LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQOSAH
Skripsi yang berjudul “PERANAN GURU DALAM PENINGKATANMOTIVASI BERBICARA BAHASA INDONESIA YAG BAIK DANBENAR SISWA SD DAN MI DI KECAMATAN CIPUTAT TIMUR” disusunoleh Wahyu Samadyo Nugroho, NIM 108018300009 diajukan kepada FakultasIlmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif HidayatullahJakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian munaqasah pada tanggal 13 Juli2015 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelarSarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Guru MadrasahIbtidaiyah.
Jakarta, 13 Juli 2015Panitia Sidang Munaqasah
Tanggal Tanda Tangan
Ketua Panitia (Ketua Jurusan PGMI)Dr. Khalimi. M.Ag. ………………… …………………NIP. 19650515 199903 1 006
Sekretaris (Sekretaris Jurusan)Asep Ediana Latip, M.Pd. ………………… …………………NIP. 19810623 200912 1 003
Penguji IDona Aji Karunia Putra, M.A ………………… ………………NIP. 19840409 201101 1 015
Penguji IIDra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd ………………… …………………NIP. 19640212 1997 03 2 001
MengetahuiDekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Prof. Dr Ahmad Thib Raya, MA19550421 198203 1 007
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
PERANAN GURU DALAM PENINGKATAN MOTIVASI BERBICARABAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR SISWA SD DAN MI DI
KECAMATAN CIPUTAT TIMUR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah danKeguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh
WAHYU SAMADYO NUGROHO108018300009
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Fauzan, MA Makyun Subkhi, M.HumNIP. 19761107 200701 1 013 NIP. 19800305 200901 1 015
JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAHFAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
2015
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul “Peranan Guru dalam Peningkatan Motivasi Berbicara
Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar Siswa SD dan MI di Kecamatan
Ciputat Timur” disusun oleh Wahyu Samadyo Nugroho, NIM 108018300009,
Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah
sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.
Jakarta, 16 Juni 2015
Yang Mengesahkan,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Fauzan, M.A Makyun Subkhi, M.HumNIP. 19761107 200701 1 013 NIP. 19800305 200901 1 015
i
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Wahyu Samadyo Nugroho
Tempat/Tgl lahir : Jakarta, 22 Mei 1990
NIM : 108018300009
Fak/Jur : FITK/PGMI
Judul Skripsi : Peranan Guru dalam Peningkatan Motivasi Berbicara Bahasa
Indonesia yang Baik dan Benar pada Siswa SD dan MI di Kecamatan
Ciputat Timur
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini telah penulis cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya atau skripsi ini bukan asli karya penulis atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia menerima sanksi
berdasarkan undang-undang yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Juli 2015
Wahyu Samadyo Nugroho
NIM 108018300009
ii
ABSTRAK
Nama : Wahyu Samadyo Nugroho
NIM : 108018300009
Judul : Peranan Guru dalam Peningkatan Motivasi Berbicara Bahasa
Indonesia yang Baik dan Benar pada Siswa SD dan MI
di Kecamatan Ciputat Timur
Di dalam pelajaran Bahasa Indonesia, guru harus dapat membawa semuasiswanya ke arah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Setiap guru harusmenyadari bahwa segala sesuatu pada dirinya akan menjadi unsur-unsur pembinaan bagisiswa. Di samping mendidik dan mengajar yang dilaksanakan dengan sengaja oleh gurukepada siswanya, kepribadian guru, sikap, cara bergaul, dan cara berbicara gurupun ikutmempengaruhi keadaan para siswanya dalam bersikap dan belajar. Guru juga harus dapatmemperbaiki pendidikan bahasa yang telah terlanjur diterima oleh sang anak, baik dalamkeluarga maupun masyarakat di sekitarnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan guru dalam peningkatanmotivasi berbicara bahasa Indonesia siswa SD dan MI di Kecamatan Ciputat Timur
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, yaitu denganmenggunakan data-data kualitatif berupa kata-kata, kalimat-kalimat atau narasi-narasikepada variabel-variabel yang diteliti sesuai kondisi yang sebenarnya. Sampel dalampenelitian ini adalah 12 informan dari 12 sekolah di Kecamatan Ciputat Timur.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa peranan guru-gurudalam meningkatkan motivasi siswa berbahasa Indonesia yang baik dan benar beranekaragam mulai dari menghimbau untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baikdan benar, membiasakan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, memberi hukumanjika ada yang berbicara tidak sopan dan kotor berupa menulis surat, membiasakanmenulis cerita karangan, pidato, puisi, bermain peran dan menjadi reporter cilik. Peranguru tersebut sudah baik tapi belum maksimal mengingat bahasa Indonesia saat ini sudahterpengaruhi oleh unsur-unsur asing dan motivasi berbahasa Indonesia yang baik danbenar siswa masih rendah.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa
terlimpah dan tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat, serta seluruh
umat manusia.
Sebagai rasa syukur atas selesainya skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada orang-orang yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
diantaranya:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dr. Fauzan, M.A dan Makyun Subuki, M.Hum yang telah meluangkan waktunya dan
perhatiannya untuk membimbing dan mengoreksi setiap tulisan-tulisan di dalam
skripsi ini.
4. Dosen pembimbing akademik, Dr. Sururin, M.A yang telah banyak membantu
penulis dalam kelancaran penyusunan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta
bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah
Bapak dan Ibu berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT, Amin.
6. Seluruh staf Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Guru-guru kelas SD dan MI di Kecamatan Ciputat Timur atas doa, motivasi serta
pemberian kesempatan untuk diwawancarai dan data-data lainnya yang penulis
perlukan dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Teristimewa untuk ayahanda Parino Hardjo Sentono dan Ibunda tercinta Kartinah
yang telah membesarkan penulis, menyayangi, dan mendidik penulis dengan ikhlas
iv
dan penuh kesabaran. Serta untuk adikku Nurul Handayani yang juga selalu
mensupport.
9. Teman-teman seperjuangan PGMI angkatan 2008 yang banyak memberikan bantuan
dan motivasi yang sangat berarti selama masih kuliah. Semoga kita selalu kompak
dan sukses untuk kita semua, Amin.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak
disebutkan satu persatu hingga penelitian ini bisa diselesaikan. Semoga bantuan yang
telah diberikan menjadi amal `shaleh yang memperberat timbangan kebaikan kita di
akhirat kelak. Pintu kritik, saran dan ide terkait dengan penelitian akan selalu penulis
buka dengan pintu penuh suka cita.
Jakarta, 6 Juli 2015
Penulis
Wahyu Samadyo NugrohoNIM 108018300009
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................................i
LEMBAR PERNYATAAN..........................................................................................i
ABSTRAK .....................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR...................................................................................................iv
DAFTAR ISI..................................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................................1
B. Identifikasi Masalah............................................................................................7
C. Pembatasan Masalah ...........................................................................................7
D. Perumusan Masalah ............................................................................................7
E. Tujuan Penelitian ................................................................................................8
F. Manfaat Penelitian ..............................................................................................8
BAB II KAJIAN TEORI..............................................................................................9
A. Peranan Guru Bahasa Indonesia .........................................................................9
1. Pengertian Peranan Guru ................................................................................11
2. Macam-Macam Peranan Guru ........................................................................12
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peranan Guru .........................................14
B. Motivasi Penggunaan Bahasa Indonesia.............................................................15
1. Pengertian Motivasi ......................................................................................15
2. Jenis-Jenis Motivasi dan Fungsinya..............................................................17
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi ...............................................19
C. Pengertian Bahasa Indonesia ..............................................................................20
1. Pengertian Bahasa .........................................................................................20
2. Kaidah Dasar Bahasa Indonesia....................................................................21
3. Bahasa Indonesia Standar atau Baku ............................................................24
4. Ucapan dan Pelafalan....................................................................................25
5. Perencanaan Bahasa......................................................................................30
vi
6. Pemertahanan Bahasa ...................................................................................31
7. Ragam Bahasa...............................................................................................32
a. Variasi dari Segi Penutur ........................................................................33
b. Variasi dari Segi Pemakaian ...................................................................33
c. Variasi dari Segi keformalan ..................................................................34
d. Variasi dari Segi Sarana..........................................................................36
8. Tujuan Berbahasa..........................................................................................37
9. Fungsi Bahasa ...............................................................................................39
10. Fungsi Bahasa Indonesia...............................................................................40
11. Berbicara .......................................................................................................41
12. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar........................................................42
D. Hasil Penelitian yang Relevan ............................................................................44
E. Kerangka Berpikir...............................................................................................45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................47
A. Tempat dan Waktu Penelitian.............................................................................47
B. Kisi-kisi Instrumen Penelitian.............................................................................48
C. Desain Penelitian ................................................................................................49
D. Informan Penelitian.............................................................................................49
E. Teknik Pengumpulan Data..................................................................................51
F. Teknik Analisis Data...........................................................................................52
G. Validasi Data.......................................................................................................52
H. Sumber Data........................................................................................................53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................54
A. Gambaran Umum Kecamatan Ciputat Timur .....................................................54
B. Informan..............................................................................................................55
C. Hasil Penelitian ...................................................................................................56
1. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Interaksi Siswa dengan Guru............56
a. Penggunaan Unsur Bahasa Daerah ketika Berbicara Bahasa Indonesia.60
vii
b. Penggunaan Bahasa Daerah Halus Supaya Terkesan Baik dan Sopan
ketika Berbicara Kepada Orang yang Lebih Tua atau Lebih Tinggi
Derajatnya atau Pangkatnya....................................................................60
c. Menyesuaikan Ragam Bahasa ketika Berbicara Bahasa Indonesia ........63
2. Peran Guru Kepada Siswa dalam Peningkatan Motivasi Berbahasa Indonesia
yang Baik dan Benar .....................................................................................65
BAB V PENUTUP.........................................................................................................81
A. Kesimpulan .........................................................................................................81
B. Saran ...................................................................................................................81
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................83
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memiliki kedudukan yang penting dalam rangka meningkatkan
sumber manusia yang berkualitas. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pengertian pendidikan sebagai
berikut: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.1Di dalam undang-undang tersebut dicantumkan juga
tentang tujuan pendidikan nasional: “Pendidikan nasional bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memuliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan
rohani, ke1pribadian yang mantap dan mandiri, serta manjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab2
Pendidikan itu sendiri dapat dirumuskan dari sudut normatif, karena
pendidikan menurut hakikatnya memang sebagai suatu peristiwa yang memiliki
norma. Artinya, bahwa dalam peristiwa pendidikan, pendidik dan anak didik
berpegang pada ukuran, norma hidup, pandangan terhadap individu dan
masyarakat,nilai-nilai moral, kesusilaan yang semuanya merupakan sumber norma di
dalam pendidikan.3Pendidikan juga pada dasarnya merupakan suatu upaya terus
menerus yang bertujuan mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan peserta didik
dalam mempersiapkan seluruh potensi kemanusiaan peserta didik dalam
mempersiapkan mereka agar mampu menghadapi berbagai tantangan dalam
kehidupannya. Pendidikan bahasa sebagai salah satu yang sangat pentingnya turut
mengambil andil untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang bisa
berbicara bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai dengan konteks dan dimana
1 Pemerdiknas, Undang-undang SISDIKNAS No. 20 Th.2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. II, h. 32 Ibid, h. 73 Munadi Yudhi, Media Pembelajaran: Sebuah Pendekatan, (Ciputat: Gaung Persada, 2008), Cet. I, h. 3
2
keberadaanya serta mampu mengaplikasikan bahasa Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari, baik di rumah maupun lingkungan masyarakat sekitar.
Dalam proses pendidikan, pendidikan memiliki peran kunci dalam
menentukan kualitas pembelajaran. Yakni menunjukkan cara mendapatkan
pengetahuan (cognitive), sikap dan nilai (affektif), dan ketrampilan (psikomotorik).
Dengan kata lain tugas dan peran serta pendidik yang utama terletak pada aspek
pembelajaran. Pembelajaran adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh
kualitas pendidiknya. Seorang guru dalam kehidupan sehari-harinya selalu dijadikan
sebagai figur manusia yang selalu dapat digugu dan ditiru oleh siswanya.
Tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi masnusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab.4 Dalam sistem pendidikan kita yang serba
seragam, perbedaan kerap menjadi masalah masalah bagi pihak sekolah dan siswa.
Sistem pendidikan (atau sekolah) di Indonesia masih cenderung menyamaratakan
standar kecerdasan satu siswa dengan siswa lainnya dengan penilaian metode dan
parameter yang sangat sempit, yaitu aspek kognitif saja. Semua siswa, mulai dari
tingkat sekolah dasar hingga jenjang perguruan tinggi “dipaksa” untuk memenuhi
standar pendidikan yang sempit ala “kacamata kuda” yang didesain oleh pengambil
kebijakan.5
Seorang guru khususnya bahasa Indonesia harus dapat membawa semua
siswanya ke arah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Setiap guru
harus menyadari bahwa segala sesuatu pada dirinya akan menjadi unsur-unsur
pembinaan bagi siswa. Di samping mendidik dan mengajar yang dilaksanakan dengan
sengaja oleh guru kepada siswanya, kepribadian guru, sikap, cara bergaul, dan cara
berbicara gurupun ikut mempengaruhi keadaan para siswanya dalam bersikap dan
belajar. Guru juga harus dapat memperbaiki pendidikan bahasa yang telah terlanjur
diterima oleh sang anak, baik dalam keluarga maupun masyarakat di sekitarnya. Hal
ini sesuai dengan pendapat Zakiyah Drajat dalam bukunya Ilmu Jiwa Agama: “guru
4 Ubaedillah dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2009), cet 4, h. 35 Chatib Munif, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences Di Indonesia, (Bandung: MizanPustaka, 2009), cet V, h. 12
3
tidak hanya melakukan pendidikan tetapi sekaligus juga mengadakan pendidikan
ulang (re-education) terhadap apa yang telah diterima anak di masa sebelumnya.”6
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan guru adalah terciptanya
serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam situasi tertentu
serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa
yang menjadi tujuannya. Di dalam proses pembelajaran, seorang guru tidak hanya
berperan sebagai pendidik atau pengajar saja.tetapi juga sebagai pemberi bimbingan
dan penyuluhan.
Sebagai pengajar, guru bertugas membina perkembangan, pengetahuan, sikap
dan ketrampilan. Guru mengetahui bahwa pada akhir setiap satuan pembelajaran
kadang-kadang terjadi perubahan dan perkembangan pengetahuan. Mungkin pula
guru telah bersenang hati bila terjadi perubahan dan perkembangan di bidang
pengetahuan dan ketrampilan, karena dapat diharapkan efek tidak langsung, melalui
proses transfer bagi perkembangan di bidang sikap dan minat siswa.
Dengan kata lain, bahwa kemungkinan besar selama proses belajar mengajar
hanya tercapai perkembangan di bidang minat, sedangkan efek dan transfernya
kepada keseluruhan perkembangan sikap dan kepribadian berlangsung di luar situasi
belajar mengajar itu sendiri. Hal demikian itu tampaknya bersifat umum, walaupun
sesungguhnya kurang memenuhi harapan pengajar bahasa Indonesia. Dari kenyataan
itu pula terbukti bahwa peran guru sebagai pendidik dan pembimbing masih
berlangsung terus walaupun tugasnya sebagai pengajar telah selesai. Sebagai
pembimbing, guru lebih suka kalau mendapat kesempatan menghadapi sekumpulan
siswa di dalam interaksi belajar mengajar. Ia memberi dorongan dan menyalurkan
semangat mengiringi mereka dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap
orang lain dengan tenaganya sendiri.
Pemberian bimbingan bagi guru Bahasa Indonesia meliputi bimbingan belajar
dan bimbingan perkembangan penggunaan Bahasa Indonesia. Dengan demikian
membimbing dan pemberian bimbingan dimaksudkan agar setiap siswa menggunakan
Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai
siswa menganggap rendah atau merendahkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional mereka. Banyak siswa – siswa SD sekarang yang justru menggunakan kata –
6 Zakiyah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet 17, h. 125
4
kata tidak jelas dalam percakapannya sehari-hari seperti ciyus, cungguh, cemungud,
enelan, dan masih banyak lagi.
Menurut pengamatan penulis sewaktu praktek mengajar mata pelajaran PKn di
SDN Cempaka Putih 4 Ciputat Timur bahwa siswa terasa asing terhadap bahasa
nasionalnya yaitu bahasa Indonesia. Mereka kurang ada motivasi menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam percakapan atau berbicara pada
kesehariannya, terutama di lingkungan sekolahnya. Keterasingan berbicara bahasa
Indonesia ini karena tidak adanya aturan yang
mengikat dalam penggunaanya. Bahkan guru sebagai pendidikpun malah
menggunakan bahasa daerah (Betawi). Hal ini dipicu karena tidak adanya guru yang
khusus mengajarkan pelajaran bahasa Indonesia. Selain itu menurut pengamatan
penulis sewaktu praktek mengajar mata pelajaran matematika di SDN Pondok Ranji 1
Kecamatan Ciputat Timur bahwa tidak adanya guru yg khusus mengajar mata
pelajaran bahasa Indonesia dikarenakan menggunakan sistem guru kelas dimana
seorang guru kelas tersebut harus mengajar sebanyak 5 (lima) mata pelajaran yaitu
Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS dan PKn. Serta dalam satu kelas terdapat 48
siswa dari kelas 1 sampai dengan kelas 6.
Beberapa sekolah dasar di daerah tertentu kini sudah banyak yang
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar
mengajar sejak kelas satu. Hal ini dapat menimbulkan masalah bilingualisme dan
interferensi pada siswa pemakai bahasa Indonesia. Sebagian besar siswa SD di
Kabupaten Cirebon menggunakan bahasa Indonesia hanya waktu di sekolah saja.
Akan tetapi, apabila mereka berbicara di luar sekolah umumnya menggunakan bahasa
Jawa Cirebon, bahkan dalam kegiatan belajar mengajar pun terkadang masih
menggunakan kata-kata bahasa Jawa Cirebon sebagai pengganti kata kata bahasa
Indonesia yang belum mereka ketahui. Dengan demikian, penggunaan bahasa
Indonesia mereka masih dicampur dengan bahasa Jawa Cirebon, dan terjadilah
interferensi akibat adanya kontak bahasa kedua tersebut.7
Hasil pengamatan terbatas penelitian di SD Kabupaten Cirebon menunjukkan
bahwa kesulitan yang dialami oleh siswa adalah cara menerapkan proses morfologis
yang berlaku pada bahasa Indonesia. Mereka masih menyatukan pemakain kaidah
7 Sholihah Lili, Interferensi Morfologi dan Sintaksis bahasa Jawa Dialek Cirebon terhadap bahasa Indonesiadalam Karangan Narasi siswa kelas V semester ganjil di SD Negeri I Babakan Ciwaringin Cirebon tahunPelajaran. FITK, 2011/2012
5
yang berlaku pada bahasa Jawa Cirebon dan bahasa Indonesia. Keterampilan
berbicara bahasa Indonesia yang berhubungan dengan keseharian tidak pernah
diukur dan dinilai.
Para siswa dibiarkan berbicara menggunakan bahasa daerahnya masing-
masing, padahal bahasa resmi yang digunakan pada pendidikan adalah bahasa
Indonesia. Sungguh ironis bila hal ini dibiarkan berlarut-larut pada setiap lembaga
pendidikan. Kadang lembaga pendidikan lebih merasa bangga bila dapat
mengembangkan bahasa asing lebih maju daripada mengembangkan bahasa
Indonesia, seperti kata pepatah “ kacang lupa kulitnya“. Ini adalah bukti
konkret pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah belum bisa mempraktikkan d
alam kesehariannya. Ketika digunakan dalam percakapan sering sekali dijumpai
berbicara dengan bahasa dialeknya contohnya: bentar nanti tak anterin, emangnya
Pak Guru kagak tahu?, biarin aja anak itu, dan lain-lain. Maka perlu adanya upaya
bagi guru untuk menentukan kebijakan supaya pembelajaran bahasa Indonesia tidak
hanya di kelas tetapi juga di luar kelas.
Bila keterampilan berbicara bahasa Indonesia dapat diterapkan dalam seh
ari-hari oleh seluruh anggota sekolah maka akan menumbuhkan rasa cinta tanah air
dan
menumbuhkansemangatnasionalisme. Sehingga dapat mempersatukan berbagai ma
camasal siswa, hal ini sesuai dengan fungsi khusus bahasa Indonesia yaitu sebagai
alat pemersatu berbagai suku yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang
berbeda-beda
Salah satu contoh strategi pembelajaran yang mengutamakan pada
keterampilan berbicara bahasa Indonesia ialah dengan Modeling The Way (membuat
contoh praktik). Strategi ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mempraktikkan keterampilan berbicara bahasa Indonesia melalui demonstrasi, dari
hasil demonstrasi ini kemudian diterapkan dalam keseharian di sekolah, yaitu siswa
dibagi dalam beberapa kelompok kecil, identifikasi beberapa situasi umum yang biasa
siswa lakukan di ruang kelas dan luar kelas dalam berbicara bahasa Indonesia yang
baik dan benar, kemudian siswa mendemonstrasikan satu persatu dalam berbicara
bahasa Indonesia. Modeling The Way memberi waktu siswa untuk
menciptakan skenario sendiri dan menentukan bagaimana mengilustrasikan
6
keterampilan berbicara sesuai kelompoknya. Kemudian siswa diberi kesempatan
untuk memberikan feedback pada setiap demonstrasi yang dilakukan.
Dengan pendekatan Modeling The Way dalam pembelajaran bahasa Indonesia,
keterampilan berbicara siswa dapat meningkat dan keberanian siswa dalam berbicara
semakin berani dan tidak takut salah, dari kegiatan tersebut diperoleh contoh data di
SDN Tegalwangi 01 Kecamatan Talang Kabupaten Tegal sebagai berikut :
pembelajaran awal sebelum menggunakan pendekatan Modeling The Way dari 45
siswa kelas VI hanya 16 siswa yang sudah aktif berbicara bahasa Indonesia dengan
prosentase 36 % sedangkan 29 siswa masih pasif dalam berbicara dengan prosentase
64 %. Setelah dalam pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan pendekatan
Modeling The Way maka diperoleh data sebagai berikut : siswa yang aktif berbicara
menjadi 41 siswa atau 91 % sedangkan 4 siswa atau 9 % dilakukan pembinaan
individual. Dengan demikian pembelajaran dengan pendekatan Modeling The Way
pada keterampilan berbicara bahasa Indonesia pada siswa tepat karena dapat
meningkatkan kemampuan keterampilan berbicara bahasa Indonesia.8
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar bahasa adalah
kondisi eksternal. Kondisi eksternal yaitu faktor di luar diri siswa, seperti
lingkugan sekolah, guru,teman sekolah, dan peraturan sekolah. Kondisi eksternal
terdiri atas 3 prinsip belajar yaitu :
(a) memberikan situasi atau materi yang sesuai dengan respon yang
diharapkan,
(b) pengulangan agar belajar lebih sempurna dan lebih lama di ingat,
(c) penguatan respons yang tepat untuk mempertahankan dan menguatkan
respons itu
Dari pengamatan peneliti di Pondok Pesantren Gontor, program sehari
berbahasa di tiap sekolah merupakan kondisi eksternal yang efektif untuk
mempraktikkan keterampilan berbahasa. Hal ini sudah sangat lazim dilakukan pada
pondok pesantren modern, contohnya Pondok Pesantren Gontor yang menerapkan
program kepada santrinya untuk dua minggu berbahasa Arab dan dua minggu
berbahasa Inggris, sehingga santrinya mahir berbahasa Arab dan Inggris. Bila
program ini dapat diterapkan di sekolah tentunya akan sangat bermanfaat dalam
8 http://agupenajateng.net/membiasakan keterampilan berbicara bahasa indonesia dalam keseharian di sekolah _Agupena Jawa Tengah.htm
7
penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari. Mereka akan terbiasa dan tidak canggung
berbicara bahasa Indonesia di lingkungan sekolah. Program ini ternyata cukup ampuh
untuk pembiasaan bagi warga sekolah untuk berbicara bahasa Indonesia.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa guru Bahasa Indonesia di
sekolah mempunyai peranaan yang sangat penting dalam proses pendidikan bahasa
Indonesia untuk menanamkan rasa cinta kepada bahasa nasional yaitu bahasa
Indonesia pada diri siswa. Masalah ini sangat penting untuk diteliti karena berkaitan
dengan pendidikan bahasa Indonesia yang diberikan guru disekolah agar para siswa
menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-harinya. Dari latar belakang
masalah tersebut peneliti akan mengadakan penelitian yang berjudul: “Peranan Guru
dalam Peningkatan Motivasi Berbicara Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
pada Siswa SD dan MI di Kecamatan Ciputat Timur”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah-masalah dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Siswa kurang termotivasi menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
2. Rendahnya peranan guru bahasa Indonesia.
3. Guru malah menggunakan bahasa Betawi dalam mengajar
4. Kurangnya guru yang khusus mengajar Bahasa Indonesia di sekolah
C. Pembatasan Masalah
Dari uraian latar belakang dan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi
ruang lingkup permasalahan yang dibahas, yaitu sebagai berikut:
1. Rendahnya peranan guru dalam menanamkan motivasi berbicara berbahasa
Indonesia yang baik dan benar pada siswa SD dan MI di Kecamatan Ciputat
Timur
2. Rendahnya motivasi siswa berbicara berbahasa Indonesia yang baik dan benar
pada siswa SD dan MI di Kecamatan Ciputat Timur
D. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang telah dibatasi sehingga dapat dirumuskan
permasalahan yang akan diteliti, yaitu:
8
1. Bagaimana Peranan Guru dalam Peningkatan Motivasi Berbicara Bahasa
Indonesia pada Siswa SD dan MI di Kecamatan Ciputat Timur ?
2. Bagaimana Harapan Guru dalam Peningkatan Motivasi Berbicara Bahasa
Indonesia pada Siswa SD dan MI di Kecamatan Ciputat Timur
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peranan dan harapan
guru dalam peningkatan motivasi berbicara bahasa Indonesia siswa SD dan MI di
Kecamatan Ciputat Timur
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk berbagai pihak, antara lain:
1. Bagi penulis, dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya tentang
peranan dan harapan guru kepada siswa dalam berbahasa Indonesia. Bagi guru
dan calon guru, dapat memberikan informasi tentang peranan dan harapan
dalam peningkatan motivasi berbahasa Indonesia siswa.
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Peranan Guru Bahasa Indonesia
1. Pengertian Peranan Guru
Sebelum berbicara mengenai peran, tentunya tidak bisa dilepaskan dengan status
(kedudukan), walapun keduanya berbeda, akan tetapi saling berhubungan erat antara
yang satu dengan yang lainnya. Peran diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang
berbeda, akan tetapi masing-masing dirinya berperan sesuai dengan statusnya.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan. “peranan berasal dari kata peran
yang mempunyai arti seperangkat tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu
peristiwa”. Peran sebagai perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan dalam masyarakat.1
Selanjutnya EM. Zul Fahri dan Ratu Arilia mengatakan: “peran adalah tindakan
yang dilakukan seseorang dalam suatu peristiwa”2. Atas dasar inilah maka peranan pada
umumnya didefinisikan sebagai suatu pola tingkah laku tertentu yang merupakan ciri
khas semua petugas dari suatu pekerjaan atau jabatan tertentu,”3 sedangkan Grass Massan
dan A.W Mc Eachern sebagaimana dikutip oleh David Berry mendefinisikan “peran
sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang menepati
kedudukan silsilah tertentu. Peranan ditentukan dari norma-norma di dalam masyarakat. “
Jadi artinya seorang diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh
masyarakat di dalam pekerjaannya dan dalam pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Begitu juga dengan peranan seorang guru, sehubungan dengan fungsinya sebagai
“pengajar”, “pendidik”, dan “pembimbing”, maka diperlukan adanya berbagai peranan
pada diri guru. Peranan guru ini akan senantiasa menggambarkan pola tingkah laku yang
diharapkan berbagai interaksinya, baik dengan siswa (yang terutama), sesama guru,
maupun staff yang lain.4 Dari berbagai kegiatan interaksi belajar-mengajar, dapat
dipandang sebagai sentral bagi peranannya. Sebab baik disadari atau tidak bahwa
1 Reality Tim, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, (Surabaya: Reality Publisher, 2008), Cet , h. 5082 EM, Zulfahri dan Ratu Arilia, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Difa Publisher), h.6413 Djumur, et al., Bimbingan Penyuluhan Sekolah, (Bandung: CV. Ilmu, 1975), h.124 Sardiman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), Cet III, h. 143
10
sebagian dari waktu dan perhatian guru banyak dicurahkan untuk proses belajar mengajar
dan berinteraksi dengan siswa.
Mengenai apa peranan guru itu ada beberapa pendapat yang dijelaskan sebagai
berikut
a. Sardiman AM, menjelaskan bahwa peranan guru di sekolah sebagai pegawai
(employee) dalam hubungan kedinasan, sebagai bawahan (subordinate) terhadap
atasannya, sebagai kolega dalam hubungannya dengan teman sejawat, sebagai
mediator dalam hubungannya dengan anak didik, sebagai pengatur disiplin,
evaluator dan pengganti orang tua.
b. Federasi dan Organisasi Profesional guru sedunia, mengungkapkan bahwa peranan
guru disekolah, tidak hanya sebagai transmitter dari ide tetapi juga berperan
sebagai transformer dan katalisator dari nilai dan sikap.5
Peran guru sebagai pelajar disini dapat dideskritkan (dikecilkan) dalam artian
seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan supaya
pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya tidak ketinggalan jaman. Apalagi seorang
guru bahasa yang diharuskan bijak dalam berbicara kepada siswanya serta harus peka
terhadap kata-kata baru pada istilah pada dunia pendidikan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai orang yang
pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar. Kata guru dalam bahasa arab disebut juga
sebagai (mu’alim) dan dalam bahasa inggris disebut (teacher) memiliki arti sederhana,
yakni a person whose occupating teaching other. Artinya, guru ialah seorang yang
pekerjaannya ialah mengajar orang lain.6
Adapun guru dalam bahasa jawa adalah seorang guru yang harus digugu dan
ditiru oleh semua muridnya. Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan
olehnya senantiasa dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh semua murid. Segala ilmu
pengetahuan yang datangnya dari guru dijadikan sebuah kebenaran yang tidak perlu
dibuktikan atau diteliti lagi. Seorang guru juga harus ditiru, artinya seorang guru menjadi
suri tauladan bagi semua muridnya. Mulai dari cara berpikir, cara bicara dan cara
berperilakunya sehari-hari.
5 Ibid h. 1446 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi Ketiga, h. 377
11
2. Macam-macam Peranan Guru
Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan
dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter) serta tugas yang
berkaitan dengan mendisiplinkan anak, agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-
aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini
berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak memperoleh
pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari
orang tua, dan orang dewasa lain.
Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru
mereka dapat memberi contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat
memberi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru,
orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat, bangsa, dan negara. Karena nilai-nilai dasar
negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu
diresapi oleh nilai-nilai Pancasila
Dalam beberapa pendapat diatas maka secara rinci peranan guru dalam kegiatan
belajar mengajar, secara singkat dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Edukator
Peran guru sebagai seorang pengajar dan pendidik merupakan peran utama.
Peran ini tidak bisa dihindarkan lagi. Peran ini tidak bisa diganti oleh profesi
lain. Sebagai seorang pengajar dan pendidik guru dituntut mempersiapkan diri
dengan berbagai bekal yang harus dimiliki.7
b. Informator
Sebagai pelaksana cara informatif, laboratorium, studi lapangan dan sumber
informasi kegiatan akademik maupum umum.
c. Organisator
Guru sebagai organisator, pengelola kegiatan akademik, silabus, workshop,
jadwal pelajaran dan lain-lain. Komponen-komponen yang berkaitan dengan
kegiatan belajar-mengajar, semua diorganisasikan sedemikian rupa, sehingga
dapat mencapai efektifitas dan efisiensi dalam belajar pada diri siswa.
d. Pengarah atau director
7 Sulhan Najib, Karakter Guru Masa Depan, (Surabaya: Jaring Pena, 2011), h. 123
12
Jiwa kepemimpinan bagi guru dalam peranan ini lebih menonjol. Guru harus
dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan
tujuan yang dicita-citakan.8
e. Inisiator
Guru sebagai pencetus ide-ide dalam proses belajar. Sudah tentu ide-ide itu
merupakan ide-ide kreatif yang dapat dicontoh oleh anak didiknya.
f. Transmitter
Guru juga akan bertindak sebagai penyebar kebijaksanaan pendidikan dan
pengetahuan.
g. Fasilitator
Guru memberikan fasilitas serta kemudahan dalam proses belajar mengajar.
Seperti dengan menciptakan suasana kegiatan belajar yang serasi dengan
perkembangan siswa, sehingga interaksi belajar mengajar berlangsung secara
efektif.
h. Mediator
Guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar mengajar, seperti penengah
dalam diskusi dan sebagainya.
i. Evaluator
Guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi siswa dalam bidang akademis
maupun tingkah laku sosial sehingga mengetahui sejauh mana keberhasilan
yang dicapai siswa.
j. Motivator
Peranan guru sebagai motivator ini penting artinya dalam rangka
meningkatkan kegairahan dan pengembangan proses belajar mengajar siswa.
Guru harus merangsang stimulus dan memberikan dorongan untuk
mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan aktivitas serta daya cipta
sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar mengajar.9
8 Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), Cet. III, h. 145.9 Ibid
13
Peranan guru di sekolah ialah membimbing proses belajar mengajar untuk
mencapai tujuan pendidikan. Dengan kata lain tugas dan peranan guru bukan hanya
mengajar akan tetapi juga mendidik,
Adapun ciri-ciri guru yang berkualitas seperti yang dimaksud oleh Prof. Oemar
Hamalik mencakup berbagai macam aspek dan yang paling penting yaitu “profil
kemampuan dasar guru” yang meliputi:
a. Kemampuan menguasai bahan
b. Kemampuan mengelola program belajar-mengajar
c. Kemampuan mengelola kelas dengan pengalaman belajar
d. Kemampuan menggunakan media atau sumber dengan pengalaman belajar
e. Kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar dengan pengalaman
belajar.
f. Kemampuan menguasai landasan-landasan kependidikan dengan pengalaman
belajar.
g. Kemampuan menilai prestasi siswa dengan pengalaman belajar.
h. Kemampuan mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan serta
penyuluhan dengan pengalaman belajar.
i. Kemampuan mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah dengan
pengalaman belajar.
j. Kemampuan memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian
pendidikan guna keperluan pengajaran.
Untuk menciptakan suasana yang menumbuhkan gairah belajar dan meningkatkan
prestasi belajar siswa, mereka membutuhkan pengorganisasian yang baik. Proses belajar
mengajar merupakan suatu rentetan kegiatan guru untuk menumbuhkan dan
mempertahankan organisasi proses belajar mengajar yang efektf, yang meliputi: tujuan
pengajaran, pengaturan penggunaan waktu luang, pengaturan ruang dan alat
perlengkapan pelajaran di kelas, serta pengelompokkan siswa dalam belajar.
14
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Peranan Guru
Guru atau pendidik mempunyai berbagai macam peranan yang sangat penting
dalam proses pendidikan, agar guru dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya
maka ia harus memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhinya dalam usaha
mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi dan melekat pada guru antara lain:
a. Pribadi Guru
Faktor terpenting bagi seseorang guru dalam menjalankan perannya adalah
kepribadiannya, karena kepribadian merupakan tolak ukur bagi berhasil atau tidaknya
sebagai pendidik atau pembimbing bagi anak didiknya.
Seorang guru yang kompeten dan profesional diharapkan mampu mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan munculnya kelompok siswa yang menunjukkan gejala
kegagalan dengan berusaha mengetahui dan yang mengatasi faktor yang
menghambat proses belajar siswa.
Anak didik akan terdorong untuk belajar, jika ia memiliki guru yang kepribadian
tinggi, bersikap terbuka, sanggup mengadakan pembaharuan, antusias dan
mempercayai anak didiknya. Jadi jelaslah, bahwa kepribadian guru sebagai subjek
pendidikan menentukan jelasnya usaha dan niscaya dapat menentukan hasilnya pula.
b. Sikap Guru
Guru adalah “penggerak” perjalanan belajar siswa. Sebagai penggerak, maka guru
perlu mengetahui memahami dan mencatat kesukaran-kesukaran siswa.10 Ada 2 (dua)
macam sikap guru dapat mempengaruhi peranannya sebagai pendidik, yaitu:
1. Sikap hemeostatis merupakan kecenderungan untuk mengusahakan
keseimbangan dari ketidakseimbangan terdapat dalam diri tiap organisme dan
manusia. Maksud dari pengertian tersebut adalah bersikap santai (penuh
istirahat), mencari yang mudah dan mengeluarkan tenaga yang sedikit mungkin.
Pada jenis sikap ini, guru cenderung mencari yang mudah atau gampang,
biasanya digunakan alat pendidikanyang konvensional yaitu berupa hukuman,
ancaman, hadiah dan menggunakan nilai sebagai alat untuk mendorong,
menekan atau membuat anak selalu patuh.
10 Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), IV, h. 105.
15
2. Sikap heterostatis, yaitu sikap yang ingin tumbuh, berkembang dan
mengaktualisir. Pada jenis sikap ini, guru penuh inisiatif, suka dan senang
mengadakan eksperimen-eksperimen untuk meningkatkan mutu kerjanya.
c. Konsep Diri
Kegiatan belajar di sekolah akan berjalan dengan lancar, jika seorang guru
mempunyai konsep diri yang realistis dan sehat, dan mengakui baik dengan kata-kata
maupun dengan perbuatan konsep dirinya ini dalam kegiatan mendidik.
d. Hubungan antara guru dengan anak didik
Ada sebuah ungkapan bahwa pendidik adalah pihak yang aktif, sedangkan anak
didik adalah pihak yang pasif, hal ini apabila dilihat lebih jauh ada benarnya dan
karena itu pula keduanya harus dipadukan guna tercapainya suatu keseimbangan.
B. Motivasi Penggunaan Bahasa Indonesia
1. Pengertian Motivasi
Kata motivasi berasal dari kata motif (motive) dan motivasi (motivasion) pada
mulanya menjadi topik dalam psikologi yang kemudian meluas kebidang-bidang
lainseperti dalam bidang pendidikan dan manajemen. Motif (motive) berasal dari akar
data bahasa latin “movere”, yang kemudian menjadi “motion” yang artinya gerak atau
dorongan untuk bergerak. Jadi motivasi berarti suatu dorongan yang timbul dari dalam
diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut mau bertindak melakukan sesuatu.11
Dalam kata lain, kata motivum menunjukkan pada alasan tertentu mengapa sesuatu itu
bergerak.”12 Sedangkan menurut Gleitman dan Reber seperti dikutip oleh Muhibbin Syah
mengemukakan bahwa pengertian dasar “motivasi ialah keadaan internal organism baik
manusia atau hewan yang mendorongnya berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi
berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah.”13 Selain itu ada
juga yang mengatakan bahwa motivasi adalah sesuatu daya yang menjadi pendorong
seseorang untuk bertindak, dimana rumusan motivasi menjadi sebuah kebutuhan nyata
dan merupakan muara dari sebuah tindakan. Jika sebuah tindakan tidak memiliki suatu
11 M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) cet. 16, h. 7112 Sri Esti Wuryani Djiwondono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta. PT Grasindo, 2006), Cet. III, h. 32913 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011) cet 6,h 134
16
tujuan, tentu seseorang dapat dikatakan sebagai tidak memiliki motif untuk melakukan
aktifitas-aktifitas tertentu. Bahkan motif bisa dikatakan sebagai daya penggerak aktif dari
sebuah tindakan, terutama ketika seseorang berada dalam keadaan dimana ia memiliki
kebutuhan yang sangat mendesak. 14
Sebelum penulis merumuskan motivasi berbahasa Indonesia terlebih dahulu akan
dijelaskan pengertian motivasi. Motivasi memegang peranan penting dalam pelaksanaan
berbahasa pada siswa karena dengan motivasi itulah seseorang siswa dapat dengan yakin
berbicara bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Motivasi tersebut dapat diperoleh
melalui pengalaman pribadi, kebutuhan hidup, melalui pemahaman bahasa ataupun
melalui dorongan dari orang lain. Para ahli psikologi telah banyak memberikan
pengetahuan tentang motivasi.
Seorang guru harus dapat menimbulkan motivasi kepada anak. Motivasi ini
sebenarnya banyak dipergunakan dalam berbagai bidang dan situasi, tetapi dalam uraian
ini diarahkan pada bidang pendidikan, khususnya bidang penerapan hasil belajar.
Motivasi adalah sutu prasyarat yang amat penting untuk belajar. Untuk mengetahui
betapa pentingnya motivasi belajar untuk peserta didik akan diuraikan terlebih dahulu
pengertian motivasi dan bahasa.
Menurut Alisuf Sabri, “motivasi adalah segala sesuatu yang menjadi pendorong
tingkah laku yang menuntut atau mendorong orang untuk memenuhi suatu kebutuhan.
Sesuatu yang dijadikan motivasi itu merupakan suatu keputusan yang telah ditetapkan
individu sebagai suatu kebutuhan/tujuan yang ingin dicapai.”
Selanjutnya menurut S. Nasution motivasi adalah:
a. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor untuk
melepas energi.
b. Menentukan arah perbuatan yaitu kearah tujuan yang hendak dicapai.
c. Menyeleksi perbuatan yakni menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak
bermanfaat bagi tujuan itu”15
Adapun menurut A. Royani. HM dan Abu Ahmadi pengertian motivasi adalah:
a. Memberikan semangat dan mengaktifkan peserta didik agar berminat dan siaga.
14 Azhari Akyas, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Teraju, 2009), Cet 5, h. 6515 S. Nasution ,Didaktik Azas – azas Mengajar, (Bandung: Temmars, 1986) Cet 5, h. 79
17
b. Memusatkan perhatian peserta didik pada tugas-tugas tertentu yang berkaitan
dengan pencapaian tujuan belajar.
c. Membantu memenuhi kebutuhan akan hasil jangka pendek dan jangka panjang16
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
yang dimaksud motivasi dalam penelitian ini adalah dorongan dari dalam diri siswa untuk
melakukan suatu aktifitas yaitu berbahasa Indonesia agar mencapai suatu tujuan yang
dianggap penting dalam hidup dan mengarah pada penggunaan Bahasa Indonesia yang
lebih baik.
2. Jenis-jenis Motivasi dan Fungsinya
Dari dasar pembetukannya yaitu kata motif, jenis-jenis motivasi itu terbagi
menjadi dua macam yaitu:
a. Motif bawaan
Motif bawaan yakni motif yang dibawa sejak lahir, dan motivasi itu ada tanpa
dipelajari misalnya dorongan untuk makan, minum, dan bekerja.
b. Motif-motif yang dipelajari
Motif-motif ini dipelajari yaitu motif yang timbul karena dipelajari, misalnya
dorongan untuk belajar ilmu pengetahuan. Motif-motif ini sering kali disebut juga
dengan motif-motif yang diisyaratkan secara sosial.”17
Motivasi merupakan dorongan yang ada didalam individu, tetapi munculnya
motivasi yang kuat atau lemah dapat ditimbulkan oleh rangsangan dari luar. Oleh karena
itu, secara umum motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu motivasi instrinsik
dan motivasi ekstrinsik.
a. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik merupakan kegiatan belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan
penghayatan suatu kebutuhan atau dorongan yang secara mutlak berkaitan dengan
aktifitas belajar karena ingin memecahkan suatu permasalahan, ingin mengetahui
16 A. Rohani H.M dan Abu Ahmadi, Pengelola Pengajaran, (Jakarta : Rineka Cipta,1991), h. 1117 M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002)
18
mekanisme sesuatu berdasarkan hukum dan rumus-rumus. Ingin menjadi
profesor atau ingin menjadi seorang yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan.”18
b. Motivasi Ekstrinsik
Menurut Winkel sebagaimana yang dikutip oleh Martinis Yamin “ada beberapa
bentuk motivasi belajar ekstrinsik: (1) Belajar demi memenuhi kewajiban; (2)
Belajar demi menghindari hukuman yang diancamkan; (3) Belajar demi
memperoleh hadiah material yang disajikan; (4) Belajar demi meningkatkan
gengsi; (5) belajar demi memperoleh pujian dari orang yang penting seperti orang
tua dan guru; (6) belajar demi tuntutan jabatan yang ingin dipegang atau demi
memenuhi prasyarat kenaikan pangkat/golongan admionistratif19
Pada umumnya motivasi intrinsik lebih efektif mendorong seseorang untuk giat
belajar dari pada motif ekstrinsik karena dalam perspektif kognitif, motivasi yang lebih
signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta
tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain.
Pelajaran Bahasa Indonesia akan menjadi optimal apabila ada motivasi. Makin
tepat motivasi diberikan akan didapatkan pula keberhasilan itu. Dalam pandangan
Ngalim Purwanto, bahwa motivasi memiliki tiga fungsi yaitu:
a. Fungsi Mendorong Manusia untuk berbuat/bertindak
Motif ini berfungsi untuk penggerak atau sebagai motor yang memerlukan energi
(kekuatan) kepada seseorang untuk melakukan suatu tugas.
b. Fungsi menentukan arah perbuatan
Yakni kearah perwujudan suatu tujuan atau cita-cita. Motivasi mencegah
penyelewengan dari jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan. Makin
jelas tujuan itu, makin jelas pula jalan yang harus ditempuh.
c. Fungsi menyeleksi perbuatan
Artinya menetukan perbuatan-perbuatan mana yang harus dilakukan., yang serasi,
guna uuntuk mencapai tujuan itu dengan menyampingkan perbuatan yang tidak
bermanfaat bagi tujuan itu.
18 Maritis Yamin, Profesionalisasi guru dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Gaung PersadaPress), Cet 1, h. 161-16219 Ibid h. 181
19
Dalam percakapan sehari-hari motif itu dinyatakan dengan berbagai kata, seperti
hasrat, maksud, minat, tekad, kemauan, dorongan, kebutuhan, kehendak, cita-cita dan
sebagainya.20
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Bukunya Ahmad Sabri membagi dua macam faktor yang mempengaruhi motivasi
yaitu motif intrinsic dan motif ekstrinsik.
a. Motif Intrinsik
Motif intrinsik adalah motif yang berasal dari diri seseorang itu sendiri tidak usah
dirangsang dari luar. Misal seorang siswa tekun belajar bahasa Indonesia karena ia
ingin sekali menguasai pengetahuan/pelajaran itu.
b. Motif Ekstrinsik
Motif ekstrinsik adalah motif yang yang muncul karena adanya perangsang dari
luar misalnya seorang siswa giat belajar karena diberitahukan akan ujian.”21
Menurut Wlodkowski faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi adalah antara
lain sebagai berikut:
a. Budaya
Latar belakang budaya yang menekankan pada pentingnya keberhasilan dalam
pendidikan akan menjadi pendorong keberhasilan anak dalam pendidikan.
b. Keluarga
Keluarga memberikan pengaruh penting terhadap motivasi berbahasa anak,
walaupun demikian pengaruh keluarga terhadap motivasi anak bervariasi menurut
tingkat social, ekonomi, dan latar belakang budaya.
c. Sekolah
Faktor sekolah dan guru juga memberikan pengaruh terhadap motivasi berbahasa
siswa walaupun banyak kasus pengaruh mereka tidak sekuat pengaruh orang tua
dalam proses pendidikan berbahasa. Selain itu guru juga diharapkan mendukung
20 Ibid, h. 7021 Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993) h. 131
20
semua siswa dari berbagai latar belakang agar dapat mengembangkan
kemampuan berbahasa mereka seoptimal mungkin.”22
C. Pengertian Bahasa Indonesia
1. Pengertian Bahasa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2003: 88) bahasa diartikan
sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota suatu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.”23
Kata bahasa digunakan dalam berbagai konteks dengan bermacam makna. Kita
sering mendengar bahasa tubuh, bahasa isyarat, bahasa cinta, bahasa prokem, bahasa
bunga, bahasa lisan, bahasa militer, serta berbagai ungkapan lain yang disandingkan
dengan kata bahasa. Beberapa para ahli mendefinisikan pengertian bahasa yaitu:
Wardhaugh mendefinisikan bahasa yaitu sebuah simbol yang arbiter yang
digunakan untuk komunikasi manusia. Menurut Webster’s New Collegate Dictionary
bahasa adalah sebuah alat untuk mengkomunikasikan gagasan atau tanda-tanda yang
disepakati, yang memiliki makna yang dipahami. Selanjutnya menurut Kentjono
mendefinisikan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan para
anggota sosial untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan mengidentifikasi diri. Sedangkan
menurut Haliday dan Hasan definisi bahasa adalah salah satu dari sejumlah sistem makna
yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia.”24
Dalam buku Psikolinguistik definisi bahasa yaitu suatu sistem simbol lisan yang
arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan
berinteraksi antar sesamanya, berdasarkan atas budaya yang mereka miliki bersama.”25
Sedangkan Abdul Chaer mendefinisikan “bahasa adalah alat verbal yang digunakan
untuk berkomunikasi, sedangkan berbahasa adalah proses penyampaian informasi dalam
berkomunikasi.”26
22 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. 10, h. 9023 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003),Edisi Ketiga, h.8824 Solchan T.W, dkk., Pendidikan Bahasa Indonesia di SD, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008), Cet 3, h. 13-1425 Soenjono Dardjowidjojo, Psikolingustik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Jakarta: Yayasan OborIndonesia, 2008), Edisi 3, h. 1626 Abdul Chaer, Psikologi Kajian Teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003) Cet 1, h. 30
21
Jalaludin Rakhmat (1992:269), seorang pakar komunikasi, melihat bahasa dari
dua sisi yaitu,sisi formal dan fungsional. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua
kalimat yang terbayangkan, yang dibuat menurut tatabahasa. Sedangkan secara
fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan
gagasan. Defini yang diajukan Rakhmat ini tampak mencoba merangkum pengertian
umum dengan pendapat linguis. Istilah sisi formal yang dikemukakan Rakhmat mirip
dengan istilah sistem, sedangkan sisi fungsional sejalan dengan bahasa sebagai alat
komunikasi.27
Dari definisi diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa bahasa merupakan alat
komuikasi yang sangat penting, karena bahasa merupakan media pengantar resmi
identitas bangsa.
2. Kaidah dasar bahasa Indonesia
Peranan bahasa yang utama ialah sebagai penyampai maksud dan perasaan
seseorang kepada orang lain. Ditinjau dari sudut ini, maka benarlah sudah bahasa
seseorang bila sudah mampu mengemban amanat tersebut. Namun mengingat bahwa
situasi kebahasaan itu bermacam-macam, maka tidak selamanya bahasa yang benar itu
baik, atau sebaliknya bahasa yang baik itu benar.
Beberapa kaidah dasar bahasa Indonesia tersebut ialah:
1. Kata yang penting disebutkan atau dituliskan lebih dulu, sesudah itu baru
keterangannya. Atau kata yang diterangkan di depan kata yang menerangkan.
Dengan istilah lain bahasa Indonesia mengikuti hukum D-M (Diterangkan-
Menerangkan)
Berpegang pada hukum tersebut, maka jelaslah susunan kata-kata Bali Hotel,
sedikit waktu, mini sepeda, maksimum kekuatan, ini malam, banyak terima kasih, dan
sejenisnya, bukanlah susunan yang benar. Susunan kata seperti itu, yakni yang
mendahulukan sesuatu yang menerangkan daripada yang diterangkan adalah susunan
bahasa-bahasa Indo-Jerman. Dalam usaha berbahasa Indonesia yang baik dan benar
susunan seperti itu harus kita tinggalkan. Dengan demikian kata-kata tersebut harus kita
ubah menjadi: Hotel Bali, waktu sedikit, sepeda mini, kekuatan maksimum, malam ini,
terima kasih banyak.
27 http://pbsindonesia.fkip-uninus.org/media.php?module=detail materi&id=6 22 maret 2013 19.00
22
Seperti umumnya kaidah bahasa itu tidak mutlak sifatnya, dalam hal ini pun
susunan Diterangkan-Menerangkan tersebut juga mempunyai pengecualian. Pengecualian
hukum tersebut antara lain:
a) Kata depan, misalnya:
- Mira baru saja datang dari Jakarta
- rencananya hari ini Ery akan pergi ke Palembang.
b) Kata bilangan, misalnya:
- Ady mempunyai tiga buah kelereng dan sebuah layang-layang.
- Semua pengendara motor harus mengenakan helm.
2. Tidak mengenal perubahan bentuk kata benda sebagai akibat penjamakan.
Untuk menyatakan jamak atau banyak, bahasa Indonesia menggunakan kata
bilangan, baik bilangan tertentu maupun tidak tertentu, misalnya: dua, empat,
sepuluh, seratus, seribu dan sebagainya. Dengan demikian yang ada didalam
bahasa Indonesia adalah dua bilah keris, sepuluh buah durian, beberapa orang
mahasiswa, sejumlah uang, sekelompok pekerja, dan sebagainya. Bukan dua bilah
keris-keris, sepuluh buah durian-durian, beberapa orang mahasiswa-mahasiswa,
sejumlah uang-uang, sekelompok pekerja-pekerja.
Di samping itu dalam bahasa Indonesia dikenal pula kata-kata tertentu yang
mengandung pengertian jamak atau banyak. Kata-kata tersebut misalnya;
rombongan, ikatan, gabungan, daftar, persatuan, perserikatan, para, kaum, dan
sebagainya. Oleh sebab itu apabila sudah ada salah satu kata petunjuk jamak
tersebut, kata benda di belakangnya atau yang mengikutinya tidak boleh diulang.
Dengan demikian menurut aturan bahasa Indonesia yang betul ialah susunan
rombongan penari, ikatan mahasiswa, gabungan pengusaha rokok, daftar buku,
persatuan pelajar, para tamu, kaum terpelajar dan sebagainya. Bukan rombongan
penari-penari, ikatan mahasiswa-mahasiswa, gabungan pengusaha-pengusaha
rokok, daftar buku-buku, persatuan pelajar-pelajar, para tamu-tamu, kaum
terpelajar-terpelajar dan sejenisnya.
Ternyata sekarang aturan tersebut banyak ditinggalkan orang. Masih sering
kita dapati pemakai bahasa Indonesia menggunakan susunan kalimat seperti:
a) Banyak anak-anak pelajar yang tidak ikut upacara hari Senin
23
b) Tidak sedikit barang-barang yang dicurinya.
c) Inilah daftar mahasiswa-mahasiswa yang ikut KKN
Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, seharusnya semua kata yang ada di
belakang kata-kata penunjuk jamak tersebut tidak diulang. Jadi cukup dikatakan:
a) Banyak anak pelajar yang tidak ikut upacara hari Senin
b) Tidak sedikit barang yang dicurinya.
c) Inilah daftar mahasiswa yang ikut KKN
Selain itu sering juga kita dapatkan susunan seperti para alumni, kaum
politisi, para medis, para hadirin dan sebagainya. Sehingga cukup dikatakan
alumni, kaum politikus atau politisi, hadirin dan sebagainya.
Mudah ditebak bahwa susunan seperti di atas dipengaruhi oleh adat susunan
bahasa Indo-Jerman. Pada bahasa-bahasa tersebut, perubahan kata benda di
belakang kata-kata penunjuk jamak memang merupakan keharusan, karena
memang begitulah ketentuan yang berlaku. Seperti terlihat pada contoh-contoh
berikut:
- one table - two tables
- a book - many books
- a girl - many girls
- one day - three days dan sebagainya
3. Tidak mengenal tingkatan dalam pemakaian
Bahasa Indonesia ialah bahasa yang demokratis. Ia tidak mengenal tingkatan
dalam pemakaian. Tidak mengenal perubahan bentuk kata kerja sehubungan
dengan perubahan orang atau subyek yang melakukan pekerjaan tersebut. Berbeda
halnya dengan adat bahasa-bahasa daerah. Dalam bahasa Jawa misalnya,
tingkatan bahasa itu ada. Hal tersebut harus dipahami benar oleh setiap pemakai
bahasa itu apabila menginginkan bahasanya dikatakan baik atau sopan. Bahasa
Jawa mengenal kata-kata yang sopan dan tidak. Pemakai bahasa Jawa baik selalu
menggunakan kata yang selalu dianggap sopan tersebut kepada lawan bicaranya
yang lebih tua atau yang lebih tinggi derajat atau pangkatnya.
24
Sebagai akibat pengaruh bahasa ibu tersebut, banyak pemakai bahasa
Indonesia dari suku Jawa menyelipkan atau memakai kata-kata terhormat dari
bahasa Jawa ketika mereka berbicara dengan lawan bicara yang lebih tua atau
lebih tinggi kedudukannya. Sebagai contoh sering kita dengar atau kita baca
kalimat-kalimat sebagai berikut:
a) Atas kerawuhan bapak-bapak, saya menghaturkan terima kasih.
b) Sebelum kondur bapak-bapak diaturi dahar dulu.
c) Karena sedang gerah, bapak tidak dapat sowan.
d) Sebelum pergi, silahkan bapak tapak asma dulu
Jelas bahwa kalimat-kalimat tersebut bukan kalimat bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Ia lebih tepat kita sebut sebagai kalimat gado-gado. Kalimat
bahasa Indonesia ialah kalimat yang memaki unsue pembangunan bahasa
Indonesia, baik pilihan katanya maupun susunannya.
Agar kalimat-kalimat tersebut benar-benar merupakan kalimat bahasa
Indonesia, sebaiknya diubah menjadi:
a) Atas kedatangan bapak-bapak, saya menghaturkan terima kasih.
b) Sebelum pulang, bapak-bapak disilahkan makan dulu.
c) Karena sedang sakit, bapak tidak dapat datang.
d) Sebelum pergi, silahkan bapak tanda tangan dulu.
3. Bahasa Indonesia standar atau baku
Bahasa Indonesia standar atau baku tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Memakai ucapan baku (pada bahasa lisan)
Sampai sekarang belum ada ketentuan pelafalan atau ucapan baku tersebut.
Tetapi itu tidak berarti dalam bahasa Indonesia belum ada ucapan yang dapat
dianggap baik. Sebagai pegangan dapat dikatakan bahwa ucapan yang baik
ialah ucapan yang tidak terpengaruh oleh ucapan bahasa daerah. Pada
masyarakat suku Jawa, misalnya munculnya bunyi-bunyi sengau seartikulasi
pada bunyi-bunyi: b, d, j, g. Apabila bunyi-bunyi tersebut terdapat pada awal-
awal nama-nama kota atau tempat, misalnya: mBandung, nDemak, nJambi
ngGombong atau sebagainya.
25
2) Memakai ejaan resmi (sekarang Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD)
3) Terbatasnya unsur daerah, baik leksikal maupun gramatikal.
- Unsur leksikal ialah unsur bahasa yang berupa kata, misalnya (dari unsur
bahasa Jawa): nuwun seweu seharusnya minta maaf, tapak asma
seharusnya tanda tangan, sumangga seharusnya terserah.
- Unsur gramatikal ialah unsur yang bersifat ketatabahasaan, misalnya:
Bahasa Indonesia tidak Baku Bahasa Indonesia Baku
a. Mobilnya orang itu mewah. a. Mobil orang itu mewah.
b. Asmah benci sama Tendy. b. Asmah benci kepada Tendy
c. Fitri pandai sendiri di kelasnya. c. Fitri paling pandai di kelasnya.
4) Pemakaian fungsi gramtikal (subyek, predikat, dan sebagainya) secara
eksplisit dan konsisten, misalnya:
Bahasa Indonesia tidak Baku Bahasa Indonesia Baku
a. Kemarin Dedy dari Solo. a. Kemarin Dedy datang dari Solo
b. Pak Fuad akan keluar negeri b. Pak Fuad akan pergi keluar negeri
c. Kepada hadirin diminta berdiri sejenak c. Hadirin diminta berdiri sejenak.
4. Ucapan dan Pelafalan
Masalah lafal atau pengucapan kata-kata dalam bahasa Indonesia memang
masalah yang tidak begitu mudah untuk membicarakannya dan memberikan satu kata
putus. Dikatakan tidak mudah karena ciri bangsa Indonesia yang sangat heterogen karean
terdiri atas beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing memiliki bahasanya sendiri-
sendiri ang kita sebut bahasa daerah. Setiap bahasa memiliki sifatnya sendiri-sendiri juga
dalam pelafalan bunyi-bunyi fonemnya. Itu sebabnya, jangan heran apabila lafal bahasa
Indonesia kebanyakan orang yang menyebut dirinya bangsa Indonesia berbeda-beda
seorang dengan yang lain.28
28 Badudu J.S, INILAH BAHASA INDONESIA YANG BENAR IV, (Jakarta: Gramedia, 1995), Cet I, h. 205
26
Mengingat bahwa pada hakikatnya bahasa itu lisan, dengan sendirinya ucapan
memegang peranan yang sangat penting. Betapapun susunan kalimatnya baik, tetapi
apabila mengucapkannya kurang baik, maka bahasa orang bersangkutan belum dapat
dikatakan baik. Tentulah kita merasa tidak enak mendengar pemakai bahasa Indonesia
mengucapkan kata dapat sebagai dapet, malam menjadi malem, kata kerbau diucapkan
menjadi kerbo dan sebagainya. Oleh sebab itu masalah ucapan tersebut perlu
mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari setiap pemakai bahasa Indonesia.
Dalam hal ini tidak akan dibicarakan ucapan semua bunyi bahasa Indonesia,
melainkan hanya beberapa saja yang dianggap penting karena masih banyak pemakai
bahasa Indonesia salah mengucapkannya. Oleh karena itu perlu dikemukakan bahwa
yang nanti akan dicantumkan, bukanlah merupakan kaidah yang mati. Seperti kita ketahui
dalam bahasa tidak pernah ada hukum yang pasti. Demikian halnya mengenai ucapan
bahasa Indonesia.
a. Secara garis besar ada dua macam bunyi bahasa, yaitu:
1. Bunyi hidup atau vokal dan
2. Bunyi mati atau konsonan
Bunyi hidup adalah bunyi-bunyi bahasa yang pada saat diucapkan tidak
mengalami hambatan dalam alat-alat bicara. Sedangkan bunyi mati ialah
bunyi-bunyi bahasa yang pada saat diucapkan mengalami hambatan dalam
alat-alat bicara. Ada dua macam bunyi vokal atau hidup, yaitu:
a. Bunyi hidup tunggal (vokal tunggal): a, e, i, o, u.
b. Bunyi hidup rangkap (vokal rangkap): ai, au, oi.
Beberapa kaidah yang perlu diketahui dalam mengucapkan bunyi-bunyi
tersebut adalah:
a. Bunyi a
Menurut ilmu bahasa, bunyi a tersebut sebenarnya mempunyai
bermacam-macam ucapan tergantung pada letak bunyi bahasa tersebut
dalam kata, dan bunyi-bunyi bahasa yang diikutinya. Tetapi karena
perbedaan ucapan-ucapannyatidak terlalu mencolok, untuk kepentingan
praktis rasanya tidak terlalu mendesak untuk diuraikan lebih rinci. Sekedar
untuk membuktikan hal tersebut, coba ucapkanlah kata-kata berikut:
27
a-bu, alat, sabun kapur
ma-ti, du-a, ja-hir, ba-ik,
ra-sa, ta-bah, sa-ham, mu-da,
b. Bunyi e
Dalam bahasa Indonesia ada tiga kemungkinan ucapan untuk
lambang tersebut, yaitu:
- e (tengah) misalnya pada: kera, kena, dera dan sebagainya.
- e (depan) misalnya pada: tempe, sehat, tenda, dan sebagainya
- e (belakang) misalnya pada ember, pendek, remeh dan
sebagainya.
c. Bunyi i
Lambang tersebut mempunyai aturan ucapan sebagai berikut:
- Diucapkan sempurna, apabila
1. Sebagai suku hidup:
i-kan, i-man, i-bu dan sebagainya.
2. Sebagai awal kata:
in-dah, in-tan, is-tri, im-por, dan sebagainya.
- Diucapkan tidak sempurna, apabila:
1. Sebagai suku akhir mati:
2. Am-bil, kam-bing dan sebagainya.
Apabila bunyi tersebut kemudian diikuti vokal i atau akhiran an
(akhiran-i dan akhiran –an), ucapannya menjadi sempurna.
Misalnya:
Ambil - pengambilan - mengambili
Habis - kehabisan - menghabisi
Naik - kenaikan - menaiki
Terlampir - lampiran - melampiri
Bertanding - pertandingan - menandingi
d. Bunyi o
Lambang tersebut mempunyai aturan ucapan sebagai berikut:
- Diucapkan sempurna, apabila:
28
1. Terdapat pada kata yang bersuku hidup, misalnya to-ko, sa-
do, ja-go, ko-ta, ro-na, ka-do, dan sebagainya
- Diucapkan tidak sempurna, apabila:
2. Terdapat pada kata yang salah satu atau kedua suku katanya
mati, misalnya: po-hon, to-long, som-bong, kan-tor, bohong,
dan sebagainya
Apabila kemudian dibelakang kata-kata tersebut mendapat akhiran –
an, maka ucapannya menjadi sempurna, misalnya:
Pohon pepohonan
Tolong pertolongan
Sombong kesombongan
Kantor perkantoran
e. Bunyi u
Lambang tersebut mempunyai aturan ucapan sebagai berikut:
a. Diucapkan sempurna, apabila:
- Sebagai suku hidup: u-lar, ma-du, ka-mu, dan lain-lain.
b. Diucapkan tidak sempurna apabila:
- Sebagai suku mati: mak-mur, mur-tad, kur-ban, ha-rus, ja-
gung, dan lain-lain
Apabila bunyi tersebut kemudian diikuti oleh vokal –i atau akhiran –
an (akhiran –i atau akhiran –an), ucapannya menjadi sempurna.
Misalnya:
turun - keturunan - menuruni
tunjuk - pertunjukan - menunjuki
tekun - ketekunan - menekuni
kapur - pengapuran - mengapuri
Untuk bunyi hidup rangkap karena bunyi oi dalam bahasa Indonesia
dapat dikatakan hampir tidak ada, maka hanya bunyi ai dan au saja
yang akan dibicarakan.
f. Bunyi ai
Lambang bunyi tersebut mempunyai aturan ucapan sebagai berikut:
29
a. Diucapkan dari ucapan bunyi sandi antara a dan i dan berakhir
pada I tak sempurna.
Contoh:
Sampai (sam-pei) bukan sampe
Rantai (ran-tei) bukan rante.
Pantai (pan-tei) bukan pante
Santai (san-tei) bukan sante
b. Apabila diikuti akhiran –an, maka terasa seperti ada peluncur y.
Contoh:
Pakaian - pa-kei-(y)an
Belaian - be-lei-(y)an
Untaian - un-tei-(y)an
g. Bunyi au
Lambang bunyi tersebut mempunyai aturan ucapan sebagai berikut:
a. Diucapkan dari ucapan bunti sandi antara a dan u dan berakhir
pada u tak sempurna.
Contoh:
Pulau (pu-lou) bukan pulo
Danau (da-nou) bukan dano
b. Apabila diikuti akhiran –an atau –i, maka terasa seperti ada bunyi
peluncur w.
Contoh:
Kepulauan - ke-pu-lou-(w)an
Kekacauan - ke-ka-cou-(w)an
Melampaui - me-lampou-(w)i
h. Bunyi-bunyi b, d, j, g, pada awal kata diucapkan sempurna.
Contoh:
Bandung bukan mBandung
Bogor bukan mBogor
Delanggu bukan nDelanggu
Depok bukan nDepok
30
Jepara bukan nJepara
Juana bukan nJuana
Gombong bukan ngGombong
i. Bunyi b sebagai penutup, diucapkan seperti p
Contoh:
Sab-tu diucapkan sap-tu
Se-bab diucapkan se-bap
Wa-jib diucapkan wa-jip
Ka-rib diucapkan ka-rip
Ta-bib diucapkan ta-bip
j. Bunyi d sebagai penutup, diucapkan seperti t.
Contoh:
Wu-jud diucapkan wu-jut
a-bad diucapkan a-bat29
5. Perencanaan bahasa
Istilah perencanaan bahasa (languange planning) mula-mula digunakan oleh
Haugen (1959) pengertian usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang
diinginkan oleh para perencana. Menurut Haugen selanjutnya, perencanaan bahasa itu
tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari yang diketahui pada masa
lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa
depan. Sebagai contoh usaha perencanaan itu disebutkan pembuatan tata ejaan yang
normatif, penyusunan tata bahasa dan kamus yang akan dapat dijadikan pedoman bagi
para penutur di dalam masyarakat yang heterogen.
Pengertian perencanaan bahasa banyak dikemukakan para pakar dan menjadi
beragam, baik dari segi luasnya kegiatan, pelaku yang berperan didalamnya, maupun
peristilahannya. Jernudd dan Das Gupta (1971:211) mengatakan perencanaan bahasa
adalah kegiatan politis dan administratif untuk menyelesaikan persoalan bahasa di dalam
masyarakat, Ray (1961, yang dikutip Moeliono 1983) berpendapat bahwa perencanaan
bahasa terbatas pada saran atau rekomendasi yang aktif untuk mengatasi masalah
29 Widagdho Joko, Bahasa Indonesia: Pengantar Kemahiran Berbahasa di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Grafindo,1994, Cet 1, h. 17
31
pemakaian bahasa dengan cara yang paling baik. Keberhasilan perencanaan bahasa itu
sangat bergantung pada jaringan komunikasi sosial yang ada dan pada mobilisasi
kekuatan sosial. Gorman (1973, yang juga dikutip Moeliono 1983), menyatakan bahwa
perencanaan bahasa adalah tindakan koordinatif yang diambil untuk memilih,
mengkodifikasikan, serta mengembangkan aspek tata ejaan, tata bahasa, dan leksikon,
dan menyebarkan bentuk-bentuk yang disetujui itu di dalam masyarakat. Pakar lain,
Neustupny (1970) dan Gorman (1973), serta (Galvin) membedakan adanya dua macam
perencanaan bahasa , yaitu (1) pemilihan bahasa untuk maksud dan tujuan tertentu seperti
untuk bahasa kebangsaan atau bahasa resmi, yang tentunya melibatkan banyak faktor
diluar bahasa, dan (2) pengembangan bahasa yang terutama bertujuan untuk
meningkatkan taraf keberaksaraan dan juga usaha pembakuan bahasa. Jadi pengertian
perencanaan bahasa ialah usaha untuk membuat penggunaan bahasa atau bahasa-bahasa
dalam satu negara dimasa depan menjadi lebih baik dan lebih terarah.30
6. Pemertahanan Bahasa
Pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata
uang, bahasa menggeser bahasa lain atau bahasa yang tak tergeser oleh bahasa. Bahasa
yang tergeser adalah bahasa yang tidak mampu mempertahankan diri. Kedua kondisi itu
merupakan akibat dari pilihan bahasa dalam jangka panjang (paling tidak tiga generasi)
dan befsifat kolektif (dilakukan oleh seluruh warga guyup). Pergeseran bahasa berarti,
suatu guyup (komunitas) meninggalkan suatu bahasa sepenuhnya untuk memakai bahasa
lilin. Bila pergeseran sudah terjadi, para warga guyup itu secara kolektif memnentukan
untuk melanjutkan memakai bahasa yang sudah biasa dipakai. Ketika guyup tutur mulai
memilih bahasa baru dalam ranah yang semula diperuntukkan bagi bahasa lama, itulah
mungkin merupakan tanda bahwa pergeseran sedang berlangsung. Jika para warga itu
monolingual (ekabahasawan) dan secara kolektif tidak menghendaki bahasa lain, mereka
jelas mempertahankan pola penggunaan bahasa mereka. Namun, pemertahanan bahasa itu
sering merupakan ciri guyup dwibahasa atau ekabahasa. Yang pertama akan terjadi jika
guyup itu diglosik, guyup itu memperuntukkan ranah tertentu untuk setiap bahasa
30 Abdul chaer, SOSIOLINGUISTIK: Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta,2004) Cet 2, h. 184
32
sedemikian rupa sehingga batas ranah suatu bahasa tidak dilampaui atau diterobos oleh
bahasa lain.31
7. Ragam Bahasa
Ragam bahasa atau variasi merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik,
sehingga Kridalaksana (1974) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik
yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri
variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan. Kemudian dengan
mengutip pendapat Fishman (1971) Kridalaksana mengatakan bahwa sosiolinguistik
adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi pelbagai variasi bahasa, serta hubungan
diantara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa.32
Bahasa itu menjadi beragam dan bervariasi (catatan: istilah variasi sebagai
padanan kata Inggris variety bukan variation). Terjadinya keragaman atau kevariasian
bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga
karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Setiap kegiatan
memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu. Keragaman ini akan
semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak,
serta dalam wilayah yang sangat luas. Misalnya, bahasa Inggris yang digunakan hampir
diseluruh dunia, bahasa Arab yang luas wilayahnya dari Jabal Thariq di Afrika Utara
sampai ke perbatasan Iran (dan juga sebagai bahasa Islam dikenal hampir di seluruh
dunia), dan bahasa Indonesia yang wilayah penyebarannya dari Sabang sampai Merauke.
Dalam hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau
ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi
bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status
sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada
atau bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk
memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka
ragam.
31 Sumarsono, Sosiolinguistik, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012) Cet 8, h. 23232 Abdul chaer, SOSIOLINGUISTIK: Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta,2004) Cet 2, h. 61
33
Berikut ini akan dibacakan variasi-variasi atau ragam-ragam bahasa tersebut,
dimulai dari segi penutur dengan berbagai kaitannya, dilanjutkan dengan segi
penggunaannya juga dengan berbagai kaitannya.
a. Variasi dari segi penutur
Variasi bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi
bahasa yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan.
Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau
idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara,
pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya.
Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebuat dialek,
yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada
pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada
wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek
areal, dialek regional atau dialek geografi.
Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek atau dialek
temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial pada masa
tertentu. Umpamanya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan,
variasi yang digunakan tahun lima puluhan, dan variasi yang digunakan pada
masa kini.
Variasi bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya adalah apa ayng disebut
sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status,
golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosiolinguistik biasanya
variasi inilah yang paling banyak dibicarakan dan paling banyak menyita waktu
untuk membicarakannya, karena variasi ini yang menyangkut semua masalah
pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat
kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan sebagainya.
b. Variasi dari segi pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau
fungsinya disebut fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi ini
biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat
34
keformalan dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang
pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau
bidang apa. Misalnya bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran,
perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa
berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang
kosakata.
c. Variasi dari segi keformalan
Menurut buku yang berjudul The Five Clock karangan Martin Joss (1967) telah
bahwa variasi bahasa terbagi atas lima macam gaya (Inggris: Style), yaitu gaya
atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha
(konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab
(intimate).
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam
situasi-situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi, misalnya, dalam upacara
kenegaraan, khotbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah, kitab undang-
undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan. Disebut ragam beku karena pola
dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah. Dalam bentuk
tertulis ragam beku ini kita dapati dalam dokumen-dokumen bersejarah, seperti
undang-undang dasar, akte notaris, naskah-naskah perjanjian jual beli atau sewa
menyewa. Perhatikan contoh berikut yang diangkat dari naskah Pembukaan UUD
1945.
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa,dan oleh
karena itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kalimat-kalimat yang dimulai dengan kata bahwa, maka, dan sesungguhnya
menandai ragam beku dari variasi bahasa tersebut. Susunan kalimat dalam ragam
beku biasanya panjang-panjang, bersifat kaku, kata-katanya lengkap. Dengan
demikian para penutur dan pendengar ragam beku dituntut keseriusan dan
perhatian penuh.
Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato
kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku
35
pelajaran, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara
mantap sebagai suatu standar. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan
bahasa baku atau standar yang hanya digunakan dalam situasi resmi, dan tidak
dalam situasi yang tidak resmi. Jadi, percakapan antar teman yang sudah karib
atau percakapan dalam keluarga tidak menggunakan ragam resmi ini. Tetapi
pembicaraan dalam acara peminangan, pembicaraan dengan seorang dekan
dikantornya, atau diskusi dalam ruang kuliah adalah menggunakan ragam resmi
ini.
Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim
digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan
yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Jadi, dapat dikatakan ragam usaha
ini adalah ragam bahasa yang paling operasional. Wujud ragam ini berada di
antara ragam formal dan informal atau ragam santai.
Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam
situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib
pada waktu beristirahat, berolah raga, berekreasi, dan sebagainya. Ragam santai
ini banyak menggunakan alegro, yakni bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan.
Kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah.
Demikian juga dengan struktur morfologi dan sintaksisnya. Seringkali struktur
morfologi dan sintaksis yang normatif tidak digunakan.
Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan
oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antaranggota keluarga,
atau antarteman yang sudah karib. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa
yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang sering tidak jelas.
Hal ini terjadi karena di antara partisipan sudah ada saling pengertian dan
memiliki pengetahuan yang sama. Perhatikan ketiga kalimat contoh berikut !
(a) Saudara boleh mengambil buku-buku ini yang Saudara sukai.
(b) Ambillah yang kamu sukai !
(c) Kalau mau ambil aja !
Tingkat keformalan kalimat (a) lebih tinggi daripada kalimat (b), dan kalimat
(b) lebih tinggi daripada kalimat (c). Kalimat (a) termasuk ragam usaha, sebab
36
kurang lebih bentuk kalimat seperti itulah yang biasa kita gunakan. Kalimat (b)
termasuk ragam santai sedangkan kalimat (c) termasuk ragam akrab, sebab hanya
kepada teman kariblah bentuk ujaran seperti itu yang kita gunakan.
Dalam kehidupan sehari-hari kelima ragam di atas, yang dilihat dari tingkat
keformalan penggunaannya, mungkin secara bergantian kita gunakan. Kalau kita
berurusan dengan masalah dokumen jual beli, sewa menyewa, atau pembuatan
akte di kantor notaris, maka kita terlibat dengan ragam beku. Dalam rapat dinas
atau dalam ruang kuliah kita terlibat dengan ragam resmi. Pada waktu kita
berusaha menyelesaikan tugas kita terlibat dengan ragam usaha. Pada waktu kita
beristirahat atau makan-makan dikantin kita terlibat dengan ragam santai, dan
apabila kita harus bercakap-cakap tanpa topik tertentu dengan teman karib kita
terlibat dengan penggunaan ragam akrab.
Sebenarnya banyak faktor atau variabel lain yang menentukan pilihan ragam
mana yang harus digunakan. Kita ambil saja contoh bahasa surat kabar, meskipun
secara keseluruhan termasuk dalam penggunaan ragam jurnalistik dengan ciri-ciri
yang khas, tetapi kita lihat pada rubrik editorial atau tajuk rencana digunakan
ragam resmi, pada rubrik pojok digunakan ragam santai, dan pada teks karikatur
aktual digunakan ragam akrab. Namun, dalam iklan pemberitahuan dari instansi
pemerintah, seperti berita lelang, pemberitahuan mengenai masalah tanah dari
kantor pertanahan digunakan ragam beku. Jadi penggunaan ragam-ragam
keformalan itu seringkali tidak terpisah-pisah, melainkan berganti-ganti menurut
keperluannya.
d. Variasi dari segi sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan.
Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam
dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni misalnya
dalam bertelepon dan bertelegraf33. Adanya ragam bahasa lisan dan bahasa tulis
didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud
struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini adalah karena
dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara lisan, kita
33 Abdul chaer, SOSIOLINGUISTIK: Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta,2004) Cet 2, h. 72
37
dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada
suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik
lainnya. Padahal didalam ragam bahasa tulis hal-hal yang disebutkan itu tidak ada.
Lalu, sebagai gantinya harus dieksplisitkan secara verbal. Umpamanya kalau kita
menyuruh seseorang memindahkan sebuah kursi yang ada dihadapan kita, maka
secara lisan sambil menunjuk atau mengarahkan pandangan pada kursi itu kita
cukup mengatakan, “Tolong pindahkan ini !”.Dalam bahasa tulis karena tiadanya
unsur penunjuk atau pengarahan pandangan pada kursi itu, maka kita harus
mengatakan, ‘Tolong pindahkan kursi itu !’.Jadi, dengan secara eksplisit
menyebutkan kata kursi itu.
Dari contoh tersebut dapat pula ditarik kesimpulan bahwa dalam berbahasa
tulis kita harus lebih menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang kita susun bisa
dapat dipahami pembaca dengan baik. Kesalahan atau kesalahpengertian dalam
berbahasa lisan dapat segera diperbaiki atau diralat, tetapi dalam berbahasa tulis
kesalahan atau kesalahpengertian baru kemudian bisa diperbaiki.
Ragam bahasa bertelepon sebenarnya termasuk dalam ragam bahasa lisan dan
ragam bahasa dalam bertelegraf sebenarnya termasuk dalam ragam bahasa tulis,
tetapi kedua macam sarana komunikasi itu mempunyai ciri-ciri dan
keterbatasannya sendiri-sendiri, menyebabkan kita tidak dapat menggunakan
ragam lisan dan ragam tulis semau kita. Ragam bahasa dalam bertelepon dan
bertelegraf menuntut persyaratan tertentu, sehingga menyebabkan dikenal adanya
ragam bahasa telepon dan ragam bahasa telegraf yang berbeda dengan ragam-
ragam bahasa lainnya.
8. Tujuan Berbahasa
Keterampilan berbahasa (atau languange arts, languange skills) dalam kurikulum
disekolah biasanya mencakup empat segi, yaitu
(a) Keterampilan menyimak/mendengarkan (listening skills)
(b) Keterampilan berbicara (speaking skills)
(c) Keterampilan membaca (reading skills)
(d) Keterampilan menulis (writing skills).34
34 Guntur Henry, MEMBACA: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa, 2008) Cet I, h. 1
38
Mata pelajaran bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku,
baik secara lisan maupun tulis, menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, memahami bahasa Indonesia dan
menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, memahami bahasa
Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan spiritual,
moral, emosional dan sosial. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk
memperluas wawasan, memperluas budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai
khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. 35
9. Fungsi Bahasa
Istilah fungsi dan kedudukan tentunya sering kita dengar, bahkan pernah kita
pakai. Misalnya dalam kalimat ”Apa fungsi baut yang Saudara pasang pada mesin ini ?”,
“Bagaimana kedudukan dia sekarang ?”,dan sebagainya. Kalau kita pernah memakai
kedua istilah itu tentunya secara tersirat kita sudah mengerti maknanya. Hal ini terbukti
bahwa kita tidak pernah salah pakai menggunakan kedua istilah itu. Kalau demikiam
halnya, apa sebenarnya pengertian kedudukan dan fungsi bahasa ? samakah dengan
pengertian yang pernah kita pakai ?
Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara
terlisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan
status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang
didalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu
mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun
anggota bangsa. Kondisi dan pentingnya bahasa itulah, maka ia diberi ‘label’ secara
eksplisit oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi tertentu.36
Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi untuk
menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit, sebab seperti dikemukakan Fishman
(1972) bahwa yang menjadi persoalan sosiolinguistik adalah “who speak what languange
35 H. E Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah,(Jakarta: Bumi Aksara, 2009) Cet 2, h. 23936 Muslich Masnur, PERENCANAAN BAHASA PADA ERA GLOBALISASI, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 27
39
to whom, when and to what end”. Oleh karena itu, fungsi-fungsi bahasa itu, antara lain,
dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan.37
Dilihat dari sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi.
Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur
bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tertapi juga memperlihatkan emosi itu
sewaktu menyampaikan tuturannya
Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif,
yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Disini bahasa itu tidak hanya membuat si
pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang
dimaui si pembicara.
Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini
berfungsi fatik, yaitu fungsi menjalin hubungan, memelihara perasaan bersahabat, atau
solidaritas sosial.
Bila dilihat dari segi topik ujaran, maka bahasa itu berfungsi referensial, ada juga
yang menyebutnya fungsi denotatif atau fungsi informatif. Disini bahasa itu berfungsi
sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur atau
yang ada dalam budaya pada umumnya.
Kalau dilihat dari segi kode yang digunakan, maka bahasa itu berfungsi
metalingual atau metalinguistik, yakni bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa
itu sendiri.
Kalau dilihat dari segi amanat (message) yang akan disampaikan maka bahasa itu
berfungsi imaginatif. Sesungguhnya, bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan
pikiran, gagasan, dan perasaan; baik yang sebenarnya, maupun yang cuma imajinasi
(khayalan, rekaan) saja.fungsi imaginatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita,
dongeng, lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur, maupun para
pendengarnya.
10. Fungsi Bahasa Indonesia
Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan
di Jakarta pada tanggal 25 s.d 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa didalam
kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
37 Abdul chaer, SOSIOLINGUISTIK: Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta,2004) Cet 2, h. 15
40
(1) Bahasa resmi kenegaraan
(2) Bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,
(3) Bahasa resmi didalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan
(4) Bahasa resmi didalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan IPTEK
modern.
Keempat fungsi itu harus dilaksanakan, sebab minimal empat fungsi itulah
memang sebagai ciri penanda bahwa suatu bahasa dapat dikatakan berkedudukan sebagai
bahasa negara.38
Fungsi bahasa dibagi menjadi dua yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi
umum yaitu bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi sosial. Bahasa sangat menyatu
dengan kehidupan manusia, setiap manusia menjadi pengguna bahasa masyarakat
setempat. Gagasan, ide, pemikiran, harapan, dan keinginan disampaikan dengan bahasa.
Setiap masyarakat memiliki bahasa dan menggunakan alat komunikasi sosial tersebut.
Fungsi khusus bahasa menurut ahli linguistik Jakobson, dalam buku HJ. Yusi
Rosdiana membagi fungsi menjadi beberapa bagian:
a. Fungsi Emotif
Bahasa digunakan dalam mengungkapkan perasaan manusia. Misalnya rasa sedih,
senang, marah, kesal, kecewa, puas. Sebagai untuk mengungkapkan perasaan
(ekpresi diri) tujuan manusia mengungkapkan perasaannya bermacam macam
antara lain untuk terbebas dari berbagai tekanan emosi keadaan hatinya, suka
duka yang diungkapkan dengan bahasa agar tekanan jiwanya dapat tersalur.
b. Fungsi Konatif
Bahasa digunakan untuk memotivasi orang lain agar bersikap dan berbuat
sesuatu. Usaha untuk mempengaruhi orang lain merupakan kegiatan kontrol sosial
agar berlangsung dengan lancar.
c. Fungsi Referensial
Bahasa digunakan sekelompok manusia untuk membicarakan suatu permasalahan
dengan topik tertentu. Dengan bahasa seseorang belajar mengenal segala sesuatu
38 Muslich Masnur, PERENCANAAN BAHASA PADA ERA GLOBALISASI, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 34
41
dalam lingkungannya, baik agama, moral, kebudayaan, adat istiadat, teknologi
dan ilmu pengetahuan.
Di dalam buku Cermat Berbahasa Indonesia fungsi bahasa sebagai bahasa
nasional ialah sebagai berikut:
1. Sebagai Lambang Kebanggaan Kebangsaan
Sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, bahasa Indonesia mencerminkan nilai
nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Atas dasar kebanggan
ini bahasa Indonesia kita pelihara dan kita kembangkan serta rasa kebanggaan
pemakaian senantiasa kita bina.
2. Lambang Identitas Nasional
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa indonesia kita junjung di samping
bendera dan lambang negara kita. Bahasa indonesia dapat memiliki identitas
hanya apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya
sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur unsur bahasa lain.
3. Alat penghubung antarwarga, antardaerah dan antarbudaya
Berkat adanya bahasa nasional kita dapat berhubungan satu dengan yang lain
sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang
sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan.39
11. Berbicara
Berbicara dilakukan sebagai kebiasaan dalam komunikasi tentang berbagai hal
mengenai kehidupan. Pembicaraan mengenai komunikasi inilah akan terjadi saling tukar
pendapat, gagasan, perasaan dan keinginan. Tentunya dalam berkomunikasi itu tidak
lepas dengan namanya bahasa, dari uraian di atas dapat dilihat bahwa bahasa sebagai
salah satu alat komunikasi. Dalam hal ini berbicara merupakan salah satu cara yang
dilakukan oleh seseorang dalam melakukan komunikasi. Maka dalam hal ini peneliti
akan menjelaskan pengertian dari berbicara menurut beberapa pendapat. Menurut Tarigan
berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata
39 E. Zaenal Arifin dan S. Arman Tamsai, Cermat Bebahasa Indonesia: Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta:Akademika Pressindo, 2000), Cet, 4, h.13
42
untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan.
Menurut beberapa pakar komunikasi menurut Mulyati pengertian berbicara, yaitu:
1. Berbicara merupakan ekspresi diri, karena dengan berbicara seseorang dapat
menyatakan kepribadian dan pikirannya.
2. Berbicara merupakan mental motorik, maksudnya dalam berbicara tidak hanya
melibatkan kerja sama alat ucap saja teapi juga melibatkan aspek mental karena
dalam hal ini bunyi bahasa akan dikaitkan dengan gagasan yang dimaksud
pembicara.
3. Berbicara terjadi dalam konteks ruang dan waktu, tempat dan waktu terjadinya
pembicaraan, mempunyai efek makna pembicaraan, maka dari itu pembicara yang
baik selalu berbicara sesuai dengan ruang, waktu dan suasana.
4. Berbicara merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat produktif, maksud
produktif disiniadalah pembicara dapat menghasilkan ide, gagasan atau pikiran
seorang pembicara memiliki hikmah atau dapat dimanfaatkan oleh penyimak.
12. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Menurut Ramlan A. Gani dan Mahmudah Fitriyah Z.A, dalam bukunya
Pembinaan Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa adanya bahasa sesuai dengan
kebutuhan. Kebutuhan tersebut melahirkan ragam bahasa. Ragam bahasa baku digunakan
pada forum resmi seperti lembaga pendidikan, pada acara kenegaraan, pada tulisan
ilmiah, dan lain-lain. Demikian pula, ragam tidak baku digunakan pada forum tidak
resmi, seperti rumah tangga, di pasar, pada komunikasi masyarakat awam, dan lain-lain.
Berbicara dengan orang yang rendah pendidikannya, kita harus menggunakan kosakata
yang sederhana. Para ulama menggunakan bahasa agama dalam berkomunikasi dengan
umatnya. Anak muda menggunakan bahasa prokem dalam berkomunikasi dengan
sesamanya. Demikian seterusnya sehingga dalam semua ranah kehidupan terdapat ragam
bahasa.
Semua ragam itu dapat digunakan asal sesuai dengan situasinya, ruang, dan
waktu, namun tidak dapat dipertukarkan. Jika ditamsilkan dengan pakaian, ragam bahasa
adalah jenis pakaian yang selalu disesuaikan dengan peruntukannya. Pakaian renang
(bukan pakaian untuk acara resmi) tentu tidak baik dipakai di forum pesta atau
43
sebaliknya. Pakaian senam tidak sesuai digunakan di forum resmi misalnya dalam acara
resepsi pernikahan atau sebaliknya. Demikian pula dengan bahasa. Jika dipertukarkan,
penggunaan bahasa menjadi tidak baik. Dalam komunikasi di pasar, orang tidak baik
menggunakan bahasa baku dan formal sehingga mengakibatkan tidak komunikatif.
Bahasa yang baik adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan situasi dan
kondisi. Hal ini biasanya berhubungan dengan nilai rasa dan norma sosial yang berlaku.
Seorang bisa saja menguasai bahasa lisan secara fasih, tetapi belum tentu dapat
menggunakan bahasa tulis dengan baik karena berbeda ragamnya. Adapun bahasa yang
benar bahasa yang sesuai dengan kaidah yang ada, bahasa yang benar harus
menggunakan tata bahasa, sistem, ejaan, artikulasi, dan kalimat yang sesuai dengan
aturan bahasa.40
Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan
sesuai dengan situasi pembicaraan (yakni, sesuai dengan lawan bicara, tempat
pembicaraan, dan ragam pembicaraan) dan sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam
bahasa Indonesia (seperti: sesuai kaidah ejaan, pungtuasi, istilah dan tata bahasa).
Sebagai contoh kuda makan rumput, kalimat ini benar karena memenuhi sebuah kaidah
sebuah kalimat dari segi makna, yaitu mendukung sebuah informasi yang dapat
dimengerti oleh pembaca. Lain halnya dengan kalimat rumput makan kuda, kalimat ini
benar menurut struktur karena ada subjek (rumput), ada predikat (makan) ada objek
(kuda). Akan tetapi, dari segi makna, kalimat ini tidak benar karena tidak mendukung
makna yang baik.41
Menurut Lamuddin Finoza dalam bukunya Komposisi Bahasa Indonesia, bahasa
sudah dapat dikatakan baik apabila maknanya dapat dipahami oleh komunikan dan
ragamnya sudah sesuai dengan situasi saat bahasa itu digunakan. Bahasa dengan ragam
nonformal yang dipakai oleh mahasiswa sewaktu mengobrol dengan temannya di kantin,
di pondokan, di lapangan olahraga adalah salah satu contoh bahasa yang baik. Bahasa
dikatakan tidak baik kalau maknanya sulit atau tidak dapat dipahami oleh komunikan
sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang memiliki ragam formal dan taat pada
kaidah bahasa baku yang dapat dijadikan contoh bahasa yang benar adalah bahasa yang
40 Ramlan A. Gani dan Mahmudah Fitriyah Z.A, Pembinaan Bahasa Indonesia, (Jakarta: FITK PRESS, 2010),h.241 Ibid hal 23..
44
dipakai oleh dosen pada waktu memberi kuliah, bahasa yang dipakai dalam rapat formal,
bahasa dalam sidang peradilan, bahasa dalam seminar ilmiah, bahasa dalam siaran berita
RRI/TVRI dan media sejenisnya. Bahasa yang benar dengan sendirinya tergolong baik
jika sesuai dengan situasi pemakaiannya. Bahasa yang benarpun menjadi tidak baik kalau
tidak sesuai dengan situasi pemakaiannya (misalnya sesama teman dalam suasana santai
memakai ragam formal)42
Kesimpulannya, yang dimaksud dengan bahasa yang benar adalah bahasa yang
menerapkan kaidah yang konsisten, sedangkan yang dimaksud dengan bahasa yang baik
adalah bahasa yang mempunyai nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi
pemakaiannya.
D. Hasil Penelitian Yang relevan
Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah:
a. LUTFI SYAUKI FAZNUR, 2011, “Peran Guru Bahasa Indonesia dalam
Menumbuhkan Minat Belajar Siswa pada Bidang Studi Bahasa Indonesia” (Studi
Kasus Kelas XI SMK Khazanah Kebajikan Pamulang-Tangerang Selatan Tahun
Pelajaran 2011-2012). Dalam peranannya guru hendaklah mempunyai komitmen
secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan.43 Guru merupakan salah
satu komponen paling penting dalam melaksanakan proses pembelajaran, dalam hal
ini guru dituntut memiliki kemampuan untuk menciptakan proses pembelajaran yang
menyenangkan, kreatif, dinamis, dan bermakna, serta mampu menjadi teladan bagi
anak muridnya. Tugas guru bahasa Indonesia tidak hanya mengajarkan bidang
studinya, tetapi juga harus bisa membina minat peserta didik dan memotivasi siswa
agar senang mempelajari bidang studi bahasa Indonesia, upaya yang dapat dilakukan
guru dalam menumbuhkan minat belajar yakni dengan cara memberikan dorongan
dan nasihat kepada siswa akan pentingnya belajar terutama mempelajari bidang studi
bahasa Indonesia. Faktor yang mempengaruhi minat belajar diantaranya: situasi
belajar, motivasi, guru, metode dan media serta lingkungan (sarana dan prasarana).
42 Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Diksi Insan Mulia, 2010), h. 1643 Lutfi Syauki Faznur, 2011, “Peran Guru Bahasa Indonesia dalam Menumbuhkan Minat Belajar Siswa
pada Bidang Studi Bahasa Indonesia” (Studi Kasus Kelas XI SMK Khazanah Kebajikan Pamulang-TangerangSelatan Tahun Pelajaran 2011-2012)
45
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran guru bahasa Indonesia
dalam menumbuhkan minat belajar siswa pada bidang studi bahasa indonesia.0
Peneliti menggunakan metode presentase dari hasil perhitungan P = x 100%. Dari
hasil penelitian yang diperoleh setiap jawaban, maka jawaban selalu sebanyak
68,3%. Jadi peran guru diharapkan bukan hanyXQWa mentransfer ilmu pengetahuan
tetapi lebih dari itu, ia juga sebagai pengajar, pembimbing, pengelola kelas,
motivator. Supaya siswa tertarik untuk mempelajari pelajaran bahasa Indonesia di
kelas.
b. PISOL ISWAHYUDI, 2011, “Peranan Guru Bahasa Indonesia dalam Memotivasi
Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia (Studi Kasus di Madrasah
Tsanawiyah Jam’iyyatul Khair, Kampung Utan, Ciputat Timur). Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan metode persentase dari hasil perhitungan P = x 100%.
Maka diperoleh persentase dengan jawaban selalu sebanyak 63,8 %. Dan hasil yang
diperoleh dapat disimpulkan bahwa guru Bahasa Indonesia selalu memberikan
motivasi kepada siswa dalam proses kegiatan belajar Bahasa Indonesia.44
c. VINA ZUMROTUL A’LA, 2011, “Peran Guru PAI Sebagai Motivator dalam
Meningkatkan Kedisiplinan Siswa”. Penelitian dalam skripsi ini dimaksudkan untuk
mengetahui peranan guru PAI sebagai motivator dalam meningkatkan kedisiplinan
siswa. Metodologi penelitian ini menggunakan Deskriptif Analisis yang dilakukan di
SMP Nusantara Plus Ciputat. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa guru PAI
sebagai motivasi mempunyai peranan yang sangat besar dalam meningkatkan
kedisiplinan siswa.45 Untuk melihat bagaimana peranan guru PAI sebagai motivator,
penulis menggunakan rumus P = x 100%.
E. Kerangka Berfikir
Guru merupakan ujung tombak dalam proses pendidikan. Oleh karena itu guru
memiliki peran sentral dalam keberhasilan penyelenggaraan program pendidikan. Namun
44 Pisol Iswahyudi, 2011, Peranan Guru Bahasa Indonesia dalam Memotivasi Belajar Siswa pada MataPelajaran Bahasa Indonesia (Studi Kasus di Madrasah Tsanawiyah Jam’iyyatul Khair, Kampung Utan, CiputatTimur)
45 Vina Zumrotul A’la, 2011, “Peran Guru PAI Sebagai Motivator dalam Meningkatkan Kedisiplinan Siswa
46
demikian, orang akan berbeda pendapat menyangkut seberapa besar faktor peran guru
tersebut bagi keberhasilan pelaksanaan pendidikan dibandingkan faktor lainnya, seperti
faktor siswa, sarana dan prasaran belaja, kebijakan pemerintah, lingkungan serta sistem
pendidikan itu sendiri. Tugas guru dalam proses pembelajaran tidak hanya memberikan
materi yang jelas melainkan harus dibarengi dengan penerapan metode yang beragam
dalam memberikan materinya.
Beberapa cara bisa dilakukan guru untuk menarik siswa supaya termotivasi minat
belajarnya, seperti guru melibatkan siswa dalam berbagai kegiatan, menyampaikan
materi dengan menarik menggunakan gerak tubuh, serta guru agar melibatkan media atau
alat peraga dalam menyampaikan materinya supaya siswa tidak merasakan jenuh atau
tidak bergairah dalam menerima materi yang diberikan oleh guru, maka peran guru dalam
menumbuhkan minat belajar siswa akan terwujud serta mendapatkan hasil yang baik.
Sebagai seorang guru tidaklah mudah untuk membuat siswa merasa senang dan
tertarik terhadap materi yang diajarkan kecuali dengan tingkat kemampuan maupun
kecakapan seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran yang diterima di kelas.
Hal ini seharusnya guru harus lebih bisa menarik siswa agar lebih meningkatkan minat
belajarnya.Upaya yang dapat dilakukan guru dalam menumbuhkan motivasi belajar yakni
dengan memberikan motivasi kepada anak didik dengan cara memberikan dorongan dan
nasihat kepada siswa akan pentingnya belajar terutama mempelajari bidang studi bahasa
Indonesia. Selain itu guru juga harus menguasai materi dan mampu menyampaikan
materi dengan baik, sehingga siswa-siswa dapat menyerap materi yang telah disampaikan
dengan sempurna.
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di 12 SD dan MI di Kecamatan Ciputat Timur yaitu
SDN Pondok Ranji 2, SDN 1 Rengas, MI Raudhatul Islam Cirendeu, SDN Cempaka
Putih 3, MI Jamiyatul Khair Cempaka Putih, MI Muhammadiyah 1 Rempoa, SDI AL-
Fath Cirendeu, SDN Rengas 2, SDN Pisangan 4, SDN Pondok Ranji 4, SDN Rempoa 3,
MI Pembangunan UIN Jakarta. Dari bulan Januari 2014 sampai dengan Februari 2014
B. Lembar Penelitian
KISI-KISI OBSERVASI
Observasi Terkait Penggunaan Bahasa Indonesia yang Sesuai Kaidah di Sekolah
Nama guru :
Mengajar bidang studi:
Nama Sekolah :
Lokasi :
No Kaidah Bahasa Indonesia SudahSesuai
BelumSesuai Catatan
1Pengucapan bahasa Indonesia yangbaik tidak terpengaruh oleh ucapanbahasa daerah.
2
Tidak menggunakan bahasa daerahyang halus kepada orang yang lebihtua dengan bertujuan agar bahasanyadianggap baik dan sopan.
48
KISI-KISI OBSERVASI
Observasi Terkait Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar di Sekolah
Nama guru :
Mengajar bidang studi:
Nama Sekolah :
Lokasi :
Salah satu ciri bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang sesuaidengan ragam bahasa.
No. Ragam Bahasa SudahSesuai
BelumSesuai
Catatan
1 Ragam beku (Frozen)
2 Ragam Resmi (formal)
3 Ragam usaha atau ragamkonsultatif
4 Ragam santai atau ragamkasual
5 Ragam akrab atau ragamintim
KISI-KISI WAWANCARA
Nama Guru :
Lokasi :
1. Apakah Bapak / Ibu selalu menambahkan unsur bahasa daerah ketika berbicara bahasaIndonesia baik di sekolah maupun di luar sekolah ?
2. Apakah Bapak / Ibu menggunakan bahasa daerah halus supaya terkesan baik dan sopanketika berbicara kepada orang yang lebih tua atau lebih tinggi derajat atau pangkatnyabaik disekolah maupun di luar sekolah ?
3. Apakah Bapak / Ibu guru menyesuaikan ragam bahasa ketika berbicara bahasa Indonesiabaik di sekolah maupun di luar sekolah ?
49
C. Desain Penelitian
Sesuai dengan masalah yang ada, penelitian ini akan menggunakan pendekatan
kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif bermakna membicarakan metodologi penelitian
yang didalamnya mencakup pandangan-pandangan filsafat mengenai realitas dan objek
yang dikaji. Tradisi ini berlangsung lama seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial
dan ilmu perilaku itu sendiri Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan,
meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang
ada di masyarakat yang menjadi objek penilaian, dan berupaya menarik realitas itu ke
permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang
kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.
Sebenarnya, metode deskriptif tidak hanya menggambarkan kondisi objek
penelitian, tetapi juga menganalisanya berdasarkan metode, teori, dan kemampuan
peneliti. Kemampuan dan pengalaman peneliti sangat berpengaruh terhadap hasil
penelitian yang menggunakan metode deskriptif.
Dengan pendekatan kualitatif, analisis dilakukan secara komprehensif, sehingga
proses pengumpulan dan penyajiandata hasil penelitian tidak hanya bertumpu pada hal-
hal yang mengemuka saja, tetapi juga dengan berupaya melihat faktor-faktor yang
melatarbelakanginya (program, budaya atau kebijakan tertentu).
Selanjutnya, penulisan penelitian ini mengacu pada buku pedoman penulisan
skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.1
D. Informan Penelitian
Pemilihan informan penelitian ini ditetapkan secara langsung (purposive) dengan
prinsip kesesuaian (appropriateness) dan kecukupan (adequancy). Dalam penelitian ini
yang menjadi informan adalah guru bahasa Indonesia dan guru kelas di SD dan MI se-
Kecamatan Ciputat Timur. Peneliti mengambil sampel 2 sekolah di tiap kelurahan di
Kecamatan Ciputat Timur dan mengambil sampel 1 guru kelas/guru bahasa Indonesia
dan beberapa siswa, sehingga terkumpul 12 informan dari 12 sekolah dan beberapa siswa
di Kecamatan Ciputat Timur.
1 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan),
50
No Nama Informan SekolahJenis
KelaminDaerah Asal Jabatan
1. M. Nufi IbrahimSDN Pondok Ranji 2
LSumatrra
BaratGuru Kelas 6
2. Sri SuharniSDN 1 Rengas
P Wonogiri Guru Kelas 1
3 NurhayatiMI Raudhatul Islam
CirendeuP Jakarta Guru Kelas 1
4 Supardi SDN Cempaka Putih 3 L Tegal Guru Kelas 2
5 NurjannahMI Jamiyatul Khair
Cempaka PutihP Jakarta Guru Kelas 6
6 MaisarohMI Muhammadiyah 1
RempoaP Jakarta Guru Kelas 5
7 Siti Sarah SDI AL-Fath Cirendeu P Jakarta
Guru Bahasa
Indonesia
kelas 5
8 Rasmi SDN Rengas 2 P Medan Guru Kelas 5
9 Kholilah Septiani SDN Pisangan 4 P Jakarta Guru kelas 4
10 Ayat SDN Pondok Ranji 4 P Jakarta Guru Kelas 6
11 Yahdiman SDN Rempoa 3 L DIY
Guru Bahasa
Indonesia
kelas 4
12 Ahmad Santoso
MI Pembangunan UIN
Jakarta L Karawang
Guru Bahasa
Indonesia
kelas 4
51
E. Teknik Pengumpulan Data
Adapun cara pengumpulan data, dapat ditempuh dengan beberapa teknik antara
lain:
1. Observasi, sebagai metode ilmiah observasi biasa diartikan dengan pengamatan
dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki. Observasi
ini dilakukan untuk memperoleh data tentang SD dan MI di Kecamatan Ciputat
Timur.
2. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan
dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.2
Wawancara juga sering disebut dengan interview yaitu sebuah dialog yang
dilakukan pewawancara untuk memperoleh informasi atau data pandangan, sikap,
respon, dan bentuk-bentuk peningkatan motivasi berbahasa siswa. Peneliti
melakukan wawancara guru bahasa Indonesia dan guru kelas di SD dan MI serta
beberapa siswa se-Kecamatan Ciputat Timur. Peneliti mengambil sampel 2
sekolah di tiap kelurahan di Kecamatan Ciputat Timur dan mengambil sampel 1
guru kelas/guru bahasa Indonesia, sehingga terkumpul 12 informan dari 12
sekolah di Kecamatan Ciputat Timur. Wawancara dilakukan secara langsung
(face to face) untuk mendapatkan informasi secara jelas dengan tujuan
mendapatkan data yang dapat menjelaskan permasalahan penelitian. Pada
penelitian ini, peneliti memakai jenis wawancara tidak terstruktur atau wawancara
bebas. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti
tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis
dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Melalui teknik ini diharapkan terjadi
komuikasi langsung, luwes, dan fleksibel secara terbuka, sehingga informasi yang
didapat lebih banyak dan luas mengenai peranan guru dalam meningkatkan
motivasi siswa berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
3. Dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan judul skripsi seperti studi kasus, laporan-laporan tentang jumlah guru dan
siswa, prasarana, struktur organisasi, dan sebagainya.
2 Moleong Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), Cet 29, h. 186
52
F. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki
lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Hasil data yang terkumpul
kemudian dianalisis menggunakan pendekatan analisis kualitatif. Adapun tahapan
analisis yaitu :
1. Reduksi data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih
jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya.
2. Penyajian data
Display data yaitu menyajikan data dalam bentuk pola setelah data direduksi.
Dalam penelitian kualitatif penyejian data ini dilakuakn dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Melalui
penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola
hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami. Langkah ini didapatkan
setelah peneliti melakukan penyusunan data dalam bentuk transkrip data
selanjutnya.
3. Analisis isi
Analisis yaitu dengan membandingkan hasil penelitian dengan teori-teori pada
tinjauan kepustakaan.
4. Pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan adalah menganalisis data yang dapat dicoba dibuat
suatu kesimpulan hasil penelitian.
G. Validasi Data
Validasi data merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek
penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Untuk menjaga validasi data
maka dilakukan triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai
53
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.
Terdapat 3 triangulasi, yaitu :
1. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mngecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.
2. Triangulasi Teknik
Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mngecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.dapat
diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi, dokumentasi atau
kuesioner.
3. Triangulasi waktu
Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan
dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat nara sumber masih segar,
belum banyak masalah akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih
kredibel. Untuk itu dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan
dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik
lain dalam waktu situasi yang berbeda. Bila hasil uji menghasilkan data yang
berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan
kepastian datanya. Dalam penelitian ini hanya menggunakan triangulasi teknik
H. Sumber Data
Sumber data yang penulis lakukan yaitu:
1. Guru
Guru dalam penelitian ini sebagai informan tentang peranan guru bahasa
indonesia terhadap motivasi siswa untuk menggunakan bahasa Indonesia
2. Siswa
Siswa dalam hal ini juga sebagai informan sehingga peneliti bisa tahu sejauh
mana motivasi siswa dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
54
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran umum Kecamatan Ciputat Timur
Kecamatan yang dipimpin oleh H. Purnama Wijaya, S. Sos ini berada di
Kotamadya Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Kecamatan ini memiliki luas 16.42 Km.
Jumlah penduduk 183.330. Kepadatan penduduk 11.165 jiwa/km. Mempunyai 6
kelurahan yaitu Rengas, Rempoa, Cirendeu, Pondok Ranji, Cempaka Putih, Pisangan.
Kecamatan Ciputat Timur merupakan pemekaran dari Kecamatan Ciputat. Kecamatan ini
berbatasan dengan Kelurahan Pondok Pinang, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Aren,
Bintaro, Pamulang, Cinere, Sawangan, Depok.
Kecamatan ini memiliki situ atau danau yaitu Situ Gintung, Situ Antap, Situ Kuru,
dan Situ Bungur. Kecamatan ini terdapat beberapa Universitas yaitu Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, STIE Ahmad
Dahlan, dan Institut Ilmu Alquran. Di Kecamatan ini terdapat beberapa SMA/SMK/MA
yaitu SMAN 4 Tangsel, SMAN 8 Tangsel, MA Pembanguna UIN Jakarta, SMA Dua
Mei, dan SMK Nusantara Ciputat. Di Kecamatan ini terdapat beberapa SMP/MTS yaitu
MTs Pembangunan UIN JAKARTA, SMP DUA MEI, SMPN 2 Tangsel, SMPN 3
Tangsel, SMPN 10 Tangsel, dan SMPN 13 Tangsel. Di Kecamatan ini terdapat SDN 1
Rengas, SDN 2 Rengas, MI Nurun Najah 2, SDN 1-5 Rempoa, SD Kharisma Ruhul
Amin, MI Yaspina Rempoa, MI Muhammadiyah Rempoa, SDN 1-4 Cempaka Putih, MI
Jamiyatul Khoir, MIN Cempaka Putih, SD Dua Mei, SDN 1-5 Pondok Ranji, MI
Madrasah Pembangunan, MI Nurul hidayah, MI Khasanah Kebajikan, SDN Pisangan 4,
SD Ibnu Umar Pisangan, SDI AL Mabrur, SDI Madinatul Ilmi, SDI Suhardita, MI
Raudhatul Islam, dan SD AL-Fath.
55
B. Informan
No Nama Informan SekolahJenis
KelaminDaerah Asal Jabatan
1. M. Nufi IbrahimSDN Pondok Ranji 2
LSumatrra
BaratGuru Kelas 6
2. Sri SuharniSDN 1 Rengas
P Wonogiri Guru Kelas 1
3 NurhayatiMI Raudhatul Islam
CirendeuP Jakarta Guru Kelas 1
4 Supardi SDN Cempaka Putih 3 L Tegal Guru Kelas 2
5 NurjannahMI Jamiyatul Khair
Cempaka PutihP Jakarta Guru Kelas 6
6 MaisarohMI Muhammadiyah 1
RempoaP Jakarta Guru Kelas 5
7 Siti Sarah SDI AL-Fath Cirendeu P Jakarta
Guru Bahasa
Indonesia
kelas 5
8 Rasmi SDN Rengas 2 P Medan Guru Kelas 5
9 Kholilah Septiani SDN Pisangan 4 P Jakarta Guru kelas 4
10 Ayat SDN Pondok Ranji 4 P Jakarta Guru Kelas 6
11 Yahdiman SDN Rempoa 3 L DIY
Guru Bahasa
Indonesia
kelas 4
12 Ahmad Santoso
MI Pembangunan UIN
Jakarta L Karawang
Guru Bahasa
Indonesia
kelas 4
56
C. Hasil Penelitian
1. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Interaksi Siswa dengan Guru
a. Penggunaan unsur bahasa daerah ketika berbicara bahasa Indonesia.
Berdasarkan penuturan informan utama, sebagian dari informan utama pernah
menggunakan unsur bahasa daerah ketika berbicara bahasa Indonesia di sekolah dan
menggunakan unsur bahasa daerah ketika mengajar. Mereka menggunakan unsur bahasa
daerah karena berbagai alasan salah satunya yaitu untuk membandingkan makna,
” Ya benar disini siswa-siswanya berasal dari berbagai daerah. Ya kadang-kadangsuka menggunakan bahasa daerah untuk sebagai contoh saja, jadi untukperbandingan makna kata dengan bahasa Indonesia supaya mereka paham. Seringnyamenggunakan unsur bahasa Jawa dan Sunda”1
Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa guru tersebut biasanya menggunakan
unsur-unsur bahasa daerah yaitu untuk membandingkan makna kata dengan bahasa
Indonesia karena menurut teori metode terjemahan bahasa, anak akan mudah menguasai
bahasa asing yang dipelajari dengan cara menerjemahkan dari bahasa yang diajarkan ke
dalam bahasa ibu murid dan sebaliknya.2
Lalu ada juga guru yang menggunakan unsur bahasa daerah karena ada anak yang
belum bisa berbahasa Indonesia supaya komunikasi tetap berjalan.
”Iya pernah waktu mengajar kelas 1, jadi ada seorang siswa dari daerah lebak yangdari lahir tinggal bersama neneknya dan bahasa sehari-hari siswa ini bahasa Sunda.Kemudian diambil oleh ibunya dan sekolah disini di kelas 1. Ketika PBMberlangsung siswa ini tidak bisa memahami bahasa Indonesia, jadi khusus untuk diasaya jelaskan menggunakan bahasa Sunda.”3
Menurut Rosadi Ruslan, komunikasi tidak hanya menyampaikan informasi atau pesan
saja, tetapi komunikasi dilakukan seorang dengan pihak lainnya dalam upaya membentuk
suatu makna serta mengemban harapan-harapannya.4
1 Bapak Nufi Ibrahim, SDN Pondok Ranji 22 http://agusbagus92.wordpress.com/2013/05/02/makalah-metode-tatabahasa-dan-terjemahan/3 Ibu Nurhayati, MI Raudhatul Islam4 https://amirlahjeni.wordpress.com/2012/03/30/tujuan-komunikasi/
57
Ada juga guru yang ketika mengajar diselingi bahasa daerah dan bahasa Inggris
dengan tujuan supaya suasana PBM tidak monoton.
“Ya pernah, kadang-kadang bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Inggris juga. Tapisaya sambil kasih tahu juga artinya. Supaya tidak monoton dalam mengajar. Misalnyakalau lagi mengajar, saya ngomong “Mudeng gak ?” kepada siswa. Dengan guru punjuga pernah menggunakan bahasa daerah. Kalau antar guru disini bahasanyakadang-kadang Betawi, Jawa, dan Sunda. Bahasa gaul masa kini juga seringdigunakan seperti kata-kata rempong, gua, elu, cabe-cabean tapi sesama guru saja.Kecuali di depan anak.”5
Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa guru tersebut ketika sedang mengajar
terkadang menyelingi bahasa daerah dan bahasa Inggris. Dalam komunikasi verbal, guru
menggunakan bahasa yang bersifat informatif. Bahasa yang bersifat informatif adalah
ujaran yang mengandung ide atau informasi yang sesuai dengan apa yang diujarkan
pembicara kepada kawan bicara. Dalam komunikasi verbal juga terdapat satu fungsi
bahasa yang cukup unik, yaitu fungsi fatis. Fungsi fatis yaitu bahasa berfungsi untuk
mempertahankan dan memperbaiki saluran komunikasi yang susah atau untuk menjaga
relasi sosial yang baik, seperti obrolan di awal perkenalan. Fungsi fatis bisa juga disebut
fungsi basa-basi.
Guru mengekspresikan tuturannya dengan ungkapan bahasa verbal, baik dengan
ungkapan yang berfungsi fatis maupun ungkapan yang tidak berfungsi fatis. Fungsi fatis
bahasa diekspresikan oleh penutur dengan ungkapan fatis. Ungkapan fatis menjadi unik
karena komunikasi verbal yang menggunakan ungkapan fatis tidak bertujuan untuk
menyampaikan ide atau bertukar informasi, melainkan untuk menjaga hubungan sosial
dengan lawan bicara. Contohnya adalah penggunaan ungkapan salam hai, apa kabar, dan
selamat pagi. Ungkapan hai biasanya digunakan sebagai salam yang berfungsi untuk
memulai percakapan. Dengan salam hai kontak percakapan menjadi terjalin dan dengan
terjadinya kontak percakapan terjalin juga hubungan sosial. Sebagian besar ungkapan
fatis merupakan ciri ragam lisan. Ragam lisan pada umumnya adalah ragam nonstandar
yang banyak mengandung unsur daerah atau dialek regional. Dalam hal ini guru
menyelingi bahasa daerah Sunda dan Jawa ketika mengajar.
5 Ibu Rasmi Pohan, SDN Rengas 2
58
Untuk mengatasi suasana PBM yang monoton, sebaiknya guru mengubah sistem
pembelajaran yang itu-itu saja, guru bisa memulainya dari awal dengan meluruskan niat
belajar, sehingga para siswa lebih serius dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Selanjutnya guru bisa mengubah suasana belajar sehingga siswa merasa lebih enjoy dan
senang dalam mengikuti pelajaran. Kemudian pendidik dapat memberikan kesempatan
penuh kepada siswa untuk berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Sehingga
tidak hanya guru yang “ceramah” kepada peserta didiknya, tetapi juga mereka (peserta
didik) juga pasti ingin mengutarakan pendapat seputar pelajaran yang sedang dibahas.
Selain itu untuk membiasakan siswa supaya berbahasa Indonesia yang baik dan benar,
siswa tidak hanya diarahkan tetapi juga diberi contoh, figur, dan teladan.
Selain itu ada juga guru yang menggunakan bahasa daerah karena terbawa-bawa logat
asli daerah asal.
“Iya itu sih pernah ya. Saya biasanya terbawa-bawa bahasa sunda ketika mengajar.Dari logat saya memang sunda banget.”6
Ibu Ayat menuturkan bahwa sering terbawa-bawa logat bahasa Sunda ketika mengajar.
Dalam hal ini disebut juga Interferensi atau gejala bercampurnya pemakaian bahasa.
Interferensi, menurut Nababan, merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat
terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau
dialek kedua. Selain itu menurut Alwasilah, bahwa interferensi merupakan kekeliruan
yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu
bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan
kosakata.
Kemudian ada juga guru yang menggunakan bahasa daerah tapi hanya sesama orang
daerah juga dengan alasan keakraban.
“Iya selalu. Tapi kepada sesama orang suku Jawa saja karena saya bersuku Jawa.Saya selalu menyesuaikan dengan orang di sekitarnya dalam menggunakan bahasadaerah baik di sekolah maupun di luar sekolah. Supaya suasana pembicaraan lebih
6 Ibu Ayat, SDN Pondok Ranji 4
59
akrab dan cair. Penggunaan bahasa daerah ketika saya mengajar mempunyai tujuansupaya bisa membantu siswa dalam memperlancar bahasa Indonesia.”7
Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa guru tersebut menggunakan bahasa daerah
tetapi hanya sesama orang daerah juga. Di kota-kota besar di Indonesia, sudah pasti
terdapat beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing, disamping bahasa
Indonesia. Orang – orang yang berasal dari daerah yang sama dan bertemu pada kondisi
biasanya menggunakan bahasa daerah sama juga dalam komunikasi mereka, hal ini dapat
terjadi karena adanya kesamaan latar belakang mereka sehingga membuat hal itu terjadi.
Bahasa daerah digunakan dalam komunikasi intrasuku yang bersifat tidak formal, dan
pada umumnya didasarkan pada keinginan untuk membuat suasana lebih akrab, untuk
mengedukasi, menunjukkan rasa hormat, penghargaan, atau rasa solidaritas suku. Dan
biasanya bahasa daerah digunakan dalam domain kedaerahan, seperti dalam upacara
pernikahan, percakapan dalam keluarga daerah, dan komunikasi antar penutur daerah.8
Ada juga guru yang tidak menggunakan unsur bahasa daerah ketika di sekolah dan
lebih menggunakan bahasa Indonesia saja
“Tidak pernah menggunakan bahasa daerah. Hanya menggunakan bahasa Indonesiasaja. Karena meskipun ada yang bersuku Betawi, Sunda dan Jawa tapi logatnya tidakterlihat kedaerahannya sehingga hanya menggunakan bahasa Indonesia saja.”9
Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa guru tersebut tidak menggunakan unsur
bahasa daerah ketika di sekolah dan lebih menggunakan bahasa Indonesia saja. Kita
melihat, fungsi bahasa daerah berbeda dengan fungsi bahasa Indonesia, dan masing-
masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana
kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam dalam ranah kerumahtanggaan
(family), ketetanggaan(neighborhood), kekariban (friendship), sedangkan bahasa
Indonesia membangun suasana formal, keresmian, kenasionalan, dan dipakai misalnya
dalam ranah persekolahan (sebagai bahasa pengantar), ranah kerja (sebagai bahasa resmi
dalam rapat; alat komunikasi antar pegawai, dan antara pegawai dengan tamu kantor),
7 Bpk Yahdiman, SDN Rempoa 38 Abdul chaer, SOSIOLINGUISTIK: Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta,2004) Cet 2, h. 1569 Bpk Supardi, SDN Cempaka Putih 3
60
ranah keagamaan (dalam khotbah). Berdasarkan hal di atas, bahasa Indonesia saja yang
digunakan meskipun banyak guru yang bersuku Betawi, Sunda, dan Jawa. Selain itu logat
kedaerahan para guru-gurunya juga tidak terlihat.
Meluasnya penggunaan bahasa Indonesia, adalah sesuatu yang positif dan
menggembirakan, tetapi dibalik itu muncul pula dampak negatifnya, yang tidak
menguntungkan bagi program pembinaan bahasa Indonesia. Mereka sering mendapatkan
hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan
bahasa, seringkali memaksa mereka bolak-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan
bahasa Indonesia. Akhirnya, sering terjadi kalimat-kalimat yang bukan bahasa daerah dan
buka pula bahasa Indonesia. Di kalangan kelompok atasan atau intelektual karena ingin
mudahnya saja, atau untuk prestise dalam berbahasa sering pula menggunakan kalimat
yang setengah Indonesia dan setengah asing. Lalu karena itu pula (karena banyaknya
terjadi interferensi atau campur kode yang tidak terkendali) mungkin akan terjadi pula
suatu ragam bahasa baru, misalnya, bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan (seperti
dilaporkan Widjajakusumah dengan nama bahasa Indonesia Jawa Barat), bahasa
Indonesia kejawa-jawaan, bahasa Indonesia keinggris-inggrisan.
Secara sosiolinguistik hal tersebut tidak akan menjadi masalah (malah mungkin akan
menjadi topik baru dalam penelitian sosiolinguistik), tetapi bagi pembinaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Negara tentu merupakan masalah besar,
sebab hal itu merupakan peristiwa “perusakan” bahasa Indonesia yang sangat tidak
diharapkan. Penutur yang memiliki sikap bahasa positif terhadap bahasa Indonesia, tentu
tidak akan melakukan pencampuran bahasa. Dia akan menggunakan bahasa Indonesia
secara cermat dan benar. Tetapi sayangnya, kebanyakan orang Indonesia belum memiliki
sikap bahasa positif terhadap bahasa nasionalnya.10
b. Penggunaan bahasa daerah halus supaya terkesan baik dan sopan ketika berbicara
kepada orang yang lebih tua atau lebih tinggi derajat atau pangkatnya.
Berdasarkan penuturan informan utama, sebagian informan utama pernah
menggunakan bahasa daerah halus kepada orang lain yang lebih tua atau lebih tinggi
10 Abdul chaer, SOSIOLINGUISTIK: Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta,2004) Cet 2, h. 160
61
jabatannya di sekolah. Mereka menggunakan bahasa halus daerah karena berbagai alasan
salah satunya yaitu terdapatnya guru-guru lain yang berasal dari daerah yang sama.
“Waktu ada guru yang dari daerah Sunda ya sering menggunakan bahasa Sunda tapisebatas dengan dia saja, kalau dengan guru yang lain yang bukan berasal dari Sundaya berubah menggunakan bahasa Indonesia saja. Sebetulnya saya orang asli Betawi,cuman pernah merantau di daerah Sunda dari SD, SMP, SPG di daerah Sundatepatnya di Subang, jadi ya cukup lancar berbahasa Sunda, tetapi tidak terlalu halusbahasa Sundanya.”11
Dari pernyataan di atas dapat dilihat, penggunaan bahasa Sunda hanya dilakukan
kepada seorang yang bersuku Sunda, jika berbicara dengan seseorang yang bukan
bersuku Sunda maka menggunakan bahasa Indonesia. Secara sosial perubahan pemakaian
bahasa itu memang harus dilakukan, sebab adalah sangat tidak pantas dan tidak etis
secara sosial, untuk terus menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang lain.
Selanjutnya dari pernyataan guru diatas, bahwa guru tersebut bersuku asli Betawi
tetapi lebih fasih menggunakan bahasa Sunda karena sejak SD merantau ke daerah
Sunda, sehingga guru tersebut tidak pernah lagi menggunakan bahasa asli Betawi. Dalam
hal ini telah terjadi pergeseran bahasa.
Pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh
seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan
dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Kalau seorang atau sekelompok orang
penutur pindah ketempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan
mereka, maka akan terjadilah pergeseran bahasa ini. Pendatang atau kelompok pendatang
ini untuk keperluan komunikasi ini mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan
“menanggalkan” bahasanya sendiri, lalu menggunakan bahasa penduduk setempat.
Dalam kelompok asal, mereka memang dapat menggunakan bahasa pertama mereka
tetapi untuk berkomunikasi dengan orang lain, tentunya mereka tidak dapat bertahan
untuk tetap menggunakan bahasa sendiri. Sedikit demi sedikit mereka harus belajar
menggunakan bahasa penduduk setempat.
11 Ibu Nurhayati, MI Raudhatul Islam
62
Lalu ada juga guru yang menggunakan bahasa halus daerah karena menganggap
sebagai bentuk hormat terhadap orang yang lebih tua.
“Iya pernah. Bagi saya yang berasal dari Wonogiri, Jawa Tengah bahasa daerahyang bersifat halus itu termasuk bentuk hormat kita terhadap orang yang lebih tua.”12
Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa guru tersebut menggunakan bahasa daerah
halus kepada orang lain yang lebih tua yang juga bisa dan memahami berbahasa daerah
halus. Guru tersebut beranggapan jika menggunakan bahasa halus kepada orang yang
lebih tua maka hal tersebut adalah suatu bentuk hormat kepada orang yang lebih tua. Di
dalam masyaraakat tutur Jawa, terdapat perbedaan variasi bahasa. Bahasa yang bersifat
halus di dalam tata bahasa Jawa disebut bahasa kromo dan bahasa yang bersifat kasar
disebut bahasa ngoko. Bahasa kromo biasanya digunakan kepada seorang yang lebih tua,
lebih tinggi status sosialnya, dan digunakan kepada seseorang yang baru dikenal.
Sedangkan bahasa ngoko biasanya digunakan kepada seorang yang lebih muda, lebih
rendah status sosialnya, dan digunakan kepada seorang teman yang sudah lama dikenal.
Ada juga guru yang menggunakan unsur bahasa daerah halus supaya lestari bahasa
daerah.
“Saya masih menggunakan bahasa daerah yang halus dalam berbicara kepada orangyang tua di MP, supaya lestari bahasa daerah.”13
Dari paparan di atas, guru tersebut sadar betul bahwa pada waktu dan tempat tertentu
hal yang masih bisa mengikat kuat dirinya dengan tempat asalnya adalah bahasa daerah.
Di perantauan, biasanya identitas budaya lain seperti makanan dan pakaian dari daerah
asal akan ditinggalkan dan digantikan dengan yang baru, apalagi jika si perantau telah
tinggal lama di tanah orang dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Orang
Kupang, misalnya, tidak mungkin selalu bisa makan jagung bose dan bunga pepaya
dengan daging se’i di perantauan, karena belum tentu ada. Sama pula halnya ia tidak
mungkin berpakaian agak tipis di daerah yang beriklim sangat dingin. Jadi satu-satunya
identitas yang masih bisa melekat dan tetap terpelihara adalah bahasa daerah. Tidak
jarang kita mendengar orang menggunakan bahasa daerahnya untuk menelepon sanak
12 Bpk Yahdiman, SDN Rempoa 313 Bpk Ahmad Santoso, MI Pembangunan UIN JKT
63
keluarga atau hadai taulannya dari perantauan. Boleh jadi ada orang tertentu yang
menganggap hal ini lucu dan kurang bergengsi, juga terkesan kampungan. Tetapi demi
pelestarian dan kelestarian bahasa daerah, hal itu sudah merupakan langkah terpuji.
Memang kita tidak boleh melupakan budaya sendiri walaupun tinggal di tempat lain.
Tentang hal ini, Julius Kambarage Nyerere (1922-1999), presiden pertama Tanzania dan
penerjemah Julius Kaisari (versi Swahili dari Julius Caesar karya William Shakespeare),
pernah berkata: “…belajar dari kebudayaan lain tidak berarti harus melupakan milik kita
sendiri.”
Ada juga guru yang hanya menggunakan bahasa biasa saja. Tidak halus dan juga tidak
kasar. Berikut kutipannya :
“Tidak juga sih. Bahasa yang biasa saja, halus, tidak baku, tidak kasar juga. Yangpenting terkesan sopan. Dan membiasakan bahasa Indonesia yang baik dan benarselama mengajar.”14
Dari penuturan guru di atas, bahwa penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dalam situai resmi
kita harus menggunakan ragam baku, baik lisan maupun tertulis, sedangkan dalam situasi
tidak resmi kita harus menggunakan raam tidak resmi, bukan ragam baku. Jadi,
sesungguhnya harus memahami ‘‘Siapa bicara, dengan bahasa apa, kpada siapa, dengan
topik apa, kapan, dan tujuan apa“. Jika kita dapat menggunakan kaidah ini berarti kita
telah dapat menggunakan baasa dengan baik dan benar.
c. Menyesuaikan ragam bahasa ketika berbicara bahasa Indonesia.
Berdasarkan penuturan informan utama, sebagian informan utama menggunakan
ragam bahasa dalam berbicara bahasa Indonesia. Mereka menyesuaikan ragam bahasa
dengan alasan situasi dan kondisi.
Ada guru yang menggunakan ragam resmi ketika sedang rapat saja dan menggunakan
bahasa Indonesia baku ketika berbicara dengan siswa.
14 Ibu Kholilah Septiani, SDN Pisangan 4
64
“Kalau sedang rapat menggunakan bahasa Indonesia resmi, kalau sedang denganteman ya kadang bahasa Indonesia kadang juga bahasa daerah, dan ketika berbicaradengan siswa ya menggunakan bahasa Indonesia baku.”15
Dari penuturan guru di atas bisa dilihat bahwa ada sebuah tuntutan untuk bisa
menyesuaikan ragam bahasa yang digunakan karena semua ragam itu dapat digunakan
asal sesuai dengan situasinya, ruang dan waktu serta tidak menyalahi norma-norma
umum yang berlaku.
Ada juga guru yang menggunakan ragam formal ketika rapat tapi juga diselingi ragam
bahasa santai supaya tidak bosan.
“Kalau sedang rapat ya menggunakan ragam bahasa formal tapi kadang-kadangmenggunakan ragam bahasa santai biar tidak bosan. Ketika berbicara sesama gurucenderung menggunakan ragam santai tapi ketika tidak ada siswa. Ketika dengan walimurid menggunakan ragam bahasa baku. Yang penting kita menggunakan bahasa kitasesuai situasi dan kondisinya.”16
Dari kutipan wawancara di atas dapat dilihat bahwa guru yang menggunakan ragam
formal ketika rapat tetapi juga diselingi ragam bahasa santai ketika dengan sesama guru
supaya tidak bosan. Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalm kutipan diatas
yaitu berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi atau juga ragam resmi ke ragam
santai disebut peristiwa alih kode di dalam sosiolinguistik. Alih kode ialah gejala
peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi antar bahasa dan antara ragam-
ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam kutipan di atas adalah
berubahnya ragam bahasa formal menjadi ragam bahasa santai. Secara umum penyebab
alih kode itu disebutkan antara lain adalah (1) pembicara penutur, (2) pendengar atau
lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari
formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan.
Kemudian ada guru yang menggunakan bahasa ragam bahasa formal ketika rapat guru
dan komite sekolah tetapi kalau sedang istirahat menggunakan ragam bahasa santai
15 Ibu Sri Suharni SDN I Rengas16 Ibu Nurhayati, MI Raudatul Islam
65
“Saya selalu berusaha menyesuaikan ragam bahasa ketika berbicara. Ketika rapatdinas dan rapat dewan guru atau rapat komite sekolah tentunya menggunakan bahasayang formal. Tapi kalau sedang istirahat menggunakan ragam bahasa santai.”17
Dari kutipan pernyataan guru diatas, menunjukkan bahwa bahasa itu (termasuk bahasa
Indonesia) mempunyai variasi, baik yang bersifat regional, sosial, maupun fungsional.
Kenyataan ini tidak dapat diabaikan dalam pengajaran bahasa. Memang yang harus
diajarkan diajarkan adalah hanya ragam bahasa baku, yaitu ragam bahasa yang biasa
digunakan dalam situasi-situasi resmi. Secara tertulis seperti digunakan dalam surat-
menyurat dinas, buku-buku pelajaran, dan dokumen-dokumen kenegaraan; secara lisan,
seperti digunakan dalam pidato kenegaraan, khotbah di masjid, atau di gereja, dalam
rapat-rapat dinas, dan sebagainya. Namun, kenyataan adanya ragam-ragam bahasa
tersebut perlu “diberi tahu” kepada murid, sebab penggunaan bahasa yang tepat adalah
penggunaan ragam bahasa itu yang sesai dengan situasi dan keperluannya. Untuk
berkomunikasi dengan pedagang di pasar tidak perlu digunakan ragambahasa baku, tetapi
untuk menulis karangan ilmiah harus menggunakan ragam bahasa baku.
Ada juga guru yang tidak terlalu memperhatikan ragam bahasa dan hanya berusaha
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
“Mungkin bahasa Indonesia yang digunakan yang baik dan benar saja, ya tidakterlalu beku, formal, sedikit santai.”18
Penggunaan bahasa dalam rapat-rapat dinas atau atau surat-surat dinas adalah contoh
situasi resmi yang menggunakan ragam resmi, tetapi penggunaan bahasa di warung kopi
dengan topik pembicaraan yang tidak menentu adalah contoh penggunaan bahasa dalam
situasi tidak resmi yang biasanya menggunakan ragam santai.
2. Peran guru kepada siswa dalam upaya meningkatkan motivasi berbahasa Indonesia
yang baik dan benar.
17 Bpk Yahdiman, SDN Rempoa 318 Bpk Nufi Ibrahim, SDN Pondok Ranji 2
66
Berdasarkan penuturan informan utama, sebagian informan utama berusaha untuk
meningkatkan motivasi siswa berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan
cara yang berbeda-beda.
Ada guru yang memberikan contoh bagaimana caranya berbahasa Indonesia yang baik
dan benar. serta memberikan himbauan jika ada siswa yang menggunakan bahasa yang
tidak baik.
“Kita harus memberikan model karena kita sebagai guru, memberikan contohbagaimana caranya berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Dan juga memberikanhimbauan jika ada siswa yang menggunakan bahasa yang tidak baik.”19
Dari kutipan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa ada upaya guru untuk terus
memberikan arahan supaya tetap menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kemudian dapat diketahui juga bahwa guru harus bisa dijadikan contoh ataupun teladan
dalam hal berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Proses Belajar Mengajar (PBM)
dipengaruhi oleh berbagai aspek, seperti metode mengajar, sarana-prasarana, materi
pembelajaran, kurikulum, dan lain-lain. Dari berbagai aspek itu, yang memegang peranan
penting PBM adalah guru. Selengkap apa pun sarana-prasarana, kalau tidak ditunjang
kompetensi guru terhadap bidang studi yang diajarkan, tidak akan berhasil.
Dalam masyarakat multilingual, multirasial, dan multikultural, maka faktor
kebahasaan, kebudayaan, sosial, dan etnis merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi
keberhasilan pengajaran bahasa. Misalnya, murid yang sehari-hari di rumah dan di
lingkugan masyarakatnya menggunakan bahasa Indonesia, tentu akan mempuyai
kemungkinan untuk lebih berhasil dalam pelajaran bahasa Indonesia daripada murid yang
tinggal dalam keluarga dan lingkungan masyarakatnya yang tidak menggunakan bahasa
Indonesia. Demikian juga murid akan lebih berhasil dalam belajar bahasa Indonesia
apabila orang-orang yang terlibat dalam lingkungan sekolah (guru, pegawai tata usaha,
dan lain-lain) dalam percakapan sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia daripada
yang tidak berbahasa Indonesia.
Guru sebagaimana orang tua sudah seharusnya bisa menjadi model bagi anak-anak.
Perilaku keseharian bisa menjadi tauladan bagi anak-anak didik. Guru bisa menjadi figur
19 Bpk Nufi Ibrahim, SDN Pondok Ranji 2
67
sentral dalam pembentukan kepribadian anak. Jujur, saat ini banyak anak kehilangan
figur sentral. Banyak anak yang lebih cenderung untuk menjadikan tontonan sebagai
model. Bisa saja hal ini terjadi karena orang tua yang mestinya bisa sebagai model jarang
ditemui karena sibuk. Sehingga anak-anak mencari figur lainnya. Misalnya saja model itu
bisa ditemukan pada diri pembantu, pada tokoh sinetron yang dikagumi, atau mungkin
sahabatnya yang dijadikan figur. Di sinilah guru dituntut untuk menjadi model. Berikan
yang terbaik buat anak-anak kita. Banyak anak-anak yang sukses karena melihat figur
gurunya yang bersahaja, tegas, dan berwibawa.
Anak-anak adalah mata rantai pewaris perjuangan dalam menegakkan nilai-nilai
kebenaran. Anak-anak adalah pengawal negeri tercinta. Dialah yang akan menjaga dan
melestarikan nilai-nilai budaya yang telah dibangun dengan susah payah. Dalam proses
transfering values and knowladge guru senantiasa mengajar dan berkomunikasi. Guru
tidak bisa meninggalkan nilai-nilai dalam mendidik putra-putrinya. Sekali lagi, sebagai
agen perubahan, guru bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi transfer nilai-nilai. Hal-hal
yang tidak baik segera diganti dengan nilai-nilai yang baik. Berbagai teori telah
menyebutkan bahwa apa yang sudah diterima anak di masa tanam akan masuk dalam
memori jangka panjang atau tersimpan pada alam bawah sadar. Namun demikian, kita
tidak boleh berputus asa, tidak boleh hawatir untuk melakukan perubahan. Masa model
bisa untuk memperbaiki kondisi yang pernah terjadi di masa tanam. Kita bisa melihat
cara kerja komputer. Ketika masih baru dan mulai diisi kemudian disimpan, maka itulah
yang akan tersimpan terus. Namun suatu saat apa yang tersimpan itu harus kita hapus
untuk diganti dengan yang lebih baik, maka yang sudah dihapus itu akan hilang. Berbeda
jika ada file baru yang masuh dan tersimpan, maka sejauh mana file yang tersimpan itu
terbuka kembali.
Di sinilah peran guru sebagai agen perubahan. Guru berperan sebagi model yang bisa
diteladani oleh anak-anak. Banyak model yang dilihat oleh anak-anak di luar sekolah.
Namun di sekolahlah yang diharapkan model itu bisa ditemukan oleh anak. Sekolah
setidaknya mampu menjadi filter terhadap pengaruh yang terjadi di luar rumah.
Bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kompetensi yang harus dimiliki guru
bahasa Indonesia tidak hanya penguasaan teori-teori serta materi bahasa dan sastra
68
Indonesia saja tetapi yang lebih utama guru harus memiliki kompetensi sebagai model
dalam menyampaikan materi bahasa dan sastra Indonesia karena tujuan utama pelajaran
bahasa Indonesia yaitu terampil berbahasa.
Pelajaran bahasa adalah salah satu pelajaran yang kurang mendapat perhatian. Salah
satunya disebabkan dalam menyajikan materi, guru belum mampu menjadi model dalam
pelajaran itu. Padahal, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sangat penting dalam
kehidupan sebagai sarana menyampaikan ide, gagasan, dan pendapat dalam
berkomunikasi sehari-sehari.
Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia menyangkut empat aspek yaitu keterampilan
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam menyampaikan empat aspek
keterampilan tersebut, guru dituntut terampil dulu berbahasa, jangan sampai guru bahasa
hanya bisa menyuruh siswa, membaca, menulis, dan mengapresiasi sastra sedangkan
gurunya sendiri tidak pernah melakukannya.
Seperti yang diungkapkan Erwan Juhara, guru harus jadi model PBM bagi murid-
muridnya dalam angka eksistensi sastra, dalam kehidupan akademis, yang selanjutnya
memanfaatkan dampak positifnya dalam penciptaan atmosfir sastra di masyarakat.
Contohnya, banyak guru tidak bisa menjadi model yang baik saat ia membina budaya
baca sastra karena guru sendiri tidak pernah membaca karya sastra. Begitupun dalam
mengajarkan menulis, guru tidak memiliki karya dan pengalaman mengarang. Ada juga
guru yang menyuruh muridnya meyaksikan pertunjukan karya sastra sementara ia tak
tertarik menyaksikan karya sastra.
Untuk keterampilan berbicara, guru dituntut terampil berpidato, terampil membawakan
acara,dan berbicara lainnya. Dalam menyampaikan materi ini, guru harus berdasarkan
pengalamannya, bukan hanya berdasarkan teori-teori di buku saja. Guru yang memiliki
kompetensi berbahasa yang baik akan membantu keberhasilan PBM yang berpusat
kepada siswa sehingga siswa bisa meniru dan mencontohnya. Hal ini sesuai dengan
konsep dasar life skill (kecakapan hidup), yang menyangkut kecakapan mengenal diri,
kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan
kerja.
69
Ada juga guru yang mengadakan tanya jawab secara lisan dengan siswa dan harus
dijawab dengan bahasa Indonesia yag baik dan benar.
“Saya selalu mengadakan tanya jawab dengan siswa secara lisan dan harus dijawabdengan bahasa yang baik dan benar. Ya kalau ada yang menggunakan bahasa yangtidak bagus ya saya betulkan. Menurut saya anak-anak ini malah terbiasamenggunakan bahasa yang ada di “sinetron”. Kalau ada yang menggunakan kata-kata “lu“ dan ”gua” ya saya panggil dan saya kasih tau kalau itu tidak boleh.Misalnya ada anak yang menyebut “gundu” atau “kuping” itu saya betulkan denganmengganti dengan “kelereng” dan “telinga”.20
Dari kutipan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa guru tersebut melakukan
metode tanya jawab kepada siswa dan siswa harus menjawab dengan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Selain itu guru juga harus memancing siswa supaya mau bertanya
kepada guru jika ada sesuatu hal yang ingin diketahui. Karena pada dasarnya
keingintahuan merupakan kodrat manusia yang dapat menyebabkan manusia itu menjadi
maju. Pada anak-anak usia sekolah rasa keingintahuan ini sangat besar. Rasa
keingintahuan ini dapat dikembangkan dengan memberi kesempatan bertanya dan
menyelidiki apa saja. Masalahnya, tidak semua murid mau bertanya atau berani bertanya.
Oleh karena itu, guru harus berusaha membangkitkan keberanian dan kemauan bertanya.
Bila guru tidak berhasil membangkitkan keberanian bertanya, atau sengaja “mematikan”
keberanian bertanya itu, maka ada kemungkinan besar rasa keingintahuan murid pupus.
Akibatnya, kegiatan belajar mengajar tidak akan mencapai hasil yang akan diharapkan.
Metode tanya jawab yang digunakan guru tersebut sangat bagus dalam pembelajaran
bahasa Indonesia. Karena kalau siswa hanya mendengarkan ceramah terus-menerus,
maka akan mengantuk dan terasa membosankan bagi mereka kareana tidak adanya
interaksi antara guru dan siswa dan dampaknya bagi mereka tujuan dari pembelajaran
khususnya pada aspek keterampilan berbicara tentu tidak akan tercapai karena siswa tidak
ikut serta dalam pembelajaran. Lama kelamaan perhatian dan konsentrasi pada siswa juga
akan menurun, ditambah lagi jika guru cara penyampaiannya dengan suara dan ucapan
kata-kata yang tidak menarik.
20 Ibu Sri Suharni, SDN Rengas I
70
Metode tanya jawab ini dapat memberi motivasi bagi siswa agar bangkit pemikirannya
untuk bertanya, selama mendengarkan pelajaran atau guru yang mengajukan pertanyaan-
pertanyaan kemudian siswa menjawab tentunya pertanyaan tersebut mengenai isi
pelajaran yang sedang diajarkan guru. Metode tanya jawab juga bisa meningkatkan
keterampilan berbicara karena di dalamnya juga terjadi komunikasi dan interaksi yaitu
antara guru dan siswa.
Metode tanya jawab juga harus disesuaikan dengan siswa seperti dalam bentuk
permainan. Adapaun dalam penerapannya dapat dilakukan dengan mengkombinasikan
dengan metode talking stick ataupun snowball throwing. Pembelajaran dengan metode
talking stick mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya. Pembelajaran
dengan metode talking stick diawali dengan penjelasan guru mengenai materi pokok yang
akan dipelajari, siswa diberi kesempatan mempelajari materi tersebut, guru mengambil
tongkat yang telah dipersiapkan sebelumnya, tongkat tersebut diberikan kepada salah satu
siswa, siswa yang menerima tongkat tersebut diwajibkan menjawab pertanyaan dari guru
demikian seterusnya, ketika stick bergulir dari siswa ke siswa lainnya sebaiknya sambil
diiringi musik dan dengan menggunakan metode tersebut tentunya siswa dapat
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Bentuk kegiatan pembelajaran snowball
throwing adalah diawali dengan penjelasan guru, masing-masing siswa diberikan satu
lembar kertas untuk menulis pertanyaan terkait dengan materi, kertas berisi pertanyaan
tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa kesiswa lain, setelah siswa dapat
satu bola/pertanyaan diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Kedua metode tersebut dapat digunakan sebagai salahsatu cara dalam mengaplikasikan
metode tanya jawab, karena kedua metode tersebut juga menggunakan tanya jawab
sebagai kegiatan ininya. Dengan penyajian metode tanya jawab yang disertai dengan
penggunaan metode ceramah, penugasan, talking stick dan snowball throwing
tentunyadapa memberikan beberapa hasil dar kegiatan yang dilakukan. Dengan metode
tanya jawab, guru dapat mengetahui keterampilan berbicara siswa, melalui pertanyaan
yang diberikan maupun dari pendapat dan gagasan yang disampaikan siswa dari situlah
guru akan mengetahui keterampilan siswa dalam berbicara. Kegiatan pembelajaran
dengan metode tanya jawab yang dilakukan melalui talking stick dan snowball throwing
71
tersebut juga sangat menarik karena disesuaikan dengan taraf perkembangan siswa dan
tentunya siswa tidak merasa bosan dan jenuh dan hal ini menjadikan tujuan pembelajaran
dapat tercapai secara optimal.
Kemudian ada juga guru yang sudah menyampaikan bahasa Indonesia yang benar
tetapi siswa masih kurang tepat dalam menggunakan bahasanya. Misalnya ketika menulis
membuat karangan.
“Kita para guru sudah menyampaikan bahasa Indonesia dengan benar tapi siswa inikurang tepat dalam menggunakan bahasa Indonesianya. Misalnya ketika siswasedang mengarang dengan tema berlibur, rata-rata karangan itu tidak sesuai denganbahasa Indonesia yang baik dan benar kata-katanya. Seperti bahasa sehari-sehari dirumah juga ditulis ke dalam karangannya, misalnya “saat berangkat” merekamenulisnya “pas berangkat”. Padahal kita mengajar sudah sesuai dengan bahasaIndonesia yang baik dan benar. Ya saya tidak tahu persis faktor apa yangmenyebabkan terjadinya seperti itu, mungkin faktor dari lingkungan dia sehari-sehari,mungkin di rumahnya dia seperti itu bahasanya baik dengan orang tua maupunteman-temannya. Jadi apa yang menjadi kebiasaan di rumah menjadi kebiasaan jugadi sekolah.”21
Dari kutipan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa guru tersebut telah berusaha
menjelaskan bahasa Indonesia yang benar tetapi masih saja ditemukan penggunaan
bahasa yang kurang tepat dalam pekerjaan siswa di kelas misalnya dalam hal penulisan
karangan. Jika guru tersebut ingin mengajarkan dan menjelaskan mengenai karangan
yang baik yang bisa dilihat dari susunan kalimatnya, keteraturan isinya, dan ejaanya.
Penjelasan dengan kata-kata saja yang panjang dan lebar tidak akan member kesan apa-
apa, selain hanya pengetahuan saja. Maka, alangkah baiknya kalau guru mengambil
sebuah contoh karangan, lalu membaca bersama karangan itu, membicarakan isinya,
membicarakan susunan kalimatnya, dan juga ejaannya. Semua dilakukan bersama, tetapi
dengan cacatan, keaktifan harus ada pada siswa, bukan pada guru.
Kemudian siswa-siswa tersebut masih terbawa-bawa bahasa daerah setiap menulis
karangan, karena sudah menjadi kebiasaan berbahasa seperti itu di lingkungannya. Pada
dasarnya hampir semua anak Indonesia tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia. Oleh
karena itu, meskipun bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia masih serumpun
dengan bahasa Indonesia, tetapi perbedaan-perbedaan tentunya ada antara bahasa-bahasa
21 Ibu Nurhayati, MI Raudatul Islam
72
daerah itu dengan bahasa Indonesia. Perbedaan ini dapat terjadi pada tataran fonologi,
morfologi, sintaksis dan juga kosakata perbedaan-perbedaan inilah yang pertama-tama
harus diperhatikan agar siswa dapat berbahasa Indonesia dalam bentuk dan struktur yang
benar. Kalau hasil evaluasi terhadap anak-anak yang berbahasa ibu bahasa Jawa belum
dapat memisahkan bunyi sengau dari bunyi konsonan yang homogen dengan bunyi
sengau itu, maka latihan harus banyak diberikan dalam masalah itu. Jelasnya begini,
banyak anak yang berbahasa pertama bahasa Jawa sukar mengucapkan kata-kata seperti
[lom-pat] dan [ten-dang], mereka selalu mengucapkan sebagai [lo-mpat] dan [te-ndang].
Ini merupakan masalah, maka inilah yang perlu diberikan porsi latihan yang lebih
banyak.
Selanjutnya ada juga guru yang membiasakan berbahasa Indonesia yang baik dan
benar baik di kelas maupun di luar kelas dan tidak menggunakan bahasa gaul.
“Kita sebagai guru selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar ketikadi kelas maupun di luar kelas, tidak menggunakan bahasa gaul seperti “lo”, “ye”.Kalau kita sebagai guru membiasakan bahasa Indonesia yang baik di hadapan anak,pastinya anak terbawa untuk berbahasa yang baik.”22
Dari kutipan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa guru tersebut selalu untuk
membiasakan bahasa Indonesia yang baik dihadapan anak. Proses pembiasaan berbahasa
Indonesia yang baik dan benar harus dilakukan jika bahasa Indonesia ingin terus dapat
dipertahankan dan dilestarikan. Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar, diharapkan akan dapat tercapainya pelajar yang memiliki keterampilan berbahasa
Indonesia yang baik dan benar. Sebelum terjadinya pembiasaan menggunakan bahasa
yang baik dan benar , tentunya sangat ideal jika dapat mengetahui terlebih dahulu
kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang selama ini terjadi dalam berbahasa Indonesia.
Setelah mengetahui kesalahan-kesalahan tersebut, diharapkan pelajar dapat mempelajari
kaidah-kaidah yang berlaku. Dengan begitu, mereka akan mampu berbahasa Indonesia
yang baik dan benar.
Jika dapat melakukannya dengan baik, yang dimulai dari lingkungan terkecil seperti
keluarga, lalu diupayakan di lingkungan tetangga, teman pergaulan, bahkan di instansi
22 Bpk Supardi, SDN Cempaka Putih 3
73
pemerintahan seperti dunia pendidikan. Dunia pendidikan juga tidak luput dari kekeliruan
dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Maka, dapat dipastikan akan
tercapainya keberhasilan sesuai yang dicita-citakan. Di samping itu, diharapkan supaya
selalu sadar akan pentingnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta
dengan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi
Selanjutnya ada juga guru yang menghukum murid karena berkata yang tidak sopan
dengan menulis surat.
“Kalau ada siswa yang di sengaja maupun tidak disengaja mengeluarkan bahasayang tidak baik, pasti akan kita tegur mereka untuk tidak mengulangi lagi dan tidakmenggunakan bahasa itu disini, karena memang tidak sesuai dengan diri kita sebagaianak muslim dan apalagi ini adalah madrasah harus bisa menggunakan bahasa yangbaik. Saya khawatir dengan bahasa-bahasa begitu, mereka nantinya keterusan jikatidak kita tegur dan kita beri tahu bahwa itu bukan bahasa Indonesia yang benar . Kitamencoba menerangkan kepada anak-anak supaya di sekolah itu bisa menjagapembicaraan, menjaga bahasanya supaya bisa membiasakan berbahasa yang baikdan benar. Jika ada anak yang menggunakan bahasa yang kasar dan tidak bagus,biasanya karena emosi dengan temannya. Kita disini juga belajar menggunakanbahasa yang baik dan dalam pelajaran akidah kita juga mengkaitkan denganbagaimana menggunakan kalimat-kalimat yang baik. Jadi kita disini berusahasemaksimal mungkin bagaimana caranya supaya mereka tahu bahwa ada bahasa-bahasa dan juga kalimat-kalimat yang tidak tepat digunakan di sekolah, di depanguru, maupun di depan orang tua. Pembiasaan-pembiasaan yang baik harus kitabiasakan sejak sekarang. Paling tidak mereka bisa membaca kondisinya mereka adadimana dan harus menggunakan bahasa seperti apa. Kalau ada murid yang berbicaraatau mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan, biasanya saya suruh anak itu untukmenjelaskan maksud dari perkataan itu tadi dan mengingatkannya. Pernah juga sayamenghukum murid karena berkata yang tidak sopan dengan menulis surat.”23
Dari kutipan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa guru tersebut menerapkan
punishment (hukuman) kepada siswa yang berkata tidak sopan dengan hukuman berupa
menulis surat. Keberhasilan proses belajar mengajar sangat tergantung pada kondisi
siswa, pendidik, dan instansi pendukung. Untuk membuat suatu kondisi yang kondusif
dalam proses pembelajaran maka diperlukan adanya rule atau aturan yang jelas. Dengan
adanya aturan akan memberikan batasan atau rambu-rambu buat siswa dalam bersikap.
Rule atau aturan ini harus disampaikan ketika pertama kali sang guru mengajar juga
diperlukan kekonsistenan seorang guru dalam memberlakukan aturan tersebut, karena
23 Ibu Nurjanah, MI Jamiyatul Khair
74
apabila sang guru tidak konsisten sangat mustahil kedisiplinan dapat diterapkan. Bila
dalam 1 bulan pertama guru dapat menghandle dengan baik, anak-anak sudah disiplin,
maka bulan-bulan berikutnya pembelajaran akan dapat berjalan dengan baik.
Rewards and punishments bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan. Untuk
mengontrol sikap siswa dan memotivasi mereka dalam belajar, rewards dan punisments
dipercaya sebagai cara yang efektif. Pemberian rewards and punishments sangat
berkaitan dengan kedisiplinan, sedangkan kemampuan guru dalam mendisiplinkan anak
seringkali dihubungkan dengan kemampuan guru dalam mengelola kelas. Kemampuan
guru dalam mengelola kelas diakui sebagai keterampilan yang sangat penting agar proses
pengajaran dapat berjalan.
Sebagian guru setuju dengan pendapat bahwa rewards dapat memotivasi anak untuk
berprestasi dengan lebih baik. Ketika anak melakukan hal yang baik dan guru
memberikan rewards, anak-anak semakin bersemangat dan tertantang untuk
melakukannya lebih baik lagi. Memberi lebih banyak rewards lebih baik daripada
memberi punishments. Memotivasi anak untuk melakukan hal positif akan jauh lebih baik
daripada banyak memberi punishments untuk hal-hal negatif.
Namun, beberapa guru yang berpendapat bahwa pemberian rewards and punishments
pada anak justru kurang baik Karena tidak mendidik anak untuk mengembangkan nilai-
nilai dan keterampilan dalam diri mereka. Rewards and punishments hanya bertujuan
sementara yang hanya menginginkan kepatuhan anak-anak. Kalau kita peduli dengan
masa depan anak-anak kita maka nilai-nilai yang baik harus ditanamkan dari dalam diri
mereka. Mungkin rewards and punishments dapat mengubah perilaku mereka, tetapi
hanya sementara saja. Kalau sudah tidak ada rewards, apakah bisa dijamin anak-anak
akan tetap melakukan hal-hal yang baik ?
Menurut Alfie Kohn, pemberian hukuman mengajari anak tetang kekuasaan, bukan
tentang mengapa dan bagaimana berperilaku baik. Menurutnya, ada 2 hal yang bisa guru
lakukan ketika anak berbuat salah, yang pertama ajaklah anak berpikir tentang
konsekuensi apa yang harus dihadapinya, kedua adalah melihatnya sebagai kesempatan
yang baik untuk sama-sama berpikir tentang bagaimana cara guru mengatasi hal ini.
75
Namun seberapa tepat reward dan punishment dilakukan? Hal itu tergantung tipe
siswa seperti apakah dalam kelas tersebut? Menurut Douglas McGregor, manusia
mempunyai kecenderungan menjadi manusia tipe X dan tipe Y. Tipe X digambarkan
sebagai manusia yang pasif, malas dan tidak punya inisiatif dan harus diawasi agar
pekerjaannya bisa selesai dengan baik, karena siswa yang seperti ini cenderung
menghindar dari tanggungjawab, sedangkan manusia tipe Y adalah manusia yang penuh
inisiatif, bertanggungjawab. Orang ini melakukan pengendalian diri dan pengerahan diri
untuk mencapai tujuan yang telah disetujuinya. Dalam kaitan dengan rewards dan
punishments, Siswa dengan kecenderungan tipe Y tidak cocok dengan model
punishments. Rewards lebih cocok bagi mereka, sebagai penghargaan atas kesholehan
yang telah ia lakukan. Bentuk rewards yang diberikan bisa berupa pujian, sedangkan tipe
X, punishments lah yang ditekankan agar mereka dapat menjadi lebih baik dan
mengetahui segala konsekuensi yang harus dia tanggung akibat perbuatannya.
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa rewards and punishments dapat
memotivasi anak untuk menjadi lebih baik, namun di sisi lain kita juga tidak ingin anak-
anak melakukan sesuatu hanya karena ingin mendapatkan rewards dan berhenti berbuat
yang kurang baik karena takut pada hukuman.
Pemberian penghargaan/reward dan punishment merupakan hal yang harus dilakukan
secara bijaksana dalam usaha mengoptimalisasi proses belajar mengajar. Lebih dari
sekedar memberikan pujian dan hukuman instan. Reward dan punishment yang diberikan
sebaiknya terlebih dahulu dirumuskan dan didiskusikan dengan para siswa. Sehingga
sebelum kegiatan belajar mengajar mulai dilakukan di awal tahun pengajaran, siswa telah
mengetahui dan paham terkait‘rambu-rambu’yang akan diterapkan di kelas.
Selain itu, penghargaan perlu dimaknai dengan lebih luas. Menjadi penting untuk
mempertimbangkan reward dan punishment secara matang sebelum diberikan kepada
siswa, dikarenakan sekecil apapun reward dan punishment yang diberikan pada siswa
akan memberikan pengaruh jangka panjang pada pembentukan karakter siswa.
Selain itu ada juga guru menggunakan mengarang untuk melatih berbahasa yang baik
dan benar, karena dari mengarang kita bisa melihat apakah ada bahasa-bahasa dan juga
76
kata-kata yang tidak baku yang ditulis oleh anak-anak, dan juga dengan dibiasakan
mengisi soal-soal latihan.
“Kita para guru sudah seringkali mengajarkan ahlak kepada anak-anak dan jugamengajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kalau ada anak-anak yangberbicara kasar, jorok atau tidak sopan biasanya saya tegur dengan keras. Saya rasayang pas dalam melatih bahasa Indonesia yang baik dan benar pada anak ialah salahsatunya dengan mengarang. Karena dari mengarang kita bisa melihat apakah adabahasa-bahasa dan juga kata-kata yang tidak baku yang ditulis oleh anak-anak. Dananak-anak tersebut saya biasakan untuk mengisi soal-soal latihan. Meskipun anak-anak itu malas membaca kalau ada soal yang berasal dari cerita berparagraf yangpanjang. Anak-anak merasa kelusitan kalau menentukan suatu ide pokok pada sebuahparagraf. Anak-anak menganggap enteng pelajaran bahasa Indonesia danmenyepelekannya dibanding pelajaran lainnya.”24
Dari kutipan pernyataan diatas, dapat kita lihat bahwa guru tersebut memerintahkan
untuk membuat karangan karena dengan menulis karangan, guru bisa melihat apakah
siswa telah paham dan bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kegiatan menulis,
pada dasarnya, merupakan kegiatan yang baik dilakukan oleh siswa. Dengan menulis,
kreativitas siswa dapat ditingkatkan. Dengan menulis, seorang siswa ibarat
membenamkan diri dalam proses kreatif, karena ketika ia menulis, itu berarti siswa
menciptakan sesuatu, yang juga berarti melontarkan pertanyaan-pertanyaan, mengalami
keraguan dan kebingungan, sampai akhirnya menemukan pemecahan, dan ketika proses
kreatif tersebut semakin dilatih, siswa akan semakin mudah untuk mengalihkan
keahliannya kepada bidang lain yang juga membutuhkan solusi kreatif, seperti sekolah
maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Dari kegiatan menulis ini pula siswa dapat
memperoleh manfaat, di antaranya sebagai berikut.
1. Siswa dapat menyatakan perasaannya tentang apa yang dialami dalam bentuk tulisan.
2. Siswa dapat menyatukan pikiran ketika menuangkan ide dengan kata-kata.
3. Siswa dapat menunjukkan kasih kepada sesama, misalnya dengan menulis surat
ucapan terima kasih atau ulang tahun kepada orang tua, teman, atau bahkan guru.
4. Siswa bisa meningkatkan daya ingat dengan cara membuat dan menulis informasi
tentang sesuatu.
24 Ibu Maisaroh, MI Muhammadiyah I Rempoa
77
Mengingat banyaknya manfaat kegiatan menulis bagi siswa, budaya menulis tentu
perlu ditumbuhkembangkan. Untuk itu, pertama-tama, tumbuhkan dulu kecintaan dan
kebiasaan siswa dalam hal membaca. Satu hal yang perlu diingat, menulis sangat
berbeda dengan berbicara. Tentunya komunikasi melalui tulisan cenderung lebih sulit.
Meskipun demikian, bukan tidak mungkin bisikan dan teriakan, seperti ketika berbicara,
diwujudkan dalam bentuk tulisan. Hanya saja, untuk mengungkapkannya dibutuhkan
kecerdasan bahasa. Dan membaca menjadi solusinya. Dengan banyak membaca, rasa
kebahasaan siswa akan berkembang.
Ketika siswa baru memulai menulis, tidak perlu mengajarkan tata bahasa pada siswa.
Sebagian besar pengetahuan ketatabahasaan ini sifatnya berkembang sehingga bisa
dikuasai siswa sedikit demi sedikit. Secara alami, siswa akan belajar berbicara dari
bahasa yang mereka dengar. Siswa juga akan belajar menulis dalam bahasa yang mereka
baca, tentunya bila mereka banyak membaca karena buku adalah masukan untuk tulisan
yang baik.
Menuntut kesempurnaan tulisan siswa adalah kerangka berpikir yang buruk untuk
menjadikannya seorang penulis. Tidak hanya menyingkirkan kreativitas dan keceriaan,
hal tersebut juga bisa menimbulkan kelumpuhan besar bagi penulis. Gunakan kata-kata
pujian sebagai cara yang efektif untuk memotivasi siswa dalam menulis. Untuk saran
dan kritik atas tulisan siswa, tunggu sampai siswa betul-betul mulai menganggap diri
mereka penulis karena saat itu mereka lebih berminat pada cara-cara menulis yang lebih
baik. Namun, tetap usahakan memberi saran dan kritik dengan cara yang hati-hati..
Seperti halnya membaca, selera menulis siswa bisa berbeda-beda. Oleh karena itu,
doronglah mereka untuk menulis sesuatu yang mereka senangi. Tidak menjadi masalah
apa jenis tulisan siswa. Justru semakin banyak jenis tulisan yang dibuat, semakin
terampil pula mereka jadinya.
Berikut ini empat bentuk kegiatan menulis yang bisa dikerjakan guna menumbuhkan
budaya menulis pada siswa.
Menulis Puisi
78
Menulis puisi merupakan cara yang mudah untuk memulai usaha menumbuhkan budaya
menulis pada siswa. Penulisan puisi bisa menggugah rasa kebahasaan lewat permainan
dengan kata-kata dan struktur kalimat. Meskipun menulis puisi mungkin tidak disukai
oleh semua siswa, kita bisa menyediakan berbagai bentuk puisi untuk menunjukkan pada
siswa-siswa bahwa membuat puisi itu mudah dan menyenangkan untuk mengekspresikan
perasaan dan ide pikiran.
Menulis Kalimat Deskripsi
Kegiatan menulis ini dilakukan dengan cara, siswa menuliskan kalimat-kalimat deskripsi
dari gambar-gambar yang mereka miliki. Misalnya, gambar kuda. Ajak siswa
menjelaskan seekor kuda lewat tulisan. Tulisan tersebut bisa dipasang di bawah gambar
kuda yang dimiliki siswa. Kegiatan menulis deskripsi ini dapat merangsang siswa untuk
mengungkapkan suatu bentuk/benda yang dipahami siswa melalui tulisan.
Menulis Doa
Menuliskan doa tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana cara siswa
berkomunikasi dengan Allah. Namun, hal ini dapat menolong siswa untuk lebih mengerti
permohonan doa yang disampaikan dan mengatur cara penyampaian idenya. Menulis doa
sekaligus juga dapat menolong siswa untuk mengetahui bagaimana Allah menjawab doa-
doa mereka.
Menulis Jurnal atau Catatan Harian
Menulis buku harian atau jurnal bisa menjadi aktivitas menulis yang baik bagi siswa.
Kegiatan ini bisa menciptakan hubungan intim antara siswa dan kegiatan tulis-menulis.
Hal ini juga bisa membuat siswa melihat betapa kuatnya tulisan dan banyaknya wawasan
tentang pengalaman sehari-hari yang diperoleh siswa dari tulisan.25
Pada akhirnya, untuk menumbuhkan budaya menulis pada siswa, siswa perlu
dibiasakan dengan tulis menulis itu sendiri dan menjadikan kegiatan menulis sebagai
suatu hal yang menyenangkan. Perlu kerja keras, kesabaran, dan bimbingan untuk
25Puji Arya Yanti, http://pelitaku.sabda.org/menumbuhkan_budaya_menulis_pada_anak
79
meraihnya. Namun hasilnya, siswa akan memetik keuntungan sepanjang hidupnya
melalui kegiatan ini.
Kemudian ada juga guru yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia yang baku,
baik, dan benar di PBM pelajaran bahasa Indonesia, dan dalam melatih berbicara, siswa
biasanya juga bermain peran menjadi reporter cilik, persenter, berdialog, berpuisi dan
lain-lain
“Di dalam pelajaran Bahasa Indonesia, saya mengutamakan sekali penggunaanbahasa Indonesia mulai dari pembukaan PBM. Kebetulan di sekolah ini menggunakan2 bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Khusus pelajaran BahasaIndonesia saya mewajibkan anak berbicara bahasa Indonesia mulai dari pembukaanselama PBM berlangsung. Mulai dari pembukaan sampai penutupan PBM. Dan harusbahasa Indonesia yang baku, baik, dan benar. Baik dalam lisan maupun tulisan.Materi disini sudah sesuai dengan SK dan KD. Dalam melatih berbicara biasanyasiswa dilibatkan bermain peran manjadi reporter cilik, presenter, belajar tentangmembaca dialog, berpuisi dan lain-lain.26 (Ibu Siti Sarah, SDI AL-Fath)
Dari kutipan pernyataan di atas, dapat kita lihat bahwa guru tersebut sangat melatih
keterampilan berbicara siswa dengan cara mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia
yang baku, baik, dan benar di PBM pelajaran bahasa Indonesia. Dan siswa juga bermain
peran menjadi reporter cilik, persenter, berdialog, dan berpuisi. Keterampilan berbicara
merupakan keterampilan mengorganisasikan gagasan secara lisan untuk berbagai tujuan
komunikasi dengan memperhatikan variasi, intonasi (tempo, jeda irama). Menurut
Mulyati, orang yang terampil berbicara adalah orang yang pandai menyampaikan buah
pikirannya dengan bahasa yang baik dan benar, serta pembicaraannya bermakna dan
bermanfaat bagi pendengarnya. Dengan keterampilan berbicara yang dimiliki, tentunya
kegiatan komunikasi yang dilakukan dapat tercapai secara efektif. Tujuan dari pengajaran
keterampilan berbicara yaitu:
1. Mudah dan lancar atau fasih, dalam hal ini siswa harus mendapat kesempatan ysng
besar untuk berlatih berbicara sampai mereka mengembangkan keterampilan ini secara
wajar, lancar, dan menyenangkan baik di dalam kelompok kecil maupun di hadapan
pendengar umum, hal ini dapat dilakukan dengan memberikan latihan kepada siswa.
26 Ibu Siti Sarah, SDI AL-Fath
80
2. Kejelasan, dalam hal ini dimaksudkan agar siswa dapat berbicara dengan tepat dan
jelas, baik artikulasi maupun diksi kalimat-kalimatnya.
3. Bertanggung jawab, latihan berbicara yang bagus menekankan pembicara untuk
bertanggung jawab agar berbicara, dan bagaimana situasi pembicaraan serta
momentumnya.
4. Membentuk pendengaran yang kritis, latihan berbicara yang baik sekaligus
mengembangkan keterampilan menyimak secara tepat dan kritis yang merupakan
menjadi tujuan dari pengajaran keterampilan berbicara ini, dalam hal ini siswa perlu
belajar untuk dapat mengevaluasi kata-kata, niat dan tujuan pembicaraan.
81
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan untuk menulis skripsi dengan
judul: “Peranan Guru dalam Peningkatkan Motivasi Berbicara Bahasa Indonesia yang
Baik dan Benar Siswa pada SD dan MI di Kecamatan Ciputat Timur”. Penulis
mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Para guru selalu menyesuaikan ragam bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi
dengan orang lain sesuai dengan situasi dan kondisi
2. Peran guru dalam meningkatkan motivasi siswa berbahasa Indonesia yang baik dan
benar beraneka ragam mulai dari menghimbau untuk selalu menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar, membiasakan berbahasa Indonesia yang baik dan
benar, memberi hukuman jika ada yang berbicara tidak sopan dan kotor berupa
menulis surat, membiasakan menulis cerita karangan, pidato, puisi, bermain peran
dan menjadi reporter cilik. Peran guru tersebut sudah baik tetapi belum maksimal
karena bahasa Indonesia saat ini sudah terpengaruhi oleh unsur-unsur asing dan
motivasi berbahasa Indonesia yang baik dan benar siswa masih rendah.
B. SARAN
Kita berharap penguasaan keterampilan berbicara bahasa Indonesia dapat dimulai
pada tataran sekolah dasar, sehingga siswa dapat mempraktikkannya dengan baik dan
benar. Bila hal itu berhasil maka amanat yang ada pada Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional dapat tercapai tujuannya dan sekaligus sebagai penghargaan kepada
para tokoh yang memperjuangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Apalagi
kita sebagai generasi penerus bangsa harus dapat mengembangkan dan melestarikan
bahasa Indonesia.
Perlu adanya upaya membiasakan berbahasa Indonesia dalam berbicara pada
saat terjadinya interaksi hubungan antara guru dengan siswa di sekolah. Upaya ini sangat
penting sekali karena dapat membantu tercapainya standar kompetensi lulusan bagi siswa
SD/MI dengan terbiasanya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta
perlu adanya pemecahan terhadap permasalahan di atas. Dibuatnya aturan dari sekolah,
82
keteladanan guru dalam penggunaan bahasa Indonesia, pembelajaran bahasa Indonesia
yang sesuai kompetensi, dan penilaian praktik secara rutin. Hal tersebut akan
memberikan dorongan bagi siswa untuk mempraktikan dalam kehidupan sehari-hari
pada dunia pendidikan. Sungguh ini merupakan penghargaan yang sangat besar bagi
bangsa dalam melestarikan dan mengembangkan bahasa Indonesia
Mengingat adanya upaya yang cukup baik yang dilakukan oleh guru-guru kelas
dalam peranannya perihal peningkatan motivasi berbicara bahasa Indonesia yang baik
dan benar siswa SD dan MI di Kecamatan Ciputat Timur, maka sebagai saran penelitian
ini penulis ajukan sebagai berikut:
1. Guru wajib membiasakan siswanya setiap hari untuk berbahasa Indonesia yang baik
dan benar selama di lingkungan sekolah
2. Guru wajib membiasakan siswanya membuat karangan, berpuisi, bermain drama,
membaca pidato, dan berlatih menjadi reporter cilik pada saat pelajaran bahasa
Indonesia karena akan melatih diri siswa dalam berbahasa Indonesia yang baik dan
benar
3. Guru wajib memberi punishment jika ada siswa yang berkata tidak sopan, kasar, dan
cenderung kotor.
4. Para orangtua harus dihimbau supaya menggunakan bahasa yang baik dan benar di
dalam keluarga Pemerintah harus menambahkan materi yang berisikan pembiasaan
berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar pada kurikulum saat ini.
83
DAFTAR PUSTAKA
Aly, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.1996
Arifin, E. Zaenal, S. Arman Tamsai.2000. Cermat Bebahasa Indonesia: Untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta: Akademika Pressindo
Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta
Chaer, abdul. 2003. Psikologi Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta
Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolingustik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Djiwondono, Sri Esti Wuryani. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta. PT Grasindo
Djumur, et al.,1975. Bimbingan Penyuluhan Sekolah. Bandung: CV. Ilmu
Drajat, Zakiyah.2005. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang
Gani, Ramlan Abdul dan Mahmudah Fitriyah Z.A. 2010. Pembinaan Bahasa Indonesia.
Jakarta: FITK PRESS
http://pbsindonesia.fkip-uninus.org/media.php?module=detail materi&id=6 22 maret 2011 19.00
Mulyasa, H. E. 2009. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Kemandirian
Guru dan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara
Nasution, S. 1986. Didaktik Azas – azas Mengajar. Bandung: Temmars
Nurdin, Syarifudin, M. Basyirudin. 2002. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum.
Jakarta: Ciputat Press
Pemerdiknas, 2009. Undang-undang SISDIKNAS No. 20 Th.2003. Jakarta: Sinar Grafika,
2009
Pidarta, Made. 1992. Landasan Kependidikan: Stimulus Pendidikan Bercorak Indonesia.
Jakarta, Bumi Aksara
Poerwadarminta, WJS. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Purwanto, M. Ngalim. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Rohani, Abu Ahmadi. 1991. Pengelola Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta
Sabri, Alisuf. 1993. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya
Sardiman. 2003. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
84
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Solchan, dkk. 2008. Pendidikan Bahasa Indonesia di SD. Jakarta: Universitas Terbuka
Sudjiono, Anas. 2008. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sugiyono. 2007. Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2007
Syah, Muhibbin. 2011. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Tim Penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. 2003. Kamus
Besar Bahsa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Undang-Undang RI No14 Thn. 2005, Tentang Guru dan Dosen Beserta Penjelasannya.
Bandung: Cintra Umbara
Usman, Uzer. Moh. 2004. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya