Download - Pendarahan Post Partum Irwan 103
Pendarahan Post Partum
Irwan Santoso 102008103
Kelompok C4
Mahasiswa Semester VI
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
www.ukrida.ac.id
1
Pendahuluan
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500 – 600 ml selama 24 jam setelah anak
lahir. Perdarahan postpartum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500 – 600 cc dalam 24
jam setelah anak dan plasenta lahir. Haemoragic Post Partum ( HPP ) adalah hilangnya darah leih
dari 500 ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi. Normalnya, perdarahan dari tempat
plasenta terutama dikontrol oleh kontraksi dan retraksi anyaman serat-serat otot serta agregasi
trombosit dan trombus fibrin di dalam pembuluh darah desidua. Perdarahan postpartum dibagi
atas dua bagian yaitu perdarahan postpartum dini dan lanjut. Perdarahan postpartum dini adalah
perdarahan yang berlebihan selama 24 jam pertama setelah kala tiga persalinan selesai,
sedangkan perdarahan postpartum lanjut adalah perdarahan yang berlebihan selama masa nifas,
termasuk periode 24 jam pertama setelah kala tiga persalinan selesai. Dalam makalah ini akan
dibahas secara lebih luas mengenai perdarahan postpartum. Mengenai penyebabnya, gejala
klinis, faktor resiko, penatalaksanaan dari perdarahan postpartum. 1
Anamnesis
1. Identitas : Sering terjadi pada ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun
2. Keluhan utama : Perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar keringat
dingin, kesulitan nafas, pusing, pandangan berkunang-kunang.
3. Riwayat kehamilan dan persalinan : Riwayat hipertensi dalam kehamilan, preeklamsi /
eklamsia, bayi besar, gamelli, hidroamnion, grandmulti gravida, primimuda, anemia,
perdarahan saat hamil.
4. Riwayat kesehatan : Kelainan darah dan hipertensi
Data Objektik
Pemeriksaan Umum: Takikardi dan hipotensi menunjukan hipovolemia karena kehilangan darah
yang banyak.
Pemeriksaan abdomen: Temuan-temuan tergantung pada faktor kausatif. Dicurigai atonia uteri
bila uterus membesar, lunak dan terbenam. Fundus uteri yang terkontraksi kuat memberi kesan
adanya laserasi traktus genitalis.
Pemeriksaan Pelvis: Penting untuk evaluasi uterus, integritas uterus, jaringan plasenta yang
tertahan, laserasi traktus genitalis.1
2
Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : Normal/turun ( kurang dari 90-100 mmHg)
Nadi : Normal/meningkat ( 100-120 x/menit)
Pernafasan : Normal/ meningkat ( 28-34x/menit )
Suhu : Normal/ meningkat
Kesadaran : Normal / turun
Fundus uteri/abdomen : lembek/keras, subinvolusi
Kulit : Dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat, capilary refil memanjang
Pervaginam : Keluar darah, robekan, lochea ( jumlah dan jenis )
Kandung kemih : distensi, produksi urin menurun/berkurang 1
Waktu pengisian kapiler dievaluasi dengan memberi tekanan pada ujung jari, setelah
tampak kemerahan, segera lepaskan tekanan dan lihat apakah pada ujung jari segera
kembali ke kulit normal. Pada beberapa kondisi menurun atau menghilangnya denyut
nadi, pucat, kulit dingin, kulit jari yang tipis dan rambut yang tidak tumbuh, merupakan indikasi
iskemia, dengan capilary refill lebih dari 40 detik.
Normal : 10-15 detik
Iskemia sedang : 15-25
Iskemia berat : 25-40
Iskemia sangat berat : >40
Masa bayi atau usia satu tahun pertama dibagi menjadi periode neonatus (usia 28 hari
yang pertama) dan periode pascaneonatus (usia 29 hari hingga 1 tahun). Sering kali pemeriksaan
pediatrik pertama yang dikerjakan selain di ruang melahirkan juga dilakukan di rumah sakit
dalam waktu 24 jam sesudah bayi dilahirkan.
Jika mungkin, lakukan pemeriksaan fisik bayi dihadapan orang tuanya agar mereka dapat
berinteraksi dengan anda dan mengajukan pertanyaan. Sering kali orang tua mempunyai
3
pertanyaan spesifik tentang penampakan bayi mereka sehingga penjelasan anda bahwa hasil
pemeiksaan anda atau bayinya itu normal, dapat cukup mengurangi rasa khawatir mereka. Saat
pemeriksaan juga merupakan waktu yang sangat baik untuk mengamati ikatan orang tua dengan
bayi yang baru dilahirkan dan juga untuk memeriksa apakah saat menyusui bayi mengisap
dengan benar. Untuk menemukan permasalahannya secara dini, coba amati sendiri pemberian
ASI oleh ibu. Menyusui merupakan tindakan yang optimal secara fisiologi maupun psikologi,
namun banayk ibu memerlukan bantuan dan dukungan orang lain. Deteksi dini kesulitan dan
pemberian panduan untuk mengantisipasi permasalahan dapat meningkatkan dan meneruskan
pemberian ASI. 2
Neonatus berada dalam keadaan paling responsif selama 1-2 jam sesudah menyusu,
ketika bayi tersebut masih belum terlalu kenyang (yang akan menjadikan dirinya kurang
responsif) atau tidak terlalu lapar (yang sering membuatnya rewel). Pemeriksaan yang dimulai
pada saat bayi sudah terbedung dan merasa nyaman merupakan hal yang amat membantu.
Kemudian, tanggalkan pakaian bayi ketika pemeriksaan dilakukan dan dengan demikian,
rangsangan serta gerakan yang dapat membangunkan bayi dari tidurnya terjadi secara bertahap.
Jika bayi menjadi rewel, gunakan dot atau botol susu (jika tidak disusui sendiri) atau biarkan
bayi itu mengisap jari tangan anda (yang mengenakan sarung tangan) atau jarinya sendiri. Anda
dapat pula membedung bayi kembali untuk membuatnya diam dalam waktu lama sehingga anda
dapat menyelesaikan pemeriksaan yang memerlukan pemeriksaan yang memerlukan ketenangan
bayi. 2
Pemeriksaan Neonatus
Sejumlah teknik akan membantu anda dalam menilai tingakat perkembangan neonatus.
Teknik-teknik ini sering merupakan bagian dalam pemeriksaan fisik pediatrik yang terbatas
untuk skrining dan dilakukan segera sesudah bayi dilahirkan. 2
Pemeriksaan Segera Saat Lahir: Adaptasi Terhadap Kehidupan Ekstrauteri. Pemeriksaan
neonatus yang dilakukan segera sesudah kelahirannya merupakan tindakan yang penting untuk
menentukan keadaan umum, status tumbuh kembang, kelainan pada perkembangan
gestasionalnya, dan keadaan anomali kongenital. Pemeriksaan ini dapat mengungkapkan
penyakit yang berasal dari jantung, sistem respiratorius, atau neurologi. Lakukan auskultasi
dengan stetoskop pada toraks anterior, kemudian lakukan palpasi abdomen dan inspeksi kepala,
wajah, rongga mulut, ekstremitas, genitalis, serta perineum.
4
Skor APGAR. Skor Apgar merupakan pemeriksaan awal yang penting untuk bayi segera setelah kelahirannya. Pemeriksaan ini terdiri atas lima komponen
untuk menggolongkan pemulihan status neurologi neonatus dari proses kelahirannya dan kemampuan adaptasinya yang segera terhadap kehidupan ekstra uteri.
Lakukan pemeriksaan pada setiap neonatus menurut tabel berikut ini yang harus dikerjakan pada menit pertama dan ke-5 sesudah bayi dilahirkan. Skoring didasarkan
pada skala yang terdiri atas tiga nilai (0,1, atau 2) untuk setiap komponen. Skor total dapat berkisar dari 0 hingga 10. Skoring dapat dilanjukan dengan interval 5 menit
sekali sampai angka skornya lebih dari 7. Jika skor Apgar 5 menit adalah 8 atau lebih, lanjutkan penilaian tersebut dengan pemeriksaan yang lebih lengkap. 2
Sistem Skoring
Apgar
Skor yang
ditetapkan
Tanda Klinis 0 1 2
Frekuensi jantung Tidak terdengar <100 >100
Upaya bernapas Tidak ada Lambat dan ireguler Baik, kuat
Tonus otot Flasid Fleksi pada lengan
dan tungkai
Gerakan aktif
Refleks Tidak ada respons Menyeringai Menangis kuat,
bersin, atau batuk
warna Biru, pucat Badan merah muda,
ekstremitas biru
Seluruh tubuh
berwarna merah
muda
Skor Apgar
1 menit 5 menit
0-4 Depresi berat, memerlukan
resusitasi segera
0-7 Beresiko tinggi untuk
terjadinya disfungsi
selanjutnya pada sistem saraf
pusat dan organ lain
5-7 Depresi sistem saraf
8-10 Normal Normal
5
Pemeriksaan Penunjang
1. Hitung darah lengkap
Untuk menetukan tinghkat hemoglobin ( Hb ) dan hematokrit ( Hct ), melihat adanya
trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi
2. Menentukan adanya gangguan kongulasi
Dengan hitung protombrin time ( PT ) dan activated Partial Tromboplastin Time
( aPTT ) atau yang sederhanadengan Clotting Time ( CT ) atau Bleeding Time ( BT ).
Ini penting untuk menyingkirkan garis spons desidua.
USG Postpartum
Masa nifas adalah enam minggu pasca persalinan. Pada periode ini terjadi perubahan drastic dari
organ genitalia menuju kondisi sebelum hamil.
Uterus. Ukuran uterus nulipara sama seperti uterus postpubertas. Sedangkan uteris multipara
sedikit lebih besar dari nulipara, rata-rata 12 mm lebih besar. Bila posisi uterus antefleksi, maka
penilaian keadaan uterus lebih mudah disbanding posisi retrofleksi. Untuk kepentingan klinis
praktis, ukuran uterus 80x40x50 mm (longitudinal antero posterior transversa) masih dapat
dianggp normal. 3
Pada masa nifas, involusi uteris paling cepat terjadi dalam minggu pertama, dimana
pengecilannya dapat mencapai 50% dari ukuran uterus aterm, kira-kira setinggi pertengahan
jarak antara umbilicus dan simfisis pubis. Pengecilan uterus lebih cepat pada persalinan preterm,
sedangkan factor paritas, ASI atau susu botol dan cara persalinan tidak terbukti berpengaruh
pada proses involusi uteris.3
Miometrium. Tekstur normal miometrium pada setiap kelompok umur hamper sama,
ekhogenitasnya rendah sampai sedang dan relative homogeny. Kadang-kadang dapat dilihat
pembuluh darah kecil di daerah serosa uterus. Dengan Doppler berwarna akan lebih tampak
perbedaan antar pembuluh darah normal dan struktur patologi, misalnya gambaran dehisen
jaringan atau rupture uteri. 3
Pada massa nifas dapat terlihat adanya pelebaran vena-vena intramiometirum yanjg
tampak sebagai daerah memanjang berkelok dan anekhoik. Gambaran vascular terse but akan
6
menghilang bersamaan dengan involusi uterus. Miometrium tampak heterogen, terutama
berkaitan dengan perubahan struktur anatomis pembuluh darah, perubahan aliran darah, dan
derajat resolusi edema jaringan dan kandungan cairan intrasel.
Endometrium. Lapisan endometrium terdiri dari lapisan yang menetap (stratum basalis) dan
lapisan fungsional yang berubah secara siklik. Lapisan fungsional terdiri dari lapisan tipis
(stratum kompaktum) dan lapisan tebal (stratum spongiosum). Daerah perbatasan antara
miometrium dan endometrium memberikan gambaran halo hipoekhoik, yang dibentuk oleh
stratum basalis dan stratum kompaktum.
Ketebalan stratum basalis tidak berubah selama siklus hadi berlangsung. Ketebalan
endometrium dikur pada potongan longitudinal uterus, diambil di daerah korpus uteri yang
memberikan gambaran terbesar, diukur dari tepi stratum basali ke stratum basalis kontralateral
(kedua lapisan endometrium diukur sekaligus).
Pada masa nifas, endometrium tampak tipis(kurang dari 5 mm), sesuai dengan gambaran
stratum basalis. Pada perbatasan endometrium dengan miometrium tampak daerah yang lebih
hipoekhoik (tanda halo). Bila terjadi infeksi misalnya endometrtitis, daerah halo tersebut tidak
tampak atau menjadi irregular. Tindakan kuretase yang dalam dapat merusak stratum basalis
endometrium sehingga terjadi sindroma Asherman. Pada sindrom ini gambaran endometrium
sulit dikenali.
Kavum Uteri. Pada awal masa nifas, diameter kavum uteri pada potongan longitudinal adalah
kurang dari 2 cm, dan dikatakan patologis bila lebih dari 2,5 cm karena berkatian dengan adanya
hipotonia uteri atau sisa konsepsi.
Kadang-kadang di dalam kavum uteri ditemukan masa ekhogenik yang merupakan
bekuan darah atau sisa selaput ketuban yang tidak ikt keluar pada saat persalinan. Pemeriksaan
USG transvaginal lebih baik dalam menentukan adanya sisa plasenta atau selaput ketuban.
Ligamentum Latum. Merupakan peritoneum parietal yang berjalan kea rah medial dari dinding
pelvis di antara ligamentum infundibulopelvikum menuju lateral uterus, kiri, dan kanan serta
meluas ke bawah menuju dasar panggil. Di dalam ligamentum berjalan pembuluh darah yang
memperdarahi uterus dan tuba fallopii.
Dalam keadaan normal, ligamentum latum sulit dikenali karena tipis dan homogeny.
Daerah ini merupakan daerah yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya bekuan darah,
abses, atau flegmon pada masa nifas. Pada hematoma di daerah ligamentum latum akan tampak
7
massa dengan batas tidak tegas, berisi ekhointernal kasar dan terasa nyeri pada penekanan. Di
samping massa tersebut tampak gambaran uterus. Bila diduga ada hematom, pemeriksaan USG
harus dilakukan secara berkala untuk mengukur perubahan volume massa dan hasilnya
dibandingkan dengan keadaan klinis pasien.
Serviks uteri. Perbandingan panjang korpus dengan serviks uteri berubah sesuai dengan
semakin bertambahnya umur wanira. Pada masa kanak-kanak ratio korpus:serviks adalah 1:2,
dan pada usia dewasa menjadi 2:1. Pada hipoplasia uteri, proporsi uterus tampak normal. Bentuk
serviks seperti silinder, terdiri dari jaringan ikat fibrosa dan elastic serta serabut otot polis.
Panjang serviks diukur dari Ostium Uteri Internum (OUI) sampai Ostium Uteri
Eksternum(OUE), sekitar 40 mm. kanalis servikalis dilapisi oleh epitel yang bereaksi terhadap
hormone ovarium.
Esterogen memicu produksi mucus serviks yang berperan pointing dalam migrasi
spermatozoa. Pada saat menstruasi, kanalis servikalis tampak sebagai gambaran garis ekogenik
bercampur hipoekhoik. Jaringan ikta serviks member gambaran echo menengah. Dinding
anteriot posterior kanalis servikaslis tampak sebagai garis ekhogenik. Estrogen yang meningkat
menjelang ovulasi menyebabkan hilangnya atau berkurangnya gambaran ekogenitas kanalis
servikalis. Diameter terbesar kanalis servikalis terjadi pada saat ovulasi yaitu 4-5 mm.
Pada minggu pertama masa nifas, kanalis servikalis masih tampak terbuka, dan akan
mengecil kembali secara bertahap.
Ovarium. Volume ovarium wanita dewasa sekitar 7-7,5 ml (normalnya < 10 ml) dan ukurannya
ini dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran folikel yang ada di dalamnya. Saat ini pemeriksaan USG
transvaginal lebih disukai untuk evaluasi ovarium secara sonografis karena memberikan
gambaran dengan resolusi yang lebih baik dari USG transabdominal.
Gambaran ovarium pada fase menstriuasi memiliki ekogenitas sedang, berbatas tegas,
dan terletak pada tepi lateral ligamentum latum. Ovarium dapat terletak di kavum douglassi
hingga rongga abdomen bagian bawah, hal ini disebabkan ovarium memiliki ligamentum yang
meungkinkan berisfat mobile. Seringkali ovarium terdorong ke atas oleh vesika urinaria yang
terisi penuh, sehingga terletak anterior dan lateral vassa iliaka.
Letak ovarium juga dapat berubah bila terdapat patologi di sekitar ovarium tersebut,
misalnya mioma uteri subserosum di daerah kornu uterus akan mendesak ovarium ke lateral,
anterior, atau posterior. Pada nulipara, sumbu panjang ovarium terletak kraniokaudal, menempati
8
fossa ovarika di darah dinding lateral pelvic di antara arteri iliaka eksterna (anterior) dan arteri
iliaka interna (posterior). 3
Pada awal masa nifas ovarium terletak di luar rongga pelvic dan hanya dapat
ditampakkan pada sekitar 50% wanita. Bersamaan dengan mengecilnya uterus, maka letak
ovarium juga akan kembali intrapelvik. Bila pada masa kehamilan ditemukan adanya patologi
ovarium, maka sebaiknya dilakukan usg transvaginal untuk melihat apakah patologi tersebut
masih ada atau tidak dan menimbulkan penyulit atau tidak, misalnya kistra terpuntur atau pecah. 3
Postpartum Hemorrhage pada USG
Terdapat dua bentuk PPH yaitu PPH dini (primer) yang terjadi dalam 24 jam, dan PPH lambar
(sekunder) yang terjadi setelah 24 jam. Kejadian PPH sekunder lebih jarang terjadi, diperkirakan
sekitar 1 % dan berkatian dengan sisa plasenta atau subinvolusi tempat implantasi plasenta.
Tindakan dilatasi dan kuretase pada masa nifas meningkatkan kemungkinan pembentukan
jaringan parut (sinekhia), sindroma asherman, dan infertilitas.
Sisa plasenta memberikan gambaran massa kompleks di kavum uteri, berbentuk irregular,
batas bias tidak tegas bila terdapat plasenta akreta, inkreta, atau perkreta, dan dinding kavum
uteri irregular. Kavum uteri terbuka lebih dari 2,5 cm dan berisi cairan (darah). Selaput ketuban
memberikan gambaran hiperkhoik b atas tidak tegas, dan bentuknya irregular. Adanya infeksi
atau sisa plasenta dapat menyebabkan involusi uterus. 3
Pemeriksaan Khusus
Observasi setiap 8 jam untuk mendeteksi adanya tanda – tanda komplikasi dengan
mengevaluasi system dalam tubuh. Pengkajian ini meliputi:
1. Nyeri / ketidaknyamanan. Nyeri tekan uterus ( fragmen – fragmen plasenta tertahan )
2. Sistem vaskuler
a. Perdarahan diobservasi setiap 2 jam selama 8 jam 1, kemudian tiap jam
berikutnya.
b. Tensi diawasi setiap 8 jam.
9
c. Apakah ada tanda – tanda trombosis, kaki sakit, bengkak dan merah.
d. Haemorroid diobservasi, konjungtiva anemis / sub anemis, defek koagulasi
congenital, idiopatik trombositopeni purpura.
3. Sistem reproduksi
a. Uterus diobservasi tiap 30 menit selama empat hari postpartum, kemudian tiap 8
jam selama 3 hari meliputi tinggi fundus uteri dan posisinya serta konsistensinya.
b. Lochea diobservasi setiap 8 jam selama 3 hari terhadap warna, banyak dan bau.
c. Perineum diobservasi tiap 8 jam untuk melihat tanda – tanda infeksi, luka jahitan
dan apakah ada jahitan yang lepas.
d. Vulva dilihat, apakah ada edema atau tidak.
e. Payudara dilihat kondisi aerola, konsistensi dan kolostrum.
f. Tinggi fundus atau badan terus gagal kembali pada ukuran dan fungsi sebelum
kehamilan ( sub involusi ).
4. Traktus Urinarius
Diobservasi tiap 2 jam hari pertama. Meliputi miksi lancer atau tidak, spontan dan
lain – lain.
5. Traktur gastro intestinal.
Observasi terhadap nafsu makan dan obstipasi.
WORKING DIAGNOSIS
Perdarahan Post Partum (PPH) et causa Atonia Uteri
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 cc dalam 24 jam pertama
disebut juga perdarahan primer, sedang perdarahan sesudah 24 jam setelah anak lahir disebut
perdarahan sekunder.
Perdarahan post partum adalah sebab penting pada kematian ibu, dimana ¼ dari kematian
ibu yang disebabkan oleh perdarahan (perdarahan post partum, placenta praevia, solusio
placenta, kehamilan ektopik, dan ruptur uteri).
Ada juga perdarahan post partum ini tidak menyebabkan kematian, kejadian ini sangat
mempengaruhi morbiditas nifas karena anemia mengurangkan daya tahan, maka dari itu tugas
kita amat penting untuk mencegah perdarahan yang banyak tersebut.4
10
Perdarahan postpartum dapat terjadi karena terlepasnya sebagian plasenta dari rahim dan
sebagian lagi belum, karena perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri. Atoni uteri
merupakan sebab terpenting perdarahan postpartum. Atonia uteri dapat terjadi karena proses
persalinan yang lama, pembesaran rahim yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada hamil
kembar atau janin besar, persalinan yang sering (multiparitas) atau anestesi yang dalam. Atonia
uteri juga dapat terjadi bila ada usaha mengeluarkan plasenta dengan memijat dan mendorong
rahim ke bawah sementara plasenta belum lepas dari rahim.4, 5
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat segera diketahui. Tapi bila
perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah
sebelum tampak pucat dan gejala lainnya. Pada perdarahan karena atonia uteri, rahim membesar
dan lembek.
Adapun faktor predisposisi terjadinya atonia uteri: umur, paritas, partus lama dan partus
terlantar, obstetri operatif dan narkosa, uterus terlalu regang dan besar misalnya pada gemelli,
hidramnion atau janin besar, kelainan pada uterus seperti mioma uterii, uterus couvelair pada
solusio plasenta, faktor sosio ekonomi yaitu malnutrisi.4, 5
Differential Diagnosis
Robekan Jalan Lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan
persalinan yang semakin manipulative dan traumatic akan memudahkan robekan jalan lahir dan
karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan erviks belum lengkap.
Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomy, robekan spontan perineum, trauma forceps atau
vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi.
Robekan yang terjadi bias ringan (lacet, laserasi), luka episotomi, robekan perineum spontan
derajat ringan sampai rupture perinea totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina,
forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan yang terberat, rupture uteri.
Oleh karena itu, pada setiap tindakan persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk
mencari kemungkinan adanya robeka ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uteru baik,
biasanya karena ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara
11
melakukan inspeksi pada vaina, vulva dan serviks dengan memakai sekulum untuk mencari
sumber perdarahan dengan cirri darah dengan warna merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi.
Perdarahan karena rupture uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau uterus
dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal.
Semua sumber perdarahan harus diklem, diikat dan luka ditutu dengan jahitan cat-gut lapis demi
lapis sampai perdarahan berhenti. 5
Tekhnik pnjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup serta
speculum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan tidak kooperaatif,
perlu mengundang sejawat anestesi untuk ketenangan dan keamanan saat melakukan hemostasis.
5
Retensio Plasenta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disbut sebagai retensio
plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif Kala III bis disebabkan oleh
adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta akreta bila implantasi
menembus desidua basalis dan Nitabuch Layer,disebut sebagai plasenta inkreta bila plasenta
sampai menembus miometrium dan disebut plasenta perkreta bila vili korialis sampai menembus
perimetirum. 5
faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas secsio sesarea, pernah
kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian dari plasenta masih tertinggal dalam uterus
disebut rest-plasenta dan dapat menimbulkan PPP primer atau lebih sering) sekunder. Proses
Kala III didahului dengan ahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh perdarahan
pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar
pervaginam(cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada
retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan.
Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak
(perdarahan Kala III) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan plasenta manual,
meskipun kala uri belum lewat setengah jam. 5
Sisa plasenta bisa diduga kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan plasenta
manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan
plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah
12
baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim
dengan cara manual/digital atau kuret dan pemberia uterotonika. Anemia yang ditimbulkan
setelah perdarahan dapat diberi transfuse darah sesuai dengan keperluannya. 5
Inversi uterus
Kegawat daruratan kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah terjadinya inverse uterus.
Inverse uterus adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar
ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai komplit.
Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks yang masih
terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah (misalnya karena plasenta
akreta, inkreta dan perkreta, yang tali pusatnya ditarik keras dari bawah) atau ada tekanan pada
fundus uteri dari atas (maneuver crede) atau tekanan intra abdominal yang keras dan tiba-tiba
(misalnya batuk keras atau bersin). 5
Inversio uteri ditandai dengan tanda-tanda:
Syok karena kesakitan
Perdarahan banyak bergumpal
Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat
Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya cukup lama,
maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis,
dan infeksi.
Tindakan
Secara garis besar tindakan yang dilakukan sebagai
1. Memanggil bantuan anestesi dan memasang infuse untuk cairan/darah pengganti dan
pemberian obat.
2. Beberapa senter memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang terbalik
sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke atas masuk ke
dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk kedalam uterus pada
posisi normalnya.
3. Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan dari
rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infus atau i.m. tangan tetap
13
dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru
dilepaskan.
4. Pemberian antibiotika dan transfuse darah sesuai dengan keperluannya.
5. Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan
maneuver diatas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan laparotomi untuk reposisi dan
kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis
Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah
Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat
disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan
sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan
perdarahan akan erembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan
dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang abnormal.
Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi
hipofibrinogemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta perpanjangan
tes protombin dan PTT (partial tromboplastin time).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam
kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah
dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan
heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino caproic acid) 5
Pencegahan
Klasifikasi kehamilan resiko rendah dan resiko tinggi akan memudahkan penyelenggara
pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan
melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit
rujukan. akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan mempunyai resiko untuk
terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah perdarahan pascapersalinan. Antisipasi
terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:
14
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keaadaan umum dan mengantisipasi setiap
penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien
tersebut ada dalam keadaan optimal
2. Mengenal faktor predisposisi PPP seperti multipritas, anak besar, hamil kembar, dan
lainnya yang resikonya akan muncul saat persalinan
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama
4. Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan
5. Kehamilan resiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari
persalinan duku
6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan mengadakan
rujukan sebagaimana mestinya 5
Laserasi Vagina
Laserasi ini biasanya terjadi akibat cedera yang timbul selama tindakan forceps atau vakum,
meskipun dapat juga terjadi pada persalinan spontan. Laserasi ini dapat meluas ke dalam hingga
jaringan di bawahnya dan menimbulkan pendarahan signifikan, yang biasanya dapat diatasi
dengan penjahitan yang benar. Laserasi ini dapat terlewatkan, kecuali dilakukan inspeksi yang
cermat terhadap bagian atas. Perdarahan ketika kontraksi uterus kuat merupakan bukti kuat
adanya laserasi saluran genital, retensi fragmen plasenta, atau keduanya.
Laserasi dinding anterior vagina di dekat uretra relative lebih sering terjadi. Laserasi ini sering
bersifat superficial dengan sedikit atau tanpa perdarahan dan biasanya tidak diindikasikan
perbaikan. Jika laserasinya cukup besar sehingga memerlukan perbaikan yang ekstensif, dapat
diantisipasi adanya kesulitan berkemih sehingga harus dilakukan pemasangan kateter menetap.6
Laserasi Serviks
Pada kasus perdarahan hebat selama dan setelah persalinan Kala III, perlu dicurigai adanya
robekan dalam di serviks, terutama jika uterus berkontraksi kuat. Dilakukan pemeriksaan yang
menyeluruh dan serviks yang lembek sering menyebabkan pemeriksaan dengan jari saja dapat
kurang memuaskkan. Luas cedera dapat diketahui pasti hanya setelah serviks dipajankan dan
menjalain inspeksi visual. Pemajanan paling baik diperoleh dengan menggunakan refraktor
15
vagina bersudut tegak yang dipegang oleh asisten, sedangkan operator menjepit serviks patulosa
dengan forsep cincin.
Karena perdarahan biasanya berasal dari atas sudut luka, jahitan pertama dapat dipasang tepat di
atas sudut dan dijahitkan keluar menuju operator. Laserasi vagina dapat ditampon dengan kasa
untuk menahan perdarahan ketika laserasi serviks sedang diperbaiki. Dapat digunakan jahitan
jelujur yang dapat diserap.6
Etiologi
Berdasarkan saat terjadinya PPH dapat dibagi menjadi PPH primer, yang terjadi dalam 24 jam
pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir, dan sisa
sebagian plasenta. Dalam kasus yang jarang, bias karena inversion uteri. PPH sekunder yang
terjadi setelah 24 jam persalinan, biasanya oleh karena sisa plasenta.
Jumlah perdarahan yang diperkirakan terjadi sering hanya 50% dari jumlah darah yang
hilang. Perdarahan yang aktif merembes terus dalam waktu lama saat melakukan prosedur
tindakan juga bias menyebabkan PPH. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb dan
Hematokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan yang terjadi saat persalinan dibandingkan
dengan keadaan prapersalinan. 6
Berdasarkan penyebab Biologi nya dibedakan atas:
1. Perdarahan dari tempat implantasi
Hipotoni sampai atonia uteri
Anastesi umum _halogenated hydrocarbons
Perfusi miometrium menurun-Hipotensi: perdarahan dan analgesia
konduksi
Distensi Uterus berlebihan (gemeli, anak besar, hidramnion)
Partus lama, partus terlalu cepat
Partus karena induksi oksitosin
Multiparitas
Atoni uterus pada persalinan sebelumnya
Korioamnionitis
Sisa Plasenta
16
Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
Perlekatan abnormal-plasenta akreta, inkreta, perkreta
2. Trauma pada traktus genitalia
Episiotomy yang lebar
Laserasi perineum, vagina, atau serviks
Rupture uterus
3. Defek Koagulasi
Jarang terjadi tetapi bias memperburuk keadaan di atas, misalnya pada kasus
trombofilia, sindroma HELLP, preeklamspsia, solusio plasenta, kematian janin
dalam kandungan, dan emboli air ketuban. 6
EPIDEMIOLOGI
Kejadian kehilangan darah yang berlebihan setelah persalinan pervagina adalah 5-8%.
Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum kehilangan darah yang berlebihan dalam
kehamilan, dan transfusi kebanyakan pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah
yang hilang setelah melahirkan. Perdarahan adalah penyebab utama ketiga kematian ibu di US
dan bertanggung jawab langsung atas sekitar seperenam dari kematian ibu. Di negara-negara
berkembang, perdarahan adalah salah satu penyebab obstetri utama kematian ibu.7
Faktor resiko perdarahan postpartum antara lain
o Koagulopati
o Perdarahan
o Transfusi darah selama kehamilan
o Anemia
o Multiparitas
o Multipel gestasi
o Bayi besar
o Polihidramnion
o Induksi oksitosin
o Preeklamsia berat atau eklampsia
17
o Anestesi umum
PENATALAKSANAAN PERDARAHAN POSTPARTUM DINI
Prinsip-prinsip umum :
Segera diberikan cairan intravena (biasanya 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan
garam fisiologis atau Ringer Laktat). Dua unit darah dicocok silang pada kasus dimana transfusi
diperlukan. Keluaran urin tiap jam membantu pemantauan fungsi ginjal.
Atonia Uteri :
Infus oksitosin intravena dapat ditambahkan dengan ergonovin maleat atau
metilergonovin maleat (0,2mg) yang diberikan secara intravena atau intramuskuler. Fundus uteri
dimasase melalui dinding abdomen. Eksplorasi uterus secara manual dianjurkan unuk
memastikan bahwa uterus utuh dan untuk mengangkat setiap fragmen plasenta.
Bila atonia peristen dianjurkan kompresi uterus secara bimanual. Uterus diangkat ke atas
keluar dari pelvis dan dikompresi di antara satu tangan pada abdomen dan tangan lain mengepal
seperti sebuah tinju dalam vagina. Elevasi dan kompresi bimanual dipertahankan selama dua
sampai lima menit.
Prostaglandin intramuskuler mungkin menguntungkan bagi pasien yang tidak responsif
terhadap terapi konvensional.
Laparotomi harus dipertimbangkan bila atonia uteri persisten dan perdarahan tak dapat
dihentikan. Ruptur uteri yang tidak terdiagnosa dapat merupakan suatu kemungkinan, karena
dinding lateral segmen uterus bagian bawah mungkin sukar dipalpasi pada pemeriksaan vagina.
Perbaikan uterus, histerektomi, atau ligasi arteri hipogastrika atau uterina dapat dipilih,
tergantung pada umur pasien, paritas, dan keadaan umum, maupunluasnya trauma.
Tampon uterus dapat dicoba sebagai ukuran temporer sementara persiapan untuk
laparotomi dilakukan. Bila perdarahan berasal dari tempat plasenta di dalam segmen bawah
uterus di mana kontraksi otot tidak adekuat untuk mencapai hemostasis normal, tampon mungkin
mempunyai nilai khusus. Tampon uterus ditempatkan di dalam segmen bawah uterus, dengan
tampon vagina mengkompresi segmen bawah antara uterus dan tampon vagina. (Bahan yang
disukai untuk tampon adalah kassa polos dengan lebar 4 inci dan tebal 6 lapis.)
Bila perdarahan dapat dikontrol dengan tampon, intervensi bedah dapat ditunda. Namun,
pasien harus diawasi secara hati-hati dan fasilitas untuk laparotomi darurat harus segera tersedia,
18
karena tampon tidak dapat berubuat banyak selain menutupi perdarahan aktif yang terus-menerus
berkumpul dibelakang tampon. (Bila tampon berhasil, tampon dibiarkan berada ditempat selama
12-24 jam.) 8
Laerasi Traktus Genitalia:
Laserasi yang berdarah diperbaiki dengan benang kromik 00 atau ooo. Visualisasi yang
adekuat penting, dan seorang asisten sering dipewrlukan untuk meretraksi dinding vagina denan
retraktor sudut kanan.
Laserasi serviks diperbaiki dengan merenggut mulut serviks yang berdekatan dengan
laserasi dengan menggunakan forceps cincin. Jahitan berurutan dengan chromic 00 atau 000
dilakukan melalui bagian paling mdah dari robekan serviks. Traksi pada jahitan tersebut dapat
membantu dalam menarik apeks laserasi ke bawah. Pembuluh-pembuuh yang mengeluarkan
darah harus diligasi untuk mencegah hematom retroperitoneum. Jahitan yang paling penting
adalah pada apeks laserasi, dimana diperlukan perhatian yang cermat untuk memastikan bahwa
pembuluh-pembuuh yang mengalami retraksi tidak terus berdarah. Jahitan terputus atau kontinu
dapat dipakai, tergantung pada luasnya perdarahan, tempat perdarahan yang terlihat dan
keinginan operator.
Hemostasis sementara dapat dicapai dengan memasang forsep cincin di tepi laserasi.
Apabila robekan meluas ke dalam segmen bawah uterus atau ligamentum latum, tampon atau
forsep cincin untuk sementara dapat bermanfaat sementara dilakukan pesiapan untuk
pembedahan abdomen.8
Laserasi Vagina : Jahitan pertama harus ditempatkan di atas apeks laserasi. Jahitan yang
paling hemostatik adalah yang berjalan searah jarum jam.
Varikose vagina atau vulva dapat menyebabkan perdarahan hebat yang sering sukar
dikontrol dengan penjahitan. Pada keadaan ini, tampon vagina yang ketat memberikan
hemostasis yang penting.8
Plasenta atau Selaput yang Tertahan di dalam Uterus :
Pengangkatan manual yang diikuti dengan oksitosin dan ergonovin intravena biasanya
sudah cukup untuk terapi.8
KOMPLIKASI
Perdarahan postpartum yang tidak ditangani dapat mengakibatkan:
19
1. Syok hemoragie
Akibat terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami syok dan menurunnya kesadaran
akibat banyaknya darah yang keluar. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke
seluruh tubuh dan dapat menyebabkan hipovolemia berat. Apabila hal ini tidak ditangani
dengan cepat dan tepat, maka akan menyebabkan kerusakan atau nekrosis tubulus renal
dan selanjutnya merusak bagian korteks renal yang dipenuhi 90% darah di ginjal. Bila hal
ini terus terjadi maka akan menyebabkan ibu tidak terselamatkan9,10
2. Anemia
Anemia terjadi akibat banyaknya darah yang keluar dan menyebabkan perubahan
hemostasis dalam darah, juga termasuk hematokrit darah. Anemia dapat berlanjut
menjadi masalah apabila tidak ditangani, yaitu pusing dan tidak bergairah dan juga akan
berdampak juga pada asupan ASI bayi9,10
3. Sindrom Sheehan
Hal ini terjadi karena, akibat jangka panjang dari perdarahan postpartum sampai syok.
Sindrom ini disebabkan karena hipovolemia yang dapat menyebabkan nekrosis kelenjar
hipofisis. Nekrosis kelenjar hipofisis dapat mempengaruhi sistem endokrin. 9,10
PREVENTIF
Terapi terbaik adalah pencegahan. Anemia pada kehamilan harus diobati karena
perdarahan yang normal pun dapat membahayakan seorang ibu yang telah mengalami anemia.
Bila sebelumnya pernah mengalami perdarahan postpartum, persalinan berikutnya harus di
rumah sakit. Pada persalinan yang lama diupayakan agar jangan sampai terlalu lelah. Rahim
jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dinding rahim. Pada
perdarahan yang timbul setelah janin lahir dilakukan upaya penghentian perdarahan secepat
mungkin dan mengangatasi akibat perdarahan. Pada perdarahan yang disebabkan atonia uteri
dilakukan massage rahim dan suntikan ergometrin ke dalam pembuluh balik. Bila tidak memberi
hasil yang diharapkan dalam waktu singkat, dilakukan kompresi bimanual pada rahim, bila perlu
dilakukan tamponade utero vaginal, yaitu dimasukkan tampon kasa kedalam rahim sampai
rongga rahim terisi penuh. Pada perdarahan postpartum ada kemungkinann dilakukan pengikatan
pembuluh nadi yang mensuplai darah ke rahim atau pengangkatan rahim. 9,10
PROGNOSIS
20
Perdarahan post partum masih merupakan ancaman yang tidak terduga walaupun dengan
pengawasan yang sebaik-baiknya, perdarahan postpartum masih merupakan salah satu sebab
kematian ibu yang penting. Sebaliknya menurut pendapat para ahli kebidanan modern
”Perdarahan post partum tidak perlu membawa kematian pada ibu bersalin”. Pendapat ini
memang benar bila kesadaran masyarakat tentang hal ini sudah tinggi dan dalam klinik tersedia
banyak darah dan cairan serta fasilitas lainnya. Dalam masyarakat kita masih besar anggapan
bahwa darahnya adalah merupakan hidupnya karena itu mereka menolak menyumbangkan
darahnya, walaupun untuk menolong jiwa istri dan keluarganya sendiri.
Pada perdarahan post partum, Mochtar R. ddk melaporkan angka kematian ibu 7,9 % dan
Wiknjosastro H. 1,8-4,5 %. Tingginya angka kematian ibu karena banyak penderita yang dikirim
dari luar dengan keadaan umum yang sangat jelek dan anemis dimana tindakan apapun kadang-
kadang tidak menolong.9,10
Daftar Pustaka
1. Capilary refill time (Brunner, Suddarth. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Edisi 8.
Volume 3. jakarta: EGC, 2002)
2. Pemeriksaan Pada Neonatus (Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat
kesehatan Bates. Edisi 8. Jakarta: EGC,2009)
21
3. Endjun JJ.Pemeriksaan USG postpartum. Dalam: USG Dasar Obstetri Ginekologi.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007.h. 248-52.
4. Prabowo, Raden P. Perdarahan Post Partum dalam buku Ilmu Bedah Kebidanan. Ed 1
Cetakan ke 6. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005. h.188-9.
5. Karkata, Made K. Perdarahan Pasca Persalinan dalam buku Ilmu Kebidanan. Ed 1
Cetakan ke 6. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005. h.552-9.
6. Cunningham FG. Postpartum hemorrhage. In: Seils A, Edmonson KG, Davis K, editors.
Williams Obstetric. 22nd ed. New York: McGraw-Hill,,2005.p.823-39.
7. Sarah B.H. Poggi, MD. Postpartum hemorrhage & the abnormal puerperium. Current
diagnosis & treatment obstetrics & gynecologi, Tenth edition. Mc Graw-Hill Companies,
2007. h. 477.
8. Supriyadi Teddy, Gunawan Johanes. Perdarahan postpartum. Kapita selekta kedaruratan
obstetri dan ginekologi. Ed 2. Jakarta : EGC, 1994. h. 358-61.
9. Sunatrio, Gunawarman B. Syok Hemoragik dan Septik dalam buku Ilmu Bedah
Kebidanan. Ed 1 Cetakan ke 6. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2005. h.270-1.
10. Prawirohardjo, S. Perdarahan Pasca Persalinan dalam buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2002.
22