PENGANTAR
Masalah utama yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa
Indonesia adalah ketidakpastian secara fundamental dibidang hukum, moral,
norma, nilai, dan etika kehidupan sehingga banyak orang kehilangan pegangan,
tujuannya adalah berlomba pada materi sebagai tujuan dekat belaka dengan cara
mengambil jalan pintas. Sebagai akibatnya mereka tidak tahu lagi mana yang
halal dan haram, mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak, dan
mana yang hak dan bathil. Fenomena masalah napza adalah salah satu akibat yang
ditimbulkan dari ketidakpastian tersebut (Hawari, 2000).
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (napza)
berdampak negatif bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, karena
akan merusak sendi kehidupan bermasyarakat yang merupakan salah satu
komponen pembentuk negara (Beja, 2004).
Hasil penelitian Hawari (2002) diperoleh data-data antara lain sebagai
berikut:
1. Pada umumnya penyalahguna napza mulai memakai napza pada usia
remaja (13-17 tahun) sebanyak 97% dan usia yang termuda 9 tahun
dengan 90% diantaranya adalah laki-laki.
2. Urutan mudahnya napza diperoleh (easy availability) adalah alkohol
(88%), sedative/hipnotika (44%), dan ganja (30,7%).
3. Sebanyak 54,7% penyalahguna menyatakan mengganti dengan
minuman keras apabila jenis napza yang diinginkan tidak ada; sebanyak
58,7% suka mencampur (kombinasi) satu zat dengan zat lainnya;
sebanyak 53,3% hanya memakai hanya sejenis zat saja; dan sebanyak
50,7% memakai jenis napza bergantung pada jenis zat yang tersedia
dipasaran baik resmi maupun tidak.
Yogyakarta sebagai kota pelajar tidak luput dari peredaran dan
penyalahgunaan napza. Hal ini terbukti dari sumber tentang penyebaran dan
peredaran napza di DIY yang dipublikasikan oleh Beja (2004) sebagai berikut:
1. Tahun 1999 jumlah perkara yang terungkap 67 kasus dengan jumlah
tersangka 93 orang, 46 diantaranya adalah mahasiswa, 5 pelajar.
2. Tahun 2000 jumlah perkara yang terungkap 162 kasus dengan jumlah
tersangka 191 orang, 72 diantaranya mahasiswa, 15 pelajar.
3. Tahun 2001 jumlah perkara yang terungkap 170 kasus dengan jumlah
tersangka 199 orang, 50 diantaranya adalah mahasiswa, 24 pelajar.
4. Tahun 2002 jumlah perkara yang terungkap 186 kasus dengan jumlah
tersangka 208 orang, 92 diantaranya adalah mahasiswa, 14 pelajar.
5. Tahun 2003 jumlah perkara yang terungkap 207 kasus dengan jumlah
tersangka 245 orang, 118 diantaranya mahasiswa, 9 pelajar.
6. Bulan Januari s/d Maret 2004 perkara yang sudah terungkap sebanyak
48 kasus dengan jumlah tersangka 54 orang, 21 diantaranya adalah
mahasiswa/pelajar.
Menurut UU No. 22 tahun 1997 (BNP DIY, 2004), narkotika adalah
zat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis atau bukan
sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Ahyani (2004) menjelaskan bahwa penyalahgunaan napza merupakan
penggunaan obat bukan untuk tujuan yang sebenarnya seperti pengobatan,
melainkan untuk memperoleh kenikmatan dari efek obat tersebut yang
berpengaruh pada susunan syaraf pusat, sehingga permasalahan yang dapat
membuat rasa sedih, murung, gelisah, dan sebagainya dapat di tekan dan
menjadi terlupakan atau senang sementara.
Kecenderungan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah intensi.
Anshari (1996) menjelaskan intensi sebagai suatu daya upaya, atau rencana untuk
berusaha menuju suatu sasaran.
Santrock (2001) menyebutkan bahwa kebanyakan remaja menjadi seorang
pengguna napza saat dalam beberapa poin perkembangannya mereka mulai:
a. Mengkonsumsi alkohol
Konsumsi minuman beralkohol meskipun dengan kadar yang
sedikit akan dapat menyebabkan kecanduan. Sehingga seseorang yang
telah mengkonsumsi minuman beralkohol berarti telah memiliki
kecenderungan untuk melakukan penyalahgunaan napza
b. Mengkonsumsi caffeine
Caffein adalah zat yang terkandung didalam kopi. Zat ini dapat
menimbulkan ketergantungan, sehingga orang yang biasa minum kopi
akan susah untuk melepaskan kebiasannya.
c. Menghisap rokok
Tar dan nikotin yang terkandung didalam rokok dapat
menimbulkan ketagihan. Efek lain dari kedua zat tersebut disamping zat-
zat lain yang terkandung dalam rokok adalah penyakit kanker, gangguan
jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.
d. Menggunakan mariyuana, kokain, dan obat-obatan dengan kadar yang
lebih besar.
Jika seseorang sudah berada pada tahap ini maka peluang untuk
menjadi seorang pecandu akan sangat besar. Efek terburuk dari
penggunaan obat-obatan ini adalah rusaknya system syaraf dan kematian.
Kandel (Kimmel & Weiner, 1995) mengidentifikasikan empat tahapan
penyalahgunaan napza pada remaja secara berurutan: (1) minum bir dan anggur,
(2) minum minuman yang kadar alkoholnya lebih besar; (3) menghisap ganja (soft
drugs); (4) mulai mencoba beberapa substansi lain misalnya obat-obatan
stimultan, sedatives, hallucinogens, kokain, dan heroin (hard drugs).
Haryanto dan Yatim (Haryanto, 1996) mengemukakan faktor-faktor
kecenderungan penyalahgunaan napza antara lain adalah A). secara fisik : ingin
santai, ingin aktif, menghilangkan rasa sakit, dan ingin lebih kuat atau gagah. B).
secara emosional : pelarian, mengurangi ketegangan, mengubah suasana hati,
memberontak, ingin lebih berani, ingin menyendiri. C). secara pribadi: ingin
diakui, menghilangkan rasa canggung, agar tidak dianggap lain, tekanan
kelompok, ikut mode. D). secara mental intelektual: bosan dengan kerutinan,
ingin tahu, suka menyelidiki, menambah gairah, mencari makna hidup, mencari
diri sendiri.
Menurut Hurlock (Nurhidayat, 2004) seorang remaja harus mempunyai
kemampuan untuk mengontrol perilakunya sendiri, agar tidak asal mengikuti
kemauan orang lain yang bertentangan dengan kehendak dan aturan yang berlaku
dalam masyarakat, kemampuan tersebut biasa disebut dengan kontrol diri.
Kecenderungan remaja yang sedang dalam tahap pencarian identitas diri adalah
senang mencoba hal hal baru di samping juga senang berkelompok. Terkadang
remaja dalam mencoba hal yang baru bukan hanya suatu hal yang positif saja
tetapi sering juga mencoba hal hal yang negatif dan sering bertentangan dengan
hukum. Memang pada masa remaja sedang terjadi perkembangan yang sangat
pesat pada aspek kognitif, fisik, kematangan seksual dan emosional
Menurut Martin dan Pears (1992), individu yang telah melakukan kontrol
diri mengalami perubahan perilaku yang barbeda dengan perilakunya yang
sebelumnya, dan individu tersebut juga mengalami peningkatan perubahan
perilaku yang dialami. Hurlock (1997) menjelaskan bahwa kemampuan
mengontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta
dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Semantara itu Skinner (Martin dan Pears,
1992) mengemukakan adanya ketersediaan kontrol diri dari masyarakat yang telah
menyediakan adanya konsekuensi bila perilaku tidak sesuai dengan masyarakat
seperti melalui hukuman. Dengan demikian, masyarakat memberikan kontribusi
pada terciptanya kontrol diri. Sedangkan Lazarus (1978) mengemukakan bahwa
kontrol diri merupakan kemampuan individu yang diperoleh melalui keputusan
yang telah diambilnya untuk mengontrol perilaku-perilaku yang telah disusunnya
sehingga dapat meningkatkan hasil sesuai dengan tujuan seperti awal yang
dikehendakinya
Menururt Burger (1989) kontrol diri merupakan kemampuan yang
dirasakan dapat mengubah kejadian secara signifikan. Individu dianggap
mempunyai kemampuan mengelola perilakunya. Kemampuan tersebut membuat
individu mampu memodifikasi kejadian yang dihadapinya sehingga berubah.
Sedangkan Hetherington dan Parke (1993) berpendapat bahwa kontrol diri adalah
kemampuan untuk melarang atau mengarahkan tingkah laku sesuai dengan aturan
atau norma sosial.
Berdasarkan pemahaman yang dikemukakan dari berbagai ahli di atas,
dapat disimpulkan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan yang dimiliki
individu untuk melakukan kontrol terhadap tindakan yang dilakukannya
berdasarkan keputusan yang talah ia ambil sebelumnya untuk dapat mencapai
hasil sesuai tujuan yang ia kehendaki. Dalam melakukan proses kontrol diri,
individu mampu menunda kebiasaan atau segera menunjukkan perilaku yang
dapat membebaskan termasuk mengganti perilakunya yang merupakan bagian
kebiasaannya dan dapat mamberikannya kepuasan segera.
Liebert (1979) mengatakan bahwa kontrol diri mengacu pada perilaku di
mana seseorang memonitor tindakannya dalam beberapa hal seperti
ketidakhadiran, pertentangan, dan tekanan yang sangat memaksa. Yang akan
menjadi penting bahwa perilaku erat sekali hubungannya dengan dugaan popular
yaitu adanya "ketekunan/tekad" serta konsep keadilan dan kesusilaan.
Tiga aspek self-control terkait antara lain menurut Liebert (1979):
a. Resist Temptation (kemampuan untuk menentang godaan)
dalam definisi luas nya , Resist Temptation mengacu pada sikap menahan
diri untuk melakukan sesuatu yang dilarang dan memilih hal yang lain,
seperti membatalkan keinginan untuk mencuri atau mengambil hak milik
orang lain.
b. Delay Gratification (kemampuan untuk memaklumi atau menunda
kepuasan )
merupakan kemampuan seseorang dalam menahan diri untuk melakukan
sesuatu yang dia inginkan dikarenakan sebab-sebab tertentu. Misalnya;
menunda keinginan untuk makan ketika ia lapar saat berada didalam suatu
rapat.
c. Standar Prestasi Diri.
Merupakan standar nilai yang dibuat seseorang untuk mengukur seberapa
besar prestasi dari apa yang telah ia lakukan.
Kemampuan mengontrol diri menurut Averill (Ahyani, 2004) terdiri dari
lima aspek, yaitu:
a. Kemampuan mengatur pelaksanaan perilaku
Kemampuan mengatur pelaksanaan perilaku merupakan
kemampuan untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau
keadaan, apakah dari individu tersebut sendiri atau orang lain. Individu
dengan kemampuan mengatur pelaksanaan yang baik akan memungkinkan
dirinya mengatur perilakunya dan akan meminta bantuan dari luar dirinya
bila ia rasakan dirinya tidak mampu.
b. Kemampuan memodifikasi stimulus
Kemampuan memodifikasi stimulus merupakan kemampuan yang
digunakan untuk mengetahui bagaimana dan kapan menghadapi stimulus
yang tidak dikehendakinya. Cara yang digunakan dalam melakukan
modifikasi antara lain: mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan
rangkaian tenggang waktu yang berlangsung antara stimulus yang satu
dengan yang lainnya, kemampuan menghentikan stimulus sebelum waktu
berakhir, dan membatasi intesitas stimulus.
c. Kemampuan memperoleh informasi
Kemampuan memperoleh informasi merupakan kemampuan yang
digunakan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan dan antisipasi
terhadap keadaan dengan berbagai pertimbangan.
d. Kemampuan melakukan penilaian
Kemampuan melakukan penilaian merupakan kemampuan individu
untuk menilai dan menafsirkan peristiwa dengan memperhatikan segi
positif secara positif.
e. Kemampuan mengontrol keputusan
Kemampuan mengontrol keputusan merupakan kemampuan
memilih hasil dari tindakan yang telah diyakini dan disetujuinya.
Kemampuan dalam menentukan pilihan akan berfungsi dengan baik dengan
adanya kesempatan, kebebasan, dan memungkinkan individu memilih
berbagai kemungkinan akibat tindakannya.
Aspek-aspek milik Liebert (1979) dan Averill (Ahyani, 2004) ada
beberapa yang menunjukkan kesamaan dan saling melengkapi. Peneliti dalam
penelitian ini mencoba mensintesakan aspek-aspek dari kedua tokoh diatas yang
kemudian akan digunakan dalam menyusun alat ukur, antara lain:
a. Resist temptation (kemampuan untuk menentang godaan)
b. Delay gratification (kemampuan untuk memaklumi atau menunda
kepuasan)
c. Standard prestasi diri
d. Kemampuan mengontrol keputusan
Siwi (Nurhidayat, 2004) mengungkapkan bahwa kontrol diri pada
individu didasari oleh dua faktor, yaitu faktor sosial dan faktor personal, faktor
sosial adalah faktor dimana individu harus mengontrol perilakunya agar tidak
mengganggu ketenteraman sosial dan melanggar kenyamanan dan keamanan
orang lain. Sedangkan faktor personal adalah untuk belajar mengenai kamampuan,
kebaikan dan hal-hal lain dari lingkungan budayanya.
Sedangkan Latipah (Nurhidayat, 2004) mengungkapkan bahwa kontrol
diri dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, faktor
internal meliputi usia dan kematangan sedangkan faktor eksternal meliputi
lingkungan keluarga dan teman-teman.
Hawari (2003) menjelaskan bahwa pada waktu seseorang mengalami
problem kehidupan yang mengakibatkan dirinya mengalami stress karena tidak
menemukan jalan keluar, maka seringkali ia “melarikan diri” ke napza.
Sebenarnya salah satu kebutuhan dasar manusia adalah rasa terlindung dan aman
yang artinya manusia memerlukan “Pelindung” yaitu Tuhan yang dapat
memberikan rasa ketentraman dan kenyamanan dalam hidup ini dan memberikan
petunjuk dalam penyelesaian berbagai problem kehidupan. Dalam banyak hal
seringkali manusia lupa memohon taufiq dan hidayah Tuhan dalam
menyelesaikan permasalahan kehidupannya, sehingga takut menghadapi
kenyataan, dan karenanya kemudian terlibat penyalahgunaan napza.
Menurut Hawari (2003) terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap pasien
penyalahguna napza ternyata memegang peranan penting, baik dari segi
pencegahan, maupun rehabilitasi. Hasil penelitian Clinebell (Hawari, 2003)
ditemukan bahwa pada setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual
(basic spiritual needs). Kebutuhan dasar spiritual ini adalah kebutuhan
kerohanian, keagamaan dan ke-Tuhan-an yang karena paham materialisme dan
sekulerisme menyebabkan kebutuhan dasar spiritual tadi terabaikan dan
terlupakan tanpa disadari.
Idris (Syafi’i, 1984) mengungkapkan bahwa shalat dalam arti yang
sebenarnya ialah doa kebaikan. Menurut bahasa dalam syari’at ialah beberapa
perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam
dengan syarat tertentu. Sedangkan berdasarkan hadits rasul menurut Bukhari/
muslim (Syafi’i, 1984) mengerjakan shalat sesungguhnya engkau berbisik-bisik
dengan Tuhan. Sari dari shalat menurut Carrol (Syafi’I, 1984) yaitu tuntunan batin
guna memperoleh perhubungan dengan yang ada di luar kenyataan, ialah Yang
Maha Tinggi.
Menurut Hasan, Bigha, Asy-Syafi’i, dan Ash-Shidieqy (Haryanto, 2001)
shalat menurut bahasa Arab yang berarti berdoa memohon kebajikan dan pujian,
sedangkan secara hakikat mengandung pengertian “berhadap hati (jiwa) kepada
Allah dan mendatangkan takut kepada-Nya, Serta menumbuhkan di dalam jiwa
rasa keagungan, kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya”. Sedangkan
secara dimensi fiqih shalat adalah beberapa ucapan atau rangkaian uacapan dan
perbuatan (gerakan) yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang
dengannya seseorang beribadah kepada Allah, dan menurut syarat-syarat yang
telah ditentukan oleh agama.
Ath-Thabary (As-Saqqaf, 1997) mengemukakan bahwa shalat itu
diwajibkan atas orang-orang mukmin sebagai suatu ibadah fardhu yang waktu
wajib untuk melaksanakannya. Shalat wajib dikerjakan dalam agama Islam
meliputi subuh, dzuhur, ashar, maghrib, dan isya. Dengan demikian maka yang
menjadi aspek keteraturan menjalankan shalat wajib meliputi:
a. Menjalankan shalat subuh
Shalat wajib pada waktu subuh yang dikerjakan secara teratur
dalam segala situasi dan kondisi.
b. Menjalankan shalat dzuhur
Shalat wajib pada waktu dzuhur yang dikerjakan secara teratur
dalam segala situasi dan kondisi.
c. Menjalankan shalat ashar
Shalat wajib pada waktu ashar yang dikerjakan secara teratur
dalam segala situasi dan kondisi.
d. Menjalankan shalat maghrib
Shalat wajib pada waktu maghrib yang dikerjakan secara teratur
dalam segala situasi dan kondisi.
e. Menjalankan shalat isya
Shalat wajib pada waktu isya yang dikerjakan secara teratur dalam
segala situasi dan kondisi.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan positif antara keteraturan menjalankan shalat wajib dengan
kontrol diri. Semakin tinggi keteraturan menjalan shalat wajib maka
kontrol diri akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah keteraturan
menjalankan shalat wajib maka kontrol diri akan semakin rendah.
2. Ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan kecenderungan
ketergantungan penyalahgunaan napza pada remaja. Semakin tinggi
kontrol diri maka kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan napza
akan semakin rendah. Sebaliknya, semakin rendah kontrol diri maka
kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan napza akan semakin
tinggi.
3. Ada hubungan negatif antara keteraturan menjalankan shalat wajib dengan
kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan napza. Semakin tinggi
keteraturan menjalankan shalat wajib maka kecenderungan ketergantungan
penyalahgunaan napza akan semakin rendah. Sebaliknya, semakin rendah
keteraturan menjalankan shalat wajib maka kecenderungan ketergantungan
penyalahgunaan napza akan semakin tinggi.
METODE PENELITIAN
Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah remaja putra dan putri berusia antara
18-21 tahun. Mahasiswa yang berdomisili di lingkungan sekitar kampus terpadu
Universitas Islam Indonesia.
Metode Pengumpulan Data
Tiga macam skala yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu skala
kecenderungan penyalahgunaan napza, skala keteraturan shalat, dan skala kontrol
diri.
1. Skala Kecenderungan Penyalahgunaan Napza
Skala kecenderungan penyalahgunaan napza disusun sendiri oleh
peneliti berdasarkan aspek-aspek kecenderungan penyalahgunaan napza dari
Kandel (Kimmel & Weiner, 1995) dan Santrock (2001). Skala ini bertujuan
untuk mengungkap kecenderungan penyalahgunaan napza pada subyek
dengan mengukur aspek-aspek kecenderungan penyalahgunaan napza yang
meliputi; Caffeine, merokok, mengkonsumsi minuman ber-alkohol,
penggunaan soft drugs (mariyuana), dan penggunaan hard drugs (stimultan,
sedatives, hallucinogens, kokain, dan heroin).
Skala kecenderungan penyalahgunaan napza terdiri dari 30 aitem, yang
disusun sebagai sebuah cerita dengan suasana sedemikian rupa sehingga
individu dihadapkan pada situasi yang memungkinkan munculnya
kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan napza tersebut.
2. Skala Keteraturan Menjalankan Shalat Wajib
Keteraturan menjalankan shalat wajib diukur dengan menggunakan
skala keteraturan menjalankan shalat wajib yang disusun sendiri oleh peneliti
berdasarkan aspek-aspek dari Ath-Thabary (As-Saqqaf, 1997) yang meliputi
keteraturan menjalankan shalat subuh, keteraturan menjalankan shalat dzuhur,
keteraturan menjalankan shalat ashar, keteraturan menjalankan shalat maghrib,
dan keteraturan menjalankan shalat isya’.
Skala keteraturan menjalankan shalat wajib terdiri dari 30 aitem, skala
ini dibuat sebagai sebuah cerita dengan suasana sedemikian rupa sehingga
individu dihadapkan pada situasi yang memungkinkan munculnya keteraturan
menjalankan shalat wajib.
3. Skala Kontrol Diri
Kemampuan kontrol diri subyek diukur dengan menggunakan skala
kontrol diri yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang
merupakan sintesa dari aspek-aspek kontrol diri milik Liebert (1979) dan
Averill (Ahyani, 2004), terdiri dari; kemampuan untuk menentang godaan,
kemampuan untuk memaklumi atau menunda kepuasan , Standard prestasi
diri, dan kemampuan mengontrol keputusan.
Skala kontrol diri terdiri dari 24 aitem, yang di susun sebagai sebuah
cerita dengan suasana sedemikian rupa sehingga individu dihadapkan pada
situasi yang memungkinkan munculnya kontrol diri tersebut.
Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan statistik
korelasi product moment dari Pearson untuk mengukur: 1. Hubungan antara
keteraturan menjalankan shalat wajib dengan kontrol diri; 2. Hubungan antara
kontrol diri dengan kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan napza; 3.
Hubungan negatif antara keteraturan menjalankan shalat wajib dengan
kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan napza. Analisis regresi sebagai
analisis tambahan dalam penelitian ini digunakan untuk melihat bagaimana
hubungan ketiga variabel secara keseluruhan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi
sebelum menganalisa data dengan teknik korelasi product moment dari Pearson
adalah apabila variabel yang hendak diukur keduanya linear, untuk itu perlu
dilakukan uji normalitas dan uji linearitas. Semua penghitungan akan diproses
dengan bantuan komputer menggunakan aplikasi program SPSS seri 11.5 for
windows.
Hasil Penelitian
Deskripsi Subyek Penelitian
Jumlah subyek yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 82 subyek,
berusia antara 18-21 tahun. Pengambilan data dilakukan di dua tempat yaitu
lingkungan kampus dengan subyek sebanyak 60 orang, dan lingkungan kos yang
berada di sekitar kampus dengan subyek sebanyak 22 orang.
Uji Normalitas
Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa skor variabel Keteraturan
Menjalankan Shalat Wajib adalah normal (K-SZ = 0.699 atau p > 0.01), variabel
Kontrol Diri adalah normal (K-SZ = 0.499 atau p > 0.01), dan variabel
Kecenderungan Ketergantungan Penyalahgunaan Napza adalah normal (K-SZ =
0.040 atau p > 0.01).
Berdasarkan hasil uji linearitas antara variabel keteraturan menjalankan
shalat wajib dengan kontrol diri, didapatkan p linearity = 0.000 atau p < 0.01,
dan p Deviation from linearity = 0.250 atau p > 0.01, yang berarti bahwa antara
variabel keteraturan menjalankan shalat wajib dengan kontrol diri dapat dikatakan
memiliki hubungan yang linear.
Variabel kontrol diri dan kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan
napza, berdasarkan hasil uji linearitas memiliki p linearity = 0.001 atau p < 0.01,
dan p Deviation from linearity = 0.231 atau p > 0.01, yang berarti bahwa antara
variabel kontrol diri dengan kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan
napza sama-sama memiliki hubungan yang linear.
Uji Hipotesis
Uji hipotesis penelitian dilakukan dengan teknik korelasi product moment
dari Pearson, karena ternyata antara variabel bebas dan variabel tergantung
memiliki hubungan yang linear yang memungkinkan penggunaan teknik korelasi
dari Pearson. Uji hipotesis ini selanjutnya akan dilakukan dengan bantuan
program SPSS 11.5 For Windows,
Berdasarkan hasil uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa antara variabel
keteraturan menjalankan shalat wajib dan kontrol diri memiliki hubungan positif
yang sangat signifikan (r = 0.433 dan p = 0.01 atau p < 0.01).
Berdasarkan hasil uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa antara variabel
kontrol diri dan kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan napza memiliki
hubungan negatif yang sangat signifikan (r = -0.361 dan p = 0.001 atau p < 0.01).
Berdasarkan hasil uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa antara variabel
keteraturan menjalankan shalat wajib dengan kecenderungan ketergantungan
penyalahgunaan napza memiliki hubungan negatif yang sangat signifikan (r = -
0.295 dan p = 0.004 atau p < 0.01).
Pembahasan
Berdasarkan hasil uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa antara variabel
keteraturan menjalankan shalat wajib dan kontrol diri memiliki hubungan positif
yang sangat signifikan. Dengan demikian maka, hipotesis pertama penelitian
tentang ada hubungan positif yang signifikan antara keteraturan menjalankan
shalat wajib dengan kontrol diri, dapat diterima.
Hipotesis kedua tentang ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan
kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan napza juga dinyatakan dapat
diterima, karena berdasarkan hasil uji hipotesis dapat diketahui bahwa antara
variabel kontrol diri dan kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan napza
memiliki hubungan negatif yang sangat signifikan.
Hubungan antara keteraturan menjalankan shalat wajib dengan
kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan napza juga terbukti memiliki
hubungan negatif yang sangat signifikan.
Selain fisik dan psikis, manusia memiliki unsur ke-Illahian didalam
dirinya. Seperti telah dijelaskan oleh Clinebell (Hawari, 2001) yang mengatakan
bahwa pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar
spiritual/kerohanian (basic spiritual needs). Shalat pada dasarnya, adalah suatu
sarana untuk manusia agar dapat memenuhi kebutuhan spiritual ini, karena
pelaksanaan shalat tak lain adalah jembatan penghubung antara manusia dengan
Allah SWT.
Remaja muslim (beragama islam) yang berusia antara 18– 21 tahun secara
normal baik fisik maupun psikis telah memenuhi syarat-syarat untuk dikenakan
kewajiban menjalnkan shalat lima waktu.
Ancok & Suroso (1994) menjelaskan lebih lanjut tentang peranan shalat
bagi kesehatan jiwa, yang terdiri dari; 1) aspek olah raga, 2) aspek meditasi, 3)
aspek auto sugesti, dan 4) aspek kebersaman. Kemudian oleh Haryanto (2001)
ditambahkan lagi bahwa peranan shalat selain seperti yang telah disebutkan di atas
masih memiliki fungsi yang lain, salah satunya adalah sebagai sarana
pembentukkan kepribadian.
Daradjat (1989) menjelaskan bahwa shalat lima waktu merupakan latihan
pembinaan disiplin dan kontrol diri. Ketaatan melaksanakan shalat pada
waktunya, menumbuhkan kebiasaan untuk secara teratur dan terus menerus
melaksanakannya pada waktu yang ditentukan. Begitu waktu shalat tiba, orang
yang taat beribadah akan segera tergugah hatinya untuk melaksanakan kewajiban
shalat, Remaja yang teratur menjalankan shalat wajib, akan memiliki pola
kepribadian, khususnya kontrol diri yang baik pula, seperti yang telah dijabarkan
pada bab-bab sebelumnya tentang keutamaan shalat. Ditambahkan oleh janji
Allah dalam Q. S. Al-Ankabut ayat 45 yang mengatakan bahwa melaksanakan
shalat akan menghindarkan kita dari perbuatan keji dan mungkar.
Kontrol diri merupakan bagian dari kepribadian seseorang. Shaffer (1994)
mengatakan bahwa kontrol diri adalah sesuatu yang sangat penting. Jika seseorang
tidak mampu mengatasi segala tekanan dan mengontrol dirinya, maka yang terjadi
adalah salah satunya tindak kekerasan dengan melanggar hak orang lain dan
melanggar aturan.
Penyalahgunaan napza pada remaja, terlebih lagi sampai pada tahap
ketergantungan, merupakan salah satu bentuk pelanggaran aturan, norma, dan
nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat, sehingga kontrol diri, yang dalam penelitian
ini memberikan sumbangan relatif 13.1% kepada kecenderungan ketergantungan
penyalahgunaan napza, berperan dalam menurunkan tingkat kecenderungan
ketergantungan penyalahgunaan napza pada remaja, meskipun tidak dapat
dipungkiri bahwa masih ada 86.9% sumbangan dari variabel yang lain seperti
misalanya variabel assertivitas dalam penelitian Nurhidayat (2004), dan lain
sebagainya.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa keteraturan menjalan shalat
wajib akan mempengaruhi kontrol diri, kemudian kontrol diri akan mempengaruhi
kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan napza. Jika seorang remaja
diketahui terlibat penyalahgunaan napza, maka yang perlu ditanyakan adalah
sejauhmana kontrol diri yang dimiliki, atau dapat langsung diamati dari
bagaimana keteraturan menjalankan shalat wajibnya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
1. Ada hubungan positif yang sangat signifikan (r = 0.433 pada level 0.01)
antara keteraturan menjalankan shalat wajib dengan kontrol diri. Jika
keteraturan menjalankan shalat wajib semakin tinggi, maka kontrol diri
juga akan semakin tinggi. Sebaliknya, jika keteraturan menjalankan shalat
wajib semakin rendah, maka kontrol diri juga akan semakin rendah.
2. Ada hubungan negatif yang sangat signifikan (r = -0.361 pada level 0.01)
antara kontrol diri dengan kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan
napza. Jika kontrol diri tinggi maka kecenderungan ketergantungan
penyalahgunaan napza akan rendah. Sebaliknya, jika kontrol diri rendah
maka kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan napza akan tinggi.
3. Ada hubungan negatif yang sangat signifikan signifikan (r = -0.295 pada
level 0.01) antara keteraturan menjalankan shalat wajib dengan
kecenderungan ketergantungan penyalahgunaan napza. Jika keteraturan
menjalankan shalat wajib tinggi maka kecenderungan ketergantungan
penyalahgunaan napza akan rendah. Sebaliknya, jika keteraturan
menjalankan shalat wajib rendah maka kecenderungan ketergantungan
penyalahgunaan napza akan tinggi.
Saran
1. Bagi Subyek Penelitian
Narkotika, psikotropika, daan zat adiktif lainnya (napza) adalah baik dan
bermanfaat jika digunakan semestinya, tetapi jika untuk disalahgunakan maka
sebaiknya erani untuk mengatakan tidak kepada orang lain yang mengajak, atau
minimal kepada diri sendiri.
Penelitian ini dan penelitian-penelitian terdahulu telah banyak menjelaskan
tentang hal-hal yang dapat mempengaruhi seseorang sehingga ia menjadi pecandu
(junkie). Penelitian ini misalnya, telah menjelaskan bahwa keteraturan
menjalankan shalat wajib, dan kontrol diri akan mampu mengurangi
kecenderungan-kecenderungan tersebut.
Subyek penelitian dengan ini diharapkan untuk mempertebal keimanan
dan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan mengerjakan shalat wajib lebih teratur
lagi, dan lebih khusyu lagi, karena Allah SWT-pun pada dasarnya telah
menunjukkan hakikat shalat wajib di dalam Al-quran bahwa Shalat mencegah
perbuatan keji dan Munkar. Dengan shalat yang rajin dan khusyu maka kontrol
diri akan terbangun lebih kuat lagi. Hal inilah kiranya salah satu yang
membentengi diri kita agar terhindar dari perilaku penyalahgunaan napza.
2. Bagi Lingkungan Kampus dan pengelola Kos
Mahasiswa bukan sekedar ladang untuk berbisnis yang akan terus
mengalirkan uang, tetapi mereka juga manusia yang akan terus tumbuh dan
berkembang, yang dikemudian menjadi pilar-pilar bangsa ini. Sudah sepatutnya
bagi para pengelola kos dan lingkungan kampus untuk tidak hanya
mengumpulkan uang sewa dan lain sebagainya dari para mahasiswa yang tinggal
di kos-kosan melainkan menjadi orang tua kedua bagi mereka saat mereka
merantau di tanah orang. Pengelola kos dan lingkungan kampus hendaknya daapat
menyatu dengan kesulitan mahasiswa, memandu dan mengarahkan mereka agar
segala masalah mereka tidak diselesaikan lewat botol minuman keras melainkan
lewat forum yang kekeluargaan dalam satu kos, atau melaksanakan shalat wajib
secara berjamaah dengan para mahasiswa atau para anak kos. Monitoring juga
sangat penting untuk melihat segala tindak-tanduk mereka. Ingatkan mereka jika
mereka telah menyimpang dari tujuan keberadaannya di Yogyakarta yaitu belajar.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan mampu meneliti permasalahan napza
dengan lebih mendalam lagi seperti dengan metode triangulasi untuk
mendapatkan data yang lebih banyak dan detail, yang dikemudian hari dapat
digunakan sebagai suatu acuan langkah kongkret dalam proses penanggulangan
masalah napza.
DAFTAR PUSTAKA Ahyani, F.R., 2004, Fenomena kontrol diri sebagai salah satu upaya untuk tidak
relaps pada penyalahgunaan narkoba dikalangan mahasiswa. Laporan studi kasus (tidak diterbitkan), Yogyakarta: Program Pendidikan Profesi Psikolog, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Ancok, D., Suroso, F.N., 1994, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-
Problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Anshari, M. H., 1996, Kamus Psikologi, Surabaya: Usaha Nasional
Badan Narkotika Propinsi Yogyakarta, 2004, Bahan Informasi: Pencegahan Penyalahgunaan dan Pemberantasan Peredaran gelap Narkoba (P4GN), Yogyakarta: Sekretariat Dinas Ketentraman dan Ketertiban Umum Propinsi DIY
Beja, 2004, Fenomena Masalah Narkoba di Yogyakarta (makalah seminar),
Yogyakarta: Poltabes Yogyakarta Burger, J.M. 1989. Negative Reaction : to Increase in Perceived Personal Control.
Journal of Personality And Social Psychology 56 (2). 246-256 Calhoun, J.F & Acocella, J.R. 1990. Psychology of Adjusment and Human
Relationship. Third edition. New York. Mc. Graw Hill Daradjat. Z., 1989, Shalat Menjadikan Hidup Bermakna, Jakarta: YPI Ruhama Haryanto, F. R., 2001, Psikologi Shalat; aspek-aspek psikologis ibadah shalat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hawari, D., 1997, Al-Quran; Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.
Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa Hawari, D., 2002, Konsep Agama Islam Menanggulangi Naza, Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa Hawari, D., 2003, Penyalahgunaan dan Ketergantungan Naza (Narkotika,
Alkohol, dan Zat Adiktif), Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Hetherington, E. M. And Parke, R.D 1993. Child Psyhology a Contemporary
Viewpoint. Tokyo: Mc. Grawhill Kogakusha, Ltd
Hurlock, E.B, 1997. Perkembangan Anak. Jillid 1. Edisi Keenam (Alih Bahasa oleh Med. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih). Jakarta: erlangga
Kimmel, D. C., Weiner, I. B., 1995, Adolescen; A Developmental Transition, 2nd
Edition. New York: John Willey & Sons. Inc Latipah, E., 2002. Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Agresivitas,
Kontrol Diri dan Optimisme. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM
Lazarus, R. S., 1976, Patern of Adjusment. Third Edition, Tokyo: Mc Graw Hill
Kogakusha, LTD Liebert, R. M., Poulos, R. W., Marmor, G. S., 1979, Developmental Psychology.
2nd Edition, New Delhi: Prentice Hall of India Martin G., Joseph P., 1996, Behavior Modification. What It Is and How To Do It,
London: Prentice Hall International, inc Misa,, A., 2002, Menjernihkan batin dengan shalat khusyu’, Yogyakarta: Mitra
Pustaka
Monks, F. J, Knoers, A. M. P, Haditono, S. R, 2001, Psikologi Perkembangan. Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada Unirversity Press
Nurhidayat, A., 2004, Hubungan antara assertivitas dan kontrol diri dengan
kecenderungan penyalahgunaan napza pada remaja. Skripsi (tidak diterbitkan), Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia
Santrock, J. W., 2001, Adolescent, 8th Edition., Boston: Mc Graw Hill Shaffer, D. R., 1994, Social and Personality Development. 3rd Edition, California:
Pacific Grove Syafi’i, A., 1984, Pengantar shalat yang khusyu’, Bandung: Remadja Karya
Ubaydillah, A. N., 2003, Membangun Optimisme Membumi. http://www.e-psikologi.com/dewasa/200103.htm
Zulkarnain, 1997, Hubungan Control Diri dengan Kreativitas Pekerja, Skripsi,
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM