TUGAS AKHIR
PERENCANAAN ALTERNATIF
JEMBATAN BALOK BETON PRATEGANG
DENGAN METODE PELAKSANAAN BERTAHAP(Kasus Jembatan Tanah Ayu, Kec. Abiansemal, Kab. Badung)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
JURUSAN TEKNIK SIPILFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA2016
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Jembatan Tanah Ayu merupakan bangunan jembatan yang
perencanaannya di atur dalam standar perencanaan jembatan. Menurut SNI T-12-
2004 umur rencana jembatan pada umumnya disyaratkan 50 tahun. Namun untuk
jembatan penting dan berbentang panjang bersifat khusus disyaratkan umur
rencana 100 tahun.
Perencanaan harus berdasarkan pada suatu prosedur yang memberikan
jaminan keamanan pada tingkat yang wajar, berupa kemungkinan yang dapat
diterima untuk mencapai suatu keadaan batas selama umur rencana jembatan.
Perencanaan kekuatan balok, pelat sebagai komponen struktur jembatan
yang diperhitungkan terhadap lentur, geser, lentur dan aksial, geser dan puntir
harus didasarkan pada cara berdasarkan Perencanaan Beban dan Kekuatan
Terfaktor (PBKT). Untuk perencanaan komponen struktur jembatan yang
mengutamakan suatu pembatasan tegangan kerja, seperti untuk perencanaan
terhadap lentur dari komponen struktur beton prategang penuh atau komponen
struktur lain sesuai kebutuhan perilaku deformasinya atau sebagai cara
perhitungan alternatif dapat digunakan cara berdasarkan Perencanaan Batas Layan
(PBL).
Perencanaan harus memperhatikan faktor komponen struktur maupun
keseluruhan jembatan dengan mempertimbangkan faktor – faktor berikut
(Masnul, 2009):
1. Kontinuitas dan redundasi.
2. Semua komponen struktur jembatan harus mempunyai ketahanan yang
terjamin terhadap kerusakan dan instabilitas sesuai umur yang
direncanakan.
3. Aspek perlindungan eksternal terhadap kemungkinan adanya beban
yang tidak direncanakan atau beban berlebihan.
Jembatan Tanah Ayu termasuk dalam golongan jembatan dengan gelegar
tipe PCI Girder pracetak. Gelegar jembatan terbuat dari bahan beton dengan kuat
4
tekan karakteristik yang dikompositkan terhadap lantai beton bertulang. Bentuk
gelegar adalah I beam dengan bentang memanjang.
2.2 Precast Concrete I Girder
Precast Concrete I Girder merupakan bentuk yang paling banyak
digunakan untuk pekerjaan balok jembatan. Profil PCI girder berbentuk
penampang I dengan penampang bagian tengah lebih langsing dari bagian
pinggirnya. PCI girder memiliki penampang yang kecil dibandingkan jenis girder
lainnya, sehingga biasanya dari hasil analisa merupakan penampang yang
ekonomis.
2.3 Peraturan Jembatan
Adapun beberapa peraturan yang digunakan dalam mendesain alternatif
Tanah Ayu adalah sebagai berikut:
1. Standar Pembebanan untuk Jembatan, RSNI T-02-2005.
2. Perencanaan Struktur Beton untuk Jembatan, SNI T-12-2004.
3. Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan, SNI 03-
2833-2008.
4. Bridge Management System, BMS 1992.
2.4 Material Beton Prategang
2.4.1 Beton
Beton yang dipakai pada beton prategang umumnya mempunyai kuat
tekan 28-55 MPa pada umur 28 hari (benda uji silinder). Nilai slump berkisar
50-100 mm dengan faktor air semen ≤ 0,45.
2.4.2 Baja Prategang
Baja yang digunakan sebagai pemberi prategang pada beton merupakan
baja dengan mutu sangat tinggi hingga 1862 MPa atau lebih tinggi lagi. Baja
bermutu tinggi seperti itu dapat mengimbangi kehilangan prategang dan
mempunyai taraf tegangan sisa yang dapat menahan gaya prategang yang
dibutuhkan. Kehilangan prategang normal dapat diperkirakan di dalam selang
5
241 sampai 414 MPa. Karena itu, prategang awal harus sangat tinggi, sekitar
1241 sampai 1517 MPa.
Baja prategang dapat berbentuk kawat-kawat tunggal, strand yang terdiri
dari atas beberapa kawat yang dipuntir membentuk elemen tunggal dan batang-
batang bermutu tinggi.
Tabel 2.1 Kawat – kawat untuk beton prategang (Nawy, 2001)
Diam
Nominal
(in)
Kuat tarik minimum
(psi)
Tegangan minimum pada
ekstensi 1%
(psi)
Tipe BA Tipe WA Tipe BA Tipe WA
0.192 250.000 212.500
0.196 240.000 250.000 204.000 212.500
0.25 240.000 240.000 204.000 204.000
0.276 235.000 235.000 199.750 199.750
Sumber : Post-Tensioning Institute
Tabel 2.2 Strand standar 7 kawat untuk beton prategang (Nawy, 2001) Diameter
nominal strand (in.)
Kuat patah strand
(min. lb)
Luas baja nominal
strand (in.2)
Berat nominal strand
(lb/1000 ft)*
Beban minimum pada ekstensi 1
% (lb) Mutu 250 1/4(0,250) 9.000 0,036 122 7.650
5/16(0,313) 14.500 0,058 197 12.300 3/8(0,375) 20.000 0,08 272 17.000
7/16(0,438) 27.000 0,108 367 23.000 1/2(0,500) 36.000 0,144 490 30.600 3/5(0,600) 54.000 0,216 737 45.900 Mutu 270 3/8(0,375) 23.000 0,058 290 19.550
7/16(0,438) 31.000 0,115 390 26.350 1/2(0,500) 41.300 0,153 520 35.100 3/5(0,600) 58.600 0,217 740 49.800
Note : *100,000 psi = 689.5 Mpa
1000 lb = 4,448 N
6
Baja (tendon) yang dipakai untuk beton prategang dalam prakteknya
ada tiga macam, yaitu :
1. Kawat tunggal (wire), biasanya digunakan untuk baja prategang
pada beton prategang dengan sistem pratarik (pretension).
2. Kawat untaian (strand), biasanya digunakan untuk baja prategang
pada beton pratengang dengan sistem pascatarik (post tension).
3. Kawat batangan (bar), biasanya digunakan untuk baja prategang pada
beton prategang dengan sistem pratarik (pretension).
Kawat tunggal yang dipakai untuk beton prategang adalah yang sesuai
dengan spesifikasi seperti ASTM A 421. Untaian kawat (strand) banyak
digunakan untuk beton prategang dengan sistem pasca tarik. Untaian kawat yang
dipakai harus memenuhi syarat seperti yang terdapat ASTM A 416. Untaian
kawat yang banyak digunakan adalah untaian tujuh kawat. Gambar penampang
strand 7 kawat dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.1 Untaian Kawat Strand dan Strand 7 Kawat
Sumber: Nawy, 2001
Tabel 2.3 Spesifikasi strand 7 kawat
Ø Nominal (mm) Luas Nominal mm2 Kuat Putus (kN) 6,35 23,22 40 7,94 37,42 64,5 9,53 51,61 89
11,11 69,68 120,1 12,70 92,9 160,1 15,24 139,35 240,2
Ø Nominal (mm) Luas Nominal mm2 Kuat Putus (kN)
7
2.4.3 Grouting
Grouting dibutuhkan sebagai bahan pengisi selubung baja prategang
(tendon) untuk metode pasca tarik. Untuk metode pratarik tidak dibutuhkan
selubung sehingga tidak dibutuhkan grouting. Selubung terbuat dari logam yang
digalvanisir. Bahan grouting berupa pasta semen.
2.4.4 Temporary Tendon
Temporary tendon atau tendon sementara hanya digunakan pada girder
jembatan dengan sistem pelaksanaan pemasangan balanced cantilever.
Temporary tendon berfungsi sebagai penghubung antar segmen girder yang
bersifat sementara sampai seluruh segmen girder terpasang. Kemudian baru
dimasukkannya tendon permanen untuk pelaksanaan stressing.
2.5 Struktur Komposit
Struktur komposit merupakan struktur yang terdiri dari dua material atau
lebih dengan sifat bahan yang berbeda dan membentuk satu kesatuan sehingga
menghasilkan sifat gabungan yang lebih baik.
Perencanaan komposit mengasumsi bahwa baja dan beton bekerja sama
dalam memikul beban yang bekerja, sehingga akan menghasilkan desain
profil/elemen yang lebih ekonomis. Dismping itu struktur komposit juga
mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya adalah lebih kuat (stronger) dan
lebih kaku (stiffer) dari pada struktur non-komposit.
2.5.1 Metode Perencanaan Komposit
Perancangan balok komposit disesuaikan dengan metode yang digunakan
di lapangan. Ada dua metode yang biasanya digunakan dalam pelaksanaan
dilapangan yaitu dengan pendukung (perancah) dan atau tanpa pendukung.
Jika tanpa pendukung, balok baja akan mendukung beban mati primer
selama beton belum mengeras. Beban mati sekunder serta beban-beban lain akan
didukung oleh balok komposit yang akan berfungsi jika beton telah mengeras dan
menyatu dengan baja.
8
Dengan pendukung, selama beton belum mengeras beban mati primer
akan dipikul oleh pendukung. Setelah beton mengeras dan penunjang dilepas
maka seluruh beban akan didukung oleh balok komposit.
2.5.2 Lebar Effektif
Dalam struktur komposit, konsep lebar effektif slab dapat diterapkan
sehingga akan memudahkan perencanaan. Spesifikasi AISC/LRFD telah
menetapkan lebar effektif untuk slab beton yang bekerja secara komposit dengan
balok baja, sebagai berikut :
1. Untuk gelagar luar (tepi).
beff < L/8 dengan L = Panjang bentang.
beff < L1/2 + b’ dengan b’ = jarak dari as balok ke tepi slab.
2. Untuk gelagar dalam.
beff < L/4 dengan L = Panjang bentang.
beff < (L1 + L2)/2 L1 = jarak antar as balok.
Lebar effektif yang dipakai dipilih yang terkecil.
2.5.3 Kekuatan Batas Penampang Komposit
Kekuatan batas penampang komposit bergantung pada kekuatan leleh dan
sifat penampang balok baja, kekuatan ‘slab’ beton dan kapasitas interaksi alat
penyambung geser yang menghubungkan balok dengan ‘slab’.
Kekuatan batas yang dinyatakan dalam kapasitas momen batas memberi
pengertian yang lebih jelas tentang kelakuan komposit dan juga ukuran faktor
keamanan yang tepat. Faktor keamanan yang sebenarnya adalah rasio kapasitas
momen batas dengan momen yang sesungguhnya bekerja.
Untuk menentukan besarnya kekuatan batas beton dianggap hanya
menerima tegangan desak, walaupun sesungguhnya beton dapat menahan
tegangan tarik yang terbatas.
Prosedur untuk menentukan besarnya kapasitas momen ultimit, tergantung
apakah garis netral yang terjadi jatuh pada ‘slab’ beton atau jatuh pada gelagar
bajanya. Jika jatuh pada ‘slab’ dikatakan bahwa ‘slab’ cukup untuk mendukung
seluruh gaya desak, dan apabila garis netral jatuh pada gelagar baja dikatakan
9
‘slab’ tidak cukup mendukung beban desak, atau dengan kata lain bahwa ‘slab’
hanya menahan sebagian dari seluruh gaya desak dan sisanya didukung oleh
gelagar baja.
2.6 Beton Prategang
Definisi beton prategang yaitu beton bertulang yang telah diberikan
tegangan tekan untuk mengurangi tegangan tarik potensial dalam beton akibat
beban kerja.
2.6.1 Penggunaan Tulangan Non Prategang
Salah satu dari beberapa perkembangan terakhir dalam beton prategang
adalah penggunaan tulangan non prategang (tulangan biasa). Tulangan seperti ini
dapat dibuat dari kawat tegangan tarik tinggi, strand kawat, batang atau sekedar
batang baja lunak biasa. Tulangan non prategang dapat ditempatkan pada berbagai
posisi dalam balok prategang untuk memikul beban pada tahap yang berbeda.
Penempatan tulangan non prategang dapat dilihat pada gambar dan penjelasan
sebagai berikut:
1. Penempatan tulangan untuk memberikan kekuatan segera setelah peralihan
prategang seperti dilihat pada Gambar 2.2 sebagai berikut:
(a)
(b)
Gambar 2.2 Penempatan tulangan non prategang
Sumber: Budiadi, 2008
10
Keterangan :
(a) Untuk memikul tarikan akibat prategang pada tengah – tengah
bentang,
(b) Untuk memikul tarikan akibat prategang pada ujung – ujung bentang.
2. Untuk memperkuat beberapa bagian tertentu dari balok pracetak agar
mampu memikul beban khusus atau beban tak terduga selama
pengangkatan dan pemasangan. Hal ini dijelaskan pada Gambar 2.3
sebagai berikut:
Gambar 2.3 Tulangan prategang untuk memperkuat balok pracetak selama
penanganan dan pengangkutan
Sumber: Budiadi, 2008
3. Untuk memperkuat balok pada tahap beban kerja, seperti dijelaskan pada
Gambar 2.4 sebagai berikut:
(a)
(b)
Gambar 2.4 Tulangan non prategang untuk memperkuat balok akibat
beban kerja dan beban batas
Sumber: Budiadi, 2008
11
Keterangan :
(a) Untuk mendistribusikan retak dan meningkatkan kekuatan batas
(b) Untuk tulangan tekan pada beton
Ada tiga konsep yang berbeda – beda yang dapat dipakai untuk
menjelaskan dan menganalisis sifat – sifat dasar dari beton prategang (Lin and
Burn, 1993).
1. Konsep pertama yaitu memandang beton prategang sebagai suatu bahan
yang elastis sehingga dapat didesain dan dianalisis menurut tegangan –
regangan elastis. Ini merupakan sebuah pemikiran Eugene Freyssinet yang
memvisualisasikan dari bahan yang getas menjadi bahan yang elastis
dengan memberikan tekanan berlebihan dahulu pada bahan tersebut. Dari
konsep ini lahirlah kriteria “tidak ada tegangan tarik” pada beton.
𝜎 = 𝐹𝐴
± 𝐹.𝑒𝐼
(2.1)
Dimana :
σ = tegangan akibat prategang
I = momen Inersia Penampang
A = luas penampang
F = gaya prategang
e = eksentrisitas penampang
2. Konsep kedua yaitu memandang beton prategang serupa dengan beton
bertulang dan meninjau kekuatan batasnya. Untuk konsep teori ultimate,
analisis dengan kekuatan batas beton prategang hampir sama dengan beton
bertulang biasa, yaitu didasarkan pada prinsip kopel yang terdiri dari dua
gaya yaitu gaya tarik T yang diterima oleh baja dan gaya tekan C diterima
oleh beton yang bekerja dengan lengan momen Z.
3. Konsep ketiga memandang beton prategang digunakan untuk
mengimbangi gaya – gaya pada struktur. Konsep ini dikenal dengan
metode Penyeimbang Beban (Load Balancing Methode).
12
2.6.2 Metode Prategang
Berbagai metode dengan mana pratekanan diberikan kepada beton. Dalam
tulisan ini hanya membahas metoda yang paling luas dipakai untuk memberikan
pratekanan pada unsur-unsur beton struktural adalah dengan menarik baja ke arah
longitudinal dengan alat menarik. Menegangkan tendon tidak mudah, sebab
mengingat gaya yang cukup besar (sampai ratusan ton). Terdapat 2 (dua) prinsip
yang berbeda :
a. Konstruksi dimana tendon ditegangkan dengan pertolongan alat
pembantu sebelum beton di cor atau sebelum beton mengeras dan gaya
prategang dipertahankan sampai beton cukup keras. Untuk ini dipakai
istilah, Pre-tensioning. Dalam hal ini beton melekat pada baja prategang.
Setelah beton mencapai kekuatan yang diperlukannya, tegangan pada
jangkar dilepas perlahan-lahan dan baja akan mentransfer tegangannya
ke beton melalui panjang transmisi baja, yang tergantung pada kondisi
permukaan serta profil dan diameter baja, juga tergantung pada mutu
beton.
Langkah-langkah pelaksanaannya :
Langkah 1, Kabel ditegangkan pada alat pembantu, (Gambar a)
Langkah 2, Beton di cor (Gambar b)
Langkah 3,Setelah beton mengeras (umur cukup) baja di putus perlahan-
lahan, tegangan baja ditransfer ke beton melalui transmisi
baja (Gambar c).
Gbr a. Kabel ditegangkan pada alat bantu
13
Gbr b. Beton di cor
Gbr c. Pentransferan tegangan baja ke beton
Gambar 2.5 Metode Pre – Tension
Sumber: Burn & Lin, 1993
b. Konstruksi dimana setelah betonnya cukup keras, barulah bajanya yang
tidak terikat pada beton diberi tegangan. Untuk konstruksi in disebut :
Post - Tensioning.
Pada sistem Post-Tensioning, beton di cor dahulu dan dibiarkan
mengeras sebelum diberi gaya prategang. Baja dapat ditempatkan seperti
profil yang ditentukan, lalu beton di cor, letakan dihindarkan dengan
menyelubungi baja yaitu dengan membuat selubung/sheat. Bila kekuatan
beton yang diperlukan telah tercapai, maka baja ditegangkan di ujung-
ujungnya dan dijangkar. Gaya prategang ditransfer ke beton melalui
jangkar pada saat baja ditegangkan , jadi dengan demikian beton ditekan.
Langkah-langkah pelaksanaan Sistem Post-tensioning :
Langkah 1, Beton di cor dan tendon diatur sedemikian dalam sheat,
sehingga tidak ada letakan antara beton dan baja (Gambar
a)
14
Langkah 2, Tendon di tarik pada salah satu/kedua ujungnya dan
menekan beton langsung (Gambar b)
Langkah 3, Setelah tendon ditarik, kemudian di jangkarkan pada ujung-
ujungnya. Pretegang ditransfer ke beton melalui jangkar
ujung tersebut. Jika diinginkan baja terikat pada beton,
maka langkah selanjutnya adalah grouting (penyuntikan)
pasta semen ke dalam sheat (Gambar c) Penjangkaran
ujung.
Gbr a. Beton di cor dan tendon diatur.
Gbr b. Penarikan tendon dan penekanan beton.
Gbr c. Pentransferan tegangan baja ke beton dan penyuntikan grouting
Gambar 2.6 Metode Post – Tension
Sumber: Burn & Lin, 1993
Pada dasarnya ada 3 (tiga) prinsip tendon dengan mana baja atau strand
(untaian kawat) di angkurkan ke beton :
15
a. Dengan prinsip kerja pasak yang menghasilkan penjepit gesek pada
tendon (lihat Gambar 2.7a)
b. Dengan perletakan langsung dari kepala paku keeling atau baut yang
di buat pada ujung tendon (Gambar 2.7b)
c. Dengan membelitkan tendon kesekeliling beton (Gambar 2.7c)
(a) Prinsip kerja pasak
(b) Dengan sistem baut
(c) Angker mati, dengan memberikan tendon pada beton
Gambar 2.7 Prinsip-Prinsip Pejangkaran
Sumber: Vsl Prestress Menthod
2.6.3 Gaya Prategang
Gaya Prategang dipengaruhi oleh momen total yang terjadi. Gaya
prategang yang disalurkan harus memenuhi control batas pada saat kritis.
16
Persamaan berikut menjelaskan hubungan antara momen total dengan gaya
prategang (Burn & Lin, 1993).
F = T = 𝑀𝑇0,65.ℎ
(2.2)
Dimana :
MT : Momen Total
h : tinggi balok
2.6.4 Kehilangan Gaya Prategang
Kehilangan tegangan adalah berkurangnya gaya yang bekerja pada tendon
dalam tahap – tahap pembebanan. Didalam suatu sistem struktur beton prategang
selalu terdapat kehilangan gaya prategang, baik akibat sistem penegangan maupun
akibat pengaruh waktu (Budiadi, 2008).
Kehilangan haya prategang dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain (Burn & Lin, 1993).
− Perpendekan elastis beton
− Rangkak
− Susut
− Relaksasi tendon
− Friksi
− Pengangkuran.
2.6.5 Keuntungan dan Kerugian Menggunakan Beton Prategang
Dalam perencanaan jembatan adapun keuntungan dan kerugian
menggunakan beton prategang yaitu:
1. Dapat dipakai pada bentang-bentang yang besar.
2. Bentuknya langsing, berat sendiri lebih kecil, lendutan lebih kecil.
3. Hanya dapat memikul beban dalam satu arah,kurang cocok
untuk pembebanan bolak balik.
4. Beton mutu tinggi, tidak mudah retak, lebih aman/ tahan terhadap
pengaruh cuaca sehingga bahaya karatan dari baja oleh merembesnya
air atau uap-uap korosif dapat dibatasi.
17
2.7 Desain Pendahuluan
Desain pendahuluan penampang beton prategang untuk menahan lenturan
dapat dibentuk dengan prosedur yang sangat sederhana, berdasarkan pengetahuan
mengenai kopel gaya dalam C – 1 yang bekerja pada penampang.
Langkah-langkah desain pendahuluan :
a. Memperkirakan tinggi balok (h)
Untuk memperkirakan tinggi balok (h), dapat dihitung rumus empiris.
h = k √ Mt
dimana : h = tinggi balok (cm)
k = koefisien yang bervariasi antara 10-14
= Mba + Mbh
dengan,
Mbh = momen akibat beban hidup yang dapat di hitung berdasarkan
peraturan yang dapat di hitung berdasarkan peraturan beban
yang ada.
Mba = 0,15 Mbh – 0,30 Mbh (ditaksir)
Sehingga
Mt = 1,15 Mbh - 1,30 Mbh
Atau h dihitung fungsi dari panjang bentang (L).
h = 1/14 L – 1/12 L (2.3)
(untuk bentang berat-jembatan)
h = 1/30 L – 1/20 L (2.4)
(untuk gedung).
b. Menghitung luas penampang beton (Ab)
Dasarnya tegangan beton dalam kondisi akhir seperti berikut (lihat
Gambar 2.8).
18
Gambar 2.8 Desain pendahuluan penampang balok.
Sumber: Burn & Lin, 1993
1. Bila Mba > 0,25 Mt
Pada beban kerja, lengan momen untuk gaya-dalam dapat Bervariasi
antara 30 sampai 80% dari keseluruhan tinggi penampang h, dan rata-rata
sekitar 0,65 h. Gaya prategang efektif T yang diperlukan dapat dihitung :
Mt = T.z = T.0,65.h
T = 𝑀𝑡0,65ℎ
(2.5)
Ab = 𝑇𝜎𝑏𝑟
, 𝜎𝑏𝑟 = tegangan izin beton rata – rata
= 0,5. 𝜎𝑏𝑟akhir
Ab = 𝑇0,5.𝜎𝑏𝑟𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
(2.6)
2. Bila Mba < 0,25 Mt,
T = 𝑀𝑏ℎ0,5ℎ
= 𝑀𝑡−𝑀𝑏𝑎0,5ℎ
(2.7)
Sehingga,
Ab = 𝑇0,5.𝜎𝑏𝑟𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
(2.8)
Setelah luas penampang beton (Ab) di dapatkan berdasarkan persamaan
(2.5) atau persamaan (2.7), maka langkah selanjutnya adalah menentukan
bentuk penampang balok (balok U, balok T dan lain sebagainya).
19
2.7.1 Beban Rencana Pada Struktur Jembatan
Pada tugas akhir perencanaan beton prategang ini menggunakan beban
yang berpedoman pada Brige Management System (BMS 1992) section 2. Beban-
beban tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
2.7.1.1 Beban Mati
Berat nominal dan nilai terfaktor dari berbagai bahan dapat diambil dari
tabel berikut ini:
Tabel 2.4 Berat Bahan Nominal S.I.S dan U.L.S
Bahan Jembatan
Berat Sendiri
Nominal
S.L.S
(kN/m)
Berat Sendiri Biasa
U.L.S
(kN/m3)
Berat Sendiri
Terkurangi
U.L.S
(kN/m3)
Beton Massa 24 31,2 18
Beton Bertulang 25 32,5 18,80
Beton Bertulang
Pratekan
(Pracetak)
25 30 21,30
Baja 77 84,7 69,30
Kayu, Kayu lunak 7,8 10,9 5,50
Kayu, Kayu keras 11 15,4 7,7
Sumber : Bridge Management System (BMS – 1992) Vol. 1 & 2
Aksi dan beban tetap adalah beban yang bekerja sepanjang waktu yang
disebabkan oleh berat sendiri jembatan, dan beban tambahan yang dihitung
berdasarkan gambar rencana dan kerapatan dari bahan yang digunakan.
1. Berat Sendiri
Berat sendiri adalah berat beban dan bagian jembatan yang merupakan
elemen struktural dan elemen non struktural yang dianggap tetap. Yang termasuk
20
berat sendiri pada perencanaan jembatan ini adalah pada plat lantai beton, balok
memanjang.
2. Beban Mati Tambahan
Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu
beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural dan mungkin
besarnya berubah selama umur jembatan. Yang termasuk beban mati tambahan
adalah beban trotoar, perkerasan, sandaran dan perlengkapan umum.
2.7.1.2 Beban Hidup
1. Beban Lalu Lintas
a. Beban Lajur “D”
Beban lajur “D” bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan
menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan rangkaian
kendaraan yang sebenarnya. Beban lajur “D” terdiri atas beban tersebar
merata UDL (Uniform Distributed Load) yang digabung dengan beban
garis KEL (Knife Edge Load) seperti pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Beban Lajur “D”
Sumber : BMS, 1992
− Beban Terbagi Rata (UDL)
Mempunyai intensitas q kpa dimana besarnya q tergantung pada panjang
total yang dibebani L seperti berikut.
L ≤ 30 m q = 8,0 kPa (2.9)
L ≥ 30 m q = 8,0 �0,5 + 15𝐿� kPa (2.10)
21
Gambar 2.10 Beban “D” : Beban Tersebar Merata dan Bentang
Sumber : BMS, 1992
− Beban Garis (KEL)
Satu KEL dengan p kN/m harus ditempatkan tegak lurus dari arah lalu
lintas jembatan. Adapun besar intensitas P adalah 44,0 kN/m. Ketentuan
penggunaan beban “D” dalam arah melintang jembatan sebagai berikut.
− Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan sama atau kurang
dari 5.5 m, maka beban “D” harus ditempatkan pada seluruh lebar
jembatan dengan intensitas 100%
− Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan lebih besar dari 5.5
m, beban “D” sepenuhnya (100%) dibebankan pada lajur 5.5 m
sedangkan lebar selebihnya hanya dibebani separuh beban “D”
(50%).
Susunan pembebanan ini dapat dilihat pada Gambar 2.11.
22
Gambar 2.11 Penyebaran Pembebanan Pada Arah Melintang
Sumber : BMS, 1992
2. Beban Truk “T”
Pembebanan truk “T” terdiri dari kendaraan truk semi trailer yang
mempunyai susunan dan berat as seperti Gambar 2.12. Berat dari masing –
masing as disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan bidang
kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara kedua as tersebut bisa
diubah – ubah antara 4 meter sampai 9 meter untuk mendapatkan pengaruh
terbesar pada arah memanjang jembatan.
Gambar 2.12 Beban truk “T”
Sumber : BMS, 1992
23
Terlepas dari panjang jembatan atau susunan bentang hanya ada satu
kendaraan truk “T” yang bisa ditempatkan pada satu jalur lalu lintas rencana.
Kendaraan truk “T” ini harus ditempatkan di tengah – tengah lajur lalu lintas
rencana. Jumlah maksimum lajur lalu lintas rencana diberikan dalam tabel
berikut:
Tabel 2.5. Jumlah Maksimum Lajur Lalu Lintas Rencana
Jenis Jembatan Lebar Jalan Kendaraan Jembatan
(m)
Jumlah Lajur
Lalu Lintas
Rencana
Lajur tunggal 4,0 – 5,0 1
Dua arah tanpa median 5,5 – 8,25 2
11,25 – 15,0 4
Jalan kendaraan majemuk
10,0 – 12,9 3
11,25 – 15,0 4
15,1 – 18,75 5
18,8 – 22,5 6
Sumber : Bridge Management System (BMS – 1992) Vol. 1 & 2
b. Gaya Rem
Pengaruh kecepatan dan pengereman dari lalu lintas harus diperhitungkan
sebagai gaya dalam arah memanjang dan dianggap bekerja pada permukaan lantai
kendaraan. Sistem penahannya harus direncanakan untuk menahan gaya
memanjang tersebut.
Besarnya gaya rem ditentukan berdasarkan persamaan berikut:
L ≤ 80 m : gaya rem = 250 Kn (2.11)
80 m ≤ L ≤ 180 m : gaya rem = 2,5L + 50 (kN) (2.12)
L ≥ 180 m : gaya rem = 500 kN (2.13)
24
Gambar 2.13 Gaya Rem
Sumber : BMS, 1992
c. Beban Dinamis/Dynamic Load Allowance (DLA)
Faktor Beban Dinamik (DLA) berlaku pada “KEL” lajur “D” dan truk “T”
untuk simulasi kejut dari kendaraan bergerak pada struktur jembatan.
Untuk truk “T” nilai DLA-nya sesuai dengan persamaan berikut:
Lg ≤ 50 m DLA = 0.4 (2.14)
50 m ≤ Lg ≤ 90 m DLA = 0.525 – 0.0025 (2.15)
Lg ≥ 90 m DLA = 0.3 (2.16)
dimana :
Lg = �𝐿𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 .𝐿𝑚𝑎𝑘𝑠 ; untuk bentang menerus
Lrata – rata = panjang bentang rata – rata untuk bentang menerus
Lg = panjang bentang actual untuk bentang sederhana
Lmaks = panjang bentang maksimum untuk bentang menerus
25
Gambar 2.14 Faktor Beban Dinamis
Sumber : BMS, 1992
d. Beban Trotoar dan Sandaran
Intensitas pejalan kaki untuk jembatan jalan raya tergantung pada luas
beban yang dipikul oleh unsur yang direncanakan. Besarnya intensitas beban
untuk trotoar ditentukan dengan persamaan berikut:
At ≤ 10 m2 ;Beban trotoar = 5 kPa (2.17)
10 m2 ≤ At ≤ 100 m2 ;Beban trotoar = 5.33 - 𝐴𝑡30
kPa (2.18)
At ≥ 100 m2 ;Beban trotoar = 2 kPa (2.19)
Dimana :
At = Luas Trotoar (m2)
Sandaran untuk pejalan kaki harus direncanakan untuk dapat memikul
beban sebesar 0,75 kN/m setinggi 0,9 di atas lantai trotoar.
26
Gambar 2.15 Beban Trotoar & Sandaran
Sumber : BMS, 1992
2.7.1.3 Aksi Lingkungan
a. Beban Angin
Menurut Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan pasal 2.4.6 gaya
nominal ultimate dan daya layan jembatan akibat angin tergantung pada kecepatan
angin rencana sebagai berikut:
Tew = 0,0006.Cw.(Vw)2.Ab(kN) (2.20)
Dimana :
Vw = kecepatan angina rencana (m/dt) untuk keadaan batas ditinjau
Cw = koefisien seret
Ab = luas koefisien bagian samping (m2)
Luas ekivalen bagian samping jembatan adalah luas total bagian yang
masih dalam arah tegak lurus terhadap sumbu memanjang jembatan. Angin harus
dianggap bekerja secara merata pada bagian samping struktur atas jembatan.
Apabila kendaraan sedang berada diatas jembatan, beban garis merata
tambahan arah horizontal harus ditetapkan pada permukaan lantai dengan rumus:
Tew = 0,0012.Cw.(Vw)2 dengan Cw = 1,2 (2.21)
Untuk tekanan angin rencana diberikan dalam tabel berikut:
27
Tabel 2.6 Tekanan Angin pada Bangunan
(b/d)
Bangunan Padat
Jenis Kendaraan
Batas
Tekanan Angin (kPa)
Pantai (<5km dari
pantai)
Luar pantai (>5km
dari pantai)
b/d ≤ 1,0 SLS 1,13 0,79
ULS 1,85 1,36
1,0 ≤ b/d ≤ 2,0 SLS 1,46 – 0,32 b/d 1,46 – 0,32 b/d
ULS 2,38 – 0,53 b/d 1,75 – 0,39 b/d
2,0 ≤ b/d ≤ 6,0 SLS 0,88 – 0,038 b/d 0,61 – 0,02 b/d
ULS 1,43 – 0,06 b/d 1,05 – 0,04 b/d
b/d ≥ 6,0 SLS 0,68 0,47
ULS 1,10 0,81
Sumber : Bridge Management System (BMS – 1992) Vol. 1 & 2
Keterangan : b : Lebar bangunan atas antara permukaan luar tembok pengaman
d : Tinggi bangunan atas (termasuk tembok pengaman padat)
b. Pengaruh Gempa
Beban rencana gempa digunakan rumus periode alami ditentukan
berdasarkan sistem dinamis dengan satu derajat kebebasan tunggal sebagai
berikut:
T = 2π�𝑊𝑔𝐾
R (2.22)
Dimana :
W = berat bangunan bawah jembatan dan bagian bangunan atas yang
dipikul (tf)
K = konstanta kekakuan (tf/m)
g = gravitasi (9,8 m/s2)
Bila gaya W bekerja dalam arah horizontal, deformasi simpangan
horizontal δ pada bangunan atas menjadi sebagai berikut:
28
Waktu getar alami :
δ = 𝑊𝐾
(2.23)
sehingga,
T = 2π�𝑊𝑔𝐾
R = 2π�𝛿𝑔 = 2,01 √𝛿
Bila unit getar rencana terdiri dari satu bangunan bawah dan bagian
bangunan atas yang didukungnya, periode alami dihitung dengan rumus empiris
berikut:
T = 2,01 √𝛿 (2.24)
Dimana:
T = periode alami dari unit getar rencana (detik)
δ = simpangan pada kedudukan gaya inersia bangunan atas, bila gaya
sesuai 80% berat bangunan bawah diatas permukaan tanah untuk
perencanaan tahan gempa dan berat bagian bangunan atas yang
dipikul olehnya dianggap bekerja dalam arah gaya inersia (m)
Bila unit getar rencana terdiri dari beberapa bangunan bawah dan
bangunan atas yang didukung olehnya, periode alami dihitung dengan rumus
berikut:
T = 2,01 √𝛿
δ = ∫𝑤(𝑠)𝑢(𝑠)2𝑑𝑠∫𝑤(𝑠)𝑢(𝑠)𝑑𝑠
(2.25)
Dimana:
T = periode alami dari unit getar rencana (detik)
w(s) = berat bangunan atas dan bangunan bawah pada kedudukan s (tf/m
atau kN/m).
u(s) = simpangan pada kedudukan s dalam arah kerja gaya inersia bila
gaya lateral sesuai berat bangunan atas dan bangunan bawah diatas
permukaan tanah untuk perencanaan tahan gempa dianggap bekerja
dalam arah inersia (m), berarti integrasi dari seluruh unit getar
rencana.
29
2.7.1.4 Kombinasi Pembebanan
Kombinasi pembebanan pada keadaan batas ultimate terdiri dari aksi tetap
aksi transient, sesuai dengan Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan, BMS, 1992
seperti tabel di bawah ini.
Tabel 2.7 Kombinasi Beban
Aksi Kombinasi Beban
1 2 3 4 5 6
Aksi Tetap
Berat Sendiri x x x x x x
Berat Mati Tambahan x x x x x x
Aksi Transient
Beban Lajur “D” atau x o o o
Beban Truk “T” x o o o
Gaya Rem x o o o
Beban Pejalan Kaki x
Gesekan pada perletakan o o o o o
Beban Angin o o x o
Aksi Lain
Beban Gempa x
Sumber : BMS, 1992
Keterangan tabel : (x) berarti memasukkan faktor beban
(o) berarti tanpa memasukkan faktor beban
Tabel 2.8 Faktor beban pada keadaan ultimate
No Aksi Faktor Beban pada
Keadaan Batas Ultimate
1 Berat Sendiri 1,3
2 Beban Mati Tambahan 1,3
3 Beban Lajur “D” atau Truk “T” 2
30
4 Gaya Rem 2
5 Beban Pejalan Kaki 2
6 Angin 1,2
7 Gempa 1
Sumber : BMS, 1992
2.8 Kriteria Perencanaan Beton Prategang
Dalam konstruksi beton prategang dikenal adanya tiga kriteria
perencanaan yaitu :
a. Perencanaan tanpa mengijinkan tegangan tarik pada beton, baik dalam
keadaan awal maupun keadaan akhir.
b. Perencanaan dengan mengijinkan tegangan tarik pada beton tetapi
kekuatan tariknya tidak diperhitungkan.
c. Perencanaan dengan mengijinkan tegangan tarik pada beton dengan
kekuatan tariknya tidak diperhitungkan.
Dalam perencanaan ini dipakai kriteria yang kedua yaitu “mengijinkan tarik pada
beton, tetapi kekuatan tariknya diperhitungkan”. Pada perencanaan ini tegangan
tarik boleh terjadi dalam batas – batas yang diijinkan, sehingga penampang tidak
terlalu boros. Perencanaan dengan sistem ini paling ideal dipakai dalam
merencanakan konstruksi beton prategang.
2.9 Desain Akhir
Pada bagian ini kita akan mengontrol, apakah penampang pendahuluan
memenuhi syarat-syarat (misalnya tegangannya) atau tidak.
Perhitungan-perhitungan meliputi :
1. Menentukan letak tendon
2. Menghitung gaya prategang ( Ta dan T)
3. Menghitung kembali luas penampang beton (Ab), apakah cocok dengan
(Ab) pendahuluan, jika tidak cocok maka perhitungan di revisi.
4. Menghitung luas tendon (Aa).
5. Pemeriksaan penampang (menghitung tegangan-tegangan yang terjadi
pada beton).
31
Pada perencanaan akhir ini ada 3 (tiga) kemungkinan persyaratan atau
criteria yang dapat diambil :
a. Tidak diizinkan tegangan tarik pada beton, baik dalam keadaan awal
maupun akhir.
b. Diizinkan tegangan tarik pada beton, tetapi kekuatannya tidak
diperhitungkan
c. Diizinkan tegangan tarik pada beton dan diperhitungkan kekuatannya.
2.9.1 Desain Elastis, Tidak Diijinkan Tegangan Tarik Pada Beton, Baik
Dalam Keadaan Awal Maupun Akhir
Pada bagian ini akan dibahas desain akhir untuk penampang akibat
lenturan berdasarkan teori elastik tanpa terjadi tegangan tarik pada penampang
beton baik pada saat awal (peralihan) maupun saat akhir (beban kerja).
Gambar 2.16 Distribusi tegangan tanpa tegangan tarik pada beton.
Sumber: Burn & Lin, 1993
1. Menghitung Letak Kabel
Tempat sesudah peralihan (keadaan awal, C akan berada tepat pada titik
teras bawah (Tb), maka harga t1 dan t2 dapat dihitung sebagai berikut :
σ = O = 𝑇𝑎𝐴𝑏
- 𝑇𝑎.𝑡𝑙.𝑦2𝑙𝑏
(2.25)
O = 𝑇𝑎𝐴𝑏
- 𝑇𝑎.𝑡𝑙 .𝑦2/𝐴𝑏𝑙𝑏/𝐴𝑏
, tb2 = 1b/Ab
O = 𝑇𝑎𝐴𝑏
- 𝑇𝑎𝐴𝑏
𝑡𝑙 .𝑦2𝑖𝑏2
32
O = 𝑇𝑎𝐴𝑏
- �1 − 𝑡𝑙−𝑦2𝑖𝑏2
� (2.26)
Maka,
O = �1− 𝑡𝑙−𝑦2𝑖𝑏2
� (2.27)
Sehingga harga t1 menjadi :
t1 = 𝑖𝑏2
𝑦2 (2.28)
dengan cara yang sama harga t2 di dapat:
t2 = 𝑖𝑏2
𝑦2 (2.29)
letak tendon sejauh ea dari cgc
ea = t1 + 21 (2.30)
21 = 𝑀𝑏𝑠𝑇𝑎
(2.31)
dimana: 21 = lengan momen keadaan awal
Mbs = momen akibat berat sendiri, dihitung dari penampang
pendahuluan
Ta = T (1 – ΔT) (2.32)
T di hitung dari persamaan (2.5) atau (2.7)
ΔT = total prosentase kehilangan prategang
20 % (untuk sistim post – tensioning)
25 % (untuk sistim pre – tensioning)
2. Menghitung T dan Ta
Dasarnya adalah tegangan pada keadaan akhir. Dengan letak cgs sejauh ea
dari cgs dari persamaan (2.30), maka :
Mt = T22 atau,
T = 𝑀𝑡22
(2.33)
dimana, 22 = ea + t2
Ta = 𝑇(1− ∆𝑇)
(2.34)
33
3. Menghitung Luas Penampang Beton (Ab)
a. Berdasarkan keadaan awal (lihat gambar 2.18b) 𝜎𝑟
𝜎�𝑏 𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑦2
ℎ , σr = 𝜎�𝑏 𝑎𝑤𝑎𝑙.𝑦2
ℎ
Sehingga,
Ab = 𝑇𝑎𝜎𝑟
= 𝑇𝑎.ℎ𝑦2.𝜎�𝑏 𝑎𝑤𝑎𝑙
(2.35)
b. Berdasarkan keadaan akhir (lihat gambar 2.18c) 𝜎𝑟
𝜎�𝑏 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 𝑦1
ℎ , σr = 𝜎�𝑏 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟.𝑦1
ℎ
Sehingga,
Ab = 𝑇𝜎𝑟
= 𝑇 .ℎ𝑦1.𝜎�𝑏 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
(2.36)
Diambil harga Ab yang terbesar dari ke dua persamaan di atas (pers
2.35 dan 2.36) kemudian dibandingkan dengan Ab yang didapat dari
desain pendahuluan.
Bila cocok (OK), perhitungan dilanjutkan yang lainnya.
Bila tidak cocok, perhitungan penampang beton harus di revisi
(dibesarkan atau diperkecil)
4. Menghitung Luas Tendon (Aa)
Bila luas penampang beton sudah cukup memenuhi, maka langkah
selanjutnya adalah menghitung luas tendon yang diperlukan :
a. Berdasarkan kondisi awal
Aa perlu = 𝑇𝑎𝜎�𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙
(2.37)
b. Berdasarkan kondisi akhir
Aa perlu = 𝑇𝑎𝜎�𝑎 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
(2.38)
Dari kedua harga Aa perlu yang dihitung berdasarkan persamaan (2.37)
dan (2.38), pilihlah yang terbesar kemudian tentukan jumlah tendon yang
diperlukan.
5. Pemeriksaan Penampang
Pada langkah yang kelima ini menyangkut 2 (dua) perhitungan sebagai
berikut :
34
a. Menghitung total kehilangan prategang yang terjadi. Perhitungan total
kehilangan prategang ini mengikuti langkah-langkah yang telah
diuraikan
b. Menghitung tegangan-tegangan yang terjadi pada beton
1. Dalam Kondisi Awal
Pada serat atas
σ = 𝑇𝐴𝑏
+ 𝑇𝑎.𝐸𝑎.𝑦21𝑏
- 𝑀𝑏𝑎𝐼𝑏
(2.39)
Pada serat bawah
σ = 𝑇𝐴𝑏
+ 𝑇𝑎.𝐸𝑎.𝑦11𝑏
- 𝑀𝑏𝑎𝐼𝑏
(2.40)
2. Dalam Kondisi Akhir
Pada serat atas
σ = 𝑇𝐴𝑏
+ 𝑇𝑎.𝐸𝑎.𝑦21𝑏
- 𝑀𝑡𝐼𝑏
(2.41)
Pada serat bawah
σ = 𝑇𝐴𝑏
+ 𝑇𝑎.𝐸𝑎.𝑦11𝑏
- 𝑀𝑡𝐼𝑏
(2.42)
Tegangan-tegangan yang terjadi, yang di hitung berdasarkan
persamaan (2.39), (2.40), (2.41) dan (2.42) harus lebih kecil dari
tegangan beton yang diizinkan menurut peraturan yang berlaku.
Catatan : Tanda negatif (-), berarti tekan dan
Tanda positif (+), berarti tarik
2.9.2 Desain Elastis, Penampang Komposit
Sebuah penampang gabungan (komposit), terdiri dari beberapa dua bagian,
yaitu:
1. Penampang prategang yang di pra-cetak (pre cast), yaitu bagian yang
dibuat (di pra-cetak) terlebih dahulu, biasanya di tempat khusus seperti di
pabrik. Tendon sudah ditegangkan di tempat khusus seperti di pabrik.
Tendon sudah ditegangkan di tempat pembuatan.
35
2. Bagian yang di cor-setempat (cast in place), di cor belakangan, yaitu
setelah bagian pre-cast di pasang pada tempatnya. Biasanya bagian ini
merupakan sebagian atau keseluruhan dari flens atas balok.
Prosedur desain disini mirip dengan pendekatan yang dilakukan
sebelumnya untuk penampang bukan komposit. Pada dasarnya, proses ini adalah
coba-coba disederhanakan dengan prosedur yang sistematik dan cepat mencapai
hasil akhir yang di bantu oleh penggunaan beberapa rumus dan persamaan.
Sebuah konsep tambahan yang diperkenankan untuk kerja komposit adalah
pengurangan momen pada penampang komposit terhadap momen ekivalen pada
penampang komposit terhadap momen ekivalen pada bagian pracetak yang
besarnya sesuai dengan perbandingan modulus penampang.
Adapun langkah-langkah desain dan persamaan-persamaan yang
dipergunakan adalah :
1. Menghitung Letak Tendon (ea)
(a) Keadaan Awal
(b) Keadaan Akhir
Gambar 2.17 (a), (b) Penampang Komposit
Sumber: Burn & Lin, 1993
36
Untuk bagian precast (lihat Gambar 2.17)
ea = t11 + 21 (2.54)
dengan : 21 = 211 + 212 (2.55)
e11, Akibat adanya kekuatan tarik
𝜎�𝑏21 = (𝑇𝑎.211)𝑦21𝑏
Sehingga :
e11 = 𝜎�21.1𝑏𝑇𝑎.𝑦2
e12, Akibat momen Mba
𝑒21 = 𝑀𝑏𝑠𝑇𝑎
Dimana :
t1 = teras bawah bagian precast
𝜎�𝑏21 = tegangan tarik yang diijinkan pada bagian precast
1b = momen inersia bagian precast
y2 = jarak serat atas dari cgc, bagian precast
Mbs = momen akibat berat sendiri bagian precast
Ta = 𝑇1−∆𝑇
2. Menghitung Gaya Prategang (T dan Ta)
Kita tinjau pada keadaan akhir yaitu tegangan pada serat bawah beton
bagian precast yang disebabkan oleh :
a. Gaya prategang efektif
Pada serat bawah beton :
𝜎𝑏 = � 𝑇𝐴𝑏
+ 𝑇.𝑒𝑎.𝑦11𝑏
� = − 𝑇𝐴𝑏
�1 + 𝑒𝑎𝑡2� (2.56)
b. Beban waktu bagian cast in place sedang di cor (berat sendiri
bagian precast + berat sendiri beton muda + momen yang
ditimbulkan sebesar MP.
𝜎𝑏 = + 𝑀𝑝.𝑦11𝑏
= + 𝑀𝑝𝐴𝑏.𝑡2
(2.57)
37
c. Akibat beban hidup (Mq)
Pada bagian precast momen akibat beban hidup ini di terima
sebanding dengan modulusnya, sebesar : σ1 Mq
𝜎1 = 1𝑏/𝑦11𝑏/𝑦1
= 𝐴𝑏.𝑡2𝐴𝑏.𝑡2
(2.58)
Sehingga tegangan pada serat bawah beton menjadi :
𝜎1 = + ∝1.𝑀𝑞.𝑦11𝑏
= ∝1.𝑀𝑞𝐴𝑏.𝑡2
(2.59)
Superposisi tegangan – tegangan dari persamaan (2.56), (2.57) dan
persamaan (2.59) adalah merupakan tegangan total pada serat
bawah beton precast yaitu sebesar:
𝜎𝑏𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝜎�12 = − 𝑇𝐴𝑏�1 + 𝑒𝑎
𝑡2� + 𝑀𝑝
𝐴𝑏.𝑡2+ ∝1.𝑀𝑞
𝐴𝑏.𝑡2 (2.60)
Sehingga gaya prategang T didapat :
T = 𝑀𝑝+𝜎1.𝑀𝑞−𝜎�𝑏12.𝐴𝑏.𝑡2𝐴𝑏.𝑡2
(2.61)
Dan Ta = 𝑇1−∆𝑇
(2.62)
3. Menghitung Luas Penampang Beton (Ab)
Kondisi Awal
Ab = 𝑇𝑎𝜎�𝑏11
�1 +𝑒𝑎− 𝑀𝑏𝑎
𝑇𝑎𝑡2
� (2.63)
Kondisi Akhir
Ab = - 𝑇𝑎𝜎�𝑏22
�1 +−𝑒𝑎− (𝑀𝑝+𝑎2𝑀𝑞)
𝑇𝑡2
� (2.64)
Dengan σ2 = 𝐼𝑏/𝑦2𝐼𝑏/𝑦2
4. Menghitung Luas Tendon
Untuk menghitung luas tendon yang diperlukan, dapat digunakan kembali
persamaan (2,37) dan (2,38) di atas.
38
5. Pemeriksaan Penampang
a. Akibat gaya prategang awal (Ta)
σb = 𝑇𝑎𝐴𝑏
± 𝑇𝑎.𝑒𝑎.𝑦𝑙𝐼𝑏
b. Akibat berat sendiri bagian precast (Mba)
σb = ±𝑀𝑏𝑎.𝑦𝑙𝐼𝑏
c. Akibat gaya prategang akhir (T)
σb = 𝑇𝐴𝑏
± 𝑇.𝑒𝑎.𝑦𝑖𝐼𝑏
d. Akibat (Mp)
σb = ±𝑀𝑝.𝑦𝑖𝐼𝑏
Catatan :
Tegangan – tegangan yang diperoleh dari (a) sampai dengan (d) di atas
adalah bekerja pada penampang precast, dengan yi adalah jarak serat
beton yang ditinjau ke cgc.
e. Akibat beban hidup (Mq), pada penampang gabungan
σb = ±𝑀𝑞.𝑦𝑖𝐼𝑏
Superposisi diagram adalah seperti tegangan pada gambar sebagai
berikut ini.
Kondisi Awal
39
Kondisi Akhir
Gambar 2.18 Superposisi Tegangan
Sumber: Burn & Lin, 1993
Keterangan :
a. Tegangan akibat gaya prategang awal (Ta)
b. Tegangan akibat berat sendiri bagian precast (Mbs)
c. Tegangan akibat gaya prategang akhir (T)
d. Tegangan akibat (Mp)
e. Tegangan akibat beban hidup (Mq), pada penampang gabungan
40