METODE PENETAPAN FATWA DI MAJELIS SYEIKHUL
ISLAM THAILAND (Studi Analisis Fatwa Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Donasi Organ dan
Transplantasi Organ Tubuh Manusia)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
OLEH :
Hizbullah Mayi
NIM : 1113043000072
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Hizbullah Ma Yi, NIM: 1113043000072, Metode Penetapan Fatwa Di Majelis
Syeikhul Islam Thailand (Studi Analisis Fatwa Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Donasi
Organ dan Transplantasi Organ Tubuh Manusia), Program Studi Perbandingan Mazhab,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta 1438 H / 2017 M. xi + 65 halaman + 9 halaman lampiran.
Kemajuan ilmu dan teknologi dalam kesehatan dan kedokteran membawa
manfaat yang begitu besar bagi kehidupan manusia. Namun kemajuan tersebut juga
akan memberikan dampak negatif yang mencemaskan bagi kehidupan manusia itu
sendiri. Salah satunya kemajuan dalam hal donasi dan transplantasi organ tubuh
manusia, hal ini mengundang diskusi dan perdebatan terutama dari segi hukum agama,
terutama agama Islam. Selain itu tidak semua kemajuan teknologi dalam bidang ilmu
kesehatan dapat diterima dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
Dikarenakan donasi dan transplantasi organ tubuh manusia tidak dapat dalam
Al-Quran dan juga hadits, maka metode istinbath hukum MSIT dalam menetapan fatwa
donasi dan transplantasi organ tubuh manusia yaitu menggunakan qiyas dan MSIT
mengqiyaskan membunuh diri diqiyaskan dengan jangan menjatuhkan dirimu dalam
kebinasaan dan juga mendasarkan kepada maslahah mursalah. Dan karena tidak
ditemukan dalil yang eksplisit maka MSIT dalam menentukan donasi dan transplantasi
organ tubuh manusia agaknya masih perlu penyempunaan lagi karena istinbath yang
digunakan MSIT untuk menetukan hukum donasi dan transplantasi organ tubuh
manusia terlalu global cakupan dan pengertiannya, karena ayat-ayat dan hadits yag
digunakan MSIT hanya menjelaskan tentang perintah agar tidak membunuh diri dan
orang lain.
Adapun metode penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini adalah jenis
penelitian kepustakaan (library research), metode pengumpulan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini yaitu: dokumentasi, yaitu mengenai hal-hal yang
berupa catatan, transkrip, buku, dan sebagainya. Disini yang menjadi sumber adalah
Fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand (MSIT). Sedangkan data primer yang digunakan
adalah fatwa MSIT nomor 11 tahun 2013 tetang donasi dan transplantasi organ tubuh
manusia, dan data skundernya adalah buku-buku yang ada relevansinya dengan
permasalahan yang penulis bahas. Adapun analisis data, penulis menggunakan metode
deskriptif analisis, yaitu metode analisis yang menekankan pada pemberian sebuah
gambaran baru terhadap data yang telah terkumpul.
Kata kunci : Donasi, Transplantasi
Pembimbing : Dr.Asep Saepudin Jahar, MA
Drs. Sirril Wafa, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1975 s.d. Tahun 2016
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puja dan puji penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan beribu nikmat diantaranya nikmat iman, Islam dan juga nikmat sehat wal
afiat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulis skripsi yang berjudul “Metode
Penetapan Fatwa di Majelis Syeikhul Islam Thailand (Studi Analisis Fatwa Nomor 11
Tahun 2013 Tentang Donasi Organ dan Transplantasi Organ Tubuh Manusia)”.
Shalawat dan salam tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi akhir zaman Nabi
Muhammad SAW yang membawa umatnya dari zaman jahiliyah hingga zaman ini.
Selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta banyak pengalaman baik suka maupun duka yang penulis alami
dan juga banyak pelajaran yang dapat diambil penulis. Dengan ini penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr.Asep
Saepudin Jahar, MA.
2. Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.
3. Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc, MA.
4. Pembimbing Skripsi penulis, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Drs. Sirril Wafa, MA.,
yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan motivasi dalam penulisan
skripsi serta tidak jera memberi masukan-masukan dalam penyelesaian skripsi ini
dan juga bersedia meluang waktu kepada penulis di tengah kesibukannya.
vii
5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah bersedia membagi ilmu pengetahuannya kedapa
penulis dan mahasiswa/I lainnya.
6. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Umum serta pimpinan dan seluruh
karyawan Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam pencarian literature yang
berkenaan dengan skripsi ini.
7. Ketua pengurus Pusat Majelis Syekhul Islam Thailand yang bersedia meluang
waktunya untuk mendapatkan data-data yang diperlukan penulis.
8. Pimpinan Majelis Syeikhul Islam wilayah Songkhla yang telah bersedia
memberikan datanya.
9. Orang Tua tercinta, ayahanda Kholet Mayi dan ibunda Pannee Mayi yang telah
memberikan kasih sayang, perhatikan dan dukungan baik moril maupun material
yang tiada henti-hentinya kepada anaknya. Semoga penulis dapat membuat kedua
orang tua bangga.
10. Para paman dan bibi yang telah memberikan dukungan moril dan nasihat-nasihat
agar penulis semakin berkarya.
11. Masenee Dolah yang setia menemani, menyemangati dan memberikan dorongan
dengan rasa saying kepada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini.
12. Keluarga besar Sumur Batu Jakarta pusat Bapak Dalijo, dan keluarganya yang telah
memberikan motivasi, support, fasilitas dan telah membantu penulis dalam mengisi
hari-hari selama mengerjakan skripsi.
13. Semua orang yang tidak dapat penulis sebutkan per satu.
viii
Demikianlah skripsi ini penulis susun, semoga bermanfaat bagi semuanya
khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pihak yang turut membantu semoga amal
ibadahnya dibalas oleh Allah SWT. Amin
Jakarta : 07 Juni 2017 M
12 Ramadan 1438 H
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………….. i
LEMBAR PENGESAHAN ………………………….………………………. ii
LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………….. iv
ABSTRAK …………………………………………………………………….. v
KATA PENGANTAR …….………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………...… ….. ix
I : PENDAHULUAN…………………………………………....... 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah……….……………………….………... 8
C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah……………………….. 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………….... 9
E. Tinjauan Kajian Terdahuli…………………………………… 10
F. Metode Penelitian..................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan………………………………….…….. 13
BAB II : TINJAUAN UMUM DONASI ORGAN DAN
TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MANUSIA………….. 16
A. Pengertian Donasi Organ dan Transplantasi Organ
Tubuh Manusia………………………………………………. 16
1. Sejarah Donasi Organ dan Transplantasi Organ
Tubuh Manusia……………………….………….………… 17
2. Jenis-jenis Donasi Organ dan Transplantasi Organ
x
Tubuh Manusia……………………………..………………. 20
B. Dampak Yang Timbul dari Donasi Organ dan Transplantasi
Organ Tubuh Manusia………………………………………... 21
C. Hukum Donasi Organ dan Transplantasi Organ Tubuh
Manusia Menurut Hukum Islam……………………………….. 21
1. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam
Keadaan Sehat……………………………………………... 23
2. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam
Keadaan Koma…………………………………………….. 25
3. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam
Keadaan Meninggal……………………………………….. 26
4. Hukum Menjual-beli Organ Tubuh Manusia…………….... 28
5. Adapun Dalil-Dalil Yang Dapat Menjadi Dasar
Dibolehkannya Transplantasi Organ Tubuh………………. 29
BAB III : METODE PENETAPAN FATWA MAJELIS SYEIKHUL
ISLAM THAILAND…………………………………………… 32
A. Sejarah Majelis Syeikhul Islam Thailand…………………..… 32
1. Syeikhul Islam Dari Segi Kerajaan Thailand…………….. 32
2. Visi……………………….................................................. 32
3. Misi……………………….................................................. 32
4. Strategi………………………............................................. 33
5. Nama-Nama Ketua Majelis Syeikhul Islam........................ 33
B. Metode Pendekatan dan Pengambilan Fatwa di Majelis
Syeikhul Islam Thailand…….………………………………... 35
C. Keputusan Fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand Nomor 11
Tahum 2013 tentang Donasi Organ dan Transplantasi Organ
Tubuh Manusia……………………………………………….. 39
1. Hukum jual-beli organ tubuh manusia…………………….. 40
2. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam
xi
Keadaan Sehat…………………………………………….. 42
3. Hukum Donasi dan Transplantasi Organ Tubuh
Manusia yang Meninggal………………………………….. 44
4. Hukum tentang penggunaan organ diri sendiri…………..... 46
BAB IV : METODE ISTINBATH DAN KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS SYEIKHUL ISLAM THAILAND NOMOR 11
TAHUM 2013 TENTANG DONASI ORGAN DAN
TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MANUSIA…………... 47
A. Metode Istinbath Hukum dan Keputusan Fatwa Majelis Syeikhul
Islam Thailand………………………….…………………….. 47
B. Metode Pendekatan dan Pengambilan Fatwa di Majelis Syeikhul
Islam Thailand……………………………………………….... 52
BAB V : PENUTUP………………………………………………………. 60
A. Kesimpulan…………………………………………………… 60
B. Saran-Saran…………………………………………………… 62
DAFTAR PUSTAKA…….…………………………………………………….. 63
LAMPIRAN.......................................................................................................... 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam memperhatikan kesehatan rohani sebagai jembatan menuju
ketenteraman hidup dunia dan keselamatan di akhirat. Ia juga sangat menekankan
pentingnya kesehatan jesmani sebagai nikmat Allah yang sangat mahal untuk
dapat hidup secara optimal. Kesehatan jasmani berperan disamping menjadi faktor
pendukung dalam terwujudnya kesehatan rohani, juga sebagai modal kebahagiaan
lahiriah. Keduanya saling melengkapi tidak bisa dipisahkan satusama lain. Salah
satu untuk menjaga keberlangsungan hidup adalah trasplantasi tubuh bagi yang
sudah rusak dan mengharapkan adanya penyebuhan, masalah ini menjadi diskusi
atau perbedaan dikalangan ulama fiqih.Persoalan yang terkait dengan kebutuhan
kesehatan masyarakat dimana sering ada pertimbangan ilmu kedokteran yang
harus dilakukan sebagai upaya penyembuhan suatu penyakit. Respon para ulama
terhadap masalah ini sangat beragam, semisal Abu Hanifah, Iamam Malik, Imam
Syafi‟i, dan Imam Hambali.
Transplantasi ialah pemidahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup
yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi
dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita
untuk bertahan hidup tidak ada lagi.1 Orang yang bagian anggota tubuhnya
1 Kutbudidin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), hlm.
121.
2
dipindahkan disebut donor (pen-donor), sedang yang menerima disebut Resipien.
Cara ini merupakan solusi bagi penyembuhan organ tubuh tersebut karena
penyembuhan/pengobatan dengan prosedur medis biasa tidak ada harapan
kesembuhannya. Dalam penyembuhan suatu penyakit, adakalanya transpalntasi
tidak dapat dihindari dalam menyelamatkan nyawa si penderita. Dengan
keberhasilan teknik transplantasi dalam usaha penyembuhan suatu penyakit dan
dengan meningkatnya keterampilan dokter–dokter dalam melakukan transplantasi,
upaya transplantasi mulai diminati oleh para penderita dalam upaya penyembuhan
yang cepat dan tuntas.
Ada 3 (tiga) tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai
permasalahan sendiri-sendiri, yaitu; pertama, Donor dalam keadaan hidup sehat.
Tipe ini memerlukan seleksi cermat dan general check up, baik terhadap donor
maupun terhadap penerima (resepient), demi menghindari kegagalan transplantasi
yang disebabkan oleh karena penolakan tubuh resepien, dan sekaligus mencegah
resiko bagi donor, kedua, Donor dalam hidup koma atau di duga akan meninggal
segera. Untuk tipe ini, pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat control
dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernapasan khusus.
Kemudian alat-alat tersebut di cabut setelah pengambilan organ tersebut selesai,
ketiga, Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab
secara medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal
3
secara medis dan yudiris dan harus diperhatikan pula daya tahan organ tubuh yang
mau di transplantasi.2
Kalangan Imam mazhab juga berpendapat bahwa transplantasi organ
tubuh manusia tidak diperbolehkan.
1. Mazhab Hanafi, penggunaan tulang manusia atau tulang babi dalam praktik
pengobatan adalah perbuatan keji karena mengambil manfaat dari kedua benda
tersebut merupakan perbuatan terlarang. Demikian pula, tidak diperbolehkan
menjual segala sesuatu yang tumbuh dari tulang manusia, misalnya rambut,
kuku, dan lain-lain, karena benda-benda ini merupakan bagian tubuh manusia
dan karenanya, wajib bagi seseorang untuk menguburnya.3
2. Mazhab Maliki, menggunakan kuku seseorang yang telah mati atau tubuh yang
lain (termasuk rambut) tidak diperbolehkan karena (bagian-bagian) ini
dianggap suci. Mencopot bagian-bagian ini akan dianggap sebagai pelanggaran
terhadap kesucian tubuh manusia. Merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari manusia itu sendiri, karena masing-masing organ tubuh mempunyai fungsi
yang melekat dengan manusia itu sendiri.4
3. Mazhab Syafi‟i, seseorang dilarang memotong bagian mana pun dari tubuhnya
untuk diberikan kepada orang lain yang sedang menderita. Pelarangan ini
diberikan karena sekalipun ditujukan untuk kebaikan orang lain (nyawanya
terancam) tetapi perbuatan semacam ini dapat membahayakan diri sendiri,
2 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), hlm. 86-
87. 3 Abul Fadi Mohsin Ebrahim, Fiqih Kesehatan, tejm. Mujiburohman, (Cet. I; Jakarta:
Serami ilmu semesta, 2007), hlm. 79. 4 Abul Fadi Mohsin Ebrahim, Fiqih Kesehatan, hlm. 80.
4
sejalan dengan hal ini dilarang pula bagi seorang yang terancam nyawanya
untuk memotong bagian tubuh binatang hidup untuk kepentingan dirinya
sendiri (yaitu untuk menyelamatkan hidupnya).5
4. Mazhab Hambali menyatakan bahwa sekalipun nyawa seseorang sedang
terancam (akibat kelaparan berat), ia tidak boleh membunuh orang lain baik
Muslim, kafir, maupun zimmi dan tidak boleh pula memotong bagian tubuh
orang lain untuk dimakan, karena hidup keduanya (orang yang pertama dan
kedua) sama-sama dihargai.6
Sudah jelas, bahwa Imam mazhab juga tidak memperbolahkan
transplantasi organ tubuh manusia dan tidak boleh memperjualbelikan organ,
walaupun organ tubuh seorang Muslim dan seorang kafir. Transplantasi organ
tidak diperbolehkan berdasarkan atas tiga (3) prinsip: (1) kesucian hidup/ tubuh
manusia, (2) tubuh manusia adalah amanah, dan (3) bahwa praktik tersebut bisa
disamakan dengan memperlakukan tubuh manusia sebagai benda material.7
Dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Quran, dapat disimpulkan
bahwa manusia diperintahkan untuk melindungi dan melestarikan kehidupan
sendiri serta kehidupan orang lain. Sebagai contoh, manusia dilarang melakukan
bunuh diri: Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisaa (4) ayat 29:
…
5 Samsul Arifin, Pendidikan Agama Islam, (Cet. II; Yogyakarta: deepulish, 2014), hlm.
157. 6 Samsul Arifin, Pendidikan Agama Islam, hlm. 158.
7 Abul Fadi Mohsin Ebrahim, Fiqih Kesehatan, hlm. 83.
5
Artinya:“dan janganlah kamu membunuh dirimu.8 Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisa (4): 29)
Penjelasan transplantasi adalah suatu hal yang diperbolehkan baik itu
dilakukan di masa pendonor masih hidup ataupun sudah meninggal, akan tetapi
kebolehan tersebut bukanlah suatu kebolehan yang bersifat mutlak tanpa syarat
melainkan ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan.9 Bahwa upaya
menghilangkan penderitaan seorang Muslim dengan cara memberikan donor
organ tubuh yang sehat kepadanya adalah merupakan tindakan yang
diperkenankan syara‟ bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang
melakukannya. Akan tetapi yang harus diperhatikan, kebolehan ini bukanlah
bersifat mutlak, bebas tanpa syarat, melainkan tindakan ini bisa dibenarkan jika
memang tidak menimbulkan mudarat (bahaya) bagi si pendonor.10 Allah SWT
berfirman dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 195 :
Artinya:“dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.”(QS. Al-Baqarah (2):195)
8 Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain,
sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu
kesatuan dan dengan melakukan hal-hal yang menyebabkan kecelakannya begaimanapun juga cara
dan gejalanya, baik di dunia maupun di akhirat. Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, tejm.
Bahrun Abubakar, (Cet. XII; Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014), hlm. 328. 9 Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Seputar pencangkoan Organ Tubuh, juz
II, (Jakarta; Gema Insani Press, 1995), hlm. 759. 10
Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Seputar pencangkoan Organ Tubuh, hlm.
759.
6
Begitu pula, Al-Quran mengingatkan manusia tentang besarnya dosa
mengambil nyawa orang lain. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ma‟idah (5)
ayat 32:
Artinya:“oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka
bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-
olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan dimuka bumi.” (QS. Al-Ma‟idah (5): 32)
Kaidah fiqhiyyah:
“bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya”11
11
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah, (Cet. I; Jakarta: Radar jayam offset,
2004), hlm. 125.
7
Kaidah ini menegaskan bahwa dalam Islam tidak dibenarkan
penanggulangan suatu bahaya dengan menimbulkan bahaya yang lain. Sedangkan
orang yang mendonorkan organ tubuhnya dalam keadaan hidup sehat dalam
rangka membantu dan menyelamatkan orang lain adalah dinilai upaya
menghilangkan bahaya dengan konsekwensi timbulnya bahaya yang lain.
Di Thailand, untuk menentukan suatu hukum perkara sosial-agama,
biasanya dilakukan melalui Majelis Syeikhul Islam Thailand yang kemudian
mengeluarkan fatwa dengan menentukan suatu hukum yang menyangkut masalah-
masalah kemasyarakatan. Untuk menghasilkan suatu hukum, Majelis Syeikhul
Islam Thailand melakukan kajian-kajian permasalahan yang dihadapi dengan
merujuk pada Al-Qur‟an, Hadits, Ijma‟, dan Qiyas yang diambil dari kitab-kitab
kuning karangan imam mazhab empat dan pendapat ulama sebagai sumber
hukumnya yang dilakukan dalam suatu Majelis Syeikhul Islam Thailand.12
Pendekatan dan metode pengambilan suatu hukum di Majelis Syeikhul
Islam Thailand yaitu: mengutamakan pendapat mazhab Syafi‟i. Jika pendapat
mazhab Syaifi‟I bertentangan dengan kepentingan masyarakat, maka Majelis
Syeikhul Islam Thailand mengambil pendapat ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan
Hambali. Jika pendapat empat mazhab bertentangan dengan kepentingan
masyarakat maka Majelis Syeikhul Islam Thailand mengambil pentapat ulama
lain selain ulama empat mazhab tersebut (Hanafi, Maliki, Syafi‟I, Hambali).13
12
Aziz Pithakhkhumphol, Kumpulan Fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand, (t.t.:
t.p., t.th.), hlm. X. 13
Aziz Pithakhkhumphol, Kumpulan Fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand, hlm. X.
8
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka penulis akan menganalisis
keputusan fatwa, metode dan pendakatan pengambilan fatwa di Majelis Ulama
Islam Thailand Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Donasi Organ Dan Transplantasi
Organ Tubuh Manusia, dalam bentuk karya ilmiah yang disusun dalam skripsi
yang berjudul “Metode Penetapan Fatwa di Majelis Syeikhul Islam Thailand
(Studi Analisis Fatwa Nomor 11 Tahun 2013 tentang Donasi Organ dan
Transplantasi Organ Tubuh Manusia)”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka
identifikasi masalahnya sebagai berikut:
1. Apa yang di maksud dengan transplantasi organ tubuh manusian;
2. Apa manfaat dan kemudhorotan transplantasi organ tubuh manusia;
3. Bagaimana pendapat ulama tentang transplantasi organ tubuh manusia;
4. Bagaimana metode istinbath dan keputusan Fatwa Majelis Syeikhul Islam
Thailand nomor 11 tahun 2013 tentang donasi organ dan transplantasi organ
tubuh manusia;
5. Bagaimana metode dan pendekatan pengambilan fatwa yang digunakan di
Majelis Syeikhul Islam Thailand.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berangkat dari pemikiran di atas maka diperoleh pembatasan
masalah dan penentuan masalah yang akan dikaji, agar tidak terjadi kesimpang
siuran dalam pembahasan yang nantinya bisa mengarah menuju satu titik
pemecahan permasalahan-permasalahan yang ada. Penulis memberi batasan
9
masalah pada keputusan fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand nomor 11 tahun
2013 tentang donasi organ dan transplantasi organ tubuh manusia dan metode
pendekatan serta pengambilan fatwa di Majelis Syeikhul Islam Thailand, yang
dapat dikumpulkan sebagai berikut :
1. Bagaimana metode pendekatan dan pengambilan fatwa di Majelis Syeikhul
Islam Thailand?
2. Bagaimana metode istinbath dan keputusan fatwa Majelis Syeikhul Islam
Thailand nomor 11 tahun 2013 tentang donasi organ dan transplantasi organ
tubuh manusia?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setelah identifikasi terhadap masalah-masalah yang ada, maka
selanjutnya penulis akan menguraikan tujuan dari pada penelitian ini, antara lain
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana metode istinbath dan keputusan fatwa Majelis
Syeikhul Islam Thailand nomor 11 tahun 2013 tentang donasi organ dan
transplantasi organ tubuh manusia.
2. Untuk mengetahui bagaimana metode pendekatan dan pengambilan yang
digunakan di Majelis Syeikhul Islam Thailand.
Adapun manfaat atau kegunaan penelitian ini adalah:
1. Dalam rangka pengembangan dan memperluas wawasan pengetahuan
mengenai metode istinbath dan keputusan fatwa Majelis Syeikhul Islam
10
Thailand nomor 11 tahun 2013 tentang donasi organ dan transplantasi organ
tubuh manusia.
2. Dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang metode pendekatan dan
pengambilan fatwa yang digunakan fatwa di Majelis Syeikhul Islam Thailand.
3. Menambah literature perpustakaan khususnya dalam bidang penetapan fatwa di
Majelis Syeikhul Islam Thailand.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Unuk mengetahui kajian terdahulu yang telah ditulis oleh yang lainnya,
maka penulis me-review beberapa tulisan terdahulu yang pembahasnya hampir
sama dengan pembahasan yang penulis angkat. Dalam hal ini penulis menemukan
beberapa skripsi, yaitu:
1. Mochamad Syaiban dalam skripsi yang berjudul “Transplantasi Organ Tubuh
Orang Muslim Kepada Orang Non-Muslim Menurut Hukum Islam (Studi
Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama)”. Dalam penulis ini menyimpulkan pada
prinsipnya transplantasi organ manusia diharamkan oleh lembaga fatwa di
Indonesia. Jadi apapun alasan untuk melakukan transplantasi organ orang
Muslim kepada orang non-Muslim hukumnya haram.14 Disini yang berbeda
dengan judul yang saya bahas yaitu, untuk seorang Muslim haram
mendonasikan organ tubuh kepada orang non-Muslim, sedangkan dalam
bahasan skripsi ini hukumnya mubah untuk donasi organ dan transplantasi
organ tubuh manusia sesama Muslim.
14
Mochamad Syaiban, Transplantasi Organ Tubuh Orang Muslim Kepada Orang Non
Muslim Menurut Hukum Islam (Studi Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama), Skripsi SHI, (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2010), hlm. 68.
11
2. Ahmad Fadhil dalam skripsi yang berjudul “Transplantasi Mata Mayit Dalam
Pandangan Hukum Islam (Studi Komparasi Pandangan Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama)”. Dimana di dalamnya memberi kesimpulan pandangan
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama transplantasi mata mayit diperbolehkan,
akan tetapi Nahdatul Ulama menyebut syarat bahwa seorang yang menjadi
donor dan resipien harus memiliki persamaan agama. Pandangan
Muhammadiyah menyatakan boleh karena terdapat unsur kebaikan
(kemaslahatan) bagi penerima.15 Disini yang berbeda dengan judul yang saya
bahas yaitu, transplantasi organ tubuh manusia ada haram demi membela
kehormatan mayat, kecuali ada orang yang benar-benar butuh organan itu, atau
ada wasia dari si pedonor itu sendiri tanpa adanya paksaan.
3. Hasbullah Ma‟ruf dalam skripsi yang berjudul “Transplantasi Organ tubuh
manusia Persektif Nahdlatul Ulama dan Persatuan Islam” didalam skripsi ini
memberi kesimpulan transplantasi organ tubuh manusia perspektif Nahdlatu
Ulama dan Persatuan Islam dalam dua pendapat ini hukum transplantasi organ
tubuh manusia itu dibolehkan, kalau itu tidak dilakukan transplantasi berarti
sama dengan membiarkan pasien mati, dalam arti menghilangkan nyawa
pasien. Disini yang berbeda dengan skripsi saya yaitu transplantasi ada yang
membolehkan dan ada juga yang tidak membolehkan menurut Majelis
Syeikhul Islam Thailand.16
15
Ahmad Fadhil, Transplantasi Mata Mayit Dalam Pandangan Hukum Islam (Studi
Komparasi Pandangan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama), Skripsi SHI, (Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga, 2015), hlm. 99. 16
Hasbullah Ma‟ruf, Transplantasi Organ tubuh manusia Persektif Nahdlatul Ulama
dan Persatuan Islam, Skripsi SHI, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2015), hlm. 84.
12
F. Metode Penelitian
Agar mencapai hasil yang maksimum, ilmiah dan sistematis, maka
metode penulisan mutlak diperlukan. Dalam hal ini jenis penelitian yang
digunakan adalah normatif (library research), yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara menelaah atau mengkaji sumber-sumber kepustakaan.17 Adapun
dalam penulisan dan pembahasan skripsi ini metode yang digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dalam skripsi ini menggunakan metode
Dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal tertarik atau fariabel ini dan
beberapa catatan, transkip, buku, surat, majalah, prasasti, dan sebagainya.18 Di
sini yang menjadi sumber dokumentasi diantaranya adalah Fatwa Majelis
Syeikhul Islam Thailand.
2. Sumber Data
Untuk mengumpulan data dalam skripsi ini diperoleh melalui:
a. Data Primer
Yaitu sumber data yang langsung dikumpulkan oleh penelitian dari sumber
pertamanya19 atau sumber literature utama yang berkaitan lansung dengan
obyek penelitian. Dalam hal ini Fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand
17
Sutrisno Hadi, Metodelogi Research, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
Prikologi UGM, 1982), hlm. 9. 18
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Cet. V;
Yogyakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 206. 19
Sumardi Suyabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), hlm. 38-
39.
13
nomor 11 tahun 2013 tentang donasi organ dan transplantasi organ tubuh
manusia.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang digunakan untuk menganalisa dan memberi penjelasan
tentang pokok permasalahan.20 Biasanya data sekunder ini telah tersusun
dalam bentuk dokumen-dokumen, dan data sekunder ini digunakan untuk
menganalisa dan memberi penjelasan tentang pokok-pokok permasalahan.
Dalam hal ini penulis mengambil sumber data sekunder dari buku-buku
yang ada relevansinya dengan permasalahan yang sedang penulis bahas.
3. Metode Analisis Data
Dalam analisis data penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yakni
suatu metode analisis yang menekankan pada pemberian sebuah gambaran
baru terhadap data yang telah terkumpul.21 Metode ini digunakan terutama pada
keputusan fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand nomor 11 tahun 2013 tentang
donasi organ dan transplantasi organ tubuh manusia.
4. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpendoman pada “Buku Pedoaman Penulisan Skripsi
Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarat yang deterbitkan oleh FSH UIN Jakarta Tahun 2013/2014.”
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, masing-masing bab
20
Sumardi Suyabrata, Metodelogi Penelitian, hlm. 38-39. 21
S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm.
165.
14
membahas permasalahan yang jelas serta mempermudah dalam pembahasan,
serata global, sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini dikemukakan Latar Belakang Masalah, Identifikasi
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat
Penelitian, Talaah Pustaka, Metode Penelitian Serta Sistematika
Penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG DONASI ORGAN
DAN TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MANUSIA
Dalam bab ini dibahas pengertian donasi organ dan transplantasi
organ tubuh manusia secara komprehensif, dampak yang timbul dari
donasi organ dan transplantasi organ tubuh manusia, dan hukum
donasi organ dan transplantasi organ tubuh manusia menurut para
ulama.
BAB III : METODE PENDEKATAN DAN PENGAMBILAN FATWA DI
MAJELIS SYEIKHUL ISLAM THAILAND
Bab ini membahas Sejarah Majelis Syeikhul Islam Thailand, metode
pendekatan dan pengambilan fatwa di Majelis Syeikhul Islam
Thailand, keputusan fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand nomor
15
11 tahum 2013 tentang donasi organ dan transplantasi organ tubuh
manusia.
BAB IV : METODE ISTINBATH DAN KEPUTUSAN FATWA MAJELIS
SYEIKHUL ISLAM THAILAND NOMOR 11 TAHUM 2013
TENTANG DONASI ORGAN DAN TRANSPLANTASI ORGAN
TUBUH MANUSIA
Dalam bab ini diuraikan tentang analisis terhadap metode istinbath
dan keputusan fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand dan analisis
terhadap metode pendekatan dan pengambilan fatwa di Majelis
Syeikhul Islam Thailand.
BAB V : PENUTUP
Pada bab terakhir ini akan dikemukakan kesimpulan, saran-saran.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG DONASI DAN TRANSPLANTASI ORGAN
TUBUH MANUSIA
A. Pengertian Donasi dan Transplantasi Organ Tubuh Manusia
Transplantation (tran + plantation) pencangkokan jaringan yang diambil
dari tubuh pasien itu sendiri atau dari tubuh pasien yang lain.22 Transplantasi
berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang berarati to move from one place to
another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Adapun pengertian menurut
ahli ilmu kedoteran, transplantasi ialah pemindahan jaringan atau organ dari
tempat satu ke tempat lain.23 Transplantasi ialah pemindahan organ tubuh yang
mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak
sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur
medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidup tidak ada lagi.24 Yang
dimaksud jaringan disini ialah pemindahan sel, jaringan maupun organ hidup dari
seseorang (donor) kepada orang lain (resipien) atau dari satu bagian tubuh ke
bagian tubuh lainnya, dengan tujuan mengembalikan fungsi yang telah hilang.25
Adapun definisi di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa transplantasi adalah
suatu usaha medis untuk memindahkan jaringan, sel, atau organ tubuh dari donasi
kepada resipien.
22
W.A. Newman Dorland, Kamus Kedokteran Dorland, (Cet. 3; Jakarta: Perpustakaan
Nasional: Katalog Dalam Terbitan, 2012), hlm. 2278. 23
Tim Perumusan Komisi Ahkam, Ahkamul Fuqaha: solusi Problematika Aktual
Hukum Islam, PBNU, hlm. 483. 24
Kutbudidin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009),
hlm. 121. 25
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), hlm. 86.
17
1. Sejarah Donasi dan Transplantasi Organ Tubuh Manusia
Transplantasi jaringan mulai dipikirkan manusia sejak 4000 tahun silam
menurut manuscrip yang ditemukan di Mesir yang memuat uraian mengenai
eksperimen. Transplantasi jaringan yang pertama kali dilakukan di Mesir sekitar
2000 tahun sebelum kelahiran Nabi Isa as. Sedang di India beberapa puluh tahun
sebelum lahirnya Nabi Isa as, seorang ahli bedah bangsa Hindu telah berhasil
memperbaiki hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan cara
mentransplantasikan sebagian kulit dan jaringan lemak yang diambil dari
lengannya. Pengalaman inilah yang merangsang Gaspare Tagliacosi, seorang ahli
bedah Itali, pada tahun 1597M untuk mencoba memperbaiki cacat hidung
seseorang dengan menggunakan kulit milik kawannya.26
Pada ujung abad ke-19 M para ahli bedah, baru berhasil
mentransplantasikan jaringan, namun sejak penemuan John Murphy pada tahun
1897 yang berhasil menyambung pembuluh darah pada binatang percobaan.
Barulah terbuka pintu percobaan mentransplantasikan organ dari manusia ke
manusia lain. Percobaan yang telah dilakukan terhadap binatang akhirnya
berhasil, meskipun ia menghabiskan waktu cukup lama yaitu satu setengah abad.
Pada tahun 1954, Dr. J.E. Murray berhasil mentransplantasikan ginjal kepada
seorang anak yang berasal dari saudara kembarnya yang membawa perkembangan
pesat dan lebih maju dalam bidang transplantasi.27
26
Http://nursing-transplan.blogspot.com/2008/12/03/, diakses tanggal 16 November
2016. 27
Http://nursing-transplan.blogspot.com/2008/12/03/, diakses tanggal 16 November
2016.
18
Tatkala Islam muncul pada abad ke-7 Masehi, ilmu bedah sudah dikenal
di berbagai negara dunia, khususnya negara-negara maju saat itu, seperti dua
negara adidaya Romawi dan Persia. Namun pencangkokan jaringan belum
mengalami perkembangan yang berarti, meskipun sudah ditempuh berbagai upaya
untuk mengembangkannya. Selama ribuan tahun setelah melewati bentuk
eksperimen barulah berhasil pada akhir abad ke-19 M, untuk pencangkokan
jaringan, dan pada pertengahan abad ke-20 M untuk pencangkokan organ
manusia.
Di masa Nabi saw. negara Islam telah memperhatikan masalah kesehatan
rakyat, bahkan senantiasa berupaya menjamin kesehatan dan pengobatan bagi
seluruh rakyatnya secara cuma-cuma. Ada beberapa dokter ahli bedah di masa
Nabi yang cukup terkenal seperti al Harth bin Kildah dan Abu Ramtah Rafa'ah,
juga Rafidah al Aslamiyah dari kaum wanita.
Meskipun pencangkokan organ tubuh belum dikenal oleh dunia saat itu,
namun operasi plastik yang menggunakan organ buatan atau palsu sudah dikenal
di masa Nabi saw, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan Tirmidzi
dari Abdurrahman bin Tharfah (Sunan Abu Dawud, hadits. no.4232) "bahwa
kakeknya 'Arfajah bin As'ad pernah terpotong hidungnya pada perang Kulab, lalu
ia memasang hidung (palsu) dari logam perak, namun hidung tersebut mulai
membau (membusuk), maka Nabi saw. menyuruhnya untuk memasang hidung
(palsu) dari logam emas". Imam Ibnu Sa'ad dalam Thabaqatnya (III/58) juga telah
meriwayatkan dari Waqid bin Abi Yaser bahwa 'Utsman (bin 'Affan) pernah
memasang mahkota gigi dari emas, supaya giginya lebih kuat (tahan lama).
19
Pada periode Islam selanjutnya berkat doktrin Islam tentang urgensi
kedokteran mulai bertebaran karya-karya monumental kedokteran yang banyak
memuat berbagai praktek kedokteran termasuk transplantasi dan sekaligus
mencuatkan banyak nama besar dari ilmuwan muslim dalam bidang kesehatan
dan ilmu kedokteran, diantaranya adalah: Al-Rozy (Th. 251-311 H.) yang telah
menemukan dan membedakan pembuluh vena dan arteri disamping banyak
membahas masalah kedokteran yang lain seperti, bedah tulang dan gips dalam
bukunya Al-Athibba. Lebih jauh dari itu, mereka bahkan telah merintis proses
spesialisasi berbagai kajian dari suatu bidang dan disiplin. Az-Zahrawi ahli
kedokteran muslim yang meninggal di Andalusia sesudah tahun 400-an Hijriyah
telah berhasil dan menjadi orang pertama yang memisahkan ilmu bedah dan
menjadikannya subjek tersendiri dari bidang Ilmu Kedokteran. Beliau telah
menulis sebuah buku besar yang monumental dalam bidang kedokteran
khususnya ilmu bedah dan diberi judul "At-tashrif".28
Transplantasi sebagai upaya untuk melepaskan manusia dari penderitaan
yang secara biologis mengalami keabnormalan, atau menderita suatu penyakit
yang mengakibatkan rusaknya fungsi suatu organ, jaringan, atau sel, pada
dasarnya bertujuan:
a. Kesembuhan dari suatu penyakit, rusaknya jantung, ginjal dan sebagainya.
28
Http://nursing-transplan.blogspot.com/2008/12/03/, diakses tanggal 16 November
2016.
20
b. Pemulihan kembali fungsi atau organ, jaringan atau sel yang telah rusak atau
mengalami kelainan tapi sama sekali tidak terjadi kesakitan biologis misalnya
bibir sumbing.29
2. Jenis-jenis Donasi Organ dan Transplantasi Organ Tubuh Manusia
Berdasarkan hubungan genetik antara donasi dan resipien (penerima)
maka transplantasi digolongkan menjadi tiga macam :
a. Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu individu.
Seperti seorang yang pindah dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan
daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
b. Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya
individu yang sama jenisnya, homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan
resipiennya dua individu yang masih hidup, ada juga terjadi antara donor yang
telah meninggal dunia yang disebut cadaver donor, sedang resipien masih
hidup.
c. Hetero transplantasi, ialah yang donor dan resipiennya dua individu yang
berlainan jenisnya, seperti transplantasi organ hewan ke manusia atau
sebaliknya.30
29
H. Chuzaimah dan HA. Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: PT Pustaka, 1995), hlm. 69. 30
Tim Perumusan Komisi Ahkam, Ahkamul Fuqaha: solusi Problematika Aktual
Hukum Islam, hlm. 484.
21
B. Dampak Yang Timbul dari Donasi Organ dan Transplantasi Organ Tubuh
Manusia
Pada homo transplantasi, kemungkinan dampak yang dikenal ada 3
macam :
1. Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur,
maka transplantasi hamper selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan.
2. Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah
orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar dari pada
golongan pertama, tetapi dampaknya lebih kecil dari golongan ketiga.
3. Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara,
maka kemungkinan besar transplantasi selalu bereaksi penolakan.31
C. Donasi Organ dan Transplantasi Organ Tubuh Manusia Menurut Hukum
Islam
Hukum Islam memberikan petunjuk kepada kita bahwa untuk
menentukan hukum suatu perkara maka harus dilihat terlebih dahulu konteks
waktu dan tempat perkara tersebut, walaupu di era modern ini telah berkembang
berbagai macam teknologi baik di bidang kedokteran maupun yang lain
persaingan muncul diantara satu Negara dan Negara lainnya maka kita sebagai
Muslim harus bisa berfikir kritis untuk menetapkan suatu hukum termasuk hukum
31
Tim Perumusan Komisi Ahkam, Ahkamul Fuqaha: solusi Problematika Aktual
Hukum Islam, hlm. 484.
22
mengenai transplantasi organ manusia. Pencangkokan organ tubuh yang menjadi
pembicaraan pada masa ini adalah: mata, ginjal, dan jaringan, karena ketiga organ
tubuh tersebut sangat penting fungsinya untuk manusia, terutama ginjal dan
jantung, Mengenai donor mata pada dasarnya dilakukan, karena ingin membagi
kebahagiaan kepada orang yang belum pernah melihat keindahan alam ciptaan
Allah ini, ataupun orang yang menjadi buta karena penyakit.32
Kebanyakan dari para pemerhati masalah transpalnasi ini ketika
membahas hukum mereka akan mengklasifikasikan kapan transplantasi itu
dilakukan, apabila pencangkokan tersebut dilakukan pada saat pendonor dalam
keadaan hidup sehat wal afiat, begitu juga sakit (koma) atau hampir
meninggal, maka hukumnya adalah dilarang (haram), sedangkan apabila di
lakukan ketika pendonor sudah meninggal maka hukumnya ada yang
mengharamkan, juga ada yang memperbolehkannya dengan syarat- syarat
tertentu.33
Adapun syarat-sarat yang membolehkan:
1. Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwa dan ia sudah
menempuh pengobatan secara medis dan non medis tapi tidak berhasil.
2. Pencangkokan tidak menimbul komplikasi penyakit yang lebih berat bagi
resipien dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
32
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-haditsah: masalah-masalah kontemporan hukum
Islam, (Cet. 4; Jakarta: PT rajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 121. 33
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 88.
23
Para donor yang dikenal sekarang ini, lebih banyak dari kalangan orang
yang sudah meninggal dunia dan tidak banyak dari kalangan orang yang masih
hidup, Ada 3 (tiga) tipe donor organ tubuh, da setiap tipe mempunyai
permasahannya sendiri, yaitu:
1. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam
keadaan hidup sehat, maka hukumnya „Haram‟, dengan alasan, Firman Allah
dalam Al Quran surah Al Baqarah (2) ayat 195:
… …
Artinya:“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan…” (QS. Al-Baqarah (2): 195)
Ayat di atas mengingatkan kepada manusia agar tidak merusak sesuatu
yang bisa berakibat fata bagi dirinya, sekalipun mempunyai tujuan kemanusiaan
yang luhur termasuk menyumbangkan mata atau ginjalnya untuk orang lain yang
membutuhkan. Kareana hal itu selain mengubah ciptaan Allah, ia akan
menghadapi resiko yang berbahaya, yaitu ketindak normalan berupa tidak
berfungsinya mata atau ginjal yang tinggal sebuah itu bahkan organ tubuh yang
tersebut terakhir ini bisa mengakibatkan kematian si pendonor.34 Hal ini tidak
diperbolehkan karena dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan:
34
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-haditsah: masalah-masalah kontemporan hukum
islam, hlm. 122.
24
“Menghindari kerusakan/resiko, didahulukan dari/atas menarik kemaslahatan”35
Dikaitkan dengan kaidah diatas, maka mendonor mata atau ginjal yang
bertujuan untuk kemashlahatan orang lain akan berdampak kepada dua (2) akibat
yang berbeda. Bagi si pendonor akan bahaya,36 sedangkan bagi si resipien akan
mendapat mashlahat. Jika demikian halnya, maka pilihan harus diutamakan
kepada penolakan kerusakan dalam hal ini menolak untuk merusak ginjal. Dengan
demikian, maka hukumnya tidak boleh mengambil ginjal atau mata seseorang
untuk kemashlahatan orang lain. Hal ini tidak diperbolehkan karena dalam kaidah
fiqihiyyah disebutkan:
“Bahaya (kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan bahaya(kemudharatan)
lainnya”37
Berdasarkan kaidah di atas, donor dari orang yang masih hidup itu tidak
mampu menyelesaikan masalah, Karena dengan cara mendonor ginjal atau mata
berarti menimbulkan mudarat yang baru. Hal ini tidak dibolehkan oleh Islam,
maka dari itu bisa mengupayakan menghilangkan penderitaan seorang Muslim
dengan cara memberikan donor organ tubuh yang sehat kepadanya adalah
merupakan tindakan yang di perkenankan syara‟ bahkan terpuji dan berpahala
bagi orang yang melakukannya. Akan tetapi yang harus diperhatikan, kebolehan
35
Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995
M), hlm. 63. 36
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 88. 37
Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, hlm. 62.
25
ini bukanlah bersifat mutlak, bebas tanpa syarat, melainkan tindakan ini bisa
dibenarkan jika memang tidak menimbulkan mudarat (bahaya) bagi si pendonor.
Dalam kata lain jika seseorang melakukan donor dan ternyata itu mengakibatkan
bahaya, kesengsaraan pada dirinya maka tindakan itu tidak bisa dibenarkan
syara‟.38 Hal itu disepakati ulama hukum Islam tentang kebolehannya bila ginjal
yang bersumber dari orang masih hidup yang biasanya diambil hanya sebelah
saja, kemudian dipindahkan kepada resipien yang membutuhkannya.39
2. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma,
hukumnya tetap haram, walaupun menurut dokter, bahwa si donor itu akan segera
meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematiannya dan mendahului
kehendak Allah SWT, hal tersebut dapat dikatakan mempercepat kematian.
Tidaklah berperasaan/bermoral melakukan transplantasi atau mengambil organ
tubuh dalam keadaan sekarat. Orang yang sehat seharusnya berusaha untuk
menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut, meskipun menurut dokter,
bahwa orang yang sudah koma tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk
sembuh. Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali walau itu hanya
sebagian kecil, padahal menurut medis, pasien tersebut sudah tidak ada harapan
untuk hidup.40 Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam keadaan koma,
tidak boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut: Hadits Nabi, riwayat
38
Yusuf, Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, Seputar pencangkoan Organ Tubuh,
hlm. 759. 39
Mahjuddin, Masail Al-Fiqh: Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2012), hlm. 159. 40
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-haditsah: masalah-masalah kontemporan hukum
Islam, hlm. 123.
26
Malik dari „Amar bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Daruquthni
dari Abu Sa‟id al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu „Abbas dan „Ubadah
bin al-Shamit :
“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat
madharat pada orang lain.”41
Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang lain dalam
keadaan koma/sekarat haram hukumnya, karena dapat membuat madharat kepada
donor tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya, yang disebut
euthanasia. Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya demi
mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati berada di tangan Allah SWT,
oleh karena itu manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau
mempercepat kematian orang lain, demikian hal itu dilakukan oleh dokter dengan
maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.42
3. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah
meninggal secara yuridis dan medis,43 hukumnya mubah, yaitu dibolehkan
menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa:
Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat yang
mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah
41
Al-Suyuthi, al-Jami‟ al-Shaghir, Jilid II, (Cet. IV; Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiah, tt.),
hlm. 203. 42
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), hlm. 86. 43
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 87.
27
berobat secara optimal baik medis maupun non medis, tetapi tidak berhasil. Hal
ini berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
“Darurat akan membolehkan yang diharamkan”44
“Bahaya itu harus dihilangkan”45
Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan
menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan
dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor kepada
ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau ada
izin dari ahli warisnya.
Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29
Juni 1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka
pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang
yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari
yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin keluarga/ahli
waris.46
4. Hukum Menjual-beli Organ Tubuh Manusia
44
Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hlm. 61. 45
Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hlm. 60. 46
MUI. Himpunan Keputusan dan Fatwa MajelisUlama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat
MUI, 1415 H/1995 M), hlm. 176.
28
Pendapat yang membolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti
memperbolehkan memperjual-belikannya, karena jual-beli itu sebagaimana
dita‟rifkan fuqaha adalah tukan-menukar harta secara sukarela, sedangkan tubuh
manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-menawarkan
sehingga organ tubuh manusia menjadi obyek pertimbangan dan jual-beli, Para
ahli ilmu bersepakat bahwa seandainya seorang manusia menjual-beli apa-apa
yang bukan miliknya maka jual-beli tersebut menjadi batal, Sebagaimana
diketahui bahwa organ tubuh manusia bukanlah milik seorang manusia sehingga
secara syar‟i tidak diizinkan bagi manusia untuk meperjual-belikannya karena
jual-beli organ tubuh itu termasuk dalam jual-beli yang tidak dimiliki manusia,
didalam jual-beli organ tubuh manusia baik organ seorang Muslim atau kafir
maka terdapat penghinaan terhadapnya padahal Allah SWT telah memuliakannya.
Dan didalam Al-Quran surah Al Israa (17) ayat 70:
Artinya:“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Israa (17):
70)
Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberikan
sejumlah uang kepada pedonor tanpa persyaratan dan tidak ditentukan
29
sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah, dan pertolongan, maka yang demikian
itu hukumnya boleh, bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia, Hal ini sama
dengan pemberian orang yang berutang ketika mengembalikan pinjaman dengan
memberikan tambahan yang tidak dipersyaratkan sebelumnya, Hal ini
diperkenankan syara` dan terpuji, bahkan Rasulullah SAW pernah melakukannya
ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang) dengan sesuatu yang lebih baik
daripada yang dipinjamnya.47
5. Adapun Dalil-Dalil Yang Dapat Menjadi Dasar Dibolehkannya Transplantasi
Organ Tubuh
Al-Quran surah Al-Baqarah (2) ayat 195 yang telah disebutkan dalam
pembahasan didepan yaitu bahwa islam tidak membenarkan seseorang
membiarkan dirinya dalam bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan secara
medis dan non medis, termasuk upaya transplantasi, yang memberi harapan untuk
bisa bertahan hidup dan menjadi sehat kembali. Dan didalam Al-Quran surah Al-
Maidah (5) ayat 32 :
…” … “
Artinya:“…dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
Maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya….” (QS. Al-Maidah (5): 32)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan (seperti
transplantasi) sangat dihargai oleh agama Islam, tentunya sesuai dengan syarat-
47
Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, Seputar pencangkoan Organ Tubuh, hlm.
760-762.
30
syarat yang telah disebutkan diatas, sebagaimana disebukan lagi dalam surat Al-
Israa‟ (17) ayat 15:
Artinya:“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka
Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi
(kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat
memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami
mengutus seorang rasul.”(QS. Al-Israa‟ (17): 15)
Hal ini didasarkan pada kaidah fiqhiyyah:
“Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah (kebinasaan), maka
dipertahankan yang mendatangkan madharat yang paling besar, dengan
melakukan perbuatan yang paling ringan madharatnya dari dua madharat”48
Meskipun pekerjaan transplantasi itu dilarang walau pada orang yang
sudah meninggal, demi kemaslahatan karena membantu orang lain yang sangat
membutuhkannya, maka hukumnya mubah/dibolehkan selama dalam pekerjaan
transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai penghinaan
kepadanya.49
48
Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hlm. 63. 49 Abdul Wahab Al-Muhaimin, Kajian Islam Aktual (Cet. I; Jakarta: Gaung Persada
Press, 2001), hlm. 197-198.
31
Berdasarkan dalil-dalil sebagaimana disebutkan di atas, maka
terjawablah bahwa orang yang mendonorkan organ tubuhnya tidak dapat
menanggung akibat perbuatan yang dilakukan oleh resipien, baik berupa pahala
atau dosa, Sebab nash Al-Quran seperti tersebut diatas dengan tegas menyatakan
bahwa tanggung jawab semua perbuatan itu akan dipikul oleh masing-masing.
32
BAB III
METODE PENETAPAN FATWA DI MAJELIS SYEIKHUL ISLAM
THAILAND
A. Sejarah Majelis Syeikhul Islam Thailand
1. Syeikhul Islam di Kerajaan Thailand.
Sejak masa Ayutthaya di kerajaan Trailokkanat pada 1448-1488 M
dikatakan bahwa "Majelis Syeikhul Islam" menurut beberapa para ahali sebelum
menyebutkan, "Chularachmontri" menjadi menteri menerima tamu dari luar
negeri. Tidak disebutkan secara pasti dia itu siapa tetapi di masa kerajaan
Ekathosarot 1605- 1620. Tetapi belum ada yang tahu tentang dia secara pasti,
Dimasa kerajaan Songtham tahun 1620-1628, dia melantik Syeikh Ahmad
menjadi menteri Syeikhul Islam Siam, yang bertampat pada Kementerian Luar
Negeri tujuan adalah mengontrol hubungan dengan orang asing, seperti menerima
tamu dari luar negeri, perpajakan impor, ekspor, mengawasi perdagangan maritim
internasional, dan mengontrol Urusan Agama Islam di Kerajaan Siam.
2. Visi
Adalah sebuah organisasi masyarakat Islam, dalam dimensi agama
pendidikan, budaya dan kualitas hidup
3. Misi
a. Menyebarkan pengetahuan dan pemahaman tentang ketentuan Islam.
b. Penguatan institusi keluarga.
c. Mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang Negara Thailand,
untuk hidup bersama dengan damai dalam masyarakat.
33
d. Kerjasama dengan organisasi pemerintah, organisasi keagamaan, untuk
mengembangkan dan memberikan manfaat bagi masyarakat dan bangsa.
e. Kerjasama dengan organisasi internasional di bidang manajemen bisnis,
agama, pendidikan, budaya, sosial, ekonomi, dan lain-lain.
f. Pengembangan pendidikan dan aspek lain dari orang-orang Muslim dan
organnisasi di semua tingkatan.
4. Strategi
a. Kurikulum belajar dan proses belajar
b. Pengembangan masyarakat belajar.
c. Pengembangan perubahan sosial serta menerima perubahan sosial.
d. Mempertahankan budaya nasional dan budaya lokal.
e. Memperkuat sosial
f. Untuk membangun hubungan dengan negara-negara asing.50
5. Nama-Nama Ketua Majelis Syeikhul Islam
a. Syeikh Ahmad, adalah seorang Muslim Persia, yang menganut aliran Syiah,
menjabat Syeikhul Islam pada masa kerajaan Songtham (1502-1627),
sampai masa kerajaan Prasat Thong (1630-1655) Ayutthaya.
b. Kauw, adalah cucu dari Syeikh Ahmad, Menjabat Syeikhul Islam pada
masa kerajaan Narai (1656-1682), Ayutthaya.
c. Son, adalah putra Phraya Sri Syai Hannarong dalam garis keturunan dari
Syeikh Ahmad. Menjabat Syeikhul Islam pada masa kerajan Boromakot
(1732-1758), Ayutthaya.
50
Artikal, http://www.skthai.org/index.php?mo=10&art=598477, diakses tanggal 20
Januari 2017.
34
d. Shane, adalah anak dari Phrapisyai dalam garis keturunan Syeikh Ahmad,
menjabat pada masa raja Suriya Pangeran Ayutthaya.
e. Muhammad Maksum, anak dari Shane, menjabat pada masa kerajaan
Pharaput Tajotfa Culalhok, Rattanakosin.
f. Arriaga Yi, adalah adik dari Muhammad Maksum, menjabat Syeikhul
Islam pada masa raja Phaputtale Tlanakpalai Raja II, Rattanakosin.
g. Muhammad Qasim, adalah anak Muhammad Maksum, menjabat
Syeikhul Islam pada masa kerajaan Phanangkau Yuhoah Raja IV.
h. Muhammad Bakir, putra dari Arriaga Yi, menjabat Syeikhul Islam pada
masa raja Phacomkaucau Yuhoah.
i. Muhammad Taki, putra Muhammad Qasim menjabat Syeikhul Islam pada
masa kerajaan Phacomkaucau Yuhoah.
j. Kula Husen, putra Muhammad Taki menjabat Syeikhul Islam pada masa
Raja ke VI.
k. San Ahmad Cula, adalah putra Kula Husen, menjabat pada masa kerajaan
yang ke VI.
l. Kasem Ahmad Cula, adalah putra Kula Husen menjabat Syeikhul Islam
pada masa pemerintahan Raja ke VI.
m. Soan Ahmada Cula, adalah putra San Ahmada Cula, menjabat Syeikhul
Islam pada masa pemerintahan Raja ke VII.
n. Samsuddin Mustafa, seorang Muslim Sunni yang pertama kali menjabat
Syeikhul Islam. Pada masa pemerintahan Raja Ananda Mahidol (1945-
1947)
35
o. Ismail Yahyawi, seorang Muslim Sunni yang kedua, Menjabat Pada masa
pemerintahan Yang Mulia Raja Bhumibol Adulyadej (1947-1981).
p. Ahmad Bin Ahmad, Muslim Sunni yang ketiga, menjabat Syeikhul Islam
memerintah. Raja Bhumibol Adulyadej Sejak masa jabatannya 1981-1997.
q. Swasdis Sumaiyasak, dipilih oleh dewan Islam dari 29 provinsi, dan
dilantik pada 5 November 2001 menjabat sejak 1997-2010.
r. Aziz Phidakkhumphul, menjabat pada 6 Juni 2010 - Sampai sekarang.51
B. Metode Pendekatan dan Pengambilan Fatwa di Majelis Syeikhul Islam
Thailand
Dalam kajian ushul fiqh, dilihat dari produk hukum, terdapat perbedaan
antara mujtahid dan mufti. Para mujtahid berupaya meng-intinbath-kan hukum
dari nash (Al-Quran dan Sunnah) dalam berbagai kasus, baik diminta dari pihak
lain maupun tidak. Sedangkan mufti tidak mengeluarkan fatwanya kecuali apabila
diminta dan persoalan yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa
dijawabnya sesuai dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam
menghadapi suatu persoalan hukum harus benar-benar mengetahui secara rinci
kasus yang dipertanyakan, mempertimbangkan kemaslahatan peminta fatwa,
lingkungan yang mengitarinya, serta tujuan yang ingin dicapai dari fatwa tersebut.
Ada bererapa faktor yang mendorong perlunya rekonstruksi fiqih pada masa
sekarang adalah sebagai berikut: Pertama, terkait dengan perubahan sosial dan
politik. Kedua, terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
51
Artikal, http://www.skthai.org/index.php?mo=3&art=581158, diakses tanggal 20
Januari 2017.
36
Ketiga, karena tuntutan perkembangan zaman. Kompleksitas masalah
kontemporer mengharuskan para fuqaha untuk lebih memilih pandangan-
pandangan dan fatwa hukum yang lebih memudahkan dan menghindari kesulitan
dalam hukum-hukum cabang, baik dalam masalah ibadah maupun muamalah.52
Maka perlu Majelis Syeikhul Islam Thailand untuk mengeluarkan fatwa
dengan yang dimintakan oleh mustafti baik itu lembaga-lembaga sosial,
pemerintah yang Muslim dan masyarakat Muslim itu sendiri. Fatwa yang
dikeluarkan oleh Majelis Syeikhul Islam Thailand berkaitan dengan masalah
peribadatan, masalah ekonomi dan masalah kontemporer lainnya.53
Metode teknis dan prosedur penilain dan penetapan fatwa Majelis
Syeikhul Islam Thailand mengalami perkembangan, dan terakhir diputuskan
dalam ijtihad ulama komisi fatwa Majelis Syekhul Islam Thailand (MSIT) yaitu:
seperti
1. Pemberian fatwa diberikan hasil penetapan kolektif komisi fatwa
2. Rapat komisi fatwa harus dihadiri anggota komisi fatwa yang jumlahnya
dipandang cukup
3. Dalam hal-hal tertentu, rapat dapat menghadirkan tenaga ahli yang
berhubungan dengan masalah yang dibahas
4. Rapat diadakan bila:
a. Permintaan masyarakat yang dipandang penting
52
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Juz II, (Cet. V; Jakarta: Predana Media Group, 2009),
hlm 459-460. 53
Aziz Phithakhkhumphon, Kumpulan Fatwa Syeihkul Islam Thailand (t.t.: t.p.,
t.th.), hlm. VII-VIII.
37
b. Permintaan pemerintah, lembaga sosial atau dari Majelis Syeikhul Islam itu
sendiri
c. Masalah keagamaan yang muncul akibat perkembangan masyarakat dan
iptek
5. Rapat dipimpin oleh ketua atau wakilnya atau salah satu anggota yang disetujui
apabila ketua atau wakilnya berhalangan
6. Hasil rapat yang dilakukan mendalam dan komprehensif, bila telah mendapat
kesepakatan diputusakanlah fatwa dan disampaikannya kepada dewan
pimpinan untuk dipermaklumkan kepadam masyarakat atau pihak-pihak yang
bersangkutan.
Jika keputusan fatwa sudah disepakati oleh ketua dan anggota komisi
fatwa, maka ketua Majelis Syeikhul Islam akan meresmikan fatwa sebagaiman
yang ditetapkan dalam UU urusan agama pasal 8 tahun 1998 yang memberikan
kewenangan penuh kepada Majelis Syeikhul Islam untuk meresmikan fatwanya.
Dasar penetapan fatwa, penetapan fatwa didasarkan pada Al-Quran,
Hadits, Ijma‟ dan Qiyas atau ijtihad. Karena keempat hal tersebut adalah
merupakan sumber hukum syara‟ yang disepakati oleh jumhur ulama. Metode
penetapan fatwa yang digunakan oleh Majelis Syeikhul Islam Thailand yaitu:
sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat para imim
mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟i, Hambali) dan ulama yang mu‟tabar tentang
masalah yang akan difatwakan tersebut, secara seksama berikut dalil-dalil. Salah
satunya masalah yang telah terjadi khilafiyah di kalangan mazhab, maka:
38
a. Penetpan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu diantara
pendapat-pendapat ulama mazhab melalui metode al-jam‟u wa al-taufiq54
b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa
didasarkan pada hasil tarjih55 melalui metode muqaranah dengan menggunakan
kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran.
Dalam masalah yang tidak ditemukan penetapan hukumnya di kalangan
mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama‟i (kolektif) melalui
metode bayani,56ta‟lili (qiyasi, istihsani, ilhaqi), istishlahi, dan sad al-zari‟ah.
Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum dan
maqashid al-syari‟ah.57
Format fatwa Syeikhul Islam Thailand, yaitu:
1. Fatwa dirumuskan dengan bahasa hukum yang mudah dipahami oleh
masyarakat luas
2. Fatwa memuat:
a. Nomor dan judul fatwa
b. Kalimat pembuka shalawatan untuk beginda Nabi Muhammad SAW
54
Jam‟u wa Taufiq adalah mengumpulkan dali-dalil yang tampak bertentangan
kemudian mengkompromikannya. Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul
Fikih, (Cet. II; Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 157. 55
Tarjih ialah memenangkan salah satu diantara dua dalil yang bertentangan, karena
ternyata yang satu lebih kuat dari yang lainnya. Yang lebih kuat disebut Rajih dan yang kalah
disebut Marjuh. Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm.
221. 56
Bayani adalah menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya
dhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihad bayani ini
hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu di antara beberapa
pemahaman yang berbeda, namun tidak memberikan penjelasan yang pasti. Amir Syarifuddin,
Ushul Fiqh, jilid II, (Cet. V; Jakarta: Pernada Media Group, 2008), hlm. 286. 57
Aziz Phithakhkhumphon, Kumpulan Fatwa Syeihkul Islam Thailand, hlm. IX.
39
c. Konsideran yang terdiri atas:
1) Menimbang, memuat latar belakang, alasan, dan urgensi penetapan fatwa
2) Mengingat, memuat dasar-dasar hukum
3) Memperhatikan, memuat pendapat peserta rapat, para ulama, pendapat
para ahli, dan hal-hal lain yang mendukung penetapan fatwa
d. Diktum, Substansi hukum yang difatwakan, dan rekomendasi dan jalan
keluar, jika dipandang perlu
e. Penjelasan, berisi uraian dan analisis secukupnya tentang fatwa
f. Lampiran-lampiran, jika dipandang perlu
3. Fatwa ditandatangani oleh Ketua Majelis Syeikhul Islam58
C. Keputusan Fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand Nomor 11 Tahum 2013
tentang Donasi Organ dan Transplantasi Organ Tubuh Manusia
Pertanyaan: Donasi organ dan penggunaan organ manusia boleh dilakukan atau
tidak?
Fatwa, Untuk dapat menyatakan bahwa organ-organ tubuh manusia
diperbolehkan oleh syariat Islam untuk donasi atau tidak, perlu penjelasan
masalah-masalah berikut ini:
58
Aziz Phithakhkhumphon, Kumpulan Fatwa Syeihkul Islam Thailand, hlm. IX-X.
40
1. Hukum jual-beli organ tubuh manusia
Semua ulama fiqih sepakat bahwa jual-beli organ hubuh bagian dalam
maupun luar manusia tidak diperbolehkan. Seseorang tidak diperbolehkan
menjual salah satu organnya baik bagian dalam ataupun bagian luar.
Jual-beli sebagaimana diuraikan fuqaha adalah tukar-menukar harta
secara sukarela, sedangkan tubuh manusia itu bukan harta yang dapat
dipertukarkan dan dijadikan komoditi jua-beli sehingga organ tubuh manusia
menjadi obyek pertimbangan dan jual-beli. Para ulama fiqih bersepakat bahwa
seandainya seorang manusia melakukan jual-beli sesuatu yang bukan miliknya
maka jual-beli tersebut menjadi batal. Sebagaimana diketahui bahwa organ tubuh
manusia bukanlah milik seorang manusia sehingga secara syar‟i tidak diizinkan
bagi manusia. Karena jual-beli organ tubuh itu, termasuk dalam jual-beli yang
tidak dimiliki manusia, walaupun jual-beli organ tubuh seorang Muslim atau kafir.
praktek jual-beli organ tubuh adalah penghinaan terhadap ciptaan Allah SWT. Di
dalam Al-Quran surah Al Israa (17): 70) disebutkan:
Artinya:“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Israa (17):
70)
41
Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberikan
sejumlah uang kepada pendonor tanpa persyaratan dan tidak ditentukan
sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah, dan pertolongan, maka yang demikian
itu hukumnya boleh, bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama
dengan pemberian orang yang berutang ketika mengembalikan pinjaman dengan
memberikan tambahan yang tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini
diperkenankan syara` dan terpuji, bahkan Rasulullah SAW pernah melakukannya
ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang) dengan sesuatu yang lebih baik
daripada yang dipinjamnya.59
Karena badan dan organ tubuh manusia dilarang untuk diperjual-belikan
secara mutlak. Karena ia merupakan pelanggaran kehormatan tersebut, dan tubuh
manusia, menurut fakta, bukanlah milik manusia itu sendiri tetapi milik Allah
SWT yang menciptakan dan manusia bertanggung jawab untuk pemeliharaan
tubuhnya. Serta mereka disuruh menggunakannya sesuai dengan batas tanggung
jawab bukan dengan apa yang menyebabkan kerusakan. Jika manusia melanggar
batas-batas dan bertindak atas tubuh mereka dengan sesuatu yang tidak sesuai
dengannya berarti seseorang itu telah mengkhianati tanggung jawabnya kepada
Allah SWT yang telah diamanatkan kepadanya, Maka praktek jual-beli organ
tubuh manusia termasuk usaha bertindak atas hak atau miklik Allah SWT tanpa
izin dan bahwa tidak ada manfaat serta alasan yang cukup.60
59
Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, Seputar pencangkoan Organ Tubuh,
hlm. 760-762. 60
Aziz Phithakhkhumphon, Kumpulan Fatwa Syeihkul Islam Thailand, hlm. 56.
42
2. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang hal ini, menjadi dua (2)
pendapat sebagai berikut:
a. Dilarang memotong salah satu organ dari manusia yang masih hidup yang
mendapat perlindungan dari pelanggaran dalam kehidupan orang itu baik
dengan ada timbal balik atau tidak, untuk pencangkokan organ tubuh ke orang
lain, menurut proses pengobatan. Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun.
Dan Allah SWT berfiman dalam Al-Quran surah An-Nisa (4) ayat 29:
Artinya:“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”(QS. An-Nisa
(4): 29)
Artinya:“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah (2):
195)
Ayat Al-Quran di atas jelas menunjukkan bahwa Allah melarang
tindakan bunuh diri atau tindakan apapun yang menghilangkan nyawa, oleh
sebab itu, seorang yang memdonasi dan trasplantasi organ tubuh berarti ia
membawa dirinya menuju bahaya dan kerugian demi mempertahan kehidupan
43
orang lain, Sedangkan orang itu tidak bekewajiban untuk berbuat demikian,
Namun kewajibannya adalah mempertahankan kehidupan dirinya sendiri,
Menurut ayat-ayat Al-Quran di atas memotong salah satu organ tubuh manusia
merupakan bahaya yang nyata baik organ pasangan atau tunggal dan tindakan
apapun yang membahayakan tindakan itu dilarang sebagaimana kaidah
fiqihyah yang ditetap dari hadist sebagai berikut :
“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula
membuat madharat pada orang lain” HR. Hakim dan lainnya dari Abu Sa‟id
Al-Khudri, HR. Ibnu Majjah dari Ibnu „Abbas.61
b. Donasi organ atau bagian tubuh dari orang yang hidup untuk orang lain,
diperbolehkan dengan syarat tersebut sebagai berikut itu:
1) Donor organ bersifat sukarela dan merupakan orang yang memenuhi
syarat hukum agama yaitu baligh dan pikiran yang sehat sepenuhnya atau
waras serta menyatakan kesukarelaannya melalui surat tercatat.
2) Akibatnya, tidak membahayakan pendonor organ sampai meninggal dalam
kondisi normal. Walaupun dalam kondisi normal, tidak akan menyebabkan
kematian pendonor itu, karena ada kaidah fiqh yang menyatakan bahwa
“bahaya itu tidak dihapuskan dengan sesama berbahaya atau sangat
berbahaya”, Tapi bahaya itu akan dilindungi oleh yang lebih ringan,
bahkan organ yang tidak mengakibatkan kematian atau dapat mengurangi
kemampuan fisik. Hal ini memerlukan keputusan atau penilaian dari
dokter spesialis yang dapat dipercayai. Keputusan dan pertimbangan yang
61
Ash-Shuyuti, Al-Asybah wa Nadzair, hlm. 83.
44
dimaksud menyatakan bahwa operasi organ tersebut tidak membahayakan
penyumbang dan bermanfaat bagi pasien.
3) Pencangkokan organ itu hanya satu-satunya cara medis. Hal ini
dimungkinkan untuk pasien yang berada dalam kondisi kritis yang tidak
dapat diobati dengan cara-cara yang biasa untuk menyelamatkan pasien
tersebut.
4) Pasien yang menerima pencangkokan organ harus dalam kondisi kritis,
Pasien bisa meninggal setiap saat, jika tidak segera diobati dengan
memotong organ pendonor dan dicangkokan.
5) Pencangkokan pasien tersebut harus memiliki keberhasilan yang nyata,
dalam kondisi normal, dan tidak diizinkan untuk mengambil tindakan
apapun pencangkokan yang masih dalam proses uji coba.
6) Organ yang dicangkokkan itu harus hanya dari sumbangan saja.
Pendapat ulama bagian ke-2 ini, memperbolehkan donor organ dengan
syarat yang disebutkan diatas, adalah pendapat sebagian besar ulama kontemporer
dan keputusan organisasi yang berperanan penting dalam memfatwakan masalah
kontemporer menurut hukum Islam.62
3. Hukum Donasi dan Transplantasi Organ Tubuh Manusia yang Meninggal
Menurut hukum Islam, tubuh manusia mempuyai kehormatan yang tidak
boleh dilanggar, Apakah seseorang itu masih hidup atau sudah mati, baik Muslim
atau bukan, Jadi penggunaan organ dari orang yang sudah meninggal dengan
62
Aziz Phithakhkhumphon, Kumpulan Fatwa Syeihkul Islam Thailand, hlm. 56.
45
pencangkokan ke orang yang masih hidup yang sangat memerlukannya, Ulama
berbeda pendapat bahwa apakah diperbolehkan atau tidak, Hal ini dibagi menjadi
dua (2) pendapat sebagai berikut:
Pendapat pertama, Memperbolehkan cangkok organ mayat dengan syarat
sebagai berikut;
a. Pasien yang mendapat manfaat dari organ tersebut, yang telah dicangkokan itu,
harus dalam kondisi darurat, Yaitu, dikawatirkan bahwa pasien mungkin
meninggal atau sangat berbahaya, jika tidak diobati dengan pencangkokan
organ tersebut.
b. Tidak ada organ sesuatu yang hidup lainnya yang dapat dimanfaatkan selain
dari padanya. Jika ditemukan sesuatu yang dapat menggantinya, Tidak
diizinkan menggunakan organ mayat.
c. Keputusan dari dokter spesialis yang dapat dipercaya bahwa organ yang
diambil dari mayat itu benar-benar bermanfaat dalam mengobati pasien dan
memastikan bahwa tidak ada cara lain yang dapat dijalankan.
d. Penggunaan organ mayat itu harus mendapat izin terlebih dahulu, pesan atau
wasiat dari si mayat sebelum meninggal atau walinya mempersetujui untuk
melakukan hal tersebut dengan izin dan persetujuan dengan sukarela, (secara
tidak dipaksa).
e. Ke izinan atau persetujuan untuk operasi organ si mayat, hanya bersifat
sukarela saja.
f. Kematian pendonor organ harus dikonfirmasi oleh pihak medis dan kematian
dalam keadaan normal tanpa keraguan.
46
Pendapat kedua, pendapat yang tidak memperbolehkan operasi mayat untuk
dicangkokan kepada orang yang masih hidup. Perbuatan ini dinilai merupakan
pelanggaran kehormatan, hak si mayat dan si mayat tidak berhak atas organ
tubuhnya. Maka tidak ada wewenang untuk memesan atau mewasiat untuk donor
organnya untuk seseorang sebelum dia meninggal. Wali pun tidak punya hak atas
mayat.
MSIT memutuskan bahwa, menurut hukum Islam, transpalntasi dalam
kondisi normal, menggunakan organ-organ tubuh manusia, orang tersebut masih
hidup atau sudah mati itu dilarang. Untuk melindungi kehormatan dan hak asasi
manusia (HAM) dan melindungi kehormatan si mayat untuk menjaga tindakan
yang menyebabkan kekacauan mayat dengan kekerasan, Kecuali dalam kasus
sangat darurat atau sangat membutuhkannya itu dibolehkannya, dengan syarat
yang ditetapkan dengan ketat.
4. Hukum tentang penggunaan organ diri sendiri
Dalam masalah ini majelis memfatwakan bahwa, jika ternyata
pencangkokan organ sangat perlu menurut keputusan doktor spesialis. Seperti
penggantian pembuluh darah normal dalam tubuh untuk pengobatan arteri
koronaris misalnya, tindakan tersebut dibolehkan karena dapat menyelamatkan
nyawa pasien.63
63
Aziz Phithakhkhumphon, Kumpulan Fatwa Syeihkul Islam Thailand, hlm. 56.
47
BAB IV
METODE ISTINBATH DAN KEPUTUSAN FATWA MAJELIS SYEIKHUL
ISLAM THAILAND NOMOR 11 TAHUM 2013 TENTANG DONASI ORGAN
DAN TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MANUSIA
A. Metode Istinbath Hukum dan Keputusan Fatwa Majelis Syeikhul Islam
Thailand
Hukum Islam merupakan kumpulan tata aturan yang mencakup banyak
aspek yang tanpa diragukan lagi, karena hukum Islam memberi ketentuan hukum
terhadap semua perbuatan manusia dalam semua keadaannya, baik dalam urusan
pribadinya sendiri atau dalam hubungannya dengan masyarakat.
Islam sendiri merupakan agama yang mengatur berbagai aspek
kehidupan umat manusia. Salah satu aspek ajaran Islam adalah masalah yang
berhubungan dengan muamalah. Diantara ajaran Islam yang diajarkan kepada
umatnya adalah bermuamalah, yaitu tentang tolong-menolong sesama oramg lain.
Dalam pandangan Islam sudah dijelaskan bahwa manusia itu harus saling tolong-
menolong atas sesama manusia seperti dalam masalah transplantasi organ tubuh.
Berkaitan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Syeikhul Islam Thailand
(MSIT) tentang hukum transplantasi organ dan donasi organ tubuh manusia, maka
Majelis Syeikhul Islam Thailand (MSIT) memandang transplantasi dan donasi
organ tubuh sebagai salah satu Huquq Maliyyah (hak kekayaan) yang mendapat
perlidungan hukum sebagaimana mal (harta). Demi ketentuan hukum, Majelis
Syeikhul Islam Thailand (MSIT) mengeluarkan aturan bahwa dalam transplantasi
48
dan donasi organ tubuh manusia tersebut dasar yang digunakan adalah Dasar-
dasar penetapan fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand MSIT ditetapkan dalam
pasal 8 ayat1, 4 tahun 1997. Bahwa setiap fatwa didasarkan pada adillat al-
ahkam yang paling kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat. Berikutnya
dijelaskan bahwa dasar-dasar fatwa adalah alquran, hadis, ijma‟, qiyas dan dalil-
dalil lainnya.
Metode istinbath hukum yang digunakan oleh MSIT tidak berbeda jauh
dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh para ulama salaf. Sikap
akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MSIT adalah perlunya
memikirkan kemaslahatan umat ketika menetapkan fatwa, di samping itu juga
perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik pendapat yang
mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan
tersebut tidak cenderung pada kedua ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan tengah
antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang
diberikan oleh MSIT dalam menetapkan fatwa adalah perlunya mengetahui
pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan
dalam penetapan fatwanya. Dengan adanya fatwa MSIT maka putusan fatwanya
sebagai berikut:
1. Kesepakatan ulama bahwa tidak boleh mengejualbelikan organ tubuh manusia,
karena seluruh anggota manusia itu milik Allah SWT dan harus kembali
kepada pemiliknya (Allah SWT). Jadi penjualan organ tubuh manusia, tidak
dibolehkan karena manusia tidak memilik hak atas organ tubuh secara mutlak.
Persoalan yang menyangkut transplantasi organ tubuh adalah jual-beli organ
49
tubuh kepada orang yang memerlukannya. Dalam berbagai literatur fiqih
ditemukan pernyataan para ulama fiqih yang tidak membolehkan seseorang
memperjual-belikan organ tubuhnya karena hal itu bisa mencelakakan dirinya
sendiri. Sikap mencelakakan diri sendiri diancam oleh Allah SWT melalui
firman-Nya dalam surah al-Baqarah (2) ayat 195:
Artinya:“…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-Baqarah (2):195)
2. Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Syeikhul Islam Thailand (MSIT), terbagi
menjadi dua (2) pendapat yaitu:
a. Menurut para ulama tentang transplantasi dan donasi organ tubuh manusia
yang sehat kepada orang lain dan orang yang meninggal kepada orang lain
tidak dibolehkan karena untuk menjaga kehormatan hak asasi manusia
(HAM). Demikian juga mayoritas ulama klasik dan ulama kontemporer
tidak membolehkan transplantasi dan donasi organ tubuh manusia yang
masih hidup kepada orang lain. Karena itu seperti dia membunuh diri atau
menjatuhkan dirinya kedalam bahaya. Larangan ini menunjuk pada kaidah
fiqhiyyah disebutkan :
50
“Bahaya (kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan bahaya
(kemudharatan) lainnya”64
Berdasarkan kaidah di atas, donor dari orang yang masih hidup itu
belum tentu mampu menyelesaikan masalah. Karena dengan cara mendonor
ginjal atau mata berarti menimbulkan mudarat yang baru. Namun dalam
surat Ali „Imran (3) ayat 109 :
Artinya:“kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan
kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.”(QS. Ali „Imran
(3):109)
Intinya menyebutkan, apa saja yang ada di langit dan bumi adalah
milik Allah, manusia menggunakan saja. Jadi, memberikan sesuatu yang
tidak kita miliki kepada orang lain hukumnya haram, hal ini tidak
dibolehkan oleh Islam.
b. Transplantasi organ tubuh manusai yang masih sehat kepada orang lain, dan
transplantasi organ tubuh orang meninggal kepada orang lain juga di
bolehkan, dibagian ini Majelis Syeikhul Islam Thailand (MSIT)
membolehkan untuk orang yang sehat kepada orang lain dan tidak dalam
kondisi bahaya dan orang yang mempunya perasaan kemanusiaan dan atas
hak masing-masing, bersyarat bagi orang yang mau transplantasi organ,
64
Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, hlm. 62.
51
dalam kondisi sehat dan persetujuan sukarela, transplantasi organ harus
secara medis, Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan
darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu,
sedangkan ia sudah berobat secara optimal baik medis maupun non medis,
tetapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan kaidah fiqhiyyah:
“Darurat akan membolehkan yang diharamkan”65
“Bahaya itu harus dihilangkan”66
Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan
menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan
dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor
kepada ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia
meninggal.
Hal ini tidak dibolehkan oleh Islam dari itu bisa mengupayakan
menghilangkan penderitaan seorang Muslim dengan cara memberikan donor
organ tubuh yang sehat kepadanya adalah merupakan tindakan yang
diperkenankan syara‟ bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang
melakukannya. Akan tetapi yang harus di perhatikan, kebolehan ini
bukanlah bersifat mutlak, bebas tanpa syarat, melainkan tindakan ini bisa
dibenarkan jika memang tidak menimbulkan mudarat (bahaya) bagi si
65
Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995
M), hlm. 61. 66
Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hlm. 60.
52
pendonor. Dalam kata lain jika seseorang melakukan donor dan ternyata itu
mengakibatkan bahaya, kesengsaraan pada dirinya maka tindakan itu tidak
bisa di benarkan syara‟.67 Hal itu disepakati ulama, hukum Islam tentang
kebolehannya bila ginjal yang bersumber dari orang masih hidup yang
biasanya diambil hanya sebelah saja, kemudian dipindahkan kepada resipien
yang membutuhkannya.68
Ada pendapat yang membolehkan, ini sesuai dengan hadis Bukhari
dan Muslim yang menyebutkan, organ tubuh akan hancur kecuali tulang
ekor.69 Karena itu, memanfaatkan sesuatu yang apabila tidak dimanfaatkan
akan hancur adalah hal yang baik, jadi hukumnya boleh.
B. Metode Pendekatan dan Pengambilan Fatwa di Majelis Syeikhul Islam
Thailand
Dalam kehidupan masyarakat yang semakin moderen ini, kita tidak bisa
membayangkan seandainya tidak ada fatwa keagamaan yang senantiasa menjadi
pedoman kita dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul pada
masa dewasa ini. Untuk itu penting bagi masyarakat yang kebanyakan kurang
67
Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, Seputar pencangkoan Organ Tubuh,
hlm. 759. 68
Mahjuddin, Masail Al-Fiqh: Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam, hlm. 159. 69
Abu Hurairah radhiyallahu „anhu mengatakan, Rasulullah SAW bersabda:
“Jarak antar dua tiupan sangsakala itu empat puluh. Kemudian Allah menurunkan hujan dari
langit, lalu mereka tumbuh seperti tumbuhnya sayuran. Semua bagian manusia akan hancur
kecuali satu tulang, yaitu tulang ekor. dari tulang ekor itulah manusia diciptakan pada hari
kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
53
memahami masalah keagamaan. Pentingnya fatwa bagi masyarakat karena fatwa
memiliki peran yang cukup signifikan sebagai media atau instrument untuk
menjadi arahan bagaimana sikap dan perilaku yang harus ditunjukkan oleh umat
Islam.
Tapi pada dasarnya fatwa tidak bisa berdiri sendiri tanpa didasari oleh
ijtihad ulama ushul dalam menggali ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya.70
Menurut jumhur ulama ushul melihat bahwa ayat-ayat Al-Qura‟an dan al-Hadits
terbatas jumlahnya, sementara permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
senantiasa muncul dan jawabannya tidak senantiasa ditemukan dalam nash,
kemudian para mujtahid berijtihad guna menetapkan suatu hukum yang baru
tersebut.
Jumhur ulama ushul telah sepakat bahwa dalam menggali atau dalam
memecahkan permasalahan yang memerlukan ketetapan hukum, langkah yang
pertama ditempuh adalah mencari dahulu dalam Al-Qur‟an, kalau dalam Al-
Qur‟an ditemukan hukumnya maka ditetapkan hukum tersebut sesuai dengan
yang ditunjuk oleh Al-Qur‟an. Tetapi kalau tidak ditemukan dalam Al-Qur‟an
maka selanjutnya dicari dalam As-Sunah dan selanjutnya jika tidak ditemukan
dalam As-Sunah maka barulah para ahli ushul fiqh menempuh tahap pemeriksaan
keputusan para mujtahid yang menjadi ijma‟ (kesepakatan bersama) dari satu
masa ke masa tentang masalah yang dicari ketetapan hukumnya. Kalau ada
ditetapkan padanya, sekiranya ijma‟ dalam masalah tersebut tidak didapatkan,
70
Rahardi Abdul Fatlah, Analisis Keagamaan Dalam Fiqih Islam, (Cet. I; Jakarta: Bumi
aksara, 1991), hlm. 2.
54
maka hendaklah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan ijtihad
mengguna menetapkan dasar hukum personal tersebut.71
Dalam hal ini Majelis Syeikhul Islam Thailand (MSIT) tidak
membenarkan mengistinbatkan suatu ketetapan hukum dengan cara menduga-
duga dan didasarkan pada keinginan dan kepentingan tertentu tanpa didasari oleh
dalil-dalil. Tegasnya setiap menyatakan suatu hukum haruslah dapat menunjukkan
dalil baik dalam Al-Quran, Hadits Nabi maupun dalil-dalil hukum yang lain.
Pedoman atau cara Majelis Syeikhul Islam Thailand (MSIT) dalam
menetapkan fatwa menurut urutan atau tingkatan yang dijadikan dasar adalah Al-
Qur‟an, Hadits, Ijma‟ dan Qiyas72 serta dalil-dalil lainnya.
Oleh karena itu, Majelis Syeikhul Islam Thailand (MSIT) mendasarkan
keputusan fatwa tentang Donasi dan Transplantasi Organ Tubuh Manusia adalah
diantaranya firman Allah SWT (QS. An Nisaa: 29), (QS. Al-Baqarah: 195) yang
membahas tentang larangan jangan kamu membunuh dirimu sendiri dan larangan
merugikan harta hak orang lain. Firman Allah SWT tentang larangan jangan kamu
membunuh dirimu sendiri, surah An Nisaa (4) ayat 29:
71
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukami: Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum
Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Logos, 1999), hlm. 80. 72
Qiyas adalah dalil ketiga dalam agama, Qiyas dipergunakan untuk menetapkan
hukum suatu masalah, jika tidak terdapat ketepan dalam Al-Qur‟an dan Hadits, qiyas artinya
perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illatnya.
Menurut istilah agama yaitu mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum
yang disebutkan (belum mempunyai ketetapan hukum) yang telah ada atau ditepkan oleh kitab dan
sunah disebabkan sama illatnya antara keduanya (asal dan furu‟), lihat, Nazar Bakri, Fiqih dan
Ushul Fiqh, (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.th.), hlm. 45.
55
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”(QS. An Nisaa (4): 29)
Larangan membunuh diri sendiri dengan hal-hal yang menyebabkan
kecelakaannya bagaimana juga cara dan gejalanya, baik di dunia maupun di
akhirat, mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang
lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.73
Artinya:“dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.”(QS. Al-Baqarah (2): 195)
Maksud dari ayat ini adalah melarang sebagian manusia membunuh
sebagian lain, kemudian lafaz ayat ini mencakup orang yang membunuh karena
rakus terhadap dunia dan bertujuan mancari harta dengan membawa dirinya
73
Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, tejm Bahrun Abubakar, (Cet. XII; Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2014), hlm. 328.
56
bahaya yang menimbulkan kebinasaan.74 Karana itu janganlah kalian saling
membunuh sesama kalian wahai kaum Muslimin, kecuali kerena sebab yang
ditetapkan oleh syari‟at.75
Disamping dasar menggunakan Al-Quran untuk menetapkan fatwa
tentang donasi dan transplantasi organ tubuh manusia, Majelis Syeikhul Islam
Thailand (MSIT) juga menggunakan hadits Nabi SAW yang berkenaan tentang
bahaya harus dihilangkan, Sebagaimana disebutkan pula dalam sebuah hadits,
beliau bersabda:
“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat
madharat pada orang lain”HR. Hakim dan lainnya dari Abu Sa‟id Al-Khudri,
HR. Ibnu Majjah dari Ibnu „Abbas.
Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah
memberikan pedoman mengenai sifat kemudharatan yang harus dihindari dan
dihilangkan, apalagi jika kemudharatan tersebut mengancam nyawa, harta,
kehormatan dan darah seorang Muslim.76 Hadits ini menunjukkan bahwa seorang
Muslim tidak boleh memudharatkan (membahayakan) orang lain tanpa alasan
yang benar. Seorang Muslim tidak boleh memudharatkan orang yang
memudharatkannya, tidak boleh mencaci orang yang mencacinya dan tidak boleh
memukul orang yang memukulnya. Untuk meminta haknya ia bisa memintanya
74
Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, tejm. Ahmad Rijal Kadir, jil. V, (Cet I;
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 364. 75
Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir,
tjm. Amir Hamzah Fachruddin, jil. II, (Cet I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 814. 76
Ash-Shuyuti, Al-Asybah wa Nadzair, hlm. 83.
57
melalui hakim tanpa harus mencaci-maki. Dalam banyak hadits, Rasulullah SAW
melarang segala yang mendatangkan bahaya atas kaum Muslimin.
Untuk itu, penulis memandang bahwa dalil Al-Quran maupun Hadits
yang dijadikan dasar istimbath hukum yang digunakan oleh Majelis Syeikhul
Islam Thailand (MSIT) dalam menetapkan fatwa tentang donasi dan transplantasi
organ tubuh manusia ini masih terlalu global cakupannya dan pengertiannya, dan
dalam pembahasan ini Majelis Syeikhul Islam Thailand (MSIT) menggunakan
istimbath hukumnya berupa qiyas, MSIT mengqiyaskan pembajakan terhadap
larangan jangan membuhuh dirinya sendiri diqiyaskan dengan larang jangan
mejatuhkan dirinya sediri dalam kebinasaan, untuk itu ayat-ayat dan juga Hadits
yang digunakan MSIT tersebut hanya menjelaskan tentang perintah agar kita tidak
membunuh diri.
Kemudian dalam permasalahan Donasi dan Transplantasi Organ Tubuh
Manusia, penulis juga memperhatikan kaidah fiqhiyah yang menyatakan bahwa
mendahulukan menghindarkan mafsadah atas mendatangkan kemaslahatan dan
meninggalkan atas sesuatu yang membahayakan atau meragukan, karena segala
sesuatu yang lahir atau timbul dari sesuatu yang haram hukumnya adalah haram.
“Bahaya itu harus dihilangkan”77
“Menghindari kerusakan/resiko, didahulukan dari/atas menarik kemaslahatan”78
77
Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995
M), hlm. 60.
58
Dari uraian di atas, walaupun persumbangan organ dan transplantasi
organ tidak terdapat dalam Al-Quran dan Hadits secara eksplisit namun secara
implisit donasi dan transplantasi organ tetap ditemukan dalam sistem hukum
Islam. Tetapi Islam memberikan aturan hukum yang dapat dijadikan sebagai
pedoman, baik yang terdapat di dalam Al-Quran maupun sunah Rasul, hal-hal
yang tidak diatur secara jelas dalam Al-Quran dan Hadits tersebut dapat diperoleh
ketentuannya dengan cara ijtihad.79
Untuk melaksanakan ijtihad dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai metode, diantaranya adalah dengan menggunakan metode maslahah
mursalah, yaitu suatu kemaslahatan dimana syar‟i tidak menyariatkan suatu
hukum untuk merealisasi kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan
pengakuannya atau pembatalannya bahwasanya pembentukan hukum tidaklah
dimaksudkan kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan orang banyak.
Adapun syarat-syarat maslahah mursalah adalah sebagai berikut:
1. Harus benar-benar membuahkan masalah atau tidak berdasarkan mengada-ada,
maksudnya agar bisa diwujudkan pembentukan hukum masalah atau peristiwa
yang melahirkan kemanfaatan menolak kemadharatan.
2. Masalah itu sifatnya umum, bukan bersifat perorangan.
3. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak berlawanan
dengan taat hukum atas dasar ketetapan nash dan ijma‟.80
78
Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, hlm. 63. 79
Suhardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2004), hlm. 4. 80
Abdul Khalaf Wahbah, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 46.
59
Dari uraian di atas, harus dilihat kondisi dan situasi masyarakat umat
Islam Thailand juga, karena mayoritas umat Islam Thailand menganut mazhab
syafi‟i, karena itu, Majelis Syeikhul Islam Thailand (MSIT) mengutamakan
mazhab syafi‟i untuk memutuskan salah satu fatwa. Kemaslahatan tersebut dapat
dilihat dari aspek bahwa donasi dan transplantasi tersebut, jika melihat sisi
kemanusiannya transplantasi dihukumi boleh, karena salah satu dasarnya adalah
adanya maslahat yang lebih besar, Maslahat itu ditentukan oleh kesaksian tim
medis berdasarkan analisis kedokteran yang kuat, namun jelas bahwa transplantasi
diharamkan bila didasari tujuan komersial. Seperti terlihat jika dijual akan
mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit. Karena itu menjaga hak cipta Allah
SWT atau menjaga jiwanya tersebut tidak ada bedanya dengan menjaga harta
yang sifatnya fisik, atau dalam Islam disebut sebagai hak milik, sedangkan dalam
Islam, menjaga diri dan jiwanya merupakan suatu kewajiban.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan skripsi ini maka penulis dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Dalam fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand tentang donasi dan transplantasi
organ tubuh manusia, bahkan pada dasarnya memberikan sesuatu yang tidak
kita miliki kepada orang lain hukumnya haram. Namun bila dilihat dari sisi
kemanusiannya transplantasi dihukumi boleh, berdasarkan kaidah adanya
maslahat yang lebih besar. Maslahat itu ditentukan oleh kesaksian tim medis
berdasarkan analisis kedokteran yang kuat. Transplantasi organ tubuh manusia
dapat dikatakan haram hukumnya ketika pendonor berada dalam kondisi sehat.
Hal tersebut dikarenakan pendonor dikhawatirkan akan mengalami gangguan
kesehatan organ tubuhnya akibat dari organ tubuhnya yang didonorkan kepada
orang lain. Hal ini diharamkan karena dalam kasus dapat dikatakan pendonor
menghilangkan masalah orang lain tetapi menimbulkan masalah bagi dirinya
sendiri ini adalah yang dikataqorikan sebagai “menjatuhkan diri dalam
kebinasaan” yang diterang dalam Al-Quran. Transplantasi organ tubuh
manusia dapat dikatakan boleh hukumnya ketika pendonor berada dalam
kondisi meninggal dunia. Hal tersebut dikarenakan pendonor dapat dikatakan
tidak lagi membutuhkan organ tubuhnya dan jika didonorkan kepada orang lain
akan jau lebih bermanfaat. Akan tetapi, penerima organ diutamakan adalah
keluarga dan lebih baik lagi dengan adanya wasiat dari si pendonor. Namun
61
jelas bahwa transplantasi diharamkan bila didasari tujuan komersial. Artinya
tidak boleh diperjual-belikan apalagi memperjual-belikan organ tubuh manusia
dari korban trafficking. Karena sebuah bagian organ tubuh manusia bukanlah
banda milik pribadi yang bisa diperjualbelikan atau untuk kepentingan
kemanusi.
2. Dikarenakan donasi dan transplantasi organ tubuh manusia tidak terdapat dalam
Al-Quran dan jaga Hadits, maka metode istinbath hukum Majelis Syeikhul
Islam Thailand (MSIT) dalam menetapkan fatwa donasi dan transplantasi
organ tubuh manusia diqiyaskan dengan membunuh diri dan juga mendasarkan
kepada maslahah mursalah. Dan karena tidak ditemukan dalil yang eksplisit
maka Majelis Syeikhul Islam Thailand (MSIT) dalam menentukan donasi dan
transplantasi organ tubuh manusia agaknya masih perlu penyempurnaan lagi
karena dasar istinbath yang digunakan Majelis Syeikhul Islam Thailand
(MSIT) untuk menetukan donasi dan transplantasi organ tubuh manusia masih
terlalu global cakupan dan pengertiannya, karena ayat-ayat dan Hadits yang
digunakan Majelis Syeikhul Islam Thailand (MSIT) hanya menjelaskan tentang
perintah agar tidak mejatuhkan diri kedalam kebinasaan dan jangan membunuh
diri sendiri dan orang lain. Dari kemaslahatan tersebut, dilihat dari aspek untuk
menghargai kepada keluarga penerima donor organ dan menghargai kepada
orang yang medonor organ tubuhnya. Walaupun sudah diwasiatkan untuk
dimanfaatkan organ tubuhnya kita harus tetap menghargai kepada si mayit
tersebut, karena seluruh badan dan organ tubuh kita ini adalah hak milik Allah
SWT makanya haruslah kembali kepada peciptanya.
62
B. Saran-Saran
1. Fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand tentang onasi dan transplantasi organ
tubuh manusia ini masih terlalu global objek permaslahan. Dan dalam
menentukan kemaslahatan donasi dan transplantasi hendaknya Majelis
Syeikhul Islam Thailand juga memandang donasi dan transplantasi dari sudut
pendang masyarakat umum dan dampak sosial bagi masyarakat bukan hanya
dari sudut pandang kepentingan hak untuk donasi dan transplantasi yang lebih
pada kepentingan pribadi seseorang dan kepentingan ekonomi.
2. Menurut penulis, konsep donasi dan transplantasi organ tubuh manusia sudah
cocok untuk masa sekarang ini, meskipun dari segi keefektifan masih kurang.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah meminimalisir kerugian akibat
pebajakan dan pemalsuan liar yang dilakukan oleh oknum tak
bertanggujawab. Seperangkat hukum saja tidak cukup. Maka perlu ada satu
kondisi budaya hukum yang menentukan bagi terciptanya kesadaran di
masyarakat terhadap pentingnya hukum Donasi dan Transplantasi Organ
Tubuh Manusia.
3. Sehingga dari itu, berdasarkan analisis fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand
terhadap donasi dan transplantasi organ tubuh manusia masih perlu
penyempurnaan. Dan dalam menentukan kemaslahatan dan menkaji ulang
tentang metode penetapan fatwa di Majelis Syeikhul Islam Thailand dengan
menganalisis terkait fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Syeikhul
Islam Thailand dengan memakai masalah-masalah yang difatwakannya
contoh seperti fatwa tengan konsumsi makanan dan minuman.
63
Daftar Pustaka
Abbas, Ahmad Sudirman. Qawa‟id Fiqhiyyah, (Cet. I; Jakarta: Radar
JayamOffset, 2004).
Abidin Ahmad, Zainal. Ushul Fiqih, (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Aibak, Kutbudidin. Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Sukses Offset,
2009).
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Cet. V;
Yogyakarta: Rineka Cipta, 2002).
Arifin, Samsul. Pendidikan Agama Islam, (Cet. II; Yogyakarta: deepulish, 2014).
Artikal. Sejarah Majelis Syeikhul Islam Thailand, diakses tanggal 20 Januari
2017, http://www.skthai.org/index.php?mo=3&art=5811587
Artikal. Visi dan Misi Majelis Syeikhul Islam Thailalnd, diakses tanggal 20
Januari 2017 http://www.skthai.org/index.php?mo=10&art=598477
Bakri, Nazar. Fiqih dan Ushul Fiqh, (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
t.th.).
Dorland, W.A. Newman. Kamus Kedokteran Dorland, (Cet. 3; Jakarta:
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan, 2012).
Fadhil, Ahmad. Transplantasi Mata Mayat Dalam Pandangan Hukum Islam
(Studi Komparasi Pandangan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama),
Skripsi SHI, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2015).
Falah, Rahardi Abdul. Analisis Keagamaan Dalam Fiqih Islam, (Cet. I; Jakarta:
Bumi Aksara, 1991).
Hadi, Sutrisno. Metodelogi Research, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
Prikologi UGM, 1982).
H. Chuzaimah dan HA. Hafiz Anshary. Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: PT Pustaka, 1995).
Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah al-haditsah: masalah-masalah kontemporan
hukum Islam, (Cet. IV; Jakarta: PT rajaGrafindo Persada, 2000).
Imam Al-Qurthubi. Tafsir Al-Qurthubi, tejm. Ahmad Rijal Kadir, (Cet. I; Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008).
64
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Cet. II;
Jakarta: Amzah, 2009).
Lubis, Suhardi K. Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2004).
Ma‟ruf, Hasbullah. Transplantasi Organ tubuh manusia Persektif Nahdlatul
Ulama dan Persatuan Islam, Skripsi SHI, (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2015).
Mahjuddin. Masail Al Fiqh Kasus-Kasus Aktual dalam Hukum Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2012).
Mohsin Ebrahim, Abul Fadi. Fiqih Kesehatan, tejm Mujiburohman, (Cet. I;
Jakarta: Serami Ilmu Semesta, 2007).
Muhaimin, Abdul Wahab, Kajian Islam Aktual, (Cet. I; Jakarta: Gaung Persada
Press, 2001).
Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani. Tafsir Fathul Qadir, tjm.
Amir Hamzah Fachruddin, juz II, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2009).
MUI, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta:
Sekretariat MUI, 1415 H/1995 M).
Pithakhkhumphol, Aziz. Kumpulan Fatwa Majelis Syeikhul Islam Thailand (t.t.:
t.p., t.th.).
Qardawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer, Seputar pencangkoan Organ Tubuh,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Al-Syaukami: Relevansinya Bagi Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Logos, 1999).
S. Margono. Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004).
Syaiban, Mochamad. Transplantasi Organ Tubuh Orang Muslim Kepada Orang
NonMuslim Menurut Hukum Islam (Studi Bahtsul Masail Nahdhatul
Ulama), Skripsi SHI, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010).
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, jilid II, (Cet. V; Jakarta: Pernada Media Group,
2008).
Suyabrata, Sumardi. Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003).
Suyuthi. al-Jami‟ al-Shaghir, Jilid II (Cet. IV; Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiah, tt).
Suyuti, Jalaluddin. Tafsir Jalalain, tjm. Bahrun Abubakar, (Cet. XII; Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2014).
65
Suyuthi. Al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995
M).
Sejarah Transplantasi Organ Tuhuh Manusia, diakses tanggal 16 November
2016, Http://nursing-transplan.blogspot.com
Tim Perumusan Komisi Ahkam. Ahkamul Fuqaha: solusi Problematika Aktual
Hukum Islam, PBNU, (Cet. I; Surabaya: Khalista, 2011).
Wahab, Abdul Khalaf. Ilmu Ushul Fiqih, terj. Masdar Helmy, (Cet. VII; Bandung:
Gema Risalah Press, 1996).
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997).
1
FATWA SYEIKHUL ISLAM THAILAND
KE-11/2556
TENTANG DONASI ORGAN DAN TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH
MANUSIA
Pertanyaan: Donasi Organ dan Penggunaan Organ Manusia Boleh
Dilakukan atau Tidak?
احلمد هلل رب العاملني والصالة والسالم على سيدنا حممد وعلى آله وصحابته أمجعي...وبعد
Untuk dapat menyatakan bahwa organ-organ tubuh manusia
diperbolehkan oleh syariat Islam untuk menyumbangkan atau tidak, perlu
diskriminasi masalah-masalah berikut ini :
Keputusan, Hukum perdagangan organ tubuh manusia.
Keputusan, Hukum donasi organ tubuh manusia yang masih hidup kepada orang
lain.
Keputusan, Hukum transplantasi organ diri sendiri
Dalam setiap masalah ada rincian sebagai berikut :
Keputusan hukum perdagangan organ tubuh manusia
Semua ulama Fiqih sepakat bahwa perdagangan organ sebagai bagian
dari tubuh manusia tidak diperbolehkan (tidak shah) dan tidak diperbolehkan
seseorang untuk menjual salah satu organnya baik bagian eksternal (luar) atau pun
bagian internal (dalam) badan dan apakah itu organ pasangan atau organ tunggal.
Seperti ginjal, paru-paru, testis, dan lain-lain. Organ tunggal seperti jantung atau
hati atau limpa, dan sebagainya.
Alasannya bahwa bagian tubuh manusia dan organ-organ tubuh manusia
tidak dimaksudkan untuk tujuan perdagangan, bukan produk yang digunakan
untuk pertukaran komersial. Tapi tubuh dan organ manusia adalah ciptaan Allah
SWT, mengangkat derajat terhormat dan hak yang mulia daripada
diperdagangkan. Oleh itu,badan dan organ tubuh manusia dilarang perdagangan
secara mutlaq.Karena merupakan pelanggaran kehormatan tersebut. Dan tubuh
manusia,menurut fakta, bukanlah milik manusia sendiri akan tetapi milik Allah
2
SWT. Yang menciptakan dan manusia bertanggung jawab untuk pemeliharaan
tubuhnya. Serta mereka disuruh menggunakannya sesuai dengan batas tanggung
jawab bukan dengan apa yang menyebabkan kerusakan.Jika manusia melanggar
batas-batas dan bertindak atas tubuh mereka dengan sesuatu yang tidak sesuai
dengannya berarti seseorang itu telah mengkhianati tanggung jawabnya kepada
Allah yang telah dimanatkan kepadanya.
Maka, penjualan organ tubuh manusia termasuk usaha bertindak atas haq
atau miklik Allah SWT tanpa izin. Dan bahwa tidak ada manfaat serta alasan yang
cukup. Oleh karena itu, tidak ada hak bagi manusia menjual sesuat yang bukan
miliknya. Bahkan, jika diizinkan untuk menjual organ tubuh manusia. Ini akan
membawa kepada kerusakan dan bahaya yang sangat besar. Maksunya, peluang
bagi masyarakat miskin untuk menjual organ tubuh mereka dengan imbalan uang.
Dan mungkin terlalu agresif pada penjualan organ secara sukarela yang akan
membawa kepada peculikan orang tidak bersalah.Terutama anak-anak untuk
perdagangan manusia dan pemindahan organ tubuh dari mereka bahkan dibunuh
untuk diambil organnya mengambil manfaat dari penjualan organ.
Dengan itu, penjualan organ tubuh manusia dilarang,dalam rangka untuk
menutup saluran atau peluang yang mengarah ke kerugian tersebut.
Keputusan hukum donasi organ tubuh orang masih hidup kepada orang lain
Telah dinyatak dalam fatwa yang ke-1 bahwa penjualan organ manusia
batal dan dilarang oleh hukum agama akan timbul pertanyan bahwa kasus donasi
organ manusia yang masih hidup kepada orang lain yang membutuhkannya itu
dilarang seperti penjuanlannya atau tidak? Ahli fiqh berbeda dua pendapat sebagai
berikut:
1. Dilarang memotong salah satu organ dari manusia yang masih hidup yang
mendapat perlindungan dari pelanggaran dalam kehidupan orang itu baik
dengan ada timbal balik atau tidak untuk pencangkokan organ tubuh ke orang
lain menurut proses pengobatan. Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun
(sebagian dari mereka adalah; Profesor. Dr. Hsan Ali Asy-sya Zully dalam
bukunya “Hukmu Naqli A’dho Al-Insan Fil Fiqhil Islami” hlm 109 sampai
akhir. Frofesor. Dr. Abdussalam Abdurrahim Asy-Syukri dalam buku” Naqlu
Wa Syiro’ah A’dho Al-Adamiyah Min Manshur Islami”halaman 104, Syaikh
Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rowi dalam buku”Minan Alif Ilan Yau (baca
Ya u) disusun oleh THoriq Habib halaman 82-83, Dr. Abdurrahman Al-Waddy
dalam Majalah Mimbar Al-Islam artikel”Junun Al-Ilm Fisyira’ah Al-A’dho
dan Profesor. Dr. Adbulfatah Mahmud Idris dan lain-lain.
3
Artinya:“dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.” (An-Nisa (4): 29)
Artinya:“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (At-taubah (2): 195)
ayat Al-Quran di atas jelas menunjukkan bahwa Allah melarang
tindakan bunuh diri atau tindakan apapun yang akan menghilangkan nyawa.
Oleh itu, seorang donasi organ tubuh berarti ia membawa dirinya menuju
bahaya dan kerugian demi mempertahan kehidupan orang lain. Sedangkan
orang itu tidak bekewajiban untuk berbuat demikian.Namun kewajibannya
adalah mempertahankan kehidupan dirinya sendiri. Menurut ayat-ayat Al-
Quran di atas dan memotong salah satu organ tubuh manusia merupakan
bahaya yang nyata baik organ pasangan atau tunggal dan tindakan apapun yang
membahayakan tindakan itu dilarang menurut hadist sebagai berikut:
الَ َضَرَر َوالَ ِضرَارَ
“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula
membuat madharat pada orang lain” (Ibnu Majah Allah: 2341)
2. Donasi organ atau bagian tubuh dari orang yang hidup untuk orang lain.
Diperbolehkan dengan syarat tertentu sehubungan dengan prinsip yang
mempertimbangkan kedudukan dan hak kemanusiaan, serta tidak ada gejala
yang dapat membahayakan orang yang menyumbangkan organ itu. Syarat
tersebut sebagai berikut itu :
a. Donor organ bersifat sukarela dan merupakan orang yang memenuhi syarat
hukum agama iaitu baligh dan pikiran yang sehat sepenuhnya atau waras
serta menyatakan kesukarelaannya melalui surat tercatat.
b. Akibatnya, tidak membahayakan donor organ sampai meninggal dalam
kondisi normal. Persyaratan ini tidak diizinkan operasi salah satu dari organ
tubuh yang mengakibatkan donor meninggal dari operasi organ tersebut
seperti jantung dan organ tunggal seperti hati umpamanya dan sama juga
organ pasangan seperti testis laki laki dan ovarium perempuan umpamanya,
operasi organ tersebut dari ubuh donor akan menguranggi fungsi anatomi
4
organ tersebut, walaupun dalam dalam kondisi normal, tidak akan
menyebabkan kematian donor itu, karena ada aturan hukum menyatakan
bahwa "bahaya itu tidak dihapuskan dengan sesama berbahaya atau sangat
berbahaya.Tapi bahaya itu akan dilindungi oleh yang lebih ringan "Jadi,
bahkan organ yang tidak mengakibatkan kematian atau mengurangi
kemampuan fisik pun ada syarat, iaitu bahwa operasi organ tersebut itu
tidak membahayakan juga. Hal ini memerlukan keputusan atau penilaian
dari dokter spesialis yang dapat dipercayai keputusan dan pertimbangan
yang menyatakan bahwa operasi organ tersebut tidak membahayakan
penyumbang dan bermanfaat bagi pasien.
c. Pencangkokan organ itu hanya satu-satunya cara medis. Hal ini
dimungkinkan untuk pasien yang berada dalam krisis yang tidak dapat
pengobati dengan cara biasa digunakan untuk menyelamatkan pasien
tersebut. Namun, persyaratan dalam kasus ini tidak dapat gunakan dalam
kasus pencangkokan ginjal. Sebab kasus gagal ginjal diobati dengan 2 cara;
iaitu dengan dialysis (cuci darah) pencangkokan ginjal. Tapi pencangkokan
ginjal yang lebih efektif daripada itu. Sedangkan pasien tetap dialisis.
d. Pasien yang menerima pencangkokan organ harus dalam krisis. Pasien
boleh meninggal setiap saat jika tidak segera diobati dengan memotong
organ donor dan dicangkokan.
e. Pencangkokan pasien tersebut harus memiliki keberhasilan yang
nyata,dalam kondisi biasa atau kebanyakan. Dan tidak diizinkan untuk
mengambil tindakan apapun cangkokan yang masih dalam proses uji coba.
f. Organ yang akan dicangkokan itu harus hanya dari sumbangan saja.
Bahkan, pendapat ulama bagian yang ke-2, mereka memperbolehkan
donor organ dengan syarat yang disebutkan di tas. Ini adalah pendapat bagian
besar ulama kontemporer. Dan keputusan organisasi yang berperanan penting
dalam memfatwakan masalah kontemporer menurut hukum islam seperti Syaikh
Jadalhaq Ali Jadalhaq Imam Bakar Syaikhul Ashar, Syaikh Muhammad Saiyid
Thonthowi, Dr. Muhammad Umar Hasyim, Syaikh Athiyah Shokhr, Dr.
Muhammad Ali Al-Bar dan fatwa Al-Maj’ah Al-Fiqh organasasi Robithoh Al –
Alam Al-Islami dan juga merupakan fatwa Lajnah Al-Alfiqh negeri Jorden, Eljiria
dan fatwa ini memberi bobot kepada pendapat ulama bagian ke-2 ini.
Keputusan hukum transplantasi organ manyat
Menurut hukum Islam.Tubuh manusia mempuyai kehormatan yang tidak
boleh dilanggar. Apakah seseorang itu masih hidup atau sudah mati, baik muslim
atau bukan. Jadi, penggunaan organ dari orang yang sudah meninggal dengan
pencangkokan ke orang yang masih hidup yang sangat memerluknnya. Ulama
5
berbeda pendapat bahwa apakah diperbolehkan atau tidak. Hal ini dibagi menjadi
dua (2) pendapat sebagai berikut.
Pendapat Pertama, Memperbolehkan cangkok organg mayat untuk dicangkokan
ke tubuh pasien dengan syarat sebagai berikut :
a. Pasien yang akan mendapat manfaat dari organ tersebut, yang telah
dicangkokan itu, harus dalam kondisi darurat. Iaitu, dikawatirkan bahwa pasien
mungkin meninggal atau sangat berbahaya jika tidak diobati dengan
cangkokan organ tersebut.
b. Tidak ada organ sesuatu yang hidup lainnya yang dapat dimanfaatkan selain
dari padanya. Maka, jika ditemukan sesuatu yang dapat menggantinya. Tidak
diizinkan menggunakan organ mayat.
c. Keputusan dari doktor spesialis yang dapat dipercaya bahwa organ yang
diambil dari mayat itu benar-benar bermanfaat dalam mengobati pasien dan
memastikan bahwa tidak ada cara lain yang dapat dijalankan.
d. Penggunaan organ mayat itu harus mendapat izin terlebih dahulu. Misalnya,
pesan atau wasiat dari si mayat sebelum meninggal atau walinya
mempersetujui untuk melakukan hal tersebut dengan izin dan persetujuan
sukarela (tidak dipaksa).
e. Keizinan atau persetujuan untuk operasi organ si mayat, hanya bersifat
penyumbangan saja.
f. Kematian donor organ harus dikonfirmasi oleh prinsip medis dan kepastian
kematian dalam keadaan normal tanpa keraguan.
Pendapat Kedua Mereka berpendapat bahwa tidak boleh operasi sesuatu organ
dari mayat untuk dicangkokkan bagi orang yang masih hidup. Sebab, perbuatan
itu merupakan pelanggaran kehormatan dan haq si mayat.Dan mayat tidak berhaq
apa-apa atas organ tubuhnya. Maka tidak ada wewenang untuk memesan atau
mewasiat untuk donor organnya untuk seseorang sebelum dia meninggal. Dan
wali atau kaum kerabatnya pun tidak punya haq apapun juga. Namun, perbedaan
pendapat para ulama tentang operasi organ untuk dicangkokan ke pasien dalam
keadaan dharurat itu, tidak terlalu penting, seperti hal cangkokan organg orang
yang masih hidup unuk dicangkokan ke pasien dalam keadaan dharurat. Alasan
tersebut mengakibatkan para ulama yang tidak setuju dengan pendapat ini
berpendapat bahwa boleh menggunakan organ mayat untuk pasien dalam keaadan
dharurat dengan enam (6) syarat yang telah disersebut di atas.Sebagian dari ulama
tersebut ialah;Prof. Dr. Hasan Azzasuli, Dr. Abdul Rahim Asy-Syukri dan Dr.
Abdul Fattah Idris umpamanya.
Telah mempertimbangkan dan memutuskan bahwa menurut hukum
agama, dalam kondisi normal,menggunakan organ-organ tubuh manusia ,apakah
6
orang tersebut masih hidup atau sudah mati itu dilarang. Untuk melindungi
kehormatan hak asasi manusia dan melindungi kehormatan si mayat untuk
menjaga tindakan apapun yang menyebabkan pemnunuhan manyat dengan
kekerasan. Kecuali dalam kasus sangat dharurat atau sangat membutuhkannya itu
dibolehkannya. Dengan syarat yang ditetapkan dengan ketat.
Keputusan hukum penggunaan organ diri sendiri
Masalah ini memfatwakan bahwa,jika ternyata cangkokan organ itu
sangat perlu menurut keputusan doktor spesialis. Seperti penggantian pembuluh
darah normal dalam tubuh untuk pengobatan arteri koronaris misalnya. Tindakan
tersebut akan dibolehkan, Karena memenyelamatkan nyawa
Pasien itu, hanya dengan satu cara pengobatan tersebut menurut medis
diperbolehkan juga jika ternyata bahwa pencangkokan organ kepada pasien yang
sangat membutuhkannya. Seperti pencangkokan kulit yang masih normal dan
cocok dari satu tempat ke posisi lain dari tubuh. Dalam kasus mengalami
kebakaran tubuh misalnya. Keputusan ini didasarkan pada pendapat para ulama
dahulu yang membolehkan memotong organ atau anggota badan yang lain untuk
mengobati seseorang itu menghilangkan bahaya yang akan terjadi dengan
keyakinan bahwa jika tidak dipotong organ atau anggota badan orang itu akan
meninbulkan gejala menyebar atau gejala komplikasi yang menyebabkan
kematian pasien.Maka pencangkokan organ untuk mengobati pasien agar dapat
menyelamatkannya, serta organ itu milik pasien sendiri, itu merupakan suatu
tindakan yang sangat perlu dilakukan.
Wallohu A’lam Bishawaab
Aziz Phithakhkhumphol
Ketua Majelis Syeikhul Islam Thailand
***