Download - Pelayanan Kefarmasian Berbasis MTM
MATA KULIAH PELAYANAN KEFARMASIAN
PELAYANAN KEFARMASIAN MANDIRI DALAM SISTEM JKN
(JAMINAN KESEHATAN NASIONAL)
OLEH:
KELOMPOK 5 - KELAS APOTEKER A
Nur Farahiyah Amalina
Ade Sri Ervina
Lastri Purnama Suci
Hasriani
Ira Widya Sari
Djahrawaty Asmawi
Ummul Khair
Hafizha Azzahra
Agatha Christy
Hardyanto Muliang
N211 15 710
N211 15 004
N211 15 703
N211 15 716
N211 15 723
N211 15 738
N211 15 744
N211 15 759
N211 15 835
N211 15 731
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan suatu
program pemerintah dan masyarakat dengan tujuan memberikan kepastian
jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar
penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera. Hingga
saat ini pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan telah diimplementasikan secara keseluruhan di lapisan
masyarakat Indonesia sejak 1 Januari 2014.
Dalam pelaksanaan program JKN, kerjasama tim antar tenaga
kesehatan merupakan salah satu faktor kunci sukses penerapan jaminan
kesehatan. Kolaborasi praktek antara tenaga kesehatan mulai dari dokter,
perawat, apoteker hingga bidan harus dihargai secara proporsional melalui
penetapan kapitasi parsial. Yaitu dokter menerima kapitasi jasa untuk
medis, apoteker untuk obat dan layanan kefarmasian, perawat serta bidan
untuk asuhan keperawatan.
Apoteker yang merupakan tenaga kesehatan tentunya menjadi salah
satu garuda terdepan yang diharapkan dapat memimpin pelayanan
kesehatan Indonesia. Apoteker memegang peranan penting dalam era
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di mana apoteker menjadi satu-
satunya tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan mutlak untuk
melaksanakan praktik kefarmasian sesuai peraturan yang berlaku. Profesi
apoteker memiliki hak dan kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan
secara hukum dan profesional.
Seharusnya pada pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
menjadi momentum tepat untuk mereformasi sistem pelayanan kesehatan
termasuk pelayanan kefarmasian yang berbasis patient oriented oleh
apoteker agar dapat mendukung keberlangsungan sistem yang diterapkan
2
namun nyatanya peran apoteker dewasa ini dalam SJSN dipinggirkan dan
dilupakan.
Pemerintah dinilai melupakan fungsi apoteker dalam menyusun
kerangka ke arah pelayanan kesehatan semesta (universal coverage)
sebagaimana diamanatkan dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). Imbasnya hingga kini peran apoteker dan kegiatan kefarmasian
belum jelas diatur dalam peraturan teknis pelaksana sistem pelayanan
kesehatan semesta. Saat ini pemerintah masih berpandangan dalam
paradigma drug oriented terhadap apoteker dan bukan profesi yang penting
untuk mendukung pemerintah mengamanatkan UU SJSN. Hal ini seakan
meminggirkan peran apoteker sebagai profesi yang harusnya memberikan
suatu bentuk pelayanan kefarmasian dalam sistem pelayanan kesehatan
semesta (universal coverage).
Posisi apoteker dalam JKN memang belum begitu baik karena tidak
langsung masuk dalam sistem pelayanan kesehatan dan hanya merupakan
jejaring dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (PPK I). Pada Peraturan
Presidan Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, dalam
penyusunan skema pemberi layanan kesehatan tingkat pertama (PPK I),
pemerintah dalam hal ini BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan
Kesehatan) tidak memasukkan skema praktik kefarmasian dan jasa
apoteker dalam kapitasi. Yang dihitung dalam kapitasi hanya komponen
jasa dokter/dokter gigi, porsi harga obat, dan penggunaan alat medis.
Demikian pula pada PPK II di mana dengan pola pembayaran CBG’s
posisi apoteker belum begitu mapan karena reward yang diberikan kepada
apoteker tergantung bagaimana manajemen rumah sakit memposisikan
apoteker (tidak seperti dokter yang eksplisit mendapatkan jasa medis).
Begitu pula untuk program PRB (pasien rujuk balik), regulasi yang ada
belum memposisikan apoteker sebagai pemegang otoritas pelayanan
kefarmasian.
Hingga kini dalam sistem kapitasi pelayanan kesehatan JKN, tidak
jelas besaran jasa apoteker yang melayani peserta BPJS Kesehatan. Ini
artinya bahwa jasa apoteker tidak diperhitungkan secara terpisah dalam
3
sistem JKN, lebih kepada sebagai penjual obat karena apoteker hanya
diberi jasa berdasarkan harga obat.
Peran apoteker kini diambil oleh dokter. Dokter dapat mendiagnosis
dan memilih obat dalam pelaksanaan JKN. Sedangkan pada Pasal 108 UU
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa segala
pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan obat harus dilakukan oleh
apoteker. Seharusnya, JKN melibatkan peran apoteker dalam memastikan
resep obat rasional dari dokter dan memastikan pasien tepat memahami
penggunaannya. Oleh karena itu, jika fungsi apoteker belum dapat
dimaksimalkan pada era SJSN, maka proses pengendalian mutu dan
ketersediaan obat bahkan pengendalian biaya obat dapat terganggu.
Dengan mengikutsertakan peran apoteker yang utuh, maka kualitas obat-
obatan yang diberikan melalui program JKN akan lebih terjamin.
Apoteker memiliki otentisitas dan profesionalitas dalam pelayanan
obat-obatan dan mencegah penggunaan obat yang tidak rasional. Apoteker
juga memberikan pelayanan berupa edukasi dan informasi kepada pasien
agar dapat menggunakan obat secara tepat. Tanpa apoteker, praktis tidak
ada kendali mutu dan biaya dalam proses pelayanan obat saat sistem
universal coverage mulai diberlakukan.
Peraturan Pemerintah 51 Tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009 Pasal 108 merupakan landasan hukum yang memperkuat
apoteker sebagai satu-satunya profesi yang mempunyai otoritas dalam
pengelolaan obat-obatan. Peran apoteker secara jelas dijabarkan dalam
Pasal 108 UU 36 Tahun 2009 yang mengikat yaitu: (1) Pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi; (2) Pengamanan; (3).
Pengadaan; (4) Penyimpanan; (5) Pendistribusian obat; (6) Pelayanan obat
atas resep dokter; dan (7) Pelayanan informasi obat. Dengan demikian
peran apoteker dalam penyelenggaraan program JKN harusnya semakin
kokoh.
Pelayanan kefarmasian dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan
nasional sangat penting untuk diterapkan secara utuh, komprehensif dan
kontinu. Hal ini akan sangat mendukung peningkatan kualitas kesehatan di
4
Indonesia jika pelayanan kefarmasian dapat berjalan baik sebagaimana
mestinya di mana apoteker memiliki peran dalam pencegahan Drug Related
Problems (DRP) dan Drug Therapy Problems (DTP), serta pemberian
konseling dan informasi obat baik di puskesmas, rumah sakit, maupun
apotek. Melalui pelayanan kefarmasian yang komprehensif oleh apoteker
maka program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dapat
diimplementasikan secara penuh dan mendukung terwujudnya kesehatan
yang layak bagi seluruh masyarakat Indonesia.
BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara yang memainkan peran
strategis dalam JKN bukan sekedar sebagai payer diharapkan melakukan
pengelolaan yang tepat sasaran dengan mengutamakan kualitas namun
dengan biaya yang terkendali. Dalam implementasi JKN, diharapkan
kesadaran akan pentingnya kendali mutu dan kendali biaya terutama dalam
pelayanan kefarmasian sehingga akan menempatkan apoteker sebagai
pemberi layanan kesehatan yang strategis dan tidak tergantikan. Oleh
karena itu, jasa apoteker harusnya diperhitungkan sebagai tenaga medis
penyedia layanan kefarmasian yang pantas dan layak untuk memperoleh
reward/reimbursment.
Sehingga menjadi tugas besar oleh apoteker untuk melaksanakan
sistem pelayanan kefarmasian yang dapat diterima oleh program JKN
(Jaminan Kesehatan Nasional) sehingga amanah yang diemban dapat
ditunaikan dengan baik yaitu mengantarkan apoteker Indonesia memasuki
babak baru praktek kefarmasian yang akan mengangkat harkat dan
martabat apoteker, sejajar dengan tenaga kesehatan lain yang memiliki
kontribusi positif dan strategis bagi kemanusiaan dan Indonesia.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Defenisi Pelayanan Kefarmasian
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 58 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, definisi dari
pelayanan kermasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan
pasien. Secara luas pelayanan kefarmasian dapat diartikan sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem kesehatan yang berorientasi kepada
pelayanan pasien dengan menyediakan obat yang bermutu termasuk
pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Pelayanan kefarmasian di Indonesia dibagi dan diatur dalam 3 ranah yaitu
pelayanan kefarmasian di rumah sakit, pelayanan kefarmasian di
puskesmas, dan pelayanan kefarmasian di apotek.
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Pelayanan kefarmasian di apotek diatur dalam PMK RI Nomor 35
Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Regulasi
standar pelayanan kefarmasian di apotek bertujuan untuk meningkatkan
mutu pelayanan kefarmasian; menjamin kepastian hukum bagi tenaga
kefarmasian; dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat
yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian disebutkan bahwa praktik kefarmasian meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6
Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan
tersebut, pelayanan kefarmasian telah mengalami pergeseran yang
awalnya hanya berfokus pada pengelolaan obat (drug oriented)
berkembang menjadi pelayanan kefarmasian yang komprehensif
(Pharmaceutical Care) meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi
klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (patient
oriented). Oleh karena itu, apoteker dituntut untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan melakukan komunikasi yang baik agar
dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien melalui pemberian
informasi obat (PIO) dan konseling kepada pasien.
Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya
medication error (kesalahan pengobatan) dalam proses pelayanan, mampu
mengidentifikasi, mencegah, dan mengatasi masalah terkait obat (Drug
Related Problems) serta masalah farmakoekonomi. Apoteker harus mampu
berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi
untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Dalam melakukan
praktik tersebut, apoteker juga dituntut untuk melakukan monitoring
penggunaan obat, melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala
aktivitas kegiatannya. Oleh karena itu, apoteker harus menjalankan praktik
profesinya sesuai standar pelayanan kefarmasian yang telah ditetapkan.
Pelayanan kefarmasian di apotek meliputi pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan pelayanan
farmasi klinik. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku meliputi, perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, serta pencatatan dan
pelaporan. Adapun pelayanan farmasi klinik di apotek meliputi:
1. Pengkajian resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian
farmasetik dan pertimbangan klinis.
Persyaratan administratif meliputi:
Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan.
7
Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon
dan paraf.
Tanggal penulisan resep.
Kesesuaian farmasetik meliputi:
Bentuk dan kekuatan sediaan.
Stabilitas.
Kompatibilitas.
Pertimbangan klinis meliputi:
Ketepatan indikasi dan dosis obat.
Aturan, cara dan lama penggunaan obat.
Duplikasi dan/atau polifarmasi.
Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,
manifestasi klinis lain).
Kontra indikasi; dan
Interaksi obat.
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.
2. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi obat. Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep
atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi
kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan
dengan memilihkan obat bebas atau obat bebas terbatas yang sesuai.
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pemberian
informasi oleh apoteker mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi
dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan
obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi
mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal. Informasi
meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda
pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi,
8
keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping,
interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat
dan lain-lain.
4. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam
penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.
Untuk mengawali konseling, apoteker menggunakan three prime
questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu
dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah
memahami obat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga pasien yang
perlu diberi konseling:
Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati
dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).
Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB,
DM, AIDS, epilepsi).
Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus
(penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off).
Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, fenitoin, teofilin).
Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa obat untuk
indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk
pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis obat.
Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat
melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah,
khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan
9
penyakit kronis lainnya. Jenis pelayanan kefarmasian di rumah yang
dapat dilakukan oleh apoteker, meliputi:
Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan
dengan pengobatan.
Identifikasi kepatuhan pasien.
Pendampingan pengelolaan obat dan atau alat kesehatan di rumah,
misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin.
Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum.
Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien.
Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah dengan
format formulir yang terlampir dalam PMK RI Nomor 35 Tahun 2014.
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan terapi obat merupakan proses yang memastikan
bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan
terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek
samping. Kriteria pasien:
Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.
Adanya multidiagnosis.
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
Menerima obat dengan indeks terapi sempit.
Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat
yang merugikan.
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring efek samping obat merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang
terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Sarana yang perlu ada untuk melaksanakan pelayanan
kefarmasian di apotek terkait penerapan farmasi klinik, yaitu ruang
10
konseling di apotek. Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu
set meja dan kursi konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet,
poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan
pengobatan pasien.
Kajian mengenai Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
Pada tahun 1990, Hepler dan Strand mendefinisikan asuhan
kefarmasian sebagai penyediaan terapi obat secara bertanggung-jawab
yang ditujukan untuk memperoleh hasil-hasil nyata yang meningkatkan
kualitas hidup pasien. Hasil-hasil tersebut antara lain: (1) penyembuhan
penyakit; (2) menghilangkan atau mengurangi gejala-gejala penyakit yang
dialami pasien; (3) menahan atau memperlambat proses penyakit, atau (4)
mencegah penyakit atau gejala-gejala.
Filosofi asuhan kefarmasian berfokus pada 4 elemen utama: (1)
kebutuhan masyarakat akan farmasis untuk memahami permasalahan-
permasalahan terkait obat; (2) pendekatan berorientasi kepada pasien
untuk memenuhi kebutuhannya; (3) suatu praktek berdasarkan pada
“perhatian dan untuk pasien”, dan (4) suatu tanggung jawab untuk
menemukan dan menanggapi permasalahan-permasalahan terapi obat
pasien. Komponen sentral dari asuhan kefarmasian adalah perhatian
kepada pasien. Hal ini berarti memberikan perhatian tulus kepada pasien
dan mempergunakan waktu dan upaya untuk menolong pasien tersebut
sebagai apoteker/farmasis dan tenaga ahli kesehatan. Apabila seorang
apoteker betul-betul memperhatikan pasien, apoteker tersebut akan
memasukkan asuhan kefarmasian ke dalam prakteknya, tanpa
menghiraukan kondisi dari praktek (misalnya masyarakat, perawatan
akut/rumah sakit, rawat jalan, perawatan di rumah, rumah sakit lansia) atau
hambatan-hambatan yang mungkin terjadi. Asuhan kefarmasian dirancang
untuk melengkapi praktek-praktek asuhan pasien yang telah ada agar terapi
obat menjadi lebih aman dan efektif.
Berdasarkan filosofi asuhan kefarmasian, farmasis, sebagaimana
halnya tenaga ahli kesehatan lainnya bertanggung-jawab untuk memenuhi
11
kebutuhan masyarakat akan terapi obat yang tepat, efektif, dan aman.
Untuk itu, apoteker harus memusatkan prakteknya kepada pasien sebagai
keseluruhan individu; sebagai orang yang memiliki kebutuhan kesehatan
umum, tetapi juga kebutuhan khusus terkait obat.
Apoteker yang menyediakan asuhan kefarmasian akan memberikan
tanggapan terhadap seluruh kebutuhan kesehatan dan pengobatan pasien
sambil mengembangkan dan melanjutkan hubungan terapeutik dengan
pasien. Jenis hubungan ini menuntut farmasis untuk menanamkan dalam
dirinya suatu etika perhatian dan untuk pasien, yang diartikan ke dalam
pengungkapan perhatian terhadap kesehatan dan kebahagiaan mereka.
Perilaku perhatian umumnya melibatkan toleransi, kepercayaan,
kejujuran, integritas, empati, dan sensitivitas. Sebagai tambahan untuk
karakteristik umum tersebut, perhatian dalam filosofi asuhan kefarmasian
menuntut farmasis untuk mengutamakan pasien, untuk bertanggung-jawab
dalam memastikan pengobatan pasien yang seefektif dan seaman
mungkin, serta untuk memastikan bahwa pasien memahami bagaimana
menggunakan pengobatannya secara tepat.
ASHP (American Society of Health-System Pharmacist)
mendeskripsikan 5 elemen utama asuhan kefarmasian:
1. Hubungan profesional harus diciptakan dan dipertahankan.
2. Informasi medis spesifik terhadap pasien harus dikumpulkan, diatur,
disimpan, dan dipertahankan.
3. Informasi medis spesifik terhadap pasien harus dievaluasi dan rencana
terapi obat diciptakan bersama dengan pasien.
4. Farmasis menjamin pasien memilki persediaan, informasi, dan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjalankan rencana terapi obat.
5. Farmasis meninjau, memantau, dan memodifikasi rencana terapeutik
secara tepat dan bila diperlukan, bersama-sama dengan pasien dan tim
kesehatan.
Secara lebih spesifik, farmasis memiliki 3 tanggung jawab utama: (1)
memastikan bahwa terapi obat pasien diindikasikan secara tepat, paling
efektif yang tersedia, paling aman, paling nyaman digunakan, dan paling
12
ekonomis; (2) mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah
permasalahan-permasalahan terapi obat; dan (3) memastikan bahwa
tujuan terapi obat pasien terpenuhi dan hasil-hasil optimal terkait kesehatan
tercapai. Semua tanggung jawab tersebut berpusat pada menghadapi
permasalahan-permasalahan terapi obat pasien.
Permasalahan terapi obat adalah setiap peristiwa tidak diinginkan
yang dialami pasien yang melibatkan terapi obat dan pada kenyataannya
(atau kemungkinan besar) mengganggu hasil yang diharapkan pasien.
Konsep Pelayanan Manajemen Terapi Pengobatan (Medication
Therapy Management) dalam Sistem Pelayanan Kefarmasian Mandiri
Pelayanan MTM (Medication Therapy Management) dirancang untuk
mengoptimalkan hasil-hasil nyata bagi pasien melalui penggunaan
pengobatan yang telah ditingkatkan, mengurangi resiko kejadian efek yang
berlawanan dan interaksi obat, dan meningkatkan kepatuhan pasien untuk
menerima manfaat yang ditargetkan.
Gambar 1.Kolaborasi dalam Pelayanan Kefarmasian berbasis MTM
MTM
Apoteker
Dokter
DiagnosisPasien
Tenaga profesional
lainnya
13
Pelayanan MTM mengedepankan kolaborasi antara apoteker dengan
dokter dan tenaga profesional kesehatan lainnya untuk
mengoptimalisasikan penggunaan obat sesuai EBM (evidence base
medicine) dengan melibatkan peran aktif pasien dalam mengelola
kesehatannya sendiri. Melalui pelayanan manajemen terapi pengobatan
(Medication Therapy Management) dalam sistem pelayanan kefarmasian
memiliki harapan dan optimis besar untuk memperkuat sistem JKN.
Pelayanan MTM mencakup susunan yang luas dari aktivitas-aktivitas
konsultasi yang mengharuskan apoteker untuk meninjau semua
pengobatan yang diperoleh pasien, mengidentifikasi efek obat yang
berlawanan dan interaksi obat, menentukan kepatuhan pasien kepada
aturan-aturan pengobatan yang telah diresepkan.
Konsultasi MTM yang lebih menyeluruh akan meliputi juga evaluasi
setiap permasalahan terkait obat yang akan meningkatkan hasil-hasil nyata
yang diharapkan pasien dari asuhan kesehatan dan atau mengurangi
biaya-biaya obat.
Apabila ada permasalahan tekait terapi obat yang teridentifikasi,
farmasis mengintervensi untuk memperbaiki atau mengatasi permasalahan
dan menyusun rencana monitoring tindak lanjut. Intervensi dapat meliputi
bekerja dengan pasien/pemberi asuhan atau bekerja sama dengan dokter
penulis resep untuk menemukan permasalahan pengobatan yang spesifik.
Konsultasi MTM juga menyediakan kesempatan bagi apoteker untuk
memberikan penyuluhan dan mendidik pasien mengenai penggunaan
pengobatan yang tepat dan strategi-strategi untuk menjamin kepatuhan
pasien terhadap regimen pengobatan. Sebagai tambahan, farmasis perlu
untuk mendokumentasikan interaksi pasien, bukan hanya untuk asuhan
pasien yang baik, tetapi juga untuk penggantian pengeluaran biaya untuk
pelayanan kesehatan.
14
Gambar 2. Model Pelayanan Kefarmasian berbasis MTM
Beberapa elemen model pelayanan MTM dalam pelayanan
kefarmasian antara lain:
1. Medication Therapy Review (MTR)
Medication Therapy Review (MTR) atau review terapi pengobatan
merupakan poses sistematis dengan mengumpulkan informasi spesifik
pasien, menilai terapi pengobatan untuk mengidentifikasi DRP (Drug
Related Problem), mengembangkan DRP yang dianggap sebagai
prioritas, dan membuat rencana untuk mengatasi masalah DRP tersebut
(problem solving).
MTR menghubungkan antara pasien dan apoteker dengan tujuan
untuk meningkatkan pengetahuan pasien mengenai pengobatan
mereka, mengetahui masalah atau kekhawatiran yang mungkin dimiliki
oleh pasien, serta memberikan kewenangan untuk pasien dalam
mengelola pengobatan serta kondisi kesehatan mereka. Melalui MTR ini
dapat membantu apoteker untuk memperoleh informasi yang akurat dan
efisien dari pasien terkait pengobatan. Yang termasuk dalam MTR antara
lain:
Interview pasien terkait informasi demografis, status kesehatan
umum, pekerjaan, riwayat medis, riwayat pengobatan, riwayat
imunisasi, dan perasaan pasien terhadap kondisi dan pengobatannya.
15
Penilaian terhadap informasi klinis yang relevan, status kesehatan
secara menyeluruh dan kondisi fisik pasien, termasuk kondisi atau
penyakit sekarang atau yang sebelumnya pernah diderita.
Penilaian terhadap pendapat pasien, pilihan, kualitas hidup, dan
tujuan terapi.
Penilaian terhadap isu budaya, level pendidikan, rintang bahasa
(language barriers), tingkat literasi, dan karakteristik lain yang dapat
mempengaruhi kemampuan komunikasi pasien yang dapat berefek
pada outcome terapi.
Mengevaluasi pasien untuk mendeteksi gejala yang dapat
menimbulkan reaksi efek samping yang disebabkan oleh
pengobatannya.
Menginterpretasikan, memonitoring, dan menilai hasil data
laboratorium pasien.
2. Personal Medication Record (PMR)
Personal medication record (PMR) atau biasa juga disebut dengan
rekam pengobatan pasien merupakan rekam komprehensif dari
pengobatan pasien (meliputi semua pengobatan pasien baik itu obat dari
resep, non-resep atau swamedikasi, pengobatan herbal ataupun
suplemen diet lainnya). PMR mengandung informasi yang dapat
membantu pasien dalam pengelolaan mandiri terapi pengobatannya
secara keseluruhan.
Apoteker dapat menggunakan PMR untuk berkomunikasi dan
berkolaborasi dengan dokter ataupun tenaga kesehatan profesional
lainnya untuk mencapai hasil terapi pasien secara optimal.
Idealnya, PMR pasien diinput secara elektronik, tapi juga dapat
diinput secara manual (ditulis tangan). PMR yang disediakan apoteker
baik secara elektronik ataupun manual, informasi di dalamnya harus
dapat tertulis dengan jelas dan dapat dimengerti oleh pasien dengan
mudah. PMR yang dimaksudkan untuk digunakan oleh pasien sebaiknya
mencantumkan antara lain:
Nama pasien.
16
Tanggal lahir pasien.
Nomor telepon pasien
Informasi kontak darurat (nama, hubungan dengan pasien, dan nomor
telepon).
Dokter (nama dan nomor telepon)
Apoteker (nama dan nomor telepon)
Alergi (alergi yang dimiliki, reaksi yang terjadi saat alergi).
Masalah lain terkait pengobatan (obat yang menyebabkan masalah,
masalah yang dimiliki pasien).
Pertanyaan potensial yang ingin pasien tanyakan terkait
pengobatannya.
Tanggal update terakhir kalinya.
Tanggal terakhir melakukan review dengan apoteker, dokter ataupun
tenaga kesehatan lainnya.
Tanda tangan pasien.
Tanda tangan dari penyedia layanan kesehatan (healthcare provider).
Untuk setiap pengobatan dicantumkan antara lain pengobatan (nama
obat dan dosis), indikasi, instruksi penggunaan, tanggal mulai dan
berhenti mengkonsumsi/menggunakan obat, pesan dari dokter, dan
pentunjuk khusus.
17
Gambar 3. Contoh Personal Medication Record (PMR)
18
Keberlangsungan PMR secara kontinu sangat tergantung dari
kolaborasi pasien, apoteker, dokter, dan tenaga profesional kesehatan
lainnya. Pasien harus didorong untuk menjaga dan meng-update
dokumen PMR-nya secara terus-menerus. Pasien harus diedukasi untuk
membawa PMR-nya setiap waktu dan memperlihatkannya kepada
tenaga profesional kesehatan terkait baik dokter, apoteker, maupun
tenaga profesional kesehatan lainnya saat berobat.
Setiap kali pasien menerima pengobatan baru, tidak melanjutkan
pengobatannya, terdapat perubahan instruksi, mulai menggunakan
resep baru atau obat non-resep/swamedikasi, produk herbal atau
suplemen diet, ataupun perubahan lain terkait regimen pengobatannya,
maka pasien harus meng-update PMR-nya untuk menjamin rekam
pengobatannya yang akurat dan terkini. Idealnya, apoteker, dokter,
ataupun tenaga profesional kesehatan lainnya dapat secara aktif
membantu pasien dalam proses revisi PMR pasien.
3. Medication-related Action Plan (MAP)
Medication-related action plan (MAP) atau rencana terkait
pengobatan adalah dokumen sentris pasien yang memuat daftar
tindakan untuk pasien yang digunakan dalam mengikuti kemajuan self
management-nya. Rencana asuhan pasien (care plan) merupakan
bagian dari tindakan untuk membantu pasien mencapai tujuan
kesehatan spesifiknya. MAP dan edukasi pasien, keduanya merupakan
komponen penting untuk menggabungkan metode patient-centered-
approach ke dalam model pelayanan MTM. MAP dapat memperkuat
pasien dan partisipasi aktif dari pasien terhadap perilaku pengobatannya.
Informasi yang terkandung dalam MAP antara lain:
Nama pasien
Nama dokter dan nomor telepon
Nama apoteker dan nomor telepon
Tanggal pembuatan MAP
Langkah tindakan untuk pasien.
Catatan untuk pasien.
19
Informasi persetujuan untuk melakukan follow-up dengan apoteker,
bila diperlukan.
Gambar 4. Contoh Medication-related Action Plan (MAP) untuk pasien
4. Intervention and/or Referral
Apoteker menyediakan layanan konsultasi dan intervensi untuk
menemukan dan mengidentifikasi DRP. Bila diperlukan, apoteker dapat
mengarahkan pasien ke dokter ataupun ke tenagah profesional
kesehatan lainnya. Dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian berbasis
20
MTM, perlu dilakukan identifikasi DRP (Drug Related Problem) oleh
apoteker untuk ikut andil dalam kepentingan pasien.
Intervensi dapat dilakukan melalui kolaborasi apoteker dengan
dokter ataupun tenaga profesional kesehatan lainnya untuk
menyelesaikan masalah terkait pengobatan (DRP).
Komunikasi informasi yang tepat kepada dokter ataupun dengan
tenaga profesional kesehatan lainnya, termasuk konsultasi pemilihan
obat, saran/anjuran untuk meninjau masalah pengobatan, serta
rekomendasi follow-up pasien merupakan komponen intervensi
diperlukan untuk melengkapi model pelayanan kefarmasian berbasis
MTM.
5. Dokumentasi dan Follow-Up
Pelayanan MTM didokumentasikan secara konsisten dan kunjungan
follow-up untuk pelayanan MTM tergantung dari kebutuhan pasien terkait
pengobatannya, atau jika pasien berpindah dari satu RS ke RS lainnya.
Dokumentasi merupakan elemen yang penting dalam model pelayanan
MTM. Dokumen pelayanan kefarmasian dan intervensi dilakukan secara
tepat untuk mengevaluasi kemajuan pasien dan mengefisiensikan biaya
pengobatan.
Dokumentasi yang tepat dalam pelayanan kefarmasian berbasis
MTM memiliki tujuan, antara lain:
Memudahkan komunikasi antara apoteker dengan tenaga profesional
kesehatan yang menangani pasien terkait mengenai rekomendasi yang
dimaksudkan untuk mengatasi dan memonitoring DRP (Drug Related
Problem).
Meningkatkan kepedulian pasien (patient care) dan outcome terapi
pasien.
Meningkatkan kontinuitas kepedulian pasien (patient care) di antara
penyedia layanan kesehatan.
Menjamin kepatuhan terhadap hukum dan regulasi untuk memelihara
rekam pasien.
Melindungi dari pelanggaran tanggungjawab profesional.
21
Sebagai tanda bukti jasa apoteker dalam pelayanan kefarmasian
sehingga harus diberikan reward/reimbursment.
Menunjukkan nilai apoteker sebagai pemberi pelayanan kefarmasian
berbasis MTM.
Menunjukkan hasil klinis, ekonomis, dan humanistik.
Dokumentasi MTM termasuk dalam pembuatan dan memelihara
rekam spesifik pasien secara terus-menerus yang memuat urutan
kronologi, rekam dari semua pemberi/penyedia layanan kesehatan sesuai
dengan format standar yang telah ditetapkan (SOAP: subject, objective,
assesment, and plan).
Idealnya, dokumentasi sebaiknya dilengkapi secara elektronik atau
dapat dalam bentuk paper. Memasukkan data PMR, MAP, dan catatan
tenaga profesional kesehatan lainnya akan membantu apoteker dalam
menjaga dokumentasi profesionalnya secara konsisten.
Gambar 5. Komponen dokumentasi dalam pelayanan MTM
Sistem Pembayaran BPJS dalam Sistem JKN
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang
pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi JKN pada fasilitas kesehatan
tingkat pertama (FKTP) milik pemerintah, BPJS Kesehatan melakukan
22
pembayaran dana kepada FKTP milik pemerintah melalui sistem kapitasi
didasarkan pada jumlah peserta BPJS yang terdaftar di Puskesmas. Dana
kapitasi ini dibayarkan langsung oleh BPJS Kesehatan kepada
bendaharawan dana kapitas JKN pada puskesmas.
Perpres ini mengatur agar jasa dokter dan tenaga kesehatan lainnya
serta dukungan operasional pelayanan dapat langsung digunakan di
puskesmas non badan layanan umum daerah (BLUD). Dana kapitasi JKN
di puskesmas dimanfaatkan seluruhnya untuk pelayanan kesehatan dan
dukungan biaya opersional pelayanan kesehatan.
Jasa pelayanan kesehatan di FKTP ditetapkan sekurang-kurangnya
60% dari total penerimaan dana kapitasi JKN dan sisanya dimanfaatkan
untuk dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan.
Dalam penyelenggaraan JKN, BPJS Kesehatan menggunakan sistem
pembayaran kapitasi di fasilitas kesehatan tingkat pertama (primer) dan INA
CBG’s untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Sistem pembayaran
kapitasi adalah sistem pembayaran yang dilaksanakan pada fasilitas
kesehatan tingkat pertama khususnya pelayanan rawat jalan tingkat
pertama yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan yang didasarkan
pada jumlah peserta yang terdaftar di fasilitas kesehatan tersebut dikalikan
dengan besaran kapitasi per jiwa.
Sistem pembayaran ini adalah pembayaran di muka atau prospektif
dengan konsekuensi pelayanan kesehatan dilakukan secara pra upaya
atau sebelum peserta BPJS jatuh sakit. Sistem ini mendorong fasilitas
kesehatan tingkat pertama untuk bertindak secara efektif dan efisien serta
mengutamakan kegiatan promotif dan preventif. BPJS Kesehatan sesuai
ketentuan, wajib membayarkan kapitasi kepada fasilitas kesehatan tingkat
pertama paling lambat tanggal 15 setiap bulan berjalan.
Pelayanan kesehatan yang termasuk di dalam cakupan pembayaran
kapitasi di fasilitas kesehatan tingkat pertama dalam Pasal 16 Permenkes
71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama yang
merupakan pelayanan kesehatan non spesialistik meliputi:
Administrasi pelayanan.
23
Pelayanan promotif dan preventif.
Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis.
Tindakan medis non spesialistik baik operatif maupun non operatif.
Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai.
Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama.
Adapun pelayanan medis pada fasilitas kesehatan tingkat pertama
untuk yang terdapat dalam Pasal 17 Permenkes 71 Tahun 2013 meliputi:
Kasus medis yang membutuhkan penanganan awal sebelum dilakukan
rujukan
Kasus medis rujuk balik.
Pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan pelayanan kesehatan gigi
tingkat pertama.
Rehabilitasi medik dasar
Kapitasi yang dibayarkan kepada puskesmas, dokter praktek dan
klinik sudah termasuk pembayaran biaya pelayanan yang dilakukan oleh
jejaring fasilitas kesehatan (pelayanan obat oleh apotek dan laboratorium
sederhana).
Reimbursment bagi Jasa Apoteker di Apotek
Sistem reimbursment dalam pelayanan kefarmasian artinya apoteker
memperoleh biaya atas jasa pelayanan kefarmasiannya kepada pasien.
Dana atas jasa ini harus disiapkan oleh penyedia layanan kesehatan baik
fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun tingkat lanjutan seperti rumah
sakit, puskesmas, apotek, klinik melalui BPJS Kesehatan. Dengan adanya
pemberian biaya jasa pelayanan kefarmasian oleh apoteker, maka dapat
membantu meningkatkan dan mengefektifkan pelayanan kefarmasian serta
meningkatkan kesejahteraan apoteker.
Melalui pelayanan kefarmasian yang komprehensif dan berkualitas,
maka apoteker sudah selayaknya dan seharusnya memperoleh fee for
service terhadap pasien yang berkonsultasi kepada apoteker terkait terapi
pengobatan yang diterima pasien terutama terkait permasalahan-
permasalah terkait pengobatannya. Dengan adanya pelayanan
24
kefarmasian yang diterima oleh pasien, maka akan membantu pasien
dalam penggunaan obat yang rasional, mengidentifikasi DRP dan DTP,
serta pencapaian target pengobatan yang lebih baik.
Contoh Penerapan Standar Jasa Apoteker di Apotek
Berikut contoh penerapan standar jasa apoteker di Provinsi Jawa
Timur yang mengacu pada Surat Keputusan Nomor: Kep-049/PD IAI/Jawa
Timur/VIII/2015. Di mana jasa profesi ini merupakan hak apoteker yang
menjalankan praktik profesi di apotek.
1. Jasa profesi Apoteker Penanggung Jawab Apotek meliputi:
a. Jasa Pengelolaan Apotek sebesar minimal Rp. 3.000.000,-
diterimakan sebanyak 14 kali, termasuk THR dan Jasa Akhir Tahun;
b. Jasa Pelayanan Konsultasi (diterima langsung dari pasien) minimum
sebesar Rp. 5.000,- per pasien per konsultasi dan mencantumkan
jam konsultasi pada papan praktik Apoteker.
2. Jasa profesi Apoteker Pendamping di Apotek meliputi:
a. Jasa Pengelolaan Apotek sebesar minimal Rp. 2.000.000,-
diterimakan sebanyak 13 kali, termasuk THR;
b. Jasa Pelayanan Konsultasi (diterima langsung dari pasien) minimum
sebesar Rp. 5.000,- per pasien per konsultasi.
3. Apoteker Penanggung Jawab Apotek berhak mendapatkan:
a. Tunjangan Kesehatan berupa kepesertaan JKN Mandiri kelas I dan
Ketenagakerjaan;
b. Bagi hasil sebesar 1% omzet (pendapatan kotor);
c. Jasa pelayanan resep.
4. Apoteker Pendamping di Apotek berhak mendapatkan:
a. Tunjangan Kesehatan berupa kepesertaan JKN Mandiri kelas I dan
Ketenagakerjaan;
b. Jasa pelayanan resep.
5. Jasa Pengelolaan Apotek meningkat secara berkala disesuaikan
dengan Kenaikan Indeks Biaya Hidup Rata-Rata (BPS).
25
6. Jika Apoteker Penanggung Jawab Apotek mengakhiri kontrak kerja
sama maka Apoteker Pengganti minimal menerima jasa profesi seperti
Apoteker yang digantikan.
7. Jasa profesi diberikan paling lambat sejak penandatanganan perjanjian
kerja sama sebesar minimal sejumlah 50% dan penerimaan 100%
diberikan setelah SIPA terbit.
26
DAFTAR PUSTAKA
Jones, R.M. 2008. Pengkajian Pasien dan Peran Farmasis dalam
Perawatan Pasien.
Peraturan Presidan Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Peraturan Pemerintah 51 Tahun 2009.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 35 Tahun 2015 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
Permenkes 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama.
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan
Pemanfaatan Dana Kapitasi JKN pada FKTP Tingkat Pertama.
Surat Keputusan Nomor: Kep-049/PD IAI/Jawa Timur/VIII/2015.
The American Pharmacists Association and the National Association of
Chain Drug Stores Foundation. 2008. Medication Therapy
Management in Pharmacy Practice: Core Elements of an MTM
Service Model.
UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.