Download - Paper Backlog
`
1. PENDAHULUAN
Kota sebagai tempat yang paling diminati masyarakat untuk bermukim kini
kondisinya sudah padat, hal ini ditandai dengan perkembangan kota yang nyatanya banyak
sekali masyarakat dari kota-kota kecil dan desa menuju kota dengan harapan dapat membuka
kemungkinan akan tingkat kehidupan yang lebih baik, sehingga mengakibatkan kawasan
perkotaan menjadi padat dan terbatas.
Laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang seperti itu akan mengakibatkan kota-
kota terasa semakin sempit apabila dikaitkan dengan ruang dan semakin turunnya tingkat
kenyamanan apabila dikaitkan dengan jasa-jasa perkotaan. Salah satu jasa perkotaan adalah
perumahan, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (Zulfan,1990;1).
Rumah merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana
pembinaan keluarga, secara fisik merupakan bangunan tempat tinggal, secara fungsional
merupakan tempat awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga dilingkungan
sehat, aman, serasi dan selaras.
Pertumbuhan perkotaan yang pesat menyebabkan permasalahan perkotaan menjadi
kompleks dan berkembang cepat. Salah satu permasalahan utama adalah penyediaan
permukiman. Penyediaan perumahan terkait dengan masalah lain yaitu prasarana perumahan
yang mahal serta daya dukung lahan yang cenderung tidak mampu lagi memenuhi aktivitas
permukimannya. Semua hal yang terkait diatas mengakibatkan tumbuh dan meluasnya
permukiman-permukiman ilegal dan permukiman dengan kondisi hunian yang merosot
menjadi permukiman kumuh (slum).
Tantangan yang paling besar yang harus dihadapi kota dalam bidang perumahan di
Indonesia sekarang ini adalah bagaimana mengatasi masalah perumahan masyarakat miskin,
terutama di kota-kota besar yang merupakan mayoritas. Tuntutan kebutuhan akan pengadaan
perumahan sangat besar dan selalu meningkat, sedangkan lingkungan perumahan yang sudah
ada dinilai kurang layak huni. Di samping itu kemampuan ekonomi mereka sangat terbatas,
sulit untuk mengangkat sendiri tanpa bantuan pihak lain (Budiharjo, 1997:57)
Sejak awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian kepada
penyediaan rumah bagi masyarakat, sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan dasar
manusia. Selain berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan alam dan makhluk lainnya
`
rumah juga memiliki peran sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya,
penyiapan generasi muda dan sebagai manifestasi diri (KSNPP, 2002).
Pengembangan perumahan dan permukiman di Indonesia diprogramkan sebagai
tanggung jawab masyarakat bersama dengan stakeholder lainnya. Meskipun pemenuhan
kebutuhan perumahan dan permukiman adalah tanggung jawab masyarakat sendiri, namun
penyelenggaraannya dilakukan secara multi sektoral dengan menempatkan masyarakat
sebagai pelaku utama, dan pemerintah sebagai pendorong dan fasilitator dalam upaya
memberdayakan masyarakat dan meningkatkan peran aktif dunia usaha.
Dari sisi investasi, pembangunan perumahan di Indonesia masih tertinggal
dibandingkan negara lain, yaitu hanya 1,4% dari PDB pada tahun 2002. Sementara itu,
investasi pembangunan perumahan di negara tetangga Malaysia mencapai sekitar 27,7% dan
bahkan Amerika Serikat mencapai 45,3%.
Menurut Komarudin (1997), permasalahan dalam penyediaan dan pembangunan
perumahan di Indonesia meliputi, antara lain, perencanaan tata ruang yang belum antisipatif
terhadap kebijaksanaan perumahan dan permukiman; rendahnya keterjangkauan masyarakat
membeli rumah; belum mantapnya koordinasi dan keterpaduan pelaksanaan sektoral; belum
kuatnya peran Pemda dalam pembangunan perumahan; belum memadainya pendanaan dan
pembiayaan; sulitnya memperoleh tanah bagi pembangunan perumahan; belum
mendukungnya peraturan perundang-undangan; serta belum efisiennya pembangunan
perumahan. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret dari semua pihak yang
terlibat dalam pembangunan perumahan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
tersebut apabila ingin menyediakan perumahan bagi masyarakat secara efektif dan efisien.
Melihat fakta-fakta yang terjadi saat ini, banyak wilayah perkotaan yang jumlah
backlognya semakin meningkat tiap tahunnya yang disebabkan oleh beberapa hal. Untuk itu,
Tulisan paper ini akan mengkaji mengenai kebijakan pemerintah dalam memenuhi pelayanan
publik, yaitu penyediaan perumahan serta melihat bagaimana kondisi perumahan yang terjadi
di Indonesia khususnya yang akan disorot dalam paper ini adalah backlog yang terjadi di
Kota Jakarta.
`
2. PEMBAHASAN
Perkembangan pembangunan perumahan di Indonesia dicirikan oleh masih
banyaknya keluarga yang belum memiliki rumah yang layak (housing backlog). Data Susenas
2004, seperti dikutip dalam Renstra Kementerian Negara Perumahan Rakyat Tahun 2005-
2008, menyebutkan bahwa terdapat 5,9 juta keluarga atau sekitar 10% dari jumlah keluarga
di Indonesia yang mencapai 55 juta yang belum memiliki rumah. Sementara itu, penambahan
kebutuhan rumah akibat penambahan keluarga baru rata-rata sekitar 820.000 unit rumah.
Dengan demikian, masih terdapat sekitar 3,1 juta keluarga atau 12,5 juta jiwa yang menghuni
rumah dalam kondisi yang tidak layak. Disisi lain, terdapat pula 17,2 juta jiwa yang tinggal di
10.065 lokasi kawasan kumuh dengan luasan mencapai 54.000 Ha. Kondisi di atas
menunjukan beratnya tantangan yang dihadapi dalam pembangunan perumahan rakyat.
A. Kondisi Perumahan dan Permukiman DKI Jakarta
1. Landed House
1.1 Perumahan (planned)
Gambar 1Perumahan oleh Pengembang
(Sumber: Kompas.com)
Pengembangan perumahan DKI Jakarta sebagian besar dikendalikan oleh
pengembang, dengan menawarkan berbagai macam konsep hunian tinggal,
kawasan perumahan yang dibuat ini lebih ditujukan untuk masyarakat
berpenghasilan menengah ke atas.
1.2 Kampung (Organik)
Perkampungan organik, kemunculannya diprakarsai oleh masyarakat sendiri
secara swadaya, tumbuh dan berkembang tersebar di bagian-bagian kota, baik
di pusat kota maupun di pinggiran kota. Permukiman ini tumbuh secara alami
`
mengikuti jaringan jalan baru maupun perkembangan wilayah-wilayah
potensial kota.
Gambar 2Kondisi Kampung (Organik)
(Sumber: Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta)
1.3 Slum
Permukiman kumuh berada di daerah legal yang memang diperuntukkan
sebagai kawasan permukiman, permukiman ini pada awalnya memang
berbentuk permukiman organik, tetapi karena pertumbuhan penduduk yang
pesat di kawasan ini menjadikan kawasan semakin padat serta tidak bisa
menampung jumlah penduduk yang selalu bertambah yang berakibat pada
menurunnya fungsi pelayanan kawasan hunian.
Gambar 3Slum Area
`
(Sumber: Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta)1.4 Squatter (permukiman liar)
Permukiman liar (Squatter) menempati lahan di daerah-daerah yang tidak
diperkenankan untuk didirikan bangunan khususnya bangunan untuk tempat
tinggal karena selain dinilai membahayakan bagi penghuninya juga akan
mengganggu program-program penataan kota.
Gambar 4Kondisi Permukiman Liar
(Sumber: Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta)
2. Rumah Susun
2.1 Rumah Susun Sederhana
Rumah susun sederhana baik sewa maupun sewa-milik (strata title)
dibangun oleh pemerintah maupun pihak penyelenggara lainnya (swasta,
yayasan, BUMD) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berpenghasilan
rendah akan perumahan murah di pusat kota.
`
Gambar 5
Kondisi Rumah Susun(Sumber: Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta)
2.2 Apartemen
Apartemen yang dibangun oleh pihak pengembang yang diperuntukkan
bagi masyarakat DKI Jakarta golongan ekonomi menengah ke atas.
Apatemen ini dilengkapi dengan fasilitas penunjang seperti mall pusat
perbelanjaan.
Gambar 6Apartemen
(Sumber: Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta)
B. Kebutuhan Perumahan dan Permukiman DKI Jakarta
Peningkatan kebutuhan perumahan di DKI Jakarta sangat dipengaruhi oleh
tingginya kegiatan urbanisasi di kota ini, sehingga berdampak pada terjadinya
pertumbuhan penduduk. Peningkatan jumlah penduduk secara cepat dari 8,8 juta
pada tahun 1990 dan diperkirakan menjadi 13,8 juta pada akhir tahun 2010 karena
setiap tahun diperkirakan 200.000 hingga 250.000 migran baru dari luar daerah
memasuki metropolitan. Kondisi ini tentu diikuti dengan peningkatan kebutuhan
rumah yang cukup besar di DKI Jakarta. Dan idealnya peningkatan kebutuhan
`
rumah seyogyanya juga diikuti dengan peningkatan upaya pembangunan rumah
oleh para stakeholder penyedia perumahan (pemerintah, swasta, dan masyarakat).
Tetapi dengan banyaknya kendala yang dihadapi oleh para stakeholder tersebut
dalam memenuhi kebutuhan rumah menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan
antara jumlah kebutuhan rumah dengan jumlah rumah yang mampu disediakan
oleh para stakeholder tersebut. Dengan jumlah kebutuhan rumah yang jauh lebih
besar dibandingkan dengan jumlah rumah yang mampu disediakan oleh para
stakeholder sehingga terjadilah kekurangan unit rumah (backlog) dalam jumlah
yang relatif besar di DKI Jakarta. Berikut ini ditampilkan data backlog di tiap
wilayah DKI Jakarta.
Tabel 1
Jumlah Backlog Tiap Wilayah DKI Jakarta
No Kotmadya Kebutuhan
Ketersediaan BacklogTermasuk Temporer
Tanpa Temporer
Termasuk Temporer
Tanpa Temporer
1. Jakarta Pusat 179.381 19.136 17.643 160.245 1.4932. Jakarta Barat 341.784 355.880 296.707 -41.096 18.0773. Jakarta Timur 420.707 406.459 369.828 14.248 50.8794. Jakarta
Selatan339.856 309.613 286.743 30.243 53.113
5. Jakarta Utara 316.667 248.723 214.653 67.952 102.0226. Kepulauan
Seribu3.869 3.693 2.409 176 1.460
DKI Jakarta 1.575.272 1.343.504 1.187.983 231.768 227.044Sumber: Data BPS DKI Jakarta, 2004
Keterbatasan sebagian besar masyarakat golongan ekonomi lemah untuk
memenuhi kebutuhan akan rumah, memaksa mereka memenuhinya sesuai dengan
kemampuannya, diantaranya dengan menempati kawasan permukiman kumuh dan
kawasan terlarang (negative list).
`
Gambar 7Peta Kawasan Kumuh DKI Jakarta
Prosentase luas kawasan permukiman kumuh terhadap luas wilayah DKI Jakarta, dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2Luas Kawasan Permukiman Kumuh di Tiap Wilayah DKI Jakarta
No. Kotamadya Prosentase (%)1. Jakarta Utara 4,702. Jakarta Selatan 2,193. Jakarta Barat 4,534. Jakarta Timur 3,275. Jakarta Pusat 4,33
Sumber: Paper Upaya Pemenuhan kebutuhan PerumahanDi DKI Jakarta,Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman Departement Permukiman dan Prasarana Wilayah
`
C. Penyediaan Perumahan dan Permukiman di DKI Jakarta
Menurut Chander (1979) dalam Komarudin (1997), lima komponen kebutuhan
rumah adalah:
1. Jumlah unit rumah yang dibutuhkan untuk menurunkan kepadatan (backlog)
2. Rumah yang harus segera diganti (immediate replacement)
3. Rumah yang harus segera diganti sesuai dengan perencanaan (normal
replacement)
4. Rumah yang dibutuhkan karena pertambahan penduduk (new households)
5. Kebutuhan rumah untuk menutupi kekurangan rumah sejak tahun-tahun
sebelumnya (fulfilment of housing deficit)
Dari kelima komponen yang dikemukakan oleh Chander di atas, oleh Pemerintah Daerah
DKI Jakarta dapat dijabarkan dengan dua pendekatan dalam pembangunan perumahan dan
permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah di DKI Jakarta yaitu dengan:
Pembangunan baru yang mengacu pada point 1, 4, dan 5 dari teori
Chander, yang diterjemahkan dengan pembangunan kawasan perumahan-
permukiman baru dengan pola horisontal dan vertikal.
Penataan lingkungan permukiman mengacu pada point 2 dan 3 dari teori
Chander dengan meningkatkan kualitas lingkungan permukiman yang
dinilai sudah menurun menjadi kawasan hunian baru yang lebih baik
dengan cara pelaksanaan program MHT maupun dengan peremajaan
melalui pembangunan rumah susun sederhana.
Dalam menindaklanjuti strategi penyediaan perumahan dan permukiman, Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta telah membuat kebijakan pembangunan rumah bagi warganya dengan
rincian sebagai berikut:
Gambar 8Strategi Pemerintahan Daerah dalam Pembangunan Perumahan dan
Permukiman(Sumber: Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta)
`
Kelangkaan lahan di kota Jakarta ini telah mendorong pemerintah daerah dan swasta untuk
menyediakan hunian warga DKI Jakarta dalam bentuk rumah susun. Proporsi pembangunan
rumah susun oleh pemerintah daerah dan swasta dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Ru
mah
Su
sun
Klasifikasi PEMDA Badan Usaha/
Developer
Jumlah
Mewah 20%* 0 5.600
Menengah 40* 0 11.200
Bawah 40* 3.360 11.200
Jumlah 100* 3.360 28.200
Sumber: *Survey Sosial Ekonomi Nasional Tahun 1990,1993,1996,1999 BPS
D. Kebijakan Terkait Penyediaan Perumahan
Menindaklanjuti pemenuhan perumahan untuk golongan Masyarakat Berpenghasilan
Rendah/Bawah ada baiknya dilakukan program KPRS subsidi dengan model perumahan
berupa RSH. Masalah perumahan dan permukiman, terutama bagi masyarakat berpendapatan
rendah (MBR) dapat dikurangi dengan cara melakukan penguatan swadaya masyarakat dalam
pembangunan rumah melalui pemberian fasilitas kredit mikro bersubsidi perumahan,
fasilitasi untuk pemberdayaan masyarakat, dan bantuan teknis kepada kelompok masyarakat
yang berswadaya dengan melibatkan Lembaga Keuangan Mikro termasuk koperasi. Secara
empiris dan faktual terdapat beberapa koperasi yang dinilai berhasil dalam mengelola skim
pembiayaan melalui KPRS/KPRS mikro bersubsidi baik pola konvensional maupun pola
syariah.
Sumber pembiayaan formal lainnya yang tersedia antara lain meliputi sektor publik,
kredit mikro untuk perumahan serta dana komunitas. Keuangan sektor publik biasanya
disubsidi dan ditujukan untuk pegawai negeri sipil. Tapi ternyata pada realisasinya, hal
tersebut tidak dapat dijangkau oleh sebagian besar masyarakat yang berpenghasilan rendah
yang menghuni permukiman informal. Apabila kredit mikro perumahan berorientasi pada
individu, dana komunitas didasarkan pada tabungan oleh grup komunitas. Pentingnya
tabungan dalam dana komunitas tidak dapat dipandang sebelah mata karena pinjaman
diberikan kepada anggota yang memiliki tabungan reguler (Sheuya, 2007).
`
Untuk menjembatani permasalahan keterbatasan akses MBR terhadap sumber
pembiayaan formal di atas, pemerintah telah membentuk Secondary Mortgage Facility
(SMF) yang berperan dalam menyediakan sumber dana jangka panjang. Sistem ini jauh lebih
efisien dibandingkan dengan sistem pembiayaan bank umum, dikarenakan sistem ini mampu
menghubungkan pasar pembiayaan perumahan dengan pasar modal yang memiliki sumber
dana yang tidak terbatas. Diharapkan sistem pembiayaan perumahan ini nantinya mampu
memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat, termasuk MBR, untuk
memperoleh KPR yang murah. Jika sistem ini telah berjalan dengan baik, di mana pasar
sekunder pembiayaan perumahan Indonesia telah tercipta, maka pasar primer juga otomatis
akan menjadi sangat efisien. Harga rumah menjadi lebih murah dan terjangkau karena
pasokan meningkat. KPR menjadi murah karena tersedia sumber dana yang besar dan
berkelanjutan (sustainable) dari pasar modal. Selain itu, dalam sistem ini dimungkinkan
munculnya lembagalembaga pembiayaan perumahan nonbank (mortgage broker dan
mortgage company) yang dapat bertindak sebagai penyalur (originator) KPR sehingga
masyarakat lebih leluasa melakukan pilihan (Murbaintoro, 2004).
Rully Indrawan (2008) menjelaskan bahwa system dan pola pembiayaan perumahan swadaya
bagi MBR dapat bersumber dari Lembaga perbankan, lembaga Keuangan Non Bank, Lembaga
Keuangan Mikro di dalamnya termasuk Koperasi, Pemerintah Pusat,Pemerintah Daerah, dan dana
CSR dari BUMS. Di satu sisi pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara Perumahan Rakyat sudah
memiliki skim bantuan pembiayaan pembangunan perumahan yang dikelompokkan kedalam 3 (tiga)
skim yaitu skim pembiayaan perumahan formal, perumahan swadaya, dan skim pembiayaan
Rusunami.
Skim pembiayaan perumahan formal untuk pemilikan rumah, Pemerintah menyediakan
fasilitas kredit/pembiayaan KPR bersubsidi konvensional dan KPR Syariah Bersubsidi. Skim
pembiayaan untuk pemilikan sarusuna Rusunami juga pemerintah memberikan fasilitas KPR
Sarusuna bersubsidi dan KPR Sarusuna syariah bersubsidi. Sedangkan skim pembiayaan untuk
perumahan swadaya pembangunan rumah baru atau perbaikan rumah bagi kelompok MBR adalah
KPRS/KPRS mikro bersubsidi konvensional dan KPRS/KPRS mikro syariah bersubsidi. Realisasi
penerbitan KPRSH bersubsidi berdasarkan jenis pelaksanaan program perumahan formal secara
akumulasi dari tahun 2004 sampai dengan Oktober 2008 berjumlah 425.221 unit, sedangkan untuk
perumahan swadaya dalam periode yang sama berjumlah 65.083 unit.
Melalui program KPRS mikro bersubsidi yang melibatkan LKNB/koperasi.
Pelayanan terhadap kelompok sasaran berhasil diperluas. Tidak hanya melayani masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR) disektor formal. Tetapi juga MBR yang bekerja di sektor
informal. Biasanya mereka tidak memiliki akses kredit karena berpenghasilan tidak pasti,
`
tidak mempunyai slip gaji dan bahkan kebanyakan tidak memiliki tanah bersertifikat sehinga
dipandang nonbankeble.
Bentuk bantuan yang diberikan berupa dana untuk membangun yang penyalurannya
dilakukan melalui lembaga keuangan mikro (LKM) atau LKNB/koperasi setempat. Dana
tersebut merupakan hibah dari pemerintah yang apabila disepakati bersama oleh para pihak
dapat digulirkan sehingga mungkin membantu masyarakat secara bergiliran. Potensi lembaga
pebiayaan tersebut khususnya BPR dan LKNB/koperasi dalam. Pembiayaan pembangunan
perumahan secara swadaya sangat besar. Selain keberadaannya yang sangat dekat dengan
masyarakat, juga fokus bisnisnya yang cenderung membantu sebagian pembiayaan
pembangunan/perbaikan rumah yang dilakukan secara swadaya.
Penyediaan KPR membutuhkan dana yang besar dan bersifat jangka panjang (5 s/d 20
tahun). Penyediaan sumber dana KPR ini masih mengandalkan dana jangka pendek yaitu
giro, tabungan dan deposito. Bagi masyarakat mampu, membeli rumah dapat dilakukan
secara tunai. Namun bagi kebanyakan orang, pembelian rumah dilakukan secara angsuran
setelah membayar uang muka. Untuk keperluan pembelian secara angsuran ini, telah
dikembangan fasilitas KPR. KPR adalah kredit berjangka panjang yakni 5-20 tahun,
sementara sumber dana yang ada seperti: giro, tabungan, deposito dan obligasi pada
umumnya berjangka waktu pendek dan menengah. Bank yang membiayai KPR dengan
mengandalkan sumber-sumber dana jangka pendek tersebut dengan demikian berpotensi
mengalami permasalahan maturity mismatch antara sumber dan penggunaan dana.
Khusus untuk membantu memenuhi kebutuhan RSH yang layak huni dan terjangkau
oleh MBR, Pemerintah melaksanakan program KPR bersubsidi. KPR bersubsidi dirintis
tahun 1976 dan terus dilaksanakan sampai saat ini. Melalui program ini, telah lebih dari 1,76
juta keluarga mempunyai rumah sedehana. Pemberian subsidi merupakan salah satu upaya
agar masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah bisa memiliki rumah yang layak.
Di negara maju subsidi perumahan tetap disediakan. Dahulu dana KPR bersubsidi berasal
APBN, kredit BI, pinjaman luar negeri, dan rekening dana investasi yang disediakan oleh
Pemerintah kepada bank pelaksana KPR bersubsidi. Oleh bank pelaksana KPR bersubsidi
dana-dana tersebut dicampur dengan dana pihak ke tiga dengan komposisi sesuai dengan
ketentuan Pemerintah. Sejak tahun 2002, karena keterbatasan kemampuan keuangan,
Pemerintah mengganti pola KPR bersubsidi dengan pola subsidi selisih bunga. Pada pola ini,
Pemerintah memberikan subsidi bunga senilai selisih antara angsuran bunga pasar dengan
angsuran bunga subsidi yang diberikan kepada peminjam dalam jangka waktu tertentu (4 s/d
10 tahun). Dana yang digunakan untuk pembiayaan KPR bersubsidi dengan pola ini
`
merupakan dana yang dicari sendiri oleh bank pelaksana di pasar dengan suku bunga pasar,
seperti penghimpunan dana pihak ketiga (giro, tabungan dan deposito) dan dana dari pasar
modal (obligasi, dll).
Berdasarkan data Bank Indonesia, kredit perbankan yang dikucurkan untuk
membiayai properti selama tahun 2000-2004 adalah sekitar Rp. 30,7 Triliun, yang terdiri dari
kredit konstruksi Rp. 6,6 Triliun, kredit real estate Rp. 3,7 Triliun dan KPR Rp. 20,3 Triliun.
Terhadap total kredit yang dikucurkan perbankan, kredit untuk properti hanya 27% saja,
sisanya dari masyarakat tanpa melalui perbankan, antara lain dari keluarga, majikan,
koperasi, atau sumber-sumber lain. Secara keseluruhan persentase kredit untuk perumahan di
Indonesia masih rendah, sedang di negara maju kredit perumahan merupakan bagian terbesar
dari total kredit yang diberikan perbankan.
`
DAFTAR PUSTAKA
Darwanto, Herry. 2007, “PermasalahanPenyediaan Perumahan Sederhana Sehat”,
http://hdarwanto.blogspot.com/2007/09/permasalahan-penyediaan-rumah-
sederhana.html [online], Diakses Tanggal: 14 April 2011
Dhenov, 2008, “Permukiman Masyarakat Berpenghasilan Rendah Di Indonesia”,
http://dhenov.blogspot.com/2008/01/permukiman-masyarakat-berpenghasilan.html
[online], Diakses Tanggal: 13 April 2011
Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta.2010. Kondisi Perumahan dan Permukiman di
Jakarta. Diakses 12 April 2011.<http://www.scribd.com/doc/36918683/perumahan-
permukiman-di-DKI-Jakarta>
Gustan, Edy, 2009, “Pemda Harus Aktif Cari Dana Pembangunan Rumah”, Vivanews, Maret,
http://nasional.vivanews.com/news/read/41032-
pemda_harus_aktif_cari_dana_pembangunan_rumah [online], Diakses Tanggal: 13
April 2011
Indrapinusgenerasi, 2011, “Faktor Determinanterhadap Keberhasilan Pembangunan
Perumahan Swadayamelalui Koperasi”,
http://indranurhayat.wordpress.com/2011/01/18/faktor-determinan-terhadap-
keberhasilan-pembangunan-perumahan-swadaya-melalui-koperasi/ [online], Diakses
Tanggal: 14 April 2011
Jenggoten. 2009, Definisi Rumah dan Perumahan,
http://jenggoten.blogspot.com/2009/10/definisi-perumahan-dan-rumah.html [online],
diakses tanggal 13 April 2011.
Pikiran rakyat, 2009, Stamina ekstra menghadapi Baclog,
http://klipingut.wordpress.com/2009/11/30/stamina-ekstra-mengatasi-backlog/
[online]. Diakses Tanggal: 13 April 2011.
Rangkuti, Yulita R. 2009, “ Penghuni Perumahan Veertikal”, PROSES, Edisi 2, Tahun 2009,
hal 11-16
Setyawan, Budhi. 2006. “Penanganan Perumahan dan Permukiman Liar Di Wilayah Kota
Bekasi”, http://digilib.its.ac.id/detil.php?id=272 [online], Diakses Tanggal: 14 April
2011
`
Suherlan, Dhani. 2009, “Angka-angka Panangian Simanungkalit”, PROSES, Edisi 1, Tahun
2009, hal 3-4
Zulfan,1990;1
Budiharjo, 1997:57
KSNPP, 2002