0
PROPOSAL OPERASIONAL TA 2014
DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERTANIAN DAN PEDESAAN: ANALISIS DATA PATANAS
Tim: Bambang Irawan I Wayan Rusastra
Hermanto Tri Pranaji
Gatoet Sroe Hardono Tri Bastuti Purwantini
Ening Ariningsih
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN 2014
1
Ringkasan
Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan dan program yang ditujukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sektor pertanian, sekaligus meningkatkan kesejahteran petani dan masyarakat pedesaan secara umum. Untuk memahami dampak pembangunan yang telah dilakukan diperlukan indikator pembangunan pertanian dan perdesaan. Tujuan penelitian secara umum adalah untuk menghasilkan sejumlah indikator yang merefleksikan dinamika hasil-hasil dan dampak pembangunan pertanian dan perdesaan di wilayah agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan khususnya di tingkat usahatani dan rumah tangga. Indikator-indikator yang akan dihasilkan dalam penelitian antara lain: distribusi pemilikan/penguasaan lahan, distribusi angkatan kerja menurut tingkat pendidikan, tingkat pengangguran di pedesaan, produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian, tingkat adopsi teknologi maju, produktivitas lahan, profitabilitas usahatani, distribusi pendapatan, pangsa pengeluaran rumah tangga untuk pangan, tingkat kecukupan energi rumah tangga, nilai tukar petani, dan persentase penduduk miskin. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat panel yang akan melakukan analisis pada rumah tangga yang sama pada dua titik waktu berbeda. Penelitian dilakukan di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jambi, dan Kalimantan Barat.
Kata kunci : dinamika, pembangunan pertanian, pedesaan
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan merupakan proses yang berkelanjutan sejalan dengan
perubahan lingkungan strategis. Sektor pertanian memiliki peran yang strategis
dalam perekonomian nasional. Berbagai peran strategis pertanian dimaksud
sejalan dengan tujuan pembangunan perekonomian nasional yaitu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia, mempercepat pertumbuhan ekonomi,
mengurangi kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, serta memelihara
keseimbangan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Target utama
Kementerian Pertanian Selama lima tahun kedepan (2010-2014) yaitu (a)
pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (b) peningkatan
diversifikasi pangan, (c) peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, dan
(d) peningkatan kesejahteraan petani (Kementerian Pertanian, 2009). Dihadapkan
2
pada pencapaian target Kementerian Pertanian tersebut, dan berbagai perubahan
dan perkembangan lingkungan yang sangat dinamis, serta persoalan mendasar
sektor pertanian baik di tingkat internasional maupun domestik, maka subsektor
perkebunan memiliki peran dan arti penting dalam menentukan arah
pembangunan sektor pertanian yang akan datang. Hal ini mengingat beberapa
komoditas perkebunanan utama seperti komoditas kelapa sawit, kopi, kakao,
karet, tebu dan teh dapat dipandang sebagai komoditas pengungkit bagi
peningkatan pertumbuhan sektor pertanian.
Di sisi lain, pembangunan pertanian yang telah dilakukan secara
menyeluruh selama ini telah mengakibatkan perubahan struktur ekonomi
pedesaan yang menyangkut seluruh aspek, baik pada perubahan penguasaan
aset produktif pertanian, struktur kesempatan kerja, pendapatan, pola konsumsi,
penggunaan teknologi dan perubahan kelembagaan perdesaan. Perubahan
tersebut membawa dampak positif maupun negatif bagi tatanan kehidupan
ekonomi dan sosial masyarakat pedesaan.
Untuk mengetahui hasil dan dampak dari pembangunan pertanian
khususnya yang berkaitan dengan target utama berupa peningkatan
kesejahteraan petani, pemerintah membutuhkan informasi tertentu dalam bentuk
indikator-indikator pembangunan ekonomi, guna menyempurnakan kebijakan dan
pelaksanaan pembangunan perdesaan lebih lanjut. Dalam rangka menyediakan
informasi tersebut diatas, data dan informasi yang bersifat panel akan sangat
penting untuk mengetahui dinamika dan perubahan ekonomi perdesaan yang
telah terjadi sebagai dampak dari pembangunan pertanian. Kaitannya dengan
pencapaian target utama Kementerian Pertanian peningkatan kesejahteraan
petani, dinamika ekonomi perdesaan sebagai dampak pembangunan pertanian
dapat dikaji melalui berbagai indikator pembangunan yang terkait dengan
berbagai aspek, diantaranya: aspek penguasaan aset pertanian terutama lahan,
ketenagakerjaan, pendapatan, konsumsi, kelembagaan, adopsi teknologi serta
aspek lain yang memiliki implikasi penting terkait dengan upaya peningkatan
produksi dan produktivitas pertanian.
Melalui indikator pembangunan pertanian dan perdesaan, gejala maupun
pola perubahan yang sedang terjadi sebagai dampak pembangunan yang telah
3
dilaksanakan dan perubahan lingkungan global, serta pengaruhnya terhadap
struktur ekonomi perdesaan akan dapat diketahui. Permasalahannya adalah
tidaklah mudah untuk memperoleh data dan informasi yang rinci dan mencakup
spektrum yang luas tentang kondisi sosial ekonomi terkini dari pelaku ekonomi
pada unit terkecil, yaitu rumahtangga dengan berbagai variasi geografi dan
ekosistem dan sekaligus memonitor perubahan yang terjadi. Berbagai indikator
pembangunan telah diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memenuhi
kebutuhan informasi tentang dampak pembangunan terhadap perubahan struktur
ekonomi secara makro, seperti: pertumbuhan PDRB, penyerapan tenaga kerja
dan pengangguran, tingkat inflasi, dan sebagainya. Namun indikator-indikator
tersebut umumnya bersifat agregat nasional, propinsi atau kabupaten sehingga
belum dapat dimanfaatkan untuk memahami dinamika pembangunan di daerah
perdesaan yang sangat bervariasi, baik menurut geografis, perbedaan
agroekosistem, maupun komoditas utama yang diusahakan.
Oleh karena itu diperlukan indikator-indikator pembangunan pertanian dan
perdesaan yang dapat memantau dampak pembangunan pertanian di tingkat
rumah tangga di wilayah pedesaan yang dibedakan menurut geografis maupun
agroekosistem. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian melakukan penelitian Panel Petani nasional (PATANAS) yang
dilaksanakan secara periodik dalam interval waktu tertentu di berbagai
agroekosistem.
1.2. Dasar Pertimbangan
Penelitian PATANAS (Panel Petani Nasional) merupakan kajian yang
bersifat panel, dirancang untuk memantau dan memahami berbagai perubahan
jangka panjang profil rumahtangga di daerah perdesaan. Kajian PATANAS
menghasilkan data panel mikro, gabungan data time series dan cross section
yang memiliki kandungan data dan informasi yang rinci serta memiliki spektrum
ekonomi dan sosial yang sangat luas mencakup berbagai variasi agroekosistem
dan wilayah serta komoditas basis. Tahun 2007 penelitian PATANAS dilaksanakan
di agroekosistem sawah irigasi berbasis padi, tahun 2008 dilaksanakan di
agroekosistem lahan kering berbasis komoditas sayuran dan palawija dan tahun
2009 dilakukan penelitian yang sama pada agroekosistem lahan kering berbasis
4
perkebunan. Tahun 2010 penelitian kembali dilaksanakan di agroekosistem
sawah dan pada tahun 2011 di agroekosistem lahan kering berbasis sayuran dan
palawija. Pada tahun 2012 penelitian dilaksanakan kembali di agroekosistem
berbasis perkebunan.
1.3. Tujuan
Tujuan penelitian secara umum adalah menganalisis dinamika sosial
ekonomi rumah tangga perdesaan selama periode 2007-2012 pada berbagai tipe
desa sebagai berikut :
1. Menganalisis dinamika struktur dan distribusi pengusaaan lahan rumah
tangga.
2. Menganalisis dinamika struktur tenaga kerja, tingkat pengangguran,
produktivitas tenaga kerja dan migrasi tenaga kerja.
3. Menganalisis dinamika adopsi teknologi pertanian dan profitabilitas
usahatani.
4. Menganalisis dinamika pendapatan, struktur pendapatan dan distribusi
pendapatan rumah tangga.
5. Menganalisis dinamika struktur pengeluaran dan konsumsi rumah tangga,
kecukupan kalori dan pola pangan harapan rumah tangga pedesaan.
6. Menganalisis dinamika insiden kemiskinan di daerah pedesaan.
7. Menganalisis dinamika nilai tukar petani.
8. Menganalisis dinamika kelembagaan agribisnis
1.4. Keluaran yang Diharapkan
a. Data dan informasi menurut tipe desa tentang kecenderungan
perubahan: penguasaan lahan petani, alokasi tenaga kerja rumah tangga,
penerapan teknologi dan profitabilitas usahatani, pendapatan dan
distribusi pendapatan rumah tangga, konsumsi pangan dan kecukupan
kalori rumah tangga, kemiskinan dan nilai tukar petani serta kelembagaan
agribisnis.
b. Rumusan kebijakan antisipasi penanggulangan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan petani.
c.
5
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak Kegiatan
Manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah : (1) data perubahan sosial ekonomi
rumah tangga pedesaan seperti perubahan pendapatan, kecukupan kalori,
kemiskinan, dsb dapat dimanfaatkan untuk melengkapi indikator pembangunan
ekonomi pada agregat nasional atau propinsi yang diterbitkan oleh BPS, (2)
dengan diketahuinya kecenderungan perubahan sosial ekonomi rumah tangga
pedesaan yang dianalisis maka diperoleh gambaran tentang dampak
pembangunan pertanian pada tingkat rumah tangga pedesaan. Informasi tentang
dampak pembangunan pertanian pada tingkat rumah tangga pedesaan tersebut
selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam rangka mempertajam
kebijakan dan program pembangunan pertanian khususnya yang terkait dengan
peningkatan kesejahteraan petani.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritis
Dampak pembangunan pertanian, yang tercermin melalui dinamika
ekonomi pedesaan, tidak akan dapat diketahui tingkat keberhasilannya tanpa
adanya indikator-indikator yang dapat digunakan sebagai penunjuk keberhasilan
pembangunan tersebut. Indikator ekonomi adalah suatu instrumen untuk
mengetahui derajat pembangunan yang dilakukan yang meliputi berbagai aspek.
Indikator pembangunan yang paling dikenal adalah pendapatan nasional bruto
(GNP) atau Produk Domestik Bruto (PDB). Sebelum dekade 1970, pembangunan
semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi (Todaro, 2000). Tinggi
rendahnya kemajuan pembangunan hanya diukur berdasarkan tingkat
pertumbuhan PDB, baik secara keseluruhan maupun per kapita, yang diyakini
akan menetes dengan sendirinya sehingga menciptakan lapangan pekerjaan dan
berbagai peluang ekonomi yang pada akhirnya akan menumbuhkan berbagai
kondisi yang diperlukan demi terciptanya distribusi hasil-hasil pertumbuhan
ekonomi dan social secara lebih merata atau dikenal sebagai prinsip efek
penetesan ke bawah (trickle down effect).
Namun ketika banyak diantara negara-negara Dunia Ketiga berhasil
mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun gagal memperbaiki
6
taraf hidup sebagian besar penduduknya dan semakin rumitnya masalah ekonomi
yang dihadapi, penggunaan tolok ukur PDB sebagai indikator tunggal bagi
terciptanya kemakmuran dan kriteria kinerja pembangunan dipandang tidak tepat
lagi. Strategi pembangunan berubah bukan hanya didasarkan pada tolok ukur
PDB, namun juga strategi untuk mengatasi secara langsung berbagai masalah
mendesak, seperti tingkat kemiskinan absolut yang semakin parah, ketimpangan
pendapatan yang semakin mencolok, dan tingkat pengangguran yang semakin
melonjak. Strategi dan indikator pembangunan ekonomi mengalami redefinisi,
bahwa tujuan utama dari pembangunan ekonomi bukan lagi menciptakan
pertumbuhan PDB setinggi-tingginya, melainkan juga penghapusan atau
pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan, dan
penyediaan lapangan kerja pada kondisi perekonomian yang terus berkembang
(Seers, 1969, Todaro, 2000). Indikator keberhasilan pembangunan juga perlu
didukung oleh indikator-indikator sosial (social indicators). Salah satu tolok ukur
pembangunan dalam kerangka pola interaksi antara berbagai faktor social dan
ekonomi diperkenalkan oleh UNRSID (United Nations Research Institute on Sosial
Development) (1970), yang terdiri dari 9 indikator sosial dan 7 indikator ekonomi.
Indikator-indikator ini dipilih atas dasar tingginya korelasi dalam membentuk
indeks pembangunan dengan menggunakan bobot timbangan yang berasal dari
berbagai tingkat korelasi. Indikator lainnya diperkenalkan oleh Morris (1979) yaitu
Physical Quality Life Index (PQLI). PQLI merupakan gabungan dari 3 indikator,
yaitu: harapan hidup pada usia satu tahun, angka kematian, dan tingkat melek
huruf. Indikator pembangunan lainnya diperkenalkan oleh UNDP (United Nations
Development Report) (1994), yang merumuskan sebuah indeks gabungan
disebut sebagai Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)
Indikator-indikator yang dikaji dalam penelitian ini dapat dikelompokkan ke
dalam indikator yang langsung dapat mencerminkan kesejahteraan masyarakat
perdesaan, yaitu pendapatan, nilai tukar petani, pangsa pengeluaran pangan,
kemiskinan dan kecukupan pangan dan gizi, serta indikator yang tidak langsung
digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat pedesaan namun sebagai
faktor utama yang mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat,
yaitu antara lain: distribusi pemilikan/penguasaan lahan, distribusi angkatan kerja
7
menurut tingkat pendidikan, tingkat pengangguran di pedesaan, produktivitas
tenaga kerja di sektor pertanian, tingkat adopsi teknologi maju, produktivitas
lahan, dan profitabilitas usahatani.
2.2. Hasil-hasil Penelitian Terkait
2.1.1. Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan Pertanian
Lahan merupakan faktor produksi utama dalam usaha pertanian yang juga
dapat dipandang sebagai sumber kesempatan kerja dan perolehan pendapatan.
Oleh karena itu, sistem penguasaan dan pemanfaatan lahan merupakan elemen
sosial ekonomi yang cukup mendasar dalam pembangunan sektor pertanian.
Dalam tatanan pertanian pedesaan, secara garis besar sistem penguasaan lahan
dapat diklasifikasikan statusnya menjadi hak milik, sewa, sakap (bagi hasil), dan
gadai. Bentuk kelembagaan ini sudah menjadi bagian dari tatanan masyarakat
pedesaan dimana keberadaannya bersifat dinamis antar ruang dan waktu.
Dari hasil survei PATANAS pada tahun 2009 di agroekosistem lahan kering
berbasis perkebunan (Susilowati, et.al., 2009), menunjukkan bahwa penguasaan
lahan terluas adalah pada komoditas basis karet (2,7 – 3,1 ha/KK), dan urutan
berikutnya adalah kelapa sawit (2,3 – 2,7 ha/KK), kakao (1,0 – 1,3 ha/KK) dan
tebu (0,3 – 0,6 ha/KK). Masih relative luasnya rata-rata penguasaan lahan oleh
rumahtangga tersebut karena usahatani berlokasi di luar Jawa yang ketersediaan
lahan masih cukup luas, kecuali untuk komoditas tebu yang berada di Jawa
Timur. Tingkat ketimpangan penguasaan lahan berada pada tingkat rendah
sampai moderat untuk seluruh komoditas, kecuali untuk komoditas tebu di Jawa
yang tergolong pada klas ketimpangan berat. Secara umum tingkat ketimpangan
distribusi penguasaan lahan relatif lebih rendah dibandingkan tingkat
ketimpangan distribusi pemilikan lahan karena berkembangnya kelembagaan
penguasaan lahan (Supadi dan Susilowati, 2004). Distribusi pemilikan lahan di
desa-desa lahan kering berbasis perkebunan juga relatif lebih merata
dibandingkan dengan desa-desa lahan kering berbasis palawija dan sayuran.
Salah satu fenomena yang banyak terjadi dalam pemanfaatan lahan adalah
adanya alih fungsi (konversi) lahan. Fenomena ini muncul seiring makin tinggi dan
bertambahnya tekanan kebutuhan dan permintaan terhadap lahan, baik dari
sektor pertanian maupun dari sektor non-pertanian akibat pertambahan penduduk
8
dan kegiatan pembangunan. Di sisi lain, pengusahaan komoditas oleh petani
adalah sangat dinamis, dimana dinamikanya sangat dipengaruhi oleh kondisi
eksternal dan ekonomi global yang di luar kapasitas petani maupun Pemda untuk
mengaturnya. Berbagai kasus konversi lahan antar komoditas terjadi, sebagai
contoh beberapa desa di Sumatera Utara yang semula berbasis komoditas kakao
telah berubah menjadi desa yang berbasis kelapa sawit karena peningkatan harga
CPO di pasar dunia yang demikian besar (Irawan, dkk., 2007). Demikian pula
desa sawah irigasi di desa Gunungrejo, kabupaten Lampung Selatan yang
sebagian telah berubah menjadi kebun kakao karena biaya input padi semakin
mahal sementara pendapatan dari usahatani kakao lebih tinggi (Susilowati,et.al.,
2008).
Ketimpangan penguasaan lahan merupakan salah satu faktor yang
mendorong terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan rumahtangga sebagai
salah satu indikator pembangunan pertanian. Sedangkan pergeseran
pemanfaatan lahan merupakan salah satu faktor penyebab pergeseran peran
subsektor dalam struktur pendapatan rumahtangga.
2.2. Tenaga Kerja Pertanian
Tenaga kerja pertanian (dalam arti luas) merupakan tenaga kerja terbesar
dengan jumlahnya mencapai 42,3 juta jiwa pada tahun 2006. Jumlah ini
merupakan 44,5 persen dari jumlah tenaga kerja Indonesia seluruhnya. Tenaga
kerja pertanian tersebut tersebar ke dalam lima sub sektor, dimana penyerapan
tenaga kerja terbesar adalah di sub sektor tanaman pangan, perkebunan dan
hortikultura (sekitar 38,8 persen) diikuti dengan sub sektor peternakan sekitar 2,5
persen (www.bappenas.go.id). Dengan jumlah tenaga kerja yang besar tersebut,
ternyata sektor pertanian hanya mampu memberikan kontribusi PDB nasional
sebesar 13,3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja
pertanian masih rendah. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan masih
rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan adopsi teknologi.
Menurut Drajat (2003), perkebunan Rakyat (PR) yang luasnya sekitar 80%
dari perkebunan nasional dengan jumlah KK yang tergantung pada perkebunan
rakyat sekitar 15 juta masih belum mendapatkan fasilitas dan perlindungan yang
9
memadai dari pemerintah. Hasil penelitian Susila (2003), menunjukkan bahwa
dari sisi lapangan kerja, industri perkebunan primer, menyediakan lapangan kerja
sebesar 13,4 juta orang, sedangkan industri hilirnya menyediakan sekitar 3,2 juta
orang. Dengan demikian ada sekitar 16.7 juta orang yang bekerja pada industri
berbasis perkebunan.
Kontribusi pendapatan tenaga kerja manusia dalam pendapatan
rumahtangga petani adalah melalui banyaknya tenaga kerja manusia yang
terlibat dan curahan kerjanya (Rusastra et.al, 2005). Hasil penelitian Muchjidin
et. al. (1995) di provinsi Aceh menunjukkan bahwa pada desa dengan agro-
ekosistem lahan dengan basis tanaman perkebunan dan merupakan sentra
produksi karet dan kelapa sawit, curahan tenaga kerja rumahtangga berbeda,
tergantung pada luasan lahan perkebunan yang diusahakan dan tahapan kegiatan
produksinya (bila sedang berproduksi, maka membutuhkan tenaga kerja yang
lebih banyak). Dengan demikian, kesempatan kerja sangat ditentukan oleh agro-
ekosistem dan jenis komoditas yang diusahakan serta tahapan produksi.
Menurut kajian Simatupang et. al (1987a), alokasi tenaga kerja dalam
keluarga untuk kegiatan penyadapan karet adalah yang terbesar dalam usahatani
kebun karet, yaitu mencapai 70 persen dari alokasi total. Usaha kebun karet,
pada penelitian saat itu, tidak mampu menyerap seluruh tenaga kerja yang ada
dalam keluarga sehingga tidak ada penggunaan tenaga kerja luar keluarga. Oleh
sebab itu banyak waktu luang yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk usaha
sampingan seperti mencari kayu di hutan, buruh pertanian, buruh non pertanian
dan lain-lain. Selain itu Simatupang et al, (1987b), menyebutkan pula bahwa
untuk tanaman perkebunan kelapa sawit, kebutuhan tenaga kerja untuk
pengusahaan sawit mulai dari tahun 0 sampai ke 6 berbeda-beda. Setelah tahun
ke-6 kebutuhan ternaga tersebut relatif tetap. Kebutuhan tenaga kerja tinggi
pada tahun ke-0 kemudian menurun hingga tahun ke-3 dan meningkat lagi tahun
ke-4, kemudian menurun lagi sampai tahun ke-6, selanjutnya relatif tetap.
Dan hasil penelitian Susilowati, et al. (2009) yang dilakukan di
agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan, angkatan kerja yang bekerja
menurut sektor adalah sektor pertanian sebesar 77% dan sektor non pertanian
23%. Sedangkan dari sektor pertanian yang tertinggi adalah basis tanaman karet
10
(88%), basis kelapa sawit (87%), basis tanaman tebu (76%) dan kakao (62%),
dan untuk sumber matapencaharian diluar sektor pertanian adalah basis tanaman
kakao (38%) dan tanaman tebu (23%).
2.3. Pendapatan Rumahtangga
Menurut Beydha (2002) struktur masyarakat di Indonesia menurut status
pendapatan umumnya terdiri dari lapisan-lapisan sebagai berikut : (1) lapisan
teratas adalah perkebunan besar (milik pemerintah) seluas 1,1 juta hektar;
penguasaan hutan yang dikelola beberapa perusahaan negara sebesar 1 juta
hektar hutan produksi, dan perusahaan swasta yang sejak tahun 1967 terdapat
4000 perusahaan swasta kebanyakan milik perusahaan asing yang mengusahakan
penebangan hutan di areal seluas 36 juta hektar di berbagai pulau, (2) lapisan
kedua adalah adalah perkebunan berskala menengah yang dimiliki perusahaan-
perusahaan perkebunan swasta dengan luas 1,1 juta hektar, (3) lapisan ketiga
adalah petani marginal (memiliki lebih kecil dari 0,5 hektar) sebanyak 6 juta
rumahtangga di mana kebanyakan di Jawa, dan dari jumlah tersebut 5,2 juta
rumahtangga menguasai tanah seluas 1,5 hektar (sehingga rata-rata luasnya
adalah 0,25 hektar), dan (4) petani yang tidak bertanah atau lapisan bawah
adalah sebesar 7,2 juta rumahtangga.
Sumber utama pendapatan rumahtangga perdesaan sering dianggap
berasal dari lahan pertanian. Terdapat keterkaitan yang kuat antara luas tanah
yang dimiliki dengan besarnya pendapatan rumahtangga petani. Namun
demikian, dewasa ini tampak bahwa pendapatan keluarga tidak lagi sepenuhnya
tergantung pada luas tanah yang dimiliki sebagai sumber pendapatan utama
rumahtangga. Usaha pertanian di wilayah perdesaan maupun di perkotaan sudah
tidak begitu dominan dan tidak memberikan sumbangan yang besar bagi
pendapatan rumahtangga. Pendapatan rumahtangga pada umumnya tidak
berasal dari satu sumber, tetapi dapat berasal dari beberapa sumber pendapatan.
Ragam sumber pendapatan tersebut diduga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
itu sendiri. Tingkat pendapatan yang rendah, mengharuskan anggota
rumahtangga untuk bekerja atau berusaha lebih giat untuk memenuhi kebutuhan.
Pendapat tersebut juga didukung dari hasil penelitian Syukur et al, (1988), yang
11
menyatakan bahwa sebagian besar rumahtangga perdesaan mempunyai lebih
dari satu sumber pendapatan.
Penelitian di desa-desa yang berpredikat sebagai desa miskin, terutama
pada rumahtangga buruh tani di Jawa Tengah dan Sulawesi Utara yang dilakukan
oleh Nurmanaf, et al. (2003) menunjukkan bahwa sumber pendapatan bagi
rumahtangga tani dan buruh tani mempunyai proporsi pendapatan yang
bervariasi menurut waktu dari masing-masing sumber pendapatan. Hal ini diduga
karena perbedaan tingkat penguasaan sumberdaya. Karena itu untuk
meningkatkan pendapatan rumahtangga di perdesaan, fokus pembangunan tidak
dapat hanya pada usahatani. Dengan demikian, diperlukan strategi yang lebih
bersifat broad spectrum untuk mendorong semua potensi yang ada di wilayah
perdesaan.
Hasil penelitian Susilowati, et al (2009) menunjukkan bahwa pada wilayah
berbasis komoditas perkebunan, struktur pendapatan rumahtangga didominasi
oleh pendapatan dari lahan kebun dan tegal, yang kontribusinya mencapai 49.54
persen. kontribusi pendapatan dari usaha ternak masih relatif kecil, kecuali pada
wilayah komoditas basis tebu yang kontribusinya mencapai sekitar 12 persen.
Belum berkembangnya usaha non land base juga ditemukan pada wilayah lahan
sawah. Kontribusi pendapatan dari kegiatan berburuh tani relatif kecil yaitu 6.39
persen, dengan kisaran antar komoditas basis 1.5-22 persen. Hal ini disebabkan
pasar tenaga kerja tidak berkembang, kegiatan usaha tani dilakukan dengan
tenaga kerja keluarga, sehingga kesempatan kerja berburuh tani relatif terbatas.
Kajian Susilowati et al. (2009) menunjukkan, distribusi pendapatan
rumahtangga yang berada pada wilayah agroekosistem perkebunan dengan
komoditas basis karet memiliki indeks Gini 0,32 yang berarti berada pada tingkat
ketimpangan tingkat ringan. Kakao dan kelapa sawit memiliki indeks gini masing-
masing 0.52 yang berarti berada pada tingkat ketimpangan berat sedangkan
komoditas tebu berada pada tingkat ketimpangan sedang dengan indeks gini
sebesar 0,41.
Kajian Syukur et al. (1988), dan Marisa dan Hubarat (1988) juga
menunjukkan bahwa distribusi pendapatan rumahtangga di perdesaan lahan
kering tergolong kedalam ketimpangan yang tinggi. Artinya di desa-desa dengan
12
potensi lahan kering terjadi ketimpangan pendapatan sebagai akibat dari
ketimpangan distribusi penguasaan modal dan keterampilan.
2.4. Konsumsi dan Pola Pengeluaran Rumahtangga
Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia untuk tetap hidup,
sehingga dengan pendapatannya tiap orang akan berusaha untuk mendapatkan
makanan yang memadai. Rumahtangga akan terus menambah konsumsi
makanannya sejalan dengan bertambahnya pendapatan, namun sampai batas
tertentu penambahan pendapatan tidak lagi menyebabkan bertambahnya jumlah
makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian sejalan dengan meningkatnya
pendapatan, persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan menurun.
Oleh karena itu, komposisi pengeluaran rumahtangga dapat dijadikan ukuran
untuk menilai tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk. Semakin rendah
persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran makin
membaik tingkat perekonomian penduduk (BPS, 2011).
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan
kuantitas pangan yang dibeli. Keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dapat
membeli pangan dengan lebih beragam dan jumlah yang lebih banyak
dibandingkan dengan keluarga yang pendapatannya rendah (Berg, 1986).
Menurut hukum Engel, pada saat terjadi peningkatan pendapatan, konsumen
akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang
semakin kecil. Sebaliknya, apabila pendapatan menurun, persentase yang
dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat (Bryant, 1990).
Berdasarkan data makro Susenas beberapa titik waktu (BPS, 2008),
menunjukkan bahwa antara pengeluaran total dengan pangsa pengeluaran
pangan terdapat pola yang konsisten, semakin besar total pengeluaran
rumahtangga, cenderung pangsa pengeluaran pangan semakin kecil. Sebaliknya
hasil kajian data primer di lokasi Patanas (Irawan, et al, 2007, Kustiari, et al,
2008, Susilowati, et al, 2009 dan Susilowati, et al, 2010) di berbagai agrosistem
mengemukakan bahwa tidak ada konsistensi antara pengeluaran total dan pangsa
pengeluaran pangan pada rumahtangga di agroekosistem tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan selama ini masih digunakan untuk
pangan terutama untuk meningkatkan kualitas pangan yang dikonsumsi, dengan
13
demikian meningkatnya pendapatan rumahtangga berpengaruh terhadap selera
rumahtangga untuk konsumsi pangan. Sebagai contoh yang ditemukan di
wilayah agroekositem lahan kering yang berbasis komoditas kelapa sawit secara
rataan nilai pengeluaran total tertinggi dibanding wilayah lainnya, namun rataan
pangsa pengeluaran pangan relatif tinggi (sekitar 63.99 %). Hal ini terjadi antara
lain karena pengaruh pola pangan dan budaya setempat, selain itu selera
masyarakat terhadap konsumsi pangan. Dari analisis data SUSENAS pada kajian
Martianto dan Ariani, (2004), pada rumahtangga kaya, perubahan pangsa
pengeluaran pangan cukup signifikan yaitu dari 54.3 persen tahun 1993 menjadi
38.1 persen tahun 1996.
Dilihat dari pola konsumsi pangan rumahtangga, jenis pangan pokok yang
dikonsumsi oleh rumahtangga di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sumber
pendapatannya dari lahan sawah (dominan padi) dan lahan kering (dominan
palawija dan tanaman perkebunan) adalah beras, jagung, ubikayu dan gaplek.
Tingkat konsumsi beras pada rumahtangga yang pendapatannya dari lahan
sawah lebih tinggi dibandingkan rumahtangga lahan kering, sedangkan untuk
jagung, ubikayu dan gaplek menunjukkan sebaliknya (Ariani dan Sayaka; 2000).
Hal yang sama ditemukan pada hasil penelitian Patanas, di agroekosistem sawah
irigasi, beras merupakan pangan pokok tunggal (Susilowati, et al, 2010).
Sementara di agroekosistem lahan kering dengan basis komoditas palawija, selain
beras, pangan pokok yang biasa dikonsumsi oleh rumahtangga di perdesaan
adalah jagung (di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan) dan gaplek (di Jawa Timur
dan Jawa Tengah), namun demikian dalam perkembangannya cenderung terjadi
pergeseran, karena pangan pokok non beras tersebut umumnya terbatas
dikonsumsi oleh kaum tua, sedangkan anak-anak dan kaum muda semakin
meninggalkan pangan pokok tersebut.
Hasil kajian pola konsumsi rumahtangga di beberapa lokasi Patanas
(Suryana, 1988) menunjukkan bahwa terdapat keragaman pola konsumsi sampai
tingkat desa, setiap rumahtangga atau kelompok rumahtangga memiliki pola
konsumsi dan pengeluaran yang berbeda. Selanjutnya dikemukakan bahwa pola
konsumsi rumahtangga (dicerminkan oleh fisik atau pengeluaran) merupakan
refleksi dari ketersediaan dan kemampuan daya dukung sumberdaya yang
14
dimilikinya. Sebagai contoh di daerah sawah irigasi, cenderung konsumsi beras
per kapita relatif tinggi, sedangkan di daerah pantai konsumsi ikan cenderung
menonjol. Kajian Arifin dan Simatupang (1988) di Sumatera Barat menunjukkan
bahwa secara agregat umumnya rumahtangga telah cukup pangan dan variasi
jenis makanan yang dikonsumsi cukup baik, meskipun masih terdapat sebagian
masyarakat yang masih kurang pangan. Konsumsi daging-dagingan secara
rataan cukup tinggi, hal ini terkait dengan pola makan khas daerah dan kondisi
ini bervariasi antar kelompok pendapatan.
2.5. Nilai Tukar Petani (NTP)
Nilai Tukar Petani (NTP) adalah rasio antara indeks harga diterima petani
(IT) dengan indeks harga dibayar petani (IB) dinyatakan dalam persentase.
Secara konsepsional NTP adalah pengukur kemampuan tukar barang-barang
(produk) pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang
diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi
produk pertanian (BPS, 2011). Data BPS menunjukkan bahwa Nilai Tukar Petani
(NTP) nasional November 2011 sebesar 105,64 atau naik 0,12 persen dibanding
NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP dikarenakan naiknya NTP Subsektor
Tanaman Pangan sebesar 0,28 persen, NTP Subsektor Hortikultura sebesar 0,22
persen, dan NTP Subsektor Peternakan sebesar 0,32 persen. NTP naik tidak selalu
baik, mengingat penghitungan NTP dasarnya adalah didasarkan pada indeks
harga, maka kenaikan NTP pada tiga sub sektor tersebut perlu dilihat apakah
produktivitas hasil komoditas masing-masing memang mengalami kenaikan atau
malah sebaliknya terjadi penurunan produksi, mungkin akibat anomali cuaca
yang mengganggu produksi, sehingga mendorong peningkatan harga pangan.
Sebaliknya bila terjadi penurunan nilai tukar petani sebenarnya bukan hal jelek
apabila dari sisi produktivitas komoditas meningkat akibat adopsi teknologi. Dan
pengaruh faktor produksi lain dan harga komoditas pertanian bisa mengimbangi
harga faktor produksi dan barang non pertanian/barang konsumsi.
Hasil penelitian PATANAS 2009, NTP yang didekati melalui rasio
pendapatan rumahtangga terhadap total pengeluaran rumahtangga,
menunjukkan bahwa rataan NTP komoditas perkebunan berkisar antara 0.63 –
1.18, dan secara rataan sebesar 0.90. (Susilowati et.al., 2009). Sementara hasil
15
kajian Sugiarto (2009) menunjukkan NTP petani padi sebesar 0.96, sehingga
apabila NTP digunakan sebagai proksi penciri kesejahteraan petani, maka hasil
tersebut tidak mendukung fenomena bahwa petani berbasis komoditas
perkebunan lebih sejahtera dibandingkan dengan petani padi. Selanjutnya
dikemukakan bahwa hasil NTP di perdesaan Patanas 2009 tertinggi pada
komoditas kelapa sawit dan terrendah pada komoditas tebu. Hal ini logis karena
pendapatan petani tebu lebih kecil dibandingkan dengan petani komoditas basis
lainnya, sementara kisaran pengeluaran tidak terlalu besar, kecuali di Pinrang.
2.6. Insiden Kemiskinan
Pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh BPS menggunakan konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep ini tidak
hanya digunakan oleh BPS tetapi juga oleh negara-negara lain seperti Armenia,
Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia (BPS, 2009).
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan
dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan,
yang diukur dari sisi pengeluaran. Menurut pendekatan ini, penduduk miskin
adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di
bawah garis kemiskinan (GK). Secara teknis GK dibangun dari dua komponen
yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-makanan
(GKNM). Komoditas penting bagi penduduk miskin adalah beras, sumbangan
pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan sebesar 25,06 persen di perkotaan
dan 34,67 persen di perdesaan. (BPS, 2009).
Data kemiskinan menurut BPS (2011) menunjukkan bahwa jumlah
penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2011 sebanyak 30,02 juta orang.
Jumlah ini mengalami penurunan 1 juta orang atau 3,2% dibandingkan dengan
penduduk miskin pada Maret tahun lalu yang mencapai 31,02 juta orang. Di
kawasan perkotaan persentase penduduk miskin mencapaisebanyak 11,05 juta
orang, sedangkan di daerah pedesaan jumlah penduduk miskin sekitar 18,94.
Angka tersebut menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyak dialami penduduk
perdesaan yang pada umumnya adalah petani.
Menurut Harniati (2007), fenomena kemiskinan perdesaan dan pertanian
di Indonesia menunjukkan adanya kaitan antara faktor spasial dan sektor usaha
16
mayoritas penduduknya. Terdapat hubungan erat antara kerentanan penduduk
terhadap kemiskinan dengan ekosistem dimana ia tinggal atau dengan kata lain
tingkat kemiskinan berbeda antar agroekosistem. Tingkat kemiskinan penduduk di
agroekosistem dataran tinggi, lahan basah dan lahan kering serta pantai/pesisir di
bawah angka kemiskinan nasional. Namun, jumlah rumahtangga miskin di lahan
kering dan di dataran tinggi jauh lebih besar daripada di lahan basah dan di
pesisir. Oleh karena itu, penanggulangan kemiskinan tidak bisa lagi menggunakan
suatu pola umum (one fits for all) tetapi perlu mengembangkan berbagai model
yang sesuai spesifik sesuai karakteristik kemiskinan di berbagai agroekosistem.
Hasil kajian PATANAS 2009 di wilayah agroekosistem berbasis perkebunan
menunjukkan insiden kemiskinan relatif sangat kecil. Bahkan di wilayah komoditas
basis kelapa sawit tidak terdapat insiden kemiskinan. Insiden kemiskinan di
agroekosistem tebu di Jawa Timur berkisar 10,0%-12,5%. Tingkat keparahan
kemiskinan lebih besar di kabupaten Lumajang dibandingkan di Malang. Insiden
kemiskinan tertinggi di agroekosistem perkebunan komoditas basis kakao karena
rendahnya tingkat produktivitas usahatani kakao disebabkan serangan hama
penyakit dengan intensitas serangan yang cukup tinggi (Susilowati, et.al., 2009).
2.7. Kelembagaan Agribisnis
Perkembangan kelembagaan agribisnis di pengaruhi oleh tiga faktor utama
yaitu pemerintah, pasar dan komunitas. Ketiganya saling berkaitan dan saling
mempengaruhi meskipun pada rentang waktu tertentu terjadi dominasi salah satu
dari ketiga factor utama tersebut. Seperti perubahan dari pertanian subsisten
yang sepenuhnya dijalankan oleh komunitas hingga pembangunan pertanian yang
pada akhirnya di kerahkan kepada mekanisme pasar. Dengan mempertimbangkan
peranan dari ketiga faktor utama tersebut, strategi pembangunan pertanian
khususnya pengembangan kelembagaan agribisnis pedesaan dapat dirumuskan
secara tepat. (Syahyuti, 2004).
Dari hasil kajian PATANAS 2009, kelembagaan agribisnis diwilayah
agroekositem lahan kering berbasis perkebunan telah tumbuh dan berkembang
pesat. Hal ini ditandai dengan tumbuh koperasi perkebunan di berbagai daerah
dan berbagai komoditas perkebunan. Namun apabila dilihat dari sisi peran dan
17
fungsinya masih terlihat lemah misalnya dalam pemasaran/promosi, belum
mampu meningkatkan daya saing komoditas perkebunan di pasaran global.
Demikian pula dengan kedudukan yang tidak seimbang antara koperasi sebagai
representasi dari petani dengan perusahaan perkebunan terutama dalam hal
pembagian hasil perkebunan. Dalam konteks penelitian ini, kelembagaan
agribisnis adalah kelembagaan input usahatani, kelembagaan tenaga kerja,
kelembagaan financial/permodalan, kelembagaan panen dan pasca panen,
kelembagaan pemasaran, dan kelembagaan kelompok tani dan penyuluhan
(Susilowati, et.al., 2009)
2.8. Adopsi Teknologi Pertanian
Untuk meningkatkan produktivitas pertanian diperlukan teknologi yang
berkembang. Peningkatan produktivitas memegang peranan penting untuk
berkembangnya usaha tani. Pertanian yang maju adalah pertanian yang sangat
dinamis dan sangat fleksibel serta meningkat produktivitasnya. Mosher (1996)
mengemukakan bahwa untuk berhasilnya pembangunan pertanian diperlukan
adanya kemajuan dalam bidang teknologi pertanian.
Menurut Hadi et.al. (2006), permasalahan yang umum dihadapi di tingkat
usaha tani (on farm) pada perkebunan rakyat antara lain adalah produktivitas
yang masih rendah. Faktor penyebabnya antara lain adalah: (1) ketersediaan bibit
unggul masih terbatas, sehingga banyak petani yang menggunakan benih asalan,
(2) ketersediaan pupuk masih terbatas dan mahal, (3) adanya serangan
organisme penggangu tanaman (OPT), (4) kurang diterapkannya teknologi
budidaya secara baik (good agricultural practices=GAP), (5) terbatasnya
infrastruktur seperti jalan desa dan jalan kebun, (6) banyak tanaman tua tetapi
dukungan dana untuk peremajaan dan perluasan areal sangat kurang, (7)
kelembagaan petani masih lemah, (8) kurangnya dukungan riset, dan (9)
rendahnya mutu hasil. Menurut Budianto (2000) hambatan dalam adopsi
teknologi sangat kompleks menyangkut berbagai faktor seperti kesesuaian
teknologi dengan agroekologi setempat, ketersediaan bahan, sarana dan alsintan
pendukung adopsi teknologi, kemampuan permodalan, skala usaha tani, tingkat
kemajuan usaha tani dan persepsi serta pemahaman petani terhadap teknologi
baru.
18
Rusastra, et al. (1998) mengungkapkan bahwa teknologi usaha pertanian
dalam aplikasinya merupakan ramuan dari teknologi biologis, kimia, dan mekanis
yang diperlancar melalui rekayasa sosial misalnya dalam bentuk program
intensifikasi yang terus disempurnakan. Paket teknologi perlu terus
disempurnakan dan disesuaikan dengan egroekosistem suatu wilayah dan
efektivitas adopsinya akan sangat ditentukan oleh kemampuan manajemen petani
yang direfleksikan oleh nilai efisiensi usaha tani.
Rendahnya mutu komoditas perkebunan merupakan akibat rendahnya
penguasaan pasca panen demikian pula kurangnya peremajaan tanaman
tua/rusak/tidak menghasilkan. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil kajian PATANAS
2009 (Susilowati, et.al., 2009), dimana pengolahan pasca panen untuk kelapa
sawit dan kakao hanya dijemur atau dikeringkan. Belum ada proses fermentasi
untuk Kakao atau pengolahan menjadi Biodiesel untuk kelapa sawit, sehingga ini
menjadikan kualitas produk kakao dan kelapa sawit rendah. Bahkan Indonesia
memanfaatkan peluang menjadi produsen kakao terbesar di dunia karena
terbentur masalah kuantitas dan kualitas (Badan Litbang Pertanian, 2004).
III. METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran
Pembangunan merupakan suatu proses multidimensi yang mencakup
berbagai perubahan mendasar secara menyeluruh atas struktur ekonomi, sosial,
institusi dengan tetap mengejar pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan
pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Dalam konteks pembangunan
pertanian dan perdesaan, indikator yang digunakan untuk mengetahui
keberhasilan pembangunan ekonomi dalam kajian ini terdiri dari indikator
ekonomi maupun indikator sosial dengan fokus sasaran adalah petani, usahatani
dan wilayah perdesaan. Sasaran akhir pembangunan pertanian dan perdesaan
adalah kesejahteraan petani yang dapat dicerminkan melalui indikator langsung
dan tidak langsung (Purwoto, et.al., 2011). Sebagai indikator langsung dapat
dikaji melalu: (a) pendapatan, (b) Nilai Tukar Petani (NTP), (c) pangsa
pengeluaran pangan, (d) tingkat kemiskinan, serta (e) kecukupan pangan dan
19
gizi. Sementara sebagai indikator tidak langsung adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi pendapatan masyarakat perdesaan yang terkait dengan berbagai
aspek, diantaranya: (a) lahan, (b) tenaga kerja (c) teknologi, (d) kelembagaan
pengadaan input/pemasaran hasil, (e) harga dan upah, dan (f) fasilitas publik
(Gambar 1). Indikator-indikator yang diuraikan di atas termasuk dalam indikator
ekonomi, sedangkan yang termasuk dalam indikator sosial diantaranya adalah
tingkat pendidikan, ketersediaan lembaga penyuluh, sekolahan, puskesmas dan
sebagainya. Dalam penelitian ini, bahasan difokuskan pada indikator ekonomi.
Dinamika ekonomi perdesaan yang terjadi bukan hanya sebagai dampak
dari pembangunan pertanian, namun juga dampak dari kebijakan pembangunan
dan program-program lintas sektoral. Dengan perkataan lain pendapatan rumah
tangga petani maupun non petani di wilayah pedesaan dipengaruhi baik oleh
kebijakan dan program sektor pertanian maupun sektor di luar pertanian.
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan, maka penelitian ini
akan melakukan analisis terhadap rumahtangga yang telah disurvey pada tahun
2007-2012 pada berbagai agroekosistem. Dengan melakukan analisisi pada
rumahtangga yang sama, akan diperoleh data panel mikro dan dinamika atau
perkembangan social ekonomi rumahtangga di masing-masing agroekositem.
Beberapa indikator pembangunan pertanian dan perdesaan baik indikator
langsung maupun tidak langsung akan digunakan untuk menjawab tujuan
penelitian sebagai berikut
20
Lahan
Teknologi
Gambar 1. Aspek-Aspek Pembentuk Indikator Langsung dan Tidak Langsung Tingkat Kesejahteraan
Kelembagaan agribisnis
Ketenaga-kerjaan
Fasilitas Publik
Pendapatan Usahatani (on farm)
Pendapatan di Luar Usahatani (off farm)
Pendapatan Non Pertanian(non farm)
Nilai Tukar Petani
Kecukupan Gizi
Kemiskinan
Distribusi Pendapatan
Pengeluaran Pangan
PengeluaranNon-Pangan
Harga dan Upah
Pangsa Pengeluaran Pangan
Sumber: Purwoto, et.al. 2011
21
1. Lahan
Analisis penguasaan dan pemilikan sumberdaya lahan meliputi tiga hal
yang dikaji, yaitu: (1) struktur penguasaan dan pemilikan lahan, (2) distribusi
penguasaan dan pemilikan lahan rumahtangga, dan (3) Penambahan dan
pelepasan lahan. Analisis struktur penguasaan dan pemilikan lahan rumahtangga
dilakukan dengan menghitung luas lahan garapan dan milik rumahtangga
menurut jenis lahan (lahan sawah, tegalan, kebun) dan status penguasaan lahan
(milik, sewa, sakap, gadai). Analisis distribusi penguasaan lahan rumahtangga
dilakukan dengan menghitung Indeks Gini penguasaan dan pemilikan lahan
menurut jenis lahan. Penambahan dan pelepasan luas lahan yang dimiliki seorang
petani maupun pelepasan lahan milik petani dapat terjadi karena adanya transaksi
jual-beli, proses pembagian hak waris/hibah atau dari pembukaan lahan baru atau
sebab lainnya.
2. Penerapan Teknologi produksi dan Profitabilitas Pertanian
Analisis yang berkaitan dengan penerapan teknologi sarana produksi akan
dilakukan analisis tentang: (1) tingkat partisipasi petani dalam adopsi teknologi
sarana produksi (penggunaan benih/bibit unggul, penggunaan pupuk kimia dan
atau organic), dan (2) tingkat partisipasi petani dalam adopsi teknologi alat
mekanis baik pada tahap pra-panen maupun pasca panen (dalam hal ini traktor,
pompa air, power sprayer, mesin pemipil jagung, dan sebagainya), dan (3)
struktur biaya dan profitabilitas usahatani. Profitabilitas usahatani dalam kajian ini
didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan usahatani dan biaya tunai
usahatani atau biaya yang betul-betul dikeluarkan oleh petani.
3. Tenaga Kerja Perdesaan
Analisis tenaga kerja ditujukan untuk memahami sejauh mana kegiatan
pembangunan pedesaan dapat menyediakan kesempatan kerja bagi rumahtangga
pedesaan. Analisis aspek tenaga kerja ini meliputi : (1) Struktur dan alokasi
tenaga kerja rumahtangga, (2) Produktivitas tenaga kerja pertanian dan non
pertanian, (3) Tingkat pengangguran rumahtangga, dan (4) Tingkat migrasi
tenaga kerja di pedesaan. Struktur tenaga kerja rumahtangga dihitung menurut
beberapa karakteristik individu, seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, dan jenis
22
kegiatan ekonomi. Produktivitas tenaga kerja rumahtangga pertanian didekati
dari total pendapatan kotor rumahtangga yang dihasilkan dari sektor pertanian
dibagi dengan jumlah angkatan kerja rumahtangga yang bekerja di sektor
pertanian, sedangkan produktivitas tenaga kerja rumahtangga di sektor non
pertanian didekati dari total pendapatan kotor rumahtangga yang dihasilkan dari
sektor non pertanian dibagi dengan jumlah angkatan kerja rumahtangga yang
bekerja di sektor non pertanian. Tingkat pengangguran rumahtangga diukur dari
banyaknya anggota rumahtangga yang menganggur atau tidak memiliki
pekerjaan. Sedangkan tingkat migrasi tenaga kerja diukur dari banyaknya jumlah
penduduk desa yang melakukan migrasi, baik migrasi komutasi, sirkulasi maupun
menetap, baik migrasi antar wilayah di dalam negeri maupun ke luar negeri.
4. Pendapatan Rumahtangga
Analisis pendapatan rumahtangga meliputi analisis; (1) besarnya tingkat
pendapatan rumahtangga, (2) distribusi pendapatan rumahtangga, dan (3)
struktur pendapatan rumahtangga. Besarnya dan peningkatan pendapatan
rumahtangga antar waktu dapat digunakan sebagai indikator meningkatnya daya
beli rumahtangga untuk memenuhi kebutuhannya. Distribusi pendapatan
rumahtangga yang diukur dengan Indeks Gini digunakan sebagai indikator
ketimpangan pendapatan rumahtangga sebagai akibat ketidakmerataan
aksesibilitas rumahtangga terhadap sumberdaya ekonomi. Sedangkan struktur
pendapatan rumahtangga dapat digunakan untuk melihat seberapa besar
lapangan kerja dan usaha pertanian mampu berkontribusi terhadap pendapatan
rumahtangga.
Tingkat pendapatan rumahtangga dalam penelitian ini dibagi atas dua
kelompok besar, yaitu: (a) Pendapatan rumahtangga yang berbasis lahan
pertanian, dan (b) Pendapatan rumahtangga yang tidak berbasis lahan pertanian.
Pengelompokan ini digunakan untuk memahami sejauh mana tekanan terhadap
lahan pertanian sebagai sumber pendapatan rumahtangga pedesaan. Pendapatan
berbasis lahan dapat dirinci atas: (1) pendapatan yang berasal dari usahatani
komoditas utama dan komoditas lain yang dihasilkan petani, dan (2) Pendapatan
yang diperoleh dari kegiatan berburuh tani. Sedangkan pendapatan yang tidak
23
berbasis lahan dapat dirinci atas: (1) Pendapatan tetap sebagai pegawai, (2)
Pendapatan dari kegiatan berburuh non pertanian, (3) Pendapatan dari usaha
industri rumahtangga, (4) Pendapatan dari usaha perdagangan, (5) Pendapatan
dari transfer/kiriman uang, dan (6) Pendapatan dari mencari di alam bebas
(menggali pasir, mencari kayu, dan sebagainya). Besarnya pendapatan
rumahtangga dihitung dalam nilai nominal atau riil dengan menyetarakan dengan
beras yang berlaku di pasaran.
Salah satu variabel penting dalam profil rumah tangga pedesaan adalah
apakah pendapatan masyarakat pedesaan terdistribusi secara merata atau
sebaliknya terjadi ketimpangan pendapatan antar rumah tangga tersebut. Untuk
mengetahui distribusi pendapatan rumah tangga, digunakan suatu indeks sebagai
ukuran ketimpangan, yaitu Indeks Gini yang diformulasikan Glewwe (1986) dan
Adams, et.al. (1995).
5. Konsumsi dan Pengeluaran Rumahtangga
Analisis untuk aspek pengeluaran rumahtangga meliputi analisis: (1)
Tingkat dan pangsa pengeluaran rumahtangga untuk pangan dan non pangan,
(2) Struktur pengeluaran rumahtangga untuk pangan (sumber karbohidrat,
pangan hewani, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, dan
sebagainya), dan non pangan (bahan bakar, pendidikan, kesehatan, sandang, dan
sebagainya, (3) Kecukupan konsumsi energi rumahtangga, (4) Keragaman
sumber gizi rumahtangga, dan (4) Pola konsumsi pangan rumahtangga dan pola
pangan harapan (PPH).
6. Nilai Tukar Petani (NTP)
Secara konsepsional NTP adalah pengukur kemampuan tukar barang-
barang (produk) pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang
diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi
produk pertanian. Nilai Tukar Petani adalah rasio antara indeks harga yang
diterima petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib) dalam
persentase. It merupakan suatu indikator tingkat kesejahteraan petani produsen
dari sisi pendapatan, sedangkan Ib dari sisi kebutuhan petani baik untuk konsumsi
24
maupun produksi. Bila It atau Ib lebih besar dari 100, berarti It atau Ib pada
tahun yang bersangkutan lebih tinggi dibandingkan It atau Ib pada tahun dasar.
Secara umum ada tiga macam pengertian NTP yaitu: (a) NTP > 100,
berarti petani mengalami surplus. Harga produksinya naik lebih besar dari
kenaikan harga konsumsi. Pendapatan petani naik lebih besar dari
pengeluarannya; dengan demikian tingkat kesejahteraan petani lebih baik
dibanding tingkat kesejahteraan petani sebe-lumnya; (b) NTP = 100, berarti
petani mengalami impm/break even. Kenaikan/ penurunan harga produksi sama
dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsi. Tingkat
kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan; (c) NTP < 100, berarti petani
mengalami defisit. Kenaikan harga barang produksi relatif lebih kecil
dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsi. Tingkat
kesejahteraan petani pada suatu periode mengalami penurunan dibanding
tingkat kesejahteraan petani pada periode sebelumnya.
Dalam penelitian aspek Nilai Tukar Petani akan dianalisis : (1) Nilai Tukar
Pendapatan Rumahtangga yang menggambarkan daya tukar penerimaan
usahatani terhadap pengeluaran petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
dan (2) Dekomposisi Nilai Tukar terhadap komponen konsumsi dan biaya
produksi
7. Kemiskinan Rumahtangga
Analisis yang akan dilakukan untuk aspek kemiskinan rumahtangga
meliputi: (1) insiden kemiskinan, yang akan menganalisis besaran headcount
index, poverty gap index, dan poverty severity index, (2) indikator kemiskinan di
wilayah perdesaan, dan (3) survival strategy yang dilakukan rumahtangga untuk
mengatasi kemiskinan.
Untuk memperkirakan persentase penduduk miskin dilakukan dengan
mengacu kepada metode BPS yaitu dengan membandingkan besaran pengeluaran
perkapita dengan Garis Batas Kemiskinan yang disusun oleh BPS untuk wilayah
perdesaan. Dengan menggunakan metoda yang sama, maka hasil kajian ini akan
dapat melengkapi informasi tingkat kemiskinan di tingkat Provinsi dan kabupaten
yang dikeluarkan oleh BPS
25
8. Kelembagaan Agribisnis
Analisis yang akan dilakukan untuk aspek kelembagaan agribisnis meliputi:
(a) kelembagaan penguasaan lahan, (b) kelembagaan upah, (c) kelembagaan
pengadaan input, (d) kelembagaan permodalan, (e) kelembagaan pemasaran
hasil, dan (f) organisasi petani.
Selain delapan aspek yang telah diuraikan di atas, perkembangan harga
dan tingkat upah di sektor pertanian dan non pertanian serta perkembangan
fasilitas public, terutama sarana irigasi, jalan usahatani dan jalan desa,
merupakan indikator tidak langsung yang berpengaruh terhadap kesejahteraan
petani. Perkembangan harga dan tingkat upah akan mempengaruhi pendapatan
dan nilai tukar petani sedangkan infrastruktur publik akan mempengaruhi tingkat
produktivitas dan produksi pertanian yang selanjutnya akan berpengaruh
terhadap pendapatan rumahtangga pekebun. Kedua aspek tersebut akan digali
informasinya di tingkat desa melalui wawancara dengan aparat setempat dan
informan kunci serta melalui data-data potensi desa sehingga dapat diketahui
perkembangannya dan pengaruhnya terhadap perekonomian perdesaan. Data-
data sekunder terkait perekonomian tingkat desa ini akan digunakan untuk
memperkaya pembahasan hasil analisis data primer.
3.3. Lokasi Penelitian dan Responden
3.3.1. Dasar Pertimbangan
Seperti telah diuraikan bahwa penelitian PATANAS mupakan penelitian
panel, sehingga survei akan dilakukan pada lokasi dan rumah tangga yang sama
dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Sesuai dengan tahapan
rencana jangka panjang penelitian PATANAS, pada periode 2007- 2012, dilakukan
satu rangkaian survei panel berdasarkan perbedaan agroekosistem. Pada tahun
2007 telah dilakukan survei pada rumah tangga di agroekosistem sawah irigasi
berbasis padi, pada tahun 2008 di agroekosistem lahan kering berbasis sayuran
dan palawija, dan pada tahun 2009 di agroekosistem lahan kering berbasis
perkebunan. Dengan demikian telah diselesaikan tiga tahapan survei yang
dilakukan menurut perbedaan agroekosistem yang dapat dipandang sebagai data
tahun dasar.
26
Untuk memperoleh data panel sehingga dapat dianalisis dinamika
perubahan ekonomi perdesaan, pada tahun 2010 telah dilakukan resurvei di
agroekosistem sawah irigasi berbasis padi, dan pada tahun 2011 di
agroekosistem lahan kering berbasis sayuran dan palawija, dan pada tahun 2012
akan dilakukan resurvei di agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan.
Dengan akan diselesaikannya survei PATANAS pada tahun 2012 ini, maka secara
lengkap akan diperoleh data panel rumahtangga dengan selang waktu 3 (tiga)
tahun, masing-masing untuk data panel rumahtangga di agroekosistem sawah
(2007-2010), agroekosistem lahan kering berbasis sayuran dan palawija (2008-
2011), dan agroekositem lahan kering berbasis perkebunan (2009-2012). Basis
komoditas perkebunan dipilih komoditas kelapa sawit, karet, kakao dan tebu.
Ketiga komoditas pertama dipilih karena kontribusinya dalam ekspor pendapatan
sektor perkebunan secara nasional sedangkan komoditas tebu dipilih karena
penghasil gula sebagai komoditas strategis yang termasuk komoditas pangan
utama dimana pemerintah mentargetkan dapat mencapai swasembada gula pada
tahun 2014.
3.3.2. Lokasi dan Responden
Pemilihan propinsi-propinsi yang menjadi lokasi penelitian menurut tipe
desa diperlihatkan dalam Tabel 1. Jumlah responden di masing-masing desa
lokasi penelitian adalah 40 rumah tangga, yang secara garis besar terdiri dari : (a)
rumah tangga petani pemilik/penggarap lahan dan (b) rumah tangga buruh tani/
buruh non pertanian. Secara total terdapat 1084 rumah tangga contoh seperti
yang diperlihatkan dalam Tabel 2.
27
Tabel 1. Jumlah Desa dan Sebaran Desa PATANAS Menurut Propinsi dan Tipe Desa.
Tipe desa Provinsi JumlahJabar Jateng Jatim Lampung Sumut Sulsel Jambi Kalbar
1. Sawah-Padi 3 4 3 - 2 2 - - 14 2. Lahan Kering –Sayuran
- Kentang 1 1 - - - - - - 2 - Kubis - - 1 - - 1 - - 2
3. Lahan Kering- Palawija - Jagung - - 2 - - 1 - - 3 - Ubi kayu - 1 - 1 - - - - 2 - Kacang
tanah 1 1 - - - - - - 2
- Kedelai 1 - - - - - - - 1 4. Lahan Kering- Perkebunan
- Kakao - - - - - 2 - - 2 - Karet - - - - - - 1 1 2 - Kelapa
Sawit - - - - - - 1 1 2
- Tebu - - 2 - - - - - 2 Jumlah 6 7 8 1 2 4 2 2 34
Tabel 2. Sebaran Rumahtangga Patanas Menuru Tipe Desa.
Agroekosistem Pekerjaan utama Petani Buruh Tani &Non
Pertanian Jumlah
Sawah irigasi-Padi 350 210 560 Lahan Kering -Palawija 121 Lahan Kering -Sayuran 88 Lahan Kering -Perkebunan 315 - Karet 62 18 80 - Kelapa sawit 53 22 75 - Kakao 55 25 80 - Tebu 50 30 80
Jumlah
1084
3.5. Metoda Analisis dan Data
3.5.1. Sumber dan Jenis Data
Data yang digunakan terdiri dari: (1) data primer hasil survey
rumahtangga melalui wawancara langsung menggunakan kuesioner terstruktur,
(2) data primer hasil wawancara kelompok dengan aparat desa dan key informan
28
menggunakan pedoman wawancara, (3) data sekunder yang berasal dari potensi
desa dan sumber lain terkait.
3.5.2. Metoda Analisis
Analisis dalam penelitian ini akan mencakup: (a) analisis perubahan antar
waktu dan (b) analisis parameter.
a. Analisis Perubahan Antar Waktu
Analisis perubahan antar waktu untuk tipe desa dengan agroekosistem
sawah berbasis padi dilakukan antara tahun 2007 dengan tahun 2010. Untuk desa
dengan agroekosistem lahan kering berbasis sayuran dan palawija dilakukan
antara tahun 2008 dengan tahun 2011, sedangkan untuk desa dengan
agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan dilakukan antara tahun 2009
dengan tahun 2012 (Tabel 3).
Tabel 3. Perbandingan antar waktu (Resurvey rumahtangga petani)
Tahap kegiatan
Tipe desa 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Survey dan Resurvey
1. Sawah-Padi V V 2. Lahan Kering –Sayuran
V V
3. Lahan Kering- Palawija
V V
4. Lahan Kering- Perkebunan
V V
Validasi data x x x x x x x
b. Analisis Parameter
Analisis parameter dilakukan untuk mengetahui besaran dari
variabel/indikator tertentu yang telah ditetapkan. Analisis data dilakukan secara
statistik deskriptif dan tabulasi. Dalam melakukan analisis data melalui metode
statistik deskriptif, digunakan formula sederhana dengan menghitung rata-rata
(mean), tingkat partisipasi (participation rate), struktur atau susunan, dan
sebaran atau distribusi. Selain itu untuk beberapa indikator tertentu (misalnya
29
ketimpangan distribusi pendapatan, tingkat kemiskinan dan sebagainya) dianalisis
dengan menggunakan formula yang sudah tersedia.
Metoda penghitungan rata-rata digunakan untuk menganalisis indikator
dalam bentuk parameter besaran, misalnya untuk mengetahui tingkat
pemilikan/penguasaan lahan per rumah tangga, tingkat produktivitas tenaga kerja
sektor pertanian, tingkat pendapatan nominal/riil rumah tangga, tingkat
pengeluaran nominal/riil rumah tangga, tingkat konsumsi energi, jumlah
penduduk miskin, nilai tukar petani (NTP) dan profitabilitas usahatani. Rata-rata
(mean) diformulasikan sebagai berikut:
X = N
xi .......................................................................... (1)
dimana: X = rata-rata (mean), misalnya rata-rata tingkat pemilikan lahan
rumah tangga contoh
ix = total besaran variabel yang dianalisis untuk seluruh rumahtangga
contoh
N = total jumlah rumahtangga contoh
Metoda penghitungan tingkat partisipasi digunakan untuk mengetahui
persentase jumlah rumahtangga yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tertentu,
misalnya tingkat partisipasi petani dalam adopsi pupuk organik, tingkat partisipasi
rumah tangga dalam konsumsi beras, tingkat partisipasi rumahtangga melakukan
migrasi dan sebagainya. Tingkat pasrtisipasi dirumuskan sebagai berikut.
TP = N
n x 100 % .............................................................................(2)
dimana: TP = tingkat partisipasi rumahtangga contoh dalam aktivitas ekonomi
(misalnya dalam adopsi teknologi pupuk organik), dalam %
n = banyaknya rumahtangga contoh yang terlibat dalam aktivitas
ekonomi
N = total jumlah rumah tangga contoh
30
Untuk menganalisis indikator dengan bentuk parameter susunan atau
struktur, seperti struktur pendapatan rumah tangga menurut sumbernya
(pertanian dan non-pertanian), struktur penguasaan lahan menurut jenis lahan
(tegal, sawah, kebun, pekarangan), dan struktur pengeluaran rumah tangga
menurut jenisnya (pangan dan non-pangan), yang dapat disusun dalam nilai
nominal atau persen (pangsa), digunakan formula sebagai berikut,
Pm =
n
ikiX
1
/
n
i
m
jijX
1 1
x 100 %....................................................(3)
dimana: Pm = pangsa variabel ke-k terhadap total nilai variabel (misalnya pangsa
pendapatan rumahtangga dari sector ke-k (pertanian) terhadap
total pendapatan rumahtangga), dalam %
n
ikiX
1
= nilai variabel ke-k dari seluruh contoh ke-I (i= 1,2,…,n)
((misalnya jumlah pendapatan sector pertanian dari seluruh
rumahtangga contoh)
n
i
m
jijX
1 1
= total seluruh nilai variabel ke-j (j=1,2,3,…m) dari seluruh
contoh ke-I (misalnya total pendapatan berbagai sumber dari
seluruh rumah tangga contoh).
Untuk menganalisis indikator distribusi (sebaran), misalnya distribusi rumah
tangga menurut klas pemilikan lahan, distribusi angkatan kerja menurut tingkat
pendidikan dan sebagainya, digunakan formula sebagai berikut:
Si = X
xi x 100% ................................................................................ (4)
dimana: Si = pangsa rumah tangga dalam kelompok variabel ke-i (misalnya
pangsa rumah tamgga dalam klas lahan ke-i (%)
xi = banyaknya rumah tangga dalam kelompok variabel ke-i
X = jumlah rumah tangga contoh
Untuk aspek-aspek seperti tingkat konsumsi energi, tingkat produktivitas
tenaga kerja sektor pertanian dan tingkat profitabilitas usahatani, ketimpangan
31
distribusi pendapatan, insiden kemiskinan (headcount index, poverty gap index
dan poverty severity index) dilakukan penghitungan dengan menggunakan
formula yang akan diuraikan dibawah ini.
Untuk menghitung kecukupan energi (kalori) rumah tangga pertama-tama
dihitung konsumsi kalori rumah tangga per kapita per hari (KR) dengan rumus
sebagai berikut:
n
i
QiKiKR . .......................................................................... (5a)
Tahap berikutnya dihitung kebutuhan kalori rumah tangga per kapita per hari
(KBR) dengan formula sebagai berikut:
NjsAjsKBR . ...................................................................... .(5b)
Tahap terakhir dihitung tingkat kecukupan konsumsi kalori rumah tangga (TK)
dengan rumus sebagai berikut:
100KBR
KRTK ...........................................................................(5c)
dimana: Ki = nilai kalori produk pangan ke-i; i = 1, 2, .......n = produk pangan
yang dikonsumsi rumah tangga
Qi = kuantitas konsumsi produk pangan ke-i
Ajs = anggota rumahtangga dengan jenis kelamin ke-j dan kelompok
umur
ke-s
Untuk menghitung produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian digunakan
rumus sebagai berikut:
AK
YW
.................................................................................. (6)
dimana : W = Produktivitas tenaga kerja rumahtangga di sektor
pertanian
Y = total pendapatan rumahtangga di sektor pertanian
AK = jumlah anggota rumah tangga (ART) yang bekerja di sektor
pertanian
Untuk menghitung profitabilitas usahatani digunakan rumus sebagai berikut:
32
= TR – TC ………………………………………………………………...(7a)
= P.Q – TC …………………………………………………………….. (7b)
dimana: = keuntungan (penerimaan bersih) usahatani
TR = penerimaan total/kotor usahatani
P = harga hasil produksi per unit
Q = jumlah produksi
TC = total biaya usahatani
Untuk menghitung rasio penerimaan total (TR) terhadap biaya total
(TC) digunakan rumus sebagai berikut:
R/C = TR/TC ............................................................................(8)
Insiden kemiskinan dihitung dengan menggunakan formula Foster-
Greer-Thorbecke (FGT) Sedangkan formula FGT poverty index dinyatakan sebagai
berikut (Cockburn, 2001).
Pα(y;z) = (α ≥ 0) ..................................... (9)
dimana yi = rata-rata nilai pengeluaran per kapita individu ke i dalam rumah
tangga yang sudah diranking berdasarkan tingkat pengeluaran, n = total
populasi, q = jumlah populasi, z = batas kemiskinan, sehingga poverty gap ratio
adalah Gi = (z – yi)/z, dimana Gi = 0 pada saat yi > z.
Nilai α ada tiga macam, yaitu:
1. Jika α = 0, P0 menyatakan headcount index, merupakan proporsi populasi
yang berada dibawah garis kemiskinan. Formula diatas akan menjadi:
P0(y;z) = , atau P0 = q/n. ............................. (10)
2. Jika α = 1, menunjukkan ukuran poverty gap ratio dimana masing-masing
penduduk miskin dibobot berdasarkan jarak relatif mereka dari garis
kemiskinan. Formula (10) menjadi:
P1 = 1/n )/z. ......................................................... (11)
q
i
i
z
yz
n 1
1
q
i
i
z
yz
n 1
01
iyz(
33
Misalkan besaran P1 = 0.2 artinya total kesenjangan kemiskinan seluruh
populasi miskin terhadap garis kemiskinan adalah 20 persen. Sedangkan P1/P0
=1/q )/z adalah rata-rata kesenjangan kemiskinan (poverty gap)
yang dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan.
3. Jika α = 2, formula (10) menjadi:
P2(y;z) = ...................................................... (12)
Indeks tersebut merupakan ukuran yang sensitif terhadap perubahan
pendapatan atau distribusi pendapatan populasi miskin (distributionally sensitive
index). Ukuran ini dinamakan rasio ‘keparahan’ kemiskinan (poverty severity).
Untuk menghitung NTP subsisten digunakan formula sebagai berikut:
PBxXPTiQNTP ii ............................................................... (13)
dimana: HT = harga yang diterima petani
HB = harga yang dibayar petani
PTi = harga komoditas i yang diproduksi petani
PBx = harga produk yang dibeli petani
Qi = Kuantitas komoditas i yang diproduksi petani
Xi = Kuantitas produk yang dibeli petani
Untuk mengukur ketimpangan distribusi pemilikan/penguasaan lahan
dominan antar rumah tangga dan ketimpangan distribusi pendapatan antar
rumah tangga akan digunakan rumus sebagai berikut [ Glewwe (1986); Adams
et.al (1995)]:
G (y) = ))(,(2
ii ypyCovy
.............................................................(14)
dimana G (y) = koefisien gini distribusi pendapatan/lahan milik/lahan garapan
rumah tangga
y rata-rata pendapatan/lahan milik/lahan garapan rumah tangga
iy = total pendapatan/lahan milik/lahan garapan rumah tangga ke i
iyz(
q
i
i
z
yz
n 1
21
34
)( iyp urutan pendapatan/lahan milik/lahan garapan rumah tangga ,
yaitu p = 1 untuk urutan rumah tangga berpendapatan
terendah/dengan luas lahan milik terkecil/dengan luas lahan
garapan terkecil dan p = n untuk urutan rumah tangga
berpendapatan tertinggi/dengan luas lahan milik terluas/dengan
luas lahan garapan terluas, dan
n = jumlah populasi rumah tangga yang dianalisa.
Nilai G berada pada selang 0 dan 1. Distribusi pendapatan/pemilikan
lahan/penguasaan lahan rumah tangga masuk kategori ketimpangan berat
apabila G > 0,5, kategori ketimpangan sedang apabila 0,4 < G < 0,5, dan
kategori ketimpangan ringan apabila G < 0,4.
Cara lainnya untuk mengukur derajat ketimpangan pendapatan antar
rumah tangga adalah dengan menggunakan konsep Bank Dunia (World Bank).
Menurut konsep Bank Dunia apabila 40 persen populasi dengan pendapatan
terbawah memiliki pangsa pendapatan kurang dari 12 persen dari total
pendapatan seluruh rumah tangga maka distribusi pendapatan rumah tangga
masuk kategori ketimpangan berat, apabila pangsa tersebut berkisar antara 12-17
persen masuk kategori ketimpangan sedang, dan apabila pangsa tersebut lebih
dari 17 persen masuk kategori ketimpangan ringan.
IV. ANALISIS RESIKO
Dalam melakukan penelitian, resiko yang mungkin dihadapi mulai
pelaksanaan awal sampai dengan akhir, penyebab serta kemungkinan dampak
resiko terhadap penyelesaian penelitian dan penulisan akhir diantaranya sebagai
berikut:
35
Daftar Resiko Pelaksanaan Penelitian, 2014
No. Resiko Penyebab Dampak Solusi
1. Susunan peneliti yang kurang sesuai dengan beban pekerjaan
Jumlah peneliti PSEKP terbatas
Penyelesaian validasi data dan penulisan laporan terlambat karena beban yang cukup besar
Menambah tenaga dari luar Tim
2. Proses penyelesaian entry dan pengolahan data berpotensi terlambat dan tidak tepat waktu
Terkendala oleh keterbatasan jumlah tenaga operator komputer dan kedisiplinan peneliti menyerahkan kuesioner yang telah teredit baik
Keterlambatan penyerahan kuesioner
Penjadwalan secara ketat untuk penanganan data dan monitoring ketat kepada Tim dan pengolah data agar disiplin dalam menepati jadwal
3. Kemungkinan ada penghematan anggaran lagi ditengah tahun penelitian
Kebijakan anggaran pemerintah pusat yang berubah sewaktu waktu
Tidak akan diperoleh data panel sesuai rancangan proposal penelitian
Mengurangi jumlah lokasi dan tidak mengurangi jumlah responden per lokasi
V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN
5.1. Susunan Tim Pelaksana
No. Nama Gol. Jabatan Fungsional/ Bidang Keahlian
Kedudukan Dalam Tim
1 Dr. Bambang Irawan IV/e Peneliti Utama/ Ekonomi Pertanian
Ketua
2 Prof Dr. I wayan Rusastra IV/e Profesor Riset/ Ekonomi Pertanian
Anggota
3 Dr. Hermanto IV/d Anggota 4 Dr. Tri Pranaji IV/e Peneliti Utama/
Sosiologi Anggota
5 Dr. Gatoet Sroe Hardono IV/a Anggota 6 Ir. Tri Bastuti Purwantini III/d Peneliti Muda/ Ekonomi
Pertanian Anggota
7 Dr. Ening Ariningsih III/d Peneliti Muda/ Ekonomi Pertanian
Anggota
36
5.2. Jadwal Pelaksanaan
Kegiatan Bulan
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop
Des Jan
1. Persiapan:
Pembuatan Proposal
Seminar Proposal
Perbaikan Proposal
Penyempurnaan Kuesioner
2. Pengumpulan Data Sekunder dan Studi Pustaka
3. Survei/Klarifikasi Issue
4. Pengolahan Data
5. Penulisan Laporan Kemajuan&Lap akhir
Seminar Hasil Penelitian
Perbaikan Laporan
Finalisasi Laporan Akhir
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M dan B. Sayaka. 2000. Ketahanan Pangan Rumahtangga Perdesaan. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Perdesaan dalam Era Otonomi Daerah. Penyunting : Rusastra,I.W; A.R.Nurmanaf; S.H.Susilowati; E.Jamal dan B. Sayaka. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Ariani,M; H.P.Saliem; S.Hastuti; Wahida dan M.H.Sawit. 2000. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Konsumsi Pangan Rumahtangga. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Arifin, M dan P. Simatupang. 1988. Pola Konsumsi dan Kecukupan Kalori dan Protein di Perdesaan Sumatera Barat dalam Prosiding PATANAS Perubahan Ekonomi Perdesaan Menuju Struktur Ekonomi Berimbang. Pusat Agro Ekonomi. Hlm.341 – 351.
Berg, A. 1986. peranan Gizi dalam pembangunan Nasional . Terjemahan. CV Rajawali. Jakarta.
37
Bryant,W.K. 1990. Teh Economic Organization of Teh household. Cambridge University Press. New York.
BPS. 2010. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010. Berita Resmi Statistik No.45/07/Th.XIII, 1 Juli 2010. Jakarta.
BPS. 2008. Berita Resmi Statistik. No. 56/11/Th. XI, 3 November 2008. Jakarta
BPS. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Sosial Ekonomi Indonesia. BPS. Jakarta.
Cockburn, J. 2002. Procedures for Conducting Non-Parametric Poverty/Distribution with DAD. CREFA, Universite Laval, [email protected]
Hadi, PU, Supriyati, A. K. Zakaria, T. Nurasa, F. B. M. Dabukke,dan E. Ariningsih. 2006. Kinerja Pembangunan Komoditas Perkebunan 2006 dan Prospek 2007. Seminar Nasional Kinerja Pembangunan Pertanian 2006 dan Prospek 2007. PSEKP.
Irawan,B.,P.Simatupang.,R.Kustiari.,Sugiarto.,Supadi.,J.F.Sinuraya.,M.Iqbal.,M.Ariani.,V.Darwis.,R.Elizabeth.,Sunarsih.,C. Muslim.,T.B.Purwantini dan T.Nurrasa. 2007. Panel Petani Nasional (PATANAS):Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Kasliwal, P. 1995. Development Economics. South-Western College Publishing, Ohio.
Kementarian Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Startegis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014.
Kustiari, R., Sugiarto., P.U. Hadi., A. Purwoto., B. Winarso., Supadi., Waluyo.,T.B. Purwantini., Sunarsih., J.F.Sinuraya.,Deri Hidayat.,M.Maulana dan R. Aldillah.2008. Panel Petani Nasional (PATANAS): Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian.Bogor
Marisa, Y, dan B. Hutabarat. 1988. Ragam Sumber Pendapatan Rumahtangga di Pedesaan Sulawesi Selatan Dalam F, Kasryno dkk (eds). Prosiding Patanas: Perubahan Ekonomi Pedesaan menuju Struktur Ekonomi Berimbang. Puslit Agro Ekonomi. Hal: 314 -320.
Martianto, D dan M. Ariani. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir. Prosiding WNPG VIII. Jakarta, 17-19 Mei. LIPI. Jakarta.
Pakpahan, A., N. Syafaat, A. Purwoto, H.P. Saliem, dan G.S. Hardono. 1992. elembagaan lahan dan Konservasi Tanah dan Air. PSE. Bogor.
38
Purwoto, A., I.W. Rusastra, B. Winarso, T. B. Purwantini, A.K. Zakaria, T. Nurasa, D. Hidayat, C. Muslim, C.B. Adawiyah. 2011. Panel Petani Nasional (Patanas): Indikator Pembangunan Pertanian Dan Perdesaan di Wilayah Agroekosistem Lahan Kering Berbasis Sayuran Dan Palawija. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian . Bogor.
Rusastra, IW, Supriyati, A. Zulham, S. Bahri, S. Mardianto dan Sunarsih. 1998. Perubahan Struktur Ekonomi Pedesaan: Dinamika Adopsi Teknologi Pola Usaha Tani dan Produktivutas Tenaga Kerja di Pedesaan. Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Puslit Sosek Pertanian.
Rusastra, I.W., Khairina M.N., Supriyati, Erma Suryani, Muhammad Suryadi, Roosgandha Elizabeth. 2005. Analisis Ekonomi Ketenagakerjaan Sektor Pertanian dan Pedesaan di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Simatupang, P., Rudy S. R., Mewa A. dan Azlinda Azahari. 1987a. Pola Produksi dan Penyerapan Tenaga Kerja di PIR-Perkebunan Karet : Studi Kasus di NES I Talang Jaya, Sumatera Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Simatupang, P., Jefferson Situmorang dan Wirawan. 1987b. Pengkajian Produksi dan Pemanfaatan Tenaga Kerja di PIR-Perkebunan Kelapa Sawit Besitang Sumatera Utara. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Susila R. Wayan, 2003. Industri Berbasis Perkebunan: Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi Dan Pemerataan. LRPI Bogor.
Supadi dan Susilowati. 2004. Dinamika Penguasaan Lahan Pertanian Di Indonesia. Icaserd Working Paper No.41. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian, Bogor.
Suryana, A. 1988. Konsumsi Rumahtangga Pedesaan dalam Prosiding PATANAS Perubahan Ekonomi Pedesaan Menuju Struktur Ekonomi Berimbang. Pusat Agro Ekonomi. Hlm.333 – 340.
Susilowati, S, H, Sumaryanto, R.N. Suhaeti, S. Friyatno, H. Tarigan, N.K. Agustin dan C. Muslim. 2008. Konsursium Penelitian, Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Pada Berbagai Tipe Agroekosistem : Aspek Arah Perubahan Penguasaan Lahan dan Tenaga Kerja Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor
Susilowati, S.H, P.U. Hadi, Sugiarto, Supriyati, W.K. Sejati, Supadi, A.K.Zakaria,T.B.Purwantini, D. Hidayat, M. Maulana. 2009. Panel Petani Nasional. Indikator Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. Laporan Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor
Susilowati,S.H.,B.Hutabarat.,M.Rachmat.,Sugiarto.,Supriyati.,A.K.Zakaria.,H.Supriyadi.,A.Purwoto.,Supadi.,B.Winarso.,M.Iqbal.,D.Hidayat.,T.B.Purwantini.,R.El
39
izabeth.,C. Muslim.,T.Nurasa.,M.Maulana dan R.Aldillah. 2010. Indikator Pembangunan Pertanian Dan Pedesaan: Karakteristik Sosial Ekonomi Petani dan Usahatani Padi. Proposal Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor
Syukur, M. 1988. Kajian Aktivitas Tenaga Kerja Rumahtangga Tani di Luar Sektor Pertanian. Studi Beberapa Desa di Jawa Barat. Tesis MS (tidak dipublikasikan) Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Terjemahan. Edisi Ketujuh. Erlangga, Jakarta.