Download - Persuasi Visual Pada Iklan Rokok 2006
Persuasi Visual pada Iklan Rokok, antara Regulasi dan Menyiasati
Didit Widiatmoko Suwardikundiditw@bdg centrin.net.id
Cigarette’s health hazard element makes its marketing and commercial limited by a set of rules, however, this limitation has made some ad workers think more creatively. A cigarette has no clear functional benefits because this product has a floating character, so it needs a post to moor their variety of characters due to the indistinctive products character. When there’s a limitation, then a cigarettes ad would easily change its anchoring point. Some of their points are pop culture, as the relation between pop culture and cigarettes has become an exchange of meanings and values. Pop culture needs capital for its festival and cigarettes needs a mount for its marketing. Several streams from pop culture defines its communities, so, for segmentation interest, pop culture has the ability to gathering a mass. Masculinity is also used in a cigarettes ad, shown by extreme sport activities.
The ad itself doesn’t show the cigarette, nor a smoking person, but by sticking out its company’s name and logo and its brand – also by persuasive visualization that could represent the target audience pride – thus by watching its activity and logo, the spectator could recognize and remember everything that the ad maker presenting.Keywords : visual persuasion, anchoring point, masculinity
Hampir dipastikan, akan kita jumpai teks yang berbunyi; ” Merokok Dapat
Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan
Janin”, dalam kotak khusus di tiap kemasan rokok. Ada kandungan – kandungan tertentu
seperti Tar dan Nikotin yang berbahaya bagi tubuh, menyebabkan rokok mendapat
regulasi khusus. Uniknya walaupun regulasi tersebut dihadirkan dengan tujuan
membatasi, dalam prakteknya justru menguntungkan ketika sebuah produk mampu
menyiasati dengan konsep-konsep kreatif beriklan baik komunikasi verbal maupun
visual.
Rokok biasanya dimasukkan dalam kategorisasi produk-produk yang sensitif. Hal
ini berkaitan erat dengan adanya regulasi khusus yang dikenakan terhadap brand tersebut.
Produk – produk yang terkategorisasi sebagai produk sensitif meliputi: rokok, kondom
pharmaceutical dan alkohol. Dalam dunia praktisi periklanan menyebutnya sebagai
produk AKROBAT, akronim dari: Alkohol, Kondom, Rokok dan Obat-obatan. Sebutan
tersebut juga mewakili bagaimana biro iklan harus memutar otak ( ber-AKROBAT)
dalam menyiasati regulasi-regulasi yang ada.
Dalam beriklan salah satu hal yang patut dipahami dengan jelas adalah
karakteristik sebuah produk yang akan diiklankan. Pada umumnya sebuah produk
diproduksi untuk mengisi sebuah kebutuhan tertentu. Lebih jelasnya sebuah produk
muncul karena memiliki atau memenuhi fungsi – fungsi tertentu.
Spesifikasi fungsi tersebut diolah lebih lanjut dalam strategi-strategi khusus
beriklan. Functional Benefit biasanya diolah menjadi Unique Selling Point sebagai
wahana diferensiasi diantara para kompetitornya. Kejelasan fungsi dan kelebihan-
kelebihan yang dimiliki sebuah produk akan mempertegas posisioning diantara produk di
ceruk yang sama. Hal ini akan memudahkan Pengiklan dalam mengomunikasikan seperti
apa produk yang ditawarkan.
Rokok dari sudut pandang ini justru memiliki keunikan tersendiri. Sebagai sebuah
produk tidak memiliki functional benefit secara jelas. Rokok telah memenuhi kebutuhan
tertentu yang juga sulit untuk di deskripsikan dengan pasti. Dalam kehidupan keseharian
kita, rokok sudah membentuk sebuah symptom tertentu (bagi para perokok ) yang
siklusnya mirip dengan kebutuhan konsumsi primer, seperti minum dan makan. Ada saat-
saat tertentu dimana seseorang merasa membutuhkannya dan harus dipenuhi. Tetapi
adakalanya rokok juga memenuhi kebutuhan konsumsi yang sifatnya lebih sekunder.
Seperti kudapan atau ’cemilan’, rokok mengisi ruang-ruang senggang di kehidupan kita.
Produk rokok memiliki kelenturan dalam banyak hal. Kelenturan tersebut menjadikan
rokok melampaui produk – produk di area sensitif lainnya.
Sebagai bandingan, produk pharmaceutical memiliki karakteristik yang lebih
kaku. Hal ini sangat menyulitkan biro iklan dalam menyiasati regulasi yang ada. Banyak
hal seperti kata-kata dan visual yang tidak boleh digunakan, ada juga kata-kata yang
justru harus dicantumkan, seperti kandungan bahan, kontra indikasi atau efek samping.
Akibatnya iklan pada produk obat-obatan dan sejenisnya menjadi paritas satu dengan
lainnya. Begitu juga yang terjadi pada produk minuman beralkohol. Karena karakteristik
produknya jelas dengan segala fungsi dan value-nya, produk alkohol sama sekali dilarang
di media elektronik dan sebagian besar media lainnya. Walaupun iklan-iklan produk
alkohol sangat inspiring bagi biro iklan dalam mengomunikasikannya, pada akhirnya
hanya terbatas dalam media above the line saja.
Ketidakjelasan functional benefit dari rokok menjadikan produk tersebut
cenderung floating karakteristiknya. Sehingga membutuhkan nilai-nilai tertentu sebagai
tempat berlabuh (anchoring) konsep produk untuk dikomunikasikan pada konsumennya.
Nilai-nilai yang diangkat sebagai tempat berlabuhnya konsep-konsep tersebut menjadi
sangat terbuka karena ketidakjelasan karakteristik produk. Hal ini menjadikan ide –ide
pengiklan melanglang buana tak terbatasi sebagai landasan kreatifnya. Batasan-batasan
yang selama ini dihadirkan dalam regulasi seperti larangan tegas memperlihatkan produk
rokok dan asap rokok justru dengan mudah disiasati.
Dengan terbukanya kemungkinan-kemungkinan yang ada pembuat iklan produk
rokok juga mampu melampaui mandatori-mandatori konservatif yang sering dipatok oleh
klien ( para produsen rokok).
Iklan Rokok dan Persuasi melalui Budaya Pop
Keleluasaan pengembangan konsep kreatif pada iklan rokok menjadikan iklan-
iklan yang muncul lebih kreatif dan variatif. Salah satu tempat berlabuh konsep dan nilai-
nilai produk rokok adalah wilayah budaya pop. Pemilihan budaya pop sebagai tempat
berlabuh dapat disidik dari kelebihan-kelebihan dan kemampuan wilayah tersebut dalam
men-deliver ide-ide dan nilai-nilai produk kepada konsumennya. Budaya pop memberi
ruang yang mampu menghimpun massa dan sekaligus mudah dipahami oleh massa yang
lebih luas.
Budaya menurut Raymond Williams bisa berarti ”pandangan hidup tertentu dari
masyarakat, periode, atau kelompok tertentu ”. Jika kita membahas dengan definisi ini
maka perkembangan sastra, hiburan, olah raga, dan upacara ritus keagamaan termasuk di
dalamnya. Selanjutnya, Williams mendefinisikan budaya juga sebagai praktik-praktik
penandaan ( signifying practices). Dengan definisi ini, kita dapat menyebut puisi, novel,
opera, lukisan, sebagai contohnya. Maka, berbicara tentang budaya pop berarti
menggabungkan kedua makna budaya tersebut. Makna pandangan hidup tertentu
memungkinkan kita untuk berbicara tentang praktik – praktiknya. Praktik kebermaknaan
memungkinkan kita untuk membahas tentang opera sabun, musik pop, ataupun komik
sebagai contoh lain dari budaya pop. Praktik-praktik budaya menghadirkan teks-teks
budaya. Dan selanjutnya teks-teks budaya tersebut diadopsi oleh Pengiklan dalam
pengembangan konsep kreatifnya.
Budaya pop seringkali dikontraskan dengan budaya tinggi. Batas-batas kultural
tinggi-rendah akhirnya mereproduksi budaya populer yang dianggap sebagai
”inferioritas”. Argumen tersebut cenderung memandang budaya yang berbasis komoditas
sebagai sesuatu yang tidak autentik, manipulatif. Dasar pemikirannya adalah budaya
massa kapitalis terkomodifikasi tidaklah autentik karena tidak diproduksi oleh orang
kebanyakan, dan bersifat manipulatif karena tujuan utamanya adalah supaya laku dijual.
Budaya pop juga akhirnya memunculkan istilah ”Industri Budaya” untuk menunjukkan
bahwa budaya tersebut tidak bisa lepas dari politik ekonomi dan produksi kebudayaan
oleh perusahaan-perusahaan kapitalis.
Hubungan tersebut menjadikan sebuah simbiosis yang mutualis antara produk-
produk rokok yang akan diiklankan dengan mengambil idiom-idiom budaya pop. Iklan-
iklan rokok dengan mudah mendeliver nilai-nilai yang ingin disampaikan pada target
marketnya. Transfer nilai-nilai tersebut menjadi sangat mudah karena terjadi proses
Mimikri, sebuah proses perpindahan nilai-nilai karena didasari oleh kesenangan. Budaya
pop membawa kesenangan tersendiri karena sifat hiburannya. Hiburan menjadi pintu
utama masuknya nilai-nilai sebuah produk rokok melalui ikon-ikon populer seperti
aktris/aktor, atau musisi yang biasa menghibur massa. Proses pengidolaan terhadap
orang-orang yang menjadi ikon budaya pop atau praktik-praktik budaya pop, seperti
musik, dan olah raga menjadi hal yang penting.
Antara budaya pop dan produk-produk rokok terjadi barter nilai dan makna. Di
satu sisi dalam praktiknya kelangsungan budaya pop membutuhkan pemodal ( pengiklan/
produsen rokok), dan vice versa-nya, pengiklan (produsen rokok) membutuhkan wahana
untuk mendeliver nilai-nilai produknya pada konsumen yang menyenangi budaya pop.
Event budaya pop seperti konser musik adalah wahana yang sering dipakai untuk
menanamkan nilai-nilai produk rokok kepada target marketnya. Persuasi yang bersifat
asosiatif antara karakter produk dan karakter musik yang disponsori menjadi
pertimbangan utama. Nilai-nilai yang mewakili sebuah genre musik tertentu berarti juga
mewakili nilai-nilai sebuah produk yang mensponsorinya. Musik Jazz memiliki nilai-
nilai tertentu yang melekat menjadi citra yang khas dan telah memiliki posisi tersendiri
diantara genre musik lainnya. Kualitas musikalitasnya menjadikan musik Jazz
mengkhususkan pada tingkat apresian tertentu. Tingkat sophistikasi yang tinggi
membawa Jazz pada kategori musik yang ’High Class’. Nilai-nilai tersebut menjadi
tempat melabuhkan nilai-nilai beberapa produk rokok seperti Dji Sam Soe Super
Premium. Karakter produk yang diposisikan bercita rasa tinggi memiliki korelasi nilai
dengan musik Jazz. Diharapkan subtitusi nilai tersebut dengan mudah diapresiasi oleh
target market dari produk rokok yang bersangkutan.
Rokok
Djarum mencoba
melekatkan nilai-nilai produknya melalui genre musik yang berbeda, sesuai dengan
karakter musik yang mewakilinya. Musik Rock menjadi wahana penyampai aspirasi
nilai-nilai dari produk Djarum Super. Dalam All Out Tour ,Rockstar yang
merepresentasikan nilai-nilai tersebut adalah Band Jamrud, Dewa dan Padi. Cita rasa
musikalitas baik lirik lagu maupun partitur lagu, plus performance panggung bermuara
pada karakter tiap band. Band terpilih berarti mewakili juga cita rasa produk Djarum
Super sebagai sponsornya.
Kaum muda menjadi target market yang paling disasar oleh beberapa iklan rokok
Djarum. Hal ini terjejak melalui pemilihan genre musik yang dijadikan tempat berlabuh
nilai-nilai dan makna dari produk mereka. Selain musik-musik beraliran Rock, pada
produk rokok L.A Lights juga mulai menggarap ceruk anak muda yang menyukai musik
Indie. Musik Indie mempunyai tempat khusus di kalangan anak muda. Semangat
perlawanan terhadap jalur mainstream yang di bawa oleh musik indie seakan mewakili
semangat kalangan tersebut. Komunitas-komunitas yang menggemari musik indie
menjadi diaspora yang penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Melalui L.A Indiefest
dengan tema ” Black Amplifier Concert ” , varian produk Djarum ini menggarap target
market ini melalui sponsorship konser musik dengan aliran Indie.
Sampoerna A Mild sebagai sebuah produk rokok yang mengawali munculnya
rokok mild di Indonesia pertama kali, mencoba meramu konsep konser musik yang
berbeda. A Mild mencoba mengidentikkan dirinya sebagai leading brand yang selalu
terdepan termasuk dalam penyelenggaraan konser musik. Konsep konser musik
Soundrenalin sangat mirip dengan konser musik legendaris Woodstock di Amerika. Citra
’yang mengawali’ atau yang telah ’melegenda’ menjadi nilai-nilai yang coba diraih oleh
A Mild. Disamping pemilihan musisi pengisi acara konser tersebut yang juga
mensubtitusi nilai-nilai dari produk A Mild. Aksi panggung spektakuler puluhan musisi
terkenal, A Mild Live Soundrenaline juga menghadirkan beberapa hiburan lain selain
musik, misaInya games, permainan basket, barisan stand-stand yang menarik, dan
berbagai atraksi lainnya. Ini menjadikan A Mild Live Soundrenaline sebagai sebuah
festival “musik plus” yang merepresentasikan juga kreatifitas penciptaan sebuah produk
rokok mild yang mereka sandang.
Selain musik, ranah budaya pop yang tidak kalah kemampuannya dalam
menghimpun massa dan berpeluang untuk penetrasi nilai-nilai dari sebuah produk rokok
adalah ritus olah raga. Berbagai jenis olah raga menjadi wahana yang sangat
menguntungkan bila dapat dipergunakan untuk mendeliver nilai dan makna melalui
sponsorship. Dari sepak bola yang sangat mendunia sampai bulutangkis yang menjadi
kebanggaan nasional tak luput dari sponsorship produk rokok. Intinya budaya pop
memberi ruang yang luar biasa dalam mendeliver nilai dan makna dari sebuah produk
rokok. Kemampuan menghimpun massa yang luas sekaligus tersegmentasi dengan sangat
baik menjadikan tempat berlabuh yang ideal bagi iklan rokok pada umumnya. Walaupun
dengan akal jernih akan kita temukan adanya ketidaksinambungan antara produk rokok
yang cenderung merusak kesehatan dengan ritual olah raga yang justru sebaliknya,
dipercaya menjaga kesehatan.
Iklan Rokok dan Representasi Maskulinitas
Maskulinitas seperti sekeping mata uang dalam iklan – iklan rokok. Produk rokok
selalu diasumsikan dengan nilai – nilai kejantanan, pemberani, petualang, macho. Nilai-
nilai ini diangkat dengan dalih target market terbesar produk tersebut adalah kaum Adam.
Beberapa contoh tagline, seperti : ”Pria Punya Selera”, ”Selera Pemberani”, ” Tunjukkan
Merahmu”, ”Yang Penting Rasanya Bung !”. Sederet key word tersebut kental sekali
warna maskulinitasnya. Terkadang disubtitusikan dalam bentuk warna (merah= berani =
laki-laki) atau sifat-sifat yang identik dengan kelelakian seperti sifat pemberani.
Walaupun warna merah atau sifat pemberani tidak selalu menjadi milik pria, tetapi iklan
tersebut memanfaatkan pola pikir stereotip yang ada di masyarakat sekarang ini. Pola-
pola pikir bahwa pria adalah sosok yang aktif, dinamis, berani, kuat. Sedangkan wanita
adalah sosok yang pasif, makhluk domestik, lemah, dimanfaatkan sebagai referensi
utama para pembuat iklan rokok.
Kuatnya maskulinitas dalam iklan rokok dapat kita telusuri dari banyak aspek.
Pertama, adalah dari produk rokok itu sendiri, rokok adalah sebuah habit impor. Budaya
merokok dari awalnya memang dikhususkan untuk pria. Oleh pria-pria dewasa suku
Indian di Amerika. Di Indonesia tidak mengenal budaya menghisap tembakau dengan
cara dibakar ( merokok ), tetapi dengan cara dikunyah dicampur daun sirih ( menyirih ).
Kegiatan menyirih tersebut dilakukan baik pria maupun wanita di Indonesia.
Sifat-sifat ”khusus pria” tersebut selanjutnya melekat pada produk rokok. Secara
karakteristik morfologis dari rokok sekarang ini, mewakili bentuk ’Phallus’ yang identik
dengan milik pria. Sadar atau tidak, produk rokok membawa nilai-nilai kelelakian sejak
awalnya.
Kedua, adalah pada sifat-sifat Periklanan yang juga kita impor dari barat. Pola
pikir barat sangat dipengaruhi oleh pemikiran Yunani dan Romawi. Maskulinitas dan
budaya Patriarkal sangat kuat tercermin pada pola pikir keduanya. Akar ’keperkasaan’
dalam konteks Periklanan Modern dapat kita telusuri lebih lanjut dalam tradisi Yunani
dan tentu saja Romawi. Kedua budaya tersebut telah teradopsi ke dalam kebudayaan
kapitalistik Barat modern. Kebudayaan Yunani berkembang melalui unsur-unsur
maskulinitas penggambaran dewa-dewa dalam lukisan maupun patung-patungnya. Mitos-
mitos dewa mereka selalu digambarkan tampan, gagah, berotot kawat, pandai, dan
perkasa. Selanjutnya mitos tersebut ter-representasi dalam wujud kegagahan kaisar-kaisar
Romawi. Julius Caesar (102-44 SM ) salah satu yang paling dikenal namanya. Dan
beberapa kisah lainnya, seperti Mark Anthony salah seorang panglima Caesar yang
ditugaskan di Mesir dan kemudian terlibat asmara dengan Cleopatra. Keperkasaan,
kekuasaan, penaklukan selalu menyertai kisah – kisah dalam sejarah Romawi.
Hal ini menjadi wajar, bila mulai dari organisasi politik, kesenian, dan
kesusastraan, sampai alfabetikal Romawi sangat mempengaruhi kebudayaan yang
muncul di Eropa dan berimbas pula ke Amerika. Kedua kebudayaan tersebut kian
menampakkan wujudnya terutama ketika di Eropa dan kemudian di Amerika Serikat
muncul sebuah gerakan kebudayaan pop pada pertengahan 1950-an. Salah satu dampak
yang perlu dicatat adalah munculnya seni beriklan indah. Iklan harus tampil mempesona,
cantik, indah, menarik dan atraktif. Pada akhirnya cara manipulasi iklan dalam
pengolahannya tidak hanya berperan sebagai ”sihir” pengolah kesadaran masyarakat
tetapi juga penerus tongkat estafet semangat maskulinitas budaya Romawi dan Yunani.
Ketiga, adalah faktor media. Persoalan dominasi pria erat bertalian dengan fungsi
media massa. Fungsi media massa sebagai sarana memberi informasi, hiburan, dan juga
mendidik sangat berperan dalam membangun imajinasi atau fantasi masyarakat
pembacanya. Implikasinya, persepsi dan konsep tentang ”keperkasaan” lelaki sebagai
bagian dari fantasi khalayak pembacanya, bukan menjadi sesuatu yang sulit untuk
ditemukan dan dijadikan komoditas iklan.
Selanjutnya aktivitas jurnalistik, terutama dalam meneropong wanita seringkali
didominasi lelaki. Pandangan – pandangan media terhadap wanita terkooptasi dalam
bingkai khas lelaki. Contoh konkret adalah cover majalah atau tabloid yang kita jumpai
setiap hari lebih sering menampilkan gambar wanita sebagai hiasan (point of interest).
Dalam konteks ini cara pandang wanita dalam media massa seringkali tereduksi sebatas
makhluk biologis.
Dalam iklan rokok penggambaran tersebut lebih jelas tampak. Sosok pria menjadi
subyek utama penokohan dalam iklan-iklannya. Beberapa seri iklan rokok Djarum Super
menampilkan beberapa lelaki melakukan olah raga alam bebas. Olah raga alam bebas
selain tentu merepresentasikan kebebasan ( keleluasaan kehendak ) juga berarti
kekuasaan untuk memilih yang dinginkan. Hal ini jelas identik dengan semangat
maskulinitas. Belum pemilihan aktifitas alam bebas dengan kategori ekstrim; panjat
tebing, paralayang, menyusur sungai, off road identik dengan keberanian dalam level
tertentu dan selalu berafiliasi dengan citra lelaki. Kebebasan ( kegiatan alam bebas /
outdoor adventure ) juga berarti posisi negasi dari citra domestifikasi perempuan. Citra
perempuan yang hanya tinggal di rumah saja, terjejak dalam sejarah perkembangan
peradaban manusia. Ketika manusia mengenal piranti untuk berburu, maka terjadi
pembagian tugas kaum pria pergi keluar berburu sedangkan kaum wanita tinggal di
rumah untuk menunggu dan memasak hasil buruan. Kegiatan eksplorasi keluar
selanjutnya identik dengan pekerjaan lelaki.
Maskulinitas juga muncul dalam iklan rokok Dji Sam Soe dengan pendekatan
yang berbeda. Pria tegap masih menjadi subyek utama, profesi pilot jet tempur menjadi
simbol representasinya. Profesi pilot hampir dipastikan didominasi oleh pria. Jet tempur (
F-16 ) sebagai kendaraan membawa sifat-sifat agresifitas lelaki. Menyerang, menghabisi
dan mengalahkan adalah simbol kelelakian. Tagline ”Kesempurnaan dari Keahlian”
semakin menegaskan sifat – sifat maskulin yang terbangun. Kata ”sempurna” dan ”ahli”
bermuara pada kepandaian atau kecerdasan dalam tingkat tertentu. Secara referensial
dunia ilmu pengetahuan yang mengkonstitusi orang-orang pandai dan cerdas juga
didominasi oleh pria. Sebut saja Einstein, Newton, Copernicus dan masih banyak lagi
adalah ber-gender pria. Sedangkan ilmuwan wanita selalu hanya jadi subordinan, seperti
Merie Currie misalnya.
Iklan rokok Gudang Garam merepresentasikan citra maskulin melalui sosok pria
dan menyandingkannya dengan seekor harimau. Pria dan harimau disandingkan untuk
saling mensubtitusi makna diantara keduanya. Pria dengan ekspresi raut muka tegas,
secara gestural mendongak cenderung frontal, menyiratkan makna menantang dan
berani. Atribut pakaian berlidah dipundak menandakan peruntukkan di lapangan, dalam
hal ini konteksnya adalah hutan rimba. Sedangkan harimau sendiri mewakili simbol
kekuatan dan kekuasaan. Harimau adalah mamalia carnivora terbesar yang ada di hutan
tropis. Menempati struktur tertingi dalam rantai makanan, menjadikan harimau sebagai
raja rimba belantara di sebagian besar wilayah Indonesia.
Figur pria atau penampilan sosok pria dalam sebuah iklan tidak hanya simbolisasi
dominasi pria, melainkan lebih ke arah simbolisasi Maskulinitas dalam pengertian yang
lebih luas. Maskulinitas kapitalistik memberi makna dominasi pria dalam terminologi apa
saja yang memungkinkan untuk dijual. Wajah Indo ( campuran keturunan asing ) atau
sosok bule ( keturunan asing ). Implikasinya, adalah melahirkan pahlawan idola,
sebagaimana pernah dilakukan orang di zaman Yunani dan Romawi.
Iklan Rokok , Representasi Tubuh Individual dan Kelompok
Tubuh hari ini tereksposisi demikian intensif sekaligus ekstentif. Menurut I.
Bambang Sugiharto dalam Penjara Jiwa, Mesin Hasrat ( Jurnal Kalam, 2000: 26):
”ekstensif, sebab tubuh kini telah menjadi lingkungan visual kita di mana pun kita
berada. Di televisi, pada billboard iklan, di majalah, koran, ataupun tabloid, di segala
tempat dan saat kita mencerap dalam perjumpaan dengan citraan tubuh, kita merasa
dikepung oleh tubuh, seakan tubuh adalah satu-satunya bahasa komunikasi yang paling
mudah dimengerti ”.
Tubuh yang tercitrakan dalam iklan rokok menampilkan tubuh-tubuh yang
paradoks. Di satu sisi produk rokok memiliki kandungan yang membahayakan tubuh bila
terus-menerus terhisap. Tetapi tubuh-tubuh yang terepresentasi dalam iklan-iklan rokok
adalah mewakili tubuh yang terkategorikan sehat. Tubuh yang penuh integritas,
semangat, bergerak dinamis.
Tubuh dalam iklan adalah tubuh-tubuh rekayasa, objek penyampai pesan
komunikasi yang disiapkan oleh Tim Kreatifnya. Ideologi iklan memperlakukan tubuh
sebagai simbol-simbol yang membawa dan mewakili nilai dan makna produk yang
diiklankan. Meminjam istilah Mary Douglas, tubuh adalah kode atau metafor pemetaan
sosio-kognitif tertentu tentang realitas, yang seringkali bersifat ideologis. Tubuh
seringkali digunakan sebagai simbol hubungan sosial, bahkan dari sisi tertentu juga
politis. Dalam masyarakat pra-modern stabilitas ataupun instabilitas tubuh bahkan
memantulkan stabilitas atau instabilitas sistem sosial yang lebih luas. Tubuh yang sakit
mengisyaratkan adanya ketidakberesan dalam masyarakat. Dengan kesadaran itulah
tubuh dalam iklan rokok dibangun. Sosok tubuh yang kuat, kokoh dinamis, bersosialisasi
dalam bentuk kegiatan atau gaya hidup tertentu menjaga stabilitas makna yang
diinginkan.
Tubuh yang sendiri, mandiri mewakili citra individualistik. Tubuh yang mandiri
mendeliver makna kepercayaan diri (chauvinisme pada diri). Sebuah sifat yang dalam
konvensi makna selama ini diidentikkan dengan milik lelaki. Gestur dan anatomi tubuh
tertentu sengaja dipilih untuk menguatkan konsep komunikasi yang dimaksudkan. Bentuk
tubuh yang ideal menurut konvensi umum dan semangat zamannya (zeitgeist), otot-otot
yang kokoh, pose tertentu akan membingkai makna ideologis dari sebuah iklan rokok.
Kemandirian yang cenderung individualistik adalah cerminan gaya hidup urban
kosmopolit sekaligus sifat-sifat modernis yang dibawa oleh budaya barat. Tubuh-tubuh
yang lain tergambarkan bersosialisasi dalam kelompok. Kelompok tubuh tersebut di ikat
dalam kegiatan tertentu seperti: berolah raga, bermain musik, ataupun yang besifat gaya
hidup kosmopolit ’dugem’ di pub atau diskotik. Tubuh-tubuh tersebut mewakili semangat
guyub dunia timur ( dalam hal ini konteksnya Indonesia), ataupun semangat percaya pada
kelompok/ pertemanan yang berafiliasi dengan kalangan muda. Keduanya terepresentasi
dan menjalin makna sesuai dengan ideologi iklan rokok yang diwakilinya.
Daftar Pustaka Abbot, David, Cutting Edge Advertising, Prentice Hall, Singapore 1999Aland, Jenny
and Darby, Max, Art Connection, Heinemann Educational Australia, Melbourne, 1992.
Belch, George E and Michael A., Advertising and Promotion : An Integrated Marketing Communications Perspective, Irwin/ McGraw-Hill, International Edition, Boston, 1998.
Chaney, David, Lifestyles : Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, 1996.
Hanusz, Mark, Kretek : The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd. Singapore, 2003.
Kotler, Phillip. Advertising Insights From A - Z , Erlangga, Jakarta 2004. Krugman, Reid, Dunn, Barban, Advertising, its role in modern marketing, The
Dryden Press, Forth Worth, Texas, 1994. Ritonga, Jamiludin M., Tipologi Pesan Persuasif, Indeks, Jakarta 2005.
Rourkes, Nicholas, Design Synectics, Stimulating Creativity in Design, Davis Publications, Massachusetts, 1988
Storey, John, Teori Kebudayaan dan Budaya Pop, Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies, Qalam, Yogyakarta, 2003
Sutopo, H.B. , Metodologi penelitian Kualitatif, dasar teori dan penerapannya dalam penelitian, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2002.
Sutrisno, M; Putranto, H; (editor), Teori-Teori Kebudayaan, Kanisius Yogyakarta, 2005.
Sumber LainBudi Handojo, Merek dan Produk. Majalah Media Kawasan, Desember 2005
http://www.pppi.co.idhttp://www.indonesianonsmokesociety.co.idhttp://www.republika.co.id/koran_detail.asp?.idhttp://www.kompas.comwww.phillipmorris.comwww.pdpersi.co.id
Tulisan ini cuplikan dari kesimpulan penelitian tentang “persuasi pada iklan rokok keretek”. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2006, bersama Doddy Ahmad dan Triyadi Guntur.