Download - LAPRES SURIMI ALAN.docx
SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun Oleh:
Nama : Alan Wijaya
NIM : 13.70.0101
Kelompok : C4
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, talenan, baskom, mangkok,
timbangan analitik, alat penggiling daging, kain saring, spatula, loyang, freezer, presser,
plastik bening, dan milimeter blok.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan bawal, garam, gula pasir,
polifosfat, dan es batu.
1.2. Metode
1
Ikan dicuci bersih dengan air mengalir.
Daging ikan difilllet dengan cara dibuang bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulitnya.
2
Daging ikan diambil dan ditimbang sebanyak 100 gram.
Daging ikan dimasukkan ke dalam alat penggiling dengan ditambahkan es batu, kemudian digiling hingga halus.
Daging ikan dicuci dengan air es sambil disaring menggunakan kain saring sebanyak 3 kali hingga didapatkan tekstur yang gempal.
Daging ikan ditaruh di dalam plastik, kemudian ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2, 3, 4, 5), dan polifosfat sebanyak 0,1%
(kelompok 1); 0,3% (kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5).
3
Plastik diikat dan ditaruh di dalam loyang untuk kemudian dibekukan dalam freezer selama 1 malam.
Setelah dithawing, surimi diuji kualitas sensorisnya yang meliputi kekenyalan dan aroma.
Surimi diukur tingkat kekerasannya dengan menggunakan texture analyzer.
Surimi dipress dengan menggunakan presser.
4
Surimi diukur WHCnya dengan menggunakan milimeter blok untuk kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Luas atas=13
a(h0+4 h1+2 h2+4 h3+…+hn)
Luas bawah=13
a(h0+4 h1+2h2+4h3+…+hn)
Luas area basah=Luasatas−Luas bawah
mg H 2O=Luas areabasah−8,00,0948
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan
Kel. Perlakuan Hardness WHCSensoris
Kekenyalan Aroma
C1sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1%
137,22 gF 293598,53 +++ +++
C2sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%
132,55 gF 267004,22 + +
C3sukrosa 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,3%214,65 gF 311814,35 ++ +
C4sukrosa 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,5%126,59 gF 277084,60 ++ ++
C5sukrosa 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,5%159,03 gF 254345,99 + +++
Keterangan:Kekenyalan Aroma+ : tidak kenyal + : tidak amis++ : kenyal ++ : amis+++ : sangat kenyal +++ : sangat amis
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa perlakuan yang digunakan oleh tiap kelompok berbeda
yakni pada penambahan sukrosa kelompok C1 dan C2 sebesar 2,5%, pada kelompok C3, C4
dan C5 sebesar 5%. Kemudian pada penambahan polifosfat dimana kelompok C1
menggunakan penambahan polifosfat 0,1%, kelompok C2 dan C3 penambahan polifosfat
0,3%, lalu kelompok C4 dan C5 dengan penambahan polifosfat 0,5%. Didapatkan hasil
hardness terbesar yakni pada sampel kelompok C3 dengan hardness sebesar 214,65 gF.
Sedangkan nilai WHC terbesar didapatkan oleh kelompok C3 sebesar 311814,35. Sedangkan
untuk uji sensoris, sampel yang memiliki kekenyalan paling kenyal yakni kelompok C1 dan
yang paling tidak kenal didapatkan oleh kelompok C2 dan C5. Lalu untuk aroma, kelompok
C1 dan C5 memiliki sampel dengan aroma yang sangat amis dan pada kelompok C2 serta C3
memiliki aroma yang tidak amis.
5
3. PEMBAHASAN
Ikan adalah salah satu sumber bahan pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi. Akan tetapi
ikan sendiri merupakan jenis bahan pangan yang mudah rusak (perishable food). Oleh karena
itu, untuk mempertahankan mutu dan kesegaran ikan dilakukan pengolahan atau pengawetan
ikan yang bertujuan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang menyebabkan
pembusukan. Salah satu cara pengolahan ikan yakni dengan mengolahnya menjadi produk
setengah jadi atau disebut surimi (Moeljanto, 1992). Surimi adalah daging lumat atau giling
yang telah melalui proses pembersihan dan pencucian secara berulang – ulang sehingga
komponen – komponen yang terkandung didalamnya seperti bau, pigmen, lemak dan darah
dapat telah hilang atau terbuang (Peranginangin et al., 1999). Kata surimi sendiri berasal dari
bahasa Jepang yang berarti daging ikan yang telah digiling, dipilin serta dicuci dengan
menggunakan air untuk meniru produk berharga tinggi seperti kepiting, kerang dan lobster
(Hajidoun & Jaharpour, 2013). Surimi sendiri diolah dari ikan dimana hanya ikan yang
memiliki daging berwarna putih, tidak berbau seperti lumpur dan tidak begitu amis yang
dapat diolah menjadi surimi. Selain itu pula ikan yang digunakan juga harus memiliki
kemampuan pembentukan gel yang maksimal sehingga dapat dihasilkan surimi yang
memiliki kualitas yang baik (Suzuki, 1981). Produk pangan yang dihasilkan dari pengolahan
surimi sendiri meliputi sosis, produk fermentasi berbasis surimi hingga produk ekstrudat
(Jafarpour & Gorczyca, 2009).
Pada praktikum ini digunakan bahan ikan yakni ikan bawal dimana ikan bawal memiliki
warna daging yang putih sehingga surimi yang dihasilkan dapat memiliki kualitas yang lebih
baik. Sedangkan komponen kimia yang terdapat pada ikan seperti air, protein kasar dan
lemak berpengaruh besar terhadap sifat, kandungan nutrisi dan kualitas sensori serta stabilitas
selama penyimpanan. Kandungan lain seperti vitamin, karbohidrat dan mineral memiliki
jumlah yang lebih sedikit akan tetapi juga berperan dalam menentukan kandungan nutrisi dan
sifat sensoris pada surimi yang dihasilkan (Sikorski, 1990).
Mula – mula, ikan bawal yang telah disiapkan dicuci dengan menggunakan air mengalir.
Selanjutnya kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut dan kulit dipisahkan dan diambil daging putih
sebanyak 100 gram. Selanjutnya daging yang telah diambil digiling menggunakan penggiling
dengan penambahan es batu hingga halus. Setelah itu daging ikan dicuci dengan air es sambil
disaring dengan menggunakan kain saring sebanyak 3 kali sampai didapatkan tekstur yang
6
7
menggempal. Penambahan air dingin pada saat penggilingan berperan penting dalam
menjaga kondisi ikan agar tetap dingin. Hal ini dikarenakan kandungan protein larut air akan
hilang pada saat pencucian apabila suhu surimi dan suhu air yang digunakan untuk proses
pencucian lebih tinggi dari 15oC. Bila suhu air selama pencucian lebih tinggi dari 15oC,
protein yang terdapat pada ikan akan terlarut dalam air dimana hal tersebut akan berpengaruh
terhadap karakteristik kekuatan gel yang terbentuk. Suhu optimal air selama proses pencucian
yakni pada kisaran 10oC hingga 15oC (Schwarz dan Lee, 1988). Sedangkan pencucian
berulang – ulang bertujuan untuk meningkatkan kualitas gel surimi selama proses pengolahan
dan penyimpanan. Phatcharat et al. (2012) mengatakan bahwa penggunaan zat aditif protein
yakni dengan penambahan mikroba transglutaminase dapat meningkatkan kekuatan gel
surimi. Akan tetapi peningkatan gel surimi juga dapat menggunakan pencucian berulang –
ulang. Menurut Hamzah et al. (2015), pencucian tidak hanya menghilangkan lemak dan
partikel lain seperti darah, pigmen dan bau akan tetapi juga meningkatkan konsentrasi protein
miofibrilar (actomyosin) yang terdapat pada daging surimi.
Selanjutnya ditambahkan sukrosa 2,5% untuk kelompok C1 dan C2, sukrosa 5% untuk
kelompok C3, C4 dan C5. Kemudian ditambahkan garam sebanyak 2,5% pada semua
kelompok dan polifosfat sebanyak 0,1% untuk kelompok C1, polifosfat 0,3% untuk
kelompok C2 dan C3. Lalu polifosfat 0,5% untuk kelompok C4 dan C5. Setelah itu sampel
dimasukkan dalam wadah dan dibekukan dalam freezer selama 1 malam. Setelah 1 malam,
surimi di thawing terlebih dahulu dan diukur hardness, WHC serta kualitas sensorinya
(kekenyalan dan aroma). Untuk mengukur WHC pada surimi digunakan millimeter block dan
diukur jumlah mgH2O dengan menggunakan rumus berikut :
Luas Atas (La)=13
a(h0+4 h1+2h2+4 h3+….+hn)
Luas Bawah(Lb)=13
a(h0+4h1+2 h2+4 h3+….+hn)
Luas Area Basah=La−Lb
Mg H 2 O= luas areabasah−8,00,0948
8
Pada proses leaching ditambahkan garam sebanyak 0,3% dimana garam akan mempercepat
penghilangan air dari daging ikan yang telah digiling. Selain itu, garam berfungsi untuk
melepas myosin yang terdapat pada serat ikan dimana serat ikan tersebut berdampak pada
kekuatan gel yang dihasilkan. Semakin banyak myosin yang terlepas maka akan semakin
maksimal pula kekuatan gel yang dihasilkan (Ditjen Perikanan Tangkap, 1990). Kemudian
penambahan sukrosa sendiri menurut Winarno et al. (1980), berfungsi untuk meningkatkan
kualitas surimi yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan sukrosa merupakan salah satu jenis
bahan cryoprotectant. Dimana bahan ini dapat menghambat proses denaturasi pada protein
selama proses pembekuan dan penyimpanan beku. Hal tersebut akan menginaktifkan
kondensasi dengan cara mengikat molekul air dengan ikatan hidrogen. Sukrosa tersebut akan
meningkatkan kemampuan air sebagai bahan pengikat, mencegah pertukaran molekul –
molekul air dan menstabilkan protein pada surimi tersebut (Zhou et al., 2006).
Cryoprotectant sendiri sangat penting dalam proses pembuatan surimi dikarenakan fungsinya
untuk melindungi surimi pada saat penyimpanan frozen. Pada saat penyimpanan tersebut
protein myofibrillar akan kehilangan fungsinya dimana hal tersebut akan berpengaruh
terhadap perubahan tekstur, penggumpalan protein serta menurunnya WHC (Water Holding
Capacity) (Rodiana Nopianti et al., 2011). Hal tersebut ditambahkan oleh Dey & Dora
(2011), yang mengatakan bahwa cryoprotectant dapat meminimalkan efek negatif selama
penyimpanan dalam keadaaan beku. Hal tersebut dapat dilihat pada parameter fisikkimia,
biokimia dan sensori, selain sukrosa juga dapat digunakan sorbitol sebagai bahan
cryoprotectant.
Kemudian bahan lain yang ditambahkan yakni polifosfat dimana penambahan polifosfat
bertujuan untuk memisahkan aktomiosin dan juga agar dapat berikatan dengan miosin. Hasil
dari ikatan polifosfat dengan miosin sendiri memiliki fungsi untuk menahan mineral dan
vitamin. Fungsi lain dari penambahan polifosfat sendiri agar dapat meningkatkan nilai
kelembutan serta memperbaiki elastisitas pada surimi. Penambahan polifosfat yang optimum
yakni sebesar 0,2 % hingga 0,3% sehingga mampu memperbaiki kemampuan daya ikat air
(Water Holding Capacity) (Peranginangin et al., 1999).
3.1. Hardness dan Water Holding Capacity (WHC)
Pada hasil pengamatan tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai Hardness dan WHC paling besar
didapatkan oleh kelompok C3 dengan nilai hardness sebesar 214,65 gF dan nilai WHC
sebesar 311.814,35 mg H2O Perlakuan yang dilakukan oleh kelompok C3 yakni dengan
9
menambahkan sukrosa 5%, garam 2,5% dan polifosfat 0,3%. Menurut Fennema (1985),
sukrosa mempunyai gugus polihidroksi dimana ikatan hidrogennya dapat bereaksi dengan
molekul air. Hal ini akan menyebabkan tegangan permukaan meningkat dan mencegah
keluarnya molekul air dari protein serta akan menjaga stabilitas protein sehingga tekstur tetap
elastis. Oleh karena itu semakin besar konsentrasi sukrosa yang digunakan maka akan
semakin elastis tekstur surimi sehingga nilai hardness akan semakin menurun. Hal ini tidak
sesuai dengan praktikum yang dilakukan dimana nilai hardness kelompok C3 dan C5 yang
menggunakan sukrosa lebih besar tetapi malah mengalami peningkatan nilai hardness.
Sedangkan penambahan garam menurut Suzuki (1981) bertujuan untuk menurunkan
kandungan air yang terdapat dalam kandungan daging ikan giling dari surimi sehingga dapat
terbentuk gel yang elastis dan fleksibel. Pada percobaan yang dilakukan konsentrasi garam
yang digunakan setiap kelompok sama yakni sebesar 2,5%. Namun nilai WHC juga dapat
dipengaruhi oleh penambahan polifosfat dikarenakan polifosfat dapat meningkatkan daya ikat
air serta kelembutan pada adonan surimi. Sehingga semakin besar konsentrasi polifosfat yang
digunakan akan semakin meningkatkan nilai WHC yang dihasilkan (Tan et al., 1988). Pada
percobaan yang dilakukan hasil yang didapatkan masih tidak sesuai dengan teori yang ada
dimana nilai WHC terbesar didapatkan oleh penambahan polifosfat dengan kadar 0,3%.
3.2. Analisa Sensoris
Pada hasil sensoris yang dilakukan oleh salah seorang praktikan menunjukkan nilai
kekenyalan paling tinggi didapatkan oleh kelompok C1 dengan perlakuan sukrosa 2,5%,
garam 2,5% dan polifosfat 0,1% dimana nilai tingkat kekenyalan yang diberikan yakni + + +
(sangat kenyal) dan kekenyalan paling rendah didapatkan oleh kelompok C2 dan C5 dengan
nilai kekenyalan + (tidak kenyal). Menurut Shaviko et al. (2010), semakin besar penambahan
konsentrasi sukrosa dan garam akan menghasilkan nilai WHC yang akan semakin besar pula.
Diperjelas oleh Toyoda et al. (1992), semakin besar konsentrasi polifosfat yang ditambahkan
juga akan meningkatkan nilai WHC dimana semakin besar nilai WHC yang dihasilkan maka
akan semakin rendah kekenyalannya. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai WHC maka
kandungan air (mg H2O) yang terdapat pada surimi juga akan semakin banyak sehingga
kekenyalan pada surimi akan rendah. Dari hasil yang didapatkan kekenyalan paling rendah
didapatkan oleh nilai WHC yang rendah pula sehingga tidak sesuai dengan teori yang ada.
Hal ini dapat diakibatkan karena pengadukan yang kurang maksimal selama praktikum
sehingga penyerapan sukrosa ke dalam daging giling kurang sempurna. Selain itu pula
10
pemerasan yang tidak benar dapat mengakibatkan kandungan air pada daging surimi lebih
banyak. Air yang seharusnya tidak terikat oleh sukrosa dan garam yang seharusnya keluar
selama proses pemerasan masih berada dalam daging surimi.
Sedangkan untuk uji sensoris aroma surimi yang menghasilkan bau sangat amis didapatkan
oleh surimi kelompok C1 dan C5. Lalu untuk surimi yang tidak amis yakni surimi yang
dihasilkan oleh kelompok C2 dan C3 dengan penambahan sukrosa 2,5 %, garam 2,5% dan
polifosfat 0,3%. Surimi yang dihasilkan seharusnya menghasilkan aroma yang tidak amis,
timbulnya bau amis yang sangat amis dapat dikarenakan proses pencucian yang dilakukan
pada awal percobaan kurang maksimal. Irianto (1990), mengatakan bahwa proses pencucian
dilakukan sebagai treatment awal memiliki tujuan untuk menghilangkan aroma atau bau amis
yang dikarenakan adanya senyawa trimetilamin (senyawa utama pembentuk aroma pada
ikan). Sedangkan Suzuki (1981), menambahkan bahwa uji sensoris yang dilakukan oleh
manusia cenderung tidak tepat dikarenakan persepsi yang berbeda dari setiap manusia.
4. KESIMPULAN
Surimi adalah daging lumat atau giling yang telah melalui proses pembersihan dan
pencucian secara berulang – ulang.
Pencucian yang berulang – ulang dapat meningkatkan gel surimi yang dihasilkan.
Penambahan garam berfungsi untuk melepas myosin yang terdapat pada serat ikan
dimana serat ikan tersebut berdampak pada kekuatan gel yang dihasilkan.
Sukrosa dapat menghambat proses denaturasi pada protein selama proses pembekuan dan
penyimpanan beku.
Penambahan polifosfat bertujuan untuk memisahkan aktomiosin dan juga agar dapat
berikatan dengan miosin.
Penambahan polifosfat yang optimum yakni sebesar 0,2 % hingga 0,3%.
Semakin besar konsentrasi sukrosa yang digunakan maka akan semakin elastis tekstur
surimi.
Semakin besar konsentrasi sukrosa yang digunakan akan menyebabkan nilai hardness
akan semakin menurun.
Semakin besar konsentrasi sukrosa, garam dan polifosfat yang digunakan akan semakin
tinggi pula nilai WHC (Water Holding Capacity).
Semakin tinggi nilai WHC yang dihasilkan maka semakin rendah tingkat kekenyalan
surimi yang dihasilkan.
Aroma amis yang dihasilkan ikan dikarenakan senyawa trimetilamin yang tidak hilang
selama proses pencucian.
Semarang, 19 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen
- Yusdhika Bayu S
Alan Wijaya
(13.70.0101)
11
5. DAFTAR PUSTAKA
Ali J, Elisabeth M. G. 2009. Rheological Characteristics and Microstructure of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi and Kamaboko Gel. Food Biophysics 4:172-179.
[Ditjen Perikanan] Direktorat Jenderal Perikanan. 1990. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry-Second Edition, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc.
Habib A, A. Jafarpour. 2013. The Influence of Chitosan on Textural Properties of Common Carp (Cyprinus Carpio) Surimi. J Food Process Technol 4: 226.
Irianto B. (1990). Teknologi surimi salah satu cara mempelajari nilai tambah ikan ikan yang kurang dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9 (2): 35 – 39.
Moeljanto.(1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta : Penebar Swadaya Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Penebar Swadaya. Bandung.
N. Hamzah, N. M. Sarbon, A. M. Amin. 2015. Physical properties of cobia (Rachycentron canadum) surimi: effect of washing cycle at different salt concentrations. J Food Sci Technol 52(8):4773–4784
Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999.Teknologi PengolahanSurimi.Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.
Phatcharat, S; Benjakul, S; Visessanguan, W. (2004). Effect of Washing with Oxidising Agents on The Gel-Forming Ability and Physicochemical Properties of Surimi Produced From Bigeye Snapper (Priacanthus tayenus). Department of Food Technology Prince of Songkla University Thailand.
Rodiana N, Nurul H, Noryanti I. 2011. A Review on the Loss of the Functional Properties of Proteins during Frozen Storage and the Improvement of Gel-forming Properties of Surimi. American Journal of Food Technology 6 (1): 19-30.
Satya S. D, Krushna C. D. 2011. Suitability of chitosan as cryoprotectant on croaker fish (Johnius gangeticus) surimi during frozen storage. J Food Sci Technol (November–December 2011) 48(6):699–705
Schwarz MD, Lee CM. 1988. Comparison of the thermostability of redhake and alaska pollack surimi during processing. Journal of Food Science. Vol. 53 (5): 1347 –1351.
12
13
Shaviklo, G. R., Gudjon T., and Sigurjon Arason. (2010). The Influence of Additives and Frozen Storage on Functional Properties and Flow Behaviour of Fish Protein Isolated from Haddock (Melanogrammus aeglefinus). Turkhish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 333-340.
Sikorski ZE. 1990.Seafood: Resources, Nutritional Composition andPreservation. Florida: CFC Press Inc, Boca Ratan.
Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Applied Science Publishers Ltd.
Tan SM, Ng MC, Fujiwara T, Kok KH, and Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia.Marine Fisheries.Research Department-South East Asia Fisheries Development Center. Singapore.
Toyoda, K., Shiraishi, T., Yoshioka, H., Yamada, T., Ichinose, Y. and Oku, H. (1992) Regulation of Polyphosphoinositide Metabolism in Peaplasma Membrane by Elicitor and Suppressor from a Pea Pathogen, Mycosphaerellapinodes. Plant Cell Physiol. 33: 445-452.
Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.
Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. (2006). Cryoprotective Effect of Trehalose and Sodium Lactate on Tilapia (Sarotherodon nilotica) Surimi Durimg Frozen Storage. Journal of Food Chemistry 96(2):96-103.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
Luas atas=13
a(h0+4 h1+2 h2+4 h3+…+hn)
Luas bawah=13
a(h0+4 h1+2h2+4h3+…+hn)
Luas area basah=Luasatas−Luas bawah
mg H 2O=Luas areabasah−8,00,0948
Kelompok C1
Luas atas=13
∙37 ( 82+4 ∙ 181+2∙ 201+4 ∙194+143 )=35350,11
Luas bawah=13
∙ 37 (82+4 ∙37+2∙30+4 ∙ 44+143 )=7508,97
Luas area basah=35350,11−7508,97=27841,14
mg H 2O=27841,14−8,00,0948
=293598,53
Kelompok C2
Luas atas=13
∙ 45 (119+4 ∙ 200+2∙208+4 ∙201+95 )=33510
Luas bawah=13
∙ 45 (119+4 ∙33+2 ∙ 26+4 ∙37+95 )=8190
Luas area basah=33510−8190=25320
mg H 2O=25320−8,00,0948
=267004,22
Kelompok C3
Luas atas=13
∙ 48 (122+4 ∙ 218+2 ∙230+4 ∙207+120 )=38432
Luas bawah=13
∙ 48 (122+4 ∙ 34+2 ∙20+4 ∙34+120 )=8864
Luas area basah=38432−8864=29568
mg H 2O=29568−8,00,0948
=311814,35
14
15
Kelompok C4
Luas atas=13
∙ 46 (90+4 ∙184+2 ∙201+4 ∙ 190+120 )=32315,64
Luas bawah=13
∙ 46 (90+4 ∙19+2 ∙ 8+4 ∙23+120 )=6040,02
Luas area basah=32315,64−6040,02=26275,62
mg H 2O=26275,62−8,00,0948
=277084,60
Kelompok C5
Luas atas=13
∙ 45 (120+4 ∙ 198+2 ∙ 222+4 ∙217+112 )=35040
Luas bawah=13
∙ 45 (120+4 ∙ 50+2 ∙ 44+4 ∙52+112 )=10920
Luas area basah=35040−10920=24120
mg H 2O=24120,00−8,00,0948
=254345,99
6.2. Laporan Sementara