UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK LINGKUNGAN Jalan Jenderal A. Yani Km.36 Banjarbaru – 70714
Telp.(0511) 4773858 – Fax. (0511) 4781730
Laman : http://ft.unlam.ac.id
Terima Kasih Kepada :
Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga
dapat selesai dengan baik dan tepat waktu.
MAKALAH
EPIDEMIOLOGI
INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA)
PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN
SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR
OLEH :
RIMA SARI ARISNAWATI H1E112034
AFWAN ALKARIMY H1E112052
ANTUNG NUR RAHMILIYANTI H1E112204
MARIAN NOVIEANU H1E112210
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
BANJARBARU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Batubara merupakan salah satu sumber daya alam yang
keberadaanya melimpah di Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan
Badan Geologi, Kementerian ESDM tahun 2009, total sumber daya
batubara yang dimiliki Indonesia mencapai 104.940 Milyar Ton dengan
total cadangan sebesar 21.13 Milyar Ton. Batubara merupakan sedimen
organik, lebih tepatnya merupakan batuan organik, terdiri dari kandungan
bermacam-macam pseudomineral. Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan
yang membusuk dan terkumpul dalam suatu daerah dengan kondisi
banyak air, biasa disebut rawa-rawa. Kondisi tersebut yang menghambat
penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang kemudian
mengalami proses perubahan menjadi batubara (Susilawati 1992).
Dari penambangan Batubara ini dapat membuat masalah kesehatan
khuusnya pada anak-anak yang dipengaruhi oleh dua persoalan utama
yaitu tingginya angka kesakitan dan angka kematian. Angka kesakitan dan
angka kematian merupakan salah satu indikator derajat kesehatan yang
disebabkan oleh kurangnya penanganan keluarga dalam menanggulangi
penyakit infeksi khususnya penyakit ISPA . ISPA adalah penyakit yang
sangat umum dijumpai pada anak-anak dengan gejala batuk, pilek, panas
(demam) atau gejala tersebut muncul secara bersamaan, ISPA juga dapat
menyerah orang dewasa di kawasan pertambangan karena partikulat-
partikulat yang bertebaran di udara karena aktivitas pertambangan itu
sendiri (Meadow, Sir Roy, 2002).
Dalam menurunkan angka kejadianan ISPA diperlukan peran aktif
petugas kesehatan dalam menyampaikan informasi terutama tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan ISPA, dimana salah satu faktor
yang perlu diketahui adalah cara pencegahan dan perawatan ISPA. Peran
aktif petugas salah satunya adalah dapat menyampaikannya melalui
promosi kesehatan seperti perbaikan dan peningkatan gizi, perbaikan dan
sanitasi lingkungan, pemeliharaan kesehatan perorangan dan tindakan
preventif seperti isolasi penderita penyakit ISPA dan pemberian imunisasi.
Makalah ini bertujuan mengetahui faktor resiko pertambangan batu bara
terhadap kejadian ISPA di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar,
( Notoatmojo, 2003 ).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan industri pertambangan batubara di
Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan ?
2. Bagaimana pengaruh aktivitas pertambangan batubara terhadap
kesehatan pekerja dan masyarakat disekitarnya ?
3. Apa saja faktor resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan
batu bara terhadap kejadian ISPA ?
4. Bagaimana upaya pencegahan dan penanggulangan ISPA ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui perkembangan industri pertambangan batubara di
Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
2. Mengetahui pengaruh aktivitas pertambangan batubara terhadap
kesehatan pekerja dan masyarakat disekitarnya.
3. Mengidentifikasi faktor resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas
pertambangan batu bara terhadap kejadian ISPA.
4. Memberikan informasi kepada instansi terkait dan masyarakat
mengenai penyakit ISPA, pencegahan, perawatan dan upaya
penanggulangannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian ISPA
Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan salah satu
penyakit pernafasan terberat dan terbanyak menimbulkan akibat dan kematian.
ISPA merupakan salah satu penyakit pernafasan terberat dimana penderita
yang terkena serangan infeksi ini sangat menderita, apa lagi bila udara lembab,
dingin atau cuaca terlalu panas. (Saydam, 2011)
Dari kedua pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) adalah, infeksi yang menyerang saluran
pernafasan atas yang disebabkan oleh bakteri dan virus serta akibat adanya
penurunan kekebalan tubuh penderita akibat populasi udara yang di hirup.
ISPA merupakan infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari.
Saluran pernapasan meliputi organ mulai dari hidung sampai gelembung paru,
beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan
selaput paru. ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran
pernapasan bagian bawah. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan
bersifat ringan, misalnya batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan
antibiotik. Namun demikian jangan dianggap enteng, bila infeksi paru ini tidak
diobati dengan antibiotik dapat menyebabkan anak menderita pneumoni yang
dapat berujung pada kematian (Mairusnita, 1984).
Menurut Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA, penyakit ISPA
dibagi menjadi dua golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia.
Pneumonia dibedakan atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat
dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis,
tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai
bukan pneumonia (Mairusnita, 1984).
Menurut Depkes RI tahun 2008, klasifikasi dari ISPA adalah :
1. Ringan (bukan pneumonia)
Batuk tanpa pernafasan cepat / kurang dari 40 kali / menit, hidung tersumbat /
berair, tenggorokan merah, telinga berair.
2. Sedang (pneumonia sedang)
Batuk dan nafas cepat tanpa stridor, gendang telinga merah, dari telinga keluar
cairan kurang dari 2 minggu. Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar
limfe yang nyeri tekan (adentis servikal).
3. Berat (pneumonia berat)
Batuk dengan nafas berat, cepat dan stridor, membran keabuan di taring,
kejang, apnea, dehidrasi berat / tidur terus, sianosis dan adanya penarikan yang
kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam (Depkes RI, 2008)
2.2 Gejala ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang timbul karena menurunnya sistem
kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Bakteri
dan virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan menempel pada
saluran pernafasan bagian atas, yaitu tenggorokan dan hidung. Pada stadium
awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang
kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer
serta demam dan nyeri kepala (Halim, 2000).
Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Akhirnya
terjadi peradangan yang disertai demam, pembengkakan pada jaringan tertentu
hingga berwarna kemerahan, rasa nyeri dan gangguan fungsi karena bakteri
dan virus di daerah tersebut maka kemungkinan peradangan menjadi parah
semakin besar dan cepat. Infeksi dapat menjalar ke paru-paru, dan
menyebabkan sesak atau pernafasan terhambat, oksigen yang dihirup
berkurang. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di
hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang
sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis,
infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan
pneumonia (Halim, 2000).
Penyakit pada saluran pernafasan mempunyai gejala yang berbeda yang
pada dasarnya ditimbulkan oleh iritasi, kegagalan mucociliary transport,
sekresi lendir yang berlebihan dan penyempitan saluran pernafasan. Tidak
semua penelitian dan kegiatan program memakai gejala gangguan pernafasan
yang sama. Misalnya untuk menentukan infeksi saluran pernafasan, WHO
menganjurkan pengamatan terhadap gejala-gejala, kesulitan bernafas, radang
tenggorok, pilek dan penyakit pada telinga dengan atau tanpa disertai demam.
Efek pencemaran terhadap saluran pernafasan memakai gejala-gejala penyakit
pernafasan yang meliputi radang tenggorokan, rinitis, bunyi mengi dan sesak
nafas (Purwana, 1992).
Dalam hal efek debu terhadap saluran pernafasan telah terbukti bahwa
kadar debu berasosiasi dengan insidens gejala penyakit pernafasan terutama
gejala batuk. Di dalam saluran pernafasan, debu yang mengendap
menyebabkan oedema mukos dinding saluran pernafasan sehingga terjadi
penyempitan saluran. Menurut Putranto (2007), faktor yang mendasari
timbulnya gejala penyakit pernafasan :
1. Batuk
Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi
rangsangan pada bagian-bagian peka saluran pernafasan, misalnya
trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam saluran pernafasan.
Batuk timbul sebagai reaksi refleks saluran pernafasan terhadap iritasi pada
mukosa saluran pernafasan dalam bentuk pengeluaran udara (dan lendir) secara
mendadak disertai bunyi khas.
2. Dahak
Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands)
dan sel goblet oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat,
alergen dan mikroorganisme infeksius. Karena proses inflamasi, di samping
dahak dalam saluran pernafasan juga terbentuk cairan eksudat berasal dari
bagian jaringan yang berdegenerasi.
3. Sesak nafas
Sesak nafas atau kesulitan bernafas disebabkan oleh aliran udara dalam
saluran pernafasan karena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena
saluran pernafasan menguncup, oedema atau karena sekret yang menghalangi
arus udara. Sesak nafas dapat ditentukan dengan menghitung pernafasan dalam
satu menit.
4. Bunyi mengi
Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernafasan yang
turut diobservasikan dalam penanganan infeksi akut saluran pernafasan.
2.3 Faktor-faktor terjadinya ISPA
Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu
faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.
a. Faktor lingkungan
1) Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak
dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga
akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang
keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak didalm rumah, bersatu dengan
kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih
dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah
bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.
Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara,
diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak
yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok
umur 9 bulan dan 6-10 tahun. (Maryunani, 2010).
2) Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau
dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi
dapat dijabarkan sebagai berikut mensuplai udara bersih yaitu udara yang
mengandung kadar oksigen yang optimum bagi pernafasan, membebaskan
udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat pencemar lain
dengan cara pengenceran udara, mensuplai panas agar hilangnya panas badan
seimbang, mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan,
mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh,
kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal, mendisfungsikan suhu udara
secara merata. (Maryunani, 2010).
3) Kepadatan hunian rumah
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi
dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna
antara kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi
disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan memberi
korelasi yang tinggi pada faktor ini. (Maryunani,2010).
b. Faktor individu anak
1) Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit
pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap
menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12 tahun.
(Maryunani, 2010).
2) Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik
dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan
lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah
terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan
lainnya. Penelitian menunjukan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram
dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran pernafasam
dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap status
pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa anak-anak
dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi
terhadap penyakit saluran pernafasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya.
(Maryunani, 2010).
3) Status gizi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting
untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya
hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi
buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi
buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya
daya tahan tubuh anak terhadap infeksi. Balita dengan gizi normal karena
faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan
menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan
kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA
berat” bahkan serangannya lebih lama. (Maryunani, 2010).
4) Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul
200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun.
Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang
tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu penyakit
sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok kontrol.
Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan
menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap
berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap
bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya
dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang
bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat. (Maryunani, 2010).
5) Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan
mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak.
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak,
maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas
ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status
imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. (Warung Masyrakat Informasi
Indonesia,2009).
c. Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA
pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktik penanganan ISPA di keluarga
baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga
merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam
suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi.
Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan,
maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya (Rasmaliah, 2008).
Paru merupakan organ manusia yang mempunyai fungsi sebagai
ventilasi udara, difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah, transportasi O2 dan
CO2 serta pengaturan ventilasi serta hal – hal lain dari pernapasan.8 Fungsi
paru dapat menjadi tidak maksimal oleh karena faktor dari luar tubuh atau
faktor ekstrinsik yang meliputi kandungan komponen fisik udara, komponen
kimiawi dan faktor dari dalam tubuh penderita itu sendiri atau instrinsik
(Amin,2000).
Faktor ekstrinsik yang pertama adalah keadaan bahan yang diinhalasi
(gas, debu, uap). Ukuran dan bentuk berpengaruh dalam proses penimbunan
debu, demikian pula dengan kelarutan dan nilai higroskopisnya. Komponen
yang berpengaruh antara lain kecenderungan untuk bereaksi dengan jaringan di
sekitarnya, keasaman atau tingkat alkalinitas (dapat berupa silia dan sistem
enzim). Bahan tersebut dapat menimbulkan fibrosis yang luas di paru dan dapat
bersifat antigen yang masuk paru (Epler,2000).
Faktor ekstrinsik lainnya adalah lamanya paparan, perilaku merokok,
perilaku penggunaan alat pelindung diri (APD) terutama yang dapat
melindungi sistem pernapasan dan kebiasaan berolah raga. Faktor instrinsik
dari dalam diri manusia juga perlu diperhatikan, terutama yang berkaitan
dengan sistem pertahanan paru, baik secara anatomis maupun fisiologis, jenis
kelamin, riwayat penyakit yang pernah diderita, indeks massa tubuh (IMT)
penderita dan kerentanan individu (Epler,2000).
Penumpukan dan pergerakan debu pada saluran napas dapat
menyebabkan peradangan jalan napas. Peradangan ini dapat mengakibatkan
penyumbatan jalan napas, sehingga dapat menurunkan kapasitas paru.
Dampak paparan debu yang terus menerus dapat menurunkan faal paru berupa
obstruktif. Akibat penumpukan debu yang tinggi di paru dapat menyebabkan
kelainan dan kerusakan paru. Penyakit akibat penumpukan debu pada paru
disebut pneumoconiosis. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap
adalah berkurangnya elastisitas paru, yang ditandai dengan penurunan pada
kapasitas vital paru (Mukono,2000).
2.4 Vektor penularan
ISPA adalah suatu keadaan dimana kuman penyakit berhasil menyerang
alat-alat tubuh yang dipergunakan untuk bernafas yaitu mulai dari hidung, hulu
kerongkongan, tenggorokan, batang tenggorokan sampai ke paru-paru, dan
berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Penyebab ISPA terdiri dari lebih dari 300
jenis penyakit bakteri, virus, dan riketsia. Virus penyebab ISPA antara lain
adalah golongan Miksovirus, Adenvirus, Koronavirus, Pikornavirus,
Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Dep Kes.RI, 1998 : 5)
Infeksi Saluran Pernafasan Atas disebabkan oleh beberapa golongan
kuman yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari 300
macam. Pada ISPA atas 90-95% penyebabnya adalah virus. Di negara
berkembang, ISPA bawah terutama pneumonia disebabkan oleh bakteri dari
genus streptokokus, haemofilus, pnemokokus, bordetella dan korinebakterium,
sedang di negara maju ISPA bawah disebabkan oleh virus, miksovirus,
adenivirus, koronavirus, pikornavirus dan herpesvirus (Putranto, 2007).
2.5 Mekanisme penularan
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara
pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran
pernapasannya. Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran
pernapasan bagian atas dan bawah, asma dan ibro kistik, menempati bagian
yang cukup besar pada area pediatri. Infeksi saluran pernapasan bagian atas
terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan
masyarakat pada bulan-bulan musim dingin (Mairusnita, 1984).
Organisme yang menyebabkan ISPA biasanya ditularkan melalui
droplet. Saat seorang pasien ISPA batuk atau bersin, droplet sekresi kecil dan
besar tersembur ke udara dan permukaan sekitar. Droplet besar perlahan-lahan
turun ke permukaan di sekitar penderita (biasanya dalam jarak 1 meter dari
penderita). Permukaan tersebut bisa juga terkontaminasi melalui kontak dengan
tangan, sapu tangan/tisu yang sudah dipakai, atau benda lain yang sudah
bersentuhan dengan sekret tersebut (WHO, 2008).
Cairan tubuh lain dan feses bisa juga mengandung bahan infeksius.
Karena itu, ISPA dapat ditularkan oleh aerosol dari saluran pernapasan atau
melalui kontak dengan permukaan yang telah terkontaminasi. Karena itu,
selain penggunaan alat pelindung tertentu terhadap droplet (yaitu, masker),
beberapa unsur kewaspadaan standar, seperti kebersihan pernapasan,
kebersihan tangan, kebersihan lingkungan, dan pengelolaan limbah, juga
sangat penting untuk membantu mencegah penularan ISPA (WHO, 2008).
Menurut WHO, patogen yang dapat ditularkan melalui udara dari jarak
jauh atau saat melakukan prosedur tertentu, seperti prosedur yang dapat
menimbulkan aerosol seperti dalam tabel berikut.
Tabel 2.1 prosedur yang menimbulkan aerosol menyebabkan peningkatan
risiko penularan ISPA dan cara pencegahan.
Sumber : WHO, 2008
Keterangan :
a. Misalnya, influenza like illness (ILI) tanpa faktor risiko ISPA yang dapat
menimbulkan kekhawatiran.
b. Bakteri penyebab ISPA umumnya adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Chlamydia spp., dan Mycoplasma pneumoniae.
c. Misalnya, flu musiman, flu pandemi.
d. Misalnya, flu burung.
e. Penyebab ISPA yang baru teridentifikasi, cara penularannya biasanya
tidak diketahui.
f. Membersihkan tangan sesuai dengan kewaspadaan standar.
g. Sarung tangan dan gaun pelindung harus dipakai sesuai dengan
kewaspadaan standar.
h. Bila ada kemungkinan percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan gaun
pelindung tidak tahan cairan, celemek tahan air harus dipakai menutupi
gaun pelindung.
i. Pelindung wajah (masker bedah dan pelindung mata).
j. Pada saat penyusunan pedoman ini, belum terjadi penularan flu burung
dari manusia ke manusia yang berkelanjutan dan efisien. Bukti yang ada
tidak menunjukkan penularan melalui udara dari manusia ke manusia.
k. Bukti yang ada sekarang menunjukkan bahwa penularan SARS di fasilitas
pelayanan kesehatan umumnya terjadi melalui droplet dan kontak.
l. Prosedur yang menimbulkan aerosol yang berkaitan dengan peningkatan
risiko penularan patogen pernapasan: intubasi, resusitasi jantung dan paru-
paru, dan prosedur yang terkait (misalnya, ventilasi manual, suction);
bronkoskopi; dan autopsi, atau pembedahan yang melibatkan penggunaan
peralatan kecepatan tinggi.
m. Sebagian prosedur yang menimbulkan aerosol menyebabkan peningkatan
risiko penularan SARS dan tuberkulosis. Sampai sekarang, risiko infeksi
yang disebabkan oleh prosedur yang menimbulkan aerosol pada pasien
yang menderita ISPA bakteri, ISPA yang disebabkan rhinovirus,
parainfluenza, RSV, dan adenovirus belum diketahui.
n. Bila tidak tersedia masker bedah, gunakan metode lain untuk pengendalian
sumber pathogen (misalnya, sapu tangan, tisu, atau tangan) saat batuk dan
bersin.
o. Patogen-patogen ini umum ditemukan pada anak anak yang mungkin tidak
sesuai jika menerapkan rekomendasi ini.
p. Kelompokkan pasien dengan diagnosis yang sama (cohorting).
q. Ruang untuk kewaspadaan transmisi airborne dapat diberi ventilasi alami
atau mekanis, dengan tingkat pergantian udara yang memadai setidaknya
12 ACH dan arah aliran udara yang terkontrol.
r. Bila tersedia, ruangan untuk kewaspadaan transmisi airborne harus
diutamakan untuk pasien yang mengalami infeksi patogen yang terbawa
udara (misalnya, tuberkulosis paru-paru, cacar air, campak) dan untuk
pasien ISPA yang disebabkan oleh organisme baru (WHO,2008).
2.6 Pengertian pertambangan batubara
Pemerintah gencar menggali potensi perolehan devisa dari sektor
pertambangan sebagai akibat semakin terbatasnya kemampuan negara
untuk memperoleh pendapatan dari sektor lainnya. Deposit bahan galian
(bahan mineral, batubara, bahan fosil, dan lain-lain) banyak tersebar
diberbagai daerah dengan berbagai jenis dan kapasitas, potensial untuk
dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menopang kebutuhan negara.
Hal ini penting karena Indonesia berada di kawasan vulkanik tropika basah
dengan zone penunjaman (subduction zone) yang membujur di pantai
barat, pantai selatan dan pantai utara bagian timur, sehingga memiliki
erupsi indeks >99%. Laju pasokan mineral berlangsung intensif, sehingga
Indonesia banyak memiliki deposit mineral bahan tambang. Di lain pihak
laju pelapukan mineral juga berlangsung intensif, sehingga apabila tidak
segera ditambang/ dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, deposit
bahan mineral ini akan cepat mengalami pelapukan/kerusakan dan apabila
dibiarkan akan hilang terbawa aliran air yang dapat mencemar lingkungan.
Pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi
Indonesia. Industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor
pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan
memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto
(PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja
orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit (Munir, 1996).
Aktivitas pertambangan batubara terbanyak di Kalimantan Timur
adalah Kutai kartanegara. Tenggarong Seberang adalah salah satu
kecamatan di Kukar yang juga melakukan produksi tambang batubara. Di
wilayah ini 60% perusahaan tambang telah beroperasi. Berkenaan dengan
hal ini, Desa Mulawarman merupakan salah satu wilayah di Kecamatan
Tenggarong Seberang yang dihuni oleh masyarakat trans sebagai hasil
penempatan dari Transmigrasi tahun 1980 -1981 dan saat ini lokasinya
telah dikelilingi oleh aktivitas pertambangan batubara. Adapun sejumlah
perusahaan tambang batubara yang beroperasi dikawasan tersebut
antaralain : PT. Jembayan (JMB) , PT. Kayan Putra Utama Coal (KPUC),
PT. Pama Persada Nusantara, PT. Santan Batu-Bara dan PT. Kimco
Armindo yang mulai beroperasi sejak tahun 2003 (Kantor Desa
Mulawarma, 2012 ).
Permasalahan yang paling berat akibat penambangan terbuka
adalah terjadinya fenomena acid mine drainage (AMD) atau acid rock
drainage (ARD) akibat teroksidasinya mineral bersulfur (Untung, 1993)
dengan ditandai berubahnya warna air menjadi merah jingga. AMD akan
memberikan serangkaian dampak yang saling berkaitan, yaitu menurunnya
pH, ketersediaan dan keseimbangan unsur hara dalam tanah terganggu,
serta kelarutan unsur-unsur mikro yang umumnya merupakan unsur logam
meningkat (Marschner, 1995; Havlin et al., 1999). Hasil penelitian
Widyati (2006) menunjukkan bahwa kandungan sulfat pada tanah bekas
tambang batubara PT. Bukit Asam di Sumatera Selatan mencapai 60.000
ppm, pH 2,8 dan kandungan logam-logam jauh di atas ambang batas untuk
air bersih. Kualitas lingkungan perairan yang demikian dapat mengganggu
kesehatan manusia dan kehidupan lainnya. Disamping itu, kondisi tanah
yang demikian degraded, mengakibatkan kegiatan revegetasi memerlukan
biaya yang mahal.
Perubahan lingkungan pasca penambangan yang terjadi, selain perubahan
bentang lahan juga kualitas tanah hasil penimbunan setelah penambangan.
Struktur tanah penutup rusak sebagai mana sebelumnya, juga tanah lapisan
atas bercampur ataupun terbenam di lapisan dalam. Tanah bagian atas
digantikan tanah dari lapisan bawah yang kurang subur, sebaliknya tanah
lapisan atas yang subur berada di lapisan bawah. Demikian juga populasi
hayati tanah yang ada di tanah lapisan atas menjadi terbenam, sehingga
hilang/mati dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Daya dukung tanah
lapisan atas pasca penambangan untuk pertumbuhan tanaman menjadi
rendah (Hidayati, 2000).
Proses penambangan sistem terbuka pada prinsipnya dimulai
dengan membersihkan permukaan tanah, kemudian mengupas tanah
penutup, menggali bahan tambang, dan mengangkut bahan tambang ke
tempat penampungan (stockyard) untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai
bahan baku industri. Alur kegiatan penambangan selengkapnya adalah
sebagai berikut :
1. Pembersihan lahan dari vegetasi yang menutupi lapisan tanah
permukaan (clearing and grubing) dilakukan dengan Buldozer dan
Excavator.
2. Pengupasan tanah penutup. Tanah penutup dikupas dan diangkut ke
tempat penimbunan sementara, atau ditata dan disebar di area pembuangan
(disposal) akhir.
3. Penggalian dan pengambilan bahan tambang (ore) dengan alat gali muat
(ore getting). Ore diangkut keluar melewati jalan tambang ke Export
Transite Ore (ETO) dan Export Final Ore (EFO) di dekat pelabuhan.
4. Penimbunan kembali kolong bekas galian dengan tanah penutup. Setiap
selesai penambangan, tanah penutup dan tanah sisa penambangan
ditimbun kembali di area bekas galian sesuai dengan design yang telah
ditentukan.
5. Penanaman kembali tanaman penutup tanah. Kegiatan penambangan
terbuka pada prinsipnya diwajibkan untuk menutup kembali areal bekas
tambang yang ditinggalkan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang
lebih besar dan dipulihkan kembali kondisi ekosistemnya sekurang-
kurangnya seperti kondisi sebelumnya (Finnel, 1948).
Greb (1985) mendapatkan bahwa kehilangan tanah lapisan atas beberapa
sentimeter dapat menurunkan produktivitas sebesar 40% pada tanah subur,
dan 60% pada tanah tidak subur. Munawar (1999) mendapatkan bahwa
tanah lapisan atas lahan bekas penambangan batubara terbuka sangat
heterogen dan memiliki berat isi tinggi, total pori rendah, kandungan N
dan P rendah, cadangan Ca dan Mg tinggi, dan populasi mikroba tanah
rendah dibandingkan dengan tanah hutan di sekitarnya (Tabel 1). Ukuran
pori tanah berperanan penting bagi kehidupan hayati tanah, bakteria tanah
tidak mampu masuk pada ukuran pori 1-3 ìm, akar tanaman tidak mampu
masuk pada pori ukuran <10 ìm, akar pohon hanya mampu menembus
pada ukuran pori >150 ìm (Pitty, 1979). Selain itu, pori tanah juga
berperan penting dalam menentukan infiltrasi-perkolasi, kelembaban dan
aerasi tanah.
2.6.1.Peraturan Pertambangan
Industri pertambangan mengandung potensi dan faktor bahaya
dengan risiko tinggi. Hal ini dapat mengancam dan menimbulkan
kerusakan harta benda maupun korban cedera bahkan kematian.
Perkembangan industri yang semakin pesat dengan menggunakan
Tabel 2.2
peralatan-peralatan yang modern dan canggih memberikan dampak risiko
kecelakaan dan kerugian yang lebih besar. Setiap proses produksi,
peralatan/mesin dan tempat kerja yang digunakan untuk menghasilkan
suatu produk, selalu mengandung potensi bahaya tertentu yang bila tidak
mendapat perhatian secara khusus akan dapat menimbulkan kecelakaan
kerja. Potensi bahaya yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja dapat
berasal dari berbagai kegiatan atau aktivitas dalam pelaksanaan operasi
atau juga berasal dari luar proses kerja (Tarwaka, 2008).
Sistem penambangan terbuka yang berada di permukaan tanah
banyak mengubah bentang lahan dan keseimbangan ekosistem permukaan
tanah, maka berdasarkan UU No.41/1999, Pasal 38, Ayat 4, sistem
penambangan terbuka ini dilarang dilakukan di kawasan hutan lindung.
Hermawan et al. (2009) menyatakan bahwa kegiatan penambangan timah
di Provinsi Bangka-Belitung yang dilakukan dengan cara terbuka telah
menimbulkan perubahan lingkungan dengan menurunkan produktivitas
tanah dan mutu lingkungan. Di lain pihak kolong-kolong air akibat
kegiatan penambangan timah terbuka di Perlang, Bangka-Belitung dapat
dimanfaatkan sebagai kantong sumber air irigasi untuk pencetakan sawah
baru disekitarnya (Subardja et al., 2010).
Sumber-sumber bahaya perlu dikendalikan untuk mengurangi
kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Untuk mengendalikan sumber-
sumber bahaya, maka sumber-sumber bahaya tersebut harus ditemukan
dengan melakukan identifikasi sumber bahaya potensial yang ada di
tempat kerja (Suma’mur, 1993).
Peraturan tentang Keselamatan dan Kesehatan kerja Pertambangan
umum sudah ada sejak tahun 1930 dengan nama Mijn Politie Reglement
(MPR) yang merupakan peraturan yang dibuat pada masa pemerintahan
Hindia – Belanda. Disusul dengan PPRI No. 19 tahun 1973 tentang
pengaturan dan pengawasan keselamatan kerja di bidang pertambangan
yang dilakukan oleh Menteri Pertambangan. Setelah mempelajari
pertimbangan ilmu teknologi modern mengenai pemakaian peralatan
pertambangan dan dalam rangka memperlancar usaha–usaha aktifitas
pembangunan, maka pada tahun 1995 telah disempurnakan dengan
terbitnya Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.
555/K/26/M.PE/1995 tanggal 22 mei 1995 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Pertambangan Umum (Direktorat Pertambangan dan
Energi, 1995).
Selain itu pemerintah juga mengeluarkan undang-undang guna
meningkatkan kesadaran bagi pihak perusahaan dan karyawan, undang-
undang tersebut diantaranya adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja yang menyebutkan bahwa keselamatan kerja
bertujuan untuk (Suma’mur, 1996):
1. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan
pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta
produktivitas nasional.
2. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja.
3. Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.
Namun pada praktiknya, permasalahan ini belum dianggap menjadi isu
penting dan belum mendapat perhatian yang serius oleh perusahaan dan
karyawan dalam menjalankan proses produksinya. Hal ini terjadi karena
safety awareness yaitu kesadaran atas keselamatan yang masih rendah
sehingga kebijakan pemerintah dan kebijakan dari pihak manajemen
sangat mempengaruhi untuk menciptakan behavior basic safety (BBS)
dalam lingkungan perusahaan. Kondisi lain adalah masih kurangnya
kesadaran dari sebagian besar masyarakat perusahaan, baik pengusaha
maupun tenaga kerja akan arti penting K3 merupakan hambatan yang
sering dihadapi. Berdasarkan data ILO (2003), ditemukan bahwa di
Indonesia tingkat pencapaian penerapan kinerja K3 di perusahaan masih
sangat rendah. Dari data tersebut ternyata hanya sekitar 2% (sekitar 317
buah) perusahaan yang telah menerapkan K3. Sedangkan sisanya sekitar
98% (sekitar 14.700 buah) perusahaan belum menerapkan K3 secara baik.
Berdasarkan data Jamsostek, bahwa pengawasan K3 secara nasional masih
belum berjalan secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kecelakaan
yang terjadi, dimana pada tahun 2003 terjadi kecelakaan sebanyak 105.846
kasus, tahun 2004 sebanyak 95.418 kasus, tahun 2005 sebanyak 96.081
kasus dan pada tahun 2006 terjadi kecelakaan sebanyak 70.069 kasus
kecelakaan kerja serta sepanjang tahun 2007 telah terjadi kecelakaan kerja
sebanyak 65.474 kejadian. Angka tersebut tentunya masih sangat fantastis
dan dapat dijadikan tolak ukur pencapaian kinerja K3 (Tarwaka, 2008).
2.6.2. Batubara
Batubara adalah mineral organik yang terbentuk dari endapan, dan
merupakan batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen,
dan oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah bersatu antara
strata batuan lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan
panas selama jutaan tahun sehingga membentuk lapisan batubara. Proses
yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan
pembatubaraan atau coalification (Speight, 1994).
Bahan mineral di dalam batubara berasal dari unsur organik yang
terdapat dalam tumbuhan pembentuk batubara dan dari bahan mineral
yang berasal dari luar yang tergabung dalam proses pembentukan
batubara. Jumlah dan tipe mineral yang ditemukan dalam batubara sangat
bervariasi, bergantung pada sejarah pembentukan batubara tersebut.
Mineral yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah adalah clay mineral
dengan illite, kaolinite dan montmorillonite sebagai jenis yang sering
ditemukan (speight, 1994). Mineral utama yang ditemukan dalam batubara
dapat diklasifikasikan sebagai shale, kaolin, sulfida, karbonat, klorida atau
accessory mineral. Beberapa kelompok mineral yang terkandung dalam
batubara dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Bahan Mineral yang Biasa Terdapat dalam Batubara
Kelomp
ok
Senyawa Formula
Shale Muscovite KAI3Si3O10(OHF)2
Hydromusco
bite (Al, Si)8 O20 (OH.F)4 (general
formula) Illite (HO)4K2 (Si6.Al2) Al4 O20
Montmorillon
ite Na2 (Al Mg) Si4 O10 (OH)2
Kaolin Kaolinite Al2 (Si2 O5) (OH)4
Livesite Al2 (Si2 O5) (OH)4
Metahalloysit
e Al2 (Si2 O5) (OH)4
Sulfide Pyrite FeS2
Marcasite FeS2
Ankerite CaCO3.(Mg, Fe, Mn) CO3
Carbonat Calcite CaCO3
Dolomite CaCO3. MgCO3
Siderite FeCO3
Chloride Sylvire KCl
Halite NaCl
Accessor
y Mineral
Quartz SiO2
Feldspar (K, Na)2 O. Al2O3. 6 SiO2
Garnet 3CaO. Al2O3. SiO2
Hornblende CaO. 3 FeO. 4 SiO2
Gypsum CaSO4. 2 H2O
Apatite 9 CaO. 3 P2O5. CaF2
Zircon Zr SiO4
Epidote 4 CaO. 3 Al2O3. 6 SiO2. H2O
Biotite K2O. MgO. Al2O3. 3 SiO2. H2O
Augite CaO. MgO. 2SiO2
Pro chloride 2FeO. 2 MgO. Al2O2. 2SiO2. 2 H2O
Diaspore Al2O3. H2O
Lepidocrocite Fe2O3. H2O
Magnetite Fe3O4
Kyanite Al2O3. SiO2
Staurolite 2 FeO. 5 Al2O3. 4 SiO2. H2O
Topaz 2 AlPO. SiO2
Tourmaline 3 Al2O3. 4 Bo (OH). 8 SiO2. 9 H2O
Hematite Fe2O3
Penninite 5 MgO. Al2O3. 3 SiO2. H2O
Sphalerite Zn S
Chlorite 10 (Mg, Fe) O. 2 Al2O3. 6 SiO2. 8
H2O Barite Ba SO4
Pyrophillite Al2O3 (Speight, 1994).
2.6.3. Pembentukan Batubara
Penimbunan pasir dan sedimen lainnya, bersama dengan
pergeseran kerak bumi (dikenal sebagai pergeseran tektonik) mengubur
rawa dan gambut yang seringkali sampai kedalaman yang sangat dalam.
Penimbunan tersebut menyebabkan material tumbuhan terkena suhu dan
tekanan yang tinggi. Suhu dan tekanan yang tinggi menyebabkan
tumbuhan tersebut mengalami proses perubahan fisika dan kimiawi yang
mengubah tumbuhan tersebut menjadi gambut dan kemudian batubara
(Sukandarrumidi, 1995). Proses pembentukan batubara dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 1. Proses Pembentukan Batubara (Sukandarrumidi, 1995).
Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap, yaitu tahap
penggambutan dan tahap pembatubaraan. Tahap penggambutan dimana
sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di
daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang
air pada kedalaman 0,5 – 10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini
melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3
untuk menjadi humus. Bakteri anaerobik dan fungi akan merubah material
tersebut menjadi gambut (Sukandarrumidi, 1995).
Pada proses pembatubaraan gambut akan terkubur dengan sedimen
lain, di bawah pemanasan dan tekanan mengubah gambut menjadi
batubara tingkat rendah yaitu lignit. Batubara di bawah pemanasan dan
tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, mengalami perubahan
yang secara bertahap sehingga menambah maturitas organiknya dan
mengubah batubara muda menjadi batubara subituminus. Pada pemanasan
dan tekanan yang lebih tinggi batubara lignit berubah menjadi batubara
bituminus. Bahkan pada pemanasan dan tekanan yang lebih tinggi lagi
dapat mengubah batubara bituminus menjadi batubara antrasit yang lebih
keras dan mengkilap (Sukandarrumidi, 1995). Berikut ini contoh analisis
dari masing – masing unsur yang terdapat dalam setiap tahapan
pembatubaraan pada Tabel 2.
Tabel 2.Unsur-Unsur Yang Terdapat pada Setiap Tahapan Pembentukan
Batubara
Jenis
Batubara
C
(
%
)
H
(
%
)
O
(
%
)
N
(
%
)
C
/
O
Kayu 50
,0
6,
0
43
,0
1,
0
1,
2 Gambut 59
,0
6,
0
33
,0
2,
0
1,
8 Lignit 69
,0
5,
5
25
,0
0,
5
2,
8 Bituminus 82
,0
5,
0
12
,2
0,
8
6,
7 Antrasit 95
,0
2,
5
2,
5
0,
0
3
8,
0
(Sukandarrumidi, 1995)
Semakin tinggi tingkat pembatubaraan, kadar karbon akan
meningkat sedangkan hydrogen dan oksigen berkurang. Batubara dengan
tingkat pembatubaraan rendah disebut pula batubara bermutu rendah,
contohnya lignit dan sub-bituminus yang biasanya lebih lembut dengan
materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat
kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang rendah,
sehingga kandungan energinya juga rendah. Semakin tinggi mutu
batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan
semakin hitam mengkilat (Sukandarrumidi, 1995).
Selain unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen, di dalam
batubara terdapat sulfur. Sulfur berada dalam bentuk senyawa organik dan
anorganik. Sulfur anorganik sebagian besar terdiri dari bentuk sulfit dan
sulfat. Kandungan sulfur dalam batubara bervariasi tergantung wilayah
batubara tersebut berasal (Speight, 1994). Berikut persentase senyawa
sulfur dalam batubara:
Tabel 3. Persentase Senyawa Sulfur dalam Batubara
Unsur Rentang
Sulfur organik 0,31-3,09 %
Sulfur pirit 0,06-3,78 %
Sulfur sulfat 0,01-1,06 %
Total sulfur 0,42-6,47 %
(Speight, 1994).
2.6.4. Klasifikasi Batubara
Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan zaman
geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan
lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan
panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan
menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam
(Speight, 1994).
Tipe batubara berdasarkan tingkat pembatubaraan ini dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Lignit
Lignit merupakan jenis batubara yang secara geologis tergolong jenis
batubara yang paling muda yang mengandung karbon sebanyak 25-35%.
Pada umumnya warna lignit mulai dari coklat hingga hitam kecoklatan
(Gambar 3). Lignit sebagian besar terdiri dari material kayu kering yang
terkena tekanan tinggi. Lignit bersifat rapuh serta memiliki kandungan air
yang sangat tinggi sehingga perlu dikeringkan terlebih dahulu sebelum
dibakar. Sebagian besar lignit digunakan untuk pembangkit listrik.
Struktur kimia dan bentuk batubara lignit dapat dilihat pada gambar 2
(Speight, 1994).
(a) (b) Gambar 2 . (a) Struktur Kimia Batubara Lignit (Schumacher,1997),
(b) Bentuk Batubara Lignit (Bryant, 2005)
2. Subituminus
Batubara jenis subbituminus memiliki warna hitam. Kandungan karbon di
dalam batubara ini berkisar 35-45%. Batubara subbituminus memiliki nilai
kalor yang lebih rendah dari pada batubara bituminus. Batubara ini
merupakan batubara yang sering digunakan dalam industri karena di
Indonesia jumlahnya sangat melimpah. Struktur dan bentuk batubara
Subbituminus dapat dilihat pada gambar 3 (Speight, 1994)
Gambar 3. (a) Struktur Kimia Batubara Subbituminus (Schumacher,1997),
(b) Bentuk Batubara Subbituminus (Bryant, 2005)
3. Bituminus
Batubara jenis bituminus dapat diperoleh dengan menambahkan panas
serta tekanan pada lignit. Batubara Bituminus mengandung karbon
sebanyak 45-86%. Penggunaan terbesar batubara bituminus terdapat di
pembangkit listrik serta industri baja. Bentuk batubara bituminus dapat
dilihat pada gambar 4 (Speight, 1994)
(a) (b)
Gambar 4 . (a) Struktur Kimia Batubara Bituminus (Schumacher,1997),
(b)Bentuk Batubara Bituminus ((Bryant, 2005)
4. Antrasit
Antrasit merupakan golongan batubara yang paling tinggi, memiliki
tampilan yang hitam mengkilat seperti permukaan logam. Antrasit
mengandung karbon sebanyak 86-97%. Bentuk batubara Antrasit dapat
dilihat pada gambar 5 (Speight, 1994)
(a) (b)
Gambar 5. (a) Struktur Kimia Batubara Antrasit (Schumacher,1997),
(b) Bentuk Batubara Antrasit (Bryant, 2005)
Dari keempat jenis batubara tersebut, masing-masing memiliki
kualitas yang berbeda. Lignit merupakan golongan yang paling rendah,
karena kandungan airnya yang sangat tinggi harga lignit pun sangat murah.
Oleh karena itu, untuk pengolahan batubara menjadi energi alternatif, jenis
yang banyak dipakai adalah lignit karena cost effective (Speight, 1994).
2.6.5. Substansi Humik dalam Batubara
Substansi humik (HSs) merupakan produk organik yang berwarna
coklat sampai hitam dengan banyak pengaruhnya terhadap agrikultural dan
lingkungan. HSs merupakan karbon terkaya di bumi. HSs juga merupakan
makromolekul aromatik yang kompleks dengan variasi ikatan diantara
gugus aromatik. Ikatan yang berbeda termasuk diantaranya asam amino,
peptida, asam alifatik, dan senyawa alifatik lainnya. Gugus fungsional
dalam sustansi humat termasuk gugus asam karboksil (COOH), fenolik,
alifatik, dan enolik-OH dan struktur karbonil (C=O) dalam berbagai tipe
yang bervariasi (Arianto et al., 2005).
Menurut Arianto et al., (2005), subtansi humik terdiri atas fraksi
asam humat, asam fulvat dengan klasifikasi sebagai berikut :
1. Humic Acid (Asam humat)
Warna gelap, amorf, dapat diekstraksi pada pH 4 keatas, tidak larut dalam
asam, mengandung gugus fungsional asam seperti fenolik dan karboksilik,
berat molekul (BM) 20000 hingga 1360000.
Gambar 6. Struktur Asam Humat (Stevenson, 1982)
2. Fulvic Acid (Asam fulvat)
Dapat diekstraksi dengan basa kuat, larut juga dalam asam, berat
molekul(BM) 275-2110
Gambar 7 . Struktur Asam Fulvat (Stevenson, 1982)
2.6.6. Biosolubilisasi Batubara
Biosolubilisasi adalah proses pelarutan batubara dalam suatu
medium dengan bantuan mikroorganisme. Biosolubilisasi dapat berupa
upaya untuk mencairkan batubara atau bioliquifaksi yang nantinya dapat
digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak bumi. Disamping untuk
mencairkan batubara, biosolubilisasi dapat pula digunakan untuk
mengurangi kandungan sulfur atau logam toksik pada batubara (Faison et
al.,1989).
Pencairan batubara dengan metode biologi dapat menekan biaya
operasional karena tidak dilakukan dalam tekanan dan temperatur yang
tinggi serta lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan produk
samping berbahaya. Meskipun teknologi ini memiliki potensi besar, tetapi
masih ada sejumlah masalah yang harus dipecahkan. Tanpa adanya pelarut
yang cocok, produk yang dihasilkan tetap padat. Meskipun produk terlarut
memiliki kandungan energi tinggi dan memungkinkan digunakan sebagai
bahan bakar, tapi belum dapat digunakan sebagai bahan bakar sarana
transportasi. Selain itu, kebanyakan mikroorganisme membutuhkan gula
dan media pertumbuhan untuk pertumbuhan lebih dari 2 minggu. Media
murah yang mampu mempercepat pertumbuhan mikroorganisme
dibutuhkan untuk aplikasi komersial. Masalah ekonomis lainnya yang
berhubungan adalah dibutuhkannya pra-perlakuan untuk menghasilkan
produk berkualitas (Liu et al., 1989).
Produksi batubara cair dapat juga dilakukan dengan memanfaatkan
enzim hasil isolasi dari mikroorganisme. Biosolubilisasi batubara dengan
bantuan mikroorganisme dapat menghasilkan produk yang setara dengan
komponen minyak bumi. Produk biosolubilisasi yang setara dengan
senyawa yang terdapat dalam bensin mempunyai rantai atom karbon yang
pendek yaitu C4 sampai C12, sedangkan untuk komponen minyak solar
mempunyai atom karbon C10 sampai C13 (American Petroleum Institute,
2001).
2.6.7. Mikroorganisme Pensolubilisasi Batubara
Terdapat beberapa jenis mikroorganisme dari jenis bakteri maupun
jamur yang dapat mengubah batubara padat menjadi produk cair. Batubara
cair yang dihasilkan dari proses biosolubilisasi adalah berupa campuran
senyawa yang larut dalam air, senyawa-senyawa polar dengan berat
molekul relatif tinggi. Contoh bakteri yang dapat dimanfaatkan untuk
proses ini adalah Thiobacillus Ferroxidans, Leptospirillum Ferroxidansdan
Rhodococcus erythropolis. Sementara itu contoh fungi yang dapat
dimanfaatkan untuk proses ini diantaranya adalah Polyporus versicolor,
Penicillium, Streptomyces (Reiss,1992).
Kapang adalah kelompok mikroorganisme yang tergolong dalam
fungi. Selain kapang, organisme lainnya yang termasuk ke dalam fungi
adalah khamir dan cendawan (mushroom). Kapang merupakan organisme
multiseluler, eukariotik, tidak berklorofil, dinding selnya tersusun dari
kitin, bersifat heterotrof, menyerap nutrient melalui dinding selnya,
mengeksresikan enzim ekstraseluler ke lingkungan, menghasilkan spora
atau konidia, bereproduksi seksual dan atau aseksual. Tubuh kapang terdiri
dari hifa, hifa berfungsi menyerap nutrien dari lingkungan serta
membentuk struktur reproduksi (Hidayat et al, 2006).
Hifa adalah suatu struktur berbentuk tabung menyerupai seuntai
benang panjang yang terbentuk dari pertumbuhan spora atau konidia.
Kumpulan hifa yang bercabang-cabang membentuk suatu jala dan
umumnya berwarna putih disebut miselium. Ada beberapa kapang dengan
miselia longgar atau seperti bulu kapas sedangkan yang lainnya kompak.
Penampakan miselia ada yang seperti beludru (velvet) pada permukaan
atasnya, beberapa kering seperti bubuk, basah atau memiliki massa seperti
gelatin (Hidayat et al, 2006).
Kapang saprofit adalah kapang yang memanfaatkan atau menyerap
nutrient dari benda mati. Pada umumnya, kapang mengekskresikan enzim
ekstraseluler ke lingkungan. Enzim ekstraseluler tersebut menguraikan
komponen-komponen kompleks pada substrat menjadi komponen-
komponen sederhana yang dapat dengan mudah diserap kapang untuk
mensintesis berbagai bagian sel, dan digunakan sebagai sumber energinya.
Keberadaan kapang pada suatu substrat dapat diketahui dengan adanya
perubahan warna atau kekeruhan pada substrat cair, timbul bau, dan
substrat berubah menjadi lunak. Hal tersebut mengindikasikan adanya
pertumbuhan kapang berupa pertambahan massa sel atau volume sel
(Gandjar et al, 2006).
Sifat-sifat fisiologi kapang sangat penting dipenuhi agar
pertumbuhan kapang menjadi optimal. Gandjar et al., (2006) menerangkan
sifat-sifat fisiologi kapang sebagai berikut :
1. Kebutuhan air
Pada umumnya, fungi tingkat rendah seperti Rhizopus sp. dan Mucor sp.
memerlukan lingkungan dengan kelembaban nisbi 90 %, kapang
Aspergillus sp, Penicillium sp, Fusarium sp. dan banyak hypomycetes
lainnya dapat hidup pada kelembaban yang lebih rendah yaitu 80 %
sedangkan kapang xerofilik mampu hidup pada kelembaban 70 %.
2. Suhu
Kebanyakan kapang bersifat mesofilik yaitu tumbuh baik pada suhu
kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah
sekitar 25-30° C, tetapi beberapa kapang dapat tumbuh pada suhu 35-37°
C atau lebih tinggi seperti Aspergillus sp. Beberapa kapang mampu
tumbuh pada suhu dingin (bersifat psikrotrofik) dan juga pada suhu tinggi
(termofilik).
3. Derajat keasaman (pH)
Kebanyakan kapang mampu tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu 2 -
8,5 akan tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau
pH rendah.
4. Substrat
Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi kapang. Nutrien dalam
substrat baru dapat dimanfaatkan apabila kapang telah mengekskresikan
enzim-enzim ekstraseluler untuk menguraikan senyawa kompleks menjadi
sederhana.
5. Komponen penghambat
Beberapa kapang mengeluarkan komponen yang dapat menghambat
organisme lainnya seperti bakteri, komponen tersebut disebut antibiotik.
2.6.8 Solubilisasi Batubara oleh Kapang
Batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik yang
berasal dari karbohidrat dan lignoselulosa yang terdiri dari selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Selulosa merupakan komponen utama penyusun
dinding sel tanaman, dan salah satu komponen pembangun tumbuhan.
Selulosa adalah polimer yang tersusun atas unit-unit glukosa melalui
ikatan α-1,4-glikosida. Enzim yang dapat mengurai selulosa adalah
selulase dan merupakan enzim kompleks yang terdiri dari tiga komponen.
Endoglukanase, mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan
internal α-1,4-glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang
rantai bervariasi. Eksoglukanase, mengurai selulosa dari ujung pereduksi
dan nonpereduksi untuk menghasilkan selobiosa/glukosa. Enzim α-
glukosidase, mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa (Lynd et al.,
2002).
Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan
berat molekul rendah, relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam
menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa
dan arabinosa. Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang
terbentuk melalui unit-unit penilpropan. Lebih dari 30 % tanaman tersusun
atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh (Lynd et al., 2002).
Gambar 8. (a) Struktur lignin, (b) hemiselulosa dan (c) selulosa
(Gutiérrez dan Martínez, 1996)
Lignin sulit disolubilisasi karena strukturnya kompleks dan
heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan
tanaman (Orth et al, 1993). Lignin merupakan suatu unsur yang memegang
peranan penting dalam merubah susunan sisa tumbuhan menjadi batubara.
Sebagian besar mikroorganisme yang mampu mensolubilisasi lignin dapat
diaplikasikan juga untuk mensolubilisasi batubara (Cohen et al., 1990).
Enzim pensolubilisasi lignin secara umum terdiri dari dua
kelompok utama yaitu laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari
lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Chahal dan
Chahal, 1998). Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab terhadap
pemecahan awal polimer lignin (Akhtar et al., 1997). Mangan peroksidase
(MnP), lignin peroksidase (LiP) atau laccase mampu mensolubilisasi
komponen aromatic pada batubara dan mendepolimerisasinya menjadi
komponen yang kaya oksigen dan dapat melarut ke dalam air (Holker et
al., 2002).
Enzim pendegradasi lignin secara umum terdiri dari dua kelompok
utama yaitu laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari lignin
peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Chahal and Chahal,
1998). Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab terhadap pemecahan awal
polimer lignin dan menghasilkan produk dengan berat molekul rendah,
larut dalam air dan CO2 (Akhtar et al.1997).
Lignin peroksidase (LiP) merupakan enzim utama dalam proses
degaradasi lignin karena mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin.
Unit non fenolik merupakan penyusun sekitar 90 persen struktur lignin.
Oksidasi substruktur lignin yang dikatalis oleh LiP dimulai dengan
pemisahan satu electron cincin aromatik substrat donor dan menghasilkan
radikal aril. LiP memotong ikatan Cα-Cβ molekul lignin, pemotongan
tersebut merupakan jalur utama perombakan lignin oleh berbagai kapang
pelapuk putih (Hammel, 1996).
Mangan peroksidase (MnP) berperan dalam oksidasi unit fenolik,
sehingga LiP dan MnP dapat bekerja secara sinergis. Siklus katalitik MnP
dimulai dengan pengikatan H2O2 atau peroksida organik dengan enzim
ferric alami dan pembentukan kompleks peroksida besi. Pemecahan ikatan
oksigen peroksida membutuhkan Fe oxo-porphyrin-radikal kompleks
dalam pembentukan MnP-komponen I, kemudian ikatan dioksigen dipecah
dan dikeluarkan satu molekul air. Reaksi berlangsung sampai terbentuk
MnP-komponen II, ion Mn2+ bekerja sebagai donor 1-elektron untuk
senyawa antara porfirin dan dioksidasi menjadi Mn3+. Mn3+ merupakan
oksidasi kuat yang dapat mengoksidasi senyawa fenolik tetapi tidak dapat
menyerang unit non fenolik lignin (Perez et al., 2002).
Laccase ditemukan pada kapang, khamir, dan bakteri. Enzim ini
tidak membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen. Laccase
mereduksi oksigen menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu
electron membentuk radikal bebas yang dapat disamakan dengan radikal
kation yang terbentuk pada reaksi MnP (Kersten et al., 1990).
Tabel 4. Enzim ekstraseluler pendegradasi lignin dari kapang pelapuk
putih (Akhtar et al.,1997).
En
zi
m
Tipe
Enzim
Peran dalam
Degradasi
Kerja
Bersam
a
dengan
pH
Opti
mum
Li
gni
n
per
ok
si
das
e
Peroksi
dase
Degradasi
unit non
fenolik
H2O2 2,5-
3,0
Ma
ng
an
per
ok
si
das
e
Peroksi
dase
Degradasi
unit
fenolik dan
non
fenolik
dengan
lipid
H2O2,
lipid
4,0-
4,5
La
kas
e
Fenol
oksidas
e
Oksidasi unit
fenolik dan
non
fenolik
dengan
mediator
O2,
mediato
r :3-
hidroxy
benz
otriazol
e
3,5-
7,0
Kapang yang memiliki kemampuan palingbaik dalam proses
biosolubilisasi batubara adalah Trametes versicolor, Pleurotus florida, P.
ostreatus and P. sajorcaju. Kapang lain yang juga mampu mensolubilisasi
batubara seperti Trichoderma atroviride, Fusarium oxysporum, Penicillium
sp., Candida sp., Aspergillus sp., Mucor sp. dan Sporothrix sp. namun
dengan kemampuan yang lebih kecil. Kapang tersebut mensolubilisasi
batubara menggunakan enzim ekstraseluler (Reiss, 1992).
Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan oleh kapang
ke luar tubuhnya untuk mensolubilisasi substrat. Enzim ekstraseluler
tersebut akan menghasilkan medium yang lebih gelap akibat dari
solubilisasi batubara selama proses kultur cair atau cairan gelap pada
permukaan kultur ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison
et al, 1989).
2.6.9. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Biosolubilisasi
Batubara
Di dalam proses biodegradasi terdapat beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap kerja mikroorganisme yang digunakan. Faktor-
faktor tersebut dapat berupa kondisi lingkungan, ataupun perlakuan awal
terhadap batubara. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses
biosolubilisasi diantaranya:
a. Temperatur
Secara umum kenaikan temperatur akan meningkatkan laju reaksi kimia,
termasuk reaksi yang dilakukan oleh mikroorganisme. Temperatur proses
biodegradasi harus dikendalikan agar tetap berada pada temperatur
optimum mikroorganisme yang digunakan serta tidak melewati
temperature minimum atau maksimum mikroorganisme tersebut. Setiap
mikroorganisme memiliki temperatur optimum dan temperatur maksimum
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, temperatur optimum biodegradasi
akan sangat bergantung pada mikroorganisme yang digunakan.
Temperatur optimum pada kapang adalah 22-30 oC (Pelzar dan Chan,
2005).
b. pH
Seperti halnya temperatur, pH juga sangat berpengaruh terhadap proses
biosolubilisasi. Setiap mikroorganisme memiliki pH optimum yang
berlainan oleh karena itu biodegradasi harus dilakukan pada pH optimum
sesuai dengan mikroorganisme yang digunakan. Jika pH yang digunakan
terlalu asam atau basa maka proses biodegradasi akan mengalami inhibisi.
Inhibisi ini terjadi akibat pengaruh buruk lingkungan yang terlalu asam
terhadap metabolism mikroorganisme yang menyebabkan aktivitas
metaboliknya menurun. pH optimum kapang adalah 3,8-5,6 (Pelzar dan
Chan, 2005).
c. Ukuran Partikel
Ukuran partikel batubara memberikan pengaruh terhadap persentase
pengurangan sulfur dalam proses biodegradasi batubara. Semakin kecil
ukuran partikel batubara maka persentase pengurangan sulfur akan
semakin besar. Ukuran partikel yang kecil menyebabkan luas pemukaan
kontak antara sel bakteri dengan batubara semakin besar. Akibatnya reaksi
oksidasi senyawa sulfur yang terjadi akan semakin banyak pula. Ukuran
batubara optimum adalah sekitar 72-100 mesh (Selvi dan Banerje, 1982).
d. Konsentrasi Mikroorganisme
Semakin sedikit konsentrasi sel mikroorganisme, maka efisiensi
biodegradasi akan semakin berkurang. Pada umumnya konsentrasi
mikroorganisme yang digunakan adalah 5 % (Scott dan lewis, 1990).
2.6.10 Analisis Kimia Terhadap Produk Solubilisasi Batubara
Produk biosolubilisasi batubara dikarakterisasi menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis, Spektrofotometer infra merah (FTIR), dan
Kromatografi Gas - Spektroskopi Massa (GC-MS) sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Shi, et al., (2009).
Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri
dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari
spectrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat
pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi
spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika
energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai
fungsi dari panjang gelombang (Underwood dan Day, 2002).
Semua molekul dapat mengabsorpsi radiasi dalam daerah UV-Vis
karena mengandung elektron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat
dieksitasikan ke tingkat yang lebih tinggi. Panjang gelombang di mana
absorpsi itu terjadi, bergantung pada berapa kuat elektron itu terikat dalam
molekul itu (Underwood dan Day, 2002). Gambar Spektrofotometer UV-
Vis diperlihatkan pada gambar 9.
Gambar 9. Spektrofotometer UV-vis (Dokumen Pribadi,2010)
Kebanyakan penerapan spektrofotometri ultraviolet dan cahaya
tampak pada senyawa organik didasarkan pada transisi n-π* ataupun π-π*
dan karenanya memerlukan hadirnya gugus kromofor dalam molekul itu.
Transisi itu terjadi dalam daerah spektrum (sekitar 200 nm hingga 700 nm)
yang praktis untuk digunakan dalam eksperimen. Identifikasi kualitatif
senyawa organik dalam daerah ini jauh lebih terbatas daripada dalam
daerah inframerah. Ini karena pita absorpsi terlalu lebar dan kurang terinci.
Tetapi gugus-gugus fungsional tertentu seperti karbonil, nitro, dan sistem
terkonjugasi, benar-benar menunjukkan puncak karakteristik, dan sering
dapat diperoleh informasi yang berguna mengenai ada atau tidaknya gugus
semacam itu dalam molekul tersebut (Underwood dan Day, 2002).
Pada penelitian ini analisis produk biosolubilisasi batubara
dilakukan dengan menggunakan spektroskopi sinar ultraviolet-visible
(UV-Vis). Spektroskopi UV-Vis dapat menentukan adanya ikatan tak
jenuh dalam produk biosolubilisasi. Panjang gelombang yang digunakan
yaitu 250 dan 450 nm (Shi et al., 2009).
Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Spektrofotometri infra merah merupakan teknik yang di dasarkan
pada vibrasi (pergerakan) atom-atom dalam molekul. Spektrum infra
merah pada umumnya dihasilkan melalui sampel dan penentuan fraksi
akibat dari sinar yang diabsorbsi pada energi tertentu. Energi tempat
munculnya peak absorpsi berhubungan dengan frekuensi vibrasi suatu
gugus fungsi atau kromofor yang terdapat dalam suatu molekul.
Spektrofotometri IR ditujukan untuk penentuan gugus-gugus fungsi
molekul pada analisis kualitatif (Giwangkara, 2006).
Energi dari kebanyakan vibrasi molekul berhubungan dengan
daerah infra merah. Vibrasi molekul dapat dideteksi dan diukur pada
spektrum infra merah, penggunaan spektrum infra merah untuk penentuan
struktur senyawa organic biasanya antara 650-4000 cm-1 (15,4-2,5 µm).
Daerah di bawah frekuensi 650 cm-1 dinamakan infra merah jauh dan
daerah di atas frekuensi 4000 cm-1 dinamakan infra merah dekat. Letak
puncak serapan dapat dinyatakan dalam satuan frekuensi (µm) atau
bilangan gelombang (cm-1 ) (Sudjadi, 1985).
Atom-atom di dalam molekul tidak dalam keadaan diam, tetapi
biasanya terjadi peristiwa vibrasi. Hal ini bergantung pada atom-atom dan
kekuatan ikatan yang menghubungkannya. Vibrasi dapat digolongkan atas
dua golongan besar, yaitu : vibrasi renggangan (stretching) dan vibrasi
bengkokan (bending) (Giwangkara, 2006).
A. Vibrasi Regangan (Streching)
Dalam vibrasi ini atom bergerak terus sepanjang ikatan yang
menghubungkannya sehingga akan terjadi perubahan jarak antara
keduanya, walaupun sudut ikatan tidak berubah. Vibrasi regangan ada dua
macam (Giwangkara, 2006).
1. Regangan Simetri, unit struktur bergerak bersamaan dan searah dalam
satu bidang datar.
2. Regangan Asimetri, unit struktur bergerak bersamaan dan tidak searah
tetapi masih dalam satu bidang datar. Sebagaimana gambar berikut:
Gambar 10. Vibrasi Renggangan (Giwangkara, 2006)
B. Vibrasi Bengkokan (Bending)
Jika sistem tiga atom merupakan bagian dari sebuah molekul yang
lebih besar, maka dapat menimbulkan vibrasi bengkokan atau vibrasi
deformasi yang mempengaruhi osilasi atom atau molekul secara
keseluruhan. Vibrasi bengkokan ini terbagi menjadi empat jenis
(Giwangkara, 2006).
1. Vibrasi Goyangan (Rocking), unit struktur bergerak mengayun asimetri
tetapi masih dalam bidang datar.
2. Vibrasi Guntingan (Scissoring), unit struktur bergerak mengayun simetri
dan masih dalam bidang datar.
3. Vibrasi Kibasan (Wagging), unit struktur bergerak mengibas keluar dari
bidang datar.
4. Vibrasi Pelintiran (Twisting), unit struktur berputar mengelilingi ikatan
yang menghubungkan dengan molekul induk dan berada di dalam bidang
datar.
Gambar 11. Vibrasi Bengkokan (Giwangkara, 2006)
Jika suatu senyawa organik disinari dengan sinar infra-merah yang
mempunyai panjang gelombang tertentu, akan didapatkan bahwa beberapa
frekuensi tersebut diserap oleh senyawa tersebut. Sebuah alat pendetektor
yang diletakan di sisi lain senyawa tersebut akan menunjukkan bahwa
beberapa frekuensi melewati senyawa tersebut tanpa diserap sama sekali,
tapi frekuensi lainya banyak diserap. Beberapa banyak frekuensi tertentu
yang melewati senyawa tersebut diukur sebagai persen transmitan
(Sudjadi, 1985).
Gambar 12. Instrumentasi FTIR (Dokumen Pribadi, 2010)
Pada sistem optik FTIR digunakan radiasi LASER (Light
Amplification By Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi
sebagai radiasi yansg diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar
sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh detektor secara utuh dan
lebih baik. Detektor yang digunakan dalam spektrofotometer FTIR adalah
TGS ( Tetra Glycerine Sulphate) atau MCT (Mercury Cadmium
Telluride). Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS yaitu memberikan respon
yang lebih baik pada frekuensi modulasi tinggi, lebih sensitif, cepat tidak
dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang
diterima dari radiasi infra merah (Giwangkara, 2006).
Tabel 5. Beberapa Contoh Nilai Frekuensi Gugus Fungsi
Gugus Fungsi Panjang
Gelombang
-1 Frekuensi (cm )
O-H Alkohol/fenol
bebas
Asam karboksilat
H yang terikat
2,74-2,79
3,70-4,0
2,82-3,12
3580-3650
2500-2700
3210-3550
NH Amina
primer,
sekunder dan amida
6,10-6,45 3140-3320
CH Alkana
Alkena
Alkuna
Aromatik
3,37-3,50
3,23-3,32
3,03
~ 3,30
2850-2960
3010-3095
3300
~ 3030
CH2 Bending 6,83 1465
CH3 Bending 6,90-7,27 1450-1375
CC Alkuna
Alkena
Aromatik
4,42-4,76
5,95-6,16
~ 6,25
2190-2260
1620-1680
1475-1600
C=O Aldehid
Keton
Asam
Ester
Anhidrida
5,75-5,81
5,79-5,97
5,79-5,87
5,71-5,86
5,52-5,68
1720-1740
1675-1725
1700-1725
1720-1750
1760-1181
CN Nitrit 4,35-5,00 2000-3000
NO2 Nitro 6,06-6,67 1500-1650
(Hermanto,2008)
Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS)
Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa atau sering disebut GC-MS
(Gass Chromatography Mass Spectrometry) adalah teknik analisis yang
menggabungkan dua metode analisis, yaitu Kromatografi Gas dan
Spektroskopi Massa. Kromatografi gas adalah metode analisis, dimana
sampel terpisahkan secara fisik menjadi bentuk molekul-molekul yang
lebih kecil (hasil pemisahan dapat dilihat berupa kromatogram).
Sedangkan spektroskopi massa adalah metode analisis, dimana sampel
yang dianalisis akan diubah menjadi ion-ion gasnya, dan massa dari ion-
ion tersebut dapat diukur berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum massa
(Underwood dan Day, 2002).
Gambar 13. Instrumentasi GC-MS (Dokumen Pribadi, 2010)
Pada GC hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan komponen
yang diinginkan, sedangkan bila dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai
detector) komponen tersebut dapat teridentifikasi, karena Spektrum Bobot
Molekul pada suatu komponen dapat dilihat, serta dapat juga dibandingkan
dengan LIBRARY (reference) pada software (Hermanto, 2008).
Pemisahan komponen senyawa dalam GC-MS terjadi di dalam
kolom (kapiler) GC dengan melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase
gerak. Fase diam adalah zat yang ada di dalam kolom, sedangkan fase
gerak adalah gas pembawa (Helium maupun Hidrogen dengan kemurnian
tinggi, yaitu ± 99,995%). Proses pemisahan dapat terjadi karena terdapat
perbedaan kecepatan alir dari tiap molekul di dalam kolom. Perbedaan
tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan afinitas antar molekul dengan
fase diam yang ada di dalam kolom. Komponen- komponen yang telah
dipisahkan tersebut masuk ke dalam ruang MS yang berfungsi sebagai
detektor secara instrumentasi (Hermanto, 2008).
Injeksi sampel berupa cairan adalah teknik memasukkan sampel
yang paling umum. Sampel langsung dimasukkan atau diinjeksi setelah
mendapat preparasi. Direct Inlet Probe digunakan untuk sampel yang
memilki titik uap yang lebih tinggi dari kemampuan injector GC atau
untuk analisis sampel yang tidak stabil secara termal. Sampel langsung
dimasukkan ke dalam MS tanpa melalui GC. Teknik Headspace digunakan
untuk sampel hasil ekstraksi dari senyawa- senyawa organik yang mudah
menguap. Senyawa-senyawa tersebut terdapat di dalam produk berbentuk
cair atau padat. Misalnya, senyawa yang mudah menguap di dalam air,
aroma di dalam produk makanan dan sebagainya. Sampel dimasukkan ke
dalam wadah khusus, lalu diinkubasi. Setelah terjadi ekuilibrium gas yang
berada di atas diambil oleh syringe. Lalu sampel dimasukkan ke dalam
GC. Teknik sampling ini menggunakan alat khusus yang terpisah dari
instrument GC-MS, sedangkan pirolis digunakan untuk sampel yang tidak
dapat diuapkan oleh injector GC, misalnya polimer-polimer.
Sampel pertama kali diuraikan terlebih dahulu oleh pemanasan
dalam alat khusus, hasil dekomposisi dapat dianalisis oleh GC. Purge dan
Trap, digunakan untuk sampel hasil ekstraksi dari senyawa-senyawa
organik yang mudah menguap. Zat yang mudah menguap (zat volatil)
pertama kali dikeluarkan dari sampel dengan menggunakan gas inert.
Kemudian zat volatil tersebut diabsorb oleh zat khusus untuk meng-absorb
seperti karbon aktif. Kemudian absorbe dipanaskan untuk melepaskan
senyawa yang diinginkan ke dalam GC untuk dianalisis (Hermanto, 2008).
2.6.11 Batubara Di Indonesia
Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam industri
batubara dan mineral dunia. Tahun 2005 Indonesia menduduki peringkat
ke-2 sebagai negara pengekspor batubara uap. Untuk pertambangan
mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2,
tembaga peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4 dan emas peringkat ke-8
dunia . Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang
saling berlawanan, sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak
lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran sudah
tidak diragukan lagi bahwa sektor ini merupakan salah satu tulang
punggung pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak
lingkungan, praktek pertambangan terbuka (open pit mining) yang paling
banyak diterapkan pada penambangan batubara dapat mengubah iklim
mikro dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit batubara
disingkirkan (Gautama, 2007).
Menurut Fariz Tirasonjaya yang dikutip di batu bara Indonesia.com
(www.batubara-indonesia.com) batubara adalah batuan yang mudah
terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya merupakan bahan
organik yang merupakan material karbonan termasuk inherent moisture.
Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat berupa jejak kulit
pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, polen, damar, dan lain - lain.
Selanjutnya bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat
pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat
fisik maupun kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan
lainnya. Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap, yaitu tahap
biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). Salah satu
komoditi tambang yang banyak diusahakan saat ini, untuk memenuhi
kebutuhan energi di Indonesia, adalah batubara. Pada saat ini Indonesia
memiliki potensi sumberdaya batubara sekitar 60 miliar ton dengan
cadangan miliar ton (Witoro, 2007).
Di lain pihak, tambang batubara di Indonesia umumnya dilakukan
dengan cara tambang terbuka, walaupun ada beberapa yang menggunakan
tambang bawah tanah (underground mining), sehingga akan berdampak
terhadap perubahan bentang alam, sifat fisik, kimia, dan biologis tanah,
serta secara umum menimbulkan kerusakan pada permukaan bumi.
Dampak ini secara otomatis akan mengganggu ekosistem diatasnya,
termasuk tata air (Subardja, 2007).
Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa
tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah
rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada
kedalaman 0,5-10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan
H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi
humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi
gambut. Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses
biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari
sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap
komponen organik dari gambut. Pada tahap ini prosentase karbon akan
meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang.
Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat. Cadangan
batu bara di Indoensia tersebar di darah Sumatra, Kalimantan, Jawa,
Sulawesi, Maluku, dan Papua. Menurut management batubara-
indonesia.com (www.batubara-indonesia.com), World Energy Council
memperkirakan cadangan batubara dunia terbukti mencapai 847.488 juta
ton pada akhir 2007 yang tersebar di lebih dari 50 negara. Di Indonesia
sendiri, menurut Dirjen Minerba Kementrian ESDM Bambang Setiawan
yang dikutip di majalah Investor bulan April 2011, sumber daya dan
cadangan batu bara nasional sebesar 105,2 miliar ton. Sedangkan nilai
cadangan sebesar 21,13 miliar ton. Besarnya cadangan batu bara nasional
menyebabkan peningkatan produksi batu bara setiap tahunnya. Menurut
data ESDM, produksi batu bara Indonesia meningkat dari 132,352,025 ton
per 2004, hingga 275,164,196 ton pada tahun 2010. Sementara total ekspor
meningkat dari 93,758,806 ton per 2004 hingga 208,000,000 ton per 2010.
Pertambangan batu bara dan emas mendominasi beberapa daerah di
Kalimantan. Ketahanan tanaman terhadap logam berat berbeda. Oleh
karena itu perlu diperoleh tanaman yang sesuai untuk reklamasi lahan
tertentu. Lahan tambang umumnya telah terkontaminasi toksit, lahan jadi
beracun dan susah ditumbuhi, disamping mengaplikasikan bakteri
pereduksi sulfur dan bakteri penetralisir toksik. lahan bekas penambangan
batu bara seringkali minim bahkan tidak ada lapisan topsoil yang
sebenarnya banyak mengandung unsur hara. Usaha untuk memperoleh
tanaman yang sesuai untuk reklamasi lahan pertambangan tertentu, dapat
melalui modifikasi genetik melalui rekayasa genetika atau induksi mutan
melalui radiasi atau somaklonal variasi. Induksi mutan melalui radiasi
pada tanaman hutan belum banyak dilakukan dan umumnya tanaman
daerah beriklim dingin dan sebagian besar tanaman keras atau berkayu
seperti tanaman buah pir. Induksi mutan pada sengon merupakan usaha
untuk meningkatkan ketahanan pada tanaman kehutanan di Indonesia yang
berpotensi untuk reklamasi lahan pertambangan (Enny, 2009).
Dalam dasawarsa terakhir ini penggunaan batubara sebagai bahan
energi meningkat dengan pesatnya pemanfaatan batubara sebagai sumber
energy dapat menjadi salah satu skenario dalam mengatasi krisis energy.
Pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi
Indonesia. Industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor
pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan
memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto
(PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja
orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit (Anggayana & Widayat,
2007).
Kehadiran dan beroperasinya pertambangan batubara dengan
sejumlah aktivitasnya itu, seperti ganti rugi lahan, proses penambangan,
perekrutan pegawai, penempatan mess karyawan, dan lain-lain berdampak
pada lingkungan di sekitarnya, baik itu lingkungan fisik maupun non-fisik.
Kondisi lingkungan yang demikian potensial merubah perilaku sosial
masyarakat yaitu pada perilaku bergotong royong. Gotong royong
merupakan salah satu aktivitas masyarakat yang terpengaruhi oleh
kehadiran pertambangan batubara. Masyarakat desa dengan latar belakang
sebagai petani serta kehidupan yang penuh dengan kesederhaan aktivitas
gotong royong menjadi alternatif untuk saling meringankan beban
pekerjaan yang berlaku secara turun temurun sehingga membentuk
perilaku sosial yang nyata dalam tata kehidupan sosial. Gotong royong
merupakan ciri budaya bangsa Indonesia yang selalu dipegang teguh dan
dijunjung tinggi terutama di pedesaan yang mayoritas dihuni oleh
masyarakat tradisional. Namun seiring dengan masuknya sistem budaya
baru, perilaku tersebut mengalami perubahan. Jika dulu masyarakat sering
melaksanakan kegiatan gotong royong dalam kehidupan sehari-hari secara
suka rela (tanpa upah atau bayaran) dan mudah untuk dikerahkan, namun
kondisi sekarang sulit untuk mengerahkan warga atau tenaga orang untuk
bergotong royong tanpa ada bayaran
(Jatman, 1983:15-16).
2.7 Industri Pertambangan di Kalimantan Selatan
Menurut Greenpeace Indonesia (2014), dalam artikel “Bagaimana
pertambangan batubara melukai perekonomian Indonesia” diuraikan
selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah mengalami pertumbuhan
luar biasa di sector pertambangan batubara yang belum pernah terjadi
sebelumnya, dengan meningkatnya produksi dan ekspor batu bara sebesar
lima kali lipat antara tahun 2000 dan 2012. Meskipun pertumbuhannya
meningkat sangat pesat, sektor batubara menyumbang hanya 4% dari
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan prospek pertumbuhan di
masa depan yang lebih terbatas (Greenpeace Indonesia, 2014).
Eksplotasi batubara yang masif ini harus dibayar dengan biaya
besar terhadap ekonomi nasional, sektor-sektor ekonomi lainnya serta
mata pencaharian penduduk Indonesia di daerah-daerah terkena dampak.
Industri ekstraktif seperti pertambangan batubara mengguncang
perekonomian Indonesia, menyebabkan fluktuasi besar dalam neraca
pembayaran dan nilai tukar. Dampak dari fluktuasi ini juga menghambat
pembangunan jangka panjang dari industri dengan nilai tambah yang lebih
tinggi karena mengalihkan dan menghalau investasi modal awal. Saat ini,
Indonesia menderita karena pasar batubara internasional lemah
(Greenpeace Indonesia, 2014).
Meskipun pertumbuhan dramatis selama dekade terakhir, ekspor
batubara hanya merupakan 3% dari perekonomian nasional dan
penggunaan batu bara dalam negeri hanya 1%, seperti yang diperkirakan
pada Tabel 2 di bawah ini. Kontribusi pertambangan terhadap PDB lebih
kecil dari semua jasa (35%), manufaktur (27%) dan pertanian (16%).
Industri batubara juga sangat sedikit mempekerjakan orang. Sebuah studi
besar di Kalimantan Selatan – salah satu pusat pertambangan batubara
utama di Indonesia – menunjukkan bahwa keseluruhan sektor
pertambangan mempekerjakan hanya dua persen dari angkatan kerja di
wilayah tersebut. Studi ini juga menemukan bahwa keuntungan ekonomi
dari pertambangan batubara menggelontor terutama untuk rumah tangga
berpendapatan tinggi daripada rumah tangga berpendapatan rendah
(Greenpeace Indonesia, 2014).
Kalimantan Selatan merupakan salah satu wilayah yang kaya akan
lahan tambang, salah satunya batubara. Kawasan ini di kenal memiliki
cadangan bahan tambang melimpah, khusunya batu bara. Sampai saat ini
produksinya dapat mencapai 10% dari produksi total batubara nasional.
Merebaknya tambang batu bara di Kalsel tersebut memberikan dampak
pada bidang ekonomi, dimana devisa terus saja mengalir dari hasil ekspor
tambang itu dengan tujuan berbagai negara di dunia (Greenpeace
Indonesia, 2014).
2.6.1 Pengertian Pertambangan Batubara
Pertambangan merupakan suatu bidang usaha yang karena sifat
kegiatannya pada dasarnya selalu menimbulkan perubahan pada alam
lingkungannya. Batubara merupakan salah satu bahan galian strategis yang
sekaligus menjadi sumber daya energy yang sangat besar. Indonesia pada
tahun 2006 mampu memproduksi batu bara sebesar 162 juta ton dan 120
juta ton diantaranya diekspor. Sementara itu sekitar 29 juta ton diekspor ke
Jepang. indonesia memiliki cadangan batubara yang tersebar di Pulau
Kalimantan dan Pulau Sumatera, sedangkan dalam jumlah kecil, batu bara
berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua dan Sulawesi (BPLHD Jabar,
2005).
2.6.2 Jenis Batubara
Jenis dan kualitas batubara tergantung pada tekanan, panas dan
waktu terbentuknya batubara. Berdasarkan hal tersebut, maka batubara
dapat dikelompokkan menjadi 5 jenis batubara, diantaranya adalah
antrasit, bituminus, sub bituminus, lignit dan gambut (Anonim1,2013) :
1. Antrasit merupakan jenis batubara dengan kualitas terbaik, batubara
jenis ini mempunyai ciri-ciri warna hitam metalik, mengandung unsur
karbon antara 86%-98% dan mempunyai kandungan air kurang dari 8%.
2. Bituminus merupakan batubara dengan kualitas kedua, batubara jenis
ini mempunyai kandungan karbon 68%-86% serta kadar air antara 8%-
10%. Batubara jenis ini banyak dijumpai di Australia.
3. Sub Bituminus merupakan jenis batubara dengan kualitas ketiga,
batubara ini mempunyai ciri kandungan karbonnya sedikit dan
mengandung banyak air.
4. Lignit merupupakan batubara dengan kwalitas keempat, batubara jenis
ini mempunyai cirri memiliki warna muda coklat, sangat lunak dan
memiliki kadar air 35%-75%.
5. Gambut merupakan jenis batubara dengan kwalitas terendah, batubara
ini memiliki ciri berpori dan kadar air diatas 75%.
Aktivitas pertambangan Batubara selalu membawa dua sisi. Sisi pertama
adalah memacu kemakmuran ekonomi negara. Sisi yang lainnya adalah
timbulnya dampak lingkungan yang memerlukan tenaga, pikiran, dan
biaya yang cukup signifikan untuk proses pemulihannya. Salah satu
komoditi tambang yang banyak diusahakan saat ini, untuk memenuhi
kebutuhan energi di Indonesia, adalah batubara. Pada saat ini Indonesia
memiliki potensi sumberdaya batubara skater 60 miliar ton dengan
cadangan 7 miliar ton (Witoro, 2007). Di lain pihak, tambang batubara di
Indonesia umumnya dilakukan dengan cara tambang terbuka, walaupun
ada beberapa yang menggunakan tambang bawah tanah (underground
mining), sehingga akan berdampak terhadap perubahan bentang alam, sifat
fisik, kimia, dan biologis tanah, serta secara umum menimbulkan
kerusakan pada permukaan bumi.
Dari pengertian diatas bahwa mengatakan pertambangan Batubara
mengakibatkan dua sisi efek negatif maupun positif yang diakibatkan oleh
pertambangan Batubara itu sendiri :
2.6.3 Dampak Negatif Terhadap Lingkungan
a. Dampak Terhadap Lingkungan
Seperti halnya aktifitas pertambangan lain di Indonesia,
Pertambangan batubara juga telah menimbulkan dampak kerusakan
lingkungan hidup yang cukup besar, baik itu air, tanah, Udara, dan hutan,
Air (Anonim2,2013). Penambangan Batubara secara langsung
menyebabkan pencemaran antara lain ;
Gambar 2.1 Aktivitas penambangan batu bara.
1. Pencemaran air
Permukaan batubara yang mengandung pirit (besi sulfide) berinteraksi
dengan air menghasilkan Asam sulfat yang tinggi sehingga
terbunuhnya ikan-ikan di sungai, tumbuhan, dan biota air yang
sensitive terhadap perubahan pH yang drastis. Itu terjadi apabila
system pembuangan dari pertambangan batubara itu tidak sesuai
dengan peraturan yang berlaku atau tidak mengikuti peraturannya itu.
2. Pencemaran udara
Polusi/pencemaran udara yang kronis sangat berbahaya bagi
kesehatan. Menurut logika udara kotor pasti mempengaruhi kerja
paru-paru. Peranan polutan ikut andil dalam merangsang penyakit
pernafasan seperti influenza, bronchitis dan pneumonia serta penyakit
kronis seperti asma dan bronchitis kronis.
Gambar 2.2 Aktivitas pengangkutan batu bara.
3. Pencemaran Tanah
Penambangan batubara dapat merusak vegetasi yang ada,
menghancurkan profil tanah genetic, menggantikan profil tanah
genetic, menghancurkan satwa liar dan habitatnya, degradasi kualitas
udara, mengubah pemanfaatan lahan dan hingga pada batas tertentu
dapat megubah topografi umum daerah penambangan secara
permanen.
Gambar 2.3 Lahan pasca tambang
Disamping itu, penambangan batubara juga menghasilkan gas
metana, gas ini mempunyai potensi sebagi gas rumah kaca. Kontribusi gas
metana yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, memberikan kontribusi
sebesar 10,5% pada emisi gas rumah kaca. Permasalahan lingkungan
dalam aktivitas pertambangan batubara umumnya terkait dengan Air Asam
Tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD). Air tersebut terbentuk
sebagai hasil oksidasi mineral sulfida tertentu yang terkandung dalam
batuan oleh oksigen di udara pada lingkungan berair (Sayoga, 2007).
Penggalian batubaranya sendiri, serta waste material menyebabkan
tersingkapnya tanah/batuan yang mengandung mineral sulfida, antara lain
berupa Pirit (Pyrite) dan Markasit (Marcasite). Mineral sulfida tersebut
selanjutnya bereaksi dengan oksidan dan air membentuk air asam
tambang. Air asam tambang ini akan mengikis tanah dan batuan yang
berakibat pada larutnya berbagai logam seperti besi (Fe), jadi sisa dari
pertambangan Batubara itu menghasilkan cekungan atau wadah sepeti
mangkok yang akan teroksidasi terhadap air dan udara,kalau tiga unsur itu
mengalami keterikatan maka akan mengasilkan air asam tambang itu
(Sayoga, 2007).
b. Dampak Terhadap manusia
Dampak pencemaran Pencemaran akibat penambangan batubara
terhadap manusia, munculnya berbagai penyakit antara lain
(Anonim2,2013):
Limbah pencucian batubara zat-zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan
manusia jika airnya dikonsumsi dapat menyebabkan penyakit kulit pada
manusia seperti kanker kulit. Kaarena Limbah tersebut mengandung
belerang ( b), Merkuri (Hg), Asam Slarida (Hcn), Mangan (Mn), Asam
sulfat (H2sO4), di samping itu debu batubara menyebabkan polusi udara
di sepanjang jalan yang dijadikan aktivitas pengangkutan batubara. Hal ini
menimbulkan merebaknya penyakit infeksi saluran pernafasan, yang dapat
memberi efek jangka panjang berupa kanker paru-paru, darah atau
lambung. Bahkan disinyalir dapat menyebabkan kelahiran bayi cacat.
c. Dampak Sosial dan kemasyarakatan
1. Terganggunya Arus Jalan Umum
Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks
dan sangat rumit, sarat resiko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang,
melibatkan teknologi tinggi, adat modal, dan membutuhkan aturan
regulasiyang dikeluarkan oleh beberapa sector. Banyaknya lalu lalang
kendaraan yang digunakan untuk angkutan batubara berdampak pada
aktivitas pengguna jalan lain. Semakin banyaknya kecelakaan,
meningkatnya biaya pemeliharaan jembatan dan jalan, adalah sebagian
dari dampak yang ditimbulkan (Raden dkk, 2010).
2. Konflik Lahan Hingga Pergeseran Sosial-Budaya Masyarakat
Konflik lahan kerap terjadi antara perusahaan dengan masyarakat
lokal yang lahannya menjadi obyek penggusuran. Kerap perusahaan
menunjukkan kearogansiannya dengan menggusur lahan tanpa melewati
persetujuan pemilik atau pengguna lahan. Atau tak jarang mereka
memberikan ganti rugi yang tidak seimbang denga hasil yang akan mereka
dapatkan nantinya. Tidak hanya konflik lahan, permasalahan yang juga
sering terjadi adalah diskriminasi. Akibat dari pergeseran ini membuat
pola kehidupan mereka berubah menjadi lebih konsumtif. Bahkan
kerusakan moralpun dapat terjadi akibat adanya pola hidup yang berubah
(Business Review Online, 2012).
2.6.4 Dampak Positif dari Penambangan Batubara
1. Sisi Ekonomi dan Sumber Daya Manusia
Tidak dapat dipungkiri baik secara langsung maupun tidak langsung
sebagian besar dengan adanya kegiatan penambangan dan adanya
perusahaan pertambangan disuatu daerah akan berdampak secara
sistematik pada segi ekonomi masyarakat daerah tersebut.
2. Memasok Kebutuhan Energi
Kegiatan penambangan oleh perusahaan pertambangan khususnya
penambangan bahan-bahan tambang yang pengunaan akhirnya
sebagai sumber energi secara langsung akan berdampak pada
peningkatan dan mpemenuhan permintaan pasokan energi khususnya
didaerah tersebut dan pada daerah lain secara luas. Sebagai contoh
penambangan bahan galian batubara yang umumnya digunakan
sebagai bahan bakar pembangkit listrik tentunya akan mampu
meningkatkan pasokan energi listrik pada daerah tersebut dikarenakan
ketersediaan bahan bakar yang besar bagi pembangkit listrik PLTU
khususnya. Bahkan banyak dengan adanya kegiatan penambangan
batubara yang cukup besar akan merangsang investasi pendirian
pembangkit listrik PLTU pada daerah di sekitar penambangan
batubara sehingga kebutuhan energi daerah tersebut jauh dapat
dipenuhi. Selain itu penambangan gas bumi juga dapat dimanfaatkan
sebagai alternatif energi lain yaitu pembangkit listrik tenaga gas atau
PLTG, dimana dengan hal tersebut kebutuhan energi daerah tersebut
bisa teratasi dengan baik.
3. Memacu Pembangunan
Pembangunan didaerah kegiatan penambangan dan perusahaan
pertambangan tentunya akan terus berkembang pesat sejalan dengan
kegiatan penambangan itu sendiri. Pembangunan insfrastruktur
pendukung kegiatan penambangan itu sendiri tentunya akan memicu
peningkatan pembangunan didaerah tersebut guna mendukung
kebutuhan perusahaan dan kegiatan penambangan itu sendiri mulai
dari segi sosial, kesehatan, perekonomian dan lain-lain. Seperti
diterangkan sebelumnya kegitan penambangan itu sendiri akan
merangsang pembangunan perusahaan pengguna dari bahan tambang
itu sendiri yang akan berimbas secara berkelanjutan akan kebutuhan
insfrastruktur sosial seperti tempat ibadah, ekonomi berupa perbankan
dan pasar, serta sarana pendidikan (Abdullah,2013).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep pada penelitian ini adalah :
3.2 Tempat dan Waktu
Penelitian tentang Pengaruh Penambangan Batu Bara terhadap
Kejadian Penyakit Malaria dilaksanakan pada Penelitian ini dilakukan di desa
Paring Tali, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Banjar Kalimantan
Selatan. selama 1 bulan.
3.3 Desain Penelitian
Penelitian deskriptif mencoba mencari deskripsi yang tepat dan cukup
dari semua aktivitas, objek, proses, dan manusia. Kajian ini menggunakan
pendekaan Cross Sectional.
3.4 Populasi dan Sampel
Pada penelitian ini populasi adalah masyarakat yang bertempat tinggal
di daerah Kabupaten Banjar. Dan adapun sampel adalah masyarakat yang
dipilih secara acak bertempat tinggal di Kecamatan Simpang Empat.
3.5 Variabel
Variabel yang dikumpulkan adalah :
a. Variabel dependen (Terikat), yaitu kejadian ISPA.
b. Variabel independen (Bebas), yaitu karakteristik rumah tangga,
sanitasi lingkungan, jamban, dan PHBS.
3.7 Pengumpulan Data
a. Data primer yang akan dikumpulkan : Data lingkungan biologi dan
lingkungan fisik serta melakukan wawancara terhadap anggota rumah
tangga yang terpilih.
b. Data sekunder yang akan dikumpulkan : Data kasus penyakit, data
geografi, demografi dan iklim (dinas terkait).
3.8 Cara Kerja
Mengumpulkan data sekunder, survey habitat vector di bekas
penambangan batubara, keberadaan reservoir penyakit, pengamatan
lingkungan fisik kimia, dan melakukan wawancara mendalam dan wawancara
pada masyarakat menggunakan kuesioner.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Perkembangan industri pertambangan batubara di Kecamatan Simpang
Empat Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Perkembangan produksi batubara selama 13 tahun terakhir telah
menunjukkan peningkatan yang cukup pesat, dengan kenaikan produksi rata-
rata 15,68% pertahun. Tampak pada tahun 1992, produksi batubara sudah
mencapai 22,951 juta ton dan selanjutnya pada tahun 2005 produksi batubara
nasional telah mencapai 151,594 juta ton. Perusahaan pemegang PKP2B
merupakan produsen batubara terbesar, yaitu sekitar 87,79 % dari jumlah
produksi batubara Indonesia, diikuti oleh pemegang KP sebesar 6,52 % dan
BUMN sebesar 5,68 %. Perkembangan produksi batubara nasional tersebut
tentunya tidak terlepas dari permintaan dalam negeri (domestik) dan luar
negeri (ekspor) yang terus meningkat setiap tahunnya. Sebagian besar
produksi tersebut untuk memenuhi permintaan luar negeri, yaitu rata-rata
72,11%, dan sisanya 27,89% untuk memenuhi permintaan dalam negeri
(Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara, 2006).
Kalimantan Selatan merupakan salah satu wilayah yang kaya akan
lahan tambang, salah satunya batubara. Kawasan ini di kenal memiliki
cadangan bahan tambang melimpah, khusunya batu bara. Sampai saat ini
produksinya dapat mencapai 10% dari produksi total batubara nasional.
Merebaknya tambang batu bara di Kalsel tersebut memberikan dampak pada
bidang ekonomi, dimana devisa terus saja mengalir dari hasil ekspor tambang
itu dengan tujuan berbagai negara di dunia (Greenpeace Indonesia, 2014).
Berdasarkan table diatas, sector batubara memberikan pendapatan
tertinggi pada beberapa tahun terkhir.
Di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar, telah dibuka area
pertambangan batubara oleh beberapa perusahaan tambang. Jalur untuk akses
pertambangan yang melewati beberapa desa di kecamatan tersebut
memberikan kemudahan akses bagi penduduk untuk mencapai pusat
kecamatan dan ke luar kecamatan. Dengan dibukanya jalur memberikan
dampak positif dalam menunjang kegiatan ekonomi masyarakat setempat.
Namun, disisi lain, jalur tersebut juga memudahkan akses menuju titik
titik tambang batubara yang dapat digali oleh beberapa perusahaan kecil yang
tidak memenuhi perizinan terkait kegiatan tambang batubara. Adapun lokasi
galian ini sangat dekat dengan pemukiman warga desa. Limbah pencucian
batubara zat-zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia jika airnya
dikonsumsi dapat menyebabkan penyakit kulit pada manusia seperti kanker
kulit. Karena Limbah tersebut mengandung belerang ( b), Merkuri (Hg),
Asam Slarida (Hcn), Mangan (Mn), Asam sulfat (H2sO4), di samping itu
debu batubara menyebabkan polusi udara di sepanjang jalan yang dijadikan
aktivitas pengangkutan batubara. Hal ini menimbulkan merebaknya penyakit
infeksi saluran pernafasan.
Berdasarkan hasil wawancara dari penduduk di Desa Paring Tali,
mereka mengeluhkan banyaknya lalu lalang kendaraan yang digunakan
untuk angkutan batubara, hal tersebut menimbulkan berbagai gangguan
seperti kebisingan dan debu yang mengganggu kesehatan warga desa. Selain
itu, warga juga mengeluhkan lumpur dari sisa penggalian yang sering
menutupi sawah warga pada musim hujan.
Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar memiliki 2 unit
fasilitas kesehatan berupa 1 unit puskesmas dan 1 unit puskesmas pembantu
yang terletak di pusat kecamatan dan berada di jalur lintas kota. Fasilitas ini
sangat sulit dijangkau oleh warga yang tinggal di jalur pertambangan
batubara. Hal ini menunjukan bahwa pelayanan fasilitas kesehatan yang
kurang serta kondisi lingkungan yang buruk karena aktivitas pertambangan
dapat meningkatkan resiko sakit. Pencemaran udara yang kronis sangat
berbahaya bagi kesehatan. Menurut logika udara kotor pasti mempengaruhi
kerja paru-paru. Peranan polutan ikut andil dalam merangsang penyakit
pernafasan seperti influenza, bronchitis dan pneumonia serta penyakit kronis
seperti asma dan bronchitis kronis.
Aktifitas pertambangan di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten
Banjar tidak dapat dipungkiri baik secara langsung maupun tidak langsung
sebagian besar dengan adanya kegiatan penambangan dan adanya perusahaan
pertambangan akan berdampak secara sistematik pada segi ekonomi
masyarakat daerah tersebut. Namun, aktivitas tersebut juga mengganggu
kesehatan dan merusak vegetasi yang ada, menghancurkan profil tanah
genetic, menggantikan profil tanah genetic, menghancurkan satwa liar dan
habitatnya, degradasi kualitas udara, mengubah pemanfaatan lahan dan
hingga pada batas tertentu dapat megubah topografi umum daerah
penambangan secara permanen.
4.2 Pengaruh aktivitas pertambangan batubara terhadap kesehatan pekerja
dan masyarakat disekitarnya.
a. Dampak terhadap lingkungan.
Dampak lingkungannya yaitu terganggunya ekosistem terutama
perairan disekitar tambang yang sacara langsung terhubung oleh aliran air
bawah tanah, air asam tambang adalah salah satu hal yang dapat
menyebabkan tercemarnya perairan, rusaknya baku mutu air jika tidak
dilakukan pencegahan dan penangan. Berkurangnya kualitas udara bersih di
sekitar wilayah pertambangan, karena debu yang dihasilkan dari aktivitas
pertambangan sangan bersifat (toxic) beracun terutama untuk kesehatan.
b. Dampak dari aktivitas pertambangan batu bara terhadap para pekerja dan
masyarakat di sekitar wilayah aktivitas pertambangan.
Secara sederhana dapat diketahui bahwa dampak yang langsung
dapat dirasakan oleh para pekerja tambang adalah susahnya bernafas
disekitar wilayah tambang karena debu dari batubara sangan banyak dan
mempunai partikel yang sangat kecil yang berukuran 0,1 sampai 10 mikron.
Sebagain besar partikel yang berukuran 5-10 mikron bila terhirup akan
terendap pada saluran pernapasan atas, dan paling bebahaya atau disebut
respirabel, denganadalah ukuran 1-3 karena saat terhirup akan tertahan dan
terendap pada bronkiolus teminalis samapi alveoli yang tentunya dapat
berpengaruh terhadap kesehatan untuk jangka panjang terutama untuk paru-
paru.
Penyakit yang sering terjadi adalah penyakit paru-paru hitam atau
yang terhirup oleh para pekerja secara waktu yang berkepanjangan dan
menyebabkan paru-paru berwarna akibat partikel kecil debu batu bara. Debu
batu bara juga menyebabkan penyakit lain seperti, TBC, asma dan ISPA (
Inveksi saluran Pernapasan Atas ). Tanpa menggunakan alat keselamatan
kerja penyakit yang sacara luas tersebar di udara tersebut dapat dengan cepat
mempengaruhi kesehatan para pekerja tambang dan juga masyarakat di
sekitar wilayah pertambangan.
4.3 Faktor resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan batubara
terhadap kejadian ISPA.
Penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) merupakan suatu
penyakit yang disebabkan infeksi pada organ saluran pernafasan, laring,
faring, sinus dan hidung. Penyebab utama dari penyakit ISPA yaitu faktor
lingkungan yang kurang bersih. Penyakit ISPA yang diakibatkan oleh
aktivitas pertambangan batubara di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten
Banjar, Kalimantan Selatan ini kurang terlihat atau kurang dirasakan efek
penyakitnya untuk saat ini. Namun akibat dampak perubahan iklim kemarin
dari musin hujan ke musim kemarau itu yang dapat menyebabkan jalan di
kawasan pertambangan menuju ke kawasan penduduk itu sangat berdebu
yang diakibatkan oleh truck pengangkut batu bara itu. Oleh Karena itu
penyakit khususnya ISPA sangat rentang terkena ke anak-anak maupun
dewasa yang berada diwilayah sekitaran pertambangan batu bara itu.
Penyebab penyakit ISPA, yaitu efek pencemaran udara terhadap
saluran pernafasan dapat menyebabkan berhentinya saluran pernafasan,
sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh
bahan pencemar. Banyaknya lendir akan meningkatkan penyempitan saluran
pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernafasan. Akibat
dari hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing
tertarik dan bakteri lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal
ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan, selain
pencemaran udara ISPA penyebab di yaitu bakteri dan virus. Penyakit ISPA
dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang
mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat ke saluran
pernapasannya. Jadi, penyakit ISPA terjadi bukan hanya karena infeksi virus
atau bakteri, namun perilaku buruk yang dilakukan sehari-hari dapat
menyebabkan timbulnya penyakit ini. ISPA terdiri dari saluran pernafasan
pada bagian atas hingga saluran pernafasan pada bagian bawah. Bahkan jika
sudah mengalami infeksi akut, maka dapat menyerang bagian saluran
pernafasan mulai dari hidung bagian atas sampai jaringan pada paru-paru
bagian bawah.
4.4 Upaya pencegahan dan penanggulangan ISPA.
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus
yang benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program
(turunnya kematian karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik
dan obat batuk yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA). Pedoman
penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan
penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik
untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk
yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan kasus mencakup pula
petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai bagian dari
tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA . Penatalaksanaan ISPA
meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut (John, 2002) :
a. Pemeriksaan
Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak
dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan
mendengarkan anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak
menangis (bila menangis akan meningkatkan frekuensi napas), untuk ini
diusahakan agar anak tetap dipangku oleh ibunya. Menghitung napas dapat
dilakukan tanpa membuka baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin perlu
membuka sedikit untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada
bagian bawah, baju anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi
dengan steteskop penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan diklasifikasi.
b. Klasifikasi ISPA
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai
berikut :
1) Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada
kedalam (chest indrawing).
2) Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
3) Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai
demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat.
Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia.
c. Pengobatan
1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,
oksigendan sebagainya.
2) Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita
tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian
kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik
pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.
3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan
di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat
batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,
dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun
panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada
pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai
pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang
tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik
(penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan
tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan
selanjutnya.
d. Perawatan di rumah
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi
anaknya yang menderita ISPA.
1) Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan
memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan
demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk
waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya,
kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan
menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
2) Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional
yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok
teh , diberikan tiga kali sehari.
3) Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulangulang
yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada
bayi yang menyusu tetap diteruskan.
4) Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih
banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan
cairan akan menambah parah sakit yang diderita.
5) Lain-lain
a) Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan
rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam.
b) Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat
kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.
c) Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi
cukup dan tidak berasap.
d) Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka
dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan.
e) Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas
usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama
5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan
agar setelah 2 hari anak dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk
pemeriksaan ulang.
Pencegahan ISPA
Pencegahan ISPA yang dilakukan adalah upaya yang dimaksudkan
agar seseorang terutama anak-anak dapat terhindar baik itu infeksinya, maupun
melawan dengan sistem kekebalan tubuh, karena vektor penyakit ISPA telah
sangat meluas di dunia, sehingga perlu kewaspadaan diri untuk menghadapi
serangan infeksi, bukan hanya dalam hal pengobatan ISPA. Menurut Depkes
RI, (2004) pencegahan ISPA antara lain:
a. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik
Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah
kita atau terhindar dari penyakit yang terutama antara lain penyakit ISPA.
Misalnya dengan mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna, banyak
minum air putih, olah raga dengan teratur, serta istirahat yang cukup,
kesemuanya itu akan menjaga badan kita tetap sehat. Karena dengan tubuh
yang sehat maka kekebalan tubuh kita akan semakin meningkat, sehingga
dapat mencegah virus / bakteri penyakit yang akan masuk ke tubuh kita.
b. Imunisasi
Pemberian immunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak
maupun orang dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh
kita supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan
oleh virus / bakteri.
c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan
mengurangi polusi asap dapur / asap rokok yang ada di dalam rumah, sehingga
dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang bisa menyebabkan
terkena penyakit ISPA. Ventilasi yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi
udara (atmosfer) agar tetap segar dan sehat bagi manusia.
d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/ bakteri yang
ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini melalui udara yang
tercemar dan masuk ke dalam tubuh. Bibit penyakit ini biasanya berupa virus /
bakteri di udara yang umumnya berbentuk aerosol (anatu suspensi yang
melayang di udara). Adapun bentuk aerosol yakni Droplet, Nuclei (sisa dari
sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan
melayang di udara), yang kedua duet (campuran antara bibit penyakit).
Sebagaimana yang telah di sebutkan tadi, hal-hal yang dapat kita lakukan untuk
melindungi diri dalam rangka pencegahan ISPA adalah (Depkes RI, 1994) :
Dengan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Hal ini menjadi sangat
sulit bagi anak-anak karena perlu pengawasan yang baik serta memberikan
kesadaran kepada mereka.
Keadaan gizi yang harus terjaga agar tidak mudah terinfeksi penyakit. Hal
ini disebabkan karena apabila kondisi tubuh tidak terjaga, maka kadar
imunitas tubuh juga akan menurun.
Melakukan kontrol terhadap keadaan lingkungan merupakan hal yang
penting bagi pencegahan penyakit. Penggunaan masker sederhana bisa
menjadi alternatif yang cukup praktis untuk melindungi diri dari
lingkungan yang tidak sehat serta menhindari kontak langsung dengan
penderita ISPA.
Dengan melakukan imunisasi untuk menjaga kekebalan tubuh.
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan
ISPA, sebaliknya perilaku yang tidak mencerminkan hidup sehat akan
menimbulkan berbagai penyakit.
Usaha untuk memberikan gizi yang baik mungkin akan mudah bagi
orang dewasa yang telah mengerti, namun bagi bayi yang masih dalam kontrol
orang tua harus disusui sampai usia dua tahun karena ASI adalah makanan
yang paling baik untuk bayi. Berikan anak makanan padat sesuai
kebutuhannya. Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk
mengetahui apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan perlu diperiksa
apakah ada penyakit yang menghambat pertumbuhan. Agar anak memperoleh
kekebalan dalam tubuhnya anak perlu mendapatkan yang dimaksudkan untuk
mencegah penyakit Pertusis yang salah satu gejalanya adalah infeksi saluran
nafas.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan,
telah dibuka area pertambangan batubara oleh beberapa perusahaan
tambang. Dengan dibukanya jalur jalan memberikan dampak positif dalam
menunjang kegiatan ekonomi masyarakat setempat dan memberikan
dampak negatif yaitu kanker kulit, kebisingan dan debu yang
mengganggu kesehatan warga desa. Selain itu, warga juga mengeluhkan
lumpur dari sisa penggalian yang sering menutupi sawah warga pada
musim hujan.
2. Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar memiliki 2 unit fasilitas
kesehatan berupa 1 unit puskesmas dan 1 unit puskesmas pembantu yang
terletak di pusat kecamatan dan berada di jalur lintas kota.
3. Dampak yang langsung dapat dirasakan oleh para pekerja tambang adalah
susahnya bernafas disekitar wilayah tambang karena debu dari batubara
sangan banyak dan mempunyai partikel yang sangat kecil yang berukuran
0,1 sampai 10 mikron
4. Penyakit ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara,
debu, pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat
ke saluran pernapasannya.
5. Pencegahan penyakit ISPA meliputi :
a. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik
b. Imunisasi
c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Perlunya menentukan jarak antara wilayah pertambangan dengan lokasi
tempat tinggal penduduk agar mengurangi jangkauan efek debu dan
limbah buangan batu bara, agar tidak menggangu aktivitas dan kesehatam
masyarakat.
2. Perlunya APD ( Alat Pelindung Diri ) terutama untuk para pekerja
tambang untuk mengurangi paparan debu dari batubara.
3. Perlunya tempat kesehatan yang memadai di wilayah penduduk yang
berdekatan dengan wilayah tambang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulllah. 2013. Dampak Positif dari Penambangan. ITB : Bandung.
Amin. M. 2000. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Laboratorium SMF Penyakit
Paru, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD DR. Sutomo,
Surabaya.
Anonim1,2013. Jenis-Jenis Batubara. http://www.indoenergi.com/2012/03/jenis-
jenis-batubara.html. Diakses pada tanggal 24 November 2014.
Anonim2,2013. Dampak Negatif dari Pertambangan Batubara. http://saveour-
nature.blogspot.com/2013/01/dampak-negatif-penambangan-
batubara.html. Diakses pada tanggal 24 November 2014.
Arif, F 2011. Kajian Penerapan Menejemen Resiko Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Lingkungan (K3) Pada Proses Blasting Di Area Pertambangan
Batubara di PT. Cipta Karidatama Jobsite Mahakam Sumber Jaya
Kalimantan Timur. Journal K3.
Biddulph, Jhon. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi
Revisi V. Rineka Cipta : Jakarta.
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat.
2005. Status Status Lingkungan Hidup Provisi Jawa Barat. Bandung.
Departemen Kesehatan RI. 1998. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2008.Jakarta.
Depkes RI, 2004. Kendala Penanganan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA),
FK-USU: Medan.
Depkes RI, 1994. Pedoman Program P2 ISPA dan Penanggulangan Pneumonia
Pada Balita. Depkes RI: Jakarta.
Dyah, M. 2010. Pencemaran Air Dan Tanah Di Kawasan Pertambangan Batubara
Di PT. Berau Coal, Kalimantan Timur. Journal Riset Geologi dan
Pertambangan 20(1):11 - 20
Epler. G.R. 2000. Environmental and Occupational Lung Disease. In : Clinical
Overview Of Occupational Diseases, Return To Epler. Com.
Enny, W. 2007. Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat untuk Bioremediasi Tanah
Bekas Tambang Batubara. Journal Biodiversitas 8(4): 283 – 286.
Enny, S. 2009. Sengon Mutan Putatif Tahan Tanah Ex-Tambang Emas. Journal
of Applied And Industrial Biotechnology In Tropical Region (2)2.
Halim, D. 2000. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates.
Ira, S. 2014. Perubahan Perilaku Bergotong Royong Masyarakat Sekitar
Perusahaan Tambang Batubara Di Desa Mulawarman Kecamatan
Tenggarong Seberang. Journal Sosiatri 1(3): 63-77.
Mairusnita. 1984. Karakteristik Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut.
Langsa.
Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. CV Trans
Media : Jakarta.
Meadow,Sir Roy dan Simen. 2002. Lectus Notes:Pediatrika. PT.Gelora Aksara
Pratama : Jakarta.
Mukono, H.J. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University
Press : Surabaya.
Muhamad, J. 2007. Potensi Industri Pengolahan Batubara Cair. Journal
Economic Review 208.
Miftahul, J. 2010. Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Batubara Lignit Oleh
Kapang Indigenous Dari Tanah Pertambangan Sumatera Selatan.
Journal Batubara.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak sakit. EGC :Jakarta.
Notoadmodjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. EGC : Jakarta.
Purwana, R., 1992. Partikulat Rumah Sebagai Faktor Resiko Gangguan
Pernafasan Pada Anak Balita. Disertasi IKM UI : Jakarta.
Putranto, A. 2007. Pajanan Debu Kayu (PM10) dan Gejala Penyakit Saluran
Pernafasan pada Pekerja Mebel Sektor Informal di Kota Pontianak
Kalimantan Barat, Thesis, PS-UI : Jakarta.
Rasmaliah. 2008. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Dan
Penganggulangannya, http://library.usu.ac.id
Saydam, Gouzali. 2011. Memahami Berbagai Penyakit (Penyakit Pernapasan dan
Gangguan Pencernaan). Bandung: Alfabeta. Halim. 2000
Sayoga, R. G. 2007. Pengelolaan Air Tambang: Aspek Penting dalam
Pertambangan yang Berwawasan Lingkungan. Pidato Ilmiah, majelis
Guru Besar ITB. Jurusan Teknik Pertambngan ITB.
Subowo, G. 2011. Penambangan Sistem Terbuka Ramah Lingkungan Dan Upaya
Reklamasi Pasca Tambang Untuk Memperbaiki Kualitas Sumberdaya
Lahan Dan Hayati Tanah. Journal Sumberdaya Lahan 5(2).
Selvy, Y. 2009. Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3) Pada Pertambangan
Batubara Di Pt. Marunda Grahamineral, Job Site Laung Tuhup
Kalimantan Tengah. Journal K3 .
Sigit, M. 2011. Stratigrafi Dan Keterdapatan Batubara Pada Formasi Lati Di
Daerah Berau, Kalimantan Timur. Journal Buletin Sumber Daya
Geologi 6(2).
Warung Masyrakat Informasi Indonesia. 2009. Infeksi Saluran Nafas Akut
(ISPA), http://www.warmasif.co.id diakses pada 24 November 2014
WHO. 2008. Pencegahan dan Pengendalian ISPA di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. http://www.who.int/csr/resources/publications/ diakses pada
24 November 2014
Witoro, S. S. 1997. Pengelolaan Lingkungan Pertambangan. Disampaikan pada
seminar LINGKUNGAN: Peran Pendidikan Teknik Lingkungan dalam
Pembanguan Bangsa, Lustrum IX Pendidiakan Teknik Lingkungan ITB,
15 Desember 2007, Dirjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi,
Departemen ESDM.