Snrabaya Post, Sabtn, 21 November 1992 ') 5
Berbahasalah dengan Merdeka There's a sign on the wall, but we want to be sure, cause you know, sometimes words have two meanings, (Ada tanda di dinding, tetapi kita musti yakin,. karena kau tahu, terkadang kata-kata bermakna &"anda) (Stairway to Heaven : Led Zeppelin)
ADA makna di balik kata. Dan makna kata tak muncul dan dipahami begitu saja secara kebetulan. Ada proses rekayasa di sana, yang sering susah diraba. Karena itu tak usah heran, jika ada kata-kata tertentu yang dimaknakan beda atau bermakna ganda ketika sampai- di masyarakat. Atau keti-15.a·' bahasa plesetan, prokem, slank, merebak dan nyaris "me-massa". .. Di Indonesia kita tak perlu s1.isah-susah mencari contoh ilustratifnya. Kata "menghimbau" misalnya, akan beda tp.akna serta kadar pengaruhnya jika diucapkan pejabat dibanding tukang becak. Lalu ada beberapa kata yang tel anjur dimaknakan sebagai "bal;lasa pejabat", seperti harga "disesuaikan", "dimintai keterangan", "dibina", dan masih banyak lagi.
Kata "pakar" pun maknauya diplesetkan menjadi "apaapa dibikin sukar". Tuban "Semarak" yang aslinya "serasi, maju, asri, rapi, aman, kertaraharja" diplesetkan jadi "seneng mendem arak". Magetan "Mitra" (maju, indah, tertib, rapi, dan aman) jadi "malinge ilang, rampoke teka.
Di sisi lain, ada upaya negara atau pemerintah membakukan bahasa. Bahasa yang "baik" dan "benar" diupayakan dipahami dan digunakan masyarakat dengan seragam. Untuk itu dibentuk Pusa:t Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B) pada 1 April 1975. Bukan saja sekolah dan media massa yang dijangkau forum kampanye berbahasa "baik" dan "benar", MPR pun merasa perlu membuat Tap mendukung kampanye ini. Diperkukuh lagi dengan pelaksanaan program Bulan Bahasa selama sebulan penuh tiap Oktober.
Apa artinya itu semua? Jelas, sering kata tak bermakna tunggal. Makna kata bergerak di antara dimensi ruang dan waktu. Makna kata terkadang ditentukan tarik-menarik pelbagai kepentingan dalam dimensi itu. Dan itu bukan kebetulan semata.
Ditarik ke peringkat abstraksi, artinya bahasa bukanlah rnelulu persoalan ejaan, awalan, akhiran, atau bunyi kata. Bahasa tidak berdimen-
si tunggal. Lebih dari itu -meski amat samar-, bahasa juga berisi muatan budaya, ekonomi, politik, atau bahkan kekuasaan. Singkatnya, makna kata ternyata diproduksi kepentingan tertentu yang menguasai sumber daya, terutama politik dan ekonomi.
Hal itu, secara eksplisit maupun implisit, terungkap dalam Seminar "Pembakuan Bahasa MelayulIndonesia dalam Konteks Ekonomi dan Politik" di Perpustakaan Universitas Airlangga, Jumat kemarin. Seminar yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FISIP Unair ini menampilkan pembicara Drs. Ariel Heryanto, M.A., sosiolog dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (UKSW), dan Dr. Dede Oetomo, ahli sosiologi bahasa dari FISIP Unair.
Pembakuan . Perlawanan Kedua pembicara sepakat,
bahasa bukan gejala atau entitas otonom, yang lepas dari konteks budaya atau kepercayaan masyarakat penuturnya dan peran negaraipemerintah. "Bodoh jika bahasa dipahami cuma sekadar alat komunikasi. Pemisahan bah as a dengan konteks sosial hanya meremehkan peran bahasa sebagai alat ideologi dan kontrol sosial," kata Dede.
Semen tara Ariel melihat ada kaitan antara antara kebijakan berbahasa dengan watak negara, seperti dalam soal pembakuan bahasa. "Di pelbagai masyarakat lain di dunia, pengendalian bahasa juga merupakan bagian dari dinamika jatuh bangunnya negara," kata kandidat doktor di Monash University, Australia, ini.
Pada titik ini bahasa musti dipahami dalam perspektifhubungan negara dengan masyarakat. Ariel meletakkannya dalam konteks korporatisme, yakni model perwakilan segenap aspek kehidupan kemasyarakatan untuk "dibina" negara.
Ia mengajukan kritik terhadap kebijakan pembakuan bahas a seperti kerja P3B ini. Menurutnya, hal itu mengakibatkan elitisme politik. Pasalnya, kebijakan itu bertumpu pada asumsi bahwa ada sejenis bahas a yang secara transendental dan universal berpredikat "baik" dan "benar", sementara bahasa yang hidup dalam masyarakat dianggap "jelek" dan "keliru".
"Para tokohnya mengangkat diri dan diangkat kekuasaan negara sebagai manajer 'stabilitas, keamanan, dan pembangunan' di sektor bahasa," ujar pemerhati kelas menengah ini.
Berikutnya, muncul gejala
komodifikasi nilai sosial. Artinya, bahasa tak bebas dari proses ekonomi. "Makna bahasa yang 'benar' cenderung tergantung persepsi kelompok elit yang menguasai sumber daya ekonomi. Dalam hal ini, bahasa Indonesia bernilai komoditif atau ekonomi," tutur Ariel.
Selain itu Ariel melihat, ilmuwan bahasa yang terlibat memperlakukan bahasa sebagai alat, tak merasa bertanggung jawab, dan merasa netral. Jika terjadi kesalahan, yang dituding bukan bahasanya melainkan pemakainya.
Dede memperkuat pendapat Ariel. Menurut aktivis kelompok homoseksual ini, makna kata memang cenderung diproduksi dan ditentukan kelompok elit atau negara. Kata buruh dan demonstrasi misalnya, diganti pekerja dan unjuk rasa.
Yang menarik, katanya, masyarakat juga membikin makna sendiri. Kata canggih misalnya,diberi makna baru menjadi cangkeme inggah-inggih. Kaum banei menyebut laki-laki sebagai silan. Anak-anak muda Jakarta mengganti k:lta uang dengan doku atau dokat. "!tu bahasa prokem yang merupakan simbol perlawanan golongan teralinasi," ujar Dede.
Tetapi Ariel tampak tak terlalu optimis dengan perlawanan, kemajemukan, atau plesetan tersebut. la melihat itu sebagai semacam "etalase" yang dibutuhkan selama tidak mengancam.
"Ditilik dari dataran ini, kelihatan be tapa penting dan luasnya lingkup persoalan kita. Jauh melampaui seluk-beluk ejaan dan pembakuan kata, bahkan kerja P3B sendiri. Yang terjadi bukan lagi pembakuan istilah, tetapi pengukuhan tata hidup bermasyarakat yang tunduk pada suatu pusat kekuasaan. Ditambah lagi, masyarakat kita mempunyai budaya yang cenderung menyukai keseragaman," tutur intelektual yang sering menulis di Pr'isma, dan pelbagai media massa ini.
Bahasa Merdeka Keduanya sependapat, saat
ini ada kecenderungan tak menghargai keanekaragaman berbahasa. Analisis terhadap perilaku berbahasa terpaku pada satu ragam saja, yakni ragam analisa yang "resmi".
Ketika ada peserta seminar yang bertanya kebijakan berbahasa yang tepat, Dede menjawab, kebijakannya jangan cuma satu. Seharusnya. diberi kebebasan menggunakan bahasa dengan merdeka. Artinya, tak dipengaruhi dan diatur siapa pun, dan memberi ke-
berdayaan agar orang mampu memilih bahasanya sendiri. Berbahasa merdeka adalah jika berbahasa keluar dari dari sistem kekuasaan.
"Daripada ngajari tata bahasa, mending ngajari orang berbahasa yang merdeka. Yang penting ngerti, toh orang kan selalu menyesuaikan diri. Saya misalnya, meski bisa berbahasa banci, tidak mungkin ngomong pake bahasa itu di forum seperti ini," ungkap Dede.
Sementara Ariel be>rpendapat, "Dalam impian saya, kebijakan berbahasa yang baik adalah yang tak berkebijakan. Kalau kita ingin menyatakan rasa sayang pada anak kita, yang harus kita perbuat adalah kurangi berbuat untuk anak itu. Biarkan sang anak bergerak leluasa dan mampu memilih. Sama halnya dalam berbahasa, sebaiknya diberi kebebasan memilih, mempengaruhi, dan dipengaruhi. Pada dasarnya kita memang perIu berbeda. Lagi pula kalau ditentukan dari atas, jika salah kan bisa katut semua," kata dosen Fakultas Pasca Sarjana UKSW ini.
Manusia, lanjutnya, adalah makhluk yang berbahasa. Tetapi tidak butuh sekolah, pusat bahasa, atau ahli bahasa untuk mempelajarinya. Proses belajar lebih pada kehidupan sehari-hari. Kegiatan berba~ has a paling ideal, ia analogikan sebagai kegiatan berbahasa suami-istri yang telah menikah selama 40 tahun.
"Masing-masing sudah sepaham, kenai baik selera, atau pikirannya, karena itu tak ada pembakuan. Bisa salah paham, tetapi saling mentoleransi. Bayangkan kalau bahasa mereka dibakukan, ya gak mlaku," kata Ariel.
Di akhir catatannya, Dede menyatakan, sudah waktunya para ilmuwan bahasa bersama ilmuwan disiplin ilmu lain mengkaji secara kritis perkembangan 11munya sebagai bagian dari kekuatan-kekuatan yang lebih besar di seputar kita. Semen tara Ariel menekankan, ilmuwan tak pernah bebas dari kuasa dan politik, termasuk ilmuwan bahas a yang kelihatannya cuma sibuk menjungki-r-balik ejaan kata, awalan, atau bunyi kata.
"Kerja para ilmuwan dalam kaitan dengan P3B boleh saja tak sepenuhnya dimaksudkan untuk terlibat dengan kepentingan negara (apalagi kepentingan pejabatnya), tapijuga jelas tak pernah bebas darinya," tegasnya.
Pembakuan bahasa, plesetan, atau bahasa prokem tak perlu membuat kita terkagetkaget. Meski kita "trenyuh", kita bisa tetap "makIum". (Nanang Krisdinanto)
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>