Download - Riba Dalam Al-Qur'an
1
RIBA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas UASDalam Mata Kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam
Dosen:
Dr. H. M. Nur, M.Ag
Disusun Oleh:
M. Azmi1520311043
Kelas: KPSNONREG-B
KEUANGAN DAN PERBANKAN SYARIAH
MAGISTER HUKUM DAN SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
2
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Melakukan kegiatan ekonomi merupakan tabiat manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kegiatan itu ia memperoleh
rezeki, dan dengan rezeki itu dia dapat melangsungkan kehidupannya.
Bagi orang Islam, al-Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya yang absolut. Sunnah Rasulullah saw berfungsi
menjelaskan kandungan al-Qur’an. Terdapat banyak ayat al-Qur’an dan
Hadis Nabi yang merangsang manusia untuk rajin bekerja dan mencela
orang menjadi pemalas.Tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi dibenarkan
oleh al-Qur’an. Apabila kegiatan itu memiliki watak yang merugikan
banayak orang dan menguntungkan sebagian kecil orang, seperti
monopoli, calo, perjudian dan riba, pasti akan ditolak.
Riba dalam Al-Qur’an dan hadis secara tegas dihukumi haram,
tetapi karena tidak diberikan batasan yang jelas, sementara masalah ini
sangat dekat dengan aktivitas ekonomi masyarakat sejak dulu hingga
kini, hal ini menimbulkan beragam interpretasi terhadapnya. Sejak masa
awal, persoalan riba telah dipandang sebagai salah satu permasalah
agama yang paling penting. Sampai-sampai Umar ibn Khattab
dikabarkan menyatakan : “Ada tiga perkara yang sangat aku sukai
seandainya Rasulullah meninggalkan wasiat untuk kita, yakni persoalan
pewarisan kakek, kalâlah, dan persoalan riba, sayang Rasulullah telah
3
meninggal sebelum beliau menerangkannya. Oleh karena itu,
tinggalkanlah ribâ dan ribah (hal-hal yang meragukan).”
2. Kajian Komprensif
Kegiatan transaksi yang mengandung riba merupakan kegiatan
transaksi yang secara tegas diharamkan bahkan pengharamannya telah
menjadi aksioma dalam ajaran Islam. Riba merupakan transaksi yang
mengandung unsur eksploitasi terhadap para peminjam (debitor) bahkan
merusak akhlak dan moralitas manusia. Pengharaman ini tidak hanya
berlaku pada agama Islam saja, akan tetapi dalam agama-agama samawi
juga melarangnya bahkan mengutuk pelaku riba. Plato (427-347 SM)
misalnya termasuk orang yang mengutuk para pelaku pelipat gandaan
uang.1
Sedikit atau banyaknya riba, memang masih menjadi perdebatan,
hal ini dikerenakan bahwa riba Jahiliyah yang dengan jelas dilarangnya
riba adalah yang berlipat ganda (ad'afan mudha'afah). Landasan dari riba
dalam al-Qur'an surat al-Imran ayat 130:
Artinya:
1 Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Visi al-Qur'an tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002), hal. 152.
4
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan
keberuntungan"
Tetapi bila ditinjau dari keseluruhan ayat-ayat riba, seperti al-
Baqarah ayat 275 (mengharamkan riba), ayat 276 masih dalam surat al-
Baqarah menyatakan bahwa Allah menghapus keberkahan riba dan
demikian pula dalam surat al-Baqarah ayat 278-279, yang menegaskan
tentang pelarangan riba, meskipun sedikit pengambilan bunga
(tambahan) tersebut tetap dilarang, hal ini menunjukkan bahwa tujuan
ideal al-Qur'an adalah menghapus riba sampai membersihkan unsur-
unsurnya.2
Ahli-ahli tafsir menyebut di sini adalah kejadian pada Bani Amr
bin Umar dari suku Tsaqief dan Bani al-Mughirah dari suku Makhzum,
ketika di masa Jahiliyah terjadi hutang piutang riba, kemudian ketika
Islam datang, suku Tsaqief akan menuntut kekurangan riba yang belum
dilunasi tetapi banul Mughirah berkata, "Kami tidak akan membayar riba
dalam Islam, maka gubernur Makkah Attab bin Usaid menulis surat
kepada Rasulullah saw, surat tersebut berisi mengenai kejadian hutang
piutang antara Bani Amr bin Umar dari suku Tsaqief dengan Bani
Mughirah dari suku Makhzum, maka turunlah ayat 278-279 dari surat al-
2 Lihat Ahmad Sukarja dalam H. Chuzaima T. Yanggo dan HA. Hafiz Anshary Az (ed),
Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hal. 39-40.
5
Baqarah ini, maka Bani Amr bin Umar berkata, "Kami tobat kepada
Allah dan membiarkan sisa riba itu semuanya.3
Tampaknya pelarangan riba dalam al-Qur'an datang secara bertahap
seperti larangan minum khamar. Dalam surat al-baqarah merupakan ayat
riba yang terakhir dan para ahli hukum Islam dan ahli tafsir tidak ada
yang membantahnya. Berbagai riwayat yang dikutip oleh mufassir ketika
mereka menjelaskan sebab turunnya kelompok ayat ini menyebutkan
bahwa ayat tersebut merupakan ketegasan atas praktek riba yang
ditampilkan antara penduduk Makkah dan penduduk Taif.
B. Pembahasan
1. Pengertian Al-Qur’an
Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat
tentang pengertian al-Qur’an baik dari bahasa maupun istilah.
Menurut bahasa,As-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa Al-
Qur’an bukan berasal dari kata apa pun,bukan isim musytaq, melainkan
nama kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Sementara Al-Farra berpendapat bahwa lafadz al-Qur’an merupakan
jamak dari kata qarinah yang berarti bukti, kaitan, karena dilihat dari segi
makna dan kandungannya ayat-ayat al-Qur’an itu satu sama lain saling
berkaitan dan al-Qur’an membuktikan kebenaran. Selanjutnya Musa Al-
Asy’ari mengatakan bahwa lafadz al-Qur’an diambil dari akar kata al-
qar’u yang berarti mengumpulkan, menggabungkan sesuatu atas yang
3 Salim Bahreisy dan Said Bahriesy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid. I,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1993), hal. 506-507.
6
lain, karena surah-surah, ayat-ayat, dan huruf-hurufdalam al-Qur’an
dikumpulkan dan digabung menjadi satu dalam mushaf al-Qur’an.
Sedangkan secara istilah, menurut Ulama Mutakallimin (ahli
teologi islam), al-Qur’an adalah kalam Allah yang qodim, bukan
makhluk dan terbebas dari sifat-sifat kebendaan. Sedangkan menurut
Ulama Ushuliyyah, Fuqaha, dan Ahli Bahasa, al-Qur’an adalah kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang di awali surah
al-Fatihah dan di akhiri dengan surah an-Nass.4
2. Pengertian Riba
Pengertian dan Pembagiannya Kata الربا secara etimologis (bahasa)
berarti ;’pertambahan‘ الزيادة الشيء artinya ربا عليه كان عما ,زاد
bertambah dari kuantitas sebelumnya.5 Dalam kamus al-Munawwir
dikemukakan bahwa asal kata ini adalah raba yarbu rabwan wa rabaan
wa rubuwwan yang berarti ‘bertambah’, ‘tumbuh’ ‘bertambah besar’, dan
‘mendaki’,.6
Abdullah Saeed menjelaskan bahwa kata riba berasal dari akar kata
r-b-w yang digunakan dalam al-Qur’an sebanyak dua puluh kali. Istilah
riba sendiri digunakan delapan kali. Akar kata r-b-w bermakna ‘tumbuh’
(growing) seperti dalam Q.S. al-Hajj [22]: 5, ‘menyuburkan’ atau
4 https://www.academia.edu/9187974/makalah_al_quran (diakses 19 desember 2015
pukul 15.31 WIB)5 Muhammad 'Ali Ash-Shabuni, Rawaih Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Quran
(Tt: Tp, T.Th.), Jilid I, hlm. 4216 A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta:
Pondok Pesantren “Al-Munawwir:, 1984), hlm. 504.
7
‘peningkatan’ (increasing) seperti dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 276 dan
Q.S. al-Rum [30] : 39, ‘mengembang’ atau ‘meningkat’ (rising) seperti
dalam Q.S. al-Isra’ [17]: 24; dan al-Syu’ara’ [26]: 18, ‘mengasuh’ atau
‘bertambah’ (swelling) seperti dalam Q.S. al-Ra’d [13]:17, ‘menjadi
besar dan banyak’ (being big and great) seperti dalam Q.S. al-Nahl [16]:
92, ‘dataran tinggi’ (hillock) seperti dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 265 dan
al-Mukminun [23]:50.7
Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari
harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, tetapi secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau
bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.8
Menurut istilah ilmu fiqh, riba adalah tambahan khusus yang
dimiliki salah satu dari dua pihak yang terlibat tanpa imbalan tertentu.
Yang dimaksud dengan tanbahan di sini adalah tambahan kuantitas
dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan
kuantitas (tafadul), yaitu penjualan barang-barang riba fadal berupa
emas, perak, gandum, kurma, jewawut, garam, dan segala komoditi yang
disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.9
7 Abdullah Saeed, Islamic Banking And Interest: A Study Of The Prohibition Of Riba And
Its Contemporary Interpretation, (Leiden: EJ Brill, 1996), hlm. 20. 8 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2005), hlm. 37.
8
Menurut Abd al-Rahman al-Jaziri, para ulama sependapat bahwa
tambahan atas sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam
tenggang waktu tertentu adalah riba.10 Makna tambahan lainnya adalah
tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda
pembayarannya seperti bunga hutang. Tambahan yang ditentukan dalam
waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang
mengharuskan adanya penyerahan langsung. Jika emas dijual dengan
perak atau Junaih dengan Dolar, maka harus ada serah terima secara
langsung.11
Penjelasan tentang makna “tambahan” di atas juga dikemukakan
lebih rinci oleh Muhammad Syafi’i Antonio dengan menjelaskan jenis-
jenis riba. Menurutnya, secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi
dua. Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli.
Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qard dan riba jahiliyah.
Kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadl dan riba
nasi’ah. Riba qard adalah mengambil manfaat atau tingkat kelebihan
tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid). Adapun
riba jahiliyyah adalah hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang
ditetapkan. Riba fadl adalah pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar
9 Abdullah Al-Mushlih Dan Shalah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta:
Darul Haq, 2004), hlm. 345.10 Abd Al-Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Mazahib Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-
Fikr, 1972), Juz II, hlm. 245.11 Ibid.
9
atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk dalam jenis barang ribawi. Riba nasi’ah adalah penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan
dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena
adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat
ini dengan yang diserahkan kemudian.12
3. Larangan Riba Dalam Al-Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan
sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.13 Tahap pertama,
menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-
olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan
mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT. Ayat ini diturunkan di
Makkah, tetapi ia tidak menunjukkan isyarat apapun mengenai
pengharaman riba. Yang ada hanyalah kebencian Allah SWT. Terhadap
riba, sekaligus peringatan supaya berhenti dari aktivitas riba. Ayat yang
menggambarkan hal tersebut adalah Q.S. al-Rum [30]: 39 sebagai
berikut:
Artinya:
12 Muhammad Syafi’i Antoni., Op,cit, hlm. 4113 Ibid, hlm. 48-51
10
”Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhoan Allah, maka (yang berbuat demikian) tulah orang-
orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Ayat ini diturunkan di Makkah, menegaskan bahwa riba akan
menjauhkan keberkahan Allah dalam kekayaan, sedangkan sedekah akan
meningkatkannya berlipat ganda.
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah
SWT. mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi
yang memakan ribâ. Hal ini digambarkan dalam Q.S. al-Nisâ’ [4]: 160-
161:
Artinya:
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, (160)
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda
orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-
orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.(161)”
11
Ayat ini diturunkan pada masa permulaan periode Madinah,
mengutuk dengan keras praktik riba. Pada ayat kedua ini, Al-Qur’an
menyejajarkan orang yang mengambl riba dengan orang yang mengambil
kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua pihak
dengan siksa Allah yang sangat pedih.
Pada tahap ketiga, Allah swt. melarang memakan riba dengan
turunnya Q.S. Ali Imran [3]: 130
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.”
Kurang lebih ayat ini diturunkan kurang lebih tauk kedua atau
ketiga Hijrah, menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika
mereka menghendaki kesejahteraan yang diinginkan.
QS. Al-Baqarah : 275-280
12
Artinya:
“275. Orang-orang yang makan dan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya,kemudian berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu, (sebelum datang larangan);
dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang kembali( mengambil
riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.”
“276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah
tidak menyukai orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa.”
13
“277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal
saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat
pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.”
“278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman.”
“279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba)
maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
“280. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah kelapangan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.”
Ayat ini diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullh SAW,
mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menjelaskan perbedaan
yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menurut kaum muslimin agar
menghapuskan seluruh utang-piutang yang mengandung riba,
Menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan mengikhlasan
kepada peminjam yang mengalami kesulita
4. Macam-Macam Riba
Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat
hutang piutang yang telah dijelaskan tentang keharamannya dalam al-
14
Qur'an, dan riba jual beli yang juga telah dijelaskan boleh dan tidaknya
dalam bertransaksi dalam as-Sunnah.
a. Riba akibat hutang-piutang disebut Riba Qard ( قرقض yaitu ,( ربرر
suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba Jahiliyah ( قرا ربر
yaitu hutang yang dibayar dari pokoknya, karena si peminjam ,( ليهر
tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.14
b. Riba akibat jual-beli disebut Riba Fadl ( قرضلر yaitu ,( ربر
pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang
ribawi, dalam hadits Ubadah bin Shamit disebutkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
Maksud dari hadits di atas adalah seseorang menukar barang
berupa emas harus dengan emas pula yang sepadan dan beratnya
juga harus sama, perak dengan perak dan harus diserahterimakan
secara langsung
c. Riba Nasi'ah ( قرسئر yaitu penangguhan atas penyerahan atau ,( ربر
penerimaan jenis barang ribawi yang diperlukan dengan jenis barang
ribawi lainnya. Riba nasi'ah muncul dan terjadi karena adanya
14 Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, cet. I,
(Jakarta: Tazkia Institute, 1999), hlm. 77-78.
15
perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini
dan yang diserahkan kemudian.15
5. Pendapat Para Ahli Tentang Riba
Salah satu persoalan baru dalam fiqh muamalah adalah bunga
bank yang juga sering diidentikkan dengan riba. Masalah bunga bank
telah menimbulkan polemik pro dan kontra di kalangan umat Islam,
khususnya di Indonesia. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU),
ormas Islam terbesar di Indonesia, tidak menyatakan halalnya bunga
bank.16 Akan tetapi, terdapat kelompok orang tertentu, baik di kalangan
NU dan Muhammadiyah, yang belakangan mengelola badan pemodal
semacam ini, kendati tidak sejalan dengan keputusan mereka.17
Dalam bukunya tersebut Muhammad Ali ash-Shabuni
menyimpulkan-setelah panjang lebar menjelaskan tentang riba-bahwa
riba berbahaya buat masyarakat dan agama; riba merupakan dosa besar,
bagi orang yang mengerjakannya akan disiksa di neraka; riba, baik
banyak atau sedikit tetap sama; seorang muslim wajib selalu berada di
atas syariat Islam yaitu menjauhi semua yang diharamkan Allah; senjata
yang mampu untuk melindungi diri seorang muslim dari menyalahi
15 Tim Pengembangan Syari'ah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syari'ah, (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 39-40.16 Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intellectual Responses to “New Order”
Modernization in Indonesia (Kuala Lumpur: 1982), hlm. 76-9.17 Ibid.
16
syariat Allah adalah dengan bertaqwa kepada-Nya.18 Di akhir tulisannya
tersebut Muhammad Ali ash-Shabuni menyebutkan hikmah di balik
pengharaman riba dalam syariat Islam. Setidaknya terdapat tiga bahaya
yang terdapat pada riba tersebut, yang pertama, riba membahayakan jiwa,
karena ia dapat menumbuhkan perasaan egois atau mementingkan diri
sendiri. Nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat pada seseorang bisa hilang
dan berganti dengan perasaan rakus dan tamak terhadap harta. Kedua,
riba membahayakan masyarakat, karena ia dapat menumbuhkan rasa
permusuhan antara anggota masyarakat, menghilangkan rasa kasih
sayang, rasa persaudaraan, dan perbuatan-perbuatan baik yang terdapat
pada jiwa manusia. Ketiga, riba membahayakan perekonomian. Di tinjau
dari segi ekonomi, riba membagai manusia menjadi dua tingkatan.
Tingkatan pertama, yaitu tingkat atas atau kelas menengah ke atas kaum
elit yang selalu hidup penuh kenikmatan, kemewahan, dan bersenang-
senang dengan keringat orang lain. Tingkatan kedua, yaitu tingkatan
orang miskin atau kelas bawah--kaum alit--yang senantiasa hidup dalam
penderitaan serta kekurangan.19 Ahmad asy-Syarbashi, dosen Universitas
al-Azhar, Kairo, Mesir, ketika ditanya tentang hukum menyimpang uang
di bank (konvensional), secara tegas ia menghukumi haram hal tersebut
dengan mendasarkan pendapatnya pada Q.S. 275, 279.20 Hal ini berarti
Ahmad asy-Syarbashi menyamakan antara riba dengan bunga bank.
18 Muhammad 'Ali. Op, cit., hlm. 394. 19 Ibid., hlm. 395-396.20 Ahmad asy-Syarbashi, Yas'alunaka: Tanya Jawab Lengkap tentang Agama dan
Kehidupan (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999), hlm. 259-260.
17
Padahal pada Q.S. al-Baqarah: 275, 279 tidak terdapat kata-kata bunga
bank. Akan tetapi, pengharaman bunga bank oleh Ahmad asy-Syarbashi
dimungkinkan karena ada kesamaan sifat antara riba dan bunga bank.
Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani yang terkenal dengan nama ash-
Shan'ani (selanjutnya disebut ash-Shan'ani) dalam kitabnya Subulussalam
juga menegaskan tentang haramnya riba berdasarkan beberapa hadis
Rasulullah saw.. Setidaknya ada 4 buah hadis yang memuat kata riba,
sedangkan hadis-hadis lainnya tidak memuat kata riba, tetapi hanya
menerangkan perilaku jual beli yang dianggap sebagai perilaku riba.
Semua ulama di atas mewakili mayoritas ulama yang
menganggap riba sebagai perbuatan yang haram dalam Islam. Salah satu
riba yang dimaksud adalah bunga bank yang terdapat pada bank-bank
konvensional. Fatwa haramnya riba (bunga bank) ini berdampak kepada
"lari"nya sebagian nasabah bank-bank konvensional kepada bank-bank
syariah yang tidak memberlakukan bunga bank.21
6. Riba dalam Perspektif Ekonomi Islam
Islam sangat melarang keras riba dalam praktek ekonomi. Salah
satu dasar pemikiran utama yang paling sering dikemukakan oleh para
cendekiawan muslim adalah keberadaan riba dalam ekonomi merupakan
bentuk eksploitasi sosial dan ekonomi, yang merusk inti ajaran Islam
tentang keadiln sosial. Oleh karena itu penghapusan riba dari sistem
21 Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah (Jakarta: AlvaBet, 2003), hlm.
36.
18
ekonomi Islam ditujukan untuk memberikan keadilan ekonomi dan
perilaku ekonomi yang benar secara etis dan moral.
Dasar pemikiran dari mengapa Al-Qur’an mewahyukan ayat yang
tegas mmelarang riba adalah karena Islam menentang setiap bentuk
eksploitasi dan mendukung sistem ekonomi yang bertujuan
mengamankan sosioekonomi yang luas. Karena itu Islam mengutuk
semua bentuk eksploitasi, khususnya ketidakadilan yakni dimana
pemberi pinjaman dijamin mendapatkn pengembalian positif tanpa
mempertimbangkan pembagian risiko dengan peminjam, atau dengan
kata lain peminjam menanggung semua jenis risiko.Dengan
pertimbangan bahwa kekayaan yang dimilliki oleh individu sebenarnya
merupkan amanah dari Allah swt. sebagaimana kehidupan seseorang,
maka amanah kekayaan merupakan hal yang sakral.22
Al-Qur’an dengan tegas dan jelas melarang akuisisi terhadap
milik orang lain dengan cara yang tidak benar.23 Islam mengenal dua tipe
hak milik :
a. Hak milik yang merupakan hasil kombinasi kerja individual dengan
sumber daya alam.
b. Hak atau klaim hak milik yang didapat melalui pertukaran,
pembayaran yang dalam Islam disebut sebagai hak orang miskin
22 Menurut salah satu sabda Rasulullah saw., “Kekayaan seseorang adalah sama sucinya
dengan darah seseorang. ”23 Lihat QS.2 : 188, 4 : 29, 4 : 161 dan 9 : 34.
19
untuk menggunakan sumber daya yang menjadi hak mereka (zakat
dan infak), bantuan tunai dan warisan.
Uang mempresentasikan klaim tunai pemiliknya kepada hak milik
yang diciptakan oleh aset yang diperoleh melalui poin a dan/atau b.
Akibatnya meminjamkan uang adalah pengalihan hak milik dari pemberi
pinjaman kepada yang meminjam dan yang dapat diklaim untuk
dikembalikan adalah yang berjumlah setara dengan pinjaman tersebut,
tidak boleh lebih.
Dalam Islam, instrumen keuangan untuk tujuan perdagangan dan
produksi didasarkan atas pembagian risiko dan pembagian keuntungan
sebagai pengembalian atas usaha bisnis dan modal finansial. Pemberi
pinjaman yang meminjamkan uang untuk berdagang dan berproduksi
dapat membuat akad untuk menerima pembagian keuntungan. Dengan
melakukan hal tersebut, dia menjadi bagian dari pemilik modal dan
berbagi dalam risiko usaha bukan sebagai kreditor.
7. Dampak dan Hikmah Pelarangan Riba
Banyak pakar muslim yang menyatakan bahwa pelarangan riba oleh
Islam memiliki 2 dimensi :
1. Menghadirkan akad bisnis dan komersial dengan pembagian risiko
yang setara.
2. Menganggap tindakan pemberian pinajaman sebagai tidakan
kebajikan dengan alasan untuk membantu seseorang yang sedang
membutuhkan.
20
Menurut yusuf qardhawi, para ulama telah menjelaskan panjang lebar
hikmah diharamkannya riba secara rasional, antara lain :
a. Allah SWT tidak mengharamkan sesuatu yang baik dan bermanfaat
bagi manusia, tetapi hanya mengharamkan apa yang sekiranya dapat
membawa kerusakan baik individu maupun masyarakat.
b. Cara riba merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungan
yang di peroleh si pemilik dana bukan merupakan hasil pekerjaan atau
jerih payahnya. Keuntungannya diperoleh dengan cara memeras
tenaga orang lain yang pada dasarnya lebih lemah dari padanya.
c. Keharaman riba dapat membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat
lintah darat. Hal ini mengandung pesan moral yang sangat tingggi.
d. Biasanya orang yang memberi utang adalah orang yang kaya dan
orang yang berutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan
utanag dari orang yang miskin sangat bertentangan dengan sifat
rahmah Allah swt. Hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan sosial.
C. Penutup
Secara etimologis (bahasa), riba berarti tambahan (ziyâdah) atau
berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah syara’ adalah akad
yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau
tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat menerimanya. Para pakar
ekonomi memahami lebih banyak lagi bahaya riba mengikuti perkembangan
praktik-praktik ekonomi. Di antaranya adalah: buruknya distribusi kekayaan,
21
kehancuran sumber-sumber ekonomi, lemahnya perkembangan ekonomi,
pengangguran, dan lain-lain.
Riba memiliki jenis-jenis, diantaranya adalah ribâ karâdh, ribâ
jahiliyah, ribâ nasî’ah dan ribâ fadll dan masing-masing dari semuanya
memiliki perbedaan tersendiri. Riba merupakan sebuah praktek yang
diharamkan sejak zaman Rasulullah saw, baik larangan itu secara tegas dalam
Al-Qur’an maupun hadis. Riba merupakan dosa besar harus dihinari karena
berpengaruh pada kehidupan manusia terlebih lagi dalam masalah ekonomi.
D.
22
D. Daftar Pustaka
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek,
Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Arifin, Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: AlvaBet,
2003.
Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut:
dar al-Fikr, 1972.
Al-Kahlani, Imam Muhammad bin Ismail. Subulussalam, terj. Abubakar
Muhammad. Surabaya: al-Ikhlas, 1995.
Karim, M. Rusli (ed.). Berbagai Aspek Ekonomi Islam, Yogyakarta: P3EI
FE UII bekerjasama dengan Tiara Wacana Yogya, 1992.
Mas'adi, Ghufron Ajib. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi
Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1997.
Munawwir, A. W., Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Yogyakarta: Pondok Pesantren “al-Munawwir:, 1984.
Al-Mushlih, Abdullah, dan Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan
Islam, Jakarta: Darul Haq, 2004.
Rahmawan A., Ivan, Kamus Istilah: Akuntansi Syariah, Yogyakarta: Pilar
Media, 2005.
Saeed, Abdullah, Islamic Banking and Interest: A Study of The Prohibition
of Riba and its Contemporary Interpretation, Leiden: EJ Brill,
1996.
23
Asy-Syarbashi, Ahmad. Yas'alunaka: Tanya Jawab Lengkap tentang
Agama dan Kehidupan. Jakarta: Penerbit Lentera, 1999 Zuhri,
Muhammad, Riba dalam al-Qur’an dan Perbankan: Sebuah Tilikan
Antisipatif, t.t.: t.p., t.th.
https://www.academia.edu/9187974/makalah_al_quran