PENGARUH RELIGIUSITAS DAN PERSEPSI POLA ASUH TERHADAP
KECERDASAN EMOSI REMAJA SISWA
MAN TAMBAKBERAS JOMBANG
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
DisusunOleh:
BahjatulArafah
1110070000013
FAKULTAS PSIKLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M / 1436 H
PENGARUH RELIGIUSITAS DAN PERSEPSI POLA
ASUH TERHADAP KECERDASAN EMOSI REMAJA
SISWA MAN TAMBAKBERAS JOMBANG
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Disusun Oleh:
BAHJATUL ARAFAH
NIM : 1110070000013
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M
ii
PENGARUH RELIGIUSITAS DAN PERSEPSI POLA
ASUH TERHADAP KECERDASAN EMOSI REMAJA
SISWA MAN TAMBAKBERAS JOMBANG
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Disusun Oleh:
BAHJATUL ARAFAH
NIM : 1110070000013
Di bawah bimbingan:
Pembimbing
Bambang Suryadi, Ph.D
NIP. 19700529 200312 1 002
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M
ii
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Religiusits dan Persepsi Pola Asuh terhadap
Kecerdasan Emosi Remaja Siswa MAN Tambakberas Jombang” telah
diujikan dalam munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada hari Senin, tanggal 26 Maret 2015. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1
(S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 26 Maret 2015
Sidang Munaqasyah
Dekan/ Ketua
Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si
NIP. 19680614 199704 1 001
Wakil Dekan/ Sekertaris
Dr. Abdul Rahman Shaleh, M.Si
NIP. 19720823 199903 1 002
Anggota
Penguji 1
Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si
NIP. 19620724 198903 2 001
Penguji 2
Natris Indriyani, M.Si
NIP. 19771209 200912 2 002
Pembimbing
Bambang Suryadi, Ph. D
NIP. 19700529 200312 1 002
iii
iv
LEMBAR ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Bahjatul Arafah
NIM : 1110070000013
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Religiusitas dan
Persepsi Pola Asuh terhadap Remaja Siswa MAN Tambakberas Jombang”
adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat
dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam
penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar
pustaka.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai undang–undang
jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan karya orang
lain.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik–baiknya.
Jakarta, 26 Maret 2015
Bahjatul Arafah
NIM: 1110070000013
iv
v
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 26 Maret 2015
Bahjatul Arafah
NIM: 1110070000021
vi
Motto dan Persembahan
Seorang bayi tak dilahirkan (keduniaini) melainkan ia berada dalam
kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan
membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi ([HR.
Muslim No.4803].
Orang yang bisamengatasikeinginannyaadalah orang
yang lebihberanidaripada orang yang
bisamenaklukanmusuhnya; karenakemenangan yang
paling sulitdiraihadalahkemenanganatasdirisendiri
(Aristoteles).
Teruntuk mereka yang tiada henti mengucap
sabdanya demi sebuah nasihat, yang tiada henti
menengadah untuk sebuah do’a, sebuah karya
istimewa kupersembahkan untukmu.. Ibu & ayah
(almh), kakak – kakakku serta adikku….
vii
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
B) Januari 2015
C) Bahjatul Arafah
D) Pengaruh Religiusits dan Pola Asuh terhadap Kecerdasan Emosi Remaja
Siswa MAN Tambakberas Jombang
E) xvi + 99 Halaman + Lampiran
F) Saat ini masih banyak orang yang menganggap bahwa IQ atau kecerdasan
intelektual merupakan faktor penting dalam penentu keberhasilan masa
depan anak. Berdasarkan penelitian terdahulu, kecerdasan emosi
berpengaruh 80% terhadap keberhasilan dimasa depan, sedangkan
kecerdasan intelektual hanya 20%. Hal ini terjadi karena kecerdasan emosi
dianggap tidak penting. Kecerdasan emosi akan dianggap penting ketika
perilaku siswa menjadi bermasalah seperti, bullying, prestasi yang rendah,
kekerasan sekolah dan sering bolos disekolah. Kecerdasan emosi
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah religiusitas dan pola
asuh orang tua.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh religiusitas dan pola asuh
terhadap kecerdasan emosi remaja. Responden dalam penelitian ini adalah
271 siswa MAN Tambakberas Jombang. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan dalah cluster sampling. Alat ukur yang digunakan adalah
skala kecerdasan emosi yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan teori
Goleman (1999), untuk mengukur religiusitas peneliti memodifikasi skala
baku yang dibuat oleh Odilo & Huber (2012), sedangkan untuk mengukur
pola asuh peneliti mengadaptasi alat ukur yang mengacu pada teori
Baumrind (1971).
Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda dengan
software SPSS versi 16.0, sedangkan untuk pengujian validitas konstruk
menggunakan Lisrel 8.70. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
religiusitas dan pola asuh berpengaruh signifikan terhadap kecerdasan
emosi, dengan kontribusi sebesar 36.8%. Dari delapan IV terdapat lima IV
yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap kecerdasan emosi yaitu
intellectual, public practice, private practice, permisif dan otoritatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, peneliti menyarankan
kepeda penelitian selanjutnya untuk menambah variabel lain seperti
kepribadian, teman sebaya, parenting practice dan faktor demografis.
G) Bahan Bacaan: 17 Buku + 23 Jurnal + 3 Skripsi + 1 Tesis + 4 Artikel
viii
ABSTRACT
A) Faculty of Psychology Syarif Hidayatullah State Islamic University
Jakarta
B) January 2015
C) Bahjatul Arafah
D) The Effect of Religiosity and parenting style on Adolescent Emotional
Intelligence
E) xvi + 99Pages + Appendix
F) Currently there are many people who think that IQ or intelligence quotient
is an important factor in determining a child's future success. Based on
previous studies, emotional intelligence affects 80% of the success in the
future, whereas only 20% of intellectual intelligence. It occurs because of
emotional intelligence is not considered important. Emotional intelligence
will be considered important when a student's behavior becomes
problematic as, bullying, low achievement, violence and school
absenteeism in schools. Emotional intelligence is influenced by several
factors. Among them is the religiosity and parenting parents.
This study aims to look at the influence of religiosity and parenting on
asdolescent emotional intelligence. Respondents in this study were 271
students MAN Tambakberas Jombang. The sampling technique used is the
probability sampling. Measuring instrument used is the emotional
intelligence scale made by the researchers based on the theory of Goleman
(1999), to measure religiosity researchers modified the raw scale made by
Odilo & Huber (2012), while for measuring parenting style researchers
adapted measuring instrument refers to the theory Baumrind (1971).
The analytical method used is multiple regression analysis with SPSS
software version 16.0, while for the construct validity testing using Lisrel
8.70. Research shows that religiosity and parenting style significant effect
on emotional intelligence, with a contribution of 36.8%. There are five of
the eight IV which proved significant effect on emotional intelligence that
is intellectual, public practice, private practices, permissive and
authoritative. Based on the results obtained, the researcher suggested to
study further to add other variables such as personality, peers, parenting
practices and demographic factors.
G) Reading Materials: 17 Books + 23 Journals + 3 Essay + 1 Thesis + 4
Article
ix
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, rasa syukur yang tidak terhingga penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan kasih sayang yang
diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelsaikan penulisan skripsi dengan
judul “Pengaruh Religiusitas dan Persepsi Pola Asuh terhadap Kecerdasan
Emosi Remaja Siswa MAN Tambakberas Jombang.” shalawat serta salam
senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW yang
senantiasa menyayangi umatnya hingga ahir zaman.
Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik
dalam bentuk sumbangan pikiran, tenaga, waktu, dan do’a yang tidak terukur
dalam menyelsaikan skripsi ini. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati
penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si, sebagai dekan Fakultas
Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajaranya yang telah
memberi kesempatan pada penulis selama ini untuk mengembangkan
kemampuan sehingga dapat menyelsaikan skripsi ini.
2. Bapak Bambang Suryadi Ph.D selaku pembimbing skripsi, terima kasih
atas segala bimbingan, masukan, kritikan dan waktu serta tenaga yang
diberikan dengan penuh kesabaran kepada penulis dalam menyelsaikan
skripsi ini.
3. Ibu Neneng Tati Smiati M.Si, P.Si selaku dosen pembimbing akademik
kelas A 2010, terima kasih atas bimbingannya selama penulis menjalani
perkuliahan.
4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah banyak memberikan ilmu dan pembelajaran kepada penulis.
5. Kepala sekolah MAN Tambak beras Jombang bapak Drs. Ahmad Sutari
M.Pd atas izin yang telah diberikan sehingga penulis dapat mengumpulkan
x
data di MAN Tambakberas jombang dan para siswa yang telah membantu
penelitian skripsi ini.
6. Kedua orangtuaku tercinta, Bapak H.Zainul Arifin (alm), dan Ibu Hj.
Zainab terima kasih atas segala do’a, kasih sayang, cinta, motivasi dan
perhatian yang tak pernah putus diberikan untuk penulis. Kakak ku
tercinta Minahul Karim, Bararatul Barirah dan saudara kembarku
tersayang Bahiyyatul Arifah terima kasih untuk segala motivasi, nasihat
dan canda tawa yang diberikan kepada penulis selama ini.
7. Bulik Romlah S.Pd.I terima kasih atas semua saran dan semangat yang
telah diberikan kepada penulis.
8. Seluruh keluarga besar kelas A 2010 khususnya anak-anak Emmetus
Lintang, Aul, Bias, Fada, Hana, Tia, Ira, Rias, Dita, Silmi, dan iyus terima
kasih untuk segala rasa sayang dan kekeluargaan serta motivasinya selama
kuliah hingga penyusunan skripsi ini selesai.
9. Untuk keluarga besar WASIAT khususnya teman-teman angkatan 2010
Ikhwan, Iin, Tika, Zaima, Nurul, Ida, terima kasih untuk segala canda
tawa, motivasi dan kebersamaan kalian.
10. Terima kasih untuk teman-teman diskusi ku, ka Yudril, ka Hafidz, ka
Irham, ka Nuris, ka Shinta, Sofi, dan Putri untuk segala saran, nasihat dan
motivasinya semoga diskusi kita selalu bermanfaat. Amin.
11. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih
untuk segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu
peneliti dalam menyelsaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran yang membangun akan sangat berguna agar
pada penulisan selanjutnya dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin.
Jakarta, 26 Maret 2015
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................... vi
ABSTRAK ......................................................................................................... vii
ABSTRACT ....................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULULAN
1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................... 7
1.2.1. Pembatasan Masalah ............................................................. 7
1.2.2. Perumusan Masalah .............................................................. 8
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 9
1.3.1. Tujuan Penelitian .................................................................. 9
1.3.2. Manfaat Penelitian ................................................................ 9
1.3.2.1. Manfaat Teoritis ....................................................... 10
1.3.2.2. Manfaat Praktis ........................................................ 10
1.4. Sistematika Penulisan ...................................................................... 10
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Kecerdasan Emosi ............................................................................ 12
2.1.1. Definisi Kecerdasan Emosi .................................................... 12
2.1.2. Dimensi Kecerdasan Emosi ................................................... 14
2.1.3. Pengukuran Kecerdasan Emosi .............................................. 20
2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi ......... 21
2.2. Religiusitas ....................................................................................... 24
2.2.1. Definisi Religiusitas ............................................................... 24
2.2.2. Dimensi Religiusitas .............................................................. 25
2.2.3. Pengukuran religiusitas ......................................................... 33
2.3. Persepsi Pola Asuh .......................................................................... 34
2.3.1. Defini Persepsi ....................................................................... 34
2.3.2. Definisi Pola Asuh ................................................................. 35
2.3.3. Definisi Persepsi Pola Asuh ................................................... 36
2.3.4. Jenis-jenis Pola Asuh ............................................................ 36
2.3.5. Pengukuran Pola Asuh ........................................................... 39
2.4. Kerangka Berfikir............................................................................. 40
xii
2.5. Hipotesis Penelitian .......................................................................... 43
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Populasi dan Sampel ........................................................................ 45
3.2. Variabel Penelitian ........................................................................... 46
3.2.1. Definisi Operasional ............................................................... 46
3.3. Instrumen Pengumpulan Data .......................................................... 48
3.3.1. Skala Pengukuran Kecerdasan Emosi .................................... 50
3.3.2. Skala Pengukuran Religiusitas ............................................... 51
3.3.3. Skala Pengukuran Pola Asuh ................................................. 52
3.4. Uji Validitas Konstruk .................................................................... 53
3.4.1. Uji Validitas Konstruk Kecerdasan Emosi............................. 55
3.4.2. Uji Validitas Konstruk Religiusitas........................................ 58
3.4.3. Uji Validitas Konstruk Pola Asuh .......................................... 62
3.5. Metode Analisis Data ....................................................................... 67
3.6. Prosedur Penelitian........................................................................... 69
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Subjek Penelitian ............................................................ 72
4.2. Deskripsi Hasil Penelitian ................................................................ 73
4.3. Kategorisasi Skor Variabel Penelitian .............................................. 74
4.4. Uji Hipotesis Penelitian .................................................................... 78
4.4.1. Hipotesis Mayor ..................................................................... 80
4.4.2. Hipotesis Minor ...................................................................... 81
4.5. Proporsi Varian ................................................................................ 84
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 89
5.2. Diskusi .............................................................................................. 89
5.3. Saran ................................................................................................. 99
5.3.1. Saran Metodologis.................................................................. 99
5.3.2. Saran Praktis ........................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Perhitungan Skor ................................................................................. 49
Tabel 3.2. Blue Print Skala Kecerdasan Emosi .................................................... 50
Tabel 3.3. Blue Print Skala Religiusitas ............................................................... 52
Tabel 3.4. Blue Print Skala Pola Asuh ................................................................. 53
Tabel 3.5. Muatan Faktor Item Kecerdasan Emosi .............................................. 57
Tabel 3.6. Muatan Religiusitas (intellectual) ....................................................... 59
Tabel 3.7. Muatan Religiusitas (ideology) ........................................................... 60
Tabel 3.8. Muatan Religiusitas (public practice) ................................................ 60
Tabel 3.9. Muatan Religiusitas (private Practice) .............................................. 61
Tabel 3.10. Muatan Religiusitas (experience) ...................................................... 62
Tabel 3.11. Muatan Faktor Item Otoriter ............................................................. 63
Tabel 3.12. Muatan Faktor Item Permisif ............................................................ 65
Tabel 3.13. Muatan Faktor Item Otoritatif ........................................................... 66
Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian .................................................... 72
Tabel 4.2 Hasil Analisis Deskriptif Variabel Penelitian ...................................... 74
Tabel 4.3 Pedoman Interpretasi Skor ................................................................... 74
Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Kecerdasan Emosi................................................... 75
Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Intellectual .............................................................. 75
Tabel 4.6 Kategorisasi Skor Ideology .................................................................. 76
Tabel 4.7 Kategorisasi Skor Public Practice ....................................................... 76
Tabel 4.8 Kategorisasi Skor Private Practice ...................................................... 77
Tabel 4.9 Kategorisasi Skor Experience .............................................................. 78
Tabel 4.10 Kategorisasi Skor Otoriter .................................................................. 78
Tabel 4.11 Kategorisasi Skor Permisif ................................................................. 79
Tabel 4.12 Kategorisasi Skor Otoritatif................................................................ 79
Tabel 4.13 Model Summary .................................................................................. 80
Tabel 4.14 ANOVA ............................................................................................. 81
Tabel 4.15 Koefisien Regresi ............................................................................... 82
Tabel 4.16 Proporsi Varian................................................................................... 85
Tabel 4.17 Urutan Sumbangan proporsi Varians IV terhadap DV ...................... 88
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir ...................................................................... 42
Gambar 3.1. Analisis Konfirmatorik Faktor Kecerdasan Emosi .................... 56
Gambar 3.2 Analisis Multifaktor Religiusitas ................................................ 58
Gambar 3.3 Analisis Konfirmatorik Pola Asuh (Otoriter) ............................. 63
Gambar 3.4 Analisis Konfirmatorik Pola Asuh (Permisif) ............................ 64
Gambar 3.5 Analisis Konfirmatorik Pola Asuh (Otoritatif) ........................... 66
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
Lampiran B Alat Ukur Penelitian
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah kecerdasan emosi adalah fenomena kompleks yang terjadi pada remaja awal
yang ditemukan mengarah pada hubungan pribadi yang kuat serta dapat
meningkatkan perilaku pro-sosial dan keterampilan manajemen diri pada remaja awal
(dalam Naghavi & Redzuan, 2012). Dimana, pada masa remaja ini biasa disebut
dengan masa “storm dan stress” atau yang biasa disebut dengan masa topan badai
(Hurlock 1980). Oleh karena itu perkembangan yang paling rentan pada remaja
adalah perkembangan pada ranah emosi.
Schutte, Malouff, Bobik, Coston, Greeson, Jedlicka, dan Wendorf (2001)
mengungkapkan bahwa individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi dilaporkan
memiliki empati, self-control, respon yang koperatif, hubungan yang ramah dan
kepuasan menikah yang lebih besar daripada individu yang memiliki kemampuan
kecerdasan emosi yang rendah. Beberapa studi juga telah mengatakan bahwa
kecerdasan emosi sangat kuat memprediksi kesusksesan seseorang dalam berbagai
aspek, seperti penilaian akademik, kesehatan mental dan life skill mereka (dalam
Abdollahi, Talib, & Moetalabi, 2013). Oleh karena itu individu yang memiliki
2
kecerdasan emosi yang tinggi cenderung lebih sukses daripada individu yang
memiliki kecerdasan emosi yang rendah (Noorbakhsh, Besharat, & Zarei, 2010).
Saat ini masih banyak orang yang menganggap bahwa IQ atau kecerdasan
intelektual adalah faktor penting dalam penentu keberhasilan masa depan anak.
Padahal kecerdasan intelektual yang tinggi tidak menjamin seseorang akan lebih
sukses. Menurut Nelson dan Low (dalam Nwadinigwe & Obieke, 2012) kecerdasan
emosi terlihat tidak begitu penting sampai perilaku siswa menjadi bermasalah dan
dilaporkan. Contoh secara umumnya adalah prestasi yang rendah, bullying, kekerasan
disekolah, penyalahgunaan obat, dan sering bolos sekolah. Tidak sedikit para remaja
yang mengalami kesulitan manajemen emosi dan ketrampilan sosial sehingga
perilaku yang ditampilkan oleh remaja cenderung agresif, impulsif, pemurung, mudah
cemas, sulit dalam menyesuaikan diri, dan emosi-emosi negatif lainya yang membuat
para remaja mudah untuk berputus asa dan tidak berpikir panjang dalam bertindak.
Berkaitan dengan contoh diatas, hal tersebut bisa terjadi pada remaja dimana
saja, husunya MAN Tambakberas Jombang. Dimana, sebagian besar remaja yang
bersekolah di MAN Tambakberas Jombang tinggal dipesantren. Dengan banyaknya
kegiatan disekolah dan pesantren sangat memungkinkan remaja mengalami banyak
masalah dalam kehidupan sehari-harinya seperti, ketidakmampuan diri dalam
menyesuaikan dengan lingkungan yang baru, mudah berputus asa dalam menghadapi
masalah atau cobaan, atau rasa kesepian karena ketidak mampuan dalam
bersosialisasi dengan teman-temannya. Akibatnya, remaja dipesantren sering merasa
3
ingin selalu pulang kerumah (homesick) juga melanggar peraturan dengan tidak
mengikuti kegiatan pondok (membolos) dimana hal tesebut merupakan contoh
ketidakmampuan mengelola emosi dan penyesuaian diri yang salah pada remaja di
pesantren.
Hal tersebut dibuktikan dengan hasil wawancara pada 20 siswa yang
menyatakan bahwa mereka terkadang membolos kegiatan belajar mengajar di
pesantren dengan berbagai alasan seperti bermain game di warnet, bermain facebook
dengan alasan ingin mengupdate status, dan juga “ngopi” bersama teman-temannya.
Selain hal itu mereka, juga mengakui bahwa mereka juga terkadang membolos
kegiatan ekstrakurikuler pramuka (ekstrakurikuler wajib) dengan alasan mereka
malas, tidak dapat bermain diwarnet, capek, serta para senior yang menurut mereka
terlalu keras serta tidak dapat melihat remaja perempuan atau “pacarnya” dimana
dalam kegiatan ini berlangsung secara terpisah. Selain dari hal itu, Hasil wawancara
dari salah seorang anak lain juga menyatakan bahwa salah satu temannya sempat
mengalami stress dan meminum minyak kayu putih dengan alasan karena banyak
teman-teman yang menjauhi serta telah mengalami putus cinta. Dari hasil wawancara
tersebut menggambarkan remaja yang tidak memiliki motivasi yang tinggi, tidak
mampu menyesuaikan dengan lingkungan secara baik, serta tidak mampu mengatur
diri dan mengelola hubungan dengan baik dimana, menurut Goleman (1997) hal ini
merupkan cerminan dari kecerdasan emosi yang rendah.
4
Oleh karena itu kecerdasan emosi sangat penting dalam kehidupan remaja.
Karena dengan kecerdasan emosi, remaja mampu mengatur kehidupan emosinya
dengan inteligensinya (to manage our emotional life with intelligence); sehingga
remaja mampu menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the
appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri,
pengaturan diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial (Goleman, 1998).
Salah satunya yakni dengan adanya kesadaran diri remaja mampu mengatasi berbagai
perasaan negatif yang terjadi sehingga mereka dapat mengatasi hal tersebut untuk
mengarahkan perasaannya kearah yang positif. Sedangkan pengaturan diri, remaja
dapat mengatur emosi serta mengeksperesikan emosi dengan tepat, karena pada masa
ini penuh gejolak emosi maka kecerdasan emosi sangat penting untuk dioptimalkan
agar terarah menjadi yang lebih baik. Selain itu motivasi juga sangat penting, dimana
hal tersebut sangat diperlukan pada remaja, dengan motivasi remaja mempunyai daya
juang dan optimis yang tinggi sehingga remaja mampu mencapai suatu tujuan.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa kecerdasan emosi seseorang
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, faktor keluarga, sekolah maupun proses
hidup yang dijalani seseorang dengan masyarakatnya. Salah satu proses yang dijalani
seseorang adalah proses internalisasi ajaran agama dalam dirinya (Rosmana, 2005).
Daradjat (1996) menyatakan bahwa nilai-nilai agama yang ditanam sejak kecil
sehingga merupakan bagian dari kepribadian yang akan mengatur sikap dan
perilakunya secara otomatis dari dalam. Seseorang yang mempunyai keyakinan yang
5
kuat menunjukkan bahwa mereka mampu mengerti diri sendiri dan juga orang lain
serta mampu menghadapi tekanan hidup. Dengan kata lain, religiusitas sebagai hasil
internalisasi nilai-nilai agama dalam diri berkolerasi positif dengan kemampuan
mengendalikan dan mengatur emosi .
Menurut Dister (dalam Chrisnawati, 2008) religiusitas berkaitan dengan
perilaku beragama. Senada dengan Dister, Fagan (dalam Crisnawati, 2008)
mengatakan bahwa praktek religius dan prinsip moralnya mempunyai banyak
manfaat dalam membangun kecerdasan emosi.Seperti pada hasil kajian literatur yang
dilakukan oleh Rosmana (2005) dan Crisnawati (2008), religiusitas mempunyai
hubungan yang signifikan terhadap kecerdasan emosi. Maka semakin tinggi tingkat
religiusitas seserang semakin tinggi pula kecerdasan emosinya.
Faktor lain yang mempengaruhi kecerdasan emosi dalam penelitian ini adalah
keluarga yakni gaya pengasuhan dari orang tua. Orang tua memainkan peran kunci
dalam pelatihan kecerdasan emosi (dalam Abdollahi, et al. 2013) karena orang tua
berperan penting dalam membina anak-anak. Orang tua juga merupakan tempat di
mana anak-anak mendapat dasar-dasar pertama tentang kecerdasan emosi,
kemampuan bersosial, serta memperoleh beberapa informasi yang berhubungan
dengan kehidupan mereka. Gottman (1997) menunjukkan bahwa orangtua yang baik
tidak hanya membutuhkan kecerdasan, tetapi juga melibatkan emosi. Naghavi dan
Redzuan (2012) juga menuturkan sebagian besar remaja awal mempelajari emosi
dari keluarga mereka, termasuk kemampuan untuk mengendalikan impuls, menunda
6
kepuasan, memotivasi diri, membaca isyarat-isyarat sosial orang lain, dan mengatasi
kesulitan hidup.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosi yang lebih rendah
terkait dengan keterlibatan dalam perilaku merusak diri sendiri seperti perilaku
menyimpang dan merokok (Bracket, Mayer & Warner, 2003), dimana hal ini
biasanya terjadi karena remaja merasa kecewa pada orang tua yang terlalu
memanjakan atau terlalu keras dalam mengasuh. Seperti pada penelitian terdahulu
yang membuktikan bahwa gaya pengasuhan overprotective dan penolakan atau
rejective berhubungan secara siginifikan dengan depresi pada anak-anak (dalam
Abdollahi et al., 2013). Selain itu terdapat hubungan yang negatif antara gaya
pengasuhan permissive dan kecerdasan emosi pada anak-anak (dalam Abdollahi et
al., 2013).
Berdasarkan dari data-data, serta fenomena yang telah terjadi peneliti
menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi remaja adalah suatu hal penting yang perlu
ditingkatkan pada remaja selain kecerdasan intelektual. Karena kecerdasan emosi
berkontribusi 80% terhadap kesuksesan seseorang sedangkan kecerdasan intlektual
hanya 20%. Peneliti berasumsi bahwa faktor religiusitas dan faktor pola asuh adalah
faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi remaja. Karena kedua faktor tersebut
mempunyai peran pertamakali dalam mengembangkan kecerdasan emosi pada
remaja, seperti dalam meningkatkan, ketrampilan sosial, berkomunikasi dengan baik,
bekerjasama dengan orang lain juga memahami diri sendiri dan orang lain. Sehingga,
7
peneliti menganggap bahwa kecerdasan emosi penting untuk diteliti karena
kecerdasan emosi merupakan hal yang perlu diperhatikan dan ditingkatkan secara
optimal pada remaja. Dengan demikian, peneliti mengangkat judul “Pengaruh
Religiusitas dan Persepsi Pola Asuh terhadap Kecerdasan Emosi Remaja Siswa
MAN Tambakberas Jombang.”
1.2.Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1. Pembatasan masalah
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi remaja, akan tetapi
masalah utama yang menjadi fokus penelitian ini adalah pengaruh religiusitas dan
persepsi pola asuh terhadap kecerdasan emosi remaja. Agar masalah yang akan
dibahas tidak meluas, peneliti memberikan batasan konsep sebagai berikut:
1. Kecerdasan emosi dalam penelitian ini dibatasi pada kemampuan seseorang
untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, memotivasi dir sendiri,
dan kemampuan dalam mengelola emosi baik dalam diri dan dalam
hubungan.
2. Religiusitas dalam penelitian ini dibatasi pada suatu kepercayaan atau
keyakinan nila-nilai yang diiinternalisasi ke dalam diri seseorang yang akan
nampak pada perilaku-perilaknya. Dalam hal ini meliputi dimensi intellectual,
ideology, public practice, privat practice, dan religious experience.
8
3. Persepsi pola asuh dalam penelitian ini dibatasi pada penilaian anak terhadap
sikap orangtuanya yang berupa hukuman, aturan-aturan serta kasih sayang
kepada anaknya. Pola asuh ini terdiri dari 3 dimensi yakni pola asuh otoriter,
permisif, dan otoritatif.
4. Subjek penelitian ini dibatasi pada remaja kelas X yang berusia 15-17 dan
merupakan siswa MAN Tambakberas Jombang periode 2013/2014.
1.2.2. Perumusan masalah
Masalah penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan ’’Apakah religiusitas
dan persepsi pola asuh secara signifikan mempengaruhi kecerdasan emosi terhadap
remaja siswa MAN Tambakberas jombang ?’’
Berdasarkan rumusan masalah diatas, peneliti merumuskan pertanyaan-
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apakah ada pengaruh religiusitas dan persepsi pola asuh terhadap kecerdasan
emosi remaja siswa MAN Tambakberas Jombang?
2. Apakah ada pengaruh dimensi intellectual pada variabel religiusitas terhadap
kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas Jombang?
3. Apakah ada pengaruh dimensi ideology pada variabel religiusitas terhadap
kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas Jombang?
4. Apakah ada pengaruh dimensi publice practice pada variabel religiusitas
terhadap kecerdasan emosional remaja siswa MAN Tambakberas Jombang?
9
5. Apakah ada pengaruh dimensi private practice pada variabel religiusitas
terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas Jombang?
6. Apakah ada pengaruh dimensi religious experience pada variabel religiusitas
terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas Jombang?
7. Apakah ada pengaruh dimensi persepsi pola asuh otoriter pada variabel pola
asuh terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas Jombang?
8. Apakah ada pengaruh dimensi persepsi pola asuh permisif pada variabel pola
asuh terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas Jombang?
9. Apakah ada pengaruh dimensi persepsi pola asuh otoritatif pada variabel pola
asuh terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas Jombang ?
1.3.Tujuan dan Manfaat Penenilitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh religiusitas dan persepsi pola
asuh terhadap kecerdasan emosi remaja. Peneltian ini juga ingin menguji pengaruh
dimensi religiusitas meliputi (intellectual, ideology, public practice, privat practice,
dan religious experience) dan dimensi pola asuh yakni (otoriter, otoritatif, dan
permisif) terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas Jombang.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis
kepada berbagai pihak.
10
1.3.2.1.Manfaat teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah kajian
psikologi, terutama berkaitan dengan psikologi pendidikan, psikologi
perkembangan, dan psikologi Islam. Selain itu diharapkan penelitian inidapat
mejadi informasi bagi guru dan orang tua dalam memahami faktor-faktor
yang mempengaruhi kecerdasan emosi. Diharapkan pula penelitian ini dapat
memberikan referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan
penelitian yang peneliti lakukan.
1.3.2.2.Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini dapat menjadi masukan bagi orangtua, dan
gurumengenai pentingnya religiusitas dan pola asuh dalam meningkatkan
kecerdasan emosi remaja. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
bahan pertimbangan bagi para peneliti dalam mengadakan penelitian lebih
lanjut.
1.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan APA
( American Psychologycal Association)-style dan pedoman penyusunan dan penulisan
skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan ini dibagi
menjadi beberapa bahasan yang dijabarkan berikut ini.
11
BAB 1 Pendahuluan
Pada bab 1 berisi uraian tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB 2 Landasan Teori
Pada bab 2 ini berisi uraian teori-teori yang terkait dengan variabel terikat (dependent
variable),variable bebas (independent variable),kerangka berpikir, dan hipotesis.
sBAB 3 Metode Penelitian
Pada bab 3 berisi uraian mengenai populasi, sampel, dan teknik pengambilan sampel,
variabel-variabel penelitian, teknik pengumpulan data, uji validitas konstruk dan
hasilnya, teknik analisis data, dan prosedur penelitian.
BAB 4 HasilPenelitian
Pada bab 4 berisi uraian gambaran umum subjek penelitian, analisis deskriptif, hasil
uji hipotesis, serta analisis proporsi varians.
Bab 5 Kesimpulan dan Saran
Pada bab 5 ini berisi uraian tentang kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi
mengenai temuan-temuan dalam penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya.
12
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1.Kecerdasan Emosi
2.1.1. Definisi Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi merupakan istilah yang relatif baru dalam ilmu psikologi. Istilah
tersebut dilontarkan oleh psikolog Peter Salovey dan Jhon Mayer (1990) untuk
meningkatkan kualitas-kualitas emosi yang turut menentukan keberhasilan.
Pandangan Salovey dan Mayer tersebut kemudian diperkenalkan secara meluas oleh
Goleman (1995) melalui bukunya yang berjudul Emotional intelligence.
Menurut Salovey dan Mayer (1990) kecerdasan emosi adalah suatu
kecerdasan sosial yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau
baik emosi dirinya maupun orang lain, serta kemampuan dalam membedakan emosi
dirinya dan orang lain, dimana kemampuan ini digunakan untuk mengarahkan pola
pikir dan perilakunya. Lebih lanjut Mayer dan Salovey (1997) mengatakan bahwa
kecerdasan emosi melibatkan kemampuan untuk memahami dan mengekspresikan
emosi secara akurat, menggunakan emosi untuk memfasilitasi pikiran dalam
memahami emosi, dan mengelola emosi untuk pertumbuhan emosi .
Sedangkan Goleman (1998) menyatakan bahwa kecerdasan emosi
merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain,
13
memotivasi diri sendiri, dan untuk mengelola emosi baik dalam diri dan dalam
hubungan.
Sejalan dengan hal itu Mayer, Salovey, dan Caruso (2004) menyatakan bahwa
kecerdasan emosi sebagai jenis kecerdasan sosial, termasuk kemampuan memantau
emosi seseorang dan emosi orang lain, dan memanipulasi informasi untuk mengelola
pikiran dan tindakan seseorang, dan mengatur emosi dalam diri dan orang lain, serta
memanfaatkan emosi yang sesuai untuk memecahkan masalah dalam aktifitas sehari-
hari.
Definisi lain dikemukakan oleh Gardner (dalam Rosmana, 2005)
mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi adalah kecerdasan istilah dari kecerdasan
pribadi. Kecerdasan ini terbagi menjadi dua bagian, yakni kecerdasan antarpribadi
dan kecerdasan interpribadi. Kecerdasan anatarpribadi adalah kemampuan untuk
memahami oranglain: apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja.
Kecerdasan interpribadi adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang
teliti dan mengacu pada diri sendiri dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk
menggunakan model tersebut sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif..
Sedangkan menurut Bar-On (2006) kecerdasan emosi adalah bagian lintas
kompetensi antara emosi dengan kemampuan sosial, ketrampilan dan fasilitator yang
menentukan seberapa efektif seseorang memahami dan mengekspresikan diri,
14
memahami orang lain dan berhubungan dengan mereka, serta menghadapi tuntutan
dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan dari uraian diatas penulis menarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud kecerdasan emosi adalah bagaimana seseorang dapat menegenali emosi
dirinya sendiri maupun orang lain, mampu memahami dirinya sendiri dan mampu
mengekspresikan perasaanya sehingga dapat bersosialisai, memotivasi diri sendiri,
mampu mengendalikan diri sendiri serta mampu mengatasi kesulitan dalam
kehidupan sehari-hari. Pada penelitian ini pengertian yang digunakan adalah
pengertian berdasarkan dari Goleman (1998) dimana pengertian tersebut sesuai
dengan apa yang hendak diteliti oleh peneliti.
2.1.2. Dimensi-Dimensi Kecerdasan Emosi
Bar-On (2006) membagi kecerdasan emosi dalam lima kemampuan pokok :
1. Kemampuan intrapersonal meliputi :
a. Self-regard: kemampuan untuk melihat, memahami dan menerima diri
sendiri secara akurat
b. Emotional Self-awareness: kemampuan untuk menyadari dan memahami
emosi seseorang
c. Aseertiveness: kemampuan untuk mengekspresikan emosi seseorang dan
diri sendiri secara efektif dan konstruktif
15
d. Independence: kemampuan untuk menjadi mandiri dan bebas dari
ketergantungan emosional pada orang lain
e. Self-actualization: kemampuan utuk berusaha mencapai tujuan pribadi
dan mengaktualisasikan potensi seseorang.
2. Kemampuan interpersonal
a. Empathy: Untuk menyadari dan memahami perasaan orang lain
b. Social responbility: Untuk mengidentifikasi dengan kelompok sosial
seseorang dan bekerja sama dengan orang lain
c. Interpersonal relationship: Untuk membangun hubungan yang saling
memuaskan dan berhubungan baik dengan orang lain
3. Kemampuan menangani stress
a. Stress tolerance: kemampuan untuk mengelola emosi secara efektif dan
konstruktif
b. Impulse control: kemampuan untuk mengendalikan emosi secara efektif
dan konstruktif
4. Kemampuan penyesuaian diri.
a. Realitas-testing: kemampuan memvalidasi perasaan seseorang dengan
obyektif dan berpikir dengan realitas
b. Flexibility: kemampuan beradaptasi dan menyesuaikan perasaan
seseorang dan berpikir dengan situasi baru
16
c. Problem-solving: secara efektif memecahkan masalah yang bersifat
pribadi dan interpersonal
5. Kemampuan mengatur susana hati
a. Optimism: kemampuan melihat sisi terang kehidupan dan bersikap positif
b. Happiness: kemampuan untuk merasa puas dengan diri sendiri, orang lain
dan kehidupan pada umumnya
Sedangkan Salovey (dalam Goleman, 1997) memperluas kecerdasan emosi
menjadi lima wilayah utama :
1. Mengenali emosi diri : kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke
waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri.
Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita yang sesungguhnya
membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki
keyakinan yang lebih tentang perasaanya adalah pilot yang handal bagi
kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan
mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah
pribadi, mulai dari masalah siapa yang akan di nikahi sampai pekerjaan yang
akan diambil.
2. Mengelola emosi
Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah
kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Orang orang yang buruk
kemampuannya dalam ketrempilan ini akan terus menerus bertarung melawan
17
perasaan murung, sementara mereka yang lebih pintar dapat bangkit kembali
dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam menata
kehidupan.
3. Memotivasi diri sendiri.
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat
penting dalam kaitan untuk memberi perhatian dan untuk memotivasi diri
sendiri dan meguasai diri sendiri, serta untuk berkreasi. Kendali diri
emosional– menahan diri terhadap kepuasaan dan mengendalikan dorongan
hati – adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Dan
menyesuaiakn diri dalam “flow” memungkinkan terwujudnya kinerja yang
tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki ketrampilan ini
cendrung jauh lebih produktif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
4. Mengenali emosi orang lain.
Empati, kemampuan yang juga bergantung pada diri emosional merupakan
“keterampilan bergaul”. Orang yang empati lebih mampu menangkap sinyal-
sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan
atau dikehendaki orang lain.
5. Membina hubungan
Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan ketrmpilan mengelola
emosi orang lain. Ini merupakan ketrampilan yang menunjang popularitas,
kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Menangani emosi dengan baik
ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat mebaca situasi dan
18
jaringan sosial, berintraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan-
ketrampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan
menyelsaikan perselisihan dan untuk bekerja sama. Mampu menyesuaikan
diri dan merespon dengan tepat perasaan orang lain, menangani perselisihan
yang muncul dalam setiap kegiatan yang melibatkan orang lain.
Sejalan dengan hal tersebut, Goleman (1998) mengadopsi model teori Salovey
dan Mayer kedalam lima dasar kecerdasan emosi dan membaginya kedalam dua
bagian, yaitu :
1. Kemampuan personal.
Kecerdasan ini menentukan bagaimana sesorang dapat mengelola dirinya
sendiri, meliputi :
a. Kesadaran diri : kemampuan untuk mengetahui apa yang kita rasakan
serta penyebab terjadinya; menggunakan keinginan untuk menuntun
pengambilan keputusan; mempunyai penilaian yang realistis dari
kemampuan kita sendiri dan rasa yang cukup baik untuk percayaan
diri.
b. Pengaturan diri: kemampuan menangani emosi kita dengan baik
sehingga dapat memfasilitasinya, dan mampu menunda kenikmatan
untuk mencapai suatu tujuan, serta pulih kembali dari hal-hal yang
menekan emosi.
19
c. Motivasi yaitu : kemampuan menggunakan keinginan untuk bergerak
dan membimbing ke arah tujuan, dan mampu berinisitaif dan berusaha
untuk menghadapi kegagalan dan frustasi.
2. Kemampuan sosial.
kecerdasan ini menentukan bagaimana seseorang menangani suatu hubungan.
Meliputi :
d. Empati: merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami
perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan
menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
e. Ketrampilan sosial: menangani emosi dengan baik ketika berhubungan
dengan oang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan
sosial, berintraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan-
ketrampilan ini untuk mempegaruhi dan memimpin, bermusyawarah
dan menyelsaikan perselisihan, dan untuk bekerjasama dan bekerja
dalam tim.
Berdasarkan pendapat diatas mengenai dimensi – dimensi kecerdasan emosi,
dalam penelitian ini peneliti menggunakan dimensi-dimensi yang telah
dikembangkan oleh Goleman (1998) yaitu kemampuan personal dan kemampuan
sosial. Alasanya, karena dimensi-dimensi tersebut telah mewakili dimensi-dimensi
yang lain. Selain itu, dimensi dari Goleman (1998) sesuai dengan apa yang ingin
diteliti oleh peneliti.
20
2.1.3. Pengukuran Kecerdasan Emosi
Dari berbagai literatur yang peniliti baca, terdapat banyak instrument yang mengukur
kecerdasan emosi diantaranya adalah :
1. Bar-On‟s EQ-I. instrument ini dikembangkan oleh Bar-On (1997) yang
terdiri dari 133 item dari 15 sub-skala yang terdiri dari 5 faktor:
“interpersonal”, “intrapersonal”, “adaptation”, “stress management”, dan
“general mood”. Skala ini mempunyai nilai =0.85 (dalam Perez, Petrides &
Furnham, 2005)
2. Skala selanjutnya yakni Assesing Emotional Intelligence Scale yang
dikembangkan oleh Schutte dan teman-temanya pada tahun 1998. Skala ini
terdiri dari 33 item dengan menggunakan skala likert yang terdiri dari 5
pilihan jawaban dari sangat setuju – sangat tidak setuju, dengan alpha
Crombach, =0.84, dan tes re test reliabilitas 0.87. Skala AES ini dibagi
menjadi 3 dimensi 1. Regulasi emosi, 2. Appraisal emotion, dan 3.
Penggunaan emosi (dalam Perez, Petrides & Furnham, 2005)
3. EQ-NED atau Emotional Inteliigence Scale yang telah dikembangkan oleh
Ergin pada tahun 1999 untuk melihat level kecerdasan emosi seseorang. Skala
ini terdiri dari 108 item dari 3 dimensi dengan tipe skala likert. Skala ini
mempunyai koefisien alpha cronbach 0.60 (dalam Ozabaci, 2006)
4. TMMS Trait Meta-mood Scale dikembangkan oleh Mayer & Salovey pada
tahun 1990. Skala ini berbentuk skala likert terdiri dari 30 item dengan type 5
21
jawaban selalu – tidak pernah. Skala ini mempunyai nilai = 0.70-0.85
(dalam Perez, Petrides & Furnham, 2005).
Pada penelitian ini, peneliti membuat alat ukur sendiri yang merujuk pada
dimensi Goleman (1998) sebab, menurut peneliti dimensi tersebut telah mewakili dari
dimensi- dimensi yang telah dijabarkan. Dalam hal ini, peneliti membuat dalam
bentuk skala likert dengan 4 pilihan jawaban.
2.1.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Goleman (1997) mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
emosi seseorang yaitu:
1. Faktor internal
Kecerdasan emosi sangat berkaitan dengan keadaan emosional. Bagian otak
yang mengurusi adalah sistem limbik. Menurut LeDoux (dalam Goleman,
1997) amigdala mampu mengambil alih kendali apa yang kita kerjakan
bahkan, sewaktu otak berpikir, neokorteks masih menyusun keputusan.
Kondisi otak berperan sangat besar sebagai penentu tindakan atau keputusan
apapun yang dilakukan manusia. Sebagaimana kita lihat, fungsi-fungsi
amigdala dan pengaruhnya pada neokorteks merupakan inti kecerdasan emosi.
Selain dari bagian otak, faktor lain penentu perilaku adalah agama. Darajat
(dalam Rosmana, 2005) menyatakan bahwa agama yang ditanam sejak kecil
22
sehingga menjadi bagian dari kepribadian akan mengatur sikap dan perilaku
secara otomatis dari dalam diri seseorang.
2. Faktor eksternal.
Faktor eksternal yakni seperti intraksi seseorang dengan teman sebaya dan
lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama untuk
mempelajari emosi. Dalam lingkungan ini seseorang belajar bagaimana
merasakan perasaanya sendiri dan bagaimana menanggapi perasaan orang lain.
Dalam penelitian Naghavi dan Redzuan (2012) menuturkan bahwa sebagian
besar remaja awal mempelajari emosi dari keluarga mereka.
Sedangkan menurut Gottman dan DeClaire (dalam Putra, 2012) ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kecerdasan yaitu:
a. Lingkungan Keluarga
Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi. Dalam
lingkungan keluarga seseorang dapat belajar bagaimana cara mengenal tentang diri
sendiri dan orang lain bisa memahami keadaan kita, ketika terjadi terjadi perselisihan
seseorang mampu mengtasinya. Orangtua yang kecerdasan emosinya tinggi akan
memilih tindakan dan pola asuh yang sesuai bagi anak untuk membantu
meningkatkan kecerdasan emosinya. Pada peneitian lain dikatakan bahwa orangtua
memainkan peran kunci dalam pelatihan emosi (dalam Abdollahi, et al., 2013) karena
orang tua berperan penting dalam membina anak-anak.
23
b. Pelatihan
Pelatihan emosi membutuhkan keterlibatan dan kesabaran yang cukup besar, dengan
adanya pelatihan emosi seseorang akan memiliki hubungan yang sangat kuat dan
memiliki pengaruh yang sangat baik. Orangtua yang melatih emosi anaknya dapat
menolong anak mereka berkembang menjadi orang dewasa yang lebih sehat dan
sukses. Hal positif akan diperoleh dan besar pengaruhnya ketika pada saat masa
remaja, secara emosi akan lebih cerdas, penuh pengertian, mudah menerima
perasaan-perasaan dan mudah memecahkan masalah sehingga akan lebih sukses
disekolah, mudah dalam bergaul serta akan terhindar dari lingkungan yang negatif
(Gottman, 1997).
c. Pendidikan Sekolah
Goleman (1997) menyebutkan bahwa sekolah adalah salah satu tempat untuk dapat
mengembangkan kecerdasan emosi dalam berintraksi sosial. Orang-orang yang
terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain, peka
dalam membaca reaksi dan perasaan orang lain, mampu memimpin, mengorganisir
dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan.
Dari faktor-faktor diatas peneliti akan lebih berfokus pada dua pembentukan
kecerdasan emosi yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal dalam penelitian
ini adalah religiusitas, karena religiusitas sebagai kontrol perilaku individu.
Sedangkan pola asuh sebagai faktor eksternal, dalam hal ini pengasuhan orang tua
24
adalah pendidikan yang diterima pertama kali oleh seseorang selain itu, pengasuhan
orang tua sebagai contoh dalam mendidik anak-anak nya.
2.2. Religiusitas
2.2.1. Definisi Religiusitas
Religiusitas atau keberagamaan menurut asal katanya berasal dari kata religion atau
agama. Agama sendiri menurut Nasution (dalam Jalaluddin, 2012) memiliki makna
ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi oleh manusia, dimana ikatan itu berasal dari
kekuatan yang ghaib yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan manusia sehari-
hari. Berangkat dari pengertian mengenai agama inilah, pengertian mengenai
religiusitas dapat diperoleh.
Glock & Stark (1968) mendefinisikan religiusitas adalah suatu bentuk
kepercayaan yang didalamnya terdapat penghayatan dalam kehidupan sehari-harinya
dengan menginternalisasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.
Pargament (1997) mendefinisikan religiusitas sebagai "pencarian makna
dengan cara yang sakral". Definisi ini mencakup dua unsur penting: mencari makna,
dan sakral. Pencarian mengacu pada proses penemuan suci, konservasi suci setelah
ditemukan, dan transformasi sakral ketika tekanan internal atau eksternal memerlukan
perubahan (Pargament, & Raiya, 2007).
Lebih lanjut Fetzer Institude (1999) mendefinisikan religiusitas sebagai
sesuatu yang lebih menitik beratkan pada masalah perilaku, sosial, dan merupakan
25
sebuah doktrin dari setiap agama atau golongan. Karenanya doktrin yang dimiliki
oleh setiap agama wajib diikuti oleh setiap pengikutnya.
Religiusitas menurut Mangunwijaya (dalam Rosmana 2005) adalah aspek
yang telah dihayati oleh individu didalam hati, getaran hati nurani pribadi dan sikap
personal. Religiusitas merupakan wujud nyata atau kualitas dari keberagamaan
seseorang
Dari berbagai definisi diatas, maka religiusitas dapat diartikan sebagai nilai
keyakinan seseorang yang bersumber dai Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan
dalam perilaku sebagai kualitas keberagamaan seseorang. Religiusitas bukan sekedar
keyakinan dalam hati, namun sebuah keyakinan yang diinternalisasikan dalam bentuk
perilaku dan kepribadian. Berdasarkan pemapran para tokoh, pada penelitian ini
peneliti menggunakan teori yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (1968),
alasannya karena menurut peneliti teori tersebut sesuai dengan subjek yang diteliti.
2.2.2. Dimensi Religiusitas
Fetzer Institude (1999) menyebutkan, terdapat 12 dimensi religiusitas yang terdiri
atas daily spiritual experiences, meaning, values, beliefs, forgiveness, private
religious practices, religius/spiritual coping, religious support, religious/spiritual
history, commitment, rrganizational religiousness, dan religious preference .berikut
penjabaran dari setiap dimensi:
26
a. Daily spiritual experience
Dimensi ini mengukur persepsi individu mengenai segala hal yang bersifat
transedental (misalnya, Tuhan) dalam kehidupan sehari-hari dan persepsi
terhadap interaksi dengan atau terhadap Tuhan dalam kehidupan. Item-item
yang ada lebih mengukur pada pengalaman, bukan hanya pada konstruk
kognitif individu. Dimensi ini mengukur aspek dalam kehidupan seperti
pengalaman-perngalaman spiritual sehari-hari. Dimensi ini dibuat untuk
mengukur secara langsung religiusitas terkait dampaknya dalam kehidupan.
Item-item dalam dimensi ini menilai aspek pada pengalaman spiritual harian
dari orang yang biasa, bukan pengukuran pada pengalaman yang lebih spesial
seperti „mati suri‟ atau „roh keluar dari tubuh.
b. Meaning
Konsep meaning dalam hal religiusitas sebagaimana konsep meaning yang
dijelaskan oleh Viktor Frankl yang biasa disebut dengan kebermaknaan hidup.
Adapaun meaning yang dimaksud disini ialah berkaitan degan religiusitas
atau yang disebut dengan religion meaning yaitu sejauh mana agama dapat
menjadi tujuan hidup seseorang (Pargament dalam Fetzer, 1999)
c. Value
Menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) adalah pengaruh keimanan terhadap nilai-
nilai hidup, seperti mengajarkan tentang nilai cinta, saling menolong, dan
sebagainya.
27
d. Belief
Menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) belief merupakan sentral dari religiusitas.
Religiuitas merupakan keyakinan akan konsep-konsep yang dibawa oleh suatu
agama.
e. Forgiveness
Dimensi ini maksudnya adalah suatu tindakana memaafkan dan bertujuan
memaafkan orang yang melakukan kesalahan dan berusaha keras untuk
melihat orang itu dengan belas kasihan, kebajikan, dan cinta. Dimensi ini
menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) mencakup lima dimensi turunan, yaitu
pengakuan dosa, merasa diampuni Tuhan, merasa dimaafkan oleh orang lain,
dan memaafkan orang lain, dan memaafkan diri sendiri.
f. Private religious practice
Menurut Levin (dalam Fetzer, 1999) dimensi ini merupakan perilaku
beragama dalam memperlajari agama, meliputi: ibadah, mempelajari kitab,
dan kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan religiusitasnya.
g. Religious/spiritual coping
Merupakan coping stress dengan menggunakan pola dan metode religious,
seperti berdoa, beribadah untuk menghilangkan stress, dan sebagainya.
Menurut Pragament (dalam Fetzer, 1999) menjelaskan bahwa terdapat tiga
jenis coping secara religious, yaitu:
28
1. Deferring style, yaitu membebankan coping kepada Tuhan, yaitu dengan
cara berdoa dan meyakini bahwa Tuhan akan menolong hambaNya dan
menyerahkan semuanya kepada Tuhan.
2. Collaborative style, yaitu hambaNya meminta solusi kepada Tuhan dan
antara Tuhan dengan hambaNya saling bertanggung jawab dalam
menjalankan coping.
3. Self-directing style, yaitu individu bertanggung jawab sendiri dalam
menjalankan coping.
h. Religious support
Menurut Krause (dalam Fetzer, 1999) dimensi ini merupakan aspek hubungan
sosial antara individu dengan pemeluk agama sesamanya.
i. Religious/spiritual history
Dimensi ini menjelaskan seberapa jauh individu berpartisipasi untuk
agamanya selama hidupnya dan seberapa jauh agama mempengaruhi
perjalanan hidupnya.
j. Commitment
Menurut Williams (dalam Fetzer, 1999) commitment adalah seberapa jauh
individu mementingkan agamanya, komitmen, serta berkontribusi kepada
agamanya.
29
k. Organizational religiousness
Merupakan konsep yang mengukur seberapa jauh individu ikut serta dalam
lembaga keagamaan yang ada dalam masyarakat dan beraktivitas didalamnya
(dalam Fetzer 1999)
l. Religious reference
Ellison (dalam Fetzer, 1999) menyatakan dimensi ini memandang sejauh
mana individu membuat pilihan dan memastikan pilihan agamanya.
Sedangkan Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 1994), menyebutkan
ada lima macam dimensi keberagamaan yaitu dimensi keyakinan (ideologis),
dimensi peribadatan atau praktek ibadah (ritualistic), dimensi penghayatan
(pengalaman), dimensi konsekuensial, dan dimensi pengetahuan agama (intelektual)
berikut penjelasanya:
1. Dimensi keyakinan
Dimensi ini berisi pengaharapan-pengharapan dimana orang religious
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran
doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat
kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun
demikian,isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara
agama-agama, tetapi seringkali juga diantara tradisi – tradisi dalam agama
yang sama.
30
2. Dimensi praktik agama
Dimesni ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-ahal yang
dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang
dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu:
a. Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal
dan praktik-praktik suci yang semua mengaharapkan para pemeluk
melaksanakan.
b. Ketaatan, Ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air, meski ada
perbedaan penting. Apabila aspek ritual dari komitemen sangat formal dan
khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat
tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relative spontan,
informal dank has pribadi.
3. Dimensi pengalaman
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama
mengandung pengharapan-pengaharapan tertentu, meski tidak tepat jika
dikatakan seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan
mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan trahir
bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supernatural. Dimensi
ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-
persepsi, dan sensai-sensai yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh
sesuatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat
31
komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan yaitu dengan
Tuhan, kenyataan terahir, dengan otoritas transedental.
4. Dimensi pengetahuan agama
Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling
tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar
keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan
keyakinan jelas berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu
keyakinan adalah syarat bagi penerimanya. Walaupun demikian, keyakinan
tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama
tidak selalu bersandar pada keyakinan lebih jauh, seseorang dapat
berkeyakinan dengan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya, atau
kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang sedikit.
5. Dimensi konsekuensi
Konsekuensi agama berlainan dengan dari keempat dimensi yang sudah
dijelaskan diatas.dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari
hari ke hari. Istilah “kerja” dalam pengertian telogis digunakan disini.
Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya
berfikir dan bertindak dalam kehidupan shari-hari, tidak sepenuhnya jelas
sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari
komitmen keagamaan atau semata-mata dari agama.
32
Sejalan dengan hal tersebut, dalam memperluas pengukuran religiusitas Odilo dan
Huber (2012) merevisi dimensi dari Glock dan stark (1968) menjadi:
1. Intellectual adalah pengalaman individu yang mempunyai beberapa
pengetahuan dan mereka bisa menjelaskan pandanganya tentang
transenden, agama dan keberagamaan.
2. Ideology adalah pengalaman individu yang mempunyai kepercayaan yang
menganggap eksisitensi dan esensi sebuah realitas transenden dan percaya
bahwa ada hubungan antara transenden dan kemanusiaan.
3. Public practice adalah pengalaman individu yang memiliki komunitas
agama yang dimanifestasikan dalam partisipasi publik pada ritual
keagamaan dan aktifitas komunitas keagamaan.
4. Private practice adalah pengalaman individu yang dicurahkan pada
sesuatu yang transenden dalam aktifitas dan ritual individu pada tempat
yang khusus (private).
5. Religious experience adalah pengalaman individu yang mengalami
beberapa macam kontak langsung pada realitas yang paling besar secara
emosional.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih dimensi yang telah diuraikan oleh
Odilo dan Huber (2012). Alasannya, karena dimensi ini sesuai dengan subjek
penelitian serta sesuai dengan agama yang islam. Selain itu dimensi tersebut
menyesuaikan dengan alat ukur yang akan dipakai.
33
2.2.3. Pengukuran Religiusitas
Terdapat beberapa alat ukur yang biasanya digunakan dalam penelitian mengenai
religiusitas, diantaranya adalah:
1. The Centrality of Religious Scale (CRS), skala ini dikembangkan oleh
Odilo dan Huber (2012). Skala ini mengukur seberapa pentingnya makna
agama bagi kepribadian seseorang. Dimensi yang dipakai mengacu pada
dimensi yang diuraikan Glock (1968), namun dimensi-dimensinya
mengalami revisi. Berikut dimensinya: public practice, private practice,
religious experience, ideology dan intellectual. Skala ini memiliki 3 versi
yaitu CRS 5 (berisi 5 item), CRS 10 (berisi 10 item), dan CRS 15 (berisi 15
item).
2. Skala religiusitas dari Kendler, K. S., Liu, X., Gardner, C. O.,
McCullough, M. E., Larson, D., dan Prescott, C. A. (2003). Skala ini
mengukur 7 dimensi religiusitas yaitu; general religiosity, sosial
religiosity, involved God, forgiveness/ love, God as judge, unvengefulness,
dan thankfulness. Total item berjumlah 78 item.
3. The Multidimensional of Religousness/Spirituality for Use in Health
Resaearch (MMRS). Skala tersebut dikembangkan oleh Fetzer (1999)
yang digunakan untuk mengukur spiritualitas seseorang berdasakan 12
dimensi yaitu, daily spiritual experience, religion meaning, value, belief,
forgiveness, private religious practice, religious/spiritual coping,
34
religious support, religious/spiritual history, commitment, organizational
religiousness dan religious preference.
Dalam penelitian ini, peneliti membuat alat ukur yang dikembangkan oleh
Odilo dan Huber (2012) yang mengacu pada dimensi Glock (1968). Alasanya, karena
skala yang tersebut sesuai dengan subjek penelitian ini yakni remaja. Selain itu, skala
tersebut sudah baku dan telah memiliki nilai relibialitas yang valid dan telah
digunakan di 25 negara dengan ditranslit dalam 20 bahasa.
2.3. Persepsi Pola Asuh
2.3.1. Definisi Persepsi
Persepsi (perception) dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana cara
seseorang memandang sesuatu; sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau
pengertian, yaitu bagaiamana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (dalam,
Sobur, 2003).
Definisi lain dikemukakan oleh (Atkinson, Smith, & Bem, 2002) Persepsi
adalah penelitian bagaimana kita mengintegrasikan sensasi ke dalam percepts objek,
dan bagaimana kita selanjutnya menggunakan percepts itu mengenali dunia, dimana
percepts adalah dari proses perceptual (Atkinon, Smith & Bem, 2002).
Sejalan dengan itu Devito (dalam, Sobur, 2003) mendefinisikan persepsi
sebagai proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang
mempengaruhi indra kita.
35
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah bagaimana cara
seseorang memandang dan mengartikan sesuatu yang selanjutnya akan digunakan
dalam mengenali dunia.
2.3.2. Definisi pola asuh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) kata “pola” berarti sistem, cara kerja,
bentuk atau struktur yang tetap, sedangkan “asuh” berarti menjaga merawat,
mendidik, membimbing, dan membantu.
Darling dan Steinberg (1993) mendefinisikan gaya pengasuhan seperti iklim
emosional di mana orang tua membesarkan anak-anak mereka. Gaya pengasuhan
telah ditandai oleh dimensi responsif orangtua dan menuntut.
Sedangkan menurut Baumrind (dalam Santrock, 2002) menjelaskan bahwa
pola asuh adalah sikap orang tua terhadap anak dengan mengembangkan aturan-
aturan dan mencurahkan kasih sayang kepada anak.
Dari penjabaran diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa pola asuh merupakan
intraksi orangtua dalam berbagai situasi atau keadaan yang berupa aturan-aturan
orangtua yang di curahkan dengan kasih sayang, dan hukuman kepada anaknya untuk
menjadi individu yang lebih baik.
36
2.3.3. Definisi Persepsi Pola Asuh
Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2002) menjelaskan bahwa pola asuh
adalah sikap orang tua terhadap anak dengan mengembangkan aturan-aturan dan
mencurahkan kasih sayang kepada anak.
Sedangkan, persepsi (perception) dalam arti sempit adalah penglihatan,
bagaimana cara seseorang memandang sesuatu; sedangkan dalam arti luas ialah
pandangan atau pengertian, yaitu bagaiamana seseorang memandang atau
mengartikan sesuatu (dalam, Sobur, 2003).
Dapat disimpulkan bahwa persepsi pola asuh adalah penilaian anak terhadap
sikap orangtua yang mengembangkan aturan-aturan dan mencurahkan kasih saying
kepada anak.
2.3.4. Jenis-Jenis Pola asuh
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Diana Baumrind (dalam Papalia,
Olds & Felman, 2009) pada sejumlah keluarga yang memiliki anak prasekolah,
didapatkan tiga macam pola asuh, yaitu:
1. Authoritarian Parenting Style (Pola Asuh Otoriter)
Pola asuh otoriter, adalah orangtua yang menghargai kontrol dan kepatuhan tanpa
banyak tanya. Mereka berusaha membuat anak mematuhi set standar perilaku dan
menghukum mereka secara tegas jika melanggarnya. Mereka lebih mengambil jarak
37
dan kurang hangat dibanding orangtua yang lainya. Anak mereka cendrung menjadi
lebih tidak puas, menarik diri, dan tidak percaya terhadap orang lain.
2. Permissive Parenting Style (Pola Asuh Permisif)
Dalam pola asuh ini, orang tua hanya membuat sedikit permintaan dan membiarkan
anak memonitor aktivitas mereka sendiri sedapat mungkin (Papalia, et.al., 2009).
Ketika membuat aturan, mereka menjelaskan alasanya kepada anak. Mereka
berkonsultasi dengan anak mengenai keputusan kebijakan dan jarang menghukum.
Mereka hangat, tidak mengontrol, dan tidak menuntut. Anak prasekolah mereka
cendrung belum matang-paling tidak memiliki kontrol diri dan tidak suka
bereksplorasi.
3. Authoritative Parenting Style (Pola Asuh Autoritatif)
Dalam pola ini orang tua menghargai individualitas anak tetapi juga menekankan
batasan-batasan sosial. Mereka percaya akan kemampuan mereka dalam memandu
anak, tetapi juga menghargai keputusan mandiri, minat, pendapat, dan kepribadian
anak (Papalia, et.al., 2009). Pola asuh otoritatif, di sisi lain, orang tua dengan pola
asuh otoritatif memiliki praktek kontrol untuk membentuk anak-anak dengan
menjelaskan alasan praktik kontrol tersebut dan tanpa merugikan anak mereka.
Otonomi dinilai sebagai disiplin sesuai. Mereka kurang akan hukuman dan lebih
fleksibel dalam pandangan mereka dibandingkan dengan anak - anak dalam
pengasuhan otoriter.
38
Kemudian para ahli perkembangan, yaitu Maccoby dan Martin (dalam
Santrock, 2002) mengembangkan teori Baumrind menjadi empat jenis pola asuh,
yaitu pola asuh permisif yang terdiri dari permisif memanjakan (permissive indulgent)
dan permisif tidak perduli (permissive indifferent).
a. Permissive indifferent parenting style
Pengasuhan permisif-indifferent adalah suatu gaya dimana orang tua sangat tidak
terlibat dalam kehidupan anak: tipe pengasuhan ini diasosiasikan dengan
inkompetensisosial anak, khususnya kurangnya kendali diri. Orng tua dengan gaya
permisif-indifferent mengembangkan suatu perasaan bahwa aspek-aspek lain
kehidupan orangtua lebih penting daripada anak-anak mereka.
b. Permissive indulgent parenting style
Permisif-indulgent adalah suatu gaya pengasuhan dimana orangtua sangat terlibat
dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali
terhadap mereka. Pengasuhan yang permisif-indulgent diasosiasikan dengan
inkompetensi sosial anak khususnya kurang kendali diri. Anak-anak yang
orangtuanya permisif-indulgent jarang belajar menaruh hormat pada orang lain dan
mengalami kesulitan mengendalikan perilaku mereka.
Dalam penelitian ini, peneliti memakai tiga gaya pengasuhan yang
dikembangkan oleh Baumrind (1971). Alasanya, peneliti menyesuaikan alat ukur
39
yang akan digunakan dalam penelitian ini yakni PAQ karena, alat ukur tersebut sudah
baku dan mempunyai nilai realibilitas dan validitas tinggi.
2.3.5. Pengukuran Pola Asuh
Terdapat beberapa alat ukur dalam pengukuran pola asuh diantaranya adalah :
1. Parenting Style & Dimensions Questionnaire (PSDQ) dikembangkan oleh
Robinson and Mandleco (1995). Skala pengukuran tersebut mengacu pada 3
dimensi gaya pengasuhan dari Baumrind (1971) yang dibagi menjadi 11
faktor. Skala ini terdiri dari 62 item dengan tipe skala likert. Nilai reliabilitas
dari setiap sub-scala 0.626-0.866 dan validitas 0.732-0.951 (dalam Biletchi,
Machintosh, Mclsaac 2013)
2. PAQ ini dirancang dengan mengacu pada teori Baumrind (1971) dari tiga
gaya pengasuhan yakni pola asuh otoriter, permisif, and autoritatif. Skala ini
terdiri dari 30 item, dimana setiap 10 item untuk masing-masing pola asuh.
Reliabilitas dari PAQ adalah 0.77 sampai 0.91 sedangkan validitas dari skala
ini adalah 0.74 sampai 0.87 (Buri, 1991).
3. Parenting Styles Scale (PSS) (Elmore, Weinstein and Ribeiro, 2002). Skala ini
digunakan untuk melihat 4 pola asuh yang telah dikembangkan oleh
Baumrind (1971) dan Maccoby & Martin (1983). Skala ini berbentuk skenario
yang di desain untuk orang tua-anak untuk berbagai umur yakni 4, 7, 10, 13 &
16. Terdapat 20 item berbentuk skenario dengan 5 pilihan jawaban dari setiap
40
waktu sampai tidak pernah. Skala ini mempunya nilai alpha cronbach 0.851
(dalam Ribeiro, 2009)
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur PAQ yang dikembangkan
oleh Baumrind (1971) yang terdiri dari 3 gaya pengasuhan. Skala ini disusun dengan
menggunakan skala likert yang terdiri dari empat jawaban dan terdapat 30 item.
peneliti memilih PAQ, karena skala tersebut sudah terbukti validitasnya dan telah
dipergunakan oleh banyak peneliti terdahulu.
2.4. Kerangka berpikir
Kecerdasan emosi merupakan suatu kecerdasan yang idealnya dimiliki semua orang
untuk menjadi individu yang lebih baik terutama pada masa remaja. Pada masa ini,
remaja banyak mengalami perubahan pada sejumlah perkembangan baik secara fisik,
psikologis, emosi, sosial dan moral. Tidak sedikit para remaja yang mengalami
peemasalahan emosi karena itu masalah emosi perlu diperhatikan dan ditingkatkan
pada remaja. Kecerdasan emosi merupakan bekal terpenting untuk menyongsong
masa depan, karena dengannya seseorang dapat berhasil dalam menghadapi segala
macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademik (dalam
Mudzakir, 2013). Hal ini sesuai dengan pernyataan Goleman (1997) bahwa
kecerdasan emosi mempunyai pengaruh sebesar 80% dalam keberhasilan seseorang
sedangkan kecerdasan intelektual hanya berpengaruh 20%.
41
Permasalahan – permasalahan emosi yang dilami oleh remaja tidak terlepas
dari berbagai macam pengaruh seperti lingkungan sekitar, keluarga, sekolah maupun
proses hidup yang dijalani seseorang. Salah satu proses yang dijalani seseorang
adalah pproses internalisasi ajaran agama dalam dirinya. Daradjat (dalam Rosmanah,
1996) menyatakan bahwa agama yang ditanam sejak kecil akan menjadi bagian dari
kepribadian yang akan mengatur sikap dan perilakunya secara otomatis dari dalam
diri. Selain itu agama sebagai pengingat dan pengontrol perilaku seseorang agar tidak
melakukan tindakan yang melampui batas. Oleh karena itu agama adalah hal yang
harus dimiliki oleh manusia karena, penolakan manusia terhadap agama akan
menghacurkan dirinya dan peradaban yang telah dibangunnya (Mudzakir, 2013).
Selain religiusitas, menurut peneliti pola asuh juga mempengaruhi kecerdasan
emosi. Pola asuh adalah sikap orang tua terhadap anak dengan mengembangkan
aturan-aturan dan mencurahkan kasih sayang kepada anak. Sikap orang tua sangat
berperan penting dalam pelatihan kecerdasan emosi anak. dalam mempelajari emosi,
sebagian besar remaja awal mempelajari emosi dari keluarga mereka termasuk
kemampuan untuk mengendalikan impuls, membaca isyarat sosial, dan mengatasi
kesulitan hidup (Naghavi & Redzuan, 2012).
Pada penelitian sebelumnya lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap kecerdasan emosi seseorang (Naghavi & Redzuan, 2012).
Lingkungan keluarga ini termasuk bagaimana orangtua bersikap terhadap anaknya
seperti dalam memberi aturan, meberikan kasih sayang serta memberikan reward dan
42
punishment. Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengukur pengaruh dari
religiusitas dan persepsi pola asuh terhadap kecerdasan emosi remaja. Melihat
deskripsi diatas, dapat diilustrasikan melalui bagan kerangka berpikir gambar 2.1
Gambar 2.1. Bagan kerangka berpikir pengaruh religiusitas, dan persepsi pola asuh
terhadap kecerdasan emosi remaja siswa Man Tambakberas Jombang.
Intellectual
Ideology
Public practice
Private practice
Religious experience
Persepsi pola asuh otoriter
Persepsi Pola asuh permisif
Persepsi Pola asuh
otoritatif
Kecerdasan
emosi
Pola Asuh
Religiusitas
43
Dari bagan diatas dapat difahami bahwa penelitian ini mengukur variabel
religiusitas dan pola asuh terhadap kecerdasan emosi remaja. Selain itu, penelitian ini
juga mengukur dimensi dari religiusitas (intellectual, ideology, public practice,
private practice, dan religious experience,) dan persepsi pola asuh (pola asuh otoriter,
pola asuh permisif, dan pola asuh otoritatif) terhadap kecerdasan emosi remaja siswa
MAN Tambakberas Jombang.
2.5.Hipotesis Penelitian
2.5.1. Hipotesis Mayor
Ha1: Ada pengaruh yang signifikan dari variabel religiusitas dan persepsi pola asuh
terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas Jombang.
2.5.2. Hipotesis Minor
Ha2: Ada pengaruh siginifikan dimensi intellectual pada variabel
religiusitas terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas
Jombang.
Ha3: Ada pengaruh siginifikan dimensi ideology pada variabel religiusitas
terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas Jombang.
Ha4: Ada pengaruh siginifikan dimensi public practice pada variabel
religiusitas terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas
Jombang.
44
Ha5: Ada pengaruh siginifikan dimensi private practice pada variabel
religiusitas terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas
Jombang.
Ha6: Ada pengaruh siginifikan dimensi religious experience pada variabel
religiusitas terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN Tambakberas
Jombang.
Ha7: Ada pengaruh siginifikan dimensi persepsi pola asuh otoriter pada
variabel pola asuh terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN
Tambakberas Jombang.
Ha8: Ada pengaruh siginifikan dimensi persesi pola asuh permisif pada
variabel pola asuh terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN
Tambakberas Jombang.
Ha9: Ada pengaruh siginifikan dimensi persepsi pola asuh otoritatif pada
variabel pola asuh terhadap kecerdasan emosi remaja siswa MAN
Tambakberas Jombang.
45
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada bab tiga ini akan diuraikan mengenai populasi, sampel, variabel penelitian,
instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk, metode analisis data dan
prosedur penelitian.
3.1. Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah siswa dan siswi MAN Tambakberas Jombang
kelas X tahun ajaran 2013-2014 dan berusia 15-17 tahun. Siswa kelas X ini terdiri
atas 19 kelas yang terbagi menjadi 4 jurusan yaitu jurusan IPA yang terdiri dari
304 siswa, IPS 300 siswa, Bahasa 79 siswa dan Agama 79 siswa. Dengan
demikian jumlah seluruh populasi adalah 762 siswa. Selanjutnya, dari jumlah 762
tersebut peneliti menatapkan jumlah sampel sebanyak 271 dari total populasi.
Penetapan jumlah sampel tersebut disesuaikan dengan kemampuan peneliti
berdasarkan pertimbangan waktu dan dana sampel dalam penelitian ini.
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik probablity
sampling dengan simple random sampling dimana peneliti memberikan
kesempatan yang sama kepada semua anggota populasi untuk ditetapkan sebagai
anggota sampel dan peluangnya anggota populasi yang menjadi sampel bisa
dihitung atau diketahui. Untuk simple random sampling, terebih dahulu peneliti
harus memiliki data populasi. Setelah itu dibuat sample fraction yaitu membagi
jumlah populasi dengan jumlah sample yang digunakan. Kemudian melihat tabel
bilangan random untuk melihat urutan nomer, sehingga peneliti dapat mengetahui
46
siapa saja yang akan dijadikan sampel. Pada penelitian ini peneliti menggunakan
software SPSS 16.0 dalam pengolahan sampel.
3.2. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mengelompokkan variabel yang akan diteliti
menjadi independent variable dan dependent variable, yang akan dijabarkan
sebagai berikut:
1. Dependent Variable (DV): Kecerdasan emosi
2. Independent Variable (IV): Religiusitas (intellectual, ideology public
practice, private practice, religious experience) dan Pola asuh (otoriter,
permisif otoritatif).
3.2.1. Definisi Oprasional
Definisi oprasional dari setiap variabel dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kecerdasan emosi
kecerdasan emosi adalah skor yang diperoleh dari kemampuan seseorang dalam
mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, memotivasi diri sendiri, dan untuk
mengelola emosi baik dalam diri dan dalam hubungan.
2. Religiusitas
Religiusitas adalah skor yang diperoleh dari internalisasi agama ke dalam diri
seseorang yang akan nampak pada perilaku-perilaku seseorang yang meliputi 5
47
dimensi, dimana dimensi tersebut merujuk pada teori Odilo dan Huber (2012)
namun dimensi tersebut mengalami revisi yaitu:
1. Intellectual adalah skor yang diperoleh dari pengalaman individu yang
mempunyai beberapa pengetahuan dan mereka bisa menjelaskan
pandanganya tentang transenden, agama dan keberagamaan.
2. Ideology adalah skor yang diperoleh dari pengalaman individu yang
mempunyai kepercayaan terhadap adanya Tuhan, dimana inidividu
akn percaya bahwa dalam hidup ini semua ada campur tangan antara
manusia dan Tuhan.
3. Public practice adalah skor yang diperolehdari pengalaman individu
yang memiliki komunitas agama yang dimanifestasikan dalam
partisipasi publik pada ritual keagamaan dan aktifitas komunitas
keagamaan.
4. Private practice adalah skor yang diperoleh dari pengalaman individu
yang dicurahkan pada sesuatu yang transenden dalam aktifitas dan
ritual individu pada tempat yang khusus (private).
5. Religious experience adalah skor yang diperoleh dari pengalaman
individu yang mengalami beberapa macam kontak langsung pada
realitas yang paling besar secara emosional.
3. Persepsi Pola Asuh
Persepsi pola asuh adalah skor yang diperoleh dari penilaian anak terhadap
orangtua berupa hukuman, penggunaan aturan dan kasih sayang yang dilakukan
kepada anaknya yang meliputi 3 dimensi yakni :
48
1. Persepsi pola asuh otoriter adalah penilaian anak terhadap orangtua yang
berusaha membuat anak mematuhi standar perilaku dan menghukum
mereka secara tegas jika melanggarnya.
2. Persepsi pola asuh permisif adalahskor yang diperoleh dari penilaian
anak terhadap orangtua yang hanya membuat sedikit permintaan dan
membiarkan anak memonitor aktivitas mereka sendiri sedapat mungkin.
Ketika membuat aturan, orang tua menjelaskan alasanya kepada anak.
Orang tua berkonsultasi dengan anak mengenai keputusan kebijakan dan
jarang menghukum.
3. Persepsi pola asuh otoritatif adalah skor yang diperoleh dari penilaian anak
terhadap orangtua yang menghargai individualitas anak juga menekankan
batasan-batasan sosial. Selain itu orang tua juga menghargai keputusan
mandiri, minat, pendapat, dan kepribadian anak. Di sisi lain, orang tua
juga memiliki praktek kontrol untuk membentuk anak-anak dengan
menjelaskan alasan praktik kontrol tersebut dan tanpa merugikan anak
mereka.
3.3.Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini, terdiri dua bagian. Bagian
pertama berupa pertanyaan demografi yang mencangkup atas jenis kelamin, usia
dan pendidikan saat ini. Bagian kedua, berisi skala yang merupakan alat ukur dari
kecerdasan emosi, religiusitas dan pola asuh.
Untuk model skala, peneliti menggunakan model skala likert, dimana
variabel penelitian dijadikan titik tolak penyusunan item-item instrumen. Jawaban
49
dari setiap instrumen ini memiliki gradasi dari tertinggi (sangat positif) sampai
terendah (sangat negatif), dengan empat kategori jawaban, yaitu “Sangat Sesuai”
(SS), “Sesuai” (S), “Tidak Sesuai” (TS), “Sangat Tidak Sesuai” (STS).
Selanjutnya, subjek diminta untuk memilih salah satu dari pilihan jawaban
yang masing-masing jawaban menunjukan kesesuaian pernyataan yang diberikan
dengan keadaan yang dirasakan oleh subjek. Model skala likert ini berupa
pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif (unfavorable). Penskoran
tertinggi pada pernyataan positif (favorable), diberikan pada pilihan sangat sesuai
dan terendah pada pernyataan sangat tidak sesuai.Sedangkan untuk pernyataan
unfavorable skor tertinggi diberikan pada pilihan jawaban sangat tidak sesuai dan
skor terendah diberikan untuk pilihan sangat sesuai. Informasi tentang
perhitungan skor tiap-tiap pilihan jawaban, akan dijabarkan seperti pada tabel 3.1.
dibawah ini.
Tabel 3.1.
Perhitungan Skor
Pilihan Pernyataan
Favorable Unfavorable
Sangat Sesuai 4 1
Sesuai 3 2
Tidak Sesuai 2 3
Sangat Tidak Sesuai 1 4
Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri tiga alat ukur,
yaitu: alat ukur kecerdasan emosi, alat ukur religiusitas, dan alat ukur pola asuh.
50
3.3.1. Skala Pengukuran Kecerdasan Emosi
Skala kecerdasan emosi dalam penelitian ini dikembangkan sendiri oleh peneliti
dengan mengacu pada dimensi yang dikemukakan oleh Goleman
(1998).Kecerdasan emosi terbagi menjadi lima dimensi, yaitu kesadaran diri,
pengaturan diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.
Alat ukur ini terdiri atas 38 item pernyataan yang terdiri dari 24 item
favorable dan 14 item unfavorable. Skala yang digunakan pada alat ukur
kecerdasan emosi ini berbebentuk skala likert dengan rentang skala empat poin,
yaitu dari “4” (sangat sesuai), “3” (sesuai), “2” (tidak sesuai), “1” (sangat tidak
sesuai).Hal tersebut bertujuan agar dalam penelitian ini mendapatkan respon
jawaban yang lebih bervariasi. Adapun pembagian item-item tiap dimensi dapat
dilihat pada table 3.2 dibawah ini.
Tabel 3.2.
Blue Print Skala Kecerdasan Emosi No Dimensi Indikator Item Jmlh
Fav. Unfav.
1.
Kesadaran Diri a. Mengenali dan memahami
emosi diri sendiri
b. Memahami penyebab
terjadinya emosi
1, 2
5, 6, 8
3, 4
7
8
2. Pengaturan Diri a. Mampu mengendalikan
emosi
b. Mampu mengekspresikan
emosi dengan tepat
9, 10
13
11, 12
14, 15
7
3. Motivasi a. Optimis
b. Mempunyai dorongan
yang kuat
16, 19
20, 21,
23
17, 18
22
8
4. Empati a. Peka terhadap perasaan
orang lain
b. Mampu mendengarkan
masalah orang lain
24, 27
28, 29
25, 26
30
7
5. Ketrampilan
sosial
a. Bekerja sama
b. Mampu berkomunikasi
dengan baik
31, 32
36, 37
33, 34
35, 38
8
Jumlah Item 21 17 38
51
3.3.2. Skala Pengukuran Religiusitas
Alat ukur atau instrumen yang digunakan untuk mengukur religiusitas adalah
modifikasi alat ukur yang dikembangkan oleh Odilo & Huber (2012) yaitu
Centrality Religiosity Scale. Alat ukur tersebut mengukur seberapa penting makna
agama bagi kepribadian seseorang. Dalam kuesioner ini, terdapat 3 versi kuisioner,
yaitu CRS (berisi 5 item), CRS (berisi 10 item) dan CRS (berisi 15 item). Pada
penelitian ini peneliti menggunakan kuisioner dengan versi CRS (berisi 15 item)
dimana setiap itemnya terdiri 3 item dari setiap dimensinya yaitu, intellectual,
ideology, public practice, private practice, dan religious experience.
Selanjutnya terdapat proses yang dilakukan oleh peneliti dalam
memodifikasi skala baku Centrality Religious Scale adalah sebagai berikut.
Pertama, skala asli yang ditulis dengan bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Pada saat proses penerjemahan item, peneliti dibantu oleh
mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kedua, peneliti melakukan modifikasi pada skala kuesioner, dimana pada
skala asli berupa pertanyaan dengan 5 pilihan jawaban dari jawaban “sangat
sering”, “sering”, kadang-kadang”, “jarang” dan “tiak pernah” kemudian peneliti
memodifikasi skala menjadi bentuk pernyataan dan menjadi model skala likert
dengan rentang skala empat poin, yaitu dari “4” ( sangat sesuai), “3” (sesuai), “2”
(tidak sesuai), “1” (sangat tidak sesuai). Hal tersebut bertujuan agar dalam
penelitian ini responden tidak bingung dalam mengisi kuisioner.Adapun
pembagian item-item tiap dimensinya dapat dilihat pada tabel 3.3.
52
Tabel 3.3.
Blue Print Skala Religiusitas
No Dimensi Indikator Item
Fav. Unfav.
1 Intellectual a. Pengetahuan tentang isu-isu Agama
b. Frekuensi berpikir tentang isu-isu Agama
1, 6,
11
2 Ideology a. Keyakinan tentang keberadaan Tuhan
b. Hubungan anatara manusia dan Tuhan
2, 7,
12
3 Public
practice
a. Partisipasi publik dalam hal keagamaan.
b. Partisipasi dalam kegiatan komunitas
keagamaan
3, 8,
13
4 Private
practice
Kegiatan individu dan ritual diruang
khusus (private).
4, 9,
14
5 Religious
experience
Pengalaman kontak langsung secara
emosional dengan Tuhan
5,10,
15
Jumlah
Item
15
3.3.3. Skala Pengukuran Pola Asuh
Pola asuh diukur dengan menggunakan kuisionerbaku pola asuh yaitu Parental
Authority Questionnaire yang telah diadaptasi kedalam bahasa Indonesia
berdasarkan alat ukur yang dikembangkan oleh Buri (1991) yang mengacu pada
teori (1971). Alat ukur tersebut berbentuk skala likert dengan jumlah 30 item yang
terbagi dalam tiga dimensi pola asuh yaitu: pola asuh otoriter, pola asuh permisif,
dan pola asuh otoritatif.
Selanjutnya terdapat proses yang dilakukan oleh peneliti dalam
mengadaptasi skala Parental Authority Questionnaire tersebut. Pertama, skala asli
yang ditulis dengan bahasa Inggris diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Pada proses tersebut peneliti dibantu oleh mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
53
Langkah berikutnya, peneliti mengelompokkan tiap-tiap item sesuai
dengan dimensinya. Selanjutnya peneliti mengelompokkan item yang favorable
dan unfavorable untuk mempermudah dalam menyusun kuisioner. Dalam
pengelompokan item, peneliti menyimpulkan terdapat 10 item untuk setiap
dimensinya. Adapun pembagian item-item tiap dimensi dapat dilihat pada tabel
3.4.
Tabel 3.4.
Blue Print Skala Persepsi Pola Asuh
No Dimensi Indikator Item Jumlah
Fav. Unfav.
1 Otoriter a. Memiliki kontrol yang
tinggi,
b. membatasi perilaku anak,
c. menuntut kepatuhan
d. mengatur kegiatan anak.
1, 2, 3,
4, 5, 6,
7, 8, 9
10 10
2 Permisif a. Membuat sedikit
hukuman
b. membiarkan anak untuk
mengatur kegiatannya
sendiri.
c. Orang tua cenderung
tidak memonitor perilaku
anak.
11, 12,
13, 14,
15, 16,
17
18, 19,
20
10
3 Otoritatif Memberikan arahan yang
jelas dan tegas kepada anak
dengan pemberian alasan,
kehangatan, dan
fleksibilitas.
21, 22,
23, 24,
25, 26,
27, 28,
29
30 10
Jumlah
Item
25 5 30
3.4. Uji Validitas Konstruk
Untuk menguji keadaan instrumen yang digunakan pada penelitian ini, dilakukan
uji validitas CFA (Confirmatory Factor Analysis) dengan menggunakan software
Lisrel 8.70. Pada instrumen 1) kecerdasan emosi, 2) religiusitas dan 3) pola asuh,
54
peneliti menggunakan CFA untuk pengujian validitas instrumen. Logika dari CFA
menurut Umar (2011) adalah sebagai berikut:
1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan
secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan
untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan
pengukuran terhadap faktor ini digunakan melalui analisis terhadap respon
atas item-itemnya.
2. Diteorikan setiap item hanya mengukur salah satu faktor saja, begitupun
juga tiap subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item
maupun subtes bersifat unidimensional.
3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks
korelasional antar item yang seharusnya diperoleh jika memang
unidimensional. Matriks korelasi ini disebut sigma (), kemudian
dibandingkan dengan matriks dari data empiris, yang disebut matriks S.
Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka tentunya tidak ada
perbedaan antara matriks - matriks S atau bisa juga dinyatakan dengan
- S = 0.
4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan
chi square. Jika hasil chi square tidak signifikan p>0.05, maka hipotesis
nihil tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut
dapat diterima bahwa item ataupun sub tes instrumen hanya mengukur
satu faktor saja.
55
5. Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan
atau tidak mengukur apa yang hendak diukur, dengan menggunakan t-test.
Jika hasil t-test tidak signifikan maka item tersebut tidak signifikan dalam
mengukur apa yang hendak diukur, bila perlu item yang demikian didrop
dan sebaliknya.
6. Selanjutnya, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan
faktornya negatif, maka item tersebut harus didrop. Sebab hal ini tidak
sesuai dengan sifat item, yang bersifat positif (favorable).
7. Seluruh item dihitung skor faktornya. Skor faktor dihitung untuk
menghindari estimasi bias dari kesalahan pengukuran. Jadi penghitungan
skor faktor ini tidak menjumlahkan item-item variabel seperti pada
umumnya, tetapi dihitung true score pada tiap skala. Skor faktor yang
dianalisis adalah skor faktor yang bermuatan positif dan signifikan
Adapun rumus T Score yaitu (Umar, 2011) :
Tskor = (15 x faktor skor) + 50
Keterangan: 15 adalah nilai standar deviasi dan 50 adalah nilai mean.
8. Langkah terakhir setelah didapatkan faktor skor yang telah dirubah
menjadi T skor, nilai baku inilah yang akan dianalisis dalam uji hipotesis
korelasi dan regresi.
3.4.1. Uji Validitas Konstruk Kecerdasan Emosi
Pada uji validitas konstruk kecerdasan emosi, peneliti menguji apakah 38
item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur kecerdasan
emosi. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata
tidak fit, dengan Chi-Square = 3074.25, df = 665, P-value = 0.00000, RMSEA=
56
0.116. oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama
lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 490.82, df = 453, P-value
= 0.10654, RMSEA = 0.018, P-value >0.05 (tidak signifikan) yang artinya model
dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor
saja yaitu kecerdasan emosi.
Gambar 3.1 Analisis Konfirmatorik Faktor dari Variabel Kecerdasan Emosi
57
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.5 berikut.
Tabel 3.5
Muatan faktor itemkecerdasan emosi No
item
Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.44 0.06
7.12
V
2 0.34 0.06 5.45 V
3 0.09 0.06 1.41 X
4 0.07 0.07 1.12 X
5 0.32 0.06 4.99 V
6 0.46 0.06 7.33 V
7 -0.55 0.06 -9.38 X
8 -0.22 0.06 -3.45 X
9 0.34 0.06 5.44 V
10 0.32 0.07 4.79 V
11 -0.04 0.06 -0.61 X
12 0.19 0.06 3.02 V
13 0.18 0.06 2.89 V
14 0.16 0.06 2.53 V
15 0.11 0.07 1.67 X
16 0.60 0.06 10.31 V
17 0.12 0.06 1.82 X
18 0.24 0.07 3.73 V
19 0.49 0.06 7.62 V
20 0.70 0.06 12.36 V
21 0.53 0.06 8.73 V
22 0.41 0.06 6.87 V
23 0.33 0.06 5.28 V
24 0.28 0.06 4.54 V
25 0.26 0.06 4.22 V
26 0.43 0.06 7.15 V
27 0.21 0.06 3.35 V
28 0.39 0.06 6.17 V
29 0.66 0.06 11.60 V
30 0.42 0.06 6.67 V
31 0.45 0.06 7.39 V
32 0.51 0.06 8.68 V
33 0.48 0.06 7.97 V
34 0.23 0.06 3.56 V
35 0.49 0.07 7.42 V
36 0.40 0.06 6.67 V
37 0.29 0.06 4.58 V
38 -0.23 0.07 -3.57 X
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1.96) : X = tidak signifikan
58
Berdasarkan tabel 3.4.diatas terdapat item yang memiliki nilai koefisien
t< 1.96 yaitu item 3, 4, 7, 8, 11, 15, 17 dan 38 . Sedangkan item lainnya signifikan
(t > 1.96) sehingga item nomor 3, 4, 7, 8, 11, 15, 17 dan 38 dinyatakan tidak
valid.
3.4.2. Uji Validitas Konstruk Religiusitas
Peneliti menguji apakah 15 item yang ada bersifat unidimensional atau
tidak, artinya apakah benar hanya mengukur satu variabel saja yaitu
religiusitas.Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor
ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 248.86, df =80, p-value = 0.00000,
RMSEA = 0.088. Setelah dilakukan modifikasi terhadap model, kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit dengan nilai Chi-Square = 79.19, df = 65, p-value = 0.11093,
RMSEA = 0.028.
Gambar 3.2 Analisis Multifaktor Faktor dari Variabel Religiusitas
59
1. Religiusitas (Intellectual)
Peneliti ingin melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak.Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor item pada setiap dimensi.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.6 berikut.
Tabel 3.6
Muatan Religusitas (Intellectual)
No
item
Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.11 0.05
2.36
V
6 1.98 0.45 4.35 V
11 1.61 0.39 4.14 V
Keterangan : tanda V = Signifikan (t >1.96) : X = Tidak Signifikan
Berdasarkan tabel 3.5.diatas, nilai t seluruh faktor item signifikan karena
t>1.96. Selain itu dapat dilihat bahwa tidak ada muatan faktor yang negatif.
Diketahui beberapa item saling berkorelasi antara satu item dengan item lain,
sehingga dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut bersifat dimensional pada
dirinya masing-masing. Berdasarkan hasil tabel juga dapat dilihat bahwa seluruh
item dapat dianalisis untuk perhitungan faktor skor selanjutnya.
2. Religiusitas (Ideology)
Peneliti ingin melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor item pada setiap dimensi.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.7 berikut.
60
Tabel 3.7
Muatan Religiusitas (Ideology)
No
item
Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
2 0.14 0.05 2.70 V
7 1.96 0.41 4.78 V
12 1,54 0.32 4.79 V
Keterangan : tanda V = Signifikan (t >1.96) : X = Tidak Signifikan
Berdasarkan tabel 3.6.diatas, nilai t seluruh faktor item signifikan karena
t>1.96.Selain itu dapat dilihat bahwa tidak ada muatan faktor yang negatif.
Diketahui beberapa item saling berkorelasi antara satu item dengan item lain,
sehingga dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut bersifat dimensional pada
dirinya masing-masing. Berdasarkan hasil tabel juga dapat dilihat bahwa tseluruh
item dapat dianalisis untuk perhitungan faktor skor selanjutnya.
3. Religiusitas (Public Practice)
Peneliti ingin melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak.Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor item pada setiap dimensi.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.8 berikut.
Tabel 3.8
Muatan Religiusitas (Public Practice)
No
item
Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
3 0.37 0.08
4.54
V
8 1.01 0.14 7.01 V
13 1.18 0.16 7.27 V
Keterangan : tanda V = Signifikan (t >1.96) : X = Tidak Signifikan
61
Berdasarkan tabel diatas, nilai t seluruh faktor item signifikan karena
t>1.96. Selain itu dapat dilihat bahwa tidak ada muatan faktor yang
negatif.Diketahui beberapa item saling berkorelasi antara satu item dengan item
lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut bersifat dimensional
pada dirinya masing-masing. Berdasarkan hasil tabel juga dapat dilihat bahwa
tseluruh item dapat dianalisis untuk perhitungan faktor skor selanjutnya.
4. Religiusitas (Private Practice)
Peneliti ingin melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak.Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor item pada setiap dimensi.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.9 berikut.
Tabel 3.9
Muatan Religiusitas (Private Practice)
No
item
Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
4 0.52 0.11 4.71 V
9 0.51 0.10 5.04 V
14 0.47 0.10 4.61 V
Keterangan : tanda V = Signifikan (t >1.96) : X = Tidak Signifikan
Berdasarkan tabel diatas, nilai t seluruh faktor item signifikan karena
t>1.96. Selain itu dapat dilihat bahwa tidak ada muatan faktor yang
negatif.Diketahui beberapa item saling berkorelasi antara satu item dengan item
lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut bersifat dimensional
pada dirinya masing-masing. Berdasarkan hasil tabel juga dapat dilihat bahwa
tseluruh item dapat dianalisis untuk perhitungan faktor skor selanjutnya.
62
5. Religiusitas(Experience)
Peneliti ingin melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor item pada setiap dimensi.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.10 berikut.
Tabel 3.10
Muatan Religiusitas (Experience)
No
item
Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
5 0.74 0.30 2.45 V
10 0.36 0.15 2.34 V
15 1.22 0.20 6.06 V
Keterangan : tanda V = Signifikan (t >1.96) : X = Tidak Signifikan
Berdasarkan tabel diatas, nilai t seluruh faktor item signifikan karena
t>1.96. Selain itu dapat dilihat bahwa tidak ada muatan faktor yang negatif.
Diketahui beberapa item saling berkorelasi antara satu item dengan item lain,
sehingga dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut bersifat dimensional pada
dirinya masing-masing. Berdasarkan hasil tabel juga dapat dilihat bahwa tseluruh
item dapat dianalisis untuk perhitungan faktor skor selanjutnya.
3.4.1. Uji Validitas Konstruk Pola Asuh
3.4.1.1. Uji Validitas Dimensi Otoriter
Peneliti menguji apakah 10 item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukurotoriter. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan
model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square =177.29, df = 35, p-value
= 0.00000, RMSEA = 0.123. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi
63
terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada item dibebaskan berkorelasi
satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 38.53 df = 27,
p-value = 0.06982 RMSEA = 0.040. Dari hasil tersebut menunjukkan p-value>
0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional)
dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu otoriter.
Gambar 3.3 Analisis Konfirmatorik dari VariabelPola Asuh (Otoriter)
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian
hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan
dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.11.
Tabel 3.11
Muatan Faktor Item Otoriter
No item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.43 0.07 6.39 V
2 0.37 0.07 5.33 V
3 0.20 0.07 2.77 V
4 0.74 0.06 11.80 V
5 0.36 0.07 5.14 V
6 0.60 0.06 9.25 V
7 0.57 0.06 8.87 V
8 0.061 0.06 9.54 V
9 -0.13 0.07 -1.81 X
10 0.13 0.07 1.85 X
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) : X = tidak signifikan
64
Pada tabel 3.10 terdapat item yang memiliki nilai koefisien t< 1.96 yaitu
item 17 dan28 . Sedangkan item lainnya signifikan (t > 1.96) sehingga item nomor
17 dan 28 dinyatakan tidak valid.
3.4.1.2.Uji Validitas Dimensi Permisif
Peneliti menguji apakah 10 item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukurpermisif. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan
model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square =269.67, df = 35, p-value
= 0.00000, RMSEA = 0,158. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi
terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada item dibebaskan berkorelasi
satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 28.57, df = 21,
p-value = 0.12478 RMSEA = 0.037. Dari hasil tersebut menunjukkan p-value>
0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional)
dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu permisif
Gambar 3.4 Analisis Konfirmatorik dari Variabel Pola Asuh (Permisif)
65
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak.Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian
hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan
dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.12.
Tabel 3.12
Muatan Faktor Item Permisif
No
item
Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
11 0.19 0.07 2.67 V
12 -0.22 0.07 -3.10 X
13 0.55 0.06 8.53 V
14 0.59 0.06 9.50 V
15 -0.26 0.06 -4.08 X
16 0.33 0.08 4.10 V
17 0.4 0.06 6.46 V
18 0.81 0.06 12.59 V
19 0.23 0.07 3.30 V
20 -0.39 0.06 -6.07 X
Keterangan: tanda V = signifikan (t<1.96) : X = tidak signifikan
Pada tabel 3.11 terdapat item yang memiliki nilai koefisien t < 1.96 yaitu
item 10, 14 dan 30. Sedangkan item lainnya sigifikan (t > 1.96) sehingga item
nomer 10, 14, dan 30 tersebut dinyatakan tidak valid.
3.4.1.3.Uji Validitas Dimensi Otoritatif
Peneliti menguji apakah 10 item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukurotoritatif. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan
model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square =157.62, df = 35, p-value
= 0.00000, RMSEA = 0.114. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi
terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada item dibebaskan berkorelasi
satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square =31.7df = 23, p-
value = 0.10528 RMSEA = 0.038. Dari hasil tersebut menunjukkan p-value> 0,05
66
(tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu otoritatif.
Gambar 3.5. Analisis Konfirmatorik dari Variabel Pola Asuh (Otoritatif)
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak.Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian
hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan
dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.13.
Tabel 3.13.
Muatan Faktor Item Otoritatif
No item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
21 0.50 0.06 7.99 V
22 0.62 0.07 8.71 V
23 0.86 0.07 13.25 V
24 0.02 0.06 0.31 X
25 -0.06 0.06 -0.90 X
26 0.64 0.06 10.22 V
27 -0.10 0.06 -1.48 X
28 0.35 0.06 5.56 V
29 0.46 0.06 7.25 V
30 -0.29 0.06 -4.59 X
Keterangan: tanda V = signifikan (t<1.96) : X = tidak signifikan
67
Pada tabel 3.12 terdapat item yang memiliki nilai koefisien t < 1.96 yaitu
item 18, 21, 25, dan 29. Sedangkan item lainnya sigifikan (t > 1.96) sehingga item
nomer 18, 21, 25, dan 29 tersebut dinyatakan tidak valid.
3.5. Metode Analisis Data
Dalam rangka menguji hipotesis penelitian, peneliti menggunakan metode analisis
regresi berganda (multiple reggression analysis) yaitu suatu metode untuk
menguji signifikan tidaknya pengaruh dari sekumpulan variabel bebas (IV) yaitu
religiusitas dan pola asuh, terhadap variabel terikat (DV) yaitu kecerdasan
emosiadalah menggunakan analisis regresi berganda (Multiple Regression
Analysis).
Analisis regresi berganda digunakan untuk menjawab hipotesis nihil yang
ada di bab 2. Dalam penelitian ini dependent variable sebanyak 1 buah dan
independent variable sebanyak 8 buah. Sehingga susunan persamaan garis regresi
penelitian adalah:
y=a+b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+b6X6+b7X7+b8X8+ e
Jika dituliskan variabelnya maka:
Y = dependent variable (DV) yang dalam hal ini adalah perilaku kecerdasan
emosi.
a = intercept (konstan)
b = koefisien regresi untuk masing-masing X
68
X1 = independent variable dalam hal ini public practice
X2= independent variable dalam hal ini private practice
X3= independent variable dalam hal ini religious experience
X4= independent variable dalam hal ini ideology
X5= independent variable dalam hal ini intellectual
X6= independent variable dalam hal ini persepsi pola asuh otoriter
X7= independent variable dalam hal ini persepsi pola asuh permisif
X8= independent variable dalam hal ini persepsi pola asuh otoritatif
e= residual
Sebelum melakukan analisis regresi berganda, peneliti melakukan korelasi
product moment seluruh variabel penelitian.Sebab dalam regresi idealnya IV tidak
berkorelasi dengan IV lainnya, namun justru IV sebaiknya berkorelasi dengan DV.
Selanjutnya analisis regresi, dimulai secara simultan, kemudian dari satu
persatu IV.Sehingga nilai R2
yang dihasilkan dapat dilihat secara murni.Fungsi R2
ini adalah untuk melihat proporsi varians dari kecerdasan emosiyang dipengaruhi
IV yang ada. Melihat jumlah R2
x 100%. Maka dihasilkanlah proporsi varians
atau determinat.R2
sendiri didaptkan dengan rumus:
R2 =
Ssreg
Ssy
69
Selanjutnya, untuk membuktikan apakah regresi Y dan X signifikan atau
tidak, maka digunakanlah uji F untuk membuktikan hal tersebut menggunakan
rumus:
Dimana pembilang disini adalah R2
dengan dfnya (dilambangkan k), yaitu
sejumlah IV yang dianalisis, sedangkan penyebutnya (1 – R2) dibagi dengan dfnya
N – k – 1 dimana N adalah jumlah sampel. Dari hasil uji F yang dilakukan
nantinya, dapat dilihat apakah IV yang diujikan memiliki pengaruh terhadap DV.
Kemudian peneliti melakukan uji T dari tiap-tiap IV yang dianalisis.
Maksud uji T adalah melihat apakah signifikan dampak dari tiap IV terhadap DV.
Uji T dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana b adalah koefisien regresi dan Sb adalah standar error dari b. Hasil
uji T ini akan diperoleh dari hasil regresi yang akan dilakukan oleh peneliti
nantinya. Dalam penelitian ini, penghitungan statistik dilakukan dengan
menggunakan sistem komputerisasi program SPSS versi 16.0.
3.6.Prosedur Penelitian
Dalam melaksanakan proses pengumpulan data, peneliti melakukan beberapa
tahapan sebagai berikut:
70
1. Sebelum turun ke lapangan, peneliti merumuskan masalah yang akan
diteliti kemudian menentukan variabel yang akan diteliti yaitu
kecerdasan emosi, religiusitas, dan pola asuh. Setelah itu mengadakan
studi pustaka untuk melihat masalah tersebut dari sudut pandang
teoritis. Setelah mendapatkan teori-teori secara lengkap kemudian
menyiapkan, membuat dan menyusun alat ukur yang akan digunakan
dalam penelitian ini yaitu skala kecerdasan emosi yang dibuat
berdasarkan teori Goleman (1998) dengan bentuk skala likert, alat ukur
religiusitas berdasarkan skala baku yang dimodifikasi dari Odilo &
Huber (2012) dengan bentuk skala likert, dan untuk alat ukur pola
asuh diadaptasi berdasarkan teori Diana Baumrind (1971).
2. Menentukan sampel penelitian yang sesuai dengan kriteria dan lokasi
yang telah ditetapkan yaitu MAN Tambakberas Jombang. Setelah
mendapatkan persetujuan dari pihak sekolah, selanjutnya peneliti
membuat surat izin penelitian kepada pihak fakultas psikologi dengan
melampirkan surat persetujuan pembimbing dan alat ukur penelitian
untuk keperluan izin penelitian disekolah MAN Tambakberas
Jombang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik probability
sampling dan angket disebarkan secara langsung kepada responden
yang bersangkutan.
3. Langkah terakhir setelah mendapatkan data yang diinginkan, peneliti
melakukan skoring terhadap hasil skala yang telah terkumpul, untuk
selanjutnya dilakukan pengolahan data dan pengujian dari hasil skala
71
yang sudah didapatkan untuk dianalisis datanya dengan menggunakan
software Lisrel 8.70.
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai gambaran subjek penelitian, hasil analisis
deskriptif, kategorisasi skor variabel penelitian, hasil uji hipotesis dan proporsi
varians.
4.1. Gambaran Subjek Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai latar belakang subjek penelitian
maka pada subbab ini ditampilkan gambaran banyaknya subjek penelitian
berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian
Frekuensi Persentase JENIS KELAMIN Perempuan 183 67.6% Laki‐laki 88 32.4% Total 271 100% KELAS MIA 1 34 12.6% MIA 5 36 13.2% MIA 6 38 14% IIS 3 30 11% IIS 4 40 14.8% IIS 5 37 13.7% IIB1 18 6.7% IIB 2 10 3.7% IIA1 15 5.5% IIA 2 13 4.8% Total 271 100%
Berdasarkan data pada tabel 4.1 dapat diketahui bahwa jumlah subjek berdasarkan
jenis kelamin, pada penelitian ini memiliki jumlah sampel laki-laki sebanyak 88
siswa atau 32.4 % dan sampel perempuan sebanyak 183 siswa atau 67.6 %.
72
73
Selanjutnya, jumlah subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini
sebanyak 271 siswa dengan siswa terbanyak pada kelas IIS 4 sejumlah 40 orang
atau 14.8 %. Selanjutnya kelas MIA 6 sebanyak 38 orang atau 14 %, lalu kelas
IIS 5 sebanyak 37orang atau 13.7 %. Adapun kelas paling sedikit yang
mengikuti penelitian ini yakni kelas IIB sebanyak 10 orang atau 3.7%.
4.2.Deskripsi Hasil Penelitian
Sebelum diuraikan secara lebih terperinci tentang beberapa sub bab selanjutnya,
perlu dijelaskan bahwa skor yang digunakan dalam analisis statistik adalah skor
murni (true score) yang merupakan hasil proses konversi dari raw score. Proses
ini ditujukan agar mudah dalam membandingkan antar skor hasil pengukuran
variabel-variabel yang diteliti. Dengan demikian semua raw score pada setiap
variabel harus diletakkan pada skala yang sama. Secara teknis komputasinya yang
ditempuh adalah dengan melakukan transformasi dari raw score menjadi z-score.
Untuk menghilangkan bilangan negatif dari z-score, semua skor ditransformasi
keskala T yang semuanya positif dengan menetapkan mean = 50 dan
standardeviasi = 10.
Selanjutnya untuk menjelaskan gambaran umum tentang statistik
deskriptif dari variabel dalam penelitian ini, indeks yang menjadi patokan adalah
mean, median, standar deviasi (SD), nilai maksimum dan minimum dari masing-
masing variabel. Nilai tersebut disajikan dalam tabel 4.2 berikut ini.
74
Tabel 4.2 Hasil Analisis Deskriptif Variabel Penelitian N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
KE 271 21.95 73.49 50.0000 9.18439
Intellectual 271 26.13 63.60 50.0000 6.75276
Ideology 271 30.26 54.32 50.0000 5.94124
Public Practice 271 23.37 60.68 50.0000 7.37767
Private practice 271 27.56 57.47 50.0000 7.24290
Experience 271 29.67 63.19 50.0000 7.72093
OTORITER 271 29.65 76.75 50.0000 8.58382
PERMISIF 271 21.06 66.19 50.0000 8.12027
OTORATIF 271 16.17 64.50 50.0000 8.47691
Valid N (listwise) 271
Mengingat semua skor telah diletakkan pada skala yang sama, maka semua mean
pada setiap skala adalah 50 dan standar deviasi adalah 10. Dari tabel 4.1 dapat
diketahui bahwa nilai minimum dari variabel kecerdasan emosi adalah 21.95, nilai
maksimum = 73.49 dan SDeviasi = 9.18439 dan seterusnya untuk membaca
informasi pada variabel lainnya. Kemudian dari informasi ini dapat dijabarkan
mengenai kategorisasi variabel.
4.3.K Skor Variabel Penelitian ategorisasi
Kategorisasi dalam penelitian ini dibuat menjadi dua kategori yaitu, tinggi
dan rendah. Untuk mendapatkan norma kategorisasi tersebut, peneliti
menggunakan pedoman sebagai berikut.
Tabel 4.3 Pedoman Kategorisasi Skor
Norma Interpretasi X ≤ Mean Rendah X > Mean Tinggi
75
Setelah kategorisasi tersebut didapatkan, maka akan diperoleh nilai
persentase kategori untuk kecerdasan emosi, intellectual, ideology, public
practice, private public, experience, otoriter, permisif, dan otoritatif yang akan
dijabarkan disubbab di bawah ini.
4.3.1. Kategorisasi skor kecerdasan emosi
Berikut ini adalah hasil penghitungan kategorisasi kecerdasan emosi.
Tabel 4.4. Kategorisasi Skor Kecerdasan Emosi Range Score Frequency Percent Cumulative
Percent Valid rendah 21.94 – 49.97 129 48 48 tinggi 50.05 – 73.49 142 52 100,0 total 271 100.0
Berdasarkan data pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa responden yang
memiliki tingkat kecerdasan emosi rendah mendapatkan skor diantara 21.94
hingga 49.97 dengan persentase sebesar 48% (129 orang), sedangkan responden
yang memiliki kecerdasan emosi tinggi mendapatkan skor diantara 50.05 hingga
73.49 dengan persentase sebesar 52% (142 orang).
4.3.2. Kategorisasi Skor Religiusitas (Intellectual)
Berikut ini adalah hasil penghitungan kategorisasiintellectual.
Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Intellectual Range Score Frequency Percent Cumulative
Percent Valid rendah 26.12 – 49.97 167 62 62 tinggi 51.43 – 63.60 104 38 100.0 total 271 100.0
76
Berdasarkan data pada tabel 4.5 dapat dilihat bahwa responden yang
memiliki tingkat intellectuall rendah mendapatkan skor diantara 26.12 hingga
49.97 dengan persentase sebesar 62% (167 orang), sedangkan responden yang
memiliki intellectual tinggi mendapatkan skor diantara 51.43 hingga 63.60
dengan persentase sebesar 38% (104 orang).
4.3.3. Kategorisasi Skor Religiusitas (Ideology)
Berikut ini adalah hasil penghitungan kategorisasi ideology.
Tabel 4.6 Kategorisasi Skor Ideology Range Score Frequency Percent Cumulative
Percent Valid rendah 30.27 – 48.38 97 36 36 tinggi 51.20 – 63.60 174 64 100.0 total 271 100.0
Berdasarkan data pada tabel 4.6. dapat dilihat bahwa responden yang
memiliki tingkat ideologyrendah mendapatkan skor diantara 30.27 hingga 48.38
dengan persentase sebesar 36% (97 orang), sedangkan responden yang memiliki
ideology tinggi mendapatkan skor diantara 51.20 hingga 63.60 dengan persentase
sebesar 64% (174 orang).
4.3.4. Kategorisasi Skor Religiusitas (Public Practice)
Berikut ini adalah hasil penghitungan kategorisasi public practice.
Tabel 4.7 Kategorisasi Skor Public Practice Range Score Frequency Percent Cumulative
Percent Valid Rendah 23.38 – 48.61 126 46 46 Tinggi 51.15 – 60.68 145 54 100.0 total 271 100.0
77
Berdasarkan data pada tabel 4.7 dapat dilihat bahwa responden yang
memiliki tingkat publice practice rendah mendapatkan skor diantara 23.38 hingga
48.61 dengan persentase sebesar 46% (126 orang), sedangkan responden yang
memiliki public practice tinggi mendapatkan skor diantara 51.15 hingga 60.68
dengan persentase sebesar 54% (145 orang).
4.3.5. Kategorisasi Skor Religiusitas (Private Practice)
Berikut ini adalah hasil penghitungan kategorisasi private practice.
Tabel 4.8 Kategorisasi Skor Private Practice Range Score Frequency Percent Cumulative
Percent Valid rendah 27.57 – 49.93 113 42 42 tinggi 51.78 – 57.47 158 58 100.0 total 271 100.0
Berdasarkan data pada tabel 4.8 dapat dilihat bahwa responden yang
memiliki tingkat private practice rendah mendapatkan skor diantara 27.57 hingga
49.93 dengan persentase sebesar 42% (113 orang), sedangkan responden yang
memiliki private practice tinggi mendapatkan skor diantara 51.78 hingga 57.47
dengan persentase sebesar 58% (158 orang).
4.3.6. Kategorisasi Skor Religiusitas (Experience)
Berikut ini adalah hasil penghitungan kategorisasi experience.
78
Tabel 4.9 Kategorisasi Skor Experience Range Score Frequency Percent Cumulative
Percent Valid Rendah 29.67 – 49.78 115 42 42 Tinggi 50.99 – 63.19 156 58 100.0 total 271 100.0
Berdasarkan data pada tabel 4.9 dapat dilihat bahwa responden yang
memiliki tingkat experience rendah mendapatkan skor diantara 29.67 hingga
49.78 dengan persentase sebesar 42% (115 orang), sedangkan responden yang
memiliki experience tinggi mendapatkan skor diantara 50.99 hingga 63.19 dengan
persentase sebesar 58% (156 orang).
4.3.7. Kategorisasi Skor Pola Asuh (Otoriter)
Berikut ini adalah hasil penghitungan kategorisasi otoriter.
Tabel 4.10 Kategorisasi Skor Otoriter Range Score Frequency Percent Cumulative
Percent Valid rendah 29.65 – 49.98 147 54 54 tinggi 50.12 – 76.74 124 46 100.0 total 271 100.0
Berdasarkan data pada tabel 4.10 dapat dilihat bahwa responden yang
memiliki tingkat pola asuh otoriter rendah mendapatkan skor diantara 29.65
hingga 49.98 dengan persentase sebesar 54% (147 orang), sedangkan responden
yang memiliki pola asuh otoriter tinggi mendapatkan skor diantara 50.12 hingga
76.74 dengan persentase sebesar 46% (124 orang).
79
4.3.8. Kategorisasi Skor Pola Asuh (Permisif)
Berikut ini adalah hasil penghitungan kategorisasi permisif
Tabel 4.11 Kategorisasi Skor Permisif Range Score Frequency Percent Cumulative
Percent Valid rendah 21.06 – 49. 97 136 100 100.0 tinggi 50.01 – 66.18 135 0 total 271 100.0
Berdasarkan data pada tabel 4.11 dapat dilihat bahwa responden yang
memiliki tingkat pola asuh permisif rendah mendapatkan skor diantara 21.06
hingga 49.97 dengan persentase sebesar 50% (136 orang), sedangkan responden
yang memiliki pola asuh permisif tinggi mendapatkan skor 50.01 hingga 66.18
dengan persentase sebesar 50% atau(135 orang).
4.3.9. Kategorisasi Skor Pola Asuh (Otoritatif)
Berikut ini adalah hasil penghitungan kategorisasi otoritatif
Tabel 4.12 Kategorisasi Skor Otoritatif Range Score Frequency Percent Cumulative
Percent Valid rendah 16.17 – 49.11 142 52 52 tinggi 50.10 - 64.50 129 48 100.0 total 271 100.0
Berdasarkan data pada tabel 4.12 dapat dilihat bahwa responden yang
memiliki tingkat pola asuh otoritatif rendah mendapatkan skor diantara 16.17
hingga 49.11 dengan persentase sebesar 52% (142 orang), sedangkan responden
yang memiliki pola asuh otoriter tinggi mendapatkan skor diantara 50.10 hingga
64.50 dengan persentase sebesar 48% (129 orang).
80
4.4. Uji Hipotesi Penelitian
Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi
berganda dengan menggunakan software SPSS 16.0 seperti yang sudah dijelaskan
pada bab 3, dalam regresi ada tiga hal yang dilihat, yaitu melihat R square untuk
mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV berpengaruh
secara signifikan terhadap DV, kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya
koefisien dari masing-masing IV.
4.4.1. Hipotesis Mayor
Langkah pertama peneliti melihat besaran R square untuk mengetahui berapa
persen (%) varians dari dependent variable, yaitu kecerdasan emosi yang
diprediksikan oleh keseluruhan independent variable.
Selanjutnya dapat kita lihat bahwa perolehan R square sebesar 36.8% dari
bervariasinya kecerdasan emosiditentukan oleh bervariasinya independent
variable yang diteliti. Sedangkan 63.2% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain
diluar penelitian. Adapun R square dapat dilihat pada tabel 4.13
Tabel 4.13 Tabel Model Summary
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .607a .368 .349 7.41088
a. Predictors: (Constant), ORATIF, EXPERIEN, ORITER, PRIVATP, IDEOLOGI, INTELLECT,
PUBLICP, PERSIF Langkah kedua peneliti menganalisis dampak dari seluruh independent
variable yaitu, intellectual, ideology, public practice, private practice, experience,
81
persepsi pola asuh otiriter, permisif dan otoritatif terhadap kecerdasan emosi.
Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.14 dibawah ini.
Tabel 4.14 Tabel Anova Pengaruh Keseluruhan IV Terhadap DV Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 8385.953 8 1048.244 19.086 .000a
Residual 14389.351 262 54.921
Total 22775.304 270
a. Predictors: (Constant), ORATIF, EXPERIEN, ORITER, PRIVATP, IDEOLOGI, INTELLECT,
PUBLICP, PERSIF
b. Dependent Variable: KE
Berdasarkan data pada tabel 4.14 paling kanan diketahui bahwa (p <0.05)
atau signifikan, maka hipotesis nol ditolak. Oleh karenanya hipotesis minor yang
menyatakan ada pengaruh yang signifikan pada independent variableyaitu
intellectual, ideology, public practice, private practice, experience, persepsi pola
asuh otiriter, permisif dan otoritatif terhadap kecerdasan emosi diterima. Artinya,
ada pengaruh yang signifikan dari religiusitas (intellectual, ideology, public
practice, private practice, experience), dan persepsi pola asuh ( otoriter, permisif,
otoritatif) terhadap kecerdasan emosi.
4.4.2. Hipotesis Minor
Langkah terakhir adalah melihat koefisien regresi tiap independent
variable. Jika nilai t> 1,96 maka koefisien regresi tersebut signifikan Hal ini
menunjukkan bahwa bahwa IV tersebut memiliki dampak yang signifikan
terhadap kecerdasan emosi. Adapun penyajiannya ditampilkan pada table 4.15
82
Tabel 4.15 Koefisien Regresi
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
T Sig. B Std. Error Beta
(Constant) -11.245 6.271 -1.793 .074 INTELLECT .192 .075 .141 2.560 .011
IDEOLOGI .038 .082 .025 .462 .644
PUBLICP .281 .069 .226 4.054 .000
PRIVATP .235 .070 .186 3.347 .001
EXPERIEN .041 .061 .034 .669 .504
ORITER .048 .057 .045 .844 .399
PERSIF .187 .072 .165 2.590 .010
ORATIF .202 .067 .186 3.008 .003
a. Dependent Variable: KE
Berdasarkan koefisien regresi pada tabel 4.15 dapat disampaikan persamaan
regresi sebagai berikut, dengan tanda (*) yang artinya signifikan:
Kecerdasan emosi = -11.245 + 0.192 *intellect + 0.038 ideologi + 0.281
*publicp +.0.235 *privatp +0.041 experien + 0.048 oriter +
0.187 *persif +0.202 *oratif
Berdasarkan data pada tabel 4.15, untuk melihat signifikan atau tidaknya
koefisien regresi yang dihasilkan, kita cukup melihat nilai signifikan pada kolom
yang paling kanan jika P < 0.05, maka koefisien regresi yang dihasilkan
signifikan pengaruhnya terhadap kecerdasan emosi dan sebaliknya. Dari hasil di
atas, koefisien regresi dari intellectual, public practice, private practice, permisif
dan otoritatif dikatakan memiliki pengaruh yang signifikan sedangkan sisa lainnya
tidak signifikan.
83
Hal ini berarti bahwa dari delapan independent variable hanya lima yang
signifikan yaitu intellectual, public practice, private practice, permisif dan
otoritatif. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-
masing IV adalah sebagai berikut:
1. Variabel intellectual : Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.192
dengan signifikansi sebesar 0.011 (p < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa
intellectual memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan emosi.
Dengan arah Positif, maka semakin tinggi intellectual maka semakin tinggi
pada kecerdasan emosi.
2. Variabel ideology : Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.038 dengan
signifikansi sebesar 0.644 (p > 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa ideology
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan emosi.
3. Variabel public practice : Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.281
dengan signifikansi sebesar 0.000 (p < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa
public practice memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan
emosi. Dengan arah Positif, maka semakin tinggi public practice maka
semakin tinggi pada kecerdasan emosi.
4. Variabel private practice : Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.235
dengan signifikansi sebesar 0.001 (p < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa
private practice memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan
emosi. Dengan arah Positif, maka semakin tinggi private practice maka
semakin tinggi pada kecerdasan emosi.
84
5. Variabel experience : Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.041
dengan signifikansi sebesar 0.504 (p > 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa
experience tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan
emosi.
6. Variabel otoriter: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.048 dengan
signifikansi sebesar 0.399 (p > 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa otoriter
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan emosi.
7. Variabel permisif: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.187 dengan
signifikansi sebesar 0.010 (p < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa permisif
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan emosi. Dengan
arah Positif, maka semakin tinggi pola asuh permisif maka semakin tinggi
pada kecerdasan emosi.
8. Variabel otoritatif: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.202 dengan
signifikansi sebesar 0.003 (p < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa
otoritatif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan emosi.
Dengan arah Positif, maka semakin tinggi pola asuh otoritatif maka
semakin tinggi pada kecerdasan emosi.
4.5.Proporsi Varians
Selanjutnya peneliti ingin mengetahui bagaimana penambahan proporsi varians
setiapindependent variabel terhadap kecerdasan emosi. Pada tabel 4.16 kolom
pertama adalah IV yang dianalis satu per satu, kolom kedua merupakan
penambahan varians DV dari tiap IV yang dimasukkan secara satu persatu
tersebut.
85
Kolom ketiga merupakan nilai murni varians DV dari tiap IV yang
dimasukkan secara satu per satu, kolom keempat adalah nilai F hitung bagi IV
yang bersangkutan. Kolom DF adalah derajat bebas bagi IV yang bersangkutan
pula, yang terdiri dari numerator dan dunemerator yang telah ditentukan
sebelumnya, nilai kolom inilah yang akan dibandingkan dengan nilai F hitung.
Apabila F hitung lebih besar daripada F tabel, maka kolom selanjutnya, yaitu
kolom signifikansi yang dituliskan signifikan dan sebaliknya.
Tabel 4.16 Proporsi Varians Independent Variable
Model Summary
Model R
R
Square
Adjusted
R Square
Std. Error
of the
Estimate
Change Statistics
R Square
Change F Change df1 df2
Sig. F
Change
1 .359a .129 .125 8.58885 .129 39.741 1 269 .000
2 .399b .159 .153 8.45412 .030 9.642 1 268 .002
3 .496c .246 .237 8.02009 .087 30.792 1 267 .000
4 .533d .284 .273 7.83130 .038 14.028 1 266 .000
5 .536e .288 .274 7.82403 .004 1.494 1 265 .223
6 .538f .290 .274 7.82698 .002 .800 1 264 .372
7 .589g .346 .329 7.52339 .052 22.737 1 263 .000
8 .607h .368 .349 7.41088 .022 9.046 1 262 .003 a. Predictors: (Constant), INTELLECT b. Predictors: (Constant), INTELLECT, IDEOLOGI c. Predictors: (Constant), INTELLECT, IDEOLOGI, PUBLICP d. Predictors: (Constant), INTELLECT, IDEOLOGI, PUBLICP, PRIVATP e. Predictors: (Constant), INTELLECT, IDEOLOGI, PUBLICP, PRIVATP, EXPERIEN f. Predictors: (Constant), INTELLECT, IDEOLOGI, PUBLICP, PRIVATP, EXPERIEN, ORITER g. Predictors: (Constant), INTELLECT, IDEOLOGI, PUBLICP, PRIVATP, EXPERIEN, ORITER, PERSIF h. Predictors: (Constant), INTELLECT, IDEOLOGI, PUBLICP, PRIVATP, EXPERIEN, ORITER, PERSIF, ORATIF
Keterangan :
1. X1 : Intellectual
2. X2 :Ideology
86
3. X3 : Public practice
4. X4 :Private practice
5. X5 : Experience
6. X6 : Otoriter
7. X7 : Permisif
8. X8: Otoritatif
Berdasarkan data pada tabel 4.16dapat disampaikan informasi sebagai berikut :
1. Dari 36.8%, variabel religiusitas (intellectual) memberikan sumbangan
varians sebesar 12.9 % pada kecerdasan emosi. Sumbangan tersebut
signifikan karena p < 0.05 dilihat dari sig F change = 0.000. Nilai F =
39.741serta df1=1 dan df2= 269.
2. Dari 36.8%, variabel religiusitas (ideology) memberikan sumbangan
varians sebesar 3 % pada kecerdasan emosi. Sumbangan tersebut
signifikan karena p < 0.05 dilihat dari sig F change = 0.002. Nilai F =
9.642serta df1=1 dan df2= 268.
3. Dari 36.8%, variabel religiusitas (public practice) memberikan sumbangan
varians sebesar 8.7 % pada kecerdasan emosi. Sumbangan tersebut
signifikan karena p < 0.05 dilihat dari sig F change = 0.000. Nilai F =
30.792serta df1=1 dan df2= 267.
4. Dari 36.8%, variabel religiusitas (private practice) memberikan
sumbangan varians sebesar 3.8% pada kecerdasan emosi. Sumbangan
tersebut signifikan karena p < 0.05 dilihat dari sig F change = 0.000. Nilai
F = 14.028serta df1=1 dan df2= 266.
87
5. Dari 36.8%, variabel religiusitas (experience) memberikan sumbangan
varians sebesar 0.4 % pada kecerdasan emosi.Sumbangan tersebut tidak
signifikan karena p > 0.05 dilihat dari sig F change = 0.223. Nilai F =
1.494serta df1=1 dan df2= 265.
6. Dari 36.8%, variabel pola asuh (otoriter) memberikan sumbangan varians
sebesar 0.2% pada kecerdasan emosi. Sumbangan tersebut tidak signifikan
karena p > 0.05 dilihat dari sig F change = 0.372. Nilai F = 0.800serta
df1=1 dan df2= 264.
7. Dari 36.8%, variabel pola asuh (permisif) memberikan sumbangan varians
sebesar 5.2% pada kecerdasan emosi. Sumbangan tersebut signifikan
karena p < 0.05 dilihat dari sig F change = 0.000. Nilai F = 22.737serta
df1=1 dan df2= 263.
8. Dari 36.8%, variabel pola asuh (otoritatif) memberikan sumbangan varians
sebesar 2.2% pada kecerdasan emosi. Sumbangan tersebut signifikan
karena p < 0.05 dilihat dari sig F change = 0.003. Nilai F = 9.046serta
df1=1 dan df2= 262.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat 6 variabel
independen, yaitu intellectual, ideology, public practice,private practice, permisif,
dan otoritatif yang signifikan sumbangannya terhadap kecerdasan emosi jika
dilihat dari besarnya R2 yang dihasilkan dari sumbangan proporsi variabel yang
diberikan. Adapun sumbangan terbesar independent variable terhadap kecerdasan
emosi sebagai dependent variable dengan melihat nilai R2change, akan
dikelompokkan sebagai berikut.
88
Tabel 4.17 Urutan sumbangan proporsi varian IV terhadap DV No. Variabel R2 change Presentase 1 Intellectual 0.129 12.9% 2 Public practice 0.087 8.7% 3 Permisif 0.052 5.2% 4 Private practice 0.038 3.8% 5 Ideology 0.030 3.0% 6 Otoritatif 0.022 2.2% 7 Experience 0.004 0.4% 8 Otoriter 0.002 0.2% Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa, sumbangan terbesarpada
kecerdasan emosi dalam penelitian ini adalah pada intellectual dimana intellectual
menyumbang sebesar 14.4 %, kemudian diiukuti oleh public practice 8.7% , lalu
permisif sebesar 5.7%. Adapun variabel yang memiki sumbangan terkecil yakni
pola asuh otoriter sebesar 0.2%
89
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab lima peneliti akan memaparkan lebih lanjut hasil dari penelitian yang telah
dilakukan. Bab ini terdiri dari tiga bagian, yaitu kesimpulan, diskusi, dan saran.
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data pada uji hipotesis mayor, kesimpulan yang diperoleh
dari penelitian ini adalah ada pengaruh yang signifikan dari religiusitas (intellectual,
ideology, public practice, private practice, experience) dan persepsi pola asuh
(otoriter, permisif, otoritatif) terhadap kecerdasan emosi pada remaja. Berdasarkan
proporsi varians seluruhnya, kecerdasan emosi dipengaruhi oleh variabel independen
sebesar 36.8%.
Kemudian berdasarkan hasil uji hipotesis minor yang menguji signifikansi
masing-masing koefisien regresi terhadap dependent variable, diperoleh hanya lima
koefisien regresi yang signifikan mempengaruhi kecerdasan emosi yaitu dimensi
intellectual, public practice, private practice, permisif, dan otoritatif.
5.2. Diskusi
Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian hipotesis, diketahui bahwa ada pengaruh
yang signifikan dari variabel religiusitas (intellectual, public practice, private
practice) dan persepsi pola asuh (otoriter, permisif, otoritatif) terhadap kecerdasan
90
emosi remaja siswa MAN Tambakberas Jombang. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Rosmana (2005) dalam literaturnya bahwa religiusitas adalah salah satu faktor yang
menentukan tinggi rendahnya kecerdasan emosi. Selain itu Rahman (2009) juga
menyatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama merupakan hal
penting dalam mengatasi masalah psikologis yakni dengan mambangun emosi positif.
Dari pemaparan tersebut bisa diartikan bahwa remaja yang dapat membangun emosi
positif mempunyai kecerdasan emosi yang lebih baik yang mana dapat mencegah
permasalahan psikologis seperti depresi, self-esteem rendah, regulasi emosi rendah,
alexthy mia dan impulsif. Hal ini didukung dengan penelitian terdahulu yang
dilakukan (Chrisnawati, 2008) bahwa religiusitas berpengaruh positif pada
kecerdasan emosi sebesar 20%.
Begitupun pada pola asuh orang tua juga berpengaruh pada kecerdasan emosi
remaja. Alegre (2011) menuturkan bahwa pengasuhan orang tua memiliki pengaruh
yang kuat dalam pengembangan kecerdasan emosi. Selain itu pengasuhan orang tua
juga berpengaruh pada karakteristik emosi anak. Karena orang tua sebagai pendidikan
pertama yang diterima anak dari segi sosial, emosi, moral, dan religiusitasnya. Hal
tersebut bisa disimpulkan bahwa pengasuhan orangtua mempengaruhi tinggi
rendahnya kecerdasan emosi remaja. Hal ini juga sesuai dengan pernyatan Greenspan
dan Kindlon (dalam Alegre, 2011) bahwa ibu yang memiliki waktu lebih banyak
berpengaruh signifikan pada pengembangan kecerdasan emosi.
91
Dalam penelitian ini terdapat lima dimensi yang signifikan yaitu intellectual,
public practice, private practice, permisif & otoritatif . Sedangkan dimensi ideology,
experience, dan otoriter tidak signifikan.
Dimensi intellectual berkaitan tentang seberapa jauh pengetahuan mereka
tentang agama dan bagaimana bisa menjelaskanya. Menurut peneliti pengetahuan
agama sangatlah penting, karena pengetahuan agama sebagai dasar yang harus
dimiliki sejak dini sebagai bentuk pengetahuan. Dengan adanya pengetahuan agama
yang dipelajari remaja mampu menelaah dan menginternalisasikanya dalam bentuk
tingkah laku sehari-hari seperti untuk mengatahui mana yang baik dan yang buruk
serta sebagai pengendali tingkah laku agar tidak melakukan hal-hal yang merugikan
atau bertentangan dengan pandangan masyarakat.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Nottingham, E. K (1994) bahwa
pengajaran nilai-nilai keagamaan baik eksplisit maupun implisit merupakan bagian
penting dalam pendidikan anak-anak pada semua masyarakat. Pengajaran tersebut
terjadi sebagai proses pembentukan diri pada remaja sehingga ada konsistensi antara
nilai-nilai individu dan nilai kegamaan. Dari uraian tersebut dapat diartikan bahwa
terbentuknya kecerdasan emosi pada remaja tidak lepas dari pengetahuan agama yang
diajarkan baik secara implisit maupun eksplisit. Hal ini didukung dengan pernyataan
Kagan & Goleman (dalam Chrisnawati, 2008) bahwa kecerdasan emosi bertumpu
pada perilaku moral. Dimana, agama mengajarkan nilai moral yang terwujud dalam
perilaku beragama (Chrisnawati, 2008).
92
Hasil penelitian juga membuktikan bahwa dimensi public practice dan private
practice mempunyai pengaruh secara signifikan. Private practice adalah pengalaman
individu yang dimanfestasikan secara pribadi diruangan khusus (private). Menurut
peneliti, seseorang yang merasa dekat dengan Tuhanya mereka akan memiliki waktu
lebih untuk berkomunikasi dengan-Nya. Biasanya bentuk dari komunikasi adalah
meditasi, membaca kitab suci, dan beribadah dengan khusyuk. Seseorang yang
merasa dapat berkomunikasi dengan Tuhanya biasanya merasa lebih tenang dan lebih
tawakkal karena merasa dirinya telah dekat dengan Tuhan. Menurut Kitbunchu
(dalam Rahman, 2009) aspek yang paling penting dalam berpengaruh pada
kebahagiaan dan kepuasan hidup adalah praktek peribadatan. Artinya, dengan
melakukan periabadatan maka akan ada emosi positif yang berpengaruh sehingga
remaja dapat merasa bahagia. Hal tersebut didukung dengan penelitian Kitbunchu
(dalam Rahman, 2009) pada wanita Thailand, ditemukan bahwa wanita Thailand
yang merasa puas dengan hidupnya adalah wanita yang beragama, mereka puas
dengan melakukan meditasi dan mengkaji kitab suci.
Selain dari itu, lingkungan sosial juga berpengaruh penting dalam tingginya
kecerdasan emosi atau dalam hal ini berkaitan dengan public practice. Public
practice adalah pengalaman individu yang dimanifestasikan dalam komunitas
keagamaan. Menurut peneliti, individu yang berada pada lingkungan yang
mempunyai aktivitas beragama akan mempunyai motivasi beragama lebih tinggi.
Selain itu, dengan adanya aktivitas keagamaan yang kuat dari lingkungan masyrakat
93
sekitar, maka norma agama merupakan modal sosial, dan kepercayaan masyarakat
sebagai pengendali kriminalitas sehingga tercipta lingkungan yang lebih baik (Rusydi,
2006).
Selanjutnya, dimensi yang mempunyai pengaruh signifikan dari persepsi pola
asuh adalah persepsi pola asuh permisif. Menurut Buri (1991) pengasuhan dengan
gaya permisif adalah orang tua yang tidak mempunyai kontrol pada anak dan minim
terhadap hukuman atau dalam hal ini disebut orang tua yang memanjakan. Biasanya
anak-anak dengan orang tua permisif lebih banyak mempunyai masalah pada perilaku
mereka serta penggunaan narkoba (Pichayapinyo, Pawwattana & Thongvichaen,
2008). Bisa disimpulkan bahwa remaja yang memiliki orang tua dengan pola asuh
permisif berpengaruh pada rendahnya kecerdasan emosi. Selain itu, menurut peneliti
hal yang membuat dimensi permisif adalah siswa tersebut. Dimana tidak semua siswa
MAN Tambakberas Jombang tinggal dipeasantren, namun terdapat sebagian siswa
yang tinggal disekitar daerah Jombang yang tinggal dengan orang tuanya. Artinya,
cara pengasuhan orangtua secara lagsung dan tidak langsung akan memberikan
persepsi berbeda bagi siswa. Menurut hasil penelitian Fonte (dalam Abdollahi et al.,
2013) bahwa terdapat hubungan negatif pada pola asuh permisif dengan tingginya
kecerdasan emosi.
Selain itu persepsi otoritatif juga berpengaruh signifikan. Menurut peneliti hal
tersebut disebabkan karena remaja sangat butuh pengawasan dan kepedulian dari
orang disekitarnya terutama pada orang tua. Karena hubungan yang paling intensif
94
dengan remaja adalah lingkungan keluarga atau orang tua. Dalam penelitian ini
sebagian remaja tinggal dipesantren. Menurut peneliti persepsi pola asuh otoritatif
berpengaruh signifikan karena remaja masih dalam pengawasan orangtua. Dimana
kebanyakan remaja yang dalam naungan pesantren masih dijenguk orangtua selama
2x dalam satu bulan daan juga rangtua juga sering menanyakan perkembangan
anaknya kepada pengurus pondok Selain itu tingkah laku remaja pada hakikatnya
adalah norma dan nilai yang diterima melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua.
Menurut (Pichayapinyo, Pawwattana & Thongvichaen, 2008) anak dengan orang tua
otoritatif biasanya mempunyai kemampuan kognitif yang positif, rendah dalam
masalah perilaku, bisa diajak kerjasama serta bersahabat. Artinya, orang tua dengan
pola asuh otoritatif berpengaruh pada tingginya kecerdasan emosi remaja yang
teraplikasikan pada tingkah lakunya. Sesuai dengan pernyataan Henshaw (2009)
bahwa pola asuh terbaik adalah otoritatif yakni orang tua yang lebih seimbang dalam
pengasuhan. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan (dalam, Abdollahi,
et al. 2013) bahwa kecerdasan emosi yang tinggi berkorelasi dengan gaya pengasuhan
yang peduli dan supportif dimana pengasuhan tersebut adalah ciri-ciri dai pola asuh
otoritatif.
Naghavi & Redzuan (2012) juga menuturkan bahwa sebagian besar remaja
awal mempelajari emosi dari keluarga mereka. Dari penuturan tersebut peneliti
simpulkan bahwa pola pengasuhan orang tua mempengaruhi tinggi rendahnya
kecerdasan emosi remaja. Karena orang tua adalah contoh pembelajaran untuk anak-
95
anaknya. Artinya, orang tua dengan pola asuh secara otoritatif adalah pengasuhan
yang tepat untuk membantu remaja dalam melewati masa transisi terutama pada
ranah emosi. Selain itu, persepsi remaja yang diasuh dalam naungan pesantren dan
tidak pesantren berbeda. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dialakukan Fonte
(dalam Abdollahi et al., 2013) terdapat hubungan yang positif antara tingginya
kecerdasan emosi denga pola asuh otoritatif. Selain itu jika dilihat dari katagorisasi
skornya, dimensi otoritatif mempunyai skor lebih tinggi dari pada permisif dan
otoriter. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Steinberg, Lamborn, Darling, &
Mounts, 1994) menemukan bahwa pola asuh otoritatif memiliki skor lebih baik
daripada otoriter, permisif dan uninvolved.
Uniknya, pada dimensi otoriter mempunyai pengaruh yang tidak signifikan
pada kecerdasan emosi. Padahal menurut peneliti, orang tua dengan kontrol yang
tinggi, banyak tuntutan, dan sedikit afeksi memiliki hubungan dengan rendahnya
kecerdasan emosi. Sarwono (2010) juga menyatakan biasanya masalah yang dihadapi
remaja berkaitan erat dengan perilaku atau cara-cara pendekatan yang dilakukan
orang tua atau keluarga lainya terhadap remaja yang bermasalah. Artinya,
pengasuhan orang tua yang terlalu otoriter akan berdampak negatif pada remaja
khusunya pada ranah emosi. Sesuai pada studi terdahulu yang menyatakan bahwa
pola asuh dengan rejective dan overprotective mempunyai hubungan yang signifikan
dengan kecerdasan emosi (dalam Abdollahi et al., 2013).
96
Selain itu pada skor kategosisasi otoriter mempunyai skor yang tidak berbeda
jauh dengan otoritatif. Menurut peneliti, terdapat terdapat faktor lain yang
menyebabkan tidak signifikannya dimensi tersebut yakni siswa yang mengisi
kuisioner tidak semuanya tinggal dipesantren yakni terdapat sebagian siswa yang
tinggal diluar pesantren yang mendapat pengasuhan secara langsung dari orangtua.
Dimana terdapat perbedaan persepsi dari siswa yang mendapat pengasuhan dari
orangtua secara langsung dan tidak langsung. Selain itu, menurut peneliti faktor lain
yang membuat tidak berpengaruhnya dimensi otoriter terhadap kecerdasan emosi
adalah remaja mengisi hanya berdasarkan persepsinya terhadap orang tua. Karena
terkadang persepsi anak dan orang tua berbeda. Hal ini lah yang membuat dimensi
otoriter tidak berpengarug signifikan menurut peneliti.
Lain halnya dengan lima dimensi diatas, dimensi ideology dan experience
juga berpengaruh tidak signifikan. Pada dimensi ideology tidak berpengaruh
signifikan menurut Jalaludin (2012) keyakinan yang diterima remaja pada masa
kanak-kanak sudah tidak menarik lagi bagi mereka. Daradjat (1996) juga menuturkan
bahwa proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan
akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan. Dari uraian bisa
disimpulkan bahwa keyakinan yang dimiliki remaja hanya sebatas keyakinan bahwa
agama islam adalah agama yang dianutnya dari orang tua melainkan bukan atas
perasaan dan kesadaran diri yang timbul dari remaja.
97
Menurut penelitian yang dilakukann Ernest harms (dalam Jalaludin, 2012)
menyatakan bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan untuk kepentingan keuangan,
kesehjateraan, kebahagiaan, dan kesenangan pribadi lainya. Sedangkan masalah
ahirat dan keagamaan hanya sekitar 3.6%, masalah sosial 5.8%. dari pemapaparan
diatas dapat disimpulkan bahwa remaja tidak mempunyai keyakinan yang kuat karena
belum sampai pada titik perasaan dan kesadaran beragama karena pada masa remaja
pikiran mereka sudah teralihkan pada kepentingan yang lain. Hal ini lah yang
menurut peneliti menyebabkan tidak signifikanya dimensi ideology.
Sedangkan pada dimensi experience, menurut peneliti remaja belum memiliki
pengalaman secara emosional dengan Tuhan. Karena menurut peneliti pada masa
remaja, remaja cendrung hanya melakukan kewajiban ibadah hanya sebagai
penggugur kewajiban, bukan berdasarkan kemauan dan kebutuhan jiwa. Hal ini
sesuai dengan penelitian Ross dan Oskar Pupky (dalam Jalaluddin, 2012) bahwa
hanya 17% remaja melakukan ibadah untuk berkomunikasi dengan Tuhannya. Hal
inilah yang menyebabkan kurangnya pengalaman-pengalaman secara emosional
dengan Tuhan. Selain itu hal tersebut disebabkan karena tidak adanya perasaan dan
kesadaran diri dalam melakukan keagamaan yang timbul dari keyakinan remaja.
Sehingga menurut peneliti dimensi tersebut tidak signifikan begitu pula pada dimensi
keyakinan karena, menurut peneliti dimensi experience adalah aplikasi dari dimensi
ideology.
98
Berdasarkan dari pemapaparan diatas didapatkan bahwa intellectual yang
sangat berpengaruh pada kecerdasan emosi seseorang. Karena dengan pengetahuan-
pengetahuan yang dimiliki, mereka dapat menginternalisisasikannya pada tingkah
laku sehari-hari. Selain itu, dengan pengetahuan tersebut remaja mampu berpikir
tentang isu-isu agama yang terjadi dengan pengetahuan yang telah dimiliki, sehingga
wawasan yang diterima makin luas tidak hanya terpaku pada pengetahuan yang
diajarkan oleh guru. Dimensi pola asuh otoritatif juga mempunyai kategorisasi skor
tertinggi daripada dimensi permisif dan otoriter. Hal ini membuktikan bahwa pola
asuh secara otoritatif dapat meningkatkan kecerdasan emosi remaja.
Adapun catatan penting yang menjadi perhatian, bahwa dalam penelitian ini
peneliti tidak terlepas dari kelemahan dan kekurangan dalam proses penelitian.
Kekurangan tersebut disebabkan pada bahasa dalam mengadaptasi item dari skala
baku yang kurang tepat, dan bias budaya. Sedangkan pada kelemahannya menurut
peneliti juga berasal dari siswa, pada saat mengisi kuesionare seperti, adanya faking
good terhadap item karena kecenderungan subjek untuk mengisi sesuai dengan norma
yang berlaku, serta mood subjek pada saat pengisian kuesionare. Selain itu dalam
penelitian ini subjek yang diteliti hanya siswa tanpa menyertakan orangtua sehingga
pengisian kuisionare berdasarkan persepsi anak. Menurut peneliti hal tersebut
mampu mempengaruhi tidak signifikannya beberapa dimensi pada penelitian ini.
99
5.3. Saran
Pada penelitian ini, peneliti membagi saran menjadi dua, yaitu saran metodologis dan
saran praktis. Saran metodologi sebagai bahan pertimbangan untuk perkembangan
penelitian selanjutnya, dan saran praktis sebagai bahan masukan bagi pembaca
sehingga dapat mengambil manfaat dari penelitian ini.
5.3.1. Saran Metodologis
1. Subjek yang diteliti hanya satu sekolah, yaitu MAN Tambakberas Jombang.
Oleh karena itu pada penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar
menggunakan subjek dari beberapa sekolah. Dengan demikian peneliti dapat
mendapatkan gambaran secara luas bagaimana kecerdasan emosi pada
beberapa sekolah.
2. Dalam penelitian ini subjek yang digunakan adalah siswa. Bagi penelitian
selanjutnya, jika menggunakan variabel pola asuh, disarankan orang tua siswa
diikutsertakan sebagai subjek penelitian. Sehingga dapat terlihat perbedaan
persepsi antara orang tua dan anak juga mendapatkan gambaran lain tentang
hasil
3. Untuk penelitian selanjutnya jika menggunakan variabel pola asuh dari
Baumrind (1971) diharapkan menambah dengan teori Maccoby & Martin
(1983). Agar hasil penelitian lebih bervariasi dari beberapa pola asuh yang
baru.
100
4. Kepada peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji tentang kecerdasan emosi,
diharapkan menambah variabel lain yang berpengaruh terhadap kecerdasan
emosi remaja, seperti kepribadian, faktor demografi, jenis kelamin, teman
sebaya, dan kondisi lingkungan. Karena dalam penelitian ini, aspek-aspek
yang diteliti memberikan sumbangan sebesar 36.8% terhadap kecerdasan
emosi remaja, sedangkan 63.2% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang
tidak diteliti dalam penelitian ini.
5.3.2. Saran Praktis
1. Pada penelitian ini ditemukan bahwa ada pengaruh religiusitas dan pola asuh
terhadap kecerdasan emosi remaja. Sehingga diharapkan kepda guru untuk
mengadakan taraining atau kajian-kajian bagi orang tua murid tentang
pentingnya religiusitas dan pengasuhan yang tepat untuk mengembangkan
kecerdasan emosi siswa.
2. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dimensi intellectual, public
practice, dan private practice berpengaruh signifikan terhadap kecerdasan
emosi remaja. Berdasarkan hasil tersebut, peneliti menyarankan agar guru
dapat membimbing siswa untuk membentuk kegiatan religiusitas dengan
membentuk komunitas religi dimana kegiatan tersebut berisi aplikasi dari
pengetahuan agama yang telah diajarkan seperti, mengadakan bazar
penggalian dana untuk fakir misikin dan baksos untuk daerah tempat
tertinggal guna membentuk karakter islami.
101
3. Untuk membangun kecerdasan emosi remaja, diharapkan kepada orang tua
agar tetap memberikan perhatian dan memperhatikan tingkah laku anak-
anaknya. Karena pada masa remaja ini dikenal dengan masa yang paling
rawan sehingga membutuhkan kontrol dan perhatian dari orang tua,
lingkungan keluarga serta masyarakat sekitar.
4. Diharapkan pula bagi pengurus pesantren untuk meningkatkan kecerdasan
emosi melalui konseling dalam pesantren sebagai wadah untuk remaja
mencurahkan segala isi hati sehingga remaja dapat mengarahkan segala emosi
pada arah yang lebih positif.
.
DAFTAR PUSTAKA
Abdollahi, A., Talib, M. A. & Moetalabi, S. A.(2013). Perceived parenting styles and
emotional intelligence among iranian boy students. Asian Journal of Social
Sciences & Humanities, 2, 3.
Alegre, A., &Benson., M. (2011). The effect of parenting prctice in the development
of children’s emotional intelligence. Retrieved: from
http://www.jornadeseducacioemocional.com/wp-
content/uploads/mat_anterior/i_jornades/taula1/the_effects_of_parenting.pdf
Ancok, D. & Suroso, F. N (1994). Psikologi islami: solusi islam atas problem-
problem psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Atkinson, R. L., Atkinson, R. C., Smith, E. E, & Bem, D. J. Introduction to
psychology. Pengantar psikologi. Kusuma (terj). Batam: INTERAKSARA
Bar-On, R. (2006). The Bar-On model of emotional-social intelligence (ESI).
Psychotema. 18. Supl. 13-25.
Brackett, M. A, Mayer, J.D., & Warner, R.M. (2003). Emotional intelligence and its
relation to everyday behavior. Journal Personality and Individual Differences.
36, 1387-1402.
Biletchi, J., Macintosh, J. & Mclasaac, K. (2013). Provincial assessment of parenting
style in Ontario. Public Health Ontario grand Rounds Persentation.
Buri, J.R. (1991). Parental authority questionnaire. Journal of Personality Assessment,
57(1), 110-119.
Chrisnawati, A.F.I., (2008). Hubungan antara religiusitas dengan kecerdasan
emosional pada mahasiswa Papua. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas
Katolik Soegijapranata. Semarang
Daradjat. Z., (1996). Ilmu jiwa agama. Jakarta: Bulan Bintang
Darling, N., & Steinberg, L. (1993). Parenting style as contex: an integrative model.
Psychological Bulletin, 113(3).487-496.
Departemen Pendidikan Nasional. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Fetzer, J.E. (1999). Multidimensional measurement of religiousness, spirituality for
use in health research.Kalamazoo: Fetzer Institute.
Glock, C. Y. & Stark, R. (1968).American piety: the nature of religions commitment.
Berkeley: Universitas of California press.
Goleman, D. Emotional intelligence. Kecerdasan emosional: mengapa EI lebih
penting daripada IQ. Hermaya (terj). 1997. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Goleman, D. (1998). Working with emotional intelligence. Canada, US: Bantam
Books.
Gottman, J. (1997). Raising an emotionally intelligent child: the heart of parenting.
New York: Simon & Schuster.
Henshaw, J. (2009). What parenting style is best. Diunduh 08 januari 2015
darihttp://www.familyresource.com/parenting/ parent-education/what-
parenting-styleis-best.
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Jalaluddin.(2012). Psikologi agama. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.
Kendler, K. S., Liu, X., Gardner, C. O., McCullough, M. E., Larson, D., & Prescott,
C. A. (2003). Dimension of religiosity and their relationship to life time
psychiatric and substance use disorders. Am J Psychiatry,160(3). 496-503.
Mayer, J. D., & Salovey, P. (1997).What is a emotional intelligence? emotional
development and emotional intelligence: implications for educators. New York:
Basic Books.
Mayer, J. D., Salovey, P., & Caruso, D. R. (2004). Emotional intelligence: theory,
findings, and implications. Psychological Inquiry, 15(3), 197-215.
Mudzakkir.(2013). Hubungan religiusitas dengan perilaku prososial mahasiswa
angkatan 2009/2010 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar.
Jurnal Diskursus Islam, 1, 3. 366-380.
Naghavi, F., & Redzuan.M. (2012). Relationship between family environment and
emtional intelligence: examination of the moderating factor. Life Science
Journal, 9 (1): 391-395.
Noorbakhsh, S. N., Beshrat, M. A., &Zarei, J. (2010). Emotional intelligence and
coping with stress. Procedia Social and Behavioral Sciences, 5, 818-822.doi:
10.1016/j.sbspro.2010.07.191.
Nottingham, E. K. Religion and society. Agama dan masyarakat (suatu pengantar
sosiologi agama). Nahorong (terj). 1994. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
Nwadinigwe., P.I., & Obieke., A.U. (2012). The impact of emotional intelligence on
academic achievement of senior secondary school students in Lagos,
Nigeria.Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy
Studies (JETERAPS), 3(4), 395-401.
Odilo, H. W & Huber, S. (2012). The centrality of religiosity scale (CRS). Religion, 3,
710-724.doi.103390/rel3030710.
Ozabaci, N. (2006). Emotional intelligence and family environment. Sosyal Bilimler
Dergisi, 16, 169-175.
Papalia, Olds, & Felman. Human development. Perkembangan manusia. Marswendy
(terj). 2009. Jakarta: Salemba Humanika.
Pargament, K. I. (1997). The psychology of religion and coping: theory, research,
practice. New York: Guilford Press.
Pargament,, K. I., & Raiya, H. A. (2007). A decade of research on the psychology of
religion and coping: things we assumed and lessons we learned. Psyke & Logos,
28.742-766.
Perez, J. C., Petrides, K. V., &Furnham, A. (2005).Measuring trait emotional
intelligence.In Schulze, R., & Roberts, R. D. (Eds).Emotional intelligence: An
international handbook. (pp. 181-201). Ashland, OH, US: Hogrefe & Huber
Publisher.
Putra, R. R. (2012). Pengaruh kecerdasan emosi terhadap keterampilan sosial remaja
siswa MAN 4 Model Pondok Pinang Jakarta Selatan. Skripsi Fakultas Psikologi
UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Pichayapinyo., P., Pawwattana, A., &Thongvichaen, S. (2008). Parenting styles,
emotional intelligence, and intelligence questions in Thai school-aged children
in Tukdang community Bangkok Metropolis. Journal of Public Health,
38(1).59-70.
Rahman, U. (2009). Perilaku religiusitas dalam kaitannya dengan kecerdasan emosi
remaja. Jurnal Al-Qalam, 15, No.23 157-174.
Riberio. L.L. (2009). Construction and validation of a four parenting styles scale.
Thesis. Humboldt State University.
Rosmanah, M. (2005).Hubungan religiusitas dengan kecerdasan emosional.
MimbarAkademik, 2, 41-50.
Rusydi, A. (2012). Religiusitas dan kesehatan mental studi pada aktivis jama’ah
tabligh Jakarta selatan. Tanggerang Selatan: YPM.
Salovey, P., & Mayer, J. D. (1990).Emotional intelligence. Imagination, Cognition,
and Personality, 9, 185-211.
Santrock, J. W. Life-span development. Perkembangan masa hidup. Chusairi, &
Damanik (terj). 2002. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S. W. (2010). Psikologi remaja. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
Schutte, N. S., Malouff, J. M., Bobik, C., Coston, T. D., Greeson, C., Jedlicka, c.,
Wendorf, G. (2001). Emotional intelligence and interpersonal relations. The
Journal of Social Psychology, 141(4), 523-536.
Sobur, A., (2003). Psikologi umum. Bandung: CV Pustaka Setia
Steinberg, L., Lamborn, S. D., Darling, N., Mounts, N. S., &Dornbusch, S. M. (1994).
Over-time changes in adjustment and competence among adolescent from
authoritative, authoritarian, indulgent, and neglectful families. Child
Development, 65.754-770.
Umar, J. (2011). Bahan ajar analisis konfirmatorik (CFA). Tidak dipublikasikan
KEMENTERIAN AGAMA
MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) TAMBAKBERAS - JOMBANG - JATIM
JI. Merpati Telp. (0321) 862352 Fax. (0321) 855537 Tambakberas Jombaoi Kode Pos 61451 website: www.mantllmbakberns.com email: [email protected]
TERAKREDITASI A
SURAT KETERANGAN Nomor: Ma.15.22/TL.001 1';'77 ·/2014
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama Drs. H. AH. SUTARI, M.Pd
NIP 195703271984031002
Pangkat/Gol Pembina Tk. I I IVb
Jabatan Kepala MAN Tambakberas Jombang
Alamat Instansi J1. Merpati Tambakberas Jombang
Menerangkan
Nama BAHJATUL ARAFAH
TempatfTg1.Lahir Gresik, 10 Juni 1992
NIM/NIMKO 1110070000013
Fak.lJurusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta I Psikologi
Alamat Jln. Dr. Soetomo RtlRw 03/04 Sungon Legowo Bungah Gresik
Telah melaksanakan Penelitian di MAN Tambakberas Jombang :
Waktu Penelitian 19 sId 20 November 2014
Judul Penelitian Pengruh Religiusitas dan Pola Asuh Terhadap Kecerdasan Emosi
Remaja
Demikian surat keterangan ini dibuat, agar digunakan sebagaimana mestinya.
AH. SUTARI, M.Pd 703271984031002
Asslamu'alaikum Wr. Wb
Selamat pagi I siang
Kakak adalah mahasiswi Program Saljana Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
semester sembilan (9) yang sedang mengadakan penelitian skripsi.Dalam rangka mengumpulkan
infonnAsi terscbut, kakak mcmohon bantuan dan kesediaan adik untuk mengisi kuisioner
ini.Keberhasilan pcnclitian ini bergantung dari jawaban adik.Olch karcna itu, kescdiaan adik
untuk mengisi dengan sungguh-sungguh sangat kakak harapkan.
Kuisioner ini berisi pemyataan-pemyataan yang menggambarkan keadaan diri
adik.Sebclum mengisinya, adik diminta untuk membaca dengan seksama petunjuk
pengisianJawablah setiap pemyataan sesuai dcngan kondisi diri adik yang sebenamya karcna
tidak ada jawaban yang benar maupun salah.Scbelum mengembalikan kuisioner ini, mohon
diperiksa jawaban adik jangan sampai tcrlewat.
Scmua data yang ada akan dirahasiakan dan hanya digunakan demi KEPENTINGAN
PENELITIAN ini. Ahir kata, kakak ucapkan terimaksih kepada adik yang telah berscdia
membantu dalam pengisian kuisioner ini.Semoga penelitian ini dapat bennanfaat dan diberkahi
oleh Allah SWT.amin.
Wasslamu'alaikum Wr.Wb
Jakarta, 31 oktober 20 14
Honnat Saya
. Bahjatul Arafah
PERNYATAAN PERSETUJUAN PARTISIPASIDAN IDENTITAS RESPONDEN
Dengan ini saya secara sukarcla menyalakan bersedia untuk berpaltisipasi dalalll
penelitian ini:
Nama
Kelas
Usia
Jcnis kelamin : P/L
Responden,
(... .)
PETUNJUK I'ENGISIAN
Berikut ini terdapat pemyataan penlitian.Baca dall pahami setiap pelllyataan.Adik diminta unluk
mengemukakan apakah pemyalaan tersebut sesuai dengan diri adik. Kemudian bcri tanda
checklist ( ..J ) pada salahsatu pilihan altematif yang tersedia, pada kolom dibagian dcngan
dengan ketentuan:
STS : Sangat Tidak Sesuai
TS : Tidak Sesuai
S : Sesuai
SS : Sangat Sesuai
Tidak ada jawaban yang benar a!au salah untuk seliaI' pernyataan, scluruh jawaban adalah benar selama itu sesuai dengan diri adik.
Conloh pengisian:
Jika jawaban adik Scsuai, maka adik dapal mcngisi dengan landa ( -.J ) sepel1i dibawah ini.
NO I PERNYATAAN
I. I Saya merasa puas dengan diri sendiri
SKALA J
18 Saya selalu merasa pesimis ketika menghadapi kcsulitall
19 --.--"--.-- ---~
Saya selalu yakin bahwa saya mampu mcnyclcsaikan tugas
dengan selsai.
-
20 ---------
Ketika saya menghadapi kcsulitan saya tclap oplimis. .
21 Saya mampu mcmotivasi diri untuk pcncapain hasil yallg
lerbaik.
22 Saya sulit bangkit setclah mengalami kcgagahll1.
23 Saya lidak suka mcnunda-nunda pckcljaall.
24 Saya dapat mcrasakan kctika leman saya gcmhi nl.
25 Jika leman saya kcccwa saya lidak dapat mcm<lhamillya.
26 Saya kurang mempcrdulikan pcrasaan orallg laill.
27 Saya mampu merasakall upa yung diras"kall Illch orang lain.
28 Saya mendengar dengan pcnuh pcrhatian bil" Icn1(ln scdang
berbicara.
29 Kelika leman saya sedih saya bcrusaha mcnghiburnya.
30 saya merasa malas mendcngarkan kctika tcman saya
bercerita.
31 Saya mudah bergaul dengan orang baru.
32 Saya berusaha ramah kepada scmua teman. -_. .
33 Saya kurang suka bergaul dcngan lcman-lcman.
34 Saya lebih suka menghindar jika bcrtcmu lcman yang lid"k
saya sukai.
35 Bila ada kesalahpahaman dengan orang lain sayalidak
memperdulikannya.
'
36 Saya berusaha selalu tersenyum ketika bertcmu dcngan orang
lain.
37 Saya menyempatkan waktu untuk berbincang-billcang dcngan
leman.
38
,
Saya lidak suka bcrtukar pikiran dengan lcman-lcman di
sekolah.
NO PERNYATAAN SS S TS STS I Saya lahu kelika saya merasa senang.
2 Saya menyadari ketika suasana hati lidak nyaman.
3 Saya sulil merasakan perasaan yang dOl lang liba-tiba.
4 Saya merasa bingung dengan perubahan yang terjadi dalam
did saya.
5 Saya mengelahui hal-hal yang membual saya sedih.
6 Saya mengetahui hal-hal yang membuat saya senang.
7 Saya mampu memahami penyebab saya marah.
8 Kelika menghadapi persoalan, saya merasa gelisah.
9 Saya dapat mengendalikan diri kelika saya marah.
10 Kelika saya menghadapi persoalan, saya mampu
mengatasinya.
II Saya merasa kecewa, jika yang tetjadi tidak sesuai dengan
harapan saya.
12 Saya sulit menahan marah ketika dibuat kesal oleh teman.
13 Kelika saya kecewa saya dapat mengungkapkanya dengan
baik.
14 Kelika saya marah, saya akan membenlak-benlak orang lain.
15 Saya selalu memendam perasaan saya kelika saya sedih dan
kecewa.
16 Walau hambatan menghadang, saya selalu memacu semangat
unluk berhasil.
17 Saya takut akan kegagalan.
I
--
---I SKALA 2
NO PERNYATAAN SS S TS STS
I Saya scring bCJllikir tentang isu-isu keagamaan.
2 Saya sangat percaya bahwa Allah yang menentukan nasib saya.
3 Saya selalu mengikuti kegiatan-kegiatan religius.
4 Saya sering berdoa.
5 Saya sering mengalami situasi dill1ana saya merasa bahwa Allah
telah mCll1pengaruhi hidup saya.
6 Saya sangattel1arik dalam mempelajari topik - topik keagamaan
7 Saya percaya bahwa kehidupan setelah kematian itu ada.
g Pelayanan keagamaan penting bagi saya.
9 Mendoakan diri sendiri itu penting bagi saya.
10 Saya merasa sering mengalami situasi dimana saya merasa bahwa
Allah ingin berkomunikasi atau mengungkapkan sesuatu kepada
saya.
II Saya sering mencari infonnasi mengenai keagamaan melalui
radio, televisi, internet, surat kabar, atau buku.
12 Saya percaya bahwa kekuatan ilahi itu benar-benar ada.
l3 Berhubwlgan dengan komunitas agama penting bagi saya.
14 Saya sering berdoa secara spontan ketika terinspirasi oleh situasi
sehari-sehari.
15 Saya sering mengalamisituasi di mana sayamemiliki perasaan
bahwaAllahatausesuatu yang illahiitu ada atau hadir.
SKALA 3
NO PERNYATAAN SS S TS STS
I Ibu saya berpendapat bahwa anak-anak harus menyetujui
setiap keputusan dalall1 keluarga sama sepcrti orangtua
lakukan.
---_._~_.
2 Ibu saya bcrpendapat bahwa saya harus mcngikuti
pcndapatnya dcmi kcbaikan saya, walaupun saya tidak
menyctujui pendapatnya.
3 Ibu selalu mennyuruh Illclakukan scsualu, dan bcrharap , bahwa saya langsung mclakukannya tallpa bcrtanya apapun. i
4 Jika ada pcraturan yang ditcrapkan dalam kcluarga, ibu saya I I
menjclaskall alasan kcpcntingan pcraturan kcpada saya. I 5 Ibu saya sclalu mcndcngaran pcndapat saya dan mcnjclaskan I
alasanya sctiap kali saya mcrasa ada pcraluran atau larangan I
dalam keluarga yang tidak masuk akal.
6 Ibu saya merasa bahwa saya bcbas bCl11Cndapat dan I
melakukan apapun yang saya inginkan, walaupun pcndapat
dan keinginan saya tidak sesuai dcngan ibu saya inginkan.
7 Ibu saya tidak memperkenankan saya untuk bcrtanya apapun
mengenai keputusan/peraturan yang tclah dibuatnya. .-- ---------~--I-
g Ibu saya mengatur segala kegiatan dan kcpulusan saya I
dengan pcnimbangan dan disiplin.
9 Ibu saya selalu beranggapan bahwa saya harus dipaksa untuk
beJllrilaku sesuai dengan apa yang seharusnya anak-anak
lakukan.
10 Ibu saya tidak beranggapan bahwa saya pcrlu IJIcnaati
peraturan hanya karcna seorang yang Icbih tua telah
menetapkanya. j II Saya bebas berdiskusi dengan ibusaya mcngcnai
pendapatlkeinginan saya apabila saya mcrasa ada kcputusan
yang tidak masuk akal.
Ibu saya beJllendapat bahwa orang tua yang bijaksana adalah
orangtua yang menunjukan siapa "bos" (yang bcrkuasa)
didalam keluarga.
12
Ibu sayajarang membcrikan saya harapan dan pctunjuk 13
--
dalalll bcrtingkah laku.
14 Ibu selalu membual kepulusan scsuai kcsepakalan kcluarga.
15 Ibusclalu lIIelllbcrikan arahan dan pClunjuk yang masuk akal
kcpada saya.
16 Ibu akan Illarah apabila saya lidak scluju dengan
pendapalnya.
17 Menullli ibu, kcbanyakan lIIasalah dalam masyarakal dapal
diselcsaikan apabila orangtua lidak melarang aklivilas •
kcpulusan, dan keinginan anaknya.
18 Ibu saya sela1u mcmberilahukan harapanya mcngenai
bagaimana saya harus bersikap dan berperilaku dan jika saya
lidak menurulinya saya akan dihukum.
19 Ibu saya memperbolehkan saya memuluskan hal-hal unluk
diri sayasendiri lanpa ada arahan darinya.
20 Ibu saya mendengarkan pendapal saya sebagai pertimbangan
unluk lIIengambil kesepakalan dalam keluarga. Namun, ibu
lidak semudah ilU mellluluskan scsualu hanya karena
keinginan saya.
21 Ibu saya lidak memandang sebagai orang yang
bertanggungjwab unluk membimbing dan mengarahkan
lingkah laku saya.
22 lbu memiliki aluran yangjelasmengenai bagaimana saya
harus berperilaku dalam keluarga, namun ibu lelap
Illenyesuaikan aluran lcrscbul dengan kebutuhan saya.
23 lbu lIIelllberikan arahan lerhadap lingkah laku , aklivilas ,
dan Illcngikuli arahanya. Ibu juga sclalu bcrsedia unluk
Illendcngarkan pendapal saya dan Illendiskuksikan arahan
lcrsebul dengan saya.
24 Ibu Illemperbolchkan saya berpendapal lenlang peralurnn
dalam kcluarga dan mCllluluskan scndiri hal yang ingin
-~ ----------- ----- --- --------------i----- T-- ---Isayalakukan.
___________.. __0_. ________ . ___ .• ______ • __ .. --->0 I-~----
~ Menurul ibu. masalah di Illasyarakal akan lcrsclsaikan ,
apabila oranglua IIIclIlbalasi aklivilas. kcpulusan, dan I
keinginan anak-anaknyu. i
26 Jika ibu inginlllclllcrintuh ulau Illcnyuruh saya IIIclakukun I
sesualu biusanyu ibu Illcngulukan langsung pada saya lujuan !
perintahnya.
27 Ibu saya IIIclllbcrikan arahan yang jclas lcrlwdap lingkah
laku dan aklivilas saya, nalllun Illcrcka juga IIIcngcl1i kclika
saya lidak sependapal dcnganya.
28 Ibu saya lidak Illengalur pcrilaku aklivitas dan kcinginan
saya. I 29 Ibu saya, lidak Illengalur pcrilaku, aklivilas, dan kcingnan
Isaya. I - ._.._-Ibu saya, menunlul saya unluk mClllaluhi pcnnl;;l~ny~-d-;;;lli !
menghonnali kekuasaanya. _______ J 30
--'--------