Download - Naskah Publikasi
NASKAH PUBLIKASI
PERBANDINGAN PENINGKATAN KADAR GLUKOSA DARAH
POSTPRANDIAL ANTARA KONSUMSI KENTANG REBUS (Solanum
tuberosum L.) DAN TALAS BOGOR KUKUS (Colocasia esculenta L.
Schoot) PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU
KESEHATAN UNIVERSITAS BENGKULU
ICA SHYNTIA PELENSINA
H1A011002
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2015
1
Perbandingan Peningkatan Kadar Glukosa Darah Postprandial Antara Konsumsi Kentang Rebus (Solanum tuberosum L.) dan Talas Bogor Kukus (Colocasia
esculenta L. Schoot) Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu
Comparison of elevation Postprandial Blood Glucose Between Boiled Potatoes Consumption (Solanum tuberosum L.) and steam Bogor's Taro (Colocasia
esculenta L. Schoot) At the Faculty of Medicine and Health Sciences University of Bengkulu
Ica Shyntia Pelensina, Marisadonna Asteria, HelmiyettiFakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu
ABSTRAKLatar Belakang: Menurut data dari International Diabetes Federation pada tahun 2012 terdapat lebih dari 371 juta orang di dunia menderita diabetes melitus. Tingginya prevalensi penyakit ini membutuhkan tatalaksana yang serius salah satu tatalaksana yaitu dengan cara mencari alternatif sumber pangan yang aman bagi penderita diabetes melitus. Pati resisten di dalam kentang dan umbi talas Bogor diduga dapat menurunkan kadar glukosa darah postpandial. Selain itu kandungan amilosa dan cara pengolahan kentang dan umbi talas Bogor juga diduga dapat mempengaruhi kadar glukosa darah postprandial.Metode: Penelitian ini menggunakan desain pararel. Sampel adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu dengan jumlah sampel 33 orang. Pemilihan sampel menggunakan consecutive sampling. Data dianalisis dengan menggunakan uji one way Anova yang dilanjutkan dengan uji Post Hoc-LSD.Hasil Penelitian: Hasil Uji one way Anova p< 0.05. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna nilai selisih kadar glukosa darah antara kelompok kontrol (konsumsi nasi putih) dan kelompok satu (konsumsi kentang rebus) dengan nilai p< 0.05, kelompok kontrol (konsumsi nasi putih) dan kelompok kedua (konsumsi talas Bogor kukus) dengan nilai p< 0.05, kelompok satu (konsumsi kentang rebus) dan kelompok kedua (konsumsi talas Bogor kukus) dengan nilai p< 0.05.Simpulan: Terdapat perbedaan peningkatan kadar glukosa darah postprandial antara kelompok kontrol (konsumsi nasi putih), kelompok perlakuan satu (konsumsi kentang rebus) dan kelompok perlakuan dua (konsumsi talas bogor kukus).
Kata kunci: Kadar Glukosa Darah, pati resisten, amilosa, cara pengolahan
2
ABSTRACT
Background: According to the International Diabetes Federation in the year 2012 more than 371 million people worldwide suffer from diabetes mellitus. The high prevalence of this disease need a serious management one of the management is by looking for alternative sources a safe food for people with diabetes mellitus. Examples of alternative foods are potato and Bogor’s Taro. Resistant starch in the potato and Bogor’s Taro allegedly could lower blood glucose postprandial. in addition the amylose content and ways of processing also allegedly to affect postprandial blood glucose levels.Methods: This study used pararel design. Sample is a student at the Faculty of Medicine and Health Sciences, University of Bengkulu with a sample of 33 people. Selection of the sample using a consecutive sampling. Data were analyzed by using one way Anova followed by Post Hoc test-LSD.Result :The result of one way ANOVA test was p< 0.05. The result of LSD test showed that there were significant differences in blood glucose levels between the control group (white rice consumption) and the first group (boiled potato consumption) with p< 0.05, the control group (white rice consumption) and the second group (steamed Bogor's taro consumption) with p< 0.05, the first group (boiled potato consumption) and the second group (steamed Bogor's taro consumption) with p< 0.05.Conclusions: There are significant differences in postprandial blood glucose levels between the control group (white rice consumption), the first group (boiled potatoes consumption) and the second group (steamed Bogor’s taro consumption).
Keywords: Blood Glucose, resistant starch, amylose, processing methods
3
PENDAHULUAN
Berdasarkan data WHO (World Health Organization) dari 57 juta kematian
yang terjadi di dunia, dua per tiganya atau 70% nya disebabkan oleh penyakit
tidak menular (Kementrian kesehatan RI, 2012). Diabetes melitus merupakan
salah satu contoh penyakit tidak menular yang sering dialami masyarakat.
Menurut data dari International Diabetes Federation (2012) menyebutkan bahwa
lebih dari 371 juta orang di dunia menderita penyakit diabetes. Di Indonesia
sendiri 2,1 % penduduknya mengalami diabetes melitus (Riskesdas, 2013). Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalensi diabetes melitus cukup tinggi
sehingga dibutuhkan tatalaksana serius untuk penderita diabetes melitus yang
salah satunya dengan cara perencanaan pola makan (Warpadji dan Sarwono,
2002).
Perencanaan pola makan dapat dilakukan dengan cara penggunaan alternatif
makanan pengganti nasi putih. Nasi putih memiliki indeks glikemik yang tinggi
sehingga tidak baik untuk dikonsumsi bagi penderita diabetes melitus (Powell et
al., 2002). Beberapa contoh makanan pengganti itu adalah kentang dan umbi
talas.
Kentang dan umbi talas dipercaya memiliki indeks glikemik yang lebih
rendah dibandingkan nasi putih. Hal ini disebabkan karena kedua jenis makanan
ini mengandung pati resisten. Berdasarkan penelitian Ou et al. (2001) pati resisten
dapat menurunkan kadar glukosa darah postprandial. Selain kandungan pati
resisten, kandungan amilosa dan cara pengolahan yang berbeda pada kentang dan
talas juga dapat mempengaruhi indeks glikemik kedua makanan tersebut
(Rimbawan dan Siagian, 2004).
Dikarenakan belum ada sumber penelitian yang membandingkan
peningkatan kadar glukosa darah postprandial setelah mengkonsumsi kentang
rebus, talas Bogor kukus dan nasi putih sebagai kontrol maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai perbandingan peningkatan kadar glukosa
darah postprandial antara konsumsi kentang rebus dengan talas Bogor kukus
sehingga diharapkan kentang rebus dan umbi talas Bogor rebus dapat dijadikan
4
makanan pengganti nasi putih dan dapat diketahui manakah yang lebih baik
diantara keduanya.
METODE
Penelitian ini menggunakan jenis studi eksperimental dengan desain pararel
dengan 2 kelompok, kelompok pertama disebut kelompok kontrol dan kelompok
lainnya disebut sebagai kelompok perlakuan. Penelitian dilakukan di lingkungan
sekitar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu pada bulan
Mei 2015.
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu. Pengambilan subjek
penelitian dilakukan menggunakan teknik consecutive sampling. Subjek penelitian
berjumlah 33 orang (11 orang setiap kelompok) yang terdiri dari 28 orang
perempuan dan 5 orang laki-laki yang berusia 18-23 tahun. Subjek penelitian
memilik indeks massa tubuh yang normal yaitu 18,5-25,0 Kg/m2 (Departemen
kesehatan RI, 2003), kadar glukosa darah puasa dalam batas normal <90 mg/dl
(PERKENI, 2011), dan memiliki pola aktivitas fisik yang kurang (≤ 4 METS)
berdasarkan Jette et al. (2009). Selain itu subjek penelitian tidak mengalami
penyakit metabolik yang dapat mempengaruhi kadar glukosa darah seperti
cushing syndrome, addison disease, akromegali, sedang tidak mengkonsumsi
obat-obatan insulin, obat antidiabetik oral, obat hiperglikemia, kontrasepsi oral
dan tidak mempunyai riwayat gangguan pencernaan setelah mengkonsumsi talas
atau kentang.
Beras putih yang digunakan dalam penelitian ini diproduksi oleh PT. Subur
Jaya Indonesia. Beras ini mengandung 77 gram karbohidrat per 100 gram beras.
Setiap hari saat penelitian 200 gram beras yang ditambahkan 240 ml air akan
dimasak dengan menggunakan rice cooker dan disajikan pada subjek penelitian
dalam keadaan masih panas. Setiap orang pada kelompok kontrol akan
mengkonsumsi sebanyak 103,8 gram (40 gram karbohidrat) nasi putih. Kentang
yang digunakan berasal dari Desa Sumber Urip Kabupaten Rejang Lebong.
Kentang dimasak dengan cara direbus selama 15 menit dan didinginkan pada suhu
5
ruang selama 1 jam. Setiap orang pada kelompok perlakuan satu akan
mengkonsumsi sebanyak 198,7 gram (40 gram karbohidrat) kentang rebus. Talas
Bogor yang digunakan berasal dari Desa Tangsi Baru Kabupaten Kepahiang.
Talas Bogor dimasak dengan cara dikukus selama 15 menit dan didinginkan pada
suhu ruang selama 1 jam. Setiap orang pada kelompok perlakuan dua akan
mengkonsumsi sebanyak 141,8 gram (40 gram karbohidrat) talas Bogor kukus.
Satu hari sebelum hari penelitian subjek penelitian diminta untuk tidak
melakukan aktivitas berat. Subjek penelitian juga diminta untuk berpuasa selama
10-12 jam sebelum dilakukan pengukuran kadar glukosa darah. Pengukuran kadar
glukosa darah akan dilakukan secara duplo menggunakan dua buah glucometer
(Accu-chek Active® Alat monitor gula darah) yang telah dikalibrasi dan
digunakan secara bersamaan. Subjek penelitian akan dibagi menjadi tiga
kelompok dengan cara pengambilan nomor undian. Kelompok pertama
mengkonsumsi nasi putih, kelompok kedua mengkonsumsi kentang rebus,
kelompok ketiga mengkonsumsi talas Bogor kukus. Makanan yang diberikan
peneliti harus habis dalam waktu sepuluh menit. Setelah mengkonsumsi makanan
dari peneliti, subjek penelitian tidak diizinkan beraktivitas berat. Tiga puluh menit
kemudian dilakukan pengukuran kembali untuk mengetahui kadar glukosa darah
postprandial pada masing-masing subjek sebanyak dua kali (duplo) sehingga
didapatkan variasi data untuk kemudian ditentukan rata-rata.
Data dianalisis menggunakan uji one way ANOVA kemudian dilanjutkan dengan
Post Hoc LSD (Dahlan, 2012). Hasil analisis dikatakan bermakna jika nilai p <
0,05. Uji analisis pada penelitian ini menggunakan software Statistical Program
for Social Science (SPSS) for windows version 16.
HASIL
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata pada selisih
kadar glukosa darah antar kelompok perlakuan (Tabel 1). Untuk mengetahui
apakah perbedaan ini bermakna maka perlu dilakukan uji one way Anova. Syarat
menggunakan uji ini adalah sebaran data harus normal dan varians data harus
sama. Tabel 2 menunjukkan hasil uji Shapiro-Wilk. Pada tabel tersebut diperoleh
nilai p untuk ketiga kelompok > 0,05 yang berarti bahwa sebaran data normal.
6
Tabel 3 menunjukkan hasil uji varians. Pada tabel tersebut diperoleh nilai p> 0,05
maka dapat disimpulkan bahwa varians data antara kelompok yang dibandingkan
adalah sama.
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji one way ANOVA dapat dilihat
pada tabel 4. Hasil uji one way Anova untuk selisih kadar glukosa diperoleh nilai
p< 0,05 yang berarti bahwa paling tidak terdapat perbedaan selisih kadar glukosa
darah postprandial yang bermakna antara dua kelompok. Uji one way Anova
kemudian dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD untuk menentukan pada
kelompok manakah terdapat perbedaan yang bermakna (Tabel 5). Pada uji Post
Hoc Test-LSD antar kelompok didapatkan bahwa ada perbedaan yang bermakna
nilai selisih kadar glukosa darah antara kelompok kontrol yang mengkonsumsi
nasi putih dengan kelompok perlakuan satu yang mengkonsumsi kentang rebus
dengan nilai p< 0,05 dan kelompok perlakuan dua yang mengkonsumsi talas
Bogor kukus rebus dengan nilai p< 0,05. Pada uji Post Hoc Test-LSD pada
kelompok perlakuan satu yang mengkonsumsi kentang rebus dan perlakuan dua
yang mengkonsumsi talas Bogor kukus terdapat perbedaan bermakna nilai selisih
kadar glukosa darah dengan nilai p< 0,05.
Tabel 1 Rata-rata dan selisih nilai kadar gukosa darah puasa dan kadar glukosa darah postprandial (mg/dl)
Kelompok
Rata-rata kadar
glukosa darah puasa
(mg/dl)
Rata-rata kadar
glukosa darah
postprandial (mg/dl)
Selisih rata-rata kadar
glukosa darah
(mg/dl)
Kontrol (Nasi putih) 79,45 118,63 39,73Perlakuan 1 (Kentang rebus) 77,90 110,72 32,82
Perlakuan 2 (Talas Bogor kukus) 79,81 108,63 28,82
Tabel 2 Hasil Uji Shapiro-WilkNo Selisih Kadar Glukosa Darah Signifikansi (p) Keterangan1 Kontrol (Nasi putih) 0,055 Normal2 Perlakuan 1 (Kentang rebus) 0,824 Normal3 Perlakuan 2 (Talas Bogor kukus ) 0,471 Normal
Tabel 3 Hasil Uji VariansLevene Statistic df 1 df 2 Sig
.357 2 30 .702
7
Tabel 4 Hasil analisis statistik nilai selisih kadar glukosa darah puasa dan postprandial menggunakan one way Anova
Keterangan
Selisih Kadar Glukosa Darah
Kontrol(Nasi putih)
Perlakuan 1 (Kentang
rebus)
Perlakuan 2 (Talas Bogor
kukus)Rerata ±Simpangan baku 39,73 ± 3,289 32,82 ± 2,562 28,82 ± 1,991
Signifikansi (p) 0,000
Tabel 5 Rerata selisih kadar glukosa darah dan hasil analisis stastik menggunakan Post Hoc Test-LSD
Kelompok Rerata Signifikansi (p)
Kontrol Perlakuan 1 6,909 0,000Perlakuan 2 10,909 0,000
Perlakuan 1 Kontrol -6,909 0,000Perlakuan 2 4,000 0,001
Perlakuan 2 Kontrol -10,909 0,000Perlakuan 1 -4,00 0,001
PEMBAHASAN
Tabel 1 menunjukkan rata-rata dan selisih nilai kadar glukosa darah puasa
dan kadar glukosa darah postprandial dari subjek penelitian. Dari hasil data
tersebut terlihat bahwa selisih rata-rata kadar glukosa darah antara kelompok
kontrol lebih besar daripada kelompok perlakuan satu dan perlakuan dua, dan
selisih rata-rata kadar glukosa darah antara kelompok perlakuan satu lebih besar
daripada kelompok perlakuan dua.
Tabel 4 menunjukkan hasil analisis stastik nilai selisih kadar glukosa darah
puasa dan postprandial yang dianalisis dengan menggunakan uji one way Anova.
Dari hasil data tersebut diperoleh nilai p< 0,05 yang berarti bahwa paling tidak
terdapat perbedaan selisih kadar glukosa darah postprandial yang bermakna
antara dua kelompok. Hal diduga karena kandungan pati resisten di dalam
makanan yang diujikan. Dugaan ini di perkuat oleh penelitian dari Ou et al.
(2001) dan Tudesco et al. (1991) bahwa kandungan pati resisten pada berbagai
jenis makanan mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah melalui tiga
mekanisme yaitu penghambatan aktivitas enzim α-amilase ,meningkatkan
visikositas di usus halus dan peningkatan produksi asam lemak rantai pendek
yaitu asam lemak propianat yang dihasilkan oleh bakteri anaerob di usus besar.
8
Kadar amilosa juga diduga dapat mempengaruhi peningkatan kadar glukosa
darah postprandial. Kandungan amilosa yang lebih tinggi menyebabkan
pencernaan menjadi lebih lambat karena struktur amilosa yang tidak bercabang
membuat amilosa sulit tergelatinisasi (Rimbawan dan Siagian, 2004). Selain itu
Proses pengolahan yang berbeda pada setiap makanan juga dapat mengubah
indeks glikemik makanan tersebut (Rimbawan dan Siagian, 2004)
Tabel 5 menunjukkan hasil uji Post Hoc Test-LSD antara kelompok. Pada
tabel tersebut didapatkan bahwa ada perbedaan yang bermakna nilai selisih kadar
glukosa darah antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan satu yang
mengkonsumsi kentang rebus dengan nilai p< 0,05 dan kelompok perlakuan dua
yang mengkonsumsi talas Bogor kukus rebus dengan nilai p< 0,05. Pada uji Post
Hoc Test-LSD pada kelompok perlakuan satu dan perlakuan dua terdapat
perbedaan bermakna nilai selisih kadar glukosa darah dengan nilai p< 0,05. Hal
ini diduga karena perbedaan kandungan pati resisten yang terdapat di dalam 3
jenis pangan yang diuji. Kandungan pati resisten Di dalam 100 gram nasi putih
adalah 0,97% (Li et al., 2010), di dalam 100 gram kentang rebus adalah 1,3
(Murphy et al., 2008), dan di dalam 100 gram talas kukus 3.76% (Chen et al.,
2010).
Dugaan ini diperkuat dengan penelitian Li et al. (2010) yang
membandingkan peningkatan kadar insulin dan peningkatan glukosa darah
postprandial setelah konsumsi nasi putih yang mengandung pati resisten, nasi
putih wild type, dan glukosa. Nasi putih yang mengandung pati resisten memiliki
peningkatan glukosa darah postprandial dan peningkatan kadar insulin lebih
rendah dibandingkan dengan nasi putih wild type dan glukosa. Hasil penelitian
tersebut sejalan dengan hasil penelitian dari Hasjim et al. (2010) bahwa
peningkatan glukosa darah postprandial dan peningkatan kadar insulin pada
subjek penelitian yang mengkonsumsi roti yang mengandung pati resisten lebih
rendah dibandingkan dengan subjek yang mengkonsumsi roti putih tanpa pati
resisten.
Kentang mengandung 83,49% amilopektin dan 16,5% amilosa (Samadi,
2007) sedangkan talas Bogor mengandung 79% amilopektin dan 21% amilosa
9
(Kusnandar, 2007). Perbedaan kadar amilosa di dalam dua jenis pangan uji ini
diduga dapat mempengaruhi indeks glikemik pangan tersebut. Dugaan ini
diperkuat dengan hasil penelitian Indrasari et al. (2008) yang menunjukkan beras
berkadar amilosa rendah cenderung mempunyai indeks glikemik yang tinggi
ataupun sebaliknya. Beras varietas Setail memiliki kadar amilosa terendah 7,74%
dengan indeks glikemik tertinggi yaitu 74 sedangkan beras varietas Cisokan
memiliki kadar amilosa tertinggi 26,68% dengan indeks glikemik terendah yaitu
34. Hasil serupa juga terjadi pada penelitian Richana et al. (2012) penelitian ini
membandingkan indeks glikemik berbagai varietas jagung lokal dengan kadar
amilosa yang berbeda-beda. Jagung varietas Telogo Mulyo memiliki kadar
amilosa 28,31% dengan indeks glikemik 33 sedangkan jagung varietas Tretep
memiliki kadar amilosa tertinggi 25,38% dengan indeks glikemik 37.
Proses pengolahan pada kentang dan tolos Bogor di penelitian ini juga
diduga mempengaruhi indeks glikemik makanan tersebut. Proeses perebusan
dengan media air dapat mempercepat proses gelatinisasi jika dibandingkan dengan
proses pengukusan. Proses perebusan dapat
memperbesar ukuran granula pati. Granula yang mengembang sangat mudah
dicerna karena enzim pencernaan pati di dalam usus halus mendapatkan
permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim (Rimbawan dan Siagian,
2004; Jenkins et al., 2002). Dugaan tersebut diperkuat dengan penelitian dari
Rakhmmawati et al. (2010) yang membandingkan indeks glikemik pada sukun
yang diolah dengan cara direbus, dikukus, dan digoreng. Indeks glikemik pada
sukun yang direbus adalah 89 lebih tinggi jika dibandingankan dengan sukun
yang dikukus yang indeks glikemiknya 85.
Kelemahan pada penelitian ini adalah penggunaan dua glucometer (Accu-
chek Active® Alat monitor gula darah) yang menyebabkan pengukuran kadar
glukosa darah yang dilakukan secara duplo memiliki hasil yang berbeda sehingga
hasil pengukuran dilakukan rawan bias. Proses pengolahan antara kentang rebus
dan talas Bogor kukus yang dilakukan tidak seragam baik pada suhu pemasakan
dan jumlah air yang digunakan. Padahal kedua hal itu sangat mempengaruhi
proses gelatinisasi pati pada kedua jenis makanan tersebut. Semakin tinggi suhu
10
pemasakan dan semakin banyak air yang digunakan maka semakin cepat pula
gelatinisasi terjadi. Gelatinisasi adalah suatu keadaan dimana pati dapat dicerna
secara sempurna oleh enzim-enzim pencernaan. (Rimbawan dan Siagian, 2004).
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Peningkatan kadar
glukosa darah postprandial pada kelompok yang mengonsumi kentang rebus
(Solanum tuberosum L) dan kelompok yang mengonsumsi talas Bogor kukus
(Colocasia esculenta L. Schoot) lebih rendah daripada kelompok kontrol yang
mengonsumsi nasi putih dan peningkatan kadar glukosa darah postprandial antara
kelompok yang mengonsumsi talas Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot)
lebih rendah daripada kelompok kentang rebus (Solanum tuberosum L).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa talas Bogor kukus
merupakan sumber pangan alternatif terpilih untuk penderita diabetes melitus.
Diharapkan Perlu penelitian lebih lanjut dengan cara mengekstrak pati resisten,
kemudian diujikan pada subjek sehat dan subjek yang menderita diabetes melitus
untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Behall K and Hallfrisch J (2002). Plasma glucose and insulin reduction after consumption of bread varying in amylose content. Eur. J. Clin. Nutr. 56(9): 913- 920. http://www.nature.com/ejcn/journal/v56/n9/pdf/1601411a.pdf - Diakses 10 juni 2015
Chen L, Liu R, Qin C, Meng Y, Zhang J, Wang Y, Xu G (2010). Sources and Intake of Resistant Starch in the Chinese Diet. Asia Pac J Clin Nutr, 19 (2): 274-282. http://apjcn.nhri.org.tw/server/APJCN/19/2/274.pdf - Diakses 1 Februari 2015.
Dahlan MS (2012). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat, dan Multivariat, Dilengkapi Aplikasi dengan Menggunakan SPSS. Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika.
Departemen Kesehatan RI (2003). Petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi Orang Dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT), Jakarta: http://www.depkes.go.id/index.php. vw=2&id=A-137. - Diakses 15 Februari 2015
Hasjim J, Lee SO, Hendrich S, Setiawan S, Ai YF, Jane JL (2010). Characterization of a Novel Resistant-Starch and Its Effects on Postprandial Plasma-Glucose and Insulin Responses. Cereal Chemistry, 87(4): 257-62. http://cerealchemistry.aaccnet.org/doi/pdf/10.1094/CCHEM-87-4-0257 - Diakses 20 Februari 2015.
11
IDF (2012). IDF Diabetes Atlas Update 2012. http://www.idf.org/diabetesatlas-update-2012-regional-country-factsheets – Diakses 2 Februari 2015.
Indrasari S, Purwani P, Wibowo, Jumali (2008). Nilai indeks glikemik beras beberapa varietas padi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27(3): 127- 134. http://www.puslittan.bogor.net/berkas_PDF/Jurnal_PP/2008/Nomor-3/no-3-01.pdf - Diakses 15 Juni 2015
Jenkins, Kendall L, Augustin S (2002). Glycemic index: overview of implications in health and disease. Am. J. Clin. Nutr. 76(Suppl.): 266S - 273S. http://ajcn.nutrition.org/content/76/1/266S.full.pdf+html – Diakses 9 juni 2015.
Jette M, Sidney K, Blumchen G (2009). Metabolic equivalents (METS) in exercise testing, exercise prescription, and evaluation of functional capacity. Clinical Cardiology, 13: 555-565. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/clc.4960130809/pdf - Diakses 13 Februari 2015.
Kementrian Kesehatan (2012). Penyakit tidak menular. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CB0QFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.depkes.go.id%2Fdownload.php%3Ffile%3Ddownload%2Fpusdatin%2Fbuletin%2Fbuletin-ptm.pdf&ei=skoEVYbSLNOKuASI5oLYDg&usg=AFQjCNGhREbduPq-Fxnm2mimiHYSMr4CWQ – Diakses 8 Februari 2015.
Kusnandar F, Nuraidi, Palupi (2007). Pemanfaatan talas,garut dan sukun sebagai prebiotik dan formulasi sinbiotik sebagai suplemen pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Li M, Piao JH, Tian Y, Li WD, Li KJ, Yang XG (2010). Postprandial glycaemic and insulinaemic responses to GM-resistant starch-enriched rice and the production of fermentation related H-2 in healthy Chinese adults: British Journal of Nutrition, 103(7):1029-34. http://journals.cambridge.org/download.php?file=%2FBJN%2FBJN103_07%2FS0007114509992820a.pdf&code=00f183484110834bb1a15cd526574854 – Diakses 10 Februari 2015.
Murphy MM, Douglass JS, Birkett A (2008). Resistant starch intakes in the United States: J Am Diet Assoc, 08:67-78. http://www.andjrnl.org/article/S0002-8223(07)01932-3/pdf - Diakses 11 Februari 2015.
Ou S, Kwok KC, Li Y, Fu L (2001). In vitro study of possible role of dietary fiber in lowering postprandial serum glucose. J Agric Food Chem, 49: 1026–1029. http://pubs.acs.org/doi/pdf/10.1021/jf000574n - Diakses 21 Februari 2015.
PERKENI (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.
Powell FK, Sussana HA, Miller JB (2002). International table of glycemic index and glycemic load values. Am J Clin Nutr, 76: 5-56.
12
Rakhmawati F, Rimbawan, Amalia (2011). Nilai indeks glikemik berbagai produk olahan sukun (Artocarpus altilis).Jurnal Gizi dan Pangan 6(1): 28-35. http://journal.ipb.ac.id/index.php/jgizipangan/article/view/4574 - Diakses 15 Juni 2015.
Richana N Ratnaningsih, Arif, Hayuningtyas (2012). Characterization of varieties of maize with a low glycemic index to support food security. International Maize Conference in Gorontalo. http://pangan.litbang.pertanian.go.id/files/IMC-PDF/29-Nurichana.pdf - Diakses 15 Juni 2015
Rimbawan dan Siagian A (2004). Indeks Glikemik Pangan. Bogor : Penebar Swadaya.
Riskesdas (2013). Diunduh dari: http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/Laporan_Riskesdas2013.PDF - Diakses 11 Jan 2015.
Todesco T, Venkketshwer R, Bosello O (1991). Propionate lowers blood glucose and alters lipid metabolism in healthy subject. Am J Clin Nutr, 54: 560-5. http://ajcn.nutrition.org/content/54/5/860.full.pdf - Diakses 18 Februari 2015.
Warpadji, Sarwono (2002). Pedoman Diet Diabetes Melitus. Jakarta : Balai Pustaka.
13