Download - Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara
SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DAN HUKUM ACARANYA OLEH MARUARAR SIAHAAN.
PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang sengketa antar lembaga negara dalam konteks kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945 setelah perubahan, sesungguhnya harus
dilakukan dalam rangka pembahasan organisasi dan kelembagaan negara. Pembicaraan
demikian hanya dapat dimasuki dengan tepat apabila kita juga membicarakan hakikat
kekuasaan negara, yang disusun dalam struktur organisasi secara melembaga. Hal
tersebut erat kaitannya dengan filsafat hukum dan negara serta perkembangan sejarah
baik secara umum maupun secara nasional dimasing-masing negara, yang juga akan
tercermin dalam konstitusi negara tersebut. Dalam kaitan itu ajaran teori kedaulatan yang
dikenal dalam sejarah, yaitu masing-masing Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja,
Kedaulatan Hukum, Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Negara, bertumbuh dan menjadi
landasan penyusunan kekuasaan negara yang kemudian dirumuskan dalam konstitusi.
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshidiqie SH, tiga faham kedaulatan yaitu kedaulatan Tuhan,
kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat dapat dikatakan berlaku secara simultan dalam
khasanah pemikiran bangsa ini tentang kekuasaan negara, dimana kekuasaan kenegaraan
dalam wadah NKRI pada dasarnya adalah derivat dari kesadaran kolektif bangsa
mengenai kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang diwujudkan dalam faham
kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat.1 Selanjutnya dikatakan prinsip kedaulatan
hukum diwujudkan dalam gagasan rechtsstaat atau the rule of law serta prinsip supremasi
hukum, dimana dalam perwujudannya kebijakan hukum harus disusun melalui
mekanisme demokrasi yang lazim sesuai dengan ketentuan sila kerakyatan yang dipimpin
1
? Dalam Firmansyah dkk, Lembaga Negara Dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) cet 1, 2005 hal x-xi.
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.2 Ajaran kedaulatan
rakyat akan tercermin bukan hanya dalam pembentukan hukum dan pengambilan
kebijakan dalam penyelenggaraan negara, akan tetapi secara formal juga tercermin dalam
struktur dan organisasi pemegang kekuasaan penyelenggaraan negara.
Faham kedaulatan rakyat yang dalam sejarah sangat mengenal doktrin Trias Politika
dari Montesqieu, menekankan diperlukannya penyusunan kekuasaan negara dengan tidak
memusatkan kekuasaan negara dalam satu tangan atau badan saja, untuk menjamin
perlindungan kebebasan warga negara. Trias politika tersebut didasarkan pada
pemisahan kekuasaan negara yang lazim dikenal dengan separation of powers, tetapi
beberapa sarjana menyebut bahwa karena tidak terdapat pemisahan kekuasaan secara
absolut, maka yang terjadi sesungguhnya adalah pembagian kekuasaan (division of
powers). Kekuasaan negara dibagi dan dipisahkan dalam tiga kekuasaan pokok, yaitu,
eksekutif, legislatif dan judikatif. Ketiga kekuasaan tersebut kemudian dirinci dan
dilaksanakan dalam banyak organ, badan atau lembaga yang melaksanakan kekuasaan
atau sebagian kekuasaan negara tersebut yang diperlukan dalam menyelenggarakan
kehidupan bersama untuk tujuan yang ditentukan secara bersama pula. Pembagian
kekuasaan negara tersebut dapat terjadi secara horizontal, yaitu diantara cabang eksekutif,
legislatif dan judikatif yang dirinci dalam organ, badan atau lembaga ditingkat pusat
yang setara, dan sebagai akibat tidak dianutnya ajaran pemisahan kekuasaan secara
mutlak, maka konsekwensi logis dari padanya adalah terjadinya proses chekcs and
balances diantara cabang-cabang kekuasaan tersebut. Checks and balances tersebut
merupakan mekanisme pembatasan dan keseimbangan dari satu cabang kekuasaan
terhadap cabang kekuasaan yang lain.
Secara vertikal pembagian kekuasaanbukan hanya dalam sistem federal, dalam
negara kesatuan seperti Indonesiajuga dilakukan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah, yaitu daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Pasal 18 ayat (1), ayat
(2) dan ayat (5) menegaskan pembagian kekuasaan tersebut dengan memberikan kepada
Pemerintahan Daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, dengan hak untuk
menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
2 Ibid.
2
pembantuan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat.
3
LEMBAGA NEGARA
Pengertian
Lembaga negara, organ negara atau badan negara merupakan nomenklatur yang
diberikan pada pengemban fungsi dalam sistem penyelenggaraan negara, yang harus
bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama yang ditetapkan. Setiap kali dirasakan
kebutuhan untuk membentuk satu organ negara atau lembaga negara dalam rangka
penyelenggaraan kekuasaan negara, maka kita akan menghadapi beberapa persoalan
yaitu: i) pengadaan lembaga negara, dalam arti siapa yang membentuk dan mengadakan
lembaga tersebut, ii) bagaimana mekanisme pengisian lembaga dimaksud apakah
melalui pemilihan atau melalui pengangkatan, iii) apa tugas dan wewenangnya, dan iv)
bagaimana pengaturan hubungan kekuasaan antar lembaga negara satu sama lain.3
Menurut Logeman, negara merupakan organisasi otoritas yang mempunyai fungsi yaitu
jabatan. Jabatan tinggal tetap, pemangku jabatan silih berganti; wewenang dan kewajiban
melekatkan diri pada jabatan; pemangku jabatan mewakili jabatan.4 Dikatakannya lebih
lanjut bahwa negara itu adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsi-fungsi. Maka
dengan fungsi itu dimaksudkan suatu lingkungan kerja yang terperinci dalam rangkaian
keseluruhan. Dalam hubungannya dengan negara ia disebut jabatan. Negara adalah
organisasi jabatan.5
Salah satu gejala yang sangat umum dewasa ini diseluruh dunia, adalah banyaknya
lahir organ-organ atau lembaga baru yang menjalankan juga tugas dan kewenangan
pemerintahan dan penyelenggaraan negara, diluar organisasi atau struktur kekuasaan
yang lazim atau utama, baik disebut secara khusus dalam UUD, maupun dalam undang-
undang atau hanya dengan peraturan yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena semakin
luasnya tugas-tugas pemerintahan dalam penyelenggaraan kepentingan umum, akan
tetapi yang dirasakan perlu dilakukan melalui partisipasi publik yang luas dan
demokratis maupun sebagai mekanisme pengawasan yang lebih luas. Badan-atau organ
yang bertumbuh tersebut sering disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara
3 Firmansyah Arifin dkk, id hal 15.4 Prof. Dr. J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, diterjemahkan Makkatutu SH dan Drs. J.C. Pangkerego, dari Judul Asli Over de Theori van een Stellig Staatsrecht 1948, hal. 106.5 Idem, hal 117.
4
pembantu ((auxiliary state organ). Bahkan sebelum reformasi pun, organ seperti ini,
sudah sangat banyak dan sering dibentuk sebagai jawaban atas permasalahan yang
dihadapi, meskipun dalam kenyataan jawaban dengan organ baru demikian, disamping
menjadi beban secara keuangan, justru menambah kerumitan dalam penyelesaian
masalah. Organ atau badan atau lembaga-lembaga independen ini, baik di negara maju
maupun negara berkembang, bertumbuh dengan kewenangan yang bersifat regulatif,
pengawasan dan monitoring, bahkan tugas-tugas yang bersifat eksekutif. Bahkan
kadang-kadang lembaga independen demikian menjalankan ketiga fungsi sekaligus. Hal
ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi
Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran Pemerintahan yang
sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif,
effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat
bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi,
pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an.6 Akan tetapi , seperti ditulis oleh
Kenneth F. Warren, pada awal Pemerintahan di Amerika tidak ada badan independen
yang memiliki kewenangan mengatur, namun karena sentimen masyarakat terhadap
penyalahgunaan ekonomi pasar bebas yang terjadi pada 1800an, Pemerintah menjawab
tuntutan masyarakat dengan pertama kalinya membentuk Interstate Commerce
Commission, dan sejak itu sampai abad keduapuluh, badan-badan independen demikian
telah bertumbuh seperti raksasa dan sangat berkuasa, yang mencerminkan problem dan
tantangan yang kompleks dari satu perubahan masyarakat Amerika pada abad baru
ekplorasi ruang angkasa.7 Indonesia menurut catatan kami memiliki kurang lebih 44
lembaga, badan atau komisi-komisi negara semacam ini, yang kemungkinan banyak
diantaranya sudah tidak aktif lagi karena memang ada yang dibentuk oleh Pemerintahan
masa lalu, yang mungkin tidak memperoleh anggaran yang cukup lagi untuk mendukung
kegiatannya, atau barangkali tidak dipandang relevan lagi.
Semua badan, organ atau lembaga demikian, apakah bernama dewan, komisi atau
badan, yang menyelenggarakan (sebagian) fungsi pemerintahaan, secara umum disebut
juga lembaga negara, yang dibedakan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang 6 Prof. Dr. Jimly Asshidiqie,SH, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 8.7 Administrative Law In The Political System,Prentice hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458, Third Edition, 1996, hal 78.
5
kerap pula disebut dengan nama non-govermental organization (NGO). Istilah-istilah
lembaga, badan atau organ sering dianggap identik, sehingga meskipun sesungguhnya
dapat berbeda makna dan hakikatnya satu sama lain, orang dapat menggunakan satu
istilah untuk arti yang lain. Dalam pembicaraan kita sekarang ini, yang penting untuk
dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga yang dibentuk oleh dan
untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat. Lembaga apa saja yang dibentuk bukan
sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara.8
Dalam topik pembicaraan kita mengenai ”Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara”, maka kata lembaga negara termuat hanya dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945,
yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya
adalah ”memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar”. Dengan kata-kata yang sama hal tersebut diulangi lagi
dalam pasal 10 ayat (1) UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Kejelasan tentang organ mana yang disebut sebagai lembaga negara menurut UUD 1945
sebelum perubahan, baru dapat terlihat secara tegas dalam ketetapan MPRS, baik nomor
XX/MPRS/1966, Nomor XIV/MPRS/1966, nomor X/MPRS/1969 dan nomor
III/MPR/1978. Dari ketetapan MPRS dan MPR tersebut kita dapat melihat adanya
kualifikasi lembaga negara yang berbeda yaitu Lembaga Tertinggi Negara yang disebut
MPR dan Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah
Agung. MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah penjelmaan seluruh rakyat
sebagai pemegang kedaulatan, dan dalam realitasnya MPRlah yang memegang kekuasaan
negara yang tertinggi.9 Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, kita juga tidak dapat
menemukan kejelasan definisi lembaga negara. Kalau dilakukan inventarisasi dalam
UUD 1945 setelah perubahan kita memang menemukan lembaga-lembaga negara yang
disebut, baik secara tegas yang dibentuk dan menerima kewenangan dari UUD 1945,
atau yang hanya disebut adanya satu lembaga untuk fungsi tertentu, yang kemudian nama
dan wewenangnya diatur dalam undang-undang mengenai lembaga negara tersebut.
Misalnya pasal 22 ayat (5) yang mengatur bahwa ”pemilihan umum diselenggarakan oleh
suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” dan ayat (6)
menentukan bahwa ”ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
8 Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, op.cit. hal 33. 9 Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan.
6
undang-undang”. Demikian juga pasal 23D UUD 1945 hanya menyebut adanya satu
bank sentral, yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan
independensinya diatur dengan undang undang.
Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga
negara dalam UUD belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan
dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh
kewenangannya dariUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan
penugasan kepada pembuat undang-undang untuk membentuk lembaga negara tersebut
yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu
undang-undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang
memperoleh kewenangannya dari undang-undang.
Kewenangan dan Sengketanya
Kewenangan yang disebut sebagai authority, diartikan sebagai hak untuk bertindak
dan mengeluarkan perintah dengan kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat umum atau
lembaga negara untuk meminta kepatuhan orang atau organ negara pada perintah yang
dikeluarkan secara sah dalam ruang lingkup tugas publiknya (public duties).10
Kewenangan itu dikatakan merupakan wujud nyata dari kekuasaan, sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku
semua adressatnya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai
kekuasaan.11 Oleh karenannya juga benar bahwa kewenangan merupakan wujud nyata
dari kekuasaan. Dengan mengacu pada sumber kekuasaan negara yang berkaitan dengan
ajaran kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945, maka sumber kekuasaan yang dimiliki
oleh lembaga negara di Indonesia adalah derivat dari kesadaran kolektif bangsa mengenai
Kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang diwujudkan dalam faham kedaulatan
hukum, sekaligus faham kedaulatan rakyat.12
Mengacu kepada pembedaan lembaga negara sebagai organ konstitusi yang
memperoleh wewenangnya dari UUD 1945 dan yang bukan, sangat penting untuk diingat
10 Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn. West Publishing Co, 1990.11 Firmansyah Arifin dkk, op.cit hal 16.12 Prof. Dr. Jimly Asshidiqie dalam Firmansyah Arifin dkk, op.cit hal x.
7
bahwa sumber kewenangan tersebut merupakan tolok-ukur atau ukuran untuk
menentukan corak lembaga negara yang bersengketa menyangkut kewenangannya.
Tetapi apakah dengan ukuran yang jelas demikian dapat kita mengatakan bahwa satu
lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD, tidak mungkin bersengketa
dengan lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari undang-undang, dan kalau
hal demikian menjadi kenyataan maka hal demikian diluar jurisdiksi MK? Secara pasti
hal tersebut belum dapat dikatakan, karena satu lembaga negara yang ditentukan dalam
UUD 1945 dengan kewenangan pokok disebut dalam konstitusi, tetapi diatur lebih lanjut
dalam undang-undang. Apakah hal pengaturan demikian dalam undang-undang
menyebabkan sumber kewenangan secara langsung lembaga negara tersebut dari undang-
undang atau dari UUD, masih merupakan perdebatan yang akan memperoleh kepastian
dalam kasus-kasus yang dihadapi dan memeroleh putusan yang final dari MK. Oleh
karena belum jelasnya hal ini, Mukhtie Fajar berpendapat bahwa hal tersebut bisa
mengundang beberapa penafsiran, yaitu :
a. penafsiran luas, sehingga mencakupsemua lembaga negara yang nama dan kewenangannya disebut/tercantum dalam UUD 1945;
b. penafsiran moderat, yakni yang hanya membatasi pada apa yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi dan tinggi negara;
c. penafsiran sempit, yakni penafsiran yang merujuk secara implisit dari ketentuan pasal 67 UU MK;13
Akan tetapi dari bunyi pasal 67 UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
yang berbunyi ”Putusan Mahkamah konstitusi mengenai sengketa kewenangan
disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden”. Hemat saya
dengan penafsiran sempit sekalipun, belum menjadi jelas betul apakah dengan demikian
BPK dan Komisi Yudisial tidak termasuk didalamnya. Mahkamah Agung dalam landasan
berfikir yang keliru juga tidak tepat bila dikeluarkan dari daftar lembaga negara yang
memperoleh kewenangannya dari UUD 1945, yang boleh bersengketa, karena dari kasus
yang pernah timbul dan diputus MK, kasus antara MA dan KY secara riil sesungguhnya
yang dipermasalahkan adalah sengketa kewenangan menurut pasal 24C ayat (1) UUD
1945, meskipun dikemas dalam bentuk pengujian undang-undang tentang pembentukan
Komisi Judisial.14
13 Abdul Mukthie Fajar, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press,Jakarta &Citra Media Yogyakarta 2006, hal 184. Hal tersebut juga dikutip dari sumber lain, dalam Firmansyah dkk, hal 65-66.14 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 05/PUU-IV/2006, tanggal 23 Augustus tahun 2006 tentang pengujian undang-undang nomor nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
8
Timbul pertanyaan, mengapa dapat terjadi sengketa kewenangan antara satu lembaga
negara dengan lembaga negara lain? Satu wewenang yang dilimpahkan pada lembaga
negara selalu mempunyai kaitan dengan hukum, yang dapat berwujud Undang-Undang
Dasar, Undang-Undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Istilah tugas,
fungsi dan wewenang sering dipakai secara interchangeable atau saling dipertukarkan,
sehigga kadang-kadang menjadi tidak jelas artinya. Harjono mengemukakan bahwa
fungsi mempunyai makna yang lebih luas daripada tugas. Tugas katanya, lebih tepat
digunakan untuk menyebut aktivitas-aktivitas yang diperlukan agar fungsi terlaksana.
Fungsi memerlukan banyak aktivitas agar fungsi dapat terlaksana. Gabungan dari tugas-
tugas adalah operasionalisasi dari sebuah fungsi yang sifatnya kedalam. Tugas selain
mempunyai aspek kedalam juga memiliki aspek keluar. Aspek keluar dari tugas adalah
wewenang.15 Dalam praktek kata tugas tidak dapat dipisahkan dari wewenang, sehingga
oleh karenanya sering digunakan secara bersama-sama yaitu tugas dan wewenang.
Dikatakan lebih jauh bahwa dengan dinyatakannya satu lembaga mempunyai wewenang,
timbullah akibat yang sifatnya kategorial dan ekslusif.16 Kategorial dikatakan sebagai
unsur yang membedakan antara lembaga yang mempunyai wewenang dengan yang tidak
mempunyai wewenang, sedangkan eksklusif diartikan bahwa lembaga-lembaga yang
tidak disebut merupakan lembaga yang tidak berwenang.Perbedaan tafsir atas
kewenangan yang diberikan dalam aturan perundang-undangan oleh lembaga negara
yang berbeda demikian dapat melahirkan sengketa kewenangan yang merupakan
perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan
antara dua lembaga negara atau lebih.
Dalam laporan penelitian KRHN dikatakan terdapat empat karakeristik utama
sebuah kewenangan yang berbasis peraturan, yaitu:
1. Hak untuk membuat keputusan-keputusan yang berkekuatan hukum. Hal ini
sangat berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan yang dikeluarkan sebagai
bagian dari pelaksanaan kewenangannya.Potensi sengketa kewenangan lembaga
negara sangat mungkin lahir dari produk hukum yang dikeluarkan oleh sebuah
lembaga negara yang kemudian mengikat kepada lembaga negara lain.
dan undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Judisial.15 Sebagaimana dimuat dalam Firmansyah Arifin dkk, op.cit hal 19.16 Idem, hal 14.
9
2. Perbedaan pelegitimasian antara kekuasaan dengan kewenangan. Hal tersebut
berkaitan dengan beberapa lembaga negara yang secara legitimatif kekuasaannya
diberikan dalam landasan hukum yang berbeda dengan landasam hukum
kewenangannya. Hal itu menibulkan perbedaan tafsiran antara kekuasaan, fungsi,
tugas, wewenang dan kewajiban maupun penjabaran terhadap unsur-unsur
tersebut. Akibatnya sering suatu lembaga negara merasa lebih memiliki
kekuasaan ataupun kewenangan terhadap satu hal daripada lembaga negara lain.
3. Aturan hirarkis yang jelas, seperti lex specialis derogat legi generalis, lex
superiori derogat legi inferiori,diperlukan dalam menjamin kepastian hukum,
dapat membingungkan ketika beberapa jenis peraturan sudah tercabut dengan
azas tersebut.
4. Kewenangan yang terbagi. Beberapa kewenangan dimiliki lembaga negara secara
bersamaan dengan lembaga negara lain. Kerancuan timbul ketika wilayah
kewenangan mulai ditafsirkan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara
lain.
Karena prinsip checks and balances tersebut diantara lembaga-lembaga negara yang
setara setelah amandemen UUD 1945, yang tidak lagi mengenal lembaga tertinggi
yaitu MPR, maka diperlukan adanya satu lembaga untuk menafsir kewenangan
konstitusional lembaga-lembaga negara tersebut untuk memberi penyelesaian pada
sengketa yang timbul.
PIHAK-PIHAK DALAM SENGKETA KEWENANGAN
Objectum litis sengketa kewenangan lembaga negara, akan membatasi siapa pihak
yang dapat menjadi pemohon dan termohon didepan persidangan Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan lembaga negara yang dapat menjadi objek sengketa hanyalah menyangkut
kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga negara tertentu. Oleh
karenanya tidaklah tiap lembaga negara, yang memenuhi kriteria sebagai organ, badan
atau lembaga negara yang menjalankan fungsi penyelenggaraan negara dan
pemerintahan, yang bersengketa dengan lembaga negara lain dapat dengan sendirinya
menjadi pihak dalam sengketa kewenangan dimaksud. Jikalau kita meneliti UUD 1945
10
setelah perubahan, dapat dinventarisasi 28 lembaga negara yang disebut secara eksplisit
maupun secara tidak langsung disebut tetetapi kemudian diperintahkan akan diatur dalam
undang-undang. Menurut Jimly Asshidiqie, ada 28 lembaga negara, organ atau jabatan
yang disebut dalam UUD 1945 tetapi kewenangannya dirujuk akan diatur lebih lanjut,
atau lembaga negara yang diatur secara jelas kewenangannya dalam UUD 1945 maupun
yang sekedar disebut saja,yaitu :
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat.(MPR).2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD).4. Presiden.5. Wakil Presiden.6. Dewan Pertimbangan Presiden.7. Kementerian Negara.8. Duta.9. Konsul.10. Pemerintahan Daerah Propinsi, yang mencakup11. Jabatan Gubernur.12. DPRD Propinsi13. Pemerintahan Daerah Kabupaten, yang mencakup14. Jabatan Bupati15. DPRD Kabupaten16. Pemerintahan Daerah Kota, yang mencakup17. Jabatan Walikota18. DPRD Kota.19. Komisi Pemilihan Umum)KPU), yang akan diatur lebih lanjut dalam undang-
undang.20. Bank Sentral, yang akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.21. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).22. Mahkamah Agung (MA)23. Mahkamah Konstitusi (MK).24. Komisi Yudisial.(KY)25. Tentara Nasional Indonesia(TNI).26. Kepolisian Negara Republik Indonesia.27. Pemerintah Daerah Khusus atau istimewa.28. Kesatuan Masyarakat hukum adat.17
Meskipun disebut dan diatur dalam UUD 1945, lembaga negara yang memiliki legal
standing untuk dapat menjadi pemohon sengketa kewenangan lembaga negara didepan
MK, haruslah secara eksplisit bahwa kewenangan organ konstitusi tersebut mendapat
kewenangannya tersebut dari UUD 1945. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi
17 Prof.Dr Jimly Asshidiqie SH, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Press & PT Syaamil Cipta Media, 2006 hal 15.
11
dalam perkara Nomor /PUU-IV/2006, yang kemudian diadopsi sebagai syarat legal
standing dalam pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006,
ditetapkan tiga syarat untuk legal standing tersebut yaitu :
1. Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan
konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan
oleh lembaga negara yang lain.
2. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan.
3. Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi,
menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.18
Syarat angka 3 diatas, dapat ditafsirkan sebagai adanya hubungan kausal kerugian yang
dialami kewenangannya dengan kewenangan yang dilaksanakan oleh lembaga lain.19
Dengan kriteria yang demikian maka subjek lembaga negara yang disebut diatas yang
memiliki legal standing untuk dapat menjadi Pemohon dalam sengketa kewenangan
lembaga negara didepan Mahkamah Konstitusi, menjadi semakin sempit dan
berkurang.Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam pasal 2 PMK Nomor 08/PMK/ 2006
tersebut, yang menentukan :
(1) Lembaga Negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :
a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).d. Presidene. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) .f. Pemerintahan Daerah (Pemda); ataug. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Penyebutan huruf g yang kembali seperti mengulang kalimat dalam pasal 24 C ayat
(1) tentang kualifikasi lembaga negara yang memiliki legal standing untuk menjadi
pihak dalam sengketa kewenangan tersebut, yang justru ingin diatur dan diperjelas,
dengan aturan dalam huruf g tersebut persoalannya menjadi terbuka kembali. Hal
18 Syarat yang disebut pada angka (1) pasal 3 PMK nomor 08/PMK/2006 yang berlaku mulai tanggal 18 Juli 2006, adalah mengambil alih pasal 61 ayat (1) UU nomor 24 tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.19 Periksa lebih lanjut Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah konstitusi Republik Indonesia, Edisi Revisi MKRI 2006 hal 195.
12
tersebut terjadi karena adanya perbedaan pendapat atau tafsiran atas penyebutan
lembaga negara tertentu dalam UUD 1945 yang sebagian menganggap
kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD 1945, sebagian lagi menganggapnya
tidak. Oleh karena nya hal demikian akan diputus kelak secara definitif dalam
putusan Mahkamah Konstitusi yang berkekuatan tetap dan mengikat, yang akan
menjadi jurisprudensi yang kemudian akan menjadi rujukan. Hal ini dapat dilihat dari
rumusan Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah, dimana pasal 18
menentukan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah Propinsi dan daerah Provinsi
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabipaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah,yang diberi wewenang untuk mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan
Daerah provinsi, kabupaten dan kota dengan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Pemerintahan daerah, yang terdiri dari kepala daerah dan DPRD menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat, dan dalam rangka melaksanakan
otonomi Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lainnya. Dalam satu kasus yang terjadi di Pemerintahan Daerah Bekasi,
seorang Bupati telah diberhentikan sesuai dengan UU nomor 32 tahun 2004, atas
dasar putusan MA yang menyatakan bahwa prosedur pemilihannya mengalami cacat
hukum dan karenanya pengangkatannya kemudian dibatalkan Presiden. Bupati yang
diberhentikan tersebut kemudian mengajukan perkara permohonan sengketa
kewenangan terhadap (i) Presiden, (ii) Mendagri dan (iii) DPRD Kabupaten Bekasi,
dengan alasan bahwa pemberhentian yang dilakukan berdasar wewenang Presiden,
telah merugikan kewenanganya sebagai Bupati, karena sesungguhnya putusan
Mahkamah Agung yang dijadikan dasar pemberhentian inkonstitusional, karena cacat
dalam persyaratan untuk pilkada bukan merupakan sengketa tatausaha negara yang
menjadi wewenang Pengadilan TUN, dan karenanya juga Presiden tidak boleh
menghentikannya yang wewenangnya dirugikan dengan demikian. DPRD juga
telahmerugikan kewenangan konstitusionalnya, karena DPRD tidak berwenang
mengesahkan Peraturan Daerah yang diusulkan Pejabat atau Pelaksana Bupati, yang
13
menjadi wewenang Bupati yang dipilih secara demokratis, sedangkan Pelaksana
Bupati tidak dipilih melainkan ditunjuk.
Dalam perkara tersebut berdasarkan kasus posisi yang terjadi, kami berpendapat
bahwa DPRD sebagai lembaga negara memperoleh wewenangnya secara langsung
dari UUD 1945 sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah, yang turut serta dalam
pembentukan dan Pengesahan Peraturan Daerah. Meskipun tatacara tentang
wewenang DPRD diatur dalam undang-undang, hemat kami wewenang DPRD
tersebut berasal dari dan diberikan oleh UUD 1945, dalam rangka otonomi yang
seluas-luasnya. Jika sekiranya dianut pendapat bahwa DPRD, yang juga
dikategorikan sebagai lembaga negara tingkat daerah tidak memiliki legal standing
mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara demikian didepan MK, tidak pula
tepat sengketa demikian diajukan didepan PTUN sebagai sengketa TataUsaha
Negara, karena masalah yang dipersoalkan adalah masalah hukum tatanegara, yang
menjadi kompetensi Peradilan TataNegara. Meskipun dari sudut kriteria objek
sengketa TUN boleh jadi Peraturan Daerah memiliki nuansa keputusan TUN dari
pejabat TUN yaitu pelaksana tugas Bupati yang dapat dipersengketakan didepan
Pengadilan TUN, akan tetapi Peraturan Daerah adalah merupakan algemene regeling
yang mengikat secara umum, dan bukan merupakan beschikking, yang bersifat
individual,final dan kongkrit. Mayoritas Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat
lain tentang status lembaga negara Bupati/KDH dan DPRD tersebut sebagaimana
tampak dalam pertimbangan perkara No. 04/SKLN-IV/2006 sebagai berikut ini :
”...objektum litis antara Pemohon dan Termohon III adalah kewenangan pemerintahan daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa pemerintahan daerah adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh pasal 24C UUD 1945 karena diberikan kewenangan oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2)serta pasal 18B ayat (1) UUD 1945.Pemohon yang mendalilkan dalam kapasitasnya sebagai lembaga negara untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 adalah Bupati Bekasi. Dalam hubungannya dengan kapasitas yang didalilkan yaitu, UUD 1945 mengatur dalam pasal 18 ayat (4) bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten, dan kota, dipilih secara demokratis. Selain ketentuan tersebut, pasal 18 ayat (3) UUD 1945 menyatakan Pemerintahan Daerah provinsi, kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya
14
dipilih secara melalui pemilihan umum. Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas yang telah jelas disebut kewenangannya adalah Pemerintahan Daerah yang kewenangan tersebut diberikan dalam hubungannya dengan kewenangan mengatur diberikan dalam hubungannya dengan kewenangan mengatur yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Meskipun pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota adalah kepala pemerintah daerah, namun pasal ini tidak menyebutkan apa yang menjadi kewenangan kepala pemerintah daerah dan hal ini adalah wajar karena ruang lingkup kewenangan tersebut baru dapat ditetapkan apabila perintah pasal 18,Pasal 18A ayat (4)dan pasal 18B UUD 1945dilaksanakan yaitu ditetapkan dalam undang-undang.Kewenangan kepala daerah sangatlah berkaitan dengan kewenangan pemerintahan daerah, karena kepala daerah adalah kepala pemerintah daerah, tentunya sangat tidak tepat apabila kewenangan kepala daerah tidak dalam rangka melaksanakan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan daerah. Keseluruhan kewenangan tersebut diatur dalam undang-undang yang melaksanakan pasal 18, Pasal 18A dan pasal 18B UUD 1945. Pasal 18 ayat (6) adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar kepada pemerintahan daerah dan sekaligus juga perintah kepada pembuat undang-undang agar kewenangan tersebut tidak diabaikan dalam melaksanakan ketentuan pasal 18, pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945.Dalam hubungannya dengan pembuatan peraturan daerah, kewenangan kepala pemerintah daerah ditentukan dan diatur oleh undang-undang. Sedangkan yang dilarang oleh undang-undang dasar apabila kewenangan membuat peraturan daerah sama sekali ditiadakan. Pelaksanaan kewenangan tersebut tentunya akan disesuaikan dengan pelaksanaan asas otonomi dan tugas pembantuan yang diatur oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat mengatur secara berbeda tata cara pembuatan peraturan daerah yang berlaku untuk daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota dan bahkan daerah yang termasuk satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat khusus atau bersifat istimewa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18B UUD 1945.
...Mahkamah berpendapat bahwa Bupati adalah organ pemerintahan yang juga lembaga negara dalam proses pembuatan peraturan daerah yang diatur dalam UU nomor 32 tahun 2004. Kewenangan Bupati tersebut diberikan oleh undang-undang, dan didalam undang-undang tersebut tidak terdapat kewenangan implisit atau kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang diberikan undang-undang dasar.Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa sengketa yang terjadi...bukanlah sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 sehingga permohonan pemohon tidak beralasan”. Mahkamah Konstitusi dalam kasus Bupati Bekasi perkara
No.04/SKLN-IV/2006 tersebut memutus tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard) sehingga belum mengikat sepanjang mengenai substansinya. Akan tetapi
putusan MK tersebut telah menentukan lembaga negara Bupati dan DPRD tidaklah
15
memperoleh kewenangannya dalam menyelenggarakan otonomi seluas-luasnya,
termasuk wewenang untuk membentuk peraturan daerah dalam menjalankan otonomi
daerah. Wewenang tersebut berasal dari undang-undang. Oleh karena MK baru
memutus mana lembaga negara yang boleh bersengketa didepan MK, ada
kemungkinan dimasa depan akan terjadi kasus yang hampir sama dimana MK akan
sampai pada materi atau substansi sengketanya, yang akan diputus dengan kekuatan
hukum yang mengikat. Harus diakui definisi Hukum Tata Negara yang luas yang
mencakup Hukum Tata Usaha Negara, telah menyebabkan timbulnya titik singgung
diantara Pengadilan Tata Usaha Negara yang berada dibawah MA dengan Pengadilan
TataNegara yang diemban MK, dalam menangani kasus semacam itu, yang boleh
jadi dapat menimbulkan komplikasi yang akhirnya tidak pas. Tetapi dengan
berpedoman pada Konstitusi sebagai hukum yang tertinggi, dengan mana peraturan
maupun perbuatan semua organ negara harus dapat diuji dengan UUD, yang
merupakan dasar untuk menegaskan bahwa kata akhir dalam hal demikian akan
menjadi jurisdiksi Mahkamah Konstitusi. Secara diametral kami memiliki pendirian
yang berbeda, melalui pendekatan yang tidak semata-mata satu segi, yakni dari segi
sumber kewenangan lembaga negara yang tekstual. Pendirian kami tercantum dalam
dissenting opinion kami yang dikutip berikut ini :
Dalam perkara ini Bupati/Wakil Bupati Bekasi yang dipilih dan ditetapkan
sebagai Bupati terpilih pada tahun 2003 oleh DPRD Kabupaten Bekasi, dan disahkan
dengan Keputusan Mendagri sebagai Bupati/Wakil Bupati Bekasi serta diambil
sumpahnya pada tanggal 8 Januari 2004, telah diberhentikan oleh Mendagri dengan surat
keputusan tertanggal 4 Januari 2006, persis 2 (dua) tahun setelah menjalankan tugasnya.
SK Mendagri tersebut dikeluarkan sebagai lanjutan dari Putusan Mahkamah Agung
Nomor 436 K/TUN/2004 yang menyatakan batal SK Mendagri tentang pengangkatan
Bupati dan Wakil Bupati terdahulu dan memerintahkan Mendagri mencabut surat
keputusan tersebut. Sebagai akibatnya kemudian dalam SK Mendagri tentang pembatalan
SK pengangkatan terdahulu, Bupati dan wakil Bupati diberhentikan. Berbeda dengan
mayoritas hakim MK, kami berpendapat ini merupakan kewenangan MK yang harus
diputus MK.
16
Bupati dan DPRD sebagai Lembaga Negara
Sengketa (dispute) itu dapat terjadi karena digunakannya kewenangan lembaga
negara yang diperolehnya dari UUD 1945, dan kemudian dengan penggunaan
kewenangan tersebut terjadi kerugian kewenangan konstitusional lembaga negara lain.
Dalam arti ini, maka lembaga negara yang lebih rendah kedudukannya, dalam arti yang
secara stricto sensu juga tidak disebut lembaga negara, tetapi yang juga lembaga negara
yang memiliki tugas-tugas secara konstitusional menurut UUD, termasuk dalam kategori
ini. Apapun tafsiran yang diberikan terhadap Pasal 18 ayat (4) UUD, jelas bahwa
wewenang sebagai kepala daerah, yang memimpin sebagian tugas pemerintahan daerah
dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, maka kewenangan itu diberikan UUD
1945 melalui ”Pemilihan secara demokratis”. Wewenang menjalankan
Pemerintahan Daerah, diberikan kepada Bupati, dan lembaga DPRD, jelas adalah
berasal dari UUD 1945. Tidak ada faedahnya untuk menafsirkannya secara lain, karena
perolehan kewenangan untuk menyelenggarakan kewenangan Pemerintahan tersebut
dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya, menetapkan peraturan daerah dan peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan tersebut, tidak berbeda dengan
kewenangan yang diterima dan diberikan UUD 1945 kepada Presiden dan DPR. Justru
akan terasa kegagalannya untuk menegakkan Konstitusi sebagai hukum tertinggi yang
menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan hukum dan Konstitusi, jikalau
mengambil tafsiran yang bersifat restriktif dan tanpa dasar yang cukup. Original intent
dari pembuat UUD, merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, akan tetapi
merupakan fakta yang diakui secara universal, bahwa pembuat UUD juga harus
memberikan keleluasaan bagi Mahkamah untuk melakukan penyesuaian dalam
memenuhi tuntutan dinamika perkembangan zaman dan kebutuhan praktek (The Court
needs to adapt to meet the demands of the unknown future), dan hemat kami pembuat
UUD tidaklah pernah bermaksud menghambat Mahkamah untuk memiliki keleluasaan
melakukan penyesuaian akan tuntutan kebutuhan dalam rangka melaksanakan tujuannya
mengawal Konstitusi. Demokrasi dan keseluruhan sistem kelembagaannya adalah satu
karya yang terus tumbuh, sebagaimana juga ditunjukkan oleh negara-negara yang lebih
dulu maju, yang tidak mampu diatur oleh pembuat UUD secara sempurna sehingga tidak
lagi membutuhkan tafsiran dalam kenyataan politik.
17
Persoalan pokok yang harus dijawab terlebih dahulu adalah, apakah keputusan
pengangkatan dan pemberhentian Bupati, yang merupakan kelanjutan pemilihan kepala
daerah, tunduk dan menjadi objek sengketa TUN? Sebelum melihat ketentuan UU
Pemerintahan Daerah, maka jika memang aturan dalam UU memberi peran pada Presiden
dan Mendagri untuk mengeluarkan SK pengangkatan Bupati dimaksud, tetapi Pejabat
TUN dimaksud tidak memiliki diskresi penuh untuk menilai kecakapan dan kelayakan
seseorang sebelum mengangkat/menghentikannya menjadi Bupati/Wakil Bupati atau
kemudian hal itu dilakukan Mendagri hanya berdasarkan Putusan MA yang telah
berkekuatan, ukuran atau tolok ukur yang digunakan dalam menentukan apakah ini
merupakan sengketa kewenangan yang disebut Pasal 24C UUD 1945, ialah apakah
keputusan Mendagri tersebut didasarkan pada kebebasan diskresi. Hal demikian juga
menjadi relevan kalau terjadi kelalaian Hakim dalam menerapkan aturan UU dan
Konstitusi, sebagaimana didalilkan Pemohon, maka sengketa ini tunduk pada jurisdiksi
MK, sehingga karenanya MK berwenang mengadili perkara ini, karena penggunaan
wewenang Mendagri secara tidak tepat telah menghilangkan kewenangan yang diemban
oleh Bupati yang telah bertugas sebagai Kepala Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan
Pemerintahan di Daerah Kabupaten Bekasi.
Persoalan kewenangan ini harus dilihat dari segi batasan antara hukum tata
negara dengan Hukum Administrasi Negara, yang keduanya masuk dalam domain hukum
publik. Dalam arti yang luas, Hukum Tata Negara meliputi juga Hukum Administrasi
Negara, yang mengatur organisasi dari pada negara, hubungan antar perlengkapan negara
secara vertikal maupun horizontal, serta kedudukan warganegara dan hak asasinya. Jadi
dalam arti luas juga mencakup hubungan bukan saja antar lembaga negara, tetapi juga
antara lembaga negara dengan warganegara. Oleh karena definisi yang demikian, maka
tidak boleh tidak akan ada kemungkinan terjadinya titik singgung kewenangan antara
PTUN dengan Mahkamah Konstitusi, dengan akibat terjadinya kemungkinan overlap
diantara kedua kewenangan tersebut. Tetapi satu ukuran yang jelas dapat dilihat dari
batasan yang ditetapkan sebagai diluar kewenangan PTUN yaitu hasil pemilihan sebagai
lembaga demokrasi. Pengesahan atau pengukuhan hasil pemilihan kepala daerah berupa
keputusan Presiden atau Mendagri, meskipun formil adalah satu keputusan TUN yang
final, individual dan konkrit, akan tetapi Mendagri sebagai pejabat TUN dalam kaitan
18
pengesahan Bupati/Kepala daerah hasil Pilkada, berwenang membuat SK bukan dengan
satu kewenangan diskresioner, yang menilai dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh
UU, melainkan hal itu hanya pengesahan/pengukuhan. Perselisihan tentang dipenuhi
tidaknya syarat untuk ikut pemilihan terletak dalam wewenang panitia pemilihan
(sekarang KPUD), dan Mendagri sebagai pejabat TUN tidak memiliki kewenangan
diskresioner untuk menentukan seorang Bupati terpilih tidak memenuhi syarat itu,
sebagaimana kewenangan TUN dalam mengangkat pejabat TUN atau pegawai lainnya.
Dalam UU Pemerintahan Daerah yang menetapkan sebagai Kepala Daerah berdasarkan
hasil pemungutan suara, adalah DPRD dan Mendagri bertugas mengukuhkan atau
mengesahkan. Hal tersebut harus dilihat dan dinilai bukan dari segi hukum tata usaha
negara, melainkan dari segi hukum tata negara, yaitu sebagai satu mekanisme hubungan
antar lembaga negara yang pejabatnya diisi secara demokratis. SK pengangkatan atau
pengesahan itu tidak dapat dilihat sebagai keputusan TUN yang murni, karena
sesungguhnya hal itu hanya merupakan satu perbuatan hukum tata negara sebagai
kewenangan yang diatur secara konstitusional dan karenanya harus dinilai secara
konstitusional, yang menyangkut hubungan antara pemerintah pusat dengan
pemerintahan daerah di dalam prinsip negara kesatuan. Pengukuhan dengan SK
Mendagri tersebut merupakan satu penyelesaian administrasi ketatanegaraan bukan
Keputusan TUN, karena menyangkut pengisian pejabat publik melalui mekanisme
demokratis sebagaimana ditentukan UUD 1945. Kalau SK Mendagri demikian memiliki
fungsi konstitutif dalam menentukan kedudukan kepala daerah, maka yang menetapkan
seorang menjadi kepala daerah bukan pemilihan secara demokratis, melainkan
pengangkatan oleh Mendagri atau Presiden. Hal demikian, jika benar, jelas bertentangan
dengan UUD 1945, karena yang menentukan dan menetapkan seorang menjadi kepala
daerah adalah pemilihan demokratis.
Wilayah kekuasaan MK adalah untuk menjaga jangan sampai ada ketentuan
Konstitusi yang dilanggar dalam pelaksanaan kewenangan lembaga negara, dengan
menerapkan uji konstitusionalitas juga ketika terjadi perselisihan (dispute) yang
didalilkan bahwa lembaga negara tertentu melaksanakan kewenangannya justru
menghilangkan kewenangan lembaga negara lain atau melanggar kewenangan
19
konstitusionalnya. Atas dasar uraian dan alasan-alasan diatas, kami berpendapat MK
berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa ini.
Kewenangan Bupati Secara Derivatif dari UUD 1945.
Pemohon adalah lembaga negara yang telah diuraikan di atas, memperoleh
kewenangannya dari UUD 1945 meskipun rincian wewenangnya secara derivatif diatur
kemudian dalam UU. Pemohon sebagai pemegang jabatan (ambtsdrager) tidak dapat
dipisahkan dari jabatan bupati (ambt) tersebut, terutama dalam kondisi dinamis,
wewenang lembaga (ambts) yang memperoleh wewenang tersebut dari UUD 1945 hanya
dapat dilaksanakan melalui pejabatnya (ambtsdrager). Pemohon sebagai Bupati yang
telah dipilih dalam Pilkada oleh DPRD secara demokratis, sesuai dengan Pasal 18 ayat
(4) UUD 1945, dan kemudian disahkan dengan mengangkat yang bersangkutan dengan
SK Mendagri dan disumpah di depan Gubernur Jabar, adalah sebagai Kepala Pemerintah
Daerah Kabupaten, yang bersama-sama DPRD menjalankan otonomi seluas-luasnya, dan
berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan [Pasal 18 ayat (4) dan (5) UUD 1945]. Dengan demikian
wewenangnya sebagai Bupati didasarkan atas pemilihan yang demokratis, untuk
menyelenggarakan pemerintahan di daerah dengan otonomi yang seluas-luasnya, yang
dilengkapi dengan kewenangan menetapkan Perda dan peraturan lainnya. Dengan ukuran
demikian, lepas dari keterangan Termohon I (Presiden) tanggal 19 April 2006, dan ahli
yang diajukan Termohon I yang menunjukkan original intent drafter amandemen UUD
1945 tidak bermaksud demikian, tidaklah bermanfaat untuk menyatakan bahwa Bupati
bukan lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, meskipun
kemudian diperinci dalam UU Pemerintahan Daerah sebagaimana diamanatkan oleh
UUD 1945, karena perkara casu quo, sesungguhnya tidak dapat dibayangkan sebelumnya
oleh Pembuat perubahan UUD. Peristiwa hukum (tata negara) yang tidak bersesuaian
dengan UUD, tidak boleh dibiarkan hanya karena tidak disebut secara tegas apakah
sengketa yang dihadapkan kepada MK masuk dalam kategori pengaduan konstitusi
(constitutional complaint) yang belum merupakan kewenangan MK dalam tugasnya
untuk mengawal konstitusi. Lepas dari original intent para perancang perubahan UUD
1945 dan tidak adanya aturan yang tegas yang memberikan kewenangan demikian
20
kepada MK, menurut hemat kami, Hakim Konstitusi justru berkewajiban untuk
menemukan hukumnya, baik melalui interpretasi maupun konstruksi atau penghalusan
hukum. Hal ini menjadi sangat penting, karena hemat kami tidak boleh dibiarkan
timbulnya keadaan dimana pemerintahan (daerah) menjadi tidak stabil, tidak effektif dan
tidak effisien karena MK tidak menemukan hukum yang menjadi dasar
kewenangannya menyelesaikan perkara a quo. Asas pokok yang diletakkan dalam
konstitusionalisme, yang meletakkan UUD 1945 sebagai hukum yang tertinggi, harus
menjadi sumber legitimasi dan dasar keberadaan aturan perundang-undangan yang lebih
rendah maupun keputusan pemerintahan (government act). Dari asas tersebut Hakim
dapat merumuskan norma konstitusi (Judge-made constitutional law) bahwa semua
lembaga negara yang beroleh kewenangannya dari UUD 1945, tidak diperkenankan
untuk mengeluarkan aturan perundang-undangan ataupun membuat keputusan yang
bertentangan dengan UUD. MK sebagai forum penyelesaian sengketa ketata negaraan
demikian, tidak boleh membiarkan dirinya untuk tidak mengambil keputusan secara aktif
dan substantif jika dihadapkan pada persoalan yang demikian, karena membiarkan hal
demikian tidak menyumbang terhadap pengelolaan kehidupan bernegara yang stabil
berdasar Konstitusi yang justru menjadi tugasnya.
Lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Tata Negara melalui perubahan
besar UUD 1945, dengan kewenangannya terutama untuk memeriksa dan memutus
sengketa kewenangan lembaga negara, akan memiliki titik singgung dengan kewenangan
peradilan TUN. Hal tersebut akan terjadi jika sengketa kewenangan lembaga negara juga
dilihat dari aspek penggunaan kewenangan lembaga negara dengan mengeluarkan surat
keputusan (SK), terutama dalam pengesahan pemilihan kepala daerah melalui mekanisme
yang ditentukan dalam UUD 1945, yaitu pemilihan secara demokratis. Mekanisme
menyelesaikan titik singgung antara dua badan peradilan yang setara demikian, tidak
tersedia sebagaimana halnya Mahkamah Agung berwenang memutus sengketa
kewenangan mengadili antara pengadilan ditingkat yang lebih rendah. Oleh karena itu,
selama meeting of mind antara MA dan MK belum tercapai dalam hal seperti itu, maka
MK mau tidak mau harus melakukan penilaian sendiri berdasar bukti-bukti dan
keyakinannya untuk mempertimbangkan dan memutus apakah benar ada kewenangan
absolut PTUN yang dilanggar jika MK memeriksa dan memutus perkara yang demikian.
21
Perubahan UUD 1945 yang terjadi secara revolusioner tersebut, seharusnya memaksa
lembaga judikatif untuk melakukan pemahaman bersama atas implikasi perubahan UUD
1945 terhadap kewenangan masing-masing. Kalau itu tidak terjadi, MK harus
mempertimbangkannya sendiri, baik kewenangan MK maupun MA.20
Titik Singgung Kewenangan PTUN dan MK
Sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari
UUD 1945 dapat didefinisikan sebagai “sengketa yang timbul dalam bidang tata negara
sebagai akibat satu lembaga negara menjalankan kewenangannya yang diberikan
UUD 1945, telah menghilangkan, merugikan atau mengganggu kewenangan lembaga
negara lain”. Dengan definisi yang demikian, maka satu sengketa kewenangan lembaga
negara dapat terjadi karena satu lembaga negara menjalankan wewenangnya secara
bertentangan dengan UUD 1945, yang merupakan perbuatan lembaga negara yang dapat
disebut Perbuatan Melawan Hukum Konstitusi (PMHK). Seorang Bupati/Wakil
Bupati terpilih secara demokratis yang ditetapkan oleh DPRD -sekarang oleh KPUD-
tetap dianggap sebagai Bupati/Wakil Bupati, selama belum diberhentikan karena masa
jabatannya habis, atau karena alasan melakukan melakukan tindak pidana diberhentikan
Presiden tanpa usul DPRD, atau atas usul DPRD (vide Pasal 29, 30, 31, dan 32 UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Persoalan titik singgung antara
kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan Peradilan TUN harus dilihat dari segi batasan
antara hukum tata negara dengan hukum administrasi negara, yang keduanya masuk
dalam domain hukum publik. Dalam arti yang luas, hukum tata negara juga meliputi
hukum administrasi negara, yang mengatur organisasi negara, hubungan antar
perlengkapan negara secara vertikal maupun horizontal, serta kedudukan warga negara
serta hak asasinya. Oleh karena definisi sengketa tata negara dan batasan hukum tata
negara dan administrasi negara yang ada dalam domain hukum publik yang sama, maka
tidak boleh tidak akan ada kemungkinan terjadinya titik singgung kewenangan PTUN
dengan MK, yang berakibat boleh jadi timbul overlap kewenangan, karena lembaga
negara juga dapat mengeluarkan keputusan yang sifatnya”individual, konkrit dan final”,
akan tetapi dikeluarkan bukan atas dasar kebebasan diskresioner pejabat Negara.
20 The Italian Constitutional Court, Corte Coztitutionale, 2004, hal 37-38.
22
Memang benar bahwa SK Mendagri dalam pengangkatan dan pemberhentian seorang
kepala/wakil kepala daerah merupakan tindakan pejabat TUN, yang didasarkan pada UU
Pemda (UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagai mana diubah dengan UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah). Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1986 juncto
Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa: “Keputusan TUN adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Jabatan TUN yang berisi tindakan hukum
TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata”.
Menurut Pasal 47 juncto Pasal 53 UU Nomor 5 Tahun 1986 juncto Nomor 9
Tahun 2004, keputusan yang memenuhi syarat demikian merupakan objek sengketa yang
menjadi kewenangan Peradilan TUN untuk memeriksa dan memutus. Yang menjadi
persoalan apakah setiap penetapan tertulis pejabat TUN yang memenuhi syarat konkrit,
individual dan final demikian harus selalu menjadi objek sengketa yang menjadi
kewenangan PTUN? Hemat kami jelas tidak. Ketentuan yang memuat batasan apa yang
menjadi penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual dan final yang dikeluarkan
badan atau jabatan TUN, untuk dapat dikatakan menjadi objek sengketa TUN, masih
memiliki syarat lain dan mengenal pengecualian tertentu. Keputusan TUN yang dapat
menjadi objek sengketa TUN adalah keputusan dimana pejabat yang berwenang
mengeluarkannya memiliki kebebasan (diskresi) untuk mengeluarkan keputusan tersebut
atau tidak, serta ada kebebasan dalam menentukan kapan dan bagaimana caranya
keputusan dikeluarkan. Penetapan yang bersifat deklaratoir selalu dianggap bersifat
terikat, dan dikatakan demikian jika eksistensi penetapan tersebut didikte saja (letterlijk)
oleh peraturan dasarnya.21 engecualian lain yang disebut secara tegas adalah Keputusan
Panitia Pemilihan yang berkenaan dengan hasil pemilihan umum, baik di pusat maupun
di daerah (Pasal 2 huruf g UU Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diperbaharui dengan
UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Surat Keputusan
Mendagri dalam pengangkatan Kepala Daerah terpilih bukanlah sebagai penetapan
pejabat TUN yang didasarkan pada kebebasan diskresi pejabat TUN, melainkan
21 Indroharto SH, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara, Bogor-Jakarta 1999, hal 153.
23
hanyalah satu penetapan deklaratoir yang bersifat terikat, yang diperintahkan oleh Pasal
40 UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU Nomor 32 Tahun
2004 Pasal 109 ayat (2) di mana Kepala Daerah terpilih disahkan oleh Presiden. Yang
memilih, menetapkan dan mengangkat seseorang menjadi kepala daerah sesungguhnya
adalah mekanisme demokrasi itu sendiri, dan tidak ada kebebasan diskresioner bagi
Presiden atau Mendagri untuk mengeluarkan penetapan lain bagi orang yang tidak dipilih
oleh DPRD atau rakyat. Persoalan pokok yang harus dijawab sekarang adalah apakah
keputusan TUN yang menyangkut pengangkatan dan pemberhentian Bupati, yang
merupakan kelanjutan pemilihan Kepala Daerah, tunduk dan menjadi objek sengketa
TUN? Hemat kami dengan definisi dan pengecualian apa yang menjadi keputusan TUN
yang menjadi objek sengketa TUN sebagaimana telah diuraikan di atas, jawabannya telah
jelas tidak.
Satu hal yang amat penting untuk dijadikan ukuran menentukan batas
kewenangan antara peradilan TUN dengan peradilan tata negara, adalah dengan melihat
kewenangan konstitusional Bupati Kepala Daerah. Berdasarkan Pasal 18 ayat (2), (3),
(4), (5), dan (6), maka Bupati Kepala Daerah yang bersama sama dengan DPRD
menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, dan untuk itu berwenang menetapkan perda
dan peraturan lain. Pelaksana tugas Bupati yang ditunjuk oleh Mendagri yang tidak
dipilih secara demokratis, tidak memiliki kewenangan konstitusional demikian untuk
turut serta dalam pembuatan Perda dan/atau pengesahan Perda, dan pengesahan
rancangan Perda APBD menjadi Perda APBD. Kewenangan konstitusional demikian
hanya diberikan UUD 1945 kepada Bupati yang dipilih secara demokratis. Oleh
karenanya DPRD Kabupaten Bekasi yang turut serta bersama dengan Plt. Bupati Bekasi,
yang tidak dipilih secara demokratis menetapkan Perda yang demikian, telah turut
melakukan perbuatan yang melanggar konstitusi (Perbuatan Melawan Hukum
Konstitusi), hal mana merupakan kewenangan konstitusional Bupati yang dipilih secara
demokratis. Tentu saja sengketa ini adalah sengketa tata negara, yang menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Masih terdapat dua argumentasi yang diajukan dalam menilai kewenangan MK
dan bukan kewenangan PTUN MA yang akan menjadi forum mengadili sengketa ini,
24
yaitu karena dikatakan (i) yang menjadi sengketa adalah prosedur administratif yang
ditempuh Mendagri dalam menindak lanjuti dan melakukan tindakan hukum tata usaha
negara setelah selesai proses pemilihan tersebut, yaitu adanya masalah izin atasan yang
harus dimiliki seorang calon Bupati untuk ikut dalam pemilihan dan prosedur pengiriman
berkas pengesahan calon pasangan Bupati terpilih; (ii) dikeluarkannya SK Mendagri yang
membatalkan pengesahan pasangan Bupati/Wakil Bupati terpilih, adalah sebagai
pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan tetap yang merupakan
kewajiban hukum Mendagri. Dalam masalah prosedur administratif yang dianggap cacat,
sesungguhnya hal itu merupakan kewenangan Panitia Pemilihan untuk menentukannya,
karena syarat izin adalah masalah eligibility seorang calon, yang sebelum pemilihan
dilaksanakan sudah harus menampung setiap keberatan tentang itu, dan akan menerima
atau menolak keberatan demikian, yang menjadi kewenangan adminsitratif Panitia
Pemilihan dan bukan merupakan sengketa tata usaha negara yang menjadi kewenangan
PTUN. Hal demikian analog dengan seluruh penyelesaian sengketa administratif dalam
pemilihan umum, yang bukan merupakan sengketa hukum yang menjadi kewenangan
badan peradilan tetapi kewenangan adminsitratif KPU/KPUD. Kalau masalah ini
ditangani sebagai sengketa TUN, akan terjadi ketidakpastian hukum yang luas atas hasil
pemilihan kepala daerah yang juga menimbulkan ketidakstabilan dalam pemerintahan.
Ketidaksempurnaan prosedur administratif dalam pengiriman berkas penetapan pasangan
calon terpilih oleh DPRD, tidak selalu berakibat kebatalan surat keputusan yang dibuat
atas dasar berkas penetapan pasangan calon terpilih, karena asas proporsionalitas juga
harus diperlakukan dalam menilai hal ini, yaitu apakah kekurangan tersebut sedemikian
rupa tidak dapat diperbaiki sehingga harus dibatalkan, terutama dengan melihat ukuran
pada berpengaruh tidaknya hal tersebut pada hasil pilihan suara yang diperoleh Bupati
terpilih dan implikasi pembatalan pada masa jabatan yang telah berlangsung untuk masa
yang signifikan. Asas Proporsionalitas sesungguhnya hanya satu asas yang didasarkan
pada akal sehat (common sense) yang merupakan asas dasar satu pemerintahan yang baik
(good governance). Asas itu dapat ditafsirkan bahwa akibat kebatalan dapat diterapkan:
(a) jika tujuan untuk menertibkan tidak dapat dicapai melalui tindakan lain; (b) jika
tujuan itu dapat dicapai lebih baik atau lebih effektif melalui tindakan pembatalan,
berdasar kriteria effisiensi dengan hasil yang lebih baik, dan (c) jika persoalan yang
25
dihadapi dapat diselesaikan dengan lebih effektif melalui kewenangan pembatalan
(dirumuskan dari prinsip subsidiaritas atau proporsionalitas yang diatur dalam Pasal 5
Perjanjian Masyarakat Eropa/European Community Treaty) sebagaimana ditafsirkan
dalam pelaksanaannya.22
Di samping alasan bahwa sengketa seperti kasus Bupati Bekasi a quo yang bukan
merupakan sengketa tata usaha negara yang menjadi kompetensi absolut PTUN MA,
melainkan merupakan sengketa tata negara yang menjadi kompetensi absolut MK, maka
argumen yang menyatakan lahirnya SK Mendagri yang membatalkan pengesahan
pengangkatannya sebagai pelaksanaan kewajiban hukum akibat putusan Mahkamah
Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, maka Presiden dan Mendagri tetap memiliki
kewajiban untuk menilai, apakah pelaksanaan kewajiban hukum demikian tidak
bertentangan dengan kewajiban konstitusional yang lebih tinggi. Jika terjadi pertentangan
antara dua kewajiban hukum, maka Presiden juga harus memilih untuk melaksanakan
kewajiban hukum yang lebih tinggi yang diatur dalam UUD 1945, dan mengesampingkan
kewajiban hukum yang lebih rendah. Kewajiban konstitusional demikian lahir dari Pasal
18 ayat (4) dan ayat (5) dan (6) yang menentukan kewajiban konstitusional Presiden
untuk menghormati masa jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang terpilih secara
demokratis. Dia tetap akan menjalankan Pemerintahan daerah dengan otonomi seluas-
luasnya melalui wewenang konstitusional untuk menetapkan peraturan daerah dan
peraturan lainnya, terkecuali karena alasan meninggal dunia, atau melakukan tindak
pidana maupun karena adanya proses impeachment yang dilakukan DPRD. Dapat
dipastikan kewajiban hukum untuk menghormati dan melaksanakan Putusan Mahkamah
Agung yang demikian pasti berada dalam hirarki yang lebih rendah dilihat dari hirarki
aturan perundang-undangan yang melahirkan kewajiban hukum yang dimuat dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Konsolidasi di bidang kewenangan ini sangat perlu
disegerakan, agar tidak menimbulkan akibat pada stabilitas pemerintahan daerah yang
telah dipangku untuk masa yang signifikan, tetapi terganggu akibat penerapan
kewenangan yang tidak proporsional.
22 Hilaire Barnet, Constitutional & Administrative Law,Fourth Edition, Cavendish Publishing Limited, London-Sidney, 2003 hal 244-245.
26
Putusan MA yang telah berkekuatan tetap, tidak relevan diajukan untuk
membenarkan tindakan Termohon II karena putusan yang demikian tidak mempunyai
kekuatan mengikat sama sekali (buiten effect) karena bertentangan dengan kewajiban
Termohon I dan II berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU
Nomor 32 Tahun 2004. Meskipun bukan merupakan kewenangan MK untuk menilai
putusan MA, namun konsekuensi bahwa Konstitusi sebagai hukum tertinggi yang
menjadi dasar legitimasi segala aturan di bawahnya, termasuk putusan MA,
menyebabkan hal ini tidak dapat dielakkan. Apalagi UU Nomor 5 Tahun 86 juncto UU
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN, mengecualikan sengketa hasil pemilihan
demikian sebagai objek sengketa TUN. Seandainya juga benar ada proses administratif
yang dilalaikan sebelum dikeluarkannya SK Mendagri yang mengesahkan pengangkatan
Bupati terpilih, maka ukuran relevansi dan signifikansi yang diletakkan pada akibat
hukum kelalaian administrasi demikian tergantung pada berpengaruh tidaknya kelalaian
administratif tersebut pada hasil pemilihan yang dilakukan secara demokratis dalam
perolehan angkanya, sebagai wujud kedaulatan rakyat. Kalau tidak, maka alasan itu tidak
cukup signifikan dan tidak proporsional untuk membatalkan hasil pemilihan demokratis;
langkah yang benar untuk itu adalah memberi kesempatan memperbaiki kekurangan
administratif tersebut. Stabilitas Pemerintahan harus menjadi faktor yang harus
dipertimbangkan sebelum pengambilan putusan pembatalan pengangkatan Bupati/Wakil
Bupati, apalagi setelah menjalankan roda Pemerintahan Daerah selama 2 (dua) tahun, dan
dengan jangka masa jabatan yang terbatas, lamanya proses pengambilan putusan harus
turut menjadi faktor yang dipertimbangkan. Hakim Konstitusi dalam menjalankan
kewenangannya, akan selalu turut menjaga stabilitas pemerintahan tersebut.
Sengketa Kewenangan di MK Udalah Uji Konstitusionalitas Kewenangan.
Sumber kewenangan Pemohon adalah UUD 1945, tidak dapat diukur atau dinilai
dengan aturan yang lebih rendah yang tidak serasi/incompatible dengan Konstitusi
tersebut. Kalau hal itu dilakukan, maka setiap organ yang menilai dan melaksanakan hasil
penilaian tersebut secara demikian, telah melanggar kewajiban konstitusionalnya untuk
27
menjalankan dan menjunjung tinggi UUD 1945 sebagai aturan dasar. Termohon I, II, dan
III yang menjalankan kewenangannya atas dasar Putusan TUN Mahkamah Agung
tersebut, didasarkan pada hukum yang lebih rendah secara bertentangan dengan UUD
1945, yang merupakan aturan dasar sebagai hukum tertinggi tersebut, dan telah
melaksanakannya bertentangan dengan kewajiban konstitusionalnya. Putusan badan
peradilan yang berkekuatan demikian seharusnya diperlakukan sebagai putusan yang
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (buiten effect) dan tidak dapat
dilaksanakan sama sekali (non-executabel), kerena jika terjadi pertentangan antara 2
(dua) kewajiban yang didasarkan atas dua tingkat aturan hukum yang berbeda, baik
lembaga negara yang memiliki wewenang maupun MK yang memutus sengketa
kewenangan lembaga negara harus mendahulukan Konstitusi. Terutama juga hal
demikian dapat disimpulkan dari sumpah jabatan Presiden yang akan memenuhi
kewajibannya dengan sebaik-baiknya dengan memegang teguh UUD dan
menjalankannya dengan selurus-lurusnya Sistem Konstitusi dalam dirinya mengandung
uji Konstitusional, dan ketika timbul benturan antara aturan konstitusi dan aturan
perundang-undangan yang lebih rendah, pejabat negara wajib terikat untuk menghormati
aturan Konstitusi dan mengesampingkan aturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Hal ini lahir dari prinsip bahwa setiap tindakan/perbuatan dan aturan perundang-
undangan dari semua otoritas yang diberi wewenang oleh konstitusi, tidak boleh
bertentangan dengan basic rights dan UUD itu sendiri sebagai hukum yang tertinggi,
dengan konsekuensi bahwa aturan atau tindakan demikian menjadi “batal demi hukum”
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyangkal hal ini akan mengingkari
kedudukan UUD sebagai Hukum Dasar yang tertinggi dan sumber kewenangan lembaga
negara. Hal itu secara tidak sah akan mengukuhkan keadaan bahwa wakil atau
pelaksana itu lebih besar dari prinsipal atau pelayan lebih besar dari majikannya.
”To deny this would be to affirm that the deputy is greater than his principal; that the
servant is above his master; that the representatives…are superior to the people
themselves”.23
23 Alexander Hamilton, The Federalist Papers, Mentor Book, The New American Library, 1961, hal 467.
28
PROSEDUR DAN TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA
Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara,
digerakkan oleh lembaga negara yang merasa kewenangan konstitusionalnya diambil,
dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembgaga negara lain, dengan
mengajukan permohonan dalam 12 (dua belas) rangkap kepada MK yang akan memuat :
1. Data tentang :
a. Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga
negara, nama ketua lembaga negara dan alamatnya.
b. Nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon;
c. Uraian jelas tentang :
i. kewenangan yang dipersengketakan;
ii.kepentingan langsung pemohon atas kewenangan tersebut.
iii. hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
2. Alat-alat bukti tertulis 12(dua belas) rangkap yang diberi meterai yang cukup.
3. Daftar ahli-jika ada- dan pokok keterangan yang akan diberikan.24
Permohonan harus terlebih diteliti kelengkapannya oleh Kepaniteraan. Apabila
belum lengkap, Pemohon diwajibkan melengkapi dalam jangka waktu 7(tujuh) hari kerja
sejak pemberitahun kekuranglengkapan tersebut diterima oleh Pemohon. Apabila dalam
jangka waktu tujuh hari tersebut permohonan tidak dilengkapi atau disempurnakan
sebagaimana ditentukan, maka Kepaniteraan tidak mendaftarkan perkara tersebut dengan
mengeluarkan akte yang menyatakan permohonan tidak diregistrasi. Dalam hal demikian
berkas permohonan akan dikembalikan kepada Pemohon. Sebaliknya permohonan yang
memenuhi syarat karena dipandang sudah lengkap, akan didaftarkan dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), dan dalam jangka waktu tujuh hari sejak registrasi
tersebut, permohonan Pemohon tersebut sudah harus disampaikan kepada Termohon oleh
Juru Panggil. Hal demikian dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi Pemohon
mempersiapkan pembelaannya secara sempurna. Setelah registrasi dan pengiriman satu
salinan permohonan tersebut kepada Termohon, Panel Hakim-yang terdiri dari 3(tiga) 24 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, Pasal 5 dan Pasal 6.
29
orang yang ditunjuk Ketua MK, dalam waktu 14( empat belas) hari sejak registrasi
perkara sudah harus menetapkan sidang pertama, untuk pemeriksaan pendahuluan.
Penetapan hari sidang demikian harus diberitahukan kepada Pemohon dan Termohon,
serta diumumkan kepada masyarakat melalui papan pengumuman MK dan situs
MK(www.mahkamahkonstitusi.go.id) serta media lainnya. Pemberitahuan tadi
merupakan panggilan, yang harus sudah diterima para pihak dalam jangka waktu paling
lambat 3 hari.
Pemeriksaan Pendahuluan
Sidang pertama untuk pemeriksaan pendahuluan akan melakukan pemeriksaan
kelengkapan dan kejelasan permohonan. Meskipun tampak seperti memiliki duplikasi
dengan wewenang kepaniteraan untuk memeriksa kelengkapan permohonan, maka
pemeriksaan pendahuluan yang diakukan oleh panel hakim tidak lagi menyangkut
kelengkapan administrasi permohonan, tetapi menyangkut substansi permohonan, yaitu
untuk melihat dasar-dasar legal standing dan uraian posita maupun petitum permohonan.
Tahap pemeriksaan ini untuk menentukan apakah menentukan apakah memang cukup
layak untuk diteruskan dalam pemeriksaan pleno yang harus menghadirkan Termohon.
Oleh karenanya dalam pemeriksaan pendahuluan ini, sama dengan pemeriksaan
pendahuluan dalam pengujian undang-undang, yang dipanggil untuk menghadiri
persidangan adalah Pemohon atau Kuasanya, tanpa kehadiran Termohon, karena memang
pemeriksaan baru untuk melihat kelayakan yang berkaitan dengan kejelasan dan
kelengkapan permohonan. penting dalam acara ini, yaitu jika permohonan meminta
dikeluarkannya satu putusan sela, yang umumnya menyangkut dihentikannya wewenang
yang dijalankan oleh Termohon sampai perkara telah diputus, kehadiran termohon
menjadi satu keharusan. Hal tersebut disebabkan adanya prinsip mendengar pihak
sebelum dikeluarkannya putusan, meskipun hanya bersifat putusan sela, tetapi
mengandung dampak mendasar bagi satu lembaga negara yang digugat
kewenangannya.25 Satu permohonan yang dipandang masih kurang layak atau kurang
memenuhi syarat, melalui nasihat yang diberikan oleh Panel, akan diperbaiki oleh
25 Pasal 11 ayat (2) dan ayat 3 huruf d.
30
pemohon dalam jangka waktu 14(empat belas) hari.26 Nasihat Hakim yang demikian
tidak mengikat pemohon, dan juga dapat dikesampingkan, meskipun dapat mengandung
konsekwensi bahwa Permohonan dapat dengan segera disimpulkan tidak dapat diterima.
Dalam beberapa hal nasihat hakim yang diberikan dalam pemeriksaan pendahuluan itu,
sesungguhnya merugikan dilihat dari segi terbacanya pendirian hakim tentang kasus yang
sedang dihadapi. Hal yang kurang lebih sama tetapi dengan nama dan prosedur berbeda
dapat kita jumpai dalam hukum acara Pengadilan TUN, dimana dalam tahap pemeriksaan
persiapan Hakim TUN juga kurang lebih melakukan hal yang sama. Tetapi bedanya, di
PTUN, satu gugatan yang tidak memiliki dasar atau kurang layak, akan berakhir dengan
pernyataan dismissal. Karena itu pula pemeriksaan persiapan tersebut merupakan satu
dismissal process. Di MK hal semacam itu tidak dikenal. Satu permohonan yang
dipandang kurang layak, tidak mempunyai dasar standing yang cukup, tetap akan diputus
dalam sidang pleno, meskipun terbatas dengan diktum ”permohonan tidak dapat
diterima”. Oleh karena itu sesunguhnya, tujuan ditentukannya setiap perkara harus
melalui tahap pemeriksaan pendahuluan dengan kewajiban hakim memberi nasihat dan
pemohon kemudian diberi waktu memperbaiki permohonan, adalah untuk
mempersiapkan kelayakan permohonan tersebut untuk didengar dan dipertimbangkan
Mahkamah Konstitusi dengan menghadirkan lembaga negara lain sebagai termohon
sebagai organ konstitusi, agar permohonan dan persidangan MK tidak merupakan
pemborosan yang sia-sia untuk hal-hal yang boleh jadi irrelevan untuk dipermasalahkan.
Pemeriksaan Persidangan (Pleno)
Kelayakan dan kejelasan permohonan yang telah diperiksa Panel Hakim dan
diperbaiki pemohon setelah diberi nasehat dalam pemeriksaan pendahuluan, akan
dilaporkan dalam Rapat Permusyawaratn Hakim (RPH) disertai oleh Rekomendasi, yang
menyangkut hal berikut :
1. Permohonan kurang mempunyai dasar yang cukup, baik karena syarat legal standing
tidak dipenuhi atau alasan konstitusional yang tidak cukup, oleh karenanya diusulkan
26
31
untuk segera diambil keputusan oleh Pleno berdasarkan bahan yang diperoleh dari
permohonan dan perbaikan serta hasil persidangan Panel.
2. Permohonan tidak begitu relevan, akan tetapi bagi berlangsungnya satu proses hukum
yang baik (een goode process), karena Pemohon masih akan mengajukan ahli untuk
mendukung permohonannnya, meminta agar sidang diteruskan ketahap pemeriksaan
persidangan, akan tetapi agar Panel diberi mandat untuk mendengar kesaksian
tersebut. Hasil persidangan tersebut kemudiandilaporkan pada Pleno, untuk
dipertimbangkan dan diputus.
3. Pemeriksaan persidangan dilakukan dengan menghadirkan lembaga negara yang
dianggap merugikan kewenangan konstitusional Pemohon untuk didengar, dengan
sekaligus mendengar ahli-ahli yang diajukan kedua belah pihak.
Pada tahap pemeriksaan persidangan ini, setelah pemohon diberi waktu yang cukup
untuk membuktikan permohonan, maka termohon diberikan kesempatan yang sama
untuk membuktikan sebaliknya. Meskipun beban pembuktian diletakkan pada Pemohon,
sesuai dengan prinsip beban pembuktian yang dikenal secara umum dan universal, akan
jika terdapat alasan yang cukup kuat Majelis Hakim dapat membebankan pembuktian
kepada pihak Termohon. Alat-alat bukti yang dapat dujukan tersebut adalah :
a. Bukti surat atau tulisan.
b. Keterangan Saksi.
c. Keterangan Ahli.
d. Keterangan para pihak.
e. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
itu.27
PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
Satu perselisihan atau sengketa kewenangan lembaga negara yang telah diajukan
kehadapan Mahkamah Konstitusi dapat memperoleh penyelesaian dengan beberapa cara.
27 Pasal 36 undang-undang nomor 24 tahun 2003, yang ditegaskan kembali dalam Pasal 17 PMK nomor 08/PMK/2006.
32
Penyelesaian itu dapat terjadi bersifat sementara atau dapat bersifat permanen dengan
satu putusan yang bersifat final dan mengikat dengan dicapainya satu putusan akhir oleh
Mahkamah Konstitusi. Satu penyelesaian yang bersifat sementara, terjadi misalnya,
karena sebelum proses persidangan dimulai atau selama proses persidangan berlangsung
tetapi belum mencapai keputusan, Pemohon menarik permohonannya. Sangat menarik
misalnya untuk memperhatikan, karena budaya atau kultur birokrasi dan pemerintahan
yang belum terbiasa untuk menggunakan mekanisme hukum dan peradilan bagi
penyelesaian perbedaan pendapat dan sengketa kewenangan antara lembaga negara, maka
pengaruh pimpinan Negara dan Pemerintahan berpengaruh besar dalam menentukan
diteruskan tidaknya penyelesaian sengketa melalui mekanisme hukum dan peradilan
tersebut.28
Dalam hal penarikan sebelum persidangan dilakukan maka Ketua Mahkamah
Konstitusi akan mengeluarkan Ketetapan tentang penarikan tersebut. Sedang apabila
penarikan permohonan dilakukan pada saat proses sedang berjalan, maka setelah
mendengar pendapat pemohon, maka Mahkamah mengeluarkan Ketetapan yang
mengabulkan penarikan permohonan tersebut, dan mencatat penarikan permohonan
tersebut dalam buku register perkara. Dapat terjadi bahwa setelah penarikan permohonan,
termohon tidak menyetujui, dan meminta sengketa diakhiri dengan satu putusan yang
akan dijadikan pedoman dalam melaksanakan kewenangan tersebut secara tegas dan
jelas. Dalam hal penarikan dikabulkan, maka timbul satu akibat hukum bahwa
permohonan yang sama yang menyangkut sengketa kewenangan tersebut tidak dapat lagi
diajukan kehadapan MK untuk diputus. Tetapi hal itu hanya merupakan satu prinsip
umum. Dalam keadaan tertentu yang penting, sebagai pengecualian, permohonan
demikian dapat diajukan kembali karena alasan, (i) substansi sengketa memerlukan
penyelesaian secara konstitusional,(ii) tidak terdapat forum lain untuk menyelesaikan
sengketa dimaksud; dan (iii) adanya kepentingan hukum yang memerlukan kepastian
hukum.29 Ketiga alasan ini sebagai dasar untuk meperbolehkan permohonan yang sudah
ditarik dapat diajukan kembali, lahir berdasar pengalaman ketika kultur penyelesaian
28 Sengketa kewenangan antara Gubernur Lampung dengan DPRD, Perkara nomor 25 /SKLN-III/2005 ditarik dengan alasan bahwa suasana sudah kondusif. Alasan yang kabur demikian ketika diklarifikasi tampak ada permintaan dari pimpinan pusat Pemerintahan untuk menariknya. Tetapi dalam kenyataanya perselisihan dan sengketa tidak pernah diselesaikan secara tuntas.29 Pasal 19 PMK No. 08/PMK/2006
33
perbedaan pendapat ditingkat lembaga negara diluar jalur hukum dan peradilan tidak
membawa kepastian hukum menjurus pada kemacetan penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan. Kewenangan MK untuk mengatur ini didasarkan pada delegasi
wewenang yang ditetapkan dalam pasal 86 undang-undang nomor 24 tahun 2003 yang
berbunyi :”Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan
bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut undang-undang ini”.
Dalam penjelasan pasal 86 tersebut disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk
mengisi kemungkinan adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara
berdasarkan undang-undang MK.Secara universal kewenangan rule making power
khususnya untuk melengkapi hukum acara yang kurang, dimiliki oleh Mahkamah Agung
atau Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung Indonesia juga diberi kewenangan rule
making power demikian dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung.
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Untuk mengakhiri sengketa kewenangan lembaga negara yang diajukan kehadapan
Mahkamah Konstitusi, akan diselesaikan secara permanen dengan putusan tingkat
pertama dan terakhir yang mengikat secara umum. Putusan Mahkamah atau putusan
Pengadilan pada umumnya didefinisikan ”perbuatan hakim sebagai perjabat yang
berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis
untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan kepadanya.30 Oleh karena sifatnya yang
mengakhiri sengketa, maka putusan demikian disebut juga sebagai putusan akhir.
Disamping itu selama prose berjalan, sebagaimana telah disinggung dimuka, maka MK
juga boleh mengambil putusan sela, yang bersifat sementara, yang memerintahkan
kepada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan
kewenangan yang dipersengketakan, yang berupa tindakan nyata maupun tindakan
30 Bandingkan dengan definisi M.P. Stein yang mengatakan : een vonnis dient men te verstaan de door de Rechters als bevoegd overheids orgaan verrichte rechtshandeling, strekkend tot beslissing van het aan hen voorgelegde geschill tussen partijen.(Compendium Van Het Burgerlijke Processrecht,4e druk, Kluwer, 1977 hal 119-123).
34
hukum yang merupakan pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.31 Alasan
pengambilan putusan sela tersebut, disebutkan 2(dua) macam, yaitu :
a. Terdapat kepentingan yang mendesak, yang apabila pokok permohonan
dikabulkan, dapat menimbulkan akibat hukum yang lebih serious.
b. Kewenangan yang dipersoalkan itu bukan merupakan pelaksanaan putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.32
Putusan Akhir, yang dijatuhkan berdasarkan keyakinan hakim , harus didukung oleh
sekurang-kurangnya 2(dua) alat bukti yang sah. Putusan tersebut dapat berbunyi:
a. permohonan tidak dapat diterima.
b. Permohonan dikabulkan; atau
c. Permohonan ditolak.33
Dalam hal permohonan dikabulkan, maka dalam amar harus juga dinyatakan dengan
tegas bahwa Pemohon berwenang untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan dan/atau termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan
kewenangan yang dipersengketakan. Jikalau putusan sela telah pernah dikeluarkan yang
memerintahkan penghentian sementara pelaksanaan kewenangan dimaksud, maka dalam
putusan akhir harus juga ditegaskan status putusan sela tersebut. Jika putusan
mengabulkan permohonan, maka putusan sela tersebut dinyatakan sah sedang sebaliknya
jika putusan akhir menolak permohonan, maka putusan sela harus dinyatakan tidak sah,
dan dinyatakan dicabut. Hal ini berkaitan dengan segala tindakan hukum yang diambil
setelah putusan sela tersebut, untuk diketahui apakah perbuatan hukum demikian sah dan
mengikat secara hukum, berkenaan dengan ketentuan pasal 58 UU MK yang menentukan
bahwa putusan Mahkamah tidak berlaku surut.
RAPAT PERMUSYAWARATAN HAKIM
Pengambilan keputusan Hakim dilakukan secara tertutup dan rahasia dalam Rapat
Permusyawaratan Hakim(RPH). Pengambilan keputusan tersebut harus memenuhi korum
31 Pasal 12 PMK nomor 08/PMK/2006.32 Pasal 13 ayat (5) PMK nomor 08/PMK/2006.33 Pasal 27 ayat (1) PMK nomor 08/PMK/2006.
35
sekurang-kurangnya 7 orang Hakim diantara 9 Hakim Konstitusi, dengan cara
musyawarah untuk mufakat. Itu berarti, Ketua Majelis harus terlebih dahulu berusaha
mendekatkan pendapat yang saling berbeda, dengan harapan tercapai suara yang utuh,
yang tentu akan menambah legitimasi putusan, yang sangat berpengaruh pada
implementasi. Akan tetapi apabila musyawarah yang telah dilakukan dengan sungguh-
sungguh namun mufakat tidak tercapai, maka pengambilan keputusan dilakukan dengan
suara terbanyak.34 Dalam hal demikian ada kemungkinan Hakim yang berbeda akan
memberikan pendapat tersendiri, baik yang pendapatnya berbeda (dissenting opinion)
atau sekedar alasannya yang berbeda tapi hasilnya sama (concurring opinion). Kedua
pendapat tersebut dimuat dalam putusan, meskipun secara terpisah dari putusan
mayoritas yang akan berlaku sebagai putusan yang mengikat. Putusan yang diambil harus
didasarkan kepada ketentuan UUD 1945, yang diyakini oleh hakim berdasar sekurang-
kurangnya 2(dua) alat bukti, yang akan diuraikan dalam bagian fakta atau duduk perkara
dan pertimbangan hukum, atas dasar mana Hakim sampai kepada diktum putusannya.
Jakarta, 21 Juni 2011.
34 Pasal 45 ayat (7) Undang-undang nomor 24 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi.
36