perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
TINGKAT RISIKO LONGSOR DAN
ARAHAN KONSERVASI LAHAN DAS GRINDULU HULU
KABUPATEN PACITAN DAN PONOROGO
TAHUN 2009
SKRIPSI
Disusun Oleh :
Intan Fatmasari
K5406025
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
TINGKAT RISIKO LONGSOR DAN
ARAHAN KONSERVASI LAHAN DAS GRINDULU HULU
KABUPATEN PACITAN DAN PONOROGO
TAHUN 2009
Oleh :
Intan Fatmasari
K5406025
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Geografi
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Setya Nugraha, S.Si, M.Si Yasin Yusup, S.Si, M.Si
NIP.19670825 199802 1 001 NIP.19740427 200212 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan diterima untuk
memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada Hari :
Tanggal :
Tim Penguji Skripsi :
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Drs. Partoso Hadi, M.Si 1.________________
Sekretaris : Rahning Utomowati, S.Si 2. _____________
Anggota I : Setya Nugraha, S.Si M.Si 3.________________
Anggota II : Yasin Yusup, S.Si M.Si 4.______________
Disahkan oleh :
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd
NIP. 19600727 198702 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Intan Fatmasari. TINGKAT RISIKO LONGSOR DAN ARAHAN
KONSERVASI LAHAN DAS GRINDULU HULU KABUPATEN PACITAN
DAN PONOROGO TAHUN 2009. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, September 2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:, Tingkat Bahaya Longsor
(TBL) dan karakteristik tipe longsor di DAS Grindulu hulu, tingkat kerentanan
dan risiko longsor di DAS Grindulu hulu dan arahan konservasi lahan di DAS
Grindulu hulu.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif spasial. Populasi adalah
seluruh satuan lahan yang ada di DAS Grindulu hulu tersusun dari peta tanah, peta
lereng, peta geologi dan peta penggunaan lahan dengan jumlah 44 satuan lahan,
sampel diambil dengan teknik sampel wilayah (area sampling). Teknik
pengumpulan data diperoleh dengan observasi lapangan, dokumentasi dan uji
laboratorium. Teknik analisis data dengan cara scoring parameter penentu Tingkat
Bahaya Longsor yang menghasilkan peta Tingkat Bahaya Longsor, tipe longsor
dengan data dari lapangan dan melihat material longsor, kerentanan dengan data
kepadatan penduduk yang dipetakan menjadi peta Kepadatan Penduduk kemudian
di overlay dengan Tingkat Bahaya Longsor sehingga menghasilkan peta Tingkat
Kerentanan Longsor, risiko dengan mengkorelasikan antara hasil TBL dan
kerentanan longsor yaitu overlay peta Tingkat Bahaya Longsor dan peta Tingkat
Kerentanan Longsor sehingga menghasilkan peta Tingkat Risiko Longsor, dan
konservasi lahan dengan metode konservasi secara teknik dan vegetatif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tipe Longsoran Nendatan berada pada morfologi bergelombang, yang terdapat
pada kelas TBL rendah hingga sedang dan tersebar di 8 desa dengan luas
keseluruhan 5617,8 Ha. Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran berada
pada morfologi bergelombang hingga berbukit, yang terdapat pada kelas TBL
tinggi dan tersebar di 8 desa dengan luas keseluruhan 2877,4 Ha. Tipe
Longsoran Jatuhan Batu berada pada morfologi bergunung, yang terdapat pada
kelas TBL sangat tinggi dan tersebar di 2 desa dengan luas keseluruhan 35,2
Ha.
2. Tingkat kerentanan tertinggi/ sangat rentan berada di Desa Gemaharjo dengan
luas 492,3 Ha (30,1%) dan Tingkat kerentanan terendah/ tidak rentan berada di
Desa Ploso dengan luas 839,9 Ha (18,3%). Sementara itu untuk tingkat risiko
tertinggi berada di Desa Gemaharjo dengan luas 699,5 Ha (40,9%) dan tingkat
risiko terendah berada di Desa Ploso dengan luas 1378,6 Ha (33,9%).
3. Di DAS Grindulu hulu terdapat 32 arahan konservasi lahan dengan 4 prioritas
penanganan. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan III memiliki
luasan tertinggi yaitu 3197,7 Ha (42,6%) dan Arahan Konservasi Lahan Pada
Prioritas Penanganan II memiliki luasan terendah yaitu 462,9 Ha (6,1%).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Intan Fatmasari. LEVEL RISK OF LANDSLIDE AND LAND CONSERVATION
AT GRINDULU UPPER WATERSHED IN PACITAN AND PONOROGO
REGENCY 2009, Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of
Sebelas Maret University, September 2010.
The goal of the research is to know : level hazard of landslide and type of
landslide in Grindulu upper watershed, level risk and susceptibility of landslide in
Grindulu upper watershed and land conservation in Grindulu upper watershed.
This research uses spatial descriptive method. Population is the whole of
land units which exist in Grindulu upper watershed wich arranged by soil map,
slope map, geological map and landuse map with the amount 44 land units,
sample was taken by area sampling technique. Technique of data collection were
gained by field observation, documentation and laboratory test. Technique of data
analysis were gained by scoring parameter of landslide and the output is level
hazard of landslide map, landslide type with data from field and looking for
material of landslide, susceptibility with population density data wich outlined
population density map and overlay with is level hazard of landslide map, so the
output is level susceptibility of landslide map, risk with correlation/ overlay
between result of level hazard of landslide and susceptibility, so the output is level
risk of landslide map, and land conservation with technique and vegetative
conservation method.
Based on the result of the research , it can be concluded as follows:
1. Slump slide type being on rolling morphology, were gained on Level Hazard
of Landslide low until medium class and distributed in 8 village with 5617,8
Hectare wide. Debris Fall slide type being on rolling until strong hilly
morphology, were gained on Level Hazard of Landslide high class and
distributed in 8 village with 2877,4 Hectare wide. Rock Fall slide type being
on mountainous morphology, were gained on Level Hazard of Landslide very
high class and distributed in 2 village with 35,2 Hectare wide.
2. The highest/ very susceptibility class on Level Susceptibility of Landslide was
located in Gemaharjo village with 492,3 Hectare wide or (30,1%) and the
lowest/ not susceptibility class on Level Susceptibility of Landslide was
located in Ploso village with 839,9 Hectare wide or (18,3%). For the time
being the highest class on Level Risk of Landslide was located in Gemaharjo
village with 699,5 Hectare wide or (40,9%) and the lowest class on Level Risk
of Landslide was located in Ploso village with 1378,6 Hectare wide or
(33,9%).
3. In Grindulu upper watershed were gained 32 land conservation with 4
handling priority. Land conservation on handling priority class III have high
wide with 3197,7 Hectare wide or (42,6%) and Land conservation on
handling priority class II have low wide with 462,9 Hectare wide or (6,1%).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
If there is a will, there is a way
(Penulis)
Let’s make a dreams and make a true
(Penulis)
People may doubt what you say, but they will believe what you do
(Lewis Cass)
You were not born a winner, and you were not born a loser. You are what you
make yourself be
(Lou Holtz)
Experience is not what happens to you, it is what you do with what happens to you
(Aldous Huxley)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan kepada:
My beloved mom and dad
My little brother
My grindulu team (Ardhian & Aby)
Someone in a right place
All of my friends geo’06
And also special thank’s for tedy, novika & bekti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Puji syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan dan
kesempatan sampai pada akhirnya skripsi dapat terselesaikan, untuk memenuhi
sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi
Pendidikan Geografi.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
skripsi ini, berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan tersebut dapat
teratasi dengan baik. Untuk itu atas segala bantuannya disampaikan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Much. Syamsulhadi, dr. Sp.KJ.(K) selaku Rektor
Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin untuk melakukan
penelitian.
2. Bapak Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd selaku Dekan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS yang telah memberikan ijin dalam
penyusunanan skripsi ini.
3. Bapak Drs. H. Syaiful Bachri, M.Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS yang telah memberikan ijin untuk
penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Drs. Partoso Hadi, M.Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Geografi yang telah memberikan bimbingan arahan, serta ijin dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Setya Nugraha, S.Si, M.Si selaku Pembimbing I yang telah
berkenan memberikan bimbingan, arahan, dan semangat dalam
penyusunan skripsi.
6. Bapak Yasin Yusup, S.Si, M.Si selaku Pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, semangat serta pengetahuan baru yang sangat
bermanfaat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
7. Bapak ibu dosen Program Studi Pendidikan Geografi yang telah
memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat bermanfaat selama penulis
belajar di Pendidikan Geografi FKIP-UNS.
8. Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan yang telah memberikan ijin untuk
melakukan penelitian.
9. Kedua orangtua yang tidak henti-hentinya mendoakan hingga
terselesaikannya penyusunan skripsi ini.
10. Rekan-rekan kuliah Program Studi Pendidikan Geografi FKIP-UNS
Angkatan 2006 yang telah membantu dan memberi semangat: Diah, Dyas,
Ika, Kukuh, Sya’ban, Aby, Agung H, Agung P, Anis, Anita, Ardhian, Ari,
Arief, Uzi, Silva, Indri, Guntur, Maria, Novika, Reza, Rohmat, Tari, Arno,
Bekti, Watik, Tedy, Yenik, Jojo, Ulie, Mitra, Novi, Rohaye, Lilik, Wiwis,
Eki.
11. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari
Allah SWT. Meskipun disadari, skripsi ini jauh dari sempurna, namun diharapkan
skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan pengembangan ilmu pengetahuan
pada umumnya dan ilmu geografi pada khususnya.
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Surakarta, September 2010
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
ABSTRCT ................................................................................................. vi
HALAMAN MOTTO ................................................................................ vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ viii
KATA PENGANTAR ................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv
DAFTAR PETA ...................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Perumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 5
1. Manfaaat Teoritis ............................................................................ 5
2. Manfaat Praktis ............................................................................... 5
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 6
1. Longsor ........................................................................................... 6
2. Tingkat Kerentanan dan Risiko Longsor ...................................... 18
3. Penanggulangan dan Pengendalian Longsor ................................. 20
4. Konservasi Lahan .......................................................................... 24
5. Daerah Aliran Sungai .................................................................... 27
6. Satuan Lahan ................................................................................. 31
B. Penelitian Yang Relevan ..................................................................... 32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
C. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 38
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 40
B. Metode Penelitian................................................................................ 40
C. Teknik Sampling ................................................................................. 42
D. Sumber Data ........................................................................................ 42
E. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 43
F. Teknik Analisis Data ........................................................................... 44
G. Prosedur Penelitian.............................................................................. 50
BAB IV. HASIL PENELITIAN
A. Kondisi Fisik Daerah Penelitian ......................................................... 52
1. Letak, Batas, dan Luas .................................................................. 52
2. Iklim .............................................................................................. 55
3. Geologi .......................................................................................... 59
4. Geomorfologi ................................................................................ 60
5. Tanah ............................................................................................. 61
6. Penggunaan Lahan ........................................................................ 64
7. Keadaan Penduduk ........................................................................ 65
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan........................................................ 67
1. Satuan Lahan Daerah Penelitian ................................................... 67
2. Tingkat Bahaya Longsor dan Karakteristik Tipe Longsor ............ 81
3. Tingkat Kerentanan dan Risiko Longsor ...................................... 96
4. Penanganan Longsor dan Arahan Konservasi Lahan.................. 109
BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................................... 149
B. Implikasi ............................................................................................ 149
C. Saran .................................................................................................. 150
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 152
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Klasifikasi Longsoran ............................................................................... 14
Tabel 2. Perlakuan Pengendalian Longsor pada Setiap Segmen (Bagian) dari
Area Longsor ............................................................................................. 21
Tabel 3. Penelitian yang Relevan ........................................................................... 35
Tabel 4. Waktu Penelitian ....................................................................................... 40
Tabel 5. Pengharkatan Parameter Penentu Longsor ............................................... 46
Tabel 6. Metode Penanggulangan Longsor Berdasarkan Tipe Longsor ................. 47
Tabel 7. Usaha Konservasi Lahan Vegetatif ........................................................... 49
Tabel 8. Usaha Konservasi Lahan Teknik .............................................................. 50
Tabel 9. Pembagian Administratif DAS Grindulu hulu .......................................... 53
Tabel 10. Curah Hujan DAS Grindulu hulu Tahun 2000 – 2009 Stasiun
Pengamatan Bandar ................................................................................... 56
Tabel 11. Tipe Curah Hujan Menurut Schmidt-Ferguson ........................................ 57
Tabel 12. Penggunaan Lahan di DAS Grindulu hulu ............................................... 64
Tabel 13. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Tegalombo Tahun 2009 .................. 65
Tabel 14. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Bandar Tahun 2009 ......................... 66
Tabel 15. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Slahung Tahun 2009 ....................... 67
Tabel 16. Formasi Batuan di DAS Grindulu hulu ..................................................... 68
Tabel 17. Kemiringan Lereng di DAS Grindulu hulu ............................................... 70
Tabel 18. Macam Tanah yang Terdapat di DAS Grindulu hulu ............................... 72
Tabel 19. Penggunaan Lahan di DAS Grindulu hulu ............................................... 74
Tabel 20. Karakteristik Lahan DAS Grindulu hulu .................................................. 77
Tabel 21. Tingkat Bahaya Longsor DAS Grindulu hulu. ......................................... 82
Tabel 22. Kepadatan Penduduk DAS Grindulu hulu. ............................................... 98
Tabel 23. Hubungan Tingkat Kerentanan dan Tingkat Bahaya Longsor. ............... 104
Tabel 24. Arahan Konservasi Lahan DAS Grindulu hulu ...................................... 110
Tabel 25. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan I ......................... 113
Tabel 26. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan II ........................ 125
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
Tabel 27. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan III ...................... 132
Tabel 28. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan IV …………. .... 139
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Longsor Translasi ..................................................................................... 8
Gambar 2. Longsor Rotasi ......................................................................................... 9
Gambar 3. Pergerakan Blok ....................................................................................... 9
Gambar 4. Runtuhan Batu ........................................................................................ 10
Gambar 5. Rayapan Tanah ....................................................................................... 10
Gambar 6. Aliran Bahan Rombakan ........................................................................ 11
Gambar 7. Perbedaan Tipe Longsor ........................................................................ 11
Gambar 8. Efek Gaya Gravitasi pada Sebuah Massa............................................... 12
Gambar 9. Penurunan Sudut Lereng yang Disebabkan Gelinciran Material
Longsor .................................................................................................. 12
Gambar 10. Kecepatan Kerusakan Relatif pada Masing-Masing Tipe Longsor ....... 13
Gambar 11. Skema yang Menggambarkan Zona Hulu, Punggung, dan Kaki dari
Wilayah Longsor .................................................................................... 20
Gambar 12. Letak Saluran Pengelak dan Saluran Pembuangan Air pada Suatu
Bukit ....................................................................................................... 23
Gambar 13. Bangunan Penahan Longsor dari Anyaman Bambu untuk Menahan
Longsor Kategori Kecil .......................................................................... 23
Gambar 14. Bangunan Konstruksi Beton Penahan Longsor Kategori Besar ............ 24
Gambar 15. Bangunan Penguat Tebing/Bronjong ..................................................... 24
Gambar 16. Letak Penanaman Rumput Berselang-seling ......................................... 26
Gambar 17. Penampang Guludan yang Ditanami Rumput ........................................ 26
Gambar 18. Penampang Teras Bangku dan Bagan yang Ditanami Rumput ............. 27
Gambar 19. Penampang Saluran Pembuang Air yang Ditanami Rumput ................. 27
Gambar 20. Siklus Hidrologi ..................................................................................... 28
Gambar 21. Penampang 3 Dimensi Struktur Memanjang Sungai gmangu ............... 30
Gambar 22. Diagram Alur Kerangka Pemikiran ....................................................... 39
Gambar 23. Tipe Curah Hujan DAS Grindulu hulu Tahun 2000 - 2009 Menurut
Schmidt dan Ferguson ............................................................................ 58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
Gambar 24. Penampang Melintang Tanah Litosol pada Satuan Lahan Tomw-IV-
Li-Kb ...................................................................................................... 62
Gambar 25. Penampang Melintang Tanah Latosol Coklat Kemerahan pada
Satuan Lahan Tomw-IV-KLaCKmr-Tg. ................................................ 63
Gambar 26. Tipe Longsoran Nendatan Tanah Desa Watupatok ............................... 85
Gambar 27. Tipe Longsoran Nendatan Tanah Desa Kledung ................................... 87
Gambar 28. Sketsa Tipe Longsoran Nendatan. ................................................................ 88
Gambar 29. Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran di Desa Gemaharjo ...... 90
Gambar 30. Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran di Desa Tahunan ......... 90
Gambar 31. Sketsa Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran. ......................... 91
Gambar 32. Tipe Longsoran Jatuhan Batu di Desa Gemaharjo ................................. 93
Gambar 33. Sketsa Tipe Longsoran Jatuhan Batu. .................................................... 94
Gambar 34. Vetiver yang Ditanam Rapat sebagai Pengendali Longsor. ................. 146
Gambar 35. Saluran Pengelak yang Dipotong dengan Rorak. ................................. 146
Gambar 36. Saluran Teras Bangku. ......................................................................... 146
Gambar 37. Saluran Pembuangan Air (SPA)........................................................... 147
Gambar 37. Bangunan Terjunan dari Bambu .......................................................... 147
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR PETA
Halaman
1. Peta 1. Administrasi DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 .................................. 54
2. Peta 2. Geologi DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ......................................... 69
3. Peta 3. Lereng DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ........................................... 71
4. Peta 4. Tanah DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ............................................ 73
5. Peta 5. Penggunaan Lahan DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ........................ 75
6. Peta 6. Satuan Lahan DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ................................ 80
7. Peta 7. Tingkat Bahaya Longsor DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 .............. 95
8. Peta 8. Kepadatan Penduduk DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ................... 99
9. Peta 9. Tingkat Kerentanan Longsor DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ...... 103
10. Peta 10. Tingkat Risiko Longsor DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ............ 108
11. Peta 11. Arahan Konservasi Lahan DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ......... 148
12. Peta 12. Rekomendasi Penanganan Longsor DAS Grindulu Hulu Skala 1 :
50.000 .................................................................................................................. 151
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Curah Hujan Harian di Sepuluh Stasiun Pengamatan / Obsevatorium
Meteorologi Selama Sepuluh Tahun (2000-2009).
Lampiran 2. Contoh Checklist Lapangan
Lampiran 3. Peta Lokasi Titik Sampel
Lampiran 4. Hasil Analisis Laboratorium.
Lampiran 5. Perijinan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Posisi geografis dan geodinamik Indonesia telah menempatkan Indonesia
sebagai wilayah yang rawan bencana (natural disaster prone region). Indonesia
terletak pada wilayah pertemuan 3 (tiga) lempeng besar dunia yaitu lempeng Indo-
Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan antar lempeng tersebut
terjadi zona penunjaman atau subduction zone. Lebih dari itu, proses dinamika
lempeng yang cukup intensif juga membentuk relief permukaan bumi yang khas
dan sangat bervariasi, mulai dari datar hingga pegunungan yang berlereng terjal.
Material hasil letusan gunungapi mempunyai porositas tinggi dan kurang kompak
dan tersebar di daerah dengan kemiringan terjal, jika terganggu keseimbangan
hidrologinya, daerah tersebut akan rawan terhadap tanah longsor. Kondisi tersebut
mengakibatkan yang berada dalam busur kepulauan bersifat rawan terhadap tanah
longsor. wilayah
Salah satu kejadian alam yang dapat menjadi bencana bagi manusia adalah
tanah longsor. Indonesia yang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah
perbukitan dan pegunungan, menyebabkan sebagian wilayah Indonesia menjadi
daerah yang rentan/ rawan bagi terjadinya tanah longsor. Kondisi ini ditambah
dengan adanya curah hujan yang tinggi serta kejadian gempa yang sering muncul,
sehingga secara alami akan ikut memicu terjadinya bencana tanah longsor.
Tanah longsor (landslide) adalah perpindahan material pembentuk lereng
berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran bergerak ke
bawah atau keluar lereng. Peristiwa longsor atau dikenal sebagai gerakan massa
tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alami atau
buatan dan sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari
keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya
dan menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan
geser tanah. Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada
lereng lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sementara, gaya pendorong dipengaruhi
oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah dan
batuan.
Tanah longsor merupakan suatu peristiwa alam yang pada saat ini frekuensi
kejadiannya semakin meningkat. Fenomena alam ini berubah menjadi bencana alam
tanah longsor manakala tanah longsor tersebut menimbulkan korban baik berupa
korban jiwa maupun kerugian harta benda dan hasil budaya manusia. Indonesia yang
sebagian wilayahnya berupa daerah perbukitan dan pegunungan, menyebabkan
sebagian wilayah Indonesia menjadi daerah yang rawan kejadian tanah longsor.
Intensitas curah hujan yang tinggi dan kejadian gempa yang sering muncul, secara
alami akan dapat memicu terjadinya bencana alam tanah longsor. Kekuatan tanah
tergantung dari ikatan antara partikel penyusun tanah, sedangkan untuk batuan lebih
banyak ditentukan oleh retakan pada batuan itu.
Air hujan dalam jumlah yang kecil menyebabkan tanah menjadi lembab dan
mempunyai efek memperkuat tanah, namun apabila tanah menjadi jenuh air efeknya
akan melemahkan ikatan partikel. Molekul air menyusup ke partikel tanah dan
menjadi katalisator proses gelinciran antara partikel. Faktor ini yang menyebabkan
tanah longsor banyak terjadi pada musim penghujan.
Bencana alam merupakan bentuk dari dampak buruk proses yang terjadi di
alam terhadap kehidupan di bumi. Manusia melihat kejadian proses alamiah
sebagai bencana karena dipandang merusak tatanan kehidupan, terutama
kehidupan manusia yang sedang berlangsung. Mereka akhirnya dihadapkan pada
satu kejadian alam yang tidak terhindarkan karena pada dasarnya manusia hidup
di alam. Menggunakan segala daya upaya manusia berusaha menghindari dampak
buruk dari proses alam yang memang akan selalu terjadi. Daya upaya didasarkan
pada tingkat pemahaman terhadap proses alam itu sendiri. Pemahaman
berkembang dari yang bersifat subyektif-emosional sampai kepada tingkat teknik-
rasional.
Bencana diartikan sebagai suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh perang, alam, perbuatan manusia, dan penyebab lain yang dapat
mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian, kerusakan serta
menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Jadi, peristiwa longsor maupun fenomena alam lainnya tidak selalu disebut
sebagai bencana, jika tidak mengakibatkan korban jiwa atau gangguan terhadap
penduduk sekitar. Akan tetapi, saat ini keadaan tersebut sulit berlaku di DAS-
DAS hulu, termasuk di Kabupaten Pacitan.
Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah dataran yang di batasi oleh
batas alam, seperti punggungan bukit atau gunung, maupun batas buatan, seperti
jalan atau tanggul dimana air hujan yang turun pada daerah tersebut memberi
kontribusi aliran ketitik control (outlet), Suripin (2002 : 183). Daerah Aliran
Sungai sebagai suatu ekosistem dapat dibagi menjadi tiga, yaitu wilayah hulu,
tengah,dan hilir yang memilki ketergantungan satu dengan yang lainnya, Asdak
(1995 : 11).
DAS Grindulu adalah salah satu DAS yang terletak di Kabupaten Pacitan.
Di bagian hulu, DAS tersebut memiliki ketinggian sekitar 700 m dpal dengan
kemiringan lereng > 45%, sehingga mengisyaratkan bahwa sebagian daerahnya
adalah dataran tinggi dengan banyak bukit dan gunung. DAS Grindulu hulu
memiliki luas 8.300 ha.
Longsor dalam skala kecil maupun besar, selalu terjadi dari waktu ke
waktu dan bahkan akhir-akhir ini semakin tinggi intensitasnya. Di Kabupaten
Pacitan terdapat beberapa kecamatan yang rawan longsor, yaitu Kecamatan
Tegalombo, Arjosari, Kebonagung, Nawangan, Bandar, dan Pacitan. Setiap
daerah tersebut memiliki tingkat kerawanan longsor yang berbeda-beda. Hal
tersebut ditentukan oleh perbedaan karakteristik lahan yang sekaligus sebagai
parameter penyebab longsor, seperti kemiringan lereng, jenis tanah, kondisi
batuan, hidrologi, iklim, penggunaan lahan, dan kerapatan vegetasi.
Kondisi fisik lahan yang didominasi bentuklahan pegunungan dan
perbukitan dengan kemiringan lereng yang curam sampai terjal, menyebabkan
wilayah sekitar sungai Grindulu potensi akan terjadinya longsor. Kejadian
longsor tersebut juga ditunjang oleh keadaan batuan yang sudah mulai melapuk
akibat disintegrasi oleh pengaruh panas dan hujan serta dekomposisi.
Analisis tingkat bahaya longsor tanah di masing-masing DAS hulu di
Kabupaten Pacitan sangat diperlukan. Analisis tersebut dapat digunakan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
penyusunan informasi penanggulangan bencana dan arahan konservasi yang
digunakan sebagai masukan bagi perencanaan dan pembangunan wilayah maupun
penyempurnaan tata ruang wilayah. Potensi terjadinya longsoran ini dapat
diminimalkan dengan memberdayakan masyarakat untuk mengenali tipologi
lereng yang rawan longsor tanah, gejala awal lereng akan bergerak, serta upaya
antisipasi dini yang harus dilakukan. Sistem peringatan dini yang efektif
sebaiknya dibuat berdasarkan prediksi, bilamana dan dimana longsor akan terjadi
juga tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat bencana datang.
Disamping itu, selain diadakannya sistem peringatan dini dan beberapa
usaha-usaha pencegahan, upaya konservasi lahan merupakan suatu keharusan
untuk membuat lingkungan hidup lebih baik sesuai dengan fungsinya. Konservasi
lahan ditujukan untuk memperoleh produksi maksimum suatu lahan secara
berkelanjutan dengan mengupayakan agar laju gerakan tanah/ longsor lebih kecil
atau paling tidak sama dengan laju pembentukan tanah di daerah itu. Ini berarti
bahwa diperlukan langkah-langkah atau upaya untuk mengatur penggunaan lahan.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti bermaksud
melakukan penelitian yang berjudul ”Tingkat Risiko Longsor dan Arahan
Konservasi Lahan di DAS Grindulu Hulu Kabupaten Pacitan dan Ponorogo
Tahun 2009”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dan karakteristik tipe longsor
yang terjadi di DAS Grindulu hulu?
2. Bagaimanakah tingkat kerentanan dan risiko longsor yang terjadi di DAS
Grindulu hulu?
3. Bagaimanakah cara penanganan dan arahan konservasi lahan yang dilakukan
terhadap karakteristik tipe longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Mengetahui Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dan karakteristik tipe longsor yang
terjadi di DAS Grindulu hulu
2. Mengetahui tingkat kerentanan dan risiko longsor yang terjadi di DAS
Grindulu hulu
3. Mengetahui cara penanganan dan arahan konservasi lahan yang dilakukan di
DAS Grindulu hulu
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain
sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang
geomorfologi dan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat digunakan untuk sosialisasi adanya potensi terjadinya longsoran
sehingga segenap masyarakat dapat mengenali tipologi lereng yang rawan
tanah longsor, gejala awal lereng akan bergerak, serta upaya antisipasi dini
yang harus dilakukan, dengan menyertakan beberapa rekomendasi-
rekomendasi yang diperoleh dari penelitian ini.
b. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah agar
memperhatikan lingkungan setempat terutama lingkungan DAS, serta
upaya-upaya konservasi lahan yang seharusnya dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Longsor
Longsoran menurut Sharpe (1938) dalam Thornbury (1969:46) adalah tipe
gerakan masa batuan yang diamati dan melibatkan masa kering bahan rombakan
bumi (earth debris). Sharpe membagi tiga gerakan yang termasuk longsoran
menjadi lima kategori, yaitu:
a. Nendatan (slump)
Nendatan adalah longsoran yang bergerak secara rotasi pada bidang
gelincir yang diakibatkan oleh berkurangnya tahanan geser pada masa
yang tidak terkonsolidasi dengan baik. Ciri jenis longsoran ini adalah masa
gelinciran bergerak secara rotasi dan cenderung ke arah dalam lereng
dengan bagian atas gelinciran membentuk cekungan.
b. Gelinciran bahan rombakan (debris slide)
Gelinciran bahan rombakan merupakan tipe longsoran yang terjadi pada
zona bagian terlapuk. Pada batuan terlapuk terbentuk masa rombakan yang
berupa pecahan-pecahan (ductile) batuan yang terakumulasi pada lereng
bukit dan memiliki potensi yang besar untuk bergerak terutama pada
waktu hujan turun. Longsoran gelinciran merupakan bencana yang sering
terjadi di indonesia dan intensif terjadi pada musim penghujan. Longsoran
gelinciran ini dikenali dengan adanya retakan di permukaan. Pergerakan
ini dikenali dengan bentuk permukaan berupa lingkaran atau bentuk
sendok. Setelah terjadi kerusakan massa dengan adanya gawir longsoran di
permukaan pada bagian mahkota longsoran, longsoran gelincir ini mulai
bergerak dan akan membagi dalam beberapa blok yang terpisahkan oleh
retakan. Pada daerah kepala blok ini akan menggelincir ke bawah dan
membentuk daerah datar. Bagian paling bawah akan bergerak muncul ke
atas membentuk lidah di permukaan. Gelinciran ini dapat terjadi dengan
kecepatan beberapa centimeter per tahun hingga beberapa meter per bulan
bahkan dapat terjadi tiga meter dalam satu detik. Rayapan tanah
6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
merupakan indikator adanya pergerakan longsoran gelinciran yang
ditunjukkan dengan keadaan vegetasi yang membengkok. Daerah seperti
ini semestinya tidak diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman
penduduk.
c. Jatuhan bahan rombakan (debris fall)
Debris fall merupakan material kasar dan halus yang saling bercampur
(mixed) yang bergerak jatuh bebas pada lereng yang vertikal akibat
pengaruh gaya gravitasi.
d. Gelinciran batuan (rock slide)
Gelinciran batuan merupakan tipe longsoran yang masa batuannya
menuruni lereng bukit akibat pengaruh dari struktur geologinya.
e. Jatuhan batu (rock fall)
Jatuhan adalah gerak bebas material yang berasal dari lereng curam seperti
bukit. Tipe ini memiliki asal kata "jatuh", yang membedakan dengan tipe
lain adalah keadaan dimana material jatuh bebas dari lereng mengalami
tumbukan berulang dengan lereng yang berada dibawahnya dengan
kecepatan tinggi. Lebih mudahnya adalah adanya sebuah pecahan batuan
yang jatuh dari sebuah lereng yang menggelinding dan menerjang serta
merusakkan apa saja yang dilewatinya. Diantara tipe jatuhan ini adalah
bukit curam, dimana bukit curam tersusun oleh batuan bersifat getas yang
mengalami erosi gelombang laut pada bagian bawahnya yang
menyebabkan terjadinya jatuhan. Perhatikan retakan pada permukaan
atasnya yang merupakan gejala sebelum terjadi jatuhan. Tipe longsoran
jatuhan ini juga harus diwaspadai pada daerah pemukiman yang berada
dibawah lereng yang memiliki batu-batu besar dan terpisah-pisah.
Antisipasi yang dapat dilakukuan adalah membangun pagar-pagar kawat,
atau dengan mengikat batu yang membahayakan tersebut.
Dalam longsoran yang sebenarnya, gerakan ini terdiri dari peregangan
secara geser dan peralihan sepanjang suatu bidang atau beberapa bidang gelincir
yang dapat nampak secara visual. Gerakan ini dapat bersifat progresif yang berarti
bahwa keruntuhan geser tidak terjadi seketika pada seluruh bidang gelincir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
melainkan merambat dari suatu titik. Masa yang bergerak menggelincir di atas
lapisan batuan/tanah asli dan terjadi pemisahan dari kedudukan semula. Sifat
gerakan biasanya lambat hingga amat lambat.
Longsoran berdasarkan bentuk bidang gelincirnya dapat dibagi menjadi :
(Schutcer dan Raimond, 1978:13)
a. Longsoran Rotasi (rotasional slides)
Longsoran rotasi adalah yang paling sering dijumpai oleh para
rekayasawan sipil. Longsoran jenis ini dapat terjadi pada batuan maupun
tanah. Pada kondisi tanah homogen, longsoran rotasi dapat berupa busur
lingkaran, tetapi dalam kenyataan sering dipengaruhi oleh diskontinuitas
oleh adanya sesar, lapisan lembek dan lain-lain.
b. Longsoran Translasi (translational slides)
Dalam longsoran translasi, longsoran bergerak sepanjang bidang gelincir
berbentuk bidang rata. Perbedaan terhadap longsoran rotasi dan translasi
merupakan kunci penting dalam penanggulannya. Gerakan dari longsoran
translasi umumnya dikendalikan oleh permukaan yang lembek. Longsoran
translasi ini dapat bersifat menerus, luas, dan dapat pula dalam blok.
Dalam http://merapi.vsi.esdm.go.id mengungkapkan ada 6 jenis longsoran,
yaitu:
a. Longsoran Translasi
Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada
bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
Gambar 1: Longsor Translasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
b. Longsoran Rotasi
Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk cekung.
Gambar 2: Longsor Rotasi
c. Pergerakan Blok
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang
gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok
batu.
Gambar 3: Pergerakan Blok
d. Runtuhan batu
Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain
bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng
yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar
yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Gambar 4: Runtuhan Batu
e. Rayapan Tanah
Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis
tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis longsor ini hampir tidak
dapat dikenali. Setelah waktu cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa
menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.
Gambar 5: Rayapan Tanah
f. Aliran Bahan Rombakan
Aliran bahan rombakan terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh
air. Kecepatan aliran tergantung kemiringan lereng, volume dan tekanan
air, dan jenis materialnya. Gerakan terjadi di sepanjang lembah dan
mampu mencapai ratusan meter. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan
meter seperti di DAS sekitar gunung api. Aliran tanah dapat menelan
korban cukup banyak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Gambar 6: Aliran Bahan Rombakan
Landslides are rock, earth, or debris flows on slopes due to gravity. They
can occur on any terrain given the right conditions of soil, moisture, and angle of
slope. Integral to the natural process of the earth’s surface geology, landslides
serve to redistribute soil and sediments in a process that can be in abrupt
collapses or in slow mud flows, debris flows, earth failures, slope failures, etc
(Figure 7). Landslides can be triggered by rains, floods, earthquakes, and other
natural causes as well as human-made causes, such as grading, terrain cutting
and filling, excessive development, etc. Because the factors affecting landslides
can be geophysical or human-made, they can occur in developed or undeveloped
areas, or any area where the terrain was altered for roads, houses, utilities, and
even for lawns in one’s backyard (USGS, Planning Research).
Gambar 7. Perbedaan Tipe Longsor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
The principal driving force for any landslide is the gravitational force
(Figure 8) and the tendency to move of this mass will be proportional to the hill
slope angle. The resisting forces preventing the mass from sliding down the slope
are inversely proportional to the same hill slope angle and proportional to the
friction angle of the material. As seen in Figure 9 the stability of the material
resting on a slope will be reduced with an increased slope angle. In addition, the
resisting forces can be significantly reduced in case of rain or earthquake
vibrations.
Gambar 8. Efek Gaya Gravitasi pada Sebuah Massa
Gambar 9. Penurunan Sudut Lereng yang Disebabkan Gelinciran Material
Longsor.
The speed at which the different types of landslides occur varies greatly.
From Figure 10 it can be observed that the failure speed of rock falls is much
higher than the one observed in slumps or soil creeping. The speed of the
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
landslide will make an even more or less avoidable and therefore, more or less
risky.
Gambar 10. Kecepatan Kerusakan Relatif pada Masing-Masing Tipe Longsor.
Penetapan klasifikasi longsoran dimaksudkan untuk menyeragamkan
istilah,memudahkan pengenalan tipe longsoran, membantu dalam menentukan
penyebab longsoran dan pemilihan cara penanggulangannya. Klasifikasi
longsoran ditetapkan berdasarkan :
1. Jenis material dan batuan dasarnya.
2. Jenis gerakan/meknisme longsoran dengan diskripsi lengkap mengenai
bentuk bidang longsor/gelincir.
Adapun klasifikasi longsoran dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Tabel 1. Klasifikasi Longsoran
JENIS GERAKAN JENIS MATERIAL
BATU TANAH
BUTIR
KASAR
BUTIR
HALUS
Runtuhan
Runtuhan batu Runtuhan
bahan
rombakan
Runtuhan
tanah
Jungkiran
Jungkiran
batu
Jungkiran
bahan
rombakan
Jungkiran
tanah
Gel
inci
ran
Rotasi Sedikit
Nendatan batu Nendatan
bahan
rombakan
Nendatan
tanah
Translasi Banyak
Gelincir
bongkahan
batu
Gelincir
bongkah
bahan
rombakan
Gelincir
bongkah
tanah
Gerakan Laterial Gelincir batu Gelincir bahan
rombakan
Gelincir
tanah
Aliran
Gerakan
Laterial batu
Gerakan
laterial bahan
rombakan
Gerakan
laterial
Aliran batu
Aliran bahan
rombakan
Aliran tanah
(rayapan tanah)
Majemuk Gabungan dua atau lebih tipe gerakan
Sumber: (Varness: 1978 dalam Suranto, 2008 : 28).
Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng
lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh
kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sementara, gaya pendorong dipengaruhi
oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah dan
batuan.
Faktor-faktor penyebab gerakan tanah antara lain:
a. Hujan
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November
karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang
akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga
tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika
hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan
cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan
yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah
menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat
menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk
dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan
lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah
karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan
berfungsi mengikat tanah.
b. Lereng terjal
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong.
Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air
laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor
adalah 180 apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya
mendatar.
c. Tanah yang kurang padat dan tebal
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah liat dengan ketebalan
lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki
potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain
itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi
lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas.
d. Batuan yang kurang kuat
Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir
dan campuran antara kerikil, pasir, dan liat umumnya kurang kuat. Batuan
tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan
umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang
terjal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
e. Jenis tata lahan
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan,
perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan
persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat
tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi
longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena
akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan
umumnya terjadi di daerah longsoran lama.
f. Getaran
Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi,
ledakan, getaran mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang
ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah
menjadi retak.
g. Susut muka air danau atau bendungan
Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan
lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi
longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.
h. Adanya beban tambahan
Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan
kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama
di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering
terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya relatif lembah.
i. Pengikisan/erosi
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai relative tebing. Selain
itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan
menjadi terjal.
j. Adanya material timbunan pada tebing
Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman
umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah
timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi
penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.
k. Bekas longsoran lama
Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi
pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada
saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama
memiliki ciri-cirisebagai berikut:
1) Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk
tapal kuda
2) Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal
karena tanahnya gembur dan subur
3) Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai
4) Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah
5) Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas
longsoran kecil pada longsoran lama
6) Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan
dan longsoran kecil
7) Longsoran lama ini cukup luas
l. Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung)
Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri:
1) Bidang perlapisan batuan
2) Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar
3) Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan
yang kuat.
4) Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air
dengan batuan yang tidak melewatkan air (kedap air).
5) Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang
padat.
6) Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat
berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
m. Penggundulan hutan
Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif
gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang. Longsoran lama
umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung
api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi
patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memilki ciri:
1) Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk
tapal kuda.
2) Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal
karena tanahnya gembur dan subur.
3) Daerah badan longsor bagian atas umumnya relative landai.
4) Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah.
5) Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas
longsoran kecil pada longsoran lama.
6) Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan
dan longsoran kecil. Longsoran lama ini cukup luas.
n. Daerah pembuangan sampah
Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah
dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi
ditambah dengan guyuran hujan.
2. Tingkat Kerentanan dan Risiko Longsor
Gerakan tanah atau tanah longsor merupakan fenomena alam yang lazim
terdapat di Indonesia. Sejak lama fenomena ini sudah dikenal, yang menarik untuk
diperhatikan adalah bahwa fenomena ini bertambah sering dan dimensinya pun
bertambah menjadi besar. Pertambahan baik kualitas maupun kuantitas dari proses
gerakan tanah ini justru bersamaan dengan meningkatnya pembangunan di
Indonesia. Karena itu perlu adanya suatu bentuk informasi mengenai tingkat
kerentanan suatu daerah untuk terkena atau terjadi gerakan tanah. Bentuk
informasi ini diwujudkan dalam suatu peta zona kerentanan gerakan tanah.
Sehingga informasi tentang kerentanan gerakan tanah dapat digunakan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
informasi awal untuk analisa resiko terjadinya bencana dan analisa
penanggulangan bencana sebagai acuan dasar untuk pengembangan wilayah
berikut pembangunan instruktur.
Lingkup kegitan dalam pemetaan zona kerentanan tanah (Varnes, 1978
dalam keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral
No.1452/K/10/MEM/2000) meliputi:
a. Persyaratan Tehnik, yaitu:
Persyaratan peta dimana peta tematik dan peta sebaran gerakan
tanah disyaratkan mempunyai skala yang sama, dan terdigitasi
dalam bentuk polygon.
Pembagian zona kerentanan gerakan tanah, zona kerentanan
gerakan tanah dapat dibagi sebanyak-banyaknya menjadi 3 (tiga)
yaitu: zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah, menengah dan
tinggi.
b. Metode pemetaan zona kerentanan gerakan tanah. Metode analisis
yang dipergunakan adalah metode analisis gabungan antara pemetaan
tidak langsung dan pemetaan langsung. Pekerjaan ini menggunakan
SIG.
Aspek yang digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan longsor
adalah karakteristik lingkungan fisik alamiah dari obyek penelitian, dikaitkan
dengan aspek yang memiliki kemungkinan untuk terkena dampak atas terjadinya
bencana alam tersebut. Karakteristik lingkungan fisik alamiah yaitu yang
dicerminkan oleh parameter yang merupakan variable-variabel pengaruh bahaya
longsor. Adapun aspek yang kemungkinan terkena dampak atas terjadinya
bencana longsor tersebut adalah berupa elemen permukiman, prasarana fisik dan
sosial ekonomi, serta aktivitas ekonomi (mata pencaharian) penduduk atau
merupakan elemen yang berisiko (Carrara et al., 1992 dalam Mustapa, 2003:64).
Tingkat risiko longsor dapat ditunjukkan oleh nilai risiko totalnya. Risiko
total gerakan tanah adalah nilai yang menggambarkan tingkat risiko total dan
jumlah kerugian jiwa serta harta benda yang disebabkan oleh kejadian longsor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Risiko spesifik adalah nilai yang menunjukkan derajat kehilangan jiwa serta harta
benda yang berkaitan dengan bahaya longsor. Risiko spesifik tersusun dari
kombinasi aspek bahaya longsor dengan magnitude. Adapun elemen yang
berisiko adalah informasi tentang fasilitas public dan aspek aktivitas ekonomi.
3. Penanggulangan dan Pengendalian Longsor
Penerapan tehnik pengendalian longsor didasarkan atas konsep
pengelolaan DAS. Dalam hal ini kawasan longsor dibagi ke dalam tiga zona
(Gambar 11), yaitu: (1) hulu, zona paling atas dari lereng yang longsor, (2)
punggung, zona longsor yang berada di antara bagian hulu dan kaki kawasan
longsor, dan (3) kaki, zona bawah dari lereng yang longsor dan merupakan zona
penimbunan atau deposisi bahan yang longsor. Pengelolaan masing-masing
segmen ditunjukkan dalam Tabel 2. Pada masing-masing zona diterapkan teknik
penanggulangan longsor dengan pendekatan vegetatif atau mekanis.
Gambar 11. Skema yang Menggambarkan Zona Hulu, Punggung, dan Kaki dari
Wilayah Longsor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Tabel 2. Perlakuan Pengendalian Longsor pada Setiap Segmen (Bagian) dari Area
Longsor.
Zona/ wilayah longsor Perlakuan Pengendalian
Hulu Mengidentifikasi permukaan tanah yang retak atau
rekahan pada punggung bukit dan mengisi kembali
rekahan/permukaan tanah yang retak tersebut
dengan tanah.
Membuat saluran pengelak dan saluran drainase
untuk mengalihkan air dari punggung bukit, untuk
menghindari adanya kantong-kantong air yang
menyebabkan penjenuhan tanah dan menambah
massa tanah.
Memangkas tanaman yang terlalu tinggi yang
berada di tepi (bagian atas) wilayah rawan longsor.
Punggung (bagian
lereng yang meluncur)
Membangun atau menata bagian lereng yang
menjadi daerah bidang luncur, di antaranya dengan
membuat teras pengaman (trap terasering).
Membuat saluran drainase (saluran pembuangan)
untuk menghilangkan genangan air.
Membuat saluran pengelak di sekeliling wilayah
longsor.
Membuat penguat tebing dan check dam mini.
Menanam tanaman untuk menstabilkan lereng.
Kaki (zona penimbunan
bahan yang longsor)
Membuat/membangun penahan material longsor
menggunakan bahan-bahan yang mudah didapat,
misalnya dengan menancapkan tiang pancang yang
dilengkapi perangkap dari dahan dan ranting kayu
atau bambu.
Membangun penahan material longsor seperti
bronjong atau konstruksi beton.
Menanam tanaman yang dapat berfungsi sebagai
penahan longsor.
Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-III.pdf
Teknik Pengendalian Longsor
a. Vegetatif
Pengendalian longsor dengan pendekatan vegetatif pada prinsipnya adalah
mencegah air terakumulasi di atas bidang luncur. Sangat dianjurkan menanam
jenis tanaman berakar dalam, dapat menembus lapisan kedap air, mampu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
merembeskan air ke lapisan yang lebih dalam, dan mempunyai massa yang
relatif ringan. Jenis tanaman yang dapat dipilih di antaranya adalah
sonokeling, akar wangi, Flemingia, kayu manis, kemiri, cengkeh, pala, petai,
jengkol, melinjo, alpukat, kakao, kopi, teh, dan kelengkeng.
b. Mekanis/sipil teknis
Ada beberapa pendekatan mekanis atau sipil teknis yang dapat digunakan
untuk mengendalikan longsor, sesuai dengan kondisi topografi dan besar
kecilnya tingkat bahaya longsor. Pendekatan mekanis pengendalian longsor
meliputi: (1) pembuatan saluran drainase (saluran pengelak, saluran
penangkap, saluran pembuangan), (2) pembuatan bangunan penahan material
longsor, (3) pembuatan bangunan penguat dinding/tebing atau pengaman
jurang.
1) Saluran drainase
Tujuan utama pembuatan saluran drainase adalah untuk mencegah
genangan dengan mengalirkan air aliran permukaan, sehingga kekuatan air
mengalir tidak merusak tanah, tanaman, dan/atau bangunan konservasi
lainnya. Di areal rawan longsor, pembuatan saluran drainase ditujukan
untuk mengurangi laju infiltrasi dan perkolasi, sehingga tanah tidak terlalu
jenuh air, sebagai faktor utama pemicu terjadinya longsor. Bentuk saluran
drainase, khususnya di lahan usahatani dapat dibedakan menjadi: (a)
saluran pengelak; (b) saluran teras; dan (c) saluran pembuangan air,
termasuk bangunan terjunan. Letak masing-masing saluran ditunjukkan
pada Gambar 12.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Gambar 12. Letak Saluran Pengelak dan Saluran Pembuangan Air pada Suatu
Bukit (Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-III.pdf)
2) Bangunan penahan material longsor
Konstruksi bangunan penahan material longsor bergantung pada volume
longsor. Jika longsor termasuk kategori „kecil‟, maka konstruksi bangunan
penahan dapat menggunakan bahan yang tersedia di tempat, misalnya
bambu, batang dan ranting kayu (Gambar 13). Apabila longsor termasuk
kategori „besar', diperlukan konstruksi bangunan beton penahan yang
permanen (Gambar 14). Beton penahan ini umumnya dibangun di tebing
jalan atau tebing sungai yang rawan longsor.
Gambar 13. Bangunan Penahan Longsor dari Anyaman Bambu untuk Menahan
Longsor Kategori Kecil. (Sumber:
http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-III.pdf)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Gambar 14. Bangunan Konstruksi Beton Penahan Longsor Kategori Besar.
(Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-III.pdf)
3) Bangunan penguat tebing
Bangunan ini berguna untuk memperkuat tebing-tebing yang rawan
longsor, berupa konstruksi beton (Gambar 15) atau susunan bronjong
(susunan batu diikat kawat). Konstruksi bangunan menggunakan
perhitungan teknik sipil kering.
Gambar 15. Bangunan Penguat Tebing/Bronjong. (Sumber:
http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-III.pdf)
4. Konservasi Lahan
Konservasi lahan adalah usaha pemanfaatan lahan dalam usahatani dengan
memperhatikan kelas kemampuannya dan dengan menerapkan kaidah-kaidah
konservasi tanah agar lahan dapat digunakan secara lestari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Tujuan Usaha Konservasi:
a. Mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan aliran permukaan
b. Memperbaiki tanah yang rusak/kritis
c. Mengamankan dan memelihara produktivitas tanah agar tercapainya produksi
setinggi-tingginya dalam waktu yang tidak terbatas
d. Meningkatkan produktivitas lahan usahatani
Usaha konservasi lahan ini biasanya dilakukan salah satunya dengan kultur
teknis atau vegetasi yaitu dengan:
1. Penambahan Tanaman Penutup Tanah
Tanah penutup berfungsi untuk mencegah erosi, menambah bahan organik
tanah dan memperbesar kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air
hujan yang jatuh. Jenis tanaman penutup tanah yaitu : Jenis merambat
(Colopogonium mucunoides, Centrosema Sp, Pueraria Sp), jenis perdu
(Crotolaria Sp), jenis pohon (Lamtoro gung, Lamtoro lokal, Gamal, esliandia
grandiflora),dan jenis kacang-kacangan.
2. Penanaman Rumput.
Rumput memegang peranan penting dalam usahatani konservasi terutama
lahan-lahan kering yang berlereng (3%). Berbagai jenis rumput dapat
berfungsi:
a. sebagai pelindung tanaman dan penahan air
b. memperbaiki kesuburan tanah
c. sebagai hijau makanan ternak
d. meningkatkan nilai usahatani atau pendapatan petani
3. Penanaman dalam strip
Adalah suatu sistem bercocok tanam dengan cara menanam beberapa jenis
tanaman dalam strip-strip yang berselang seling pada bidang tanah dan disusun
memotong lereng atau menurut kontur. Tanaman yang digunakan adalah
tanaman pangan atau tanaman semusim yang ditanam berbaris diselingi strip-
strip tanaman-tanaman yang lebih rapat berupa tanaman pupuk hijau atau
tanaman penutup tanah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
4. Pergiliran tanaman
Cara penting lainnya untuk konservasi tanah dan air ialah dengan pergiliran
tanaman yaitu sistem penanaman berbagai tanaman secara bergilir dalam
urutan waktu tertentu pada suatu bidang lahan. Pada lahan kering yang
berlereng atau tanahnya miring pergiliran tanaman yang efektif untuk
mencegah erosi adalah antara tanaman penghasil bahan pangan dengan
tanaman penutup tanah untuk pupuk hijau. Selain mencegah erosi keuntungan
lain dari pergiliran tanaman adalah:
a. Memberantas hama dan penyakit tanaman melalui siklus hidupnya.
b. Memberantas tumbuhan pengganggu atau gulma.
c. Mempertahankan sifat fisik tanah dengan cara mengembalikan sisa-sisa
tanah kedalam tanah.
5. Menambah tanaman penguat teras
Tanaman yang memenuhi syarat sebagai penguat teras adalah:
a. Mempunyai sistem perakaran intensif, sehingga mampu mengikat air.
b. Tahan pangkas sehingga tidak menaungi tanaman utama.
c. Bermanfaat dalam menyuburkan tanah maupun sebagai penghasil makanan
ternak.
Tanaman penguat teras yang dianjurkan ditanam antara lain lamtorogung,
gamal, akasia, kaliandra, rumput gajah dan rumput benggala.
Gambar 16. Letak Penanaman Rumput Berselang-seling
Gambar 17. Penampang Guludan yang Ditanami Rumput
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
6. Penggunaan bahan organik dan mulsa
Salah satu cara untuk memperbaiki struktur tanah, mempertinggi kemampuan
tanah dalam menyerap air yaitu dengan menggunakan pupuk organik berupa
pupuk hijau atau pupuk kandang serta penggunaan sisa-sisa tanaman yang
diletakkan di atas tanah sebagai serasah (mulsa) sehingga dapat
mempertahankan kelembaban tanah. Dengan cara ini penguapan air tanah
dapat diperkecil sehingga air tanah tetap tersedia bagi tumbuhnya tanaman.
Gambar 18. Penampang Teras Bangku dan Bagan yang Ditanami Rumput
Gambar 19. Penampang Saluran Pembuang Air yang Ditanami Rumput
5. Daerah Aliran Sungai
a. Pengertian Daerah Aliran Sungai
Konsep Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan dasar dari semua
perencanaan hidrologi. Secara umum DAS dapat di definisikan sebagai suatu
wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggungan bukit atau gunung,
maupun batas buatan seperti jalan atau tanggul dimana titik hujan yang turun di
daerah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik keluaran (outlet). Menurut
Asdak (1995:4) Daerah Aliran Sungai (DAS) diartikan sebagai daerah yang
dibatasi punggung-punggung gunung dimana air hujan yang jatuh di daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui
sungai-sungai kecil di sungai utama.
Menurut kamus webster DAS juga didefinisikan sebagai suatu wilayah
daratan yang dipisahkan dari wilayah lain disekitarnya oleh pemisah alam
topografi, seperti punggung bukit atau gunung dan menerima air hujan,
menampung, dan mengalirkannya melalui sungai utama ke laut/danau. Apapun
definisi yang kita anut, DAS merupakan suatu ekosistem dimana di dalamnya
terjadi proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non biotik dan manusia.
Sebagai suatu ekosistem maka setiap ada masukan ke dalamnya, proses yang
terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari
ekosistem tersebut. Komponen masukan dari ekosistem DAS adalah curah hujan,
sedangkan keluaran berupa debit air dan muatan sedimen. Komponen-komponen
DAS yang berupa vegetasi, tanah dan saluran air dalam hal ini bertindak sebagai
prosessor.
Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai
fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktivitas dalam DAS yang mengakibatkan
perubahan ekosistem, misalnya tata guna lahan, khususnya di daerah hulu dapat
memberikan dampak di daerah hilir yang mengakibatkan perubahan fluktuasi
debit air dan muatan sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya keterkaitan
antara masukan dan keluaran pada suatu DAS dapat dijadikan dasar untuk
mengetahui dampak suatu tindakan atau aktifitas bangunan di dalam DAS
terhadap lingkungan, khusunya tanah. Sebagai pertimbangan berikut ini gambar
model siklus hidrologi yang menjelaskan proses memutarnya alur air.
Gambar 20. Siklus Hidrologi (Sumber: www.buffer.foresty.iastate.edu)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
b. Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)
Tanah longsor, bencana banjir dan kekeringan silih berganti terjadi di
suatu wilayah merupakan dampak negatif kegiatan manusia pada suatu DAS.
Keadaan sosial ekonomi penduduk setempat berpengaruh mutlak dalam
berlangsungnya ekosistem DAS, rendahnya taraf ekonomi masyarakat memaksa
lahan disekitarnya untuk dijadikan lahan produktif. Dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa kegiatan manusia telah menyebabkan DAS gagal menjalankan fungsinya
sebagai penampung air hujan yang jatuh dari langit, menyimpan dan
mendistribusikan air tersebut ke saluran-saluran atau sungai.
Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang
penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian
DAS. Perlindungan ini, antara lain dari segi fungsi tata air. Keterikatan antara
hulu dan hilir menurut (Asdak, 1995:572) dapat dipakai sebagai satuan
monitoring dan evaluasi pengelolaan sumberdaya air. Fungsi Pemantauan
(monitoring) didefinisikan sebagai aktifitas pengamatan yang dilakukan secara
terus-menerus atau secara periodik terhadap pelaksanaan salah satu atau beberapa
program pengelolaan DAS untuk menjamin bahwa rencana-rencana kegiatan yang
diusulkan, jadwal kegiatan, hasil-hasil yang diinginkan dan kegiatan-kegiatan lain
yang diperlukan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Sedangkan fungsi evaluasi
didefinisikan sebagai suatu proses yang berusaha untuk menentukan relevansi,
efektifitas dan nampak dari aktifitas-aktifitas yang dilaksanakan untuk mencapai
sasaran yang telah ditentukan (Asdak, 1995:573).
c. Pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS)
DAS yang sering disebut juga dengan Daerah Pengaliran Sungai (DPS)
terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir
(Asdak, 1995:11). Seperti dijelaskan pada gambar berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Gambar 21. Penampang 3 Dimensi Struktur Memanjang Sungai
(www.buffer.foresty.iastate.edu)
1) Daerah hulu
Derah hulu mempunyai ciri-ciri :
a). Proses pendalaman lembah sepanjang aliran sungai
b). Laju erosi lebih cepat daripada pengendapan
c). Merupakan daerah konservasi.
d). Mempunyai kerapatan drainase yanng lebih tinggi.
e). Pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase.
f). Lereng terjal
g). Pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf “V”
2) Daerah tengah
Bagian tengah DAS merupakan daerah peralihan antara bagian hulu
dengan bagian hilir dimana masih terdapat sedikit proses erosi dan mulai
terjadi pengendapan. Dicirikan dengan daerah yang relatif datar.
3) Daerah hilir
Bagian hilir dicirikan dengan :
a). Merupakan daerah deposisional
b). Kerapatan drainase kecil.
c). Merupakan daerah dari kemiringan lereng landai.
d). Potensi bahan galian golongan C
e). Pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf “U”
f). Pengaturan air sebagian besar ditentukan oleh bangunan irigasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
g). Pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan) dan
mulai terbentuk delta serta meander.
Kondisi topografi suatu daerah akan mempengaruhi pola dan bentuk DAS
sebagai contoh pada daerah dengan topografi pegunungan akan menjadikan
bentuk DAS berpola radial, berbeda dengan dengan pola DAS pada daerah
topografi perbukitan karst. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai bagian hulu akan
berpengaruh pada ekosistem pada bagian hilir. Oleh karenanya DAS bagian hulu
merupakan daerah yang sangat penting karena mempunyai fungsi perlindungan
terhadap seluruh bagian DAS, jadi apabila terjadi pengelolaan yang tidak benar
terhadap bagian hulu maka dampak yang ditimbulkan akan dirasakan juga pada
bagian hilir. Dalam pengelolaan DAS digunakan tiga pendekatan analisis yaitu :
(Asdak,1995 : 537 )
a. Pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah
perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi erat berkaitan.
b. Pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan sebagai alat
implementasi program pengelolaan DAS melalui kelembagaan yang relevan
dan terkait.
c. Pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing-masing berkaitan dan
memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik.
6. Satuan Lahan
Satuan lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan persamaan
karakteristiknya. Dalam penelitian ini satuan lahan berperan sebagai satuan
analisis. Satuan lahan diperoleh dengan menumpangsusunkan (overlay) Peta
Tanah, Peta Geologi, Peta Lereng, dan Peta Penggunaan Lahan. Setiap satuan
lahan dilakukan pengenalan sifat morfologi tanah dan karakteristik lingkungan
fisik dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data-data tersebut
meliputi jenis tanah, formasi batuan, kelerengan, kedalaman efektif, solum tanah,
singkapan batuan, banyaknya kerikil dan batuan, dinding terjal, kenampakan
erosi, banjir, struktur tanah, drainase, konservasi, jenis dan kerapatan vegetasi,
permeabilitas karakteristik kimia tanah, serta luas daerah pada setiap satuan lahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
B. Hasil Penelitian Yang Relevan
Mustapa Ali Mohamad (2003) melakukan penelitian dengan judul
“Kajian Zona Kerentanan, Tingkat Bahaya dan Risiko Gerakan Tanah
Berdasarkan Penggunaan Lahan untuk Permukiman, Persawahan dan Jalan
Terhadap RTRW Kabupaten Kulun Progo”. Penelitian tersebut bertujuan untuk
menentukan zone kerentanan, tingkat bahaya dan risiko bencana alam gerakan
tanah berdasarkan penggunaan lahan untuk permukiman, persawahan dan jalan di
Kabupaten Kulon Progo.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey, analisis data
primer dan data sekunder serta weighted methode atau pengkelasan terhadap tiap
aspek dan skoring untuk setiap parameter dari keseluruhan variabel.
Hasil yang diperoleh yaitu : 1). Terdapat 3 kelas zone kerentanan gerakan
tanah yaitu tinggi, sedang, rendah. 2) Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi adalah
tinggi pada penggunaan lahan permukiman yang terdapat di 4 kecamatan di
Kabupaten Kulon Progo. 3) Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan permukian
adalah sedang dan rendah, Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan persawahan
adalah sedang dan rendah, dan Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan jalan
adalah sedang dan rendah.
Agung Hartono (2008) mengadakan penelitian dengan judul “Arahan
Konservasi Daerah Aliran Sungai Samin Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo
Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006”. Penelitian tersebut bertujuan untuk (1)
mengetahui persebaran satuan lahan dengan pengenalan karakteristik lingkungan
fisik, (2) mengetahui tingkat bahaya erosi, (3) mengetahui tingkat bahaya longsor,
(4) mengetahui kemampuan lahan, (5) mengetahui kesesuaian lahan, (6)
menentukan prioritas penanganan konservasi tanah, dan (7) menentukan cara
penanganan dalam arahan konservasi tanah di Daerah Aliran Sungai Samin.
Penelitian tersebut menggunakan metode survei yang disertai analisis data
sekunder. Populasi dalam penelitian adalah seluruh satuan lahan di DAS Samin
yang berjumlah 152 satuan. Sampel yang diamati sebanyak 45 titik dengan
menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data satuan lahan dengan
menggunakan analisi dokumentasi. Data untuk menghitung tingkat bahaya erosi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
tingkat bahaya longsor, kemampuan lahan, kesesuaian lahan, menentukan
prioritas penanganan, dan menentukan arahan konservasi diperoleh dengan
wawancara, observasi lapangan, analisis laboratorium, dan analisis dokumentasi
dengan instrumen lembar pertanyaan dan checklist.
Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) DAS Samin tersusun dari 15 jenis
tanah, 8 formasi batuan penyusun, 5 kelas kemiringan lereng, 5 jenis penggunaan
lahan yang kemudian membentuk 152 satuan lahan, (2) Tingkat Bahaya Erosi di
DAS Samin terbagi ke dalam 5 kelas yaitu Sangat Ringan (SR), Ringan (R),
Sedang (S), Berat (B), dan Sangat Berat (SB) dengan luas secara berurutan
22163,786 ha (68,487%), 3719,420 ha (11,493%), 2330,879 ha (7,202%),
2639,904 ha (8,157%), dan 1508,143 ha (4,660%), (3) Tingkat Bahaya Longsor
dibagi menjadi 5 kelas yaitu Sangat Ringan (SR), Ringan (R), Sedang (S), Berat
(B), dan Sangat Berat (SB) yang secara berurutan memiliki luas 8472,69 ha
(26,18%), 6363,4 ha (19,66%), 10557,07 ha (32,62%), 6337,181 ha (19,58%), dan
631,79 ha (1,95%), (4) klasifikasi kelas kemampuan lahan daerah penelitian
sebagian besar berupa subkelas kemampuan lahan VIIIw dengan luas 15349,21 ha
(47,3%) yang diikuti sub kelas Vw, VIIs, VIIes, IVe, VIe, VIIIe, VIIe yang secara
berurutan memiliki luas 8145,48 ha (25,17%), 3208,7 ha (9,91%), 964,31 ha
(2,97%), 826,3 ha (2,53%), 2327,94 ha (7,19%), 656,10 ha (2,02%), 272,82 ha
(0,84%), 30,55 ha (0,09%). Faktor penghambat untuk klasifikasi kemampuan
lahan adalan ancaman erosi, drainase, dan hambatan yang berada pada daerah
perakaran. (5) Berdasarkan kondisi fisik di lapangan maka sebagian besar
(57,11%) lahan-lahan di daerah penelitian dinilai tidak layak secara aktual utnuk
pengembangan secara langsung dari jenis tanamn padi, jagung, dan ketela
pohon. Faktor penghambat yang domiann adalah kondisi perakaran, ketersediaan
hara, potensi mekanisasi dan tingkat bahaya erosi. (6) prioritas penanganan
konservasi tanah sebagian besar mempunyai prioritas penanganan 4 dengan luas
19378,18 ha (59,88%) yang diikuti oleh prioritas 2, 3, 5, 1 yang masing-masing
memilki luas 5959,88 ha (18,42%), 2663,56 ha (8,23%), 2366,78 ha (7,31%),
dan 1993,73 ha (6,16%). Artinya bahwa lahan-lahan di daerah penelitian perlu
mendapatkan perhatian yang serius. (7) secara vegetatif pada lahan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
mempunyai kemiringan lereng curam – sangat curam diarahkan sebagai
penggunaan lahan hutan lindung, sedangkan pada lereng datar- sedang diarahkan
sebagai wanatani (agroforesty). Secara teknik alternatif arahan konservasinya
sebagian besar berupa pembuatan dan penyempurnaan bentuk teras yang sudah
ada.
Deny Asih Maulina (2009) melakukan penelitian dengan judul Analisis
Tingkat Kerawanan Longsorlahan di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali.
Meneliti tentang kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo, dengan tujuan
untuk mengetahui tipe longsorlahan dan agihan tingkat kerawanan longsorlahan
di Kecamatan Cepogo.
Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Gejala yang diamati
dalam penelitian ini adalah kondisi geologi, curah hujan, kemiringan lereng,
tingkat erosi, permeabilitas tanah, tekstur tanah dan penggunaan lahan.
Penelitian dilakukan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga akan
diketahui keadaan yang akan datang dengan kondisi tanpa perubahan dan
tindakan apa yang seyogyanya diambil untuk mengantisipasi terjadinya
longsorlahan (Sumantri, 2004: 30).
Hasil yang diperoleh adalah 1) Tipe longsorlahan di Kecamatan Cepogo
adalah tipe nendatan tanah (slump) dan runtuhan material campuran (debris fall).
Tipe longsorlahan yang paling banyak dijumpai di Kecamatan Cepogo adalah
tipe runtuhan material campuran sebanyak 21 lokasi yang tersebar hampir
merata di Kecamatan Cepogo dan paling sedikit adalah tipe nendatan tanah
sebanyak 3 lokasi yaitu di Desa Genting, Desa Cepogo dan Desa Gedangan 2)
Agihan tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo terbagi dalam
tiga klas kerawanan longsorlahan dengan tujuh kelas prioritas pengelolaan
lahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Tabel 3. Penelitian yang Relevan
Peneliti Mustapa Ali Mohamad
(2003)
Agung Hartono
(2008)
Denny Asih Maulina
(2009)
Intan Fatmasari
(2010)
Judul Kajian Zona Kerentanan, Tingkat
Bahaya dan Risiko Gerakan Tanah
Berdasarkan Penggunaan Lahan untuk
Permukiman, Persawahan dan Jalan
Terhadap RTRW Kabupaten Kulun
Progo
Arahan Konservasi Daerah Aliran Sungai
Samin Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo
Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006
Analisis Tingkat Kerawanan
Longsorlahan di Kecamatan
Cepogo Kabupaten Boyolali
Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dan
Arahan Konservasi Lahan di DAS
Grindulu hulu Kabupaten Pacitan
Tahun 2009
Tujuan menentukan zone kerentanan, tingkat
bahaya dan risiko bencana alam
gerakan tanah berdasarkan penggunaan
lahan untuk permukiman, persawahan
dan jalan di Kabupaten Kulon Progo.
mengetahui persebaran satuan lahan dengan
pengenalan karakteristik lingkungan fisik
mengetahui tingkat bahaya erosi
mengetahui tingkat bahaya longsor
mengetahui kemampuan lahan
mengetahui kesesuaian lahan
menentukan prioritas penanganan konservasi
tanah
menentukan cara penanganan dalam arahan
konservasi tanah di Daerah Aliran Sungai
Samin.
Mengetahui tipe longsorlahan yang
terdapat di Kecamatan Cepogo
Mengetahui agihan tingkat
kerawanan longsor di Kecamatan
Cepogo
Mengetahui karakteristik tipe
longsor yang terjadi di DAS
Grindulu hulu
Mengetahui Tingkat Bahaya
Longsor (TBL) di DAS Grindulu
hulu
Mengetahui tingkat kerentanan dan
risiko longsor yang terjadi di DAS
Grindulu hulu
Mengetahui cara penanganan dan
arahan konservasi lahan yang
dilakukan terhadap karakteristik tipe
longsor yang terjadi di DAS
Grindulu hulu
Metode
penelitian
Metode survei dan analisis data primer
dan data sekunder
metode survei yang disertai analisis data
sekunder
Metode observasi lapangan dan
analisis data primer dan sekunder
Hasil
penelitian
Terdapat 3 kelas zone kerentanan
gerakan tanah yaitu tinggi, sedang,
rendah.
Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi
DAS Samin tersusun dari 15 jenis tanah, 8
formasi batuan penyusun, 5 kelas kemiringan
lereng, 5 jenis penggunaan lahan yang
kemudian membentuk 152 satuan lahan
Tipe longsorlahan di Kecamatan
Cepogo adalah tipe nendatan
tanah (slump) dan runtuhan
material campuran (debris fall).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
adalah tinggi pada penggunaan lahan
permukiman yang terdapat di 4
kecamatan di Kabupaten Kulon
Progo.uhan.
Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan
permukian adalah sedang dan rendah,
Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan
persawahan adalah sedang dan rendah,
dan Tingkat Risiko untuk penggunaan
lahan jalan adalah sedang dan rendah.
Tingkat Bahaya Erosi di DAS Samin terbagi
ke dalam 5 kelas yaitu Sangat Ringan (SR),
Ringan (R), Sedang (S), Berat (B), dan Sangat
Berat (SB) dengan luas secara berurutan
22163,786 ha (68,487%), 3719,420 ha
(11,493%), 2330,879 ha (7,202%), 2639,904
ha (8,157%), dan 1508,143 ha (4,660%)
Tingkat Bahaya Longsor dibagi menjadi 5
kelas yaitu Sangat Ringan (SR), Ringan (R),
Sedang (S), Berat (B), dan Sangat Berat (SB)
yang secara berurutan memiliki luas 8472,69
ha (26,18%), 6363,4 ha (19,66%), 10557,07 ha
(32,62%), 6337,181 ha (19,58%), dan 631,79
ha (1,95%)
klasifikasi kelas kemampuan lahan daerah
penelitian sebagian besar berupa subkelas
kemampuan lahan VIIIw dengan luas
15349,21 ha (47,3%) yang diikuti sub kelas
Vw, VIIs, VIIes, IVe, VIe, VIIIe, VIIe yang
secara berurutan memiliki luas 8145,48 ha
(25,17%), 3208,7 ha (9,91%), 964,31 ha
(2,97%), 826,3 ha (2,53%), 2327,94 ha
(7,19%), 656,10 ha (2,02%), 272,82 ha
(0,84%), 30,55 ha (0,09%). Faktor
penghambat untuk klasifikasi kemampuan
lahan adalan ancaman erosi, drainase, dan
hambatan yang berada pada daerah perakaran
Berdasarkan kondisi fisik di lapangan maka
sebagian besar (57,11%) lahan-lahan di daerah
penelitian dinilai tidak layak secara aktual
utnuk pengembangan secara langsung dari
jenis tanamn padi, jagung, dan ketela pohon.
Faktor penghambat yang domiann adalah
kondisi perakaran, ketersediaan hara, potensi
Tipe longsorlahan yang paling
banyak dijumpai di Kecamatan
Cepogo adalah tipe runtuhan
material campuran sebanyak 21
lokasi yang tersebar hampir
merata di Kecamatan Cepogo dan
paling sedikit adalah tipe nendatan
tanah sebanyak 3 lokasi yaitu di
Desa Genting, Desa Cepogo dan
Desa Gedangan
Agihan tingkat kerawanan
longsorlahan di Kecamatan
Cepogo terbagi dalam tiga klas
kerawanan longsorlahan dengan
tujuh klas prioritas pengelolaan
lahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
mekanisasi dan tingkat bahaya erosi
prioritas penanganan konservasi tanah
sebagian besar mempunyai prioritas
penanganan 4 dengan luas 19378,18 ha
(59,88%) yang diikuti oleh prioritas 2, 3, 5, 1
yang masing-masing memilki luas 5959,88 ha
(18,42%), 2663,56 ha (8,23%), 2366,78 ha
(7,31%), dan 1993,73 ha (6,16%). Artinya
bahwa lahan-lahan di daerah penelitian perlu
mendapatkan perhatian yang serius
secara vegetatif pada lahan yang mempunyai
kemiringan lereng curam – sangat curam
diarahkan sebagai penggunaan lahan hutan
lindung, sedangkan pada lereng datar- sedang
diarahkan sebagai wanatani (agroforesty).
Secara teknik alternatif arahan konservasinya
sebagian besar berupa pembuatan dan
penyempurnaan bentuk teras yang sudah ada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
C. Kerangka Pemikiran
Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan,
atau kombinasinya sering terjadi pada lereng-lereng dan sebenarnya merupakan
proses alami. Longsor berkaitan erat dengan kemampuan daya dukung lahan dan
besaran gangguan pada lahan. Semakin tinggi kemampuan daya dukung lahan dan
semakin kecil besaran gangguan maka tingkat bahaya longsornya semakin kecil
dan sebaliknya.
Dari kenampakan di lapangan, longsor dapat dibagi dalam beberapa tipe
menurut jenis materialnya dan parameter yang mempengaruhinya meliputi
nendatan (slump), debris slide, debris fall, longsoran perlapisan, guguran batu.
Longsor dapat terjadi akibat faktor dari dalam yaitu tebal solum tanah,
tekstur tanah dan permeabilitas tanah. Sedangkan faktor dari luar meliputi
kemiringan lereng, erosi, penggunaan lahan dan penutupan lahan. Faktor-faktor
tersebut dapat berdiri sendiri atupun dapat saling menunjang satu sama lainnya
untuk memberikan kontribusi terhadap terjadinya longsor.
Penelitian ini menggunakan satuan lahan sebagai satuan analisisnya.
Satuan lahan diperoleh dari menumpangsusunkan (overlay) peta tanah, peta
geologi, peta lereng, dan peta penggunaan lahan dengan menggunakan program
SIG. Peta satuan lahan tersebut digunakan dalam mengambil sampel di lapangan
yang diambil dengan teknik area sampling. Besarnya Tingkat Bahaya Longsor
(TBL) dilakukan dengan memberikan pengharkatan terhadap parameter penentu
longsor. Tingkat Bahaya Longsor kemudian diklasifikasikan berdasarkan total
skor dari parameter di setiap satuan lahan. Setelah dilakukan penskoran dan
diketahui Tingkat Bahaya Longsornya, maka dapat diketahui pula tingkat
kerentanan longsor yang terjadi di daerah penelitian tersebut melalui data
kependudukan yang ada di daerah penelitian. Kemudian melalui Tingkat Bahaya
Longsor dan Tingkat Kerentanan Longsor dapat dihubungkan melalui matrik
sehingga dapat menghasilkan Tingkat Risiko Longsor yang terjadi di daerah
penelitian. Dengan mengetahui tipe longsoran, Tingkat Bahaya Longsor (TBL),
Tingkat Kerentanan Longsor dan Tingkat Risiko Longsor, maka dapat dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
langkah penanggulangan dan arahan konservasi lahan pada daerah penelitian
tersebut. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam
diagram alur sebagai berikut:
Gambar 22. Diagram Alur Kerangka Pemikiran
LONGSOR
Karakteristik Lahan:
- Curah hujan
- Penggunaan lahan
- Kedalaman pelapukan
- Solum tanah
- Permeabilitas
- Tekstur tanah
- Relief
- Miring tanah
- Drainase
- Vegetasi
- Erosi
Tingkat Bahaya Longsor (TBL)
Tipe longsor:
- Nendatan (Slump)
- Debris slide
- Debris fall
- Longsor perlapisan
- Guguran batu
Data Kependudukan + (geometri
lereng, morfologi, struktur
geologi, iklim, sifat fisik dan
mekanik, air tanah, air hujan)
KERENTANAN
Penanggulangan dan Arahan Konservasi Lahan
RISIKO
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
40
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Grindulu bagian
hulu. Secara administratif DAS Grindulu hulu terletak di dua kecamatan yaitu
Kecamatan Bandar dan Kecamatan Tegalombo, Kabupaten Pacitan.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dimulai sejak pengajuan proposal sampai dengan
penelitian laporan hasil penelitian, yakni selama 10 bulan dimulai Bulan
November 2009 sampai dengan Bulan Agustus 2010. Waktu penelitian dirangkum
dalam Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Waktu Penelitian
Waktu Kegiatan
Penyusunan
Proposal
Penyusunan
Instrumen
Penelitian
Pengumpulan
Data
Analisis
Data
Penulisan
Laporan
Pelaporan
Hasil
Penelitian
Th
.
20
09
November v
Desember v
Th
. 2
01
0
Januari v
Februari v
Maret v
April
v
Mei v
Juni v
Juli v
Agustus v
B. Metode Penelitian
Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu
tujuan dalam penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
diskriptif spasial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang mengarah pada pengungkapan
suatu masalah atau keadaan sebagaimana adanya dan mengungkapkan fakta-fakta
yang ada, walaupun kadang-kadang diberikan interpretasi atau analisis (Tika,
1997 : 6).
Spasial adalah ciri khas dan identitas geografi yang berarti keruangan.
Pengertian kata spasial adalah mengacu kepada ruang suatu wilayah geografis tertentu.
Hadi (2009) mengemukakan bahwa tekanan utama geografi bukanlah pada substansi
melainkan pada sudut pandang spasial. Dalam menganalisis gejala dan permasalahan
suatu ilmu (sains), maka diperlukan suatu metode pendekatan (approach method).
Metode pendekatan inilah yang digunakan untuk membedakan kajian geografi dengan
ilmu lainnya, meskipun obyek kajiannya sama. Metode pendekatan ini adalah
pendekatan keruangan. Pendekatan keruangan merupakan suatu cara pandang atau atau
kerangka analisis yang menekankan eksistensi ruang sebagai penekanan. Eksistensi
ruang dalam perspektif geografi dapat dipandang dari struktur (spatial structure), pola
(spatial pattern), dan proses (spatial process) (http://www.malang.ac).
Dalam konteks fenomena keruangan terdapat perbedaan kenampakkan struktur,
pola dan proses. Struktur keruangan berkenaan dengan elemen-elemen pembentuk
ruang. Elemen-elemen tersebut dapat disimbolkan dalam tiga bentuk utama yaitu:
kenampakan titik (point features), kenampakan garis (line features) dan kenampakan
bidang (areal features).
Pada penelitian ini, data yang bersifat spasial adalah Tingkat Bahaya Longsor
(TBL) yang diperoleh dengan menggunakan analisis satuan lahan. Hasil akhir
pengolahan data pada penelitian ini adalah berupa peta. Peta yang dihasilkan
merupakan peta tematik yang dapat mempresentasikan satu tema atau multitema
sebagai deskripsi, analisis dan sintesis objek, yang dalam hal ini adalah potensi longsor
di DAS Grindulu hulu. Peta-peta tematik yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah:
1. Peta Tingkat Bahaya Longsor (TBL) DAS Grindulu Hulu Tahun 2009
2. Peta Tingkat Kerentanan Longsor DAS Grindulu Hulu Tahun 2009
3. Peta Tingkat Risiko Longsor DAS Grindulu Hulu Tahun 2009
4. Peta Arahan Konservasi Lahan DAS Grindulu Hulu Tahun 2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
C. Teknik Sampling
1. Populasi
Singarimbun dan Sofian (1995: 152) menyebutkan bahwa populasi
(universe) adalah jumlah dari keseluruhan unit analisis yang ciri-cirinya akan
diduga. Menurut Arikunto (1996: 115) populasi adalah keseluruhan subjek
penelitian.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua satuan lahan yaitu sejumlah 44
satuan lahan yang terdapat di daerah penelitian dalam hal ini adalah DAS
Grindulu hulu yang ditentukan berdasar overlay peta geologi, peta lereng, peta
tanah dan peta penggunaan lahan hasilnya berupa peta satuan lahan yang nanti
akan dicek lapangan.
2. Sampel
Teknik sampling adalah cara untuk menentukan sampel yang jumlahnya
sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data sebenarnya,
dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel
yang representatif atau benar-benar mewakili populasi (Nawawi, 1995:152).
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan
pengambilan sampel wilayah (area sampling) yaitu teknik sampling yang
dilakukan dengan cara mengambil wakil dari setiap wilayah yang ada (Riduwan,
2004:60). Sampel merupakan wakil dari setiap unit satuan lahan yang tersebar
dalam populasi dan jumlah sampel mempunyai perbandingan yang sama. Dalam
penelitian ini diambil sampel sebanyak 20 sampel yang tersebar di seluruh daerah
penelitian, yang kemudian dilakukan analisis laboratorium. Persebaran titik
sampel dapat dilihat pada lampiran 4.
D. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 macam, yaitu data primer
dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung di lapangan,
yaitu diperoleh dari hasil pengukuran dan pengujian di lapangan, sedangkan data
sekunder adalah data penunjang yang diperoleh dari instansi-instansi terkait dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
dari hasil penelitian terdahulu. Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut ini :
1. Data Primer
Data primer yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pengamatan Lapangan :
1) Kemiringan lereng
2) Penggunaan lahan
3) Solum tanah
4) Kedalaman pelapukan
b. Analis Laboratorium :
1) Tekstur tanah
2) Permeabilitas
2. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan meliputi :
a. Data letak, luas, batas dan ketinggian tempat daerah penelitian yang diperoleh
dari Peta Rupabumi Indonesia lembar 1507 – 443 TEGALOMBO dan 1508 –
121 KISMANTORO .
b. Data kemiringan lereng dari Peta Rupabumi Indonesia lembar 1507 – 443
TEGALOMBO dan 1508 – 121 KISMANTORO .
c. Data jenis batuan diperoleh dari Peta Geologi lembar Pacitan.
d. Data jenis tanah diperoleh dari Peta Tanah dari BAPPEDA Kabupaten Pacitan.
e. Data iklim, yang meliputi curah hujan, iklim dan suhu yang diperoleh dari
Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Pacitan.
f. Data penggunaan lahan dari Peta Rupabumi Indonesia lembar 1507 – 443
TEGALOMBO dan 1508 – 121 KISMANTORO.
E. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan uraian tentang sumber data diatas, ada beberapa teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi lapangan
dan dokumentasi, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
1. Observasi Lapangan
Observasi lapangan adalah suatu cara pengumpulan data dengan
pengamatan langsung di lapangan. Observasi lapangan ini dilakukan untuk
mengambil sampel tanah untuk analisis fisik tanah, pengukuran kemiringan
lereng, kedalaman pelapukan, dan penggunaan lahan.
2. Dokumentasi
Dokumentasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan menelaah segala
bentuk catatan atau literatur yang terkait dengan penelitian, termasuk peta. Data
yang dikumpulkan berupa data sekunder, seperti data data jenis tanah dari Peta
Tanah dari BAPPEDA Kabupaten Pacitan, data penggunaan lahan dari Peta
Rupabumi Indonesia, data jenis batuan dari Peta Geologi lembar Pacitan, dan data
curah hujan dari Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Pacitan.
3. Analisis Laboratorium
Analisis laboratorium diperlukan untuk mengukur tekstur dan
permeabilitas tanah agar hasilnya lebih akurat. Analisis ini dilakukan pada sampel
tanah yang diambil di lapangan pada saat penelitian.
F. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong,
1990: 103).
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan analisis
kualitatif. Dalam metode kualitatif kesimpulan terakhir digunakan logika dan
penalaran hal tersebut didasarkan pada penemuan di lapangan (Sumantri,
2004:36).
Berdasarkan tujuan penelitian maka peneliti bermaksud untuk
menganalisis :
1. Tingkat Bahaya Longsor dan Karakteristik Tipe Longsor
Teknik analisis data untuk penentuan Tingkat Bahaya Longsor dilakukan
dengan teknik skoring, yaitu dengan memberikan pengharkatan terhadap faktor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
penentu longsor. Pengharkatan dilakukan secara bertingkat, dimana harkat terkecil
(dalam hal ini adalah 1) menunjukan bahwa peranannya terhadap longsor paling
kecil, sedangkan harkat terbesar (dalam hal ini adalah 5) menunjukan peranannya
yang paling besar terhadap terjadinya longsor. Pembobotan disusun atas dasar
pemahaman faktor penyebab dan faktor pemicu longsor. Faktor yang
menyebabkan terjadinya longsor adalah gaya gravitasi yang bekerja pada suatu
massa tanah dan atau batuan. Di lapangan, besarnya pengaruh gaya gravitasi
tersebut ditentukan oleh besarnya kemiringan lereng. Oleh karena itu dalam
penilaian Tingkat Bahaya Longsor, faktor kemiringan lereng diberikan bobot yang
paling tinggi (bobot 5,5) dibandingkan faktor-faktor lain.
Tingkat Bahaya Longsor selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan total
skor dari parameter di setiap satuan lahan. Penentuan kelas interval ditentukan
sebagai berikut :
n
baX
Keterangan:
X = nilai interval a = harkat tertinggi
N = jumlah kelas b = harkat terendah
Sedangkan untuk parameter yang dilakukan penskoran untuk menentukan
Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dapat disajikan pada tabel 5. sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Tabel 5. Pengharkatan Parameter Penentu Longsor
No Parameter Kriteria Harkat
1. Kemiringan lereng (%)
0 – 8 Datar 1
8 – 15 Landai 2
15 – 25 Agak curam 3
25 – 45 Curam 4
> 45 Sangat curam 5
2. Curah hujan (mm/hr)
0 – 13,6 Sangat rendah 1
13,6 – 20,7 Rendah 2
20,7 – 27,7 Sedang 3
27,7 – 34 Tinggi 4
> 34 Sangat tinggi 5
3. Penggunaan lahan
Hutan - 1
Tegalan berteras + kebun campuran berteras - 2
Permukiman + semak belukar - 3
Tegal + kebun campuran tak berteras - 4
Sawah - 5
4. Kedalaman pelapukan (cm)
<50 Dangkal 1
50 – 75 Agak dangkal 2
75 – 100 Sedang 3
100 – 150 Dalam 4
>150 Sangat dalam 5
5. Solum tanah (cm)
0 – 25 Sangat dangkal 1
25 – 50 Dangkal 2
50 – 90 Sedang 3
90 – 120 Dalam 4
>120 Sangat dalam 5
6. Permeabilitas tanah (cm/jam)
>12,5 Cepat 1
6,25 – 12,5 Agak cepat 2
2,0 – 6,25 Sedang 3
0,5 – 2,0 Agak lambat 4
< 0,5 Sangat lambat 5
7. Tekstur tanah
Geluh (loam) - 1
Pasir (sand) - 2
geluh lempungan (clay loam), geluh lempung pasiran (sandy clay
loam), geluh lempung debuan (silty clay loam)
- 3
geluh debuan (silt loam), debu (silt), pasir geluhan (loamy sandy) - 4
lempung (clay), lempung pasiran (sandy clay) - 5
Sumber: Sunarto Goenadi, dkk (2003), Kuswaji (2006), dengan modifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Sementara itu untuk menentukan tipe longsornya dilihat berdasar ciri dari
longsoran yang terjadi di lapangan dan yang termasuk ke dalam kelas TBL.
2. Tingkat Kerentanan dan Risiko Longsor
Analisis kerentanan yang diakibatkan oleh kejadian longsor adalah analisis
yang memanfaatkan salah satu aspek kebencanaan yaitu berdasarkan pada
pertimbangan Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dikaitkan dengan aspek
kependudukan dimana sering timbul korban jiwa pada saat terjadinya longsoran.
Dalam menentukan kelas kerentanan ini terlebih dahulu dilakukan
penghitungan terhadap jumlah penduduk pada tiap desa yang dimungkinkan
rentan terkena bahaya longsoran. Perhitungan ini dilakukan untuk menentukan
kepadatan penduduk pada masing-masing desa. Kemudian dilakukan pengkelasan
terhadap masing-masing kelas kerentanan yang dalam hal ini hanya memfokuskan
terhadap korban jiwa saja.
Penentuan tingkat risiko longsor didasari oleh keterkaitan antara tingkat
bahaya dan tingkat kerentanan dengan kemungkinan besarnya kerugian yang
berupa korban jiwa. Korban jiwa disini dilihat berdasarkan kepadatan penduduk
pada satu desa. Dengan demikian dapat diperoleh tingkat risiko pada saat terjadi
bencana longsor.
3. Penanggulangan Longsor dan Tindakan Konservasi Lahan
a. Analisis untuk penanggulangan longsor dapat disajikan melalui tabel. 6 sebagai
berikut:
Tabel 6. Metode Penanggulangan Longsor Berdasarkan Tipe Longsor
Tipe-tipe Longsor Metode Penanggulangan
x (pengurangan gaya pendorong) o (menambah gaya penahan)
I. RUNTUHAN
1. Batuan * Pelandaian lereng
* Penanggaan (Benching)
* Tata Salir (salur permukaan)
* Perbaikan permukaan lereng
* Bronjong
2. Tanah * Pelandaian lereng
* Penanggaan (Benching)
* Tata Salir (salur permukaan)
* Perbaikan permukaan lereng
* Menanam Tumbuhan
* Bronjong
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
3. Bahan
Lepas
* Pelandaian lereng
* Penanggaan (Benching)
* Tata Salir (salur permukaan)
* Perbaikan permukaan lereng
* Menanam Tumbuhan
* Bronjong
II. GELINCIRAN
1. Rotasi
Batuan
* Pemotongan Kepala
* Pelandaian lereng
* Penanggaan (Benching)
* Tata Salir (salur permukaan)
* Perbaikan permukaan lereng
* Penyalir parit pencegat (interceptor drain)
* Bronjong
* Dinding penopang isian baru (butters)
2. Rotasi
Tanah
* Pelandaian lereng
* Penanggaan (Benching)
* Pemotongan habis
* Tata Salir (salur permukaan)
* Perbaikan permukaan lereng
* Menanam Tumbuhan
* Timbunan pada kaki lereng
* Penyalir parit pencegat (interceptor drain)
* Bronjong
* Dinding penopang isian baru (butters)
3. Translasi
Batuan
* Penanggaan (Benching)
* Tata Salir (salur permukaan)
* Perbaikan permukaan lereng
* Menanam Tumbuhan
* Penyalir parit pencegat (interceptor drain)
* Bronjong
* Dinding penopang isian baru (butters)
4. Translasi
Tanah
* Penanggaan (Benching)
* Tata Salir (salur permukaan)
* Perbaikan permukaan lereng
* Menanam Tumbuhan
* Penyalir parit pencegat (interceptor drain)
* Bronjong
* Dinding penopang isian baru (butters)
III. ALIRAN
1. Batuan * Pelandaian lereng
* Tata Salir (salur permukaan)
* Perbaikan permukaan lereng
* Bronjong
* Dinding penopang isian baru (butters)
2. Tanah * Pelandaian lereng
* Tata Salir (salur permukaan)
* Perbaikan permukaan lereng
* Dinding penopang isian baru (butters)
3. Bahan
Lepas
* Tata Salir (salur permukaan)
* Perbaikan permukaan lereng
* Menanam Tumbuhan
* Bronjong
* Dinding penopang isian baru (butters)
4. Lumpur * Tata Salir (salur permukaan)
* Perbaikan permukaan lereng
* Menanam Tumbuhan
* Dinding penopang isian baru (butters)
b. Arahan Konservasi Lahan
Arahan konservasi lahan ini dilakukan secara normatif dan tidak mutlak
serta didasarkan pada kondisi fisik setiap satuan lahan dalam hal ini adalah
mempertimbangkan faktor kemiringan lereng, kedalaman solum dan kedalaman
tanah serta kelas Tingkat Bahaya Longsor (TBL) yang diperoleh berdasarkan hasil
skoring yang telah dilakukan sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Pelaksanaan konservasi lahan untuk masing-masing satuan lahan harus
mempertimbangkan persyaratan karakteristik fisik pada masing-masing satuan
lahan yang telah disebutkan diatas. Persyaratan itu antara lain:
3) Konservasi Lahan Secara Vegetatif dapat disajikan melalui Tabel 7.
sebagai berikut.
Tabel 7. Usaha Konservasi Lahan Vegetatif
No Soil Conservation measures Teknis Konservasi Tanah
Lereng
(%)
Solum
(cm)
1. pasture or grassland penanaman rumput semua > 15
2. multiple crooping, including crop
rotation, relay crooping mixed crooping
and intercrooping
pertanaman campuran termasuk
pergiliran tanaman, tumpang gilir,
pertanaman campuran, tumpang sari
< 60 > 15
3. contour crooping, strip crooping, alley
crooping
penanaman menurut kontur penanaman
menurut strip pertanaman lorong
< 60 > 15
4. reduced tillage, including minimum
tillage and no till (zero tillage)
pengolahan tanah minimum tanpa olah
tanah
< 60 > 15
5. grass strip/barrier strip rumput < 60 > 15
6. cover crooping penanaman penutup tanah < 60 > 15
7. organic matter management, including
use of mulch and intercorporation of
compost, animal manure, green manure
and croop residues
manjemen bahan organik termasuk
mulsa, pencampuran kompos, pupuk
kandang, pupuk hijau dan sisa tanaman
< 60 > 15
8. hedge row, live fence tanaman pagar, pagar hidup < 60 > 15
9. protection forest, including recreational
forest, forest park and forest research
hutan lindung, hutan kemasyarakatan,
suaka alam dan hutan wisata
> 80 > 15
10. production forest including limited
production forest and community forest
hutan produksi termasuk hutan produksi
terbatas dan hutan rakyat
< 60 > 15
11. permanent vegetation crops including
industrial and estate crop, orchards
vegatasi permanen termasuk tanaman
industri, perkebunan, kebun
< 60 > 15
12. agroforestry including mixed gardens
and home garden
agroforestri termasuk kebun
campuran,kebun rumah
< 80 > 15
13. replanting or clear felled forest penanaman kembali semua > 15
14. regeneration of clear felled forest suksesi alami semua > 15
15. protection of rivers and springs perlindungan sungai dan mata air semua > 15
16. silvopasture silvopasture < 80 > 15
17. planting of trees, shurbs and grasses
primaliry for soil conservation purposes
Penanaman pohon, rumput untuk tujuan
konservasi tanah
semua > 15
Sumber: Departemen Kehutanan, (1998:83).
4) Konservasi Lahan Secara Teknik dapat disajikan melalui Tabel 8.
sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Tabel 8. Usaha Konservasi Lahan Teknik
No
Soil Conservation measures Teknis Konservasi Tanah Lereng
(%)
Kedalaman
Tanah Min
(cm)
1. ridge terrace including gradded
contour bund
teras guludan termasuk pematang
kontur
15 - 60 > 30
2. credit terrace teras kredit 5 - 30 > 30
3. bench terrace, includes level bench
terrace, reverse sloping bench
terrace, forward sloping bench
terrace, garden terrace, stone wall
terrace, interupted bench terrace
teras bangku, termasuk teras
bangku datar, teras bangku
belakang, teras bangku miring, teras
kebun, teras batu, teras bangku
putus
10 - 40 > 30
4. individiual terrace teras individu 15 - 60 > 30
5. hiilside ditch or interception ditch teras gunung atau saluran pegelak 10 - 60 > 15
6. waterway saluran pembuangan air (SPA) > 15
7. trash line barisan sisa tanaman 8-30 > 15
8. silt pit with or without sloth mulch rorak, mulsa tanaman semua > 15
9. drop structure ussualy of stone or
bamboo supported by grasses, ( as
part of water disposal in a terrace
system)
bangunan terjunan biasanya
bangunan terjunan dari batu atau
bamboo
> 8 > 15
10. sediment control uncluding check
dams and detection dams
kontrol sedimen termasuk dam
pengendali dan dam penahan
semua > 0
11. gully control including gully head
structures (flumes and chutes),
gully plugs, check dams
sumbat jurang termasuk gully head
structures
semua > 10
12. flood control and/or river bank
protection
kontrol banjir dan atau
perlindungan tepi sungai
semua > 0
13. road protection perlindungan jalan semua > 0
14. control of erotion and runoff from
settlement areas including use of
soak pits, absorbtion well, drop
structures, drain
Pengendalian erosi dan banjir dari
area permukiman termasuk
pembuatan sumur resapan, drainase
> 15
Sumber: Departemen Kehutanan, (1998:84).
G. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan dan Pengajuan Proposal
Pada tahap ini dilakukan observasi awal terhadap daerah penelitian
kemudian mencari literatur yang sesuai dengan tema penelitian.
2. Penyusunan Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk menggumpulkan
data yang diperlukan . Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah peta
satuan lahan kemudian diperlukan juga lembar checklist.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
3. Tahap Pengumpulan data
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data berupa data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengambilan sampel tanah
guna analisis sifat fisik tanah. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan
diperoleh dari instansi-instansi terkait, penelitian yang relevan, dan analisis pada
Peta RBI, Peta Geologi dan Peta Tanah.
4. Tahap Analisis Data
Tahap ini merupakan tahap dimana data yang diperoleh dihitung,
dianalisis dan diklasifikasikan untuk dapat menyimpulkan hasil dari penelitian.
5. Tahap Penulisan Laporan Penelitian
Merupakan tahap terakhir dalam penelitian dimana hasil penelitian yang
diperoleh dilaporkan atau disajikan dalam bentuk tulisan, tabel, gambar, dan peta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Fisik Daerah Penelitian
1. Letak, Batas dan Luas Daerah Penelitian
a. Letak
Letak Daerah Aliran Sungai (DAS) Grindulu hulu secara astronomis
berdasarkan pada Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 25.000 Tahun 2001, yang
diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal)
berada diantara 07°57'00" LS – 08°03'00" LS dan 111°16'30" BT – 111°21'00"
BT. Letak DAS Grindulu dengan sistem koordinat UTM berada pada 9122599,10
mU – 9108860,60 mU dan 528469,97 mT – 540203,74 mT.
Secara administratif DAS Grindulu hulu berada di dua kabupaten, yaitu
bagian timur terletak di Kabupaten Ponorogo dan bagian barat terletak di
Kabupaten Pacitan. Daerah yang termasuk pada Kabupaten Ponorogo meliputi
satu kecamatan saja yaitu Kecamatan Slahung, sedangkan Kabupaten Pacitan
meliputi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Tegalombo dan Kecamatan Bandar.
b. Batas
Daerah Aliran Sungai Grindulu hulu berbatasan secara langsung dengan
DAS yang lain. Berikut adalah batas DAS Grindulu hulu:
1) Bagian Utara berbatasan dengan DAS Tempuran di Kabupaten
Ponorogo.
2) Bagian Selatan berbatasan dengan DAS Grindulu tengah di Kabupaten
Pacitan.
3) Bagian Timur berbatasan dengan DAS Bawang di Kabupaten
Ponorogo.
4) Bagian Barat berbatasan dengan DAS Dungdut di Kabupaten Pacitan.
Lebih jelasnya pembagian secara administratif DAS Grindulu hulu dapat
dilihat pada Tabel 9. sebagai berikut:
52
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Tabel 9. Pembagian Administratif DAS Grindulu Hulu
No Kabupaten Kecamatan Desa/ Kelurahan Luas (Ha)
1 Pacitan Tegalombo 1.Desa Gemaharjo
2.Desa Tahunan
3.Desa Ploso
871,92
1364,86
1753,08
Bandar 1.Desa Bandar
2.Desa Bangunsari
3.Desa Kledung
4.Desa Tumpuk
5.Desa Watupatok
298,21
476,85
988,69
1140,29
1213,24
2 Ponorogo Slahung 1.Desa Wates
2.Desa Tugurejo
87,6
132,79
Sumber: Peta RBI Skala 1:25.000 Tahun 2001 Lembar 1507 – 443 Tegalombo
dan 1508 – 121 Kismantoro dari Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan
Nasional.
c. Luas
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografis (SIG), maka diperoleh luas DAS Grindulu hulu yaitu 8327,56 Ha yang
berada di 8 desa di Kabupaten Pacitan dan 2 desa di Kabupaten Ponorogo. Daerah
penelitian yang termasuk di Kabupaten Pacitan seluas 8107,15 Ha dan yang
berada di Kabupaten Ponorogo seluas 220,41 Ha dari seluruh luas DAS Grindulu
hulu, sedangkan daerah yang memiliki luasan terbesar adalah Kecamatan Bandar
yaitu seluas 4117,29 Ha dan daerah yang memiliki luasan terkecil adalah
Kecamatan Slahung yaitu seluas 220,41 Ha.
Uraian tentang letak, batas dan administratif DAS Grindulu hulu dapat
dilihat pada Peta 1 di bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Peta 1. Administrasi DAS Grindulu Hulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
2. Iklim
Iklim merupakan sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai unsur-
unsur cuaca hari demi hari dan bulan demi bulan dalam jangka panjang di suatu
tempat atau pada suatu wilayah (Handoko,1994: 3). Unsur iklim yang diuraikan
disini yang terkait dengan longsor yaitu curah hujan. Curah hujan selain sebagai
faktor yang turut dalam proses pelapukan batuan juga merupakan faktor yang
secara langsung memicu terjadinya longsor pada saat hujan deras. Data curah
hujan diperoleh dari tiga stasiun pencatat curah hujan yaitu Tegalombo, Tahunan
dan Bandar. Mengenai keadaan curah hujan di DAS Grindulu hulu dapat dilihat
pada Tabel 10 berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Tabel 10. Curah Hujan DAS Grindulu hulu Tahun 2000 – 2009 Stasiun Pengamatan Bandar
No Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah Rata-rata
Bulan CH
(mm)
CH
(mm)
CH
(mm)
CH
(mm)
CH
(mm)
CH
(mm)
CH
(mm)
CH
(mm)
CH
(mm)
CH
(mm)
CH
(mm)
CH (mm)
1 Januari 247 367 391 528 520 254 167 64 221 493 3252 325.20
2 Februari 550 362 389 386 252 152 321 368 430 440 3650 365.00
3 Maret 434 360 318 341 210 338 445 171 465 136 3218 321.80
4 April 387 137 381 67 179 432 430 556 185 228 2982 298.20
5 Mei 146 52 25 85 136 44 271 184 118 324 1385 138.50
6 Juni 19 169 0 12 4 184 2 52 0 23 465 46.50
7 Juli 0 50 0 20 53 33 0 4 0 0 160 16.00
8 Agustus 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0.50
9 September 3 0 0 0 1 0 0 0 0 1 5 0.50
10 Oktober 314 186 0 60 0 80 0 42 162 24 868 86.80
11 November 618 486 105 505 167 20 58 256 600 247 3062 306.20
12 Desember 137 87 349 403 579 492 348 533 171 150 3249 324.90
Jumlah CH 1 tahun 2860 2256 1958 2407 2101 2029 2042 2230 2352 2066 22301 2230.1
Bulan Basah 8 7 6 5 7 6 6 6 8 7 66 6.6
Bulan Lembab 0 1 0 3 0 1 0 1 0 0 6 0.6
Bulan Kering 4 4 6 4 5 5 6 5 4 5 48 4.8
Sumber: Dinas Binamarga dan Pengairan Kabupaten Pacitan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Pada tabel ini dapat diketahui banyaknya bulan basah, bulan lembab dan
bulan kering. Dasar kriteria yang digunakan menurut Mohr, yaitu sebagai berikut:
a. Bulan basah adalah suatu bulan yang mempunyai curah hujan lebih dari 100
milimeter.
b. Bulan kering adalah suatu bulan yang mempunyai curah hujan kurang dari 60
milimeter.
c. Bulan lembab adalah suatu bulan yang mempunyai curah hujan antara 60
sampai dengan 100 milimeter (Handoko, 1994:168).
Dalam penelitian ini digunakan penggolongan tipe iklim menurut
Schmidt-Ferguson didasarkan pada besarnya nilai “Ratio Quotient” (Q) yang
dihitung dengan menggunakan rumus.
Pembagian tipe iklim menurut Schmidt-Ferguson dapat dilihat pada Tabel
11 dibawah ini.
Tabel 11. Tipe Curah Hujan Menurut Schmidt-Ferguson
Nilai Tipe Sifat curah hujan
0,0% ≤ Q < 14,3%
14,3% ≤ Q < 33,3%
33,3% ≤ Q < 60,0%
60,0% ≤ Q < 100,0%
100,0% ≤ Q < 167,0%
167,0% ≤ Q < 300,0%
300,0% ≤ Q < 700,0%
700,0% ≤ Q < ~
A
B
C
D
E
F
G
H
Sangat basah
Basah
Agak basah
Sedang
Agak kering
Kering
Sangat kering
Luar biasa kering
Dengan menggunakan rumus “Q” maka tipe iklim di wilayah DAS
Grindulu hulu dapat ditentukan sebagai berikut:
Rata-rata bulan kering = 4,8Rata-rata bulan basah = 6,6
= 72,7%
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Berdasarkan nilai “Q” di atas maka tipe iklim di wilayah DAS Grindulu
hulu termasuk tipe iklim D yang sifatnya sedang. Penggolongan tipe curah hujan
menurut Schmidt-Ferguson dapat pula menggunakan diagram seperti pada
Gambar 23. di bawah ini.
Gambar 23. Tipe Curah Hujan DAS Grindulu Hulu Tahun 2000 - 2009 Menurut
Schmidt dan Ferguson.
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1
12
Rerata Bulan Basah
Rer
ata
Bula
n K
erin
g
H
G
F
E
D
C
B
A
7,000
3,000
1,670
1,000
s0,143
r0,333
0,666 Tegalombo dan Bandar
Tahunan
Nilai Q
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
3. Geologi
Keadaan geologi suatu daerah secara langsung berpengaruh terhadap
keberaan dan sifat sumberdaya air, yang selanjutnya berpengaruh terhadap
sumberdaya alam. Geologi merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi
karakter suatu daerah. Setiap daerah memiliki ciri khas sendiri berdasarkan
struktur geologi yang menyusun daerah tersebut. Jenis batuan dan struktur batuan
mempengaruhi kualitas dan karakteristik lahan suatu Daerah Aliran Sungai.
Berdasarkan pada Peta Geologi Lembar Pacitan Tahun 1992, DAS Grindulu Hulu
memiliki struktur geologi berupa sesar berarah timur laut-barat daya sampai
dengan barat laut-tenggara, dengan dua formasi batuan yaitu Formasi Watupatok
dan Formasi Terobosan Batuan Andesit. Pembahasan secara singkat kondisi dari
masing-masing formasi tersebut sebagai berikut:
a. Formasi Watupatok
Formasi Watupatok menjemari dengan bagian atas Formasi Mandalika dan
berdasarkan kedudukan stratigrafinya diduga berumur Oligo-Miosen. Struktur
bantal mencirikan bahwa lingkungan pengendapannya adalah laut. Formasi ini
terdiri dari batuan lava, bersisipan batu pasir, batulempung dan rijang.
Lava berwarna kehitaman, bersusunan basal, avanitik, vesikuler dan
terkekarkan. Sayatan tipisnya memperlihatkan tekstur porfiritik, dengan fenokris
labradorit (An57-An62) dan piroksin yang berukuran 0,5-1 mm. Masa dasarnya
berupa mikrolit plagioklas dan piroksin. Plagioklas dan piroksinnya sebagian
besar terubah menjadi klorit dan rongga bekas gasnya terisi mineral sekunder
zeolit dan karbonat. Lava ini berstruktur bantal dan diterobos oleh retas-retas
basal berjurus utara-selatan dengan lebar retas antara 40 dan 60 cm.
Batupasir berwarna kelabu kecoklatan, berbutir kasar, terdiri dari kepingan
batuan beku, kuarsa dan felspar. Jenis perekatnya adalah silika dan oksida besi.
Batuan ini berupa sisipan di dalam lava bantal, tebalnya berkisar antara 1 dan 3 m.
Batulempung berwarna kelabu kecoklatan, setempat berlapis baik dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
mengandung foraminifera kecil bentos. Tebal lapisannya berkisar antara 50 dan
100 cm. Setempat batulempung ini disisipi oleh tuf kasar.
Rijang berwarna coklat kemerahan, terkekarkan dan retakannya terisi oleh
kuarsa dan karbonat, sebagai sisipan pada lava. Tebalnya beragam antara 10 dan
15 cm.
Formasi geologi ini merupakan formasi yang mendominasi sebagian besar
satuan lahan yang ada di DAS Grindulu hulu yaitu dengan luas 76.649.036,47 m2.
b. Formasi Terobosan Batuan Andesit
Formasi ini hampir sama dengan Formasi Watupatok mengenai kedudukan
stratigrafinya yaitu berumur Oligo-Miosen.
Andesit berwarna kelabu kehitaman, pada sayatan tipisnya menunjukkan
tekstur porfiritik, subhedral, berukuran 0,3 hingga 0,5 mm, tersusun dari andesin
35%, ortoklas 15%, kuarsa 5%, mineral bijih 5%, mineral ubahan 10%, di dalam
masa dasar mikrolit plagioklas dan kaca gunungapi 30%. Sebagian felsparnya
terubah menjadi lempung.
Formasi geologi ini merupakan formasi yang lebih sedikit menyusun
satuan lahan yang ada di DAS Grindulu hulu yaitu dengan luas 6.626.572,331 m2.
4. Geomorfologi
Aspek kajian geomorfologi salah satunya adalah bentuklahan (landform).
Bentuklahan (landform) merupakan bagian dari permukaan bumi yang terbentuk
akibat pengaruh dari proses geomorfologis, proses geologis, dan struktur geologis
pada material batuan dalam ruang dan waktu dalam urutan tertentu. Aspek
bentuklahan merupakan studi yang mempelajari relief secara umum yang meliputi
morfologi dan morfometri. Penjelasan mengenai bentuklahan atau morfologi suatu
daerah meliputi bentuklahan yang dicirikan oleh relief (topografi), proses
geomorfologi dan struktur geologi (litologi).
Geomorfologi daerah penelitian dalam hal ini adalah DAS Grindulu hulu
merupakan morfologi perbukitan yaitu perbukitan berelief sedang dan perbukitan
berelief kasar. Morfologi perbukitan berelief sedang menempati daerah dengan
kemiringan berombak hingga bergelombang yaitu antara 8% - 15% dan 15% -
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
25% yang terletak di beberapa satuan lahan dan berada hampir merata di seluruh
desa-desa yang berada di DAS Grindulu hulu. Morfologi perbukitan berelief kasar
menempati daerah dengan kemiringan terjal yaitu antara 25% - 45% dan > 45%
yang terletak di beberapa satuan lahan dan berada pada beberapa desa diantaranya
Desa Gemaharjo, Desa Ploso, Desa Bangunsari, Desa Tahunan yang terletak di
Kabupaten Pacitan dan Desa Wates yang terletak di Kabupaten Ponorogo.
Morfologi berelief kasar yang berada di DAS Grindulu hulu ini disusun oleh
batuan gunungapi dan batuan sedimen. . Morfologi berbentuk tonjolan yang
terdapat di daerah penelitian merupakan batuan terobosan yang bersusunan
andesit. Satuan morfologi ini terdiri dari bukit-bukit dan gunung-gunung kecil
menjulang hingga 1100 meter dpal.
5. Tanah
Tanah merupakan suatu benda alami heterogen yang terdiri atas
komponen-komponen padat, cair dan gas dan mempunyai sifat serta perilaku yang
dinamik, yang terbentuk sebagai hasil kerja interaksi antara iklim, jasad hidup,
terhadap suatu bahan induk yang dipengaruhi oleh relief tempatnya terbentuk dan
waktu. Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa faktor-
faktor pembentuk tanah terdiri dari: iklim, bahan induk, relief, organisme dan
waktu. Dalam mempengaruhi pembentukan dan perkembangan tanah, faktor-
faktor tersebut tidak mempunyai intensitas yang sama, sehingga berakibat bahwa
pada setiap tempat di permukaan bumi mempunyai sifat dan karakteristik tanah
yang tidak homogen atau sama. Dari perbedaan tersebut dimungkinkan terjadi
perbedaan penamaan dalam setiap kategorinya. Disamping itu lahan pada
berbagai tempat dimungkinkan pula mempunyai perbedaan kemampuan dan
kesesuaian lahan dalam kaitannya dengan penggunaan lahan. Pembentukan tanah
di DAS Grindulu hulu sangat dipengaruhi oleh bahan induk dan relief.
Berdasarkan Peta Tanah skala 1:50.000 tanah di daerah penelitian dapat
dibedakan menjadi dua macam tanah yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
a. Litosol
Tanah litosol merupakan tanah yang dianggap paling muda, sehingga
bahan induknya seringkali dangkal (kurang dari 45 cm) atau tampak tanah sebagai
batuan padat yang padu (consolidated). Dengan demikian maka profilnya belum
memperlihatkan horison-horison dengan sifat-sifat dan ciri-ciri morfologi yang
masih menyerupai sifat-sifat dan ciri-ciri batuan induknya. Tanah ini belum lama
mengalami perkembangan tanah, akibat pengaruh iklim yang rendah, letusan
vulkan atau topografi yang terlalu miring atau bergelombang (Darmawijaya,
1990:287). Berikut disajikan penampang melintang atau profil tanah litosol pada
gambar 24 di bawah ini.
Gambar 24. Penampang Melintang/ Profil Tanah Litosol pada Satuan Lahan
Tomw-IV-Li-Kb
Pada daerah penelitian tanah ini dijumpai di puncak-puncak bukit yang
memiliki kemiringan lereng agak curam hingga sangat curam dan merupakan
lahan kritis dengan Tingkat Bahaya Erosi yang berat. Tanah ini rata-rata memiliki
struktur remah dan tekstur geluh. Umumnya lapisan atas tanah litosol yang berada
di daerah penelitian telah hilang akibat erosi yang intensif terjadi. Oleh karena itu,
upaya penghijauan untuk tanah ini telah dilakukan oleh pemerintah setempat
walaupu dalam luasan yang tidak terlalu signifikan. Mengingat solum tanah
litosol ini yang sangat dangkal, maka dapat menjadikan faktor pembatas terhadap
program penghijauan yang dilakukan oleh pemerintah setempat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Macam tanah litosol ini hanya sedikit sekali luasannya yaitu 473,64 Ha
dari seluruh luas tanah yang ada di DAS Grindulu hulu.
b. Kompleks Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol
Kompleks tanah adalah beberapa macam atau seri tanah yang dilapangan
areal masing-masing satuan tanah tidak teratur, batas penyebarannya masing-
masing tidak dapat ditetapkan karena terlalu rumit dan sempit untuk digambarkan
dalam satu satuan peta (Darmawijaya, 1990:252).
Tanah latosol yaitu tanah yang banyak mengandung zat besi dan
aluminium. Tanah ini sudah sangat tua, sehingga kesuburannya rendah. Tanah ini
telah berkembang atau terjadi diferensiasi horizon, kedalaman dalam, tekstur
lempung, struktur remah hingga gumpal, konsistensi gembur hingga agak teguh,
warna coklat, merah hingga kuning.
Tanah latosol coklat kemerahan berasal dari bahan induk basa seperti
basalt, diabas, diorite, andesit dan juga granit serta genesis yang mengandung
mika hitam. Macam tanah ini mengalami pelapukan pelindian yang lebih muda,
sehingga batas horisonnya kabur dengan ciri-ciri lain kadang-kadang
memperlihatkan plinthite atau lapisan sesquioxid, struktur gumpal dan selaput
lempung (Darmawijaya, 1990:307). Berikut disajikan penampang melintang atau
profil tanah latosol coklat kemerahan pada gambar 25 di bawah ini.
Gambar 25. Penampang Melintang/Profil Tanah Latosol Coklat Kemerahan pada
Satuan Lahan Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Tg
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Karakteristik tanah ini di daerah penelitian umumnya memiliki kedalaman
efektif yang sangat dalam dengan struktur tanah remah dan tekstur umumnya
lempung. Penggunaan lahan pada macam tanah ini dimanfaatkan untuk
permukiman, kebun campuran dan tegal.
Macam tanah kompleks latosol coklat kemerahan ini luasannya hampir
mendominasi dari seluruh luas tanah yang ada di DAS Grindulu hulu yaitu
sebesar 7853,92 Ha.
6. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan merupakan bentuk setiap campur tangan manusia
terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material
maupun spiritual. Pembagian penggunaan lahan dibedakan menjadi 2 yaitu untuk
pertanian dan non pertanian. Pertanian meliputi: ladang (perladangan), tegalan dan
sawah, sedangkan penggunaan lahan non pertanian adalah untuk hutan,
perkebunan, permukiman (pekarangan) dan lahan kosong.
Penggunaan lahan yang terdapat di DAS Grindulu hulu dipengaruhi oleh
kualitas dan karakteristik lahan. Disamping itu bentuk penggunaan lahan saling
berpengaruh dengan perekonomian masyarakat di DAS Grindulu hulu. Bentuk
penggunaan lahan yang terdapat di DAS Grindulu hulu meliputi: sawah,
permukiman, tegalan, perkebunan, dan semak. Luas masing-masing penggunaan
lahan dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah ini.
Tabel 12 . Penggunaan Lahan di DAS Grindulu hulu
No. Bentuk Penggunaan Lahan Luas (Ha)
1. Permukiman 994,38
2. Kebun/Perkebunan 1126,6
3. Sawah 3447,18
4. Tegalan 2411,6
5. Semak 49
Sumber: Interpretasi Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 25.000 Tahun 2001
Lembar 1507 – 443 Tegalombo dan 1508 – 121 Kismantoro dari Badan
Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
7. Keadaan Penduduk
Keadaan penduduk atau jumlah penduduk suatu daerah merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi penggunaan lahan serta tekanan demografi
suatu lingkungan terutama berkaitan dengan fungsi suatu DAS. Penyajian data
mengenai jumlah dan besarnya tingkat kepadatan penduduk di kecamatan yang
termasuk dalam DAS Grindulu hulu berdasarkan data dari BPS Kabupaten
Pacitan dan Ponorogo dalam angka tahun 2009 dapat dilihat pada penjelasan
berikut ini:
a. Kecamatan Tegalombo
Jumlah dan komposisi penduduk di Kecamatan Tegalombo dapat menjadi
faktor tekanan demografi terhadap lingkungan dan merupakan penduduk yang
rentan dan berisiko terhadap terjadinya longsor. Pada tabel 13 di bwah ini dapat
dilihat jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Tegalombo yang termasuk dalam
wilayah DAS Grindulu hulu adalah sebagai berikut.
Tabel 13. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Tegalombo Tahun 2009
No Desa Jumlah Penduduk (jiwa) Luas
(km2)
Kepadatan
(jiwa/km2) Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Gemaharjo 3056 3039 6095 14,48 421
2. Ploso 2895 2891 5786 18,37 315
3. Tahunan 1857 1899 3756 11,09 339
Jumlah 7808 7829 15637 43,94 1075
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pacitan Tahun 2009
Tabel 13 diatas memperlihatkan Kecamatan Tegalombo yang masuk
dalam DAS Grindulu hulu ada 3 desa dengan luas keseluruhannya sebesar 43,94
km2. Di 3 desa tersebut berdasarkan data Kabupaten Pacitan dalam angka tahun
2009 mempunyai jumlah penduduk 15.637 jiwa dengan jumlah penduduk laki -
laki 7.808 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 7.829 jiwa. Tingkat kepadatan
penduduk tertinggi terdapat di Desa Gemaharjo yaitu dengan 421 jiwa/km2. Hal
ini terjadi karena Desa Gemaharjo berada di perbatasan antara Kabupaten Pacitan
dan Kabupaten Ponorogo dan merupakan jalur lintas kabupaten. Sementara
tingkat kepadatan penduduk terendah adalah di Desa Ploso yaitu dengan 315 jiwa/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
km2. Tingkat kepadatan penduduk ini berdampak pada tingkat kerentanan dan
tingkat risiko longsor yang disebabkan adanya potensi dan kejadian bencana
longsor di desa-desa tersebut.
b. Kecamatan Bandar
Jumlah dan komposisi penduduk di Kecamatan Bandar dapat menjadi
faktor tekanan demografi terhadap lingkungan dan merupakan penduduk yang
rentan dan berisiko terhadap terjadinya longsor. Pada tabel 14 dibwah ini dapat
dilihat jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Bandar yang termasuk dalam
wilayah DAS Grindulu hulu adalah sebagai berikut.
Tabel 14. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Bandar Tahun 2009
No Desa Jumlah Penduduk (jiwa) Luas
(km2)
Kepadatan
(jiwa/km2) Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Bandar 4475 5080 9555 17,9 534
2. Kledung 1689 1665 3354 12,6 266
3. Tumpuk 2409 2422 4831 11,3 428
4. Watupatok 1996 2017 4013 12,4 324
5. Bangunsari 2430 2433 4863 11,8 412
Jumlah 12999 13617 26616 66 1964
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pacitan Tahun 2009
Tabel 14 diatas memperlihatkan Kecamatan Bandar yang masuk dalam
DAS Grindulu hulu ada 5 desa dengan luas keseluruhannya sebesar 66 km2. Di 5
desa tersebut berdasarkan data Kabupaten Pacitan dalam angka tahun 2009
mempunyai jumlah penduduk 26.616jiwa dengan jumlah penduduk laki - laki
12.999 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 13.617 jiwa. Tingkat kepadatan
penduduk tertinggi terdapat di Desa Bandar yaitu dengan 421 jiwa/km2. Hal ini
terjadi karena Desa Bandar merupakan desa yang peradabannya sudah mulai maju
dan segala aktivitas atau pusat kegiatan penduduk baik dari Desa Bandar itu
sendiri maupun dari desa-desa yang lain berada di desa tersebut. Sementara
tingkat kepadatan penduduk terendah adalah di Desa Kledung yaitu dengan 266
jiwa/ km2. Tingkat kepadatan penduduk ini berdampak pada tingkat kerentanan
dan tingkat risiko longsor yang disebabkan adanya potensi dan kejadian bencana
longsor di desa-desa tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
c. Kecamatan Slahung
Jumlah dan komposisi penduduk di Kecamatan Slahung dapat menjadi
faktor tekanan demografi terhadap lingkungan dan merupakan penduduk yang
rentan dan berisiko terhadap terjadinya longsor. Pada tabel 15 dibwah ini dapat
dilihat jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Slahung yang termasuk dalam
wilayah DAS Grindulu hulu adalah sebagai berikut.
Tabel 15. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Slahung Tahun 2009
No Desa Jumlah Penduduk (jiwa) Luas
(km2)
Kepadatan
(jiwa/km2) Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Wates 1032 1056 2088 8,31 251
2. Tugurejo 1050 1195 2245 7,79 288
Jumlah 2082 2251 4333 16,1 539
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo Tahun 2009
Tabel 15 diatas memperlihatkan Kecamatan Slahung yang masuk dalam
DAS Grindulu hulu ada 2 desa dengan luas keseluruhannya sebesar 16,1 km2. Di 2
desa tersebut berdasarkan data Kabupaten Ponorogo dalam angka tahun 2009
mempunyai jumlah penduduk 4.333 jiwa dengan jumlah penduduk laki - laki
2.082 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 2.251 jiwa Tingkat kepadatan
penduduk tertinggi terdapat di Desa Tugurejo yaitu dengan 288 jiwa/km2.
Sementara tingkat kepadatan penduduk terendah adalah di Desa Wates yaitu
dengan 251 jiwa/ km2. Tingkat kepadatan penduduk ini berdampak pada tingkat
kerentanan dan tingkat risiko longsor yang disebabkan adanya potensi dan
kejadian bencana longsor di desa-desa tersebut.
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Satuan Lahan Daerah Penelitian
Satuan lahan merupakan satuan wilayah dengan satu atau lebih
karakteristik lahan tertentu yang dapat digambarkan dalam suatu peta. Penelitian
ini menggunakan satuan lahan sebagai satuan analisis dan satuan pemetaannya.
Parameter penyusun satuan lahan diperoleh dari tumpangsusun (overlay) peta-peta
dasar dan peta tematik, yaitu: peta geologi, peta tanah, peta lereng, dan peta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
penggunaan lahan. Parameter penyusun satuan lahan DAS Grindulu hulu antara
lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Formasi Batuan
Penyusun satuan lahan yang pertama adalah formasi geologi. Satuan
batuan yang digunakan sebagai penyusun satuan lahan menggunakan nama
formasi batuan. Hal ini karena setiap formasi batuan mempunyai jenis dan
struktur batuan yang berbeda, sehingga karakteristik dalam menanggapi tenaga
asal luar (eksogen) juga berbeda. Pada batuan yang keras dan kompak akan lebih
sulit terlapuk dan tererosi dibandingkan sifat batuan yang lunak dan banyak
terdapat struktur retakan (joint) dan patahan (fault).
Berdasarkan litologinya, DAS Grindulu hulu tersusun atas 2 formasi
batuan seperti yang terlihat pada Tabel 16. dibawah ini.
Tabel 16. Formasi Batuan di DAS Grindulu Hulu.
No. Formasi Batuan Simbol Luas
m2 %
1. Formasi Watupatok Tomw 76.649.036,47 92,04
2. Formasi Terobosan Batuan Andesit Tomi (an) 6.626.572,331 7,96
Jumlah 83.275.608,801 100,00
Sumber: Peta Geologi Lembar Pacitan Skala 1:100.000 Tahun 1992 (Puslitbang
Geologi, Bandung)
Berdasarkan pada Tabel 16 diatas, formasi batuan yang paling luas di DAS
Grindulu hulu adalah Formasi Watupatok dengan luas 76.649.036,47 m2
(92,04%). Sedangkan formasi batuan yang paling sempit adalah Formasi
Terobosan Batuan Andesit dengan luas 6.626.572,331 m2 (7,96%).
Persebaran tentang formasi geologi daerah penelitian dapat dilihat pada
Peta 2 berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Peta 2. Geologi DAS Grindulu Hulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
b. Kemiringan Lereng
Penyusun satuan lahan yang kedua adalah kemiringan lereng. Variabel
kemiringan lereng merupakan salah satu variabel yang sangat berpengaruh
terhadap penentuan besar longsor dan Tingkat Bahaya Longsor (TBL).
Kemiringan lereng dapat dihitung dan diketahui melalui peta topografi atau peta
rupa bumi daerah yang bersangkutan, yaitu dengan melakukan deleniasi kontur
yang ada di dalamnya. Dilihat dari kemiringan lereng maka DAS Grindulu hulu
dapat dibagi dalam 4 kelompok daerah kelerengan yaitu daerah landai (8 – 15%),
agak curam (15 – 25%), curam (25 – 45%) dan sangat curam (>45%).
Pengelompokan tersebut berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng yang menurut
pembagian dari Asdak (1995: 512).
Kelas kemiringan lereng yang paling luas di DAS Grindulu hulu adalah
lereng kelas III (15 – 25%), dengan luas area 37.932.915,925 m2. Kemiringan
lereng yang paling sempit adalah lereng kelas V (> 45%), dengan luas area
982.211,226 m2. Perbandingan luas kelas kemiringan lereng dapat dilihat pada
Tabel 17. berikut ini.
Tabel 17. Kemiringan Lereng di DAS Grindulu hulu.
No. Kemiringan
Lereng (%) Keterangan Simbol
Luas
m2 %
1. 8 – 15 Landai II 30.801.376,715 36,98
2. 15 – 25 Agak curam III 37.932.915,925 45,55
3. 25 – 45 Curam IV 13.559.057,698 16,28
4. > 45 Sangat curam V 982.211,226 1,19
Jumlah 83.275.561,564 100,00
Sumber: Interpretasi Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 25.000 Tahun 2001
Lembar 1507 – 443 Tegalombo dan 1508 – 121 Kismantoro dari Badan
Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional.
Persebaran kemiringan lereng daerah penelitian dapat dilihat pada Peta 3
berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Peta 3. Lereng DAS Grindulu Hulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
c. Tanah
Penyusun satuan lahan yang ketiga adalah tanah. Satuan tanah yang
digunakan adalah dalam kategori macam. Berdasarkan Peta Tanah Skala 1:50.000
daerah penelitian memiliki dua macam tanah seperti yang terdapat pada Tabel 18.
di bawah ini.
Tabel 18. Macam Tanah yang Terdapat di DAS Grindulu hulu
No. Macam Tanah Simbol Luas
m2 %
1. Kompleks Latosol Coklat Kemerahan KLaCKmr & Li 78.539.048,939 94,31
2. Litosol Li 4.736.559,861 5,69
Total 83.275.608,800 100
Sumber: Peta Tanah Kabupaten Pacitan Skala 1: 50.000 (BAPPEDA Kabupaten
Pacitan)
Berdasarkan pada Tabel 16. di atas tanah yang paling luas di DAS
Grindulu hulu adalah Kompleks Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol dengan
luas 78.539.048,939 m2 (94,31%). Luasan tanah yang paling sempit adalah tanah
Litosol dengan luas 4.736.559,861 m2
(5,69%).
Persebaran tanah daerah penelitian dapat dilihat pada Peta 4 berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Peta 4. Tanah DAS Grindulu Hulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
d. Penggunaan Lahan
Penyusun satuan lahan yang keempat adalah penggunaan lahan.
Penggunaan lahan merupakan hasil interaksi antara aktivitas manusia dengan
lingkungan alami. Berdasarkan jenis penggunaan lahan di DAS Grindulu hulu
dapat dibedakan menjadi 5 jenis, seperti yang terlihat pada Tabel 19. di bawah ini.
Tabel 19 . Penggunaan Lahan di DAS Grindulu hulu
No. Bentuk Penggunaan Lahan Luas (Ha)
1. Permukiman 994,38
2. Kebun/Perkebunan 1126,6
3. Sawah 3447,18
4. Tegalan 2411,6
5. Semak 49
Sumber: Interpretasi Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 25.000 Tahun 2001
Lembar 1507 – 443 Tegalombo dan 1508 – 121 Kismantoro dari Badan
Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional.
Dengan melihat tabel tersebut maka penggunaan lahan di daerah penelitian
dalam hal ini adalah DAS Grindulu hulu di dominasi oleh penggunaan lahan
sawah dengan luas 3447,18 Ha. Hal tersebut tidak terlepas dari mata pencaharian
penduduknya yang sebagian besar adalah petani. Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan di lapangan, penggunaan lahan di daerah penelitian belum mengalami
perubahan yang signifikan.
Persebaran penggunaan lahan daerah penelitian dapat dilihat pada Peta 5
berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Peta 5. Penggunaan Lahan DAS Grindulu Hulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Berdasar hasil analisis overlay atau tumpangsusun peta dasar, yaitu peta
tanah, lereng, geologi, dan penggunaan lahan, dihasilkan 44 jenis satuan lahan
yang tersebar di daerah penelitian. Satuan lahan sebagai satuan analisis, maka
pada setiap satuan lahan yang ada dilakukan pengamatan di lapangan. Dari ke 44
satuan lahan tersebut tidak seluruhnya diambil sampel tanah karena kondisi
medan yang tidak memungkinkan, jadi hanya diambil yang mewakili saja. Untuk
lebih lengkapnya data hasil seluruh pengamatan di lapangan dari ke 44 satuan
lahan dapat disajikan pada tabel. 20. sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Tabel. 20. Karakteristik Lahan DAS Grindulu hulu
No/ SL_ID
Satuan Lahan Koordinat Karakteristik Lahan
Lintang Bujur Kemiringan
Lereng (%)
Solum
(cm)
Tekstur Permeabilitas
tanah (cm/jam)
Kedalaman
Pelapukan (cm)
Penggunaan Lahan Ketinggian
(m)
1 Tomw-V-Li-Kb 9109753 536691 68.9 22 Geluh debuan 88.6 70 Kebun campuran tak berteras 375
2 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Tg 9111373 535075 46.7 60 Geluh debuan 63.68 75 Tegal 615
3 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Sw 9111148 534849 51.1 30 Geluh debuan 63.68 70 Sawah 607
4 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Pmk 9110949 534446 53.3 65 Geluh debuan 63.68 85 Permukiman 598
5 Tomw-IV-Li-Tg 9117962 538066 35.6 20 Lempung 30,25 85 Tegal 643
6 Tomw-IV-Li-Sw 9117972 538185 44.4 15 Lempung 30,25 40 Sawah 756
7 Tomw-IV-Li-Pmk 9111290 536885 42.2 18 Geluh debuan 30,25 40 Permukiman 415
8 Tomw-IV-Li-Kb 9109709 536597 40 20 Geluh debuan 18.52 80 Kebun campuran tak berteras 375
9 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Tg 9117810 538049 37.8 65 Lempung 0.07 85 Tegal 701
10 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sw 9110978 534805 33.3 65 Lempung 40.75 80 Sawah 638
11 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sm 9110833 534664 40 35 Lempung 40.75 60 Semak belukar 632
12 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Pmk 9110747 538139 28.9 30 Geluh lempungan 48.4 40 Permukiman 614
13 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Kb 9109811 537290 33.3 75 Geluh debuan 63.68 85 Kebun campuran tak berteras 620
14 Tomw-III-Li-Tg 9118146 537951 22.2 15 Geluh lempungan 0.24 90 Tegalan berteras 902
15 Tomw-III-Li-Sw 9121676 532762 20 21 Geluh lempung debuan 40.75 40 Sawah 800
16 Tomw-V-Li-Pmk 9121435 532921 60 22 Geluh lempungan 30,35 35 Permukiman 790
17 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Tg 9118131 537748 22.2 65 Geluh debuan 0.17 90 Tegalan berteras 644
18 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Sw 9120689 532625 11.1 30 Geluh 1 70 Sawah 789
19 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Sm 9111452 534869 20 35 Geluh 1 60 Semak belukar 653
20 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Pmk 9111513 534745 15.6 45 Lempung 0.17 60 Permukiman 637
21 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Kb 9111430 534712 17.7 30 Geluh 31.35 90 Kebun campuran berteras 647
22 Tomw-II-Li-Tg 9122216 533928 13.3 18 Geluh 21.68 80 Tegalan berteras 826
23 Tomw-II-Li-Sw 9122184 534140 8.9 20 Lempung 27,35 100 Sawah 817
24 Tomw-II-Li-Pmk 9121981 534071 8.9 15 Geluh lempung debuan 25.25 70 Permukiman 825
25 Tomw-II-Li-Kb 9111012 536977 11.1 19 Geluh debuan 30,25 65 Kebun campuran berteras 413
26 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Tg 9112200 537538 13.3 60 Geluh lempungan 0.1 120 Tegalan berteras 700
27 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Sw 9120637 532648 11.1 30 Lempung 0.07 60 Sawah 690
28 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Pmk 9111080 537161 8.9 35 Geluh lempung debuan 8.32 70 Permukiman 763
29 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Kb 9110889 537151 13.3 40 Geluh lempung debuan 8.32 65 Kebun campuran berteras 674
30 Tomi (an)-V-Li-Pmk 9109803 537085 71.1 21 Geluh debuan 88.6 85 Permukiman 481
31 Tomi (an)-V-Li-Kb 9109684 536755 68.9 16 Geluh debuan 88.6 70 Kebun campuran tak berteras 396
32 Tomi (an)-V-KLaCKmr & Li-Pmk 9109761 537156 66.7 60 Geluh debuan 63.68 80 Permukiman 426
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
33 Tomi (an)-V-KLaCKmr & Li-Tg 9109667 537177 77.8 70 Geluh debuan 63.68 75 Tegal 467
34 Tomi (an)-IV-Li-Kb 9109704 538124 40 20 Geluh debuan 18.52 80 Kebun campuran tak berteras 448
35 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Tg 9113360 538070 42.2 65 Lempung 0.07 85 Tegal 800
36 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Sw 9110894 538760 40 65 Lempung 40.75 80 Sawah 586
37 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Pmk 9109778 537228 37.8 30 Geluh lempungan 48.4 40 Permukiman 598
38 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Kb 9110703 538287 40 75 Geluh debuan 63.68 85 Kebun campuran tak berteras 556
39 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Tg 9113374 538021 13.3 60 Geluh lempungan 0.1 120 Tegalan berteras 457
40 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Sw 9110928 538884 11.1 30 Lempung 0.07 60 Sawah 437
41 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Pmk 9110994 538857 8.9 35 Geluh lempung debuan 8.32 70 Permukiman 543
42 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Kb 9110927 538938 11.1 40 Geluh lempung debuan 8.32 65 Kebun campuran tak berteras 605
43 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Sm 9111379 534959 46.7 35 Geluh debuan 63.68 60 Semak belukar 553
44 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Kb 9110977 534425 71.1 70 Geluh debuan 63.68 75 Kebun campuran tak berteras 479
Sumber: - Hasil Pengamatan Lapangan
- Hasil Analisa Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNS 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Melihat tabel tersebut diatas pada 44 satuan lahan memiliki karakteristik
lahan masing-masing yang cukup variatif. Oleh karena itu, faktor pemicu
terjadinya longsoran pun juga berbeda-beda. Untuk melihat persebaran satuan
lahan yang ada di DAS Grindulu hulu maka dapat dilihat dalam peta 6. sebagai
berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Peta 6. Satuan Lahan DAS Grindulu Hulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
2. Tingkat Bahaya Longsor dan Karakteristik Tipe Longsor
Tingkat Bahaya Longsor merupakan kemungkinan terjadinya longsoran
tanah/ batuan diwaktu yang akan datang dan mengganggu serta merugikan aktivitas
manusia. Penentuan Tingkat Bahaya Longsor (TBL) di DAS Grindulu hulu
dilakukan dengan teknik skoring, yaitu dengan memberikan pengharkatan terhadap
faktor penentu longsor yaitu: kemiringan lereng, solum tanah, permebilitas tanah,
kedalaman pelapukan, penggunaan lahan, curah hujan, dan tekstur tanah.
Pendekatan penskoran Tingkat Bahaya Longsor (TBL) ini menggunakan satuan
lahan sebagai satuan analisisnya, sehingga parameter-parameter lahan yang telah
ditetapkan nilainya baik secara laboratorium maupun lapangan dapat diketahui
nilainya. Masing-masing data parameter penentu longsor pada setiap satuan lahan
diberikan harkat mulai dari 1 hingga 5. Harkat 1 (rendah) menunjukkan peran
dalam mendukung proses terjadinya longsoran adalah rendah, sedangkan harkat 5
(tinggi) menunjukkan peran dalam mendukung terjadinya proses longsoran adalah
tinggi. Untuk memberikan skor terhadap seluruh parameter penentu longsor tidak
semata-mata hanya menjumlahkan harkat yang ada pada masing-masing parameter,
akan tetapi dengan memberikan bobot terlebih dahulu sehingga dapat dibedakan
faktor pemicu atau parameter yang paling besar memicu terjadinya bahaya longsor.
Selanjutnya, tabulasi hasil pengukuran parameter dan penskoran parameter
disajikan dalam tabel 21.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Tabel 21. Tingkat Bahaya Longsor DAS Grindulu Hulu
NO/
SL_ID
Satuan Lahan Parameter Jumlah Kelas
Kemiringan
Lereng (%)
Curah
Hujan
(mm/hari)
Penggunaan
Lahan
Kedalaman
Pelapukan
(cm)
Solum Tanah
(cm)
Permeabilitas
(cm/jam)
Tekstur
Tanah
H B S H B S H B S H B S H B S H B S H B S
1 Tomw-V-Li-Kb 5 5.5 27.5 2 1 2 4 1.5 6 1 0.7 0.7 2 0.5 1 1 0.3 0.3 4 0.5 2 39.5 T
2 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Tg 5 5.5 27.5 2 1 2 4 1.5 6 5 0.7 3.5 4 0.5 2 1 0.3 0.3 4 0.5 2 43.3 ST
3 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Sw 5 5.5 27.5 2 1 2 5 1.5 7.5 5 0.7 3.5 4 0.5 2 1 0.3 0.3 4 0.5 2 44.8 ST
4 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Pmk 5 5.5 27.5 2 1 2 3 1.5 4.5 5 0.7 3.5 4 0.5 2 1 0.3 0.3 4 0.5 2 41.8 T
5 Tomw-IV-Li-Tg 4 5.5 22 2 1 2 4 1.5 6 1 0.7 0.7 1 0.5 0.5 1 0.3 0.3 5 0.5 2.5 34 S
6 Tomw-IV-Li-Sw 4 5.5 22 2 1 2 5 1.5 7.5 1 0.7 0.7 1 0.5 0.5 1 0.3 0.3 5 0.5 2.5 35.5 T
7 Tomw-IV-Li-Pmk 4 5.5 22 2 1 2 3 1.5 4.5 1 0.7 0.7 1 0.5 0.5 1 0.3 0.3 4 0.5 2 32 S
8 Tomw-IV-Li-Kb 4 5.5 22 2 1 2 4 1.5 6 1 0.7 0.7 1 0.5 0.5 1 0.3 0.3 4 0.5 2 33.5 S
9 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Tg 4 5.5 22 2 1 2 4 1.5 6 5 0.7 3.5 4 0.5 2 5 0.3 1.5 5 0.5 2.5 39.5 T
10 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sw 4 5.5 22 2 1 2 5 1.5 7.5 5 0.7 3.5 4 0.5 2 1 0.3 0.3 5 0.5 2.5 39.8 T
11 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sm 4 5.5 22 2 1 2 3 1.5 4.5 4 0.7 2.8 3 0.5 1.5 1 0.3 0.3 5 0.5 2.5 35.6 T
12 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Pmk 4 5.5 22 2 1 2 3 1.5 4.5 3 0.7 2.1 3 0.5 1.5 1 0.3 0.3 3 0.5 1.5 33.9 S
13 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Kb 4 5.5 22 2 1 2 4 1.5 6 3 0.7 2.1 3 0.5 1.5 1 0.3 0.3 4 0.5 2 35.9 T
14 Tomw-III-Li-Tg 3 5.5 16.5 2 1 2 2 1.5 3 1 0.7 0.7 1 0.5 0.5 5 0.3 1.5 3 0.5 1.5 25.7 R
15 Tomw-III-Li-Sw 3 5.5 16.5 2 1 2 5 1.5 7.5 1 0.7 0.7 1 0.5 0.5 1 0.3 0.3 3 0.5 1.5 29 S
16 Tomw-V-Li-Pmk 5 5.5 27.5 2 1 2 3 1.5 4.5 1 0.7 0.7 2 0.5 1 1 0.3 0.3 3 0.5 1.5 37.5 T
17 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Tg 3 5.5 16.5 2 1 2 2 1.5 3 2 0.7 1.4 2 0.5 1 5 0.3 1.5 4 0.5 2 27.4 S
18 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Sw 3 5.5 16.5 2 1 2 5 1.5 7.5 2 0.7 1.4 2 0.5 1 4 0.3 1.2 1 0.5 0.5 30.1 S
19 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Sm 3 5.5 16.5 2 1 2 3 1.5 4.5 3 0.7 2.1 3 0.5 1.5 4 0.3 1.2 1 0.5 0.5 28.3 S
20 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Pmk 3 5.5 16.5 2 1 2 3 1.5 4.5 2 0.7 1.4 2 0.5 1 5 0.3 1.5 5 0.5 2.5 29.4 S
21 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Kb 3 5.5 16.5 2 1 2 2 1.5 3 2 0.7 1.4 3 0.5 1.5 1 0.3 0.3 1 0.5 0.5 25.2 R
22 Tomw-II-Li-Tg 2 5.5 11 2 1 2 2 1.5 3 2 0.7 1.4 2 0.5 1 1 0.3 0.3 1 0.5 0.5 19.2 R
23 Tomw-II-Li-Sw 2 5.5 11 2 1 2 5 1.5 7.5 1 0.7 0.7 1 0.5 0.5 1 0.3 0.3 5 0.5 2.5 24.5 R
24 Tomw-II-Li-Pmk 2 5.5 11 2 1 2 3 1.5 4.5 1 0.7 0.7 1 0.5 0.5 1 0.3 0.3 3 0.5 1.5 20.5 R
25 Tomw-II-Li-Kb 2 5.5 11 2 1 2 2 1.5 3 1 0.7 0.7 1 0.5 0.5 1 0.3 0.3 4 0.5 2 19.5 R
26 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Tg 2 5.5 11 2 1 2 2 1.5 3 3 0.7 2.1 2 0.5 1 5 0.3 1.5 3 0.5 1.5 22.1 R
27 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Sw 2 5.5 11 2 1 2 5 1.5 7.5 2 0.7 1.4 3 0.5 1.5 5 0.3 1.5 5 0.5 2.5 27.4 S
28 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Pmk 2 5.5 11 2 1 2 3 1.5 4.5 2 0.7 1.4 2 0.5 1 2 0.3 0.6 3 0.5 1.5 22 R
29 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Kb 2 5.5 11 2 1 2 2 1.5 3 2 0.7 1.4 2 0.5 1 2 0.3 0.6 3 0.5 1.5 20.5 R
30 Tomi (an)-V-Li-Pmk 5 5.5 27.5 2 1 2 3 1.5 4.5 1 0.7 0.7 2 0.5 1 5 0.3 1.5 3 0.5 1.5 38.7 T
31 Tomi (an)-V-Li-Kb 5 5.5 27.5 2 1 2 4 1.5 6 1 0.7 0.7 2 0.5 1 1 0.3 0.3 4 0.5 2 39.5 T
32 Tomi (an)-V-KLaCKmr & Li-Pmk 5 5.5 27.5 2 1 2 3 1.5 4.5 5 0.7 3.5 4 0.5 2 1 0.3 0.3 4 0.5 2 41.8 T
33 Tomi (an)-V-KLaCKmr & Li-Tg 5 5.5 27.5 2 1 2 4 1.5 6 5 0.7 3.5 4 0.5 2 1 0.3 0.3 4 0.5 2 43.3 ST
34 Tomi (an)-IV-Li-Kb 4 5.5 22 2 1 2 4 1.5 6 1 0.7 0.7 1 0.5 0.5 1 0.3 0.3 4 0.5 2 33.5 S
35 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Tg 4 5.5 22 2 1 2 4 1.5 6 4 0.7 2.8 3 0.5 1.5 5 0.3 1.5 5 0.5 2.5 38.3 T
36 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Sw 4 5.5 22 2 1 2 5 1.5 7.5 5 0.7 3.5 4 0.5 2 1 0.3 0.3 5 0.5 2.5 39.8 T
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
37 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Pmk 4 5.5 22 2 1 2 3 1.5 4.5 5 0.7 3.5 4 0.5 2 1 0.3 0.3 3 0.5 1.5 35.8 T
38 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Kb 4 5.5 22 2 1 2 4 1.5 6 3 0.7 2.1 3 0.5 1.5 1 0.3 0.3 4 0.5 2 35.9 T
39 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Tg 2 5.5 11 2 1 2 2 1.5 3 2 0.7 1.4 2 0.5 1 5 0.3 1.5 3 0.5 1.5 21.4 R
40 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Sw 2 5.5 11 2 1 2 5 1.5 7.5 2 0.7 1.4 3 0.5 1.5 5 0.3 1.5 5 0.5 2.5 27.4 S
41 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Pmk 2 5.5 11 2 1 2 3 1.5 4.5 2 0.7 1.4 2 0.5 1 2 0.3 0.6 3 0.5 1.5 22 R
42 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Kb 2 5.5 11 2 1 2 4 1.5 6 2 0.7 1.4 2 0.5 1 2 0.3 0.6 3 0.5 1.5 23.5 R
43 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Sm 5 5.5 27.5 2 1 2 3 1.5 4.5 5 0.7 3.5 4 0.5 2 1 0.3 0.3 4 0.5 2 41.8 T
44 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Kb 5 5.5 27.5 2 1 2 4 1.5 6 5 0.7 3.5 4 0.5 2 1 0.3 0.3 4 0.5 2 43.3 ST
Sumber: Hasil Analisis Data
Keterangan:
H: Harkat
B: Bobot
S: Skor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Secara umum, pada curah hujan dan macam tanah yang sama, semakin
besar skor kemiringan lereng, kedalaman pelapukan batuan, dan solum tanah
menunjukkan tingkat bahaya longsor tanah yang semakin tinggi pula.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan teknik skoring pada
tabel di atas, maka diperoleh klasifikasi Tingkat Bahaya Longsor (TBL) di DAS
Grindulu hulu yang terbagi menjadi 4 kelas, yaitu mulai dari Rendah (R), Sedang
(S), Tinggi (T) dan Sangat Tinggi (ST). Selanjutnya penjelasan dari masing-
masing Tingkat Bahaya Longsor adalah sebagai berikut:
a. Tingkat Bahaya Longsor Rendah (R)
Daerah dengan Tingkat Bahaya Longsor Rendah adalah daerah yang
mempunyai potensi rendah untuk terjadi gerakan massa. Umumnya pada kelas ini
jarang terjadi gerakan massa jika tidak mengalami gangguan pada lereng dan jika
terjadi gerakan massa lama, lereng telah mantap kembali. Gerakan massa dalam
ukuran kecil terutama terjadi pada tebing sungai (alur sungai). Pada kelas ini
daerahnya bertopografi berombak sampai bergelombang dengan kemiringan
lereng 8,9% – 22,2%. Tingkat Bahaya Longsor ini sebagian besar dijumpai pada
penggunaan lahan permukiman, sawah, tegalan berteras dan kebun campuran
berteras. Pada penggunaan lahan tersebut bahaya longsor dikatakan rendah karena
ada campur tangan manusia dalam pengelolaan penggunaan lahan tersebut,
sehingga walaupun terjadi longsoran masih termasuk dalam kategori rendah.
Parameter lain seperti kedalaman pelapukan, solum tanah, tekstur, dan
permeabilitas yang memicu terjadinya longsor pada kategori ini dapat dikatakan
masih termasuk dalam kategori yang rendah pula. Hal tersebut dapat dilihat dari
kemiringan lereng yang landai hingga agak curam dan topografi yang landai
hingga berombak, sehingga berpengaruh terhadap kondisi batuan dan tanah yang
berada di daerah penelitian. Curah hujan yang hampir merata diseluruh satuan
lahan daerah DAS Grindulu hulu, hanya sedikit berpengaruh terhadap kategori
bahaya longsor rendah ini, sebab aspek atau parameter pemicu longsor yang lain
dapat dikatakan rendah dalam memberikan kontribusi terhadap terjadinya
longsoran. Pada kelas TBL rendah ini masih dikatakan sebagai daerah yang
berpotensi yaitu daerah yang jarang terjadi gerakan tanah tetapi karena keadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
medan yang mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan terjadinya tanah
longsor. Untuk kelas TBL ini tipe longsor yang dapat dijumpai di lapangan adalah
tipe longsor nendatan (slump). Tipe nendatan tanah yakni longsor ke bawah dari
satu atau beberapa unit massa tanah dan puing-puing batuan dan diikuti oleh
gerakan perputaran di bagian tubuh longsornya (Dibyosaputro, 1992: 30), disebut
juga tipe longsoran atau tanah longsor dalam sistem klasifikasi tipe gerakan tanah
dengan ciri fisik yang bisa diamati di lapangan berupa jejak longsoran yang telah
terjadi mempunyai bidang gelincir berbentuk cekung dan cenderung menyerupai
bentuk tapal kuda dengan gerakan memutar yang relatif cepat. Material longsoran
pada tipe ini berupa tanah yang terkumpul pada kaki lereng.
Tipe longsoran nendatan tanah tersebut terdapat pada satuan lahan Tomw-
II-KLaCKmr & Li-Tg di Desa Watupatok. Parameter yang mempengaruhi
longsoran tipe ini pada umumnya yaitu lereng yang landai sampai dengan agak
curam, curah hujan yang sedang hingga tinggi dan jenis vegetasi berupa rumput-
rumputan dengan perakaran serabut. Selain itu penggunaan lahan tegalan yang
didominasi dengan vegetasi semusim seperti jagung, ketela dan sayuran yang
ditanam berbaris searah kemiringan lereng mempercepat erosi permukaan yang
memicu longsoran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 26 di bawah
ini.
Gambar 26. Tipe Longsoran Nendatan Tanah Desa Watupatok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Faktor yang mendominasi tipe longsoran nendatan tanah pada gambar
tersebut adalah vegetasi berupa rumput yang ditanam berbaris searah kemiringan
lereng. Vegetasi dominan yang berupa kunyit dapat mengurangi kemantapan
lereng sebab akarnya yang merupakan akar serabut tidak mampu menahan
material-material yang mengalir ketika musim hujan tiba, sehingga memudahkan
terjadinya penggerusan-penggerusan tanah dan mempercepat terjadinya longsor.
Risiko pada titik longsoran di Desa Watupatok ini dimungkinkan kecil atau tidak
ada, karena potensi dari tipe longsoran ini untuk merusak atau memberikan
dampak terhadap lingkungan disekitarnya adalah kecil.
Persebaran Tingkat Bahaya Longsor Rendah ini terdapat pada 12 satuan
lahan yaitu Tomw-III-Li-Tg, Tomw-III-KLaCKmr & Li-Kb, Tomw-II-Li-Tg,
Tomw-II-Li-Pmk, Tomw-II-Li-Sw, Tomw-II-Li-Kb, Tomw-II-KLaCKmr & Li-
Tg, Tomw-II-KLaCKmr & Li-Pmk, Tomw-II-KLaCKmr & Li-Kb, Tomi (an)-II-
KLaCKmr & Li-Tg, Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Pmk dan Tomi (an)-II-
KLaCKmr & Li-Kb yang berada di 8 desa yaitu Desa Gemaharjo dengan luas
353,9 Ha (14,4%), Desa Ploso dengan luas 329,6 Ha (13,8%), Desa Tahunan
dengan luas 343,5 Ha (13,9%), Desa Kledung dengan luas 251,5 Ha (10,2%),
Desa Watupatok dengan luas 340,5 Ha (13,8%), Desa Tumpuk dengan luas 465,1
Ha (18,9%), Desa Bandar dengan luas 109,4 Ha (4,4%) dan Desa Bangunsari
260,3 Ha (10,6%).
b. Tingkat Bahaya Longsor Sedang (S)
Daerah dengan Tingkat Bahaya Longsor Sedang adalah daerah yang
mempunyai potensi menengah untuk terjadi gerakan massa. Pada kelas ini dapat
terjadi gerakan massa berdimensi kecil sampai dengan besar, terutama pada
daerah yang berbatasan dengan lembah sungai atau tebing jalan. Gerakan massa
yang lama dapat aktif kembali terutama disebabkan oleh curah hujan yang tinggi
dan erosi yang kuat. Daerah ini mempunyai topografi bergelombang sampai
perbukitan dengan kemiringan lereng 22,2% – 42,2%. Tingkat Bahaya Longsor
ini sebagian besar dijumpai pada penggunaan lahan permukiman, sawah, tegalan
berteras dan kebun campuran berteras hampir sama dengan Tingkat Bahaya
Longsor pada kategori rendah. Pada kelas atau kategori bahaya longsor sedang ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
longsoran sudah mulai tampak atau terjadi tapi masih dalam skala yang relatif
wajar dan belum dianggap membahayakan. Selain dipicu oleh lereng yang mulai
curam dan curah hujan yang relatif sedang hingga tinggi, penggunaan lahan,
kedalaman pelapukan serta parameter pemicu lain juga berpengaruh terhadap
terjadinya longsor pada kelas sedang ini. Pelapukan batuan yang terjadi umumnya
sedang hingga dalam sehingga sudah mulai mengurangi daya dukung lereng yang
ada, hal tersebut karena curah hujan yang semakin intensif sehingga semakin
mengikis batuan-batuan yang ada dan mempercepat terjadinya pelapukan batuan.
Biasanya longsor yang terjadi pada kelas ini adalah tipe longsoran nendatan
dengan material berupa tanah yang mengumpul di kaki lereng dimana longsor
terjadi. Kelas TBL sedang ini termasuk dalam daerah waspada yaitu daerah
dimana gerakan tanah atau longsor pernah terjadi tetapi tidak setiap tahun. Hampir
sama dengan kelas TBL pada kelas rendah, tipe longsor yang dapat dijumpai di
lapangan pada kelas sedang ini adalah tipe longsor nendatan (slump). Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 27 di bawah ini.
Gambar 27. Tipe Longsoran Nendatan Tanah Desa Kledung
Tipe longsoran nendatan tanah pada gambar 27 di atas terdapat pada
satuan lahan Tomw-III-KLaCKmr & Li-Tg di Desa Kledung. Penggunaan lahan
berupa tegalan dengan vegetasi dominan ketela pohon. Lereng yang agak curam
menjadi faktor utama tipe longsoran ini, selain itu vegetasi rumput-rumputan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
dengan jenis perakaran serabut kurang mampu mengikat dan menahan tanah
sehingga tanah akan mudah mengalami longsoran. Di bagian atas lereng lahan
belum mengalami olahan, yang tampak vegetasi rumput-rumputan dan sedikit
tanaman keras sehingga titik longsor nendatan tanah di Desa Kledung ini
kemungkinan tidak memiliki risiko tinggi apabila suatu saat terjadi kembali
longsoran serupa pada titik longsoran lama. Dalam mempermudah memahami
terjadinya tipe longsoran nendatan ini dapat digambarkan pada sketsa gambar 28
sebagai berikut.
Gambar 28. Sketsa Tipe Longsoran Nendatan
Persebaran Tingkat Bahaya Longsor Sedang ini terdapat pada 12 satuan
lahan yaitu Tomw-IV-Li-Tg, Tomw-IV-Li-Pmk, Tomw-IV-Li-Kb, Tomw-IV-
KLaCKmr & Li-Pmk, Tomw-III-Li-Sw, Tomw-III-KLaCKmr & Li-Tg, Tomw-
III-KLaCKmr & Li-Sw, Tomw-III-KLaCKmr & Li-Pmk, Tomw-III-KLaCKmr &
Li-Sm, Tomw-II-KLaCKmr & Li-Sw, Tomi (an)-IV-Li-Kb dan Tomi (an)-II-
KLaCKmr & Li-Sw yang berada di 8 desa yaitu Desa Gemaharjo dengan luas
417,1 Ha (13,1%), Desa Ploso dengan luas 610,2 Ha (19,2%), Desa Tahunan
dengan luas 392,2 Ha (12,3%), Desa Kledung dengan luas 270,9 Ha (8,6%), Desa
Watupatok dengan luas 560,1 Ha (17,8%), Desa Tumpuk dengan luas 477,6 Ha
(15,2%), Desa Bandar dengan luas 193,6 Ha (6,2%) dan Desa Bangunsari 241,7
Ha (7,6%).
c. Tingkat Bahaya Longsor Tinggi (T)
Daerah dengan Tingkat Bahaya Longsor Tinggi adalah daerah yang
mempunyai potensi yang tinggi untuk terjadi gerakan massa. Pada kelas ini sering
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
terjadi gerakan massa, baik gerakan massa lama maupun gerakan massa baru.
Daerah ini mempunyai topografi bergelombang sampai perbukitan dengan
kemiringan lereng 42,2% – 68,9%. Tingkat Bahaya Longsor ini sebagian besar
dijumpai pada penggunaan lahan permukiman, tegal dan kebun campuran tak
berteras. Umumnya pada kelas bahaya longsor tinggi ini, faktor terjal dan
miringnya lereng menjadi pemicu utama terjadinya gerakan massa tanah. Pada
kelas ini bahaya longsor yang terjadi selain dipicu oleh lereng yang curam, juga
adanya curah hujan yang tinggi dan penggunaan lahan yang ada di tempat
tersebut. Disamping itu kedalaman pelapukan yang sedang hingga dalam juga
mempercepat proses terjadinya longsoran ini. Hal tersebut dikarenakan jenis
batuan yang ada mudah terkikis sehingga mempercepat pelapukan dan daya
dukung terhadap lereng menjadi berkurang. Kelas TBL ini termasuk pada daerah
kritis yaitu daerah yang sering dilanda gerakan tanah yang mengakibatkan
longsoran dalam skala yang relatif besar dan terjadi hampir setiap tahun saat
musim penghujan tiba. Di daerah penelitian kelas longsor ini biasanya
ditunjukkan dengan adanya tipe longsor runtuhan material campuran hingga tipe
longsor jatuhan batu sedang. Oleh sebab itu, daerah tersebut perlu di pantau secara
intensif dan diberikan peringatan dini agar penduduk sekitar lebih waspada untuk
menghindari terjadinya korban jiwa. Pada kelas TBL tinggi ini, tipe longsor yang
dapat dijumpai di lapangan adalah tipe runtuhan material campuran (debris fall).
Tipe runtuhan material campuran sering diketahui melalui ciri fisik yang
bisa diamati di lapangan berupa jejak longsoran yang telah terjadi. Tipe ini terjadi
pada lereng yang cukup curam sampai dengan sangat curam, tanah dan atau
material lain jatuh bebas dari ketinggian tertentu karena gaya gravitasi dengan
sifat gerakan sangat cepat, gerakannya berupa meluncur, meloncat atau
menggelinding. Dikutip dari Dibyosaputro (1992: 30) debris fall yaitu guguran
batuan dan atau tanah pada permukaan tanah yang mempunyai lereng sangat
curam.
Di daerah penelitian tipe longsorlahan runtuhan material campuran ini
banyak ditemui pada tebing-tebing di tepi jalan daerah penelitian. Tipe ini
terdapat pada satuan lahan Tomw-V-Li-Kb di Desa Gemaharjo dan Tomw-IV-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
KLaCKmr & Li-Tg di Desa Tahunan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar 29 dan 30 berikut ini.
Gambar 29. Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran di Desa Gemaharjo
Gambar 30. Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran di Desa Tahunan
Tipe longsoran pada gambar 29 diatas terdapat pada satuan lahan Tomw-
V-Li-Kb di Desa Gemaharjo. Material yang dilongsorkan ini berupa tanah.
Intensitas curah hujan yang sedang hingga tinggi, vegetasi yang didominasi oleh
rumput dengan perakaran serabut, dan lereng yang sangat curam menjadi
parameter yang utama untuk tipe longsoran ini. Penggunaan lahan pada satuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
lahan ini merupakan tegalan tak berteras yang ditanami tanaman berupa kunyit
dan jagung yang disekelilingnya terdapat banyak vegetasi rumput dengan pekaran
serabut, sehingga dapat mengurangi daya dukung lereng terhadap aliran material
di waktu musim hujan. Oleh sebab itu dengan berkurangnya daya dukung lereng
maka mempercepat terjadinya longsoran pada daerah tersebut, yang
dimungkinkan luasannya akan semakin bertambah. Kejadian tersebut
dikhawatirkan akan dapat merusak infrastruktur jalan yang ada dibawahnya atau
bahkan akan memakan korban jiwa, mengingat jalan dibawahnya merupakan jalan
lintas kabupaten.
Tipe longsoran pada gambar 30 diatas terdapat pada satuan lahan Tomw-
IV-KLaCKmr & Li-Tg di Desa Tahunan. Material yang dilongsorkan pada tipe
longsor runtuhan material campuran ini berupa tanah, batu dan pasir. Lokasi
longsoran ini berada pada tebing jalan jalur lintas kecamatan. Jika dibandingkan
dengan longsor yang berada di Desa Gemaharjo, longsoran ini lebih sedikit
dimungkinkan memakan korban jiwa sebab letaknya yang jauh dari permukiman
dan jalanan ini tidak banyak dilalui orang karena kondisi jalan yang tidak terlalu
baik. Dalam mempermudah memahami terjadinya tipe longsoran runtuhan
material campuran ini dapat digambarkan pada sketsa gambar 31 sebagai berikut.
Gambar 31. Sketsa Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran
Persebaran Tingkat Bahaya Longsor Tinggi ini terdapat pada 16 satuan
lahan yaitu Tomw-V-KLaCKmr & Li-Pmk, Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sm,
Tomw-V-KLaCKmr & Li-Sm, Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Tg, Tomw-IV-
KLaCKmr & Li-Sw, Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Kb, Tomw-V-Li-Pmk, Tomi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
(an)-V-Li-Pmk, Tomi (an)-V-Li-Kb, Tomw-V-Li-Kb, Tomi (an)-V-KLaCKmr &
Li-Pmk, Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Tg, Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Sw,
Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Pmk dan Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Kb yang
berada di 8 desa yaitu Desa Gemaharjo dengan luas 1646,3 Ha (57,21%), Desa
Ploso dengan luas 276,8 Ha (9,62%), Desa Tahunan dengan luas 487,9 Ha
(16,96%), Desa Tumpuk dengan luas 0,8 Ha (0,02%), Desa Watupatok dengan
luas 4,1 Ha (0,14%), Desa Bangunsari dengan luas 4,1 Ha (0,14%), Desa Wates
dengan luas 140,9 Ha (4,89%) dan Desa Tugurejo 316,2 Ha (11,02%).
d. Tingkat Bahaya Longsor Sangat Tinggi (ST)
Daerah dengan Tingkat Bahaya Longsor Sangat Tinggi adalah daerah yang
mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk terjadi gerakan massa. Pada kelas ini
gerakan massa relatif sangat sering terjadi di setiap tahun saat musim penghujan
tiba dengan intensitas longsor yang berbeda-beda, tapi umumnya dalam skala
besar hingga sangat besar. Hampir sama pada kelas TBL tinggi, daerah ini
memiliki relief perbukitan dengan kemiringan lereng > 68,9% yang termasuk
dalam daerah sangat kritis. Tingkat Bahaya Longsor ini sebagian besar dijumpai
pada penggunaan lahan tegal dan kebun campuran tak berteras. Faktor pemicu
longsor pada kelas ini utamanya adalah lereng yang sangat curam dan sangat terjal
diikuti curah hujan dengan intensitas yang tinggi dan terus menerus. Disamping
itu kedalaman pelapukan yang sangat dalam juga mempercepat terjadinya
longsoran karena kurang mampu menopang lereng yang ada. Pada kelas TBL
tinggi ini, tipe longsor yang dapat dijumpai di lapangan adalah tipe jatuhan batu
(rock fall).
Jatuhan adalah gerak bebas material yang berasal dari lereng curam seperti
bukit. Tipe ini memiliki asal kata "jatuh", yang membedakan dengan tipe lain
adalah keadaan dimana material jatuh bebas dari lereng mengalami tumbukan
berulang dengan lereng yang berada dibawahnya dengan kecepatan tinggi. Lebih
mudahnya adalah adanya sebuah pecahan batuan yang jatuh dari sebuah lereng
yang menggelinding dan menerjang serta merusakkan apa saja yang dilewatinya.
Diantara tipe jatuhan ini adalah bukit curam, dimana bukit curam tersusun oleh
batuan bersifat getas yang mengalami erosi gelombang laut pada bagian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
bawahnya yang menyebabkan terjadinya jatuhan. Perhatikan retakan pada
permukaan atasnya yang merupakan gejala sebelum terjadi jatuhan. Tipe
longsoran jatuhan ini juga harus diwaspadai pada daerah pemukiman yang berada
dibawah lereng yang memiliki batu-batu besar dan terpisah-pisah. Antisipasi yang
dapat dilakukuan adalah membangun pagar-pagar kawat, atau dengan mengikat
batu yang membahayakan tersebut.
Daerah penelitian yang terdapat tipe longsoran jatuhan batu (rock fall) ini
sering ditemui pada tebing-tebing di tepi jalan daerah penelitian. Tipe ini terdapat
pada satuan lahan Tomi (an)-V-KLaCKmr & Li-Tg di tebing jalan Desa
Gemaharjo. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 32.
Gambar 32. Tipe Longsoran Jatuhan Batu di Desa Gemaharjo
Tipe longsoran ini terdapat pada satuan lahan Tomi (an)-V-KLaCKmr &
Li-Tg di Desa Gemaharjo. Longsoran ini terjadi pada tebing di tepi jalan yang
merupakan jalan lintas kabupaten. Kejadian longsor untuk tipe longsor jatuhan
batu ini cukup membahayakan, karena material yang dilongsorkan berupa batuan-
batuan besar. Terjadinya longsor ini selain karena adanya curah hujan yang cukup
tinggi juga dikarenakan faktor lereng yang sangat curam sehingga menyebabkan
vegetasi yang berada di atasnya menjadi miring. Hal tersebut juga tidak terlepas
dari adanya gaya gravitasi bumi dan kemantapan struktur lereng itu sendiri serta
dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah yang ada di daerah tersebut, walaupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
jenis vegetasi yang ada merupakan vegetasi tanaman keras dengan perakaran yang
kuat. Dalam mempermudah memahami terjadinya tipe longsoran jatuhan batu ini
dapat digambarkan pada sketsa gambar 33 sebagai berikut.
Gambar 33. Sketsa Tipe Longsoran Jatuhan Batu
Persebaran Tingkat Bahaya Longsor Sangat Tinggi ini terdapat pada 4
satuan lahan yaitu Tomw-V-KLaCKmr & Li-Tg, Tomw-V-KLaCKmr & Li-Sw,
Tomi (an)-V-KLaCKmr & Li-Tg dan Tomw-V-KLaCKmr & Li-Kb yang berada
di 2 desa yaitu Desa Gemaharjo dengan luas 6,1 Ha (18,8%) dan Desa Ploso
dengan luas 26,4 Ha (81,2%).
Melihat hasil dari ke empat kelas bahaya longsor tersebut diatas, maka
kelas dengan bahaya longsor sedang lebih mendominasi dibanding dengan kelas-
kelas yang lain. Pada dasarnya daerah-daerah yang berada di DAS Grindulu hulu
sebenarnya banyak yang berpotensi untuk terjadi longsor dalam skala besar. Hal
tersebut dilihat dari daya dukung lereng yang sudah mulai tidak stabil karena
beratnya erosi yang terjadi dan didukung dengan adanya curah hujan yang relatif
tinggi. Akan tetapi hasil yang diperoleh dari pengamatan lapangan mengenai
karakteristik lahan serta pengamatan faktor pemicu longsoran dan pengambilan
sampel tanah, hanya hampir mendekati fakta yang terjadi. Semua hal tersebut
tidak terlepas dari faktor human yang belum ahli dan masih mungkin melakukan
kesalahan, sehingga hasil yang diperoleh belum sempurna.
Berdasarkan ke empat hasil analisis dari Tingkat Bahaya Longsor tersebut,
maka persebarannya dapat dilihat dalam peta 7. sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Peta 7. Tingkat Bahaya Longsor DAS Grindulu Hulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
3. Tingkat Kerentanan dan Risiko Longsor
a. Tingkat Kerentanan Longsor
Kapasitas adalah sumberdaya, cara dan kekuatan yang dimiliki oleh
seseorang, masyarakat atau negara yang memungkinkan untuk menanggulangi,
mempertahankan diri, mempersiapkan diri, mencegah dan memitigasi atau dengan
cepat memulihkan diri dari suatu bencana. Adapun kerentanan adalah sekelompok
kondisi yang ada dan melekat pada diri seseorang, masyarakat atau negara baik
bersifat fisik, ekonomis, sosial dan perilaku yang berpengaruh melemahkan
kemampuan dari suatu masyarakat untuk mencegah, menjinakkan, mencapai
kesiapan dan menanggapi dampak dari suatu bencana (Suranto, 2008:40).
Konsep dasarnya adalah bahwa seseorang terlemah di dalam suatu
komunitas mempunyai beberapa ketrampilan, sumberdaya, kekuatan dan
kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dan bahkan sangat dimungkinkan
untuk dapat menolong orang lain yang ada di sekitarnya. Kondisi lingkungan yang
berada di daerah rawan menyebabkan masyarakat berada pada kondisi yang
rentan. Bencana terjadi ketika masyarakat tidak dapat mengatasi kerentanan
tersebut. Kerentanan menjadi tidak tertanggulangi karena kecepatan adaptasi
masyarakat terhadap perubahan lingkungan sekitarnya (yang meningkatkan
kerentanan) jauh tertinggal dari kecepatan perubahan lingkungan itu sendiri.
Adapun jenis kerentanan yang ada saat ini meliputi kerentanan fisik/material,
kapasitas sosial/kelembagaan, dan kapasitas sikap/motivasi.
Analisis kerentanan yang diakibatkan oleh kejadian longsor adalah analisis
yang memanfaatkan salah satu aspek kebencanaan yaitu berdasarkan pada
pertimbangan Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dikaitkan dengan aspek
kependudukan dimana sering timbul korban jiwa pada saat terjadinya longsoran.
Dalam menentukan kelas kerentanan ini terlebih dahulu dilakukan
penghitungan terhadap jumlah penduduk yang dimungkinkan rentan terkena
bahaya longsoran. Perhitungan ini dilakukan untuk menentukan kepadatan
penduduk pada masing-masing desa. Kemudian dilakukan pengkelasan terhadap
masing-masing kelas kerentanan yang dalam hal ini hanya memfokuskan terhadap
korban jiwa atau lebih mengutamakan terhadap aspek kependudukannya saja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Penduduk di daerah penelitian sebagian besar menempati rumah-rumah
yang membentuk permukiman dengan pola mengelompok pada dataran rendah,
yang umumnya merupakan pusat-pusat desa atau kecamatan ataupun membentuk
pola memanjang dan tersebar sepanjang jalan penghubung antara pusat-pusat desa
atau kecamatan serta menyebar pada lereng-lereng kaki perbukitan.
Jenis bangunan perumahan di daerah penelitian adalah permanen, semi
permanen dan kayu/ bambu. Disekitar pusat-pusat desa atau kecamatan dan
sepanjang jalan utama penghubung antar desa/ kecamatan rumah-rumah penduduk
umumnya bersifat permanen, bahkan pada daerah-daerah dengan topografi yang
terjal cukup banyak bangunan-bangunan perumahan dibangun dengan konstruksi
tembok atau setengah tembok. Adapun bangunan dengan konstruksi kayu/ bambu
banyak terdapat di daerah pedalaman.
Setelah mengetahui kondisi tersebut maka kepadatan penduduk setiap desa
di daerah penelitian dapat dihitung melalui data sekunder dari BPS Kabupaten
Pacitan dan Kabupaten Ponorogo. Untuk keperluan analisis tingkat kerentanan
dan risiko, data kepadatan penduduk tersebut dilakukan pengkelasan dalam 3
(tiga) rentang kelas yaitu sebagai berikut:
km2
sehingga diperoleh kelas kepadatan penduduk tiap permukiman yaitu:
- Kelas kepadatan rendah= kepadatan (251 – 345)
- Kelas kepadatan sedang= kepadatan (346 – 439)
- Kelas kepadatan tinggi = kepadatan (440 – 534)
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 22. sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Tabel 22. Kepadatan Penduduk DAS Grindulu Hulu
No Kabupaten Kecamatan Desa Luas
(km2)
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Kepadatan
Penduduk
(jiwa/ km2)
Kelas
Kepadatan
1. Pacitan Tegalombo Gemaharjo 14,48 6095 421 Sedang
Ploso 18,37 5786 315 Rendah
Tahunan 11,09 3756 339 Rendah
Bandar Bandar 17,9 9555 534 Tinggi
Bangunsari 11,8 4863 412 Sedang
Kledung 12,6 3354 266 Rendah
Tumpuk 11,3 4831 428 Sedang
Watupatok 12,4 4013 324 Rendah
2. Ponorogo Slahung Wates 8,31 2088 251 Rendah
Tugurejo 7,79 2245 288 Rendah
Sumber: - BPS Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Ponorogo, 2009
- Hasil Analisis Data
Disamping ditunjukkan melalui tabel kepadatan penduduk tersebut di atas,
kepadatan penduduk pada masing-masing desa dapat disajikan melalui peta
kepadatan penduduk yang tersaji pada peta 8. sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Peta 8. Kepadatan Penduduk DAS Grindulu Hulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Berdasarkan perhitungan kepadatan penduduk, maka dapat diperoleh
tingkat kerentanan setiap satuan lahan yang berada pada masing-masing desa yang
ada di DAS Grindulu hulu. Tingkat kerentanan longsor disini dihasilkan melalui
tingkat kepadatan penduduk dan dikorelasikan berdasarkan kelas Tingkat Bahaya
Longsor pada masing-masing satuan lahan yang sudah dihitung, dimana akan
menunjukkan rentan atau terpengaruh terhadap timbulnya bahaya longsor dalam
hal ini adalah penduduk sebagai korban jiwa. Untuk kelas kerentanannya sendiri
dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu kelas kerentanan tidak rentan, rentan dan sangat
rentan. Adapun penjelasan masing-masing kelas kerentanan dan persebaran pada
setiap satuan lahan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Tingkat Kerentanan Longsor Tidak Rentan
Daerah dengan Tingkat Kerentanan Longsor Tidak Rentan merupakan
daerah yang memiliki kerentanan/ terpengaruh rendah atau tidak rentan terhadap
terjadinya bencana longsor. Pada kelas ini tingkat kepadatan penduduk rendah dan
Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi antara rendah hingga sedang. Sementara itu
pada kelas ini kemampuan atau kapasitas masyarakat cukup tinggi, sehingga
mampu mengurangi kerentanan terhadap bencana longsor yang terjadi.
Persebaran kelas kerentanan longsor tidak rentan terdapat pada 16 satuan
lahan yaitu Tomw-IV-Li-Tg, Tomw-III-Li-Tg, Tomw-III-Li-Sw, Tomw-III-
KLaCKmr & Li-Tg, Tomw-III-KLaCKmr & Li-Sw, Tomw-III-KLaCKmr & Li-
Sm, Tomw-III-KLaCKmr & Li-Pmk, Tomw-III-KLaCKmr & Li-Kb, Tomw-II-
Li-Tg, Tomw-II-Li-Sw, Tomw-II-Li-Pmk, Tomw-II-Li-Pmk, Tomi (an)-II-
KLaCKmr & Li-Tg, Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Pmk dan Tomi (an)-II-
KLaCKmr & Li-Kb yang berada di 8 desa yaitu Desa Gemaharjo dengan luas
259,7 Ha (5,6%), Desa Ploso dengan luas 839,9 Ha (18,3%), Desa Tahunan
dengan luas 626,7 Ha (13,6%), Desa Kledung dengan luas 704,6 Ha (15,3%),
Desa Watupatok dengan luas 689,5 Ha (14,9%), Desa Tumpuk dengan luas 691,9
Ha (15,1%), Desa Bandar dengan luas 363,1 Ha (7,9%) dan Desa Bangunsari
426,7 Ha (9,3%).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
2) Tingkat Kerentanan Longsor Rentan
Daerah dengan Tingkat Kerentanan Longsor Sedang merupakan daerah
yang memiliki kerentanan/ terpengaruh sedang terhadap terjadinya bencana
longsor. Pada kelas ini tingkat kepadatan penduduk sedang dan Tingkat Bahaya
Longsor yang terjadi adalah sedang. Sementara itu pada kelas ini kemampuan atau
kapasitas masyarakat tidak terlalu tinggi/ sedang, sehingga kemampuan untuk
mengurangi kerentanan terhadap bencana longsor yang terjadi tidak terlalu tinggi
pula/ sedang.
Persebaran kelas kerentanan longsor rentan terdapat pada 10 satuan lahan
yaitu Tomw-IV-Li-Pmk, Tomw-IV-Li-Kb, Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sm,
Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Pmk, Tomw-V-Li-Pmk, Tomw-II-Li-Kb, Tomw-II-
KLaCKmr & Li-Sw, Tomw-II-KLaCKmr & Li-Pmk, Tomi (an)-IV-KLaCKmr &
Li-Pmk dan Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Sw yang berada di 10 desa yaitu Desa
Gemaharjo dengan luas 327,1 Ha (15,7%), Desa Ploso dengan luas 400,9 Ha
(19,2%), Desa Tahunan dengan luas 323,1Ha (15,5%), Desa Kledung dengan luas
207,4 Ha (9,9%), Desa Watupatok dengan luas 124,3 Ha (5,9%), Desa Tumpuk
dengan luas 153,1 Ha (7,3%), Desa Bandar dengan luas 214,8 Ha (10,3%), Desa
Bangunsari 314,7 Ha (15,1%), Desa Wates dengan luas 10,6 Ha (0,5%) dan Desa
Tugurejo dengan luas 10,9Ha (0,6%).
3) Tingkat Kerentanan Longsor Sangat Rentan
Daerah dengan Tingkat Kerentanan Longsor Tinggi merupakan daerah
yang memiliki kerentanan/ terpengaruh tinggi atau rentan terhadap terjadinya
bencana longsor. Pada kelas ini tingkat kepadatan penduduk sedang hingga tinggi
dan Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi adalah tinggi hingga sangat tinggi.
Sementara itu pada kelas ini kemampuan atau kapasitas masyarakat rendah,
sehingga kemampuan untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana longsor
yang terjadi adalah rendah dan bukan tidak mungkin menimbulkan risiko yang
tinggi.
Persebaran kelas kerentanan longsor sangat rentan terdapat pada 18 satuan
lahan yaitu Tomw-V-Li-Kb, Tomw-V-KLaCKmr & Li-Tg, Tomw-V-KLaCKmr
& Li-Sw, Tomw-V-KLaCKmr & Li-Pmk, Tomw-IV-Li-Sw, Tomw-IV-KLaCKmr
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
& Li-Tg, Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sw, Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Kb, Tomi
(an)-V-Li-Pmk, Tomi (an)-V-Li-Kb, Tomi (an)-V-KLaCKmr & Li-Pmk, Tomi
(an)-V-KLaCKmr & Li-Tg, Tomi (an)-IV-Li-Kb, Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-
Tg, Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Sw, Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Kb,
Tomw-V-KLaCKmr & Li-Sm dan Tomw-V-KLaCKmr & Li-Kb yang berada di 6
desa yaitu Desa Gemaharjo dengan luas 492,3 Ha (30,1%), Desa Ploso dengan
luas 376,7 Ha (23,1%), Desa Tahunan dengan luas 328,5 Ha (20,1%), Desa
Bangunsari dengan luas 4,1 Ha (0,2%), Desa Wates dengan luas 130,2 Ha (7,9%)
dan Desa Tugurejo 304,1 Ha (18,6%).
Berdasarkan analisis Tingkat Kerentanan Longsor tersebut, maka
persebarannya dapat dilihat dalam peta 9. sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Peta 9. Tingkat Kerentanan Longsor DAS Grindulu Hulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
b. Tingkat Risiko Longsor
Tingkat risiko longsor dapat ditunjukkan oleh nilai risiko totalnya. Risiko
total longsor adalah nilai yang menggambarkan tingkat risiko total dan jumlah
kerugian jiwa yang disebabkan oleh kejadian longsor. Penentuan tingkat risiko
longsor didasari oleh keterkaitan antara tingkat bahaya dan tingkat kerentanan
dengan kemungkinan besarnya kerugian yang berupa korban jiwa. Korban jiwa
disini dilihat berdasarkan kepadatan penduduk pada setiap desa. Dengan demikian
dapat diperoleh tingkat risiko pada saat terjadi bencana longsor. Tingkat Risiko ini
ditentukan berdasarkan pembuatan matrik pada tabel 23. sebagai berikut.
Tabel 23. Hubungan Tingkat Kerentanan dan Tingkat Bahaya Longsor
TBL
TKL R S T ST
TRt R/TRt R/TRt S/Rt S/Rt
Rt R/TRt S/Rt T/SRt T/SRt
SRt S/Rt S/Rt T/SRt T/SRt
Keterangan :
R : Rendah
Rt : Rentan
S : Sedang
T : Tinggi
TRt : Tidak Rentan
SRt : Sangat Rentan
ST : Sangat Tinggi
Berdasarkan tabel 23 tersebut diatas hubungan antara Tingkat Bahaya
Longsor dan Tingkat Kerentanan Longsor menghasilkan tiga kelas Tingkat Risiko
Longsor yaitu rendah, sedang dan tinggi. Pembagian kelas pada Tingkat Risiko
Longsor ini tidak mengacu pada matrik hubungan antara Tingkat Bahaya Longsor
dan Tingkat Kerentanan Longsor yang ada tersebut, akan tetapi tidak merubah
hasil dari matrik yang ada. Untuk pembagian kelas risikonya adalah sebagai
berikut:
1) Tingkat Risiko Longsor Rendah
Daerah yang memiliki kemungkinan terkena dampak rendah atas bencana
longsor yang terjadi. Berdasarkan keterkaitan antara Tingkat Bahaya Longsor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
dengan Tingkat Kerentanan Longsor, maka daerah ini memiliki beberapa
kemungkinan, yaitu apabila Tingkat Bahaya Longsor rendah dan Tingkat
Kerentanan Longsor tidak rentan maka Tingkat Risiko Longsor rendah, jika
Tingkat Bahaya Longsor rendah dan Tingkat Kerentanan Longsor rentan maka
Tingkat Risiko Longsor rendah, dan berikutnya jika Tingkat Bahaya Longsor
sedang dan Tingkat Kerentanan Longsor tidak rentan maka Tingkat Risiko
Longsor rendah.
Persebaran tingkat risiko longsor rendah terdapat pada 17 satuan lahan
yaitu Tomw-IV-Li-Tg, Tomw-III-Li-Tg, Tomw-III-Li-Sw, Tomw-III-KLaCKmr & Li-
Tg, Tomw-III-KLaCKmr & Li-Sw, Tomw-III-KLaCKmr & Li-Sm, Tomw-III-KLaCKmr
& Li-Pmk, Tomw-III-KLaCKmr & Li-Kb, Tomw-II-Li-Tg, Tomw-II-Li-Sw, Tomw-II-
Li-Pmk, Tomw-II-KLaCKmr & Li-Tg, Tomw-II-KLaCKmr & Li-Pmk, Tomw-II-
KLaCKmr & Li-Kb, Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Tg, Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-
Pmk dan Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Kb yang berada di 8 desa yaitu Desa
Gemaharjo dengan luas 283,8 Ha (7,1%), Desa Ploso dengan luas 1378,6 Ha
(33,9%), Desa Tahunan dengan luas 768,8 Ha (18,9%), Desa Kledung dengan
luas 564,9 Ha (13,9%), Desa Watupatok dengan luas 389,9 Ha (9,6%), Desa
Tumpuk dengan luas 186,7 Ha (4,6%), Desa Bandar dengan luas 173,9 Ha (4,3%)
dan Desa Bangunsari 313,7 Ha (7,7%).
2) Tingkat Risiko Longsor Sedang
Daerah yang memiliki kemungkinan terkena dampak sedang atas bencana
longsor yang terjadi. Berdasarkan keterkaitan antara Tingkat Bahaya Longsor
dengan Tingkat Kerentanan Longsor, maka daerah ini memiliki beberapa
kemungkinan, yaitu apabila Tingkat Bahaya Longsor sedang dan Tingkat
Kerentanan Longsor rentan maka Tingkat Risiko Longsor sedang, jika Tingkat
Bahaya Longsor rendah dan Tingkat Kerentanan Longsor sangat rentan maka
Tingkat Risiko Longsor sedang, jika Tingkat Bahaya Longsor sedang dan Tingkat
Kerentanan Longsor sangat rentan maka Tingkat Risiko Longsor sedang, jika
Tingkat Bahaya Longsor tinggi dan Tingkat Kerentanan Longsor tidak rentan
maka Tingkat Risiko Longsor sedang, dan berikutnya jika Tingkat Bahaya
Longsor sangat tinggi dan Tingkat Kerentanan Longsor tidak rentan maka Tingkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Risiko Longsor sedang, dan jika Tingkat Bahaya Longsor sedang dan Tingkat
Kerentanan Longsor sangat rentan maka Tingkat Risiko Longsor sedang.
Persebaran tingkat risiko longsor sedang terdapat pada 6 satuan lahan yaitu
Tomw-IV-Li-Pmk, Tomw-IV-Li-Kb, Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Pmk, Tomw-II-
KLaCKmr & Li-Sw, Tomi (an)-IV-Li-Kb dan Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Sw yang
berada di 8 desa yaitu Desa Gemaharjo dengan luas 184,3 Ha (9,4%), Desa Ploso
dengan luas 227,9 Ha (11,5%), Desa Tahunan dengan luas 252,2 Ha (12,8%),
Desa Kledung dengan luas 213,2 Ha (10,8%), Desa Watupatok dengan luas 363,2
Ha (18,4%), Desa Tumpuk dengan luas 467,1 Ha (23,6%), Desa Bandar dengan
luas 142,9 Ha (7,2%) dan Desa Bangunsari 124,3 Ha (6,3%).
3) Tingkat Risiko Longsor Tinggi
Daerah yang memiliki kemungkinan terkena dampak tinggi atas bencana
longsor yang terjadi. Berdasarkan keterkaitan antara Tingkat Bahaya Longsor
dengan Tingkat Kerentanan Longsor, maka daerah ini memiliki beberapa
kemungkinan, yaitu apabila Tingkat Bahaya Longsor tinggi dan Tingkat
Kerentanan Longsor rentan maka Tingkat Risiko Longsor tinggi, jika Tingkat
Bahaya Longsor tinggi dan Tingkat Kerentanan Longsor sangat rentan maka
Tingkat Risiko Longsor tinggi, jika Tingkat Bahaya Longsor sangat tinggi dan
Tingkat Kerentanan Longsor rentan maka Tingkat Risiko Longsor tinggi dan
berikutnya jika Tingkat Bahaya Longsor sangat tinggi dan Tingkat Kerentanan
Longsor sangat rentan maka Tingkat Risiko Longsor tinggi.
Persebaran tingkat risiko longsor tinggi terdapat pada 21 satuan lahan
yaitu Tomw-V-Li-Kb, Tomw-V-KLaCKmr & Li-Tg, Tomw-V-KLaCKmr & Li-Sw,
Tomw-V-KLaCKmr & Li-Pmk, Tomw-IV-Li-Sw, Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Tg,
Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sw, Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sm, Tomw-IV-KLaCKmr &
Li-Pmk, Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Kb, Tomw-V-Li-Pmk, Tomi (an)-V-Li-Pmk, Tomi
(an)-V-Li-Kb, Tomi (an)-V-KLaCKmr & Li-Pmk, Tomi (an)-V-KLaCKmr & Li-Tg,
Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Tg, Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Sw, Tomi (an)-IV-
KLaCKmr & Li-Pmk, Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Kb, Tomw-V-KLaCKmr & Li-Sm
dan Tomw-V-KLaCKmr & Li-Kb yang berada di 7 desa yaitu Desa Gemaharjo
dengan luas 699,5 Ha (40,9%), Desa Ploso dengan luas 221,3 Ha (12,9%), Desa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
Tahunan dengan luas 326,1 Ha (19,1%), Desa Watupatok dengan luas 4,1 Ha
(0,2%), Desa Bangunsari dengan luas 4,1 Ha (0,2%), Desa Wates dengan luas
138,3 Ha (8,1%) dan Desa Tugurejo 316,3 Ha (18,6%).
Berdasarkan analisis Tingkat Risiko Longsor tersebut, maka
persebarannya dapat dilihat dalam peta 10. sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Peta 10. Tingkat Risiko Longsor DAS Grindulu Hulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
4. Penanganan Longsor dan Arahan Konservasi Lahan
Dalam melakukan penanganan dan penanggulangan longsor yang ada di
DAS Grindulu hulu, perlu memperhatikan jenis atau tipe longsoran yang terjadi.
Hal tersebut mengingat bahwa dari masing-masing tipe longsor yang terjadi
memiliki karakteristik tersendiri tergantung dari keadaan air, sifat fisik tanah atau
batuan, struktur geologi dan keadaan bentuk lereng daerah penelitian.
Penanganan dan penanggulangan longsor yang terjadi di daerah penelitian
ini dihubungkan dengan arahan konservasi yang akan dilakukan terhadap Tingkat
Bahaya Longsor di DAS Grindulu hulu. Oleh karena jenis penanganan dan
penanggulangan terhadap longsoran yang terjadi hampir sama dengan arahan
konservasi yang dilakukan, maka untuk lebih efektifnya keduanya digabung
dalam satu bagian tanpa menghilangkan tujuan dalam penanganan bencana
longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu.
Arahan konservasi lahan di daerah penelitian dilakukan pada masing-
masing satuan lahan. Arahan konservasi yang diterapkan pada masing-masing
satuan lahan tidaklah mutlak, akan tetapi menyesuaikan kondisi yang telah
diperhitungkan sebelumnya dalam hal ini adalah Tingkat Bahaya Longsor yang
terjadi serta parameter fisik lain yang mendukung dilakukannya arahan konservasi
lahan.
Dalam menentukan arahan konservasi lahan ini, digunakan prioritas-
prioritas penanganan dimana prioritas tersebut diukur berdasar Tingkat Bahaya
Longsor yang terjadi disamping melihat ke tiga parameter yang ada dalam tabel
teknik konservasi secara vegetatif dan teknik dalam tabel 7 dan 8 (BAB III:
Teknik Analisis Data) serta berdasar penggunaan lahan pada masing-masing
satuan lahan dan tipe longsoran yang terjadi di beberapa satuan lahan DAS
Grindulu hulu.
Pada daerah penelitian terdapat 32 arahan konservasi lahan yang termasuk
ke dalam 44 satuan lahan yang dijabarkan ke dalam empat prioritas penanganan.
Adapun arahan konservasi lahan pada setiap prioritas penanganan dapat disajikan
dalam tabel 24 adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Tabel 24. Arahan Konservasi Lahan DAS Grindulu Hulu
NO/
SL_ID
Satuan Lahan Kelas TBL Kemiringan
Lereng (%)
Solum
Tanah
(cm)
Kedalaman
Tanah
(cm)
Konservasi Vegetatif Konservasi Teknik Kelompok Prioritas
1 Tomw-V-Li-Kb Tinggi 68.9 27 20 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 6,8,9,10,11,13 1 Prioritas I 2 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Tg Sangat Tinggi 46.7 95 56 1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17 1,4,5,6,7,8,9,10,12,13 3 Prioritas I 3 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Sw Sangat Tinggi 51.1 100 45 1,2,3,5,6,7 1,4,5,6,7,8,9,10,12 1 Prioritas II 4 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Pmk Tinggi 53.3 92 40 4,6,7,8,11,12 1,4,5,6,9,13,14 2 Prioritas II 5 Tomw-IV-Li-Tg Sedang 35.6 18 20 1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17 5,6,8,9,12 5 Prioritas II 6 Tomw-IV-Li-Sw Tinggi 44.4 16 22 1,2,3,5,6,7 5,6,8,9,12 1 Prioritas III 7 Tomw-IV-Li-Pmk Sedang 42.2 18 16 4,6,7,8,11,12 5,6,9,13,14 6 Prioritas II 8 Tomw-IV-Li-Kb Sedang 40 16 20 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 5,6,8,9,10,11,13 10 Prioritas I 9 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Tg Tinggi 37.8 92 50 1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17 1,3,4,5,6,8,9,10,12,13 5 Prioritas I
10 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sw Tinggi 33.3 96 45 1,2,3,5,6,7 1,3,4,5,6,7,8,9 7 Prioritas II 11 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sm Tinggi 40 80 58 1,3,4,5,6,10,11,13,14,15,16,17 1,3,4,5,6,7,8,9 9 Prioritas I 12 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Pmk Sedang 28.9 52 46 4,6,7,8,11,12 1,4,5,6,9,13,14 2 Prioritas II 13 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Kb Tinggi 33.3 60 55 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 1,3,4,5,6,8,9,10,11 7 Prioritas I 14 Tomw-III-Li-Tg Rendah 22.2 17 24 1,2,3,4,5,6,7,8,14,16,17 5,6,7,8,9,12 2 Prioritas IV 15 Tomw-III-Li-Sw Sedang 20 18 20 1,2,3,5,6,7 5,6,7,8,9,12 6 Prioritas III 16 Tomw-V-Li-Pmk Tinggi 68.9 26 24 12 5,6,9,13,14 3 Prioritas II 17 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Tg Sedang 22.2 45 48 1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,12,13 2 Prioritas III 18 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Sw Sedang 15.6 40 50 1,2,3,5,6,7 1,2,3,4,5,6,7,8,9 4 Prioritas III 19 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Sm Sedang 20 60 48 1,3,4,5,6,10,11,13,14,15,16,17 1,2,3,4,5,6,7,8,9 3 Prioritas III 20 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Pmk Sedang 15.6 46 40 4,6,7,8,11,12 1,2,3,4,5,6,9,13,14 5 Prioritas III 21 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Kb Rendah 17.7 58 45 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 1,2,3,4,5,6,8,9,10,11 1 Prioritas IV 22 Tomw-II-Li-Tg Rendah 13.3 26 25 1,2,3,4,5,6,7,8,14,16,17 5,6,7,8,9,12 2 Prioritas IV 23 Tomw-II-Li-Sw Rendah 8.9 17 20 1,2,3,5,6,7 6,7,8,9,12 7 Prioritas IV 24 Tomw-II-Li-Pmk Rendah 8.9 17 23 4,6,7,8,11,12 6,9,13,14 8 Prioritas IV 25 Tomw-II-Li-Kb Rendah 11.1 18 25 2,3,6,12,13,14,15,16,17 5,6,7,8 6 Prioritas IV 26 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Tg Rendah 13.3 46 50 1,2,3,4,5,6,7,8,14,16,17 2,3,5,6,7,8,9,12 3 Prioritas IV 27 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Sw Sedang 11.1 62 46 1,2,3,5,6,7 2,3,5,6,7,8,9 7 Prioritas III 28 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Pmk Rendah 8.9 45 53 4,6,7,8,11,12 2,6,9,13,14 5 Prioritas IV
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
29 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Kb Rendah 13.3 40 40 2,3,6,12,13,14,15,16,17 2,3,5,6,7,8 4 Prioritas IV 30 Tomi (an)-V-Li-Pmk Tinggi 71.1 28 20 12 5,6,9,13,14 3 Prioritas II 31 Tomi (an)-V-Li-Kb Tinggi 68.9 27 24 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 6,8,9,10,11,13 1 Prioritas I 32 Tomi (an)-V-KLaCKmr & Li-Pmk Tinggi 66.7 94 45 12 6,9,13,14 4 Prioritas II 33 Tomi (an)-V-KLaCKmr & Li-Tg Sangat Tinggi 77.8 101 50 1,12,13,14,15,16,17 6,8,9,10,12,13 2 Prioritas I 34 Tomi (an)-IV-Li-Kb Sedang 40 18 24 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 5,6,8,9,10,11,13 10 Prioritas I 35 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Tg Tinggi 42.2 65 54 1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17 1,4,5,6,8,9,10,12,13 6 Prioritas I 36 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Sw Tinggi 40 96 45 1,2,3,5,6,7 1,3,4,5,6,7,8,9 7 Prioritas II 37 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Pmk Tinggi 37.8 92 50 4,6,7,8,11,12 1,4,5,6,9,13,14 2 Prioritas II 38 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Kb Tinggi 40 54 48 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 1,3,4,5,6,8,9,10,11 7 Prioritas I 39 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Tg Rendah 13.3 40 50 1,2,3,4,5,6,7,8,14,16,17 2,3,5,6,7,8,9,12 3 Prioritas IV 40 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Sw Sedang 11.1 54 40 1,2,3,5,6,7 2,3,5,6,7,8,9 7 Prioritas III 41 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Pmk Rendah 8.9 42 42 4,6,7,8,11,12 2,6,9,13,14 5 Prioritas IV 42 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Kb Rendah 11.1 45 54 2,3,6,12,13,14,15,16,17 2,3,5,6,7,8 4 Prioritas IV 43 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Sm Tinggi 46.7 94 56 1,3,4,5,6,10,11,13,14,15,16,17 1,4,5,6,7,8,9 8 Prioritas I 44 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Kb Sangat Tinggi 71.1 98 50 12,13,14,15,16,17 6,8,9,10,11 4 Prioritas I
Sumber : Hasil Analisis Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
1. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan I
Prioritas Penanganan I mempunyai luas 1700,9 Ha (22,6%) dari
keseluruhan luas DAS Grindulu hulu. Satuan lahan yang termasuk prioritas ini
ada 13 satuan lahan, dengan kelas TBL sedang hingga sangat tinggi, kemiringan
lereng curam hingga sangat curam, kedalaman solum dangkal hingga dalam dan
kedalaman tanah sedang hingga dalam. Pada prioritas ini terdapat 10 kelompok
arahan konservasi lahan yang disajikan dalam tabel 25. sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
Tabel 25. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan I
NO/
SL_ID
Satuan Lahan Kelas TBL Kemiringan
Lereng (%)
Solum
Tanah
(cm)
Kedalaman
Tanah
(cm)
Konservasi Vegetatif Konservasi Teknik Kelompok Prioritas
1 Tomw-V-Li-Kb Tinggi 68.9 27 20 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 6,8,9,10,11,13 1 Prioritas I 2 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Tg Sangat Tinggi 46.7 95 56 1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17 1,4,5,6,7,8,9,10,12,13 3 Prioritas I 8 Tomw-IV-Li-Kb Sedang 40 16 20 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 5,6,8,9,10,11,13 10 Prioritas I 9 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Tg Tinggi 37.8 92 50 1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17 1,3,4,5,6,8,9,10,12,13 5 Prioritas I
11 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sm Tinggi 40 80 58 1,3,4,5,6,10,11,13,14,15,16,17 1,3,4,5,6,7,8,9 9 Prioritas I 13 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Kb Tinggi 33.3 60 55 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 1,3,4,5,6,8,9,10,11 7 Prioritas I 31 Tomi (an)-V-Li-Kb Tinggi 68.9 27 24 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 6,8,9,10,11,13 1 Prioritas I 33 Tomi (an)-V-KLaCKmr & Li-Tg Sangat Tinggi 77.8 101 50 1,12,13,14,15,16,17 6,8,9,10,12,13 2 Prioritas I 34 Tomi (an)-IV-Li-Kb Sedang 40 18 24 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 5,6,8,9,10,11,13 10 Prioritas I 35 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Tg Tinggi 42.2 65 54 1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17 1,4,5,6,8,9,10,12,13 6 Prioritas I 38 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Kb Tinggi 40 54 48 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 1,3,4,5,6,8,9,10,11 7 Prioritas I 43 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Sm Tinggi 46.7 94 56 1,3,4,5,6,10,11,13,14,15,16,17 1,4,5,6,7,8,9 8 Prioritas I 44 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Kb Sangat Tinggi 71.1 98 50 12,13,14,15,16,17 6,8,9,10,11 4 Prioritas I
Sumber : Hasil Analisis Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
Kelompok pertama dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-V-Li-Kb
yang bernomor 1, satuan lahan ini memiliki kemiringan lereng sangat curam
(68,9%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (27 cm) dan kedalaman tanah
(20 cm). Satuan lahan yang kedua dalam kelompok ini adalah Tomi (an)-V-Li-Kb
yang bernomor 31, satuan lahan ini memiliki kemiringan lereng sangat curam
(68,9%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (27 cm) dan kedalaman tanah
(24 cm). Penggunaan lahan pada kedua satuan lahan ini adalah kebun, biasanya
berupa kebun campuran tanpa teras. Pada kedua satuan lahan ini Tingkat Bahaya
Longsor yang terjadi adalah tinggi, terutama pada satuan lahan nomor 1 terjadi
tipe longsor jatuhan batu yang skalanya cukup besar, sehingga dimasukan pada
arahan konservasi lahan dengan prioritas penanganan I dan kelompok 1.
Mengingat penggunaan lahan yang berupa kebun dan biasanya berupa kebun
campuran tanpa teras, jika tidak dilakukan arahan konservasi secara tepat dan
sesuai dengan letak satuan lahan tersebut serta kondisi lereng dan tanahnya, maka
rawan menyebabkan bencana longsor.
Pada kelompok pertama ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman; tumpang gilir;
pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur penanaman
menurut strip pertanaman lorong, penanaman penutup tanah, manjemen bahan
organik termasuk mulsa; pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan
sisa tanaman, tanaman pagar; pagar hidup, hutan lindung; hutan kemasyarakatan;
suaka alam dan hutan wisata, hutan produksi termasuk hutan produksi terbatas
dan hutan rakyat, vegatasi permanen termasuk tanaman industri; perkebunan;
kebun, agroforestri termasuk kebun campuran; kebun rumah, penanaman kembali,
suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture dan penanaman
pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok pertama ini diarahkan
pada pembuatan saluran pembuangan air (SPA), rorak; mulsa tanaman,
pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo,
kontrol sedimen termasuk dam pengendali dan dam penahan, sumbat jurang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
termasuk gully head structures dan perlindungan jalan. Simbol arahan pada
konservasi kelompok pertama ini adalah:
I. T
V(2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17) T(6,8,9,10,11,13)
Kelompok kedua dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomi (an)-V-
KLaCKmr & Li-Tg yang bernomor 33, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng sangat curam (77,8%) dengan kedalaman solum tanah dalam (101 cm) dan
kedalaman tanah (50 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini berupa tegalan,
umumnya tegalan yang tidak berteras. Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi pada
satuan lahan ini adalah sangat tinggi, pada saat dilapangan dapat diketemukan tipe
longsoran yang terjadi yaitu berupa runtuhan material campuran. Pada
penggunaan lahan seperti ini memang sangat rawan terjadi longsoran baik dalam
skala besar atau sangat besar. Hal tersebut juga didukung dengan besar
kemiringan lereng yang sangat curam. Oleh sebab itu penting dilakukan arahan
konservasi, sehingga dimasukan pada arahan konservasi lahan dengan prioritas
penanganan I dan kelompok 2.
Pada kelompok kedua ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, agroforestri termasuk kebun campuran; kebun rumah,
penanaman kembali, suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture
dan penanaman pohon; rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Prioritas Penanganan
Kelas TBL
Konservasi Vegetatif
Konservasi Teknik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok kedua ini diarahkan pada
pembuatan saluran pembuangan air (SPA), rorak; mulsa tanaman, pembuatan
bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo, kontrol
sedimen termasuk dam pengendali dan dam penahan, kontrol banjir dan atau
perlindungan tepi sungai dan perlindungan jalan. Simbol arahan pada konservasi
kelompok ketiga ini adalah:
I. ST
V(1,12,13,14,15,16,17) T(6,8,9,10,12,13)
Kelompok ketiga dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-V-
KLaCKmr & Li-Tg yang bernomor 2, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng sangat curam (46,7%) dengan kedalaman solum tanah dalam (95 cm) dan
kedalaman tanah (56 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini berupa tegalan,
umumnya tegalan yang tidak berteras. Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi pada
satuan lahan ini adalah sangat tinggi, namun pada saat dilapangan belum
diketemukan tipe longsoran terjadi, akan tetapi jika diamati kondisi fisik yang ada
potensi terjadi longsor sangat tinggi, sehingga dimasukan pada arahan konservasi
lahan dengan prioritas penanganan I dan kelompok 3.
Pada kelompok ketiga ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman;
tumpang gilir; pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, pengolahan tanah minimum tanpa
olah tanah, strip rumput, penanaman penutup tanah; manjemen bahan organik
termasuk mulsa; pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan sisa
tanaman, tanaman pagar; pagar hidup, hutan produksi termasuk hutan produksi
terbatas dan hutan rakyat, vegatasi permanen termasuk tanaman industri;
perkebunan; kebun, agroforestri termasuk kebun campuran; kebun rumah,
penanaman kembali, suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture
dan penanaman pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok ketiga ini diarahkan pada
pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras individu, teras gunung
atau saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA), barisan sisa tanaman, rorak;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
mulsa tanaman, pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan dari
batu atau bamboo, kontrol sedimen termasuk dam pengendali dan dam penahan,
kontrol banjir dan atau perlindungan tepi sungai dan perlindungan jalan. Simbol
arahan pada konservasi kelompok kedua ini adalah:
I. ST
V(1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17) T(1,4,5,6,7,8,9,10,12,13)
Kelompok keempat dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-V-
KLaCKmr & Li-Kb yang bernomor 44, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng sangat curam (71,1%) dengan kedalaman solum tanah dalam (98 cm) dan
kedalaman tanah (50 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini adalah kebun,
umumnya kebun campuran tanpa teras. Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi pada
satuan lahan ini adalah sangat tinggi, namun pada saat dilapangan belum
diketemukan tipe longsoran terjadi, akan tetapi jika diamati kondisi fisik yang ada
potensi terjadi longsor sangat tinggi. Oleh karena itu perlu disarankan adanya
arahan konservasi yang tepat, sehingga dimasukan pada arahan konservasi lahan
dengan prioritas penanganan I dan kelompok 4.
Pada kelompok keempat ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah agroforestri termasuk kebun campuran,kebun rumah, penanaman kembali,
suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture dan penanaman
pohon; rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok keempat ini diarahkan
pada pembuatan saluran pembuangan air (SPA), rorak; mulsa tanaman,
pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo,
hutan produksi termasuk hutan produksi terbatas dan hutan rakyat dan vegatasi
permanen termasuk tanaman industri; perkebunan; kebun. Simbol arahan pada
konservasi kelompok keempat ini adalah:
I. ST
V(12,13,14,15,16,17) T(6,8,9,10,11)
Kelompok kelima dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-IV-
KLaCKmr & Li-Tg yang bernomor 9, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng curam (37,8%) dengan kedalaman solum tanah dalam (92 cm) dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
kedalaman tanah (50 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini adalah kebun,
umumnya kebun campuran tanpa teras. Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi pada
satuan lahan ini adalah tinggi, namun pada saat dilapangan belum diketemukan
tipe longsoran terjadi, akan tetapi jika diamati kondisi fisik yang ada potensi
terjadi longsor cukup tinggi, sehingga dimasukan pada arahan konservasi lahan
dengan prioritas penanganan I dan kelompok 5.
Pada kelompok kelima ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman;
tumpang gilir; pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, pengolahan tanah minimum tanpa
olah tanah, strip rumput, penanaman penutup tanah; manjemen bahan organik
termasuk mulsa; pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan sisa
tanaman, tanaman pagar; pagar hidup, hutan produksi termasuk hutan produksi
terbatas dan hutan rakyat, vegatasi permanen termasuk tanaman industri;
perkebunan; kebun, agroforestri termasuk kebun campuran; kebun rumah,
penanaman kembali, suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture
dan penanaman pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok kelima ini diarahkan pada
pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras bangku termasuk teras
bangku datar; teras bangku belakang; teras bangku miring; teras kebun; teras batu;
teras bangku putus, teras individu, teras gunung atau saluran pegelak, saluran
pembuangan air (SPA), rorak; mulsa tanaman, pembuatan bangunan terjunan
biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo, kontrol sedimen termasuk
dam pengendali dan dam penahan, kontrol banjir dan atau perlindungan tepi
sungai dan perlindungan jalan. Simbol arahan pada konservasi kelompok kelima
ini adalah:
I. T
V(1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17) T(1,3,4,5,6,8,9,10,12,13)
Kelompok keenam dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomi (an)-IV-
KLaCKmr & Li-Tg yang bernomor 35, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng curam (42,2%) dengan kedalaman solum tanah sedang (65 cm) dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
kedalaman tanah (54 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini berupa tegalan,
umumnya tegalan yang tidak berteras. Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi pada
satuan lahan ini adalah tinggi, pada saat dilapangan dapat diketemukan tipe
longsoran yang terjadi yaitu berupa runtuhan material campuran. Pada
penggunaan lahan seperti ini memang sangat rawan terjadi longsoran dalam skala
besar. Akan tetapi longsor yang terjadi tersebut masih bisa ditolerir dengan
beberapa penanganan, sehingga dimasukan pada arahan konservasi lahan dengan
prioritas penanganan I dan kelompok 6.
Pada kelompok keenam ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman;
tumpang gilir; pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, pengolahan tanah minimum tanpa
olah tanah, strip rumput, penanaman penutup tanah; manjemen bahan organik
termasuk mulsa; pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan sisa
tanaman, tanaman pagar; pagar hidup, hutan produksi termasuk hutan produksi
terbatas dan hutan rakyat, vegatasi permanen termasuk tanaman industri;
perkebunan; kebun, agroforestri termasuk kebun campuran; kebun rumah,
penanaman kembali, suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture
dan penanaman pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok keenam ini diarahkan
pada pembuatan pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras
individu, teras gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA), rorak;
mulsa tanaman, pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan dari
batu atau bamboo, kontrol sedimen termasuk dam pengendali dan dam penahan,
kontrol banjir dan atau perlindungan tepi sungai dan perlindungan jalan. Simbol
arahan pada konservasi kelompok keenam ini adalah:
I. T
V(1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17) T(1,4,5,6,8,9,10,12,13)
Kelompok ketujuh dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-IV-
KLaCKmr & Li-Kb yang bernomor 13, satuan lahan ini memiliki kemiringan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
lereng curam (33,3%) dengan kedalaman solum tanah sedang (60 cm) dan
kedalaman tanah (55 cm). Satuan lahan yang kedua dalam kelompok ini adalah
Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Kb yang bernomor 38, satuan lahan ini memiliki
kemiringan lereng curam (40%) dengan kedalaman solum tanah sedang (54 cm)
dan kedalaman tanah (48 cm). Penggunaan lahan pada kedua satuan lahan ini
adalah kebun, biasanya berupa kebun campuran tanpa teras. Pada kedua satuan
lahan ini Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi adalah tinggi, namun pada saat
dilapangan belum diketemukan tipe longsoran terjadi, akan tetapi jika diamati
kondisi fisik yang ada potensi terjadi longsor cukup tinggi, sehingga dimasukan
pada arahan konservasi lahan dengan prioritas penanganan I dan kelompok 7.
Pada kelompok ketujuh ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman; tumpang gilir;
pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur penanaman
menurut strip pertanaman lorong, penanaman penutup tanah, manjemen bahan
organik termasuk mulsa; pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan
sisa tanaman, tanaman pagar; pagar hidup, hutan lindung; hutan kemasyarakatan;
suaka alam dan hutan wisata, hutan produksi termasuk hutan produksi terbatas
dan hutan rakyat, vegatasi permanen termasuk tanaman industri; perkebunan;
kebun, agroforestri termasuk kebun campuran; kebun rumah, penanaman kembali,
suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture dan penanaman
pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok ketujuh ini diarahkan
pada pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras bangku termasuk
teras bangku datar; teras bangku belakang; teras bangku miring; teras kebun; teras
batu; teras bangku putus, teras individu, teras gunung atau saluran pegelak,
saluran pembuangan air (SPA), rorak; mulsa tanaman, pembuatan bangunan
terjunan biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo, kontrol sedimen
termasuk dam pengendali dan dam penahan dan sumbat jurang termasuk gully
head structures. Simbol arahan pada konservasi kelompok ketujuh ini adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
I. T
V(2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17) T(1,3,4,5,6,8,9,10,11)
Kelompok kedelapan dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-V-
KLaCKmr & Li-Sm yang bernomor 43, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng sangat curam (46,7%) dengan kedalaman solum tanah dalam (94 cm) dan
kedalaman tanah (56 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini berupa semak,
dimana dapat pula memicu terjadinya longsoran. Tingkat Bahaya Longsor yang
terjadi adalah tinggi, namun pada saat dilapangan belum diketemukan tipe
longsoran terjadi, akan tetapi jika diamati kondisi fisik yang ada potensi terjadi
longsor cukup tinggi, sehingga dimasukan pada arahan konservasi lahan dengan
prioritas penanganan I dan kelompok 8.
Pada kelompok kedelapan ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, penanaman menurut kontur penanaman menurut strip
pertanaman lorong, pengolahan tanah minimum tanpa olah tanah, strip rumput,
penanaman penutup tanah, hutan produksi termasuk hutan produksi terbatas dan
hutan rakyat, vegatasi permanen termasuk tanaman industri; perkebunan; kebun,
agroforestri termasuk kebun campuran; kebun rumah, penanaman kembali,
suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture dan penanaman
pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok kedelapan ini diarahkan
pada pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras individu, teras
gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA), barisan sisa
tanaman, rorak; mulsa tanaman dan pembuatan bangunan terjunan biasanya
bangunan terjunan dari batu atau bamboo. Simbol arahan pada konservasi
kelompok kedelapan ini adalah:
I.T
V(1,3,4,5,6,10,11,13,14,15,16,17) T(1,4,5,6,7,8,9)
Kelompok kesembilan dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-IV-
KLaCKmr & Li-Sm yang bernomor 11, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng curam (40%) dengan kedalaman solum tanah dalam (80 cm) dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
kedalaman tanah (58 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini berupa semak.
Jika dibandingkan dengan kelompok sebelumnya yang penggunaan lahannya
sama-sama semak, arahan konservasi yang diberikan pada kelompok ini berbeda
mengingat kemiringan lerengnya yang ada pada kelas curam dan solumnya pada
kelas sedang, jadi potensi timbulnya longsoran lebih rendah dari kelompok
sebelumnya, sehingga dimasukan pada arahan konservasi lahan dengan prioritas
penanganan I dan kelompok 9.
Pada kelompok kesembilan ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, penanaman menurut kontur penanaman menurut strip
pertanaman lorong, pengolahan tanah minimum tanpa olah tanah, strip rumput,
penanaman penutup tanah, hutan produksi termasuk hutan produksi terbatas dan
hutan rakyat, vegatasi permanen termasuk tanaman industri; perkebunan; kebun,
agroforestri termasuk kebun campuran; kebun rumah, penanaman kembali,
suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture dan penanaman
pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok kesembilan ini diarahkan
pada pembuatan pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras
bangku termasuk teras bangku datar; teras bangku belakang; teras bangku miring;
teras kebun; teras batu; teras bangku putus, teras individu, teras gunung atau
saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA), barisan sisa tanaman, rorak;
mulsa tanaman dan pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan
dari batu atau bamboo. Simbol arahan pada konservasi kelompok kesembilan ini
adalah:
I.T
V(1,3,4,5,6,10,11,13,14,15,16,17) T(1,3,4,5,6,7,8,9)
Kelompok kesepuluh sekaligus kelompok terakhir dalam prioritas ini
adalah satuan lahan Tomw-IV-Li-Kb yang bernomor 8, satuan lahan ini memiliki
kemiringan lereng curam (40%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (16 cm)
dan kedalaman tanah (20 cm). Satuan lahan yang kedua pada kelompok ini adalah
Tomi (an)-IV-Li-Kb yang bernomor 34, satuan lahan ini memiliki kemiringan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
lereng curam (40%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (18 cm) dan
kedalaman tanah (24 cm). Penggunaan lahan pada kedua satuan lahan ini adalah
kebun, biasanya berupa kebun campuran tanpa teras. Tingkat Bahaya Longsor
pada kelompok ini adalah sedang. Kedua satuan lahan ini dimasukkan pada
kelompok terakhir dalam prioritas ini karena penggunaan lahan yang berupa
kebun campuran tanpa teras ini berpotensi tinggi memicu terjadinya, walaupun
kedalaman solumnya dangkal. Akan tetapi jika dibandingkan dengan kelompok-
kelompok lain pada prioritas ini, kelompok ini memiliki kelas yang paling rendah,
sehingga dimasukan pada arahan konservasi lahan dengan prioritas penanganan I
dan kelompok 10.
Pada kelompok terakhir ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman; tumpang gilir;
pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur penanaman
menurut strip pertanaman lorong, penanaman penutup tanah, manjemen bahan
organik termasuk mulsa; pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan
sisa tanaman, tanaman pagar; pagar hidup, hutan lindung; hutan kemasyarakatan;
suaka alam dan hutan wisata, hutan produksi termasuk hutan produksi terbatas
dan hutan rakyat, vegatasi permanen termasuk tanaman industri; perkebunan;
kebun, agroforestri termasuk kebun campuran; kebun rumah, penanaman kembali,
suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture dan penanaman
pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok terakhir ini diarahkan
pada pembuatan teras gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air
(SPA), rorak; mulsa tanaman, pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan
terjunan dari batu atau bamboo, kontrol sedimen termasuk dam pengendali dan
dam penahan, sumbat jurang termasuk gully head structures dan perlindungan
jalan. Simbol arahan pada konservasi kelompok terakhir ini adalah:
I. S
V(2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17) T(5,6,8,9,10,11,13)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
2. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan II
Prioritas Penanganan II mempunyai luas 462,9 Ha (6,1%) dari keseluruhan
luas DAS Grindulu hulu. Satuan lahan yang termasuk prioritas ini ada 11 satuan
lahan, dengan kelas TBL sedang hingga sangat tinggi, kemiringan lereng curam
hingga sangat curam, kedalaman solum dangkal hingga dalam dan kedalaman
tanah sedang hingga dalam. Pada prioritas ini terdapat 7 kelompok arahan
konservasi lahan yang disajikan dalam tabel 26. sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
Tabel 26. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan II
NO/
SL_ID
Satuan Lahan Kelas TBL Kemiringan
Lereng (%)
Solum
Tanah
(cm)
Kedalaman
Tanah
(cm)
Konservasi Vegetatif Konservasi Teknik Kelompok Prioritas
3 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Sw Sangat Tinggi 51.1 100 45 1,2,3,5,6,7 1,4,5,6,7,8,9,10,12 1 Prioritas II 4 Tomw-V-KLaCKmr & Li-Pmk Tinggi 53.3 92 40 4,6,7,8,11,12 1,4,5,6,9,13,14 2 Prioritas II 5 Tomw-IV-Li-Tg Sedang 35.6 18 20 1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17 5,6,8,9,12 5 Prioritas II 7 Tomw-IV-Li-Pmk Sedang 42.2 18 16 4,6,7,8,11,12 5,6,9,13,14 6 Prioritas II
10 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sw Tinggi 33.3 96 45 1,2,3,5,6,7 1,3,4,5,6,7,8,9 7 Prioritas II 12 Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Pmk Sedang 28.9 52 46 4,6,7,8,11,12 1,4,5,6,9,13,14 2 Prioritas II 16 Tomw-V-Li-Pmk Tinggi 68.9 26 24 12 5,6,9,13,14 3 Prioritas II 30 Tomi (an)-V-Li-Pmk Tinggi 71.1 28 20 12 5,6,9,13,14 3 Prioritas II 32 Tomi (an)-V-KLaCKmr & Li-Pmk Tinggi 66.7 94 45 12 6,9,13,14 4 Prioritas II 36 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Sw Tinggi 40 96 45 1,2,3,5,6,7 1,3,4,5,6,7,8,9 7 Prioritas II 37 Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Pmk Tinggi 37.8 92 50 4,6,7,8,11,12 1,4,5,6,9,13,14 2 Prioritas II
Sumber : Hasil Analisis Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
Kelompok pertama dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-V-
KLaCKmr & Li-Sw yang bernomor 3, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng sangat curam (51,1%) dengan kedalaman solum tanah dalam (100 cm) dan
kedalaman tanah (45 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini berupa sawah.
Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi adalah sangat tinggi, namun belum
dijumpai tipe longsoran di daerah penelitian. Alasan dimasukkannya satuan lahan
ini kedalam prioritas penanganan II adalah bahwa pada penggunaan lahan berupa
sawah umumnya sedikit terjadi longsoran walaupun potensinya sangat tinggi,
karena telah dilakukan pengelolaan lahan dan adanya campur tangan manusia
dalam penanganan terhadap penggunaan lahan ini sehingga arahan konservasi
yang diterapkan berbeda dari prioritas sebelumnya.
Pada kelompok pertama ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman;
tumpang gilir; pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, strip rumput, penanaman penutup
tanah dan penanaman penutup tanah, manjemen bahan organik termasuk mulsa;
pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan sisa tanaman.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok pertama ini diarahkan
pada pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras individu, teras
gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA), barisan sisa
tanaman, rorak; mulsa tanaman, pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan
terjunan dari batu atau bamboo dan kontrol banjir dan atau perlindungan tepi
sungai. Simbol arahan pada konservasi kelompok pertama ini adalah:
II. ST
V(1,2,3,5,6,7) T(1,4,5,6,7,8,9,10,12)
Kelompok kedua dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-V-
KLaCKmr & Li-Pmk yang bernomor 4, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng sangat curam (53,3%) dengan kedalaman solum tanah dalam (92 cm) dan
kedalaman tanah (40 cm). Satuan lahan yang kedua pada kelompok ini adalah
Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Pmk yang bernomor 12, satuan lahan ini memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
kemiringan lereng curam (28,9%) dengan kedalaman solum tanah dalam (52 cm)
dan kedalaman tanah (46 cm) dan satuan lahan yang terakhir pada kelompok ini
adalah Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Pmk yang bernomor 12, satuan lahan ini
memiliki kemiringan lereng curam (37,8%) dengan kedalaman solum tanah dalam
(92 cm) dan kedalaman tanah (50 cm). Penggunaan lahan pada ketiga satuan lahan
ini adalah permukiman. Tingkat Bahaya Longsor pada kelompok ini adalah
sedang hingga tinggi. Alasan ketiga satuan lahan ini berada di kelompok 2 pada
prioritas penanganan II yaitu melihat pada kemiringan lereng yang ada serta dari
kedalaman solum, meskipun penggunaan lahan berupa permukiman ini biasanya
bukan pemicu terjadinya longsoran, akan tetapi letaknya yang rawan tertimpa
bencana longsor. Oleh sebab itu perlu adanya penanganan dan arahan konservasi
yang tepat.
Pada kelompok kedua ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah pengolahan tanah minimum tanpa olah tanah, penanaman penutup tanah,
manjemen bahan organik termasuk mulsa; pencampuran kompos; pupuk kandang;
pupuk hijau dan sisa tanaman, tanaman pagar; pagar hidup, vegatasi permanen
termasuk tanaman industri; perkebunan; kebun dan agroforestri termasuk kebun
campuran; kebun rumah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok kedua ini diarahkan pada
pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras individu, teras gunung
atau saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA), bangunan terjunan biasanya
bangunan terjunan dari batu atau bamboo, perlindungan jalan dan pengendalian
erosi dan banjir dari area permukiman termasuk pembuatan sumur resapan;
drainase. Simbol arahan pada konservasi kelompok kedua ini adalah:
II. S - T
V(4,6,7,8,11,12) T(1,4,5,6,9,13,14)
Kelompok ketiga dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-V-Li-Pmk
yang bernomor 16, satuan lahan ini memiliki kemiringan lereng sangat curam
(68,9%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (26 cm) dan kedalaman tanah
(24 cm). Satuan lahan yang kedua pada kelompok ini adalah Tomi (an)-V-Li-Pmk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
yang bernomor 30, satuan lahan ini memiliki kemiringan lereng sangat curam
(71,1%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (28 cm) dan kedalaman tanah
(20 cm). Penggunaan lahan pada kedua satuan lahan ini adalah permukiman.
Tingkat Bahaya Longsor adalah tinggi. Alasan kedua satuan lahan ini berada di
kelompok 3 pada prioritas penanganan II yaitu melihat dari penggunaan lahan dan
kedalaman solumnya, sebab walaupun kemiringan lerengnya sangat curam namun
jika kedalaman solumnya hanya dangkal kemungkinan timbulnya longsoran juga
lebih rendah dibanding dengan satuan lahan yang memiliki kemiringan lereng
sangat curam dan kedalaman solumnya dalam. Oleh sebab itu pada kelompok ini
memiliki penanganan dan arahan konservasi tersendiri.
Pada kelompok ketiga ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah satu arahan saja yaitu agroforestri termasuk kebun campuran; kebun
rumah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok ketiga ini diarahkan pada
pembuatan teras gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA),
bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo,
perlindungan jalan dan pengendalian erosi dan banjir dari area permukiman
termasuk pembuatan sumur resapan; drainase. Simbol arahan pada konservasi
kelompok ketiga ini adalah:
II. T
V(12) T(5,6,9,13,14)
Kelompok keempat dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomi (an)-V-
KLaCKmr & Li-Pmk yang bernomor 32, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng sangat curam (66,7%) dengan kedalaman solum tanah dalam (94 cm) dan
kedalaman tanah (45 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini adalah
permukiman. Tingkat Bahaya Longsornya adalah tinggi, walaupun tidak dijumpai
tipe longsoran terjadi saat di lapangan. Akan tetapi perlu diwaspadai pula potensi
longsor yang akan terjadi sehingga tetap perlu dilakukan pencegahan dan arahan
konservasi yang tepat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
Pada kelompok keempat ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah satu arahan saja yaitu agroforestri termasuk kebun campuran; kebun
rumah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok keempat ini diarahkan
pada pembuatan saluran pembuangan air (SPA), bangunan terjunan biasanya
bangunan terjunan dari batu atau bamboo, perlindungan jalan dan pengendalian
erosi dan banjir dari area permukiman termasuk pembuatan sumur resapan;
drainase. Simbol arahan pada konservasi kelompok keempat ini adalah:
II. T
V(12) T(6,9,13,14)
Kelompok kelima dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-IV-Li-Tg
yang bernomor 5, satuan lahan ini memiliki kemiringan lereng curam (35,6%)
dengan kedalaman solum tanah dangkal (18 cm) dan kedalaman tanah (20 cm).
Penggunaan lahan pada satuan lahan ini berupa tegalan, umumnya tegalan yang
tidak berteras. Tingkat Bahaya Longsor sedang, sehingga satuan lahan ini berada
pada kelompok kelima prioritas penanganan II. Hal tersebut dilihat dari kelas
kemiringan lereng dan kedalaman solumnya, meskipun pada penggunaan lahan ini
cukup rawan terjadi longsor, sehingga tetap perlu dilakukan adanya arahan
konservasi yang tepat.
Pada kelompok kelima ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman;
tumpang gilir; pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, pengolahan tanah minimum tanpa
olah tanah, strip rumput, penanaman penutup tanah; manjemen bahan organik
termasuk mulsa; pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan sisa
tanaman, tanaman pagar; pagar hidup, hutan produksi termasuk hutan produksi
terbatas dan hutan rakyat, vegatasi permanen termasuk tanaman industri;
perkebunan; kebun, agroforestri termasuk kebun campuran; kebun rumah,
penanaman kembali, suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture
dan penanaman pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok kelima ini diarahkan pada
pembuatan teras gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA),
rorak; mulsa tanaman, pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan
dari batu atau bamboo dan kontrol banjir dan atau perlindungan tepi sungai.
Simbol arahan pada konservasi kelompok kelima ini adalah:
II. S
V(1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17) T(5,6,8,9,12)
Kelompok keenam dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-IV-Li-
Pmk yang bernomor 7, satuan lahan ini memiliki kemiringan lereng curam
(42,2%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (18 cm) dan kedalaman tanah
(16 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini berupa permukiman dengan
Tingkat Bahaya Longsor sedang. Oleh karena parameter penentu untuk
dilakukannya arahan konservasi pada satuan lahan ini lebih ringan dari kelompok-
kelompok sebelumnya maka satuan lahan ini berada pada kelompok keenam
prioritas penanganan II.
Pada kelompok keenam ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah pengolahan tanah minimum tanpa olah tanah, penanaman penutup tanah,
manjemen bahan organik termasuk mulsa; pencampuran kompos; pupuk kandang;
pupuk hijau dan sisa tanaman, tanaman pagar; pagar hidup, vegatasi permanen
termasuk tanaman industri; perkebunan; kebun dan agroforestri termasuk kebun
campuran; kebun rumah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok keenam ini diarahkan
pada pembuatan teras gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air
(SPA), bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo,
perlindungan jalan dan pengendalian erosi dan banjir dari area permukiman
termasuk pembuatan sumur resapan; drainase. Simbol arahan pada konservasi
kelompok keenam ini adalah:
II. T
V(4,6,7,8,11,12) T(5,6,9,13,14)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
Kelompok ketujuh dan merupakan kelompok terakhir dalam prioritas ini
adalah satuan lahan Tomw-IV-KLaCKmr & Li-Sw yang bernomor 10, satuan
lahan ini memiliki kemiringan lereng curam (33,3%) dengan kedalaman solum
tanah dalam (96 cm) dan kedalaman tanah (45 cm). Satuan lahan kedua dalam
kelompok ini adalah Tomi (an)-IV-KLaCKmr & Li-Sw yang bernomor 36, satuan
lahan ini memiliki kemiringan lereng curam (40%) dengan kedalaman solum
tanah dalam (96 cm) dan kedalaman tanah (45 cm). Penggunaan kedua satuan
lahan ini adalah sawah dengan Tingkat Bahaya Longsor tinggi.
Pada kelompok terakhir ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman;
tumpang gilir; pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, strip rumput, penanaman penutup
tanah dan penanaman penutup tanah, manjemen bahan organik termasuk mulsa;
pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan sisa tanaman.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok terakhir ini diarahkan
pada pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras bangku termasuk
teras bangku datar; teras bangku belakang; teras bangku miring; teras kebun; teras
batu; teras bangku putus, teras individu, teras gunung atau saluran pegelak,
saluran pembuangan air (SPA), barisan sisa tanaman, rorak; mulsa tanaman dan
pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo.
Simbol arahan pada konservasi kelompok terakhir ini adalah:
II. T
V(1,2,3,5,6,7) T(1,3,4,5,6,8,9)
3. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan III
Prioritas Penanganan III mempunyai luas 3197,7 Ha (42,6%) dari
keseluruhan luas DAS Grindulu hulu. Satuan lahan yang termasuk prioritas ini
ada 8 satuan lahan, dengan kelas TBL sedang hingga tinggi, kemiringan lereng
landai hingga curam, kedalaman solum dangkal hingga sedang dan kedalaman
tanah dangkal hingga sedang. Pada prioritas ini terdapat 7 kelompok arahan
konservasi lahan yang disajikan dalam tabel 27. sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
Tabel 27. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan III
NO/
SL_I
D
Satuan Lahan Kelas
TBL
Kemiringan
Lereng (%)
Solum
Tanah
(cm)
Kedalaman
Tanah
(cm)
Konservasi Vegetatif Konservasi Teknik Kelompok Prioritas
6 Tomw-IV-Li-Sw Tinggi 44.4 16 22 1,2,3,5,6,7 5,6,8,9,12 1 Prioritas III 15 Tomw-III-Li-Sw Sedang 20 18 20 1,2,3,5,6,7 5,6,7,8,9,12 6 Prioritas III 17 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Tg Sedang 22.2 45 48 1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,12,13 2 Prioritas III 18 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Sw Sedang 15.6 40 50 1,2,3,5,6,7 1,2,3,4,5,6,7,8,9 4 Prioritas III 19 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Sm Sedang 20 60 48 1,3,4,5,6,10,11,13,14,15,16,17 1,2,3,4,5,6,7,8,9 3 Prioritas III 20 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Pmk Sedang 15.6 46 40 4,6,7,8,11,12 1,2,3,4,5,6,9,13,14 5 Prioritas III 27 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Sw Sedang 11.1 62 46 1,2,3,5,6,7 2,3,5,6,7,8,9 7 Prioritas III 40 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Sw Sedang 11.1 54 40 1,2,3,5,6,7 2,3,5,6,7,8,9 7 Prioritas III
Sumber : Hasil Analisis Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
Kelompok pertama dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-IV-Li-
Sw yang bernomor 6, satuan lahan ini memiliki kemiringan lereng curam (44,4%)
dengan kedalaman solum tanah dangkal (16 cm) dan kedalaman tanah (22 cm).
Penggunaan lahan pada satuan lahan ini adalah sawah dengan Tingkat Bahaya
Longsor tinggi. Satuan lahan ini dimasukkan dalam arahan konservasi kelompok
pertama prioritas penanganan III, mengingat parameter yang ada belum
menunjukkan tingkat kekritisan yang mengkhawatirkan disbanding dengan
prioritas penanganan sebelumnya. Akan tetapi arahan konservasi pada kelompok
ini tetap perlu dilakukan walaupun tidak sampai pada tahap yang terlalu detail.
Pada kelompok pertama ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman;
tumpang gilir; pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, strip rumput, penanaman penutup
tanah dan penanaman penutup tanah, manjemen bahan organik termasuk mulsa;
pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan sisa tanaman.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok pertama ini diarahkan
pada pembuatan teras gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air
(SPA), rorak; mulsa tanaman, pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan
terjunan dari batu atau bamboo dan kontrol banjir dan atau perlindungan tepi
sungai. Simbol arahan pada konservasi kelompok pertama ini adalah:
III. T
V(1,2,3,5,6,7) T(5,6,8,9,12)
Kelompok kedua dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-III-
KLaCKmr & Li-Tg yang bernomor 17, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng agak uram (22,2%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (45 cm) dan
kedalaman tanah (48 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini berupa tegalan,
umumnya tegalan yang sudah berteras walaupun secara tradisional. Tingkat
Bahaya Longsor sedang, namun dijumpai tipe longsor nendatan, sehingga
diperlukan arahan konservasi yang tepat sebagai antisipasi walaupun bukan pada
tingkat yang mengkhawatirkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
Pada kelompok kedua ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman;
tumpang gilir; pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, pengolahan tanah minimum tanpa
olah tanah, strip rumput, penanaman penutup tanah; manjemen bahan organik
termasuk mulsa; pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan sisa
tanaman, tanaman pagar; pagar hidup, hutan produksi termasuk hutan produksi
terbatas dan hutan rakyat, vegatasi permanen termasuk tanaman industri;
perkebunan; kebun, agroforestri termasuk kebun campuran; kebun rumah,
penanaman kembali, suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture
dan penanaman pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok kedua ini diarahkan pada
pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras kredit, teras bangku
termasuk teras bangku datar; teras bangku belakang; teras bangku miring; teras
kebun; teras batu; teras bangku putus, teras individu, teras gunung atau saluran
pegelak, saluran pembuangan air (SPA), rorak; mulsa tanaman, pembuatan
bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo, kontrol
sedimen termasuk dam pengendali dan dam penahan, kontrol banjir dan atau
perlindungan tepi sungai dan perlindungan jalan. Simbol arahan pada konservasi
kelompok kedua ini adalah:
III. S
V(1,2,3,4,5,6,78,10,11,12,13,14,15,16,17) T(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,12,13)
Kelompok ketiga dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-III-
KLaCKmr & Li-Sm yang bernomor 19, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng agak curam (20%) dengan kedalaman solum tanah sedang (60 cm) dan
kedalaman tanah (48 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini berupa semak
dengan Tingkat Bahaya Longsor sedang. Arahan konservasi dilakukan pada
kelompok ini karena ada potensi terjadi longsoran, walaupun intensitasnya tidak
terlalu besar, tetapi dengan adanya antisipasi dapat mempermudah penanganan.
Pada kelompok ketiga ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, penanaman menurut kontur penanaman menurut strip
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
pertanaman lorong, pengolahan tanah minimum tanpa olah tanah, strip rumput,
penanaman penutup tanah, hutan produksi termasuk hutan produksi terbatas dan
hutan rakyat, vegatasi permanen termasuk tanaman industri; perkebunan; kebun,
agroforestri termasuk kebun campuran; kebun rumah, penanaman kembali,
suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture dan penanaman
pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok ketiga ini diarahkan pada
pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras kredit, teras bangku
termasuk teras bangku datar; teras bangku belakang; teras bangku miring; teras
kebun; teras batu; teras bangku putus, teras individu, teras gunung atau saluran
pegelak, saluran pembuangan air (SPA), rorak; mulsa tanaman, pembuatan
bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo. Simbol
arahan pada konservasi kelompok ketiga ini adalah:
III.S
V(1,3,4,5,6,10,11,13,14,15,16,17) T(1,2,3,4,5,6,7,8,9)
Kelompok keempat dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-III-
KLaCKmr & Li-Sw yang bernomor 18, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng agak curam (15,6%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (40 cm) dan
kedalaman tanah (50 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini berupa sawah
dengan Tingkat Bahaya Longsor sedang. Penerapan arahan konservasi pada
kelompok ini diperlukan, sebab bagaimanapun berpotensi terjadi longsor.
Pada kelompok keempat ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman;
tumpang gilir; pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, strip rumput, penanaman penutup
tanah dan penanaman penutup tanah, manjemen bahan organik termasuk mulsa;
pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan sisa tanaman.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok keempat ini diarahkan
pada pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras kredit, teras
bangku termasuk teras bangku datar; teras bangku belakang; teras bangku miring;
teras kebun; teras batu; teras bangku putus, teras individu, teras gunung atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA), rorak; mulsa tanaman,
pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo.
Simbol arahan pada konservasi kelompok keempat ini adalah:
III.S
V(1,2,3,5,6,7) T(1,2,3,4,5,6,7,8,9)
Kelompok kelima dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-III-
KLaCKmr & Li-Pmk yang bernomor 20, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng agak curam (15,6%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (46 cm) dan
kedalaman tanah (40 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini berupa
permukiman dengan Tingkat Bahaya Longsor sedang. Untuk arahan koservasi ini
disarankan sesuai dengan tingkat kerawanan longsor yang terjadi dan masih dalam
skala ringan.
Pada kelompok kelima ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah pengolahan tanah minimum tanpa olah tanah, penanaman penutup tanah,
manjemen bahan organik termasuk mulsa; pencampuran kompos; pupuk kandang;
pupuk hijau dan sisa tanaman, tanaman pagar; pagar hidup, vegatasi permanen
termasuk tanaman industri; perkebunan; kebun dan agroforestri termasuk kebun
campuran; kebun rumah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok kelima ini diarahkan pada
pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras kredit, teras bangku
termasuk teras bangku datar; teras bangku belakang; teras bangku miring; teras
kebun; teras batu; teras bangku putus, teras individu, teras gunung atau saluran
pegelak, saluran pembuangan air (SPA), pembuatan bangunan terjunan biasanya
bangunan terjunan dari batu atau bamboo, perlindungan jalan dan pengendalian
erosi dan banjir dari area permukiman termasuk pembuatan sumur resapan;
drainase. Simbol arahan pada konservasi kelompok kelima ini adalah:
III.S
V(4,6,7,8,11,12) T(1,2,3,4,5,6,9,13,14)
Kelompok keenam dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-III-Li-
Sw yang bernomor 15, satuan lahan ini memiliki kemiringan lereng agak curam
(20%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (18 cm) dan kedalaman tanah (20
cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini berupa sawah dengan Tingkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
Bahaya Longsor sedang. Untuk arahan koservasi ini disarankan sesuai dengan
tingkat kerawanan longsor yang terjadi dan masih dalam skala ringan.
Pada kelompok keenam ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman;
tumpang gilir; pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, strip rumput, penanaman penutup
tanah dan penanaman penutup tanah, manjemen bahan organik termasuk mulsa;
pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan sisa tanaman.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok keenam ini diarahkan
pada pembuatan teras gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air
(SPA), rorak; mulsa tanaman, barisan sisa tanaman, pembuatan bangunan terjunan
biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo dan kontrol banjir dan atau
perlindungan tepi sungai. Simbol arahan pada konservasi kelompok keenam ini
adalah:
III.S
V(1,2,3,5,6,7) T(5,6,7,8,9,12)
Kelompok ketujuh dan merupakan kelompok terakhir dalam prioritas ini
adalah satuan lahan Tomw-II-KLaCKmr & Li-Sw yang bernomor 27, satuan
lahan ini memiliki kemiringan lereng agak curam (11,1%) dengan kedalaman
solum tanah sedang (62 cm) dan kedalaman tanah (46 cm). Satuan lahan kedua
pada kelompok ini adalah Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Sw yang bernomor 40,
satuan lahan ini memiliki kemiringan lereng agak curam (11,1%) dengan
kedalaman solum tanah sedang (54 cm) dan kedalaman tanah (40 cm). Kedua
satuan lahan ini memiliki penggunaan lahan berupa sawah dengan Tingkat
Bahaya Longsor sedang. Untuk arahan koservasi ini disarankan sesuai dengan
tingkat kerawanan longsor yang terjadi dan masih dalam skala ringan.
Pada kelompok terakhir ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman;
tumpang gilir; pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, strip rumput, penanaman penutup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
tanah dan penanaman penutup tanah, manjemen bahan organik termasuk mulsa;
pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan sisa tanaman.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok terakhir ini diarahkan
pada pembuatan teras kredit, teras bangku termasuk teras bangku datar; teras
bangku belakang; teras bangku miring; teras kebun; teras batu; teras bangku
putus, teras gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA), rorak;
mulsa tanaman, barisan sisa tanaman, pembuatan bangunan terjunan biasanya
bangunan terjunan dari batu atau bamboo dan kontrol banjir dan atau
perlindungan tepi sungai. Simbol arahan pada konservasi kelompok terakhir ini
adalah:
III.S
V(1,2,3,5,6,7) T(2,35,6,7,8,9,12)
4.Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan IV
Prioritas Penanganan IV mempunyai luas 3197,7 Ha (42,6%) dari
keseluruhan luas DAS Grindulu hulu. Satuan lahan yang termasuk prioritas ini
ada 12 satuan lahan, dengan kelas TBL rendah, kemiringan lereng landai hingga
agak curam, kedalaman solum dangkal hingga sedang dan kedalaman tanah
dangkal hingga sedang. Pada prioritas ini terdapat 8 kelompok arahan konservasi
lahan yang disajikan dalam tabel 28. sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
Tabel 28. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan IV
NO/
SL_ID
Satuan Lahan Kelas TBL Kemiringan
Lereng (%)
Solum
Tanah
(cm)
Kedalaman
Tanah
(cm)
Konservasi Vegetatif Konservasi Teknik Kelompok Prioritas
14 Tomw-III-Li-Tg Rendah 22.2 17 24 1,2,3,4,5,6,7,8,14,16,17 5,6,7,8,9,12 2 Prioritas IV 21 Tomw-III-KLaCKmr & Li-Kb Rendah 17.7 58 45 2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17 1,2,3,4,5,6,8,9,10,11 1 Prioritas IV 22 Tomw-II-Li-Tg Rendah 13.3 26 25 1,2,3,4,5,6,7,8,14,16,17 5,6,7,8,9,12 2 Prioritas IV 23 Tomw-II-Li-Sw Rendah 8.9 17 20 1,2,3,5,6,7 6,7,8,9,12 7 Prioritas IV 24 Tomw-II-Li-Pmk Rendah 8.9 17 23 4,6,7,8,11,12 6,9,13,14 8 Prioritas IV 25 Tomw-II-Li-Kb Rendah 11.1 18 25 2,3,6,12,13,14,15,16,17 5,6,7,8 6 Prioritas IV 26 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Tg Rendah 13.3 46 50 1,2,3,4,5,6,7,8,14,16,17 2,3,5,6,7,8,9,12 3 Prioritas IV 28 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Pmk Rendah 8.9 45 53 4,6,7,8,11,12 2,6,9,13,14 5 Prioritas IV 29 Tomw-II-KLaCKmr & Li-Kb Rendah 13.3 40 40 2,3,6,12,13,14,15,16,17 2,3,5,6,7,8 4 Prioritas IV 39 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Tg Rendah 13.3 40 50 1,2,3,4,5,6,7,8,14,16,17 2,3,5,6,7,8,9,12 3 Prioritas IV 41 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Pmk Rendah 8.9 42 42 4,6,7,8,11,12 2,6,9,13,14 5 Prioritas IV 42 Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Kb Rendah 11.1 45 54 2,3,6,12,13,14,15,16,17 2,3,5,6,7,8 4 Prioritas IV
Sumber : Hasil Analisis Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
Kelompok pertama dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-III-
KLaCKmr & Li-Kb yang bernomor 21, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng agak curam (17,7%) dengan kedalaman solum tanah sedang (58 cm) dan
kedalaman tanah (45 cm). Penggunaan lahan pada satuan lahan ini adalah kebun,
umumnya kebun campuran berteras dengan Tingkat Bahaya Longsor rendah.
Arahan konservasi yang disarankan pada kelompok ini tidaklah terlalu detail dan
berat, seperti pada prioritas-prioritas sebelumnya.
Pada kelompok pertama ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman; tumpang gilir;
pertanaman campuran; tumpang sari, penanaman menurut kontur penanaman
menurut strip pertanaman lorong, penanaman penutup tanah, manjemen bahan
organik termasuk mulsa; pencampuran kompos; pupuk kandang; pupuk hijau dan
sisa tanaman, tanaman pagar; pagar hidup, hutan lindung; hutan kemasyarakatan;
suaka alam dan hutan wisata, hutan produksi termasuk hutan produksi terbatas
dan hutan rakyat, vegatasi permanen termasuk tanaman industri; perkebunan;
kebun, agroforestri termasuk kebun campuran; kebun rumah, penanaman kembali,
suksesi alami, perlindungan sungai dan mata air, silvopasture dan penanaman
pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok pertama ini diarahkan
pada pembuatan teras guludan termasuk pematang kontur, teras kredit, teras
bangku termasuk teras bangku datar; teras bangku belakang; teras bangku miring;
teras kebun; teras batu; teras bangku putus, teras individu, teras gunung atau
saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA), rorak, mulsa tanaman, pembuatan
bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo, kontrol
sedimen termasuk dam pengendali dan dam penahan dan sumbat jurang termasuk
gully head structures. Simbol arahan pada konservasi kelompok pertama ini
adalah:
IV.R
V(2,3,6,10,11,12,13,14,15,16,17) T(1,2,3,4,5,6,8,9,10,11)
Kelompok kedua dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-III-Li-Tg
yang bernomor 14, satuan lahan ini memiliki kemiringan lereng agak curam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
(17,7%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (17 cm) dan kedalaman tanah
(24 cm). Satuan lahan yang kedua dalam kelompok ini adalah Tomw-II-Li-Tg
yang bernomor 22, satuan lahan ini memiliki kemiringan lereng landai (13,3%)
dengan kedalaman solum tanah dangkal (26 cm) dan kedalaman tanah (25 cm).
Penggunaan lahan pada kedua satuan lahan ini adalah tegalan, umumnya tegalan
berteras dengan Tingkat Bahaya Longsor rendah. Arahan konservasi yang
disarankan pada kelompok ini tidaklah terlalu detail dan berat, seperti pada
prioritas-prioritas sebelumnya.
Pada kelompok kedua ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman,
tumpang gilir, pertanaman campuran, tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, pengolahan tanah minimum tanpa
olah tanah, strip rumput, penanaman penutup tanah, manjemen bahan organik
termasuk mulsa, pencampuran kompos, pupuk kandang, pupuk hijau dan sisa
tanaman, tanaman pagar, pagar hidup, suksesi alami, silvopasture dan penanaman
pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok kedua ini diarahkan pada
pembuatan teras gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA),
rorak, mulsa tanaman, pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan
dari batu atau bamboo dan kontrol banjir dan atau perlindungan tepi sungai.
Simbol arahan pada konservasi kelompok kedua ini adalah:
IV.R
V(1,2,3,4,5,6,7,8,14,16,17) T(5,6,7,8,9,12)
Kelompok ketiga dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-II-
KLaCKmr & Li-Tg yang bernomor 26, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng landai (13,3%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (46 cm) dan
kedalaman tanah (50 cm). Satuan lahan yang kedua dalam kelompok ini adalah
Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Tg yang bernomor 39, satuan lahan ini memiliki
kemiringan lereng landai (13,3%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (40
cm) dan kedalaman tanah (50 cm). Penggunaan lahan pada kedua satuan lahan ini
adalah tegalan, umumnya tegalan berteras dengan Tingkat Bahaya Longsor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
rendah. Arahan konservasi yang disarankan pada kelompok ini tidaklah terlalu
detail dan berat, seperti pada prioritas-prioritas sebelumnya.
Pada kelompok ketiga ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman,
tumpang gilir, pertanaman campuran, tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, pengolahan tanah minimum tanpa
olah tanah, strip rumput, penanaman penutup tanah, manjemen bahan organik
termasuk mulsa, pencampuran kompos, pupuk kandang, pupuk hijau dan sisa
tanaman, tanaman pagar, pagar hidup, suksesi alami, silvopasture dan penanaman
pohon, rumput untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok ketiga ini diarahkan pada
pembuatan teras kredit, teras bangku termasuk teras bangku datar; teras bangku
belakang; teras bangku miring; teras kebun; teras batu; teras bangku putus, teras
gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA), barisan sisa
tanaman, rorak, mulsa tanaman, pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan
terjunan dari batu atau bamboo dan atau perlindungan tepi sungai. Simbol arahan
pada konservasi kelompok ketiga ini adalah:
IV.R
V(1,2,3,4,5,6,7,8,14,16,17) T(2,3,5,6,7,8,9,12)
Kelompok keempat dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-II-
KLaCKmr & Li-Kb yang bernomor 29, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng landai (13,3%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (40 cm) dan
kedalaman tanah (40 cm). Satuan lahan yang kedua dalam kelompok ini adalah
Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Kb yang bernomor 42, satuan lahan ini memiliki
kemiringan lereng landai (11,1%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (45
cm) dan kedalaman tanah (54 cm). Penggunaan lahan pada kedua satuan lahan ini
adalah kebun, umumnya kebun campuran berteras dengan Tingkat Bahaya
Longsor rendah. Arahan konservasi yang disarankan pada kelompok ini tidaklah
terlalu detail dan berat, seperti pada prioritas-prioritas sebelumnya.
Pada kelompok keempat ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman, tumpang gilir,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
pertanaman campuran, tumpang sari, penanaman menurut kontur penanaman
menurut strip pertanaman lorong, penanaman penutup tanah, agroforestri
termasuk kebun campuran, kebun rumah, penanaman kembali, suksesi alami,
perlindungan sungai dan mata air, silvopasture dan penanaman pohon, rumput
untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok keempat ini diarahkan
pada pembuatan teras kredit, teras bangku, termasuk teras bangku datar, teras
bangku belakang, teras bangku miring, teras kebun, teras batu, teras bangku putus,
teras gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air (SPA), barisan sisa
tanaman dan rorak, mulsa tanaman. Simbol arahan pada konservasi kelompok
keempat ini adalah:
IV.R
V(2,3,6,12,13,14,15,16,17) T(2,3,5,6,7,8)
Kelompok kelima dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-II-
KLaCKmr & Li-Pmk yang bernomor 28, satuan lahan ini memiliki kemiringan
lereng landai (8,9%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (45 cm) dan
kedalaman tanah (53 cm). Satuan lahan yang kedua dalam kelompok ini adalah
Tomi (an)-II-KLaCKmr & Li-Pmk yang bernomor 41, satuan lahan ini memiliki
kemiringan lereng landai (8,9%) dengan kedalaman solum tanah dangkal (42 cm)
dan kedalaman tanah (42 cm). Penggunaan lahan pada kedua satuan lahan ini
adalah permukiman dengan Tingkat Bahaya Longsor rendah. Arahan konservasi
yang disarankan pada kelompok ini tidaklah terlalu detail dan berat, seperti pada
prioritas-prioritas sebelumnya.
Pada kelompok kelima ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah pengolahan tanah minimum tanpa olah tanah, penanaman penutup tanah,
manjemen bahan organik termasuk mulsa, pencampuran kompos, pupuk kandang,
pupuk hijau dan sisa tanaman, tanaman pagar, pagar hidup, vegatasi permanen
termasuk tanaman industri, perkebunan, kebun dan agroforestri termasuk kebun
campuran, kebun rumah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok kelima ini diarahkan pada
pembuatan teras kredit, saluran pembuangan air (SPA), bangunan terjunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
biasanya bangunan terjunan dari batu atau bamboo, perlindungan jalan dan
pengendalian erosi dan banjir dari area permukiman termasuk pembuatan sumur
resapan, drainase. Simbol arahan pada konservasi kelompok kelima ini adalah:
IV.R
V(4,6,7,8,11,12) T(2,6,9,13,14)
Kelompok keenam dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-II-Li-Kb
yang bernomor 25, satuan lahan ini memiliki kemiringan lereng landai (11,1%)
dengan kedalaman solum tanah dangkal (18 cm) dan kedalaman tanah (25 cm).
Penggunaan lahan pada satuan lahan ini adalah kebun, umumnya kebun campuran
berteras dengan Tingkat Bahaya Longsor rendah. Arahan konservasi yang
disarankan pada kelompok ini tidaklah terlalu detail dan berat, seperti pada
prioritas-prioritas sebelumnya.
Pada kelompok keenam ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman, tumpang gilir,
pertanaman campuran, tumpang sari, penanaman menurut kontur penanaman
menurut strip pertanaman lorong, penanaman penutup tanah, agroforestri
termasuk kebun campuran, kebun rumah, penanaman kembali, suksesi alami,
perlindungan sungai dan mata air, silvopasture dan penanaman pohon, rumput
untuk tujuan konservasi tanah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok keenam ini diarahkan
pada pembuatan teras gunung atau saluran pegelak, saluran pembuangan air
(SPA), barisan sisa tanaman dan rorak, mulsa tanaman. Simbol arahan pada
konservasi kelompok keenam ini adalah:
IV.R
V(2,3,6,12,13,14,15,16,17) T(5,6,7,8)
Kelompok ketujuh dalam prioritas ini adalah satuan lahan Tomw-II-Li-Sw
yang bernomor 23, satuan lahan ini memiliki kemiringan lereng landai (8,9%)
dengan kedalaman solum tanah dangkal (17 cm) dan kedalaman tanah (20 cm).
Penggunaan lahan pada satuan lahan ini adalah sawah dengan Tingkat Bahaya
Longsor rendah. Arahan konservasi yang disarankan pada kelompok ini tidaklah
terlalu detail dan berat, seperti pada prioritas-prioritas sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
Pada kelompok ketujuh ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah penanaman rumput, pertanaman campuran termasuk pergiliran tanaman,
tumpang gilir, pertanaman campuran, tumpang sari, penanaman menurut kontur
penanaman menurut strip pertanaman lorong, strip rumput, penanaman penutup
tanah dan manjemen bahan organik termasuk mulsa, pencampuran kompos, pupuk
kandang, pupuk hijau dan sisa tanaman.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok ketujuh ini diarahkan
pada pembuatan saluran pembuangan air (SPA), barisan sisa tanaman, rorak,
mulsa tanaman, pembuatan bangunan terjunan biasanya bangunan terjunan dari
batu atau bamboo dan kontrol banjir dan atau perlindungan tepi sungai. Simbol
arahan pada konservasi kelompok ketujuh ini adalah:
IV.R
V(1,2,3,5,6,7) T(6,7,8,9,12)
Kelompok kedelapan dan merupakan kelompok terakhir dalam prioritas
ini adalah satuan lahan Tomw-II-Li-Pmk yang bernomor 24, satuan lahan ini
memiliki kemiringan lereng landai (8,9%) dengan kedalaman solum tanah
dangkal (17 cm) dan kedalaman tanah (23 cm). Penggunaan lahan pada satuan
lahan ini adalah permukiman dengan Tingkat Bahaya Longsor rendah. Arahan
konservasi yang disarankan pada kelompok ini tidaklah terlalu detail dan berat,
seperti pada prioritas-prioritas sebelumnya.
Pada kelompok terakhir ini arahan konservasi vegetatif yang dilakukan
adalah pengolahan tanah minimum tanpa olah tanah, penanaman penutup tanah,
manjemen bahan organik termasuk mulsa, pencampuran kompos, pupuk kandang,
pupuk hijau dan sisa tanaman, tanaman pagar, pagar hidup, vegatasi permanen
termasuk tanaman industri, perkebunan, kebun dan agroforestri termasuk kebun
campuran, kebun rumah.
Konservasi lahan secara teknik dalam kelompok terakhir ini diarahkan
pada pembuatan saluran pembuangan air (SPA), bangunan terjunan biasanya
bangunan terjunan dari batu atau bamboo, perlindungan jalan dan pengendalian
erosi dan banjir dari area permukiman termasuk pembuatan sumur resapan,
drainase. Simbol arahan pada konservasi kelompok terakhir ini adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
IV.R
V(4,6,7,8,11,12) T(6,9,13,14)
Pada prioritas I, II, III, IV ini seluruh arahan konservasi lahan baik secara
vegetatif maupun teknik dapat digambarkan dengan beberapa sketsa dan gambar
sebagai berikut:
Gambar 34. Vetiver yang Ditanam Rapat sebagai Pengendali Longsor
Gambar 35. Saluran Pengelak yang Dipotong dengan Rorak
Gambar 35. Saluran Teras Bangku
Gambar 36. Saluran Teras Bangku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
Gambar 37. Saluran Pembuangan Air (SPA)
Gambar 38. Bangunan Terjunan dari Bambu
Berdasarkan analisis prioritas penanganan tersebut diatas, maka
persebaran arahan konservasi lahan pada masing-masing prioritas penanganan
dapat dilihat dalam peta 11. sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
Peta 11. Arahan Konservasi Lahan DAS Grindulu Hulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan hasil analisis data dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Tipe Longsoran Nendatan berada pada morfologi bergelombang, yang terdapat
pada kelas TBL rendah hingga sedang dan tersebar di 8 desa dengan luas
keseluruhan 5617,8 Ha. Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran berada
pada morfologi bergelombang hingga berbukit, yang terdapat pada kelas TBL
tinggi dan tersebar di 8 desa dengan luas keseluruhan 2877,4 Ha. Tipe
Longsoran Jatuhan Batu berada pada morfologi bergunung, yang terdapat pada
kelas TBL sangat tinggi dan tersebar di 2 desa dengan luas keseluruhan 35,2
Ha.
2. Tingkat kerentanan tertinggi/ sangat rentan berada di Desa Gemaharjo dengan
luas 492,3 Ha (30,1%) dan Tingkat kerentanan terendah/ tidak rentan berada di
Desa Ploso dengan luas 839,9 Ha (18,3%). Sementara itu untuk tingkat risiko
tertinggi berada di Desa Gemaharjo dengan luas 699,5 Ha (40,9%) dan tingkat
risiko terendah berada di Desa Ploso dengan luas 1378,6 Ha (33,9%).
3. Di DAS Grindulu hulu terdapat 32 arahan konservasi lahan dengan 4 prioritas
penanganan. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan III memiliki
luasan terbesar yaitu 3197,7 Ha (42,6%) dan Arahan Konservasi Lahan Pada
Prioritas Penanganan II memiliki luasan terkecil yaitu 462,9 Ha (6,1%).
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil implikasi hasil penelitian
sebagai berikut :
1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan penggunaan lahan, supaya lahan dapat digunakan sesuai dengan
kemampuannya. Apabila lahan digunakan sesuai dengan kemampuannya maka
lahan dapat lestari dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan penduduk.
149
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan
dalam mengatasi bahaya longsor di daerah penelitian.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dan masukan dalam
mewaspadai bahaya longsor di daerah penelitian.
4. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran di sekolah
tingkat menengah khususnya pada mata pelajaran geografi dalam sub pokok
bahasan kerusakan sumberdaya alam kelas XI semeter 1, sehingga dari ini
diharapkan siswa mempunyai kemampuan memprediksi persebaran
sumberdaya alam dan pemafaatannya berdasarkan prinsip berwawasan
lingkungan dan berkelanjutan serta dapat memberi contoh pemanfaatan
sumberdaya alam berdasarkan prinsip ekoefisien.
C. Saran
Dari hasil penelitian ini penulis menyarankan:
1. Untuk penelitian selanjutnya dapat lebih digali lagi mengenai metode yang
diterapkan untuk penentuan longsor.
2. Permukiman yang terletak di kelas kemiringan lereng curam hingga sangat
curam yang rawan longsor disarankan dibangun penguat lereng untuk
mengantisipasi terjadinya bencana longsor.
3. Melakukan tebang pilih dan menggalakkan penghijauan dengan menanam
vegetasi permanen terhadap hutan atau kebun campuran yang menjadi milik
masyarakat daerah penelitian.
4. Menghindari “cutting slope” atau pemotongan lereng untuk dijadikan lahan
hunian.
Untuk ketiga saran tersebut dapat disajikan ke dalam peta 12 yaitu
Rekomendasi Penanganan Longsor DAS Grindulu Hulu Kabupaten Pacitan dan
Ponorogo Tahun2009.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
Peta 12. Rekomendasi Penanganan Longsor DAS Grindulu Hulu