Transcript

BAB 1PENDAHULUAN

Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai dengan 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya infeksi ataupun kelainan lain yang jelas di intrakranial (Deliana, 2002). Berkisar 2%-5%, anak di bawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2-5%. Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika (Fuadi, 2010).Patofisiologi kejang demam belum diketahui secara pasti diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat dan mempermudah terjadinya kejang. (Budiarto, 1998).Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di bidang neurologi khususnya anak. Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu : faktor demam, usia, dan riwayat keluarga, dan riwayat prenatal, riwayat perinatal, dan jenis kelamin (Fuadi, 2010).Diagnosa kejang demam didapatkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang umumnya tidak dilakukan kecuali untuk mencari penyebab demam atau atas indikasi tertentu. Penatalaksanaan yang perlu dikerjakan meliputi pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, dan pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup mengkhawatirkan bagi orang tuanya, sehingga sebagai dokter kita wajib mengatasi kejang dengan tepat dan cepat. Penanganan kejang demam sampai saat ini masih terjadi kontroversi terutama mengenai pengobatannya yaitu perlu tidaknya penggunaan obat untuk profilaksis rumat (Pusponegoro, 2006).

30

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kejang DemamKejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Saharso, 2008).Kejang demam umumnya terjadi pada anak berumur 6 bulan - 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam (Pusponegoro, 2006).

Tabel 2.1 Perbedaan kejang demam dengan kejang disertai demamKejanKDKEJANG DISERTAI DEMAM (Intrakrnial)

Faktor predisposisi genetikBesarKecil / tidak bermakna

Lama kejang

1-3 min, jarang kejangLama> 10 mnt

Manifestasi klinis pada saat kejangPada saat demam,sebagian besar karena ISPAInfeksi SSP(ensefalitis,meningitis)

Kelainan patologi yangmendasariTidak ada

Perubahan vaskular danEdema

Status neurologiPost-iktal (paralisis Todds)JarangSering

(Niedermeyer E: Epilepsy Guide: Diagnosis and Treatment of Epileptic Seizure Disorders, 1985)

2.2 Klasifikasi Kejang DemamKejang demam dibagi menjadi dua kelompok:1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam (Pusponegoro, 2006).

2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini :a. Kejang lama : Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam (Pusponegoro, 2006).b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial (Pusponegoro, 2006).c. Kejang berulang : kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam.

Tabel 2.2 Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleksNoKlinisKDsederhanaKDkompleks

1. Durasi< 15 menit>15 menit

2. Tipe kejangUmumumum/fokal

3. Berulang dalam satu episode1 kali> 1 kali

4. Defisit neurologis-+

5. Riwayat keluarga kejang demam-+

6. Riwayat keluarga kejang tanpa demam-+

7. Abnormalitas neurologis sebelumnya-+

Fuadi, Fuadi, 2010, Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam Pada Anak.

Sebagian besar (63%) kejang demam berupa kejang demam sederhana dan 35% berupa kejang demam kompleks (Kliegman, 2007).2.3 Epidemiologi Kejang DemamKejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak. Pendapat para ahli tentang usia penderita saat terjadi bangkitan kejang demam tidak sama. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun (Deliana, 2002). Sedangkan menurut American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda bangkitan kejang demam adalah 6 bulan. (Pusponegoro, 2006).Berkisar 2%-5% anak di bawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2-5%. Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3%-9,9%. Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai 14% (Fuadi, 2010).

2.4 Patofisiologi Kejang DemamKejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi (Kliegman, 2007).Secara umum, terdapat beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya kejang (Kliegman, 2007) :a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.b. Perubahan permeabilitas membran sel saraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.c. Perubahan relatif pada neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan neurotransmiter yang bersifat inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidak-seimbangan antara GABA dan glutamat akan menimbulkan kejang. Patofisiologi kejang demam belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat. (Budiarto, 1998).Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak. Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:i. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang/immatur.ii. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel.iii. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang akan merusak neuron. Setiap kenaikan suhu 1oC meningkatan metabolisme basal 10-20% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%.iv. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak yang menderita pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang lebih rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang (RSU Haji, 2013).Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak akan meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit) biasanya diikuti dengan apneu, hipoksemia, (disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat (disebabkan oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron (Budiarto, 1997).Kerusakan daerah mesial lobus temporalis setelah mendapatkan serangan kejang yang berlangsung lama, dapat menjadi matang dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis sehingga terjadi epilepsi. (RSU Haji, 2013)

2.5 Faktor Risiko Bangkitan Kejang DemamTerdapat 7 faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu : demam, usia, dan riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil primiimultipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendab, usia kehamilan, partus lama, cara lahir), faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala), dan jenis kelamin (Fuadi, 2010).

2.5.1 Faktor demamDemam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,8C aksila atau di atas 38,3C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbul hangkitan kejang demam. Demam yang disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab terbanyak timbulnya bangkitan kejang demam (80%) (Fuadi, 2010).Demam mempunyai peranan untuk menimbulkan perubahan potensial membran dan menurunkan fungsi inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang kejang. Penurunan nilai ambang kejang ini memudahkan timbulnya bangkitan kejang demam. Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9C-39,9C (40-56%) (Fuadi, 2010).Kejang demam pertama yang terjadi pada kenaikan suhu tidak mendadak dengan puncak tidak terlalu tinggi (berkisar 38C - 40C) serta jarak waktu antara mulai demam sampai timbul bangkitan kejang singkat (kurang dari satu jam), merupakan indikator bahwa penderita tersebut mempunyai nilai ambang terhadap kejang rendah. Nilai ambang kejang rendah merupakan faktor risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam (Fuadi, 2010).

2.5.2 Faktor usiaTahapan perkembangan masih berlanjut sampai tahun-tahun pertama paska natal, sehingga kejang demam dapat terjadi pada fase organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami bangkitan kejang, terutama di fase organisasi. Di fase organisasi ini terjadi kematian sel terprogram (proses eliminasi sel neuron yang tidak torpaka) dan plastisitas (pembentukan sel baru). Masa yang lebih dikenal sebagai masa developmental window tersebut terjadi sampai anak berusia 2 tahun dan rentan terhadap bangkitan kejang. Pada masa ini, otak yang belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah matang. Eksitator (CRH) lebih dominan dibanding inhibitor (GABA), sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak mendapat serangan bangkitan kejang demam pada usia awal masa developmental window mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas neural dibanding anak yang mendapat serangan kejang demam pada usia akhir masa developmental window (Fuadi, 2010).

2.5.3 Faktor riwayat keluargaBelum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20%-22%. Dan apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59-64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, yaitu 27 % berbanding 7% (Fuadi, 2010).

2.5.4 Faktor Prenatal2.5.4.1 Usia saat Ibu hamilUsia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan di antaranya adalah hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan di antaranya adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai (Fuadi, 2010).

2.5.4.2 Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensiIbu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Asfiksia disebabkan adanya hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke placenta berkurang, sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah (Fuadi, 2010).

2.5.4.3 Kehamilan primipara atau multiparaUrutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan (partus lama, persalinan dengan alat, kelainan letak) dapat terjadi juga pada kehamilan multipara (kehamilan dan melahirkan bayi hidup lebih dari 4 kali). Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau oedem otak. Keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya (Fuadi, 2010).

2.5.4.4 Pemakaian bahan toksikKelainan yang terjadi selama perkembangan janin/ kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan kejang. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin serta terjadinya placenta previa. Placenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesaria. Keadaan ini dapat menyebabkan trauma lahir yang berakibat teriadinya kejang (Fuadi, 2010).

2.5.5 Faktor Perinatal2.5.5.1 AsfiksiaTrauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdaraban intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan hipoksia dan iskemia di jaringan otak terutama pada daerah hipokampus, dan selanjutnya mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai (Fuadi, 2010).

2.5.5.2 Bayi berat lahir rendahBayi dengan bayi berat lahir rendah BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram. BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan perdarahan intraventrikuler. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan pada bayi dengan BBLR kurang 2500 gram dapat terjadi perdarahan intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi dengan manifestasi kejang (Fuadi, 2010).

2.5.5.3 Kelahiran Prematur atau PostmaturBayi prematur adalah bayi yang lahir hidup yang dilahirkan sebelum 37 minggu dari hari pertama menstruasi terakhir. Pada bayi prematur, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga sebelum berfungsi dengan baik. Perdarahan intraventikuler terjadi pada 50% bayi prematur. Hal ini disebabkan karena bayi prematur seringkali menderita apnea, asfiksia berat dan sindrom gangguan pernapasan yang menyebabkan hipoksia. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka, kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar. Daerah yang rentan terhadap kerusakan antara lain di hipokampus. Oleh karena itu setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas (Fuadi, 2010).Bayi yang dilahirkan lewat waktu yaitu lebih dan 42 minggu merupakan bayi postmatur. Pada keadaan ini akan terjadi proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tak stabil, hipoglikemia dan kelainan neurologik. Gawat janin terutama terjadi pada persalinan, bila terjadi kelainan obstetrik seperti : berat bayi lebih dari 4000 gram, kelainan posisi, partus > 13 jam, perlu dilakukan tindakan seksio sesaria. Kelainan tersebut dapat menyebabkan trauma perinatal (cedera mekanik) dan hipoksia janin yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak janin. Manifestasi klinis dari keadaan ini dapat berupa kejang (Fuadi, 2010).

2.5.5.4 Partus lamaPartus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan Kala II : 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida, kala I: 7 jam dan kala II: 1-5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan risiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan hipoksi dapat berupa kejang (Fuadi, 2010).

2.5.5.5 Persalinan dengan alat Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan subdural, subaraknoid dan perdarahan intraventrikuler. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan subdural. Perdarahan subaraknoid dapat terjadi pada bayi prematur dan bayi cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga terjadi perdarahan atau oedem otak; keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya (Fuadi, 2010).

2.5.5.6 Perdarahan intrakranialPerdarahan intrakranial dapat merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan perdarahan primer atau anomali kongenital. Perdarahan intrakranial pada neonatus dapat bermanifestasi sebagai perdarahan subdural, subarakhnoid, intraventrikuler/periventrikuler atau intraserebral (Fuadi, 2010).Perdarahan subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi dari vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang. Perdarahan subarakhnoid terutama terjadi pada bayi prematur yang biasanya bersama-sama dengan perdarahan intraventrikuler. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya (Fuadi, 2010).

2.5.6 Faktor Paskanatal2.5.6.1 Infeksi susunan saraf pusatRisiko akibat serangan kejang bervariasi sesuai dengan tipe infeksi yang terjadi pada sistem saraf pusat. Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah virus Herpes simplex (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan gangguan daya ingat yang berat dan kejang dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi sekuele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebal palsy, retardasi mental, hidrosefalus dan defisit nervus kranialis serta kejang. Dapat pula cacad yang terjadi sangat ringan berupa sikatriks pada sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah fokus epilepsi, yang dalam kurun waktu 2 - 3 tahun kemudian menimbulkan kejang (Fuadi, 2010).

2.5.6.2 Trauma kepala/ cedera kepalaTrauma memberikan dampak pada jaringan otak yang dapat bersifat akut dan kronis. Pada trauma yang ringan dapat menimbulkan dampak yang muncul dikemudian hari dengan gejala sisa neurologik parese nervus cranialis, serta cerebral palsy dan retardasi mental (Fuadi, 2010).

2.5.6.3 Kejang akibat toksikBeberapa jenis obat psikotropik dan zat toksik seperti Co, Cu, Pb dan lainnya dapat memacu terjadinya kejang. Beberapa jenis obat dapat menjadi penyebab kejang, yang diakibatkan racun yang dikandungnya atau adanya konsumsi yang berlebihan. Termasuk di dalamnya alkohol, obat anti-epileptik, opium, obat anestetik dan anti-depresan. Penggunaan barbiturat dan benzodiazepine dapat menyebabkan serangan mendadak pada orang yang tidak menderita epilepsi. Serangan terjadi setelah 12-24 jam setelah mengkonsumsi alkohol. Sedangkan racun yang ada pada obat dapat mengendap dan menyebabkan kejang (Fuadi, 2010).

2.5.6.4 Gangguan MetabolikSerangan kejang dapat terjadi dengan adanya gangguan pada konsentrasi serum glokusa, kalsium, magnesium, potassium dan sodium. Beberapa kasus hiperglikemia yang disertai status hiperosmolar non ketotik merupakan faktor risiko penting penyebab epilepsi di Asia, sering kali menyebabkan kejang (Fuadi, 2010).

2.5.7 Jenis kelaminKejang demam lebih sering ditemukan pada anak laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini mungkin disebabkan oleh maturasi serebral yang lebih cepat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Namun hasil beberapa penelitian di luar negri tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap pengaruh jenis kelamin terhadap terjadinya kejang demam (Dewanti, 2012).

2.6 Diagnosis Kejang Demam (Saharso, 2008), (Pusponegoro, 2006):Diagnosis Kejang demam dibuat berdasarkan:1. AnamnesisDari anamnesis ditanyakan:a. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab kejang di luar SSP.b. riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.c. Riwayat kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam keluarga (kakak-adik, orangtua).d. Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lain.

2. Dari pemeriksaan fisik dan neurologisKesadaran, suhu tubuh, tanda rangsang meningeal, tanda peningkatan tekanan intrakranial, dan tanda infeksi di luar SSP. Pada umumnya tidak dijumpai adanya kelainan neurologis, termasuk tidak ada kelumpuhan nervi kranialis.

3. Pemeriksaan Penunjanga. Pemeriksaan laboratoriumPemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.

b. Pungsi lumbalPemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan3. Bayi > 18 bulan tidak rutinBila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

c. ElektroensefalografiPemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.

d. PencitraanFoto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti: 1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)2. Paresis nervus VI3. Papiledema

2.7 Tata Laksana Kejang Demam (Deliana, 2002), (Saharso, 2008), (Pusponegoro, 2006) :

Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk : Mencegah kejang demam berulang Mencegah status epilepsi Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.

Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal:1. Pengobatan fase akut Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan tanda tanda vital (kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi) dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan secara ketat. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral 10 mg/ kg BB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB, 4 kali sehari).Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang demam).Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.

2. Mencari dan mengobati penyakit penyebab dengan melakukan pemeriksaan pungsi lumbal pada saat pertama sekali kejang demam. Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain, seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan serebrospinal diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari 2 tahun, karena gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok umur tersebut. Pada saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula kontra indikasinya. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh demam dan pertama kali terjadi, terutama jika kejang atau pemeriksaan post iktal menunjukkan abnormalitas fokal.

3. Pengobatan rumatana. Profilaksis Intermittent : Pengobatan profilaksis intermittent dengan anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam suhu rektal lebih dari 38C. Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan bekerja ke otak. Antipiretik saja dan fenobarbital tidak mencegah timbulnya kejang berulang. Obat yang biasa dipakai adalah: diazepam oral / rektal, klonazepam atau kloralhidrat supositoria (Pusponegoro, 2006).1. Diazepam oral efektif untuk mencegah kejang demam berulang dan bila diberikan intermittent hasilnya lebih baik karena penyerapannya lebih cepat. Diazepam diberikan melalui oral atau rektal. Dosis per rektal tiap 8 jam adalah 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg. Dosis oral diberikan 0,5 mg/kg BB perhari dibagi dalam 3 dosis, diberikan bila pasien menunjukkan suhu 38,5oC atau lebih. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotoni (Deliana, 2002). 2. Klonazepam dapat dipakai sebagai obat anti konvulsan intermittent (0,03 mg/kg BB per dosis tiap 8 jam) selama suhu diatas 38oC dan dilanjutkan jika masih demam. Efek samping klonazepam yaitu mengantuk, mudah tersinggung, gangguan tingkah laku, depresi, dan salivasi berlebihan (Deliana, 2002).3. Kloralhidrat supositoria diberikan dalam dosis 250 mg untuk berat badan kurang dari 15 kg, dan 500 mg untuk berat badan lebih dari 15 kg, diberikan bila suhu diatas 38oC. Kloralhidrat dikontraindikasikan pada pasien dengan kerusakan ginjal, hepar, penyakit jantung, dan gastritis (Deliana, 2002).

b. Pengobatan rumatan terus menerus Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Indikasi pemberian pengobatan profilaksis terus menerus hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu) (Pusponegoro, 2006):1. Kejang lama > 15 menit2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus. NB: Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat3. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:a. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.b. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulanc. kejang demam > 4 kali per tahunPengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang, namun tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari dan pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati , tremor dan alopesia. Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis. Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 3050 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi dengan menurunkan dosis (Deliana, 2002).

2.8 Pemberian Obat Pada Saat Demam2.8.1 AntipiretikTidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik dapat mengurangi risiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (Pusponegoro, 2006). Alasan untuk mengobati demam meliputi: ketidaknyamanan pasien, potensi gejala sisa yang merugikan, kemungkinan kejang, dan kemungkinan bahwa demam dapat mempengaruhi farmakokinetik obat (Mahmood, 2011). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (Pusponegoro, 2006).

2.8.2 AntikonvulsanPemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 oC . Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam (Pusponegoro, 2006).

2.9 Edukasi Pada Orang TuaEdukasi merupakan bagian integral dari pengelolaan kejang demam. Kejang dapat menjadi pengalaman menakutkan bagi banyak orang tua, yang mungkin berpikir awalnya bahwa anak mereka sedang sekarat. (Farell, 2011)Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya (Pusponegoro, 2006) :1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik, bahwa tidak ada peningkatan risiko keterlambatan intelektual atau sekolah kesulitan dan bahwa kejang demam kurang dari 30 menit durasinya tidak mengakibatkan kerusakan otak.2. Memberitahukan cara penanganan kejang 3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping obat

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang1. Tetap tenang dan tidak panik2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.5. Tetap bersama pasien selama kejang6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

2.10 Vaksinasi Pada Anak dengan Riwayat Kejang DemamSejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi sedangkan setelah vaksinasi MMR 25-34 per 100.000 (Pusponegoro, 2006).Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian (Pusponegoro, 2006).

2.11 PrognosisPrognosis kejang demam baik, angka kematian hanya 0,64-0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, 2-7% berkembang menjadi epilepsi, 4% mengalami gangguan motorik, gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi secara bermakna (Fuadi, 2010).Di Indonesia, kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal (Pusponegoro, 2006).Apabila tidak ditangani dengan baik, makan kejang demam dapat berkembang menjadi (Saharso, 2008) (Pusponegoro, 2006):1. Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus.Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah :a. Riwayat kejang demam dalam keluargab. Usia kurang dari 12 bulan c. Temperatur yang rendah saat kejangd. Cepatnya kejang setelah demamBila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.2. Terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.b. Kejang demam kompleksc. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandungMasing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.3. Kelainan motorik4. Gangguan mental dan belajar

BAB 3PENUTUP

Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai dengan 5 tahun dan terjadi pada kenaikan suhu tubuh di atas 380 C (rektal) yang disebabkan suatu proses ekstrakranium Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Diagnosa kejang demam didapatkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang umumnya tidak dilakukan kecuali untuk mencari penyebab demam atau atas indikasi tertentu.Penatalaksanaan kejang demam meliputi pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, pengobatan profilaksis dan pengobatan rumatan terhadap berulangnya kejang demam. Prognosis kejang demam umumnya baik dan tidak menyebabkan kematian jika ditanggulangi dengan tepat dan cepat. Akan tetapi bangkitan kejang demam umumnya merupakan suatu pengalaman yang menakutkan bagi orang tua, sehingga edukasi kepada orang tua juga menjadi bagian yang sangat penting dalam menatalaksanaan kejang demam. Kejang demam yang tidak ditangani dengan baik bisa berkembang menjadi kejang demam berulang, epilepsi, gangguan motorik, serta gangguan mental dan belajar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiarto G, 1997, Patofisiologi Epilepsi, Dalam: Penatalaksanaan Kejang Yang Rasional. Gramik FK Unair, Surabaya.2. Deliana, Melda., 2002, Tata Laksana Kejang Demam pada Anak, Sari Pediatri 2002; Vol 4(2): 59 6.3. Dewanti, Attila Dewanti., Widjaja, Joanne Angelica., Tjandrajani Anna., Burhany, Amril A. 2012. Kejang Demam dan Faktor yang Mempengaruhi Rekurensi. Sari Pediatri 2012;Vol 14(1):57-61.4. Farrell K., Goldman R.D., 2011, The Management Of Febrile Seizures , Bc Medical Journal Vol. 53 No. 6, July/August 2011. 5. Fuadi, Fuadi, 2010, Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam Pada Anak. Master Thesis, Diponegoro University.6. Kliegman R.M., Behrman R.E., Jenson H.B., Stanton B.F., 2007, Nelson Textbook Of Pediatrics 18 Ed, Wb Saunders Co, Philadelphia.7. Mahmood K.T., Fareed T., Tabbasum R., 2011, Management Of Febrile Seizures In Children, J Biomed Sci And Res 2013; Vol 3 (1): 353-357. 8. Niedermeyer E., 1983, Diagnosis and treatment of epileptic seizure disorders, Urban and Schwarzenberg, Baltimore.9. Pusponegoro H.D., Widodo D.P.,Ismael S., 2006, Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam, Badan Penerbit IDAI, Jakarta.10. RSU Haji, 2013. Buku Ajar Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Kesehatan Anak RSU Haji Surabaya, RSU Haji Surabaya, Surabaya.11. Saharso, Darto, 2008. Kejang Demam, Dalam: Pedoman Diagnosis Dan Terapi SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III, Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo, Surabaya.

LAMPIRAN IBAGAN FAKTOR RESIKO KEJANG DEMAMSumber: Fuadi, Fuadi, 2010, Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam Pada Anak. Master Thesis, Diponegoro University LAMPIRAN IIBAGAN PATOFISIOLOGI KEJANG DEMAM

Sumber: RSU Haji, 2013. Buku Ajar Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Kesehatan Anak RSU Haji Surabaya, RSU Haji Surabaya, Surabaya.LAMPIRAN IIIBAGAN PENATALAKSANAAN KEJANG PADA ANAK

Sumber: Pusponegoro H.D., Widodo D.P.,Ismael S., 2006, Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam, Badan Penerbit IDAI, Jakarta (dengan modifikasi

31


Top Related