Download - Pelestarian Perairan Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konservasi kawasan perairan merupakan bagian dari upaya
konservasi ekosistem yang ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan
sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Upaya ini memerlukan
pendekatan pengelolaan yang lebih spesifik, antara lain, karena terkait
dengan dinamika ekosistem perairan yang senantiasa bergerak serta
karakteristik biota perairan yang tidak mengenal pemisahan wewenang
maupun batas-batas wilayah administrasi pemerintahan. Di lain pihak,
efisiensi dan efektivitas pelaksanaan wewenang urusan–urusan
pemerintahan di bidang konservasi kawasan dan konservasi jenis ikan
berkaitan erat dengan tugas pokok dan fungsi serta kompetensi
masing-masing instansi pelaksana mandat. 1
Makna konservasi sumberdaya laut adalah bagaimana kita
menggunakan kekayaan alam laut yang ada secara seimbang
melaksanakan upaya pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan
terhadap sumberdaya tersebut. Mengingat harapan pelestarian
sumberdaya terletak di jantung kawasan konservasi perairan,
Departemen Kelautan dan Perikanan khususnya melalui Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional Laut sejauh ini telah melakukan
1 Yaya Mulyana dan Agus Dermawan.2008.Konservasi Kawasan Perairan Indonesia Bagi Masa Depan. RajaGrafindo Persada:Jakarta.
1
pembinaan, sosialisasi dan bantuan teknis bagi
lembaga/instansi/Dinas Kelautan dan Perikanan, baik kabupaten
maupun provinsi, dalam mengembangkan kawasan konservasi
perairan di daerah. Di tengah perubahan selama satu dekade terakhir,
terutama menyangkut otonomi daerah dan tuntutan partisipasi
masyarakat yang lebih terbuka, upaya-upaya konservasi kawasan
perairan tersebut telah mendapat perhatian penuh dari pemerintah
daerah dan masyarakat.
Akhir-akhir ini semakin disadari bahwa tingkat kerusakan
kawasan pesisir dan lautan sudah sangat mengkhawatirkan, meliputi
terumbu karang yang rusak, hutan mangrove yang hancur,
pencemaran yang tinggi, abrasi, erosi pantai, dan overfishing yang
mengancam masa depan sumberdaya perikanan. Sebagai salah satu
sumberdaya, maka perikanan dan lautan juga termasuk dari
sumberdaya yang harus dikelola keberadaannya. Setidaknya ada tiga
hal yang diharapkan dari pengelolaan sumberdaya tersebut, yakni:
mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi; pemerataan pendapatan
(social equity); kelestaran lingkungan. Sumberdaya kelautan dan
perikanan, diharapkan akan mencapai tujuan yang ideal, yakni
menyelesaikan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Berbagai
kebijakan dan peraturan perundang-undangan dilahirkan untuk
menjawab ketiga persoalan di atas. Di Aceh sendiri, kelahiran UU
2
Nomor 11 Tahun 2006 memberi kewenangan besar terhadap
Pemerintah Aceh untuk mengelola potensi perikanan tersebut. 2
Betapa pentingnya peran manusia, secara individu maupun
Institusional, dalam menentukan nasib dan masa depan sumber daya
perikanan. Hal ini antara lain karena pengelolaan perikanan harus
mendorong terjaganya kualitas, keanekaragaman serta ketersediaan
sumber-sumber dalam jumlah yang mencukupi untuk masa sekarang
dan generasi mendatang, dalam konteks pemenuhan kebutuhan
makanan bagi manusia, pengurangan kemiskinan dan pembangunan
yang berkelanjutan. Negara berkewajiban mencegah overfishing dalam
rangka pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Dalam rangka pengelolaan konservasi laut guna terciptanya
upaya-upaya konservasi dan perlindungan sumber daya alam dalam
rangka pembangunan Nasional yang lestari dan berkelanjutan, tidak
hanya pemerintah yang dituntut untuk mewujudkan hal tersebut
melainkan dituntut pula peran masyarakat secara komprehensif dan
terpadu dalam pengelolaan konservasi laut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah peran pemerintah dalam melakukan pelestarian
terhadap sumber daya perairan di Indonesia?
2. Bagaimanakah peran masyarakat dalam melakukan pelestarian
terhadap sumber daya perairan di Indonesia?
BAB II
2 http://www.bppt.go.id.
3
PEMBAHASAN
A. Peran pemerintah dalam melakukan pelestarian terhadap sumber
daya perairan di Indonesia.
Sejak era reformasi bergulir di tengah percaturan politik Indonesia,
sejak itu pula perubahan kehidupan mendasar berkembang di hampir
seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti merebaknya
beragam krisis yang melanda Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah
satunya adalah berkaitan dengan Orientasi Pembangunan. Dimasa Orde
Baru, orientasi pembangunan masih terkonsentrasi pada wilayah daratan.
Sektor kelautan dapat dikatakan hampir tak tersentuh, meski
kenyataannya sumber daya kelautan dan perikanan yang dimiliki oleh
Indonesia sangat beragam, baik jenis dan potensinya. Potensi
sumberdaya tersebut terdiri dari sumberdaya yang dapat diperbaharui,
seperti sumberdaya perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya
laut dan pantai, energi non konvensional dan energi serta sumberdaya
yang tidak dapat diperbaharui seperti sumberdaya minyak dan gas bumi
dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga
terdapat berbagai macam jasa lingkungan lautan yang dapat
dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan seperti
pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagainya.
Tentunya inilah yang mendasari Presiden Abdurrahman Wahid dengan
4
Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999
dalam Kabinet Periode 1999-2004 mengangkat Ir. Sarwono
Kusumaatmaja sebagai Menteri Eksplorasi Laut.3
Selanjutnya pengangkatan tersebut diikuti dengan pembentukan
Departemen Eksplorasi Laut (DEL) beserta rincian tugas dan fungsinya
melalui Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tanggal 10
November 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Departemen. Ternyata penggunaan nomenklatur DEL
tidak berlangsung lama karena berdasarkan usulan DPR dan berbagai
pihak, telah dilakukan perubahan penyebutan dari Menteri Eksplorasi Laut
menjadi Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 145 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999. Perubahan
ini ditindaklanjuti dengan penggantian nomenklatur DEL menjadi
Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) melalui Keputusan
Presiden Nomor 147 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999.
Dalam perkembangan selanjutnya, telah terjadi perombakan
susunan kabinet setelah Sidang Tahunan MPR tahun 2000, dan terjadi
perubahan nomenklatur DELP menjadi Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) sesuai Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000
tanggal 23 November 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Wewenang, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen.
3 http://www.dkp.go.id/index.php/ind/menu/1/sejarah
5
Dalam rangka menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun
2000 tersebut, pada November 2000 telah dilakukan penyempurnaan
organisasi DKP. Pada akhir tahun 2000, diterbitkan Keputusan Presiden
Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas
Departemen, dimana organisasi DKP yang baru menjadi : 4
a. Menteri Kelautan dan Perikanan;
b. Sekretaris Jenderal;
c. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap;
d. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya;
e. Direktorat Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan;
f. Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan
Pemasaran;
g. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;
h. Inspektorat Jenderal;
i. Badan Riset Kelautan dan Perikanan;
j. Staf Ahli.
4 http://www.dkp.go.id/index.php/ind/menu/3/struktur
6
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kementrian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006, maka struktur
organisasi DKP menjadi :
a. Menteri Kelautan dan Perikanan;
b. Sekretaris Jenderal;
c. Inspektorat Jenderal;
d. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap;
e. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya;
f. Direktorat Jenderal Pengawasan & Pengendalian Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan;
g. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan;
h. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
i. Badan Riset Kelautan dan Perikanan;
j. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan;
k. Staf Ahli.
7
Tebentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan pada dasarnya
merupakan sebuah tantangan, sekaligus peluang bagi pengembangan
sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Artinya, bagaimana DKP ini
menempatkan sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu sektor
andalan yang mampu mengantarkan Bangsa Indonesia keluar dari krisis
ekonomi yang berkepanjangan. Setidaknya ada beberapa alasan pokok
yang mendasarinya.
Pertama, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah
pulau 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km tidak hanya sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia tetapi juga menyimpan kekayaan
sumberdaya alam laut yang besar dan belum dimanfaatkan secara
optimal. Kedua, selama beberapa dasawarsa, orientasi pembangunan
negara ini lebih mangarah ke darat, mengakibatkan sumberdaya daratan
terkuras. Oleh karena itu wajar jika sumberdaya laut dan perikanan
tumbuh ke depan. Ketiga, dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk
serta meningkatnya kesadaran manusia terhadap arti penting produk
perikanan dan kelautan bagi kesehatan dan kecerdasan manusia, sangat
diyakini masih dapat meningkatkan produk perikanan dan kelautan di
masa datang. Keempat, kawasan pesisir dan lautan yang dinamis tidak
hanya memiliki potensi sumberdaya, tetapi juga memiliki potensi bagi
pengembangan berbagai aktivitas pembangunan yang bersifat ekstrasi
seperti industri, pemukiman, konservasi dan lain sebagainya. 5
5 http://www.dkp.go.id/index.php/ind/menu/3/visi-misi-dan-program
8
Melalui Departemen yang dibentuk untuk mewujudkan
”PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN YANG LESTARI
DAN BERTANGGUNGJAWAB BAGI KESATUAN DAN KESEJAHTERAAN ANAK
BANGSA” pemerintah berusaha untuk :
1. Meningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan
dan masyarakat pesisir lainnya.
2. Meningkatan peran sektor Kelautan dan Perikanan sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi.
3. Memelihara daya dukung dan meningkatkan kualitas lingkungan
perairan tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan (sumber daya
kelautan dan perikanan).
4. Meningkatkan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan
konsumsi ikan.
5. Meningkatkan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan memperkuat
budidaya bahari bangsa.
Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan dalam kerangka
pembangunan jangka menengah adalah :
1. Terwujudnya kesejahteraan bangsa Indonesia melalui peningkatkan
pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, serta pelaku usaha kelautan
dan perikanan lainnya.
2. Meningkatnya peran sektor kelautan dan perikanan dalam
perekonomian nasional.
9
3. Terwujudnya kondisi lingkungan sumber daya kelautan dan perikanan
yang berkualitas dan terciptanya kelestarian daya dukung.
Sasaran pembangunan kelautan dan perikanan adalah :
1. Meningkatnya usaha dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
kelompok sasaran program
2. Meningkatnya kontribusi sektor kelautan dan perikanan dalam
perekonomian nasional
3. Menurunnya tingkat kerusakan dan tingkat pelanggaran
pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Adapun struktur organisasi Departemen Kelautan dan Perikanan
adalah sebagai berikut:
Kemudian, masing-masing Direktorat Jendral tersebut dibantu lagi
oleh beberapa bidang, yang mana bagannya dapat dilihat sebagai berikut:
10
11
12
B. Peran masyarakat dalam melakukan pelestarian terhadap sumber
daya perairan di Indonesia.
13
1. Karakteristik masyarakat pesisir
Untuk memperjelas karakteristik masyarakat pesisir, Satria (2002)
menguraikan karakteristik tersebut dari berbagai aspek, yaitu: 6
1) Sistem pengetahuan
Pengetahuan lokal yang berakar kuat menjadi salah satu faktor
penyebab terjaminnya kelangsungan hidup mereka selaku nelayan.
2) Sistem kepercayaan
Secara teologis, nelayan memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut
memiliki kekuatan magis sehingga perlu perlakuan khusus dalam
melakukan penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil
tangkapannya semakin terjamin.
3) Peran wanita
Selain menjalankan urusan domestik rumah tangga, isteri nelayan tetap
menjalankan fungsi-fungsi ekonomi dalam kegiatan penangkapan,
pengolahan, maupun kegiatan jasa dan perdagangan ikan.
4) Posisi sosial nelayan
6 http://kolokiumkpmipb.wordpress.com/2009/04/01/partisipasi-masyarakat-dalam-pengelolaan-kawasan-konservasi-laut-di-
taman-nasional-karimunjawa/
14
Posisi sosial nelayan di masyarakat diperlihatkan dengan status
mereka yang relatif rendah dibandingkan kelompok masyarakat yang
lain. Satria (2008) menyatakan bahwa belum ada data terbaru tentang
jumlah nelayan miskin dari dua juta orang nelayan yang hidup di
Indonesia. Data yang ada hanya tingkat kemiskinan masyarakat pesisir
tahun 2002 yang mencapai 32 persen. Indikator yang digunakan adalah
pendapatan 1 dollar AS per hari.
Mubyarto, Soetrisno, dan Dove (1984) yang melakukan penelitian
di dua desa pantai (Desa Bulu dan Desa Ujungbatu) di Kabupaten Jepara
menyatakan bahwa keluarga nelayan pada umumnya lebih miskin
daripada keluarga petani atau pengrajin. Sementara itu, Crutchfield (1961)
dalam Marahudin dan Smith (1987) menyatakan bahwa sektor perikanan
Amerika dan Kanada telah menunjukkan bukti yang jelas mengenai
kelemahan ekonomi masyarakat nelayan. Tingkat pendapatan, baik bagi
para buruh maupun pemodal, relatif lebih rendah dibandingkan dengan
pendapatan kelompok masyarakat lain di kawasan yang cepat
berkembang tersebut. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa baik di Indonesia maupun di Barat, kehidupan
masyarakat nelayan memang mengalami permasalahan serius di bidang
ekonomi yang relatif tertinggal dibandingkan dengan kelompok
masyarakat yang lain.
2. Partisipasi Masyarakat
15
Selama ini, peran serta masyarakat hanya dilihat dalam konteks
yang sempit, artinya manusia cukup dipandang sebagai tenaga kasar
untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi
masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program;
masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam
dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”.
Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki
“kesadaran kritis” (Nasdian, 2004). Untuk mengoreksi pengertian tersebut,
Nasdian (2004) memaknai partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil
oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri,
dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme)
dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi
tersebut dapat dikategorikan: Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam
tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol
oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan
kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Sementara itu, Cohen
dan Uphoff (1977) dalam Intania (2003) membagi partisipasi ke dalam
beberapa tahapan, yaitu: 7
a) Tahap pengambilan keputusan (perencanaan) yang diwujudkan dengan
keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat.
b) Tahap pelaksanaan dengan wujud nyata partisipasi berupa:
7 http://kolokiumkpmipb.wordpress.com/2009/04/01/partisipasi-masyarakat-dalam-pengelolaan-kawasan-konservasi-laut-di-
taman-nasional-karimunjawa/
16
1. Partisipasi dalam bentuk sumbangan pikiran
2. Partisipasi dalam bentuk sumbangan materi
3. Partisipasi dalam bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek.
c) Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan sebagai indikator
keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan
pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat
sebagai subyek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek
yang dirasakan berarti proyek tersebut berhasil menangani sasaran.
d) Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada
tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan
demi perbakan pelaksanaan proyek selanjutnya.
2.1.3 Institusi Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut
Proses pengelolaan sumberdaya tidak lepas dari keterlibatan
institusi di dalamnya. Institusi dimaknai oleh North (1995) dalam Pinem
(2008) sebagai suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang
mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, dan kebiasaan yang
tidak terlepas dari lingkungan. Menurut Soekanto (1990), ciri-ciri pokok
yang membedakan institusi sosial dari konsepsi-konsepsi lain seperti
grup, asosiasi, dan organisasi adalah:
17
1) Merupakan pengorganisasian pola pemikiran dan perilaku yang
terwujud melalui aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya;
2) Memiliki kekekalan tertentu: pekelembagaan suatu norma memerlukan
waktu yang lama karena itu cenderung dipertahankan;
3) Mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu;
4) Mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik menggambarkan
tujuan;
5) Mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu; dan
6) Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor Per.
17/MEN/2008 menyebutkan bahwa tujuan ditetapkannya konservasi
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah untuk memberi acuan atau
pedoman dalam melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya. Sedangkan sasaran
pengaturan kawasan konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
ditujukan untuk perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai dan keanekaragamannya.
Upaya pengelolaan kawasan konservasi perlu dilakukan agar
peran dan fungsi kawasan konservasi sesuai dengan yang diharapkan.
18
Widada, Mulyati, dan Kobayashi (2006) menyatakan bahwa pengelolaan
kawasan konservasi adalah serangkaian upaya penataan, perencanaan,
perlindungan dan pengamanan, pembinaan habitat dan populasi,
pemanfaatan, pemberdayaan dan peningkatan kesadaran masyarakat,
peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola, koordinasi, dan
monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan konservasi.
Selama Orde Baru, kebijakan pengelolaan sumberdaya di
Indonesia bersifat sentralistik, termasuk taman nasional laut. Adanya
pernyataan tentang otoritas negara dan prioritas untuk ekstraksi komersial
skala besar menyebabkan petani lokal dan subsisten, nelayan dan
penambang skala kecil yang mempraktekkan kehidupan mereka dalam
kawasan adat mereka dianggap sebagai pelaku kriminal. Padahal UUD
1945 memandatkan bahwa sumberdaya alam dikelola untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Namun, pada implementasinya tidak
mengarah pada penggunaan sumberdaya yang berkelanjutan atau
perbaikan kesejahteraan jutaan warga negara Indonesia (Lynch dan
Harwell, 2002). Rinaldi, Suhendra, dan Desyana (2008) mencermati
bahwa kebijakan pengelolaan pesisir dan laut selama ini terdapat
beberapa ciri yakni;
a) Kebijakan masih bias daratan (terrestrial oriented) seperti penempatan
kawasan perlindungan laut dan reklamasi pantai dengan mengabaikan
hak-hak masyarakat lokal.
19
b) Pengabaian hubungan keterikatan masyarakat dengan sumberdaya
alamnya yang diatur berdasarkan hukum lokal.
c) Berfokus pada eksploitasi yang memperburuk kualitas maupun
kuantitas sumberdaya perikanan dan kelautan.
Kegagalan praktik pengelolaan yang sentralistik mendorong
munculnya kesadaran mengenai pentingnya community based
management (CBM) atau pengelolaan yang berbasis pada masyarakat.
Dalam CBM, pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh para nelayan atau
pelaku usaha perikanan di suatu wilayah tertentu melalui organisasi yang
bersifat informal (Satria, 2002). Namun demikian, Nikijuluw (2002) dalam
Satria (2002) menemukan beberapa kelemahan model CBM, yaitu: (1)
tidak mampu dalam mengatasi masalah interkomunitas, (2) bersifat lokal
sehingga masalah yang lebih besar seperti over-exploitation untuk ikan
jenis tertentu tidak dapat dipecahkan, (3) sulit mencapai skala ekonomi
karena bersifat lokal dan hanya dianut oleh suatu masyarakat, dan (4)
tingginya biaya institusionalisasi.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul model Co-Management
yang merupakan sintesis dari dua model ekstrem sebelumnya. Dalam
model ini, pemerintah dan masyarakat yang seringkali diwakili oleh
organisasi nelayan atau koperasi perikanan bersama-sama terlibat dalam
proses pengelolaan sumberdaya mulai dari perencanaan hingga
pengawasan (Satria, 2002).
20
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, kami menyimpilkan bahwa
konservasi suber daya laut dan perikanan merupakan suatu kegiatan yang
harus dilaksanakan, baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat. Hal
ini dimaksudkan agar kekayaan alam laut yang ada dapat digunakan
secara seimbang dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan
berkelanjutan terhadap sumberdaya perairan dan perikanan
B. SARAN
Beranjak dari pemikiran Berkes dalam Berkes et. al. (2001) kami
sepakat bahwa partisipasi masyarakat haruslah mengandung unsur:
1. Community control: kekuasaan didelegasikan kepada masyarakat
untuk membuat keputusan dan menginformasikan keputusan tersebut
kepada pemerintah.
2. Partnership: pemerintah dan masyarakat bersama-sama dalam
pembuatan keputusan.
21
3. Advisory: masyarakat memberikan masukan nasihat kepada
pemerintah dalam membuat keputusan, tetapi keputusan sepenuhnya
ada pada pemerintah.
4. Communicative: pertukaran informasi dua arah; perhatian lokal
direpresentasikan dalam perencanaan pengelolaan.
5. Cooperative: masyarakat termasuk dalam pengelolaan (tenaga).
6. Consultative: mekanisme dimana pemerintah berkonsultasi dengan
para nelayan, tetapi seluruh keputusan dibuat oleh pemerintah.
7. Informative: masyarakat mendapatkan informasi bahwa keputusan
pemerintah telah siap dibuat.
22
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Lasabuda, Ridwan. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat (Suatu Tuntutan di Era Otonomi Daerah). http://tumoutou.net/702_07134/ridwan_lasabuda.htm (diakses pada 14 November 2009).
Pinem, M. B. 2008. Analisis Institusi Konservasi di awasan Taman Nasional Ujung Kulon, Desa Tamanjaya, Kampung Cibanua, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Skripsi. FPIK IPB.
Rinaldi, Yanis, Dede Suhendra dan Cut Desyana. 2008. Dokumen Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara: Green Coast for Nature and People after The Tsunami. http://www.wetlands.or.id/PDF/aceh_Final_Dokumen%20Nias%20_Bahasa_Version.pdf (diakses pada 17 November 2009).
Yaya Mulyana dan Agus Dermawan.2008.Konservasi Kawasan Perairan Indonesia Bagi Masa Depan. RajaGrafindo Persada:Jakarta.
Widada, Sri Mulyati, dan Hiroshi Kobayashi. 2006. Sekilas tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati & Ekosistemnya. Jakarta: Ditjen PHK-JICA.
B. Peraturan Perundangan
Undang-undang Nomor 9 tahun 1985 Tentang Perikanan
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 Tentang Perikanan
23
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor Per. 17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999
Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tanggal 10 November 1999
Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000
Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006
C. INTERNET
http://kolokiumkpmipb.wordpress.com/2009/04/01/partisipasi-masyarakat-dalam-pengelolaan-kawasan-konservasi-laut-di-taman-nasional karimunjawa/
http://kolokiumkpmipb.wordpress.com/2009/04/01/partisipasi-masyarakat-dalam-pengelolaan-kawasan-konservasi-laut-di-taman-nasional-karimunjawa/
http://www.dkp.go.id/index.php/ind/menu/3/visi-misi-dan-program
http://www.dkp.go.id/index.php/ind/menu/3/struktur
http://www.dkp.go.id/index.php/ind/menu/1/sejarah
http://www.bppt.go.id.
24