Download - Referat Skizo Nul
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan di
seluruh dunia adalah skizofrenia. Para pakar kesehatan jiwa menyatakan bahwa
semakin modern dan industrial suatu masyarakat, semakin besar pula stressor
psikososialnya, yang pada gilirannya menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak
mampu mengatasinya. Salah satu penyakit itu adalah gangguan jiwa skizofrenia.1
Gangguan jiwa merupakan gangguan pada pikiran, perasaan, atau perilaku
yang mengakibatkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari. Skizofrenia
adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir, kadang-
kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari
luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal
yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian,
kesadaran yang jernih dan kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu.2
Walaupun skizofrenia tergolong sebagai suatu penyakit yang banyak
menyerang anggota masyarakat, cukup mengherankan bahwa tidak banyak diketahui
mengenai epidemiologi penyakit ini, khususnya di Indonesia. Di Amerika Serikat,
prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1
sampai 1,5%; konsisten dengan rentang tersebut, penelitian.
Epidemiological Catchment Area (ECA) yang disponsori oleh National
Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar
1,3%. Kira-kira 0,025 sampai 0,05% populasi total diobati untuk skizofrenia dalam
satu tahun. Walaupun dua pertiga dari pasien yang diobati tersebut membutuhkan
perawatan di rumah sakit, hanya kira-kira setengah dari semua pasien skizofrenik
mendapat pengobatan, tidak tergantung pada keparahan penyakit. Jumlah biaya yang
1
dikeluarkan, secara langsung maupun tak langsung untuk perawatan penderita
skizofrenia di Amerika Serikat pada tahun 1971 adalah sebesar US$ 14 billion. Di
seluruh dunia, diperkirakan terdapat 2 juta kasus skizofrenia baru tiap tahun dan
seluruh penderita skizofrenia diperkirakan berjumlah 10 juta, hampir sama dengan
jumlah penduduk kota New York.3
Lima tahun terakhir telah membawa kemajuan besar dalam mengerti
skizofrenia di dalam tiga bidang. Pertama, kemajuan teknik pencitraan otak,
khusunya pencitraan resonansi magnetik (MRI: Magnetic Resonance Imaging),
daerah otak tertentu yang diperhatikan adalah amigdala, hipokampus, dan girus
parahipokampus. Kedua, setelah perkenalan clozapine (clozaril), risperidone dan juga
remoxipride, suatu antipsikotik atipikal dengan efek samping neurologis yang
minimal. Obat tersebut dan obat atipikal lainnya akan lebih efektif dalam
menurunkan gejala negatif skizofrenia dan dapat dihubungkan dengan rendahnya
insidensi efek samping neurologis. Ketiga, saat terapi obat mengalami kemajuan dan
saat dasar biologis yang kuat untuk skizofrenia semakin dikenal luas, terdapat
peningkatan minat pada faktor psikososial yang mempengaruhi skizofrenia, termasuk
yang mempengaruhi onset, relaps, dan hasil terapi.4
BAB II
2
SKIZOFRENIA
II.1 Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti “terpisah”
atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, gejala skizofrenia
dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gangguan
dalam hubungan interpersonal.5
Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan
mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai
realitas. Abnormalitas persepsi dapat berupa gangguan di kelima panca indera, tapi
biasanya berupa halusinasi auditorik, paranoid, waham bizarre, dan dapat juga berupa
disorganisasi berbicara dan gangguan komunikasi sosial yang nyata. Sering terjadi
pada dewasa muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien dan dilakukan observasi
tingkah laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan laboratorium.6
Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan
variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu
bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung
pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umunya ditandai
oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi,
serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted), kesadaran
yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.6
Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda,
namun hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya. Menurut
3
Eugen Bleuler, skizofrenia adalah suatu gambaran jiwa yang terpecah belah, adanya
keretakan atau disharmoni antara proses pikir, perasaan dan perbuatan.4
II.2 Epidemiologi
Sekitar 1% penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu
dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan 1-2% penduduk atau sekitar 2-4 juta jiwa
akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari 1-2 juta jiwa yang terjangkit
penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang
mengidap skizofrenia. Perkiraan angka ini disampaikan Dr. LS Chandra, Sp.KJ dari
Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Selatan. Tiga perempat dari jumlah pasien
skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16 sampai 25 tahun pada jenis kelamin laki-
laki. Pada perempuan, skizofrenia biasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30
tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di antara anggota keluarga
sedarah.7
Walaupun skizofrenia tergolong sebagai suatu penyakit yang banyak
menyerang anggota masyarakat, cukup mengherankan bahwa tidak banyak diketahui
mengenai epidemiologi penyakit ini, khususnya di Indonesia. Di Amerika Serikat,
prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1
sampai 1,5%; konsisten dengan rentang tersebut, penelitian Epidemiological
Catchment Area (ECA) yang disponsori oleh National Institute of Mental Health
(NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 1,3%. Kira-kira 0,025 sampai
0,05% populasi total diobati untuk skizofrenia dalam satu tahun. Walaupun dua
pertiga dari pasien yang diobati tersebut membutuhkan perawatan di rumah sakit,
hanya kira-kira setengah dari semua pasien skizofrenik mendapat pengobatan, tidak
tergantung pada keparahan penyakit.4
4
Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 2 juta kasus skizofrenia baru tiap
tahun dan seluruh penderita skizofrenia diperkirakan berjumlah 10 juta orang, hampir
sama dengan jumlah penduduk kota New York.4
II.3 Etiologi5
Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai sejak dulu.
Meskipun demikian pengetahuan tentang faktor penyebab dan patogenesisnya masih
minim diketahui. Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya
skizofrenia, antara lain:
1) Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang juga menentukan
timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang
keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu
telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri penderita skizofrenia ialah 0,9-1,8%;
bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang
menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-
68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-15%; dan bagi kembar satu telur
(homozigot) 61-86%.
Tetapi pengaruh genetik tidak sesederhana seperti hukum-hukum
Mendel. Diduga bahwa potensi untuk mendapatkan skizofrenia diturunkan
(bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin
kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan
individu itu apakah akan terjadi skizofrenia atau tidak (mirip hal genetik pada
diabetes melitus).
2) Endokrin
5
Dahulu diduga bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh suatu
gangguan endokrin. Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering
timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium
dan waktu klimakterium. Tetapi hal ini tidak dapat dibuktikan.
3) Metabolisme
Beberapa peneliti menduga bahwa skizofrenia disebabkan oleh suatu
gangguan metabolisme, karena penderita dengan skizofrenia tampak pucat
dan tidak sehat. Ujung ekstremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan
berat badan menurun. Pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat
asam menurun. Namun, hipotesis ini tidak dibenarkan oleh banyak sarjana.
Belakangan ini teori metabolisme mendapat perhatian lagi berhubung dengan
penelitian dengan memakai obat halusinogenik, seperti meskalin dan asam
lisergik diethilamide (LSD-25). Obat-obat ini dapat menimbulkan gejala-
gejala yang mirip dengan gejala-gejala skizofrenia, tetapi sifatnya reversibel.
Mungkin skizofrenia disebabkan oleh suatu “inborn error of metabolism”,
tetapi hubungan terakhir belum ditemukan.
4) Susunan Saraf Pusat
Ada yang mencari penyebab skizofrenia ke arah kelainan susunan
saraf pusat, yaitu pada diensefalon atau korteks otak. Tetapi kelainan
patologis yang ditemukan itu mungkin disebabkan oleh perubahan-perubahan
postmortem atau merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan.
Teori-teori tersebut di atas dapat dimasukkan ke dalam kelompok teori
somatogenik, yaitu teori yang mencari penyebab skizofrenia dalam kelainan yang
dilihat dari faktor fisik seseorang. Kelompok teori lain ialah teori psikogenik, yaitu
skizofrenia dianggap sebagai suatu gangguan fungsional dan penyebab utama ialah
6
konflik, stres psikologik dan konflik hubungan antarmanusia. Dalam kelompok ini
termasuk:
5) Teori Adolf Meyer
Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit yang disebabkan
karena adanya kelainan anatomi ataupun fisiologis dalam tubuh (faktor fisik),
menurut Meyer (1906), sebab dari dahulu hingga sekarang para sarjana tidak
dapat menemukan kelainan patologis-anatomis atau fisiologis yang khas pada
susunan saraf. Sebaliknya Meyer mengakui bahwa suatu kelainan pada fisik
(anatomi atau fisiologi) dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia. Menurut
Meyer, skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah atau merupakan suatu
maladaptasi. Oleh karena itu, timbul suatu disorganisasi kepribadian dan
lama-kelamaan orang itu menjauhkan diri dari kenyataan (otisme). Hipotesis
Meyer ini kemudian memperoleh banyak penganut di Amerika Serikat dan
mereka memakai istilah “reaksi skizofrenik”.
6) Teori Sigmund Freud
Dalam formula Freud, pada skizofrenia terdapat:
- Kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogenik ataupun
somatik.
- Superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan Id yang
berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme.
- Kehilangan kapasitas untuk pemindahan (“tranference”) sehingga terapi
psikoanalitik tidak mungkin.
7
7) Eugen Bleuler (1857-1938)
Pada tahun 1911, Bleuler menganjurkan supaya lebih baik dipakai
istilah “skizofrenia”, karena nama ini dengan tepat sekali menonjolkan gejala
utama penyakit ini, yaitu jiwa yang terpecah-belah, adanya keretakan atau
disharmoni antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan (schizos = pecah-
belah atau bercabang, phren = jiwa).
Bleuler membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi dua kelompok:
1) Gejala-gejala primer:
- Gangguan asosiasi
- Gangguan afek
- Autisme
- Ambivalens
2) Gejala-gejala sekunder:
- Waham
- Halusinasi
- Gejala katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain.
Bleuler menganggap bahwa gejala-gejala primer merupakan
manifestasi penyakit yang disebabkan faktor fisik (yang belum diketahui apa
sebenarnya, yang masih merupakan hipotesis), sedangkan gejala-gejala
sekunder ialah manifestasi dari usaha penderita untuk menyesuaikan diri
terhadap gangguan primer tadi. Jadi gejala-gejala sekunder ini secara
psikologis dapat dimengerti.
8
8) Kemudian muncul teori lain yang menganggap skizofrenia sebagai suatu
sindroma yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam sebab, antara lain
genetika, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit organik
seperti arteriosklerosis otak dan penyakit lain yang belum diketahui.
9) Akhirnya timbul pendapat bahwa skizofrenia itu adalah suatu gangguan
psikosomatik, gejala-gejala pada badan hanya sekunder karena gangguan
dasar yang psikogenik, atau merupakan manifestasi somatik dari gangguan
psikogenik. Tetapi pada skizofrenia justru yang menjadi masalah ialah
menentukan mana yang primer dan mana yang sekunder, mana yang
merupakan penyebab dan mana yang hanya akibatnya saja.
II.4 PATOFISIOLOGI
Secara terminologi, schizophrenia berarti skizo adalah pecah dan frenia
adalah kepribadian. Scizophrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan
gangguan dasar pada kepribadian, distorsi perasaan pikir, waham yang aneh,
gangguan persepsi, afek yang abnormal. Meskipun demikian kesadaran yang jernih,
kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu, mengalami hendaya berat dalam
menilai realitas (pekerjaan, sosial dan waktu senggang).
Patofisiologi schizophrenia dihubungkan dengan genetic dan lingkungan.
Faktor genetic dan lingkungan saling berhubungan dalam patofisiologi terjadinya
schizophrenia. Neurotransmitter yang berperan dalam patofisiologinya adalah DA,
5HT, Glutamat, peptide, norepinefrin.10 Pada pasien skizoprenia terjadi
hiperreaktivitas system dopaminergik (hiperdopaminergia pada sistem mesolimbik →
berkaitan dengan gejala positif, dan hipodopaminergia pada sistem mesocortis dan
nigrostriatal → bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal)
Reseptor dopamine yang terlibat adalah reseptor dopamine-2 (D2) yang akan
9
dijumpai peningkatan densitas reseptor D2 pada jaringan otak pasien skizoprenia.
Peningkatan aktivitas sistem dopaminergik pada sistem mesolimbik yang
bertanggungjawab terhadap gejala positif. Sedangkan peningkatan aktivitas
serotonergik akan menurunkan aktivitas dopaminergik pada sistem mesocortis yang
bertanggung-jawab terhadap gejala negatif.11
Adapun jalur dopaminergik saraf yang terdiri dari beberapa jalur, yaitu :
1. Jalur nigrostriatal: dari substantia nigra ke basal ganglia → fungsi gerakan, EPS
2. jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem limbik → memori, sikap,
kesadaran, proses stimulus
3. jalur mesocortical : dari tegmental area menuju ke frontal cortex → kognisi, fungsi
sosial, komunikasi, respons terhadap stress
4. jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary → pelepasan
prolaktin.11
10
Dalam anatomi manusia, sistem ekstrapiramidal adalah jaringan saraf yang
terletak di otak yang merupakan bagian dari sistem motor yang terlibat dalam
koordinasi gerakan. Sistem ini disebut "ekstrapiramidal" untuk membedakannya dari
saluran dari korteks motor yang mencapai target mereka dengan melakukan
perjalanan melalui "piramida" dari medula. Para piramidal jalur (kortikospinalis dan
beberapa saluran corticobulbar) langsung dapat innervate motor neuron dari sumsum
tulang belakang atau batang otak (sel tanduk anterior atau inti saraf kranial tertentu),
sedangkan ekstrapiramidal sistem pusat sekitar modulasi dan peraturan (tidak
langsung kontrol) sel tanduk anterior.11
Saluran ekstrapiramidal yang terutama ditemukan dalam formasi reticular
pons dan medula, dan neuron sasaran di sumsum tulang belakang yang terlibat dalam
refleks, penggerak, gerakan kompleks, dan kontrol postural. Ini adalah saluran pada
gilirannya dimodulasi oleh berbagai bagian dari sistem saraf pusat, termasuk
nigrostriatal jalur, ganglia basal, otak kecil, inti vestibular, dan daerah sensorik yang
berbeda dari korteks serebral. Semua peraturan komponen dapat dianggap sebagai
bagian dari sistem ekstrapiramidal, karena mereka memodulasi aktivitas motorik
tanpa langsung innervating motor neuron.11
11
Pemeriksaan CT scan dan MRI pada penderita schizophrenia menunjukkan
atropi lobus frontalis yang menimbulkan gejala negatif dan kelainan pada
hippocampus yang menyebabkan gangguan memori.10
Skizofrenia merupakan penyakit yang mempengaruhi otak. Pada otak terjadi proses
penyampaian pesan secara kimiawi (neurotransmitter) yang akan meneruskan pesan
sekitar otak. Pada penderita skizofrenia, produksi neurotransmitter-dopamin-
berlebihan, sedangkan kadar dopamin tersebut berperan penting pada perasaan
senang dan pengalaman mood yang berbeda. Bila kadar dopamin tidak
seimbang–berlebihan atau kurang– penderita dapat mengalami gejala
positif dan negatif seperti yang disebutkan di atas. Penyebab ketidakseimbangan
dopamin ini masih belum diketahui atau dimengerti sepenuhnya. Pada kenyataannya,
awal terjadinya skizofrenia kemungkinan disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor
tersebut. Faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya skizofrenia,
antara lain: sejarah keluarga, tumbuh kembang ditengah-tengah kota, penyalahgunaan
obat seperti amphetamine, stres yang berlebihan, dan komplikasi kehamilan.
II.5 Gambaran Klinis
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase
prodromal, fase aktif dan fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul gejala-
gejala non-spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun
sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi: hendaya fungsi
pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri.
Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga
dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”. Semakin
lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya. Pada fase aktif gejala
positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham,
halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase
12
ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala-gejala tersebut dapat hilang spontan suatu
saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase
residual dimana gejala-gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala
positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala yang terjadi pada
ketiga fase di atas, terkadang juga timbul gangguan kognitif berupa gangguan
berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi,
konsentrasi, hubungan sosial).7
II.6 Kriteria Diagnosis
A. Kriteria Bleuler untuk Skizofrenia3
Bleuler menggunakan konstelasi gejala kompleks primer dan gejala kompleks
sekunder untuk menegakkan diagnosis skizofrenia.
1. Gejala primer :
- Gangguan asosiasi
- Gangguan afek
- Autisme
- Ambivalensi
2. Gejala sekunder :
- Waham
- Halusinasi
- Ilusi
- Katatonia
13
B. Kriteria Schneider untuk Skizofrenia4
Kriteria Schneider adalah berdasarkan adanya gejala-gejala yang disebutnya
sebagai gejala urutan pertama (first rank symptoms) dan gejala urutan kedua (second
rank symptoms).
1. Gejala urutan pertama:
- Audible thoughts
- Voices arguing atau voices discussing atau keduanya
- Voices commenting
- Somatic passivity experiences
- Thought withdrawal dan pengalaman lainnya yang dipengaruhi oleh
pikiran
- Thought broadcasting
- Delusional perceptions
- Semua pengalaman lain yang melibatkan kemauan, afek, dan
pengendalian impuls
2. Gejala urutan kedua:
- Gangguan persepsi lainnya
- Gagasan bersifat waham yang tiba-tiba
- Kebingungan
- Perubahan mood disforik dan euforik
- Perasaan kemiskinan emosional
14
- “...dan beberapa lainnya juga”
C. Kriteria DSM-IV untuk Skizofrenia4
DSM-IV mempunyai kriteria diagnosis resmi dari American Psychiatric
Association untuk skizofrenia. Kriteria diagnosis DSM-IV sebagian besar tidak
berubah dari DSM edisi ketiga yang direvisi (DSM-III-R), walaupun DSM-IV
menawarkan lebih banyak pilihan bagi klinisi dan lebih deskriptif terhadap situasi
klinis yang aktual.
a) Gejala karakteristik: dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan
untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang
jika diobati dengan berhasil):
1. Waham
2. Halusinasi
3. Bicara terdisorganisasi (misalnya, sering menyimpang atau inkoheren)
4. Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
5. Gejala negatif, yaitu, pendataran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan
(avolition)
Catatan: hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah
kacau atau halusinasi terdiri dari suara yang terus-menerus
mengkomentari perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara
yang saling bercakap satu sama lainnya.
b) Disfungsi sosial atau pekerjaan: untuk bagian waktu yang bermakna sejak
onset gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal, atau perawatan diri, adalah jelas di bawah tingkat yang
dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja,
15
kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik,
atau pekerjaan yang diharapkan).
c) Durasi: tanda gangguan menetap terus-menerus menetap selama
sekurangnya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1
bulan gejala (atau kurang jika diobati dengan berhasil) yang memenuhi
kriteria A (yaitu, gejala fase aktif) dan mungkin termasuk periode gejala
prodormal atau residual. Selama periode prodormal atau residual, tanda
gangguan mungkin dimanifestasikan hanya oleh gejala negatif atau dua
atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang
diperlemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang
tidak lazim).
d) Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood: Gangguan
skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan
karena:
1. Tidak ada episode depresif berat, manik, atau campuran yang telah
terjadi bersama-sama dengan gejala fase aktif; atau
2. Jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya
adalah relatif singkat dibanhdingkan durasi periode aktif dan residual.
e) Penyingkiran zat/kondisi medis umum: Gangguan tidak disebabkan oleh
efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya obat yang salah
digunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
f) Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif: jika terdapat riwayat
adanya gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya,
diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi
yang menonjol juga ditemukan untuk sekurangnya 1 bulan (atau kurang
jika diobati secara berhasil).
16
Klasifikasi perjalanan penyakit longitudinal (dapat diterapkan hanya setelah
sekurangnya 1 tahun lewat sejak onset awal gejala fase aktif):
- Episodik dengan gejala residual interepisode (episode didefinisikan oleh
timbulnya kembali gejala psikotik yang menonjol); juga disebutkan jika
dengan gejala negatif yang menonjol
- Episodik tanpa gejala residual interepisodik
- Kontinu (gejala psikotik yang menonjol ditemukan di seluruh periode
obsernasi); juga disebutkan jika dengan gejala negatif yang menonjol
- Episode tunggal dalam remisi parsial; juga disebutkan jika dengan gejala
negatif yang menonjol
- Episode tunggal dalam remisi penuh
- Pola lain atau tidak ditemukan
D. Kriteria Gabriel Langfeldt untuk Skizofrenia4
1) Kriteria gejala
Petujuk penting ke arah diagnosis skizofrenia adalah (jika tidak ada
gangguan kognitif, infeksi, atau intoksikasi yang dapat ditunjukkan)
a. Perubahan kepribadian, yang bermanifestasi sebagai penumpulan
emosional dengan jenis khusus diikuti oleh hilangnya inisiatif, dan
perilaku yang berubah dan seringkali aneh. (Khususnya pada
hebefrenik, perubahan kepribadian yang terjadi adalah karakteristik
dan petunjuk utama ke arah diagnosis)
17
b. Pada tipe katatonik, riwayat penyakit dan tanda tipikal dalam periode
kegelisahan dan stupor (dengan negativisme, wajah berminyak,
katalepsi, gejala vegetatif khusus, dan lain-lain)
c. Pada psikosis paranoid, gejala penting pembelahan kepribadian (atau
gejala depersonalisasi) dan hilangnya perasaan realitas (gejala
derealisasi) atau waham primer
d. Halusinasi kronis
2) Kriteria perjalanan penyakit
Keputusan akhir tentang diagnosis tidak dapat dibuat sebelum periode
follow up selama sekurangnya lima tahun telah menunjukkan perjalanan
penyakit yang jangka panjang.
E. Kriteria Fleksibel4
Jumlah gejala minimal yang diperlukan dapat empat sampai delapan,
tergantung pada pilihan peneliti:
1) Afek terbatas
2) Tilikan buruk
3) Pikiran bersuara keras (thoughts aloud)
4) Rapport buruk
5) Waham yang luas
6) Bicara inkoheren
7) Informasi yang tidak dapat dipercaya
8) Waham aneh
18
9) Waham nihilistik
10) Tidak adanya wajah terdepresi
11) Tidak adanya elasi
F. Kriteria Diagnostik Riset4
Kriteria 1 sampai 3 adalah diperlukan untuk diagnosis:
1) Sekurangnya dua dari berikut ini untuk penyakit definitif dan satu untuk
kemungkinan (tidak memperhitungkan yang terjadi selama periode
penyalahgunaan atau putus obat atau alkohol):
a. Thought echo, thought insertion, atau thought broadcasting
b. Waham sedang dikendalikan atau dipengaruhi, waham aneh lain, atau
waham multipel
c. Waham selain dari kejar atau cemburu yang berlangsung sekurangnya
satu bulan
d. Waham dengan jenis apapun jika disertai dengan halusinasi jenis apapun
selama sekurangnya satu minggu
e. Halusinasi dimana suara terus-menerus mengkomentari perilaku subjek
atau pikiran seakan-akan mereka terjadi atau dua atau lebih suara yang
saling bercakap satu sama lain
f. Halusinasi verbal nonafektif yang berbicara dengan subjek
g. Halusinasi dengan jenis apapun di sepanjang hari selama beberapa hari
atau secara intermiten untuk selama sekurangnya satu bulan
19
h. Keadaan definitif adanya gangguan pikiran formal yang nyata yang
disertai oleh afek yang tumpul atau tidak sesuai, waham atau halusinasi
jenis apapun atau perilaku yang jelas terdisorganisasi
2) Satu dari dua berikut ini:
a. Periode penyakit sekarang berlangsung sekurangnya dua minggu sejak
onset perubahan kondisi subjek yang biasanya dapat dilihat
b. Subjek pernah mengalami periode penyakit sebelumnya yang
berlangsung sekurangnya 2 minggu, selama ia memenuhi kriteria dan
tanda-tanda residual penyakit tetap ada (misalnya: penarikan sosial yang
parah, afek yang tumpul atau tidak sesuai, gangguan pikiran formal, atau
pikiran/pengalaman persepsi yang tidak lazim)
3) Pada periode aktif dari penyakit tidak boleh ditemukan kriteria untuk
sindroma manik atau depresif yang kemungkinan atau definitif sampai derajat
dimana merupakan bagian penyakit yang menonjol.
G. Kriteria St. Louis4
1) Keduanya diperlukan:
a. Penyakit kronis dengan gejala sekurangnya selama enam bulan sebelum
saat pemeriksaan tanpa kembali ke tingkat penyesuaian psikososial
premorbid
b. Tidak ada periode gejala depresif atau manik yang cukup untuk memenuhi
persyaratan gangguan mood atau kemungkinan gangguan mood
2) Sekurangnya satu yang berikut:
a. Waham atau halusinasi tanpa kebingungan atau disorientasi yang
bermakna
20
b. Produksi verbal yang menyebabkan komunikasi sulit karena tidak adanya
organisasi yang logis atau dapat dimengerti (jika ada autisme, keputusan
diagnostik harus ditunda)
3) Sekurangnya tiga untuk penyakit definitif, dua untuk kemungkinan penyakit:
a. Tidak pernah menikah
b. Penyesuaian sosial atau riwayat kerja premorbid yang buruk
c. Riwayat keluarga skizofrenia
d. Tidak adanya penyalahgunaan alkohol atau zat lain dalam satu tahun onset
e. Usia sebelum 40 tahun
H. Kriteria Taylor dan Abrams untuk Skizofrenia4
Semua kriteria harus dipenuhi untuk diagnosis:
1) Lama episode lebih dari enam bulan
2) Kesadaran yang jernih
3) Adanya waham, halusinasi, atau gangguan pikiran formal (verbigerasi, non
sequiturs, pendekatan kata, neologisme, penghambatan, dan keluar daru
jalur)
4) Tidak ada afek yang luas
5) Tidak ada tanda dan gejala yang cukup untuk membuat diagnosis gangguan
mood
6) Tidak ada penyalahgunaan alkohol atau zat lain dalam satu tahun episode
indeks
21
7) Tidak ada tanda dan gejala fokal penyakit otak yang jelas atau penyakit
medis utama yang diketahui menyebabkan perubahan perilaku yang
bermakna
I. Present State Examination4
Dua belas butir berikut ini dari Present State Examination bersesuaian dengan
sistem diagnostik skizofrenia 12-poin, dengan berbagai tingkat kepastian diagnostik
yang didasarkan pada skor yang ditentukan oleh pemeriksa. Sembilan gejala masing-
masing memiliki skor 1 jika ada (+), dan tiga poin memiliki skor 1 jika tidak ada (-).
1) Afek terbatas (+)
2) Tilikan buruk (+)
3) Pikiran bersuara keras (+)
4) Terbangun pagi hari (-)
5) Rapport buruk (+)
6) Wajah terdepresi (-)
7) Elasi (-)
8) Waham yang luas (+)
9) Bicara inkoheren (+)
10) Informasi yang tidak dapat dipercaya (+)
11) Waham aneh (+)
12) Waham nihilistik (+)
J. Kriteria Tsuang dan Winokur4
a) Hebefrenik (A sampai D harus ditemukan):
A. Usia onset dan data sosiofamilial (satu dari berikut):
22
1. Usia onset sebelum 25 tahun
2. Tidak menikah dan tidak bekerja
3. Riwayat skizofrenia dalam keluarga
B. Pikiran terdisorganisasi
C. Perubahan afek (1 atau 2):
1. Perilaku aneh
2. Gejala motorik (a atau b):
a. Sifat hebefrenik
b. Sifat katatonik (jika ada, dapat dimodifikasi menjadi hebefrenik
dengan sifat katatonik)
b) Paranoid (A sampai C harus ada):
A. Usia onset dan data sosiofamilial (satu dari berikut):
1. Usia onset setalah 25 tahun
2. Menikah atau bekerja
3. Tidak ada riwayat skizofrenia dalam keluarga
B. Kriteria pengecualian:
1. Pikiran terdisorganisasi harus tidak ditemukan atau dalam derajat
ringan, seperti bicara tidak dapat dimengerti
2. Gejala afektif atau perilaku seperti yang dijelaskan dalam
hebefrenia, harus tidak ada atau dalam derajat ringan
23
C. Preokupasi dengan waham atau halusinasi yang luas dan tersusun baik
K. Kriteria PPDGJ III untuk Skizofrenia
Dalam PPDGJ III Dijelaskan bahwa untuk menegakkan diagnosis skizofrenia
harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jalas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala=gejala itu kurang tajam atau jelas).
1. Salah satu dari:
- “thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau
- “thought insertion or withdrawal” : isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
- “thought broadcasting” : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya;
2. Salah satu dari:
- “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of influence” : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of passivity” : waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; atau (tentang “dirinya” :
secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke
pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus;
24
- “delusional perception” : pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat;
3. Halusinasi auditorik:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasala dari salah satu bagian tubuh
4. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain). Atau paling
sedikit dua gejala ini yang harus selalu ada secara jelas:
5. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-menerus;
6. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
25
7. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
8. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodormal);
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatau,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
II.7 Jenis Skizofrenia8
1. Jenis paranoid (F 20.0)
- Gejala utama : waham primer + sekunder & halusinasi
- Sering mulai sesudah 30 tahun, permulaan subakut
- Kepribadian sebelum sakit : skizoid suka menyendiri; pendiam; cenderung
menghindar terhadap aktivitas-aktivitas sosial yang melibatkan kontak atau
interaksi dengan orang-orang; tidak memiliki ketertarikan untuk menjalin
hubungan dekat dengan orang sekitar, bahkan dengan keluarganya sendiri;
tidak menunjukkan ekspresi emosi yang biasanya seperti orang nornal pada
umumnya (cenderung bersikap dingin). (Medline, mayoclinic)
26
Gejala utamanya adalah adanya delusi persecusion dan grandeur, dimana
individu merasa dikejar-kejar. Hal tersebut terjadi karena segala sesuatu
ditanggapi secara sensitif dan egosentris seolah-olah orang lain akan berbuat
buruk kepadanya. Oleh karena itu, sikapnya terhadap orang lain agresif. Delusi
tersebut diperkuat oleh halusinasi penglihatan dan pendengaran, misalnya terlihat
wajah-wajah yang menakutkan, terdengar suara mengancam, dan sebagainya
sehingga timbul reaksi menyerang atau agresi karena terganggu. Hal-hal tersebut
juga bisa mendorong penderita untuk membunuh orang lain atau sebaliknya
bunuh diri, sebagai usahanya untuk menghindari delusi persecusion Terdapat
kecenderungan homoseksualitas, dimana penderita laki-laki akan mengancam
laki-laki dan penderita perempuan akan mengancam perempuan. Adanya delusion
of grendeur dapat menimbulkan delusion of persecusion, dimana individu
menganggap orang lain cemburu kepada kepintarannya, kekayaannya,
kepopulerannya, kecantikannya, kedudukan sosialnya, dan sebagainya. Pada
penderita timbul "Ideas of Reference", yaitu terjadi percampuran antara waham
dan halusinasi dengan kecenderungan untuk memberikan impresi/nuansa pribadi
terhadap segala kejadian yang dialaminya. Misalnya, suara klakson mobil di jalan
depan rumah, dianggapnya sebagai terompet tanda penyerbuan terhadap dirinya
segera akan dimulai.8
Pedoman Diagnostik
• Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
• Sebagai tambahan :
Halusinasi dan/ atau waham yang harus menonjol;
• Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi
pluit, mendengung atau tawa
27
• Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual
• Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan, dipengaruhi, keyakinan bahwa dia sedang dikejar-
kejar
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/ tidak menonjol
2. Skizofrenia hebefrenik / hebefrenia (F 20.1)
- Perlahan- lahan, timbul pada masa remaja (15-25 tahun)
- Gejala utama : gangguan proses berpikir, gangguan kemauan, depersonalisasi /
double personality (identifikasikan dirinya sebagai meja, dan anggap dirinya
sudah tidak ada lagi)
- Tambahan : mannerism, neologisme, perilaku kekanaka-kanakan, waham dan
halusinasi banyak
Pada tipe ini terjadi disintegrasi emosi, dimana emosinya bersifat kekanak-
kanakan, ketolol-tololan, seringkali tertawa sendiri kemudian secara tiba-tiba
menangis tersedu-sedu. Terjadi regresi total, dimana individu menjadi kekanak-
kanakan. Individu mudah tersinggung atau sangat irritable. Seringkali dihinggapi
sarkasme (sindiran tajam) dan menjadi marah meledak-ledak atau explosive tanpa
sebab.
Pembicaraannya kacau, suka berbicara berjam-jam. Pada awal gangguan
seringkali komunikatif, tetapi lama-kelamaan komunikasinya menjadi tidak
karuan (inkoheren), yang bahkan sampai akhirnya individu tidak komunikatif.
Terjadi halusinasi dan delusi yang biasanya sifatnya fantastis, misalnya : ada
vampire yang menyedot darahnya, dan sebagainya. Cara berpikirnya kacau. Hal
28
tersebut terlihat dari cara berbicaranya yang tidak karuan. Tulisan/Graphis yang
dibuatnya bersifat kacau, dimana terjadi regresi, yaitu bersifat kekanak-kanakan.
Pedoman Diagnostik
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skozofrenia.
- Diagnosis heberfrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja
atau dewasa muda (onset biasanya 15-25 tahun).
- Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan sering menyendiri
Diagnosis hebefrenia perlu pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya,
untuk memastikan bahwa gambaran berikut memang benar bertahan:
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab, kecenderungan selalu menyendiri, dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
- Afek pasien dangkal dan tidak wajar/disertai cekikikan/perasaan puas diri/
senyum sendiri/sikap tinggi hati/tertawa menyeringai/keluhan hipokondrikal,
ungkapan diulang-ulang
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta
inkoheren.
- Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonojol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations).
Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta
sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas,
yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose).
29
3. Skizofrenia katatonik (F 20.2)
- Timbul pertama (15-30 tahun), akut, didahului stress emosional
- Terjadi :
• Stupor katatonik : mutisme, muka tanpa mimic, negativism, makanan
ditolak, tidak bergerak sama sekali dalam waktu yang lama
• Gaduh gelisah katatonik : hiperaktivitas motorik tapi tidak diserta emosi
yang semestinya, stereotipi, mennerisme, grimace, dan neologisme
Dibandingkan dengan tipe jenis schizophrenia lainnya, tipe katatonik ini
serangannya berlangsung jauh lebih cepat. Aktivitasnya jauh berkurang
dibandingkan waktu normal. Pada individu terjadi stupor, dimana individu
diam, tidak mau berkomunikasi, kalau berbicara suaranya monoton, ekspresi
mukanya datar, makan dan berpakaian harus dibantu dan sikap badannya aneh
yaitu biasanya tegang/kaku seperti serdadu dan biasanya dipertahankan untuk
waktu yang lama. Catatonic stufor ini terdapat dua bentuk, yaitu (1) rigid,
dimana badan menjadi sangat kaku, bisa seperti bentangan di antara dua
benda, (2) chorea-fleksibility, dimana badannya menjadi lentur seperti lilin
dan posisinya dapat dibentuk.
Penderita schizophrenia katatonik yang parah biasanya di tempat tidur,
tidak mau berbicara, jorok, makan-minum dipaksa, dan apabila mata terbuka
biasanya akan terpaku pada satu titik, tidak berkedip, dan ekspresi kosong.
Perkembangan selanjutnya yaitu setelah beberapa minggu atau beberapa
bulan, terjadi catatonic excitement dimana penderita menunjukkan suatu
gerakan tertentu dalam waktu yang lama dan kemudian secara ekstrem
berubah sebaliknya. Misalnya, berbaring menghadap tembok kiri dalam waktu
yang lama dan kemudian menghadap tembok kanan.
30
Penderita bersikap negatif (negatifistic), dimana penderita tidak ada
interest sama sekali terhadap sekelilingnya, tanpa kontak sosial, dan membisu
dalam waktu yang lama.
Pedoman Diagnostik
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skozofrenia.
- Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya :
• Stupor atau mutisme
• Gaduh-gelisah
• Menampilkan posisi tubuh tertentu
• Negativisme
• Rigiditas
• Fleksibilitas cerea (posisi yang dapat dibentuk)
• Gejala-gejala lain seperti ”command autism”
- Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
4. Skizofrenia tak terinci (F 20.3)
Pedoman Diagnostik
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skozofrenia.
31
- Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, heberfrenik,
atau katatonik:
- Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca-
skizofrenia.
5. Depresi pasca-skizofrenia (F 20.4)
Pedoman Diagnostik
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
- Pasien telah menderita skizofrenia (memenuhi kriteria umum skizofrenia)
selama 12 bulant terakhir ini
- Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tidak lagi mendominasi gambaran
klinisnya)
- Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit
2 minggu
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi
Episode Depresif, bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis
harus tetap antara (F20.0 – F 20.
6. Skizofrenia residual (F 20.5)
Pedoman Diagnostik
Untuk diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :
- Gejala ”negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, pasif dan ketiadaan inisiatif, miskin dalam
32
kuantitas dan isi pembicaraan, afek menumpul, komunikasi non-verbal yang
buruk, perawatan diri dan kinerja yang buruk
- Setidaknya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau untuk
menegakkan diagnosis skizofrenia
- Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom ”negatif” dari skizofrenia
- Tidak terdapat dementia atau penyakit/ gangguan otak organik lain.
II.8 Diagnosis Banding
Gangguan Psikotik Sekunder dan Akibat Obat
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan
medis nonpsikiatrik dan dapar diakibatkan oleh berbagai macam zat. Jika psikosis
atau katatonia disebabkan oleh kondisi medis nonpsikiatrik atau diakibatkan oleh
suatu zat, diagnosis yang paling sesuai adalah gangguan psikotik akibat kondisi medis
umum, gangguan katatonia akibat kondisi medis umum, atau gangguan psikotik
akibat zat. Manifestasi psikiatrik dari banyak kondisi medis nonpsikiatrik dapat
terjadi awal dalam perjalanan penyakit, seringkalli sebelum perkembangan gejala
lain. Dengan demikian, klinisi harus mempertimbangkan berbagai macam kondisi
medis nonpsikiatrik di dalam diagnosis banding psikosis, bahkan tanpa adanya gejala
fisik yang jelas. Pada umumnya, pasien dengan gangguan neurologis mempunyai
lebih banyak tilikan pada penyakitnya dan lebih menderita akibat gejala psikiatriknya
daripada pasien skizofrenik, suatu kenyataan yang dapat membantu klinisi untuk
membedakan kedua kelompok pasien tersebut.
33
Saat memeriksa seorang pasien psikotik, klinisi harus mengikuti tiga pedoman
umum tentang pemeriksaan keadaan nonpsikiatrik. Pertama, klinisi harus cukup
agresif dalam mengejar kondisi medis nonpsikiatrik jika pasien menunjukkan adanya
gejala yang tidak lazim atau jarang atau adanya variasi dalam tingkat kesadara.
Kedua, klinisi harus berusaha untuk mendapatkan riwayat keluarga yang lengkap,
termasuk riwayat gangguan medis, neurologis, dan psikiatrik. Ketiga, klinisi harus
mempertimbangkan kemungkinan suatu kondisi medis nonpsikiatrik, bahkan pada
pasien dengan diagnosis skizofrenia sebelumnya. Seorang pasien skizofrenia
mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita tumor otak yang menyebabkan
gejala psikotik dibandingkan dengan seorang pasien nonskizofrenik.
Berpura-pura dan Gangguan Buatan
Baik berpura-pura atau gangguan buatan mungkin merupakan suatu diagnosis
yang sesuai pada pasien yang meniru gejala skizofrenia tetapi sebenarnya tidak
menderita skizofrenia. Orang telah menipu menderita gejala skizofrenik dan dirawat
dan diobati di rumah sakit psikiatrik. Orang yang secara lengkap mengendalikan
produksi gejalanya mungkin memenuhi diagnosis berpura-pura (malingering); pasien
tersebut biasanya memiliki alasan finansial dan hukum yang jelas untuk dianggap
gila. Pasien yang kurang mengendalikan pemalsuan gejala psikotiknya mungkin
memenuhi diagnosis suatu gangguan buatan (factitious disorder). Tetapi, beberapa
pasien dengan skizofrenia seringkali secara palsu mengeluh suatu eksaserbasi gejala
psikotik untuk mendapatkan bantuan lebih banyak atau untuk dapat dirawat di rumah
sakit.
Gangguan Psikotik Lain
Gejala psikotik yang terlihat pada skizofrenik mungkin identik dengan yang
terlihat pada gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat, dan gangguan
skizoafektif. Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia karena memiliki lama
(durasi) gejala yang sekurangnya satu bulan tetapi kurang daripada enam bulan.
34
Gangguan psikotik singkat adalah diagnosis yang tepat jika gejala berlangsung
sekurangnya satu hari tetapi kurang dari satu bulan dan jika pasien tidak kembali ke
tingkat fungsi premorbidnya. Gangguan skizoafektif adalah diagnosis yang tepat jika
sindroma manik atau depresif berkembang bersama-sama dengan gejala utama
skizofrenia.
Suatu diagnosis gangguan delusional diperlukan jika waham yang tidak aneh
(nonbizzare) telah ada selama sekurangnya satu bulan tanpa adanya gejala skizofrenia
lainnya atau suatu gangguan mood.
Gangguan Mood
Diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood dapat sulit, tetapi penting
karena tersedianya pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mania dan depresi.
Gejala afektif atau mood pada skizofrenia harus relatif singkat terhadap lama gejala
primer. Tanpa adanya informasi selain dari pemeriksaan status mental, klinisi harus
menunda diagnosis akhir atau harus menganggap adanya suatu gangguan mood,
bukannya membuat diagnosis skizofrenia secara prematur.
Gangguan Kepribadian
Berbagai gangguan kepribadian dapat ditemukan dengan suatu ciri
skizofrenia; gangguan kepribadian skizotipal, skizoid, dan ambang adalah gangguan
kepribadian dengan gejala yangn paling mirip. Gangguan kepribadian, tidak seperti
skizofrenia, mempunyai gejala yang ringan, suatu riwayat ditemukannya gangguan
selama hidup pasien, dan tidak adanya onset tanggal yang dapat diidentifikasi.
35
Tabel 1. Diagnosis Banding Gejala Mirip Skizofrenia
Medis dan Neurologi Psikiatrik
- Akibat zat: amfetamin, halusinogen, alkaloid
beladona, halusinosis alkohol, putus
barbiturat, kokain, phencyclidine (PCP)
- Epilepsi – terutama epilepsi lobus temporalis
- Neoplasma, penyakit serebrovaskuar, atau
trauma – terutama frontalis atau limbik
- Kondisi lain:
Sindroma imunodefisiensi didapat (AIDS)
Porfiria intermiten akut
Defisiensi B12
Keracunan karbonmonoksida
Lipoidosis serebral
Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Penyakit Fabry
Penyakit Fahr
Penyakit Hallervorden-Spatz
Keracunan logam berat
Ensefalitis herpes
Homosistinuria
Penyakit Huntington
Lekodistrofi metakromatik
Neurosifilis
Hidrosefalus tekanan normal
Pelagra
Lupus eritematosus sistemik
Sindroma Wernicke-Korsakoii
Penyakit Wilson
- Psikosis atipikal
- Gangguan autistik
- Gangguan psikotik singkat
- Gangguan delusional
- Gangguan buatan dengan tanda dan gejala
psikologis yang menonjol
- Berpura-pura
- Gangguan mood
- Masa remaja normal
- Gangguan obsesif-kompulsif
- Gangguan kepribadian – skizotipal, skizoid,
ambang, paranoid
- Gangguan skizoafektif
- Skizofrenia
- Gangguan skizofreniform
36
II.9 Penatalaksanaan5,7
Psikofarmaka
1. Antipsikosis
37
Patofisiologi dan farmakologi pengobatan9
Figure 1. Neuronal Circuits That Appear to Be Involved in Schizophrenia and
Its Treatment.
Thalamic nuclei relay sensory information to networks of pyramidal neurons in the limbic cortex and
neocortex through glutaminergic excitatory afferents. An excessive response of pyramidal neurons is a
putative mechanism of psychosis, which is consistent with reports from patients of overstimulation. 7
Various subcortical nuclei facilitate the response of principal neurons. Dopamine (DA) from the
ventral tegmental nucleus activates D1 and D2 receptors that increase neuronal responses to glutamate
38
(GLU). 34 Serotonin (5-hydroxytryptamine, or 5-HT) from the dorsal raphe nucleus activates 5-
hydroxytryptamine 5-HT 2 A receptors that facilitate the release of glutamate from synaptic terminals.
35 Antipsychotic drugs block the facilitative effects of both dopamine and serotonin. 36 Antipsychotic
drugs also block dopamine from the substantia nigra nucleus in the basal ganglia and thus can cause
movement disorders. 9 Interneurons in the cerebral cortex regulate the release of glutamate and thus
the excitation of pyramidal neurons, through presynaptic inhibitory g -aminobutyric acid (GABA)
receptors. 37 Interneurons themselves are activated by glutamate, especially by way of receptors of the
N -methyld -aspartate type. 38 Clozapine increases interneuron activity by increasing the release of
acetylcholine (ACH) from the basal forebrain nucleus, 39 which activates interneurons through
nicotinic cholinergic receptors,40and by blocking locus ceruleus nucleus activation of norepinephrine
(NE) receptors, which decrease interneuron activity.41This simplified diagram omits other subcortical
and cortical pathways.
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis)
yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping:
sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis anti psikosis mempertimbangkan
gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan
dosis ekuivalen.
Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis dalam
dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat
anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama) dengan dosis
ekuivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya
sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali
untuk pemakaian sekarang.
Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat
anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan
gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek
samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Obat antipsikotik yang
beredar di pasaran dapat di kelompokkan menjadi dua bagian yaitu anti psikotik
generasi pertama (APG I) dan anti psikotik generasi ke dua (APG ll). APG I bekerja
39
dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoin
fundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama
dapat memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal, tardive
dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi
seksual/peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun kognitif.
Selain itu APG I menimbulkan efek samping anti kolinergik seperti mulut kering
pandangan kabur gangguan miksi, defekasi dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi
menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg di
antaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat
ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis,
menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan
50 mg di antaranya adalah chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita
dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur.
APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau anti
psikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat
jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan
sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah
clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon. Juga tersedia obat aripiprazol untuk
golongan APG III atau sering disebut Dopamin System Stabilizers (DSS).
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
1. Onset efek primer (efek klinis): 2-4 minggu. Onset efek sekunder (efek samping):
2-6 jam.
2. Waktu paruh: 12-24 jam (pemberian 1-2x per hari)
3. Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar) sehingga tidak
mengganggu kualitas hidup penderita.
40
4. Obat anti psikosis long acting: fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau haloperidol
decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4ininggu. Berguna untuk pasien yang tidak/sulit
minum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.
Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3
hari sampai mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda), dievaluasi setiap 2
minggu bila pertu dinaikkan sampai dosis optimal kemudian dipertahankan 8-12
minggu (stabilisasi). Diturunkan setiap 2 minggu (dosis maintenance) lalu
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holidaytapering off (dosis
diturunkan 2-4 minggu) lalu dihentikan. Untuk pasien dengan serangan sindrom
psikosis multi episode, terapi pemeliharaan paling sedikit 5 tahun (ini dapat
menurunkan derajat kekambuhan 2,5 sampai 5 kali).
Pada umumnya pemberian obat anti psikosis sebaiknya dipertahankan selama
minimal 2 tahun untuk pasien skizofrenia akut setelah semua gejala psikosis reda
sama sekali. Sedangkan pasien skizofrenia berulang, lama pemberian obat minimal 5
tahun. Pasien skizofrenia dengan perilaku menyimpang yag berbahaya seperti
piromania diperlukan pemberian obat seumur hidup. Pada penghentian pemberian
obat mendadak dapat timbul gejala cholinergic rebound gangguan lambung, mual,
muntah, diare, pusing dan gemetar. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian
antikolinergikt seperti injeksi sulfas atropin 0,25 mg (secara intra muskular), tablet
trihexyphenidyl 3x2 mg/hari.
41
Tabel 3. Contoh obat antipsikosis dan dosisnya 9
42
Efek samping obat antipsikosis generasi pertama
dan generasi kedua 9
Terapi elektro-konvulsi (TEK)
Seperti juga dengan terapi konvulsi yang lain, cara bekerjanya elektrokonvulsi
belum diketahui dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa terapi konvulsi dapat
memperpendek serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita.
Akan tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang.
43
Bila dibandingkan dengan terapi koma insulin, maka dengan TEK lebih sering
terjadi serangan ulangan. Akan tetapi TEK lebih mudah diberikan, dapat dilakukan
secara ambulant, bahaya lebih kurang, lebih murah, dan tidak memerlukan tenaga
yang khusus seperti pada terapi koma insulin.
TEK baik hasilnya pada jenis katatonik terutama stupor. Terhadap skizofrenia
simplex efeknya mengecewakan; bila gejala hanya ringan kemudian diberi TEK,
kadang-kadang gejala menjadi lebih berat.
Terapi koma insulin
Meskipun pengobatan ini tidak khusus, bila diberikan pada permulaan
penyakit, hasilnya memuaskan. Persentasi kesembuhan lebih besar bila dimulai dalam
waktu enam bulan sesudah penderita jatuh sakit. Terapi koma insulin memberi hasil
yang baik pada katatonia dan skizofrenia paranoid.
Psikoterapi dan rehabilitasi
Psikoterapi suportif dapat membantu individual atau kelompok, serta
bimbingan yang praktis dengan maksud untuk mengembalikan penderita ke
masyarakat.
Perlu juga diperhatikan lingkungan penderita. Bila mungkin diatur sedemikian
rupa sehingga ia tidak mengalami stres terlalu banyak. Bila mungkin sebaiknya ia
dikembalikan ke pekerjaan sebelum sakit, dan tergantung pada kesembuhannnya
apakah tanggung jawabnya dalam pekerjaan itu akan penuh atau tidak.
Lobotomi profrontal
Dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan bila
penderita sangat mengganggu lingkungannya.
44
II.9 Kekambuhan Skizofrenia7
Kekambuhan gangguan jiwa pisikotik adalah munculnya kembali gejala-
gejala pisikotik yang nyata. Angka kekambuhan secara positif berhubungan dengan
beberapa kali masuk Rumah Sakit (RS), lamanya dan perjalanan penyakit. Penderita-
penderita yang kambuh biasanya sebelum keluar dari RS mempunyai karakteristik
hiperaktif, tidak mau minum obat dan memiliki sedikit keterampilan sosial.
Pada penelitian Porkony dkk (1993), dilaporkan bahwa 49% penderita
Skizofrenia mengalami rawat ulang setelah follow up selama 1 tahun, sedangkan
penderita-penderita non Skizofrenia hanya 28% . Pada penelitian Solomon dkk
(1994), melaporkan bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat didapatkan 30%-40%
penderita mengalami kekambuhan, sedangkan setelah 1 tahun pasca rawat 40%-50%
penderita mengalami kekambuhan, dari setelah 3-5 tahun pasca rawat didapatkan
65%-75% penderita mengalami kekambuhan.
Penderita dengan skizofrenia dapat mengalami remisi dan kekambuhan,
mereka dapat dalam waktu yang lama tidak muncul gejala, maka skizofrenia sering
disebut dengan penyakit kronik, karena itu perlu mendapatkan perhatian medis yang
sama, seperti juga individu-individu yang menderita penyakit kronik lainnya seperti
hipertensi dan diabetes mellitus.
Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain
tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri
obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan
masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stress.
45
Empat faktor penyebab penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit,
menurut Sullinger :
Penderita
Sudah umum diketahui bahwa penderita yang gagal memakan obat secara
teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan 25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan
obat secara teratur.
Dokter
Makan obat yang teratur dapat mengurangi kekambuhan, namun pemakaian
obat neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia
yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.
Penanggung jawab penderita
Setelah penderita pulang ke rumah maka pihak rumah sakit tetap bertanggung
jawab atas program adaptasi penderita di rumah.
Keluarga
Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi
emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan
menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi
yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga
yang rendah. Selain itu penderita juga mudah dipengaruhi oleh stres yang
menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan
(kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga penderita dan keluarga dapat
mengatasi dan mengurangi stres. Cara terapi bisanya: mengumpulkan semua anggota
46
keluarga dan memberi kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi
kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan baru kepada penderita ganguan
jiwa, memfasilitasi untuk menemukan situasi dan pengalaman baru bagi penderita.
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan keluarganya
yaitu: menjadi ragu-ragu dan serba takut, tidak nafsu makan, sukar konsentrasi, sulit
tidur, depresi, tidak ada minat serta menarik diri.
Untuk dapat hidup dalam masyarakat, maka penderita skizofrenia perlu
mempelajari kembali keterampilan sosial. Penderita-penderita yang baru keluar dari
RS memerlukan pelayanan dari masyarakat agar mereka dapat menyesuaikan diri dan
menyatu dalam masyarakat. Tingginya angka rehospitalisasi merupakan tanda
kegagalan dalam sistem masyarakat. Penderita kronis di dalam masyarakat
membutuhkan dukungan hidup yang dapat dipertahankan untuk waktu yang lama.
Beberapa penderita tetap dapat mengalami kekambuhan meskipun mereka
mendapatkan pelayanan pasca rawat (after care services) pada instansi-instansi.
II.10 Prognosis4,5
Pada umumnya prognosis untuk gangguan jiwa adalah dubia dikarenakan banyaknya
faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyembuhan pasien. Untuk
menetapkan prognosisnya, kita harus mempertimbangkan semua faktor di bawah ini:
1. Kepribadian prepsikotik: Bila skizoid dan hubungan antar-manusia memang
kurang memuaskan, maka prognosa lebih jelek.
2. Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosa akan lebih baik daripada bila
penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
3. Jenis: Prognosa jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering
penderita-penderita dengan katatonia sembuh dan kembali ke kepribadian
47
prepsikotik. Kemudian menyusul jenis paranoid. Banyak dari penderita ini dapat
dikembalikan ke masyarakat. Hebefrenia dan skizofrenia simplex mempunyai
prognosa yang sama jelek. Biasanya penderita dengan jenis skizofrenia ini
menuju ke arah kemunduran mental.
4. Umur: Makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosanya.
5. Pengobatan: Makin cepat diberi pengobatan, makin baik prognosanya.
6. Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau
stres psikologik, maka prognosa lebih baik.
7. Faktor keturunan: Prognosa lebih berat bila di dalam keluarga terdapat seorang
atau lebih yang juga menderita skizofrenia.
Menurut Robin & Guze :
Baik
- Personalitas premorbid baik
- Faktor pencetus jelas
- Tidak ada riwayat keluarga
- Kesaradan berawan
- Terjadi akut
- Affect atau mood tidak datar
- Gejala-gejala paranoid
Menurut Kaplan & Sadock’s:
48
Mengevaluasi prognosis dengan melihat riwayat longitudinal dari penyakit,
dimulai dengan riwayat keluarga sampai pada sistem penanganan
Menentukan baik atau buruknya prognosis pada skizofrenia :
- Prognosis baik :
• Riwayat keluarga ttg gangguan mood / affect
• Perilaku dan personalitas premorbid yang baik
• Sudah menikah
• Onset akut
• Gejala kelainan mood terutama kelainan depresif
• Gejala positif (Positive symptoms)
• Sistem pembantu (support systems) yang baik
- Prognosis buruk :
• Riwayat keluarga skizofrenia
• Riwayat trauma perinatal
• Onset pada usia muda
• Perilaku dan personalitas premorbid yang buruk
• Lajang, bercerai, atau menjanda
• Insidious onset
• Tanpa sebab yang jelas
49
• Tanda dan gejala gangguan neurologis
• Cenderung menarik diri autistic behavior
• Gejala negatif (Negative symptoms)
• Tidak ada remisi dalam 3 tahun
• Sering kambuh
• Riwayat kekerasan
II.11 Gangguan Skizoafektif
A. Definisi. Suatu gangguan dengan ciri menyerupai skizofrenia dan gangguan
mood yang tidak dapat didiagnosa secara terpisah.
B. Epidemiologi. Prevalensi nyata kurang dari 1%; jumlah kejadian sama pada
pria dan wanita. Umumnya mula penyakit lebih lambat daripada skizofrenia
atau gangguan mood.
C. Etiologi. Dapat disalahdiagnosa pada beberapa pasien; mereka ternyata
schizofrenik dengan gejala mood yang menonjol atau mengalami suatu
gangguan mood dengan gejala psikotik yang menonjol. Prevalensi skizofrenia
tidak meningkat pada keluarga pasien skizoafektif, namun prevalensi
gangguan mood meningkat pada keluarga pasien ini.
D. Diagnosa, tanda, dan gejala. Akan ditemukan tanda dan gejala skizofrenia
disertai peristiwa mania atau depresi. Gangguan ini dibagi ke dalam dua tipe:
(1) bipolar, jika terdapat siklus mania dan depresi, dan (2) depresif, bila
gangguannya hanya peristiwa depresi mayor. Lihat Tabel 9-2.
50
E. Diagnosa banding. Semua keadaan medis, psikiatrik, atau terkait pemakaian
obat-obatan yang menyebabkan gejala psikotik atau mood harus
dipertimbangkan.
F. Perjalanan penyakit dan prognosa. Pronosis buruk bila dihubungkan
dengan sejarah keluarga dengan skizofrenia, mula penyakit dini dan hilang-
timbul tanpa faktor pemicu, sudah ada gejala psikotik sebelumnya, dan
sejarah penyakit sebelumnya yang buruk: pasien skizoafektif memiliki
prognosa yang lebih baik daripada pasien skizofrenia dan prognosis yang
lebih buruk daripada pasien gangguan mood. Pasien skizoafektif lebih
merespon lithium dan cenderung jarang mengalami perjalanan penyakit yang
memburuk dibandingkan pasien skizofrenia.
G. Terapi. Terapi antidepresi atau antimania harus dikombinasikan dengan
pengobatan antipsikotik untuk mengendalikan tanda dan gejala psikotik.
51
BAB III
KESIMPULAN
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti “terpisah”atau
“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia
adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui)
dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas,
serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan
sosial budaya. Pada umunya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted).6
Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen penduduk atau sekitar dua
sampai empat juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari
sekitar satu sampai dua juta yang terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700
ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap skizofrenia. Penyakit yang satu ini
cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah.7
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase
prodromal, fase aktif dan fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul gejala-
gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun
52
sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi
pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri.
Pada fase aktif gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik,
inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. . Fase aktif akan diikuti oleh
fase residual di mana gejala-gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala
positif/psikotiknya sudah berkurang.7
Menurut PPDGJ III Skizofrenia terdiri dari skizofrenia paranoid, skrizofrenia
herbefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, depresi pasca-skizofrenia,
skizofrenia simplek, skizofrenia residual. Skizofrenia paranoid ditandai dengan gejala
utama waham primer dan sekunder serta halusinasi, kepribadian sebelum sakit :
schizoid (mudah tersinggung, suka menyendiri, congkak, dan kurang percaya kepada
orang lain). Simptom utamanya adalah adanya delusi persecusion dan grandeur,
dimana individu merasa dikejar-kejar. Delusi tersebut diperkuat oleh halusinasi
penglihatan dan pendengaran. Skizofrenia hebefrenik timbul perlahan- lahan, pada
masa remaja (15-25 tahun) dengan gejala utama gangguan proses berpikir, gangguan
kemauan, depersonalisasi/ double personality serta gejala tambahan : mannerism,
neologisme, perilaku kekanaka-kanakan, waham dan halusinasi. Skizofrenia
katatonik timbul pertama (15-30 tahun), akut, didahului stress emosional. Dapat
terjadi stupor katatonik : mutisme, muka tanpa mimic, negativism, makanan ditolak,
tidak bergerak sama sekali dalam waktu yang lama dan gaduh gelisah katatonik:
hiperaktivitas motorik tapi tidak diserta emosi yang semestinya, stereotipi,
mennerisme, grimace, dan neologisme. Skizofrenia tak terinci apabila tidak
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, herbfrenik, atau katatonik.8
Penatalaksanaan skizofrenia dengan penggunaan obat antipsikotik golongan
tipikal (dopamin reseptor antagonis) ataupun atipikal (serotonin dopamin antagonis).
Untuk skizofrenia dengan gejala negatif yang lebih menonjol dari gejala positif
pilihannya adalah obat anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih
menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-
53
pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Pilihan
terapi lain dengan dengan terapi elektro konvulsi, psikoterapi dan rehabilitasi.8
Pada umumnya prognosis untuk gangguan jiwa adalah dubia dikarenakan
banyaknya faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyembuhan pasien.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous. 2004. Konsep Psikoterapi Islam dalam Penyembujan Penderita
Skizofrenia Aksis IV (Telaah Teoritik). Diunduh pada tanggal 10 Februari 2013.
http://idb4.wikispaces.com/file/view/uf4005.1.pdf.
2. Anonymous. 2007. Skizofrenia dapatkah disembuhkan. Diunduh pada tanggal 10
Februari 2013. http://drliza.wordpress.com/2007/12/01/skizofrenia-dapatkah-
disembuhkan/.
3. Bahar Ernaldi. Materi Pengajaran Pemeriksaan Psikiatrik, Klasifikasi Diagnostik,
dan Gangguan Psikiatrik Utama. Palembang: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-
Unsri. 1985.
4. Saddock BJ, Saddock VA. Schizophrenia In:Kaplan & Saddock’s Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. New York:
Lippicontt Williams & Wilkins. 2007.
5. Maramis, W.E. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Erlangga University Press.
Surabaya 2005.
6. Paul, Jhon. Skizofrenia. Diunduh tanggal 26 Januari 2011. http://www. Medical
news.com/
7. Luana. Skizofrenia. EGC. Jakarta.2007.
54
8. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. FK Unika
Atmajaya.Jakarta.2007
9. The New England Journal of Medicine, Downloaded from nehm.org on February 4, 2013
10. Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC11. Ikawati, Zullies. 2009. Zullies Ikawati’s Lecture Notes : Skizophrenia.
Yogyakarta : UGM
55