Strategi Pengajaran makna Perjamuan Kudus bagi Anak oleh
Gereja Kristen Indonesia Salatiga
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi
sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang
Teologi (S.Si.Teol)
Oleh:
Friska Novia Adventin
712013025
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas kasih dan
rahmat-Nya telah menuntun penulis untuk menyelesaikan Tugas Akhir yang
berjudul “Strategi Pengajaran Makna Perjamuan Kudus Anak Oleh GKI Salatiga”.
Tak lupa juga penulis sampaikan ucapan terimakasih atas dukungan moral dan
materil yang diberikan dalam penyusunan Tugas Akhir ini, maka penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada Dr. David Samiyono dan Pdt.
Ebenhaizer Nuban Timo, selaku dosen pembimbing yang telah mengarahkan dan
membimbing selama proses pembuatan Tugas Akhir ini sampai selesai. Tak lupa
juga penulis sampaikan terimakasih kepada pihak pembaca yang telah
meluangkan waktu untuk membaca Tugas akhir ini. Kepada pihak Gereja GKI
Salatiga tempat dimana penulis melakukan penelitian, penulis juga mengucapkan
banyak terimakasih. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada kedua orang
tua, saudara, teman yang dengan setia memberi bantu serta dukungan sehingga
Tugas Akhir ini dapat selesai dengan baik.
Tugas akhir ini diharapkan dapat membantu warga jemaat GKI Salatiga
dalam memberikan Pemahaman Perjamuan Kudus yang sesuai dengan tahapan
perkembangan setiap anak. Selain itu Tugas Akhir ini diharapkan dapat menjadi
refrensi dalam melihat Perjamuan Kudus di GKI Salatiga.
Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih sangat jauh dari
sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi lebih baiknya Tugas Akhir ini.
Salatiga, 12 september 2017
Frisca Novia Adventin
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Abstrak
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.3 Rumusan Masalah ....................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 5
2. Perjamuan Kudus dan Perkembangan Anak
2.1 Gereja Katolik Roma.................................................................................. 7
2.2 Gereja Protestan ......................................................................................... 8
2.3 Psikologi Perkembangan Anak ................................................................ 10
2.4 Konsep Pemikiran Anak ......................................................................... 13
2.5 Intelektual ................................................................................................ 15
2.6 Pendidikan Agama Kristen ..................................................................... 16
2.7 Strategi Pengajaran ................................................................................. 17
3. Hasil Penelitian
3.1 Gambaran Umum tentang GKI Salatiga ................................................. 18
3.2 Sejarah Perjamuan Kudus GKI Salatiga ................................................ 19
3.3 Pemahaman dan Pelaksanaan Perjamuan Kudus Anak .......................... 20
3.4 Kendala dan Strategi Pengajaran ............................................................ 22
4. Pembahasan ..................................................................................................... 23
5. Penutup
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 25
5.2 Saran ......................................................................................................... 26
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 27
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi yang dipakai GKI
Salatiga menjelaskan materi tentang Perjamuan Kudus bagi anak-anak. Penelitian
ini dimotivasi oleh beberapa masalah yaitu Perjamuan Kudus yang melibatkan
anak untuk ambil bagian dalam perayaannya dan kriteria menentukan seorang
anak untuk ambil bagian dalam Perjamuan Kudus karena secara tahapan
perkembangan umur seorang anak belum mampu untuk dapat memahami akan
makna Perjamuan Kudus dengan baik, sehingga dibutuhkan cara atau strategi
khusus ketika menyampaikan makna Perjamuan Kudus kepada anak-anak dengan
melihat tahapan perkembangan usia seorang anak. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil
penelitian ini bahwa GKI Salatiga tidak memiliki kriteria khusus dalam hal usia
seorang anak untuk ikut dalam Perjamuan Kudus. Karena cukup dengan
mengikuti Baptisan setiap anak berhak mengikuti Perjamuan Kudus. Kemudian
pengajaran yang terkait dengan makna Perjamuan Kudus kepada anak – anak
belum sesuai dengan tahapan perkembangan yang ditentukan oleh Piaget. Serta
strategi untuk melakukan pengajaran yang dilakukan gereja belum maksimal jika
melihat dari teori yang ada. Gereja semestinya memperhatikan kembali tahapan
perkembangan anak yang sesuai sehingga tujuan untuk menyampaikan makna
Perjamuan Kudus dapat tercapai dengan baik dan anak mampu mengikuti
Perjamuan Kudus dengan pemahaman yang memadai.
Kata kunci: Perjamuan Kudus anak, Strategi pengajaran, GKI Salatiga.
1
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Setiap aliran Gereja yang ada di Indonesia, memiliki pemahaman berbeda
akan makna perjamuan kudus serta tata cara melakukan Perjamuan Kudus. Jika
dilihat dari sejarah Perjamuan Kudus menurut Alkitab, memiliki dua pemahaman
yang berbeda juga antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjamuan Kudus
dalam Perjanjian Lama adalah sebagai kenangan akan pembebasan yang dialami
bangsa Israel ketika berhasil keluar dari tanah Mesir, dan dilakukan setiap hari
raya Paskah yang jatuh pada musim semi (sekitar bulan Maret-April)1. Pernyataan
di atas menunjukan bahwa makna dari perjamuan kudus adalah sebuah ungkapan
rasa syukur atas pembebasan yang diterima oleh orang-orang Israel. Pemahaman
yang berbeda dalam Perjanjian Baru, Perjamuan Kudus adalah perjamuan yang
tergolong kepada Perjanjian yang diadakan Allah dengan umatNya di bukit
Golgota, dimana anak domba paskah telah dikorbankan satu kali untuk selama-
lamanya (1 Kor 5:7).2
Perjamuan Kudus yang dilakukan oleh setiap gereja memiliki dua
simbol/elemen penting di dalamnya yaitu Roti dan Anggur. Roti melambangkan
tubuh Kristus yang “dipecahkan” karena kita, sedangkan Anggur itu menunjuk
kepada darah Kristus yang ditumpahkan karena kita3. Maka roti dan anggur
merupakan sebuah simbol pengingat akan kehadiran Kristus dan pengorbanan-
Nya.
Perjamuan Kudus yang dilakukan oleh setiap gereja memiliki nama yang
berbeda. Gereja Katolik menyebut Perjamuan Kudus sebagai Ekaristi. Menurut
Gereja Katolik Perjamuan atau Ekaristi merupakan sebuah Inkarnasi (masuknya
Kristus kedalam daging manusia). Dalam Ekaristi Kristus muncul pula di atas
altar (tempat korban), yaitu dalam bentuk roti dan anggur.4Gereja Protestan
memahami Perjamuan Kudus diberitakan kepada kita, korban yang satu-satunya
telah dipersembahkan satu kali, di bukit Golgota, dan bahwa hasilnya
1 A. Hari Kustono, Ekaristi Dalam Hidup Kita ( Yogyakarta: Kanisius,2008), 22
2 G.C. van Niftrik dan B.J Boland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2008), 455 3 Niftrik dan Boland, Dogmatika Masa Kini, 437
4 Niftrik dan Boland, Dogmatika Masa Kini, 459
2
(pengampunan dosa dan perdamaian dengan Allah) berlaku untuk selama-
lamanya dan menjadi realitas dalam hidup kita ini oleh pekerjaan Roh Kudus.5
Walaupun secara substansial ada perbedaan penyebutan, tetapi makna dari pada
Perjamuan Kudus menurut aliran gereja di atas, sama-sama memaknai Perjamuan
Kudus sebagai pengorbanan Yesus di atas kayu salib untuk menebus setiap
dosa-dosa umatNya.
Mengenai perbedaan perjamuan kudus dari setiap gereja tidak hanya
berhenti sampai pada perbedaan nama, namun setiap gereja juga memiliki
perbedaan dalam menetapkan aturan seseorang yang hendak ikut serta dalam
Perjamuan Kudus bagi orang dewasa, yang sudah mengaku kepercayaannya di
tengah-tengah jemaat dan dengan demikian menjadi anggota sidi, ada lagi suatu
upacara khusus yang diadakan beberapa kali dalam setahun, yaitu perayaan
Perjamuan Kudus.6Dalam Perjamuan Kudus, yaitu ketika jemaat makan roti dan
minum anggur, pada saat itulah jemaat dipersatukan dengan tubuh dan darah
Tuhan Yesus. Bersatunya jemaat dengan Tuhan Yesus Kritus kemudian
menempatkan Perjamuan Kudus sebagai sebuah ritual gereja yang mengandung
simbol hubungan manusia dengan Kristus. Meskipun dalam ritual ini tercipta
sebuah kebersamaan antara Allah dan manusia, namun tidak semua orang percaya
bisa menikmati peristiwa yang istimewa ini. Karena secara dogmatika dalam
pemahaman beberapa gereja, Perjamuan Kudus hanya dapat diikuti oleh setiap
orang yang teleh menjadi anggota sidi atau yang sudah menerima peneguhan sidi.
Peneguhan sidi dilakukan gereja kepada para remaja yang akan menuju kepada
tahap dewasa awal dalam perkembangannya. Ketika seorang remaja ingin
diteguhkan menjadi anggota sidi, ia harus menjalani beberapa proses pembinaan
yang disebut dengan katekisasi yang mengajarkan mengenai pemahaman teologi
secara singkat termasuk pengajaran mengenai Perjamuan Kudus dalam jangka
waktu pembelajaran yang cukup lama.
Pemahaman jemaat yang sejak lama diketahui bahwa secara umum syarat
untuk mengikuti Perjamuan Kudus adalah orang yang telah mengikuti Baptisan
Dewasa. Namun hal ini berbeda dari GKI Salatiga. Karena pada tahun 2016 GKI
Salatiga melakukan perubahan aturan gereja tentang Perjamuan Kudus dengan
5 Niftrik dan Boland, Dogmatika Masa Kini,460
6 Niftrik dan Boland, Dogmatika Masa Kini, 436
3
melibatkan anak-anak untuk ikut ambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Namun
syarat yang digunakan untuk anak-anak boleh ambil bagian dalam Perjamuan
Kudus dengan cara memberikan pemahan akan penciptaan Yesus sampai kepada
penyaliban-Nya, kepada anak-anak yang akan dilibatkan dalam Perjamuan Kudus.
Ada beberapa pemasalahan yang mendorong saya untuk melakukan
penelitian ini, di antaranya adalah; Pertama, GKI Salatiga melakukan perjamuan
kudus sudah sejak lama dari awal gereja ini ada. Perjamuan Kudus yang
dilakukan oleh GKI Salatiga ini sama seperti gereja-gereja mainstream lainnya
(GPIB, GKJ, HKBP). Ketika tahun 2016 gereja ini mengalami perubahan dalam
pelaksanaan Perjamuan Kudus, di mana yang boleh mengikuti Perjamuaan Kudus
adalah setiap jemaat yang telah mengikuti sidi, namun pada tahun ini anak-anak
telah diperbolehkan ikut dalam Perjamuan. Kedua, GKI Salatiga belum terlalu
jelas dalam menentukan batasan setiap umur anak yang boleh ikut dalam
Perjamuan Kudus. Karena jika melihat dari segi perkembangan anak, ketika
seorang anak berumur 4-5 tahun (preschool age) Anak-anak pada usia ini mulai
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sehingga menimbulkan rasa ingin tahu
terhadap segala hal yang dilihatnya. Mereka mencoba mengambil banyak inisiatif
dari rasa ingin tahu yang mereka alami.7 Melihat pada tahap perkembangan ini,
seorang anak belum tahu mengenai hal apa yang akan ia perbuat sehingga semua
hal yang dilakukan oleh orang dewasa akan menjadi pertanyaannya. Seorang anak
hanya ingin mengetahui untuk memenuhi kepuasan dari apa yang sedang ia cari
tanpa mau mengetahui maknanya. Maka pada tahapan ini anak-anak dapat
dikatakan hanya sekedar ingin tahu tanpa mau memaknainya. Jika hal ini dibawa
dalam konsep anak-anak untuk memahami makna dari Perjamuan Kudus, belum
bisa dipastikan bahwa seorang anak mampu.
Namun pada umumnya ilmu mendidik tidak hanya mencari pengetahuan
deskriptif tentang objek pendidikan, melainkan ingin juga mengetahui bagaimana
cara sebaiknya untuk berfaedah terhadap objek didiknya. Dalam ilmu mendidik
teoritis dibedakan menjadi dua bagian, ilmu mendidik sistematis dan ilmu
7 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2008),60.
4
mendidik historis, tetapi keduanya arti yang sama-sama untuk mengatur dan
mensistemkan di dalam pikiran naradidik apa yang tersusun sebagai pola
pemikiran pendidikan8. Hubungan antara mendidik historis dengan praktis adalah
seorang pendidik mampu menggunakan teorinya sendiri dalam mendidik
walaupun teorinya belum disistematiskan. Menurut seorang maha guru ilmu
mendidik J.M Gunning pernah berkata, “teori tanpa praktek adalah baik pada
kaum cerdik candikiawan dan praktek tanpa teori hanya terdapat pada orang-
orang gila dan penjahat”9. Hal ini menunjukan bahwa teori dan praktek sebaiknya
berjalan lurus bersamaan agar tujuannya dapat tercapai.
Menurut James Fowler bahawa setiap anak menjalani perkembangan
dalam beberapa tahapan, di antaranya adalah; ; Intuitive-projective faith (usia 18-
24 bulan sampai 7 tahun), Mythic-literal faith (usia 7 sampai 12 tahun), Synthetic-
conventional faith (usia remaja dan selanjutnya), Individuative-reflective faith
(awal hingga pertengahan umur duapuluhan), Conjunctive faith (usia paruh baya),
Universalizing faith (lanjut usia). Jika melihat tahap-tahapan tersebut, sudah
sangat jelas bahwa anak masuk dalam tahapan ; Intuitive-projective faith (usia
18-24 bulan sampai 7 tahun), Mythic-literal faith (usia 7 sampai 12 tahun), kedua
tahapan ini menjelaskan bahwa anak pada masa usia 24 bulan-17 tahun memiliki
gambaran pemahaman yang umumnya bersifat irasional, karena pada masa ini
anak belum memahami sebab-akibat dan belum dapat memisahkan kenyataan dan
fantasi. Mereka juga masih kesulitan membedakan sudut pandang Tuhan dengan
sudut pandang mereka atau orangtuanya. Konsep Tuhan yang diyakini pada masa
ini berkisar pada kepatuhan (obedience) dan hukuman (punishment). Pada tahapan
Mythic-literal faith (usia 7 sampai 12 tahun) Anak sudah lebih logis dan mulai
mengembangkan pandangan akan alam semesta yang lebih tertata. Meskipun
sudah mengikuti kepercayaan dan ritual orangtua serta masyarakat, mereka
cenderung mempercayai cerita dan simbol religius secara literal karena pada masa
ini anak belum mampu berpikir abstrak. Di sisi lain, mereka sudah dapat
memahami bahwa Tuhan mempunyai sudut pandang lain dengan turut
8 H. Burhanuddin Salam, Pengantar Pedagogik :dasar-dasar ilmu mendidik( Jakarta:
Rineka Cipta, 2011), 21 9 Salam, Pengantar Pedagogik :Dasar-Dasar ilmu mendidik, 22
5
mempertimbangkan usaha dan niat seseorang sebelum „menghakiminya‟. Mereka
percaya bahwa Tuhan itu adil dalam memberi ganjaran yang sepantasnya bagi
manusia.10
Hal inilah yang membuat Perjamuan Kudus kurang begitu bermakna jika
dilihat dari tahapan perkembangan anak dengan apa yang dilakukan oleh gereja.
Masalah yang ketiga adalah pemahaman(dogma) beberapa gereja mengenai
perjamuan kudus dilakukan oleh setiap jemaat yang telah menjadi anggota sidi
jemaat. Pemahaman jemaat pada umumnya mengenai perjamuan kudus adalah
mereka yang telah menerima peneguhan sidi. Peneguhan sidi dilakukan kepada
para anak remaja yang berusia sekitar 16 tahun ke atas, hal ini menunjukan bahwa
anak-anak tidak dapat menerima perjamuan kudus karena belum menjadi anggota
sidi jemaat. Jika anak – anak mengambil bagian dalam perjamuan kudus dapat
dikatakan bahwa setiap anak tersebut tidak begitu paham serta mengerti apa
makna dari perjamuan tersebut. Keempat adalah gereja memberikan pemahaman
sekilas mengenai pengajaran kristiani dari awal penciptaan sampai kepada karya
penyelamatan, hal ini belum terlalu menjamin setiap anak untuk dapat mengerti
dan memahami apa yang dilakukan anak ketika mengikuti Perjamuan Kudus,
sehingga dapat dikatakan berhasil atau mampu seorang anak dapat kita lihat juga
dari setiap usianya dalam memahami setiap permasalahan yang ada.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa kriteria GKI Salatiga menetapkan kategori seorang anak untuk bisa
terlibat dalam Perjamuan Kudus?
2. Bagaimana strategi GKI Salatiga memberikan pengajaran makna
Perjamuan Kudus untuk dapat dimengerti oleh setiap anak – anak yang
akan terlibat dalam Perjamuan Kudus?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuannya adalah mendeskripsikan cara-cara/strategi yang dipakai
GKI Salatiga menjelaskan materi tentang Perjamuan Kudus bagi anak-
anak.
10
Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, 66
6
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini bagi gereja adalah gereja mampu
memberikan pemahaman mengenai Perjamuan Kudus yang sesuai dengan
perkembangan kognitif anak.
1.5 Metode Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah deskriptif dengan
menggunakan metode kualitatif. Metode ini merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.11Teknik
pengumpulan data yang penulis gunakan adalah wawancara mendalam.
Wawancara bertujuan untuk mendapatkan keterangan tentang masalah
yang diteliti dengan percakapan tatap muka.12 Penulis mewawancarai
beberapa narasumber yang merupakan pejabat gereja seperti Pendeta dan
Majelis di GKI Salatiga serta anak-anak dan orang tua. Karena perjamuan
kudus anak dipimpin oleh pendeta dan majelis jemaat sebagai pejabat
gereja yang membuat keputusan untuk mengikut sertakan anak-anak
dalam Perjamuan Kudus.
1.6 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian penulis bertempat di GKI Salatiga. Penulis
memilih GKI Salatiga sebagai lokasi penelitian karena penulis
menyaksikan Perjamuan Kudus anak pertama kali dilaksanakan di GKI
Salatiga.
1.7 Sistematika Penulisan
Dalam tulisan ini, penulis akan memberikan susunan sistematika
yang terbagai dalam lima pokok pembahasan. Bagian pertama, mengenai
latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat dan metode
penelitian. Kedua, landasan teori yang berkaitan dengan perjamuan kudus
dan perkembangan anak. Ketiga, hasil penelitian, lokasi penelitian secara
11
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakaria,
1998), 3. 12
J. D. Engel, Metodologi Penelitian Sosial dan Teologi Kristen (Salatiga: Widya Sari
Press, 2005), 32-33.
7
umum. Keempat,merupakan analisa dari teori terhadap data yang telah
didapatkan dari penelitian dilapangan. Kelima, Kesimpulan dan penutup.
2. PENGERTIAN PERJAMUAN KUDUS DAN PSIKOLOGI
PERKEMBANGAN ANAK
Perjamuan kudus dirayakan sejak adanya gereja di dunia ini dan dianggap
sebagai sakramen. Tetapi setiap gereja tentu memiliki pandangan dan aturan yang
berbeda untuk melaksanakan perayaan sakramen atau Perjamuan Kudus. Semua
itu tergantung dari pada sejarah akan perjamuan kudus yang dipahami oleh gereja
tersebut. Tetapi secara keseluruhan gereja Katolik Roma dan Protestan dalam
perayaan Perjamuan Kudus hampir sama. Karena keduanya bertolak dari
perjamuan yang dirayakan Yesus dengan murid-murid-Nya oleh jemaat mula-
mula.13
2.1 Gereja Katolik Roma
Gereja Katolik memiliki tujuh sakramen dasar atas tradisi yang mereka
anut diantaranya; Baptisan (Baptimus), Penguatan Iman (Confirmatio), Perjamuan
Kudus (Eucharistia), Pengakuan Dosa (Poenitentia), Perminyakan (Extrema
Unction), Penabisan Iman (ordo), Perkawinan (Matrimonium). Hal lain yang perlu
diketahui bahwa kata ekaristi menjadi sinonim dengan Perjamuan Kudus.14
Menurut Gereja Katolik Ekaristi Kudus itu merupakan kurban dan
sakramen, di mana Yesus hadir dalam rupa roti dan anggur yang telah
mengorbankan diri-Nya. Kurban misa itu adalah kurban yang sama dengan
kurban di salib, hanya dipersembahkan dengan tidak menumpahkan darah, dengan
perantara iman.15
Pada tahun 1215 pada Konsili Latera IV merumuskan sebuah
dogma mengenai kehadiran Kristus dalam Perjamuan Kudus yaitu trans-
substansiasi. Dogma tersebut berbicara mengenai elemen Perjamuan yaitu roti dan
anggur yang berubah menjadi tubuh dan darah Kristus setelah dilakukan waktu
konsekrasi (roti dan anggur yang ada di atas altar disucikan atau ditahbiskan oleh
imam dengan cara mengulang perkataaan Yesus untuk menetapkan Perjamuan
13
Christian de Jonge, Apa itu Calvinisme ? (Jakarta: Gunung Mulia,2011),?, 211 14
Jonge, Apa itu Calvinisme?, 211 15
Niftrik dan Boland, Dogmatika masa Kini, 460
8
Kudus) yang dipimpin oleh imam kemudia memecah-mecahkan roti, tetapi
Kristus secarah utuh hadir dalam tiap potongan roti tersebut.16
Karena ajaran
Katolik Roma Cawan minuman hanya digunakan untuk kaum Rohaniawan dan
bukan untuk orang awam, tetapi dalam hal ini tidak mengurangi penerimaan
Yesus secara utuh.17
Maka pemahaman akan perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan
darah Kristus, memperlihatkan bahwa Kristus sendiri hadir dan setiap orang yang
makan roti dan minum anggur dipersatukan dengan Dia. 18
Gereja Katolik juga memperbolehkan semua orang untuk ambil bagian
dalam ekaristi tetapi harus memenuhi beberapa syarat tentang kelayakan
seseorang untuk menerima ekaristi melalui sakramen pengampunan dosa untuk
orang dewasa 19
dan untuk anak – anak usia 7-12 tahun dipersiapkam untuk ikut
dalam ekaristi dengan memberikan pemahaman dasar tentang makna sakramen,
persiapan itu berupa pembelajaran untuk wajib menghafalkan Doa Bapa Kami,
Ave Maria dan pengakuan Iman Rasuli.20
Meskipun anak-anak dianggap belum
mampu memahami akan makna Perjamuan Kudus, Gereja Katolik mencoba
memberikan pembelajaran kepada anak-anak melalui penerimaan komuni pertama
sebagai proses memperkembangkan imannya yang mengajarkan untuk mengasihi
satu sama lain, karena kebersamaan yang dimaksudkan di sini bagaimana anak
melihat hubungan antar sesama sebagai orang beriman terwujud di dalam
perayaan ekaristi.21
Dalam prosesnya anak juga dapat terlibat dengan beberapa
kegiatan gerejawi. Hal inilah yang menjadi alasan mendasar gereja Katolik Roma
memberlakukan sakramen Ekaristi bagi anak.
2.2 Gereja Protestan
Gereja Protestan menyebutkan ekaristi sebagai Perjamuan Malam terakhir
yang diadakan Yesus bersama dengan murid-murid-Nya menjelang sengsara dan
wafat-Nya di kayu salib. Perjamuan malam terakhir ini merupakan Perjamuan
16
Niftrik dan Boland, Dogmatika Masa Kini 460 17
Niftrik dan Boland, Dogmatika Masa Kini 460-461 18
Jonge, Apa itu Calvinisme ?, 212 19
Jonge, Apa itu Calvinisme?,229 20
Jonge, Apa itu Calvinisme, 237-238 21
Amin, Susanto, Persiapan Komuni Pertama: Pegangan Guru, (Yogyakarta: Kanisius,
1984), 9.
9
paling pokok yang diadakan Yesus sebagai perjamuan perpisahan dan Yesus
menafsirkan serta menjelaskan bahwa wafat dan kebangkitannya merupakan
penyerahan diri bagi keselamatan bersama. Sehinga ketika Perjamuan Malam
dilakukan, setiap orang dapat mengingat akan pengorbanan Yesus.22
Calvin meyakini dan mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus adalah tanda
yang ditetapkan Allah melalui Yesus Kristus supaya orang percaya melalui roti
dan anggur mereka dipersatukan dengan tubuh Kristus. Tetapi kelemahan manusia
membuat tanda itu perlu ditambahkan kepada firman yang diberitakan, karena
persatuan dengan Kristus hanya dapat dimengerti melalui upacara makan roti dan
minum anggur. Karena menurut Calvin Perjamuan Kudus bukan hanya sekedar
peringatan akan kematian Yesus di kayu salib tetapi Perjamuan Kudus bisa
menambahkan dan memperkuat iman mereka.23
Calvin juga menolak pemahaman akan kehadiran Kristus secara jasmani di
dalam roti dan anggur. Ia berpendapat bahwa Kristus tentu hadir dalam setiap
upacara Perjamuan Kudus, namun kehadiran-Nya berupa Roh kudus. Karena bagi
Calvin mustahil jika keselamatan yang kekal itu terkurung di dalam unsur-unsur
fana yang dipakai dalam perjamuan.24
Adapun syarat mengikuti Perjamuan Kudus di Protestan adalah ketika
seseorang telah menerima Baptisan dan Peneguhan sidi. Tidak semua orang dapat
ambil bagian untuk mengikuti Perjamuan Kudus. Ada ketentuan khusus yang
telah ditetapkan untuk mengikuti Perjamuan Kudus salah satu diantaranya adalah
seseorang yang telah menerima Peneguhan sidi yang diberikan oleh gereja.
Peneguhan Sidi dilakukan ketika anak berusia Sekitar 16-17 tahun, seorang anak
baru dapat diperkenankan untuk mengikuti pembelajaran katekisasi (pengajaran
iman kristen dan makna perjamuan kudus). Hal ini memperlihatkan bahwa dalam
Gereja Protestan belum melibatkan anak untuk ikut dalam Perjamuan Kudus
karena anak-anak masih dianggap kurang mampu untuk memahami akan
pemahaman iman kristen dan mengembangkan pemikiran yang abstrak. Sehingga
membuat gereja Protestan menjadikan ini sebagai alasan untuk tidak mengikut
22
E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 271-272 23
Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja ( Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2013), 77 24
Jonge, Apa itu Calvinisme?, 223-224
10
sertakan anak ambil bagian pada upacara khusus Perjamuan Kudus. Karena bagi
orang dewasa yang sudah mengaku kepercayaannya di tengah-tengah jemaat dan
dengan demikian menjadi anggota sidi akan mengikuti sebuah upacara khusus
yang diadakan beberapa kali dalam setahun yaitu Perjamuan Kudus.25
Dengan melihat pemahaman Perjamuan Kudus dari Gereja Katolik Roma
dan Gereja Protestan memiliki perbedaan yang signifikan tentang aturan gerja
bagi anggota jemaat yang akan mengikuti Perjamuan Kudus. Gerja Katolik Roma
menganggap semua orang dapat ikut dalam perjamuan kudus tetapi di gereja
Protestan tidak, karena bagi gereja Protestan anak-anak belum memiliki kapasitas
yang baik untuk memahami makna Perjamuan Kudus. Sehingga setiap orang yang
telah menjadi anggota sidi jemaat baru di perbolehkan untuk ikut ambil bagian
dalam Perjamuan Kudus.
2.3 Psikologi Perkembangan Anak
Setiap manusia pasti mengalami perkebangan dalam kehidupannya. Mulai
dari masa perkembangan di dalam kandungan, kelahirannya, serta semasa
hidupnya ia terus mengalami perkembangan. Perkembangan itu akan terhenti
ketika seseorang samapi kepada kematian. Salah satu bidang ilmu yang
mempelajari tentang perkembangan manusia adalah Psikologi. Dalam ilmu
psikologi perkembangan anak berkaitan erat dengan psikologi sosial, karena
sebagian besar perkembangan manusia berkaitan dengan interaksi sosial dengan
perkembangan individu yang dapat membentuk pribadi seseorang.26
Pertumbuhan dan perkembangan memiliki arti yang berbeda. Pertumbuhan
berkaitan dengan pertumbuhan kuantitatif yaitu peningkatan ukuran dan struktur.
Hal ini berkaitandengan pertumbuh struktur tubuh dan pertumbuhan otak secara
meningkat, sedangkan perkembangan berkaitan dengan perubahan yang kualitatif
dan kuantitatif yang menunjkan perubahannya terarah dan membimbing mereka
untuk maju serta menunjukan perubahan yang nyata antara sebelumnya dan
sesudahnya.27
25
Niftrik dan Boland, Dogmatika Masa Kini, 436. 26
Yudrak Jahja, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Kencana,2011), 23 27
Jahja, Psikologi Perkembangan, 32
11
Jean Piaget adalah seorang Psikolog Swiss. Ia hidup pada tahun 1896-
1980 terkenal dengan teori kognitifnya yang berpengaruh penting terhadap konsep
kecerdasan. Ia berkata perkembangan kognitif bukan hanya kematangan
organisme atau pengaruh lingkungan, tetapi hasil interaksi dari keduanya. Jean
Piaget juga berkata bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif
mereka.28
Piaget membagi perkembangan Kognitif kedalam empat periode utama
yang berkolerasi semakin canggih seiring pertambahan usia:29
Pertama, Periode
Sensorimotor (usia 0-2 tahun) diusia ini bayi lahir dengan sejumlah refleks
bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunia maya. Skema awalnya
dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Kedua, Tahapan
Praoperasional (usia 2-7 tahun) Pada tahapan ini menunjukan bahwa setelah usia
dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul.
Pemikiran Pra Operasi ini adalah prosedur melakukan tindakan secara mental
terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan
secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini anak belajar menggunakan dan
merepresentasikan objek dengan gambar dan kata-kata. Pemikiran anak masih
bersifat egosentris. Ketiga, Tahapan oprasional konkrit (usia 7-11 tahun) pada
tahapan ini menggunakan pemikiran oprasional kongkret mencakup penggunaan
operasi. Penalaran logika menggantikan penalarani intuitif tetapi dalam situasi
kongkret. Kemampuan untuk menggolong-golongkan sudah ada tetapi belum bisa
memecahkan masalah. Pada tahapan ini anak secara mental bisa melakukan
sesuatu yang sebelumnya hanya bisa mereka lakukan secara fisik. Keempat,
Tahapan Operasional Formal (usia 11 sampai dewasa) pada tahapan ini dialami
oleh anak dalam masa pubertas awal. Karakteristik dalam tahapan ini adalah
diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan
menarik kesimpulan dari informasih yang ada. Dalam tahapan ini seseorang dapat
merasakan cinta, bukti logis dan nilai. Ia tidak hanya melihat segala sesuatu hanya
dalam bentuk hitam dan putih namun ada gradasi abu-abu diantaranya.
28
Andris Noya, Modul Perkuliahan Psikologi Umum (Salatiga: Universitas Kristen Satya
Wacana,2013), 23 29
Noya, Modul Perkuliahan Psikologi Umum,23-24.
12
Menurut Piaget Tahap Preoperasional anak – anak mulai dari usia 2
sampai 7 tahun. Karakteristik perkembangan dalam tahapan utama kedua,
perkembangan kognitif adalah perluasan penggunaan pemikiran simbolis atau
kemampuan representasional, yang pertama kali muncul pada akhir tahap
sensorimotor.30
Fungsi simbolik adalah kemampuan untuk menggunakan
representasi mental (angka, kata, atau gambar) sebagai tempat anak untuk
melakatkan makna. Penggunaan simbol merupakan merupakan tanda universal
budaya manusia. Memiliki simbol untuk sesuatu dapat membantu anak-anak
untuk mengingat dan memikirkan diri mereka sendiri tanpa kehadiran wujud
fisik.31
Pada usia 19 bulan seorang anak dapat memahami bahwa sebuah gambar
merupakan respresentasi sesuatu yang lain, akan tetapi sampai pada usia 3 tahun
dan setelahnya sebagian besar anak-anak tidak dapat menyerap secara utuh
hubungan antara gambar, peta, model skala atau objek ruang yang
dipresentasikannya. Pada usia ini anak biasanya mulai melukis bentuk yang dapat
dikenalinya. 32
Walaupun anak-anak masih berusia dini, Piaget meyakini bahwa seorang
anak memiliki konsep tersendiri tentang pikiran. Ia mampu berpikir mengenai
berpikir dan keadaan mental, keyakinan yang salah dan tipuan, membedakan
antara penampilan dan kenyataan, serta mampu membedakan antara fantasi dan
kenyataan.33
Melihat istilah Dual representation hyphotesis mengemukakan
bahwa anak dibawah tiga tahun memiliki kesulitan untuk menyerap hubungan
spesial karena keharusan untuk menyimpan lebih dari representasi mental dalam
pikirannya diwaktu yang bersamaan. Piaget menyadari bahwa balita memiliki
semacam pemahaman terhadap koneksi antara aksi dan reaksi, dia percaya bahwa
anak usia pra sekolah belum dapat berpikir secara logis tentang sebab dan akibat,
menurutnya balita berpikir dengan transduksi dimana mereka memandang satu
30
Diane E. Papalia, Sally Wendkos Old, and Ruth Duskin Feldman, Human Development
(Jakarta: Salemba Humanika,2013), 323. 31
Diane E. Papalia, Sally Wendkos Old, and Ruth Duskin Feldman, Human
Development: Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Kencana, 2010), 325. 32
Diane E. Papalia, Sally Wendkos Old, and Ruth Duskin Feldman, Human
Development: Psikologi Perkembangan, 326. 33
Papalia, Old, and Feldman, Human Development, 343-347.
13
situasi berdasarkan situasi yang lain dan sering kali terjadi dalam waktu yang
bersama terlepas dari hubungan sebab akibat diantara kedua peristiwa tersebut.34
Pemahaman anak tentang peristiwa yang biasa terjadi di dunia nyata
memungkinkan mereka berfiksi secara logis tentang kualiitas. Ada beberapa studi
yang menemukan bahwa anak di bawah umur 5 tahun memahami bagaimana
entitas biologis yang menyebabkan pertumbuhan, turunan dan sakit dan
bagaimana hasrat, emosi dan tindakan menyebabkan tindakan manusia. Beberapa
riset juga menyatakan bahwa anak-anak prasekolah dapat melihat analogi yang
melibatkan sebuah kemampuan yang menurut Piaget seorang anak belum dapat
berkembang sampai anak mencapai tahapan operasi formal dalam masa dewasa.35
Seorang anak dalam tahapan prasekolah mampu mengembangkan
pemahaman yang baik tentang identitas. Identitas yang dimaksud adalah konsep
yang menyatakan bahwa manusia dan hal – hal lainnya itu sama, walaupun
memiliki ukuran, bentuk dan tampilan yang berbeda-beda. Mengkategorikan atau
klasifikasi, menuntut anak untuk mengidentifikasi sebuah kemiripan dan
perbedaan dari sebuah objek yang dilihat. Pada usia 4 tahun banyak anak yang
mampu mengidentifikasi sebuah warna dan bentuk dengan menggunakan
kemampuannya dalam menggolongkan orang baik dan jahat atau teman dan
bukan teman. Kemampuan anak yang digunakan untuk mengidentifikasi disebut
sebagai kemampuan kognitif yang memiliki implikasi emosional dan sosial. 36
2.4 Konsep Pemikiran Anak
Piaget adalah pakar pertama tentang teori pikiran/jiwa (theories of mind)
yaitu pemunculan kesadaran akan konsep mental mereka sendiri dengan orang
lain. Ia berpendapat bahwa anak-anak berusia di bawah enam tahun tidak dapat
membedakan antara pikiran dan mimpi dan entitas fisik nyata dan tidak memiliki
teori tentang pikiran. Akan tetapi ada penelitian baru yang mengungkapkan bahwa
34
Papalia, Old, and Feldman, Human Development, 326. 35
Papalia, Old, and Feldman, Human Development, 327. 36
Papalia, Old, and Feldman, Human Development, 328.
14
anak usia antara 2 dan 5 tahun, pengetahuan anak akan proses mental dirinya
sendiri maupun orang lain meningkat sangat drastis. 37
Ada beberapa aspek teori pemikiran yang diungkapkan oleh Piaget diantaranya
adalah;
Pengetahuan tentang Berpikir dan Kondisi Mental
Usia sekitar 3-5 tahun seorang anak mampu memahami pikiran dalam jiwa
yang berkaitn dengan hal-hal yang nyata dan imajiner. Dalam hal ini
bagaimana anak dapat berpikir sampai melakukan hal lain dengan keadaan
tutup mata. Tetapi berpikir merupakan sebuah aktivitas yang berbeda
dengan melihat, berbicara dan menyentuh. Sehingga pada usia ini anak
tidak memiliki kesadaran bahwa ketika mereka berbicara dengan orang
lain atau kepada diri sendiri mereka sedang berpikir.
Keyakinan yang Salah dan Penipuan
Pada usia 3 tahun anak belum memiliki pemahaman yang sempurna akan
keyakinan yang salah tetapi tidak menampakkannya ketika dihadapi pada
situasi yang kompleks. Kegagalan pemahaman akan yang salah pada usia
ini mungkin bersumber dari sifat egosentris, karena anak lebih percaya
bahwa orang lain mengetahui apa yang mereka ketahui dan percaya apa
yang mereka lakukan. Sedangkan anak usia 4 tahun memahami bahwa
orang lain dapat menemukan versi yang berbeda dari apa yang di lihat dari
objek yang sama dan memiliki keyakinan yang berbeda. Ketika anak
sudah berusia 6 tahun, baru ia mampu menginterpretasikan sebuah objek
yang sama secara berbeda.
Membedakan antara Penampilan dan Realitas
Untuk membedakan penampilan dan realitas menuntut anak untuk
merujuk kepada dua representasi mental yang saling berlawanan pada satu
waktu. Pada usia 5 atau 6 tahun seorang anak dapat membedakan apa yang
tampaknya dan apa benda sebenarnya. Berbeda dengan anak usia 3 tahun
yang dalam penelitian mengatakan bahwa ia kebingungan dalam
membedakan penampilan dan realitas. Contohnya seperti seorang anak
37
Papalia, Old, and Feldman, Human Development: Psikologi Perkembangan (Jakarta:
Kencana, 2008), 333.
15
usia 3 tahun sebelumnya melihat bahwa susu itu berwarna putih, kemudian
dia mengenakan kaca mata berwarna hijau dan diarahkan untuk melihat
objek tersebut, ia dapat mengatakan bahwa susu itu berwarna hijau.
2.5 Perkembangan Intelektual
Intelektual adalah intelegensi berasal dari bahasa Latin intelligere yang
berarti mengorganisasikan, menghubungkan, atau menyatukan satu dengan yang
lain. Menurut Thorndike, intelektual merupakan jumlah dari elemen-elemen, yaitu
hubungan stimulus respon. Maka, menurut Thurstone dalam intelektual ada
beberapa faktor primer yang merupakan group factor yaitu; spatial relation
(kemampuan untuk melihat atau mempresepsi gambar dengan dua atau tiga
dimensi terkait jarak), perceptual speed ( kemampuan yang berkaitan dengan
kecepatan dan ketepatan dalam memberikan judging mengenai persamaan dan
perbedaan ata respon terhadap apa yang dilihatnya), verbal comprehension
(kemampuan yang menyangkut pemahaman, kosakata, analogi secara verbal dan
sejenisnya), Word Fluency (kemampuan yang berkaitan dengan kecepatan kata-
kata dan anagram), number ficility (kemampuan kecepatan berhitung), associative
memory (kemampuan yang berkaitan dengan ingatan, khusnya yang berpasangan),
induction (kemampuan untuk memperoleh prinsip atau hukum.38
Teori proses informasi mengenai intelektual mengemukakan bahwa
intelektual akan diukur dari fungsi-fungsi seperti sensoris, ingatan, dan
kemampuan mental yang lain termasuk belajar dan menimbulkan kembali
(remembering). 39
Ada beberapa faktor perkembangan intelektual seseorang
diantaranya;40
1. Bertambahnya informasi yang disimpan di dalam otak seseorang sehingga
ia mampu berpikir relatif.
2. Banyaknya pengalaman dan latihan-latihan memecahkan masalah
sehingga seseorang dapat berpikir propersional.
38
Jahja, Psikologi Perkembangan,44-45 39
Jahja, Psikologi Perkembangan,,43. 40
Jahja, Psikologi Perkembangan,,45-46
16
3. Adanya kebebasan berpikir menimbulkan keberanian seseorang dalam
menyatakan hipotesa-hipotesa yang radikal, kebebasan menjajaki masalah
secara keseluruhan, dan menunjang keberanian anak memecahkan masalah
dan menarik kesimpulan yang baru dan benar.
Pandangan akan perbedaan intelektual oleh masing-masing individu
menekankan pada perbedaan kualitatif dan kuantitatif. Pandangan yang pertama
berpendapat bahwa pada dasarnya intelektual antara satu dengan yang lain
memang berbeda secara kualitatif (aliran Nativisme). Pandangan yang kedua
berpendapat bahwa perbedaan kuantitatif intelektual semata-mata karena
perbedaan materi materi yang diterima atau karena perbedaan akan proses belajar
dan lingkungan yang mempengaruhinya.41
2.6 Pendidikan Agama Kristen
Secara etimologis istilah pendidikan dalam bahasa Indonesia merupakan
terjemahan dari “education” dalam bahasa inggris. Kata “education” berasal dari
bahasa latin “ducere” yang berarti membimbing (to lead), di tambah awalan “e”
yang berarti keluar (out). Jadi arti dasar pendidikan adalah suatu tindakan untuk
membimbing keluar.42
Thomas Groome, dalam bukunya Christian religious education (1980)
seperti yang dikutip oleh Daniel Nuhamara, mengungkapkan bahwa dalam konsep
pendidikan terkandung beberapa dimensi penekanan, asumsi, dan perhatian yang
terkandung dalam konsep pendidikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh arti
etimologisnya. Menurutnya ada tiga penekanan dimensi waktu, yaitu, pertama,
Dimensi waktu masa lampau adalah dari mana aktivitas (membimbing) itu
dibawa, serta apa yang telah dimiiki (misalnya pengetahuan) baik oleh pendidik
maupun peserta didik untuk mengambil sesuatu bagi dirinya sendiri secara sadar.
Kedua, Dimensi waktu masa kini adalah, proses atau aktivitas yang sedang
berlangsung untuk menemukan sesuatu. Ketiga, Dimensi masa yang akan datang
adalah tujuan kearah mana usaha tersebut dibawa atau dapat juga disebut masa
41
Jahja, Psikologi Perkembangan,,46 42
Daniel Nuhamara, Pembimbing PAK: Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal
Info Media, 2007),8
17
depan yang hendak dituju karena ketiga dimensi ini harus dipahami dengan baik
karena merupakan pedoman bagi pendidik maupun peserta didik.43
Tujuan dari pada Pendidikan Agama Kristen adalah untuk memampukan
orang-orang hidup sebagai orang Kristen, yakni hidup sesuai Iman Kristen. Hal
inilah yang menjadi tujuan Pendidikan Agama Kristen sejak komunitas kristen
mulai mendidik.44
Pendidikan Agama Kristen merupakan suatu pengajaran yang
sangat dibutuhkan di dalam kehidupan gereja untuk dapat membina warga
jemaatnya. Selain itu juga tugas pendidikan itu merupakan sebuah mandat dari
Tuhan Yesus sendiri, yang bukan hanya berlaku baga murid-muridnya tetapi
kepada kita semua sebagai persekutuan orang percaya di gereja.45
Berbicara mengenai Pendidikan Agama Kristen, tentu berkaitan dengan
pengajaran. Karena dalam pembelajaran seorang pengajar dituntut untuk
menciptakan kondisi belejar yang kreatif untuk menyampaikan bahan pengajaran
kepada peserta didik. Karena itu pengajar harus terus belajar, sementara ia terus
belajar. Jadi yang belajar dalam proses pendidikan agama kristen bukan hanya
murid, tetapi juga guru.46
2.7 Strategi-strategi Pengajaran
Dalam proses belajar, seorang guru atau pengajar harus melakukan strategi
atau langkah-langkah awal untuk menyiapkan sebuah materi yang akan digunakan
untuk proses belajar ketika berada di dalam kelas. Agar siswa dapat mudah
mengerti apa yang disampaikan. Ada beberapa strategi yang digunakan dalam
persiapan pengajaran; pertama, Merancangkan Pengajaran; sebagai seorang
pegajar yang baik seharusnya mempersiapkan terlebih dahulu dengan
mengidentifikasi pengethuan dan keterampilan mereka yang ingin dikuasai oleh
siswa, serta menentukan tujuan apa yang hendak dicapai dari pengajaran tersebut
agar pengajar mampu menyusun urutan apa saja yang akan dilakukan dalam
pengajaran di dalam kelas nantinya. Kedua, Strategi Eksposis, pada strategi ini
43
Nuhamara, Pendidikan Agama Kristen, 9-10. 44
Thomas H. Groome, Christian Religious Education: berbagi cerita dan visi kita
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 48 45
Nuhamara, Pendidikan Agama Kristen, 69 46
Nuhamara, Pendidikan Agama Kristen, 134-135
18
merupakan cara pembelajaran yang paling sering kita jumpai. Pembelajaran yang
dilakukan pada metode ini berjalan dengan satu arah dari guru ahli kepada siswa,
dengan menggunakan sumber buku teks dan video pendidikan untuk menunjang
pembelajaran. Ketiga, Aktivitas Langsung dan Aktivitas Praktek, pada strategi ini
melibatkan siswa secara langsung tentang informasi yang dipelajari dengan
menggunakan beberapa aktivitas seperti; pembelajaran penemuan, aktivitas di
dalam kelas, simulasi dan aplikasi komputer, serta pekerjaan rumah. Keempat,
Strategi Interaktiv dan Kolaboratif adalah meminta para siswa membahas topik-
topik dan dengan cara lain membantu satu sama lain belajar.47
Dari keempat strategi diatas, tidak ada satu pendekatan terbaik untuk
pengajaran di kelas, karena setiap pengajaran memiliki manfaatnya sendiri-sendiri
dan masing-masing berguna disituasi yang berbeda dan untuk siswa yang
berbeda.48
Sehingga alangkah lebih baik jika keempat strategi ini dapat bercampur
seperti; perencanaan tidak hanya terjadi sebelum pengajaran dimulai mungkin
seorang guru lebih baik melakukan revisian rencana dalam hal mental ketika suatu
pembelajaran atau pengajaran berlangsung. Selanjutnya, pendekatan eksposisi
yang terkadang memiliki elemen aktivitas langsung dari guru ke siswa, tetapi
dalam hal ini mungkin melakukan interaksi antara sesama siswa.49
3. HASIL PENELITIAN
3.1 Gambar Umum tentang GKI Salatiga
GKI Salatiga berada di Jalan Jendral Sudirman No 111 B, Kecamatan
Tingkir, Kotamadya Salatiga, Jawa Tengah. Gereja ini memiliki jumlah jemaat
sebanyak 2400 orang diantaranya ada 16 orang Majelis dan 3 orang Pendeta (satu
orang Emiritus) yang melayani. Gereja ini melaksanakan kebaktian umum
sebanyak tiga kali; jam 07:00 WIB, 09:30 WIB, dan 16:30 WIB. Selain itu gereja
ini juga memiliki beberapa komisi kategori anak, remaja dan pemuda. Komisi
anak dan remaja melaksanakan ibadah sebanyak dua kali pada pukul 07:00 WIB
47
Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan: Membantu siswa Tumbuh dan
Berkembang (Jakarta:Penerbit Erlangga,2008), 150. 48
Ormrod, Psikologi Pendidikan, 202 49
Ormrod, Psikologi Pendidikan, 150
19
dan 09:00 WIB. Sedangkan komisi pemuda dilaksanakan ibadah pemuda pada
hari sabtu pukul 16: 30 WIB.50
3.2 Sejarah Perjamuan Kudus anak di GKI Salatiga51
GKI Salatiga merupakan anggota dari sinode Jawa Tengah, anggota dari
Reformed Ecumenical Council (REC: Lembaga oikumene Gereja-Gereja
Reformed. Sejak tahun 1996 REC telah melakukan studi terhadap Perjamuan
Kudus dengan melibatkan anak-anak untuk ikut mengambil bagian dalam
Perjamuan Kudus. Setelah bergabung dengan sinode wilayah Jateng, GKI Salatiga
belum kembali melakukan Perjamuan Kudus untuk anak sehigga timbul beberapa
pertanyaan dari pada anggota jemaat yang merupakan anggota gereja reform
dahulu. Mereka mempertanyakan bagaimana keberadaan anak-anak dalam
Perjamuan Kudus.
Melihat hal ini, gereja mengambil sikap dengan mencoba
mempertanyakan keterlibatan anak-anak di dalam Perjamuan Kudus pada rapat
sinode se-Jateng. Hal ini tentu mendapatkan respon yang cukup baik dari majelis
sinode bahwa ketika setiap gereja mampu dan siap memberlakukan Perjamuan
Kudus bagi anak-anak, gereja tersebut diijinkan untuk melaksanakan Perjamuan
Kudus bagi anak dengan catatan bahwa setiap perwakilan gereja akan diberikan
pemahan tentang studi biblika tentang sejarah Perjamuan Kudus dan sejarah
gereja menurut Calvin (karena GKI Salatiga menganut aliran Calvin).
Sebelum melakukan Perjamuan Kudus bagi anak-anak, GKI Salatiga
melakukan terlebih dahulu sosialisasi singkat yang disampaikan oleh Majelis
Sinode yang bertugas dengan mengundang semua warga jemaat untuk hadir
dalam pertemuan yang akan membahas tentang Perjamuan Kudus bagi anak
dengan melihat tinjauan dari segi Biblika, Dogma dan Sejarah. Setelah itu Pendeta
dan Majelis memberikan pembinaan terhadap guru sekolah mengenai cara
memberikan pemahaman Perjamuan Kudus kepada anak-anak. Karena GKI
Salatiga mengadakan katekisasi singkat bagi anak-anak yang akan mengikuti
Perjamuan Kudus.
50
Pnt Lukas Sukan, Salatiga, Wawan cara pada tanggal 02 Agustus 2017, pukul 14:00
wib. 51
Pdt Yefta, Salatiga, Wawancara pada tanggal o2 Agustus 2017, pukul 10:20 wib.
20
3.3 Pemahaman dan Pelaksanaan Perjamuan Kudus anak
Perjamuan Kudus anak di GKI telah dilakukan sejak tahun 2016.
Perjamuan Kudus ini dilakukan pertama kali pada masa pra Paskah. Ada beberapa
alasan mendasar yang disampaikan responen untuk memberlakukan Perjamuan
Kudus anak di GKI Salatiga diantaranya adalah; Perjamuan Kudus bagi Anak
dilakukan karana Perjamuan Kudus merupakan perayaan anugerah Tuhan.52
Perjamuan Kudus juga merupakan Perjamuan Keluarga yang mana di dalamnya
terdapat anak-anak,53
hal ini dapat dilihat dari Matius 9:14 “Biarkanlah anak-anak
itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang
yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga”. 54
Adapun Materi pengajaran Perjamuan Kudus yang diberikan kepada anak
– anak telah melalui beberapa proses persiapan yang cukup panjang. Menurut dua
orang responden mengatakan bahwa persiapan yang dilakukan gereja untuk
melaksanakan Perjamuan Kudus anak mengundang Majelis Sinode untuk hadir
untuk melakukan sosialisasi singkat kepada seluruh warga GKI Salatiga termasuk
Pendeta dan Majelis selama satu hari.55
Setelah itu Pendeta, Majelis (hanya
beberapa orang) dan para guru sekolah minggu melakukan kembali persiapan
khusus untuk menyampaikan materi akan makna Perjamuan Kudus kepada anak-
anak agar anak–anak dapat mengikuti katekisasi singkat. Arti kata katekisasi
singkat di sini hanya diberikan untuk anak – anak yang akan ikut dalam
Perjamuan Kudus, ketika anak nantinya mau mengikuti Sidi, ia hendak menjalani
katekisasi lagi.56
Penyampaian akan materi Perjamuan Kudus atau bisa katekisasi singkat di
lakukan dalam jangka waktu kurang lebih selama satu bulan setelah selesai
sekolah minggu dengan cara seusai sekolah minggu diberikan waktu tambahan
untuk melakukan katekisasi singkat.57
Sekitar tigabelas guru sekolah minggu di
bagi ke dalam kelas – kelas anak yang sesuai dengan kelas sekolah minggu
52
Pdt Yefta, Salatiga, Wawancara pada tanggal 02 Agustus 2017, pukul 10:20 wib. 53
Pnt Junianto, Salatiga, Wawancara pada tanggal 04 Agustus 2017, pukul 08:40 wib. 54
Pnt Lukas, Salatiga, Wawancara pada tanggal 02 Agustus 2017, pukul 14:05 wib. 55
Pnt Junianto, Salatiga, Wawancara pada tanggal 04 Agustus 2017, pukul 08:40 wib. 56
Pnt Lukas, Salatiga, Wawancara pada tanggal 02 Agustus 2017, pukul 14:05 wib. 57
Pnt. Junianto, Salatiga, Wawancara pada tanggal 04 Agustus 2017, pukul 08:40 wib.
21
membantu mengajarkan makna perjamuan Kudus yang di dalam kelas masing –
masing terdapat dua orang guru sekolah minggu.58
Ada beberapa materi pembelajaran yang diberikan kepada anak – anak
untuk mempersiapkan mereka mengikuti Perjamuan Kudus diantaranya;
Pengajaran akan penciptaan sampai kepada keselamatan, arti dan makna
Perjamuan Kudus termasuk makna dari roti dan anggur sebagai simbol
keselamatan yang diberikan Yesus kepada kita. 59
Pada saat materi disampaikan
guru sekolah minggu memperagakan tata cara untuk mengikuti Perjamuan Kudus.
Setelah dilakukan Perjamuan Kudus anak, anak-anak memahami bahwa
Perjamuan Kudus ialah peringatan waktu Yesus akan ditangkap60
. Adapun
pengertian lain yang dipahami anak – anak bahwa Perjamuan Kudus merupakan
karya keselamatan sehingga kita harus mengucap syukur karena roti dan anggur
menjadi lambang keselamatan dan penebusan dosa – dosa umatnya. 61
Adapun syarat yang ditetapkan oleh GKI Salatiga mengenai keterlibatan anak
dalam Perjamuan Kudus adalah anak yang telah menerima Baptisan tetapi tidak
ada batas usia yang ditentukan. Hal ini melihat dari pengajaran Calvin.
Pemahaman baptisan anak-anak terhisap dalam anugerah Tuhan yang
menyelamatkan, Karena anak yang telah di Baptis merupakan sebuah anggota.62
Dan juga Perjamuan Kudus merupakan Perjamuan keluarga yang mana di dalam
keluarga juga terdapat anak-anak sehingga ketika anak-anak ikut merayakan
Perjamuan Kudus anak telah melakukan Perjamuan keluarga. 63
Namun hal
kesiapan mengikuti Perjamuan Kudus anak diberikan kebebasan kepada setiap
orang tua yang mau mengikut sertakan anaknya di dalam Perjamuan Kudus.64
3.4 Kendala dan Strategi Pengajaran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan empat dari sepuluh responden
menemukan beberapa kendala yang di hadapi pengajar (guru sekolah minggu dan
58
Ibu Monik, Salatiga, Wawancara pada tanggal 06 Agustus 2017, pukul 09:10 wib. 59
Ibu Monik, Salatiga, Wawancara pada tanggal 06 Agustus 2017, pukul 09:10 wib. 60
Anak Naldo, Salatiga, Wawancara pada tanggal 06 Agustus 2017, pukul 09:10 wib. 61
Anak Tita, Salatiga, Wawancara pada tanggal 06 Agustus 2017, pukul 09:20 wib. 62
Pnt Junianto, Salatiga, Wawancara pada tanggal 04 Agustus 2017, pukul 08:40 wib. 63
Pdt. Yefta, Salatiga, Wawancara pada tanggal 02 Agustus 2017, pukul 10:20 wib. 64
Pdt. Yefta, Salatiga, Wawancara pada tanggal 02 Agustus 2017, pukul 10:20 wib.
22
majelis) ketika melakukan pengajaran singkat mengenai Perjamuan Kudus,
diantaranya; Pertama, waktu pengajaran yang kurang efektif dalam
menyampaikan materi tentang perjamuan kudus.65
Karena materi disampaikan
setelah anak-anak mengikuti ibadah sekolah minggu, sehingga hal ini membuat
anak-anak merasa bosan dan mengantuk pada saat materi persiapan Perjamuan
Kudus disampaikan.66
Bahkan ada anak-anak yang tidak mengikuti katekisasi
singkat oleh karena orang tua yang telah menunggu untuk menjemput anaknya
pulang67
Kedua, bahasa yang digunakan dalam penyampaian Firman ketika anak-
anak hadir untuk mengikuti Perjamuan Kudus belum efektif. Biasanya Pendeta
menyampaikan khotbah di setiap ibadah menggunakan bahasa yang tinggi.68
Hanya ada beberapa dari Pelayan Firman yang mampu menyampaikan Firman
dengan menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh anak-anak.69
Ketiga, ruangan Gereja yang tidak kondusif untuk melakukan Perjamuan
Kudus. Hal ini disebabkan oleh pertambahan jumlah jemaat dengan adanya
pertambahan anak-anak di dalam ibadah Perjamuan Kudus. Sehingga kapasitas di
dalam gedung gereja melebihi batas yang ada.70
Adapun strategi yang dilakukan oleh GKI Salatiga dalam mengatasi
kendala-kendala ialah pertama, Guru sekolah minggu mempersingkat waktu
pemberian materi tentang Perjamuan Kudus.71
Kedua, Pelayan Firman
menyampaikan Firmannya dengan menggunakan teknologi multi media 72
dan
mengubah gaya berbicara seperti sedang mengajar anak sekolah minggu.73
Ketiga,
gereja menyampaikan pengumuman kepada jemaat untuk memilih waktu ibadah
dan gereja juga menambahkan jumlah kursi.
4. PEMBAHASAN
65
Pnt. Junianto, Salatiga, Wawancara pada tanggal 04 Agustus 2017, pukul 08:40 wib. 66
Anak Naldo, Salatiga, Wawancara pada tanggal 06 Agustus 2017, pukul 09:10 wib. 67
Ibu Monic, Salatiga, Wawancara pada tanggal 06 Agustus 2017, pukul 09:10 wib. 68
Pdt. Yefta, Salatiga, Wawancara pada tanggal 02 Agustus 2017, pukul 10:20 wib. 69
Pnt. Junianto, Salatiga, Wawancara pada tanggal 04 Agustus 2017, pukul 08:40 wib. 70
Pdt. Yefta, Salatiga, Wawancara pada tanggal 02 Agustus 2017, pukul 10:20 wib. 71
Pnt. Junianto, Salatiga, Wawancara pada tanggal 04 Agustus 2017, pukul 08:40 wib. 72
Pdt. Yefta, Salatiga, Wawancara pada tanggal 02 Agustus 2017, pukul 10:20 wib. 73
Pnt. Junianto, Salatiga, Wawancara pada tanggal 04 Agustus 2017, pukul 08:40 wib.
23
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penulis menemukan bahwa
GKI Salatiga memahami Perjamuan Kudus sebagai sebuah pengucapan Syukur
akan perayaan anugerah Tuhan akan keselamatan yang diberikan lewat
pengorbanan Yesus di kayu salib. Dengan demikian dapat dilihat bahwa
pemahaman perjamuan kudus di GKI Salatiga sesuai dengan makna Perjamuan
Malam bahwa wafat dan kebangkitannya merupakan penyerahan diri bagi
keselamatan bersama. Ketika Perjamuan Malam dilakukan, setiap orang dapat
mengingat akan pengorbanan Yesus.74
Pemahaman inilah yang mendasari GKI
Salatiga mengadakan Perjamuan Kudus anak karena anak- anak juga berhak
merayakan keselamatan yang diberikan Yesus tanpa ada syarat untuk mengikuti
sidi terlebih dahulu. Gereja semestinya menjadi media untuk memberikan
pemahaman akan makna Perjamuan Kudus kepada anak – anak dengan lebih
mudah dipahami. Karena jika gereja hanya menyakini makna Perjamuan Kudus
tersebut tetapi tidak mampu untuk mengajarkan kepada anak – anak, hal ini tentu
akan menjadi kebingungan dalam pemahaman akan makna Perjamuan Kudus bagi
anak. Dalam kenyataannya, GKI Salatiga tidak menetapkan batasan usia bagi
setiap anak mengikuti Perjamuan Kudus sehingga tidak mengakomodir intelektual
anak untuk memahami makna Perjamuan Kudus. Karena dalam teori
perkembangan anak disebutkan anak usia dua tahun keatas baru memiliki konsep-
konsep pemahaman.75
Adapun materi yang diberikan dari GKI Salatiga berupa pemahaman
tentang Perjamuan Kudus seperti pengajaran akan penciptaan sampai kepada
keselamatan, makna Perjamuan Kudus termasuk makna dari roti dan anggur
sebagai simbol keselamatan yang di berikan Yesus kepada kita. Namun, materi
diberikan melalui pengajaran seperti biasa yaitu guru sekolah minggu
menjelaskan kemudian anak-anak mendengarkan. Padahal dalam teori Piaget,
perkembangan kognitif anak usia 2-7 tahun adalah perluasan penggunaan
pemikiran simbolis atau kemampuan representasional, yang pertama kali muncul
pada akhir tahap sensorimotor.76
Fungsi simbolik adalah kemampuan untuk
74
E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 271-272 75
Diane E. Papalia, Sally Wendkos Old, and Ruth Duskin Feldman, Human Development
(Jakarta: Salemba Humanika,2013), 323. 76
Papalia, Old, and Feldman, Human Development, 323.
24
menggunakan representasi mental (angka, kata, atau gambar) sebagai tempat anak
untuk meletakkan makna. Memiliki simbol untuk sesuatu dapat membantu anak-
anak untuk mengingat dan memikirkan diri mereka sendiri tanpa kehadiran wujud
fisik.77
Hal ini memperlihatkan bahwa metode pengajaran yang dilakukan GKI
Salatiga belum sesuai dengan Teori yang diungkapkan oleh Piaget bahwa dalam
pengajaran sebaiknya pengajar dapat menggunakan metode yang lebih kreatif
seperti gambar atau simbol yang berhubungan dengan materi agar anak lebih
tertarik dan mudah untuk memahami akan materi yang disampaikan. Karena pada
tahapan usia tersebut anak mempunyai kemampuan untuk membuat konsep
tersendiri dengan apa yang ia lihat melalui simbol-simbol atau gambar.
GKI Salatiga tidak memiliki strategi khusus untuk mempersiapkan anak
dalam mengikuti Perjamuan Kudus. Jika dilihat dalam buku Ellis Ormord yang
mengemukakan bahwa sebagai seorang pengajar memiliki empat macam strategi
khusus yang saling berkaitan untuk mempersiapkan pengajaran. Pertama, sebagai
seorang guru menentukan terlebih dahulu rancangan dengan mengidentifikasi
setiap kemampuan dan keterampilan dari anak agar pengajar mampu menentukan
urutan apa saja yang akan diberikan dalam pengajaran dikelas. Kedua,
Pembelajaran yang dilakukan dengan berjalan dengan satu arah dari guru ahli
kepada siswa, dengan menggunakan sumber buku teks dan video pendidikan
untuk menunjang pembelajaran. Ketiga, Aktivitas Langsung dan Aktivitas
Praktek, pada strategi ini melibatkan siswa secara langsung tentang informasi
yang dipelajari dengan menggunakan beberapa aktivitas seperti; pembelajaran
penemuan, aktivitas di dalam kelas, simulasi dan aplikasi komputer, serta
pekerjaan rumah. Keempat, Strategi Interaktiv dan Kolaboratif adalah meminta
para siswa membahas topik-topik dan dengan cara lain membantu satu sama lain
belajar.78
Namun menurut hasil data yang diperoleh GKI Salatiga hanya melakukan
persiapan dengan cara mempersiapkan setiap guru sekolah minggu yang akan
memberikan pemahaman Perjamuan Kudus kepada anak-anak. Ketika melakukan
77
Diane E. Papalia, Sally Wendkos Old, and Ruth Duskin Feldman, Human
Development: Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Kencana, 2010), 325. 78
Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan: Membantu siswa Tumbuh dan
Berkembang (Jakarta:Penerbit Erlangga,2008), 150.
25
pembelajaran para guru yang berperan aktif dibandingkan siswanya. Sehingga
pengajaran mengenai perjamuan kudus bagi anak kurang efektif jika hanya
diberikan lewat narasi saja. Guru sekolah minggu seharusnya mampu memberikan
pengajaran menggunakan simbol-simbol seperti gambar atau video mengenai
perjamuan kudus agar nantinya anak-anak lebih mudah memahami makna
perjamuan kudus. 79
Pengajaran juga akan berlangsung dengan baik bila anak-anak
diberikan aktivitas langsung dan aktivitas praktek artinya anak-anak
mempraktekkan secara langsung tentang informasi yang telah diperoleh.80
Dalam
hal ini, praktek yang dilakukan ialah tentang bagaimana cara anak-anak
mengambil roti dan anggur serta sikap anak-anak ketika mengikuti Perjamuan
Kudus, sehingga dengan cara mempraktekkan perjamuan kudus, anak-anak dapat
melatih diri mereka sebelum mengikuti perjamuan kudus.
5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian terhadap strategi pengajaran makna
Perjamuan Kudus anak dan melakukan analisa dengan menggunakan teori Piaget,
dapat dipahami bahwa GKI Salatiga tidak memiliki kriteria khusus untuk usia
seorang anak ikut dalam Perjamuan Kudus. Karena cukup dengan mengikuti
Baptisan setiap anak berhak mengikuti Perjamuan Kudus. Kemudian pengajaran
yang terkait dengan makna Perjamuan Kudus kepada anak – anak belum sesuai
dengan tahapan perkembangan yang ditentukan oleh Piaget. Strategi untuk
melakukan pengajaran yang dilakukan gereja juga belum maksimal jika melihat
dari teori yang ada. Karena strategi pengajaran yang digunakan tidak dapat
berjalam maksimal jika hanya salah satu yang dijalankan apalagi jika persiapan
hanya dilakukan sekali.
79
Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan: Membantu siswa Tumbuh dan
Berkembang, 150 80
Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan: Membantu siswa Tumbuh dan
Berkembang, 150.
26
5.2 Saran
Saran Bagi Gereja GKI Salatiga. Gereja sebaiknya menentukan batasan usia untuk
anak mengikuti Perjamuan Kudus dengan memperhatikan tahap perkembangan
anak, sehingga pengajaran makna Perjamuan Kudus kepada anak – anak dengan
memperhatikan tahapan perkembangan anak yang sesuai dapat tercapai dengan
baik dan anak mampu mengikuti Perjamuan Kudus dengan pemahaman yang
memadai.
27
Daftar Pustaka
Abineno, J. L. Perjamuan Malam, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982
Aritonang, Jan S. Berbagai aliran di dalam dan di sekitar Gereja, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2013
de Jonge, Christiaan, Apa itu Calvinisme?, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Engel, J. D. Metode Penelitian Sosial dan Teologi Kristen, Salatiga: Widya Sari
Press, 2005.
Gunarsa, Singgih. D. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2008
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Jahja, Yudrik. Psikologi Perkembangan, Jakarta: Kencana, 2011
Kustono, A Hari. Ekaristi Dalam Hidup Kita, Yogyakarta: Kanisius, 2008
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakaria,
1998.
Martasudjita, E. Sakramen-sakramen Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Niftrik, van G.C and B.J Boland. Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2008.
Noya, Andris. Modul Perkuliahan Psikologi Umum, Salatiga: Universitas Kristen
Satya Wacana, 2013
Ormrod, Ellis Jeane. Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan
Berkembang, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009
Papalia, Diane E. Old, Sally Wendkos, and Feldman,Ruth Duskin. Human
Development, Jakarta: Salemba Humanika, 2013.
Salam, Burhanuddin. H. Pengantar Pedagogi: Dasar-dasar ilmu Mendidik,
Jakarta: Rineka Cipta, 2011.