefleksi untuk tidak mengulang perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang
lain dan berusaha melakukan perbuatan yang berguna untuk orang disekitar kita.
Hidup kita hanyalah refleksi dari tindakan kita. Bila kau ingin mendapatkan lebih banyak cinta di dunia ini, maka berikanlah cinta dari hatimu. Bila kau
ingin mendapatkan kebaikan dari orang lain, maka berikanlah kebaikan dari dirimu.
Teguran Bibir Mungilmu “Terry”
Alarm pagiyang berdering dengan kerasnya membangunkanku. Kulihat jam
beker hello kitty yang merupakan hadiah ulangtahun dari teman-temanku tahun lalu
sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi. Aku juga mendengar ayam jantan bernyanyi
berkokok bersahut-sahutan mengiringi suara adzan. Kubuka selimut yang menutupi
badanku lalu kulipat selimut itu dan aku bergegas menuju kamar mandi untuk
mengambil air wudhu untuk melaksanakan ritual rutin yaitu sholat subuh. Hari ini
berbeda dari biasanya, kenapa? Ya hari ini adalah hari dimana saya mengajar IPS
untuk kelas IV, untuk itulah saya bangun sepagi ini. Kelas yang dimana menurut
sebagian kelompok PPL saya adalah kelas yang sangat mengerikan. Yah, tapi itu
kulakukan semua dengan senang hati karna aku yakin kelas ini akan menjadi kelas
malaikat bukan kelasnya penghuni neraka.
Kembali lagi ke rutinitas awal, setelah beribadah yang kurang lebih 5 menitan
dengan tergesa-gesa aku lalu mengambil handuk berwarna merah tua yang
kugantungkan didekat pintu kamarku. Sekonyong-konyong aku mengambil tempat
peralatan mandiku yang berjejer dengan teman-teman kos lain. Kubuka pintu kamar
mandi yang kira-kira luasnya 2X3 meter lalu aku masuk dengan segera. Selang
duapuluhan menit aku selesai mandi dan langsung menuju kamarku. Kututup pintu
kamarku rapat-rapat dan aku segera mencari-cari sepotong baju di almari kayuku. Aku
kelabakan memilih baju yang akan kugunakan untuk mengajar kelas yang menurutku
sangat istimewa pada hari itu. Busyet, aku kelupaan bahwa hari itu adalah hari Rabu.
Hari dimana bahwa sudah diputuskan harus memakai seragam lurik kompakan
dengan kawan-kawan se-PPL ku. Yah, namanya juga kelabakan kalo misalkan lupa itu
adalah hal yang wajar bukan?. Yah, kulirik jam beker itu lagi, ternyata jarum pendek
sudah mengarah di angka enam dan jarum panjang sudah menunjukkan angka satu itu
artinya saya harus berangkat. Kukunci pintu kamarku rapat-rapat dan sebagai jaminan
keamanan sewaktu mengunci harus berbunyi “klek”. Kuambil sepatu coklatku yang
sering kupakai itu, lalu aku berlari menuju tempat parkir motorku yang ada disamping
pintu kos. Dua menitan sudah motor itu aku panasi, lalu aku segera mengegasnya agar
cepat sampai di sekolahku.
Sesampainya di sekolah aku disambut oleh beberapa malaikat kecil yang sudah
menghiasi sekolah sejak pagi buta itu. Yah, walaupun hati saya deg-degan tidak
karuan bila sudah melihat senyum malaikat kecil itu rasa deg-degan tiba-tiba saja
hilang dibawa hembusan angin. Tak kulupa dengan segera aku melepas jaket dan tas
laptopku lalu kuletakkan di bangku. Sebelumnya, saya juga sudah disambut oleh dua
kawan PPL saya yang memang sudah berangkat pagi pada hari itu. Dengan tergopoh-
gopoh aku segera berlari menuju halaman sekolah untuk menyambut anak dengan
saling bersalaman. Rupanya pagi itu sangat cerah sekali secerah hati malaikat-malaikat
yang kusambut dengan senyum di pagi itu.
Kring…kring…kring…bel sudah berbunyi, jam juga sudah menunjukkan pukul
06.55 dan itu artinya anak-anak harus berbaris dengan rapi sebelum memasuki kelas
untuk mengikuti rangkaian pelajaran di sekolah ini. Saya langsung menuju ke halaman
kelas IV untuk membantu anak-anak menyiapkan barisan. Pagi itu yang menyiapkan
barisan adalah jatah anak perempuan, yah seperti biasanya barisan paling belakang
adalah barisan yang paling hancur tidak mau rapi. Berkali-kali saya harus bolak-balik
ke depan belakang untuk mengecek anak-anak yang barisannya masih kurang lurus.
Hati bertambah deg-degan ketika aku harus melihat senyum anak-anak kelas IV di
kala pagi itu, tapi aku berusaha se-rileks mungkin. Sebelum memasuki kelas, satu
persatu anak harus bersalaman denganku sebagai tanda hormat siswa terhadap
gurunya.
Tugas membariskan anak sudah selesai, aku bergegas menuju ruang
perpustakaan, yang notabene’nya ruang perpustakaan adalah basecamp selama aku
dan kawan-kawan ber-PPL di sekolah ini. Kubuka laptopku untuk sekedar membaca-
baca materi yang akan saya sampaikan pada hari itu. Kubuka halaman demi halaman
yang berformat pdf itu, kubaca dengan seksama dan kumengerti betul materi itu.
Oiya, hari ini aku mengajar pukul 11.40-13.00 yah dua jam dikelas itu, kelas yang
menurut keyakinanku kelas itu akan menjadi kelasnya malaikat-malaikat yang lucu
dan penurut, simpel bukan?.
Kring…kring…kring…bel berbunyi untuk istirahat yang kedua, sejenak
pandanganku pecah oleh suara bel itu. Hati semakin berdegup tak karuan, ditambah
lagi perut yang tiba-tiba tidak bersahabat semacam mulas seperti biasanya ketika
waktu akan mengajar. Bagaimana tidak, itu artinya duapuluh menit lagi aku harus
mengajar. Mempersiapkan diri dan mental menghadapi kelas itu di jam-jam terakhir.
Bhaaa… suara anak laki-laki itu membuyarkan rasa mulas dan deg-deganku.
Anak laki-laki itu duduk disampingku untuk sekedar bertanya-tanya. Ibuk hari ini
mengajar dikelasku yah? Mengajar IPS kan buk? Anak-anak itu memang antusias sekali
bila diajar oleh PPL. Iya jawabku kepada anak itu. Anak itu bersorak sorai tanda
gembira dan mengayunkan tangannya ke atas untuk sekedar merasa senang dan puas.
Yah seperti ketika istirahat-istirahat biasanya, aku segera menuju halaman sekolah
untuk sekedar bermain dengan anak-anak yang lain.
Kring…kring…kring…bel berbunyi, anak-anak berhamburan menuju ke
halaman kelasnya masing-masing untuk kemudian berbaris sebelum memulai pelajaran
lagi. Itu artinya aku harus bergegas menuju ruang kelas IV untuk mengajar. Seperti
biasa selesai anak-anak berbaris mereka lalu menuju ruang kelas untuk segera
mempersiapkan diri mengikuti pelajaran IPS denganku. Siang itu anak-anak antusias
mengikuti pelajaranku, saking antusiasnya mereka pada ramai sendiri. Saya berusaha
menenangkan malaikat-malaikat yang ada di dalam kelas itu sebelum berubah jadi
berandalan yang tidak tahu aturan apabila sedang ada guru yang mengajar. Beberapa
anak yang memang tidak bisa tenang menjadi bulan-bulanan perkataanku, layaknya
bayi yang kehausan aku menimpali anak-anak itu dengan kata-kata yang sedikit kasar.
Wali kelas IV menyuruhku dengan tegas bila anak-anak yang tidak bisa diam langsung
saja disuruh keluar kelas. Tetapi aku tidak sampai hati melakukan itu, aku tetap
berusaha menenangkan walaupun suaraku sedikit galak dan memenuhi ruangan itu.
Keringat mulai bermunculan ketika suaraku dan suara anak-anak yang mulai
gerah ingin bermain bersahut-sahutan mengimbangiku. Suara tiga anak laki-laki itu
benar-benar menyaingi suaraku ketika aku sedang mentransfer ilmu yang sudah
kupelajari untuk anak-anak kelas IV. Aku mulai geram dengan suara-suara yang tidak
kuharapkan keluar dari mulut mungil mereka, anak-anak yang lainpun juga mulai
terganggu dengan suara itu. Mereka bersuara tidak penting dan mulai meremehkan
saya. Seketika aku berteriak-teriak tanda bahwa aku sedang setengah marah, karna
memang tiga anak itu kelakuannya sudah tidak bisa saya tolerir lagi.
Seketika suaraku mulai memelan dan lirih ketika ada salah satu anak yang
notabene’nya dia anak yang pendiam dan tidak pernah protes terhadap apapun tiba-
tiba bibir mungilnya berkata “Ibuk Terry hari ini galak sekali, cobalah bersabar
menghadapi teman-temanku buk”. Seandainya hujan lebat, petir menyambar tiang
listrik, tiang listrik roboh menimpa pohon rambutan, pohon rambutan roboh dan
terjungkal mengenai atap rumah dan aku berharap ada didalam rumah tersebut.
Duh….rasa-rasanya seperti ingin pingsan ketika aku mendapatkan kata-kata itu. Aku
langsung diam sejenak dan berpikir ketika malaikat mungil yang tidak pernah protes
dan tergolong anak yang yang patuh dikelasnya menegurku seperti itu.
Nah itulah sepenggal cerita yang kudapatkan ketika aku mengajar. Pelajaran
yang kudapatkan hari itu adalah bersabar menghadapi anak-anak yang sedang ingin
mencari jati diri mereka. Yah, pelajaran yang tidak pernah aku dapatkan di bangku
kuliah tapi aku dapatkan ketika mengikuti PPL. Bersabarlah dan hadapi tantangan
itu!!!
Tuntutan Yang Menimbulkan Gejolak “Terry”
Pernah mendengarperibahasa “dimana langit berpijak disitu langit dijunjung”. itu
peribahasa yang cocok dengan situasi yang aku hadapi sekarang ini. Semester delapan
adalah awal dimana saya harus menyesuaikan diri lagi. Menyesuaikan diri bagaimana
maksudnya? Yah menyesuaikan diri di lingkungan yang baru. Tepatnya tanggal 7
Januari 2014 itu adalah awal penyesuaian diriku dengan lingkungan yang baru.
Lingkungan apa? Yah, lingkungan sekolah, tepatnya sekolah dasar. Sebagaimana telah
diketahui banyak orang, dari semester satu sampai dengan semester tujuh
lingkunganku adalah lingkungan kampus, jika ke sekolah dasar biasanya hanya untuk
sekedar observasi maupun probaling (program pengakraban lingkungan).
Desember akhir, dimulainya sosialisasi PPL. Yah seperti biasanya rentetan
peraturan dan tuntutan yang harus diselesaikan selama PPL memang sangatlah
banyak. Peraturan dan tuntutan yang harus dituruti sesuai dengan tulisan yang
berjudul “PANDUAN PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN (PPL)”. Bagaimana
bisa sebagai mahasiswa harus tunduk dengan peraturan yang semacam itu, yang
notabene’nya apabila diikuti bisa membuat saya pusing tujuh keliling. Yah sekali lagi
peraturan yang dibuat memang harus dilanggar. Upsss,,,tetapi saya orangnya tunduk
kok…
Aku membaca salah satu luaran yang diharapkan dalam buku panduan tersebut
yaitu “Terselenggaranya pembelajaran inovatif di SD dari kelas 1 sampai dengan kelas
6 sesuai dengan kurikulum yang berlaku serta mengevaluasi pelaksanaannya”. Nah
bagaimana bisa hal itu terwujud semuanya? Mari aku ulas satu persatu. Aku bersama
tujuh teman kelompok PPL saya menempati SD Kanisius Gayam I Yogyakarta.
Bagaimana bisa kita memasuki kelas enam untuk latihan mengajar sedangkan para
guru sedang berlomba-lomba memasukkan materi ke otak siswa yang sebentar lagi
akan menghadapi ujian hidup yang bisa dibilang ujian yang akan menentukan
kelulusan mereka. Aku sebagai mahasiswa yang PPL tentu tidak tega melakukan
praktek di kelas enam. Karna hal itu sudah jelas, kelas enam tidak bisa buat
sembarangan praktek, karna apabila materi yang aku ajarkan tidak tersampaikan
tentunya hal itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Sangat disayangkan bukan,
jika waktu yang digunakan untuk belajar akan terbuang sia-sia.
Yang kedua “Pembelajaran inovatif”dilaksanakan minimal 12 kali secara
terbimbing dan minimal 6 kali secara mandiri dari kelas 1-6 SD”. Kata-kata minimal itu
yang membuat aku harus berpikir memutar otak kesana-kemari. Belum terbayangkan
bukan mainnya kelompok aku kelabakan mencari kelas dan hari yang akan digunakan
dalam mengajar. Bayangkan saja, aku dan teman-teman berdelapan. Itu apabila
dijumlahkan sesuai dengan tuntutan dari kampus totalnya 18 kali mengajar X 8
mahasiswa yahh sekitar 144 kali mengajar. Bagaimana bisa sekolah yang jumlah
kelasnya hanya enam, dan yang bisa kita masuki hanya kelas satu sampai dengan kelas
lima bisa buat mengajar 144 kali? Omaigattt,,,aku tidak bisa membayangkan
bagaimana merepotkannya aku dan teman-teman di sekolah itu.
Belum lagi jika terjun langsung menghadapi siswa-siswi yang beragam dari
keluarga yang berbeda latar belakang. Siswa-siswi di sekolah ini sangat beragam,
banyak sekali anak korban brokenhome. Pernah membayangkan mengajar anak
korban brokenhome? Wow,,,susahnya bukan main mengatur mereka, banyak sekali
tingkah aneh yang mereka tunjukkan baik dikelas maupun diluar kelas. Ada yang
mencari perhatian dengan bermain sendirilah, mengganggu temannyalah, menangsi
tanpa sebablah, membuat kegaduhanlah yang bisa menurut mereka bisa menarik
perhatian gurunya. Nah, bila itu sudah terjadi bagaimana aku sebagai pengajar bisa
mentransfer ilmu ke anak tersebut, padahal di kelas saja mereka sering membuat
kegaduhan. Juga barangkaliaku masih latihan kali ya….Tuntutan dari guru-guru juga
tidak kalah menyenangkannya, misalkan ditengah-tengah mengajar bila rencanaku
berbalik arah dengan yang ada di RPP, mereka pada protes. Bagaimana tidak,aku
berbalik arah bila anak-anak yang kuajar kelakuannya tidak semanis yang aku
harapkan. Tentunya aku harus membuat haluan sendiri secara spontan agar anak-anak
tersebut bisa diam kan!! Terus misalkan ada indikator yang belum tercapai di
beberapa anak didik, terkadang ada guru yang protes. Sekali lagi anak-anak yang
tidak bisa mencapai indikator adalah anak korban brokenhome yang sering menarik
perhatian gurunya agar diperhatikan. Bagaimana bisa, aku PPL itu kan baru saja
latihan untuk menjadi guru yang sebenarnya. Tapi tuntutan-tuntutan yang kecil itu
sungguh memberatkan mahasiswa yang menjalaninya.
Yah tuntutan untuk mahasiswa memang sih tidak sebesar dunia, mahasiswa
harus mengimbangi antara tuntutan dari sekolah tempat ber-PPL dan tuntutan yang
datangnya dari kampus sendiri. Yayaya, sekali lagi tuntutan yang tidak sesuai dengan
kenyataan di lapangan. Mungkin jika membuat aturan dan tuntutan harus
dipertimbangkan matang-matang ya…Jangan sampai memberatkan dan
membingungkan pihak satu dengan pihak lainnya.
Tantangan Seorang Guru
“Resti”
Kringg!!!Bunyi alarm hari itu, memaksa ku untuk membuka mataku. Tepat
pukul 04.00 pagi di tanggal 7 Januari lalu masih ku ingat bagaimana aku
mempersiapkan diriku untuk menjadi bagian di SD Kanisius Gayam bersama dengan
ketujuh orang temanku. Pagi itu kira-kira pukul 07.00 aku dan teman-temanku sampai
di sekolah ini. Bersama ibu dosen, kamipun akhirnya diserahkan di sini untuk belajar
tentang sesuatu yang belum pernah kami pelajari dikampus kami.
Seminggu sudah, kami menyusun segala program kerja untuk tiga bulan
kedepan. Ada jadwal mengajar terbimbing, jadwal mengajar mandiri, refleksi harian,
dsb. Begitu kami selesai menyusun semua tibalah bagi kami untuk masuk kedalam
kelas dan belajar menjalani peran kami sebagai guru. Masih jelas dalam ingatan,
waktu itu hari senin tanggal 13 Januari aku mendapatkan giliran pertama untuk masuk
di kelas IV. Dag...dig...dug... mungkin itu yang aku dengar dari suara jantungku. Aku
berharap semua baik-baik saja. Dan ketika aku mulai memasuki ruang kelas IV apa
yang aku takutkanpun tidak terjadi.
Dua hari kemudian aku masih masuk dikelas tersebut karena di jadwalku
minggu ini aku harus memasuki kelas tersebut untuk mengajarkan materi yang sama.
Semua pembelajaranpun telah aku siapkan untuk mendukung pembelajaran hari itu.
“15 Januari”, ah sepertinya ini hari yang melelahkan untukku. Dengan perlahan aku
memasuki kelas IV lagi, perasaanku masih tak menentu. Yang kuingat di hari itu, aku
berpikir apakah ini yang harus aku alami sebagai guru baru?? Apakah pembelajaranku
hari ini akan berhasil? Apakah anak-anak itu mau mendengarkanku? Ataukah mereka?
Begitulah aku bergumul dalam hatiku. Namun akhirnya aku mantapkan hatiku bahwa
semua akan baik-baik saja karena sebelumnya juga baik-baik saja.
Semangat! Aku dengar teriakan itu dari sahabat-sahabatku. Mereka begitu
antusias tatkala aku mulai menenteng map berisi segala macam perangkat
pembelajaranku. Aku berjalan perlahan menuju ke kelas itu. Raut mukaku, ku pasang
secantik mungkin dengan senyum lebarku. “Selamat siang anak-anak” itulah sapaanku
dalam apersepsiku dan semua menjawab dengan penuh semangat. Akupun ikut
bersemangat sama seperti mereka hari itu.
Akhirnya tibalah waktunya aku untuk membagi mereka ke dalam kelompok.
Aku mengajak mereka untuk berkelompok mengikuti tempat duduk mereka. Seketika
itu, mereka protes dan memintaku untuk membagi mereka dengan cara menghitung.
Ku turuti kemauan mereka untuk membentuk kelompok dengan cara menghitung.
Dan ku pikir semua sudah selesai dan baik-baik saja keadaannya. Tak ku sangka,
seorang anak maju kedepan kelas dan berkata “Bu, ada temanku ga mau masuk ke
kelompoknya!”. Tanpa basa-basi ku datangi anak itu dan ku rayu dia untuk berpindah
mengikuti kelompoknya.
Betapa kagetnya aku ketika kudengar anak itu berteriak di depanku dan tidak
mau untuk berpindah ke kelompoknya. Aku terus berusaha meyakinkannya bahwa
dia akan baik-baik saja dikelompoknya, namun kemarahannya semakin menjadi-jadi.
Teman disekelilingnyapun akhirnya juga ikut protes karena teman yang mereka
anggap “penyusup” itu tidak mau berpindah. Aku tak dapat lagi membayangkan apa
yang akan kulakukan hari itu. Ku yakinkan kembali semuanya bahwa dimanapun
kelompoknya mereka akan tetap baik-baik saja.
Nihil, ucapanku tetap tak mereka gubris! Hawa panas dalam kelompok itu
akhirnya menyebar dan pecahlah kelas itu. Semua berbicara dan tak mendengarkan
ucapanku lagi. Oh Tuhan,, mataku mulai berkaca-kaca tak sanggup menghadapi kelas
ini. Sebagai seorang guru aku tak dianggap. Aku gagal! Itulah yang ku pikirkan
seketika itu. Ku tahan semua air mataku dan ku yakinkan diriku sendiri bahwa aku
sanggup menyelesaikan semuanya. Aku paksa memberanikan diriku untuk berbicara
lebih keras dan ku paksa diriku untuk bisa mengubah wajahku menjadi seorang yang
lebih tegas. Meskipun tak ada rasa takut dan penyesalan dari muridku setidaknya aku
sedikit bisa menenangkan mereka dan membuat mereka mendengarkan teman
mereka dari kelompok lain untuk berpresentasi. Masalah anak dalam kelompok itu,
ah sudahlah aku biarkan saja dia dan akhirnya dia masuk sendiri kedalam kelompok
sebenarnya
Belpun akhirnya berbunyi, lega setidaknya aku telah menyelesaikan tugas
mengajarku hari itu. Ku tutup pembelajaran hari itu, dan ku kemasi barang pribadiku.
Dengan langkah terburu aku kembali ke perpustakaan tempat istirahatku. Demikian
ku rasakan hari itu, dan akhirnya aku berpikir “Mungkin inilah tantangan menjadi
seorang guru”.
Percayalah Kamu Bisa!
“Resti”
Pagi itu, kulihat matahari bersinar begitu cerah. Mengingatkan aku untuk terus
selalu bersemangat hari ini. Hore! Hatiku seketika melonjak kegirangan mengingat aku
harus mengajar di kelas 1. Media dan perangkat pembelajaran yang lainpun telah
masuk didalam tas gendongku.
Tepat pukul 06.15 suara motor temankupun terdengar, itu berarti saatnya aku
berangkat. Seperti biasanya, aku sampai di sekolah ini tepat pukul 06.35. Tak lupa ku
salami anak-anak seperti biasanya. Kring...Kring...Kring....Bel sekolahpun mulai
berbunyi. Oh Tuhan, ini saatnya aku mengajar. Perlahan tapi pasti kutapaki kakiku di
koridor perpustakaan sampai kelas 1.
Masih segar dalam ingatanku hari itu aku mengajarkan tentang “Cara
menyampaikan sesuatu yang baik”. Semua berjalan lancar dan anak-anakpun juga
antusias mendengarkan penjelasanku. Rasa bahagia tak bisa kututupi ketika aku
diterima kembali dikelas ini. Pembelajaranpun berakhir, ini saatnya aku menemui guru
kelas dan ku atur waktu untuk melakukan follow up dengan beliau.
Siang ini dihari yang sama aku melakukan follow up bersama guru kelas 1.
Menyenangkan ketika beliau menerimaku dan bisa memberi feedback yang mungkin
bisa membantuku untuk menjadi lebih maju. “Mbak, indikator milik mbaknya salah
kemudian jangan copy-paste ya mbak soalnya dalam penilaian ini mata pelajarannya
matematika bukan PKn”. Inilah yang beliau katakan kepadaku siang itu. Akupun
menuruti dan dihari lain kucoba untuk lebih teliti dalam membuat RPP.
Aku berusaha semampuku untuk membuat rencana pembelajaran sesempurna
mungkin. Namun, entah apa yang terjadi pada hari itu, ketika aku mengajar mandiri
semua blank. Apa yang terjadi denganku? Mungkin tuntutan skripsiku yang segera
harus jadi dan dikumpulkan membuat konsentrasiku menjadi buyar. Bayangkan saja
dua tugas berat harus selesai secara bersamaan.
Teguran itupun kembali datang untukku. Down! Kata itu paling tepat
menggambarkan suasana hatiku kala itu. Takut bercampur jengkel menyentuh
pikiranku. Kala itu hatiku semakin berkecamamuk tatkala dosen pembimbingku
datang menilaiku. Disaat itu juga teguran itu disampaikan kepada beliau. Merasa
bodoh itulah yang aku rasakan kala itu. “Iya, aku bodoh, ceroboh, kenapa bisa aku
melakukan kesalahan dua kali? Seandainya aku bisa mengulang waktu pasti akan ku
ulang semua.” Begitulah kira-kira gumamku waktu itu.
Dihari lain, kami dikumpulkan oleh guru pembimbing kami. Ya ampun,
kesalahan itu lagi yang dibahas. Rupanya? Ah sudahlah yang penting Tuhan tahu
berapa besar usahaku kala itu. Seperti biasanya orang lain hanya bisa menuntutku
untuk menjadi lebih dan lebih. Lebih dari seminggu aku hidup dan berjuang untuk
bangkit dari kebodohanku. Aku bisa! “Hey, kamu bisa res! Kamu nggak bodoh!
Kesalahan itu biasa terjadi.” Itulah yang kudengar suara teman-temanku memberi
semangat padaku. Aku harus bisa menghadapi tuntutan dari sekolah ini dan dari
kampus.
Aku meyakinkan diriku sekali lagi aku bisa menyelesaikan skripsiku dan dapat
juga kuselesaikan PPLku. Sampai saat ini, ketika aku sudah purna PPL di tempat ini aku
mampu menyelesaikan skripsiku dan mengajarku dengan baik. Aku percaya sekali kita
punya keyakinan untuk bisa kita pasti bisa. Ya “Aku Pasti Bisa!” itulah yang kupegang
saat ini. Dan akhirnya kuucapkan “Selamat tinggal PPL terimakasih untuk semua
pembelajaran yang belum pernah kutemui sebelumnya” .
Aku Kena Imbasnya “Dwi”
Seperti biasaaku sedikit panik karena pagi itu akan mengajar kelas 1. Aku
khawatir kalau-kalau apa yang aku persiapkan semalam suntuk tidak membuahkan
hasil apapun. Ternyata, kekhawatiran itu hilang ketika melihat mereka sangat antusias
mengikuti pelajaran. Saat itu aku mengajar pelajaran Bahasa Indonesia dan PKn
menggunakan media teknologi selama 4 jam pelajaran.Terang saja karena ruang guru
selesai direnovasi maka ruang kegiatan baru dapat dipergunakan. Kesempatan emas
itu aku pergunakan untuk menampilkan film animasi berdurasi pendek dan materi di
dalam power point.
Aku tersadar bahwa anak belajar bukan dimulai dari membuka buku atau
memperhatikan guru yang sedang menyampaikan materi melainkan seberapa besar
minat yang dimiliki untuk mau belajar. Aku pun mengadakan kuis untuk mengisi
waktu yang tersisa banyak dan terutama untuk memotivasi belajar mereka. Satu per
satu kuis pun terlewati. Ada beberapa anak yang kecewa karena tak mendapat
bintang sebagai tanda penghargaan karena dapat menjawab soal dengan benar dan
cara main yang tepat.
Pelajaran dapat dilanjutkan dengan baik hingga hampir selesai. Tiba-tiba, hah!
Gawat! Ada kekacauan di sudut kelasku. Konsentrasiku pun buyar untuk mengakhiri
pelajaran. Guru kelas yang tadinya duduk di belakang memberi penilaian kebetulan
keluar kelas untuk ke kamar mandi. Aku setengah panik. Anak itu marah karena
teman sebangkunya keluar masuk dari tempat duduknya untuk bertanya padaku atau
temannya sehingga itu mengganggu konsentrasinya belajar. Ternyata
permasalahannya tidak hanya itu, masih ada lagi. Teman-temannya menghampiri dan
memojokkannya. Kali ini aku panik, bukan setengah panik lagi. Aku bingung karena
usahakau untuk menenangkan kelas terutama di sudut kelasku tidak berhasil. Kelas
semakin kacau. Ya Tuhaaannn, bagaimana ini?? Tanyaku dalam hati. Aku pun
meminta salah satu murid lain untuk mencari guru kelas agar dapat membantuku.
Seharusnya aku tidak membantu bantuan karena ini mengajar mandiri tetapi tak ada
pilihan lain karena muridku yang katanya tempramental ini mulai mencakarku,
memukulku dan berteriak histeris tepat di depan wajahku sambil menangis. Aku pun
memeganginya sekuat tenaga agar bisa tenang dan tidak memberontak. Aku
bertambah panik ketika mengetahui bahwa muridku yang kumintai tolong tadi
mengatakan bahwa guru kelas tidak ada dimana-mana. Lalu aku meminta tolong lagi
untuk memanggil rekan PPL ku. Tak lama kemudian, rekan PPL ku yang belum sampai
menginjakkan kaki di ruang kelasku guru kelas pun datang dengan langkah yang
tenang lalu menghampiri anak yang sedari tadi kupegangi.
“Ada apa? Kamu kenapa menangis?” tanyanya menenangkan.
“Aku tadi dipukul dia.” Jawabnya sambil menunjuk salah satu temannya.
Guru kelas tersebut langsung menggandeng kedua muridnya, dibawanya ke
belakang kelas untuk mendamaikan. Pelajaran tetap kulanjutkan walaupun masih
banyak yang memperhatikan ke belakang kelas. Bel sekolah pun berbunyi tanda
waktuku mengajar sudah usai. Selesainya anak-anak berhamburan keluar kelas untuk
pulang, tatapan teduh itu tertuju padaku sambil tersenyum. Senyuman yang
menandakan ada pertanyaan untukku “Bagaimana perasaanmu mengajar hari ini?”.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan membalas senyuman itu sambil menunjukkan
tatapan tanda sisa-sisa kegelisahan. Sembari aku membereskan peralatan mengajarku,
aku masih menunjukkan kegelisahanku atas kejadian yang baru saja terjadi. Aku pun
segera duduk berhadapan bersama guru kelas untuk evaluasi sekaligus menceritakan
awal mula apa yang terjadi.
Aku semakin menyadari bahwa setiap anak itu berbeda. Sekalipun kembar,
pasti ada perbedaan dalam dirinya. Hal yang paling sulit menjadi calon guru masih
harus melatih kesabaran dalam menghadapi anak. Pengalaman ini adalah pengalaman
yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidupku karena ini akan menjadi bekal di
saat aku menyandang sarjana pendidikan yang sebentar lagi aku raih. Menurutku,
pengalaman seperti ini bukanlah sebuah kegagalanku mengajar melainkan sebuah
pelajaran untuk mengolah emosi menghadapi anak.
Cara terbaik untuk meramal masa depan adalah dengan menciptakannya. - Peter Drucker -
50 : 50
“Dwi”
Hidup adalahpilihan. Semakin ku bertambah usia, semakin banyak keputusan
yang harus kuambil sendiri termasuk pilihan jurusan kuliah yang kuambil. Awalnya
aku mantap untuk menjadi guru SD hingga aku diterima di PGSD Sanata Dharma
setelah ditolak sebanyak 4x. Aku pun bersemangat kuliah hingga semester 4. Ketika
aku menginjak semester 5 hingga semester 6 ada pertanyaan yang selalu menghantui
pikiranku “Akankah aku bersungguh-sungguh menjadi guru atau tidak?”
Aku sungguh bingung. Aku pun membiarkan semuanya mengalir mengingat
orang tuaku sudah berharap banyak padaku untuk menjadi seorang guru. Aku masih
menjalani hingga saatnya tahun terakhirku kuliah, tahun dimana penentuan
kelulusanku.
Kini aku menginjak semester 8. Aku gugup karena semester ini adalah program
mengajar dilaksanakan dan juga skripsi. Skripsi lebih mencemaskan daripada PPL.
Ketika liburan semester, ada kabar burung dari teman-teman mengenai penawaran
payung skripsi. Payung skripsi yang aku minati tidak menerimaku karena katanya
pemilihan anggotanya dipilih dengan cara diundi. Oh Tuhan! Apa-apan ini? Mengapa
undian? Ya sudah, aku pun mulai panik karena teman-temanku sudah mendaftar
payung skripsi yang sudah ada.
Langkahku tergopoh-gopoh menuju salah satu ruang dosen menanyakan
payung skripsi yang diampunya. Aku pun tanpa berpikir panjang langsung mendaftar.
Dosenku tahu benar bahwa aku gelisah. Selang beberapa waktu, akhirnya aku fix
mengambil payung skripsi yang bertemakan kecerdasan ganda yang hingga kini masih
kutekuni. Aku senang karena penentuan judul memang harus dimulai tetapi aku tidak
bisa memahami pengumuman yang diberikan dari kampus serba mendadak dan kabar
yang terbang hanyalah simpang siur tetapi kejadian itu masih berulang ketika akan
PPL. Waktu yang ditentukan untuk penentuan SD sangatlah cepat. Selain itu, masih
ada sedikit kebimbangan mengenai persoalan PPL dengan penelitian skripsi.
Akhirnya, aku pun mendapat SD yang kutuju. Sekolah itu memang jauh dari
tempat tinggalku karena jarak yang kutempuh hampir sama dengan jarak rumahku
dengan kampus. Hal ini bukan menjadi penghalang untukku, aku tetap menikmati
perjalanan PPL ku. Kebijakan kampus yang diberikan kampus kepada kami pun ada
segi positifnya agar kami dapat cekatan menanggapinya.
Jika memang bisa, LAKUKANLAH! Jika memang belum bisa, MENCOBALAH!
- Elisabeth Dwi Astuti -
Sempat Mengeluh
“Okta”
Saya adalahmahasiswa semester delapan. Semester akhir yang menuntut saya
untuk segera menuntaskan segala kewajiban kuliah sebagai sarat meraih gelar sarjana.
Sempat melamun membayangkan masa wisuda yang indah dan penuh kebahagiaan.
Belum sempat membayangkan masa-masa indah lebih jauh, handphone berbunyi
“klung.. klung”. Ketua kelompok memberi kabar untuk berkumpul membahas
kegiatan PPL di bulan Januari. Rasanya masih ingin berlama-lama liburan sebelum
PPL, tapi keinginan itu harus saya tepis sejenak untuk kepentingan bersama. Jauh
sebelum kegiatan PPL di mulai, saya bersama tujuh teman dalam kelompok sering
berkumpul untuk membahas jadwal dan kelengkapan PPL. Saat itu yang paling sulit
adalah membuat jadwal mengajar terbimbing dan mandiri. Langkah pertama yang
kami lakukan adalah meminta jadwal dari SD tempat kami PPL. Kami berdelapan, PPL
di SD Kanisius Gayam I Yogyakarta. Jadwal sudah ada di tangan kami, langkah
selanjutnya yaitu melihat hari efektif. Nah.. disini kami mulai binggung membagi
jadwal mengajar yang menurut kami sangat banyak. Masing-masing dari kami harus
melakukan praktek mengajar sebanyak delapan belas kali. Ya benar, delapan belas
kali, dikali delapan orang mahasiswa dengan keterbatasan waktu dan kelas yang kami
gunakan untuk praktek mengajar. SD Kanisius Gayam hanya ada lima kelas yang
dapat digunakan untuk praktek. Lama sekali kami berdiskusi, membuat, mengganti,
membuat, mengganti, berulang-ulang kami lakukan. Pada akhirnya jadwal itu jadi,
kami sedikit bernafas lega walaupun sewaktu-waktu jadwal bisa berubah lagi.
Kami berkumpul memang lebih awal dari pada kelompok PPL di sekolah lain.
Tidak heran jika banyak teman berkata “Ya elah cah, sregep banget e”. Ya tidak apa-
apalah mereka bilang seperti itu, anggap saja kami memang anak-anak muda yang
penuh semangat menghadapi PPL. Ada cerita lucu dari kata-kata yang diucapkan
teman-teman, jadi ada beberapa teman yang baru berkumpul dengan kelompoknya
mendekati penerjunan PPL di SD. Mereka mengeluh membuat jadwal praktek
mengajar, “ya.. ya.. itu yang kami rasakan dulu” kata teman-teman satu kelompok
saya. Berharap kebijakan prodi itu bisa direvisi untuk kedepannya.
Harapan mahasiswa yang kesulitan menentukan jadwal praktek mengajar
dilihat dari jumlah mahasiswa PPL dengan ketersediaan kelas di sekolah dan
keterbatasan waktu untuk PPL. Sebenarnya kebinggungan kami bukan hanya
membuat jadwal praktek mangajar, tetapi ada kebingungan-kebingungan lain
diantaranya adalah memahami modul PPL. Kami menunggu cukup lama untuk
memperoleh modul PPL setelah pembekalan PPL selesai dilakukan. Kami tidak bosan-
bosannya meminta modul PPL di sekre, hasilnya selalu “zonk”. Cukup jengkel, dan
lagi-lagi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga pada akhirnya kami meminta file
modul PPL dalam bentuk softcopy, kami harus menyebarkan file itu kepada teman-
teman mahasiswa semester delapan.
Urusan kelengkapan PPL menurut kami sudah sedikit beres, kami
memberanikan diri untuk menemui dosen pembimbing kami. Singkat cerita semua
urusan sudah beres, dan tibalah waktunya untuk kami diterjunkan di SD Kanisius
Gayam. Pesan Kepala Sekolah di SD Kanisius gayam adalah berpakaian yang rapi dan
sopan. Sempat beberapa saat kami berdiskusi dengan beliau tentang penampilan
seorang guru. Kepala sekolah juga sempat bercerita tentang penampilan dosen PGSD
yang kurang sesuai dengan lingkungannya. Bukan hanya guru sekolah dasar yang
harus memberikan contoh positif terhadap murid-muridnya, namun seorang dosen
pun harus mampu memberikan contoh positif kepada mahasiswanya. Kepala Sekolah
juga sempat menyebutkan beberapa dosen yang saya kenal di lingkungan PGSD. Ya
memang, saya juga sependapat dengan beliau, mahasiswa memperoleh ilmu dari
dosen seperti murid sekolah dasar yang mendapatkan ilmu dari gurunya. Murid
sekolah dasar saja sangat kritis jika melihat gurunya berpenampilan “nyeleneh”.
Kenapa selama ini kita sebagai mahasiswa hanya diam dan seolah tidak terjadi sebuah
kejanggalan?. “Hemm.. ya sudahlah, tidak berani juga jikalau harus menyampaikan ke
dosen” kata saya sambil nyengir dan garuk-garuk kepala.
Hari demi hari kami berproses di SD Kanisius Gayam. Cerita senang saat
bermain dengan anak-anak saat istirahat. Cerita jengkel ketika anak-anak ramai di
kelas, cerita konyol saat bangun kesiangan. Banyak cerita yang kami buat selama tiga
bulan di SD Kanisius Gayam, sungguh sebagai cerita yang tidak pernah dapat saya
lupakan. Pelajaran demi pelajaran telah kami dapatkan di sekolah. Sampai pada suatu
hari, ketika satu persatu dari kami dituntut untuk mengerjakan kewajiban yang lain.
Kewajiban sebagai syarat meraih gelar sarjana juga, ya kewajiban itu adalah
menyelesaikan skripsi.
Selain kegiatan PPL kewajiban mahasiswa semester delapan adalah
menyelesaikan skripsi tepat waktu. Ada beberapa mahasiswa dari kami yang memiliki
dosen pembimbing yang sama atau satu kelompok “payung”. “Payung” adalah
sebuah kelompok studi yang sedang naik daun dikalangan mahasiswa PGSD USD. Satu
kelompok payung memiliki dua dosen pembimbing dengan satu tema skripsi. Kami
sebagai mahasiswa yang memiliki mimpi untuk lulus tepat waktu harus mampu
menyelesaikan keduanya dengan maksimal.
Rasa lelah, pusing dan bosan harus kami singkirkan jauh-jauh dari benak kami.
Sempat kami mengeluh, merasa tidak kuat menjalani dua kewajiban yang cukup besar
antara PPL dan Skripsi. Keinginan dan impian untuk lulus itulah yang memaksa kami
untuk bangkit. Rasa lelah ketika pulang dari sekolah harus segera bergegas ke kampus
untuk mengikuti bimbingan. Bimbingan yang dilakukan terkadang sampai larut malam
hingga kami sering lupa makan. Rasa pusing ketika kami harus bimbingan skripsi,
tetapi keesokan harinya kami harus mempersiapkan perlengkapan untuk mengajar.
Saya merasakan bosan dengan rutinitas di semester delapan ini, sempat mengeluh
juga.
Saya berharap kegiatan PPL segera berakhir dan fokus menyelesaikan skripsi. Ya
saya adalah tipe orang yang kurang fokus ketika melakuakan dua kegiatan sekaligus.
Berharap dalam diam, kegiatan PPL tidak dibarengi dengan tugas skripsi. “Mungkin
saya tidak akan keteteran seperti ini” kata saya dalam hati. “Ah itu hanya keinginan
yang mengenakan saya” tepis saya untuk kembali berpikir positif. “Justru dengan
kegiatan PPL dan skripsi di semester delapan ini, bisa melatih saya untuk lebih
bertanggung jawab”. Ya kata-kata itu yang sering saya ucapkan untuk memberikan
motivasi untuk diri saya sendiri. Bukankan masa kuliah itu adalah masa dimana
seorang anak muda berkarya?. Ya dijalani saja kebijakan itu, semua yang kita lakukan
dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab pasti akan berujung dengan keindahan.
Keindahan itu benar adanya, sabtu 29 Maret 2014 adalah hari perpisahan kami
dengan pihak sekolah yang artinya tugas kami dalam kegiatan PPL sudah berakhir.
Ucapan terimakasih dan permohonan maaf sudah diucapkan masing-masing
mahasiswa termasuk saya. Saya sangat berterimakasih dengan pengalaman dan ilmu
yang telah saya dapat di SD Kanisius Gayam. Ilmu yang tidak pernah saya dapat di
bangku kuliah selama tujuh semester. Oya keindahan itu terucap dari para guru SD
Kanisius Gayam, hampir semua guru memberikan selamat kepada kami dan memuji
kinerja kami selama di sekolah. Beberapa guru berkata “mahasiswa PPL tahun ini lebih
baik daripada mahasiswa PPL tahun lalu”. Woow sungguh pujian yang luar biasa
menurut saya, ada guru juga yang berkata “kalian adalah mahasiswa yang peka
dengan suatu keadaan”. Kata-kata yang sangat menyentuh kami, kata beliau
“kepekaan tidak dimiliki oleh banyak orang, tetapi kepekaan itu bisa dilatih”.
Pujian demi pujian kami dapatkan saat perpisahan membuat energi positif
dalam tubuh saya kembali penuh. Berdinamika dengan kalian selama tiga bulan ini
sangat menyenangkan dan membuat saya merasa memiliki sebuah keluarga baru.
Senang, susah, jengkel, marah pernah kita luapkan bersama-sama.
Terimakasih teman-teman, kalian terbaik! Terimakasih juga guru-guru SD
Kanisius Gayam I Yogyakarta yang sudah menerima kami menjadi bagian dari
keluarga SD Kanisiusa Gayam. Sangat luar biasa kegiatan PPL PGSD USD. Tingkatkan!
Manusia Kecil Tak Berdosa
“Okta”
Hari Selasa, 7 Januari 2014 berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Pagi itu
sekitar pukul 07:30 WIB kelompok PPL kami sudah berada di depan SD Kanisius
Gayam I Yogyakarta,menunggu dosen pembimbing kami untuk menitipkan kami di
SD tersebut. Cantik-cantik dan ganteng-ganteng dengan seragam batik baru yang kami
kenakan. Sepatu vantovel yang berkilau karena disemir kemarin. Ya memang harus
rapi karena mulai pagi itu sampai 29 Maret 2014, setiap hari kita harus bangun lebih
awal untuk menimba ilmu di sekolah dasar.
Minggu pertama PPL, kami isi dengan kegiatan observasi kelas untuk melihat
cara guru dalam mengajar. Observasi pertama, saya mendapat giliran masuk di ruang
yang cukup besar di samping perpustakaan yaitu kelas tiga. Kelas tiga merupakan kelas
dengan penghuni paling banyak dibandingkan kelas yang lain. Kegiatan belajar yang
saya amati cukup efektif, guru kelas menggunakan alat peraga ketika menjelaskan
materi pecahan kepada siswa. Saya mengamati trik-trik yang digunakan guru untuk
mengkondisikan kelas. Waktu observasi yang cukup lama membuat saya leluasa
membayangkan, seandainya saya yang berada di depan kelas dan mengajar siswa
sebanyak itu apakah mungkin berhasil seperti bu Novi. Margaretha Novida siburian
atau yang akrab dipanggil bu Novi adalah guru kelas tiga yang hebat.
Jadwal mengajar telah dibagi ke masing-masing mahasiswa dan guru kelas. Dua
hari sebelum praktek masing-masing mahasiswa harus konsultasi dengan guru kelas. Ya
tentu saja, saya harus konsultasi dengan ibu Novi tentang materi mengajar karena
sesuai jadwal saya mendapatkan kesempatan pertama masuk di kelas tiga.
13 Januari 2014 bayangan saya ketika observasi terwujud. Hari itu pertama kali
saya memperoleh pengalaman mengajar di kelas tiga. Rasa takut, grogi dan malu
bercampur menjadi satu, hingga terasalah sakit diperut. Woow sungguh pengalaman
yang tidak bisa saya lupakan, menurut saya hari itu gagal melaksanakan praktek
mengajar. Siswa-siswi ramai tidak mau diam saat dibentuk kelompok, ya walaupun
pada awalnya mereka sangat antusias dan memperhatikan penjelasan saya. Saya terus
berefleksi apa yang salah dengan cara mengajar saya. Sempat berpikir saya salah
ketika menyuruh mereka belajar di dalam kelompok. Saya juga mengingat-ingat
kembali ilmu yang saya dapat saat kuliah KDM (Ketrampilan Dasar Mengajar). Saya
ingat waktu itu, saya beserta teman-teman mahasiswa yang lain sering menggunakan
metode diskusi ketika praktek mengajar di kuliah KDM, dan berhasil tanpa ada
masalah yang berarti. Tertawa kecil ketika mengingat masa kuliah itu, ya pantas saja
siswa-siswi ketika kuliah KDM adalah seorang mahasiswa. Mahasiswa yang berumur
21 tahun sangatlah berbeda dengan siswsa-siswi yang masih berumur 8 tahun.
Mahasiswa lebih mudah diatur daripada siswa-siswi yang sesungguhnya.
Perasaan jengkel, kesal, marah sempat bersarang ditubuh saya. Suara saya habis
ketika harus teriak-teriak mengkondisikan siswa-siswi kelas tiga. Saya belum hafal
nama-nama siswa kelas tiga sehingga saya tidak bisa memanggil satu persatu siswa
yang ramai. Kacau suasana kelas saat itu, pokoknya jauh berbeda dengan suasana
kelas ketika kuliah KDM. Mulai saat itu saya menarik kesimpulan mahasiswa satu
angkatan tidak sesuai jika harus menjadi siswa atau menyamar sebagai siswa SD. Hari
itu menjadi pengalaman saya untuk mengajar di kelas-kelas berikutnya. Saya tidak lagi
menggunakan metode diskusi dengan anggota kelompok tiga, empat atau lima orang
di kelas kecil.
Kring.. kring.. suara bel berbunyi, yang artinya selesai sudah jam mengajar
saya. Lega, sungguh lega terasa di dada saya. Namun perasaan kesal dengan siswa
masih sedikit tertinggal di tubuh saya. Selesai mengajar saya istirahat di halaman
sekolah, banyak siswa-siswi kelas tiga yang mendatangi saya dan bertanya-tanya
tentang saya tanpa merasa dosa. Tersenyum dan berpikir, kenapa saya harus kesal
dengan siswa kalau mereka bisa mengembalikan semangat saya, ketika saya melihat
tingkah lucu mereka. Hemm.. siswa memang manusia kecil tak berdosa. Ketika kami
jengkel mereka selalu bertingkah lucu, tertawa lepas dan ceria.
Praktek demi praktek mengajar saya lakukan, ilmu yang semakin banyak saya
dapatkan. Saya mulai bisa mengkondisikan kelas dengan segala tingkah laku yang
dibuat siswa-siswi. Hal yang paling membanggakan adalah ketika saya hafal satu
persatu nama siswa-siswi. Ada cerita lucu tentang nama siswa, kala itu saya baru
pertama kali masuk di kelas lima. Masuk kelas bukan untuk mengajar terbimbing atau
mandiri, melainkan masuk kelas menunggu siswa-siswi ketika guru berhalangan hadir.
Saya sebenarnya belum terlalu hafal dengan semua nama siswa, tetapi ketika mereka
ramai saya bertanya kepada salah satu siswa yang duduk di depan saya tanpa
sepengetahuan siswa lain. Mereka yang ramai saya panggil satu per satu. Sontak
mereka kaget dan diam. Ada salah satu siswa yang berkata “weih.. Bu Okta hafal,
padahal belum pernah masuk kelas” kata anak itu terheran-heran. Saya yang
mendengar kata-kata itu, rasanya ingin tertawa tetapi saya hanya diam dan tersenyum
menjaga image saya sebagai seorang guru. Saya yakin ketika kita memanggil anak
dengan namanya, panggilan itu akan memberikan kesan kita peduli, kita mengenal
anak itu. Saya berusaha untuk terus mengenal nama-nama siswa SD Kanisius Gayam
sebagai salah satu kekuatan saya saat mengajar.
Ada kenangan sedih dan ada kenangan senang ketika mengajar itu sudah biasa.
Hal yang luar biasa adalah ketika kita terus belajar dengan pengalaman-pengalaman
yang kita dapat. Membuka diri terhadap lingkungan dan berusaha memberikan hal
baru kepada siswa. Tiga bulan berproses di SD Kanisius Gayam membuat saya
bermetamorfosis menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih mantap terjun di dunia
sekolah dasar. Siswa yang nakal bukan lagi menjadi halangan melainkan menjadi
motivasi saya untuk membuat anak tersebut menjadi pribadi yang santun.
Oke. Terimakasih untuk proses ini! Suka cita ada di dalam hati kami satu
kelompok PPL SD Kanisius Gayam I Yogyakarta.