PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN KAWASAN WISATA PANTAI SANUR KOTA DENPASAR PROVINSI BALI
RIEKE KUSUMA DEWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Ekosistem Lamun Kawasan Wisata Pantai Sanur Denpasar Provinsi Bali adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2012
Rieke Kusuma Dewi NIM C252090081
ABSTRACT Rieke Kusuma Dewi, Ecosystem management of seagrass on the tourism area at Sanur Beach, Denpasar City, Bali. Under direction of Yusli Wardiatno and Isdradjad Setyobudiandi.
Sanur is a famous beach with its white sand and a beautiful sunrise. Besides, a vast expanse of seagrass ecosystems which is provode a high diversity of marine life, covered all over the coast area of Sanur. Unfortunately, we find a less information and discussion of this seagrass ecosystem on the area. The purpose of this research is to analyze the existing conditions and the characteristics of chemical physics of Sanur Coast based on the condition of seagrass ecosystems and their associated biota and furthermore is to make a good management strategies to the seagrass in Sanur Coast. The datas are consists of primary and secondary. Primary data consists of water quality, Coastal profile, and the structure of seagrass vegetation. As for the secondary data are socio-economical data, climate, currents, tides and other supporting data in the study area. These data are obtained from Udayana University, National Bureau of Statistics of Bali Province, Bogor Agricultural University, and Fisheries and Maritime Affairs in Denpasar Bali.This research shows that there are 6 (six) species of seagrass existing in Sanur Coastal. They are Enhalus acoroides (15%), Cymodocea rotundata (24%), Cymodocea serrulata (23%), Halophila ovalis (7%), Halophila uninervis (14%), Syringodium isoetifolium (17%). Keywords : seagrass ecosystem, management, Sanur Coastal
RINGKASAN Rieke Kusuma Dewi. Pengelolaan Ekosistem Lamun Kawasan Wisata Pantai Sanur Kota Kota Denpasar Provinsi Bali. Dibimbing oleh Yusli Wardiatno dan Isdradjad Setyobudiandi.
Ekosistem lamun yang ada di wilayah pesisir Kota Denpasar menyebar
mulai dari Depan Hotel Grand Bali Beach hingga Pantai Mertasari. Lamun yang ada di sepanjang perairan Sanur tumbuh di hamparan pantai sepanjang sekitar 8 km yang terbentang dari Hotel Grand Bali Beach sampai Mertasari. Substrat dasar tempat lamun itu tumbuh terdiri atas pasir, pecahan karang, karang mati, batuan massif, karang dan algae. Di Pantai Padanggalak hingga pantai Matahari Terbit, tidak ada lamun karena ombaknya besar dan tidak terlindung oleh karang penghalang di depannya.
Dibandingkan dengan sumberdaya pesisir dan laut lainnya seperti terumbu karang, ikan, atau mangrove, bahwa lamun kurang mendapat perhatian selama ini. Hal ini disebabkan terutama karena kurangnya kesadaran akan pentingnya sumberdaya lamun ini. Berdasarkan pemikiran akan pentingnya sumberdaya padang lamun ini, maka kegiatan pengelolaan padang lamun penting dan mendesak untuk dilakukan. Agar pengelolaan dapat berlaku secara berkelanjutan dan bernilai guna, maka terlebih dahulu perlu adanya rencana strategi pengelolaan ekosistem padang lamun secara komprehensif dan terpadu.
Pantai Sanur adalah daerah wisata yang ramai dikunjungi wisatawan dari mancanegara dan domestik di pulau dewata di Bali. Di lokasi dengan kondisi seperti ini banyak dimanfaatkan untuk kegiatan renang dan kegiatan wisata lainnya. Ditambah pada kawasan ini beberapa hotel berbintang juga berdiri tepat di bibir pantai Sanur. Akibatnya limbah dari kegiatan manusia ini akan masuk secara langsung ke perairan. Ini mengakibatkan lamun yang tumbuh alami tersebut semakin hari semakin tertekan yang mengarah kepada terjadinya degradasi lingkungan pantai yang lebih serius. Penambatan perahu dan pembuatan jalur masuk perahu pada beberapa tempat membuat kerusakan terhadap ekosistem ini. Minimnya informasi serta pengelolaan terhadap ekosistem lamun mengakibatkan lamun tidak diperhatikan dalam pelestariannya dibanding ekosistem terumbu karang maupun mangrove. Ekosistem lamun di Bali sudah banyak terdegradasi akibat adanya aktivitas masyarakat dan pembangunan seperti pengambilan batu karang, reklamasi Pulau Serangan dan budidaya rumput laut di Pulau Nusa Penida dan Lembongan, serta aktivitas pariwisata tirta di lokasi yang berdekatan dengan habitat padang lamun tersebut, tak terkecuali yang ada di Pantai Sanur.
Dari berbagai permasalahan yang dihadapi ekosistem lamun pantai Sanur maka tujuan dari penelitian adalah : (1) Menganalisis kondisi existing ekosistem lamun dan karakteristik fisik—kimia Pantai Sanur Bali berdasarkan kondisi ekosistem lamun berserta biota yang berasosiasi ; (2) Menganalisa kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang beraktifitas di Pantai Sanur ; (3) Membuat strategi pengelolaan ekosistem lamun pantai Sanur Bali. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah ; (1) Menginformasikan kondisi terkini sumberdaya lamun untuk pengembangan ilmu pengetahuan bidang kajian pengelolaan dan konservasi ekosistem lamun ; (2) Sebagai bahan pertimbangan
untuk menyusun strategi dan kebijkan pengelolaan ekosistem padang lamun pantai Sanur Bali secara terpadu dan berkelanjutan.
Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Cakupan objek penelitian adalah kawasan wisata Pantai Sanur. Waktu penelitian dimulai bulan November 2010 sampai Maret 2011. Penelitian ini diawali dengan observasi lapangan dan pengumpulan data sekunder, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan data primer pada ekosistem lamun. Metode analisa data untuk membuat suatu pengelolaan ekosistem lamun yang menjadi obyek penelitian dilakukan dengan melibatkan berbagai macam variabel. Untuk menghitung struktur komunitas lamun dilakukan dengan menggunakan rumus nilai kerapatan jenis dan kerapatan relatif, nilai frekuensi dan frekuensi relatif serta nilai penutupan dan penutupan relatif. Setelah itu menggunakan rumus INP (Indeks Nilai Penting) untuk menghitung dan menduga peranan jenis lamun. Untuk perhitungan analisis kimia fisika perairan penelitian ini menggunakan rumus PCA (Principal Componen Analysis) untuk melihat variasi dalam kualitas air di pantai Sanur. Setelah itu pengelolaan ekosistem lamun dengan analisis deskriptif dengan menjabarkan hasil penelitian yang telah dilakukan.Hasil dari penelitian ini adalah ditemukan 6 spesies lamun di pantai Sanur yaitu Syringodium isoetifolium, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, dan Enhalus acoroides. Kondisi ekosistem lamun Pantai Sanur masih dalam keadaan baik dengan jumlah individu lamun sebanyak 6 spesies dan kondisi perairan yang masih mendukung kehidupan lamun dan biota perairan yang berasosiasi didalamnya. Walaupun demikian ada juga beberapa parameter fisik-kimia air laut yang perlu mendapatkan perhatian khusus seperti kandungan nitrat. fosfat. dan TSS yang telah melebihi baku mutu kualitas air laut untuk kawasan wisata. Adanya hubungan antara ekosistem lamun dengan biota yang berasosiasi dengan lamun.
Persepsi wisatawan terhadap kawasan wisata dan ekosistem lamun termasuk dalam kategori baik yang ditunjukan pada prosentase pengetahuan dan apresiasi wisatawan yang baik. serta adanya upaya untuk melestarikan kawasan wisata ini. Perlu adanya pemantaun kualitas air lingkungan perairan pantai Sanur secara time series untuk memonitor dan mengendalikan pencemaran yang ada di pantai Sanur.
Sejauh ini pengelolaan ekosistem lamun masih kurang diperhatikan dibandingkan ekosistem lainnya seperti mangrove dan terumbu karang. Sudah saatnya perhatian diberikan kepada ekosistem ini mengingat fungsi dari ekosistem ini yang banyak dan saling mempengaruhi terhadap ekosistem lain. Pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan akan melestarikan ekosistem ini sehingga fungsinya akan tetap terjaga dengan baik. Kata Kunci : Ekosistem Lamun, Pengelolaan, Pantai Sanur, Kawasan wisata, Denpasar
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN KAWASAN WISATA PANTAI SANUR KOTA DENPASAR PROVINSI BALI
RIEKE KUSUMA DEWI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
Judul Penelitian : Pengelolaan Ekosistem Lamun Kawasan Wisata Pantai Sanur Kota Denpasar Provinsi Bali
Nama : Rieke Kusuma Dewi
NRP : C252090081
Pogram Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 29 Juni 2012 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan ridho-nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis
dengan judul Pengelolaan Ekosistem Lamun Kawasan Wisata Pantai Sanur Kota
Denpasar Provinsi Bali.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima
kasih kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan
kepada penulis hingga menyelesaikan studi ini, terutama Ketua Komisi
Pembimbing Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc dan Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi,
M. Sc selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membantu dan
memberikan saran dan bimbingan, kepada teman-teman mahasiswa Program SPL
yang telah memberikan masukan yang sangat berarti untuk perbaikan karya ini.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada
kedua orang tua yang telah memberikan doa, dukungan dan semangat yang penuh.
Serta kakak dan adik yang memberikan banyak masukan yang memotivasi
penulis.
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Olehnya kritik dan saran sangat diharapkan dari semua pihak sehingga dapat
menjadi motivasi bagi penulis. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2012
Rieke Kusuma Dewi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang Propinsi Jawa Timur tanggal 13 Agustus
1984 dari Ayah Sutarman dan Ibu Dyah Murtiningsih. Penulis merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara.
Pada tahun 2008 Penulis berhasil menyelesaikan program Sarjana
Manajemen Sumberdaya Perairan di Fakultan Perikanan dan Kelautan
Universitas Brawijaya. Tahun 2009 penulis melanjutkan Studi pada
Program Magister Sains di program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xv
1. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 11.2. Perumusan Masalah ................................................................................... 21.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ .. 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 5
2.1. Ekosistem Padang Lamun .......................................................................... 52.2. Kondisi Lingkungan Perairan Ekosistem Padang Lamun .......................... 82.3 Peranan Ekosistem Padang Lamun .......................................................... 112.4 Pola Habitat dan Ancaman pada Ekosistem Lamun ................................ 152.5 Nilai Ekologi dan Ekonomi Ekosistem Padang Lamun ........................... 192.6 Pengelolaan Padang Lamun ..................................................................... 21
3. METODOLOGI PENELITAN ......................................................................... 25
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 253.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................................. 253.3 Metode Pengambilan Sampel ................................................................... 253.4 Analisis Data ............................................................................................. 293.5 Pengelolaan Ekosistem Lamun Pantai Sanur ............................................ 32
4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................................. 33
4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian ............................................................ 334.2 Kondisi Oseanografi .................................................................................. 334.3 Kondisi Sosial Pesisir Sanur ..................................................................... 344.4 Kondisi Iklim Perairan Pantai Sanur ......................................................... 354.5 Kondisi Fisik Perairan Pantai Sanur ......................................................... 36
5. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 37
5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ...................................................................... 375.2 Struktur Komunitas Lamun ....................................................................... 385.3 Karakteristik Pantai ................................................................................... 445.4 Karakteristik Sosial ................................................................................... 545.5 Strategi Pengelolaan Ekosistem Lamun Pantai Sanur ............................... 61
6. SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 65
6.1 Simpulan ................................................................................................... 656.2 Saran .......................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 67
xix
DAFTAR GAMBAR Halaman
1. Kerangka Pikir Penelitian ................................................................................... 4
2. Kuadran Pengambilan contoh ........................................................................... 27
3. Model Alat Pengukur Kemiringan Lereng (Profiler) ....................................... 27
4. Grafik nilai kerapatan spesies lamun di Pantai Sanur ....................................... 39
5. Nilai penutupan spesies lamun di pantai Sanur ................................................. 40
6. Grafik nilai frekuensi spesies lamun di pantai Sanur ........................................ 41
7. Grafik nilai INP spesies lamun di pantai Sanur ................................................ 42
8. Peta Sebaran Lamun di Pantai Sanur ................................................................ 43
9. a) Grafik Analisis Komponen Utama karakteristik Fisik-Kimia ...................... 46
b) Sebaran stasiun Penelitian ............................................................................ 46
10. Dendogram klasifikasi hierarki berdasarkan disimilaritas karakteristik fisik-kimia masing-masing stasiun. ........................................................................ 50
11 Grafik kelimpahan biota di padang lamun Pantai Sanur ................................. 52
12. Peta Sebaran Biota di Pantai Sanur ................................................................ 53
13. Peta Sebaran Lamun dan Sebaran Biota di Pantai Sanur ................................ 56
14. Pendapatan wisatawan Pantai Sanur ............................................................... 58
15 Persepsi Wisatawan Terhadap Pantai Sanur ................................................... 58
16. Persepsi Wisatawan Terhadap Nilai Estetika Padang Lamun ........................ 59
17. Persepsi Wisatawan Terhadap Kehadiran Lamun .......................................... 59
18. Persepsi Wisatawan Terhadap Fungsi Ekosistem Lamun ............................... 60
19. Pendapatan wisatawan terhadap Konservasi Lamun ...................................... 61
xxi
DAFTAR TABEL Halaman
1. Paramater Fisik dan Kimia Ekosistem Lamun .................................................. 45
2. Data Parameter Fisik Kimia Pantai Sanur Tahun 2011 .................................... 47
3. Parameter fisik-kimia air laut pantai Sanur tahun 2000 dan 2006 ................... 48
4. Matriks korelasi parameter fisik-kimia ............................................................. 49
5. Rencana Strategi Pengelolaan Ekosistem Lamun di Pantai Sanur .................... 64
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1. Lokasi Penelitian dan Stasiun Pengamatan....................................................... 75
2. Stasiun Pengamatan .......................................................................................... 76
3. Kuisioner ........................................................................................................... 77
4. Perhitungan Nilai Kerapatan, Frekuensi dan Penutupan serta INP Lamun di
Pantai Sanur………………………………………………………………….. 79
5. Data Responden……………………………………………………………... 83
6. Perhitungan Kelimpahan Biota………………………………………………. 84
7. Kemiringan Lereng…………………………………………………………....85
8. Kawasan penelitian Pantai Sanur Bali……………………………………….. 86
xv
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan panjang garis pantai
81.000 km, Indonesia memiliki wilayah pesisir dan lautan yang sangat luas
(Dahuri 1999). Di wilayah pesisir dapat dijumpai beberapa ekosistem, seperti
hutan mangrove, rawa payau, padang lamun, rumput laut, dan terumbu karang.
Ekosistem tersebut di atas berperan sebagai penyedia berbagai sumberdaya alam
dan sebagai penyangga kehidupan. Di antara ekosistem di wilayah pesisir yang
belum banyak dikenal dan diperhatikan adalah padang lamun.
Lamun merupakan produsen primer di perairan dangkal di seluruh dunia dan
merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme. Dengan adanya
produksi primer yang tinggi ini, maka dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi
lamun adalah menjaga atau memelihara produktivitas dan stabilitas ekosistem
pesisir. Hal ini dapat diartikan bahwa lamun merupakan unsur utama dalam
proses-proses siklus yang cukup rumit dan memelihara tingginya produktivitas
daerah pesisir.
Pesisir perairan Indonesia dengan garis pantai yang sangat panjang diduga
mempunyai padang lamun yang terluas di daerah tropik. Pengamatan struktur
komunitas padang lamun yang telah dilakukan sejak tahun 1984 adalah usaha
untuk memberikan informasi tentang padang lamun di perairan Indonesia.
Walaupun demikian, informasi yang tersedia tentang struktur komunitas padang
lamun dan ekologinya dari perairan Indonesia masih sedikit sekali yaitu belum
mencapai 20 % dari luas wilayah perairan Indonesia (Kiswara 1999 ).
Ekosistem lamun ang ada di wilayah pesisir Kota Denpasar menyebar mulai
dari Depan Hotel Grand Bali Beach hingga Pantai Mertasari. Lamun yang ada di
sepanjang perairan Sanur tumbuh di hamparan pantai sepanjang sekitar 8 km yang
terbentang dari Hotel Grand Bali Beach sampai Mertasari. Substrat dasar tempat
lamun itu tumbuh terdiri atas pasir, pecahan karang, karang mati, batuan massif,
karang dan algae. Di Pantai Padanggalak hingga pantai Matahari Terbit, tidak ada
lamun karena ombaknya besar dan tidak terlindung oleh karang penghalang di
depannya.
2
Dibandingkan dengan sumberdaya pesisir dan laut lainnya seperti terumbu
karang, ikan, atau mangrove, bahwa lamun kurang mendapat perhatian selama ini.
Hal ini disebabkan terutama karena kurangnya kesadaran akan pentingnya
sumberdaya lamun ini. Berdasarkan pemikiran akan pentingnya sumberdaya
padang lamun ini, maka kegiatan pengelolaan padang lamun penting dan
mendesak untuk dilakukan. Agar pengelolaan dapat berlaku secara berkelanjutan
dan bernilai guna, maka terlebih dahulu perlu adanya rencana strategi pengelolaan
ekosistem padang lamun secara komprehensif dan terpadu.
1.2. Perumusan Masalah
Pantai Sanur adalah daerah wisata yang ramai dikunjungi wisatawan dari
mancanegara dan domestik di pulau dewata di Bali. Di lokasi dengan kondisi seperti
ini banyak dimanfaatkan untuk kegiatan renang dan kegiatan wisata lainnya.
Ditambah pada kawasan ini beberapa hotel berbintang juga berdiri tepat di bibir
pantai Sanur. Akibatnya limbah dari kegiatan manusia ini akan masuk secara
langsung ke perairan. Ini mengakibatkan lamun yang tumbuh alami tersebut semakin
hari semakin tertekan yang mengarah kepada terjadinya degradasi lingkungan pantai
yang lebih serius. Penambatan perahu dan pembuatan jalur masuk perahu pada
beberapa tempat membuat kerusakan terhadap ekosistem ini. Minimnya informasi
serta pengelolaan terhadap ekosistem lamun mengakibatkan lamun tidak diperhatikan
dalam pelestariannya dibanding ekosistem terumbu karang maupun mangrove.
Ekosistem lamun di Bali sudah banyak terdegradasi akibat adanya aktivitas
masyarakat dan pembangunan seperti pengambilan batu karang, reklamasi Pulau
Serangan dan budidaya rumput laut di Pulau Nusa Penida dan Lembongan, serta
aktivitas pariwisata tirta di lokasi yang berdekatan dengan habitat padang lamun
tersebut, tak terkecuali yang ada di Pantai Sanur (Gambar 1).
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari berbagai permasalahan yang dihadapi ekosistem lamun pantai Sanur
maka tujuan dari penelitian adalah :
1. Menganalisis kondisi existing ekosistem lamun dan karakteristik fisik—kimia
Pantai Sanur Bali berdasarkan kondisi ekosistem lamun berserta biota yang
berasosiasi.
3
2. Menganalisa kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang
beraktifitas di Pantai Sanur.
3. Membuat strategi pengelolaan ekosistem lamun pantai Sanur Bali.
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah :
1. Menginformasikan kondisi terkini sumberdaya lamun untuk pengembangan
ilmu pengetahuan bidang kajian pengelolaan dan konservasi ekosistem
lamun.
2. Sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun strategi dan kebijkan
pengelolaan ekosistem padang lamun pantai Sanur Bali secara terpadu dan
berkelanjutan.
4
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
FUNGSI PADANG LAMUN
PEMANFAATAN
SOSEKBUD EKOLOGI
DEGRADASI
ALAMIAH ANTHROPOGENIK
ANALISA
SOSEKBUD BIOFISIK
- Struktur komunitas (INP) - Kualitas air (PCA) - Substrat - Kemiringan lereng
- Wisatawan - Antropogenik activity
PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PANTAI SANUR BALI
EKOSISTEM LAMUN PANTAI SANUR BALI
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Padang Lamun
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga
(Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup teredam
di dasar laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah
(propagule) yang dihasilkan secara seksual (Mann 2000).
Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang
masih dapat terjangkau oleh sinar matahari yang memadai bagi pertumbuhannya.
Lamun hidup di perairan dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar 1 – 12 meter
dengan sirkulasi air yang baik (Mann 2000). Air bersirkulasi diperlukan untuk
menghantarkan zat–zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme
lamun ke luar daerah padang lamun.
Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai substrat
berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering
ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan
terumbu karang.
Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 55 jenis lamun, di mana di
Indonesia sekitar 12 jenis dominan yagn termasuk dalam 2 famili : (1)
Hydrocharitaceae dan (2) Potamogetonaceae. Jenis yang membentuk komunitas
padang lamun tunggal antara lain : Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,
Halophila ovalis, Cymodocea serrulata dan Thalassodendron ciliatum (Bengen,
2001). Dua jenis lainnya Halophila spinulosa dan Halophila dicipiens tercatat
hanya di beberapa lokasi saja. Tahun 2007, ditemukan jenis baru, Halophila
sulawesi, di perairan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan (Kuo 2007).
Penelitian terakhir menunjukkan ada sekitar 13 jenis lamun telah dilaporkan
terdapat di perairan Indonesia (Kuo 2007). Di samping itu, ada dua jenis yakni
Halophila beccarii dan Ruppia maritima yang dipercaya terdapat di Indonesia,
meskipun keberadaan keduanya hanya diketahui dari herbarium lama yang
tersimpan di Herbarium Bogor). H. beccarii tanpa informasi yang jelas lokasinya,
sedangkan R. maritima ditemuai di kawasan mangrove sekitar Ancol (Jakarta) dan
Pasir Putih (Jawa Timur). Namun setelah itu tidak pernah ditemukan lagi di
lapangan oleh para peneliti. Sampai beberapa dekade terakhir ini,
6
Thalassodendron ciliatum menunjukkan sebaran yang sangat khusus yakni hanya
terdapat di perairan Indonesia bagian timur, di Maluku dan Nusa Tenggara.
Tetapi menurut Tomascik et al. (1997) dan Kiswara et al (1985), jenis itu terdapat
juga di Indonesia bagian barat yakni di perairan Kangean dan Kepulauan Riau.
Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya
dengan produktivitas primer berkisar antara 900 – 4650 g c/m2/tahun. Pada
ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, krustacea, moluska
(Pinna sp, Lambis sp, Strombus sp), ekinodermata (Holothuria sp, Synapta sp,
Diadema sp, Arcbaster sp, Linckia sp) dan cacing (Polichaeta) (Bengen 2001).
Lamun merupakan tumbuhan laut yang memiliki sebaran yang cukup luas.
Zonasi sebaran lamun dari pantai ke arah tubir, perbedaan yang terdapat biasanya
pada komposisi jenisnya (vegetasi tunggal atau campuran) maupun luas
penutupannya. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas, baik yang
bersifat padang lamun tunggal maupun padang lamun campuran. Jenis yang
membentuk komunitas padang lamun tunggal antara lain Thalassia hemprichii,
Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, Thalassodendron ciliatum dan Enhalus
acoroides.
Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya,
dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup
beraneka ragam biota laut seperti ikan, Krustasea, Moluska (Pinna sp., Lambis sp.,
dan Strombus sp.), Ekinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp.,
Arcbaster sp.,Linckia sp.) dan cacing (Polichaeta) (Bengen, 2001).
Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut
dangkal yang paling produktif. Di samping itu ekosistem lamun mempunyai
peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di
laut dangkal, menurut hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di
lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut:
Sebagai produsen primer
Sedangkan menurut Philips & Menez (1988), ekosistem lamun merupakan
salah satu ekosistem bahari yang produktif. ekosistem lamun perairan dangkal
mempunyai fungsi antara lain:
7
1. Menstabilkan dan menahan sedimen–sedimen yang dibawa melalui
tekanan–tekanan dari arus dan gelombang.
2. Daun-daun memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta
mengembangkan sedimentasi.
3. Memberikan perlindungan terhadap hewan–hewan muda dan dewasa
yang berkunjung ke padang lamun.
4. Daun–daun sangat membantu organisme-organisme epifit.
5. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.
6. Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur
rantai makanan.
Selanjutnya dikatakan Philips & Menez (1988), lamun juga sebagai
komoditi yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara
tradisional maupuin secara modern. Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan
untuk :
1. Digunakan untuk kompos dan pupuk
2. Cerutu dan mainan anak-anak
3. Dianyam menjadi keranjang
4. Tumpukan untuk pematang
5. Mengisi kasur
6. Ada yang dimakan
7. Dibuat jaring ikan
Pada zaman modern ini, lamun telah dimanfaatkan untuk:
1. Penyaring limbah
2. Stabilizator pantai
3. Bahan untuk pabrik kertas
4. Makanan
5. Obat-obatan dan sumber baha kimia
6. Sumber bahan kimia.
Selain itu kerusakan padang lamun oleh manusia akibat pemarkiran perahu
yang tidak terkontrol (Sangaji 1994). Limbah pertanian, industri, dan rumah
tangga yang dibuang ke laut, pengerukan lumpur, lalu lintas perahu yang padat,
dan lain-lain kegiatan manusia dapat mempunyai pengaruh yang merusak lamun.
8
Di tempat hilangnya padang lamun, perubahan yang dapat diperkirakan menurut
Fortes (1989), yaitu:
1. Reduksi detritus dari daun lamun sebagai konsekuensi perubahan dalam
jaring-jaring makanan di daerah pantai dan komunitas ikan.
2. Perubahan dalam produsen primer yang dominan dari yang bersifat
bentik yang bersifat planktonik.
3. Perubahan dalam morfologi pantai sebagai akibat hilangnya sifat-sifat
pengikat lamun.
4. Hilangnya struktural dan biologi dan digantikan oleh pasir yang gundul
2.2. Kondisi Lingkungan Perairan Ekosistem Padang Lamun
Beberapa kondisi lingkungan yang perlu diperhatikan dalam pengkajian
ekosistem padang lamun adalah sebagai berikut :
2.2.1.Suhu
Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di
laut karena suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme dan pertumbuhan organism
tersebut (Hutabarat dan Evans 1986). Suhu air permukaan di perairan Nusantara
kita umumnya berkisar antara 28 – 31o
Pada kondisi cahaya cukup, kebanyakan lamun mempunyai suhu optimum
untuk berfotosintesis sekitar 25 – 35
C. Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh
kondisi meteorology. Faktor – faktor yang berperan antara lain curah hujan,
penguapan, kelembaban udara, suhu, kecepatan angin, dan intensitas cahaya
matahari (Nontji 2007).
oC. Tumbuhan lamun yang hidup di daerah
tropis umumnya tumbuh pada daerah dengan kisaran suhu air antara 20 – 30oC,
sedangkan suhu optimumnya adalah 28 – 30oC (Supriharyono 2009). Pengaruh
suhu bagi lamun sangat besar, suhu mempengaruhi proses fisiologi, yaitu
fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan, dan reproduksi. Proses – proses fisiologi
tersebut akan menurun tajam apabila suhu perairan berada di luar kisaran suhu
optimum (Dahuri 2003). Suhu yang tingi akan mengakibatkan banyaknya daun
yang hilang dan menaikkan suhu sedimen. Kenaikan suhu sedimen akan
menyebabkan tanaman lamun mati (BTNKpS 2008).
9
2.2.2 Arus
Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan
oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut dan gerakan periodik jangka
panjang. Arus yang disebabkan oleh gerakan periodik jangka panjang ini adalah
arus yang disebabkan oleh pasang surut. Arus yang disebabkan oleh pasang surut
biasanya banyak diamati diperairan teluk dan pantai (Nontji 2007). Pergerakan air
sangat menentukan pertumbuhnan tanaman air, baik yang mengapung maupun
yang menancap di dasar perairan, seperti lamun. Pengaruh pergerakan air,
khususnya terhadap pertumbuhan lamun antara lain terkait dengan suplai unsur
hara, sediaan gas – gas terlarut, serta menghalau sisa – sisa metabolisme atau
limbah. Kecepatan arus yang sangat tinggi dan turbulensi dapat mengakibatkan
baiknya padatan tersuspensi yang berlanjut pada reduksi penetrasi cahaya ke
dalam air atau turunnya kecerahan air. Kondisi ini dapat menyebabkan rendahnya
laju produksi tumbuhan lamun (Supriharyono 2009).
2.2.3 Kecerahan dan kekeruhan
Kekeruhan berkaitan erat dengan tipe substrat dasar dan partikel lain yang
terlarut dalam air. Perairan dengan dasar substrat berlumpur cenderung memiliki
kekeruhan yang tinggi. Pada daerah muara sungai tingkat kekeruhan lebih
dipengaruhi oleh banyaknya bahan anorganik daripada bahan organik (Tinsley
1979).
Pada perairan yang keruh, cahaya merupakan faktor pembatas untuk
pertumbuhan dan produktifitas lamun (Hutomo 1997). Penelitian tentang faktor
kekeruhan di padang lamun di perairan Grenyang. Teluk Banten, Jawa Barat,
cenderung berfluktuasi dari 11.80 – 28.74 NTU. Hal ini berkaitan erat dengan tipe
substrat, kedalaman air dan keadaan cuaca (angin dan gelombang). Pengaruh
nyata dari kekeruhan terhadap pertumbuhan dan bobot Enhalus acoroides, dimana
pertumbuhan tertinggi terdapat pada lokasi perairan yang dangkal. Mahida (1993)
menjelaskan kekeruhan yang terjadi di kolom air disebabkan oleh bahan – bahan
organik, jazat renik, dan lumpur dan kekeruhan ini dapat mengganggu penetrasi
cahaya yang masuk ke dalam kolom air dan berdampak langsung terhadap
10
aktifitas fotosintesis oleh organisme yang berada di dalam kolom air seperti
lamun, sehingga jumlah produktifitas primer yang dihasilkan akan berkurang.
2.2.4 Padatan Tersuspensi Total (TSS)
Padatan tersuspensi total atau TSS adalah bahan – bahan tersuspensi
(diameter > 1μm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori
0,45 μm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad – jasad renik yang
terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air
(Effendi, 2003). Pada perairan yang tingkat erosi dan sedimentasinya tinggi,
sedimen (padatan tersuspensi) akan menghalangi cahaya matahari sehingga
mempengaruhi pertumbuhan lamun, dan dalam jangka waktu yang lama kerapatan
tanaman lamun akan menurun (BTNKpS 2008).
Kekeruhan karena suspense sedimen dapat menghambat penetrasi cahaya
dan secara otomatis kondisi ini akan mempengaruhi kehidupan lamun. Sedimen –
sedimen halus, baik yang berasal dari erosi daratan pantai atau limpahan sungai
maupun pengikisan dasar laut melayang – laying dan akhirnya mengendap di
perairan tempat lamun tumbuh serta menempel pada permukaan daun lamun.
Kondisi seperti ini dapat mengganggu kehidupan lamun (Suprihayono 2009).
2.2.5 Salinitas
Salinitas atau kadar garam yaitu jumlah berat semua garam (dalam garam)
yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan o/oo (permil).
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi
air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai (Nontji 2007). Salinitas juga
merupakan faktor yang cukup penting bagi kehidupan tumbuhan lamun seperti
halnya cahya dan suhu air. Secara umum salinitas yang optimum untuk
pertumbuhan lamun berkisar antara 25 – 35 o/oo. Namun toleransi terhadap
salinitas sangat bervariasi di antara spesies lamun. Lamun yang hidup di daerah
estuaria cenderung lebih toleran terhadap salinitas (euryaline) dibandingkan
dengan spesies yang stenohaline, yaitu selamanya tinggal di laut atau di perairan
yang hipersaline. Walaupun demikian banyak jenis lamun yang tumbuh baik pada
salinitas berkisar antara 15 – 55 o/oo dan dapat bertahan hidup pada kisaran 5 –
11
140 o
2.2.6 Derajat keasaman (pH)
/oo. Salah satu jenis lamun Halophila ovalis lebih suka pada salinitas rendah
dan beberapa genera seperti Halodule, Syringodium, dan Thalassia yang
mempunyai daya toleransi baik terhadap salinitas sangat luas (Supriharyono
2009).
Derajat keasaman menyatakan intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu
cairan yang mewakili konsentrasi ion hydrogen. Menurut Nybakken (1992),
kisaran pH yang optimal untuk kisaran air laut berkisar antara 7,5 – 8,5. Menurut
Philip dan Menez (1988) in Argadi (2003), kisaran pH yang baik lamun adalah
pada saat pH air normal, yaitu 7,8 – 8,5 karena pada saat tersebut ion karbonat
yang dbutuhkan untuk proses fotosintesis oleh lamun dalam keadaan melimpah.
Odum (1971) in Argadi (2003) menyatakan bahwa derajat keasaman merupakan
salah satu indikator kualitas air yang sangat penting dan mempunyai pengaruh
langsung dalam pengaturan sistem enzim pada organism perairan.
2.2.7 Oksigen terlarut (DO)
Kadar oksigen terlarut di perairan di pengaruhi oleh suhu, salinitas, dan
turbulensi air. Kadar oksigen terlarut berkurang dengan semakin meningkatnya
suhu, ketinggian, dan berkurangnya tekanan atmosfer. Kelarutan oksigen sangat
penting bagi keseimbangan komunitas dan kehidupan organism perairan. Menurut
Effendi (2003), perairan yang diperuntukan bagi kepentingan perikanan sebaiknya
memiliki kadar oksigen terlarut tidak kurang dari 5 mg/l. Kadar oksigen terlarut
kurang dari 4 mg/l mengakibatkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir
semua organisme akuatik. Sumber oksigen terlarut bisa berasal dari difusi oksigen
yang terdapat di atmosfer sekitar 35% serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan
air dan fitoplankton (Effendi 2003).
2.3 Peranan Ekosistem Padang Lamun
Lamun berperan dalam proses pembentukan sejumlah karbon organik yang
nantinya akan dimanfaatkan melalui proses pemangsaan oleh herbivora maupun
melalui proses dekomposisi dari serasah. Serasah yang mengendap akan
dikonsumsi oleh fauna bentik, sedangkan partikel–partikel serasah yang ada
12
dalam kolom air dimanfaatkan oleh organisme filter feeder yang pada gilirannya
akan menjadi mangsa hewan karnivora seperti ikan (Hutomo dan Azkab 1987).
Sebagai penstabil substrat, lamun yang memiliki daun lebat dapat
memperlambat gerakan air laut (meredam arus dan ombak), sehingga perairan
disekitarnya menjadi tenang. Daun lamun dapat menangkap sedimen halus
melalui kontak, sehingga pada daun terdapat mikroorganisme (Azkab 1999).
Daun lamun menyerap hara secara langsung dari air laut. Daun – daunnya
mempunyai stomata yang terbuka dan ruang–ruang yang berisi udara untuk
mengapung, tetapi tidak mempunyai banyak sistem serat untuk menopang seperti
pada rumput daratan. Lamun memiliki akar dan rizoma berada di dalam substrat.
Rizoma memiliki cadangan pati dalam jumlah yang cukup banyak, yang
digunakan saat pergantian daun bila ada yang rusak. Biomassa bagian lamun yang
berada di bawah subtrat (akar dan rizom) lebih besar dan berbeda nyata dengan
biomassa yang berada di atas subtract. Akar lamun dapat menyerap unsur hara dan
pada beberapa jenis terdapat tanda–tanda fiksasi N pada bintil–bintil akar (Sloan,
1993). Selain itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen
sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar substrat dan pada saat yang
sama menjadikan air lebih jernih.
Berbeda dengan tumbuhan laut lainnya, lamun mempunyai akar sejati, daun,
sistem pengangkut internal (berupa pembuluh) yang mengangkut zat hara dan gas
– gas. Lamun juga memiliki bunga, buah serta menghasilkan biji. Sistem
pembuluhnya terdiri dari bagian dalam jaringan yang memiliki saluran – saluran
dari akar sampai ke daun yang berfungsi sebagai alat transport air, unsur hara dan
udara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Karena sistem pembuluh dan
perakaran yang dimilikinya mennyebabkan daun lamun menjadi lebat dan hal ini
bermanfaat dalam produktifitas ekosistem padang lamun. Sistem perakaran ini
juga menyebabkan lamun dapat tumbuh pada subtrat berpasir dan lumpur yang
memungkinkan pemanfaatan unsur hara di dasar perairan dalam jumlah yang
tinggi, karena lamun mampu mendaur ulang nutrient kembali ke dalam ekosistem
agar tidak terperangkap di dasar laut (Sloan 1993).
Lamun berperan penting dalam mata rantai ekosistem biota–biota di wilayah
pesisir. Ada hubungan interaksi (asosiasi) antara seagrass dengan hewan dan
13
tumbuhan air lainnya. Komunitas hewan padang lamun dibagi berdasarkan
struktur mikro habitatnya dan pola kehidupannya dalam empat kelompok yaitu:
1). Kelompok pertama, yaitu biota yang hidup di daun lamun terdiri atas :
a. Flora epifitik, mikro dan miofauna yang hidup di dalamnya, seperti
protozoa, foramifera, nematoda, polychaeta, rotifer, tardigrada, copepoda
dan arthoproda.
b. Fauna sesil, seperti hydrozoa, actinia, bryozoa, polychaeta dan ascidia.
c. Epifauna bergerak, merayap dan berjalan di daun seperti gastropoda,
polychaeta, turbellaria, crustacean dan beberapa echinodermata.
d. Hewan – hewan yang bergerak tetapi beristirahat di daun lamun seperti
mysidacea, hydromedusa, cephalopoda dan syngnatidae.
2). Kelompok kedua, yaitu biota yang menempel pada rimpang seperti polychaeta
dan amphipoda.
3). Kelompok ketiga, yaitu spesies bergerak yang hidup pada perairan di bawah
tajuk daun lamun, seperti ikan, udang,dan cumi – cumi. Hewan – hewan yang
bergerak cepat ini dibagi lagi dalam empat kategori berdasarkan periode
mereka tinggal di padang lamun yaitu (a) penghuni tetap, (b) penghuni musiman
(c) pengunjung temporal dan (d) peruaya yang tidak menentu.
(4) Kelompok keempat, yaitu hewan–hewan yang hidup pada sedimen dan di
dalam sedimen seperti epifauna dan infauna bentos.
Lamun merupakan salah satu produsen primer yang ada di perairan laut
dangkal dan sebagai daerah asuhan atau perlindungan bagi kelangsungan hidup
berbagai biota. Hal ini mendorong berbagai spesies untuk mencari makan di
daerah ini. Howard et al. (1989) diacu in Keough dan Jenkinsn (1995)
mengelompokkan organisme yang beasosiasi dengan padang lamun sebagai
berikut :
1. Algae mikroskopis seperti perifiton yaitu organismee bersel tunggal yang
menempel pada daun lamun.
2. Algae mikroskopis yang tumbuh di daun lamun.
3. Infauna bergerak, yaitu hewan yang hidup di dalam sedimen di sepanjang
rimpang lamun.
14
4. Epifauna bergerak, yaitu hewan yang berukuran kecil, berasosiasi dengan
permukaan sedimen dan sering ditemukan diantara serasah lamun, batang
atau daun lamun.
5. Epifauna sesil, yaitu organisme yang menempel secara permanen pada
batang atau daun lamun.
6. Fauna epibentik, yaitu hewan yang berukuran besar, bergerak dan
berasosiasi dengan padang lamun.
Sedangkan menurut Philips dan Menez (1988), ekosistem lamun merupakan
salah satu ekosistem bahari yang produktif. Ekosistem lamun di perairan dangkal
mempunyai fungsi antara lain :
a. Menstabilkan dan menahann sedimen–sedimen yang dibawa melalui
tekanan–tekanan dari arus dan gelombang.
b. Daun–daun memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta
mengembangkan sedimentasi.
c. Memberikan perlindungan terhadap hewan–hewan muda dan dewasa yang
berkembang biak di padang lamun.
d. Daun–daun sangat membantu organisme–organisme epifit.
e. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.
f. Memfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai
makanan.
Dengan menggunakan metode oksigen Lindeboom dan Sandee (1989)
mendemonstrasikan bahwa produksi primer kotor (gross primary production)
berbagai komunitas lamun di Laut Flores berkisar 1230 sampai 4700 mg C. m-
2.hari-1 sedangkan konsumsi untuk respirasi berkisar 860 – 3900 mg C. m-2
hari
. -1. Produksi bersihnya (net primary production) berkisar 60 – 1060 mg C. m-
2. hari -1, atau setara dengan produksi tahunan sebesar 387 g C.m-2. Produksi
primer oleh epifit dapat pula memberikan sumbangan yang bermakna, sampai
sebesar 36 % dari laju produksi primer di suatu komunitas lamun.
15
2.4 Pola Habitat dan Ancaman pada Ekosistem Lamun
Lamun hidup dan terdapat pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman
0.5 – 10 m, tetapi sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesies lamun
lebih banyak terdapat di daerah tropik dari pada di daerah Ugahari (Barber 1985).
Habitat lamun dapat dipandang sebagai suatu komunitas, dalam hal ini suatu
padang lamun merupakan kerangka struktur dengan tumbuhan dan hewan yang
saling berhubungan. Habitat lamun dapat juga dipandang sebagai suatu proses
tunggal yang dikendalikan oleh pengaruh–pengaruh interkatif dari faktor–faktor
biologis, fisika, kimiawi.
Lamun pada umumnya dianggap sebagai kelompok tumbuhan yang
homogen. Lamun terlihat mempunyai kaitan dengan habitat dimana banyak lamun
adalah substrat dasar dengan pasir kasar. Lamun jenis Enhalus acoroides dominan
hidup pada substrat berpasir dan pasir sedikit bercampur dan kadang–kadang
terdapat pada dasar yang terdiri atas campuran pecahan karang yang telah mati.
Keberadaan lamun pada kondisi habitat tersebut, tidak terlepas dari gangguan atau
ancaman–ancaman terhadap kelangsungan hidupnya baik berupa ancaman alami
maupun ancaman dari aktifitas manusia. Banyak kegiatan atau proses, baik alami
maupun oleh aktifitas manusia yang mengancam kelangsungan ekosistem lamun.
Selain itu kerusakan padang lamun oleh manusia akibat aktifitas perahu di
lingkungan pesisir yang tidak terkontrol (Sangaji 1994). Pengamatan lokal di
Pulau Pari dan Teluk Banten menunjukkan kerusakan pada lingkungan lamun
(Enhalus dan Syrongodium) karena kekeruhan air akibat teraduk oleh lalu lintas
perahu dan kapal nelayan. Degradasi padang lamun di Teluk Banten terjadi secara
luas sejak reklamasi dimulai tahun 1990 untuk pembangunan kawasan industri
dan pelabuhan. Degradasi padang lamun juga terjadi di Teluk Grenyang dan
Bojonegara. Sekitar 116 ha atau 26 % dari total luas padang lamun di Teluk
Banten telah lenyap (Giesen et al 1990). Hilangnya area padang lamun dari
perairan Indonesia dijumpai di Teluk Banten akibat kegiatan reklamasi pantai
untuk pembangunan pelabuhan, jalan dan kawasan industri. Luas padang lamun
hilang mencapai sekitar 116 ha atau sekitar 25 % dari total luas padang lamun
(Douven et al 2004).
16
Masuknya nutrisi yang berasal dari aktivitas kegiatan manusia ke
lingkungan pesisir telah secara dramatis meningkat di berbagai belahan bumi pada
ahir abad ke 20 dan telah merubah berbagai ekosistem pesisir. Deegan et al.
(2002) mengevaluasi pengaruh-pengaruh dari penambahan nitrogen terhadap
struktur komunitas makrofit dan assosiasi biotanya. Pengaruh-pengaruh tersebut
adalah 1). Mereka menemukan suatu perubahan dalam produsen primer dari
lamun Zostera ke algae makro sebagai reaksi terhadap peningkatan masuknya
nutrisi dan perubahan habitat ikan, stuktur kimiawi dan rantai makanan. Akibat
peningkatan masuknya nitrogen, mereka menemukan naiknya biomas algae dan
turunnya kerapatan dan biomas lamun Zostera, penurunan kelimpahan dan biomas
ikan dan dekapoda serta penurunan keanekaragam jenis ikan. 2). Pengurangan
makro algae mampu meningkatkan kelimpahan lamun, kualitas perairannya serta
kadar oksigen pada lapisan dasarnya. Perubahan dalam struktur fisika dan kimia
ekosistem dengan turunnya biomas makro algae menghasilkan lebih tingginya
kelimpahan dan biomas ikan dan dekapoda. 3). Kombinasi percobaan dengan
penjejak isotop stabil 15N dan pertumbuhan ikan menunjukkan bahwa sedikit
sekali produksi dari makro algae yang langsung ditransfer ke tingkat konsumen ke
dua. Nilai δ15N menunjukkan bahwa kebanyakan ikan tidak menggunakan suatu
rantai makanan berdasarkan pada makro algae. Ikan cenderung untuk untuk
tumbuh lebih baik dan mempunyai kemungkinan hidup lebih lama pada
lingkungan lamun dibandingkan pada habitat makro algae. 4). Peningkatan nutrisi
yang berasal dari daratan teleh menyebabkan peningkatan biomas makro algae
dan degradasi serta hilangnya habitat lamun.
Ancaman – ancaman alami terhadap ekosistem lamun berupa angin topan,
siklon (terutama di Philipina), gelombang pasang, kegiatan gunung berapi bawah
laut, interkasi populasi dan komunikasi (pemangsa dan persaingan), pergerakan
sedimen dan kemungkinan hama dan penyakit, vertebrata pemangsa lamun seperti
sapi laut. Meskipun dampak dari pemakan ini hanya setempat, tetapi jika terjadi
ledakan populasi pemakan tersebut akan terjadi kerusakan berat. Gerakan pasir
juga mempengaruhi sebaran lamun. Bila air menjadi keruh karena sedimen, lamun
akan bergeser ke tempat yang lebih dalam yang tidak memungkinkan untuk dapat
bertahan hidup (Sangaji 1994).
17
Limbah pertanian, industri dan rumah tangga yang dibuang ke laut,
pengerukan lumpur dan lalu lintas perahu yang padat dapat merusak lamun. Di
tempat hilangnya padang lamun, diperkirakan terjadi perubahan sebagai berikut
(Fortes 1989).
1. Reduksi detritus dari daun lamun sebagai konsekuensi perubahan dalam
jaring – jaring makan di daerah pantai dan komunitas ikan.
2. Perubahan dalam produsen yang dominan dari yang bersifat bentik ke
yang bersifat planktonik.
3. Perubahan dalam morfologi pantai sebagai akibat hilangnya sifat–sifat
pengikat lamun.
4. Hilangnya struktural dan biologi dan digantikan oleh pasir yang gundul.
Berbagai tekanan terhadap padang lamun yang terjadi di lingkungan baik dari
darat maupun dari pantai yaitu :
a. Eutrofikasi dari sumber hara di darat seperti saluran air kotor, pupuk,
sungai, limbah tambak, dapat menimbulkan peledakan epifit lamun dan
mengurangi cahaya ke tumbuhan tersebut. Hilangnya tumbuhan lamun
mengarah ke erosi lokal, yang meningkatkan gerakan ombak di dasar laut
dan kekeruhan serta lebih jauh lagi mengurangi cahaya
b. Meskipun tumbuhan lamun dapat hidup pada tingkat sedimentasi tertentu,
kekeruhan berlebihan dapat merusak yang disebabkan oleh penambangan,
pengerukan, jaring pukat serta sedimen dari buruknya pemanfaat tanah di
daerah aliran sungai
c. Perubahan struktur garis pantai (bangunan, hilangnya mangrove) dapat
mengubah sirkulasi air dan habitat yang dibutuhkan untuk tumbuhan
lamun
d. Eksploitasi perikanan berlebihan di dalam padang lamun dapat menjadi
masalah
e. Polusi yang bersumber dari darat dapat menyebabkan akumulasi zat
pencemar (biasanya logam berat) di dalam jaringan tumbuhan lamun dan
di dalam binatang yang memakan lamun.sumber
f. Efluen panas (air pendingin dari industri) dapat mematikan lamun.
18
Selain beberapa ancaman tersebut, kondisi lingkungan pertumbuhan juga
mempengarui kelangsungan hidup suatu jenis lamun seperti yang dinyatakan oleh
Barber (1985) bahwa temperatur yang baik untuk mengkontrol produktifitas
lamun pada air adalah sekitar 20o sampai dengan 30oC untuk jenis lamun
Thalassia testudium dan sekitar 30oC untuk Syringodium filiforme. Intensitas
cahaya untuk laju fotosintesis lamun menunjukkan peningkatan dengan
meningkatnya suhu dari 20oC sampai 35oC untuk Zoantera marina, 30oC untuk
Cymodoceae nodosa dan 25 – 30oC untuk Possidonia oceania.
Kondisi ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia sekitar 30 –
40%. Di pesisir pulau Jawa kondisi ekosistem padang lamun telah mengalami
gangguan yang cukup serius akibat pembuangan limbah industri dan pertumbuhan
penduduk. Diperkirakan sebanyak 60% lamun telah mengalami kerusakan. Di
pesisir pulau Bali dan Lombok gangguan bersumber dari penggunaan potassium
sianida dan telah berdampak pada penurunan nilai dan kerapatan spesies lamun.
Rekolonisasi ekosistem padang lamun dari kerusakan yang telah terjadi
membutuhkan waktu antara 5 – 15 tahun dan biaya yang dibutuhkan dalam
mengembalikan fungsi ekosistem padang lamun di daerah tropis berkisar 22.800 –
684.000 US $/ha. Oleh karena itu aktivitas pembangunan di wilayah pesisir
hendaknya dapat meminimalkan dampak negatif melalui pengkajian yang
mendalam pada tiga aspek yang tekait yaitu : aspek kelestarian lingkungan, aspek
ekonomi dan aspek sosial (Fortes 1989).
Ancaman kerusakan ekosistem padang lamun di perairan berasal dari
aktifitas manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya ekosistem padang lamun
dengan menggunakan potasium sianida, sabit dan gareng serta pembungan limbah
industri pengolahan ikan, sampah rumah tangga dan pasar tradisional. Dalam hal
ini Fauzi (2000) menulis bahwa dalam menilai dampak suatu aktifitas manusia
terhadap kerusakan lingkungan seperti ekosistem padang lamun dapat digunakan
dengan metode teknik evaluasi lingkungan yang dikenal dengan istilah
Environmental Impact Assesment (EIA). Metode ini telah dijadikan instrumen
universal dalam mengevaluasi dampak lingkungan akibat aktifitas pembangunan,
disamping itu metode evaluasi ekonomi dapat menjembatani kepentingan
ekonomi masyarakat dan kebutuhan ekologi dari sumber daya alam.
19
2.5 Nilai Ekologi dan Ekonomi Ekosistem Padang Lamun
Keough dan Jenkins (1995) menyatakan ekosistem padang lamun memiliki
kemampuan produktifitas yang tinggi dan memiliki peranan dalam sistem rantai
makanan khususnya pada periphyton dan epiphytic dari detritus yang dihasilkan.
Sumbangan lamun terhadap produksi primer di estuaria Australia yaitu :1 – 20 %
dari Posidonia, Zostera dan Thalasia yang diekspor keluar dari padang lamun,
ekosistem padang lamun di daerah tropis dan subtropik yang didominasi oleh
jenis Syringodium 47 – 75% produksi primernya telah diekspor keluar dari padang
lamun.
Padang lamun memiliki fungsi ekologis dan nilai ekonomis yang sangat
penting bagi manusia. Menurut Nybakken (1988), fungsi ekologis padang lamun
adalah: (1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi
organisme dalam bentuk detritus, (3) penstabil dasar perairan dengan sistem
perakarannya yang dapat menangkap sediment (trapping sediment), (4) tempat
berlindung bagi biota laut, (5) tempat perkembangbiakan (spawning ground),
pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi biota-
biota perairan laut, (6) pelindung pantai dengan cara meredam arus, (7) penghasil
oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan. Selanjutnya, dari berbagai
literatur, Dahuri (2003) menyimpulkan akan pentingnya nilai ekonomi dan
ekologi padang lamun, terutama terkait dengan biota yang hidupnya tergantung
dengan ekosistem padang lamun ini. Terdapat hingga 360 spesies ikan, 117 jenis
makro-alga, 24 jenis moluska, 70 jenis krustasea, dan 45 jenis ekinodermata
(seperti teripang) yang hidupnya didukung oleh ekosistem padang lamun di
Indonesia. Disamping itu, padang lamun telah dimanfaatkan secara langsung
oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan,
pupuk, obat-obatan. Keberadaan ekosistem padang lamun sepertinya akan
semakin penting terkait dengan adanya isu pemanasan global, dimana
kemungkinan potensi tumbuhan ini sebagai pereduksi CO2
Lindeboom dan Sandee (1989) mempelajari produksi vegetasi campuran di
P. Komodo yang memakai metode pengukuran oksigen dengan menggunakan
bell-jar. Mereka memperoleh hasilnya sebesar 1.230 – 4.700 mg.C.m
.
-2.h-1.
Metoda yang sama dipakai oleh Erfemeiyer et al. (1993) pada vegetasi campuran
20
di Kep. Spermonde dengan hasil 900 – 4.400 mg.C.m-2.h-1. Penelitian-penelitian
produksi lamun di perairan Indonesia lainnya hanya memberikan nilai produksi
lamun dalam berat kering, nilai terendah adalah 0,6 g.BK. m-2.h-1 (Cymodocea
serrulata) dan yang tertinggi adalah 8,1 g.BK. m-2.h-1
Kusumastanto et al. (1999) menyatakan bahwa produksi perikanan
ekosistem padang lamun dapat dihitung seperti pada nilai produksi perikanan pada
ekosistem terumbu karang. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai ekonomi
padang lamun di Balerang dan Bintan yaitu : ikan 3,858.91 US S/ha/th,
pencegahan erosi 34,871.75 US S/ha/th, biodiversity 15.00, US S/ha/th, dan total
nilai ekonominya adalah 38,745.66 US S /ha/th.
(Thalassia hemprichii)
(Azkab, 1999).
Tomascik et al. (1997) menjelaskan bahwa molusca telah banyak
dieksploitasi dari ekosistem padang lamun karena memiliki nilai ekonomis yang
tinggi. Jenis hewan tersebut telah mengalami penurunan jumlah populasi di
ekosistem padang lamun Teluk Kute dan Teluk Gerupuk Lombok Selatan. Azkab
(1988) menyatakan bahwa akhir – akhir ini telah terjadi peningkatan eksploitasi
hewan echinodermata khususnya teripang.
Perbandingan jumlah komposisi fauna yang berasosiasi dengan vegetasi
lamun tergantung pada tipe padang lamun, pada padang lamun yang bertipe
campuran yaitu zona Enhalus acoroides, didominasi oleh jenis fauna Gastropoda,
dan pada zona Halodule uninerve didominasi oleh bivalvia (kerang – kerangan)
dan pada jenis Halophila didominasi oleh jenis Crustacea.
Asosiasi antara lamun dengan hewan dapat terjadi jika ekosistem padang
lamun dapat : (1) menyediakan makanan, (2) tempat perlindungan dari predator,
(3) meningkatkan ruang kehidupan. Menurut De Iongh (1995) duyung lebih suka
makan Halodule uninervis. Merujuk pada hasil penelitiannya dapat ditegaskan
bahwa terdapat korelasi antara jumlah duyung dan makanan yang tersedia. Selain
itu, perubahan kelimpahan lamun dan kualitas haranya akan mempengaruhi
pergerakan dan siklus kawin duyung.
21
2.6 Pengelolaan Padang Lamun
Pembangunan di wilayah pesisir dan laut yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat hendaknya mempertimbangkan
keterpaduan antara unsur ekologi, ekonomi dan sosial. Keterpaduan ini secara
ekonomi dapat mencapai pertumbuhan, pemerataan dan efisiensi, sedangkan
secara sosial dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat, mobilitas sosial yang
terkontrol, tumbuhnya identitas budaya dan dapat dilakukan pengembangan
kelembagaan baik yang formal maupun non formal, secara ekologi dapat
memperlihatkan keterkaitan fungsional antar ekosistem, daya dukung (carrying
capacity), biodiversity dan hal–hal yang terkait dengan isu global (Daily 1996)
dan selanjutnya di jelaskan bahwa dalam menjamin keberlanjutan dari
pemanfaatan sumberdaya alam hal–hal yang harus diperhatikan adalah
pemerataan (capacity), social polytical right, pendidikan, kesehatan dan
teknologi. Dalam kondisi seperti ini konsep sustainability mengandung makna
keterkaitan dengan konsep carrying capacity yang dapat dijadikan ukuran
tercapainya sustainability mengandung makna keterkaitan dengan konsep carrying
capacity yang dapat dijadikan ukuran tercapainya sustainability dari suatu
aktivitas pembangunan.
Daily (1996) menjelaskan bahwa konsep daya dukung dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu : (1) daya dukung biofisik yaitu merupakan ukuran maksimum
populasi yang dapat survival, dibawah kendali suatu sumberdaya dan teknologi
dan (2) daya dukung sosial yaitu merupakan jumlah penduduk yang dapat hidup
layak di bawah kendali suatu sistem sosial.
Dahuri (1999) menjelaskan bahwa dalam kebijakan dan strategi
pembangunan wilayah pesisir pada kegiatan perlindungan dan konservasi dititik
beratkan pada dua komponen utama yaitu : (1) penanggulangan dampak dari
daratan dan (2) perlindungan fisik habitat ekosistem pesisir dan lautan. Dari
konsep ini dapat dilakukan beberapa hal penting diantaranya adalah : (a)
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam
pesisir seperti ekosistem padang lamun, (b) mengikutkan nilai eksternal dalam
perencanaan perhitungan nilai ekonomi suatu sumberdaya.
22
Pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan (sustainable environmental
management) yang memiliki dimensi ekonomi, sosial dan ekologi. Dimensi
ekonomi menekankan bahwa pertumbuhan dan efesiensi dalam pemanfaatan
sumberdaya alam harus diupayakan secara terus menerus. Dimensi sosial
mencakup isu – isu yang berkaitan dengan distribusi kekayaan/pemerataan pada
pentingnya upaya – upaya untuk mencegah terganggunya fungsi dasar ekosistem
sehingga tidak akan mengurangi fungsi layanan ekologi (ecology service). Oleh
karena itu tuntutan ke arah konservasi ekosistem semakin besar karena
meningkatnya ancaman terhadap kelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati
terutama akibat pertumbuhan jumlah penduduk, anomali iklim, pola konsumsi dan
antropogenik lainnya.
Carter (1996) menjelaskan bahwa konsep pengelolaan berbasiskan
masyarakat memiliki beberapa aspek positif yaitu : (1) mampu mendorong
timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, (2) mampu
merefleksi kebutuhan–kebutuhan masyarakat local yang spesifik, (3) mampu
meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis, (4) responsive dan adaptif
terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan local, (5) mampu meningkatkan
manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, (6) mampu
menumbuhkan stabilitas dan komitmen dan (7) masyarakat lokal termotivasi
untuk mengelola secara berkelanjutan.
Pengembangan persepsi sosial masyarakat yang positif perlu terus
dikembangkan yaitu untuk melahirkan perilaku masyarakat yang berorientasi pada
pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan Persepsi sosial masyarakat
yang perlu dikembangkan adalah : (1) saling menghargai dan bertanggung jawab
terhadap kehidupan masyarakat, (2) berorientasi pada peningkatan kualitas hidup,
(3) menumbuhkan jiwa masyarakat yang peduli terhadap lingkungan, (4) merubah
watak dan sikap individu maupun kelompok yang kurang baik, (5) menciptakan
kebersamaan, (6) melestarikan nilai yang vital pada ekosistem wilayah pesisir
seperti ekosistem padang lamun, terumbu karang dan mangrove, (7) mengurangi
kemunduran secara ekologis maupun ekonomi dari ekosistem wilayah pesisir, dan
(8) menjaga tetap dalam kapasitas kemampuan daya dukung yang maksimal.
23
Tiga kunci kegiatan diperlukan untuk menjamin efektivitas dari perlindungan
ekosistem lamun: 1) membangun suatu jaringan monitoring dunia, 2) membangun
model kuantitatif dugaan reaksi lamun terhadap gangguan-gangguan, dan 3)
pendidikan masyarakat akan fungsi dan peranan padang lamun dan dampak-
dampak dari kegiatan manusia (Duarte 2002).
Meskipun beberapa areal ekosistem pesisir termasuk areal padang lamun di
Indonesia telah dimasukan ke dalam suatu kawasan lindung, namun pada
kenyataan di lapangan menunjukkan banyak diantaranya yang masih mendapat
tekanan yang cukup berarti. Sebagai upaya pemecahan, kini pihak pemerintah
dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan
perguruan tinggi dan instansi terkait lainnya berusaha mengembangkan
pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai pihak, yaitu Pengelolaan Wilayah
Pesisir Secara Terpadu atau Integrated Coastal Management (ICM).
Pengeloaan pesisir secara terpadu memerlukan justifikasi yang bersifat
komprehensip dari subsistem-subsistem yang terlibat di dalamnya. misalnya
implikasi terhadap lingkungan, ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam
perspektif mikro maupun makro. Pembangunan hendaknya mempertimbangkan
keterpaduan antar unsur ekologi, ekonomi dan sosial.
Pada lingkungan pesisir, memiliki kendala khusus dalam melihat implikasi dari
suatu strategi pengelolaan, hal ini disebabkan karena adanya bermacam-macam
aktivitas dan kelompok masyarakat sebagai pengguna, seperti rencana pengelolaan
yang dibuat oleh pemerintah sering tidak dapat mencakup semua kepentingan
masayarakat dan sebaliknya masyarakat menganggap sumber alam sebagai open acces
resources (Raharjo 1996).
Namun yang paling penting dalam pengelolaan ekosistem di dalam wilayah
pesisir harus diingat, bahwa suatu ekosistem di wilayah pesisir tidak berdiri sendiri atau
diantara beberapa ekosistem saling terkait baik secara biogeofisik, maupun secara
sosioal-ekonomi; dan kelangsungan hidup suatu ekosistem juga sangat tergantung pada
aktifitas manusia di darat yang dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat setempat.
Dengan demikian, upaya konservasi dan pelestarian serta pengunaan sumber daya
ekosistem lamun yang berkelanjutan memerlukan pengelolaaan secara terpadu
memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumber daya alam jasa-jasa lingkungan pesisir
24
dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assesment),
merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap
kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan
berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan
dinamis dangan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi budaya dan aspirasi
masyarakat pengguna wilayah area pesisir (stakeholder) serta konflik kepentingan dan
pemanfaatan yang mungkin ada.
Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat
kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat
akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar
kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari
berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan
manfaatnya bilamana keperpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap
sumberdaya alam diberikan porsi yang lebih besar. Dengan demikian, yang perlu
diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak
pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap
keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat
akan pentingnya sumberdaya alam persisir (Bengen 2001).
3. METODOLOGI PENELITAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar
Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Lampiran 1). Cakupan objek penelitian
adalah kawasan wisata Pantai Sanur. Waktu penelitian dimulai bulan November
2010 sampai Maret 2011. Penelitian ini diawali dengan observasi lapangan dan
pengumpulan data sekunder, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan data
primer pada ekosistem lamun.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi kualitas perairan (suhu, kekeruhan, pH, salinitas, kandungan
oksigen terlarut, nitrat, fosfat, BOD, TSS, TOM), profil pantai, dan struktur
vegetasi lamun. Sedangkan untuk data sekunder meliputi data sosial ekonomi,
iklim, arus, pasang surut dan data pendukung lainnya pada daerah penelitian.
Sumber data diperoleh dari Universitas Udayana, Badan Pusat Statistik Provinsi
Bali, Intitut Pertanian Bogor, serta Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar
Provinsi Bali.
3.3 Metode Pengambilan Sampel
3.3.1 Struktur Komunitas Lamun
Pengambilan data dalam perhitungan kerapatan lamun adalah transek
kuadrat berukuran 50 x 50 cm2 dan transek garis sepanjang 50 – 100 meter
(Gambar 2). Setelah itu di awali dengan menentukan letak dari transek garis yang
telah ditentukan dan dicatat letaknya. Stasiun dimulai dari daerah yang paling
dekat dengan pantai dan mencatat titik pertama dimulai dengan bantuan GPS
(Global Positioning System), sedangkan stasiun kedua, ketiga dan seterusnya
mempunyai jarak yang sama dan letaknya paralel mengikuti arah transek garis
tegak lurus ke laut. Jarak antar stasiun di sesuaikan dengan tipe komunitas lamun,
apabila mempunyai jenis yang beragam hendaknya jaraknya dipersempit ± 5 m,
sedangkan apabila jenisnya homogen jarak yang sering digunakan 15 – 20 meter.
Titik transek kuadrat sedikitnya harus dilakukan 3 kali pada tiap-tiap stasiun yang
26
letaknya tegak lurus dengan garis pantai. Pengambilan contoh titik ini akan
semakin banyak pada setiap stasiunnya apabila sebaran lamun ini memanjang
sampai ke laut.
Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi padang
lamun adalah metode Transek dan Petak Contoh (Transec Plot). Metode transek
dan petak contoh adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas
dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati
wilayah ekosistem tersebut.
Mekanisme pengukuran dengan menggunakan metode ini adalah sebagai
berikut :
a. Lokasi yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi padang lamun yang
mewakili wilayah penelitian, dan dapat mengindikasikan atau mewakili setiap
zona padang lamun yang terdapat di wilayah penelitian.
b. Pada setiap lokasi ditentukan stasiun – stasiun pengamatan secara konseptual
berdasarkan keterwakilan lokasi penelitian.
c. Pada setiap stasiun pengamatan, tetapkan transek-transek garis dari arah darat
ke arah laut (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi padang lamun yang
terjadi) di daerah intertidal.
d. Pada setiap transek garis, diletakkan petak-petak contoh (plot) berbentuk
bujur sangkar dengan ukuran 50 cm x 50 cm dengan interval 10 m ke arah
laut.
e. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap jenis
tumbuhan lamun yang ada dan hitung jumlah individu setiap jenis.
3.3.2 Kualitas Air
Pengambilan contoh air dilakukan pada setiap stasiun sebanyak dua kali.
Beberapa contoh air dianalisis dilapangan seperti parameter pH, salinitas, dan
suhu. Sedangkan untuk parameter lainnya contoh air dianalisis di laboratorium
Produktivitas Lingkungan Departemen MSP, FPIK IPB.
27
3.3.3 Profil Pantai Pengukuran profil pantai dilakukan dengan cara mendirikan setiap tonggak
tegak (Gambar 3). Selama pengukuran dipastikan bahwa kedua bandul yang
dipasang selalu lurus supaya mendapatkan hasil pengukuran yang benar.
Perbedaan ketinggian akan menyebabkan tali membentuk sudut sehingga dapat
dilihat nilainya pada busur yang terpaut tonggak bagian bawah. Nilai sudut yang
ditunjukkan tersebut, dicatat sebagai data untuk setiap panjang lereng sebesar 50
cm (Gambar 3).
Gambar 3. Model Alat Pengukur Kemiringan Lereng (Profiler)
Gambar 2. Kuadran Pengambilan contoh
28
Kemiringan lereng gisik merupakan bagian dari aspek morfologi. Menurut
Sunarto (1991), morfometri lereng dapat diperhitungkan berdasarkan sudut lereng
dan panjang lereng. Sudut lereng terbagi atas lereng datar (0 – 2,9 %), lereng
landai (3 – 7,9 %), lereng miring (8 – 13,9 %), lereng sangat miring (14 – 20,9
%), lereng curam (21 – 55,9 %), lereng sangat curam (56 – 140 %), dan lereng
terjal (>140 %). Untuk panjang lereng diklasifikasikan menjadi sangat pendek
(<15m), pendek (15 – 50m), agak panjang (51 – 250m), panjang (251 – 500m),
dan sangat panjang (>500m).
Evaluasi terhadap tipologi padang lamun dilakukan melalui penggambaran
terhadap distribusi, kerapatan dan penutupan jenis lamun yang diperoleh dengan
menggunakan metode transek linear kuadrat berdasarkan petunjuk English et al.
(1994). Lokasi penelitian dibagi dalam 3 stasiun pengamatan dimana setiap
stasiun terdiri atas 3 (tiga) substasiun yang dipasang sejajar garis pantai.
3.3.4 Pengambilan substrat dan makrozoobentos
Pengambilan substrat dan makrozoobentos ini menggunakan Corer, alat
corer ditancapkan secara vertikal pada permukaan sedimen dan ditekan sampai
kedalaman 10 cm dari permukaan. Lalu diangkat dengan baik sehingga sedimen
tidak tumpah dan dimasukkan ke saringan lalu diayak pelan-pelan di atas air.
Organisme yang tersaring diidentifikasi atau masukkan ke dalam kantong plastik
yang telah diberi label (titik sampling).
3.3.5 Data Sosial Ekonomi dan Karakteristik Wisatawan Pengambilan data sosial ekonomi dilakukan pada beberapa instansi yang
terkait seperti Badan Pusat Statistik dan Universitas Udayana. Kondisi sosial
ekonomi dirasakan turut mempengaruhi kualitas lingkungan perairan pantai
Sanur. Sedangkan untuk karakteristik wisatawan, responden dipilih secara acak
untuk mewakili wisatawan yang berkunjung disana. Yang dinilai dari karakteristik
responden adalah pemahaman akan fungsi lamun, tanggapan tentang ekosistem
lamun, dan upaya dalam melestarikan ekosistem ini. Selain itu juga responden
diminta untuk memberikan data pribadi berupa umur, daerah asal, pendidikan,
serta biaya akomodasi selama berwisata didaerah ini.
29
3.4 Analisis Data
3.4.1 Struktur komunitas lamun
Kerapatan jenis dan kerapatan relative jenis lamun
Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu atau tegakan lamun
dalam suatu unit area yang dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994)
sebagai berikut :
DI = ni / A
Dimana :
Di = kerapatan jenis ke-i (ind/m2)
ni = jumlah total individu jenis ke-i (ind.) per transek
A = luas area total pengambilan contoh (m2) seluruh transek
Kerapatan relatif jenis lamun adalah perbandingan kerapatan mutlak jenis
ke-i dan jumlah kerapatan seluruh jenis, dihitung berdasarkan petunjuk English et
al.(1994) sebagai berikut :
RD = Di/∑Di x 100
Dimana :
RDi = kerapatan relative jenis ke-i
Di = kerapatan jenis ke-I (ind/m2) per transek
∑D = jumlah kerapatan seluruh jenis (ind/m2) seluruh transek
Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis lamun
Frekuensi jenis lamun adalah peluang ditemukannya jenis ke-i dalam suatu
petak contoh terhadap seluruh petak contoh yang diamati, dihitung berdasarkan
petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut :
Fi = Pi/∑Pi
Dimana :
Fi = frekuensi jenis ke-i
Pi = jumlah petak contoh ditemukannya jenis ke-I per transek
∑Pi = jumlah total petak contoh yang diamati seluruh transek
30
Frekuensi relative jenis lamun adalah perbandingan frekuensi jenis ke-i
dengan jumlah total frekuensi jenis, dihitung berdasarkan petunjuk English et al.
(1994) sebagai berikut :
RFi = Fi/∑Fi x 100
Dimana :
RFi = frekuensi relative jenis ke-i
Fi = frekuensi jenis ke-I per transek
∑F = jumlah total frekuensi jenis seluruh transek
Penutupan jenis dan penutupan relative jenis lamun
Perhitungan penutupan jenis lamun dilakukan berdasarkan petunjuk
English et al. (1994) sebagai berikut :
Ci = ci/A
Dimana :
Ci = penutupan jenis ke-i
Mi = persentase nilai tengah kelas ke-i
fi = frekuensi (jumlah tutupan kotak – kotak kecil dari jenis ke-i, yang dominan)
∑f = jumlah total frekuensi jenis ke-i
Penutupan relative jenis lamun adalah perbandingan antara penutupan
jenis ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis.
RCi = Ci/∑Ci x 100%
Dimana :
RCi = penutupan relative jenis ke-i
Ci = penutupan jenis ke-i
∑Ci = jumlah total penutupan
Indeks nilai penting jenis lamun
Indeks nilai penting digunakan untuk menghitung dan menduga peranan
jenis ke-I dalam suatu komunitas. Semakin tinggi Indeks Nilai Penting jenis ke-I
maka semakin tinggi jenis ke-I di dalam komunitas dan sebaliknya (English et al.
1990):
Dimana : IVi = indeks nilai penting jenis ke-i
RDi = kerapatan relative jenis ke-i
31
RFi = frekuensi relative jenis ke-i
RCi = penutupan relative jenis ke-i
3.4.2 Jumlah Responden
Jumlah responden ditentukan dengan memakai rumus dari Yulianda et al
(2010) :
n = jumlah contoh p = proporsi kelompok yang akan diambil contohnya q = proporsi sisa dalam populasi contoh Z = nilai tabel Z dari ½ α dimana α = 0.05 maka Z = 1.96 dibulatkan 2 b = Nilai kritis (10%)
3.4.3 Analisa Sebaran Karakteristik Fisik Kimia. Variabel fisika – kimia perairan yang terdistribusi pada ekosistem padang
lamun, memiliki tingkat variasi yang berbeda – beda antar antar stasiun
pengamatan. Untuk melihat variasi ini pendekatan analisis yang digunakan adalah
analisis statistik peubah ganda yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama
(Principal Component Analysis) (Bengen 2000). Adapun tahapan yang dilakukan
dalam analisis dengan menggunakan PCA adalah :
1. Membangun matrik data yang terdiri dari baris dan kolom, dimana stasiun
pengamatan sebagai individu atau baris dan variable kualitas lingkungan
sebagai kolom.
2. Menormalisasi data hasil pengukuran di lapangan dengan cara pemusatan dan
pereduksian.
3. Korelasi linier antara dua parameter yang dihitung dari indek sintetik
merupakan peragam (kovarian) dua parameter yang telah dinormalisasikan
melalui pemusatan dan pereduksian.
4. Menggunakan pengukuran jarak euclidean yaitu jumlah kuadrat perbedaan
antara individu untuk variable yang berkorespondesi atau berhubungan. Dari
n ≥ 33 p = 135 : 1500 =0,1 q = 1- 0 = 0,9 Z = 2 b = 0.1
32
hasil perhitungan tersebut dapat diketahui kemiripan sifat antar stasiun
pengamatan dan semakin kecil jaraknya maka kemiripannya semakin besar.
3.5 Pengelolaan Ekosistem Lamun Pantai Sanur
Strategi pengelolaan ekosistem lamun dibuat berdasarkan analisa terhadap
isu dan permasalahan disana serta kondisi existing yang ada. Analisa terhadap
kondisi ekologi ekosistem lamun baik dari kualitas air ataupun kondisi lamun
yang ada dapat dijadikan acuan dalam pembuatan strategi pengelolaan ekosistem
lamun. Kondisi sosial ekonomi yang diwakili profil Desa Sanur serta
pemahaman, partisipasi, pendapatan dan tingkat pendidikan wisatawan akan
membantu dalam menganalisa upaya pelestarian ekosistem dan konservasi
padang lamun yang ada dipantai Sanur.
4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian
Pantai Sanur terletak pada Kelurahan Sanur, kecamatan Denpasar Selatan
Kota Denpasar Provinsi Bali. Selain Kelurahan Sanur pada daerah pesisir ini juga
mempunyai desa-desa lain yang memiliki nama Sanur yaitu Desa Sanur Kaja dan
Desa Sanur Kauh yang merupakan bagian dari wilayah kecamatan Denpasar
Selatan, Kota Denpasar, Propinsi Bali. Pantai Sanur terletak pada 80o35’’3’’ –
80o44’’49’’ LS dan 115o10’’23’’ – 115o
4.2 Kondisi Oseanografi
Kondisi arus di perairan Pantai Sanur lebih banyak dipengaruhi oleh arus
dari perairan Samudera Hindia melalui Selat Badung. Kecepatan arus sejajar
Pantai Sanur berkisar antara 0,25 sampai 0,60 m/dt dengan arah arus sepanjang
tahun menuju ke selatan (Bappeda Kota Denpasar 2006).
16’’27’’ BT .
Secara fisiografi kawasan Sanur merupakan bagian dari suatu daratan
rendah yang terletak di bagian Tengah Selatan Pulau Bali. Daratan rendah ini
dibatasi oleh deretan pegunungan ± 50 km di sebelah utara dan perbukitan kapur ±
12 km di sebelah selatan (Armadi 2005). Daerah Sanur memiliki kemiringan
lereng antara 0 – 3% merupakan daerah datar sampai hampir datar dan umumnya
merupakan daerah alluvial yang terdiri dari pasir, kerakal, kerikil dan batu
(Chandana 2005).
Menurut hasil deskripsi cutting di daerah Sanur menunjukkan lapisan
batuan sebagai berikut : pada lapisan paling atas berupa pasir berwarna coklat
keabu – abuan dengan ketebalan 20 m, dibagian bawahnya tersusun oleh tufa
breksi dengan komponen batu apung berwarna coklat sampai pada kedalaman 40
m (tebal 20 m), dibagian bawahnya masih endapan batu gamping terumbu
mengandung pecahan cangkang coral sampai kedalaman 43 m (tebal 3 m).
Kemudian dibawahnya disusul oleh endapan tufa breksi pasiran berwarna hitam
sampai kedalaman 60 m (PU, 2004). Dilihat dari tekstur tanah di Sanur yang
berupa pasir maka tanah di daerah Sanur bersifat porous (mampu melakukan atau
memindahkan air). Adapun karakteristik sifat tanah ditunjukkan dalam Tabel 3
berikut ini.
34
Perairan Pantai Sanur memiliki pola pasang surut campuran dominan semi
diurnal. Fluktuasi pasang surut perairan adalah 0,6 meter dengan Mean Sea Level
adalah 1,0 meter dan pasang tertinggi mencapai 2 meter serta pasang terendah
mencapai 0,6 meter (Bappeda Kota Denpasar 2006).
Pantai Sanur secara geografis merupakan kawasan yang dipengaruhi oleh
perairan laut Selat Badung dan Samudera Hindia. Perairan Pantai Sanur memiliki
tinggi gelombang berkisar antara 0,5 – 1,4 meter dengan periode gelombang
berkisar antara 10 – 30 detik dan panjang gelombang berkisar antara 12 – 18
meter (Bappeda Kota Denpasar 2006).
Kondisi oseanografi lokasi penelitian seperti yang digambarkan diatas
mengindikasikan bahwa pantai Sanur memiliki kondisi oseanografi yang
memungkinkan untuk ditumbuhi lamun. Ekosistem padang lamun yang ada
didaerah ini sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi seperti arus, gelombang,
dan pasang surut. Arus sebagai agen geomorfik membawa nutrient dari daratan
atau ekosistem sekitarnya untuk mendukung kelangsungan hidup lamun, selain itu
juga lamun adalah faktor terpenting dalam flushing-rate suatu perairan yang
berfungsi sebagai media untuk sirkulasi air. Gelombang dengan tinggi dan
frekuensi yang kecil memungkinkan kawasasan ini dijadikan kawasan wisata
favorit di Pulau Bali. Gelombang membantu proses aerasi dalam memperkaya
kandungan oksisgen perairan yang sangat dibutuhkan oleh biota yang ada pada
perairan ini. Gelombang yang ada pada daerah ini tidak setinggi pada daerah Bali
yang lain, Pantai Kuta yang terkenal dengan gelombangnya yang besar memiliki
daya tarik yang lain untuk wisatawan mancanegara.
4.3 Kondisi Sosial Pesisir Sanur
Penduduk pesisir Pantai Sanur menggantungkan hidupnya pada sumberdaya
yang ada pada daerah tersebut. Kegiatan perdagangan dan industri mendominasi
kegiatan ekonomi didaerah ini. Kegiatan tersebut pasti menghasilkan limbah yang
bermuara pada daerah pantai Sanur. Kebanyakan industri pada daerah ini berskala
kecil, hal ini berdampak pada instalasi pengelolaan limbah yang sering diabaikan
oleh masyarakat sekitar. Selain itu dapat dilihat bahwa di sektor perikanan masih
banyak juga masyakarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya
35
pesisir. Untuk kegiatan pertanian dan peternakan walaupun tidak berdampak
langsung terhadap pantai Sanur, akan tetapi pembukaan lahan pada daerah tinggi
disekitar pantai Sanur akan berimplikasi pada kualitas perairan karena tingkat
sedimantasi dapat menurunkan kualitas air disekitar pantai Sanur.
4.4 Kondisi Iklim Perairan Pantai Sanur
Iklim kawasan pantai Sanut termasuk dalam kategori iklim tropis yang
mengalami perubahan setiap 6 (enam) bulan baik dari musim hujan ke musim
kemarau maupun sebaliknya. Musim kemarau dipengaruhi oleh angin Timur,
berlangsung dari bulan April hingga bulan Oktober, sedangkan musim hujan
dipengaruhi dari bulan April hingga bulan Oktober, sedangkan musim hujan
dipengaruhi oleh angin Barat berlangsung oleh massa udara continental Australia,
sedangkan musim hujan dipengaruhi oleh massa udara continental Asia dan
Pasifik yang melalui lautan. Faktor – faktor ini akan mengendalikan siklus alami
yang berpengaruh terhadap kepariwisataan.
Curah hujan di kawasan pariwisata Sanur cukup bervariasi dalam tiap –
tiap bulannya. Hal ini disebabkan adanya angin Barat yang bertiup pada bulan
Oktober – April dan angin Timur yang bertiup pada bulan April – Oktober. Rata –
rata hujan pada bulan April sampai September akan menurun karena dipengaruhi
oleh angin Timur yang bersifat kering, sedangkan rata – rata hujan pada bulan
Oktober – April cukup tinggi karena dipengaruhi oleh angin Barat yang bersifat
basah.
Suhu udara dapat di uraikan dalam beberapa kategori yaitu temperature
rata – rata, temperature maksimum rata – rata temperature minimum rata – rata,
temperatur minimum absolut, temperature maksimum absolut. Temperatur
maksimum rata – rata berkisar antara 26.2 OC – 28.1 OC; temperature maksimum
rata – rata berkisar antara 29.5 OC – 31.8 OC; temperature minimum rata – rata
berkisar antara 23.6 OC – 25.0 OC; temperature minimum absolute berkisar antara
18.4 OC – 22.4OC dan temperature maksimum absolute berkisar antara 31.4 OC –
34.4OC (Sidarta 2002).
36
4.5 Kondisi Fisik Perairan Pantai Sanur
Kawasan wisata Sanur merupakan kawasan transisi antara darat dan laut
yang menghampar sepanjang garis pantai termasuk zona pembatas sempit yang
kebanyakan berhabitat pasang surut. Kawasan ini juga bermuatan hunian manusia
dengan segala aktifitas kegiatan yang dilakukan.
Umumnya kawasn pariwisata Sanur merupakan gisik (daratan yang
terbentuk oleh pasir – pasir endapan gelombang laut), mengarah ke daratan
merupakan pasir berdebu yang terbentuk oleh endapan aluvial, formasi palasau,
kapur miosen dan formasi ulakan yang langsung berhadapan dengan laut. Kondisi
pada dataran rendah meliputi endapan aluvial dataran vulkanik dan sedimen,
pantai sungai dan rawa, berupa pasir lempung dan lanau. Pasir bersifat lepas dan
lempung pasiran bersifat lunak. Batuan vulkanik berupa tufa yang bersifat agak
lepas batuan sedimen terdiri dari konglomerat, dan batu pasir bersifat agak
kompak. Namun kawasan pariwisata Sanur memiliki jenis tanah bertekstur kasar,
yaitu terdiri dari lumpur lempung, lumpur pasiran, dan lanau yang memiliki sifat
meresapkan air lebih baik, sehingga pembentukan air tanah yang berlangsung
lebih cepat. Jenis tanah dicirikan oleh warna abu – abu muda kecoklatan, bersifat
agak lepas – lepas dengan ukuran butir lempeng pasir dengan ketebalan umumnya
kurang dari 1 meter (Sidarta 2002).
37
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Sanur merupakan laguna dari sistem terumbu tepi selatan pulau Bali yang
terbentang lebih dari 8 km. Pada beberapa tempat lebar laguna bisa mencapai
700m. Substrat dasar laguna terbentuk ari akumulasi cangkang foraminifera serta
materi biogenik lainnya. Dasar laguna ditumbuhi oleh delapan jenis lamun yang
membentuk hamparan lamun yang luas. Bagi masyarakat setempat, pantai Sanur
memiliki peranan yang sangat penting, selain tempat pariwisata, nelayan setepat
juga memanfaatkan pantai sanur sebagai tempat mencari ikan, udang dan kerang -
kerangan yang dipanen langsung dari padang lamun tersebut untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
5.1.1 Pantai Segara Agung, Mertasari (Stasiun A)
Wilayah pesisir Pantai Segara Agung ini merupakan pantai yang relatif jauh
dari aktifitas penduduk. Di lokasi ini hanya di temukan hamparan pantai pasir
putih. Tipe substrat dasar perairan pesisir Segara Agung di dominasi oleh tesktur
pasir. Padang lamun yang ada di perairan ini cukup luas kea arah laut (Lampiran
1).
5.1.2 Pantai Hotel Grand Bali Beach (Stasiun B)
Lokasi ini berjarak 1 km dari pantai Segara Agung. Pantai pada lokasi
penelitian disini merupakan pantai yang dengan orang – orang tertentu yang
beraktifitas disni, khususnya pengunjung dan karyawan hotel saja. Tipe subtrat di
lokasi ini masih di dominasi oleh tekstur pasir. Di pantai ini juga ada bangunan –
bangunan yang menjorok ke pantai yang di fungsikan untuk pengunjung
menikmati matahari terbit. Gambar lokasi dapat dilihat pada (Lampiran 1).
5.1.3 Pantai Matahari Terbit (Stasiun C)
Pantai Matahari Terbit merupakan pantai umum di Sanur dimana
wisatawan domestik maupun mancanegara datang untuk menikmati matahari
terbit sebagai salah satu icon utama di pantai Sanur ini. Disni banyak sekali
kegiatan manusia seperti berenang, bermain di pantai, para penjual kaki lima dan
38
perahu – perahu kecil untuk wisatawan. Tipe substrat di pantai ini masih di
dominasi oleh tekstur pasir (Lampiran 1).
5.2 Struktur Komunitas Lamun
5.2.1 Nilai Kerapatan Spesies Lamun di Pantai Sanur
Jenis lamun yang ditemukan pada lokasi penelitian berjumlah enam
spesies yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata,
Halophila ovalis, Halodule uninervis, dan Syringodium isoetifolium. Pada ketigas
stasiun ini , dibagi menjadi 3 sub stasiun pada masing – masing stasiun. Pada
stasiun A, nilai tertinggi terdapat pada titik A3 dimana dimiliki oleh spesies
Cymodocea rotundata dengan jumlah tertinggi 67,50 individu/m2
Pengunjung yang datang pada daerah ini sebatas pengunjung yang
beraktivitas sekitar hotel tersebut. Sedangkan untuk stasiun C dimana terdapat
pantai untuk umum. Aktivitas manusia disana sangat banyak, mulai dari renang,
berjualan, perahu, mancing, dan kegiatan wisata bahari lainnya sangat banyak,
akibatnya lingkungan yang ada disana kurang mendukung lamun untuk
, diikuti oleh
jenis Syringodium isoetifolium pada A3 , Halodule uninervis pada A3,
Cymodocea serrulata pada A1, Halophila ovalis pada A3 dan kemudian Enhalus
acoroides pada A3. Untuk stasiun B, pada masing – masing sub stasiunnya, nilai
tertinggi di dapatkan oleh jenis Cymodocea rotundata di B2, disusul oleh
Cymodocea serrulata di B2, Enhalus acoroides di B1, Halophila ovalis di B2 dan
terakhir Syringodium isoetifolium di B2 dan B3.Selanjutnya untuk stasiun C,
dalam tiap sub stasiunya nilai tertinggi didapati oleh spesies jenis Cymodocea
rotundata di C2, kemudian disusul spesies Enhalus acoroides di C1, Cymodocea
serrulata di C1, Halophila ovalis di C1, untuk spesies Syringodium isoetifolium
dan Halodule uninervis tidak ditemukan di stasiun C (Gambar 4). Perbedaan
jumlah individu pada masing-masing stasiun diakibatkan oleh perbedaan
karakteristik perairan dan kondisi oseanografi lokasi penelitian. Pada stasiun A
dimana kurang kegiatan antropogenik, lamun dapat tumbuh subur karena
didukung lingkungan perairan yang baik. Sedangkan untuk stasiun B yang
lokasinya tepat di belakang Hotel Grand Bali Beach lamun yang ada disana masih
terpelihara dengan baik karena aktivitas manusia pada daerah ini masih terbatas.
39
berkembang dengan baik. Selain itu pada lokasi ini banyak terdapat run-off dari
daratan yang mengakibatkan daerah ini memiliki kondisi perairan yang kurang
baikdibandingkanyanglainnya.
Gambar 4. Grafik nilai kerapatan spesies lamun di Pantai Sanur
5.2.2 Nilai Penutupan Spesies Lamun
Penilaian terhadap tutupan spesies lamun bertujuan untuk mengetahui
berapa besar spesies lamun menempati ruang yang tersedia dalam hamparan
lamun. Diharapkan nilai penutupan tiap jenis yang diperoleh dapat memberikan
gambaran tentang berapa luasan yang ditutupi oleh tiap spesies lamun dalam tiap
kuadrat (English et al 1997). Nilai penutupan masing – masing spesies lamun
sangat berkaitan dengan ukuran morfologi dan jumlah tegakan masing – masing
spesies tersebut.
Hasil perhitungan penutupan lamun yang ditujukan terlihat bahwa spesies
Cymodocea rotundata dan Enhalus acoroides memiliki nilai tutupan yang relative
tinggi yang terdapat di sub stasiun C2 dan sub stasiun C1, kemudian disusul
dengan spesies Cymodocea serrulata di A1, kemudian Halodule uninervis di A3,
Halophila ovalis di C1 dan kemudian Syringodium isoetifoelium di A1 (Gambar
5).
Ind/m2
40
Gambar 5. Nilai penutupan spesies lamun di pantai Sanur
5.2.3 Nilai Sebaran Lamn
5.2.3.4 Nilai Frekuensi Spesies Lamun
Frekuensi kehadiran spesies lamun pada ketiga lokasi memiliki kisaran
nilai yang berbeda. Hal ini berarti bahwa jika nilai frekuensi baik nilai frekuensi
mutlak maupun frekuensi relative rendah, maka spesies tersebut ditemukan
hampir pada setiap kuadrat. Pada jenis Cymodocea serrulata, Cymodocea
rotundata, Halodule uninervis, Enhalus acoroides, dan Syringodium isoetifolium
memiliki nilai frekuensi paling tinggi di sub stasiun A1, A2, A3,B1, B2, B3 dan
sub stasiun C2. Pada grafik dapat dilihat bahwa nilai Cymodocea rotundata
memiliki nilai frekuensi yang tinggi dan tersebar di hampir semua sub stasiun.
Spesies ini merupakan spesies yang dapat bertahan pada lingkungan dengan
kondisi sedang, dan hidup di zona pasang surut yang tinggi, dapat dilihat pada
kondisi stasiun B dan C dimana di lokasi tersebut terdapat kegiatan manusia yang
cukup aktif yang dapat mempengaruhi kondisi lingkungan perairan sehingga
mempengaruhi spesies tersebut. Halophila ovalis juga nilai frekuensi kecil karena
spesies ini lebih menyukai substrat yang selalu tergenang, sementara pada lokasi
kondisina relative memiliki lereng yang datar (Gambar 6).
%
41
Kehadiran lamun di suatu lokasi sangat berkaitan dengan ruang dan tipe
substrat dasar. Kebanyakan spesies lamun sangat cocok dengan tipe substrat
berpasir sampai berlumpur (Duarte 2002).
Gambar 6. Grafik nilai frekuensi spesies lamun di pantai Sanur
5.2.3.5 Peta Sebaran Spesies Lamun di Pantai Sanur
5.2.4 Indeks Nilai Penting (INP) Spesies Lamun dan Peta INP di Pantai
Sanur
Dalam pengamatan lamun, perlu juga mengetahui seberapa penting spesies
lamun tertentu terhadap komunitas lamun, yang dapat diketahui berdasarkan
Indeks Nilai Penting (INP) tiap spesies lamun. Semakin besar INP suatu spesies
berarti semakin besar pula peranan spesies tersebut dalam komunitasnya.
Indeks nilai penting tertinggi pada sub stasiun C1 terlihat pada jenis
Enhalus acoroides (193,68%), diikuti jenis Cymodocea rotundata (167,0%) pada
pada sub stasiun C2, Cymodocea serrulata (120,36%),Halodule uninervis
(71,38%), Halophila ovalis (58,73%), dan kemudian jenis Syringodium
isoetifolium (57,34%) (Gambar 7).
42
Gambar 7. Grafik nilai INP spesies lamun di pantai Sanur
Semakin tinggi indeks nilai penting suatu jenis maka peran dari jenis
semakin besar dalam suatu komunitas pada ekosistem tersebut. Dalam penelitian
ini jenis Enhalus acoroides memiliki INP tertinggi, hal ini mendindikasikan
bahwa jenis ini mempunyai peran yang cukup besar dalam komunitas lamun di
pantai Sanur, akan tetapi untuk jenis yang memiliki INP rendah tidak selamanya
tidak memiliki peran dan dapat diabaikan karena jenis ini terkadang member
peran yang tidak langsung terhadap komunitas pada satu ekosistem, selain itu
jenis dengan INP terendah terkadang perlu mendapat perhatian karena bisa saja
jenis ini tertekan dengan kondisi lingkungan yang ada. Pada gambar 8 dapat
menjelaskan tentang sebaran lamun di setiap stasiun, pada stasiun Mertasari
(stasiun A) dan stasiun Grand Bali Beach (Stasiun B) ditemukan ke enam spesies
lamun yaitu Syringodium isoetifolium, Halodule uninervis, Halophila ovalis,
Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, dan Enhalus acoroides. Pada
stasiun Pantai Umum (Stasiun C), ditemukan hanya lima spesies, Syringodium
isoetifolium, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata dan
Enhalus acoroides, kecuali spesies Halodule uninervis tidak ditemukan di stasiun
Pantai Umum karena spesies ini biasanya tumbuh dengan vegetasi tunggal dengan
, dan diduga spesies ini tidak cocok dengan kondisi perairan dan kemiringan
lereng yang ada di stasiun C.
43
Gam
bar 8
. Pet
a Se
bara
n La
mun
di P
anta
i San
ur
44
5.3 Karakteristik Pantai
5.3.1 Parameter Fisika dan Kimia dan Tekstur Substrat
Sebaran karakteristik fisik dan kimia akan menunjukkan seberapa besar
tingkat pencemaran yang ada pada masing-masing stasiun pengamatan dengan
meggunakan Baku Mutu Berdasarkan Kepmen-LH 51 Tahun 2004 untuk
pariwisata. Untuk parameter kekeruhan nilai tertinggi terlihat pada stasiun
C1(2,24) dan yang terendah pada stasiun B2(0,34). Perbedaan nilai kekeruhan
pada masing-masing stasiun dipengaruhi oleh sedimentasi baik dari daratan
maupun karena arus dan gelombang. Nilai kekeruhan yang ada pada setiap stasiun
menunjukkan angka yang kurang baik untuk nilai kekeruhan kawasan wisata yang
berada pada angka 6. Kemampuan air untuk merambatkan cahaya sangat penting,
tanpa sinar matahari fotosisntesis tidak mungkin terjadi dan kehidupan dilaut tidak
akan dapat bertahan. Sinar matahari dapat diabsorbsi secara cepat oleh air laut
hingga mencapai 100m pada lautan yang jernih. Pada air yang keruh sinar ini
hanya mencapai 10m hingga 30m dan untuk perairan yang sangat keruh hanya
mencapai 3m. Penetrasi cahaya ini akan mempenagruhi tipe dan distribusi dari
organisme yang ada didalam laut dan suhu dari air laut. Sedangkan untuk padatan
tersuspensi nilai tertinggi terlihat pada stasiun C1 (32) dan nilai terendah ada pada
stasiun B2 (1). Perbedaan nilai padatan ini dipengaruhi oleh limbah yang
mengandung padatan terlarut seperti misalnya pengerukan atau sedimentasi yang
hanyut oleh run-off dan mengendap dikawasan pantai (Tabel 1).
Selain parameter fisik, parameter kimia juga mempengaruhi kualitas air
suatu perairan. Untuk parameter pH nilai tertinggi terlihat pada stasiun C2 (8,13)
dan yang terendah terlihat pada stasiun A1 (8,00). Nilai – nilai tersebut masih
masuk dalam kategori baku mutu yaitu berkisar 7 – 8,5. Sedangkan untuk salinitas
air laut pada lokasi pengamatan berkisar 27 – 30 o
Masuknya air limbah dari daratan sangat mempengaruhi salinitas air laut.
Beberapa biota termasuk lamun sangat peka terhadap perubahan salinitas, bahkan
beberapa biota akan mengalami kematian apabila terjadi perubahan drastis
terhadap perubahan salinitas ini. Selanjutnya untuk kandungan oksigen (disolved
/oo. Pada stasiun C dengan
jumlah run-off yang lebih banyak memiliki salinitas yang rendah dibandingkan
stasiun A dan B.
45
oksigen) nilai tertinggi terlihat pada stasiun C(6,61) dan terendah pada stasiun B2
(6,32). Kisaran nilai ini sudah baik menurut baku mutu yang menetapakan DO air
laut lebih dari 5. Selanjutnya untuk nilai BOD5
Tabel 1. Paramater Fisik dan Kimia Ekosistem Lamun
berkisar 0,64 sampai 1,98.
Baku Mutu Berdasarkan Kepmen-LH 51 Tahun 2004 ( Pariwisata ) Bedasarkan kategori ini pantai Sanur masih dalam keadaan yang baik
karena belum melebihi baku mutu yaitu 10mg/L. Walaupun demikian stasiun
yang harus diperhatikan adalah stasiun C yang menjadi tempat wisata umum.
Meningkatnya jumlah warung dan toko disepanjang pantai akan mempengaruhi
jumlah limbah yang dibuang ke pantai. Pengukuran BOD merupakan cara
pengukuran yang sangat populer penggunaannya untuk memeriksa terjadinya
cemaran bahan organik cara ini adalah mengukur jumlah dari molekul oksigen
yang digunakan oleh bakteri untuk mengoksidasi kandungan bahan organik di
dalam sampel air. Oleh karena itu BOD sering diartikan sebagai jumlah oksigen
dalam sistem perairan yang dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk menguraikan
atau merombak bahan organik dalam air melalui proses oksidasi biokimiawi
secara dekomposisi aerobik. Limbah cair yang dihasilkan oleh rumah tangga
banyak mengandung bahan organik yang dicirikan dengan tingginya BOD pada
air yang tercemar limbah. Untuk rata-rata nilai BOD maka stasiun C adalah
No Parameter Satuan Metoda I FISIKA : 1 Kekeruhan NTU APHA , ed. 21, 2005, 2130-B
2 Padatan Tersuspensi (TSS) mg/L APHA ,ed. 21 2005, 2540-D
3 Suhu o Insitu dengan termometer C II KIMIA :
1 pH - APHA, ed. 21 2005, 4500-H+
2 -B
Salinitas ppt Refraktometer 3 Oksigen Terlarut (DO) mg/L APHA ed. 21, 2005, 4500-O-C 4 BOD mg/L 5 APHA , ed. 21, 2005, 2510-B 5 Nitrat (NO3 mg/L -N) APHA, ed. 21, 2005,4500-NO3
6
-E Nilai Permanganat (TOM) mgKMnO4
APHA, ed. 21, 2005, 4500-KMnO/l
4
7 -B
Fosfat (PO4 mg/L -P) APHA, ed. 21, 2005, 4500-P-E
46
stasiun yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena memiliki nilai yang
tinggi. Selanjutnya untuk kandungan nitrat nilai tertinggi terlihat pada stasiun C1
(0,093) dan yang terendah pada stasiun A2 (0,14), hal ini mengindikasikan bahwa
pada stasiun C banyak limbah yang masuk keperairan, hal ini juga terlihat pada
parameter fosfat dan Total organik meter (TOM) yang memiliki nilai yang tinggi
pada stasiun C dan relatif rendah pada stasiun A dan B. Secara keselurah
parameter kualitas air daerah Sanur mash baik, hanya saja untuk parameter nitrat
dan fosfat perlu mendapat perhatian khusus karena telah melewati baku mutu
yang ada. Pada pengukuran tahun 2000 dan 2006 juga mengindikasikan hal yang
sama. Tabel 2 akan menyajikan secara lengkap kualitas air pantai Sanur tahun
2011 dan Tabel 4 akan menyajikan data kualitas aira tahun 2000 dan 2006.
(a) (b)
Gambar. 9 menggambarkan analisis komponen utama untuk mengkaji
karakteristik kimia padang lamun terhadap parameter kekeruhan. TSS. pH.
Salinitas. DO. BOD. NO3-N. TOM. dan PO4
-P. Hasil PCA memperlihatkan
bahwa informasi penting terhadap sumbu terpusat pada 2 sumbu utama 1 dan 2.
dengan kontribusi masing-masing sumbu sebesar 54% dan 20%, sehingga total
kontribusi sebesar 74%.
Gambar. 9. a) Grafik Analisis Komponen Utama karakteristik Fisik-Kimia b) Sebaran stasiun Penelitian
47
Tabel. 2. Data Parameter Fisik Kimia Pantai Sanur Tahun 2011
No Parameter Satuan Stasiun
BM*) A1 Sanur A2 Sanur B1 Sanur B 2
Sanur C1 Sanur C2 Sanur
I FISIKA :
1 Kekeruhan ntu 0.45 0.35 0.36 0.34 2.24 1.50 5
2 Padatan Tersuspensi (TSS) mg/L 4 6 10 1 32 22 <20
3 Suhu o 28.5 C 29 29 29 28 28.5 alami3
II
(c)
KIMIA :
1 pH - 8.00 8.04 8.08 8.01 8.09 8.13 7-8.5
2
(d)
Salinitas o/oo 28 30 30 29 27 29 alami3
3
(e)
Oksigen Terlarut (DO) mg/L 6.56 6.32 6.56 6.32 6.61 6.32 >5
4 BOD mg/L 5 1.09 1.53 0.64 1.98 1.53 1.53 <10
5 Nitrat (NO3 mg/L -N) 0.020 0.014 0.027 0.048 0.093 0.008 <0.008
6 Nilai Permanganat (TOM) mgKMnO4 59.41 /l 56.88 65.73 20.22 77.10 55.62 -
7 Fosfat (PO4 mg/L -P) 0.012 0.020 0.020 0.018 0.053 0.017 <0.015 *) : Baku Mutu Berdasarkan Kepmen-LH 51 Tahun 2004 ( Untuk Pariwisata )
48
Tabel. 3 Parameter fisik-kimia air laut pantai Sanur tahun 2000 dan 2006
No Parameter Tahun BM Satuan 2000 2006 I FISIKA : - - 1 Kekeruhan - - > 6 Ntu 2 Padatan Tersuspensi (TSS) 12 - 20 mg/L II KIMIA : 1 pH 7 7.89 7-8.5 - (d) 2 Salinitas - - alami3 o/oo (e) 3 Oksigen Terlarut (DO) 6.81 - >5 mg/L 4 BOD 0.91 5 0.808 10 mg/L 5 Nitrat (NO3 - -N) 0.064 0.008 mg/L 6 Nilai Permanganat (TOM) - - - mgKMnO4
7 /l
Fosfat (PO4 - -P) - 0.015 mg/L Sumber : BAPEDA Proponsi Bali (2000) dan Arthana (2006).
Tabel. 4 memperlihatkan korelasi masing-masing karakteristik fisik kimia
padang lamun di Sanur. Pada parameter suhu berkorelasi positif terhadap salinitas
(R=0,980). Semakin tinggi suhu maka akan semakin tinggi salinitas. hal ini
dikarenakan terjadinya evaporasi akibat menigkatnya suhu maka membuat kadar
garam suhu perairan meningkat. Sedangkan untuk pH yang berkorelasi positif
dengan salinitas (R=0,4). Menurunnya pH akan diikuti dengan penurunan salinitas
baik oleh meningkatnya masukan air tawar maupun limbah. Penurunan pH akan
menjadikan air laut menjadi asam. dan akan menyebabkan kematian biota.
Selanjutnya untuk parameter kekeruhan berkorelasi positif dengan nilai
kekeruhan. semakin tinggi TSS pada suatu perairan makan akan membuat
perairan tersebut makin keruh. kekeruhan ini akan berpengaruh terhadap penetrasi
cahaya dan proses fotosistesis. Sedangkan untuk parameter NO3-N berkorelasi
positif dengan PO4-P (98%). peningkatan kadar nitrat diperairan maka akan
meningkatkan kadar fosfat yang akan berpengaruh terhadap kualitas air suatu
perairan akibat dari pencemaran. dan untuk varaibel DO berkorelasi negatif
dengan BOD (R=-0,63). Semakin tinggi BOD diperairan maka akan menurunkan
kadar DO perairan. begitu juga sebaliknya. Peningkatan kebutuhan BOD suatu
perairan akan menurunkan kadar oksigen dan akan berdampak terhadap seluruh
biota yang ada pada perairan tersebut.
49
Tabel. 4. Matriks korelasi parameter fisik-kimia
Berdasarkan sebaran titik-titik pada Gambar. 9b pada sumbu 1 dan 2
terlihat terjadi beberapa pengelompokan. Representasi grafik memperlihatkan
proksimitas/kedekatan antar stasiun pengamatan berdasarkan keseluruhan
parameter fisik kimia. Titik-titik yang berdekatan menunjukkan jarak
disimilaritas/perbedaan karakteristik yang menjadi parameter relatif kecil. begitu
pula sebaliknya. Seperti yang kita lihat pada Gambar 9b. stasiun B2 dan C1
memiliki jarak yang jauh dari sumbu. Hal ini mengindikasikan bahwa stasiun ini
mempunyai perbedaan yang besar pada lokasi panelitian ini. Dari hasil analisis
ditemukan bahwa jarak ini dipengaruhi oleh nilai dari variabel TSS. TOM dan
BOD yang memiliki nilai yang ekstrim. Untuk nilai TSS stasiun B2 memiliki nilai
terendah (1). sedangkan untuk stasiun C1 memiliki nilai tertinggi (32).
Sedimen yang ada pada padang lamun pantai Sanur didominasi oleh
tekstur pasir. Pada stasiun A terlihat didominasi oleh tekstur pasir (29,93 –
99,81%), sedangkan untuk stasiun B masih juga didominasi oleh tekstur pasir
(88,53 – 99,65%), akan tetapi untuk tekstur debu nilainya lebih tinggi
dibandingkan nilai tekstur debu stasiun A dan stasiun C didominasi oleh tekstur
pasir (85,49 – 96,46%). Tekstur sedimen pada lokasi penelitian menggambarkan
semakin beragammnya ukuran buir sedimen maka semakin beragam jenis lamun
yang ada pada lokasi penelitianm hsl ini jugs tergambar pada jumlah biota yang
berasosiasi didalamnya.
SUHU SAL PH DO BOD TSS TOM NO3 PO4 KKRH
SUHU 1 0.9080 0.2729 -0.5299 -0.0781 -0.8145 -0.5876 -0.5737 -0.6883 -0.8906 SAL 0.9080 1 0.4881 -0.5451 -0.2218 -0.5618 -0.3143 -0.7039 -0.6307 -0.7089
PH 0.2729 0.4881 1 -0.4409 0.1109 0.0085 0.1956 -0.3108 0.0178 -0.0866 DO -0.5299 -0.5451 -0.4409 1 -0.6323 0.3536 0.6932 0.5045 0.4837 0.2996 BOD -0.0781 -0.2218 0.1109 -0.6323 1 0.0285 -0.5996 0.2691 0.1627 0.2169
TSS -0.8145 -0.5618 0.0085 0.3536 0.0285 1 0.6603 0.5309 0.7916 0.9679 TOM -0.5876 -0.3143 0.1956 0.6932 -0.5996 0.6603 1 0.2055 0.5250 0.5275 NO3 -0.5737 -0.7039 -0.3108 0.5045 0.2691 0.5309 0.2055 1 0.8917 0.6024
PO4 -0.6883 -0.6307 0.0178 0.4837 0.1627 0.7916 0.5250 0.8917 1 0.7962
KKRH -0.8906 -0.7089 -0.0866 0.2996 0.2169 0.9679 0.5275 0.6024 0.7962 1
50
Berdasarkan ukuran butiran sedimennya (granulometri) King (1961)
menggolongkan gisik atas gisik pasir (sand beaches) dan gisik kerikil (shingle
beaches). Secara fisik profil (lereng) gisik kerikil umumnya curam dan menurun
ke perairan dalam. terutama pada tempat dimana gelombang pecah sedangkan
lereng gisik pasir umumnya lebih landai (Pethick 1992).
Pernyataan Pethick (1992) didukung oleh hasil penelitian ini yang
menyatakan bahwa pada profil-profil yang memiliki kemiringan lereng datar
masih ditemukan distribusi granulometri sedimen yang berukuran pasir sedang
sampai liat. Sedangkan semakin miring lereng distribusi granulometrinya akan
semakin didominasi oleh pasir.
Selain itu, Pethick (1997) mengklasifikasikan sedimen ke dalam dua
kelompok. yaitu sedimen lithogenous yang disebut juga sedimen klastik dan
sedimen biogenous yang disebut juga sedimen biogenik. Selanjutnya
dikemukakan bahwa sekitar 90 % dari total sedimen yang menghampiri lahan
Gambar 10. Dendogram klasifikasi hierarki berdasarkan disimilaritas karakteristik fisik-kimia masing-masing stasiun.
51
gisik berasal dari sedimen lithogenous. Namun untuk tempat-tempat tertentu.
penyusun utama lahan gisik adalah sedimen biogenous, khususnya daerah yang
dikelilingi atau terdapat terumbu karang.
5.3.2 Kemiringan Pantai
Perbedaan pada tingkat kemiringan serta panjang lereng yang diukur
bergantung pada topografi perairan masing-masing stasiun. Untuk panjang lereng
diukur dari daerah pasang tertinggi sampai surut terendah dimana msih dijumpai
lamun. Stasiun A memiliki panjang lereng yang tertinggi dibanding stasiun
lainnya. Panjang lereng stasiun A mencapai 110m dari pasang tertinggi, dengan
kemiringan lereng 2,3%. Berdasarkan angka yang diperoleh dari pengukuran
panjang lereng dan kemiringan lereng stasiun A dapat dikategorikan kedalam
pantai yang memiliki lereng datar dan memiliki panjang lereng yang agak
panjang. Berbeda halnya dengan stasiun B yang memiliki nilai kemiringan lereng
3,04% yang masuk dalam kategori lereng landai, sedangkan untuk panjang lereng
sama dengan stasiun A yang masuk dalam kategori agak panjang karena memiliki
panjang lereng 100m. Sedangkan untuk stasiun C kemiringan lereng menunjukan
angka 3,61% yang tergolong kedalam lereng landai, dan untuk panjang lereng
masuk dalam kategori lereng pendek dengan panjang lereng kurang dari 50m.
Dari hasil analisa terhadap kemiringan lereng, panjang lereng dan
penyebaran lamun dimasing-masing stasiun dapat digambarkan bahwa ada
hubungan antara kemiringan lereng, panjang lereng dan penyebaran lamun. Makin
landai suatu perairan maka lamun akan menyebar lebih luas ke arah laut,
sebaliknya makin curam perairan maka penyebaran lamun makin sempit. Daerah
yang memiliki nilai kelerengan yang rendah biasanya memiliki panjang lereng
yang lebih lebar. Penyebaran lamun ke arah laut berhubungan dengan kemiringan
lereng karena lamun membutuhkan cukup cahaya untuk melakukan proses
fotosintesis. Selain itu tingkat kekeruhan dan kecerahan dari perairan juga
mempengaruhi penyebaran dari lamun, semakin baik kondisi perairan maka akan
memberikan kesempatan lamun untuk tumbuh dan berkembang. Kemiringan
lereng juga berkorelasi dengan tunggang pasut, semakin landai suatu perairan
maka tunggang pasut akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya semakin curam
52
perairan maka tunggang pasut akan besar. Stasiun C sering digunakan sebagai
pelabuhan perahu motor dikarenakan batimetri dari perairan setempat yang
mendukung kegiatan transportasi laut, akibatnya lamun pada daerah tersebut
paling banyak mengalami gangguan, baik oleh tumpahan minyak ataupun terseret
kapal yang berlabuh, ditambah aktivitas wisatawan yang sangat tinggi terutama
pada musim liburan (Lampiran 7).
5.3.3 Asosiasi Lamun dengan Biota
Untuk keterkaitan ekosistem lamun dengan biota di lokasi penelitian
tersebut di dapatkan bahwa semakin tinggi ekosistem lamun maka biota yang
berasosiasi semakin banyak.
Pada lokasi penelitian ini (Gambar 12) di temukan jenis gastropoda
(Strombus labiatus sp, Ceritillium tenellum, Cymbiola vespertillo, Pyrene
versicolor), echinodea (Diadema setosum, Protoreaster nodosus, Tripneustes
gratilla, Bohadschia argus, Archaster tipicus), bivalvia (Anadara scapha, Mactra
patogina), ikan (Upenus tragula), Palamonella sp dan kuda laut (Hippocampus
bargibanti).
Gambar. 11 Grafik kelimpahan biota di padang lamun Pantai Sanur
53
Gam
bar 1
2. P
eta
Seba
ran
Bio
ta d
i Pan
tai S
anur
54
Pada gambar 11 disebutkan bahwa spesies Cerithium tenellum nilai
kelimpahannya lebih tinggi pada stasiun A dan terendah adalah spesies
Protoreaster nodosus dan Bohadschia argus,dan untuk stasiun B nilai kelimpahan
tertinggi di huni oleh spesies Protoreaster nodosus dan yang tidak muncul adalah
spesies Upenus gratula, Tripneustes gratilla dan Palamonella sp, sedangkan
untuk stasiun C, nilai tertinggi di huni spesies Protoreaster nodosus, dan spesies
yang tidak ada adalah Strombus labiatus, Upenus tragula, Tripneusteus gratilla,
Anadara scapha, Hippocampus bargibanti, S.luhuanus, dan Palaemonella sp.
Tinggi atau rendahnya spesies pada tiap stasiun diduga karena beberapa faktor,
seperti tekstur substrat yang cocok bagi kehidupan spesies tersebut dan sumber
makanan dalam bentuk bahan – bahan organik yang melimpah. Habitat lamun
menyokong kelimpahan dan kekayaan hewan yang berasosiasi dengan
memberikan struktur habitat secara fisik (Orth et al 1984). Pada gambar 13
menjelaskan dalam bentuk peta, asosiasi antara lamun dengan biota yang ada di
sekitar pantai Sanur. Dari ketiga stasiun di atas, keseluruhan memiliki jenis
spesies lamun yang sama kecuali hanya pada stasiun Pantai Umum yang tidak ada
spesies Halodule uninervis. Pada stasiun Mertasari, terdapat 6 spesies lamun dan
15 biota yang berasosiasi, sedangkan pada stasiun Hotel Grand Bali Beach biota
yang beraosiasi adalah Strombus labiatus, Diadema setosum, Protoreaster
nodosus, Cerithilium tenellum, Bohadschia argus, Pyrene versicolor, Archaster
tipicus, Anadara scapha, Cymbiola vespertillio, Hippocampus bargibanti, Mactra
patagonica, dan S.luhuanus. Untuk stasiun Pantai Umum, biota yang berasosiasi
dengan lamun adalah spesies Diadema setosum, Protoreaster nodosus, Cerithium
tenellum, Bohadschia argus, Pyrene versicolor, Archaster tipicus, Cymbiola
vespertillio, dan Mactra patagonica , hanya saja pada stasiun Pantai Umum
spesies Halodule uninervis tidak di temukan distasiun ini secara keseluruhan.
5.4 Karakteristik Sosial
Responden yang dipilih pada penelitian ini adalah wisatwan yang
melakukan aktivitas di pantai sanur. Responden diplih dengan purposive
sampling. Responden dipilih secara sengaja dengan objek adalah wisatawan yang
berasosiasi dengan lamun baik itu berenang, snorkeling, memancing ataupun
55
sekedar bermain disekitar padang lamun. Jumlah responden ini ditentukan dengan
memakai rumus dari Yulianda et al (2010). Dari survei dan informasi yang
didapat, jumlah pengunjung pada lokasi wisata itu berjumlah 1500 orang dan
sekitar 135 orang yang beraktivitas di pantai. Jumlah responden pada penelitian
ini sebanyak 40 orang.
Dari responden ini beberapa data akan dianalisa sehubungan
denganpengelolaan ekosistem lamun yang ada di pantai sanur. Selain data pribadi
seperti umur, pendapatan, jumlah kunjungan, dan waktu kunjungan responden
juga akan dinilai mengenai pengetahuan akan ekosistem lamun, apresiasi
wiasatawan terhadap objek wisata yang ada, nilai estetika dari lamun, dan
kesadaran akan konservasi ekosistem lamun.
Responden ini terdiri dari wisatawan mancanegara dan wisatawan
domestik. Usia rata-rata dari respoden berkisar 30 tahun dengan usia responden
termuda 17 tahun dan tertua adalah 50 tahun. Jumlah keluarga yang datang
kelokasi ini rata-rata berjumlah 4 orang, dengan pengeluaran rata-rata wisatawan
perorang mencapai Rp 2.576.500. Pengeluaran ini terdiri dari transportasi,
penginapan, makanan, tiket masuk, sewa sarana hiburan, dan lain-lain.
Willingness to pay (WTP) seseorang terhadap suatu kawasan wisata dapat
diestimasi berdasarkan total pengeluaran yang ia dihabiskan untuk mengunjungi
kawasan wisata tersebut. Pengeluaran ekonomi tersebut mencerminkan “harga”
(secara implisit) dari barang dan jasa yang disediakan oleh lokasi wilayah
tersebut. Pengeluaran tersebut mencakup seluruh biaya yang dikeluarkan mulai
dari biaya transportasi, tiket masuk lokasi wisata, penginapan, makanan dan
minuman, dan lain – lain (Lipton DW et al 1995).
Walaupun mengeluarkan uang sebanyak itu wisatawan masih memiliki
antusias yag tinggi untuk datang berkunjung ke lokasi ini, hal ini diperlihatkan
dari data rata-rata jumlah kunjungan yang mencapai dua kali per tahun dengan
waktu kungjungan rata-rata selama 5 hari sampai 1 minggu.
56
Gam
bar 1
3. P
eta
Seba
ran
Lam
un d
an S
ebar
an B
iota
di P
anta
i San
ur
57
Apresiasi yang tinggi juga diperlihatkan wisatawan pada lokasi ini dengan
perbandingan pengeluaran untuk biaya akomodasi ke tempat ini dibandingkan
tempat lain. Sebelumnya telah diketahui bahwa pengeluaran rata-rata perorang
untuk ada di kawasan pantai sanur adalah Rp 2.576.500, jika dibandingkan
dengan pengeluaran untuk berkunjung ke tampat lain rata-rata sebesar Rp
566.250, maka hal ini menggambarkan bahwa wisatawan rela mengeluarkan uang
dengan jumlah besar hanya untuk menikmati keindahan pantai ini, hal serupa
daada juga dari beberapa responden mengatakan bahwa tidak ada tempat lain
yang dapat menayamakan situasi dan kondisi pantai sanur, kalaupun ada
kunjungan ke tempat lain itu hanya sekali dalam setahun.
Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method/TCM) merupakan metode
yang biasa digunakan untuk memperkirakan nilai rekreasi (recreational value)
dari suatu lokasi atau objek. Metode ini merupakan metode pengukuran secara
tidak langsung terhadap barang atau jasa yang tidak memiliki nilai pasar (non
market good or service). Teknik ini mengasumsikan bahwa pengunjung pada
suatu tempat wisata menimbulkan atau menanggung biaya ekonomi, dalam bentuk
pengeluaran perjalanan dan waktu untuk mengunjungi suatu tempat (Lipton DW
et al. 1995 dalam Hutabarat dkk 2009).
5.4.1 Pendapatan wisatawan
Pendapatan wisatawan pada lokasi penelitian bervariasi dari Rp 500.000-
Rp 1.000.000 per bulan, sampai diatas Rp 5.000.000. Untuk mempermudah
intepretasi pendapatan wisatawan ini dikelompokan kedalam beberapa kelas.
Jumlah responden tertinggi adalah wisatwan dengan total pendapatan Rp
3.000.000 – Rp 4.000.000 perbulan (42,5%) diikuti Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000
perbulan (22,55%), Rp 500.000 - Rp 1.000.000 perbulan (22,55%), Rp 4.000.000
– Rp 5.000.000 perbulan (7,5%), dan yang terendah adalah wisatawan dengan
pendapatan diatas Rp 5.000.000 (5%). Bervariasinya pendapatan wisatawan tidak
berpengaruh terhadap antusias wisatawan untuk datang ke Pantai Sanur. Gambar
selanjutnya akan memperlihatkan diagram pendapatan wisatawan. Gambar 14 di
bawah menunjukkan grafik pendapatan wisatawan di pantai Sanur.
58
5.4.2 Persepsi wisatawan terhadap Pantai Sanur dan Ekosistem Lamun
Penilaian wisatwan terhadap objek wisata pantai sanur (gambar 15)
dianalisa melalui wawancara dengan responden yang dipilih. 77,5% responden
memiliki nilai yang posistif terhadap pantai sanur. Pantai sanur dikatakan sebagai
pantai dengan panorama pantai terindah saat matahari mulai bersinar. Keindahan
ini banyak dispresiasikan wisatawan dengan mengambil gambar saat sun rise,
akan tetapi tidak semua wisatawan yang bernanggapan demikian karena 17,5%
responden mengaanggap keindahan pantai sanur netral dalam pandangannya, dan
5% dari responden memiliki pandangan yang negatif terhadap pantai sanur.
Alasan mereka memberi penilaian netral dan negatif dikarenakan kurang baiknya
pengelolaan kawasan yang belum optimal. Berserakannya sampah dan hewan
peliharaan seperti anjing, kucing, dan ayam, serta minimnya kebersihan WC dan
kamar mandi membuat sebagian wisatawan memberikan penilaian yang kurang
baik. Gambar berkut akan memperlihatkan tanggapan wisatawan terhadap
kawasan wisata pantai sanur.
Gambar 14. Pendapatan wisatawan Pantai Sanur
Gambar .15 Persepsi Wisatawan Terhadap Pantai Sanur
59
Gambar diatas (gambar 16) menunjukan bagaimana tanggapan wisatawan
terhadap ekosistem lamun yang ada di pantai sanur. 55% responden memiliki
tanggapan yang positif terhadap nilai estetika padang ekosistem lamun. Beberapa
responden yang memilik pengetahuan akan fungsi lamun kebanyakan memiliki
apresiasi yang tinggi terhadap ekosistem ini, akan tetapi ada juga wisatwan yang
memiliki pandangan lain terhadap ekosistem ini. 10% wisatwan mengatakan
lamun adalah ekosistem yang biasa-biasa saja dan 35% mengatakn bahwa lamun
hanya membawa tidak memiliki nilai estetika. Selanjutnya mengenai tanggapan
responden tentang kehadiran lamun 65% merasa tidak terganggu dengan
kehadiran lamun sedangkan 35%merasa terganggu dengan kehadiran lamun.
Kebanyakan wisatawan mengeluhkan kehadiran lamun saat berenang karena
dapat mengganggu penglihatan dan dapat mengakibatkan alergi. Selain itu saat
air surut pada ekosistem ini banyak terlihat sampah yang berasal dari daratan.
Gambar selanjutnya akan memperlihatkan tanggapan wisatawan terhadap
kehadiran lamun pada daerah wisata ini (Gambar 17).
Gambar.16 Persepsi Wisatawan Terhadap Nilai Estetika Padang Lamun
Gambar 17. Persepsi Wisatawan Terhadap Kehadiran Lamun
60
5.4.3 Persepsi Wisatawan Terhadap Fungsi Ekosistem lamun
Pada gambar selanjutnya (gambar 18) menggambarkan pengetahuan
wisatawan terhadap fungsi dari ekosistem lamun. 57% dari responden ternyata
sudah mengtahui fungsi ekosistem lamun walaupun tidak semua fungsi yang
mereka ketahui. Kebanyakan dari responden mengaangap lamun adalah tempat
tinggal ikan dan biota lainnya, sedangkan untuk fungsi fisik dan kimia wisatawan
secara umum kurang memahaminya. Hanya 42,5% responden yang tidak
memahami fungsi lamun. Kebanyakan responden ini menganggap lamun adalah
pengganti ilalang yang ada didaratan yang keberadaannya hanya mengganggu dan
kurang memiliki nilai tambah.
% - %
5.4.4 Persepsi Wisatawan Terhadap Konservasi Lamun
Wisatawan dengan pengetahuan yang baik akan ekosistem padang lamun
kebanyakan memilih untuk melakukan upaya konservasi terhadap ekosistem ini.
Masyarakat mulai akan arti penting dari kehadiran ekosistem ini. Bahkan
beberapa responden menyarankan agar adanya biaya konservasi khusus dari karcis
masuk kawasan ini, atapun pajak khusus konservasi. Akan tetapi beberapa
reaponden memiliki pandangan yang berbeda, 25% responden menagtakan bahwa
upaya konservasi terhadap ekosistem lamun adalah tindakan yang tidak
diperlukan mengingat ekosistem ini tidak memiliki nilai ekonomi ataupun estetika
(gambar 19). Pandangan yang berbeda ini biasanya adalah tanggapan dari
responden yang belum mengetahui akan fungsi ekosistem lamun. Dengan
informasi mengenai ekosistem ini mendatang diharapkan pandangan dan
pengetahuan orang akan fungsi lamun terus membaik agar ekosistem masih bisa
tumbuh dan berkembang semestinya.
Gambar .18 Persepsi Wisatawan Terhadap Fungsi Ekosistem Lamun
61
%
%
5.5 Strategi Pengelolaan Ekosistem Lamun Pantai Sanur
Permasalahan dan isu pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan dalam
hal ini ekosistem padang lamun, secara umum sedang dihadapi di Indonesia,
bahkan juga sama dengan yang terjadi di beberapa negara berkembang lainnya.
Walaupun dalam skala mikro bisa jadi tidak terlalu persis karena perbedaan sosial
ekonomi dan budaya. Oleh karena itu isu persoalan seperti kemiskinan, konflik
kepentingan antar lembaga, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan, pencemaran laut dan pesisir, keterbatasan dana pengelolaan
merupakan persoalan yang sedang dihadapi (PKSPL 1999).
Dihadapi bahwa padang lamun memberikan banyak manfaat bagi manusia.
Dengan demikian mempertahankan areal – areal padang lamun, termasuk
tumbuhan dan hewannya, sangat penting untuk pembangunan ekonomi dan sosial.
Namun akhir – akhir ini tekanan penduduk semakin meningkat akan sumberdaya
laut menjadi faktor utama dalam perubahan lingkungan ekosistem di laut.
Selain ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa areal pesisir
mutlak merupakan milik umum yang sangat luas yang dapat mengakomodasi
segala bentuk kepentingan termasuk kegiatan yang berbahaya sekalipun. Ini suatu
kelemahan cara berpikir dan pengetahuan yang dapat mengancam
keberlangsungan sumber daya pesisir dan laut salah satunya adalah ekosistem
padang lamun. Meskipun telah banyak produk hukum yang jelas – jelas mengatur
bahwa tidak ada satu orang ataupun kelompok yang dapat semena – mena
memanfaatkan dan mengelola kawasan pesisir ini, tetapi penegakkannya melalui
Gambar. 19 Pendapatan wisatawan terhadap Konservasi Lamun
62
pengenaan sanksi yang tegas dan transparan belum berjalan sebagaimana
mestinya.
Pengelolaan pesisir secara terpadu memerlukan justifikasi yang bersifat
komprehensif dari subsistem – subsistem yang terlibat didalamnya. Misalnya
implikasi terhadap lingkungan, ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam
perspektif mikro maupun makro. Pembangunan hendaknya mempertimbangankan
keterpaduan antar unsur ekologi, ekonomi dan sosial.
Pada lingkungan pesisir, memiliki kendala khusus dalam melihat implikasi
dari suatu strategi pengelolaan, hal ini disebabkan karena adanya bermacam –
macam aktifitas dan kelompok masyarakat sebagai pengguna, seperti rencana
pengelolaan yang dibuat oleh pemerintahan sering tidak dapat mencakup semua
kepentingan masyarakat dan sebaliknya masyarakat menganggap sumber alam
sebagai open acces resources (Raharjo 1996).
Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat
kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat
akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di
luar kawasan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan
manfaatnya bilamana keperpihakkan kepada masyarakat yang sangat rentan
terhadap sumberdaya alam diberikan porsi yang lebih besar.
Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat
sebagai komponen utama penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena
itu persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk
diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumber alam pesisir
(Bengen 2001).
Salah satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang
dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem padang lamun
adalah pengelolaan berbasis masyarakat (Commudity Based Management).
Rahardjo (1996) mengemukakan bahwa pengelolaan berbasis masyarakat
mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya
alam di suatu kawasan. Dalam konteks ini pula perlu diperhatikan mengenai
karakteristik lokal dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena
itu, dalam strategi ini perlu dicari alternatif mata pencaharian yang tujuannya
63
adalah untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya pesisir termasuk lamun di
kawasan tersebut.
Pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan yang optimal dan
berkelanjutan dapat dicapai dengan menerapkan strategi pengelolaan wilayah
pesisir secara tepat dan terpadu. Ekosistem lamun merupakan bagian intergral dari
sumberdaya pesisir dan lautan, maka dalam pembuatan kebijakanay juga tidak
terlepas dari arahan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
Rumusan strategi pengelolaan dan pengembangan ekosistem padang
lamun ini, aspek utama dari arahan kebijakan pembangunan wilayah pesisir lebih
ditekankan pada 3 aspek, yaitu : aspek biofisik, aspek sosial, ekonomi dan budaya
serta aspek hukum dan kelembagaan (Tabel 5).
64
Tabel 5. Rencana Strategi Pengelolaan Ekosistem Lamun di Pantai Sanur
Permasalahan
Indikator Penyebab Strategi pemecahan masalah
Ekologi Biofisik
• Struktur komunitas lamun
• Kelimpahan Biota • Parameter Fisika
Kimia • Substrat
• Kemiringan lereng
• Aktifitas wisatawan • Limbah hotel dan rumah
tangga yang dibuang ke laut, pengerukan lumpur, dan lain-lain kegiatan manusia dapat mempengaruhi kerusak lamun.
• Water polution (logam berat dan minyak)
• Perubahan fungsi pantai
dibangun gazebo (groin) untuk wisatawan
• Menjaga ekosistem lamun dan biota serta
mempertahankan rantai makanan dan aliran energi yang terkandung dalam ekosistem lamun.
• Mencegah kerusakan fisik lamun dari kegiatan pengerukan, pengurungan, pembabatan maupun pengerusakan dasar oleh perahu atau jangkar.
• Menjaga kualitas air dari pencemaran seperti sedimentasi, limbah air, limbah padat, logam berat, limbah organik/pertanian, minyak dan lemak.
• Menjaga pemanfaatan sumbedaya hayati yang tekandung dalam ekosistem lamun dan sekitarnya yang mencakup jumlah individu, ukuran dan frekuensi penangkapan.
• Mengupayakan pengolahan limbah dan mengurangi masuknya limbah ke laut (Kiswara 1999).
• Pengerukan dan penimbunan harus dihindari pada lokasi yang didominasi padang lamun. Pada lokasi kegiatan yang berdekatan dengan padang lamun sebaiknya dijaga agar tidak terjadi pengaliran endapan ke dalam daerah lamun, misalnya dengan pemasangan penghalang Lumpur, atau strategi pengerukan yang menjamin adanya mekanisme sirkulasi air dan arus pasut yang dapat membawa endapan menjauhi padang lamun
• Prosedur pembuangan limbah cair (limbah industri, air panas, garam, air buangan kapal, dan limpasan) harus diperbaharui dan dimodifikasi sesuai kebutuhan, untuk mencegah limbah merusak daerah lamun.
• Penangkapan ikan dengan trawl dan lainnya yang merusak padang lamun harus dimodifikasi untuk meminimalkan pengaruh buruknya selama operasi penangkapan.
• Tindakan pencegahan dari pencemaran akibat tumpahan minyak harus dilakukan, misalnya dengan melaksanakan pengukuran monitoring dan rencana penanggulangannya.
Sosekbud • Bahan Pangan • Objek Wisata
visual • Upacara Adat
Memberi pengertian kepada masyarakat dan pengusaha setempat tentang pentingnya fungsi ekosistem lamun sebagai habitat sumberdaya hayati laut.
Mencari dan meningkatkan nilai ekonomi dari habitat ekosistem lamun beserta biota penghuni lainnya.
Memberikan penyuluhan dan pelatihan pemanfaatan sumberdaya hayati laut dan prinsip – prinsip kelestariannya.
Memberikan bimbingan, modal dan peluang untuk mengembangkan usaha nelayan, melalui program kemitraan antara pemerintahan, instansi terkait, swasta, masyarakat dan stakeholder lainnya.
Hukum dan Kelembagaan
• Kelembagaan
Menata ruang aktifitas yang bertujuan untuk memperkecil dampak kerusakan habitat padang lamun.
Membuat ketentuan hukum dan peraturan perundang – undangan yang mengatur pengelolaan dan pembuangan limbah ke laut.
Membuat peraturan yang mengawasi kegiatan di ekosistem lamun.
6. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab sebelumnya. maka dapat
ditarik kesimpulan:
1. Kondisi ekosistem lamun Pantai Sanur masih dalam keadaan baik dengan
jumlah individu lamun sebanyak 6 spesies dan kondisi perairan yang
masih mendukung kehidupan lamun dan biota perairan yang berasosiasi
didalamnya. Walaupun demikian ada juga beberapa parameter fisik-kimia
air laut yang perlu mendapatkan perhatian khusus seperti kandungan nitrat.
fosfat. dan TSS yang telah melebihi baku mutu kualitas air laut untuk
kawasan wisata.
2. Adanya hubungan yang positif antara ekosistem lamun dengan biota yang
berasosiasi.
3. Persepsi wisatawan terhadap kawasan wisata dan ekosistem lamun
termasuk dalam kategori baik yang ditunjukan pada prosentase
pengetahuan dan apresiasi wisatawan yang baik dalam upaya untuk
melestarikan kawasan wisata ini.
6.2 Saran
Dengan mengacu pada hasil pengamatan dan pembahasan serta
kesimpulan diatas maka disarankan beberapa ha sebagai berikut :
1. Perlu adanya pemantaun kualitas air lingkungan perairan pantai Sanur
secara berkala untuk memonitor dan mengendalikan pencemaran yang ada
di pantai Sanur.
2. Sejauh ini pengelolaan ekosistem lamun masih kurang diperhatikan
dibandingkan ekosistem lainnya seperti mangrove dan terumbu karang.
Sudah saatnya perhatian diberikan kepada ekosistem ini mengingat fungsi
dari ekosistem ini yang banyak dan saling mempengaruhi terhadap
ekosistem lain. Pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan akan
melestarikan ekosistem ini sehingga fungsinya akan tetap terjaga dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Argandi G. 2003. Struktur Komunitas lamun di perairan Pangerungan, Jawa Timur [skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arinardi OH. 1984. Sifat – sifat Fisik dan Kimia Perairan Estuaria. Jakarta : Pewarta Oseana. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesea (LIPI)
Armadi NM. 2005. Kajian Daerah Instrusi Air Laut Pada Kawasan Pariwisata Sanur Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar. [Tesis]. Denpasar. Program Pasca Sarjana. Universitas Udayana.
Arthana IW. 2006. Kondisi Pencemaran Perairan Pantai Tanjung Benoa Dan Sanur, Bali. Bali : Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, UNUD.
BPS [Badan Pusat Statistik]. 2005. Kecamatan Denpasar Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Bali
BPS [Badan Pusat Statistik]. 2006. Kecamatan Denpasar Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Bali
BPS [Badan Pusat Statistik]. 2010. Kecamatan Denpasar Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Bali
BAPPEDA [Badan Perencanaan Pembangunan Daerah]. 2000. Data Oseanografi Pantai Bali. [Laporan]. Denpasar : BAPPEDA.
BAPPEDA [Badan Perencanaan Pembangunan Daerah]. 2006. Data Oseanografi Pantai Bali. [Laporan]. Denpasar : BAPPEDA.
Barber BJ. 1985. Effects of elevated temperature on seasonal in situ leaf productivity of Thalassia testudinum banks ex konig and Syringodium fliforme kutzing. Aquatic Botany 22: 61-69.
Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL). Instititut Pertanian Bogor (IPB).
Bengen DG. 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir. . Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL). Instititut Pertanian Bogor (IPB).
Berwick NL. 1983. Guideline for the Analysis of Biophysical Impact to Tropical Coastal Marine Resources. Bombay: The Bombay Natural History Society Centenary Seminar Consevation in Developing Countries Problems and Prospect.
Brower JE. Zar JH. and von Endo CN. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Boulevard-USA: Wm. C. Brown publ.
[BTNKpS] Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2008. Inventarisasi padang lamun di Taman Nasional Kepulauan Seribu. Jakarta.
68
Carter WL and LG. Hill. 1996. Handbook of Variables for Environmental Impact Assesment. Ann Arbor – USA: Ann Arbor Science Publisher Inc.
Chandana IBP. Wafid MI. Budhisudjarwo dan. Pawis S. 2006. Inventarisasi Geologi Teknik Kota Denpasar Bali. Bandung: Pusat Lingkungan Geologi. Badan Geologi. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Clark JR. 1995. Coastal Zone Management Hand Book. Florida USA.
Dahuri R. 1999. Penggunaan Model Dinamik Dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Jakarta: Jurnal Ekonomi Lingkungan Edisi 9 CEPI Project. BAPEDAL.
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut, asset pembangunan berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Daily CD. 1996. Socio Equity Sustainability and Carrying Capacity. Ecology Economi. 6: 8-15.
Deegan LA, Wright A, Ayvazian SG, Finn J, Golden H, Merson RR, and Harrison. 2002. Nitrogen loading alters seagrass ecosystem structure and support of higher levels. Aquat. Conser.. 12: 193-212.
Den Hartog C. 1970. Seagrasses of the World. London: North Holland Publishing Company.
De Iongh HH. 1995. Seagrass distribution and seasonal biomass changes in relation to dugong grazing in the Mollucas. Aquat. Bot. 50: 1-19.
Douven WJA, Buurman JJG. and Kiswara W.. 2004. Spatial information for coastal zone management: the example of the Banten Bay seagrass ecosystem. Indonesia. Ocean & Coastal Manag. 46: 615-634.
Duarte CM. 2002. The future of seagrass meadows. Environmental Conservation. 29(2):192-206.
Duarte CM, Middleburg JJ and Caraco C. 2005. Major role of marine vegetation on the oceanic carbon cycle. Biogeoscience 2: 1-8.
Duffy JE. 2006. Biodiversity and functioning of seagrass ecosystems. Mar. Ecol. Prog. Ser. 311: 233-250.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.
English S. Wilkinson C. and Baker VJ. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australia: ASEAN-Australia Marine Project.
Fortes MD. 1989. Seagrasses: a resource unknow in the Asean region. Manila : Iccarm Education.
Giesen WBJT, van Katwijk MM, and den Hartog C. 1990. Eelgrass condition and turbidity in the Dutch Wadden Sea. Aquat. Bot. 37: 71-85.
69
Gustavon K. 2000. Ecological Econom Decision Support Model for Coastal Zone Management In The Developing Tropics Result. Washington: Journal Integrated Coastal Zone Management of Coral Reef.
Hutabarat S dan Evans SH. 1986. Pengantar Oseanografi. Jakarta. UI Pres.
Hutagalung HP. Setiapermana D. Riyono HS. 1997. Metode Analisa Air Laut. Sedimen dan Biota. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesea (LIPI)
Hutomo M dan Azkab. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal. Oseana 12 (1) : 13-23.
Hutomo M. 1977. Teluk Jakarta: Sumberdaya. sifat-sifat oseanologis serta permasalahannya.[Laporan]. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesea (LIPI)
Keough MJ and Jenkins GP. 1995. Coastal Marine Ecology of Temperate Australia. Sidney: Institute of Marine Ecology University of Sydney.
King CAM. 1961. Beaches And Coast. London : Edward Arnold (Publ.) Ltd.
Kiswara W and Hutomo M 1985. Seagrass. its habitat and geographical distribution. Oseana X(1): 21-30.
Kiswara W. 1997. Struktur Komunitas Padang Lamun Perairan Indonesia. Journal Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut – Pesisir II. Geologi. Kimia. Biologi dan Ekologi. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesea (LIPI)
Kiswara W. 1999. Struktur Komunitas Padang Lamun Perairan Indonesia. Jakarta : Makalah disampaikan pada Kongres Biologi XV di Universitas Indonesia.
Kusumastanto. S. Koeshandrajana. S. Haridijanto dan. Wahyudi Y. 1999. Economic Valuation of Marine Coastal Resources In Balerang and Bintan. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesea (LIPI)
Kuo J. 2008. New monoecious seagrass of Halophila sulawesi (Hydrocharitaceae) from Indonesia. Aquatic Botany. 2007 (87): 171 – 175.
Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York : Harper and Row Publisher.
Lindeboom HJ. and Sandee AJJ. 1989. Production and consumption of tropical seagrass fields in eastern Indonesia meadows with bell jar and micro-electrode. Neth. J. of Sea Res. 23(2): 181-190
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and its Measurement. New Jersey : Princetown Press.
70
Mahida UN. 1993. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta : CV Rajawali.
Mardani NK. 1985. Monitoring Dampak Pengembangan Wilayah Sanur Terhadap Kualitas Perairan Pantai Sanur (Ditinjau dari Peruntukan Rekreasi). Bogor:[Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Mann KH. 2000. Ecology of Coastal Water : With Implication for Management. Massachusetts : Blackwell Science. Inc.
Mance G. 1987. Pollution Threat of Heavy Metal in Aquatic Environment. London : Elsevier Applied Science.
Mason CF.1981. Biological of Estuaries Population. .New Jersey:Logman Group.
Nienhuis PH. Coosen J and Kiswara W. 1989. Community structure and biomass distribution of seagrass and macrofauna in the Flores Sea. Indonesia. Neth. J. of Sea Res. 23(3): 197-214.
Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta : HM Eidman. DG Bengen. M Hutomo dan S Sukardjo; 1986. Terjemahan dari : Marine Biology : An Ecological Approach.
Odum EP. 1971. Fundmental of Ecology. Philadelphia. WB Saunders Co. Ltd.
Orth RJ, Kenneth L. Heck, Jr., Van Monfrans J. 1984. Faunal Communities in Seagrass Bed; A Review of the influence of Plant Structure and Prey Charactheristic on Predator-Prey Relationship. Estuaries 7: 339 – 350.
Pethick J. 1992. An Introduction to Coastal Geomorphology. London : Edward Arnold Publ. Ltd.
Philips CR. and Menez EG.. 1988. Seagrass. WashingtonD.C.:Smith Sonian. Institutions Press.
[PKSPL] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.1999. Perumusan kebijakan pengelolaan hayati laut Sulawesi Selatan. [Laporan] Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL). Instititut Pertanian Bogor (IPB).
[PU] Pekerjaan Umum. 2004. Laporan Pekerjaan Pembuatan 2 Unit Sumur Pantau di Bali Beach Hotel Sanur dan Braban Villas Kerobokan. Bali: Dinas Pekerjaan Umum.
Raharjo Y. 1996. Community based management di wilayah pesisir. Pelatihan Perencanaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL). Instititut Pertanian Bogor (IPB).
Ross DA. 1970. Introduction to Oceanography. New York: Prentice Hall Inc.
Sangaji F. 1994. Pengaruh sedimen dasar terhadap penyebaran. kepadatan. keanekaragaman. dan pertumbuhan padang lamun di laut sekitar pulau
71
Barang Lompo. [Thesis]. Ujung Pandang : Pasacasarjana. Universitas hasanuddin.
Sastrawijaya SC dan Getter CD.. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Bhinneka Cipta.
Sidarta IWT. 2002. Dampak perkembangan pariwisata terhadap kondisi lingkungan, sosila dan ekonomi masyarakat (Studi Kasus Kawasan Pariwisata Sanur, Denpasar-Bali). [Thesis]. Semarang : Pascasarjana. Universitas Diponegoro.
Sloan NA. 1993. Kajian Ilmiah dan Pengelolaan Ekosistem Lamun Tropis Untuk Mendukung Pengelolaan Terpadu Kawasan Pesisir Indonesia. [Laporan] Jakarta: Proyek Environmental Management Developmentin Indonesia (EMDI) dan Kantor Menteri Lingkungan Hidup (LH).
Sunarto MS. 1991. Geomorfologi Pantai. Yogyakarta : Pusat Antar Universitas Ilmu Teknik. Universitas Gadjah Mada.
Sutamiharja RTM. 1992. Pengelolaan Kualitas dan Pencemaran Air. [Makalah] Jakarta: Industrial Water Pollution Control and Water Quality Management.
Supriharyono. 2009. Konservasi ekosistem sumberdaya hayati di wilayah pesisir dan laut tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Suyasa WB dan W. Restu. 2006. Karakteristik Sumber Pencemaran di Wilayah Pesisir Sanur. [Laporan] Denpasar : Universitas Udayana.
Svedrup HU. MW Johnson and RH Fleming. 1972. The Oceans. their physics. chemistry and general biology. New Jersey. Prentice-Hall. Inc.
Tinsley IJ. 1979. Chemical Concepts In Pollutant Behaviour. Toronto : A Wiley Interscience Publication.
Tomascik TAJ, Nontji. M. Moosa K.. 1997. The ecology of the Indonesian sea. Singapore : Periplus Edition (HK) Ltd.
Verheij E and Erftemeijer PLA. 1993. Distribution of seagrasses and associated macroalgae in South Sulawesi. Indonesia. Blumea 38: 45-64
LAMPIRAN
75
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian dan Stasiun Pengamatan
76
Stasiun A Stasiun B Stasiun C
50 m
500 m
10 m
500 m
10 m
Lampiran 2. Stasiun Pengamatan
50 m
10 m
A1 A2 B1 B2 C1 C2
= Stasiun Kualitas Air 76
77
Lampiran 3. Kuisioner
Nama :
Umur :
Daerah Asal :
Pendidikan :
1. Pendapatan rumah tangga : a. Rp 500.000 – Rp 1.000.000 b. Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000 c. Rp 3.000.000 – Rp 4.000.000 d. Rp 4.000.000 – Rp 5.000.000 e. Lebih dari Rp 5.000.000
2. Berapa orangkah jumlah anggota keluarga (rombongan wisata) yang ikut berekreasi ke lokasi wisata ini?.......................................orang
3. Berapakah biaya yang anda keluarkan untuk : a. Transportasi………………………… : Rp……./orang b. Penginapan…………………………. : Rp……../orang c. Makanan…………………………… : Rp……../orang d. Tiket Masuk : Rp…….../orang e. Sewa sarana hiburan : Rp……../orang f. Penggunaan fasilitas umum (seperti toilet. dll) : Rp……/orang g. Dll : Rp……./orang
4. Bagaimana pengalaman wisata yang anda rasakan dalam mengunjungi lokasi wisata ini? a. Positif b. Netral c. Negative
5. Berapakah jumlah kunjungan anda ke lokasi wisata ini setiap tahunnya ? ………….trip/tahun
6. Berapa lama waktu yang anda habiskan untuk perjalanan wisata ini mulai dari berangkat hingga kembali pulang ?.............................(hari)
7. Dengan melakukan kegiatan wisata ini. mungkin anda kehilangan waktu produktif anda untuk bekerja. Bila dikonversi dengan uang. berapakah kehilangan pendapatan anda selama melakukan kegiatan wisata? Rp….
8. Apakah ada obyek wisata lain yang dapat menggantikan obyek wisata ini? a. ada b. tidak ada
9. Berapakah biaya yang anda keluarkan untuk : a. Transportasi………………………… : Rp……./orang b. Penginapan…………………………. : Rp……../orang
78
c. Makanan…………………………… Rp……../orang d. Tiket Masuk Rp…….../orang e. Sewa sarana hiburan Rp……../orang f. Penggunaan fasilitas umum (seperti toilet. dll) : Rp……/orang g. Dll Rp……./orang
10. Seberapa seringkah anda berkunjung ke lokasi wisata tersebut?....kali 11. Bagaimana tanggapan anda mengenai lamun yang ada di pantai ini?
a. Mengganggu b. Tidak mengganggu
Jelaskan…………... 12. Bagaimana nilai estetika lamun terhadap pandangan anda?
a. Positif b. Negative c. Netral
Jelaskan…………... 13. Apakah anda mengetahui fungsi ekosistem lamun?
a. Ya b. Tidak
Jelaskan………….. 14. Apakah perlu ada upaya untuk melestarikan ekosistem lamun?
a. Ya b. Tidak
Jelaskan…………..
79
Lampiran 4. Perhitungan Nilai Kerapatan, Frekuensi dan Penutupan serta INP Lamun di Pantai Sanur
Transek No Jenis lamun Kerapatan Frekuensi penutupan INP relatif Relatif relatif
A.1
1 Enhalus acoroides 2,800 15,38 4,00 22,185 2 Cymodocea rotundata 29,600 26,92 28,00 84,523 3 Cymodocea serrulata 37,600 26,92 49,00 113,523 4 Halophila ovalis 0,000 3,85 2,00 5,846 5 Halodule uninervis 13,600 11,54 9,00 34,138 6 Syringodium isoetifolium 16,400 15,38 8,00 39,785
Jumlah 100,000 100,00 100,00 300,000
A.2
1 Enhalus acoroides 20,76 28,571429 33,00 82,33 2 Cymodocea rotundata 31,36 28,57 17,00 76,93 3 Cymodocea serrulata 43,22 32,14 45,00 120,36 4 Halophila ovalis 0,00 0,00 0,00 0,00 5 Halodule uninervis 2,12 3,57 2,00 7,69 6 Syringodium isoetifolium 2,54 7,14 3,00 12,69
Jumlah 100,00 100,00 100,00 300,00
A.3
1 Enhalus acoroides 0,76 2,70 0,96 4,43 2 Cymodocea rotundata 25,71 21,62 35,58 82,91 3 Cymodocea serrulata 14,29 13,51 17,31 45,11 4 Halophila ovalis 9,33 18,92 10,58 38,83 5 Halodule uninervis 24,76 21,62 25,00 71,38 6 Syringodium isoetifolium 25,14 21,62 10,58 57,34
Jumlah 100,00 100,00 100,00 300,00
80
Lampiran 4. Perhitungan Nilai Kerapatan, Frekuensi dan Penutupan serta INP Lamun di Pantai Sanur (Lanjutan)
Transek No Jenis lamun Kerapatan Frekuensi Penutupan INP relatif Relatif relatif
B.1
1 Enhalus acoroides 36,13 34,78 59 130 2 Cymodocea rotundata 27,73 21,74 19 68 3 Cymodocea serrulata 15,97 17,39 12 45 4 Halophila ovalis 0,00 0,00 0 0 5 Halodule uninervis 2,52 4,35 1 8 6 Syringodium isoetifolium 17,65 21,74 8 47
Jumlah 100,00 100,00 100 300
B.2
1 Enhalus acoroides 0,00 0,0 0 0,00 2 Cymodocea rotundata 48,89 29,4 45 123,30 3 Cymodocea serrulata 30,37 29,4 38 97,78 4 Halophila ovalis 10,37 17,6 6 34,02 5 Halodule uninervis 7,41 17,6 10 35,06 6 Syringodium isoetifolium 2,96 5,9 1 9,84
Jumlah 100,00 100,0 100 300,00
B.3
1 Enhalus acoroides 27,63 31,25 33 91,9 2 Cymodocea rotundata 39,47 25 40 104,5 3 Cymodocea serrulata 11,84 18,75 11 41,6 4 Halophila ovalis 11,84 12,5 9 33,3 5 Halodule uninervis 3,95 6,25 3 13,2 6 Syringodium isoetifolium 5,26 6,25 4 15,5
Jumlah 100,0 100 100 300,0
81
Transek No Jenis lamun kerapatan
relatif frekuensi
relatif penutupan
realtif INP
C.1
1 Enhalus acoroides 59,68 60 74 193,68 2 Cymodocea rotundata 0 0 0 0 3 Cymodocea serrulata 24,19 20 8 52,19 4 Halophila ovalis 16,13 20 18 54,13 5 Halodule uninervis 0 0 0 0 6 Syringodium isoetifolium 0 0 0 0
Jumlah 100 100 100 300
C.2
1 Enhalus acoroides 22,45 38,46 16 76,91 2 Cymodocea rotundata 57,14 38,46 71 167 3 Cymodocea serrulata 3,06 7,69 5 16 4 Halophila ovalis 7,14 7,69 4 19 5 Halodule uninervis 0 0 0 0 6 Syringodium isoetifolium 10,2 7,69 4 22
Jumlah 100,0 100,0 100 300
C.3
1 Enhalus acoroides 11,86 16,67 41 69,53 2 Cymodocea rotundata 40,68 33,33 23 97,01 3 Cymodocea serrulata 23,73 25 26 74,73 4 Halophila ovalis 23,73 25 10 58,73 5 Halodule uninervis 0 0 0 0 6 Syringodium isoetifolium 0 0 0 0
Jumlah 100 100 100 300
82
Nilai INP (Indeks Nilai Penting)
No Jenis lamun A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
1 Enhalus acoroides 22,185 82,33 4,43 130 0 91,9 193,68 76,9 69,53 2 Cymodocea rotundata 84,523 76,93 82,91 68 123,3 104,5 0 167,0 97,01 3 Cymodocea serrulata 113,523 120,36 45,11 45 97,78 41,6 52,19 16,0 74,73 4 Halophila ovalis 5,846 0 38,83 0 34,02 33,3 54,13 19,0 58,73 5 Halodule uninervis 34,138 7,69 71,38 8 35,06 13,2 0 0,0 0 6 Syringodium isoetifolium 39,785 12,69 57,34 47 9,84 15,5 0 22,0 0
Jumlah 300 300 300 300 300 300 300 300,9 300
83
NO NAMA UMUR PENDIDIKAN PENDAPATAN
2 3 4
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
A B C D E A B C D E F A B C ada tidak A B C D E F a b a b c a b a b
1 Cathrine 26 1 3 6000000 1000000 400000 1 2 12 3500000 1 1 1 1 1
2 Yuli 35 S1 1 3 500000 150000 50000 1 3 2 500000 1 1 1 1 1
3 Yanto 43 S1 1 3 500000 150000 50000 1 3 2 500000 1 1 1 1 1
4 Arief 28 S1 1 5 1000000 200000 100000 1 2 3 1000000 1 1 1 1 1
5 Dinda 17 SMU 1 5 50000 1 1 3 500000 1 1 1 1 1
6 Astrid 17 SMU 1 6 100000 50000 1 1 3 200000 1 1 1 1 1
7 Michael 19 SMU 1 5 150000 150000 50000 1 1 7 500000 1 1 1 1 1
8 Renny 19 SMU 1 4 1000000 50000 1 1 3 500000 1 1 1 1 1
9 Nita 17 SMU 1 5 1000000 50000 1 1 3 500000 1 1 1 1 1
10 Olga 25 S1 1 2 500000 150000 200000 1 1 5 500000 1 1 1 1 1
11 Miranda 32 S1 1 4 1000000 500000 300000 1 2 7 3000000 1 1000000 750000 200000 1 1 1 1 1
12 Agus 50 S1 1 5 1000000 100000 100000 1 2 5 2000000 1 1 1 1 1
13 Ricko 29 S1 1 2 500000 100000 100000 1 3 7 1500000 1 1 1 1 1
14 Ralph 31 1 2 4000000 500000 300000 200000 1 1 7 5000000 1 1 1 1 1
15 Nancy 34 1 3 3500000 600000 500000 500000 1 1 14 5000000 1 3500000 1500000 1000000 1000000 1 1 1 1 1
16 Naoki 50 1 3 5000000 2000000 400000 1000000 1 3 7 4000000 1 1 1 1 1
17 Tatsuya 48 1 2 4000000 700000 500000 1 1 7 5000000 1 5000000 1000000 500000 1 1 1 1 1
18 Garry 35 1 5 3000000 1000000 500000 1 2 7 5000000 1 1 1 1 1
19 Edmond 35 1 4 3000000 700000 500000 2000000 1 2 10 2000000 1 2000000 500000 500000 1 1 1 1 1
20 Anthony 42 1 2 3000000 500000 500000 300000 1 1 7 3000000 1 3000000 400000 300000 500000 1 1 1 1 1
21 Tommy 42 1 1 4500000 500000 1000000 500000 1 2 10 4000000 1 1 1 1 1
22 Alice 40 1 2 5000000 1500000 400000 1000000 1 1 5 2500000 1 1 1 1 1
23 Frans 45 1 4 10000000 1500000 4000000 2000000 1 1 7 4000000 1 1 1 1 1
24 Sari 26 S1 1 3 1000000 200000 100000 1 1 3 2000000 1 1 1 1 1
25 Lena 24 S1 1 3 1000000 200000 100000 1 1 3 2000000 1 1 1 1 1
26 Arya 26 S1 1 3 1000000 200000 100000 1 1 1 1 1 1
27 Erlan 24 S1 1 3 600000 50000 50000 1 4 3 200000 1 1 1 1 1
28 Tias 24 S1 1 3 600000 50000 50000 1 1 3 150000 1 1 1 1 1
29 Eka 24 S1 1 3 600000 50000 50000 1 2 3 200000 1 1 1 1 1
30 Putri 18 SMU 1 5 1000000 200000 100000 1 2 5 200000 1 1 1 1 1
31 Andri 30 S1 1 4 200000 150000 200000 1 1 3 1000000 1 1 1 1 1
32 Rona 30 s1 1 5 350000 200000 100000 1 1 2 500000 1 1 1 1 1
33 Febri 28 S1 1 7 1000000 200000 100000 1 2 4 1000000 1 1 1 1 1
34 Shaugi 26 S1 1 4 300000 50000 100000 1 1 3 500000 1 1 1 1 1
35 Andika 26 S1 1 4 150000 100000 200000 1 3 2 1000000 1 1 1 1 1
36 Tia 25 S1 1 7 200000 150000 50000 1 1 3 200000 1 1 1 1 1
37 Cahya 26 S1 1 7 100000 100000 100000 1 2 3 1000000 1 1 1 1 1
38 Dadang 35 S1 1 3 500000 100000 100000 1 1 5 1000000 1 1 1 1 1
39 Dian 30 S2 1 6 2000000 200000 150000 1 1 5 1500000 1 1 1 1 1
40 Aheed 30 S1 1 4 200000 100000 50000 1 1 3 200000 1 1 1 1 1
Lampiran 5. Data Responden
84
Lampiran 6. Perhitungan Kelimpahan Biota
nama spesies jumlah individu kelimpahan/25m2
BIOTA A Strombus labiatus 2 0,0008 diadema setosum 1 0,0004 upenus tragula 3 0,0012 Protoreaster nodosus 5 0,002 Tripneustes gratilla 1 0,0004 Cerithium tenellum 6 0,0024 Bohadschia argus 5 0,002 pyrene versicolor 3 0,0012 Archaster tipicus 2 0,0008 anadara scapha 3 0,0012 Cymbiola vespertilio 2 0,0008 Hippocampus bargibanti 1 0,0004 Mactra patagonica 3 0,0012 S. luhuanus 1 0,0004 Palaemonella sp 1 0,0004 TOTAL 39 0,0156 BIOTA B Protoreaster nodosus 4 0,0016 Cerithium tenellum 2 0,0008 Mactra patagonica 1 0,0004 Bohadschia argus 2 0,0008 Archaster tipicus 3 0,0012 pyrene versicolor 3 0,0012 Cymbiola vespertilio 1 0,0004 S. luhuanus 1 0,0004 diadema setosum 1 0,0004 anadara scapha 2 0,0008 Hippocampus bargibanti 2 0,0008 Strombus labiatus 2 0,0008 BIOTA C Bohadschia argus 1 0,0004 Cerithium tenellum 3 0,0012 Mactra patagonica 2 0,0008 Protoreaster nodosus 4 0,0016 pyrene versicolor 2 0,0008 Cymbiola vespertilio 3 0,0012 Archaster tipicus 1 0,0004 diadema setosum 2
0,0008
TOTAL 18
85
Lampiran 7. Kemiringan Lereng Stasiun A
Stasiun B
Stasiun C
86
Lampiran 8. Kawasan penelitian Pantai Sanur Denpasar Bali
Stasiun A (Mertasari)
Stasiun B (Hotel Grand Bali Beach)
87
Stasiun C (Pantai Umum Sanur)
Alat mengukur kemiringan lereng
88
Bahan dan Alat untuk pengambilan sampel kualitas air
Box untuk penyimpanan alat dan bahan kualitas air
89
Contoh pengambilan sample kuadran
Contoh Pengambilan Sampel Biota dan Substrat