Download - Makalah TI Lepra
Seorang Laki-Laki Karyawan Pabrik Cat dengan Keluhan Kaki Bengkak dan Kebas
KELOMPOK 9
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta, 28 Juni 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai penyakit kusta
atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya, diketahui hanya
disebabkan oleh bakteriMycobacterium leprae,hingga ditemukan bakteri Mycobacterium
lepromatosis oleh Universitas Texas pada tahun 2008,yang menyebabkan endemik sejenis
kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous
leprosy. Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan
Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang
menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra. Saat ini penyakit lepra lebih
disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya untuk menghargai jerih payah penemunya,
melainkan juga karena kata leprosy dan Lepera mepunyai konotasi yang begitu negatif,
sehingga penamaan yang netra lebih diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak
seharusnya diderita oleh pasien kusta.
Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran
pernapasan atas; danlesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak
ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf,
anggota gerak, dan mati.
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki usia 42 tahun, karyawan pabrik cat. Keluhan Utama kaki bengkak, kebas,
dan kesemutan. Ini sudah berlangsung 1 tahun.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan bercak merah pada perut dan punggung. Lengan dan kaki
bawah terlihat kering dan ichtiosis.
Hasil pemeriksaan laboratorium:
Hb 11,5 g/dl , Leukosit 5.000 /mm³ , LED 30 ml/jam
Hitung jenis : 0/1/7/58/30/4
SGOT 45 IU, SGPT 60 IU
BTA : + , BI : +5, MI : 92%
BAB III
PEMBAHASAN
MASALAH DAN HIPOTESIS
Masalah Pembahasan Hipotesis
Usia 42 tahun Beresiko untuk memiliki penyakit
akibat bertambahnya usia dan
penurunan fungsi organ.
Diabetic neuropathy
Karyawan pabrik cat Cat banyak mengandung bahan-
bahan yang merusak organ manusia
bila terpapar secara langsung.
Sehingga pada pabrik cat, karyawan
melakukannya di ruangan yang
tertutup dan menggunakan alat dan
pakaian protector khusus. Karena
ruangan yang tertutup
memungkinkan untuk penyebaran
penyakit dari satu karyawan ke
karyawan lain. Selain itu, baju
pelindung yang digunakan secara
bergantian tanpa dicuci dahulu dapat
menularkan penyakit dari satu orang
ke orang yang lainnya, apalagi bila
virus atau bakteri penyebab infeksi
Lepra
menempel dan bertahan cukup lama
di luar tubuh manusia.
Kaki bengkak Kaki bengkak harus dilihat
konsistensi dan bentuknya. Bisa
disebabkan oleh udem (keluarnya
cairan plasma ke jaringan
interstitial), pembesaran kelenjar
limfe, obstruksi saluran limfe (cth:
filariasis), proses inflamasi jaringan
(diikuti perubahan lainnya : kalor,
rubor, dolor), atau akibat
pembesaran jaringan akibat
keganasan.
Pada infeksi mycobacterium leprae ,
kuman tersebut sangat suka pada
bagian tubuh yang bersuhu rendah
termasuk anggota tubuh bagian
bawah, sehingga bakteri tersebut
akan membentuk jaringan
granulomatous yang akan
mengobstruksi saluran limfatik.
Filariasis
Lepra
Kebas dan kesemutan Paresthesia adalah perasaan sakit
atau abnormal seperti kesemutan,
rasa panas seperti terbakar dan
sejenisnya. Sementara kebas adalah
Lepra
Diabetic neuropathy
berkurangnya sensasi sensorik pada
kulit. Bisa diakibatkan oleh
terganggunya fungsi syaraf. Dimana
syaraf terjepit, mengalami iritasi,
atau adanya gangguan aliran darah
ke syaraf yang menyebabkan iskemi.
Pada penyakit infeksius yang
menyerang saraf seperti lepra dapat
menimbulkan gejala awal seperti
kebas atau kesemutan.
Penyakit pasien
bersifat kronis
Penyakit pasien bersifat kronis. Lepra
Diabetic neuropathy
Patofisiologi pada masalah
Oedem yang terjadi pada pasien dengan dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu
melalui kelenjar limfe dan pembuluh darah. M. Leprae yang tidak terkompensasi oleh
sistem imun tubuh akan membentuk jaringan granulomatosa yang akan mengendap
pada pembuluh limfe, sedangkan pada pembuluh darah terkait dengan kerusakan
saraf perifer. Pada pembuluh limfe, M. Leprae yang masuk akan dibawa ke nodus
limfatikus sekunder dan akan dihancurkan sehingga membentuk jaringan granuloma
yang dapat menyebabkan obstruksi pada saluran limfe. Obstruksi pada saluran limfe
menyebabkan cairan bergeser ke ruang interstisium dan menyebabkan oedem. Pada
pasien terutama terjadi di kaki dikarenakan M. Leprae lebih suka pada tempat –
tempat yang bersuhu rendah seperti pada kaki. Sedangkan pada pembuluh darah
dikarenakan terjadi kerusakan sistem saraf perifer sehingga berkurangnya kontraksi
otot. Dengan berkurangnya kontraksi otot yang juga berfungsi membantu vena untuk
memompa darah kembali ke jantung, maka cairan intravaskuler pada vena bergeser
ke ruang nterstisium sehingga menyebabkan oedem.
M. Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang
akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan
mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan
mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag.
Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang
melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia
bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi.
Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak
saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah
penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional. Kerusakan pada
saraf inilah yang mengakibatkan terjadinya rasa kesemutan dan kebas.
ANAMNESIS
a) Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, RS Berguna untuk mengetahui background
pasien yang akan berhubungan dengan tatalaksana dan prognosis terhadap pasien ini, sudah
tertera di atas
b) Keluhan Utama
Apakah keluhan utama pasien ? Keluhan utama pada pasien ini adalah kaki bengkak, kebas, dan
kesemutan
Anamnesis tambahan
Untuk melengkapi informasi yang kita butuhkan maka diperlukan anamnesis lanjutan.
Baiknya ditanyakan riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit
keluarga serta riwayat pengobatan.untuk membantu penegakan diagnosis.
I.Riwayat penyakit sekarang
Keluhan apa yang timbul pertama kali? Dan bagaimana perjalanan
penyakitnya?
Apakah terdapat gejala penyerta seperti kulit terasa lebih kering, demam, dan
kehilangan bulu halus?
Apakah bercak disertai gatal?
Apakah ada teman kerja yang menderita keluhan yang sama?
Apakah sudah diberi obat sebelumnya? Jika sudah apa obatnya?
II.Riwayat penyakit Dahulu
Apa pasien ini punya riwayat penyakit DM/jantung?
IV.Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah keluarga ada yang sakit seperti ini?
Apakah keluarga ada penyakit keturunan seperti DM?
V.Riwayat kebiasaan
Apakah pasien merokok , minum-minuman berakohol dan bagaimana life style
pasien?
Apakah sewaktu bekerja menggunakan protektor?
Bagaimana riwayat sosio-ekonomi dari pasien?
Apakah pasien pernah terpapar langsung oleh cat?
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah
Pada pemeriksaan fisik ditemukan bercak merah pada perut dan punggung, lesi yang terdapat
pada penyakit lepra. Lengan dan kaki bawah terlihat kering dan ichtiosis yang
memungkinkan terjadinya gangguan fungsi kelenjar keringat karena sistem saraf otonom
yang terganggu.
1) Bercak merah pada perut dan punggung
Terjadi pada penderita tipe MB (multibasilar) dan merupakan reaksi humoral, dimana
kuman kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen. Tubuh membentuk
antibodi dan komplemen (Antigen + antibodi + komplemen = immunokompleks) dan
mengendap di pembuluh darah sehingga menyebabkan reaksi ENL (Eritema
Nodosom Leprosum) pada kulit.
2) Lengan dan kaki bawah terlihat kering dan ichtiosis
M. Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang
akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan
mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan
mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag.
Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang
melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia
bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi.
Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak
saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah
penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional. Infiltrasi
granuloma ke adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan
folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan aloplesia.
Hasil pemeriksaan lab pasien:
Hasil Normal Keterangan
Hb 11,5 g% 13 – 18 g% Menurun, akibat adanya kemungkinan
anemia hemolitik pada pasien
LED 30mm/jam <15mm/jam Meningkat, karna adanya infalamasi
kronis
Lekosit 5000/ul 5000-10000 Normal
Hitung jenis 0/1/7/58/30/4 Terdapat peningkatan pada netrofil
batang yang mengindikasikan adanya
inflamasi atau kerusakan jaringan.
SGOT 45 7-32 Meningkat, diduga akibat M.lepra
menyerang hati yang merupakan organ
yang memiliki banyak makrofag
SGPT 60 6-30 Meningkat, diduga akibat M.lepra
menyerang hati yang merupakan organ
yang memiliki banyak makrofag
BTA + Mengindikasikan adanya bakteri tahan asam, contohnya mycobacterium pada
pemeriksaan bakteriologis
BI +5 101- 1000 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang
Menunjukan Multibasiler BB/LL yang meungkinkan terjadinya ENL
yang terjadi karena respon imun terhadap Antigen dari M. lepra
sehingga terjadi inflamasi dan bengkak pada pasien.
MI 92% Mengindikasikan adanya bakteri yang infeksius. Karena indeks morfologi
menunjukan bahwa bakteri yang hidup atau infeksius (solid) sebanyak 92%
dari indeks bakteriologis yang didapatkan.
DIAGNOSIS
Lepra tipe Multibasiler
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang
karena terdapat keluhan rasa kebas di ekstrimitas yang menunjukkan adanya gangguan
sensoris serta kering dan ichtiosis yang dapat terjadi karena gangguan saraf otonom pada
kelenjar keringat, bercak merah pada perut dan punggung, dan ditemukannya bakteri tahan
asam. Hasil BI +5 terdapat pada lepra tipe Multi Baciler BL/LL, yang memungkinkan
terjadinya Erithema Nodusum Leprosum (ENL) yang terjadi karena respon imun terhadapat
antigen dari M. Leprae sehingga terjadi inflamasi dan mengakibatkan bengkak pada pasien.
Pada reaksi ENL juga terdapat simptom seperti anemia, leukositosis dan tes faal hati yang
abnormal.
Intesitas respons imun spesifik yang diperantarai sel terhadap M. leprae berkaitan
dengan kelas memiliki imunitas seluler yang dapat di deteksi terhadap basil lepra. Pada
pasien leprometosa kumpulan basilus juga di temukan di hati, limpa,dan sum-sum tulang,
tetapi tidak ada disfungsi sistem organ visceral.20
PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan yang akan diberikan kepada pasien secara medokamentosa dan non-
medikamentosa adalah:
a) Medikamentosa
Pemberian obat multi drug treatment sebagai usaha untuk:
1.Mencegah dan mengobati resistensi
2.Memperpendek masa pengobatan
3.Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
Adapun obat yang di gunakan ialah:
- Rifampisin 600mg setiap bulan,dalam pengawasan
- Diaminodifenil sulfon 100mg setiap hari
- Klofazamin 300mg perbulan,dalam pengawasan,diteruskan 50mg sehari atau 100mg
selama sehari atau 3 kali 100mg setiap minggu.
Mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan
syarat bakterioskopis harus negative.apabila bakterioskopis masih positif pengobatan
dilanjutkan samapi hasilnya negative .selama pengobatan perlu dilakukan pemeriksaan
bakterioskopis mnimal 3 bulan sekali.dan pengobatan ini 2 sampai 3 tahun.
b) Non medikamentosa
1. Pasien di lakukan perawatan di rumah sakit sampai MI turun dan tidak infeksius
2. Diperlukan asupan gizi yang baik
3. Diberikan edukasi berupa:
- Untuk selalu teratur minum obat dan tidak pernah putus minum obat.
- bila terdapat gangguan sensibilitas dapat diberikan pentunjuk sederhana seperti
sepatu untuk melindungi kaki,sarung tangan untuk pekerjaannya dan kacamata untuk
melindungi matanya.
-tangan dan kaki direndam,disikat dan setelah itu di minyaki agar tidak kering dan
pecah.
4. Pengendalian, diperlukan karena lepra merupakan penyakit yang infeksius:
- Dapat mendeteksi dini gejala-gejala lepra
- Keluarga dan individu yang berhubungan erat perlu diperiksa secara teratur terhadap lepra.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien bila tidak ditangani dengan baik adalah:
1. Terjadinya deformitas dan kecacatan akibat lepra;
2. Trauma psikologis
3.Kerusakan saraf permanen
PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fuctionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Melihat keadaan pada pasien ini, yaitu tidak ditemukan kelainan tanda vital pada
pemeriksaan fisik, maka dapat dipastikan bahwa prognosis pada pasien ini akan baik. Akan
tetapi, melihat prevalensi prognosis buruk yang besar pada penderita kusta, pada fungsi dan
kekambuhannya. Karena pada penyakit kusta akan mengalami kerusakan saraf yang tidak
bisa berdegenerasi kembali seperti semula.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
KUSTA
DEFINISI
Lepra atau kusta adalah penyakit menular kronik yang berkembang lambat,
disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan ditandai dengan pembentukan lesi granulomatosa
atau neurotropik pada kulit, selaput lendir, saraf, tulang, dan organ-organ dalam.
Manifestasinya berupa gejala-gejala klinis dengan spektrum luas, yang terdiri dari dua tipe
utama, dengan jenislepromatous pada ujung spektrum dantuberkuloid di ujung yang lain:
diantara dua tipe ini terdapat tipeborderline, dengan dua sub tipe, borderline tuberkuloid dan
borderlinelepromatous. Disebut juga Hansen’s disease.4
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Class : Actinomycetales
Ordo : Corynebacterineae
Family : Mycobacteriaceae
Genus : Mycobacterium
Spesies : Mycobacterium leprae
Mycobacterium leprae, juga disebut Basillus Hansen, adalah bakteri yang menyebabkan
penyakit kusta (Morbus Hansen) yaitu infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya
kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung,
buah zakar (testis) dan mata. Bakteri ini merupakan bakteri intraselular. M. leprae merupakan
gram-positif berbentuk tongkat (basil). Mycobacterium leprae mirip dengan Mycobacterium
tuberculosis dalam besar dan bentuknya.
Epidemiologi
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang
diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir
hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah
mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun,
keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama
dan berulang-ulang.
Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yang penting.
Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-
hukum penularan seperti halnya penyakitpenyaki terinfeksi lainnya.
Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak
kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka.
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit
kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mocrobakterillm Leprae
dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan
ini adalah :
- Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
- Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
- Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
- Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara
dengan tingkat sosial ekonomi rendah
- Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat
Pencegahan Penularan Penyakit Kusta
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan
bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan
penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting
dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu
peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk
berobat secara teratur.
Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai
penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang
berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut.
Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar
matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.
Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat
menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh
kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar
petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta
kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa :
a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta
c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara
teratur
e. Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat fisik
ANATOMI
Struktur Sel Saraf dan Akson
Setiap akson mewakili sebuah perpanjangan sel saraf yang terletak di dalam sistem
saraf pusat. Badan sel berfungsi memelihara kelangsungan hidup akson yang menjadi pusat
seluruh aktivitas metabolik sel.5
Gambar penampang Sel saraf
Beberapa akson diselubungi oleh selubung mielin yaitu suatu selubung membran sel
Schwann. Mielin adalah sebuah kompleks protein mengandung lipid. Membran sel Schwann
tersebut melapisi akson secara berpilin sehingga membentuk lapisan selubung mielin.5
Selubung mielin yang dihasilkan oleh Sel Schwann panjangnya sekitar 250-1000 μm
dan dipisah satu sama lainnya dengan nodus Ranvier. Pada nodus ini, akson telanjang. 5
ETIOLOGI
Neuritis lepra disebabkan oleh reaksi inflamasi pada saraf perifer oleh kuman
penyebab penyakit lepra yaitu Mycobacterium leprae.1
PATOGENESIS
M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun
yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh
yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut
sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi
selularnya daripada intensitas infeksinya. Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh
masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang
tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui
mukosa nasal. Pengaruh, M leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta
sifat kuman yang avirulens dan nontoksis.1
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting
Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah
tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh
molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan
ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan
sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan
berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi
To menjadi Th1.6
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan
C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan
proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit,
fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion
superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal
membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak
jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan
organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel
epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma. 6
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari
eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B
untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.6
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2
sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.6
GEJALA KLINIS
Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada7:
1. multiplikasi dan diseminasi kuman M. Leprae
2. respons imun penderita terhadap kuman M. Leprae
3. komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit, saraf,
dan membran mukosa.8 Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi 'kusta
tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau
kusta multibasiler (borderline leprosy). Penilaian untuk tanda-tanda fisik terdapat pada 3 area
umum: lesi kutaneus, neuropathi, dan mata.8
Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit. Makula
hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang pertama
kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin menjadi
hipoesthetik. Lesi pada bokong sering sebagai indikasi tipe borderline.8
Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra9 :
1. Neuropathy sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi
neuropathy motorik murni dapat juga muncul.
2. Mononeuropathy dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan
peroneal yang lebih sering terlibat
3. Neuropathy perifer simetris dapat juga timbul
Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk berikut9:
1. Anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit yang
menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya
kerusakan motoris dan sensoris.
2. Deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang
diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (ct. claw hand atau drop foot menyusul
kelemahan otot)
3. Gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia
dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf memendek
atau diregangkan
4. Lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropic sebagai konsekuensi dari hilangnya
sensoris.
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang
terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan
keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf1:
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing
kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, tidak mampu aduksi ibu jari,clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu
jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan
kolaps arkus pedis
6. N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal)
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mataditemukan di klinik
sehari-hari, dengan gejala khas berupa kehilangan sistem sensorik maupun kelemahan
motorik. Karakter dan distribusi terjadinya gejala tersebut tergantung dari tipe
neuropatinya.
Gejala yang terlihat pada suatu reaksi9:
1. Reaksi reversal – onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya
lesi-lesi kulit yang baru
2. Reaksi ENL – nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan
mata merah
3. Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang
menghasilkan claw hand atau drop foot.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis
palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama
akan menyebabkan kebutaan.10,11
DIAGNOSIS-KRITERIA
Diagnosa dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis dan symptom.
Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau multiple yang biasanya dengan pigmentasi lebih sedikit
dibandingkan kulit normal yang mengelilingi. Kadang lesi tampak kemerahan atau berwarna
tembaga. Beberapa variasi lesi kulit mungkin terlihat, tapi umumnya berupa makula (datar),
papula (menonjol), atau nodul. Kehilangan sensasi merupakan tipikal dari lepra. Lesi pada
kulit mungkin menunjukkan kehilangan sensasi pada pinprick atau sentuhan halus. Saraf
yang menebal, terutama cabang saraf perifer merupakan ciri-ciri lepra. Saraf yang menebal
biasanya disertai oleh tanda-tanda lain sebagai hasil dari kerusakan saraf. Ini dapat
mengakibatkan berkurangnya sensasi pada kulit dan kelemahan otot-otot yang dipersarafi
oleh saraf yang terserang. Pada ketidakhadiran tanda-tanda tadi, hanya penebalan saraf, tanpa
berkurangnya sensori dan atau kelemahan otot menjadi tanda yang kurang reliable bagi lepra.
Smear pada kulit dengan hasil positif: pada proporsi kecil dari kasus-kasus, bentuk batang,
basil lepra tercat merah, dimana merupakan diagnostic dari penyakit, dapat terlihat pada
sediaan yang diambil dari kulit yang terinfeksi saat diperiksa dibawah mikroskop sesudah
mengalami pengecatan yang tepat.12,13
Seseorang yang menunjukkan kelainan kulit atau dengan symptom yang mengarah
kepada kerusakan saraf, dimana pada dirinya tanda kardinal tidak didapatkan atau diragukan
sebaiknya disebut ‘’suspek kasus’’. Individu dengan hal tersebut sebaiknya diberitahu tentang
fakta-fakta dasar dari lepra dan disarankan untuk kembali ke pusat kesehatan jika gejala tetap
ada selama lebih dari enam bulan atau jika ditemukan gejala makin memburuk. Suspek kasus
dapat dikirim ke klinik rujukan dengan fasilitas yang lebih baik untuk diagnosis13.
Ada 3 tanda kardinal, yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk menetapkan diagnosis
dari penyakit kusta yakni7:
1. Lesi kulit yang anestesi,
2. Penebalan saraf perifer,
3. Ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif.
Klasifikasi berdasarkan pada system klinis yang bertujuan pada pengobatan terdiri
dari penggunaan jumlah dari lesi pada kulit dan saraf yang terlibat sebagai dasar untuk
mengkelompokkan pasien lepra kedalam multibasiler lepra(MB) dan pausibasiler lepra(PB).14
Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)
Pausibasiler Multibasiler
1. Lesi kulit (makula datar, papul yang
meninggi, nodus)
1-5 lesi
Hipopigmentasi/
eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi yang
jelas
>5 lesi
Distribusi lebih
simetris
Hilangnya sensasi
kurang jelas
2. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
Hanya satu cabang
saraf
Banyak cabang saraf
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi
menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 tipe yaitu Tipe
tuberculoid- tuberculoid (TT), Tipe borderline tuberculoid (BT), Tipe borderline- borderline
(BB), Tipe borderline lepromatous (BL) dan Tipe lepromatous- lepromatous (LL)
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,histopatologis, dan imunologis15. Sekarang
klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan16. Untuk program
pengobatan, WHO membaginya atas kelompok Pausibasiler (PB) dan kelompok multibasiler
(MB)14
Pada tuberkuloid leprosy, tipe lesinya adalah adanya makula yang hipopigmentasi,
anestesi, dengan pinggir yang agak tinggi dan bervariasi ukurannya dari mm sampai lesi
besar yang menutupi seluruh tubuh. Warna lesinya adalah eritema atau ungu pada pinggirnya
dan hipopigmentasi di tengah. Distribusi lesinya adalah dimana saja termasuk wajah.
Keterlibatan saraf yaitu dapat terjadinya penebalan saraf pada pinggir lesi dan sering terjadi
pembesaran saraf perifer pada nervus Ulnaris.16
Pada lepromatous Leprosy, tipe lesinya adalah makula kecil yang eritematous atau
hipopigmentasi yang akan menjadi papul, plak, nodul, dan penebalan kulit yang difus. Selain
itu, kita juga bisa menjumpai hilangnya rambut pada alis dan bulu mata (madarosis). Facies
lionina (Lion’s face) karena penebalan, nodul, dan plak yang mengubah wajah yang normal.
Warna lesinya adalah warna kulit, eritema, dan hipopigmentasi. Distribusinya adalah bilateral
simetris termasuk cuping telinga, wajah , lengan, dan pantat atau nyang paling jarang di
badan dan ekstremitas bawah. Pada membran mukosa tepatnya di lidah dijumpai plak, nodul,
atau fisura.17
Pada borderline, lesinya terdapat diantara tuberkuloid dan lepromatous dengan
makula, papul, dan plak. Ditemukan adanya anestesi dan penurunan keringat pada lesi.17
Tabel gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta Multibasiler1
Sifat Lepromatosa (LL) Borderline lepromatosa
(BL)
Mid Borderline (BB)
Lesi
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung, praktis
tidak ada kulit sehat
Simetris
Halus berkilat
Tidak jelas
Biasanya tidak jelas
Makula
Plakat
Papul
Sukar dihitung masih ada
kulit sehat
Hampir simetris
Halus berkilat
Agak jelas
Tidak jelas
Plakat
Dome-shaped (kubah)
Punched-out
Dapat dihitung, kulit
sehat jelas ada
Asimetris
Agak kasar, agak berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
BTA
Lesi kulit
Sekret hidung
Tes lepromin
Banyak (ada globus)
Banyak (ada globus)
Negatif
Banyak
Biasanya negatif
Negatif
Agak banyak
Negatif
Biasanya negatif
Tabel gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta Multibasiler1
Sifat Tuberkuloid (TT) Borderline Tuberkuloid
(BT)
Indeterminate (I)
Lesi
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
Makula saja; makula
dibatasi infiltrat
Satu, dapat beberapa
Asimetris
Kering bersisik
Jelas
Jelas
Makula dibatasi infiltrat;
infiltrat saja
Beberapa atau satu dengan
satelit
Masih asimetris
Kering bersisik
Jelas
Jelas
Hanya infiltrat
Satu atau beberapa
Variasi
Halus, agak berkilat
Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
Lesi kulit
Tes lepromin
Hampir selalu negatif
Positif kuat (3+)
Negatif atau hanya 1+
Positif lemah
Biasanya negatif
Dapat positif kuat atau
negatif
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium17
1. Hitung sel darah lengkap
2. Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests
3. HIV status, terutama nonresponder
4. Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
5. Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit
Pemeriksaan bakterioskopik1
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain
dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah tempat yang diambil untuk pemeriksaan ruitn
sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain
yang paling aktif (yang paling eritematosa dan infiltratif).
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular).
Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila
tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP). 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP, 2+ bila 1-
10 BTA dalam 10 LP, 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100 BTA rata-rata
dalam 1 LP, 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP, 6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam
1 LP. Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada
pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat
sediaan.
Tes lainnya
a. Tes Imunologi
Lepromin test15
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra, tapi tidak
untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.
leprae.0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam / 2 hari (Reaksi Fernandez), atau 3-4
minggu (Reaksi Mitsuda).
Reaksi Fernandez positif, bila terdapat indurasi dan erytema, yang menunjukkan kalau
penderita bereaksi terhadap M. leprae yaitu respon imun tipe lambat, ini seperti Mantoux
test (PPD) pada M. tuberculosis.
Sedangkan Reaksi Mitsuda bernilai :
0 : Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+1 : Papul berdiameter 4-6 mm
+2 : Papul berdiameter 7-10 mm
+3 : Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi.
Reaksi Mitsuda berkorelasi baik dengan respon imun penderita yang bernilai
prognosis. Klasifikasi histologi pada biopsi jaringan dari reaksi mitsuda memiliki
kemungkinan klinis lebih baik daripada histologi dari lesi kulit lepra itu sendiri.
b.Tes serologi1
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein
16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM), yamg juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Macam-macam
pemeriksaan serologik kusta ialah:
Uji MLPA (M. leprae Particle Aglutination)
Uji ELISA
ML dipstick (M. leprae dipstick)
REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan
klasifikasinya masih bermacam-macam. Mengenai patofisiologi yang belum jelas itu akan
diterangkan secara imunologik.1
Reaksi ini terbagi atas dua bentuk, yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan reaksi tipe
2 (ENL). Reaksi tipe 1 dapat ditandai oleh adanya neuritis akut dan atau inflamasi akut pada
kulit. Reaksi ini disebabkan oleh peningkatan respon CMI terdahap M. leprae yang
melibatkan sistem imunologi seluler. Umumnya dijumpai pada penderita kusta tipe non polar
yaitu Borderline Tuberculoid (BT), Borderline Borderline (BB), dan Borderline Lepromatosa
(BL). Gejala klinis reaksi reversal adalah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi yang baru dalam waktu relatif singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi menjadi makin eritematosa, lesi
makula menjadi infiltrat dan lesi lama bertambah luas. Adanya neuritis akut penting
diperhatikan karena sangat menentukan pemberian kortikosteroid.15
Sedangkan reaksi tipe 2 (ENL) melibatkan sistem imunologi humoral, terutama
timbul pada tipe Lepromatosa polar dan dapat juga pada BL, berarti makin tinggi tingkat
multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya ENL.10
Secara imunopatologis ENL berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara
antigen M. leprae + antibodi (IgG, IgM) +komplemenkompleks imun. Hal ini dapat terjadi
karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur berarti banyak antigen
yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem koplemen. Pada
kulit akan timbul gejala klinis berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di
lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis,
neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut.1
FENOMENA LUCIO
Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta akut di kusta lepromatosa difus ditandai
dengan infark kulit sekunder ke vaskulitis nekrosis. Fenomena Lucio secara klinis tampak
bintik-bintik tidak beraturan dengan warna merah tua disertai sensasi luka bakar, sangat jelas,
dan pusatnya berubah-ubah, yang berubah menjadi purpurik dan menjadi nekrotik
menyisakan scar stellar atropi. Secara histologi, fenomena Lucio telah dilaporkan memiliki
dua pola. Satu melibatkan vaskulitis leukositoklastis sebagai perubahan patologi mendasar,
dan yang lainnya, proliferasi sel endothelial, thrombosis, sebuah infiltrat sel mononuklear
ringan dan nekrosis ischemic. Pola pertama dianggap disebabkan oleh penyakit kompleks
imun yang disebabkan oleh leprae atau antigen kulit. Pada pola kedua, kerusakan vaksular
dianggap disebabkan oleh invasi M. leprae secara tidak langsung.11
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu
menghalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Lamprene atau Clofazimin, merupakan
bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. 11
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara
menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada
subunit beta. Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus
untuk penderita kusta dgn anemia berat. Vitamin A, untuk penderita kusta dgn kekeringan
kulit dan bersisik (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.17
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981) dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug
treatment. Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,
mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada
pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.1
Tipe Indeterminate, Tuberkuloid, Borderline Tuberkuloid: Kombinasi DDS dan
Rifampisin. DDS 100mg/hari dan rifampisin 600 mg/bulan. Diberikan 6-9 bulan, setelah itu
dilakukan pemeriksaan bakteriologi. Pengobatan dilakukan selama 2 tahun. Jika tidak ada
aktivasi secara klinis dan bakteriologi tetap negative dinyatakan relief from control (RFC)
(bebas dari pengamatan).12
Tipe Mid Borderline, Borderline Lepromatosa, Lepromatosa: Kombinasi DDS,
rifampisin, Lampren. DDS 100 mg/hari; rifampisin 600 mg/bulan; Lampren 300 mg/bulan,
diteruskan dengan 50 mg/hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3×100 mg/minggu .
Pengobatan diberikan selama 2-3 tahun. Pemeriksaan bakteriologi tiap 3 bulan. Sesudah 2-3
tahun bakteriologi tetap negative, pemberian obat dihentikan (release from treatment= RFT).
Jika setelah pengawasan tidak ada aktivitas klinis dan pemeriksaan bakteriologi selalu
negative, maka dinyatakan bebas dari pengawasan.12
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan
berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan. “Prinsip pengobatan reaksi
Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat
anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. Pada reaksi ringan, istirahat di
rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obatan penenang bila perlu, dapat
diberikan Chloroquine 150 mg 3 x sehari selama 3-5 hari, dan MDT diteruskan dengan dosis
yang tidak diubah. Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian
analgesik dan sedatif, MDT diteruskan dengan dosis tidak dirubah, pemberian obat-obat anti
reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.17
KOMPLIKASI
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan organ tangan. Trauma dan
infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jemari ataupun ekstremitas bagian
distal. Juga sering terjadi kebutaan. Hilangnya hidung dapat terjadi pada kasus LL. 18
PROGNOSIS
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih
singkat. Serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik,
prognosis menjadi kurang baik. 19
BAB IV
KESIMPULAN
Pada pasien ini dapat disimpulkan bahwa pasien ini menderita lepra yang bersifat kronis
sehingga membutuhkan pengobatan yang adekuat dan dibutuhkan kooperatif dari pasien
untuk mengontrol perjalanan penyakit lepra yang cukup panjang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007; 73-88.
2. Amiruddin, M Dali. Marwali Harahap. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit
Hipokrates 2000; 260-271.
3. Kosasih, A, Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin, Kusta, FK-UI, 1988.
4. Dorland, W.A Newman. Kamus Kedokteran Dorland edisi kedua puluh sembilan.
Jakarta: EGC. 2002; 1195
5. Huges, Richard. Epidemiology Of peripheral Neuropathy. Current Opinion in
Neurology: October 1995 - Volume 8 - Issue 5 - ppg 335-338. As seen as source at :
http://journals.lww.com/co-neurology/Citation/1995/10000/Epidemiology_of_periphe
ral_neuropathy.1.aspx. Cited on March 4th, 2011.
6. Murray, Rose Ann dkk. Mycobacterium leprae inhibits Dendritic Cell Activation and
Maturation. Available at : www.jimmunol.org . Cited on March 19th, 2011
7. World Health Organization. WHO Expert Committe on Leprosy Six Report. World
Health Organization, Geneva. 1988
8. Naafs B, Silva E, Vilani-Moreno F, Marcos E, Nogueira M, Opromolla D “Factors
influencing the development of leprosy: an overview”. Int j Lepr Other Mycobact Dis.
2001; 69 (1): 26-33
9. Sridharan R, Lorenzo NZ. Neurophaty of Leprosy. 2007. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1171421-overview Cited on March 19th, 2011
10. Martodihardjo S, Susanto RS. Reaksi Kusta dan Penanganannya. In: Sjamsoe-Daili
ES, Menaldi SI, Ismanto SR, Nilasari Hanny, editors. Kusta. 2nd ed. Balai Penerbit
FKUI Jakarta;2003.p.75-82.
11. Lewis Felisa S, Conologue T, Harrop E. Leprosy : mycobacterial infection. 2008.
Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview Cited on
March 19th, 2011
12. Sridharan R, Lorenzo NZ. Leprosy : Neurological infection. 2007. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1165419-overview Cited on March 19th, 2011
13. World Health Organization. Leprosy elimination. World Health Organization. 2009.
Available at : http://www.who.int/lep/diagnosis/en/index.html Cited on March 19th,
2011
14. World Health Organization. Leprosy elimination. World Health Organization. 2009.
Available at : http://www.who.int/lep/classification/en/index.html Cited on March
19th, 2011
15. McDougal AC. Leprosy : Clinical Aspects. Dalam : Harahap M. (ed), New Clinical
Applications Dermatology, Mycobacterial Skin Disease. Kluwer academic Publisher,
Dordrecht. 1989 : 119-136
16. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical Leprosy. In : Hastings RC. (ed). Leprosy. 2nd ed.
Churchill livingstone, Edinburgh. 1994 : 237-287
17. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aeusculapius FKUI.
2000; 74-75
18. Fitzpatrick. Thomas B dkk. Leprosy in Color Atlas and Synopsys of Clinical
Dermatology. Singapore : McGraw Hill. 2008; 1794
19. Siregar, RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta; EGC. 2005;155.
20. Longo LD, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL Loscalzo J. In: Isselbacher
KJ, editor. Harrison's Principles of Internal Medicine. 13rd ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1999 )