LEGALITAS KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DI
PERSIDANGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA
TERORISME DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan Untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh:
Wijaya Ardi
NIM : E0004313
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2008
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
LEGALITAS KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DI
PERSIDANGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA
TERORISME DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN
Disusun Oleh :
WIJAYA ARDI
NIM : E0004313
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
BAMBANG SANTOSO, S.H., M.Hum.
NIP. 131 863 797
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
LEGALITAS KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DI
PERSIDANGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA
TERORISME DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN
Disusun Oleh :
WIJAYA ARDI
NIM : E0004313
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pada
Hari : Selasa
Tanggal : 3 Juni 2008
TIM PENGUJI
1. Kristiyadi, S.H, M.H. ( ................................. ) NIP. 131 569 273
Ketua
2. Edy Herdyanto, S.H., M.H. ( .................................. ) NIP. 131 472 194
Sekretaris
3. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. ( ................................. ) NIP. 131 863 797 Anggota
Mengetahui,
Dekan
( Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. )
NIP. 131 570 154
iv
ABSTRAK
WIJAYA ARDI. E0004313. LEGALITAS KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DI PERSIDANGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA TERORISME DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Penulisan Hukum 2008.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui legalitas keterangan saksi yang dibacakan di persidangan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana terorisme di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berdasarkan putusan Perk. No. 1783/Pid.B/2004/PN.Jak-Sel Tanggal 3 Maret 2005
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum normatif atau doktrinal. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara identifikasi isi data-data sekunder hasil dari studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Berdasarkan dari jenis penelitiannya, maka teknik analisis data yang digunakan penulis adalah content analysis atau analisis isi, yaitu berupa teknik yang digunakan dengan cara melengkapi analisis dari suatu data sekunder.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa proses pembuktian menganut prinsip adanya keharusan menghadirkan saksi-saksi di persidangan. Akan tetapi, hal tersebut bukan hal yang mutlak, sehingga keterangan saksi-saksi yang tidak dapat hadir boleh atau dapat dibacakan di persidangan apabila memenuhi salah satu alasan yang disebutkan dalam Pasal 162 (1) KUHAP. Dengan demikian, sebelum membacakan keterangan saksi yang telah dibuat dalam BAP penyidikan, harus dicari terlebih dahulu alasan saksi tidak menghadiri persidangan apakah alasan itu memenuhi rumusan yang disebutkan dalam Pasal 162 (1) KUHAP. Keterangan saksi-saksi yang dibacakan di persidangan dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila keterangan sebelumnya di proses penyidikan diberikan di bawah sumpah.
v
MOTTO
Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan
- Amsal 1 : 7 -
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya
- Pengkhotbah 3 : 11 -
Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang
memberi kekuatan kepadaku
- Filipi 4 : 13 -
Saya bukan apa-apa. Saya hanyalah sebuah alat. Sebuah
pensil kecil di dalam tangan Tuhan, dimana Tuhan
menggunakannya untuk menulis apa yang dikehendakiNya.
Kendatipun kita tidak sempurna.
Dia menulis secara indah.
- Bunda Teresa -
vi
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini saya
persembahkan kepada :
§ Bapak dan Ibuku yang
mensuport
pendidikanku;
§ Kakakku yang salalu
membantuku;
§ Ita Cahyani, yang
telah membiarkan aku
ada dalam hidupnya.
vii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus sumber harapan sejati, atas
segala bimbingan dan kasihNya sehingga terselesaikannya karya penelitian ini,
begitu banyaknya ilmu dan pengetahuan yang didapat dalam proses ini.
Penulisan hukum ini membahas tentang bagaimanakah legalitas
keterangan saksi yang dibacakan di persidangan dalam pemeriksaan perkara
tindak pidana terorisme di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berdasarkan putusan
Perk. No. 1783 / Pid.B / 2004 / PN.Jak-Sel Tanggal 3 Maret 2005 dimana yang
menjadi terdakwa adalah ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS SOMAD alias
ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR
Proses pembuktian perkara pidana adalah untuk mencari tahu benar atau
tidaknya telah terjadi peristiwa pidana dan mencari tahu apakah benar terdakwa
yang bersalah. Pembuktian yang dimaksud harus dilakukan di sidang pengadilan
untuk menguji kebenaran dari isi surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum
berdasarkan alat-alat bukti yang sah dimana salah satunya adalah keterangan
saksi. Fenomena yang sering terjadi dalam dunia peradilan kita, khususnya dalam
tahap sidang pengadilan, yaitu adanya keterangan saksi dalam Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) penyidikan yang dibacakan dalam persidangan. Hal ini
disebabkan karena jaksa yang bersangkutan tidak mampu menghadirkan saksi-
saksi di persidangan, khususnya terhadap saksi yang memberatkan ( a charge ),
sehingga seringkali keterangan saksi-saksi yang diberikan dalam BAP dibacakan
dalam persidangan
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian penelitian ini tidak
dapat terlaksana dengan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada
viii
kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu terselesaikannya penelitian ini, terutama kepada:
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum
melalui penelitian.
2. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku pembimbing penulisan
skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk
memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini.
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara.
4. Bapak Sugeng Praptono, S.H., M.H. selaku pembimbing akademis,
atas nasehat yang berguna bagi penulis selama belajar di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberkan ilmu pengetahuan umumnya dan
ilmu hukum khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal
dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam
kehidupan masa depan penulis.
6. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) dalam mengurus prosedur-prosedur
skripsi mulai dari pengajuan judul skripsi, pelaksanaan seminar
proposal sampai dengan pendaftaran ujian skripsi.
7. Staf dan Karyawan bagian Pengajaran, atas kelancaran dalam
mengurus surat-surat persyaratan penulisan skripsi dan ujiannya.
8. Staff dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret atas kemudahan mencari bahan-bahan referensi untuk
penulisan penelitian ini.
9. Ayahanda Sulardi dan Ibunda Intan Hardanti, S.H. tercinta yang telah
memberikan segalanya kepada penulis, semoga Ananda dapat
membalas budi jasa kalian dengan memenuhi harapan kalian kepada
Ananda.
ix
10. Kakakku Wahyu Atria, S.S. yang selalu meminjami laptop untuk
mengerjakan skripsi.
11. Ita Cahyani Amd.Keb. yang selalu setia menemani penulis, yang selalu
memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis, yang selalu
memberikan cintanya kepada penulis.
12. Keluarga besarku, keluarga Permadi Agus S di Jakarta dan keluarga
Totok M. di Ungaran.
13. Teman-teman ”Koyo Wong” Community dan teman kost penulis yang
penuh canda dan tawa.
14. Pihak-pihak yang belum sempat penulis sebutkan, yang selalu
tersimpan di hati penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang
membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya
tulis ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Surakarta, Juni 2008
WIJAYA ARDI
E 0004313
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... iii
ABSTRAK................................................................................................... iv
HALAMAN MOTTO.................................................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. vii
DAFTAR ISI................................................................................................ x
DAFTAR BAGAN ....................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian.................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian.................................................................. 5
E. Metode Penelitian................................................................... 5
F. Sistematika Penulisan Hukum................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ....................................................................... 11
1. Tinjauan Tentang Proses Pemeriksaan Perkara Pidana di
Persidangan …………………………………………….. 11
2. Tinjauan Tentang Pembuktian ......................................... 18
a. Pengertian Pembuktian …………………………... 18
b. Sistem Pembuktian ………………………………. 19
c. Alat Bukti ………………………………………... 21
xi
3. Tinjauan Tentang Kesaksian …………………………… 25
a. Pengertian Saksi dan Kesaksian …………………. 25
b. Syarat-syarat Memberi Kesaksian ……………….. 26
4. Tinjauan Tentang Terorisme …………………………… 29
B. Kerangka Pemikiran................................................................ 33
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Legalitas Keterangan Saksi yang Dibacakan di Persidangan
Dalam Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Terorisme di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan...............................................
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................ 62
B. Saran....................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA
35
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) yang
dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut.
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa tersebut dapat dipersalahkan”(Andi Hamzah,1996: 7-8).
Proses pembuktian perkara pidana adalah untuk mencari tahu benar
atau tidaknya telah terjadi peristiwa pidana dan mencari tahu apakah benar
terdakwa yang bersalah. Pembuktian yang dimaksud harus dilakukan di
sidang pengadilan untuk menguji kebenaran dari isi surat dakwaan yang
dibuat oleh penuntut umum berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat-alat bukti yang
sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.
Alat-alat bukti yang telah disebutkan di atas salah satunya adalah
keterangan saksi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 (1) huruf a
xiv
KUHAP. Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah :
Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari
pengetahuannya itu. Dari pengertian keterangan saksi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa hal-hal yang bersifat pendapat, hasil rekaan, dan
keterangan yang diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) bukan
merupakan keterangan saksi, sehingga tidak dapat dijadikan alat bukti
yang sah.
Sebagai warga negara yang baik adalah mengetahui hak dan
kewajibannya. Salah satu kewajiban yang dibebankan hukum kepada
setiap warga negara, ikut membela kepentingan umum dimana salah satu
aspek pembelaan kepentingan umum, ikut ambil bagian dalam
penyelesaian tindak pidana, apabila dalam penyelesaian itu dibutuhkan
keterangannya (M. Yahya Harahap, 2002: 168). Bertitik tolak dari
pemikiran di atas, menjadi landasan bagi pembuat undang-undang untuk
menetapkan kesaksian sebagai “kewajiban” bagi setiap orang. Penegasan
tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP sebagai
berikut :
1. menjadi saksi adalah “kewajiban hukum”,
2. orang yang menolak memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu
sidang pengadilan, dapat dianggap sebagai penolakan terhadap
kewajiban hukum yang dibebankan undang-undang kepadanya,
3. orang yang menolak kewajiban memberi keterangan sebagai saksi
dalam sidang pengadilan, dapat dikenakan pidana berdasarkan
ketentuan undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan dan penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP
tersebut, disimpulkan bahwa memberikan keterangan sebagai saksi dalam
pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan adalah kewajiban bagi
setiap orang.
xv
Pemeriksaan saksi yang hadir dalam persidangan bertujuan untuk
mendengar keterangan saksi tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar,
dan dialaminya sehubungan dengan peristiwa pidana yang sedang
diperiksa. Tata cara pemeriksaan saksi menurut Yahya Harahap adalah
sebagai berikut :
1. Saksi dipanggil dan diperiksa seorang demi seorang;
2. Memeriksa identitas saksi;
3. Saksi “wajib” mengucapkan sumpah;
4. Saksi memberikan keterangan apa yang diketahui, dilihat,
didengar, dan dialaminya (M. Yahya Harahap, 2002: 172-174).
Permasalahan muncul ketika saksi tidak dapat hadir di persidangan
untuk memberikan keterangan tentang apa yang ia dengar sendiri, lihat
sendiri, dan ia alami sendiri. Ada berbagai alasan yang dikemukakan oleh
saksi untuk tidak hadir dalam proses pemeriksaan saksi di sidang
pengadilan. Karena saksi tidak hadir dalam persidangan, maka keterangan
dari saksi yang telah diberikan kepada penyidik dalam BAP penyidikan
dibacakan di depan sidang pengadilan.
Kewajiban hukum (legal obligation) bagi setiap orang untuk
menjadi saksi dalam perkara pidana yang dibarengi pula dengan kewajiban
mengucapkan sumpah menurut agama yang dianutnya bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya tentang apa yang diketahui,
dilihat, didengar, dan dialaminya sehubungan dengan perkara yang
bersangkutan. Pengucapan sumpah atau janji merupakan kewajiban, tidak
ada jalan lain bagi seorang saksi untuk menolak mengucapkannya, kecuali
penolakan itu mempunyai alasan yang sah. Pihak yang boleh diperiksa
memberi keterangan tanpa sumpah, hanya mereka yang disebut pada
Pasal 171 KUHAP, yaitu anak yang umurnya belum cukup lima belas
tahun dan belum pernah kawin serta orang sakit ingatan atau sakit jiwa.
xvi
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk
melakukan penulisan hukum dengan judul :
“LEGALITAS KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DI
PERSIDANGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK
PIDANA TERORISME DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA
SELATAN”
B. Rumusan Masalah
Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah
untuk mengidentifikasi persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang
hendak dicapai menjadi jelas, tegas dan terarah. Dalam penelitian ini,
penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimana legalitas keterangan saksi yang dibacakan di persidangan
dalam pemeriksaan perkara tindak pidana terorisme di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan arah yang tepat
dalam proses penelitian yang dilakukan agar penelitian berjalan sesuai
dengan apa yang dikehendaki. Oleh karena itu dalam penyusunan skripsi
ini tujuan yang hendak dicapai penulis adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui legalitas keterangan saksi yang dibacakan di
persidangan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana
terorisme di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
2. Tujuan Subyektif
a Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar
strata satu dalam bidang ilmu hukum.
xvii
b Untuk menambah wawasan dalam memperluas pemahaman
akan arti penting ilmu hukum dalam teori.
D. Manfaat Penelitian
Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat atau
kegunaan yang dapat diambil dari penelitian, sebab besar kecilnya manfaat
penelitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun
yang menjadi manfaat dari penelitian ini dibedakan antara manfaat teoritis
dan manfaat praktis, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan
bidang Ilmu Hukum.
b. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta
pengetahuan Hukum Acara Pidana, Hukum Pembuktian dan
Hukum Acara Tindak Pidana Khusus.
c. Sebagai bahan untuk mengadakan penelitian yang sejenis
berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a Memberikan jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan
dalam penelitian ini.
b Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan
untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu
yang diperoleh.
c Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-
pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini.
E. Metodologi Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
xviii
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu
(Soerjono Soekanto, 1986: 42).
Metode penelitian merupakan faktor yang penting dan menunjang
proses penyelesaian suatu permasalahan yang akan dibahas, dimana
metode merupakan cara utama yang akan digunakan untuk mencapai
tingkat ketelitian jumlah dan jenis yang dihadapi. Dengan mengadakan
klasifikasi yang didasarkan pada pengalaman, maka dapat ditentukan
jenis-jenis metode penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini
termasuk kedalam kategori penelitian normatif atau penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun
secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk
menyusun penulisan hukum, maka akan dipergunakan metode
penelitian deskriptif. Adapun pengertian penelitian deskriptif yaitu
penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan atau hipotesa-hipotesa agar dapat membantu di
dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam penyusunan teori-
teori baru (Soerjono Soekanto, 1986: 2). Berdasarkan pengertian
tersebut di atas, metode penelitian ini dimaksudkan untuk
menggambarkan dan menguraikan tentang legalitas keterangan saksi
yang dibacakan di persidangan dalam pemeriksaan perkara tindak
pidana terorisme di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
xix
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif yang dimaksudkan untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, tindakan, secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
4. Jenis Data
Pengertian data secara umum, yaitu semua informasi
mengenai variabel atau obyek yang diteliti. Lazimnya dalam
penelitian dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari
masyarakat dan dari buku pustaka. Data yang diperoleh langsung dari
masyarakat disebut data primer atau primary data dan data yang
diperoleh dari buku pustaka disebut data sekunder atau secondary
data (Soerjono Soekanto, 1986:11)
Jenis data yang digunakan pada penelitian hukum ini adalah
data sekunder, meliputi data yang diperoleh dengan cara penelitian
kepustakaan/ melalui literatur-literatur, himpunan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, hasil penelitian yang berwujud
laporan, maupun bentuk-bentuk lain yang berkaitan dengan penelitian.
5. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian hukum (skripsi) ini adalah
sumber data sekunder, yang diperoleh dari:
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
terdiri dari :
a) Putusan pengadilan dalam putusan putusan Perk. No. 1783/Pid.
B/2004/PN.Jak-Sel Tanggal 3 Maret 2005;
b) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
xx
c) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, menjadi undang-undang;
d) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman;
e) Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.
2) Bahan hukum sekunder yang meliputi bahan-bahan yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti
bahan-bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah,
literatur, majalah serta surat kabar.
3) Bahan Hukum Tertier, yang memberikan petunjuk maupuan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya
adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya
(Soerjono Soekanto, 1986 : 52).
6. Teknik Pengumpul Data
Berdasarkan jenis penelitian yang merupakan penelitian
normatif maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara identifikasi
isi data-data sekunder hasil dari studi kepustakaan untuk
mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti.
7. Analisis Data
Agar data yang terkumpul dapat dipertanggungjawabkan dan
dapat menghasilkan jawaban yang tepat dari suatu permasalahan, maka
perlu suatu teknik analisis data yang tepat. Analisis data merupakan
langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu
laporan. Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan
xxi
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari (Lexy J. Moleong, 1988: 248). Berdasarkan dari jenis
penelitiannya, maka teknik analisis data yang digunakan penulis adalah
content analysis atau analisis isi, yaitu berupa teknik yang digunakan
dengan cara melengkapi analisis dari suatu data sekunder.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mempermudah pemahaman dalam pembahasan dan untuk
memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi skripsi,
penulis menjabarkan dalam bentuk sistematika skripsi sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis menguraikan tentang latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan bagian pertama tentang kerangka
teori yang berisi tinjauan kepustakaan sebagai literatur
pendukung dalam pembahasan masalah penulisan hukum
ini. Tinjauan pustaka dalam penulisan ini meliputi
tinjauan tentang proses pemeriksaan perkara pidana di
persidangan, tinjauan tentang pembuktian, tinjauan
tentang kesaksian dan tinjauan tentang terorisme. Bagian
kedua adalah kerangka pemikiran yang disajikan dalam
bentuk narasi maupun bagan.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian tentang
legalitas keterangan saksi yang dibacakan di persidangan
dalam pemeriksaan perkara tindak pidana terorisme di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Diuraikan pula
xxii
mengenai pembahasan yang dilakukan terhadap teori
yang diperoleh dari hasil penelitian, kemudian dianalisis
dengan kajian pustaka, rumusan masalah dan tujuan
penelitian.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini diuraikan mengenai pokok-pokok yang
menjadi simpulan dan saran dari hasil penelitian, dengan
berpedoman pada hasil penelitian dan pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA
xxiii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Proses Pemeriksaan Perkara Pidana di
Persidangan
Pemeriksaan perkara pidana secara garis besar, terlihat dalam urut-
urutan dibawah ini:
a. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum (Pasal 153
ayat (3) KUHAP)
Ketentuan tersebut merupakan perwujudan dari fair trial,
sehingga masyarakat dapat ikut mengontrol jalannya
persidangan. Pengecualian terhadap ketentuan tersebut apabila
memeriksa perkara kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
b. Terdakwa dipanggil (Pasal 154 ayat (1) KUHAP)
Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa
dipanggil masuk ke ruang sidang.
c. Pembacaan surat dakwaan (Pasal 155 ayat (2) KUHAP)
Pembacaan surat dakwaan dilakukan untuk perkara yang
diproses dengan acara biasa, sedangkan untuk perkara singkat,
yang dibaca adalah catatan dakwaan.
d. Keberatan atau eksepsi dari penasehat hukum/ terdakwa
(Pasal 156 ayat (1) KUHAP)
Isi keberatan tersebut dapat berupa :
1) bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara;
2) dakwaan tidak dapat diterima;
3) dakwaan harus dibatalkan.
xxiv
e. Pendapat penuntut umum (Pasal 156 ayat (1) KUHAP)
Atas keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau
penasehat hukum, penuntut umum diberi kesempatan untuk
menyatakan pendapatnya.
f. Putusan sela (Pasal 156 ayat (2) KUHAP)
Atas keberatan dan tanggapan tersebut, hakim ketua
sidang dapat memutus dengan putusan sela. Jika keberatan
diterima, perkara tidak dapat dilanjutkan. Sebaliknya jika
keberatan ditolak, maka perkara bisa dilanjutkan.
g. Pemeriksaan materi perkara (alat bukti)
Apabila pemeriksaan dilanjutkan, maka dilakukan
pemeriksaan terhadap alat-alat bukti dan barang bukti
(pemeriksaan materi perkara) :
1) Alat bukti keterangan saksi;
2) Alat bukti keterangan ahli;
3) Alat bukti surat;
4) Alat bukti petunjuk;
5) Alat bukti keterangan terdakwa;
6) Barang bukti.
h. Penuntut umum membacakan tuntutan (Rekuisitor)
Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian surat
dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di
persidangan dan kesimpulan penuntut umum tentang kesalahan
terdakwa disertai dengan tuntutan pidana.
i. Terdakwa atau penasehat hukum membacakan pembelaan
(Pledoi)
Pledoi adalah tangkisan terhadap pembuktian yang
dibacakan penuntut umum dalam tuntutan pidana dan terdakwa
maupun penasehat hukumnya berusaha mengajukan bukti balik
dari pembuktian yang diajukan penuntut umum dimuka sidang.
Pembelaan tidak lepas dari eksistensinya bantuan hukum.
xxv
j. Penuntut umum membacakan jawaban atas pembelan (Replik)
Replik adalah jawaban atau tanggapan penuntut umum
terhadap pledoi yang diajukan tedakwa atau penasehat
hukumnya.
k. Terdakwa atau penasehat hukum membacakan duplik
Duplik adalah tanggapan atau bantahan terhadap replik.
Dalam pelaksanaan proses pemeriksaan perkara pidana di
persidangan terdapat pihak-pihak yang berhubungan, antara lain :
a. Hakim (majelis/ tunggal)
Sesuai dengan Pasal 1 angka 8 KUHAP, pengertian
hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili.
b. Jaksa/ penuntut umum
Dalam Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP disebutkan
pengertian dari jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut
umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan Penuntut
umum dijelaskan dalam Pasal 1 angka 6 huruf b yang berbunyi:
penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.
c. Terdakwa
Menurut Pasal 1 angka 15 KUHAP, terdakwa adalah
seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan.
d. Penasehat hukum
Pengertian penasehat hukum sesuai Pasal 1 angka 13
KUHAP adalah seorang yang memenuhi syarat yang
xxvi
ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi
bantuan hukum.
KUHAP membedakan tata cara pemeriksaan perkara pidana di
sidang pengadilan dibagi kedalam tiga bentuk, yaitu :
a. Proses acara pemeriksaan biasa
Proses ini dimulai hakim ketua sidang membuka sidang
dan menyatakan sidang terbuka untuk umum, kecuali dalam
perkara mengenai kesusilalaan atau terdakwanya anak-anak
(Pasal 153 ayat (3) KUHAP) dan pemeriksaan itu dilakukan
secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh
terdakwa dan saksi (Pasal 152 ayat (2a) KUHAP), apabila
kedua ketentuan tersebut tidak terpenuhi maka batal demi
hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 153 ayat (4) KUHAP.
Pihak yang dipanggil pertama adalah terdakwa, apabila
terdakwa tidak hadir maka hakim ketua sidang akan meneliti
apakah terdakwa telah dipanggil secara sah, apabila terdakwa
tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah
untuk kedua kalinya, maka dihadirkan dengan paksa pada
sidang pertama berikutnya sesuai Pasal 154 ayat (6) KUHAP.
Ketika terdakwa hadir dalam persidangan, mula-mula hakim
ketua menanyakan identitas terdakwa serta mengingatkan
terdakwa untuk memperhatikan segala sesuatu yang didengar
dan dilihatnya di persidangan (Pasal 155 ayat (1) KUHAP).
Sesudah itu hakim ketua sidang mempersilahkan penuntut
umum untuk membacakan surat dakwaannya. Setelah
pembacaan dan penjelasan surat dakwaan oleh penuntut umum,
maka terdakwa dan penasehat hukumnya dapat mengajukan
keberatan tentang pengadilan tidak berwenang memeriksa
perkara tersebut atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
dakwaan harus dibatalkan.
xxvii
Apabila terdakwa atau penasehat hukumnya
menyatakan keberatan, penuntut umum diberi kesempatan
untuk menyatakan pendapatnya, kemudian hakim
mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya
mengambil keputusan (Pasal 156 ayat (1) KUHAP). Jika
keberatan itu diterima oleh hakim, maka perkara itu tidak
diperiksa lebih lanjut, dan untuk ini penuntut umum dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui
pengadilan negeri yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 156
ayat (2) dan (3). Apabila keberatan tidak diterima maka proses
persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi dan alat
bukti yang ada. Untuk keterangan mengenai saksi dan alat
bukti akan dipaparkan pada tinjauan selanjutnya.
Setelah pemeriksaan sidang dipandang sudah selesai,
maka penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Sesudah
itu, terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan
pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum,
dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukum selalu
mendapat giliran terakhir. Semua ini dilakukan secara tertulis
dan setelah dibacakan diserahkan kepada hakim ketua sidang
dan turunnya kepada pihak yang berkepentingan sesuai
Pasal 182 ayat (1) KUHAP. Setelah itu hakim ketua sidang
menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan
ketentuan dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan
hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan
penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum dengan
memberikan alasannya (Pasal 182 ayat (2) KUHAP).
b. Proses acara pemeriksaan singkat
Ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa berlaku juga
bagi pemeriksaan singkat, kecuali ditentukan lain. Hal tersebut
xxviii
dapat dilihat dalam Pasal 203 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:
“Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu,
Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini sepanjang peraturan
itu tidak bertentangan dengan ketentuan di bawah ini:
a.1. penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di
sidang menjawab segala pertanyaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) memberitahukan
dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa
tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya
dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan
pada waktu tindak pidana itu dilakukan;
a.2. pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang
dan merupakan pengganti surat dakwaan;
2. dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan
tambahan, supaya diadakan pemeriksaan tambahan
dalam waktu paling lama empat belas hari dan
bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum
belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan
tambahan, maka hakim memerintahkan perkara itu
diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa;
3. guna kepentingan pembelaan, maka atas permintaan
terdakwa dan atau penasihat hukum, hakim dapat
menunda pemeriksaan paling lama tujuh hari;
4. putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat
dalam berita acara sidang;
5. hakim memberikan surat yang memuat amar
putusan tersebut;
6. isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang
sama seperti putusan pengadilan dalam acara biasa”.
xxix
Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 203 ayat (1)
KUHAP, hal-hal yang diperiksa menurut acara pemeriksaan
singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak
termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut
umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan
sifatnya sederhana.
c. Proses acara pemeriksaan cepat
Pemeriksaan cepat menurut KUHAP dibagi menjadi
dua, yaitu :
1) Acara pemeriksaan tindak pidana ringan
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 205
ayat (1) KUHAP yang berbunyi : “Yang diperiksa
menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah
perkara yang diancam dengan pidana penjara atau
kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda
sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan
penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam
Paragraf 2 Bagian ini”.
2) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalulintas
jalan raya.
Hal tersebut tercantum dalam Pasal 211
KUHAP yang berbunyi : “Yang diperiksa menurut
acara pemeriksaan pada Paragraf ini ialah perkara
pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-
undangan lalu lintas jalan”.
Asas-asas yang digunakan dalam proses peradilan pidana adalah
sebagai berikut :
a. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah;
b. Asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence);
c. Asas oportunitas;
xxx
d. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum;
e. Asas semua orang diperlakukan sama di depan hakim;
f. Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan
tetap;
g. Asas tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan
hukum;
h. Asas akusator dan inkisitor (accusatoir dan inqquisitoir);
i. Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan (Andi
Hamzah, 1996:10-24)
2. Tinjauan Tentang Pembuktian
a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan salah satu hal yang penting dalam
menentukan kebenaran atas dakwaan yang didakwakan kepada
terdakwa dalam suatu persidangan. Oleh karena itu, pembuktian perlu
diketahui secara mendalam.
Menurut Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-
ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan
boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang
didakwakan (M. Yahya Harahap, 2002:273).
Sedangkan menurut Darwan Prints, yang dimaksud pembuktian
adalah bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang salah melakukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya (Darwan Prints, 1998:133). Pembuktian
tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim untuk
memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian
tentang perkara yang diajukan.
xxxi
Sudikno berpendapat bahwa membuktikan mengandung tiga
pengertian yaitu membuktikan dalam arti logis, membuktikan dalam
arti konvensional, dan membuktikan dalam hukum atau mempunyai
arti yuridis (Sudikno Mertokusumo, 1981: 91). Membuktikan
mempunyai pengertian-pengertian :
1) Memberi (memperlihatkan bukti);
2) Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran melaksanakan
(cita-cita dan sebagainya);
3) Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu itu benar);
4) Meyakinkan, menyaksikan.
Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang
disusun dan didapat dari jejak, kesan, dan refleksi dari keadaan dan
atau benda yang berdasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan
masa lalu yang diduga menjadi perbuatan pidana. Suatu pembuktian
menurut hukum pada dasarnya untuk menentukan substansi atau
hakekat adanya fakta-fakta masa lalu yang tidak terang menjadi fakta
yang terang.
b. Sistem Pembuktian
Dalam ilmu hukum, kita kenal empat jenis sistem atau teori
pembuktian, yaitu :
1) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif
(positif wettelijke bewijsteorie).
Sistem ini berkembang diabad pertengahan, dan saat ini
sudah mulai ditinggalkan. Dikatakan secara positif karena
hanya didasarkan kepada undang-undang, artinya jika telah
terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebut
oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan
sama sekali
xxxii
2) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atau sistem
keyakinan belaka (conviction intime).
Dalam sistem ini sama sekali tidak membutuhkan suatu
peraturan tentang pembuktian dan menyerahkan segala sesuatu
kepada kebijaksanaan hakim. Menurut sistem ini hakim tidak
terikat kepada alat-alat bukti tertentu, hakim harus memutus
tentang kesalahan terdakwa berdasarkan keyakinannya belaka.
3) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim dengan alasan
yang logis (la convictio raisonee).
Bahwa hakim dapat memutuskan seseorang bersalah
berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada
dasar-dasar pembuktian disertai dengan kesimpulan yang
berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
Hakim bebas untuk menentukan macam dan banyaknya alat-
alat bukti yang dipandang cukup untuk menetapkan kesalahan
terdakwa, satu-satunya peraturan yang mengikat kepadanya
ialah bahwa dalam keputusannya hakim harus menyebutkan
pula alasan-alasannya.
4) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif
(negatief wattelijke)
Dalam sistem ini hakim dapat memutuskan seseorang
bersalah berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang
ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang sehingga hakim
memperoleh keyakinan akan hal itu (Andi Hamzah, 1996:247-
253).
Perkataan negatif dipakai untuk menunjukkan bahwa
adanya bukti-bukti yang disebutkan dalam undang-undang dan
cara mempergunakannya disebut juga dalam undang-undang
itu, belum berarti hakim musti menjatuhkan hukuman. Hal
xxxiii
tersebut masih tergantung dengan keyakinan hakim atas
kebenarannya.
Sistem pembuktian negatif ini dapat kita lihat dalam
Pasal 183 (KUHAP) yang berbunyi : “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Sistem pembuktian di Indonesia hanya mengakui alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang yang dapat digunakan untuk
pembuktian. Dalam pembuktian ini penuntut umum membuat surat
dakwaan dan oleh karena itu, ia bertanggung jawab untuk menyusun
alat bukti dan pembuktian tentang kebenaran surat dakwaan atau
tentang kesalahan terdakwa, bukan sebaliknya terdakwa yang harus
membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Hakim dalam menjatuhkan
putusan akan menilai semua alat bukti yang sah untuk menyusun
keyakinan hakim dengan mengemukakan unsur-unsur kejahatan yang
didakwakan itu terbukti dengan sah atau tidak, serta menetapkan
pidana apa yang harus dijatuhkan kepadanya setimpal dengan
perbuatannya (Martiman Prodjohamijaya, 1983:19).
c. Alat bukti
Bukti yaitu sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil
atau pendirian atau dakwaan. Alat-alat yang diperkenankan untuk
dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana disebut
dakwaan di sidang pengadilan misalnya : keterangan terdakwa,
keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk (Andi
Hamzah,1996: 254).
xxxiv
Alat bukti yang sah adalah alat–alat yang ada hubungannya
dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan
keyakinan bagi hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang
telah dilakukan oleh terdakwa. Adapun alat-alat bukti yang sah
menurut Pasal 184 (1) KUHAP adalah :
1) Keterangan saksi
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti tercantum
dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a, sedangkan keterangan lebih
rinci mengenai keterangan saksi dijelaskan pada Pasal 185
KUHAP. Poin penting dalam pasal tersebut adalah
keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya. Jadi dalam hal ini harus ada
lebih dari satu saksi atau dapat pula satu saksi yang didukung
oleh alat bukti yang sah lainnya.
2) Keterangan ahli
Dalam KUHAP keterangan ahli diatur dalam Pasal 186
yang berbunyi : “Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan.” Penjelasan dari pasal
tersebut berbunyi : ”Keterangan ahli dapat juga diberikan
pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum
yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat
dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau
pekerjaan”. dari pengertian tersebut dapt dijelaskan bahwa
keterangan ahli dapat juga diberikan di luar sidang yaitu pada
waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum.
3) Surat
Dalam Pasal 187 KUHAP, yang dimaksud surat
sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c
xxxv
KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah, adalah:
a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang
dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang
dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat
atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan;
c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
dari padanya;
d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain.
Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan
dengan pemeriksaan saksi-saksi dan pemeriksaan terdakwa.
Pada saat pemeriksaan saksi, dinyatakan mengenai surat-surat
yang ada keterkaitan dengan saksi yang bersangkutan kepada
terdakwa pada saat memeriksa terdakwa (Leden
Marpaung,1992: 395).
4) Petunjuk
Pengaturan tentang alat bukti petunjuk terdapat dalam
Pasal 188 KUHAP, yang berbunyi :
xxxvi
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,
yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat diperoleh dari ;
(a) keterangan saksi;
(b) surat;
(c) keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu
petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan
oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
5) Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti diatur dalam
Pasal 189 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa
nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang
dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti
di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh
suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal
yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan
terhadap dirinya sendiri.
xxxvii
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti yang lain.
3. Tinjauan Tentang Kesaksian
a. Pengertian Saksi dan Kesaksian
Pengertian saksi dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan pada
butir 27 dijelaskan tentang arti keterangan saksi adalah salah satu
alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu. Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa unsur-unsur dari keterangan saksi adalah :
1) Keterangan dari orang (saksi);
2) Mengenai suatu peristiwa pidana;
3) Peristiwa itu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri.
Dalam kamus besar bahasa indonesia pengertian saksi adalah
orang yang terlibat (dianggap) mengetahui terjadinya tindak pidana,
kejahatan atau suatu peristiwa. Keterangan yang didengar atau
diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) bukanlah suatu
kesaksian. Terhadap keterangan saksi, hakim menilai kebenarannya
dengan menyesuaikan keterangan keterangan saksi satu dengan yang
lainnya, keterangan saksi dengan alat bukti sah yang ada.
xxxviii
Jenis saksi dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1) Saksi A charge yakni saksi dalam perkara pidana yang
dipilih dan diajukan oleh penuntut umum dikarenakan
kesaksiannya memberatkan terdakwa.
2) Saksi A de charge yakni saksi yang dipilih atau ditunjuk oleh
penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum yang
sifatnya meringankan terdakwa
b. Syarat-syarat Memberi Kesaksian
Syarat sahnya suatu kesaksian dapat digunakan sebagai alat
bukti dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1) Syarat materiil
Syarat ini diatur dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang
menyebutkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti
dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Oleh sebab itu keterangan
yang berasal dari orang lain atau testimonium de auditu tidak
dapat disebut sebagai kesaksian dan sebagai alat bukti.
Menurut M Amin yang dikutip oleh A Karim Nasution
Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan mengenai hal yang didengar, dilihat atau diakui bukan oleh saksi sendiri, akan tetapi oleh orang lain kepadanya mengenai kenyataan-kenyataan dan hal yang didengar, dilihat atau dialami sendiri orang tersebut ( A Karim Nasution, 1976:55).
Selain itu seorang saksi harus dapat menyebutkan
alasan dari kesaksiannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP).
2) Syarat formil
a) Keterangan saksi harus diberikan dibawah sumpah
xxxix
Dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP disebutkan:
“Sebelum memberi keterangan, saksi wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing, bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak
lain daripada yang sebenarnya”.
b) Keterangan saksi harus diberikan di sidang
pengadilan
Pada Pasal 185 ayat (1) KUHP menentukan
bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa
yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Maksudnya adalah keterangan saksi yang diberikan
di sidang pengadilan saja yang merupakan alat bukti
yang sah.
syarat formil lain untuk menjadi seorang saksi
adalah :
(1) Dewasa, telah berumur 15 tahun atau pernah
kawin,
(2) Sehat akal,
(3) Tidak ada hubungan keluarga, pertalian darah
atau perkawinan dengan terdakwa (Imam
Soetikno dan Robby Kharimawanaha,1998:78).
Dalam Pasal 168 KUHAP diatur mengenai pengecualian
menjadi saksi, yaitu :
“Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak
dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri
sebagai saksi:
1) keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas
atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau
yang bersama-sama sebagai terdakwa.
xl
2) saudara dari terdakwa atau yang bérsama-sama sebagai
terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka
yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-
anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga
3) suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau
yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Sedangkan pada Pasal 170 KUHAP disebutkan :
1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta
dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan
sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada
mereka.
2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk
permintaan tersebut.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 170 ayat (1) KUHAP,
pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk
menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
dan penjelasan Pasal 170 ayat (2) KUHAP ditentukan jika tidak
ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti yang
ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menentukan sah atau tidaknya
alasan yang dikemukakan untuk mendapat kebebasan itu.
Pengecualian mutlak terdapat dalam Pasal 171 KUHAP,
yang berbunyi :
“Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa
sumpah ialah :
1) anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan
belum pernah kawin;
xli
2) orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-
kadang ingatannya baik kembali”.
Pihak yang tercantum dalam Pasal 171 KUHAP tersebut
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum
pidana sehingga mereka tidak diambil sumpah dalam memberikan
keterangan. Keterangan yang mereka berikan hanya dipakai
sebagai petunjuk.
4. Tinjauan Tentang Terorisme
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme yang
kemudian di tetapkan sebagai undang-undang dalam Undang-undang
Nomor 15 tahun 2003 disebutkan di Pasal 1 butir (1) bahwa yang
dimaksud tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam peraturan
pemerintah pengganti undang-undang ini, dimana bentuk-bentuk dan
pemidanaan tindak pidana terorisme dijelaskan dalam Pasal 6 sampai
dengan Pasal 19 Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme.
Dari Pasal 6 Perpu Nomor 1 tahun 2002 dapat diambil
pengertian bahwa terorisme adalah setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana
teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis
atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Bentuk tindak pidana terorisme dalam Pasal 6 tersebut,
dipertegas dalam Pasal 8 Perpu Nomor 1 tahun 2002 yang berbunyi :
xlii
“Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang :
a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak
bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau
menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya
bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya
usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak,
mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk
pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda
atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;
d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk
pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah
atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk
pengamanan penerbangan yang keliru;
e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau
membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya
atau sebagian kepunyaan orang lain;
f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan,
menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak
pesawat udara;
g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur,
tidak dapat dipakai, atau rusak;
h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi
menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran,
kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara
yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang
dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima
xliii
untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan
muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;
i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum,
merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai
pesawat udara dalam penerbangan;
j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau
mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian
pesawat udara dalam penerbangan;
k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan
jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu,
mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan
pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan
penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas
kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan
seseorang;
l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan
kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam
penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan
keselamatan pesawat udara tersebut;
m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara
dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara
tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau
membahayakan keamanan penerbangan;
n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau
menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam
dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat
menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat
terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut
yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;
xliv
o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih,
sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan
direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi
seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l,
huruf m, dan huruf n;
p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan
karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara
dalam penerbangan;
q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat
membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam
penerbangan;
r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang
dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat
udara dalam penerbangan.”
Alat bukti yang dipakai dalam proses pemeriksaan tidak pidana
terorisme meliputi :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu; dan
c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki
makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
membaca atau memahaminya.
xlv
B. Kerangka Pemikiran
Proses pembuktian perkara pidana adalah untuk mencari tahu benar
atau tidaknya telah terjadi peristiwa pidana dan mencari tahu apakah benar
terdakwa yang bersalah. Pembuktian yang dimaksud harus dilakukan di sidang
pengadilan untuk menguji kebenaran dari isi surat dakwaan yang dibuat oleh
penuntut umum berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Berdasarkan Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, alat bukti yang dipakai dalam proses pemeriksaan
tidak pidana terorisme salah satunya adalah alat bukti sebagaimana dimaksud
dalam Hukum Acara Pidana. Sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP salah satu alat
bukti yang sah adalah keterangan saksi.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP, memberikan
keterangan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang
pengadilan adalah kewajiban bagi setiap orang. Kewajiban hukum (legal
obligation) bagi setiap orang untuk menjadi saksi dalam perkara pidana
dibarengi kehadiran saksi untuk hadir di persidangan untuk dimintai
keterangan berdasarkan apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia
alami sendiri.
Dalam hal kasus tertentu saksi yang diminta untuk memberi
keterangan di persidangan tidak dapat hadir dengan berbagai alasan. Hal
tersebut membuat hakim memutuskan untuk membacakan keterangan saksi
yang telah diberikan dalam BAP penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
Dalam hal ini bagaimana pengaturan dan legalitas dari kesaksian yang
dibacakan di depan persidangan tersebut.
xlvi
Lex specialis derogat lex generalis
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Proses pemeriksaan perkara pidana di persidangan
Proses pemeriksaan saksi
Hakim memutuskan keterangan saksi dalam BAP penyidikan dibacakan di persidangan
Proses pembuktian
KUHAP
Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 27 huruf a Perpu Nomor 1 Tahun 2002 jo
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
Legalitas ?
Saksi tidak hadir
Alat Bukti
xlvii
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Legalitas Keterangan Saksi yang Dibacakan di Persidangan Dalam
Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Terorisme di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan
Ada suatu fenomena yang sering terjadi dalam dunia peradilan kita,
khususnya dalam tahap sidang pengadilan, yaitu adanya keterangan saksi dalam
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidikan dibacakan dalam persidangan. Hal
ini disebabkan karena jaksa yang bersangkutan tidak mampu menghadirkan saksi-
saksi di persidangan, khususnya terhadap saksi yang memberatkan ( a charge ),
sehingga seringkali keterangan saksi-saksi yang diberikan dalam BAP dibacakan
dalam persidangan. Disamping itu seringkali terungkap dalam persidangan bahwa
saksi-saksi tidak hadir tanpa didasari alasan yang jelas atau sah. Selain masalah
saksi-saksi yang tidak bersedia hadir dalam peersidangan, dalam dunia peradilan
kita dihadapkan pada saksi-saksi yang tidak bersedia untuk memberi keterangan
dan mengucapkan sumpah tanpa didasari alasan yang jelas atau sah. Tentunya hal
ini akan mengurangi tingkat kebenaran materil (legalitas) sebagai tujuan dari
proses pemeriksaan perkara pidana.
Berikut ini adalah salah satu perkara yang telah diajukan di persidangan
dan telah diputus oleh majelis hakim berdasarkan putusan Perk. No. 1783/
Pid.B/2004/PN.Jak-Sel tanggal 3 Maret 2005, dimana didalamnya terdapat
permasalahan mengenai keterangan saksi-saksi yang dibacakan di persidangan
oleh karena saksi-saksi tidak dapat hadir dalam persidangan dan masalah saksi
yang tidak mau mengucapkan sumpah serta tidak mau memberikan keterangan :
1. Identitas Terdakwa
Nama :ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS SOMAD
alias Abu BAKAR BA’ASYIR bin ABUD AB’ASYIR.
xlviii
Tempat lahir :Jombang
Umur/tgl lahir :66 tahun / 17 Agustus 1938
Jenis kelamin :Laki-laki
Kebangsaan :Indonesia
Tempat tinggal :Ngruki Rt 004/017, Desa Cemani, Kecamatan Grogol,
Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah.
Agama :Islam
Pekerjaan :Guru Agama
2. Dakwaan Penuntut Umum
KESATU
PRIMAIR
Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS
SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR selaku
Amir atau pemimpin dari kelompok yang menamakan dirinya Al-Jama’ah
Al-Islamiyah baik bertindak sendiri maupun bersama-sama antara lain
dengan FAIZ ABU BAKAR BAFANA, IMRON BAYHAQI alias
YUDHA PRANATA alias MUSTOFA NASIR bin ABU THOLUT alias
YONO alias HAFID IBROHIM MUHAMAD NASIR bin ABAS alias
SULAIMAN alias NASIR ABAS dan FATHURRAHMAN AL-GHOZI
pada tahun 1999 sampai dengan Agustus tahun 2003 bertempat di Ngruki
Sukoharjo di Ma’had Ali Gading Surakarta (Solo) di Mindanno Philipina
dan di Hotel J.W Marriot Jalan lingkar Dalam Mega Kuningan Setia Budi
Jakarta Selatan yang bedasarkan pasal 84 ayat (2) KUHAP Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya
merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak
pidana terorisme yaitu setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau
harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
xlix
terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau internasional.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
Pasal 14 jo pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI
Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-undang RI Nomor 15
Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.
SUBSIDIAIR
Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS
SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR baik
bertindak sendiri maupun bersama-sama antara lain dengan FAIZ ABU
BAKAR BAFANA, IMRON BAYHAQI alias YUDHA PRANATA alias
MUSTOFA alias ABU THOLUT alias SULAIMAN alias NASIR ABAS,
FATHURRAHMAN AL-GHOZI, DR. AZHARI alias ALAN, NOORDIN
M.TOP, MASRIZAL bin ALI UMAR alias MAS’UD alias TOHIR alias
ARIYADI alias DERI alias RENO alias ARI alias RIKI dan ISMAIL alias
M.IKHWAN alias AGUS alias IWAN alias RIDWAN alias ZAKI alias
ARI KUMALA, pada tahun 1999 samapi dengan Agustus tahun 2003
bertempat di Ngruki Sukoharjo, di Ma’had Ali Gading Surakarta (Solo) di
Mindanno Philipina dan di Hotel J.W. Marriot Jalan Lingkar Dalam Mega
Kuningan Setia Budi Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan mengadili
perkaranya dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana terror atau takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain,
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek
vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional.
l
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
Pasal 6 jo pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI
Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-undang RI Nomor 15
Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
LEBIH SUBSIDAIR
Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS
SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR selaku
Amir atau pemimpin dari kelompok yang menamakan dirinya Al-Jama’ah
Al-islamiyah pada tahun 1999 sampai dengan Agustus tahun 2003
bertempat di Ngruki Sukoharjo, di Ma’had Ali gading Surakarta (Solo) di
Mindano Philipina dan di Hotel J.W. Marriot Jalan Lingkar Dalam Mega
Kuningan Setia Budi Jakarta Selatan yang berdasarkan Pasal 84 ayat (2)
KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan
mengadili perkaranya dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan ancaman
atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan sarana atau keterangan
sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan
suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI Nomor 1
Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2003 jo
Pasal 55 ayat (1) ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
li
LEBIH LEBIH SUBSIDIAIR
Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS
SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR
bersama-sama antara lain dengan FAIZ ABU BAKAR BAFANA,
IMRON BAYHAQI alias YUDHA PRANATA alias MUSTOFA alias
ABU THOLUT alias YONO alias HAFID IBROHIM, MUHAMAD
NASIR bin ABAS alias SULAIMAN alias NASIR ABAS,
FATHURRAHMAN AL-GHOZI, DR. AZHARI alias ALAN, NOORDIN
M.TOP, MASRIZAL bin ALI UMAR alias MAS’UD alias TOHIR alias
ARIYADI alias DERI alias RENO alias ARI alias RIKI dan ISMAIL alias
M.IKHWAN alias AGUS alias IWAN alias RIDWAN alias ZAKI alias
ARI KUMALA, pada tahun 1999 sampai dengan Agustus tahun 2003
bertempat di Ngruki Sukoharjo, di Ma’had Ali Gading Surakarta (Solo) di
Mindanno Philipina dan di Hotel J.W. Marriot Jalan Lingkar Dalam Mega
Kuningan Setia Budi Jakarta Selatan yang berdasarkan Pasal 84 ayat (2)
KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan
mengadili perkaranya melakukan pemufakatan jahat, percobaan atau
pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme yakni dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan
suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas
internasional.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
Pasal 15 jo pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI
Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-undang RI Nomor 15
Tahun 2003.
lii
LEBIH-LEBIH SUBSIDIAIR LAGI
Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS
SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR selaku
Amir atau pemimpin dari kelompok yang menamakan dirinya Al-Jama’ah
Al-islamiyah pada tahun 1999 sampai dengan Agustus tahun 2003
bertempat di Ngruki Sukoharjo, di Ma’had Ali gading Surakarta (Solo) di
Mindano Philipina di jalan Taman Sri Rejeki Selatan VII No.2 Semarang
Yayasan Al-Ummah pondok Gede Bekasi dan di Hotel J.W. Marriot jalan
Lingkar Dalam Mega Kuningan Setia Budi Jakarta Selatan yang
berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya dengan sengaja
memberikan bantuan atau kemudian terhadap pelaku tindak pidana
terorisme dengan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana
terorisme.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
Pasal 13 huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI
Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
KEDUA
PRIMAIR
Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS
SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR baik
bertindak sendiri maupun bersama-sama antara lain dengan UTOMO
PAMUNGKAS alias MUBAROK alias AMIN bin SUHARSONO, ALI
GUFRON alias MUKHLAS, AMROZI bin H. NURHASYIM, FAIZ ABU
BAKAR BAFANA, IMRON BAYHAQI alias YUDHA PRANATA alias
MUSTOFA alias ABU THOLUT alias YONO alias HAFID IBROHIM,
MUHAMAD NASIR bin ABAS alias SULAIMAN alias NASIR ABAS,
FATHURRAHMAN AL-GHOZI, WAN MIN WAN MAT DUL MATIN,
MOH. IKHSAN alias IDRIS alias JONI HENDRAWAN alias
liii
GEMBROT alias AJO, DR.AZHARI alias ALAN dan NOORDIN M.
TOP, pada tahun 1999 sampai dengan Agustus tahun 2002 bertempat di
Ngruki Sukoharjo, di Ma’had Ali Gading Surakarta (Solo) di Mindanno
Philipina dan di Thailand di Sari club dan Paddy’s Pub di jalan Legian
Kuta Badung serta Gedung Konsultan Amerika I jalan Raya Puputan Niti
Mandala Renon Denpasar Bali, yang berdasarkan Pasal 84 ayat (2)
KUHAP Pengailan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan
mengadili perkaranya, dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan,
atau banjir jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi
nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
Pasal 187 ke-3 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.
SUBSIDIAIR
Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS
SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR selaku
Amir atau pemimpin dari kelompok yang menamakan dirinya Al-Jama’ah
Al-islamiyah pada tahun 1999 sampai dengan Agustus tahun 2002
bertempat di Ngruki Sukoharjo, di Ma’had Ali gading Surakarta (Solo) di
Mindano Philipina di Sari club dan Paddy’s Pub di jalan Legian Kuta
Badung serta Gedung Konsulat Amerika I jalan Raya Puputan Niti
Mandala Renon Denpasar Bali, yang berdasarkan Pasal 84 ayat (2)
KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan
mengadili perkaranya, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan ancaman
atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan sarana atau keterangan
sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan dengan
sengaja menimbulkan kebakaran ledakan, atau banjir jika karena perbuatan
tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan
orang mati, yaitu terdakwa selaku Amir Al-jama’ah Al-islamiyah telah
liv
memberi kesempatan atau sarana atau keterangan menyalahgunakan untuk
peledakan.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal
187 ke-3 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
LEBIH SUBSIDIAIR
Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS
SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR antara
lain dengan UTOMO PAMUNGKAS alias MUBAROK alias AMIN bin
SUHARSONO, ALI GUFRON alias MUKHLAS, AMROZI bin H.
NURHASYIM, FAIZ ABU BAKAR BAFANA, IMRON BAYHAQI alias
YUDHA PRANATA alias MUSTOFA alias ABU THOLUT alias YONO
alias HAFID IBROHIM, MUHAMAD NASIR bin ABAS alias
SULAIMAN alias NASIR ABAS, FATHURRAHMAN AL-GHOZI,
WAN MIN WAN MAT dan DR.AZHARI alias ALAN pada tahun 1999
sampai dengan Agustus tahun 2002 bertempat di Ngruki Sukoharjo, di
Ma’had Ali gading Surakarta (Solo) di Mindano Philipina di Sari club dan
Paddy’s Pub di jalan Legian Kuta Badung serta Gedung Konsulat Amerika
I jalan Raya Puputan Niti Mandala Renon Denpasar Bali, yang
berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya, melakukan
permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan dengan sengaja
menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, jika karena perbuatan
tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan
orang mati.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
Pasal 187 jo 187 ke-3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
lv
3. Tuntutan Penuntut Umum
a. Menyatakan terdakwa Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Somad alias
Abu Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir tidak terbukti bersalah
melakukan tindak pidana bersama-sama merencanakan dan/atau
menggerakkan orang lain melakukan tindak pidana terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 jo pasal 1 Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam
Dakwaan Kesatu Primer dan oleh karenanya supaya terdakwa Abu
Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir dibebaskan dari dakwaan Kesatu
Primair tersebut.
b. Menyatakan terdakwa Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Somad alias
Abu Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir terbukti secara meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana bersama-sama melakukan tindak
pidana terorisme sebagaimana dimaksud Pasal 6 Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-
undang Nomor 15 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam
dakwaan Kesatu Subsidiar dan terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tinak pidana “bersama-sama dengan sengaja
menimbulkan kebakaran, ledakan yang menimbulkan bahaya bagi
nyawa orang dan mengakibatkan orang mati” sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 187 ke-3 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP dalam
Dakwaan Kedua Primair.
c. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Abu Bakar Ba’asyir alias
Abdus Somad alias Abu Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir dengan
pidana penjara selam 8 (delapan) tahun dikurangi selama terdakwa
berada dalam tahanan dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan.
d. Menyatakan barang bukti tetap terlampir dalam berkas perkara.
e. Menetapkan supaya Terdakwa membayar biaya perkara sebesar
Rp 5.000,- ( lima ribu rupiah ).
lvi
4. Keteranga saksi yang dibacakan di persidangan
a. Saksi yang tidak hadir di persidangan
1) Saksi Wan Min bin Wan Mat alias Abu Hafis alias Wan Halim
alias Abu Hidayah
Bahwa saksi kenal dengan terdakwa bersama dengan
Abdullah Sungkar pada tahun 1993 dalam rangka berbai’ah kepada
Abdullah Sungkar dimana pada saat itu terdakwa ikut hadir;
Bahwa saksi sebagai anggota Jamaah Islamiyah sejak tahun
2003. Amir Jamaah Islamiyah yang pertama kali adalah Abdullah
Sungkar yang kemudian digantikan oleh terdakwa setelah
Abdullah Sungkar meninggal dunia;
Bahwa saksi mengetahui kalau terdakwa sebagai pengganti
Amir Jamaah Islamiyah menggantikan Abullah Sungkar setelah
Mukhlas sebagai ketua wakalah Johor mengumumkan pelantikan
terdakwa sebagai Amir Jamaah Islamiyah;
Bahwa organisasi Al jamaah Al islamiyah pernah
mempunyai kamp militer di Philipina Selatan yaitu kamp
Hudaibiyah di lokasi kamp Abu Bakar milik MILF;
2) Saksi Faiz Abu Bakar Bafana
Bahwa saksi mulai kenal dengan terdakwa pada …
terdakwa tinggal di Serting Negeri Semb … pindah ke Banting
Sungai manggis tahun 1997/1998 samapi akhirnya terdakwa
kembali ke Indonesia ;
Bahwa saksi pernah bergabung dengan jama’ah Abdullah
Sungkar alias Abdul Halim pada tahun 1986/1987 namun saat itu
belum tahu nama kelompoknya dan baru pada tahun 1995 saksi
baru mendengar nama Al jama’ah Al islamiyah dan sebagai
Amirnya adalah Abdullah sungkar;
lvii
Bahwa setelah Abdullah Sungkar meninggal dunia maka
yang menggantikan sebagai Amir adalah terdakwa;
Bahwa organisasi Al jamaah Al islamiyah memiliki tempat
latihan kemiliteran di kamp Hudaiyah Mindanao Philipina yang
dikelola oleh Mantiqi III dan saksi pernah mengikuti pelatihan di
kamp tersebut selama satu bulan sekitar tahun 1998;
3) Saksi Ahmad faisal bi Imam Sarijan alias Zulkifli alias Zul
Baby alias Danny Ofresio
Bahwa saksi pernah sekolah di Pesantren Al Mukmin
Ngruki Solo Jawa Tengah pada tahun 1991 dan masuk menjadi
anggota Jamaah Islamiyah pada tahun 1994;
Bahwa saksi kenal dengan terdakwa pada tahun 2000 ketika
datang ke kamp. Hudaibiyah Mindanao Philipina dalam rangka
menghadiri upacara pelantikan /wisuda kelulusan saksi sebagai
angkatan pertama dari Akademi Militer Al jamaah Al islamiyah;
Bahwa dalam upacara wisuda tersebut terdakwa sempat
memberi wejangan sebagai penutupan diklat;
Bahwa yang bertindak sebagai komandan upacara adalah
Nasir Abas, inspektur upacara adalah Mustofa alias Abu Tholud
sedangkan terdakwa sebagai Amir jamaah islamiyah;
Bahwa setelah upacara terdakwa bersalaman dengan para
wisudawan berjumlah 17 (tujuh belas) orang termasuk dengan
saksi;
Bahwa saksi tidak tahu menyaksikan ataupun mengetahui
pengangkatan atau pelantikan terdakwa sebagai Amir Al jamaah Al
islamiyah
lviii
4) Saksi Ahmad Syaifullah Ibrahim
Bahwa saksi mengenai organisasi Al jamaah Al islamiyah
sejak tahun 1994 saat saksi duduk di kelas 6 di Pondok Pesantren
Al Mukmin Ngruki Solo;
Bahwa saksi pernah ke camp Hudabiyah Mindanao
Philipina pada tahun 1998 atas tawaran dari ustadz Abu fatih dan
saksi berangkat bersama-sama denagn 5 (lima) orang lainnya yakni
Zulkifli, Zubair, Sais, Tolkhan, Ibrahim Ali dan Anwar;
Bahwa pada awal tahun 2000 saat saksi selesai mengikuti
pelatihan militer di kamp Hudaibiyah diadakan semacam perayaan
penutupan dengan inspektur upacara ustadz Abu Tholud komandan
upacara Nasir Abas;
Bahwa pada saat upacara tersebut ada acara pemeriksaan
pasukan yang dilakukan oleh terdakwa yang bertindak sebagai
Amir jamaah Al islamiyah;
Bahwa dalam acara tersebut terdakwa memberikan tauziah
kepada siswa yang baru dilantik dengan materi yang isinya ucapan
selamat lulus dari sekolah militer tersebut;
Bahwa buku PUPJI merupakan landasan perjuangan
organisasi Al jamaah Al islamiyah dan PUPJI diajarkan di camp
Hudaibiyah;
b. Saksi yang tidak mau disumpah dan tidak mau memberikan
keterangan di persidangan.
Saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin
Bahwa saksi tidak mau bersumpah serta tidak bersedia
memberikan keterangan dengan alasan sudah pernah diperiksa di
lix
penyidik sebagaimana tertuang dalam berita acara pemeriksaan saksi
tersebut yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa saksi pertama kali kenal dengan terdakwa pada
tahun 1988 ketika sedang belajar di Pondok Pesantren Al-Mukmin
Ngruki Solo;
Bahwa pada bulan Mei tahun 2002 saksi dan Amrozi bertemu
dengan terdakwa di Solo dengan maksud mengundang terdakwa
untuk mengisi ceramah dalam rangka pelepasan santri Al-Islam
periode tahun 2001/2002 yang materi ceramahnya adalah nasehat
kepada santri yang mau keluar dari pesantren:
Bahwa pada bulan Agustus tahun 2002 saksi bersama dengan
Amrozi bertemu kembali dengan terddakwa di Solo untuk
mengundang terdakwa menghadiri acara pernikahan adik salah
seorang ustadz Al-islam dan mengisi khotbah jum’atan di
Lamongan:
Bahwa dalam percakapan tersebut sekitar antara Ashar dan
Magrib bertempat dirumah terdakwa Amrozi sempat bertanya
kepada terdakwa “Bagaimana kalau kawan-kawan mengadakan acara
di Bali” lalu dijawab oleh terdakwa “tersebut pada kalian karena
kalian yang tahu situasi dilapangan”;
Bahwa paada bulan September tahun 2002 saksi diajak oleh
Amrozy mengadakan perjalanan ke Bali. Selain saksi ikut serta
Imam Samudra, Dul Matin, Idris dan Ali Imron dengan
menggunakan kendaraan kijang warna abu-abu plat Surabaya;
Bahwa pada tanggal 5 Oktober 2002 saksi bersama-sama
dengan Amrozy, Dul Matin, Ali Imron kembali ke Denpasar
lx
menggunakan mobil L-300 yang dikemudikan saksi dan seorang lagi
yang menggunakan mobil Suzuki vitara gelap;
Bahwa terhadap keterangan saksi tersebut terdakwa
menyatakan mengenai diundang ceramah benar tapi terdakwa tidak
pernah mengucapkan kata-kata “terserah kalian karena kalian yang
tahu situasi dilapangan”;
5. Putusan Majelis Hakim
1. Menyatakan terdakwa Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Somad
alias Abu Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir tersebut diatas, tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Kesatu Primer,
Subsidair, Lebih Subsidair, Lebih-lebih Subsidair, Lebih-lebih
Subsidair lagi dan Dakwaan Kedua Primer serta Subsidair;
2. Membebaskan terdakwa Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Somad
alias Abu Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir dari dakwaan
Dakwaan Kesatu Primer, Subsidair, Lebih Subsidair, Lebih-lebih
Subsidair, Lebih-lebih Subsidair lagi dan Dakwaan Kedua Primer
serta Subsidair tersebut;
3. Menyatakan bahwa Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Somad alias
Abu Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir tersebut diatas, terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana
“Permufakatan jahat dengan sengaja menimbulkan kebakaran atau
ledakan yang membahayakan nyawa orng lain dan mengakibatkan
matinya orang”;
4. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa Abu Bakar
Ba’asyir alias Abdus Somad alias Abu Bakar Ba’asyir bin Abud
Ba’asyir tersebut dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6
(enam) bulan;
5. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan itu;
lxi
6. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam rumah tahanan
Negara;
7. Membebani terdakwa membayar biaya perkara ini sebesar
Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah)
8. Memerintahkan barang bukti tetap terlampir dalam berkas perkara;
6. Pertimbangan hakim berkaitan dengan kesaksian yang dibacakan
dipersidangan
Menimbang, bahwa pada bagian lain saksi yaitu Wan Min bin
Wan Mat alias Abu Hafis alias Wan Halim alias Abu Hidayah, Faiz Abu
Bakar Bafana, Ahmad faisal bi Imam Sarijan alias Zulkifli alias Zul Baby
alias Danny Ofresio dan Ahmad Syaifullah Ibrahim yang telah
memberikan keterangan dibawah sumpah dalam penyidikan karena negara
asal saksi yang berstatus dalam tahanan tidak diperbolehkan memberi
kesaksian di depan persidangan.
Menimbang, bahwa sesuai ketentuan Pasal 162 ayat (2) KUHAP,
maka nilai kesaksian-kesaksian tersebut disamakan dengan keterangan
saksi dibawah sumpah yang diucapkan di depan sidang
Menimbang, bahwa terhadap saksi Utomo Pamungkas alias
Mubarok alias Amin di depan persidangan tidak mau disumpah atau
berjanji dengan alasan karena telah memberikan kesaksiannya dalam
berita acara penyidikan. Mesipun hakim ketua sidang berulangkali
memerintahkan saksi agar bersumpah/ berjanji dan memberikan
kesaksiannya di persidangan namun tetap mengatakan tidak akan
memberikan keterangannya dengan alasan yang sama.
Menimbang, oleh karena saksi tersebut dalam berita acara
penyidikan telah disumpah dan dipersidangan tidak memberi keterangan
dengan alasan sudah memberi keterangan dalam BAP, maka sesuai dengan
Pasal 162 ayat (1) KUHAP, menurut Pengadilan keterangan di BAP
lxii
disamakan dengan nilainya dengan keterangan saksi dibawah sumpah
yang diucapkan di persidangan.
7. Pembahasan
Proses pembuktian perkara pidana adalah untuk mencari tahu benar
atau tidaknya telah terjadi peristiwa pidana dan mencari tahu apakah benar
terdakwa yang bersalah. Pembuktian yang dimaksud harus dilakukan di
sidang pengadilan untuk menguji kebenaran dari isi surat dakwaan yang
dibuat oleh penuntut umum berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang. Dalam sistem pembuktian negatif hakim dapat
memutuskan seseorang bersalah yang berdasarkan pada aturan-aturan
pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang sehingga
hakim memperoleh keyakinan akan hal itu (Andi Hamzah, 1996:250).
Berdasarkan Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian
ditetapkan sebagai Undang-undang dalam Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, alat bukti
yang dipakai dalam proses pemeriksaan tidak pidana terorisme meliputi :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu; dan
c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/ atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas
pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
lxiii
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki
makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
membaca atau memahaminya.
Jika poin “a” Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 di atas
menyebutkan bahwa salah satu alat bukti dalam tindak pidana terorisme
adalah bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana, maka
menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat-alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.
Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP merupakan
salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri,
dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
Pada prinsipnya menjadi seorang saksi merupakan suatu kewajiban hukum
(legal obligation) bagi setiap orang. Akan tetapi, undang-undang
memberikan pengecualian dibebaskan kewajiban menjadi saksi misalnya
seorang yang masih dibawah umur (belum berumur 15 tahun) dan seorang
yang hilang ingatan atau mereka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara sempurna dalam hukum pidana. Mereka tidak wajib menjadi saksi
atau boleh memberikan keterangan tidak dibawah sumpah. Disamping itu
seseorang yang dapat dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi karena
adanya hubungan darah (keluarga) atau perkawinan (semenda) dengan
terdakwa. Orang-orang ini tidak dapat didengar keterangannya atau dapat
mengundurkan diri sebagai saksi. Orang-orang tersebut adalah :
lxiv
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dengan terdakwa atau yang bersama-
sama sebagai terdakwa,
b. Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak (bibi atau paman dari terdakwa),
juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan
anak-anak saudara (keponakan) terdakwa sampai derajat ketiga,
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Dengan demikian seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok
di atas wajib memberikan keterangan apabila diminta menjadi saksi. Akan
tetapi, menurut Pasal 169 ayat (1) KUHAP tersirat bahwa mereka yang
dimaksud dalam Pasal 168 dimungkinkan untuk dapat menjadi saksi
apabila jaksa, terdakwa, dan mereka sendiri secara tegas-tegas menyetujui
untuk memberikan keterangan di bawah sumpah. Namun apabila ketiga
golongan tersebut tidak setuju untuk memberikan kesaksian, hakim dapat
memutuskan untuk mendengarkan keterangan mereka tanpa disumpah dan
keterangannya hanya dianggap sebagai keterangan biasa guna menambah
keyakinan hakim.
Berkaitan dengan keterangan saksi yang dibacakan di persidangan,
berdasarkan kasus diatas terdapat 2 (dua) permasalahan yang dapat
dibahas, pertama adalah permasalahan keterangan keempat saksi yaitu
Wan Min bin Wan Mat alias Abu Hafis alias Wan Halim alias Abu
Hidayah, Faiz Abu Bakar Bafana, Ahmad faisal bi Imam Sarijan alias
Zulkifli alias Zul Baby alias Danny Ofresio dan Ahmad Syaifullah Ibrahim
yang dibacakan di persidangan karena tidak hadir untuk memberikan
keterangan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di persidangan dan
yang kedua adalah penolakan saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias
Amin untuk mengucapkan sumpah meskipun hadir di persidangan dan
menolak memberi keterangan di persidangan dengan alasan telah
lxv
memberikan keterangannnya dihadapan penyidik. Keterangan dari saksi
Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin dalam BAP penyidikan
tersebut pada akhirnya dibacakan di depan sidang pengadilan.
Menurut Pasal 185 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa “Keterangan saksi sebagai alat bukti
apa yang saksi nyatakan dalam sidang”. Dari ketentuan tersebut di atas
apabila kita tafsirkan secara a contrario berarti keterangan seorang saksi
dapat dijadikan alat bukti yang sah bukan apa yang saksi nyatakan dalam
BAP penyidikan, melainkan apa yang saksi nyatakan dalam sidang
pengadilan.
Pada hakikatnya KUHAP menganut prinsip keharusan
menghadirkan saksi-saksi di persidangan. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 185 (1) KUHAP yang intinya keterangan saksi dapat dijadikan alat
bukti yang sah apabila dinyatakan dalam sidang pengadilan. Akan tetapi,
KUHAP sendiri memberi pengecualian apabila saksi-saksi yang telah
memberikan keterangan dalam BAP tidak hadir dalam proses persidangan
keterangannya itu dapat atau boleh dibacakan di persidangan, tetapi harus
memenuhi alasan-alasan sebagai berikut:
a. Meninggal dunia atau ada halangan yang sah
b. Tempat tinggal atau kediamannya jauh dari tempat sidang
pemeriksaan
c. Adanya tugas atau kewajiban dari negara yang dibebankan
kepadanya.
Dengan demikian menurut Pasal 162 (1) KUHAP apabila seorang
saksi berhalangan hadir, maka keterangan yang telah diberikan dalam
pemeriksaan penyidikan dapat dibacakan, tetapi harus memenuhi hal-hal
tersebut diatas. Apabila keterangan tersebut dilakukan di bawah sumpah,
maka keterangannya dianggap mempunyai nilai yang sama dengan
lxvi
keterangan saksi yang disumpah di persidangan, hal tersebut sesuai dengan
Pasal 162 ayat (2). Sedangkan keterangan yang diberikan tidak di bawah
sumpah hanya bernilai sebagai keterangan biasa yang tidak mempunyai
kekuatan pembuktian, tetapi dapat digunakan sebagai keterangan yang
dapat menguatkan keyakinan hakim jika dihubungkan dengan alat bukti
lain .
Dalam hal ini apabila seseorang yang menolak untuk memberikan
keterangan kesaksian di depan persidangan walaupun telah dipanggil
secara sah, kepadanya dapat dikenakan tuntutan pidana berdasarkan
undang-undang yang berlaku (R. Soesilo, 1994: 8). Adapun undang-
undang yang dimaksud adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) yang dapat dijadikan dasar penuntutan bagi seorang saksi yang
menolak hadir di depan sidang pengadilan, seperti pada Pasal 216 ayat (1),
Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP. Hakim mempunyai kewenangan untuk
menentukan penting atau tidaknya saksi yang hadir dalam persidangan.
Disamping itu juga hakim berwenang memutuskan untuk melanjutkan atau
menunda pemeriksaan sidang. Apabila pemeriksaan perkara ditunda, maka
hakim akan memerintahkan jaksa untuk memanggil kembali saksi yang
bersangkutan dan membawanya ke depan sidang pengadilan.
Berdasarkan kasus di atas, empat saksi yaitu Wan Min bin Wan
Mat alias Abu Hafis alias Wan Halim alias Abu Hidayah, Faiz Abu Bakar
Bafana, Ahmad faisal bi Imam Sarijan alias Zulkifli alias Zul Baby alias
Danny Ofresio dan Ahmad Syaifullah Ibrahim tidak dapat hadir karena
hukum dari negara asal saksi yang berstatus dalam tahanan tidak
memperbolehkan memberi kesaksian di depan persidangan. Dengan
demikian, ketidakhadiran keempat saksi tersebut dapat dikategorikan
“mempunyai alasan yang sah” sesuai dengan rumusan Pasal 162 ayat (1)
karena hakim dapat menilai bahwa alasan saksi-saksi tidak hadir
didasarkan karena ada halangan yang sah dan/ atau tempat tinggal atau
kediamannya jauh dari tempat sidang pemeriksaan yang menjadikan saksi
lxvii
tidak dapat hadir untuk memberi kesaksian dalam proses pemeriksaan di
sidang pengadilan.
Alasan yang sah tersebut dapat dijadikan oleh hakim untuk
membacakan keterangan saksi yang telah di buat dalam BAP penyidikan.
Oleh karena keterangan saksi Wan Min bin Wan Mat alias Abu Hafis alias
Wan Halim alias Abu Hidayah, Faiz Abu Bakar Bafana, Ahmad faisal bi
Imam Sarijan alias Zulkifli alias Zul Baby alias Danny Ofresio dan Ahmad
Syaifullah Ibrahim dalam BAP penyidikan dibuat di bawah sumpah, maka
berdasarkan nilai kekuatan pembuktiannya, kesaksian yang dibacakan di
persidangan dari keempat saksi Wan Min bin Wan Mat alias Abu Hafis
alias Wan Halim alias Abu Hidayah, Faiz Abu Bakar Bafana, Ahmad
faisal bi Imam Sarijan alias Zulkifli alias Zul Baby alias Danny Ofresio
dan Ahmad Syaifullah Ibrahim dapat dipersamakan dengan keterangan
saksi dibawah sumpah yang diucapkan di persidangan. Sekalipun
keterangan saksi yang berhalangan hanya dibacakan saja di persidangan,
namun keterangan itu disamakan dan sederajat dengan keterangan saksi
yang disumpah di persidangan karena keterangan yang disampaikan saksi
dalam pemeriksaan penyidikan diberikan dibawah sumpah atau dengan
kata lain keterangan saksi yang dimaksud dapat dijadikan alat bukti yang
sah dan keterangannya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang
disumpah di persidangan sesuai Pasal 162 ayat (2) KUHAP.
Pasal 116 ayat (1) KUHAP memberi kemungkinan bagi penyidik
untuk menyumpah seorang saksi dalam pemeriksaan penyidikan, jika
benar-benar cukup alasan untuk menduga bahwa saksi yang bersangkutan
tidak dapat hadir dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Pada prinsipnya
pemeriksaan saksi di depan penyidik tidak wajib disumpah, akan tetapi
dalam hal tertentu, apabila cukup alasan saksi diduga tidak dapat hadir
dalam pemeriksaan sidang pengadilan, penyidik dapat menyumpah saksi.
Hal tersebut berkaitan dengan kekuatan pembuktian dari keterangan saksi
tersebut dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Misalnya seperti
lxviii
kasus diatas keempat saksi Wan Min bin Wan Mat alias Abu Hafis alias
Wan Halim alias Abu Hidayah, Faiz Abu Bakar Bafana, Ahmad faisal bi
Imam Sarijan alias Zulkifli alias Zul Baby alias Danny Ofresio dan Ahmad
Syaifullah Ibrahim yang tinggal di luar negeri dan menjadi tahanan di
negara asalnya tersebut, sudah dapat menjadi alasan yang cukup untuk
menduganya akan berhalangan menghadiri pemeriksaan di sidang
pengadilan sehingga penyidik perlu mengambil sumpah atas keterangan
dari keempat saksi di atas supaya keterangannya mempunyai kekuatan
sebagai alat bukti yang sah dalam sidang pengadilan .
Berkaitan dengan keterangan saksi Utomo Pamungkas alias
Mubarok alias Amin, kita perlu mengkaji lebih mendalam. Dalam kasus
tersebut Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin sebenarnya hadir
dalam persidangan namun, saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias
Amin tidak bersedia memberikan keterangan di persidangan dan menolak
untuk disumpah. Sesuai pertimbangan hakim, maka keterangan saksi
dalam BAP penyidikan tersebut dapat dibacakan di persidangan dan dapat
dijadikan sebagai alat bukti mengingat keterangan Utomo Pamungkas alias
Mubarok alias Amin dalam BAP penyidikan dibuat dibawah sumpah.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 159 ayat (2) memberikan
keterangan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang
pengadilan adalah kewajiban bagi setiap orang dan orang yang menolak
memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu sidang pengadilan, dapat
dikenakan pidana berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku.
Dalam hal ini saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin telah
hadir di persidangan, dengan demikian dia wajib untuk memberikan
keterangan sesuai yang di perintahkan oleh hakim. Sekalipun Pasal 159
ayat (2) mempergunakan kata-kata : memerintahkan supaya saksi tersebut
dihadapkan ke persidangan, namun makna yang tersirat dalam “perintah
menghadapkan”, tiada lain dari pada upaya yang dibenarkan hukum untuk
lxix
menghadirkan saksi dengan paksa, apabila saksi tidak mau hadir secara
sukarela (M. Yahya Harahap, 2002: 170)
Kasus di atas menunjukan bahwa saksi Utomo Pamungkas alias
Mubarok alias Amin hadir dan telah dihadapkan di persidangan namun
saksi tidak bersedia disumpah dan tidak bersedia memberikan keterangan
di persidangan. Menurut Pasal 171 KUHAP, pihak yang boleh diperiksa
untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah anak yang umurnya belum
cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin dan/ atau orang sakit
ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Jika dikaitkan dengan Pasal 161 ayat (1) KUHAP, dalam hal saksi atau
ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP,
maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat
penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah
tahanan negara paling lama empat belas hari. Sedangkan menurut Yahya
harahap, sah tidaknya penolakan saksi mengucapkan sumpah atau janji
juga dapat tergantung pada penilaian hakim. Namun demikian dalam
penilaian itu sedapat mungkin bertitik tolak pada ketentuan undang-
undang. Hakim jangan terlampau leluasa memberikan alasan yang
dikemukakan saksi (M. Yahya Harahap, 2002: 178).
Jika kita hanya menganut pada aturan tertulis yang ada di dalam
KUHAP, keterangan saksi yang dapat dibacakan di persidangan hanya
apabila saksi tersebut memenuhi rumusan Pasal 162 ayat (1) yakni
dikarenakan saksi meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak
dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman
atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan
kepentingan negara. Apabila saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias
Amin hadir di persidangan maka rumusan pada Pasal 162 ayat (1)
sebenarnya tidak terpenuhi. KUHAP dan Undang-undang tentang
lxx
pemberantasan tindak pidana terorisme sendiri tidak memberikan
penjelasan mengenai permasalahan tersebut.
Hakekatnya peraturan perundang-undangan itu sifatnya tidak
lengkap. Tidak ada dan tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan
yang dapat mengatur seluruh kegiatan kehidupan manusia secara tuntas,
lengkap dan jelas karena aktifitas kehidupan manusia yang sangat luas,
baik jenis maupun jumlahnya (Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti P.,
2005: 127). Dari pandangan tersebut maka hukum harus dikembangkan
dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-
undangan. Dengan kata lain hukum yang tidak lengkap dan tidak jelas itu
dapat diatasi dengan penemuan hukum supaya tidak ada kekosongan
hukum dalam menyelesaikan perkara yang diajukan di persidangan.
Menurut Bambang Purnomo dalam Pontang Moerad,
pembentukan/ penemuan hukum terjadi karena :
1. Undang-undangnya ada, tetapi sudah ketinggalan, sudah tidak
sesuai dengan keadaan peristiwa itu terjadi. Kemudian hakim
membentuk hukum.
2. Undang-undangnya tidak ada. Disini hakim mencari norma non-
hukum, sekurang-kurangnya non-undang-undang (Pontang
Moerad, 2005: 82).
Ketentuan undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara
langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-
undang yang berlaku umum dan abstrak pada peristiwa yang kongkrit dan
khusus sifatnya, ketentuan undang-undang itu harus diberi arti, dijelaskan
atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk
kemudian baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa hukumnya harus
dicari lebih dahulu dari peristiwa kongkritnya, kemudian undang-
undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan (Sudikno Mertokusumo,
lxxi
2003: 169). Penemuan hukum diakukan oleh hakim untuk menyelesaikan
permasalahan dalam melaksanakan undang-undang dimana undang-
undang tidak mengatur secara jelas bila terjadi pristiwa kongkrit. Menurut
Sudikno ada beberapa metode dalam penemuan hukum, yakni metode
interpretasi, metode argumentasi dan metode penemun hukum bebas.
Jika dikaitkan dengan aliran pemikiran hukum, hal ini sejalan
dengan pemikiran hukum dari aliran rechtsvinding yang merupakan aliran
tengah diantara aliran legisme dan freie rechtsbewegung. Bahwa menurut
aliran rechtsvinding, benar bahwa hakim terikat pada undang-undang,
akan tetapi tidaklah seketat seperti menurut pandangan aliran legisme yang
menganggap semua hukum terdapat dalam undang-undang, karena hakim
juga memiliki kebebasan. Namun kebebasan hakim tidak seperti anggapan
aliran freie rechtsbewegung, sehingga di dalam melakukan tugasnya
hakim mempunyai apa yang disebut kebebasan yang terikat atau
keterikatan yang bebas.
Hakim wajib menemukan hukum atas suatu perkara yang ia
tangani. Penafsiran dan penemuan hukum juga menjadi faktor bagi
pengembangan hukum, dalam hal ini hakim sebagai salah satu penegak
hukum harus dapat menemukan dan menerapkan hukum yang berlaku bagi
penyelesaian permasalahan yang sifatnya kongkrit dan belum diatur secara
khusus dalam peraturan perundang-undangan, hal ini sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 28 ayat (1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim dalam
melaksanakan fungsi dan kewenangan kehakiman diberikan otonomi
kebebasan. Otonomi kebebasan itu mencakup menafsirkan peraturan
perundang-undangan, mencari dan menemukan asas-asas dan dasar-dasar
hukum, menciptakan hukum baru apabila menghadapi kekosongan
peraturan perundang-undangan.
lxxii
Selain masalah penemuan hukum, kasus yang terjadi pada saksi
Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin dapat dikaitkan dengan
Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi : ”Pengadilan membantu pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.”. Dari
pengertian tersebut, saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin
dapat diangap menghambat proses peradilan sehingga kebenaran materiil
yang hendak dicapai menjadi terhambat, sehingga hakim dengan
kewenangannya dapat memutuskan langkah apa yang harus dilakukan
untuk mengatasi hambatan dan rintangan tersebut.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa hakim dengan
pengetahuan dan pertimbangannya menentukan dahulu saksi Utomo
Pamungkas alias Mubarok alias Amin termasuk dalam saksi yang hadir di
persidangan namun menolak mengucapkan sumpah atau janji dalam
memberikan keterangan atau saksi termasuk dalam kategori saksi yang
tidak dapat hadir di persidangan.
Konsekuensi dari penentuan status saksi tersebut adalah apabila
saksi yang menolak mengucapkan sumpah, maka keterangan yang telah di
berikan olehnya bukan merupakan alat bukti yang sah melainkan hanya
keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim apabila pembuktian
yang telah ada telah memenuhi batas minimum pembuktian dan dapat
digunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya, sepanjang
keterangan saksi saling bersesuaian dengan alat bukti yang sah tersebut
sesuai Pasal 161 ayat (2) yang dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (7).
Namun dari kasus di atas hakim dengan pertimbangannya memutuskan
bahwa saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin “dianggap”
tidak hadir di persidangan dengan alasan yang sah yakni telah memberikan
keterangan di bawah sumpah di depan penyidik. Tentu saja dengan
pertimbangnnya itu hakim memutuskan untuk membacakan BAP
lxxiii
penyidikan dari saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin untuk
dijadikan alat bukti karena pada waktu memberikan keterangan di depan
penyidik, saksi telah memberikan keterangan dibawah sumpah sehingga
keterangannya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang
disumpah di persidangan.
lxxiv
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Proses pembuktian pada prinsipnya menganut adanya keharusan
menghadirkan saksi-saksi di persidangan Pasal 185 ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), akan tetapi, hal tersebut
bukanlah hal yang mutlak. Saksi yang tidak dapat hadir dalam proses
sidang di pengadilan, keterangannya boleh atau dapat dibacakan di
persidangan apabila memenuhi salah satu alasan yang disebutkan dalam
Pasal 162 (1) KUHAP. Dengan demikian, saksi-saksi yang tidak hadir
dalam kasus di atas harus dicari terlebih dahulu apakah saksi-saksi tersebut
tidak hadir dengan alasan yang memenuhi rumusan yang disebutkan dalam
Pasal 162 (1) KUHAP.
Keterangan saksi-saksi yang dibacakan di persidangan dapat
dijadikan alat bukti yang sah apabila keterangan sebelumnya di proses
penyidikan diberikan di bawah sumpah. Oleh karena keterangan kelima
saksi Wan Min bin Wan Mat alias Abu Hafis alias Wan Halim alias Abu
Hidayah, Faiz Abu Bakar Bafana, Ahmad faisal bi Imam Sarijan alias
Zulkifli alias Zul Baby alias Danny Ofresio dan Ahmad Syaifullah Ibrahim
dan Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin yang di bawah sumpah,
maka keterangannya yang dibacakan dianggap sebagai alat bukti dan
keterangannya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang
disumpah di persidangan.
lxxv
B. Saran
Dalam konteks kasus seperti yang telah dibahas di muka, penulis
memberikan saran sebagai berikut :
1. Apabila dalam proses persidangan saksi menolak hadir dengan
alasan yang tidak sah/ tidak sesuai dengan rumusan pasal 162
ayat (1), maka hakim melalui penuntut umum melakukan upaya
paksa untuk menghadirkan saksi. Jika saksi tetap menolak
menghadiri sidang untuk memberi keterangan, padahal telah
dipanggil secara sah, maka saksi tersebut dihadapkan di
persidangan dan dijerat dengan pasal 216, 224, 522 KUHP.
2. Hakim tidak hanya berpedoman pada hukum yang tertulis saja.
Dengan kewenangan yang dimiliki, hakim dapat melakukan
penemuan hukum (rechtsvinding). Jadi sikap hakim tidak hanya
sebagai pihak melaksanakan undang-undang atau sebagai corong
undang-undang (la bouche du droit), melainkan dapat mengatasi
masalah kekosongan hukum dengan melakukan penemuan hukum
disaat menemui suatu perkara yang belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan maupun telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan namun tidak diatur secara lengkap atau
kurang jelas.
lxxvi
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku
A. Karim Nasution. 1976. Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana
I, II, III. Jakarta: Tanpa penerbit
Andi hamzah. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV. Sapta
Artha Jaya.
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti P. 2005. Aspek-aspek Perkembangan
Kekuasaan Kehakiman di Idonesia. Yogyakarta: UII Press
Darwan Prinst. 1998. Hukum Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan.
Imam Soetikno dan Robby Krisnandha. 1998. Pokok-Pokok Hukum Acara
Pidana. Surakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Universitas Sebelas Maret.
Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana: Bagian Kedua.
Jakarta: Sinar Grafika.
Lexy J. Moleong. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.
Martiman Prodjohamidjojo. 1983. Komentar Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Pontang Moerad. 2005. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan
Dalam Perkara Pidana. Bandung: PT. Alumni.
R. Soesilo. 1994. Saksi dan Bukti. Ilmu Bukti dalam Proses Perkara Pidana
Menurut KUHAP. Bogor: Politeia.
Tim.1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdikbud.
Soerjono Sukanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Sudikno Mertokusumo.1981. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:
Liberty.
lxxvii
___________________.2003.Mengenal Hukum Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty
Dari Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 1
tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi
undang-undang
Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.