Download - PKN karya tulis ilmia HAM.pdf
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
FIRANTI 050200167
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
(NIP. 131 842 854
Abul Khair, SH, M.Hum)
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMIMBING II (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) (Rafiqoh Lubis, SH, M. Hum NIP. 132 299 900 NIP. 132 300 076
)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2009
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
Oleh:
FIRANTI O50200167
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
ABSTRAKSI Firanti*
Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum** Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum***
Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian pada korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian karena kejahatan baik materiil maupun imateriil. Namun dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan merupakan hak dari seseorang yang menjadi korban tindak pidana adalah untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi. Beberapa peraturan di Indonesia mengatur mengenai pemberian kompensasi dan restitusi, misalnya KUHAP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat. Namun berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Pengadilan HAM ad hoc untuk Kasus Timor-timur, Tanjung Priok dan Abepura pun belum dapat mempraktekan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran HAM berat karena pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tidak jelas. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat
Metodologi yang dipakai dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif karena menggunakan data sekunder sebagai sumber utama. Sedangkan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan data dan fakta sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis terhadap ketentuan hukum yang berlaku, khususnya terhadap UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Hasil penelitian menyebutkan bahwa pengaturan mengenai kompensasi dan restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat belum dapat dijalankan karena mekanisme pengaturannya belum diatur secara jelas dan belum memenuhi standardisasi internasional yang sesuai dengan pengaturan mengenai mekanisme kompensasi dan restitusi dalam Statuta Roma, yang dapat menjamin korban dalam mendapatkan penggantian kerugian secara materiil dan imateriil.
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Dosen Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................i
ABSTRAKSI..vi
DAFTAR ISIvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........ 1
B. Permasalahan..6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...7
D. Keaslian Penulisan..7
E. Tinjauan Kepustakaan..8
1. Pengertian Korban............................................8
2. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat13
3. Pengertian Perlindungan Hukum.18
F. Metode Penelitian.20
G. Sistematika Penulisan 22
BAB II RUANG LINGKUP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
BERAT
A. Kewajiban Negara Menyangkut Hak Asasi Manusia24
B. Bentuk-bentuk Pelanggran Hak Asasi Manusia Berat.39
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT
A. Prinsip Dasar Perlindungan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Berat..
56
B. Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran Hak
Asasi Manusia Berat..... .
72
C. Mekanisme Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Korban
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
76
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
106
B. Saran..
108
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
BAB I
PENDAHULUAN
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
A. Latar Belakang
Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional
nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari hanya bebera
peraturan PerUndang-Undangan Nasional yang mengatur hak-hak korban
kejahatan. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan
dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari
asas setiap warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945,
sebagai landasan konstitusional. Selama ini mucul pandangan yang menyebutkan
pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana,
maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal
pendapat demikian tidak seutuhnya benar.1
Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan
kerugian terhadap korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian
karena kejahatan, baik materiil maupun imateriil. Korban kejahatan yang pada
Berdasarkan perkembangan yang ada, baik nasional maupun
internasional, dapat dilihat bagaimana seharusnya korban kejahatan memperoleh
perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur
perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundangan-
undangan nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah
diatur namun sifatnya masih bersifat parsial dan tidak berlaku secara umum untuk
semua korban kejahatan.
1 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban kejahatan
Antara Norma dan Realita. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2006. Halaman 4
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana,
tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang
kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi
sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan tidak diperdulikan. 2
Sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa
dalam penyelesaian perkara pidana, sementara hak-hak korban diabaikan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah: Dalam membahas hukum acara
pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak azasi manusia, ada
kecenderugan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka
tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban.
3
Banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan
hukum yang memadai dalam penyelesaian perkara pidana, baik perlindungan
yang sifatnya material maupun imateril. Korban kejahatan ditempatkan sebagai
alat bukti yang memberikan keterangan yaitu sebagai saksi sehingga
kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan
haknya adalah kecil.
4 Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat
secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan sehingga ia kehilangan
kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat
suatu kejahatan.5
2 Ibid, Halaman 24
3 Andi Hamzah. Perlindungan Hak-hak Azasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Bina Cipta. Bandung 1986. Halaman 33.
4Chaerudin Syarif Fadilah. Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimilogi dan Hukum Pidana Islam. Ghalia Pers. Jakarta . 2004. Halaman 47.
5 Ibid, Halaman 49.
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Tidak jarang juga ditemukan korban yang mengalami penderitaan
(fisik,mental, atau materi) akibat dari suatu tindak pidana yang menimpa dirinya,
tidak memperjuangkan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alsan,
misalnya korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan
prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat
pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan. Dalam berbagai kasus,
penyelesaian secara hukum maupun politik terhadap pelanggaran HAM
seringkali tidak berpihak kepada korban,namun justru dilakukan untuk
melindungi para pelaku, sebagiamana halnya yang lazim dilakukan oleh para
penguasa militer di Negara-negara Amerika lain, seperti Argentina dan Chile pada
era tahun 1970an.
Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan
merupakan hak dari korban tindak pidana adalah mendapatkan kompensasi dan
restitusi. Kompensasi diberikan oleh Negara kepada korban pelanggaran HAM
yang berat, sedangkan restitusi merupakan ganti rugi pada korban tindak pidana
yang diberikan oleh pelaku sebagai bentuk prtanggungjawabannya.6
Ada beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur pemberian
kompensasi dan restitusi. Namun kenyataanya aturan tersebut tidak implementatif.
Pengaturan pemberian ganti rugi itu misalnya bisa dilihat pada KUHP, KUHAP,
dan juga Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi
Manusia yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002
tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran
HAM Yang Berat. Namun berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban
6 Ibid. Halaman 55.
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Kasus-kasus HAM yang terjadi di
Indonesia sampai saat ini belum pernah ada korban pelanggaran HAM yang
mendapatkan kompensasi dan restitusi walaupun dalam amar putusan pengadilan
korban berhak untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi.
Terkait dengan hal di atas, salah satu contoh bahwa penyelesaian secara
hukum maupun politik terhadap pelanggaran HAM seringkali tidak berpihak
kepada korban, namun justru dilakukan untuk melindungi para pelaku dapat
dikemukakan dalam konteks berikut ini: Berdasarkan catatan pengadilan HAM
ad hoc Timor-Timur , hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat tidak pernah
disinggung. Baik jaksa maupun hakim tidak pernah menyinggung sedikitpun
upaya pemulihan bagi korban, padahal pelanggaran HAM berat di Timor- Timur
telah diakui terjadi oleh pengadilan. Proses pengadilan hanya difungsikan untuk
mencari siapa pelaku dan menghukumnya, tetapi keadilan bagi korban secara
nyata tidak menjadi bagian penting. Hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
yang secara jelas dinyatakan oleh Undang-undang bahkan tidak dapat berjalan
sama sekali.7
Tidak diberikannya hak-hak korban yang secara tegas telah dinyatakan
dalam ketentuan perundang-undangan dapat menimbulkan ketidakpercayaan
korban bahawa hak-hak mereka akan dilindungi bahkan diberikan ketika mereka
berpartisipasi dalam proses peradilan untuk mendukung penegakan hukum. Hal
ini menunjukan, bukan saja dapat dikatakan bahwa Negara gagal mewujudkan
system peradilan yang kompeten dan adil, Negara gagal menjamin kesejahteraan
7 Supriady Widodo Eddyono, Wahyu wagiman, Zainal Abidin, Perlindungan Saksi Dan
Korban Pelanggaran HAM berat. Elsam. Jakarta 2005. Halaman 3
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dari warga negaranya yang menjadi korban pelanggaran HAM, karena hak korban
akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak azasi bidang
kejahteraan/jaminan social (social security).8
Salah satu contoh, Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok yang
merupakan satu-satunya pengadilan yang memberikan putusan kompensasi
kepada korban belum berhasil diimplementasikan karena masih adanya hambatan
prosedur. Korban pelangaaran HAM Tanjung Priok akhirnya mendapatkan
putusan dari majelis hakim untuk mendapatkan putusan dari majelis hakim untuk
mendapatkan kompensasi dalam dua putusan, dimana satu putusan hanya
menyatakan bahawa korban mendapatkan kompensasi sedangkan satu putusan
lainnya dengan disertai jumlah kompensasi yang akan diterima oleh para korban.
Lebih jauh lagi bahwa Negara juga
telah mengurangi hak-hak dari saksi dan korban yang telah diakui oleh dunia
internasional.
9
Putusan kompensasi diatas dalam pelaksanaannya terhambat karena
secara normatif dimana eksekusi putusan hanya bisa dilaksanakan setelah ada
keputusan pengadilan yang bersifat tetap.
10
8 Ibid, Halaman 3
9 Satya Arinanto, Hak asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat studi hukum tata Negara Fakultas Hukum Universiats Indonesia, Jakarta, 2005. Halaman 292
10 Barda Nawawi Arif. Beberapa Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bhakti. Bandung 1998. Halaman. 67
Artinya kompensasi akan diterima
oleh korban pada saat terdakwa dinyatakan bersalah di tingkat Mahkamah Agung,
sebaliknya jika ternyata terdakwa dibebaskan di tingkat banding atau Mahkamah
agung maka kompensasi tersebut akan gugur. Hal ini karena konsep kompensasi
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
kepada korban tergantung dari faktor kesalahan dari terdakwa dan bukan karena
hak yang melekat terhadap setiap korban pelanggaran HAM.
Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok telah secara nyata menerapkan
dan mengadopsi kekeliruan dalam memahami konsep kompensasi dan restitusi.
Hal ini tampak dari adanya prasyarat yang harus terpenuhi agar korban
mendapatkan kompensasi dan restitusi yaitu dinyatakan bersalah dan dipidananya
pelaku.
Pernyataan di atas berbeda dengan apa yang sudah menjadi prinsip hukum
HAM internasional bahwa korban pelanggaran HAM berat berhak mendapatkan
kompensasi (dan atau restitusi) tanpa harus menunggu apakah pelakunya dipidana
atau tidak.
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut di atas, maka penulis
mengangkat masalah mengenai perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran
HAM berat ini ke dalam skripsi Penulis dengan judul PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut di atas maka yang
menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimana ruang lingkup pelanggaran HAM berat ?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran HAM berat ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk ruang lingkup pelanggaran HAM
Berat.
2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum yang diberikan Negara
kepada korban pelanggaran HAM Berat.
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Manfaat teoritis
Karya tulis ini diharapkan akan bermanfaat dan memperkaya literatur-
literatur yang ada sebelumnya, khususnya mengenai perlindungan korban
terhadap pelangggaran HAM Berat.. Karya tulis ini juga diharapkan menjadi
acuan untuk mengadakn penelitian yang lebih mendalam lagi.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan dengan adanya karya tulis ini dapat berguna dalm membantu
permasalahan bagi pihak-pihak yang bersangkutan dalam hal ini lembaga hukum
dan pemerintah guna menjamin perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran
HAM Berat serta penerapannya dalam proses perkara pidana HAM.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT sepengetahuan penulis belum ada
penulis lain yang mengemukakanya dan bila ternyata di kemudian hari terdapat
judul dan objek yang pembahasan yang sama, sebelum tulisan ini dibuat maka
penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
E. Tinjauan Kepustakaan
1.Pengertian Korban
Secara global dan representatif, pengertian korban kejahatan terdapat
pada angka 1 Declaration of Basic Principles of Justice for Victims and Abuse of
Power tanggal 6 September 1985 yang menegaskan :
Korban berarti orang-orang yang secara pribadi atau kolektif, yang telah menderita kerugian yang termasuk di dalamnya luka fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan cukup besar atas hak-hak dasarnya, lewat tindakan atau penghapusan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di Negara-negara anaggota, termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang bisa dikenai pidana.11
Dalam resolusi MU-PBB 40/34 bahwa yang di maksud dengan korban
ialah orang-orang,baik secara individu maupaun kolektif, yang menderita
kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang
berlaku di suatu Negara, termasuk peraturanperaturan yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain dinyatakan, khususnya sewaktu
menjelaskan victim of Abuse of Power, bahwa dalam pengertian korban
Deklarasi Prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan
penyalah gunaan kekuasaan ini juga menyatakan bahwa seseorang dapat dianggap
korban tanpa menghiraukan apakah pelaku kejahatannya dikenali, ditahan,
diajukan ke pengadilan atau dihukum dan tanpa menghiraukan hubungan
kekeluargaan antara pelaku kejahatan dan korban. Istilah korban juga termasuk,
bilamana sesuai, keluarga dekat atau tanggungan korban langsung orang-orang
yang telah menderita kerugian karena campur tangan untuk membantu korban
yang dalam keadaan kesukaran atau mencegah jatuhnya korban.
11 Lilik Mulyadi. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi. Djambatan.
Jakarta. 2004. Halaman 120.
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
termasuk juga orang-orang yang menjadi koraban dari perbuatan-perbuatan (tidak
berbuat) yang walaupun belim merupakan pelanggaran teerhadap hukum pidana
nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-
norma HAM yang diakui secara internasional.12
orang yang telah mengalami penderitaan baik fisik maupun mental
dan kehilangan harta bendanya atau menyebabkan kematian sebagai akibat dari
tindakan atau usaha percobaan tindak pidana yang dilakukan pihak lain.
Ralph de Sola mengartikan korban :
13
Menurut Stanciu, korban dalam pengertian luas adalah orang yang
menderita akibat dari ketidakadilan. Dengan demikian lanjut Stanciu, ada dua sifat
yang mendasar (melekat) dari korban, yaitu suffering (penderitaan) dan injustice
(ketidakadilan)
Di dalam Blacks Law Dictionary korban merupakan seseorang yang
dirugikan sebagai hasil dari suatu kejahatan, perbuatan,melawan hukum atau
lainnya:
a person harmed by crime, tort, or other wrong
14
12 Barda Nawaw Arief. Op.cit. Halaman 54
13 H. Soeharto. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme. Refika Aditama. Bandung. Juni. 2007. Halaman 77
14 Teguh Prasetyo,Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminilasisasi. Pustaka Pelajar . Yogyakarta. 2005. Halaman 119.
. Timbulnya korban tidak dapat dipandang sebagai akibat
perbuatan yang illegal, sebab hukum (legal) terkadang juga dapat menimbulkan
ketidakadilan seperti korban akibat prosedur hukum. Seperti dalam kasus
kejahatan,konsep tenteng korban seharusnya tidak saja dipandang dalam
pengertian yuridis, sebab masyarakat sebenarnya selain dapat menciptakan
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
penjahat, juga dapat menciptakan korban. Dengan demikian, seorang korban
ditempatkan pada posisi sebagai akibat kejahatan yang dilakukan terhadapnya
baik dilakukan secara individu, kelompok atau oleh Negara.15
Menurut Muladi korban adalah orang-orang yang baik secara individual
maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugain fisik maupun
mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang
fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di
masing-masing Negara termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
16 Sedangkan Cohen
menmendefinisikn korban (victim) sebagai :17
The person who are thraeatened, injured or destroyed by an actor or mission of another (mean structure, organization, or instution) and consequently; a victim would be anyone who has suffered from or been threatned by punishable act (not only criminal act but also other punishable act as misdemeanour, or economic offences, non fulfillment of work duties) or an accident. Suferring may be caused by another man or another structure, where people are also involved.
whose pain and suffering have been neglected by the state while it spends `immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering.(siapa yang terluka dan penderitaannya telah diabaikan oleh Negara akibat dari pelaku yang bertanggung jawab terhadap luka dan penderitaanya)
Z.P Separovic mengartikannya :
18
15 Aref Amrullah, Politik Hukum Pidana: dalam Rangka Perlidungan Korban Kejahatan
Ekonomi di Bidang Perbankan.Bayu Media Publishing.Malang. 2003. Halaman 61.
16 Muladi. Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana; sebagaimana dimuat dalam Kumpulan karangan HAM, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.1997, Halaman 172.
17Cohen dalam Romli Atsasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, 2005, Halaman 9
18 Dikdik M. Arif Mansur. Elistaris Gultom,op.cit. Halaman 46-47
(orang yang terancam, terluka atau diganggu oleh pelaku atau orang lain (stuktur, oraganisasi ataupun lembaga) dan sebagai konsekuensinya, korban akan menjadi orang yang menderita atau terancam oleh tindakan hukuman (bukan saja tindakan criminal melainkan juga tindakan hukuma lain seprti keruian
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
ekonomi, ketidak berhasilan memenuhi kewajibana kerja ataupun kecelakaan). Penderitaan dapat disebabkan oleh orang lain ataupun struktur lain, dimana orang juga terlibat didalamnya.)
Arief Gosita memberi penjelasan tentang korban sebagai mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang
mencari pemenuhan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan .19Pengertian
korban menurut Undang-undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi, yang selanjutnya disebut UU KKR adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik, fisik, mental, maupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran HAM
yang berat termasuk korban adalah juga ahli warisnya.20
Peraturan Presiden No.2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM yang Berat dan Peraturan
Presiden No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi
Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat, mengartikan korban sebagai
orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai
akibat pelanggaran HAM yang Berat yang memerlukan perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun.
21
19 Arief Gosita. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakarta. 1993.
Halaman 63
20 Undang-undang No. 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pasal 1 angka 5.
21 PP No.2 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang Berat, Pasal 1 angka 2 dan PP No. 3 tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang Berat, Pasal 1 angka 3
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Peraturan Perundang-undangan yang berkenaan dengan saksi adalah UU
Perlindungan saksi dan Korban yang memberi batasan tentang apa yang disebut
dengan korban, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.22
Menurut The Rule of Procedure and Evidence dari Statuta Roma, korban
berarti orang-orang asli yang telah mengalami derita atau kerugian sebagai akibat
dilakukannya berbagai kejahatan yang termasuk dalam yurisdikasi Mahkamah.
23
Selain itu dikatakan juga, bahwa korban bisa mencakup organisasi-organisasi atau
lembaga-lembaga yang benar-benar tertimpa kerugian langsung atas harta milik
mereka yang dibaktikan bagi kepentingan agama, pendididkan, seni, atau ilmu
pengetahuan atau untuk tujuan-tujuan kariatif, dan atas monument-monumen
sejarah mereka, rumah sakit, dan tempat-tempat serta objek-objek lainnya yang
diabadikan bagi kepentingan atau misi kemanusiaan.24
22 Undang-undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pasal 1
angka 2
23 Rome Statute of The International Criminal Court (Pasal 5 ayat 1)
24 Bagian III Korban dan Saksi, Sub-bagain 1 Batasan dan Prinsip Umum Berkaiatan dengan Korban, Aturan 85
Terkait dengan beberapa pengertian tentang korban di atas, maka korban
dalam pelanggaran HAM yang berat adalah orang atau orang yang menderiata
secara material maupun immaterial yang disebabakan oleh tindakan pelanggaran
HAM yang berat.
Pengertian korban secara luas adalah yang didefinisikan oleh South
Carolina Govenors Office of Executive Policy and Programs, Columbia, yaitu:
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
victim means a person who suffers direct or threatened physical, psychological, or financial harm as the result of crime against him. Victim also includes the persons is deceased, a minor, incompetent was a homicide victim and/or is physically or psychologically incapacitated.25
Secara luas pengertian korban diartikan bukan hanya sekedar korban yang
menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami
penderitaan yang dapat diklarifikasikan sebagai korban. Yang dimaksud korban
tidak langsung disini seperti, isteri kehilangan suami, anak yang kehilangan
bapak, orangtua yang kehilangan anaknya, dan lainnya.
(Korban berarti orang yang menderita bahaya fisik, psikologis atau finansial atau yang bersifat ancaman maupun kerugian finansial sebagai akibat kejahatan terhadap dirinya. Korban juga meliputi orang yang sudah mati, korban pembunuhan dan yang cacat secara fisik ataupun psikologis.)
26
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada manusia dan
berfungsi sebagai jaminan moral dalam menunjang klaim atas penikmatan sebuah
kehidupan yang layak pada taraf yang paling minimum
Dengan mengacu pada pengertianpengertian korban diatas, dapat
dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok
yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang
menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi
termasuk didalamnya kelurga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan
orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi
penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.
2. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
27
25 http/www. Govoepp State. Sc.Ies/sova/tsedo 2, htm. Diakses tanggal 7 September
2009
26 H. Soeharto, Op.cit, Halaman 78
27Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia dalam masyarakat Komunal, LAMAMERA. Yogyakarta. 2008. Halaman 69.
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Pelanggaran HAM berat belum mendapat kesepakatan yang diterima
secara umum. Biasanya kata berat menerangkan kata pelanggaran, yaitu
menunjukan betapa seriusnya pelanggaran yang dilakukan. Akan tetapi, kata
berat juga berhubungan dengan jenis-jenis HAM yang dilanggar. Pelanggaran
HAM berat terjadi jika yang dilanggar adalah hak-hak berjenis non-derogable28
Cecilia Medina Quiroga menjelaskan istilah pelanggaran HAM Berat
sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran,
sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan
dalam kuantitas tertentu dan dalam suatu cara untuk menciptakan situasi untuk
hidup, hak atas integritas pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk
Adapun unsur-unsur yang menyertai dari pelanggaran berat HAM
dilakukan secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat diartikan
hal tersebut dilakukan sebagai suatu kebijakan yang sebelumnya telah
direncanakan.
Pelanggaran HAM Berat juga memiliki unsur menimbulkan akibat yang
meluas atau widespread. Hal ini biasanya mengarah kepada jumlah korban yang
sangat besar dan kerusakan serius secara luas yang ditimbulkannya. Namun
demikian, hingga saat ini belum ada definisi yang baku mengenai pelanggaran
HAM Berat. Dilihat dari peristilahan yang digunakan pun bermacam-macam, ada
yang menggunakan istilah gross and systematic violations, the most serious
crimes, gross violations, grave violations, dan sebagainya.
28 Ifdal Kashim. Prinsip-prinsip Van Boven, mengenai Korban pelanggaran Ham Berat.
Elsam. Jakarta. 2002 Halaman xxiii.
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
(population) secara keseluruhan atau saru atau lebih dari sektor-sektor dari
penduduk suatu Negara secara terus-menerus dilanggar atau diancam.29
a. membunuh anggota kelompok,
Istilah pelanggaran HAM Berat yang telah dikenal dan digunakan pada
saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik didalam resolusi, deklarasi, maupun
dalam perjanjian HAM. Namun secara umum dapat diartikan sebagai
pelanggaran secara sistematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya
lebih serius.
Dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU HAM, pelanggaran HAM Berat
adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di
luar putusan pengadilan (arbitary/extra judicial killing), penyiksaan penghilangan
orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara
sistematis (systematic discrimination).
Pelanggaran HAM Berat menurut UU Pengadilan HAM didefinisikan
sebagai pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan (Pasal 7 UU No 26 Tentang Pengadilan HAM). Yang
dimaksud dengan kejahatan genosida menurut Pasal 8 UU No. 26 Tentang
Pengadilan HAM adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-
anggota kelompok,
29 Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Rights: Gross, Sytematic Violations
dalam Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The habibi Center , Jakarta, 2002, Halaman 75
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiaanya,
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok,
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain.
Adapun yang di maksud dengan kejahatan kemanusiaan menurut Pasal 9
UU No. 26 Tentang Pengadilan HAM adalah suatu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari rangsangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
berupa:
a. pembunuhan
b. pemusnahan
c. perbudakan
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional
f. penyiksaan
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lainnya yang setara
h. penganaiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham polotik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional
i. penghilangan orang secara paksa
j. kejahatan apartheid
Pasal-pasal mengenai kejahatan genosida dan kejahatn terhadap
kemanusiaan tersebit di atas subtansinya merupakan ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma.
Menyangkut pelanggran HAM Berat, di dalam The U.S Restatement of
Law dikatakan bahwa suatau pelanggaran Ham dianggap berat apabila
pelanggaran tersebut secara luar biasa menimbulkan keguncangan, karena begitu
pentingnya hal yang dilanggar atau beratnya pelanggaran
Pelanggaran HAM berat termasuk pula dalam kategori extra ordinary
crime berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangat sistematis dan
di lakukan oleh pihak pemegang kekuasaan, sehingga kejahatan tersebut baru
bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan kejahatan tersebut sangat mencederai
rasa keadilan secara mendalam (dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi
atau menghilangkan derajat kemanusiaan).30 Pelanggaran HAM seperti
pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan paksa, misalnya adalah pelanggaran
HAM yang dilarang oleh hukum internasional dan hukum kebiasaan
internasional.31
30 Muchamad Ali Syafaat, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru bagi Kemerdekaan,
dalam F.Budi Hadirman , et al. Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi. Imparsial. Jakarta. 2003 Halaman 63
31 Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005 Halaman 29
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, belum ada definisi yang
baku, baik dari instrument hukum HAM Internasional dan nasional, instrument-
instrument hukum HAM tersebut hanya menggambarkan cakupan planggaran
HAM yang berat saja, bahkan terdapat ketidaksinkronan dengan pengertian
pelanggaran HAM yang berat dari hukum positif Indonesia yaitu dari penjelasan
Pasal 104 UU HAM dengan yang terdapat di dalam UU pengadilan HAM. Dari
sisi ajaran para sarjana sekalipun, definisi pelanggaran HAM yang berat hanya
berupa pengelompokkan saja.32
Perlindungan berasal dari kata lindung yang artinya meempatkan diri
dibawah sesuatu,supaya tersembunyi . Sedangkan perlindungan memiliki
pengertian suatu perbuatan, maksudnya melindungi, memberi pertolongan.
3. Pengertian Perlindungan Hukum
33
Kata ius bersal dari kata iubre yang artinya mengatur atau memerintah.
Perkataan mengatur atau memerintah itu mengandung dan berpangkal pokok pada
kewibawaan.
Kata hukum berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk kata
tunggal. Kata jamaknya adalah Alkas yang selanjutnya diambil alih kedalam
bahasa Indonesia menjadi hukum. Di dalam pengertian hukum terkandung
pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan.
Recht berasal dari kata rechtum yang mempunyai arti bimbingan atau
tuntutan atau pemerintahan.
34
32 Supriady Widodo Eddyono, op.cit Halaman 12
33 Wjs Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 1961 Halaman 794
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Bellefroid mengatakan bahwa hukum yang berlaku di masyarakat yang
mengatur tata tertib masyarakat itu. Di dasarkan atas kekuasaan yang ada dalam
masyarakat.35
Peraturan-peraturan yang hidup maksudnya meliputi peraturan-peraturan
tidak tertulis yang terdapat dalam kebiasaan dan adat istiadat. Peraturan-peraturan
yang bersifat memaksa berarti melanggar perintah dan larangan berakibat akan
mendapat sanksi/reaksi dari organ pemerintah seperti juru sita, jaksa, polisi dan
sebagainya juga dari masyarakat.
Utrech memberikan rumusan bahwa hukuman itu adalah himpunan
petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata
tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang
bersangkutan.
Van Vollenhoven dalam bukunya het adapt recht van Nederland Indie,
hukum itu adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus
menerus dalam keadaan bentur-membentur tanpa hentinya dengan gejala-gejala
lainnya.
Sebagai kesimpulan dari rumusan sarjana tentang hukum , hukum
adalah himpunan dari semua peraturan-peraturan yang hidup bersifat memaksa,
berisikan petunjuk baik merupakan perintah maupun larangan berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu dengan maksud mengatur tata tertib dalam
pergaulan/kehidupan masyarakat.
36
34 R. Soeroso, Pengantar ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2005 Halaman 24-25
35 K. Kueteh sembiring, Sumber-sumber Hukum: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1987 Halaman 9
36 Ibid, Halaman 11-12
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Jadi pengertian dari perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang
dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta
yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan
kesajahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.37
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif), yakni
merupakan penelitian yang dilakukan dan ditunjukan pada berbagai peraturan
perundang-undangan tertulis adan berbagai literature yang berkaitan dengan
permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normative ini disebut
juga dengan penelitian hukum doctrinal atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah
atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
38
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yang membagi
penelitian hukum sebagai berikut:39
a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif.
b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah
(dogma atau doktrinal) hukum positif.
37 www.google.com http//one.indoskripsi.com/note/7402, Pengertian Perlindungan
Hukum. Diakses 3 Desember 2009
38 Amiruddin, dkk. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 204 Halaman 118.
39 Soetandyo Wignjosoebroto yang dikutip dalam Buku Bambang Sunggono. Metologi Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2001 Halaman 42.
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concerto yang layak
diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.
Menurut Johny Ibrahim, dalam kaitannya dengan penelitian normatif
(doctrinal) dapat digunakan beberapa pendekatan yang berupa:
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute approach),
b. Pendekatan analitis (Analytical approach),
c. Pendekatan histories (Historical approach),
d. Pendekatan Filsafat (Philosophical approach),
e. Pendekatan Kasus (Case approach).
2. Jenis data dan Sumber data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder.Data sekunder
adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian
yang berwuhud laporan, dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari:
a. Bahan hukum Primer, yaitu semua dokumen dan peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa Undang-undang,
Peraturan Pemerintah dan sebagainya.
b. Bahan hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi
atau hasil kajian tentang Perlindungan Korban HAM Berat seperti seminar
hukum, majalah-majalah, kerya tulis ilimiah, dan beberapa sumber dari situs
internet yang berkaiatan dengan permaslahan dalam skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan
keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
3.Metode Pengumpulan Data
Penulisan skripsi ini dipergunakan dengan metode Library Research
(penelitian kepustakaan), yaitu melekukan penelitian dengan berbagai sumber
bacaan, seperti ; peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet,
pendapat sarjana, dan bahan lainnya yang sangat berkaitan dengan skripsi.
4.Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adlah denagn cara
kulitatif, yakni menganalisi data sekunder tanpa menggunakn statistic untuk
menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini di bagi dalm beberapa tahapan yang
disebut dengan BAB, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya
tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan
yang lainnya. Secara sistematis penulisan ini menempatkan materi pembahasan
keseluruhannya ke dalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut:
BAB I :Berisikan pendahuluan yang di dalamnya di uraikan mengenai latar
belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan
dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penulisan, yang kemidian diakhiri dengan
msistematika penulisan.
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
BAB II : merupakan Bab yang membahas ruang lingkup Hak Asasi manusia
berat, yang di dalamnya akan dibahas mengenai kewajiban Negara
dalam Hak Asasi Manusia , dan bentuk-bentuk dari pelanggaran Hak
Asasi Manusia Berat.
BAB III : merupakan Bab yang membahas tentang perlindungan hukum terhadap
korban pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang di dalamnya akan
dibahas mengenai prinsip dasar perlindungan korban pelanggaran Hak
Azasi Manusia Berat dan pemberian perlindungan hukum terhadap
korban pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat.
BAB IV : Bab ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab-bab yang telah
dibahas sebelumnya dan saran-saran yang berguna bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca umumnya.
BAB II
RUANG LINGKUP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
A. Kewajiban Negara Menyangkut Hak Asasi Manusia
Salah satu ciri Negara adalah a degree of civilization yaitu tingkat
peradaban Negara diwujudkan dalam pembangunan nasional40 , sedangkan
pembangunan nasional bagi Indonesia merupakan pencerminan kehendak terus-
menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara
adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan
penyelenggaraan Negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila secara
serasi dan sebagai kesatuan yang utuh.41
1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas
hukum atau peraturan perundang-undangan
Melalui kegiatan pembangunan
diharapkan kualitas hidup masyarakat Indonesia dapat ditingkatkan.
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan pancasila dan Undang-
Undang dasar 1945. Negara Republik Indonesia mengakui dirinya sebagai
penjunjung tinggi HAM yang menjamin segala hak warga Negara bersamaan
kedudukanya didalam hukum dan pemerintahan, sebagaiman tercantum dalam
konstitusinya yaitu UUD 1945.
Suatu Negara hukum menururt Sri Soemantri, harus memenuhi beberapa
unsur yaitu:
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga Negara)
3. Adanya Pembagian kekuasaan dalam Negara
40 Dikdik M. Arief Mansur, Elistaris Gultom, op.cit Halaman 15
41Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta, 1996, Halaman 26
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
4. Adanya pengawasan dari badan peradilan42
Dihubungkan dengan pernyataan diatas, tentang adanya jaminan
terhadap HAM, maka dapat disimpulkan bahwa dalam setiap konstitusi sebuah
Negara hukum haruslah ditemukan adanya jaminan tergadap HAM itu sendiri
melipui bagian aspek kehidupan manusia, mulai dari hak untuk hidup, hak dalam
bidang politik, hak tentang kebebasab bicara, hak dalam bidang hukum, dan lain-
lain. Sebagaimana yang termuat dalam Pasal 8 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, yang selanjutnya akan disebut DUHAM, yang berbunyi: Setiap orang
berhak atas penyelesaian yang efektif oleh peradilan nasional untuk mendapatkan
perlindungan yang sama terhadap tindakan-tinadakn yang melanggar hak-hak
dasar yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau oleh hukum.
43
Salah satu bukti penghormatan bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi
Manusia adalah diaturnya Hak Asasi manusia pada bab tersendiri didalam UUD
1945 yaitu pada bab X A dari Pasal 28 A s.d. Pasal 28 J.
44
Khusus untuk HAM dalam bidang hukum, maka hal ini terkait erat
dengan Asas Persamaan Kedudukan di dalam Hukum. Pengakuan terhadap hak
azasi manusia di bidang hukum ini dapat ditemukan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD
1945, yaitu: segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
42 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung, 1992
Halaman 29
43 Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Azasi Manusia dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Azasi Manusia , Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, Halaman 61
44Setelah Amandemen Keempat
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerinthan itu dengan tidak ada
kecualinya.45
Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 adalah berkenaan dengan persamaan
kedudukan dalm hukum yang diwujudkan di dalam proses peradilan pidana
sebagai asas equality before of law
46, yang mana setiap orang yang berhadapan
dengan hukum diperlakukan sama dalam proses pemeriksaannya baik sebagai
tersangka, terdakwa (presumption of innocent), saksi, maupun korban. Menurut
Mochtar Kusumaatmadja tujuan dari hukum adalah untuk ketertiban, kepastian
hukum, serta keadilan.47
KUHAP yang diklaim sebagai Karya Agung bangsa Indonesia, karena
menekankan pada HAM dan ketentuan-ketentuan yang bersifat anti-tese
. Bila dikaitkan ciri negara hukum dengan tujuan dari
hukum itu sendiri orintasinya adalah demi menjadikan suatu masyarakat yang
sejahtera secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat
dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis yang ditempuh melalui
pembangunan nasional. Dalam mencapai masyarakat yang sejahtera, adil, serta
demokratis maka sangat dibutuhkannya jamian HAM dan kepastian hukum dari
Negara itu sendiri. Di Indonesia jaminan terhadpa HAM secara Eksplisit tertuang
didalm UUD 1945 yaitu pada bab X A dari Pasal 28 A s.d. Pasal 28 J.
48
45 Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas
Prsamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni Bandung, 2003,Halaman 2
46 Ibid, Halaman vii
47 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, Cetakan ke-2 Tahun 2006, Halaman 3-4
dari
48 Albert Hasibuan, Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP, makalah dalam diskusi ilmiah Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP yang diselenggarakn di Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2 Juni 2007
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
HIR, ternyata masih banyak kelemahannya dari segi perlindungan HAM. Hal ini
karena KUHAP tersebut perlindungan HAM-nya lebih menitik beratkan terhadap
pelaku (offender oriented), sedangkan perlindungan HAM terhadap saksi dan
korban sangat tidak memadai. Beranjak dari cita-cita Negara hukum yang
dihubungkan dengan tujuan hakim, maka pengaturan perlindungan saksi dan
korban khususnya pelanggaran HAM yang berat diperlukan untuk ketertiban,
kepastian hukum serta keadilan yang nantinya akan menjadikan msyarakat
Indonesia adil dan makmur.
HAM merupakan sekumpulan hak yang bersifat normatif atau
merupakan legal rights . Sifat normatif ditandai dengan adanya landasan hukum
secara internasional yang mengatur HAM . Norma-norma HAM yang terdapat di
dalam instrument hukum HAM Internasional selanjutnya menciptakan kewajiban
bagi Negara untuk melindungi dan menjamin HAM setiap individu.
Sejak dibentuk pengadilan internasional tentang kejahatan perang di
Nuremberg (yang dikenal dengan dengan Nuremburg Trial) setelah perang Dunia
II, telah berkembang dalam hukum inetrnasional konsep tentang kewajiban
Negara untuk melakukan pengusutan dan penghukuman terhadap pelaku
kejahatan internasional yang serius, seperti genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan perang yang sekaligus merupakan pelanggaran berat
HAM. Dalam konteks kewajiban tersebut, termasuk pula didalamnya untuk
memberikan restitusi atau kompensasi terhadap para korban. Kini terdapat banyak
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
sekali perjanjian multilateral HAM yang memberikan kerangka hukum bagi
kewajiban selain yang berasal dari hukum kebiasaan internasional.49
Instrument-instrument HAM internasional memiliki ciri berfokus pada
Negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional, untuk itu diatur pula
kewajiban Negara menyangkut perlindugan dan jaminan terhadap HAM,
Pada saat ini, HAM telah diatur di dalam sejumlah instrument hukum
HAM internasional. Berdasarkan hal tersebut maka pelanggaran HAM akan
menjadi suatu persoalan internasioal dan tidak lagi dapat diklaim semata-mata
sebagai urusan dalam negeri suatu Negara. Menyangkut pelanggaran HAM tidak
dapat dianggap sebagai urusan dalam negeri suatu Negara.
50
Kewajiban Negara menyangkut HAM seperti yang telah diatur dalam
berbagai instrument hukum HAM internasional, pada intinya menekankan pada
dilaksanakannya penghukuman terhadap para pelaku pelanggaran HAM melalui
human rights instrumental typically focus on the state as the primary actor in international lawTherefore, international huma rights instumenrts abligate the state, as opposed to its citizens, notto act in ways that would deprive other individuals of their human rights. Some states are oblivious to their human rights obligations, as demonstatedby their flailing to honour treaty commitments or their failure to follow customary state exfectations.(Instrumen Hak Asasi Manusia secara khusus berfokus kepada Negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional. Oleh karena itu, instrument hak-hak asasi manusia internasional akan menuntut Negara selama menentang warganya atau tidak bertindak dengan cara yang menghilangkan hak-hak asasi manusia individu lainnya. Bebrapa Negara jelas memiliki kewajiban hak asasi untulk menghormtai perjanjian internasional)
49 Naomi Roht-Arriaza, State Responbility to Investigate and Prosecute Grave Human
Rights Violation in International Law, California Law Review, March 1990, dalam Ifdhal Kasim, Dilema Simalakama: Amnesti di Masa Transisi Politik, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi Terre, Pencarian Keadilan di masa transisi, ELSAM, Jakarta, 2003, Halaman 363
50 Buergental, Thomas, International Human Rights, dalam Andrey Sudjatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggran Berat HAM Indonesia: Timor Leste dan lainnya, Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2005, Halaman 22
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
proses pengadilan dan diberikannya ganti rugi atau rehabilitasi bagi para korban
pelanggaran.51
Piagam PBB pada dasarnya mengandung sejumlah kaidah hukum HAM
yang meletakkan sejumlah kewajiban yang bersifat mengikat setiap Negara
anggota. Ketentuan yang mengatur, antara lain, terdapat di dalam Pasal 55 (c)
yang mengatur PBB akan mempromosikan universal respect for, and
observance of, human rights and fundamental freedoms for all without distinction
as to race, sex, language, or religion.(penghormatan menyeluruh atas hak-hak
Dalam pelanggarannya selanjutnya, hukum internasional semakin
mengukuhkan pentingnya pertanggungjawaban secara hukum atas tindakan
pelanggaran HAM, baik yang termasuk kategori pelanggaran berat maupun
kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Berbagai instrument hukum
HAM internasional secara tegas mencantumkan kewajiban Negara guna
menghukum pelaku kejahatan terhadap integritas fisik seorang. Penafsiran resmi
berbagai badan internasional dan regional, maupun pendapat dari kalangan pakar
terkemuka mengenai instrument-instrument tersebut secara berulang-ulang
menekankan betapa pentingnya proses pengadilan dan penghukuman terhadap
pelaku atas tindakan pelanggaran berat HAM yang telah dilakukan. Selain itu,
konvensi-konvensi internasional mengenai HAM juga mengkukuhkan tentang
arti pentingya ganti rugi atau rehabilitasi bagi korban tindak pelanggaran berat
HAM.
51 Rudi M. Rizki, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Hak Azasi Manusia di Masa
Lalu, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Triyadi Terre,(edit), op.cit., Halaman 312-313
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
asasi manusia dan kebebasan tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau
agama.)
Berkaitan dengan pasal diatas maka Negara-negara anggota PBB
memiliki kewjiban untuk mempromosikan HAM sebagaimana yang diatur dalam
pasal diatas. Namun, apabila suatu Negara melakukan tindakan yang bertentangan
dengan kewajiban tersebut maka dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran
terhadap Piagam PBB.
Tindakan yang bertentangan denagan kewajiban menurut Piagam PBB
memiliki konsekuensi sebagai pelanggaran terhadap Piagam PBB. Khusus
berkaitan dengan pasal di atas, misalnya suatu Negara melakukan pelanggaran
berat HAM. Hal ini dapat dijelaskan,52
Sumber utama yang merupakan instrument hukum HAM internasional
dikenal sebagai the International Bill of Human Rights. Instrument hukum
tersebut terdiri dari: Deklarasi Universal HAM, Perjanjian Internasional tentang
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) serta Perjanjian International
..the organization has over the years succeeded in clarifying the scope of the Member States obligation to promote human rights, expanding it and creating UN Charter-based institutions designed to ensure compliance by governments. Today it is generally recognized, for example, that a UN Member States which engages in practices amounting to a consistent pattern of gross violations of internationally guaranted human rights is not in compliance with obligation to promote..universal respect for, and observance of.. these rights and that, consequently, it violates the UN Charter.(PBB mengklarifikasikan kewajiban Negara anggotanya untuk mempromosikan hak-hak asasi manusia, memperluas dan menciptakan lembaga yang sesuai dengan traktat PBB yang dirancang untuk menjamin kepatuhan oleh pemerintah. Dewasa ini, sudah diakui secara umum misalnya bahwa Negara anggota PBB yang terlibat dalam praktek-praktek yang menggambarkan pola pelanggaran konsisten terhadap hak-hak asasi manusia yang diakui secara internasional, adalah ketidakpatuhan terhadap kewajiban untuk mempromosikan penghargaan atau penghormatan universal terhadap hak-hak yang didalam Traktat PBB).
52 Buergenthal dalam Andrey Sujatmoko, op.cit., Halaman, 27
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) beserta dua protocol tambahannya.
Kewajiban Negara dalam soal HAM timbul sebagai komitmen dari Negara,
seperti dinyatakan dalam pembukaan UDHR,member State have pledged
themselves, in cooperation with the United Nations, the promotion of Universal
respect for and observance of human rights and fundamental freedoms.(Negara
anggota telah bekerjasama dengan PBB untuk meningkatkan penghormatan
secara universal terhadap hak-hak asasi dan kebebasan).Hal ini juga dinyatakan di
dalam bagian pembukaan pada ICESCR dan ICCPR, ..considering the obligation
of State under the Charter of the United Nations to promote universal respect for,
and observance of, human rights and freedom,
Pernyataan lebih tegas bahwa Negara berkewajiban untuk melindungi
dan menjamin HAM diatur dalam Pasal 2 ayat (1) ICCPR, Each State Party to
the present Covenant
Kewajiban tersebut secara nyata harus diwujudkan oleh Negara yang
dalam hal ini dilaksanakan oleh otoritas yudisaial, administrative, legislative,
maupun oleh otoritas lainnya dalam bentuk dilaksanakannya remedi terhadap
individu yang telah menjadi korban pelanggaran HAM, diatur dalam Pasal 2 ayat
(3) ICCPR.
Each State Party to the present Convenant undertakes: a. to ensure that any person whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall have an effective remedy, notwithstanding that the violations has been commited by persons acting in an official capacity: b. to ensure that any person claiming such a remedy shall have his rights thereto determined by competent judicial, administrative or legislative authorities, or by any other competent authority provided for by the legal system of the state, and to develop the possibilities of judicial remedy; c. to ensure that the competent authorities shall enforce such remedies when garnted.(setiap Negara dalam perjanjian berusaha; a. menjamin hak-hak atau kebebasan yang diakui akan mendapatkan tindakan pemulihan efektif, denagn ketentuan bahwa pelanggaran tersebut telah dilakukan diluar kekuasaan, b. menjamin bahwa setiap orang yang mengklaim pemulihan tersebut, akan memiliki hak-hak yang ditentukan oleh otoritas judicial, administrasi, dan legislative yang berwenang yag diberikan terhadap sistem hukum Negara dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan yudisial, c. menjamin bahwa otoritas yang berkompeten akan melaksanakan pemulihan bila sudah diberikan).
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Dalam konteks hukum internasional, HAM kini telah diatur dalam
disiplin ilmu tersendiri yang merupakan cabang dari hukum internasional, yaitu
hukum HAM internasional. Menurut Thomas Buergenthal, hukum HAM
internasional adalah, as the law that deals with the protection of individuals
and group against violations by their government of their internationally
guranteed rights, and with the promotions of these rights.53
Menurut Haryomataram, hukum HAM internasional mencakup semua
peraturan dan prinsip-prinsip yang bertujuan melindungi (protecting) dan
menjamin (safeguarding) hak-hak individu apa pun status hukum mereka, yaitu
penduduk sipil, anggota angkatan bersenjata, warga Negara asing, orang asing,
pria ataupun wanita pada setiap saat, baik dalam keadaan damai maupun keadaan
perang (atau perang saudara, pemberontakan), dalam wilayah Negara sendiri
maupun diluar negeri.
(sebagai hukum yang
menangani perlindungan individu dan kelompok terhadap setiap pelanggaran atau
kekerasan oleh pemerintah atas hak-hak yang dijamin secara internasional)
54
53 Ibid, Halaman 1
54 Haryomataram, Hukum Humaniter: Hubungan dan Keterkaitannya dengan Hukum Hak Azasi Manusia Internasional dan Hukum Pelucutan Senjata, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, Halaman 58
Berdasarkan dua definisi diatas, terlihat kaidah-kaidah dan prinsip-
prinsip hukum HAM internasional mengatur perlindungan dan jaminan HAM
setiap individu tanpa kecuali. Sebagai subjek, individu adalah pihak yang yang
harus mendapatkan perlindungan dan jaminan terhadap HAM, sedangkan pada
sisi lain Negara adalah pihak yang dibebani kewajiban untuk menjamin
perlindungan dan jaminan terhadap HAM.
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Permasalahan HAM, berseiring dengan perkembangan kehidupan
demokrasi , yang hendak menata ulang hubungan antara pengemban kekuasaan
Negara dan para warga Negara, memang merupakan permasalahan yang selalu
diperbincangkan. Perbincangan berkisar di seputar persoalan, seberapa besarkah
kekuasaan dan kewenangan suatu rezim itu boleh ditenggang, dan seberapa
luaskah kebebasan warga itu, di lain pihak, harus selalu diakui dan tak sekali-kali
boleh dirampas atau dilangggar.55
Era globalisasi telah membawa Negara Indonesia kepada isu-isu HAM
internasional. Politik bebas aktif pemerintah Indonesia yang terimplementasi di
PBB, berdampak terhadap keharusan Indonesia untuk meratifikasi atau
mengadopsi instrument-instrumen hukum tentang HAM ke dalam hukum positif
Negara Indonesia sebagai penghormatan terhadap PBB dan merupakan slah satu
standar dalam ppergaulan antar Negara yang nantinya menyangkut nama baik
Negara Indonesia sendiri. Adapun instrument instrumen hukum tentang HAM
tersebut adalah seperti Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
Konvensi Hak Sipil dan Politik (Internasional Convenants on Civil and Political
Rigths), Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Semua bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The
Elimination of All Form of Discrimination Againts Women) , Undang-Undang No.
5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia (Convention Againts Torture and Other Cruel,
Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment), dan Undang-Undang No.26
55 Todung Mulya Lubis,Op.cit,halaman xiiv
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang telah memenuhi standar
intrnasional.56
Ada sejumlah HAM yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya dalam
keadaan apapun, yaitu termasuk ke dalam kategori non-derogable rights. Hak-hak
yang termasuk kategori ini antara lain hak untuk hidup, hak untuk tidak dianiaya,
hak untuk tidak diperbudak dan diperhamba, hak untuk tidak dipenjara karena
tidak mampu membayar hutang, hak persamaan di depan hukum, hak untuk tidak
diberlakukan hukum yang berlaku surut dan hak untuk bebas berpikir, berhati
nurani, dan beragama.
Sejumlah HAM yang dikenal dewasa ini, diantaranya merupakan
kategori hak-hak yang memiliki sifat tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut
terdapat sejumlah HAM yang pelaksanaanya boleh ditunda, yaitu termasuk
kategori ini antara lain hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak
untuk berkumpul, dan hak untuk berbicara.
57
Dalam perkembangannya, pelanggaran terhadap sejumlah HAM yang
bersifat non-derogable rights ada yang memberikan kualifikasi sebagai suatu
pelanggaran HAM berat. Pendapat yang mengatakan penggunaan kata berat
bermaksud untuk menggambarkan tingkah kerusakan, kerugian, atau penderitaan
yang sedemikian hebatnya akibat dari pelanggaran HAM tersebut.
58
Dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat, seringkali pusat
perhatian lebih ditunjukan kepada para pelaku. Perhatian lebih ditekankan pada
56 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Utomo, Bandung,
2004, Halaman 4
57 Pasal 4 ayat (2) ICCPR
58 Andrey Sujatmoko, Op.cit, Halaman 70
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
persoalan bagaimana menangkap, mengadili, dan menghukum para pelaku.
Sementara hak-hak para korban yang bersifat massal cenderung diabaikan. Setiap
pelanggaran terhadap HAM, apakah dalam kategori berat atau bukan, senantiasa
menerbitkan kewajiban Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation)
kepada para korbannya. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hak-hak korban
harus dilihat sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan HAM secara
keseluruhan.59 Istilah reparation atau pemulihan adalah hak yang menunjuk
kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban
pelanggaran HAM; pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi. Pemulihan dengan demikian merupakan bentuk umum dari berbagai
bentuk pemulihan kepada para korban.60
Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya
menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat
dikemukakan oleh Muladi saat menyatakan: Korban kejahatan perlu dilindungi
karena pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud system kepercayaan
yang melembaga (system of institutionalized trust). Terjadinya kejahatan atas diri
korban akan bermakna penghancuran system kepercayaan tersebut sehingga
pengatuaran hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan
bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut. Kedua, adanya argument
kontrak sosial dan solidaritas sosial karena Negara boleh dikatakan memonopoli
seluruh reaksi sosial karena Negara boleh dikatakn memonopoli seluruh reaksi
59 Ifdal Kasim, Prinsip-Prinsip van Boven mengenai Korban Pelanggaran HAM Berat
Hak Azasi Manusia, dalam van Boven, Theo, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, ELSAM, Jakarta, 2002, Halaman xiii.
60 Ibid, Halaman xvi.
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi.
Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan maka Negara harus
memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun
pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan
salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian
konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.61
Komitmen diatas diberikan oleh Negara-negara anggota PBB dalam
rangka implementasi atas pelbagai konvensi
Every states should provide an effective framework of remedies to redress human rights grievances or volations. The administration of justice, including law enforcement and prosecutorial agencies and especially an independent judiciary and legal professional in full conformity with applicable standarts contained in human rights instruments, are essentials to the full and non-discriminatory realization of human rights and indispensable to the process of democracy and sustainable development. (paragraph 27 of the Vienna Declration and Progamme of Action, World Conference on Human Rights, Vienna 14-25 June 1993) (setiap negara harus memberikan kerangka kerja yang efektif bagi pemulihan untuk menangani pelanggaran hak-hak asasi manusia. Administrasi keadilan, termasuk pelaksanaan hukum dan agen prsekutiral dan judisiari independent dan profesi hukum yang sepenuhnya hak-hak asasi manusia bagi proses demokrasi dan pembangunan yang berkesinambungan(paragap 27 dari Deklarasi da Program Aksi Konrfrensi Dunia tentang hak-hak asasi manusia, Vienna 14-25 Juni 1993)
62
61 Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: Sebagaiman dimuat
dalam Kumpulan Karangan Hak Azasi Manusia, Politik da Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997, Halaman 172
62 Rangkaian Konvensi HAM tersebut adalah Convention against Torture, Convention on The Rights of Children, International Convennants on Civil and Political Rights, Internasional Convenants on Civil and Politicial Rights, International Convenant, on Social, Economic and Cultural Rights, Convention on Political Rights of Women, Internasional Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination.
yang memberikan perlidungan
HAM, Indonesia sebagai salah satu Negara yang turut mendeklarasikan Vienna
Declaration and Progamme of Action (International Convenants on Civil and
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Political Rights) memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa terdapat kerangka
yang efektif untuk memberi ganti rugi atas pelanggaran HAM, administrasi dan
independensi peradilan di tingkat nasional sejalan dengan instrument HAM
internasioanal yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Perangkat perlindungan
HAM di Indonesia mulai berjalan seiring dengan diberlakukannya UU No. 30
Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
di Indonesia.
Dalam UU Pengadilan HAM pada Pasal 35 diatur pula mengenai hak-
hak korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Aturan ini diperkuat
dengan PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat. Namun aturan tersebut sampai
saat ini tidak dapat dilaksanakan, karena sangat berkait dengan prosedur ganti
kerugian seperti yang diatur dalam KUHAP. Tidak ada satupun jaksa yang
menangani pelanggaran HAM Berat ini yang mengajukan tuntutan adanya
kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi ke pengadilan.63
Pengaturan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur pula
dalam Pasal 75 ayat (1) Statuta Roma bahwa Makamah harus menetapkan prinsip-
prinsip yang berkenaan dengan, korban, termasuk kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi. Atas dasar ini, dalam keputusannya Mahkamah atas permohonan
ataupun atas mosinya sendiri dalam keadaan-keadaan luar biasa, dapat
menentukan ruang lingkup dan luasnya setiap kerusakan, kerugian, atau luka para
korban dan akan menyatakan prinsip-prinsip yang digunakan Mahkamah untuk
bertindak. Mahkamah dapat membuat suatu Perintah untuk secara langsung
63 Supriady Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin, op.cit Halaman 18
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
kepada seseorang yang dihukum dengan memerinci ganti rugi yang layak
terhadap korban, termasuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun sebelum
Mahkamah mengeluarkan perintahnya tersebut, Mahkamah perlu mengundang
dan mempertimbangkan pandangan dari:
1. wakil terdakwa atau orang yang bertindak untuk dan atas nama terdakwa
(bukan penasehat hukumnya),
2. wakil dari korban atau orang yang bertindak atas nama korban,
3. orang-orang lain yang merasa berkepentingan, atau
4. Negara-negara yang berkepentingan
Apabila sesuai, Mahkamah dapat memutuskan bahwa pemberian ganti rugi
tersebut dapat dilakukan melalui Trust Fund.
Dalam hal ini korban juga diberi hak yang khusus untuk meminta
pemulihan atau ganti kerugian atas dirinya akibat darikejahatan di bawah
yurisdiksi Statuta kepada Mahkamah di tingkay banding melalui panitera
(registry).64
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan extra ordinary
crime dan berdampak secrara luas baik pada tingkat nasional maupun
Permintaan pemulihan atas diri korban tersebut diatur lebih lanjut
dalam The Rule of Procedure and Evidence sebagai aplikasi dari Statuta Roma.
B. Bentuk- bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
64 Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan
Kejahatan Agresi (pasal 5 ayat 1 Statuta Roma)
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
internasional dan bukan merupakan tindak piadana yang diatur dalam di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil
maupun immateiil yang merupakan perasaan tidak aman baik terhadap
perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam
mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban,
ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.65
Di Indonesia, istilah kejahatan terhadap kemanusiaan secara yuridis
baru dikenal sejak diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Berdasarkan UU
tersebut, salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan HAM adalah
mengadili Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai salah satu pelanggaran
HAM yang Berat. Berdasarkan penjelasan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000,
Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam ketentuan UU ini sesuai dengan Rome
Statute of International Criminal Court. Oleh karena itu, berbagai logika dan
spirit hukum serta serta perundang-undangan yang menjiwai dan terkait atas dasar
Statuta Roma haruslah dipahami dengan baik.
66
Pelanggaran HAM Berat menurut Theo Van Boven, kata berat
menerangkan kata pelanggaran, yaitu menunjukkan betapa parahnya akibat
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia sebagaimana diatur
dalam No. 26 tahun 2000 mengadopsi Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar
pembentukan International Criminal Court (ICC) sebagai peradilan internasional
permanent yang berwenang mengadili salah satu kejahatan internasioanl berupa
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity).
65 R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manuisa, Kencana, Jakarta, 2006, Halaman 170
66 R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kencana, Jkarta, 2006, Halaman 170
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pelanggaran yang dilakukan. Kata berat juga berhubungan dengan jenis hak
asasi manusia yang dilanggar.67
1. Kejahatan Genosida
Sesuai Statuta Roma yang menjadi dasar
pendirian Makamah Pidana Internasional, tindak pidana yang menjadi yurisdiksi
makamah ini adalah tindak yang bersumber pada HAM, yaitu:
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-
anggota kelompok
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain.
Secara umum pengertian kejahatn genosida dalam UU No. 26 Tahun
2000 tidak berbeda dengan pengertian kejahatan genosida menurut Statuta Roma
tahun 1998 Pasal 6.
2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaaan adalah salah satu perbtuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
67 Todung Mulya Lubis, Op.cit, Halaman 57
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, berupa :
a. pembunuhan
b. pemusnahan
c. perbudakan
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e. perampasan kemerdekaan atau atau perampasan kebebasn fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasioanal
f. penyiksaan
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemanduan, atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis, kelamin, atau alsan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional
i. penghilangan orang secara paksa atau
j. kejahatan apartheid
Kejahatan terhadap kemanusiaan UU No. 26 tahun 2000 mengacu pada
Pasal 7 Statute Roma yang di dalam ayat (2) statute tersebut menjelaskan antara
lain:
a. serangan tersebut terhadap suatau kelompok penduduk sipil berarti serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda dari perbuatan yang mencakup pelaksanaan dari perbuatan yang dimaksud dalam ayat 1 terhadap kelompok penduduk sipil, sesuai dengan atau
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
sebagai kelanjutan kebijakan Negara atau organisasi untuk melakukan serangan tersebut.
b. Pemusnahan mencakup ditimbulkannya secara sengaja pada kondisi kehidupan, antara lain dihilangkannya akses kepada pangan dan obat-obatan, yang diperhitungkan akan membawa kehancuran terhadap sebagian penduduk.
c. Perbudakan berarti pelaksanaan dari setiap atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan atas seseorang dan termasuk dilaksanakannya kekeuasaan tersebut dalam perdagangan manusia, khususnya ornag, perempuan, dan anak-anak.
d. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa berarti perpindahan orang-orang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau perbuatan pemaksaaan lainnya dari daerah dimana mereka hidup secara sah, tanpa alasan yang diperbolehkan berdasar hukum internasional
e. Penyiksaan berarti ditimbulkannya secara sengaja rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik fisik ataupun mental, terhadap seseorang yang ditahan ataupun dibawah pengawsan tertuduh; kecuali kalau siksaan itu tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari yang melekat pada atau sebagai akibat dari sanksi yang sah. Penerjamahan prosecution menjadi penganiayaan.. Prosecution mempunyai arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik atau ekonomis. Dengan digunakan istilah penganiayaan ini maka tindakan terror dan intimidasi atas seseorang atau kelompok sipil tertentu berdasarkan kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori ini.
f. Penghamilan paksa berarti penahanan tidak sah terhadap seorang perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Definisi ini betapa pun juga tidak dapat ditafsirkan sebagai mempengaruhi hukum nasional yang berkaitan dengan kehamilan.
g. Kejahatan arphatheid berarti perbuatan tidak manusiawi dengan dengan sifat yang disebutkan dalam ayat 1, yang dilakukan dalm konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi sistemik oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.
h. Penghilangan paksa berarti penangkapan, penahanan, atau penyekapan orang-ornag oleh atau dengan kewenangan, dukungan atau persetujuan diam-diam dari suatu Negara atau suatu organisasi politik yang diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kebebasan itu atau untuk memberi informasi tentang nasib atau keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk memindahkan mereka dari perlindungan hukum untuk suatu kurun waktu yang lama.
3. Kejahatan Perang
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Makamah Pidana Internasional memiliki yuridiksi terhadap Kejahatan
Perang yang merupakan bagian dari rencana poltik maupun rencana besar yang
merupakan pemufakatan jahat.
Pada Pasal 8 Statuta Roma, Kejahatan Perang diartikan bermacam-
macam. Berdasarkan Geneva Convention tanggal 12 Agustus 1949, Kejahatan
Perang dirtikan sebagai suatu tindakan atau serangan terhadap seseorang atau atas
sesuatu yang dilindungi Konvensi Jenewa:
1. Dengan sengaja membunuh
2. Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis
3. Dengan sengaja menyebabkan penderitaan atau kerusakan serius pada tubuh
atau kesehatan
4. Pengrusakan parah dan menguasai secara tidak sah suatu benda, bukan
diarahkan oleh paksaan militer dan membawanya secara melawan hukum
5. Pemaksaan tahanan perang atau orang yang dilindungi untuk bekerja secara
paksa dibawah kekeuatn musuh
6. Dengan sengaja merampas tahanan perang atau ornag yang dilindungi secara
HAM
7. Pengusiran denagn cara melawan hukum atau pemindahan secara melawan
hukum
8. Menyandera
4. Kejahatan Agresi
Kejahatan Agresi merupakan salah satu jenis kejahatan yang ditangani
oleh Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf
-
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
(d). namun masih terdapat beberapa perdebatan ketika Kejahatan Agresi ini
dimasukkan ke dalam Statuta Roma.
Amerika adalah pihak yang paling keberatan apabila Kejahatan Agresi
dimasukkan ke dalam jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Amerika lebih
suka apabila yang menentukan kejahatan tersebut adalah Dewan Keamanan PBB.
Keberatan yang diajukan Amerika tersebut tidak mendapat tanggapan positif dari
Negara lain termasuk Negara-negara yang selama ini menjadi kawan aliansinya
sperti Negara-negara Eropa yang tergabung dalam Nato. Meskipun demikian pada
hasil akhirnya, Makamah Pidana Internasional tidak dapat menggunakan
yurisdiksinya atas suatu tindakan agresi. Dewan Keamanan PBB merupakan pihak
yang berwenang untuk menentukan apakah tindakan tersebut masuk kedalam
Kejahatan Agresi atau tidak.
Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap kemanusiaan pertama
kali dalam peradilan penjahat perang dunia II, di Jerman maupun di Tokyo.
Selanjutnya pasca perang