Download - Prescil Dr Indah (TB Millier-DIH) Kel B
PRESENTASI KASUS
TB MILIER DENGAN DRUG INDUCED HEPATITIS (DIH) e.c OBAT
ANTITUBERKULOSIS (OAT)
SENSITIF OFLOXACIN
Diajukan kepada :
dr. Indah Rahmawati, Sp.P
Disusun oleh :
Rifka Fathnina (G1A212032)
Shella S. Jamilah (G1A212035)
Galih Rakasiwi (G1A212038)
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2014
1
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
TB MILIER DENGAN DRUG INDUCED HEPATITIS (DIH) e.c OBAT
ANTITUBERKULOSIS (OAT)
SENSITIF OFLOXACIN
Disusun oleh :
Rifka Fathnina (G1A212032)
Shella S. Jamilah (G1A212035)
Galih Rakasiwi (G1A212038)
Telah dipresentasikan pada
Tanggal, Juni 2014
Pembimbing,
dr. Indah Rahmawati, Sp.P
2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. Andria
Usia : 26 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Perawat
Alamat : Kroya RT 08/RW 05, Kroya, Cilacap
Tanggal masuk : 09 Juni 2014
Tanggal periksa : 10 Juni 2014
No. CM : 011732
II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Muntah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Ny. A usia 26 tahun datang ke IGD RSMS pada hari Senin,
9 Juni 2014 pukul 15.10 WIB. Keluhan utama muntah yang dirasakan
sejak 5 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Muntah disertai mual, berisi
makanan, tanpa disetai darah . Muntah sebanyak sekitar 3 sendok
makan setiap kali muntah dan muntah mencapai 10 kali dalam sehari.
Muntah mulai dirasakan dan semakin memberat dirasakan pasien
setelah mengonsumsi obat Rifampicin dari dokter. Muntah dirasakan
berkurang ketika pasien menghentikan konsumsi obat tersebut. Selain
muntah, pasien juga mengeluh lemas, nyeri kepala, dan mengaku
penurunan berat badan sejak 1 bulan yang lalu.
Tanggal 7 Mei 2014, pasien mengaku berobat ke dokter di RS
Cilacap dengan keluhan nyeri kepala hebat dan demam selama 7 hari.
Pasien dirawat di RS Cilacap kemudian dilakukan pemeriksaan foto
3
dada, namun pasien menyangkal dilakukan pemeriksaan dahak. Pasien
mengaku oleh dokter dinyatakan menderita Tuberkulosis (TB) dan
sejak saat itu pasien memulai pengobatan TB dengan mengonsumsi
obat antituberkulosis (OAT) 1 kali dalam sehari sejumlah 3 tablet.
Pasien dirawat selama 7 hari di RS Cilacap, kemudian pasien
diperbolehkan pulang oleh dokter.
Selama di rumah, pasien teratur minum OAT, namun pada hari ke-
7 di rumah, pasien mengaku mengeluh muntah-muntah dan mual.
Muntah-muntah hebat sehingga pasien langsung ke IGD RSMS dan
dirawat di Ruang Supardjo Roestam (RSR). Selama dirawat di RSR,
pasien didiagnosis dengan gastritis dan didapatkan hasil pemeriksaan
enzim hati yang meningkat, sehingga pasien didiagnosis dengan Drug
Induced Hepatitis (DIH) oleh dokter spesialis penyakit dalam saat itu.
Setelah 7 hari dirawat di RSR, pasien diperbolehkan pulang dan
diberikan OAT untuk diminum di rumah. OAT yang diberikan adalah
yang diminum 1 kali sehari sejumlah 2 tablet. Selama 5 hari di rumah,
pasien mengaku keluhan muntah-muntah, mual, serta gatal-gatal.
Tanggal 3 Juni 2014 pasien berobat ke dokter spesialis paru di klinik
Omnia dan diberikan 4 jenis obat. Pasien mengonsumsi obat-obat
tesebut selama 1 hari, namun mengaku muntah-muntah dan mual lagi,
sehingga keluarga pasien konsultasi dengan dokter spesialis paru di
klinik Omnia dan diinstruksikan agar salah satu obat diganti dengan
obat yang baru. Keesokan harinya keluhan muntah-muntah pasien
justru bertambah berat sehingga pasien kembali ke IGD RSMS dan
dirawat di bangsal Dahlia.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : diakui, Mei 2014 di RS Cilacap dan
RSMS (bangsal RSR)
c. Riwayat OAT : diakui pada Mei 2014 dari RS
Cilacap selama 2 minggu, namun sempat berhenti minum OAT
4
selama 1 minggu, dan dilanjutkan kembali pengobatan hingga
sekarang.
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat kencing manis : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : diakui, alergi ranitidin
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat hipertensi : diakui, ibu pasien
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : diakui, ibu pasien (alergi debu)
5. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di Jakarta bersama suami di lingkungan padat
penduduk. Rumah satu dengan yang lain berdekatan. Hubungan
antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik. Di
lingkungan rumah pasien tidak ada yang memiliki keluhan batuk
lama atau keluhan yang sama dengan pasien.
b. Home
Pasien tinggal di rumah di Jakarta bersama suami selama 2 tahun.
Pasien tinggal di rumah dengan ukuran 20 x 15 m2 dan dihuni 3
orang, yaitu pasien, suami, dan anak yang berusia 20 bulan. Lantai
rumah beralaskan keramik, dan ada beberapa buah jendela serta
ventilasi yang kadang-kadang dibuka. Rumah pasien terdiri dari 2
kamar tidur, satu ruang tamu, satu ruang keluarga, satu dapur, dan
dua kamar mandi dalam, yang masing-masing memiliki jendela dan
ventilasi. Pasien mengaku memasak menggunakan kompor gas.
Lantai kamar mandi beralaskan keramik dan sumber air berasal dari
PAM. Pencahayaan rumah pasien berasal dari lampu dan sinar
matahari yang cukup. Pasien menyangkal suami pasien menderita
5
batuk-batuk. Semenjak sakit, pasien tinggal di rumah bersama orang
tuanya di Cilacap, namun suami dan anaknya tetap tinggal di
Jakarta.
c. Occupational
Pasien adalah seorang perawat dengan penghasilan yang
berkecukupan. Sebelum menikah, pasien sempat bekeja di RS
Ananda Purwokerto selama 2 tahun. Setelah menikah, pasien ikut
suami ke Jakarta dan tinggal di Jakarta. Setelah melahirkan, pasien
bekerja sebagai perawat di RS Rawamangun, Jakarta, departemen
Interna, selama 1 tahun. Pasien mengaku selama bekerja di
departemen Interna, pasien sering kontak dengan penderita TB.
Namun pasien menyangkal adanya riwayat batuk-batuk pada
dirinya dan teman-teman kerjanya. Pembiayaan rumah sakit
ditanggung olah BPJS Non PBI. Pembiayaan kebutuhan sehari-hari
dibiayai oleh pasien sendiri dan suami.
d. Personal habit
Pasien mengaku makan sehari 1-2 kali sehari, dengan nasi sebagai
sumber karbohidrat utama, dan lauk daging atau ikan. Pasien
mengaku jarang mengonsumsi sayur-sayuran dan lebih memilih
lauk daging atau goreng-gorengan. Pasien mengaku pola makannya
tidak teratur sehingga pasien sering mengeluh nyeri ulu hati. Pasien
mengaku tidak pernah merokok.
III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
b. Kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5 (15)
c. BB : 39 kg
d. TB : 155 cm
e. IMT : 16.23 (underweight)
f. Vital sign
- Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 92x/menit
6
- RR : 24x/menit
- Suhu : 36,0 oC
d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)
- Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata, tidak rontok
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (+/+)
- Sclera : ikterik (+/+)
- Pupil : reflek cahaya (+/+) normal, isokor
Ø 3 mm
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
- discharge (-/-)
4) Hidung
- nafas cuping hidung (-/-)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
- rinorhea (-/-)
5) Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kering (-)
- lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : nampak, tidak kuat angkat
7
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
Jejas (-)
Retraksi suprasternalis (-)
Retraksi intercostalis (-)
Retraksi epigastrik (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus
(-/-)
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari medial
LMCS
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial
LMCS,
tidak kuat angkat
- Perkusi : batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V 2 jari
medial LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi : datar, striae (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani, pekak sisi (-),
pekak alih (-), nyeri ketok costovertebrae (-)
8
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio
epigastrium, nyeri tekan costovertebrae (-),
undulasi (-)
- Hepar : tidak teraba
- Lien : tidak teraba
9) Ekstrimitas
- Superior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema
(-/-), sianosis (-/-)
- Inferior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema
(-/-), sianosis (-/)
2. Pemeriksaan penunjang
a. Foto rontgen thoraks 7 Mei 2014 (dilakukan di RS Cilacap)
9
10
b. Darah lengkap
Hemoglobin : 10,3 g/dl (L)
Leukosit : 6480 µL
Hematokrit : 34% (L)
Eritrosit : 4.9 x 106/ µL
Trombosit : 481.000/ µL
MCV : 68.6 Fl (L)
MCH : 21.0 pg (L)
MCHC : 30.6% (L)
RDW : 23.4% (H)
MPV : 10.80fL
HitungJenis
Basofil : 0.6%
Eosinofil : 2.0%
Batang : 0.8% (L)
Segmen : 71.4% (H)
Limfosit : 14.5% (L)
Monosit : 10.7 % (H)
Kimia Klinik
Bilirubin indirek: 0.27 mg/dL
Bilirubin direk : 0.19 mg/dL
Bilirubin total : 0.46 mg/dL
SGOT : 26 U/L
SGPT : 19 U/L (L)
Ureum Darah : 10.3 mg/dL
Kreatinin Darah: 0.54 mg/dL (L)
GDS : 71 mg/dL
Natrium : 135 mmol/L (L)
Kalium : 3,7 mmol/L
Klorida : 97 mmol/L (L)
11
IV. DIAGNOSIS
1. TB Milier dengan Drug Induced Hepatitis (DIH) et causa Obat Anti-
Tuberculosis (OAT)
2. Sensitif Ofloxacin
3. AnemiaRingan
V. PLANNING
1. Terapi
a. Farmakologi
1) IVFD RL 20 tpm
2) Inj. Ceftriaxon 1x2 gram (IV)
3) Inj. Ondansentron 1x1 amp (IV)
4) Po. Etambutol 1x750 mg tab
5) Po. Binemia 1x1 tab
6) P.o Hepamax 3x1 tab
7) Po. Impepsa syr 3x1 cth
b. Non Farmakologi
1) Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit TB,
penyebab, penularan, pengobatan, efek samping obat dan
komplikasinya.
2) Edukasi mengenai kebersihan lingkungan rumah, seperti buka
ventilasi setiap hari agar sinar matahari dan udara masuk juga
edukasi untuk selalu membersihkan rumahnya dan edukasi agar
pasien tidak mambuang dahak sembarangan lagi.
3) Makan makanan yang bergizi
4) Screening pada anggota keluarga yang lain apabila ada yang
mengalami gejala yang sama dan untuk tindakan pencegahan
juga pengobatan lebih awal jika keluarga lain sudah tertular.
2. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
12
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu sampai akhir bulan kedua
pengobatan, selanjutnya tiap 1 bulan mulai bulan ketiga.
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik
d. Evaluasi radiologi
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan
- Pada akhir pengobatan
e. Evaluasi efek samping
- Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
- Periksa fungsi ginjal ( ureum, kreatinin)
- Periksa GDS, G2PP, asam urat
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan keseimbangan dan pendengaran
f. Evaluasi keteraturan obat
3. Prognosis
Keberhasilan kesembuhan penyakit tuberkulosis tergantung pada:
a. Kepatuhan minum obat
b. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
c. Umur penderita
d. Penyakit yang menyertai
e. Resistensi obat
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
13
BAB II
PEMBAHASAN
1. Penegakan Diagnosis
TB Milier dengan Drug Induced Hepatitis e.c Obat Anti Tuberkulosis
(OAT)
a. Anamnesis
Pada pasien ini, keluhan utama berupa muntah yang disertai mual
sejak mengkonsumsi Obat Anti-Tuberculosis (OAT) yang diperoleh dari
dokter. Keluhan mual dan muntah tersebut dapat terjadi karena efek
samping dari pemberian OAT yang mulai dikonsumsi pasien sejak 1 bulan
sebelum datang ke IGD RSMS (9/6/14). Dari anamnesis yang telah
dilakukan, pasien mengaku pertama kali mendapatkan OAT pada bulan
Mei 2014 dan sempat dikonsumsi selama 2 minggu (14 hari). OAT yang
pertama kali dikonsumsi pasien diduga merupakan OAT kombinasi dosis
tetap (Fixed Dose Combination—FDC) yang terdiri dari Rifampisin,
Isoniazid, Pirazinamid dan Etambutol. Setelah mengonsumsi OAT selama
2 minggu, pasien mulai merasakan mual dan muntah yang semakin
memberat. Kemungkinan mual dan muntah ini disebabkan oleh efek
samping dari OAT tersebut, karena sebelum mengonsumsi OAT pasien
mengaku tidak pernah mengalami muntah dan mual maupun gejala
gastrointestinal lainnya .
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan
tanpa efek samping, namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping.
Rifampisin (R), Isoniazid (H) dan Pirazinamid (Z) merupakan OAT yang
memiliki sifat hepatotoksik. Efek samping berupa Drug Induced Hepatitis
(DIH) paling potensial disebabkan oleh Pirazinamid. Pirazinamid (Z)
merupakan salah satu obat yang memiliki efek samping utama berupa
kerusakan hepar (hepatotoksik) yang ditandai dengan adanya keluhan
mual dan muntah serta keluhan kuning pada mata (sklera) maupun kulit
pasien. Pirazinamid dimetabolisme secara hepatal, dihidrolisir menjadi
pyrazininoic acid (bentuk aktif) lalu dihidroksilasi menjadi 5-
14
hydroxypyrazinoic acid. Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait
dan dapat terjadi setiap saat selama terapi (Kishore, 2010; Hussain, 2003).
Isoniazid (H) memiliki efek samping ringan berupa tanda
keracunan pada saraf tepi, kesemutan, dan rasa terbakar di kaki dan nyeri
otot. Namun efek samping berat yang dapat ditimbulkan oleh Isoniazid
adalah hepatitis yang ternyata dapat muncul kurang lebih pada 0,5%
penderita. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari Isoniazid bertanggung
jawab atas kerusakan hati (Kishore, 2010; Hussain, 2003).
Rifampisin (R) pada umumnya hanya memberikan efek samping
ringan yang hanya memerlukan pengobatan simptomatik. Efek samping
ringan tersebut diantaranya adalah mual, muntah dan tidak nafsu makan.
Selain itu, efek samping berat juga dapat ditimbulkan oleh rifampisin,
diantaranya dalah Drug Induced Hepatitis (DIH). Insiden hepatotoksisitas
yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang menerima
Rifampisin dengan OAT lain terutama Pirazinamid, dan diperkirakan
sebanyak 4% dari seluruh penderita TB yang mengkomsi kombinasi obat
tersebut mengalami efek hepatotoksik (Kishore, 2010; Hussain, 2003).
Keluhan tambahan yang dirasakan pasien adalah lemas, sakit
kepala, dan berat badan menurun. Keluhan tersebut dapat terjadi karena
gambaran klinik yang ditimbulkan oleh infeksi tuberculosis, gejala malaise
ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
Lemas juga dapat terjadi karena pasien terus menerus mengalami mual dan
muntah, banyaknya cairan yang keluar melalui muntah dapat mengurangi
volume cairan tubuh, sehingga pasien dapat menderita dehidrasi dan
merasa lemas. Menurunnya nafsu makan juga dapat menyebabkan
kurangnya asupan nutrisi bagi pasien, sehingga dapat menyebabkan
berbagai hal seperti anemia defisiensi, menurunnya sistem kekebalan
tubuh sehingga dapat mempermudah terjadinya efek samping yang
ditimbulkan oleh OAT maupun komplikasi TB yang dapat terjadi
(Kishore, 2010; Hussain, 2003).
Pekerjaan pasien yang merupakan seorang perawat di bangsal
penyakit dalam salah satu rumah sakit di Jakarta sejak 1 tahun terakhir
15
dapat menjadi sebuah faktor risiko pasien menderita TB, karena seringnya
pasien menjalin kontak dengan orang yang mungkin telah menderita TB.
Penularan tersebut dapat terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Bila partikel infeksi ini
terinhalasi oleh orang sehat, maka orang tersebut dapat tertular infeksi TB.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Antropometri
BB : 39 Kg
TB : 155 cm
IMT: 16.23 (underweight)
2) Vital Sign
-Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 92x/menit
- RR : 24x/menit
- Suhu : 36,0 oC
Pemeriksaan mata
- Konjungtiva : anemis (+/+)
- Sclera : ikterik (+/+)
Pemeriksaan Pulmo
- Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
Jejas (-)
Retraksi suprasternalis (-)
Retraksi intercostalis (-)
Retraksi epigastrik (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus (-/-)
Dari pemeriksaan fisik pasien ini, tidak menunjukkan adanya
kelainan yang mengarah ke diagnosis TB milier. Secara klinis, pasien
16
menujukkan klinis berupa anemis, ikterik, mual dan muntah setelah
mengkonsumsi obat OAT serta peningkatan kadar enzim hati mengarah
pada diagnosis Drug Induced Hepatitis (DIH) yang disebabkan oleh OAT.
c. Pemeriksaaan Penunjang
Foto Thoraks AP tanggal 7 Mei 2014
Cor: cor tampak normal, CTR < 50%
Pulmo: corakan vaskuler meningkat, tampak bercak infiltrat pada lapang
paru kanan dan paru kiri, tampak bercak-bercak halus yang tersebar merata
pada lapang paru kanan dan kiri.
2. Tindak Lanjut Penanganan Pasien
a. Terapi
Pasien merupakan pasien TB milier, maka panduan obat untuk
tuberculosis milier seperti gambaran radiologi pasien yaitu 2RHZE/4RH.
Setelah mengkonsumsi obat selama seminggu, pasien menunjukkan
gejala yang mengarah ke efek samping pemberian OAT yaitu mual,
muntah, ikterik, serta peningkatan kadar enzim hati sehingga pasien
dinyatakan Drug Induced Hepatitis (DIH) oleh dokter spesialis penyakit
dalam (PDPI, 2011).
Karena pasien mengalami DIH, maka pengobatan OAT
dihentikan segera, terutama OAT yang bersifat hepatotoksik yaitu RHZ
dengan memonitor klinis dan laboratorium. Pada pasien ini, kadar
bilirubin, SGOT, dan SGPT kembali normal sehingga pasien dicoba
desensitisasi rifampisin dan isoniazid agar panduan menjadi RHES.
Namun pasien mengalami mual muntah kembali. Oleh karena itu,
pengobatan yang sangat dianjurkan untuk pasien ini yaitu Streptomicin
dan Etambutol maksimal 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan
dilanjutkan dengan 6RH (PDPI, 2011).
b. Monitoring
Mencegah terjadinya perburukan pada pasien dan menilai
keberhasilan terapi, maka perlu dilakukan evaluasi klinis meliputi
17
keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisik. Pasien dievaluasi setiap 2
minggu pada 1 bulan pertama pengobatan. Selain itu, evaluasi berupa
respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta komplikasi
penyakit. Hal ini disebabkan obat-obat yang termasuk dalam OAT
memiliki banyak efek samping. Evaluasi dapat dilihat dari keadaan klinis
pasien dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti tes fungsi hati, fungsi
ginjal, gula darah, asam urat, tes visus dan uji buta warna, dan tes
pendengaran dan keseimbangan. Monitoring pasien dilakukan juga
berdasarkan radiologi (roentgen thorax), yaitu sebelum pengobatan,
setelah 2 bulan pengobatan, dan di akhir pengobatan (PDPI, 2011).
Kemungkinan penularan pada keluarga pasien sangat besar,
sehingga perlu dilakukan edukasi dan motivasi skrining TB paru terhadap
anggota keluarga yang lain dan tetangga sekitar. Perlu juga dijelaskan
bahwa TB dinyatakan sembuh apabila memenuhi kriteria BTA
mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan), telah mendapatkan pengobatan yang adekuat, pada foto
thorak dan gambaran radiologi serial tetap sama/terdapat perbaikan dan
bila ada fasilitas biakan, maka kriteria sembuh ditambah hasil biakan
negatif. Dalam menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang
Pengawas Minum Obat (PMO). Syarat-syarat PMO antara lain (PDPI,
2011):
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
b. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di
Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain.
Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat
berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh
masyarakat lainnya.
PMO berperan penting dari keberhasilan pengobatan pasien TB.
PMO memiliki beberapa tugas, yaitu (PDPI, 2011):
18
a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan (6 – 9 bulan)
b. Memberi dorongan dan semangat kepada pasien berupa nasehat –
nasehat
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
telah ditentukan ataupun bila terdapat indikasi lain
d. Memberi penyuluhan kepada pasien & keluarga pasien mengenai
penyakit TB dan mengawasi keluarga pasien yang mempunyai gejala-
gejala mencurigakan TB agar melakukan pemeriksaan.
Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarganya (PDPI, 2011):
a. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
b. TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.
c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke pelayanan kesehatan.
Selain itu, penularan bakteri tuberkulosis harus diperhatikan.
Pasien tinggal bersama seoarang suami dan seorang anak yang masih
berusia 20 bulan. Kemungkinan penularan pada keluarga pasien sangat
besar sehingga perlu dilakukan skrining TB paru terhadap anggota
keluarga yang satu rumah. Setelah dinyatakan sembuh, pasien tetap perlu
dilakukan evaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, untuk
mengetahui ada tidaknya kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah
sputum BTA dan foto toraks. Sputum BTA dilakukan pada 3, 6, 12, 24
bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks dilakukan 6, 12, 24
bulan setelah dinyatakan sembuh (PDPI, 2011).
19
BAB III
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.
2. Penegakan diagnosis penyakit TB berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Klasifikasi penyakit TB menentukan jenis terapi yang akan diberikan
kepada pasien.
4. Pengobatan TB menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT) dapat
menimbulkan efek samping, salah satunya adalah Drug Induced Hepatitis
(DIH)
5. Monitoring dan evaluasi selama pengobatan TB yaitu dari keadaan klinis,
sputum bakterilogis, foto radilogis, efek samping obat dan keteraturan
pengobatan
6. Efek samping dari OAT harus dievaluasi serta diedukasikan kepada pasien
dan keluarga agar mengerti dan waspada.
7. Jika terjadi efek samping seperti DIH, maka pengobatan TB harus sesuai
dengan pedoman TB pada keadaan khusus.
8. Keberhasilan pengobatan TB tergantung pada kepatuhan minum obat,
pengawasan yang ketat, serta penyakit yang menyertai.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Hussain, Z., P. Kar., S. A. Husain. Antituberculosis drug-induced
hepatitis: Risk factors, prevention, and management. Dalam: Indian
Journal of Experimental Biology. 2003;41:1226-1232.
2. Kishore, P. V., Palain S., Paudel R., Mishra P., Prabhu M., Shankar P. R.
Drug Induced Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges
and Difficulties in Treatment. Dalam: Kathmandu University Medical
Journal. 2007;2 (18): 256-260.
3. Lessnau, Klaus-Dieter, Cynthia de Luise, Joseph Richard Masci. 2013.
Miliary Tuberculosis. Dalam: Medscape. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/221777-overview#aw2aab6b9 pada
10 Juni 2014.
4. PDPI. 2011. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika
21