3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
MODEL PELATIHAN KETRAMPILAN USAHA TERPADU BAGI
PETANI PENGGARAP LAHAN PERHUTANIDI DUSUN
KAWEDEGAN, DESA BALONGGEBANG, KECAMATAN GONDANG,
KABUPATEN NGANJUK SEBAGAI UPAYA PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi kehidupan masyarakat petani penggarap lahan Perhutani di Dusun Kawedegan, Desa Balonggebang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk yang selain tingkat pendidikannya masih rendah, juga tidak memiliki mata pencaharian tetap. Petani penggarap lahan Perhutani bertani ubi jalar dan palawija. Ubi jalar merupakan makanan sehat bagi penderita Diabetes Melitus (DM). Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model pelatihan keterampilan usaha secara terpadu sebagai upaya pemberdayaan masyarakat petani dalam mengembangkan kemampuan berwirausaha. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah Penelitian dan Pengembangan.
Keywords: model pelatihan terpadu, petani, pemberdayaan masyarakat
Pendahuluan
Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur
pembangunan perekonomian nasional. Sektor ini merupakan sektor yang tidak mendapatkan
perhatian secara serins dari pemerintah dalam pembangunan bangsa. Mulai dari proteksi, kredit
hingga kebijakan lain tidak satu pun yang menguntungkan bagi sektor ini. Program-program
pembangunan pertanian yang tidak terarah tujuannya bahkan semakin menjerumuskan sektor ini pada
kehancuran. Meski demikian sektor ini merupakan sektor yang sangat banyak menampung luapan
tenaga kerja dan sebagian besar penduduk kita tergantung padanya.
Sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja tertinggi, yaitu sebesar 44,5
persen pada tahun 2006 (BPS). Namun demikian, kontribusi sektor pertanian dalam Produk Domestik
Bruto (PDB) hanya sebesar 13,3 persen. Dengan tidak seimbangnya kontribusi PDB dan jumlah
tenaga kerja yang diserap, maka tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian adalah yang
terendah. Bandingkan dengan sektor industri yang menyumbang 28,9 persen terhadap PDB nasional,
namun hanya menyerap tenaga kerja sebesar 12,1 persen. Sebagai akibatnya, kesejahteraan rumah
tangga yang bekerja di sektor pertanian akan lebih rendah dibanding yang bekerja di sektor industri.
Lodovicus Lasdi Widya Mandala Catholic University Surabaya
Lena Elitan Widya Mandala Catholic University Surabaya
Teodora Winda Mulia Widya Mandala Catholic University Surabaya
Abstract.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 676
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
MODEL PELATIHAN KETRAMPILAN USAHA TERPADU BAGI
PETANI PENGGARAP LAHAN PERHUTANIDI DUSUN
KAWEDEGAN, DESA BALONGGEBANG, KECAMATAN GONDANG,
KABUPATEN NGANJUK SEBAGAI UPAYA PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi kehidupan masyarakat petani penggarap lahan Perhutani di Dusun Kawedegan, Desa Balonggebang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk yang selain tingkat pendidikannya masih rendah, juga tidak memiliki mata pencaharian tetap. Petani penggarap lahan Perhutani bertani ubi jalar dan palawija. Ubi jalar merupakan makanan sehat bagi penderita Diabetes Melitus (DM). Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model pelatihan keterampilan usaha secara terpadu sebagai upaya pemberdayaan masyarakat petani dalam mengembangkan kemampuan berwirausaha. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah Penelitian dan Pengembangan.
Keywords: model pelatihan terpadu, petani, pemberdayaan masyarakat
Pendahuluan
Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur
pembangunan perekonomian nasional. Sektor ini merupakan sektor yang tidak mendapatkan
perhatian secara serius dari pemerintah dalam pembangunan bangsa. Mulai dari proteksi, kredit
hingga kebijakan lain tidak satu pun yang menguntungkan bagi sektor ini. Program-program
pembangunan pertanian yang tidak terarah tujuannya bahkan semakin menjerumuskan sektor ini pada
kehancuran. Meski demikian sektor ini merupakan sektor yang sangat banyak menampung luapan
tenaga kerja dan sebagian besar penduduk kita tergantung padanya.
Sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja tertinggi, yaitu sebesar 44,5
persen pada tahun 2006 (BPS). Namun demikian, kontribusi sektor pertanian dalam Produk Domestik
Bruto (PDB) hanya sebesar 13,3 persen. Dengan tidak seimbangnya kontribusi PDB dan jumlah
tenaga kerja yang diserap, maka tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian adalah yang
terendah. Bandingkan dengan sektor industri yang menyumbang 28,9 persen terhadap PDB nasional,
namun hanya menyerap tenaga kerja sebesar 12,1 persen. Sebagai akibatnya, kesejahteraan rumah
tangga yang bekerja di sektor pertanian akan lebih rendah dibanding yang bekerja di sektor industri.
Lodovicus Lasdi Widya Mandala Catholic University Surabaya
Lena Elitan Widya Mandala Catholic University Surabaya
Teodora Winda Mulia Widya Mandala Catholic University Surabaya
Abstract.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 676
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Pelaku yang menyumbang kontribusi cukup bcsar tersebut pada perekonomian nasional
adalah 24 juta rumah tangga petani, dari total 52 juta rumah tangga di seluruh Indonesia. Mereka
adalah 40 juta pekerja di antara 90 juta pekerja di seluruh Indonesia. Mayoritas dari mereka berlahan
sempit dengan rata-rata 0,3 ha. Mereka hanyalah penggarap dari lahan-lahan pertanian yang yang
sudah dimiliki orang-orang kota. Tanpa mengetahui dengan balk karakteristik dan siapa mereka
segala subsidi dan dukungan di sektor pertanian tidak dapat dinikmati. Padahal segala subsidi dan
dukungan disediakan untuk mengangkat kesejahteraan mereka.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menjelaskan dalam arah
pembangunan daerah harus selalu memanfaatkan berbagai sumber yang ada. Dalam Ketentuan
Umum pasal 2, diantaranya menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lain
dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan
sumberdaya lainnya sebagai mana diatur dalam pasal 17 meliputi : (1) kewenangan, tanggung jawab,
pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian, (2) bagi basil atas
pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya, dan (3) penyerasian lingkungan dan tata
ruang serta rehabilitasi lahan.
Pelaksanaan pembangunan subsektor tanaman pangan sebagai basil pemanfaatan sumber-
sumber dalam rangka otonomi daerah harus dapat memperkuat posisi petani, pelaku agribisnis
lainnya serta aparatur pertanian.
Pada kenyataannya walaupun terdapat keunggulan agroekosistem dari masing-masing daerah
kabupaten maupun kota, masih ada sebagian masyarakat yangtidak dapat memanfaatkan sumber-
sumber tersebut. Seperti yang dialami sebagian masyarakat petani tuna lahan yang bermata
pencaharian atau bekerja sebagai penggarap lahan kawasan hutan lindung milik Perhutani.
Kebanyakan lahan tersebut dilarang untuk dimanfaatkan dan dijadikan sumber mata pencaharian
dengan tanaman tumpang sari.
Masyarakat masih diperbolehkan menggunakan lahan Perhutani, tetapi dalam perubahan
penggunaan lahan kawasan hutan harus memperhatikan Rencana Kelola Lingkungan (RKL) yang
dikeluarkan pemerintah daerah dengan pertujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan larangan
ini sejalan dengan isi pasal 19 Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan, yaitu untuk
melindungi kawasan hutan atau lahan Perhutani dari pengrusakan seperti penebangan liar- atau
penyalahgunaan lahan yang dapat menimbulkan erosi. Dalam rangka meningkatkan kinerja sektor
pertanian dengan tidak mengorbankan masyarakat, diperlukan reformasi dan revitalisasi berbagai
program kegiatan dan kebijakan yang berkaitan dengan pembinaan maupun pengembangan
kemampuan dari masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya. Pengeluaran kebijakan tentang
pengembangan jenis pertanian, perizinan dan ketentuan hukum yang kuat kepada masyarakat
penggarap perlu ditegaskan, sebagai pegangan bagi petani dalam mengolah dan menghasilkan produk
yang sesuai dengan kebutuhan atau permintaan pasar.
Hasil survey BPS 2003 menunjukkan dari 36,3 juta jiwa penduduk miskin lebih banyak
tinggal di pelosok pedesaan yang hidup sebagai petani, termasuk masyarakat nelayan dan masyarakat
yang tergantung dari mengelola lahan hutan atau masyarakat desa hutan (MDH). Kurang
maksimalnya penggunaan sumberdaya di sekitar hutan, seperti pemanfaatan sumberdaya alam dan
lingkungan bagi kepentingan masyarakat, juga turut mengakibatkan terus bertambahnya jumlah
masyarakat miskin.
Padahal potensi sumberdaya alam dan lingkungan yang tersedia sangat memungkinkan untuk
dikembangkan, hanya saja dikarenakan berbagai keterbatasan kemampuan dari masyarakat dalam
mengelolanya maka potensi tersebut tidak dapat digunakan secara maksimal. Walaupun telah
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 677
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Pelaku yang menyumbang kontribusi cukup besar tersebut pada perekonomian nasional
adalah 24 juta rumah tangga petani, dari total 52 juta rumah tangga di seluruh Indonesia. Mereka
adalah 40 juta pekerja di antara 90 juta pekerja di seluruh Indonesia. Mayoritas dari mereka berlahan
sempit dengan rata-rata 0,3 ha. Mereka hanyalah penggarap dari lahan-lahan pertanian yang yang
sudah dimiliki orang-orang kota. Tanpa mengetahui dengan baik karaktcristik dan siapa mereka
segala subsidi dan dukungan di sektor pertanian tidak dapat dinikmati. Padahal segala subsidi dan
dukungan disediakan untuk mengangkat kesejahteraan mereka.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menjelaskan dalam arah
pembangunan daerah harus selalu memanfaatkan berbagai sumber yang ada. Dalam Ketentuan
Umum pasal 2, diantaranya menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lain
dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan
sumberdaya lainnya sebagai mana diatur dalam pasal 17 meliputi : (1) kewenangan, tanggung jawab,
pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian, (2) bagi basil atas
pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya, dan (3) penyerasian lingkungan dan tata
ruang serta rehabilitasi lahan.
Pelaksanaan pembangunan subsektor tanaman pangan sebagai basil pemanfaatan sumber-
sumber dalam rangka otonomi daerah harus dapat memperkuat posisi petani, pelaku agribisnis
lainnya serta aparatur pertanian.
Pada kenyataannya walaupun terdapat keunggulan agroekosistem dari masing-masing daerah
kabupaten maupun kota, masih ada sebagian masyarakat yangtidak dapat memanfaatkan sumber-
sumber tersebut. Seperti yang dialami sebagian masyarakat petani tuna lahan yang bermata
pencaharian atau bekerja sebagai penggarap lahan kawasan hutan lindung milik Perhutani.
Kebanyakan lahan tersebut dilarang untuk dimanfaatkan dan dijadikan sumber mata pencaharian
dengan tanaman tumpang sari.
Masyarakat masih diperbolehkan menggunakan lahan Perhutani, tetapi dalam perubahan
penggunaan lahan kawasan hutan harus memperhatikan Rencana Kelola Lingkungan (RKL) yang
dikeluarkan pemerintah daerah dengan pertujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan larangan
ini sejalan dengan isi pasal 19 Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan, yaitu untuk
melindungi kawasan hutan atau lahan Perhutani dari pengrusakan seperti penebangan liar atau
penyalahgunaan lahan yang dapat menimbulkan erosi. Dalam rangka meningkatkan kinerja sektor
pertanian dengan tidak mengorbankan masyarakat, diperlukan reformasi dan revitalisasi berbagai
program kegiatan dan kebijakan yang berkaitan dengan pembinaan maupun pengembangan
kemampuan dari masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya. Pengeluaran kebijakan tentang
pengembangan jenis pertanian, perizinan dan ketentuan hukum yang kuat kepada masyarakat
penggarap perlu ditegaskan, sebagai pegangan bagi petani dalam mengolah dan menghasilkan produk
yang sesuai dengan kebutuhan atau permintaan pasar.
Hasil survey BPS 2003 menunjukkan dari 36,3 juta jiwa penduduk miskin lebih banyak
tinggal di pelosok pedesaan yang hidup sebagai petani, termasuk masyarakat nelayan dan masyarakat
yang tergantung dari mengelola lahan hutan atau masyarakat desa hutan (MDH). Kurang
maksimalnya penggunaan sumberdaya di sekitar hutan, seperti pemanfaatan sumberdaya alam dan
lingkungan bagi kepentingan masyarakat, juga turut mengakibatkan terus bertambahnya jumlah
masyarakat miskin.
Padahal potensi sumberdaya alam dan lingkungan yang tersedia sangat memungkinkan untuk
dikembangkan, hanya saja dikarenakan berbagai keterbatasan kemampuan dari masyarakat dalam
mengelolanya maka potensi tersebut tidak dapat digunakan secara maksimal. Walaupun telah
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 677
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
dikeluarkan kebijakan tentang hak untuk mengelola sumberdaya hutan secara mandiri kepada
masyarakat sckitar hutan, yaitu dengan dikcluarkannya kebijakan tentang HPHKM (Hak
Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan) melalui SK Menhut No 677/1998, namun pcngcluaran
kebijakan tersebut dianggap masih relatif baru, sementara kemiskinan masyarakat sckitar hutan sudah
bertambah banyak. Di sisi lain dalam SK tersebut HPHKM hanya diberikan kepada masyarakat
sckitar hutan yang terwadahi dalam bentuk koperasi dalam jangka waktu tertentu. Bagi masyarakat
sckitar hutan yang tidak masuk ke dalam anggota koperasi, dirasa kurang mendapat perhatian.
Dengan demikian, kebijakan tentang hak pengelolaan ini belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh
semua lapisan dan belum memberikan rasa aman kepada masyarakat sckitar- hutan dalam jangka
panjang.
Keterbatasan kemampuan yang dialami masyarakat sckitar- hutan adalah akibat sebelumnya
kurang diberdayakan dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), sehingga menjadi
penyebab kemiskinan bagi petani di desa hutan. Ketidakmampuan masyarakat pedesaan yang identik
dengan kemiskinan selalu relevan dengan tingkat pendidikan, kesehatan, dan gizi sehingga
menyebabkan rendahnya produktivitas kerja. Menurut data statistik (Kompas.com), 75 persen tingkat
pendidikan petani Indonesia tidak tamat dan tamat SD, 24 persen lulus SMP dan SMA, serta hanya 1
persen lulus perguruan tinggi. Di samping itu, selain rendahnya tingkat pendidikan, ketidakmampuan
yang dalami masyarakat juga diakibatkan dari dampak kebijakan pemerintah tentang pembangunan
pertanian secara umum dan pembangunan pedesaan yang kurang berpihak pada petani dan komunitas
desa. Keadaan semacam ini menyebabkan bertambahnya kantong-kantong kemiskinan di hampir
semua daerah atau propinsi di Indonesia, termasuk propinsi Jawa Timur.
Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi terbanyakdi Pulau Jawa dan di Indonesia. Data Biro
Pusat Statistik menunjukkan selama tiga tahun berturut-turut dari 2007 sampai dengan 2009, provinsi
Jawa Timur termasuk dalam lima provinsi dengan penduduk miskin terbanyak di Pulau Jawa.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin Provinsi di Pulau Jawa (dalam ribuan)
PROVINSI 2007 2008 2009
DKI Jakarta 405,7 379,6 323,2
Jawa Barat 5.457,9 5.322,4 4.983,6
Jawa Tengah 6.557,2 6.189,6 5.725,7
DI Yogyakarta 886,2 616,3 585,8
Jawa Timur 7.155,3 6.651,3 6.022,6
Banten 886,2 816,7 788,1
Sumber: BPS, SUSENAS, 2009.
BPS (2009) membagi kabupaten di Indonesia berdasar- kantong-kantong kemiskinan ke dalam
tiga kategori, kelompok satu artinya kabupaten dengan keluarga sangat miskin, kelompok dua artinya
kabupaten dengan keluargamiskin, dan kelompok tiga artinya kabupaten dengan keluarga miskin.
Kabupaten Nganjuk yang merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur, termasuk kelompok dua.
Dusun Kawedegan, Desa Balonggebang, Kecamatan Gondang, merupakan salah satu kantong
kemiskinan di Kabupaten Nganjuk. Desa tersebut merupakan sebuah dusun kecil di tepi hutan jati.
Kondisi tanahnya kurang subur dan banyak mengandung kapur. Tanah-tanah pertanian sangat
mengandalkan hujan. Jika tidak, maka pengairan untuk pertanian dilakukan dengan membeli air pada
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 678
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
dikeluarkan kebijakan tentang hak untuk mengelola sumberdaya hutan secara mandiri kepada
masyarakat sekitar hutan, yaitu dengan dikeluarkannya kebijakan tentang HPHKM (Hak
Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan) melalui SK Menhut No 677/1998, namun pengeluaran
kebijakan tersebut dianggap masih relatif baru, sementara kemiskinan masyarakat sekitar hutan sudah
bertambah banyak. Di sisi Iain dalam SK tersebut HPHKM hanya diberikan kepada masyarakat
sekitar hutan yang terwadahi dalam bentuk koperasi dalam jangka waktu tertentu. Bagi masyarakat
sekitar hutan yang tidak masuk ke dalam anggota koperasi, dirasa kurang mendapat perhatian.
Dengan demikian, kebijakan tentang hak pengelolaan ini belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh
semua lapisan dan belum memberikan rasa aman kepada masyarakat sekitar hutan dalam jangka
panjang.
Keterbatasan kemampuan yang dialami masyarakat sekitar hutan adalah akibat sebelumnya
kurang diberdayakan dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), sehingga menjadi
penyebab kemiskinan bagi petani di desa hutan. Ketidakmampuan masyarakat pedesaan yang identik
dengan kemiskinan selalu relevan dengan tingkat pendidikan, kesehatan, dan gizi sehingga
menyebabkan rendahnya produktivitas kerja. Menurut data statistik (Kompas.com), 75 persen tingkat
pendidL:an petani Indonesia tidak tamat dan tamat SD, 24 persen lulus SMP dan SMA, serta hanya 1
persen lulus perguruan tinggi. Di samping itu, selain rendahnya tingkat pendidikan, ketidakmampuan
yang dalami masyarakat juga diakibatkan dari dampak kebijakan pemerintah tentang pembangunan
pertanian secara umum dan pembangunan pedesaan yang kurang berpihak pada petani dan komunitas
desa. Keadaan semacam ini menyebabkan bertambahnya kantong-kantong kemiskinan di hampir
semua daerah atau propinsi di Indonesia, termasuk propinsi Jawa Timur.
Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi terbanyakdi Pulau Jawa dan di Indonesia. Data Biro
Pusat Statistik menunjukkan selama tiga tahun berturut-turut dari 2007 sampai dengan 2009, provinsi
Jawa Timur termasuk dalam lima provinsi dengan penduduk miskin terbanyak di Pulau Jawa.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin Provinsi di Pulau Jawa (dalam ribuan)
PROVINSI 2007 2008 2009
DKI Jakarta 405,7 379,6 323,2
Jawa Barat 5.457,9 5.322,4 4.983,6
Jawa Tengah 6.557,2 6.189,6 5.725,7
DIYogyakarta 886,2 616,3 585,8
Jawa Timur 7.155,3 6.651,3 6.022,6
Banten 886,2 816,7 788,1
Sumber: BPS, SUSENAS, 2009.
BPS (2009) membagi kabupaten di Indonesia berdasar kantong-kantong kemiskinan ke dalam
tiga kategori, kelompok satu artinya kabupaten dengan keluarga sangat miskin, kelompok dua artinya
kabupaten dengan keluargamiskin, dan kelompok tiga artinya kabupaten dengan keluarga miskin.
Kabupaten Nganjuk yang merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur, termasuk kelompok dua.
Dusun Kawedegan, Desa Balonggebang, Kecamatan Gondang, merupakan salah satu kantong
kemiskinan di Kabupaten Nganjuk. Desa tersebut merupakan sebuah dusun kecil di tepi hutan jati.
Kondisi tanahnya kurang subur dan banyak mengandung kapur. Tanah-tanah pertanian sangat
mengandalkan hujan. Jika tidak, maka pengairan untuk pertanian dilakukan dengan membeli air pada
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 678
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
pemilik sumur-sumur bor, itu berarti hal ini hanya bisa dilakukan oleh petani-petani yang mempunyai
cukup modal. Tanaman pertanian yang dikembangkan di sini antara lain padi, ubi jalar, jagung,
lombok, bawang merah, melon dan palawija.
Masyarakat desa tersebut memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Selain karcna biaya,
kesadaran akan pentingnya pendidikan juga masih sangat kurang. Sebagian bcsar masyarakat adalah
buta huruf, bukan hanya para orang tua, generasi mudanya pun masih ada yang buta huruf. Kalau pun
ada yang sekolah, paling tinggi hanya lulus Sekolah Dasar. Kehidupan perekonomian masyarakat
berada di bawah garis kemiskinan dan pada umumnya bekerja sebagai buruh tani, pcncari kayu bakar
dan daun jati di hutan. Hanya sebagian kecil saja yang memiliki lahan pertanian sendiri, dan itu pun
hanya sepetak kecil. Sementara masyarakat yang merantau ke kota, bekerja sebagai buruh pabrik dan
pembantu rumah tangga. Kondisi seperti ini tentu disebabkan karena kemiskinan, rendahnya tingkat
pendidikan, dan tidak adanya keterampilan khusus yang mereka miliki.
Dari berbagai keterbatasan sumberdaya sckitar hutan sebagaimana ungkapkan diatas,
globalisasi dalam berbagai aspek sosial ekonomi pada kenyataannya telah menjadi ancaman serius
bagi usaha pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani. Walaupun disadari pula
menjadi peluang jika dapat diwujudkan suatu pembinaan kepada masyarakat seperti melalui pelatihan
keterampilan secara texpadu dari berbagai elemen. Kegiatan pelatihan keterampilan secara texpadu
akan mampu membantu masyarakat dalam menemukan mata pencaharian dan kemampuan
berwirausaha sesuai potensi lingkungan untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan petani.
Penelitian-penelitian terdahulu yang telah melakukan investigasi terkait pelatihan petani
dalam upaya pemberdayaan masyarakat menunjukkan perlunya sebuah model pelatihan ketrampilan
usaha terpadu berbasis kewirausahaan. Penelitian Sukarta (2010) tentang pengaruh lingkungan, sifat
kewirausahaan, dan motivasi wirausaha terhadap pembelajaran wirausaha serta kinerja usaha.
Penelitian ini dilakukan pada usaha peternak ay am ras pedaging di Kabupaten Tabanan. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pembelajaran wirausaha dan pertumbuhan usaha dipengaruhi
secara langsung dan signifikan oleh motivasi usaha, pembelajaran wirausaha memberikan pengaruh
secara langsung kepada kinerja usaha.
Penelitian Udayani (2010) tentang hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan keberhasilan
usaha agribisnis (kasus pada usaha peternakan ayam ras pedaging di Bali). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara jiwa kewirausahaan dengan kemampuan
penerapan usaha agribisnis. Saputro (2009) meneliti tentang karakteristik wirausaha peternak
kambing perah di kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik
wirausaha yang paling menonjol adalah keberanian mengambil risiko, mandiri, dan kepemimpinan.
Sudirman (2005) dan Anwar (2004) yang meneliti tentang pengaruh ketrampilan usaha terpadu bagi
pemberdayaan masyarakat memberikan hasil bahwa pelatihan tersebut mampu memberdayakan
masyarakat, meningkatkan penghasilan keluarga, dan mengurangi angka pengangguran.
1. Kajian Literatur
A. Arti, Tujuan dan Manfaat Pelatihan
Banyak ahli berpendapat tentang arti, tujuan dan manfaat pelatihan. Namun dari berbagai
pendapat tersebut pada prinsipnya tidak jauh berbeda. Sikula dalam Sumantri (2000:2) mengartikan
pelatihan sebagai proses pendidikan j angka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang
sistematis dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan keterampilan
yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu. Moekijat (1993:3) juga menyatakan bahwa "pelatihan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 679
3rd Economics & Business Hesearoh Festival 13 November 2014
pemilik sumur-sumur bor, itu berarti hal ini hanya bisa dilakukan oleh petani-petani yang mempunyai
cukup modal. Tanaman pertanian yang dikembangkan di sini antara Iain padi, ubi jalar, jagung,
lombok, bawang merah, melon dan palawija.
Masyarakat desa tersebut memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Selain karena biaya,
kesadaran akan pentingnya pendidikan juga masih sangat kurang. Sebagian besar masyarakat adalah
buta huruf, bukan hanya para orang tua, generasi mudanya pun masih ada yang buta huruf. Kalau pun
ada yang sekolah, paling tinggi hanya lulus Sekolah Dasar. Kehidupan perekonomian masyarakat
berada di bawah garis kemiskinan dan pada umumnya bekerja sebagai buruh tani, pencari kayu bakar
dan daun jati di hutan. Hanya sebagian kecil saja yang memiliki lahan pertanian sendiri, dan itu pun
hanya sepetak kecil. Sementara masyarakat yang merantau ke kota, bekerja sebagai buruh pabrik dan
pembantu rumah tangga. Kondisi seperti ini tentu disebabkan karena kemiskinan, rendahnya tingkat
pendidikan, dan tidak adanya keterampilan khusus yang mereka miliki.
Dari berbagai keterbatasan sumberdaya seki ar hutan sebagaimana ungkapkan diatas,
globalisasi dalam berbagai aspek sosial ekonomi pada kenyataannya telah menjadi ancaman serius
bagi usaha pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani. Walaupun disadari pula
menjadi peluang jika dapat diwujudkan suatu pembinaan kepada masyarakat seperti melalui pelatihan
keterampilan secara terpadu dari berbagai elemen. Kegiatan pelatihan keterampilan secara teipadu
akan mampu membantu masyarakat dalam menemukan mata pencaharian dan kemampuan
berwirausaha sesuai potensi lingkungan untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan petani.
Penelitian-penelitian terdahulu yang telah melakukan investigasi terkait pelatihan petani
dalam upaya pemberdayaan masyarakat menunjukkan perlunya sebuah model pelatihan ketrampilan
usaha terpadu berbasis kewirausahaan. Penelitian Sukarta (2010) tentang pengaruh lingkungan, sifat
kewirausahaan, dan motivasi wirausaha terhadap pembelajaran wirausaha serta kinerja usaha.
Penelitian ini dilakukan pada usaha peternak ayam ras pedaging di Kabupaten Tabanan. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pembelajaran wirausaha dan pertumbuhan usaha dipengaruhi
secara langsung dan signifikan oleh motivasi usaha, pembelajaran wirausaha memberikan pengaruh
secara langsung kepada kinerja usaha.
Penelitian Udayani (2010) tentang hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan keberhasilan
usaha agribisnis (kasus pada usaha peternakan ayam ras pedaging di Bali). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara jiwa kewirausahaan dengan kemampuan
penerapan usaha agribisnis. Saputro (2009) meneliti tentang karakteristik wirausaha peternak
kambing perah di kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik
wirausaha yang paling menonjol adalah keberanian mengambil risiko, mandiri, dan kepemimpinan.
Sudirman (2005) dan Anwar (2004) yang meneliti tentang pengaruh ketrampilan usaha terpadu bagi
pemberdayaan masyarakat memberikan hasil bahwa pelatihan tersebut mampu memberdayakan
masyarakat, meningkatkan penghasilan keluarga, dan mengurangi angka pengangguran.
1. Kajian Literatur
A. Arti, Tujuan dan Manfaat Pelatihan
Banyak ahli berpendapat tentang arti, tujuan dan manfaat pelatihan. Namun dari berbagai
pendapat tersebut pada prinsipnya tidak jauh berbeda. Sikula dalam Sumantri (2000:2) mengartikan
pelatihan sebagai proses pendidikan j angka pendek yang menggunakan car a dan prosedur yang
sistematis dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan keterampilan
yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu. Moekijat (1993:3) juga menyatakan bahwa "pelatihan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 679
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
adalah suatu bagian pendidikan yang menyangkut proses bclajar untuk memperoleh dan
meningkatkan keterampilan diluar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relatif singkat
dan dengan metode yang lebih mengutamakan praktek daripada tcori". Pemyataan ini didukung
Yoder (1962:368) yang mendefinisikan kalau kegiatan pelatihan sebagai upaya mendidik dalam arti
sempit, terutama dilakukan dengan cara instruksi, berlatih, dan sikap disiplin.
Pada kajian penelitian ini kita akan memfokuskan makna pelatihan. Pelatihan mengandung
makna yang lebih khusus (spesifik), dan berhubungan dengan pekerjaan/tugas yang dilakukan
seseorang. Sedangkan yang dimaksudkan praktis adalah, bahwa responden yang sudah dilatihkan
dapat diaplikasikan dengan segera sehingga harus bersifat praktis (Tjiptono dkk., 1996).
Definisi pelatihan menurut Center for Development Management and Productivity adalah
bclajar untuk mengubah tingkah laku orang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Pelatihan pada
dasarnya adalah suatu proses memberikan bantuan bagi para karyawan atau pekerja untuk menguasai
keterampilan khusus atau membantu untuk memperbaiki kekurangan dalam melaksanakan pekerjaan
mereka.
Antara pendidikan dengan pelatihan sulit untuk menarik batasan yang tegas, karena baik
pendidikan umum maupun pelatihan merupakan suatu proses kegiatan pembelajaran yang
mentransfer pengetahuan dan keterampilan dari sumber kepada penerima. Walaupun demikian
perbedaan keduanya akan terlihat dari tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan tersebut.
Pendidikan umum (formal) menurut Halim dan Ali (1993:3) selalu berkaitan dengan mata pelajaran
secara konsep dan sifatnya teoritis dan merupakan pengembangan sikap dan falsafah pribadi
seseorang. Bila pelatihan lebih menitik beratkan pada kegiatan yang dirancang untuk memperbaiki
kinerja dalam menjalankan tugas, maka pendidikan lebih menitikberatkan pada pengembangan
pengetahuan dan pemahaman terhadap keseluruhan lingkungan. Pada bagian lain dijelaskannya
bahwa pelatihan lebih dikaitkan dengan kekhususan mengajar, fakta pandangan yang terbatas kepada
keterampilan yang bersifat motorik dan mekanistik.
Perbedaan yang nyata dengan pendidikan, diketahui bahwa pendidikan pada umumnya
bersifat filosofis, teoritis, bersifat umum, dan memiliki rentangan waktu bclajar yang relatif lama
dibandingkan dengan suatu pelatihan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan pembelajaran,
mengandung makna adanya suatu proses bclajar yang melekat terhadap diri seseorang. Pembelajaran
terjadi karena adanya orang yang bclajar dan sumber bclajar yang tersedia. Dalam arti pembelajaran
merupakan kondisi seseorang atau kelompok yang melakukan proses bclajar.
Dalam suatu organisasi, lembaga atau perusahaan, pelatihan dianggap sebagai suatu terapi
yang dapat memecahkan permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan kinerja dan
produktifitas organisasi, lembaga atau perusahaan. Pelatihan dikatakan sebagai terapi, karena melalui
kegiatan pelatihan para karyawan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya
sehingga dapat memberikan konstribusi yang tinggi terhadap produktivitas organisasi. Dengan
meningkatnya pengetahuan dan keterampilan sebagai hasilpelatihan maka karyawan akan semakin
matang dalam menghadapi semua perubahan dan perkembangan yang dihadapi organisasi.
Dengan demikian, kegiatan pelatihan lebih ditekankan pada peningkatan pengetahuan,
keahlian/ keterampilan (skill), pengalaman, dan sikap peserta pelatihan tentang bagaimana
melaksanakan aktivitas atau pekerjaan tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Simamora
(1995:287) yang menjelaskan bahwa pelatihan merupakan serangkaian aktivitas yang dirancang
untuk meningkatkan keahlian, pengetahuan, pengalaman ataupun perubahan sikap seorang individu
atau kelompok dalam menjalankan tugas tertentu.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 680
3rd Economics & Business Hesearoh Festival 13 November 2014
adalah suatu bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan
meningkatkan keterampilan diluar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relatif singkat
dan dengan metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori". Pemyataan ini didukung
Yoder (1962:368) yang mendefinisikan kalau kegiatan pelatihan sebagai upaya mendidik dalam arti
sempit, terutama dilakukan dengan cara instruksi, berlatih, dan sikap disiplin.
Pada kajian penelitian ini kita akan memfokuskan makna pelatihan. Pelatihan mengandung
makna yang lebih khusus (spesifik), dan berhubungan dengan pekerjaan/tugas yang dilakukan
seseorang. Sedangkan yang dimaksudkan praktis adalah, bahwa responden yang sudah dilatihkan
dapat diaplikasikan dengan segera sehingga harus bersifat praktis (Tjiptono dkk., 1996).
Definisi pelatihan menurut Center for Development Management and Productivity adalah
belajar untuk mengubah tingkah laku orang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Pelatihan pada
dasamya adalah suatu proses memberikan bantuan bagi para karyawan atau pekerja untuk menguasai
keterampilan khusus atau membantu untuk memperbaiki kekurangan dalam melaksanakan pekerjaan
mereka.
Antara pendidikan dengan pelatihan sulit untuk menarik batasan yang tegas, karena baik
pendidikan umum maupun pelatihan merupakan suatu proses kegiatan pembelajaran yang
mentransfer pengetahuan dan keterampilan dari sumber kepada penerima. Walaupun demikian
perbedaan keduanya akan terlihat dari tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan tersebut.
Pendidikan umum (formal) menurut Halim dan Ali (1993:3) selalu berkaitan dengan mata pelajaran
secara konsep dan sifatnya teoritis dan merupakan pengembangan sikap dan falsafah pribadi
seseorang. Bila pelatihan lebih menitik beratkan pada kegiatan yang dirancang untuk memperbaiki
kinerja dalam menjalankan tugas, maka pendidikan lebih menitikberatkan pada pengembangan
pengetahuan dan pemahaman terhadap keseluruhan lingkungan. Pada bagian lain dijelaskannya
bahwa pelatihan lebih dikaitkan dengan kekhususan mengajar, fakta pandangan yang terbatas kepada
keterampilan yang bersifat motorik dan mekanistik.
Perbedaan yang nyata dengan pendidikan, diketahui bahwa pendidikan pada umumnya
bersifat filosofis, teoritis, bersifat umum, dan memiliki rentangan waktu belajar yang relatif lama
dibandingkan dengan suatu pelatihan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan pembelajaran,
mengandung makna adanya suatu proses belajar yang melekat terhadap diri seseorang. Pembelajaran
terjadi karena adanya orang yang belajar dan sumber belajar yang tersedia. Dalam arti pembelajaran
merupakan kondisi seseorang atau kelompok yang melakukan proses belajar.
Dalam suatu organisasi, lembaga atau perusahaan, pelatihan dianggap sebagai suatu terapi
yang dapat memecahkan permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan kinerja dan
produktifitas organisasi, lembaga atau perusahaan. Pelatihan dikatakan sebagai terapi, karena melalui
kegiatan pelatihan para karyawan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya
sehingga dapat memberikan konstribusi yang tinggi terhadap produktivitas organisasi. Dengan
meningkatnya pengetahuan dan keterampilan sebagai hasilpelatihan maka karyawan akan semakin
matang dalam menghadapi semua perubahan dan perkembangan yang dihadapi organisasi.
Dengan demikian, kegiatan pelatihan lebih ditekankan pada peningkatan pengetahuan,
keahlian/ keterampilan (skill), pengalaman, dan sikap peserta pelatihan tentang bagaimana
melaksanakan aktivitas atau pekerjaan tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Simamora
(1995:287) yang menjelaskan bahwa pelatihan merupakan serangkaian aktivitas yang dirancang
untuk meningkatkan keahlian, pengetahuan, pengalaman ataupun perubahan sikap seorang individu
atau kelompok dalam menjalankan tugas tertentu.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 680
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Dalam pengembangan masyarakat, pelatihan diberikan sebagai upaya untuk meningkatkan
kemampuan dan warga masyarakat dalam menghadapi tuntutan maupun perubahan lingkungan
sckitarnya. Pemberian pelatihan bag! masyarakat bertujuan untuk memberdayakan, sehingga warga
masyarakat menjadi berdaya dan dapat berpartisipasi aktif pada proses perubahan. Pelatihan dapat
membantu orang atau masyarakat untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan kemampuan yang telah
dimiliki. Dengan pelatihan juga dapat menimbulkan perubahan dalam kebiasaan-kebiasaan bekerja
masyarakat, perubahan sikap terhadap pekerjaan, serta dalam informasi dan pengetahuan yang
mereka terapkan dalam pekerjaannya schari-hari.
Kegiatan pelatihan dapat terjadi apabila seseorang atau masyarakat menyadari perlunya
mengembangkan potensi dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan maupun kepuasan hidupnya,
oleh sebab itu diperlukan kegiatan pemberdayaan. Pemberdayaan dapat dimaknai sebagai upaya
melepaskan belenggukemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi dan keterbelakangan melalui
pendidikan. Kegiatan pemberdayaan yang dilakukan melalui pelatihan bertujuan untuk memperkuat
posisi seseorang melalui penumbuhan kesadaran dan kemampuan individu yang bersangkutan,
mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan memikirkan langkah-langkah mengatasinya. Inti dari
kegiatan pemberdayaan adalah motivasi untuk memahami kondisidan situasi kerja sehari-hari serta
menumbuhkan kemampuan dan keberanian mereka untuk bersikap kritis terhadap kondisi yang
mereka hadapi, sehingga kuncinya adalah membangun partisipasi.
Jacius (1968) dalam Moekijat (1991), mengemukakan ""istilah pelatihanmenunjukkan suatu
proses peningkatan sikap, kemampuan, dan kecakapan dari para pekerja untuk menyelenggarakan
pekeqaan secara khusus". Ungkapan ini menunjukkan kalau kegiatan pelatihan merupakan proses
membantu peserta belajar untuk memperoleh keefektifan dalam melakukan pekerjaan mereka baik
pada saat sekarang maupun masa yang akan datang melalui pengembangan kebiasaan pikiran dan
tindakan-tindakan, kecakapan, pengetahuan, dan sikap-sikap. Kegiatan pelatihan juga dilakukan
dalam upaya memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam aktivitas pekerjaan sehari-
hari dan mengantisipasi kemungkinan permasalahan yang terjadi dimasa yang akan datang. Hal ini
sejalan dengan pandangan Soenanto dalam Moekijat (1993:4) bahwa pelatihan adalah kegiatan
belajar- untuk mengubah rencana orang dalam
melakukan pekerjaan. Penyelenggaraan pelatihan yang baik dan optimal akan meningkatkan
kemampuan peserta pelatihan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dalam menjalankan tugas serta
dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas kerja.
Memperhatikan pengertian tersebut, ternyata tujuan pelatihan tidak hanya untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap saja, akan tetapi juga untuk mengembangkan
bakat seseorang, sehingga dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Moekijat
(1993: 2) menjelaskan tujuan umum pelatihan sebagai berikut : (1) untuk mengembangkan keahlian,
sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif, (2) untuk
mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional, dan (3) untuk
mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai
dan dengan manajemen (pimpinan).
Dengan demikian pelatihan dimaksudkan dalam pengertian yang lebih luas, dan tidak terbatas
semata-mata hanya untuk mengembangkan keterampilan dan bimbingan saja. Pelatihan diberikan
dengan harapan warga masyarakat dapatmelaksanakan pekerjaannya dengan baik. Masyarakat yang
telah mengikuti pelatihan dengan baik biasanya akan memberikan basil pekerjaan lebih banyak dan
baik pula dari pada masyarakat yang tidak mengikuti pelatihan.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 681
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Dalam pengembangan masyarakat, pelatihan diberikan sebagai upaya untuk meningkatkan
kemampuan dari warga masyarakat dalam menghadapi tuntutan maupun perubahan lingkungan
sekitamya. Pemberian pelatihan bagi masyarakat bertujuan untuk memberdayakan, sehingga warga
masyarakat menjadi berdaya dan dapat berpartisipasi aktif pada proses perubahan. Pelatihan dapat
membantu orang atau masyarakat untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan kemampuan yang telah
dimiliki. Dengan pelatihan juga dapat menimbulkan perubahan dalam kebiasaan-kebiasaan bekerja
masyarakat, perubahan sikap terhadap pekerjaan, serta dalam informasi dan pengetahuan yang
mereka terapkan dalam pekerjaannya sehari-hari.
Kegiatan pelatihan dapat terjadi apabila seseorang atau masyarakat menyadari perlunya
mengembangkan potensi dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan maupun kepuasan hidupnya,
oleh sebab itu diperlukan kegiatan pemberdayaan. Pemberdayaan dapat dimaknai sebagai upaya
melepaskan belenggukemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi dan keterbelakangan melalui
pendidikan. Kegiatan pemberdayaan yang dilakukan melalui pelatihan bertujuan untuk memperkuat
posisi seseorang melalui penumbuhan kesadaran dan kemampuan individu yang bersangkutan,
mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan memikirkan langkah-Iangkah mengatasinya. Inti dari
kegiatan pemberdayaan adalah motivasi untuk memahami kondisidan situasi kerja sehari-hari serta
menumbuhkan kemampuan dan keberanian mereka untuk bersikap kritis terhadap kondisi yang
mereka hadapi, sehingga kuncinya adalah membangun partisipasi.
Jacius (1968) dalam Moekijat (1991), mengemukakan "istilah pelatihanmenunjukkan suatu
proses peningkatan sikap, kemampuan, dan kecakapan dari para pekerja untuk menyelenggarakan
pekeqaan secara khusus". Ungkapan ini menunjukkan kalau kegiatan pelatihan merupakan proses
membantu peserta belajar untuk memperoleh keefektifan dalam melakukan pekerjaan mereka baik
pada saat sekarang maupun masa yang akan datang melalui pengembangan kebiasaan pikiran dan
tindakan-tindakan, kecakapan, pengetahuan, dan sikap-sikap. Kegiatan pelatihan juga dilakukan
dalam upaya memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam aktivitas pekerjaan sehari-
hari dan mengantisipasi kemungkinan permasalahan yang terjadi dimasa yang akan datang. Hal ini
sejalan dengan pandangan Soenanto dalam Moekijat (1993:4) bahwa pelatihan adalah kegiatan
belajar untuk mengubah rencana orang dalam
melakukan pekerjaan. Penyelenggaraan pelatihan yang baik dan optimal akan meningkatkan
kemampuan peserta pelatihan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dalam menjalankan tugas serta
dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas kerja.
Memperhatikan pengertian tersebut, ternyata tujuan pelatihan tidak hanya untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap saja, akan tetapi juga untuk mengembangkan
bakat seseorang, sehingga dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Moekijat
(1993: 2) menjelaskan tujuan umum pelatihan sebagai berikut: (1) untuk mengembangkan keahlian,
sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif, (2) untuk
mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional, dan (3) untuk
mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai
dan dengan manajemen (pimpinan).
Dengan demikian pelatihan dimaksudkan dalam pengertian yang lebih luas, dan tidak terbatas
semata-mata hanya untuk mengembangkan keterampilan dan bimbingan saja. Pelatihan diberikan
dengan harapan warga masyarakat dapatmelaksanakan pekerjaannya dengan baik. Masyarakat yang
telah mengikuti pelatihan dengan baik biasanya akan memberikan basil pekerjaan lebih banyak dan
baik pula dari pada masyarakat yang tidak mengikuti pelatihan.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 681
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Selain pengertian dan tujuan sebagaimana dikemukakan di atas pelatihan juga memiliki
sejumlah manfaat, seperti yang dikemukakan Siagian (1985: 183-185) mengemukakan 10 manfaat
yang dapat dipetik oleh pegawai atau karyawan dari kegiatan pelatihan sebagai berikut:
a. Membantu pegawai membuat keputusan yang lebih baik,
b. Meningkatkan kemampuan para pekerja menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya,
c. Terjadinya interaksi dan operasionalisasi faktor-faktor motivasional,
d. Timbulnya dorongan dalam diri pekerja untuk terus meningkatkan kemampuan kerjanya,
e. Peningkatan kemampuan pegawai untuk mengatasi; strees, frustrasi, dan konflik yang pada
gilirannya memperbesar rasa percaya diri sendiri
f. Tersedianya informasi berbagai program yang dapat dimanfaatkan para pegawai dalam rangka
pertumbuhan secara teknikal dan intelektual.
g. Meningkatkan kepuasan kerj a
h. Semakin bcsar pengakuan atas kemampuan seseorang
i. Makin besarnya tekad pekerja untuk lebih mandiri
j. Mengurangi ketakutan menghadapi tugas-tugas baru di masa depan.
Sedangkan bagi kelompok masyarakat kegiatan pelatihan yang diberikan dapat memberikan beberapa
manfaat, diantaranya:
a. Membantu masyarakat mempercepat pemenuhan kebutuhan sebagai upaya memperbaiki tarap
hidup
b. Memperbaiki sikap-sikap agar mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan serta dapat
membuat keputusan dengan baik dan benar.
c. Meningkatkan motivasi untuk be 1 ajar, dan senantiasa agar bersedia untuk mengembangkan
pengetahuan dan kemampuannya
d. Menumbuhkan rasa percaya diri dan solidaritas yang tinggi di antara sesama masyarakat.
Dalam pengembangan sumberdaya manusia, jelas pelatihan mutlak diperlukan. Kemutlakan
itu tergambar pada berbagai jenis manfaat yang dapat diambil dari padanya, baik bagi organisasi,
karyawan, individu maupun masyarakat. Manfaat juga akan dirasakan bagi penumbuhan dan
pemeliharaan hubungan yang serasi baik dalam kelompok kerj a maupun antara peserta dalam
kelompok yang semuanya bermuara pada peningkatan produktifitas. Dengan peningkatan dan
berkembangnya kemampuan masyarakat, diharapkan akan dapat memenuhi kepuasan dalam
hidupnya.
B. Pendekatan Pelatihan
Friedman dan Yarbrough (1985) dalam buku "Trainingstratcgics" mengungkapkan bahwa:
dalam pelaksanaan pelatihan dapatditelusuri dari dimensi langkah-langkahnya, pelatih dan
metodenya. Prosespelatihan secara umum dilakukan melalui dua pendekatan yaitu;
pendekatanmenerima (receptive) yang digunakan sebagai fase diagnostik atau lebihdikenal dengan
sebutan pendekatan "bottom-up", dan pendekatan instmksi(directive) yang digunakan sebagai fase
instruksional atau disebut denganpendekatan "top-down", Kedua pendekatan ini mempunyai
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 682
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Selain pengertian dan tujuan sebagaimana dikemukakan di atas pelatihan juga memiliki
sejumlah manfaat, seperti yang dikemukakan Siagian (1985: 183-185) mengemukakan 10 manfaat
yang dapat dipetik oleh pegawai atau karyawan dari kegiatan pelatihan sebagai berikut:
a. Membantu pegawai membuat keputusan yang lebih baik,
b. Meningkatkan kemampuan para pekerja menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya,
c. Terjadinya interaksi dan operasionalisasi faktor-faktor motivasional,
d. Timbulnya dorongan dalam diri pekerja untuk terus meningkatkan kemampuan kerjanya,
e. Peningkatan kemampuan pegawai untuk mengatasi; strees, frustrasi, dan konflik yang pada
gilirannya memperbesar rasa percaya diri sendiri
f. Tersedianya informasi berbagai program yang dapat dimanfaatkan para pegawai dalam rangka
pertumbuhan secara teknikal dan intelektual.
g. Meningkatkan kepuasan kerj a
h. Semakin besar pengakuan atas kemampuan seseorang
i. Makin besamya tekad pekerja untuk lebih mandiri
j. Mengurangi ketakutan menghadapi tugas-tugas baru di masa depan.
Sedangkan bagi kelompok masyarakat kegiatan pelatihan yang diberikan dapat memberikan beberapa
manfaat, diantaranya:
a. Membantu masyarakat mempercepat pemenuhan kebutuhan sebagai upaya memperbaiki tarap
hidup
b. Memperbaiki sikap-sikap agar mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan serta dapat
membuat keputusan dengan baik dan benar.
c. Meningkatkan motivasi untuk belajar, dan senantiasa agar bersedia untuk mengembangkan
pengetahuan dan kemampuannya
d. Menumbuhkan rasa percaya diri dan solidaritas yang tinggi di antara sesama masyarakat.
Dalam pengembangan sumberdaya manusia, jelas pelatihan mutlak diperlukan. Kemutlakan
itu tergambar pada berbagai jenis manfaat yang dapat diambil dari padanya, baik bagi organisasi,
karyawan, individu maupun masyarakat. Manfaat juga akan dirasakan bagi penumbuhan dan
pemeliharaan hubungan yang serasi baik dalam kelompok kerj a maupun antara peserta dalam
kelompok yang semuanya bermuara pada peningkatan produktifitas. Dengan peningkatan dan
berkembangnya kemampuan masyarakat, diharapkan akan dapat memenuhi kepuasan dalam
hidupnya.
B. Pendekatan Pelatihan
Friedman dan Yarbrough (1985) dalam buku "Trainingstrategies mengungkapkan bahwa:
dalam pelaksanaan pelatihan dapatditelusuri dari dimensi langkah-langkahnya, pelatih dan
metodenya. Prosespelatihan secara umum dilakukan melalui dua pendekatan yaitu;
pendekatanmenerima (receptive) yang digunakan sebag ii fase diagnostik atau lebihdikenal dengan
sebutan pendekatan "bottom-up", dan pendekatan instmksi(directive) yang digunakan sebagai fase
instruksional atau disebut denganpendekatan "top-down", Kedua pendekatan ini mempunyai
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 682
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
kepentinganyang sama sesuai dengan fungsinya, serta digunakan untuk saling melengkapi. Dua hal
yang perlu diperhatikan dalam menyeimbangkan keduapendekatantersebut dalam suatu pelatihan,
yaitu dengan mengetahui situasipenggunaan masing-masingpendekatan dan mengetahui bagaimana
mengimplementasikannya.
Pada tahap pertama dalam setiap tugas pelatihanadalah diagnosis situasi dengan mencoba
merespon pernyataan-pernyataan tentang status quo (keadaan sekarang), perbedaan antara penlaku
seseorangdan prilaku yang diharapkan terjadi pada peserta pelatihan, tujuan-tujuanpelatihanyang
bersifat realistik, dan metode yang dipergunakan untukmencapai tujuaninstruksional. Tahapan
berikutnya adalah implementasidengan mengunakanpendekatan direktif, yang dalam hal ini
programpelatihan diwujudkan dalampraktek. Sekuensi receptive dan directivemerupakan suatu siklus
dan dapatberulang dalam suatu progr am pelatihan.
Masyarakat sebagai peserta pelatihan adalah tergolong orang dewasa, oleh sebab itu prinsip-
prinsip yang diterapkan dalam proses pelatihannya harus mengacu kepada prinsip pembelajaran orang
dewasa. Dalam pembelajaran orang dewasa (andragogy) Knowles (1980:41) menjelaskan tentang
konsep andragogi dengan "the art and science of helping adults learn", yaitu seni dan ilmu dalam
membantu orang dewasa be 1 ajar. Menurut Knowles (1980:45-54) proses pembelajaran orang dewasa
pada dasarnya menggunakan beberapa asumsi:
a. Orang dewasa telah memiliki konsep diri, dan tidak mudah untuk menerima konsep yang dating
dari luar dirinya, sehingga dalam proses pelatihannya perlu memperhatikan ; (1) iklim belajarnya
perlu diciptakan sesuai dengan keadaan orang dewasa, (2) warga belajar perlu dilibatkan dalam
mendiagnosis kebutuhan belajarnya, (3) warga belajar- perlu dilibatkan dalam proses
perencanaan belajarnya, (4) proses belajarnya merupakan tanggung jawab bersama antara
sumber belajar- dengan warga belajar-, dan (5) evaluasi pembelajarannya ditekankan pada
evaluasi diri sendiri.
b. Orang dewasa telah memiliki pengalaman, dan berbeda-beda sehingga; (1) proses
pembelajarannya lebih ditekankan pada teknik yang sifatnya menyadap pengalaman mereka, (2)
proses pembelajarannya lebih ditekankan pada aplikasi praktis.
c. Orang dewasa memiliki masa kesiapan belajar- seirama dengan adanya peran sosial yang mereka
tampilkan. Peran ini akan berubah sejalan dengan perubahan usianya sehingga dalam proses
pembelajarannya; (1) urutan program belajar- perlu disusun berdasarkan urutan logik mata
pelajaran, dan (2) dengan adanya konsep mengenai tugas-tugas pekembangan pada orang dewasa
akan memberikan petunjuk dalam belajar- secara kelompok.
d. Orang dewasa memiliki perspektif waktu dan orientasi belajar-, sehingga cenderung memiliki
perspektif untuk secepatnya untuk mengaplikasikan apa yang mereka pelajari. Sehingga dalam
proses pembelajarnnya; (1) sumber belajar berperan sebagai pemberi bantuan kepada warga
belajar-, dan (2) kurikulum tidak berorientasi pada mata pelajaran ,tetapi berorientasi pada
Dari beberapa pendekatan yang ada, penyelenggaraan pelatihan ini lebih mengedepankan
untuk menggunakan pendekatan partisipatif, walaupun ada beberapa uraian yang memiliki kesamaan
dengan pendekatan yang lain. Dengan pendekatan partisipatif, pendekatan lain juga akan lebih mudah
untuk diadaptasikan, karena dengan pendekatan partisipatif masyarakat sebagai peserta pelatihan
tidak akan merasa tersinggung atau dipaksa bila diperintah dan akan dengan senang hati untuk
menerima. Pendekatan ini akan lebih efektif karena sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa
yang menjadi sasaran utamanya adalah masyarakat orang dewasa yang pada umumnya sudah banyak
masalah.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 683
3rd Economics & Business Hesearoh Festival 13 November 2014
kepentinganyang sama sesuai dengan fungsinya, serta digunakan untuk saling melengkapi. Dua hal
yang perlu diperhatikan dalam menyeimbangkan keduapendekatantersebut dalam suatu pelatihan,
yaitu dengan mengetahui situasipenggunaan masing-masingpendekatan dan mengetahui bagaimana
mengimplementasikannya.
Pada tahap pertama dalam setiap tugas pelatihanadalah diagnosis situasi dengan mencoba
merespon pernyataan-pernyataan tentang status quo (keadaan sekarang), perbedaan antara perilaku
seseorangdan prilaku yang diharapkan terjadi pada peserta pelatihan, tujuan-tujuanpelatihanyang
bersifat realistik, dan metode yang dipergunakan untukmencapai tujuaninstruksional. Tahapan
berikutnya adalah implementasidengan mengunakanpendekatan direktif, yang dalam hal ini
programpelatihan diwujudkan dalampraktek. Sekuensi receptive dan directivemerupakan suatu siklus
dan dapatberulang dalam suatu program pelatihan.
Masyarakat sebagai peserta pelatihan adalah tergolong orang dewasa, oleh sebab itu prinsip-
prinsip yang diterapkan dalam proses pelatihannya harus mengacu kepada prinsip pembelajaran orang
dewasa. Dalam pembelajaran orang dewasa (andragogy) Knowles (1980:41) menjelaskan tentang
konsep andragogi dengan "the art and science of helping adults leam", yaitu seni dan ilmu dalam
membantu orang dewasa belajar. Menurut Knowles (1980:45-54) proses pembelajaran orang dewasa
pada dasarnya menggunakan beberapa asumsi:
a. Orang dewasa telah memiliki konsep diri, dan tidak mudah untuk menerima konsep yang dating
dari luar dirinya, sehingga dalam proses pelatihannya perlu memperhatikan ; (1) iklim belajamya
perlu diciptakan sesuai dengan keadaan orang dewasa, (2) warga belajar perlu dilibatkan dalam
mendiagnosis kebutuhan belajarnya, (3) warga belajar perlu dilibatkan dalam proses
perencanaan belajamya, (4) proses belajarnya merupakan tanggung jawab bersama antara
sumber belajar dengan warga belajar, dan (5) evaluasi pembelajarannya ditekankan pada
evaluasi diri sendiri.
b. Orang dewasa telah memiliki pengalaman, dan berbeda-beda sehingga; (1) proses
pembelajarannya lebih ditekankan pada teknik yang sifatnya menyadap pengalaman mereka, (2)
proses pembelajarannya lebih ditekankan pada aplikasi praktis.
c. Orang dewasa memiliki masa kesiapan belajar seirama dengan adanya peran sosial yang mereka
tampilkan. Peran ini akan berubah sejalan dengan perubahan usianya sehingga dalam proses
pembelajarannya; (1) urutan program belajar perlu disusun berdasarkan urutan logik mata
pelajaran, dan (2) dengan adanya konsep mengenai tugas-tugas pekembangan pada orang dewasa
akan memberikan petunjuk dalam belajar secara kelompok.
d. Orang dewasa memiliki perspektif waktu dan orientasi belajar, sehingga cenderung memiliki
perspektif untuk secepatnya untuk mengaplikasikan apa yang mereka pelajari. Sehingga dalam
proses pembelajamnya; (1) sumber belajar berperan sebagai pemberi bantuan kepada warga
belajar, dan (2) kurikulum tidak berorientasi pada mata pelajaran ,tetapi berorientasi pada
Dari beberapa pendekatan yang ada, penyelenggaraan pelatihan ini lebih mengedepankan
untuk menggunakan pendekatan partisipatif, walaupun ada beberapa uraian yang memiliki kesamaan
dengan pendekatan yang lain. Dengan pendekatan partisipatif, pendekatan lain juga akan lebih mudah
untuk diadaptasikan, karena dengan pendekatan partisipatif masyarakat sebagai peserta pelatihan
tidak akan merasa tersinggung atau dipaksa bila diperintah dan akan dengan senang hati untuk
menerima. Pendekatan ini akan lebih efektif karena sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa
yang menjadi sasaran utamanya adalah masyarakat orang dewasa yang pada umumnya sudah banyak
masalah.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 683
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
memiliki pengalaman. Di samping itu melalui pendekatan partisipatif masyarakat sebagai peserta
pelatihan akan ikut berperan lebih banyak dan luas, baik dan sejak dilakukannya identifikasi
kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan dan sampai kepada menilai basil kegiatan pelatihan. Secara
khusus pendekatan ini digunakan untuk melibatkan peserta pelatihan agar dapat berpartisipasi aktif
dalam proses pelatihan dan dalam menjalankan usaha.
Pengadaptasian dari beberapa pendekatan yang diungkapkan Friedman dan Yarbrough
kedalam pendekatan partisipatif seperti pada pendekatan receptive (Bottom-up) dilakukannya lebih
menekankan pada partisipasi masyarakat dalam menggali sumber-sumber atau potensi baik dari sisi
SDM atau SDA yang ada dan yang mungkin dapat dikembangkan, sedangkan pada pendekatan
directive (top-down) merupakan kegiatan atau partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan SDMatau
SDA sebagai bukti peran sertanya dalam mensukseskan pelaksanaan program pelatihan yang
diberikan penyelenggara maupun dalam bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Kegiatan lain yang hampir sama dalam bentuk partisipasi juga dari pendekatan yang
dikemukakan oleh Halim dan Ali seperti; dalam pendekatan tradisional pelatih memberikan tugas
memotivasi dan melakukan evaluasi kepada peserta. Pada pendekatan eksperiensial pelatih juga tidak
lupa memperhatikan dan berusaha memadukan pengalaman yang telah dimiliki peserta sebelumnya.
Sedangkan pada pendekatan berbasis kinerja tujuan pelatihannya diukur dengan melihat parrtisipasi
peserta selama mengikuti pelatihan terutama dalam pencapaian tingkat penguasaan keterampilan yang
telah dipelajari.
Penggunaan pendekatan partisipatif ini dapat dilakukan secar a langsung dan tidak langsung.
Secara langsung biasanya dilaksanakan dalam kelompok kecil atau dengan tatap muka, dan ini akan
terasa lebih efektif karena akan terjadi hubungan keakraban diantara peserta. Secara tidak langsung
biasanya dilakukan dalam kelompok yang lebih bcsar yang tidak memungkinkan bagi setiap peserta
untuk bertatap muka langsung (Sudjana, 1992:266). Dengan demikian dalam pelatihan ini
pelaksanaan pendekatannya didekati dengan pendekatan partisipatf yang dilakukan secara langsung,
karena jumlah pesertanya yang relatif kecil.
C. Asas-asas Pelatihan
Dalam penyelenggaraan pelatihan, agar- dapat bermanfaat bagi peserta dan dapat mencapai
tujuan secara optimal, hendaknya penyelenggaraannya mengikuti asas-asas umum pelatihan. Menurut
Yoder (1962:235) dalam Sudirman (2005), menyebutkan sembilan asas yang berlaku umum dalam
kegiatan pelatihan yaitu (1) individual differences; (2) relation to job analysis; (3) motivation (4)
active participation, (5) selection of trainees, (6). Selection of trainers; (7) trainer's of training (8)
training method's dan (9) principles of learning (1962:235).
Pendapat Yoder (1962) dalam Sudirman (2005) mengisyaratkan bahwa dalam kegiatan
pelatihan perbedaan individu peserta pelatihan harus mendapat perhatian yang utama. Karakteristik
peserta pelatihan akan mewarnai dan menentukan keberhasilan pelaksanaan suatu pelatihan. Pelatihan
harus juga dihubungkan dengan analisis pekerjaan peserta (calon peserta) pelatihan, sehingga
nantinya basil pelatihan bermanfaat dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
Selanjutnya, motivasi dan keaktifan peserta kegiatan pelatihan perlu dibangkitkan. Peserta
pelatihan akan berusaha dan memberikan perhatian yang lebih besar pada pelatihan yang diikutinya,
apabila ada daya perangsang yang dapat menimbulkan motivasinya. Begitu juga dalam fase-fase
kegiatan pelatihan,. peserta diupayakan turut aktif mengambil bagian. Dengan demikian peserta
pelatihan turut aktif berpikir, berbuat dan mengambil keputusan selama proses pelatihan berlangsung.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 684
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
memiliki pengalaman. Di samping itu melalui pendekatan paitisipatif masyarakat sebagai peserta
pelatihan akan ikut berperan lebih banyak dan luas, baik dari sejak dilakukannya identifikasi
kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan dan sampai kepada menilai basil kegiatan pelatihan. Secara
khusus pendekatan ini digunakan untuk melibatkan peserta pelatihan agar dapat berpartisipasi aktif
dalam proses pelatihan dan dalam menjalankan usaha.
Pengadaptasian dari beberapa pendekatan yang diungkapkan Friedman dan Yarbrough
kedalam pendekatan partisipatif seperti pada pendekatan receptive (Bottom-up) dilakukannya lebih
menekankan pada partisipasi masyarakat dalam menggali sumber-sumber atau potensi baik dari sisi
SDM atau SDA yang ada dan yang mungkin dapat dikembangkan, sedangkan pada pendekatan
directive (top-down) merupakan kegiatan atau partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan SDMatau
SDA sebagai bukti peran sertanya dalam mensukseskan pelaksanaan program pelatihan yang
diberikan penyelenggara maupun dalam bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Kegiatan Iain yang hampir sama dalam bentuk partisipasi juga dari pendekatan yang
dikemukakan oleh Halim dan Ali seperti; dalam pendekatan tradisional pelatih memberikan tugas
memotivasi dan melakukan evaluasi kepada peserta. Pada pendekatan eksperiensial pelatih juga tidak
lupa memperhatikan dan berusaha memadukan pengalaman yang telah dimiliki peserta scbclumny;
Sedangkan pada pendekatan berbasis kinerja tujuan pelatihannya diukur dengan melihat parrtisipasi
peserta selama mengikuti pelatihan terutama dalam pencapaian tingkat penguasaan keterampilan yang
telah dipelajari.
Penggunaan pendekatan partisipatif ini dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung biasanya dilaksanakan dalam kelompok kecil atau dengan tatap muka, dan ini akan
terasa lebih efektif karena akan terjadi hubungan keakraban diantara peserta. Secara tidak langsung
biasanya dilakukan dalam kelompok yang lebih besar yang tidak memungkinkan bagi setiap peserta
untuk bertatap muka langsung (Sudjana, 1992:266). Dengan demikian dalam pelatihan ini
pelaksanaan pendekatannya didekati dengan pendekatan partisipatf yang dilakukan secara langsung,
karena jumlah pesertanya yang relatif kecil.
C. Asas-asas Pelatihan
Dalam penyelenggaraan pelatihan, agar dapat bermanfaat bagi peserta dan dapat mencapai
tujuan secara optimal, hendaknya penyelenggaraannya mengikuti asas-asas umum pelatihan. Menurut
Yoder (1962:235) dalam Sudirman (2005), menyebutkan sembilan asas yang berlaku umum dalam
kegiatan pelatihan yaitu (1) individual differences; (2) relation to job analysis; (3) motivation (4)
active participation, (5) selection of trainees, (6). Selection of trainers; (7) trainer's of training (8)
training method's dan (9) principles of learning (1962:235).
Pendapat Yoder (1962) dalam Sudirman (2005) mengisyaratkan bahwa dalam kegiatan
pelatihan perbedaan individu peserta pelatihan hams mendapat perhatian yang utama. Karakteristik
peserta pelatihan akan mewarnai dan menentukan keberhasilan pelaksanaan suatu pelatihan. Pelatihan
hams juga dihubungkan dengan analisis pekerjaan peserta (calon peserta) pelatihan, sehingga
nantinya basil pelatihan bermanfaat dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
Selanjutnya, motivasi dan keaktifan peserta kegiatan pelatihan perlu dibangkitkan. Peserta
pelatihan akan berusaha dan memberikan perhatian yang lebih besar pada pelatihan yang diikutinya,
apabila ada daya perangsang yang dapat menimbulkan motivasinya. Begitu juga dalam fase-fase
kegiatan pelatihan,. peserta diupayakan turut aktif mengambil bagian. Dengan demikian peserta
pelatihan tumt aktif berpikir, berbuat dan mengambil keputusan selama proses pelatihan berlangsung.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 684
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Tidak kalah pentingnya dalam kegiatan pelatihan adalah seleksi peserta dan seleksi pelatih.
Sebagaimana diketahui bahwa diantara peserta pelatihan terdapat perbedaan-perbedaan yang sifatnya
individual. Untuk menjaOa agar perbedaan tersebut jangan terlalu besar, maka seleksi atau pemilihan
calon peserta pelatihan perlu diadakan. Selain seleksi peserta, untuk mendapatkan para pelatih yang
berkualitas dan profesional, maka dalam rangkaian penyelenggaraan pelatihan diperlukan juga seleksi
pelatih. Harapannya pelatih yang terpilih adalah orang-orang yang cakap dan memiliki kualifikasi
sebagai seorang pelatih yang handal.
Para pelatih yang telah terpilihpun, masih diperlukan mengikuti pelatihan untuk pelatih.
Tujuannya adalah agar para pelatih memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
relatif sama pada jenis pelatihan yang akan dilatihkan. Juga memiliki tingkat kerjasama yang tinggi
dengan pelatih lain, sehingga dalam melatih nanti dapat berbuat total dan seoptimal mungkin.
Kemudian untuk keberhasilan pelatihan, metode pelatihan dan prinsip-prinsip pembelajaran
yang digunakan harus sesuai dengan jenis metode pelatihan yang diberikan. Meskipun tidak ada
metode yang paling sempurna, namun dapat dicarikan beberapa alternatif metode yang sesuai dengan
karakteristik peserta pelatihan. Dalam hal ini ada persyaratan minimal yang perlu diperhatikan pelatih
dalam memilih metode pelatihan yaitu (1) sesuai dengan keadaan dan jumlah sasaran; (2) cukup
dalam jumlah dan mutu materi; (3) tepat menuju tujuan pada waktunya; (4) Amanat hendaknya
mudah diterima, dipahami dan diterapkan; dan (5) biaya ringan (Depdikbud, 1983 : 97). Dalam
pemilihan metode juga dapat mempertimbangkan beberapa faktor sebagai berikut:
Tujuan instruksional khusus yang hendakdicapai dalam proses penyampaian pesan atau
bahan be 1 ajar, keadaan warga be 1 ajar yang akan menerima pesan, karakteristik metode yang akan
digunakan dan sumber atau fasilitas yang tersedia untuk menunjang penggunaan metode tertentu yang
hendak kita pilih (Direktorat Dikmas, 1985 : 18).
Sedangkan prinsip-prinsip pembelajaran akan memberikan arah bagi cara-cara seseorang
(peserta pelatihan) belajar efektif dalam kegiatan pelatihan. Dan pembelajaran akan lebih efektif,
apabila metode pelatihan sesuai dengan gaya belajar peserta dan tipe-tipe pekerjaan yang diperlukan.
Menurut William R. Werther Jr. dan Keith Davis, prinsip-prinsip pembelajaran yang efektif sering;
direfleksikan dengan participation, repetition, transference, dan feed back.Dengan demikian manakala
pelatihan ingin berhasil, bermanfaat dan mencapai tujuan secara optimal, maka asas-asas maupun
prinsip dasar penyelenggaraan pelatihan hendaknya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
D. Model-Model Pelatihan
Penyelenggaraan pelatihan pada umumnya lebih banyak digunakanoleh lembaga-lembaga
atau organisasi baik pemerintah maupun swasta, danjuga perusahaan, dengan menggunakan model-
model yang berbeda. Modelmodelpelatihan yang ditampilkan tersebut, kesemuanya bertujuan
untukmeningkatkan kualitas SDM sebagai tenaga kerja, yang akhirnya dapatmeningkatkan produksi.
Pelaksanaan pelatihan juga dapat saja dilakukan dimasyarakat, yang juga bertujuan untuk
meningkatkan kualitas dart wargamasyarakat seperti pengetahuan atau bidang keterampilan tertentu.
Para pakar pelatihan biasanya melaksanakan pelatihan denganmenggunakan langkah-langkah
atau siklus tersendiri berdasarkan dari modelyang mereka kembangkan. Diantara model-model
pelatihan yang ada parapakar mengembangkannya bermacam-macam, ada yang
menggambarkanhanya melalui siklus yang sederhana, dan ada juga yang digambarkan secaradetail.
Walaupun demikian dari beberapa model yang dikembangkanditemukan adanya langkah-langkah
atau tahapan yang memiliki kesamaan,seperti pada pelaksanaan pelatihan umumnya. Kesamaan itu
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 685
3rd Economics & Business Hesearoh Festival 13 November 2014
Tidak kalah pentingnya dalam kegiatan pelatihan adalah seleksi peserta dan seleksi pelatih.
Sebagaimana diketahui bahwa diantara peserta pelatihan terdapat perbedaan-perbedaan yang sifatnya
individual. Untuk menjaOa agar perbedaan tersebut jangan terlalu besar, maka seleksi atau pemilihan
calon peserta pelatihan perlu diadakan. Selain seleksi peserta, untuk mendapatkan para pelatih yang
berkualitas dan profesional, maka dalam rangkaian penyelenggaraan pelatihan diperlukan juga seleksi
pelatih. Harapannya pelatih yang terpilih adalah orang-orang yang cakap dan memiliki kualifikasi
sebagai seorang pelatih yang handal.
Para pelatih yang telah terpilihpun, masih diperlukan mengikuti pelatihan untuk pelatih.
Tujuannya adalah agar para pelatih memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
relatif sama pada jenis pelatihan yang akan dilatihkan. Juga memiliki tingkat kerjasama yang tinggi
dengan pelatih Iain, sehingga dalam melatih nanti dapat berbuat total dan seoptimal mungkin.
Kemudian untuk keberhasilan pelatihan, metode pelatihan dan prinsip-prinsip pembelajaran
yang digunakan harus sesuai dengan jenis metode pelatihan yang diberikan. Meskipun tidak ada
metode yang paling sempuma, namun dapat dicarikan beberapa alternatif metode yang sesuai dengan
karakteristik peserta pelatihan. Dalam hal ini ada persyaratan minimal yang perlu diperhatikan pelatih
dalam memilih metode pelatihan yaitu (1) sesuai dengan keadaan dan jumlah sasaran; (2) cukup
dalam jumlah dan mutu materi; (3) tepat menuju tujuan pada waktunya; (4) Amanat hendaknya
mudah diterima, dipahami dan diterapkan; dan (5) biaya ringan (Depdikbud, 1983 : 97). Dalam
pemilihan metode juga dapat mempertimbangkan beberapa faktor sebagai berikut:
Tujuan instruksional khusus yang hendakdicapai dalam proses penyampaian pesan atau
bahan belajar, keadaan warga belajar yang akan menerima pesan, karakteristik metode yang akan
digunakan dan sumber atau fasilitas yang tersedia untuk menunjang penggunaan metode tertentu yang
hendak kita pilih (Direktorat Dikmas, 1985 : 18).
Sedangkan prinsip-prinsip pembelajaran akan memberikan arah bagi cara-cara seseorang
(peserta pelatihan) belajar efektif dalam kegiatan pelatihan. Dan pembelajaran akan lebih efektif,
apabila metode pelatihan sesuai dengan gaya belajar peserta dan tipe-tipe pekerjaan yang diperlukan.
Menurut William R. Werther Jr. dan Keith Davis, prinsip-prinsip pembelajaran yang efektif sering;
direfleksikan dengan participation, repetition, transference, dan feed back.Dengan demikian manakala
pelatihan ingin berhasil, bermanfaat dan mencapai tujuan secara optimal, maka asas-asas maupun
prinsip dasar penyelenggaraan pelatihan hendaknya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
D. Model-Model Pelatihan
Penyelenggaraan pelatihan pada umumnya lebih banyak digunakanoleh lembaga-lembaga
atau organisasi baik pemerintah maupun swasta, danjuga perusahaan, dengan menggunakan model-
model yang berbeda. Modelmodelpelatihan yang ditampilkan tersebut, kesemuanya bertujuan
untukmeningkatkan kualitas SDM sebagai tenaga kerja, yang akhirnya dapatmeningkatkan produksi.
Pelaksanaan pelatihan juga dapat saja dilakukan dimasyarakat, yang juga bertujuan untuk
meningkatkan kualitas dari wargamasyarakat seperti pengetahuan atau bidang keterampilan tertentu.
Para pakar pelatihan biasanya melaksanakan pelatihan denganmenggunakan langkah-langkah
atau siklus tersendiri berdasarkan dari modelyang mereka kembangkan. Diantara model-model
pelatihan yang ada parapakar mengembangkannya bermacam-macam, ada yang
menggambarkanhanya melalui siklus yang sederhana, dan ada juga yang digambarkan secaradetail.
Walaupun demikian dari beberapa model yang dikembangkanditemukan adanya langkah-langkah
atau tahapan yang mcmilik kesamaan,seperti pada pelaksanaan pelatihan umumnya. Kesamaan itu
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 685
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
seperti sama-samadiawali dengan melakukan identifikasi, dengan tujuan untuk menemukan
danmengkaji kebutuhan yang akan diberi pelatihan, serta diakhiri denganpelaksanaan evaluasi.
Dan model-model pelatihan yang ada, dapat dilihat diantaranyasebagaimana di ungkapkan
Nadler (1982:12), yang dikenal dengan The CriticalEvents model (CEM) atau disebut dengan model
terbuka yang langkah- langkahnya terlihat lebih detail dan spesifik. Pada model ini tidak semua
vanabel bisa diidentifikasi atau ditetapkan pada saat dilakukan perancangan program pelatihannya,
namun pada setiap langkahnya selalu di evaluasi dan sebagai balikan. Siklus pelatihan pada CEM
dapat digambarkan sebagai berikut:
Identify the
needs of the organization
Conduct Training
/ \
Obtain Instructional
Resources
T
Select Ins
Stra
tructional
tegis
Evaluation
and
Feedback
Specific job
Performance
Identify learner needs
Determine objectives
Build
Curriculum
Sumber : Nadler (1982:12)
Gambar 2.1 Model Critical Event
Model yang dikembangkan Nedler ini dimulai dark 1) menentukan kebutuhan organisasi, 2)
menentukan spesifikasi pelaksanaan tugas, 3) menentukan kebutuhan pembelajar, 4) merumuskan
tujuan, 5) menentukan kurikulum, 6) memilih strategi pembelajaran, 7) mendapatkan sumber belajar,
dan 8) melaksanakan pelatihan, dan selanjutnya kembali lagi ke menentukan kebutuhan. Perputaran
ini bertujuan untuk melihat keunggulan dan kelemahandari pelatihan yang telah dilaksanakan, apakah
masih perlu diadakan perbaikan atau memang sudah sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh
organisasi.
Sedangkan Goad (1982:11) menggambarkan model pelatihan melalui beberapa tahapan yang
siklus pelatihannya terdiri dari: 1) Analisis kebutuhan pelatihan (analyze to determine training
requirements), 2) Desain pendekatan pelatihan (design the training approach), 3) Pengembangan
materi pelatihan (develop the training materials), 4) Pelaksanaan pelatihan (conduct the training), dan,
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana m m
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
seperti sama-samadiawali dengan melakukan identifikasi, dengan tujuan untuk menemukan
danmengkaji kebutuhan yang akan diberi pelatihan, serta diakhiri denganpelaksanaan evaluasi.
Dari model-model pelatihan yang ada, dapat dilihat diantaranyasebagaimana di ungkapkan
Nadler (1982:12), yang dikenal dengan The CriticalEvents model (CEM) atau disebut dengan model
terbuka yang langkah- langkahnya terlihat lebih detail dan spesifik. Pada model ini tidak semua
variabel bisa diidentifikasi atau ditetapkan pada saat dilakukan perancangan program pelatihannya,
namun pada setiap langkahnya selalu o evaluasi dan sebagai balikan. Siklus pelatihan pada CEM
dapat digambarkan sebagai berikut:
Identify the
needs of the organization
Conduct Training
/
Obtain Instructional
Resources
t
Select Ins
Stra
tructional
tegis
Evaluation
and
Feedback
Specific job
Performance
Identify learner needs
Determine objectives
Build Curriculum
Sumber; Nadler (1982:12)
Gambar 2.1 Model Critical Event
Model yang dikembangkan Nedler ini dimulai dari: 1) menentukan kebutuhan organisasi, 2)
menentukan spesifikasi pelaksanaan tugas, 3) menentukan kebutuhan pembelajar, 4) memmuskan
tujuan, 5) menentukan kurikulum, 6) memilih strategi pembelajaran, 7) mendapatkan sumber belajar,
dan 8) melaksanakan pelatihan, dan selanjutnya kembali lagi ke menentukan kebutuhan. Perputaran
ini bertujuan untuk melihat keunggulan dan kelemahandari pelatihan yang telah dilaksanakan, apakah
masih perlu diadakan perbaikan atau memang sudah sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh
organisasi.
Sedangkan Goad (1982:11) menggambarkan model pelatihan melalui beberapa tahapan yang
siklus pelatihannya tcrdi., dari: 1) Analisis kebutuhan pelatihan (analyze to determine training
requirements), 2) Desain pendekatan pelatihan (design the training approach), 3) Pengembangan
materi pelatihan (develop the training materials), 4) Pelaksanaan pelatihan (conduct the training), dan,
Fakultas Ekonomika dan Bisnis - Universitas Kristen Satya Wacana feb
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
dan 5) Evaluasi dan pemutakhiran pelatihan (evaluate and update the training). Sccara skematis
langkah-langkah tersebut digambarkan sebagi berikut:
Analyze
Evaluate Design
Develop
Sumber: Goad (1982:11)
Gambar 2.2. Siklus Pelatihan Lima Tahap
Dalam siklus pelatihan atau dalam pendidikan yang ditujukan pada orang dewasa sebagai
sasaran, Goad (1982:41) mengungkapkan perlunya memperhatikan beberapa aspek sebagai berikut:
1) orang dewasa belajar dengan melakukan; yaitu orang dewasa senantiasa ingin dilibatkan, 2)
masalah dan contoh harus realistis dan relevan dengan warga belajar, 3) lingkungan belajar yang
terbaik adalah lingkungan informal, 4) keragaman mendorong dan cenderung membuka kelima indra
dari peserta belajar-, 5) dilakukan perubahan kecepatan dan teknik dari waktu ke waktu, 6) tidak
menerapkan sistem peringkat apapun, 7) fasilitator berperan sebagai agen pembaharuan, 8) fasilitator
bertanggung jawab untuk memfasilitasi pembelajaran, sedangkan pembelajarannya sendiri
merupakan tanggung jawab peserta belajar.
Mayo & Du Bois, (1987:3) juga mengembangkan model pelatihan melalui lima tahap (fase),
yang dikenal dengan Continuous Loop Training Development and Implementation Model atau
Closed-loop Continuous System. Kelima fase tersebut adalah : 1) fase analyze operational
requirement, 2) fase defining training requirement, 3) fase developing objectives, 4) fase planning,
developing, and validating training, dan 5) fase conduct and evaluate the training. Secara skematis
kelima fase ini dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut:
Fakultas Ekonomika dan Bisnis rUniversitas Kristen Satya Wacana
687
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
dan 5) Evaluasi dan pemutakhiran pelatihan (evaluate and update the training). Secara skematis
langkah-Iangkah tersebut digambarkan sebagi berikut:
Analyze
Evaluate Design
Develop
<-
Sumber: Goad (1982:11)
Gambar 2.2. Siklus Pelatihan Lima Tahap
Dalam siklus pelatihan atau dalam pendidikan yang ditujukan pada orang dewasa sebagai
sasaran, Goad (1982:41) mengungkapkan perlunya memperhatikan beberapa aspek sebagai berikut:
1) orang dewasa belajar dengan melakukan; yaitu orang dewasa senantiasa ingin dilibatkan, 2)
masalah dan contoh harus realistis dan relevan dengan warga belajar, 3) lingkungan belajar yang
terbaik adalah lingkungan informal, 4) keragaman mendorong dan cenderung membuka kelima indra
dari peserta belajar, 5) dilakukan perubahan kecepatan dan teknik dari waktu ke waktu, 6) tidak
menerapkan sistem peringkat apapun, 7) fasilitator berperan sebagai agen pembaharuan, 8) fasilitator
bertanggung jawab untuk memfasilitasi pembelajaran, sedangkan pembelajarannya sendiri
merupakan tanggung jawab peserta belajar.
Mayo & Du Bois, (1987:3) juga mengembangkan model pelatihan melalui lima tahap (fase),
yang dikenal dengan Continuous Loop Training Development and Implementation Model atau
Closed-loop Continuous System. Kelima fase tersebut adalah : 1) fase analyze operational
requirement, 2) fase defining training requirement, 3) fase developing objectives, 4) fase planning,
developing, and validating training, dan 5) fase conduct and evaluate the training. Secara skematis
kelima fase ini dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut:
febj Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana 687
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Analyze operational requirement
Conduct and evaluate the
training
Planning, developing, oc
validating
Developing training
objectives
Defining training
requirement
Sumber : Mayo & Du Bois, (1987:32)
Gambar 2.3 Model Siklus Pelatihan Lima Tahap
Friedman dan Yarbrough (1985:4), mengemukakan enamtahap dalam proses pelatihan (six
stages of the training process). Posisi enamtahap yang digunakan dalam proses pelatihan dimaksud
adalah sebagai berikut:
1. Tahap pertama, menyadari kebutuhan (awereness of need).
Kesenjangan antara keadaan sekarang dengan keadaan yang diharapkanbiasanya disebabkan oleh
dua sifat yang melekat dalam fungsi manusia, yaitu
pembahan dan inspirasi. Perubahan adalah merupakan ""dorongan" dan aspirasiadalah ""tarikan"
yang menimbulkan kebutuhan pada pelatihan.Perubahan-perubahanmenciptakan masalah yang
harus segera dipecahkan, sedangkanaspirasi cenderung kepada tahap pertumbuhan untuk adanya
nilai tambah.
2. Tahap kedua, menganalisis masalah (analyzing the problems).
Apabila kebutuhan itu dirasakan masih bersifat umum, maka perlu dianalisis secermatmungkin,
sehingga rumusannya tidak terlalu umum atau tidak terlalu khusus.Jika menganalisis setiap
perfomans maka sebaiknya dilakukan denganmenjawab lebih dahulu pertanyaan-pertanyaan:
apakah yang menjadi
perbedaan antara perfomans sekarang dan yang diharapkan? Apakahperfomans tersebut berguna
untuk mengatasi perbedaan? Dan Apakahperfomans itu dapat meningkatkan keterampilan?
3. Tahap ketiga, menentukan pilihan (knowing options).
Ketikamempersiapkan pilihan-pilihan, perlu dimasukkan suatu penjelasan tujuantentang
keuntungan-keuntungan dan kelemahan-kelemahannya, serta
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 688
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Analyze operational requirement
Conduct and evaluate the
training
Planning, developing, _
validating
Developing training
objectives
Defining training
requirement
Sumber ; Mayo & Du Bois, (1987:32)
Gambar 2.3 Model Siklus Pelatihan Lima Tahap
Friedman dan Yarbrough (1985:4), mengemukakan enamtahap dalam proses pelatihan (six
stages of the training process). Posisi enamtahap yang digunakan dalam proses pelatihan dimaksud
adalah sebagai berikut:
1. Tahap pertama, menyadari kebutuhan (awereness of need).
Kesenjangan antara keadaan sekarang dengan keadaan yang diharapkanbiasanya disebabkan oleh
dua sifat yang melekat dalam fungsi manusia, yaitu
pembahan dan inspirasi. Perubahan adalah merupakan "dorongan" dan aspirasiadalah "tarikan"
yang menimbulkan kebutuhan pada pelatihan.Perubahan-perubahanmenciptakan masalah yang
harus segera dipecahkan, sedangkanaspirasi cenderung kepada tahap pertumbuhan untuk adanya
nilai tambah.
2. Tahap kedua, menganalisis masalah (analyzing the problems).
Apabila kebutuhan itu dirasakan masih bersifat umum, maka perlu dianalisis secermatmungkin,
sehingga rumusannya tidak terlalu umum atau tidak terlalu khusus.Jika menganalisis setiap
perfomans maka sebaiknya dilakukan denganmenjawab lebih dahulu pertanyaan-pertanyaan:
apakah yang menjadi
perbedaan antara perfomans sekarang dan yang diharapkan? Apakahperfomans tersebut berguna
untuk mengatasi perbedaan? Dan Apakahperfomans itu dapat meningkatkan keterampilan?
3. Tahap ketiga, menentukan pilihan (knowing options).
Ketikamempersiapkan pilihan-pilihan, perlu dimasukkan suatu penjelasan tujuantentang
keuntungan-keuntungan dan kelemahan-kelemahannya, serta
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 688
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
pengalaman yang dapat membantu peserta pelatihan mengembangkanpedoman-pedoman untuk
menentukan pilihan-pilihan yang terbaik.
4. Tahap keempat, menyadan suatu pemecahan (adopting asolution).
Dalam menghadapi suatu solusi pertama-tama adalah dengan membenkanpenjelasan tentang
prosedur sehingga menjadi jelas dan dapat dipahami olehmereka yang akan menentukan prosedur
tersebut. Dan selanjutnya adalahpemberian dukungan dimana prosedur tersebut harus dijalankan
mengenai
keuntungan-keuntungan dan kelemahan-kelemahannya. Dalam hal ini perananpelatihan adalah
mempersempit pilihan-pilihan peserta pelatihan yangmenyalurkan usaha-usaha peserta pelatihan
pada cara atau jalur khusus.
5. Tahap kelima, mengajarkan suatu keterampilan (teaching a skill).
Apabila pelatihan diharapkan untuk mampu mempengaruhi cara berpikirpeserta pelatihan,
sikapnya atau pengetahuannya, maka peranan pelatihanadalah membantu peserta dalam
mempelajari suatu keterampilan. Kemudianmemberikan umpan balik pada pekerjaan peserta
pelatihan sesuai langkah-langkahyang ditempuh sampai kepada penilaian basil kerja/hasil
belajarnya.
6. Tahap keenam, integrasi dalam sistem (integration in the system).
Apabila dalam prosedur belajar peserta pelatihan tidak menimbulkan pengaruh kerjasama dalam
situasi belajarnya, maka dalam tindak lanjutnya perlu membantu para peserta pelatihan untuk
melakukan prosedur kerjasama tersebut dalam sistem yang membutuhkan kerjasama, misalnya
dalam "team kcrja". Pengintegrasian ini sangat diperlukan karena pada tahap akhir pelatihan selalu
muncul masalah-masalah yang dihadapi para pelatih dalam mengintegrasikan hasil-hasil
belajarnya yang baru kedalam konteks pekerjaanya. Tipe lain dari "integrasi dalam sistem" ini
adalah dengan memusatkan pengembangan interaksi "team" yang lebih baik dalam suatu
kelompok kerja yang utuh.
Keenam tahapan dalam proses pelatihan tersebut dapat dilihat pada gambar 2.4. berikut:
Sumber : Friedman & Yarbrough (1985:4)
Gambar 2.4 Six Stages of the Training Process
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 689
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
pengalaman yang dapat membantu peserta pelatihan mengembangkanpedoman-pedoman untuk
menentukan pilihan-pilihan yang terbaik.
4. Tahap keempat, menyadari suatu pemecahan (adopting asolution).
Dalam menghadapi suatu solusi pertama-tama adalah dengan memberikanpenjelasan tentang
prosedur sehingga menjadi jelas dan dapat dipahami olehmereka yang akan menentukan prosedur
tersebut. Dan selanjutnya adalahpemberian dukungan dimana prosedur tersebut harus dijalankan
mengenai
keuntungan-keuntungan dan kelemahan-kelemahannya. Dalam hal ini perananpelatihan adalah
mempersempit pilihan-pilihan peserta pelatihan yangmenyalurkan usaha-usaha peserta pelatihan
pada cara atau jalur khusus.
5. Tahap kelima, mengajarkan suatu keterampilan (teaching a skill).
Apabila pelatihan diharapkan untuk mampu mempengaruhi cara berpikirpeserta pelatihan,
sikapnya atau pengetahuannya, maka peranan pelatihanadalah membantu peserta dalam
mempelajari suatu keterampilan. Kemudianmemberikan umpan balik pada pekerjaan peserta
pelatihan sesuai langkah-Iangkahyang ditempuh sampai kepada penilaian hasil kerja/hasil
belajamya.
6. Tahap keenam, integrasi dalam sistem (integration in the system).
Apabila dalam prosedur belajar peserta pelatihan tidak menimbulkan pengaruh kerjasama dalam
situasi belajarnya, maka dalam tindak lanjutnya perlu membantu para peserta pelatihan untuk
melakukan prosedur kerjasama tersebut dalam sistem yang membutuhkan kerjasama, misalnya
dalam "team keija". Pengintegrasian ini sangat diperlukan karena pada tahap akhir pelatihan selalu
muncul masalah-masalah yang dihadapi para pelatih dalam mengintegrasikan hasil-hasil
belajarnya yang baru kedalam konteks pekerjaanya. Tipe lain dari "integrasi dalam sistem" ini
adalah dengan memusatkan pengembangan interaksi "team" yang lebih baik dalam suatu
kelompok kerja yang utuh.
Keenam tahapan dalam proses pelatihan tersebut dapat duihat pada gambar 2.4. berikut:
Sumber : Friedman & Yarbrough (1985:4)
Gambar 2.4 Six Stages of the Training Process
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 689
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Secara umum model-model sistem pelatihan dalam siklusnya terbagi ke dalam tiga tahapan
yaitu ; tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan tahap evaluasi. Dari ketiga siklus tersebut, dalam
pelaksanaannya rata-rata setiap model selalu diawali dengan analisis kebutuhan, baru kemudian
disusun desain pelatihan yang dilanjutkan dengan pengembangan bahan pelatihan, penyelenggaraan
pelatihan dan diakhiri dengan evaluasi. Kegiatan ataupelaksanaan model-model semacam ini dapat
dikatakan sebagai langkah standar dalam setiap penyelenggaraan pelatihan. Perbedaan antara satu
pelatihan dengan pelatihan yang lain lebih terletak pada sisi pendekatan pembelajaran dan
pengorganisasian pelatihannya, namun pada prrinsipnya kesemuanya mempunyai tujuan yang sama
yaitu meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap dari para peserta pelatihan.
Sebagai sebuah proses, pelatihan bukanlah suatu program yang telah lengkap dan dapat
dibuat seketika. la memerlukan waktu, serta meliputi intensitas, frekwensi, dan durasi waktu tertentu,
serta bersifat continous dan melibatkan berbagai elemen yang harus dikelola secara benar.
Pendekatan sistem menghendaki pengelolaan pelatihan secara sistematis dan berorientasi kepada
basil. Masing-masing komponen memiliki keterkaitan dengan komponen lain, sehingga semakin
sempurna setiap proses yang dilakukan, maka akan semakin balk basil yang didapatkan.
Dari model-model yang digambarkan dan diuraikan tersebut, serta sehubungan dengan topik
penelitian ini, peneliti tidak mengadaptasi satu model secara utuh, akan tetapi melakukan kolaborasi
dari beberapa model yang dianggap memiliki kesesuaian dengan jenis dan kelompok sasaran
penelitian. Seperti dalam penyusunan model lebih cenderung ke model pelatihan yang dikembangkan
Nadler (1982:12), Alasan pengadaptasian model ini karena setiap langkah yang dilakukan selalu
dievaluasi untuk memberikan umpan balik. Sedangkan dalam langkah-langkahnya akan lebih
disederhanakan dan lebih mirip seperti yang diungkapkan Goad (1982:11). Untuk model Friedman
dan Yarbrough (1985:4), karena melihat tentang adanya kesadaraan akan kebutuhan sebagai langkah
awal untuk memecahkan permasahan yang sedang dihadapi, serta menekankan akan pentingnya kerja
tim atau secara terpadu. Keterpaduan dalam bentuk tim atau kelompok kerja dirasa lebih efektif,
terutama dalam upaya menerapkan basil belajar peserta kedalam pekerjaannya.
E. Konsep Pelatihan Keterampilan Usaha Terpadu
Pelatihan keterampilan usaha terpadu adalah serangkaian kegiatanyang dirancang untuk
membekali pengetahuan, keterampilan dan perubahansikap baik bagi individu maupun kelompok
dengan beberapa jenisketerampilan, untuk dapat dijadikan sebagai sumber usaha dalam
upayamemenuhi kebutuhan hidup. Pelatihan keterampilan usaha terpadumerupakan proses
pembelajaran yang beranjak dari suatu tema sebagai pusatperhatian, yang digunakan untuk
memahami gejala-gejala darn konsep lain,baik pada konsep jenis keterampilan yang sedang dipelajari
maupun padakonsep jenis keterampilan lain. Sebagai suatu konsep, pelatihan keterampilan usaha
terpadu dapat dikatakan sebagai suatu pendekatan dalam belajar- mengajar denganmelibatkan
beberapa kajian materi tentang keterampilan yang bertujuan untuk memberikan pengalaman yang
berarti kepada warga belajar. Dikatakanberarti karena dalam pelatihan keterampilan usaha terpadu,
warga belajarakan belajar- memahami konsep-konsep yang mereka pel ajar i dan praktekkanmelalui
pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lainyang telah mereka pahami dan
kuasai sebelumnya. Pelatihan ataupembelajaran keterampilan ini sebagaimana diungkapkan (Gilkey,
1985:195)adalah merupakan suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengajadikelola untuk
memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dankondisi-kondisi khusus atau
menghasilkan respon-respon terhadap situasitertentu. Proses pengelolaan lingkungan yang
menjadikan sebuah formasi dandiikuti penyesuaian unsur-unsur yang ada untuk mencapai tujuan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 690
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Secara umum model-model sistem pelatihan dalam siklusnya terbagi ke dalam tiga tahapan
yaitu ; tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan tahap evaluasi. Dari ketiga sMus tersebut, dalam
pelaksanaannya rata-rata setiap model selalu diawali dengan analisis kebutuhan, baru kemudian
disusun desain pelatihan yang dilanjutkan dengan pengembangan bahan pelatihan, penyelenggaraan
pelatihan dan diakhiri dengan evaluasi. Kegiatan ataupelaksanaan model-model semacam ini dapat
dikatakan sebagai langkah standar dalam setiap penyelenggaraan pelatihan. Perbedaan antara satu
pelatihan dengan pelatihan yang Iain lebih terletak pada sisi pendekatan pembelajaran dan
pengorganisasian pelatihannya, namun pada pmnsipnya kesemuanya mempunyai tujuan yang sama
yaitu meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap dari para peserta pelatihan.
Sebagai sebuah proses, pelatihan bukanlah suatu program yang telah lengkap dan dapat
dibuat seketika. la memerlukan waktu, serta meliputi intensitas, frekwensi, dan durasi waktu tertentu,
serta bersifat continous dan melibatkan berbagai elemen yang harus dikelola secara benar.
Pendekatan sistem menghendaki pengelolaan pelatihan secara sistematis dan berorientasi kepada
basil. Masing-masing komponen memiliki keterkaitan dengan komponen Iain, sehingga semakin
sempuma setiap proses yang dilakukan, maka akan semakin baik basil yang didapatkan.
Dari model-model yang digambarkan dan diuraikan tersebut, serta sehubungan dengan topik
penelitian ini, peneliti tidak mengadaptasi satu model secara utuh, akan tetapi melakukan kolaborasi
dari beberapa model yang dianggap memiliki kesesuaian dengan jenis dan kelompok sasaran
penelitian. Seperti dalam penyusunan model lebih cenderung ke model pelatihan yang dikembangkan
Nadler (1982:12), Alasan pengadaptasian model ini karena setiap langkah yang dilakukan selalu
dievaluasi untuk memberikan umpan balik. Sedangkan dalam langkah-langkahnya akan lebih
disederhanakan dan lebih mirip seperti yang diungkapkan Goad (1982:11). Untuk model Friedman
dan Yarbrough (1985:4), karena melihat tentang adanya kesadaraan akan kebutuhan sebagai langkah
awal untuk memecahkan permasahan yang sedang dihadapi, serta menekankan akan pentingnya kerja
tim atau secara terpadu. Keterpaduan dalam bentuk tim atau kelompok kerja dirasa lebih efektif,
terutama dalam upaya menerapkan basil belajar peserta kedalam pekerjaannya.
E. Konsep Pelatihan Keterampilan Usaha Terpadu
Pelatihan keterampilan usaha terpadu adalah serangkaian kegiatanyang dirancang untuk
membekali pengetahuan, keterampilan dan perubahansikap baik bagi individu maupun kelompok
dengan beberapa jenisketerampilan, untuk dapat dijadikan sebagai sumber usaha dalam
upayamemenuhi kebutuhan hidup. Pelatihan keterampilan usaha terpadumerupakan proses
pembelajaran yang beranjak dari suatu tema sebagai pusatperhatian, yang digunakan untuk
memahami gejala-gejala dari konsep lain,baik pada konsep jenis keterampilan yang sedang dipelajari
maupun padakonsep jenis keterampilan lain. Sebagai suatu konsep, pelatihan keterampilan usaha
terpadu dapat dikatakan sebagai suatu pendekatan dalam belajar mengajar denganmelibatkan
beberapa kajian materi tentang keterampilan yang bertujuan untuk memberikan pengalaman yang
berarti kepada warga belajar. Dikatakanberarti karena dalam pelatihan keterampilan usaha terpadu,
warga belajarakan belajar memahami konsep-konsep yang mereka pelajari dan praktekkanmelalui
pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lainyang telah mereka pahami dan
kuasai sebelumnya. Pelatihan ataupembelajaran keterampilan ini sebagaimana diungkapkan (Gilkey,
1985:195)adalah merupakan suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengajadikelola untuk
memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dankondisi-kondisi khusus atau
menghasilkan respon-respon terhadap situasitertentu. Proses pengelolaan lingkungan yang
menjadikan sebuah formasi dandiikuti penyesuaian unsur-unsur yang ada untuk mencapai tujuan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 690
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
pelatihan inidisebut integration. Proses integrasi merupakan perkembangan progresifdalam
mewujudkan pesesuaian yang sempurna antara beberapa unsur secarabersama atau saling mendukung
untuk mewujudkan budaya sempurna (totalculture). Sebagai contoh Linton (1984:267) menunjukkan
tentang terjadinyaperubahan dalam kehidupan masyarakat suku Tanala di Madagaskar sebagaiakibat
dari masuknya sistem teknologi bersawah, yang akhirnya masyarakatmenjadi ikut beralih sedang
sebelumnya mereka hanya mengenal systempenanaman padi ladang.
Darn pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh masyarakat sccaralangsung sebagai basil
dari proses pembelajaran tersebut dapat dikatakansebagai proses pembelajaran dalam bentuk difusi.
Proses pembelajaran dalambentuk diffusi meliputi langkah-langkah sebagai berikut : 1)
penghidangan. atau masuknya unsur-unsur budaya baru kepada kelompok sasaran, (2) penerimaan
unsur baru tersebut oleh masyarakat, dan (3) terjadinya pengintegrasian dari unsur-unsur yang telah
diterima ini ke dalam kebudayaan yang telah ada (Linton, 1984:258).
Pelatihan keterampilan usaha terpadu yang dalam pembelajarannya lebih berorientasi pada
praktek atau aplikasi praktis, memiliki kecenderungan yang sesuai dengan kebutuhan warga be 1 ajar.
Apalagi dalam pelatihan keterampilan usaha terpadu yang menekankan keteriibatan peserta bclajar
dalam belajarnya, maka akan membuat warga bclajar sccara aktif teriibat dalam proses pembelajaran
dan dalam pengambilan keputusan. Keteriibatan warga bclajar dalam setiap proses kegiatan bclajar
sesuai dengan ungkapan Knowles (1980), bahwa peserta bclajar terutama bagi orang dewasa, proses
belajarnya harus dilaksanakan dengan melibatkan pariisipasi aktif dari warga belajarnya. Pendekatan
semacam ini akan menjadikan suatu pengalaman yang berarti bagi peserta atau warga belajar itu
sendiri. Sebagaimana dikemukakan John Dewey dengan konsep "Learning by doing-nya" yang dalam
salah satu isi pembelajarannya mengutamakan bidang keterampilan yang dirasa berguna dalam
kehidupan dan langsung dapat dirasakan oleh masyarakat.
Pelatihan keterampilan usaha terpadu dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki kualitas
atau meningkatkan kemampuan warga masyarakat dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, terutama dalam rangka mengimbangi dampak sosial akibat berbagai kebijakan yang
mempersempit lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Pada dasarnya pelatihan keterampilan usaha
terpadu merupakan suatu sistem pelatihan yang memungkinkan warga belajar, baik sccara
individualmaupun kelompok, untuk aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsip
keilmuan secara holistik, bermakna, dan otentik.
Aktif maksudnya pelatihan keterampilan usaha terpadu pada dasarnya dikembangkan selain
bcrdasar kepada pendekatan diskoveri inkuiri, juga dengan mempertimbangkan hasrat, minat, dan
kemampuan dari warga belajarnya. Warga belajar- periu teriibat secara aktif dalam proses pelatihan
dari mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasinya. Keteriibatan warga belajar- dalam
penyusunan rencana, pelaksanaan, dan proses evaluasi akan mampu mewadahi pertimbangan-
pertimbangan diatas. Dengan demikian menjadikan warga belajar- termotivasi secara terus menerus
untuk belajar-.
Holistik artinya suatu gejala atau peristiwa yang menjadi pusat perhatian dalam pelatihan
keterampilan usaha terpadu diamati dan dikaji dari berbagai bidang ilmu sekaligus, tidak dari sudut
pandang yang terkotak-kotak. Pelatihan keterampilan usaha terpadu memungkinkan warga belajar
untuk memahami suatu fenomena dari segala sisi. Sehingga pada akhirnya akan menjadikan warga
belajar- lebih arif dan bijak di dalam menyikapi atau menghadapi berbagai kejadian.
Bermakna berarti pengkajian suatu fenomena dari berbagai macam aspek sebagaimana
diterangkan diatas, memungkinkan terbentuknya semacamjalinan antar skematis yang dimiliki warga
belajar-. Sehingga pada akhirnya akan berdampak kepada kebermaknaan dari materi yang dipelajari.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 691
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
pelatihan inidisebut integration. Proses integrasi merupakan perkembangan progresifdalam
mewujudkan pesesuaian yang sempurna antara beberapa unsur secarabersama atau saling mendukung
untuk mewujudkan budaya sempurna (totalculture). Sebagai contoh Linton (1984:267) menunjukkan
tentang terjadinyaperubahan dalam kehidupan masyarakat suku Tanala di Madagaskar sebagaiakibat
dari masuknya sistem teknologi bersawah, yang akhirnya masyarakatmenjadi ikut beralih sedang
sebelumnya mereka hanya mengenal systempenanaman padi ladang.
Dari pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh masyarakat secaralangsung sebagai basil
dari proses pembelajaran tersebut dapat dikatakansebagai proses pembelajaran dalam bentuk difusi.
Proses pembelajaran dalambentuk diffusi meliputi langkah-Iangkah sebagai berikut : 1)
penghidangan. atau masuknya unsur-unsur budaya baru kepada kelompok sasaran, (2) penerimaan
unsur barm tersebut oleh masyarakat, dan (3) terjadinya pengintegrasian dari unsur-unsur yang telah
diterima ini ke dalam kebudayaan yang telah ada (Linton, 1984:258).
Pelatihan keterampilan usaha terpadu yang dalam pembelajarannya lebih berorientasi pada
praktek atau aplikasi praktis, memiliki kecenderungan yang sesuai dengan kebutuhan warga belajar.
Apalagi dalam pelatihan keterampilan usaha terpadu yang menekankan keterlibatan peserta belajar
dalam belajamya, maka akan membuat warga belajar secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran
dan dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan warga belajar dalam setiap proses kegiatan belajar
sesuai dengan ungkapan Knowles (1980), bahwa peserta belajar terutama bagi orang dewasa, proses
belajamya hams dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi aktif dari warga belajarnya. Pendekatan
semacam ini akan menjadikan suatu pengalaman yang berarti bagi peserta atau warga belajar itu
sendiri. Sebagaimana dikemukakan John Dewey dengan konsep "Learning by doing-nya" yang dalam
salah satu isi pembelajarannya mengutamakan bidang keterampilan yang dirasa berguna dalam
kehidupan dan langsung dapat dirasakan oleh masyarakat.
Pelatihan keterampilan usaha terpadu dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki kualitas
atau meningkatkan kemampuan warga masyarakat dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, temtama dalam rangka mengimbangi dampak sosial akibat berbagai kebijakan yang
mempersempit lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Pada dasarnya pelatihan keterampilan usaha
terpadu merupakan suatu sistem pelatihan yang memungkinkan warga belajar, baik secara
individualmaupun kelompok, untuk aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsip
keilmuan secara holistik, bermakna, dan otentik.
Aktif maksudnya pelatihan keterampilan usaha terpadu pada dasarnya dikembangkan selain
berdasar kepada pendekatan diskoveri inkuiri, juga dengan mempertimbangkan hasrat, minat, dan
kemampuan dari warga belajarnya. Warga belajar perlu terlibat secara aktif dalam proses pelatihan
dari mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasinya. Keterlibatan warga belajar dalam
penyusunan rencana, pelaksanaan, dan proses evaluasi akan mampu mewadahi pertimbangan-
pertimbangan diatas. Dengan demikian menjadikan warga belajar termotivasi secara terus menerus
untuk belajar.
Holistik artinya suatu gejala atau peristiwa yang menjadi pusat perhatian dalam pelatihan
keterampilan usaha terpadu diamati dan dikaji dari berbagai bidang ilmu sekaligus, tidak dari sudut
pandang yang terkotak-kotak. Pelatihan keterampilan usaha terpadu memungkinkan warga belajar
untuk memahami suatu fenomena dari segala sisi. Sehingga pada akhirnya akan menjadikan warga
belajar lebih arif dan bijak di dalam menyikapi atau menghadapi berbagai kejadian.
Bermakna berarti pengkajian suatu fenomena dari berbagai macam aspek sebagaimana
diterangkan diatas, memungkinkan terbentuknya semacamjalinan antar skematis yang dimiliki warga
belajar. Sehingga pada akhirnya akan berdampak kepada kebermaknaan dari materi yang dipelajari.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 691
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Rujukan yang nyata dari segala konsep yang diperoleh, dan keterkaitannya dengan konsep-konsep
lainnya akan menambah kebermaknaan konsep yang sedang dipelajari. Keterkaitan antar konsep ini
akan mengakibatkan kegiatan bclajar menjadi lebih fungsional, sehingga warga bclajar mampu
menerapkan perolehan basil belajarnyauntuk memecahkan masalah-masalah yang nyata di dalam
kehidupannya.
Otentik maksudnya pelatihan keterampilan usaha terpadu juga memungkinkan warga bclajar
memahami sccara langsung konsep dan prinsip yang akan dipelajari, karena di dalam proses bclajar
mengajarnya mereka melakukan kegiatan sccara langsung. Warga bclajar memahami dari basil
belajarnya sendiri, basil dari interaksinya fakta dan peristiwa, bukan sckcdar basil pemberitahuan dari
tutor. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh sifatnya menjadi lebih otentik. Tutor lebih banyak
bersifat sebagai fasilitator dan katalisator, sedang warga belajarnya bertindak sebagai aktor pencari
informasi dan pengetahuannya. Tutor memberikan bimbingan kemana arah yang dilalui dan
memberikan fasilitas seoptimal mungkin demi tercapainya tujuan tersebut.
Dengan demikian, pelatihan keterampilan usaha terpadu bukan semata-mata merancang
aktivitas-aktivitas dari masing-masing bidang kajian yang ada kaitannya. Kegiatan merancang
aktivitas bisa saja dilakukan, namunbisa saja tidak sesuai dengan landasan filosofis, psikologis, dan
yuridis dari pelatihan keterampilan usaha terpadu. Pelatihan keterampilan usaha terpadu bisa saja
dikembangkan darn suatu tema yang disepakati bersama dengan melirik aspek-aspek materi dalam
kurikulum yang bisa dipelajari melalui pengembangan tema tersebut.
Analisis dan Pembahasan
4.1. Profil Partisipan
Sembilan belas orang telah berpartisipasi dalam Focus Group Discussion, Bidang Usaha:
ternak (sapi, kambing, itik, mentog), makanan dan minuman, Petani Toga, Petani Brambang, eceran
dan pedagang keliling. Petani tidak memiliki akses pasar yang baik.
Tabel 4.1
Cakupan
Pemasaran
Strategi Pemasaran a. Melakukan riset kecil-kecilan
b. Membuat rencana pemasaran
c. Pengembangan produk untuk menarik pelanggan yang belum
digarap
d. Membuat barga kompetitif
e. Meminta pendapat pelanggan ata produk tersebut
f. Mengundang orang untuk datang ke tempat usaha
g. Membuat produk yang unik
h. Membuat pesan dan materi pemasaran
i. Lain-lain
Fakultas Ekonomika dan Bisnis rUniversitas Kristen Satya Wacana
692
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Rujukan yang nyata dari segala konsep yang diperoleh, dan keterkaitannya dengan konsep-konsep
lainnya akan menambah kebermaknaan konsep yang sedang dipelajari. Keterkaitan antar konsep ini
akan mengakibatkan kegiatan belajar menjadi lebih fungsional, sehingga warga belajar mampu
menerapkan perolehan basil belajamyauntuk memecahkan masalah-masalah yang nyata di dalam
kehidupannya.
Otentik maksudnya pelatihan keterampilan usaha terpadu juga memungkinkan warga belajar
memahami secara langsung konsep dan prinsip yang akan dipelajari, karena di dalam proses belajar
mengajamya mereka melakukan kegiatan secara langsung. Warga belajar memahami dari basil
belajamya sendiri, basil dari interaksinya fakta dan peristiwa, bukan sekedar basil pemberitahuan dari
tutor. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh sifatnya menjadi lebih otentik. Tutor lebih banyak
bersifat sebagai fasilitator dan katalisator, sedang warga belajarnya bertindak sebagai aktor pencari
informasi dan pengetahuannya. Tutor memberikan bimbingan kemana arah yang dilalui dan
memberikan fasilitas seoptimal mungkin demi tercapainya tujuan tersebut.
Dengan demikian, pelatihan keterampilan usaha terpadu bukan semata-mata merancang
aktivitas-aktivitas dari masing-masing bidang kajian yang ada kaitannya. Kegiatan merancang
aktivitas bisa saja dilakukan, namunbisa saja tidak sesuai dengan landasan filosofis, psikologis, dan
yuridis dari pelatihan keterampilan usaha terpadu. Pelatihan keterampilan usaha terpadu bisa saja
dikembangkan dari suatu tema yang disepakati bersama dengan melirik aspek-aspek materi dalam
kurikulum yang bisa dipelajari melalui pengembangan tema tersebut.
Analisis dan Pembahasan
4.1. Profil Partisipan
Sembilan betas orang telah berpartisipasi dalam Focus Group Discussion, Bidang Usaha:
ternak (sapi, kambing, itik, mentog), makanan dan minuman, Petani Toga, Petani Brambang, eceran
dan pedagang keliling. Petani tidak memiliki akses pasar yang baik.
Tabel 4.1
Cakupan
Pemasaran
Strategi Pemasaran a. Melakukan riset kecil-kecilan
b. Membuat rencana pemasaran
c. Pengembangan produk untuk menarik pelanggan yang belum
digarap
d. Membuat barga kompetitif
e. Meminta pendapat pelanggan ata produk tersebut
f. Mengundang orang untuk datang ke tempat usaha
g. Membuat produk yang unik
h. Membuat pesan dan materi pemasaran
i. Lain-lain
febj Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana 692
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
4.2 Hasil Sharing Umum Pengalaman Pelaku UMKM
Tidak jarang pelaku UMKM mengalami kerugian usaha. Untuk produk pertanian harga yang
diberikan oleh tengkulak sangat rendah, terbelit hutang di KUD sehingga keuntungan yang
diharapkan tidak diperoleh. Untuk usaha yang lain sulitnya memasarkan produk karena tidak
mengetahui akses pasar.. Ketakutan kegagalam selalu menghatui pelaku usaha. Resistensi zona
nyaman antara bruh tani juga menghambat peluang bertumbuhnya usaha pemberdayaan masyaeakat
di dusun kawedegan.
4.3. Permasalahan dan Hambatan Berwirausaha
Peran pemerintah daerah agar UMKM dapat lebih berkembang berbagai bidang nampaknya
belum menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, program-program yang dibuat kurang
menyentuh sasaran bag! pelaku usahanya, selain itu kebijakan yang dibuat juga banyak yang tidak
dilanjuti dalam tindakan yang nyata, sehingga terkesan hanya bisa membuat tetapi sulit dalam
implentasinya. Selain itu, fenomena kurang berkembangnya wirausaha di kawedegan pada umumnya
juga tidak terlepas dari permasalahan yang berasal dari faktor internal perusahaan maupun eksternal
lingkungan usaha, sehingga akibatnya pembenahan menjadi semakin kompleks dan menuntut kita
semua untuk mengelola kompleksitas tersebut secara bersama-sama.
Masalahnya kemudian, bagaimana agar kita dapat mendorong supaya pelaku usaha dan calon
wirausaha UMKM tidak kehilangan arah, memiliki motivasi dan keuletan yang tinggi. Mengingat
pembinaan dan pengembangan UMKM merupakan salah satu kegiatan di bidang ekonomi yang
memiliki arti stratcgis dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat dusun kawedegan tanpa
menghilangkan kearifan dan potensi local. Hal ini dapat memberikan sumbangan yang cukup berarti
dalam penciptaan lapangan usaha, perluasan kesempatan kerja serta penyerapan tenaga kerja dan
peningkatan pendapatan yang pada akhirnya dapat memberikan kesejahtraan masyarakat.
Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut memang tidak mudah, diperlukan pembinaan dan
pengembangan UMKM secara terus menerus dan berkesinambungan dengan kebijakan yang dinamis
serta sesuai kondisi serta aspirasi pelaku usahanya. Hal ini dikarenakan bukan menjadi rahasia bahwa
para pelaku usaha di daerah, utamanya kelompok UMKM tidak mempunyai suara, dan jarang yang
dapat memperjuangkan kepentingannya secara profesional.
Permasalahan dan hambatan wirausaha dan penggalian potensi usaha dusun Kawedegan yang
dilakukan dengan membentuk Focus Group ditabulasikan dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Permasalan dan Hambatan UKMK
Permasalahan dan Hambatan
1 Uemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar Usaha kecil
2 Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha Kurangnya informasi yang berhubungan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
3 Sebagian bcsar produk industri kecil memiliki ciri atau karaktcristik sebagai pertanian,
peternakan, dan makanan minuman dengan jangka ketahanan yang relatif pendek
4 Terbatasnya Akses Pasar Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang
dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif namun terikat pada tengkulak
Fakultas Ekonomika dan Bisnis rUniversitas Kristen Satya Wacana
693
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
4.2 Hasil Sharing Umum Pengalaman Pelaku UMKM
Tidak jarang pelaku UMKM mengalami kerugian usaha. Untuk produk pertanian harga yang
diberikan oleh tengkulak sangat rendah, terbelit hutang di KUD sehingga keuntungan yang
diharapkan tidak diperoleh. Untuk usaha yang Iain sulitnya memasarkan produk karena tidak
mengetahui akses pasar.. Ketakutan kegagalam selalu menghatui pelaku usaha. Resistensi zona
nyaman antara bruh tani juga menghambat peluang bertumbuhnya usaha pemberdayaan masyaeakat
di dusun kawedegan.
4.3. Permasalahan dan Hambatan Berwirausaha
Peran pemerintah daerah agar UMKM dapat lebih berkembang berbagai bidang nampaknya
belum menunjukkan basil yang cukup menggembirakan, program-program yang dibuat kurang
menyentuh sasaran bagi pelaku usahanya, selain itu kebijakan yang dibuat juga banyak yang tidak
dilanjuti dalam tindakan yang nyata, sehingga terkesan hanya bisa membuat tetapi sulit dalam
implentasinya. Selain itu, fenomena kurang berkembangnya wirausaha di kawedegan pada umumnya
juga tidak terlepas dari permasalahan yang berasal dari faktor internal perusahaan maupun eksternal
lingkungan usaha, sehingga akibatnya pembenahan menjadi semakin kompleks dan menuntut kita
semua untuk mengelola kompleksitas tersebut secara bersama-sama.
Masalahnya kemudian, bagaimana agar kita dapat mendorong supaya pelaku usaha dan calon
wirausaha UMKM tidak kehilangan arah, memiliki motivasi dan keuletan yang tinggi. Mengingat
pembinaan dan pengembangan UMKM merupakan salah satu kegiatan di bidang ekonomi yang
memiliki arti strategis dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat dusun kawedegan tanpa
menghilangkan kearifan dan potensi local. Hal ini dapat memberikan sumbangan yang cukup berarti
dalam penciptaan lapangan usaha, perluasan kesempatan kerja serta penyerapan tenaga kerja dan
peningkatan pendapatan yang pada akhirnya dapat memberikan kesejahtraan masyarakat.
Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut memang tidak mudah, diperlukan pembinaan dan
pengembangan UMKM secara terus menerus dan berkesinambungan dengan kebijakan yang dinamis
serta sesuai kondisi serta aspirasi pelaku usahanya. Hal ini dikarenakan bukan menjadi rahasia bahwa
para pelaku usaha di daerah, utamanya kelompok UMKM tidak mempunyai suara, dan jarang yang
dapat memperjuangkan kepentingannya secara profesional.
Permasalahan dan hambatan wirausaha dan penggalian potensi usaha dusun Kawedegan yang
dilakukan dengan membentuk Focus Group ditabulasikan dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Permasalan dan Hambatan UKMK
Permasalahan dan Hambatan
1 Uemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar Usaha kecil
2 Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha Kurangnya informasi yang berhubungan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
3 Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai pertanian,
petemakan, dan makanan minuman dengan jangka ketahanan yang relatif pendek
4 Terbatasnya Akses Pasar Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang
dihasilkan udak dapat dipasarkan secara kompetitif namun terikat pada tengkulak
feb Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana 693
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
(untuk produk pertanian)
5 Terbatasnya Akses Informasi Selain akses pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan
dalam hal akses terhadap informasi.
6 Kekurangan modal mengakibatkan UKM tidak bisa bertahan hidup
7 Terbatasnya ketersediaan bahan baku (pupuk dengan harga mahal)
8 Terbatasnya pengetahuan mendapatkan tambahan modal.
4.4. Peluang Usaha dan Wirausaha Petani Dusun Kawedegan Nganjuk
Secara ringkas peluang UMKK di Kawedegan dan hasil diskusi yang dilakukan dengan
membentuk Focus Group ditabulasikan dalam Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Peluang UKMK
Peluang UMKM
1 Penerimaan masyarakat terhadap produk UMKM secara umum
2 Peluang inovasi
3 Mendapatkan pelatihan dari lembaga pengembangan UMKM
4 Peluang usaha terbuka luas melihat potensi usaha dan potensi pasar.
5 Bantuan kredit bagi UMKM
6 Membuka peluang untuk diversifikasi usaha dan pengolahan produk pertanian lokal.
7 Wadah organisasi-organisasi UMKM memberikan peluang sharing pengalaman dan
ajang saling belajar.
8 Banyak program-program radio atau televisi yang memberikan wawasan dan ide untuk
pengembangan UMKM.
9 Pembentukan koperasi dan pembinaan wirausaha secara berkesinambungan
4.5. Analisis SWOT Wirausaha di Kawedegan
Salah satu hal yangmembuat suatu bisnis Usaha kecil maju dan menuai hasil yang balk adalah
padaperencanaan usaha yang matang. Salah satu kiat sukses bisnis berada pada perencanaan usaha
yang didasarkan pada analisa terhadap beberapa faktor yang akan berpengaruh pada kelangsungan
usaha bisnis yang dijalani. Analisa bisnis ini memegang peranan yang cukup penting bagi usaha
kecil. Biasanya analisis terhadap faktor-faktor tersebut diabaikan oleh pelaku usaha kecil. Bisa
dimaklumi bisnis usaha kecil biasanya dijalankan menurut ""naluri". meski banyak yang sukses
berbisnis dengan cara tersebut namun alangkah baiknya jika dilandasi oleh analisa dan perencanaan
yang matang, evaluasi perkembangan bisnis, perbaikan, inovasi, analisa persaingan usaha dan lain-
lain.
Dalam kelangsungan usaha bisnis, ada dua hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan usaha.
Pertama Faktor Internal dan Kedua Faktor eksternal. Analisa SWOT dipergunakan untuk
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana m m
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
(untuk produk pertanian)
5 Terbatasnya Akses Informasi Selain akses pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan
dalam hal akses terhadap informasi.
6 Kekurangan modal mengakibatkan UKM tidak bisa bertahan hidup
u Terbatasnya ketersediaan bahan baku (pupuk dengan harga mahal)
8 Terbatasnya pengetahuan mendapatkan tambahan modal.
4.4. Peluang Usaha dan Wirausaha Petani Dusun Kawedegan Nganjuk
Secara ringkas peluang UMKK di Kawedegan dari hasil diskusi yang dilakukan dengan
membentuk Focus Group ditabulasikan dalam Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Peluang UKMK
Peluang UMKM
1 Penerimaan masyarakat terhadap produk UMKM secara umum
2 Peluang inovasi
3 Mendapatkan pelatihan dari lembaga pengembangan UMKM
4 Peluang usaha terbuka luas melihat potensi usaha dan potensi pasar.
5 Bantuan kredit bagi UMKM
6 Membuka peluang untuk diversifikasi usaha dan pengolahan produk pertanian lokal.
7 Wadah organisasi-organisasi UMKM memberikan peluang sharing pengalaman dan
ajang saling belajar.
8 Banyak program-program radio atau televisi yang memberikan wawasan dan ide untuk
pengembangan UMKM.
9 Pembentukan koperasi dan pembinaan wirausaha secara berkesinambungan
4.5. Analisis SWOT Wirausaha di Kawedegan
Salah satu hal yangmembuat suatu bisnis Usaha kecil maju dan menuai hasil yang baik adalah
padaperencanaan usaha yang matang. Salah satu kiat sukses bisnis berada pada perencanaan usaha
yang didasarkan pada analisa terhadap beberapa faktor yang akan berpengaruh pada kelangsungan
usaha bisnis yang dijalani. Analisa bisnis ini memegang peranan yang cukup penting bagi usaha
kecil. Biasanya analisis terhadap faktor-faktor tersebut diabaikan oleh pelaku usaha kecil. Bisa
dimaklumi bisnis usaha kecil biasanya dijalankan menurut "naluri", meski banyak yang sukses
berbisnis dengan cara tersebut namun alangkah baiknya jika dilandasi oleh analisa dan perencanaan
yang matang, evaluasi perkembangan bisnis, perbaikan, inovasi, analisa persaingan usaha dan lain-
lain.
Dalam kelangsungan usaha bisnis, ada dua hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan usaha.
Pertama Faktor Internal dan Kedua Faktor eksternal. Analisa SWOT dipergunakan untuk
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana febj
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang penting dalam mencapai tujuan. Faktor Internal ;
kekuatan dan kelemahan internal organisasi bisnis . Faktor eksternal ; ancaman dan peluang yang ada
pada lingkungan eksternal organisasi bisnis.
Dengan mengetahui kelemahan-kelemahan yang dimiliki perusahaan, segera melakukan
antisipasi agar kelemahan tersebut tidak menimbulkan kegagalan suatu usaha. Setelah dianalisa
kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh bisnis, sedapat mungkin segera mengambil langkah-langkah
untuk menanggulangi kelemahan tersebut. Contoh sederhana, jika kelemahan adalah pada faktor
produksi yang lamban karena alat produksi yang sudah cukup udzur tentu harus diatasai dengan
mengganti alat produksi yang lebih baru. Atau melakukan modifikasi alat yang lebih efisien dan
efektif.
Kekuatan yang dimiliki adalah potensi yang perlu ditonjolkan dan dijadikan modal mencapai
keberhasilan. Misalnya kita memiliki produk yang memiliki kualitas di atas rata-rata produk sejenis,
ini bisa dipergunakan sebagai bahan dalam pendekatan promosi. Peluang sama halnya dengan
Kekuatan merupakan hal positif dan sisi luar yang perlu ditangkap dan dijadikan landasan untuk
menjalankan roda bisnis. Salah satu contoh, misalkan ada peluang pasar permintaan terhadap suatu
produk sangat bcsar. Ini adalah peluang yang perlu segera ditangkap untuk dijadikan ladang bisnis.
Banyaknya peluang suatu usaha sudah pasti akan diikuti dengan banyaknya pesaing yang
bergerak dalam bisnis yang sama. Hal ini memunculkan ancaman bagi usaha kita. Ancaman pesaing
semacam ini perlu diantisipasi dengan beberapa langkah. Misalnya dengan meningkatkan mutu
produk, variasi produk atau metode pemasaran yang lebih baik. Sedapat mungkin meminimalkan
kelemahan dan ancaman tetapi memperkuat kekuatan dan potensi.
Pendekatan analisis SWOT membantu UMKM mengetahui potensi diri, kekuatan, kelemahan
sekaligus peluang dan ancaman yang ada di sekeliling bisnis. Dengan begitu kita bisa melakukan
rencana strategis terhadap bisnis. Melakukan analisis SWOT merupakan salah satu Kiat Sukses Bisnis
yang bisa ditempuh.
Tabel 4.4 SWOT UMKM Dusun Kawedegan Nganjuk
Kekuatan
• Pemberdayaan ekonomi kemasyarakatan
• Harga yang kompetitif
• Ketersediaan pangsa pasar- sehingga potensi produk untuk diterima pasar masih tinggi
• Tenaga kerja kejujuran
yang motivasi dan
Kelemahan
Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar- Usaha kecil
Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
Terbatasnya Akses Informasi Selain akses pembiayaan,
Kekurangan modal mengakibatkan UKM tidak bisa bertahan hidup
Terbatasnya ketersediaan bahan baku pupuk bagi petani
m tab Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana 695
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang penting dalam mencapai tujuan. Faktor Internal ;
kekuatan dan kelemahan internal organisasi bisnis . Faktor eksternal ; ancaman dan peluang yang ada
pada lingkungan eksternal organisasi bisnis.
Dengan mengetahui kelemahan-kelemahan yang dimiliki perusahaan, segera melakukan
antisipasi agar kelemahan tersebut tidak menimbulkan kegagalan suatu usaha. Setelah dianalisa
kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh bisnis, sedapat mungkin segera mengambil langkah-Iangkah
untuk menanggulangi kelemahan tersebut. Contoh sederhana, jika kelemahan adalah pada faktor
produksi yang lamban karena alat produksi yang sudah cukup udzur tentu harus diatasai dengan
mengganti alat produksi yang lebih baru. Atau melakukan modifikasi alat yang lebih efisien dan
efektif.
Kekuatan yang dimiliki adalah potensi yang perlu ditonjolkan dan dijadikan modal mencapai
keberhasilan. Misalnya kita memiliki produk yang memiliki kualitas di atas rata-rata produk sejenis,
ini b'sa dipergunakan sebagai bahan dalam pendekatan promosi. Peluang sama halnya dengan
Kekuatan merupakan hal positif dari sisi luar yang perlu ditangkap dan dijadikan landasan untuk
menjalankan roda bisnis. Salah satu contoh, misalkan ada peluang pasar permintaan terhadap suatu
produk sangat besar. Ini adalah peluang yang perlu segera ditangkap untuk dijadikan ladang bisnis.
Banyaknya peluang suatu usaha sudah pasti akan diikuti dengan banyaknya pesaing yang
bergerak dalam bisnis yang sama. Hal ini memunculkan ancaman bagi usaha kita. Ancaman pesaing
semacam ini perlu diantisipasi dengan beberapa langkah. Misalnya dengan meningkatkan mutu
produk, variasi produk atau metode pemasaran yang lebih baik. Sedapat mungkin meminimalkan
kelemahan dan ancaman tetapi memperkuat kekuatan dan potensi.
Pendekatan analisis SWOT membantu UMKM mengetahui potensi diri, kekuatan, kelemahan
sekaligus peluang dan ancaman yang ada di sekeliling bisnis. Dengan begitu kita bisa melakukan
rencana strategis terhadap bisnis. Melakukan analisis SWOT merupakan salah satu Kiat Sukses Bisnis
yang bisa ditempuh.
Tabel 4.4 SWOT UMKM Dusun Kawedegan Nganjuk
Kekuatan
• Pemberdayaan ekonomi kemasyarakatan
• Harga yang kompetitif
• Ketersediaan pangsa pasar sehingga potensi produk untuk diterima pasar masih tinggi
• Tenaga kerja kejujuran
yang motivasi dan
Kelemahan
Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar- Usaha kecil
Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
Terbatasnya Akses Informasi Selain akses pembiayaan,
Kekurangan modal mengakibatkan UKM tidak bisa bertahan hidup
Terbatasnya ketersediaan bahan baku pupuk bagi petani
febj Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana 695
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
• Terbatasnya pengetahuan mendapatkan tambahan modal.
Peluang
• Pasar masih terbuka
• Penerimaan masyarakat terhadap produk UKM
• Mendapatkan pelatihan dari lembaga pengembangan UKMK
• Peluang usaha terbuka luas.
• Bantuan kredit bagi UKMK
• Kemungkinan efisiensi produksi.
• Membuka peluang untuk diversifikasi.
Tantangan
• Sebagian besar- produk industri kecil memiliki ciri atau karaktcristik sebagai produk-produk dan pertanian dengan ketahanan yang pendek.
• Terbatasnya Akses Pasar- Terbatasnya akses pasar- akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif
• Ketatnya persaingan usaha dengan pelaku di luar dusun Kawedegan.
4.7. Strategi Pengembangan UMKM
Value chain didefinisikan sebagai aktifitas-aktifitas yang diperlukan untuk membawa produk
atau jasa dari mulai konsep, proses produksi, sampai pengiriman barang/jasa ke konsumen. UMKM
bisa berperan sebagai partner perusahaan besar dalam rantai ini. Hubungan ini dapat sangat
menguntungkan kedua belah pihak karena karaktcristik UMKM yang lebih fleksibel dan biaya
transaksi yang murah karena lebih dekat dengan konsumen dan keputusan yang lebih cepat sementara
perusahaan besar memanfaatkan ukurannya yang besar (economic of scale). Misalnya para petani
sebaiknya tidak tergantung pada tengkulak dalam menjual produk pertaniannya.
Mengembangkan Niche Market
Mengembangkan niche market merupakan salah satu strategi penting bagi UKM. Dalam
strategi ini UMKM memilih untuk menjadi pemain dalam produk yang sangat spesifik. Dengan
menerapkan strategi ini, UMKM bukan saja dapat berkompetisi dengan perusahaan besar- tapi juga
dapat meraih pasar.
Dalam suatu industri dengan diferensiasi produk, pertumbuhan UMKM sangat tergantung
pada kemampuan menciptakan niche market dan menghindari head-on competition
Networking
Networking adalah link, baik formal maupun informal. Dalam era global, network antar
perusahaan dapat membantu UMKM untuk berkompetisi sccara sejajar dengan perusahaan besar.
Network juga dapat mempercepat proses pembelajaran. Mereka dapat memfasilitasi konfigurasi
hubungan dengan supplier yang memungkinkan perusahaan-perusahaan berinovasi dan meningkatkan
efisiensi dengan kegiatan kolaborasi. Fakta membuktikan bahwa hubungan komunitas memainkan
peranan penting di dalam network bisnis. Kesamaan latar belakang budaya, kepercayaan dan prilaku
memudahkan para anggota dari kelompok etnis memprediksi dan memahami tingkah laku dan
kebutuhan anggota lainnya.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana m m
3rd Economics & Business Hesearoh Festival 13 November 2014
• Terbatasnya pengetahuan mendapatkan tambahan modal.
Peluang
• Pasar masih terbuka
• Penerimaan masyarakat terhadap produk UKM
• Mendapatkan pelatihan dari lembaga pengembangan UKMK
• Peluang usaha terbuka luas.
• Bantuan kredit bagi UKMK
• Kemungkinan efisiensi produksi.
• Membuka peluang untuk diversifikasi.
Tantangan
• Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk-produk dan pertanian dengan ketahanan yang pendek.
• Terbatasnya Akses Pasar Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif
• Ketatnya persaingan usaha dengan pelaku di luar dusun Kawedegan.
4.7. Strategi Pengembangan UMKM
Value chain didefinisikan sebagai aktifitas-aktifitas yang diperlukan untuk membawa produk
atau jasa dari mulai konsep, proses produksi, sampai pengiriman barang/jasa ke konsumen. UMKM
bisa berperan sebagai partner perusahaan besar dalam rantai ini. Hubungan ini dapat sangat
menguntungkan kedua belah pihak karena karakteristik UMKM yang lebih fleksibel dan biaya
transaksi yang murah karena lebih dekat dengan konsumen dan keputusan yang lebih cepat sementara
perusahaan besar memanfaatkan ukurannya yang besar (economic of scale). Misalnya para petani
sebaiknya tidak tergantung pada tengkulak dalam menjual produk pertaniannya.
Mengembangkan Niche Market
Mengembangkan niche market merupakan salah satu strategi penting bagi UKM. Dalam
strategi ini UMKM memilih untuk menjadi pemain dalam produk yang sangat spesifik. Dengan
menerapkan strategi ini, UMKM bukan saja dapat berkompetisi dengan perusahaan besar tapi juga
dapat meraih pasar.
Dalam suatu industri dengan diferensiasi produk, pertumbuhan UMKM sangat tergantung
pada kemampuan menciptakan niche market dan menghindari head-on competition
Networking
Networking adalah link, baik formal maupun informal. Dalam era global, network antar
perusahaan dapat membantu UMKM untuk berkompetisi secara sejajar dengan perusahaan besar.
Network juga dapat mempercepat proses pembelajaran. Mereka dapat memfasilitasi konfigurasi
hubungan dengan supplier yang memungkinkan perusahaan-perusahaan berinovasi dan meningkatkan
efisiensi dengan kegiatan kolaborasi. Fakta membuktikan bahwa hubungan komunitas memainkan
peranan penting di dalam network bisnis. Kesamaan latar belakang budaya, kepercayaan dan prilaku
memudahkan para anggota dari kelompok etnis memprediksi dan memahami tingkah laku dan
kebutuhan anggota lainnya.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana febj
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Network berbasis sosial memberikan jalan bagi perusahaan-perusahaan untuk mencari partner
bisnis, termasuk di dalamnya asosiasi dagang dan industri yang dapat memberikan keuntungan yang
tidak dapat diperoleh UMKM secara sendiri-sendiri. Kolaborasi UMKM dalam sebuah netwok dapat
memudahkan kesempatan, misalnya untuk keikutsertaan dalam pameran, mengadakan kontak dengan
produsen atau konsumen, upgrade teknologi, pengembangan produk baru, peningkatan standar
produk dan untuk menangkis ancaman pasar global.
Akses Pendanaan bagi Petani Penggarap Lahan PERHUTANI Dusun Kawedegan, Desa Balonggebang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk
Salah satu output dart kegiatan ini adalah pembentukan Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
untuk memperkuat akses pendanaan bagi petani penggarap lahan PERHUTANI Dusun Kawedegan,
Desa Balonggebang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk. Para petani penggarap lahan
PERHUTANI ini berupaya mendapat dukungan dana untuk mulai mengembangkan usaha secara
mandiri. Pada 1 September 2013 LKM berbentuk credit union (CU) di Dusun Kawedegan, Desa
Balonggebang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk terbentuk. Credit union adalah salah satu
metodologi penguatan ekonomi rakyat yang efektif untuk membangun kepercayaan dan memobilisasi
basis akar rumput untuk mendukung progr am pembangunan pedesaan.
Mengapa harus CU menjadi pilihan pengelolaan keuangan masyarakat desa, bukan bank
komersial? Persoalannya bukan semata-mata rakyat sulit mendapatkan akses k red it di bank
disebabkan birokrasi dan persyaratan yang rumit, tapi karena di dalam kegiatan CU terdapat semangat
ikatan pemersatu. Prinsip-prinsip yang harus dibangun dalam CU adalah keterbukaan, kepercayaan
dan kebersamaan. Dengan keterbukaan pada semua hal mengenai keuangan di CU diharapkan muncul
kepercayaan yang pada akhirnya bisa membangun dan memperkuat kebersamaan. Kegiatan CU
dilaksananakan dalam upaya untuk melakukan penguatan modal sosial dan keuangan di masyarakat
dengan harapan dapat mendukung penerapan kegiatan wirausaha masyarakat petani penggarap.
Secara spesifik dalam konteks pembangunan ekonomi pedesaan yang masih didominasi oleh
sektor pertanian, potensi yang dapat diperankan LKM dalam memacu pertumbuhan ekonomi sangat
besar. Setidaknya ada lima alasan untuk mendukung argumen tersebut. Pertama, LKM umumnya
berada atau minimal dekat dengan kawasan pedesaan sehingga dapat dengan mudah diakses oleh
petani/pelaku ekonomi di desa. Kedua, Petani/masyarakat desa lebih menyukai proses yang singkat
dan tanpa banyak prosedur. Ketiga, Karakteristik usaha tani umumnya membutuhkan platfond kredit
yang tidak terlalu besar- sehingga sesuai dengan kemampuan finansial LKM. Keempat, dekatnya
lokasi LKM dan petani memungkinkan pengelola LKM memahami betul karakteristik usaha tani
sehingga dapat mengucurkan kredit secara tepat waktu dan jumlah; dan Kelima , Adanya keterkaitan
socio-cultural serta hubungan yang bersifat personal-emosional diharapkan dapat mengurangi sifat
moral hazard dalam pengembalian kredit.
Harapan atau keinginan masyarakat desa di Dusun Kawedegan, Desa Balonggebang,
Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk, fungsi dan peranan lembaga keuangan mikro adalah
sebagai penyedia modal usaha. Selain sebagai penyedia modal usaha, sekitar 59,65% responden
menyebutkan bahwa LKM dapat difungsikan sebagai lembaga penyedia jasa simpan pinjam, dan
hanya sekitar 29,82% yang menyebutkan LKM sebagai lembaga yang mengumpulkan dana dari
masyarakat. Dalam implementasinya LKM dianggap lebih efisien dari lembaga keuangan lain karena
kedekatannya kepada masyarakat yang dilayani. Kedekatan ini akan mengurangi biaya-biaya
transaksi. LKM dalam operasional juga memberikan fasilitas bantuan non keuangan. Misalnya
bantuan untuk membuat rencana usaha, pencatatan dan pembukuan keuangan kelompok.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 697
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Network berbasis sosial memberikan jalan bagi perusahaan-perusahaan untuk mencari partner
bisnis, termasuk di dalairmya asosiasi dagang dan industri yang dapat memberikan keuntungan yang
tidak dapat diperoleh UMKM secara sendiri-sendiri. Kolaborasi UMKM dalam sebuah netwok dapat
memudahkan kesempatan, misalnya untuk keikutsertaan dalam pameran, mengadakan kontak dengan
produsen atau konsumen, upgrade teknologi, pengembangan produk baru, peningkatan standar
produk dan untuk menangkis ancaman pasar global.
Akses Pendanaan bagi Petani Penggarap Lahan PERHUTANI Dusun Kawedegan, Desa Balonggebang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk
Salah satu output dari kegiatan ini adalah pembentukan Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
untuk memperkuat akses pendanaan bagi petani penggarap lahan PERHUTANI Dusun Kawedegan,
Desa Balonggebang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk. Para petani penggarap lahan
PERHUTANI ini berupaya mendapat dukungan dana untuk mulai mengembangkan usaha secara
mandiri. Pada 1 September 2013 LKM berbentuk credit union (CU) di Dusun Kawedegan, Desa
Balonggebang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk terbentuk. Credit union adalah salah satu
metodologi penguatan ekonomi rakyat yang efektif untuk membangun kepercayaan dan memobilisasi
basis akar rumput untuk mendukung program pembangunan pedesaan.
Mengapa harus CU menjadi pilihan pengelolaan keuangan masyarakat desa, bukan bank
komersial? Persoalannya bukan semata-mata rakyat sulit mendapatkan akses kredit di bank
disebabkan birokrasi dan persyaratan yang rumit, tapi karena di dalam kegiatan CU terdapat semangat
ikatan pemersatu. Prinsip-prinsip yang harus dibangun dalam CU adalah keterbukaan, kepercayaan
dan kebersamaan. Dengan keterbukaan pada semua hal mengenai keuangan di CU diharapkan muncul
kepercayaan yang pada akhimya bisa membangun dan memperkuat kebersamaan. Kegiatan CU
dilaksananakan dalam upaya untuk melakukan penguatan modal sosial dan keuangan di masyarakat
dengan harapan dapat mendukung penerapan kegiatan wirausaha masyarakat petani penggarap.
Secara spesifik dalam konteks pembangunan ekonomi pedesaan yang masih didominasi oleh
sektor pertanian, potensi yang dapat diperankan LKM dalam memacu pertumbuhan ekonomi sangat
besar. Setidaknya ada lima alasan untuk mendukung argumen tersebut. Pertama, LKM umumnya
berada atau minimal dekat dengan kawasan pedesaan sehingga dapat dengan mudah diakses oleh
petani/pelaku ekonomi di desa. Kedua, Petani/masyarakat desa lebih menyukai proses yang singkat
dan tanpa banyak prosedur. Ketiga, Karakteristik usaha tani umumnya membutuhkan platfond kredit
yang tidak terlalu besar sehingga sesuai dengan kemampuan finansial LKM. Keempat, dekatnya
lokasi LKM dan petani memungkinkan pengelola LKM memahami betul karakteristik usaha tani
sehingga dapat mengucurkan kredit secara tepat waktu dan jumlah; dan Kelima , Adanya keterkaitan
socio-cultural serta hubungan yang bersifat personal-emosional diharapkan dapat mengurangi sifat
moral hazard dalam pengembalian kredit.
Harapan atau keinginan masyarakat desa di Dusun Kawedegan, Desa Balonggebang,
Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk, fungsi dan peranan lembaga keuangan mikro adalah
sebagai penyedia modal usaha. Selain sebagai penyedia modal usaha, sekitar 59,65% responden
menyebutkan bahwa LKM dapat difungsikan sebagai lembaga penyedia jasa simpan pinjam, dan
hanya sekitar 29,82% yang menyebutkan LKM sebagai lembaga yang mengumpulkan dana dari
masyarakat. Dalam implementasinya LKM dianggap lebih efisien dari lembaga keuangan Iain karena
kedekatannya kepada masyarakat yang dilayani. Kedekatan ini akan mengurangi biaya-biaya
transaksi. LKM dalam operasional juga memberikan fasilitas bantuan non keuangan. Misalnya
bantuan untul membuat rencana usaha, pencatatan dan pembukuan keuangan kelompok.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 697
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Tabel 4.5 Fungsi dan Peranan Lembaga Keuangan Mikro Menurut Sektor Pekerjaan Masyarakat
No. Pekerjaan Mengumpulkan Dana Masyarakat
Menyediakan Modal Usaha
Jasa simpan pinjam
1 Petani 12 34 31
2 Pedagang 17 34 28
3 Pegawai/Guru/Pensiuna n
2 6 5.77 2Jumlah 34 81 68
4 Industri 3 7 7
Jumlah 34 81 68
29,82 % 71,05 % 59,65%
Peranan LKM menurut sebagian bcsar masyarakat yang bekerja di sektor industri, lebih
penting sebagai penyedia modal jasa simpan pinjam, sedangkan sebagai lembaga pengumpul dana
masyarakat hanya sebagian kecil yang menyebutkan. Di satu sisi LKM memiliki keunggulan yang
relatif tidak dimiliki oleh bank umum, yaitu: lokasinya yang dapat dijangkau nasabah pengusaha kecil
dan mikro, memiliki fleksibelitas/keluwesan dalam melakukan transaksi dengan nasabah yang oleh
masyarakat dianggap tidak bankable, dan lebih memahami budaya masyarakat setempat karena
keberadaannya sccara ps i kolog i s/kckc 1 uargaan antara pengelola LKM dengan anggotanya.
Analisis kebutuban model pelatiban keterampilan
Setelah diketahui kondisi masyarakat petani penggarap lahan Perhutani dan lingkungan
pertanian di desa Kawedegan, langkah selanjutnya dilakukan pemberdayaan kepada masyarakat
petani melalui pelatiban. Kegiatan pelatiban diperlukan karena kemampuan yang dimiliki petani saat
ini terutama untuk menemukan dan menjalankan usaha belum berkembang. Keterampilan yang
dimiliki hanya pada bertani jenis sayur-sayuran dan belum mampu beralih ke jenis komoditas lain.
Setelah keterampilan bertani sayur-sayuran yang dijadikan sebagai sumber usaha masyarakat dilarang,
kini masyarakat penggarap lahan Perhutani lebih banyak menganggur.
Berdasarkan basil ekplorasi, juga ditemukan kalau model pelatiban yang selama ini
dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintahan atau lembaga kemasyarakatan belum mampu
menyentuh keseluruh lapisan masyarakat. Sebagaimana yang dialami masyarakat Kawedegan, Desa
Balonggebang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk, yang belum pernah menerima pelatiban
lain. Dapat kita maklumi bersama kalau permasalahan pemberdayaan masyarakat terutama yang
berhubungan dengan kemiskinan menjadi sangat kompleks, karena tidak cukup hanya ditangani oleh
satu instansi atau lembaga saja. Untuk itu diperlukan kerjasama dari berbagai pihak seperti lembaga
pemerintah, swasta, tokoh masyarakat, serta dari masyarakat tani itu sendiri, khususnya individu atau
kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program pelatiban.
Keberadaan program pelatiban sebagai pemberdayaan masyarakat, terutama yang bertujuan
untuk memperbaiki penghasilan menjadi sangat penting. Program pelatiban atau melalui pembelajaran
keterampilan yang diberikan, merupakan salah satu bentuk tindakan yang dapat memberdayakan
masyarakat dalam mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi. Pernyataan ini menjadi salah satu
alasan pertimbangan tentang periunya keteriibatan dari berbagai pihak dalam pelaksanaan program
pelatiban.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis CQO Universitas Kristen Satya Wacana m m
3rd Economics & Business Hesearoh Festival 13 November 2014
Tabel 4.5 Fungsi dan Peranan Lembaga Keuangan Mikro Menurut Sektor Pekerjaan Masyarakat
No. Pekerjaan Mengumpulkan Dana Masyarakat
Menyediakan Modal Usaha
Jasa simpan pinjam
1 Petani 12 34 31
2 Pedagang 17 34 28
3 Pegawai/Guru/Pensiuna n
2 6 5.77 2Jumlah 34 81 68
4 Industri 3 7 7
lumlah 34 81 68
29, 82 % 71, 05 % 59,65%
Peranan LKM menurut sebagian besar masyarakat yang bekerja di sektor industri, lebih
penting sebagai penyedia modal jasa simpan pinjam, sedangkan sebagai lembaga pengumpul dana
masyarakat hanya sebagian kecil yang menyebutkan. Di satu sisi LKM memiliki keunggulan yang
relatif tidak dimiliki oleh bank umum, yaitu: lokasinya yang dapat dijangkau nasabah pengusaha kecil
dan mikro, memiliki fleksibelitas/keluwesan dalam melakukan transaksi dengan nasabah yang oleh
masyarakat dianggap tidak bankable, dan lebih memahami budaya masyarakat setempat karena
keberadaannya secara psikologis/kekeluargaan antara pengelola LKM dengan anggotanya.
Analisis kebutuban model pelatiban keterampilan
Setelah diketahui kondisi masyarakat petani penggarap lahan Perhutani dan lingkungan
pertanian di desa Kawedegan, langkah selanjutnya dilakukan pemberdayaan kepada masyarakat
petani melalui pelatiban. Kegiatan pelatiban diperlukan karena kemampuan yang dimiliki petani saat
ini terutama untuk menemukan dan menjalankan usaha belum berkembang. Keterampilan yang
dimiliki hanya pada bertani jenis sayur-sayuran dan belum mampu beralih ke jenis komoditas Iain.
Setelah keterampilan bertani sayur-sayuran yang dijadikan sebagai sumber usaha masyarakat dilarang,
kini masyarakat penggarap lahan Perhutani lebih banyak menganggur.
Berdasarkan basil ekplorasi, juga ditemukan kalau model pelatiban yang selama ini
dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintahan atau lembaga kemasyarakatan belum mampu
menyentuh kcscluruh lapisan masyarakat. Sebagaimana yang dialami masyarakat Kawedegan, Desa
Balonggebang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk, yang belum pernah menerima pelatiban
Iain. Dapat kita maklumi bersama kalau permasalahan pemberdayaan masyarakat terutama yang
berhubungan dengan kemiskinan menjadi sangat kompleks, karena tidak cukup hanya ditangani oleh
satu instansi atau lembaga saja. Untuk itu diperlukan kerjasama dari berbagai pihak seperti lembaga
pemerintah, swasta, tokoh masyarakat, serta dari masyarakat tani itu sendiri, khususnya individu atau
kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program pelatiban.
Keberadaan program pelatiban sebagai pemberdayaan masyarakat, terutama yang bertujuan
untuk memperbaiki penghasilan menjadi sangat penting. Program pelatiban atau melalui pembelajaran
keterampilan yang diberikan, merupakan salah satu bentuk tindakan yang dapat memberdayakan
masyarakat dalam mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi. Pernyataan ini menjadi salah satu
alasan pertimbangan tentang perlunya keterlibatan dari berbagai pihak dalam pelaksanaan program
pelatiban.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana feb
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Dan hasil analisis kebutuhan pelatihan keterampilan bagi petani penggarap lahan Perhutani di
Kawedegan, Desa Balonggebang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk, selanjutnya akan
dikemukakan rancangan model pelatihan keterampilanusaha teipadu sebagai upaya alih komoditas.
Melalui pelatihan keterampilan usaha teipadu, masyarakat petani penggarap akan memiliki peluang
untuk mengembangkan kemampuan keterampilannya sehingga dapat dijadikan sebagai sumber usaha
baru. Di samping adanya dukungan dari sumberdaya yang ada, juga jenis keterampilan yang
dikembangkan masih memiliki peluang pasar yang luas.
Arab yang dituju dalam perencanaan dan pelaksanaan pelatihan keterampilan usaha teipadu
adalah untuk mendorong dan menciptakan suatu situasi yang memungkinkan bagi masyarakat untuk
berkembang. Kesempatan berkembang yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan sikap masyarakat dalam menjalankan usaha, yaitu dari mulai mengolah,
memelihara, memanen dan memasarkan hasil.
Pengembangan Model Pelatihan Keterampilan Usaha Terpadu.
1. Penyusunan model konseptual
Bogdonis dan Salisburry dalam Hidayanto (1998:105) mengungkapkan; model
pengembangan dalam pembelajaran dan pelatihan terdiri dari tiga model :1). Model prosedural, yaitu
disebut juga dengan model yang bersifat deskriptif, dengan menampilkan langkah-langkah yang harus
diikuti dalam menghasilkan sebuah produk. 2) Model konseptual, yaitu model yang bersifat analisis
terhadap komponen-komponen produk yang akan dikembangkan serta keterkaitan an tar komponen. 3)
Model teoretik, yaitu model yang menunjukan hubungan perubahan antar peristiwa.
Di dalam model pelatihan keterampilan usaha terpadu ini menggunakan model
pengembangan pembelajaran yang mengikuti model konseptual, yaitu dengan melakukan analisis
deskripsi terhadap komponen-komponen yang dijadikan sebagai komponen model pembelajaran.
Rancangan model konseptual merupakan kerangka atau dasar-dasar dari sebuah bangun model yang
hendak disusun ke dalam model yang lebih operasional untuk di ujicobakan. Pada satu pihak
pelaksanaan ujicoba dimaksud berupa pengelolaan program pelatihan keterampilan usaha terpadu
bagi petani hortikultura sebagai upaya alih komoditas di Kawedegan, Desa Balonggebang, Kecamatan
Gondang, Kabupaten Nganjuk. Sedang di pihak lain berguna untuk memperoleh temuan akademik
bagi pengembangan keilmuan pendidikan luar sekolah.
Masyarakat desa Kawedegan sebagai kelompok sasaran ujicoba, selama menjadi petani
penggarap lahan Perhutani baru sekali menerima pelatihan, yaitu pelatihan membuat brambang
goreng yang diselenggarakan oleh pihak Balai Latihan Kerja Pertanian (BLKP) Nganjuk, tepatnya di
tahun 2011. Kegiatan inipun baru menyentuh sebagian kecil ibu-ibu rumah tangga, sedangkan bagi
para kepala keluarga sebagai petani sayur belum pernah menerima bantuan dalam bentuk apapun.
Sampai akhirnya mereka dilarang untuk menggarap lahan dengan komoditas tersebut.
Pelatihan keterampilan usaha terpadu yang di rancang terdiri dari empat jenis keterampilan ini
merupakan upaya untuk menjawab permasalahan, dan sebagai upaya memenuhi kebutuhan
masyarakat. Keempat jenisnya dikemas ke dalam suatu program pelatihan yang hasilnya untuk
dijadikan usaha bersama atau kelompok. Tiap jenis keterampilan biasanya dilatihkan sccara terpisah,
namun pada penelitian ini dilaksanakan dalam satu paket pelatihan. Kegiatan ini dimaksudkan, selain
melihat adanya keterhubungan dari masing-masing jenis keterampilan tersebut, juga bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan petani dari mulai yang dirasa sangat mendesak atau dalam jangka pendek,
menengah maupun jangka panjang. Dengan demikian secara berkesinambungan hasil pelatihan yang
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 699
3rd Economics & Business Hesearoh Festival 13 November 2014
Dari hasil analisis kebutuhan pelatihan keterampilan bagi petani penggarap lahan Perhutani di
Kawedegan, Desa Balonggebang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk, selanjutnya akan
dikemukakan rancangan model pelatihan keterampilanusaha terpadu sebagai upaya alih komoditas.
Melalui pelatihan keterampilan usaha terpadu, masyarakat petani penggarap akan memiliki peluang
untuk mengembangkan kemampuan keterampilannya sehingga dapat dijadikan sebagai sumber usaha
baru. Di samping adanya dukungan dari sumberdaya yang ada, juga jenis keterampilan yang
dikembangkan masih memiliki peluang pasar yang luas.
Arab yang dituju dalam perencanaan dan pelaksanaan pelatihan keterampilan usaha terpadu
adalah untuk mendorong dan menciptakan suatu situasi yang memungkinkan bagi masyarakat untuk
berkembang. Kesempatan berkembang yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan sikap masyarakat dalam menjalankan usaha, yaitu dari mulai mengolah,
memelihara, memanen dan memasarkan basil.
Pengembangan Model Pelatihan Keterampilan Usaha Terpadu.
1. Penyusunan model konseptual
Bogdonis dan Sa,:sburry dalam Hidayanto (1998:105) mengungkapkan; model
pengembangan dalam pembelajaran dan pelatihan terdiri dari tiga model :1). Model prosedural, yaitu
disebut juga dengan model yang bersifat deskriptif, dengan menampilkan langkah-langkah yang harus
diikuti dalam menghasilkan sebuah produk. 2) Model konseptual, yaitu model yang bersifat analisis
terhadap komponen-komponen produk yang akan dikembangkan serta keterkaitan antar komponen. 3)
Model teoretik, yaitu model yang menunjukan hubungan perubahan antar peristiwa.
Di dalam model pelatihan keterampilan usaha terpadu ini menggunakan model
pengembangan pembelajaran yang mengikuti model konseptual, yaitu dengan melakukan analisis
deskripsi terhadap komponen-komponen yang dijadikan sebagai komponen model pembelajaran.
Rancangan model konseptual merupakan kerangka atau dasar-dasar dari sebuah bangun model yang
hendak disusun ke dalam model yang lebih operasional untuk di ujicobakan. Pada satu pihak
pelaksanaan ujicoba dimaksud berupa pengelolaan program pelatihan keterampilan usaha terpadu
bagi petani hortikultura sebagai upaya alih komoditas di Kawedegan, Desa Balonggebang, Kecamatan
Gondang, Kabupaten Nganjuk. Sedang di pihak lain berguna untuk memperoleh temuan akademik
bagi pengembangan keilmuan pendidikan luar sekolah.
Masyarakat desa Kawedegan sebagai kelompok sasaran ujicoba, selama menjadi petani
penggarap lahan Perhutani baru sekali menerima pelatihan, yaitu pelatihan membuat brambang
goreng yang diselenggarakan oleh pihak Balai Latihan Kerja Pertanian (BLKP) Nganjuk, tepatnya di
tahun 2011. Kegiatan inipun baru menyentuh sebagian kecil ibu-ibu rumah tangga, sedangkan bagi
para kepala keluarga sebagai petani sayur belum pemah menerima bantuan dalam bentuk apapun.
Sampai akhirnya mereka dilarang untuk menggarap lahan dengan komoditas tersebut.
Pelatihan keterampilan usaha terpadu yang di rancang terdiri dari empat jenis keterampilan ini
merupakan upaya untuk menjawab permasalahan, dan sebagai upaya memenuhi kebutuhan
masyarakat. Keempat jenisnya dikemas ke dalam suatu program pelatihan yang hasilnya untuk
dijadikan usaha bersama atau kelompok. Tiap jenis keterampilan biasanya dilatihkan secara terpisah,
namun pada penelitian ini dilaksanakan dalam satu paket pelatihan. Kegiatan ini dimaksudkan, selain
melihat adanya keterhubungan dari masing-masing jenis keterampilan tersebut, juga bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan petani dari mulai yang dirasa sangat mendesak atau dalam jangka pendek,
menengah maupun jangka panjang. Dengan demikian secara berkesinambungan hasil pelatihan yang
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 699
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
diberikan akan dapat dinikmati, dan petani hortikultura yang saat ini tidak memiliki mata pencaharian
tetap lagi akan segera mendapatkan kembali pekerjaannya.
Dalam pelaksanaan pelatihan keterampilan usaha terpadu selain diperlukan pengelolaan yang
baik, juga perlu didukung berbagai factor seperti; kemampuan tenaga pengajar, kurikulum yang tepat,
sumbersumber (alam, manusia, dan organisasi/budaya), sarana/prasarana, peluang pasar, dan sumber
biaya (permodalan). Keberhasilan dari model pelatihan keterampilan usaha terpadu tidak saja hanya
pada meningkatnya kemampuan peserta dan memiliki usaha baru, akan tetapi melalui keterlibatan
peserta dalam setiap aktivitas di pelatihan dapat membantu peserta untuk; (1) menilai sikap dan
perilaku diri sendiri, (2) memecahkan masalah yang dihadapi, serta (3) mampu merasakan apa yang
sedang dirasakan orang lain. (Joice, 1992 : 70).
Rancangan model pelatihan yang dikembangkan dan dilatihkan kepada masyarakat petani
penggarap mencakup beberapa hal; Pertama, deskripsi model pelatihan, menggambarkan konsep,
tujuan, ciri-ciri pelatihan keterampilan usaha terpadu, model beroperasi dan yang menjadi perbedaan
dengan model lainnya terutama sebagai satuan PLS. Kedua, memaparkan kondisi objektif masyarakat
Kawedegan dan potensi sumberdaya yang ada sebagai pendukung terselenggaranya pelatihan. Ketiga,
dalam upaya menemukan kemanfaatan dari model pelatihan yang dikembangkan, perlu dipilih jenis
keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sebagai warga belajar. Dalam hal ini
ditemukan empat jenis keterampilan, yaitu pembudidayaan bawang, beternak ayam, membuat krupuk
bawang dan kegiatan berjual beli. Keempat, perancangan program dan bahan belajar- serta
langkahlangkah yang dilakukan dalam pelatihan, seperti; proses, metode pembelajaran dalam
pelatihan, iklim belajarnya, dan lain-lain dikembangkan dengan memperhatikan kelompok sasar an.
Kelima, proses pembelajaran dalam pelatihan menggambarkan bagaimana memproses antara
input dan instrumental input dalam pelatihan untuk menghasilkan output yang disepakati bersama.
Peran dan tugastugas fasilitator, kelompok sasaran, dan nara sumber teknis dikembangkan ke dalam
akti vitas pelatihan. Pengorganisasian peserta dan bahan belajar-, penggunaan metode dalam
pembelajaran dan pelatihan serta pembimbingan, semuanya digambarkan menjadi bagian yang
terintegrasi. Keenam, pemantauan dan penilaian basil dari pembelajaran dan pelatihan, dilakukan
untuk melihat perkembangan kemajuan kelompok sasaran sebagai warga belajar- dalam menguasai
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang telah dibelajarkan.
Dari rancangan model yang diuraikan tersebut, langkah selanjutnya peneliti menyusun model
konseptual. Dalam melakukan penyusunan model konseptual, tetap akan memperhatikan beberapa hal
yang tercakup dalam rancangan model. Secara gads besar- model konseptual pelatihan keterampilan
usaha terpadu yang disusun menganut model tiga langkah, yaitu :
1. Perencanaan, selain merencanakan sumber belajar-, kurikulum, mated, sarana dan prasarana
pelatihan, sebelum pelaksanaan pelatihan juga perlu diperhatikan persiapan pembelajaran, seperti:
a) tujuan apa yang ingin dicapai dari penyelenggaraan pelatihan setelah diketahui kondisi dan
permasalahan yang dihadapi masyarakat, b) menentukan mata pelajaran sesuai dengan jenis
keterampilan yang akan dikembangkan, c) menentukan kelompok sasaran pelatihan yang
beranggotakan sejumlah peserta sesuai persyaratan yang telah ditetapkan, d) merumuskan tujuan
pelatihan sesuai dengan Tujuan Instruksional Umum maupun Khusus yang ingin dicapai.
2. Pelaksanaan, dalam tahap pelaksanaan dan observasi, yang juga perlu diperhatikan sesuai
perencanaan, adalah: a) melaksanakan tes awal, yaitu dengan memberikan sejumlah pertanyaan
melalui lembaran tertulis dan melalui pengamatan, b) pengembangan mated pelajaran dan
praktek, kegiatan ini dilakukan setelah memperoleh basil tes awal dan setelah mengetahuai basil
dari ujicoba yang dilakukan pada tahap pertama. Kegiatan ini bertujuan untuk memperbaiki
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 700
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
diberikan akan dapat dinikmati, dan petani hortikultura yang saat ini tidak memiliki mata pencaharian
tetap lagi akan segera mendapatkan kembali pekerjaannya.
Dalam pelaksanaan pelatihan keterampilan usaha terpadu selain diperlukan pengelolaan yang
baik, juga perlu didukung berbagai factor seperti; kemampuan tenaga pengajar, kurikulum yang tepat,
sumbersumber (alam, manusia, dan organisasi/budaya), sarana/prasarana, peluang pasar, dan sumber
biaya (permodalan). Keberhasilan dari model pelatihan keterampilan usaha terpadu tidak saja hanya
pada meningkatnya kemampuan peserta dan memiliki usaha baru, akan tetapi meiaiui keterlibatan
peserta dalam setiap aktivitas di pelatihan dapat membantu peserta untuk; (1) menilai sikap dan
perilaku diri sendiri, (2) memecahkan masaiah yang dihadapi, serta (3) mampu merasakan apa yang
sedang dirasakan orang lain. (Joice, 1992 : 70).
Rancangan model pelatihan yang dikembangkan dan dilatihkan kepada masyarakat petani
penggarap mencakup beberapa hal; Pertama, deskripsi model pelatihan, menggambarkan konsep,
tujuan, ciri-ciri pelatihan keterampilan usaha terpadu, model beroperasi dan yang menjadi perbedaan
dengan model lainnya terutama sebagai satuan PLS. Kedua, memaparkan kondisi objektif masyarakat
Kawedegan dan potensi sumberdaya yang ada sebagai pendukung terselenggaranya pelatihan. Ketiga,
dalam upaya menemukan kemanfaatan dari model pelatihan yang dikembangkan, perlu dipilih jenis
keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sebagai warga belajar. Dalam hal ini
ditemukan empat jenis keterampilan, yaitu pembudidayaan bawang, betemak ay am, membuat krupuk
bawang dan kegiatan berjual beli. Keempat, perancangan program dan bahan belajar serta
langkahlangkah yang dilakukan dalam pelatihan, seperti; proses, metode pembelajaran dalam
pelatihan, iklim belajamya, dan lain-lain dikembangkan dengan memperhatikan kelompok sasaran.
Kelima, proses pembelajaran dalam pelatihan menggambarkan bagaimana memproses antara
input dan instrumental input dalam pelatihan untuk menghasilkan output yang disepakati bersama.
Peran dan tugastugas fasilitator, kelompok sasaran, dan nara sumber teknis dikembangkan ke dalam
akti vitas pelatihan. Pengorganisasian peserta dan bahan belajar, penggunaan metode dalam
pembelajaran dan pelatihan serta pembimbingan, semuanya digambarkan menjadi bagian yang
terintegrasi. Keenam, pemantauan dan penilaian basil dari pembelajaran dan pelatihan, dilakukan
untuk melihat perkembangan kemajuan kelompok sasaran sebagai warga belajar dalam menguasai
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang telah dibelajarkan.
Dari rancangan model yang diuraikan tersebut, langkah selanjutnya peneliti menyusun model
konseptual. Dalam melakukan penyusunan model konseptual, tetap akan memperhatikan beberapa hal
yang tercakup dalam rancangan model. Secara garis besar model konseptual pelatihan keterampilan
usaha terpadu yang disusun menganut model tiga langkah, yaitu :
1. Perencanaan, selain merencanakan sumber belajar, kurikulum, materi, sarana dan prasarana
pelatihan, sebelum pelaksanaan pelatihan juga perlu diperhatikan persiapan pembelajaran, seperti:
a) tujuan apa yang ingin dicapai dari penyelenggaraan pelatihan setelah diketahui kondisi dan
permasalahan yang dihadapi masyarakat, b) menentukan mata pelajaran sesuai dengan jenis
keterampilan yang akan dikembangkan, c) menentukan kelompok sasaran pelatihan yang
beranggotakan sejumlah peserta sesuai persyaratan yang telah ditetapkan, d) merumuskan tujuan
pelatihan sesuai dengan Tujuan Instruksional Umum maupun Khusus yang ingin dicapai.
2. Pelaksanaan, dalam tahap pelaksanaan dan observasi, yang juga perlu diperhatikan sesuai
perencanaan, adalah: a) melaksanakan tes awal, yaitu dengan memberikan sejumlah pertanyaan
melalui lembaran tertulis dan melalui pengamatan, b) pengembangan materi pelajaran dan
praktek, kegiatan ini dilakukan setelah memperoleh basil tes awal dan setelah mengetahuai basil
dari ujicoba yang udakukan pada tahap pertama. Kegiatan ini bertujuan untuk memperbaiki
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 700
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
model konseptual awal, terutama bila dianggap masih memiliki kekurangan, c) Pengembangan
strategi pembelajaran adalah suatu strategi untuk menentukan langkah-langkah penyampaian
materi sesuai jenis usaha yang akan dikembangkan.
3. Evaluasi, tahap evaluasi dilakukan sesuai rancangan dan persiapan model yang ditetapkan.
Kegiatan evaluasi bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses dan basil dan kegiatan pelatihan
yang telah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan melalui tes sccara tertulis dan melalui kegiatan
pengamatan.
2. Validasi model konseptual
Dalam melakukan validasi model konseptual, selain kepada promotor, ko-promotor dan
anggota, juga kepada nara sumber dan praktisi pelatihan. Aspek-aspek yang divalidasi oleh para ahli
tersebut meliputi:
a. Validasi isi (content validity), seperti : (1) penetapan fokus model pelatihan keterampilan usaha
terpadu, (2) penetapan metode dan teknik, (3) penetapan isntrumen.
b. Validasi struktur (construct validity), seperti: (1) penetapan alur proses pelatihan, (2) penyajian
bagan dan gambar.
Kegiatan validasi dilakukan pada dua tahapan, yaitu teoritik dan empirik yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Validasi teoritik ; dapat ditempuh dengan beberapa cara, seperti:
a. Berdiskusi dengan ahli pada bidang yang dikaji yang berasal dari PT. Perhutani Jawa Timur, yang
dilanjutkan ke Dinas Pertanian Kabupaten Nganjuk, dan Balai Besar Diklat Agrobisnis
Hortikultura (BBDAH) dan Balai Latihan Kereja Pertanian (BLKP) Nganjuk.
b. Berdiskusi dan berkonsultasi dengan ahli pendidikan luar sekolah, terutama pada model pelatihan
dan pembelajaran dengan para pembimbing dan lembaga/instansi terkait.
c. Berdiskusi dengan para praktisi pelatihan, seperti; Para Pamong Belajar Instruktur Balai Latihan
Kerja, dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kabupaten Nganjuk, serta tanggapan dari para
peserta pelatihan mengenai konsep yang ditawarkan.
2. Validasi empirik ; dilakukan melalui kegiatan ujicoba model dalam kancah lapangan. Selain
kegiatan validasi teoritik dan empirik, peneliti juga melakukan penelaahan kembali teori-teori,
konsep-konsep yang relevan dengan model pelatihan keterampilan usaha terpadu dan model-
model pelatihan yang telah dilakukan.
3. Revisi model konseptual.
Sebelum model konseptual yang divalidasi diimplementasikan, terlebih dahulu dilakukan
revisi model. Revisi dilakukan berdasarkan intepretasi dan penilaian para ahli dan praktisi, serta
tanggapan dari peserta pelatihan. Hasil analisis dari para ahli dan praktisi ada beberapa hal yang periu
direvisi dalam model konseptual, yaitu :
a. Dari pembimbing yang dilakukan pada saat-saat bimbingan disarankan agar : (1) selain model
periu dibuat dalam bentuk gambar-, juga fokus penelitian model pelatihan keterampilan usaha
terpadu harus jelas, (2) penetapan dan penggunaan metode serta langkahlangkah dalam
penelitiannya harus sistematis, (3) Penggunaan bahasa dan pembuatan instrumen diupayakan
sesederhana mungkin sesuai target kelompok sasaran.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 701
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
model konseptual awal, terutama bila dianggap masih memiliki kekurangan, c) Pengembangan
strategi pembelajaran adalah suatu strategi untuk menentukan langkah-Iangkah penyampaian
materi sesuai jenis usaha yang akan dikembangkan.
3. Evaluasi, tahap evaluasi dilakukan sesuai rancangan dan persiapan model yang ditetapkan.
Kegiatan evaluasi bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses dan basil dari kegiatan pelatihan
yang telah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan melalui tes secara tertulis dan melalui kegiatan
pengamatan.
2. Validasi model konseptual
Dalam melakukan validasi model konseptual, selain kepada promotor, ko-promotor dan
anggota, juga kepada nara sumber dan praktisi pelatihan. Aspek-aspek yang divalidasi oleh para ahli
tersebut meliputi:
a. Validasi isi (content validity), seperti : (1) penetapan fokus model pelatihan keterampilan usaha
terpadu, (2) penetapan metode dan teknik, (3) penetapan isntrumen.
b. Validasi struktur (construct validity), seperti: (1) penetapan alur proses pelatihan, (2) penyajian
bagan dan gambar.
Kegiatan validasi dilakukan pada dua tahapan, yaitu teoritik dan empirik yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Validasi teoritik ; dapat ditempuh dengan beberapa cara, seperti:
a. Berdiskusi dengan ahli pada bidang yang dikaji yang berasal dari PT. Perhutani Jawa Timur, yang
dilanjutkan ke Dinas Pertanian Kabupaten Nganjuk, dan Balai Besar Diktat Agrobisnis
Hortikultura (BBDAH) dan Balai Latihan Kereja Pertanian (BLKP) Nganjuk.
b. Berdiskusi dan berkonsultasi dengan ahli pendidikan luar sekolah, terutama pada model pelatihan
dan pembelajaran dengan para pembimbing dan lembaga/instansi terkait.
c. Berdiskusi dengan para praktisi pelatihan, seperti; Para Pamong Belajar Instruktur Balai Latihan
Kerja, dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kabupaten Nganjuk, serta tanggapan dari para
peserta pelatihan mengenai konsep yang ditawarkan.
2. Validasi empirik ; dilakukan melalui kegiatan ujicoba model dalam kancah lapangan. Selain
kegiatan validasi teoritik dan empirik, peneliti juga melakukan penelaahan kembali teori-teori,
konsep-konsep yang relevan dengan model pelatihan keterampilan usaha terpadu dan model-
model pelatihan yang telah dilakukan.
3. Revisi model konseptual.
Sebelum model konseptual yang divalidasi diimplementasikan, terlebih dahulu dilakukan
revisi model. Revisi dilakukan berdasarkan intepretasi dan penilaian para ahli dan praktisi, serta
tanggapan dari peserta pelatihan. Hasil analisis dari para ahli dan praktisi ada beberapa hal yang perlu
direvisi dalam model konseptual, yaitu :
a. Dari pembimbing yang dilakukan pada saat-saat bimbingan disarankan agar : (1) selain model
perlu dibuat dalam bentuk gambar, juga fokus penelitian model pelatihan keterampilan usaha
terpadu harus jelas, (2) penetapan dan penggunaan metode serta langkahlangkah dalam
penelitiannya harus sistematis, (3) Penggunaan bahasa dan pembuatan instrumen diupayakan
sesederhana mungkin sesuai target kelompok sasaran.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 701
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
b. Dan para ahli yaitu oleh Dr. Hermeindito (dosen dan trainer dan Universitas Ciputra) secara
umum disarankan; agar model yang dirancang selain mudah untuk dilaksanakan dan dipahami
peserta, juga harus mampu memberikan motivasi kepada peserta untuk menjalankan usaha. Di
samping itu selain perlu diusahakan adanya keterlibatan orang lain yang berperan sebagai
pendamping, baik yang berasal dari masyarakat setempat maupun dan luar, juga perlu
dicarikan mitra usaha.
Revisi dari para ahli dan praktisi terhadap model konseptual secara gains besar memberikan
penekanan kepada empat hal, yaitu :
a. Isi model, khususnya relevansinya dengan kebutuhan masyarakat.
b. Kejelasan kerangka berpikir atau alur penelitian (isi dan sistematika)
e. Metode yang digunakan, dan
d. Proses pengelolaan pelatihan dan pembelajaran.
Sementara dari warga belajar, menganggap positif karena konsep yang ditawarkan sangat
sesuai dengan kebutuhan mereka. Di samping itu komponen-komponen dari model pembelajaran
yang ditawarkan dalam pelatihan yang menganut model pembelajaran partisipatif, juga dianggap
sangat sesuai dan diperlukan dalam upaya memberdayakan petani. Sungguhpun demikian,
berdasarkan wawaneara dengan warga belajar- diperlukan penambahan waktu untuk kegiatan diskusi
dalam kelompok dengan sumber belajar.
Secara umum penelitian ini telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan yaitu
mengembangkan sebuah model pelatihan yang mampu memberdayakan masyarakat petani penggarap
lahan Perhutani dalam beralih komoditas. Model ini dikembangkan berdasarkan pertimbangan bahwa
masyarakat petani penggarap sebenarnya masih memiliki potensi untuk maju dan berkembang
sepanjang diberikan peluang dan kesempatan. Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang dipaparkan
dalam penelitian ini, kemudian dikaitkan dengan basil temuan penelitian dan pembahasannya, maka
secara gains besar dapat di buat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kondisi masyarakat petani penggarap di desa Kawedegan
Dari basil identifikasi terhadap kondisi masyarakat petani penggarap di kampung Pasir
Angling desa Suntenjaya, peneliti menemukan:
a. Ketidak mampuan masyarakat petani penggarap untuk menjalankan usaha dengan beralih
komoditas lebih disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan pendapatan yang masih rendah.
Kondisi demikian, membuat masyarakat petani penggarap sulit untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga. Terlebih-lebih pasca diberlakukannya larangan mengolah lahan perhutani
dengan tanaman hortikultura, yang semakin membuat para petani menjadi serba kekurangan dan
tidak berdaya. Tingkat pendapatan para petani yang Penghasilan seperti ini dirasakan masyarakat
sangat jauh dari cukup, dan membuat kehidupan masyarakat petani penggarap semakin dalam
kesulitan dan terus masuk ke dalam lingkaran kemiskinan. Alasan dikeluarkannya larangan bagi
petani penggarap, karena lahan yang mereka garap selama ini merupakan hutan lindung atau
daerah resapan air yang bila terus digarap atau dicangkul selain akan mengurangi sumber air yang
banyak dibutuhkan masyarakat juga akan menimbulkan erosi.
Simpulan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 702
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
b. Dari para ahli yaitu oleh Dr. Hermeindito (dosen dan trainer dari Universitas Ciputra) secara
umum disarankan; agar model yang dirancang selain mudah untuk dilaksanakan dan dipahami
peserta, juga hams mampu memberikan motivasi kepada peserta untuk menjalankan usaha. Di
samping itu selain perlu diusahakan adanya keterlibatan orang Iain yang berperan sebagai
pendamping, baik yang berasal dari masyarakat setempat maupun dari luar, juga perlu
dicarikan mitra usaha.
Revisi dari para ahli dan praktisi terhadap model konseptual secara garis besar memberikan
penekanan kepada empat hal, yaitu ;
a. Isi model, khususnya relevansinya dengan kebutuhan masyarakat.
b. Kejelasan kerangka berpikir atau alur penelitian (isi dan sistematika)
c. Metode yang digunakan, dan
d. Proses pengelolaan pelatihan dan pembelajaran.
Sementara dari warga belajar, menganggap positif karena konsep yang ditawarkan sangat
sesuai dengan kebutuhan mereka. Di samping itu komponen-komponen dari model pembelajaran
yang ditawarkan dalam pelatihan yang menganut model pembelajaran partisipatif, juga dianggap
sangat sesuai dan diperlukan dalam upaya memberdayakan petani. Sungguhpun demikian,
berdasarkan wawancara dengan warga belajar diperlukan penambahan waktu untuk kegiatan diskusi
dalam kelompok dengan sumber belajar.
Secara umum penelitian ini telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan yaitu
mengembangkan sebuah model pelatihan yang mampu memberdayakan masyarakat petani penggarap
lahan Perhutani dalam beralih komoditas. Model ini dikembangkan berdasarkan pertimbangan bahwa
masyarakat petani penggarap sebenarnya masih memiliki potensi untuk maju dan berkembang
sepanjang diberikan peluang dan kesempatan. Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang dipaparkan
dalam penelitian ini, kemudian dikaitkan dengan basil temuan penelitian dan pembahasannya, maka
secara garis besar dapat di buat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kondisi masyarakat petani penggarap di desa Kawedegan
Dari basil identifikasi terhadap kondisi masyarakat petani penggarap di kampung Pasir
Angling desa Suntenjaya, peneliti menemukan:
a. Ketidak mampuan masyarakat petani penggarap untuk menjalankan usaha dengan beralih
komoditas lebih disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan pendapatan yang masih rendah.
Kondisi demikian, membuat masyarakat petani penggarap sulit untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga. Terlebih-Iebih pasca diberlakukannya larangan mengolah lahan perhutani
dengan tanaman hortikultura, yang semakin membuat para petani menjadi serba kekurangan dan
tidak berdaya. Tingkat pendapatan para petani yang Penghasilan seperti ini dirasakan masyarakat
sangat jauh dari cukup, dan membuat kehidupan masyarakat petani penggarap semakin dalam
kesulitan dan terus masuk ke dalam lingkaran kemiskinan. Alasan dikeluarkannya larangan bagi
petani penggarap, karena lahan yang mereka garap selama ini merupakan hutan lindung atau
daerah resapan air yang bila terus digarap atau dicangkul selain akan mengurangi sumber air yang
banyak dibutuhkan masyarakat juga akan menimbulkan erosi.
Simpulan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 702
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
b. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh sumber penghasilan
yang rendah. Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di kampung Kawedegan hanya tamat SD
atau putus SLTP. Di samping sarana pendidikan yang jauh dari tempat tinggal masyarakat,
kondisi jalan sebagai penghubung juga sangat sulit untuk dilalui dengan kendaraan atau hanya
lebih nyaman dengan berjalan kaki. Dengan kondisi seperti ini membuat masyarakat petani
menjadi sulit untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam upaya memenuhi kebutuhan
ekonomi, tanpa adanyabantuan pihak lain.
c. Banyaknya masyarakat petani yang menganggur lebih disebabkan karena selain tidak dimilikinya
lahan pertanian sendiri, juga belum mampunya melakukan pengembangan ke usaha jenis lain.
Dengan pemberian pendidikan, khususnya melalui pelatihan akan dapat memberikan pengetahuan
dan keterampilan baru untuk dijadikan sebagai mata pencaharian, yang akhirnya dapat
meningkatkan penghasilan masyarakat petani dan mengurangi kemiskinan. Pernyataan ini cukup
beralasan, karena pada prinsipnya pemerintah daerah masih memperbolehkan masyarakat untuk
menggarap atau mengolah lahan tersebut, dengan catatan mereka harus mau merubah jenis
komoditasnya atau darn jenis tanaman semusim menjadi tanaman yang berjangka panjang seperti;
pisang. Selain bertani mereka juga diperkenankan untuk beternak seperti: sapi, domba, ayam, dan
lain-lain, hanya saja harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada.
d. Belum adanya lembaga atau instansi terkait yang melakukan pembinaan kepada masyarakat
terutama untuk melakukan aktivitas-aktivitas lain pasca diberlakukannya larangan. Pembinaan
yang mereka terima sebelumnya hanya darn perorangan atau pemilik modal usaha yang sekaligus
sebagai pembeli darn produk yang sedang mereka jalankan. Peran masyarakat petani penggarap
sendiri lebih banyak hanya sckcdar sebagai buruh tani, walaupun ada sebagian yang memberikan
modal dengan cara bagi basil. Setelah diberlakukannya larangan untuk bertani jenis sayur-
sayuran, para pemilik modal belum mau bersepekulasi untuk menggantikan dengan jenis
komoditas lain. Situasi seperti ini dirasa sangat menyulitkan bagi petani, karena selain
kemampuan yang sangat terbatas, juga terbentur pada masalah biaya atau modal usaha.
2. Temuan model pelatihan keterampilan usaha terpadu
Darn basil ekplorasi di Kawedegan dalam upaya memberdayakan masyarakat untuk dapat
mengembangkan kemampuan berusaha, maka langkah yang dirasa tepat adalah melalui pemberian
pelatihan keterampilan. Model pelatihan keterampilan yang dikembangkan diarahkan pada
pengembangan usaha produktif yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan, serta dilakukan sccara
terpadu.
Berdasarkan temuan basil uji coba model konseptual pelatihan yang dikembangkan dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Konseptualisasi model pelatihan
Pertama : Berangkat nilai-nilai budaya gotong royong yang ada di masyarakat, ternyata
mampu memberikan inspirasi yang kuat dalam melandasi kerangka kerja model konseptual pelatihan
keterampilan usaha terpadu. Kerangka kerja ini dimulai sejak mengidentifikasi masalah dan
kebutuhan, serta potensi sumberdaya lokal yang dibutuhkan mulai dari menyusun perencanaan sampai
mengevaluasi program. Langkah kegiatan yang disusun dalam penyelenggaraan program ini yaitu; (1)
dari mulai perencanaan sampai evaluasi program pelatihan dilakukan bersama oleh masyarakat petani
dengan fasilitator, (2) rancangan model dan program pelatihan yang dikembangkan disesuaikan
dengan kebutuhan belajar dan disepakati oleh calon peserta, serta melibatkan berbagai pihak seperti
lembaga/instansi terkait, tokoh masyarakat dan petani sendiri.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 703
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
b. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh sumber penghasilan
yang rendah. Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di kampung Kawedegan hanya tamat SD
atau putus SLTP. Di samping sarana pendidikan yang jauh dari tempat tinggal masyarakat,
kondisi jalan sebagai penghubung juga sangat sulit untuk dilalui dengan kendaraan atau hanya
lebih nyaman dengan berjalan kaki. Dengan kondisi seperti ini membuat masyarakat petani
menjadi sulit untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam upaya memenuhi kebutuhan
ekonomi, tanpa adanyabantuan pihak Iain.
c. Banyaknya masyarakat petani yang menganggur lebih disebabkan karena selain tidak dimilikinya
lahan pertanian sendiri, juga belum mampunya melakukan pengembangan ke usaha jenis Iain.
Dengan pemberian pendidikan, khususnya melalui pelatihan akan dapat memberikan pengetahuan
dan keterampilan baru untuk dijadikan sebagai mata pencaharian, yang akhirnya dapat
meningkatkan penghasilan masyarakat petani dan mengurangi kemiskinan. Pernyataan ini cukup
beralasan, karena pada prinsipnya pemerintah daerah masih memperbolehkan masyarakat untuk
menggarap atau mengolah lahan tersebut, dengan catatan mereka harus mau merubah jenis
komoditasnya atau dari jenis tanaman semusim menjadi tanaman yang berjangka panjang seperti;
pisang. Selain bertani mereka juga diperkenankan untuk betemak seperti: sapi, domba, ayam, dan
Iain-Iain, hanya saja harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada.
d. Belum adanya lembaga atau instansi terkait yang melakukan pembinaan kepada masyarakat
terutama untuk melakukan aktivitas-aktivitas Iain pasca diberlakukannya larangan. Pembinaan
yang mereka terima sebelumnya hanya dari perorangan atau pemilik modal usaha yang sekaligus
sebagai pembeli dari produk yang sedang mereka jalankan. Peran masyarakat petani penggarap
sendiri lebih banyak hanya sekedar sebagai buruh tani, walaupun ada sebagian yang memberikan
modal dengan cara bagi basil. Setelah diberlakukannya larangan untuk bertani jenis sayur-
sayuran, para pemilik modal belum mau bersepekulasi untuk menggantikan dengan jenis
komoditas Iain. Situasi seperti ini dirasa sangat menyulitkan bagi petani, karena selain
kemampuan yang sangat terbatas, juga terbentur pada masalah biaya atau modal usaha.
2. Temuan model pelatihan keterampilan usaha terpadu
Dari basil ekplorasi di Kawedegan dalam upaya memberdayakan masyarakat untuk dapat
mengembangkan kemampuan berusaha, maka langkah yang dirasa tepat adalah melalui pemberian
pelatihan keterampilan. Model pelatihan keterampilan yang dikembangkan diarahkan pada
pengembangan usaha produktif yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan, serta dilakukan secara
terpadu.
Berdasarkan temuan basil uji coba model konseptual pelatihan yang dikembangkan dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Konseptualisasi model pelatihan
Pertama : Berangkat nilai-nilai budaya gotong royong yang ada di masyarakat, ternyata
mampu memberikan inspirasi yang kuat dalam melandasi kerangka kerja model konseptual pelatihan
keterampilan usaha terpadu. Kerangka kerja ini dimulai sejak mengidentifikasi masalah dan
kebutuhan, serta potensi sumberdaya lokal yang dibutuhkan mulai dari menyusun perencanaan sampai
mengevaluasi program. Langkah kegiatan yang disusun dalam penyelenggaraan program ini yaitu; (1)
dari mulai perencanaan sampai evaluasi program pelatihan dilakukan bersama oleh masyarakat petani
dengan fasilitator, (2) rancangan model dan program pelatihan yang dikembangkan disesuaikan
dengan kebutuhan belajar dan disepakati oleh calon peserta, serta melibatkan berbagai pihak seperti
lembaga/instansi terkait, tokoh masyarakat dan petani sendiri.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 703
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Kedua: Peserta pelatihan menganggap kalau model konseptual dan jenis keterampilan yang
dikembangkan telah sesuai dengan kebutuhan mereka. Model ini basil dari perencanakan dan
kesepakatan bersama dengan melibatkan fasilitator dan instansi terkait seperti Pemerintah Daerah,
Dinas Pertanian, Perhutani, BRI dan tokoh masyarakat setempat. Ketiga: Model konseptual pelatihan
keterampilan yang dikembangkan terdiri dari dua tahapan:
1) Uji coba terbatas atau tahap pertama, yaitu bertujuan untuk melihat sejauh mana
kemampuan awal yang dimiliki peserta pelatihan. Pada ujicoba terbatas difokuskan pada asfek-asfek
pengembangan model pelatihan seperti, dalam pengelolaan pelatihan masyarakat petani
mengharapkan selain adanya pendamping dari luar juga ada yang dari
masyarakat setempat. Untuk mempermudah pertanggungjawaban dalam melakukan
pekerjaan, kelompok dibagi menjadi dua. PBM dilakukan secara tutorial, lebih banyak praktek, tidak
terikat pada jadwal dan evaluasinya melibatkan peserta. Kajian uji coba selain melakukan pengujian
teknis dan non teknis tehadap jenis keterampilan yang akan dikembangkan, juga membahas
penggunaan bahan belajar atau modul seperti membahas tentang isi, bentuk, kalimat, tata bahasa dan
pemahaman peserta. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan peserta secara langsung dan
didampingi sumber belajar/fasilitator. 2) Uji coba tahap kedua, yaitu bertujuan untuk lebih
memantapkan lagi dari basil uji coba sebelumnya yang dianggap masih kurang. Dengan demikian
masyarakat petani menjadi lebih berdaya dalam mengembangkan kemampuan berusahanya untuk
beralih komoditas.
Dalam uji coba tahap kedua yang sama dengan sebelumnya, yang dibagi ke dalam tiga
langkah utama dan beberapa uraian, seperti ; a) Perencanaan pelatihan, seperti (1) penyiapan tenaga
pengajar, (2) penyiapan kurikulum, (3) penyusunan jadwal dan materi kegiatan, (4) penyiapan
fasilitator proses belajar- mengajar. Dalam perencanaan juga perlu dipersiapkan langkah-langkah yang
akan dilakukan di lakukan dalam proses pembelajaran, seperti (1) menentukan tujuan pelatihan, (2)
penentuan mata pelajaran, (3) menentukan tar-get kelompok calon peserta, (4) merumuskan
tujuan/tingkat keberhasilan, b) Pelaksanaan pelatihan, seperti : (1) pelaksanaan tes awal, (2)
pengembangan materi pelajaran dan praktek, (3) pengembangan strategi pembelajaran, c) Pelaksanaan
evaluasi pelatihan, seperti : melakukan tes secara tertulis yang dibantu dengan pengamatan, dan
melakukan pengembangan alat revisi program berdasarkan basil.
b. Validasi dan implementasi model konseptual
Validasi: Model pelatihan keterampilan usaha terpadu yang ditawarkan bertujuan sebagai
program pemberdayaan masyarakat petani penggarap dalam upaya alih komoditas. Untuk
mendapatkan keyakinan kesesuaian dari rancangan model yang disusun dengan kebutuhan peserta
pelatihan, dilakukan validasi model kepada berbagai pihak atau para ahli.
Dengan demikian model konseptual yang dihasilkan akan memadai sebagai model pelatihan.
Implementasi: Berdasarkan basil implementasi atau uji coba yang dilakukan, model pelatihan
keterampilan usaha terpadu telah dianggap sesuai untuk memberdayakan masyarakat. Dalam
pelaksanaan dan basil penilaian dari model yang diujicobakan pada tahap pertama dan kedua, secara
nyata mampu memberikan kontribusi yang positif dalam kehidupan warga belajar. Kontribusi tersebut
telah sesuai dengan kebutuhan warga belajar- atau peserta pelatihan dalam rangka memperbaiki dan
meningkatkan kemampuan mereka seperti: dari sisi pengetahuan, keterampilan dan sikap, maupun
aspirasi untuk melakukan perubahan kondisi kehidupan sesuai yang dihar apkan.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 704
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Kedua: Peserta pelatihan menganggap kalau model konseptual dan jenis keterampilan yang
dikembangkan telah sesuai dengan kebutuhan mereka. Model ini basil dari perencanakan dan
kesepakatan bersama dengan melibatkan fasilitator dan instansi terkait seperti Pemerintah Daerah,
Dinas Pertanian, Perhutani, BRI dan tokoh masyarakat setempat. Ketiga: Model konseptual pelatihan
keterampilan yang dikembangkan terdiri dari dua tahapan:
1) Uji coba terbatas atau tahap pertama, yaitu bertujuan untuk melihat sejauh mana
kemampuan awal yang dimiliki peserta pelatihan. Pada ujicoba terbatas difokuskan pada asfek-asfek
pengembangan model pelatihan seperti, dalam pengelolaan pelatihan masyarakat petani
mengharapkan selain adanya pendamping dari luar juga ada yang dari
masyarakat setempat. Untuk mempermudah pertanggungjawaban dalam melakukan
pekerjaan, kelompok dibagi menjadi dua. PBM dilakukan secara tutorial, lebih banyak praktek, tidak
terikat pada jadwal dan evaluasinya melibatkan peserta. Kajian uji coba selain melakukan pengujian
teknis dan non teknis tehadap jenis keterampilan yang akan dikembangkan, juga membahas
penggunaan bahan belajar atau modul seperti membahas tentang isi, bentuk, kalimat, tata bahasa dan
pemahaman peserta. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan peserta secara langsung dan
didampingi sumber belajar/fasilitator. 2) Uji coba tahap kedua, yaitu bertujuan untuk lebih
memantapkan lagi dari basil uji coba sebelumnya yang dianggap masih kurang. Dengan demikian
masyarakat petani menjadi lebih berdaya dalam mengembangkan kemampuan berusahanya untuk
beralih komoditas.
Dalam uji coba tahap kedua yang sama dengan sebelumnya, yang dibagi ke dalam tiga
langkah utama dan beberapa uraian, seperti ; a) Perencanaan pelatihan, seperti (1) penyiapan tenaga
pengajar, (2) penyiapan kurikulum, (3) penyusunan jadwal dan materi kegiatan, (4) penyiapan
fasilitator proses belajar mengajar. Dalam perencanaan juga perlu dipersiapkan langkah-Iangkah yang
akan dilakukan di lakukan dalam proses pembelajaran, seperti (1) menentukan tujuan pelatihan, (2)
penentuan mata pelajaran, (3) menentukan target kelompok calon peserta, (4) merumuskan
tujuan/tingkat keberhasilan, b) Pelaksanaan pelatihan, seperti : (1) pelaksanaan tes awal, (2)
pengembangan materi pelajaran dan praktek, (3) pengembangan strategi pembelajaran, c) Pelaksanaan
evaluasi pelatihan, seperti : melakukan tes secara tertulis yang dibantu dengan pengamatan, dan
melakukan pengembangan alat revisi program berdasarkan basil.
b. Yalidasi dan implementasi model konseptual
Validasi: Model pelatihan keterampilan usaha terpadu yang ditawarkan bertujuan sebagai
program pemberdayaan masyarakat petani penggarap dalam upaya alih komoditas. Untuk
mendapatkan keyakinan kesesuaian dari rancangan model yang disusun dengan kebutuhan peserta
pelatihan, dilakukan validasi model kepada berbagai pihak atau para ahli.
Dengan demikian model konseptual yang dihasilkan akan memadai sebagai model pelatihan.
Implementasi: Berdasarkan basil implementasi atau uji coba yang dilakukan, model pelatihan
keterampilan usaha terpadu telah dianggap sesuai untuk memberdayakan masyarakat. Dalam
pelaksanaan dan basil penilaian dari model yang diujicobakan pada tahap pertama dan kedua, secara
nyata mampu memberikan kontribusi yang positif dalam kehidupan warga belajar. Kontribusi tersebut
telah sesuai dengan kebutuhan warga belajar atau peserta pelatihan dalam rangka memperbaiki dan
meningkatkan kemampuan mereka seperti: dari sisi pengetahuan, keterampilan dan sikap, maupun
aspirasi untuk melakukan perubahan kondisi kehidupan sesuai yang diharapkan.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 704
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
3. Keefektifan model pelatihan keterampilan usaha terpadu
Keefektifan model pelatihan yang dikembangkan dalam mengembangkan kemampuan
berusaha, dikaji bcrdasarkan sejauh mana tingkat keberdayaan peserta setelah mengikuti proses
pelatihan. Hasil pelatihan dilakukan analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Temuan dari basil
analisis secara kualitatif, dapat dikatakan bahwa setelah selesai mengikuti pelatihan para peserta
mampu diberdayakan dalam kelompok kerja untuk mengembangkan kemampuan dalam berusaha
dengan jenis komoditas yang baru. Di samping itu setelah selesai pelatihan para peserta dapat
mengidentifikasi sumber daya yang ada untuk dikembangkan.
Pemahaman peserta terhadap konsep dasar dalam berusaha juga baik. Jadi seaeara deskriptif
tujuan instruksional telah tereapai. Hasil analisis secara kualitatif tersebut diperkuat oleh hasil analisis
kuantitatif. Secara kuantitatif pengujian dilakukan dengan membandingkan antara hasil pre-test
dengan hasil post-test pada ketiga aspek yang diuji, yaitu aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Dari hasil pengujian tersebut, menunjukkan hasil yang signifikan, artinya terdapat perubahan atau
peningkatan kemampuan peserta setelah dilakukan perlakuan. Penganalisisan secara kuantitatif
dilakukan dengan membandingkan dua kelompok subjek penelitian yang beipasangan anatara
sebelum dan sesudah. Hasilnya diketahui bahwa telah terjadi perbedaan secara nyata antara peserta
sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelatihan
keterampilan usaha terpadu efektif untuk memberdayakan warga belajar dalam berusaha dengan jenis
komoditas baru. Selain itu dari hasil analisis juga menunjukkan kalau kegiatan pelatihan keterampilan
usaha terpadu membawa dampak secara nyata dalam merubah persepsi maupun sikap warga belajar
dalam menjalan usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, K., dan H. Hikmat. 2001. Participatory Research Appraisal: Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press, Bandung.
Anwar-. (2004). Pengembangan Model Pengelolaan Pembelajaran Keterampilan Berbasis Sosial Budaya bagi Perempuan Nelayan. (Studi Perubahan Sosial Melalui Introduksi Teknologi pada Kebrarga Nelayan Suku Bajo di Kabupaten Kendari). Disertasi. UPI Bandung.
Fiedman, P.G and Yarbrough, E.A. 1985. Training Strategis From Start to Finish. Prentice-Hall., Englewood Cliffs, Nes Jersey.
Gilkey, R. et al. (1985). Definisi Teknologi Pendidikan. Diterjemahkan oleh Yusufhadi Miarso dkk. Jakarta: Rajawali.
Goad, T. W.(1982). Delivering Effective Training. San Diego. California, Inc.: University Associates.
Halim, A., dan M. M. Ali. 1993. Training and Profesional Development. [On- line] :http://www.fao.org/docrep/W5830E/w5830e0h.htm. (12 Juni 2004).
Jhingan, M. L. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Rajawali Pers: Jakarta.
Knowles, M.S. (1986). The Adult Learner A Neglected Species. Third Edition. Houston: Gulf Publishing Company.
Linton, R. (1984). The Study of Man (Antropology Suatau Penyeldikan Manusia). Diterjemahkan oleh Firmansyah. Bandung: Jemmars.
Mayo, P and Du Bois, PH. (1987). The Complete Book of Training. California University, CSU.
Moebyarto. 1985. Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan. BPEE. Yogyakarta.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 705
3rd Economics & Business Hesearch Festival 13 November 2014
3. Keefektifan model pelatihan keterampilan usaha terpadu
Keefektifan model pelatihan yang dikembangkan dalam mengembangkan kemampuan
berusaha, dikaji berdasarkan sejauh mana tingkat keberdayaan peserta setelah mengikuti proses
pelatihan. Hasil pelatihan dilakukan analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Temuan dari basil
analisis secara kualitatif, dapat dikatakan bahwa setelah selesai mengikuti pelatihan para peserta
mampu diberdayakan dalam kelompok kerja untuk mengembangkan kemampuan dalam berusaha
dengan jenis komoditas yang baru. Di samping itu setelah selesai pelatihan para peserta dapat
mengidentifikasi sumber daya yang ada untuk dikembangkan.
Pemahaman peserta terhadap konsep dasar dalam berusaha juga baik. Jadi seacara deskriptif
tujuan instruksional telah tercapai. Hasil analisis secara kualitatif tersebut diperkuat oleh hasil analisis
kuantitatif. Secara kuantitatif pengujian dilakukan dengan membandingkan antara hasil pre-test
dengan hasil post-test pada ketiga aspek yang diuji, yaitu aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Dari basil pengujian tersebut, menunjukkan basil yang signifikan, artinya terdapat perubahan atau
peningkatan kemampuan peserta setelah dilakukan perlakuan. Penganalisisan secara kuantitatif
dilakukan dengan membandingkan dua kelompok subjek penelitian yang beipasangan anatara
sebelum dan sesudah. Hasilnya diketahui bahwa telah terjadi perbedaan secara nyata antara peserta
sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelatihan
keterampilan usaha terpadu efektif untuk memberdayakan warga belajar dalam berusaha dengan jenis
komoditas baru. Selain itu dari basil analisis juga menunjukkan kalau kegiatan pelatihan keterampilan
usaha terpadu membawa dampak secara nyata dalam merubah persepsi maupun sikap warga belajar
dalam menjalan usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, K., dan H. Hikmat. 2001. Participatory Research Appraisal: Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press, Bandung.
Anwar. (2004). Pengembangan Model Pengelolaan Pembelajaran Keterampilan Berbasis Sosial Budaya bagi Perempuan Nelayan. (Studi Perubahan Sosial Melalui Introduksi Teknologi pada Keluarga Nelayan Suku Bajo di Kabupaten Kendari). Disertasi. UPI Bandung.
Fiedman, P.G and Yarbrough, E.A. 1985. Training Strategis From Start to Finish. Prentice-Hall., Englewood Cliffs, Nes Jersey.
Gilkey, R. et al. (1985). Definisi Teknologi Pendidikan. Diterjemahkan oleh Yusufhadi Miarso dkk. Jakarta: Rajawali.
Goad, T. W.(1982). Delivering Effective Training. San Diego. California, Inc.: University Associates.
Halim, A., dan M. M. Ali. 1993. Training and Profesional Development. [On- line] :http://www.fao.org/docrep/W5830E/w5830e0h.htm. (12 Juni 2004).
Jhingan, M. L. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Rajawali Pers: Jakarta.
Knowles, M.S. (1986). The Adult Learner A Neglected Species. Third Edition. Houston: Gulf Publishing Company.
Linton, R. (1984). The Study of Man (Antropology Suatau Penyeldikan Manusia). Diterjemahkan oleh Firmansyah. Bandung: Jemmars.
Mayo, P and Du Bois, PH. (1987). The Complete Book of Training. California University, CSU.
Moebyarto. 1985. Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan. BPEE. Yogyakarta.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 705
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Moekijat. 1993. Evaluasi Pelatihan dalam rangka Peningkatan Produktivitas. Bandung: Mandar Maju.
Nadler, L. (1982). Designing Training Programs: The Critical Events Model, London: Addison Wesley Publishing Company.
Perum Perhutani, 2001, Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, Jakarta.
Prasetijo, A. 2003. Akses Peran Serta Komuniti Lokal dan Pengeloaan Sumber Daya Alam dalam Akses perta Masyarakat. Penerbit ICD: Jakarta.
Prijono dan Pranarka. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta.
Santoso, P 2002. Merubah Watak Negara. LAPPERA. Pustaka Utama, Yogyakarta.
Saputro, Dani Sudibyo. 2009. Analisis Karakteristik Wirausaha Peternak Kambing Perah di Kabupaten Bogor Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Siagian, S. P. 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Simamora,H. 1995. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta.
Soemahamijaya,S.(1997).Membina Sikap Mental Wiraswasta.Jakarta:Gunung Jati.
Sudirman. 2005. Model Pelatihan Keterampilan Usaha Terpadu Bagi Petani Sebagai Upaya Alih Komoditas". (Studi Terhadap Petani Penggarap Lahan Perhutani di Desa Suntenjaya Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung). Disertasi. UPI Bandung.
Sudjana, H.D. 1996. Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan Sejarah Perkembangan Falsafah & Teori Pendukung Azas. Bandung: Nusantara Press.
Sukarta. 2010. Pengaruh lingkungan, sifat kewirausahaan, dan motivasi wirausaha terhadap pembelajaran wirausaha serta kinerja usaha. Tesis. Unud: Denpasar
Sumantri, S. 2000. Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Fakultas Psikologi Unpad: Bandung.
Sumodiningrat, G. 1997. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta.
Teguh, A. S. 2004. Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan. Penerbit Gaya Media, Yogyakarta.
Tjiptono, F. dan Diana, A. 1998. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi offset.
Udayani, R. 2010. Hubungan Antara Jiwa Kewirausahaan dengan Keberhasilan Usaha Agrtbisnis (Kasus pada Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Bali). Tesis. Unud: Denpasar.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004. Tentang Kehutanan. Bandung:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan. Jakarta: PT. Mitra
Yoder, D. (1962). Personal Principles and Policies, Printice Hall Inc, Maruzen Company Ltd, Second Edition.
Fokusmedia.
Info.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 706
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Moekijat. 1993. Evaluasi Pelatihan dalam rangka Peningkatan Produktivitas. Bandung: Mandar Maju.
Nadler, L. (1982). Designing Training Programs: The Critical Events Model, London: Addison Wesley Publishing Company.
Perum Perhutani, 2001, Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, Jakarta.
Prasetijo, A. 2003. Akses Peran Serta Komuniti Lokal dan Pengeloaan Sumber Daya Alam dalam Akses perta Masyarakat. Penerbit ICD: Jakarta.
Prijono dan Pranarka. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta.
Santoso, P 2002. Merubah Watak Negara. LAPPERA. Pustaka Utama, Yogyakarta.
Saputro, Dani Sudibyo. 2009. Analisis Karakteristik Wirausaha Peternak Kambing Perah di Kabupaten Bogor Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Siagian, S. P. 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Simamora,H. 1995. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta.
Soemahamijaya,S.(1997).Membina Sikap Mental Wiraswasta.Jakarta:Gunung Jati.
Sudirman. 2005. Model Pelatihan Keterampilan Usaha Terpadu Bagi Petani Sebagai Upaya Abb Komoditas". (Studi Terhadap Petani Penggarap Lahan Perhutani di Desa Suntenjaya Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung). Disertasi. UPI Bandung.
Sudjana, H.D. 1996. Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan Sejarah Perkembangan Falsafah & Teori Pendukung Azas. Bandung: Nusantara Press.
Sukarta. 2010. Pengaruh lingkungan, sifat kewirausahaan, dan motivasi wirausaha terhadap pembelajaran wirausaha serta kinerja usaha. Tesis. Unud: Denpasar
Sumantri, S. 2000. Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Fakultas Psikologi Unpad: Bandung.
Sumodiningrat, G. 1997. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta.
Teguh, A. S. 2004. Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan. Penerbit Gaya Media, Yogyakarta.
Tjiptono, F. dan Diana, A. 1998. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi offset.
Udayani, R. 2010. Hubungan Antara Jiwa Kewirausahaan dengan Keberhasilan Usaha Agribisnis (Kasus pada Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Bali). Tesis. Unud: Denpasar.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004. Tentang Kehutanan. Bandung:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan. Jakarta: PT. Mitra
Yoder, D. (1962). Personal Principles and Policies, Printice Hall Inc, Maruzen Company Ltd, Second Edition.
Fokusmedia.
Info.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 706