NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA EMOTION FOCUSED COPING
DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK PADA
MAHASISWA
Oleh:
SITI HAWA UMAYYA
SUKARTI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
JOGJAKARTA
2006
2
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KECENDERUNGAN MENGGUNAKAN EMOTION
FOCUSED COPING DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK PADA
MAHASISWA JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS TEKNOLOGI
INDUSTRI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Telah Disetujui Pada Tanggal
_________________________
Dosen Pembimbing Utama Dosen Asisten Pembimbing
(Dr. Sukarti) (Thobagus Muh. Nu’man, S.Psi. Psi)
3
HUBUNGAN ANTARA EMOTION FOCUSED COPING DENGAN
PROKRASTINASI AKADEMIK PADA MAHASISWA
Siti Hawa Umayya
Sukarti
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Emotion Focused
Coping dengan perilaku Prokrastinasi Akademik pada mahasiswa. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui tingkat Prokrastinasi Akademik dan Emotion Focused Coping pada mahasiswa yang menjadi subjek penelitian. Hipotesa awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara Emotion Focused Coping dengan Prokrastinasi Akademik pada mahasiswa.
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, yang berada pada tingkat pertengahan sampai akhir kuliah (angkatan 1998 sampai 2003). Penelitian ini menggunakan dua skala, yakni Skala Prokrastinasi Akademik yang merupakan modifikasi dari skala yang dibuat oleh Ghufron (2003). Skala ini terdiri dari 36 aitem yang disusun berdasarkan ciri-ciri prokrastinasi akademik Schouwenburg (Ferarri dkk., 1995). Sedangkan Skala Emotion Focused Coping (EFC) disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek EFC milik Folkman, Lazarus, dan rekan kerja mereka yang tertuang dalam Ways of Coping with Stressful Situations (Sarafino, 1998; Taylor, 1995), yang terdiri dari 36 aitem.
Metode analisis yang yang digunakan penelitian ini yakni Korelasi Product Moment dari Pearson. Uji validitas dan reliabilitas menggunakan SPSS for Windows Versi 11.5. Korelasi Product Moment dari Pearson menunjukkan korelasi antar variabel sebesar r = -0,237; p = 0,002 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara Emotion Focused Coping dengan Prokrastinasi Akademik. Hubungan kedua variabel ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat EFC, maka semakin rendah tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat EFC, maka semakin tinggi tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa. Adapun hasil dari analisa tambahan dengan menggunakan Analisis Regresi diketahui bahwa dari enam aspek EFC, yang menjadi prediktor bagi prokrastinasi akademik dalam penelitian ini hanya dua aspek, yaitu aspek distancing dengan arah hubungan yang positif dan positive reappraisal dengan arah hubungan yang negatif.
4
Pengantar
Latar Belakang Masalah
Mahasiswa adalah sebutan yang diberikan kepada individu yang sedang
menuntut ilmu di perguruan tinggi (Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, 1999). Karena status (tingkat) pendidikannya yang lebih tinggi, atau
bahkan tertinggi diantara siswa-siswa lainnya yang masih duduk dalam bangku
sekolah, baik itu SD, SMP, maupun SMU, mahasiswa sampai saat ini masih
menjadi tumpuan dan harapan bangsa. Keberadaan mereka nantinya diharapkan
dapat berguna bagi bangsa dan negara serta dapat berbuat banyak bagi
kemajuan masyarakat dan kecerdasan rakyat.
Berbeda dengan siswa-siswa lainnya, mahasiswa yang karena status
(tingkat) pendidikannya yang tertinggi diantara siswa-siswa lainnya yang masih
duduk dalam bangku sekolah, mereka memiliki tangung jawab yang besar dan
memiliki tugas yang banyak dan beragam. Tugas-tugas tersebut meliputi tugas-
tugas kehidupannya sebagai seorang remaja ataupun seseorang yang beranjak
dewasa dimana pada usia ini dan dengan tingkat pendidikan yang tinggi seperti
ini, mereka mengalami banyak masalah yang lebih kompleks dibandingkan ketika
mereka masih berada di bangku sekolah, maupun tugas-tugas di bidang
akademis yang mempunyai tingkat kesukaran yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan siswa-siswa lain yang tingkatannya lebih rendah. Selain
tugas-tugas akademis yang harus mereka kerjakan, seorang mahasiswa juga
dituntut untuk menjadi seorang yang aktif, baik aktif di organisasi, yang sedikit
banyak dapat memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman yang
5
nantinya dapat membantu mereka ketika memasuki dunia kerja, maupun
kegiatan-kegiatan lain yang mendukung tugas-tugas akademis dan tugas
kehidupan mereka sebagai seorang mahasiswa. Kusumah (http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2005/0105/18/1105.htm., 08/12/05) mengutarakan hal
senada, dengan mengungkapkan tiga aspek yang menjadi konsekuensi identitas
mahasiswa. Ketiga aspek tersebut yaitu pertama, aspek akademis yang berisikan
bahwa tuntutan peran mahasiswa yang sebenarnya hanya satu, yaitu belajar.
Kedua, aspek organisasional. Tidak semua hal bisa dipelajari di kelas dan
laboratorium. Masih banyak hal yang bisa dipelajari di luar kelas, terutama yang
hanya bisa dipelajari dalam organisasi, yang sekaligus dapat menjadi
laboratorium gratis ajang aplikasi ilmu yang didapat di kelas kuliah. Ketiga, aspek
sosial politik, dimana mahasiswa merupakan bagian dari rakyat, bahkan ia
merupakan rakyat itu sendiri. Kegiatan-kegiatan inilah yang menuntut mahasiswa
harus dapat membagi waktunya dengan baik sehingga tugas-tugas mereka
sebagai mahasiswa yang sarat akan tugas akademis dan tugas-tugas kehidupan
mereka sebagai remaja ataupun dewasa, dapat terpenuhi dengan baik.
Bagaimanapun juga, seorang mahasiswa diharapkan mempunyai
semangat hidup yang tinggi, rasa optimis yang besar dan selalu berusaha
mencapai prestasi yang optimal sehingga pada akhirnya mahasiswa dapat sukses
dalam menjalani hidupnya di perguruan tinggi, dapat menguasai ilmu
pengetahuan dan keterampilan, serta mendapat status yang baik di mata
masyarakat (Widuri, 1995). Namun, dalam mencapai tujuan tersebut mahasiswa
dihadapkan pada problem atau persoalan yang nantinya akan menjadi
penghambat yang mempersulit mereka dalam mencapai tujuan itu.
6
Banyaknya dan beragamnya tugas-tugas kehidupan yang dimiliki seorang
mahasiswa yang dirasa sulit akan menimbulkan masalah. Masalah-masalah yang
dihadapi mahasiswa tersebut dapat berbentuk masalah akademik dan masalah
non akademik. Masalah akademik berkaitan dengan perencanaan studi, cara
belajar, dan pengenalan peraturan. Sedangkan masalah non akademik berkaitan
dengan penyesuaian diri terhadap lingkungan kampus, kesukaran dalam mencari
teman atau kesukaran dalam pergaulan, pengembangan diri, dan masalah
pribadi yang antara lain menyangkut masalah pergaulan, konflik dengan teman,
keluarga, dan pacar (http://www.urindo.ac.id, 08/12/05;
http://www.stibanas.ac.id, 08/12/05). Suardiman (1981) mengungkapkan bahwa
dari pengalaman praktek Bimbingan dan Konseling mahasiswa UGM, ternyata
dari mahasiswa yang datang berkonsultasi dapat diketahui bahwa masalah yang
paling banyak dihadapi mahasiswa adalah masalah belajar, kemudian berturut-
turut masalah pergaulan, masalah pribadi, dan masalah keluarga. Hal senada
juga diungkapkan oleh Sudarjo dkk. sebagai team pelaksana survei kehidupan
mahasiswa UGM (Bukit, 2000), menyebutkan bahwa lima besar masalah yang
menyebabkan kesulitan pada mahasiswa antara lain masalah studi, hambatan
ekonomi, masalah keluarga, kesehatan, dan hubungan dengan lawan jenis atau
pacar.
Permasalahan-permasalahan tersebut sering membuat mahasiswa
berada dalam perasaan tertekan atau yang lebih populer disebut dengan istilah
stres (Chaplin, 2000). Hal ini juga diungkapkan Hurrelman dan Losel (Smet,
1994), yang menjelaskan stres sebagai suatu keadaan tegang secara
biopsikososial karena banyaknya tugas-tugas perkembangan yang dihadapi
7
individu sehari-hari, baik dalam kelompok sebayanya, keluarga, sekolah, maupun
pekerjaan. Mengalami stres membuat mahasiswa merasa tidak nyaman.
Perasaan ketidaknyamanan ini memotivasi mahasiswa untuk melakukan suatu
strategi untuk menghilangkan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh stres yang
dialaminya tersebut (Sarafino, 1998). Strategi yang digunakan mahasiswa dalam
mengatasi stres dinamakan coping (Folkman & Lazarus, 1984; Taylor, 1995;
Sarafino, 1998; Atkinson dkk, 2001). Coping yang dilakukan tiap mahasiswa
berbeda-beda. Ada yang menggunakan Problem Focused Coping (PFC), yang
menurut Folkman & Lazarus, dapat dilakukan dengan cara menghadapi masalah
yang menjadi penyebab timbulnya stres secara langsung dan ada juga yang
menggunakan Emotion Focused Coping (EFC) yang lebih mengarah pada usaha
untuk mempertahankan keseimbangan afeksinya dengan mengatur respon
emosional terhadap stressor agar mahasiswa tersebut merasa lebih baik
(Diponegoro & Thalib, 2001; Taylor, 1995).
Menurut Folkman dan Lazarus, mahasiswa yang memiliki kecenderungan
menggunakan stategi EFC secara terus-menerus, dalam menghadapi suatu
masalah yang menimbulkan stres tidak menghadapi masalah tersebut secara
langsung, tapi melakukan hal-hal yang dapat membuat afeksi mereka nyaman,
seperti mengatur perasaan mereka (aspek Self-control), berbicara pada orang
lain mengenai masalahnya agar mendapatkan support dan kenyamanan
emosional dari orang tersebut (aspek Seeking social support), mencari makna
positif dari masalah yang sedang dihadapi (aspek Positive reappraisal) dan
melakukan penghindaran terhadap masalah, baik dengan kognisi maupun
perilakunya (aspek Distancing dan Escape-avoidance) (Diponegoro & Thalib,
8
2001; Sarafino, 1998; Taylor, 1995). Ketika mereka dihadapkan pada tugas-
tugas akademik yang menjadi masalah utama mereka sebagai seorang
mahasiswa, maka mereka juga tidak langsung menghadapi atau mengerjakan
tugas tersebut, mereka akan menunda pengerjaannya dan akan melakukan
penghindaran terhadap tugas-tugas akademik tersebut (Sudarjo dkk. (Bukit,
2000); Suardiman, 1981; Burka & Yuen, 1983; Ferrari dkk., 1995). Perilaku
menghindari tugas yang dilakukan mahasiswa dengan menolak atau enggan
mengerjakan tugas akademis tersebut akan membentuk perilaku menunda-
menunda pengerjaan tugas akademis (Solomon & Rothblum, 1984). Mereka akan
menunda mengerjakan tugas kuliah, menunda belajar ketika akan menghadapi
ujian dan terkadang banyak diantara mereka yang melakukan hal-hal yang
sifatnya lebih menyenangkan dan tidak berhubungan dengan tugasnya, seperti
membaca komik, novel, majalah, menonton tv, mendengarkan musik, jalan-jalan
dan lain-lain. Pola belajar seperti ini dikatakan Franz Magnis Suseno (Syafi’i,
2001) sebagai ciri khas dari hedonisme dalam belajar. Para mahasiswa baru akan
belajar jika waktu deadline mengerjakan tugas atau waktu ujian sudah dekat
sehingga mereka akan belajar semalam suntuk yang dikenal dengan istilah
Sistem Kebut Semalam (SKS) (Sudirjo, 1990). Fenomena yang sering terjadi ini
dalam literatur psikologi disebut dengan prokrastinasi.
Definisi prokrastinasi menurut Ellis dan Knaus (Syafii, 2001) adalah suatu
kegagalan untuk memulai maupun menyelesaikan suatu tugas atau aktivitas
pada waktu yang ditentukan. Dalam beberapa penelitian tentang prokrastinasi,
ditemukan bahwa prokrastinasi merupakan suatu masalah yang kompleks yang
9
menimpa pada sebagian besar masyarakat secara luas maupun pada lingkungan
akademis (Ferrari dkk., 1995).
Prokrastinasi dapat dilakukan baik dalam ruang lingkup akademis maupun
tugas-tugas dalam kehidupan sehari-hari. Ellis dan Knaus (Ferrari dkk, 1995)
memperkirakan ada lebih dari 70% mahasiswa melakukan prokrastinasi
akademik. Burno (Syafi’i, 2001) menyebutkan bahwa 60% mahasiswa
menyatakan bahwa perilaku menunda-nunda tugas (prokrastinasi) sebagai
perilaku buruk mereka. Biordy dan Aitken (Ferrari dkk., 1995) dalam penelitian
yang terpisah menemukan bahwa 20-25% pelajar atau mahasiswa melakukan
prokrastinasi yang dirasakan menimbulkan masalah bagi dirinya. Hal senada juga
diutarakan oleh Hill, Hill, Chabot, dan Barral dengan hasil suvei yang mereka
lakukan (Ferrari dkk., 1995), yang menyebutkan bahwa kurang lebih 50%
mahasiswa yang menjadi subjek penelitiannya mengaku melakukan prokrastinasi
terhadap tugas akademis mereka. Penelitian tentang prokrastinasi ini juga telah
dilakukan di Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan Rizvi (1997) menunjukkan
bahwa 69% mahasiswa Fakultas Psikologi UGM melakukan prokrastinasi
akademik, bahkan 11%nya digolongkan pada taraf berat.
Permasalahan yang terjadi pada saat ini adalah walaupun sudah mulai
timbul kesadaran mahasiswa bahwa kecenderungannya suka melakukan
prokrasatinasi akademik akan menimbulkan masalah pada diri mereka sendiri,
mereka masih tetap melakukannya. Hasil survey yang dilakukan oleh Hill, Hill,
Chabot, dan Barral pada tahun 1976 (Ferrari dkk., 1995) yang menyebutkan
bahwa 66% mahasiswa tingkat pertama menyatakan bahwa mereka jarang
melakukan prokrastinasi. Hal ini berkebalikan dengan mahasiswa pada tingkat
10
yang lebih senior, yang menyatakan bahwa hanya 43% yang jarang melakukan
prokrastinasi, atau dengan kata lain sebanyak 57% mahasiswa senior dinyatakan
sebagai pelaku prokrastinasi. Hasil survey tersebut juga menyatakan bahwa
dalam rentang waktu selama tiga tahun, dimana terjadi proses perubahan status
mahasiswa baru (mahasiswa tingkat pertama) menjadi mahasiswa senior, ada
peningkatan kurang lebih sebesar 50% dalam diri mereka untuk melakukan
prokrastinasi. Berdasarkan hasil penelitian Semb, Elick dan Spencer (Solomon &
Rothblum, 1984), disebutkan bahwa prokrastinasi akademik cenderung
meningkat dengan semakin lamanya masa studi seorang mahasiswa di
perguruan tinggi. Berdasarkan penjabaran diatas dapat diartikan bahwa
mahasiswa yang menempuh masa studi yang lama berkemungkinan mempunyai
tingkat prokrastinasi yang tinggi. Semakin lama masa studi yang ditempuh
seorang mahasiswa, maka semakin tinggi dan parah pula tingkat prokrastinasi
yang dimilikinya.
Kemungkinan adanya hubungan antara lamanya masa studi mahasiswa
dengan tingginya tingkat prokrastinasi yang dimilikinya dapat dilihat pada
mahasiswa Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri Universitas
Islam Indonesia (UII). Berdasarkan data dari Biro Administrasi Akademik dan
Kemahasiswaan (BAAK) UII dan Sistem Informasi Manajemen (SIM) Fakultas
Teknologi Industri UII, mahasiswa Jurusan Teknik Informatika yang terdaftar
aktif kuliah pada semester ganjil 2004-2005 dengan masa studi lebih dari lima
tahun sebanyak 93 orang. Berdasarkan data yang diperoleh dari jumlah
mahasiswa yang melakukan heregistrasi sampai dengan semester ganjil tahun
2005 tersebut, mahasiswa yang mempunyai masa studi paling lama adalah
11
mahasiswa yang masuk pada tahun ajaran 1996/1997 (angkatan 1996) sebanyak
1 orang. Berdasarkan kebijakan yang berlaku di Fakultas Teknologi Industri UII
(Buku Panduan Akademik Fakultas Teknologi Industri UII 2003-2004), mengenai
lamanya masa studi mahasiswa ilmu eksakta yang maksimal adalah 16 semester,
mahasiswa ini atau mahasiswa-mahasiswa lainnya yang mengalami masalah
yang sama dengan mahasiswa tersebut akan terancam drop out, jika tahun 2006
ini tidak dapat menyelesaikan kuliahnya. Bahkan jika mahasiswa tersebut tidak
pernah mengambil cuti kuliah dengan masa cuti maksimal, yaitu empat
semester, maka seharusnya mahasiswa tersebut sudah didrop out. Jika hal ini
terjadi, maka banyaknya biaya kuliah dan biaya hidup yang sudah dikeluarkan
selama ini menjadi terbuang percuma.
Adanya fenomena yang terjadi seperti yang diuraikan di atas
menginspirasikan penulis untuk melakukan sebuah penelitian tentang
prokrastinasi ini. Asumsi penulis mengenai penyebab mahasiswa tersebut
melakukan prokrastinasi adalah karena selama ini, dalam menghadapi situasi
yang menimbulkan stres, terutama situasi dimana mereka dihadapkan dengan
tugas-tugas akademisnya yang menumpuk, mahasiswa tersebut tidak
menghadapi masalah tersebut secara langsung, tapi melakukan hal-hal yang
dapat membuat afeksi mereka nyaman.
Asumsi penulis mengenai permasalahan penelitian ini adalah ada
hubungan antara EFC dengan prokrastinasi akademik pada mahasiswa, yakni
mahasiswa Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri Universitas
Islam Indonesia.
12
Penelitian ini menjadi penting dilakukan mengingat dampak dari
kebiasaan melakukan perilaku prokrastinasi dapat menimbulkan konsekuensi
negatif. Dengan melakukan prokrastinasi, banyak waktu yang terbuang sia-sia,
tugas yang seharusnya dapat diselesaikan jauh-jauh hari sebelum hari H
(deadline tugas tersebut harus dikumpulkan) dengan perilaku prokrastinasi
jarang yang dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Bila tugas tersebut dapat
terselesaikan tepat waktu hasilnya pun tidak akan sebagus dan semaksimal tugas
yang dikerjakan dengan menggunakan waktu yang cukup lama. Selain waktu
yang terbuang percuma, prokrastinasi akan mengakibatkan individu kehilangan
peluang dan kesempatan yang datang pada dirinya, bila perilaku ini terus
diulang. Rothblum, Solomon, dan Murakami menyatakan bahwa kebiasaan ini
akan berdampak negatif dalam kehidupan akademisnya (Nurpitasari, 2001). Bila
perilaku ini diulang terus-menerus dapat menyebabkan masa studi mahasiswa
prokrastinator menjadi semakin lama dan sudah tentu hal ini akan menyebabkan
penambahan biaya kuliah dan biaya hidup yang tidak sedikit.
Dengan penelitian ini diharapkan para prokrastinator akan tersadar akan
akibat buruk dari tindakan mereka selama ini dan dapat segera mengatasi dan
menghentikan perilaku prokrastinasinya itu.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara Emotion
Focused Coping dengan perilaku Prokrastinasi Akademik pada mahasiswa. Selain
itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui tingkat Prokrastinasi
13
Akademik dan tingkat Emotion Focused Coping pada mahasiswa yang menjadi
subjek penelitian.
Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis penelitian ini adalah hasil penelitian ini dapat menjadi
tambahan wacana/ pengetahuan di bidang psikologi, khususnya dalam bidang
psikologi pendidikan dan psikologi kesehatan.
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah hasil penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi para subjek penelitian, dimana jika hasil penelitian
menunjukkan bahwa subjek berada pada kategori prokrastinasi yang sangat
tinggi, tinggi, maupun sedang, mereka akan menyadari tingakat prokrastinasi
yang dimiliknya, sehingga mereka diharapkan dapat menghentikan dan
mengantisipasi perlaku prokrastinasinya tersebut. Hasil penelitian ini juga dapat
memberikan gambaran kategorisasi tingkat EFC pada diri subjek, sehingga
subjek nantinya dapat menilai apakah strategi yang digunakannya selama ini
efektif bagi dirinya, akan mempertahankan penggunaan strategi ini, atau akan
mengkombinasikannya dengan strategi coping jenis yang lain. Selain itu, manfaat
penelitian ini bagi teman-teman mahasiswa, terutama bagi mereka yang tertarik
dengan penelitian yang sama atau yang ingin melanjutkan penelitian ini, dan
bagi lembaga-lembaga yang memerlukan hasil penelitian ini, diharapkan dapat
memberikan suatu informasi dan pengetahuan yang lebih up to date, yang dapat
mempermudah mereka ketika akan melakukan penelitian ataupun melanjutkan
penelitian yang sama.
14
Keaslian Penelitian
Penelitian-penelitian tentang prokrastinasi maupun strategi coping telah
banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Namun penelitian mengenai
hubungan antara Emotion Focused Coping dengan Prokrastinasi Akademik pada
mahasiswa belum pernah dilakukan.
Penelitian-penelitian yang mengandung kemiripan atau kesamaan dengan
penelitian ini adalah skripsi Risma Mulia yang berjudul Hubungan antara Pola
Asuh Demokratis Orang Tua dengan Optimisme, Problem Focused Coping dan
Emotion Focused Coping pada Remaja Awal. Hasil penelitiannya ada hubungan
positif antara pola asuh demokratis orang tua dengan optimisme, ada hubungan
yang positif antara pola asuh demokratis orang tua dengan strategi Problem
Focused Coping, dan ada hubungan yang positif antara pola asuh demokratis
orang tua dengan strategi Emotion Focused Coping.
Penelitian lain yang menggunakan variabel yang sama atau mengandung
kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah skripsi yang
disusun oleh Syafi’i Muhammad yang berjudul Hubungan antara Kecemasan
Menghadapi Masalah dengan Prokrastinasi Akademik pada Mahasiswa yang
Sedang Mengerjakan Skripsi. Hasil penelitian ini adalah ada hubungan positif
antara kecemasan menghadapi masalah dengan prokrastinasi akademik pada
mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Naf’an Arifian, salah seorang
mahasiswa fakultas Psikologi UGM melakukan penelitian dengan judul Hubungan
antara Emotion Focused Coping dengan Prokrastinasi Akademik dalam
Mengerjakan Skripsi. Hasil penelitian Naf’an adalah ada hubungan positif yang
sangat signifikan antara EFC dengan prokrastinasi akademik.
15
Tinjauan Pustaka
Prokrastinasi
Menurut Desimore (Ferrari dkk., 1995), istilah prokrastinasi berasal dari
kata kerja latin “procrastinare”, yang secara harafiah berarti, menangguhkan
atau menunda sampai hari berikutnya. Kata ini merupakan suatu kumpulan dari
dua kata, “Pro” yang berarti dorongan dan “Crastinate” berasal dari bahasa latin
“Cratinus” yang berarti sampai hari esok. Definisi prokrastinasi menurut Desimore
adalah menunda melakukan pekerjaan hingga esok hari, dan tidak mungkin tidak
akan dilakukan secara terus-menerus atau berkelanjutan (Ferrari dkk., 1995). Hal
senada juga terdapat dalam American College Dictionary (Burka dan Yuen, 1983)
yang menyebutkan bahwa kata prokrastinasi berasal dari kata “Procrastinate”
yang berarti sama dengan yang disebutkan di atas, yaitu menunda untuk
melakukan sampai waktu atau hari beriktunya.
Definisi prokrastinasi menurut Ellis dan Knaus (Syafi’i, 2001) adalah suatu
kegagalan untuk memulai maupun menyelesaikan suatu tugas atau aktivitas
pada waktu yang ditentukan. Selain itu mereka juga menyebutkan bahwa
prokrastinasi merupakan hasil dari penyimpangan kognisi, yaitu terbentuknya
pola pikir yang salah. Burka dan Yuen (Burka dan Yuen, 1983; Ferrari, dkk.,
1995) mendefinisikan prokrastinasi sebagai perilaku menunda pengerjaan tugas.
Burka dan Yuen serta Ellis dan Knaus, menyebutkan bahwa perilaku
prokrastinasi atau penundaan yang kronis pada umumnya dipandang oleh
individu yang berorientasi pada sesuatu yang efisien dan tepat waktu sebagai
suatu yang mengganggu dan termasuk tindakan yang irasional (Ferrari dkk.,
1995). Burka dan Yuen (1983) mengatakan bahwa seorang prokrastinator
16
(pelaku prokrastinasi) memiliki aspek irasional dalam memandang suatu tugas
karena individu tersebut berpikir bahwa suatu tugas harus dikerjakan secara
sempurna, sehinggga dia merasa aman untuk melakukan penundaan dalam
menyelesaikan tugas tersebut daripada mengambil resiko dan mengalami
kegagalan dalam pengerjaannya. Selain itu, prokrastinator juga melakukan
persiapan diri yang berlebihan dalam mengerjakan tugas, seperti mengumpulkan
bahan untuk dipelajari selengkap mungkin dan tidak akan memulai pengerjaan
tugas jika belum mendapatkan semua bahan yang diperlukannya. Menurutnya
pula, seorang prokrastinatinator akan mengalami “lingkaran prokrastinasi”, yang
artinya seseorang dapat melakukan prokrastinasi secara berulang-ulang pada
suatu tugas dan tugas-tugas lain.
Solomon dan Rothblum (1984) mengungkapkan bahwa prokrastinasi
adalah penundaan yang tidak berguna (needless) dalam menyelesaikan tugas.
Masih menurut mereka, seorang prokrastinator sadar jika dirinya menunda tugas
yang penting dan bermanfaat bagi dirinya dengan melakukan sesuatu yang tidak
perlu yang nantinya mengakibatkan perasaan yang tidak menyenangkan. Yang
dimaksud dengan sesuatu yang dinilai tidak perlu dalam hal ini diantaranya
adalah melakukan hal-hal yang lebih menyenangkan dan tidak berhubungan
dengan tugas yang seharusnya dikerjakannya, seperti jalan-jalan, membaca
komik, novel, majalah, menonton tv, dan lain-lain.
Prokrastinasi bisa dilakukan oleh tiap individu baik laki-laki, maupun
perempuan dengan latar belakang usia yang beragam, baik anak-anak, remaja,
dewasa, maupun individu yang sudah tua. Prokrastinasi juga dapat terjadi pada
berbagai bidang kehidupan, baik bidang pendidikan, lingkungan kerja, maupun
17
dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal ini diungkapkan Ferrari dkk. (1995), yang
menerangkan bahwa dalam beberapa penelitian tentang prokrastinasi,
ditemukan bahwa prokrastinasi merupakan suatu masalah yang kompleks yang
menimpa pada sebagian besar masyarakat secara luas maupun pada lingkungan
akademis.
Proses Terbentuknya Prokrastinasi
Berikut ini akan disampaikan beberapa pendekatan yang menjelaskan
penyebab munculnya perilaku ini, diantaranya adalah Teori Psikodinamika, Teori
Reinforcement, dan Teori Cognitive Behavioral.
a. Psikodinamika
Van der Kolk menyebutkan bahwa menurut teori ini, individu melakukan
prokrastinasi sebagai akibat dari pengalaman masa lalu atau pengalaman pada
masa kanak-kanaknya, terutama pengalaman trauma pada masa kanak-kanak
(Ferrari, dkk., 1995). Selain itu, disebutkan pula bahwa penggunaan pola
pengasuhan anak yang salah juga merupakan penyebab munculnya prokrastinasi
pada masa dewasa (Ferrari, dkk., 1995). MacIntyre (Ferrari, dkk., 1995)
mengungkapkan bahwa jika salah satu dari orang tua mendidik anak dengan
cara yang keras dapat menyebabkan permasalahan prokrastinasi ini.
b. Teori Reinforcement
Menurut teori Classical Learning yang menitikberatkan pada punishments
(hukuman) dan reward (hadiah), prokrastinasi sering terjadi pada para
mahasiswa yang mendapatkan reward ketika melakukan prokrastinasi, atau
terjadi pada para mahasiswa yang tidak mendapat punishment yang cukup
18
ketika melakukan prokrastinasi (Ferrari dkk., 1995). Perilaku prokrastinasi ini
cenderung akan diulang jika tidak ada hukuman yang menyertainya.
Berbeda dengan teori di atas, sesuai dengan pernyataan Skiner (Ferrari
dkk., 1995) yang menyebutkan bahwa perilaku ada karena mendapat penguatan,
maka mahasiswa yang melakukan prokrastinasi mungkin memiliki pengalaman
bahwa mereka sukses ketika menjadi seorang prokrastinator, atau menurut
Bijou, Morris, & Parsons, mereka lebih menyukai tugas lain yang lebih
menguatkan daripada belajar (Ferrari dkk., 1995). Hal ini dikuatkan dengan
pernyataan McCown dan Johnson (Ferrari dkk., 1995), yang menyatakan bahwa
mahasiswa melakukan penghindaran belajar dengan cara melakukan aktivitas
lain yang lebih menguatkan daripada belajar. Aktivitas yang lebih menguatkan,
yang dimaksudkan di sini adalah aktivitas yang dinilai lebih menyenangkan
daripada belajar. Hal senada juga diutarakan Solomon dan Rothblum (1984)
yang mengatakan bahwa faktor umum penyebab prokrastinasi pada mahasiswa
adalah tugas yang tidak menyenangkan.
c. Teori Cognitive-Behavoiral
Menurut teori ini, prokrastinasi muncul karena adanya kesalahan berpikir
dan adanya pikiran-pikiran yang irrasional terhadap tugas. Penelitian klinis yang
dilakukan Ellis dan Knaus (Ferrari dkk., 1995), menunjukkan ada hubungan
antara prokrastinasi dengan ketakutan irrasional (Irrational fear) dan self-
criticism (kritisisme-diri). Menurut mereka, prokrastinator sering tidak percaya
pada kemampuan mereka dalam menyelesaikan tugas. Karena itu, prokrastinator
menunda untuk memulai pengerjaan tugas. Contoh yang diberikan Ellis dan
19
Knaus, serta Solomon dan Rothblum tentang ketakutan irrasional ini adalah takut
gagal dalam menyelesaikan tugas (Ferrari dkk., 1995; Solomon & Rothblum,
1984).
Ciri-ciri Prokrastinasi
Menurut Schouwenburg (Ferarri dkk., 1995) berbagai bentuk
prokrastinasi mempunyai ciri-ciri yang sama, yang dapat diamati dan diukur. Ciri-
ciri tersebut antara lain:
a. Adanya penundaan untuk memulai mengerjakan tugas. Prokrastinator
sebenarnya tahu bahwa tugas yang sedang dihadapinya harus segera
diselesaikan dan berguna bagi dirinya, namun individu yang bersangkutan
menunda untuk mulai mengerjakan tugas tersebut. Disamping itu, jika
individu tersebut sudah mulai mengerjakan tugas, maka dia akan menunda
untuk menyelesaikannya hingga tuntas.
b. Adanya kelambanan dalam menyelesaikan tugas. Seorang prokrastinator
memerlukan waktu yang lebih lama daripada waktu yang dibutuhkan pada
umumnya dalam mengerjakan suatu tugas. Mereka menghabiskan waktu
yang dimilikinya untuk mempersiapkan diri secara berlebihan, maupun
melakukan hal-hal yang tidak dibutuhkan dalam penyelesaian suatu tugas,
tanpa memperhitungkan keterbatasan waktu yang dimilikinya. Kelambanan,
dalam arti lambannya kerja seseorang dalam melakukan suatu tugas, dapat
menjadi ciri utama dalam prokrastinasi akademik (Ghufron, 2003).
20
c. Adanya kesenjangan waktu antara rencana dengan pelaksanaan. Seorang
prokrastinator mengalami kesulitan dalam melakukan suatu tugas sesuai
dengan batas waktu yang telah ditentukan sebelumnya.
d. Gemar melakukan aktivitas lain yang dirasa lebih menyenangkan daripada
mengerjakan tugas yang harus dikerjakannya. Seorang prokrastinator dengan
sengaja tidak segera melakukan tugasnya, akan tetapi menggunakan waktu
yang dia miliki untuk melakukan aktivitas lain yang dipandang lebih
menyenangkan dan mendatangkan hiburan, sehingga menyita waktu yang
dia miliki untuk mengerjakan tugas yang harus dia selesaikan (Ghufron,
2003).
Faktor-Faktor Penyebab Prokrastinasi
Solomon dan Rothblum (1984) melakukan penelitian terhadap mahasiswa
yang melakukan prokrastinasi dan mengategorikan penyebab prokrastinasi
menjadi 2 faktor utama, yaitu:
a. Takut gagal (Fear of Failure). Takut gagal atau motif menolak kegagalan
menurut Weiner (Rivzi, dkk., 1997), adalah suatu kecenderungan individu
yang akan mengalami perasaan bersalah apabila tidak dapat mencapai tujuan
atau gagal.
b. Menolak tugas (aversiveness of the task) dan malas (Laziness). Sikap ini bisa
diakibatkan karena adanya perasaan ketidaksukaan individu terhadap tugas
yang menjadi tanggungannya. Ini mencerminkan akan adanya kekurangan
energi yang dimiliki individu prokrastinator dan tugas yang dihadapinya dinilai
tidak menyenangkan.
21
Bentuk-Bentuk Prokrastinasi
Enam gaya prokrastinasi menurut Sapadin dan Maguire (Syafi’i, 2001)
adalah sebagai berikut:
a. Perfectionis, yaitu ketakutan individu dalam mengerjakan sesuatu yang dirasa
kurang sempurna.
b. Dreamer, yaitu individu mempunyai ide-ide besar, tetapi tidak dapat
melakukannya. Prokrastinator lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
mempersiapkan diri, namun sebenarnya berlebihan sehinggga dia menunda
mengerjakan tugas tersebut.
c. Worrier, yaitu individu merasa takut apa yang dilakukannya akan buruk atau
gagal dan tidak berfikir bahwa tugas dapat berjalan dengan baik. Individu
merasa tidak dapat mengerjakan tugas dengan baik.
d. Defier, yaitu individu suka menentang, tidak mau diperintah/ dinasehati oleh
orang lain. Individu tersebut disebut penunda karena berlawanan dengan
kebiasaan pada umumnya.
e. Crisis-maker, individu sering membuat masalah dalam pekerjaannya yang
disebabkan karena keterlambatannya memulai pekerjaan tersebut.
f. Over-doer, yaitu terlalu banyaknya tugas yang harus dikerjakannya. Indvidu
prokrastinator selalu mengatakan”Ya” pada tugas yang diberikan kepadanya,
namun cenderung kurang dapat membagi waktu, kurangnya sumber daya
yang ada, dan kurang dapat menyelesaikan konflik yang terjadi.
Berbeda dengan pendapat Sapadin dan Maguire di atas, Ferrari dkk.
(1995) membedakan Prokrastinasi menjadi 2 bentuk, yaitu:
22
a. Prokrastinasi Fungsional, yaitu penundaan pelaksanaan tugas yang bertujuan
untuk memperoleh informasi/data yang lebih lengkap dan akurat sehingga
tugas dapat diselesaikan dengan baik
b. Prokrastinasi Disfungsional, yaitu penundaan penyelesaian tugas tanpa arah
tujuan yang jelas dan menggantikan dengan pekerjaan lain yang tidak
bermanfaat sehingga berakibat buruk, menimbulkan masalah, dan
membuang waktu percuma.
Prokrastinasi Akademik
Prokrastinasi dapat terjadi pada beberapa jenis pekerjaan. Peterson
(Alyna, 2004) menyatakan bahwa seseorang dapat melakukan prokrastinasi
hanya pada hal-hal tertentu saja, atau pada semua hal. Ferrari dkk. (1995),
menerangkan bahwa dalam beberapa penelitian tentang prokrastinasi,
ditemukan bahwa prokrastinasi merupakan suatu masalah yang kompleks yang
menimpa pada sebagian besar masyarakat secara luas maupun pada lingkungan
akademis. Hal ini diperjelas oleh Peterson (Alyna, 2004) yang mengatakan bahwa
jenis-jenis tugas yang sering ditunda oleh prokrastinator yaitu tugas pembuatan
keputusan, tugas-tugas rumah tangga, aktivitas akademik, pekerjaan kantor, dan
lainnya.
Alyna (2004) mengatakan bahwa para ahli sering menggunakan istilah
prokrastinasi akademik dan non-akademik untuk membagi jenis–jenis tugasnya.
Prokrastinasi akademik adalah jenis penundaan yang dilakukan pada jenis tugas
formal yang berhubungan dengan bidang akademik, misalnya tugas sekolah atau
tugas kursus. Sedangkan prokrastinasi non-akademik adalah penundaan yang
23
dilakukan pada jenis tugas non formal atau tugas yang berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari, misalnya tugas rumah tangga, tugas kantor, dan
sebagainya (Alyna, 2004).
Berdasarkan penjabaran di atas dan definisi prokrastinasi yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka definisi prokrastinasi akademik adalah perilaku
menunda-nunda pelaksanaan tugas-tugas akademis yang penting dan
bermanfaat bagi diri mahasiswa prokrastinator, yang disadarinya dan
menggantinya dengan melakukan sesuatu yang tidak perlu, yang nantinya
mengakibatkan perasaan yang tidak menyenangkan pada diri mahasiswa pelaku
prokrastinasi tersebut.
Solomon dan Rothblum (Rivzi, A., Prawitasari, J. E. & Soetjipto, H. P.
1997; Solomon & Rothblum, 1984) membagi enam area akademik dimana biasa
terjadi prokrastinasi. Enam area akademik tersebut, yaitu:
a. tugas menulis.
b. belajar menghadapi ujian.
c. tugas membaca per minggu.
d. tugas administratif.
e. menghadiri pertemuan.
f. tugas akademik lainnya pada umumnya.
Pengertian Coping
Atkinson dkk. (2001) mendefinisikan coping sebagai proses yang
digunakan individu untuk menangani tuntutan yang menimbulkan stres. Individu
24
akan melakukan coping ketika dihadapkan pada situasi tidak nyaman, yang
ditimbulkan oleh situasi stres.
Lazarus dan Folkman serta Lazarus dan Launier (Folkman, 1984),
menjelaskan coping sebagai usaha perilaku dan kognitif untuk menguasai,
mengurangi atau bertahan terhadap tuntutan internal dan atau eksternal yang
ditimbulkan oleh situasi yang penuh stres. Usaha untuk mengelola tuntutan ini
dilakukan tanpa menghiraukan sukses atau tidaknya hasil dari usaha yang
dilakukan. Coping juga dapat diartikan sebagai suatu proses dinamik dari suatu
pola tingkah laku maupun pikiran-pikiran seseorang yang secara sadar digunakan
untuk mengatasi tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan atau
menegangkan (Stone & Neale, 1984).
Lazarus dan Folkman (Sarafino, 1998; Smet, 1994; Taylor, 1995)
mendefinisikan coping sebagai suatu proses dimana individu mencoba mengelola
ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan, baik tuntutan dari dalam diri individu
maupun dari lingkungan dengan kemampuan yang digunakannya dalam
menghadapi situasi stressful. Lazarus (Taylor, 1995) menyebutkan bahwa coping
terdiri dari usaha, perilaku dan intrapsikis untuk mengelola tuntutan internal dan
eksternal bahkan pertentangan diantara keduanya yang diprediksi melebihi
kemampuan individu untuk mengatasinya.
Sarafino (1998) mengemukakan bahwa proses coping bukanlah peristiwa
tunggal, karena proses ini melibatkan transaksi dengan lingkungan. Individu
dapat melakukan coping melalui transaksi antara perilaku dan kognitif dengan
lingkungan. Menurut Skiner (Suciyani, 2004), coping dapat dicapai melalui
pengaturan emosi, perilaku, dan orientasi. Coping dapat dicapai bergantung pada
25
asal munculnya distress, yang dapat timbul dari diri sendiri atau yang berasal
dari lingkungan. Ketika stressor dipandang sebagai sebuah tantangan, maka
coping yang dilakukan bersifat cenderung lebih adaptif dan konstruktif. Begitu
pula sebaliknya, bila stressor dipandang individu sebagai sebuah ancaman, maka
coping yang akan dipakai adalah jenis coping yang bersifat tidak konstruktif dan
menghindar.
Lazarus dan Folkman (Carver dkk, 1989) membagi proses individu dalam
menghadapi masalah (coping) ini ke dalam tiga tahapan, yaitu:
a. Primary Appraisal, yaitu tahapan dimana individu merasakan adanya suatu
masalah.
b. Secondary Appraisal, yaitu tahapan penilaian kognitif individu terhadap
masalah tersebut.
c. Coping, yaitu proses penentuan respon dan strategi yang akan digunakan
individu untuk mengatasi masalah tersebut.
Bentuk dari strategi coping terdiri dari dua bentuk utama, yaitu PFC dan
EFC (Atkinson, 2001; Safarino, 1998; Smet, 1994; Taylor, 1995; Suciyani, 2004).
a. Problem Focused Coping (PFC)
Problem Focused Coping (PFC) merupakan coping yang digunakan
individu dengan cara memfokuskan pada masalah atau situasi spesifik yang telah
terjadi, sambil mencoba menemukan cara untuk mengubahnya atau
menghindarinya di kemudian hari. Strategi ini dapat diarahkan ke dalam, artinya
individu dapat mengubah sesuatu pada dirinya sendiri dan bukan mengubah
lingkungan (Atkinson dkk, 2001). Sharp dan Cowie (Suciyani, 2004)
mendefinisikan PFC sebagi usaha untuk mencari solusi dari situasi stres dimana
26
PFC diarahkan untuk mengubah stressor. Sedangkan Taylor (1995)
mengemukakan bahwa PFC merupakan usaha untuk melakukan sesuatu yang
bersifat konstruktif pada situasi stres yang merugikan, mengancam, dan
menantang individu.
Smet (1994) dan Sarafino (1998) mengungkapkan bahwa strategi PFC
cenderung digunakan, bila individu menilai situasi yang dihadapinya dapat
dikendalikan dan diatasi. Folkman dan Lazarus (Diponegoro & Thalib, 2001)
mengungkapkan bahwa PFC mengarah pada usaha individu untuk mengurangi
atau menghilangkan stres dengan cara menghadapi masalah yang menjadi
penyebab timbulnya stres secara langsung. Contoh perilaku coping yang
menggunakan PFC antara lain; membebaskan situasi stres, negosiasi dengan
tekanan, mencari jadwal belajar baru, memilih alternatif untuk mencapai tujuan,
mencari terapi medis atau psikologis, dan mempelajari kemampuan yang baru
(Safarino, 1998). Contoh lain strategi ini adalah mengubah tingkat aspirasi,
menemukan sumber pemuasan alternatif dan mempelajari kecakapan baru
(Atkinson dkk., 2001; Smet, 1994).
b. Emotion Focused Coping (EFC)
Lazarus dan Folkman (Atkinson dkk, 2001) mendefinisikan Emotion
Focused Coping (EFC) sebagai coping yang digunakan individu dengan
memfokuskan pada usaha untuk menghilangkan emosi yang berhubungan
dengan situasi stres, walaupun situasinya sendiri tidak dapat diubah. Folkman
dan Lazarus (Diponegoro & Thalib, 2001) mengungkapkan bahwa EFC
merupakan usaha-usaha individu untuk mengurangi atau menghilangkan stres
yang dirasakannya tidak dengan cara menghadapinya secara langsung, tetapi
27
lebih pada usaha untuk mempertahankan keseimbangan afeksinya. Hal ini
senada dengan pengertian EFC yang dikemukakan oleh Sharp dan Cowie
(Suciyani, 2004), yaitu EFC merupakan usaha untuk menyesuaikan reaksi emosi
individu dengan stressor. EFC digunakan untuk mengatur respon emosional
terhadap stres (Smet, 1994). EFC tidak mengubah situasi, tetapi membantu
individu agar merasa lebih baik. EFC meliputi usaha untuk mengatur konsekuensi
emosional pada peristiwa stres (Taylor, 1995).
Individu menggunakan strategi EFC untuk mencegah emosi negatif
menguasai dirinya dan untuk mencegahnya melakukan tindakan untuk
memecahkan masalahnya. Hal ini dilakukan jika suatu masalah tidak dapat
dikendalikan (Atkinson dkk, 2001). Hal senada juga diungkapkan Smet (1994)
yang menyatakan bahwa individu yang merasa tidak mampu dan tidak berdaya
dalam menghadapi situasi stressful cenderung menggunakan strategi ini. EFC
lebih mengarah pada mengontrol respon emosi terhadap situasi yang
mendatangkan stres.
Penggunaan strategi coping pada individu tergantung pada masalah yang
dihadapinya. Maka dari itu, strategi coping yang tepat digunakan untuk suatu
jenis masalah tertentu belum tentu tepat dan berhasil digunakan untuk jenis
masalah yang lain. Seseorang cenderung menggunakan PFC apabila masalah
yang dihadapinya dapat dikendalikan, begitu pula sebaliknya seseorang yang
tidak dapat mengendalikan masalah yang dihadapinya cenderung menggunakan
EFC. Namun, saat menghadapi situasi stres, sebagian besar individu melakukan
kedua strategi tersebut (Atkinson, dkk, 2001).
28
Aspek-Aspek Emotion Focused Coping
Aspek-Aspek Emotion Focused Coping (EFC) berdasarkan pendapat
Cohen dan Lazarus, Pearlin dan Schooler, Moos dan Schaefer (Suciyani, 2004),
antara lain:
a. Seeking information, yaitu usaha untuk mencari informasi mengenai
masalah yang dihadapi.
b. Direct action, merupakan tindakan yang dilakukan saat menghadapi situasi
stres. Tindakan yang dilakukan pengguna EFC ini mungkin tidak berkaitan
dengan situasi stres, namun dapat membantu individu untuk melepaskan
diri dari situasi stres.
c. Turning to others, yaitu usaha untuk mencari dukungan dari orang-orang
yang ada di sekitarnya, seperti keluarga dan teman.
d. Emotional discharge, individu akan mengekspresikan, menyalurkan atau
melepaskan perasaannya ketika mengalami situasi stres.
e. Intrapsychic pcrocess, individu menggunakan strategi kognitif (berpikir)
saat menghadapi situasi yang mendatangkan stres. Yang termasuk dalam
strategi ini antara lain, mengubah makna dari situasi stres dan menolak
kejadian yang tidak menyenangkan.
f. Resigned acceptance, individu menerima situasi yang mendatangkan stres
dengan pasrah, tanpa melakukan usaha dalam menghadapi situasi stres
tersebut.
Folkman, Lazarus, dan rekan kerja mereka menguraikan aspek-aspek EFC
dalam Ways of Coping with Stressful Situations (Sarafino, 1998; Taylor, 1995),
yaitu:
29
a. Seeking social support (dalam Taylor (1995), hanya masuk dalam kategori
strategi PFC), yaitu usaha individu untuk memperoleh informasi atau bantuan
emosional dari orang lain. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kenyamanan
emosional. Contohnya individu akan berbicara pada orang lain mengenai
masalahnya agar mendapatkan support dan kenyamanan emosional dari
orang tersebut.
b. Distancing, usaha kognitif individu untuk melepaskan diri dari situasi stres
yang dihadapinya. Contohnya pernyataan individu, “Aku tidak akan
membiarkan masalah ini menghampiriku. Aku menolak untuk memikirkannya
terlalu banyak.”
c. Escape-avoidance, individu berpikir dan mengkhayalkan tentang situasi
stress, contohnya individu berharap situasi stres akan hilang dengan
sendirinya, atau individu yang melakukan escape-avoidance akan melakukan
suatu tindakan sebagai usahanya untuk melepaskan diri atau menghindari
situasi stres yang mungkin dilakukan dengan tidur, makan, minum minuman
keras, merokok, menggunakan obat-obatan terlarang (drugs) atau menjalani
pengobatan, dan lain-lain.
d. Self-control, usaha individu untuk mengatur perasaan atau tindakannya yang
berhubungan dengan masalah. Contohnya pernyataan individu, “Aku
mencoba untuk menyimpan dan menyembunyikan perasaanku sendiri.”
e. Accepting responsibility, individu mengakui perannya dalam masalah yang
terjadi. Individu tersebut juga mencoba memperbaiki kesalahan yang
diperbuatnya. Contohnya pernyataan, “Aku mengkritik dan memaki diri
30
sendiri atas kejadian ini dan aku berjanji akan melakukan tindakan
pencegahan agar masalah ini tidak terjadi lagi.”
f. Positive reappraisal, berusaha menciptakan makna positif dari pengalaman
atau situasi stres yang terkait dengan perkembangan pribadi, kadang-kadang
dengan suatu sifat/tanda religius. Contohnya adalah individu yang mengalami
masalah akan menjadi lebih baik atau lebih kuat dengan pengalaman yang
dimilikinya ini atau individu menjadi merasa bahwa keimanannya telah
berkembang menjadi lebih kuat.
Adapun aspek–aspek EFC yang diutarakan Aldwin & Revenson (Mulia,
2002) adalah sebagai berikut:
a. Pelarian diri dari masalah (Escaping), usaha individu dalam menghadapi
masalah yang dilakukan dengan cara menghindar dan mencari-cari
pemecahan yang dianggap dapat melupakan tekanan masalah.
b. Meringankan beban masalah (Minimization), individu berusaha membuat
tekanan masalah menjadi seringan mungkin.
c. Menyalahkan diri sendiri (Self blaming), perasaan menyesal dan menyalahkan
diri sendiri atas segala tekanan masalah.
d. Mencari makna (Seeking meaning), individu berusaha mengambil nilai-nilai
positif atau mencari hikmah dari kegagalan yang dialami tanpa melakukan
tindakan langsung dan segera untuk mengatasi masalah yang sedang
dihadapinya.
31
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emotion Focused Coping
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkah laku coping
seseorang. Kobasa (Suciyani, 2004) mengemukakan bahwa perbedaan
karakteristik kepribadian dan pengalaman yang diperoleh individu selama
hidupnya akan mempengaruhi kecenderungannya menggunakan strategi coping
tertentu dalam menghadapi masalah. Hal senada diungkapkan juga oleh
Atkinson dkk. (2001) yang mengemukakan bahwa kecakapan individu dalam
menerapkan strategi coping tergantung pada pengalaman dan kapasitasnya
untuk mengendalikan diri.
Taylor (1995) menyebutkan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi
individu dalam melakukan coping. Kedua faktor itu adalah yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri
sendiri, seperti karateristik sifat kepribadian, dan metode (cara) coping yang
digunakan. Faktor kedua adalah faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari
luar diri individu, yang antara lain: waktu, uang, pendidikan, standar hidup,
dukungan keluarga, dan sosial serta tidak adanya stressor yang lain.
Dinamika Psikologis antara Emotion Focused Coping dengan
Prokrastinasi Akademik
Mahasiswa, sebagai siswa yang memiliki satatus pendidikan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa yang lain, memiliki tugas kehidupan yang
banyak dan beragam dibandingkan ketika mereka masih berada di bangku
sekolah. Mereka juga dituntut untuk aktif, baik aktif di organisasi, maupun
kegiatan-kegiatan lain yang mendukung tugas-tugas akademis dan tugas
32
kehidupan mereka sebagai seorang mahasiswa. Berdasarkan Kusumah
((http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/18/1105.htm., 08/12/05), tiga
aspek yang menjadi konsekuensi identitas mahasiswa, yaitu pertama, aspek
akademis, aspek organisasional, dan aspek sosial politik, seperti yang telah
diuraikan pada bab1.
Banyaknya dan beragamnya tugas-tugas kehidupan yang dimiliki seorang
mahasiswa yang dirasa sulit akan menimbulkan masalah. Masalah-masalah yang
dihadapi mahasiswa tersebut dapat berbentuk masalah akademik dan masalah
non akademik. Masalah akademik berkaitan dengan perencanaan studi, cara
belajar, dan pengenalan peraturan. Sedangkan masalah non akademik berkaitan
dengan penyesuaian diri terhadap lingkungan kampus, kesukaran di dalam
mencari teman atau kesukaran di dalam pergaulan, pengembangan diri dan
masalah pribadi yang antara lain menyangkut masalah pergaulan, konflik dengan
teman, keluarga dan pacar (http://www.urindo.ac.id, 08/12/05;
http://www.stibanas.ac.id, 08/12/05).
Permasalahan-permasalahan tersebut sering membuat mahasiswa berada
dalam perasaan tertekan atau yang lebih populer disebut dengan istilah stres
(Chaplin, 2000). Hal ini juga diungkapkan Hurrelman dan Losel (Smet, 1994)
yang menjelaskan stres sebagai suatu keadaan tegang secara biopsikososial
karena banyaknya tugas-tugas perkembangan yang dihadapi orang sehari-hari,
baik dalam kelompok sebayanya, keluarga, sekolah, maupun pekerjaan.
Mengalami stres membuat mahasiswa merasa tidak nyaman. Perasaan
ketidaknyamanan ini memotivasi mahasiswa untuk melakukan suatu strategi
untuk menghilangkan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh stres yang
33
dialaminya tersebut (Sarafino, 1998). Strategi yang digunakan mahasiswa dalam
mengatasi stres dinamakan coping (Folkman, 1984; Taylor, 1995; Sarafino,
1998; Atkinson dkk., 2001). Coping yang dilakukan tiap mahasiswa berbeda-
beda. Ada yang menggunakan PFC, yang menurut Folkman dan Lazarus, dapat
dilakukan dengan cara menghadapi masalah yang menjadi penyebab timbulnya
stres secara langsung, ada juga yang menggunakan EFC yang lebih mengarah
pada usaha untuk mempertahankan keseimbangan afeksinya dengan mengatur
respon emosional terhadap stressor agar mahasiswa tersebut merasa lebih baik
(Diponegoro & Thalib, 2001; Taylor, 1995).
Menurut Folkman dan Lazarus, mahasiswa yang memiliki kecenderungan
menggunakan stategi EFC secara terus-menerus dalam menghadapi suatu
masalah yang menimbulkan stres tidak menghadapi masalah tersebut secara
langsung, tapi melakukan hal-hal yang dapat membuat afeksi mereka nyaman,
seperti mengatur perasaan mereka, berbicara pada orang lain mengenai
masalahnya agar mendapatkan support dan kenyamanan emosional dari orang
tersebut, mencari makna positif dari masalah yang sedang dihadapi, dan
melakukan penghindaran terhadap masalah, baik dengan kognisi maupun
perilakunya (Diponegoro & Thalib, 2001; Sarafino, 1998; Taylor, 1995). Ketika
mereka dihadapkan pada tugas-tugas akademik yang menjadi masalah utama
mereka sebagai seorang mahasiswa, maka mereka juga tidak langsung
menghadapi atau mengerjakan tugas tersebut, mereka akan menunda
pengerjaannya dan akan melakukan penghindaran terhadap tugas-tugas
akademik tersebut (Sudarjo dkk. (Bukit, 2000); Suardiman, 1981; Burka & Yuen,
1983; Ferrari dkk., 1995). Perilaku menghindari tugas yang dilakukan mahasiswa
34
dengan menolak atau enggan mengerjakan tugas akademis tersebut akan
membentuk perilaku menunda-menunda pengerjaan tugas akademis (Solomon &
Rothblum, 1984). Perilaku menunda-nunda pengerjaan tugas akademis dalam
Psikologi dikenal dengan istilah prokrastinasi akademik (Alyna, 2004; Solomon &
Rothblum, 1984). Hal ini diperjelas dengan pernyataan Rothblum (Ferrari dkk.,
1995) yang mengemukakan bahwa penghindaran tugas merupakan contoh dari
prokrastinasi akademik, serta pendapat Ferrari dkk. (1995) yang menyebutkan
bahwa kecenderungan melakukan perilaku penghindaran terhadap situasi
stressful secara terus-menerus, kemungkinan besar merupakan ciri-ciri
permulaan dari prokrastinasi sebagai sebuah ciri kepribadian yang berlangsung
secara terus-menerus.
Adapun bagan skema dinamika psikologis variabel penelitian ini yaitu:
Tugas-tugas kehidupan mahasiswa yang banyak, beragam, dan dirasa sulit
Menimbulkan masalah (masalah akademis dan non akademis)
Stres
Coping
Emotion Focused Coping (EFC) Problem Focused Coping (PFC)
Ada masalah
35
Tidak menghadapi masalah tersebut secara langsung
Ada tugas-tugas akademik yang menjadi masalah utama mereka
Tidak langsung dikerjakan & menghindari
tugas akademik tersebut
Menunda-nunda mengerjakan tugas akademis
prokrastinasi akademik
Bagan 1. Dinamika Psikologis antara Emotion Focused Coping dengan Prokrastinasi Akademik
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “ada hubungan positif
antara Emotion Focused Coping dengan prokrastinasi akademik pada
mahasiswa”, dimana semakin tinggi tingkat EFC pada diri subjek, maka semakin
tinggi pula tingkat prokrastinasi akademik yang dimiliki subjek. Begitu pula
sebaliknya, semakin rendah tingkat EFC pada diri subjek, maka semakin rendah
pula tingkat prokrastinasi akademik yang dimiliki subjek.
36
Metode Penelitian
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Jurusan Teknik Informatika
Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia, baik laki-laki maupun
perempuan. yang berada pada tingkat pertengahan sampai akhir kuliah
(angkatan 1998 sampai 2003) dengan jumlah sebanyak 155 orang. Menurut Gay,
jumlah subjek penelitian ini sudah memenuhi ukuran minimum sampel metode
penelitian deskriptif korelasional yang berjumlah minimal 30 subjek (Hasan,
2002).
Penelitian ini menggunakan metode skala. Bentuk skala yang digunakan
adalah skala sikap model Likert. Skala ini terdiri dari dua buah skala, yaitu Skala
Prokrastinasi Akademik yang merupakan modifikasi dari skala yang dibuat oleh
Ghufron (2003). Skala ini terdiri dari 36 aitem yang disusun berdasarkan aspek-
aspek prokrastinasi akademik Schouwenburg (Ferarri dkk., 1995). Sedangkan
Skala Emotion Focused Coping (EFC) disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-
aspek EFC milik Folkman, Lazarus, dan rekan kerja mereka yang tertuang dalam
Ways of Coping with Stressful Situations (Sarafino, 1998; Taylor, 1995), yang
terdiri dari 36 aitem.
Metode analisis yang yang digunakan penelitian ini yakni Korelasi Product
Moment dari Pearson. Uji validitas dan reliabilitas menggunakan SPSS for
Windows Versi 11.5.
37
Hasil Penelitian
Deskripsi Statistik Data Penelitian
Tabel 1 Deskripsi Data Penelitian Variabel Hipotetik Empirik
Xmax Xmin Mean SD Xmax Xmin Mean SD Prokrastinasi 144 36 90 18 123 54 88,50 11,998 Akademik EFC 144 36 90 18 132 85 108,83 9,927
Kriteria Kategorisasi Prokrastinasi Akademik
Tabel 2 Kriteria Kategorisasi Prokrastinasi Akademik
Kategori Norma Rentang skor Jumlah Prosentase Sangat Tinggi X > 122,4 122,5 - 144 1 0,65 % Tinggi 100,8 < X = 122,4 100,9 - 122,4 21 13,55 % Sedang 79,2 < X = 100,8 79,3 - 100,8 101 65,16 % Rendah 57,6 = X = 79,2 57,6 - 79,2 31 20 % Sangat Rendah X < 57,6 36 - 57,5 1 0,65 %
155 100,01 %
Kriteria Kategorisasi Emotion Focused Coping
Tabel 3 Kriteria Kategorisasi Emotion Focused Coping
Kategori Norma Rentang skor Jumlah Prosentase Sangat Tinggi X > 122,4 122,5 - 144 11 7,1 % Tinggi 100,8 < X = 122,4 100,9 - 122,4 109 70,32 % Sedang 79,2 < X = 100,8 79,3 - 100,8 35 22,58 % Rendah 57,6 = X = 79,2 57,6 - 79,2 0 0 % Sangat Rendah X < 57,6 36 - 57,5 0 0 %
155 100 %
Pada penelitian ini, uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji
linieritas terpenuhi sehingga uji hipotesis yang digunakan berupa Product
Moment dari Pearson.
38
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah sebaran skor pada
variabel penelitian mengikuti distribusi kurve normal atau tidak. Tehnik yang
digunakan untuk uji normalitas adalah tehnik One Sample Kolmogorov-Smirnov.
Uji normalitas variabel Prokrastinasi Akademik menunjukkan distribusi yang
normal dengan angka K-S-Z sebesar 0,770 dengan p = 0,594 (p>0,05).
Distribusi variabel EFC adalah normal dengan angka K-S-Z sebesar 0,867 dengan
p = 0,440 (p>0,05).
Uji linieritas ini dilakukan untuk menguji apakah hubungan antar variabel
Prokrastinasi Akademik dengan EFC mengikuti garis linier (membentuk garis
lurus) atau tidak. Hasil uji linieritas hubungan EFC dengan Prokrastinasi
Akademik diperoleh hasil F = 9,696 dengan p = 0,002 (p<0,01) dan deviation of
linierity F = 1,270 dengan p = 0,167. Hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel
Prokrastinasi Akademik dengan EFC bersifat linier.
Hasil analisis data menunjukkan korelasi (r) antara variabel EFC dengan
Prokrastinasi Akademik sebesar -0,237 dengan p = 0,002 (p<0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara EFC dengan
Prokrastinasi Akademik, sehingga hipotesis yang diajukan, yaitu adanya
hubungan antara kedua variabel ditolak.
Analisis koefisien determinasi (R2) variabel EFC dengan Prokrastinasi
Akademik menunjukkan angka sebesar 0,056. Hal ini menunjukkan bahwa EFC
memberikan sumbangan sebesar 5,6 % terhadap Prokrastinasi Akademik.
39
Hasil Analisis Data Tambahan
Selain melakukan uji hipotesis korelasi Product Moment Pearson, peneliti
juga melakukan uji regresi pada setiap aspek EFC untuk mengetahui aspek mana
yang memiliki pengaruh paling besar terhadap prokrastinasi akademik. Dari
enam aspek EFC, ada empat aspek yang mempunyai pengaruh terhadap
prokrastinasi akademik, yaitu aspek seeking social support, distancing, self-
control, dan positive reappraisal, sedangkan aspek escape-avoidance dan
accepting responsibility tidak berpengaruh terhadap prokrastinasi akademik.
Namun, dari empat aspek yang berpengaruh terhadap prokrastinasi akademik,
aspek yang berpengaruh paling besar dan dapat berfungsi sebagai prediktor bagi
prokrastinasi akademik hanya dua, yaitu aspek positive reappraisal dan
distancing. Gugurnya aspek lain sebagai prediktor dari prokrastinasi akademik,
dimungkinkan karena koefisien beta (B) aspek-aspek tersebut berharga nol (0),
yang berarti prediktor (aspek-aspek tersebut) tidak memberi sumbangan apa-apa
terhadap prokrastinasi akademik (Hadi, 2001). Dari uji ANOVA atau F test yang
terdapat dalam lampiran 7 (analisis data tambahan), didapat F hitung sebesar
13,779 dengan tingkat signifikansi 0,000 yang jauh lebih kecil dari 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa positive reappraisal dan distancing secara bersama-sama
berpengaruh terhadap prokrastinasi akademik.
Angka R square adalah 0,153 menunjukkan 15,3% prokrastinasi
akademik disebabkan oleh aspek positive reappraisal dan distancing, sedangkan
sisanya (84,7%) disebabkan oleh sebab-sebab yang lain.
Aspek positive reappraisal berpengaruh terhadap prokrastinasi akademik
dengan hubungan yang berarah negatif, yaitu semakin tinggi tingkat positive
40
reappraisal pada subjek maka semakin rendah prokrastinasi akademik yang
dimilikinya, begitu pula sebaliknya. Sedangkan aspek distancing berpengaruh
terhadap prokrastinasi akademik dengan hubungan yang berarah positif, yaitu
semakin tinggi tingkat distancing pada subjek, maka semakin tinggi pula
prokrastinasi akademik yang dimilikinya, begitu pula sebaliknya.
Pembahasan
Berbeda dengan hipotesa penelitian yang berbunyi ada hubungan positif
antara Emotion Focused Coping (EFC) dengan Prokrastinasi Akademik pada
mahasiswa, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang
signifikan antara EFC dengan Prokrastinasi Akademik pada mahasiswa. Adanya
hubungan negatif antara kedua variabel penelitian, ditunjukkan oleh koefisien
korelasi (r) sebesar -0,237 dengan p = 0,002 (p<0,05), seperti yang dapat dilihat
pada tabel 14. Hubungan negatif kedua variabel ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi tingkat EFC pada diri subjek, maka semakin rendah tingkat prokrastinasi
akademiknya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat EFC, maka
semakin tinggi tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa yang menjadi
subjek penelitian.
Hasil penelitian tersebut tidak selaras dengan teori yang mendasari
hipotesa penelitian, yaitu kecenderungan individu melakukan perilaku
penghindaran terhadap situasi stressful secara terus-menerus kemungkinan
besar merupakan ciri-ciri permulaan dari prokrastinasi sebagai sebuah ciri
kepribadian yang berlangsung secara terus-menerus (Ferrari dkk., 1995).
Sedangkan perilaku penghindaran terhadap situasi stressful sendiri menurut
41
pendapat Folkman, Lazarus, dan rekan kerja mereka, merupakan salah satu
aspek EFC yaitu aspek Escape-avoidance (Sarafino, 1998; Taylor, 1995).
Hasil penelitian ini juga tidak sama dengan hasil penelitian yang dilakukan
Arifian terhadap mahasiswa Psikologi Universitas Gadjah Mada yang sedang
mengambil mata kuliah penulisan skripsi. Hasil penelitian tersebut menyebutkan
bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara EFC dengan
Prokrastinasi Akademik (Arifian, 2004). Selain itu, hasil penelitian ini juga tidak
selaras dengan penelitian yang pernah dilakukan di luar negeri, yang dilakukan
Endler dan Parker, Hewitt, Flett, dan Endler, yang bertujuan untuk menguji
tingkat prokrastinasi, coping, dan depresi pada 156 mahasiswa perguruan tinggi
(Ferrari dkk., 1995). Hasil analisa korelasi penelitian tersebut menunjukkan
adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara prokrastinasi dengan
coping yang berorientasi pada emosi yang dimiliki oleh subjek penelitian.
Adanya perbedaan hasil antara penelitian ini dengan penelitian Arifian
dimungkinkan akibat dari adanya perbedaan skala yang digunakan. Sedangkan
perbedaan hasil antara penelitian ini dengan penelitian yang dipublikasikan
Endler dan Parker dan Hewitt, Flett, dan Endler, selain dimungkinkan akibat dari
adanya perbedaan skala yang digunakan, juga akibat dari perbedaan budaya
yang sedikit banyak dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu, hal lain
yang mungkin menjadi penyebab perbedaan hasil kedua penelitian ini adalah
karena coping yang dilakukan oleh subjek pada penelitian di atas adalah jenis
coping yang maladaptif (Ferrari dkk., 1995), sedangkan pada penelitian ini,
coping yang digunakan subjek tidak dapat dipastikan apakah termasuk jenis
coping EFC yang maladaptif atau adaptif.
42
Coping adaptif (positive coping) adalah strategi mengatasi masalah yang
efektif, sedangkan coping maladaptif (negative coping) adalah strategi
mengatasi/ merespon masalah yang tidak efektif, yang sering menimbulkan
kerugian pada diri individu tersebut atau pada orang lain
(http://www.cincinnatichildrens.org/svc/alpha/p/psychiatry/teens/real-life/coping.
htm, 30/05/06). Diantara contoh-contoh coping adaptif dan maladaptif yang
terdapat pada artikel yang dipublikasikan oleh Cincinnati Childrens Hospital
Medical Center, terdapat beberapa contoh coping adaptif yang mempunyai
maksud yang sama dengan beberapa aspek EFC, yaitu: talking to parents or
friends dan social support/ asking for help yang dalam EFC masuk dalam aspek
seeking social support. Thinking positive/ being optimistic dalam EFC masuk
dalam aspek positive reaprraisal. Listening to music, hobbies/ recreation, hanging
out with friends dan contoh-contoh yang lainnya, jika dilakukan sebagai usaha
individu untuk melepaskan diri atau menghindari situasi stres, maka dalam EFC
masuk dalam aspek escape-avoidance. Selain itu terdapat pula beberapa contoh
coping maladaptif yang mempunyai maksud yang sama dengan beberapa aspek
EFC. Wishful thinking, Smoking cigarettes, using drugs, drinking alcohol, avoiding
problems dan contoh-contoh lainnya, jika dilakukan dengan tujuan untuk
melepaskan diri atau menghindari situasi stres, maka dalam EFC juga termasuk
dalam aspek escape-avoidance. Yelling or lashing out at others, physical fights,
dan physical self-abuse merupakan contoh-contoh yang bertentangan dengan
aspek self-control. Hal tersebut menunjukkan bahwa aspek self-control termasuk
coping adaptif. Penjabaran di atas menunjukkan bahwa EFC tidak hanya dapat
dinilai sebagai coping yang tidak baik (coping maladaptif) karena dalam strategi
43
EFC masalah tidak dihadapi secara langsung dan situasi stres pun tidak dapat
diubah. Namun, EFC juga dapat dinilai sebagai coping yang baik (coping adaptif),
karena baik (efektif) tidaknya strategi coping yang digunakan oleh individu lebih
didasarkan pada tepat atau tidaknya penggunaan jenis coping tersebut pada
situasi stressful yang sedang dihadapi. Hal ini sejalan dengan pendapat Rutter
yang menyatakan bahwa strategi coping yang paling efektif adalah strategi yang
sesuai dengan jenis stres dan situasi (Smet, 1994). Hal senada juga diungkapkan
Taylor, yang mengatakan bahwa keberhasilan coping lebih bergantung pada
penggabungan strategi coping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian
yang penuh stres, daripada mencoba menemukan satu strategi coping yang
paling berhasil (Smet, 1994; Taylor, 1995).
Setelah dilakukan analisis regresi sebagai analisis data tambahan, untuk
mengetahui aspek-aspek EFC mana yang berfungsi sebagai prediktor, dan
bagaimana arah hubungannya dengan prokrastinasi akademik, diketahui bahwa
dari enam aspek EFC, aspek yang berfungsi sebagai prediktor prokrastinasi
akademik adalah aspek distancing dan positive reappraisal. Menurut Hadi (2001),
gugurnya suatu variabel sehingga tidak dapat menjadi prediktor bagi kriterium
(variabel yang diramalkan) disebabkan karena koefisien beta (B) variabel
tersebut bernilai nol (0), yang berarti varibel tersebut tersebut tidak memberi
sumbangan apa-apa terhadap kriterium. Hal demikian juga yang mungkin
menjadi penyebab mengapa dari enam aspek EFC yang dapat menjadi prediktor
dari prokrastinasi akademik hanya aspek distancing dan positive reappraisal saja.
Meskipun secara keseluruhan hubungan antara EFC dan prokrastinasi
akademik adalah negatif, namun hasil analisis regresi antara aspek-aspek EFC
44
dengan prokrastinasi akademik ada yang berhubungan negatif dan ada yang
berhubungan dengan arah yang positif. Aspek positive reappraisal berpengaruh
terhadap prokrastinasi akademik dengan hubungan yang berarah negatif, yaitu
semakin tinggi tingkat positive reappraisal pada subjek maka semakin rendah
prokrastinasi akademik yang dimilikinya, begitu pula sebaliknya. Sedangkan
hubungan antara aspek distancing dengan prokrastinasi akademik berarah
positif, yang berarti semakin tinggi tingkat distancing pada subjek maka semakin
tinggi pula prokrastinasi akademik yang dimilikinya, begitu pula sebaliknya. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa menurut contoh-contoh
coping yang terdapat pada artikel yang dipublikasikan oleh Cincinnati Childrens
Hospital Medical Center, contoh coping dari aspek positive reappraisal termasuk
ke dalam contoh coping yang adaptif. EFC yang berbentuk coping adaptif dapat
mengarah pada hasil yang lebih baik, begitu pula dengan aspek positive
reappraisal. Hal ini terlihat dari definisi positive reappraisal, yang berarti usaha
untuk menciptakan makna positif dari pengalaman atau situasi stres yang terkait
dengan perkembangan pribadi, kadang-kadang dengan suatu sifat/tanda religius.
Individu yang dapat mengambil makna positif dari setiap masalah yang
dihadapinya akan dapat mengambil hikmah dari masalah tersebut. Individu
tersebut sadar bahwa setiap masalah tidak hanya mengandung hal negatif saja,
namun juga mengandung hal positif dan hikmah. Hal ini akan mengurangi emosi
negatif yang dirasakannya, sehingga individu tersebut tidak akan merasa terlalu
terbebani dengan situasi stres dihadapinya dan bukan tidak mungkin bila stres
yang dialaminya akan berkurang. Jika hal ini terjadi maka, kecenderungan
prokrastinator melakukan prokrastinasi karena mengalami stres yang tinggi, yang
45
dalam hal ini salah satunya menurut Ferrari dkk., (1995) dan Cairns (http://www.
cacuss.ca/files/cacuss/scairns-cacuss2004-procrastination.pdf, 26/06/06) adalah
stres dalam belajar, akan berkurang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Milgram dan Ferrari yang menyatakan bahwa prokrastinasi
berhubungan signifikan dengan tingginya tingkat daily hasless, negative life
event, dan perasaan stres (Ferrari dkk., 1995). Paparan tersebut dapat
menjelaskan penyebab dari hubungan aspek positive reappraisal dengan
prokrastinasi akademik yang berarah negatif.
Seperti yang sudah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya bahwa definisi
distancing yang diungkapkan oleh Folkman, Lazarus, dan rekan kerja mereka
adalah usaha kognitif individu untuk melepaskan diri dari situasi stres yang
dihadapinya. Sedangkan contohnya adalah pernyataan “Aku tidak akan
membiarkan masalah ini menghampiriku. Aku menolak untuk memikirkannya
terlalu banyak.” (Sarafino, 1998; Taylor, 1995). Jika kita melihat dari definisi dan
contoh distancing yang terdapat pada buku Sarafino (1998) dan Taylor (1995),
dapat dilihat bahwa makna yang terkandung dalam aspek ini adalah makna yang
negatif, karena individu pengguna EFC dengan aspek distancing ketika
dihadapkan pada situasi yang penuh stres, maka dia akan berusaha untuk
melepaskan diri dari situasi itu (Taylor, 1995), bahkan jika individu sampai
bertekad untuk menolak memikirkannya, maka bukannya tidak mungkin bila
nantinya stres yang dialaminya akan meningkat. Ini dikarenakan masalah yang
menjadi penyebab stres yang sedang dihadapinya tidak akan terselesaikan jika
hanya dibiarkan berlalu tanpa adanya usaha untuk mengatasinya, apalagi bila
individu ini justru menolak untuk memikirkannya. Dari uraian tadi terlihat bahwa
46
distancing termasuk ke dalam coping EFC yang maladaptif karena sesuai dengan
definisi coping maladaptif, distancing termasuk strategi mengatasi/merespon
masalah yang tidak efektif dan dapat menimbulkan kerugian pada diri individu
pengguna EFC dengan aspek ini. Distancing tidak akan memecahkan masalah
yang menjadi penyebab stres, justru mungkin nantinya dapat meningkatkan
stres. Semakin tinggi tingkat stres pada diri individu, maka semakin tinggi pula
kecenderungan individu tersebut untuk melakukan prokrastinasi, karena
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Milgram dan Ferrari, diketahui
bahwa prokrastinasi berhubungan signifikan dengan tingginya perasaan stres
(Ferrari dkk., 1995). Hal tersebut dapat menjelaskan penyebab dari arah
hubungan aspek distancing dengan prokrastinasi akademik yang berarah positif.
Kelemahan pada penelitian ini terletak pada skala yang mengandung
social desirable. Hal ini terkait dengan teori yang dipakai sebagai acuan
penelitian, yaitu teori yang mengungkap ciri-ciri EFC menurut Folkman, Lazarus,
dan rekan kerja mereka, terutama aspek Escape-avoidance yang terikat dengan
budaya tempat teori tersebut berasal. Contoh pada aspek Escape-avoidance yang
diutarakan Taylor (1995) menunjukkan bias budaya dan tidak bisa diterapkan
pada skala yang akan diberikan pada subjek yang berada di Indonesia. Contoh-
contah aspek tersebut seperti melakukan penghindaran terhadap suatu masalah
atau situasi stressful dengan cara mengkonsumsi minuman beralkohol, obat-
obatan terlarang (drugs), atau merokok yang bagi kalangan wanita di Indonesia
masih merupakan hal yang tabu. Selain itu, kelemahan penelitian ini juga
terdapat pada belum dipisahkannya EFC yang adaptif dan yang maladaptif yang
47
memungkinkan terjadinya overlapping antara kedua jenis EFC tersebut pada data
penelitian yang didapat.
Berdasarkan kategorisasi prokrastinasi akademik pada tabel 10, dapat
disimpulkan bahwa tingkat prokrastinasi akademik pada mahasiswa Jurusan
Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri berada pada kategori sedang
(sebesar 65,16 %), karena jumlah subjek yang berada pada rentang skor 79,3 -
100,8 paling banyak jika dibandingkan dengan jumlah subjek pada rentang skor
yang lain. Tingkat prokrastinasi akademik mahasiswa Jurusan Teknik Informatika
Fakultas Teknologi Industri yang berada pada kategori sedang ini berada
diantara dua kategori (tingkat) yaitu tingkat prokrastinasi rendah dan tinggi, ini
bermakna bahwa tingkat prokrastinasi sedang ini berada pada posisi bisa
cenderung naik, yaitu ke arah kategori prokrastinasi tinggi atau sangat tinggi,
atau cenderung menurun, yaitu ke arah kategori prokrastinasi rendah atau
sangat rendah. Perubahan tingkat prokrastinasi akademik mahasiswa Jurusan
Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri yang berada pada kategori
sedang menjadi tinggi atau sangat tinggi sangat tidak diharapkan, mengingat
buruknya dampak yang dapat ditimbulkan oleh perilaku prokrastinasi ini, seperti
terbuangnya waktu dan biaya yang harus dikeluarkan seorang mahasiswa
prokrastinator. Sebaliknya, perubahan tingkat prokrastinasi akademik mahasiswa
Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri yang berada pada
kategori sedang menjadi rendah atau bahkan sangat rendah sangat diharapkan.
Adapun berdasarkan kategorisasi Tingkat EFC pada mahasiswa Jurusan
Teknik Informatika didapat berdasarkan tabel 11, dapat dapat disimpulkan
bahwa tingkat EFC pada diri mahasiswa Jurusan Teknik Informatika Fakultas
48
Teknologi Industri, berada pada kategori tinggi (70,32 %), karena jumlah subjek
yang berada pada rentang skor 100,9 - 122,4 paling banyak jika dibandingkan
dengan jumlah subjek pada rentang skor yang lain. Tingkat EFC pada diri
mahasiswa Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri yang berada
pada kategori tinggi tidak menjadi persoalan selama EFC yang digunakan
merupakan EFC adaptif, yaitu strategi EFC yang efektif digunakan pada situasi
stres yang dihadapinya. Namun seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,
menurut Smet (1994), tidak ada satupun metode coping yang dapat digunakan
untuk semua situasi stres. Tidak ada strategi coping yang paling berhasil. Rutter
(Smet, 1994) menyatakan bahwa strategi coping yang paling efektif adalah
strategi yang sesuai dengan jenis stres dan situasi yang dihadapi. Taylor (Smet,
1994) juga mengatakan hal yang serupa, dengan mengatakan bahwa
keberhasilan coping lebih bergantung pada penggabungan strategi coping yang
sesuai dengan ciri masing-masing kejadian yang penuh stres, daripada mencoba
menemukan satu strategi coping yang paling berhasil.
49
Penutup
A. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang
signifikan antara Emotion Focused Coping (EFC) dengan Prokrastinasi Akademik
pada mahasiswa. Adanya hubungan antara kedua variabel, ditunjukkan oleh
koefisien korelasi (r) sebesar -0,236 dengan p = 0,002 (p<0,05). Hubungan
kedua variabel ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat EFC pada
mahasiswa, maka semakin rendah tingkat prokrastinasi akademiknya. Begitu
pula sebaliknya, semakin rendah tingkat EFC pada diri mahasiswa maka semakin
tinggi tingkat prokrastinasi akademiknya.
B. Saran
1. Saran Bagi Subjek Penelitian
Saran bagi subjek penelitian yang memiliki tingkat prokrastinasi
akademik yang tinggi dan sangat tinggi adalah sedapat mungkin berusaha
menghentikan perilaku prokratinasi akademik mereka, karena jika hal ini tidak
segera dihentikan akan menimbulkan efek yang negatif pada diri mereka, seperti
tidak maksimalnya nilai-nilai mata kuliah dan Indeks Prestasi (IP) yang akan
mereka dapatkan. Selain itu prokrastinasi akdemik juga akan memperlama waktu
mereka untuk berkuliah, yang akan mengakibatkan semakin banyaknya biaya
yang harus mereka keluarkan.
Saran bagi subjek penelitian yang memiliki tingkat prokrastinasi
akademik yang sedang, rendah, maupun sangat rendah sedapat mungkin
50
mengantisipasi agar tingkat prokrastinasi pada diri mereka tidak naik, bahkan
diharapkan tingkat prokrastinasi tersebut dapat dikurangi.
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek yang memiliki
kecenderungan menggunakan Emotion Focused Coping terbanyak berada pada
kategori tinggi (70,32 %). Meskipun jika strategi coping yang subjek penelitian
gunakan ternyata merupakan EFC yang adaptif, sebaiknya subjek juga
diharapkan dapat menggunakan strategi Problem Focused Coping (PFC), karena
baik bentuk coping PFC maupun EFC sendiri dapat menjadi coping yang efektif
jika digunakan sesuai dengan jenis stres dan situasi stressful yang sedang
dihadapi.
2. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya
Saran bagi peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian yang sejenis
adalah:
a. Melakukan pengontrolan terhadap variabel lain yang dapat mempengaruhi
hasil penelitian, seperti adanya bias PFC pada variabel EFC. Sebaiknya
penelitian variabel EFC lebih difokuskan lagi pada salah satu bentuk EFC saja,
yaitu EFC yang maladaptif atau EFC yang adaptif, sehingga hasil penelitian
yang didapat lebih akurat lagi.
b. Melakukan peninjauan terhadap faktor-faktor lain yang menjadi penyebab
prokrastinasi, seperti ada atau tidaknya pengaruh kebijakan yang diterapkan
institusi terhadap perilaku prokrastinasi subjek yang akan diteliti.
c. Melakukan penelitian lebih mendalam lagi dengan membedakan bentuk-
bentuk Prokrastinasi yang mungkin dimiliki subjek penelitian.
51
d. Menggunakan metode pengumpulan data lain seperti obervasi dan
wawancara yang mendalam, sebagai data pelengkap, sehingga informasi
yang didapat semakin lengkap dan akurat.
e. Memperhatikan bahasa dalam penulisan skala, baik bahasa yang digunakan
pada petunjuk pengisian skala, maupun bahasa yang digunakan pada
penulisan aitem, sehingga social desirability dan kecenderungan subjek
menjawab what should be dapat diminimalisir.
f. Memperhatikan teori yang dipakai, apakah terikat dengan kultur/budaya
tempatnya berasal atau tidak, serta melakukan penilaian apakah teori yang
digunakan cocok digunakan di tempat penelitian yang akan dilakukan atau
tidak.
3. Saran Bagi Institusi
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tingkat prokrastinasi
akademik pada mahasiswa Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi
Industri yang menjadi subjek penelitian berada pada kategori sedang (65,16 %).
Pada posisi ini, tingkat prokrastinasi akademik subjek penelitian yang berada
pada kategori sedang bisa berubah, menjadi naik ataupun menjadi turun.
Mengingat besarnya dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari perilaku
prokrastinasi akademik, maka turunnya kategori tingkat prokrastinasi akademik
subjek menjadi berada pada kategori rendah atau bahkan sangat rendah
merupakan suatu harapan, begitu pula sebaliknya, peningkatan kategori sedang
menjadi tinggi atau bahkan sangat tinggi merupakan hal yang sangat tidak
diharapkan yang sedapat mungkin dihindari. Agar perubahan kategori subjek
52
yang saat ini berada pada kategori sedang tidak mengarah pada tingkat
prokrastinasi yang tinggi atau sangat tinggi, maka pihak institusi, dalam hal ini
adalah pihak Jurusan Informatika dan Fakultas Teknologi Industri Universitas
Islam Indonesia, diharapkan melakukan strategi yang bertujuan untuk
mengantisipasi hal tersebut, seperti memberlakukan kebijakan-kebijakan yang
dapat meningkatkan kedisiplinan mahasiswa sehingga kesempatan mahasiswa
untuk melakukan prokrastinasi semakin berkurang dan perilaku prokrastinasi
dapat diminimalisir.
53
DAFTAR PUSTAKA
Alyna, Rizka. 2004. Pengaruh Pelatihan Manajemen Diri terhadap Sikap Prokrastinasi Akademik. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Arifian, Naf’an. 2004. Hubungan antara Emotion Focused Coping dengan Prokrastinasi Akademik dalam Mengerjakan Skripsi. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Atkinson, R. L., Atkinson, R. C., Smith, E.E. & Bem, D. J. 2001. Pengantar Psikologi. Edisi Kesebelas. Jilid2. Batam: Interaksara.
Bukit, Khatarina. 2000. Hubungan Efikasi Diri dengan Strategi Coping dalam Menghadapi Stres pada Mahasiswa. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Burka, Jane. B. & Yuen, Lenora. M. 1983. Procrastination. Why You Do It, What to Do About It. Massachusetts, USA: Perseus Books.
Cairns, Sharon. L. 2004. Procrastination: Is the Why Central to Effective Intervention? http://www.cacuss.ca/files/cacuss/scairns-cacuss2004-procrastination.pdf. 26/06/06
Carver, C. S., Scheier, M. F. & Weintraub, J. K. 1989. Assesing Coping Strategies: A Theoretically Based Approach. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 56, No. 2, 267 – 283.
Chaplin, J. P. 2000. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Diponegoro, Ahmad Muhammad & Thalib, Syamsul Bachri. 2001. Meta-Analisis tentang Perilaku Koping Preventif dan Stres. Jurnal Psikologika No 12 Tahun VI (hal 51-61)
Ferrari, J. R., Johnson, J. L., & Mc Cown, W. G. 1995. Procrastination and Task Avoidance; Theory, Research and Treatment. New York: Plenum Press
Folkman, S. & Lazarus, R.S. 1984. Personal Control, Stress and Coping Process: A Theoretical Analysis. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 46, 839 - 852.
54
Ghufron, M. Nur. 2003. Hubungan Kontrol Diri dan Persepsi Remaja terhadap Penerapan Disiplin Orang Tua dengan Prokrastinasi Akademik. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Hadi, Sutrisno. 1991. Analisis Butir untuk Instrumen Angket, Tes dan Skala Nilai dengan BASICA. Yogyakarta: Andi Offset.
Hadi, Sutrisno. 2001. Analisis Regresi. Yogyakarta: Andi Offset.
Hasan, M. Iqbal. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kusumah.2005. Identitas Mahasiswa Sebuah Konsekuensi. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/18/1105.htm. 08/12/05
Mulia, R. 2002. Hubungan antara Pola Asuh Demokratis Orang Tua dengan Optimisme, Problem Focused Coping, dan Emotional Focused Coping pada Remaja Awal. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
NN. 2005. http://www.urindo.ac.id. 08/12/05
NN. 2005. Bimbingan Konseling. http://www.stibanas.ac.id. 08/12/05
NN. 2006. http://www.cincinnatichildrens.org/svc/alpha/p/psychiatry/teens/real-life/coping.htm. 30/05/06
Nurpitasari, Eny. 2001. Prokrastinasi Akademik ditinjau dari Perfeksionisme pada Mahasiswa. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.
Rivzi, A. , Prawitasari, J. E. & Soetjipto, H. P. 1997. Pusat Kendali dan Efikasi Diri sebagai Prediktor terhadap Prokrastinasi Akademik Mahasiswa. Psikologika, No. 3, 51 – 66.
55
Rivzi, A. 1997. Pusat Kendali dan Efikasi Diri Sebagai Prediktor terhadap Prokrastinasi Akademik Mahasiswa. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Sarafino, E. P. 1998. Health Psychology Biopsychological Interactions. 2nd Edition. New York.: John Wiley & Sons Inc.
Smet, Bart. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo.
Solomon, L. J. & Rothblum, E. D. 1984. Academic Procrastination; Frequency and Cognitive Corelation, Journal of Counseling Psychology. Vol 31,P; 304-510.
Stone , A. A., & Neale, J. M. 1984. New Measure of Daily Coping: Development and Preliminary Result. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 46, No.4, 892 - 906.
Suardiman. 1981. Bimbingan Konseling untuk Mahasiswa. Kumpulan Naskah Bimbingan Konseling dalam Rangka Penataran Dosen-Dosen Perguruan Tinggi se-Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Suciyani. 2004. Hubungan antara Kelekatan Aman dengan Kecenderungan Menggunakan Problem Focused Coping pada Remaja Tengah. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Sudirjo, S.B. 1990. Bahaya Hedonisme dalam Belajar. Kedaulatan Rakyat 8 Maret.
Syafi’i, Muhammad. 2001. Hubungan antara Kecemasan Menghadapi Masalah dengan Prokrastinasi Akademik pada Mahasiswa yang Sedang Mengerjakan skripsi. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Taylor, S. E. 1995. Health Psychology. 3th Edition. New York: McGraw-Hill Inc.
Widuri, E. Listyanti. 1995. Hubungan antara Religiusitas dengan Stres pada Mahasiswa Muslim di Universitas Gadjah Mada. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada