PEMIKIRAN FIKIH IBNU QUDAMAH DALAM KITAB AL-MUGHNI
TENTANG STATUS PERNIKAHAN ISTRI AKIBAT SUAMI MENGHILANG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
IIM ROSADI
NIM. 1111044100095
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
PEMIKIRAN FIKIH IBNU QUDAMAH DALAM KITAB AL-MUGHNI
TENTANG STATUS PERNIKAHAN ISTRI AKIBAT SUAMI MENGHILANG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
IIM ROSADI
NIM. 1111044100095
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
PEMIKIRAN FIKIH IBNU QUDAMAH DALAM KITAB AL-MUGHNI
TENTANG STATUS PERNIKAHAN ISTRI AKIBAT SUAMI MENGHILANG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
IIM ROSADI
NIM. 1111044100095
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah dicantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan (plagiat) dari orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 03 September 2015
Iim Rosadi
NIM 111141100095
ABSTRAK
Iim Rosadi. NIM 1111044100095. Pemikiran Fikih Ibnu QudamahDalam Kitab Al-Mughni Tentang Status Pernikahan Istri Akibat SuamiMenghilang. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga(Ahwal Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1436 H/2015 M.
Fokus penelitian ini adalah bagaimana status pernikahan istri ketika suaminyamenghilang, Secara konseptual yang dimaksud dalam pemikiran fikih Ibnu Qudamahdalam kitab al-Mughni Suami yang mafqud yaitu seorang suami yang hilang darikeluarganya tanpa diketahui tempat tinggalnya dan kabar mengenai hidup ataumatinya. Masalah ini penting dilakukan untuk menjawab problema hukum mengenaiboleh atau tidaknya istri meminta fasakh nikah dan melaksanakan iddah untuk dapatmenikah lagi dengan laki-laki lain. Dikalangan ulam sepakat Imam Abu Hanifah danImam Syafi’i mengatakan bahwa orang yang hilang tersebut tetap dianggap masihhidup dan bagi istrinya tidak halal kawin lagi sampai dia mendapatkan kabarkepastian kondisi suami, atau dengan menunggu lewat waktu yang lazimnya suamidinyatakan tidak mungkin masih hidup, yang dibatasi Abu Hanifah dengan waktu120 tahun, dan Imam Syafi’i serta Imam Ahmad memberikan batasan 90 tahun. IbnuQudamah dalam kitabnya Al -Mughni ‘ala syarh al Kabir, berpendapat bahwa istridiperbolehkan untuk menikah lagi setelah menunggu selama 4 tahun dan beriddahselama 4 bulan 10 hari. Permasalahan ini semakin menarik bila dikaitkan denganhukum perkawinan di Indonesia.
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif, sedangkan pendekatan yangdigunakan adalah pendekatan teoritik.
Kata kunci : Kitab al-Mughni Ibnu Qudamah, Mafqud, Status Istri
Pembimbing : Dr. H. Umar al-Haddad M.A
Daftar Pustaka : Tahun 1987 s.d Tahun 2013
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat
serta salam selalu tercurahkan kepada pahlawan revolusioner Nabi Muhammad SAW.
yang telah membawa pencerahan dalam kehidupan seluruh umat manusia.
Sudah sekitar empat tahun bergabung di civitas akademika di Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama itu
pula penulis belajar, berdiskusi, dan menimba ilmu dari para dosen. Suatu proses
tolabul ilmi yang mempunyai kesan suka maupun duka.
Teringat akan syair Imam Ali KR.A tentang enam hal yang harus ada dalam
menuntut ilmu yaitu; pandai, semangat, kerja keras, biaya, pengajaran guru, dan waktu
yang panjang. Dalam konteks ini dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan, yang
penulis merasa masih jauh dari harapan yang ideal tersebut.
Setiap cita-cita harus diraih melalui kerja keras. Menempuh proses perjuangan
yang panjang dan berbagai halangan yang ada. Begitupun dalam penulisan skripsi ini
memerlukan pengorbanan waktu, fikiran, tenaga dan harta.
Alhamdulillah berkat ridho Allah akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.
Dalam proses penyusunan skripsi ini telah banyak pihak yang memberikan bantuan,
bimbingan, dan motivasi baik moril maupun materil. Dengan kerendahan hati izinkan
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dr. Asep Saepudin Jahar. MA
2. Dr. Abdul Halim. M.Ag, dan Arip Purkon. M.A, Selaku Ketua Program Studi dan
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Umar Al-Haddad, M.A, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
mencurahkan waktu, pikiran, dan perhatian serta dengan penuh kesabaran
membimbing dalam proses penulisan skripsi.
4. Dosen pada lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya selama duduk
dibangku perkuliahan. Petugas Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan
Perpustakaan Utama yang telah membantu dalam pengadaan referensi-referensi
sebagai bahan rujukan skripsi.
5. Keluarga Besar Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Keluarga Besar UKM
PRAMUKA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan seluruh
pihak yang membantu dalam pembuatan skripsi ini.
6. Sahabat-sahabatku, Peradilan Agama Angkatan 2011 Azhar, Rafael, Didi, Rizaludin,
Alimudin, Wanda, Zulfahmi, Zahra, Intan Pratiwi, Juniarti Harahap dan yang lain
yang senantiasa memotivasi dan memberi semangat untuk menyelesaikan skripsi ini,
serta teman-teman dalam suka dan duka dalam mengarungi dinamika kehidupan
kampus.
7. Serta teman-teman Ma’had Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
selalu memberi dukungan dan semangat dalam penyusunan Skripsi ini.
8. Kedua orang tua penulis, ayahanda Ust. Mursail dan ibunda tercinta Ibu Sab’ah yang
dengan kesabaran dan keresahannya memberikan motivasi untuk menyelesaikan
skripsi ini.
Di sadari bahwa dalam pembuatan karya ilmiah ini masih terdapat kekurangan dan
kehilapan, oleh sebab itu diharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk
kesempurnaan karya ini dimasa mendatang.
Jakarta, 03 September 2015
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……………………………………………………………………......... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ………………………………………………. 7
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ………..……………………... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ….……......................................... 8
E. Kajian Pustaka …………………………………………………….. 9
F. Metode Penelitian ……………………….………….……………... 11
G. Sistematika Penulisan …………………………...….…………....... 14
BAB II PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Pernikahan ...................................................................... 16
B. Syarat dan Rukun Pernikahan ........................................................... 20
C. Tujuan dan Hikmah Pernikahan ........................................................ 25
D. Hak dan Kewajiban Suami Istri ........................................................ 32
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MAFQUD
A. Pengertian Suami yang Mafqud ….………………………..……… 42
B. Status Hukum Istri yang Suaminya Mafqud …………………..….. 44
C. Macam-Macam Mafqud ………..……………………………. …... 49
D. Mafqud dalam Hukum Positif di Indonesia ………………………. 51
E. Iddah bagi Istri yang Suaminya Mafqud ………………………….. 55
ii
BAB IV STATUS ISTRI AKIBAT SUAMI MAFQUD DALAM PEMIKIRAN
IBNU QUDAMAH DALAM KITAB AL-MUGHNI
A. Biografi Ibnu Qudamah ……………………………………….. 58
B. Karya-Karya Ibnu Qudamah ………………………………….. 62
C. Pemikiran Fikih Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni tentang
Status Pernikahan Istri akibat Suami Menghilang ...………........ 66
D. Analisis Perbandingan Pemikiran Ibnu Qudamah dengan Hukum
Positif di Indonesia tentang Status Pernikahan Istri akibat Suami
Menghilang ……………………………………………………… 70
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………. 77
B. Saran …………………………………………………………... 79
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan lembaga yang melahirkan keluarga, tempat
seluruh hidup dan kehidupan menusia berputar. Awalnya perkawinan
bertujuan untuk selamanya. Tetapi adakalanya karena sebab-sebab tertentu
bisa mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan, sehingga harus
diputuskan atau dengan kata lain terjadi perceraian diantara suami istri.
Perceraian memang diperbolehkan dalam Islam jika memang
perkawinan sudah tidak bisa dipertahankan, akan tetapi hendaknya
perceraian dilakukan dengan jalan yang baik pula.
Allah SWT berfirman:
)٢:٢٢٩/لبقرة١(
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu bolehrujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yangbaik (Al-Baqarah (2):229).1
Dalam fiqih, putusnya perkawinan atau perceraian ada yang terjadi
atas inisiatif suami, yang disebut thalaq, ada yang merupakan inisiatif dari
1 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Media Cipta,2005), h. 36.
2
istri dengan cara mengajukan ganti rugi yang disebut khulu’ dan ada yang
terjadi atas inisiatif pihak ketiga yaitu hakim yang disebut fasakh.2
Sedangkan yang menjadi permasalahan adalah mengenai bagaimana
status wanita yang suaminya mafqud atau hilang, karena istri sebagai pihak
yang lemah pasti butuh perlindungan dari seorang suami baik karena alasan
ekonomi ataupun alasan biologis. Hilangnya suami yang bahkan sampai
bertahun-tahun tanpa kabar berita tentunya menimbulkan problem yang
serius terkait apakah dia boleh meminta diceraikan dari suaminya kepada
Hakim di Pengadilan.
Masalah orang hilang merupakan persoalan yang masih banyak
dijumpai, khususnya di Indonesia. Seiring dengan bertambahnya persoalan
social serta semakin tingginya tingkat populasi masyarakat, semakin banyak
tingginya tingkat populasi masyarakat, semakin banyak saja orang yang
dilaporkan hilang. Di berbagai surat kabar atau media informasi seperti
televisi sering diberitakan mengenai laporan orang hilang.
Kasus orang hilang di Indonesia dari dahulu hingga sekarang
cenderung masih banyak terjadi dan sebabnya pun bermacam-macam,
seperti kasus hilangnya para aktifis yang diduga karena alasan politik,
hilangnya orang-orang yang terkena musibah seperti pada waktu bencana
tsunami di Aceh pada tahun 2004, ataupun kasus para TKI yang hilang di
2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.243
3
luar negeri. Selain itu juga banyak adanya laporan dari masyarakat yang
kehilangan anggota keluarganya, baik diculik ataupun menghilang tanpa
diketahui sebabnya3.
Hal ini menjadi penting untuk dibahas, terutama terkait
permasalahan seorang suami yang hilang ataupun meninggalkan
keluarganya tanpa diketahui keberadaannya. Hilangnya suami pastinya
membuat istri diliputi ketidak jelasan, sehingga tidak jarang istri
memutuskan untuk menggugat cerai dan berniat menikah lagi. Karena hal
ini maka perlu untuk ditentukan bagaimana hukum mengenai hal ini.
Kompilasi Hukum Islam pasal 116 disebutkan bahwa perceraian
dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan yang pada ayat 2 berbunyi,
“Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
di luar kemampuannya”.4
Dari ketentuan di atas dapat juga dipahami bahwa jika seorang suami
telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan atau
bisa juga dimaknai hilang atau mafqud, maka bagi istri diperbolehkan untuk
meminta cerai dan kemudian beriddah untuk kemudian menikah lagi
dengan laki-laki lain. Ulama berbeda pendapat dalam mengatasi persoalan
3 ttp://members.tripod.com/missing_person/artikel/index.html, “06/02/2013.4 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia,
2009), h. 36.
4
mafqudnya suami ini. Mereka berbeda dalam menghukumi suami yang
hilang tersebut dan apa yang boleh dilakukan istri ketika suaminya mafqud.
Istri berhak mengajukan cerai yang disebut khulu’, tapi itu harus
diputuskan oleh pengadilan agama. Bila tidak mengajukan khulu’ atau
tuntutan apapun kepada pihak berwenang. Penentuan status bagi mafqud,
apakah ia masih hidup atau telah wafat amatlah penting, karena menyangkut
beberapa hak dan kewajiban dari si mafqud tersebut serta hak dan kewajiban
keluarganya sendiri. Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i mengatakan bahwa Istri laki-
laki yang tidak ada kabar beritanya tersebut tidak halal kawin lagi sampai
dia melewati waktu yang lazimnya suaminya dinyatakan tidak mungkin
masih hidup, yang dibatasi Abu Hanifah dengan waktu seratus dua puluh
tahun, dan Syafi’i serta Ahmad memberikan batasan sembilan puluh tahun.5
Kalangan Hanafiyah juga berpendapat bahwa seorang istri yang
ditinggal lama oleh suaminya hendaknya bersabar dan tidak boleh menuntut
cerai. Mereka berdalil bahwa pada asalnya pernikahan antara keduanya
masih berlangsung hingga terdapat keterangan yang jelas bahwa suaminya
meninggal atau telah menceraikannya.6
5 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, diterjemahkan Masykur A. B.dkk Cet ke- 6, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), h. 475.
6 Ibnu Humam Al Hanafi, Fathul Qadir,Juz 6, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah,t.th), h.137.
5
Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa seorang istri
yang ditinggal suami tanpa diketahui keberadaannya, maka ia menunggu 4
tahun sebagaimana waktu hamil paling lama dan 4 bulan 10 hari
sebagaimana iddah wafat, setelah itu ia halal untuk menikah lagi dengan
laki-laki lain.7
Mereka berdasar pada hadits Umar yang mengatakan:
ن حدثني یحي عن مالك عن یحي بن سعید عن سعد بن المسیب ان عمر ب
جھا فلم تدر این ھو فانھا تنتظیر اربع الخطاب قال ایما امراة فقدت زو
ثم تحلسنین ثم تعتد اربعة اشھر وعشرا
Artinya:Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik, dari Yahya
bin Sa’id, dari Sa’d bin Musayyab, bahwasanya Umar berkata: Bagiperempuan yang kehilangan suaminya, dan ia tidak mengetahuikeberadaannya, maka ia wajib menunggu 4 tahun, kemudian beriddah 4bulan 10 hari, setelah itu ia halal untuk menikah. (H.R. Malik).
Ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah menuliskan dalam kitabnya,
bahwa mafqud itu bisa bermacam-macam, maka terhadap persoalan
mafqudnya suami, perlu diteliti bagaimana sifatnya mafqud atau hilangnya
suami ini. Inilah yang nantinya akan menentukan boleh atau tidaknya istri
untuk beriddah dan menikah lagi dengan laki-laki lain.
Menurutnya, Mafqud digolongkan dalam dua kategori. Pertama,
yaitu orang hilang yang secara lahirnya dia selamat, seperti orang yang
7 Muhammad bin Abdirrahman as Syafii Ad Dimasyqa, Rahmat al Ummah fi IkhtilafilAimmah, (Surabaya: Al Hidayah t.th), h. 243.
6
hilang ketika berdagang, pergi menuntut ilmu dan sebagainya. Dalam hal
ini, ikatan suami istri itu tidak hilang selama belum diyakini matinya suami
atau lewat masa yang orang seperti dia tidak mungkin masih hidup.8
Sedangkan kategori yang kedua yaitu, hilang yang menurut lahirnya tidak
selamat, seperti orang yang hilang tiba-tiba di antara keluarganya, pergi
karena suatu keperluan yang seharusnya ia kembali, lalu tidak ada kabar
beritanya atau ia hilang diantara dua pasukan yang bertempur atau
bersamaan dengan tenggelamnya sebuah kapal dan sebagainya. Hukum
mengenai hal itu, ditunggu sampai 4 tahun. Kalau tidak ada juga kabar
beritanya, maka istrinya mulai beriddah sebagai istri yang meninggal
suaminya, yaitu 4 bulan 10 hari, dan setelah itu, halal bagi istri untuk
menikah lagi dengan laki-laki lain.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji secara
mendalam, dengan penelitian ilmiah tentang tentang Pemikiran Fiqh Ibnu
Qudamah dalam Kitab Al-Mughni dalam bentuk skripsi dengan judul:
“Pemikiran Fikih Ibnu Qudamah Dalam Kitab Al-Mughni Tentang Status
Pernikahan Istri Akibat Suami Menghilang”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan hasil dari latar belakang masalah diatas tentang pemikiran
fikih Ibnu Qudamah dalam kitab al-mughni tentang status pernikahan istri akibat
suami menghilang, diperoleh beberapa masalah sebagai berikut :
8 Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz 9, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah t.th), h.131.
7
1. Bagaimana status istri yang suaminya mafqud atau hilang, menurut
beberapa pendapat ulama?
2. Bagaimana hukum positif di Indonesia menyelesaikan masalah tentang
status pernikahan istri akibat suami menghilang?
3. Bagaimana Ibnu Qudamah berpendapat tentang status pernikahan istri
akibat suami menghilang?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Menyadari karena lausnya permasalahan pada hukum perkawinan,
maka untuk fokusnya penulis akan mengetengahkan persoalan yang
mengganggu kehidupan rumah tangga, dengan pembatasan masalah pada
status penikahan istri akibat suami menghilang.
2. Perumusan Masalah
Untuk uraian skripsi ini penulis mencoba untuk merumuskan
permasalahan sebagai berikut: satu keluarga supaya tidak menjadi
perceraian, suami dan istri dituntut untuk melaksanakan hak dan kewajiban,
dalam keadaan tertentu diperbolehkan bercerai, seperti karena salah satu
pihak meninggalkan selama 2 tahun berturut-turut (penjelasan pasal 39 ayat
2 undang-undang pernikahan No 1 Tahun 1974) dan buku nikah suami
meninggalkan 6 bulan berturut-turut, demikian pula menurut fikih Ibnu
Qudamah dalam kitab al-mughni tentang status pernikahan istri akibat
suami menghilang yaitu harus menunggu 4 tahun jika suami tetap datang
8
istri boleh menikah lagi dan beriddah 4 bulan 10 hari layaknya suami yang
meninggal dunia,
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah
di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran fikih Ibnu Qudamah tentang status
pernikahan istri akibat suami menghilang?
2. Apa perbedaannya dengan ketentuan dalam hukum positif di
Indonesia tentang status pernikahan istri akibat suami menghilang?
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tentang pemikiran fiqh Ibnu Qudamah
dalam Kitab Al-Mughni tentang status pernikahan istri akibat
suami menghilang (Mafqud).
2. Untuk mengetahui perbedaan dengan hukum positif di
Indonesia tentang status pernikahan istri akibat suami
menghilang.
Sedangkan manfaat penelitian skripsi ini adalah :
1. bagi penulis memberikan pemahaman untuk menerapkan ilmu
yang telah didapat pada masyarakat khsusnya bidang
kekeluargaan Islam.
9
2. Memperdalam dan memperkaya penelitian sebelumnya
disamping juga menambah khazanah keilmuan pada Fakultas
Syariah dan Hukum.
3. Diharapkan dengan penelitian ini masyarakat mendapatkan
wawasan dan pengertian tentang status istri suami yang hilang,
batas waktu kepergian suami, dan menciptakan kehidupan
perkawinan yang sakinah, mawadah dan rahmah.
D. Kajian Pustaka
Pada dasarnya urgensi kajian penelitian adalah sebagai bahan auto
kritik terhadap penelitian yang ada, mengenai kelebihan maupun
kekurangannya, sekaligus sebagai bahan perbandingan terhadap kajian
yang terdahulu, dan untuk menghindari terjadinya pengulangan hasil
temuan yang membahas permasalahan yang sama dan hampir sama dari
seseorang, baik dalam bentuk skripsi, buku dan dalam
bentuk tulisan lainnya.
Beberapa penelitian berkaitan dengan pemikiran fiqh Ibnu
Qudamah tentang status pernikahan istri akibat suami menghilang yang
sudah teruji keshahihannya diantanya meliputi:
1. Skripsi yang disusun oleh Rio Arif Wicaksono (NIM
102044225105 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dengan Judul:
Status Perkawinan Istri Akibat Suami Menghilang.
10
2. Skripsi yang disusun oleh Zainal Abidin (NIM 2101265 IAIN
Walisongo Semarang) dengan judul: Studi Analisis Terhadap
Pendapat Ibnu Taimiyah Tentang Jumlah Masa Iddah Bagi wanita
Yang Khuluk. Lewat kajian ilmiah ini dijelaskan bahwa menurut
Jumhur Ulama, khuluk merupakan talak bain, jadi akibat hukum
khuluk juga disamakan dengan talak, yaitu dengan beriddah tiga
kali haid. Berbeda dengan Ibnu Taimiyah yang menjelaskan antara
khuluk dengan talak tidak sama. Karena dalam hadits dan
kesepakatan sahabat bahwasanya iddah khuluk adalah cukup
dengan satu kali haid.
3. Skripsi yang disusun oleh Mukminah (NIM 2100031 IAIN
Walisongo Semarang) dengan judul: Studi Analisis Pentarjihan
Qaul Qadim Mengenai Status Istri dari Suami Hilang (Mafqud)
Menurut Ulama Syafi’iyyah. Dalam skripsinya dijelaskan bahwa
Sebagian Ashhab (Ulama Syafi’iyyah) menemukan beberapa fatwa
dalam qaul qadim Syafi’i yang dianggap masih relevan dengan
keadaan sekarang, sehingga harus ditarjih dan difatwakan kembali.
Diantaranya koreksi dari An-Nawawi dan Abu Zahra, yaitu
mengenai status istri dari suami yang hilang (mafqud). Fatwa Imam
Syafi’i dalam qaul qadimnya yang membolehkan istri orang yang
mafqud untuk meminta cerai dan halal menikah lagi dengan laki-
laki lain setelah menunggu 4 tahun ditambah 4 bulan 10 hari untuk
11
iddah dianggap lebih memberikan manfaat dibandingkan fatwa
dalam qaul jadidnya yang mengharuskan istri untuk menunggu
kepastian sampai benar-benar diyakini kematian suaminya.
Berdasarkan hasil beberapa penelitian terdahulu tersebut, Penulis
berpendapat bahwa masing-masing menunjukan perbedaan dari segi
pembahasannya dengan skripsi yang akan penulis susun. Penulis
memfokuskan penelitian kepada kajian tentang status pernikahan istri yang
ditinggal lama oleh suaminya tanpa kabar (mafqud) menurut pendapat
Ibnu Qudamah.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang dipakai dalam mengumpulkan
data, sedangkan instrumen adalah alat bantu yang digunakan dalam
mengumpulkan data itu.9maka metode penelitian skripsi ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu jenis
penelitian yang menggunakan bentuk kata-kata. Untuk memperoleh data
yang dibutuhkan, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library
research) yaitu kegiatan penelitian yang dilakukan dengan pengumpulan
9 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. ke- 12,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h. 194.
12
dan penelusuran data-data serta pengolahan buku-buku, literatur dan bahan
pustaka lain yang berkaitan dengan topik pembahasan.10
2. Sumber Data
Sumber data adalah subyek dari mana data itu dapat diperoleh.
Sumber data itu sendiri terbagi menjadi dua, sumber primer (pokok) dan
sumber sekunder (tambahan).
a. Data Primer
Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh dari data-data
primer yaitu sumber asli yang memuat informasi.11
Secara sederhana data ini disebut juga data asli. Adapun sumber data
primer ini adalah karya Ibnu Qudamah yang berhubungan dengan judul di
atas, yaitu kitab “Al Mughni”. Kitab ini disusun oleh Ibnu Qudamah
secara sistematis sesuai dengan bab-bab fiqih dan menjadi rujukan utama
dalam Mazhab Hambali. Kitab ini memuat pendapat Ahmad bin Hambal
dan pendapat beliau sendiri dalam berbagai masalah fiqih.
b. Data Sekunder
Sumber sekunder adalah sumber yang menjadi bahan penunjang
dan melengkapi suatu analisa. Data sekunder antara lain mencakup
10 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2004), h. 3.
11 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik, Cet ke-7, (Bandung: Tarsito, 1989), h. 163.
13
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud
laporan, dan sebagainya.12
Sumber ini juga berupa buku-buku atau literatur-literatur yang
mempunyai sifat melengkapi dan menguatkan dari sumber-sumber pokok
yang ada.
Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam skripsi ini
adalah kitab Al Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu karya Wahbah Zuhaili, I’lam
al Muwaqqi’in karya Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Ushul Al Fiqh dan
sumber-sumber lain yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.
3. Analisis Data
Sebagai pegangan dalam pengolahan data penelitian, maka
penulis menggunakan content analisis. Pengolahan data penelitian yang
sudah diperoleh dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data
sedemikian rupa sehingga dapat dibaca dan dapat ditafsirkan.13
Metode tersebut adalah sebagai berikut:
a. Analisis Deskriptif
Analisis ini bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai
subyek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari
subyek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis.
12 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Rajawali Press, 2006), h. 30.
13 Saifudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 1998), h. 123.
14
Dalam hal ini metode analisis deskriptif diarahkan untuk menggam
barkan dan menganalisis pendapat Ibnu Qudamah tentang status
pernikahan istri akibat suami menghilang.
b. Analisis Historis
Analisis ini bertujuan untuk menggambarkan sejarah hidup, sejarah
pemikiran, yang dalam hubungan ini adalah unsur-unsur sejarah yang
terkandung dalam objek penelitian, bukan penelitian itu sendiri. Analisis
historis juga melibatkan unsur-unsur sejarah yang berada diluar objek,
sebagai aspek ekstrinsik.14 Analisis ini digunakan untuk meneliti unsur-
unsur sejarah yang mempengaruhi pendapat Ibnu Qudamah kaitannya
dengan pembahasan iddah istri yang suaminya mafqud.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan rencana outline penulisan skripsi
yang akan dikerjakan.15 Untuk memudahkan dalam pembahasan dan
pemahaman yang lebih lanjut dan jelas dalam membaca penelitian ini,
maka disusunlah sistematika penulisan penelitian ini. Dengan garis
besarnya adalah sebagai berikut:
Bab pertama membahas tentang pendahuluan. Dalam bab ini
dibahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
14 Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu SosialHumaniora Pada Umumnya, (Yogyakarta : PT. Pustaka Pelajar, 2010), h. 362.
15 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, (Semarang: Fakultas Syari’ah, 2008) h. 15.
15
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
teknik penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan landasan teori yang akan menjadi kerangka
dasar (teoritik) sebagai acuan dari keseluruhan bab-bab yang akan dibahas
dalam penelitian ini. Adapun di dalamnya antara lain berisi tinjauan umum
tentang Pernikahan, definisi pernikahan, syarat dan rukun pernikahan,
tujuan dan hikmah, hak dan kewajiban suami istri.
Bab ketiga membahas tentang tinjauan umum tentang mafqud,
definisi suami yang mafqud, status hukum istri yang suaminya mafqud,
macam-macam mafqud, mafqud dalam hukum positif di Indonesia, dan
iddah bagi istri yang suaminya mafqud.
Bab keempat membahas tentang gambaran dan pemaparan awal
mengenai obyek kajian dari penelitian dalam penelitian ini yang antara lain
berisi tentang: biografi Ibnu Qudamah dan karya-karyanya, pemikiran
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni tentang status pernikahan istri
akibat suami menghilang, serta analisis perbandingan pemikiran Ibnu
Qudamah dengan hukum positif Islam di Indonesia.
Bab kelima merupakan bab terakhir dan merupakan bab penutup
yang akan menggambarkan mengenai kesimpulan dari apa yang menjadi
pokok kajian dalam penelitian ini, yang di dalamnya antara lain berisi:
kesimpulan, saran dan penutup.
16
BAB II
PERNIKAHAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Pernikahan
Dalam bahasa Indonesia, kata nikah diartikan dengan kawin. Istilah
pernikahan, yang dalam fikih Islam umum pula disebut dengan istilah
zawaj atau at-tazwij merupakan sinonim dari kata perkawinan.1 Mahmud
Yunus dalam kamusnya menyatakan bahwa nikah berasal dari kata
“nakaha” ( نكح ), “yankihu” ( ينكح ), “nikahan” ( نكاحا ) yang artinya
mengawini.2 Menurut kamus besar bahasa Indonesia, perkawinan berasal
dari kata “nikah” berarti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai
dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.3
Nikah adalah salah satu kata arab yang telah baku menjadi kata
Indonesia, makna asalnya ialah: berkumpul, menindas, dan memasukan
sesuatu disamping juga bersetubuh dan berakad. Adapun yang dimaksud
nikah dengan istilah para ahli hukum Islam (fukoha) seperti yang
dikemukakan oleh sebagian mereka ialah suatu akad yang dengannya
1 IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia. (Jakarta:Djambatan, 1992), h.171
2 Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1999), Cet. Ke-1,h. 47
3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: BalaiPustaka, 2002), edisi ketiga, h. 782
17
hubungan kelamin antara pria dan wanita yang melakukan akad
(perjanjian) tersebut menjadi halal.4
Sudarsono berpendapat dalam hukum kekeluargaan nasional,
istilah nikah berasal dari bahasa arab; sedangkan menurut istilah Bahasa
Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara
“nikah” dengan “kawin”, akan tetapi pada prinsipnya antara “pernikahan”
dan “perkawinan” hanya berbeda didalam menarik akar kata saja. Apabila
ditinjau dari segi hukum Nampak jelas bahwa pernikahan dan perkawinan
adalah suatu akad yang suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang
menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri dan dihalalkannya
hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih
saying, kebijakan, dan saling menyantuni.5
Menurut Dzuker Z dalam buku Hukum Perkawinan Islam dan
relevansinya dengan kesadaran hukum masyarakat menyatakan bahwa
perjanjian akad itu menimbulkan ikatan, baik secara lahir maupun batin
antara pria dengan wanita yang dinikahinya.6 Dan perikatan itupun
menghalalkan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan
untuk hidup bersama sebagai suami istri dalam mewujudkan kebahagiaan
hidup keluarga sesuai dengan aturan-aturan syariat Islam.
4 IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, h. 7415 Sudarsono, Hukum Keluargaan Nasional, (Jakarta:Fineka Cipta, 1991), h. 626 Dzuker Z, Hukum Perkawinan dan Relevansinya Dengan Kesadaran Hukm Masyarakat,
(Jakarta: Dewaruci, 1983), Cet, Ke 1, h. 27
18
Sedangkan menurut istilah banyak pengrtian yang dikemukakan
oleh beberapa ulama fikih. Ulama Hanafiyah mendifinisikan, nikah adalah
akad yang memberikan kesenangan dengan secara sengaja, dan makna
milik kesenangan yang dikhususkan kepada laki-laki dari kemaluan
perempuan dan seluruh badannya dilihat dari segi kelezatannya.7 Menurut
ulama Syafi’iyah, nikah adalah akad yang mengandung arti hubungan
intim dengan lafadz nikah. Sedangkan ulama Malikiyah nikah adalah akad
yang semata-mata menghantarkan pada kesenangan dan kenikmatan
dengan istri. Dan ulama Hanabilah, nikah akad dengan lafadz nikah atau
tazwij atas memberikan kesenangan.
Berdasarkan definisi yang dibuat oleh masing-masing ulama fikih
Ibrahim Hosen dalam buku berjudul fiqih perbandingan dalam masalah
nikah, thalaq, ruju dan hukum kewarisan menyimpulkan nikah adalah akad
yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak milik
penggunaan terhadap faradj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya
untuk penikmatan sebagai tujuan primer.
Perkawinan adalah ikatan dalam ajaran Islam disebut aqad (ijab
qabul) antara dua jenis bani adam yang saling mencintai, hubungan
mereka bukan hanya menyangkut jasmaniah tetapi meliputi segala macam
keperluan hidup insani. Keakraban yang sempurna, saling membutuhkan,
7 Abdul Rahman al-Jaziry, Kitab Fiqh’ala Mazhab al-Arba’ah, (Beirut: Daar al-Fikr,1991), Jild 4, h. 2.
19
dan saling mencintai, serta rela mengendalikan diri satu dengan lainnya
merupakan bagian dan kesatuan yang tak terpisahkan, keduanya harus
memikul bersama tanggung jawab saling mengisi dan tolong menolong
dalam melayarkan bahtera rumah tangga.8
Menurut Djoko Prakoso, dan I Ketut Murtika, merumuskan arti
perkawinan tidak cukup dengan adanya ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.9 Dalam perkawinan
“ikatan lahir bathin” dimaksud, adalah bahwa pekawinan tidak cukup
dengan adanya ikatan lahir saja, atau ikatan bathin saja. Akan tetapi hal ini
harus ada kedua-duanya, sehingga akan terjalin ikatan lahir dan ikatan
bathin yang merupakan pondasi yang kuat dalam membentuk dan
membina keluarga yang bahagia dan kekal.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa (4) 1:
)1:4/النساء(
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-muyang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allahmenciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
8 Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Modul Pembinaan KeluargaSakinah, (Jakarta: DEPAG, 1995), h. 161.
9 Djoko Prakosa dan Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta:PT Bina Aksara, 1987), h. 3.
20
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepadaAllah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling memintasatu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. SesungguhnyaAllah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (An-Nisa (4):1)
Adapun menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan berbunyi: Perkawinan adalah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.10
Dari beberapa pendapat diatas, penulis berkesimpulan bahwa
perkawinan merupakan ikatan lahir bathin yang sakral dan suci
berdasarkan nilai-nilai keislaman, sesuai dengan yang disyariatkan ajaran
Islam. Di sisi lain perkawinan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hasrat
seksual manusia mencegah perzinahan dan menjaga ketentraman jiwa dan
hati, serta menciptakan hubungan abadi untuk membina keluarga yang
sakinah, mawadah, warahmah.
B. Syarat dan Rukun Pernikahan
Inti upacara pernikahan adalah akad nikah. Dari segi bahasa ‘aqd
artinya mempertemukan dua hal atau mengukuhkan dua pihak, digunakan
untuk menyebut pengukuhan dua orang dalam ikatan suami istri. Dalam
hal budaya modern, akad adalah perjanjian yang tercatat atau kontrak yang
dokumennya disebut piagam, akta atau sertifikat. Dari segi ajaran agama,
10 Departemen Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,(Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2004), h. 14.
21
akad nikah adalah ketentuan syariat (rukun nikah) yang mengikat seorang
suami dan perempuan dalam satu ikatan, yaitu ikatan perkawinan.11
Sahnya suatu perkawinan dalam hukum islam adalah dengan
terlaksananya akad nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukunnya.
Rukun merupakan unsur yang wajib dalam suatu akad, karena itu rukun
dan syariat dalam perkawinan dijadikan sebagai hal yang penting yang
harus diperhatikan guna terlaksananya cita-cita mulia, yaitu mewujudkan
rumah tangga sebaagai antara sebagai suatu institusi yang suci.
Adapun rukun nikah terdiri dari;
1. Shigot (Ijab Qabul)
2. Calon Suami,
3. Calon Istri;
4. Dua orang saksi;
5. Wali nikah.12
Adapun syarat-syarat nikah dapat dirinci dibawah ini sebagai berikut;
1. Syarat-syarat Calon Suami
a. Tidak sedang menunaikan ibadah haji;
b. Tidak terpaksa, atas kemauannya sendiri;
c. Orangnya tertentu;
11 Ahmad Mubarok, Psikologi Keluarga: Dari Keluarga Sakinah Hingga KeluargaBangsa, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2005), h. 116.
12 Syihab al-Din Ahmad Ibn Salamah Al-Qolyubi, Hasyiatun Qolyubi Umairoh, (Beirut:Dar al-Fikr, 2006), Juz, 3, h. 217.
22
d. Bukan Muhrim;
2. Syarat-syarat Calon Istri;
a. Tidak ada halangan syar’I yaitu tidak bersuami, bukan mahram,
tidak sedang dalam iddah;
b. Merdeka, atas kemauan sendiri;
c. Jelas orangnya;
d. Tidak sedang berihram haji;
3. Syarat-syarat wali
a. Laki-laki
b. Baligh;
c. Waras akalnya;
d. Tidak dipaksa;
e. Adil
f. Tidak sedang ihram;
g. Memiliki hak perwalian;
4. Syarat-syarat saksi;
a. Minimal dua orang laki-laki;
b. Baligh;
c. Waras akalnya;
d. Adil
e. Dapat mendengar dan melihat
f. Bebas, tidak dipaksa;
23
g. Tidak sedang ihram haji;
h. Memahami bahasa ijab qabul;
5. Syarata-syarat Ijab Qabul;
Dalam teknis hukum perkawinan, ijab artinya penegasan kehendak
mengikat diri dalam bentuk perkawinan yang dilakukan oleh pihak
perempuan ditujukan kepada pihak laki-laki calon suami. Sedangkan qabul
berarti penegasan penerimaan mengikat diri sebagai suami istri yang
dilakukan oleh pihak laki-laki langsung sesudah ucapan penegasan ijab
pihak perempuan tidak boleh mempunyai waktu yang lama.13
Sighat akad nikah mempunyai beberapa syarat yaitu:
a. Kedua belah pihak sudah tamyiz
Bila salah satu pihak gila dan masih kecil dan belum tamyiz
(membolehkan benar dan salah), maka pernikahannya tidak sah.
b. Ijab qabulnya dalam salam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan
ijab qabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut
dapat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab
qabul.
c. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau
lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri menunjukkan pernyataan
persetujuan lebih tegas.
13 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI-PRESS, 1986) Cet. Ke-5,h. 63.
24
d. Pihak yang melakukan akad harus dapat pernyataan masing-
masingnya, dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadi
pelaksanaan akad nikah, sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat
dipahami karena yang dipertimbangkan disini adalah maksud dan
niatnya.14
Didalam pasal 6 undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
syaratnya adalah :
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua
Ditambahkan pada pasal 7 ayat 1, yang berbunyi: “perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (Sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun”.
Menurut hemat penulis persyaratan dan rukun perkawinan dari apa
yang telah dikemukakan di atas, baik pandangan hukum islam dan hukum
positif mempunyai relevansi untuk melakukan sebuah akad pernikahan dan
merupakan landasan ideal untuk dilaksanakannya sebuah akad pernikahan.
Sebab perkawinan bukanlah hanya sekedar bersatu dua insan yang lainan
jenis yang memerlukan kesadaran dan kesungguhan dari kedua belah pihak,
14 Sayid Shabiq, Fikih Sunnah, Penterjemah: Mahyuddin Syaf, (Bandung: PT Al-Maarif,1996), Jilid 6, h. 49.
25
namun juga untuk menjalani kehidupan yang sangat panjang dan
melaksanakannya adalah suatu ibadah.
C. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
1. Tujuan Pernikahan
a. Menurut Al-Qur’an
Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk hidup
saling berpasang-pasangan, sehingga mereka dapat berhubungan satu sama
lain dan saling mencintai, sehingga menghasilkan keturunan serta hidup
dalam kedamaian sebagaimna perintah Allah SWT. Dalam firmannya pada
ayat suci al-quran, banyak ayat yang menjelaskan tentang tujuan dan
hikmah pernikahan antara lain, pertama surat Al-A’raf (7):189 ;
)٧:١٨٩/االعراف(
Artinya : Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dandari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senangkepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandungkandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapawaktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri)bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jikaEngkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur". (Al-Araf (7):189).
Ayat diatas menjelaskan bahwa tujuan pernikahan itu adalah untuk
bersenang-senang. Dari ayat ini kita tampaknya tidak juga dilarang
26
bersenang-senang tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang
penting karenanya, karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah
satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani.15
Selanjutnya dalam surat Al-Rum (30) : 21 :
)٣٠:٢١/لروم١(
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Diamenciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamucenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nyadiantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itubenar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Al-Rum (30) :21)
Dari kandungan surat diatas ada tiga makna yang dituju satu
pernikahan yakni: pertama, litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang/diam
dan yang sepertinya adalah sakana, sukun, sikin, kedua, mawaddah artinya
membina rasa cinta, ketiga rahmah yang berarti sayang.
b. Menurut Hadis
15 Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: QALBUNSALIM, 2007), edisi pertama, h. 87.
27
Nabi Muhammad SAW sebagai panutan Umat islam juga telah
menggariskan apa saja yang akan di dapat dalam sebuah pernikahan.
Secara global ada dua hal yang dituju pernikahan menurut hadits.
Pertama, untuk menundukan pandangan dan faradj (kemaluan).
Dan Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur, bila
kemampuan materil belum memungkinkan.
Kedua, sebagai kebanggaan Nabi dihari kiamat, yakni dengan
banyaknya keturunan Imat Islam melalui perkawinan yang jelas, secara
tekstual nabi menyatakan jumlah (kuantitas) yang banyak itu Nabi
harapkan, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan
yang besar. Kekuatan yang bisa menunjukkan kemuliaan dan keagungan
ajaran-ajaran Islam, bukan hanya dalam lintasan sejarah masa lalu namun
juga masa sekarang.
Perkawinan dapat mengembangkan umat manusia menjadi satu
masyarakat yang besar bermula dari unsur keluarga. Hubungan laki-laki
dan perempuan yang tidak terikat oleh tali pernikahan dapat juga
memperkembangkan manusia. Akan tetapi, bila ini dierapkan maka
tanggung jawab manusia tidak dapat dikontrol. Sebab itulah perkawinan
sangat penting untuk pengembangan manusia secara bertanggung jawab.16
c. Menurut Akal
16 Chuzaimah T Yanggo (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: LSIK,2002) Buku Kedua, h.76.
28
a. Memelihara dan Menjaga Bumi
Bumi ini cukup luas, kelilingya ada 40.000 KM, sedangkan garis
tengahnya atau diameternya ada 25.000 KM, wilayah yang demikian
luas tentunya harus diurus oleh banyak, karena bumi ini Allah
nyatakan dibuat untuk kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit
tentu banyak wilayah yang tersia-sia.
Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan
perkawinan atau pernikahan.17 Oleh karena itu, demi kemakmuran
bumi secara lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang
bumi masih ada. Sehingga perkawinan merupakan syarat mutlak bagi
kelestarian dan kemakmuran bumi.18
1. Tertib Nasab
Bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban atau
keteraturan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau tidak
tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A dan si B
anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapi tentu semua akan tidak
menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-besarnya bencana.19
Selain itu diadakannya hukum perkawinan dalam islam adalah
memelihara moralitas. Islam menganggap perbuatan zina merupakan
17 Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran, h. 90.18 Chuzaimah T Yanggo (ed), Problematika Hukum, h. 116.
29
perbuatan yang tidak halal,20 yang dapat merusak tatanan kehidupan
masyarakat. Selain itu jika tanpa nasab yang tidak jelas maka akan
membuat kesulitan apabila sianak akan membuat atau mengurus
tentang surat yang berperihal pada kependudukan dan lain sebagainya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Kamal Mukhtar,
keturunan yang bersih, yang jelas ayah, kakek dan sebagainya hanya
diperoleh dengan perkawinan. Dengan demikian akan jelas pula orang-
orang yang bertanggung jawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara
dan mendidiknya sehingga menjadilah seorang muslim yang dicita-
citakan.21
2. Tertib Harta
Untuk menjaga kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan
memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya
sekeping papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus
ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peninggalan
tersebut. Nah untuk tertibnya para ahli waris, tentunya harus dilakukan
prosedur yang tertib pula, yakni dengan pernikahan.22
d. Menurut Undang-Undang
20 Abul A’la-Maududi dan Fazl Ahmed, Pedoman Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta:Darul Ulum Press, 1999), h. 7.
21 Kamal Muhktar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: BulanBintang, 1974) Cet. Ke-2, h. 15.
22 Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran, h. 90.
30
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
disebutkan dalam pasal 1 yang berbunyi : tujuan pernikahan adalah untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal yang sama juga didapat dalam Kompilasi
Hukum Islam pada pasal 3 bahwa tujuan perkawinan adalah mewujudkan
rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Sehingga jelaslah
bahwa perintah mengharapkan pernikahan sebagai pondasi awal menuju
struktur kehidupan berbangsa dan bernegara yang tenteram dan damai.
2. Hikmah Pernikahan
a. Menyalurkan Kebutuhan Biologis
Setiap manusia dewasa yang normal, dia pasti memiliki
dorongan seksual yang menuntut adanya penyaluran. Dorongan yang
satu ini menjadi sumber fitnah yang membahayakan,23 yang bisa
berakibat terjatuh pada bahaya perzinahan dan prostitusi yang dapat
merusak ketenangan dan menimbulkan keresahan pada masyarakat.
Dengan adanya pernikahan, dorongan seksual yang bergejolak dapat
disalurkan sepuas-puasnya dengan istri tercinta secara sah dan benar.
b. Mempererat dan Menambah Persaudaraan
Menurut Islam, perkawinan bukan hanya merapatkan hubungan
dua pihak secara individual antara suami dan istri, namun lebih jauh
23 M. Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri Sejak Malam Pertama, (Yogyakarta: MITRAPUSTAKA, 2000), Cet. 2, h. 114
31
dapat mempererat tali hubungan antar keluarga pihak suami dan pihak
istri.24 Dengan beristri, maka suami akan bertambah banyak sanak dan
saudaranya. Saudara-saudara ipar, segenap keluarga besar dari pihak
istri, para tetangga dan masyarakat dilingkungan istri, apalagi kelak
setelah berbesanan dengan seorang tatkala anaknya telah dewasa
semua itu akan memperbanyak saudara.
c. Menciptakan Ketenangan Jiwa
Suatu perkawinan dapat menimbulkan rasa kasih sayang antara
suami dan istri, juga menenangkan jiwa memperkokoh dan
menanamkan kasih sayang antar keduanya.25 Disamping itu dengan
beristri akan kebih terbentangi dari hal-hal yang memudarkan nilai
peribadatan dan pengamalanya terhadap agama. Suami tak lagi
dibayangi oleh pikiran-pikiran negative terhadap wanita dan lebih
terbantu dengan kehadiran istri tercinta.
d. Menumbuhkan Sikap Bertanggung Jawab
Sebelum beristri seorang laki-laki idak menghadapi banyak
tuntutan. Tetapi setelah beristri, ia dituntut oleh banyak hal. Ia akan
menyadari rasa tanggung jawab kepada istri, anak-anak. Menimbulkan
sikap rajin bekerja dan sunggung-sungguh dalam mengarahkan
24 Chuzaimah T Yanggo (ed), Problematika Hukum, h. 77.25 Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Jilid. 2, h.12.
32
pendidikan anak, serta meningkatkan status dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dihargai dan dihormati.
Dari uraian yang telah dikemukakan penulis menarik
kesimpulan begitu besar dan banyak manfaat dari tujuan dan hikmah
perkawinan. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Perkawinan dalam Islam sebagaimana yang telah kta
ketahui, bukan semata-mata untuk mengikuti rasul, tetapi lebih jauh
membuat ketenangan baik lahir dan bathin dan berbagai manfaat yang
tidak bisa kita dapatkan tanpa melalui perkawinan, sehingga ikatan
suci menjadikan seorang pria dan wanita dapat memelihara diri dari
perbuatan dan perilaku tidak senonoh, melanjutkan keturunan, dan
yang paling besar ialah mendapatkan ridha dari Allah SWT.
D. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Apabila dilaksanakan akad nikah yang sah, maka mulai saat itu
berarti antara kedua calon mempelai sudah terikat dalam ikatan
perkawinan dan telah resmi hidup sebagai suami istri. Maka untuk
mencapai tujuan perkawinan sebagaimana yang telah disebutkan maka
diperlukan hak dan kewajiban bagi suami istri.
1. Hak dan Kewajiban Suami
Mengenai hak-hak suami terhadap istri tersebut dalam surat An-Nisa
(4) 34, yaitu firman Allah SWT:
33
)٣ع:ع/النساء(
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atassebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telahmenafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yangsaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminyatidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanitayang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka danpisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-carijalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagiMaha besar. (An-Nisa (4): 34).
Dari ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hak suami atas istri
ialah:
a. Taat
Istri hendaklah taat kepada suaminya dalam melaksanakan urusan-
urusan rumah tangga mereka, selama suaminya masih menjalankan
ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan dengan kehidupan suami
istri. Taat kepada suami dalam ayat dipergunakan perkataan “qanitat”
yang berarti “tunduk patuh”. Perkataan ini biasanya digunakan untuk
menerangkan ketundukan dan kepatuhan seorang hamba kepada Allah.
34
Dengan ayat ini Allah menerangkan bentuk ketaatan istri kepada
suami, sama dengan bentuk ketaatna kepada Allah.26
b. Istri tidak diperkenankan menghadiahkan sesuatu dari harta suaminya
kecuali atas izinnya.27
Maksudnya seorang istri tidak diperkenankan memberikan hadiah
apapun dari harta suaminya kecuali dengan izinnya. Disamping itu
untuk mencegah kecurigaan pihak suami terhadap istri yang dapat
merusak keharmonisan perkawinan.
c. Menerima sedekah dari harta istri dalam keadaan sulit atau bersabar,
menghadapi tekanan hidup jika ia tidak mempunyai harta.
Diantara hak suami yang ada pada istrinya, ialah istri harus
menyedekahkan hartanya ketika sedang dalam keadaan sulit. Kalau
istri tidak punya harta, maka ia bersabar bersamanya menghadapi
tekanan hidup.28
d. Istri menjaga dirinya dan harta suami
Dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 34 dijelaskan bahwa istri harus
bisa menjaga dirinya baik ketika berada didepan maupun dibelakang
suami, dan ini merupakan salah satu ciri istri sholeha.
26 Kamal Muktar, Asas-asas Hukum, h. 153.27 Muhammad al-Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung,
Remaja Roada Karya, 1991) Cet. Ke-1, h. 152.28 Yudian wahyudin, dkk, Keluarga Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Mantik, 1993), h.
160.
35
Maksud memelihara diri dibelakang suami dalam ayat tersebut adalah,
istri dalam menjaganya, dirinya ketika suaminya tidak ada dan
berbuat khianat kepadanya, baik mengenai diri maupun harta
bendanya. Inilah kewajiban tertinggi seorang istri terhadap suami.29
Sedangkan kewajiban suami adalah sebagai berikut :
a. Suami wajib menperlakukan istrinya dengan baik dan nyaman,
menghormatinya, bergaul dengan baik, memperlakukannya
dengan wajar, mendahulukan kepentingannya yang memang
patut didahulukan untuk melunakan hatinya, lebih-lebih bersikap
menahan diri dari sikap yang kurang menyenangkan melakukan
dari padanya atau bersabar untuk menghadapinya, sehingga istri
akan bersikap lebih perhatian terhadap kelangsungan kehidupan
perkawinan.
b. Menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya
pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh sesuatu
kesulitan dan mara bahaya, sehingga istri merasa tenang dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya baik ketika suaminya ada
atau tidak berada dirumah. Dalam ayat ini terkandung suruhan
untuk menjaga kehidupan beragama istrinya, membuat istrinya
tetap menjalankan ajaran agama dan menjauhkan istrinya dari
segala sesuatu yang dapat menimbulkan kemarahan Allah. Untuk
29 Abdurahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Permada Media, 2003), h. 160.
36
maksud tertentu suami wajib memberikan pendidikan agama dan
pendidikan lain yang berguna bagi istri dalam kedudukannya
sebagai istri.30
c. Suami wajib mewujudkan kehidupan perkawinan yang
diharapkan Allah untuk terwujud, yaitu mawaddah, rahmah, dan
sakinah. Untuk maksud itu suami wajib memberikan rasa tenang
bagi istrinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-
Rum (30) :21 :
)۳۰:۲۱/لروم١(Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supayakamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yangdemikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yangberfikir.
d. Menanggung Biaya Hidup
Islam telah memberikan garis batas bagi pekerjaan suami dan
pekerjaan istri. Tugas laki-laki adalah bekerja mencari nafkah dan
mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup keluarganya. Tugas ini
30 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Premada Media,2006), h. 161.
37
merupakan tugas yang harus dipatuhi dalam status laki-laki sebagai
pelindung.31
2. Hak dan Kewajiban Istri
Hak istri atas suami adalah sebagai berikut :
a. Menerima Nafaqah
Nafaqah merupakan hak istri dan suami wajib membayarnya. Dasarnya
adalah surat Al-Baqarah (2) :223 :
)۲:۲۲۳/البقرة(
Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selamadua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dankewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengancara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadarkesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karenaanaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajibandemikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengankerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa ataskeduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Makatidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
31 Abul A’la al-Maududi dan Fazl Ahmad, Pedoman Perkawinan, h. 22
38
yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa AllahMaha melihat apa yang kamu kerjakan.(Al-Baqarah (2):223).
Kewajiban memberikan nafakah olehsuami kepada istrinya yang
berlaku pada fiqih didasarkan pada prinsip pemisahan harta suami dan
istri. Prinsip ini mengikuti alur piker bahwa suami itu adalah pencari
rezeki, rezeki yang diperolehnya itu menjadi haknya penuh dan untuk
selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafaqah.32
b. Mendapatkan pergaulan secara baik dan patut. Hal ini sesuai firman
Allah dalam surat An-Nisa (4):19 :
…….. ))١٩:ع/النساء(
Artinya: ………. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karenamungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikanpadanya kebaikan yang banyak.
Yang dimaksud dengan disini secara khusus adalah pergaulan
suami istri termasuk hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan
seksual. Bentuk pergaulan yang dikatakan dalam ayat tersebut adalah
diistilahkan dengan makruf yang mengandung arti secara baik; sedangkan
bentuk yang makruf itu tidak dijelaskan Allah secara khusus. Dalam hal ini
diserahkan kepada pertimbangan alur dan patut menurut pandangan adat
dan lingkungan setempat.
32 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan, h. 165.
39
3. Hak Supaya Suami Menjaga dan Memilihara Istrinya
Maksudnya ialah menjaga kehormatan istri, tidak menyia-nyiakannya, dan
menjaganya agar selalu melaksanakan perintah-perintah Allah dan
menghentikan segala yang dilarang Allah.33 Firman Allah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dankeluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia danbatu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidakmendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada merekadan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
4. Kalau Suami Mempunyai Istri Lebih, Maka Hendaklah Ia Berlaku Adil
Terhadap Istrinya. Firman Allah :
Artinya: ……….. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamumiliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Yang dimaksud dengan berlaku adil dalam ayat ini ialah berlaku
adil dalam hal-hal yang dapat dilaksanakan, seperti adil dalam menetapkan
giliran hari antara istri-istri dan sebagainya. Adapun adil dalam dalam hal
cinta dan kasih sayang sukar dilaksanakan oleh manusia. Walaupun
33 Kamal Muhktar, Asas-Asas Hukum, h. 152.
40
demikian janganlah hendaknya karena kecintaan kepada istri yang
seorang, membiarkan istri yang lain terkatung-katung hidupnya.
Sedangkan kewajiban seorang istri adalah :
a. Istri Wajib Mengasuh Anak
Istri berusaha untuk mengasuh anak termasuk sesuatu yang dianjurkan
oleh agama dan utamakan, karena anak merupakan sambungan hidup
dari orang tuanya. Cita-cita atau usaha-usaha yang tidak sanggup orang
tuanya melaksanakan, diharapkan agar anaknya nanti yang
melaksanakannya. Anak yang saleh merupakan amal orang tuanya.
b. Istri Menjaga Dirinya Sendiri dan Harta Suami, menjauhkan diri dari
mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkannya, tidak cemberut
dihadapannya, tidak menunjukan keadaan yang tidak disenanginya.
c. Istri Wajib Menyusukan Anaknya, selama ia sanggup melaksanakan
dan menjalankannya. Firman Allah al-Baqarah (2):233 :
)۲:۲۲۳/البقرة(
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selamadua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dankewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengancara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadarkesanggupannya. (Al-Baqarah (2):223).
41
Sedangkan Hak dan Kewajiban suami istri menurut Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan pada :
a. Pasal 30 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menyatakan bahwa :
“Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
b. Pasal 31 ayat 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menyatakan bahwa :34
“Hak dan Kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat”
Teranglah bahwa, kehidupan perkawinan tidak berhenti pada
selesainya upacara akad nikah, namun yang arti perkawinan sesungguhnya
ialah tetap terbinanya hubungan suami istri pada kehidupan yang
harmonis. Hal ini dapat terlaksana dengan baik apabila keduanya mau
memahami posisinya dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Dalam
hal ini islam dan perundang-undangan telah mengatur dengan baik, dengan
memberikan pedoman dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai
suami istri. Sehingga hal-hal seperti ketidakharmonisan, perpecahan, dan
sampai pemutusan perkawinan dapat dihindari.
34 Departemen Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta:Dirjen Bimas Islam, 2004), h. 14.
42
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG MAFQUD
A. Pengertian Suami yang Mafqud
Persoalan mafqudnya suami yang tidak diketahui ke mana perginya
dan dimana keberadaannya dalam waktu yang lama pasti menyulitkan
kehidupan istri yang ditinggalkan, terutama bila suami tidak meninggalkan
sesuatu untuk menjadi nafkah istri dan anak-anaknya. Dalam hal ini terjadi
perbedaan pendapat di kalangan para Ulama mengenai kebolehan istri
mengajukan pilihan untuk meminta fasakh nikah. Sebelum penulis
mengemukakan atau memaparkan lebih jauh mengenai hukumnya,
terlebih dahulu akan penulis kemukakan pengertian mafqud ini dari dua
segi, yaitu segi bahasa dan segi istilah.
Menurut bahasa, kata mafqud dalam bahasa Arab secara harfiah
bermakna menghilang. Kata mafqud merupakan bentuk isim maf’ul dari
kata faqida yafqadu yang artinya hilang1. Jadi, kata mafqud secara bahasa
artinya ialah hilangnya seseorang karena suatu sebab-sebab tertentu.
Adapun pengertian mafqud menurut istilah, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Para Ulama yaitu:
1 Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 321.
43
Kalangan Hanafiyah mengatakan bahwa mafqud ialah:2
الدي ال یدري حیاتھ وال موتھArtinya: Yaitu orang yang tidak diketahui hidup dan matinya.
Sementara Kalangan Malikiyyah menjelaskan3:
المفقود ھو الدي غاب عن اھلھ وفقدوه حتى انقطع خبرهArtinya: Mafqud ialah orang yang hilang dari keluarganya dan merekamerasa kehilangan orang tersebut hingga terputus kabar mengenai orangyang hilang tersebut.
Wahbah Zuhaili memberikan penjelasan yaitu4:
القبرام میت اودع قدومه فيتوقع هو أحي يدر مل الذي الغائب هو
املفقودArtinya: Mafqud ialah orang hilang yang tidak diketahui apakah masihhidup yaitu bisa dharapkan kehadirannya ataukah sudah mati beradadalam kubur.
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa mafqud yaitu
hilangnya seseorang dari suatu tempat, tidak diketahui kabar dan
keberadaannya secara pasti, serta tidak diketahui apakah dirinya masih
hidup atau sudah meninggal dunia. Suami yang mafqud yakni seorang
suami yang hilang dari keluarganya tanpa diketahui dimana dia berada dan
kapan dia akan kembali. Kepergian suami mungkin karena kesengajaan
2 Ibnu Humam Al-Hanafi, Fathul Qadir, Juz 6, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, th), h.133.
3 Abu bakar bin Hasan Al-Kasynawi, Ashal Al-Madarik, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th), h. 407.
4 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Juz. 9, (Damaskus: Dar Al- Fikr,2006), h. 7187.
44
dengan motif melarikan diri akibat suatu hal, atau mungkin karena ia
meninggal dunia dan tidak diketahui kabarnya, atau mungkin karena hal
lainnya.
Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa suami yang
mafqud adalah seorang suami yang hilang dari keluarganya tanpa
diketahui tempat tinggalnya dan kabar mengenai hidup atau matinya.
B. Status Hukum Istri Yang Suaminya Mafqud
Setelah membahas mafqud dari segi pengertian, maka di bawah ini
penulis akan membahas mengenai status hukum istri dari suami yang
mafqud. Hal ini mengenai apa yang boleh dilakukan istri jika suaminya
hilang tanpa ada kabar beritanya. Para Ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa seorang istri yang
ditinggal lama oleh suaminya hendaknya sabar dan tidak boleh menuntut
cerai. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Mereka
berdalil bahwa pada asalnya pernikahan antara kedua masih berlangsung
hingga terdapat keterangan yang jelas, bahwa suaminya meninggal atau
telah menceraikannya.5 Mereka cenderung memandangnya dari segi
positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup,
sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap
5 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Juz. 9, (Damaskus: Dar Al- Fikr,2006), h. 7187.
45
yang diambil Ulama fiqih ini berdasarkan kaidah istishab, yaitu
menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang
menunjukan hukum lain. Mereka juga berdasar pada hadits:6
امراة "وسلم قال رسول هللا صلى هللا علیھ. عن المغیرة بن سعبة قال
الدارقطنى بإسناد ظعیف. احرجھ". البیانتیھاالمفقود امراتھ حت یأArtinya: Dari Mughirah bin Syu’bah berkata: Rasulullah SAW
bersabda: istri orang yang hilang tetap sebagai istrinya sampai iamendapat berita (tentang kematiannya). (H.R. Al- Daruquthni dengansanad yang lemah).
Sebagian Ulama juga berpendapat bahwa persoalan status hukum
istri yang suaminya mafqud itu sebenarnya tidak ada alasan, kecuali jika
suami yang hilang itu tidak meninggalkan apapun yang menjadi
kewajibannya bagi istrinya. Hal ini berarti bahwa suami itu dianggap ada
disamping istrinya. Karena tidak ada hak istri yang tidak dibayarkan selain
dari bersetubuh, sedangkan bersetubuh adalah hak suami.7 Akan tetapi
anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus menerus,
karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Oleh karena harus
digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status
hukum bagi si mafqud, karena yang berhak untuk menetapkan status bagi
orang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang
hilang itu telah wafat atau belum.
6 Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Bulughul Maram, (Semarang: Thoha Putra, t.th), h. 237.7 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.
135.
46
Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan
dalam mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud, yaitu:
1. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik yang dibenarkan oleh syariat,
yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum. Misalnya, ada dua
orang yang adil dan dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian
bahwa si fulan yang hilang telah meninggal dunia, maka Hakim dapat
menjadikan dasar persaksian tersebut untuk memutuskan status
kematian bagi si mafqud. Jika demikian hal nya, maka si mafqud sudah
hilang status mafqudnya. Ia ditetapkan seperti orang yang mati haqiqi.
2. Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau
berdasarkan kadaluwarsa. Dalam kondisi seperti ini, Hakim
menghukuminya sebagai orang yang telah meninggal secara hukumi
setelah berlalunya waktu yang lama, karena masih ada kemungkinan
orang tersebut masih hidup.8
Sedangkan Pendapat kedua mengatakan bahwa seorang istri yang
ditinggal lama oleh suaminya, dan merasa dirugikan secara batin, maka
dia berhak menuntut cerai. Ini adalah pendapat Hanabilah dan Malikiyah.9
Adapun dalil-dalil yang bisa dikemukakan untuk mendukung
pendapat ini adalah :
8 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,Jilid 4, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin dari “Fqh Al-Sunnah”, (Jakarta: Pundi Aksara, 2006), h. 87.
9 Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, (Kairo: Dar Al Fikr Al‘Arabi, t.th),h. 428.
47
1. Firman Allah swt :
Artinya: Dan pergaulilah mereka dengan baik (An Nisa (4):19 ).10
2. Firman Allah swt
……
Artinya: Janganlah engkau tahan mereka untuk memberi kemudharatanbagi mereka, karena demikian itu berarti kamu menganiaya mereka. ( Al-Baqarah (2) : 231 ).
3. Sabda Rasulullah saw :
ال ضرر وال ضرارArtinya: “Tidak ada yang mudharat (dalam ajaran Islam) dan tidak bolehseorang muslim membuat kemudharatan bagi orang lain” ( Hadist HasanRiwayat Ibnu Majah dan Daruqutni ).
Ayat dan hadist di atas melarang seorang muslim, khususnya suami
untuk membuat kemudharatan bagi istrinya dengan pergi meninggalkan
rumah dalam jangka waktu yang lama tanpa ada keperluan yang jelas.
Maka, istri yang merasa dirugikan dengan kepergian suaminya tersebut
berhak untuk menolak mudharat tersebut dengan gugatan cerai yang
diajukan ke pengadilan.
10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil MediaCipta, 2005), h. 80.
48
Disamping itu, seorang istri dalam keadaan sendirian, biasanya
sangat sulit untuk menjaga dirinya, apalagi di tengah-tengah zaman yang
penuh dengan fitnah seperti ini. Untuk menghindari fitnah dan bisikan
syetan tersebut, maka dibolehkan baginya untuk meminta cerai dan
menikah dengan lelaki lain.
Mereka juga mengqiyaskan dengan masalah “al-iila” (suami yang
bersumpah untuk tidak mendekati istrinya) dan“al- Unnah” (suami yang
impoten), dalam dua masalah tersebut sang istri boleh memilih untuk cerai,
maka begitu juga dalam masalah ini.11 Untuk menuntut cerai diperlukan
empat syarat:
1. Kepergian atau hilangnya suami dari istrinya itu tanpa ada alasan
yang dapat diterima.
2. Istri merasa kesulitan dengan kepergian suaminya.
3. Suami pergi meninggalkan tempat tinggal istri.
4. Sudah lewat satu tahun dan istri merasa tidak aman.12
Penentuan masa satu tahun ini adalah pendapat Imam Malik,
walaupun ada riwayat lain yang menentukan 3 tahun. Imam Ahmad
menetapkan batas minimal yang membolehkan istri menuntut cerai yaitu
setelah lewat enam bulan, karena enam bulan adalah batas kesabaran
11 Malik bin Anas, Al Muwatha’, (Beirut: Dar Al- Fikr, t.th), h. 533.12 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani,
1980), h. 225.
49
seorang istri ditinggalkan suaminya, sebagaimana yang diterangkan dalam
dialog Umar dengan Hafshah Ummul Mukminin.13
Ahmad Syarabashi mengatakan bahwa seorang suami yang hilang
akan menyulitkan kehidupan si istri, karena istri memerlukan keberadaan
suami untuk melindunginya dan keperluan nafkah sehari-harinya. Padahal
hal itu diperintahkan oleh syariat agar dilaksanakan oleh suaminya. Jika
hal itu dibiarkan, atau istri itu disia-siakan, maka berarti suami itu telah
berdosa. Sebab istri itu keadaannya seperti digantung, yaitu ia tidak
menerima hak-haknya sebagai istri yang berada dalam ketenangan, dan
juga ia tidak bebas untuk menerima laki-laki yang lain.14
C. Macam-macam Mafqud
Berdasarkan penjelasan tentang status hukum istri yang suaminya
mafqud, maka pembagian macam-macam mafqud hanya tertentu pada
pendapat Ulama yang membolehkan istri untuk menuntut cerai, dalam hal
ini yaitu pendapat Ulama kalangan Malikiyyah dan Hanabilah.
Kalangan Malikiyyah membagi mafqud menjadi 4 macam, yaitu:
1. Hilang di negeri Islam. Dalam hal ini istri diperbolehkan untuk
menuntut cerai dari suaminya.
13 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 8, diterjemahkan oleh Moh Thalib dari “Fqh Al-Sunnah”, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1980), h. 91.
14 Husein Bahreisj (ed.), Himpunan fatwa,(Surabaya: Al Ikhlas, 1987), h. 340.
50
2. Hilang di negeri Musuh (kafir). Mereka berpendapat bahwa
hukumnya sama dengan hukum orang tawanan, artinya istrinya
tidak boleh dikawin dan harta bendanya tidak boleh dibagi.
Kecuali pendapat Asyhab yang mengatakan bahwa hukum suami
tersebut sama dengan hukum orang yang hilang di negeri islam.
3. Hilang dalam perang Islam, yakni perang antar kaum Muslimin.
Malik berpendapat bahwa ia disamakan dengan orang yang mati
terbunuh tanpa harus menunggu. Pendapat lain mengatakan harus
ditunggu berdasarkan dekat atau jauhnya tempat terjadinya
peperangan. Akan tetapi bagi Malik, masa menunggu yang paling
lama adalah satu tahun.
4. Hilang dalam peperangan dengan kaum kafir. Menegenai hal ini
ada empat pendapat.
1. Hukumnya sama dengan hukum orang yang ditawan.
2. Hukumnya sama dengan hukum orang yang dibunuh sesudah
menunggu masa satu tahun, kecuali jika ia berada disuatu
tempat yang sudah jelas, maka disamakan dengan hukum orang
yang hilang dalam peperangan dan tindak kekerasan yang
terjadi antar kaum Muslimin.
3. Hukumnya sama dengan hukum orang yang hilang di negeri
kaum Muslimin.
51
4. Hukumnya sama dengan hukum orang yang dibunuh berkaitan
dengan istrinya, dan sama dengan hukum orang yang hilang di
negeri kaum Muslimin berkaitan dengan harta bendanya. Yakni
harus ditunggu, baru sesudah itu dibagi.15
Sementara kalangan Ulama madzhab Hambali membagi mafqud
menjadi 2 macam, yaitu:
1. Hilang yang menurut lahirnya selamat, seperti pergi berniaga ketempat
yang tidak berbahaya, pergi menuntut ilmu dan mengembara.
2. Hilang yang menurut lahirnya tidak selamat, seperti orang yang hilang
tiba-tiba diantara keluarganya, atau ia keluar untuk shalat tetapi tidak
kembali lagi, atau ia pergi karena suatu keperluan yang seharusnya ia
kembali, lalu tidak ada kabar beritanya atau ia hilang antara dua
pasukan yang bertempur atau bersamaan dengan tenggelamnya sebuah
kapal dan sebagainya.16
D. Mafqud Dalam Hukum Positif Di Indonesia
Dalam hukum Positif di Indonesia disebutkan bahwa seorang istri
akan tetap menjadi istri dari suami yang menikahinya secara sah, sampai
suaminya menceraikannya atau di sendiri yang mengajukan cerai dan
pengajuannya itu diterima pihak berwenang, yakni Kantor Urusan Agama.
15 Mahmoud Syaltout dan M. Ali as sayis, Perbandingan Mazhab, diterjemahkan olehIsmuha dari “Muqaranah Al Madzahib Fil Fiqh”, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, t.th), h.248-249.
52
Istri berhak mengajukan cerai yang disebut khulu’, tetapi itu harus
diputuskan oleh Pengadilan Agama. Bila tidak mengajukan khulu’ atau
tuntutan apapun kepada pihak berwenang, maka istri istri yang ditinggal
mafqud suaminya dianggap ridha terhadap perlakuan suami yang
menghilang. Apabila sejak awal akad nikah sudah ada sighat talaq ta’liq
dimana salah satu poinnya adalah “jika suami menghilang dalam jangka
waktu tertentu (harus disebutkan beberapa lama), atau tidak memberi
nafkah, atau hal lain maka otomatis akan jatuh talak”, barulah si istri yang
ditinggal (mafqud) bisa dikatakan tercerai secara otomatis. Sebetulnya
dalam buku perkawinan yang ada sekarang, ada sighat ta’liq, apabila
terjadi pelanggaran dari pihak suami, tetap saja istri harus mengajukan
tuntutan terlebih dahulu ke Pengadilan Agama. Artinya, apabila suami
melanggar sighat ta’liq tapi si istri tidak mengajukan tuntutan, maka tidak
akan terjadi perceraian. Intinya adalah bahwa apapun pelanggaran suami
termasuk menghilang tanpa kabar berita dan tidak ada sighat ta’liq sejak
awal akad, atau si istri tidak mengajukan perceraian kepada pihak
berwenang, maka istri yang suaminya mafqud tetap menjadi istri sah dari
suami yang mafqud tersebut.17
Dalam Kitab Undang-Undang hukum Perdata (KUHPer) telah
mencantumkan ketentuan mengenai mafqud (orang hilang). KUHPer
17 http://elramdzikro.blogspot.com/2011/04/status-hukum-perkawinan-wanita-yang.html?m=1, ”16/02/2013.
53
tidak menggunakan istilah mafqud, akan tetapi menggunakan istilah
“orang yang diperkirakan telah meninggal dunia”. Dalam Pasal 467,
KUHPer menentukan bahwa seseorang yang telah pergi meninggalkan
tempat kediamannya dalam jangka waktu 5 tahun, atau telah lewat waktu 5
tahun sejak terakhir didapat berita kejelasan tentang keadaan orang
tersebut, tanpa memberi kuasa untuk mewakili urusan-urusan dan
kepentingan-kepentingannya, dapat dimohonkan oleh pihak yang memiliki
kepentingan keperdataan dengan orang tersebut ke Pengadilan untuk
dipanggil menghadap kepersidangan untuk memastikan keberadaan dan
nasibnya. Jangka waktu panggilan ini adalah dalam waktu 3 bulan. Jika
orang tersebut tidak dapat menghadap untuk memberikan kesan dan
petunjuk bahwa dia masih hidup, walaupun telah dipanggil untuk yang
kedua kalinya, begitu seterusnya sampai panggilan ketiga dengan jangka
waktu panggilan adalah 3 bulan. Panggilan tersebut diumumkan di surat-
surat kabar, papan pengumuman di Pengadilan, dan papan pengumuman di
alamat terakhir orang tersebut diketahui.
Apabila sudah dipanggil tiga kali tetap tidak datang menghadap
kepengadilan, maka Pengadilan bisa menetapkan secara hukum bahwa
orang itu telah meninggal dunia, terhitung sejak hari dia meninggalkan
tempat tinggalnya, atau sejak hari terakhir mengenai kabar berita tentang
hidupnya.
54
Putusan yang telah diambil oleh Pengadilan mengenai mafqud
tersebut harus diumumkan dalam media surat kabar yang sama ketika
dalam pemanggilan.18
Dalam peraturan hukum positif Indonesia, persoalan mafqudnya
suami dapat menjadi alasan terjadinya perceraian, yakni dengan alasan
suami meninggalkan istri selama 2 tahun berturut-turut. Dalam pasal 19 PP
No 9 Tahun 1975 huruf b atau dalam pasal 116 KHI huruf b disebutkan
bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan, “Salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya”.19 Bagi orang islam dalam kaitannya dengan penentuan
suami mafqud sebagai alasan perceraian, maka hakim Pengadilan Agama
harus berpijak pada peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai peraturan
pelaksanaannya. Dalam hal ini istri mengajukan gugatannya ke Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal penggugat (pasal 132 KHI).
Namun apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka panitera akan
menempelkan surat gugatan penggugat di papan pengumuman yang ada di
Pengadilan Agama atau melalui media massa (pasal 138). Sedangkan bagi
18 R. Subekti dan Tjitrosudibio, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA,(Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1995), h. 144-145.
19 Redaksi New Merah Putih, Undang Undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974,(Yogyakarta: New Merah Putih, 2009), h. 60.
55
Hakim Pengadilan Negeri, Hakim harus berpijak pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan yakni Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
sebagai peraturan pelaksanaannya. Hukum acara yang berlaku dan yang
dapat dijadikan pedoman oleh Hakim dalam memutus perkara perceraian
dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain adalah
adalah HIR sebagai ketentuan Umum (lex generalis) dan Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 sebagai ketentuan khusus (lex specialis) serta Kompilasi
hukum Islam sebagai hukum materiilnya. Ketentuan ini termuat dalam
pasal 54 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989.20
E. Iddah Bagi Istri Yang Suaminya Mafqud
Bagi seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya,
berlaku baginya waktu tunggu atau masa iddah kecuali apabila seorang
istri dicerai suaminya sebelum berhubungan (qabla dukhul). Baik karena
kematian, perceraian atau atas keputusan pengadilan.
Wahbah Zuhaili dalam Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuhu
menyatakan bahwa termasuk salah satu dari pembagian macam- macam
iddah adalah termasuk iddah bagi wanita yang suaminya mafqud.21
Ketentuan mengenai iddah bagi istri yang suaminya mafqud sebetulnya
tidak ada perbedaan dikalangan para Ulama, baik Ulama yang
20 http://elramdzikro.blogspot.com.
56
menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sehingga harus menunggu
hingga dipastikan matinya suami, ataupun Ulama yang membolehkan
seorang istri untuk menuntut cerai jika ditinggal lama oleh suaminya tanpa
kejelasan, dan merasa dirugikan secara batin. Mereka sepakat bahwa jika
sang suami telah dihukumi kematiannya, maka iddah bagi si istri adalah
iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh
hari. Ketentuan ini meliputi baik istri itu pernah bercampur dengan
suaminya atau belum, keadaan istri itu belum pernah haid, masih berhaid,
ataupun telah lepas haid. Ketetapan ini berdasarkan firman Allah dalam
surat Al Baqarah (2):234 :
.)۲:۲۳۴/البقرة(
Artinya: orang-orang yang meninggal dunia di antaramu denganmeninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkandirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.22 (A;Baqarah (2):234).
Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (Al Baqarah: 234).
Perhitungan bulan dalam iddah dibulatkan dengan 30 hari,
sehingga empat bulan sepuluh hari berarti 130 (seratus tiga puluh) hari.
22 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil MediaCipta, 2005), h. 38.
57
Akan tetapi para Ulama berbeda pendapat mengenai hukum perceraiannya.
Imam Malik mengatakan bahwa thalaqnya dianggap thalaq bain,
sedangkan Imam Ahmad menganggapnya sebagai fasakh.23 Dalam buku-
buku fiqih, kebanyakan para Ulama menganggapnya sebagai fasakh
sebagaimana pendapat Imam Ahmad. Fasakh diartikan sebagai pembatalan
pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami
yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang
telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.24 Hukum positif di Indonesia
memang secara langsung tidak menjelaskan mengenai iddah bagi wanita
yang suaminya mafqud, akan tetapi bisa dijelaskan dari segi hukum
perceraiannya. Dari hukumnya, jika perceraian karena suami mafqud
dianggap fasakh, maka hal itu menjadi bertolak belakang dengan pendapat
para Ulama mengenai iddahnya. Dalam Pasal 155 Kompilasi Hukum
Islam disebutkan, “Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya
karena khulu’, fasakh dan li’an berlaku iddah talak”.25 Dari pasal tersebut
dapat dipahami bahwa, jika seorang wanita putus perkawinannya karena
fasakh.
23 H.S.A. Alhamdani, Perceraian Dalam Islam (Bandung Pers 2005), h. 225.24 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
242.25 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia,
2009), h. 48.
58
BAB IV
STATUS ISTRI AKIBAT SUAMI MAFQUD DALAM PEMIKIRAN IBNU
QUDAMAH DALAM KITAB AL-MUGHNI
A. Biografi Ibnu Qudamah
Ibnu Qudamah lahir di desa Jamma’il, salah satu daerah bawahan
Nabulasi, dekat Baitul Maqdis, Tanah Suci di palestina pada tahun 541
H/1147 M. Hijrah ke Damaskus bersama keluarganya pada usia 20 tahun.
Nama lengkapnya adalah Syaikh Muwaffaquddin Abu Muhammad
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdis Al-Hambali.1
Di Damaskus mereka singgah di Masjid Abu Salih, di luar gerbang timur.
Setelah dua tahun disana, mereka pindah ke kaki gunung Qaisun di Shalihia,
Damaskus. Di masa-masa itu Muwaffaquddin menghafal al Quran dan
Mukhtasar Al Khiraqi (fiqih madzab Imam Ahmad bin Hambal) kepada
ayahnya, bul’Abbas, seorang ulama yang memiliki kedudukan mulia serta
seorang yang zuhud. Kemudian ia berguru kepada Abu al Makarim bin
Hilal, Abu al Ma’ali bin Shabir dan Ulama Ulama Damaskus lainnya. Ia
memiliki kemajuan pesat dalam mengkaji ilmu. Pada tahun 561 H, ia pergi
ke Baghdad ditemani saudara sepupunya, Abdul Ghani al-Maqdisi (anak
saudara laki-laki ibunya). Di kota itu juga ia berguru kepada Imam
1 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Hukum Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1971). h. 236.
59
Hibatullah Ibn Ad-Daqqaq dan Ulama lainnya, di antaranya Ibnu Bathi
Sa’addullah bin Dujaji, Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Ibnu Taj al-Qara,
Ibnu Syafi’, Abu Zur’ah, dan Yahya Ibnu Tsabit. Selanjutnya ia tidak pisah
dengan Abul Fatah Ibn Manni untuk mengaji kepada beliau madzab Ahmad
dan perbandingan madzab. Ia menetap di Baghdad selama 4 tahun.
Pada tahun 578 H ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji
di Mekkah, ia juga menyempatkan sebentar untuk menuntut ilmu kepada
Syaikh al-Mubarak bin Ali bin al-Husain bin Abdillah bin Muhammad al-
Thabakh al-Baghdadi (wafat 575 H), seorang ulama besar Mazhab Hanbali
di bidang fiqih dan ushul fiqih. Kemudian ia kembali lagi ke Baghdad
menuntut ilmu kepada Ibnu al-Manni di bidang fikih dan ushul fikih
dalam Madzhab Hanbali. Setelah satu tahun ia kembali ke Damaskus untuk
mengembangkan ilmunya dengan mengajar dan menulis buku.
Sekembalinya di Damaskus, dia mulai menyusun kitabnya“Al-
Mughni Syarh Mukhtasar Al-Khiraqi”. Kitab ini tergolong kitab kajian
terbesar dalam masalah fiqih secara umum.2 Sampai-sampai Imam Izzudin
Ibn Abdus Salam as-Syafi’i yang digelari Sulthanul Ulama mengatakan
tentang kitab ini: ‘’Saya merasa kurang puas dalam berfatwa sebelum saya
menyanding kitab “Al-Mughni’’. Banyak para santri yang menimba ilmu
hadis kepadanya, fiqih, dan ilmu-ilmu lainnya. Dan banyak pula yang
2 Lihat pendahuluan Ibnu Qudamah, Al Mugni, Juz 1, (Beirut: Dar Al Kutub Al-Ilmiyyah,
t.th), h. 4.
60
menjadi ulama fiqih setelah mengaji kepadanya. Diantaranya keponakannya
sendiri, seorang qadhi terkemuka, Syaikh Syamsuddin Abdur Rahman bin
Abu Umar dan ulama lain seangkatannya. Di samping itu ia masih terus
menulis karya-karya ilmiah di berbagai disiplin ilmu, lebih-lebih di bidang
fiqih yang dikuasainya dengan matang.
Murid-muridnya yang menonjol antara lain adalah dua orang anak
kandungnya sendiri, yaitu Abu al-Fajr Abdurahman bin Muhammad bin
Qudamah (Ketua Mahkamah Agung di Damaskus). Dan al-Imam Ibrahim
bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur al-Maqdisi bin ad-Dimasqyi, seorang
ulama besar Mazhab Hanbali).3
Ibnu Qudamah selain sibuk dengan mengajar dan menulis buku, sisa
hidupnya juga diabadikannya untuk menghadapi perang salib melalui
pidato-pidatonya yang tajam dan membakar semangat umat Islam. Ia juga
dikenal sebagai ulama’besar Hanabilah yang zuhud, wara’, dan ahli ibadah
serta mengusai semua bidang ilmu, baik Al-Qur’an dan tafsirnya, ilmu
hadis, fiqh dan ushul fiqh, faraidh, nahwu, hisab dan lain sebagainya.
Imam Ibnu Qudamah wafat pada hari Sabtu, tepat di hari Idul Fithri
tahun 629 H. Ia dimakamkan di kaki gunung Qasiun di Shalihiya, di sebuah
lereng di atas Jami’ Al-Hanabilah (masjid besar para pengikut madzhab
Imam Ahmad bin Hanbal).
3 M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab,Cet ke- 4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada,2002), h. 280.
61
Ibnu Qudamah dikenal oleh Ulama sezamannya sebagai seorang
ulama besar yang menguasai berbagai bidang ilmu, memiliki pengetahuan
yang luas tentang persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam, cerdas dan
dicintai teman-teman sejawatnya. Gurunya sendiri Abu al-Fat Ibnu al-Manni
mengakui bahwa Ibnu Qudamah sangat cerdas. Ketika akan meninggalkan
Irak, Ibnu al-Manni enggan melepasnya, seraya berkata: “Tinggallah engkau
di Irak ini, karena jika engkau berangkat, tak ada lagi ulama yang sebanding
dengan engkau di Irak”. Sedang Ibnu Taimiyah mengakui: “Setelah al-
Auza’i (salah seorang pengumpul hadis di Syam), ulama besar di Suriah
adalah Ibnu Qudamah.” Pengakuan ulama besar terhadap luasnya ilmu Ibnu
Qudamah dapat dibuktikan para zaman sekarang melalui tulisan-tulisan
yang ditinggalkannya. Selain itu ia juga memiliki beberapa keistimewaan
(karamah) yang banyak diceritakan orang, di antaranya adalah sebagaimana
yang diceritakan oleh Sabth Ibn al-Jauzi di mana ia pernah berkata dalam
hati (ber’azam), seandainya aku mampu, pasti akan kubangun sebuah
madrasah untuk Ibnu Qudamah4 dan akan aku beri seribu dirham setiap
harinya, selang beberapa hari ia dating ke kediaman Ibnu Quddamah untuk
bersilaturahmi, seraya tersenyum, Ibnu Quddamah5 berkata kepadanya,
ketika seorang berniat melakukan sesuatu yang baik, maka dicatat baginya
4 http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Qudamah, "28/3/2012.
5Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah), h. 5.
62
pahala niat tersebut. Sekalipun Ibnu Qudamah menguasai berbagai disiplin
ilmu tetapi yang menonjol, sebagai ahli fiqih dan ushul fiqih. Keistimewaan
kitab Al-Mughni adalah bahwa apabila pendapat Madzhab Hanbali berbeda
dengan madzhab lainnya, senantiasa diberikan alasan dari ayat atau hadis
yang mendukung pendapat Madzhab Hanbali itu.
Keterikatan Ibnu Quddamah kepada teks ayat dan hadits, sesuai
dengan prinsip Madzhab Hanbali. Oleh sebab itu, jarang sekali ia
mengemukakan argumentasi berdasarkan akal. Kitab Al-Mughni (fiqh) dan
Raudhah al- Nadhair (ushul fiqh) adalah dua kitab yang menjadi rujukan
dalam Madzhab Hambali dan ulama lainnya dari kalangan yang bukan
bermadzhab Hambali.6
B. Karya Karya Ibnu Qudamah
Sebagai seorang Ulama besar di kalangan Mazhab Hambali, ia
meninggalkan beberapa karya besar yang menjadi standar dalam Mazhab
Hambali. Kitab yang sangat berpengaruh adalah Al-Mughni. Ibnu Hajib
pernah berkata: Ia adalah seorang imam, dan Allah menganugerahkan
berbagai kelebihan. Ia memadukan antara kebenaran tekstual dan
kebenaran intelektual7.
Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam “Thabaqat Al-Hambaliyah” mengatakan:
6 Ibnu Qudamah, Kitab Al-Mughni h. 281-282.
7 Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 141.
63
Ibnu Qudamah memiliki karya yang banyak dan bagus, baik
dalam bidang furu’ maupun ushul, hadits, bahasa dan tasawuf. Karyanya
dalam bidang ushuludin sangat bagus, kebanyakan menggunakan metode
para muhaditsin yang dipenuhi hadits-hadits dan atsar beserta sanadnya,
sebagaimana metode yang digunakan oleh Imam Ahmad Ibnu Hambal
dan imam-imam hadis lainnya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abdul Aziz Abdurahman
al-Said, seorang tokoh fiqh Arab Saudi, karya-karya Ibnu Qudamah
dalam berbagai bidang ilmu seluruhnya berjumlah 31 buah, dalam ukuran
besar atau kecil.8
Di antara karya-karya Ibnu Qudamah yaitu:
a) Dalam bidang Ushuludin yaitu :
• Al-Burhan fi Masail al-Qur’an, membahas ilmu-ilmu Qur’an terdiri
hanya satu juz.
• Jawabu Mas’alah Waradat fi al-Qur’an hanya satu juz
• Al-I’tiqad satu juz
• Mas’alah al-Uluwi terdiri dari dua juz
• Dzam al-Takwil membahas persoalan takwil, hanya satu juz
• Kitab al-Qadar berbicara tentang qadar hanya satu juz
8 Perbandingan Madzhab,Cet ke- 4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 2002), h. 280.
64
• Kitab Fadla’il al-Sahabah, juga dikenal dengan Minhajul Qashidin fi
Fadlail Khulafa Rasyidiin, dalam dua juz.
• Risalah Ila Syaikh Fahruddin Ibn Taimiyah fi Takhlidi ahli al-
Bida’i fi al-Naar
• Mas’alatu fi tahriimi al-Nazar fi kutubi Ahli al-Kalam.
b) Dalam bidang hadits:
• Mukhtasar al-Ilal al-Khailal, berbicara tentang cacat-cacat hadits,
dalam satu jilid besar.
• Masyikhah Syuyukhah, satu juz.
• Masyikhakh Ukhra.
c) Dalam bidang fiqh, yaitu :
• Al-Mughni, kitab fikih dalam 10 jilid besar, memuat seluruh
persoalan fikih, mulai dari ibadah, muamalah dengan segala
aspeknya, sampai kepada masalah perang.
• Al-Kaafi, kitab fikih dalam 4 jilid. Merupakan ringkasan bab
fikih.
• Al-Muqni’, kitab fikih yang terdiri atas 3 jilid besar, tetapi tidak
selengkap kitab al-Mughni.
• Al-Umdah fi al-Fiqh, kitab fikih kecil yang disusun untuk para
pemula dengan mengemukakan argumentasi dari Al-Qur’an dan
Sunnah.
• Mukhtasar al-Hidayah li Abi al-Khatab, dalam satu jilid.
65
• Menasik al-Haji tentang tata cara haji, dalam satu juz.
• Dzam al-Was-Was, satu juz.
• Raudlah al-Nazdzir fi Ushul al-Fiqh, membahas persoalan ushul
fiqh dan merupakan kitab ushul tertua dalam mazhab Hambali, di
kemudian hari diringkas oleh Najamuddin al-Tufi, selain itu beliau
juga memiliki fatwa dan risalah yang sangat banyak.
d) Dalam bidang bahasa dan nasab:
• Qun’ah al-Arib fi al-Gharib, hanya satu jilid kecil
• Al-Tibyan an Nasab al-Quraisysin, menjelaskan nasab-nasab
orang Quraiys, hanya satu juz
• Ikhtisar fi Nasab al-Anshar, kitab satu jilid yang berbicara
tentang keturunan orang orang Anshar.
e) Dalam bidang tasawuf :
• Kitab Al-Tawabin fi al-Hadits, membicarakan masalah-masalah
taubat dalam hadits terdiri dari dua juz
• Kitab Al-Mutahabiin fillah, dalam dua juz
• Kitab Al-Riqah wa al-Bika‟ dalam dua juz
• Fadhail al-Syura, kitab dua juz yang berbicara tentang keutamaan
bulan asyura
• Fadhail al-Asyari9.
9 Ibnu Qudamah, kitab al-mughni Juz 9 h. 9-10.
66
C. Pemikiran Ibnu Qudamah Dalam Kitab Al-Mughni Tentang Status
Pernikahan Istri Akibat Suami Menghilang
Persoalan mengenai status pernikahan istri akibat suami
menghilang, dalam Kitab Al-Mughni, sebelumnya Ibnu Qudamah
menjelaskan mengenai suami yang dikategorikan mafqud, beliau
menyatakan:10
Ketika seorang laki-laki hilang dari istrinya, maka tidak terlepas
dari dua keadaan: Pertama, hilang yang komunikasi tidak putus,
diketahui kabar beritanya dan sampai suratnya darinya. Maka yang
demikian, bagi si istri tidak boleh menikah lagi menurut semua ahli ilmu,
kecuali jika si istri kesulitan dalam hal nafkah, maka istri boleh
mengajukan fasakh, dan nikah bisa difasakh. Bagi kami yang demikian
itu bukanlah yang dinamakan mafqud (suami yang hilang), maka nikah
tidak bisa difasakh.
Berdasarkan teks tersebut, dapat dipahami bahwa menurut Ibnu
Qudamah, suami yang ghaib itu ada dua kemungkinan, pertama yaitu
ghaib yang komunikasi tidak putus dan diketahui kabar beritanya. Maka
menurutnya, ghaib yang seperti ini bukanlah yang dinamakan mafqud
dan nikah tidak bisa difasakh dan bagi istri tidak boleh menikah lagi,
10 Ibnu Qudamah, kitab al-Mughni Juz 9, h. 130.
67
kecuali jika istri kesulitan dalam hal nafkah, maka istri boleh mengajukan
fasakh.11
Keadaan kedua, hilangnya suami yang terputus kabarnya, tidak diketahui
tempat tinggalnya. Maka yang demikian terbagi menjadi 2 macam:
Pertama, yaitu hilang yang secara lahir kemungkinan selamat,
seperti hilang ketika bepergian untuk berdagang ditempat yang tidak
membahayakan, kaburnya seorang budak, hilang ketika mencari ilmu,
berlaut. Maka hal ini tidak menjadikan status perkawinan hilang, selama
belum diyakini kematian sang suami.
Kedua, yaitu hilangnya suami yang secara lahir dia tidak selamat,
seperti orang yang hilang dari keluarganya, baik malam maupun siang,
atau ia keluar untuk shalat tetapi tidak kembali lagi, atau ia pergi karena
suatu keperluan yang seharusnya ia kembali, lalu tidak ada kabar
beritanya atau ia hilang antara dua pasukan yang bertempur atau
bersamaan dengan tenggelamnya sebuah kapal, atau hilang di tempat
yang dinilai membahayakan seperti daratan hijaz dan yangsemacamnya.
Dzahir madzhab Ahmad terhadap masalah ini maka istri suami yang
mafqud tersebut diharuskan menunggu empat tahun, sebagaimana masa
hamil terpanjang, setelah itu istri beriddah selama empat bulan sepuluh
11 Ibnu Qudamah, kitab al-Mughni Juz 9, h. 131.
68
hari sebagaimana iddah istri yang ditinggal mati suaminya, barulah istri
halal untuk menikah lagi.
Kedua yaitu, suami yang ghaib dan terputus kabar mengenai
dirinya, atau sudah tidak ada komunikasi sama sekali antara si suami
dengan istri. Inilah pengertian mafqud yang dikehendaki Ibnu Qudamah.
Mafqud ini sendiri masih dibagi menjadi dua macam, yakni mafqud
suami yang masih ada dugaan suami selamat dan mafqud yang
menyebabkan berat dugaan bahwa suami tidak selamat. Jika suami hilang
dan menurut lahirnya dia selamat, seperti hilang ketika bepergian untuk
berdagang di tempat yang tidak membahayakan, kaburnya seorang budak,
hilang ketika mencari ilmu, berlaut, atau yang semacamnya, maka
hukumnya harus ditunggu hingga jelas kabar kematian suami atau
dengan lewat waktu tertentu, yaitu 90 tahun terhitung sejak lahirnya
orang yang hilang itu.
Ibnu Quddamah mengatakan dalam kitabnya:
انما اعتبر تسعین سنة من یوم وال دتھ الن الضاھر انھ ال یعیش اكثر
هموتاع خبره وجب الحكم بمن ھدا العمر فإن اكترن بھ انقطArtinya: Sesungguhnya perhitungan 90 tahun dari kelahiran
suami itu di karenakan pada dasarnya dia tidak mungkin hidup melebihiumur tersebut. Jika telah melewati 90 tahun dan tetap terputus kabardarinya, maka wajib dihukumi akan kematiannya.
Sedangkan jika suami hilang dan menurut lahirnya tidak selamat,
seperti orang yang hilang dari keluarganya, baik malam maupun siang,
69
atau ia keluar untuk shalat tetapi tidak kembali lagi, atau ia pergi karena
suatu keperluan yang seharusnya ia kembali, lalu tidak ada kabar
beritanya atau ia hilang antara dua pasukan yang bertempur atau
bersamaan dengan tenggelamnya sebuah kapal, atau hilang di tempat
yang dinilai membahayakan seperti daratan hijaz dan yang semacamnya,
maka hukum mengenai hal itu, ditunggu 4 tahun. Kalau tidak ada juga
kabar beritanya, maka istri mulai beriddah sebagai istri yang suaminya
meninggal, yaitu 4 bulan 10 hari. Setelah itu ia diperbolehkan menikah
dengan laki-laki lain.
Pendapat Ibnu Qudamah ini juga sama halnya dengan pendapat
kalangan Ulama madzhab Hambali lainnya, seperti yang dituliskan
Baharuddin Abdurrahman bin Ibrahim Al Maqdisi dalam Al ‘Uddah
Syarhul ‘Umdah, bahwa hanya bagi istri yang suaminya hilang dan
dimungkinkan tidak selamat saja, istri boleh menunggu 4 tahun dan
beriddah 4 bulan sepuluh hari, sedang bagi istri yang suaminya hilang
dan dimungkinkan selamat, maka ia tidak boleh menikah lagi hingga jelas
keyakinan akan kematian suami.12
Begitupula yang dijelaskan oleh ‘Alauddin bin Al Hasan Ali bin
Sulaiman dalam karyanya Al Inshaf. Dari yang telah penulis jelaskan,
dapat disimpulkan bahwa disini Ibnu Qudamah mengatakan bahwa
12Bahauddin Abdurrahman bin Ibrahim Al Maqdisi, Al‘Uddah Syarhul ‘Umdah, Juz 1,(Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyyah, t.th), h. 61.
70
keputusan menunggu 4 tahun adalah mengenai kasus suami hilang yang
menurut lahirnya adalah tidak selamat. Sedangkan kasus suami hilang
yang menurut lahirnya selamat adalah tetap harus ditunggu kabar
kejelasan mengenai kematiannya.13
D. Analisis Perbandingan Pemikiran Ibnu Qudamah Dalam Kitab Al-
Mughni dengan Hukum Positif Islam Tentang Status Pernikahan
Istri Akibat Suami Menghilang
Dalam fiqih, putusnya perkawinan atau perceraian ada yang
terjadi atas inisiatif suami, yang disebut thalaq, ada yang merupakan
inisiatif dari istri dengan cara mengajukan ganti rugi yang disebut khulu’
dan ada yang terjadi atas inisiatif pihak ketiga yaitu hakim yang disebut
fasakh.14
Putusnya perkawinan melalui fasakh artinya adalah bahwa Hakim
memutuskan perkawinan setelah mengetahui bahwa perkawinan itu tidak
dapat dilanjutkan. Dari segi alasan terjadinya, fasakh secara garis besar
dibagi kepada dua sebab:
Pertama : fasakh yang terjadi karena perkawinan yang
sebelumnya telah berlangsung ternyata kemudian tidak memenuhi
persyaratan yang ditentukan, baik tentang rukun, maupun syaratnya, atau
13Alauddin bin Al Hasan Ali bin Sulaiman, Al- Inshaf, Juz 9, (Kairo: Maktabah IbnuTaimiyyah, t.th), h. 288.
14 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.243-244.
71
pada perkawinan tersebut terdapat halangan yang tidak membenarkan
terjadinya perkawinan.
Kedua : fasakh yang terjadi karena pada diri suami atau istri
terdapat sesuatu yang menyebabkan perkawinan tidak mungkin
dilanjutkan, karena kalau dilanjutkan akan menyebabkan kerusakan pada
suami atau istri atau keduanya sekaligus.
Fasakh dalam bentuk ini dalam fiqih juga biasa disebut dengan
khiyar fasakh. Persoalan hilangnya suami yang tidak diketahui ke mana
perginya dan dimana keberadaannya dalam waktu yang lama pasti
menyulitkan kehidupan istri yang ditinggalkan, terutama bila suami tidak
meninggalkan sesuatu untuk menjadi nafkah istri dan anak-anaknya.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama
mengenai kebolehan istri mengajukan pilihan untuk meminta fasakh
nikah.
Ibnu Qudamah berpendapat bahwa suami yang mafqud masih
mengandung dua kemungkinan, yakni mafqud yang masih ada dugaan
suami selamat dan mafqud yang menyebabkan berat dugaan bahwa suami
tidak selamat.15
Jika suami hilang dan menurut lahirnya dia selamat, maka
hukumnya adalah status pernikahan tersebut tidak hilang selama belum
15 Muhammad bin Abdirrahman as Syafii Ad Dimasyqa, Rahmat al Ummah fi IkhtilafilAimmah, (Surabaya: Al Hidayah, t.th), h. 243.
72
ada keyakinan akan wafatnya suami. Sedangkan jika suami hilang dan
menurut lahirnya tidak selamat, maka Ibnu Qudamah mengatakan:
ثم تعتد للوفاة اربعة , الحملأكشر مدة , أن زوجتھ تتربص أربع سنین
أشھر وعشرا وتحل لالزواج
Artinya: istri tersebut menunggu empat tahun sebagaimana masahamil terpanjang, kemudian beriddah wafat selama empat bulan sepuluhhari dan kemudian halal untuk kembali menikah.
Maksudnya nikah bisa difasakh dan istri mulai beriddah sebagai
istri yang suaminya meninggal, yaitu 4 bulan 10 hari. kemudian ia
diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain. Pendapat Ibnu Qudamah
adalah berdasar pada fatwa Umar berkaitan suatu peristiwa seorang
perempuan yang suaminya hilang karena disembunyikan jin pada zaman
kekhalifahan Umar.
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa keputusan hukum ini adalah
terbatas mengenai kasus-kasus orang hilang yang menurutnya adalah tidak
selamat. Ia juga mengatakan bahwa keputusan Umar terjadi berkaitan
seorang suami yang hilang dan secara lahir telah meninggal, maka yang
selain daripada itu tidak bisa diqiyaskan kepada pendapat Umar ini. Ibnu
Qudamah menuliskan:16
Artinya: Khabar Umar terjadi pada orang yang hilang secara lahir
telah meninggal, maka yang selain itu tidak bisa disamakan kepadanya.
16 Ibnu Qudamah, Al Mugni, Juz 9, (Beirut: Dar Al Kutub Al-Ilmiyyah, t.th), h. 132.
73
Maka jika hilangnya secara lahir selamat, tetap harus ditunggu
hingga ada kepastian mengenai matinya orang yang hilang itu atau bisa
juga dengan lewat waktu tertentu, yaitu 90 tahun terhitung sejak lahirnya
orang yang hilang itu. Perhitungan 90 tahun ini didasarkan bahwa secara
lahirnya, hidup manusia tidak lebih dari umur 90 tahun. Oleh karenanya,
ketika telah lewat 90 tahun dari kelahiran suami yang mafqud tersebut dan
tetap tidak ada kabar beritanya, maka suami wajib dihukumi akan
kematiannya. Dan bagi si istri menjalankan iddah sebagai istri yang
ditinggal mati suaminya, dan kemudian halal untuk menikah lagi dengan
laki-laki lain.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kebolehan terjadinya
fasakh nikah dan iddah bagi istri yang suaminya mafqud menurut Ibnu
Qudamah adalah ketika sang suami hilang yang dimungkinkan tidak
selamat atau dianggap telah meninggal.
Menurut penulis, dengan melihat batasan yang dipakai Ibnu
Qudamah mengenai bolehnya fasakh nikah bagi wanita yang suaminya
mafqud, penulis menilai pendapatnya lebih tepat dan tidak kaku, artinya
ia mencoba untuk tidak memaknai qaul Umar ini secara tekstual, akan
tetapi ia juga memaknai qaul ini berdasarkan konteksnya agar bisa
menciptakan hukum yang benar-benar dapat menciptakan maslahat.17
17 Muhammad Rawwas Qal’ahji, Mausu’ah Fiqh Umar ibn Al Khattab, (Dar Al Nafais, t.th),h. 787.
74
Selain itu, pendapatnya mungkin juga karena dipengaruhi oleh sisi
historis di mana dan kapan Ibnu Qudamah hidup. Ibnu Qudamah
merupakan salah satu Ulama madzhab Hambali, madzhab terakhir dari
empat madzhab yang masyhur. Barangkali situasi yang dilihatnya pada
masa itu menghendaki yang demikian. Seluruh kasus orang hilang yang
dinukilkan adalah peristiwa yang mempunyai keadaan dan situasi, maka
ia memberi ketentuan sesuai dengan keadaan itu menurut pendapatnya.
Maka menurut penulis, pendapat Ibnu Qudamah ini tetap dapat
untuk dijadikan pertimbangan hukum terhadap permasalahan status istri
yang suaminya mafqud. Apa yang telah dirumuskan Ibnu Qudamah ini
juga dapat menjadi pendorong dan penyemangat bagi para ahli hukum
bahwa teori-teori atau ijtihad para pemikir klasik harus dianggap hal yang
belum final.
Dalam konteks sekarang, penentuan masa tunggu bagi istri
terhadap suami hilang yang dimungkinkan masih hidup dengan ketentuan
90 tahun sudah pasti sangat memberatkan istri, apalagi jika harus
menunggu hingga 120 tahun sebagaimana pendapat kalangan Hanafiyah.
Sebab, jika penentuan tersebut didasarkan pada rata-rata umur hidup
manusia, pada zaman sekarang tidak banyak orang yang bisa hidup
hingga mencapai umur 90 tahun, walaupun diberbagai daerah tertentu
mungkin masih bisa dijumpai. Terlebih jika ditentukan 120 tahun,
75
mungkin tidak ada atau kalaupun ada sangat jarang sekali orang yang bisa
mencapai umur itu.
Di dalam hukum positif, persoalan tentang suami yang mafqud
atau hilang ini hanya dapat ditafsiri dalam pasal mengenai alasan-alasan
terjadinya perceraian. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
pasal 19 huruf b18 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 116 ayat 2
disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena “salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.19 Artinya bisa juga dipahami, bahwa menurut hukum
positif, jangka waktu yang ditunggu istri sebelum diputuskan cerai dari
suaminya dan beriddah adalah ditentukan dua tahun.
Adapun mengenai peraturan yang berlaku dan mengatur masalah
perkawinan di Indonesia saat ini adalah:
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang dipertegas
dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan juga INPRES NO. 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tent
ang perkawinan dan disebut Undang-Undang Perkawinan disingkat
18 Redaksi New Merah Putih, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,(Yogyakarta: New Merah Putih, 2009), h. 60.
19 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2009),h. 36.
76
(UUP) disahkan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Januari 1974 dan
diundangkan dalam Lembaran Negara No. 1 Tahun 1974 dan penjelasann
ya dimuat dalam tambahan Lembaran Negara No. 3019.
Adapun dasar pertimbangan pemerintah Republik Indonesia dan
DPR untuk mengeluarkan Undang-Undang Perkawinan ini adalah, bahwa
sesuai dengan falsafah pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum
nasional, perlu adanya undang-undang tentang perkawinan yang berlaku
bagi semua warga Negara Indonesia. Awalnya perkawinan adalah bertuj
uan untuk selama-lamanya,tetapi adakalanya karena sebab-sebab tertentu
bisa mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan, jadi harus
diputuskan di tengah jalan atau terpaksa putus dengan sendirinya atau den
gan kata lain terjadi perceraian diantara suami isteri.
77
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah memaparkan semua masalah yang telah diuraikan diatas,
dibawah ini merupakan kesimpulan yang dijabarkan sebagai berikut:
Pada dasarnya perkawinan adalah bertujuan untuk selama-lamanya,
tetapi adakalanya karena sebab-sebab tertentu bisa mengakibatkan
perkawinan tidak dapat diteruskan, jadi harus diputuskan di tengah jalan
atau terpaksa putus dengan sendirinya atau dengan kata lain terjadi
perceraian diantara suami istri.
1. Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni
Ibnu Qudamah, mengatakan ketika seorang suami pergi
meninggalkan istrinya/ hilang, maka tidak terlepas dari kedua
keadaan. Pertama, hilang yang komunikasi tidak putus, diketahui
kabar beritanya dan sampai suratnya darinya. kedua, hilangnya
suami yang terputus kabarnya, tidak diketahui tempat tinggalnya,
bagi istri yang suaminya hilang dan dimungkinkan tidak selamat
saja, istri boleh menunggu 4 tahun dan beriddah 4 bulan sepuluh
hari, sedangkan bagi istri yang suaminya hilang dan dimungkinkan
78
selamat, maka ia tidak boleh menikah lagi hingga jelas keyakinan
akan kematian suami.
2. Peraturan Hukum Positif Indonesia.
Peraturan Hukum Positip di Indonesia dijelaskan suami
tidak boleh meninggalkan istri selama enam bulan berturut-turut,
tertulis pada penjelasan pasal 39 ayat 2 pada huruf b undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
3. Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Kompilasi Hukum Islam lahir dari gejolak para ulama yang
tersebar diseluruh nusantara. Tujuan utamanya adalah selain
mempositifkan syariat Islam dalam bidang keperdataan (Ahwal
Syakhsiyyah), juga ingin mengkodifikasi dan menyamakan kitab
fikih yang akan dipakai dipengadilan. Karena pada saat itu terjadi
keberagaman putusan pengadilan terhadap perkara yang serupa.
Dengan tujuan tersebut maka timbulah keseragaman dan
kebonafitan hukum untuk umat Islam. Pada Pasal 116 ayat 2
disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena “salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemampuannya.1 Artinya bisa juga dipahami, bahwa menurut
1 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2009), h.36.
79
hukum positif, jangka waktu yang ditunggu istri sebelum
diputuskan cerai dari suaminya dan beriddah adalah ditentukan dua
tahun.
B. SARAN
1. Untuk pasangan suami istri harus memahami serta menjalankan hak
dan kewajibannya masing-masing melalui, menyimak ceramah,
membaca buku tentang perkawinan.
2. Untuk BP4, KUA dan lembaga-lembaga yang mempunyai peran
dalam masalah perkawinan untuk ikut serta dalam mengambil bagian
dalam proses penyuluhan, pelatihan, dan pendidikan tentang
perkawinan terhadap problem yang kerap terjadi ditengah-tengah
masyarakat.
3. Departemen Agama supaya memasukan penambahan bab pengajaran
yang berbasis pada kelangsungan dan kebahagiaan tentang
pernikahan pada mata pelajaran ilmu agama islam baik pada tingkat
tsanawiyah, maupun perguruan tinggi.
4. Untuk para hakim PTA/PTN dalam memutuskan masalah kasus ini
agar tetap berpegang teguh kepada para pendapat-pendapat ulama-
ulama seperti Ibnu Quddamah.
80
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Semarang: Thoha Putra.
Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail Abu ‘Abd Allah, Shahih Bukhari,
Beirut: Dar al-Ibn Katsir, juz. 5
Al-Hanafi Ibnu Humam, Fathul Qadir,Juz 6, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah).
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqih Wanita Islam, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1991, Cet. Pertama.
Al-Maqdisiy, Ibnu Qudamah, Al-Mughni Juz 9, Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah.
Al-Maududi, abul A’la, & Ahmed , Fazl, Pedoman Perkawinan Dalam Islam,
Jakarta: Darul Ulum Press, 1999, Cet ke-1.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-2.
Al-Shabbagh, Mahmud, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam,
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991, Cet. Ke-1.
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Bandung: PT. Syamil
Media Cipta, 2005.
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988,
Cet.1.
Departemen Agama, UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2004.
Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam dan Haji, Modul Pembinaan
Keluarga Sakinah, Jakarta: DEPAG, 1995.
Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995,
Cet. Pertama.
Djalil, A. Basiq, Pernikahan Lintas Agama, Jakarta: QALBUN SALIM,
2005, Cet. Ke-1.
81
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka 1998.
Ghazali, Abdurahman, Fikih Munakahat, Jakarta: Premada Media. 2003.
Halim, M. Nipan Abdul, Membahagiakan Istri Sejak Malam Pertama,
(Yogyakarta: MITRA PUSTAKA, 2000), Cet. Ke-2
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1992.
Malik, Imam, Al-Muwatha, Muhammad Fuad Abd Al-Baqi, Kitab Al-shib, Kairo.
Mubarak, Ahmad, Prof. Dr. MA., Psikologi Keluarga : Dari Keluarga
Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara,
2005, Cet. 1.
Mughniyah Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Penerbit
Lentera, 2007.
Muhammad bin Abdirrahman As-Syafi’i, Rahmat al- Ummah fi Ikhtilafil
Aimmah, (Surabaya: Al Hidayah).
Rahman Fathur, Ilmu Waris, Bandung : PT. Al-Maarif, 1987.
Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006).
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: CV.
Nuansa Aulia, 2009.
Sumiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty,
1986.