PERAN PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS
PERDESAAN TERHADAP KINERJA GAPOKTAN DAN
PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KABUPATEN SUBANG
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
HARI HERMAWAN
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Terhadap Kinerja Gapoktan dan
Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Subang adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Hari Hermawan
NIM H351120251
RINGKASAN
HARI HERMAWAN. Peran Program Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Usahatani Padi di
Kabupaten Subang. Dibimbing oleh SUHARNO dan ANNA FARIYANTI.
Pembangunan Pertanian khususnya di negara berkembang (Indonesia) tidak
bisa terlepas dari wilayah perdesaan. Sebab, sebagian besar penduduk di
Indonesia bermukim di perdesaan dan mayoritas masih dalam kondisi miskin
(17,92 juta jiwa) dari total 28,55 juta jiwa penduduk miskin. Terciptanya kondisi
kemiskinan di wilayah perdesaan, salah satunya disebabkan karena faktor sulitnya
penyediaan modal. Bahkan, keterbatasan akses terhadap modal (kredit)
diidentifikasi sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan, yang akhirnya
aktivitas usaha agribisnis menjadi sulit berkembang dan memperoleh peningkatan
laba.
Bagi petani-petani yang menguasai lahan sempit, pengalokasian modal
secara intensif merupakan kendala, karena sebagian besar petani tidak sanggup
mendanai usahatani yang padat modal dengan dana sendiri. Keterbatasan modal
menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan, sehingga proses
akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi. Selain itu, keterbatasan modal yang
dimiliki petani mempengaruhi jumlah benih, pupuk, dan pestisida yang digunakan
dalam usahataninya, sehingga dapat mempengaruhi tingkat produksi yang
diharapkan. Upaya mengatasi masalah tersebut pemerintah mencanangkan
Program Pembangunan Pertanian. Program Pembangunan Pertanian dirumuskan
dalam tiga program, antara lain: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, (2)
Program Pengembangan Agribisnis, dan (3) Program Peningkatan Kesejahteraan
Petani. Salah satu Program Pembangunan Pertanian adalah Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Program PUAP merupakan
program jangka menengah, yang dicanangkan Kementerian Pertanian RI dengan
memfokuskan pada pembangunan pertanian perdesaan. Langkah yang ditempuh
adalah melalui pendekatan pengembangan usaha agribisnis dan memperkuat
kelembagaan pertanian di perdesaan.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis kinerja Gapoktan PUAP dan
non PUAP, (2) menganalisis pendapatan usahatani padi petani PUAP dan non
PUAP, dan (3) menganalisis hubungan kinerja Gapoktan dan pendapatan
usahatani padi. Untuk menjawab tujuan peran PUAP terhadap kinerja Gapoktan,
ditinjau melalui pendekatan “with and without” PUAP. Hal ini dimaksudkan
sebagai perbandingan kinerja organisasi antara Gapoktan PUAP dengan Gapoktan
non PUAP. Metode yang digunakan untuk menganalisis kinerja Gapoktan adalah
instrumen form penilaian kinerja, di mana setiap pernyataan diberi skor
menggunakan skala likert. Total skor merupakan pencerminan dari kinerja
Gapoktan. Indikator dalam penilaian kinerja Gapoktan terdiri atas efektifitas
organisasi, efisiensi organisasi, relevansi organisasi, dan pencapaian kemandirian
keuangan organisasi. Untuk menjawab tujuan peran PUAP terhadap pendapatan
usahatani padi sawah, ditinjau melalui perbandingan antara pendapatan usahatani
padi pada petani PUAP dan non PUAP. Alat analisis yang digunakan adalah
analisis pendapatan usahatani, R/C, B/C, MBCR dan independent sampel T test.
Sedangkan untuk menjawab tujuan hubungan kinerja Gapoktan terhadap
pendapatan usahatani padi, menggunakan pendekatan analisis korelasi Pearson
Product Moment (PPM). Hal ini bertujuan untuk menganalisis derajat hubungan
antara variabel bebas (kinerja Gapoktan) dengan variabel terikat (pendapatan
usahatani padi).
Hasil analisis kinerja Gapoktan menunjukkan bahwa perbandingan skor
kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP nampak jelas, bahwa skor kinerja
Gapoktan PUAP lebih tinggi. Dengan kata lain kinerja Gapoktan PUAP lebih
unggul. Demikian halnya hasil analisis pendapatan usahatani padi petani PUAP
dan non PUAP, menunjukkan bahwa petani PUAP memiliki kinerja usahatani
lebih tinggi, terlihat dari capaian pendapatan usahataninya lebih tinggi. Begitu
juga hasil analisis R/C dan B/C yang sering digunakan sebagai ukuran efisiensi,
maka dapat dikatakan bahwa usahatani padi yang dikelola oleh petani PUAP dan
non PUAP, secara finansial layak dan menguntungkan Tetapi jika ditinjau dari
pemakaian input produksi, kedua kelompok responden secara rata-rata belum
efisien atau belum mencukupi batas pemakaian optimal, dan perlu ditambahkan
untuk mencapai optimalisasi produksi padi. Terkecuali untuk faktor produksi
pestisida yang digunakan oleh petani PUAP, secara jumlah pemakaian sudah
mencukupi atau sudah efisien. Hasil analisis hubungan kinerja Gapoktan terhadap
pendapatan usahatani padi petani anggota, menunjukkan bahwa hubungan tersebut
cukup kuat dan mengindikasikan pola hubungannya searah. Hal ini bermakna
semakin tinggi kinerja Gapoktan, semakin meningkat pendapatan usahatani padi
petani anggota.
Pelaksanaan program PUAP sangat membantu dalam peningkatan kapasitas
organisasi petani maupun kapasitas petani sebagai aktor utama kegiatan usahatani
padi. Peningkatan kapasitas organisasi terlihat dari adanya peningkatan
kemampuan yang dimiliki oleh Gapoktan seperti membangun jejaring bisnis
dengan Bank (permodalan organisasi), BUMN (benih unggul dan iptek), agen
pemasaran di dalam dan luar Kabupaten Subang (beras), dan agen saprodi (input
produksi). Sedangkan peningkatan kapasitas petani ditunjukkan oleh adanya
kemampuan petani untuk melaksanakan akivitas usahatani kearah yang lebih
produktif melalui proses adaptasi pemanfaatan teknologi.
Saran yang dapat diberikan yakni untuk meningkatkan kinerja Gapoktan,
hal utama yang harus diperbaiki yakni (1) modal sosial yang dimiliki petani
anggota, (2) membangun jaringan (networking) untuk menjalin kerjasama, dan (3)
ketegasan sikap pengurus Gapoktan dalam mengawal dan mendampingi para
petani dalam hal pemanfaatan pinjaman. Upaya untuk mencapai peningkatan
pendapatan usahatani, perlu adanya dukungan modal usaha yang kuat, baik modal
yang bersumber dari petani maupun dari luar seperti halnya Program PUAP, yang
bersifat mudah untuk diakses oleh petani baik secara administrasi maupun proses
pencairannya, serta tingkat bunga yang rendah. Kinerja Gapoktan memiliki peran
nyata terhadap naik turunnya tingkat pendapatan usaha tani petani anggota.
Sehingga kedepannya, lembaga ini dituntut untuk lebih profesional dalam hal
pengelolaan aktivitas keorganisasian, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
keuangan organisasi, serta melakukan pembinaan atau pendampingan kepada
petani anggota dalam hal pengelolaan usahatani.
Kata Kunci: kinerja Gapoktan, pendapatan usahatani, padi, PUAP
SUMMARY
HARI HERMAWAN. The Role of Rural Agribusiness Development
Program on the Performance of farmers group alliances and Rice Farming Income
in Subang. Supervised by Suharno and ANNA FARIYANTI
Agricultural development, especially in developing countries (Indonesia)
cannot be separated from rural areas. Therefore, the majority of Indonesia's
population lives in rural areas and the majority are still in poor condition (17.92
million) of the total 28.55 million poor people. The formation of poverty in rural
areas is caused by the difficulty of providing capital, to name one factor. In fact,
limited access to capital (credit) is identified as one of the causes of poverty,
which eventually it becomes more difficult to develop agribusiness activity and to
increase profits.
Farmers with manage limited area, allocating intensive capital is a
constraint, because most farmers cannot afford to fund capital-intensive farming
by their own funds. Capital constraints led to the circulation of economic activity
hampered.Capital constraints cause the circulation of economic activity hampered,
so the process of capital accumulation cannot occur. In addition, the limited
capital owned by farmers affects the amount of seed, fertilizer, and pesticide that
are used in farming, that can affect the level of expected production. Efforts to
overcome these problems have been made by the government by launching the
Agricultural Development Program. Agricultural Development Program was
formulated in three programs, among others: (1) Food Security Enhancement
Program, (2) Agribusiness Development Program, and (3) Farmers Welfare
Improvement Program. One of the Agricultural Development Programs is the
Rural Agribusiness Development Program (PUAP). PUAP program is a medium-
term program, which was launched by the Ministry of Agriculture with a focus on
rural agricultural development. The approach taken is through agribusiness
development and strengthening institutions of agriculture in rural areas.
This study aims to (1) analyze the performance Gapoktan PUAP and non
PUAP, (2) analyze the income of farmers in rice farming PUAP and non PUAP,
and (3) analyze the relationship between are the performance Gapoktan and rice
farming income. The first goal is reviewed through approach ‘with and without’
PUAP. It is intended as a comparison of performance between Gapoktan PUAP
organization with Gapoktan non PUAP. Methods used to analyze the performance
of Gapoktan is the instruments of performance appraisal form, where each
statement was scored using a Likert scale. The total score is a reflection of the
performance Gapoktan. Indicators in the assessment of the performance of
Gapoktan consist of organizational effectiveness, organizational efficiency,
relevance of the organization, and the achievement of the organization's financial
independence. Furthermore, analyze the role PUAP with rice farm income,
through a comparison between are rice farm income to farmers PUAP and non
PUAP. Methods used to analyze consist of farm income, R/C, B/C, MBCR and
independent samples T test. The last, analyze the relationship between are the
performance Gapoktan and rice farming income, Methods used is Pearson Product
Moment (PPM). It aims to analyze the degree of correlation between the
independent variable (performance union) with the dependent variable (rice
farming income).
Gapoktan performance analysis results indicate that the ratio of performance
scores of Gapoktan PUAP and non PUAP shows that PUAP Gapoktan
performance scores higher. In other words, Gapoktan PUAP has superior
performance. Similarly, the results of the analysis of the rice farming income and
non PUAP PUAP farmers, show that farmers farming PUAP have higher
performance, showed by higher achievement farming income. Likewise, the
results of the analysis of R / C and B / C is often used as a measure of efficiency,
it can be said that the rice farming managed by farmers PUAP and non PUAP, is
financially feasible and profitable. But when seen from the use of production
inputs, both groups of respondents the average is not efficient or optimal usage
limit is not sufficient, and should be added to achieve the optimization of the
production of rice. Except for input of pesticides used by farmers PUAP, in the
amount of usage is sufficient or already efficient. The results of correlation
analysis Gapoktan performance to rice farming income of farmers, suggest that
the relationship is strong enough and indicate unidirectional relationship patterns.
This is significantly higher Gapoktan performance, increasing farm income of
paddy farmer members.
Implementation of the PUAP is very helpful in improving the capacity of
farmers' organizations and the capacity of farmers as the main actor of rice
farming activities. Increased capacity of the organization can be seen from the
increased capabilities of the Gapoktan to build business networks with the Bank
(organizational capital), SOE (improved seed and science), the marketing agent
inside and outside Subang (rice), and agency inputs (inputs). While the capacity of
farmers demonstrated by the ability of farmers to carry out the activity towards
more productive farming through the use of technology adaptation process.
Suggestions can be made to improve the performance of Gapoktan, the main
thing that must be addressed: (1) social capital owned by the farmer members, (2)
networking to establish cooperation, and (3) the attitude Gapoktan firm in
guarding and assisting farmers in the use of the loan. Efforts to achieve an
increase in farm income, the need for a strong venture capital support, both capital
sourced from farmers and from outside as well as PUAP program, which is easily
accessible by both farmers and the administration of the disbursement process, as
well as low interest rates. Gapoktan performance has a real impact on the level of
farm income of members. So that in the future, these institutions are required to be
more professional in terms of management of organizational activities,
management and utilization of financial resources of the organization, as well as
to provide guidance or assistance to farmer members in farm management.
Keywords: performance farmers group alliences, farm income, rice, PUAP
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis
PERAN PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS
PERDESAAN TERHADAP KINERJA GAPOKTAN DAN
PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KABUPATEN SUBANG
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
HARI HERMAWAN
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Harianto, MS
Penguji Program Studi: Dr Amzul Rifin, SP, MA
Judul Tesis : Peran Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan
terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Usahatani Padi di
Kabupaten Subang
Nama : Hari Hermawan
NIM : H351120251
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Suharno, MADev
Ketua
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Agribisnis
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
29 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan, dengan judul Peran Pengembangan
Usaha Agribisnis Perdesaan Terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan
Usahatani Padi di Kabupaten Subang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Suharno, M.ADev dan
Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Harianto,
MS selaku dosen penguji luar komisi, Bapak Dr. Amzul Rifin, SP, MA selaku
dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis, Ibu Prof. Dr. Ir. Rita
Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis, dan Ibu Dr. Ir. Dwi
Rachmina, M.Si yang telah banyak memberi saran, beserta seluruh staf pengajar
pada Program Studi Agribisnis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sekretaris Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, Bapak Dr. Kasdi Subagyono, Bapak Ir.
Rachmat Hendayana, MS, Bapak Ir. Sjahrul Bustaman, M.Sc, Bapak Ir. Ade
Supriyatna, M.Si beserta staf BBP2TP, Bapak Dr. Syahyuti dari PSEKP, Kepala
BPTP Jawa Barat, Kepala Pusat Pembiayaan Kementerian Pertanian, Dinas
Pertanian Jawa Barat, BP4K Kabupaten Subang Jawa Barat, yang telah membantu
selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah,
ibu, Harmi Andrianyta, Muhammad Haikal Harsyaputra, Hayumi Azzahra
Harsyaputri, serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang, dukungan dan
pengorbanannya selama penulis mengikuti pendidikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2015
Hari Hermawan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah Penelitian 6
Tujuan Penelitian 8
Manfaat Penelitian 8
Ruang Lingkup Penelitian 9
2 TINJAUAN PUSTAKA 9
Kebijakan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis 9
Pelaksanaan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis 12
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) 16
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) 18
Kinerja Organisasi Gapoktan 20
Pendapatan Usahatani Padi 24
3 KERANGKA PEMIKIRAN 26
Konsep Kinerja Organisasi Gapoktan 26
Konsep Pendapatan Usahatani 28
Pengaruh Kinerja Gapoktan terhadap Pendapatan Usahatani Padi 29
Pengaruh Kredit terhadap Pendapatan Usahatani Padi 32
Kerangka Pemikiran Operasional 36
4 METODE PENELITIAN 37
Lokasi dan Waktu Penelitian 37
Jenis dan Sumber Data 37
Teknik Pengumpulan Data 38
Metode Penentuan Sampel 40
Tahapan Penentuan Sampel Gapoktan dan Petani 41
Analisis Kinerja Gapoktan 42
Analisis Pendapatan Usahatani Padi 44
Analisis Rasio Penerimaan atas Biaya (R/C) 46
Analisis Rasio Keuntungan atas Biaya (B/C) 46
Analisis Marginal Benefit Cost Rasio (MBCR) 47
Analisis Independent Sample T Test 47
Analisis Pearson Product Moment (PPM) 48
5 GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM PUAP 49
Kebijakan Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan 49
Pelaksanaan PUAP di Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat 52
Proses Seleksi Desa dan Pemilihan Gapoktan Penerima PUAP 65
Sistem Penyaluran Dana BLM PUAP Kepada Petani 67
6 HASIL DAN PEMBAHASAN 68
Karakteristik Responden 68
Keragaan Atribut Kinerja Gapotan 73
Perbandingan Kinerja Gapoktan PUAP dan Non PUAP 78
Perbandingan Usahatani Padi antara Petani PUAP dan Non PUAP 81
Penggunaan Input Produksi untuk Usahatani Padi 81
Struktur Biaya Produksi dalam Usahatani Padi 85
Pendapatan Usahatani Padi 91
Hubungan Kinerja Gapoktan Terhadap Pendapatan Usahatani Padi 93
7 SIMPULAN DAN SARAN 94
Simpulan 94
Saran 95
DAFTAR PUSTAKA 95
RIWAYAT HIDUP 114
LAMPIRAN 13
RIWAYAT HID5
DAFTAR TABEL
1. Jumlah Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat program
pengembangan usaha agribisnis perdesaan di Indonesia, tahun 2008-
2013 3
2. Jumlah Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat program
pengembangan usaha agribisnis perdesaan di Provinsi Jawa Barat,
tahun 2008-2011 4
3. Rekapitulasi nilai aset dan alokasi dana bantuan langsung masyarakat
program pengembangan usaha agribisnis perdesaan per usaha ekonomi
produktif Gapoktan PUAP di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2012 5
4. Rekapitulasi Gapoktan, nilai aset dan alokasi dana bantuan langsung
masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan per
usaha ekonomi produktif di Kabupaten Subang, tahun 2008-2011 5
5. Jumlah petani sampel di tiap Gapoktan terpilih 41
6. Skala skor penilaian kinerja Gapoktan/LKM-A 44
7. Format dasar tabel usahatani padi 45
8. Interpretasi koefisien korelasi nilai r 49
9. Distribusi Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat
PUAP, Provinsi Jawa Barat 52
10. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat PUAP tahun
2008 per sub sektor 53
11. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun
2009 per sub sektor 54
12. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun
2010 per sub sektor 55
13. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun
2011 per sub sektor 56
14. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun
2012 per sub sektor 57
15. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun
2013 per sub sektor 58
16. Jenis inovasi teknologi pada masing-masing komoditas 60
17. Perkembangan dana bantuan langsung masyarakat PUAP tahun 2008 di
Provinsi Jawa Barat, per 31 Desember 2011 62
18. Perkembangan dana bantuan langsung masyarakat 2009 di Provinsi
Jawa Barat, per 31 Desember 2011 62
19. Distribusi responden menurut golongan umur 69
20. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan formal 69
21. Distribusi responden menurut pengalaman bertani 70
22. Distribusi responden menurut luas lahan usahatani padi 71
23. Distribusi responden menurut status kepemilikan lahan 71
24. Distribusi responden menurut jumlah tanggungan keluarga 72
25. Distribusi responden menurut pekerjaan utama 72
26. Distribusi responden menurut jumlah pinjaman/kredit 73
27. Hasil uji validasi aspek efektivitas organisasi 74
28. Hasil uji validasi aspek efisiensi organisasi 75
29. Hasil uji validasi aspek relevansi organisasi 76
30. Hasil uji validasi aspek pencapaian kemandirian keuangan organisasi 77
31. Hasil uji reliabilitas 77
32. Skoring terhadap kinerja Gapoktan sampel 78
33. Komparasi penggunaan input produksi berdasarkan kuantitas 81
34. Rekomendasi pupuk padi sawah di Kecamatan Ciasem dan Patokbesi 83
35. Penggunaan pupuk oleh responden pada usahatani padi sawah 83
36. Penggunaan rata-rata tenaga kerja pada responden petani PUAP dan
non PUAP per hektar 85
37. Struktur biaya rata-rata dan pendapatan usahatani padi petani PUAP
dan non PUAP per hektar, Kabupaten Subang, Jawa Barat. 86
38. Hasil analisis korelasi kinerja Gapoktan dengan pendapatan usahatani
padi petani anggota 93
DAFTAR GAMBAR
1. Sebaran LKM-A di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2011 4
2. Alur pendampingan dan pembinaan Gapoktan/poktan PUAP 18
3. Pengaruh kredit terhadap kombinasi penggunaan input dan peningkatan
output 34
4. Pengaruh kredit terhadap kombinasi penggunaan input dan pendapatan
usahatani padi 35
5. Kerangka pemikiran penelitian 37
6. Alur Petani Peminjam dengan Gapoktan 59
7. Struktur LKM-A Tahap Awal Berdiri 64
8. Perkembangan Struktur LKMA di Jawa Barat 64
9. Alur usulan dan penetapan desa, gapoktan, dan pengurus 67
DAFTAR LAMPIRAN
1. Karakteristik Gapoktan Contoh Penerima PUAP 102
2. Karakteristik Gapoktan Contoh Non Penerima PUAP 103
3. Hasil Analisis Usahatani Padi Petani PUAP 104
4. Hasil Analisis Usahatani Padi Petani Non PUAP 105
5. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pendapatan Usahatani Padi 106
6. Hasil Analisis Person Product Moment Terhadap Hubungan Kinerja
Gapoktan dengan Pendapatan Usahatani Padi 107
7. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Benih pada
Usahatani Padi Petani Sampel 108
8. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk Urea pada
Usahatani Padi Petani Sampel 109
9. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk TSP pada
Usahatani Padi Petani Sampel 110
10. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk NPK pada
Usahatani Padi Petani Sampel 111
11. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk Organik
pada Usahatani Padi Petani Sampel 112
12. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Tenaga Kerja
pada Usahatani Padi Petani Sampel 113
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan Pertanian khususnya di negara berkembang (Indonesia) tidak
bisa terlepas dari wilayah perdesaan. Sebab, sebagian besar penduduk di
Indonesia bermukim di perdesaan dan mayoritas masih dalam kondisi miskin
(17,92 juta jiwa) dari total 28,55 juta jiwa penduduk miskin (BPS 2013). Faktor
penyebab kerentanan wilayah perdesaan antara lain karena lokasinya yang jauh
dari pusat kota/pembangunan. Hal ini dicirikan oleh terbatasnya infrastruktur
ekonomi, sedikitnya kesempatan kerja di luar pertanian (non-farm), jauh dari
pasar, sulit mendapatkan akses ke sumber permodalan dan teknologi, serta
organisasi tani yang masih lemah (Yustika 2013; Hendayana et al. 2009).
Kondisi tersebut tidaklah mungkin menyelenggarakan pembangunan di
negara berkembang tanpa melibatkan wilayah perdesaan. Bahkan, pembangunan
di negara berkembang harus melihat wilayah perdesaan sebagai fokus dan target
pembangunan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan di negara berkembang
dapat dilihat dari perkembangan di wilayah perdesaan sendiri. Bila mayoritas
penduduk di perdesaan bisa melakukan mobilitas sosial-ekonomi (pembangunan),
maka dapat disimpulkan pembangunan di negara berkembang telah menjangkau
sebagian warga negaranya, demikian sebaliknya (Yustika 2013). Wilayah
perdesaan di negara berkembang biasanya dideskripsikan sebagai tempat bagi
orang-orang bekerja di sektor pertanian (70% dari 20,65 juta jiwa), dimana
masyarakat petani mencukupi hidup sendiri (swasembada) (Kementerian
Pertanian 2010a).
Lebih lanjut, upaya komersialisasi pertanian sering kali tidak selalu akan
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan sifat dari
komersialisasi pasar yang meletakkan petani dalam posisi subordinat. Di mana
setiap upaya modernisasi (komersialisasi) pertanian justru meletakkan petani
dalam posisi yang selalu kalah. Keuntungan ekonomi pertanian justru lebih
banyak jatuh pada pemilik modal atau pedagang yang relatif memiliki posisi tawar
lebih tinggi dibandingkan dengan petani. Posisi pemilik modal (tuan tanah,
industri pengolahan, pedagang) yang relatif tinggi bukan hanya disebabkan oleh
adanya penetrasi pasar, tetapi juga disumbangkan oleh karakteristik produk
pertanian yang cepat rusak. Sehingga petani tidak mungkin menahan produk
tersebut untuk sementara waktu demi mendongkrak harga. Persoalan ini
sebenarnya bisa diatasi apabila terdapat fasilitas penyimpanan yang
memungkinkan petani menyimpan barang tanpa menimbulkan kerusakan. Tetapi
mustahil dilakukan karena petani tidak memiliki modal untuk membeli fasilitas
tersebut. Pada akhirnya petani berhadapan dengan kendala-kendala kelembagaan,
teknologi, dan alam (Soetomo 1997). Ditambah lagi, sebagian besar pengeluaran
pemerintah justru lebih tercurah ke daerah-daerah perkotaan dan berbagai sektor
ekonomi, seperti sektor-sektor manufaktur modern dan sektor komersial (Todaro
dan Smith 2006).
Bertitik tolak dari uraian tersebut, salah satu persoalan paling rumit di
wilayah perdesaan adalah penyediaan modal. Bahkan, keterbatasan akses terhadap
modal (kredit) diidentifikasi sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan
2
(Akpalu 2012). Permasalahan permodalan ini dapat berasal dari: (1) jumlah
permodalan yang ada, (2) terbatasnya akses kepada sumber permodalan, (3)
terbatasnya pengetahuan akan jenis-jenis modal, dan (4) kemampuan di dalam
menentukan serta menyusun proposal usaha pertanian sebagai salah satu
persyaratan dalam memperoleh permodalan usaha (Soekartawi 1996). Bagi
petani-petani yang menguasai lahan sempit, pengalokasian modal secara intensif
merupakan kendala, karena sebagian besar petani tidak sanggup mendanai
usahatani yang padat modal dengan dana sendiri (Syukur et al. 2000).
Keterbatasan modal menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan
sehingga proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi.
Ditambah lagi, fasilitasi bantuan modal yang diluncurkan pemerintah belum
sepenuhnya dapat dinikmati oleh petani. Hal ini disebabkan karena lembaga
permodalan formal yang ditunjuk untuk menyalurkannya dirasakan tidak
sepenuhnya berpihak kepada petani, bunga yang terlalu tinggi, jaminan
persayaratan yang tidak bisa dipenuhi petani, proses pencairan yang memakan
waktu sangat lama, birokrasi yang bertele-tele, dan pelayanan yang tidak ramah
(Nurmanaf et al. 2006). Akibat keterbatasan dana dan persyaratan kredit yang
memberatkan bagi sebagian petani, sehingga tidak seluruh petani bisa
mendapatkan kredit dari program pemerintah tersebut. Petani yang tidak
memeroleh kredit, mengandalkan sumber pembiayaan produksi dari modal
pinjaman ke tetangga atau tengkulak/rentenir dengan bunga yang lebih tinggi.
Akibatnya akan merugikan petani karena memeroleh keuntungan yang lebih kecil
(Yustika 2013).
Berbekal situasi seperti itu, pada tahun 2008 pemerintah dalam hal ini
Kementerian Pertanian, meluncurkan suatu program yang dinamakan
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). PUAP bergerak dari aspek
fasilitasi modal usaha. Modal usaha ini kemudian disebut dana Bantuan Langsung
Masyarakat (BLM). Konsep dana BLM dalam PUAP sebagai dana stimulan atau
tambahan modal usaha untuk petani “miskin” di perdesaan. Adapun tujuan jangka
panjangnya yakni untuk menunjang pembentukan modal dan meningkatkan
produksi, serta pendapatan usahatani dalam koridor pengembangan agribisnis
perdesaan. Bahkan lebih luas lagi untuk menumbuhkembangkan lembaga
ekonomi di perdesaan yakni Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A).
Dana PUAP sebagian besar dialokasikan untuk komoditas tanaman pangan,
utamanya komoditas padi. Di tingkat petani, padi merupakan salah satu komoditi
yang mempunyai prospek cerah guna menambah pendapatan para petani.
Sehingga memberi motivasi tersendiri bagi petani untuk lebih mengembangkan
dan meningkatkan produksinya, dengan harapan agar pada saat panen usaha
memperoleh hasil penjualan tinggi guna memenuhi kebutuhannya. Sedangkan di
tingkat nasional, padi merupakan salah satu komoditas utama pertanian, karena
padi merupakan kebutuhan pokok penduduk. Komoditi ini tumbuh hampir di
seluruh daerah di Indonesia. Mengingat pentingnya komoditi ini sebagai bahan
makanan pokok, kiranya pengembangan komoditi padi membutuhkan perhatian
khusus.
Pelaksanaan kegiatan PUAP menyalurkan dana BLM sebesar Rp. 100 juta
kepada setiap Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) di 10.000 desa per tahun.
Sehingga setiap tahunnya Gapoktan yang menerima dana BLM pasti berbeda.
Dana tersebut dimaksudkan sebagai fasilitasi bantuan modal usaha untuk
3
penguatan modal pada usaha budidaya (tanaman pangan, hortikultura, peternakan,
dan perkebunan) dan usaha non budidaya (industri rumah tangga, pedagang kecil
dan aktivitas lain berbasis pertanian)
Fungsi Gapoktan dalam PUAP sebagai organisasi atau kelembagaan tani
dalam penyaluran dan pemanfaatan dana PUAP untuk bantuan modal usaha bagi
anggota. Selain itu berperan sebagai media dalam menumbuhkan tingkat
keswadayaan masyarakat petani, meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha
bagi penerima dana BLM PUAP. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam
pelaksanaan PUAP, baik dilihat dari sisi Gapoktan sebagai kelembagaan tani
maupun dari sisi pencapaian kesejahteraan anggota, maka Gapoktan didampingi
oleh tenaga Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra Tani (PMT). Disamping
mendapatkan pembinaan baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Melalui
pelaksanaan PUAP, diharapkan Gapoktan dapat menjadi lembaga ekonomi yang
dimiliki dan dikelola petani, serta bisa dikatakan sebagai kelembagaan yang
mempunyai pengaruh terhadap peningkatan tarap ekonomi (kesejahteraan) antar
pelakunya.
Pelaksanaan PUAP dimulai tahun 2008 sampai dengan akhir tahun 2013,
secara nasional sudah 47.673 Gapoktan yang menerima dana BLM PUAP, dengan
dana yang tersalur sebesar Rp. 4,7 Trilyun. Jenis usaha produktif yang
dikembangkan dalam Program PUAP beserta alokasi penggunaan dananya
mencakup: (a) kegiatan budidaya (on-farm) di bidang tanaman pangan (Rp.
696,83 milyar), hortikultura (Rp. 164,43 milyar), perkebunan (Rp. 139,21 milyar),
dan peternakan (Rp. 271,16 milyar), dan (b) kegiatan non budidaya (off-farm) di
bidang industri rumah tangga pertanian, pemasaran hasil pertanian skala mikro
(bakulan, dll) dan usaha lain berbasis pertanian (Rp. 347,85 milyar) (Direktorat
Pembiayaan Pertanian 2013). Data jumlah Gapoktan penerima dana PUAP secara
nasional disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat program
pengembangan usaha agribisnis perdesaan di Indonesia, tahun 2008-2013
Uraian Tahun
Total 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Jumlah Gapoktan 10.542 9.884 8.587 9.110 6.050 3.500 47.673
Jumlah Penyaluran Dana
(Trilyun) 1,053 0,988 0,858 0,911 0,605 0,350 4,765
Sumber: Direktorat Pembiayaan Pertanian (2013)
Data Gapoktan pada Tabel 1, menunjukkan jumlahnya semakin menurun,
ini artinya pelaksanaan PUAP selama enam tahun berjalan, hampir menjangkau
sebagian besar desa miskin yang ada di 33 provinsi. Sehingga harapannya setelah
selesainya PUAP ini, seluruh desa berkategori miskin sudah mendapatkan dana
BLM PUAP. Selain itu kedepannya, desa-desa yang awalnya berkategori miskin,
diharapkan sudah mengalami pengembangan kearah yang lebih baik, diantaranya
tumbuh dan berjalannya unit usaha produktif, memiliki dana abadi untuk
permodalan usahatani, adanya peningkatan kesejahteraan petani, sampai dengan
tumbuh dan berkembangnya kelembagaan ekonomi tani di perdesaan yang mapan
yakni Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A).
Pelaksanaan PUAP di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008 sampai dengan tahun
2011, sudah 2.703 Gapoktan dari 24 kabupaten yang menerima dana BLM PUAP,
4
dengan dana tersalur sebesar Rp. 270,3 milyar. Selama empat tahun berjalan,
alokasi dana PUAP proporsi terbesar yakni untuk tanaman pangan, selanjutnya
untuk perkebunan, hortikultura, peternakan, dan yang terakhir untuk kegiatan non
budidaya (off farm) yang terbagi atas pengolahan hasil, pemasaran hasil dan usaha
lainnya berbasis pertanian. Data jumlah Gapoktan penerima dana PUAP di
Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat program
pengembangan usaha agribisnis perdesaan di Provinsi Jawa Barat, tahun
2008-2011
Tahun
Jumlah Pelaksana
Program PUAP Dana PUAP
(Rp. Milyar)
Realisasi Dana PUAP (%)
Kab./
Kota Kec.
Desa/
Gapoktan
Tan.
Pangan Horti Nak Bun
Off-
Farm
2008 21 225 621 62,1 31,89 10,36 15,26 6,61 35,88
2009 22 276 702 70,2 35,38 9,79 10,04 10,39 34,40
2010 24 376 686 68,6 30,81 10,02 2,06 15,73 41,36
2011 24 472 694 69,4 32,69 10,05 9,12 10,91 37,21
Jumlah 2.703 270,3 130,77 40,22 36,48 43,64 148,85
Sumber: BPTP Jawa Barat (2012)
Gapoktan pelaksana PUAP lingkup Jawa Barat, dari tahun 2008-2011 sudah
berhasil menumbuhkembangkan LKM-A. Data sebaran LKM-A disajikan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Sebaran LKM-A di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2011 Sumber: BPTP Jawa Barat (2012)
Pada Gambar 1, terlihat Kabupaten Subang berhasil menumbuhkembangkan
LKM-A sebanyak 40 unit (27,97%). Jumlah ini mengungguli kabupaten lainnya,
seperti Tasikmalaya 21 unit (14,68%), dan Bandung Barat 19 unit (13,29%).
Sementara sisanya terpencar di beberapa kabupaten lingkup Provinsi Jawa Barat.
Adapun jenis usaha produktif yang dikembangkan beserta distribusi alokasi
penggunaan dananya, disajikan pada Tabel 3.
5
Tabel 3. Rekapitulasi nilai aset dan alokasi dana bantuan langsung masyarakat
program pengembangan usaha agribisnis perdesaan per usaha ekonomi
produktif Gapoktan PUAP di Provinsi Jawa Barat, tahun 2008-2012
Tahun
Nilai aset
Yang
Dikelola sd
Juni 2012
(Rp. milyar)
Usaha Budidaya/on-farm (Rp. milyar) Non
Budidaya
/off-farm
(Rp. milyar)
Jumlah (Rp. milyar) Tan.
Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan
2008 35,91 9,00 1,29 0,52 3,35 6,81 20,97
2009 27,76 6,10 2,29 0,48 3,97 6,92 19,77
2010 34,40 15,19 4,84 2,80 6,61 9,44 38,87
2011 29,98 11,51 1,36 0,09 5,31 7,51 25,77
Jumlah 128,05 41,82 9,78 3,89 19,22 30,67 105,38
Sumber: BPTP Jawa Barat (2012)
Pelaksanaan PUAP di Kabupaten Subang (2008-2011), jumlah Gapoktan
penerima dana PUAP mencapai 208 Gapoktan. Data rekapitulasi Gapoktan
beserta nilai Aset yang dikelola disajikan pada Tabel 4. Kabupaten Subang
memiliki potensi pertanian, salah satunya adalah komoditas padi, dengan
produktivitas mencapai 6 – 7,5 ton/ha. Dengan demikian, proporsi dana PUAP
sebagian besar dialokasikan untuk komoditas padi.
Tabel 4. Rekapitulasi Gapoktan, nilai aset dan alokasi dana bantuan langsung
masyarakat program pengembangan usaha agribisnis perdesaan per usaha
ekonomi produktif di Kabupaten Subang, tahun 2008-2011
Tahun Jumlah
Gapoktan
Nilai aset
Yang
Dikelola sd
Juni 2012
(Rp. milyar)
Usaha Budidaya/on-farm (Rp. milyar) Non
Budidaya
/off-farm
(Rp. milyar)
Tan. Pangan
Hortikultura Perkebunan Peternakan
2008 35 8,65 1,74 0,21 0,03 0,34 1,08
2009 57 4,60 2,91 0,48 0,44 0,96 1,71
2010 44 5,07 1,49 0,21 0,08 0,72 1,89
2011 72 7,86 2,81 0,42 0,00 1,15 2,52
Jumlah 208 26,18 8,95 1,32 0,55 3,17 7,20
Sumber: BPTP Jawa Barat (2012)
Pembiayaan pertanian melalui fasilitasi modal usaha dari dana BLM PUAP
diduga berperan terhadap keberhasilan pengembangan agribisnis di perdesaan
berbasis usahatani padi yang ada dilokasi penelitian, dalam hal ini di Kabupaten
Subang, Provinsi Jawa Barat. Adapun indikator keberhasilan tersebut dilihat dari
kinerja organisasi Gapoktan dan peningkatan pendapatan usahatani bagi petani
contoh penerima/pemanfaat dana BLM PUAP. Mengapa demikian, karena
peningkatan kinerja organisasi Gapoktan dan peningkatan pendapatan merupakan
komponen penting dari indikator keberhasilan pelaksanaan PUAP. Selain itu
merupakan efek multiplier yang diharapkan dari pemberian tambahan modal
usaha atau modal kerja bagi petani miskin. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu
dilakukan penelitian untuk menganalisis kinerja Gapoktan dan menganalisis
capaian hasil (outcome) terhadap pendapatan usahatani petani anggota berbasis
komoditas padi.
6
Perumusan Masalah Penelitian
Pertanian memiliki fungsi dan peran strategis bagi masyarakat dan
pemerintah, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Pertanian tidak
sekedar menghasilkan bahan pangan, tetapi juga memberikan kesempatan kerja
dan pendapatan bagi masyarakat. Saat ini, makna pertanian tidak hanya mencakup
pada aspek produksi usaha tani (on-farm) semata, tetapi juga mencakup kegiatan
luar usaha tani yang terkait dengan produksi, baik yang berada di hulu maupun di
hilir (off-farm), serta aktivitas penunjang yang mendukung penuh seluruh kegiatan
pertanian. Namun, ketika berbicara tentang petani, maknanya tidak lepas dari
kegiatan produksi usaha tani, karena sebagian besar petani kita masih berkutat
pada on-farm, yang bertujuan untuk menghasilkan komoditas pertanian bagi
pemenuhan kebutuhan pangan, pakan, serta energi.
Melihat tingkat pendapatan petani yang relatif lebih rendah daripada para
pelaku sektor ekonomi lainnya, akibatnya tingkat kemiskinan di sektor ini masih
relatif tinggi. Terdapat beberapa faktor penyebab rendahnya tingkat pendapatan
dan tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian, yaitu: (1) rendahnya
kepemilikan dan penguasaan lahan, (2) rendahnya produktivitas usaha tani, (3)
rendahnya harga produk di tingkat petani, (4) rendahnya pendidikan dan
keterampilan petani, serta (5) minimnya akses petani terhadap sumber
pembiayaan (permodalan). Inti dari beberapa bermasalahan tersebut, yakni petani
memiliki keterbatasan penguasaan modal untuk menjalankan aktivitas
usahataninya.
Modal dalam usahatani diklasifikasikan sebagai bentuk kekayaan, baik
berupa uang maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu secara
langsung maupun tidak langsung dalam suatu proses produksi (Hanafie 2010).
Secara ekonomi modal adalah barang-barang yang bernilai ekonomi yang
digunakan untuk menghasilkan tambahan kekayaan ataupun untuk meningkatkan
produksi. Dalam perusahaan, modal adalah seluruh kekayaan yang digunakan
dalam usaha. Modal digunakan untuk menghasilkan barang-barang konsumsi atau
barang-barang modal. Pembentukan modal bertujuan untuk meningkatkan
produksi dan pendapatan usahatani, serta menunjang pembentukan modal lebih
lanjut. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sumber permodalan usahatani para
petani didapatkan dari: (1) modal sendiri yang relatif terbatas, dan (2) meminjam
dana dari para tengkulak dan atau lembaga keuangan informal lainnya yang
beroperasi di wilayah perdesaan.
Lebih lanjut, Daniel (2002) menyampaikan bahwa modal usahatani yang
dimaksud adalah keseluruhan biaya-biaya dalam pengadaan bibit, pupuk, obat-
obatan, upah tenaga kerja, transport, penyusutan alat dan pajak tanah. Kecukupan
modal mempengaruhi ketepatan dalam penggunaan input produksi secara tepat
waktu sehingga hasil padi optimal. Sebaliknya keterbatasan modal yang dimiliki
petani mempengaruhi jumlah faktor produksi (benih/varietas unggul baru, pupuk,
pestisida, dan tenaga kerja) yang digunakan petani dalam usahatani, dengan kata
lain petani menjadi lemah dalam penerapan inovasi teknologi.
Untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan tersebut (petani kurang
modal), pemerintah menetapkan program jangka menengah yang fokus pada
pembangunan pertanian perdesaan. Salah satunya ditempuh melalui pendekatan
mengembangkan usaha agribisnis dan memperkuat kelembagaan pertanian di
7
perdesaan. Pendekatan ini diwujudnyatakan dengan fasilitasi tambahan modal
kerja atau pembiayaan usahatani melalui dana Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM) Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP).
Pada intinya program PUAP merupakan suatu upaya penanggulangan
kemiskinan yang dilaksanakan melalui pengembangan usaha agribisnis perdesaan.
Upaya pengembangan usaha agribisnis tersebut ditempuh melalui penguatan
modal petani sebagai “entry point”. Sedangkan upaya penguatan modal petani
dilakukan melalui penyaluran dana BLM PUAP sebesar 100 juta rupiah per desa
yang disalurkan kepada petani miskin. Penyaluran dana BLM PUAP tersebut
dilaksanakan melalui Gapoktan yang harus dibentuk di setiap desa lokasi PUAP.
Dana tersebut diharapkan dapat berkembang dan dikelola Gapoktan sebagai dana
awal bagi pembentukan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A),
sehingga rumah tangga tani miskin secara berkelanjutan mudah mengakses dana
tersebut sebagai tambahan modal usaha.
Pelaksanaan program PUAP yang kegiatannya melalui fasilitasi bantuan
tambahan modal usaha, diharapkan upaya pengembangan usaha agribisnis di
perdesaan dapat tercipta. Filosofinya, baiknya kinerja organisasi petani di
perdesaan dalam hal ini Gapoktan, dan didukung dengan adanya tambahan modal
usaha, akan mendorong usahatani padi petani anggota ke arah yang lebih
produktif. Indikasinya terlihat dari meningkatknya kemampuan petani dalam
pemenuhan kebutuhan input produksi, serta mengadopsi teknologi anjuran
(rekomendasi). Sehingga secara normatif produksi akan meningkat. Ketika
produksi meningkat diikuti dengan peningkatan kualitas, akan berdampak
terhadap peningkatan pendapatan. Akan tetapi, program pemerintah semacam ini
menimbulkan sejumlah masalah moral hazard, karena: (1) sebagian petani
menganggap bahwa program pemerintah bersifat bantuan, sehingga tidak perlu
dikembalikan, (2) sebagian kelompok tani penerima program didirikan secara
mendadak, sehingga kurang memiliki pengalaman yang baik, (3) pembagian dana
program yang hanya terbatas pada anggota kelompok tani penerima bantuan.
Fakta ini menunjukan bahwa pendanaan semacam ini prakteknya sangat
membantu, tetapi efektifitasnya perlu kita tunggu dan kita amati terus menerus,
dengan pembinaan dan pengawasan yang sustainable oleh komponen baik dari
tingkat paling bawah (kelompok tani) sampai tingkat atas (pemerintah).
Kabupaten Subang hingga kini tersisa 114 desa yang belum tersentuh
program bantuan PUAP, dari jumlah itu seluruhnya telah diusulkan guna
menerima bantuan PUAP. Sehingga diharapkan, seluruh desa yang ada di
Kabupaten Subang bisa menerima bantuan Program PUAP. Salah satu output
keberhasilan Program PUAP adalah terbentuknya Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis (LKM-A) yang berbadan hukum koperasi. Di Kabupaten Subang
pengelolaan dana PUAP oleh Gapoktan dibantu oleh Unit Permodalan Gapoktan
(UPG) sebagai salah satu unit usaha otonom di bawah koordinasi dan wewenang
Gapoktan. UPG dikelola oleh seorang manager yang diangkat oleh Gapoktan
sesuai kesepakatan dengan kriteria yang telah ditentukan sesuai dengan kebutuhan
dalam mengelola administrasi keuangan di UPG. Seperti yang sudah diuraikan
sebelumnya, bahwa Kabupaten Subang telah berhasil menumbuhkembangkan
LKM-A sebanyak 40 unit (27,97%), jumlah tersebut mengungguli kabupaten
lainnya yang ada di Provinsi Jawa Barat. Serta jika ditinjau dari kelengkapan
8
organisasinya sudah baik, seperti SDM pengelola, jenis pembukuan lengkap,
AD/ART, asset kelembagaan, dan administrasi.
Pengembangan permodalan dari Program PUAP sangat bervariasi, mulai
tahun pertama penyaluran dana (2008) sampai dengan sekarang (2014). Banyak
kelompok tani yang sudah bisa mengembangkan dana menjadi dua kali lipat dari
bantuan permodalan awal, tetapi masih ada juga yang berkutat dengan proses
pengembalian dana awal bantuan. Hal ini, disebabkan karena mekanisme
pengembalian dana pinjaman anggota ini bervariasi, mulai dari pengembalian
harian, mingguan, bulanan dan jatuh tempo atau bayar panen (yarnen). Pendanaan
pada sektor on-farm pengembaliannya relatif lambat karena sebagian besar
menggunakan pola yarnen, sedangkan pendanaan pada sektor off-farm relatif lebih
cepat dengan pola pengembalian harian, mingguan, dan bulanan. Berbagai macam
mekanisme pengelolaan dana PUAP yang diserahkan pada mekanisme
musyawarah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) membuat progress program
PUAP ini di masing-masing Gapoktan bermacam-macam. Semoga fasilitasi
pemerintah menjadikan trigger buat para petani, sehingga petani dan pertanian di
Indonesia lebih maju dan berkembang.
Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengungkap
seberapa besar peran atau kontribusi program PUAP terhadap kinerja Gapoktan
dan pendapatan usahatani padi yang dikelola oleh petani penerima dana PUAP
dilokasi penelitian. Untuk melihat besarnya peran tersebut, dilakukan pendekatan
with and without PUAP. Hal ini dimaksudkan untuk membandingkan antara
kinerja Gapoktan penerima PUAP dengan non penerima PUAP. Pendekatan
tersebut dilakukan juga pada usahatani padi petani anggota yang sudah menerima
dan tidak menerima PUAP, dengan fokus terhadap tingkat pendapatan usahatani
padi. Selanjutnya, melihat seberapa besar derajat keeratan hubungan antara kinerja
Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi petani anggota.
Beranjak dari uraian perumusan masalah, pertanyaan penelitian yang ingin
ditemukan jawabannya dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP?
2. Bagaimana pendapatan usahatani padi petani PUAP dengan non PUAP, serta
apakah ada perbedaan yang signifikan?
3. Bagaimana hubungan kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Menganalisis kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP.
2. Menganalisis pendapatan usahatani padi petani PUAP dan non PUAP.
3. Menganalisis hubungan kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani padi
petani anggota.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan informasi
pentingnya keberadaan modal dalam aktitivitas usaha agribisnis, utamanya di
perdesaan. Selain itu penelitian mampu memberikan rekomendasi bagi pemerintah
9
pusat maupun daerah, dalam menentukan langkah dan kebijakan untuk
menanggulangi kemiskinan di perdesaan, serta untuk mempertahankan
keberlanjutan program pembiayaan pertanian dalam koridor program
pemberdayaan petani. Selain itu, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembaca sebagai tambahan pengetahuan maupun informasi untuk melaksanakan
studi yang relevan di masa mendatang.
Ruang Lingkup Penelitian
1. Penelitian dilakukan di Kecamatan Patok Besi dan Ciasem, Kabupaten
Subang, Provinsi Jawa Barat, pada Gapoktan penerima dana PUAP maupun
non PUAP, dimana usaha simpan pinjamnya sudah berjalan.
2. Unit analisis dalam penelitian ini terdiri atas Gapoktan dan petani anggota
yang berusahatani padi sawah. Unit analisis Gapoktan diperlukan untuk
menjawab tujuan pertama, yakni pengukuran terhadap kinerja Gapoktan,
sedangkan unit analisis petani anggota diperlukan untuk menjawab tujuan
kedua, yakni menganalisis pendapatan usahatani padi serta untuk
menganalisis apakah ada perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok
tersebut. Sehingga dalam penelitian ini dibatasi pada penilaian kinerja
Gapoktan dan pendapatan usahatani padi, baik PUAP maupun Non PUAP.
3. Untuk mengkaji peran PUAP terhadap kinerja Gapoktan, dapat dilihat
melalui pendekatan with and without PUAP. Artinya perbandingan kinerja
organisasi antara Gapoktan PUAP dengan Gapoktan non PUAP. Alat analisis
yang digunakan dalam mengukur kinerja Gapoktan menggunakan instrumen
form penilaian kinerja, di mana setiap pernyataan diberi skor menggunakan
skala likert. Total skor merupakan pencerminan dari kinerja Gapoktan itu
sendiri. Atribut penilaian kinerja Gapoktan, diadaptasi dari pedoman
penilaian Gapoktan PUAP dari Kementerian Pertanian (2010b), Syahyuti
(2012), dan Yustika (2013), yang semuanya diintegrasikan menjadi satu
instrumen untuk penilaian kinerja Gapoktan dalam penelitian ini.
4. Untuk mengkaji peran PUAP terhadap pendapatan usahatani padi sawah,
dapat dilihat melalui perbandingan antara pendapatan usahatani padi pada
petani PUAP dan non PUAP. Alat analisis yang digunakan adalah analisis
pendapatan usahatani, R/C, B/C, MBCR dan uji beda sampel tidak
berhubungan (independent sampel T test).
5. Untuk mengkaji hubungan kinerja Gapoktan terhadap pendapatan usahatani
padi, menggunakan pendekatan analisis korelasi Pearson Product Moment
(PPM). Hal ini bertujuan untuk menganalisis derajat hubungan antara variabel
bebas (kinerja Gapoktan) dengan variabel terikat (pendapatan usahatani padi).
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis
Pembiayaan merupakan salah satu komponen strategis dalam revitalisasi
pertanian. secara gasir besar, kebijakan pembiayaan pertanian mencakup dua hal,
yaitu: (1) kebijakan pembiayaan pembangunan pertanian yang memprioritaskan
10
anggaran untuk sektor pertanian dan sektor pendukungnya, dan (2) kebijakan
pertanian yang mudah di akses masyarakat (Departemen Pertanian 2005).
Konteks kebijakan pemerintah, pembiayaan pertanian diwujudnyatakan
dengan ketersediaan anggaran pembangunan dan penyediaan sistem insentif untuk
mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani. Seperti yang
diungkapkan oleh Prasetyo dan Joko (2009), pembiayaan pertanian merupakan
bagian dana nasional maupun internasional yang digunakan untuk membiayai
kegiatan produksi dan investasi disektor pertanian. Alat utama kebijakan pertanian
diwujudkan melalui anggaran belanja pemerintah (fiskal) di sektor pertanian.
Seperti yang diketahui, tanpa adanya pembiayaan atau permodalan yang memadai
pada aktivitas usaha agribisnis, tidak mungkin dapat melakukan pengembangan
usaha dan memperoleh peningkatan laba (Mirza 2000; Moeler dan Thorsen 2000)
Pembiayaan pertanian, pada intinya pemerintah ikut serta dalam kegiatan
perekonomian, sehingga tidak adanya ekternalitas yang merugikan banyak pihak.
Mengingat pemerintah sebagai salah satu pelaku ekonomi (rumah tangga
pemerintah), memiliki fungsi penting dalam perekonomian, yaitu berfungsi
sebagai stabilisasi, alokasi, dan distribusi. Fungsi-fungsi pemerintah adalah
sebagai berikut: (1) fungsi stabilisasi, yakni fungsi pemerintah dalam menciptakan
kestabilan ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan, dan keamanan, (2) fungsi
alokasi, yakni fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa publik seperti
pembangunan jalan raya, gedung sekolah, penyediaan fasilitas penerangan, dan
telepon, dan (3) fungsi distribusi, yakni fungsi pemerintah dalam pemerataan atau
disribusi pendapatan masyarakat.
Kebijakan pembiayaan pertanian yakni pemerintah melakukan intervensi
pembiayaan non pasar (non market) dalam bentuk pembiayaan langsung.
Pembiayaan langsung sering dikategorikan sebagai kredit program, dan erat
kaitannya untuk pemecahan masalah dalam hal kekurangan modal usaha. Masalah
kekurangan modal adalah salah satu ciri penting bagi setiap negara yang memulai
proses pembangunan. Kekurangan modal tidak hanya menghambat kecepatan
pembangunan ekonomi yang dapat dilaksanakan tetapi dapat menyebabkan
kesulitan negara tersebut untuk melepaskan dari kemiskinan.
Berdasarkan pengalaman selama beberapa dekade, pemerintah telah
melakukan intervensi di pasar kredit cenderung langsung, biasanya mengambil
bentuk yang diarahkan pada alokasi pinjaman, subsidi bunga dan kepemilikan
negara atas bank. Pada tahun 1970, misalnya, bank sentral di Indonesia diberikan
hampir 200 jalur kredit, banyak yang ditujukan untuk kegiatan pertanian, dan
sebagian besar yang disubsidi. Di Thailand selama tahun 1970 dan 1980
pemerintah mewajibkan semua bank untuk meningkatkan persentase pinjaman
dari total portofolio pinjaman bank kepada petani. Selain di beberapa negara
seperti Filipina, segmen utama dari sistem keuangan perdesaan melekat pada
program produksi tanaman. Di negara-negara lain seperti Mesir dan Brazil upaya
kredit bersubsidi sangat besar, hal ini dilakukan atas dasar untuk mengkompensasi
petani akibat terjadinya distorsi lain dalam perekonomian, seperti mengkontrol
harga makanan atau meningkatkan nilai suku bunga (Coffey 1998). Sehingga
dapat disimpulkan, kebijakan dan peraturan tersebut (kredit program) dapat
mempengaruhi keuntungan dan perkembangan sistem pertanian (Hardie et al.
2004; Goetz dan Zilberman 2007).
11
Pemerintah banyak melakukan program-program bantuan modal salah
satunya yakni Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-
Mandiri). Selain pemerintah, badan usaha juga membantu dalam masalah
kekurangan modal seperti bank, koperasi, BUMN seperti PLN dan lain-lain1.
Smith and Smith (2004) dan Xiaoping (2011) menyatakan modal usaha (individu
dan lembaga yang membuat investasi modal usaha) menjadi pendorong
pengembangan usaha.
Menurut Ashari (2009) secara umum program bantuan kredit atau modal
untuk sektor pertanian berasal dari dua sumber, yaitu: (1) dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) seperti Bimas, KUT, Kredit Ketahanan
Pangan (KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), Bantuan Langsung
Masyarakat (BLM), Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis
(LKMA); dan (2) Project bantuan asing baik yang berupa hubungan bilateral
seperti second Kennedy Round (SKR) maupun kerjasama multilateral seperti
Program Peningkatan Pendapatan Petani/nelayan Kecil (P4K).
Adapun tujuan dari pembiayaan agribisnis yaitu dalam rangka mengatasi
keterbatasan akses petani terhadap permodalan, lemahnya kapasitas kelembagaan
petani, dan terbatasnya infrastruktur pertanian, maka sebagai anggaran pemerintah
dalam hal ini Kementerian Pertanian dialokasikan dalam bentuk belanja bantuan
sosial untuk pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, penanggulangan
kemiskinan dan penanganan bencana di bidang pertanian.
Terkait dengan penanggulangan kemiskinan dan penanggulangan bencana,
Kementerian Pertanian menyalurkan belanja bantuan sosial dalam bentuk barang
kepada kelompok tani, sedangkan untuk pemberdayaan sosial dan perlindungan
sosial disalurkan belanja bantuan sosial melalui transfer uang dan/atau transfer
barang kepada kelompok tani, agar mampu secara mandiri dan bersama-sama
meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing produk pertanian yang
pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani.
Pembiayaan pertanian berupa kredit, memiliki peran yang strategis dalam
pembangunan pertanian dan perdesaan. Hal ini telah mendorong pemerintah untuk
menjadikannya sebagai instrumen kebijakan penting (Ashari 2009). Dalam tataran
konseptual, menurut Tampubolon (2002) kredit dianggap mampu memutuskan
“lingkaran setan” kemiskinan di perdesaan. Kredit dapat memfasilitasi transfer
daya beli sementara dari satu individu atau organisasi kepada individu atau
organisasi yang lain. Hal senada juga dipaparkan Jehangir et al. (2002).
Menurutnya, kredit adalah penting untuk penggunaan modal kerja, modal tetap
dan konsumsi yang baik. Kredit adalah elemen kunci dalam modernisasi
pertanian. Tidak hanya itu menghilangkan hambatan finansial tetapi juga
mempercepat laju adopsi teknologi baru.
Penggunaan modal dan adopsi teknik-teknik modern untuk produksi, yang
telah menjadi sumber utama pertumbuhan output pertanian, memerlukan akses ke
pasar kredit untuk pembiayaan pertanian. Sehingga dengan pasokan kredit yang
optimal diharapkan dapat meningkatkan kemampuan petani dalam membeli
1 http://27acintya08dhika95.wordpress.com/kebijakan-pemerintah-dalam-bidang-ekonomi/ Unduh
tgl: 25-10-2013, jam 08:36
12
saprodi, yang selanjutnya berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas
usahatani. Mengingat urgensi kredit ini, maka dalam proses perencanaan program
pembangunan pertanian, aspek permodalan merupakan salah satu faktor penting
yang selalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Oleh karena itu
pemberian kredit program biasanya sejalan atau dijadikan sebagai unsur pelancar
bagi program pembangunan pertanian lainnya.
Pelaksanaan Program Bantuan Pembiayaan Usaha Agribisnis
Pembiayaan pertanian yang bersumber dari kredit program tidak bisa
dilepaskan dari sejarah pembangunan pertanian. Pengalaman menunjukkan
peranan kredit pertanian sangat penting dalam pembangunan sektor pertanian.
Kredit merupakan salah satu faktor pendukung utama pengembangan adopsi
teknologi usahatani. Kredit pertanian bukan sekedar faktor pelancar pembangunan
pertanian akan tetapi berfungsi pula sebagai satu titik kritis pembangunan
pertanian (critical point of development) (Syukur et al. 1998).
Lebih lanjut Syukur et al. (1999) mengungkapkan peran kredit sebagai
pelancar pembangunan pertanian antara lain: (1) membantu petani kecil dalam
mengatasi keterbatasan modal dengan bunga relatif ringan, (2) mengurangi
ketergantungan petani pada pedagang pelantara dan pelepas uang, sehingga bisa
berperan dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian, (3)
mekanisme transfer pendapatan untuk mendorong pemerataan, dan (4) insentif
bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian. Sementara sebagai simpul
kritis pembangunan, kredit berfungsi efektif untuk menunjang perluasan dan
penyebaran adopsi teknologi.
Menurut Soentoro et al. (1992) perkembangan kredit program pemerintah
untuk sektor pertanian tidak dapat dipisahkan dengan program intensifikasi
pertanian dan program peningkatan ekonomi perdesaan. Agenda dari program
tersebut adalah untuk mencapai swasembada beras nasional. Dari upaya tersebut
lahirlah Program Bimas yang keberhasilannya sangat ditunjang oleh keberadaan
program kredit pertanian. Pendampingan pendanaan yang lebih populer dengan
Kredit Bimas, dimaksudkan untuk mempercepat adopsi teknologi budidaya padi,
yaitu dengan memberi bantuan pendanaan untuk pengadaan bibit unggul, pupuk,
pestisida, dan biaya hidup (cost of living) yang bertujuan meningkatkan
produktivitas usahatani padi.
Melihat sejarahnya, menurut Ashari (2009); Andin et al. (1992); Supadi dan
Sumedi (2004); Sagala (2010) bahwa perkembangan pembiayaan pertanian
pertama kali dengan nama Bimbingan Masal (BIMAS). Bimas merupakan
program yang berorientasi pada pembangunan pertanian secara umum dan
swasembada beras. Program ini merupakan bimbingan yang berhubungan dengan
aplikasi ilmu dan teknologi dalam rangka mencapai hasil yang optimal. Tujuan
dibentuknya program tersebut adalah untuk meningkatkan produksi, penggunaan
teknologi baru dalam usahatani dan peningkatan produksi pangan secara nasional.
Lebih lanjut Ashari (2009); Supadi dan Sumedi (2004); Sagala (2010)
memaparkan Kredit Bimas yang dikelola oleh BRI mulai diimplementasikan
tahun 1967/1970. Keadaan ini memotivasi BRI untuk membangun BRI Unit Desa
yang dimulai dengan empat unit Pilot Proyek di Yogyakarta. Dana kredit
disediakan dari subsidi pemerintah (BI) pada tingkat bunga 3 persen per tahun,
13
sementara tingkat bunga BRI sebesar 12 persen. Total Kredit Bimas yang
disalurkan sejak dari mulai program dilaksanakan (1967/70) sampai musim tanam
(1984/85) mencapai Rp.636,7 milyar dengan total nasabah 28.847 petani. Selama
periode 1970-1975 jumlah pinjaman yang dilunasi tepat waktu sebesar 80 persen,
sementara sejak 1976 dan selanjutnya hanya 57% yang dibayar kembali. Faktor
yang turut berkontribusi terhadap tingginya tunggakan karena adanya program
“pengampunan hutang” yang membangun ekspektasi diantara petani nasabah
bahwa suatu hari tidak harus dibayar. Memang dengan program Bimas skala
nasional, pemerintah memiliki cerita sukses berupa swasembada produksi padi
pada tahun 1984, walaupun tahun 1983 program Bimas diakhiri.
Pada tahun 1985, program Kredit Usaha Tani (KUT) diintroduksikan. KUT
merupakan salah satu dari program lanjutan dengan dana kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI). Target utama program ini yaitu petani yang telah
mengembalikan 100 persen pinjaman program Bimas, dengan tingkat bunga 3%.
KUT disediakan untuk petani yang belum memiliki kemampuan menyediakan
kebutuhan yang diperlukan untuk usahatani dari sumber pembiayaan sendiri,
dengan tingkat bunga 12%. KUT disalurkan melalui kantor cabang BRI ke
Koperasi Unit Desa (KUD), kemudian didistribusikan pada para petani anggota
KUD. Sejalan dengan perkembangannya dari tahun ke tahun ternyata pola
demikian banyak menemui kesulitan terutama dalam penyaluran kredit. Hal ini
diakibatkan tunggakan pada musim sebelumnya sangat tinggi dan fakta
menunjukkan bahwa banyak kredit yang tidak sampai pada petani miskin akibat
sangat rendahnya tingkat pengembalian. Kredit melalui KUT sangat besar yang
meningkat dari Rp. 300 miliar per tahun (sebelum krisis ekonomi mencapai Rp. 8
triliun pada musim tanam 1998/1999) (Supadi dan Sumedi 2004; Ashari 2009;
Soentoro et al. 1992)
Menurut Supadi dan Sumedi (2004); Ashari (2009), bahwa sejak program
KUT diaplikasikan, besarnya pembayaran kembali hanya sekitar 25 persen.
Tingkat bunga yang ditetapkan berubah, yaitu sebesar 14 persen pada tahun 1985-
1995. Setelah sepuluh tahun berjalan akhirnya pada tahun 1995 KUT mengalami
perubahan dari pemerintah dengan mencanangkan skim kredit KUT pola khusus.
Tingkat bunga diturunkan menjadi 10,5 persen pada tahun 1995-1998/1999. Lebih
lanjut Supadi dan Sumedi (2004); Ashari (2009), menyatakan bahwa pada pola
ini, kelompok tani langsung menerima dana dari Bank pelaksana bukan melalui
KUD. Sepanjang perkembangan sistem baru tersebut, ternyata terjadi
penunggakan yang besar dibeberapa daerah dikarenakan anjloknya harga gabah
yang diterima petani, faktor bencana alam, dan penyimpangan yang terjadi dalam
proses penyaluran serta pemanfaatan dana tersebut. Salah satunya adalah
pengalihan dana KUT yang seharusya untuk usahatani kemudian dialihkan untuk
keperluan konsumsi rumah tangga atau pembiayaan anak sekolah. KUT berakhir
seiring dengan UU No.23/1999 yang melarang BI untuk menyalurkan KLBI.
Total KUT yang telah disalurkan sampai tahun 1999 mencapai sebanyak Rp. 8
triliun. KUT menghadapi permasalahan berupa tingkat pengembalian yang hanya
25%.
Ashari (2009); Sagala (2010) menyebutkan program yang selanjutnya
adalah penguatan modal dengan nama Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Program
KKP diperkenalkan pada bulan Oktober 2000 sebagai pengganti KUT dengan
plafond Rp. 2,08 triliun untuk paket tanaman padi, palawija, perkebunan, tebu,
14
peternakan, perikanan dan perdagangan. Menurut Ashari (2009), aturan pada KKP
kembali pada keikutsertaan bank yang berhadapan dengan peluang resiko
(executing) menjadikan bank sangat berhati-hati dan menghindari individu-
individu dan organisasi yang masih memiliki tunggakan KUT dan mempunyai
riwayat buruk di masa lalu. Tingkat bunga masih disubsidi, dan dengan beberapa
modifikasi kredit tersebut masih eksis.
Lebih lanjut Ashari (2009) memaparkan bahwa tingkat bunga yang
ditetapkan dalam program KKP terbagi atas: 12% untuk tanaman pangan dan 16%
untuk peternakan, perkebunan dan perikanan. KKP ditujukan untuk: (1)
intensifikasi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu), dan (2) pengadaan
pangan. KKP intinya untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan
pendapatan petani yang sasarannya untuk fasilitasi modal usahatani. Target dari
KKP adalah kelompok tani dan koperasi. Bank pelaksana adalah BUMN seperti
BRI, Bank Agro, Bukopin, Bank Mandiri, dan Bank Pembangunan Daerah. Skim
program ini pengaturannya adalah melalui Bank pelaksana yang disalurkan
melalui koperasi dan atau kelompok tani yang selanjutnya disalurkan kepada
anggotanya langsung.
Pada tahun 2006 sudah disalurkan sekitar Rp. 4,98 triliun. Maksimum
pinjaman per petani (BRI) adalah Rp. 15 juta dengan maksimum kepemilikan
lahan 2 ha dan periode pinjaman 12 bulan. Dalam perkembangannya KKP ini
sejak tahun 2007 diubah nomenklaturnya menjadi KKP-Energi. Hingga tahun
2008 (posisi Juni), telah disalurkan sekitar Rp. 6,30 triliun. Dari total dana yang
disalurkan tersebut penyerapan yang terbesar digunakan untuk pengembangan
budidaya tebu, disusul untuk pengembangan peternakan serta pengembangan
padi, jagung dan kedelai. Pengajuan untuk memperoleh dana tersebut dilakukan
melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Pengajuan ini dapat
berbentuk proposal usaha yang selanjutnya dilakukan pemberian kredit.
Sementara itu, menurut Ashari (2009) hasil evaluasi yang pernah dilakukan
Kementerian Pertanian dan Japan International Coorporation Agency/JICA
(2006), Non Performing Loan (NPL) pada Juni 2006 adalah untuk tanaman
pangan (6,07%), tebu (0,02%), peternakan (4,03%), perikanan (14,001%), dan
pengadaan barang (3,01%). Kendala dalam KKP adalah adanya kehati-hatian
ekstra dari bank yang masih trauma dengan kasus KUT sehingga pencairan dana
relatif lambat, terbatasnya agunan yang dimiliki petani, dan terbatasnya
avalis/guarantor kredit di pasar finansial.
Upaya untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam berusaha,
Ashari (2009) menyebutkan pemerintah melalui Kementerian Pertanian tahun
2001 mengeluarkan kebijakan baru berupa program fasilitas Bantuan Langsung
Tunai (BLM). Program ini diarahkan untuk kegiatan ekonomi produktif, bantuan
sarana dan prasarana dasar yang mendukung kegiatan sosial ekonomi, bantuan
pengembangan sumberdaya manusia untuk mendukung penguatan kelompok
masyarakat dan unit pengelola keuangan dan bantuan sistem pelaporan untuk
mendukung pelestarian hasil-hasil kegiatan sosial ekonomi produktif.
Pada tahun 2002, Kementerian Pertanian juga meluncurkan program yang
disebut Proyek Pembangunan Agribisnis berbasis Komunitas (PPABK) melalui
Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM). BPLM merupakan design
ulang dari BLM dalam konteks desentralisasi yaitu pengelolaan di tingkat
kabupaten/kota dengan melibatkan penyuluhan pertanian dalam peningkatan
15
kapasitas petani dalam kredit, seleksi group dan monitoring (Supadi dan Sumedi,
2004).
Pada tahun 2003, dengan adanya Program Pemberdayaan Masyarakat
Agribisnis melalui Penguatan Modal Kelompok, BPLM lebih difokuskan untuk
lebih menitikberatkan pada penguatan modal dalam kelompok tani (Poktan),
meneruskan pola perguliran modal dan memperkuat modal kelompok. Program
ini untuk mempromosikan kepemilikan dari kelompok dengan menekan pada
kontribusi anggota dalam memajukan bisnis, memperkuat monitoring dan
menyarankan Dinas dan mitra pembangunan lainnya seperti universitas, NGO
serta pihak swasta untuk terlibat (Supadi dan Sumedi 2004).
Periode selanjutnya adalah program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha
Ekonomi Perdesaan (DPM-LUEP). DPM-LUEP merupakan dana talangan tanpa
bunga dari APBN yang harus dikembalikan oleh penerima dana tersebut ke kas
negara setiap akhir tahun. Tujuan penyelenggaraan kegiatan DPM-LUEP adalah:
(1) melakukan pembelian dalam rangka menjaga stabilitas harga gabah/beras yang
diterima petani minimal sesuai HPP, (2) mendekatkan petani dan atau kelompok
tani terhadap pasar melalui kerjasama dengan LUEP, (3) menumbuhkembangkan
dan menggerakkan kelembagaan usaha ekonomi di perdesaan, dan (4)
memperkuat posisi daerah dalam ketahanan pangan wilayah. Program DPM-
LUEP dilaksanakan di sebagian besar provinsi, terutama di provinsi sentra
produksi padi. Jumlah provinsi yang mendapatkan DPM selalu meningkat setiap
tahun yaitu dari 15 provinsi (2003) menjadi 27 provinsi (2007) (Ashari 2009).
Lebih lanjut Kementerian Pertanian meluncurkan Skim Pelayanan
Pembiayaan Pertanian (SP3). SP3 merupakan skim program untuk meningkatkan
akses petani pada fasilitas kredit/pembiayaan dari bank pelaksana melalui
mekanisme bagi risiko (risk sharing) antara bank pelaksana dengan pemerintah.
Diharapkan dengan SP3 ini dapat membantu kemudahan akses petani pada
layanan perbankan melalui jasa penjaminan bagi petani/kelompok tani skala usaha
mikro, kecil dan menengah yang tidak mempunyai agunan yang cukup. Pada SP3
ini lima bank pelaksana yang ikut berpartisipasi adalah Bank Mandiri, Bank
Syariah, Bank Bukopin, Bank Jatim, dan Bank NTB. Total kredit yang disalurkan
bank pelaksana hingga April 2008 tercatat Rp. 421 milyar lebih, dengan jumlah
nasabah petani/peternak yang terlayani sebanyak 6.445 subsektor perkebunan
mendominasi penyerapan SP3 dengan total dana Rp. 207 milyar dengan 3.818
nasabah. Dengan adanya program penjaminan kredit pemerintah dalam bentuk
Kredit Usaha Rakyat (KUR), maka pada akhir tahun 2008, SP3 diintegrasikan dan
dileburkan ke dalam KUR tersebut.
Pada tahun 2008, melalui adanya kepemimpinan baru di pemerintahan,
maka pemerintah melalui Kementerian Pertanian mencanangkan program jangka
menengah yang diberi nama Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP).
PUAP merupakan program terobosan Kementerian Pertanian untuk
penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja di perdesaan,
sekaligus mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah pusat dan daerah
serta antar subsektor. PUAP merupakan bagian dari pelaksanaan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri), yang
dikoordinasikan oleh kantor Menko Kesejahteraan Rakyat (Ashari 2009; Sagala
2010; Hermawan dan Hendayana 2012; Kementerian Pertanian 2010a).
16
Program PUAP menyediakan fasilitasi dana Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM). Dana BLM ini sebagai tambahan modal usaha untuk mendukung
gabungan kelompok tani (Gapoktan). Sasarannya adalah petani anggota, pemilik,
penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani. Disamping itu, dengan fasilitasi
modal melalui PUAP ini diharapkan mendukung terbentuknya Lembaga
Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) (Kementerian Pertanian 2010a).
Keberadaan LKM-A menjadi salah satu solusi dalam mengelola keuangan
dan pembiayaan sektor pertanian, utamanya untuk agribisnis berskala kecil di
perdesaan (Hermawan dan Andrianyta 2012; Hendayana et al. 2009). Menurut
Ashari (2009), lembaga ini yang nantinya berperan menyalurkan pinjaman modal
usahatani akan dapat mengatasi keterbatasan modal, karena jasanya relatif kecil
sehingga mengurangi ketergantungan petani kepada pelepas uang (rentenir). Lebih
lanjut, Hermawan dan Andrianyta (2012) menyatakan tambahan modal usahatani
secara normatif akan meningkatkan kemampuan petani menggunakan teknologi
sehingga mendorong peningkatan produksi usahatani, yang pada gilirannya akan
meningkatkan pendapatan usahatani, bahkan lebih luas lagi terhadap
kesejahteraan petani.
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)
Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP) yang dimulai sejak
tahun 2008, merupakan terobosan Kementerian Pertanian. Program ini bertujuan
untuk: (1) mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan
pengembangan kegiatan agribisnis di perdesaan sesuai dengan potensi wilayah,
(2) meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, pengurus Gapoktan,
Penyuluh dan Penyelia Mitra Tani (PMT), (3) memberdayakan kelembagaan tani
dan ekonomi perdesaan untuk pengembangan kegiatan usaha agribisnis, dan (4)
meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra
lembaga keuangan dalam rangka akses permodalan (Kementerian Pertanian
2010a).
Adapun sasaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan program PUAP,
diantaranya: (1) berkembangnya usaha agribisnis di 10.000 desa miskin/tertinggal
sesuai dengan potensi pertanian desa, (2) berkembangnya 10.000
Gapoktan/Poktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani, (3) meningkatnya
kesejahteraan rumah tangga tani miskin, petani/peternak (pemilik dan atau
penggarap) skala kecil, buruh tani, dan (4) berkembangnya usaha pelaku
agribisnis yang mempunyai usaha harian, mingguan, maupun musiman. Pada
dasarnya program PUAP mengemban misi memberdayakan masyarakat perdesaan
secara partisipatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani.
Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, PUAP merupakan bagian dari
pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-
Mandiri), yang dikoordinasikan oleh kantor Menko Kesejahteraan Rakyat. PNPM
Mandiri ini adalah program pemberdayaan masyarakat yng ditujukan untuk
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesempatan kerja khususnya di
wilayah perdesaan.
Kegiatan tahap pertama program PUAP adalah melaksanakan pendidikan
dan pelatihan (Diklat) terpadu dari Kementerian Pertanian. Pada tahap ini terdiri
dari tiga aspek yaitu diklat kepemimpinan, diklat kewirausahaan dan diklat
17
manajemen. Diklat kepemimpinan diberikan kepada ketua kelompok dan anggota
gabungan kelompok tani (Gapoktan) dalam mengelola dan mengarahkan para
petani yang menjadi anggota kelompok. Diklat kewirausahaan meliputi
pengembangan keterampilan usaha pengolahan hasil tani agar menjadi produk
yang bisa memberikan nilai tambah bagi petani tersebut. Selain itu diklat ini juga
mengembangkan sikap kreatif dan inovatif yang bisa menumbuhkan ide-ide
peluang usaha yang lain bagi petani. Selanjutnya, Diklat Manajemen diberikan
kepada pengurus Gapoktan dalam menerapkan prinsip manajemen (planing,
organising, actuating, dan controling) pada setiap operasional organisasi
Gapoktan.
Adapun dana hibah yang digulirkan pada program PUAP ini merupakan
sarana untuk menunjang program tersebut agar berjalan dengan baik. Dana
Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) ditujukan untuk memberikan modal
kepada kelompok tani. Arus sirkulasi perputaran uang diharapkan dapat berputar
secara merata kepada setiap anggota kelompok tani. Dengan dana yang diberikan
ini diharapkan Gapoktan atau Poktan memiliki Unit Usaha Otonom yang dikelola
secara mandiri dan bertanggungjawab.
Untuk mengendalikan pelaksanan PUAP dan membina Gapoktan di setiap
propinsi dan kabupaten dibentuk Tim Pembina Propinsi, Tim Teknis Kabupaten,
Tim Teknis Kecamatan dan Komite Pengarah Desa. Di setiap desa lokasi PUAP
ditempatkan pula Penyuluh Pendamping yang bertugas mendampingi Gapoktan
dalam melaksanakan PUAP. Disamping itu di setiap kabupaten/kota lokasi PUAP
ditempatkan pula Penyelia Mitra Tani (PMT) yang umumnya telah memiliki
pengalaman dalam mengembangkan lembaga keuangan mikro. Penempatan PMT
tersebut diharapkan dapat membantu Gapoktan dalam mengelola dana BLM-
PUAP yang disalurkan sehingga dapat berkembang dan mengarah pada
terbentuknya LKM-A. Dalam organisasi Tim Pembina Propinsi, BPTP
ditempatkan sebagai Sekretariat PUAP Propinsi yang salah satu tugasnya
memfasilitasi penyaluran disamping melaksanakan fungsi kesekretariatan lainnya,
dana Biaya operasional Penyeliaan (BOP) dan ATK bagi PMT.
Pelaksanaan program PUAP secara substansi terdapat tiga kegiatan pokok
yang harus dilaksanakan yaitu: (1) pengembangan kelembagaan Gapoktan, (2)
pengembangan kelembagaan LKM yang dikelola Gapoktan, dan (3)
pengembangan usaha agribisnis yang dilakukan petani miskin peserta PUAP.
Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut Gapoktan memiliki peranan
kunci. Untuk mendapatkan dana BLM-PUAP Gapoktan harus mempersiapkan
berbagai dokumen yang diperlukan sesuai dengan tata cara pelaksanaan PUAP
yang dirumuskan oleh Kementerian Pertanian. Disamping itu Gapoktan harus
menyalurkan dana BLM-PUAP kepada petani miskin, mengembangkan dana
BLM PUAP yang disalurkan, membentuk kelembagaan LKM, dan memfasilitasi
pengembangan usaha agribisnis yang dilakukan petani peserta PUAP kearah yang
lebih produktif.
Adapun jenis usaha agribisnis yang didorong kearah yang lebih produktif
mencakup: (a) kegiatan budidaya (on-farm) di bidang tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, dan peternakan; dan (b) kegiatan non budidaya (off-
farm) di bidang industri rumah tangga pertanian, pemasaran hasil pertanian skala
mikro (bakulan, dll) dan usaha lain berbasis pertanian (Kementerian Pertanian
2012).
18
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)
Gapoktan pelaksana Program PUAP merupakan organisasi petani di
perdesaan yang dibentuk secara musyawarah dan mufakat untuk meningkatkan
skala ekonomi dan efisiensi usaha, dengan anggotanya terdiri dari petani (pemilik
dan atau penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani miskin di perdesaan.
Gapoktan dibentuk atas dasar: (1) kepentingan yang sama diantara para
anggotanya, (2) berada pada kawasan usahatani yang menjadi tanggung jawab
bersama para anggotanya, (3) mempunyai kader pengelola untuk menggerakan
para petani, (4) memiliki pemimpin yang diterima petani lainnya, (5) mempunyai
kegiatan yang dirasakan manfaatnya, dan (6) adanya motivasi dari tokoh
masyarakat setempat. Pedoman pembinaan Gapoktan berdasarkan Permentan No
273/Kpts/OT.160/4/2007, yakni diarahkan pada penerarapan sistem agribisnis dan
peningkatan peran serta petani (Direktorat Pembiayaan Pertanian 2013).
Gapoktan PUAP sebagai suatu organisasi, wajib memiliki: (1) AD/ART,
yang disusun berdasarkan kesepakatan anggota, (2) struktur kepengurusan.
sebelum dana Rp 100 juta disalurkan, pengurus (ketua Gapoktan) dibekali ilmu
dan pengetahuan tentang PUAP melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh
Badan Penyuluhan dan Penembangan Sumberdaya Manusia Pertanian
(BPPSDMP), (3) Komite Pengawas Desa (KPD) memiliki tugas dan tanggung
jawab sebagai pengarah, tempat konsultasi dan pengawasan, dan (4) tim pembina
dan pendamping dari Dinas atau Badan Penyuluhan baik dari provinsi maupun
kabupaten, BPTP, PMT dan PP (Kementerian pertanian 2013).
Gambar 2. Alur pendampingan dan pembinaan Gapoktan/poktan PUAP Sumber: Kementerian Pertanian (2013)
Prinsip penumbuhan/penguatan kelembagaan Gapoktan/Poktan PUAP
mencakup: (1) kebutuhan: ditumbuh kembangkan di lokasi potensial yang
petaninya memerlukan dukungan fasilitasi permodalan, (2) fleksibel: harus
disesuaikan dengan kondisi dan budaya setempat, (3) partisipatif: melibatkan
MENTERI
PERTANIAN
TIM PUAP PUSAT
Tim Pembina Provinsi BPTP
Penyelia Mitra Tani Tim Teknis
Kabupaten/Kota
Gapoktan/Poktan
Usaha Produktif
Penyuluh
Pendamping Tim Teknis Kecamatan
19
petani, mengakomodasi aspirasi petani, dan mampu membangun rasa kepedulian
dan kepemilikan serta proses melalui bekerja bersama, (4) akomodatif:
mengedepankan pemenuhan kebutuhan anggota, (5) penguatan: mampu
mendorong terjadinya penguatan kapasitas kelembagaan kelompok tani, (6)
kemitraan: melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam setiap kegiatan, (7)
keberlanjutan: kemampuan organisasi untuk tetap terus berjalan, meskipun sudah
tidak ada campur tangan lembaga atau aparat pemerintah dan swasta yang
mendukungnya (Hendayana 2011). Pola pendampingan dan pembinaan
Gapoktan/Poktan PUAP ditunjukan pada Gambar 2.
Terkait dengan kepengurusan Gapoktan, berdasarkan PERMENTAN nomor
273/Kpts/OT.160/4/2007, bahwa pegurus Gapoktan yang terdiri atas Ketua,
Sekretaris dan Bendahara adalah petani anggota yang dipilih dalam rapat anggota
berdasarkan AD/ART. Untuk menjalankan fungsi organisasi PUAP, masing-
masing pengurus Gapoktan PUAP mempunyai tugas sebagai berikut:
1. Ketua
Mengkoordinasikan, mengorganisasikan serta bertanggung jawab penuh
terhadap seluruh kegiatan PUAP, dengan rincian sebagai berikut:
1. Melaksanakan hasil keputusan rapat anggota,
2. Memimpin rapat pengurus yang dihadiri pengurus poktan, komite pengarah
dan penyuluh endamping,
3. Menanda tangani surat menyurat dan dokumen pelaksanaan PUAP (RUB)
dan dokumen yang terkait dengan pencairan dana PUAP,
4. Mewakili Gapoktan dalam pertemua dengan pihak lain,
5. Mengkoordinasikan pelaporan dan pertanggung jawaban dana,
6. Memimpin organisasi dan administrasi Gapoktan PUAP.
2. Sekretaris
Bertugas melaksanakan administrasi kegiatan Gapoktan PUAP, dengan
rincian sebagai berikut:
1. Membuat dan memelihara notulen rapat, berita acara, serta dokumen PUAP
lainnya,
2. Menyelenggarakan surat menyurat dan pengarsipannya,
3. Menyelenggarakan administrasi dokumen RUB, RUK, RUA, dan kegiatan
organisasi lainnya,
4. Menyususn laporan bulanan dan laporan tahunan kegiatan Gapoktan.
3. Bendahara
Bertugas menangani seluruh kegiatan administrasi keuangan Gapoktan baik
penyaluran maupun pengelolaan dana PUAP, dengan rinci sebagai berikut:
1. Melaksanakan penarikan/pencairan dana sesuai dengan jadwal pemanfaatan
oleh anggota,
2. Menyalurkan dana BLM PUAP sesuai dengan RUB, RUK dan RUA dan atau
jadwal pemanfaatan dana yang diusulkan anggota,
3. Membukukan setiap penyaluran dana PUAP kepada anggota,
20
4. Menyimpan dan memelihara arsip pembukuan dana PUAP,
5. Menyusun laporan bulanan dan laporan tahunan keuangan Gapoktan PUAP.
Kinerja Organisasi Gapoktan
Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan
selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan
berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria
yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Jika dilihat
dari asal katanya, kata kinerja adalah terjemahan dari kata performance, yang
menurut The Scribner-Bantam English Dictionary, terbitan Amerika Serikat dan
Canada (1979), berasal dari kata “to perform” dengan beberapa ”entries” yaitu:
(1) melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry out, execute), (2)
memenuhi atau melaksanakan kewajiban suati niat atau nazar (to discharge of
fulfill; as vow), (3) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab (to
execute or complete an understanding), dan (4) melakukan sesuatu yang
diharapkan oleh seseorang atau mesin (to do what is expected of a person
machine).
Pemahaman tentang kinerja (perfomance) memperlihatkan sampai sejauh
mana sebuah organisasi, baik pemerintah, swasta, organisasi laba ataupun nirlaba,
menafsirkan tentang kinerja sebagai suatu pencapaian yang relevan dengan tujuan
organisasi. Kinerja organisasi merupakan pencapaian hasil (outcome) pada level
atau unit analisis organisasi. Kinerja pada level organisasi ini terkait dengan
tujuan organisasi, rancangan organisasi, dan manajemen organisasi. Pada konteks
ini, hasil dinyatakan bahwa kinerja merupakan catatan hasil yang diproduksi
(dihasilkan) atas fungsi pekerjaan tertentu atau aktivitas-aktivitas selama periode
waktu tertentu. Pengertian kinerja juga terkait dengan produktivitas dan
efektivitas. Produktivitas merupakan hubungan antara jumlah barang dan jasa
yang dihasilkan dengan jumlah tenaga kerja, modal, dan sumberdaya yang
digunakan dalam produksi itu (Sudarmanto 2009).
Secara umum, konsep kinerja organisasi didasarkan pada gagasan bahwa
organisasi adalah asosiasi sukarela dari aset produktif, termasuk manusia,
sumberdaya fisik dan modal, untuk tujuan mencapai tujuan bersama. Sebagai
konsekwensinya, esensi dari kinerja adalah penciptaan nilai. Selama nilai yang
diciptakan dengan menggunakan aset, maka kontribusinya sama atau lebih besar
dari nilai yang diharapkan oleh petani, aset akan terus tersedia untuk organisasi
dan organisasi akan terus eksis. Oleh karena itu, penciptaan nilai, seperti yang
didefinisikan oleh penyedia sumberdaya, adalah kriteria kinerja utama secara
keseluruhan untuk setiap organisasi (Carton dan Hofer 2010).
Lusthaus et al. (2002) mengemukakan bahwa setiap organisasi harus
berusaha memenuhi tujuannya dengan pengeluaran yang diterima dari
sumberdaya sambil menjamin keberlanjutan jangka panjang. Berarti tugas atau
pekerjaan dilakukan secara efektif dan efisien dan tetap relevan dengan
stakeholder (pemangku kepentingan). Itulah kinerja organisasi yang harus
menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut: (a) bagaimana organisasi efektif
dalam bergerak kearah pemenuhan misinya (misalnya: efektivitas program utama,
efektivitas harapan klien, efektivitas tanggungjawab fungsional, dan efektivitas
memberikan layanan yang bermanfaat), (b) bagaimana organisasi efektif dalam
21
memenuhi misinya (misalnya: persepsi efisiensi prosedur kerja/layanan, mengacu
kepada perbandingan biaya produk dan layan, dan peregangan alokasi keuangan),
(c) apakah organisasi masih terus relevansinya dari waktu ke waktu (misalnya:
adaptasi visi misi, pertemuan stakeholder, kebutuhan beradaptasi dengan
lingkungan, dan keberlanjutan dari waktu ke waktu), (d) apakah organisasi secara
finansial layak (misalnya: orgaisasi memiliki beberapa sumber dana, sumber
pendanaan yang dapat dipercaya dari waktu ke waktu, dan bantuan dana dikaitkan
dengan pertumbuhan atau perubahan yang dicapai), dan (e) seberapa baik kinerja
organisasi.
Pengertian yang dikemukan oleh Lusthaus et al. (2002) tersebut
menggambarkan pemahaman kinerja dari asumsi organisasi dan asumsi proses,
karena selain menekankan hasil kerja yang diukur dari organisasi sebagai kinerja,
juga mempertanyakan bagian-bagian dari proses yang dilaksanakan dalam sebuah
organisasi dan memberi penilaian hasil terhadap bagian-bagian proses orgaisasi
bila pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab.
Berbagai definisi kinerja organisasi yang dikemukakan sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa kinerja organisasi ialah hasil yang ditunjukkan oleh
sebuah organisasi atau tingkat pencapaian pelaksanaan tugas suatu organisasi
dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi tersebut.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam kinerja
organisasi terdiri atas: (1) hasil-hasil atau evaluasi fungsi pekerjaan, (2) faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap prestasi karyawan/pegawai seperti motivasi,
kecakapan, persepsi peranan, dan sebagainya, (3) pencapaian tujuan organisasi,
serta periode waktu tertentu.
Untuk mengetahui seberapa besar capaian kinerja dari suatu organisasi,
maka perlu dilakukan evaluasi atau penilaian kepada organisasi tersebut. Menurut
Wahyuni (2003), pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur
pencapaian pelaksanaan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment)
melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun suatu proses.
Lebih lanjut Robertson dalam Mahmudi (2005) menyatakan bahwa pengukuran
kinerja merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap
pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi atas
efisiensi penggunaan sumberdaya dalam menghasilkan barang atau jasa, kualitas
barang atau jasa, perbandingan hasil kerja dengan target dan efektifitas tindakan
dalam mencapai tujuan.
Pengukuran kinerja sangat ditentukan oleh tujuan yang ideal untuk dicapai,
sehingga dalam tahapan pengukurannya harus aktual/nyata dengan
mengidentifikasinya terlebih dahulu ke dalam komponen operasional. Kinerja
organisasi dapat dilihat dari visi dan misi yang ada, kinerja proses dapat dilihat
dari prosedur standar operasional, dan kinerja pegawai dapat dilihat dari petunjuk
kerja manual yang ada. Sehingga penggambaran visi dan misi dari suatu
organisasi harus mampu menjelaskan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dalam
suatu organisasi yang dirumuskan dalam sebuah tugas pokok dan fungsi serta
akan menjadi satuan kerja dalam menciptakan aktivitas atau kegiatan pekerja atau
pegawai. Dengan demikian kinerja lebih diorientasikan pada pekerjaan itu sendiri
dalam memberikan hasil, dampak, dan manfaat bagi masyarakat maupun bagi
pegawai itu sendiri.
22
Lusthaus et al. (2002) mengemukakan komponen utama kinerja adalah
memahami dengan baik kinerja organisasi melalui pemahaman pencapaian tujuan
dengan kesesuaian tujuannya (efektivitas), dan menggunakan sumberdaya yang
relatif sedikit dalam melakukannya (efisiensi). Dalam kontek tersebut laba hanya
salah satu dari berbagai indikator kinerja sebagai penilaian kinerja. Selanjutnya,
Lusthaus et al. (2002) mengidentifikasi beberapa hal dalam organisasi yang
berhubungan dengan kinerja, meliputi: (a) kinerja dalam kaitannya dengan
efektivitas, (b) kinerja dalam kaitannya dengan efisiensi, (c) kinerja dalam
kaitannya dengan relevansi yang sedang berlangsung, dan (d) kinerja dalam
kaitannya dengan viabilitas keuangan.
Syahyuti (2012) memaparkan dalam hasil penelitiannya bahwa terdapat
empat pendekatan atau empat indikator pokok dalam melakukan pengukuran
kinerja, sebagai berikut:
(1) Kinerja organisasi (organizational performance) yang diukur dari
pencapaian utama (major achievements), tingkat produktifiktas organisasi,
efisiensi dalam mencapai misinya, perbandingan antara biaya dengan
produksi, produktifiktas anggota, efisiensi administrasi, ketersediaan dan
dukungan keuangan, dan kemampuan memperoleh keuntungan sepanjang
waktu.
(2) Kemampuan organisasi tumbuh di lingkungannya (the enabling
environment and organizational performance) yang mencakup lingkungan
teknologi dan ekologi, geografi, clients organisasi, donor organisasi,
penerima manfaat organisasi (beneficiaries), kebijakan, tata peraturan
(legislation), pengaturan (regulations), serta tata hukum.
(3) Motivasi organisasi (organizational motivation) dengan menganalisis secara
mendalam sejarah organisasi, misi organisasi, kultur organisasi (the
organizations culture), serta sistem insentif dan penghargaan (incentive and
reward system).
(4) Kapasitas organisasi (organizational capacity) yakni kekuatan dan
kelemahan strategi kepemimpinan (strategic leadership) dalam organisasi,
manajemen keuangan, struktur keorganisasian, sarana dan prasarana yang
dimiliki organisasi, sistem perekrutan (following systems) serta proses atau
dimensi sumberdaya manusia, program dan manajemen pelayanan,
manajemen proses, dan hubungan antar organisasi (inter-organizational
linkanges).
Hal ini senada dengan pernyataan Yustika (2013), bahwa kinerja organisasi
bisa dilihat dari dua indikator, yakni efisiensi dan efektivitas. Efisiensi
mendeskripsikan seberapa baik pengorganisasian pemanfaatan sumberdaya dalam
memproduksi pelayanan, yakni sebuah hubungan antara kombinasi aktual dan
optimal dari input yang digunakan untuk memproduksi sejumlah output yang
sudah ditetapkan (given bundle of output). Sedangkan efektivitas adalah derajat
kesanggupan sebuah sistem untuk mencapai tujuan program melalui kebijakan
yang telah ditentukan. Dalam praktiknya, efektivitas berkaitan dengan sejumlah
aspek preferensi yang berbeda dari keterkaitan pelayanan dengan tujuan hasil
program. Tujuan-tujuan dari program itu antara lain: (1) aksesibilitas atau
keterjangkauan (aspek-aspek semacam kesanggupan, representasi di antara
kelompok-kelompok yang menjadi prioritas, dan keterjangkauan fisik), (2)
kesesuaian (menyocokkan pelayanan dengan kebutuhan masyarakat/client), dan
23
(3) kualitas (proses pertemuan standar yang dibutuhkan atau timbulnya kegagalan
pelayanan).
Setyarini et al. (2010) menambahkan, analisis efektivitas organisasi
Gapoktan sebagai lembaga alternatif permodalan masyarakat, dilihat dari persepsi
masyarakat petani khususnya anggota Gapoktan. Persepsi yang bisa digali yakni
persepsi terhadap kemudahan mekanisme pengajuan kredit, ketepatan penyaluran
kredit, pelayanan, besaran kredit yang diberikan, lama waktu pencairan kredit dan
tingkat bunga yang ditetapkan, dilihat dari jangkauan nasabah, perkembangan
jumlah nasabah, kredit yng disalurkan, dan tabungan yang berhasil dihimpun.
Lebih lanjut, Ishak dan Astuti (2012) memaparkan dalam hasil
penelitiannya terkait evaluasi kinerja Gapoktan dalam pengelolaan LKM-A. Ada
tiga aspek yang dilihat, diantaranya adalah aspek organisasi, aspek pengelolaan
LKM-A, dan aspek kinerja pengelolaan LKM-A. Total skor membedakan kelas
Gapoktan dalam pengelolaan LKM-A. Gapoktan Pemula memiliki skor antara 0-
100, Gapoktan Madya antara 101-200, sedangkan Gapoktan Utama antara 201-
300. Hasil pengamatan di lima Gapoktan, terdapat tiga Gapoktan masuk ke dalam
kelas utama, diantaranya Gapoktan Mesra Jaya (skor 211), Sekar wangi (skor
216), dan Flamboyan Raya (skor 221). Sedangkan dua Gapoktan lainnya masuk
ke dalam kelas Madya, diantaranya Gapoktan Wira Tani (skor 179) dan Karya
(skor 179). Adapun indikator dan parameter-parameter yang digunakan dalam
penelitian Ishak dan Astuti (2012), dalam melakukan penilaian kinerja Gapoktan
mengacu pada Kementerian Pertanian (2010b), sebagai berikut: (1) aspek
organisasi, meliputi: sudah mempunyai dan memiliki AD/ART Gapoktan, ada
pemisahan antara pengurus Gapoktan dan pengelolaan LKM-A, rencana kerja
Gapoktan ada, rapat anggota secara berkala, penyelenggaraan RAT, dan Gapoktan
sudah berbadan hukum, (2) aspek pengelolaan LKM-A, meliputi: penyaluran
untuk usaha pertanian, pembiayaan untuk petani miskin, pengendalian penyaluran
dana, pencatatan dan pembukuan, analisa kelayakan usaha anggota, pelaporan,
pembinaan usaha anggota (penggunaan sesuai sasaran), mekanisme insentif dan
sanksi, dan sarana dan prasarana LKM-A, dan (3) aspek kinerja pengelolaan
LKM-A, meliputi: modal keswadayaan Gapoktan, simpanan sukarela, asset yang
dikelola, total pinjaman kepada anggota, dan tingkat pembiayaan bermasalah.
Terkait dengan pencapaian hasil/kinerja organisasi Gapoktan, yakni salah
satu indikator utamanya ialah berdirinya LKM-A. Pendirian LKM-A paling
lambat tiga tahun setelah Gapoktan mendapatkan dana Rp 100 juta. LKM-A ini
merupakan unit otonom Gapoktan dan memiliki manajemen yang terpisah dari
Gapoktan. Bentuk usaha lembaga ini mencakup pelayanan jasa pinjaman/kredit
dan penghimpunan dana masyarakat yang terkait dengan persyaratan pinjaman
atau bentuk pembiayaan lainnya (Hendayana et al. 2009; Hermawan dan
Andrianyta 2012; Kementerian Pertanian 2013).
Berdasarkan PERMENTAN Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007, bahwa
kriteria Gapoktan penerima bantuan PUAP adalah antara lain: (1) memiliki SDM
yang mampu mengelola usaha agribisnis, (2) mempunyai struktur kepengurusan
yang atif, dan (3) dimiliki dan dikelola oleh petani. Untuk kepentingan
keberlanjutan program PUAP, maka Gapoktan berfungsi sebagai executing dalam
penyaluran dana BLM PUAP. Selain itu kinerja Gapoktan dapat dilihat dari
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan ART). Dikarenakan
angaran dasar merupakan aturan dasar yang mengatur masalah-masalah vital yang
24
harus ada pada awal organisasi tersebut terbentuk, seperti landasan organisasi,
perangkat-perangkat organisasi, peran dan fungsi organisasi, tujuan organisasi dan
keuangan organisasi. Intinya pada anggaran dasar akan dikupas tuntas segala
permasalahan terkait definisi dan hal-hal mendasar yang menjadi acuan dalam
sebuah organisasi. Sudangkan anggaran rumah tangga yaitu sebuah peraturan
yang digunakan pada saat pelaksanaan lebih mengarah kepada teknis maupun tata
cara pelaksanaan kegiatan dasar pada sebuah organisasi, seperti wewenang ketua,
pembubaran, syarat-syarat keanggotaan, dan lain-lain.
Selayaknya suatu organisasi, Gapoktan haruslah mempunyai catatan-catatan
tertulis terntang segala aktivitas organisasi yang tertata rapi. Secara garis besar,
jati diri dan aktivitas Gapoktan sudah tertuang dalam AD/ART. Adapun fungsi
AD/ART yaitu merupakan landasan kerja dan landasan gerak dalam mewujudkan
visi dan misinya. AD/ART merupakan undang-undang dasar dalam setiap
organisasi. AD/ART memuat semua peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan
dan dipatuhi oleh suatu organisasi. Ad/ART dibuat dan ditentukan oleh orang-
orang yang berkecimpung dalam organisasi tersebut.
Pendapatan Usahatani Padi
Pendapatan adalah hasil dari usahatani, yaitu hasil kotor (bruto) dengan
produksi yang dinilai dengan uang, kemudian dikurangi dengan biaya produksi
dan pemasaran sehingga diperoleh pendapatan bersih usahatani (Mubyarto 1994).
Sedangkan menurut Mosher (1987), pendapatan di bidang pertanian adalah
produksi yang akan dinyatakan dalam bentuk uang setelah dikurangi dengan biaya
selama kegiatan usahatani. Produksi dinyatakan dalam bentuk fisik (output) yang
dihasilkan melalui proses biologis dari hewan ataupun tumbuhan. Ditambahkan
oleh Hendriksen (1993), bahwa konsep dasar pendapatan adalah merupakan
proses arus, yaitu penciptaan barang dan jasa oleh perusahaan selama jarak waktu
tertentu. Selain itu Prayitno dan Arsyad (1997), menambahkan bahwa pendapatan
petani dari usahataninya dapat diperhitungkan total penerimaan yang berasal dari
nilai pengeluaran. Nilai pengeluaran ini terdiri atas: (1) pengeluaran untuk input,
misalnya bibit, pupuk, pestisida, (2) pengeluaran untuk upah tenaga kerja luar dan
keluarga, (3) pengeluaran untuk pajak, iuran air, bunga kredit.
Menurut Soekartawi (2003), menyatakan bahwa pendapatan dibagi menjadi
dua bagian, yaitu: (1) pendapatan kotor, yaitu pendapatan yang diterima dari
seluruh hail penjualan barang dan produksi, (2) pendaptan bersih, yaitu selisih
antara pendapatan kotor dengan pengeluaran atau biaya produksi. Selanjutnya
Soedarsono (1995) menyatakan pendapatan yang diterima petani dari suatu hasil
produksi adalah total penerimaan dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan
dalam proses produksi. Menurut Soeharjo dan Patong (1973) bahwa pendapatan
usahatani merupakan selisih antara biaya yang dikeluarkan dengan penerimaan
yang diperoleh. Tujuan utama dari analisis pendapatan adalah menggambarkan
keadaan sekarang suatu kegiatan usaha dan menggambarkan keadaan yang akan
datang dari perencanaan atau tindakan. Analisis pendapatan usahatani sangat
bermanfaat bagi petani untuk mengukur tingkat keberhasilan usahanya.
Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok, yaitu
keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran selama jangka waktu tertentu.
Penerimaan merupakan total nilai produk yang dihasilkan dari hasil perkalian
25
antara jumlah produk yang dihasilkan dengan harga dari produk tersebut.
Sedangkan pengeluaran atau biaya merupakan semua pengorbanan sumberdaya
ekonomi dalam satuan uang yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output
dalam satu periode peroduksi.
Penerimaan usahatani dapat terbentuk tiga hal, yakni: (1) hasil penjualan
tunai (seperti tanaman pangan, ternak, ikan, dan lain sebagainya), (2) produk yang
dikonsumsi keluarga petani, dan (3) kenaikan hasil inventaris selisih nilai akhir
tahun dengan nilai akhir tahun (Prihartono 2009). Sementara itu, pengeluaran
usahatani meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap (variabel). Bentuk
pengeluaran dalam usahatani berupa pengeluaran tunai dan pengeluaran yang
diperhitungkan. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran yang dibayarkan
menggunakan uang tunai, seperti biaya pengadaan sarana produksi usahatani dan
pembayaran upah tenaga kerja luar keluarga, sedangkan pengeluaran yang
diperhitungkan adalah pengeluaran yang digunakan untuk memperhitungkan nilai
pendapatan kerja petani apabila nilai kerja keluarga diperhitungkan (Prihatono
2009).
Terkait penelitian terhadap PUAP, serangkaian studi yang dilaksanakan di
beberapa wilayah Indonesia telah menghasilkan bukti-bukti empiris menunjang
peran PUAP terhadap peningkatan produksi dan pendapatan usahatani. Menelaah
dampaknya terhadap produksi, sebagai contoh diperoleh bukti bahwa dengan
adanya dana BLM PUAP, petani sawah terbantu untuk pengadaan pembelian
pupuk, bibit, sewa traktor, maupun membayar upah tenaga kerja. Sehingga
penanganan pertanian bisa tepat waktu dan dosis. Terlaksananya kegiatan
produksi tepat waktu dan dosis dapat meningkatkan produktivitas usahatani padi
(Suanggana 2011). Hal senada juga dipaparkan Nursyamsiah (2010). Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa usahatani padi yang dikelola oleh petani
setelah adanya tambahan modal usaha dari PUAP, menyebabkan produktivitas
padi yang dihasilkan per hektar lebih banyak 333,6 kg dibanding dengan petani
non penerima PUAP.
Disamping itu, serangkaian penelitian tersebut juga memberikan bukti-bukti
akan adanya hubungan yang kuat antara tambahan modal melalui PUAP dengan
peningkatan pendapatan usahatani. Penelitian Maria (2009); Prihartono (2009);
Sagala (2010); Suyadi et al. (2012); Widya (2012); Nursyamsiah (2010); Erna et
al. (2014), disebutkan bahwa pemberian bantuan tambahan modal pada usahatani
padi melalui program PUAP memberikan pengaruh positif dan nyata terhadap
peningkatan produksi dan pendapatan usahatani. Peningkatan rata-rata pendapatan
mencapai 12,86% – 65,8%. Hal ini sejalan dengan teori Suwadjono (2005), yang
mengungkapkan bahwa pendapatan suatu usaha tergantung dari modal yang
dimiliki. Jika modal besar maka hasil produksi tinggi sehingga pendapatan yang
didapat juga tinggi. Begitu sebaliknya, jika modal kecil maka hasil produksi
rendah sehingga pendapatan yang diperoleh rendah. Dari teori tersebut terbukti
bahwa pendapatan dipengaruhi oleh modal yang dimiliki.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dimaknai bahwa pelaksanaan PUAP
berbasis fasilitasi bantuan modal kerja pada dasarnya dapat memberikan dampak
positif bagi petani, utamanya dalam mendukung peningkatan kinerja kelembagaan
ekonomi petani serta mampu meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani di
perdesaan. Namun demikian, kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah
diharapkan selayaknya tidak menciptakan ketergantungan petani akan hal bantuan
26
atau subsidi. Sudah seharusnya benar-benar dilaksanakan dan dimanfaatkan
dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab oleh semua pihak yang terkait,
sehingga tujuan yang sudah ditetapkan dapat tercapai, utamanya hal kemandirian
dan pemberdayaan petani, serta upaya peningkatan usahatani kearah yang lebih
produktif.
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep Kinerja Organisasi Gapoktan
Setiap organisasi akan berusaha untuk mencapai tujuannya yang disesuaikan
dengan sumberdaya yang dimilikinya. Kinerja organisasi yang baik (good
performance) adalah apabila semua bagian organisasi bekerja secara benar,
efektif, dan efisien, untuk mencapai tujuan tersebut.
Pelaksanaan Program PUAP, selain melalui fasilitasi bantuan modal usaha
atau modal kerja, juga menerapkan metode pendampingan dan pelatihan kepada
pegurus dan anggota Gapoktan. Secara operasional, pelatihan dan pendampingan
ini melibatkan Penyuluh Pertanian (PP) dan Penyelia Mitra Tani (PMT). Penyuluh
petanian bertindak sebagai fasilitator agar Gapoktan mampu mengambil
keputusan sendiri, dengan jalan membantu: (1) mengidentifikasi potensi wilayah,
(2) mengidentifikasi dan menganalisa pasar, (3) mengidentifikasi potensi usaha,
(4) mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan, dan (5) pengambilan
keputusan di tingkat Poktan dan Gapoktan (Kementerian Pertanian 2011).
Sedangkan Penyelia Mitra Tani (PMT) lebih difokuskan untuk mendorong
tumbuhnya lembaga ekonomi perdesaan dari unit simpan pinjam (USP) menjadi
lembaga keuangan mikro agribisnis (LKM-A). PMT bersama Penyuluh Pertanian
(PP) melakukan pertemuan dalam rangka pembinaan dengan Gapoktan. Selain itu
PMT berkewajiban pula untuk melakukan pertemuan regular dengan PP untuk
membantu memecahkan masalah di tingkat Gapoktan dan memantau usaha
agribisnis Gapoktan (Kementerian Pertanian 2012).
Kemampuan komunikasi yang sinergis dari PMT dan PP, melalui sarana
pelatihan-pelatihan merupakan salah satu kunci keberhasilan Gapoktan beserta
anggotanya, dalam proses diseminasi dan alih teknologi spesifik lokasi. Ke depan,
tugas PMT dan PP lebih berorientasi untuk memfasilitasi Gapoktan dengan
pemangku kepentingan seperti: (1) mendorong kerjasama kemitraan antara unit
lembaga keuangan mikro Gapoktan dengan bank atau lembaga keuangan, (2)
mendorong kerjasama kemitraan antara Gapoktan dengan mitra usaha, (3)
menyiapkan Penyelia Swadaya (PS) dan manajer LKM-A, dan (4) membantu
Gapoktan untuk mendapatkan fasilitasi dasar hukun (legalitas) dengan
menggunakan Undang-Undang Koperasi.
Upaya peningkatan kinerja organisasi Gapoktan pelaksana PUAP yang
dilakukan saat ini, melalui pertemuan kelompok. Berdasarkan AD/ART Gapoktan
PUAP, kegiatan pertemuan kelompok direncanakan setiap bulan atau triwulan
dengan tujuan pertemuan untuk mendapatkan pengembalian/pemberian pinjaman,
pemupukan modal dari anggota, pelatihan pengelolaan keuangan, pembentukan
LKM-A dan usaha ekonomi produktif dengan fasilitator PMT dan PP. Disamping
27
itu, mendapatkan tambahan pelatihan dan pendampingan PTT Padi dari BPTP,
Dinas Pertanian (POPT dan PBT) dan PP.
Materi pertemuan kelompok sesuai dengan Petunjuk Teknis (Juknis) antara
lain: (1) teknik pengolahan tanah yang disesuaikan dengan tipologi lahan dan
komoditi yang akan ditanam, (2) penanaman dengan memilih benih atau bibit
yang baik, jarak tanam yang tepat, jumlah bibit per lubang yang sesuai, (3)
pemupukan dengan memperhatikan daya dukung tanah, keadaan tanaman, tepat
jenis dan dosis yang spesifik lokasi, tepat waktu pemberian didasarkan pada fase
pertumbuhan dan sifat pupuk, (4) pengelolaan air didasarkan pada kebutuhan
tanaman akan air, cara dan waktu yang tepat, ketersediaan sumber air dan jumlah
air, (5) pengendalianan OPT didasarkan pada prinsip PHT dengan melakukan
tindakan pencegahan dan mengembangkan musuh alami serta aplikasi kimiawi
secara bijaksana, dan (6) penanganan panen dan pasca panen dilakukan dengan
cara yang tepat dan benar dengan mempertimbangkan kemasakan biji, ketepatan
dalam penggunaan alat panen, pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan
sehingga mampu mengurangi senjang hasil (Ditjen Tanaman Pangan 2013).
Lebih lanjut Ditjen Tanaman Pangan (2013) memaparkan bahwa
pengawalan dan Pendampingan SL-PTT dilakukan oleh peneliti BPTP didukung
oleh peneliti UK/UPT Lingkup Badan Litbang Pertanian, guna meningkatkan
pemahaman dan akselerasi adopsi PTT dengan menjadi narasumber pada
pelatihan, penyebaran informasi, melakukan uji adaptasi varietas unggul baru,
demplot, dan supervisi penerapan teknologi. Sementara pengawalan dan
pendampingan oleh penyuluh adalah kegiatan yang dilakukan guna meningkatkan
penerapan teknologi spesifik lokasi sesuai rekomendasi BPTP dan secara berkala
hadir di lokasi khususnya lokasi LL dalam rangka pemberdayaan kelompok tani
sekaligus memberikan bimbingan kepada kelompok dalam penerapan teknologi.
Pemberdayaan kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan, akan
memiliki dampak positif, diantaranya: (1) petani yang sebelumnya menjual gabah
menjadi petani yang menjual produknya dalam bentuk beras, (2) dengan menjual
beras keuntungan petani akan meningkat jika dibandingkan dengan menjual dalam
bentuk gabah, karena harga beras relatif lebih stabil dibanding harga gabah, (3)
dengan adanya peningkatan pendapatan petani maka akan terjadi pula perbaikan
dalam pengelolaan tanaman padinya, terutama dalam hal mutu bibit dan dosisi
pupuk yang lebih baik, sehingga gairah berproduksi padi akan lebih meningkat,
(4) dengan meningkatnya gairah berproduksi dan dengan teknologi yang tepat
guna maka produksi padi akan meningkat, (5) apabila ditiap kelompok tani
memiliki penggilingan padi mini dan petani sudah minded menjual beras maka
data produksi beras di tingkat kelompok tani akan mendekati realita, mudah
didapat dan pada gilirannya data produksi beras nasional akan lebih valid, (6)
hasil keuntungan dari jasa pengeringan gabah dan penggilingan padi menjadi
beras merupakan sumber penguatan modal di tingkat kelompok tani (Poktan), (7)
Poktan yang semakin kuat dan legal akan memudahkan mengakses pada sumber-
sumber permodalan utamanya yang diperuntukkan program UKM, (8) dengan
semakin bertambahnya modal usaha di tingkat Poktan tersbut akan menumbuhkan
berbagai kegiatan ekonomi baru di perdesaan, dan (9) dengan tumbuh dan
berkembangnya kegiatan ekonomi di perdesaan maka akan menambah lapangan
kerja di perdesaan dan dapat mengurangi laju urbanisasi.
28
Pelaku agribisnis ini adalah organisasi kelompok tani padi yang pada
umumnya berbentuk Gapoktan. Kegiatannya meliputi seluruh aspek pengelolaan
usahatani padi, aspek permodalan, penyediaan saprodi, dan pemasaran hasil.
Setelah unit usaha simpan pinjam yang dikelola Gapoktan berubah menjadi
lembaga usaha agribisnis dalam wadah kegiatan LKM-A maka penggerak utama
industri perberasan terletak pada LKM-A yang didukung dana dari perbankan atau
sumber dana lain yang memiliki keberpihakan.
Untuk melihat peran PUAP terhadap kinerja organisasi Gapoktan dilakukan
pengukuran terhadap atribut kinerja Gapoktan. Atribut yang digunakan untuk
mengukur kinerja Gapoktan dalam penelitian ini, yakni mengintegrasikan atribut
kinerja dari Syahyuti (2012), Yustika (2013) dan Kementerian Pertanian (2010b).
Dimana atribut kinerja Gapoktan terdiri atas: (1) aspek efektivitas organisasi, (2)
aspek efisiensi organisasi, (3) aspek kesesuaian (appropriateness), dan (4) aspek
pencapaian (outcome) kemandirian keuangan organisasi. Lingkup Ke empat
atribut tersebut didalamnya meninjau aspek organisasi, aspek manajemen
keuangan, dan aspek kinerja pengelolaan usaha simpan pinjam/LKM-A.
Konsep Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan
usahatani setiap tahun (Makeham dan Malcolm 1991). Pendapatan usahatani
adalah keuntungan yang diperoleh petani dengan mengurangkan biaya yang
dikeluarkan selama proses produksi dengan penerimaan usahatani. Tujuan utama
dari analisis pendapatan adalah menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan
usaha dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau
tindakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani adalah luas
usahatani, efisiensi kerja, dan efisiensi produksi. Luas usahatani yang sempit
dapat mengakibatkan produksi per satuan luas yang tinggi tidak dapat tercapai.
Sementara efisiensi kerja dan efisiensi produksi yang tinggi menyebabkan
pendapatan petani semakin tinggi.
Menurut (Soekartawi et al. 1986), penerimaan usahatani adalah suatu nilai
produk total dalam jangka waktu tertentu, baik untuk dijual maupun untuk
dikonsumsi sendiri. Penerimaan ini mencakup semua produk yang dijual,
konsumsi rumah tangga petani, untuk pembayaran dan yang disimpan.
Pengeluaran atau biaya usahatani merupakan nilai penggunaan sarana produksi
dan lain-lain yang dibebankan pada produk yang bersangkutan. Selain biaya tunai
yang harus dikeluarkan ada pula biaya yang diperhitungkan, yaitu nilai
pemakaian barang dan jasa yang dihasilkan dari usaha itu sendiri.
Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya
pendapatan kerja petani kalau modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan.
Menurut Hernanto dalam Ferdiansyah (2004) biaya produksi dalam usahatani
dapat dibedakan berdasarkan:
1. Berdasarkan jumlah output yang dihasilkan terdiri dari :
a. Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar
kecilnya produksi, misalnya: pajak tanah, sewa tanah, penyusutan alat-
alat bangunan pertanian, dan bunga pinjaman.
29
b. Biaya variabel adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah
produksi, misalnya : pengeluaran untuk benih, pupuk, obat-obatan, dan
biaya tenaga kerja.
2. Berdasarkan yang langsung dikeluarkan dan diperhitungkan terdiri atas:
a. Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai.
Biaya tetap misalnya: pajak tanah dan bunga pinjaman, sedangkan biaya
variabel misalnya pengeluaran untuk benih, pupuk, obat-obatan, dan
tenaga kerja luar keluarga. Biaya tunai ini berguna untuk melihat
pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani.
b. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya penyusutan alat-alat
pertanian, sewa lahan milik sendiri (biaya tetap), dan tenaga kerja dalam
keluarga (biaya variabel). Biaya tidak tunai ini melihat bagaimana
manajemen suatu usahatani.
Pendapatan usahatani yang diterima seorang petani dalam satu tahun
berbeda dengan pendapatan yang diterima petani lainnya. Perbedaan pendapatan
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor ini ada yang masih dapat diubah
dalam batasan-batasan kemampuan petani dan ada faktor yang tidak bisa diubah
yaitu iklim dan tanah.
Pendapatan yang besar tidak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi,
karena ada kemungkinan pendapatan yang besar itu diperoleh dari investasi yang
berlebihan. Oleh karena itu, analisis pendapatan usahatani selalu diikuti dengan
pengukuran efisiensi. Ukuran efisiensi pendapatan dapat dihitung melalui
perbandingan penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan (R/C) yang
menunjukkan berapa penerimaan yang diterima petani untuk setiap biaya yang
dikeluarkan petani dalam proses produksi. Untuk melihat peran PUAP terhadap
pendapatan usahatani padi, dilakukan dengan membandingkan tingkat
keuntungan yang diperoleh antara usahatani padi pada petani PUAP dengan
petani non PUAP.
Pengaruh Kinerja Gapoktan terhadap Pendapatan Usahatani Padi
Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan
kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi
organisasi. Kinerja juga dapat dikatakan sebagai perilaku berkarya, penampilan,
atau hasil karya. Karena itu kinerja merupakan bentuk yang multidimensional,
sehingga cara mengukurnya sangat bervariasi tergantung dari banyak faktor.
Kelembagaan petani di perdesaan memiliki peran yang strategis dalam
peningkatan pemberdayaan masyarakat desa dalam hal ini para petani.
Kelembagaan merupakan himpunan norma-norma dan tindakan yang
berhubungan dengan kebutuhan pokok kehidupan bersosial masyarakat, dan
membentuk piranti sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia ketika
bersosialisasi dalam masyarakat.
Kelembagaan didefinisikan sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan
(conventions), dan elemen lain dari struktur kerangka kerja interaksi sosial
(Bardhan 1989). Namun kelembagaan bisa pula dimaknai sebagai regulasi
perilaku yang secara umum diterima oleh anggota-anggota kelompok sosial, untuk
perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang bisa diawasi sendiri
maupun dimonitor oleh otoritas luar (external authority) (Rutherford 1994).
30
Manig (1991) mencatat bahwa kelembagaan merefleksikan sistem nilai dan
norma dalam masyarakat, tetapi nilai dan norma itu bukanlah kelembagaan itu
sendiri. North (1994) memaknai kelembagaan sebagai aturan-aturan yang
membatasi perilaku menyimpang manusia (human devised) untuk membangun
struktur interaksi politik, ekonomi, dan sosial. Dalam pengertian yang kurang
lebih sama, Yeager (1999) secara ringkas menjelaskan kelembagaan sebagai
aturan main (rules of the game) dalam masyarakat. Aturan main tersebut
mencakup regulasi yang memapankan masyarakat untuk melakukan interaksi.
Kelembagaan dapat mengurangi ketidakpastian yang inheren dalam interaksi
manusia melalui penciptaan pola perilaku (Pejovich 1995).
Kelembagaan merupakan unsur terpenting dari pencapaian kemajuan
ekonomi di suatu negara. Kondisi geografis yang baik, sumberdaya alam yang
melimpah, teknologi yang memadai, dan penduduk yang bermutu sangat mungkin
menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Namun semua itu tidak bisa menjadi
pemicu kesejahteraan apabila tidak dipandu dengan sistem kelembagaan ekonomi
yang baik. Inilah yang terjadi dibanyak negara berkembang, sehingga seluruh
potensi ekonominya menjadi mubazir dan terjerembab dalam keterbelakangan
atau kemiskinan yang terus menerus.
Menurut Ikhsan (2000), kelembagaan memiliki sumbangan yang penting
dalam pembangunan ekonomi mengingat adanya kegagalan pasar sebagai akibat
mahalnya informasi dan pelaku pasar tidak menggunakan semua informasi yang
diperoleh atau tidak mampu diperoleh. Ketidaksempurnaan informasi dan
keterbatasan kapasitas untuk mengolah informasi akan mempengaruhi biaya
transaksi yang mendasari pembentukan kelembagaan. Biaya transaksi muncul
akibat informasi mahal dan asimetris. Biaya yang muncul bukan hanya untuk
menjamin terjadinya transaksi, melainkan juga biaya monitoring dan penegakan.
Pelaku ekonomi yang menguasai informasi dapat dengan mudah meraih
keuntungan karena kelembagaan merupakan modal sosial yang sebagaimana
faktor produksi lain seperti modal, tenaga kerja, dan teknologi, serta human
capital ikut menentukan tingkat output atau kesejahteraan dari suatu negara.
Kasus dalam sektor finansial merupakan salah satu contoh tentang bagaimana
pentingnya kelembagaan dalam pembangunan ekonomi. Masalah-masalah
ketidaksempurnaan informasi ini muncul hampir di setiap kegiatan ekonomi
selama terdapat potensi kegagalan mekanisme pasar yang diakibatkan oleh
eksternalitas produksi, eksistensi barang publik, ketidaksempurnaan pasar, hidden
action dan hidden type, dan unforeseen contingencies. Jadi, kelembagaan hadir
bukan untuk meniadakan (mekanisme) pasar, tetapi memastikan pasar berjalan
dengan rambu-rambu yang jelas sehingga seluruh pelaku ekonomi memeroleh
akses yang sama dan kepastian dalam berusaha.
Lebih eksplisit, Acemoglu dan Robinson (2012) menyebutkan bahwa
kelembagaan merupakan sumber penting yang menentukan suatu negara/bangsa
gagal atau maju perekonomiannya. Negara yang kelembagaannya mapan atau
inklusif (inclusive economic institutions) cenderung kinerja ekonominya bagus.
Negara ini ditandai antara lain oleh adanya kelembagaan hak kepemilikan privat
yang aman, sistem hukum yang tidak bias, dan penyediaan layanan publik yang
luas.
Kelembagaan yang memiliki kinerja yang baik (good perfomance) dicirikan
oleh tiga hal berikut (Acemoglu 2003): Pertama, pemaksaan terhadap hak
31
kepemilikan (enforcement of property right). Adanya hak kepemilikan di dalam
masyarakat akan memberikan insentif bagi individu untuk melakukan kegiatan
ekonomi, misalnya investasi. Kedua, membatasi tindakan-tindakan para politisi,
elite, dan kelompok-kelompok berpengaruh lainnya yang berupaya memeroleh
keuntungan ekonomi tanpa prosedur yang benar, seperti perilaku mencari rente
(rent-seeking behavior). Ketiga, memberi kesempatan yang sama (equal
opportunity) bagi semua individu untuk mengerjakan aktivitas ekonomi/investasi,
khususnya dalam meningkatkan kapasitas individu (human capital) maupun
berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif.
Pengembangan kelembagaan yang baik dapat memberikan peranan yang
lebih besar dan seimbang bagi semua unsur yang terlibat dalam setiap proses
pengambilan keputusan. Menurut Peters (2000) terdapat dua jenis perubahan
kelembagaan yaitu: (1) pengembangan internal (institutionalization) melalui
empat faktor yaitu otonomi (dapat mengimplementasikan keputusanya sendiri),
kemampuan beradaptasi dengan adanya perubahan dari lingkunganya,
kompleksitas (kapasitas institusi dalam membangun struktur internal yang dapat
memenuhi tujuan), dan koherensi (kapasitas institusi untuk dapat mengelola
beban kerja dan mengembangkan prosedur kerja), dan (2) perubahan dalam nilai
dan struktur, yang meliputi perubahan isi dan atau kandungan dari institusi dan
apa yang dipercaya/dianut oleh institusi.
Secara praktikal, aturan main (kelembagaan) yang tersedia dalam kegiatan
ekonomi akan menentukan seberapa efisien hasil ekonomi yang didapatkan,
sekaligus menentukan seberapa besar distribusi ekonomi yang diperoleh oleh
masing-masing partisipan. Pada kontek ini bisa dikatakan kelembagaan
mempunyai pengaruh terhadap pencapaian ekonomi. Sementara itu, dalam jangka
waktu tertentu, pencapaian ekonomi yang diperoleh partisipasinya akan
menentukan pandangan terhadap aturan main yang digunakan saat ini. Bila
dipandang kelembagaan sekarang tidak efisien, misalnya gagal mencapai
pertumbuhan ekonomi maupun kedap dalam membagi kesejahteraan
antarpelakunya, maka hasrat untuk mengubah kelembagaan (institusional change)
dipastikan akan terjadi.
Chang (2011) juga memberikan penjelasan bahwa program pembangunan
ekonomi bisa mengubah kelembagaan melalui beberapa pintu berikut. Pertama,
peningkatan kesejahteraan akibat pertumbuhan ekonomi menciptakan permintaan
terhadap kelembagaan yang lebih bermutu, misalnya permintaan kelembagaan
politik yang lebih transparan dan akuntabel. Kedua, kesejahteraan yang lebih baik
juga memicu terwujudnya kelembagaan menjadi lebih terjangkau, dan Ketiga,
pembangunan ekonomi menciptakan agen-agen perubahan baru (new agen of
change).
Pernyataan Chang (2011), Acemoglu (2003), dan Ikhsan (2000) yang sudah
diuraikan sebelumnya, jika dilihat benang merahnya, senada layaknya
pelaksanaan PUAP, yakni menghendaki adanya perubahan dalam kelembagaan
petani di perdesaan, tercapainya efektivitas dan efisiensi kelembagaan, sehingga
mampu meminimalisir biaya transaksi, dan pada akhirnya berdampak terhadap
peningkatan kesejahteraan antar pelaku utamanya (petani). Kelembagan petani
yang ada saat ini berbentuk Gapoktan, didalamnya terdiri atas petani-petani yang
terhimpun dalam poktan-poktan. Sama halnya dengan konsep kelembagaan yang
sudah diuraikan sebelumnya, dimana dalam Gapoktan, adanya aturan main (rules
32
of the game), dengan demikian individu-individu petani diikat oleh masyarakat
melalui norma-norma dan nilai-nilai, sehingga petani cenderung bertindak secara
kolektif dibandingkan secara pribadi (Prasad 2003). Dalam konsep PUAP,
Gapoktan ini berspesialisasi sebagai lembaga keuangan untuk menyediakan kredit
kepada masyarakat tani “miskin” di perdesaan (rumah tangga petani perdesaan
yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar) agar terjadi perubahan kehidupan
ekonomi yang lebih baik.
Implementasinya, Gapoktan berperan sebagai lembaga keuangan informal,
bukan hanya sekedar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transaksi, tetapi
kadang-kadang memberikan bantuan dalam bentuk barang (in-kind) seperti input
produksi. Dengan karakter yang fleksibel, biasanya lembaga keuangan infromal
ini memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilayah perdesaan. Lebih lajut,
kehadiran Gapoktan di perdesaan mencoba menjawab keterbatasan aksesibilitas
masyarakat tani utamanya terhadap sumber permodalan. Mengingat lembaga
formal dan semi-formal memiliki ciri penting yang tertuang dalam bentuk sistem
kontrak (contract system). Kontrak tersebut berisi tentang hak dan kewajiban dari
masing-masing pihak, misalnya persyaratan agunan (collateral), model
pembayaran (repayment), dan sanksi (punishment) apabila salah satu pihak ingkar
terhadap kesepakatan. Sebaliknya lembaga keuangan informal bersifat sangat cair,
hubungan antara kreditor dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada
persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Bahkan, mekanisme kredit sama sekali
tidak menggunakan sistem kontrak, karena biasanya tidak ada persyaratan agunan
maupun sanksi. Dengan karakteristik yang dimiliki Gapoktan sebagai lembaga
keuangan informal, biasanya lebih mudah diterima oleh masyarakat perdesaan.
Menurut Kasryno (1984), kelembagaan kredit informal sangat berkembang dalam
masyarakat perdesaan akibat belum terjangkaunya pelayanan kredit dari lembaga
keuangan formal (bank) bagi sebagian besar masyarakat tani di perdesaan,
terutama petani kecil dan buruh tani yang selalu memerlukan kredit dengan
pelayanan yang terjangkau oleh petani.
Sejalan dengan format penumbuhan Gapoktan menjadi kelembagaan tani di
perdesaan sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor:
273/Kpts/OT.160/4/2007, maka Gapoktan penerima BLM PUAP harus
menunjukkan bahwa lembaga ini mampu mengelola dan mengembangkan
usahataninya menjadi lembaga ekonomi ataupun lembaga keuangan mikro
agribisnis. Kemudian lembaga ini menjadi salah satu unit usaha dalam Gapoktan
sehingga dapat mengelola dan melayani pembiayaan bagi petani anggota secara
berkelanjutan.
Gapoktan diharapkan dapat berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan
permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk pertanian
dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani. Tujuan
utama pembentukan dan pemberdayaan Gapoktan adalah untuk memperkuat
kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani
akan terfokus dengan sasaran yang jelas (Kementerian Pertanian 2011).
Pengaruh Kredit terhadap Pendapatan Usahatani Padi
Modal merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting
keberadaannya dalam usahatani padi. Keterbatasan modal masih menjadi
33
permasalahan yang sering dihadapi oleh rumahtangga petani, dan kebutuhan
modal usahatani akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya harga
input pertanian, seperti benih, pupuk, obat-obatan dan upah tenaga kerja. Sumber
modal untuk usahatani padi terdiri atas modal sendiri dan modal dari luar (kredit).
Menurut Mosher (1987), kredit merupakan salah satu faktor pelancar
pembangunan pertanian. untuk meningkatkan hasil produksi, petani
membutuhkan modal yang besar supaya dapat menggunakan teknologi usahatani
secara optimal. Namun, adopsi teknologi pada umumnya relatif mahal dan petani
kecil tidak mampu untuk membiayai teknologi tersebut, akibatnya pemanfaatan
teknologi pertanian sangat rendah. Oleh sebab itu dengan pemberian kredit
perdesaan diharapkan akan mempercepat produksi pertanian dan produktivitas,
dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani.
Tambahan modal yang berasal dari pinjaman/kredit akan dapat
mengembangkan kegiatan petani dalam usahataninya. Terhadap program dana
BLM PUAP, petani dapat memandangnya sebagai volume effect, yaitu pinjaman
petani untuk memperbesar modal tetap (fixed cost). Hal ini berarti petani akan
mampu mengadakan input produksi (benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja)
kearah yang lebih baik (sesuai rekomendasi). Sehingga akan menambah
kemampuannya dalam melakukan aktivitas usahatani. Dengan demikian,
kemungkinan kemampuan untuk meningkatkan produksi juga semakin lebih
tinggi, begitu juga halnya dengan tingkat pendapatan yang diperoleh dalam
usahatani padi.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian, dalam memberikan
penawaran (supply) tambahan modal kepada petani, bermaksud untuk
menghasilkan produksi usahatani yang dikelolanya lebih baik (meningkat).
Dengan kata lain, mendorong usaha agribisnis kearah yang lebih produktif. Hal ini
berdasarkan anggapan bahwa rendahnya produksi yang dicapai oleh petani selama
ini, karena rendahnya tingkat pemilikan uang tunai (modal) oleh petani, yang
digunakan untuk membeli input produksi. Selama penggunaan input itu masih
berada pada tingkat produksi rata-rata yang meningkat, maka input itu masih
dapat ditingkatkan sampai produk rata-rata mulai menurun dan produk marjinal
lebih besar dari nol, yaitu di daerah pada tingkat usaha yang rasional.
Beberapa penelitian mengenai dampak kredit diantaranya adalah hasil
penelitian Biswanger dan Khandker (1995) yang menunjukkan bahwa dampak
pemberian kredit formal di perdesaan India mampu meningkatkan pendapatan dan
produktivitas. Pitt dan Khandker (1998) menyimpulkan bahwa program kredit
telah berdampak meningkatkan taraf hidup keluarga miskin di Bangladesh.
Pemberian kredit berdampak positif pada tingkat individu maupun rumah tangga
seperti partisipasi sekolah anak, kepemilikan asset, penyediaan tenaga kerja,
penggunaan alat kontrasepsi dan fertilitas. Sedangkan hasil penelitian Khandker
dan Faruqee (2000) yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan bahwa
pemberian kredit skala kecil secara signifikan mampu berperan dalam
penanggulangan kemiskinan dan memiliki kontribusi dalam mengurangi tingkat
kerentanan (vulnerability) terhadap kemiskinan. Jadi dengan kata lain ada korelasi
yang cukup erat antara pemberian kredit dan penurunan tingkat kemiskinan.
Kredit yang diambil oleh rumah tangga petani digunakan untuk produksi
dan konsumsi. Kredit dapat meningkatkan konsumsi langsung yaitu rumah tangga
petani dapat memenuhi kebutuhan konsumsi lebih banyak, dan secara tidak
34
langsung dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui penggunaan
konsumsi yang diperlukan untuk mempertahankan kekuatan fisik seseorang.
Kredit digunakan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan yang pada
gilirannya membantu meningkatkan konsumsi. Oleh karena itu, konsumsi dapat
mengukur manfaat dari kredit, yang merupakan indikator kesejahteraan jangka
pendek. Pengaruh tambahan modal usahatani/kredit disajikan pada Gambar 3 dan
Gambar 4.
Pada Gambar 3, menunjukkan bahwa kondisi sebelum adanya tambahan
modal/kredit untuk usahatani padi sawah, responden mengalami keterbatasan
modal usahatani, yang ditunjukkan oleh kurva garis anggaran awal (Isocost C1).
Kurva garis anggaran merupakan kurva yang menunjukkan berbagai titik pada
garis kendala anggaran. Kurva tersebut mengindikasi kombinasi konsumen atau
trade-off antara dua barang. Pada kondisi tersebut, responden menggunakan
kombinasi input produksi X11 dan X21, sehingga titik keseimbangan konsumsi
responden atas input produksi terjadi pada titik E1. Pada titik keseimbangan E1,
responden menghasilkan output sebesar Q1 yang ditunjukkan oleh kurva
indiferen/isokuan Q1.
Kuantitas
Input X2
Kuantitas
Input X1
0
Q2
X21 X22
X11
X12
E1
C2
Expansion Path
C1
E2
Q1
Gambar 3. Pengaruh kredit terhadap kombinasi penggunaan input dan
peningkatan output Sumber: Gaspersz (2011)
Selanjutnya, kondisi yang berbeda setelah adanya tambahan modal/kredit
untuk usahatani. Hal ini menyebabkan kemampuan responden atas kuantitas
modal (anggaran) menjadi bertambah atau lebih tinggi. Sehingga menyebabkan
bergesernya kurva garis anggaran ke kanan (Isocost C2). Pada kondisi ini,
responden mencoba memaksimum kepuasannya, responden ingin dapat mencapai
kurva indeferen setinggi mungkin. Pada Gambar 3 dapat ditunjukkan, jika
responden membeli kombinasi input produksi pada garis anggaran yang
berpotongan dengan kurva indeferen/isokuan Q2. Sehingga terjadi titik
keseimbangan baru yang ditunjukkan oleh titik E2. Pada titik keseimbangan E2,
kombinasi input produksi yang digunakan adalah X12 dan X22. Kombinasi input
produksi ini, kuantitasnya lebih tinggi dibanding kuantitas input produksi
35
sebelumnya (X11 dan X21) pada titik keseimbangan E1. Peningkatan penggunaan
input produksi dapat menyebabkan meningkatnya hasil produksi/output sebesar
Q2. Jika semua titik keseimbangan (E1 dan E2) dihubungkan, maka akan terdapat
kurva jalur perluasan produksi (expansion path curve). Kurva expansion path ini
menghubungkan titik-titik keseimbangan produsen yang menunjukkan kombinasi
input dengan biaya terendah (least cost combination) untuk setiap tingkat output
yang diproduksi dengan asumsi harga-harga input tetap/konstan.
Terjadinya peningkatan produksi yang ditunjukkan pada Gambar 3,
kemudian akan menyebabkan peningkatan pendapatan usahatani. Kondisi
terjadinya peningkatan pendapatan usahatani, disebabkan adanya pengaruh dari
peningkatan kuantitas pemakaian input produksi, disajikan pada Gambar 4.
Pada Gambar 4, terlihat kondisi pengaruh kredit terhadap peningkatan
pendapatan, melalui adanya penggunaan kombinasi input produksi yang
meningkat. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, bahwa kombinasi input
produksi X11X22 dititik keseimbangan E1 (kondisi sebelum ada kredit), responden
menghasilkan output sebesar Q1 dengan capaian tingkat pendapatan sebesar Y1.
Kemudian setelah adanya tambahan modal usahatani, kuantitas modal/anggaran
usahatani yang dimiliki responden menjadi bertambah. Pada kondisi ini responden
akan mengoptimalkan input produksi yang digunakan untuk usahatani, terlihat
adanya penambahan input produksi dari X11X22 menjadi X12X22. Penambahan
input produksi tersebut, menyebabkan terjadinya peningkatan produksi sebesar
Q2. Dengan demikian, produksi/output yang meningkat (Q1 menjadi Q2),
berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan (Y1 menjadi Y2).
KuantitasInput X
Output (Q)/
Income (Y)
E2
E1
Y1
Y2
X11
X21
X12
X22
Q1 ; Y1
Q2 ; Y2
0
Gambar 4. Pengaruh kredit terhadap kombinasi penggunaan input dan
pendapatan usahatani padi Sumber: Gaspersz (2011)
Berdasarkan Gambar 3 dan Gambar 4, esensinya adalah tambahan
modal/kredit menyebabkan adanya peningkatan penggunaan input produksi.
Penggunaan input yang meningkat akan meningkatkan hasil produksi, dan
akhirnya akan berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan usahatani. Sehingga
menyebabkan pergeseran kurva fungsi produksi. Perubahan fungsi produksi akan
mengakibatkan perubahan titik keseimbangan rumah tangga petani (keseimbangan
antara fungsi produksi dengan kurva indiferens/fungsi konsumsi akan berubah),
36
dan mencapai keseimbangan yang baru (yang lebih tinggi dibandingkan dengan
keseimbangan awal).
Kerangka Pemikiran Operasional
Salah satu masalah yang dihadapi negara Indonesia sekarang ini adalah
bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang dilakukan melalui
pembangunan diberbagai bidang. Hal ini nampak semakin digalakkannya
pembangunan di bidang pertanian utamanya sub sektor pangan. Salah satu sub
sektor pangan adalah usahatani padi. Petani padi dalam melakukan proses
produksi untuk menghasilkan output, diperlukan biaya pengeluaran-pengeluran
yang digunakan dalam mempertahankan kelangsungan proses produksi tersebut.
Dalam usahatani padi diharapkan adanya peningkatan pendapatan sekaligus
peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan petani padi pada
khususnya, karena salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat adalah dengan
peningkatan pendapatannya.
Namun dalam kenyataannya, petani sering kali dihadapkan pada persoalan
permodalan untuk keperluan usahataninya, serta lemahnya kelembagaan tani yang
ada di perdesaan. Mengingat salah satu persoalan yang paling rumit di wilayah
perdesaan adalah penyediaan modal usaha. Keterbatasan modal menyebabkan
sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan. Sebaliknya tanpa ada perputaran
aktivitas ekonomi proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi. Dari situasi
seperti ini para perumus kebijakan pembangunan perdesaan akhirnya
meluncurkan berbagai kebijakan program kredit mikro sebagai instrumen
pengembangan kelembagaan sektor finansial di perdesaan. Salah satu kebijakan
tersebut yakni dengan meluncurkan program PUAP.
Kegiatan Program PUAP diantaranya memberikan pelatihan dan
pendampingan, tujuannya adalah sebagai upaya peningkatan kapasitas kinerja
organisasi petani, atau disebut Gapoktan. Melalui langkah ini diharapkan
Gapoktan menjadi lembaga ekonomi di perdesaan yang mumpuni. Kinerja
Gapoktan PUAP harus menunjukkan bahwa lembaga ini mampu mengelola dan
mengembangkan usahataninya menjadi lembaga ekonomi yang melayani
pembiayaan bagi petani anggota secara berkelanjutan.
Kegiatan berikutnya memberikan fasilitasi tambahan modal usaha/modal
kerja. Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas petani utamanya dalam
penguasaan modal usahatani. Sehingga petani mempunyai kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan input produksi. Kondisi ini akan mempengaruhi tingkat
produksi. Filosofinya ketika kebutuhan input produksi tercukupi, maka produksi
akan mencapai titik optimum. Secara normatif semakin meningkat produksi yang
dihasilkan, selanjutnya pendapatan juga akan semakin meningkat.
Ketika kondisi pendapatan usahatani meningkat, maka kemungkinan
kemampuan untuk membayar kredit atau mengembalikan pinjaman (hutang pokok
+ jasa) ke Gapoktan akan lancar dan tepat waktu. Dengan demikian dana BLM
PUAP yang ada di kas Gapoktan akan abadi bahkan terus bertambah, pada
akhirnya pembiayaan untuk usahatani di perdesaan yang dikelola oleh Gapoktan
akan terus terjaga. Untuk melihat pengaruh akibat adanya pelaksanaan Program
PUAP terhadap kinerja Gapoktan dan pendapatan usahatani padi, disajikan dalam
kerangka operasional penelitian (Gambar 5).
37
Gambar 5. Kerangka pemikiran penelitian
4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Provinsi
Jawa Barat. Pemilihan Kabupaten Subang dilakukan secara sengaja, atas dasar
pertimbangan bahwa Gapoktan pelaksana program PUAP di Kabupaten Subang
telah mampu menumbuhkembangkan 40 LKM-A. Sehingga dipandang lebih
unggul dibandingkan Gapoktan-Gapoktan yang ada di kabupaten lainnya lingkup
Jawa Barat. Hal ini diasumsikan Gapoktan-Gapoktan yang ada di Kabupaten
Subang mampu mengelola atau menjaga perguliran dana BLM PUAP, memiliki
usaha ekonomi produktif yang sudah berkembang berbasis agribisnis padi,
sekaligus mampu melakukan penguatan kelembagaan ekonomi di perdesaan.
Disamping itu, Kabupaten Subang merupakan salah satu sentra produksi padi di
Jawa Barat, dan sebagian besar usahatani padi yang dikelola petani anggota
Gapoktan memiliki tingkat produktivitas mencapai 5,6 – 7,6 ton/ha, dengan total
luas lahan sawah berkisar 180 – 246 ha. Adapun pengumpulan data dilakukan
pada April – Juni 2014.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data
sekunder, baik berupa data kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh
melalui indepth study ke petani yang berusahatani padi. Pengumpulan data dari
petani melalui wawancara secara langsung dengan menggunakan kuesioner yang
Program PUAP
Peran PUAP terhadap:
Kinerja Gapoktan
Pendapatan Usahatani Petani Aggota
Atribut Kinerja Gapoktan:
Efektivitas organisasi
Efisiensi organisasi
Relevansi (kesesuaian)
organisasi
Pencapaian (outcome)
Keuangan organisasi
Pendapatan Usahatani:
Total Revenue (TR)
Total Cost (TC)
Total Fix Cost (TFC)
Total Variabel Cost (TVC)
Harga jual output (Pq)
Jumlah Output (Q)
Harga input (Px)
Jumlah input (X)
Implikasi Kebijakan
38
telah dipersiapkan. Selanjutnya melakukan indepth study ke Gapoktan.
Pengumpulan data dari Gapoktan melalui pendekatan diskusi kelompok terfokus
(FGD) dengan pengurus Gapoktan. Selain itu untuk melengkapi informasi data
penelitian, dilakukan juga FGD dengan penyuluh lapangan, Kepala Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan Kehutanan dan Ketahanan Pangan
(BP4KKP) Kabupaten Subang, serta Kepala Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jawa Barat. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat
Statistik, Kementerian Pertanian, Badan Litbang Pertanian, dan Instansi Terkait
lainnya.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah paling penting dalam
penelitian, kerana tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Dalam
usaha pengumpulan data serta keterangan yang diperlukan, penelitian ini
menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh kedua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan.
Sedangkan menurut Sugiyono (2008) mengungkapkan wawancara adalah
merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya
jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.
Metode wawancara dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara
tertutup dan terbuka. Metode wawancara tertutup yakni responden diminta
menjawab pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner. Dimana isi pertanyaan
dalam kuisioner sudah terdapat pilihan jawaban, sehingga responden menjawab
dengan memilih diantara jawaban yang sudah ada. Sementara metode wawancara
terbuka yakni responden diminta pendapat tentang pengalaman dan perspektif
terkait dengan karakteristik responden, aktivitas usahatani padi, pemanfaatan
pinjaman/kerdit, dan pemasaran hasil. Dalam proses wawancara, peneliti akan
mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang akan dikemukakan oleh
responden.
2. Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data, dimana peneliti melakukan
pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan
yang dilakukan (Riduwan 2004). Metode observasi sering kali diartikan sebagai
pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada
subyek penelitian. Teknik observasi sebagai pengamatan dan pencatatan secara
sistematik hendaknya dilakukan pada subyek yang secara aktif mereaksi terhadap
obyek.
Observasi adalah bagian dalam pengumpulan data. Observasi berarti
mengumpulkan data langsung dari lapangan. Adapun menurut Prastowo (2010)
mengartikan obesrvasi adalah sebagai pengamatan dalam pencatatan secara
39
sistematik terhadap suatu gelaja yang tampak pada objek penelitian. Sedangkan
menurut Nasution (2003), observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para
ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data yaitu fakta mengenai dunia
kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Adapun kriteria yang hendak
diperhatikan oleh observeser antara lain:
1) Memliki pengetahuan yang cukup terhadap obyek yang hendak diteliti,
2) Pemahaman tujuan umum dan tujuan khusus penelitian yang
dilaksanakannya,
3) Penentuan cara dan alat yang dipergunakan dalam mencatat data,
4) Penentuan kategori pendapatan gejala yang diamati,
5) Pengamatan dan pencatatan harus dilaksanakan secara cermat dan kritis,
6) Pencatatan setiap gejala harus dilaksanakan secara terpisah agar tidak saling
mempengaruhi,
7) Pemilikan pengetahuan dan keterampilan terhadap alat dan cara mencatat
hasil observasi.
Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat dan mengamati
perubahan fenomena–fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang
kemudian dapat dilakukan perubahan atas penilaian tersebut, bagi pelaksana
observaser untuk melihat obyek moment tertentu, sehingga mampu memisahkan
antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan. (Margono 2007).
Observasi dalam penelitian ini menggunakan observasi terbuka. Dalam
proses pengumpulan data, dinyatakan kegiatan yang sebenarnya kepada sumber
data, bahwa sedang dilakukan penelitian. Jadi responden yang diteliti mengetahui
sejak awal sampai akhir tentang aktivitas penelitian. Oleh karena itu fakta atau
fenomena yang akan diobservasi adalah terkait unsur kinerja Gapoktan, yaitu
efektivitas organisasi, efisiensi organisasi, relevansi (kesesuaian) organisasi, dan
pencapaian kemandirian keuangan organisasi.
3. Focus Group Discussion (FGD)
FGD adalah suatu metode riset, Irwanto (1988) mendefinisikan sebagai
“suatu proses pengumpulan informasi mengenai suatu permasalahan tertentu yang
sangat spesifik melalui diskusi kelompok”. Dengan kata lain FGD merupakan
proses pengumpulan informasi bukan melalui wawancara, bukan perorangan, dan
bukan diskusi bebas tanpa topik spesifik. Metode FGD termasuk metode
kualitatif. Seperti metode kualitatif lainnya (direct observation, indepthe
interview, dsb) FGD berupaya menjawab jenis-jenis pertanyaan how and why,
bukan jenis-jenis pertanyaan what and how many yang khas untuk metode
kuantitatif (survei, dsb). FGD dan metode kualitatif lainnya sebenarnya lebih
sesuai dibandingkan metode kuantitatif untuk suatu studi yang bertujuan “to
generate theories and explanations” (Morgan and Kruger 1993).
Tujuan umum FGD adalah mengembangkan pemahaman mengenai dampak
sosial ekonomi pelaksanaan Program PUAP. Untuk mencapai tujuan itu
dimanfaatkan secara ektensif data kuantitatif yang berlingkup makro dari berbagai
sumber. FGD merupakan salah satu metode untuk memperoleh infromasi
kuantitatif-mikro dan sesuai dengan tujuan penelitian ini, karena pendekatan FGD
memungkinkan memperoleh informasi yang (1) bersifat kualitatif yang bermutu
dalam waktu yang relatif singkat, mengenai dampak pelaksanaan Program PUAP,
40
(2) bersifat lokal dan sensitif, dan (3) diyakini tidak dapat diperoleh memalui
pendekatan survei dan wawancara individu.
4. Dokumentasi
Dokumen merupakan rekaman yang sifatnya tertulis atau film dan isinya
merupakan peristiwa yang telah berlalu. Jadi, dokumen bukanlah catatan peristiwa
yang terjadi saat ini dan masa yang akan datang, namun catatan masa lalu. Data-
data yang dikumpulkan dengan teknik dokumentasi cenderung merupakan data
sekunder.
Dokumentasi merupakan benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah,
dokumen, peraturan-peraturan, notulen harian, dan sebagainya. Adapun
pengambilan data dokumentasi yang diperlukan terdiri atas pelaksanaan PUAP,
perkembangan asset Gapoktan, dan realisasi dana PUAP.
Metode Penentuan Sampel
Untuk menjawab tujuan pertama, dipilih sampel Gapoktan. Gapoktan
sampel terdiri atas dua group Gapoktan, yakni Gapoktan yang sudah menerima
dana PUAP (tahun 2008-2010), selajutnya disebut Gapoktan PUAP, dan
Gapoktan yang belum menerima dana PUAP, selanjutnya disebut Gapoktan Non
PUAP. Pemilihan sampel Gapoktan dilakukan secara purposive sampling (secara
sengaja), atas pertimbangan bahwa: (1) Gapoktan memiliki usaha ekonomi
produktif berbasis padi, (2) unit simpan pinjam sudah berjalan, (3) asset atau
permodalannya sudah mengalami perkembangan, dan (4) aktivitas organisasi
masih berjalan. Jumlah Gapoktan yang dipilih pada masing-masing group,
sebanyak tiga Gapoktan. Sehingga total Gapoktan sampel dalam penelitian ini
sebanyak enam Gapoktan.
Untuk menjawab tujuan kedua, dipilih sampel petani anggota dari masing-
masing group Gapoktan. Petani sampel terdiri atas petani yang sudah menerima
dana PUAP, selanjutnya disebut petani PUAP, dan petani yang belum menerima
dana PUAP, selanjutnya disebut petani non PUAP. Pemilihan sampel petani
dilakukan secara purposive sampling (secara sengaja), berdasarkan kriteria: (1)
petani yang berusahatani padi, (2) petani yang sudah menerima dana
pinjaman/kredit dari Gapoktan, (3) petani anggota yang berperan aktif dalam
kegiatan organisasi Gapoktan, dan (4) petani yang mengalokasikan dana
pinjaman/kredit untuk membeli input produksi. Jumlah populasi petani anggota
berdasarkan kriteria tersebut, terpilih 44 orang pada Gapoktan PUAP dan 43
orang pada Gapoktan Non PUAP.
Penentuan jumlah sampel dari populasinya untuk masing-masing group,
dihitung berdasarkan rumus yang dikemukakan Yamane (1967), yaitu:
[1]
Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah Populasi
d2
= Presisi (ditetapkan 10% dengan tingkat kepercayaan 95%)
41
Berdasarkan perhitungan di atas, maka jumlah petani padi yang dijadikan
sampel penelitian untuk masing-masing group sebanyak 30 orang. Di samping itu,
penentuan jumlah petani padi di tiap Gapoktan terpilih dilakukan secara
proporsional (proportionate random sampling). Menurut Riduwan dan Kuncoro
(2011), alokasi proporsional tersebut adalah:
[2]
Keterangan:
ni = Jumlah petani sampel dari Gapoktan terpilih ke-i
Ni = Jumlah seluruh petani sampel dari Gapoktan terpilih ke-i
N = Jumlah petani seluruh Gapoktan terpilih
n = Jumlah petani sampel semua Gapoktan terpilih.
Berdasarkan perhitungan persamaan 2, maka diperoleh jumlah petani sampel
untuk masing-masing Gapotan seperti disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah petani sampel di tiap Gapoktan terpilih
No. Nama Gapoktan Kode
Gapoktan Kecamatan Desa
Jumlah
Anggota
Jumlah
Petani
Padi
Jumlah
Sampel
Gapoktan PUAP
1 Saluyu Utama (2008) A Ciasem Ciasem Tengah 50 15 10
2 Mitra Tani (2008) B Ciasem Sukahaji 35 7 5
3 Mitra Tani (2010) C Patok Beusi Tambak Jati 60 22 15
Jumlah 44 30
Gapoktan Non PUAP
1 Jaya Laksana X Ciasem Ciasem Hilir 60 15 10
2 Warga Tani Y Ciasem Pinang Sari 31 14 10 3 Makmur Tani Z Patok Beusi Ranca Bango 45 14 10
Jumlah 43 30
Tahapan Penentuan Sampel Gapoktan dan Petani
Tahapan penentuan sampel Gapoktan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data Gapoktan-Gapoktan yang sudah menerima dana BLM
PUAP. Data tersebut bersumber dibeberapa instasi seperti Pusat Pembiayaan,
BPTP Jabar, dan BBP2TP. Data yang terkumpul, diidentifikasi dan dipilah
berdasarkan Gapoktan yang telah berhasil menumbuhkembangkan LKM-A,
2. Hasil dari identifikasi data Gapoktan yang sudah membentuk LKM-A,
selanjutnya dipilah lagi berdasarkan nilai perkembangan asset atau
kepemilikan modal LKM-A, persentase tingkat perkembangan modal LKM-
A dari modal awal (Rp. 100 juta), persentase modal keswadayaan yang
dimiliki Gapoktan, (indikatornya persentasi melebihi 50% dari dana awal
(100juta), itu yang diambil,
3. Setelah terpilih beberapa Gapoktan/LKM-A, kemudian ditentukan indikator
berikutnya, yakni Gapoktan yang usaha ekonomi produktifnya berbasis padi,
4. Dari data beberapa Gapoktan terpilih yang berbasis padi, dipilah kembali
dengan pertimbangan tingkat persentasi capaian produktivitas dan luas lahan
42
garapan yang dikelola Gapoktan. Gapoktan yang dipilih yakni Gapoktan yang
memiliki garapan lahan padi lebih luas dan mempunyai tingkat produktivitas
tertinggi,
5. Selanjutnya data yang terpilih, diverifikasi dengan kondisi eksisting
dilapangan. Proses verifikasi melalui pendekatan Focus Group Discution
(FGD) dengan melibatkan tokoh kunci yang terdiri atas penyuluh
pendamping (PPL), Penyelia Mitra Tani (PMT), Kepala Desa, dan Dinas
Pertanian Kabupaten dan Kecamatan. Adapun pengambilan sampel Gapoktan
pada tahap ini, yakni selain mempertimbangkan indikator yang sudah
disampaikan sebelumnya, juga lebih menekankan pada aktivitas berjalannya
sistem ke organisasian, seperti rutinitas rapat anggota, rapat tahunan, rutinitas
simpan pinjam, keaktifan para pengurus dan anggota, sejauh mana kekuatan
modal sosial para aktor yang bermain di Gapoktan. Serta mempelajari
kelengkapan dokumen-dokumen yang dimiliki Gapoktan yang mengacu pada
Pedum PUAP.
Tahapan penentuan sampel petani dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Langkah awal yang dilakukan yakni dengan melihat daftar petani yang sudah
menerima pinjaman/kredit dari Gapoktan, dari data-data tersebut dipilih
petani yang berusahatani padi,
2. Data petani yang terpilih, kemudian dipilah kembali dengan menerapkan
indikator petani yang mengalokasikan dana pinjaman/kredit tersebut untuk
membeli input produksi. Tahap ini melalui pendekatan dengan melihat jurnal
atau buku besar Gapoktan, atau menanyakan langsung kepada pengurus
Gapoktan dan Kelompok Tani, serta menelusuri informasi pada kios-kios
penjual saprodi yang berada diwilayah domisili petani sampel,
3. Selanjutnya memilih petani peminjam yang berperan aktif dalam kegiatan
keorganisasian, hal ini dimaksudkan untuk menggali sejauhmana
pengetahuan petani terhadap Gapoktannya, dan perspektif petani anggota
terhadap kinerja Gapoktan dalam mengelola dan mengembangkan modal
Gapoktan, usaha produktif Gapoktan, dan bagaimana aturan main
keorganisasian Gapoktan.
Analisis Kinerja Gapoktan
Untuk menjawab tujuan pertama, dilakukan penilaian atau skoring terhadap
kinerja Gapoktan PUAP. Penilaian kinerja merupakan penentuan secara periodik
efentifitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan karyawannya
berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Karena
organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia, maka penilaian kinerja
sesungguhnya merupakan penilaian atau perilaku manusia dalam melaksanakan
peran yang petani mainkan dalam organisasi.
Skoring Gapoktan didasarkan pada keragaan kinerja Gapoktan. Dalam
penelitian ini penilaian kineja Gapoktan ditinjau dari 4 (empat) atribut kinerja
Gapoktan. Keempat atribut tersebut adalah efektifitas organisasi, efisiensi
43
organisasi, relevansi organisasi, dan pencapaian kemandirian keuangan organisasi.
Atribut kinerja tersebut yang dijadikan sebagai instrumen dalam penggalian data-
data yang dibutuhkan dalam penelitian.
Berikut dikemukaan panduan (guide) dalam penggalian data-data yang
dibutuhkan dalam penelitian. Selanjutnya dari guide tersebut dituangkan kedalam
kuesioner. Guide tersebut diantaranya:
(1) Aspek Efektivitas organisasi bergerak maju menuju misi dan tujuannya
sendiri:
1. Bagaimana kinerja organisasi dalam hal pencapaian utama (major
achievements), tingkat produktifitas organisasi dalam kaitannya dengan
misi dan nilai-nilai dalam organisasi, dan daya guna produk-produknya
(utilization of results)?
2. Bagaimana kinerja staf/pengurus dalam hal pelayanan (clients served),
dan kualitas pelayanan/produk?
3. Bagaimana kinerja pelayanan, misalnya bagaimana dukungan terhadap
komunitas riset, dan transfer teknologi?
(2) Aspek Efisiensi organisasi dalam menuju misinya:
1. Bagaimana perbandingan antara biaya yang telah dikeluarkan dibagi
jasa yang dihasilkan (rate costs/services)?
2. Bagaimana produktivitas anggota?
3. Bagaimana sistem administrasi yang dijalankan?
(3) Aspek Relevansi (kesesuaian) organisasi sepanjang waktu:
1. Bagaimana adaptasi dari misi utamanya ketika terjadi perubahan
kondisi?
2. Bagaimana kebutuhan stakeholders dapat dipenuhi?
3. Bagaimana daya adaptasi organisasi terhadap perubahan
lingkungannya?
(4) Aspek Pencapaian (outcome) Keuangan dalam organisasi:
1. Bagaimana diversifikasi sumber pendanaan digali?
2. Bagaimana kemampuan organisasi untuk menghasilkan uang/pendanaan
sendiri?
3. Bagaimana kemampuan untuk selalu memperoleh keuntungan sepanjang
waktu?
Keseluruhan indikator dianalisis menggunakan sistem pemberian skor
penilaian, yang kemudian diuraikan secara deskriptif. Penentuan skor tersebut
menggunakan skala Likert. Skala terbesar adalah 3 (tiga) untuk jawaban yang
paling mendukung, dan skala terendah adalah 1 (satu) untuk jawaban yang kurang
mendukung. Maksud dari jawaban yang mendukung adalah adanya kesesuaian
antara kondisi yang seharusnya (harapan) dengan kondisi yang terjadi (eksisting)
pada Gapoktan sampel. Misalnya kondisi yang diharapkan pada Gapoktan sampel,
yakni sudah memiliki asset atau perkembangan modal >80% setelah tiga tahun
berjalan, dalam hal ini usaha simpan pinjam pada Gapoktan sampel, jika sesuai
maka diberi skala 3, tetapi jika belum atau <50% maka diberi skala 1.
Berdasarkan perolehan skor dari responden, selanjutnya ditentukan rentang
skala atau selang untuk menentukan kinerja Gapoktan. Selang diperoleh dari
selisih total skor tertinggi dengan total skor minimal, kemudian dibagi jumlah
kategori jawaban, rumusnya sebagai berikut (Umar 2005):
44
𝑆𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔 =𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛
[3]
Berdasarkan perhitungan persamaan 3, maka diperoleh rentang skala tiap kategori
penilaian. Skala rentang penilaian yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Skala skor penilaian kinerja Gapoktan/LKM-A
Kategori Penilaian Kinerja Interpretasi Rentang Skala
A Baik 234 – 300
B Cukup 168 – 233
C Kurang 100 – 167
Selain itu, dilakukan pula dengan: (1) mempelajari dokumen-dokumen
penting, berupa gambar-gambar, tujuan organisasi, AD/ART, dokumen simpan
pinjam, laporan tahunan, laporan keuangan (financial reports), serta jasa yang
ditawarkan/disediakan organisasi, (2) mengidentifikasi fasilitas yang dimiliki,
berupa gedung, kios usaha, dan berbagai prasarana lainnya, dan (3) mempelajari
dinamika sosialnya secara umum, yaitu bagaimana sikap petani ketika berinteraksi
(siapa yang hadir, siapa yang tidak), proses pengambilan keputusan, sifat relasi
dengan organisasi, dan bagaimana pekerjaan atau apa paradigma utamanya.
Pengertian penilaian kinerja yang dikemukakan di atas tidak semata
didasarkan pada penilaian buruk tidaknya pengurus Gapoktan dalam
melaksanakan tugasnya untuk kemudian diambil tindakan organisasi. Tetapi
penilaian kinerja dapat menjadi proses pembelajaran bagi organisasi dan pihak
manajemen agar dapat menentukan langkah-langkah strategis untuk mengarahkan
aktivitas organisasi, memperbaiki tindakan-tindakan manajemen, dan terus
melakukan penilaian untuk melakukan adaptasi terhadap proses manajemen dan
mengarahkannya kepada tujuan penting organisasi
Analisis Pendapatan Usahatani Padi
Penerimaan usahatani merupakan nilai produksi yang diperoleh dari produk
total dikalikan dengan harga jual di tingkat petani. Jumlah total disini
menggambarkan hasil penjualan produk yang akan dijual juga hasil penjualan
produk sampingan. Pengeluaran atau biaya usahatani adalah nilai penggunaan
sarana produksi dan lain-lain yang mungkin diperoleh dengan membeli, sehingga
pengeluaran atau biayanya berbentuk tunai tetapi ada pula sarana produksi yang
digunakan itu berasal dari hasil usahatani sendiri, sehingga pada keadaan
demikian pengeluaran atau biaya itu merupakan nilai yang diperhitungkan.
Biaya tunai merupakan pengeluaran tunai usahatani yang dilakukan oleh
petani sendiri. Pengeluaran tunai usahatani ini secara umum meliputi biaya tetap
(fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap adalah biaya untuk
sarana produksi yang dipakai proses produksi yang tidak langsung mempengaruhi
jumlah produksi dan sifat penggunaannya tidak habis terpakai dalam satu kali
proses produksi. Biaya variabel adalah biaya untuk sarana produksi yang dipakai
dalam proses produksi yang langsung mempengaruhi jumlah produksi dan sifat
penggunaannya habis terpakai dalam satu kali proses produksi.
45
Pendapatan usahatani padi didapatkan dengan menghitung selisih antara
penerimaan usahatani dengan biaya selama proses produksi. Perhitungan analisis
pendapatan usahatani padi, dituangkan dalam format dasar tabel usahatani seperti
yang disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Format dasar tabel usahatani padi
Komponen Jumlah Satuan
(kg/liter/HOK)
Harga/satuan
(Rp)
Nilai
(Rp) A. Biaya (cost)
Benih
Pupuk
Pestisida
Tenaga Kerja
Sewa lahan
Iuran air/pompa
Biaya lainnya:
Total Biaya
B. Penerimaan (revenue)
Produksi
Harga
Total Penerimaan
C. Pendapatan kotor
D. Hutang (risk premium)
E. Pendapatan Bersih
R/C
B/C
MBCR
Dalam perhitungan pendapatan usahatani menggunakan model persamaan
sebagai berikut:
π = TR –TC [4]
dengan ketentuan:
TR = Pq . Q
TC = TFC + TVC
= TFC + ∑Pxi . Xi
sehingga,
π = Pq . Q – (TFC + ∑Pxi . Xi) [5]
keterangan:
π = keuntungan/pendapatan
TR = Total Revenue (total penerimaan)
TC = Total Cost (total biaya)
TFC = Total Fix Cost (total biaya tetap)
TVC = Total Variabel Cost (total biaya variabel)
Py = harga jual output
Y = jumlah output yang diproduksi
Pxi = harga input ke-i
Xi = jumlah penggunaan input ke-i
i = 1,2,3, ... n
46
Berdasarkan persamaan 4, maka untuk melihat peran tambahan modal usaha
(kredit) terhadap tingkat pendapatan usahatani padi petani anggota, dilakukan
dengan cara membandingkan tingkat pendapatan petani PUAP dengan petani non
PUAP. Sehingga untuk menghitung pengaruh adanya kredit melalui pendekatan
dengan rumus sebagai berikut:
∆π = π1-π2 [6]
∆π = pengaruh terhadap pendapatan
π1 = tingkat pendapatan usahatani padi petani PUAP
π2 = tingkat pendapatan usahatani padi petani non PUAP
Analisis Rasio Penerimaan atas Biaya (R/C)
Analisis rasio penerimaan atas biaya (R/C) merupakan salah satu cara untuk
mengetahui perbandingan antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. Rasio
penerimaan atas biaya mencerminkan seberapa besar pendapatan yang diperoleh
setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan dalam usahatani. Untuk menghasilkan
tingkat kelayakan usahatani padi petani PUAP dan non PUAP (Soekartawi 2006),
digunakan rumus sebagai berikut:
R
C=
Total Penerimaan (TR )
Total Biaya (TC )=
P x Y
TFC +TVC
[7]
Sementara itu, dalam mengukur tingkat kelayakan usahatani padi maka terdapat
kriteria penilaian dari hasil perhitungan R/C tersebut, yaitu :
a. Apabila nilai R/C > 1, maka usahatani tersebut dikatakan menguntungkan
karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan
penerimaan lebih besar dari satu rupiah.
b. Apabila nilai R/C = 1, maka usahatani tersebut dikatakan impas karena setiap
satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar
satu rupiah juga.
c. Apabila nilai R/C < 1, maka usahatani tersebut dikatakan tidak
menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan penerimaan lebih kecil dari satu rupiah.
Analisis Rasio Keuntungan atas Biaya (B/C)
Analisis rasio keuntungan atas biaya (B/C) merupakan salah satu cara untuk
mengetahui perbandingan antara keuntungan dan biaya yang dikeluarkan.
Menurut Soekartawi (2006), analisis benefit-cost ratio (B/C) ini pada prinsipnya
sama saja dengan analisis revenue-cost ratio (R/C), hanya saja pada analisis B/C
ini data yang diperhitungkan adalah besarnya manfaat dari proyek (PUAP) yang
dilaksanakan dalam proses produksi usahatani. Secara teoritis manfaat ini dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
B
C=
Keuntungan (π)
Total Biaya (TC)
[8]
47
Sementara itu, dalam mengukur tingkat keuntungan usahatani maka terdapat
kriteria penilaian dari hasil perhitungan B/C rasio tersebut, yaitu :
a. Apabila nilai B/C > 1, artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan keuntungan lebih besar dari satu rupiah.
b. Apabila nilai B/C = 1, artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan keuntungan sebesar satu rupiah juga.
c. Apabila nilai B/C < 1, artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan keuntungan lebih kecil dari satu rupiah.
Analisis Marginal Benefit Cost Rasio (MBCR)
Untuk mengungkap peran BLM PUAP terhadap pendapatan usahatani,
dilakukan melalui telaahan struktur pembiayaan dan penerimaan usahatani dengan
membandingkan kondisi pendapatan usahatani padi petani PUAP dengan petani
non PUAP. Dengan pendekatan tersebut kemudian dihitung rasio tambahan modal
terhadap tambahan pendapatan usahatani, dengan analisis Marginal Benefit Cost
Ratio (MBCR) (Swastika, 2004). Secara matematis dirumuskan sebagai berikut:
MBCR = If1 − If2
TC1 − TC2
[9]
Dimana:
If1 = Pendapatan petani PUAP (Rp)
If2 = Pendapatan petani non PUAP (Rp)
TC1 = Total biaya petani PUAP (Rp)
TC2 = Total biaya petani non PUAP (Rp)
Kaidah keputusannya, semakin besar nilai MBCR yang diperoleh semakin besar
peran tambahan modal terhadap pendapatan usahatani padi.
Analisis Independent Sample T Test
Langkah selanjutnya, dilakukan uji beda sampel tidak berhubungan
(independent sampel T test). Uji beda ini dapat disebut juga sebagai Uji-t. Uji-t
digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata antara pendapatan
usahatani padi pada petani PUAP dengan petani Non PUAP. Uji-t ini merupakan
uji hipotetis dengan selang kepercayaan 95%.
Hipotesis :
H0: μ1=μ2 Hasil pendapatan petani yang sudah menerima tidak berbeda
dengan hasil pendapatan petani yang belum menerima dana
PUAP
H1: μ1≠μ2 Hasil pendapatan petani yang sudah menerima berbeda dengan
hasil pendapatan petani yang belum menerima dana PUAP
Dimana H0 merupakan hipotesis awal dan H1 merupakan hipotesis
alternatif. Hipotesis alternatif μ1≠μ2 menyatakan bahwa μ1<μ2 atau μ1>μ2. Dalam
penelitian ini jumlah dua kelompok sampel (n1 dan n2) adalah sama, maka rumus
uji beda sampel yang digunakan adalah independent sampel t-test sparated
varian, sebagai berikut:
48
t =𝑋1 − 𝑋2
𝑆2
𝑛1+
𝑆2
𝑛2
[10]
dimana:
X1
= Rata-rata sampel 1 X1
n
X2
= Rata-rata sampel 2 X2
n
S
2 = Varian populasi
N = jumlah data
Varian populasi (S2) dihitung dengan rumus:
S2 = 𝑋1
2 −( 𝑋1)2
𝑁1 + 𝑋2
2 −( 𝑋2)2
𝑁2
𝑁1 + 𝑁2 − 2
[11]
Kriteria Uji:
a. Jika thitung > ttabel atau nilai signifikan ≤ 0,05, berarti Ho ditolak (terima H1),
maka perbedaannya signifikan.
b. Jika thitung ≤ ttabel atau nilai signifikan > 0,05, berarti Ho diterima (tolak H1),
maka perbedaannya tidak signifikan.
Analisis data akan dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 19. Hasil
pengolahan data kemudian dianalisis dan diinterpretasikan secara deskriptif.
Analisis Pearson Product Moment (PPM)
Menganalisis hubungan variabel kinerja Gapoktan (X) terhadap variabel
pendapatan usahatani padi petani anggota (Y), menggunakan analisis korelasi.
Analisis korelasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu korelasi Pearson
Product Moment (PPM). Korelasi ini dikemukakan oleh Karl Pearson tahun 1900.
Keguanaannya untuk mengetahui derajat hubungan antara variabel bebas
(independent) dengan variabel terikat (dependent).
Sebelum mengkorelasikan kedua variabel tersebut, yang harus diperhatikan
yakni jenis data dari kedua variabel tersebut. Variabel kinerja Gapoktan jenis
datanya ordinal, sementara variabel pendapatan usahatani jenis datanya rasio.
Kedua variabel ini tidak bisa langsung dikorelasikan, mengingat teknik analisis
korelasi PPM termasuk teknik statistik parametrik yang menggunakan data
interval dan ratio. Dengan demikian, data ordinal dari variabel kinerja Gapoktan
ditransformasi terlebih dahulu menjadi data interval. Tujuan mentransformasi data
ordinal tersebut adalah agar data mengikuti sebaran normal (Riduwan dan
Kuncoro 2011). Data ordinal sebenarnya adalah data kualitatif atau bukan angka
sebenarnya. Proses mengubah data ordinal ke data interval dapat menggunakan
bantuan metode suksesif interval (Method of Succesive Interval/MSI) (Kuncoro
2003 dan Sekaran 2003). Menurut Ali (2011) pengertian Method of Succesive
49
Interval/MSI adalah metode penskalaan untuk menaikkan skala pengukuran
ordinal ke skala pengukuran interval.
Analisis PPM memiliki persyaratan lainnya yang harus dipenuhi, misalnya:
data dipilih secara acak (random), datanya berdistribusi normal, data yang
dihubungkan berpola linier, dan data yang dihubungkan mempunyai pasangan
yang sama sesuai dengan subjek yang sama. Kalau salah satu tidak terpenuhi
persyaratan tersebut analisis korelasi tidak dapat dilakukan. Rumus koefisien
korelasi PPM adalah sebagai berikut (Riduwan dan Kuncoro 2011):
rxy =n( XY) − ( X) . ( Y)
{n. X2 − ( X)2} . {n. Y2 − ( Y)2}
[12]
Korelasi PPM dilambangkan (r) dengan ketentuan nilai r tidak lebih dari
harga (-1 ≤ r ≤ +1). Apabila nilai r = -1 artinya korelasinya negatif sempurna, r =
0 artinya tidak ada korelasi, dan r = +1 berarti korelasinya sangat kuat. Sedangkan
arti harga r akan diinterpretasikan seperti disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Interpretasi koefisien korelasi nilai r
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,80 – 1,000 Sangat Kuat
0,60 – 0,799 Kuat
0,40 – 0,599 Cukup Kuat
0,20 – 0,399 Rendah
0,00 – 0,199 Sangat Rendah
Sumber: Riduwan (2005)
Besar kecilnya sumbangan variabel X terhadap Y dapat ditentukan dengan rumus
koefisien determinan sebagai berikut:
KP = r2 x 100% [13]
Dimana:
KP = Nilai Koefisien Determinan
r = Nilai Koefisien Korelasi
Analisis data akan dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 19. Hasil
pengolahan data kemudian dianalisis dan diinterpretasikan secara deskriptif.
5 GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM PUAP
Kebijakan Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan
Pengembangan Usaha Agribisnis di Perdesaan yang selanjutnya di sebut
PUAP adalah bagian pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri (PNPM-Mandiri) melalui bantuan modal usaha dalam
menumbuhkembangkan usaha agribisnis sesuai potensi pertanian desa sasaran.
Peluncuran PUAP merupakan perwujudan perhatian pemerintah untuk
mengurangi kemiskinan dan pengangguran yang jumlahnya relatif masih tinggi di
50
Indonesia. Secara struktural Dana BLM PUAP merupakan bagian dari PNPM-
Mandiri, yakni program pemberdayaan masyakarat yang ditujukan untuk
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesempatan kerja (Kementerian
Pertanian 2010a).
Skala agribisnis yang dikembangkan berbasis perdesaan, yakni kawasan
yang secara komparatif memiliki keunggulan sumberdaya alam dan kearifan lokal
(endogeneous knowledge) khususnya pertanian dan keanekaragaman hayati.
Pelaku agribisnis adalah petani. Petani dimaksud adalah perorangan, warga negara
Indonesia beserta keluarganya atau korporasi yang mengelola usaha di bidang
pertanian meliputi usaha hulu, usahatani, agroindustri, pemasaran dan jasa
penunjang (Kementerian Pertanian 2010a).
PUAP, intinya bertujuan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat
pertanian. Pemberdayaan Masyarakat Pertanian adalah upaya-upaya yang
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agribisnis sehingga secara
mandiri mampu mengembangkan diri dan dalam melakukan usaha secara
berkelanjutan. Karena pembinaan ditujukan pada organisasi petani, maka
orientasinya adalah kelompok tani yang bergabung ke dalam wadah Gapoktan.
Kelompok Tani (Poktan) diartikan sebagai kumpulan petani/peternak yang
dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial,
ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan
usaha anggota (Kementerian Pertanian 2013).
Adapun Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) PUAP merujuk pada
kumpulan beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan bekerja sama untuk
meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha dalam menjalankan usaha
produktifnya. Usaha Produktif adalah segala jenis usaha ekonomi yang dilakukan
oleh petani/kelompok tani di perdesaan dalam bidang agribisnis yang mempunyai
transaksi hasil usaha harian, mingguan, bulanan, musiman maupun tahunan
(Kementerian Pertanian 2010a).
Fasilitasi Dana PUAP bagi masyarakat sifatnya adalah bantuan langsung
masyarakat atau dikenal dengan istilah BLM. Dalam konteks PUAP, bantuan
langsung masyarakat (BLM) yaitu dana bantuan sosial untuk petani/kelompok
tani guna pengembangan usaha agribisnis di perdesaan yang disalurkan melalui
Gapoktan dalam bentuk modal usaha (Kementerian Pertanian 2010a, Ashari 2009,
Hendayana 2011).
Perencanaan kegiatannya dilakukan melalui mekanisme pengajuan Rencana
Usaha Bersama (RUB), yakni rencana usaha untuk pengembangan agribisnis yang
disusun oleh Gapoktan berdasarkan kelayakan usaha dan potensi desa. Peluncuran
Program PUAP oleh Kementerian Pertanian, memiliki tujuan sebagai berikut
(Kementerian Pertanian 2010a):
(a) Mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan
pengembangan kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai dengan potensi
wilayah,
(b) Meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, Pengurus Gapoktan,
Penyuluh dan Penyelia Mitra Tani,
(c) Memberdayakan kelembagaan petani dan ekonomi perdesaan untuk
pengembangan kegiatan usaha agribisnis,
(d) Meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau
mitra lembaga keuangan dalam rangka akses ke permodalan.
51
Sasaran Program PUAP ini adalah mendorong berkembangnya usaha
agribisnis di desa-desa miskin yang lokasinya terjangkau, sesuai dengan potensi
pertanian desa; Mendorong berkembangnya 10.000 Gapoktan/Poktan yang
dimiliki dan dikelola oleh petani; Meningkatnya kesejahteraan rumah tangga tani
miskin, petani/peternak (pemilik dan/atau penggarap) skala kecil, buruh tani; dan
Berkembangnya usaha agribisnis petani yang mempunyai siklus usaha harian,
mingguan, maupun musiman.
Pola dasar PUAP dirancang untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran
dana BLM PUAP kepada Gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif
petani dalam mendukung 4 (empat) sukses Kementerian Pertanian yaitu: (1)
swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) diversifikasi pangan, (3) nilai
tambah, daya saing dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani
(Kementerian Pertanian 2013).
Untuk pencapaian tujuan tersebut di atas, komponen utama pola dasar
pengembangan PUAP adalah (1) keberadaan Gapoktan, (2) keberadaan Penyuluh
Pendamping dan Penyelia Mitra Tani sebagai pendamping, (3) pelatihan bagi
petani, pengurus Gapoktan, dll, dan (4) penyaluran dana BLM kepada petani
(pemilik dan atau penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani. Adapun strategi
dasar yang dikembangkan dalam PUAP, adalah: (1) pemberdayaan masyarakat
dalam pengelolaan PUAP, (2) optimalisasi potensi agribisnis di desa miskin yang
terjangkau, (3) fasilitasi modal usaha bagi petani kecil, buruh tani dan rumah
tangga tani miskin, dan (4) penguatan kelembagaan Gapoktan (Kementerian
Pertanian 2013).
Strategi operasional yang menyertai peluncuran PUAP, pada intinya
memuat beberapa kegiatan, yaitu: Pertama, pemberdayaan masyarakat dalam
pengelolaan PUAP dilaksanakan melalui: pelatihan bagi petugas pembina dan
pendamping PUAP, rekrutmen dan pelatihan bagi Penyuluh dan PMT, pelatihan
bagi pengurus Gapoktan, dan pendampingan bagi petani oleh penyuluh dan PMT.
Kedua, mengoptimalkan potensi agribisnis di desa miskin yang terjangkau
dilaksanakan melalui: identifikasi potensi desa, penentuan usaha agribisnis (hulu,
budidaya dan hilir) unggulan, dan penyusunan serta pelaksanaan RUB
berdasarkan usaha agribisnis unggulan.
Ketiga, fasilitasi modal usaha bagi petani kecil, buruh tani dan rumah tangga
tani miskin kepada sumber permodalan dilaksanakan melalui: (1) Penyaluran
BLM PUAP kepada pelaku agribisnis melalui Gapoktan, (2) Pembinaan teknis
usaha agribisnis dan alih teknologi, dan (3) fasilitasi pengembangan kemitraan
dengan sumber permodalan lainnya.
Keempat, penguatan kelembagaan Gapoktan dilaksanakan melalui: (1)
Pendampingan Gapoktan oleh Penyuluh Pendamping, (2) Pendampingan oleh
PMT di setiap Kabupaten/Kota, dan (3) Fasilitasi peningkatan kapasitas Gapoktan
menjadi lembaga ekonomi yang dimilki dan dikelola petani.
Secara operasional, terdapat sembilan tahapan yang dilalui dalam
penyelenggaraan PUAP. Kesembilan tahapan itu memiliki ruang lingkup sebagai
berikut (Kementerian Pertanian 2013):
(1) Identifikasi dan verifikasi Desa calon lokasi serta Gapoktan penerima BLM
PUAP,
(2) Identifikasi, verifikasi dan penetapan Desa dan Gapoktan penerima BLM
PUAP,
52
(3) Pelatihan bagi fasilitator, penyuluh pendamping, pengurus Gapoktan,
(4) Rekrutmen dan pelatihan bagi PMT,
(5) Sosialisasi dan Koordinasi Kegiatan PUAP,
(6) Pendampingan,
(7) Penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM),
(8) Pembinaan dan Pengendalian,
(9) Pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
Pelaksanaan PUAP di Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat
Dinamika Penyebaran dan Pemanfaatan BLM per Sub Sektor
Provinsi Jawa Barat menjadi sasaran nasional penyebaran dana BLM
PUAP. Sampai tahun 2013, Provinsi ini menerima dana BLM PUAP untuk
periode yang keenam kalinya sejak 2008. Total Gapoktan yang sudah menerima
dana PUAP sebanyak 3.613 dari 131 kabupaten/kota, dengan dana yang sudah
tersalur sebanyak Rp. 361,3 milyar. Distribusi Gapoktan penerima dana BLM
PUAP disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Distribusi Gapoktan penerima dana bantuan langsung masyarakat
PUAP, Provinsi Jawa Barat
No. Kabupaten/Kota Jumlah Gapoktan Penerima Dana BLM PUAP
Total 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1. Bandung 17 28 53 41 48 22 209
2. Bandung Barat 56 31 34 22 12 7 162
3. Bekasi 20 15 21 13 15 8 92
4. Bogor 25 23 26 25 47 21 167
5. Ciamis 29 23 18 53 74 7 204
6. Cianjur 42 101 91 70 14 10 328
7. Cirebon 35 34 58 72 62 15 276
8. Garut 35 28 58 26 52 23 222
9. Indramayu 35 28 22 29 60 35 209
10. Karawang 35 23 25 36 36 14 169
11. Kota Banjar 6 6 7 6 - - 25
12. Kota Bogor - - 10 11 8 3 32
13. Kota Cimahi - 6 6 2 - - 14
14. Kota Cirebon - - 1 7 7 7 22
15. Kota Depok 5 8 2 1 - - 16
16. Kota Sukabumi 8 2 6 1 7 - 24
17. Kota Tasikmalaya 1 11 13 17 16 - 58
18. Kuningan 33 29 19 38 65 12 196
19. Majalengka 81 79 33 36 25 9 264
20. Purwakarta 20 15 35 22 29 35 156
21. Subang 35 57 44 72 6 3 217
22. Sukabumi 49 37 14 28 29 16 172
23. Sumedang 35 60 50 24 13 5 187
24. Tasikmalaya 19 58 40 42 16 17 192
Jumlah 621 702 686 694 641 269 3.613
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Dana BLM-PUAP digunakan untuk anggota Gapoktan yang sudah
mempunyai usaha, sehingga pengembalian dan kesinambungan program ini akan
lebih terjamin. Berikut dikemukakan keragaan dana BLM PUAP yang terjadi pada
setiap tahun di Provinsi Jawa Barat, sejak 2008 – 2013 (Tabel 10 – 15).
53
Penggunaan dana BLM-PUAP untuk Gapoktan penerima tahun 2008 di
Jawa Barat, sebagian besar digunakan untuk usaha on-farm tanaman pangan
seperti padi, kedelei, jagung, kacang tanah, sebesar 30,29%, diikuti dengan usaha
Peternakan 12,21% (domba, ayam, bebek dan sapi), komoditas hortikultura 8,74%
(cabe, tomat, buah-buahan), Perkebunan 1,97% (kakao, karet, lada), dan usaha di
bidang off-farm (pemasaran, kerajinan, industri rumah tangga) 46,793%.
Pada tahun 2008, jumlah Gapoktan yang menerima BLM PUAP tercatat
621 desa di 21 kabupaten/kota. Setiap desa mendapat dana BLM 100 juta rupiah,
sehingga untuk tahun 2008 provinsi ini memperoleh dana BLM sebesar 62,1
milyar rupiah. Kabupaten paling banyak menerima dana BLM PUAP adalah
Kabupaten Bandung Barat dan paling sedikit yaitu Kota Tasikmalaya.
Jumlah Gapoktan yang menerima dana BLM PUAP tahun 2009 jumlahnya
lebih banyak dibandingkan tahun 2008, yakni 702 Gapoktan berbanding 621
Gapoktan. Dana yang tersalurkan pada tahun 2009 sebesar Rp. 70,2 milyar.
Distribusinya tiap wilayah kabupaten berkisar antara Rp. 200 juta hingga Rp. 10,1
milyar. Bedanya dengan tahun 2008 adalah ada penambahan satu wilayah
penerima dana BLM PUAP pada tahun 2009, yakni masuknya Kota Cimahi (6
Gapoktan). Penyebaran dana penerima BLM PUAP per sub sektor tahun 2008 di
Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat PUAP tahun
2008 per sub sektor
No. Kabupaten/ Kota
Jumlah
Desa/
Gapoktan
Realisasi
BLM PUAP
(RP.- 000)
Realisasi Dana PUAP (%)
Tan.
Pangan Horti Kebun Ternak
Off
Farm
1 Bandung 17 1.700.000 7,74 14,35 0,00 17,44 60,47
2 Bandung Barat 56 5.600.000 12,90 12,46 0,87 0,45 73,32
3 Bekasi 20 2.000.000 78,61 1,50 3,04 7,79 9,06
4 Bogor 25 2.500.000 43,46 23,31 9,33 9,46 14,44
5 Ciamis 29 2.900.000 3,46 2,06 2,41 20,37 71,70
6 Cianjur 42 4.200.000 13,96 10,35 2,36 11,74 61,59
7 Cirebon 35 3.500.000 72,62 3,06 0,00 14,06 10,26
8 Garut 35 3.500.000 10,32 8,14 3,06 14,71 63,77
9 Indramayu 35 3.500.000 10,87 14,19 0,43 7,23 67,28
10 Karawang 35 3.500.000 63,36 3,99 0,17 6,69 25,79
11 Kuningan 33 3.300.000 34,23 4,51 0,98 38,11 22,17
12 Majalengka 81 8.100.000 32,79 8,98 0,94 5,70 51,59
13 Purwakarta 20 2.000.000 16,49 4,33 1,41 7,80 69,97
14 Subang 35 3.500.000 46,16 6,15 13,16 0,97 33,56
15 Sukabumi 49 4.900.000 41,79 13,19 0,77 10,17 34,08
16 Sumedang 35 3.500.000 53,53 8,34 2,06 17,90 18,17
17 Tasikmalaya 19 1.900.000 16,47 9,25 0,21 38,48 35,59
18 Kota Banjar 6 600.000 9,59 8,86 0,17 7,02 74,36
19 Kota Depok 5 500.000 60,68 26,49 0,00 4,35 8,48
20 Kota Tasikmalaya 1 100.000 7,00 0,00 0,00 16,00 77,00
21 Kota Sukabumi 8 800.000 0,00 0,00 0,00 0,00 100
Jumlah 621 62.100.000 636,03 183,51 41,37 256,44 −
Rata-rata 30 2.957.143 30,29 8,74 1,97 12,21 46,79
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Untuk alokasi dana BLM PUAP, hampir sama dengan Gapoktan penerima
PUAP tahun 2008, usaha yang dilakukan dari dana BLM-PUAP tersebut masih
54
didominasi oleh usaha on-farm tanaman pangan yaitu sebesar 35,381%,
hortikultura 7,884%, Perkebunan 6,523%, dan peternakan 7,403%, sedangkan
kegiatan off-farm nya 42,809 % (Tabel 11).
Tabel 11. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun
2009 per sub sektor
No. Kabupaten/Kota
Jumlah
Desa/
Gap.
Realisasi
BLM PUAP
(RP.- 000)
Realisasi Dana PUAP
Tan.
Pangan Horti Kebun Ternak
Off
Farm
1 Bandung 28 2.800.000 7,40 13,75 1,71 24,84 52,30
2 Bandung Barat 31 3.100.000 20,08 11,47 0,00 5,61 62,84
3 Bekasi 15 1.500.000 46,99 2,71 0,21 9,06 41,03
4 Bogor 23 2.300.000 49,23 7,95 0,00 17,71 25,11
5 Cianjur 101 10.100.000 20,40 5,61 2,46 2,67 68,86
6 Ciamis 23 2.300.000 22,07 5,33 24,68 1,63 46,29
7 Cirebon 34 3.400.000 73,69 2,99 11,03 0,59 11,70
8 Garut 28 2.800.000 15,01 5,90 11,06 2,25 65,78
9 Indramayu 28 2.800.000 45,98 1,07 0,36 4,68 47,91
10 Karawang 23 2.300.000 76,43 0,87 0,00 7,04 15,66
11 Kuningan 29 2.900.000 36,23 6,77 0,05 23,60 33,35
12 Majalengka 79 7.900.000 15,89 0,95 0,25 3,16 79,75
13 Purwakarta 15 1.500.000 20,08 5,75 1,22 11,63 61,32
14 Subang 57 5.700.000 48,27 6,29 9,92 1,52 34,00
15 Sukabumi 37 3.700.000 45,03 15,15 5,00 2,28 32,54
16 Sumedang 60 6.000.000 34,24 8,61 18,73 2,02 36,40
17 Tasikmalaya 58 5.800.000 17,92 16,38 1,38 41,36 22,96
18 Kota Banjar 6 600.000 42,59 8,44 11,45 1,21 36,31
19 Kota Cimahi 6 600.000 14,15 5,71 15,38 0,00 64,76
20 Kota Depok 8 800.000 25,27 25,49 7,88 0,00 41,36
21 Kota Sukabumi 2 200.000 27,15 11,38 13,93 0,00 47,54
22 Kota Tasikmalaya 11 1.100.000 74,28 4,88 6,81 0,00 14,03
Jumlah 702 70.200.000 778,38 173,45 143,51 162,86 −
Rata-rata 32 3.213.636 35,38 7,88 6,52 7,40 42,81
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Untuk penyaluran dana BLM PUAP tahun 2010, jumlah Gapoktan yang
menerima dana tersebut relatif lebih sedikit dari tahun 2009, yakni 686 Gapoktan
berbanding 702 Gapoktan. Jumlah dana yang tersalur sebesar Rp. 68,6 milyar.
Namun sebaran kabupatennya mencapai seluruh wilayah kabupaten di Provinsi
Jawa Barat, yakni 24 Kabupaten. Pada tahun 2010, ada penambahan Gapoktan
penerima dana BLM PUAP yakni di Kota Bogor (10 Gapoktan) dan Kota Cirebon
(1 Gapoktan). Kabupaten paling banyak menerima dana BLM PUAP adalah
Kabupaten Cianjur (Rp. 9,1 milyar) dan paling sedikit yaitu Kota Cirebon (Rp.
100 juta).
Alokasi penggunaan dana BLM PUAP, polanya hampir sama dengan
tahun 2008 dan 2009 yaitu masih didominasi oleh sub sektor tanaman pangan
sebesar 30,452%, diikuti oleh usaha hortikultura 9,507, Perkebunan 1,311%, sub
sektor Peternakan 16,078% dan off-farm 41,612%. Penyebaran dana BLM PUAP
per sub sektor pada Gapoktan tahun 2010 disajikan pada Tabel 12.
Jumlah Gapoktan yang menerima dana BLM PUAP tahun 2011,
bertambah delapan Gapoktan, relatif lebih banyak dari tahun 2010 Penambahan
penerima dana ini terjadi pada Kota Bogor dan Kota Cirebon. Distribusi dana
BLM PUAP terbesar yakni Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Subang, masing-
55
masing berjumlah Rp. 72 milyar, sedangkan distribusi dana terkecil yakni Kota
Depok sebesar Rp. 100 juta.
Tabel 12. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun
2010 per sub sektor
No. Kabupaten/ Kota
Jumlah
Desa/
Gap.
Realisasi
BLM PUAP
(RP.- 000)
Realisasi Dana PUAP (%)
Tan.
Pangan Horti Kebun Ternak
Off
Farm
1 Bandung 53 5.300.000 21,27 11,41 1,56 26,06 39,70
2 Bandung Barat 34 3.400.000 21,14 15,06 0,46 10,38 52,97
3 Bekasi 21 2.100.000 55,90 4,49 1,11 9,21 29,29
4 Bogor 26 2.600.000 38,80 15,11 0,50 27,38 18,22
5 Cianjur 91 9.100.000 17,70 6,88 0,77 6,50 68,16
6 Ciamis 18 1.800.000 38,16 4,09 0,64 32,04 25,07
7 Cirebon 58 5.800.000 45,34 6,89 1,67 24,31 21,79
8 Garut 58 5.800.000 18,41 10,59 2,88 13,33 54,80
9 Indramayu 22 2.200.000 55,05 4,73 0,00 9,75 30,48
10 Karawang 25 2.500.000 56,67 12,22 0,00 1,83 29,28
11 Kuningan 19 1.900.000 37,22 3,34 1,03 38,19 20,22
12 Majalengka 33 3.300.000 45,00 17,00 10,00 20,00 8,00
13 Purwakarta 35 3.500.000 27,73 7,07 0,54 19,11 45,55
14 Subang 44 4.400.000 27,73 7,07 0,54 19,11 45,55
15 Sukabumi 14 1.400.000 29,69 9,76 2,58 3,41 54,56
16 Sumedang 50 5.000.000 38,19 10,74 3,96 20,70 26,41
17 Tasikmalaya 40 4.000.000 30,00 12,00 10,00 10,00 38,00
18 Kota Banjar 7 700.000 41,83 2,55 8,32 14,47 32,82
19 Kota Bogor 10 1.000.000 19,28 9,78 1,00 25,81 44,14
20 Kota Cirebon 1 100.000 0,00 0,00 0,00 0,00 100
21 Kota Cimahi 6 600.000 5,33 4,00 0,00 12,46 78,21
22 Kota Depok 2 200.000 5,00 48,00 0,00 7,50 39,50
23 Kota Sukabumi 6 600.000 39,07 5,86 0,00 16,10 38,97
24 Kota Tasikmalaya 13 1.300.000 30,00 14,00 2,00 5,00 49,00
Jumlah 686 68.600.000 739,49 240,64 49,54 377,64 −
Rata-rata 29 2.862.500 30,81 10,03 2,06 15,74 41,36
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Alokasi penggunaan dana BLM PUAP tahun 2011, masih didominasi oleh
sub sektor tanaman pangan sebesar 31,35%, diikuti oleh usaha hortikultura
10,15%, Perkebunan 2,07%, sub sektor Peternakan 15,32%., dan off-farm
41,11%. Sebaran penggunaan dana PUAP Tahun 2011 disajikan pada Tabel 13.
Pada tahun 2012, jumlah Gapoktan yang menerima BLM PUAP tercatat
641 desa di 21 wilayah kabupaten/kota. Jumlah penerima dana BLM tahun 2012
relatif lebih sedikit dibanding tiga tahun sebelumnya, yakni 641 Gapoktan
berbanding 702 Gapoktan di tahun 2009, 686 Gapoktan di tahun 2010, dan 694
Gapoktan di tahun 2011. Namun masih lebih banyak jika dibanding tahun 2008
(621 Gapoktan) dan tahun 2013 (269 Gapoktan).
Dana yang disalurkan pada tahun 2012 sebesar Rp. 64,1 milyar. Distribusi
tiap wilayah kabupaten berkisar antara Rp. 700 juta hingga Rp. 74 milyar. Tiga
wilayah yang paling banyak menerima dana BLM PUAP adalah Kabupaten
Ciamis (Rp. 74 milyar), diikuti Kabupaten Kuningan (Rp. 65 milyar) dan
Kabupaten Cirebon (Rp. 62 milyar). Sedangkan wilayah yang paling sedikit
menerima dana BLM PUAP adalah Kota Cirebon dan Kota Sukabumi, masing-
masing menerima dana sebesar Rp. 700 juta rupiah.
56
Tabel 13. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun
2011 per sub sektor
No, Kabupaten/ Kota
Jumlah
Desa/
Gap.
Realisasi
BLM PUAP
(RP,- 000)
Realisasi Dana PUAP (%)
Tan,
Pangan Horti Kebun Ternak
Off
Farm
1 Bandung 41 4.100.000 23,27 11,41 1,56 26,06 37,7
2 Bandung Barat 22 2.200.000 21,14 15,06 0,46 10,38 52,97
3 Bekasi 13 1.300.000 55,9 4,49 1,11 9,21 29,29
4 Bogor 25 2.500.000 40,8 15,11 0,5 25,38 18,22
5 Cianjur 70 7.000.000 17,7 6,88 0,77 6,5 68,16
6 Ciamis 53 5.300.000 40,16 4,09 0,64 30,04 25,07
7 Cirebon 72 7.200.000 46,34 6,89 1,67 23,31 21,79
8 Garut 26 2.600.000 18,41 10,59 2,88 13,33 54,8
9 Indramayu 29 2.900.000 55,05 4,73 0 9,75 30,48
10 Karawang 36 3.600.000 58,67 10,22 0 1,83 29,28
11 Kuningan 38 3.800.000 37,22 3,34 1,03 38,19 20,22
12 Majalengka 36 3.600.000 40,00 15,00 10,00 25,00 10,00
13 Purwakarta 22 2.200.000 27,73 7,07 0,54 19,11 45,55
14 Subang 72 7.200.000 27,73 7,07 0,54 19,11 45,55
15 Sukabumi 28 2.800.000 29,69 9,76 2,58 3,41 54,56
16 Sumedang 24 2.400.000 38,19 12,74 3,96 20,7 24,41
17 Tasikmalaya 42 4.200.000 30,00 12,00 10,00 10,00 38,00
18 Kota Banjar 6 600.000 41,83 2,55 8,32 14,47 32,82
19 Kota Bogor 11 1.100.000 23,28 12,78 1 20,81 42,14
20 Kota Cirebon 7 700.000 0 0 0 0 100
21 Kota Cimahi 2 200.000 5,33 4 0 12,46 78,21
22 Kota Depok 1 100.000 5,00 48,00 0 7,50 39,50
23 Kota Sukabumi 1 100.000 39,07 5,86 0 16,1 38,97
24 Kota Tasikmalaya 17 1.700.000 30,00 14,00 2,00 5,00 49,00
Jumlah 694 69.400.000 752,51 243,64 49,56 367,65 -
Rata-rata 54,5 5,383,238 31,35 10,15 2,07 15,32 41,11
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Seperti halnya terjadi pada empat tahun sebelumnya, dana BLM PUAP
yang didistribusikan tahun 2012, pemanfaatannya masih didominasi oleh sub
sektor tanaman pangan yakni sebesar 29,43%, diikuti oleh usaha hortikultura
8,05%, Perkebunan 1,84%, dan Peternakan 13,97%. Sementara untuk sub sektor
off-farm semebsar 34,22%. Sebaran penggunaan dana PUAP Tahun 2012
disajikan pada Tabel 14.
Jumlah Gapoktan yang menerima dana BLM PUAP tahun 2013 jumlahnya
paling sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya, yakni hanya berjumlah 269
Gapoktan. Hal ini mengindikasi bahwa desa yang masuk dalam kategori desa
miskin di Provinsi Jawa Barat, sudah mulai habis dengan kata lain sudah terbagi
semua. Terlihat dari lima wilayah yakni Kota Banjar, Kota Cimahi, Kota Depok,
Kota Sukabumi, dan Kota Tasikmalaya sudah tidak mendapatkan alokasi dana
BLM PUAP tahun 2013, artinya di lima kabupaten tersebut, desa miskin sudah
tidak ada. Sehingga dari 24 kabupaten lingkup Jawa Barat, pada tahun 2013,
wilayah yang mendapatkan dana BLM PUAP berjumlah 19 kabupaten/kota.
Distribusi tiap wilayah kabupaten berkisar antara Rp. 300 juta hingga Rp.
35 milyar. Kabupaten paling banyak menerima dana BLM PUAP adalah
Kabupaten Indramayu dan Purwakarta, masing-masing menerima Rp. 35 milyar.
Sedangkan yang paling sedikit yaitu Kabupaten Subang dan Kota Bogor, masing-
masing menerima Rp. 300 juta.
57
Tabel 14. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun
2012 per sub sektor
No. Kabupaten/ Kota
Jumlah
Desa/
Gap.
Realisasi
BLM PUAP
(RP.- 000)
Realisasi Dana PUAP (%)
Tan.
Pangan Horti Kebun Ternak
Off
Farm
1 Bandung 48 4.800.000 26,27 14,41 1,56 23,06 34,70
2 Bandung Barat 12 1.200.000 28,14 17,06 0,46 8,38 45,97
3 Bekasi 15 1.500.000 59,90 6,49 2,11 8,21 23,29
4 Bogor 47 4.700.000 41,80 15,11 2,50 25,38 15,22
5 Cianjur 14 1.400.000 17,70 6,88 0,77 6,50 68,16
6 Ciamis 74 7.400.000 38,16 4,09 0,64 32,04 25,07
7 Cirebon 62 6.200.000 45,34 6,89 1,67 24,31 21,79
8 Garut 52 5.200.000 18,41 10,59 2,88 13,33 54,80
9 Indramayu 60 6.000.000 55,05 4,73 0,00 9,75 30,48
10 Karawang 36 3.600.000 56,67 12,22 0,00 1,83 29,28
11 Kuningan 65 6.500.000 37,22 3,34 1,03 38,19 20,22
12 Majalengka 25 2.500.000 40,00 15,00 10,00 25,00 10,00
13 Purwakarta 29 2.900.000 27,73 7,07 0,54 19,11 45,55
14 Subang 6 600.000 27,73 7,07 0,54 19,11 45,55
15 Sukabumi 29 2.900.000 29,69 9,76 2,58 3,41 54,56
16 Sumedang 13 1.300.000 38,19 10,74 3,96 20,70 26,41
17 Tasikmalaya 16 1.600.000 30,00 12,00 10,00 10,00 38,00
18 Kota Bogor 8 800.000 19,28 9,78 1,00 25,81 44,14
19 Kota Cirebon 7 700.000 0,00 0,00 0,00 0,00 100
20 Kota Sukabumi 7 700.000 39,07 5,86 0,00 16,10 38,97
21 Kota Tasikmalaya 16 1.600.000 30,00 14,00 2,00 5,00 49,00
Jumlah 641 64,100,000 706,35 193,09 44,24 335,22 -
Rata-rata 30,52 2.670.833 29,43 8,05 1,84 13,97 34,22
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Untuk Alokasi dana BLM PUAP tahun 2013, sebaran penggunaan dana
terbesar masih untuk pembiayaan sub sektor tanaman pangan, yakni sebesar
28,60%, diikuti oleh usaha hortikultura 8,09%, Perkebunan 2,09%, Peternakan
13,01%., dan off-farm 27,38%. Sebaran penggunaan dana PUAP Tahun 2013
disajikan pada Tabel 15.
Tidak semua Gapoktan mengalami peningkatan dana, tergantung
permasalahan yang timbul dan cara mengatasinya. Gapoktan mendapatkan dana
BLM PUAP dalam pelaksanaannya menghadapi banyak permasalahan, baik
berasal dari internal maupun eksternal Gapoktan; diantaranya sebagai berikut: (a)
masih banyak anggota Gapoktan beranggapan, bahwa BLM PUAP identik dengan
Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang tidak dikembalikan, (b) beberapa SDM
Gapoktan kurang memadai dalam pengelolaan BLM PUAP, (c) aksesbilitas
wilayah kerja PMT dan Penyuluh pendamping (PP) relatif rendah, tidak seimbang
dengan luas wilayah dan jumlah Gapoktan binaannya, (d) terbatasnya dana untuk
mendukung pelaksanaan rapat Koordinasi PUAP secara berkala, baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk melihat kinerja Gapoktan dalam
mengelola dana BLM PUAP, perkembangan jumlah petani yang menerima, dan
adopsi teknologi perlu dibandingkan antara Gapoktan berhasil dan kurang
berhasil.
58
Tabel 15. Penyebaran penerima dana bantuan langsung masyarakat puap tahun
2013 per sub sektor
No. Kabupaten/
Kota
Jumlah
Desa/
Gap.
Realisasi
BLM PUAP
(RP.- 000)
Realisasi Dana PUAP (%)
Tan.
Pangan Horti Kebun Ternak
Off
Farm
1 Bandung 22 2.200.000 29,27 18,41 1,56 20,06 30,70
2 Bandung Barat 7 700.000 33,14 20,06 0,46 8,38 37,97
3 Bekasi 8 800.000 59,90 7,49 3,11 7,21 22,29
4 Bogor 21 2.100.000 44,80 16,11 2,50 22,38 14,22
5 Cianjur 10 1.000.000 22,70 8,88 2,77 9,50 56,16
6 Ciamis 7 700.000 40,16 6,09 1,64 32,04 20,07
7 Cirebon 15 1.500.000 45,34 6,89 1,67 24,31 21,79
8 Garut 23 2.300.000 21,41 12,59 2,88 16,33 46,80
9 Indramayu 35 3.500.000 57,05 6,73 0,00 9,75 26,48
10 Karawang 14 1.400.000 56,67 12,22 0,00 1,83 29,28
11 Kuningan 12 1.200.000 39,22 3,34 4,03 36,19 17,22
12 Majalengka 9 900.000 45,00 12,00 8,00 27,00 8,00
13 Purwakarta 35 3.500.000 32,73 7,07 2,54 19,11 38,55
14 Subang 3 300.000 35,73 10,07 1,54 18,11 34,55
15 Sukabumi 16 1.600.000 35,69 13,76 2,58 3,41 44,56
16 Sumedang 5 500.000 38,19 10,74 3,96 20,70 26,41
17 Tasikmalaya 17 1.700.000 30,00 12,00 10,00 10,00 38,00
18 Kota Bogor 3 300.000 19,28 9,78 1,00 25,81 44,14
19 Kota Cirebon 7 700.000 0,00 0,00 0,00 0,00 100
Jumlah 269 26.900.000 686,28 194,23 50,24 312,12 -
Rata-rata 11.21 1.120.833 28,60 8,09 2,09 13,01 27,38
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Perspektif Pemanfaatan Dana BLM PUAP
A. Penyaluran/Distribusi Dana BLM pada Anggota Gapoktan
Berdasarkan Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan
(PUAP), Rencana Usaha Bersama (RUB) disusun oleh GAPOKTAN berdasarkan
Rencana Usaha Kelompok (RUK) dan Rencana Usaha Anggota (RUA).
Penyusunan RUB oleh Gapoktan harus memperhatikan kelayakan usaha produktif
petani, yaitu: (1) budidaya di sub sektor tanaman pangan, hortikultura, peternakan,
perkebunan, dan (2) usaha non budidaya meliputi usaha industri rumah tangga
pertanian, pemasaran skala kecil/bakulan, dan usaha lain berbasis pertanian.
Tahapan penyusunan RUB adalah sebagai berikut: bila dana BLM-PUAP
sudah masuk ke rekening Gapoktan, kewajiban pertama pengurus Gapoktan
mengumumkan kepada semua anggota, bahwa dana sudah masuk rekening.
Selanjutnya melakukan pertemuan untuk membuat skedul untuk penyaluran dana
tersebut. Kebijakan penyaluran untuk Propinsi Jawa Barat Tahun 2008 sampai
dengan 2013 adalah sama yaitu dengan tahap I sebesar 30%, tahap II 30% dan
tahap III sebesar 40%. Kebijakan pencairan dana BLM-PUAP harus diketahui dan
ditanda tangani oleh Ketua Tim Tekis kabupaten/Kota. Besarnya dana BLM yang
didistribusikan kepada anggota tergantung kepada RUA (Rencana Usaha
Anggota). Karena dana BLM-PUAP ini hanya diperuntukan bagi anggota rumah
tangga tani yang miskin, maka pinjaman tidak melebihi Rp. 2 juta.
Mekanisme penyaluran dananya yaitu setiap anggota tani mengisi formulir
isian (RUA) sesuai kebutuhan yang ditanda tangani oleh anggota tani dan
59
diketahui oleh penyuluh pendamping dan ditandatangani oleh Ketua Kelompok
Tani (Poktan). Penyuluh pendamping dan ketua Poktan melakukan evaluasi
terhadap kelayakan RUA tersebut. Bila sudah layak usulannya sesuai dengan
usaha yang dilakukan, selanjutnya Poktan melakukan rekapitulasi untuk segera
diajukan ke Gapoktan. RUK disusun oleh kelompok tani anggota gapoktan
berdasarkan RUA. Penyusunan RUA harus memperhatikan hasil identifikasi
potensi agribisnis yang dilakukan oleh Penyuluh Pendamping mencakup: (a)
usaha budidaya di sub sektor tanaman pangan, hortikultura, peternakan,
perkebunan, dan (b) usaha non budidaya meliputi usaha industri rumah tangga
pertanian, pemasaran skala kecil/bakulan, dan usaha lain berbasis pertanian
(tanaman pangan/hortikultura/ peternakan/ perkebunan). RUK diajukan oleh
kelompok tani kepada pengurus Gapoktan meliputi: (a) rincian nama petani
anggota, (b) usaha produktif sesuai dengan Pedum PUAP, (c) volume usaha dan
biaya, serta (d) nilai usaha dan ditandatangani petani anggota. Setelah semua
dokumen persyaratan lengkap, sesuai dan syah, barulah dana BLM PUAP
dicairkan oleh Gapoktan melalui bendahara kepada ketua Poktan. Langkah
selanjutnya, Poktan mendistribusikan kembali kepada para petani anggota.
Besarnya dana BLM PUAP yang diterima oleh masing-masing petani anggota
disesuaikan dengan RUA.
Selama penggunaan dana BLM PUAP, pengurus Gapoktan beserta Poktan
melakukan pengawasan dan pendampingan petani anggota (peminjam) dalam hal
pemanfaatannya, hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyelewengan dana.
Begitu juga dalam hal pengembalian pinjaman tersebut, sebelum batas akhir
pinjaman (jatuh tempo), petani sudah diingatkan oleh pengurus Gapoktan dan
Poktan untuk melakukan pembayaran tepat waktu. Para petani (peminjam)
melakukan pembayaran (hutang pokok + bunga) kepada Poktan, selanjutnya
Poktan yang akan menyetorkan kepada Gapoktan. Besarnya bunga pinjaman
disepakati dan diputuskan dalam rapat anggota, umumnya antara 1,5% – 2% per
bulan, dari bunga ini nantinya dialokasikan untuk penggajikan pengurus
Gapoktan, kas Gapoktan, dan SHU peminjam. Alur petani peminjam dengan
Gapoktan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 6. Alur Petani Peminjam dengan Gapoktan Sumber: Kementerian Pertanian (2013)
BENDAHARA USP/LKM A
SEKRETARIS
POKTAN POKTAN POKTAN POKTAN POKTAN
PETANI PETANI PETANI PETANI PETANI
KETUA GAPOKTAN
60
B. Pemanfaatan BLM oleh Petani Anggota dalam Menerapkan Teknologi
Penyaluran dana BLM-PUAP pada dasarnya ditujukan untuk
meningkatkan usaha agribisnis yang dilakukan oleh petani peserta PUAP agar
pendapatan petani meningkat dan keluar dari kemiskinan. Untuk mendorong
pengembangan usaha agribisnis yang dilakukan petani, maka diperlukan inovasi
teknologi agribisnis yang mampu meningkatkan produktivitas secara signifikan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan kegiatan diseminasi teknologi
yang dapat dilakukan melalui pelatihan, pembuatan demplot, distribusi leaflet,
brosur dsb, terutama untuk komoditas pertanian yang banyak diusahakan oleh
petani peserta PUAP. Kegiatan diseminasi teknologi yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Pelatihan teknologi usaha agribisnis bagi PPL pendamping dan petani peserta
PUAP,
2. Pembuatan demplot teknologi usaha agribsnis di kecamatan lokasi PUAP,
3. Distribusi benih VUB teknologi agribisnis di Kecamatan lokasi PUAP,
4. Distribusi juknis dan leaflet teknologi usaha agribisnis di kecamatan lokasi
PUAP.
Kegiatan fasilitasi dilakukan dengan cara pendampingan teknologi yang
dilakukan PUAP yang terintegrasi dengan SL-PTT, FEATI dan Prima Tani.
Pendampingan teknologi dilakukan terhadap 4 komoditas yaitu padi sawah,
kedelei, padi gogo dan kacang tanah. Materi pendampingan teknologi yaitu
penerapan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada masing-masing
komoditas disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Jenis inovasi teknologi pada masing-masing komoditas
Jenis Inovasi Teknologi
Padi Kedele Padi Gogo Kacang tanah
1. Varietas Unggul
Baru (VUB)
2. Benih berlabel dan
bermutu
3. Pupuk organik
4. Cara tanam legowo
2
5. Pemupukan an-
organik spesifik
lokasi
6. Pemberian pupuk
Urea berdasarkan
BWD
7. Pengendalian OPT
berdasarkan konsep
PHT
8. Bibit muda < 21 hss
9. Jumlah bibit 2-3 per
lubang
10. Pengairan berselang
11. Penyiangan dengan
lalandak/gasrok
12. Panen tepat waktu
1. Varietas Unggul
2. Pengolahan tanah
3. Pembuatan saluran
drainase
4. Pengendalian OPT
berdasarkan konsep
PHT
5. Pemupukan
berimbang
6. Pemberian bahan
organik
7. Pengaturan
pemberian air
8. Panen tepat waktu
1. Benih bermutu dan
berlabel
2. Seed treatment
3. Pemberian pupuk
organik
4. Cara tanam legowo
2
5. Tanam benih mak 5
butir/lubang
6. Pemupukan
anorganik spesifik
lokasi
7. Pengendalian OPT
berdasarkan PHT
8. Panen tepat waktu,
dan segera dirontog
Tanam cara mozaik
(dalam satu
hamparan 3
varietas)
1. Varietas Unggul
2. Pengolahan tanah
3. Pembuatan saluran
drainase dan
pembumbunan
4. Pengendalian OPT
berdasarkan
konsep PHT
5. Pemupukan
berimbang
6. Pemberian bahan
organik
7. Pengaturan
pemberian air
8. Panen tepat waktu
61
Melalui kegiatan Pengkajian dan peragaan, anggota/petani penerima
BLM-PUAP menerima bimbingan dari penyuluh pendamping dengan melihat
contoh langsung di lapangan. Disamping itu juga ada kegiatan display varietas
yang dilakukan oleh SL-PTT bersinergi dengan kegiatan PUAP, sehingga saling
melengkapi dan petani dapat mengetahui dan memilih varietas mana yang disukai
dan sesuai dengan lahan usahataninya. Tujuan akhirnya adalah untuk
meningkatkan produktivitas dari masing-masing komoditas yang dikelola oleh
petani sebagai usahanya, juga agar komponen teknologi PTT lebih spesifik lokasi
(sesuai kondisi setempat) dan untuk mempercepat transfer teknologi oleh petugas
lapang ke petani sebagai pengguna teknologi (Irawan dan Nurawan 2010).
C. Peranan Dana BLM PUAP Terhadap Penguatan Modal
Sesuai pedum Gapoktan penerima BLM adalah Gapoktan yang dibentuk
dan dibina oleh Dinas atau Badan terkait, dan anggota tani yang mendapatkan
adalah petani yang miskin, tidak bankable, sulit akses ke bank, tetapi aktif di
dalam oraganisasi Gapoktan. Sasaran PUAP itu sendiri adalah petani-petani
gurem, yang sebelumnya sudah mempunyai usaha baik on-farm maupun off-farm
di bidang pertanian.
Adanya BLM-PUAP ini kapasitas produksi lebih dapat ditingkatkan dan
usahanya dapat berjalan dengan lebih lancar lagi. Hal ini terbukti dari Gapoktan-
Gapoktan penerima BLM-PUAP Tahun 2008, modalnya makin menguat dan
bertambah. Dari total Rp. 62,1 milyar dana BLM PUAP yang disalurkan tahun
2008 telah berkembang menjadi Rp. 68,39 milyar pada Desember 2011, atau
meningkat sekitar 10,13%. Peningkatan tertinggi terjadi di Kabupaten Bandung
yakni sebesar 37,06%. Sementara yang terkecil bahkan minus terjadi di
Kabupaten Cianjur (-0,97%), hal ini diakibatkan adanya dana yang masih
tertunggak di petani. Proporsi peningkatan paling tinggi terjadi di Kabupaten
Bandung, diikuti Ciamis dan Kota Tasikmalaya. Perkembangan dana BLM PUAP
pada Gapoktan 2008 disajikan pada Tabel 17.
Berbeda dengan kondisi Gapoktan penerima dana tahun 2008, untuk
Gapoktan penerima dana tahun 2009 di masing-masing kabupaten/kota
perkembangan dananya lebih cepat, mengingat untuk Gapoktan penerima dana
tahun 2009 ini lebih terencana dan persiapannya lebih matang, dengan kata lain
sudah ada pembelajaran dari tahun sebelumnya. Terlihat dari sudah terbitnya
kelengkapan materi baik pedoman umum, juklak maupun juknis untuk
pendampingan kepada Gapoktan 2009 sebelum dana ditranfer ke rekening
Gapoktan. Sehingga para pengurus Gapoktan mengetahui aturan main dan
tatacara pengelolaan dana BLM PUAP ini.
Dana BLM PUAP di tiap kabupaten telah mengalami perkembangan. Hal
itu ditunjukkan oleh besaran nilai Dana BLM PUAP pada tahun buku 2011. Dari
total Rp. 70,2 milyar dana BLM PUAP yang disalurkan tahun 2009 telah
berkembang menjadi Rp. 92,7 milyar pada Desember 2011, atau meningkat
sekitar 32,06%. Peningkatan ini relatif lebih besar jika dibandingkan tahun
sebelumnya, yakni 10,13% berbanding 32,06%. Proporsi peningkatan paling
tinggi terjadi di Kabupaten Sumedang (61,92%) dan terkecil Kabupaten Kuningan
(6,66%). Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 18.
62
Tabel 17. Perkembangan dana bantuan langsung masyarakat PUAP tahun 2008 di
Provinsi Jawa Barat, per 31 Desember 2011
No. Kabupaten/Kota Jumlah Desa/
Gapoktan
Realisasi
BLM PUAP
(Rp. 000)
Perkembangan
Dana s/d 2011
(Rp. 000)
Peningkatan
(%)
1. Bandung 17 1.700.000 2.330.140 37,06
2. Bandung Barat 56 5.600.000 6.322.865 12,91
3. Bekasi 20 2.000.000 2.155.663 7,78
4. Bogor 25 2.500.000 2.715.155 8,61
5. Ciamis 29 2.900.000 3.733.423 28,74
6. Cianjur 42 4.200.000 4.159.258 -0,97
7. Cirebon 35 3.500.000 3.811.726 8,91
8. Garut 35 3.500.000 4.321.622 23,47
9. Indramayu 35 3.500.000 3.850.000 10,00
10. Karawang 35 3.500.000 3.547.817 1,37
11. Kuningan 33 3.300.000 3.450.000 4,54
12. Majalengka 81 8.100.000 8.251.000 1,86
13. Purwakarta 20 2.000.000 2.366.958 18,34
14. Subang 35 3.500.000 3.931.157 12,32
15. Sukabumi 49 4.900.000 5.251.757 7,18
16. Sumedang 35 3.500.000 3.760.295 10,41
17. Tasikmalaya 19 1.900.000 2.209.059 16,27
18. Kota Banjar 6 600.000 660.588 10,09
19. Kota Depok 5 500.000 545.255 9,05
20. Kota Tasikmalaya 1 100.000 122.762 22,76
21. Kota Sukabumi 8 800.000 895.327 11,91
Jumlah 621 62.100.000 68.391.827 10,13
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
Tabel 18. Perkembangan dana bantuan langsung masyarakat 2009 di Provinsi
Jawa Barat, per 31 Desember 2011
No. Kabupaten/Kota Jumlah Desa/
Gapoktan
Realisasi
BLM PUAP
(Rp. 000)
Perkembangan
Dana s/d 2011
(Rp. 000)
Peningkatan
(%)
1. Bandung 28 2.800.000 3.500 000 25.00
2. Bandung Barat 31 3.100.000 4.301.817 38.77
3. Bekasi 15 1.500.000 1.841.980 22.80
4. Bogor 23 2.300.000 3.000.000 30.43
5. Cianjur 101 10.100.000 11.179.000 10.68
6. Ciamis 23 2.300.000 3.580.938 55.69
7. Cirebon 34 3.400.000 4.969.687 46.17
8. Garut 28 2.800.000 3.371.552 20.41
9. Indramayu 28 2.800.000 3.600.000 28.57
10. Karawang 23 2.300.000 3.540.325 53.93
11. Kuningan 29 2.900.000 3.093.000 6.66
12. Majalengka 79 7.900.000 8.693.575 10.05
13. Purwakarta 15 1.500.000 2.427.495 61.83
14. Subang 57 5.700.000 8.639.490 51.57
15. Sukabumi 37 3.700.000 4.845.625 30.96
16. Sumedang 60 6.000.000 9.715.436 61.92
17. Tasikmalaya 58 5.800.000 7.963.197 37.30
18. Kota Banjar 6 600.000 964.860 60.81
19 Kota Cimahi 6 600.000 758.425 26.40
20. Kota Depok 8 800.000 1.200.202 50.03
21. Kota Sukabumi 2 200.000 271.752 35.88
22. Kota Tasikmalaya 11 1.100.000 1.250.000 13.64
Jumlah 702 70.200.000 92.708.356 32,06
Sumber: BPTP Jawa Barat (2013)
63
D. Pembentukan dan Perkembangan LKM-A
Tujuan pembentukan LKM-A adalah mengenalkan dan membiasakan
anggota untuk menabung dan berlaku produktif, menyediakan kebutuhan modal,
membudayakan pengelolaan ekonomi rumah tangga dengan tertib, membangun
sikap hidup hemat, cermat dan bijaksana dalam penggunaan uang serta
membangun jiwa wirausaha. Sesuai pedum, bahwa pembentukan LKM-A baru
dapat dilaksanakan pada tahun ketiga, dimana tahun pertama merupakan usaha
simpan pinjam, tahun kedua Unit Permodalan Gapoktan (UPG). Pada dasarnya
pembentukan LKM-A yang sesunguhnya di dalam Gapoktan tidaklah mudah,
mengingat pengurus Gapoktan masih disibukan dengan berbagai adimistrasi
dalam Gapoktan itu sendiri.
LKM-A sendiri dibentuk oleh Gapoktan, dan kedudukannya sama dengan
seksi-seksi lainnya yang mendukung Gapoktan dalam hal pengelolaan dana.
Seperti yang sudah dikemukakan dilatar belakang, bahwa Gapoktan penerima
dana BLM PUAP tahun 2008 -2011 lingkup Provinsi Jawa Barat, sudah berhasil
menumbuhkembangkan LKM-A sebanyak 151 LKM-A dari 2.703 desa (Gambar
1), jumlah ini masih sangat sedikit, hanya 5,3% pertumbuhannya. Jika dilihat dari
peraturan yang ada di Pedum PUAP, idealnya pada tahun ketiga, Gapoktan
penerima dana BLM PUAP seharusnya sudah membentuk LKM-A.
Berititik tolak dari uraian tersebut, menurut Hermawan dan Andrianyta
(2012) bahwa faktor yang menghambat tumbuh dan berkembangnya LKM-A
terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup beberapa
aspek, antara lain pengurus belum mencapai realisasi penyaluran dana,
penggalangan dana belum berjalan dengan baik, penguasaan sistem pembukuan
masih lemah. Ditambah pula pencairan dana ke petani yang dilakukan oleh
Gapoktan terlambat, Gapoktan masih kurang memahami cara pembuatan
laporan/pengisian blangko laporan yang tersedia dan lembaga keuangan mikro,
meskipun bimbingan telah diberikan. Faktor internal yang juga menghambat
yakni ketua poktan tidak membagikan dana seluruhnya ke anggota karena takut
anggotanya tidak mau membayar bahkan ada pengurus Gapoktan yang
beranggapan jika LKM-A terbentuk maka peran dari Gapoktan itu sendiri akan
hilang. Disamping itu kurangnya keterampilan atau keahlian dalam hal
pembukuan yang sesuai dengan standar lembaga keuangan resmi.
Di sisi lain, faktor eksternal yang dihadapi meliputi beberapa aspek
diantaranya terdapat pemahaman yang salah terhadap dana BLM PUAP. Sebagai
contoh ada kecenderungan masyarakat/petani saat ini menganggap apapun bentuk
bantuan adalah gratis (tidak perlu dikembalikan seperti halnya BLT). Lagipula,
terdapat penjadwalan ulang Rencana Usaha Anggota (RUA) dalam penggunaan
dana oleh petani dan masalah jarak yang jauh diikuti oleh sarana transportasi yang
kurang memadai sehingga pembinaan Penyelia Mitra Tani (PMT) menjadi
terkendala.
Upaya pemecahan masalah tersebut membutuhkan peran aktif dari
berbagai pihak, terutama pemerintah khususnya Kementerian Pertanian. Oleh
sebab itu, perlu diambil langkah-langkah dalam rangka perbaikan program ke
depan. Langkah-langkah perbaikan diantaranya adalah mempercepat waktu
pengajuan usulan penerima program dari tahun sebelum pelaksanaan, atau
memperpendek proses seleksi calon penerima bantuan sehingga pencairan
64
bantuan dapat dilakukan lebih cepat sesuai dengan masa tanam petani.
Selanjutnya, melaksanakan pemantauan secara berkelanjutan melalui kunjungan
dan laporan dari lapangan, mengevaluasi pelaporan penyaluran dana secara
berkala.
Langkah berikutnya adalah melaksanakan pembinaan dan pendampingan
terhadap Gapoktan pelaksana program PUAP khususnya dalam rangka
menumbuhkembangkan LKM-A. Selanjutnya adalah memberikan pembinaan dan
meluruskan paradigma petani anggota dan pengurus Gapoktan tentang dana
PUAP bukanlah BLT meningkatkan peran penyuluh lapangan dan PMT dalam
pengelolaan dana, realisasi dana, pelaporan keuangan, serta pendampingan
teknologi. Tidak kalah penting adalah mengedepankan penguatan kelembagaan
kelompok tani melalui beragam kegiatan bersama dalam seluruh rangkaian baik
apresiasi LKM-A maupun apresiasi teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan
wawasan, pengetahuan, dan keterampilan dalam pelaksanaan pengelolaan
keuangan PUAP dan peningkatan keterampilan di bidang teknologi yang
berkaitan dengan usaha produktif di lokasi PUAP.
Diawal berdirinya LKM-A di Jawa Barat memiliki aturan main sebagai
berikut: (1) LKM-A berasal dari unit otonom simpan pinjam yang berada pada
Gapoktan, (2) pengelola LKM-A dipilih dalam rapat anggota diwakili oleh
pengurus Poktan dan Gapoktan, (3) pengelola LKM-A tidak boleh dirangkap oleh
pengurus Gapoktan, dan (4) struktur LKM-A ditentukan dalam rapat
anggota.Gapoktan membuat surat penunjukan tentang pengelolaan LKM-A.
Adapun LKM-A tahap pembentukan awal seperti yang disajikan pada Gambar 7
dan perkembangannya pada Gambar 8.
Gambar 7. Struktur LKM-A Tahap Awal Berdiri Sumber: Kementerian Pertanian (2013)
Gambar 8. Perkembangan Struktur LKMA di Jawa Barat Sumber: Kementerian Pertanian (2013)
MANAJER
KASIR
ADMINISTRASI
PEMBUKUAN
MANAJER
KASIR
SEKSI PENGGALANGAN
DANA
SEKSI ADMINISTRASI
PEMBUKUAN
SEKSI ADMINISTRASI
PEMBUKUAN
65
Model pengelolan LKM-A di Jawa Barat ada dua bentuk yaitu: (1) cara
konvensional, memakai jasa bunga (90%), dan (2) cara syariah, memakai sistem
bagi hasil (10%). Biaya operasional terdiri dari: (1) biaya administrasi (ATK), (2)
honor pengelola, dan (3) biaya lainnya. Keseluruhan biaya pengeluaran didapat
dari Gapoktan.
Profil LKM-A di Jawa Barat umumnya mengikuti arahan ketua Tim
Pembina Provinsi/Kabupaten yaitu: (a) organisasi: Manejer, kasir dan pembukuan
atau manejer, kasir, pembiayaan, pembukuan dan penggalangan dana, (b) SDM:
sudah mendapat pembekalan LKM-A, (c) ruang dan perangkat adm (ATK, mesin
tik, atau komputer, dll), (d) melakukan penggalangan dana: Sosialisasi ke
Poktan/anggota, perantau dan pihak lainnya, (e) menghimpun dana awal (Iuran
pokok dan Iuran wajib). Anggota punya buku tabungan, Anggota/pendiri
diarahkan untuk mempunyai simpanan khusus di LKM-A untuk meningkatkan
rasa memiliki, (f) rapat anggota dilakukan secara berkala, (g) Penyertaan dana
PUAP Rp 100 juta di pindahkan/ transfer dari Gapoktan ke LKM-A, (h)
adminstrasi keuangan telah memiliki Buku Jurnal, Buku besar , Kartu pembantu
(sebanyak jenis usaha), Rekening LKM-A di Bank, dan (i) penyaluran dana
PUAP ke petani (syaratnya anggota Gapoktan, RUA, permohonan pinjaman
melalui ketua poktan, kuitansi, jangka waktu pinjaman paling lama 10 bulan,
pengembalian secara bulanan atau yarnen).
Proses Seleksi Desa dan Pemilihan Gapoktan Penerima PUAP
Dasar pemilihan desa PUAP berdasarkan indikator desa miskin dan
tertinggal serta berbasis pertanian. Desa miskin yang dimaksud adalah desa yang
secara ekonomi pendapaan per kapitanya per tahun berada di bawah standar
minimum pendapatan per kapita nasional dan infrastruktur desa yang sangat
terbatas. Selain itu, hal yang terpenting dalam penentuan desa PUAP yakni belum
adanya program strategis dari pemerintah pada desa tersebut seperti Prima Tani,
Feati, SLPTT, Gernas Kakao, dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan supaya jangan
terjadi tumpang tindih antar program dan untuk pemerataan dalam penerapan
program strategis pemerintah.
Kegiatan identifikasi desa dilaksanakan sesuai prosedur/juklak yang sudah
ditetapkan oleh TIM PUAP Pusat. Adapun kriteria dan penentuan desa calon
lokasi PUAP diantaranya: (1) desa berbasis pertanian, diutamakan desa miskin,
(2) memiliki Gapoktan yang sudah aktif, dan (3) desa yang belum pernah
memperoleh dana BLM PUAP. Penentuan jumlah desa calon lokasi PUAP per
kabupaten/kota, dengan pertimbangan yaitu: (1) jumlah desa yang belum
mendapatkan PUAP, (2) jumlah alokasi desa PUAP yang telah direalisasikan
sebelumnya, (3) alokasi dana pendukung untuk pembinaan yang disediakan oleh
kabupaten/kota, dan (4) adanya potensi integrasi lokasi desa dengan
program/kegiatan lainnya.
Kriteria dalam penentuan Gapoktan calon penerima dana BLM PUAP
diantaranya memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengelola usaha
agribisnis, mempunyai kepengurusan yang aktif dan dikelola oleh petani, dan
pengurus Gapoktan adalah petani, bukan Kepala Desa/Lurah atau Sekretaris
Desa/Sekretaris Lurah. Gapoktan yang akan diusulkan sebagai calon penerima
dana BLM PUAP, diketahui oleh Kepala Desa dan Kepala Balai Penyuluhan
66
Kecamatan (BPK). Pada setiap desa calon lokasi PUAP, akan ditetapkan satu
Gapoktan penerima dana BLM PUAP.
Tahapan pengusulan desa, Gapoktan dan pengurus calon pnerima BLM
PUAP dapat melalui Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk, aspirasi
masyarakat, dan Unit Kerja Eselon I Lingkup Kementerian Pertanian. Adapun
tahapannya sebagai berikut:
1. Tim Teknis Kecamatan melakukan identifikasi dan verifikasi desa, Gapoktan,
dan pengurus calon penerima BLM PUAP, mengacu kepada kriteria yang
sudah ditetapkan,
2. Hasil identifikasi dan verifikasi desa, Gapoktan dan Pengurus oleh Tim
Teknis Kecamatan selanjutnya diusulkan kepada Tim Teknis
Kabupaten/Kota, kemudian diteruskan kepada Bupati/Walikota atau pejabat
yang ditunjuk, untuk diusulkan kepada Tim PUAP pusat,
3. Desa, Gapoktan dan pengurus calan penerima BLM PUAP yang disampaikan
melalui aspirasi masyarakat dan Unit Kerja Eselon I lingkup Kementerian
Pertanian diusulkan langsung kepada Tim PUAP Pusat.
Penetapan desa, Gapoktan, dan pengurus penerima dana BLM PUAP
sebagai berikut:
1. Tim PUAP Pusat melakukan sinkronisasi terhadap usulan dari
Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk, aspirasi masyarakat dan Unit
Kerja Eselon 1 lingkup Kementerian Pertanian,
2. Tim PUAP Pusat melakukan verifikasi terhadap usulan desa, Gapoktan, dan
pengurus calon penerima dana BLM PUAP 2014 menjadi Daftar Nominatif
Sementara (DNS) PUAP,
3. DNS desa, Gapoktan, dan pengurus calon penerima dana BLM PUAP
tersebut oleh Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian disampaikan
kepada Tim Teknis PUAP Kabupaten/Kota melalui Tim Pembina PUAP
Provinsi untuk diverifikasi yang meliputi Desa, Gapoktan, dan Pengurus
(Ketua, Sekretaris dan Bendahara) Gapoktan,
4. Tim Teknis Kabupaten/Kota menyampaikan hasil verifikasi DNS berikut
kelengkapan dokumen bagi Gapoktan yang telah memenuhi persyaratan
Pembina PUAP Provinsi c.q Sekretariat Tim Pembina PUAP Provinsi, dan
5. Berdasarkan hasil verifikasi Tim PUAP Pusat, Direktur Jenderal Prasarana
dan Sarana Pertanian atas nama Menteri Pertanian menetapkan Gapoktan
Penerima dana BLM PUAP dalam bentuk Surat Keputusan Menteri
Pertanian.
Adapun mekanisme usulan dan penetapan desa, Gapoktan, dan pengurus
Gapoktan calon penerima dana BLM PUAP disajikan pada Gambar 9.
67
Gambar 9. Alur usulan dan penetapan desa, gapoktan, dan pengurus Sumber: Kementerian Pertanian (2013)
Sistem Penyaluran Dana BLM PUAP Kepada Petani
Sistem penyaluran dana BLM PUAP dari Gapoktan kepada petani diatur
dalam Anggarn Dasar/Anggaran Rumah Tangga Anggota (AD/ART) yang
merupakan hasil kesepakatan bersama atara pengurus Gapoktan, Penyuluh
Pertanian sebagai pendamping, dan petani.
Setelah terdaftar dan memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai anggota,
maka petani anggota Gapoktan telah berhak meminjam dana BLM PUAP sebagai
modal usahatani dari Gapoktan. Syarat dan ketentuan untuk memperoleh
pinjaman dana BLM PUAP harus dipenuhi dan dilengkapi oleh petani. Jika syarat
pinjaman tidak dapat dipenuhi, maka petani tidak berhak untuk memperoleh
pinjaman.
68
Syarat untuk memperoleh pinjaman dana BLM PUAP di Gapoktan sampel,
yaitu: (1) terdaftar sebagai anggota, (2) memenuhi kewajiban sebagai anggota, (3)
foto kopi KTP/Kartu Keluarga, (4) pas photo 3x4, (5) akad qirat (kredit)
bermaterai 6.000, (6) surat pernyataan, dan (7) Rencana Usaha Anggota (RUA).
Adapun prosedur peminjaman dana BLM PUAP di Gapoktan sampel, adalah
sebagai berikut:
1. Anggota waib mengisi formulir permohonan (menggunakan materai 6.000)
melalui pengurus kelompok tani asalnya,
2. Apabila permohonan dikabulkan tim kredit, anggota tersebut menyerahkan
jaminan sesuai pinjamannya,
3. Anggota beserta penjamin 3 orang, terdiri atas 2 orang tokoh masyarakat, dan
1 orang saksi dari keluarga, ketiganya harus menandatangani akte perjanjian
pinjaman dihadapan panitia kredit,
4. Peminjam dikenakan jasa pinjaman sebesar 2% per bulan,
5. Tenggang waktu pinjaman (jangka waktu pinjaman 4 bulan atau satu musim
tanam).
Secara operasioal penyaluran dana BLM PUAP kepada petani anggota,
sepenuhnya merupakan kebijakan dari Gapoktan. Kebijakan yang diterapkan oleh
Gapoktan merupakan hasil musyawarah dengan seluruh petani anggota. Kebijakan
penyaluran dana BLM PUAP untuk masing-masing Gapoktan sangat bervariatif.
Bagi Gapoktan PUAP yang menjadi sampel seperti Gapoktan Saluyu Utama dan
Mitra Tani (PUAP 2008), pembagian pinjaman kepada seluruh anggota yakni
secara merata sebesar Rp. 1 juta, sementara Gapoktan Mitra Tani (PUAP 2010)
sebesar Rp. 2 juta. Hal ini sebagai upaya untuk mencegah terjadinya konflik
internal antara pengurus dengan petani anggota, dan kecemburuan sosial diantara
sesama petani anggota.
Sedangkan kebijakan penyaluran pinjaman/kredit yang diterapkan oleh
Gapoktan non PUAP, yakni berdasarkan skala usaha petani anggota atau luas
lahan garapan. Bagi petani anggota yang menggarap lahan sawah seluas satu
hektar, akan berbeda jumlah pinjaman yang diterima oleh petani yang menggarap
lahan sawah dengan luasan kurang dari satu hektar.
Kebijakan lainnya, terkait pimjaman yakni reward and punishment. Bagi
petani yang tingkat pengembalian pinjaman lancar, maka pinjaman pada musim
tanam berikutnya flapon pinjamannya akan dinaikkan. Namun sebaliknya, jika
tidak lancar atau bahkan macet, maka petani tersebut akan kena sanksi sosial,
seperti tidak akan diberikan pinjaman atau bentuk bantuan lainnya, bahkan akan
dikeluarkan dari keanggotaan Gapoktan.
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Responden yang dijadikan objek penelitian ini terbagi menjadi kelompok
aksi (responden yang telah mendapatkan pinjaman dana bergulir PUAP) dan
kelompok kontrol (responden yang belum mendapatkan pinjaman dana bergulir
PUAP) di dua kecamatan yang berbeda. Deskripsi karakteristik responden dilihat
dari beberapa kriteria antara lain Usia, tingkat pendidikan, lama pengalaman
69
bertani, luas kepemilikan lahan, status kepemilikan lahan, dan jumlah tanggungan
keluarga dan status pekerjaan utama.
1. Usia Responden
Berdasarkan kriteria usia, petani sampel dibagi menjadi tiga kelompok usia
yaitu kelompok usia 21-40 tahun, kelompok 41-60 tahun, dan kelompok usia 61-
80 tahun. Distribusi responden dari masing-masing kelompok usia disajikan pada
Tabel 19.
Tabel 19. Distribusi responden menurut golongan umur
Usia Petani PUAP Petani Non PUAP
Frekuansi % Frekuensi %
21-40 7 23,33 19 63,33
41-60 23 76,67 10 33,33
61-80 0 0,00 1 3,33
Jumlah 30 100,00 30 100,00
Tabel 19, menunjukkan bahwa petani PUAP sebagian besar berada pada
rentang usia 41-60 tahun (76,67%), dimana rentang usia tersebut masuk kedalam
usia produktif. Pada fase ini umumnya petani sangat responsif dan terbuka
terhadap berbagai informasi dari luar yang sifatnya untuk perbaikan dalam
usahatani. Berbeda dengan petani sampel non PUAP, mendominasi pada rentang
usia muda (21-40). Fase usia ini, secara psiologis masih taraf belajar, dan
kecendrungan untuk menolak informasi dari luar masih tinggi. Petani umumnya
dalam melakukan kegiatan usahatani masih melanjutkan pola turun temurun dari
orang tuanya sebagai petani. Selain itu, didalam sampel petani Non PUAP
terdapat responden yang berusia lanjut dan tergolong bukan usia produktif. Fase
usia ini, umumnya dalam melakukan usahatani cenderung mengaplikasikan yang
sudah dia dapat dari dulu. Sulit untuk melakukan pembaharuan atau mengadopsi
teknologi yang baru.
2. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan yang banyak ditempuh oleh responden umumnya
setingkat sekolah dasar (SD) dan SLTP. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari
SD dan SLTP masih sedikit ditempuh oleh responden. Hanya sebagian kecil dari
petani yang mengenyam pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Gambaran umum tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan formal
Tingkat Pendidikan Petani PUAP Petani Non PUAP
Frekuensi % Frekuensi %
Tidak Sekolah 0 0,00 0 0,00
SD 16 53,33 18 60,00
SLTP 10 33,33 8 26,67
SLTA 4 13,33 4 13,33
Jumlah 30 100,00 30 100,00
70
Tabel 20, dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden hanya memiliki
jenjang pendidikan pada tingkat SD. Hal ini terlihat pada responden grup petani
PUAP memiliki persentase sebesar 63,33% dan kelompok petani Non PUAP
memiliki persentase 60% pada tingkat pendidikan SD. Sedangkan responden yang
tamatan SLTP pada kelompok petani PUAP sebesar 33,33%, dan pada kelompok
petani Non PUAP sebesar 26,67%. Sementara untuk tamatan SLTA, kedua
kelompok memiliki persentase yang sama yakni sebesar 13,33%. Secara umum
pendidikan responden pada kedua grup adalah tamat SD. Rendahnya tingkat
pendidikan responden menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia petani
belum memadai di dalam pengembangan agribisnis dan akses kesempatan kerja di
luar pertanian.
3. Lama Pengalaman Bertani
Hasil wawancara melalui kuesioner dengan para responden dapat
disampaikan bahwa sebagian besar responden berpengalaman usahatani padi lebih
dari 15 (lima belas) tahun. Lamanya pengalaman bertani ini terbagi atas 70%
untuk kelompok petani PUAP dan 50% untuk kelompok petani Non PUAP.
Sedangkan sisanya tersebar pada pengalaman bertani kurang dari 15 (lima belas)
tahun. Pengalaman bertani dari responden disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Distribusi responden menurut pengalaman bertani
Pengalaman Bertani
(Tahun)
Petani PUAP Petani Non PUAP
Frekuensi % Frekuensi %
<5 0 0,00 1 3,33
6 - 10 4 13,33 5 16,67
11 - 15 5 16,67 9 30,00
>15 21 70,00 15 50,00
Jumlah 30 100,00 30 100,00
Lamanya pengalaman bertani sangat menentukan dalam menjalankan
aktivitas usahatani. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat adaptasi terhadap
berbagai perubahan lingkungan dan perubahan iklim untuk mempertahankan
keberlangsungan aktivitas pertanian petani.
4. Luas Lahan Usahatani
Lahan merupakan modal utama dalam produksi pertanian di perdesaan,
utamanya untuk usahatani padi. Rata-rata luas lahan sawah untuk usahatani padi
yang digarap oleh petani PUAP maupun petani Non PUAP, yakni memiliki luasan
berkisar satu hektar, dan umumnya berstatus lahan milik pribadi. Namun
komposisinya berbeda, pada kelompok petani PUAP, lahan yang lebih dominan
digarap oleh responden memiliki luasan satu hektar, sementara pada petani Non
PUAP lahan yang dominan digarap memiliki luas berkisar 0,6-0,7 hektar. Secara
lebih rinci, distribusi petani responden menurut luas lahan usahatani padi
disajikan pada Tabel 22.
71
Tabel 22. Distribusi responden menurut luas lahan usahatani padi
Luas Lahan
(Ha)
Petani PUAP Petani Non PUAP
Frekuensi % Frekuensi %
0,5 0 0,00 3 10,00
0,6 – 0,7 11 36,67 17 56,67
0,8 – 0,9 0 0,00 0 0,00
1 19 63,33 10 33,33
Jumlah 30 100,00 30 100,00
5. Status Kepemilikan Lahan
Proporsi satus kepemilikan lahan, baik pada kelompok petani PUAP
maupun Non PUAP adalah sama, sebanyak 93,33% responden memiliki lahan
sawah yang digarap berstatus milik pribadi. Sama halnya untuk proporsi lahan
sawah dengan sistem bagi hasil, pada kedua kelompok petani yang melakukan
bagi hasil masing-masing memiliki persentase sebesar 6,67%. Seperti yang sudah
diuraikan sebelumnya, penguasaan sumberdaya lahan pertanian bagi petani pada
kelompok petani PUAP maupun non PUAP, menunjukkan adanya indikasi
kuatnya akses lahan bagi petani di Kabupaten Subang (Kecamatan Ciasem dan
Patok Besi). Status kepemilikan dari responden disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Distribusi responden menurut status kepemilikan lahan Status Kepemilikan
Lahan
Petani PUAP Petani Non PUAP
Frekuensi % Frekuensi %
Pribadi 28 93,33 28 93,33
Bagi Hasil 2 6,67 2 6,67
Sewa 0 0,00 0 0,00
Jumlah 30 100,00 30 100,00
Tabel 23, menunjukkan bahwa petani sampel pada kedua grup sebagian
besar adalah petani pemilik. Sehingga petani secara mandiri dapat mengelola
lahannya untuk usahatani, utamanya petani tidak perlu terbebani oleh biaya sewa
lahan. Mengingat biaya sewa lahan akan menjadi biaya tambahan bagi petani di
dalah usahataninya, karena akan mengurangi pendapatan petani.
6. Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan keluarga dapat mengukur tingkat kemampuan petani
dalam menghidupi keluarganya secara layak dari hasil usahataninya. Dengan luas
lahan usahatani yang biasanya relatif tetap maka besarnya tanggungan keluarga
menjadi faktor yang akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga petani
tersebut. Distribusi jumlah tanggungan keluarga (termasuk kepala keluarga) petani
responden kelompok Petani PUAP dan Non PUAP disajikan pada Tabel 24.
Terlihat bahwa sebagain besar jumlah tanggungan keluarga di kedua
kelompok tersebut berada di kisaran jumlah tanggungan 4-5 orang, yakni sebesar
66,67% untuk kelompok petani PUAP dan 80% untuk kelompok petani Non
PUAP. Kondisi ini merupakan salah satu ciri yang menonjol pada petani di
perdesaan adalah ukuran keluarga yang relatif besar. Jumlah anak cenderung
banyak, karena anak dinilai bukan sebagai aset (investasi), tetapi sebagai sumber
72
faktor produksi (tenaga kerja) untuk menambah pendapatan keluarga. semakin
banyak jumlah tanggungan keluarga akan memperkecil pendapatan per kapita,
karena dengan besarnya jumlah anggota keluarga akan menyebabkan biaya
pengeluaran semakin meningkat. Hal ini menyebabkan petani di perdesaan sulit
untuk keluar dari kemiskinan.
Tabel 24. Distribusi responden menurut jumlah tanggungan keluarga
Jumlah Tanggungan
(orang)
Petani PUAP Petani Non PUAP
Frekuensi % Frekuensi %
2 – 3 10 33,33 6 20,00
4 – 5 20 66,67 24 80,00
Jumlah 30 100,00 30 100,00
7. Status Pekerjaan Utama
Pekerjaan utama responden pada kedua grup petani sebagian besar
bertumpu pada aktivitas pertanian. Responden melakukan aktivitas usahatani padi
sudah lebih dari 15 tahun (turun temurun). Kondisi ini didukung oleh beberapa
hal, diantaranya yaitu: (1) tanaman pangan khususnya padi merupakan komoditas
utama di daerah responden, (2) kesesuaian kondisi wilayah untuk tumbuhnya
komoditas padi, sehingga petani yang mengalami perubahan atau penurunan hasil
panen dapat diminimalisir, (3) didukung oleh adanya hasil penelitian dari instansi
penelitian komoditas padi baik pemerintah maupun perusahaan BUMN, sebut saja
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat, Balai Besar Penelitian
Padi dan PT Syang Hiang Sri (SHS). Sehingga hal tersebut mendorong sebagian
besar petani responden untuk mengusahakan komoditas ini, dan menjadikannya
sebagai pekerjaan utamanya dan (4) jika dikaitkan dengan jenjang pendidikan
yang dimiliki petani, sebagian responden hanya menempuh pendidikan formal
sampai SD, hal ini yang menyebabkan petani tidak berkeinginan untuk mencari
pekerjaan lain di luar sektor pertanian. Data distribusi responden menurut
pekerjaan utama disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Distribusi responden menurut pekerjaan utama
Pekerjaan Utama Petani PUAP Petani Non PUAP
Frekuensi % Frekuensi %
Bertani Padi 30 100,00 27 90,00
PNS 0 0,00 1 3,33
Wiraswasta 0 0,00 2 6,67
Jumlah 30 100,00 30 100,00
Namun, petani PUAP maupun petani non PUAP, rata-rata responden hampir
semua memiliki pekerjaan sampingan, seperti: beternak (domba, ayam, itik), jual
krupuk, berdagang/warung, budidaya (jamur merang, ikan hias) buruh pabrik,
buruh tani, tengkulak, kios pupuk. Hal ini dilakukan para petani sebagai strategi
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari rumah tangganya, selama menunggu
waktu panen padi. Strategi ini dapat disebut juga sebagai strategi coping (startegi
bertahan hidup).
73
8. Nilai Pinjaman/Kredit Anggota
Jumlah pinjaman/kredit dapat membantu kemampuan petani untuk
mencukupi kebutuhan secara layak dalam menjalankan aktivitas usahataninya.
Besar kecilnya jumlah pinjaman/kredit usahatani, menjadi faktor yang akan
mempengaruhi tingkat kemampuan petani utamanya dalam membeli input
produksi. Distribusi jumlah jumlah pinjaman/kredit pada Petani PUAP dan Non
PUAP disajikan pada Tabel 26.
Tabel 26. Distribusi responden menurut jumlah pinjaman/kredit
Jumlah
Pinjaman
(Rp)
Petani PUAP Petani Non PUAP
Frekuensi
(orang)
% Frekuensi
(orang)
%
2.000.000 15 50,00 14 46,67
1.000.000 15 50,00 16 53,33
Jumlah 30 100,00 30 100,00
Berdasarkan Tabel 26, jika dilihat dari rata-rata jumlah pinjaman/kredit baik
petani PUAP maupun non PUAP hampir sama. Namun yang membedakan yakni
sumber pinjaman/kredit tersebut. Petani PUAP mendapat pinjaman/kredit untuk
usahatani bersumber dari Gapoktan. Bunga/jasa pinjaman/kredit yang diterapkan
oleh Gapoktan PUAP sebesar 10 persen per musim tanam.
Sedangkan petani non PUAP mendapatkan pinjaman/kredit dari kios atau
tengkulak. Hal ini disebabkan karena kemampuan Gapoktan non PUAP atas
permodalan untuk usaha simpan pinjam masih rendah. Bunga/jasa yang
diterapkan oleh kios/tengkulak sangat tinggi, yakni sebesar 20 persen per musim
tanam. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab pendapatan bersih usahatani
petani non PUAP lebih rendah dari pada petani PUAP.
Keragaan Atribut Kinerja Gapotan
Setiap organisasi akan berusaha untuk mencapai tujuannya yang
disesuaikan dengan sumber daya yang dimilikinya. Kinerja organisasi yang baik
(good performance) adalah apabila semua bagian organisasi bekerja secara benar,
efektif, dan efisien, untuk mencapai tujuan tersebut.
Kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output)
individu maupun kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh
kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta
keinginan untuk berprestasi. Kinerja organisasi ialah hasil yang ditunjukkan oleh
sebuah organisasi atau tingkat pencapaian pelaksanaan tugas suatu organisasi
dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi tersebut.
Komponen utama kinerja adalah memahami dengan baik kinerja organisasi
melalui pemahaman pencapaian tujuan dengan kesesuaian tujuannya (efektivitas),
dan menggunakan sumberdaya yang relatif sedikit dalam melakukannya
(efisiensi). Dalam kontek tersebut laba hanya salah satu dari berbagai indikator
kinerja sebagai penilaian kinerja. Lebih lanjut, keragaan dalam organisasi yang
berhubungan dengan kinerja, meliputi: (a) kinerja dalam kaitannya dengan
efektivitas, (b) kinerja dalam kaitannya dengan efisiensi, (c) kinerja dalam
74
kaitannya dengan relevansi yang sedang berlangsung, dan (d) kinerja dalam
kaitannya dengan viabilitas keuangan atau pencapaian kemandirian keuangan
organisasi.
1. Efektifitas Organisasi
Efektivitas adalah derajat kesanggupan sebuah sistem untuk mencapai
tujuan program melalui kebijakan yang telah ditentukan. Dalam praktiknya,
efektivitas berkaitan dengan sejumlah aspek preferensi yang berbeda dari
keterkaitan pelayanan dengan tujuan hasil program. Tujuan-tujuan dari program
itu antara lain: (1) aksesibilitas/keterjangkauan (aspek-aspek semacam
kesanggupan, representasi di antara kelompok-kelompok yang menjadi prioritas,
dan keterjangkauan fisik), (2) kesesuaian (menyocokkan pelayanan dengan
kebutuhan masyarakat/client), dan (3) kualitas (proses pertemuan standar yang
dibutuhkan atau timbulnya kegagalan pelayanan).
Analisis efektivitas organisasi Gapoktan sebagai lembaga alternatif
permodalan masyarakat, dilihat dari Perspektif masyarakat petani khususnya
anggota Gapoktan. Perspektif yang bisa digali yakni Perspektif terhadap
kemudahan mekanisme pengajuan kredit, ketepatan penyaluran kredit, pelayanan,
besaran kredit yang diberikan, lama waktu pencairan kredit dan tingkat bunga
yang ditetapkan, dilihat dari jangkauan nasabah, perkembangan jumlah nasabah,
kredit yng disalurkan, dan tabungan yang berhasil dihimpun. Perspektif tersebut
kemudian diuraikan kedalam beberapa parameter. Parameter-parameter ini
sebagai acuan dalam proses penggalian data penelitian yang berhubungan dengan
atribut efektifitas organisasi, dimana parameter-parameter tersebut dilakukan uji
validasi. Hasil uji validasi untuk indikator kinerja Gapoktan yang dilihat dari
aspek efektivitas organisasi, disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27. Hasil uji validasi aspek efektivitas organisasi
No. Indikator Nilai
r-hitung Validitas
1. Jumlah asset yang dikelola Gapoktan 0,893 Valid
2. Akumulasi Peningkatan asset 0,893 Valid
3. Penyaluran dana PUAP untuk petani anggota 0,893 Valid
4. Penyaluran dana PUAP untuk usahatani padi 0,702 Valid
5. Gapoktan melaksanakan RAT tepat waktu 0,988 Valid
6. Gapoktan melaksanakan pertemuan rutin anggota 0,860 Valid
7. Gapoktan memiliki LKM-A dan berbadan hukum 0,893 Valid
8. Unit usaha produktif yang dikembangkan Gapoktan 0,697 Valid
9. Operasional unit usaha produktif yang dikembangkan 0,860 Valid
10. Pengambil keputusan dalam penyaluran pinjaman 0,546 Valid
11. Waktu pencairan pinjaman anggota 0,860 Valid
12. Nilai pinjaman maksimal yang disalurkan Gapoktan 0,988 Valid
13. Jumlah petani yang melakukan pinjaman ulang 0,893 Valid
14. Frekuensi pinjaman setiap anggota 0,860 Valid
15. Gapoktan melaksanakan pembinaan kepada anggota 0,926 Valid
16. Gapoktan menyalurkan pinjaman tepat waktu 0,893 Valid
17. Kecukupan nilai pinjaman yang disalurkan Gapoktan 0,860 Valid
18. Besaran pinjaman yang dapat disetujui Gapoktan 0,893 Valid
19. Sarana dan prasarana yang dimiliki Gapoktan 0,926 Valid
20. Aksesibilitas lokasi kantor Gapoktan 0,621 Valid
Nilai r-tabel=0,304 (df=58 dan selang kepercayaan 95%)
75
Penggalian data efektivitas organisasi ditinjau melalui perspektif
bagaimana kinerja organisasi dalam hal pencapaian utama (major achievements),
tingkat produktivitas organisasi dalam kaitannya dengan misi dan nilai-nilai
dalam organisasi, dan daya guna produk-produknya (utilization of results),
bagaimana kinerja staf/pengurus dalam hal pelayanan (clients served), dan
kualitas pelayanan/produk, dan bagaimana kinerja pelayanan, misalnya bagaimana
dukungan terhadap komunitas riset, dan transfer teknologi.
Hasil pengujian validasi pada Tabel 27, untuk masing-masing indikator
pada aspek efektifitas organisasi, seluruh r-hitung menunjukkan lebih besar dari r-
tabel (0,304) pada selang kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh
pernyataan dalam kuisioner adalah signifikan dan dapat dinyatakan valid.
2. Efisiensi Organisasi
Efisiensi mendeskripsikan seberapa baik pengorganisasian pemanfaatan
sumberdaya dalam memproduksi pelayanan, yakni sebuah hubungan antara
kombinasi aktual dan optimal dari input yang digunakan untuk memproduksi
sejumlah output yang sudah ditetapkan (given bundle of output).
Penggalian data efisiensi organisasi ditinjau melalui perspektif bagaimana
perbandingan biaya yang telah dikeluarkan dibagi jasa yang dihasilkan,
bagaimana produktivitas anggota, dan bagaimana sistem administrasi organisasi
yang dijalankan. Dari beberapa perspektif tersebut kemudian diuraikan kedalam
beberapa parameter. Parameter-parameter ini sebagai acuan dalam proses
penggalian data penelitian yang berhubungan dengan atribut efisiensi organisasi,
dimana parameter-parameter tersebut dilakukan uji validasi. Hasil uji validasi
untuk indikator kinerja Gapoktan yang dilihat dari aspek efisiensi organisasi,
disajikan pada Tabel 28.
Tabel 28. Hasil uji validasi aspek efisiensi organisasi
No. Indikator Nilai
r-hitung Validitas
1. Gapoktan melakukan pencatatan dan pembukuan 0,977 Valid
2. Mekanisme/presedur pengajuan pinjaman 0,443 Valid
3. Gapoktan melakukan survey kepada calon peminjam 0,751 Valid
4. Gapoktan melakukan pengawasan pemanfaatan dana pinjaman
oleh anggota
0,909 Valid
5. Persyaratan yang diterapkan Gapoktan dalam pinjaman 0,565 Valid
6. Ketersediaan dana yang dimiliki Gapoktan untuk pinjaman
anggota
0,751 Valid
7. Kriteria yang diterapkan Gapoktan dalam penentuan nilai
pinjaman anggota
0,970 Valid
8. Capaian produksi usahatani anggota setelah dapat pinjaman 0,970 Valid
9. Capaian pendapatan usahatani anggota setelah dapat pinjaman 0,970 Valid
10. Pemahaman anggota terhadap tugas dan fungsi masing-masing
pengurus Gapoktan
0,970 Valid
Nilai r-tabel=0,304 (df=58 dan selang kepercayaan 95%)
Hasil pengujian validasi pada Tabel 28, untuk masing-masing indikator
pada aspek efisiensi organisasi, seluruh r-hitung menunjukkan lebih besar dari r-
tabel (0,304) pada selang kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh
pernyataan dalam kuisioner adalah signifikan dan dapat dinyatakan valid.
76
3. Relevansi (kesesuaian) Organisasi
Relevansi adalah tingkat kesesuaian antara sesuatu yang diinginkan atau
yang diharapkan (expectation) dengan kondisi yang ada atau yang dicapai
(existing). Relevansi dapat juga dimaknai kesesuaian keberadaan sesuatu pada
tempatnya atau yang diinginkan. Relevansi dalam organisasi yakni kesesuaian
dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang dilakukan
sepanjang waktu. Penggalian data relevansi organisasi melalui perspektif
bagaimana adaptasi dari misi utamanya ketika terjadi perubahan kondisi,
bagaimana kebutuhan stakeholders dapat dipenuhi, dan bagaimana daya adaptasi
organisasi terhadap perubahan lingkungannya. Dari beberapa perspektif tersebut
kemudian diuraikan kedalam beberapa parameter. Parameter-parameter ini
sebagai acuan dalam proses penggalian data penelitian yang berhubungan dengan
atribut relevansi organisasi. Parameter-parameter tersebut dilakukan uji validasi.
Hasil uji validasi untuk indikator kinerja Gapoktan yang dilihat dari aspek
relevansi organisasi, disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29. Hasil uji validasi aspek relevansi organisasi
No. Indikator Nilai
r-hitung Validitas
1. Gapoktan sebagai media konsultasi dan pembelajaran anggota 0,314 Valid
2. Gapontan melakukan transparansi keuangan 0,790 Valid
3. Gapoktan menerapkan punishment bagi anggota yang kredit
macet
0,846 Valid
4. Gapoktan menerapkan reward bagi anggota yang disiplin dalam
pengembalian pinjaman
0,788 Valid
5. Gapoktan sebagai media untuk pemenuhan kebutuhan modal
usahatani anggota
0,788 Valid
Nilai r-tabel=0,304 (df=58 dan selang kepercayaan 95%)
Hasil pengujian validasi pada tabel 29, untuk masing-masing indikator
pada aspek relevansi organisasi, seluruh r-hitung menunjukkan lebih besar dari r-
tabel (0,304) pada selang kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh
pernyataan dalam kuisioner adalah signifikan dan dapat dinyatakan valid.
4. Pencapaian Kemandirian Keuangan Organisasi
Kemandirian keuangan organisasi menunjukkan kemampuan organisasi
dalam membiayai sendiri kegiatan keorganisasian, pembangunan, dan pelayanan
kepada anggotanya. Kemandirian keuangan organisasi ditunjukkan oleh besar
kecilnya pendapatan organisasi dibandingkan dengan pendapatan organisasi yang
berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari
pinjaman. Kemandirian keuangan organisasi juga menggambarkan tingkat
partisipasi petani anggota dalam pengembangan organisasi.
Penggalian data pencapaian kemandirian keuangan organisasi dapat
melalui perspektif bagaimana diversifikasi sumber pendanaan organisasi digali,
bagaimana kemampuan organisasi untuk menghasilkan modal atau pendanaan
sendiri, dan bagaimana kemampuan untuk selalu memperoleh keuntungan
sepanjang waktu. Dari beberapa perspektif tersebut kemudian diuraikan kedalam
beberapa parameter. Parameter-parameter ini sebagai acuan dalam proses
77
penggalian data penelitian yang berhubungan dengan atribut pencapaian
kemandirian keuangan organisasi. Parameter-parameter tersebut dilakukan uji
validasi. Hasil uji validasi untuk indikator kinerja Gapoktan yang dilihat dari
aspek pencapaian kemandirian keuangan organisasi, disajikan pada Tabel 30.
Hasil pengujian validasi pada Tabel 30, untuk masing-masing indikator
pada aspek pecapaian kemandirian keuangan organisasi, seluruh r-hitung
menunjukkan lebih besar dari r-tabel (0,304) pada selang kepercayaan 95%. Hal
ini menunjukkan bahwa seluruh pernyataan dalam kuisioner adalah signifikan dan
dapat dinyatakan valid.
Tabel 30. Hasil uji validasi aspek pencapaian kemandirian keuangan organisasi
No. Indikator Nilai
r-hitung Validitas
1. Gapoktan membuat program tabungan bagi anggota 0,993 Valid
2. Gapoktan membuat program iuran pokok dan wajib bagi anggota 0,993 Valid
3. Gapoktan memiliki modal awal (modal keswadayaan) 0,368 Valid
4. Gapoktan memiliki sumber modal dari pihak luar 0,993 Valid
5. Gapoktan memiliki anggota yang berinvestasi ke organisasi 0,368 Valid
6. Gapoktan memiliki kerjasama dengan pihak lain dalam
memperbesal modal (finansial) organisasi
0,993 Valid
7. Gapoktan memfasilitasi pemasaran hasil anggota 0,993 Valid
8. Gapoktan memiliki kerjasama dengan pihak lain dalam
melengkapi fasilitas (saprodi) organisasi
0,993 Valid
9. Tingkat bunga pinjaman yang diterapkan Gapoktan 0,368 Valid
10. Capaian pelayanan usaha simpan pinjam Gapoktan 0,993 Valid
11. Gapoktan menginvestasikan sebagian modal atau keuntungan di
Bank
0,850 Valid
12. Gapoktan memiliki perkembangan jumlah anggota 0,834 Valid
Nilai r-tabel=0,304 (df=58 dan selang kepercayaan 95%)
Lebih lanjut, dilakukan pengujian reliabilitas. Pengujian reliabilitas
tujuannya mengetahui kestabilan suatu alat ukur. Pada penelitian ini, uji
reliabilitas dilakukan dengan menggunakan pendekatan internal consistency
reliability yang menggunakan koefisien Alpha Cronbach. Hal ini untuk
mengidentifikasi seberapa baik item-item dalam kuisioner berhubungan antara
satu dengan yang lainnya. Wijaya (2011), mengemukakan bahwa sebuah faktor
dinyatakan reliabel/andal jika koefisien Alpha lebih besar dari 0,6. Sebagaimana
uji validitas, uji reliabilitas juga dilakukan dengan bantuan program SPSS versi
17. Adapun hasil pengujian reliabilitas selengkapnya disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31. Hasil uji reliabilitas
No. Indikator Alpha Reliabilitas
1. Efektifitas Organisasi 0,974 Reliabel
2. Efisiensi Organisasi 0,947 Reliabel
3. Relevansi Organisasi 0,703 Reliabel
4. Pencapaian Kemandirian Keuangan Organisasi 0,949 Reliabel
Hasil uji reliabilitas yang disajian pada tabel 21, seluruh indikator dalam
pernyataan kuisioner memiliki nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,6, artinya
semua data yang dikumpulkan melalui instrumen penelitian adalah reliabel/andal.
78
Hal ini dapat dikatakan juga bahwa terjadinya kesalahan ukur dalam kuisioner
yang diisi oleh responden adalah cenderung rendah.
Perbandingan Kinerja Gapoktan PUAP dan Non PUAP
Penilaian kinerja Gapoktan ditinjau dari empat atribut kinerja organisasi,
sebagaimana yang sudah dikemukakan sebelumnya. Hasil penilaian memfokuskan
pada explorasi bagaimana perspektif responden tentang kinerja Gapoktan, dimana
responden merupakan petani anggota dari Gapoktan tersebut. Hasil penilaian
terhadap kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP disajikan pada Tabel 32.
Tabel 32. Skoring terhadap kinerja Gapoktan sampel
No. Atribut Kinerja
Gapoktan
Skor
Gapoktan PUAP Gapoktan Non PUAP
A B C X Y Z
1. Efektifitas Organisasi 95 98 120 76 66 74
2. Efisiensi Organisasi 46 42 57 28 28 34
3. Relevansi Organisasi 22 20 26 16 17 16
4. Pencapaian Kemandirian
Keuangan Organisasi
39 48 81 46 46 46
Jumlah Skor 202 208 284 166 157 170
Kelas Gapoktan:
Baik (Skor: 234 – 300)
Cukup (Skor: 168 – 233)
Kurang (Skor: 100 – 167)
Cukup
(B)
Cukup
(B)
Baik
(A)
Kurang
(C)
Kurang
(C)
Baik
(B)
Pada Tabel 32, perbandingan skor kinerja Gapoktan PUAP dan non PUAP
nampak jelas, bahwa skor kinerja Gapoktan PUAP lebih tinggi. Dengan kata lain
kinerja Gapoktan PUAP lebih unggul. Berdasarkan hasil observasi, hal ini
disebabkan karena tingginya modal sosial yang melekat dalam kehidupan para
petani anggota. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Lesmana et al. (2009).
Menurutnya, modal sosial yang dimiliki petani anggota, berpengaruh terhadap
pengembangan kinerja kelembagaan tani. Sehingga potensi dampak negatif
selama menjalankan aktivitas keorganisasian secara relatif dapat dikurangi.
Maksud dari modal sosial khususnya dalam konteks masyarakat petani dalam
penelitian ini adalah hubungan kerjasama yang berupa kerelaan untuk saling
berbagi dan saling menjaga keberlangsungan fasilitas umum, seperti kas Gapoktan
dan asset atau sarana serta prasarana pertanian yang dimiliki Gapoktan.
Selain itu, terungkap beberapa hal yang menyebabkan Gapoktan PUAP
memiliki kinerja sangat baik, diantaranya: (1) pengurus Gapoktan maupun
petugas pendamping (PMT dan Penyuluh) sudah mendapatkan pembelajaran dari
pelaksanaan PUAP tahun sebelumnya, (2) Gapoktan sudah terbentuk terlebih
dahulu sebelum adanya program, dan memiliki modal keswadayaan yang kuat, (3)
adanya hubungan yang solid dan sinergi antara petani anggota dengan pengurus,
(4) transparansi dalam pengelolaan modal (pemasukan dan pengeluaran) termasuk
keuntungan yang diperoleh organisasi, (5) kesadaran yang tinggi dari aktor-aktor
yang bermain didalam Gapoktan untuk mewujudkan organisasi petani di
perdesaan yang mandiri, berkembang, dan mampu mensejahterakan para
pelakunya, (6) sikap pengurus yang tegas dalam mengawal dan mendampingi para
petani dalam hal pemanfaatan pinjaman, (7) membangun jaringan (networking)
79
dalam rangka menjalin kerjasama dengan pihak luar, baik untuk memperkuat
permodalan, sarana produksi, informasi teknologi, maupun pemasaran hasil
produksi, serta (8) diterapkannya reward dan punishment yang jelas bagi
pengurus dan anggota dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan modal (bantuan
dana BLM PUAP). Kedelapan hal tersebut, dapat dijadikan sebagai pembelajaran
serta referensi bagi Gapoktan lainnya, dalam upaya peningkatan kinerja
organisasi.
Menurut Suprapto (2012) bahwa keberhasilan Gapoktan pelaksana PUAP
disebabkan beberapa faktor antara lain: (1) Gapoktan memiliki struktur organisasi,
AD/ART dan rencana kerjanya mengacu pada Pedoman Umum, Juklak dan
Juknis PUAP serta berbadan hukum; (2) Anggota penerima dana BLM PUAP
dipilih secara selektif oleh pengurus Gapoktan; (3) Adanya kerjasama Gapoktan
dengan pemangku kepentingan dalam upaya peningkatan produktivitas dan
pendapatan petani dan (4) Tim Pembina Provinsi, Tim Teknis Kabupaten/Kota,
Penyelia Mitra Tani dan Penyuluh Pendamping mempunyai kepedulian dan
tanggung jawab terhadap Program PUAP. Sementara penyebab ketidakberhasilan
Gapoktan ialah: (1) Kurangnya kemampuan pengurus Gapoktan dalam
memfasilitasi dan mengelola modal usaha anggota; (2) Adanya persepsi dari
anggota bahwa pinjaman dana PUAP tidak perlu dikembalikan, karena merupakan
Bantuan Langsung Tunai (BLT); (3) Dana pinjaman tidak digunakan sesuai
dengan Rencana Usaha Anggota, melainkan untuk kebutuhan lain; (4) Seleksi dan
verifikasi Rencana Usaha Bersama oleh Tim Teknis kurang memperhatikan
kelayakan usahatani/usaha anggota dan (5) Kurangnya pembinaan dan
pendampingan oleh Penyelia Mitra Tani dan Penyuluh Pendamping kepada
Gapoktan.
Lebih lanjut, keunggulan kinerja Gapoktan PUAP yakni tidak terlepas dari
unit usaha produktif yang dikembangkan oleh Gapoktan PUAP. Secara deskriptif
dapat dijelaskan unit usaha produktif tersebut, yang menentukan kinerja Gapoktan
PUAP di lokasi penelitian, sebagai berikut:
a) Unit Usaha Produksi atau Budidaya
Unit usaha produksi merupakan lembaga yang langsung mengorganisir para
petani anggota dalam mengembangkan usahataninya. Dengan adanya
program PUAP, kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan sudah
berjalan aktif sesuai dengan fungsinya, pertemuan kelompok sudah terjadwal
dengan baik, administrasi organisasi sudah tertata dengan baik dan program
kerja kelompok sudah ada.
b) Unit Usaha Sarana Produksi
Unit usaha sarana produksi seperti kios saprodi sangat diperlukan dalam
berusahatani padi sawah. Dengan adanya kios saprodi yang dikelola oleh
Gapoktan, petani merasa terbantu. Jika ada petani anggota yang memerlukan
sarana produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida, petani dapat membeli
saprodi tersebut dengan harga yang lebih murah, serta tidak perlu
mengeluarkan biaya transportasi, yang kesemuanya itu dapat membebani
biaya produksi. Disini petani sangat diuntungkan, sehingga dapat
meminimalisir biaya transaksi petani dalam menjalankan aktivitas
usahataninya.
80
c) Unit Usaha Jasa Alsintan
Unit usaha jasa alsintan merupakan unit usaha yang diperlukan untuk
pelayanan jasa penyewaan alat dan mesin pertanian. Setelah adanya PUAP,
unit usaha ini terbentuk dan dikelola oleh Gapoktan, dimana uang sewanya
akan menambah modal Gapoktan. Sebelum adanya unit usaha ini, petani
anggota dalam penggunaan alsintan harus menyewa dari petani lain atau
tengkulak yang juga memiliki alsintan, dan tentunya harganya relatuf lebih
mahal.
d) Unit Usaha Pemasaran Hasil Pertanian
Sebelum adanya unit usaha ini, umumnya petani memasarkan hasil
pertaniannya masih menjual sendiri ke tengkulak atau pedagang pengumpul
yang masuk ke desa untuk membeli hasil panennya. Setelah terbentuknya unit
usaha ini, petani mengumpulkan hasil panennya melalui Gapoktan, dan
Gapoktan membelinya dengan harga yang lebih tinggi. Selanjutnya Gapoktan
memasarkan sendiri ke pasar, baik yang ada di dalam maupun luar Kabupaten
Subang. Melalui kegiatan ini Gapoktan menerima keuntungan yang lebih
tinggi, karena langsung melakukan transaksi dengan penjual di pasar (tanpa
pelantara).
e) Unit Usaha Permodalan/Usaha Simpan Pinjam (USP)
Unit usaha ini sangat diperlukan untuk menunjang jalannya aktivitas
usahatani padi sawah. Dengan adanya PUAP, Gapoktan dituntut untuk
menumbuhkembangkan LKM-A. Lembaga ini yang menyediakan sumber
permodalan petani anggota. Modal yang dipinjamkan kepada petani
berbentuk uang. Pelunasan peminjaman dibayar setelah produksi petani
terjual. Sebelum petani menerima uang dari penjualan padinya, terlebih
dahulu dipotong dengan jumlah hutang (pokok + bunga), agar uang yang
telah dipinjamkan kepada petani lunas. Melalui USP, Gapoktan mendapatkan
keuntungan dari bunga pinjaman, yang pada ahkirnya dapat menambah modal
Gapoktan.
f) Unit Usaha Penangkaran Bibit Padi
Unit usaha ini awalnya dibentuk untuk mencukupi bibit unggul bagi petani
anggota. Namun seiring berjalannya waktu, benih yang dihasilkan oleh
Gapoktan mampu menjadi benih unggul yang bersertifikat. Sekaligus
membuat ketertarikan dari pihak luar untuk membeli bahkan menjalin kerja
sama. Salah satu perusahaan BUMN yang sudah melakukan kerjasama
perbenihan dengan Gapoktan yakni PT. Syang Hiang Sri (SHS). Melalui unit
usaha ini Gapoktan mendapatkan keuntungan ganda, diantaranya keuntungan
dari sisi pemasaran hasil produksi benih sudah jelas, dan keuntungan dari sisi
keuangan (finansial), sehinngga penguatan modal Gapoktan sangat terjaga.
g) Unit Usaha Pascapanen/Pengolahan Hasil
Penumbuhan unit usaha ini sangat penting karena akan menekan kehilangan
hasil panen, meningkatkan nilai tambah produk dan memperlancar hasil
pertanian yang diproduksi petani sesuai dengan kebutuhan pasar. Setelah
adanya unit usaha ini Gapoktan menjual produk akhirnya sudah dalam bentuk
beras dan sudah dibubuhi label Gapoktan. Untuk mendukung unit usaha ini,
Gapoktan sudah melengkapinya dengan mesin penggilingan padi, lantai
jemur dengan mesin pemanas uap, serta gudang penyimpanan. Produk ahkir
yang disediakan Gapoktan cukup bervariatif, mulai dari kemasan beras
81
ukuran 5 kg, 25 kg, dan 50 kg. Melalui kegiatan ini Gapoktan mampu
mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi, sehingga menambah modal
Gapoktan.
Perbandingan Usahatani Padi antara Petani PUAP dan Non PUAP
Perbandingan usahatani digunakan untuk melihat seberapa besar
perbandingan tingkat pemakaian input dan biaya produksi serta penerimaan, dan
pendapatan yang diperoleh masing-masing petani, baik petani PUAP maupun non
PUAP. Hasil perbandingan tersebut digunakan untuk melihat seberapa besar
pengaruh adanya tambahan dana PUAP terhadap pendapatan petani padi.
Penggunaan Input Produksi untuk Usahatani Padi
Sarana produksi merupakan input yang dibutuhkan dalam menjalankan
suatu usahatani. Jenis sarana produksi yang digunakan antara petani PUAP
dengan Non PUAP pada dasarnya adalah sama, tetapi berbeda dalam hal kuantitas
dan kualitas, seperti halnya benih. Petani PUAP sebagian besar menggunakan
benih berlabel atau benih unggul . Sarana produksi yang digunakan umumnya
terdiri dari lahan, benih, pupuk (urea, TSP/SP36, NPK, Organik, ZPT, Limbah
Jamur), obat-obatan (Furadan, Altarek, Elsan, Agroxon, Antrakol, Ponstan,
Pestisida Nabati, Perangsang Daun), dan Tenaga Kerja. Komparasi penggunaan
input produksi antara petani PUAP dan non PUAP disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33. Komparasi penggunaan input produksi berdasarkan kuantitas
Komponen Input
Produksi Satuan
Jumlah Penggunaan Input Produksi
Petani PUAP Petani non
PUAP
Perbedaan Petani
PUAP dan non PUAP
Lahan Ha 26,82 23,57 3,25
Benih Kg 16,83 16,33 0,50
Pupuk Kg 1.063,26 775,09 288,17
Pestisida Liter 15,00 9,00 6,00
Tenaga Kerja Hok 66,07 55,24 10,83
Berikut dikemukakan keragaan penggunaan input produksi yang terjadi pada
setiap komponen input produksi.
Penggunaan Lahan
Luas lahan yang digarap oleh kedua grup responden rata-rata kurang dari 1
Ha. Petani PUAP rata-rata penguasaan luas lahan 0,89 Ha. Sedangkan petani non
PUAP rata-rata pengguasaan luas lahan sekitar 0,79 Ha. Secara rata-rata
penguasaan luas lahan untuk usahatani padi antara petani PUAP dengan petani
non PUAP hampir sama, hanya selisih 0,11 Ha. Penguasaan sumberdaya lahan
pertanian bagi petani PUAP maupun non PUAP relatif cukup luas. Hal ini
menunjukkan adanya indikasi kuatnya akses lahan bagi petani. Luasnya lahan
pertanian yang digarap oleh responden mengakibatkan keluaran output hasil
pertaniannya juga akan lebih banyak dan layak untuk diusahakan.
82
Penggunaan Benih
Varietas benih yang digunakan oleh responden petani PUAP dan non
PUAP adalah varietas ciherang dan mekongga. Idealnya jumlah benih yang
digunakan adalah sekitar 20 -25 kg per hektar (Purwono dan Purnamawati, 2007).
Namun rata-rata penggunaan benih yang digunakan oleh responden lebih sedikit,
hal ini dikarenakan responden menerapkan pola tanam model SRI, sehingga
dipandang lebih efisien dalam penggunaan benih per hektar.
Petani PUAP, rata-rata menggunakan benih per Ha lebih banyak dan
berlabel, dibandingkan dengan petani non PUAP. Berdasarkan hasil wawancara
dengan responden, murahnya harga benih yang dijual oleh Gapoktan membuat
petani menggunakan lebih banyak benih untuk ditebar. Harga yang lebih murah
ini menyebabkan petani PUAP cenderung merasa aman untuk menggunakan
benih lebih banyak, dengan harapan akan menghasilkan bibit yang lebih baik.
Harga yang ditawarkan Gapoktan untuk benih berlabel yakni Rp. 10.000 per kg.
Harga ini lebih murah dibandingkan dengan harga di kios. Kios menawarkan
benih berlabel dengan harga Rp. 12.000 per kg, sedangkan benih yang tidak
berlabel harganya berkisar antara Rp. 5.000 hingga Rp. 6.000 per kg.
Petani non PUAP, rata-rata menggunakan benih per Ha lebih sedikit, dan
benih yang tidak berlabel. Berdasarkan hasil wawancara, petani non PUAP
terpaksa menggunakan benih yang tidak berlabel dan petani non PUAP tidak
memiliki kecukupan modal dalam membeli benih berlabel. Petani non PUAP
memperoleh benih tersebut dari kios, dimana harganya lebih mahal, sehingga
petani non PUAP menggunakan benih tidak berlabel untuk berusahatani padi,
karena harganya lebih murah.
Penggunaan Pupuk
Takaran pupuk yang digunakan untuk memupuk satu jenis tanaman akan
berbeda untuk masing-masing jenis tanah, hal ini dapat dipahami karena setiap
jenis tanah memiliki karakteristik dan susunan kimia tanah yang berbeda. Oleh
karena itu anjuran (rekomendasi) pemupukan harus dibuat lebih rasional dan
berimbang berdasarkan kemampuan tanah menyediakan hara dan kebutuhan hara
tanaman itu sendiri, sehingga efisiensi penggunaan pupuk dan produksi meningkat
tanpa merusak lingkungan akibat pemupukan yang berlebihan. Dari uraian di atas
terlihat bahwa pemakaian pupuk secara berimbang sampai saat ini masih
merupakan pilihan yang paling baik bagi Petani dalam kegiatan usahanya untuk
meningkatkan pendapatan. Percepatan peningkatan produksi pangan harus
dilaksanakan secara konsepsional melalui program sosialisasi yang terpadu.
Panduan kalender tanam terpadu (KATAM), yang dikeluarkan oleh
Kementerian Pertanian, rekomendasi pemakaian pupuk untuk komoditas padi
sawah di Kecamatan Ciasem dan Patokbeusi, Kabupaten/Kota Subang, terdiri atas
pupuk tunggal dan pupuk majemuk. Pupuk Tunggal diantaranya pupuk urea (275
– 300 kg/ha), TSP/SP36 (25 – 75 kg/ha), KCL (30 – 50 kg/ha). Sedangkan pupuk
majemuk diantaranya NPK (150 – 225 kg/ha) dan urea (225 – 250 kg/ha).
Rekomendasi pemakaian pupuk berdasarkan KATAM di Kecamatan Ciasem dan
Patokbeusi disajikan pada Tabel 34.
83
Keragaan pemupukan yang diterapkan oleh responden yaitu dengan
menambahkan pupuk organik, sehingga dosis yang seharusnya dipakai
berdasarkan KATAM adalah Urea (275 kg/ha), TSP/SP-36 (25 kg/ha), dan pupuk
organik (2 ton/ha). Sedangkan jika memakai pupuk majemuk, komposisi NPK
(150 kg/ha) ditambah Urea (255 kg/ha).
Tabel 34. Rekomendasi pupuk padi sawah di Kecamatan Ciasem dan Patokbesi
Sumber Bahan Organik
Rekomendasi Pupuk (Kg/ha)
Pupuk Tunggal Pupuk Majemuk
Urea TSP/SP-36 KCL NPK Urea
Tanpa bahan organik 300 75 50 225 225
Kompos Jerami 2 ton/ha 280 75 0 225 255
Pupuk organik 2 ton/ha* 275 25 30 150 250
Sumber: Kementerian Pertanian (2014)
Namun kondisi dilokasi penelitian, penggunaan pupuk oleh petani
responden petani PUAP maupun non PUAP sangat bervariasi, artinya ada yang
melebihi dan kurang dari dosis yang sudah dianjurkan. Penggunaan dosis yang
melebihi antara lain penggunaan pupuk TSP/SP-36. Sedangkan untuk yang dosis
pupuknya masih kurang antara lain penggunaan pupuk Urea, NPK dan organik.
Penggunaan pupuk oleh responden di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 35.
Tabel 35. Penggunaan pupuk oleh responden pada usahatani padi sawah
Jenis Pupuk Jumlah Pemakaian Pupuk (kg/ha)
Dosis Pemupukan Petani PUAP Petani non PUAP
Urea 200,00 167,00 Kurang
TSP/SP-36 168,33 107,41 Lebih
NPK 15-15-15 137,93 108,62 Kurang
Organik 556,00 350,00 Kurang
Semua responden, baik petani PUAP maupun non PUAP menggunakan
pupuk Urea sebagai pupuk dasar maupun pupuk susulan satu dan dua. Pemupukan
biasanya dilakukan antara 2 hingga 3 kali selama musim tanam. Responden di
lokasi penelitian, pupuk yang digunakan antara lain Urea, TSP/SP36, NPK,
Organik. serta pupuk tambahan lainnya seperti ZPT dan limbah jamur.
Pada petani PUAP, walaupun penggunaan pupuk Urea, NPK dan organik
dosisnya belum mencukupi, namun secara rata-rata hampir mendekati dari dosis
yang dianjurkan. Sebut saja pupuk urea kurang 75 kg/ha, pupuk NPK/SP-36
kurang 12,07, dan organik kurang 1.444 kg/ha. Lain halnya dengan petani non
PUAP, untuk ketiga pupuk tersebut pemakaiannya betul-betul jauh dari dosis
yang dianjurkan. Dengan kata lain lag-nya cukup besar, misalnya dosis Urea
kurang 108 kg/ha, pupuk NPK kurang 41,38, dan pupuk organik kurangnya 1.650
kg/ha. Jika dibandingkan antara petani PUAP dan non PUAP dalam hal
pemakaian pupuk, terlihat jelas petani PUAP menggunakan pupuk dengan dosis
yang lebih banyak. Hal ini mengindikasi, adanya peran tambahan modal PUAP
terhadap usahatani padi pada petani PUAP, dalam hal pemakaian pupuk per
hektarnya. Sedangkan jika dilihat dari sisi dosis pemupukan yang kurang, hal ini
disebabkan karena tambahan modal PUAP untuk usahatani padi memang masih
kecil, artinya masih jauh untuk menutupi kebutuhan biaya usahatani padi per
84
hektar. Sedangkan untuk pemakaian pupuk TSP/SP-36, baik petani PUAP
maupun non PUAP, keduanya mengaplikasikan pupuk tersebut melebihi dosis
yang dianjurkan. Hal ini disebabkan, adanya asumsi dari petani responden bahwa
dengan tercukupinya pupuk TSP/SP-36 bahkan lebih, akan menyebabkan jumlah
anakan dan bulir padi lebih banyak, serta hasil kualitas gabahnya menjadi lebih
bagus. Mengingat fungsi dasar dari pupuk TSP/SP-36 adalah untuk pertumbuhan
dan produksi tanaman.
Penggunaan Obat-obatan
Pada Gapoktan sampel, semua petani anggota sebenarnya sudah
dianjurkan untuk tidak menggunakan obat-obatan atau pestisida, karena
penggunaan yang berlebihan dapat merusak ekosistem alam. Utama petani PUAP,
petani PUAP sudah mendapatkan pembelajaran dari program SL-PTT (Sekolah
Lapang Pengelolaan Tananan Terpadu) dan SL-PHT (Sekolah Lapang
Pengendalian Hama Terpadu). Melalui kedua program tersebut, sebenarnya petani
sudah didorong untuk berusahatani kearah pertanian organik, yakni pertanian
yang lebih ramah lingkungan atau Good Agriculture Practise (GAP). Namun
kembali lagi, jika kita memperhatikan karakteristik dasar SDM petani, cenderung
menggunakan cara-cara yang sebelumnya petani pakai dan diyakini dapat
mengatasi semua persoalan dalam kegiatan usahatani. Yang terpenting bagi
petani, bagaimana caranya bisa menghasilkan panen yang bagus. Maka tidak
heran, ketika ada serangan OPT (organisme pengganggu tanaman), petani
langsung mengambil tindakan yang petani anggap cukup efektif dan efisien, yakni
dengan menyemprot. Intensitas penyemprotan pun disesuaikan dengan banyak
tidaknya serangan OPT, jika banyak maka semakin sering pula petani akan
melakukan penyemprotan. Terutama pada musim tanam 2013/2014, dimana
terjadinya perubahan yang sangat ekstrim terhadap iklim, sehingga menuntut
petani untuk melakukan adaptasi.
Hasil wawancara dengan responden, bagi petani PUAP dalam menghadapi
banyaknya serangan OPT pada musim tanam 2013/2014. Petani PUAP sering
melakukan penyemprotan, hampir 8 hingga 10 kali penyemprotan. Berbeda
dengan petani non PUAP, yang melakukan penyemprotan 5 hingga 6 kali
penyemprotan. Jika dilihat dari dosis yang digunakan untuk penyemprotan, pada
petani PUAP maupun non PUAP untuk satu kali semprot pada luasan satu hektar
adalah sama saja, karena pada dasarnya petani mematuhi aturan pakai yang tertera
pada botol atau kemasan pestisida tersebut. Namun yang membedakan adalah
frekuensi penyemprotan untuk satu kali musim tanam.
Banyaknya frekuensi penyemprotan yang dilakukan oleh petani PUAP
disebabkan oleh adanya tambahan modal. Petani PUAP dengan mudah meminjam
ke Gapoktan. Lain halnya dengan petani non PUAP, melakukan penyemprotan
dengan frekuensi lebih sedikit bukan karena ingin hemat, tapi lebih dibatasi oleh
faktor modal usaha, sehingga uang untuk membeli obat-obatan sangat kurang.
Bagi petani non PUAP, dalam melakukan adaptasi terhadap serangan OPT, petani
non PUAP menunggu banyak dulu serangan, barulah dilakukan penyemprotan.
Namun sebenarnya petani non PUAP ingin melakukan hal yang sama seperti
petani PUAP, karena jika menunggu banyak serangan, dampaknya banyak
tanaman yang rusak, dan akhirnya hasil panen pun menjadi berkurang.
85
Penggunaan Tenaga Kerja
Penggunaan tenaga kerja menjadi suatu hal yang penting, karena tenaga
kerja inilah yang akan melakukan kegiatan usahatani, mulai dari persemaian,
pengolahan lahan, penanaman, penyiangan, pemupukan, pemberantasan hama,
serta panen dan pascapanen. Penggunaan tenaga kerja dalam analisis usahatani
menggunakan satuan tenaga kerja Hari Orang Kerja (HOK). Sehingga apabila
tenaga kerja yang digunakan adalah perempuan, maka harus dikonversikan
terlebih dahulu. Upah yang diterima tenaga kerja wanita adalah Rp. 20.000 dan
upah yang diterima tenaga kerja pria adalah Rp. 40.000, sehingga 1 HKP = 0,7
HKW (Hari Kerja Wanita), dan 1 HKP = 1 HOK. Penggunaan tenaga kerja pada
responden petani PUAP dan non PUAP disajikan pada Tabel 36.
Tabel 36. Penggunaan rata-rata tenaga kerja pada responden petani PUAP dan
non PUAP per hektar
Kegiatan Petani PUAP Petani non PUAP
Jumlah Nilai Jumlah Nilai
Pengolahan Tanah
1. Traktor 1 unit 626.667 1 unit 551.667
2. Meratakan pematang 5,27 hok 210.667 borongan 253.833
Penanaman Borongan 700.000 borongan 149.333
Penyiangan 20,60 hok 824.000 17,37 hok 694.667
Pemupukan 5,20 hok 208.000 4,10 hok 164.000
Pengendalian OPT 21 hok 840.000 13,77 hok 550.667
Panen (bawon) Borongan 4.262.222 Borongan 3.460.000
Perontokan (power trasher) 1 unit 808.333 1 unit 716.667
Jumlah - 8.479.889 - 6.640.833
Keseluruhan penggunaan tenaga kerja antara petani PUAP dan non PUAP
memiliki perbedaan dalam hal jumlah penggunaan HOK. Petani PUAP
menggunakan tenaga kerja lebih banyak dari petani non PUAP, terlihat dari biaya
yang dikeluarkan oleh petani PUAP lebih banyak dibanding petani non PUAP.
Hal ini disebabkan: (1) penguasaan luas lahan yang digarap oleh petani PUAP
lebih luas, dan (2) ketersediaan modal untuk membayar tenaga kerja. Penguasaan
luas lahan dan besarnya modal yang dimiliki petani, akan berpengaruh terhadap
permintaan tenaga kerja. Pada umumnya pertanian skala kecil akan menggunakan
tenaga kerja yang berasal dari anggota rumah tangga secara optimal. Namun,
dalam skala yang lebih besar, pasar tenaga kerja juga mulai dikenal, meskipun
harga tenaga kerja di sini masih bersifat informal. Sifat informal di sini berkaitan
dengan kondisi bahwa pola kontrak kerja tidak mengikuti aturan formal yang
berlaku, namun disesuaikan dengan situasi dan kondisi dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Struktur Biaya Produksi dalam Usahatani Padi
Input produksi yang digunakan dalam proses usahatani padi merupakan
komponen biaya tunai. Biaya tunai adalah biaya yang benar-benar harus
dikeluarkan oleh petani selama satu musim tanam. Seperti yang sudah diuraikan
sebelumnya, komponen-komponen tersebut terdiri atas biaya pembelian benih,
pupuk, obat-obatan, upah tenaga kerja, serta biaya lainnya seperti pajak bumi dan
86
bangunan (PBB), iuran desa, iuran air/pompa/ulu-ulu, dan hutang (pokok+bunga)
kepada Gapoktan. Rekap keragaan struktur pembiayaan usahatani padi antara
petani PUAP dan non PUAP disajikan pada Tabel 37. Secara keseluruhan analisis
pendapatan usahatani padi pada petani PUAP dan non PUAP dapat dilihat pada
Lampiran 3 dan 4 .
Tabel 37. Struktur biaya rata-rata dan pendapatan usahatani padi petani PUAP
dan non PUAP per hektar, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Uraian
Petani PUAP Petani non PUAP
Fisik
(kg/liter/HOK)
Nilai
(Rp)
Fisik
(kg/liter/HOK)
Nilai
(Rp)
A. Biaya
1. Benih 16,83 168.333 16,33 127.913
2. Pupuk 1.063,26** 1.613.203 775,09 1.343.032
3. Pestisida 15,00** 1.669.800 9,00 814.767
4. Tenaga Kerja 66,07** 8.479.889 55,24 6.540.833
5. Biaya lainnya:
5.1. PBB - 50.000 - 50.000
5.2. Iuran Desa - 75.000 - 75.000
5.3. Iuran air/ulu-ulu - 100.000 - 100.000
Total Biaya (TC) 12.156.225 9.051.545
B. Penerimaan
Produksi (kg/ha) 6.657,00 4.200 5.190,00 4.000
Total Penerimaan (TR) 27.959.400 20.760.000
C. Pendapatan kotor (TR-TC) 15.803.175 11.708.455
D. Hutang (risk premium) 1.590.000 1.898.667
E. Pendapatan Bersih (π) 14.213.175 9.809.788
R/C 2,30 2,29
B/C 1,17 1,08
MBCR 1,42
** Signifikan pada taraf kepercayaan 95%
Pada Tabel 37, petani PUAP dan non PUAP terlihat adanya perbedaan
untuk masing-masing komponen pembiayaan input produksi, Hal ini disebabkan
petani PUAP memiliki kapasitas modal usahatani lebih tinggi, sehingga
mendorong petani PUAP untuk melakukan proses adaptasi pemanfaatan
teknologi, seperti menanam bibit unggul, pemupukan dosis seimbang, obat-
obatan, menggunakan mesin traktor untuk pengolahan tanah, pompa air, dan
mesin panen (power trasher). Nam (2011) menyebutkan proses adaptasi yang
dilakukan petani PUAP sebagai mekanisme self insurance, hal ini sebagai upaya
untuk meningkatkan peluang rata-rata hasil pertanian semakin baik. Lain halnya
dengan petani non PUAP, pembiayaan untuk usahatani padi sangat terbatas sesuai
dengan kemampuannya.
Penerimaan usahatani padi berasal dari jumlah produksi padi yang
dihasilkan, dikali dengan rata-rata harga yang berlaku atau diterima oleh petani.
Sehingga besar kecilnya penerimaan petani, dipengaruhi oleh tingkat produksi
yang dihasilkan dan harga jual. Untuk produksi padi, petani PUAP menghasilkan
produksi yang lebih tinggi dibandingkan petani non PUAP. Seperti yang sudah
diuraikan sebelumnya, penyebab produksi padi petani PUAP lebih tinggi yakni
petani PUAP memiliki kapasitas modal usahatani lebih tinggi. Hal ini mendorong
petani PUAP untuk melakukan proses adaptasi pemanfaatan teknologi, seperti
menanam bibit unggul, pemupukan dosis seimbang, obat-obatan, menggunakan
mesin traktor untuk pengolahan tanah, pompa air, dan mesin panen (power
87
trasher), dan proses adaptasi yang dilakukan petani PUAP sebagai mekanisme self
insurance.
Selanjutnya jika dikaitkan dengan karakteristik responden, misalnya usia
responden, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, penguasaan lahan, dan status
kepemilikan lahan. Secara bersama-sama karakteristik tersebut dapat
mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani. Namun pengaruhnya tidak secara
langsung, melainkan melalui proses aktifitas usahatani, yang diawali dengan
adanya tambahan modal usaha dari program PUAP, kemudian dilanjutkan adanya
proses adaptasi pemanfaatan teknologi.
Responden petani PUAP didominasi oleh usia produktif. Pada fase ini
umumnya petani PUAP sangat responsif dan terbuka terhadap berbagai informasi
dari luar yang sifatnya untuk perbaikan dalam usahatani. Lain halnya dengan
petani non PUAP. Begitu juga dengan tingkat pendidikan, asumsinya semakin
tinggi tingkat pendidikan petani, menyebabkan tingkat pemahaman dan tingkat
kesadaran terhadap informasi baru semakin tinggi, sehingga proses adaptasi
pemanfaatan teknologi semakin mudah untuk diaplikasikan. Selanjutnya
pengalaman bertani, asumsinya pengalaman bertani yang telah didapatkan
bertahun-tahun, sangat menentukan dalam menjalankan aktivitas usahatani. Hal
ini dapat mempengaruhi tingkat adaptasi terhadap berbagai perubahan lingkungan
dan perubahan iklim untuk mempertahankan keberlangsungan aktivitas pertanian
petani (Seo dan Mendolsohn 2008). Karakteristik penguasaan dan status
kepemilikan lahan, asumsinya luasnya lahan pertanian yang digarap oleh
responden mengakibatkan keluaran output hasil pertaniannya juga akan lebih
banyak dan layak untuk diusahakan. Hal ini selaras dengan hasil studi dari
Chinvanno et al. (2008), melaporkan bahwa sebagai upaya untuk
mempertahankan produktivitas hasil pertanian dan secara finansial layak untuk
diusahakan, para petani umumnya menggarap lahan sawah yang lebih luas. Para
petani menggunakan sumberdaya yang ada dalam rumah tangga petani untuk
menyewa lahan, jika lahan sawah yang petani miliki terlalu sempit (<0,5 ha).
Tingkat produksi padi petani PUAP mencapai 6.657 kg/ha gabah kering
panen, sementara petani non PUAP mencapai 5.190 kg/ha, terjadi selisih sebesar
28,26%. Begitu juga dengan harga, harga yang diterima oleh petani PUAP sebesar
Rp. 4.200, karena hasil petani dibeli oleh Gapoktan. Gapoktan sengaja membeli
dengan harga lebih tinggi dari harga kios dan tengkulak, tujuannya untuk
membantu petani anggota mendapatkan keuntungan yang lebih besar, disamping
untuk membantu dari segi pemasaran hasil bagi petani anggota. Petani PUAP
memperoleh penerimaan total lebih tinggi dibanding petani non PUAP, yakni
sebesar 34,68%. Sehingga diketahui penerimaan petani PUAP sebesar Rp. 27,9
juta, sedangkan petani non PUAP sebesar Rp. 20,7 juta, terjadi selisih 34,68%.
Selanjutnya, jika memperhatikan hasil analisis R/C pada Tabel 37,
menunjukkan bahwa usahatani padi pada kedua group responden secara finansial
masuk kategori layak. Terbuktikan dari Hasil analisis R/C pada kedua group
petani responden memiliki nilai diatas satu (R/C > 1). Artinya usahatani tersebut
dikatakan menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan penerimaan lebih besar dari satu rupiah. Pemaknaan lain, nilai R/C
petani PUAP adalah 2,30, artinya setiap pengeluaran atau biaya yang dikeluarkan
sebesar Rp. 100 ribu, akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 230 ribu.
Sedangkan nilai R/C petani non PUAP adalah 2,29, artinya setiap biaya yang
88
dikeluarkan sebesar Rp. 100 ribu, akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp.
229 ribu. Antara petani PUAP dan non PUAP terdapat selisi penerimaan sebesar
0,44%.
Analisis R/C dapat digunakan juga untuk mengetahui apakah penggunaan
biaya dalam kegiatan usahatani padi yang dilakukan oleh kedua grup responden
efisien atau tidak. Tabel 26 menunjukkan bahwa nilai R/C pada petani PUAP
sebesar 2,30 dan petani non PUAP 2,29. Hasil R/C kedua grup responden lebih
besar dari pada 1 (R/C>1), berarti kedua grup responden dalam hal penggunaan
biaya produksi padi dapat dikatakan efiesien. Namun demikian, petani PUAP
lebih efisien karena memiliki nilai R/C yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan,
petani PUAP menghasilkan tingkat produksi yang lebih tinggi atas biaya total
yang sudah dialokasikan. Sehingga keuntungan yang didapatkan juga lebih besar.
Selain itu dipengaruhi oleh harga jual produk yang diperoleh oleh petani PUAP
lebih tinggi. Harga jual produk akan mempengaruhi total penerimaan (TR).
Usahatani padi dapat dikatakan semakin efisien secara ekonomis jika usahatani
tersebut semakin menguntungkan.
Lebih lanjut, hasil analisis B/C pada kedua group responden memiliki nilai
diatas 1 (B/C>1), artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan keuntungan lebih besar dari satu rupiah. Pemaknaan kata lain, nilai
B/C petani PUAP sebesar 1,17, artinya setiap biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.
100 ribu, akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 117 ribu. Sedangkan nilai
B/C petani non PUAP sebesar 1,08, artinya setiap biaya yang dikeluarkan untuk
usahatani padi sebesar Rp. 100 ribu, akan memberikan keuntungan sebesar Rp.
108 ribu. Antara petani PUAP dan non PUAP terdapat selisih keuntungan sebesar
8,33%.
Berdasarkan hasil analisis R/C dan B/C tersebut, bahwa usahatani padi
pada petani PUAP maupun non PUAP di Kabupaten Subang adalah
menguntungkan dan bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan rumah tangga
petani. Sehingga dapat dimaknai bahwa bagi petani padi di Kabupaten Subang,
pada dasarnya petani memiliki kinerja usahatani padi yang baik, dan apabila
petani mendapatkan suntikan modal usaha, secara normatif akan menunjukkan
kinerja usahatani yang lebih baik lagi. Sejatinya menurut Swastika (2004), jika
tambahan modal yang diberikan pada suatu wilayah dengan indikator kelayakan
usaha seperti R/C dan B/C, hasilnya masuk kategori layak dan menguntungkan,
maka dapat dikatakan tambahan modal tersebut, menjadi bermanfaat secara nyata,
yang akhirnya berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan usahatani yang
dikelola.
Hasil analisis Marjinal Benefit Cost Ratio (MBCR) diperoleh nilai 1,42.
Nilai ini bermakna bahwa setiap ada tambahan modal sebesar Rp. 100 ribu yang
bersumber dari dana PUAP, akan memberikan manfaat (benefit) sebesar Rp. 142
ribu terhadap pendapatan usahatani. Sehingga kegiatan usahatani padi yang
dilakukan petani PUAP secara finansial lebih menguntungkan.
Selanjutnya hasil analisis uji-t terhadap kuantitas pemakaian input
produksi pada usahatani padi petani sampel. Dalam hal pemakaian benih untuk
usahatani padi petani sampel, menunjukkan bahwa Fhitung untuk penggunaan benih
dengan Equal Variances Assumed adalah 0,417 dan Pvalue = 0,521 lebih besar dari
nilai α = 0,05 (0,521 > 0,05), maka keputusan terima H0. Sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa jumlah pemakaian benih petani PUAP sama dengan petani non
89
PUAP. Sama halnya dengan hasil T Test yang menggunakan asumsi equal
variance, dengan melihat thitung atau Pvalue. Hasil thitung = 0,569 dengan Pvalue =
0,571. Nilai tersebut lebih besar dari nilai α = 0,05 (0,571 > 0,05), yang artinya
pemakaian benih antara petani PUAP dengan petani non PUAP secara kuantitas
adalah sama. Hal ini nyata, asumsinya jika jumlah pemakaian benih per satuan
hektar dengan jarak tanam atau teknologi yang sama, dalam aktivitas usahatani
padi pada petani sampel, maka secara kuantitas akan sama. Namun perbedaan
akan terlihat pada kualitas benih yang digunakan oleh petani sampel, seperti benih
berlabel dan tidak berlabel. Seluruh Petani PUAP yang menjadi sampel
menggunakan benih berlabel (100%). Benih berlabel ini harganya lebih mahal,
sehingga berpengaruh terhadap jumlah biaya yang dialokasikan untuk benih lebih
tinggi. Sedangkan petani non PUAP, masih menggunakan benih yang tidak
berlabel (43,33%).
Pemakaian pupuk dalam proses usahatani padi akan mempengaruhi
produksi, dan pada akhirnya mempengaruhi pendapatan petani. Pemupukan
dilakukan untuk menambah zat-zat makanan bagi tanaman. Jenis pupuk yang
digunakan untuk usahatani padi pada petani sampel yakni Urea, TSP, NPK, dan
pupuk organik. Banyak faktor yang mempengaruhi kuantitas pemakaian pupuk
untuk usahatani, misalnya luas tanam, karena semakin besar luas tanam maka
akan semakin banyak jumlah pupuk yang dgunakan. Selain itu, dalam kegiatan
pemupukan diperlukan modal untuk pembelian pupuk dan upah tenaga kerja.
Keterbatasan modal menyebabkan petani sebagai pengambil keputusan berusaha
menekan biaya produksi seminimal mungkin agar diperoleh keuntungan yang
maksimal. Berikut akan diuraikan hasil analisis uji-t terhadap tingkat pemakaian
pupuk pada petani sampel. Hal ini untuk mengetahui apakah diantara petani
PUAP dengan non PUAP secara kuantitas pemakaian pupuknya sama atau
berbeda.
Hasil analisis uji-t terhadap tingkat pemakaian pupuk, seperti pupuk urea
pada usahatani padi petani sampel, dapat diketahui bahwa perbandingan
pemakaian pupuk urea pada usahatani padi petani PUAP dan non PUAP secara
kuantitas adalah berbeda nyata. Secara statistik dengan melihat Equal Variances
Assumed menunjukkan nilai Fhitung untuk pemakaian pupuk urea adalah 6,960,
dengan Pvalue = 0,011 lebih kecil dibandingkan nilai α = 0,05 (0,011 < 0,05).
Selain itu, nilai t-hitung (2,660) lebih besar dibandingkan nilai t-tabel (2,021), dengan
P-value = 0,010 lebih kecil dibandingkan nilai α = 0,05 (0,010 < 0,05), maka
keputusannya tolak Ho. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan
pupuk urea pada usahatani padi petani PUAP berbeda nyata dengan penggunaan
pupuk urea pada usahatani padi petani Non PUAP. Adanya perbedaan kuantitas
pada pemakaian pupuk urea untuk usahatani petani sampel yakni frekuensi
pemupukan. Berdasarkan hasil wawancara, petani PUAP melakukan pemupukan
dengan menggunakan pupuk urea mencapai tiga sampai dengan empat kali
pemupukan. Selain itu lahan sawah yang digarap oleh petani PUAP secara rata-
rata lebih luas, sehingga berkontribusi terhadap tingginya jumlah pemakaian
pupuk tersebut.
Pemakaian pupuk TSP/SP36 pada usahatani padi petani sampel, dapat
diketahui bahwa secara variasi adalah sama, terlihat dari nilai Fhitung=1,180 dan
Pvalue=0,282 lebih besar dari nilai α = 0,05 (0,282 > 0,05). Sedangkan secara
kuantitas, pemakaian pupuk TSP antara petani PUAP dengan petani non PUAP
90
adalah berbeda nyata, terlihat dari nilai Thitung = 6,050 lebih besar dari nilai Ttabel =
2,021 (6,050 > 2,021) dan nilai Pvalue=0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (0,000 <
0,05), maka keputusan tolak H0 dan disimpulkan cukup bukti yang menyatakan
bahwa penggunaan jumlah pupuk TSP petani PUAP tidak sama dengan petani
Non PUAP pada taraf kepercayaan 95%. Variasi maksudnya jenis-jenis kegiatan
yang dilakukannya pemupukan, selama menjalankan usahatani padi, seperti
persemaian, penanaman, pengolahan tanah,dan lain-lain. Sedangkan kuantitas
yakni jumlah pupuk yang digunakan pada setiap jenis kegiatan usahatani padi.
Pemakaian pupuk NPK pada usahatani padi petani PUAP dan non PUAP,
dapat diketahui bahwa secara variasi adalah sama, terlihat dari nilai Fhitung=0,097
dan Pvalue=0,756 lebih besar dari nilai α = 0,05 (0,756 > 0,05), maka keputusan
terima H0. Sedangkan secara kuantitas, pemakaian pupuk TSP antara petani
PUAP dengan petani non PUAP adalah berbeda nyata, terlihat dari nilai Thitung =
2,169 lebih besar dari nilai Ttabel = 2,021 (2,169 > 2,021) dan nilai Pvalue=0,034
lebih kecil dari nilai α = 0,05 (0,034 < 0,05), maka keputusan tolak H0. dan
disimpulkan cukup bukti yang menyatakan bahwa penggunaan jumlah pupuk
NPK petani PUAP tidak sama dengan petani Non PUAP pada taraf kepercayaan
95%. Perbedaan kuantitas ini, mengindikasi adanya perbedaan dalam hal
pemberian pupuk NPK oleh petani sampel. Perbedaan tersebut disebabkan oleh
frekuensi pemupukan.
Pemakaian pupuk Organik pada usahatani padi petani PUAP dan non PUAP
dapat diketahui bahwa secara variasi adalah sama, terlihat dari nilai Fhitung=2,547
dan Pvalue=0,116 lebih besar dari α = 0,05 (0,116 > 0,05), maka keputusan diterima
H0. Sedangkan secara kuantitas, pemakaian pupuk Organik antara petani PUAP
dengan petani non PUAP adalah berbeda nyata, terlihat dari nilai Thitung = 6,541
lebih besar dari nilai Ttabel = 2,021 (6,541 > 2,021) dan nilai Pvalue=0,000 lebih
kecil dari nilai α = 0,05 (0,000 < 0,05), maka keputusan tolak H0, dan
disimpulkan cukup bukti yang menyatakan bahwa penggunaan jumlah pupuk
Organik petani PUAP tidak sama dengan petani Non PUAP pada taraf
kepercayaan 95%.
Selanjutnya, hasil analisis uji-t terhadap tingkat pemakaian pestisida. Untuk
pemakaian pestisida pada usahatani padi petani PUAP dan non PUAP dapat
diketahui bahwa secara variasi adalah berbeda nyata, terlihat dari nilai
Fhitung=18,448 dan Pvalue=0,000 lebih kecil dari α = 0,05 (0,000 > 0,05), maka
keputusan tolak H0. Sedangkan secara kuantitas, pemakaian pestisida antara
petani PUAP dengan petani non PUAP adalah berbeda nyata, terlihat dari nilai
Thitung = 6,771 lebih besar dari nilai Ttabel = 2,021 (6,771 > 2,021) dan nilai
Pvalue=0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (0,000 < 0,05), maka keputusan tolak
H0, dan disimpulkan cukup bukti yang menyatakan bahwa penggunaan jumlah
pestisida antara petani PUAP dengan petani Non PUAP tidak sama pada taraf
kepercayaan 95%. Perbedaan ini disebabkan oleh frekuensi penyemprotan yang
dilakukan oleh petani PUAP lebih sering, karena intensitas serangan hama lebih
tinggi serta adanya dukungan pinjaman modal usahatani dari Gapoktan. Selain itu,
petani PUAP menggunakan pestisida yang paten atau lebih bagus kualitasnya
untuk membasmi HPT, yang harga lebih mahal. Sehingga berpengaruh terhadap
total biaya yang dialokasikan untuk pemakaian pestisida menjadi lebih tinggi,
dibandingkan dengan petani non PUAP. Lain halnya dengan petani non PUAP,
pembiayaan untuk usahatani padi sangat terbatas sesuai dengan kemampuannya.
91
Pemakaian tenaga kerja pada usahatani padi petani PUAP dan non PUAP
dapat diketahui bahwa secara variasi adalah sama, terlihat dari nilai Fhitung=0,939
dan Pvalue=0,337 lebih besar dari α = 0,05 (0,337 > 0,05), maka keputusan diterima
H0. Sedangkan secara kuantitas, pemakaian tenaga kerja antara petani PUAP
dengan petani non PUAP adalah berbeda nyata, terlihat dari nilai Thitung = 5,902
lebih besar dari nilai Ttabel = 2,021 (5,902 > 2,021) dan nilai Pvalue=0,000 lebih
kecil dari nilai α = 0,05 (0,000 < 0,05), maka keputusan tolak H0, dan
disimpulkan cukup bukti yang menyatakan bahwa penggunaan jumlah tenaga
kerja pada usahatani padi petani PUAP tidak sama dengan petani Non PUAP pada
taraf kepercayaan 95%.
Dari beberapa perbedaan yang sudah diuraikan sebelumnya, maknanya
adalah bahwa tambahan modal PUAP, dapat mempengaruhi struktur pembiayaan
usahatani petani PUAP. Dengan kata lain, Program PUAP mampu meningkatkan
kemampuan petani dalam pemenuhan kebutuhan input produksi per satu
hektarnya untuk usahatani padi.
Pendapatan Usahatani Padi
Pendapatan usahatani padi dapat diketahui dengan cara mengurangkan
jumlah penerimaan dengan jumlah biaya. Berdasarkan Tabel 37, besarnya
pendapatan usahatani padi pada petani PUAP setelah menerima tambahan dana
BLM PUAP mencapai Rp. 14,2 juta, nilai ini merupakan pendapatan bersih,
artinya sudah dikurangi oleh hutang (risk premium) karena petani mendapatkan
pinjaman modal BLM PUAP dari Gapoktan. Besarnya rata-rata hutang adalah Rp.
1.590.000. Besarnya hutang tersebut dihitung dari hutang pokok (Rp. 1.500.000)
ditambah jasa 1,9% selama 4 bulan. Sedangkan pendapatan usahatani padi pada
petani non PUAP mencapai Rp. 9,8 juta. Nilai ini pun merupakan pendapatan
bersih, artinya sudah dikurangi oleh hutang (risk premium) karena petani
mendapatkan pinjaman modal usaha dari kios/tengkulak. Besarnya rata-rata
hutang adalah Rp. 1.898.667. Secara matematis perhitungan hutangnya sama saja,
yang membedakan adalah besarnya bunga yang diterima oleh petani non PUAP.
Besarnya bunga yang diterima petani non PUAP yakni sebesar 20% per musim
tanam. Setelah pendapatan masing-masing kelompok responden dikurangi hutang,
pendapatan bersih yang diperoleh petani PUAP menunjukkan hasil yang lebih
besar dibandingkan dengan pendapatan petani non PUAP, perbedaannya
mencapai 44,89%. Hal ini selaras dengan pendapat Widya (2012) dan Suandi et
al. (2012). Menurutnya, PUAP mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar
7,67%. Selanjutnya Suandi et al. (2012) menyatakan program PUAP melalui
manajemen sumberdaya Gapoktan berpengaruh positif terhadap peningkatan
kesejahteraan petani. Kondisi ini menunjukkan adanya dampak positif program
PUAP terhadap pendapatan petani penerima manfaat dana BLM PUAP.
Beberapa hal yang membuat pendapatan usahatani padi pada petani PUAP
dan non PUAP memiliki perbedaan yang nyata, dengan kata lain pendapatan
usahatani padi petani non PUAP lebih kecil, diantaranya adalah: (1) modal
usahatani dimana petani non PUAP memiliki keterbatasan modal usaha, sehingga
didalam pemakaian input produksi per satu hektar tidak optimal (jauh dibawah
anjuran), akhirnya berpengaruh terhadap produksi padi, (2) harga jual seperti yang
sudah disampaikan sebelumnya bahwa harga jual yang diterima oleh petani non
92
PUAP lebih rendah, hanya Rp. 4.000 per kg, dan harga ini ditetapkan oleh
kios/tengkulak. Petani non PUAP tidak mempunyai posisi tawar yang kuat dalam
hal harga, begitu juga dalam hal pemasaran hasil, karena petani non PUAP sudah
terikat kontrak dengan kios/tengkulak atas hutangnya, jadi petani non PUAP harus
menjual hasil panennya ke kios atau tengkulak, (3) bunga hutang dari petani non
PUAP melakukan pinjaman/kredit kepada kios/tengkulak, dimana kios/tengkulak
menetapkan bunga yang sangat tinggi. Bunga yang ditetapkan oleh kios/tengkulak
sebesar 20% per musim tanam, dan (4) informasi harga saprodi tidak sempurna
dimana petani non PUAP tidak mendapatkan harga saprodi yang pasti dari kios.
petani tidak diberitahu sejak awal harga-harga tersebut, harga baru diinformasikan
ketika petani akan membayar hutang saprodi ke kios. Pada saat panen, petani
menjual hasil panennya ke kios. Pendapatan yang diterima petani adalah sisa dari
hasil penjualan yang sudah dipotong terlebih dahulu atas hutang saprodi.
Terungkap pula dampak Program PUAP terhadap sosial ekonomi petani di
daerah penelitian. Dampak sosial Program PUAP sebagai berikut: (1)
bertambahnya wawasan petani karena mendapatkan pendidikan informal tentang
kegiatan simpan pinjam di Gapoktan, (2) meningkatnya frekuensi interaksi antar
petani karena setiap bulan diadakan pertemuan di balai desa atau kantor
Gapoktan. Sehingga petani dapat sering berkomunikasi dan berdiskusi untuk
mencari solusi tentang masalah yang petani hadapi dalam berusahatani, (3)
terjadinya konflik antar pengurus Gapoktan karena timbul rasa saling curiga
tentang jumlah dana BLM PUAP yang masih ada di kas Gapoktan, dan (4)
timbulnya rasa was-was kepada petani peminjam dana BLM PUAP karena adanya
isu tentang tuntutan penjara yang akan dikenakan bagi petani yang belum
mengembalikan pinjaman BLM PUAP.
Sedangkan dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh Program PUAP
terhadap petani di daerah penelitian adalah sebagai berikut: (1) petani dapat
memperoleh bantuan pinjaman BLM PUAP untuk mengatasi keterbatasan modal
usahatani yang dimiliki para petani, (2) prosedur dan syarat pinjaman tidak terlalu
menyulitkan petani jika dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya, seperti
Bank, CU, dan lain-lain, (3) petani dapat memperoleh pinjaman dengan tingkat
bunga yang cukup rendah, yaitu 2% per bulan, (4) para petani tidak lagi terikat
dengan tengkulak yang pada umumnya memberikan pinjaman dengan bunga yang
cukup tinggi, dan (5) mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga secara mandiri,
seperti biaya sekolah anak, merenovasi rumah, membuka usaha baru
(warung/dagang), memiliki kendaraan pribadi (motor), kelengkapan rumah
(televisi, radio), dan adanya kemampuan menabung atau menghemat.
Hasil analisis uji-t terhadap tingkat pendapatan usahatani padi petani
sampel, dapat diketahui bahwa perbandingan pendapatan usahatani padi pada
petani PUAP dan non PUAP adalah berbeda nyata. Nilai Fhitung untuk pendapatan
usahatani dengan Equal Variances Assumed adalah 8,184, dengan Pvalue = 0,006
lebih kecil dibandingkan nilai α = 0,05 (0,006 < 0,05). Selain itu, hasil t-hitung
(6,366) lebih besar dibandingkan t-tabel (2,021), dengan P-value = 0,000 lebih kecil
dibandingkan nilai α = 0,05 (0,000 < 0,05), maka keputusannya tolak Ho, dan
disimpulkan cukup bukti yang menyatakan bahwa hasil pendapatan usahatani padi
petani PUAP dengan petani non PUAP berbeda nyata dan signifikan pada taraf
kepercayaan 95%.
93
Hubungan Kinerja Gapoktan Terhadap Pendapatan Usahatani Padi
Tingkat kinerja Gapoktan (Tabel 32), berkorelasi positif terhadap tingkat
pendapatan usahatani padi (Tabel 37). Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa
adanya hubungan yang erat antara kinerja Gapoktan terhadap pendapatan
usahatani padi petani anggota. Berikut ini disajikan hasil analisis Person Product
Moment (PPM), mengenai keeratan hubungan antara kinerja Gapoktan terhadap
tingkat pendapatan usahatani padi petani anggota (Tabel 38).
Tabel 38. Hasil analisis korelasi kinerja Gapoktan dengan pendapatan usahatani
padi petani anggota
Kinerja
Gapoktan
Pendapatan
Usahatani Kinerja Gapoktan Pearson Correlation 1 0,441**
Sig. (2-tailed) 0,000
N 60 60
Pendapatan Usahatani Pearson Correlation 0,441** 1
Sig. (2-tailed) 0,000
N 60 60 ** Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed)
Berdasarkan Tabel 38, korelasi product moment antara variabel kinerja
Gapoktan dengan pendapatan usahatani padi petani anggota, nilai korelasinya
adalah positif 0.441. Besarnya nilai korelasi menunjukkan bahwa korelasi antara
kinerja Gapoktan dan pendapatan usahatani padi berada dalam kategori “Cukup
Kuat”. Sementara nilai positif mengindikasikan pola hubungan antara kinerja
Gapoktan dengan pendapatan usahatani padi adalah searah . Hal ini bermakna
semakin tinggi kinerja Gapoktan, dapat menyebabkan meningkatnya pendapatan
usahatani padi petani anggota. Dengan demikian rangkaian kegiatan dalam sistem
agribisnis digerakkan oleh berbagai kelembagaan. Peranan kelembagaan dalam
sistem agribisnis sangat menentukan keberhasilan pertanian pada umumnya, dan
pengembangan usahatani khususnya. Menurut Pakpahan (2000), kelembagaan
merupkan hal yang strategis yang akan mengatur interdependensi antar manusia.
Sumberdaya alam, manusia, modal dan teknologi merupakan syarat keharusan,
tetapi tidak memenuhi syarat kecukupan dari upaya pembangunan. Tersedianya
perangkat kelembagaan merupakan syarat kecukupan,karena dengan adanya
perangkat ini sumberdaya dapat dialokasikan dan dimobilisasi secara optimum.
Hasil uji signifikansi, diperoleh nilai r-hitung sebesar 0,000. Nilai r-hitung
lebih kecil dari nilai α = 0,05 (0,000 < 0,05). Keputusan tolak Ho, dan
disimpulkan cukup bukti yang menyatakan bahwa kinerja Gapoktan berpengaruh
nyata dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan usahatani padi petani
anggota pada taraf kepercayaan 95%. Lebih lanjut, besarnya kontribusi variabel
kinerja Gapoktan (X) terhadap pendapatan usahatani padi petani anggota (Y),
dihitung koefisien penentu (coefficient of determination) dengan menggunakan
kaidah persamaan 9. Jika nilai koefisien korelasi (r) = 0,441, maka nilai KP
sebesar 19,45%. Maknanya adalah kontribusi kinerja Gapoktan (X) terhadap
naik/turunnya pendapatan usahatani padi petani anggota (Y) adalah sebesar
19,45%, sedangkan sisanya 80,55% ditentukan oleh variabel lain. Variabel
94
lainnya yang diduga kuat dalam mempengaruhi pendapatan usahatani padi adalah
variabel-variabel yang berhubungan erat dalam kegiatan usahatani itu sendiri,
seperti benih, pupuk, pestisida, dll.
Hasil analisis dapat dimaknai bahwa PUAP mampu berperan
meningkatkan kinerja Gapoktan, serta secara tidak langsung mampu
meningkatkan pendapatan usahatani padi para anggotanya. Sebagai sebuah
organisasi, Gapoktan merupakan wadah yang membuat aturan main. Sehubungan
dengan hal itu, menurut Juraemi (2004) bahwa berusahatani hanya bisa berhasil
apabila ditunjang oleh perangkat kelembagaan terkait dengan kinerja yang baik.
Lebih lanjut Sivachithappa (2013) memaparkan, dampak langsung dari
adanya pembiayaan pertanian melalui tambahan modal usaha (kredit), yakni: (1)
bergeraknya atau berkembangnya organisasi keswadayaan masyarakat, serta (2)
meningkatnya status sosial dan ekonomi para pelakunya (petani), yang dicirikan
adanya peningkatan keterampilan kewirausahaan (increased entrepreneurial
skills), peningkatan akses kredit (increased access to credit), kemapanan dalam
bisnis (establishment of businesses), dan perubahan pola konsumsi (changes in
consumption patterns). Dari pemaparan tersebut, mengindikasi bahwa paket
pelaksanaan PUAP, memberikan peran nyata terhadap peningkatan kinerja
Gapoktan PUAP dan pendapatan usahatani padi petani PUAP.
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Program PUAP sangat berperan terhadap peningkatan kinerja Gapoktan.
Terlihat dari perbandingan antara kinerja Gapoktan PUAP dengan Gapoktan non
PUAP, menunjukkan kinerja Gapoktan PUAP yang lebih tinggi. Kinerja
Gapoktan ditinjau dari empat atribut penilaian kinerja, diantaranya efektifitas
organisasi, efisiensi organisasi, relevansi organisasi, dan pencapaian kemandirian
keuangan organisasi. Nilai dari ke empat atribut tersebut, secara rata-rata masuk
kategori baik.
Pendapatan petani PUAP maupun non PUAP, secara finansial masuk
kategori layak dan menguntungkan. Namun demikian, usahatani padi yang
dikelola petani PUAP tetap menunjukkan tingkat pendapatan yang lebih tinggi.
Selain itu, dilihat dari ukuran efisiensi yakni analisis R/C dan B/C, menunjukkan
program PUAP mampu berperan terhadap peningkatan efisiensi dalam usahatani
padi bagi petani PUAP, terlihat hasil analisis R/C dan B/C usahatani padi petani
PUAP nilainya lebih tinggi dibanding petani non PUAP. Lebih lanjut, berdasarkan
hasil analisis MBCR, dapat dikatakan PUAP mampu memberikan manfaat/benefit
yang nyata terhadap peningkatan pendapatan usahatani padi. Ditinjau dari hasil
analisis uji-t pada taraf kepercayaan 95 persen, diperoleh hasil bahwa pendapatan
usahatani petani PUAP dan non PUAP memiliki perbedaan yang nyata
(signifikan). Hal ini mengindikasi bahwa usahatani yang dilakukan oleh petani
PUAP lebih menguntungkan dan lebih efisien.
Hubungan antara kinerja Gapoktan dengan pendapatan usahatani padi petani
anggota, mempunyai pola hubungan searah dan signifikan. Artinya apabila kinerja
Gapoktan semakin baik maka pendapatan usahatani padi petani anggota juga akan
95
mengalami peningkatan. Esensinya, program PUAP mampu meningkatkan
kapasitas aktor pelaksana program, baik terhadap aktivitas organisasi petani
maupun kinerja usahatani padi petani anggota. Hal ini sesuai dengan tujuan dari
program PUAP yakni pengembangan kapasitas.
Saran
Untuk meningkatkan kinerja Gapoktan, hal utama yang harus perbaiki
yakni: (1) modal sosial yang dimiliki petani anggota. Modal sosial ini
berpengaruh terhadap pengembangan kinerja kelembagaan tani. Sehingga potensi
dampak negatif selama menjalankan aktivitas keorganisasian secara relatif dapat
dikurangi, (2) jaringan (networking) untuk menjalin kerjasama, baik dengan
lembaga keuangan formal, lembaga pemasaran, dan lembaga penelitian, dan (3)
ketegasan sikap pengurus Gapoktan dalam mengawal dan mendampingi para
petani dalam hal pemanfaatan pinjaman.
Upaya untuk mencapai peningkatan pendapatan usahatani, perlu adanya
dukungan modal usahatani yang kuat. Modal usahatani ini bersumber dari petani
sendiri melalui menabung, arisan, dan diversifikasi usaha. Sedangkan modal dari
luar seperti halnya Program PUAP, yang bersifat mudah untuk diakses oleh petani
baik secara administrasi maupun proses pencairannya, serta tingkat bunga yang
rendah.
Hubungan antara kinerja Gapoktan dengan pendapatan usahatani sangat
erat. Sehingga kedepannya, lembaga ini dituntut untuk lebih profesional dalam hal
pengelolaan aktivitas keorganisasian, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
keuangan organisasi, dan melakukan pembinaan atau pendampingan kepada
petani anggota dalam hal pengelolaan usahatani. Selain itu, Gapoktan dituntut
untuk mampu mensejahterakan para anggotanya, baik secara ilmu pengetahuan
maupun finansial (permodalan).
DAFTAR PUSTAKA
Acemoglu D. 2003. Root causes: a historical approach to assessing the role of
institutions in economic development. J Finance and Development.
40(2):27-33.
Acemoglu D, Robinson JA. 2012. Why Nations Fail: The Origins of Power,
Prosperity and Poverty. London (GB): Profile Books.
Akpalu W. 2012. Access to microfinance and intra household business decision
making: implication for efficiency of female owned enterprises in Ghana.
J Sociol Econom. 41(1):513-518.
Ali SM. 2011. Dasar-Dasar Metode Statistika untuk Penelitian. Bandung (ID):
Pustaka Setia.
Ashari. 2009. Optimalisasi kebijakan kredit program sektor pertanian di
Indonesia. AKP. 7(1):21-42.
[BPTP Jawa Barat] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. 2013.
Laporan Perkembangan Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan (PUAP) Tahun 2008 sampai 2011 di Jawa Barat.
Bandung (ID): BPTP Jawa Barat.
96
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin,
Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks
Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, September 2013 [Internet].
[diunduh 2014 Apr 7]. Tersedia pada:
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=23¬ab=1
Bardhan P. 1989. Alternative Approaches to the Theory of Institutions in
Economic Development. Di dalam: Pranab Bardhan, editor. The Economic
Theory of Agrarian Institutions. Oxford (GB): Clarendon Pr.
Biswanger P dan Khandker SR. 1995. The impact of formal finance on rural
economy of India. J Develop Stud. 32(2):232–262.
Carton RB, Hofer CW. 2010. Measuring Organizational Performance: Metrics
for Entrepreneurship and Strategic Management Research Massachusetts
01060. [tempat tidak diketahui] (US): Edward Elgar Publishing, Inc.
Chang H. 2011. Institutions and economic development: theory, policy and
history. J Instution Econom, 7(4):473-498.
Chinvanno S, Souvannalath S, Lersupavithnapa B, Kerdsuk V dan Thuan N.
2008. Strategies for Managing Climate Risks in The Lower Mekong River
Basin: A Place-Based Approach. In Climate Change And Adaptation.
Leary N, Adejuwon J, Barros V, Burton I, Kulkarni J dan Lasco R, editor.
Earthscan (GB): London. hlm 333–350.
Coffey E. 1998. Agricultural Finance: Getting The Policies Rigth. Rome (IT):
FAO dan GTZ.
Daniel M. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID): Penerbit Bumi
Aksara.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun
2005-2009. Jakarta (ID): Departemen Pertanian.
[Dirjentan] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Pelaksanaan
Sekolah Lapangan Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang
Tanah Tahun 2013. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.
[Dirjen Pembiayaan] Direktorat Jenderal Pembiayaan Pertanian. 2013. Laporan
penyaluran dana PUAP 2012. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Prasarana
dan Sarana Pertanian. Kementerian Pertanian.
Erna K, Kirya IK, Yulianthini NN. 2014. Pengaruh dana pengembangan usaha
agribisnis perdesaan terhadap pendapatan anggota kelompok simantri. J
Bisma Universitas Pendidikan Ganesha, Jurusan Manajemen. 2(1):33-42.
Ferdiansyah H. 2004. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Kentang
(Kasus di Desa Argamukti Kec. Argapura Kab. Majalengka, Jawa Barat).
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Gaspersz V. 2011. Ekonomi Manajerial: Landasan Analisis dan Strategi Bisnis
Untuk Manajemen Perusahaan dan Industri. Bogor (ID): Vinchristo
Publication.
Goetz RU, Zilberman D. 2007. The economics of land-use regulation in the
presence of an externality: a dynamic approach. optimal control
applications and methods. 28(2):21-43.
Hanafie R. 2010. Peran Modal Dalam Pengembangan Pertanian. Buku
Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta (ID): Andi Yogakarta.
97
Hardie IW, Parks PJ, Van Kooten GC. 2004. Land Use Decision and Policy at
The Intensive and Extensive Margins.Tietenberg T dan Folmer H, editor.
International Yearbook of Environmental and Resource Economics
2004/2005. London (GB): Edward Elgar. hlm 101-139.
Hendayana R, Bustaman S, Sunandar N, Jamal, E. 2009. Petunjuk Pelaksanaan
Pembentukan dan Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis.
Bogor (ID): Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian.
Hendayana R. 2011. Dibalik Kisah Sukses PUAP dalam Buku Menggerakkan
Petani Melalui Dinamika Kelompok, Penguatan Modal, serta Penerapan
dan Pendampingan Teknologi. Bogor (ID): Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementerian Pertanian.
Hendriksen SJ. 1993. Teori Akuntansi. Jakarta (ID): Erlangga.
Hermawan H, Andrianyta H. 2012. Lembaga keuangan mikro agribisnis:
terobosan penguatan kelembagaan dan pembiayaan di perdesaan. AKP.
10(2):143-158.
Hermawan H, Hendayana R. 2012. Peran bantuan langsung masyarakat melalui
PUAP terhadap struktur pembiayaan dan pendapatan usahatani. Petani dan
Pembangunan Pertanian. Seminar Nasional; 2011 Okt 12; Bogor,
Indonesia. Bogor (ID): Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian.
Ikhsan M. 2000. Reformasi institusi dan pembangunan ekonomi. Jurnal
Demokrasi dan HAM. 1(2):30-58.
Irawan B, Nurawan A. 2010. Petunjuk Teknis PUAP tahun 2010 spesifik Jawa
Barat. Bandung (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Irwanto. 1998. Focus Group Discussion. Jakarta (ID): Pusat Kajian Pembangunan
Masyarakat.
Ishak A, Astuti UP. 2012. Evaluasi kinerja gapoktan dan persepsi petani terhadap
lembaga keuangan mikro agribisnis (LKM-A) pada gapoktan penerima
dana blm-PUAP di kota Bengkulu. Petani dan Pembangunan Pertanian.
Seminar Nasional; 2011 Okt 12; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Jehangir WA, Ashfaq M, Ali A, Sarwar N. 2002. Use of credit for poverty
reduction by small farmers. Pakistan Journal of Applied Sciences. 2(7):
777-780.
Juraemi. 2004. Hubungan antara kinerja kelembagaan dengan keragaan sistem
agribisnis pada perusahaan inti rakyat perkebunan kelapa sawit. JEPP.
1(2):33-40.
Kasryno F. 1984. Kerangka Analisa Ekonomi Pembangunan Pedesaan. Di dalam
Faisal Kasryno, editor. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan
Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta (ID): PSEKP.
98
Kementerian Pertanian. 2010a. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP). Jakarta: (ID): Kementerian Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2010b. Petunjuk Teknis Pemeringkatan (Rating)
Gapoktan PUAP Menuju LKM-A. Jakarta: (ID): Kementerian Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2011. Petunjuk Teknis Penyuluh Pendamping.
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) 2011. Jakarta (ID):
Kementerian Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2012. Petunjuk Teknis Penyelia Mitra Tani (PMT).
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) 2012. Jakarta (ID):
Kementerian Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP) 2013. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2014. Kalender Tanam Terpadu Komoditas Padi Sawah
dan Palawija Spesifik Lokasi. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.
Khandker SR dan Faruqee RR. 2000. The Impact of Farm Credit in Pakistan.
Pakistan (IN): World Bank.
Kuncoro M. 2003. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta (ID):
Penerbit Erlangga.
Lesmana D, Asslamiyah F. 2009. Efektivitas program prima tani dalam
pengembangan kelembagaan tani. JEPP. 6(2):40-48.
Lusthaus C, Adrien MH, Anderson G, Carden F, Montalvan GP. 2002.
Organizational Asessment: A Framework for Improving Performance.
Canada: International Development Research Centre.
Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Pelayanan Publik. Yogyakarta (ID):
BPFE.
Makeham JP, Malcolm RL. 1991. Manajemen Usahatani Daerah Tropis. Jakarta
(ID): LP3ES.
Manig W. 1991. Rural Social and Economic Structures and Social Development.
Di dalam: Windfried Maning, editor. Stability and Change in Rural
Institutions in North Pakistan. Volume 85. Socio-economic Studies on
Rural Development. Alano. Aachen.
Margono S. Drs. 2007. Metologi Penelitian Pendidikan Komponen MKDK.
Jakarta (ID): Rineka Cipta.
Mariah. 2009. Pengaruh Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat Terhadap
Pendapatan dan Efisiensi Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Penajen,
Paser.
Mirza T. 2000. Kredit Usaha Tani: Antara Harapan dan Kenyataan. Usahawan. Ed
ke-5, Volume ke-29. Jakarta.
Moeler MT, Thorsen BJ. 2000. A Dynamic Agricultural Household Model With
Uncertain Income and Irriversible on Indivisible Invesment Under Credit
Constrains [Internet]. [diunduh 2013 Jun 21]. Tersedia pada:
http://ideas.respec.org/p/adh/narheu/2000-7.html.
Morgan DL dan Kruger RA. 1993. When to Use Focus Group and Why. Di
dalam: Morgan DL, editor. Successful Focus Groups, pp.
Mosher AT. 1987. Getting Agriculture Moving (Menggerakkan dan Membangun
Pertanian). Krisnandhi S, Bahrin S, penerjemah. Jakarta (ID): CV.
Yasaguna.
99
Nam GB. 2011. Modelling Farmers Decisions on Integrated Soil Nutrient
Management in Sub Sahara Afrika: A Multinomial Logit Analysis in
Cameroon. Afrika (tZA): International Institute of Tropical Agriculture.
Nasution. 2003. Metode Research. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara.
North D.C. 1994. Economic Performance Through Time. The American
Economic Review. Issue 3, Volume 84, hlm 359-368.
Nurmanaf A, Hastuti EL, Ashari, Friyatno S, Budi W. 2006. Analisis sistem
pembiayaan mikro dalam mendukung usaha pertanian di perdesaan. AKP.
5(2):99-109. Bogor (ID): PSEKP.
Nursyamsiah T. 2010. Pengaruh Program Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP) Terhadap Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nuryana M (2012). Program Evaluation. Kementerian Sosial [Internet]. [diunduh
2013 Jun 24]. Tersedia pada:
www.kemsos.go.id/modules.php?nama=Downloads&d.
Pakpahan A. 2000. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial:
Perspektif Ekonomi. Di dalam: Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah
Perkembangan Teknologi Pertanian. Seminar Nasional Patanas, Bogor,
Indonesia. Bogor (ID): PSEKP.
Pejovich S. 1995. Economic Analysis of Institutions and Systems. Netherlands
(NL): Kluwer Academic Publishers. Dordrecht.
Peters, BG. 2000. Institutional theory : Problem and prospects. Political Science,
No. 69. Institute for advances studies Vienna.
Pitt MM dan Khandker SR. 1998. The impact of group based credit program on
poor households in Bangladesh: Do the gender of participants matter?.
Journal of Political Economy. 206(5):106-122.
Prasad BC. 2003. Instutional economics and economic development: the theory of
property rights, economic development, good governance and the
environment. International Journal of Social Economics. 30(6):741-762.
Prasetyo T, Joko TP. 2009. Modal dan Produk Pembiayaan Lembaga Keuangan
Mikro Agribisnis. Di Dalam: Membangun Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis. Semarang (ID): BPTP Jawa Tengah.
Prastowo A. 2010. Menguasai Teknik-Teknik Koleksi Data Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta (ID): Diva Press.
Prayitno H, Arsyad L. 1997. Petani Desa dan Kemiskinan. Yogyakarta (ID):
BPFE.
Prihartono MK. 2009. Dampak program pengembangan agribisnis perdesaan
terhadap kinerja gapoktan dan pendapatan anggota Gapoktan [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Riduwan. 2004. Metode Riset. Jakarta (ID): Rineka Cipta
Riduwan. 2005. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti
Pemula. Cetakan ke-1. Bandung (ID): CV Alfabeta.
Riduwan, Kuncoro EA. 2011. Cara Mudah Menggunakan dan Memaknai Path
Analysis (Analisis Jalur). Bandung (ID): CV Alfabeta.
Rutherford M. 1994. Institutions in Economic: The Old and The New
Institutionalism. Cambridge (GB): Cambridge University Press.
100
Sagala. 2010. Dampak program pengembangan usaha agribisnis perdesaan (puap)
terhadap pendapatan petani [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sekaran U. 2003. Research Methods for Business: Skill Building Approach,
Fourth Edition. New York (US): John Wiley and Sons Inc.
Seo SN, Mendelsohn R. 2008. Climate Change Impact on Latin American
Farmland Value: The Role of Farm Type.
Setyarini PD, Hubeis M, Kadarisman D. 2010. Evaluasi kinerja lembaga
keuangan mikro swamitra mina dengan pendekatan balanced scorecard.
Jurnal Manajemen Industri Kecil Menengah. 5(1):80-89. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Sivachithappa, K. 2013. Impact of micro finance on income generation and
livelihood of members of self help groups – a case study of mandya
district, india. Journal Social and Behavioral Sciences. 91 (10):228-240.
Smith RL, Smith JK. 2004. Entrepreneurial Finance. New York (US): John Wiley
and Son Inc.
Soedarsono H. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta (ID): LP3ES.
Soeharjo A, Patong D. 1973. Sendi-sendi Pokok Ilmu Usahatani. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisa
Fungsi Cobb-Douglass. Jakarta (ID): PT. Raja Grafindo Persada.
Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta (ID): UI Press.
Soekartawi, Soeharjo A, Dillon JL, Haedaker JB. 1986. Ilmu Usahatani dan
Penelitian untuk Perkembangan Petani Kecil. Jakarta (ID): Universitas
Indonesia.
Soentoro, Supriyati, Jamal E. 1992. Sejarah Perkreditan Pertanian Subsektor
Tanaman Pangan Dalam Perkembangan Perkreditan di Indonesia. Andin
H. Taryoto, Abunawan M., Soentoro, dan Hermanto, editor. Monograph
Series. Nomor 3. Bogor (ID): PSEKP.
Soetomo G. 1997. Kekalahan Petani Miskin: Dimensi Manusia dalam
Pembangunan Pertanian. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Suandi Y, Darmayanti, Yulismi. 2012. Model pengembangan usaha agribisnis
perdesaan pada usahatani padi sawah di kecamatan sekernan Kabupaten
Muaro Jambi Provinsi Jambi. Jurnal Penelitian Universitas Jambi.
14(2):25-34.
Suanggana A. 2011. Pengaruh program pengembangan usaha agribisnis perdesaan
(PUAP) terhadap pendapatan usahatani padi [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Sudarmanto. 2009. Kinerja dan Pengembangan Kompetensi Sdm (Teori, Dimensi
Pengukuran dan Implementasi Dalam Organisasi. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung
(ID): Penerbit Alfabeta.
Supadi, Sumedi. 2004. Tinjauan umum kebijakan kredit pertanian. Icaserd
Working Paper. Nomor 25, 2004 Jan. Bogor (ID): PSEKP.
Suprapto A. 2012. Pokok-pokok bahasan terhadap pelaksanaan PUAP. Workshop
PUAP; 2012 Agu 8; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): BBP2TP.
101
Suwadjono. 2005. Teori Akuntansi Perekayasa Pelaporan Keuangan. Edisi 3.
Yogyakarta (ID): BPFE.
Suyadi D, Remi SS, Muljarijadi B. 2012. Pengaruh pemberian bantuan tambahan
modal usahatani melalui program pengembangan usaha agribisnis
perdesaan (PUAP) terhadap peningkatan pendapatan usahatani. Jurnal
Agribisnis. 10(2):20-30.
Swastika DKS. 2004. Beberapa teknik analisis dalam penelitian dan pengkajian
teknologi pertanian. JPPTP. 7(1):90-103; Januari 2001.
Syahyuti. 2012. Kelemahan konsep dan pendekatan dalam pengembangan
organisasi petani: analisis kritis terhadap Permentan No.273 Tahun 2007.
AKP. 10(2), 119-142.
Syukur M, Sumaryanto, Sumedi, 1998. Kinerja Kredit Pertanian dan Alternatif
Penyempurnaannya untuk Pengembangan Pertanian. T. Sudaryanto, I. W.
Rusastra dan Erizal Jamal, editor. Monograph series Nomor 20. Bogor
(ID): PSEKP.
Syukur M, Sumaryanto, Saptana, Nurmanaf AR, Wiryono B, Anugrah IS,
Sumedi. 1999. Kajian skim kredit usahatani menunjang pengembangan IP-
Padi 300 di Jawa Barat. Bogor (ID): PSEKP.
Syukur M, Mayrowani H, Sunarsih, Marisa Y, Fauzi M, Sutopo. 2000.
Peningkatan Peranan Kredit dalam Menunjang Agribisnis di Perdesaan
[Laporan Hasil Penelitian]. Bogor (ID): PSEKP.
Tampubolon SMH. 2002. Kredit Untuk Petani. Di dalam: Harianto, R. Pambudy,
Tungkot S, dan Burhanudin, editor. Suara dari Bogor Sistem dan Usaha
Agribisnis: Kacamata Sang Pemikir. Bogor (ID): Pusat Studi
Pembangunan IPB dan USESE Fondation. hlm 116-119.
Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ed ke-9, Jilid 1. Jakarta
(ID): Penerbit Erlangga.
Umar H. 2005. Metode Penelitian Untuk skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta (ID):
Raja Grafindo Persada.
Wahyuni S. 2003. Kinerja kelompok tani dalam sistem usahatani padi dan metode
pemberdayaannya. Jurnal Litbang Pertanian. 22(1):1-8.
Widya TA. 2012. Analisis dampak pelaksanaan program pengembangan usaha
agribisnis perdesaan (PUAP) [Tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Wijaya T. 2011. Step by Step Cepat Menguasai SPSS 19. Yogyakarta (ID):
Penerbit Cahaya Atma.
Xiaoping S. 2011. Improve the investment and financing environment and
promote sustainable development of agriculture in shandong province,
china. Management Science and Engineering. 5(4): 50-53.
Yamane T. 1967. Elementary Sampling Theory. Prentice-Hall Inc. Englewood
Cliffs.
Yeager T.J. 1999. Institutions, Transition Economies, and Economic
Development. Political Economy of Global Interdependence. London
(GB): Oxford pr.
Yustika AE. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan.
Jakarta (ID): Penerbit Erlangga.
102
Lampiran 1. Karakteristik Gapoktan Contoh Penerima PUAP
Parameter Profil Gapoktan
Nama Gapoktan : Saluyu Utama Mitra Tani Mitra Tani
Kabupaten : Subang Subang Subang
Kecamatan : Ciasem Ciasem Patok Besi
Desa : Ciasem Tengah Sukahaji Tambak Jati
Ketua : Nanung Jamhuri Ade Saeful Komar Manaf HP
Sekretaris : Muhidin Wuryantoro Muid Muhidin
Bendahara : Satori H. Ibrohim Ibnu Mas’ud
Terima PUAP : 2008 2008 2010
Jumlah Kelompok : 5 Kelompok Tani 7 Kelompok Tani 11 Kelompok Tani
Jumlah Anggota : 50 Orang 51 Orang 540 Orang
Nilai Pinjaman
(kredit) untuk
anggota
: Rp. 1 Juta (untuk
pemerataan pinjaman)
Rp. 1 Juta (untuk
pemerataan dan
mengantisipasi kredit macet
jika diberikan pinjaman
terlalu banyak)
Rp. 2 Juta (jika petani lancar
dan jujur maka untuk
peminjaman berikutnya
dinaikkan flaponnya s/d Rp. 3-
3,5 Juta)
Nilai Aset yang
dikelola s/d Mei
2014
: Rp. 229.154.000 Rp. 193.060.000 Rp. 180.000.000
Unit Usaha
Otonom Gapoktan
: 1. Simpan Pinjam
2. Menjual Saprodi
(benih & Pupuk)
1. Simpan Pinjam
2. Penjualan Saprodi
(Benih & Pupuk)
1. Simpan Pinjam
2. Penjualan Saprodi (Benih
& Pupuk)
3. Pengolahan & Pemasaran
Hasil
4. Jasa Alsintan
Jasa : 1,5 % per bulan 1,5 % per bulan 1,5% per bulan
Iuran Pokok : - - Rp. 100.000
Iuran Wajib : - - Rp. 20.000
Usaha Petani
Anggota
: 1. Padi
2. Hortikultura,
3. Palawija
1. Padi
2. Budidaya Jamur
Merang
3. Hortikultura
1. Padi
2. Hortikultura
3. Ternak (Kambing, ayam)
4. Bakulan
5. Palawija
Kendala Gapoktan : 1. Dana Rp. 100 Juta
untuk digulirkan ke
petani anggota kurang
2. Sulit menaikkan
flapond pinjaman, saat
ini baru mampu s/d
Rp. 1,5 juta (bagi
petani yang lancar
pengembaliannya pada
periode pinjaman
sebelumnya)
3. Pemasaran hasil padi
1. Mental petani anggota
kurang bagus, hampir
5% anggota terlambat
bayar (kredit macet)
karena ada anggapan
dari peminjam bahwa
BLM seperti BLT
yang tidak perlu
dikembalikan, dan
mereka saling
memprovokasi.
2. Pemasaran hasil padi
Tidak ada
Sarana &
Prasaranan
Gapoktan
: Kantor sekretariat:
Rumah Ketua Gapoktan
Fasilitas: Plang Nama
Gapoktan, Struktur
Organisasi, Buku
administrasi
Lainnya: -
Kantor sekretariat:
Rumah Ketua Gapoktan
Fasilitas: Plang Nama
Gapoktan, Struktur
Organisasi, Buku
administrasi
Lainnya: -
Kantor sekretariat: Bangunan
sendiri (terpisah dari rumah
ketua)
Fasilitas: Komputer PC,
Printer, Kursi, Meja, Plang
Nama Gapoktan, Lemari
Arsip, Struktur Organisasi,
Buku Administrasi
Lainnya: Memiliki Gudang
Beras, Lantai Jemur Uap, dan
Penggilingan Beras
Kerjasama : - - SHS: perbenihan padi
103
Lampiran 2. Karakteristik Gapoktan Contoh Non Penerima PUAP
Parameter Profil Gapoktan
Nama Gapoktan : Jaya Laksana Makmur Tani Warga Tani
Kabupaten : Subang Subang Subang
Kecamatan : Ciasem Patokbeusi Ciasem
Desa : Ciasem Hilir Ranca Bango Pinang Sari
Ketua : Waryo Dadang Nurdin
Sekretaris : H. Amin Hasan Aan
Bendahara : Sultoni Wahyudin Dedi Suhardi
Terima PUAP : - - -
Jumlah Kelompok : 7 Kelompok Tani 4 Kelompok Tani 8 Kelompok Tani
Jumlah Anggota : 70 Orang 41 Orang 117 Orang
Nilai Pinjaman
(kredit) untuk
anggota
: Rp. 500 ribu Rp. 500 ribu Rp. 500 ribu
Nilai Aset yang
dikelola s/d Mei
2014
: Rp. 55.360.000 Rp. 75.850.000 Rp. 51.750.000
Unit Usaha Otonom
Gapoktan
: 1. Simpan Pinjam
2. Menjual Saprodi (benih
& Pupuk)
3. Pengolahan &
pemasaran hasil
1. Simpan Pinjam
2. Penjualan Saprodi
(Benih & Pupuk)
3. Pengolahan &
pemasaran hasil
1. Simpan Pinjam
2. Jasa Alsintan
Jasa : 1,5 % per bulan 1,5 % per bulan 1,5% per bulan
Iuran Pokok : - - -
Iuran Wajib : - - -
Usaha Petani
Anggota
: 1. Padi
2. Hortikultura,
3. Krupuk
1. Padi
2. Budidaya Jamur
Merang
3. Ternak (kambing,
ayam)
4. Bakulan
1. Padi
2. Budidaya Jamur
Merang
Kendala Gapoktan : 1. Gapoktan kurang modal,
sulit menaikkan flapond
pinjaman, saat ini baru
mampu meminjamkan
s/d Rp. 500 ribu.
2. Pemasaran hasil padi
1. Gapoktan kurang
modal, sulit menaikkan
flapond pinjaman, saat
ini baru mampu
meminjamkan s/d Rp.
500 ribu.
2. Pemasaran hasil padi
1. Gapoktan kurang
modal, sulit
menaikkan flapond
pinjaman, saat ini
baru mampu
meminjamkan s/d
Rp. 500 ribu.
2. Pemasaran hasil
padi
Sarana & Prasaranan
Gapoktan
: Kantor sekretariat: Rumah
Ketua Gapoktan
Fasilitas: Plang Nama
Gapoktan, Struktur
Organisasi, Buku
administrasi
Lainnya: -
Kantor sekretariat:
Rumah Ketua Gapoktan
Fasilitas: Struktur
Organisasi, Buku
administrasi
Lainnya: -
Kantor sekretariat:
Rumah Ketua
Gapoktan
Fasilitas: Plang Nama
Gapoktan, Struktur
Organisasi, Buku
administrasi
Lainnya: -
Kerjasama : - - -
104
Lampiran 3. Hasil Analisis Usahatani Padi Petani PUAP
Harga/satuan Nilai
(Rp) (Rp)
A. Biaya (cost )
Benih 16.83 Kg 10,000 168,333
Pupuk
1) Urea 200.00 Kg 1,850 370,000
2) TSP/SP36 168.33 Kg 2,200 370,333
3) NPK 137.93 Kg 2,400 331,034
4) Organik 556.00 Kg 600 333,600
5) ZPT/PPC 1.00 Kg 208,235 208,235
6) Lainnya - -
Total Biaya Pupuk 1,613,203
Pestisida
1) Insektisida, Fungisida 15.00 Liter 98,697.78 1,480,467
2) Herbisida 1.00 Liter 189,333 189,333
Jumlah Biaya Pestisida 1,669,800
Tenaga Kerja
1) Pengolahan Tanah
1. Traktor 1.00 Unit 626,667 626,667
2. Meratakan Pematang
2.1. Upah Harian 5.27 HOK 40,000 210,667
2.2. Borongan 0.00 0 0 0
Jumlah Biaya Pengolahan Tanah 837,333
2) Tanam 1.00 Borongan 700,000 700,000
3) Penyiangan 20.60 HOK 40,000 824,000
4) Pemupukan 5.20 HOK 40,000 208,000
5) Pengendalian OPT 21.00 HOK 40,000 840,000
6) Panen (bawon) 1,066 Kg 4,000 4,262,222
7) Perontokan (Power Thresher) 1.00 Unit 808,333 808,333
Jumlah Biaya Tenaga Kerja 8,479,889
Biaya Lainnya
1) PBB 1 per musim 50,000 50,000
2) Iuran Desa 1 per musim 75,000 75,000
3) Iuran air/pompa/ulu-ulu 1 per musim 100,000 100,000
Jumlah Biaya Lainnya 225,000
Total Biaya (TC) 12,156,225
B. Total Penerimaan (TR) 6,657 Kg 4,200 27,959,400
C. Pendapatan kotor (TR-TC) 15,803,175
D. Hutang (risk premium ) per musim 1,590,000
E. Pendapatan Bersih 14,213,175
R/C 2.30
B/C 1.17
Komponen Jumlah Satuan
105
Lampiran 4. Hasil Analisis Usahatani Padi Petani Non PUAP
Harga/satuan Nilai
(Rp) (Rp)
A. Biaya (cost )
Benih 16.33 Kg 7,833 127,913
Pupuk
1) Urea 166.67 Kg 1,850 308,333
2) TSP/SP36 107.41 Kg 2,300 247,037
3) NPK 108.62 Kg 2,400 260,690
4) Organik 350.00 Kg 600 210,000
5) ZPT/PPC 1.00 Liter 174,750 174,750
6) Lainnya (bekas jamur) 1.00 Kg 142,222 142,222
Total Biaya Pupuk 1,343,032
Pestisida
1) Insektisida, Fungisida 9.00 Liter 80,574 725,167
2) Herbisida 1.00 Liter 89,600 89,600
Jumlah Biaya Pestisida 814,767
Tenaga Kerja
1) Pengolahan Tanah
1. Traktor 1.00 Unit 551,667 551,667
2. Meratakan Pematang
2.1. Upah Harian 0.00 HOK - -
2.2. Borongan 1.00 Borongan 253,833 253,833
Jumlah Biaya Pengolahan Tanah 805,500
2) Tanam 1.00 Ceblokan 149,333 149,333
3) Penyiangan 17.37 HOK 40,000 694,667
4) Pemupukan 4.10 HOK 40,000 164,000
5) Pengendalian OPT 13.77 HOK 40,000 550,667
6) Panen (bawon) 865 Kg 4,000 3,460,000
7) Perontokan (Power Thresher) 1.00 Unit 716,667 716,667
Jumlah Biaya Tenaga Kerja 6,540,833
Biaya Lainnya
1) PBB 1 per musim 50,000 50,000
2) Iuran Desa 1 per musim 75,000 75,000
3) Iuran air/pompa/ulu-ulu 1 per musim 100,000 100,000
Jumlah Biaya Lainnya 225,000
Total Biaya (TC) 9,051,545
B. Total Penerimaan (TR) 5,190 Kg 4,000 20,760,000
C. Pendapatan kotor (TR-TC) 11,708,455
D. Hutang (risk premium ) per musim 1,898,667
E. Pendapatan Bersih 9,809,788
R/C 2.29
B/C 1.08
SatuanKomponen Jumlah
106
Lampiran 5. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pendapatan Usahatani Padi
Group Statistics
Keanggotaan_
Petani N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Pendapatan_UT_Padi PUAP 30 14213175.00 2906796.094 530705.930
NON PUAP 30 9809788.09 2212570.956 403958.341
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval
of the Difference
F Sig. t df Sig.
(2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference Lower Upper
Pendapatan_UT_Padi
Equal variances assumed
8.184 .006 6.366 58 .000 4245577.700 666956.614 2910518.984 5580636.416
Equal variances not assumed
6.366 54.159 .000 4245577.700 666956.614 2908499.974 5582655.426
107
Lampiran 6. Hasil Analisis Person Product Moment Terhadap Hubungan
Kinerja Gapoktan dengan Pendapatan Usahatani Padi
108
Lampiran 7. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Benih pada
Usahatani Padi Petani Sampel
Group Statistics
Keanggotaan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Benih PUAP 30 16.83 2.780 .508
NonPUAP 30 16.33 3.925 .717
109
Lampiran 8. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk Urea
pada Usahatani Padi Petani Sampel
Group Statistics
Keanggotaan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Urea PUAP 30 200.00 45.486 8.305
NonPUAP 30 166.67 51.417 9.387
110
Lampiran 9. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk TSP
pada Usahatani Padi Petani Sampel
Group Statistics
Keanggotaan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
TSP PUAP 30 168.3333 33.43376 6.10414
NonPUAP 30 96.6667 55.60534 10.15210
111
Lampiran 10. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk NPK
pada Usahatani Padi Petani Sampel
Group Statistics
Keanggotaan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
NPK PUAP 30 133.33 46.113 8.419
NonPUAP 30 105.00 54.694 9.986
112
Lampiran 11. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Pupuk
Organik pada Usahatani Padi Petani Sampel
Group Statistics
Keanggotaan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Organik PUAP 30 463.3333 268.43523 49.00934
NonPUAP 30 81.6667 173.44548 31.66667
113
Lampiran 12. Hasil Analisis Uji Beda (Uji T) Terhadap Pemakaian Tenaga Kerja
pada Usahatani Padi Petani Sampel
Group Statistics
Keanggotaan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
TenagaKerja PUAP 30 66.07 7.969 1.455
NonPUAP 30 55.24 7.734 1.412
114
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 17 September 1977
dari ayah H. Sa’ad dan Ibu Hj. Atjah Hadijah. Penulis merupakan anak ketiga dari
lima bersaudara.
Pendidikan formal penulis diawali di SD Negeri Sindang Rasa Bogor, dari
tahun 1984 – 1990. Kemudian penulis melanjutkan studi di SLTP Negeri 3
Ciomas Bogor dan lulus tahun 1993. Pada tahun 1996, penulis lulus dari SLTA
PGRI 1 Bogor. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Universitas
Djuanda Bogor, pada Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2001. Penulis mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister di Institut Pertanian
Bogor, Program Studi Magister Sains Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen pada tahun 2012 melalui beasiswa Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Pada tahun 2001, penulis bekerja sebagai staf pada Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP) Bogor di bawah Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia Pada
tahun 2005 sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai peneliti pada Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) Bogor di
bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian
Republik Indonesia.
Penulis menikah dengan Harmi Andrianyta pada 22 Januari 2006.
Dikaruniai dua orang anak. Anak pertama Muhammad Haikal Harsyaputra, lahir
pada tanggal 3 April 2008, dan anak kedua Hayumi Azzahra Harsyaputri, lahir
pada tanggal 15 Mei 2013.
Selama mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Sains
Agribisnis, penulis telah mempublikasikan sebuah artikel yang berjudul “Peran
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Terhadap Kinerja Gapoktan
dan Pendapatan Usahatani Padi di Kabupaten Subang”. Artikel tersebut
diterbitkan pada Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
(JPPTP) BBP2TP Volume 18 Nomor 1 Tahun 2015 (terakreditasi dengan SK No.
280/AU1/P2MBI/05/2010, tanggal 6 Mei 2010). Penulis merupakan anggota
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) dan Himpunan
Mahasiswa Wirausaha Pascasarjana (HIMAWIPA) IPB.