1
DAFTAR ISI
STATUS TERSANGKA DAN PERLINDUNGAN HAM
Sampe L Purba 4
POLITIK JOKOWI
Prayitno Ramelan 7 HUKUM PRAPERADILAN DI INDONESIA
Romli Atmasasmita 11
ANTARA KASUS BW, AS, DAN KASUS AU
Ma’mun Murod Al Barbasy 14
KUNJUNGAN KE MALAYSIA DAN POROS MARITIM
Dinna Wisnu 18
PAK JOKOWI, (MAAF) TOLONG HORMATI BIROKRASI!
Tito Sulistio 21
SEANDAINYA
Mudji Sutrisno 25 UJI PUBLIK DALAM PILKADA
Janedjri M Gaffar 29
MENGENAL PLATFORM PARTAI PERINDO Abdul Khaliq Ahmad 32
MALA PROHIBITA ABRAHAM SAMAD
Moh Mahfud MD 36
PULIHKAN CITRA KPK DAN POLRI
Marwan Mas 39
JOKOWI, PRABOWO, DAN PETUGAS PARTAI
M Bambang Pranowo 42 GOVERNABILITAS JOKOWI
M Alfan Alfian 45
MOBIL PROTON DAN MISTERI HENDROPRIYONO
Tjipta Lesmana 48
MIMPI PDIP MENYAPU PILKADA
Didik Supriyanto 51
KEWENANGAN MINUS ETIKA
2
Danang Girindra Wardana 54
UJI PUBLIK CALON KEPALA DAERAH
Farouk Muhammad 58
JURUS PENDEKAR MABUK
Amzulian Rifai 62
KOREA UTARA DAN KAA
Dinna Wisnu 65 MEMOTRET WAJAH POLITIK KPK
Ma’mun Murod Al-Barbasy 68
MEMBACA JOKO WIDODO
Komaruddin Hidayat 71
KENANGAN SPORTIVITAS POLRI
Moh Mahfud MD 74
DPR (BUKAN) ANUTAN RAKYAT
Victor Silaen 77
PERINDO: MENGGAGAS POLITIK KESEJAHTERAAN
Mardiansyah SP 80 PENGUATAN KPK KITA
Anas Urbaningrum 83
IMPLIKASI HUKUM DAN POLITIK JIKA BG DILANTIK
Tjipta Lesmana 86
KPK DAN POLRI PASCAVONIS PRAPERADILAN
Ahmad Yani 89
ABOLISIONIST ATAU RETENTIONIST?
Dinna Wisnu 92
MOMENTUM REVISI UU KPK
Romli Atmasasmita 96 PROBLEM DEMOKRATISASI PARTAI POLITIK
Airlangga Pribadi Kusman 99
SOLUSI ELEGAN JOKOWI?
Iding Rosyidin 102
TEKA-TEKI DI BALIK SIKAP PRESIDEN
Sudjito 105
3
HORMATI PUTUSAN HAKIM
Marwan Mas 108
PUTUSAN HAKIM SARPIN YANG MENCERAHKAN
Romli Atmasasmita 111 ISTANA RAJAWALI ATAU ISTANA KAMPRET?
Bambang Soesatyo 114
MENCARI PEMUTUS SENGKETA PILKADA
Refly Harun 118
PRIORITAS LANGKAH MENYELAMATKAN POLRI
Reza Indragiri Amriel 122
SEKALI LAGI TENTANG MUBAHALAH ANAS
Ma’mun Murod Al-Barbasy 125
GAYA DIPLOMASI
Dinna Wisnu 128 MEWASPADAI SEKTARIANISME DI TIMTENG
Hasibullah Satrawi 131
MASALAH EKSEKUSI HUKUMAN MATI
Frans H Winarta 135
POLITIK AMIEN RAIS
Bawono Kumoro 139
KOMPROMI PENYELAMATAN KPK
Moh Mahfud MD 142
ETIKA HAKIM SARPIN
Romli Atmasasmita 145 ANTARA TRADISI, KETOKOHAN, DAN AMBISI
Firman Noor 148
KACAU, PENEGAKAN HUKUM DI REPUBLIK INI!
Tjipta Lesmana 151
MATAHARI REFORMASI ITU KINI KIAN MEREDUP
Laode Ida 154
SAAT KPK LEMPAR HANDUK
Marwan Mas 157
PEMIMPIN BERANI MENGAMBIL KEPUTUSAN
Frans H Winarta 160
4
Status Tersangka dan Perlindungan HAM Koran SINDO 3 Februari 2015
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Kecuali karena tertangkap tangan, pada umumnya untuk seseorang dinyatakan jadi tersangka
harus melalui kegiatan penyelidikan, atau pengumpulan bahan keterangan yang dapat
berawal dari laporan, pengaduan, keadaan, maupun rangkaian peristiwa.
KUHAP tidak menjelaskan pengertian bukti permulaan. Juga tidak mempersyaratkan berapa
banyak jumlah dan jenis bukti permulaan tersebut. KUHAP bahkan tidak menjelaskan atau
menentukan berapa lama seseorang menyandang status tersangka, baru akan dilimpahkan ke
tahapan penuntutan. Yang diatur oleh KUHAP adalah kecukupan dan kelengkapan alat bukti
sebagai persyaratan dilimpahkan dari tahapan penuntutan untuk diperiksa dalam sidang
pengadilan, serta lamanya penahanan kepada tersangka atau terdakwa pada setiap tahapan
pemeriksaan.
Bukti permulaan tidak sama dengan alat bukti. Bukti permulaan pada saat penyelidikan dapat
saja berubah dengan alat bukti yang lain sejalan dengan perkembangan penyidikan.
Mengingat diskresi, kewenangan dan subjektivitas yang besar kepada penegak hukum dapat
berpengaruh secara langsung terhadap kebebasan asasi dan status hukum seseorang, maka
mutlak perlu ada instrumen hukum, acuan, prosedur tetap, protokol dan pedoman yang
mengikat dan dapat diuji serta dipertanggungjawabkan secara profesional, internal maupun
eksternal kepada publik.
Beberapa aturan yang baik dan mengikuti logika berpikir tersebut dalam criminal justice
system dikemukakan sebagai contoh. Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara
Pidana (Mahkejapol) diatur dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri
Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02- KP.10.06 Tahun
1984, No. KEP- 076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/ 04/III/1984.
Di Kepolisian ada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman
Administrasi Penyidikan Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup
merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan
minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur
dalam Pasal 184 KUHAP.
Di lingkungan Kejaksaan Agung ada Peraturan Jaksa Agung RI No Per-
5
036/A/JA/09/2011tentang Standar Operasi Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak
Pidana Umum. Ada juga Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Jaksa Agung RI No. Kep 1/1121/2005 dan Kep. IAIJ.A1121/2005. Namun, ini lebih pada
kerja sama institusional dalam rangka implementasi pelaksanaan tugas dan kewenangan
seperti pelatihan dan pertukaran informasi, dan bukan dalam kaitannya dengan teknis
penanganan perkara.
Pada perkara pidana umum, ruang perlindungan pengujian atas hak-hak tersangka relatif
lebih luas, karena ada persebaran kewenangan dan internal check antara instansi kepolisian
pada lingkup penyelidikan hingga penyidikan dan kejaksaan pada lingkup penuntutan dan
pelimpahan perkaranya ke pengadilan.
Gelar perkara, pemberian petunjuk oleh penuntut umum (kejaksaan) kepada penyidik
(kepolisian) untuk melengkapi dan menyempurnakan berkas perkara, pelibatan penasihat
hukum pada setiap tahapan pemeriksaan, mekanisme praperadilan adalah bagian dari due
process of law dalam criminal justice system yang diatur oleh KUHAP.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi memberikan tugas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Adapun tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Undang-undang ini juga memberikan kewenangan dalam rangka pelaksanaan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan untuk melakukan penyadapan dan perekaman. Bukti permulaan
yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti,
termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan baik secara biasa maupun elektronik, atau optik.
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang
diatur dalam KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada
Komisi Pemberantasan Korupsi. Kalau dalam KUHAP dibedakan institusi yang berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Undang-Undang KPK menyatukannya
di dalam institusi tersebut.
Tidak disebutkan dalam undang-undang bahwa apabila bukti permulaan yang cukup telah
terpenuhi maka seseorang akan otomatis atau pasti akan menjadi tersangka. Yang disebutkan
adalah jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang
cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja
terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut penyelidik
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 44).
Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal
6
penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan undang-undang
ini (Pasal 46). Namun tidak dijelaskan prosedur khusus seperti apa yang akan berlaku.
Kembali kepada pokok tulisan ini, mengingat penetapan seseorang menjadi tersangka tidak
ada batas waktunya, maka adalah penting untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi
manusia serta demi kepastian hukum, ada aturan yang mengikat dan memberi akibat hukum
baik terhadap para penegak hukum, dan instansinya. Itulah juga salah satu implementasi
esensi asas praduga tak bersalah. Perbaikan KUHAP yang akan datang hendaknya mengatur
hal tersebut.
Asas fundamental universal hak-hak asasi manusia menyatakan bahwa segala kuasa, hak,
kewenangan, dan diskresi yang diberikan kepada suatu institusi atau perorangan yang
membatasi dan mengekang hak asasi orang lain, harus ditetapkan dengan peraturan
publik/perundang-undangan.
Catatan penting lainnya adalah, dalam hal ada suatu hal yang diatur oleh undang-undang lain
dikesampingkan atau tidak diberlakukan berdasarkan undang-undang yang khusus, maka
pengaturannya juga harus dengan undang-undang. Tidak boleh suatu pengecualian dari
undang-undang, akan diatur oleh aturan yang lebih rendah dari undang-undang. Itulah esensi
asas lex specialist derogates lex generalist.
SAMPE L PURBA
Pemerhati Hukum; Alumni Pendidikan Reguler Lemhanas RI
7
Politik Jokowi Koran SINDO 3 Februari 2015
Masyarakat kini lebih menyukai sesuatu yang praktis, semua disingkat. Misalnya nama-nama
tokoh nasional seperti SBY, Jokowi, JK merupakan singkatan populer.
Kini muncul singkatan populer (BG) yang sebenarnya adalah nama dari Komjen Polisi Budi
Gunawan. BG banyak menyedot perhatian media karena setelah ia dipilih Presiden sebagai
calon tunggal kepala Polri baru menggantikan Sutarman, namanya diajukan dan disetujui
DPR. Tetapi oleh KPK, justru BG ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi (korupsi).
Masalah BG yang banyak menuai pendapat pro dan kontra melibatkan beberapa pihak
menyangkut masalah citra, korupsi, emosi, harga diri, keputusan pimpinan nasional dan
banyak pernik lain. Semua sebenarnya wajar, tetapi menjadi sangat penting karena
menyangkut ranah politik dan hukum.
Setelah bergulir lebih dua pekan, masyarakat luas kini menunggu keputusan Presiden apakah
akan melantik atau membatalkan BG sebagai kepala Polri dan menunjuk yang lain. Dalam
keputusannya terdahulu, Presiden Jokowi menempuh kebijakan jalan tengah, memutuskan
menunda pelantikan BG, tetapi tidak membatalkan.
Penulis mencoba mengulas dari sudut pandang intelijen terhadap masalah ini hingga
menemukan di mana bermuaranya. Dalam terminologi intelijen, analisis serupa disebut
sebagai sebuah ramalan intelijen.
Antara Intelstrat, Politisasi, dan Kriminalisasi
Intelijen selalu melihat dan mengukur masalah strategis dari pakem intelstrat (intelijen
strategis) yang terdiri atas sembilan komponen yaitu Ipoleksosbudhankam plus komponen
biografi, demografi, dan sejarah. Apabila menghadapi musuh, fokus yang dinilai adalah
kekuatan, kemampuan, kerawanan, dan niat lawan (K3N).
Nah, dalam konteks masalah pencalonan BG sebagai kepala Polri baru, yang mengemuka
diberitakan adalah bidang hukum dan politik. Konflik mengarah kepada perseteruan antara
KPK dan Polri. Dalam perkembangannya, para ahli dan praktisi hukum menuduh ada upaya
politisasi, sementara dari elite politik menuduh terjadi kriminalisasi.
Tampaknya Presiden juga diarahkan oleh media untuk menilai kasus pada dua sisi tersebut.
Analisis tersebut yang menjadi komoditas utama media kemudian melibatkan Presiden
sebagai decision maker.
8
Di sisi lain intelijen menilai analisis tidak komprehensif karena ada informasi penting yang
tertinggal. Bisa terlihat dalam beberapa diskusi serta pemberitaan media, kesimpulan banyak
yang tidak tepat, walau mampu membentuk dan memengaruhi opini publik. Dalam hal ini,
menurut penulis, banyak yang tidak mengetahui bahwa Presiden kemudian mengukur kasus
BG yang berkembang ke arah konflik KPK dan Polri dengan sudut pandang intelijen.
Walau masalah BG tidak memenuhi seluruh aspek sembilan komponen, apabila diurai, kasus
akan valid paling tidak mayoritas dari komponen intelstrat terpenuhi. Awalnya setelah
pengajuan BG ke DPR untuk mengikuti uji kelayakan, hingar-bingar yang muncul
menempatkan Presiden sebagai pihak yang bukan anti-korupsi. Banyak yang heran, mengapa
BG yang namanya distabilo KPK kok masih diajukan sebagai calon tunggal kepala Polri?
Mengapa? Hingga di sini banyak yang tidak mendapat informasi akurat mestinya. Ada
komponen intelstrat yang tidak terbaca publik bila diteliti dari komponen sejarah, ideologi,
politik, sosial, biografi misalnya. Banyak yang meng-underestimate Jokowi dalam masalah
ini yang menuduhnya naif tetap bersikukuh soal BG.
Publik mengetahui bahwa BG adalah mantan ajudan Megawati saat menjadi presiden (tiga
tahun). Tanpa mendapat informasi intelijen, publik bisa menyimpulkan ada pengaruh
psikologis dan politis dari Teuku Umar dengan masuknya BG sebagai calon utama kepala
Polri. Kita lihat saja, beberapa elite PDIP, parpol koalisi mengeluarkan statement agar
Presiden segera melantik BG. Belum lagi ada yang marah kepada KPK karena menetapkan
BG sebagai tersangka.
Para kader PDIP, tokoh Nasdem, dan tokoh besar yang dekat dengan Megawati bisa
diterjemahkan dan semakin menegaskan bahwa BG adalah benar calon PDIP (baca Mega).
Mereka menekan Presiden untuk segera melantiknya. Plt. Sekjen PDIP (Hasto) bahkan
menyerang KPK dengan menyudutkan ketua KPK. Belum lagi ada kader yang menyentuh
soal pelengseran. Rasanya kurang smart dan kurang cerdik, tetapi inilah dunia politik yang
penuh dengan trik.
Pertanyaannya, apakah Jokowi tidak setia kepada ”Ratu Banteng”? Banyak yang keliru
menilai Jokowi di sini. Pemilihan dan pengajuan BG setelah Kompolnas mengajukan
sembilan nama calon kepadanya adalah gambaran kesetiaannya kepada orang yang
menjadikannya pimpinan nasional.
Memang tidak dapat disangkal bahwa BG mempunyai kekuatan lobi politik serta pendukung
yang kuat di kalangan PDIP itu. Intelstrat menilai semua sudah diperhitungkan oleh Jokowi.
Dalam masa kepemimpinannya yang 100 hari, Jokowi banyak belajar dalam menghadapi
praktik politik kotor di Tanah Air pastinya.
Tampaknya memang ada pihak yang mencoba memanfaatkan konflik dan mencoba
menggiring Presiden ke killing ground sebagai titik awal untuk dihabisi. Hal serupa juga
pernah dilakukan terhadap Presiden SBY. Upaya pembaruan dan revolusi mental ala Jokowi
9
jelas tidak disukai oleh pihak-pihak tertentu. Ini sudah terbaca.
Arah Strategi Presiden
Awalnya timbul pertanyaan penulis, mengapa dalam kasus BG ini sepertinya Presiden lebih
kepada ”solo karier”? Ke mana para pembantu-pembantunya di kabinet? Pernyataan Pak
Tedjo sebagai Menko Polhukam yang mengoordinasikan bidang politik, hukum, keamanan,
intelijen, kejaksaan, dan lain-lainnya justru mengherankan karena mengundang polemik dan
menjadi kontraproduktif di media dengan bahasa politik tergelincir.
Dalam perkembangan selanjutnya, semua bagi penulis menjadi lebih terang, di mana Jokowi
sebenarnya memainkan strategi lepas libat. Di satu sisi melepaskan dan memenuhi semua
keinginan BG, parpol, Kompolnas, dan para pendukung BG, dengan mengajukan BG ke
DPR. Selanjutnya Presiden melibatkan banyak pihak untuk ikut masuk dalam pusaran konflik
yang terjadi.
Kini Presiden menunjukkan bahwa walau demikian banyak pihak yang meributkan masalah
BG, masalah penangkapan komisioner KPK, keputusan akhir ada di tangannya, melantik atau
tidak melantik (membatalkan), serta mengeluarkan keppres pemberhentian komisioner KPK.
Itu saja sebenarnya muara masalah ini. Semua akan selesai apabila keputusannya yang pro-
rakyat dan anti-korupsi keluar.
Jokowi sangat paham bahwa sesuai dengan komitmennya yang anti-korupsi, dia tidak akan
mau berhadapan dengan rakyat yang anti-korupsi. Di lain sisi, Presiden mampu menstabilkan
kondisi DPR setelah bertemu Prabowo karena sadar bahwa dari komponen intelstrat sejarah,
bahaya pelengseran dirinya bisa berasal dari DPR atau bisa juga dari rakyat. Jokowi harus
menjaga stabilitas politik, menjaga kesetiaan pendukungnya, serta juga menjaga hati dan
perasaan ”Ibu Ketuanya”.
Presiden Jokowi dengan senyumnya yang khas mengatakan bahwa dia tidak akan
mengintervensi hukum, di mana BG kini mempraperadilankan KPK. Sidang di Pengadilan
Jakarta Selatan yang dimulai Senin (2/2/2015), diperkirakan pada minggu pertama Februari
ini akan selesai. Dalam hal ini Presiden memahami upaya perlawanan BG atas sangkaan
KPK.
Tampaknya masalah usia pencalonan BG sebagai kepala Polri hanya menunggu waktu. Kunci
waktunya adalah sidang praperadilan itu. Solusi yang diambil dan akan cantik bagi Presiden,
penulis perkirakan BG akan mengundurkan diri sebagai calon setelah praperadilan.
Kemudian Presiden akan meminta Kompolnas kembali mengajukan calon kepala Polri
baru. Kompolnas menunjukkan indikasi akan menyaring calon baru, kemudian meminta
clearance ke PPATK dan KPK. Kemudian proses akan berjalan sesuai prosedur dan UU yang
berlaku.
10
Indikasi kekuatan politis Presiden yang didasari dukungan ketua umum PDIP terlihat setelah
pertemuan beberapa tokoh KIH di Kebagusan pada Jumat (30/1/2015). KIH sudah berpikir
bahwa ada kepentingan yang lebih besar dalam waktu dekat yaitu akan dilangsungkan
pilkada, bila bertahan dalam mendukung BG, mereka akan rugi, mengalami penurunan
elektabilitasnya. Mungkin ini pertimbangannya, di samping jelas pengaruh kuat dari ketua
umum PDIP. KIH tidak ingin disalip KMP pastinya dan melihat Prabowo saat bertemu
Presiden telah memainkan jurus cantik, menyatakan setelah pertemuan dengan Jokowi, ”Saya
yakin beliau mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan lainnya dan beliau akan
memilih yang terbaik,” katanya.
Prabowo sebagai tokoh utama KMP memberikan signal agar dicari saja calon kepala Polri
baru. Di samping melaporkan kepada Presiden bahwa dirinya dipilih sebagai presiden
Federasi Pencak Silat Dunia. Ia meminta kepada Presiden untuk bersedia diangkat sebagai
pendekar pencak silat Indonesia. Inilah sebuah bentuk dukungan moril kepada Jokowi saat
beberapa kader PDIP melakukan tekanan.
Nah, demikian perkiraan atau ramalan intelijen tentang kemelut pencalonan Komjen Budi
Gunawan sebagai kepala Polri. Jokowi berhasil mendapat kesamaan pandangan tokoh-tokoh,
relawan, serta kekuatan nasional yang mayoritas menghendaki KPK dan Polri sebagai
institusi yang perlu diselamatkan, bukan pribadi-pribadi. Selain itu, dalam proses kita bisa
melihat Jokowi tetap setia dan menghormati Megawati yang telah memilihnya sebagai
capres.
Yang jelas dan tidak tertulis, Jokowi menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan moril
Prabowo. Presiden Jokowi kini menemukan bukti kebenaran peribahasa yang mengatakan
”The enemy of my enemy is my friend.” Walau perlahan, ia sedang berproses, tertempa
dengan ATHG sebagai pemimpin. Suatu saat ia akan matang dan berpeluang menjadi
pemimpin besar di negeri ini. Kekuasaan itu sudah di tangannya, tinggal bagaimana
mengolahnya secara bijak.
MARSDA TNI (PUR) PRAYITNO RAMELAN
Pengamat Intelijen
www.ramalanintelijen.net
11
Hukum Praperadilan di Indonesia Koran SINDO 4 Februari 2015
Hukum praperadilan di Indonesia mirip dengan pre-trial dalam sistem hukum yang dianut di
Amerika Serikat atau negara penganut sistem common law lainnya. Bahkan hukum
praperadilan Indonesia bisa dikatakan adopsi dari sistem hukum di sana.
Momentum bersejarah peralihan dari sistem hukum acara pidana kolonial ke sistem hukum
acara pidana Indonesia merdeka terletak dari perubahan pandangan terhadap status seseorang
yang terlibat ke dalam sistem peradilan pidana. Sebelumnya seseorang yang terlibat itu
dianggap sebagai objek, lalu berkembang dipandang sebagai subjek yang wajib memperoleh
perlindungan hukum tanpa melihat latar belakang sosial, ekonomi, politik dll.
Filosofi hukum acara pidana Indonesia yang baru dalam bentuk UU RI Nomor 8/1981 juga
telah sejalan dengan UU RI Nomor 12/1995 tentang Pengesahan ICCPR. Di dalamnya antara
lain ditegaskan mengenai perlindungan minimum (minimum gurarantees) terhadap setiap
orang yang telah diduga melakukan tindak pidana (Pasal 14 angka 3 huruf b) dan jaminan
upaya pemulihan dari negara terhadap setiap orang dari perlakuan aparatur hukum sekalipun
di dalam melaksanakan jabatannya (Pasal 2 angka 3 huruf a dan b).
***
Hukum praperadilan mengatur hak tersangka/terdakwa mengajukan keberatan terhadap
perlakuan aparatur hukum dalam empat hal: penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, dan penghentian penuntutan.
Dalam praktik hukum, sering terjadi bahwa ketentuan UU tidak dapat menjangkau fakta
perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi
seseorang sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata
dari negara.
Peristiwa ini pernah terjadi dalam kasus Sengkon dan Karta atas kekeliruan mengenai orang
(error in persona) yang baru ditemukan setelah kedua orang ini menjalani hukuman sehingga
diakui kemudian dibolehkan pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara
pidana. Lalu muncullah pengakuan alat bukti elektronik dalam beberapa undang-undang
pidana khusus yang semula tidak diakui dalam KUHAP. Yang terkini lahir beberapa putusan
mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui
merupakan wilayah kewenangan praperadilan.
12
Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam kenyataan masyarakat menurut
pendapat saya bukanlah sesuatu hal yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di
negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian
dari sistem hukum yang bersangkutan.
Peristiwa hukum yang terjadi sekalipun tidak diatur dalam suatu UU (hukum tertulis)
menurut penulis merupakan bagian dari dinamika kehidupan masyarakat dalam mencari,
memperoleh, dan menemukan keadilan sebagai salah satu tujuan hukum di samping kepastian
hukum dan kemanfaatan.
Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm.) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum”
(legal-breakthrough) atau hukum yang pro-rakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar
Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai
keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang
fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian
hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga
memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang
berkembang dan terkini.
Jika hukum diperlakukan secara konservatif atau hanya mempertahankan status quo, akan
dihasilkan hukum yang tidak aspiratif terhadap perkembangan kehidupan masyarakat atau
bukan hukum yang baik. Di sinilah makna perkembangan hukum yang sesungguhnya dalam
pandangan aliran sociological jurisprudence yang berbeda atau bertentangan dengan
pandangan aliran positivisme hukum yang memandang hukum sebagai suatu sistem norma
dan logika (system of norms and logic).
Cara pandang pertama telah diwujudkan dalam ketentuan Pasal 5 UU RI Nomor 48/2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu ”Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.” Aturan tersebut sudah tentu merupakan pedoman dan rujukan para hakim di
Indonesia dalam penanganan setiap perkara, termasuk perkara praperadilan.
***
Setiap tindakan hukum oleh aparatur hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia
merupakan hasil dari suatu proses panjang sejak penyelidikan sampai pemeriksaan di
pengadilan; bukan suatu tindakan hukum yang serta-merta dan tergesa-gesa karena tindakan
hukum tersebut bersinggungan dengan hak-hak asasi seseorang.
Kulminasi dari serangkaian tindakan hukum tersebut seharusnya dapat mencerminkan
ketelitian dan kepastian yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan hukum pidana yaitu kebenaran material. Atas dasar itu, setiap tindakan hukum sejak
13
penyelidikan sampai penuntutan harus memenuhi asas akuntabilitas, profesionalitas, dan
integritas serta transparansi, terlebih tindakan hukum dimaksud telah ditentukan di dalam
KUHAP.
Dalam membaca dan memahami hukum praperadilan berdasarkan KUHAP, terpenting adalah
tidak melihat dan memahaminya hanya sebagai suatu norma kewenangan penegak hukum,
termasuk KPK, melainkan harus dipandang juga sebagai wujud perlindungan hak asasi
seseorang tersangka sebagaimana telah diamanatkan di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945:
”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di muka hukum.”
Wujud perlindungan hak asasi dimaksud juga telah diatur di dalam KUHAP yang merupakan
ketentuan tentang tata cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka
sidang pengadilan.
Berdasarkan uraian ini, tidaklah aneh dan tidak mustahil jika wilayah hukum praperadilan
tidak hanya mempersoalkan kebenaran langkah hukum dalam keempat hal sebagaimana
tercantum dalam Pasal 77 KUHAP, melainkan juga termasuk tindakan hukum lain yang
bersinggungan dengan perlindungan hak asasi setiap tersangka.
Peristiwa penetapan tersangka yang dilanjutkan pada penangkapan dan penahanan
merupakan conditio sine qua non, bukan merupakan conditio cum qua non dari proses
penyelidikan dan penyidikan. Maka jika dalam kedua prosedur tersebut terjadi perbuatan
melawan hukum, proses penetapan tersangka juga termasuk penangkapan dan penahanannya
adalah cacat hukum dan dapat dibatalkan (vernietegbaar).
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
14
Antara Kasus BW, AS, dan Kasus AU Koran SINDO 4 Februari 2015
Dalam tiga minggu terakhir, publik disuguhi tontonan ”drama politik” yang berbalut hukum.
Pertama, penetapan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka terkait kasus rekening gendut
sehari setelah Jokowi menetapkan sebagai calon tunggal Kapolri. Kedua, ditangkapnya
Bambang Widjojanto (BW) sekaligus ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan sebagai
perekayasa saksi palsu Pilkada Kotawaringin Barat.
Ketiga, konferensi pers Plt. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait pertemuan Abraham
Samad (AS) dengan beberapa petinggi PDI-P berkenaan rencana AS sebagai calon wakil
presiden mendampingi Joko Widodo. AS memang termasuk salah satu nominator cawapres
untuk mendampingi Joko Widodo.
Lantas apa kaitannya dengan Anas Urbaningrum (AU)? Kalau menilik kasus yang dialami
BW dan AS tentu saja tak ada kaitan dengan AU. Cara publik merespons kasus BW dan AS
juga berbeda dengan cara merespons kasus AU. Padahal fakta-fakta yang mengiringi kasus
AU, mulai saat ditetapkan sebagai tersangka sampai proses persidangan, nyaris tak berbeda
jauh dengan kasus yang dialami BW saat ditangkap Bareskrim.
Munculnya nama AS dalam pusaran ”drama politik” ini juga tak berbeda jauh dengan yang
dialami AU selama menjalani persidangkan, di mana AU didakwa oleh JPU KPK --salah
satunya-- karena ingin menjadi presiden. Bedanya, AS dituduh berkeinginan menjadi
cawapres.
Yang Sama antara Kasus BW dan Kasus AU
Sesaat setelah menjalani pemeriksaan di Bareskrim dalam posisinya sebagai tersangka, BW
membuat pernyataan pers. Ada beberapa poin pernyataan BW yang menarik dan
mengandung kesamaan saat AU ditersangkakan oleh KPK.
Dalam pernyataannya, BW tak lupa ”jualan anak”. BW seakan ingin menunjukkan kepada
publik bahwa anaknya yang masih kecil dan tak tahu apa-apa harus ”dilibatkan” dalam kasus
yang menimpa dirinya. Atau BW ingin menunjukkan kepada anaknya kalau dirinya telah
diperlakukan semena-mena oleh Bareskrim. ”Jualan anak” ini cukup berhasil menyita
perhatian publik.
Mungkin BW tidak berpikir bahwa saat AS selaku Ketua KPK membocorkan sprindik AU,
saat itu AU juga mempunyai empat anak yang masih kecil-kecil. Seperti halnya BW yang
15
mempunyai anak, saat sprindik AU dibocorkan, kira-kira bagaimana perasaan anak-anak AU
saat mengetahui abahnya dizalimi KPK melalui sprindik yang sengaja dibocorkan.
BW juga menyoal sangkaan Bareskrim yang dinilai tidak tepat. BW mungkin lupa ketika
menetapkan AU sebagai tersangka juga dengan surat dakwaan yang tak jelas: ”...dan atau
proyek-proyek lainnya”. Bagaimana mungkin, KPK menetapkan status tersangka seseorang
begitu kabur?
BW dan pendukungnya menyebut bahwa penangkapan BW bak menangkap seorang teroris,
di mana puluhan Brimob dengan bersenjata lengkap dikerahkan. Apakah BW tidak ingat
ketika sekadar untuk menggeledah rumah AU, KPK berlaku arogan dengan mengerahkan
puluhan Brimob bersenjata lengkap?
Seperti pendukung BW, saat itu pun pendukung AU sempat berkomentar yang sama terkait
sikap KPK yang bak menggerebek teroris. BW juga menyampaikan soal perlakuan Bareskrim
yang dinilai intimidatif, termasuk kata-kata tak patut yang keluar dari mulut petugas saat
penangkapan. Apakah BW lupa ketika menjelang penahanan AU, sikap AS dan BW juga
arogan? Bahkan AS sampai mengeluarkan pernyataan yang tak patut: ”Pastinya saya akan
panggil ini Anas. Dengar ya kata-kata saya, saya akan panggil Anas. Saya ingatkan kepada
Anas lewat forum ini sekali lagi dia tidak datang saya akan memerintahkan penyidik saya
untuk memanggil paksa,” (7/1/2014).
BW dan pendukungnya juga mempertanyakan soal tiga alat bukti yang digunakan Bareskrim
untuk menahan BW. Sama, ketika AU ditersangkakan, pendukung AU pun mempertanyakan
dua alat bukti yang digunakan KPK. Hingga akhir persidangan, AU tak pernah tahu dua alat
bukti dimaksud, dan juga tidak tahu bukti terkait ”dan atau proyek-proyek lainnya”.
Ketika BW jadi tersangka, pendukungnya memenuhi kantor KPK, padahal BW ditahan tidak
dalam kapasitas sebagai pimpinan KPK, tapi sebagai pribadi yang terkena kasus hukum.
Semestinya solidaritas dukungan juga dilakukan di rumah BW. Ketika aksi dilakukan di
gedung KPK itu menjadi bias dan tidak netral. Akan timbul opini yang menyesatkan di
bahwa seakan-akan pimpinan KPK tidak bisa salah. Karenanya, kalau ada pimpinan KPK
terkena kasus hukum, maka akan dicap sebagai kriminalisasi KPK.
Ketika AU menjadi tersangka, pendukungnya pun kumpul di kediaman AU di Duren Sawit,
bukan di Kantor Partai Demokrat, simbol institusi yang dinila i turut andil dalam
menersangkakan AU. Kenapa para pendukung BW berjubel memenuhi gedung KPK?
Karena diyakini ada yang salah dalam menersangkakan BW. Sama, pendukung AU pun
meyakini ada yang salah dari KPK dalam menersangkakan AU. Pendukung AU meyakini ada
nuansa politik yang begitu dominan dalam penetapan AU sebagai tersangka.
Amoral Pimpinan KPK Berpolitik
16
Tak berbeda dengan kasus BW, pemberitaan terkait pernyataan Hasto Kristiyanto yang
menyebut bahwa AS sempat bertemu dengan petinggi PDI-P terkait pencawapresan AS, juga
mempunyai kemiripan ketika AU didakwa oleh JPU KPK bahwa AU berkeinginan menjadi
presiden, sebuah dakwaan yang disebut AU sebagai imajiner.
Ketika AS diyakini mempunyai niatan ingin jadi cawapres, berkembang pernyataan publik
yang bernada membela AS: ”sebagai warga negara, apanya yang salah kalau Samad
berkeinginan menjadi cawapres”. Ironisnya, ketika AU didakwa JPU karena ”ingin menjadi
presiden”, ”publik” diam membisu seakan mengamini dakwaan JPU. Sebagian lainnya
berkomentar sinis dengan menyebut bahwa AU dinilai terlalu cepat dan ambisius ingin
menjadi presiden.
Ini rasanya komentar publik yang tidak jujur. Komentar publik yang aneh. Mestinya
komentar ”apanya yang salah...” itu disematkan ke AU bukan ke AS. Sebagai ketua umum
partai, apanya yang salah dan aneh kalau AU berkeinginan menjadi presiden? Sangat wajar
AU berkeinginan menjadi presiden. Tidak ada yang dilanggar baik secara konstitusional
maupun moral politik.
Justru harus dipandang aneh dan amoral ketika ketua KPK berkeinginan menjadi cawapres.
Itu ibarat orang laki-laki salat hanya dengan memakai celana yang panjangnya dari pusar
hingga di bawah lutut tanpa memakai baju. Secara fikih tentu salatnya sah, karena aurat laki-
laki memang antara pusar dan di bawah lutut. Tapi pertanyaannya, apakah patut salat hanya
dengan menutup aurat yang minimalis?
Secara konstitusi, memang tidak salah AS berkeinginan menjadi cawapres, karena itu hak
setiap warga negara. Tapi secara moral, apakah patut sebagai ketua KPK yang dalam
menjalankan tugas harus betul-betul mengedepankan integritas moral lalu berkeinginan
menjadi wapres? Lantas di mana integritas moralnya? Moralitas itu nilainya di atas konstitusi
ataupun aturan apa pun, dan ini semestinya menjadi perhatian bagi pejabat-pejabat publik.
Pelajaran Berharga
Sulit untuk mengatakan bahwa proses penetapan status tersangka AU, BG, BW, dan mungkin
sebentar lagi akan menimpa AS sebagai kasus hukum murni. AU jadi tersangka setelah
didahului dengan sprindik bocor. BG tersangka hanya selang sehari setelah ditetapkan
sebagai calon tunggal Kapolri.
BW menjadi tersangka begitu mendadak saat mengantar anaknya sekolah. Dan bila AS
nantinya ditetapkan menjadi tersangka, kemungkinan kasus pemalsuan dokumen akan
dijadikan sebagai alasan menetapkan AS sebagai tersangka, sesuatu yang selama ini
dipandang lumrah dan sepele.
Kasus yang mendera AU, BW, AS, dan BG ini harus menjadi media introspeksi (muhasabah)
bagi institusi penegak hukum. Ke depan, transparansi penegakan hukum, utamanya dalam
17
penetapan tersangka, harus dikedepankan. Institusi penegak hukum harus menyampaikan
secara terbuka alat bukti yang dijadikan sebagai alasan untuk menersangkakan seseorang. Hal
ini penting dilakukan untuk menghindari tuduhan adanya invisible hand dalam proses
penetapan tersangka. Selain itu, hukum adalah ranah publik, sudah semestinya publik juga
mengetahui prosesnya. Tidak sepatutnya proses hukum ditutup-tutupi.
Bukan hanya itu, penetapan status tersangka juga terkait dengan seseorang yang mempunyai
harga diri (marwah), mempunyai sanak keluarga dan sahabat. Semestinya aspek keadilan
harus benar-benar dikedepankan, bukan karena nafsu atau orderan politik. Sehingga jangan
sampai ada penzaliman dalam penetapan seseorang menjadi tersangka.
Siapa pun, termasuk aparat penegak hukum, pasti juga akan merasakan sakit bila dirinya
mendapat perlakuan tidak adil proses penegakan hukum. Dan biasanya seseorang memang
baru akan merasakan arti ketidakadilan bila yang bersangkutan sudah mengalami
”ketidakadilan”.
Ketika belum, mungkin sulit untuk bisa merasakan atau berempati bagaimana menderitanya
menjadi orang yang terzalimi secara hukum. Sekarang BW, BG, dan --mungkin menyusul--
AS sudah dan akan bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang terzalimi.
Semoga!
MA’MUN MUROD AL BARBASY
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP UMJ; Fungsionaris Pimpinan Nasional
Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
18
Kunjungan ke Malaysia dan Poros Maritim Koran SINDO 4 Februari 2015
Besok, 5 Februari 2015, adalah kunjungan kenegaraan pertama Presiden Joko Widodo
(Jokowi) dalam kerangka kerja sama bilateral dan beliau memilih untuk mengunjungi
Malaysia. Sebelumnya, Jokowi telah berkunjung ke China dalam kerangka APEC, Myanmar
dalam kerangka KTT ASEAN dan Australia dalam rangka KTT G-20.
Pilihan mengunjungi Malaysia adalah cara untuk menyampaikan kepada masyarakat di dalam
negeri dan luar negeri tentang isu yang menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Yaitu, tentang
relasi Indonesia dengan negara-negara tetangga, dan dalam hal Malaysia terkait isu
perbatasan dan tenaga kerja migran.
Saya pribadi tertarik untuk melihat apakah kedua negara akan membicarakan politik luar
negeri yang terkait dengan pertahanan dan keamanan. Bagaimana atau diskusi apa yang akan
muncul dari Malaysia terkait masalah perbatasan dalam konteks gagasan Poros Maritim. Hal
ini tidak hanya penting dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, tetapi juga
dalam kaitan strategi Indonesia sebagai negara penting di kawasan Asia Tenggara.
Meskipun tidak banyak dibahas di dalam negeri, ada keresahan dari negara-negara tetangga
termasuk Malaysia terkait keputusan pemerintahan Jokowi untuk menenggelamkan perahu-
perahu nelayan yang masuk dan mengambil sumber daya kelautan di wilayah perairan
Indonesia. Dari pihak Indonesia, kegiatan ini dianggap sebagai penegakan hukum, tetapi di
mata negara-negara lain, cara yang diambil dianggap sebagai unjuk kekuatan yang entah di
mana akan berujung.
Secara diplomatis, negara-negara tetangga kita menyambut baik gagasan Poros Maritim
terutama dengan peluang investasi yang dibuka oleh pemerintah Indonesia terkait dengan
proyek-proyek ratusan triliun rupiah untuk membangun pelabuhan-pelabuhan di beberapa
kepulauan. Namun demikian, rasa optimistis itu juga disertai dengan kecemasan tentang
kemungkinan investasi yang lebih besar dari pemerintah Indonesia di bidang pertahanan dan
kemananan di laut.
Negara-negara tetangga kita masih menunggu langkah- langkah konkret Jokowi untuk
meningkatkan kapasitas pertahanan dan keamanan di laut. Setidaknya ada 3 alasan untuk ini.
Pertama, pemerintahan Jokowi telah memilih untuk mengebom dan menenggelamkan kapal
asing yang masuk tanpa izin untuk mencuri kekayaan laut Indonesia. Dalam hubungan
internasional, penggunaan kekuatan militer di laut adalah bagian dari gunboat diplomacy di
mana kekuatan Angkatan Laut dipakai untuk menggentarkan siapa pun yang memasuki
perairan Indonesia agar merekat tidak berani mengusik kedaulatan wilayah.
19
Dalam gunboat diplomacy, efek yang diharapkan berbeda dengan kegiatan showing the flag
(unjuk bendera di batas wilayah) di mana penjaga laut semata akan menegur siapa pun yang
melintas batas tetapi tidak untuk unjuk kekuasaan.
Cara keras yang dipilih Jokowi erat kaitannya dengan kebiasaan negara yang ingin unjuk
kekuasaan agar dianggap sebagai hegemoni (penguasa) di suatu kawasan. Dalam sejarahnya,
gunboat diplomacy bahkan merupakan instrumen imperialisme. Pertanyaannya kemudian,
apa saja hal-hal yang harus diwaspadai oleh negara tetangga terkait intensi tersebut? Apakah
akan terjadi konflik seputar penentuan batas negara?
Kedua, dalam meningkatkan kapasitas penjagaan perbatasan, biasanya ada ideologi politik
yang menjadi basis kebijakan. Misalnya untuk menjalin kerja sama militer yang lebih kuat
dengan negara tertentu, bersinergi dengan negara-negara tertentu, atau menggenjot industri
pertahanan di Tanah Air.
Dalam konteks Indonesia, meskipun untuk kebutuhan militer sehari-hari sudah mampu
dipenuhi dari industri pertahanan domestik, untuk kebutuhan teknologi canggih, khususnya
untuk menjaga wilayah-wilayah laut dalam dan udara, Indonesia masih tergantung pada
industri militer di Amerika Serikat, Rusia, Jepang dan China. Pertanyaannya kemudian, kerja
sama pertahanan seperti apa yang patut diantisipasi negara-negara tetangga? Akankah terjadi
penajaman keberpihakan pada AS atau China di Asia Tenggara?
Ketiga, penegakan hukum adalah hal lazim bagi semua negara, tetapi ketika langkah
penegakan hukum tidak berjalan sepenuhnya, muncul keresahan tentang arah yang
sesungguhnya dari kebijakan Jokowi di laut. Misalnya saja Automatic Identification System
menangkap ada 22 kapal nelayan yang berasal dari China yang melakukan penangkapan ikan
secara ilegal di perairan Indonesia. Dari jumlah tersebut, angkatan laut kita dapat menggiring
8 kapal dan sisanya masih bebas berkeliaran atau kabur.
Kabarnya Menteri Kelautan dan Perikanan sudah mengirimkan surat kepada Duta Besar
China untuk membicarakan hal ini, tetapi sampai saat ini belum ada kabar selanjutnya.
Mungkin ini urusan diplomasi yang membutuhkan kerahasiaan, tetapi kalau isunya adalah
penegakan hukum sebagaimana disampaikan oleh Menteri Luar Negeri dan Presiden Jokowi
dalam sejumlah kesempatan, mengapa ada rahasia? Apakah ini sekadar masalah teknis karena
Indonesia belum punya kemampuan menangkapi kapal-kapal asal China yang bandel ataukah
ada pengecualian tertentu?
Dari sini semoga dapat tergambarkan bahwa pilihan Jokowi untuk memberi perhatian pada
pengembangan Poros Maritim dan menegakkan hukum di batas wilayah bukanlah hal yang
tunggal dimensi kebijakannya. Ada efek-efek samping bagi upaya diplomasi. Patutlah diingat
bahwa di Asia Tenggara masih belum tuntas masalah sengketa di Laut China Selatan. Ada
Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan China yang terjerat masalah
dalam sengketa tersebut. Indonesia mendukung upaya penyelesaian sengketa lewat
mekanisme code of conduct, tetapi sampai hari ini belum terlihat ada kemajuan yang berarti
20
dalam pencapaian kesepakatan lewat cara itu. Bahkan informasi terkini menunjukkan bahwa
China telah membangun pulau-pulau buatan yang dijadikan tempat persinggahan kapal induk
militer di karang Fiery Cross di Kepulauan Spratly.
Menjaga kedaulatan wilayah adalah hal yang penting, tetapi lebih penting lagi strategi yang
dipilih dan dilaksanakan untuk mencapai kedaulatan wilayah. Hari ini kita telah mengirimkan
pesan yang keras terhadap negara tetangga terkait dengan illegal fishing dan mereka tentu
berharap kita tidak diskriminatif dan memberikan pengecualian kepada negara tertentu.
Sampai saat ini belum ada nota protes yang keras dari negara-negara yang kapalnya telah atau
akan ditenggelamkan, meski demikian kita harus siap apabila terjadi pembalasan. Kesiapan
itu tidak hanya dari sisi diplomatik, tetapi juga dari sisi ekonomis apabila negara-negara yang
kapalnya ditenggelamkan menurunkan derajat kerja sama dan bantuan ekonomi yang
diperlukan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur kita. Apabila kita tidak siap maka
gagasan Poros Maritim-lah yang akan menjadi korban.
Semoga Presiden Jokowi memperhitungkan segala langkah dan konsekuensi jangka panjang
dari kegiatan diplomasi beliau, termasuk ketika mengunjungi Malaysia.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
21
Pak Jokowi, (Maaf), Tolong Hormati Birokrasi!
Koran SINDO 5 Februari 2015
Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia ketujuh yang sangat saya hormati.
Selamat! Saat ini Bapak telah lebih dari 100 hari me-manage republik ini. Negara dengan
penduduk terbesar keempat di dunia. Negara dengan jumlah pegawai negeri sipil yang
mencapai 4,5 juta orang ditambah dengan lebih dari sejuta tentara, paramiliter, dan cadangan.
Jumlah yang besar.
Bapak Jokowi yang baru jadi presiden, memimpin jajaran birokrat dalam suatu organisasi
yang berbasis birokrasi bukan pekerjaan mudah. Birokrasi, asal kata bureaucracy, pada
dasarnya adalah suatu jenis organisasi yang lazim dipergunakan dalam suatu pemerintahan
modern, terutama untuk tugas-tugas yang bersifat administratif. Organisasi yang Bapak
pimpin ini biasanya bersifat komando dengan bentuk piramida. Dalam operasionalnya,
piramida ini mengerucut tajam ke atas untuk pengambilan keputusan dan tanggung jawab.
Organisasi semacam ini biasanya tidak mempunyai fleksibilitas dalam beroperasi, bahkan
cenderung kaku, karena tugasnya mengoperasikan secara terpadu alur kerja organisasi
pemerintahan yang besar dan kompleks. Output utama dari para birokrat biasanya adalah
kebijakan.
Bapak Presiden yang pernah jadi Wali Kota Solo, dari pengalaman saya mendaftar di
birokrasi, menjadi seorang birokrat murni di Indonesia sangat tidak mudah. Butuh kerja
keras, pendidikan dan waktu yang panjang, serta persaingan yang ketat untuk mencapai
puncak karier. Bapak, nuwun sewu mengingatkan, sampai masa Orde Baru, selama hampir 45
tahun usia republik ini, tidak pernah ada jalan pintas untuk naik ke atas di pemerintahan.
Semua ada jalur jabatan, jalur pendidikan formal dan terstruktur, ada urut kacangnya.
Syarat utamanya adalah lulusan S-1 yang diakui negara, lalu si calon mengikuti ujian
bersama puluhan ribu orang. Ujian yang tidak mudah, karena seorang puteri presiden pun
bisa tidak lulus. Jika lulus, interviu akan dilakukan oleh pejabat tinggi di departemen yang dia
minati. Semua memakan waktu hampir enam bulan penantian.
Lulus sebagai calon pegawai negeri, penempatan dan pendidikan di departemen sudah
menunggu. Setiap departemen dan kedirjenan sudah mempunyai struktur pendidikan yang
baik. Setahun pertama selain kadang menunggu waktu jatah tempat untuk pendidikan
22
internal, si calon pegawai negeri sipil (PNS) itu akan ikut bekerja seperti layaknya seorang
trainee.
Secara kasatmata perlu belasan tahun bagi seorang pegawai negeri untuk mencapai tingkatan
eselon 1/dirjen, menjadi panglima perang lapangan. Seorang eselon 1 dari pegawai negeri
sipil, secara pendidikan biasanya bergelar S3/doktor, mempunyai pengetahuan yang nyaris
sempurna tentang pekerjaan yang dia geluti, mempunyai network yang pastinya baik, serta
teruji loyalitas terhadap negara dengan belasan tahun pengabdian yang sudah dilakukan.
Yang penting juga adalah mengerti tata kerja pola memanajemen dan berhubungan dengan
birokrasi.
Karena itu, secara logika tidak ada yang lebih pantas menjadi pimpinan departemen, menjadi
menteri dibandingkan para birokrat itu. Inilah yang selama 45 tahun merdeka dipraktikkan,
terutama untuk departemen teknis oleh para pemimpin negara terdahulu. Semua menteri yang
sukses berlatar belakang birokrat karier, dari jajaran eselon 1. Pak Sumarlin, Pak Hartarto,
Pak Marie Muhammad adalah beberapa nama yang kiprahnya masih terdengar sampai
sekarang.
Bapak Jokowi yang baru saja menunjuk para pembantunya, reformasi sepertinya mengubah
pandangan tentang kemampuan para birokrat. Entah pengertian tentang Reformasi yang
ngawur atau pemimpin negaranya yang ngawur, tapi menjadi pimpinan birokrasi
pemerintahan termasuk menjadi menteri sepertinya lebih mementingkan kepopuleran,
ketokohan bahkan saat terakhir kedekatan dengan pimpinan negara atau pimpinan partai.
Menjadi menteri sepertinya dianggap bukan sesuatu yang penting untuk kelancaran jalannya
pemerintahan. Secara bodoh bahkan dengan enteng ada tokoh pemerintahan yang
mengatakan bahwa menteri itu jabatan politik. Lah, kalau menteri jabatan politik, presiden
serta wapres juga jabatan politik, lalu siapa yang menjadi direktur mengelola negara ini?
Ingat bahwa karena autopilot pesawat bisa kecelakaan.
Bapak Jokowi, yang Presiden Indonesia, beberapa tahun ini, maaf mengatakan, dengan
seenaknya, memanfaatkan kekuatan politik yang dimiliki, ditunjuklah oleh Presiden para
menteri yang bukan hanya tidak berasal dari birokrasi, tidak mempunyai latar belakang
mumpuni, bahkan ada yang tidak dikenal oleh Presiden!
Menjadi menteri seperti pertunjukan mencari idola di televisi. Kepopuleran serta keberanian
berkoar-koar dengan seenaknya sepertinya menjadi syarat utama selain kedekatan dengan
tokoh politik. Dilantiklah dengan upacara yang lagi-lagi seperti show pertunjukan di media
para menteri itu.
Bapak Jokowi yang sedang menilai para menteri, menteri pilihan Bapak atau yang diusulkan
partai, sepertinya memang hebat! Para menteri itu hanya butuh waktu beberapa minggu
bahkan ada yang beberapa hari untuk menganggap dirinya telah mengerti dan bisa
memecahkan masalah pemerintahan. Mereka langsung mengambil keputusan, mengeluarkan
23
kebijaksanaan, bahkan juga mencabut beberapa kebijaksanaan yang sebelumnya telah dibuat
dengan pemikiran yang mendalam dari semua segi dan melibatkan departemen yang terkait.
Pertanyaan memang, apakah para menteri itu memang para jenius, yang bisa langsung
memecahkan problema yang sudah dihadapi para birokrat selama puluhan tahun atau
sebenarnya hanyalah badut politik yang sok tahu yang ingin memanfaatkan kesempatan
jabatan yang dimiliki untuk mengambil posisi politik lebih tinggi?
Bapak Presiden Jokowi yang diharapkan membela birokrasi, banyak kebijakan sebagai output
kerja menteri Bapak yang lebih berupa keputusan bisnis semata. Beberapa peraturan, bukan
kebijakan publik, yang dibuat para menteri itu seperti keputusan para direktur dalam
mengelola perseroan. Pelarangan-pelarangan tanpa perhitungan, peraturan-peraturan yang
lebih berbau publisitas sesaat, bahkan bergaya blusukan secara serampangan, sebagai suatu
pemborosan banyak dipertontonkan para pembantu Bapak.
Para menteri berebut mempertontonkan pelecehan hasil olah pikir para birokrasi yang telah
teruji itu. Pelarangan yang dibuat bahkan sudah menyentuh area pribadi para birokrat.
Penunjukan para staf khusus sepertinya meremehkan kemampuan para dirjen atau direktur.
Pertanyaan memang, apakah 4,5 juta PNS itu dianggap demikian bodohnya oleh para
pembantu Bapak sehingga mereka dengan mudah mengubah kebijakan dalam sekejap dan
harus mengambil tenaga khusus dari luar dengan mengabaikan birokrasi? Apakah mencari
keuntungan itu tugas departemen, tugas menteri? Apakah berhemat itu lebih penting dari
tugas negara menjadi lokomotif stimulus pembangunan dengan menciptakan multiplier effect
untuk kesejahteraan masyarakat? Apakah pegawai pemerintahan itu harus terlihat miskin?
Bapak Presiden yang telah bersumpah sesuai konstitusi untuk memegang teguh konstitusi,
menjalankan segala undang-undang, sesuai UU No. 5 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,
fungsi PNS terutama adalah melayani publik dan menjadi unsur perekat persatuan dan
kesatuan bangsa. Fungsi ini wajib hukumnya dikoordinasi oleh para menteri, yang walaupun
bukan PNS, walaupun hanya pembantu kontrakan presiden, walaupun jenius, harus
mengutamakan fungsi pelayanan dan perekat kesatuan bangsa.
Bukan tugas menteri menghitung-hitung keuntungan seperti fungsi seorang direktur di
perseroan. Bukan fungsi semua menteri blusukan, memboroskan uang rakyat bergaya seperti
Presiden mencari popularitas semu. Tugas menteri kerja melayani publik, memastikan negara
jadi lokomotif pembangunan, dan yang wajib tidak meremehkan birokrasi yang suatu saat
akan mereka tinggalkan.
Bapak Presiden Jokowi yang didukung mayoritas rakyat, semoga Bapak tetap sehat, tetap
eling. Bagi sebagian menteri Bapak, mungkin ini masa kampanye mereka, buat jajaran
birokrasi ini adalah hidup mereka sebagai ujung tombak pemerintahan, tapi buat bapak
Presiden, punten Pak, this is governing, not campaigning!
24
DR TITO SULISTIO, SE, MAF
Founder Charta Politica
25
Seandainya Koran SINDO 5 Februari 2015
Seandainya kita melanjutkan dan mewujudkan dasar pikiran pendiri bangsa dalam
menjalankan politik luar negeri yang “bebas dan aktif”, sejarah akan mencatat betapa
pemikiran para pendiri bangsa Republik Indonesia itu visioner mendasar.
Pemikiran tersebut berparadigma non-blok jauh menampakkan arah bacaan pikiran mereka
dalam kesadaran tinggi budi jernih bahwa peta persaingan ada pada dua kekuatan besar
antara blok Timur (baca: Rusia dan kawan-kawan) dan blok Barat (baca: Amerika Serikat
dan kawan-kawan).
Artinya, bangsa ini besar dengan penduduk banyak, kaya bineka tambang, dan alam, namun
selalu dijadikan rebutan kolonialis hingga untuk merdeka dan berdaulat pun harus berjuang
terus dengan budi jernih dan nurani hening melawan superpower yang mau menguasai
dunia.
Politik luar negeri non-blok terbukti visioner ketika konteks perkembangan pasca-Perang
Dingin dan perkembangan globalisasi ekonomi pasar menaruh berhadap-hadapan
menghadapi tiga kekuatan saat ini yaitu blok Amerika dan sekutunya Eropa Barat, blok Rusia
dan kawan-kawannya pasca-Glasnost, serta China dengan perkembangan ekonominya pasca-
Deng Xiaoping. Apalagi kekuatan-kekuatan ekonomi “baru” pasca-Perang Dunia II yaitu
Jepang, India, dan Korea masuk dalam kancah perebutan pasar jualnya.
Mengapa konsep non-blok --dalam bahasa politik luar negeri “bebas-aktif”-- tahan dan
cemerlang sebagai prinsip berelasi internasional dengan negara-negara lain? Karena pikiran
budi jernih pendiri bangsa menempatkan pikiran sebagai pelita hati (ungkapan teks
kebijaksanaan hidup negeri ini dalam ekspresi pepatah peribahasa).
Yang berarti pertimbangan budi akal sehat dengan hening menimbang realitas peta dunia
diproses pertama-tama dalam kepentingan bangsa Indonesia yaitu agar bangsa ini terus
berdaulat lantaran rakyatnya berada dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa yang
salah satunya melalui pendidikan. Kepentingan bangsa yang cerdas dan berdaulat menjadi
batu penjuru tatkala berhadapan dengan persaingan dan konflik-konflik kepentingan lain
yang beragam dan bineka.
Seakan kepentingan mewujudkan kehidupan bangsa dalam ungkapan manusia-manusia
Indonesia yang merdeka berdaulat berprinsip dan tidak menggadaikan diri bahkan tega
melacur diri untuk keuntungan-keuntungannya saat dirayu oleh kolonialis-kolonialis “wajah
baru”. Para kolonialis wajah baru ini hadir dalam aktivitas pengerukan hasil bumi tambang
26
sampai hasil laut, bahkan yang dikandung Tanah Air sebagai Bumi Pertiwi.
Pandangan sudah dirumus tegas-tegas oleh pendiri bangsa untuk generasi ke generasi dalam
bahasa konstitusi yaitu kekayaan alam dan kandungan Tanah Air digarap demi sebesar-
besarnya kemakmuran dan sejahteranya rakyat. Dalam bahasa cultural studies dan logika
kebudayaan sebagai ranah nilai alias yang dihayati dan dikonsepkan sebagai yang berharga
dalam kehidupan ini, pikiran mendasar para pendiri bangsa di atas merupakan “teks”.
Artinya, hasil pertimbangan dari proses diskresi budi dan nurani yang lama, yang selalu harus
memilih pertimbangan yang benar ketika kepentingan pendek, praktis, pragmatis, teknis yang
menjanjikan hasil guna dan manfaat besar, tetapi hanya untuk segelintir pengambil putusan
sedangkan untuk kemaslahatan sejahtera rakyat banyak “kalah”.
Di sini “teks” menjadi bahasa rumus prinsip yang benar dari kehidupan, yang baik, yang suci,
dan yang indah sehingga manakala “teks” non-blok dan bebas aktif dilanjutkan oleh
pemerintah-pemerintah RI pascagenerasi pendiri bangsa di sana bisa dievaluasi sebagai
langkah-langkah kontekstualisasi.
Jujur dalam membaca kontekstualisasi dari “teks”, kita pernah melupakan non-blok kita dan
memilih salah satu superpower dari yang kini untunglah kita siuman sadar kembali untuk
kembali ke “teks” dasar para pendiri bangsa kita. Dengan begitu, tanah dan air yang berarti
daratan pulau dan lautan disadari paradigma pikirannya sebagai lautan di dalamnya
bertaburan pulau-pulau kita sehingga lautan (baca: maritim)- lah penyambung Nusantara
menjadi Indonesia.
***
Seandainya proses membuat pertimbangan atau diskresi konsisten mengikuti prinsip
musyawarah untuk mufakat sebagaimana tertulis sebagai “teks” oleh para pendiri bangsa
dalam dasar negara berpancasila. Teks itu lahir karena mereka “jenius” membaca jernih
dengan budi dan hening nurani bahwa bangsa majemuk suku, beragam kekayaan religi,
berbineka pikiran bijaksana mengenai refleksi-refleksi lokal kehidupan ini tidak bisa
memutuskan sebuah keputusan yang mendengarkan keragaman dan kebinekaan itu tanpa cara
diskresi musyawarah!
Tidak bisa dipercepat atas nama efisiensi dengan kalah dan menang sebagai kalkulasi
putusan. Mengapa kita dalam tahap-tahap kontekstualisasi (baca: melaksanakan “teks”
diskresi musyawarah mufakat) lalu mengadopsi yang dianggap bernilai dan berharga dengan
dalih “demokrasi” melalui voting yang mayoritas menang lalu yang minoritas
kalah? Kelirukah cara menimbang kita dalam membaca esensi kemajemukan bangsa ini lalu
dijalanpintasi dengan menang dan kalah lewat voting?
Ruang musyawarah mensyaratkan kesediaan rendah hati menaruh diri untuk mendengarkan
posisi-posisi lawan maupun kawan. Ruang ini dengan rendah hati harus dibersihkan dahulu
27
dari pertimbangan like and dislike, senang atau benci.
Ia ruang bermusyawarah yang belajar dari kenyataan lapangan, menaruh diri para posisi yang
diperjuangkan yaitu kepentingan bersama, kesejahteraan publik. Saat mufakat diambil, ia
harus diproses tidak dalam kalkulasi menang-menangan, tetapi terbaik untuk semuanya.
Di sinilah muncul dua dilema apabila kontras antarnilai ditimbang seakan-akan tidak bisa
dipilih. Itu terungkap dalam buah simalakama yaitu memilih yang satu akan mati ibu,
sedangkan bila memilih yang kedua akan mati ayah. Maka harus berani masuk ke
pertimbangan “minus malum“ sebagai dilema yang memperhadapkan antara pilihan yang
buruk dan pilihan yang “lebih buruk”.
Itulah proses musyawarah mufakat harus mengambil keputusan untuk yang dampak
negatifnya lebih kecil atau paling kecil dibandingkan yang buruk lain. Minus malum,
harfiahnya adalah mengambil jeleknya (=malum) paling minus atau paling sedikit.
***
Seandainya “teks” menimbang dalam “konteks” pelaksanaannya disadari bersama harus
diproses pertimbangan budi dan diskresi “nurani”. Syaratnya adalah mau rendah hati
memprosesnya melalui blusukan sejati untuk mendengar pertimbangan-pertimbangan. Selain
itu perlu paham prosedur serta tata cara sebuah wewenang atau kekuasaan yang harusnya
melayani namun di kebanyakan orang kita yang feodalistik dan berperilaku tuan dan bos
begitu jadi pemimpin atau pimpinan apa pun tanpa kecuali.
Jika kesemuanya tak dijalani, lalu yang terjadi adalah dua gejala sama-sama keliru, namun
nyata. Pertama, langsung melintasi hierarki yang ada dengan cara bypass dengan alasan
mempercepat hasil putusan. Akibatnya yang merasa tidak dimintai permisi (di-kulonuwuni)
akan tersinggung Sementara yang kedua, mereka-mereka yang berlindung di balik baju
feodalisme prosedural akan menggugat atas nama formalisme tata cara yang dilupakan bahwa
ini media atau sarana, dan bukan substansi atau tujuan.
Namun, keduanya sama-sama keliru lantaran “payung” (baca: ruang pertimbangan)
seharusnya adalah bersama-sama bermusyawarah, berkomunikasi. Tetapi, bukanlah antar kita
justru berkomunikasi antarsesama warga bangsa ini yang sedang krisis “trust“: sukar untuk
saling mempercayai, apalagi ranah politik sebagai kontekstualisasi.
Teks musyawarah itu sekarang ini punya indikasi tunaetika apalagi moralitas pengguna
politik untuk kesejahteraan bersama. Apalagi “rekrutmen” partai politik antara mereka-
mereka yang masih negarawan seperti para pendiri bangsa dan mereka yang cari kuasa,
kedudukan, dan cari makan tampil palsu dan keruh di layar selubung eksotisme visualisasi
rebutan selfie panggung pencitraan-pencitraan.
Padahal dalam bahasa hukum sumpah jabatan atau keputusan-keputusan pengadilan dan
28
bahkan keputusan tour of duty di sana ada rumusan kontekstual jelas-jelas yaitu:
”menimbang, mempelajari, lalu memutuskan”.
Seandainya tulisan berjudul ”seandainya” ini sudi dibaca dengan hati dan budi jernih, pastilah
proses menegara dan membangsa Indonesia akan selangkah demi selangkah mewujud
sebagai berdaulat dan berperadaban.
MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara; Dosen Pascasarjana UI; Budayawan
29
Uji Publik dalam Pilkada Koran SINDO 6 Februari 2015
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu) telah disetujui oleh DPR.
Walaupun belum disahkan sebagai undang-undang (UU) oleh Presiden hingga tulisan ini
dibuat, secara konstitusional Perppu tersebut sudah pasti akan menjadi landasan hukum
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Paling lambat 30 hari setelah persetujuan DPR,
Perppu itu dengan sendirinya akan menjadi UU. Bahkan, DPR pun saat ini telah membahas
perubahan yang akan dilakukan terhadap Perppu yang telah disetujui.
Terdapat perubahan mendasar di dalam Perppu Pemilihan Kepala Daerah, jika dibandingkan
ketentuan sebelumnya. Salah satu di antaranya adanya tahapan uji publik sebagai persyaratan
yang harus dilalui oleh setiap orang yang akan menjadi calon kepala daerah. Namun
demikian, uji publik tidak bersifat menggugurkan. Uji publik dilaksanakan sebelum
pendaftaran calon kepala daerah.
Setiap orang yang mengikuti uji publik akan mendapatkan surat keterangan telah mengikuti
uji publik. Surat ini menjadi salah satu persyaratan pada saat mendaftar sebagai calon kepala
daerah. Artinya, uji publik tidak bersifat menggugurkan, tidak ada pernyataan lulus atau tidak
lulus uji publik.
Terdapat beberapa hal penting di dalam ketentuan umum Perppu Pemilihan Kepala Daerah
tentang uji publik. Pertama, uji publik merupakan pengujian kompetensi dan
integritas. Kedua, uji publik dilaksanakan secara terbuka. Ketiga, uji publik dilaksanakan
oleh panitia yang bersifat mandiri yang dibentuk oleh komisi pemilihan umum provinsi atau
kabupaten/kota.
Tujuan uji publik menurut penjelasan umum Perppu adalah untuk menciptakan kualitas
kepala daerah yang memiliki kompetensi, integritas, kapabilitas, serta memenuhi unsur
akseptabilitas. Kapabilitas sudah terangkum dalam unsur kompetensi yang telah ditegaskan
dalam ketentuan umum. Karena itu, tujuan uji publik sesungguhnya meliputi tiga aspek, yaitu
kompetensi, integritas, dan akseptabilitas.
Manfaat Uji Publik
Adanya mekanisme uji publik setidaknya memberikan tiga manfaat penting dalam proses
pemilihan kepala daerah. Pertama, uji publik merupakan bagian dari proses seleksi internal
partai politik yang melibatkan partisipasi masyarakat. Hal ini memiliki arti penting bagi
30
proses demokratisasi internal partai politik yang selama ini di beberapa daerah sangat kuat
dengan karakter oligarki. Penentuan calon tidak lagi hanya oleh internal partai politik yang
kadang terdistorsi oleh hubungan politik praktis, tetapi juga harus memperhatikan kualitas
dan integritas calon yang akan diuji oleh publik.
Agar manfaat ini dapat diperoleh, sudah sewajarnya partai politik mengajukan lebih dari satu
calon untuk mengikuti uji publik. Dengan adanya lebih dari satu calon, masyarakat juga akan
dapat menilai apakah partai memerhatikan atau mengesampingkan proses uji publik.
Kedua, uji publik dapat ditempatkan sebagai bagian dari kampanye calon yang objektif.
Semua calon memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menunjukkan kapasitas dan
integritasnya agar dapat meyakinkan partai pengusung serta pemilih.
Ketiga, melalui uji publik, terdapat perluasan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan
kepala daerah. Jika sebelumnya masyarakat tidak memiliki peran menentukan calon yang
diusung oleh partai politik, melalui uji publik suara masyarakat sedikit banyak akan ikut
menentukan keputusan partai.
Mekanisme Uji Publik
Salah satu kelemahan dalam Perppu adalah tidak mengatur mekanisme uji publik secara
detail. Ketentuan Pasal 38 Perppu hanya menentukan bahwa setiap WNI yang mendaftar
sebagai bakal calon kepala daerah wajib mengikuti uji publik. Parpol atau gabungan parpol
dapat mengusulkan lebih dari satu bakal calon untuk mengikuti uji publik. Setiap bakal calon
yang mengikuti uji publik mendapatkan surat keterangan telah mengikuti uji publik.
Mekanisme uji publik harus memosisikan pihak yang melakukan pengujian adalah publik,
bukan panitia. Tugas panitia hanyalah menjalankan tahapan, mengeksplorasi bakal calon, dan
memastikan adanya partisipasi publik.
Panitia tidak memberikan penilaian terhadap calon. Publiklah yang memberikan penilaian.
Tantangannya di sini adalah bagaimana penilaian publik itu dapat diketahui atau diukur
terutama oleh parpol yang mengajukan. Tanpa adanya alat ukur ini uji publik dapat
kehilangan makna.
Mekanisme uji publik juga harus mampu menunjukkan kepada publik kapasitas dan integritas
calon. Untuk mengetahui kapasitas dan integritas dapat saja dilakukan melalui ujian tertentu
yang akan menghasilkan nilai kuantitatif tertentu. Namun jika hal ini dilakukan, berarti
penilaian telah dilakukan oleh panitia dan akan menghasilkan peringkat bakal calon
berdasarkan nilai yang diperoleh. Karena itu, cara untuk menunjukkan kepada publik
bagaimana kapasitas dan integritas bakal calon adalah melalui rekam jejak dan forum tanya-
jawab secara terbuka. Persoalannya kemudian kembali pada bagaimana penilaian publik
dapat diketahui dan diukur setelah publik mengetahui rekam jejak dan mengikuti forum
dialog.
31
Untuk mencapai tujuan uji publik dan menjawab permasalahan yang muncul, mekanisme uji
publik dapat dilakukan dalam tiga tahapan. Pertama, semua bakal calon menyampaikan
riwayat hidup yang memuat rekam jejak. Panitia mengumumkan secara luas riwayat hidup
dan rekam jejak kepada seluruh masyarakat.
Kedua, masyarakat dipersilakan memberikan masukan dan informasi terkait dengan rekam
jejak kapasitas dan integritas bakal calon. Masukan dan informasi dari masyarakat ini juga
diumumkan kepada masyarakat luas.
Ketiga, dibuat forum terbuka di mana setiap calon dapat menyampaikan kapasitas dan
integritasnya serta panitia melakukan pendalaman dan klarifikasi berdasarkan masukan dan
informasi dari masyarakat.
Hasil dari semua proses tersebut, baik dari rekam jejak, informasi masyarakat, maupun dari
forum dialog, diumumkan kepada publik dan disampaikan kepada parpol pengusul atau calon
perseorangan dengan harapan dapat menjadi instrumen untuk mengetahui penilaian publik.
Kunci keberhasilan uji publik ada pada dua hal. Pertama, keseriusan parpol pengusul
memanfaatkan uji publik sebagai bagian dari seleksi internal. Misalnya, parpol dapat
melakukan survei mandiri terhadap bakal calon yang diajukan setelah adanya uji publik untuk
mengetahui calon mana yang lebih diterima oleh masyarakat.
Kedua, tingkat partisipasi publik. Tanpa adanya partisipasi publik, tidak akan diketahui
kapasitas dan integritas calon, dan pengambilan keputusan kembali milik sepenuhnya partai
politik.
JANEDJRI M GAFFAR
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
32
Mengenal Platform Partai Perindo Koran SINDO 6 Februari 2015
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, pada 23 Januari 2014 yang
menetapkan pemilu legislatif dan pemilu presiden diselenggarakan secara serentak mulai
2019, merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan politik dan demokrasi di
Indonesia. Implikasi dari putusan tersebut, maka peta politik nasional dan sistem pemilu di
Indonesia berubah secara signifikan.
Dalam era baru penyelenggaraan pemilu itu, keberadaan dan peranan partai politik, tidak
terkecuali partai politik baru, menjadi sangat strategis dalam kehidupan demokrasi di
Indonesia. Apalagi, keberadaan partai politik mendapatkan jaminan konstitusional yang
sangat kuat dalam kehidupan bernegara, karena secara eksplisit diatur dan dicantumkan
dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi ”Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah
partai politik”, dan dalam Pasal 6A ayat (2) yang berbunyi ”Pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Tantangan bagi partai politik, khususnya partai politik baru, semakin tidak ringan pada
Pemilu 2019. Partai harus mampu memulihkan kembali kepercayaan publik yang merosot
terhadap partai politik. Partai juga harus mampu memenuhi persyaratan dan regulasi
kepesertaan yang semakin ketat, mampu menyiapkan sumber daya manusia yang unggul dan
kompeten, serta mampu menyiapkan dukungan logistik dan infrastruktur partai yang
memadai.
Tantangan lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah partai politik baru
harus memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif untuk memenangkan
perebutan dukungan, kepercayaan, dan simpati rakyat, sehingga partai unggul dalam
perolehan suara pada Pemilu 2019 kelak.
Keunggulan itu dapat tercermin dari ideologi, prinsip perjuangan, jati diri, visi dan misi,
platform, dan modal perjuangan suatu partai politik yang dirumuskan secara jelas dan
spesifik dibandingkan dengan partai politik lainnya.
Pembentukan Partai Perindo
Bertolak dari pemahaman atas peluang dan tantangan di atas, maka di tengah ingar-bingar
ketegangan politik antara kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih
(KMP) di parlemen setelah penyelenggaraan Pilpres 2014 yang lalu, dibentuklah sebuah
33
partai politik baru yang luput dari perhatian publik. Partai politik itu adalah Partai Perindo
(Persatuan Indonesia) pimpinan Hary Tanoesoedibjo, seorang tokoh nasional dan pengusaha
sukses di bidang media yang sebelumnya pernah bergabung di Partai Nasdem dan Partai
Hanura.
Pembentukan partai ini bukanlah secara tiba-tiba, melainkan telah dipersiapkan cikal
bakalnya jauh-jauh hari dalam bentuk ormas Perindo yang dideklarasikan di Jakarta pada 24
Februari 2013 oleh Hary Tanoesoedibjo bersama tokoh nasional lainnya.
Meski sebagai partai politik baru, Partai Perindo telah memiliki badan hukum yang sah
berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
M.HH-03.AH.11.01 Tahun 2014 tertanggal 08 Oktober 2014. Dengan status badan hukum,
berarti satu tahapan verifikasi yang wajib diikuti Partai Perindo telah terlampaui. Tahapan
selanjutnya yang mesti dilewati adalah verifikasi yang dilakukan KPU lolos sebagai partai
politik peserta pemilu. Dengan status sebagai partai peserta pemilu, Partai Perindo akan ikut
menentukan dalam kompetisi politik tahun 2019 yang akan datang.
”Persatuan Indonesia” sebagai nama partai diambil dari isi sila ketiga Pancasila. Penggunaan
nama tersebut tentu mengandung maksud dan tujuan, dasar pertimbangan filosofis, serta
konsekuensi logis yang harus dapat dipertanggungjawabkan.
Partai Perindo memahami realitas sejarah bahwa masalah persatuan di Indonesia senantiasa
mengalami pasang-surut seiring dengan dinamika dan perkembangan bangsa dan negara.
Persatuan bangsa bukanlah sesuatu yang given, melainkan sesuatu yang dinamis dan harus
terus diperjuangkan.
Partai Perindo menjadikan Pancasila sebagai ideologi partai dan meyakini bahwa Pancasila
adalah ideologi yang benar, tepat, dan menyelamatkan, karena telah teruji dan terbukti
mampu melewati dengan selamat berbagai ujian dan cobaan disintegrasi dalam proses
perjalanan bangsa, dan tetap berhasil mempersatukan bangsa yang sangat majemuk ini.
Bagi Partai Perindo, Pancasila merupakan sumber inspirasi dan motivasi, serta rujukan
sekaligus tolok ukur keberhasilan perjuangan partai dalam proses pembangunan bangsa.
Konsekuensi logis dari penggunaan nama tersebut, maka Partai Perindo harus mampu
berperan sebagai garda terdepan Persatuan Indonesia. Partai Perindo harus senantiasa proaktif
mengingatkan seluruh komponen bangsa mengenai urgensi persatuan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Partai Perindo digagas sebagai partai modern yang merupakan hasil perpaduan dari
karakteristik partai kader dan partai massa. Jati diri partai secara singkat dapat dirumuskan
sebagai ”Partai modern yang menjadi garda terdepan Persatuan Indonesia, menjunjung tinggi
prinsip keadilan, memelihara nilai-nilai luhur budaya bangsa, berbasis pada kekuatan rakyat,
dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
34
Sebagai partai modern, Partai Perindo harus dikelola secara profesional dan berdasarkan
sistem; mengembangkan budaya organisasi yang egaliter, transparan, dan demokratis;
menerapkan reward and punishment serta merit system dalam kepemimpinan partai;
merencanakan program partai secara sistematis, rasional, terukur, dan terpadu; serta mampu
menjalankan fungsi-fungsi pendidikan politik, rekrutmen politik, komunikasi politik, agregasi
kepentingan, manajemen konflik, dan artikulasi ideologi partai ke dalam program dan
kebijakan, dalam rangka mewujudkan tujuan partai.
Adapun tujuan Partai Perindo yang hendak diwujudkan itu, yaitu (1) Mempertahankan dan
mengamalkan Pancasila serta menegakkan UUD 1945, (2) Mewujudkan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, (3)
Menjaga dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan (4)
Mewujudkan negara yang sejahtera dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Platform Perjuangan
Faktor distingtif dari suatu partai politik, selain ideologi adalah platform perjuangan. Dari
platform itulah dapat dikenali orientasi dan program perjuangan partai politik untuk mencapai
visi dan misi, serta tujuan yang telah ditetapkan.
Demikian halnya dengan Partai Perindo yang telah merumuskan secara jelas platform
perjuangannya dalam Garis Besar Perjuangan Partai (GBPP). yang memuat tata nilai dan
konsepsi perjuangannya. Partai Perindo memiliki wisi, yaitu mewujudkan Indonesia yang
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, serta berkemajuan, bermartabat, berbudaya, dan
sejahtera.
Sementara misinya adalah (1) Mewujudkan pemerintahan yang berkeadilan, yang
menjunjung tinggi nilai-nilai hukum sesuai dengan UUD 1945; (2) Mewujudkan
pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk Indonesia yang mandiri
dan bermartabat; (3) Mewujudkan Indonesia yang berdaulat, bermartabat dalam rangka
menjaga keutuhan NKRI; (4) Menciptakan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(5) Menegakkan hak dan kewajiban asasi manusia dan supremasi hukum yang sesuai
Pancasila dan UUD 1945 untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum guna melindungi
kehidupan rakyat, bangsa dan negara; dan (6) Mendorong tumbuhnya ekonomi nasional yang
berkontribusi langsung pada kesejahteraan warga negara Indonesia.
Platform perjuangan Partai Perindo adalah mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi
seluruh rakyat Indonesia dengan fokus pada perbaikan secara signifikan kondisi ekonomi
untuk meningkatkan income per kapita, mengurangi kesenjangan sosial, dan memperluas
lapangan kerja; pelayanan pendidikan yang makin merata, bermutu dan terjangkau; serta
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang memadai, sehingga secara keseluruhan
kebijakan partai dapat meningkatkan taraf hidup rakyat yang layak sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab.
35
Untuk mewujudkan kesejahteraan dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat haruslah
melalui suatu perubahan yang menyeluruh, sistematis, terpadu dan terarah, yakni perubahan
yang dikehendaki (intended change) dan direncanakan (planned change), baik di bidang
politik, ekonomi, sosial, maupun budaya, terutama dalam merumuskan rencana kebijakan,
subjek, proses, dan objek perubahan di dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, Partai Perindo
menyatakan kesungguhan untuk menjadi kekuatan perubahan bersama-sama dengan unsur
masyarakat lainnya.
Partai Perindo mendorong secara optimal terwujudnya Indonesia sebagai negara
kesejahteraan (welfare state) yang berdasarkan Pancasila, karena telah memenuhi lima
prinsip, meliputi: (1) cabang produksi yang penting dan menyangkut hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara; (2) usaha-usaha swasta di luar cabang-cabang produksi yang
menyangkut hajat hidup orang banyak diperbolehkan, tetapi negara melakukan pengaturan,
agar tidak merugikan kesejahteraan rakyat; (3) negara terlibat langsung dalam usaha-usaha
kesejahteraan rakyat; (4) negara mengembangkan sistem perpajakan progresif; dan (5)
pembuatan keputusan publik dilakukan secara demokratis.
Pada akhirnya, apabila kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia dapat
dicapai, Persatuan Indonesia akan kukuh. Partai Perindo berkeyakinan bahwa Indonesia
Sejahtera sebagaimana semboyan ”Gemah Ripah Loh Jinawi” dan ”Baldatun Thoyyibatun
Warobbun Ghofur” dapat diwujudkan dengan kerja keras yang berlandaskan pada Tujuh
Nilai dan Prinsip Perjuangan, yaitu Persatuan, Keadilan, Kejujuran, Gotong Royong,
Musyawarah, Anti-diskriminasi, dan Perubahan.
Keyakinan itu bertambah besar karena adanya dukungan modal perjuangan yang dimiliki
partai, berupa ideologi Pancasila, figur utama yang berkarakter, sumber daya manusia yang
unggul, jaringan media yang kuat, infrastruktur yang memadai, modal sosial yang besar, serta
keberpihakan pada rakyat kecil yang sungguh-sungguh.
ABDUL KHALIQ AHMAD
Wakil Sekjen DPP Partai Perindo dan Mantan Anggota DPR RI
36
Mala Prohibita Abraham Samad Koran SINDO 7 Februari 2015
Krisis hubungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri ditingkahi berita
bahwa Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka kasus pidana karena perbuatan yang
dilakukannya sekitar delapan tahun yang lalu.
Kesan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Samad digiring ke kasus pidana
sebagai balasan Polri atas tindakan KPK yang telah menjadikan Budi Gunawan sebagai
tersangka tindak pidana korupsi sehingga pencalonannya sebagai kapolri menjadi terganjal.
Belum jelas dan masih simpang siur, apa kasus tersebut dan bagaimana posisi Samad di
dalamnya.
Wakapolri Badrodin Haiti mengakui Polri telah mengeluarkan surat perintah penyidikan
(sprindik) untuk Abraham Samad, tetapi yang bersangkutan belum menjadi tersangka.
Namun sumber Polri juga menyebutkan bahwa Abraham Samad resmi menjadi tersangka
karena pemalsuan dokumen di Sulawesi.
Kasus yang disangkakan adalah memalsukan dokumen kependudukan seseorang untuk
mendapatkan paspor dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga. Kisahnya, seperti
yang termuat dalam pemberitaan pers, ada seseorang ingin memiliki paspor yang dikeluarkan
oleh Kantor Imigrasi Makassar, tetapi yang bersangkutan tidak memiliki kartu tanda
penduduk Makassar karena bertempat tinggal di provinsi lain.
Oleh Abraham Samad diusahakan agar yang bersangkutan dapat memiliki bukti
kependudukan dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga tanpa ada dokumen
perpindahan yang sah dari daerah asalnya. Dengan itu pencantuman di dalam KK itulah yang
bersangkutan bisa mengurus dan mendapatkan paspor. Perbuatan yang dilakukan Samad pada
tahun 2007 itu sekarang diangkat sebagai kasus pemalsuan dokumen dan, konon, Samad
sudah dijadikan tersangka dalam kasus ini.
Kalau cerita yang saya tangkap dari pemberitaan pers itu benar, sekali lagi kalau itu benar,
maka dijadikannya Samad sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen itu sangatlah
berlebihan. Tak mengherankan jika kemudian dikatakan, dalam istilah yang banyak dipakai
oleh umum meski tak sepenuhnya tepat, Samad menjadi sasaran kriminalisasi karena konflik
antara KPK dan Polri.
Perbuatan Samad menolong orang itu memang melanggar aturan, tetapi tidak merugikan
siapa pun, tidak mengandung niat jahat dan sampai sekarang paspor itu tidak juga
dipergunakan untuk suatu kejahatan.
37
Di dalam hukum apa yang dilakukan Samad itu bisa tergolong mala prohibita, yaitu
melakukan perbuatan yang melanggar hukum karena diatur demikian oleh hukum, tetapi
belum tentu ada yang dirugikan. Selain mala prohibita, di dalam hukum ada juga mala in se,
yakni suatu perbuatan jahat bukan hanya karena diatur dan disebut jahat di dalam undang-
undang, tetapi perbuatan itu memang merusak karena menabrak kewajaran, bertentangan
dengan moral, dan melanggar prinsip umum kehidupan masyarakat yang beradab.
Membunuh atau merampok, misalnya, merupakan mala in se, sebab selain diatur di dalam
undang-undang, perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat. Tapi kalau kita menerobos
lampu merah di tengah malam yang sepi, hal itu merupakan mala prohibita, jelas melanggar
aturan, tetapi tidak ada yang dirugikan. Kalau kita lupa membawa SIM saat menyopir di jalan
umum, maka itu juga merupakan mala prohibita yang tidak mengandung mala in se karena
meski melanggar aturan sebenarnya tidak ada yang dirugikan atau dirusak di tengah-tengah
masyarakat.
Apakah melakukan mala prohibita itu salah? Ya, tentu salah karena melanggar aturan. Tapi,
dalam praktiknya, hal-hal seperti itu tidak dibesar-besarkan sebagai kasus kriminal, bahkan
banyak yang dibiarkan begitu saja. Di Jakarta ini, misalnya, bisa ribuan pejabat yang selain
memiliki KTP Jakarta juga masih memiliki KTP dari daerah asalnya. Ada hakim yang
memiliki KTP aktif sampai enam karena sering berpindah tugas, tetapi tidak sempat
mengurus dokumen-dokumen kepindahannya. Ada yang membuat SIM, tetapi kertas
ujiannya diantar ke rumah untuk ditandatangani dengan jawaban yang sudah lengkap.
Sebenarnya pelaksanaan hukum kita selama ini memang cenderung menerapkan
permakluman untuk tidak terlalu mempersoalkan mala prohibita yang tidak disertai dengan
mala in se. Polri bukannya tak tahu ini. Pada 2012 oleh Kabareskrim Sutarman saya diundang
dalam satu pertemuan Reskrim Polri se-Indonesia untuk memberi ceramah tentang
restorative justice.
Saat itu saya mengatakan bahwa ide restorative justice yang menghendaki penyelesaian
masalah hukum tertentu secara harmoni dan tak membawa kasus ke pengadilan kecuali
mengandung mala in se adalah ide hukum yang bersumber dan berakar dalam budaya hukum
Indonesia. Mahkamah Agung pun membuat kebijakan agar kasus-kasus pidana tertentu yang
tidak mengandung mala in se bisa diselesaikan tanpa ribut-ribut ke pengadilan dengan
mengenakan denda maksimal di lapangan.
Ternyata, kawan-kawan Polri mengatakan, sudah lama Polri menerapkan restorative justice.
Banyak kasus pelanggaran hukum yang tidak dibawa ke pengadilan karena hanya
mengandung mala prohibita tanpa mengandung mala in se yang berarti. Polri mengambil
penyelesaian damai, tidak membesar-besarkan, dan menjaga harmoni.
“Kalau tidak demikian, berapa ratus ribu kasus pelanggaran hukum yang harus kami bawa ke
pengadilan. Polri justru menyelesaikan secara baik di luar pengadilan,” kata Bekto Suprapto,
38
mantan Kapolda Papua yang saat itu juga menjadi pembicara bersama saya dan Prof Achmad
Ali.
Kita berharap agar kasus Samad soal pencantuman nama seseorang di dalam kartu keluarga
untuk mengurus paspor itu dianggap sebagai mala prohibita yang tidak disertai mala in se.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
39
Pulihkan Citra KPK dan Polri Koran SINDO 7 Februari 2015
Tidak mungkin dimungkiri, kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri membuat
citra dan wibawa kedua lembaga penegak hukum tergerus. Publik melihat KPK dan Polri
saling berhadapan, padahal yang diduga bermasalah hanya individu.
Yang terjadi saat ini adalah yang ketiga kalinya, sehingga seharusnya sudah diketahui akar
masalahnya agar tidak melebar ke mana-mana. Rakyat butuh kepastian, rakyat butuh KPK
untuk memberantas korupsi. Rakyat juga butuh Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Yang paling kompeten menyelesaikan kisruh adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), tetapi
terkesan lambat yang membuat perseteruan berkembang menjadi bola liar, bahkan cenderung
mengarah pada fitnah yang tidak rasional. Misalnya tudingan rekayasa dan kriminalisasi,
penetapan tersangka karena ada kepentingan politis, atau karena balas dendam.
Persoalan hukum atas status tersangka dan pelaporan dugaan tindak pidana harus berjalan
sesuai hukum yang berlaku. Tudingan miring yang belum tentu benar itu membuat publik
terbelah, ada yang gigih membela KPK dan ada juga yang mendukung Polri. Itu terlihat di
kantor KPK saat Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap penyidik Bareskrim
Polri, dan saat sidang pertama praperadilan BG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
(2/2/2015).
Maka itu, tidak boleh membiarkan kedua institusi penegak hukum itu terus berhadap-
hadapan, hanya karena persoalan individu yang sarat politisasi. Memang persoalan individu
tidak bisa dilepaskan dari kaitannya dengan institusi lantaran merekalah yang menggerakkan
pelaksanaan fungsi dan wewenang institusi, tetapi tidak boleh digiring menjadi perseteruan
institusi.
Jalan Keluar
Agar rakyat kembali percaya kepada kedua penegak hukum itu harus ada jalan keluar karena
pangkal persoalan selalu sama, yaitu proses hukum terhadap individu pejabatnya. Seteru
pertama yang populer disebut ”cicak-buaya” karena dua wakil ketua KPK, Bibit Samad
Rianto dan Chandra Hamzah (Bibit-Chandra), dijadikan tersangka dugaan penyalahgunaan
wewenang oleh Bareskrim Polri. Seteru kedua dan ketiga karena perwira tinggi Polri diproses
hukum oleh KPK lantaran diduga terkait kasus korupsi.
40
Mengembalikan citra dan wibawa keduanya, perlu menggelorakan ”save KPK, save Polri,
save pemberantasan korupsi ”. Semua tudingan harus dibuktikan secara hukum tanpa
intervensi. Paling tidak ada tiga solusi yang bisa dipilih untuk memulihkan citra KPK-Polri
sekaligus dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.
Pertama, jika semua pimpinan KPK jadi tersangka, berarti mereka akan diberhentikan
sementara dari jabatannya sesuai Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 30/2002 tentang KPK. Dalam
kondisi seperti itu, KPK akan lumpuh, tidak bisa melaksanakan fungsinya memberantas
korupsi. Maka itu, Presiden Jokowi perlu mengeluarkan perppu pergantian sementara
pimpinan KPK sampai selesai masa jabatannya Desember 2015. Presiden juga membentuk
panitia seleksi pimpinan KPK paling lambat enam bulan sebelum berakhir masa jabatan
pimpinan KPK, untuk memilih calon komisioner KPK secara permanen.
Tetapi melihat persoalan hukum yang menimpa pimpinan KPK terkait dugaan tindak pidana
masa lalunya, perlu memikirkan jalan keluar agar tidak ada kesan mencari-cari kesalahan
untuk sekadar dijadikan tersangka karena akan diberhentikan sementara dari
jabatannya. Wajar jika publik mulai mempertanyakan hasil verifikasi panitia seleksi calon
pimpinan KPK dan uji kelayakan dan kepatutan DPR yang menganggap tidak ada persoalan
moral dan persoalan hukum sehingga pimpinan KPK jilid ketiga dipilih.
Kedua, Presiden segera mengajukan nama baru calon kapolri ke DPR untuk mendapat
persetujuan dan segera dilantik. Jikapun BG menggugat praperadilan harus dihargai sebagai
upaya mencari keadilan. Polri harus dijaga citranya sebagai alat negara yang menjaga
kamtibmas dengan tugas: melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan
hukum (Pasal 30 ayat (4) UUD 1945).
Ketiga, Indonesia sebagai negara hukum yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,
maka kasus BG, kasus BW, dan pimpinan KPK lain yang juga dilapor ke polisi harus
diproses hukum secara profesional, transparan, dan objektif. Apalagi, Presiden Jokowi dalam
konferensi pers (26/1/2015) meminta agar proses hukum di KPK dan Polri dilaksanakan
secara transparan, terang benderang dan tidak ada kriminalisasi.
Saling Mendukung
Menyikapi seteru yang sudah memasuki ruang publik maka wajar kalau kalangan aktivis anti-
korupsi dan berbagai elemen masyarakat mendesak agar KPK tidak dilumpuhkan.
Profesionalitas penyidik dan pimpinan KPK menjerat elite-elite politik dan pejabat negara
yang diduga terlibat korupsi, menjadi taruhan apakah korupsi yang sudah menjadi penyakit
kronis itu bisa dihentikan, atau paling tidak dikurangi intensitasnya.
Realitas di masyarakat tidak mungkin ditutupi, mereka sangat percaya pada KPK dalam
pemberantasan korupsi. Tidak mengherankan apabila banyak elemen masyarakat di seluruh
pelosok negeri yang rela berdiri di depan membela KPK.
41
KPK dan Polri harus berada pada posisi setara dan saling mendukung dalam upaya
pemberantasan korupsi. Seteru yang berlarut justru membuat para koruptor dan calon
koruptor yang antre di berbagai institusi negara bersorak-sorai.
Salah satu upaya Presiden untuk menyatukan sikap kedua institusi itu dengan membentuk tim
independen dari tokoh masyarakat yang berkompeten dan dikenal memiliki integritas tinggi.
Tim itulah yang diharapkan membantu mencari solusi yang tepat guna mengakhiri
perseteruan. Namun, tidak boleh ada intervensi terhadap perlaksanaan teknis penyidikan yang
dilakukan kedua institusi hukum itu.
Akhirnya, untuk mengembalikan citra Polri, Presiden harus segera memilih dan melantik
kapolri baru. Begitu pula KPK, harus dijaga dari kemungkinan tidak bisa melaksanakan tugas
dan fungsinya. Keduanya harus diisi sosok yang tidak berpotensi menimbulkan persoalan di
kemudian hari. Momentum seleksi pimpinan baru KPK pertengahan tahun ini, perlu
dijadikan landasan untuk mencari pimpinan KPK yang betul-betul tidak punya beban masa
lalu yang bisa diungkap.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum, Universitas Bosowa 45, Makassar
42
Jokowi, Prabowo, dan Petugas Partai Koran SINDO 7 Februari 2015
Pertemuan Prabowo dan Jokowi di Istana Bogor (29/1) mengejutkan publik. Mengejutkan
karena ada kesan pertemuan tersebut menyimpan sesuatu yang sangat berarti. Apalagi setelah
pertemuan itu, Prabowo menyatakan akan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden
Jokowi. Termasuk, tentu saja, soal pelantikan atau pembatalan pelantikan Budi Gunawan
sebagai kapolri.
Seperti kita ketahui, penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri telah menuai
protes publik karena dia ditengarai mempunyai rekening gendut yang tidak sesuai dengan
penghasilannya sebagai pejabat di Polri. Karena faktor rekening gendut inilah, kemudian
KPK mengumumkan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Kasus ini kemudian
berkembang liar–bukan hanya pro-kontra penunjukan BG sebagai kapolri, melainkan juga
”jegal-menjegal adu kekuatan” antara Polri dan KPK.
Dalam pusaran masalah ini, pada awalnya KPK ”menang” karena berhasil ”menersangkakan”
BG sebagai koruptor (rekening gendut), tapi kemudian polisi” berhasil” membalasnya. Empat
pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Zulkarnaen, dan Adnan Pandu Praja
sebagai ”tersangka” dan ”calon tersangka”. Secara praktis, empat pimpinan KPK yang tersisa
(setelah Busyro Muqoddas habis masa jabatannya) menjadi tidak berdaya.
Buya Syafii Maarif menyatakan, pilihan calon tunggal kapolri untuk Budi Gunawan bukanlah
inisiatif Jokowi. Publik pun sebetulnya tahu, siapa yang memaksakan Budi Gunawan sebagai
calon kapolri meski sudah dijadikan tersangka oleh KPK. Dan publik tahu, Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) sangat mendukung Budi Gunawan. Bahkan anehnya, DPR pun akhirnya
menyetujui pencalonan BG tersebut. Ini memang aneh, DPR sebagai wakil rakyat yang tahu
aspirasi rakyat, tapi keputusannya bertentangan dengan kehendak rakyat.
Ada pertanyaan, apakah persetujuan DPR memang murni untuk mendukung BG, atau
sebaliknya ingin menjungkalkan Presiden Jokowi agar terjerembap dalam dilema? Kita tak
tahu. Tapi toh arah politik bisa diterka. Akibat pusaran masalah BG ini, Republik jadi kacau
dan Jokowi tersandera.
Mestinya, dalam ”filosofi bahasa” jika ada masalah dalam kenegaraan maka kembalikan (re)
ke rakyat (publik). Jadi penentunya adalah rakyat. Kita tahu, rakyat cenderung membela siapa
dan menolak siapa. Presiden Jokowi, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), dan Koalisi Merah
Putih (KMP) pasti tahu rakyat cenderung ke mana. Tapi anehnya, tokoh-tokoh politik
pengusung Jokowi memilih BG. Barangkali inilah misteri perpolitikan Indonesia.
43
Dalam kondisi inilah, negeri seakan ”tergoyang”. Presiden menghadapi dilema. Partai politik
menghadapi dilema. Dan, rakyat pun merasakan dilema. Dalam kondisi inilah, Prabowo
Subianto hadir menemui Jokowi dan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden.
Kenapa tiba-tiba Prabowo mau mendukung apa pun yang diputuskan Presiden? Itulah jiwa
nasionalisme seorang prajurit bila melihat kondisi bangsanya ”kacau”. Bagi seorang prajurit
yang sudah disumpah untuk mengabdi kepada negara, kestabilan negara dan NKRI adalah
final. Prabowo sebagai prajurit sejati tahu betul apa yang harus dilakukannya, yaitu
mendukung keputusan Presiden. Ini karena Presiden adalah pimpinan tertinggi negara.
Negara hanya akan stabil bila presidennya kuat dan berani memutuskan sesuatu berdasarkan
aspirasi rakyat.
Dari konteks inilah, kita melihat kehadiran Prabowo di Istana Bogor untuk mendukung apa
pun yang diputuskan Presiden. Jiwa besar yang bersandarkan pada nasionalisme dan NKRI
inilah kiranya yang mendorong Prabowo menemui Jokowi di Istana Bogor. Padahal kalau
dilihat dari layar belakang sebelumnya, sebagai pimpinan KMP, mestinya Prabowo
berseberangan dengan arah politik Jokowi yang didukung KIH.
Tapi sebagai seorang prajurit Saptamarga, Prabowo justru memilih sebaliknya untuk
mendukung apa pun keputusan Presiden. Pertimbangan Prabowo, jelas, Presiden perlu
didukung untuk kestabilan politik. Kita tahu saat ini, posisi Presiden secara politik lemah
karena beliau bukan pimpinan partai. Ini berbeda dengan SBY, di mana beliau adalah
pimpinan partai pemenang pemilu.
Sedangkan Jokowi, meski didukung partai pemenang pemilu (PDIP), Jokowi bukanlah
pimpinan partai. Megawati sebagai ketua umum PDIP menyatakan Jokowi adalah kader
partai, dan karena itu beliau sebagai presiden adalah mengemban tugas partai. Pernyataan ini
jelas bertentangan dengan filosofi politik kenegaraan, di mana bila seorang kader atau
pimpinan partai menjadi presiden maka selesailah tugas partai karena dia telah menjadi
”petugas” rakyat seluruh negara.
Dalam bahasa politik, presiden adalah mandataris rakyat sebuah negara. Jadi presiden bukan
petugas partai. Tugas partai sudah selesai karena dia harus menjalankan tugas negara. Ketika
seorang politikus menjadi presiden, kata Kennedy, maka tugas partai pun berakhir. Di
pundaknya kini memikul tugas negara dan menjalankan amanat rakyat.
Apalagi, Jokowi terpilih dengan suara lebih dari 57% sedangkan suara PDIP hanya 18%. Ini
artinya, yang memilih Jokowi sebagai presiden adalah rakyat– bukan kader partai. Dengan
demikian, Jokowi adalah milik semua rakyat, simbol negara– bukan milik golongan dan
partai politik. Jika demikian, partai politik yang mengaku ”pemberi tugas” untuk Jokowi
tidak lagi menyerimpungnya.
Kasus BG dan perseteruan antara Polri dan KPK hendaklah jadi pelajaran. Jangan melawan
suara rakyat karena rakyatlah pemilik negeri ini, bukan partai politik!
44
M BAMBANG PRANOWO
Guru Besar UIN Jakarta/Rektor Universitas Mathlaul Anwar, Banten
45
Governabilitas Jokowi Koran SINDO 7 Februari 2015
Apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah mempertajam kepemimpinannya di kawah
candradimuka politik Indonesia, ataukah tengah memperlihatkan ketekoran
kepemimpinannya?
Pertanyaan tersebut mengemuka ketika sebagai Presiden, Jokowi diuji untuk menyelesaikan
kemelut konflik antarelite dalam institusi kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) hari-hari ini. Kasusnya memang dilematis dan tidak sederhana, tetapi Jokowi punya
kewenangan politik untuk memutuskan sesuatu yang dapat memengaruhi jalannya cerita di
kemudian hari.
Tetapi dalam konteks kepemimpinan, memutuskan saja tidak cukup. Pemimpin harus mampu
mengendalikan beragam sumber daya melalui pengaruhnya. Konteksnya, pengelolaan
konflik. Dalam kasus kepemimpinan politik Jokowi, sepertinya dia kurang
mempertimbangkan aspek-aspek kontestasi antarelite, sebelumnya. Yang tampak, Jokowi
banyak bergantung pada asumsi semua orang bisa diajak bekerja sesuai dengan kemauannya.
Namun bahkan dalam hal memilih para pembantu atau anggota kabinet, nyatanya Jokowi
tidak bisa melakukannya secara optimal. Dia terpaksa harus mengakomodasi ragam kekuatan
politik pendukungnya. Namun dalam perkembangannya, Jokowi berikhtiar membentuk
keseimbangan antarelite pendukungnya ataupun dengan kelompok penyeimbang.
Pascapembentukan kabinet, sesungguhnya Jokowi telah menggambar peta politik yang
dinamis. Peta itu masih akan terus berubah, setidaknya karena dua faktor. Pertama, faktor
kepentingan Jokowi untuk menjadi pemimpin yang seotentik mungkin, lepas dari bayang-
bayang figur- figur kekuatan-kekuatan politik lain.
Katakan, kalaupun memang Jokowi menyadari hal ini, dia akan bertransformasi dari ranah
”petugas partai” ke ”petugas rakyat” atau pemimpin bangsa yang sepenuhnya mandiri.
Benturan-benturan keras dengan partai-partai politik pengusungnya, apalagi khususnya PDIP
dengan ikon utamanya Megawati Soekarnoputri, pasti tidak terelakkan.
Kedua, faktor kapasitas kepemimpinan Jokowi sendiri. Ini terkait dengan bagaimana dia
sebagai pemimpin bangsa merespons kasus-kasus krusial. Kapasitas kepemimpinan merujuk
pada kecakapan memimpin serta ketepatan kebijakan dan respons terhadap perkembangan,
juga dalam menjaga momentum. Kapasitas pemimpin jelas juga terkait dengan konteks
pengambilan risiko, selain pengelolaan harapan.
46
Dalam hal ini, Jokowi dapat menjadi penentu. Kalau kapasitas kepemimpinannya mantap, dia
akan mampu mengelola perubahan menuju visinya. Tetapi kalau kepemimpinannya tekor,
peta politik juga bisa berubah drastis. Ketekoran kepemimpinan tidak semata-mata terkait
dengan konteks tercabutnya dukungan politik, tetapi juga dalam hal-hal yang bermuara pada
kemerosotan daya kepemimpinan atau pengaruh di segala lini.
Kondisinya bisa jadi lebih parah ketimbang kondisi ”tidak dapat memerintah”, karena
ketekoran kepemimpinan ditandai oleh resistensi dari segala arah. Uraian di atas
dimaksudkan untuk memahami bahwa siapa pun yang menjadi presiden, juga akan
dihadapkan pada problem yang sama.
Adanya realitas kontestasi antarelite dan kelompok kepentingan tentu berpotensi
mengganggu fokus pemerintah untuk bekerja. Tetapi justru di sini, kepemimpinan politik
presiden diuji, bagaimana dia mampu menjadi integrator dan dinamisator yang produktif
sehingga politik menjadi kondusif.
Pembangunan membutuhkan kehadiran para teknokrat sebagai sosok-sosok ahli yang
berkompeten dalam mengimplementasikan program-program pembangunan. Golongan yang
tergabung dalam kabinet inilah diharapkan mampu mempercepat perwujudan visi presiden.
Namun, ini juga bukan hal statis robotik. Kabinet yang bernuansa politik, tentu membutuhkan
pendekatan kepemimpinan yang berorientasi keseimbangan dan mekanisme ”reward and
punishment” yang jelas. Maka itu, governabilitas atau daya memerintah Presiden Jokowi
tergantung, lebih-lebih, pada kapasitas kepemimpinannya.
Sejauh mana daya pengaruh dan daya geraknya mampu mengondisikan segenap potensi
sumber daya pemerintahan secara sinergis, selain kecakapannya dalam mengelola kekuasaan,
termasuk kemampuannya untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja dengan
profesional. Pun dalam menjalankan tugasnya sebagai panglima tertinggi militer.
Pemimpin memang perlu banyak masukan, formal maupun tidak formal dari berbagai
spektrum dan sumber. Kapasitas pemimpin, dalam konteks ini ialah menemukan poin-poin
penting sebagai referensi yang mendasari kebijakan (policy) yang diambilnya secara bijak
(wisdom). Dari berbagai masukan, semua akan berpulang ke dirinya.
Pemimpin perlu kesunyian di tengah keramaian. Kesunyian itulah detik-detik untuk
memutuskan yang dianggapnya terbaik, kendatipun tidak populer. Jokowi tentu akan terus
dihadapkan pada kesunyian-kesunyian itu.
Governabilitas Jokowi sebagai presiden akan efektif kalau program-program pemerintah
berjalan secara terencana dan terukur. Tentu ini terkait dengan sistem dan sarana-prasarana.
Dalam aspek tertentu, seiring dengan ikhtiar untuk melakukan terobosan-terobosan
kebijakan, pemerintahan Jokowi tampak ingin tampil beda dengan pemerintahan sebelumnya.
Artinya, sistem harus ada yang diubah.
47
Perubahan sistem memang perlu waktu, selain proses adaptasi yang melibatkan semua pihak.
Namun, dia memang akan bertemu dengan berbagai keterbatasan di lapangan, tidak saja soal
sarana-prasarana, tetapi juga aspek-aspek kultur dan mentalitas. Di sinilah urgensi pemimpin
sebagai panduan moral dalam perubahan sistem yang kompleks.
Dalam kasus Jokowi, sesungguhnya dia punya modal kepercayaan (trust) yang tinggi, bahwa
dia adalah sosok ”pemimpin moralis” yang timbul dari bawah. Simbol kerakyatan masih
sering dilekatkan ke Jokowi, tetapi setidaknya hingga saat ini dia belum dilengkapi segera
dengan simbol kecakapan. Jokowi masih terkesan belum begitu cakap dalam menyelesaikan
konflik kepolisian dan KPK dewasa ini, kendatipun keriuhannya bisa semakin mereda.
Masa seratus hari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masih tampak diwarnai ikhtiar adaptasi
kepemimpinan di tengah realitas kontestasi politik yang dinamis. Keriuhan politik seolah
menenggelamkan program-program baik yang bersifat terobosan pemerintah. Juga belum
optimalnya governabilitas Jokowi dalam mengarahkan sinergisitas seluruh kekuatan sumber
daya pemerintahan untuk bergerak cepat ke arah pencapaian visinya.
Apakah setelah ini akan terjadi pergerakan yang lebih cepat, stagnan, atau mundur?
Bergantung faktor kepemimpinan Jokowi sebagai penentu kebijakan-kebijakan utama di
negeri ini.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta
48
Mobil Proton dan Misteri Hendropriyono Koran SINDO 10 Februari 2015
Forum Hari Pers Nasional (HPN) di Batam, 9 Februari 2015, tiba-tiba dipanaskan
perbincangan mengenai penandatanganan kerja sama perusahaan mobil Proton dan
perusahaan Indonesia yang dipimpin oleh mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN)
Jenderal TNI (Purn) Hendropriyono.
HPN sendiri diikuti oleh lebih dari 300 insan pers dari Sabang sampai Merauke. Di hampir
setiap ruangan–dari restoran, kafe, lobi hingga lorong-lorong kamar Hotel Harmoni One,
semua berbicara tentang peristiwa yang mengejutkan itu. Di mana pun saya berada, mereka
selalu melemparkan satu pertanyaan kepada saya: Ada apa dengan kerja sama antara Proton
dengan Hendro?
Pertanyaan ini muncul karena beberapa sebab: Pertama, peristiwa penandatanganan betul-
betul mengejutkan, tampaknya dirahasiakan sebelumnya secara ketat sehingga tidak bocor ke
media massa. Artinya, hari-hari sebelumnya nyaris tidak ada media yang melansir berita ini.
Kedua, sosok Hendropriyono yang memang kontroversial dan belakangan kerap jadi berita
hangat di media massa, termasuk media sosial. Kontroversi itu, antara lain, karena seringnya
Hendro menghadap Presiden Jokowi di Istana. Presiden kerap meminta saran dan masukan
dari Hendro terkait berbagai isu nasional yang “panas”, khususnya isu Budi Gunawan. Semua
orang tahu betapa dekatnya hubungan antara Hendro dengan Presiden Jokowi.
Ketiga, Hendro sejauh ini kurang dikenal di kalangan pebisnis automotif. Bahkan, Gaikindo
sendiri tidak pernah dengar nama perusahaan yang dikomandoi Hendro yang bekerja sama
dengan Proton dari Malaysia itu. Malah, nama perusahaan itu dikabarkan “tidak terdaftar” di
Kementerian Perdagangan. Memang Hendro pernah duduk sebagai salah satu komisaris, atau
mungkin juga presiden komisaris PT KIA Indonesia. Tapi beberapa tahun kemudian dia
mengundurkan diri.
Keempat, semua orang bertanya: Kenapa Indonesia mau bikin mobnas bekerja sama dengan
Proton? Bukankah Proton mobil yang tidak laku di Indonesia? Bahkan, di Malaysia sendiri
pasarnya semakin merosot. Kabarnya 50% kandungan Proton yang dibuat di Indonesia
berasal dari Indonesia. Lha, mobil merek lain eks Jepang sudah mencapai kandungan
komponen lokal sampai 80%.
Lalu, Proton sendiri belum bisa mengklaim mobil buatan Malaysia. Masih 50%
komponennya buatan Jepang. Bagaimana Malaysia bisa transfer of technology kalau masih
50% komponen Proton “dikuasai” oleh Jepang?
49
Masyarakat bingung kenapa kalau memang pemerintah serius mau bikin mobil nasional,
kenapa bukan gandeng dengan prinsipal yang jauh lebih bagus mobilnya dan laris di
Indonesia?
Juga dipertanyakan kenapa Presiden Jokowi harus jadi saksi penandatanganan kerja sama ini.
Bukankah Proton itu milik pemerintah Malaysia dengan status BUMN, sedangkan
perusahaan yang dipimpin oleh Hendro swasta murni? Jadi, menteri perindustrian kita keliru
ketika mengatakan ini kerja sama B to B (business to business), yang betul adalah kerja sama
G to P (government to private sector).
Begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para insan pers, sehingga muncul pemikiran
untuk menggelar satu seminar khusus yang membahas soal proyek mobil nasional versi
Proton ini. Artinya banyak misteri di balik kerja sama ini! Karena banyak misteri maka
muncullah macam-macam rumor.
Rumor yang pertama, perusahaan milik Hendro pasti nanti akan minta bantuan pada Presiden
Jokowi, bantuan keringanan bea masuk, atau mungkin bea masuk nol persen. Rumor kedua,
nanti semua instansi pemerintah diwajibkan menggunakan “mobnas” produksi Proton di
Indonesia itu, sebab orang swasta kemungkinan sedikit yang mau beli mobil Proton. Lha,
sekarang saja pasar Proton di Indonesia sangat kecil, kalah telak dihajar oleh mobil-mobil eks
Jepang dan Korea.
Menurut Rizal Ramli, mantan menko perekonomian era perintah Gus Dur, Proton Indonesia
dikhawatirkan mengikuti pola Timor era Soeharto. Yaitu Timor diimpor bulat-bulat dari
Korea, dan pemerintah membebaskan bea masuk sepenuhnya. Namun pada akhirnya,
masyarakat tahu bagaimana kualitas Timor sehingga proyek mobnas itu gagal total.
Yang juga dipertanyakan para wartawan kenapa penandatanganan kerja sama ini terjadi
ketika suasana kebatinan hubungan RI-Malaysia sebenarnya sedang “hangat” gara-gara
muncul iklan Malaysia yang bernuansa bangsa Indonesia, terkait dengan TKI yang bekerja di
Malaysia. Iklan itu seakan-akan melecehkan kualitas pembantu Indonesia. Perhatikan reaksi
media Indonesia, yang marah besar terhadap iklan Malaysia itu yang menghina PRT kita!
Dalam suasana hubungan bilateral RI-Malaysia yang begitu tidak kondusif, kenapa kita
menandatangani kerja sama pembuatan Proton di Indonesia? Peristiwa penandatanganan itu
seolah-olah menampar muka bangsa kita sendiri; seolah-olah kita melupakan iklan Malaysia
tadi, bahkan langsung merangkul Malaysia.
Dalam konteks ilmu komunikasi, timing peristiwa penandatanganan kerja sama itu sangat
tidak tepat. Ingat ilmu komunikasi mengajarkan bahwa tindak komunikasi juga harus
memperhatikan momen atau timing. Jika momennya jelek, komunikasi akan tidak efektif,
biarpun pesan komunikasi bagus.
Lepas dari semua “misteri” itu, isu mobil nasional sendiri sementara tidak laku di Indonesia,
50
karena masyarakat sudah apriori gara-gara proyek mobnas yang gagal beberapa kali
sebelumnya. Pemerintah Indonesia memang tidak pernah serius untuk bikin mobil made-in
Indonesia!
PROF TJIPTA LESMANA
Pengamat Politik
51
Mimpi PDIP Menyapu Pilkada Koran SINDO 10 Februari 2015
Presiden Jokowi meminta pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak digelar pada September
2015. Pilkada ini meliputi pemilihan 8 gubernur, 26 wali kota, dan 170 bupati, yang tersebar
di 23 provinsi. Hal ini disampaikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo seusai menghadap
Presiden di Istana, Rabu (4/2).
Permintaan Jokowi ini terasa aneh di tengah usulan banyak pihak untuk memundurkan jadwal
pilkada serentak pada 2016. Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu
No 1/2014) telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU No 1/2015).
Namun, undang-undang ini tidak bisa langsung diimplementasikan karena banyaknya materi
muatan yang bermasalah: kekosongan hukum, tumpang tindih, kontradiksi, dan pelanggaran
konstitusi. Beberapa kegiatan dan tahapan diatur berpanjang-panjang sampai seluruh tahapan
(tanpa putaran kedua) membutuhkan waktu 13 bulan sehingga berpotensi menimbulkan
masalah baru. Oleh karena itu, DPR sepakat untuk merevisi undang-undang tersebut.
Menurut Pasal 201 ayat (1) UU No. 1/2015, pemungutan suara serentak dilakukan pada 2015
bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2015. Berdasarkan ketentuan
ini, KPU merencanakan pilkada serentak pada Desember 2015. Jika rencana itu diwujudkan,
tahapan pertama pilkada yakni pendaftaran bakal calon, dimulai pada 26 Februari.
Namun, Komisi II DPR meminta KPU tidak menyiapkan peraturan-peraturan teknis
penyelenggaraan pilkada, termasuk tentang jadwal tahapan, sampai revisi UU No. 1/2015
selesai. Komisi II DPR menargetkan revisi undang-undang akan diketuk pada sidang
paripurna DPR pada 17 Februari nanti.
Terhadap situasi di atas ada beberapa kemungkinan. Jika DPR dan pemerintah gagal
menyepakati revisi UU No. 1/2015 maka bisa dipastikan pilkada serentak tidak bisa segera
dilaksanakan; jikapun KPU dipaksa melaksanakan berdasarkan UU No. 1/2015 maka akan
banyak masalah karena undang-undangnya tidak bisa diimplementasikan.
Sebaliknya, jika DPR dan pemerintah menyepakati revisi UU No. 1/2015 maka ada dua
kemungkinan: pertama, jika waktu tahapan tetap (tidak direvisi) maka sesuai rencana KPU,
tahapan pertama pilkada dimulai 26 Februari agar pemungutan suara bisa Desember; kedua,
jika waktu pendaftaran bakal calon hingga pemungutan suara diperpendek menjadi enam
bulan (seperti pengalaman pilkada sebelumnya), mengacu rencana KPU (pemungutan suara
52
Desember 2015) maka tahapan pertama bisa dimulai Juni; sedangkan jika hendak memenuhi
permintaan Presiden (pemungutan suara September 2015), tahapan pertama mulai Februari.
Salah Informasi?
Katakanlah, revisi UU No. 1/2015 benar disahkan pada 17 Februari dan KPU berusaha keras
memenuhi permintaan Presiden untuk menggelar pilkada serentak pada September 2015;
maka langkah pertama KPU adalah membuat peraturan KPU tentang pedoman pelaksanaan
teknis pilkada yang jumlahnya puluhan.
Peraturan ini harus diselesaikan dalam waktu sepekan, mengingat tahapan pertama pilkada
harus dimulai akhir Februari. Masalahnya, apa mungkin hal itu dilakukan KPU? Jawabannya,
tidak! Sebab dalam membuat peraturan, KPU tidak bisa memutuskan sendiri. Sebelum
disahkan, semua rancangan peraturan harus dikonsultasikan dengan DPR dan pemerintah.
Jadi, permintaan Presiden Jokowi untuk menggelar pilkada serentak pada September 2015
mustahil bisa dipenuhi.
Sebagai politisi yang sudah tiga kali mengikuti pilkada langsung (dua kali di Solo dan satu
kali di DKI Jakarta), Jokowi mestinya tahu bahwa pelaksanaan tahapan pilkada tak bisa serta-
merta dilakukan begitu undang-undang disahkan. Butuh waktu untuk penyusunan peraturan
teknis, perencanaan, penganggaran, dan persiapan operasional lain. Namun karena dalam
pilkada keterlibatannya hanya sebatas sebagai calon, mungkin saja Jokowi tidak paham
sepenuhnya tentang manajemen pelaksanaan pilkada tersebut. Oleh karena itu, saya menduga
Jokowi mendapat masukan yang salah dari anak buahnya sehingga dia meminta agar pilkada
serentak digelar pada September 2015.
Di sinilah peran penting Mendagri Tjahjo Kumolo. Sebagai menteri yang membawahi urusan
pemerintah daerah, sudah semestinya dia mengetahui tentang berbagai macam masalah
penyelenggaraan pilkada sehingga masukan yang disampaikan ke Presiden tepat. Rasanya
tidak mungkin sebagai politisi senior yang membidangi politik dan pemerintahan, Tjahjo
tidak memahami kompleksitas penyelenggaraan pilkada serentak.
Saya justru curiga, sebagai mantan sekretaris jenderal PDIP, Tjahjo menyelipkan kepentingan
partai dalam memberi masukan ke Presiden agar pilkada serentak digelar September 2015.
Apalagi, kehendak untuk tidak menunda pelaksanaan pilkada serentak juga disuarakan
dengan keras oleh Fraksi PDIP di DPR. Tujuannya tidak lain adalah PDIP menang dalam
pilkada serentak nanti.
Tjahjo meyakini bahwa semakin cepat pilkada serentak digelar, semakin besar peluang
partainya memenangkan pilkada di banyak daerah. Mengapa? Karena Tjahjo dan PDIP
percaya kemenangan PDIP dan Jokowi dalam Pemilu 2014 akan berpengaruh positif terhadap
kemenangan dalam pilkada serentak. Dan, pengaruh itu semakin kuat manakala jadwal
pelaksanaan pilkada serentak lebih dekat dengan jadwal Pemilu 2014.
53
Mengulang Taktik SBY
Situasi politik menjelang pilkada saat ini hampir sama dengan lima tahun lalu, pasca Pemilu
2009. Menjelang pilkada gelombang kedua yang dimulai pada Juni 2010, terjadi
kesemrawutan dalam pengaturan teknis, menyusul berlakunya UU No. 12/2008 yang
mengubah UU No. 32/2004.
Kali ini terdapat silang sengkarut masalah ketersediaan anggaran, sampai-sampai Komisi II
DPR dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sepakat untuk memundurkan jadwal ke
tahun berikutnya. Namun atas usulan ini, rupanya Presiden SBY menolak. SBY yang juga
ketua Dewan Penasihat Partai Demokrat bersikeras agar pilkada dipaksakan tetap sesuai
jadwal, mulai Juni 2010.
Bagi SBY dan Partai Demokrat, pelaksanaan pilkada sesuai jadwal terlihat lebih
menguntungkan karena kemenangan Partai Demokrat dan SBY dalam satu putaran pada
Pemilu 2009 akan bisa mengatrol perolehan suara calon-calon yang didukung Partai
Demokrat. Kenyataannya harapan itu jauh panggang dari api. Jika kali ini Jokowi, Tjahjo
Kumolo, dan PDIP menghendaki pilkada digelar pada September 2015, alasan sebenarnya
kurang lebih sama dengan SBY dan Partai Demokrat lima tahun lalu.
Pelaksanaan pilkada tanpa persiapan matang itulah yang menyebabkan pilkada gelombang
kedua (2010-2013) menurun kualitasnya juga dibandingkan dengan gelombang pertama
(2005-2008). Sebab pokoknya adalah KPU daerah selaku penyelenggara pilkada diintervensi
kepala daerah dengan memainkan politik anggaran akibat bolong-bolong peraturan yang
terkait dengan penyelenggaraan pilkada.
Karena KPU daerah bekerja dalam tekanan, mereka tidak bisa melaksanakan tahapan pilkada
dengan baik, termasuk mengantisipasi politik uang dan kecurangan. Mahkamah Konstitusi
pun kebanjiran perkara sengketa hasil pilkada.
Permintaan Jokowi, Tjahjo Kumolo, dan PDIP untuk memaksakan pelaksanaan pilkada
serentak pada September 2015, tentu tidak akan terjadi jika mereka berkaca pada kekacauan
pilkada Juni 2010. Apalagi, kemenangan yang dibayangkan oleh SBY dan Partai Demokrat,
juga tidak terjadi.
Dalam hal ini kepentingan bangsa, keselamatan negara, dan pembangunan demokrasi,
mestinya jadi pertimbangan utama.
DIDIK SUPRIYANTO
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
54
Kewenangan Minus Etika Koran SINDO 10 Februari 2015
Akhir-akhir ini, publik disuguhkan dengan sebuah keprihatinan terhadap situasi dua lembaga
tinggi negara kita: Kepolisian dan KPK.
Lembaga yang digadang-gadang menjadi garda terdepan penegakan hukum itu kini tengah
terjebak dalam situasi konfrontatif yang menyedihkan. Imbasnya, agenda penegakan hukum
tersendat hanya karena fenomena saling unjuk kewenangan penegakan hukum itu sendiri.
Publik terkesan terbelah membela KPK atau Polri, sementara Presiden dipandang menjadi
sumber masalah dan sekaligus tumpuan harapan penyelesaian masalah. Beberapa tokoh
malah terkesan latah menghujat institusi- institusi itu dan bahkan terdengar mengumpat sosok
personal Presiden dengan nada menghina, merendahkan dan memperkeruh suasana.
Padahal, saya yakin betul bahwa tokoh-tokoh itu memahami pentingnya Presiden bersikap
netral, menghormati tanpa intervensi terhadap upaya penegakan hukum. Intervensi eksekutif
terhadap urusan yudikatif dianggap tabu dalam tatanan trias politica, bisa menjadi umpan
proses politik impeachment.
Dalam hal ini, kita perlu mengingatkan bahwa ada dua dimensi lain yang perlu dipelajari
untuk mencegah konflik terulang di masa depan. Pertama, dimensi rasionalitas versus
emosionalitas. Benar bahwa supremasi hukum di atas segalanya. Namun, di balik supremasi
hukum yang sangat rasional itu terdapat manusia-manusia yang menerjemahkan kaidah
hukum ke dalam rangkaian tindakan kewenangan praktikal manusiawi para penegak hukum
lengkap dengan motif dan hasratnya.
Artinya, di sela-sela keputusan hukum oleh para pejabat publik dengan segala rasionalitasnya
terdapat dimensi emosional dalam bentuk motivasi atau hasrat. Sehingga, rasionalitas
keputusan pejabat publik, tidak bisa tidak, diwarnai motif atau hasrat (intangible assets)
manusiawi.
Rasionalitas bisa diartikan inteligensia. Pejabat publik sangat perlu memiliki kemampuan ini
untuk mempelajari semua hal terkait proses pembuatan keputusan atau kebijakan. Namun,
pada saat yang bersamaan, pejabat publik itu juga memiliki dimensi emosionalitas, dalam
salah satu bentuknya, yakni selera (suka atau tidak suka) yang kemudian menyaring aneka
pilihannya ketika menentukan hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan
keputusan atau kebijakan.
Kedua, dimensi etik versus prosedur baku. Tahun lalu telah dirancang RUU Etika
55
Penyelenggara Negara. Namun sayangnya, RUU yang menjadi bagian penting dari agenda
reformasi birokrasi ini masih belum dilanjutkan dan dikeluarkan dari jadwal prioritas
pembahasan.
Sekiranya saat ini sudah terdapat pengaturan tentang etika penyelenggara negara, maka bisa
diharapkan adanya batas-batas etik yang berlaku universal terhadap seluruh pejabat negara
dan pemerintahan terkait dengan bagaimana seorang pejabat negara (pejabat publik) bersikap
etik dalam menyusun atau mengimplementasikan keputusan atau kebijakan tersebut.
Dimensi rasionalitas dan emosionalitas itu berada dalam ranah individu- individu, namun
dimensi etik berada di ranah sosial, karena itu etik sering kali paralel dengan norma-norma
yang berlaku. Etika akan selalu terkait pada ruang dan waktu pada satu saat tertentu sehingga
akan mewarnai dampak dari produk kebijakan itu.
Artinya sebuah produk hukum atau keputusan hukum yang bagus atau berkualitas–karena
telah sesuai dengan prosedur baku– namun dikeluarkan dengan cara-cara yang tidak etis pada
ruang dan waktu tertentu maka dampaknya bisa merusak. Substansi keputusan atau kebijakan
apa pun bakal tergerus oleh persepsi yang didominasi selera (rasa suka atau tidak suka),
bukan lagi soal benar-salah keputusan atau kebijakan itu.
Terlepas dari masalah substansi dugaan pelanggaran pidana, tampak jelas bahwa fenomena
perseteruan KPK dan Polri lebih kental disebabkan masalah etik. Kedua belah pihak tampak
lebih bernafsu mempertontonkan kewenangan (show of force) sehingga minus kaidah-kaidah
etika penyelenggaraan negara (meskipun belum terdapat pengaturan seragam untuk semua
institusi negara dan pemerintahan).
Benar bahwa kedua belah pihak memiliki kewenangan besar menindak dugaan pidana,
namun tampak juga benar bahwa kewenangan-kewenangan itu juga dipertontonkan
sedemikian rupa pada ruang waktu tertentu, pada momentum tertentu, dengan cara tertentu.
Apa etik yang dilanggar?
Polri dan KPK memiliki pengaturan kode etik masing-masing, sehingga itu bisa dipakai
untuk mengukur seberapa besar deviasi antara aturan dan praktik. Pengawas internal atau
dewan etik bisa berperan untuk menilai dan menjatuhkan sanksi jika terbukti ada pelanggaran
etik supaya kredibilitas lembaga tidak ternoda.
Apakah etik skala mikro yang berlaku di internal lembaga ataukah etik skala makro yang
perlu dipakai untuk mengukur deviasi etik pejabat publik? Mengingat bahwa ketentuan kode
etik yang berlaku di setiap lembaga publik berbeda-beda, maka ketentuan itu hanya berlaku
dan mengikat ke dalam. Misalnya bahwa tidak mungkin susunan kode etik KPK
dipergunakan untuk menindak etika pejabat Polri.
Sayangnya, saat ini, pengaturan kode etik secara makro berlaku untuk seluruh lembaga
negara atau lembaga pemerintahan belum ada. Etika penyelenggara negara berada di ruang
56
makro yang berkaitan dengan kepentingan negara atau publik di skala yang lebih luas. Di
dalam kepentingan sebesar itu, pejabat publik wajib mengedepankan etika agar kepentingan-
kepentingan besar itu tidak terdistorsi perilaku-perilaku kewenangan.
Artinya, dalam susunan kode etik makro penyelenggara negara perlu mengemukakan
pemahaman bahwa eksekusi aneka kewenangan lembaga-lembaga negara atau pemerintahan
terletak di bawah kepentingan strategis negara. Artinya lebih dalam lagi, harus terdapat
pemahaman di antara pejabat publik bahwa dalam menjalankan eksekusi pelbagai
kewenangan itu mesti memperhitungkan potensi kebaikan atau kerusakan atas kepentingan
strategis nasional.
Kita bisa pahami bahwa domain etik juga berkaitan erat dengan norma-norma pejabat negara
yang secara makro berlaku umum, menurut saya setidaknya terdiri dari lima pengaturan
utama: mengedepankan kepentingan strategis keamanan nasional dan ketertiban publik;
menjaga rahasia negara dan jabatan; bebas konflik kepentingan; berperilaku sopan dan
ucapan yang jujur; bertindak egaliter tidak diskriminatif.
Lima unsur tersebut mestinya ada di dalam ketentuan etik baik di KPK, Polri, ataupun
kebanyakan institusi publik. Mengingat bahwa ruang dan waktu adalah faktor penting dalam
menjalankan kewenangan, perilaku sopan dan ucapan jujur serta keputusan yang non-
diskriminasi, maka hal itu bisa dipergunakan untuk menilai apakah seorang pejabat publik
diindikasikan kuat melanggar ketentuan kode etik atau tidak.
Bila teori itu diturunkan ke persoalan faktual, teori tersebut bisa digunakan untuk menilai
apakah ketika pimpinan KPK atau Polri, dalam proses menentukan dan kemudian
mengumumkan atau menindak seseorang dari kedua belah pihak ditetapkan menjadi
tersangka, sudah melalui kaidah-kaidah etik atau tidak.
Kembali perlu kita ingat bahwa KUHAP dan segala aturan turunannya secara substansial
mengatur tentang prosedur hukum acara pidana, tetapi manusia-manusia penegak hukum
menerjemahkannya berdasarkan rasionalitas dan emosionalitasnya. Sehingga pada tahap
eksekusi kewenangan terhadap pihak-pihak luar, baik dalam hal misalnya mengomunikasikan
keputusan atau melakukan penangkapan, kaidah-kaidah etik sebaiknya berlaku.
Penyimpangan kaidah etik di tahap ini justru bisa mengaburkan substansi hukum. Maka tidak
heran jika kemudian muncul penilaian publik terhadap para pejabat publik di kedua belah
pihak itu sebagai arogan, diskriminatif, balas dendam, sok paling kuasa.
Penyimpangan kaidah etik berpotensi menjauhkan inti permasalahannya: apakah seseorang
disangkakan melanggar pidana? Pelanggaran pidana berdampak terhadap individu, tetapi
pelanggaran etik bisa berdampak lebih serius terhadap sosial masyarakat (publik) dan atau
harga diri instansi-instansi publik (baik di KPK ataupun Polri). Dampaknya terhadap
masyarakat luas bisa terjadi polarisasi dukung-mendukung terhadap kesatuan instansi-instansi
publik secara membabi buta yang mengancam kesatuan bangsa, kepastian hukum dan
57
ketertiban sosial.
Pelanggaran etik meskipun sanksinya bukan sanksi pidana, juga bisa menjadi masalah yang
serius. Fenomena ketegangan KPK dan Polri yang terjadi saat ini dan yang dulu dikenal
dengan cicak lawan buaya, terjadi juga karena cara-cara menjalankan kewenangan (berupa
perilaku dan model komunikasi) yang diduga tidak etis.
Mirip dengan peristiwa “perselisihan” Polri dan TNI di beberapa tempat, penyebabnya
sederhana: tindakan tidak etis dari beberapa oknum yang kemudian melebar pada konflik
dengan kekerasan antar kesatuan.
Ke depan, model-model show of force; mempertontonkan kewenangan dengan cara yang
minim etika, mesti diganti dengan model show of wisdom, yang lebih menginspirasi para
pejabat publik untuk menunjukkan kewenangan dengan penuh etika. Lebih elegan dan
simpatik, begitulah kira-kira.
Karena itu, saya kira, kita memerlukan pengaturan etika penyelenggara negara, supaya
supremasi hukum bisa dijalankan dengan etika bangsa Indonesia tanpa mengurangi
substansinya.
DANANG GIRINDRA WARDANA
Ketua Ombudsman Republik Indonesia
58
Uji Publik Calon Kepala Daerah Koran SINDO 11 Februari 2015
Salah satu isu penting yang menjadi sorotan dalam kerangka revisi Undang-Undang (UU)
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota adalah uji publik calon kepala daerah.
Dalam UU tersebut, uji publik ditujukan kepada bakal calon kepala daerah sebelum
penetapan dan pengajuan sebagai calon di mana hasilnya menjadi salah satu syarat
pencalonan kepala daerah. Uji publik dilaksanakan oleh tim independen yang dibentuk oleh
penyelenggara pilkada yang anggotanya meliputi unsur akademisi, tokoh masyarakat, dan
penyelenggara.
Tersirat dalam UU bahwa uji publik dimaksudkan untuk memperkuat pelibatan atau
partisipasi publik dalam penjaringan calon kepala daerah sejak penentuan bakal calon oleh
partai politik dan perseorangan, sehingga di satu sisi publik (pemilih) akan sejak dini
”menyeleksi” calon terbaik sebagai kepala daerahnya dan di sisi lain partai politik didorong
semakin selektif, transparan, dan akuntabel dalam mengajukan calon kepala daerah.
Pesan implisit konsep uji publik adalah upaya untuk meminimalisasi oligarki partai dalam
menentukan calon kepala daerah—yang selama ini ditengarai lebih menonjolkan
pertimbangan popularitas dan modal (materi) ketimbang kualitas dan kapabilitas.
Pro-Kontra
Konsep uji publik telah diintroduksi dalam UU Nomor 22/2014 maupun Perppu No. 1/2014
yang menganulir UU Nomor 22/2014 tersebut. Artinya ada kesepahaman pembentuk UU
(DPR, DPD, dan Pemerintah) bahwa uji publik perlu diangkat menjadi norma UU.
Penulis menjadi pihak yang terlibat dalam pembahasan materi ini dalam kapasitas saat itu
sebagai Ketua Timja RUU Pilkada DPD RI. Bahkan, uji publik sejak awal merupakan
konsepsi yang secara resmi diusulkan oleh DPD dan penulis menuangkan konsepsi tersebut
dalam norma undang-undang secara utuh yang kemudian berkembang dalam dinamika
pembahasan.
Mayoritas Fraksi DPR dan Pemerintah pada saat pembahasan UU Nomor 22/2014
mendukung gagasan DPD tersebut sebagai satu bentuk ikhtiar untuk mendapatkan calon
terbaik dari sejumlah bakal calon yang mendaftar atau didaftarkan oleh partai politik dan
perseorangan.
Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa esensi pilkada adalah menghadirkan pemimpin
59
daerah yang berkualitas dalam rangka mendinamisasi dan memajukan daerah. Pemimpin
yang demikian dapat diperoleh jika dibuka ruang yang memadai bagi publik untuk
mengetahui dan menguji rekam jejak (track record) dan integritas serta kompetensi bakal
calon sebelum dicalonkan sebagai kepala daerah.
Gagasan uji publik pada dasarnya juga merupakan refleksi terhadap hasil pilkada selama ini.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak calon yang diajukan oleh partai politik maupun
perseorangan sebenarnya bukanlah calon terbaik. Hanya karena publik tidak memiliki ruang
yang menentukan, mereka tidak memiliki (alternatif) pilihan lain.
Sementara proses penentuan calon merupakan “hak prerogatif” partai politik, yang sayangnya
lebih bernuansa oligarkis, nir-public discourse, dan lebih menonjolkan popularitas dan modal
ketimbang kualitas dan kapabilitas. Uji publik berusaha mengatasi hal tersebut sehingga
ruang publik turut serta dalam menentukan calon yang terbaik menjadi semakin luas.
Belakangan sayup terdengar norma uji publik ini termasuk yang akan direvisi dengan
argumentasi bahwa uji publik merupakan hak dan kewenangan partai politik dalam proses
penjaringan bakal calon, sebagaimana langgam yang berlaku selama ini. Bukankah salah satu
fungsi partai politik adalah rekrutmen politik, termasuk rekrutmen calon pejabat publik?
Jika tim independen memiliki kewenangan untuk memberikan penilaian lalu
merekomendasikan bahkan dapat menentukan layak atau tidak layak bakal calon, lalu di
mana letak kewenangan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi? Uji publik juga
menjadikan tahapan pemilu menjadi lebih panjang mengingat penambahan jadwal sebelum
pencalonan.
Uji publik dikhawatirkan menjadi ajang menjatuhkan karakter seseorang sehingga gagal atau
batal dalam pencalonan. Toh publik pemilih telah memiliki ruang yang menentukan selama
masa kampanye hingga saatnya menjatuhkan pilihan pada calon kepala daerah yang menurut
mereka terbaik di bilik suara.
Uji Publik Berkualitas
Pertanyaannya, bagaimana konsep uji publik yang secara objektif menguntungkan publik dan
menghasilkan kepala daerah yang berkualitas? Mengingat UU tidak—atau paling kurang
belum—menjabarkan konsep uji publik tersebut. Penulis dapat memahami karena mungkin
materi muatan tersebut akan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan penyelenggara pilkada.
Penulis berpendapat, kita harus memahami terlebih dahulu esensi (dan urgensi) uji publik.
Esensinya adalah pelibatan publik sehingga publik menjadi sentral dalam proses-proses
pilkada. Pesannya, setiap calon harus berasal ”dari publik, oleh publik, dan untuk publik”
sebagaimana kredo demokrasi yang kita pahami bersama: ”dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”.
60
Partai politik sebagai agen rekrutmen politik harus diletakkan dalam kerangka tersebut,
bahwa parpol sejatinya adalah publik itu sendiri: lahir dari dan bekerja untuk publik. Mana
ada parpol yang berani mengabaikan publik, karena jika itu terjadi sama saja sedang
menggali kubur sendiri.
Dengan demikian uji publik dapat diterima sebagai upaya untuk menangkap segala
kepentingan, kebutuhan, dan harapan publik, yakni: kepala daerah yang berkualitas.
Pelaksanaan uji publik terhadap bakal calon kepala daerah sama sekali tidak ada ruginya,
bahkan justru menguntungkan partai politik karena ruang untuk seleksi yang selama ini
dilakukan oleh partai politik menjadi difasilitasi oleh negara dalam ruang publik yang lebih
luas.
Partai politik dapat mengajukan sebanyak mungkin bakal calon untuk diseleksi awal (pre-
eliminary selection), bukan saja untuk mengukur bakal calon yang lebih diminati publik, tapi
juga bisa memprediksi bakal calon yang diperkirakan menang. Hal ini jelas mengatasi
”mahalnya” ongkos pencalonan—mulai dari sulitnya mendapatkan calon yang tepat hingga
gesekan persaingan antarcalon—yang selama ini (juga) banyak dikeluhkan partai
politik. Pemahaman tersebut selanjutnya menjadi kerangka pengaturan uji publik dalam
regulasi penyelenggaraan pilkada.
Secara substansi, fokus uji publik adalah untuk menguji dua aspek utama yang harus dimiliki
oleh seorang pemimpin. Pertama, aspek kompetensi meliputi seluruh pengetahuan, wawasan,
dan keterampilan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kedua, aspek integritas meliputi sikap, perilaku, dan karakter yang lekat pada bakal calon
kepala daerah yang bisa dilihat dari rekam jejak selama berkecimpung dalam aktivitas publik.
Dua aspek inilah yang sesungguhnya merupakan intisari dari konsep leadership
(kepemimpinan) yang sayangnya sering diabaikan dalam proses seleksi kepala daerah yang
lebih menonjolkan aspek popularitas dan modal (materi).
Jalan Tengah: Publik dan Partai
Secara prosedural, proses uji publik dilaksanakan oleh suatu panel independen yang dibentuk
oleh penyelenggara pilkada di mana panel memiliki kewenangan untuk secara aktif membuka
dan menerima masukan publik terhadap bakal calon kepala daerah.
Harus dipastikan waktu yang memadai agar panel dapat menggali, menerima, dan menguji-
silang informasi publik terkait aspek kompetensi dan kapabilitas para bakal calon kepala
daerah. Dengan kewenangan demikian, lazimnya panel memiliki hak untuk memberikan
sertifikasi apakah bakal calon layak (qualified) atau tidak layak (unqualified).
Akan tetapi, mengingat hal ini akan menimbulkan resistensi dari partai politik sebagai peserta
pilkada, jalan tengah yang mungkin dapat dilakukan adalah panel diberi kewenangan untuk
secara proaktif mengungkapkan data yang ditemukan kepada publik secara objektif tanpa
61
menjustifikasi layak atau tidak layak. Dengan demikian publik yang akan menentukan apakah
yang bersangkutan layak atau tidak menjadi calon kepala daerah.
Proses uji publik yang dilakukan secara konsisten dan profesional niscaya akan menghasilkan
demokrasi pemilihan kepala daerah yang lebih matang.
PROF DR FAROUK MUHAMMAD
Wakil Ketua DPD RI
62
Jurus Pendekar Mabuk Koran SINDO 11 Februari 2015
Di era demokrasi sekarang ini tentu ada sensitivitas publik terhadap peristiwa yang diyakini
bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Di antara nilai hakiki demokrasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat, tanpa rasa takut,
bebas dari intimidasi dan provokasi. Apalagi jika ungkapan itu terkait dengan upaya
pemberantasan korupsi yang telah sangat meresahkan.
Baik Deklarasi HAM Sedunia maupun kovenan internasional atas hak-hak sipil dan politik
yang tertuang dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2005 mewajibkan negara untuk
menjamin adanya hak mengemukakan pendapat. Kebebasan berekspresi bukan hanya karena
esensi atas hak itu sendiri, tetapi ia penting apabila hak-hak asasi lainnya ingin dicapai.
Saat ini Indonesia sudah pada tahapan darurat korupsi. Hampir tidak ada aspek kehidupan
yang bebas dari praktik korupsi. Itu sebabnya para koruptor bersorak gembira dengan kondisi
hukum Indonesia saat ini, terutama di saat KPK tidak berdaya.
Kini perdebatan nasional justru soal perseteruan KPK versus Polri saja. Padahal isu
sesungguhnya adalah upaya bangsa ini memerangi korupsi. Topiknya justru beralih dan
sering kali perdebatan melebar ke mana-mana.
Dalam acara diskusi di Kantor YLBHI Jakarta, Minggu (1/2/2015), mantan Wamenkumham
Denny Indrayana (DI) menyebut bahwa langkah Komjen Budi Gunawan (BG) mengajukan
praperadilan KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mirip pendekar mabuk. Langkah itu
tidak memiliki dasar hukum. Akibat dari pernyataan ini, DI dilaporkan ke polisi.
Soal Praperadilan
Mengutip DI, dasar hukum yang diajukan oleh pihak BG untuk mengajukan praperadilan
tidak ada, asal-asalan. Atas dasar penilaian itulah, dengan tegas dianalogikan bahwa Komjen
BG mempertontonkan jurus pendekar mabuk. Memang soal praperadilan Komjen BG ini
memunculkan pembicaraan dan reaksi cukup luas.
Bangsa kita yang demokratis mestinya memaklumi saja ketika ada pihak yang pro atau kontra
dengan langkah ini. Jangan ada pihak yang memaksakan pendapatnya sebagai yang paling
benar sehingga antipati dengan pendapat orang lain.
63
Mereka yang kontra dengan langkah praperadilan Komjen BG menilai bahwa apa yang
dilakukan itu sebagai tindakan yang mengada-ada saja. Pihak yang kontra dengan langkah
BG berpendapat bahwa KUHAP telah secara rigid menentukan hal-hal yang dapat
dipraperadilankan, yaitu: (1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, (2)
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi
tegaknya hukum dan keadilan (pasal 77 huruf a), (3) sah atau tidaknya pemasukan rumah,
penggeledahan dan atau penyitaan (Pasal 82 ayat 1 huruf b jo Pasal 95 ayat 2 KUHAP), dan
(4) terkait dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau pada tingkat penuntutan (Pasal 77
huruf b KUHAP).
Tidak terkait dengan status tersangka. Mungkin ini yang membuat Denny menyebut langkah
Komjen BG menggunakan jurus pendekar mabuk.
Namun mereka yang pro dengan langkah Komjen BG juga memiliki argumentasi, tidak
sepenuhnya baseless. Dalam suatu dialog di media, Eggi Sudjana sebagai salah seorang
pengacara Komjen BG pernah membeberkan argumentasinya mengajukan
praperadilan. Mereka berpatokan pada KUHAP dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal 63 (1) UU KPK menegaskan: ”Dalam hal seseorang
dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh
KPK, bertentangan dengan Undang-Undang (KPK) atau dengan hukum yang berlaku, orang
yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.”
Adapun Pasal 63 (2) gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak
orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan jika terdapat alasan-alasan
pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
Dalam perbedaan ini, paling tepat menjadi wasitnya adalah hakim yang pada posisi harus
menerima permohonan praperadilan. Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa/mengadili suatu perkara yang diajukan dengan alasan hukum tidak/kurang jelas,
hukumnya tidak ada, tidak lengkap atau tidak sempurna (Pasal 16 ayat 1 UU Kekuasaan
Kehakiman). Dalam kondisi ini, sebaiknya menunggu putusan hakim tunggal Sarpin Rizaldi
walaupun dia mendapat sorotan di antaranya karena pernah diadukan atas sejumlah kasus ke
KY.
Implikasi Kriminalisasi
Ada banyak hasil dari gerakan reformasi yang telah menelan banyak korban di negeri ini.
Salah satu kenikmatan luar biasa dari reformasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat
yang tidak dimiliki oleh banyak masyarakat di muka bumi ini.
Di masa lalu Indonesia dikenal sebagai negara yang otoriter, penguasa yang sensitif atas
kritikan. Bahkan pembredelan terhadap media cetak dengan mudah dilakukan apabila dinilai
64
suatu media terlalu kritis terhadap penguasa. Luar biasa buah dari reformasi yang
diperjuangkan dengan susah payah oleh berbagai elemen dengan mahasiswa sebagai motor
utamanya itu, kini Indonesia memiliki media yang sangat dinamis, sulit ditandingi oleh
negara-negara tetangga.
Muncul kaum intelektual cerdas, kritis, dan berani menawarkan berbagai solusi. Semua ini
terjadi dikarenakan adanya keberanian mengeluarkan pendapat dan penguasa tidak alergi
dengan pendapat-pendapat kritis sekalipun.
Ada beberapa implikasi dari tindakan mengepolisikan DI yang menganalogikan langkah BG
sebagai jurus pendekar mabuk. Implikasi pertama, adanya penilaian publik bahwa di era
sekarang ini masih ada sekelompok masyarakat yang tetap memelihara pola pikirnya yang
jauh ke belakang dalam soal kebebasan berpendapat. Salah seorang menteri saja ”berani
berucap” bahwa mereka yang mendukung KPK adalah rakyat yang tidak jelas. Tapi reaksi
publik tergolong ”biasa-biasa saja” dan malah dibalas dengan berbagai joke.
Implikasi kedua, tindakan mengkriminalisasi tersebut dapat mematikan sikap kritis banyak
orang yang dalam porsi masing-masing telah memberikan sumbangsih bagi kemajuan negeri
ini. Ada potensi, kriminalisasi itu diadopsi orang lain yang akan dengan mudah menggunakan
pasal pencemaran nama baik. Padahal selama ini justru laporan masyarakat berkontribusi
terhadap pemberantasan korupsi.
Masyarakat yang kritis juga berkontribusi dalam menciptakan good governance.
Kriminalisasi dapat membuat publik ”takut,” seperti diwantiwanti akan dikepolisikan.
Memang materi laporan terhadap DI belum tentu pidana. Mestinya, polisi tidak main ”pukul
rata” terhadap setiap laporan yang terkait dengan BG agar tidak pula dinilai menggunakan
jurus mabuk.
Di era Indonesia yang demokratis dan dinamis ini akan selalu ada potensi pencemaran nama
baik. Mestinya bangsa kita sudah terbiasa dengan silang pendapat dalam berbagai rupa.
PROF AMZULIAN RIFAI PhD
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
65
Korea Utara dan KAA Koran SINDO 11 Februari 2015
Konferensi Asia Afrika (KAA) akan diselenggarakan pada 19-24 April 2015 di Bandung.
Selain untuk ajang berkumpul negara-negara anggota, konferensi kali ini sekaligus
memperingati 60 tahun terselenggaranya acara yang sama di tempat yang sama.
Konferensi ini mengandung makna historis mendalam karena ia dimulai sebagai ajang untuk
mendorong gerakan dekolonisasi oleh 29 negara dan pada akhirnya KAA menghimpun lebih
dari 100 negara di dunia. Tambahan lagi, KAA juga menggerakkan kegiatan solidaritas
negara-negara berkembang yang miskin dan terhimpit oleh pertarungan kepentingan antara
dua negara besar, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Banyak pihak yang melihat bahwa konferensi ini kemungkinan hanya sebatas seremonial
belaka, karena dalam kenyataannya negara-negara Asia dan Afrika tidak lagi sama postur
politik dan ekonominya dibandingkan 60 tahun yang lalu. Ada negara-negara Asia dan Afrika
yang berkembang dan maju seperti Republik Rakyat China, Jepang, India, Indonesia,
Thailand, tetapi ada juga yang masih tertinggal seperti Etiopia, Sudan, Laos, dan juga
termasuk Korea Utara.
Korea Utara adalah negara yang cukup kontroversial pada saat ini, karena tingkah laku politik
luar negeri yang terus memancing perhatian dunia dan meresahkan, khususnya bagi Amerika
Serikat dan tetangganya, Korea Selatan. Negara-negara Barat telah mengeluarkan puluhan
sanksi ekonomi, politik, dan militer kepada Korea Utara, namun hingga kini negara tersebut
tetap bergeming sesuai yang diinginkan.
Tekanan terakhir setelah meninggalnya Kim Jong-il adalah sanksi dari Dewan Keamanan
PBB No. UNSCR 2094/2013 sebagai reaksi atas percobaan nuklir bawah tanah. Sanksi ini
sendiri memuat tentang larangan atau pembekuan aset terhadap individu dan perusahaan
untuk melakukan bisnis mereka di Eropa dan Amerika serta negara-negara lain. Rangkaian
sanksi tersebut memiliki tujuan untuk mengisolasi Korea Utara dari pergaulan dengan
negara-negara lain, terutama dalam perdagangan dan politik luar negeri.
Terkait dengan tujuan tersebut, rencana kedatangan Korea Utara ke Bandung pada bulan
pelaksanaan KAA telah mengundang perhatian banyak pihak terutama dari diplomat
Barat. Mereka memiliki harapan supaya Indonesia juga dapat memberikan tekanan kepada
Korea Utara agar seirama dengan tekanan yang dilakukan oleh dunia internasional. Apakah
pemerintah Indonesia memiliki keinginan untuk turut serta menekan Korea Utara untuk
mengubah perilakunya? Sejauh mana tekanan itu bermanfaat dan apa dampaknya bagi
kepentingan strategi di masa depan?
66
Sejauh ini pemerintah Indonesia tampaknya akan tetap mengundang Korea Utara dalam
konferensi di Bandung. Dalam sejarahnya, pemerintah Korea Utara memiliki hubungan baik
dengan Indonesia. Megawati Soekarnoputri adalah presiden pertama di Asia yang
mengunjungi Korea Utara setelah negara itu disebut sebagai Poros Setan oleh Presiden
Amerika Serikat George Bush.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tahun lalu juga menghabiskan tiga harinya di Korea
Utara untuk mendiskusikan peningkatan kerja sama ekonomi di antara kedua negara. Fakta-
fakta ini bisa menjadi petunjuk bahwa Indonesia lebih menyukai diplomasi Timur yang lebih
luwes. Diplomasi yang luwes terhadap negara-negara tertentu seperti Iran dan Suriah, juga
dilakukan oleh Indonesia.
Saya berpendapat bahwa diplomasi semacam ini bisa menjadi penyeimbang dari diplomasi
yang menuntut tekanan dan sanksi. Dalam sejarah, sanksi dan tekanan terhadap sebuah
negara jarang yang membuahkan hasil positif. Efektivitas sanksi kadang-kadang tidak
menimbulkan reaksi yang diharapkan bahkan justru merugikan warga di dalam negerinya.
Contohnya terkait dengan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara, Hugh Griffiths dari
Stockholm International Peace Institute yang menyelidiki sanksi terhadap Korea Utara,
menemukan bahwa sanksi ekonomi diragukan efektivitasnya. Perusahaan yang mendapat
sanksi memang mendapat kesulitan, tetapi masih banyak perusahaan negeri itu yang tercatat
di luar negeri. Mereka bisa menggunakan identitas lain dan akan tetap bertahan. Sebanyak
75% entitas bisnis dan individu terdaftar di luar badan hukum Korea Utara, demikian
informasi dalam laporan tersebut.
Ada pula dugaan bahwa sanksi ekonomi itu juga lebih banyak merugikan warga Korea Utara,
sementara kaum elite tetap dapat bertahan. Hal ini menimbulkan dampak lain berupa krisis
kemanusiaan di mana warga Korea Utara justru dirugikan.
Centre for Research on Globalization (CRG) menemukan juga bahwa isi sejumlah resolusi
sanksi terhadap Korea Utara sangat luas interpretasinya, sehingga barang-barang yang
menyangkut kesehatan atau fasilitas sarana yang dibutuhkan agar warga negara dapat
bertahan hidup juga mendapat embargo.
Lembaga riset itu memberi contoh: penggunaan kata ”dapat (could) ” secara berlebihan terus-
menerus terlihat dalam ketentuan sanksi, di mana kata tersebut berarti dapat dipakainya suatu
instrumen tertentu (sebagai bentuk sanksi) dan di sini ketentuan maknanya samar-samar
(vague), sebatas ada ”reasonable grounds to believe” (alasan yang masuk akal untuk
meyakini sesuatu), sehingga tidak diperlukan standar bukti yang tinggi atau bukti-bukti nyata
apa pun, semata bergantung pada keyakinan (belief) yang subjektif yang dapat didasarkan
pada atau dipengaruhi oleh distorsi akibat bias politik (Global Research, 10/1/2014).
Kritik terhadap sanksi sebetulnya juga pernah disampaikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan. Ia
dalam sebuah seminar Perdamaian Internasional di Kanada tahun 2000 berpendapat bahwa
67
”sama seperti kita mengenali pentingnya sanksi sebagai cara menjalankan kehendak
masyarakat internasional, kita juga patut mengenali bahwa sanksi merupakan instrumen
kebijakan yang tumpul, yang merugikan sejumlah besar orang yang justru bukan merupakan
target kebijakan itu sendiri.”
Sejak pidato tersebut, ada upaya untuk menjatuhkan smart-sanctions, yaitu sanksi terbatas
terhadap individu atau perusahaan. Namun seperti yang diungkapkan oleh CRG, bahasa
dalam sanksi begitu luas dan lentur untuk diinterpretasikan.
Walaupun ada juga analis yang mengatakan bahwa semua sanksi pasti menimb ulkan biaya
yang tidak diinginkan, Daniel Drezner (2010) mengutip pernyataan Michael Brzoska yang
menyatakan bahwa embargo senjata menyebabkan biaya pencarian senjata meningkat dan
mengurangi juga anggaran kesejahteraan warganya.
Larangan terhadap transportasi laut dan udara juga mengakibatkan lalu lintas perdagangan
obat-obatan dan makanan menjadi terhambat. Dengan kata lain, mereka ingin mengatakan
bahwa tidak ada yang dapat mengontrol sejauh mana sanksi menimbulkan konsekuensi.
Smart atau tidak smart sama-sama merugikan non-targeted sector.
Hal-hal seperti ini patut dikomunikasikan secara lebih luas sebagai dasar pilihan sikap
Indonesia, baik sebagai suatu negara maupun sebagai anggota dan pelopor KAA. Semoga
dengan demikian, baik Indonesia maupun KAA justru membawa angin segar bagi relasi antar
negara!
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
68
Memotret Wajah Politik KPK Koran SINDO 12 Februari 2015
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan maksud untuk menanggulangi dan
memberantas korupsi.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan mana pun. Pengertian ”kekuasaan mana pun” adalah kekuatan yang
dapat memengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individual terkait
dengan tindak korupsi.
Artinya, kerja KPK tak boleh keluar dari pakemnya sebagai lembaga penegak hukum. KPK
tidak boleh menjalankan tugas dan wewenangnya atas dasar ”pesanan” pihak lain. KPK harus
steril dari kepentingan-kepentingan internal KPK di luar kepentingan penegakan hukum,
akuntabel, proporsional, dan demi kemaslahatan, sebagaimana menjadi asas KPK.
Namun, realitasnya kerja KPK justru kerap offside dengan memasuki ranah politik, ranah
yang tak seharusnya dilakukan KPK. Kenyataan ini terasa sekali di era Abraham Samad.
Terlalu sering KPK melakukan kerja penegakan hukum yang berwajah politis. Tentu secara
moral, ini hal yang tak patut dilakukan oleh pimpinan KPK.
Wajah Politik
Saat menjelang Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya, publik dibikin kaget
ketika muncul berita terkait kedatangan Jokowi ke KPK untuk ”konsultasi” terkait calon-
calon menterinya. KPK memberikan rekomendasi atas nama-nama yang dinilai berapor
merah dan kuning. Saat itu berbagai spekulasi merebak. Ada yang menyebut konsultasi
tersebut sebagai bentuk kehati-hatian (ikhtiyat) Jokowi dalam menyusun kabinet. Jokowi tak
mau ada ”cacat moral” dalam kabinetnya. Ada spekulasi yang menyebut bahwa Jokowi
sengaja ”nabok nyilih tangan” untuk memotong beberapa orang Megawati (PDIP), PKB, dan
partai pendukung lain.
Ada juga yang menyebut KPK telah offside. KPK dinilai terlalu politis. Apalagi kalau
menyikapi pernyataan Abraham yang bernada ”ancaman” kepada Jokowi, yang kalau tetap
mengangkat calon menteri berapor merah dan kuning, maka dalam waktu yang tidak lama
KPK akan menetapkan status hukumnya. Rasanya ini pernyataan tak proporsional dari
pimpinan lembaga penegak hukum. Buktinya, tiga bulan lebih setelah menteri-menteri
berapor merah dan kuning dilantik belum juga ada tindakan hukum dari KPK.
69
Rasanya bukan kali ini saja KPK melakukan kerja beraroma politis. Seminggu sebelum
menjadikan Suryadharma Ali sebagai tersangka, Abraham sudah cuap-cuap ke media bahwa
dalam satu atau dua pekan ke depan KPK akan menetapkan tersangka terkait proyek barang
dan jasa penyelenggaraan ibadah haji tahun anggaran 2012-2013. Abraham bahkan menyebut
bahwa ”calon” tersangka merupakan petinggi negeri.
Pernyataan ini juga tak layak diucapkan oleh seorang ketua KPK. Menetapkan seseorang jadi
tersangka tentu ada aturannya dan tak perlu cuap-cuap di media. Suka cuap-cuap itu hanya
layak disandang oleh para politisi karena politisi memang kerjanya harus bicara.
Ketika Setya Novanto terpilih jadi ketua DPR, Abraham menyayangkan karena Setya pernah
beberapa kali diperiksa sebagai saksi terkait penyidikan sejumlah kasus korupsi. Sebaliknya,
Zulkifli Hasan yang ketika terpilih sebagai ketua MPR tak ada nada keberatan dari Abraham,
justru beberapa hari selepas dilantik dipanggil KPK selama dua hari berturut-turut.
Bukankah KPK mempunyai prosedur dalam memanggil dan menetapkan status hukum
seseorang? Justru ketika KPK menyayangkan terpilihnya Setya, meminta keterangan Zulkifli
yang terkesan begitu tiba-tiba, termasuk juga cuap-cuap soal rapor merah dan kuning calon
menteri Jokowi, publik pantas curiga dengan cara-cara kerja KPK selama ini dalam
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Minta Maaf JPU
Wajah politis KPK yang paling kasatmata terlihat dalam kasus Anas Urbaningrum. Penetapan
tersangka didahului oleh pernyataan SBY dari Jeddah, diikuti pencabutan kewenangan Anas
sebagai ketua umum Partai Demokrat dengan menabrak anggaran dasar partai dan diikuti
oleh bocornya surat perintah penyidikan. Surat perintahnya pun isinya tidak jelas: ”...proyek
Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya,” yang ternyata tidak terbukti di persidangan.
Meski demikian, Anas tetap dipaksakan dituntut tinggi. Malah ada alasan yang dibuat-buat,
Anas dituduh melakukan obstruction of justice.
Karena modalnya hanya kesaksian Nazaruddin dan pegawainya, jaksa penuntut umum (JPU)
melakukan ”pencucian keterangan”. Nazaruddin dimuliakan jadi justice collaborator,
sementara oleh hakim Nazaruddin digelari Pinokio. Adalah pemaksaan yang luar biasa
telanjang ketika seorang Pinokio ditinggikan derajatnya menjadi justice collaborator hanya
karena menjadi modal satu-satunya untuk memaksakan Anas bersalah. Anehnya juga, hakim
pun akhirnya menjadikan keterangan Pinokio sebagai dasar untuk menjatuhkan vonis berat
kepada Anas, vonis yang mengabaikan fakta persidangan.
Karena proses hukum yang demikian, lahirlah permintaan agar diadakan mubahalah, yang
kalau ditarik ke belakang mempunyai sambungan dengan ”Sumpah Monas” yang jauh hari
disampaikan Anas. Keduanya diikat oleh sebuah keyakinan tidak bersalah. Anas juga pernah
berkata ringan, ”Karma akan bekerja dan mencari alamatnya sendiri-sendiri”.
70
Sekarang muncul kasus Bambang Widjojanto dan Abraham. Muncul pula laporan untuk
Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain. Bambang sudah menjadi tersangka. Abraham kabarnya
juga segera menjadi tersangka. Dua pimpinan KPK yang lain sedang dalam proses
penyelidikan, tidak tahu apa yang akan terjadi.
Di dalam pleidoi Anas juga menyatakan bahwa esok hari adalah misteri. Karena itu, jangan
adigang, adigung, adiguna; jangan pula bersikap sopo siro sopo ingsun.
Apakah peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini ada keterkaitan dengan ajakan
mubahalah dan karma yang tengah bekerja lebih cepat? Wallahu alam. Itu bagian dari misteri
dan wilayah kekuasaan Tuhan. Yang kita perlu meyakini adalah setiap kezaliman akan diikuti
balasannya. Selain pasti di akhirat, boleh jadi mulai dicicil di dunia juga. Aturan main yang
demikian berlaku buat kita semua, apa pun tugas kita. Bisa jadi komisioner KPK, penyidik,
jaksa, hakim, wartawan, politisi, pengamat, atau apa saja.
Menurut penuturan Anas, setelah selesai persidangan terakhir, komandan JPU sempat
menyampaikan bisikan permintaan maaf dan bilang hanya melaksanakan perintah. Fakta ini
sengaja tidak disampaikan Anas saat vonis majelis hakim untuk menghindari adanya bias
penafsiran di mata publik.
Pengakuan komandan JPU yang menyebut dirinya hanya ”melaksanakan perintah” semakin
memperkuat dugaan bahwa kasus Anas memang bukan murni kasus hukum, tapi kasus
politik yang memanfaatkan rapuhnya institusi lembaga penegak hukum.
Kembali ke Khitah KPK
Bangsa ini masih sangat memerlukan KPK. Tentu saja KPK yang setia kepada khitah saat
KPK didirikan. KPK yang tidak diperkuda oleh kepentingan politik para pimpinannya dan
pihak-pihak lain yang bisa memesannya.
Kita semua layak mendukung KPK yang berjalan lurus di atas rel dalam tugas pemberantasan
korupsi yang profesional, mandiri, imparsial, dan bersinergi dengan lembaga-lembaga
penegak hukum lain.
KPK yang demikian itu adalah KPK kita. KPK yang diperalat oleh kepentingan politik adalah
KPK yang sudah saatnya dikoreksi dan dikembalikan ke jalan yang benar. Wallahu alam.
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Dosen Program Studi Ilmu Politik UMJ; Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP)
FISIP UMJ
71
Membaca Joko Widodo Koran SINDO 13 Februari 2015
Presiden Joko Widodo, yang populer dengan sebutan Jokowi, merupakan sosok fenomenal.
Dia datang dari kalangan rakyat bawah, tetapi berkat pendidikannya di UGM dan bisnisnya di
bidang mebel, dia lalu masuk jajaran kelas menengah.
Masyarakat luas mulai mengenal dia sebagai wali kota Solo yang berhasil. Jika diletakkan
dalam deretan bupati dan wali kota lain yang dianggap berhasil, sesungguhnya prestasi
Jokowi tak jauh berbeda dari Bu Risma, Wali Kota Surabaya; atau Abdullah Azwar Anas,
Bupati Banyuwangi. Yang membedakan adalah momentum, peran media massa, dan afiliasi
politik.
Di atas semua itu, dalam kosmologi Jawa, adalah nasib atau takdir Ilahi. Dalam keyakinan
Jawa, pangkat itu tak mungkin mendekat tanpa dijemput dengan tirakat, terutama oleh para
leluhurnya. Jadi, dalam kepercayaan Jawa, proses pemilihan umum itu diyakini sekadar
wasilah. Adapun garis tangan sudah ditetapkan dari langit.
Kalau dalam pandangan modern, posisi Jokowi sebagai presiden adalah berkat dukungan dan
jejaring politik, terutama PDIP yang menjagokannya. Dan kini ketika suasana gaduh, perlu
diurai kembali serta direkonstruksi ulang jejaring dukungan politik yang ada di sekitarnya
mengingat tidak jelas lagi sesungguhnya siapa teman dan siapa lawan riil saat ini.
Bagi Jokowi, sangat mungkin semua proses ini merupakan tahap metamorfosis untuk
pematangan diri mengingat perjalanan karier politiknya sangat cepat, menyalip dan
mengalahkan pendekar-pendekar politik lain yang sudah malang-melintang belasan dan
puluhan tahun baik dalam tubuh parpol maupun pemerintahan.
Bayangkan saja, dari sosok seorang wali kota Solo yang kemudian berhasil memenangi
Pilkada DKI Jakarta, itu saja sudah suatu loncatan kuantum (political quantum leap). Agenda
penertiban Pasar Tanah Abang dan Waduk Pluit yang dianggap berhasil, ditambah lagi
kesukaannya blusukan, dicitrakan dan dikapitalisasi oleh media massa pendukungnya sebagai
antitesis dari gaya kepemimpinan formal-elitis politisi pesaingnya.
Wacana demokrasi yang berlangsung pada virtual-cyber community tentu saja sangat
menguntungkan Jokowi. Oleh karenanya, belum selesai mengemban tugas sebagai gubernur,
sudah naik dan lebih berat lagi medan kompetisinya, yaitu memenangi pemilu presiden.
72
Kemenangan Jokowi, sebagaimana Gus Dur, telah merusak logika dan gramatika politik
konvensional. Gus Dur dikenal dengan ucapannya ”Gitu aja kok repot”, Jokowi dengan
ucapannya ”Ra popo”. Keduanya keluar dari sikap kejiwaan yang memandang jabatan bukan
sesuatu yang dipuja-puja dan diagungkan, melainkan dijalani saja sambil melakukan
improvisasi jika ada hambatan-hambatan yang menghadang.
Jika bacaan ini benar, Gus Dur dan Jokowi bersikap adem-adem saja ketika kanan-kiri heboh.
Mungkin sikap ini muncul karena keduanya tidak merasa mengeluarkan ongkos sosial-
material-politik yang amat besar untuk jadi presiden.
Kalaupun diperlukan biaya besar, tentu bukan dari kantong Jokowi, melainkan dari mereka
yang bersimpati dan memiliki harapan serta kepentingan dengan kemenangan Jokowi.
Apakah yang dimaksud kepentingan, tentu saja bermacam-macam dan tidak mesti
berkonotasi negatif. Memang selalu ada orang-orang yang ingin mengambil keuntungan
pribadi dengan cara membayar saham politik di depan.
Kita tidak cukup tahu dan mengenal siapa sesungguhnya Presiden Jokowi. Bahkan diri
Jokowi dan orang-orang terdekatnya pun tidak akan mengenalnya lebih dalam dan tuntas
karena setiap pribadi memiliki potensi dan misteri yang baru akan muncul ketika bertemu
dengan variabel pendukungnya. Ketika saat ini muncul gesekan lembaga Polri dan KPK yang
kemudian melibatkan parpol-parpol mengambil sikap, bahkan juga Wantimpres dan kalangan
LSM, semua ini pasti merupakan tantangan dan panggung baru bagi sosok Jokowi yang tak
terbayangkan sebelumnya. Jadi, kalau masyarakat menunggu-nunggu apa yang akan
dilakukan Presiden Jokowi, saya kira Jokowi sendiri juga masih membaca dan menduga-duga
apa yang terjadi dan akan terjadi dengan benturan yang melibatkan berbagai political
stakeholder ini.
Untuk menjadi kuat dan pintar, sosok pemimpin mesti melewati berbagai rintangan, ujian,
dan jebakan yang semua itu akan menjadi pembelajaran dan penguatan diri. Dulu Pak Harto
bermodalkan Supersemar untuk merintis kariernya sebagai presiden. Dia tampil dari kemelut
politik yang berdarah-darah dan kacau-balau. Dia belajar dan memiliki tekad untuk menang
mengatasi rintangan yang menghadang. Tentang ekonomi, dia belajar dari para pembantunya,
alumni Berkeley. Dia jeli memilih para teknokrat andal untuk duduk di jajaran kabinet.
Namun kendali politik tetap di tangannya.
Sekarang kita semua tengah melihat dan menunggu apa yang akan dilakukan Presiden Jokowi
yang bermodalkan hasil pemilu, bukan sekadar Supersemar seperti Pak Harto. Sebagai orang
Jawa, memang tidak mudah dibaca dan ditebak apa maunya di balik senyumnya dan sikap
tenangnya.
Jika pilkada dan pemilu telah melambungkan nama dan posisi Jokowi, akankah perseteruan
jajaran Polri dan KPK akan mampu mengangkat dan mematangkan sosok Jokowi sebagai
presiden lima tahun ke depan sebagai sosok yang mumpuni, tegas, dan tuntas di balik
ucapannya: ra popo?
73
Harapan dan kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi masih cukup tinggi
meskipun mulai menurun. Namun masa ujian dan penantian ini tidak boleh lama-lama. Dia
boleh saja yakin bahwa posisi presiden itu merupakan takdir dan penunjukan dari langit.
Namun masyarakat modern semakin berpikir rasional-empiris bahwa suara dan kehendak
Tuhan itu telah didelegasikan kepada manusia melalui proses politik. Vox populi vox dei.
Rakyat telah menunjukkan harapan, kepercayaan, dan partisipasinya dalam pemilu yang lalu
sehingga Jokowi jadi presiden. Jangan sampai pengorbanan dan kepercayaan itu
dikecewakan, baik oleh Presiden Jokowi maupun jajaran parpol yang waktu pemilu sikapnya
sangat peduli, manis, dan ramah terhadap rakyat dengan disertai janji-janji angin surga.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
74
Kenangan Sportivitas Polri Koran SINDO 14 Februari 2015
Ketika pada akhir 2009 terjadi kasus “cicak vs buaya I” dan Mahkamah Konstitusi (MK)
memutar rekaman pembicaraan rekayasa para penegak hukum atas dua komisioner KPK,
Bibit Samad dan Chandra Hamzah, sebagai ketua MK saat itu saya juga mengalami
perlakuan yang kurang menyenangkan dari pihak “oknum” Polri. Namun akhirnya MK dan
Polri dapat mengakhiri ketegangan itu dengan sama-sama bersikap sportif.
Seperti diberitakan secara meluas, pada saat itu Bibit Samad dan Chandra Hamzah
mengajukan pengujian atas UU KPK yang mengatur bahwa “komisioner KPK yang menjadi
terdakwa diberhentikan dari jabatannya”. Pada saat itu, tanpa bukti yang kuat dan terkesan
direkayasa kedua komisioner KPK itu dijadikan terdakwa, bahkan sudah dijebloskan ke
rumah tahanan, dengan dakwaan menerima suap. Kedua komisioner itu merasa diperlakukan
tidak adil, dijadikan terdakwa agar mereka diberhentikan sehingga KPK menjadi tidak
kuorum kolegialitasnya setelah sebelumnya Antasari Azhar dihukum. Kalau kedua
komisioner itu jadi terdakwa, komisioner KPK hanya akan tinggal dua orang sehingga, dalam
pandangan umum, menjadi tidak bisa melaksanakan tugasnya dan KPK jadi lumpuh.
Apa bukti bahwa penerdakwaan kedua komisioner itu rekayasa? Ternyata KPK memiliki
rekaman pembicaraan antara oknum-oknum polisi, pimpinan kejaksaan, pengacara dengan
Anggodo Widjojo yang sangat aktif mengarahkan agar kedua komisioner itu jadi terdakwa.
Untuk membuktikan rekayasa itu kedua komisioner meminta agar MK menyetel rekaman
yang disadap secara sah oleh KPK itu di persidangan. Terjadi kontroversi, apakah ada
relevansinya MK menyetel sebuah rekaman pembicaraan dalam perkara pengujian UU?
Masak menguji konsistensi isi UU terhadap UUD bisa dibuktikan dengan mendengar
rekaman pembicaraan telepon? Bahkan, Menkumham Patrialis Akbar saat itu juga mengecam
MK karena menyetel rekaman itu.
Tapi sembilan hakim MK sepakat bulat, rekaman itu harus disetel untuk mencari kebenaran
materiil, apakah benar penerdakwaan sebagaimana dimaksud oleh UU KPK itu bisa
direkayasa. Ketika rekaman itu disetel, Indonesia menjadi geger. Mafia hukum yang tadinya
dianggap tak pernah bisa dibuktikan ternyata bisa dibuktikan.
Puluhan ribu massa berhari-hari berdemo menuntut pembebasan Bibit dan Chandra. Tim
Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution datang ke rumah penahanan Bibit dan
Chandra untuk meminta pembebasan bagi mereka. Akhirnya Presiden turun tangan, meminta
Kejaksaan Agung mengeluarkan SKP-3 atas keduanya.
75
Saya sendiri tak luput dari dampak buruk dan teror atas peristiwa itu. Dua hari setelah
penyetelan kaset rekaman itu, di pagi buta, para ajudan, sopir-sopir pengawalan, dan penjaga
rumah dinas menyatakan mengundurkan diri. Menurut saya, pasti ada yang memerintahkan
pengunduran diri itu, sebab dalam peraturan disiplin Polri dan TNI, prajurit yang mundur dari
tugas pasti dianggap sebagai salah besar karena desersi. Saya pun grogi. Pengunduran diri
(yang saya artikan sebagai penarikan) itu menjadi berita besar.
Panglima GP Ansor NU Tatang Hidayat menawarkan pengamanan di MK siang dan malam.
Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafiiyah Situbondo KH Fawaid Asad datang ke MK
menawarkan santri-santrinya untuk mengawal. Situasinya sungguh keruh pada saat itu. Tapi
saya tidak menerima tawaran-tawaran swasta itu. Kalaupun terpaksa, sebagai mantan menteri
pertahanan, saya bisa mencari pengawal dari TNI. Namun sebelum itu saya melakukan
komunikasi dengan pimpinan Polri.
Begitu juga dengan Menko Polhukam Joko Suyanto agar Istana Kepresidenan turun tangan
untuk mencari penyelesaian yang baik. Sebab MK maupun Polri adalah penyangga tegaknya
hukum. Saya katakan, kami hakim-hakim MK tak punya niat atau agenda politik untuk
merusak Polri sebagai institusi. Rekaman yang disetel di MK itu adalah bukti tindakan
oknum, bukan kebijakan institusi Polri. MK hanya ingin menegakkan konstitusi dan hukum
demi kebaikan bangsa dan negara. Tak ada maksud menyerang Polri.
Selain dengan Istana Kepresidenan, pendekatan-pendekatan personal untuk meyakinkan
bahwa saya tak punya agenda politis-pribadi saya lakukan dengan orang-orang penting di
Polri. Saya menyelesaikannya tanpa menambah kegaduhan di pers. Akhirnya Polri menerima
penjelasan saya. Kapolda Metro Jaya Jenderal Wahyono, mewakili Polri, datang ke kantor
saya dan menyatakan bahwa keamanan MK dan pengawalan hakim-hakimnya menjadi
tanggung jawab Polri. “Polri menjamin, tak boleh ada sejengkal jarak atau sedetik waktu
Ketua MK merasa tidak aman. Polri bertanggung jawab atas keamanan Bapak,” kata
Wahyono. “Berapa pun jumlah pengaman yang diperlukan MK akan kami kirim hari ini.
Yang mengundurkan diri kemarin itu anak-anak nakal, nanti akan ditindak,” sambung
Wahyono.
Demikianlah, saat itu konflik MK dan Polri cepat teratasi. Hubungan MK dan Polri maupun
antarpejabat-pejabatnya menjadi sangat baik. Kalau ketemu saya, di mana pun, pejabat Polri
bersifat correct seperti halnya saya menghormati mereka tanpa peduli apa pun jabatannya.
Melihat kegaduhan antara KPK dan Polri yang berlangsung sangat gaduh saat ini, saya
terkenang pada pengalaman pribadi saat menjadi ketua MK. Saat itu MK bisa menunjukkan
kesungguhannya bahwa dirinya tidak berpolitik untuk memojokkan Polri. Polri pun percaya
dan kemudian bersikap sportif. Istana Kepresidenan pun menengahi konflik kami dengan
sangat baik. Tak bisakah cara itu sekarang diwujudkan lagi?
76
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
77
DPR (Bukan) Anutan Rakyat Koran SINDO 14 Februari 2015
DPR adalah lembaga negara yang terhormat, kumpulan orang yang terpilih dengan susah-
payah demi memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka niscaya cerdas, bijak, dan layak
dipercaya.
Namun mengapa sejak dulu hasil survei selalu menyimpulkan DPR merupakan lembaga
terkorup? Pakar politik Fachry Ali pada 31 Januari lalu menyebutkan, ”Sebanyak 39,7%
responden mengatakan DPR sebagai lembaga negara terkorup, disusul dengan institusi
Kepolisian RI sebesar 14,2%.” Survei yang dilakukan pada periode 16-22 Januari 2015 itu
juga menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sebagai
lembaga yang ”bersih”. Hanya 12,5% responden yang percaya pada partai politik. Selain itu,
survei menunjukkan hampir separuh responden (49%) kurang percaya dengan DPR dalam
menjalankan fungsi dan tugas pokoknya sebagai lembaga legislatif. Hanya sebanyak 23%
responden masih mempercayai DPR.
Pada akhir 2005, DPR memanggil Transparency International Indonesia (TII) untuk meminta
penjelasan atas hasil survei TII yang menempatkan parlemen sebagai lembaga terkorup
nomor dua setelah partai politik.
Tahun-tahun berikutnya, hingga 2009, tetap saja parlemen diposisikan sebagai lembaga
terkorup di negara ini. Tahun 2009, dari skor 1 (tidak korup) sampai 5 (sangat korup),
parlemen memperoleh skor 4,4 (naik 0,2 poin dari posisi pada 2008). Sungguh prihatin.
Padahal mereka adalah wakil rakyat yang tugas utamanya adalah bersuara (parle) untuk dan
atas nama rakyat.
Jika mereka adalah wakil rakyat yang sejati, tentulah nafsu besar menumpuk kekayaan bagi
diri sendiri tak ada di sanubari mereka. Tapi, apa lacur, alih-alih rajin bersuara lantang untuk
dan atas nama rakyat, mereka malah rajin bolos seperti anak sekolahan yang nakal. Itulah
sebabnya mereka kerap disoroti khalayak ramai. Selain gemar bolos, mereka juga suka ”tidur
bersama” di ruang sidang.
Perilaku buruk mereka yang lainnya masih ada, yakni bermain gadget, mulai dari SMS (short
messages service), foto-foto hingga online untuk sesuatu yang tentunya tak terkait dengan
kepentingan rakyat. Itulah cerminan wakil rakyat kita yang kian lama kian menyebalkan.
Sudah digaji besar, dapat fasilitas mewah dan tunjangan ini-itu, masih juga tega
mengecewakan rakyat.
Maka wajar saja jika banyak orang memberi penilaian negatif terhadap mereka. Sebab kinerja
78
politisi itu umumnya memang jauh dari memuaskan. Belum lagi mengamati hobi sebagian
dari mereka yang suka jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding, padahal hasilnya
nyaris tak ada dan tak pula pernah diumumkan kepada publik.
Belum lagi kalau para wakil rakyat yang studi banding ke luar negeri itu pakai bawa-bawa
orang lain (entah keluarganya, asistennya, dan entah siapa lagi). Tidakkah mereka pernah
berpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu sebenarnya sudah menghabiskan uang negara
secara tidak produktif?
Kalau dulu ada label sindiran ”4D” (datang, diam, duduk, duit) bagi para wakil rakyat itu,
khusus untuk mereka yang gemar bolos mungkin labelnya sekarang cukup ”1D” saja, yakni
duit. Sebab, kalau datang saja jarang, lantas bagaimana bisa ”duduk” dan ”diam” di rumah
rakyat itu? Itulah gambaran wakil rakyat minus keterpanggilan.
Tak aneh kalau pada 2013 pimpinan DPR pernah mengungkapkan keprihatinannya atas
kecenderungan menurunnya tingkat kedisiplinan para wakil rakyat itu. ”Itu akan menjadi
perhatian bagi kita semua, utamanya Badan Kehormatan DPR,” kata Ketua Badan
Kehormatan Muhammad Prakosa (26/2/2013). ”Dalam peraturan DPR RI Pasal 243 ayat 2
disebutkan bahwa kehadiran anggota DPR diwajibkan secara fisik,” imbuhnya.
Namanya ‘kewajiban’, mestinya diikuti sanksi jika dilanggar. Namun, adakah kita pernah
mendengar tentang anggota DPR yang diberi sanksi karena rajin membolos? Tidak. Itulah
sebabnya sebagian besar dari mereka dengan entengnya mencalonkan diri lagi untuk periode
2014-2019 dan kebanyakan dari mereka lolos alias dapat kursi lagi di parlemen, bahkan ada
yang kemudian jadi menteri di kabinet Presiden Jokowi.
Sekarang, alih-alih wakil rakyat itu makin rajin datang, mereka malah tidak mau
menggunakan sistem elektronik melalui cap jempol (finger print) untuk daftar hadir. Mereka
lebih menyukai sistem daftar hadir manual dengan tanda tangan di atas kertas. Menurut Ketua
Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Roem Kono, bila memakai finger print, seakan-
akan hal itu sama dengan praktik absensi pegawai swasta di dunia perbankan. ”Kami bukan
pegawai bank. Kita bukan pegawai seperti lembaga lain. Ini lembaga politik, lembaga
pengambil kebijakan. Yang penting adalah kuorum,” kata Roem Kono, 20 Januari lalu.
Padahal, pengadaan alat finger print itu memakan dana besar hingga miliaran rupiah di DPR
periode sebelumnya. Kendati demikian, Roem mencoba meyakinkan bahwa peralatan itu
tetap akan dipakai pada waktunya. Menurut dia, peralatan finger print memang belum
diaktifkan karena alasan teknis. ”Belum diaktifkan. Itu persoalan kecil dan masalah teknis,”
kata Roem Kono.
Arogan betul dia. Apa maksudnya membandingkan diri dengan pegawai bank? Jangankan
pegawai bank, sejak beberapa tahun terakhir ini bahkan guru, dosen, dan jenis-jenis profesi
lain juga sudah banyak yang menerapkan sistem kehadiran secara elektronik. Tujuannya,
tentu saja, demi kedisiplinan dan ketertiban sehingga masuk dan pulang dari kantor bisa
79
diketahui sesuai dengan ketentuan atau tidak. Sebab kalau masuk dan pulang seenak sendiri,
lalu bagaimana bisa menjadi anutan bagi orang-orang lain?
Sejujurnya kita kecewa, bahkan muak, melihat para wakil rakyat yang mestinya dapat
menjadi anutan bagi rakyat itu. Kita patut curiga, jangan-jangan mereka menganggap masuk
ke DPR itu sebagai sumber mata pencarian sekaligus tahapan antara untuk menggapai ambisi
berikutnya semisal menjadi kepala daerah, anggota kabinet, dan sebagainya. Maka, layaklah
jika dikatakan mereka bukan anutan rakyat.
Tak pelak, sejumlah kritik patut disampaikan buat mereka. Pertama, menjadi wakil rakyat
yang terhormat itu sulit karena diperlukan intelektualitas yang cukup dan wawasan yang
dalam. Sebab sebagian pekerjaan rutin wakil rakyat itu adalah bersidang dan beradu argumen.
Untuk itu setiap wakil rakyat harus berani bersuara dan mampu berpikir kritis-rasional.
Kalau kedua syarat itu tidak dipenuhi, yang terjadi mungkin tiga hal ini: (1) bicara lantang
tapi ngawur, (2) mengerti apa yang dibahas dalam sidang tapi diam saja, (3) tidak mengerti
apa pun yang dibahas dalam sidang dan karena itu selalu diam. Jika ketiga hal itu yang
terjadi, alih-alih menjadi penyuara aspirasi rakyat, keberadaan mereka di parlemen nyaris sia-
sia karena memboroskan anggaran negara. Seandainya kursi-kursi politik yang mereka
duduki itu ditempati orang-orang lain yang memang berkompeten, tidakkah rakyat senang
dan negara pun produktif dalam mengelola anggarannya?
Kedua, menjadi wakil rakyat itu seharusnya dianggap sebagai beruf (calling, panggilan yang
bersifat Ilahi). Konsekuensinya, setiap wakil rakyat harus bekerja benar, tulus, serius, tekun,
dan disertai tanggung jawab yang besar.
Ketiga, karena ini amanah rakyat, rajinlah bertanya kepada rakyat apa kemauan mereka.
Utamakanlah rakyat alih-alih mengutamakan partai.
VICTOR SILAEN
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
80
Perindo: Menggagas Politik Kesejahteraan Koran SINDO 14 Februari 2015
Diskursus partai politik dan masa depan demokrasi Indonesia selalu menghadirkan
kehangatan tersendiri terlebih akhir-akhir ini di tengah ironi perpecahan partai politik besar
Tanah Air, seperti Partai Golkar dan PPP. Suguhan drama politik konflik elite bagi perjalanan
demokrasi kita sangatlah tidak sehat, karena partai politik adalah cerminan demokrasi yang
utama sehingga partai yang ”satu” (baca: tidak pecah) menjadi harapan sebagian besar rakyat.
Dalam riuh rendah politik dan dinamika berpartai, rupanya tidak menghalangi satu kekuatan
baru lahir sebagai poros alternatif rakyat menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai baru
besutan Hary Tanoesoedibjo, yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Kelahiran Partai Perindo merupakan metamorfosa sekaligus transformasi dari Ormas Perindo
sebelumnya yang mengusung tema besar mewujudkan Indonesia yang berkemajuan, bersatu,
adil, makmur, sejahtera, berdaulat, bermartabat, dan berbudaya. Partai Perindo dengan jargon
”bersatu memimpin bangsa” setidaknya harus mampu memberikan jawaban atas kegundahan
publik selama ini, utamanya apatisme rakyat akan keberadaan partai politik.
Apakah Partai Perindo (1) murni lahir ”dari” dan ”oleh” napas rakyat serta nantinya tumbuh
bersama aspirasi rakyat yang menghendaki kesejahteraan Indonesia lebih baik; dan (2)
mampu benar-benar menjalankan fungsi partai politik sejatinya bukan justru menambah
kekisruhan, keruwetan, dan kebingungan masyarakat karena semakin banyaknya jumlah
pilihan partai politik di samping yang sudah ada saat ini?
Dan sejak 7 Februari melalui deklarasi Partai Perindo, sejarah baru kehidupan partai politik
mulai ditorehkan seraya menegaskan ijtihad politik kesejahteraan yang menjadi pilihan
perjuangan partai Perindo sebagai ”part of solution” bukan ”part of problem”.
Kualitas Partai
Mendirikan partai baru bukanlah satu pekerjaan yang mudah meski alam demokrasi sekarang
memberikan jalan dan ruang lebih terbuka. Partai baru bukan sekadar ”baru” dalam arti
menambah jumlah akan tetapi bermakna baru dari segi kualitas.
Partai Perindo menjadi partai baru tidak an sich dalam wajah saja, melainkan baru juga dalam
memberikan warna, platform perjuangan, misi dan program-program yang berkualitas untuk
Indonesia masa depan. Pendirian partai politik yang berkualitas setidaknya mensyaratkan
perencanaan menyeluruh disertai muatan sumber daya manusia yang menggerakkan organ
partai itu sendiri, yang kita kenal dengan sebutan ‘kader’.
81
Pada bagian inilah kerap sejumlah partai politik di Indonesia kurang memberikan perhatian
serius, di mana kader sesungguhnya menjadi kunci penting dalam melahirkan partai yang
berkualitas. Partai Perindo dituntut jelas dan tegas menerjemahkan pengertian kader secara
utuh: ”sekelompok orang yang terorganisir secara terus-menerus dan akan menjadi tulang
punggung bagi kelompok yang lebih besar”, di mana dalam diri seorang kader melekat
integral kualitas individu dan juga organisasi yang akan membentuk kualitas partai secara
keseluruhan.
Kader partai Perindo adalah pelopor, inspirator, motivator, dan mediator bagi individu,
lingkungan, dan masyarakat bangsanya sehingga kaderisasi menjadi ujung tombak partai
yang harus diprioritaskan dengan bertumpu pada tiga hal: pengetahuan dasar yang dimiliki,
mampu memberikan solusi konstruktif atas berbagai permasalahan, dan tentunya berkiprah
menghasilkan karya yang bermanfaat.
Kualitas berikutnya, yang berkaitan dengan proses rekrutmen anggota dan pengurus partai
secara terbuka. Salah satu perbedaan Partai Perindo yang harus ditampilkan adalah
kemampuannya membangkitkan kesadaran politik warga negara (khususnya anak-anak
muda) serta ikut ambil bagian dalam aktivitas kepartaian. Hak politik warga—politik
kesejahteraan— yang belum sepenuhnya diakui maupun diakomodasi oleh partai politik
selama ini ibarat pekerjaan rumah yang belum tuntas diselesaikan untuk bisa diwadahi dalam
Partai Perindo.
Bangsa yang besar ini telah sejak lama kokoh kuat di atas keberagaman dengan nilai-nilai
budaya luhur dan sangat menghormati perbedaan. Oleh karenanya, dengan pijakan ragam
latar belakang serta suku, agama, ras yang berbeda-beda tanpa memilah dan memilih status
ekonomi/sosial, Partai Perindo harus menjamin sepenuhnya perlakuan dan kesempatan yang
sama bagi seluruh warga negara untuk bergabung. Keluarga besar Partai Perindo tidak
membedakan antara orang-orang yang berlatar belakang korporasi (dalam hal ini MNC
Group) dengan orang-orang yang berlatar belakang ormas/aktivis/LSM/akademisi. Kedua
unsur tersebut adalah kekuatan besar yang sangat bisa bersinergi saling menguatkan bila
dikelola oleh sistem rekrutmen dan manajemen partai yang cerdas sehingga wajah Partai
Perindo tampil utuh sebagai partai politik representasi denyut nadi rakyat.
Bagian selanjutnya, yaitu terbangun inklusivitas partai dalam kehidupan masyarakat dengan
pengertian partai politik memiliki platform pergerakan yang dekat dan menyatu dengan
rakyat (existing) bukan dalam posisi ”mulai” bahkan ”akan” mendekatkan diri kepada rakyat
bila ada kepentingan/tujuan yang ingin dicapai. Kesan umum publik terhadap partai politik
yang hanya dimiliki oleh sekelompok elite/petinggi partai, merangkul dan mengakomodir
kepentingan tertentu saja bahkan cenderung pragmatis hendaknya bisa ditepis sejak dini dan
terbantahkan oleh sistem rekrutmen partai Perindo yang terbuka.
Anggota dan pengurus adalah kader partai yang tidak boleh berjarak dengan masyarakat.
Mereka harus mampu menampung keluh kesah, merespons aspirasi rakyat yang memerlukan
solusi cepat sehingga tidak ada kesan Partai Perindo ”jauh” dari rakyat.
82
Ujian Eksistensi
Membuat terbilang lebih mudah ketimbang mempertahankan. Demikian halnya Partai
Perindo sebagai pendatang baru di antara para senior partai politik lainnya, berhadapan
dengan tantangan besar dunia perpolitikan Indonesia yang sangat ”unpredictable”.
Mesin Partai Perindo dalam hal ini manajemen organisasi dan kepemimpinan menjadi kunci
utama dalam menghadapi tantangan, ujian, dan eksistensi partai di tengah masyarakat.
Kualitas partai yang tadi sudah terbangun akan mencerminkan kader yang memiliki integritas
dan kompetensi. Kader-kader partai inilah yang nantinya akan terus berada di garda terdepan
merespons permasalahan bangsa dan hadir ”hidup” bersama rakyat.
Tantangan berikutnya adalah konsistensi dan fokus perjuangan Partai Perindo pada politik
kesejahteraan, yang sama artinya dengan konsisten dan fokus berjuang melalui daerah-
daerah. Dewan pimpinan daerah (DPD) yang tersebar di seluruh Indonesia sudah barang
tentu menjadi tumpuan partai dalam menyosialisasikan dan menjalankan program kerja partai
sekaligus menggerakkan masyarakat agar menjadi lebih sejahtera.
DPD-DPD melalui koordinasi dengan DPW dan DPP akan menjadi medan pertama
implementasi kebijakan dan program Partai Perindo yang pro terhadap kesejahteraan rakyat
di daerah. Berhasil atau tidaknya DPD-DPD memberikan hasil nyata yang bisa dirasakan
rakyat serta-merta, akan menjadi parameter keberhasilan partai secara keseluruhan. Hasil
kerja nyata itulah yang menjadi jawaban untuk eksistensi partai.
Selain tantangan di atas, Partai Perindo juga dituntut mampu menerjemahkan fungsi partai
politik sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi politik. Pilihan Partai Perindo mengusung
politik kesejahteraan tentunya berkorelasi dengan sejauh mana kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Namun, Partai Perindo tidak harus masuk
dalam ranah dukung-mendukung, setuju atau tidak setuju dengan kebijakan pemerintah
tersebut melainkan berfungsi sebagai pemberi solusi alternatif kebijakan.
Partai ini dibentuk salah satunya melihat potret kemiskinan yang terus bertambah dan
kesejahteraan yang belum juga dinikmati oleh rakyat sehingga kehadirannya harus dipastikan
sebagai solusi dengan tawaran alternatif kebijakan yang lebih tepat bagi pemerintah. Partai
Perindo bersatu bersama rakyat membangun Indonesia sejahtera.
MARDIANSYAH SP
Pengurus DPP Partai Perindo; Ketua Umum Dewan Dakwah Muslimin Indonesia (DDMI)
DKI Jakarta
83
Penguatan KPK Kita Koran SINDO 17 Februari 2015
Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pilihan sejarah yang tepat. Pada
saat kinerja lembaga-lembaga penegak hukum kepolisian dan kejaksaan belum berprestasi
tinggi dan bahkan menjadi sasaran kritik, lahirnya KPK adalah terobosan yang membawa
angin segar.
Dalam waktu singkat, KPK menjadi lembaga yang dipercaya dan mendapatkan banyak
pujian. Dengan keistimewaan yang dijamin undang-undang, KPK dinilai berprestasi bagus
dalam tugas berat pemberantasan korupsi. Lalu, harapan yang disandang KPK pun makin
besar. Masa depan Indonesia seolah-olah diletakkan di pundak KPK.
Prestasi tinggi dan limpahan puji-pujian lantas melahirkan persepsi yang mulai kurang sehat.
Dengan segera KPK dianggap sebagai lembaga suci, serbabenar, dan mustahil bertindak
khilaf. Malah, pelan-pelan terbangun mitos bahwa KPK adalah kebenaran itu sendiri dan
tidak ada kebenaran di luar KPK. Hasilnya, bangunan tembok tebal yang melindungi KPK
dari kritik dan koreksi. Terpahatlah di tembok itu dua pasal peraturan. Pasal 1: KPK tidak
pernah salah. Pasal 2: Jika KPK salah, kembali ke pasal 1. Terjadilah transformasi dari
mitologi institusi menjadi mitos personal-individual. ”Pengurus” KPK, baik pimpinan dan
aparatnya, dianggap ”malaikat” dan ”dewa-dewa” yang terjamin bebas dari salah, khilaf dan
keliru. Bahkan terbebas dari nafsu dan kepentingan.
Dengan bangunan mitologi itu, setiap kritik dan koreksi dianggap sebagai pelemahan, tidak
pro terhadap pemberantasan korupsi, bahkan dinilai sebagai serangan balik para koruptor.
Karena terbiasa mendapatkan deretan puja-puji dan parade tepuk tangan, kritik dan koreksi
dianggap musuh yang harus ditampik dan ditindas sehebat-hebatnya.
Ringkas cerita lalu muncullah peristiwa-peristiwa yang tidak sedap. Ada kejadian protes
internal dan sebagian penyidik mengundurkan diri karena ada pimpinan yang melanggar
standard operating procedure (SOP). Diberitakan ada penetapan tersangka tanpa bukti yang
memadai. Ada juga pengumuman tersangka yang belum terbit surat perintah penyidikan
(sprindik)-nya. Publik tidak akan lupa dengan skandal hukum pembocoran draf sprindik yang
sulit dipisahkan dengan pernyataan menekan dari seorang presiden dari luar negeri.
Malah, ada pernyataan dari individu pimpinan KPK yang mirip lawyer orang tertentu. Tentu
saja terkait dengan kekuasaan yang besar. Yang mutakhir adalah penetapan tersangka kepada
calon kapolri hanya beberapa hari setelah surat usulan presiden ke DPR bocor ke media.
Yang tidak kalah menarik adalah informasi pertemuan-pertemuan politik individu pimpinan
84
dan beredarnya foto yang bersifat pribadi. Ada pula yang ditetapkan sebagai tersangka oleh
Bareskrim Polri, sementara beberapa yang lain juga sedang diselidiki atas laporan
masyarakat. Artinya, ada permasalahan etik dan hukum.
Individu, Bukan Institusi
Jika kita menggunakan analogi salat berjamaah, ada mekanisme untuk menyelesaikan
masalah apabila ada imam yang (maaf) buang angin. Ini penting karena secara etik imam
yang sudah batal wudu kehilangan otoritas untuk melanjutkan tugasnya.
Pada konteks kelembagaan, imam yang buang angin, baik secara etik maupun hukum,
tidaklah sama dengan kiamat. Sebagai manusia, imam bisa saja sakit perut. Ketika imam
batal, jamaah tidak perlu bubar. Imam yang batal hanya perlu diganti orang lain yang masih
”punya wudu” lewat mekanisme yang sudah tersedia. Justru yang menjadi masalah adalah
jika imam yang batal memaksakan diri tetap melanjutkan tugasnya. Dalam konteks salat,
jelas jadi batal. Dalam pengertian lembaga, terang imam yang batal malah menjadi beban
kelembagaan.
Nah, perhatian utama kita adalah bagaimana lembaga KPK tetap terjaga eksistensinya dan
terus menunaikan tugas sejarahnya. Wajib dan mutlak bagi kita mempertahankan dan
menyelamatkan KPK. Sama tepatnya ketika kita membela institusi Polri.
Yang perlu ditimbang ulang dengan jernih adalah pembelaan membabi buta kepada individu
”pengurus” KPK yang sedang dipersoalkan telah melakukan pelanggaran etik dan
hukum. Ada kesan dan dibangun kesan seolah-olah menyelamatkan KPK identik dengan
menyelamatkan pengurusnya. Pembelaan individu ”pengurus” KPK secara membabi buta
adalah tindakan yang justru menjustifikasi terjadinya personalisasi dan mempertebal tembok
mitos.
Membela KPK justru harus dilakukan bersamaan dengan kesadaran untuk melakukan
demitologisasi. Pembelaan yang serius dan demitologisasi akan menyumbang besar bagi
penguatan kelembagaan KPK yang historis dan mendorong bekerjanya seluruh organ KPK
sesuai dengan pembagian tugasnya, secara lurus dan kebal terhadap resapan kepentingan
yang tidak semestinya.
Penguatan Kelembagaan
Lalu, bagaimana agenda penguatan kelembagaan KPK ke depan? Pertama, bagi pengurus
KPK yang sedang disangka ”buang angin”, baik secara etik maupun hukum, perlu didorong
untuk bersedia berlaku ksatria. Bersedia menjalani proses hukum dan etik adalah sebagian
tanda kecintaan kepada lembaga KPK. Apabila kelak dinyatakan bersalah atau tidak bersalah,
itu adalah bagian dari proses seleksi alam yang akan membuat KPK makin kuat dan terjaga
marwahnya.
85
Kedua, ke depan proses seleksi pimpinan KPK sebaiknya makin ketat, baik dalam
persyaratan maupun prosesnya di pemerintah dan DPR. Sudah ada contoh yang bisa
dibandingkan dari hasil seleksi pimpinan KPK jilid I, II, dan III. Sudah banyak pula wacana
dan debat publik tentang bagaimana pimpinan KPK yang cakap, kuat, dan kredibel.
Seleksi pimpinan KPK bukan dimaksudkan untuk menemukan malaikat dan dewa. Cukuplah
pimpinan yang sanggup setia terhadap khitah KPK dan tidak tergoda untuk menyimpangkan
mandat, baik bagi dirinya ataupun pihak lain.
Ketiga, perlu dihajatkan mekanisme pengawasan kelembagaan yang efektif. Sebagai lembaga
yang diberi otoritas istimewa, meniadakan pengawasan adalah sesat pikir yang menyimpan
bencana. Justru karena otoritasnya yang istimewa itulah KPK harus disandingi pengawasan
yang nyata. Tanpa pengawasan, otoritas yang istimewa bisa menjadi otoritas yang absolut.
Sementara absolutisme selalu mengandung hukum besi: ”power tends to corrupt, absolute
power corrupts absolutely”. Kekuatan kontrol adalah daya awas terhadap hukum besi
absolutisme itu.
Di atas segalanya, KPK yang kuat dan berhasil dalam menunaikan amanah adalah KPK yang
”sadar lingkungan”. Karena itu, KPK harus bersedia membangun sinergi dan kerja sama
dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. Bahkan bisa saling memperkuat. KPK
juga harus makin sadar hidup dalam tatanan kebangsaan dan kenegaraan. Bukan KPK yang
merasa dapat hidup sendiri dan bahkan mengatasi semua lembaga lain. Indonesia akan selalu
membutuhkan KPK yang setia dan lurus kepada panggilan sejarahnya.
ANAS URBANINGRUM
Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia
86
Implikasi Hukum dan Politik jika BG Dilantik
Koran SINDO 18 Februari 2015
Setelah sidang praperadilan pada Senin (16/2) mengabulkan gugatan Komjen Pol Budi
Gunawan (BG), opsi paling kuat bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya melantik
perwira tinggi polisi itu sebagai kepala Polri. Kemarin, Selasa (17/2), Wakil Presiden Jusuf
Kalla juga sudah mengatakan, dia akan melantik BG sebagai kepala Polri, ”Kalau saya
presiden!”
Menurut pemikiran linear dan logis, memang tidak ada alasan bagi Presiden untuk tidak
melantik BG. Bukankah hakim tunggal, Sarpin Rizaldi, dengan tegas memutus bahwa
penetapan BG sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah dan
oleh sebab itu hakim mengabulkan gugatan BG? Konkretnya, masih menurut pemikiran
linear dan logis, BG sejak 16 Februari 2015 bukan seorang tersangka.
Lalu, apa lagi yang ditunggu Presiden? Bukankah sampai Minggu (15/2) malam di Istana
Bogor, Presiden masih mengatakan kepada para awak pers bahwa dia harus menunggu
putusan sidang praperadilan? Ketika Surya Paloh, ketua umum Partai NasDem, kemarin sore
sekitar pukul 16.00 menghadap Presiden di Istana Negara, sinyal pelantikan BG semakin
terang. Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh adalah dua politisi KIH yang sejak awal
mendesak Presiden tidak ragu-ragu melantik BG sebagai kepala Polri.
Saya berpikir Presiden akan melantik BG kemarin. Tapi, rupanya Presiden masih harus
berpikir-pikir, juga dengan alasan ada masalah penting lain yang mendesak yaitu persiapan
peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada April mendatang.
Saya yakin alasan ini hanya dibuat-buat. Jelas dong, putusan tentang BG jauh lebih penting
dan lebih mendesak ketimbang persiapan peringatan KAA! Maka itu, hampir dipastikan
bahwa Presiden masih membutuhkan renungan dan timbang-timbang lagi sebelum
mengeluarkan keputusan final: melantik BG atau melantik perwira bintang tiga lain sebagai
kepala Polri.
Kenapa Presiden Masih Saja Ragu?
Menurut saya, pernyataan Wakil Ketua Tim 9 Prof Jimly Asshiddiqie merupakan jawaban
yang jitu. Di mata Prof Jimly, Presiden mendapatkan dua tekanan yang sama-sama kuat dan
harus dipertimbangkan masak-masak. Pertama, dari para politisi partai-partai pendukungnya
maupun dari Koalisi Merah Putih. Kedua, dari rakyat.
87
Tekanan dari rakyat, kalau diabaikan, bisa menimbulkan risiko anjloknya integritas dan
popularitas Presiden. Lima tahun ke depan dia akan ditinggalkan para pendukungnya.
Sebaliknya, tekanan dari kalangan politisi ”berumur sehari-hari”. Dia akan digempur terus
oleh politisi kalau Presiden tidak segera melantik BG sebagai kepala Polri.
Lalu, mana yang akan dipilih Presiden, risiko ditinggal rakyat banyak pendukungnya pada
2019 atau risiko berhadapan dengan DPR sehari-hari? Keduanya memang sama-sama tidak
enak. Tapi, Presiden harus segera ambil keputusan! Seorang pemimpin, apalagi pemimpin
negara dan bangsa, harus memiliki ketegasan dan keberanian mengambil keputusan
secepatnya, sekaligus siap menanggung risiko apa pun yang timbul akibat keputusan yang
diambilnya itu! Pemimpin yang tidak berani ambil risiko dan selalu merasa ketakutan ya dia
tidak pantas memimpin negara. Sekali lagi, kalau kita bertanya, kenapa Presiden
membutuhkan satu bulan lebih untuk memutuskan masalah BG?
Saya yakin seyakin-yakinnya, dalam hati sanubari yang paling dalam, Pak Presiden
sesungguhnya tidak mau melantik BG. Kenapa? Pertama, dia percaya penuh pada masukan
”9 Pendekar” yang tergabung dalam Tim 9 bentukan Presiden sendiri. Sembilan orang,
semua, terdiri atas putera-putera Indonesia yang sangat bagus integritasnya, apalagi ada figur-
figur seperti Buya Syafii Maarif, Prof Jimly Asshiddiqie, dan Prof Hikmahanto Juwana.
Orang-orang ini juga yang berjuang mati-matian menopang Presiden ke kursi RI-
1. ”Sialnya”, Tim 9 sejak awal sudah membisiki Presiden untuk membuang nama Budi
Gunawan.
Kedua, Presiden rasanya tidak pernah lupa peristiwa 16 Januari 2015. Hari itu massa besar
relawan Presiden turun ke jalan, termasuk di depan Istana, mendesak supaya Presiden tidak
melantik. Ketika itu mereka sudah bersiap-siap balik badan, menarik dukungannya kepada
Presiden. Presiden sedikit panik dan lewat ajudan mengundang Fajroel Rahman, ketua
Gerakan Salam Dua Jari, ke Istana. Tapi, bukankah pengadilan sudah menyatakan penetapan
tersangka BG tidak sah? Jawaban atas pertanyaan ini, saya persilakan Anda buka media
sosial dua pekan terakhir ini.
Ketiga, Presiden bukan tidak membaca dan tidak memperhatikan komentar-komentar para
pakar hukum terkait putusan sidang praperadilan Senin lalu. Banyak sekali yang mengecam
putusan yang dijatuhkan hakim Sarpin Rizaldi. Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko
misalnya mengecam putusan Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka Komjen
Budi Gunawan. ”Hakimnya tersesat! Ngawur..... Hakim terbawa arus!” Maka itu, Djoko
Sarwono menyarankan KPK tidak usah indahkan putusan yang melanggar KUHAP itu.
Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa berpendapat yang sama.
”Memperluas kewenangan praperadilan dengan alasan tidak diatur itu kan
ngaco. Praperadilan sudah diatur dengan jelas kewenangannya.” Menurut Jimly Asshiddiqie,
mantan ketua Mahkamah Konstitusi, suatu saat KPK bisa memperbaiki proses penetapan
tersangka. ”Bisa saja minggu depan, satu bulan depan, dua bulan lagi, Budi Gunawan
dijadikan tersangka lagi. Bisa saja itu terjadi!” Sebab itu, Jimly ”membisiki” Budi Gunawan
88
untuk tidak cepat-cepat merasa di atas angin.
Maka itu, hampir dipastikan KPK akan mengajukan PK terhadap putusan praperadilan yang
memenangkan BG. Putusan praperadilan itu memang aneh bin ajaib. Pertama, putusan itu
menjungkirbalikkan isi Pasal 77 KUHAP. Kedua, jika putusan tersebut memiliki kekuatan
hukum tetap, siapa pun yang jadi tersangka dapat menggugat ke sidang praperadilan dan
pengadilan tidak dapat menolak karena sudah ada yurisprudensinya yaitu putusan
praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Februari lalu. Ketiga , segera
bakal banyak tersangka yang ”antre” menggugat ketetapan hukum atas diri mereka yang
dinilai ”sewenang-wenang” seperti yang dikatakan hakim Sarpin Rizaldi.
Jangan lupa, MA pernah menguji putusan praperadilan kasus PT Chevron. Saat itu, 27
September 2012, hakim tunggal di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Suko Harsono,
memutus bahwa penetapan tersangka korupsi Bachtiar Abdul Fatah tidak sah. Tapi, dalam
putusan kasasinya, Mahkamah Agung menyatakan hakim Suko telah melampaui
kewenangannya. Kewenangan memutus legalitas penetapan tersangka tak termaktub dalam
Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Itulah sebabnya, Presiden atas masukan para penasihat hukumnya juga bimbang. Kalau BG
dilantik dan putusan praperadilan 16 Februari 2015 kemudian dibatalkan oleh kasasi
Mahkamah Agung, berarti BG tetap tersangka dan pasti akan secepatnya diproses oleh KPK
untuk diajukan ke Pengadilan Tipikor. Lalu, seorang pakar hukum di Surabaya mengatakan
Presiden bisa dimakzulkan bila dia tetap melantik BG sebagai kepala Polri!
Maka itu, pendapat yang mendesak Presiden segera melantik BG dengan alasan the case is
closed setelah praperadilan memutus gugatan BG, menurut saya, hanyalah pendapat linear
dan logis, tidak memperhatikan implikasi hukum dan politik yang lebih jauh. Atau pendapat
yang terlalu simplistis. Faktanya, masalah tidak begitu mudah. Masalahnya, putusan hakim
Sarpin Rizaldi bakal dikasasi ke Mahkamah Agung. Dua mantan ketua Mahkamah Agung
yang amat terhormat serta seorang mantan Hakim Agung yang terhormat sudah
mengeluarkan ”legal opinion” yang sama bahwa putusan Sarpin Rizaldi ngawur dan ngaco.
Presiden kini dalam posisi terjepit. Marilah kita sama-sama berdoa agar Pak Presiden pada
akhirnya mengambil keputusan berdasarkan hati nuraninya yang paling dalam dan petunjuk
Allah Yang Maha Penyayang lagi Pengasih.. Amin.
PROF DR TJIPTA LESMANA
Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR
89
KPK vs Polri Pascavonis Praperadilan Koran SINDO 18 Februari 2015
Hiruk-pikuk polemik KPK vs Polri yang dalam beberapa waktu belakangan ini menjadi
“tren” dan topik hangat di semua kalangan telah menemui babak akhir ketika gugatan
praperadilan yang diajukan oleh kandidat “terkuat” kepala Polri, Komjen Pol Budi Gunawan
(BG), dikabulkan oleh hakim Sarpin Rizaldi di PN Jakarta Selatan.
Secara tidak langsung vonis atas gugatan praperadilan tersebut telah menganulir penetapan
status tersangka kepada BG yang dilakukan oleh KPK atas indikasi dugaan korupsi “rekening
gendut” yang dimiliki oleh BG ketika menjabat sebagai Karobinkar Mabes Polri pada periode
2003-2006.
Beragam argumen, pendapat muncul menyikapi vonis praperadilan tersebut, banyak pro dan
kontra yang merespons vonis tersebut–sambutan dari masyarakat luas pun cukup beragam
melihat realitas yang muncul atas vonis gugatan praperadilan itu.
Salah satu isu yang cukup krusial dan esensial pascavonis praperadilan tersebut ialah adanya
dorongan dan desakan yang ditujukan kepada pemerintah untuk segera menetapkan dan
melantik BG secara definitif sebagai kepala Polri.
Vonis atas gugatan praperadilan penetapan status tersangka yang dilakukan oleh pihak BG,
terlepas dari pro dan kontra yang ada, tetaplah harus dilihat dalam kerangka pemikiran yang
rasional dan objektif. Penulis juga memiliki catatan tersendiri terkait materi atau substansi
dari vonis praperadilan ini.
Secara singkat dapat diuraikan bahwa terlepas dari pro dan kontra terkait objek praperadilan
sebagaimana diatur di dalam Pasal 77 KUHAP, memang pada hakikatnya materi penetapan
status tersangka di dalam hukum acara pidana tidaklah menjadi bagian objek dari
praperadilan.
Menurut penulis, penetapan status tersangka merupakan hal ihwal pokok di dalam hukum
acara pidana; dalam arti bahwa objek praperadilan, yakni penangkapan, penahanan, serta
penghentian penuntutan atau penyidikan hanyalah merupakan akibat yang ditimbulkan dari
hal ihwal pokok tersebut. Hal itu juga hanya dapat dimaknai sebagai arus hilir dari proses
hukum acara pidana, sedangkan penetapan status tersangka merupakan arus hulu dari
rangkaian proses di dalam hukum acara pidana tersebut.
Kerangka pemikiran dengan rasionalitas berpikir seperti ini juga bersesuaian dengan ide
pembaruan dan pembahasan RUU KUHAP di DPR periode lalu. Pada saat pembahasan
90
memang telah diinisiasi untuk memperluas objek praperadilan, yang memang di dalam RUU
KUHAP mekanisme yang ada ditempuh melalui jalur hakim komisaris. Inisiasi untuk
memperluas objek praperadilan sebagaimana dimaksud memang datang dari ide untuk lebih
menjamin pemenuhan serta perlindungan HAM bagi para tersangka, terdakwa, dan terpidana
di dalam sistem peradilan pidana.
Dalam konteks praperadilan gugatan BG, maka dengan kerangka pemikiran dan rasionalitas
berpikir sebagaimana diuraikan di atas, meskipun hal tersebut bukanlah objek dan tidak
diatur secara jelas di dalam KUHAP, menurut penulis gugatan praperadilan atas penetapan
status tersangka terhadap seseorang tersangka dapat menjadi objek gugatan di pengadilan.
Pada hakikatnya pemerintah, atau dalam hal ini Presiden, memiliki hak prerogatif di dalam
polemik penetapan status definitif kepala Polri. Akan tetapi, hak prerogatif tersebut dapat
dimaknai sebagai hak mutlak yang dimiliki Presiden di dalam menentukan nama-nama calon
kepala Polri. Artinya, hak prerogatif tersebut berlaku secara mutlak ketika proses awal seleksi
penentuan nama-nama calon kepala Polri yang akan diajukan kepada DPR (lihat Pasal 11 UU
Kepolisian).
Dalam konteks polemik BG, Presiden telah menggunakan hak prerogatif tersebut secara
penuh ketika justru hanya mengirimkan satu nama tunggal sebagai calon kepala Polri yang
selanjutnya akan mengikuti fit and proper test di parlemen. Secara logis, hak prerogatif
tersebut tidak serta-merta memiliki standardisasi yang mutlak ketika proses itu telah berada di
parlemen (DPR); sebab telah ada pengaruh cabang kekuasaan lain selain dari eksekutif
(Presiden). Dalam hal ini maka Presiden hanya tinggal menunggu hasil persetujuan DPR,
seketika setelah DPR setuju atas pengajuan kandidat kepala Polri yang diajukan oleh
Presiden, maka Presiden tinggal melantik kandidat yang telah disetujui oleh DPR tersebut
(lihat Pasal 11 angka (2), (3), dan (4) UU Kepolisian).
Adanya penundaan yang selama ini menjadi polemik terkait pelantikan BG sebagai kepala
Polri secara rasional dapat dimaknai bukan didasarkan oleh pertimbangan dari aspek yuridis,
tetapi dapat dilihat dan dimaknai karena alasan dari aspek sosial dan moral. Maka kemudian
apabila mau dilihat dari aspek sosial dan moral, vonis praperadilan terkait gugatan atas
penetapan status tersangka terhadap BG oleh KPK juga telah dianulir oleh lembaga peradilan
yang bebas dan tidak memihak (imparsial). Artinya, di sini bahwa memang tidak ada lagi
kondisi yang dapat membenarkan penundaan ataupun pembatalan BG untuk dilantik sebagai
Kepala Polri.
Dalam hal ini tentu jikalau menggunakan rasionalitas berpikir yang objektif, semua pihak
tidaklah dapat meragukan atau pun menyanggah keputusan dari pengadilan sebagaimana
yang dimaksud dalam gugatan peradilan yang dilakukan oleh pihak BG. Sebab, lembaga
peradilan merupakan lembaga yang independen, bebas, dan tidak memihak (imparsial)–
sehingga produk pengadilan sebagaimana yang tertuang di dalam vonis pengadilan tersebut
haruslah dipandang benar, sampai ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang
membatalkannya berdasarkan mekanisme dan prosedur hukum yang ada. Hal ini pun
91
bersesuaian dengan asas res judicata pro veritate habetur yang berarti bahwa putusan hakim
(vonis pengadilan) haruslah dianggap benar sampai ada putusan dari pengadilan yang lebih
tinggi yang membatalkan putusan tersebut.
Jikalau merujuk dan melihat pada hubungan kausalitas antara penundaan pelantikan BG
dengan vonis akhir dari putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam hal ini, maka
dengan dianulirnya status tersangka kepada BG melalui vonis pengadilan dalam gugatan
praperadilan yang diajukan terlepas dari pro dan kontra yang ada tidak ada lagi hambatan
atau pun batu ganjalan untuk melantik BG sebagai kepala Polri.
Keputusan politik pemerintah yang didasarkan pada produk pengadilan sebagaimana
diuraikan sebelumnya memiliki poin penting guna memenuhi stabilitas politik, hukum, dan
pemerintahan. Catatan penting bagi pemerintah atau Presiden dalam hal ini ialah harus segera
melantik BG sebagai kepala Polri (definitif ) agar dapat segera menyelesaikan polemik yang
terjadi dan resistensi yang ada di tubuh Polri dan KPK.
Tentu langkah pemerintah yang responsif diharapkan dapat segera mengembalikan stabilitas
politik, hukum, dan pemerintahan yang mana cukup terganggu atas polemik yang terjadi
antara KPK dan Polri.
AHMAD YANI
Peneliti dan Peneliti di Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa (P3B)
92
Abolisionist atau Retentionist? Koran SINDO 18 Februari 2015
Tekanan terhadap Indonesia mengenai keputusan untuk melakukan hukuman mati ternyata
tidak berhenti saat eksekusi gelombang pertama dilakukan kepada para terpidana mati
narkoba beberapa minggu yang lalu.
Tekanan terhadap Indonesia ketika menghukum mati terpidana gelombang kedua menjadi
semakin besar dan menarik perhatian dunia. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
Ban Ki-moon, melalui juru bicaranya, meminta Indonesia untuk membatalkan hukuman mati
kepada para terpidana narkoba.
Tekanan tersebut juga semakin intensif dengan ancaman dari Australia untuk melarang
warganya ke Bali. Mereka juga mengancam akan melakukan penarikan duta besar seperti
yang dilakukan Brasil dan Belanda. Bila ancaman tersebut benar-benar terwujud, apakah
jalan keluar yang diantisipasi oleh pemerintah?
Saat ini pemerintah menekankan bahwa keputusan menghukum itu adalah keputusan hukum
positif di Indonesia, dan intervensi dari negara-negara tersebut sama artinya dengan
mengganggu kedaulatan. Presiden Joko Widodo juga mengatakan tekanan tersebut adalah
wajar karena setiap pemerintah perlu melakukan upaya maksimal menyelamatkan warganya.
Dengan kata lain, Presiden Joko Widodo lebih tertarik melihat tekanan tersebut dari kacamata
politik praktis dan bukannya mempertimbangkan nilai (value) dari opsi-opsi yang diusulkan
atau membuka dialog seputar tuntutan yang masuk tersebut. Jawaban senada juga
disampaikan instansi terkait seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan
Agung, kepolisian, bahkan Kementerian Luar Negeri.
Pemerintah sepatutnya dapat memberi keterangan kepada masyarakat negara sahabat,
khususnya negara-negara yang menentang hukuman mati, dengan lebih jelas. Setiap negara
sahabat yang memiliki kebijakan penghapusan hukuman mati memiliki alasan-alasan
tersendiri yang dapat menjadi titik tolak untuk diskusi. Masyarakat Eropa, khususnya, telah
memiliki pemahaman dan keterlibatan dalam diskusi mengenai perlu atau tidaknya hukuman
mati, karena hal itu sudah menjadi bagian dari pendidikan mereka. Penderitaan yang dialami
selama Perang Dunia II dan trauma kekejaman Nazi di bawah Hitler telah menjadi dasar yang
kuat bagi mereka untuk menempatkan hak hidup dan demokrasi sebagai tujuan
bernegara. Diskusi tentang hukuman mati berada dalam konteks semangat tersebut.
Tidak dapat dimungkiri bahwa masyarakat selalu terbagi antara kelompok yang memberikan
dukungan dan yang menolak, bahkan di antara negara yang menentang hukuman mati
93
sekalipun. Masih ada warga negara di negara-negara tersebut yang mendukung hukuman
mati. Sama seperti warga negara di negara yang menerapkan hukuman mati, masih ada
masyarakat yang memperjuangkan untuk menentangnya. Perdebatan ini telah berlangsung
sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Apa yang membedakan adalah pembaruan
argumentasi dan bukti-bukti yang diajukan dari masing-masing pihak untuk menegaskan
posisi mereka terhadap hukuman mati.
Pertanyaannya kemudian apakah Indonesia saat ini sedang menuju arah penghapusan
hukuman mati (abolisionist) atau mendukung hukuman mati (retentionist)? Posisi ini sangat
mendasar dan sayangnya sejak transisi demokrasi dimulai sejak 1998 kita tidak pernah tegas
memilih sikap yang mana, belakangan justru ruang dialognya tertutup.
Apabila sebutan negara yang menjatuhkan sanksi atas sebuah tindakan kejahatan dengan
pencabutan hak hidup seseorang, minimal ada beberapa pertanyaan umum yang perlu
dijawab oleh pemerintah. Pertama, apakah sudah dipertimbangkan tindakan terpidana
tersebut dapat direhabilitasi sehingga ketika kembali ke masyarakat ia akan mematuhi
hukum? Rehabilitasi biasanya dilakukan dengan memberikan keterampilan atau konseling
kepada pelaku kejahatan sehingga mereka menyadari kesalahannya.
Kedua, apabila rehabilitasi tidak berhasil apakah terhadap terpidana dapat dilakukan
incapacitation? Pendekatan ini pada dasarnya adalah mencegah terpidana untuk melakukan
kejahatan yang serupa di masa mendatang.
Cara yang dilakukan bergantung pada jenis tindak kejahatannya. Contoh, para pelaku
kejahatan seks di India saat ini akan dikebiri yang membuat dorongan seks mereka menjadi
berkurang. Pada abad ke-18 dan 19, Inggris merelokasi para tahanan yang dianggap kejam ke
Australia dan Amerika. Pada zaman Orde Baru, para tahanan politik diasingkan ke Pulau
Buru.
Dalam kasus terpidana narkoba di Indonesia, metode ini tampaknya tidak dapat berjalan
dengan baik karena kejahatan sudah sangat sistematis dan terorganisasi. Sistem lembaga
pemasyarakatan kita masih belum profesional dan diduga masih penuh dengan praktik
korupsi. Contohnya adalah Ola, terpidana mati yang mendapat grasi, ditemukan mengelola
jaringan kejahatannya kembali di dalam penjara. Ironisnya, apabila menggunakan alasan ini
untuk menghukum terpidana mati, kita justru akan dipermalukan karena menunjukkan betapa
lemahnya sistem peradilan kita.
Ketiga, apabila rehabilitasi tidak berhasil maka apakah hukuman bisa dilakukan secara
retributif atau diberikan hukuman setimpal dengan kejahatannya. Dalam kasus hukum mati
yang telah kita laksanakan, biasanya terkait dengan kejahatan pembunuhan terencana yang
melibatkan korban masif dan terbukti dilakukan dengan sadis. Persoalannya bahwa mengukur
sebuah tindakan kejahatan tertentu dengan hukuman tertentu adalah sangat politis dan
kontekstual. Di China, korupsi adalah kejahatan yang diganjar hukuman mati. Sebelum
94
direvisi, mempelajari metode pencurian masuk dalam kategori tindakan yang pantas dihukum
mati.
Keempat, apakah kejahatan yang diganjar hukuman mati memiliki maksud untuk
memberikan efek jera? Saat ini posisi pemerintah sama dengan posisi negara-negara lain
yang masih memberlakukan hukuman mati, yakni bahwa hukuman itu diperlukan untuk
menimbulkan efek jera.
Salah satu sumber sering dikutip oleh Presiden Joko Widodo adalah hasil penelitian BNN
pada 2008 yang menyebutkan angka-angka korban akibat kejahatan narkoba selama ini.
Namun, hasil penelitian itu dipertanyakan beberapa pihak, salah satunya adalah Claudia
Stoicescu, seorang kandidat doktor dari University of Oxford yang sedang melakukan
penelitian di Jakarta. Ia mengatakan bahwa metodologi dan definisi yang digunakan dalam
penelitian tidak mengikuti kaidah standar penelitian internasional sehingga hasilnya pun
dipertanyakan.
Di tingkat internasional, PBB merujuk hasil penelitian National Research Council di Amerika
yang telah mengadakan kajian dan pemeriksaan hasil-hasil penelitian yang mendukung dan
menolak hukuman mati. Mereka menyimpulkan bahwa hasil penelitian tersebut, baik yang
mendukung maupun menolak hukuman mati sebagai inconclusive (tidak sahih) sehingga
tidak dapat dijadikan rujukan dalam persidangan. Hasil-hasil penelitian tersebut tentu akan
menggugurkan argumen para diplomat ketika berdialog dengan wakil pemerintah atau
masyarakat negara sahabat yang menentang hukuman mati. Dan apabila kita tetap
menggunakan argumen tersebut untuk membela kebijakan, tentu kredibilitas kita akan turun.
Pertanyaan lain yang juga harus dijawab adalah bagaimana sikap dukungan hukuman mati ini
dapat menolong 200-an tenaga kerja kita di luar negeri yang terancam hukuman mati. Banyak
di antara mereka yang terancam hukuman mati terkait dengan alasan PBB untuk menentang
hukuman mati seperti sistem hukum yang tidak adil, tidak terbuka, tidak adil, mahal, apabila
terjadi kesalahan tidak dapat dikoreksi. Alasan-alasan tersebut harus dihadapi oleh
pemerintah dan jangan sampai ada kesan dari negara lain bahwa kita menarik diri dari
perdebatan tersebut.
Dengan kata lain, pilihan untuk mendukung atau menolak hukuman mati menuntut sebuah
penjelasan yang terbuka ilmiah dari pemerintah, karena kita hidup dalam pergaulan
internasional yang menggantungkan diri pada norma-norma tertentu. Kita dapat memiliki
norma yang berbeda ataupun setuju dengan norma-norma yang ditawarkan oleh negara-
negara lain. Namun syaratnya, norma yang kita pegang teguh telah lebih baik. Norma itu juga
harus sesuai dengan perkembangan dunia saat ini baik ekonomi maupun politik, di mana saat
ini pergaulan negara-negara tidak lagi dibatasi oleh batas fisik garis batas kedaulatan tetapi
hukum dan norma internasional.
95
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
96
Momentum Revisi UU KPK Koran SINDO 20 Februari 2015
Peristiwa demi peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK Jilid III dalam tindak pidana
sebagaimana diungkap Bareskrim semakin mendekati kenyataan. Kondisi saat ini merupakan
peristiwa kedua kali setelah peristiwa ”cicak versus buaya”. Kendati demikian, mayoritas
masyarakat khususnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti-korupsi tidak percaya dan
bahkan menuding sebagai bentuk kriminalisasi dan pelemahan terhadap KPK.
Jika objektif dan jernih mengamati penetapan tersangka untuk BW dan AS, penulis
berpendapat bahwa ada perbedaan. BW diduga telah melakukan perbuatan ”menyuruh
melakukan saksi-saksi untuk memberikan keterangan tidak benar di dalam sidang MK”,
ketika dalam kedudukan sebagai penasihat hukum suatu perkara. Sedangkan AS justru diduga
telah menyuruh melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam posisi sebelum menjadi
pimpinan KPK. Dari tempus delicti kedua-duanya bukan pimpinan KPK sehingga tidaklah
tepat jika dikatakan bahwa penetapan tersangka bagi BW dan AS mutatis mutandis
pelemahan terhadap KPK. Penulis bertanya-tanya, siapa yang melemahkan siapa jika tempus
dan locus delicti peristiwa terkait dugaan tindak pidana oleh dua pimpinan KPK Jilid III
tersebut belum berstatus pimpinan KPK?
***
Penulis sebagai ahli hukum dan pengamat terhadap kinerja KPK sejak Jilid I sampai Jilid III
saat ini telah memperkirakan peristiwa ini bakal terjadi. Ini didasarkan beberapa alasan.
Pertama, pimpinan KPK Jilid III tidak terbuka dan komunikatif terhadap para ahli hukum
pidana kecuali terhadap ahli hukum pidana yang selalu ”membenarkan” tindakan mereka
tanpa reserve.
Kedua, penolakan permintaan audiensi para Pengurus Pusat Masyarakat Hukum Pidana dan
Kriminologi (Mahupiki) yang diinisiasi oleh para guru besar hukum pidana, tidak pernah
direspons dengan baik. Bahkan ada permintaan tersebut ada kesan diabaikan, sedangkan
maksud audiensi untuk memberikan masukkan yang dipandang dapat membantu kinerja
mereka.
Ketiga, pimpinan KPK telah buta terhadap kritik para ahli hukum pidana karena telah telanjur
memperoleh sanjungan yang luar biasa dari kelompok LSM anti-korupsi bahwa apa pun
tindakan hukum yang dilakukannya telah ”on the right track” dan selalu benar. Sedangkan
pihak-pihak yang berpendapat lain dipandang apriori tidak benar, bahkan dimasukkan ke
dalam kelompok anti-KPK dan anti-pemberantasan korupsi.
97
Keempat, pimpinan KPK dan kelompok pendukung fanatiknya lupa dan tidak menyadari
bahwa tidak ada manusia yang sekelas malaikat di dunia ini. Karena itu, selalu terbuka
kelemahan-kelemahan yang hanya dapat dirasakan oleh manusia yang memiliki keimanan
yang kuat dan rendah diri serta mau mendengar nasihat orang lain, apalagi orang yang lebih
tua dan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak dari mereka.
Kelima, yang sangat memprihatinkan adalah sikap pimpinan KPK yang mencerminkan
bahwa hanya merekalah yang paling mengetahui filosofi, visi, dan misi UU KPK dari orang
lain sekalipun terhadap penyusun dan inisiator UU KPK itu sendiri. Sedangkan tindakan
hukum yang dipandang benar oleh lima pimpinan KPK dari sudut ahli hukum pidana ternyata
tidak selamanya menaati asas-asas hukum dan norma-norma serta tidak memahami nilai-nilai
yang berada di balik norma-norma tersebut.
Keenam, ada pandangan keliru dari pimpinan KPK entah masukan ahli hukum pidana siapa
yang beranggapan bahwa UU KPK adalah lex specialis untuk semua tindakan hukum yang
telah ditentukan di dalam KUHAP. Sedangkan sejatinya (jika benar dipahami) UU KPK
hanyalah bersifat lex specialis khusus terhadap proses penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan semata-mata bukan pada status penyelidik, penyidik, dan penuntut.
Apalagi KPK dipandang sebagai ”regulatory body”, suatu pandangan keliru tentang status
”independen” yang melekat pada KPK sehingga menjadi tidak tepat jika dirujuk pada Pasal 3
UU KPK. Pandangan tersebut bahkan menjadi tidak tepat jika disimak teliti Penjelasan
Umum UU KPK khusus alinea pertama sampai alinea ketiga (halaman 26) antara lain
dicantumkan, ”bahwa KPK memiliki fungsi ‘trigger mechanism’ mendorong institusi
kepolisian dan kejaksaan menjadi efektif; dapat menyusun jaringan kerja yang kuat dan
memperlakukan institusi yang telah ada (kepolisian dan kejaksaan) sebagai ‘counterpartner’
yang kondusif; dan KPK tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan tipikor.”
Ketujuh, pimpinan KPK telah melupakan atau mengabaikan berlakunya UU RI Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang telah disahkan dan berlaku pada 17
Oktober 2014. Karena terhitung sejak pemberlakuan UU tersebut, aparatur penegak hukum
termasuk pimpinan KPK sebagai pejabat publik wajib mematuhi ketentuan larangan
penyalahgunaan wewenang (Pasal 17 hingga Pasal 20).
Dalam kaitan hal tersebut, seyogianya ketentuan mengenai praperadilan yang terbatas pada
lingkup kewenangan untuk memutuskan keabsahan lima alasan permohonan praperadilan, di
masa yang akan datang diselesaikan melalui sarana hukum peradilan administrasi negara
sejalan dengan undang-undang tersebut.
Dengan begitu, dapat diwujudkan tuntutan penghormatan dan perlindungan hak asasi setiap
orang yang telah dicantumkan dalam UUD 1945 dan ketentuan Konvensi Internasional
tentang Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Politik, yang telah diratifikasi Pemerintah
Indonesia dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005 dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang
98
HAM.
Momentum peristiwa-peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK saat ini terlepas dari
”kriminalisasi” atau bukan yang akan dan harus diuji pada sidang pengadilan yang terbuka
dan dibuka untuk umum menekankan bahwa kondisi sangat mendesak agar pemerintah dan
DPR RI melakukan revisi terhadap UU KPK yang bersifat terbatas.
Harapan saya adalah revisi sungguh-sungguh mencermati pasal-pasal UU KPK yang rentan
terhadap pelanggaran HAM dan memberikan rambu-rambu hukum yang dapat
mempertahankan asas proporsionalitas dan asas akuntabilitas KPK dalam tindakan hukum
penyelidikan dan penyidikan. Salah satu yang pernah saya usulkan adalah pembentukan
Dewan Pengawas untuk menggantikan posisi penasihat KPK yang selama ini tidak efektif
sebagaimana diharapkan awal penyusunan UU KPK.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
99
Problem Demokratisasi Partai Politik Koran SINDO 20 Februari 2015
Pada banyak peristiwa politik, sebagian besar orang hanya asyik melihat apa yang
berlangsung di permukaan panggung kekuasaan, namun melupakan dimensi substansial yang
ada di balik setiap peristiwa politik. Dalam perhatian yang lebih besar pada gejala tanpa
melihat akar persoalan inilah, peristiwa politik kerap datang dan pergi tanpa kita paham akar
persoalan dan terapi untuk merehabilitasinya.
Menelisik sampai ke akar persoalan politik termasuk gegar politik antara kubu PDIP dan
pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam kasus KPK versus kepolisian saat ini, satu hal
yang patut untuk direnungkan bahwa dominasi oligarki di internal partai politik adalah pokok
utama dari karut-marut politik Indonesia sejak jatuhnya Soeharto (post-authoritarianism).
Tulisan ini selanjutnya akan mendiskusikan bagaimana karakter dominasi elite politik di
internal partai memiliki konsekuensi pada dinamika eksternal politik, khususnya pada
karakter politik Indonesia. Untuk memahami persoalan politik Indonesia pada era post-
authoritarianism, problem potensi krisis koalisi di internal pemerintahan Joko Widodo
sebenarnya hanyalah salah satu contoh dari problem oligarki di dalam tubuh partai politik di
Indonesia.
Kebutuhan penyegaran partai politik di dalam parpol sepertinya menjadi tantangan bagi
seluruh partai politik di Indonesia. Setelah Pilpres 2014 usai, sampai sekarang kita hanya
sibuk menyaksikan ketegangan antara kekuatan pemerintah dan oposisi. Sementara itu, kita
lupa bahwa dinamika politik yang sehat dalam proses demokrasi di Indonesia tak terlepas
dari performa partai politik sebagai tulang punggung demokrasi di Indonesia.
Apabila kita tarik akar persoalannya, untuk menuju pada perubahan politik yang lebih baik,
demokratisasi partai dalam pengertian rotasi kepemimpinan yang ajek, pemahaman partai
politik akan agenda dan aspirasi akar rumput, maupun kesadaran akan dinamika sosial yang
bergerak dan membutuhkan respons yang sigap terhadapnya.
Ada pelajaran menarik yang kita dapat ambil dari pengalaman Partai Kongres India.
Turunnya pamor Indias Congress Party dan kegagalan dalam pertarungan elektoral melawan
Bharatiya Janata Party (BJP) tidak dapat dilepaskan dari problem internal partai politik baik
dalam keengganan dari kekuatan elite lama untuk merespons dinamika sosial yang terus
berubah maupun dominasi mereka yang demikian kuat sehingga menolak tampilnya
kekuatan-kekuatan baru untuk menyegarkan partai politik.
Seperti diutarakan oleh Subrata Kumar Mitra (1994) dalam Party Organization and Policy
100
Making in a Changing Environment: The Indian National Congress jauh-jauh hari
sebelumnya bahwa kelambanan pergerakan Partai Kongres India dalam konstelasi politik
disebabkan kekuatan dominan konservatif di dalam partai (karena disebabkan oleh
kepentingan politik yang cenderung elitis, maupun hambatan-hambatan organisasional) tidak
mampu menangani isu-isu keadilan sosial dan operasi politik secara tepat dan terukur.
Sementara itu, loyalitas personal kepada elite daripada komitmen untuk mengembangkan
partai menjadi penentu rekrutmen kepemimpinan politik maupun mobilitas politik dari setiap
kader-kadernya. Problem politik di atas kemudian memanifes dalam bentuk terganjalnya
rotasi kepemimpinan secara ajek dan terlembagakan dalam tubuh Partai Kongres India.
Apabila kita refleksikan kasus di atas, problem yang dialami Partai Kongres India di atas juga
tengah dialami sebagian besar partai-partai di Indonesia. Secara umum partai-partai di
Indonesia mengalami persoalan besar terkait problem demokratisasi partai, terutama
sehubungan dengan problem rotasi dan rekrutmen kepemimpinan maupun mekanisme
keterlibatan kader dalam pengambilan kebijakan.
Perubahan Politik
Selanjutnya kita akan mengambil contoh dua partai politik yang saat ini akan menjalankan
kongres dalam waktu dekat yaitu PDI Perjuangan pada April 2015 dan Partai Amanat
Nasional (PAN) pada Maret 2015. Pada kasus pertama setelah kekalahan politik dalam
Pilpres 2004, PDI Perjuangan selama sepuluh tahun terakhir menjalankan strategi politik
oposisional yang brilian dan efektif.
PDI Perjuangan dalam peran oposisionalnya memproduksi beberapa agensi pemimpin
organik di tingkat lokal dan menjadi penyeimbang (counterpart) bagi koalisi penguasa.
Terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden pada 2014 adalah buah dari kerja keras tersebut.
Kendati demikian, krisis politik justru saat PDI Perjuangan berkuasa. Benturan antara
kepentingan konservatif kekuatan oligarki dan kehendak pemerintah dan elemen-elemen
progresif lainnya terartikulasi dalam krisis politik terkini.
Berbeda dengan PDI Perjuangan, meskipun tidak terlepas dari problem karakter oligarki
partai, PAN memiliki tradisi rotasi kepemimpinan politik yang cukup baik. Sejak dilahirkan,
partai ini melembagakan regenerasi dan pergantian kepemimpinan tiap satu periode (Amien
Rais 1998-2005, Soetrisno Bachir 2005-2010, dan Hatta Rajasa 2010-2015). Dengan
melembagakan regenerasi kepemimpinan politik, secara bertahap partai akan dapat
memecahkan tantangan kelembaman birokratisasi partai.
Meski demikian, PAN juga memiliki problem internalnya sendiri. Perolehan suara pada
Pemilu 2014 (47 kursi) dari Pemilu 2009 (42 kursi) dapat dipandang kurang memuaskan bila
dibandingkan dengan perolehan partai-partai lain yang pada Pemilu 2009 berada pada posisi
yang hampir setara (Partai Gerindra naik dari 26 menjadi 73 kursi, maupun PKB dari 28
menjadi 47 kursi). Ke depan PAN harus meneruskan tradisi rotasi kepemimpinan yang ajek
101
seperti yang menjadi tradisi kepemimpinan yang telah dibangun. Kepemimpinan partai saat
ini harus menyadari bahwa kemajuan partai lebih penting dari ambisi kepentingan dalam
jangka pendek.
Sebagai sebuah agenda politik ke depan adalah menarik tawaran dari Ketua DPP PAN
Zulkifli Hasan untuk memperkenalkan mekanisme konvensi calon presiden sebagai sebuah
respons cerdas dari internal partai terhadap desakan perubahan politik dari luar.
Demikianlah bahwa dalam konteks berbagai peristiwa politik yang berlangsung di Indonesia,
arus permukaan konflik, krisis, maupun negosiasi politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan
dari proses dialektika yang berlangsung di internal setiap partai politik. Dalam kondisi
demikian, seruan untuk melakukan demokratisasi di internal partai politik menjadi bagian
penting bagi agenda reformasi politik di Indonesia.
AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga; Juru Bicara Sukarelawan
Indonesia untuk Perubahan
102
Solusi Elegan Jokowi? Koran SINDO 20 Februari 2015
Setelah sekian lama didesak baik oleh publik, para elite politik yang tergabung dalam Koalisi
Indonesia Hebat (KIH), kalangan DPR, dan sebagainya, akhirnya Presiden Joko Widodo
(Jokowi) mengeluarkan juga sikapnya.
Rabu (18/02) sore Jokowi secara resmi mengumumkan tidak akan melantik Komisaris
Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan (BG), melainkan mengajukan nama baru sebagai
penggantinya yaitu Komjen Polisi Badrodin Haiti yang sekarang menjabat pelaksana tugas
(Plt.) kepala Polri.
Pada saat yang sama Jokowi mengumumkan pergantian pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Dua orang komisionernya yang telah berstatus tersangka, Abraham Samad
(AS) dan Bambang Widjojanto (BW), diberhentikan untuk sementara. Kemudian Jokowi
menunjuk tiga orang untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK yaitu Taufiequrrahman Ruki,
Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi SP. Mereka ditunjuk Jokowi sebagai pelaksana tugas
(Plt.) pimpinan KPK.
Win-Win Solution
Bagi sebagian kalangan, keputusan Jokowi tersebut cukup mengejutkan. Ketika BG yang
akhirnya tampil sebagai pemenang dalam proses praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan belum lama ini, Jokowi diduga bakal segera melantik BG sebagai kepala Polri baru.
Namun, ternyata Jokowi mengambil sikap yang berbeda. Ia justru membatalkan pelantikan
BG dan menunjuk Badrodin sebagai penggantinya.
Apakah langkah yang diambil Jokowi ini merupakan sikap yang tepat? Dilihat dari perspektif
teori negosiasi politik, langkah yang diambil Jokowi di atas termasuk ke dalam kuadran
kolaboratif yakni negosiasi yang menekankan win-win solution. Pihak-pihak yang bertikai,
dalam hal ini Polri dan KPK, termasuk Jokowi yang terkait dengan pertikaian tersebut, sama-
sama mendapatkan keuntungan dan pada saat yang sama juga terhindar dari kerugian atau
potensi buruk yang kemungkinan didapatkannya.
Bagi BG secara personal, meski keputusan Jokowi terlihat merugikan karena kesempatan
menjadi orang nomor satu di jajaran kepolisian yang sudah di depan mata menjadi hilang,
sebenarnya dapat menguntungkan dirinya. Perlu diketahui, betapapun BG memenangkan
praperadilan, bukan berarti ia bisa bebas sepenuhnya. Pasalnya, yang dianggap tidak sah oleh
hakim Sarpin Rizaldi adalah mekanisme atau prosedur penetapannya oleh KPK, bukan
103
substansi tindakan pidananya. Dengan demikian, bisa saja jika prosedur penetapan diperbaiki
kembali oleh KPK, BG dapat kembali menjadi tersangka.
Sekalipun BG dilantik menjadi kepala Polri, tidak akan menghalanginya untuk dijadikan
tersangka. Itu akan jauh lebih menyakitkan jika seorang pemimpin tertinggi kepolisian
menjadi tersangka. BG tentu akan menanggung malu yang sangat besar kalau benar-benar
terjadi.
Bagi Polri secara kelembagaan, keputusan Jokowi untuk membatalkan pelantikan BG juga
menguntungkan. Boleh jadi kalau BG tetap dilantik, konfliknya dengan KPK akan terus
berlanjut karena bukan tidak mungkin unsur balas dendam tetap ada. Padahal konflik
kelembagaan tersebut telah banyak menguras energi, tenaga, dan pikiran yang sia-sia, bahkan
mengancam matinya proses penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi di negeri
ini. Sementara Badrodin yang tidak terkait langsung dengan konflik diharapkan bisa menjadi
pereda suasana ketegangan itu.
Sementara itu, KPK yang nyaris lumpuh karena semua komisionernya terancam menjadi
tersangka juga diuntungkan dengan langkah Jokowi. Secara kelembagaan, KPK bakal pulih
kembali dengan ditunjuknya tiga orang sebagai Plt. pimpinan sehingga lembaga ini dapat
berjalan secara sempurna. Tanpa ada solusi tersebut, KPK mungkin akan sulit berjalan
normal karena dua orang pimpinannya telah ditetapkan sebagai tersangka.
Memang dalam situasi seperti ini, agaknya ada komisioner KPK yang dirugikan secara
personal yakni AS dan BW. Namun, karena undang-undang sendiri menyatakan bahwa
komisioner yang menjadi tersangka harus non-aktif, tidak ada jalan lain bagi mereka berdua
selain non-aktif dari KPK. Dalam situasi seperti ini, boleh jadi dua komisioner non-aktif
tersebut bisa menjadi martir demi terus tegaknya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Mereka berdua boleh ”mati”, tetapi KPK harus tetap hidup.
Dukungan Publik
Langkah yang telah diambil Jokowi untuk membatalkan pelantikan BG jelas akan berdampak
positif besar baginya, terutama terkait dukungan publik. Seperti diketahui, suara publik
selama ini tampaknya lebih condong pada pembatalan pelantikan BG. Dengan kata lain,
publik lebih memercayai KPK ketimbang kepolisian dalam penegakan hukum, terutama
pemberantasan korupsi. Karena itu, sekalipun BG menang di praperadilan, dukungan mereka
terhadap KPK tetap tidak surut.
Dengan keputusan Jokowi tersebut, publik akan menganggap bahwa mantan wali Kota Solo
itu masih tetap memiliki komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi di republik
ini. Meski tidak menghentikan sepenuhnya upaya kriminalisasi terhadap KPK, setidaknya
dengan membatalkan pelantikan BG, Jokowi dipandang telah bisa mencairkan ketegangan
antara dua lembaga penegak hukum tersebut.
104
Satu hal lain yang akan disikapi positif oleh publik terkait langkah Jokowi di atas adalah
mampunya sang Presiden keluar dari tekanan-tekanan elite-elite partai politik, khususnya
yang berada di dalam KIH. Selama ini Jokowi dianggap tidak berdaya menghadapi tekanan
itu sehingga berbagai keputusannya cenderung lebih berpihak pada kepentingan para elite
politik tersebut ketimbang kepentingan publik. Namun, kali ini Jokowi ternyata lebih
mendengarkan aspirasi publik dan lebih mempertimbangkan masukan-masukan dari Tim
Independen atau Tim 9 yang dibentuknya sendiri.
Seperti diketahui, langkah yang diambil Jokowi di atas persis seperti yang direkomendasikan
oleh tim yang dipimpin Buya Syafii Maarif tersebut. Pengumuman sikap oleh Jokowi sendiri
dilakukan tidak lama setelah ia berkonsultasi dengan tim. Tentu realitas ini akan sangat
diapresiasi publik.
Satu-satunya hal yang mungkin menjadi batu sandungan Jokowi atas keputusannya tersebut
adalah reaksi DPR. DPR yang selama ini bersikukuh agar BG tetap dilantik, bahkan sebelum
proses praperadilan selesai, agaknya tidak menerima begitu saja langkah Jokowi dengan dalih
merusak kewibawaan lembaga tinggi negara. Ini karena mereka merasa tidak dihargai karena
keputusannya yang menyetujui BG sebagai calon kepala Polri tidak digubris oleh Jokowi.
Namun, Jokowi tampaknya tidak akan terlalu sulit menghadapi lembaga legislatif itu. Selain
telah mendapatkan dukungan publik, yang membuat para anggota Dewan tidak bisa begitu
gegabah untuk bereaksi keras, hubungan Jokowi juga kini relatif sudah lebih cair, terutama
dengan elite-elite partai politik dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sehingga Jokowi pun bisa
melenggang aman. Karena itu, boleh dikatakan, langkah Jokowi di atas merupakan solusi
yang elegan.
IDING ROSYIDIN
Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur the Political Literacy
Institute
105
Teka-teki di Balik Sikap Presiden Koran SINDO 21 Februari 2015
Akhirnya Presiden Joko Widodo bersikap, tidak melantik Budi Gunawan menjadi kepala
Polri, disertai pengajuan calon kepala Polri lain, dan perombakan komisioner KPK. Sikap
demikian diprediksi tidak akan menuntaskan konflik Polri versus KPK dan mampu
meningkatkan kualitas penyelenggaraan negara hukum.
Berbagai indikator menunjukkan bahwa konflik akan terus berkelanjutan. Mungkin dalam
intensitas dan atmosfer yang semakin serius dan panas, setiap komponen bangsa wajib terus
waspada.
Dalam terminologi akademis, sikap Presiden tersebut mencerminkan pandangannya tentang
konsep bernegara hukum, bahwa: (1) Hukum dipandang sebagai entitas yang terpisah dari
politik, dan masing-masing berdiri sendiri. (2) Penegakan hukum ditumpukan kepada hukum
positif, akan tetapi mengesampingkan aspirasi sosial, sehingga legalitas dipandang penting,
sementara legitimitasi dikesampingkan. (3) Moralitas berbangsa dipisahkan dari praktik
penyelenggaraan negara hukum. Tampaknya sebagian besar politikus dan penegak hukum di
negeri ini memiliki pandangan serupa dan mengamini sikap Presiden tersebut.
Berbeda halnya bagi publik, khususnya orang awam hukum dan praktik politik, terasa adanya
kejanggalan dengan sikap dan pandangan tersebut. Moralitas justru dipandang amat penting
dan mendasar, sebagai sumber dan dasar penyelenggaraan negara hukum. Sebagaimana
ajaran hukum klasik bahwa apa yang disebut hukum adalah norma moral sosial, dan apa yang
disebut keadilan dapat diwujudkan tanpa hukum positif.
Bila Presiden, politikus, dan penegak hukum tidak mampu memperkaya ilmu hukum secara
utuh dan memadukannya dengan nilai-nilai moral Pancasila untuk penyelenggaraan negara
hukum, sangat dikhawatirkan jurang pemisah antara penyelenggara negara dan rakyat
semakin lebar, dan cita-cita bernegara pun semakin jauh dari harapan.
Bagi publik, sungguh kecewa mengapa terus berlangsungnya kriminalisasi terhadap KPK dan
penggiat anti-korupsi, sementara Presiden tidak berbuat apa pun untuk menghentikannya?
Publik mendukung sikap Presiden tidak melantik calon kepala Polri bermasalah, tetapi publik
mengecam sikap Presiden tidak melakukan pembelaan dan penguatan terhadap KPK.
Publik bertanya, mengapa posisi dan peran Joko Widodo sebagai petugas partai begitu
menonjol, sementara posisi dan peran sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan begitu
lemah? Mengapa pula, wawasan kebangsaan Presiden terbelokkan menjadi wawasan politik?
106
Pertanyaan senada tertuju kepada politisi, apa motif politik fraksi-fraksi di DPR, terkait
dengan persetujuan ataupun penolakan calon kepala Polri yang diajukan Presiden? Sungguh
amat disayangkan bila manuver politik hanya demi kepentingan partai, dalam rangka
bargaining APBN, kalkulasi anggaran yang diperoleh, ujung-ujungnya duit, tetapi melalaikan
kepentingan bangsa.
Aneh dan terasa konyol ketika sikap Presiden bergantung pada vonis seorang hakim
praperadilan dalam memutuskan persoalan negara yang sedemikian strategis. Benarkah
hakim praperadilan netral, mampu menjaga moralitas dan profesionalitas, imun dari tekanan
politik dan teror? Rakyat sangat khawatir mengenai hal ini, jangan-jangan vonis
kontroversial, lahir dari skenario terstruktur, sistematis, dan masif? Komisi Yudisial
hendaknya mampu mengungkap tuntas mengenai dimensi etika dan moralitas hakim
praperadilan tersebut. Begitu banyak teka-teki di balik sikap Presiden.
Sekadar berbagi pemikiran, ketika ujian demi ujian terkait dengan konflik Polri versus KPK,
terbukti belum mampu menjadikan bangsa ini semakin dewasa dalam bernegara hukum,
maka perlu dicari akar masalahnya. Konflik Polri versus KPK dapat dianalogikan sebagai
benalu pada dahan atau ranting, sementara kanker pada pohon dan akar tidak disentuh untuk
diobati.
Dapat pula dianalogikan, konflik Polri versus KPK hanya persoalan atap bocor, sementara
fondasi dan pilar-pilar rumah begitu rapuh, lupa dibenahi. Tanpa perbaikan menyeluruh
sistem kenegaraan, apa pun keputusan Presiden, diprediksi tidak berpengaruh signifikan
terhadap perbaikan negara hukum.
Dalam perspektif akademik, salah satu sebab kegagalan bernegara hukum karena
keterjebakan penyelenggara negara pada legalisme liberal. Apa itu? Paham yang meyakini
bahwa keadilan, ketertiban, keteraturan dalam bernegara hukum dapat dilayani melalui
pembuatan dan penyelenggaraan sistem peraturan dan prosedur yang objektif (detached),
independen, impersonal, dan otonom (Nonet dan Selznick, 1978).
Padahal, konsep legalisme liberal yang berakar pada budaya Eropa barat dan cenderung
individual- imperialistik itu, tidak match (cocok) dengan sistem hukum yang berakar pada
nilai-nilai Pancasila, seperti keharmonisan, kekeluargaan, gotong-royong, komunalistik
religius.
Kita insyaf, bahwa di era globalisasi terjadi pertukaran antarbangsa mengenai konsep
bernegara hukum. Dalam konteks demikian, ada kecenderungan penyelenggara negara
mempelajari konsep legalisme liberal dan berusaha mempraktikannya di negeri sendiri. Akan
tetapi, amat disayangkan terjadi kesalahan fatal dalam pembelajaran tersebut.
Budaya Barat, yang oleh sosiolog Belanda Bart van Steenbergen (1953) dikatakan memiliki
kecenderungan memandang realitas secara dikotomis, parsialistis, dan berpotensi memecah
belah kesatuan dan persatuan, ternyata di-copy-paste dan dipraktikan dalam bernegara hukum
107
di negeri ini, sehingga melahirkan DPR tandingan, perseteruan antarkoalisi partai, Polri
versus KPK, dan sebagainya. Bangsa terpecah-belah.
Di Amerika Serikat, sejarawan Grant Gilmore (1977) banyak menggunakan ungkapan-
ungkapan yang menunjukkan otoritas dan kekhasan Amerika dalam bernegara hukum,
seperti: American concept, American doctrines, American approach, etc. Amerika berani
melakukan terobosan terhadap doktrin Trias Politica. Amerika berkembang seperti sekarang
itu ternyata sangat disokong peran menonjol pengadilan, khususnya Supreme Court, antara
lain berani intervensi ke wilayah eksekutif melalui putusan-putusan yang berwawasan
kebangsaan. Mengapa di Indonesia justru hukum (pengadilan) dikooptasi politik?
Penyelesaian konflik Polri versus KPK dan pembenahan sistem bernegara hukum mestinya
dilakukan segera secara holistis, mempertimbangkan aspek hukum, politik, sosial, dan moral
kebangsaan secara utuh, dalam bingkai dan berdasarkan Pancasila. Wallahu alam.
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
108
Hormati Putusan Hakim Koran SINDO 21 Februari 2015
Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Komisaris Jenderal Polisi Budi
Gunawan atas penetapannya sebagai tersangka, selain bisa menjadi preseden buruk bagi
pemberantasan korupsi, juga dapat menuai gelombang gugatan praperadilan di kepolisian dan
kejaksaan.
Kendati begitu, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan itu tetap
dihormati sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap, kecuali pihak termohon
melakukan upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Tapi tidak berarti hal itu tidak boleh didiskusikan, sebab indikasi dari putusan tersebut bisa
memicu terjadinya gelombang gugatan praperadilan. Semua yang ditetapkan sebagai
tersangka yang belum masuk ke pemeriksaan pengadilan di Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), kepolisian, dan kejaksaan terbuka peluang untuk digugat.
Padahal, tujuan praperadilan dalam KUHAP pada hakikatnya untuk mengoreksi syarat
administrasi dan kemungkinan pengabaian hak-hak tersangka dalam proses penyidikan dan
penuntutan. Sebab dalam tahap penyidikan dan penuntutan, penyidik dan jaksa penuntut
umum diberi wewenang melakukan ”upaya paksa” seperti penangkapan, penahanan, atau
penyitaan barang bukti yang potensial melanggar hak-hak hukum seseorang. Maka itu,
pembuat undang-undang dalam Pasal 77 juncto Pasal 95 KUHAP tidak menggolongkan
”penetapan tersangka” sebagai objek praperadilan karena dianggap bukan upaya paksa yang
potensial melanggar hak-hak asasi manusia (HAM).
Keberatan atas penetapan tersangka dan pasal yang tidak diuraikan secara cermat, jelas, dan
lengkap terhadap tindak pidana yang didakwakan (Pasal 143 ayat 2 huruf-b KUHAP) dapat
dilakukan saat eksepsi oleh terdakwa atau pengacaranya setelah surat dakwaan dibacakan
dalam sidang pengadilan. Apabila eksepsi diterima karena pasal-pasal yang didakwakan tidak
jelas dan cermat atau terjadi kesalahan atas subjek hukum, hakim dalam putusan sela
menolak surat dakwaan sehingga pemeriksaan perkara tidak dilanjutkan. Pada konteks itulah
sebetulnya terdakwa mempersoalkan penetapannya sebagai tersangka, bukan dengan gugatan
praperadilan.
Dalam Rancangan Perubahan KUHAP diatur mengenai hakim komisaris atau hakim
pengawas, antara lain mengoreksi dan memberikan persetujuan jika seseorang akan dikenai
penahanan, termasuk penetapan tersangka. Hakim komisaris meneliti apakah permintaan
pengenaan penahanan atau penetapan tersangka dari penyidik sesuai dengan ketentuan
hukum atau tidak. Tapi keberadaan hakim komisaris dalam Rancangan Perubahan KUHAP
109
dari berbagai pemberitaan justru ditolak oleh kepolisian.
Gelombang Gugatan
KUHAP selaku hukum formil (hukum acara) yang mengatur tata cara mempertahankan dan
melaksanakan hukum materiil yang dilanggar, oleh banyak pakar hukum, dianggap sebagai
aturan yang tidak boleh diinterpretasi secara luas. Apalagi menyimpang dari rumusan pasal
yang diatur secara limitatif, sebab hukum formal hanya mengatur tata cara dan prosedur jika
ada yang melanggar hukum materiil.
Konsekuensi dari interpretasi hukum yang sebetulnya sudah diatur secara jelas dan limitatif
dapat menghambat, bahkan mengacaukan prosedur penyelesaian perkara. Berbeda pada
hukum materiil yang bisa ditafsirkan secara progresif dengan asumsi menghargai nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Putusan praperadilan itu setidaknya dapat menimbulkan dua persoalan. Pertama, putusan itu
akan berdampak luas bagi penyidik kepolisian lantaran dapat menuai gelombang gugatan
praperadilan terhadap orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Bukan hanya perkara
korupsi, melainkan juga perkara lain seperti narkoba, terorisme, dan kriminal jalanan yang
begitu marak.
Dalam kasus narkoba misalnya, penyidik selalu menggunakan hasil tes urine dan
pemeriksaan darah dari laboratorium forensik (labfor) milik kepolisian untuk menetapkan
seseorang menjadi tersangka. Bisa jadi tersangka kasus narkoba yang begitu banyak itu
mengajukan gugatan praperadilan karena tidak percaya pada hasil tes labfor penyidik
kepolisian. Tersangka bisa meminta labfor independen yang ada di kampus-kampus untuk
melakukan tes urine dan darah sebagai bahan perbandingan.
Kemungkinan itu didukung dengan seringnya muncul tudingan bahwa oknum polisi selaku
aparat penegak hukum (penyelidik dan penyidik) diduga menjebak seseorang yang kemudian
dijadikan dasar penetapan tersangka. Dapat dipastikan, pihak kepolisian yang akan
merasakan dampak langsung dari pembenaran dan perluasan objek praperadilan sampai pada
penetapan tersangka.
Upaya Hukum
Lantaran putusan sudah dijatuhkan, KPK dapat melakukan langkah hukum untuk mencegah
putusan itu berdampak luas terhadap pemberantasan korupsi. Pertama, karena putusan
praperadilan bersifat final dan mengikat sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi, maka
KPK dapat menempuh upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah
Agung (MA). Syaratnya harus menemukan keadaan baru (novum) yang belum terungkap
dalam sidang praperadilan (Pasal 263 ayat 2 KUHAP).
110
Bisa juga karena berbagai dasar dalam putusan praperadilan, ternyata telah bertentangan satu
dengan lainnya. Atau putusan itu jelas-jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau kekeliruan
yang nyata dari hakim. Sebab fungsi lembaga praperadilan adalah melakukan koreksi
terhadap pelaksanaan penyidikan dan penuntutan yang diberi wewenang melakukan upaya
paksa. Sepanjang prosedur-prosedur dan modus operandinya dilaksanakan sesuai ketentuan
hukum acara yang diatur secara rigid, hasilnya bisa saja diterima.
Kedua, KPK harus mencari dasar argumentatif untuk mematahkan putusan hakim bahwa
tidak semua anggota Polri dikategorikan aparat penegak hukum. Padahal, dalam penjelasan
Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 2/2002 tentang Polri, untuk mengabdikan diri sebagai ”alat
negara penegak hukum”, setiap anggota Polri harus menghayati dan menjiwai etika profesi
kepolisian yang tecermin dalam sikap dan perilakunya. Begitu pula Pasal 1 butir-4 KUHAP
juncto Pasal 1 butir-8 UU Kepolisian mengartikan ”penyelidik” adalah pejabat polisi Negara
Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penyelidikan.
Ada pun pejabat kepolisian adalah anggota kepolisian yang berdasarkan undang-undang
memiliki wewenang umum kepolisian (Pasal 1 butir- 3 UU Kepolisian). Artinya, semua
anggota Polri mulai dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi merupakan aparat
”penyelidik” sebagai langkah awal dilakukannya penyidikan. Dengan demikian, semua
anggota Polri adalah aparat penegak hukum lantaran diberi wewenang melakukan
penyelidikan.
Berbeda pada penyidik dan penyidik pembantu yang ditentukan pangkatnya dalam Pasal 2
ayat (1) PP Nomor 58/ 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 27/1981 tentang Pelaksanaan
KUHAP, bahwa untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Polri harus minimal
berpangkat inspektur dua polisi dan berpendidikan sarjana strata satu atau yang sederajat.
Maka itu, meskipun tetap menghormati putusan praperadilan, perlu dilakukan koreksi oleh
MA lantaran hakim melampaui kewenangan yang diberikan KUHAP.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
111
Putusan Hakim Sarpin yang Mencerahkan Koran SINDO 23 Februari 2015
Putusan praperadilan yang dipimpin hakim Sarpin Rizaldi, seorang hakim senior dengan
golongan pangkat IV/D, telah mengundang pro kontra.
Penulis yang memberikan keterangan ahli dari pihak Budi Gunawan dan Divisi Hukum
Mabes Polri serta secara langsung mengalami dan melihat sosok hakim senior Sarpin dapat
mengatakan kepada publik bahwa ia sosok hakim yang berani, tegas, dan mumpuni dari sisi
ilmu hukum.
Bahkan dalam beberapa kesempatan tanya jawab, hakim Sarpin ikut membantu kuasa hukum
Budi Gunawan dan KPK untuk memperbaiki pertanyaannya sehingga pertanyaan hanya
meminta pendapat ahli, bukan penilaian ahli terhadap fakta kasus yang dituduhkan kepada
Budi Gunawan.
Berbeda dengan mantan hakim agung RI yang juga kolega senior dari hakim Sarpin, penulis
mengapresiasi hakim Sarpin karena dari pengalamannya sebagai hakim senior dan dalam
pertimbangannya menunjukkan bahwa yang bersangkutan memahami betul hakikat lembaga
praperadilan dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu berdasarkan UU RI Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hakikat ini tidak banyak orang, sekalipun ahli
hukum pidana, memahami dengan sungguh-sungguh dan baik.
***
Para ahli hukum pidana dan pengamat non-hukum mengkritik keyakinan hakim Sarpin.
Padahal keyakinan tersebut dilindungi UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, khususnya Pasal 3 ayat (2) yang menegaskan bahwa “segala campur tangan
dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman DILARANG (huruf
besar, pen.), kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945”; bahkan terdapat ancaman pidana terhadap siapa saja (ayat 3).
Semua warga negara Indonesia seharusnya menjunjung tinggi kedaulatan hakim di dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara; tidak malah mem-bully setiap hakim yang memeriksa
dan memutus perkara tipikor jauh sebelum hakim bersidang. Kebiasaan buruk dan tidak
terpuji yang selalu dilakukan LSM anti-korupsi ini seharusnya tidak perlu terjadi di dalam
demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bukan konstitusi AS atau Inggris!
Begitu pula tokoh-tokoh masyarakat yang latah mencampuri kekuasaan kehakiman dengan
menyampaikan opini kepada publik tanpa yang bersangkutan memiliki pengetahuan hukum
112
sedikit pun kecuali hanya “katanya” (testimonium de auditu).
Pengamatan saya selaku ahli terhadap sikap pengamat, tokoh masyarakat, dan ahli hukum
yang tidak memiliki kompetensi hukum pidana memprihatinkan ketika mereka mengatakan
“apa pun yang diputuskan hakim harus kita hormati”, tetapi dalam kenyataannya mereka
menjadi munafik ketika putusan hakim tidak sesuai dengan kehendak hatinya dan berlomba-
lomba mengkritik keyakinan hakim seperti terjadi pada hakim senior Sarpin.
Dalam konteks inilah penulis sangat mengapresiasi sikap dan keyakinan hakim Sarpin yang
dengan tegar dan cerdas memutus permohonan praperadilan Budi Gunawan tanpa ada rasa
takut dan ragu-ragu dan dipersiapkan dengan baik.
Jika membaca petikan putusan hakim Sarpin, penulis melihat bahwa pertimbangan
putusannya telah sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan
Kehakiman. Aturan tersebut memerintahkan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat dimaksud adalah sejalan dengan
perkembangan HAM Internasional dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan
hakikat perlindungan HAM yang tecermin dari ketentuan Bab XA UUD 1945 tentang HAM.
Pascaratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Hak Sosial dan Hak Politik,
dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005, seharusnya setiap bentuk tindakan aparatur negara
termasuk penyidik dan penuntut yang diduga telah melanggar hak-hak asasi tersebut dapat
dimintakan perlindungan kepada lembaga praperadilan. Kesempatan tersebut tidak terbatas
pada alasan-alasan apa yang telah ditentukan secara limitatif di dalam Pasal 77 KUHAP
dengan dasar perkembangan kebutuhan perlindungan HAM setiap orang terlepas dari latar
belakang etnis, sosial, ekonomi dan kedudukannya dalam masyarakat dari penyalahgunaan
wewenang oleh aparatur hukum.
Menurut Remmelink (2003), setelah lahirnya Konvensi Uni Eropa tentang HAM, Pasal 1
KUHAP Belanda, yang menyatakan bahwa hukum acara pidana yang berlaku adalah hukum
acara yang ditentukan dalam undang-undang ini (KUHAP), tidak lagi bersifat
mutlak. Contoh, proses perolehan bukti perkara pidana merupakan persoalan serius; tidak lagi
hanya cukup bahwa telah ada bukti permulaan yang cukup. Begitu pula dalam konteks
penetapan sebagai tersangka, tidak cukup hanya keabsahan proses administrasi semata,
melainkan harus diuji keabsahan perolehan bukti permulaan yang cukup sehingga seseorang
ditetapkan menjadi tersangka.
***
Putusan hakim Sarpin merupakan peringatan terhadap setiap aparatur penegak hukum, tidak
terbatas pada KPK, untuk bertindak hati-hati dan tidak menyalahgunakan wewenang. Putusan
hakim Sarpin menurut penulis merupakan putusan yang monumental (landmark decision)
yang membuka ruang bagi setiap orang di dalam wilayah hukum NKRI untuk
113
mempersoalkan pelanggaran HAM dalam proses penyidikan dan penuntutan.
Secara teoretik, pertimbangan hakim Sarpin dalam putusannya merupakan penemuan hukum
(rechtsvinding) dan telah sejalan dengan hukum sebagai sistem norms and logic yang dapat
membawa pencerahan kepada masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja), hukum tentang
perilaku (alm. Satjipto Rahardjo), dan hukum sebagai sistem nilai (Romli Atmasasmita).
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana
114
Istana Rajawali atau Istana Kampret? Koran SINDO 23 Februari 2015
Tidak seperti biasa, guru bangsa Buya Syafii Ma’arif melontarkan pernyataan pedas terhadap
Presiden Jokowi atas pencalonan kapolri yang terkesan gamang.
Buya gusar karena Jokowi terkesan maju mundur dan gamang. Buya mendesak agar Jokowi
segera mengambil keputusan. “Kalau mau jadi burung rajawali, jadilah burung rajawali yang
kuat dan tegas. Kalau tidak, ya jadilah burung kelelawar (kampret),” kata Buya.
Nah, ketika akhirnya Jokowi mengambil keputusan membatalkan pelantikan Budi Gunawan
sebagai kapolri dan mengajukan nama baru calon kapolri ke DPR, apakah dia telah menjadi
seekor rajawali atau tetap menjadi seekor burung kampret, wallahu alam. Yang pasti,
Presiden Joko Widodo masih jauh dari zona nyaman. Bahkan, Presiden kemungkinan akan
menghadapi tsunami politik.
Kebijakan menyudahi kisruh KPK-Polri ternyata justru melahirkan masalah baru. Kini
Presiden bahkan harus menghadapi kemarahan partai politik pendukungnya dan juga
kemarahan sebagian anggota DPR. Wacana tentang penggunaan hak angket DPR segera
mengemuka sebagai respons atas keputusan Presiden membatalkan pelantikan Komisaris
Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai kepala Polri (kapolri) serta mengajukan Komisaris
Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon kapolri.
Tekanan terbaru ini mungkin dirasakan sangat keras oleh Presiden karena wacana hak angket
kali ini justru diprakarsai oleh kekuatan politik yang mendukungnya, utamanya Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Adalah Junimart Girsang, anggota Komisi III DPR
dari Fraksi PDIP yang pertama kali dan secara terbuka mewacanakan penggunaan hak angket
itu. Dia terang-terangan menyatakan kecewa karena Presiden membatalkan pelantikan
Budi. Menurut dia, Presiden tidak bisa menolak apa yang sudah diputuskan sidang paripurna
DPR.
Wacana yang diembuskan Junimart tampaknya bukan sesuatu yang tiba-tiba atau atas nama
pribadi. Kuat dugaan, wacana ini merupakan produk dari pertemuan beberapa kader PDIP
dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Rabu (18/2). Mereka yang bertemu
Megawati hari itu antara lain Wasekjen PDIP Ahmad Basarah dan anggota DPR dari Fraksi
PDIP Herman Hery.
Segera setelah pertemuan di rumah Megawati itu dilaksanakan, beredar sebuah draf hak
angket dan atau hak interpelasi. Karena DPR sudah memasuki masa reses, draf hak angket
dan hak interpelasi DPR itu diedarkan ke rumah masing-masing anggota DPR. Draf itu
115
merefleksikan kemarahan sebagian anggota DPR. Mereka menilai Presiden tidak
menghormati institusi DPR dengan cara mencampakkan kesepakatan pemerintah dan DPR
perihal calon kapolri. Padahal, mayoritas fraksi di DPR sudah sepakat dengan Presiden untuk
memberhentikan Jenderal Sutarman sebagai kapolri dan mengangkat Komjen Pol Budi
Gunawan sebagai kapolri yang baru.
Proses pencalonan yang akan dijalani Badrodin Haiti pun belum tentu mulus. Dinamika
politik selama masa reses DPR menjadi faktor yang sangat menentukan. Apalagi alasan
pencalonan Badrodin pun dinilai tidak jelas.
Surat Presiden Jokowi ke DPR terdiri atas dua lembar, disertai lampiran biodata Komjen
Badrodin Haiti. Lembar lainnya mencantumkan alasan Presiden. Di antaranya, “Berhubung
Komisaris Jenderal Polisi Drs Budi Gunawan, S.H, M.Si., ketika itu sedang menjalani proses
hukum sebagai tersangka pada Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Surat Perintah
Penyidikan Nomor: Sprin.Dik- 03/01/01/2015, tanggal 12 Januari 2015, dipandang perlu
untuk menunda pengangkatan yang bersangkutan sebagai Kapolri sebagaimana
dipertimbangkan Presiden dalam Keputusan Presiden Nomor 04/POLRI/TAHUN 2015
tentang penugasan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Untuk
Melaksanakan Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia .”
Lalu, kalimat dalam paragraf berikutnya: “Mengingat bahwa pencalonan Komisaris Jenderal
Polisi Drs. Budi Gunawan S.H, M.S- sebagai Kapolri telah menimbulkan perdebatan di
masyarakat dan dalam rangka untuk menciptakan ketenangan di masyarakat serta
memperhatikan kebutuhan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk segera dipimpin oleh
seorang Kapolri yang definitif, kami mengusulkan calon baru yaitu Komisaris Jenderal Polisi
Drs Badrodin Haiti untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Sebagai Kapolri.“
Jokowi mengirimkan surat itu pada hari terakhir masa persidangan DPR, Rabu, 18 Februari
2015. Surat Presiden itu akan dibacakan di sidang paripurna DPR pada 23 Maret 2015. DPR
memiliki waktu 20 hari untuk membahasnya.
Tsunami Politik
Kendati DPR menjalani masa reses, wacana tentang penggunaan hak angket atau hak
interpelasi DPR akan membuat suasana tetap bising. Berarti badai kegaduhan di ruang publik
belum berlalu. Bahkan, kegaduhan itu akan bisa tereskalasi nantinya jika semua fraksi di
DPR solid untuk menggunakan salah satu dari dua hak itu.
Dan manakala penggunaan hak itu terlaksana, itulah saatnya pemerintahan Presiden Jokowi
Widodo diterjang tsunami politik. Patut diibaratkan sebagai tsunami politik karena ketika hal
itu benar-benar terjadi, Presiden kemungkinan dibiarkan sendirian menghadapi DPR. Tidak
ada kekuatan politik di DPR yang akan pasang badan membela Presiden. Sebab wacana
penggunaan hak-hak itu sepertinya sudah mendapatkan dukungan awal dari beberapa
116
komponen KIH.
Tsunami politik bisa menerjang Presiden karena beberapa kebijakan atau keputusan Presiden
terbaru tidak dipersiapkan dan dipertimbangkan dengan matang. Presiden bahkan cenderung
meremehkan DPR. Selain kasus pembatalan pelantikan Budi Gunawan, Presiden juga diduga
kuat melanggar UU ketika memperpanjang kontrak Freeport dan ketika menggagas Kartu
Indonesia Sehat serta Kartu Indonesia Pintar. Untuk anggaran program Kartu Indonesia Sehat
dan kartu pintar ini, pemerintah belum pernah membahasnya bersama DPR.
Adapun dalam kasus batalnya pelantikan Budi Gunawan, wajar jika sebagian anggota DPR
dan PDIP marah karena merasa telah dibohongi Presiden Jokowi. Sebelumnya, selama lebih
dari satu bulan masyarakat dipaksa menerima kegaduhan sambil menunggu Presiden
menunjukkan sikap tegas dan mandiri dalam menggunakan hak prerogatif. Alih-alih
konsisten dengan pilihannya terhadap Budi Gunawann sebagai calon tunggal kapolri,
Presiden Joko Widodo justru memaksa dirinya sendiri berbohong kepada rakyat demi
menyudahi kisruh Polri versus KPK.
Jokowi jelas telah membohongi publik, termasuk DPR dan PDIP. Sebab, pada jumpa pers
Jumat (16/1) malam di Istana Merdeka, Jokowi dengan nada sangat tegas menjelaskan bahwa
Budi Gunawan masih berstatus calon tunggal kapolri meski sudah berstatus tersangka.
Bahkan, Jokowi juga menegaskan tidak membatalkan pelantikan BG sambil memberi
penekanan khusus pada kata ‘penundaan’. “Jadi menunda, bukan membatalkan. Ini yang
perlu digarisbawahi,” kata Jokowi saat itu.
Kini, faktanya sudah sangat jelas. Apalagi Jokowi pun telah siap mengajukan Komjen Pol
Badrodin Haiti sebagai calon tunggal kapolri. Sebelumnya, Jokowi setidaknya sudah tiga kali
inkonsisten atau ingkar janji. Pertama, janji membangun koalisi ramping. Janji ini tak
terpenuhi karena sejak sebelum dilantik menjadi Presiden, Jokowi masih berharap tambahan
anggota koalisi agar bisa menggenggam kekuatan dominan di DPR.
Janji kedua adalah koalisi partai politik (parpol) tanpa syarat. Di kemudian hari, janji ini jadi
bahan olok-olok lawan politiknya karena Jokowi mengalokasikan 16 jabatan menteri untuk
kader partai pendukungnya.
Janji ketiga adalah membentuk kabinet ramping. Janji yang satu ini pun gagal dipenuhi
Jokowi karena nomenklatur Kabinet Kerja justru mengikuti postur Kabinet Indonesia
Bersatu-II yang gendut.
Akhirnya bila kelak situasi mereda, Jokowi harus dapat mengambil pelajaran penting dari apa
yang terjadi dari kasus pencalonan kapolri yang telah merusak hubungan antarlembaga tinggi
negara, khususnya dengan DPR dan kisruh KPK-Polri ini. Mengelola negara bukanlah
sesederhana mengelola sebuah kota yang hanya terdiri atas beberapa kecamatan. Selain
dibutuhkan sikap kenegarawanan, seorang presiden juga harus terbebas dari berbagai
tekanan. Baik dari parpol pendukung maupun dari kepentingan kelompok LSM dan relawan.
117
Presiden Jokowi masih memiliki banyak waktu untuk memperbaiki keadaan. Khususnya
dalam hal pengelolaan negara. Kita berharap, ke depan Jokowi dapat menjaga agar Istana
Presiden tetap menjadi istana rajawali yang berwibawa dan menghadirkan solusi. Bukan
sebaliknya, menjadi istana kampret yang menjadi sumber masalah bagi bangsa.
BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar dan Anggota Komisi III DPR RI/Presidium Nasional
KAHMI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
118
Mencari Pemutus Sengketa Hasil Pilkada Koran SINDO 24 Februari 2015
Pembentuk undang-undang seperti kehabisan akal untuk mencari jawaban hendak diberikan
ke institusi apa kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah
(pilkada).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang berasal dari Perppu Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, memberikan kembali wewenang
menyelesaikan sengketa hasil pilkada kepada Mahkamah Agung (MA). Aspirasi ini sangat
disokong oleh pemerintah (baca: Kementerian Dalam Negeri) karena berupaya
mengembalikan pilkada ke dalam rezim pemerintahan daerah, bukan lagi rezim pemilihan
langsung.
Keinginan Kemendagri tersebut ternyata tidak didukung oleh DPR. Melalui revisi terbatas
UU Nomor 1/2015, mereka tetap menginginkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
menyelesaikan sengketa hasil pilkada sebelum dibentuk badan peradilan khusus. Terlebih
MA sudah menyatakan keberatannya karena menerima dan masih menunggak banyak
perkara.
Persoalannya, dalam putusan Tahun 2013, MK sudah pernah menyatakan bahwa
menempatkan sengketa pilkada ke MK bertentangan dengan UUD 1945 karena pilkada
bukan pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.
Kontroversi MA
Awalnya, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, undang-undang
yang mengubah pilkada melalui DPRD menjadi pilkada langsung oleh rakyat, penyelesaian
sengketa hasil pilkada memang diserahkan kepada MA. Untuk sengketa hasil pemilihan
gubernur, MA langsung mengadili sendiri, tetapi untuk sengketa hasil pemilihan bupati/wali
kota diserahkan kepada pengadilan-pengadilan tinggi.
Selama sengketa hasil pilkada disidangkan MA sejak 2005 hingga 2008 mencuat beberapa
kontroversi. Yang paling menonjol Pilkada Depok 2005, Pilkada Maluku Utara 2007, dan
Pilkada Sulsel 2007. Tiga pilkada tersebut telah memunculkan pertikaian antarkubu yang
bersaing dan semakin diperuncing dengan putusan pengadilan yang justru tidak
menyelesaikan masalah, tetapi malahan memancing masalah baru.
Pada Pilkada Depok 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat telah membuat putusan yang tidak
masuk akal yaitu memenangkan gugatan pasangan yang kalah dengan hanya berbekal asumsi.
119
Salah satunya menghitung suara mereka yang tidak memilih. Akibat itu, meski undang-
undang tidak mengatur mekanisme peninjauan kembali (PK), karena putusan sangat tidak
rasional, MA akhirnya membatalkan putusan PT Jabar.
Pada Pilkada Sulsel 2007, putusan MA menyulut kontroversi karena memerintahkan pilkada
ulang, padahal maksudnya pemungutan suara ulang. Karena perintahnya pilkada ulang, yang
artinya proses mulai dari pemutakhiran data pemilih hingga pelantikan pasangan calon
terpilih, putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. KPU Sulsel pun mengajukan PK dan
akhirnya MA mengabulkan PK tersebut.
Pada Pilkada Maluku Utara, MA tidak memberikan putusan yang pasti terhadap kubu yang
dimenangkan. MA hanya memberikan perintah menghitung ulang suara, padahal KPU
Maluku Utara telah terbelah. Penghitungan ulang dilakukan, tetapi hasilnya tetap tidak jelas
siapa yang menang karena ada dua versi KPU Maluku Utara dengan dua versi hasil
penghitungan pula.
Kontroversi di MA telah menyulutkan tuntutan untuk menggeser penyelesaian sengketa ke
MK yang dipandang lebih kredibel. Secara resmi, sejak pertengahan 2008, melalui UU
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32/2004, MK menyidangkan
sengketa hasil pilkada yang telah bergeser maknanya menjadi pemilihan umum kepala daerah
(pemilukada).
Banyak apresiasi yang dialamatkan ke MK selama menyidangkan sengketa hasil
pemilukada. Ratusan kasus telah diselesaikan tanpa riak berarti karena tingkat kepercayaan
masyarakat yang tinggi. Hingga, pada 2 Oktober 2013, Ketua MK Akil Mochtar tertangkap
tangan menerima suap dari Bupati Gunung Mas Hambit Bintih. Akil dibui dan diganjar
hukuman seumur hidup, hukuman tertinggi bagi koruptor hingga saat ini.
Kendati persoalan Akil sempat meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap MK hingga
titik nadir, perlahan tapi pasti di bawah kepemimpinan Hamdan Zoelva, MK merebut kembali
kepercayaan masyarakat. Secara umum masyarakat tidak menolak kewenangan MK untuk
menyelesaikan sengketa pemilukada hingga MK sendiri yang menghapuskan kewenangan
tersebut dalam putusan pada 2013.
Alhasil, ketika pembentuk undang-undang mencari lembaga yang berwenang menyelesaikan
sengketa hasil pilkada (setelah undang-undang mengembalikan lagi terminologi pemilukada
menjadi pilkada), pilihan menjadi begitu sempit. Karena sudah ada putusan MK, logikanya
penanganan harus balik lagi ke MA. Masalahnya, MA berkeberatan dan masyarakat sipil
penggiat pemilu juga tidak ingin MA.
Sebagai jalan tengahnya, pembentuk undang-undang memerintahkan penanganan sengketa
hasil pilkada kepada badan pengadilan khusus. Namun, selama badan tersebut belum
terbentuk, MK kembali diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa hasil pilkada.
120
Wewenang Bawaslu
Dari sisi teori, peradilan hanyalah salah satu pilihan bagi penyelesaian sengketa pemilu,
termasuk sengketa hasil pilkada. Selain pengadilan, kewenangan juga dapat diberikan kepada
parlemen, penyelenggara pemilu, dan instrumen internasional. Yang terakhir pernah terjadi di
Afghanistan karena institusi lokal sudah ambruk sehingga penyelesaian diserahkan kepada
instrumen-instrumen internasional yang membantu pelaksanaan pemilu di negara itu.
Dalam konteks Indonesia, pilihan selain pengadilan masih terbuka untuk penyelesaian oleh
penyelenggara pemilu. Oleh parlemen sangat tidak mungkin karena level kepercayaan
terhadap parlemen sangat rendah, terlebih bila dikaitkan dengan kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa hasil pemilu dan pilkada. Sementara instrumen internasional sangat
tidak diperlukan karena institusi lokal masih mungkin berjalan normal.
Penyelenggara pemilu di Indonesia terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kepada lembaga mana penyelesaian sengketa hasil
pilkada hendak diberikan?
Saya lebih sepakat bila penyelesaian sengketa hasil pilkada tersebut diserahkan kepada
Bawaslu. Saat ini Bawaslu diberikan tiga kewenangan yaitu melakukan pengawasan,
penanganan tindak pidana pemilu, dan penyelesaian sengketa dalam konteks pemilu
legislatif. Bisa dikatakan, bisnis inti dari Bawaslu adalah pengawasan. Padahal, justru di
sinilah letak persoalannya.
Pengawasan tidak jelas ukurannya. Antara input dan output tidak terukur. Tidak heran banyak
pihak yang menyatakan lebih baik peran pengawasan Bawaslu diserahkan kepada
masyarakat, pemantau, parpol, dan kandidat. Peran untuk terlibat dalam penanganan tindak
pidana pemilu juga tidak dibutuhkan mengingat kewenangan Bawaslu tidak menentukan.
Lebih baik Bawaslu berkonsentrasi pada kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu,
yang jelas sangat bisa diukur tingkat keberhasilan dan kegagalannya. Termasuk dalam hal ini
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Untuk sengketa hasil pemilu
legislatif dan presiden, karena sudah ditentukan dalam UUD 1945, mau tidak mau harus
diserahkan kepada MK.
Saya termasuk yakin bahwa penyelesaian sengketa hasil pilkada oleh Bawaslu akan jauh
lebih baik bila dibandingkan menyerahkannya kembali ke MA sebagaimana disebut dalam
UU Nomor 1/2015. Terlebih MA menyerahkan penanganan sengketa hasil pemilihan
bupati/wali kota ke pengadilan tinggi.
Di bawah rezim MA, bisa jadi pilkada akan bertambah mahal. Para pecundang dan pengacara
siap-siap menunggu di tikungan untuk mempersoalkan sengketa hasil pilkada ke MA atau
pengadilan tinggi. Dambaan pilkada murah menjadi hanya menggantang asap.
121
Terhadap keputusan untuk mengembalikan ke MK untuk sementara waktu sebelum
terbentuknya badan pengadilan khusus, saya termasuk yang sepakat. Namun, bila putusan
MK pada 2013 menghalangi lembaga ini untuk menangani sengketa hasil pilkada secara
permanen, Bawaslu yang direformasi dari sisi kelembagaan dan personel dapat menjadi
pilihan. Tidak perlu membentuk lembaga baru yang pastinya akan memakan biaya, padahal
ada lembaga yang masih bisa dimaksimalkan fungsinya.
REFLY HARUN
Ahli Hukum Tata Negara; Mengajar di Program Pascasarjana UGM
122
Prioritas Langkah Menyelamatkan Polri Koran SINDO 25 Februari 2015
Ada yang merisaukan pada isi pidato Presiden Jokowi, Rabu (18-2-2015) lalu. Pidato berisi
keputusan Presiden terkait kekisruhan antara KPK dan Polri itu menyinggung masyarakat
sebagai pihak yang terimbas sebatas dalam bentuk terjadi perbedaan pendapat.
Padahal, lebih dari sekadar perdebatan kognitif, pertikaian dua organisasi itu nyata-nyata
sudah sampai ke dimensi afektif yakni dalam bentuk kian tergerusnya kepercayaan publik
terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum. Apalagi, terdapat kesan kuat bahwa sinisme
masyarakat terhadap Polri tampak lebih mengental; suasana batiniah yang mengkhawatirkan,
mengingat Polri merupakan institusi penegakan hukum yang bersifat permanen.
Berhadapan dengan kondisi psikologis masyarakat sedemikian rupa, Polri sepatutnya
terdorong untuk lebih inward looking, di samping terus mengupayakan perbaikan kualitas
kemitraannya dengan KPK. Dorongan bagi Polri untuk lebih mawas diri itulah yang
sebenarnya sangat baik bila disampaikan Jokowi.
Tentu, dengan sekian banyak area pembenahan internal yang ada, tugas Komisaris Jenderal
Polisi Badrodin Haiti kelak akan sangat berat. Area mana yang patut diutamakan bersumber
dari tiga potong kejadian yang telah terlupakan. Peristiwa penting yang justru dari situlah
calon Kapolri Badrodin dapat menemukan tiga area yang membutuhkan pembenahan besar-
besaran.
Kejadian pertama yang mencerminkan kekacauan organisasi Polri adalah ketika dua
petingginya mengeluarkan pernyataan berbeda sehubungan dengan penangkapan Bambang
Widjojanto. Plt. Kapolri (Wakapolri) Badrodin Haiti membantah ada penangkapan tersebut.
Tapi, berbeda tajam, Kabareskrim Budi Waseso justru mengonfirmasi kabar mengenai
penangkapan terhadap petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi itu.
Bertolak belakangnya pernyataan dua komjen di atas mengisyaratkan ada faksi-faksi di dalam
tubuh Polri. Koordinasi antarfaksi menipis, sebagai konsekuensi ketidaksempurnaan dalam
mengatasi keadaan kritis yang dipandang harus disikapi selekas mungkin. Kekacauan fungsi
komunikasi publik (hubungan masyarakat, humas) Polri itu sesungguhnya memalukan,
mengingat by nature kerja polisi identik dengan situasi krisis.
Publik pun bereaksi dengan mempertanyakan, apakah penangkapan Bambang merupakan
langkah penegakan hukum yang dihasilkan berdasarkan keputusan terpadu Polri atau sebatas
sebagai prakarsa sektoral oleh kubu dengan kepentingan tertentu di tubuh Polri?
123
Jika ditarik ke tataran lebih mendasar, istilah ‘humas’ di institusi Polri pun seolah
mengandung salah kaprah. Seluruh aparat Polri sesungguhnya memiliki kewajiban untuk
membangun hubungan dengan masyarakat. Dengan kata lain, kehumasan tidak semestinya
dijadikan sebagai tugas pokok dan fungsi unit kerja tertentu lalu dikesampingkan pada unit-
unit kerja lain.
Dengan dasar berpikir seperti itu, unit humas Polri sepatutnya dilikuidasi ke seluruh unit
kerja Polri. Sebagai gantinya, dibentuk unit hubungan media (media relations) dengan tugas
melayani kebutuhan informasi para wartawan serta unit kerja sama antarlembaga.
Bagaimana memastikan setiap orang yang bergabung dalam Polri memiliki potensi
kehumasan yang memadai serta terkembangkan secara baik, itulah fondasi yang patut
dibangun ulang oleh Badrodin selaku kapolri nanti. Spesifik dalam konteks kemelut yang
sedang berlangsung, sinkronisasi informasi yang disampaikan ke masyarakat merupakan
keharusan guna mencegah agar kekacauan tidak bergulung-gulung seperti bola salju.
Kejadian --bahkan tak keliru disebut ‘misteri’-- kedua adalah dimutasinya Komjen Suhardi
Alius dari jabatan Kabareskrim Polri ke posisi Sestama Lemhanas. Meski Polri
mengemukakan alasan bahwa keputusan pemindahan Suhardi sesuai rekam jejak Suhardi,
gelombang skeptisisme publik tetap deras menolak penjelasan yang Polri ajukan. Keragu-
raguan masyarakat itu bertitik tolak dari penilaian bahwa Polri hingga kini belum sungguh-
sungguh menerapkan pendekatan objektif sebagai mekanisme penentuan karier personelnya.
Pada satu sisi, profesionalisme selalu dikemukakan sebagai rasionalisasi. Tapi, pada sisi lain,
kasak-kusuk nyaring terdengar bahwa promosi maupun demosi di lembaga Polri lebih
ditentukan oleh faktor-faktor semisal urut kacang, baik berdasarkan usia karier maupun usia
biologis, dan kedekatan pribadi. Ketiadaan mekanisme objektif itu pula yang mendasari syak
wasangka bahwa di dalam organisasi Polri sekali lagi terdapat faksi-faksi. Sehingga, ketika
Suhardi “masuk kotak”, publik serta-merta menyimpulkan bahwa Suhardi merupakan korban
rivalitas antarfaksi dan Suhardi bagian dari faksi yang kalah.
Pemindahan Suhardi yang terkesan bukan dilandasi penilaian akan faktor kompetensi
mengirim pesan nyaring ke Badrodin, dan para penerusnya ke depan, bahwa manajemen
sumber daya manusia (SDM) serta pendidikan dan pelatihan (diklat) Polri merupakan agenda
prioritas yang mutlak dilaksanakan. SDM dan diklat yang terkelola modern merupakan
indikasi kesungguhan Polri dalam memosisikan para personel sebagai aset emas organisasi.
Hanya dengan sistem pengelolaan SDM dan diklat yang mantap, perbincangan tentang visi
dan pencapaian kinerja masing-masing personel menjadi sesuatu yang relevan. Sekaligus,
meminimalkan rupa-rupa politik organisasi yang busuk semacam “lelang” jabatan, kolusi,
dan nepotisme.
Isu penting ketiga dipicu oleh ditetapkannya Komjen Pol Budi Gunawan oleh KPK sebagai
tersangka. Pascapenetapan tersebut, yang lantas dianulir oleh hakim Sarpin Rizaldi pada
sidang praperadilan, spontan bangkit ingatan khalayak luas pada isu tentang rekening gendut
124
sejumlah perwira tinggi Polri. Bangkitnya memori publik menunjukkan bahwa pendisiplinan
diri seluruh anggota Polri oleh institusi Polri masih merupakan titik rawan yang terus-
menerus diperhatikan masyarakat.
Memang wajar bila masyarakat meletakkan standar tinggi bahwa Polri seharusnya mampu
menjalankan misi kenabian sebagai acuan kebenaran dan kesantunan. Namun, faktanya, di
situ pula gumpalan kekecewaan publik berlipat ganda; telanjur terbangun keyakinan publik
bahwa solidaritas korps Polri terejawantah ke dalam kebiasaan menutup-nutupi perilaku jahat
atau pun perilaku tidak etis para personelnya.
Berulangnya gontok-gontokan antara KPK dan Polri juga mempertegas hukum alam bahwa
bagi organisasi yang ruhnya berintikan pada jiwa korsa, sorotan dari pihak eksternal hampir
bisa dipastikan selalu ditanggapi dengan perlawanan. Karena itu, Polri yang semestinya
memaksimalkan peran-peran pengawasan internalnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan
personel.
Untuk tujuan tersebut, fungsi profesi dan pengamanan menjadi sektor terdepan. Pendisiplinan
mengincar dua subkultur yang mewabah di kebanyakan organisasi kepolisian, yaitu perilaku
korupsi dan tindakan brutal.
“Save Polri-Selamatkan Polri”, begitulah semboyan yang kini disuarakan ke segala penjuru.
Tentu bukan menyelamatkan Polri dari incaran KPK, melainkan dari hancur leburnya
kepercayaan “orang tua kandung Polri” alias masyarakat. Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
125
Sekali Lagi tentang Mubahalah Anas Koran SINDO 25 Februari 2015
Membaca tulisan Moh. Mahfud MD di KORAN SINDO, 21 Februari 2015 berjudul
“Mubahalah dan Sumpah Pocong”, saya tertarik untuk ikut melanjutkan pembahasannya.
Bukan karena Mahfud sangat produktif menulis dan bahkan dari cuitan di Twitter pun bisa
melahirkan pembahasan yang serius. Bukan pula penulisnya dikenal sebagai pakar hukum
konstitusi dan mantan pejabat tinggi negara. Tapi, saya tertarik tulisan ini semata-mata karena
temanya tentang mubahalah dan saya mengikuti kasus hukum Anas Urbaningrum sejak awal
sampai selesainya proses persidangan.
Serangan Pihak Lain atau Ulah Pimpinan KPK?
Jika dibaca dengan cermat, tulisan Mahfud mengandung muatan tiga pesan. Pertama,
mubahalah tidak pernah terjadi dan karena itu masalah-masalah yang menimpa para
pimpinan KPK dan lembaganya tidak ada kaitannya dengan mubahalah. Istilah Mahfud
adalah “tidak ada urusannya dengan mubahalah-mubahalahan.” Mengapa? Karena tantangan
Anas kepada majelis hakim dan KPK untuk mubahalah tidak ditanggapi dan sistem peradilan
di Indonesia juga tidak mengenal mubahalah.
Kedua, tidak ada urusan laknat Allah atau kualat dengan mubahalah karena justru laknat itu
jelas untuk kasus korupsi atau penyuapan. Mahfud mengutip hadis, “Allah melaknat penyuap
dan penerima suap.” Bagian ini penegasan Mahfud bahwa orang yang terlibat korupsi atau
penyuapan yang mendapatkan laknat. Tentu yang dimaksud Mahfud adalah Anas dan
mungkin pihak lain lagi.
Ketiga, masalah-masalah yang terjadi atas para petinggi KPK atau lembaganya karena
serangan dari pihak lain, karena KPK di seluruh dunia memang selalu mendapat hantaman
dengan berbagai cara. Istilah Mahfud MD adalah “hantaman dari delapan penjuru mata
angin”, bahkan pada 2009 disebutkan di dalam tulisannya, hantaman kepada KPK lebih hebat
ketimbang yang sekarang ini. Masalah-masalah itu dipahami sebagai datang dari luar dan
bukan karena kelemahan di KPK.
Adalah benar ketika Mahfud mengatakan bahwa tantangan mubahalah Anas tidak dikabulkan
oleh majelis hakim. Saat Anas menyatakan meminta mubahalah kepada majelis hakim dan
JPU, para hakim dan jaksa kaget luar biasa. Wajah-wajah mereka menjadi tegang, terpaku,
dan membisu.
Saya yakin para hakim dan jaksa baru pertama kali mendapatkan tantangan melakukan
126
mubahalah. Tidak ada satu pun orang di ruang sidang menduga Anas akan menyatakan itu.
Mungkin ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah peradilan di negeri ini.
Setelah terpaku sekian waktu, dengan wajah yang dingin membeku dan kebingungan, ketua
majelis hakim Haswandi mengetuk palu tanda menutup sidang. Kemudian segera keluar
ruang sidang dengan terburu-buru dan diikuti oleh semua anggota majelis. Para jaksa masih
terpaku di tempatnya, belum hilang kekagetannya seperti disambar halilintar. Baru kali ini
merasakan mimpi di siang bolong.
Saya sangat memahami ajakan Anas untuk mubahalah kepada hakim dan jaksa. Secara
substansi berarti juga kepada semua pihak di KPK yang telah membawanya ke persidangan
sampai kemudian dijatuhi vonis oleh majelis hakim. Pembelaan yang dilakukannya lewat
proses hukum di persidangan mentok oleh kengototan jaksa menuntut yang tidak berbasis
fakta-fakta persidangan dan hakim yang memutus dengan mengesampingkan fakta-fakta
kebenaran yang sudah terbuka di muka persidangan.
Proses dan hasil persidangan yang tidak fair dan meremehkan deretan fakta-fakta kebenaran
itulah yang direspons Anas dengan permintaan mubahalah. Dengan mubahalah, Anas ingin
memohon keadilan dari Tuhan karena vonis hakim jauh dari spirit keadilan. Mubahalah
adalah ajakan Anas agar hakim, jaksa, dan pihak-pihak yang terlibat, tentu termasuk di
dalamnya para pimpinan KPK, berani bertanggung jawab, termasuk untuk mendatangkan
laknat Tuhan.
Mubahalah, Kualat atau Karma?
Lalu, apakah kasus-kasus yang sekarang menimpa para pimpinan KPK dan yang lainnya
pasti tidak terkait dengan ketidakadilan yang direspons Anas yang menantang mubahalah?
Wallahu a’lam, hanya Tuhan yang tahu. Apakah itu karena karma yang mencari alamatnya
sendiri atau karena kualat atau tanda mubahalah yang bekerja, itu urusan Tuhan. Kita tidak
tahu persisnya, yang perlu diyakini adalah bahwa tindakan zalim, apalagi atas nama
penegakan hukum akan mendapatkan balasannya, dan boleh jadi Tuhan sedang mencicilnya.
Menurut saya, “mubahalah prosedural” memang tidak akan pernah terjadi karena hakim dan
jaksa takut. Tentu saja alasannya bisa disediakan: karena tidak ada mekanismenya dalam
sistem peradilan kita. Tetapi, tidak terjadi “mubahalah prosedural” tidak serta-merta bisa
dikatakan secara substansial tidak terjadi. Boleh jadi “mubahalah prosedural” tetap berjalan
karena kebenaran dan keadilan tidak bisa dihapuskan meski oleh kewenangan KPK yang
absolut dan putusan hakim yang takut kepada opini. Hanya Tuhan yang bisa memastikan.
Bukan saya, Mahfud, atau siapa pun.
Jika Mahfud mau mengikuti kasus Anas secara lengkap, sejak awal sampai selesai
persidangan, termasuk detil-detil fakta hukum yang terungkap di muka persidangan, saya
yakin akan mempunyai persepsi dan sikap berbeda dengan apa yang termuat di dalam
127
tulisannya tersebut. Mengikuti kasus Anas dengan detil dan jernih, akan menghasilkan
kesimpulan yang sangat berbeda dengan yang hanya mengikuti dari pemberitaan media.
Saya menduga Mahfud menjadi salah satu korban dari orkestrasi opini yang selama ini terjadi
terhadap Anas, hal yang biasa dilakukan KPK dalam menggarap kasus. Apalagi dalam kasus
ini ada kekuasaan besar yang rajin bekerja. Tetapi, ketika saya lacak pernyataan-pernyataan
Mahfud terkait Anas dan kasus yang dipaksakan kepadanya, terlihat ada konsistensi nada
yang memang cenderung negatif. Hanya sekali saja komentar positif setelah Anas ditetapkan
sebagai tersangka. Tetapi, karena pernyataan yang positif itu direaksi pihak lain, esok harinya
komentar positif itu kembali “dinetralkan” oleh Mahfud. Jadi saya tidak kaget kalau Mahfud
bisa cepat mereaksi cuitan di Twitter tentang mubahalah yang dikaitkan dengan Anas dan
masalah-masalah yang menimpa pengurus KPK.
Saya pernah menanyakan pernyataan-pernyataan Mahfud yang cenderung negatif tersebut
kepada Anas. Jawaban Anas sungguh mengagetkan. Justru Anas sangat husnudzan dengan
pernyataan-pernyataan negatif dari seniornya itu. “Anggap saja itu cara senior memplonco
yuniornya, diplonco senior yang baik dan hebat kan banyak berkahnya,” begitu jawabannya.
Abraham Samad yang jelas-jelas datang ke Duren Sawit untuk meminta dukungan menjadi
pimpinan KPK, tetapi malah menusuk dari belakang saja tetap didoakan baik oleh Anas.
Itulah sikap-sikap Anas yang terlalu husnudzan kepada orang lain. Anas adalah orang yang
“abnormal” dan kerap bikin gregetan teman-temannya.
Tidaklah penting untuk meneliti mengapa Senior Mahfud cenderung negatif terhadap
yuniornya, Anas. Boleh jadi banyak musababnya. Bukan tidak mungkin dengan agenda
politik pada 2014, di mana Mahfud serius mempersiapkan diri sebagai capres atau cawapres.
Anas pun didakwa oleh KPK karena mempunyai keinginan untuk menjadi capres, dakwaan
yang disebut Anas sebagai imajiner. Yang jelas, saya bersedia menjadi panitia mubahalah
kalau Mahfud dan Anas mau ber-mubahalah atas keyakinan masing-masing terhadap kasus
hukum yang belum berkekuatan hukum tetap itu.
Saya suka dengan kalimat pendek di dalam pledoi Anas: “esok hari adalah misteri”. Bisa
diduga itu sebuah kode. Kita tidak bisa memastikan apakah kode itu terkait perubahan cepat
yang belakangan terjadi di KPK? Pastinya, kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.
Wallahu a’lam.
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ dan Fungsionaris Pimpinan Nasional
Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
128
Gaya Diplomasi Koran SINDO 25 Februari 2015
Diplomasi Indonesia saat ini sepertinya sedang mengalami transisi yang sangat kontras
dengan gaya diplomasi dari pemerintahan sebelumnya.
Semasa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kebijakan politik luar negerinya
terkesan terlalu banyak mengakomodasi kepentingan dari negara-negara lain. Dalam
beberapa peristiwa ketegangan politik antara dua negara seperti dengan Malaysia, Singapura,
Amerika Serikat (AS), dan terakhir Australia dalam kasus penyadapan, kebijakan yang
diambil tidak ”sekeras” yang diharapkan masyarakat.
Di masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), kebijakan itu berubah 180 derajat. Sejak awal
masa kampanye, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintahannya akan lebih keras
dalam politik luar negeri. Dalam kampanye di bulan Juni 2014, Jokowi sudah mengatakan
bahwa jika menyangkut kedaulatan negara Indonesia, apa pun solusinya harus dilakukan.
Dalam kata-katanya sendiri ia mengatakan, ”Kita akan buat ramai. Jangan dipikir saya tidak
bisa tegas.”
Kata-kata itu sepertinya menjadi kenyataan. Dalam kasus penangkapan kapal ikan yang
ilegal, Presiden Jokowi mendukung upaya penenggelaman kapal-kapal nelayan asing yang
beroperasi tanpa izin. Upaya ini ternyata membuahkan hasil dengan meningkatnya harga-
harga ikan di pasar-pasar ikan baik di dalam maupun luar negeri karena pasokan yang mulai
terbatas.
Begitu pula dengan kasus hukuman mati terhadap pengedar narkoba. Ia mengambil jalan
untuk tidak mengampuni para terpidana tersebut dan memberikan izin bagi negara untuk
membunuh terpidana itu melalui hukuman mati.
Berbeda dengan kasus penangkapan ikan, kasus hukuman mati ternyata menimbulkan reaksi
keras dari negara-negara yang warganya terpidana hukuman mati, bahkan termasuk
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Reaksi ini yang lantas menimbulkan efek domino ke
masyarakat dan seperti di masa pemerintahan SBY, masyarakat sekali lagi mengharapkan
tindakan keras mulai dari pemanggilan duta besar hingga pemutusan hubungan diplomatik.
Presiden Jokowi tampaknya akan memilih untuk mengambil kebijakan yang keras dan
berbeda dengan gaya diplomatik SBY. Nampaknya pilihan diplomasi via dialog dengan
negara-negara yang tengah bermasalah dengan kita sedang tersingkir. Dua gaya diplomatik
yang ekstrem itu tentu amat dipengaruhi karakter dan kepribadian masing-masing kepala
negara dan hal ini juga dialami setiap negara.
129
***
Setiap negara memiliki gaya diplomasi yang tidak sama. Gaya-gaya tersebut amat
dipengaruhi karakter, budaya, dan politik masing-masing. Namun yang lebih penting gaya
diplomasi tersebut dipengaruhi kepentingan jangka panjang negara tersebut dalam kompetisi
di tingkat regional dan internasional. Kompetisi itu tidak hanya merebutkan akses pasar
ekonomi, tetapi juga legitimasi atas masalah hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.
Kita dapat melihat kembali misalnya gaya diplomat para kepala negara yang hadir dalam
Konferensi G-20 di Australia tahun lalu. Para kepala negara yang berasal dari Benua Eropa,
Amerika, dan Pasifik seperti Presiden AS Barack Obama, Perdana Menteri (PM) Australia
Tony Abbott atau PM Kanada Stephen Harper memilih untuk bicara terbuka, ketus, menekan,
dan menukik langsung kepada Rusia atas masalah yang terjadi di Ukraina. Mereka bicara
langsung tentang rasa tidak sukanya mereka terhadap Rusia di hadapan Putin tentang
keterlibatan Rusia dalam konflik Ukraina.
Drama diplomasi itu tidak berhenti hanya di suasana yang formal, tetapi juga berlanjut di
acara yang tidak formal. Misalnya ketika Presiden Putin menghampiri Stephen Harper dan
mengajak bersalaman, PM Kanada itu berkata, ”I guess I’ll shake your hand but I have only
one thing to say to you: You need to get out of Ukraine.” (Saya kira saya akan menjabat
tangan Anda, tetapi satu hal yang terucap: Anda perlu angkat kaki dari Ukraina). Ucapan dan
tindakan yang menekan Putin membuatnya harus segera angkat kaki sebelum konferensi itu
berakhir. Ia memberikan alasan bahwa kepulangannya akibat keletihan. Namun semua tahu
bahwa ia tidak dapat bertahan menghadapi tekanan dan dipermalukan dalam konferensi itu.
Sidang Umum PBB yang berlangsung setiap tahun sekali menjadi panggung negara-negara
untuk saling mengungkapkan kecaman, kebencian, protes, dan tuntutan. Ada yang menyebut
negara lain sebagai poros setan, kerajaan imperialis, negara barbar, negara pembunuh, dan
sebagainya. Gaya-gaya diplomasi itu tentu sebagian besar juga memiliki tujuan untuk
memenuhi psikologi massa atau warga negaranya, apalagi bila berada di dalam sebuah
keadaan yang konfrontatif.
Mengenai ketegangan yang terjadi antaranegara-negara sahabat karena tidak dikabulkannya
pengampunan hukuman mati, Indonesia perlu menyiapkan diri untuk menghadapi situasi-
situasi tersebut. Apabila kita melihat sejarah gaya diplomasi negara-negara Amerika Latin
dan Eropa yang cenderung lugas, pemerintahan Jokowi perlu menyiapkan skenario terburuk
di dalam forum-forum internasional yang akan dihadirinya. Presiden Jokowi harus berani
membuka dialog dan berdebat untuk meyakinkan negara-negara tersebut.
Namun yang jauh lebih penting dari itu adalah sampai mana batas ketegangan Indonesia
dengan Brasil, Australia atau negara-negara lain akan berakhir? Kalaupun Presiden Jokowi
memilih gaya tegas, tetap perlu ada exit strategy untuk merajut komunikasi dan memperbaiki
situasi. Hal ini penting karena jenis ketegangan yang terjadi lebih terkait dengan ketegangan
etik atau norma dan bukan ketegangan ekonomis dan ideologis. Ketegangan kita berbeda
130
dengan ketegangan China dan negara-negara tetangga, Pakistan dengan India, atau negara-
negara di Timur Tengah.
Jangan sampai ketegangan ini menjadi tidak produktif dan justru merugikan kepentingan
warga negara di Indonesia dan negara-negara sahabat. Kementerian Luar Negeri perlu
bergerak di balik layar untuk menjembatani komunikasi antarpimpinan politik maupun
masyarakat.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
131
Mewaspadai Sektarianisme di Timteng Koran SINDO 26 Februari 2015
Dalam beberapa minggu terakhir, instabilitas politik di Yaman sangat tinggi. Ini tidak
terlepas dari Deklarasi Konstitusi (al-I’lan ad-Dustury) yang dilakukan oleh kelompok Houthi
di Istana Kepresidenan Yaman (06/02).
Deklarasi yang menggegerkan Timur Tengah secara umum dan dunia Arab secara khusus ini
membubarkan Parlemen Yaman dan membentuk Dewan Revolusi (dari kalangan Houthi)
sebagai pelaksana pemerintahan sementara. Dalam pendahuluan disebutkan, Deklarasi
Konstitusi ini dikeluarkan sebagai upaya penyelamatan Yaman dari kekosongan
pemerintahan setelah Presiden dan Perdana Menteri Yaman (Abd-Rabbu Mansour Hadi dan
Khaled Bahah) mengundurkan diri (23/01).
Sebelumnya, kelompok Houthi yang sejak 21 Januari berhasil menguasai Istana
Kepresidenan Yaman melalui aksi bersenjata memberikan kesempatan kepada segenap partai
dan kekuatan politik untuk mencapai konsensus nasional. Namun, upaya yang dipimpin oleh
utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jamel Benomar atau Jamel Bin Umar, ini
dianggap gagal hingga akhirnya kelompok Houthi mengeluarkan Deklarasi Konstitusi.
Deklarasi Konstitusi memuat 16 butir atau pasal untuk mengatur pemerintahan Yaman
sementara menuju pemerintahan transisi sebelum terbentuk pemerintahan permanen. Pasal 1
menegaskan bahwa konstitusi Yaman tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan
substansi Deklarasi Konstitusi ini.
Pasal 5 dan pasal 11memberikan mandat kepada Dewan Revolusi untuk membentuk Dewan
Nasional (semacam parlemen) yang terdiri atas 551 anggota (Pasal 6) untuk selanjutnya
Dewan Nasional membentuk Dewan Kepresidenan (Pasal 8) yang terdiri atas lima anggota.
Deklarasi yang dikeluarkan para pemimpin revolusi ini juga menentukan masa transisi yang
paling lambat akan berlangsung selama dua tahun sesuai bunyi Pasal 14 (as-Shar al-Awsat,
7/2).
Dalam perkembangan terkini dilaporkan, Presiden Yaman yang sempat mengundurkan diri,
Abd-Rabbu Mansour Hadi, menegaskan kembali sebagai presiden Yaman yang sah. Ini
dilakukan setelah Abd-Rabbu Mansour Hadi berhasil melarikan diri dari rumahnya di Sana’a
(21/02) kemudian tinggal di Kota Aden yang dikenal sebagai basis loyalisnya (Al-jazeera.net,
21/02). Perkembangan ini hampir dipastikan akan menambah kerawanan politik di Yaman,
khususnya konflik-konflik yang bercorak sektarian.
132
Sentimen Sektarian
Sebagaimana dimaklumi bersama, negara-negara Arab merespons negatif Deklarasi
Konstitusi yang dilakukan oleh kelompok Houthi, khususnya pihak-pihak yang berafiliasi ke
sekte ataupun kekuatan politik Sunni (termasuk media). Sebagian media bahkan menyebut
deklarasi ini sebagai penyempurnaan kudeta yang dilakukan oleh kelompok Houthi yang
sejak 21 September 2014 berhasil menguasai ibu kota Yaman.
Kelompok Houthi merupakan bagian dari aliran Syiah (Zaidiyah) yang bersifat minoritas di
Yaman (mayoritas dari kalangan Sunni). Kendati demikian, kelompok yang sejak terjadi
Arab Spring (Musim Semi Arab) kerap menyebut diri dengan nama Ansharullah ini pernah
berkuasa di Yaman, khususnya di Yaman Utara sebelum Yaman berbentuk republik pada
1962. Mungkin kesadaran historis inilah yang membuat kelompok minoritas ini terus
berjuang untuk menghadirkan kembali ”kebesaran” masa lalu pada masa kini. Hingga
akhirnya mereka berhasil menguasai pemerintahan pusat seperti sekarang.
Deklarasi yang dilakukan oleh kelompok Houthi di Yaman dipastikan tak hanya akan
berdampak serius terhadap internal masyarakat Yaman yang secara mayoritas beraliran
Sunni. Deklarasi ini hampir dipastikan juga akan berdampak serius terhadap dunia Arab dan
Timur Tengah secara umum. Apalagi Yaman (di bawah pemerintahan kelompok Sunni)
selama ini menjadi salah satu koalisi utama AS, khususnya dalam perang melawan kelompok
al-Qaeda, di satu sisi, dan dalam mengantisipasi politik Iran yang disinyalir berada di
belakang kelompok Syiah seperti Houthi, di sisi yang lain.
Di antara dampak yang cukup mengerikan dan perlu diwaspadai (termasuk oleh Indonesia)
adalah menguatnya kembali sentimen sektarian antara Sunni dan Syiah. Disebut demikian
karena kawasan Timur Tengah secara umum mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi
terkait hubungan Sunni dan Syiah sebagai akibat dari konflik-konflik masa lalu.
Berdasarkan pengalaman penulis di Timur Tengah, hampir tidak ada konflik antaragama di
kawasan ini. Justru yang kerap terjadi adalah konflik sektarian (intra-agama) antara Sunni
dan Syiah, khususnya di negara-negara yang sebaran populasi pengikut keduanya tidak jauh
berbeda seperti di Irak, Lebanon, dan yang lainnya. Pada tahap tertentu, sentimen sektarian di
Timur Tengah telah menjadi ”alam bawah sadar” masyarakat, termasuk juga para elite-
elitenya. Hingga sentimen ini terus hadir dalam percaturan politik modern (seperti
ketegangan antara Iran dan negara-negara Arab atau antara milisi bersenjata Syiah seperti
Hizbullah di Lebanon dengan militan Sunni seperti al-Qaeda atau NIIS) sekaligus
memperbarui ”luka lama” secara terus-menerus.
Sentimen sektarian ini bahkan tak jarang menjadi politik birokrasi (terhadap warga negara),
menentukan politik luar negeri negara-negara di kawasan dan menjadi benih bagi lahirnya
kelompok-kelompok militan baru.
133
Apa yang dialami Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) bisa dijadikan sebagai salah satu
contoh dari yang telah disampaikan di atas. Sebagaimana dimaklumi, ISIS awalnya terlahir
dari Negara Islam di Irak (NII) sebagai salah satu cabang al-Qaeda yang berpusat di
Afghanistan. Kelompok ini kerap melawan kelompok-kelompok Syiah di Irak. Konflik
politik Suriah di bawah kepemimpinan Bashar al-Assad yang juga dari kalangan Syiah telah
menjadi ”suntikan gizi secara berlebih” bagi kelompok ini. Apalagi konflik di Suriah
kemudian diangkat sebagai konflik sektarian (Sunni dan Syiah) yang memprovokasi kaum
jihadis Sunni secara internasional untuk datang ke Suriah dan berperang melawan rezim al-
Assad.
Disebut ”suntikan gizi secara berlebih” karena kehadiran kaum jihadis Sunni secara
internasional kemudian membentuk NIIS yang jauh lebih besar dan lebih sadis dibanding NII
sebagai ”ibu kandungnya”. Saat ini NIIS bahkan berpotensi lebih besar dibanding al-Qaeda.
Dalam konteks sentimen sektarian seperti ini di Timur Tengah, keberhasilan kelompok
Houthi menguasai Yaman mutakhir bisa semakin memperburuk keadaan yang ada,
khususnya hubungan antara kekuatan-kekuatan Sunni dan Syiah, baik dalam bentuk negara
(seperti antara Iran dan negara-negara Arab Teluk) ataupun dalam bentuk milisi bersenjata
(seperti antara Hizbullah yang berbasis di Lebanon dan Ansharullah di Yaman sebagai milisi
Syiah dengan NIIS atau al-Qaeda sebagai militan Sunni). Terlebih lagi Yaman selama ini
menjadi basis bagi salah satu cabang terkuat al-Qaeda yaitu AQAP.
Mewaspadai
Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia harus secara
sigap mewaspadai pelbagai macam konflik yang terjadi di Timur Tengah, termasuk konflik
sektarian antara Sunni dan Syiah.
Kebalikan dari pengalaman Timur Tengah, Indonesia memang hampir tidak mempunyai
masalah serius dengan konflik sektarian yang bersifat intra-agama (dibanding konflik
antaragama). Mengingat yang kerap terjadi di republik ini justru konflik antragama. Meski
demikian, fenomena ”globalisasi jihadisme” yang marak belakangan mengharuskan semua
pihak mengantisipasi ihwal yang terjadi jauh di luar sana. Apalagi sudah ada ratusan dari
orang Indonesia yang dinyatakan bergabung dengan NIIS. Seperti terlihat dalam video yang
disebarkan oleh NIIS, secara terus terang kelompok ini mengajak masyarakat luas untuk
bergabung sekaligus menantang aparat keamanan.
Tanpa antisipasi yang cukup dari semua pihak, bukan tidak mungkin Indonesia justru lebih
parah dari negara-negara di Timur Tengah. Di satu sisi, negeri ini sudah kerap menderita
penyakit konflik antaragama. Terlebih lagi ditambah dengan konflik sektarian (seperti yang
mulai terjadi di beberapa daerah), di sisi yang lain.
Bagi aparat keamanan dan pemerintah, antisipasi bisa dilakukan dengan menyelesaikan
konflik-konflik yang ada sekaligus memantau mereka yang telah bergabung dengan NIIS
134
atau kelompok radikal lain. Sedangkan bagi masyarakat luas, antisipasi bisa dilakukan
dengan memperkuat visi kebangsaan sekaligus mengambil jarak dari segala konflik yang
terjadi di luar sana. Seberapa pun konflik tersebut mengatasnamakan sekte ataupun agama
tertentu.
HASIBULLAH SATRAWI
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam; Direktur Aliansi Indonesia Damai
135
Masalah Eksekusi Hukuman Mati Koran SINDO 27 Februari 2015
Beberapa waktu belakangan ini mencuat berita di media mengenai vonis hukuman mati yang
dijatuhkan kepada puluhan terpidana narkoba di Indonesia serta penolakan grasi oleh
Presiden Joko Widodo.
Maksud Presiden Joko Widodo menolak permintaan grasi dari 64 terpidana narkoba tersebut
telah menimbulkan reaksi dari beberapa negara. Pemerintah Belanda dan Brasil menarik duta
besarnya, pemerintah Australia mendesak pemerintah Indonesia untuk mengurungkan
eksekusi hukuman mati atas warga negara Australia Myuran Sukumaran dan Andrew
Chan. Tidak kurang, Sekjen PBB Ban Ki Moon juga meminta pemerintah Indonesia untuk
mengurungkan niatnya itu.
Memang sebagai negara berdaulat Indonesia dapat saja mengeksekusi para terpidana narkoba
sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun perlu diperhatikan,
penolakan grasi secara massal tersebut adalah tidak lazim karena permohonan grasi dari
masing-masing terpidana tentunya diajukan dengan alasan-alasan yang berlainan satu sama
lain.
Ada terpidana yang mengajukan permohonan grasi karena merasa bersalah dan menyesali
perbuatannya, yang kemudian disusul dengan berkelakuan baik dan sadar selama masa
tahanan dan rehabilitasi. Apakah terpidana seperti itu pantas untuk dihukum mati?
Tentunya rakyat Indonesia paham bahwa alasan Presiden Joko Widodo mengambil sikap
tegas ini agar tercipta efek jera kepada pelaku dan calon pelaku yang mengedarkan dan
membuat narkoba perlu dipertimbangkan kembali secara hati-hati. Itu juga merupakan
penjelasan atas hukuman mati selektif yang dianut Indonesia, di mana hukuman mati harus
dilaksanakan secara selektif dan hati-hati serta dipertimbangkan dengan matang. Menolak
permohonan grasi secara pukul rata dengan tidak melihat dan mempertimbangkan secara
seksama alasan permohonan grasi masing-masing terpidana narkoba dapat berakibat fatal.
Kita semua tahu bahwa lembaga peradilan kita belum independen dan imparsial. Masih
dipengaruhi faktor ekonomi dan politik. Korupsi yudisial (judicial coruption) masih marak
dan kualitas putusan pengadilan masih diragukan dan sering menyebabkan kontroversi atau
ketidakadilan.
Berbagai akibat dari kebijakan menyamaratakan permohonan grasi untuk ditolak dapat
membahayakan integritas dan kepercayaan publik akan politik hukum ini, karena bisa saja
136
terjadi salah tangkap atau salah tuntut. Belum lagi salah bukti sehingga orang yang tidak
bersalah dihukum mati. Kalau terpidana telah dieksekusi kemudian ternyata ada ”error in
persona” maka terpidana yang sudah dieksekusi tidak dapat diperbaiki hukumannya dan
dibebaskan lagi.
Di negara adidaya seperti Amerika Serikat pernah terjadi si terpidana sudah dihukum mati
kemudian ada seseorang yang mengakui melakukan pembunuhan itu. Nyawa seseorang
menjadi taruhannya. Tentunya ini merupakan kejadian yang dramatis dari segi kemanusiaan.
Sudah terlambat, itulah jawabannya dan memang kebenaran dan keadilan itu tidak ada yang
absolut.
Ini bergantung bagaimana keyakinan hakim yang menjatuhkan vonis. Itulah sebabnya
Presiden harus meminta pendapat Mahkamah Agung RI untuk menerima atau menolak
permohonan grasi terpidana secara individual dan bukan massal sebagai mana bunyi Pasal 1
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (UU Grasi) yaitu sebagai berikut:
”Pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”. Begitu pun dalam
Pasal 2 ayat (1) UU Grasi yang berbunyi sebagai berikut: ”Terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan
grasi kepada Presiden”.
Dapat dilihat secara nyata dalam sebuah kasus bahwa saat ini ada seseorang terpidana mati
berasal dari Nigeria yang dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Surabaya dengan vonis
hukuman mati. Dia bukanlah residivis seperti nama yang tertera dalam paspor palsunya
bernama Titus Ani. Namun, jaringan narkoba internasional telah menjebaknya seolah-olah
dia adalah seorang residivis narkoba internasional. Padahal, dia hanyalah seorang kurir yang
baru pertama kali membawa 396,6 gram narkoba golongan 1 (metamfetamine) ke Indonesia.
Perikemanusiaan yang Beradab
Apa yang diinginkan penegak hukum di Indonesia terhadap seseorang yang telah menjalani
hukuman 10 tahun lebih, kemudian dieksekusi hukuman mati? Ini menimbulkan kebijakan
yang dapat dikategorikan sebagai standar ganda karena hukumannya menjadi berlipat.
Lambannya proses peradilan di Indonesia tidak dapat diletakkan di bahu terpidana. Mulai
dari proses peradilan di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mahkamah agung,
sampai dengan peninjauan kembali dapat saja memakan waktu lebih dari 5 tahun sampai 10
tahun. Perlakuan seperti ini dapat menimbulkan pertanyaan: Sebenarnya kebijakan apa yang
dianut di Indonesia sehingga menerapkan politik hukum yang tidak sesuai dengan segi
perikemanusiaan jika dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia?
Hukuman mati telah menimbulkan kontroversi berkepanjangan. Apakah hukuman mati masih
perlu dianut oleh Indonesia atau tidak. Apalagi, mengingat bunyi Pasal 28 A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan sebagai berikut: ”Setiap orang berhak
137
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Begitu pun dalam
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (”UU HAM”)
yang berbunyi sebagai berikut: ”(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup
dan meningkatkan taraf kehidupannya; (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman,
damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin; (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat.”
Banyak pro dan kontra akan penjatuhan vonis hukuman mati. Jika alasannya adalah untuk
menciptakan efek jera, maka statistik di banyak negara menunjukkan sebaliknya. Banyak
negara yang telah menerapkan hukuman mati sejak dahulu namun angka kejahatan di negara
tersebut tetap saja tumbuh dan tidak berkurang. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat
masih menerapkan hukuman mati tetapi angka kejahatan tetap bertambah termasuk kejahatan
narkoba (drugs trafficking).
Implikasi Kebijakan Diplomasi Ganda
Salah satu implikasi yang pernah kita alami adalah ketika terjadi kasus pembunuhan Munir di
tahun 2004 di dalam pesawat menuju Amsterdam, pemerintah Indonesia meminta hasil otopsi
jenazah Munir, namun Kementerian Hukum Belanda menolak dengan alasan Indonesia masih
mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Mereka khawatir
dari hasil laboratorium forensik akan dapat diketahui siapa pembunuh Munir sebenarnya
yang pada akhirnya akan dihukum mati sebagai balasan dari perbuatan yang telah
dilakukannya.
Inilah salah satu akibat yang ke depan dapat saja terjadi lagi jika pemerintah Indonesia tetap
mempertahankan hukuman mati. Pasti akan ada reaksi timbal-balik dalam diplomasi
internasional.
Begitu pula protes keras Indonesia terhadap vonis hukuman mati atas WNI di Malaysia,
Saudi Arabia, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Tetapi, Indonesia sendiri juga
menerapkan hukuman mati kepada WNA dari negara yang tidak menerapkan hukuman mati
seperti Australia dan Belanda.
Selain itu, sewaktu Hendra Rahardja dijadikan tersangka akan diekstradisi dari Australia ke
Indonesia, permohonan ekstradisi tadi ditolak oleh pemerintah Australia karena pemerintah
Indonesia dianggap menerapkan sistem hukum yang diskriminatif terhadap minoritas
Tionghoa. Juga pemerintah Singapura pernah menolak ekstradisi Nursalim debitur BLBI
karena yang bersangkutan belum diputus bersalah oleh pengadilan Indonesia dan belum
pernah dinyatakan sebagai tersangka.
Hal-hal inilah yang perlu mendapatkan perhatian pemerintahan Joko Widodo jika kita ingin
dilihat konsisten dalam politik hukum di dalam pergaulan dunia internasional. Jika kita tidak
ingin didiskiriminasi oleh dunia internasional, janganlah menerapkan hukum yang
diskriminatif terhadap negara lain. Permohonan Sekjen PBB Ban Ki Moon dan Perdana
138
Menteri Tony Abbott terhadap Indonesia perlu mendapatkan perhatian dan dicarikan win-win
solution yang terhormat.
Kiranya catatan kecil ini dapat memberikan sumbangsih yang berguna bagi politik hukum di
Indonesia selanjutnya. Sehingga, Indonesia dapat menjadi negara berdaulat yang bermartabat
di mata dunia, tanpa harus mengorbankan nyawa manusia.
FRANS H WINARTA
Ketua Umum PERADIN dan Dosen Fakultas Hukum UPH
139
Politik Amien Rais Koran SINDO 27 Februari 2015
Keberadaan pemegang saham sebagai pihak dominan dalam sebuah perusahaan sangat lazim.
Namun, dalam konteks partai politik, keberadaan pemegang saham tidak lazim dan tidak
sehat.
Di Indonesia hampir seluruh partai politik dikelola seperti perusahaan oleh pemegang saham.
Mereka sering memaksakan kehendak agar partai diurus sesuai keinginan mereka. Mereka
sangat kuat dalam mendominasi pengelolaan partai politik bersangkutan. Tidak heran bila
kemudian penentuan figur- figur sentral dalam kepengurusan partai politik, terutama ketua
umum, harus melalui persetujuan pemegang saham tersebut. Keinginan Amien Rais untuk
menjadikan Zulkifli Hasan tampil sebagai ketua umum dan meminta Hatta Rajasa mundur
dari pencalonan dalam Kongres IV Partai Amanat Nasional (PAN) pada tanggal 28 Februari-
3 Maret mendatang merupakan contoh paling aktual dari hal tersebut.
Sebagaimana diketahui, ada dua kandidat kuat ketua umum PAN pada kongres nanti, Zulkifli
Hasan dan Ketua Umum incumbent Hatta Rajasa. Dalam sejumlah kesempatan Amien Rais
meminta para pemilik suara untuk memilih Zulkifli Hasan—notabene besan— sebagai ketua
umum dalam kongres nanti. Di saat yang sama Amien Rais juga meminta Hatta Rajasa untuk
mundur dari bursa pencalonan. Amien Rais berdalih hal itu dimaksudkan untuk melanjutkan
tradisi PAN selama ini di mana ketua umum cuma menjabat satu periode. Padahal,
pembatasan jabatan satu periode tidak diatur di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga partai.
Amien Rais berdalih pembatasan jabatan ketua umum satu periode dilakukan untuk
regenerasi kepemimpinan partai. Hemat penulis, regenerasi kepemimpinan partai tetap dapat
dilakukan tanpa memberikan batasan satu periode bagi jabatan ketua umum. Bila merujuk
jabatan-jabatan publik—mulai dari bupati/walikota, gubernur hingga presiden—pembatasan
jabatan lazimnya dilakukan dua periode, bukan satu periode.
Pembatasan jabatan satu periode juga dilihat publik sebagai sebuah hal tidak lazim. Pendapat
publik itu terekam melalui survei terbaru Lembaga Survei Indonesi (LSI). Survei LSI
mengenai ”Partai Politik di Mata Publik: Evaluasi atas Kinerja Partai dan Regenerasi Politik”
menunjukkan 58,9% responden menginginkan kepemimpinan di partai dibatasi dua
periode. Survei ini secara tidak langsung menunjukkan keinginan Amien Rais agar ketua
umum PAN cukup satu periode saja terlihat agak berlebihan dalam memandang isu
regenerasi.
***
140
Sudah menjadi rahasia umum bila Amien Rais memegang peran dominan selama 17 tahun
perjalanan PAN. Penentuan ketua umum hingga arah koalisi PAN harus melalui
persetujuannya. Maklum saja Amien Rais merupakan pendiri partai berlambang matahari
terbit tersebut.
Namun, hal itu tidak serta merta dapat menjadi justifikasi bagi Amien Rais untuk terus tampil
dominan seperti pemegang saham. Dominasi pemegang saham tunggal di sebuah partai
politik cuma akan membuat partai politik bersangkutan tidak kunjung bertransformasi
menjadi partai modern, di mana mekanisme kontestasi diserahkan kepada kader-kader, bukan
daulat orang-orang tertentu.
Di samping itu, dominasi pemegang saham tunggal di sebuah partai politik juga akan
membuat partai politik bersangkutan tidak terinstitusionalisasi dengan baik. Menurut Scott
Mainwaring (1998: 67-81), salah satu dimensi penting untuk melihat apakah sebuah partai
politik telah terinstitusionalisasi dengan baik atau tidak adalah tidak adanya dominasi
personal dari seorang elite politik.
Dewasa ini dominasi personal seorang tokoh memang seakan telah menjadi fenomena umum
dari kehidupan partai politik di Indonesia. Partai Demokrat sangat bergantung kepada figur
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku pendiri partai. Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan identik dengan Megawati Soekarnoputri. Pengaruh Prabowo Subianto sangat kuat
mewarnai setiap langkah dan kebijakan Partai Gerindra. Partai Hanura tidak dapat
melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kepemimpinan Wiranto. Demikian pula dengan
Amien Rais yang selalu menampilkan diri sebagai tokoh sentral di PAN sehingga seolah-olah
setiap kader hendak mencalonkan diri sebagai ketua umum harus mendapatkan restu politik
dari tokoh gerakan reformasi 1998 tersebut.
Dominasi personal tersebut boleh jadi kemudian akan berujung kepada tren aklamasi dalam
proses pemilihan ketua umum. Selain PAN dalam waktu dekat sejumlah partai politik lain
juga akan menggelar kongres atau munas untuk memilih ketua umum. Partai Hanura akan
menggelar munas bulan ini. Partai Demokrat melakukan kongres pada Maret mendatang.
Satu bulan kemudian giliran PDIP menggelar kongres.
Para elite masing-masing partai politik akan berusaha sekuat tenaga agar dapat menang
secara aklamasi tanpa ada calon lain tampil sebagai rival potensial. Meskipun telah berusia
cukup tua figur-figur seperti SBY, Megawati, Wiranto, Prabowo, dan Amien Rais tidak akan
dengan sukarela melepaskan kendali dan pengaruh politik mereka di partai politik masing-
masing.
Dalam konteks itu keputusan Hatta Rajasa untuk tetap maju dalam bursa pencalonan ketua
umum PAN dalam kongres mendatang--meskipun tanpa restu politik sang pendiri partai--
akan menjadi ujian serius bagi eksistensi politik Amien Rais di masa depan. Kongres yang
akan berlangsung di Bali akhir pekan ini akan menjadi ukuran bagi publik untuk melihat
apakah Amien Rais masih memiliki pengaruh cukup kuat dalam menentukan arah perjalanan
141
PAN.
Bila Hatta Rajasa terpilih kembali untuk kali kedua sebagai ketua umum, maka dapat
dikatakan pengaruh Amien Rais di PAN mulai luntur dan usang. Dan itu merupakan kabar
baik bagi PAN sebagai langkah awal menuju partai modern dengan tidak lagi melulu
bergantung kepada titah Amien Rais.
BAWONO KUMORO
Peneliti Politik di The Habibie Center
142
Kompromi Penyelamatan KPK
Koran SINDO
28 Februari 2015
Setelah membaca dan mendengar suara rakyat melalui media massa serta berdiskusi dengan
berbagai kalangan, terasalah sekarang ini muncul kecemasan atas masa depan pemberantasan
korupsi. Di kalangan gerakan pro-demokrasi dan pegiat anti-korupsi banyak yang cemas,
pascaperistiwa cicak vs buaya jilid 3, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan lumpuh.
Padahal KPK selama ini telah menunjukkan prestasi hebatnya dalam perang melawan
korupsi. KPK bisa memutus rantai penghalang pemberantasan korupsi yang selama puluhan
tahun terajut begitu kokoh. KPK bisa mengantarkan ke penjara orang-orang kuat dipolitik
dan pemerintahan: pentolan parpol, menteri aktif, dan ketua lembaga negara. Selain itu
pengusaha hitam, dan pelaku berbagai mafia.
Dalam prestasinya itu, yang paling mengesankan, KPK tak pernah gagal membuktikan
dakwaannya ketika seseorang sudah diajukan ke pengadilan sebagai terdakwa. Semua
pesakitan KPK yang diajukan ke pengadilan 100% bisa dikirim ke penjara karena terbukti
korupsi.
Pernah ada ”satu saja” kasus yang lolos di pengadilan tingkat pertama, yakni kasus pimpinan
BUMN PT Merpati, tetapi pada akhirnya tendangan KPK digolkan oleh Mahkamah Agung di
tingkat kasasi: terdakwa dijatuhi hukuman juga. Semua yang naik banding dan kasasi pasti
ditolak dan pengadilan banding maupun kasasi selalu memenangkan KPK, bahkan
menaikkan hukumannya.
Dengan melihat catatan bahwa KPK tak pernah gagal membuktikan dakwaannya yang diuji
oleh pengadilan secara bertingkat, dapat diartikan bahwa KPK sudah profesional. Itulah
sebabnya KPK sejak zaman Taufiequrachman Ruki sangat disegani. Ruki telah berhasil
meletakkan dasar-dasar profesionalisme dan kegagahan sepak terjang KPK.
Tapi, sekarang ini, pascakonflik orang-orang KPK dan orang-orang Polri yang berimbas pada
keterlibatan institusi, KPK menghadapi ancaman kelumpuhan. Banyak yang merasa bahwa
sekarang ini sedang terjadi kriminalisasi (meski istilah ini bisa diperdebatkan) terhadap
orang-orang KPK dan para pendukungnya dan terjadi proses pelumpuhan terhadap KPK
sebagai lembaga penegak hukum. Ini sungguh mengkhawatirkan karena KPK merupakan
anak kandung reformasi yang dalam perjalanannya paling berhasil memerangi korupsi.
Tapi kalau mau berintrospeksi dalam kasus yang terakhir, kasus cicak vs buaya jilid 3, ini
KPK telah bertindak agak ceroboh dan terasa berbau politis. Ada gejala pelanggaran etis dan
143
kecerobohan dalam prosedur hukum yang harus dibayar mahal sekarang. Penetapan Budi
Gunawan sebagai tersangka yang bersambungan dengan pengusulannya sebagai calon kapolri
telah menimbulkan kesan kuat adanya unsur politis.
Apalagi kemudian disusul dengan terkuaknya fakta bahwa Ketua KPK Abraham Samad telah
melakukan pertemuan-pertemuan politik yang terkait dengan dirinya menjelang Pilpres 2014.
Ini adalah pelanggaran serius, bukan pelanggaran pidana, tetapi pelanggaran etika yang
menodai KPK dan merusak semua reputasinya yang membanggakan.
Terlebih lagi ternyata di dalam sidang praperadilan KPK tidak mau (atau tidak bisa)
menunjukkan adanya dua alat bukti permulaan yang sah saat menjadikan Budi Gunawan
sebagai tersangka. Kekalahan KPK di sidang praperadilan telah menggegerkan dunia hukum
dan mengacaukan prosedur umum penegakan hukum pidana. Ia membuka peluang, orang-
orang yang dijadikan tersangka mengajukan gugatan praperadilan. Bukan hanya dalam
pidana korupsi, tetapi dalam semua kasus pidana; bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di
semua daerah di seluruh Indonesia. Materi gugatan praperadilan pun sudah menyentuh soal-
soal di luar prosedur, tetapi menyangkut yang seharusnya disampaikan pada sidang peradilan
yang sesungguhnya, bukan di praperadilannya.
Yang sangat mengkhawatirkan, KPK sendiri terancam lumpuh dan tidak lagi bisa terus eksis.
Langkah-langkah Polri sekarang yang mudah memproses laporan-laporan atas orang-orang
atau pendukung KPK merupakan perkembangan yang tidak menggembirakan. Semua musuh
KPK, yang putih dan yang hitam, sekarang punya momentum bersatu menyerang KPK.
Masa depan pemberantasan korupsi tentu sangat suram jika tidak ada langkah- langkah
penyelamatan atasnya. Menurut saya, maaf kalau ada yang tak setuju, untuk menyelamatkan
KPK saat ini kita perlu berkompromi dengan keadaan, yakni melepas kasus-kasus tertentu
dulu untuk tidak ditangani KPK sampai tercapai saling pengertian dalam penanganan kasus-
kasus tertentu.
Penanganan kasus rekening gendut yang selalu menjadi isu selama bertahun-tahun, misalnya,
bisa dilepas dulu dan dicarikan penyaluran penanganan di luar KPK. Begitu juga perlu
dipertimbangkan, KPK tidak menangani dulu kasus kakap yang bersumber dari kebijakan
yang sah, sebab kebijakan itu tak bisa dipidanakan kecuali nyata-nyata ada tindak pidana
dalam pembuatannya.
Kasus BLBI dan Bank Century, misalnya, tak bisa diarahkan pada kebijakan atau pembuat
kebijakannya yang sudah sah. Penanganannya cukup difokuskan pada implementasinya yang
ternyata diboncengi oleh tindak pidana korupsi. Jadi harus ada garis yang tegas antara
pembuatan kebijakan yang sah dengan implementasinya yang koruptif.
Kita tidak boleh berkompromi dengan korupsi karena korupsi adalah kanker pencabut nyawa
negara. Tapi sah saja kita berkompromi dengan keadaan daripada KPK-nya menjadi lumpuh
bahkan mati sebagai risiko atas kecerobohan KPK sendiri.
144
Kalau KPK lumpuh karena tak mau berkompromi dengan keadaan, ada sentra-sentra korupsi
yang tak terawasi dan bisa terlepas secara liar, misalnya kementerian-kementerian, lembaga-
lembaga negara, pemerintah daerah, DPRD. Sungguh mengerikan kalau hal itu terjadi.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
145
Etika Hakim Sarpin
Koran SINDO
2 Maret 2015
Pascaputusan praperadilan yang dipimpin hakim tunggal, Sarpin Rizaldi, hakim senior
dengan pangkat golongan IV/D --setara dengan jabatan guru besar di perguruan tinggi--, telah
menimbulkan pro dan kontra mengenai etika dan melampaui batas kewenangan.
Soal etika, saya berpendapat hal ini bersifat pribadi dan bukan masalah publik. Karena dari
sudut ilmu hukum, etika berada pada nurani seseorang yang tidak lepas dari proses
pembentukan karakter seseorang sejak kecil sampai dewasa serta lingkungan keluarganya.
Namun, ada persoalan etika yang kemudian dialihkan menjadi ranah publik. Semula
pertengkaran suami istri sampai pada pemukulan oleh suami masih dipandang sebagai
masalah keluarga, namun perkembangan kemudian dan terkini telah dimasukkan/dialihkan
sebagai bagian dari tanggung jawab suami kepada publik. Lahirlah UU KDRT; pemukulan
yang mengakibatkan luka ringan/berat oleh seorang ayah terhadap anaknya, semula urusan
ayah dan anaknya, saat ini telah termasuk tindak pidana sekalipun delik aduan.
Dalam konteks putusan hakim Sarpin, tentu masalah etika dan perilaku seorang hakim
dengan UU KY telah menjadi ranah publik dan bagian dari tanggung jawab hakim sebagai
pemangku jabatan negara kepada publik. Sebaliknya, menjadi hak publik yang diwakili oleh
KY untuk mengawasi perilaku hakim dan menjaga dan memelihara martabat hakim sesuai
UU KY.
Fungsi pengawasan KY terhadap perilaku hakim seharusnya diimbangi dengan fungsi KY
untuk memelihara dan menjaga martabat hakim sehingga terdapat keseimbangan antara hak
dan kewajiban anggota KY dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang diperintahkan
oleh UU KY.
Dalam praktik, KY tidak menjalankan fungsi kedua secara efisien dan efektif namun lebih
banyak melaksanakan fungsi pengawasan semata-mata. Fungsi ini pun sering dijalankan
setelah memperoleh laporan pengaduan masyarakat; dan kini telah terjadi perubahan di mana
KY proaktif memantau jalannya sidang sekalipun terbatas pada perkara besar yang menarik
perhatian masyarakat.
***
Sejak KY jilid I, penulis telah menyampaikan keberatan melalui artikel di harian nasional
terhadap cara kerja KY, yaitu bahwa perilaku seorang hakim dalam bekerjanya dilihat dari isi
146
putusan pengadilan. Alasan penulis, sulit menilai perilaku hakim termasuk etika hakim
dengan membaca pertimbangan apalagi sidang pengadilan dilaksanakan dengan sistem
majelis; bahkan sebelum memutus perkara telah didahului oleh rapat permusyawaratan
hakim. Dan sebaliknya, anggota KY tidak mengikuti jalannya persidangan sejak awal sampai
putusan dijatuhkan.
Setiap putusan pengadilan merupakan hasil analisis majelis hakim terhadap, selain surat
dakwaan. juga fakta yang terjadi di persidangan yang dibuka dan terbuka untuk
umum. Ditambah lagi sesuai dengan bunyi Pasal 183 KUHAP, hakim diberikan kewenangan
memutuskan berdasarkan keyakinannya. Pertanyaan besar bagaimana keyakinan hakim dan
seluruh fakta persidangan dapat diuji secara materiil oleh anggota KY yang notabene tidak
pernah mengikuti sidang sejak awal sampai akhir putusan dijatuhkan pengadilan? Padahal,
yang diuji adalah hakim-hakim berpengalaman dan senior dalam pekerjaannya dibandingkan
dengan anggota KY pada umumnya.
Seharusnya anggota KY adalah pensiunan hakim yang memiliki integritas dan baik track-
record-nya selama menjadi hakim. Bukankah masalah etika seseorang hanya dapat diuji oleh
orang lain yang telah berpengalaman dan memiliki ilmu pengetahuan yang memadai serta
memiliki integritas yang lebih baik dari pada yang diawasi? Bukankah perilaku seorang anak,
beretika atau tidak, sopan atau tidak hanya dapat dilakukan oleh orang tuanya?
***
Penulis mengharapkan, KY mengevaluasi kembali SOP kinerja KY agar tetap berada pada
koridor UU KY dan sejalan dengan maksud dan tujuan pembentukan KY serta
ditempatkannya KY di dalam UUD 1945 dibandingkan dengan KPK.
UUD 1945 telah memberikan landasan moralitas, sosial, dan hukum kepada seluruh
penyelenggara negara untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan mandat
yang diberikan UU kepadanya serta menjalankan sumpah jabatan yang merupakan ikatan
moral yang seharusnya dan sepatutnya pula dijunjung tinggi. Dalam konteks ini, setiap
anggota KY wajib menjaga dan memelihara martabat hakim di samping mengawasi hakim.
Selama persidangan yang saya ikuti sebagai ahli, saya dapat katakan bahwa hakim Sarpin
telah memimpin persidangan dengan tertib dan disiplin serta lugas dalam memberikan arahan
kepada kuasa hukum pemohon dan termohon. Bahkan, hakim Sarpin bahkan selalu
mengingatkan kuasa hukum khususnya dalam sidang pemeriksaan ahli, bahwa ahli tidak
diperkenankan menilai fakta kecuali hanya memberikan opini (pendapat) sesuai dengan
keahliannya.
Perhatian masyarakat pascaputusan hakim Sarpin tertuju pada kewenangan praperadilan
dengan merujuk pada Pasal 77 KUHAP. Namun, masyarakat sering melupakan bahwa Pasal
10 ayat (2) UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menegaskan
bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan hanya atas alasan bahwa UU
147
tidak mengaturnya. Seharusnya ketentuan ini diartikan bahwa pengadilan adalah satu-satunya
tempat mencari, menemukan, dan memperoleh keadilan bagi setiap orang tidak terkecuali,
terlepas dari latar belakang sosial, etnis, agama dan jabatannya dalam masyarakat.
Amat naif jika ketika ada orang siapa pun mendatangi pengadilan dan mengajukan
permohonan untuk memperoleh keadilan kemudian ditolak dengan alasan UU tidak
mengaturnya dan benar pendapat (alm.) Satjipto Rahardjo, bahwa hukum itu (dibuat) untuk
manusia bukan manusia untuk hukum!
Limitasi yang diberikan pembentuk UU KUHAP dalam hal alasan praperadilan bertentangan
dengan Bab XA UUD 1945, UU RI Nomor 39 tentang HAM, dan tidak sejalan dengan
Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi
dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
148
Antara Tradisi, Ketokohan, dan Ambisi
Koran SINDO
3 Maret 2015
Ada beberapa hal yang mencorong dari proses pemilihan ketua umum pada pelaksanaan
Kongres ke-4 PAN yang berlangsung di Bali belum lama ini. Beberapa hal itu patut diamati
karena menunjukkan secara umum sebuah gejala yang menarik dari partai ini.
Tradisi Satu Periode
Satu persoalan penting yang menjadi isu utama dalam kongres kali ini adalah masalah
periode kepemimpinan partai. Dalam PAN coba untuk ditradisikan bahwa seorang ketua
umum sepatutnya tidak mengajukan diri lagi pada pemilihan selanjutnya. Ini sudah dimulai
oleh Amien Rais (2000-2005) sendiri yang kemudian dilanjutkan oleh Sutrisno Bachir (2005-
2010).
PAN tampak lebih percaya pada sebuah pertukaran kekuasaan internal yang dinamis,
ketimbang pada formula mempertahankan tim yang tengah berjaya. Artinya, regenerasi
kepemimpinan lebih didahulukan ketimbang capaian-capaian hasil sebuah kepemimpinan.
Bisa jadi ini untuk mentradisikan agar partai dapat selalu dinamis dan menghindari adanya
oligarki akibat terlalu lamanya seseorang berkuasa. Namun demikian, tradisi ini tidak
menjadi bagian dari AD/ART. Bagi sebagian kalangan, inilah celah untuk mengakhiri tradisi
ini.
Sehubungan dengan ini, dalam kacamata pelembagaan partai ada sebuah pendekatan yang
berorientasi pada nilai-nilai, sebagaimana yang dikembangkan oleh Steven Levitsky (1998).
Menurutnya, sebuah partai yang terlembagai adalah partai yang mampu memosisikan tradisi
atau nilai-nilai yang dianut menjadi patokan perilaku (behavioral) dari para kadernya. Di sini,
meski tidak tertuliskan secara legal formal, pentradisian nilai-nilai yang dianut bersama itu
(shared values) adalah juga bagian dari pelembagaan partai, di mana hulunya adalah
pembangunan karakter partai.
Namun demikian, dengan melihat perbedaan suara antara Hatta Rajasa dan Zulkifli Hasan
yang demikian tipis, hanya enam suara (286 versus 292), dengan empat suara tidak sah,
sepertinya tradisi itu bukanlah sebuah hal yang benar-benar diperhatikan oleh sebagian atau
setengah kurang sedikit dari elite dan kader PAN. Artinya dalam kongres kali ini tampak
jelas ada semacam erosi keyakinan bahwa adagium satu periode itu memang harus
dipertahankan.
Di satu sisi, bisa jadi pada kongres inilah momen kritis terakhir dari tradisi satu periode PAN
149
itu, yang setelahnya akan makin menguat dan legitimate. Namun di sisi lain, bisa jadi kongres
ini adalah preseden bahwa menentang tradisi satu periode itu diperbolehkan. Buktinya Amien
Rais tetap membiarkan Hatta untuk maju dan mencoba peruntungannya.
Untuk menghindari perdebatan yang berlarut-larut, ke depan PAN perlu mematangkan lagi
makna filosofis dari tradisi ini, menyosialisasikannya secara total kepada setiap kader dan
yang terpenting menjadikannya sebagai bagian dari AD/ART agar lebih bersifat mengikat.
Ketokohan
Ada dua makna ketokohan di sini. Yang pertama, ketokohan kekinian sebagai sumber
inspirasi dalam berperilaku kader-kader PAN. Ketokohan ini dapat dialamatkan kepada
Amien Rais yang adalah king maker.
Dapat dikatakan bahwa praktis selama tujuh belas tahun eksistensi PAN, partai ini selalu
dalam bayang-bayangnya. Salah satu exercise dari kekuatan seorang Amien adalah dalam
momen-momen penting seperti kongres partai. Dapat dikatakan setelah kepemimpinannya
sebagai ketua umum, urusan pucuk pimpinan partai tetap amat bergantung pada fatwanya.
Lihat misalnya bagaimana Hatta Rajasa diminta mengalah untuk kemudian memberi jalan
bagi Sutrisno Bachir, yang digadang-gadangkan Amien sendiri menduduki jabatan ketua
umum PAN. Begitu juga saat Amien meminta Drajad Wibowo dan para pendukungnya untuk
menerima kesepakatan politik yang diaturnya, sehingga Hatta Rajasa giliran dapat dengan
mulus menjadi ketua.
Namun demikian, kemenangan tipis Zulkifli Hasan, yang telah cukup mati-matian didukung
oleh Amien, mengindikasikan bahwa kekuatan Amien Rais sejatinya telah mulai meredup.
Saat ini dan ke depannya tampak mulai semakin kencang desakan rasional untuk
menempatkan diri seorang Amien pada proporsi yang lebih memungkinkan PAN menjadi
makin lebih independen dan ”alamiah”.
Meski pada umumnya kader-kader partai masih menaruh hormat yang tinggi kepadanya
sebagai orang yang telah berbuat amat banyak bagi PAN, di sebagian mereka telah menyadari
dan berupaya agar tingkat kebergantungan PAN pada figur Amien harus dikoreksi. Jika tidak,
bukan tidak mungkin figur pemersatu yang dikagumi itu akan berubah menjadi figur
pemecah belah. Jika boleh mengambil contoh, dalam kasus PKB, kebergantungan yang tinggi
pada Gus Dur, justru telah membawa partai itu pada konflik berkepanjangan.
Ketokohan yang lain adalah kesediaan untuk menerima hasil pemilihan dengan elegan. Baik
Zulkifli sebagai pihak yang menang ataupun Hatta sebagai kandidat yang kalah, sama-sama
menunjukkan peran sebagai good winner dan good looser. Secara umum, dapat dikatakan
tidak ada pernyataan dari keduanya yang membahayakan soliditas partai sejak awal mereka
digadang-gadangkan hingga hari H pemilihan. Bahkan, pernyataan pedas Amien kepada
Hatta pada hari pertama kongres tidak bergayung sambut dengan keluarnya pernyataan yang
150
dapat memanaskan situasi. Kalau toh ada hal-hal yang memanaskan situasi, itu adalah
cerminan dari semangat berlebihan para pendukung untuk membenarkan pilihan mereka.
Tangis Zulkifli di pelukan Hatta sesaat setelah dinyatakan sebagai pemenang dihadapan
peserta kongres, tentu saja dapat ditafsirkan banyak. Namun, setidaknya political gesture
itulah yang memang dibutuhkan agar setidaknya kader kembali sadar bahwa semua pada
akhirnya adalah untuk kepentingan bersama.
Ambisi
Terlepas dari itu, kongres partai dan semacamnya adalah ajang dipertaruhkannya ambisi.
Tidak saja sebagai sarana pertanggungjawaban kekuasaan dan pembenahan internal melalui
perubahan kepengurusan, di dalam kongres tentu saja terdapat intrik dan manuver politik
untuk menguasai hasil-hasil kongres. Kerap upaya itu berlangsung dengan elegan, namun
tidak sedikit yang bercampur dengan tindakan-tindakan negatif.
Kongres PAN, yang didahului oleh ”pemanasan” mesin-mesin dari kelompok yang
mengincar posisi ketua umum, jelas tidak seluruhnya sepi dari perilaku yang tidak
patut. Mulai pengiriman ”tanda mata” yang amat tidak pantas kepada salah satu kandidat
ketua umum, sorak-sorai yang tidak pada tempatnya kepada tokoh-tokoh yang telah
membesarkan partai yang jauh dari etika seorang politikus santun dan bernalar, hingga kasus
pelemparan kursi yang menimbulkan korban. Sangat disayangkan berbagai kenyataan itu
terjadi di sebuah partai yang banyak diisi oleh kalangan berpendidikan.
Fenomena sedemikian dan semacamnya harus diakui tidak saja terjadi di PAN, namun juga di
partai-partai lain, dengan situasi yang bahkan lebih buruk dan brutal. Kondisi ini sayangnya
tidak juga berubah bahkan ketika reformasi telah berjalan selama tujuh belas tahun.
Apa yang terjadi di PAN, dan partai-partai lain, mencerminkan bahwa ambisi politik memang
kerap beriringan dengan sebuah sikap atau perilaku yang jauh dari kata pantas.
Pertanyaannya apakah elite dan kader-kader partai akan terus menganggap hal ini sebagai
sesuatu yang biasa? Jika iya, jangan heran kalau kemudian masyarakat akan semakin antipati
terhadap partai yang bagi mereka memang tidak banyak memberikan apa-apa, bahkan
sekadar mengajari cara bersikap santun manakala ada perbedaan.
FIRMAN NOOR PhD
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI; Pengajar pada Program Ilmu Politik Universitas
Indonesia
151
Kacau, Penegakan Hukum di Republik Ini!
Koran SINDO
4 Maret 2015
Kemarin, 2 Maret 2015, Pelaksana Tugas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Taufiequrahman Ruki menyatakan kepada pers bahwa kasus Budi Gunawan akan
dilimpahkan KPK ke Kejaksaan Agung untuk diselesaikan secara hukum.
Pernyataan ini disampaikan setelah dia bertemu dan berdiskusi tentang kasus BG dengan tiga
petinggi institusi hukum lain, yakni Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Plt. Kapolri
Komjen Badrodin Haiti, dan Jaksa Agung Prasetyo. Hadir juga dalam pertemuan itu Menteri
Koordinator Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno. Sebelumnya, Plt. Ketua KPK, Plt. Kapolri,
dan Jaksa Agung juga menemui Presiden Jokowi untuk membahas kasus yang sama.
Tidak diketahui mengapa ketua Mahkamah Agung tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
Mungkin para peserta pertemuan menilai Mahkamah Agung tidak ada urusan dengan kasus
BG, minimal pada tingkat sekarang.
Kenapa kasus BG dilimpahkan kepada kejaksaan? Ruki menjawab karena KPK kalah di
pengadilan. Sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan hakim tunggal
Sarpin Rizaldi memang menolak ketetapan tersangka terhadap BG oleh KPK. Penetapan itu
dikatakan tidak sah. Dengan demikian, gugatan BG dikabulkan (sebagian) oleh praperadilan.
Karena KPK dikalahkan, KPK tidak layak meneruskan penyidikan terhadap BG. Tapi untuk
dilimpahkan kepada Polri, Plt. Kapolri Badrodin Haiti sudah menyatakan akan meng-SP3-
kan kasus BG kalau dilimpahkan kepada Polri. Maka seolah-olah hanya terbuka satu
alternatif, yaitu melimpahkan kasus tersebut kepada kejaksaan.
Johan Budi yang sekarang juga menjabat plt. wakil ketua KPK, dengan wajah lesu, berkilah
pelimpahan itu dilakukan karena KPK tidak bisa mencari jalan lain setelah minta fatwa, atau
kasasi, atau peninjauan kembali (PK) “mentok”. Sekretaris Mahkamah Agung sebelumnya
dengan tegas mengatakan bahwa putusan praperadilan tidak bisa dimintakan kasasi,
sedangkan PK hanya bisa diajukan oleh terpidana atau kuasanya.
***
Pelimpahan kasus BG kepada kejaksaan spontan menimbulkan protes dari para staf KPK.
Selasa kemarin, sekitar 300 staf KPK melancarkan unjuk rasa memprotes keputusan Pak
Ruki menyerahkan kasus BG kepada kejaksaan. Aksi unjuk rasa para staf KPK bisa
dimengerti. Menyerahkan kasus BG kepada kejaksaan sama juga kapitulasi bagi KPK, suatu
152
hal yang tidak pernah terjadi dalam sejarah KPK.
Memang dalam waktu 5-10 jam setelah Sarpin Rizaldi menjatuhkan putusannya yang
kontroversial itu, sejumlah pakar hukum, bahkan mantan ketua Mahkamah Agung,
mengkritik dan mengecam putusan praperadilan tersebut. Mantan Ketua Mahkamah Agung
Harifin Tumpa, misalnya, mengatakan pertimbangan putusan hakim Sarpin Rizaldi aneh dan
mengada-ada. “Memperluas kewenangan praperadilan dengan alasan tidak diatur, itu kan
ngaco. Praperadilan sudah diatur dengan jelas kewenangannya [dalam Pasal 77 KUHAP],”
ujar Tumpa kepada wartawan sebuah media di Jakarta.
Di Pasal 77 KUHAP, tambah Harifin, hanya ada lima kewenangan praperadilan, yaitu sah
atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan permintaan ganti rugi.
Mantan ketua Mahkamah Agung itu yakin MA berwenang menguji putusan praperadilan
yang diajukan Komjen Budi Gunawan apabila terdapat penyimpangan kewenangan. Jika
dalam putusannya ada penyimpangan, hakim tunggal Sarpin Rizaldi pun dapat diberi sanksi.
Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko mengkritisi pertimbangan hakim tentang “status” BG
yang katanya bukan seorang penyelenggara negara atau penegak hukum ketika kasusnya
terjadi. Menurut Djoko, Komisaris Jenderal Budi Gunawan merupakan penegak hukum
berdasarkan Undang-Undang Kepolisian. Tapi status tersangka Budi, menurut dia, adalah
materi yang seharusnya masuk di perkara pidana, bukan urusan praperadilan. “Itu tak masuk
lingkup praperadilan, harus diputus dalam pokok perkara,” kata Djoko.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshidiqie secara implisit juga mengkritik
putusan praperadilan. Menurut Jimly, KPK bisa melanjutkan penyidikannya terhadap BG asal
berkasnya diperbaiki.
Pendek kata, putusan sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengundang
pro dan kontra di kalangan para pakar hukum. Masyarakat menjadi bingung: yang benar yang
mana? Yang benar pendapat hukum hakim Sarpin Rizaldi atau ahli-ahli hukum “di
seberangnya”?
Di tengah-tengah kontroversi itu yang sebetulnya berakibat “the game is not over“, pimpinan
KPK yang baru dengan tegas mengatakan KPK sudah kalah di praperadilan. Oleh sebab itu,
KPK tidak berhak lagi melanjutkan perkara Budi Gunawan.
***
Mahkamah Agung mestinya turun tangan, minimal mengeluarkan fatwa hukum tentang
kontroversi putusan praperadilan atas gugatan BG. Bukankah Mahkamah Agung itu lembaga
peradilan tertinggi di negara kita? Dan berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985, MA mempunyai
kewenangan yang sangat luas. Perhatikan baik-baik bunyi Pasal 32 UU No. 14 Tahun 1985:
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan
di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. (2) Mahkamah
153
Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan
dalam menjalankan tugasnya. (3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan
tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan.
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang
dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan. (5) Pengawasan dan
kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Anehnya, pimpinan Mahkamah Agung sekarang tidak peka melihat kontroversi yang begitu
dahsyat atas putusan hakim Sarpin Rizaldi. Memang seorang hakim itu punya otonomi
mutlak dalam memutus perkara; siapa pun tidak boleh campur tangan. Kita pun harus
menghormati putusan praperadilan tersebut. Namun ketika kontroversi atas putusan hakim
“meledak”di masyarakat, apalagi banyak pakar hukum termasuk ketua Mahkamah Agung
ikut bersuara keras, Mahkamah Agung tidak boleh diam. Diam mengandung meta-meaning
pelecehan terhadap pendapat hukum sesama rekan, sesama hakim agung. Diam juga
mengandung meta-meaning membenarkan putusan praperadilan terkait kasus BG.
Mahkamah Agung tidak boleh diam, sebab putusan 16 Februari itu membawa implikasi
luas. Pertama, mereka yang oleh KPK kini berstatus “tersangka” akan berbondong-bondong
membawa kasusnya ke praperadilan. Pengadilan pun tidak boleh menolak gugatan para
tersangka. Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali dan
anggota DPR Sutan Bhatoegana sudah melayangkan surat gugatan kepada pengadilan. Lalu,
bagaimana hakim praperadilan harus bersikap? Yang lainnya pasti menyusul.
Kedua, jika banyak tersangka mengajukan gugatan di praperadilan, legitimasi dan
kehormatan KPK akan melorot. Apa ini yang memang ditujukan kelompok-kelompok
tertentu, untuk mematikan KPK?
Ketiga, bagaimana pula dengan pembelajaran hukum kepada para mahasiswa hukum kita?
Bagaimana para staf pengajar harus menjelaskan isi Pasal 77 KUHAP kepada para
mahasiswanya? Bukankah putusan hakim Sarpin Rizaldi membuka kontroversi interpretasi
atas Pasal 77 KUHAP? Seolah-olah kini terdapat gap besar antara das sein dan des sollen,
antara yang jadi kenyataan dan yang seharusnya dalam Pasal 77 KUHAP.
Ah, kacau dan membingungkan memang penegakan hukum di Republik tercinta kita ini!
TJIPTA LESMANA
Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR
154
Matahari Reformasi Itu Kian Meredup
Koran SINDO
4 Maret 2015
Munas Partai Amanat Nasional (PAN) di Denpasar, Bali telah berlangsung dengan suasana
tegang akibat pertarungan dua kubu utama, yakni Hatta Rajasa (HR) dan Zulkifli Hasan (ZH)
yang ditopang kuat oleh Amien Rais (AR). ZH terpilih sebagai ketum PAN periode 2015-
2020 dengan kemenangan yang sangat tipis, hanya selisih enam suara (ZH 292, HR 286).
Atmosfer politik seperti itu juga diperkeruh dengan pidato AR, ketua MPP PAN, pada
pembukaan munas (28/2) yang secara terbuka melontarkan sindiran dan serangan kasar
terhadap HR, sehingga sangat terkesan faktor etika dalam komunikasi politik sudah
terabaikan. Banyak pihak pun menilai bahwa sikap AR yang dianggap tak pantas itu
dipertontonkan, lebih karena kejengkelannya pada HR di satu pihak dan keinginan kerasnya
untuk memenangkan ZH yang tak lain adalah besannya sendiri.
Konflik atau ketegangan di internal PAN seperti itu barangkali merupakan bagian dari produk
demokrasi dengan psikopolitik para aktornya yang sedang galau. PAN tak lagi berada di
dalam barisan kekuasaan eksekutif seperti setidaknya dialami selama 10 tahun pemerintahan
Presiden SBY, yang barangkali posisinya sekarang ini dianggap sebagai bagian dari
kesalahan HR dalam lima tahun memimpin parpol berlambang matahari bersinar itu. Pada
saat yang sama, barangkali juga AR masih terus merasa sebagai “pemilik parpol” sehingga
apa pun yang dikatakannya harus dianggap sebagai fatwa untuk dipatuhi oleh semua orang
PAN.
***
Kepemimpinan HR di PAN sebenarnya “tak jelek-jelek amat”. Ia mampu mempertahankan
PAN pada posisi tengah, posisi sama seperti saat dipimpin AR. HR juga tampil sebagai
cawapres bersama Prabowo, yang tak lain didukung secara kuat oleh AR dan ZH. Tetapi
namanya juga politik yang sarat dengan intrik dan“ akal-akalan”, jika ada kepentingan lain
maka suasananya akan segera berubah, teman bisa jadi lawan dan jika perlu “dibuat terkapar”
yang momentumnya seperti terjadi dalam pemilihan ketum PAN di Bali itu.
Tetapi masih untung tak terjadi seperti Golkar dan PPP yang hingga tulisan ini dibuat
kepemimpinannya masih saja terjadi dualisme, buntut dari pertarungan pemilihan pemimpin.
PAN kemungkinan akan solid lagi. Hanya pertanyaannya, adakah relevansi antara pergantian
kepemimpinan di PAN dan gerakan untuk kembali ke khitah-nya sebagai parpol reformasi?
155
Saya masih sangat meragukan itu terjadi dalam gerakan politik PAN ke depan. Soalnya, dan
inilah yang memprihatinkan, selama ini para politisi PAN tak bedanya dengan parpol lain,
yakni larut dalam pragmatisme. Tepatnya, tak bisa dibantah lagi terjadi kecenderungan
sirnanya nilai-nilai reformasi dalam tubuh, misi, dan gerakan PAN selama ini dan ke depan.
Padahal, lambang parpol itu adalah matahari, simbol pencerah penerangan yang kekal
mengitari bumi ini. Jika di era Orde Baru dianggap “gelap”, sarat praktik korupsi dan otoriter,
maka berdirinya PAN yang dibidani dan dikawal oleh para penggerak reformasi sebenarnya
diharapkan tetap konsisten berada pada misi khitah-nya itu.
Tetapi, jika jujur diakui, harapan itu bagai mimpi di siang bolong, hanya berupa bayangan
fatamorgana. PAN telah eksis “sangat tak berbeda” dengan parpol-parpol lain yang berperan
di era reformasi ini, baik di tingkat nasional maupun daerah. Beberapa fakta lapangan yang
berlangsung selama ini dan sulit terbantahkan antara lain.
Pertama, praktik korupsi yang dilakukan sejumlah kadernya mulai daerah sampai tingkat
nasional. Sebagian di antaranya sudah masuk bui (sudah keluar dan sebagian masih dalam
hotel prodeo) dan sebagian sudah kerap berurusan dengan KPK dan konon ada sudah masuk
dalam daftar tunggu untuk diperiksa oleh lembaga anti-rasuah itu, termasuk di dalamnya
pemilik rekening gendut. Mereka-mereka itu agaknya tetap dibiarkan berperan penting di
PAN yang, konon, karena dianggap sebagai bagian dari “sumber pemasukan” dari sebagian
elite parpol. Prof Amien Rais pun tampaknya bukan saja seolah-olah tak mau tahu dengan
kenyataan seperti itu, melainkan barangkali akan tetap menjadikan mereka berperan
menentukan di PAN pasca-Munas Bali ini.
Kedua, PAN telah membiarkan terjadinya praktik “membangun dinasti keluarga” dalam
politik dan bisnis. Misalnya, di sejumlah daerah praktik dinasti bahkan dipaksakan oleh
sejumlah kepala daerah yang dipimpin oleh orang-orang PAN dengan bernaung di bawah isu
demokrasi. Para istri pejabat itu, anak-anak mereka, saudara kandung, sepupu, mertua, dan
sejenisnya, disodorkan untuk dipilih oleh rakyat dengan cara-cara yang tidak sehat, untuk jadi
pejabat politik (anggota DPR, DPD, dan atau DPRD). Para pejabat bawahan pun terpaksa
harus tunduk pada “instruksi kejahatan reformasi” itu, sebab jika tidak maka akan berisiko
pada penyingkiran paksa mereka dari jabatan strategis yang dihadiahkan oleh pejabat kepala
daerah (asal PAN) yang mengangkat mereka.
Ini sebenarnya jadi “musuh inti” (main enemy) perjuangan reformasi yang jadi bagian dari
kata-kata yang keluar dari mulut Prof Amien Rais di era pengujung kepemimpinan Presiden
Soeharto, bagian dari komponen “berantas KKN”. Pada saat yang sama, juga terjadi dalam
pengangkatan pejabat lokal yang berasal dari unsur keluarga dan sejenisnya. Demikian dalam
kebijakan proyek atau bisnis yang begitu vulgar ditangani oleh keluarga pejabat asal
PAN. Tepatnya, sebagian orang PAN yang jadi pejabat telah membangun dinasti dengan
menggunakan tiga pilar yang dikuasai: politik, birokrasi, dan bisnis (proyek). Pihak pendiri
PAN, lagi-lagi, telah membiarkan praktik itu berlangsung sehingga bisa dicurigai sebagai
hipokrit dan sekaligus barangkali karena memperoleh bagian materi dari proses-proses itu.
156
Ketiga, dan ini yang paling mutakhir, sikap PAN sangat tidak jelas bahkan terkesan
mendukung kriminalisasi dari pimpinan KPK dan sekaligus gerakan amputasi lembaga anti-
rasuah yang independen itu. Seharusnya, jika benar Prof Amien Rais konsisten dengan
perjuangannya maka para kader PAN mulai bawah sampai di parlemen diinstruksikan untuk
pasang badan membela KPK, dan atau berjuang untuk jadikan KPK sebagai lembaga
pemberantas korupsi yang permanen di negeri ini. Sikap PAN seperti sekarang ini
memunculkan kecurigaan, jangan-jangan orang-orang PAN sangat ketakutan karena sedang
masuk dalam radar pantauan KPK. Singkatnya, dalam rangka menyelamatkan oknum-oknum
PAN yang bermasalah dan sekaligus pengkhianat reformasi, KPK pun secara sengaja
didukung untuk dihancurkan.
Pertanyaannya, apakah kepemimpinan ZH nanti akan terus bersikap seperti sekarang ini?
Entahlah. Kita pantau saja gerakannya pasca-Munas Bali ini.
LAODE IDA
Sosiolog di Jurusan Sosiologi UNJ; Mantan Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
157
Saat KPK Lempar Handuk
Koran SINDO
4 Maret 2015
Pelaksana tugas (Plt.) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiequrachman Ruki
menyatakan “KPK mengaku kalah” dalam kasus Budi Gunawan.
Ini yang pertama kali KPK lempar handuk dalam tahap penyidikan, bahkan pertama kali pula
menyerahkan penyidikan ke institusi penegak hukum lain. Memang dakwaan KPK pernah
dinyatakan hakim pengadilan tindak pidana korupsi tingkat pertama tidak terbukti sehingga
diputus bebas. Namun, KPK melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus
pimpinan BUMN PT Merpati, dan ternyata MA menghukum terdakwa (Moh Mahfud MD,
KORAN SINDO, 28/2/2015).
KPK takluk tanpa melakukan upaya hukum terhadap putusan praperadilan yang menilai KPK
tidak berwenang menangani tersangka dengan mengutip Pasal 11 UU Nomor 30/2002
tentang KPK (UU KPK). Banyak yang menyarankan agar KPK melakukan upaya hukum luar
biasa atau peninjauan kembali, tetapi hal itu tidak dilakukan. KPK mengumumkan kasus BG
dilimpahkan ke kejaksaan sesuai kesepakatan dengan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti dan
Jaksa Agung HM Prasetyo.
Meskipun Plt. Ketua KPK menyebut pelimpahan kasus bukan akhir dan dunia belum kiamat,
tidak berarti masalah telah usai. Kesepakatan itu setidaknya menimbulkan dua persoalan
baru. Pertama, kepercayaan publik terhadap ketegasan dan profesionalitas KPK akan tergerus
seperti institusi penegak hukum lainnya. Semua perjuangan KPK mengantar terdakwa
korupsi meringkuk dalam terali besi akan pupus di mata publik, lantaran KPK tidak lagi gigih
memperjuangkan keyakinan yang diperoleh dari penyelidikan dan penyidikan.
Kedua, gelombang gugatan praperadilan akan menimpa KPK memberi indikasi bahwa
penetapan tersangka di KPK mulai meragukan. Dua tersangka, Suryadharma Ali dan Sutan
Bhatoegana, mengajukan praperadilan. Begitu pula salah satu tersangka di kepolisian terkait
kasus korupsi dana bansos di Banyumas, menjadi imbas dari sikap diam KPK yang terkesan
dibungkus demi kesepakatan.
Idealnya KPK melakukan upaya hukum luar biasa ke MA untuk mengoreksi dugaan
kekhilafan atau kekeliruan putusan hakim praperadilan.
Koordinasi Efektif
158
Sebetulnya ada sinyal positif ditunjukkan pimpinan KPK dengan menemui pimpinan Polri
dan Jaksa Agung sesaat setelah dilantik sebagai langkah awal komunikasi dan koordinasi
yang efektif. Presiden Jokowi juga memanggil Plt. Ketua KPK, Jaksa Agung, dan Wakapolri
ke Istana Negara (25/2/2015).
Presiden meminta agar tidak ada lagi ego sektoral dan harus bersinergi dalam memberantas
korupsi. Untuk menjaga sinergitas ke depan, KPK harus lebih aktif berkomunikasi dengan
kepolisian dan kejaksaan. KPK lebih mengintensifkan tugas yang diberikan dalam Pasal 6
huruf a dan huruf b UU KPK, yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian
dan kejaksaan.
Ada lima bentuk koordinasi yang perlu dilakukan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU
KPK. Pertama, mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi. Kedua, menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Ketiga, meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait. Keempat, melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kelima,
meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Sedangkan tugas supervisi diatur dalam Pasal 8 UU KPK, bahwa KPK berwenang melakukan
pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap kepolisian dan kejaksaan dalam melakukan
penyidikan dan penuntutan. Dalam supervisi, KPK berwenang mengambil alih penyidikan
atau penuntutan terhadap pelaku korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan. Koordinasi dan supervisi ini harus dilakukan dengan baik, sebab salah satu tujuan
pembentukan KPK adalah mendorong kepolisian dan kejaksaan agar berfungsi secara efektif
dan efisien dalam memberantas korupsi (Konsideran Menimbang huruf b UU KPK).
Bahkan, KPK memiliki fungsi “trigger mechanism“ yang mendorong institusi kepolisian dan
kejaksaan berfungsi lebih efektif dan efisien dalam memberantas korupsi. Penyidikan dan
penuntutan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan harus disupervisi KPK yang dalam
hukum tata negara disebut sebagai implementasi dari “checks and balances“.
Seleksi Pimpinan KPK
Agar KPK tidak terus mendapat kendala dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
sebaiknya paling lambat enam bulan sebelum masa jabatan pimpinan KPK berakhir
Desember 2015, presiden menetapkan panitia seleksi untuk menjaring dan memilih calon
pimpinan KPK definitif (Pasal 30 ayat 2 UU KPK). Proses seleksi dilakukan secara
transparan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Salah satu syarat untuk diangkat sebagai pimpinan KPK ditegaskan dalam Pasal 29 angka 7
UU KPK, yaitu“cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi
yang baik”. Maka itu, melihat persoalan yang menimpa Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto, panitia seleksi harus mencari sosok calon komisioner KPK yang betul-betul
159
bersih dan steril dari aspek moral dan persoalan hukum masa lalu, sebab realitasnya bisa
diungkap kembali.
Tidak cukup hanya mengandalkan tanggapan berupa laporan masyarakat terkait masa lalu
calon (Pasal 30 ayat 6 UU KPK), tetapi perlu semacam “pengakuan dosa” dari calon dengan
mengungkap semua borok masa lalunya. Semua yang diungkap harus dirahasiakan dan
disimpan oleh Penasihat KPK, tetapi panitia seleksi meneliti apakah pengakuan dosa itu
berpotensi atau tidak berpotensi dibawa ke ranah hukum setelah terpilih.
Sekiranya ada pihak yang melaporkan masalah yang sudah disampaikan dalam pengakuan
dosa harus dijamin tidak akan diproses hukum sebagai bentuk “imunitas” bagi pimpinan
KPK. Ini salah satu cara mengantisipasi kemungkinan mencari-cari kesalahan massal yang
banyak dituding sebagai upaya “kriminalisasi” dengan tujuan hanya sekadar menjadikan
pimpinan KPK sebagai tersangka agar diberhentikan sementara dari jabatannya. Tidak boleh
lagi jatuh pada lubang yang sama untuk ketiga kalinya, sebab sudah dua kali pimpinan KPK
dilanda serangan semacam itu.
Pimpinan KPK ke depan harus betul-betul bersih dari borok masa lalu yang bisa
dipersoalkan, sebab melihat indeks persepsi korupsi Indonesia yang tetap di level tinggi,
publik ingin noda kecil sekalipun yang bisa menghambat pelaksanaan tugas dan wewenang
KPK harus dibersihkan.
Kita ingin kesinambungan KPK ke depan tetap terjaga, semoga publik tetap percaya pada
KPK sebagai salah satu institusi pemberantas korupsi.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
160
Pemimpin Berani Mengambil Keputusan
Koran SINDO
5 Maret 2015
Ketika Perang Irak II pecah pada 2003, Inggris Raya menyatakan ikut serta dalam pasukan
koalisi di bawah pimpinan Amerika Serikat.
Protes berdatangan terhadap Perdana Menteri Tonny Blair baik di dalam negeri maupun di
luar negeri. Pemerintah Perancis dan Jerman menolak bergabung dengan pasukan koalisi
dengan alasan bahwa perang bukanlah jawaban untuk menyelesaikan ketegangan dan
perimbangan kekuatan di Timur Tengah. Dialog adalah jalan terbaik mengurangi ketegangan
dan pertimbangan kekuatan di Timur Tengah.
Dalam tayangan televisi setempat, Tonny Blair bertemu sejumlah mahasiswa dari berbagai
universitas di Inggris yang menanyakan apa alasan Inggris bergabung dengan pasukan koalisi
dan terjun ke dalam Perang Irak. Dengan tangkas Tonny Blair berkilah bahwa salah atau
benar keputusannya untuk ikut Perang Irak akan ditentukan oleh sejarah di kemudian hari
karena sebagai pemimpin eksekutif tertinggi Britania Raya, dia harus mengambil keputusan
secepatnya apakah ikut atau tidak ikut dalam Perang Irak.
Sebagai seorang pemimpin dengan gayanya kepemimpinannya yang khas, dia menjelaskan
kepada kurang lebih 20 mahasiswa bahwa dia harus memutuskan dan tidak bisa tinggal diam.
Dia menolak tuduhan banyak pihak bahwa dirinya sebagai ”pudel” (poodle) dari Presiden
Amerika Serikat George W Bush. Keputusan untuk ikut dalam Perang Irak dia
pertanggungjawabkan kepada rakyat setelahnya.
Sejarah menilai apakah keputusannya benar atau tidak. Salah satu dari sekian alasan yang
melatarbelakangi keputusannya adalah ada senjata pemusnah (weapon of mass destruction)
yang dimiliki Irak yang tentu akan membahayakan dunia, khususnya di Timur Tengah.
Kemudian kecurigaan ini salah karena Irak tidak memiliki senjata pemusnah yang dituduhkan
Presiden Amerika Serikat George W Bush saat itu.
Dalam kesempatan lain, sebelumnya Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher berada
dalam masa transisi berakhirnya hak Inggris menempati Hong Kong pada 1997 dan akan
diserahkan kembali kepada RRC. Rakyat Hong Kong tentu saja resah karena sistem
pemerintahan demokrasi yang dianut Hong Kong selama ini akan berubah menjadi sistem
komunis.
Tetapi, Thatcher dengan tangkas menjawab pertanyaan mahasiswa Hong Kong yang
ditayangkan di stasiun televisi setempat bahwa dirinya menjamin bahwa Hong Kong di
161
bawah RRC akan tetap mempertahankan sistem pemerintahan demokrasi. Dia menjamin
bahwa Hong Kong akan menjadi ”safe haven for democracy”. Ini menjadi kenyataan dan
janjinya dipenuhi.
Dapat terlihat dari dua petikan cerita tadi bahwa dua perdana menteri merupakan pemimpin
yang ”decisive”, berani mengambil keputusan saat krisis tanpa ragu dan tidak diombang-
ambingkan keadaan di sekitarnya. Ini bisa terjadi karena karier politik mereka dimulai dari
bawah sebagai anggota dan pengurus partai buruh dan partai konservatif kemudian menjadi
anggota parlemen (House Of Lord dan House Of Common). Mereka teruji dan memiliki
kepemimpinan yang tegas serta berani mengambil keputusan.
Contoh dramatis lain adalah ketika Rusia membangun markas persenjataan peluru kendali di
Kuba permulaan tahun 1960-an, tepatnya di the Bay of Pig. Markas persenjataan peluru
kendali tersebut rupanya mengarah ke daratan Amerika Serikat. Dengan tegas Presiden John
F Kennedy mengancam akan mendeklarasikan perang kepada Rusia dan Kuba jika markas
tersebut tidak segera dibongkar.
Setelah melalui diplomasi berulang yang memakan waktu lama serta perdebatan yang cukup
sengit di PBB, akhirnya Rusia membongkar markas persenjataan peluru kendali di the Bay of
Pig tersebut. Peristiwa ini kemenangan besar Amerika Serikat di bawah kepemimpinan
Presiden John F Kennedy saat itu.
Pidato Presiden John F Kennedy yang terkenal adalah ketika dia mengucapkan: ”And so, my
fellow Americans: ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your
country. My fellow citizens of the world: ask not what America can do for you, but what
together we can do for the freedom of man”. Dalam mengambil sebuah tindakan krusial,
harus dipikirkan apa yang terbaik untuk bangsa dan negara.
Segera setelah pidato mengesankan itu, beribu-ribu pemuda-pemudi Amerika Serikat
bergabung dalam ”Peace Corps” yang membantu pengembangan olahraga, budaya, musik,
kesenian, dan lain-lain di negara-negara berkembang.
Kejutan Awal Tahun
Saat ini Indonesia memerlukan pemimpin berkarisma dan berkarakter kuat untuk
memecahkan berbagai krisis dan persoalan bangsa yang besar ini. Dalam konteks perseteruan
KPK vs Polri, Presiden Jokowi harus memutuskan apa yang terbaik bagi bangsa Indonesia
dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti konstitusi, hukum, moral, sosiologis, dan
psikologis.
Berdasarkan konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan pada Rabu, 18 Februari 2015,
Presiden Jokowi pada akhirnya membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri
dan memutuskan akan mengusulkan calon kepala Polri yang baru kepada DPR RI yakni
Komisaris Jenderal Badrodin Haiti yang kini menjabat wakil kepala Polri.
162
Telah sekian lama Presiden Jokowi terkesan ragu-ragu menggunakan hak prerogatifnya
dalam penunjukan kepala Polri. Terlalu banyak perhitungan politis dapat mengakibatkan
pamor dan wibawa Presiden Jokowi merosot tajam. Keputusan Presiden Jokowi yang
ditunggu-tunggu oleh rakyat akhirnya datang juga. Bahwasanya, hak prerogatif Presiden ada
di dalam tangan Presiden Jokowi sendiri. Keputusan yang dihasilkan dari hak prerogatif
tersebut tidak bergantung pada putusan praperadilan.
Seharusnya yang perlu dipikirkan adalah apa yang terbaik untuk memilih pembantu Presiden
agar pemerintah dapat bekerja dengan efektif dan efisien. Apa pun itu, semua harus selaras
dengan ”Nawacita” dan ”Revolusi Mental” yang dikumandangkannya saat kampanye pemilu
dulu. Jika tidak, itu hanya janji kosong yang tidak bermakna. Harapan rakyat sangat tinggi
terhadap Presiden Jokowi dan tentu akan kecewa jika ”Nawacita” dan ”Revolusi Mental”
tersebut akhirnya tidak tercapai.
Presiden Jokowi tidak boleh ragu dan takut mengambil keputusan kalau itu demi kepentingan
rakyat. Jangan sampai, dukungan rakyat antiklimaks terhadap Jokowi merosot lebih lanjut
karenanya. Kelambanan mengambil keputusan bukanlah kesabaran, ketakutan membuat
terobosan bukanlah kehati-hatian. Seorang pemimpin haruslah berani mengambil keputusan.
FRANS H WINARTA
Ketua Umum Peradin dan Dosen Fakultas Hukum UPH