Download - Makalah Sistem Politik Fix
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam Trias Politica menyatakan adanya pembagian kekuasaan
menjadi 3 bagian, yakni lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga
lembaga ini bekerja secara sinergis untuk menjalankan roda pemerintahan
suatu negara, sehingga ketiga lembaga ini terlibat dalam suatu sistem politik
yang terdapat di negara tersebut. Pada garis besarnya, lembaga eksekutif
bergerak dalam menjalankan pemerintahan, lembaga legislatif bergerak
dalam bidang pembuatan undang-undang, melakukan fungsi pengawasan,
dan juga melakukan fungsi pembuatan anggaran (RAPBN), sedangkan
lembaga yudikatif bergerak dalam bidang peradilan.
Kekuasaan eksekutif dalam suatu negara ialah merupakan kekuasaan
dimana dijalankannya segala kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan
badan legislatif dan menyelenggarakan undang-undang yang telah diciptakan
oleh badan legislatif. Akan tetapi, dalam perkembangannya pada masa negara
modern seperti saat ini kekuasaan badan eksekutif jauh lebih luas karena
kekuasaannya dapat pula mengajukan rancangan undang-undang pada
lembaga legislatif. Ini menunjukkan bahwa peran lembaga eksekutif pada
masa negara modern sudah mengalami peningkatan didalam menjalankan
kekuasaan.
Dalam sejarahnya, Indonesia telah mengalami rotasi pergantian
kekuasaan. Ini ditandai dengan adanya masa kekuasaan yang dikenal dengan
3 masa, yaitu masa Orde Lama, masa Orde Baru, dan masa Orde Reformasi.
Disetiap masa memiliki ciri khas kekuasaan yang berbeda-beda. Dari
1
perbedaan setiap masa, dapat dilihat cara dalam menerapkan kekuasaannya
terhadap lembaga-lembaga yang terdapat pada masa itu.
Apabila kita membahas tentang eksekutif, kita dapat juga melihat
bagaimana pemimpin tersebut dalam memimpin lembaga eksekutifnya.
Disetiap masa yang berbeda, Indonesia mengalami beberapa kali pergantian
pemimpin. Dimulai dari Orde Lama yaitu pada saat di bawah pimpinan
Presiden Soekarno, di mana masa Orde Lama itu sendiri terbagi atas 2 masa,
yaitu masa Demokrasi Parlementer dan masa Demokrasi Terpimpin, yang
dilanjutkan dengan masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden
Soeharto selama 32 tahun, dan masa Reformasi yang telah mengalami
beberapa kali pergantian Presiden hingga sekarang ini.
Oleh karena itu, penulis mencoba menyajikan suatu makalah yang
memiliki konten seperti yang telah disebutkan di atas, dengan judul makalah
“Fungsi Lembaga Eksekutif dalam Sistem Politik Indonesia dari Masa Orde
Baru hingga Masa Reformasi.”
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka penulis dapat mengambil
suatu rumusan masalah yaitu “Bagaimanakah fungsi lembaga Eksekutif
dalam menjalankan sistem politik Indonesia dari masa Orde Lama hingga
Masa Pasca Reformasi?”.
2
BAB IILANDASAN KONSEPTUAL
A. TEORI SISTEM POLITIK
a. Analisis Sistem Politik Menurut David Easton
Pendekatan sistem politik pada mulanya terbentuk dengan mengacu pada
pendekatan yang terdapat dalam ilmu eksakta. Adapun untuk membedakan sistem
politik dengan sistem yang lain maka dapat dilihat dari definisi politik itu sendiri.
Sebagai suatu sistem, sistem politik memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu:
a. Ciri-ciri identifikasi, yaitu dengan menggambarkan unit-unit dasar dan
membuat garis batas yang memisahkan unit-unit tersebut dengan lingkunga
luarnya.
1. Unit-unit sistem politik, yaitu unsur-unsur yang mmbentuk sistem
2. Perbatasan (garis batas).
Yang termasuk sistem politik kurang lebih yang berkaitan dengan
pembuatan keputusan-keputusan yang mengikat masyarakat.
b. Input dan Output
Agar supaya sistem bekerja dengan baik, dibutuhkan input-input yang
mengalir secara konstan. Input akan membuat suatu sistem itu dapat
berfungsi; dan dengan output kita dapat mengidentifikasi pekerjaan yang
dikerjakan oleh sistem itu.
3
Apa yang terjadi di dalam suatu sistem merupakan akibat dari upaya
angggota-anggota sistem yang menanggapi lingkungan yang selalu berubah-
ubah.
c. Diferensiasi dalam suatu sistem.
Anggota-anggota dari suatu sistem paling tidak mengenal pembagian
kerja minimal yang memberikan suatu struktur tempat berlangusungnya
kegiatan-kegiatan itu.
d. Integrasi dalam suatu sistem sosial.
Suatu sistem harus memiliki mekanisme yang bisa mengintegrasi atau
memaksa anggota-anggotanya untuk bekerjasama walaupun dalam keadaan
minimal sehingga mereka dapat membuat keputusan-keputusan yang
otoritatif.
Perbedaan pendapat mulai muncul ketika harus menentukan batas antara sistem
politik dengan sistem lain yang terdapat dalam lingkungan sistem politik. Namun
demikian, batas akan dapat dilihat apabila kita dapat memahami tindakan politik
sebagai sebuah tindakan yang ingin berkaitan dengan pembuatan keputusan yang
menyangkut publik.
Pada awal abad 1950-an David Easton mengembangkan kerangka kerja untuk
menjelaskan kehidupan politik dan bagaimana penerapan secara universal. Kerangka
kerja ini disebut sebagai pendekatan sistem politik. Menurut David Easton,
kehidupan politik dilihat sebagai sebuah sistem. Kita harus memahami fungsi secara
keseluruhan tidak hanya satu bagian fungsi saja. Ini merupakan jantung dari analisis
kehidupan politik dari David Easton. Pendekatan sistem politik ini tidak hanya untuk
4
telaah perbandingan politik tapi juga dapat menjelaskan kehidupan politik suatu
Negara.
Perbedaan sistem politik dengan sistem yang lain, tidak menjadikan jurang
pemisah antara sistem politik dengan sistem yang lain. Telah kita ketahui bahwa
sistem politik merupakan suatu sistem yang terpenting dalam sebuah Negara dan
merupakan pengatur input dan output sebuah sistem dalam sebuah tata Negara.
Sebuah sistem politik dapat menjadi input bagi sistem yang lainnya.
Dalam sistem politik terdapat pembagian kerja antar anggotanya. Pembagian
kerja yang ada tidak akan menghancurkan sistem politik karena ada fungsi integratif
dalam sistem politik.
Input
Input dalam sistem politik dibedakan menjadi dua, yaitu kebutuhan dan
dukungan. Input yang berupa kebutuhan muncul sebagai konsekuensi dari
kelangkaan atas berbagai sumber-sumber yang langka dalam masyarakat.
Input tidak akan sampai (masuk) secara baik dalam sistem politik jika tidak
terorganisir secara baik. Oleh sebab itu komunikasi politik menjadi bagian
penting dalam hal ini. Terdapat perbedaan tipe komunikasi politik di negara
yang demokratis dengan negara yang nondemokratis. Tipe komunikasi politik
ini pula yang nantinya akan membedakan besarnya peranan dari organisasi
politik.
Ada dua jenis pokok input, yang memberikan enerji dan bahan informasi
yang akan diproses oleh sistem tersebut dalam suatu sistem politik, yaitu:
1. Tuntutan. Tuntutan-tuntutan (bersal dari orang-orang atau kelompok-
kelompok dalam masyarakat) disalurkan dengan suatu usaha yang
5
diorganisasikan secara khusus dalam masyarakat yang kemudian menjadi
input dalam sistem politik. Tuntutan ini terbagi dua, yaitu tuntutan eksternal
(luar sistem) dan tuntutan internal (dalam sistem)
2. Dukungan. Input dukungan (support) menjadi enerji untuk menjaga
keberlangusungan fungsi sistem politik itu sendiri, yaitu berupa bentuk
tindakan atau pandangan yang memajukan dan merintangi suatu sistem
politik, tuntutan-tuntutan di dalamnya, dan keputusan-keputusan yang
dihasilkannya.
a. Wilayah dukungan, yaitu mengarah pada tiga sasaran: komunitas, rejim,
dan pemerintah.
b. Kuantitas dan Ruang-lingkup Dukungan. Jumlah dukungan tidak mesti
seimbang dengan luas ruang lingkupnya.
Output
Output merupakan keputusan otoritatif (yang mengikat) dalam
menjawab dan memenuhi input yang masuk. Output sering dimanfaatkan
sebagai mekanisme dukungan dalam rangka memenuhi tuntutan-tuntutan
yang muncul.
Output (keputusan) dari suatu sistem politik merupakan pendorong
khas bagi anggota-anggota dari suatu sistem untuk mendukung sistem itu.
Dorongan dapat bersifat positif maupun negatif. Dalam hal ini, pemerintah
memiliki tanggung jawab tertinggi untuk menyesuaikan atau
menyeimbangkan output berupa keputusan dengan input berupa tuntutan.
6
Politisiasi sebagai Mekanisme Dukungan
Cadangan-cadangan yang telah diakumulasikan sebagai akibat dari
keputusan-keputusan yang lalu bisa ditingkatkan dengan suatu metode rumit
untuk menghasilkan dukungan secara tetap melalui proses yang disebut
politisiasi. Politisiasi sendiri memiliki pengertian sebagai cara-cara yang
ditempuh anggota masyarakat dalam mempelajari pola-pola politik.
Lingkungan
Lingkungan mempunyai peranan penting berupa input, baik
kebutuhan ataupun dukungan. Kemampuan anggota sistem politik dalam
mengelola dan menanggapi desakan ataupun pengaruh lingkungan
bergantung pada pengenalannya pada lingkungan itu sendiri. Lingkungan
merupakan semua sistem lain yang tidak termasuk dalam sistem politik.
Secara garis besar, lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan dalam
(intra societal) dan lingkungan luar (extra societal).
Setidaknya ada dua kritik yang dilontarkan atas gagasan Easton, yaitu
adanya anggapan bahwa pemikiran Easton terlalu teoretis sehingga sulit
untuk diaplikasikan secara nyata. Selain terlalu teoretis, pemikiran Easton
dianggap tidak netral karena hanya mengedepankan nilai-nilai liberal Barat
dengan tanpa memperhatikan kondisi pada masyarakat yang sedang
berkembang.
b. Pendekatan Struktural Fungsional Gabriel Almond
Pendekatan struktural fungsional merupakan alat analisis dalam
mempelajari sistem politik, pada awalnya adalah pengembangan dari teori
7
struktural fungsional dalam sosiologi. Dalam pendekatan ini, sistem politik
merupakan kumpulan dari peranan-peranan yang saling berinteraksi. Menurut
Almond, sistem politik adalah sistem interaksi yang terdapat dalam semua
masyarakat yang bebas dan merdeka yang melaksanakan fungsi-fungsi
integrasi dan adaptasi (baik dalam masyarakat ataupun berhadap-hadapan
dengan masyarakat lainnya). Semua sistem politik memiliki persamaan
karena sifat universalitas dari struktur dan fungsi politik. Mengenai fungsi
politik ini, Almond membaginya dalam dua jenis, fungsi input dan output.
Almond menggunakan pendekatan perbandingan dalam menganalisa
jenis sistem politik, yang mana harus melalui tiga tahap, yaitu:
Tahap mencari informasi tentang sobjek. Ahli ilmu politik memiliki
perhatian yang fokus kepada sistem politik secara keseluruhan,
termasuk bagian-bagian (unit-unit), seperti badan legislatif, birokrasi,
partai, dan lembaga-lembaga politik lain.
Memilah-milah informasi yang didapat pada tahap satu berdasarkan
klasifikasi tertentu. Dengan begitu dapat diketahui perbedaan suatu
sistem politik yang satu dengan sistem politik yang lain.
Dengan menganalisa hasil pengklasifikasian itu dapat dilihat
keteraturan (regularities) dan ubungan-hubungan di antara berbagai
variabel dalam masing-masing sistem politik.
Terkait dengan hubungannya dengan lingkungan, perspektif yang
digunakan adalah ekologis. Keuntungan dari perspektif ekologis ini adalah
dapat mengarahkan perhatian kita pada isu politik yang lebih luas. Agar dapat
membuat penilaian yang objektif maka kita harus menempatkan sistem
politik dalam lingkungannya. Hal ini dilakukan guna mengetahui bagaimana
lingkungan-lingkungan membatasi atau membantu dilakukannya sebuah
8
pilihan politik. Sifat saling bergantung bukan hanya dalam hubungan antara
kebijaksanaan dengan sarana-sarana institusional saja, namun lembaga-
lembaga atau bagian dari sistem politik tersebut juga saling bergantung.
Untuk dapat mengatasi pengaruh lingkungan, Almond menyebutkan enam
kategori kapabilitas sistem politik, yaitu kapabilitas ekstraktif, kapabilitas
regulatif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas responsif,
kapabilitas domestik dan internasional.
Ciri sistem politik menurut Gabriel A. Almond:
Semua sistem politik mempunyai sturukut politik
Semua sistem politik, baik yang modern maupun primitif, menjalankan
fungsi yang sama walaupun frekuensinya berbeda yang disebabkan oleh
perbedaan struktur. Kemudian sistem politik ini strukturnya dapat
diperbandingkan, bagaimana fungsi-fungsi dari sistem-sistem politik itu
dijalankan dan bagaimana pula cara/gaya melaksanakannya.
Semua struktur politik mempunyai sifat multi-fungsional, betapapun
terspesialisasinya sistem itu.
Semua sistem politik adalah merupakan sistem campuran apabila
dipandang dari pengertian kebudayaan.
c. Analisis Struktural Fungsional dalam Sistem Politik
Menurut Gabriel Almond, dalam setiap sistem politik terdapat enam
struktur atau lembaga politik, yaitu kelompok kepentingan, partai politik,
badan legislatif, badan eksekutif, birokrasi, dan badan peradilan. Dengan
melihat keenam struktur dalam setiap sistem politik, kita dapat
membandingkan suatu sistem politik dengan sistem politik yang lain. Hanya
saja, perbandingan keenam struktur tersebut tidak terlalu membantu kita
9
apabila tidak disertai dengan penelusuran dan pemahaman yang lebih jauh
dari bekerjanya sistem politik tersebut.
Suatu analisis struktur menunjukkan jumlah partai politik, dewan
yang terdapat dalam parlemen, sistem pemerintahan terpusat atau federal,
bagaimana eksekutif, legislatif, dan yudikatif diorganisir dan secara formal
dihubungkan satu dengan yang lain. Adapun analisis fungsional
menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi tersebut
berinteraksi untuk menghasilkan dan melaksanakan suatu kebijakan.
Input yang masuk dalam sistem politik disalurkan oleh lembaga
politik, kemudian akan menghasilkan output, berupa keputusan yang sah dan
mengikat yang sebelumnya melalui proses konversi. Dalam konversi terjadi
interaksi antara faktor-faktor politik, baik yang bersifat individu, kelompok
ataupun organisasi. Fungsi input, meliputi sosialisasi politik dan rekruitmen
politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, dan komunikasi politik.
Sedangkan fungsi output, antara lain pembuatan kebijakan, penerapan
kebijakan, dan penghakiman kebijakan.
Keunggulan dari kedua ragam pendekatan yang dikembangkan oleh
Easton dan Almond antara lain adalah:
Dalam membuat analisis politik, Easton dan Almond selalu peka akan
kompleksitas antara sistem politik dengan sistem sosial yang lebih
besar, yang mana sistem politik adalah sub-sistemnya.
Kesederhanaan pendekatan. Konsep ini dapat dipakai untuk
menganalisis berbagai macam sistem politik, demokratis atau otoriter,
tradisional atau modern, dan sebagainya. Konsep Easton dan Almon
berasumsi bahwa semua sitem memproses komponen-komponen yang
10
sama sehingga kedua pendekatan itu bermanfaat dalam upaya mencari
metode analisis dan pembandingan sistem politik yang seragam.
Konsep yang diajukan oleh Almond memberi arahan untuk mencari
data baru yang dapat meluaskan cakrawala perhatian ke masyarakat
non-Barat dan non-”modern”.
Kelemahan dari konsep atau pendekatan yang dikembangkan oleh
Easton dan Almond:
Analisis yang dikemukakan (baik sistem maupun struktural-fungsional)
tidak memberikan rumusan yang terbukti secara empirik (tidak
menghasilkan teori).
Tidak menjelaskan hubungan sebab-akibat. Kedua pendekatan itu lebih
mentitikberatkan pada penjelasan analisis.
Analisis struktural-fungsional Almond memiliki masalah ketidakjelasan
konsep tentang fungsi. Almond tidak menjelaskan garis-garis yang
membatasi fungsi-fungsi dalam masyarakat politik.
Kedua pendekatan itu dikritik karena sangat dipengaruhi oleh ideologi
demokrasi-liberal Barat. Terlihat jelas pada asumsi Almond yang
mengatakan bahwa fungsi-fungsi yang ada di sistem politik di Barat
pasti juga ada di sistem non-Barat.
Kedua pendekatan itu juga dikritik kecenderungan ideologisnya karena
cara memandang masyarakat yang terlalu organismik. Easton dan
Almond menyamakan masyarakat dengan organisme, yang selalu
terlibat dalam proses diferensiasi dan koordinasi. Selain itu mereka juga
memandang masyarakat sebagai makhluk biologis yang selalu mencari
keseimbangan dan keselarasan.
11
Obsesi Almond tentang ekuilibrum dan kestabilan telah
membuatnya keliru tentang manfaat yang mungkin terdapat dalam dis-
ekuilibrum, seperti revolusi atau perang kemerdekaan. Dis-ekuilibrum bisa
dipakai untuk mencniptakan keadilan sosial, ketika cara-cara konvensional
tidak mungkin dilakukan. Contohnya perang kemerdekaan melawan
penjajah atau pemberontakan melawan kediktatoran.
B. LEMBAGA EKSEKUTIF
Lembaga Eksekutif adalah Lembaga Penyelenggara Kekuasaan
Negara yang berfungsi menjalankan undang-undang. Di negara-negara
demokratis, secara sempit lembaga eksekutif diartikan sebagai kekuasaan
yang dipegang oleh raja atau presiden, beserta menteri-menterinya
(kabinetnya). Dalam arti luas, lembaga eksekutif juga mencakup para
pegawai negeri sipil dan militer. Oleh karenanya sebutan mudah bagi
lembaga eksekutif adalah pemerintah. Lembaga eksekutif dijalankan oleh
Presiden dan dibantu oleh para menteri. Jumlah anggota eksekutif jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan jumlah anggota legislatif, hal ini bisa dimaknai
karena eksekutif berfungsi hanya menjalankan undang-undang yang dibuat
oleh legislatif. Pelaksanaan undang-undang ini tetap masih diawasi oleh
legislatif.
Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Di
negara-negara demokratis badan eksekutif biasanya terdiri atas kepala negara
seperti raja atau presiden, beserta menteri-menterinya. Badan eksekutif dalam
arti luas juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer.
Jumlah anggota badan eksekutif jauh lebih kecil daripada jumlah
anggota badan legislatif, biasanya 20 atau 30 orang. Sedangkan badan
12
legislatif ada yang anggotanya sampai 1.000 oranglebih. Badan eksekutif
yang kecil dapat bertindak cepat dan memberi pimpinan yang tepat serta
efektif, dalam hal ini ia berbeda dengan badan legislatif yang biasanya terlalu
besar untuk mengambil keputusan dengan cepat.(Miriam,295:2008)
Badan Eksekutif Indonesia terletak pada Presiden yang mempunyai
2 kedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Tugas-tugas lembaga eksekutif :
Administratif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan
perundangan lainnya dan menyelenggarakan administrasi negara.
Legislatif, yaitu membuat rancangan undang-undang dan membimbingnya
dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang.
Keamanan, artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan
bersenjata, menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta keamanan
dalam negeri.
Yudikatif, yaitu memberi grasi, amnesti dan sebagainya.
Diplomatik, yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan
diplomatik dengan negara-negara lain. (Miriam, 2008:296)
13
BAB IIIPEMBAHASAN
A. Perkembangan Sistem Politik Indonesia dari Masa Orde Lama hingga pasca Masa Reformasi
a. Sistem Politik pada Masa Orde Lama
Pada zaman orde lama di bawah kepemimpinan Bung Karno, saat itu
Indonesia baru menunjukkan eksistensinya sebagai negara yang merdeka,
negara yang berdaulat, dan negara yang baru saja merasakan nikmatnya
sebuah kebebasan. Dengan semangat kemerdekaan itulah Indonesia setapak
demi setapak namun pasti menuju ke arah kemajuan.
Pada masa Orde Lama terdapat 2 sistem pemerintahan, yaitu:
1. Masa Demokrasi Parlementer
Pada massa Demokarasi Parlementer, Presiden hanya sebagai Kepala
Negara, sedangkan Kepala Pemerintahannya dipegang oleh Perdana
Menteri. Parlemen bertanggung jawab kepada Parlemen dan dapat
menjatuhkan kabinet dengan mosi tidak percaya. Hal ini terjadi karena
keanggotaannya di dominasi anggota partai sehingga sering tetrjadi
pergantian kabinet. Dan hal itu sering terjadi pada masa demokrasi
parlementer yang mengakibatkan jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin
oleh Perdana Menteri. Akibatnya, pemerintahan tidak stabil dan program-
program pemerintahan yang dilaksanakan lembaga eksekutif tidak bisa
terealisasi, begitu juga dengan rancangan undang-undang yang dibuat oleh
lembaga legislatif yang sering disebut dengan Dewan Konstituante tidak
bisa diselesaikan. Sebagai akhir dari masa demokrasi Parlementer adalah
dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli tahun 1959.
14
2. Masa Demokrasi Terpimpin
Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk
melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib
parpol ditentukan oleh presiden (10 parpol yang diakui). Pada masa ini
presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tidak
ada kebebasan mengeluarkan pendapat karena sistem kepemimpinan
dalam pemerintahan dibawah komando presiden dan komunikasi satu arah.
Semua lembaga yang pernah ada dibubarkan oleh presiden dan diganti
dengan orang-orang pilihan presiden sendiri. Presiden pula yang
menetapkan seluruh anggota parlemen dan anggota lembaga eksekutif
yang membantu presiden dalam menjalankan kekuasaan. Presiden
Soekarno mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup,
berkembangnya ideologi partai-partai yang beraliran NASAKOM
(Nasionalis, Agama dan Komunis), dan Indonesia keluar dari organisasi
dunia yaitu PBB. Sebagai akhir dari masa demokrasi terpimpin adalah
dengan adanya pemberontakan PKI pada tahun 1965.
b. Sistem Politik pada Masa Orde Baru
Sistem politik pada masa ini juga menganut sistem pemerintahan
Presidensiil, di mana Presiden merupakan center of power. Dengan demikian
Orde Baru telah menjadi kekuatan kontrol Pemerintah yang terlegitimasi
(secara formal-yuridis) dan tidak merefleksikan konsep keadilan, asas-asas
moral dan wawasan kearifan yang tidak hidup dalam masyarakat awam, hal
ini terlihat gerakan-gerakan dari bawah untuk menuntut hak-hak asasi, yang
justru lebih kuat dan terjadi dimasa kejayaannya ide hukum revolusi diawal
tahun 1960-an.
Hubungan dan kedudukan antara eksekutif (Presiden) dan legislatif
(DPR) dalam sistem UUD 1945 sebenarnya telah diatur. Dimana kedudukan
15
dua lembaga ini (Presiden dan DPR) adalah sama karena kedua lembaga ini
adalah merupakan lembaga tinggi negara (Tap MPR No.III/MPR/1978).
Namun dalam praktik ketatanegaraan dan proses jalannya pemerintahan pada
masa rezim Orde Baru, kekuasaan eksekutif begitu dominan terhadap semua
aspek kehidupan kepemerintahan dalam negara kita, terhadap kekuasaan
legislatif maupun terhadap kekuasaan yudikatif.
Keadaan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena pengaturan
yang terdapat di dalam UUD 1945 memungkinkan terjadinya hal ini. Oleh
sebab itu, tidak salah pula apabila terdapat pandangan yang menyatakan
bahwa UUD 1945 menganut supremasi eksekutif.
Selama Orde Baru tak bisa dilepaskan dari doktrin dwifungsi ABRI.
Sebagai salah satu kekuatan yang tersisa setelah Partai Komunis Indonesia
hancur, ABRI mau tidak mau menambah perannya tidak sekedar kekuatan
pertahanan dan keamanan tetapi juga kekuatan sosial dan politik. Hal ini
didasarkan pada konsep bahwa stabilitas politik bisa tercipta kalau ada
campur tangan ABRI dalam politik. Untuk itu ABRI mencari pembenaran
campur tangan dalam politik.
Walaupun demikian, sebenarnya pada masa Orde Baru, kalau dilihat
dari segi fisik, Indonesia sangat berkembang dan maju. Di berbagai tempat -
terutama di kota-kota besar- bangunan-bangunan besar dan mewah didirikan.
Tapi kalau ditinjau dari segi politik, semakin menurun. Karena ‘trias politika’
sebagai lembaga-lembaga tertinggi negara, yang berfungsi hanya lembaga
eksekutif saja, sementara dua lembaga lainnya, baik itu lembaga legistatif dan
yudikatif kurang atau bahkan tidak berfungsi sama sekali. Kedua lembaga ini
tunduk di bawah lembaga eksekutif. Keduanya tak lebih hanyalah sebagai
‘robot’ yang gerak-geriknya diatur oleh lembaga eksekutif. Demikian juga
dari segi ekonomi, selama orde baru berkuasa, kurang berkembang, bahkan
mengalami krisis yang berkepanjangan.
16
Orde Baru yang telah ditinggalkan bangsa Indonesia telah
meninggalkan banyak warisan. Di bidang politik, dominasi eksekutif yang
berakhir dengan dominasi lembaga kepresidenan telah menyebabkan banyak
kerancuan. Presiden menjadi sangat berkuasa tidak hanya dalam konteks
kelembagaan bahkan jabatan presiden telah berubah jadi personifikasi
Soeharto.
Jatuhnya kekuasaan pada masa Orde Baru diawali dengan
serangkaian unjuk rasa mahasiswa terhadap pemerintahan. Mahasiswa
menganggap pada masa itu pemerintah tidak berhasil dalam mengendalikan
stabilitas politik dan ekonomi. Akhirnya presiden Soeharto lengser karena
dianggap semua yang terjadi adalah karena tanggungjawabnya yang
memberikan persetujuan akan kebijakan yang merugikan rakyat.
c. Sistem Politik Masa Pasca Reformasi
Setelah rezim Orde Baru jatuh dan presiden Suharto lengser, maka
presiden Suharto memberikan mandat kepada wakil presiden Habibie.
Pemerintahan yang dipegang oleh Habibie hanya beberapa bulan saja. Ini
dikarenakan adanya tekanan untuk mengadakan pemilu yang demokratis.
Hingga pada tahun 1999 dilaksanakanlah agenda pemilu yang pertama kali di
Indonesia.
Indonesia memulai kehidupan barunya dengan melaksanakan pemilu
secara jurdil dan demokratis. Masa ini cukup dikenal sebagai "orde
reformasi". Sebuah orde di mana saat itu dilakukan reformasi secara total
dengan agenda-agenda yang sejak lama direncanakan dan terjadi perombakan
dalam segala bidang secara bertahap diawali dengan pergantian presiden dan
kabinet di dalam pemerintahan
Pada masa ini, system pemerintahan Indonesia mulai menggunakan
sistem pemerintahan presidensiil. Ini ditandai dengan berjalannya kekuasaan
17
penuh oleh presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dengan
tetap diawasi oleh badan legislatif. Presiden bertanggung jawab penuh atas
jalannya pemerintahan kepada MPR. Kemudian adanya UUD 1945 yang
menetapkan fungsi sistem pemisahan kekuasaan sebagai adanya mekanisme
kontrol antara Presiden dan MPR
Kemudian adanya pengakuan HAM (Hak Azasi Manusia) dan
kebebasan pers pada masa reformasi. Setelah sekian lama pada masa Orde
Baru terdapat banyak pelanggaran HAM, maka pada masa ini masyarakat
Indonesia mendesak agar pemerintah membuat suatu kebijakan dengan
memberikan suatu pengakuan terhadap adanya HAM. Lalu dibuatlah suatu
Undang-Undang tentang HAM dan dibentuk suatu lembaga yang bernama
KOMNAS HAM. Kebebasan pers yang pada saat Orde Baru sangat diatur
dan dikendalikan oleh pemerintah, kini mulai bebas dalam memberikan
informasi kepada seluruh masyarakat.
Era pemerintahan orde reformasi yang ketika dibawah kepemimpinan
Gus Dur berusaha mencoba menampilkan strategi demokratisasi yang khas
yang dikenal sebagai “demokrasi bawah”, yaitu suatu demokrasi dan upaya
demokratisasi Negara yang memprioritaskan upaya pemberdayaan dan
keberdayaan masyarakat. Menurut Gus Dur upaya menciptakan demokrasi
hampir identik dengan upaya pembangunan civil society, melalui saluran
komunikasi yang dimilikinya, ia mencoba memberikan satu kerangka kerja
bagi petani, buruh, pedagang kecil, bahkan pegawai pemerintah untuk
menyalurkan dan menata diri mereka masing-masing.
18
B. Perkembangan Lembaga Eksekutif dari Masa Orde Lama hingga Masa
Pasca Reformasi
a. Masa Orde Lama
Demokrasi Parlementer
Kedudukan lembaga eksekutif sangat dipengaruhi oleh lembaga
legislatif. Hal ini terjadi karena lembaga eksekutif bertanggung jawab
kepada lembaga legislatif. Dengan demikian, lembaga legislatif memiliki
kedudukan yang kuat dalam mengontrol dan mengawasi fungsi dan
peranan lembaga eksekutif. Dalam pertanggungjawaban yang diberikan
lembaga eksekutif maka para anggota parlemen dapat mengajukan mosi
tidak percaya kepada eksekutif jika tidak melaksanakan kebijakan dengan
baik. Apabila mosi tidak percaya diterima parlemen maka lembaga
eksekutif harus menyerahkan mandat kepada Presiden.
Demokrasi Terpimpin
Peranan lembaga eksekutif jauh lebih kuat bila dibandingkan
dengan peranannya di masa sebelumnya. Peranan dominan lembaga
eksekutif tersentralisasi di tangan Presiden Soekarno. Lembaga eksekutif
mendominasi sistem politik, dalam arti mendominasi lembaga-lembaga
tinggi negara lainnya maupun melakukan pembatasan atas kehidupan
politik. Eksekutif bisa membuat undang-undang dan seolah-olah semua
terpusat pada lembaga ini. Dalam eksekutif terjadi kesenjangan dimana
antara presiden dan jajarannya yang seharusnya memiliki kedudukan
yang sejajar, tetapi seolah presiden yang paling memegang kendali. Ex:
pengangkatan presiden seumur hidup.
Eksekutif juga mengontrol lembaga peradilan, yang dibuktikan
dengan peraturan yang intinya berbunyi bahwa ketika hakim sudah tidak
19
mampu lagi untuk memutuskan suatu perkara maka kewenangan itu di
ambil alih oleh presiden.
b. Masa Orde Baru
Kedudukan lembaga eksekutif tetap dominan. Dominasi kedudukan
eksekutif ini pada awalnya ditujukan untuk kelancaran proses pembangunan
ekonomi. Untuk berhasilnya program pem-bangunan tersebut diperlukan
stabilitas politik. Eksekutif memiliki kedudukan yang lebih kuat
dibandingkan dengan kedudukan lembaga legislatif maupun yudikatif.
Pembatasan jumlah partai politik maupun partisipasi masyarakat ditujukan
untuk menopang stabilitas politik untuk pembangunan dan kuatnya
kedudukan lembaga eksekutif di bawah Presiden Soeharto.
Kontrol eksekutif tampak lebih menonjol manakala memperhatikan
keleluasaan eksekutif dalam hal membuat regulatory laws sekalipun hanya
bertaraf peraturan pelaksanaan, alasan kedua adalah dimana perkembangan
politik pada era Orde Baru, kekuatan politik yang berkuasa di jajaran
eksekutif ternyata mampu bermanouver dan mendominasi DPR dan MPR,
dengan kompromi politik sebagai hasil trade-offs antara berbagai kekuatan
polotik. Terlihat dari Pemilihan Umum tahun 1973, dimana 100 dari 360
anggota Dewan adalah anggota yang diangkat dan ditunjuk oleh eksekutif
yaitu fraksi ABRI ditunjuk dan diangkat sebagai konsesi tidak ikutnya
anggota ABRI dalam menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum.
Konstelasi dan kontruksi tersebut dalam abad ke 20 secara sempurna menjadi
Government Social Control dan fungsi sebagai Tool of Social Engineering.
Adanya pendayagunaan wewenang konstitusional badan eksekutif
yang melibatkan diri dalam pernacangan dan pembuatan undang-undang,
karena dikusainya sumber daya yang ratif berlebihan akan menyebabkan
20
eksekutif mampu lebih banyak berprakasa, yang seharusnya alih ide dan
kebijakan diperakasai oleh lembaga perwakilan akan tetapi pada
kenyataannya justru ide dan prakasa eksekutif yang lebih banyak merintis
dan mengontrol perkembangan.
Presiden juga memiliki kewenangan untuk menentukan keanggotaan
MPR (pasal 1 ayat 4 huruf c UU No.16 Tahun 1969 jo UU No.2 Tahun
1985). Suatu hal yang sangat tidak pantas dan tidak pas dengan logika
demokrasi. Sistem kepartaian yang menguntungkan Golkar, eksistensi ABRI
yang lebih sebagai alat penguasa daripada alat negara, DPR dan pemerintah
yang dikuasai partai mayoritas menyebabkan DPR menjadi tersubordinasi
terhadap pemerintah. Hal ini pula yang menyebabkan fungsi pengawasan
terhadap pemerintah (Eksekutif) yang seharusnya dilaksanakan oleh
DPR/MPR (legislatif) menjadi tidak efektif.
c. Masa Reformasi
Di masa Reformasi yang dimulai dari tumbangnya rezim autoritarian
yang dipimpin oleh Soeharto, kedudukan lembaga eksekutif setara dengan
lembaga pemerintahan yang lain, yaitu lembaga legislatif dan lembaga
yudikatif. Dalam perkembangannya, lembaga eksekutif yang dipimpin oleh
presiden tidak menjadi lembaga paling kuat dalam pemerintahan, karena
lembaga eksekutif diawasi oleh lembaga legislatif, masyarakat (terutama
mahasiswa, ormas, LSM, dan media massa) dalam menjalankan
pemerintahan, serta akan ditindaklanjuti oleh lembaga yudikatif jika terjadi
pelanggaran, sesuai dengan Undang-Undang. Justru pada masa Reformasi
hingga detik ini, lembaga eksekutif selalu bertindak hati-hati dalam
menjalankan pemerintahan, jika tidak hati-hati dalam mengambil dan
melaksanakan kebijakan, maka lembaga eksekutif akan mendapatkan tekanan
dari segala kalangan, baik itu dari lembaga pemerintahan lain maupun
21
kelompok-kelompok kepentingan (NGO), dan terutama dari mahasiswa yang
semakin menyadari perannya sebagai agent of control. Rekruitmen anggota
lembaga eksekutif ditetapkan berdasarkan hasil pemilu, perjanjian dengan
partai koalisi maupun dengan ditunjuk oleh Presiden.
C. Tabel Perbandingan Sistem Politik di Indonesia dari Masa Orde Lama
sampai Masa Pasca Reformasi
JENIS PERBANDINGAN
ORDE LAMAORDE BARU
PASCA REFORMASIDEMOKRASI
PARLEMENTERDEMOKRASI TERPIMPIN
SISTEM POLITIK
Menggunakan sistem pemerintahan parlementer.
Presiden hanyalah sebagai kepala Negara.
Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri.
Perdana menteri bertanggung jawab kepada Parlemen.
Parlemen bisa menjatuhkan kabinet dengan mosi tidak percaya.
Sering terjadi pergantian kabinet yang dikarenakan pergeseran koalisi antar partai.
Pemerintahan tidak stabil.
Program-program pemerintahan yang dilaksanakan lembaga eksekutif tidak bisa
Menggunakan sistem pemerintahan Presidensiil
Presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan
Kepemimpinan berada di bawah komando Presiden secara langsung
Peran lembaga-lembaga pemerintahan saat itu lumpuh
Presiden Soekarno mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup
Meluasnya peranan militer sebagai unsur sosial politik.
Partai politik dibatasi dengan hanya memberi peluang berkembangnya partai-partai berideologi NASAKOM.
Akhir dari masa demokrasi terpimpin adalah dengan adanya pemberontakan PKI
Sistem politik pada masa ini menganut sistem pemerintahan Presidensiil
Presiden merupakan center of power
Lembaga eksekutif saat itu merupakan lembaga yang paling kuat dibandingkan lembaga-lembaga lain
kinerja lembaga legislatif berada di bawah tekanan Presiden
Lembaga yudikatif yang tidak bisa menegakkan supremasi hukum yang
disebabkan karena lembaga yudikatif merupakan lembaga yang berada di bawah naungan Menteri
Menggunakan sistem pemerintahan presidensiil
Terjadi perombakan dalam segala bidang secara bertahap diawali dengan pergantian presiden dan kabinet di dalam pemerintahan
Pengadaan pengakuan HAM dan kebebasan pers
Sistem presidensiil bercampur baur denganelemen-elemen sistem parlementer
Pertanggung jawaban Presiden kepada MPR
UUD 1945 menetapkan adanya fungsi sistem pemisahan kekuasaan sebagai
22
terealisasi. Akhir dari masa
demokrasi Parlementer adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli tahun 1959.
pada tahun 1965. Kehakiman yang notabene merupakan pejabat eksekutif
Tidak ada pengawasan atau check and balance terhadap kinerja lembaga eksekutif
Tidak ada yang berani menentang Presiden
Presiden mengontrol rekruitmen lembaga tinggi Negara.
adanya mekanisme kontrol antara Presiden dan MPR
Lebih mengarah kepada proses demokratisasi.
PERAN LEMBAGA EKSEKUTIF DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA(GABRIEL ALMOND)
Rekruitmen politik: penetapan anggota lembaga legislatif dan perdana menteri dilakukan oleh parlemen.
Sosialisasi politik: karena jatuh bangunnya parlemen menyebabkan proses sosialisasi politik yang berupa sosialisasi dan penerapan program pemerintah terhambat.
Komunikasi politik: banyak didominasi oleh parlemen karena lembaga eksekutif berada di bawah pengaruh parlemen.
Hubungan dengan eksekutif: karena pada masa demokrasi perlementer
Rekruitmen politik: pemilihan anggota lembaga legislatif dilakukan oleh Presiden secara langsung.
Sosialisasi politik: dilakukan oleh Presiden, di mana program pemerintahan disosialisasikan secara paksa (harus dilaksanakan oleh birokrasi dan jajarannya serta oleh rakyat).
Komunikasi politik: didominasi oleh Presiden, karena sistem pemerintahannya terpimpin.
Eksekutif bisa membuat undang-undang dan seolah-olah semua terpusat pada lembaga ini.
Dalam eksekutif terjadi kesenjangan dimana antara presiden dan
Rekruitmen politik: pemilihan anggota eksekutif ditentukan oleh Presiden dengan menempatkan orang-orang kepercayaannya, kerabat, dan ABRI, sehingga Presiden mempunyai kekuasaan penuh untuk mengontrol lembaga-lembaga pemerintahan tersebut. rekruitmen politik juga berdasarkan hasil Pemilu yang dilakukan saat itu.
Sosialisasi politik: dipaksakan (harus dilaksanakan) tanpa protes, jika ada yang melawan akan berhadapan dengan pemerintah,
Rekruitmen politik: penetapan anggota eksekutif berdasarkan hasil Pemilu (Presiden dan Wakil Presiden), sedangkan jajaran kabinet ditetapkan berdasarkan hasil Pemilu, kesepakatan dengan partai koalisi, dan ditunjuk oleh Presiden.
Sosialisasi politik: diapksakan (harus dilaksanakan), namun diawasi oleh rakyat, sehingga jika ada program pemerintah yang dianggap menyimpang atau merugikan rakyat akan
23
kabinet sering bergonta-ganti mengakibatkan peran eksekutif manjadi mandul yang dikarenakan program kerja dari tiap-tiap kabinet yang berbeda-beda serta terlalu banyak padahal masa baktinya sangat pendek.
Keadaan birokrasi pada masa itu sangat politis sekali karena pada jabatan menteri seringnya dikuasai oleh partai politik sehingga mengakibatkan semua bawahan dari para mentri itu kebanyakan didominasi dari pihak partai politik dan bisa dipastikan mereka juga membawa kepentingan golongan maupun partai politik tersebut.
Keadaan birokrasi berikutnya: dikarenakan terlalu tingginya semangat kepentingan dari kelompok-kelompok/partai politik mengakibatkan terjadi kerjasama yang tidak sehat antara eksekutif dengan para pengusaha untuk memperlancar usaha mereka.
jajarannya yang seharusnya memiliki kedudukan yang sejajar, tetapi seolah presiden yang paling memegang kendali. Ex: pengangkatan presiden seumur hidup.
Eksekutif juga mengontrol lembaga peradilan, yang dibuktikan dengan peraturan yang intinya berbunyi bahwa ketika hakim sudah tidak mampu lagi untuk memutuskan suatu perkara maka kewenangan itu di ambil alih oleh presiden.
sehingga tidak ada yang berani menentang Presiden dan kroni-kroninya, mewujudkan budaya “yes man person” di kalangan rakyat.
Komunikasi politik: berjalan satu arah, hanya dari pihak pemerintah, rakyat dibungkam aspirasinya. Jika yang dibicarakan rakyat bukanlah hal-hal yang baik tentang pemerintahan, rakyat tidak boleh bicara selain hal itu.
mendapatkan perlawanan rakyat.
Komunikasi politik: komunikasi 2 arah antara pemerintah dengan rakyat (adanya proses timbal balik dalam komunikasi politik)
24
BAB IV
ANALISIS
1. Orde Lama
a. Demokrasi Parlementer
Parlemen bisa menjatuhkan kabinet dengan mosi tidak percaya karena
lebih berperannya lembaga legislatife daripada eksekutif. Perdana menteri
bertanggung jawab kepada Parlemen
Presiden hanyalah sebagai kepala Negara kepala pemerintahan
dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Semua yang diprogramkan oleh
lembaga eksekutif tidak terealisasikan karena sering terjadi pergantian
kabinet
b. Demokrasi Terpimpin
Pada masa Demokrasi Terpimpin pemerintahan berpusat kepada
presiden. Sehingga semua berada dibawah kendali presiden. Sehingga terjadi
banyak penyimpangan yang terjadi pada masa ini. Pemerintahan ini
cenderung otoriter kerena Presiden mendeklarasikan diri sebagai Presiden
seumur hidup. Menggunakan politik berdikari yang menolak semua investor
asing menanamkan modal di Indonesia sehingga kehidupan ekonomi rakyat
Indonesia semakin terpuruk.
2. Orde Baru
Pada masa orde baru menggunakan sistem Presidensiil. Awal masa ini
presiden membentuk kabinet pembangunan dan sistem desentralisasi tetapi
realitasnya semua itu hanya janji – janji yang tidak pernah diwujudkan.
Pemerintahan ini cenderung otoriter karena semua semua kebijakan
harus dengan persetujuan Presiden. pada masa ini banyak terjadi
25
penyimpangan – penyimpangan. Banyak investor yang menanamkan
modalnya di Indonesia dengan persetujuan presiden tetapi semua diluar
dugaan. Para investor malah melarikan uang rakyat sehingga negara harus
menanggung kerugian. Menurut rakyat semua ini kesalahan presiden sehingga
menimbulkan KKN.
3. Masa Pasca Reformasi
Setelah masa orde baru tumbang maka munculah masa reformasi. Pada
masa ini menggunakan sistem presidensiil. Presiden bertanggung jawab pada
MPR. Pada masa ini terjadi perombakan disegala bidang dawali dengan
pergantian presiden dan kabinet. Penegakan sangat diakui dan dihargai oleh
semua lapisan masyarakat. Pres sangat di bebas dalam mengemukakan
pendapat. Pada masa reformasi lebih mengarah pada masa demokrasi. UUD
1945 menetapkan adanya fungsi sistem pemisahan kekuasaan sebagai adanya
mekanisme kontrol antara Presiden dan MPR. Sistem presidensiil bercampur
baur dengan elemen-elemen sistem parlementer
Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah banyak
memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi
pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
Pada masa ini kedudukan lembaga eksekutif sejajar dengan lembaga
legislatif dan yudikatif. Sehingga peran ketiga tersebut saling melengkapi satu
sama lain. Peran eksekutif menjalankan fungsinya sesuai dengan undang –
undang.
26
BAB V
KESIMPULAN
Sistem politik pada masa orde lama dibagi menjadi dua yaitu:
a. Demokrasi Parlementer
Pada masa ini peran lembaga eksekutif tidak efektif karena lebih
mendominasinya peran legislative. Perdana Mentri pertanggung jawab pada
parlemen. Presiden hanya sebagai kepala Negara dan hanya merupakan
symbol pemerintahan. Program dari lembaga eksekutif tidak direalisasikan.
b. Demokrasi Terpimpin
Pada masa ini peran lembaga eksekutif cenderung otoriter dikarenakan
peran presiden sangat mendominasi. Eksekutif dapat membuat undang –
undang dan Presiden Soekarno saat itu mendeklarasikan dirinya sebagai
Presiden seumur hidup. Semua lembaga dikontrol oleh eksekutif. Dalam
eksekutif terjadi kesenjangn dimana antara president dan jajaranya yang
seharusnya memiliki kedudukan yang sejajar, tetapi seolah presiden yang
paling memegang kendali.
Sistem Politik pada masa Orde baru
Peran lembaga eksekutif pada masa inipun mengarah pada sistem yang
otoriter. Semua kebijakan yang diajukan harus mendapatkan persetujuan
presiden. Lembaga – lembaga yang lain serasa lumpuh karena semua
berpusat pada presiden sebagai lembaga eksekutif.
27
Sistem Politik pada masa Pasca Reformasi
Terjadi perombakan dalam segala bidang secara bertahap diawali dengan
pergantian presiden dan kabinet di dalam pemerintahan karena adanya keinginan
rakyat memilik pemerintahan yang bersih tanpa adanya lembaga – lembaga yang
lebih mendominasi. Pada masa ini peran eksekutif sejajar dengan lembaga yang
lainnya. Lembaga eksekutif menjalankan fungsinya sebagai mana mestinya.
28
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo,Miriam.2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik.Jakarta : Gramedia.
http://manshurzikri.wordpress.com/2010/02/09/review-konsep-sistem-politik/untitled2/
www.google.com
http://izzahluvgreen.wordpress.com/2008/06/08/hubungan-kerja-lembaga-eksekutif-dan-yudikatif/
http://www.legalitas.org/?q=Konfigurasi+Politik+pada+Era+Orde+Lama+dan+Orde+Baru%3A+Suatu+Telaahan+dalam+Partai+Politik
29