1
MASJID
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH INTELEKTUAL PENDIDIKAN ISLAM
Oleh :
Hayat Ruhyat
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon Prodi : Pendidikan Islam
Abstract
The institute of islamic education is the most important and significant in the classical
era is the mosque. Since prophet Muhammad Saw built a first mosque, he was utilizing
to the mosque as a central place to worship and educate people even he make the mosque
to perform social, political and cultural activities.
Until the early Abbasiah period, the mosque still serves as a place of worship and the
teaching of Islam.. Educational format applied in the mosque is ‘halaqa’ conducting
studies of the Islamic sciences. However, since the new Islamic educational institutions
called madrasah, mosques function as an educational institution began replaceable
gradually. This is something that is reasonable due to the high demands of the Muslim
community on the progress of Islamic education.
Key Words : masjid, sejarah pendidikan Islam, halaqa
A. PENDAHULUAN
Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan dunia keilmuan di dunia islam klasik
merupakan bagian sentral dari gerakan kebudayaan dan peradaban Islam. Apa yang
disebut sebagai era keemasan islam pada abad ke-8 sampai abad ke-14 pada dasarnya
merupakan era kejayaan dunia ilmu pengetahuan, bukan dunia sosial politik dan lainnya.
Secara moral dan sosial politik, mungkin yang lebih tepat disebut sebagai era keemasan
Islam adalah pada masa Rasulullah membangun masyarakat islam di Madinah. Hal itu
membuktikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan Islam dengan etos keilmuannya yang
begitu tinggi dijadikan sebagai barometer dan indikator utama kemajuan peradaban klasik.
Prinsip tersebut bersesuaian dengan karakter Islam yang mengutamakan ideofak dan
sosiofak daripada artefak material dari sebuah kebudayaan.1
Membincang tentang perkembangan dan kemajuan pesat keilmuan dalam konteks
sejarah pendidikan Islam tidak bisa lepas dari tumbuh dan berkembangnya institusi-
1 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Bandung :Mizan, 2011), hlm. 81
2
institusi pendidikan Islam. Dan salah satu institusi pendidikan Islam yang memiliki
kontribusi penting bagi perkembangan dan kemajuan keilmuan tersebut adalah masjid.2
George Makdisi menengarai bahwa masjid merupakan institusi yang dipergunakan untuk
kegiatan pengajaran atau pembelajaran sejak masa awal Islam.3
Masjid memiliki peran sangat penting bagi masyarakat muslim sejak periode nabi
Muhammad Saw. dan sejak masa awal eksistensi masyarakat muslim di Madinah. Ketika
hijrahnya dari Makkah ke Madinah, ia membangun masjid sebagai upaya konkret yang
pertama bagi peradaban Islam. Sejak periode penting ini masjid yang ia bangun dipandang
sebagai pusat utama bagi beragam aktifitas masyarakat muslim. Dengan kata lain masjid
menjadi pusat komunitas dan naungan bagi segala bentuk program dan aktifitas sosial dan
pendidikan masyarakat muslim.4
Masjid memainkan peran yang sangat besar dalam penyebaran pendidikan dalam
Islam. Bagi Tibawi, keterhubungan masjid dengan pendidikan senantiasa menjadi salah
satu karakteristik utama sepanjang sejarah. Sejak awal, masjid merupakan pusat
komunitas Islam, sebuah tempat untuk doa, meditasi, pengajaran agama, diskusi politik,
dan sekolah. Dan di mana pun Islam berperan, masjid didirikan, dan sebagai basis
dimulainya instruksi. Setelah dibangun, masjid ini bisa berkembang menjadi tempat
popular pembelajaran yang seringkali dengan ratusan, terkadang ribuan siswa, dan
memiliki perpustakaan penting.5
Karena masjid merupakan jantung atau pusat peradaban Islam, maka dari masjid
pulalah tradisi ilmiah berkembang. Masjid adalah tempat pertama lembaga pendidikan
2 Masjid merupakan area (tempat) yang disediakan untuk sholat berjama’ah. Sering dalam bangunan tersebut terdapat kubah dengan menara, mihrab atau struktur lain yang mengarah ke Mekkah. Ada juga sebuah tempat untuk khotbah (mimbar) dan halaman dengan tempat air yang disediakan untuk berwudhu sebelum shalat. Lihat Oxford Dictionaries Online (http://oxforddictionaries.com/definition/english/mosque?q=mosque). Dalam konteks sejarah intelektual pendidikan Islam Selain masjid, terdapat lembaga- lembaga lain yang mencerminkan kekhasan orientasinya. Adapun lembaga- lembaga tersebut menurut Ahmad Syalabi, sebagaimana dikutip Uswatun Chasanah, adalah: al-Kuttab, al-Qushur, Hawanit, Manzil al-Ulama, al-Salun al-Adabiyah, al-Badiyah, al-Majlis dan Madrasah. Berdasarkan macam- macam lembaga tersebut, Ahmad Syalabi membagi institusi pendidikan Islam menjadi dua kelompok, yaitu kelompok lembaga pendidikan sebelum madrasah dan kelompok lembaga pendidikan sesudah madrasah.
3 Lihat George Makdisi dalam The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh : Edinburgh University Press : 1981) hlm. 21
4 A. Halim Tamuri, A New Approach in Islamic Education : Mosque Based teaching and Learning, Journal of Islamic and Arabic Education 4 (1), 2012 1-10, hlm. 1
5 Saleh Zaimeche, Education in Islam - The role of the Mosque, (United Kingdom : Foundation for Science Technologi and Civilisation, 2002), hlm. 3
3
Islam yang menjadi aktivitas ilmiah berbagai jenis ilmu pengetahuan dikembangkan. Pada
masa awal terbentuknya masyarakat Islam, sekelompok sarjana muslim menggunakan
sebuah ruang khusus di masjid untuk kegiatan-kegiatan ilmiah mereka seperti pengajaran,
diskusi, penulisan bahakan tempat deklarasi hasil-hasil penelitian ilmuwan yang hendak
dibukukan.6
Eksplanasi di atas menggambarkan betapa masjid pada awal sejarah penyebaran
Islam memiliki peran sentral dan menjadi basis utama bagi segala aktifitas umat muslim
dalam proses internalisasi ajaran-ajaran Islam dan berfungsi secara korelatif dengan
pengembangan dan kemajuan pendidikan Islam. Masjid pada periode tersebut tak hanya
menjadi tempat suci untuk pelaksanaan ibadah-ibadah yang bersifat mahdhah seperti
shalat, berdzikir dan membaca al Qur‟an tetapi berfungsi secara lebih luas dan beragam.
Quraish Shihab bahkan mencatat beberapa peranan strategis yang dimiliki masjid nabawi,
antara lain : sebagai tempat ibadah (shalat, zikir), tempat konsultasi dan komunikasi
(masalah ekonomi-sosial budaya), tempat pendidikan, tempat santunan sosial, tempat
latihan militer dan persiapan alat-alatnya, tempat pengobatan para korban perang, tempat
perdamaian dan pengadilan sengketa, aula dan tempat menerima tamu, tempat menawan
tahanan, dan pusat penerangan atau pembelaan agama.7
B. MASJID PADA MASA PERIODE AWAL DAN PERTUMBUHAN PENDIDIKAN
ISLAM 8
Pada periode awal pendidikan Islam yaitu pada masa Rasulullah Saw. masjid
memiliki peran signifikan dan strategis baik ketika di Makkah atau di Madinah. Di
Makkah, masjid al Haram menjadi tempat sosialisasi wahyu dari Allah secara terbuka
sehingga mengundang reaksi keras dari golongan musyrikin Quraisy seperti dialami oleh
6 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, …hlm 82
7 Lihat Quraish Shihab, Wawasan al Qur`an, http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Masjid.html
8 Periodisasi sejarah pendidikan Islam menurut Abuddin Nata terbagi dalam beberapa tahap yaitu : 1. Periode pembinaan Islam yang berlangsung pada zaman nabi Muhammad Saw., 2. Periode pertumbuhan pendidikan Islam yang berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad wafat sampai masa akhir Bani Umayyah, 3. Periode Kejayaan (puncak perkembangan) pendidika Islam yang berlangsung sejak permulaan Daulah Abbasiyah sampai dengan jatuhnya Baghdad, 4. Periode kemunduran pendidikan Islam sejak zaman jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon, dan 5. Periode pembaharuan pendidikan Islam yang berlangsung sejak zaman pendudukan Mesir oleh Napoleon sampai masa kini. Dapat dibaca lebih lanjut pada Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 341-342
4
Abdullah ibn Mas‟ud. Demikian pula sewaktu nabi singgah di Quba dalam perjalanannya
ke Yatsrib, selama 4 (empat) hari beliau mendirikan masjid yang kemudian dikenal
dengan sebutan masjid Quba, masjid yang pertama kali dibangun oleh nabi pada tahun ke-
13 kenabiannya atau tahun ke- 1 hijriah (28 Juni 622 M). Masjid Quba ini merupakan
tempat peribadatan umat Islam pertama yang kemudian menjadi model atau pola dasar
bagi umat Islam dalam membangun masjid-masjid di kemudian hari. Masjid Quba
disamping sebagai tempat peribadatan yang menjadi fungsi utamanya, juga sebagai
tempat pendidikan dan pengajaran agama Islam. Untuk itu, Rasulullah menempatkan
Mu‟adz ibn Jabal sebagai imam sekaligus guru agama di majid Quba ini. Selain itu,
Rasulullah sendiri kerap berkunjung ke masjid ini, baik dengan mengendarai unta ataupu
berjalan kaki, dan menunaikan shalat. 9
Kemudian setibanya di Yatsrib, langkah pertama yang dilakukan Rasulullah Saw.
adalah membangun masjid yang sangat sederhana, berukuran 35 x 30 m2. Dengan
berlantaikan tanah, dinding terbuat dari tanah yang dikeringkan, tiangnya dari batang
pohon kurma dan atapnya dari pelepah dan daunnya. Masjid ini kemudian dikenal dengan
sebutan Masjid Nabawi. Di sebelah timur masjid, dibangun tempat tinggal Rasulullah
yang tentunya lebih sederhana lagi dari masjid, dan di sebelah barat dibangun sebuah
ruangan khusus untuk orang-orang miskin muhajirin, yang kemudian dikenal dengan
sebutan al shuffah. 10
Di Masjid Nabawi inilah, seperti dijelaskan Quraish Shihab, fungsi-fungsi penting
yang terkait dengan kehidupan masyarakat muslim pada masa itu dijalankan dengan baik
karena Rasulullah sendiri yang secara langsung memimpin pemberdayaan masjid sebagai
tempat dan basis utama mengelola masyarakat muslim dengan sebaik-baiknya yang di
kemudian hari melahirkan sebuah masyarakat ideal yang disebut masyarakat madani.11
Selain dari dua masjid di atas, Rasulullah dan para sahabat juga membangun dan
memperhatikan beberapa masjid dalam waktu yang berbeda antara lain : masjid Qiblatain,
masjid Salman, masjid Sayyidina Ali, masjid Ijabah, masjid Raya, masjid Suqiya, masjid
9 Makhmud Syafe’i, Masjid dalam Perspektif Sejarah dan Hukum Islam, (makalah seminar, tt), hlm. 3-4
10 Makhmud Syafe’i, Masjid dalam Perspektif Sejarah dan Hukum Islam,… hlm. 4
11 Istilah masyarakat madani dipopulerkan oleh Nurcholis Madjid yang memiliki makna masyarakat kota yang memiliki perangai dinamis, sibuk, berfikir logis, berpola hidup praktis, berwawasan luas, dan mencari-cari terobosan baru demi memperoleh
kehidupan yang sejahtera. Perangai tersebut didukung dengan mental akhlak karimah.
5
Fadikh, masjid Bani Quraizhah, Masjid Afr dan masjid al Aqsha yang notebene masjid
tertua kedua setelah masjid al haram di Makkah.
Pada masa Khulafa al Rasyidin juga dibangun beberapa masjid baru di wilayah-
wilayah yang berhasil dikuasai. Di Bayt al Maqdis, misalnya, khalifah Umar ibn Khattab
membangun sebuah masjid yang berbentuk lingkaran (segi delapan), dindingnya terbuat
dari tanah liat, tanpa atap, tepatnya di atas bukit Muriah. Masjid ini kemudian dikenal
dengan nama masjid Umar. Di Kufah pada tahun 17 H Sa‟ad ibn Abi Waqqash, sebagai
panglima perang, membangun sebuah masjid dengan bahan-bahan bangunan dari Persia
lama dari Hirah dan selesai dibangun pada tahun 18 H. Masjid ini sudah memiliki mihrab
dan menara. Di kota Basrah, pada tahun 14 H juga dibangun sebuah masjid oleh „Utbah
ibn Ghazwan. Di Madain, pada tahun 16 H. Sa‟ad ibn Abi Waqqash menjadikan sebuah
gedung sebagai masjid. Di Damaskus, pada tahun 14 H. gereja St. John dibagi dua,
sebagian (sebelah timur) menjadi milik muslim dan dibuat sebagai masjid oleh Abu
Ubaidah ibn Jarrah. Di Fustat, Mesir, pada tahun 21 H. Amr ibn „Ash, ketika menjadi
panglima perang untuk menaklukan daerah tersebut membangun masjid al „Atiq. Secara
fisik masjid tersebut sudah berkembang lebih maju dibandingkan masjid-masjid lain yang
telah ada.12
C. FORMAT PENDIDIKAN MASJID
Pada masa nabi Muhammad Saw dan khalifah Abu Bakar Shiddiq masjid masih
berfungsi sebagai tempat ibadah dan pendidikan Islam tanpa ada pemisahan yang jelas
antara keduanya hingga masa Amirul Mukminin, Umar ibn Khattab. Pada masanya, di
samping atau di beberapa sudut masjid dibangun kuttab-kuttab13
, untuk tempat belajar
anak-anak. Sejak masa inilah pengaturan pendidikan anak-anak dimulai. Hari Jum‟at
adalah hari libur mingguan sebagai persiapan melaksanakan shalat Jum‟at. Khalifah Umar
12
Makhmud Syafe’i, Masjid dalam Perspektif Sejarah dan Hukum Islam,… hlm. 6
13 Kuttab atau maktab menurut Mahmud Yunus, sebagaimana dikutip M. Mukhlis Fahruddin, “berasal dari kata dasar ‘kataba’ yang artinya menulis atau tempat menulis, jadi kuttab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam kuttab telah ada di negeri arab meskipun belum banyak dikenal oleh masyarakat”. Tidak berbeda dengan Ahmad Syalabi yang menulis bahwa “kuttab adalah tempat memberi pelajaran menulis, dimana tempat belajar membaca dan menulis ini teruntuk bagi anak-anak”. Lihat M. Mukhlis Fahruddin, Kuttab : Madrasah pada Masa Awal (Umayyah) Pendidikan Islam, (UIN Malang : Jurnal Madrasah vol. II No. 2 Januari-Juni, 2010), hlm. 209
6
ibn Khattab mengusulkan agar para pelajar diliburkan pada waktu dzuhur hari kamis, agar
mereka bersiap-siap menghadapi hari Jum‟at. Usul ini kemudian menjadi tradisi hingga
sekarang.14
Sebagai institusi pendidikan Islam periode awal, masjid menyelenggarakan kajian-
kajian baik dalam bentuk diskusi, ceramah dan model pembelajaran yang memiliki bentuk
atau format tersendiri yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan masyarakat muslim
pada masa itu yang pada masa-masa berikutnya terus mengalami inovasi dan pembaruan.
Hasil inovasi dan pembaruan tersebut sebagai konsekwensi dari tuntutan dan kebutuhan
masyarakat muslim terhadap pendidikan Islam yang terus mengalami perubahan dan
peningkatan.
Format dasar pendidikan masjid adalah lingkaran studi, lebih dikenal dalam Islam
sebagai `ilm al-Halaqat „atau singkatnya: Halaqa 15
. Halaqa, dieja Halqa dalam edisi
baru Ensiklopedi Islam, yang didefinisikan sebagai „pertemuan orang yang duduk
membentuk lingkaran.16
Lingkaran (halaqa) adalah bentuk tertua dari pengajaran Islam, sejak masa Nabi
Muhammad, yang berperan memimpin kegiatan bagi para pengikutnya baik pria maupun
wanita. Dalam halaqa tradisional, guru duduk di atas bantal membelakangi dinding atau
pilar. Para siswa duduk dalam setengah lingkaran di sekitar guru, sesuai peringkat
pengetahuannya. Pada awal Islam, para guru di halaqa termasuk laki-laki dan perempuan.
Situs pertama untuk kalangan belajar berada di masjid (masjid). Guru terkenal dikaitkan
dengan kota dan masjid tertentu, dan biasanya juga untuk nama pilar bagi ulama terkenal
yang duduk di sana. Lingkaran belajar juga diadakan di lembaga lain dan rumah. Siswa
melakukan perjalanan untuk duduk dalam lingkaran seorang sarjana terkenal. Tradisi
merekam pemaparan pengajar berkembang menjadi pengajaran yang lebih sistematis.
Metode yang dilakukan para guru dalam mengampu mata pelajaran, memungkinkan siswa
14 Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Klasik, (Bandung : Angkasa,
2004) hlm. 41
15 Halaqa (halqa), secara etimologis, menurut Lewis Ma’luf, adalah segala yang memutar seperti memutarnya suatu kelompok. Sedangkan secara terminologis, menurut George Makdisi, adalah study-circle in which the various Islamic sciences were taught. Lihat Lewis Ma’luf dalam al Munjid fi al lughat wa al a’la>m, (Beirut : Dar el- Machreq sarl, 2003) hlm. 150 dan George Makdisi dalam The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, ... hlm. 12
16 Saleh Zaimeche, Education in Islam - The role of the Mosque, …, hlm. 3
7
mereka untuk mengajukan pertanyaan dan menguji pengetahuan mereka. Kesuksesan
belajar dihargai dengan surat, atau sertifikat belajar (ijazah). Tradisi halaqa formal dan
informal berlanjut sampai hari ini dalam kebudayan Muslim. 17
Meski belum terstruktur, kelompok belajar yang disebut halaqa ini pada akhirnya
berkembang menjadi lembaga formal. Pada mulanya seorang guru menjadi syaikh secara
alami. Pada tahap selanjutnya dengan persiapan formal seorang syaikh halaqa dapat
diangkat menjadi pengurus masjid. Pada akhirnya, syaikh halaqa berkembang menjadi
penafsir yang menetapkan hukum sebagaimana termaktub dalam al Qur`an dan hadits.
Pada tahap selanjutnya para ulama secara khusus diangkat menjadi guru agama dan
memimpin berbagai halaqa sehingga sejarah lembaga pendidikan tinggi berikutnya
berawal pada terbentuknya berbagai halaqa lainnya di berbagai masjid.18
Di dalam format pendidikan masjid berupa halaqa tersebut terdapat beberapa
subjek pengajar yang masing-masing secara hirarkis memiliki tugas dan fungsi yang
berbeda dan saling mendukung, yaitu : 1. Syaikh yang berarti guru utama yang juga
disebut mudarris dan bertugas menjadi imam masjid pemimpin shalat jama‟ah, khotib
shalat jum‟at, pengajar dan administrator dalam proses pendidikan masjid, 2. Na`ib,
sebagai asisten syaikh yang sewaktu-waktu menggantikan syaikh dalam mengajar jika
syaikh berhalangan atau menunjuknya untuk mengajar, 3. Mu’id, sebagai juru ulang
(repetitor) materi-materi yang telah diajarkan oleh syaikh atau mudarris kepada santri atau
murid yang tidak sempat mengikuti pertemuan belajar, dan 4. Mufid, sebagai tutor yang
bertugas membantu murid-murid yang lebih muda atau pemula tetapi belum dianggap
mampu mengulang ceramah mudarris seperti halnya mu’id.19
Dalam halaqa yang diselenggarakan di masjid siapapun bisa bergabung baik
statusnya sebagai murid yang terdaftar ataupun sekedar pengunjung yang berminat
mengikuti kajian. Mereka yang menjadi murid pada halaqa tersebut diberi tugas untuk
melakukan pembacaan terhadap sumber-sumber keilmuan penunjang agar tidak
mengalami kesulitan dalam memahami uraian mudarris ketika proses kajian berlangsung,
17 __________ , Education an The Rise of Universities in Muslim Lands and Europe, Council on Islamic Education (http://www.cie.org/download/Sample_Renaissance_Sec2.pdf), hlm. 82
18 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1989), hlm.25 19 Lihat Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. H. Affandi dan Hasan Asy’ari, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1994), hlm. 47
8
juga dituntut untuk berkonsentrasi secara sungguh-sungguh. Kegiatan diskusi aktif pun
diintensifkan untuk menggali lebih dalam untuk menangkap wawasan lebih luas tentang
ajaran Islam.
Salah satu diantara ciri-ciri utama kurun waktu tersebut adalah kemampuan untuk
menghafal. Ketika itu terdapat banyak mudarris (ahli hadis) yang dapat membaca ulang
sebuah hadis tanpa kesalahan sama sekali setelah hanya mendengar sekali saja. Hal ini
mendorong lahirnya satu metode baru dimana hafalan merupakan bagian terbesar dalam
latihan jiwa dan pembentukan kepribadian pada anak didik. Metode lain dari cara
pengajaran pada saat itu adalah guru menyampaikan pelajarannya dengan menggunakan
frasa-frasa atau kalimat-kalimatnya satu persatu. Seorang asisten pengajar mengucapkan
kembali keterangan yang telah disampaikan oleh seorang guru atau syaikh dengan suara
keras, sehingga dapat didengar dan dicatat secara lengkap oleh para murid. Setelah itu
sang guru atau syekh memulai berdiskusi dengan siswa yang duduk didekatnya, dan
akhirnya lingkaran diskusipun berkembang. Kadang-kadang guru juga berjalan di
belakang para siswa dan ikut serta mendengarkan dan menyimak diskusi-diskusi mereka.
Nilai yang diberikan oleh seorang guru ditentukan dengan ukuran seberapa jauh semua
siswanya dapat mengikuti pelajarannya dengan baik. Setelah diskusi dan pelajaran selesai,
para siswa untuk sementara waktu tetap bersama gurunya, dan mencoba mengambil
manfaat dari kebersamaannya itu, sambil mencari inspirasi dari kehidupan sahabat yang
memperoleh banyak ilmu pengetahuan hanya dengan berada bersama-sama Rasulullah
Saw.20
Kadang-kadang dalam satu masjid terdapat beberapa halaqa dengan mudarris
yang masing-masing mengajara satu ilmu, seperti ilmu tafsir, fiqih, tarikh dan sebagainya.
Di masjid Amr ibn „Ash (13 H), misalnya, yang mula-mula diajarkan di masjid ini ialah
pelajaran agama dan budi pekerti. Kemudian secara berangsur-angsur ditambahkan
beberapa mata pelajaran. Pada waktu imam Syafi‟i datang ke masjid ini untuk menjadi
guru pada tahun 182 H, ia melihat sudah ada delapan buah halaqa yang penuh dengan
pelajar. Pada masa Umayyah terdapat masjid sebagai pusat ilmu yakni Cordoba, masjid
ash- Shahra, masjid Damaskus, dan masjid Qairawan. Pada masa Abbasiyyah, terdapat
juga masjid sebagai pusat ilmu, periode pertama 132-232 H (750-847 M), yakni masjid
20 Hasarudin, Madrasah pada Masa Islam Klasik : Analisis Historis atas Metode yang Digunakan, (Hunafa : Jurnal Studia
Islamika vol. 8, No. 1 Juni 2011), hlm. 130
9
Basrah, yang didalamnya terdapat halaqa al- Fadh, halaqa al Fiqh, halaqa al- tafsir wa
al hadits, halaqa al- Riyadiyyah, halaqa al Sirr wa al- Adab (belum ada
madrasah/sekolah).21
Beberapa data historis di atas hanyalah menggambarkan sedikit dari puluhan ribu
masjid yang secara faktual telah menyelenggarakan proses pendidikan Islam dengan
ragam disiplin keilmuan Islam dan memberikan sumbangan penting bagi proses transmisi
keilmuan dari periode ke periode. Pemilahan materi ajar pun belum dilakukan secara
sistematis dan terstruktur yang pada perkembangan selanjutnya pembakuan kurikulum
terstruktur tersebut dilakukan pada lembaga pendidikan Islam yang formal yaitu :
madrasah.
D. TRANSFORMASI MASJID KE MADRASAH
Kemunculan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan fase
terpenting dalam sejarah intelektual pendidikan Islam yang mengubah secara signifikan
format penyelenggaraan pendidikan Islam menjadi lebih sistematis dan terstruktur.
Format halaqa yang semula digunakan dalam kajian-kajian keilmuan Islam bergeser ke
lembaga baru bernama madrasah yang menggunakan sistem kelas dalam praktek
pengajaran dan pembelajarannya. Tetapi pergeseran tersebut tidak serta merta
berlangsung dari masjid langsung ke madrasah tetapi melewati sebuah lembaga bernama
masjid khan sebagai perantaranya.
Teori tentang transformasi masjid menjadi madrasah melewati masjid khan22
diantaranya diketengahkan oleh George Makdisi, baginya madrasah merupakan fase
ketiga dalam garis perkembangan lembaga pendidikan Islam dengan urutan : masjid,
masjid khan dan madrasah. Madrasah merupakan solusi tepat akan kebutuhan lembaga
21 Armai Rief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Klasik, ..., hlm. 43
22 Istilah khan dapat diartikan sebagai pemondokan (penginapan musafir) tetapi dalam hubungan ini istilah tersebut berarti
asrama mahasiswa yang berasal dari desa-desa yang jauh yang pada umumnya belajar fikih. Khan mempunyai beberapa
fungsi pada masa klasik. Di kota, khan berfungsi sebagai penyimpananbarang- barang dalam jumlah besar atau sebagai
sarana komersial yang memiliki banyak toko. Khan juga dijadikan benda wakaf yang menghasilkan uang yang disalurkan
untuk kebutuhan umum. Misalnya, khan al-Narsi yang berada di alun- alun Karkh di Baghdad bagian Barat. Selain kedua
fungsi tersebut, khan juga digunakan sebagai asrama untuk murid- murid dari luar kota yang hendak menimba ilmu di suatu
masjid. Lihat: Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 64.
10
pendidikan Islam yang lebih profesional. Masjid dan masjid khan meskipun memiliki
peran penting tetapi prinsipnya adalah tempat ibadah sehingga kegiatan belajar-mengajar
yang dilaksanakan di masjid atau masjid dapat mengganggu suasan tenang dan syahdu
yang diperlukan orang yang beribadah di masjid tersebut. Disisi lain, menurut Mehdi
Nakosteen, sebagaimana dikutip Hasaruddin, bahwa faktor lain yang mendorong perlunya
pendirian madrasah sebagai pengganti masji adalah kenyataan bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan telah melahirkan kelompok intelektual baru, tentunya memajukan dan
mengembangkan lembaga pendidikan seperti madrasah merupakan usaha untuk
menyediakan lahan baru bagi mereka. 23
Pendapat Georgi Makdasi di atas didasarkan bahwa pada saat itu banyaknya
murid yang datang dari luar kota untuk belajar di masjid- masjid, dan hal itu menuntut
pembangunan pemondokan atau asrama di sekitar masjid. Dari situ maka terjadi
transformasi masjid menjadi masjid khan. Tahap berikutnya, masjid khan berubah
menjadi madrasah yang selain dilengkapi dengan pemondokan dan juga dilengkapi aula
besar yang berfungsi sebagi tempat diselenggarakannya prosese pembelajaran. Sedangkan
pendapat Ahmad Amin Syalabi didasarkan bahwa pada saat itu semakin ramainya
kegiatan yang dilaksanakan di masjid yang tidak hanya dalam kegiatan ibadah (dalam arti
sempit), namun juga kegiatan pendidikan dan yang lainnya, maka dari situlah masjid
secara langsung berubah menjadi madrasah
Tetapi teori Makdisi tentang masjid khan sebagai perantara transformasi masjid ke
madrasah tersebut tidak dipakati oleh Ahmad A. Syalabi. Ia berpendapat sebagaimana
dikutip dikutip Suwito, bahwa transformasi masjid ke madrasah terjadi secara langsung
(dari masjid ke madrasah).24
E. PENUTUP
23 Hasarudin, ..., hlm. 124
24
Lihat Suwito, et al, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2005), 214
11
Demikian essai tentang masjid dalam perspektif sejarah intelektual pendidikan
Islam yang menjelaskan eksistensi, posisi dan peran penting masjid dalam konstalasi
sejarah pendidikan Islam. Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang genuine
lahir dari rahim umat Islam sendiri yang pada masa awal menjadi institusi sentral dan
menjadi basis utama sebagai tempat ibadah, pendidikan, sosial dan peran-peran lain yang
berhubungan langsung dengan persoalan-persoalan keumatan.
Pola baku pendidikan pada masjid adalah berupa halaqa (lingkaran studi) yang
menyelenggarakan kajian-kajian ilmu-ilmu keislaman seperti al Qur`an, hadits, fiqih,
tafsir, ilmu bahasa dan lain sebagainya dengan tokoh guru utama yang disebut syaikh atau
mudarris dibantu oleh na`ib, mu`id dan mufid. Masa itu masjid seakan menjadi lembaga
pendidikan primadona yang sangat diminati oleh para pencari ilmu dari berbagai daerah.
Keahlian dan nama besar syaikh sendiri sebagai pemimpin halaqa menjadi magnet
tersendiri yang menentukan apakah halaqa-halaqa tersebut memiliki banyak pengikut
ataukah sedikit.
Namun seiring perkembangan zaman dan merunyaknya tuntutan kehidupan
masyarakat muslim yang kompleks posisi masjid sebagai lembaga pendidikan Islam
terganti oleh lembaga pendidikan Islam lain (madrasah) yang muncul belakangan.
Meskipun demikian optimalisasi fungsi-fungsi masjid sampai saat ini masih terus
dilakukan umat Islam terutama masjid-masjid kota, karenanya tak jarang ditemukan
masjid-masjid kota tak hanya diperuntukan sebagai sarana tempat ibadah tetapi pula
dilengkapi fasilitas perpustakaan, ruang administrasi, ruang belajar baca tulis al Qur`an
bahkan pada masjid-masjid tertentu dijadikan sebagai obyek wisata religi yang ramai
dikunjungi karena keindahan dan kemegahan arsitektur masjid tersebu, seperti masjid
Istiqlal di Jakarta yang diklaim sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara, masjid Dian al
Mahri di Depok yang terkenal dengan sebutan Masjid Kubah Emas, masjid Agung
Semarang yang memiliki payung elektrik seperti masjid Nabawi Madinah dan sebagainya.
Tetapi rasanya berlebihan jika masjid pada masa kini diharapkan memiliki fungsi-
fungsi maksimal seperti pada masa periode awal Islam karena beberapa fungsi masjid
pada masa itu telah diambil alih oleh lembaga-lembaga yang representatif dan modern
yang didirikan sekarang untuk mengelola persoalan-persoalan masyarakat muslim baik
dalam bidang pendidikan, sosial, politik dan budaya. Masjid tak lagi bisa diharapkan
12
menjadi mercusuar peradaban Islam karena masjid-masjid masa kini telah diperlakukan
secara ketat sebagai rumah Allah yang disucikan dari segala hal yang dianggap akan
mengotorinya baik secara lahir maupun batin. Di daerah-daerah tertentu masjid bahkan
diperlakukan sebagai tempat yang sangat birokratis dan tidak “merakyat”. Masjid seakan
telah menjadi istana penuh pengawal yang menyulitkan siapapun yang ingin “menemui”
Tuhan kapan saja tanpa kesulitan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arief, Armai, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam
Klasik, (Bandung : Angkasa, 2004)
2. Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
3. Education an The Rise of Universities in Muslim Lands and Europe, Council on Islamic Education
(http://www.cie.org/download/Sample_Renaissance_Sec2.pdf)
13
4. Fahruddin, M. Mukhlis, Kuttab : Madrasah pada Masa Awal (Umayyah) Pendidikan Islam, (UIN
Malang : Jurnal Madrasah vol. II No. 2 Januari-Juni, 2010)
5. Hasarudin, Madrasah pada Masa Islam Klasik : Analisis Historis atas Metode yang Digunakan,
(Hunafa : Jurnal Studia Islamika vol. 8, No. 1 Juni 2011)
6. Heriyanto, Husain, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Bandung :Mizan, 2011)
7. Lihat Suwito, et al, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2005)
8. Ma’luf, Lewis, al Munjid fi al lughat wa al a’la>m, (Beirut : Dar el- Machreq sarl, 2003)
9. Makdisi, George, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West,
(Edinburgh : Edinburgh University Press : 1981)
10. Nata , Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004)
11. Oxford Dictionaries Online
(http://oxforddictionaries.com/definition/english/mosque?q=mosque)
12. Shihab, Quraish, Wawasan al Qur`an,
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Masjid.html
13. Stanton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. H. Affandi dan Hasan Asy’ari,
(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1994)
14. Syafe’i , Makhmud, Masjid dalam Perspektif Sejarah dan Hukum Islam, (makalah seminar, tt)
15. Tamuri,A. Halim, A New Approach in Islamic Education : Mosque Based teaching and Learning,
Journal of Islamic and Arabic Education 4 (1), 2012 1-10
16. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1989)
17. Zaimeche, Saleh, Education in Islam - The role of the Mosque, (United Kingdom :
Foundation for Science Technologi and Civilisation, 2002)