T E S I S
MODERNISASI PERTANIAN DI DESA LAMATTI RIATTANG KABUPATEN SINJAI, 1972-1997
AGRICULTURAL MODERNIZATION AT LAMATTI RIATTANG VILLAGE SINJAI REGENCY IN 1972-1997
ABDUL RAHMAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2008
iii
PRAKATA
Puji syukur saya panjatkan keharibaan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan cinta kasihnya jualah yang selalu tercurah, sehingga saya
mampu menyelesaikan seluruh proses perkuliahan pada Program Studi
Antropologi, Bidang Kajian Utama Ilmu Sejarah Program Pascasarjana,
Universitas Hasanuddin, termasuk penyelesaian karya tulis ini, walaupun
dengan keadan yang susah payah dan tertatih-tatih.
Dengan sangat rendah hati, saya mengakui bahwa terselesaikannya
proses belajar dan terwujudnya karya tulis ini, bukanlah prestasi dan hasil
usaha saya semata. Banyak pihak yang telah memberikan bantuan materi
maupun non materi, berupa dorongan, arahan dan bimbingan. Untuk itu
maka sepatutnyalah saya memanjatkan doa yang tulus, semoga Tuhan
senantiasa mengasihi mereka.
Selain doa, saya pun merasa berkewajiban untuk menyampaikan
terima kasih kepada Dr. Bambang Sulistyo EP, MS atas kesediaannya untuk
menjadi pembimbing dan itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi
saya. Akan tetapi di lain sisi timbul semacam rasa kekhawatiran pada diri
saya, apakah saya mampu menelaah pikiran-pikirannya yang sarat dengan
teori itu. Namun berkat ketekunan dan kesabarannya dalam membimbing
saya, paling tidak hasil bimbingannya itu telah memperkenalkan saya
iv
terhadap penulisan sejarah dengan menggunakan pendekatan teori dari
berbagai disiplin ilmu.
Kesediaan Dr.H. Mustari Bosra, M.A untuk bertindak sebagai tim
komisi pembimbing (pembaca) yang kedua kalinya (sebelumnya pernah
menjadi pembimbing saya waktu S1 di UNM). Dialog yang cukup intensif
dengan cendekiawan dan ilmuwan Islam ini telah semakin membuka
wawasan saya tentang kesejarahan. Olehnya itu saya mengucapkan pula
terima kasih atas kesabarannya dalam membimbing saya.
Ucapan terima kasih, selanjutnya saya haturkan yang setinggi-
tingginya kepada Dr. Edward Lambertus Poelinggoemang, M.A dan Dr. A.
Rasyid Andi Ambo Sakka, M.A beserta Dr. Anwar Thosibo, M.Hum yang telah
bersedia menjadi tim penelaah naskah karya tulis ini. Kritikan dari ketiga
ilmuwan ini memaksa saya untuk lebih banyak membaca buku-buku yang
berkaitan dengan sejarah ekonomi pedesaan.
Ucapan terima kasih yang sama pula saya haturkan kepada guru yang
telah menularkan sebagian ilmunya kepada saya. Mereka itu adalah Prof.
Nurul Ilmi Idrus,M.Sc, Ph.D, Prof. Dr. Andi Ima Kesuma IC, M.Pd, Prof. Dr.
Pawennari Hijjang, M.A, Prof. Dr. H. Hamka Naping, M.A, Dr. Munsi Lampe,
M.A, Dr. Armin Arsyad, M.A, Dr. H. Machmud Tang, M.A, Arlina Gunarya
Latief, M.Sc, Ph.D, Erwiza Erman, M.A, Ph.D, Dr. Nurhayati Rahman,
M.Hum, Margriet Lapia Moka, S.S, M.S dan Dra. Ade Yolanda Latjuba,
M.Hum.
v
Selain itu sering pula saya melakukan dialog khusus yang telah
banyak membuat wawasan saya terbuka tentang dunia pertanian. Olehnya
itu tak lupa pula saya mengucapkan terima kasih kepada mereka, yakni: Prof.
Ir. H.M Saleh Sayyid Ali, M.Sc, Ph.D, Dr. Ir. Didi Rukmana, M.Sc, Dr. Ir
Gunawan Trijuno, DEA, Dr. Ir. Ade Rosmana, DEA, Dr.Ir. Yusran Nur Indar
M.Phill dan Dr. Firdaus W. Suhaeb, M.Si.
Terima kasih pula saya ucapakan kepada Prof. Dr. H.M Idris Arief, M.S
dan Prof. Dr. Hj. Rabihatun Idris, M.S yang telah membantu meringankan
beban saya dari segi finansial dalam proses penyelesaian karya tulis ini.
Demikian pula terima kasih kepada Jumadi, S.Pd, M.Si, Ahmadin, S.Ag,
S.Pd, M.Pd, Drs. H.M Saleh Madjid, M.Pd, Drs. H. Burhanuddin Pabitjara,
M.Pd dan seluruh dosen yang ada di jurusan pendidikan sejarah atas
dorongannya dalam menyelesaikan studi.
Terima kasih pula saya ucapkan kepada Drs. Muh Amir, Abd.
Rahman Hamid, S.Pd, M.Si, Muh. Asyikin, S.Pd dan Rosmawati S.S atas
diskusi panjangnya dengan saya selama kuliah. Kepada Dedi Sriwahyudi,
Ridwan M.Junaid, Surya Akbar Samid, Alexander Zulkarnaen, Efrayim
Demmanora, dan Muh. Rafiuddin yang senantiasa menemani sekaligus
memberi semangat ketika saya menghadapi kejenuhan dalam menulis karya
ini. Selain itu mereka dapat memahami ketika saya terkadang uring-uringan
dan sering menumpahkan perasaan stress yang menumpuk kepada mereka
selama proses penyelesaian tulisan ini. Demikian pula saya ucapkan terima
vi
kasih kepada Alvito Deanova Gintings, S.Sos, M.Si yang telah bersedia
membayar SPP saya selama dua semester. Demikian pula saya ucapakan
terimah kasih kepada saudara Abdul Haris, S.P yang telah membantu dalam
proses pengumpulan data di lokasi penelitian.
Terakhir, saya harus mengucapakan terima kasih dan sembah sujud
kepada kedua orang tua saya, ayahanda A. Ambo Sakka dan Ibunda Nini
Rasmini. Merekalah yang telah menyebarkan virus rasa keingin tahuan yang
tinggi serta keinginan untuk meraih prestasi dalam dunia ilmu pengetahuan.
Terima kasih pula saya ucapkan kepada adinda, Siti Rosmawati beserta
kemenakan tersayang Reynald Darma Dirawan atas kesetiannya
mendampingi dan merawat orang tua kami, selama saya ada di Kota
Makassar dalam mencari jati diri.
Perlu saya tekankan bahwa meskipun selesainya tulisan ini, tidak
terlepas dari bantuan berbagai pihak, namun isi dan segala permasalahan
yang terkandung di dalamnya merupakan tanggung jawab pribadi saya.
Semoga Tuhan selalu memberkati dan mencurahkan kasihnya kepada kita
semua. Amin
Makassar, ..... September 2008
Abdul Rahman Andi Ambo Sakka
vii
DAFTAR ISI
HALAM SAMPUL .............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... ii
PRAKATA ........................................................................................................... iii
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
BAB PENDAHULUAN ...................................................................................... 01
A. Latar Penelitian ................................................................................. 01
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 10
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 10
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 12
A. Kepustakaan ...................................................................................... 12
B. Modernisasi Pertanian ..................................................................... 13
C. Perubahan Sosial ............................................................................. 17
D. Masyarakat Petani ............................................................................ 23
E. Pembangunan Sektor Pertanian .................................................... 25
F. Tinjauan Pertanian Sawah .............................................................. 30
G. Pendekatan Teori ............................................................................. 39
H. Kerangka Pikir ................................................................................... 44
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................... 45
A. Jenis Penelitian ................................................................................ 45
B. Prosedur dan Sumber ...................................................................... 47
BAB IV DESA LAMTTI RIATTANG SEBAGAI LOKASI PENELITIAN ..... 53
A. Kondisi Geografis ........................................................................... 53
viii
B. Tata Ruang Desa ............................................................................ 58
C. Organisasi Sosial Desa ................................................................... 60
D. Kondisi Sosial Budaya ..................................................................... 65
E. Sistem Pengetahuan ........................................................................ 84
F. Kepercayaan Tradisional ................................................................. 91
G. Upacara yang berkaitan dengan Pertanian ................................. 94
H. Islam, Budaya, dan Etos Kerja ....................................................... 98
BAB V POLA PEMANFAATAN SAWAH DI DESA LAMATTI RIATTANG ......................................................... 102
A. Hubungan Antara Petani Dengan Tanah .................................... 102
B. Pemilikan dan Penguasaan lahan ................................................. 104
C. Proses Mendapatkan Hak Milik Lahan Sawah ........................... 111
D. Potret Pertanian Sawah Tradisional (1967-1972) ...................... 123
BAB VI PENERAPAN TEKNOLOGI MODEREN DALAM BIDANG PERTANIAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA LAMATTI RIATTANG ................................. 131
A. Pertanian Moderen di Desa Lamatti Riattang (1972-1997) ..... 131
B. Dampak di Bidang Ekonomi ........................................................... 154
C. Dampak di Bidang Sosial ................................................................ 159
D. Muncuknya Diversifikasi Pekerjaan ............................................... 170
BAB VII KESIMPULAN .................................................................................... 204
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 207
ix
DAFTAR TABEL
1. Kondisi Areal Persawahan di Desa Lamatti Rianttang ........................... 137 2. Penggunaan Pupuk di Desa Lamatti Riattang .......................................... 139 3. Rotasi Pengolahan Sawah di Desa Lamatti Riattang ............................. 145 4. Alokasi Waktu Kegiatan Petani di Desa Lamatti Riattang ...................... 151 5. Tingkat Penghasilan Petani di Desa Lamatti Riattang ............................ 156 6. Tenaga Kesehatan di Desa Lamatti Riattang ............................................ 163 7. Difersifikasi Pekerjaan Petani Berlahan Sempit di Desa Lamatti Riattang ........................................................................................... 176 8. Difersifikasi Pekerjaan pada Petani Berlahan Luas di Desa Lamatti Riattang ............................................................................... 183 9. Tingkat Pendapatan Petani di Desa Lamatti Riattang ............................ 191
10. Pemilikan Barang Konsumtif pada Petani di Desa Lamatti Riattang... 193 11. Gaya Berpakaian pada Petani di Desa Lamatti Riattang ..................... 194 12. Sumbangan para Petani dalam suatu pesta di Desa Lamatti Riattang .......................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Penelitian
Berbagai kebijakan pembangunan telah ditempuh oleh pemerintah
Republik Indonesia khususnya pemerintahan Orde Baru dengan prioritas
utama pada pertumbuhan ekonomi. Sebagai upaya merealisasikan tujuan
tersebut, dilaksanakan berbagai kebijakan pembangunan yang antara lain
adalah pelaksanaan modernisasi pertanian di pedesaan. Salah satu desa
yang mendapat kebijakan ini ialah Desa Lamatti Riattang yang terletak di
Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai.
Kebijakan tesebut ditempuh, mengingat sebagian besar penduduk
Indonesia tinggal di daerah pedesaan dengan mata pencaharian sebagian
besar adalah petani, maka pemerintah merasa perlu untuk meningkatkan
produktivitas pertanian padi dengan jalan melakukan modernisasi pertanian.
Masuknya modernisasi pertanian pada Desa Lamatti Riattang yang antara
lain adalah penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, pemberantasan
hama dengan pestisida, telah membawa perubahan-perubahan pada
masyarakat petani.
Desa Lamatti Riatang merupakan salah satu fokus pembangunan
secara keseluruhan yang meliputi segala potensi manusia, alam dan
teknologinya, serta mencakup pula segala aspek kehidupan dan
1
2
penghidupan yang ada di desa ini. Setiap pembangunan yang dilakukan
terhadap masyarakat Desa Lamatti Riattang telah menimbulkan dampak
sosial dan budaya bagi masyarakatnya. Pembangunan masyarakat di desa
ini tidak dapat dipisahkan dari unsur -unsur pembangunan itu sendiri misalnya
teknologi1.
Penerapan teknologi sebagai salah satu perangkat dalam
pelaksanaan pembangunan di satu pihak, pada gilirannya akan berhadapan
dengan masyarakat pedesaan yang masih tradisional dengan segala cirinya
yang khas2 . Namun di lain pihak jika unsur pokok pembangunan tersebut
langsung diterapkan tanpa adanya perhitungan aspek sosial dan budaya,
maka pembangunan yang direncanakan bisa saja tidak mengalami
keberhasilan. Masyarakat Desa Lamatti Riattang yang berorientasi pada
bidang pertanian, merupakan sasaran utama pengenalan teknologi pertanian.
Dengan demikian salah satu sasaran utama teknologi ialah pedesaan yang
berbasis pertanian yang pada akhirnya melahirkan perubahan sosial.
Dipilihnya Desa Lamatti Riattang sebagai percontohan awal dalam
melaksanakan modernisasi pertanian karena desa inilah yang dianggap
memiliki lahan sawah yang paling luas di wilayah Kecamatan Bulupoddo
1 Haryo S. Martodirdjo, 1995. Membangun Desa. Jakarta: Grasindo. 2 Ciri masyarakat desa yang dimaksud ialah: sulit menerima hal yang baru,
solidaritas dan sekuritas sosialnya sangat tinggi, belum mengenal adanya pembagian kerja. Keteranagan lebih lanjut baca Soedjono Dirdjosisworo, 1997. Asas-Asas Sosiologi, Bandung: Rosda.
3
yakni sekitar 505, 28 hektar3. Sementara di Desa Lamatti Riaja luas areal
persawahan hanya berkisar 352,61 hektar4. Sedangkan di Desa Tompo Bulu,
Desa DuampanuaE dan Desa Bulutellue masyarakatnya lebih banyak
mengusahakan tanaman perkebunan misalnya kopi, cengkeh, lada dan
kakao.
Masyarakat Desa Lamatti Riattang, sebagaimana masyarakat
pedesaan di Indonesia pada umumnya, apabila ditinjau dari segi
kehidupannya, mereka sangat terikat dan tergantung pada tanah 5. Karena
sama-sama tergantung pada tanah, maka kepentingan pokok juga sama,
sehingga mereka juga akan bekerja sama untuk mencapai kepentingannya,
misalnya ketika mengolah lahan dan pada waktu menanam padi. Hal ini
dilakukan karena biasanya sebuah keluarga saja tidak cukup memiliki tenaga
kerja yang cukup memadai untuk mengerjakan tanahnya, sehingga timbullah
modal sosial yang dikenal dengan istilah gotong royong6, dan bukan
semacam lembaga yang sengaja dibuat. Sebab itu pada masyarakat di
pedesaan tidak akan dijumpai pembagian kerja didasarkan profesi, akan
3 Data statistik desa Lamatti Riattang tahun 1972. 4 Data statistik pada kantor kecamatan Bulupoddo tahun 1972. 5 Oekan Soekotjo Abdullah, 1998. Manusia, Lingkungan Dan Pembangunan di
Pedesaan. Bandung: Rosda. 6 Herman Soewardi, 1994. Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernisasi
Produksi Pertanian Terutama Padi di Jawa Barat. Yogyakarta: Gadajah Mada University Press.
4
tetapi biasanya pembagian kerja didasarkan pada usia mengingat
kemampuan fisik masing-masing dan juga atas dasar jenis kelamin7.
Fungsi alam sebagai sumber kebutuhan hidup termasuk tanah dan air,
menuntut masyarakat Desa Lamatti Riattang untuk selalu berusaha
menguasai lingkungan dengan jalan memanfaatkannya secara maksimal.
Upaya itu pun harus dibarengi oleh pengetahuan dan jenis alat yang
memadai agar kelestarian lingkungan tetap terjaga. Desa Lamatti Riattang
yang merupakan salah satu desa yang ada di Kabupaten Sinjai yang
mayoritas penduduknya bekerja pada sektor pertanian, khususnya tanaman
kebutuhan pangan misalnya padi, berkat adanya dukungan wilayah yang
cukup subur serta keuletan masyarakatnaya dalam bekerja 8 membuat
pertanian di daerah ini mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Sebagaimana pada masyarakat petani pada umumnya, petani di Desa
Lamatti Riattang memiliki kesamaan karakteristik dengan kegiatan pertanian
di daerah lain yang bercorak agraris pula. Maksudnya kegiatan dan
perkembangan ekonomi ditentukan oleh keadaan alam, tradisi yang mereka
anut, modal usaha, tingkat perkembangan dan pemanfaatan teknologi dalam
kegiatan pertanian. Berolak dari hal tersebut, keadaan petani di Desa Lamatti
7 Abdul Syani, 1987. Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial. Jakarta: Fajar Agung. 8 Lukman, 1999. Pola Partisipasi Wanita Dalam Pembangunan di Kabupaten Sinjai.
Tesis pada program studi ekonomi pembangunan dan perencanaan, Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar.
5
Riattang pada awalnya hidup dengan ciri ekonomi subsistensi9.
Perkembangan selanjutnya ketika memasuki tahun 1972 10, dengan adanya
prioritas utama pemerintah Republik Indonesia untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi yang kemudian diikuti pula oleh pemerintah desa, maka
dilaksanakanlah berbagai macam kebijakan dalam bidang pembangunan
yang antara lain ialah melaksanakan modernisasi pertanian di pedesaan.
Modernisasai dalam bidang pertanian padi sawah yang dicanangkan oleh
pemerintah secara perlahan-lahan telah mampu merubah pola dan kondisi
kehidupan masyarakat petani menjadi semi subsistensi11 hingga akhirnya
berubah menjadi ekonomi komersial 12 .
Penerapan modernisasi pertanian di Desa Lamatti Riattang, selain
dilandasi tuntutan era perkembangan zaman yang sudah mengacu pada
teknologi moderen, juga karena adanya keinginan dari pemerintah desa yang
pada saat itu dijabat oleh Abdul Razak yang menginginkan adanya
perubahan terhadap warganya ke arah peningkatan kesejahteraan ekonomi
rumah tangga.
9 Struktur ekonomi subsistensi ialah kepemilikan dan penguasaan tanah sepenuhnya ada pada petani dan apa yang dihasilkan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Didik J. Rachbini, 2001. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Grasindo.
10Keterangan tahun ini didasarkan pada tesis yang ditulis oleh Abdullah Ahmad untuk mencapai gelar Magister dalam bidang ilmu pertanian di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 dengan judul: Strategi dan Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Pertanian Padi Sawah Di Desa Lamatti Riattang, Kabupaten Sinjai.
11 Ekonomi semi subsistensi menurut Hall Hill ialah kegiatan dalam mengelolah dan menghasilkan barang untuk memenuhi kebutuhan keluarga disamping adanya usaha untuk memperoleh modal walaupun dalam skala kecil. Aswicahyono, 2001. Ekonomi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Jakarta: Murai Kencana.
12 Ekonomi Komersial ialah kegiatan dan usaha produksi yang diorientasikan untuk memperoleh modal dan keuntungan yang maksimal. Hall Hill dalam Aswicahyono, 2001. ibid.
6
Gejala modernisasai pertanian yang terjadi pada lingkungan petani
padi di Desa Lamatti Riattang bukan hanya sebatas penerapan unsur -unsur
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kegiatan pertanian misalnya
penggunaan pupuk, penggunaan peralatan mekanis dalam mengolah sawah,
pengairan yang bagus, tersedianya tenaga kerja manusia yang potensial,
tetapi juga termasuk perubahan pola pikir dari masyarakat yang tertutup
menjadi masyarakat yang lebih terbuka dalam menghadapi laju modernisasi
yang begitu pesat.
Ada dua pendapat yang berbeda tentang bagaimana modernisasi
pertanian terdistribusi di kalangan kaum petani. Pertama, pendapat yang
mengatakan bahwa modernisasi pertanian bersifat bias skala. Pendapat ini
mengatakan bahwa modernisasi pertanian hanya dinikmati oleh petani
berlahan luas, sedangkan petani berlahan sempit tidak dapat menikmatinya
karena keterbatasan dana 13. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa
modernisasi pertanian bersifat netral skala. Pendapat ini mengatakan bahwa
modernisasi pertanian dinikmati, baik oleh petani berlahan sempit maupun
petani berlahan luas. Hanya saja keduanya berbeda dalam menerima nilai
tambah. Petani berlahan luas akan mendapatkan nilai tambah yang lebih
besar daripada petani berlahan sempit.
13 William L Collier. 1996. Pendekatan Baru Dalam Pembangunan Pertanian di Jawa.
Jakarta: YOI
7
Kedua pendapat tersebut di atas, sama-sama memperlihatkan bahwa
modernisasi pertanian selalu menguntungkan pada petani berlahan luas dan
kurang menguntungkan, bahkan merugikan bagi petani berlahan sempit.
Dengan demikian terjadi kesenjangan sosial ekonomi antara petani berlahan
luas dengan petani berlahan sempit. Terhadap fenomena ini muncul pula dua
pendapat tentang bagaimana modernisasi pertanian berpengaruh terhadap
sistem stratifikasi pada masyarakat petani. Pendapat pertama mengatakan
bahwa akan terjadi polarisasi antara petani berlahan luas dengan petani
berlahan sempit 14. Pendapat kedua mengatakan bahwa modernisasi
pertanian telah menyebabkan berubahnya stratifikasi sosial masyarakat
petani. Kondisi kemiskinan yang dialami oleh petani tersebut diperburuk lagi
oleh tekanan penduduk yang semakin besar di pedesaan sehingga tambahan
produksi pertanian yang relatif kecil tidak mampu memenuhi kebutuhan yang
disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi 15.
Patut juga diingat, bahwa perubahan suatu sistem dalam lingkungan
masyarakat desa seperti halnya sistem pertanian moderen yang diterapkan
oleh pemerintah, selain membawa perubahan dan kemajuan terhadap
masyarakat pendukungnya, juga membawa dampak negatif terhadap
14 Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta: YOI 15 Moh. Amaluddin. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial: Studi Kasus di Desa
Bulugede, Kendal, Jawa Tengah. Jakarta: YOI.
8
kehidupan sosial budaya masyarakat di Desa Lamatti Riattang 16. Perubahan
berupa transformasi sosial juga terjadi pada jarak sosial dan pola hubungan
kerja petani dari colective action menjadi individual action dalam artian bahwa
sebelum adanya modernisasi dalam kegiatan pertanian, solidaritas
masyarakat bersifat mekanik yang ditandai dengan tingginya kecenderungan
untuk saling membantu dalam bekerja mengolah sawah, kemudian berubah
menjadi solidaritas organik yang ditandai dengan memudarnya jiwa kegotong
royongan menjadi penerapan sistem upah dalam kegiatan produksi. Bahkan
melahirkan kelas-kelas sosial baru yang diukur oleh indikator ekonomi
(kekayaan), sekaligus menggeser kelas sosial yang diukur berdasarkan
ketentuan adat17.
Modernisasi pertanian yang dicanangkan oleh pemerintah Desa
Lamatti Riattang, demi meningkatkan produktifitas lahan pertanian juga
ternyata menyebabkan tersingkirnya angkatan kerja produktif dalam jumlah
yang cukup besar. Masalah tadi juga erat kaitannya dengan keterbatasan
lahan pertanian, sementara jumlah penduduk semakin meningkat akibat laju
pertumbuhan penduduk yang juga meningkat. Selain itu, juga semakin
diperparah oleh ketimpangan pola pemilikan tanah dan tuntutan evisiensi
16 Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Robert Redfield,1985. Bahwa
masuknya pengaruh modernisasi di pedesaan telah menciptakan kesenjangan sosial dan memeudarnya sistem nilai masyarakat pendukungnya. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: CV. Rajawali.
17 Ahmadin, 2000. Transformasi Sosial Masyarakat Tani: Kasus Desa Watuliwa Kecamatan Lasusuwa Kabupaten Kolaka. Makassar: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Indonesia.
9
dalam intensifikasi pertanian. Akibatnya di Desa Lamatti Riattang
kesempatan kerja menjadi semakin langka dan jika ada orang yang
mendapatkan lapangan kerja maka upah yang diterimanya dinilai tidak
sebanding dengan waktu kerja. Misalnya sebelum adanya mesin penggiling
padi, banyak kaum wanita yang menggantungkan kehidupannya sebagai
buruh penumbuk. Ketika mereka menumbuk dan menghasilkan beras 10 liter
maka dia mendapat bagian 2 liter. Tetapi kemudian mereka kehilangan
pekerjaan karena mereka tidak dibituhkan lagi tenaganya untuk mengolah
gabah menjadi beras.
Dinamika masyarakat petani padi di Desa Lamatti Riattang yang telah
dipaparkan menunjukkan adanya perubahan setelah diterapkannya
modernisasi dalam bidang pertanian. Hal inilah yang kemudian mendorong
saya untuk meneliti lebih lanjut tentang modernisasi pertanian dan kaitannya
dengan perubahan sosial yang terjadi pada masayarakat petani di Desa
Lamatti Riattang sejak tahun 1972 sampai pada tahun 1997. Tahun 1972
dijadikan awal dari penelitian ini karena pada tahun inilah pertama kali
diterapkan panca usaha tani yakni dengan dibangunnya irigasi hoddi. Tahun
1997 dijadikan akhir dari penelitian ini karena pada tahun ini terjadi krisis
ekonomi di Indonesia yang tentunya sangat berpengaruh pada masyarakat
petani di desa ini. Banyak di antara para petani, utamanya petani yang
berlahan sempit tidaka dapat membeli pupuk dan pestisida karena harganya
terlampau mahal. Sedangkan penghasilan mereka hanya untuk memenuhi
10
kebutuhan keluarganya, dan tidak ada sama sekali simpanan mereka untuk
membeli bahan-bahan dalam merawat tanaman padi mereka, sehingga tidak
mampu lagi menghasilkan padi atau beras secara optimal.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini berupaya memberikan gambaran mengenai kondisi
kehidupan sosial masyarakat petani di Desa Lamatti Riattang sebelum dan
sesudah masuknya modernisasi pertanian. Adapun yang menjadi pertanyaan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi pertanian dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial
dan budaya masyarakat petani sebelum modernisasi pertanian
diterapakan?
2. Bagaimana peranan pemerintah dalam proses pelaksanaan modernisasi
pertanian?
3. Bagaimana dampak pelaksanaan modernisasi pertanian terhadap
kehidupan sosial, ekonomi dan budaya pada masyarakat?
C. Tujuan Penelitian
Berdasakan pertanyaan penelitian yang diajukan dalam rumusan
masalah di atas, maka tujuan penelitian ini ialah:
1. Untuk mengetahui kondisi pertanian dan pengaruhnya terhadap kehidupan
sosial budaya masyarakat petani sebelum diterapkannya modernisasi
pertanian..
11
2. Untuk mengetahui peranan pemerintah dalam proses penerapan
modernisasi pertanian.
3. Untuk mengetahui dampak dari adanya modernisasi pertanian terhadap
kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat petani.
D. Manfaat Penelitian
Pengungkapan terhadap modernisasi pertanian kaitannya dengan
perubahan sosial budaya pada masyarakat petani di Desa Lamatti Riattang
diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. Dijadikan bahan acuan oleh pemerintah desa dalam upaya memantapkan
program pengentasan kemiskinan dan pengembangan masyarakat petani
serta memeberikan pemahaman dan wawasan dalam menghadapi
tantangan dalam usaha pengembangan bidang pertanian di Desa Lamatti
Riattang.
2. Memberikan kontribusi dalam penulisan sejarah sosial yang bernuansa
lokal, khususnya sejarah petani di daerah pedesaan, sebab
pengungkapan sejarah dari masyarakat bawah sebagaimana yang
mereka alami dan tuturkan pada dasarnya merupakan upaya penulisan
sejarah yang menggunakan pendekatan etnografi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepustakaan
Tinjauan pustaka bertujuan sebagai dasar pemikiran untuk menelaah
sebuah pokok persoalan. Dalam hal ini dibutuhkan sejumlah literatur untuk
mengarahkan kajian penelitian. Mengkaji tentang modernisasi pertanian telah
banyak karya yang dapat dijadikan rujukan. Karya tersebut ialah Revitalisasi
Pertanian di Indonesia yang ditulis oleh Mangora Tambunan.
Sementara untuk mengetahui sejumlah proses pelaksanaan
modernisasi pertanian di Desa Lamatti Riattang ada beberapa sumber yang
dijadikan sebagai bahan perbandingan antara lain Sanim1, Kasryono 2,
Kartohadirdjo 3, dan ada sebuah tesis yang ditulis oleh Ahmad Abdullah yaitu,
Srategi dan Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Pertanian Padi Sawah di
Desa Lamatti Riattang.
Terkait dengan dampak yang ditimbulkan oleh adanya modernisasi
pertanian, maka buku yang dijadikan rujukan ialah tulisan dari Koesnadi 4,
1 Bunasir Sanim. 1999. Pembangunan Pertanian diIndonesia. Jakarta: LP3ES. 2 Faisal Kasryono. 1984. Prospek Pembangunan EkonomiPedesaan di Indonesia.
Jakarta: YOI 3 Hariadi Kartohadirdjo. 1999. Strategi dan Kebijakan Pertanian Berkelanjutan di
Indonesia. Bogor: Pustaka Insani. 4 Engkos Koesnadi. 1989. Kabupaten Majalengka dan Dinamika Masyarakat Petani
Padi. Bandung: Rosda .
12
13
dan Saefullah 5. Temuan penelitian Koesnadi menyatakan bahwa dengan
masuknya teknologi moderen dalam pertanian padi telah menyebabkan
meningkatnya pendapatan masyarakat, namun di lain sisi tingkat kegotong
royongan sesama petani mulai mengalami pergeseran. Selain itu, karena
adanya peningkatan pendapatan maka masyarakat memiliki daya beli yang
tinggi, termasuk perabotan rumah tangga maka orang mendapat
penghargaan berdasarkan kekayaannya. Sementara temuan Saefullah,
dengan masuknya peralatan moderen dalam pengolahan sawah dan
hasilnya, maka banyak dari kalangan rumah tangga petani yang
menggantungkan hidupnya sebagai buruh tani dan buruh penumbuk
mengalami kekurangan lapangan kerja sehingga pendapatan untuk
pemenuhan kebutuhan rumah tangga mengalami penurunan.
B. Modernisasi Pertanian
Pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 modernisasi umumnya
dipakai untuk menunjukkan pertumbuhan rasionalisme dan sekularisme serta
pada proses di mana manusia berhasil melepaskan diri dari tirani kekuasaan
pemarintahan maupun belenggu takhayul. Masalah modernisasi dalam
pembangunan telah banyak menjadi tema dalam penulisan, karena masalah
modernisasi mencakup permasalahan yang kompleks, sehingga senantiasa
5 Ahmad Djadja Saefullah. 1993. Transformasi Pertanian dan Kesempatan Kerja di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Bandung: Rosda.
14
meransang para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk
mengkajinya 6.
Modernisasi merupakan persoalan menarik yang dewasa ini
merupakan gejala umum yang sudah mendunia. Pada umumnya masyarakat
di dunia dewasa ini terkait pada jaringan modernisasi, baik yang baru
memasukinya maupun yang sudah meneruskan tradisi modernisasi tersebut.
Modernisasi jika dikaitkan dengan dunia pertanian, dalam pandangan
Hasansulama ialah pergantian teknik produksi dari cara-cara lama ke arah
yang lebih moderen dengan memanfaatkan kemajuan teknologi khususnya
dalam bidang pertanian 7. Lebih lanjut Kartasapoetra mengatakan bahwa
modernisasi pertanian ialah pembaharuan dalam mengelolah dan
memanfaatkan lahan persawahan untuk mencapai hasil produksi yang
maksimal. Dalam hal ini para petani dibina dan dibimbing agar berperilaku
baru dalam kegiatan usaha taninya. Sanggup menerima dan menggunakan
teknologi moderen, mengubah sarana-sarana produksi yang digunakan agar
bisa meningkatkan pendapatan rumah tangga 8.
Modernisasi pertanian di Indonesia dimulai sejak adanya program
Revolusi Hijau 9. Program ini memperkenalkan dan memperluas penggunaan
6 Zygmunt Baumant, 1991. Modernity and Ambivalence. Cambridge: Polity Press. 7 Muh. Imang Hasansulama, 1995. Pengantar Ilmu Petanian. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 8 Kartasapoetra, 1994. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Bumi Aksara. 9 Revolusi Hijau ialah suatu program intensifikasi pertanian tanaman pangan
khususnya padi. Bunasir Sanim, 1999. Pembangunan Pertanian di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
15
teknilogi moderen dalam bertani. Unsur utama dalam modernisasi pertanian
ialah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kegiatan pertanian
yang meliputi intensifikasi, ekstensifikasi, mekanisasi, diversifikasi dan
rehabilitasi 10. Intensifikasi pertanian ialah uasaha untuk meningkatkan
produksi pertanian melalui penerapan panca usaha tani yang meliputi
penggunaan pupuk, pengairan yang cukup, pemilihan bibit unggul,
pemberantasan hama dan perbaikan dalam bercocok tanam. Ektensifikasi
pertanian ialah usaha untuk meningkatkan hasil produksi pertanian dengan
cara menambah atau memperluas lahan pertanian. Mekanisasi pertanian
ialah usaha untuk peningkatan hasil produksi pertanian dengan cara
menggunakan mesin-mesin moderen. Diversifikasi pertanian ialah usaha
untuk meningkatkan produksi pertanian dengan cara memperbanyak
kegiatan pekerjaan dan jenis tanaman. Rehabilitasi pertanian ialah usah
untuk memperbaiki atau mengganti tanaman yang lama dengan tanaman
yang baru 11.
Modernisasi yang diperkenalkan di sektor pertanian tradisional yang
diharapkan dapat menimbulkan potensi kenaikan produktivitas pertanian
telah menimbulkan efek pengurangan penyerapan tenaga kerja di sektoer
10 Faisal Kasryono, 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 11 Mangora Tambunan, 2001. Revitalisasi Pertanian di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
16
pertanian tradisional. Collier dan Birowo 12 dalam suatu studinya atas sampel
unit pertanian yang representatif di Jawa Timur menunjukkan bahwa
penggunaan tenaga kerja perhektar tanah pertanian telah berkurang sesudah
unit pertanian ini menggunakan bibit unggul dibandingkan dengan bibit lokal
biasa. Penggunaan tenaga kerja yang diukur dalam hari perhektar telah
berkurang dari 260 hari manjadi 230 hari kerja.
Pemakain sabit untuk menggantikan ani-ani juga telah menimbulkan
pengurangan penggunaan tenaga kerja dalam unit-unit pertanian di sektor
pertanian tradisional. Saefullah13 menunjukkan bahwa pemetikan panen
dengan menggunakan ani-ani membutuhkan kira-kira 200 hari kerja
perhektar unit pertanian dibandingkan dengan 75 hari kerja pada saat
menggunakan sabit. Koesnadi 14 dalam suatu penelitiannya menunjukkan
bahwa 27 orang pria yang menggunakan sabit, telah mampu mengggantikan
ani-ani dalam memanen padi dalam suatu unit pertanian yang sama.
Penggunaan traktor dalam satu unit pertanian merupakan bentuk lain
dalam penggunaan teknologi baru yang telah menyebabkan pengurangan
dalam penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Collier15 berdasarkan
hasil penelitianya menunjukan suatu taksiran pengguna traktor ukuran kecil
12 William L. Collier dan Ahmad T. Birowo, 1992. Agricultural and Rural Development in Indonesia. Colorado: Westview Boulder.
13 A. Djadja Saefullah, 1993. Transformasi Pertanian dan Kesempatan Kerja di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jakarta: LP3ES.
14Engkos Koesnadi, 1989. Kabupaten Majalengka dan Dinamika Masyrakat Petani Padi: Bandung: Rosda.
15 William L. Collier, 1994. Agricultural Evolution in West Java. The Decline of Shared Poverty and Involution. Bogor: Agro Economic Survey.
17
sebanyak 9 unit, yang masing-masing dipakai untuk mengolah lahan sawah
dengan jumlah luas 20 hektar, mengakibatkan pengurangan penyerapan
tenaga kerja dari sebanyak 540 orang per hari kerja menjadi 260 orang per
hari kerja pada waktu proses pengolahan sawah dilakukan.
Menurunnya tenaga kerja di sektor pertanian tradisional telah
dihubungkan pula dengan masuknya mesin perontok padi yang telah
menggantikan banyak tenaga kerja dalam kegiatan memisahkan butiran buah
padi dari batangnya yang sebelum diterapkannya modernisasi merupakan
salah satu sumber penghidupan bagi banyak keluarga. Suparmoko16 dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa akibat penggunaan mesin perontok padi
menyebabkan hilangnya kesempatan kerja dalam satu musim panen sekitar
124 orang buruh penumbuk.
C. Perubahan Sosial
Pada dasarnya setiap masyarakat dalam hidupnya akan mengalami
perubahan-perubahan. Perubahan itu akan dapat diketahui, apabila
dilakukan perbandingan, artinya adalah menelaah keadaan suatu masyarakat
pada waktu tertentu dan kemudian membandingkannya dengan keadaan
masyarakat itu pada masa lalu. Perubahan dalam masyarakat pada
prinsipnya merupakan suatu proses yang secara terus menerus, dalam artian
16Suparmoko, 1991. Penyerapan Tenaga Kerja Pada Intensifikasi Tanaman Padi di
Kabupaten Karawang. Disertasi yang diajukan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Pertanian. Belum diterbitkan.
18
bahwa setiap masyarakat pada umumnya akan mengalami perubahan itu,
akan tetapi perubahan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lainnya tidak selalu sama, ada masyarakat yang mengalaminya lebih
cepat jika dibandingkan dengan masyarakat lainnya.
Perubahan-perubahan dalam masyarakat menyangkut hal yang
kompleks, oleh karena itu Alvin L. Bertrand menyatakan bahwa perubahan
sosial pada dasarnya tidak dapat diterangkan oleh dan berpegang pada
faktor yang tunggal. Menurut Robin Williams, bahwa pendapat dari faham
determinisme monofaktor kini sudah ketinggalan zaman, dan ilmu sosiologi
moderen tidak akan menggunakan interpretasai-interpretasi sepihak yang
menyatakan bahwa perubahan itu hanya disebabkan oleh satu macam
rangkaian faktor saja 17.
Dengan demikian banyak faktor yang menjadikan masyarakat bisa
berubah, sehingga tidak dapat diterangkan dengan suatu formula yang
sederhana. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu teori
yang bersifat sistematis mengenai perubahan itu yang bisa menjawab semua
pertanyaan yang berhubungan dengan fenomena ini.
Perubahan-perubahan dalam masyarakat sering dipersoalkan dengan
perubahan kebudayaan. Ada pandangan bahwa perubahan sosial itu
berbeda dengan perubahan kebudayaan, dengan menyatakan bahwa
17 Alvin L. Bertrand, 1980. Sosiologi, alihbahasa Sanapiah S. Faisal. Surabaya: Bina
Ilmu.
19
perubahan sosial meliputi perubahan dalam aspek-aspek struktur dari
masyarakat, sedangkan perubahan-perubahan pada kebudayaan itu saja.
Perbedaan yang diajukan ini pada dasarnya bersifat amat teknis, karena
dalam situasi-situasi tertentu benar-benar tidak mungkin untuk menentukan
tipe perubahan yang terjadi. Walaupun secara teoritis kedua konsep itu dapat
dibedakan, tetapi oleh karena tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai
kebudayaan dan tidak ada kebudayaan yang menjelma di luar atau bukan
pada masyarakat, maka sebenarnya di dalam kehidupan sehari-hari acapkali
tidak mudah untuk menentukan dimana letaknya garis pemisah antara
masyarakat dan kebudayaan. Garis pemisah di dalam kenyataan hidup
antara perubahan kemasyarakatan dan perubahan kebudayaan, karena itu
lebih sukar ditegaskan. Biasanya antara kedua gejala itu dapat ditemukan
hubungan timbal balik sebagai sebab akibat.
Terjadinya perubahan dalam masyarakat disebabkan adanya
penyebab-penyebab tertentu. Apabila hendak ditanyakan mengenai jumlah
dari faktor singkat dijawab dengan ”banyak”. Daya penggerak untuk proses-
proses perubahan dalam suatu masayarakat datang dari dua sumber yakni
dari dalam dan dari luar18 . Yang datang dari dalam adalah daya gerak yang
berupa pendapatan-pendapatan baru di lapangan teknik, perjuangan-
perjuangan perseorangan untuk memperoleh tanah dan kekuasaan, tekanan
jumlah penduduk atas mata pencaharian serta perubahan-perubahan iklim.
18 Raymond Firth, 1960. Ciri-Ciri dan Alam Hidup Manusia. Bandung: Sumur.
20
Sebab-sebab yang datang dari luar, untuk sebagian terletak dalam
lingkungan pergaulan itu sendiri dan untuk sebagian lagi terletak dalam
kekuatan ekspansinya peradaban.
David C. McClelland menyatakan bahwa dorongan yang
menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi dan modernisasi ialah virus
mental, yaitu suatu cara berpikir tertentu yang lebih jarang dijumpai tetapi
apabila terjadi pada diri seseorang, cenderung untuk menyebabkan orang itu
bertingkah laku secara giat. Virus mental ini diberi nama need for
achievement (kebutuhan untuk meraih hasil atau prestasi)19.
Margono Slamet, dalam konsepsinya tentang macam kekuatan yang
mempengaruhi perubahan, menyatakan bahwa terdapat tiga macam
kekuatan yang mempengaruhi perubahan, antara lain adalah kekuatan
pendorong, kekuatan yang mendorong masyarakat untuk untuk berubah. Hal
ini dinilai sebagai kondisi atau keadaan yang penting sekali, oleh karena
tanpa adanya kekuatan tersebut orang tidak akan berubah. Kekuatan ini
bersumber dari: (a) ketidak puasan terhadap situasi yang ada, karena itu ada
keinginan untuk situasi yang lain (b) adanya pengetahuan tentang perbedaan
antara yang ada dan yang seharusnya bisa ada (3) adanya tekanan dari luar
seperti kompetisi, keharusan menyesuaikan diri (4) kebutuhan dari dalam
19 David C. McClelland, Dorongan Hati Menuju Modernisasi, dalam Myron Weiner,
Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
21
untuk mencapai efisiensi dan peningkatan, misalnya produktifitas dan lain-
lain20.
Perubahan-perubahan yang terjadi bisa merupakan kemajuan atau
mungkin justru kemunduran. Unsur-unsur kemasyarakatan yang mengalami
perubahan biasanya adalah mengenai nilai-nilai sosial, pola perilaku,
organisasi sosial dan stratifikasi sosial. Dalam masyarakat maju ataupun
masyarakat berkembang, perubahan sosial dan kebudayaan selalu berkaitan
erat dengan pertumbuhan ekonomi. Menurut Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi21 bahwa perubahan-perubahan di luar bidang ekonomi
tidak dapat dihindarkan oleh karena setiap perubahan dalam satu struktur
kehidupan masyarakat akan mengakibatkan pula perubahan dalam struktur
kehidupan lainnya.
Tipe perubahan dalam pandangan Sunarto 22 adalah perubahan yang
direncanakan dan perubahan yang tidak direncanakan. Perubahan yang
direncanakan adalah perubahan yang diperkirakan dan telah digagas
sebelumnya oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam
masyarakat. Pihak yang ingin mengadakan perubahan dinamakan agent of
change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat
kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin dalam suatu lembaga
20 R. Margono Slamet, 1981. Pembangunan Pedesaan dan Perubahan Sosial. Jakarta: Gramedia.
21 Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, 1984. Setangakai Bunga Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
22 Kamanto Sunarto, 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
22
kemasyarakatan. Perubahan yang direncanakan, paling baik diterapkan
terhadap masyarakat yang memang sebelumnya sudah memiliki keinginan
untuk berubah.
Sementara itu perubahan yang tidak direncanakan, merupakan
perubahan-perubahan yang berlangsung di luar kehendak atau pengawasan
masyarakat. Perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki ini biasanya
menimbulkan konflik. Dalam kondisi demikian anggota masyrakat pada
umumnya lebih sulit diarahkan untuk melakukan perubahan secara
mendalam. Hal ini disebabkan adanya pengalaman buruk mereka terhadap
akibat perubahan yang terjadi sebelumnya yang tidak membuahkan
kepuasan dan kesejahteraan atau karena masyarakat masih mempunyai
kepercayaan yang sangat kuat terhadap tradisi-tradisi sosial yang hidup
dalam masyarakat yang bersangkutan 23.
Perubahan sosial juag terkait dengan perubahan kebudayaan
masyarakat desa dari pola tradisional menjadi bersifat moderen.konsep
kebudayaan dalam pandangan Paul H. Landis24 adalah gambaran tentang
cara hidup masyarakat desa yang belum dirasuki oleh penggunaan
tekhnologi moderen serta sistem ekonomi uang. Dengan rumusan lain pola
kebudayaan tradisional adalah merupakan produk dari besarnya pengaruh
alam terhadap masyarakat yang hidupnya tergantung terhadap alam.
23 Haryo S. Martodirdjo, 1989. Pola Adat, Kampung dan Desa. Bandung: Rosda. 24 Paul H. Landis,1948. Rural Life in Procces. New York: McGraw-Hill Book
Company.
23
Semakin tidak berdaya tetapi di lain pihak semakin tergantung terhadap
alam, Akan semakin terlihat jelas pola kebudayaan itu.
Perubahan-perubahan yang tejadi di desa-desa pertanian sawah,
khususnya dengan semakin intensifnya sistem ekonomi uang di desa-desa,
akan juga mengubah pola pelapisan sosial yang ada. Pelapisan sosial yang
didasarkan pada adat itu kemudian bergeser yang didasarkan pada
kemampuan ekonomi yang kemudian memunculkan elit baru dalam
masyarakat desa yakni orang kaya.
D. Masyarakat Petani
Menurut Hasan Sadly masyarakat dalah golongan besar atau kecil
terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian
secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain 25.
Sedangakan menurut Widjaja, masyarakat adalah sekelompok orang yang
memiliki identitas sendiri yang membedakan dengan kelompok lain dan
berdomisili dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Jadi dalam
masyarakat itu terjadi interaksi di dalamnya terdapat nilai-nilai sosial tertentu
yang menjadi pedoman untuk bertingkah laku bagi anggota masyarakat 26.
Menurut Undang-Undang nomor 2 tahun 1960, yang dimaksud dengan
petani ialah orang baik mempunyai tanah maupun tidak yang menfokuskan
25 Hasan Shadly, 1998. Masyarakat Desa dan Pembangunan Terpadu. Jakarta:
Rineka Cipta. 26 A.W. Widjaja, 1986. Individu, Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Presindo.
24
mata pencahariannya dengan mengusahakan tanah untuk kegiatan pertanian
dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya 27. Petani dapat pula
diartikan sebagai orang yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan cara memanfaatkan lahan pertanian untuk bercocok tanam. Dari
pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat petani
ialah kelompok manusia besar atau kecil, yang saling berinteraksi baik antar
manusia maupun dengan lingkungannya, yang melakukan kegiatan ekonomi
dengan memanfatkan sumber daya alam berupa tanah atau lahan pertanian
untuk bercocok tanam.
Masyarakat petani dapat dibagi atas beberapa jenis.Sutrisno membagi
masyarakat petani berdasarkan tingkat kepemilikan tanahnya. Dilihat dari
segi tingkatan pemilikan tanah pertanian, petani dapat dibagi atas dua
tingkatan, yakni petani pemilik dan buruh tani. Petani pemilik terdiri atas tiga
macam yaitu petani pemilik yang tidak menggarap tanahnya sendiri tetapi
diserahkan kepada orang lain, petani pemilik yang menggarap tanahnya
sendiri, dan petani pemilik yang menggarap tanahnya sendiri dan menggarap
tanah orang lain.
Biasanya petani pemilik yang tidak menggarap tanahnya adalah
keluarga petani yang memiliki lahan yang luas. Mereka tidak perlu berusaha
untuk menggarap sendiri tanahnya akan tetapi hanya diberikan kepada orang
lain untuk menggarapnya. Petani seperti ini disebut sebagai Tuan Tanah.
27 C.S.T. Kansil, 2000. Kitab Undang-Undang Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
25
Petani yang menggarap tanahnya sendiri adalah petani yang memiliki lahan
yang agak sempit (kurang dari 2 hektar), sehingga dianggap pas-pasan untuk
memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Petani pemilik disamping
menggarap tanahnya sendiri, dia juga menggarap tanah orang lain dan
hanya memiliki lahan yang luasnya kurang dari 1 hektar. Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi kemungkinan kurangnya hasil pertanian yang mereka
peroleh. Sedangkan buruh tani ialah petani yang tidak memiliki lahan pertania
yang berusaha untuk menggarap tanah orang lain sebanyak mungkin sesuai
dengan kemampuan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya.
Jadi status seorang petani dapat dilihat dari status pola kepemilikan
tanahnya. Petani pemilik tampa mengolah lahan persawahan menempati
status sosial yang lebih tinggi dibandingkan pemilik lahan pertanian dengan
mengolah lahan yang dimilikinya, sedangkan yang tidak memiliki lahan
pertanian namuin hanya menggarap tanah milik orang lain memiliki status
yang lebih rendah.
E. Pembangunan Sektor Pertanian
Republik Indonesia merupakan Negara agraris dengan penduduk
mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Pada tahun 1993 tercatat 21,
5 juta rumah tangga menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian.
Apabila diasumsikan setiap rumah tangga terdiri dari 4 orang anggota
26
keluarga, maka jumlah penduduk yang merasakan dampak pengganda dari
hasil pertanian adalah 86 juta jiwa atau 58,4 % dari total jumlah penduduk di
Indonesia 28.
Disimak dari kemampuan penyerapan jumlah tenaga kerja, sektor
pertanian juga tidak kalah dengan sektor lain bahkan pada tahun 1985-1995,
jumlah angkatan kerja yang terlibat langsung dalam sektor pertanian
mengalami peningkatan yang mencolok yakni dari 38,74 juta menjadi 48,76
juta jiwa. Sementara di saat krisis ketika sektor lain melakukan PHK, lagi-lagi
sektor pertanian menjadi katub pengaman dengan menciptakan sekitar 5 juta
lapangan kerja baru. Bahkan tercatat pada tahun 1997 sektor pertanian justru
mampu mencetak devisa ekspor sekitar US $ 13 milyar, serta memiliki
pertumbuhan positif 0,43 % tatkala sektor lain menukik dengan tingkat
pertumbuhan minus, sehinga mampu memberikan dampak pengganda tiga
kali lipat. Namun sayang kontribusi kontribusi sektor pertanian hingga saat ini
tetap masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Hal itu terbukti dari
posisi kredit modal kerja menurut sektor usaha yang menempatkan sektor
pertanian dibawah prioritas perindusterian, perdagangan dan jasa 29.
Bukan itu saja, keberadaan sektor pertanian sebagai sumber utama
penyediaan bahan pangan nasional juga cenderung terus diabaikan. Sebagai
28 Sumber sensus pertanian 1993 tentang jumlah tenaga kerja di sektor pertanian
dalam Sumodiningrat, (2001: 27). 29 Revrisond Baswir. 1997. Agenda Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
27
bukti perkembangan pembangunan sektor industri dan prasarana
pendukungnya misalnya perumahan, jalan tol, lapangan golf dan usaha
industri lainnya telah membentuk proses penyusutan lahan sawah.
Diperkirakanh lahan pertanian sawah beririgasi teknis menyusut satu juta
hektar dalam satu dekade.
Akibatnya, pada pertengahan tahun tahun 1990-an pemerintah
kebingungan mencari jalan keluar dari krisis besar. Terdapat 3 aspek lain
yang melatar belakangi terjadinya krisis beras, yaitu aspek produksi,
komsumsi, dan distribusi. Orientasi kebijakan pembangunan pertanian yang
mengutamakan pada aspek produksi bahan pangan terutama beras
cenderung mengabaikan sumber pangan lain, sehingga setiap pelaksanaan
program peningkatan produksi membutuhkan biaya yang besar. Hal ini
nampak dari swasembada beras yang berhasil dicapai pada tahun 1984 tidak
dapat lagi dipertahankan, justru setelah impor beras kian meningkat dan
kesejahteraan petani ibarat jauh panggang dari api 30.
Dari aspek komsumsi, pandangan bahwa komsumsi beras sebagai
indikator masyarakat moderen menyebabkan perubahan kebiasaan dan
ketergantungan komsumsi pangan pada beras adalah makanan nasional.
30 Siswono Yudhohusodo mantan ketua umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI) menemukan data telah terjadi impor beras secara illegal yang diselundupkan secara besar-besaran dengan cara sistematis memanipulasi dokumen impor yang kian merajalela dan sulit dikendalikan. “ perbuatan segelintir importir ini akan menghancurkan kehidupan 22 juta rumah tangga petani atau sekitar 110 juta jiwa di dalam negeri, sebab beras yang dihasilkan petani tidak bakal mampu bersaing dengan harga beras impor”, Ungkap Siswono dalam Harian Kompas, edisi Rabu 5 Desember 2007.
28
Perubahan pola makan yang cenderung diseragamkan dan dipaksakan dari
makanan pokok non beras (sagu, jagung, singkong atau ketela) ke beras
menyebabakan ketergantungan terhadap sumber pangan beras semakin
membengkak. Keadan ini menjadi problem serius, tatkala kebutuhan beras
tidak didukung oleh kemampuan daerah dalam menyediakan produksi
pangannya.
Ketimpangan antara produksi dengan kebutuhan komsumsi
menyebabkan harga beras berfluktuasi dan terjadinya kelangkaan beras.
Ketersediaan infranstruktur jalan yang belum merata menyentuh semua
wilayah pelosok negeri berujung pada permasalahan distribusi 31. Bercermin
pada persoalan tersebut pemerintah kemudian menerbitkan suatu kebijakan
tentang pemerataan sistem pola pertanian sawah yang wajib terap di seluruh
pelosok negeri melalui program transmigrasi32 dan program bina desa.
Pola pengerjaan pertanian sawah dilakukan dengan menerapkan
konsep panca usaha tani sebagai pengejawantahan pemikiran revolusi
31 Ketika terjadi ketimpangan antara produksi dengan komsumsi, maka diperlukan
suatu sistem penyangga harga guna mengantisipasi fluktuasi. Masalah akan muncul apabial petani secara individual maupun kelompok tidak mampu mengendalikan produk pangan sejak dari produksi, pendistribusian dan pengelolaan pendapatan. Lemahnya daya saing petani, kesejahteraan petani dan akhirnya tidak mendorong gairah petani meningkatkan produksi lebih lanjut. Kebijaksanaan pangan yang tidak tepat justeru menyebabkan respon petani berbalik arah. Daya saing petani diawali dengan pengendalian penjualan produk, karena dengan jumlah produksi yang terkendali maka harga juga akan terkendali sehingga pendapatan petani pun meningkat.
32 Praktek pertanian sawah di Indonesia jika dirunut dari Sejarah munculnya, pertma kali pertanian sawah berkembang dari Pulau Jawa kemudian menyebar ke daerah lain, seperi Seumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Divusi pertanian sawah ini dibawa oleh kaum migran Jawa yang dimulai pada zaman kolonial dan diteruskan pada masa pemerintahan NKRI.
29
hijau33. Petani mulai diperkenalkan bibit unggul, mekanisasai, intensifikasi,
irigasi, pupuk kimia hingga diversifikasi tanaman yang berdampak pada
makin meningkatnya jumlah hasil padi di lahan pertanian sawah. Loncatan
pengetahuan sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian moderen
berakibat terjadinya ketimpangan budaya bagi masyarakat petani. Terlebih
lagimuli terkuaknya dampak negatif revolusi hijau yang terkenal dengan
kenikmatan sesaat, penderitaan kemudian.
Implementasi revolusi hijau berdamapak pada keremtanan sumber
pangan dan peningkatan ketergantungan, surplus hasil tidak bertahan lama.
Penggunaan pupuk kimia yang digunakan secara terus menerus akhirnya
menjadikan tanah dalam kondisi jenuh sehingga tidak memberi hasil yang
baik. Pestisida justru melahirkan hama dan penyakit baru. Varietas baru yang
dianggap unggul telah menggeser peran bibit padi lokal, bahkan
memusnahkan sebagian varietas lokal yang dimiliki petani yang
menghasilkan beras yang lebih wangi, pulen dan tahan banting dengan
serangan hama. Kondisi ini diperparah dengan tidak didukungnya penerapan
modernisasi pertanian dengan nilai-nilai dan pengelolaan sistem pertanian
masyarakat desa.
33 Revolusi hijau lahir di mexiko yang dicetuskan oleh pakar genetika amaerika
serikat yang bernama Bourlaugh yang bekerja di pusat pengembangan gandum yang berhasil merekayasa varitas gandum. Varitas baru ini bersifat luar biasa karena memiliki produktifitas tinggi , tahan paenaykit, tahan rebah dan responsif terhadap pupuk. Keberhasilan ini mematahkan teori Thomas Malthus yang mengangap bahwa makanan bergerak sesuai deret hitung. Bourlaugh kemudian mendapat hadiah nobel pertama di bidang pertanian dan kemudiaan di kenallah revolusi hijau.
30
Akhirnya sistem pertanian sawah hanya mampu menciptakan luasan
areal sawah, tanpa diimbangi penjiwaan mendalam berupa perubahan tata
nilai dan perilaku atas sistem pertanian sawah yang ramah dengan
modernisasi dan komersialisasi. Sistem pertanian sawah tidak mengalami
ketersinambungan hasil dan penciptaan kemandirian berusaha masyarakat
desa.
F. Tinjauan Pertanian Sawah
Manusia dan mengawali dan memepertahankan hidupnya dengan
cara berburu dan meramu yang di mulai sejak satu juta tahun yang lalu.
Pergeseran mata pencaharian hidup manusia dari berburu dan meramu ke
aktifitas bercocok tanam terjadi kira-kira sepuluh ribu tahun yang lalu dan
menandai terjadinya revolusi kebudayaan manusia 34. Manusia diberi
kesempatan dan memanfaatkan anugerah alam secara cuma-Cuma
tergantung dari kreatifitas berpikir manusia untuk mengelolah sumber daya
alam. Sejarah pertanian telah mencatat bahwa pola pertanian masyarakat
petani pada awalnya dilakukan secara subsistensi dan dilakukan secara
berpindah-pindah. Mereka menanam berbagai jenis tanaman pangan,
misalnya padi, jagung, singkong dan sayuran sebatas untuk memenuhi
kebutuhankeluarga sehari-hari. Mereka belum mengenal sistem pemupukan
untuk menyuburkan tanah, sehinga ketika tanah dirasa tidak lagi
34 Koentjaraningrat, 2002. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
31
mendatangkan hasil yang optimum, maka mereka akan mencari tempat
lain35.
Perkembangan budaya pertanian yang berpindah-pindah adalah
terbentuknya komunitas-komunitas kecil yang menyerupai desa dalam
bentuk dan struktur yang lebih sederhana. Pola pertaniannya masih berupa
sistem ladang dan masyarakatnya tidak menetap mengikuti lokasi ladang
yang baru. Solidaritas di antara masyarakat peladang tampil dalam bentuk
sistem gotong royong sebagai wujud kebersamaan dan wujud timbal balik
yang saling membutuhkan. Sistem pertanian ini belum memiliki konsepsi
pemilikan atas ladang secara individual, tetapi lebih menjadi sistem
kepemilikan bersama. Tiap individu anggota kelompok berladang boleh
mengerjakan suatu areal tanah dan mengambil hasil jerih payahnya. Ketika ia
menegerjakan suatu bagian tanah, maka tanah itu berada di bawah kendali
kekuasannya. Apabila tanh tersebut berhenti dikerjakan, maka secara
otomatis tanah kembali di bawah kekuasaan kelompok.
Seiring pertambahan penduduk yang cepat dan cadangan sumber
daya lahan ladang yang terbatas, maka masyarakat kemudian menerapkan
pola pertanian menetap. Perbedaan mencolok antara pertanian ladang
berpindah dengan sistem pertanian menetap ialah adanya pembangunan
35 Greg Soetomo, 1997. Kekalahan Manusia Petani: Dimensi Manusia dalam
Pembangunan. Yogyakarta: Kanisius .
32
irigasi36 beserta perangkap yang mengatur pembagian air dan dikenalnya alat
bajak37. Aspek lain yang menjadi ciri pertanaian menetap ialah munculnya
sistem kepemilikan, misalnya sistem kepemilikan umum yang beralih-alih,
sistem pemilikan umum dengan pemakaian tetap, dan sistem pemilikan
pribadi. Pola pertanian menetapa pada umumnya dilakukan di daerah
dengan penduduk yang sudah padat, di atas 50 jiwa. Mereka mengerjakan
lahan pertanian milik pribadi dengan penerimaan 100 %, sedangakan tanah
milik umum sdikerjakan petani dengansistem bagi hasil atau berdasarkan
sewa tempat dengahitungan tahun.
Pada tahun 1704 seorang sarjana Belanda yang bernama JHF
Sollewijn Gelpke mencatat fakta penting tentang praktek pertanaian menetap
di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Sistem pertanian menetap berupa
sawah dengan tanaman utama padi ditanam merata hampir di seluruh
masayarakat Jawa yang tinggal di dataran rendah. Namun dibalik itu ada
semacam penderitaan petani yang mengungkapakan bahwa bercocok tanam
padi lebih merupakan keharusan daripada menguntungkan. Eksploitasi hasil
36 Menurut Mohr dalam Geertz (1983:45) ada 3 fungsi irigasi yaitu (1) fungsi
pengairan, yaitu menyediakan air untuk tanah yang menjadi gersang jika kekurangan air, (2) fungsi pengontrolan, yaitu mengatur persediaan air yang cukup banyak agar dapat menghindarkan atau mengendalikan banjir, dan (3) fungsi pemupukan, yaitu menyuburkan tanah dengan zat-zat hara yang diangkutnya. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
37 Perkembangan dan persebaran bercocok tanam sebagai salah satu unsure kebudayaan manusia menjadi perhatian utama oleh kaum antropologi budaya, khususnya pada sistem peralatan yang digunakan. Peralatan bercocok tanam manusia dibagi menjadi 2 jenis, yaitu bercocok tanam tanpa bajak dan bercocok tanam dengan menngunakan bajak. Koentjaraningrat, 2002. Pengantar Antropologi.Jakarta: Rineka Cipta.
33
petani yang dimulai sejak zaman kerajaan dengan keharusan menyerahkan
separuh hasil buminya kepada raja membuat tragis kehidupan petani 38.
Kondisi ini berlanjut pada masa pemerintahan kolonial di bawah
kepemimpinan Gubernur Jenderal Raffles yang memeperkenalkan cultuur
stelsel (1830-1870) sebagai wujud penggabungan pajak tanah dan sewa
tanah dengan sistem panyerahan39.
Pada masa peralihan dari abad ke-19 sampai abad ke-20 terjadi
kemajuan ekonomi yang pesat di negeri Belanda. Situasi tersebut
menyadarkan mereka untuk melihat kondisi rakayat negara jajahan. Lewat
berbagai media dan pengamatan langsung yang dilakukan pihak Belanda
tersimpul realitas kehidupan rakayat Indonesia yang sengsara dan menderita,
jauh dari kemakmuran. Hal ini menjadi bahan kritikan terhadap pemegang
kekuasaan Hindia Belanda yang mengesploitir secara berlebihan sumber
daya alam negara jajahan yang menimbulkan kemerosotan kesejahteraan
dan terjadinya kemiskinan rakyat40. Akibatnya di kalangan Pemerintahan
Kerajaan Belanda terjadi konsensus politik kolonial baru yang dikenal dengan
38 Realitas tersebut secara psikologis membentuk karakter masyarakat Jawa yang cenderung menerima apa adanya dan ketika mendapat kesusahan palingan mereka berkata ”hidup itu seperti cakra manggilingan, ibarat roda kadang di bawah dan kadang di atas. G.E. Huntington, 1993. Ideology,History and Agriculture: Examples From Contemporary Indonesia. New York: Pricenton Press.
39 Pada tahun 1870 Pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan Agraische Wet yang lebih berupa pemeberian peluang bagi investor dari luar Hindia Belanda untuk dapat menguasai tanah-tanah pertanian untuk keperluan bisnis masing-masing investor. Tidak banyak masukan krusial bagi petani dalam kebijakan ini , mereka terus berposisi sebagai kaum yang terpinggirkan. Edy Suhendar,1997.Petani dan Konflik Agraria. Bandung : AKATIGA.
40 Kartodirdjo dalam Ahmad Fauzi (1999:39). Petani dan Penguasa. Jakarta: Rajawali Press.
34
politik etis, yaitu kesadaran bahwa pemerintah Kerajaan Belanda berutang
kepada rakyat Indonesia atas pengurasan sumber daya alam. Oleh karena
itu sudah menjadi kewajiban pemerintah Belanda mengembalikan hasil
pengurasan sumber daya alam tersebut kepada rakyat Indonesia melalui
kebijakan politik etis. Plitik etis identik dengan kebijakannya yaitu, emigrasi,
irigasi dan edukasi dengan tujuan akhir terciptanya kesejahteraan rakyat dan
meningkatnya infrastruktur agro industri.
Sebagai realisasi dari kebijakan tersebut, maka pada tahun 1904
mulailah didirikan lumbung desa, bank kredit rakyat, dan rumah-rumah gadai
pemerintah serta pengawasan penjualan candu. Pelembagaan pelayanan itu
berakibata beberapa sumber penderitaan rakyat dapat ditanggulangi,
misalnya rentenir, paceklik dan kekurangan modal. Pada tahun 1939 di Jawa
terciptalah lahan pertanian rakyat seluas 8.662.600 Ha dan pertanian
kapitalis agro industri skala besar seluas 1.250.786 Ha 41.
Kesejahteraan petani Indonesia yang mulai merangkak, ini ternyata
tidak berlangsung lama, yang ditandai dengan masuknya penjajahan Jepang.
Pada masa penjajahan Jepang obyek pengurasan sumber daya alam lebih
getir lagi. Selain berkewajiban mengisi kebutuhan tentara jepang, petani juga
harus mengorbankan kekayaan dan tenaganya. Kewajiban petani ialah
menyerahkan 20% dari hasil padi kepada pemerintah Jepang serta
41 Francis Wahono, 2000. Perubahan Struktur Perekonomian Masyarakat Desa.
Yogyakarta: Lapera.
35
membayar sewa pajak tanah. Selain itu seorang petani masih berkewajiban
menyerahkan hasil bumi kepada bangsawan feodal 42.
Memasuki masa kemerdekaan, maka tugas utma pemerintah ialah
menyusun peraturan pengganti dari peraturan pemerintah penjajah yang
dianggap merugikan petani. Akhirnya tersusunlah Undang-Undang No. 5
tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang mempunyai 5
prinsip yaitu (1) prinsip rasionalitas, yaitu wilayah Indonesia yang meliputi
darat, air dan udara merupakan satu kesatuan,(2) prinsip hak menguasai
negara, yakni hak menghilangkan peraturan, kebijakan, dankekeuasaan
kolonial atas wilayah kelola pertnian, (3) prinsip tanah mengandung fungsi
sosial, yakni penggunaan tanah harus bermanfaat bagi kepentingan umum,
(4) prinsip land reform, yakni mengedepankan prinsip tanah bagi petani agar
tidak terjadi tanah sebagai obyek spekulasi dan pemersan, dan (5) prinsip
agraria, yakni pemberian penugasan kepada negara untuk mengatur
pemberian hak dan pemanfaatan hak atas tanah, termasuk batas-batas luas
minimal dan maksimal tanah yang dapat dimiliki oleh warga negara dengan
maksud untuk memberikan tanah secara merata dengan prioritas petani
tanpa tanah43.
42 Hal ini kemudian menimbulkan perlawanan rakyat. Salah satu diantaranya ialah
perlawanan petani Unra di Bone. Keterangan Lebih lanjut Baca A. Rasyid Asba (2006) Katalog Sejarah Lisan Jepang di Sulawesi Selatan.
43 Pada tahun 1960 petani miskin tanpa tanah oleh sekelompok elit politik dijadikan alat untuk merebut tampuk kekuasaan, konsep land reform diperdagangkan kepada kalangan petani lapar tanah, sehingga dengan segera konsep tersebut laris manis dipegang kaum mayoritas petani di Indonesia yang memiliki lahan kurang dari satu hektar . meledaklah
36
Implementasi kebijakan ini belum berjalan maksimal kemudian disusul
terjadi konflik politik perebutan kekuasaan di tingkat nasional yang sekali lagi
menjerumuskan para petani miskin dalam kenestapaan44. Pertarungan politik
yang telah menyengsarakan petani diperparah oleh kegagalan panen yang
diakibatkan musim kemarau panjang dan wabah tikus pada akhir 196345.
Pemerintah Orde Baru memahami betul kondidsi kemiskinan rakyat,
sehingga dipakailah filsafat cina kuno yang mengatakan bahwa negara yang
kuat adalah negara yang pemimpinnya disegani, prjuritnya kuat, dan punya
rakyat yang perutnya kenyang. Karenanya kebijakan pertama pemerintah
Orde Baru ialahy mengisi kebutuhan perut rakyat melalui sektor pertanian.
Pertama, pemerintah Orde Baru melalui presidium kabinet ampera
membentuk Komando Logistik Nasional (KOLOGNAS) dengan
menggabungkan konsep revolusi hijau, maka dilakukanlah program
penyuluhan besar-besaran disertai penyediaan pupuk, kredit, dan sarana
produksi pertanian melalui proyek Bimbingan Massal. Program ini dibarebngi
oleh peran Bulog sebagai pemegang tata niaga beras yang bertugas peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang serta merta menjerumuskan petani gurem dalam konflik siapa lawan –siapa teman. Tidaka ada kebijakn dari petani tetapi justru petani telah menjadi korban politik. Soegijanto Padmo, 2000. Land Reform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965. Yogyakarta: Media Presindo.
44 Sejak kemerdekaan hingga 1960, impor beras bergerak dari 0,3 juta ton pertahun menjadi 1 juta ton pertahun. Kondidsi ini berakibat tejadinya kelangkaan sumber pangan beras dan harga tinggi yang tidak mampu dibeli oleh kaum petani sendiri. Harga beras pada tahun 1965 melonjak dari Rp 202,8 per Kg menjadi Rp 726,04 per Kg. Realita ini menjadi salah satu pemicu jatuhnya Soekarno dari kursi kepresidenan. Ibid.
45 Pada tahun 1964, di Jawa Tengah, terdapat satu juta orang kelaparan . Di daerah Wonosari antar 2 sampai 6 orang meninggal setiap harinya. Banyak di antara warga yang mengalami kekurangan gizi dan memilih meniggalkan daerahnya yang kekeringan. Razif, 1997. Kemiskinan Struktural Pada Masa Orde Lama. Jakarta: LP3ES.
37
membeli beras petani di kala panen raya agar harganya tidak jatuh dan
melekukan operasi pasar jika harganya dipermainkan. Kisah selanjutnya,
konsep revolusi hijau menjadi solusi terbaik bagi pengentasan kelaparan
rakyat Indonesia. Terbukti pada tahun 1984 Indonesia mencapai
swasembada beras dengan produksi padi mencapai 35 juta ton dan
pembangunan jaringanirigasi mencapai lebih dari 1 juta hektar.
Namun, kebanggan tersebut tidak bertahan lama bahkan menjadi
suatu ironi, sebab selang 5 tahun pemerintah gagal menjaga kebijakan untuk
mempethankan swasembada beras. Sejak tahun 1990 Indonesia menjadi
Importir beras kembali dan pada tahun 1995 jumlah impor beras mencapai 3
juta ton pertahun46. Kesalahan utama pemerintah Orde Baru ialah
pembangunan pertanian hanya dipahami dari sisi ekonomi politik belaka,
sehingga swasembada beras hanya menjadi sebuah jargon politik, bukan
murni upaya sistematis menjaga ketersediaan beras sekaligus meningkatkan
kesejahteraan petani. Lebih pahit lagi revolusi hijau sebagai pondasi konsep
pembanguna Orde Baru di sektor pertanian ternyata tidak mampu
memberikan hasil ideal, justru pemasalahan baru.
46 Pada tahun 1989, impor beras Indonesia meningkat hingga mencapai 268.321 ton.
Pada tahun 1992, ekspor beras hanya mencapai 42.492 ton, sedangkan impornya lebih tinngi yakni 611.697 ton. Meskipun tahun 1993 ekspor beras mencapai angka yang tinggi, yakni sebesar 350.609 ton,atau setara denagn produksi domestik 48.087 ton gabah kering, dan impor beras hanya 24.137 ton, namun kecenderungan ini tidaklah berlangsung lama. Kemarau panjang pada tahun 1994 menyebabkan produksi beras turun menjadi 46.641.524 ton. Pada tahun ini pula ekspor beras mencapai 633.048 ton. Pada tahun 1995 produksi beras membaik dari keterpurukan dari tahun sebelumnya dan mencapai 49.744.140 ton.Francis Wahono, 2001.Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Yogyakarta: Insist.
38
Revolusi hijau telah menyingkirkan petani kecil dari tanah garapannya.
Revolusi hijau telah mengangkat produksi pertanian secara keseluruhan,
tetapi jumlah penduduk miskin yang hidup dari kelaparan tetap banyak.
Proses rasioanalisasi dalam dunia pertanian mengakibtkan banyak petani
kecil dan petani gurem tidak mampu, mengalami proses marginalisasi.
Proses marginalisasi yang dimaksud antara lain melalui: (1)
penggunaan bibit unggul yang menuntut sistematika pengairan yang baik,
sulit direalisasi oleh petani kecil (2) petani kecil sering memebeli kebutuhan
bibit, pupuk, pestisida, dengan cara menghutang, dan tanah garapannya
dijadikan sebagai jaminan. Karena tidak mampu membayar hutang, sedikit
demi sedikit tanah garapannya jadi hilang dan pada akhirnya menjadi buruh
tani, (3) proses rasionalisasi mengakibatkan turunnya harga. Ini membuat
petani kecil tidak mampu mendapatkan keuntungan, sebaliknya perusahaan
menengah dan besar memperoleh keuntungan yang besar dan (4) petani
terkadang mendapat penggusuran dari tanahnya secara paksa oleh pihak
perusahaan besar ataupun dari pihak pemarintah, sehingga banyak diantara
mereka yang kehilangan pekerjaan.
Petani di Indonesia dengan diterapkannya konsep revolusi hijau memiliki 3
permasalahan baru, yaitu (1) terjadinya pembengkakan kemiskinan dan
pengangguran, sebab revolusi hijau mengedepankan sistem kerja padat
modal dengan menjadikan pertanian sawah sebagai industri padat modal,
pada hal sejak dahulu pertanian memakai konsep padat karya, (2) konsep
39
revolusi hijau ternyata lebih banyak menguntungkan petani-petani kayayang
mampu secara modal, sehingga yang muncul ialah kesenjangan antara
petani kaya dan petani miskin, (3) revolusi hijau ternyata justru memunculkan
masyarakat petani yang tidak inovatif dan tergantung pada produk pembantu
pertanian, misalnya bibit, pupuk, dan pestisida.
G. Pendekatan Teori
Masyarakat desa sebagai suatu institusi senantiasa mengalami
perkembangan sesuai dengan masyarakat pendukungnya dan
perkembangan budaya lingkungan sekitar. Jika dipandang dari teori evolusi
yang dipelopori oleh Ellen Roy, maka perubahan-perubahan yang terjadi
tersebut dipandang sebagai suatu progress yang sejalan dengan proses
evolusi. Paradigma yang berkaitan dengan konsep evolusi tersebut adalah
evolusionisme yang berarti cara pandang yang menekankan perubahan
secara perlahan-lahan menjadi lebih baik atau lebih maju dari sederhana ke
kompleks 47. Perspektif kaum adaptionist menjelaskan berbagai perubahan
tersebut merupakannlangkah masyarakat desa untuk menyesuaikan diri
terhadap situasi objektif lingkungan luar yang meliputi lingkungan fisik, sosial
budaya, ekonomi politik dan teknologi 48. Prediksi teoritis tersebut diperkuat
oleh Malthus yang menyiratkan pertumbuhan penduduk selaras dengan deret
47 Ahmad Fedyani Saifuddin, 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Murai Kencana.
48 Hammado Tantu, 2006. Pengelolaan Lingkungan Hidup di Pedesaan. Makassar: Badan Penerbit UNM.
40
ukur dan laju ketersediaan sumber pangan selaras dengan deret hitung.
Realita ini menurut Geertz mendorong terciptanya suatu involusi sumber
pangan sebagai akibat negatif ledakan penduduk masyarakat desa
sebagaimana yang terjadi di pulau Jawa 49.
Berdasarkan perspektif teori divusi oleh David Graeber, jelas bahwa
perubahan-perubahan tersebut terjadi karena adanya penyerapan berbagai
kebudayaan luar dengan berbagai aspeknya. Tingginya intensitas interaksi
masyarakat suatu desa denagn dunia luar yang beraneka ragam
latarbelekang budayanya berakibat tata nilai budaya suatu masyarakat akan
mengalami pergeseran menuju suatu enkulturasi budaya sebagai puncak
kesepakatan dua atau lebih budaya yang berbeda. Jika dihubungkan dengan
teori fungsioanalisme dari Talcot Parsons maka perubahan yang terjadi
dalam suatu masyarakat memang sudah menjadi keharusan agar mereka
tidak mengalami kepunahan50.
Salah satu fungsi kebudayaan menurut pandangan penganut teori
fungsionalisme adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis manusia
49 Clifford Geertz, 1983. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
50 Sumbangsih yang dapat diberikan oleh ilmu antropologi dalam menghadapi dinamika sosial budaya adalah dengan mengungkap kodrat sifat setiap kebudayaan ialah dinamis dengan menghindari representasi budaya yang bersifat esensial dan statis, sehingga perubahan sosial dan budaya tidak pernah absen darikehidupan manusia. Levi Strauss mengatakan bahwa identitas atau jati diri para pendukung suatu kebudayaan menjadi kuat bukan karena isolasi tetapi justru adanya interaksi antar budaya. Kewaspadaan akan hilangnya jati diri dalam proses modernisasi dan globalisasi tidak perlu menjadi kekhawatiran yang berlebihan, sebab kontinuitas budaya justru dapat terwujud sebagai modus perubahan budaya. Keteranagn lebih lanjut baca Bahtiar Alam, 1998. Globalisasi dan Perubahan Sosial Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan, dalam majalah Antropologi Indonesia No:54 Th XXI, Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta.
41
misalnya kebutuhan pangan 51. Kebutuhan pangan dapat terpenuhi jika
manusia melakukan aktifitas mata pencaharian misalnya pertanian sawah.
Kegiatan pertanian sawah dalam pandangan Dove 52 yang
menggunakan teori fungsional dalam menganalisis kegiatan pertanian orang
Sunda di Kabupaten Garut mengatakan bahwa Kegiatan pertanian sawah
berfaedah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Sawah
sebagai suatu sistem pertanian di dalam dirinya sendiri memiliki
seperangakat variabel yang harus dipenuhi agar pertanian sawah dapat
berfungsi secara optimal dan adaptif terhadap lingkungannya. Sebagai suatu
cara dan saran produksi, kegiatan pertanian sawah didorong oleh adanya
kebutuhan pangan keluarga sebagai pelaku utama produksi dan komsumsi.
Kegiatan pertanian ini erat kaitannya dengan variabel-variabel yaitu (1)
adanya diferensiasi hasil produksi sawah dan ketidak tentuan kondisi
ekologis, dan (2) sistem organisasi sosial yang terbagi dalam keluarga atau
rumah tangga 53.
Pertanian sawah dalam pandangan Kartohadirdjo merupakan suatu
ekosistem karena ada lima tahap dalam bertani padi di sawah yang saling
berhubungan satu sama lain dalam suatu sistem yang terintegrasi, dimana
51 Pemuka teori fungsioanalisme ialah Branislaw Malinowski yang memaparkan bahwa kebudayaan berfungsi untuk:(1) memenuhi kebutuhan biologis misalnya kebutuhan pangan (2) memenuhi kebutuhan instrumental misalnya kebutuhan pendidikan (3) memebnuhi kebutuhan integratif misalnya agama dan kesenian. Keterangan lebih lanjut harap baca Nur Syam, 2007. Madzhab-madzhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS.
52 Michael Ronald Dove. 1998. Sistem Persawahan di Indonesia: Suatu Studi Kasus Dari Kabupaten Garut. Yogyakarta: Tiara Wacana.
53 Michael Ronald Dove. 1998. ibid.
42
proses tahapan itu juga bersifat integral. Kegagalan atau keberhasilan pada
satu tahap akan berpengaruh pada tahap-tahap selanjutnya. Adapun urutan
tahap-tahap dalam pertanian padi sawah ialah: (1) menyemai bibit padi (2)
pengolahan lahan sawah (3) penanaman bibit (4) pemeliharaan tanaman
padi dan (5) proses panen 54.
Kegiatan pertanian padi di dalamnya harus juga diperhatikan strtegi
adaptasi antara petani dengan lingkungannya. Bennet melihat bahwa
adaptasi merupakan perilaku responsif manusia dengan lingkungannya yang
memungkinkan mereka dapat menata sistem-sistem tertentu bagi tindakan
atau tingkah lakunya agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan
kondisi yang terjadi pada lingkungannya. Perilaku tersebut berkaitan dengan
kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan tertentu
dan kemudian membangun suatu strategi serta kepuasan tertentu untuk
menghadapi keadaan selanjutnya 55. Dengan demikian, adaptasi merupakan
suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk
mengantisipasi perubahan lingkungan.
Menurut McElroy dan Towsend 56, kemampuan suatu kategori individu
untuk beradaptasi memiliki nilai dan makna bagi kelangsungan hidupnya.
Semakin besar kemampuan adaptasi suatu makhluk hidup, semakin besar
54 Hariadi Kartohadirdjo, 1999. Strategi dan Kebijakan Pertanian Berkelanjutan di Indonesia. Bogor: Pustaka Insani.
55 Jean W. Bennet, 1978. The Ecological Transition: Cultural Antropology and Human Adaptation. Oxford: Pergamon Press.
56 Oekan S. Abdullah, 2001. Strategi dan Adaptasi dalam Menghadapi Perubahan Ekologi. Jakarta: Rajawali Press.
43
pula kelangsungan hidup makhluk tersebut. Sejalan dengan pandangan ini,
Sahlins57berpendapat bahwa adaptasi merupakan suatu proses di mana
suatu kategori individu berusaha memaksimalkan kebutuhan hidupnya. Oleh
karena itu adaptasi merupakan suatu proses kompromi yang
berkesinambungan dan tidak akan pernah berakhir dengan kesempurnaan.
Jadi adaptasi merupakan suatu proses yang dinamis, karena lingkungan dan
populasi manusia selalu berubah 58.
Berdasarkan konsep adaptasi ini, hubungan antara manusia dengan
lingkungan alamnya sifatnya sirkuler. Artinya, tingkah laku manusia dapat
mengubah suatu lingkungan dan sebaliknya lingkungan yang berubah itu
memerlukan suatu adaptasi yang selalu dapat diperbaharui agar manusia
dapat bertahan dan melangsungkan kehidupannya di mana ia berdomisili 59.
57 M.D. Sahlins, 1987: Evolution and Culture. Ann Arborr: Univ. of Michigan Press. 58 Engkoswara, 2002. Perubahan Ekologi. Bandung: Rosda. 59 Rimbo Gunawan,1998. Industrialisasi Kehutanan. Bandung: Yayasan AKATIGA.
44
H. Kerangka Pikir