PERFORMA REPRODUKSI KUDA PACU INDONESIA
AULIA MIFTAKHUR RAHMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Performa Reproduksi Kuda Pacu Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yangberasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2012
Aulia Miftakhur Rahman B04070194
ABSTRACT
AULIA MIFTAKHUR RAHMAN. Reproductive Performance of Indonesian Racehorses. Under direction of AMROZI.
The efficiency of Indonesian racehorse’s reproductive strategies could be determined by its reproductive performance. This study was aimed to determine the performance and reproductive disorders of Indonesian racehorses. In 2010, there were 310 Indonesian racehorses mares examined in various stable spread on the Java Island and Madura Island. Early pregnancy examinations were generally performed on days 18 and 20 after mating using perectal ultrasonography. Pregnancy rate recorded were 65.07% (190 mares) of the 292 mares that mated one or more times. Pregnancy disorders detected were twin pregnancy (6.32% or 12 mares), early embryonic death (7.37% or 14 mares) and, 1.29% abortion from 190 pregnancy. Records of reproductive system disorder were pyometra (1.29% or 2 mares), endometritis (15.81% or 42 mares), and ovarian hypofunction (4.52% or 13 mares) of all mares were checked.
Keywords: Indonesian racehorse, pregnancy rate, reproductive disorder, reproductive performance.
RINGKASAN
AULIA MIFTAKHUR RAHMAN. Performa Reproduksi Kuda Pacu Indonesia. Di bawah bimbingan AMROZI.
Performa reproduksi kuda pacu Indonesia perlu diketahui untuk menentukan strategi efisiensi reproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan dan gangguan reproduksi kuda di Indonesia. Selama tahun 2010, tercatat sebanyak 310 ekor kuda pacu indonesia betina diperiksa di berbagai stable yang tersebar di Pulau Jawa dan Pulau Madura, Indonesia. Pemeriksaan kebuntingan dini dilakukan pada hari 18 dan 20 setelah kawin menggunakan ultrasonografi secara perektal. Tingkat keberhasilan kebuntingan mencapai 65,07% (190 ekor) dari satu atau lebih perkawinan (292 ekor). Gangguan kebuntingan yang tercatat adalah kebuntingan kembar sebanyak 6,32% (12 ekor), kematian embrio dini sebanyak 7,37% (14 ekor) dan, abortus sebanyak 1,29% dari 190 kebuntingan. Gangguan sistem reproduksi yang tercatat adalah pyometra sebanyak 1,29% (2 ekor), endometritis sebanyak 15,81% (42 ekor), dan hipofungsi ovari sebanyak 4,52% (13 ekor) dari seluruh kuda yang diperiksa.
Kata kunci: Angka kebuntingan, gangguan reproduksi, kuda pacu Indonesia, performa reproduksi.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERFORMA REPRODUKSI KUDA PACU INDONESIA
AULIA MIFTAKHUR RAHMAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul Skripsi : Performa Reproduksi Kuda Pacu Indonesia Nama : Aulia Miftakhur Rahman NIM : B04070194
Disetujui
drh. Amrozi, Ph.D Pembimbing
Diketahui
drh. Agus Setiyono, M.S. Ph.D. APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamiin, atas Rahmat Allah SWT penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan
kepada nabi Muhammad SAW. Skripsi yang berjudul Performa Reproduksi Kuda
Pacu Indonesia merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada drh. Amrozi, Ph.D sebagai
guru dan pembimbing yang telah ikhlas memberikan ilmu-ilmunya dan
membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini menjadi karya tulis yang
baik. Serta ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. drh. Aryani Sismin
Septyaningtijas, M.Sc. dan drh. Fadjar Satrija, M.Sc., Ph.D sebagai dosen penguji
yang telah memberikan saran kepada penulis.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu serta
adik-adik penulis yang selalu memberi dukungan. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Kementerian Agama yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan sarjana. Terima kasih
penulis sampaikan kepada Dewi, Mas Danang, Mbak Ade, Anang, Bagus, Junto,
serta teman-teman Ikalum, SRC dan Gianuzzi 44.
Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan di Indonesia.
Bogor, Maret 2012
Aulia Miftakhur Rahman
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Trenggalek, Jawa Timur pada
tanggal 17 Desember 1988 dari Ayah Subagyo dan Ibu
Istikomah. Penulis adalah putra pertama dari tiga
bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah
dasar di SDN 1 Kamulan Durenan Trenggalek tahun 2001,
sekolah menengah pertama di SMPN 1 Kauman
Tulungagung tahun 2004, dan sekolah menengah atas di
SMA Darul Ulum 2 Jombang tahun 2007.
Penulis masuk pendidikan sarjana tahun 2007 di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur BUD Kementerian Agama RI. Selama mahasiswa, penulis aktif di
Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) IKALUM, Himpunan Minat dan Profesi
(HIMPRO) Satwa Liar, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FKH IPB, Majelis
Permusyawaratan Mahasiswa (MPM KM) IPB, dan klub olahraga berkuda
SorCherry Riding Club.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... x
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xi
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
Latar Belakang .......................................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 3
Kuda Generasi dan Kuda Pacu Indonesia ............................................................... 3 Sistem Reproduksi Kuda Betina .............................................................................. 3 Ultrasonografi ........................................................................................................... 7 Kebuntingan Kembar ............................................................................................. 10 Kematian Embrio Dini ........................................................................................... 11 Abortus .................................................................................................................... 12 Pyometra ................................................................................................................. 12 Endometritis ............................................................................................................ 14 Hipofungsi Ovari .................................................................................................... 15
METODOLOGI ................................................................................................. 17
Waktu dan Tempat ................................................................................................. 17 Pelaksanaan Penelitian ........................................................................................... 17 Analisis Data ........................................................................................................... 17
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 18
Performa Reproduksi .............................................................................................. 18 Kebuntingan Kembar ............................................................................................. 22 Kematian Embrio Dini ........................................................................................... 24 Abortus .................................................................................................................... 25 Pyometra ................................................................................................................. 26 Endometritis ............................................................................................................ 28 Hipofungsi Ovari .................................................................................................... 30
SIMPULAN....................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 33
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Gambaran lateral dari saluran reproduksi kuda betina. .................... 4
Gambar 2 Siklus estrus kuda. .......................................................................... 6
Gambar 3 Salah satu pencitraan ultrasonografi perektal B-mode. .................... 9
Gambar 4 Skema representasi uterus kuda yang tidak bunting ......................... 9
Gambar 5 Gambaran ultrasonografi kebuntingan kuda .................................. 18
Gambar 6 Kebuntingan kuda 24 hari ............................................................. 19
Gambar 7 Gambaran ultrasonografi uterus kuda kebuntingan kembar ........... 22
Gambar 8 Pyometra pada kuda. .................................................................... 27
Gambar 9 Gambaran ultrasonografi uterus kuda endometritis........................ 28
Gambar 10 Gambaran ovarium yang mengalami hipofungsi ........................... 30
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Jumlah kuda yang terdaftar di Biro Registrasi Kuda Indonesia 2010. ...... 3
Tabel 2 Performa reproduksi kuda .................................................................... 20
Tabel 3 Tingkat kebuntingan kuda di beberapa stable........................................ 21
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Angka kebuntingan kuda secara liar dapat mencapai 90% dari populasi
induk kuda dan bahkan dapat lebih tinggi, sedangkan kuda yang didomestikasi
angka kebuntingannya lebih rendah. Penurunan angka kebuntingan ini dapat
disebabkan oleh kurangnya latihan fisik, ketersediaan pakan dan penyakit serta
faktor-faktor lain (Blakely dan Bade 1991). Kurangnya latihan fisik
menyebabkan otot-otot pada saluran reproduksi cenderung lemah sehingga
menurunkan kemampuan pertahanan fisik terhadap kuman penyebab gangguan
reproduksi.
Tingkat konsepsi dan tingkat kelahiran selama satu musim perkawinan
sering diekspresikan sebagai pengukuran performa reproduksi. Beberapa faktor
yang dianggap penting untuk efisiensi peternakan adalah usia kuda, status
reproduksi kuda, dan masa perkawinan (Bruck et al. 1993; Morris dan Allen
2002). Peningkatan performa reproduksi kuda dapat dicapai dengan perbaikan
sistem manajemen dan meminimalkan adanya gangguan reproduksi. Gangguan
reproduksi yang umum terjadi pada kuda antara lain disfungsi ovari, kista ovari,
granulosa cell tumor, endometritis, pyometra, abortus dan kematian embrio dini
(Arthur 1969; Dawson 1977).
Industri ternak kuda di Indonesia sudah mulai berkembang dengan
munculnya kuda persilangan Thoroughbred dengan kuda lokal Indonesia yang
digunakan sebagai kuda pacu. Kuda persilangan tersebut termasuk yearround
breeders yang mengalami estrus dan ovulasi sepanjang tahun (Hafez 1993).
Siklus estrus dan ovulasi kuda di Indonesia dapat berlangsung sepanjang tahun
sehingga diharapkan tingkat penampilan reproduksi dapat lebih baik dibandingkan
dengan daerah yang memiliki empat musim. Hal tersebut dikarenakan peluang
perkawinan kuda lebih banyak sehingga angka kebuntingan dapat lebih tinggi.
Berbeda dengan kuda di daerah empat musim yang musim kawinnya hanya
berlangsung pada musim semi. Namun demikian, performa reproduksi kuda di
Indonesia belum diketahui dengan tepat. Pengamatan saluran reproduksi melalui
teknik ultrasonografi dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi
2
uterus yang mengalami gangguan reproduksi, dengan harapan akan dapat
mendiagnosis dengan cepat dan tepat sehingga dapat meningkatkan performa
reproduksi kuda (Goddard 1995). Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian
yang diharapkan mampu untuk menggambarkan penampilan reproduksi dan
gangguan reproduksi kuda di Indonesia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan reproduksi dan
gangguan reproduksi kuda di Indonesia.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Kuda Generasi dan Kuda Pacu Indonesia
Kuda pacu Indonesia (KPI) merupakan kuda Indonesia hasil grading up
dari kuda betina Indonesia dengan pejantan Thoroughbred sampai generasi ketiga
(G3) dan generasi keempat (G4) atau hasil perkawinan diantaranya yang memiliki
sertifikat kuda pacu Indonesia yang terdaftar pada biro registrasi kuda.
Perkembangan perkudaan di Indonesia mengikuti arah persilangan terhadap darah
Thoroughbred dengan sistem persilangan grading up sesuai keputusan Pordasi
tahun 1975. Grading up adalah usaha persilangan untuk membentuk ras baru
yang memanifestasikan karakter tertentu dengan cara menyilangkan betina lokal
dengan pejantan ras lain yang diinginkan. Komposisi darah kuda pacu Indonesia
hasil grading up adalah 87,5% darah kuda Thoroughbred dan 12,5% darah kuda
lokal untuk G3, 93,75% darah kuda Thoroughbred dan 6,25 % darah kuda lokal
untuk G4, dan 90,625% darah kuda Thoroughbred dan 9,375% darah kuda lokal
untuk perkawinan G4 x G4. Jumlah kuda pacu Indonesia sampai tahun 2010
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah kuda yang terdaftar di Biro Registrasi Kuda Indonesia tahun 2009 - 2010 (Widyananta 2011).
Jenis Kuda Jumlah Total Kuda di tahun 2009 (ekor)
Penambahan tahun 2010 (ekor)
G1 1986 9 G2 2289 30 G3 1806 85 G4 795 87 KPI 120 24 G5 101 23 G6 11 2
Jumlah Total 7108 260
Sistem Reproduksi Kuda Betina
Pemahaman mengenai anatomi normal saluran reproduksi kuda betina
sangat penting untuk membedakan antara kondisi normal dan kelainan reproduksi.
Tampilan morfologi bagian caudal saluran reproduksi dan kondisi normal
perineum sangat penting untuk menjaga fertilitas kuda. Distorsi umum dari
anatomi normal dapat menyebabkan adanya udara di dalam vagina sehingga
memungkinkan bakteri dapat mencapai bagian cranial saluran reproduksi
4
(England 2005). Saluran reproduksi kuda betina berbentuk tubular seperti huruf
“Y”. Perineum, vulva, vagina dan serviks membentuk serangkaian pelindung bagi
struktur yang lebih halus di bagian lebih dalam (uterus, tuba fallopi dan ovarium)
yang berfungsi untuk memproduksi gamet, fertilisasi dan perkembangan embrio
(Morel 2005). Ilustrasi saluran reproduksi kuda betina terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Gambaran lateral dari saluran reproduksi kuda betina. Sumber: Morel (2005).
Tipe uterus kuda menurut Morel (2005) disebut uterus simpleks bipartitus
karena ukuran corpus uteri lebih besar dari kornua uteri dengan perbandingan 60 :
40. Posisi uterus dapat berubah-ubah akibat tingkat pengisian vesika urinaria atau
usus. Corpus uteri terletak di cranial pelvis bagian ventral dan caudal abdomen.
Uterus yang normal terletak di dorsal, dorso-lateral atau lateral vesika urinaria.
Corpus uteri memiliki panjang sekitar 20-25 cm dan diameter 8-12 cm. Bagian
cornua memiliki diameter yang semakin mengecil pada bagian ujungnya.
Ketebalan dinding uterus dan tonus miometrium sangat bervariasi tergantung
status reproduksi dan umur. Kebuntingan menyebabkan distorsi yang mencolok
dari bentuk uterus (England 2005).
Ovarium kuda umumnya terletak di bagian paling anterior dari saluran
reproduksi pada kuda yang tidak bunting. Ukuran ovarium berkisar antara 6
sampai 8 cm panjangnya dan 3 sampai 4 cm lebarnya dengan rata-rata berat 70
sampai 80 gram. Ovarium kanan berciri khas lebih anterior sekitar 2 sampai 3 cm
5
daripada ovarium kiri. Ovarium memiliki dua fungsi yaitu sebagai kelenjar
eksokrin yang menghasilkan gamet dan kelenjar endokrin yang memproduksi
hormon (Blanchard et al. 2003).
Panjang siklus estrus pada kuda berlangsung selama 22 hari dengan panjang
fase estrus 5-7 hari (Aurich 2011). Sedangkan kuda bangsa Caspian memiliki
siklus estrus, lama estrus, dan diestrus sepanjang 22.1±0.40, 8.3±0.86 dan 13.8±
0.59 hari secara berturut-turut (Shirazi et al. 2005). Panjang siklus estrus juga
dipengaruhi oleh tahap reproduksi, 21,2 ± 1,8 hari dalam keadaan menyusui dan
22,8 ± 1,4 hari pada-kuda yang tidak menyusui (Heidler et al. 2004). Durasi
estrus bergantung pada jenis spesies dan bervariasi satu sama lain dalam spesies
yang sama, dan terkait dengan waktu pencapaian ovulasi, pada kuda adalah 4-6
hari setelah mulainya estrus atau 1-2 hari sebelum akhir estrus. Panjang siklus
estrus dan waktu ovulasi bervariasi dalam hubungannya dengan faktor-faktor
eksternal maupun internal (Hafez 1993). Namun, kuda tua memiliki interval
siklus estrus dapat lebih lama daripada kuda muda dan usia pertengahan karena
tingkat pertumbuhan folikel dominan lebih lambat (Ginther et al. 2008).
Ovarium kuda betina memiliki struktur yang unik ditandai dengan ukuran
yang sangat besar (35-120 cm3) dan berat (40-80 g) jika dibandingkan dengan
spesies hewan domestik lainnya (Kimura et al. 2005), adanya fosa ovulasi dan
lokasi yang terbalik antara korteks dengan medula. Selama satu siklus estrus
terdapat satu sampai dua gelombang folikel berbeda yang berkembang. Sebuah
gelombang folikular pertama bisa terjadi pada awal fase luteal. Folikel dominan
pada gelombang awal mungkin tidak ovulasi dan mengalami regresi, tetapi
peningkatan konsentrasi progesteron dapat menyebabkan terjadinya ovulasi.
Kuda poni biasanya mengembangkan satu gelombang folikel, sementara dua
gelombang folikel adalah khas dari kuda Thoroughbred dan Warmblood (Ginther
2000).
Munculnya setiap gelombang folikel secara temporal dikaitkan dengan
lonjakan FSH. FSH mencapai puncaknya ketika folikel terbesar mencapai ukuran
sekitar diameter 13 mm (Gastal et al. 1997). Selanjutnya, FSH menurun dengan
konsentrasi yang tidak mendukung pertumbuhan folikel skunder lebih lanjut tetapi
cukup untuk melanjutkan pertumbuhan folikel dominan (Ginther 2000).
6
Perkembangan folikel praovulasi dan ovulasi kuda berbeda dari spesies hewan
ternak lainnya. Folikel praovulasi jauh lebih besar dan pecah di bagian fosa
ovulasi. Setelah folikel skunder deviasi, folikel praovulasi tumbuh pada tingkat
rata-rata 3 mm per hari sampai sekitar 35 mm pada empat hari sebelum ovulasi.
Pertumbuhan terus terjadi hingga 2 hari sebelum ovulasi ketika ukuran folikel
mencapai sekitar 40 mm (Ginther et al. 2008). Namun, folikel praovulasi dapat
tumbuh sampai dengan ukuran 55 mm atau lebih, dengan diameter praovulasi
yang konsisten serupa dalam siklus berturut-turut (Cuervo-Arango dan
Newcombe 2008).
Korpus luteum (CL) kuda membesar ke bagian internal dari ovarium dan
tidak menonjol ke permukaan ovarium luar seperti pada spesies lain. CL kuda
memiliki bentuk pearlike dan terdiri dari kompartemen kecil dengan tekstur
permukaan yang kasar (Kimura et al. 2005). Struktur CL kuda dibentuk oleh sel-
sel luteal dan non-luteal. Sel luteal dari kuda ini tidak berasal dari teka, tetapi
berasal eksklusif dari sel granulosa dari folikel praovulasi. Saat ovulasi, sel teka
berada pada berbagai tahap degenerasi dan kemudian diganti oleh fibroblas
hipertrofi (van Niekerk et al. 1975).
Gambar 2 Siklus estrus kuda. Siklus estrus berkisar antara 21-22 hari dengan 4-7 hari fase
folikular dan 14-15 hari fase luteal (Blanchard et al. 2003).
Pada kuda, konsentrasi progesteron segera meningkat pada saat ovulasi
terlihat pada Gambar 2. Konsentrasi progesteron maksimal dicapai pada hari ke-8
setelah ovulasi dan kemudian perlahan-lahan menurun sampai timbulnya luteolisis
yang dimulai pada sekitar hari ke-14. Pemeriksaan USG menunjukkan penurunan
7
paralel dan progresif dalam luas penampang rata-rata CL dari hari ke-4 hingga
hari ke-19 siklus (Ginther et al. 2007). Seperti spesies lain, fungsi CL kuda
berada di bawah kendali estrogen dan progesteron melalui mekanisme umpan
balik negatif terhadap LH.
Luteolisis dalam kuda ditandai oleh penurunan konsentrasi progesteron
darah di sekitar hari 15-17 dari siklus (Ginther et al. 2005). Sinyal awal untuk
luteolisis adalah sekresi PGF2α oleh endometrium selama fase luteal akhir yang
dirangsang oleh oksitosin dari endometrium dan hipotalamus. PGF2α disekresikan
ke dalam sirkulasi perifer dan tidak ada sistem arus lokal counter (yaitu antara
vena uterus dan arteri ovarium) (Aurich 2011).
Ultrasonografi
Peralatan instrumentasi ultrasonografi (USG) modern telah tersedia dalam
berbagai varian, dan memungkinkan bagi sebagian besar manusia untuk
mengoperasikannya dengan mudah, namun demikian, harus disertai dengan
pemahaman yang baik terhadap sifat fisika ultrasonografi dan interaksi fungsi
peralatan dengan jaringan untuk memperoleh hasil yang baik. Kualitas gambar
yang dihasilkan juga akan sangat dipengaruhi oleh keterampilan seorang
sonographer. Diagnostik ultrasonografi menggunakan prinsip pulse-echo yang
dapat menghasilkan gambar pada tayangan scanner yang berhubungan dengan
accoustis impedance atau resistensi jaringan yang dijumpai ultrasound
(gelombang suara frekuensi tinggi). Ultrasound tidak dapat berpindah melalui
udara (acoustic barrier). Medium terbaik untuk penghantaran ultrasound adalah
cairan dan dihantarkan melalui kompresi atau penghalusan gelombang-gelombang
(Goddard 1995).
Menurut Barr (1988) terdapat tiga jenis echo yang digunakan sebagai
prinsip dasar dalam mendeskripsikan gambar pada sonogram, yaitu;
1. Hyperechoic; echogenic artinya echogenitas terang, menampakkan warna
putih pada sonogram atau memperlihatkan echogenitas yang lebih tinggi
dibandingkan sekelilingnya, contohnya tulang, udara, kolagen dan lemak.
2. Hypoechoic; echopoor menampilkan warna abu-abu gelap pada
sonogram atau memperlihatkan area dengan echogenitas lebih rendah dari pada
sekelilingnya, contohnya jaringan lunak.
8
3. Anechoic yang menunjukkan tidak adanya echo, menampilkan warna
hitam pada sonogram dan memperlihatkan transmisi penuh dari gelombang
contohnya cairan.
Pemerikasaan menggunakan USG memiliki potensi penting untuk
pemeriksaan pada saluran reproduksi kuda, seperti penggunaan x-ray untuk
pemeriksaan kaki. Prinsip-prinsip USG didasarkan pada kemampuan dari
berbagai jaringan dan berisi cairan yang mampu mencerminkan atau menyebarkan
gelombang suara frekuensi tinggi. Sebuah sinar suara dipancarkan dari sebuah
transduser, dilakukan secara perektal. Proporsi sinar yang dipantulkan (bergema)
diterima oleh transduser, dikonversi menjadi impuls listrik, dan ditampilkan pada
layar sebagai gambar bergerak. Struktur yang berisi cairan tidak mencerminkan
gelombang suara dan tampak hitam di layar. Pada ekstrem yang lain, jaringan
padat mencerminkan banyak balok dan tampak putih. Jaringan lain terlihat dalam
berbagai warna dari skala abu-abu, tergantung pada echogenisitasnya
(kemampuan untuk mencerminkan gelombang suara). Formasi jaringan tertentu
dapat menyebabkan gelombang suara untuk menekuk (membiaskan), dipantulkan
kembali dan bergaung, atau menjadi lemah (dilemahkan) atau seluruhnya diblokir.
Oleh karena itu artefak dapat muncul pada layar dan harus diinterpretasikan oleh
ultrasonographer tersebut. Kemampuan alat USG untuk menghasilkan gambar
yang baik tergantung pada frekuensi gelombang suara yang diukur dalam satuan
megahertz (MHz). Sebuah transduser 5 MHz lebih cocok untuk memeriksa
saluran reproduksi kuda daripada transduser 3 atau 3,5 MHz yang tersedia secara
umum (Ginther dan Pierson 1984).
Pemerikasaan saluran reproduksi kuda dengan USG menggunakan
gambaran B-mode. Gambaran B-mode merupakan pencitraan gelombang suara
jamak. Echo yang direfleksikan akan memberikan gambaran berupa titik atau dot
pada layar monitor. Posisi yang terlihat pada layar merupakan posisi dari refleksi
struktur organ. Kekuatan dari echo ditunjukkan oleh keterangan berupa titik pada
layar sehingga gambaran dua dimensi menunjukkan potongan organ yang
ditampilkan pada layar. Gambaran B-mode hanya menampilkan echo yang kuat.
Hal ini berarti tepi dari struktur organ yang diperiksa dapat dilihat tetapi hanya
9
seperti gambaran yang tidak begitu jelas (Mannion 2006). Gambaran hasil
pencitraan B-mode dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Salah satu pencitraan ultrasonografi perektal B-mode. Kiri: folikel praovulatori.
Kanan: udema uterus pada kuda masa estrus atau birahi (Aurich 2011).
Gambar 4 Skema representasi uterus kuda yang tidak bunting, menunjukkan posisi tranduser
USG pada cornua uteri (a) dan corpus uteri (b).
Persiapan untuk pemeriksaan USG secara perektal mirip dengan persiapan
untuk pemeriksaan perektal, tetapi ada pertimbangan lain, seperti perlindungan
peralatan dan manajemen pencahayaan eksternal. Sebuah transduser jenis linier-
array digenggam dan umumnya berorientasi pada bidang sagital sehubungan
dengan tubuh kuda itu. Gambaran dari serviks dan corpus uteri berorientasi
longitudinal, dan corpus uteri adalah cross-sectional. Saat penggunaan USG,
berkas suara umumnya bergerak melintang sehubungan dengan tubuh kuda dan
gambar dari serviks dan corpus uteri adalah cross-sectional dan gambar cornua
adalah longitudinal atau miring. Ilustrasi teknik pemeriksaan USG pada saluran
reproduksi kuda betina ditunjukkan pada Gambar 4. Ketersediaan instrumen
pemeriksaan USG pada saluran reproduksi harus memberikan nilai lebih bagi
10
dokter hewan untuk meningkatkan pengetahuan tentang anatomi dan patologi
reproduksi (Ginther dan Pierson 1984).
Masalah yang terjadi akibat turunnya fertilitas dan gangguan selama
kebuntingan dapat mempengaruhi performa reproduksi kuda. Gangguan yang
terjadi selama kebuntingan kuda yang umum terjadi yaitu kebuntingan kembar,
kematian embrio dini dan abortus. Baberapa masalah yang dapat menurunkan
fertilitas pada kuda antara lain silent heat, hipofungsi ovari dan infeksi saluran
reproduksi yang mengakibatkan endometritis maupun pyometra (England 2005).
Kebuntingan Kembar
Asal terbentuknya kebuntingan kembar umumnya adalah dizigotik.
Zigositas mengacu pada asal kembar. Kembar dizigotik berasal dari dua buah
oosit yang dibuahi secara terpisah oleh dua spermatozoa. Sedangkan monozigotik
mengacu pada kembar identik yang berasal dari pembuahan satu oosit. Tiga hal
umum yang telah dikenal mengenai kebuntingan kembar, yaitu kembar berulang
pada indukan yang sama, tingkat kebuntingan kembar bervariasi berdasarkan
jenis, dan pejantan yang sangat fertil. Secara historis kebuntingan kembar
menyebabkan kerugian ekonomi karena akan terjadi aborsi, kematian fetus atau
embrio, atau kelahiran anak kuda kerdil. Kuda yang mengalami aborsi
menyebabkan terjadinya kerusakan pada saluran reproduksi dan sulit untuk
dikembangbiakan lagi (McKinnon et al. 2011).
Ovulasi ganda dapat terjadi pada kuda. Tingkat ovulasi ganda dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti ras, status reproduksi, usia dan manipulasi
farmakologis dari siklus estrus. Kejadian spontan ovulasi ganda bervariasi antara
sekitar 2% pada poni dan 25% pada thoroughbred. Ketika dua folikel dominan
(dua folikel> 28mm) berkembang dalam gelombang folikel yang sama, ovulasi
ganda terjadi pada sekitar 40% dari kuda (Ginther et al. 2008). Ini dapat terjadi
serentak (dalam waktu 12 jam), namun interval sampai dua hari dan lebih telah
dilaporkan antara ovulasi dan dapat menyebabkan pembentukan kebuntingan
kembar. Pada 2,5 hari sebelum ovulasi, tingkat pertumbuhan folikel dominan
dalam kuda berovulasi ganda lebih rendah daripada kuda berovulasi tunggal
mengakibatkan diameter folikel praovulasi lebih kecil pada kuda berovulasi
kembar. Rendahnya pertumbuhan folikel terkait dengan konsentrasi FSH lebih
11
rendah, kemungkinan besar karena konsentrasi estradiol yang lebih tinggi dari dua
folikel preovulatori (Ginther et al. 2008).
Kematian Embrio Dini
Kematian embrio dini umumnya didefinisikan sebagai kegagalan
kebuntingan yang terjadi hingga hari 40 dari kebuntingan, sesuai dengan masa
transisi dari tahap embrio ke tahap fetus dari perkembangan kebuntingan.
Diagnosis kematian embrio dini dan faktor yang berkontribusi telah ditingkatkan
secara luas menggunakan pemerikasaan ultrasonografi transrektal untuk diagnosis
awal kebuntingan. Kondisi di lapangan secara umum, pemeriksaan USG rutin
digunakan untuk diagnosis kebuntingan pada hari 12-14 setelah ovulasi,
sedangkan untuk penelitian digunakan pada hari 10-11. Pemeriksaan USG
memungkinkan secara langsung untuk menilai konseptus selama sekitar fase tiga
perempat kebuntingan ketika terjadi kematian embrio dini. Penggunaan
ultrasonografi untuk pemeriksaan kebuntingan kuda pada hari 10 sampai 14
setelah ovulasi memungkinkan untuk evaluasi insidensi kematian embrio pada
hari 14 sampai 40. Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa peningkatan umur
kuda menurunkan tingkat kebuntingan dan meningkatkan angka kematian embrio
dini. Insidensi kematian embrio dini akhir-akhir ini mencapai sekitar 7,7%.
Sebelum hari 10, pemeriksaan USG tidak dapat mendeteksi konseptus awal secara
akurat. Embrio kuda memasuki uterus pada hari 6 sampai 7, sehingga penurunan
jumlah dan kelangsungan viabilitas blastosis terkait dengan abnormalitas uterus,
oviduk atau perlekatan embrio. Beberapa penelitian telah mempelajari karakter
awal embrio kuda selama perjalanan di oviduk pada berbagai usia dan fertilitas.
Perkiraan kematian embrio dini antara fertilisasi sampai hari 10 adalah 10% pada
kuda muda dan 80-90% pada kuda tua. Meskipun tingkat kebuntingan serupa
pada hari 2 antara kuda muda dan tua, tetapi setelah 4 hari fertilisasi reduksi
kebuntingan sangat signifikan terjadi pada kuda tua. Temuan ini menyarankan
bahwa periode kritis dalam kegagalan kebuntingan terjadi pada hari 2 sampai 4
(McKinnon et al. 2011).
12
Abortus
Aborsi berarti pengeluaran isi kandungan sebelum waktu kelahiran normal.
Abortus dapat terjadi pada kuda di paddock dan tidak akan teramati karena kuda
biasanya tidak menunjukkan adanya efek setelah abortus dan fetus yang keluar
dimakan oleh predator. Aborsi dapat terjadi akibat ketiadaan atau hilangnya
korpus luteum. Lama kebuntingan kuda biasanya tidak terprediksikan, oleh
karena itu perbandingan kelahiran normal dengan kelahiran dini sulit
didefinisikan. Deskripsi selanjutnya melihat kemampuan anak kuda untuk
mampu bertahan hidup (England 2005).
Tingkat aborsi sebesar 10% setelah 60 hari kebuntingan biasanya terjadi
pada kuda. Aborsi kuda dapat dibagi menjadi non-infeksi (70%), infeksi (15%)
dan tidak diketahui (15%). Dalam prakteknya, penting untuk membedakan
penyebab aborsi menular dari non-menular. Pengeluaran cairan dari vagina,
laktasi dini dan kolik pada kuda bunting dapat mengindikasikan akan terjadi
aborsi. Ketika aborsi terjadi, kuda betina itu harus diisolasi, sejarah dicatat dan
fetus dikirim ke laboratorium untuk nekropsi. Pemeriksaan post-mortem
dilakukan pada hati, paru-paru, timus, limpa dan chorioallantois harus dikirimkan
dalam larutan salin untuk pemeriksaan histologis. Selain itu, sampel beku hati
segar dan paru-paru fetus harus disimpan dalam deep freeze pada -20 ° C untuk
investigasi isolasi virus jika dibutuhkan pada tahap berikutnya. Sampel serum
dari kuda pasien dan sekelompok juga harus diambil untuk investigasi serologis.
Swab dari jantung atau hati dan chorion fetus digunakan untuk screening infeksi
bakteri. Fetus dan selaput fetus (amnion, chorioallantois dan tali umbilikus) harus
diperiksa hati-hati untuk adanya kelainan dan perubahan warna (McKinnon et al.
2011).
Pyometra
adalah akumulasi eksudat inflamasi dalam jumlah besar di dalam uterus
yang menyebabkan distensi. Distensi tersebut harus dibedakan dari akumulasi
cairan yang dapat dideteksi oleh ultrasonografi pada endometritis akut. Pyometra
terjadi karena interferensi dengan drainase alami cairan dari uterus yang mungkin
karena adesi, abnormalitas atau cervix tidak teratur. Pada beberapa kasus, cairan
terakumulasi karena adanya gangguan kemampuan untuk menghilangkan eksudat
13
tersebut. Faktor predisposisi adalah infeksi kronis P. aeruginosa atau fungi.
Ketika endometrium rusak parah, ada kehilangan luas permukaan epitel,
endometrium fibrosis dan atrofi kelenjar menyebabkan fase luteal
berkepanjangan, mungkin karena gangguan pada sintesis atau pelepasan PGF2α.
Hal ini kontras dengan endometritis ringan dengan koleksi sejumlah kecil cairan
intraluminal uterus yang lebih mungkin menyebabkan pelepasan dini PGF2α dan
luteolisis (Noakes et al. 2008).
Beberapa dokter membatasi istilah pyometra, selain akumulasi eksudat
dalam lumen uterus, korpus luteum berlangsung di luar rentang masa normal.
Beberapa kuda dengan pyometra telah normal dan aktivitas siklus ovarium
kembali teratur. Persistensi korpus luteum mungkin karena kegagalan sintesis dan
atau pelepasan prostaglandin dari uterus. Kuda induk yang memiliki aktivitas
luteal berkepanjangan memiliki kerusakan endometrium terbesar. Kuda betina
dengan pyometra jarang menunjukkan tanda-tanda penyakit sistemik bahkan
ketika ada hingga 60 liter eksudat dalam lumen uterus. Jarang ada penurunan
berat badan, depresi dan anoreksia. Pyometra telah diklasifikasikan ke dalam dua
kategori pada kuda, yaitu terbuka dan tertutup. Dalam kasus pyometra tertutup,
cairan terakumulasi karena cervix tertutup. Dalam pyometra terbuka, cervix tetap
terbuka, tetapi bahan purulen terakumulasi karena pembersihan uterus terganggu.
Discharge atau kotoran pada vulva sering diamati dalam pyometra terbuka,
terutama pada saat birahi, yang mungkin bervariasi konsistensinya dari encer
sampai seperti krim. Meskipun pembiakan swab endometrium kadang-kadang
dapat mengakibatkan pertumbuhan berbagai macam organisme atau kadang-
kadang tidak ada pertumbuhan bakteri sama sekali, dalam kebanyakan kasus
organisme terisolasi adalah S. Zooepidemicus (Noakes et al. 2008).
Diagnosis pyometra adalah berdasarkan palpasi perektal, pemeriksaan USG
dari uterus yang membesar berisi cairan dan analisis cairan uterus. Karena tidak
munculnya tanda penyakit sistemik, kasus pyometra sering menjadi kronis
sebelum pengobatan dilakukan. Dalam beberapa kasus memiliki prognosis buruk
karena kerusakan endometrium yang parah, yang tidak mungkin untuk dapat
mempertahankan kehamilan normal (Noakes et al. 2008).
14
Endometritis
Endometritis adalah masalah utama dalam memaksimalkan tingkat konsepsi
dan tingkat kelahiran. Beberapa penelitian terbaru tentang endometritis telah
meningkatkan pemahaman tentang patogenesis dan menghasilkan metode yang
lebih efektif untuk meminimalkan pengaruhnya terhadap kesuburan. Kegagalan
pengeluaran secara mekanik terhadap cairan, kotoran dan sel-sel radang dari
lumen uterus diakui sebagai faktor predisposisi utama yang terkait dengan
perkembangan penularan endometritis (Reed et al. 2004). Endometritis
dilaporkan sebagai penyakit ketiga paling umum terjadi pada kuda (Card 2005).
Endometritis meliputi perubahan endometrium yang terkait dengan
peradangan akut atau kronis. Perubahan ini dimodulasi oleh sistem kekebalan
lokal dan dipengaruhi sistem hormonal. Endometritis yang terjadi pada kuda
setelah kawin alami maupun buatan merupakan reaksi peradangan sebagai respon
terhadap keberadaan sperma dalam uterus, tetapi endometritis akut ini tampaknya
merupakan peradangan normal dan akan hilang setelah 2-3 hari. Deteksi cairan
uterus dengan ultrasonografi perektal 24 jam setelah kawin menunjukkan
tertundanya proses pembersihan (clearance). Endometritis akut yang diinduksi
melalui proses perkawinan merupakan kejadian klinis yang diakui sebagai
penyebab utama infertilitas (Reed et al. 2004), disebut juga sebagai persistent
mating-induced endometritis/post-coital endometritis/the susceptible mare.
Endometritis akut merupakan konsekuensi alami dari infeksi mikrobiologi
oportunistik pada uterus, umumnya terjadi pada saat partus atau kawin (Zerbe et
al. 2003). Endometritis akut mirip proses peradangan akut yang terjadi pada
jaringan lain pada kuda dan respon yang signifikan terjadi 30 menit setelah infeksi
eksperimental yang ditandai peningkatan neutrofil (Pycock dan Allen 1990).
Pengamatan pada kuda betina yang resisten terhadap endometritis menunjukkan
bahwa neutrofil yang terdapat pada saat estrus lebih aktif dibandingkan dengan
neutrofil yang dikoleksi pada saat fase luteal (Asbury dan Hansen 1987).
Konsentrasi PGF intra uteri dipengaruhi oleh tahapan siklus dan dapat
menginduksi endometritis akut yang dapat menggangu fungsi normal ovarium.
Kuda induk dengan endometritis persisten memiliki konsentrasi PGF, protein total
dan persentase neutrofil dan PMN yang sangat tinggi dibandingkan dengan kuda
15
induk normal. Penelitian Watson et al. (1987) mengemukakan bahwa sel darah
putih yang diambil dari kuda endometritis mampu menghasilkan PGF dan PGE2
secara invitro. PGE2 yang terdeteksi setelah infeksi merupakan proses
imunoreaktif (Pycock dan Allen 1990).
Endometritis persisten dianggap sebagai penyakit multifaktorial yang
berkaitan dengan buruknya anatomi saluran reproduksi, gangguan kontraktilitas
miometrium, gangguan sistem kekebalan, produksi lendir yang berlebih dan
drainase limfatik yang tidak memadai. Peradangan uterus merupakan sebuah
mekanisme pertahanan akibat gangguan kontraktilitas miometrium dan akumulasi
produk radang di dalam lumen uterus rentan menyebabkan endometritis.
Akumulasi cairan di dalam lumen uterus mempengaruhi fertilitas dengan
menurunkan motilitas dan viabilitas sperma atau menyebabkan kegagalan
implantasi embrio jika endometritis berlangsung pada hari ke-5 dan ke-6 setelah
ovulasi (saat embrio berpindah dari oviduk ke lumen uterus) (Rohrbach et al
2007). Tingkat IgA, IgG dan IgG(T) secara umum lebih tinggi dihasilkan dari
kuda endometritis daripada kuda normal (Asbury et al. 1980).
Hipofungsi Ovari
Hipofungsi ovari merupakan kegagalan folikel mengalami perkembangan
dalam kurang lebih 21 hari atau satu siklus normal kuda. Hipofungsi ovari
menurunkan efisiensi reproduksi dan menyebabkan kerugian ekonomi peternak.
Faktor penyebab hipofungsi ovari dapat dihubungkan dengan ketidakcukupan
nutrisi, umur yang sudah tua dan terapi iatrogenik. Kondisi tubuh yang buruk
dapat mempengaruhi performa reproduksi kuda, termasuk memperpanjang onset
ovulasi pertama pada musim kawin, menurunkan tingkat kebuntingan dan
meningkatkan kematian embrio dini. sedangkan kuda dengan kondisi tubuh yang
bagus akan cenderung menunjukkan siklus estrus yang normal selama musim
kawin (McKinnon et al. 2011).
Kuda tua (umur >20 tahun) mengalami penurunan performa reproduksi
yang berhubungan dengan perubahan fungsi ovari, kesehatan kandungan,
konformasi perineal dan faktor lainnya. Kuda tua memiliki masa interval
interovulatori yang lebih panjang dibandingkan dengan kuda yang lebih muda,
sehingga menyebabkan fase folikular yang lebih panjang. Folikel primordial pada
16
kuda tua juga semakin berkurang sehingga kesempatan untuk berkembangnya
folikel dan ovulasi semakin sedikit. Pemberian anabolik steroid, glukokortikoid,
dan gonadal steroid dapat menghambat perkembangan folikel. Pemberian
anabolik steroid pada dosis rendah menyebabkan kuda lebih agresif atau
menunjukkan sifat kejantanan, ketika digunakan pada dosis tinggi akan
menghambat aktifitas ovari dan menghasilkan kegagalan perkembangan folikel
dan ovulasi (McKinnon et al. 2011).
17
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2011 di
beberapa peternakan kuda di Pulau Jawa dan Madura.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini menggunankan kuda induk yang diperiksa kebuntingannya
atau organ reproduksinya. Kuda-kuda yang diamati adalah keturunan kuda
persilangan induk betina lokal dan pejantan Thoroughbred atau pejantan
persilangan juga. Kuda hasil persilangan dikenal sebagai kuda G atau KPI.
Pemeliharaan kuda dilakukan secara intensif dengan pakan tambahan yang
berbeda-beda sesuai dengan manajemen masing-masing peternakan. Umur kuda
induk bervariasai antara 3–23 tahun, dara atau sudah pernah beranak. Perkawinan
kuda dilakukan secara alami.
Pemeriksaan organ reproduksi dilakukan dengan pemeriksaan perektal
dengan alat ultrasonografi (ALOKA SSD-500, Aloka Co.Ltd, Japan), linear probe
5 MHz (ALOKA UST-588U-5, Aloka Co. Ltd. Japan) dilengkapi printer (SONY,
UP-895 MD, Video Graphic Printer, Japan). Pemeriksaan dilakukan minimal 3
kali yaitu sebelum perkawinan, 18-20 hari setelah perkawinan dan 30-45 hari
setelah perkawinan.
Analisis Data
Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di berbagai peternakan
kuda dan mengikuti kegiatan pemeriksaan dan penanganan kasus pasien. Data
sekunder diperoleh dari rekam medik pasien kuda Unit Rehabilitasi Reproduksi.
Data yang diperoleh dalam studi ini diolah dan dianalisis secara deskriptif.
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Performa Reproduksi
Selama tahun 2010 tercatat sebanyak 310 kuda betina diperiksa. Kuda
tersebut adalah kuda poni hasil persilangan kuda Thoroughbred dengan kuda lokal
Indonesia atau yang lebih dikenal kuda G atau KPI. Kuda yang diperiksa berasal
dari berbagai peternakan kuda di pulau Jawa dan Madura. Perkawinan kuda-kuda
ini dilakukan secara alami. Musim kawin kuda di Indonesia berlangsung pada
bulan September hingga Januari. Hal ini berhubungan dengan perhitungan umur
kuda bagi peserta lomba pacuan kuda PORDASI, dimana perhitungan umur kuda
dimulai pada tanggal 1 Agustus setiap tahun bukan pada tanggal 1 Januari.
Sedangkan kegiatan Pacuan Kuda Derby Indonesia dilaksanakan pada minggu
terakhir bulan Juli setiap tahun. Perbedaan umur beberapa bulan saja prestasi
kuda sudah menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan baik tenaga, napas,
kekuatan otot dan lain-lain.
Gambar 5 Gambaran ultrasonografi kebuntingan kuda: (a) adanya massa anechoic pada kebuntingan 16 hari terlihat vesikel (V). (b) kebuntingan 18 hari, bentuk vesikel tidak membulat lagi. (c) kebuntingan 40 hari,massa echoic adalah embrio (E) berukuran sekitar 35 mm, kantong kuning telur (Y) sudah mengecil dan mulai terbentuk tali umbilikus (tanda panah) serta amnion (A) yang mengembang.
Sebenarnya di Indonesia yang termasuk wilayah tropis, semua kuda dapat
dikawinkan sepanjang tahun. Sedangkan di belahan bumi utara musim kawin
berlangsung pada April sampai Juni atau Mei sampai Juli (Hafez 1993) dan di
a
V
b
V
c
E
A
Y
19
belahan bumi selatan (Australia) berlangsung pada September sampai Desember
(Osborne 1966).
Pengamatan USG untuk menentukan kebuntingan kuda paling efektif
dilakukan pada hari ke-18 sampai ke-20 setelah perkawinan, gambaran USG
vesikel sudah mulai tidak membulat dan ditandai adanya perkembangan
endometrium seperti pada Gambar 5. Hal ini berhubungan dengan siklus estrus
kuda sekitar 21 hari. Ketika hasil pemeriksaan menunjukkan negatif, dapat segera
dikawinkan ulang sebelum masa estrus berakhir.
Pengamatan kebuntingan sebelum hari ke-18 dapat dilakukan mengingat
terbentuknya vesikel pada hari ke-12 dan masa implantasi atau fiksasi vesikel
berlangsung pada hari ke-16 (England 2005). Tetapi beberapa pengamatan
menunjukkan ukuran vesikel sangat kecil bahkan belum terlihat sehingga belum
bisa dikatakan positif bunting dan harus dilakukan pemeriksaan ulang.
Pemeriksaan ulang umumnya dilakukan antara hari ke-30 hingga ke-45 setelah
kawin. Pemeriksaan ulang bertujuan untuk memastikan kebuntingan kuda. Pada
hari-hari tersebut embrio mengalami masa akhir perkembangan menjadi fetus dan
terbentuk tali umbilikus. Sebaiknya transportasi kuda dilakukan setelah dilakukan
pemeriksaan ulang untuk menghindari kematian embrio dini.
Gambar 6 Kebuntingan kuda 24 hari ditandai adanya embrio (tanda panah) pada uterus disertai
estrus ditunjukkan oleh folikel dominan (DF) sekitar 35 mm.
Penggunaan ultrasonografi sebagai alat diagnosa kebuntingan pada kuda
sangat efisien karena membantu peternak mengetahui kondisi kebuntingan kuda
sejak dini. Sehingga kerugian ekonomi akibat penantian kepastian kondisi
DF
20
bunting yang tidak pasti dapat dicegah. Secara tradisional, peternak mengetahui
bahwa kuda yang bunting tidak mengalami estrus atau birahi pada periode siklus
berikutnya setelah kawin. Tetapi, beberapa kasus menunjukkan kelainan tingkah
laku betina seperti estrus semu dan silent heat terlebih pada kuda yang menyusui
(England 2005). Gambaran USG kuda bunting yang juga mengalami estrus
ditunjukkan pada Gambar 6. Peternak melaporkan bahwa telah terjadi perkawian
pada kuda bunting yang mengalami estrus semu mengakibatkan keguguran fetus.
Perilaku estrus tersebut telah dilaporkan oleh Hayes dan Ginther (1989)
berlangsung pada hari 12, 13, 14, 18, 40, atau sampai hari 60.
Pencatatan yang dilakukan pada akhir musim hanya diperoleh tingkat
keberhasilan kebuntingan mencapai 65,07% (190 ekor) dari satu atau lebih
perkawinan (292 ekor) seperti pada Tabel 2. Sedangkan kuda yang tidak
dikawinkan sebanyak 18 ekor. Hal ini dinilai cukup rendah bila dibandingkan
tingkat kebuntingan di negara lain seperti kuda Thoroughbred di Swedia sebesar
90,9% (Hemberg et. al. 2004), Spanyol sebesar 72.78% dan India sebesar 85.25%
(Sharma et. al. 2010).
Tabel 2 Performa reproduksi kuda Status Reproduksi Kuda Jumlah (ekor) Persentase (%) Kawin 292 94,19
Bunting 190 65,07 Tidak Bunting 102 34,93
Tidak Kawin 18 5,81 Total 310 100
Rendahnya angka kebuntingan tersebut terutama dipengaruhi oleh
perbedaan manajemen dari masing-masing stable. Angka kebuntingan juga
dipengaruhi oleh jumlah kuda yang diternakan, terdapat kecenderungan semakin
banyak kuda akan semakin menurun angka kebuntingan. Hal ini dapat
disebabkan oleh kurangnya sumberdaya manusia untuk mengatur perkawinan
kuda. Umumnya stable-stable tersebut berkonsentrasi pada pacuan kuda dan
belum ada pembagian khusus pengelolaan antara breeding dengan perlombaan.
Stable yang manajemen breeding nya cukup bagus yaitu Pamulang Stable,
Manfaat Stable, Tonsea Stable dan King Halim Stable. Jumlah ideal bagi
peternakan kuda untuk breeding di Indonesia tidak lebih dari 10 ekor. Hal ini
21
sangat dipengaruhi oleh ketersediaan lahan, pakan, jumlah pejantan dan
sumberdaya manusia. Stable yang memiliki kuda cukup banyak seperti Aragon
Stable (31 ekor), Bintang Madura Stable (17 ekor), Tombo Ati Stable (22 ekor)
dan KTS Stable (33 ekor) lebih kesulitan mengelola program breeding-nya,
sehingga didapatkan angka kebuntingan yang rendah. Tingkat kebuntingan di
beberapa stable di Indonesia disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Tingkat kebuntingan kuda di beberapa stable. Stable Jumlah kuda yang
diternakkan (ekor) Angka kebuntingan (%)
3R 6 66,67 4 Saudara 5 60
Arrow Head 8 57,14 Manfaat 5 100 Ampel 8 62,5 Aragon 31 63,33
Bintang Madura 17 50 Eclipse 14 85,71
Cipayung 10 60 Joglo Pawang 6 66,67 King Halim 9 77,78
KTS 33 66,67 Nikita 13 69,23
Pamulang 11 88,89 Pikatan 7 57,14
Surabaya 9 77,78 Tombo Ati 22 66,67
Tonsea 8 87,5 Trawas 6 100
Selain faktor-faktor yang dibahas di atas, variabel lain yang dapat
mempengaruhi kinerja reproduksi kuda adalah kesuburan, nutrisi dan manajemen
pejantan. Sejauh ini, studi tentang kesuburan pejantan (Davies Morel dan
Gunnarsson 2000; Morris dan Allen 2002) sangat mempengaruhi tingkat
kesuburan. Kondisi tubuh juga mempengaruhi nilai kebuntingan. Laporan
Henneke et al (1984) menunjukkan bahwa kuda dengan kondisi tubuh yang
kurang pada 90 hari prepartum hingga 90 hari postpartum hanya menghasilkan
angka kebuntingan sebesar 50%. Sementara itu, nutrisi yang tidak cukup dalam
jangka panjang dapat menurunkan kesuburan kuda yang berkaitan dengan
ketidakmampuan mempertahankan fungsi luteal (van Niekerk FE.dan van Niekerk
CH 1998). Hal ini dapat sangat berpengaruh sekali bagi efisiensi reproduksi
peternakan kuda di Indonesia mengingat kualitas rumput secara umum relatif
22
rendah untuk nutrisi kuda. Selain itu, pengetahuan peternak kuda akan kecukupan
nutrisi kuda sangat sedikit dan biasanya diternakkan secara tradisional.
Kebuntingan Kembar
Kejadian kebuntingan kembar sebesar 6,32% (12 ekor) dari 190
kebuntingan. Kebuntingan kembar pada kuda Thoroughbred di Jerman yang
dilaporkan oleh Merkt dan Jöchle pada tahun 1993 sebesar 2,5% dari 27.465
kebuntingan selama kurun waktu antara 1967 dan 1992. Namun, angka ini
menurun dari 2,7% sebelum 1984 menjadi 1,7% pada tahun berikutnya.
Sedangkan laporan Sharma et al. (2010) angka kebuntingan kembar 10.70% dari
total kebuntingan. Kebuntingan kembar kuda Thoroughbred di Polandia sebesar
3,3% pada tahun 1952-1976. Sebanyak 73% dari kuda bunting kembar tersebut
terjadi abortus sebesar 73%, still birth sebesar 11% dan yang hidup sebesar 16%
(Deskur 1985). Kebanyakan kebuntingan sebesar 57,57% secara unilateral dan
41.50% secara bilateral.
Gambar 7 Gambaran ultrasonografi uterus kuda dengan kebuntingan kembar ditandai dengan adanya dua vesikel (V) anechoic.
Kebuntingan kembar menyebabkan kerugian ekonomi karena
mengakibatkan kematian embrio dini, abortus atau fetus sangat jarang sekali
tumbuh sempurna hingga lahir (Wolc et al. 2006). Identifikasi kebuntingan
kembar dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG. Keberadaan lebih dari satu
vesikel anechoic seperti terlihat pada Gambar 7 pada awal kebuntingan
merupakan indikasi kebuntingan kembar. Sebanyak 11 kasus kebuntingan
kembar dilaporkan hanya satu yang berhasil lahir. Namun, hanya satu anak yang
V
V
23
berhasil lahir dan satu fetus telah mengalami mumifikasi. Ada beberapa peternak
yang berusaha mereduksi jumlah fetus dengan cara mengurangi asupan pakan
tetapi hal tersebut tidak berhasil. Begitu pula terapi enekluasi tidak menunjukkan
hasil yang positif.
Dua kasus kebuntingan kembar diindikasikan sebagai akibat sinkronisasi
estrus menggunakan PGF2α. Penggunaan PGF2α dapat memicu ovulasi lebih dari
satu folikel apabila ada lebih dari satu folikel dengan diameter lebih dari 25 mm.
Hal ini telah diteliti oleh Veronesi et al. (2003) bahwa penggunaan hormon untuk
sinkronisasi seperti hCG, PGF2α atau kombinasi hCG dan PGF2α dapat
menginduksi kebuntingan kembar. Selain itu penelitian embrio transfer oleh
Mancill et al. (2011) menyebabkan kebuntingan kembar monozigotik yang
kesemuanya mengalami kematian. Umur yang sudah tua (lebih dari 16 tahun)
menunjukkan kecenderungan kebuntingan kembar lebih tinggi dibandingkan
dengan kuda yang lebih muda (Deskur 1985).
Penelitian yang dilakukan Ginther (1987) menunjukkan bahwa ukuran
vesikel antara kuda dengan satu ovulasi dan kuda dengan lebih dari satu ovulasi
tidak menunjukkan perbedaan signifikan pada hari ke-14. Penghilangan atau
enukleasi yang dilakukan oleh Merkt dan Jöchle (1993) pada salah satu embrio
dari 69 kasus memberikan hasil terbaik jika dilakukan pada hari ke-21 hingga 26
kebuntingan dan menghasilkan 80% keberlangsungan gestasi. Pemeriksaan USG
oleh Ginther (1989) setelah enuklesi menunjukkan reduksi embrio meningkat
secara signifikan ketika vesikel fiksasi secara unilateral, bukan bilateral, dan
ketika ukuran vesikel tidak setara diameternya. Selain itu juga perlu diperhatikan
porsi terbesar dari dinding kantong kuning telur, kantong alantois atau
vaskularisasi berada pada vesikel atau endometrium. Reduksi embrio pada porsi
dinding embrio yang lebih besar menempel pada endometrium mengakibatkan
embrio kekurangan asupan maternal dan akan mengalami regresi. Pembatasan
asupan pakan untuk menghindari kebuntingan kembar dengan cara melemahkan
konseptus sulit untuk dikelola. Pengurangan asupan pakan selama satu siklus
sebelum kawin pada tiga kuda dengan sejarah kebuntingan kembar menghasilkan
lima kebuntingan dari lima percobaan (Merkt dan Jöchle 1993).
24
Kematian Embrio Dini
Kematian embrio dini pada kuda umumnya didefinisikan sebagai kegagalan
kebuntingan yang terjadi setelah fertilisasi hari ke-40 sampai 60 hari umur
kebuntingan. Kematian embrio diketahui saat pemeriksaan ulang yang dilakukan
umumnya pada hari ke 30 sampai 50 kebuntingan. Pada pemeriksaan ulang tidak
ditemukan perkembangan embrio atau tanda-tanda kebuntingan. Jumlah kematian
embrio dini yang tercatat sebanyak 7,37% (14 ekor) dari total 190 kebuntingan.
Vanderwall (2008) menyatakan bahwa rata-rata kejadian kematian embrio dini
pada berbagai studi sebesar 8,6% dengan kisaran antara 3,0 sampai 24,0%. Angka
kematian embrio dini paling tinggi antara 20 sampai 30% terjadi pada kuda tua
dengan usia lebih dari 18 tahun.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kematian embrio dini
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: intrinsik, ekstrinsik dan embrionik. Faktor
intrinsik meliputi penyakit endometrium, ketidakcukupan progesteron, usia induk,
laktasi, waktu inseminasi, tempat fiksasi embrio intrauterin, dan kelainan
kromosom induk. Faktor ekstrinsik meliputi stres, nutrisi, cuaca atau iklim,
palpasi perektal atau ultrasonografi, manipulasi gamet dan semen. Faktor
embrionik meliputi anomali kromosom atau karakter lain embrio, dapat
dipengaruhi faktor ekstrinsik dan ekstrinsik (Vanderwall 2008).
Menurut Vanroose et al. (2000) kematian embrio dini paling sering terjadi
sehari setelah fertilisasi dan selama proses implantasi. Penyebab kematian embrio
dapat dibagi menjadi infeksius dan noninfeksius. Patogen spesifik maupun non
spesifik dapat menginfeksi embrio dan lingkungannya. Patogen pada uterus
menyebabkan kematian embrio dini dengan merubah endometrium (endometritis)
atau langsung merusak embrio (sitolitik). Penelitian mengenai mekanisme
kematian embrio dini yang dilakukan Ivkov et al. (1998) menunjukkan bahwa
embrio yang mati lebih cenderung mengalami penyerapan daripada dikeluarkan
melewati cerviks. Embrio yang mati lebih baik dikeluarkan daripada mengganggu
kondisi uterus, sehingga kuda lebih cepat dikawinkan kembali.
Kematian embrio dini dapat dihindari dengan mengubah manajemen atau
melalui treatment sesuai dengan kondisi individu kuda. Hal utama secara umum
yang dapat dilakukan adalah mengatur kuda induk cukup nutrisi dan kondisi
25
tubuh yang optimal, vaksinasi dan pemberian obat cacing yang rutin, dan menjaga
hewan tidak stres. Gangguan spesifik individu kuda seperti ketidakcukupan
estrogen dapat diterapi dengan pemberian progesteron estrogenik. Terapi ini
dapat mencegah luteolisis dan menjaga fungsi CL. Aspek penting manajemen
klinik bagi kematian embrio dini adalah menentukan faktor penyebab spesifik
pada kuda yang memiliki sejarah kematian embrio dan pada kuda tua untuk segera
dilakukan treatment yang tepat sehingga dapat dikawinkan sesegera mungkin.
Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan rutin dengan jangka waktu yang lebih
pendek (10 hari sekali) sampai umur kebuntingan 60 hari, kemudian dengan
frekuensi pemeriksaan diturunkan (Vanderwall 2008).
Abortus
Kejadian abortus yang tercatat sebesar 1,29% (2 ekor) dari 190 kebuntingan.
Kejadian di lapangan mungkin dapat lebih banyak lagi, mengingat kasus ini bukan
hasil diagnosa ultrasonografi. Laporan oleh Merkt dan Jöchle pada tahun 1993
menunjukkan 6.5% abortus dari seluruh kebuntingan terjadi pada kuda
thoroughbred. Data diperoleh dari informasi kondisi kuda ketika pemerikasaan
USG untuk mengetahui kondisi saluran reproduksi post abortus. Kasus abortus
umumnya akan diikuti oleh endometritis atau pyometra. Kerugian yang
ditimbulkan akibat abortus tidak hanya kehilangan anak atau keturunan tetapi juga
menyebabkan pengafkiran induk.
Kematian fetus dan abortus memiliki banyak kemungkinan penyebab, tetapi
kasus aktual pada setiap individu sulit untuk dipahami. Beberapa teknik untuk
mengetahui kematian fetus antara lain pemeriksaan serologis hormon atau protein
feto-placental atau fetal (seperti oestrone sulphate, PAG1 atau PSP60) dan
pemeriksaan biofisik dengan ultrasonografi untuk melihat fetal heart rate (FHR)
dan fetal movements (FM). Idealnya kedua pemeriksaan tersebut tidak dilakukan
secara tersendiri, tetapi keduanya dapat saling melengkapi (Jonker 2004).
Faktor-faktor yang menyebabkan abortus menurut Jonker (2004) yaitu
masalah pada tali umbilikus, bisa terjadi torsio atau iskemia, kebuntingan kembar,
edema plasenta, contracted foal syndrome, gangguan hormonal, infeksi
fetoplacental dan placentitis. Infeksi yang terjadi pada akhir kebuntingan
menyebabkan placentitis dan abortus. Penyebab paling sering abortus infeksi
26
adalah bakteri. Bakteri penyebab antara lain penyebab penyakit veneral (seperti
Taylorella equigenitalis, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae,
Rhodococcus equi, Leptospira spp.) atau bakteri umum di lingkungan (E. coli,
Streptococcus zooepidemicus, Staphylococcus aureus). Pada tahun 1997, Madić
e. al. melaporkan kejadian outbreak abortus pada 21 ekor kuda dari 26 kuda
bunting yang terinfeksi Salmonella abortusequi.
Infeksi virus biasanya menyebabkan abortus pada masa akhir kebuntingan.
Virus penyebab abortus pada kuda antara lain equine viral arteritis (EVA), equine
herpesvirus-1 (EHV 1) dan equine herpesvirus-4 (EHV-4). Apabila terjadi
abortus akibat infeksi, tindakan yang dilakukan adalah kuda harus diisolasi, alas
kandang dibersihkan, dan semua area didesinfeksi (Davies Morel 2005; Smith et
al. 2003 dan Giles et al. 1993). Infeksi fungi bisa diakibatkan oleh Aspergillus,
Mucor, dan Candida. Selain itu, dapat juga diakibatkan oleh infeksi parasit
seperti Trypanosomum equiperdum, Mycoplasma dan Babesia (Jonker 2004).
Abortus dapat terjadi akibat gangguan hormonal seperti hilangnya fungsi
luteal. Tetapi kasus abortus yang dilaporkan oleh Bosu dan McKinnon (1982)
menunjukkan bahwa pemberian preparat prostaglandin sintetik, prostalene, pada
empat ekor kuda tidak mengakibatkan abortus. Penggunaan prostalene tersebut
menghasilkan relaksasi cerviks, peningkatan tonus uterus dan penurunan
konsentrasi plasma progesteron.
Pyometra
Kejadian pyometra yang ditemukan sebesar 1,29% (2 ekor) dari seluruh
kuda yang diperiksa. Gejala klinis pyometra yang dapat tampak dari luar adalah
keluarnya eksudat atau materi purulen dari vulva. Biasanya eksudat tersebut akan
menempel dan mengering di rambut ekor seperti terlihat pada Gambar 8.
Pemeriksaan USG pada kasus pyometra ditunjukkan dengan adanya gambaran
echoic, hypoechoic, dan anechoic di dalam uterus yang mengindikasikan adanya
massa cairan bercampur padatan. Adanya cairan pyometra dapat dibiaskan
dengan lendir estrus. Perbedaan keduanya adalah adanya bagian yang lebih
echoic pada bagian ventral dibandingkan bagian medial dan dorsal akibat adanya
endapan massa purulen pada pyometra seperti terlihat pada Gambar 8, sedangkan
lendir birahi lebih cenderung seragam gambarannya. Ginther dan Pierson (1984)
27
menjelaskan pemeriksaan USG pyometra yang menunjukkan adanya massa
purulen ditandai dengan gambaran yang relatif anechoeic tetapi juga berisi titik-
titik echogenic.
Gambar 8 Pyometra pada kuda. (a) Gambaran ultrasonografi lumen uterus yang mengalami pyometra dengan akumulasi cairan anechoic bercampur dengan eksudat hypoechoic-echoic. Pada bagian ventral (tanda panah) terlihat lebih echoic merupakan endapan eksudat. (b) Gejala klinis kuda yang mengalami pyometra. Eksudat keluar dari vulva dan sebagian menempel pada ekor (tanda panah).
Pyometra tidak selalu menunjukkan gejala penyakit sistemik atau keluarnya
lendir purulen dari vulva, tetapi beberapa kuda akan menunjukkan
ketidaknyamanan ketika latihan atau beraktivitas. Temuan klinis yang dilaporkan
oleh Cozens (2009) pada kasus pyometra adalah lethargy dan pyrexia.
Pemeriksaan post mortem menunjukkan pembesaran cornua uteri yang berisi
materi purulen. Kultur bakteri dari materi purulen tersebut diperoleh biakan
Streptococcus zooepidemicus dan Pseudomonas spp. kedua isolat bakteri
menunjukkan sensitivitas gentamicin, ceftiofur, enrofloxacin, dan rifampicin.
Kasus yang terjadi di lapangan kebanyakan sulit untuk diobati. Hal ini
dikarenakan pyometra sudah berlangsung kronis sehingga tingkat kerusakan
endometrium sebagai tempat implantasi embrio sudah parah. Kasus pyometra
dapat diawali dari temuan endometritis yang berangsur-angsur berkembang
menjadi pyometra. Ataupun pyometra berhasil diterapi dan hanya diindikasikan
sebagai endometritis. Tujuan dari pengobatan pyometra adalah untuk
a b
28
menghilangkan materi purulen dari uterus. Beberapa tindakan yang dilakukan
yaitu dengan cara flushing atau mengeluarkan materi purulen dengan cara disedot
menggunakan selang secara pervaginal. Volume materi purulen yang dapat
dikeluarkan bisa mencapai lebih dari 1 liter. Pengobatan yang dilakukan antara
lain menggunakan PGF2α, multivitamin kompleks, oxytocin, povidone iodine, atau
kombinasi antibiotik gentamicine dan flumequine.
Teknik pengobatan yang disarankan oleh Noakes et al. (2008) adalah
menginduksi luteolisis korpus luteum jika ada dengan preparat PGF2α pada tahap
awal. Pemberian PGF2α membuat cerviks relaksasi dan memungkinkan
perlekatannya terbuka. Selain PGF2α, estradiol juga dapat digunakan untuk
mengendurkan cerviks. Selanjutnya materi purulen dikeluarkan dengan cara
flushing, kemudian diterapi menggunakan kombinasi antibiotik spektrum luas dan
oxytocin untuk menuntaskan pengeluaran eksudat. Setelah itu, pengamatan USG
harus rutin dilakukan untuk mengetahui perkembangan kondisi uterus. Hal yang
perlu dicermati apabila terapi yang dilakukan berhasil adalah kuda tersebut tetap
harus diperhatikan ketika akan dikawinkan. Beberapa kasus kronis akan sulit
diterapi, untuk itu terapi terakhir adalah histerektomi. Terapi ini akan mencegah
kontaminasi peritoneum.
Endometritis
Gambar 9 Gambaran ultrasonografi uterus kuda yang mengalami endometritis (hypoechoic) ditandai adanya garis-garis hypoechoic-hyperechoic pada lumen uterus (tanda panah).
Kasus endometritis merupakan masalah terbesar dalam reproduksi kuda.
Kasus yang tercatat mencapai 15,81% (42 ekor) dari seluruh kuda yang diperiksa.
29
Gambaran ultrasonografi uterus yang mengalami endometritis adalah terlihat
adanya massa berbentuk garis-garis tipis hypoechoic-echoic pada lumen uterus
seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Tingkat keparahan endometritis dapat variatif
dan dapat dilihat dari besarnya garis-garis yang terbentuk.
Faktor predisposisi endometritis yaitu kondisi fisiologis uterus. Clearance
atau pembersihan uterus secara fisik selama estrus berbeda antara kuda yang fertil
dan infertil. Kuda yang mengalami endometritis akan terjadi akumulasi lendir
estrus dan tidak dapat membersihkan bakteri di dalam uterus. Sedangkan kuda
yang fertil akan sangat cepat mengeluarkan bakteri dari dalam uterus sehingga
tidak terjadi akumulasi cairan. Endometritis dapat diakibatkan adanya gangguan
kontraksi uterus. Penelitian yang dilakukan oleh Troedsson et al. (1993) secara in
vivo menunjukkan bahwa kuda yang mengalami endometritis memiliki aktivitas
mioelektrik yang tertunda dan lebih rendah intensitasnya. Menurut LeBlanc
(2003) perubahan anatomis sudut vulva menyebabkan tertahannya pengeluaran
discharge dan bakteri dari luar lebih mudah masuk kedalam uterus. Konformasi
vulva lebih ke caudal sedangkan anus lebih cranial dapat disebabkan kondisi
tubuh menurun dan genetik. peregangan ligamen akibat seringnya beranak
mengakibatkan posisi uterus turun di dalam abdomen. Posisi uterus yang lebih
ventral akan menyulitkan pengeluaran akumulasi cairan di dalam uterus akibat
gravitasi.
Terapi endometritis yang dilakukan meliputi pemberian obat secara
langsung maupun saran-saran perbaikan manajemen kepada klien. Terapi tersebut
berhasil mengembalikan kondisi uterus dan kuda dapat bunting. Jumlah kuda
yang berhasil diterapi sebanyak 20 ekor. Pemberian antibiotik kombinasi
gentamicine dan flumequine, PGF2α, oxytocin, dan multivitamin dilakukan sesuai
dengan kondisi kuda. Pemilihan antibiotik kombinasi gentamicine dan
flumequine untuk menghilangkan bakteri baik gram positif maupun gram negatif.
Pemberian PGF2α dimaksudkan untuk mengendurkan cerviks sehingga eksudat
dapat keluar. Oxytocin berguna untuk membantu meningkatkan tonus uterus
sehingga discharge yang tertimbun dapat dikeluarkan (Hurtgen 2006).
Menurut Hurtgen (2006), pemilihan terapi endometritis pada kuda
didasarkan terutama untuk meminimalisasi faktor predisposisi kuda yang
30
memiliki resiko dan resistensi. Endometritis sangat sulit dipelajari karena
memiliki cakupan yang luas terhadap variabel-variabel penyebab pada kuda.
Sebaiknya kasus akut, kronik atau persistent mating-induced endometritis tidak
diterapi dengan standar yang sama. Diagnosis penyebab utama sebaiknya
dilakukan untuk mengetahui secara spesifik penyebab infeksi untuk diperoleh
terapi yang tepat. Penelitian yang dilakukan oleh Nielsen (2005) untuk
menentukan diagnosis endometritis yang memiliki nilai sensitivitas dan prediksi
yang akurat adalah menggunakan metode kultur bakteri dan cytologi dari biopsi
endometrium.
Hipofungsi Ovari
Gambar 10 Gambaran ovarium yang mengalami gangguan perkembangan folikel (hipofungsi), ditunjukkan dengan gambaran folikel dengan ukuran kecil-kecil (kurang dari 20 mm) dan ketiadaan corpus luteum baik pada ovarium kanan maupun kiri.
Hipofungsi ovari merupakan gangguan perkembangan folikel sehingga kuda
tidak mengalami estrus dan ovulasi dalam satu siklus normal. Kasus yang tercatat
mencapai 4,52% (13 ekor) dari seluruh kuda yang diperiksa. Informasi peternak
umumnya menyatakan bahwa kuda tersebut tidak pernah birahi meskipun sudah
didekatkan dengan pejantan pemacek. Pemeriksaan ultrasonografi biasanya sulit
untuk mencari posisi ovarium karena ukurannya kecil. Ovarium tersebut tidak
memiliki folikel yang berkembang, hanya massa anechoic yang berukuran kurang
dari 20 mm seperti terlihat pada Gambar 10. Terapi yang dilakukan untuk
memicu perkembangan ovarium adalah pemberian injeksi multivitamin dan terapi
hormonal.
Gangguan perkembangan folikel dapat diakibatkan oleh berbagai faktor.
Kuda-kuda yang dipelihara secara tradisional seperti hanya diberi pakan rumput
31
atau bahkan jerami dan sedikit dedak tidak cukup untuk menghasilkan performa
aktivitas ovarium yang normal. Tampilan fisik luar kuda belum tentu
menunjukkan kondisi ovarium yang bagus. Untuk itu, pemeriksaan ultrasonografi
penting untuk dilakukan bagi kuda yang hendak dikawinkan. Kuda yang
diternakkan umumnya merupakan kuda yang baru mengikuti pacuan. Hal ini
sangat dimungkinkan kuda tersebut banyak diberi steroid untuk meningkatkan
performa pacunya. Steroid tersebut dapat mempengaruhi fungsi hormon
reproduksi. Menurut McCue (2007) jumlah steroid yang digunakan dalam dosis
sedikit menyebabkan kuda betina menunjukkan sikap seperti pejantan dan
pengguanan steroid dosis tinggi menghambat aktivitas ovarium sehingga terjadi
kegagalan perkembangan folikel. Pengaruh steroid ini biasanya tidak cukup
hanya diterapi dengan multivitamin. Pemberian hormon dapat digunakan sebagai
pemicu perkembangan ovarium seperti progesteron, GnRH,dan FSH.
32
SIMPULAN
Performa reproduksi kuda pacu Indonesia cukup rendah dengan berbagai
gangguan reproduksi yaitu kebuntingan kembar, kematian embrio dini, abortus,
pyometra, endometritis, dan hipofungsi ovari. Pemeriksaan kebuntingan efektif
dilakukan pada hari 18 sampai 20 setelah perkawinan terakhir menggunakan
ultrasonografi.
33
DAFTAR PUSTAKA
Arthur GH. 1969. The ovary of the mare in health and disease. Equine. Vet. J. 1: 153–156.
Asbury AC, dan Hansen PJ. 1987. Effects of susceptibility of mares to endometritis and stage of cycle on phagocytic activity of uterine-derived neutrophils. J. Reprod. Fertil. Suppl. 35:311-6.
Asbury AC, Halliwell REW, Foster GW, dan Longino SJ.1980. Immunoglobulins in uterine secretions of mares with differing resistance to endometritis. Theriogenology 14:299-308.
Aurich C. 2011. Reproductive cycles of horses. Anim. Reprod. Sci. 124: 220-228.
Barr FJ. 1988. Diagnostic Ultrasound in The Dog and Cat. Oxford: Blackwell Scientific Pub.
Blakely J, dan Bade DH. 1991. Ilmu Peternakan Edisi ke IV. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr.
Blanchard TL, Varner DD, Love CC, Brinsko SP, Rigby SL, dan Schumacher J. 2003. Manual of Equine Reproduction. Ed ke-2. USA: Mosby Inc.
Bosu WTK, dan McKinnon AO. 1982. Induction of abortion during midgestation in mares. Can Vet. J. 23:358-360.
Bruck I, Anderson GA, dan Hyland JH. 1993. Reproductive performance of Thoroughbred mares on six commercial stud farms. Austr. Vet. J. 70: 299–303.
Card C. 2005. Post-breeding inflammation and endometrial cytology in mares. Theriogenology 64:580-588.
Cozens ERW. 2009. Pyometra and complete vaginal adhesion in a miniature horse. Can. Vet. J. 50:971–972.
Cuervo-Arango J, dan Newcombe JR. 2008. Risk factors for the development of haemorrhagic anovulatory follicles in the mare. Reprod. Domest. Anim. 45:473–480.
Davis Morel MCG, dan Gunnarsson V. 2000. A survey of the fertility of Icelandic stallions. Anim. Reprod. Sci. 64:49–64.
Davies Morel MCG. 2005. Breeding Horses. UK: Blackwell Publishing Ltd.
Dawson FL. 1977. Recent advances in equine reproduction. Equine. Vet. J. 9:4–11.
34
Deskur S. 1985. Twinning in Thoroughbred mares in Poland. Theriogenology 23:711-718.
England GCW. 2005. Fertility and Obstetrics in the Horse. Ed ke-3. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Gastal EL, Gastal MO, Bergfelt DR, dan Ginther OJ. 1997. Role of diameter differences among follicles in selection of a future dominant follicle in mares. Biol. Reprod. 57(6):1320-7.
Giles RC, Donahue JM, Hong CB, Tuttle PA, Petrites-Murphy MB, Poonacha KB, Roberts AW, Tramontin RR, Smith B, dan Swerczek TW. 1993. Causes of abortion, stillbirth, and perinatal death in horses: 3.527 cases (1986-1991). J. Am. Vet. Med. Assoc. 203:1170-1175.
Ginther OJ, dan Pierson RA. 1984. Ultrasonic anatomy and pathology of the equine uterus. Theriogenology 21:505-516.
Ginther OJ. 1987. Relationships among number of days between multiple ovulations, number of embryos, and type of embryo fixation in mares. J. Equine. Vet. Sci. 7: 82-88.
Ginther OJ. 1989. Twin embryos in mares II: post fixation embryo reduction. Eq. Vet. J. 21: 171–174.
Ginther OJ. 2000. Selection of the dominant follicle in cattle and horsee. Anim. Reprod. Sci. 60-61:61-79.
Ginther OJ, Gastal EL, Gastal MO, dan Beg MA. 2005. Regulation of Circulating Gonadotropins by the Negative Effects of Ovarian Hormones in Mares. Biol. Reprod.73:315–323
Ginther OJ, Gastal EL, Gastal MO, dan Beg MA. 2007. Effect of prostaglandin F2alpha on ovarian, adrenal and pituitary hormones and luteal blood flow in mares. Domest. Anim. Endocrinol. 32:315–328.
Ginther OJ, Gastal EL, Gastal MO, dan BegMA. 2008. Dynamics of the equine preovulatory follicle and periovulatory hormones: what's new? J. Equine. Vet. Sci. 28: 454–460.
Goddard PJ. 1995. Veterinary Ultrasonography. England: CAB International.
Hafez ESE, editor: 1993. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-6. Philadelphia: Lea & Febiger.
Hayes KEN, dan Ginther OJ. 1989. Relationship between estrous behavior in pregnant mares and the presence of a female conceptus J. Equine. Vet. Sci. 9: 316-318.
35
Heidler B, Aurich JE, Pohl W, dan Aurich C. 2004. Body weight of mares and foals, estrous cycles and plasma glucose concentration in lactating and non-lactating Lipizzaner mares. Theriogenology 61:883–893.
Hemberg E, Lundeheim N, dan Einarsson S. 2004. Reproductive performance of Thoroughbred mares in sweden. Reprod. Domest. Anim. 39:81–5.
Henneke DR, Potter GD, dan Kreider JL.1984. Body condition during pregnancy and lactation and reproductive efficiency of mares. Theriogenology 21:897-909.
Hurtgen JP. 2006. Pathogenesis and treatment of endometritis in the mare: A review. Theriogenology 66:560-566.
Ivkov V, Veselinovic S, Snezana V, Ivancev N., Anica I, dan Grubac S. 1998. Mechanism Of Aborion In Mares During Early Gestational Period. Prosiding 4th International Symposium on Animal Reproduction, Ohrid, Macedonia. hal. 69.
Jonker FH. 2004. Fetal death: comparative aspects in large domestic animals. Anim. Reprod. Sci. 82:415-430.
Kimura J, Hirano Y, Takemoto S, Nambo Y, Ishinazaka T, Himeno R, Mishima T, Tsumagari S dan Yokota H. 2005. Three-dimensional reconstruction of the equine ovary. Anatomia, Histologia, Embryologia. 34: 48–51.
LeBlanc MM. 2003. Persistent mating induced endometritis in the mare: pathogenesis, diagnosis and treatment Di dalam Ball BA, editor: Recent Advances in Equine Reproduction. New York: IVIS.
Madić J, Hajsig D, Sostari B, Ćurić S, Seol B, Naglić T, dan Cvetnić Z. 1997. An outbreak of abortion in mares associated with Salmonella abortusequi infection. Eq. Vet. J. 29: 230–233.
Mancill SS, Blodgett G, Arnott RJ, Alvarenga M, Love CC, dan Hinrichs K. 2011. Description and genetic analysis of three sets of monozygotic twins resulting from transfers of single embryos to recipient mares. J. Am. Vet. Med. Assoc. 238:1040-1043.
Mannion P. 2006. Diagnostic Ultrasound in Small Animal Practice. United Kingdom: Blackwell Publishing.
McCue PM. 2007. Ovarian abnormalities. Di dalam Samper JC, Pycock JF, McKinnon AO, editor. Current Theraphy in Equine Reproduction. USA: Elsevier Inc.
McKinnon AO, Squires EL, Vaala WE, dan Varner DD, editor. 2011. Equine Reproduction. Ed ke-2. Iowa: Blackwell Pub.
36
Merkt H, dan Jöchle W. 1993. Abortions and twin pregnancies in thoroughbreds: Rate of occurrence, treatments and prevention. J. Equine. Vet. Sci. 13:690-694.
Morel MCGD. 2005. Breeding Horses. England: Blackwell Publishing Ltd.
Morris LHA, dan Allen WR. 2002. Reproductive efficiency of intensively managed Thoroughbred mares in Newmarket. Equine. Vet. J. 34: 51–60.
Nielsen JM. 2005. Endometritis in the mare: A diagnostic study comparing cultures from swab and biopsy. Theriogenology 64: 510–518.
Noakes DE, Parkinon TJ dan England GCW. 2008. Arthur's veterinary reproduction and obstetrics. Ed ke-8. China: Saunders Ltd.
Osborne VE. 1966. An analysis of the pattern of ovulation as it occurs in the annual reproductive cycle of the mare in Australia. Aust. Vet. J. 42:149-154.
Pycock JF, dan Allen W E. 1990. Inflammatory components in uterine fluid from mares with experimentally induced bacterial endometritis. Equine. Vet. J. 22:422-425.
Reed SM, Bayly WM, dan Sellon DC. 2004. Equine Internal Medicine. Ed ke-2. USA: Elsevier.
Rohrbach BW, Sheerin PC, Cantrell CK, Matthews PM, Steiner JV, dan Dodds LE. 2007. Effect of adjunctive treatment with intravenously administered Propionibacterium acnes on reproductive performance in mares with persistent endometritis. J. Am. Vet. Med. Assoc. 231:107-113.
Sharmaa S, Dhaliwal GS, dan Dadarwal D. 2010. Reproductive efficiency of Thoroughbred mares under Indian subtropical conditions: A retrospective survey over 7 years. Anim. Reprod. Sci. 117: 241–248.
Shirazi A, Gharagozloo F, dan Ghasemzadeh-Nava H. 2004. Ultrasonic characteristics of preovulatory follicle and ovulation in Caspian Mares. J. Anim. Reprod. Sci. 80: 261-266.
Smith KC, Blunden AS, Whitwell KE, Dunn KA, dan Wales AD. 2003. A survey of equine abortion, stillbirth and neonatal death in the UK from 1988 to 1997. Equine. Vet. J. 35:496-501.
Troedsson MH, Liu IK, Ing M, Pascoe J, dan Thurmond M. 1993. Multiple site electromyography recordings of uterine activity following an intrauterine bacterial challenge in mares susceptible and resistant to chronic uterine infection. J. Reprod. Fertil. 99:307-13.
van Niekerk CH, Morgenthal JC, dan Gerneke WH. 1975. Relationship between the morphology of and progesterone production by the corpus luteum of the mare. Reprod. Fertil. Suppl. 23:171-5.
37
van Niekerk FE, dan van Niekerk CH. 1998. The effect of dietary protein on reproduction in the mare. VII. Embryonic development, early embryonic death, foetal losses and their relationship with serum progestagen. J. S. Afric. Vet. Assoc. 69: 150–155.
Vanderwall DK. 2008. Early embryonic loss in the mare. J. Equine. Vet. Sci. 28: 691-702.
Vanroose G, de Kruif A, dan Van Soom A. 2000. Embryonic mortality and embryo–pathogen interactions. Anim. Reprod. Sci. 60:131–143.
Veronesi MC, Battocchio M, Faustini M, Gandini M, dan Cairoli F. 2003. Relationship between pharmacological induction of estrous and/or ovulation and twin pregnancy in the Thoroughbred mares. Domest. Anim. Endocrinol. 25:133-140.
Watson ED, Stokes CR, David JS, Bourne FJ, dan Ricketts SW. 1987. Concentrations of uterine luminal prostaglandins in mares with acute and persistent endometritis. Equine. Vet. J. 19:31-37.
Widyananta BJ. 2011. Parameter ekhokardiografi Motion-Mode sebagai salah satu indikator potensi performa kuda pacu Indonesia [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Wolc A, Bresińska A, dan Szwaczkowski T. 2006. Genetic and permanent environmental variability of twinning in Thoroughbred horses estimated via three threshold models. J. Anim. Breed. Genet. 123:186-190.
Zerbe H, Schuberth HJ, Engelke F, Frank J, Klug E, dan Leibold W. 2003. Development and comparison of in vivo and in vitro models for endometritis in cows and mares. Theriogenology 60:209-223.