Download - LaporanPemicu 3 Ginjal Dan Cairan Tubuh
BAB I
PENDAHULUAN
Pemicu 3
Tn. S, usia 45 tahun datang berobat ke UGD dengan keluhan panas tinggi, sakit
kepala dan menggigil sejak 4 hari yang lalu disertai kencing berwarna merah
kehitaman. Sejak kemarin sore tidak buang air kecil dan merasa sesak nafas. Dua
minggu sebelumnya tuan S pergi keperluan dinas di Papua selama 2 hari.
1.1. Kata Kunci
- Tn. S, umur 45 tahun.
- Panas tinggi.
- Sakit kepala dan menggigil.
- Kencing berwarna merah kehitaman.
- Tidak BAK sejak kemarin.
- Sesak napas.
- Keperluan dinas ke Papua.
1.2. Rumusan Masalah
Tn. S, 45 tahun dengan keluhan sakit kepala dan menggigil, panas tinggi dan
kencing berwarna merah kehitaman.
1.3. Hipotesis
1.4. Analisis Masalah
1.5. Pertanyaan Diskusi
1. Apa yang dimaksud dengan gagal ginjal?
2. Bagaimana epidemiologi gagal ginjal?
3. Apa penyebab gaga ginjal?
4. Apa klasifikasi gagal ginjal?
5. Bagaimana patofisiologi gagal ginjal?
6. Apa gejala klinis gagal ginjal?
7. Apa faktor resiko dan predisposisi gagal ginjal?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang gagal ginjal?
9. Bagaimana menegakkan diagnosis pada gagal ginjal?
10. Bagaimana tatalaksana gagal ginjal?
11. Apa yang dimaksud dengan gagal ginjal akut?
12. Bagaimana klasifikasi gagal ginjal akut?
13. Apa yang dimaksud dengan sindrom nefrotik?
14. Apa yang dimaksud dengan glomerulonefritis?
15. Apa yang dimaksud dengan blackwater fever?
16. Apa itu malaria?
17. Jelaskan mengenai analisis gas darah!
18. Mengapa tn. S mengalami sesak nafas?
19. Mengapa air kencing tn. S berwarna merah kehitaman?
20. Mengapa tn. S tidak buang air kecil 1 hari sebelumnya?
21. Bagaimana perbedaan gagal ginjal akut dan kronis?
22. Bagaimana perbedaan gagal ginjal, glomerulonefritis dan blackwater
fever?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Gagal Ginjal
a. Definisi
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga
minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung
reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa
metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit.
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya
normal (AKI “klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney
disease). Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak
ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas
parameter gagal ginjalakut yang digunakan berbeda-beda pada
berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain
kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-
analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini
dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan
dapat menggambarkan prognosis pasien.
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI)
yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada
tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian
istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman
masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi
injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal.
Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal
antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap
penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum
ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis
mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan
urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum;
(4) penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan
LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker)
penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja.
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE
yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum
atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya
penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan
prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel.
Tabel 1
Kategori Peningkatan kada cr serum
Penurunan LFG Kriteria Output Urin
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasaratau >4 mg/dL
dengan kenaikan akut > 0,5 mg/dL
>75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam,>24 jam atau
anuria >12 jam
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 mingguEnd stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan
b. Patofisiologi
Sebagian besar penyakit ginjal menyerang nefron, mengakibatkan
kehilangan kemampuannya untuk menyaring. Kerusakan pada nefron
dapat terjadi secara cepat, sering sebagai akibat pelukaan atau
keracunan. Tetapi kebanyakan penyakit ginjal menghancurkan nefron
secara perlahan dan diam-diam. Kerusakan hanya tertampak setelah
beberapa tahun atau bahkan dasawarsa. Sebagian besar penyakit ginjal
menyerang kedua buah ginjal sekaligus.
Gagal ginjal terminal terjadi bila fungsi ginjal sudah sangat buruk,
dan penderita mengalami gangguan metabolisme protein, lemak, dan
karbohidrat. Ginjal yang sakit tidak bisa menahan protein darah
(albumin) yang seharusnya tidak dilepaskan ke urin. Awalnya terdapat
dalam jumlah sedikit (mikro-albuminuria). Bila jumlahnya semakin
parah akan terdapat pula protein lain (proteinuria). Jadi, berkurangnya
fungsi ginjal menyebabkan terjadinya penumpukan hasil pemecahan
protein yang beracun bagi tubuh, yaitu ureum dan nitrogen.
Kemampuan ginjal menyaring darah dinilai dengan perhitungan
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) atau juga dikenal dengan Glomerular
Filtration Rate (GFR). Kemampuan fungsi ginjal tersebut dihitung dari
kadar kreatinin (creatinine) dan kadar nitrogen urea (blood urea
nitrogen/BUN) di dalam darah. Kreatinin adalah hasil metabolisme sel
otot yang terdapat di dalam darah setelah melakukan kegiatan, ginjal
akan membuang kretinin dari darah ke urin. Bila fungsi ginjal
menurun, kadar kreatinin di dalam darah akan meningkat. Kadar
kreatinin normal dalam darah adalah 0,6-1,2 mg/dL. LFG dihitung dari
jumlah kreatinin yang menunjukkan kemampuan fungsi ginjal
menyaring darah dalam satuan ml/menit/1,73m.
Kemampuan ginjal membuang cairan berlebih sebagai urin
(creatinine clearence unit) di hitung dari jumlah urin yang dikeluarkan
tubuh dalam satuan waktu, dengan mengumpulkan jumlah urin
tersebut dalam 24 jam, yang disebut dengan C_crea (creatinine
clearence). C_cre normal untuk pria adalah 95-145 ml/menit dan
wanita 75-115 ml/menit.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronik menurut Doenges
(1999) adalah :
1) Urine
a) Volume, biasnya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau
urine tidak ada.
b) Warna, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh
pus, bakteri, lemak, pertikel koloid, fosfat atau urat.
c) Berat jenis urine, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat)
d) Klirens kreatinin, mungkin menurun
e) Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsobsi natrium.
f) Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4 +) secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus.
2) Darah
a) Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adaya anemia, Hb
biasanya kurang dari 7-8 gr .
b) Sel darah merah, menurun pada defesien eritropoetin seperti
azotemia.
c) GDA, pH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,2)
terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk
mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme
prtein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun.
d) Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan)
e) Magnesium fosfat meningkat
f) Kalsium menurun
g) Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan atau sintesa karena kurang asam
amino esensial.
h) Osmolaritas serum: lebih beasr dari 285 mOsm/kg, sering
sama dengan urin.
3) Pemeriksaan radiologik
a) Foto ginjal, ureter dan kandung kemih (kidney, ureter dan
bladder/KUB): menunjukkan ukuran ginjal, ureter, kandung
kemih, dan adanya obstruksi (batu).
b) Pielogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan
mengidentifikasi ekstravaskuler, masa
c) Sistouretrogram berkemih; menunjukkan ukuran kandung
kemih, refluks kedalam ureter dan retensi.
d) Ultrasonografi ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya
masa, kista, obstruksi pada saluran perkemuhan bagian atas.
e) Biopsy ginjal: mungkin dilakukan secara endoskopik, untuk
menentukan seljaringan untuk diagnosis hostologis.
f) Endoskopi ginjal dan nefroskopi: dilakukan untuk menentukan
pelis ginjal (keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor
selektif).
g) Elektrokardiografi/EKG: mingkin abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
h) Fotokaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan, dapat
menunjukkan demineralisasi, kalsifikasi.
i) Pielogram intravena (IVP), menunjukkan keberadaan dan
posisi ginjal, ukuran dan bentuk ginjal.
j) CT scan untuk mendeteksi massa retroperitoneal (seperti
penyebararn tumor).
k) Magnetic Resonan Imaging / MRI untuk mendeteksi struktur
ginjal, luasnya lesi invasif ginjal
d. Faktor Resiko
Faktor yang dapat meningkatkan risiko gagal ginjal kronis, antara lain:
diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, merokok, kegemukan,
kolesterol tinggi, ras Afrika-Amerika, penduduk asli Amerika atau ras
Asia-Amerika, Riwayat keluarga dengan penyakit ginjal, usia 65 tahun
atau lebih.
e. Pencegahan
1) Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk
menghindari diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan
yang dapat dilakukan, antara lain:
a) Modifikasi gaya hidup
Pola hidup memegang peranan penting dalam menentukan
derajat kesehatan seseorang. Mengatur pola makan rendah
lemak dan mengurangi garam, minum air yang cukup
(disarankan 10 gelas atau dua liter per hari), berolahraga secara
teratur dan mengatur berat badan ideal, hidup dengan santai
merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga fungsi
organ tubuh untuk dapat bekerja maksimal. Bernafas dalam dan
perlahan selama beberapa menit perhari dapat menurunkan
hormon kortisol sampai 50%. Kortisol adalah hormon stress
yang apabila terdapat dalam jumlah berlebihan akan
mengganggu fungsi hampir semua sel di dalam tubuh.
Bersantai dan melakukakn latihan relaksasi serta
mendengarkan musik juga merupakan alternatif untuk
mengurangi stress.
b) Hindari pemakaian obat-obat atau zat-zat yang bersifat
nefrotoksik tanpa sepengetahuan dokter, misalnya obat pereda
nyeri yang dijual bebas dan mengandung ibuprofen maupun
obat-obatan herbal yang belum jelas kandungannya.
c) Monitoring fungsi ginjal yang teliti pada saat pemakaian obat-
obat yang diketahui nefrotoksik.
2) Pencegahan Sekunder
a) Penegakan diagnosa secara tepat
Pengelolaan terhadap penyakit ginjal yang efektif hanya
dapat dimungkinkan apabila diagnosisnya benar. Pemeriksaan
fisis yang diteliti dan pemilahan maupun interpretasi
pemeriksaan laboratorium yang tepat amat membantu
penegakan diagnosis dan pengelolaannya. Ginjal mempunyai
kaitan yang erat dengan fungsi organ-organ lain dan demikian
pula sebaliknya, oleh karena itu haruslah penderita dihadapi
secara utuh bukan hanya ginjalnya saja, baik pada pengambilan
anamnesis maupun pada pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan
lainnya.
b) Penatalaksanaan medik yang adekuat
Pada penderita gagal ginjal, penatalaksanaan medik
bergantung pada proses penyakit. Tujuannya untuk memelihara
keseimbangan kadar normal kimia dalam tubuh, mencegah
komplikasi, memperbaiki jaringan, serta meredakan atau
memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif. Tindakan
yang dilakukan diantaranya:
- Penyuluhan pasien/keluarga
Pasien lebih mampu menerima pendidikan setelah
tahap akut. Materi yang dapat dimasukkan dalam
pendidikan kesehatan meliputi: penyebab kegagalan
ginjal, obat yang dipakai (nama obat, dosis, rasional, serta
efek dan efek samping), terapi diet termasuk pembatasan
cairan (pembatasan kalium, fosfor dan protein, makan
sedikit tetapi sering), perawatan lanjutan untuk
gejala/tanda yang memerlukan bantuan medis segera
(perubahan haluaran urine, edema, berat badan bertambah
tibatiba, infeksi, meningkatnya gejala uremia).
- Pengaturan diet protein, kalium, natrium.
Pengaturan makanan dan minuman menjadi sangat
penting bagi penderita gagal ginjal. Bila ginjal mengalami
gangguan, zat-zat sisa metabolisme dan cairan tubuh yang
berlebihan akan menumpuk dalam darah karena tidak bisa
dikeluarkan oleh ginjal. Konsumsi protein terlalu banyak
dapat memperburuk kondisi kerusakan ginjal karena hasil
metabolismenya yang paling berbahaya, urea, menumpuk
didalam darah sehingga terjadi peningkatan Blood Urea
Nitrogen (BUN). Diet gagal ginjal juga didukung dengan
pembatasan asupan natrium (garam) untuk mengatur
keseimbangan cairan-elektrolit, pemberian makanan yang
kaya kalsium untuk mencegah osteotrofi ginjal (penurunan
masa jaringan, kelemahan otot) dan memperbaiki
gangguan irama jantung yang tidak seimbang (aritmia).
- Pengaturan kebutuhan cairan dan keseimbangan elektrolit.
Perubahan kemampuan untuk mengatur air dan
mengekskresi natrium merupakan tanda awal gagal ginjal.
Tujuan Dari pengendalian cairan adalah memepertahankan
status normotensif (tekanan darah dalam batas normal)
dan status normovolemik (volume cairan dalam batas
normal). Dapat dilakukan dengan pengendalian elektrolit,
seperti: Hiperkalemia dikendalikan dengan mengurangi
asupan makanan yang kaya dengan kalium (pisang, jeruk,
kentang, kismis, dan sayuran berdaun hijau).
3) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan langkah yang bisa dilakukan
untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat, kecacatan
dan kematian. Pengobatan penyakit yang mendasari, sebagai
contoh: masalah obstruksi saluran kemih dapat diatasi dengan
meniadakan obstruksinya, nefropati karena diabetes dengan
mengontrol gula darah, dan hipertensi dengan mengontrol tekanan
darah.
a) Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air
mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori
dari satu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya.
Hemodialisis dan dialysis merupakan dua teknik utama yang
digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik itu
sama, difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis
sebagai respons terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan
tertentu.
- Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal
di Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci
darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan.
- Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan
bantuan membran selaput rongga perut (peritoneum),
sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh
untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis.
CAPD merupakan suatu teknik dialisis kronik dengan
efisiensi rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi
pasien terhadap kerentanan perubahan cairan (seperti
pasien diabetes dan kardiovaskular).
b) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal
mengatasi gagal ginjal karena menghasilkan rehabilitasi yang
lebih baik disbanding dialysis kronik dan menimbulkan
perasaan sehat seperti orang normal. Transplantasi ginjal
merupakan prosedur menempatkan ginjal yang sehat berasal
dari orang lain kedalam tubuh pasien gagal ginjal. Ginjal yang
baru mengambil alih fungsi kedua ginjal yang telah mengalami
kegagalan dalam menjalankan fungsinya. Seorang ahli bedah
menempatkan ginjal yang baru (donor) pada sisi abdomen
bawah dan menghubungkan arteri dan vena renalis dengan
ginjal yang baru. Darah mengalir melalui ginjal yang baru
yang akan membuat urin seperti ginjal saat masih sehat atau
berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber,
yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor
kadaver).
f. Komplikasi
Gagal ginjal kronis dapat mempengaruhi hampir setiap bagian dari
tubuh Anda. Potensi komplikasi dapat mencakup:
1) Retensi cairan, yang dapat menyebabkan pembengkakan pada
lengan dan kaki, tekanan darah tinggi, atau cairan di paru-paru
(edema paru).
2) Kenaikan mendadak pada kadar kalium dalam darah
(hiperkalemia), yang dapat mengganggu kemampuan jantung
untuk berfungsi dan dapat mengancam jiwa.
3) Jantung dan penyakit pembuluh darah (penyakit kardiovaskular)
4) Lemah tulang dan peningkatan risiko patah tulang
5) Anemia.
6) Penurunan dorongan seksual atau impotensi
7) Kerusakan sistem saraf pusat Anda, yang dapat menyebabkan
perubahan kepribadian kesulitan berkonsentrasi, atau kejang
8) Penurunan respon kekebalan, yang membuat Anda lebih rentan
terhadap infeksi.
9) Perikarditis, peradangan pada pembungkus kantung-seperti yang
menyelubungi jantung Anda (perikardium)
10) Komplikasi Kehamilan yang membawa risiko bagi ibu dan janin
yang sedang berkembang.
11) Kerusakan permanen pada ginjal (stadium akhir penyakit ginjal),
akhirnya ginjal membutuhkan dialysis atau transplantasi ginjal
untuk bertahan hidup
2.2. Gagal Ginjal Akut
a. Definisi
Gagal ginjal akut merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
dengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasanya dalam
beberapa hari) yang menyebabkan azotemia berkembang cepat.
b. Etiologi Ginjal
GGA renal intrinsic akut dapat terjadi akibat paparan berbagai agen
farmakologik. Paling banyak yaitu nephrotoxins, insiden GGA
meningkat pada lanjut usia dan pasien dengan insufisiensi ginjal
kronis, hypovolemia nyata atau papararan terhadap toxin yang lain
Vasokonstriksi intrarenal merupakan kejadian awal pada GGA
yang dipicu oleh radiocontrast, siklosporin, dan tacrolimus.
Sehubungan dengan patofisiologi ini, agen tersebut memicu GGA
yang memiliki kemiripan dengan GGA prerenal: yaitu penurunan akut
dari aliran darah ginjal dan GFR2, sedimen urin yang relatif ringan, dan
eksresi natrium yang rendah. Kasus berat dapat memperlihatkan bukti
klinis atau patologik dari adanya ATN. Nefropati toksik akibat zat
kontras umumnya memperlihatkan peningkatan akut (onset 24-48 jam)
dari BUN dan kreatinin namun reversibel (resolusi dalam 1 minggu)
dan paling umum terjadi pada individu dengan insufisensi renal kronik,
DM, CHF, hipovolemik, atau myeloma multipel. Sindrom ini
sepertinya terkait dengan dosis dan insidennya sedikit berkurang pada
individu resiko tinggi dengan memakai agen kontras yang lebih mahal,
nonionik kontras
Toksisitas langsung terhadap sel epitel tubuler dan atau obstruksi
intratubuler adalah kejadian patofisiologis utama pada GGA yang
disebabkan oleh antibiotik dan antikanker. Zat yang sering merusak
adalah agen antimicrobial seperti acyclovir, foscarnet, aminoglikosida,
amphotericin B, dan pentamidini, dan agen kemoterapi seperti
cisplatin, carboplatin, dan ifosfamide. GGA terjadi pada 10 sampai
30% penggunaan aminoglikosida walaupun dengan kadar terapeutik.
Amfoterisin B menyebabkan GGA- terkait dosis melalui
vasokonstriksi intrarenal dan toksisitas langsung pada epitel tubulus.
Cisplatin dan carboplatin seperti aminoglikosida terkumpul oleh sel
tubulus proksimalis dan memprovokasi GGA setelah 7 hingga 10 hari
dari paparan dengan cara merusak mitokondria, inhibisi dari aktivitas
ATPase, transpor larutan, trauma yang dimediasi radikal bebas
terhadap membran sel, apoptosis, dan nekrosis
Nephrotoxin endogen yang paling umum adalah kalsium,
myoglobin, hemoglobin, urat, oxalate, dan myeloma rantai ringan.
Hyperkalsemia dapat menurunkan GFR, kebanyakan dengan memicu
vasokonstriksi intrarenal. Deposisi kalsium fosfat didalam ginjal juga
berkontribusi. Rhabdomyolisis dan hemolisis dapat memicu GGA,
umumnya pada pasien dengan hipovolemik atau asidosis.
Myoglobinuric GGA terjadi kurang lebih 30% kasus dari
rhabdomyolisis. Kasus umum ini termasuk cedera trauma
tabrakan, iskemia otot akut, kejang, olahraga berlebihan, heat stroke,
atau gangguan metabolisme. GGA akibat hemolisis biasanya jarang
dan diperlihatkan dari reaksi pada transfuse darah yang massif. Telah
menjadi postulat bahwa myoglobin dan hemoglobin atau komponen
lain yang dilepaskan oleh otot atau sel darah merah menimbulkan
GGA melalui efek toksik pada sel epitel tubuler, dengan mempromosi
stress oksidatif pada intrarenal dan dengan memicu pembentukan
serpihan padat intratubuler. Hipovolemia atau asidosis dapat
berkontribusi pada patogenesis GGA dalam keadaan ini dengan
pembentukan serpihan padat intratubuler.
Sebagai tambahan, hemoglobin dan myoglobin adalah penghambat
yang kuat dari bioactivitas nitrit-oxide dan dapat mencetuskan
vasokonstriksi intrarenal dan inskemik pada pasien dengan
hypoperfusion ringan. Serpihan padat intratubuler ini mengandung
immunoglobulin rantai ringan dan protein lainnya, termasuk Tamm-
Horsfall protein yang diproduksi oleh sel thick ascending limb , yang
merupakan pemicu utama terjadinya GGA pada pasien dengan
multiple (myeloma cast nephropathy). Sebagai tambahan, rantai ringan
dapat secara langsung menjadi racun untuk sel epithelial tubuler.
Obstruksi intratubuler juga merupakan sebab penting terjadinya GGA
pada pasien dengan hyperuricosuria atau hyperoxaluria. Nephropati
asam urat akut biasanya muncul pada pengobatan gangguan
lymphoproliferative atau myeloproliferative namun lebih sering terjadi
akibat hyperurisemia jika urin terkonsentrasi.
Penyebab lain
1) GGA Renal.
Pasien dengan atherosclerosis berat dapat mengalami GGA
setelah manipulasi aorta atau arteri renalis pada saat operasi atau
angiography, setelah suatu trauma, atau yang lebih jarang, adanya
embolisasi kristal kolesterol pada pembuluh darah ginjal
(atheroembolic GGA). Kristal kolesterol tersumbat di dalam lumen
arteri berukuran kecil atau sedang. Kemudian memicu reaksi sel
giant dan reaksi fibrosis di dalam dinding pembuluh darah dengan
penyempitan atau penyumbatan dari lumen pembuluh darah.
Atheroembolic GGA biasanya ireversibel.
Sangat banyak struktur agen pharmalogis yang memicu
GGA akibat reaksi hipersensitivitas berupa interstitial nephritis,
suatu penyakit yang ditandai dengan adanya infiltrate pada
tubulointerstritium berupa granulosit (biasanya namun tidak selalu,
eosinophils), makrofag, dan/atau limfosit dan dengan interstitial
oedema. Obat yang tersering adalah antibiotic seperti penicillins,
cephalosporins, trimethoprim, sulfonamides, rifampicin dan
NSAID
2) GGA Postrenal
Prevalensi ostruksi saluran kemih sebagai penyebab GGA
kurang dari 5% kasus GGA. Hal ini dikarenakan ginjal mempunyai
kapasitas klirens untuk mengeksresi produk limbah nitrogenous
setiap harinya, GGA akibat obstruksi hanya terjadi jika terdapat
sumbatan aliran urin dari urethral meatus externum dan kandung
kemih, obstruksi bilateral ureter, atau sumbatan ureter unilateral
pada pasien dengan 1 ginjal yang berfungsi.Obstruksi buli-buli
merupakan sebab umum terjadinya GGA postrenal dan biasanya
disebabkan oleh penyakit prostate (seperti Bengn Prostat
Hypertrophy, tumor, atau infeksi). Penyebab yang lebih jarang
yaitu obstruksi saluran kemih bagian bawah termasuk bekuan
darah, calculus, dan urtheritis disertai spasme. Obstruksi ureter
dapat disebabkan oleh obstruksi intraluminal (kalkulus), infiltrasi
dinding ureter (neoplasia) atau kompresi eksternal (retroperitoneal
fibrosis, neoplasia, atau abses) Selama tahap awal obstruksi (jam
sampai hari), filtrasi glomerulus yang berkontinu akan
meningkatkan tekanan intraluminal di atas dari lokasi obstruksi.
Sebagai hasilnya, terjadi distensi berangsur dai ureter proksimal,
renal pelvis, dan calyces, dan penurunan pada GFR. Obstruksi akut
mulanya berkaitan dengan peningkatan ringan aliran darah ginjal
namun vasokonstriksi arteriolar segera terjadi mendadak,
mengarahkan pada penurunan filtrasi glomerulus lebih lanjut.
c. Patofisiologi
Aliran darah ginjal total (RBF) dapat berkurang sampai 30% dari
normal pada GGA oliguria. Tingkat RBF ini dapat disertai GFR yang
cukup besar. Pada kenyataannya, RBF pada GGK sering sama
rendahnya atau bahkan lebih rendah dibandingkan dengan bentuk akut,
tetapi fungsi ginjal masih memadai atau berkurang. Selain itu, bukti-
bukti percobaan menunjukkan bahwa RBF harus kurang dari 5%
sebelum terjadi kerusakan parenkim ginjal. Dengan demikian
hipoperfusi ginjal saja tidak bertanggung jawab terhadap besar
penurunan GFR dan lesi-lesi tubulus yang ditemukan pada GGA.
Meskipun demikian, terdapat bukti-bukti perubahan yang nyata
pada distribusi intrarenal aliran darah dari kortex ke medulla selama
hipotensi akut atau hipotensi yang berkepanjangan. Dimana kita
ketahui ginjal normal kira-kira 90% darah didistribusi dikortex (tempat
dimana terdapat gromeruli) dan 10% menuju medulla. Dengan
demikian, ginjal dapat memekatkan kemih dan menjalankan fungsinya.
Sebaliknya pada GGA, perrbandingan antara distribusi kortex dan
medulla ginjal menjadi terbalik, sehingga terjadi iskemia relatif pada
kortex ginjal. Kontriksi dari anterior aferen merupakan dasar vaskular
dari penurunan GFR yang nyata. Iskemia ginjal akan mengaktifasi
sistem renin angiotensin dan memperberat iskemia kortex setelah
hilangnya rangsangan awal. Kadar renin tertinggi ditemukan pada
kortex ginjal, tempat dimana iskemia paling berat terjadi selama
berlangsungnya GGA. Beberapa ahli mengajukan teori mengenai
prostaglandin dalam disfungsi vasomotor pada GGA. Dalam keadaan
normal, hipoksia ginjal merangsang ginjal mensintesis PGE dan PGA
(vasodilator yang kuat), sehingga aliran darah ginjal diredistribusi
kekortex yang mengakibatkan diuresis. Agaknya iskemia akut yang
berat atau berkepanjangan dapat menghambat ginjal untuk mensintesis
prostaglandin. Penghambat prostaglandin seperti aspirin diketahui
dapat menurunkan RBF pada orang normal dan dapat menyebabkan
NTA.
Teori tubuloglomerolus menganggap bahwa kerusakan primer
teerjadi pada tubulud proksimal. Tubulus proksimal yang dapat
menjadi rusak akibat iskemia atau nefrotoksin, gagal untuk menyerap
jumlah normal natrium yang terfiltrasi dan air. Akibatnya, makula
densa mendeteksi adanya peningkatan kadar natrium pada caairan
tubulus distal dan rangsang meningkatnya produksi renin dari sel-sel
juksta gromerulus. Terjadi aktifasi angiotensin II yang menyebabkan
vasokonstriksi arteriol aferen, mengakibatkan penurunan aliran darah
ginjal dan GFR.
Kejadian awal umumnya akibat gangguan iskemia dan/atau
nefrotoksin yang merusak tubulus atau gromeruli, atau menurunkan
aliran darah ginjal. Gagal ginjal akut kemudian menetap melalui
beberapa mekanisme yang dapat ada atau tidak, dan merupakan akibat
cedera awal. Setiap mekanisme berbeda kepentingannya dalam
patogenesis, sesuai dengan teori-teori yang dikemukakan tadi.
Agaknya kepentingan dari mekanisme-mekanisme ini bervariasi sesuai
keadaan dan bergantung pada perjalanan proses penyakit, dan derajat
kerusakan patologi. Banyak hal-hal yang belum diketahui mengenai
patofisiologi GGA dan masih harus diteliti lebih jauh untuk
mengetahui hubungan antara beberapa faktor yang mempengaruhinya.
d. Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal akut:
1) Urine : Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein.
2) Darah : BUN/kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah,
natrium serum, Kalium, Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas
serum.
3) KUB Foto : Menunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandung kemih dan
adanya obstruksi .
4) Pielografi retrograd : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan
ureter.
5) Arteriogram ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstraskular, massa.
6) Sistouretrogram berkemih : Menunjukkan ukuran kandung
kemih,refluks ureter,retensi
7) Ultrasono ginjal : Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan
adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian
atas.
8) Biopsi ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk
menetukan sel jaringan untuk diagnosis histologis
9) Endoskopi ginjal nefroskopi : Dilakukan untuk menemukan pelvis
ginjal ; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
10) EKG : Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda-
tanda perikarditis.
2.3. Sindrom Nefrotik
a. Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis yang ditandai dengan proteinuria masif (≥ 3 – 3,5
g/hari atau rasio protein kreatinin pada urin sewaktu > 300-350
mg/mmol), hipoalbuminemia (<25 g /l), hiperkolesterolemia(total
kolesterol > 10 mmol/L), dan manifestasi klinis edema periferal. Pada
proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua
gejala tersebut harus ditemukan.
SN dapat terjadi pada semua usia, dengan perbandingan pria dan
wanita 1:1 pada orang dewasa. SN terbagi menjadi SN primer yang
tidak diketahui kausanya dan SN sekunder yang dapat disebabkan oleh
infeksi, penyakit sistemik, metabolik, obat-obatan, dan lain-lain.
Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang
berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam
urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai
komplikasi yang terjadi pada SN.Hipoalbuminemia, hiperlipidemia,
dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas,
gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering
dijumpai pada SN.Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali
pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap
akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan
menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian
lagi dapat berkembang menjadi kronik.
b. Etiologi
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer
dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung
(connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit
sistemik.
Klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik didasarkan pada
penyebab primer ( gangguan glomerular karena umur), dan sekunder
(penyebab sindrome nefrotik).
1) Penyebab Primer
Umumnya tidak diketahui kausnya dan terdiri atas sindrome
nefrotik idiopatik (SNI) atau yang sering disebut juga SN primer
yang bila berdasarkan gambaran dari histopatologinya, dapat
terbagi menjadi:
a) Sindroma nefrotik kelainan minimal
b) Nefropati membranosa
c) Glomerulonephritis proliferative membranosa
d) Glomerulonephritis stadium lanjut
2) Penyebab Sekunder
a) Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV,
sifilis, TB, lepra, skistosoma
b) Keganasan : leukemia, Hodgkin’s disease,
adenokarsinoma :paru, payudara, colon, myeloma multiple,
karsinoma ginjal
c) Jaringan penghubung : SLE, artritis rheumatoid, MCTD
(mixed connective tissue disease)
d) Metabolik : Diabetes militus, amylodosis
e) Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami,
probenesid, kaptopril, heroin
f) Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid
(sindrom nefrotik yang sensitive terhadap steroid (SNSS) yang
lazimnya berupa kelainan minimal, tidak perlu biopsy), dan
resisten steroid atau SNRS yang lazimnya bukan kelainan
minimal dan memerlukan biopsy.
c. Epidemiologi
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%)
dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan= 2:1,
sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1.
Biasanya 1 dari 4 penderita sindrom nefrotik adalah penderita dengan
usia>60 tahun. Namun secara tepatnya insiden dan prevalensi sindrom
nefrotik pada lansi tidak diketahui karena sering terjadi salah diagnosa.
d. Patofisiologi
1) Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
terhadap protein akibat kerusakan glomerulus ( kebocoran
glomerulus) yang ditentukan oleh besarnya molekul dan muatan
listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus
(proteinuria tubular). Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran
glomerulus (proteinuria glomerular) dahn hanya sebagaian kecil
berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan
integritas membrane basalis glomerulus menyebabkan peingkatan
permeabilitas glomerulus terhadap perotein plasma dan protein
utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin.
2) Hipoalbuminemia
Hipoalbumin disebabka oleh hilangnya albumin melalui
urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis
protein di hati biasanya meningkat ( namun tidak memadai untuk
mengganti kehilagan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal
menurun
Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan
albuminuria dan hipoalbumineia. Sebagai akibatnya
hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik plasma koloid,
meyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh
dan menigkatkan edema.
3) Hiperlipidemia
Kolesterol serum, VLDL (very low density lipoprotein),
LDL (low density lipoprotein), trigliserida meningkat sedangkan
HDL (high density lipoprotein) dapat meningkat, normal atau
meningkat.Hal ini disebabkan sintesis hipotprotein lipid disintesis
oleh penurunan katabolisme di perifer.Peningkatan albumin serum
dan penurunan tekanan onkotik.
4) Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT)
III, protein S, C, dan plasminogen activating factor dalam urin dan
meningkatnya factor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,
peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta
menurunnya factor zymogen.
e. Tanda dan Gejala
Gejala pertama yang muncul meliputi anorexia,rasa lemah, urin
berbusa (disebabkan oleh konsentrasi urin yang tinggi). Retensi cairan
menyebabkan sesak nafas (efusi pleura), oligouri, arthralgia, ortostatik
hipotensi, dan nyeri abdomen (ascites). Untuk tanda dan gejala yang
lain timbul akibat komplikasi dari sindromnefrotik.
f. Diagnosa
Diagnose SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium berupa proteinuria massif >3,5 g/1,73 m2 luas permukaan
tubuh/hari), hipoalbuminemia <3 g/dl, edema, hiperlipideia, lipiduria,
dan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti venerologi
diperlukan untuk menegakkan diagnose thrombosis vena yang dapat
terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan
jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan
respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.
g. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa
pemeriksaan penunjang berikut:
1) Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk
nefrotik.Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik,
atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+
menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih,
yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.
2) Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat
bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-
kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.
3) Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed
collection atau single spot collection. Timed collection dilakukan
melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga
waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total
protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan
kriteria diagnosis. Single spot collection lebih mudah dilakukan.
Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada
kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.2,8.
h. Penatalaksanaan
Tata laksana sindrom nefrotik dibedakan atas pengobatan dengan
imunosupresif dan atau imunomodulator, dan pengobatan suportif atau
simtomatik. Penatalaksanaan ini meliputi terapi spesifik untuk kelainan
dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi
atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia, serta
mencegah dan mengatasi penyulit.2
Terapi Kortikosteroid
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua
kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap
steroid.Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan
inisial dan pengobatan relaps. Regimen penggunaan kortikosteroid
pada SN bermacam-macam, di antaranya pada orang dewasa adalah
prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 –
8minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12
minggu, tapering di 4 bulan berikutnya.Sampai 90% pasien akan
remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggunamun 50% pasien
akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi
lengkap, remisi parsial dan resisten.Dikatakan remisi lengkap jika
proteinuria minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl,
kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang.
Remisi parsial jika proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl,
kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema.
Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan
perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan
kortikosteroid.
Kelompok SNSS dalam perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi 4
kelompok, yaitu SN non-relaps (30%), SN relaps jarang (10-20%), SN
relaps sering dan SN dependen steroid (40-50%).
Sindrom nefrotik non relaps ialah penderita yang tidak pernah
mengalami relaps setelah mengalami episode pertama penyakit ini.
Sindrom nefrotik relaps jarang ialah anak yang mengalami relaps
kurang dari 2 kali dalam periode 6 bulan atau kurang dari 4 kali dalam
periode 12 bulan setelah pengobatan inisial. Sindrom nefrotik relaps
sering ialah penderita yang mengalami relaps >2 kali dalam periode 6
bulan pertama setelah respons awal atau > 4 kali dalam periode 12
bulan. Sindrom nefrotik dependen steroid bila dua relaps terjadi
berturut-turut pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam waktu 14
hari setelah pengobatan dihentikan.
Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid dapat diberikan
dengan steroid jangka panjang, yaitu setelah remisi dengan prednison
dosis penuh dilanjutkan dengan steroid alternating dengan dosis yang
diturunkan bertahap sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan
relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kg secara alternating. Dosis ini disebut
sebagai dosis treshold, diberikan minimal selama 3-6 bulan, kemudian
dicoba untuk dihentikan.
Pengobatan lain adalah menggunakan terapi nonsteroid
yaitu:Siklofosfamid, Klorambusil, Siklosporin A, Levamisol, obat
imunosupresif lain, dan ACE inhibitor.Obat-obat ini utamanya
digunakan untuk pasien-pasien yang non-responsif terhadap steroid.
i) Prognosis
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan salah satu penyebab
kematian tersering pada SN.Pengobatan SN dan komplikasinya saat
ini telah menurunkan morbiditas dan mortalitas yang berhubungan
dengan sindrom.Saat ini, prognosis pasien dengan SN bergantung
pada penyebabnya. Remisi sempurna dapat terjadi dengan atau tanpa
pemberian kortikosteroid.
Hanya sekitar 20 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal
mengalami remisi proteinuria, 10 % lainnya membaik namun tetap
proteinuria. Banyak pasien yang mengalami frequent relaps, menjadi
dependen-steroid, atau resisten-steroid. Penyakit ginjal kronik dapat
muncul pada 25-30 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal
segmental dalam 5 tahun dan 30-40 % muncul dalam 10 tahun.
Orang dewasa dengan minimal-change nephropathymemiliki
kemungkinan relaps yang sama dengan anak-anak. Namun, prognosis
jangka panjang pada fungsi ginjal sangat baik, dengan resiko rendah
untuk gagal ginjal.2Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap
pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau
parsialpada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada
glomerulosklerosis fokal segmental.Perlu diperhatikan efek samping
pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik,
katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes mellitus.
Respon yang kurang terhadap steroid dapat menandakan luaran
yang kurang baik. Prognosis dapat bertambah buruk disebabkan (1)
peningkatan insidens gagal ginjal dan komplikasi sekunder dari SN,
termasuk episode trombotik dan infeksi, atau (2) kondisi terkait
pengobatan, seperti komplikasi infeksi dari pemberian
imunosupressive.2Penderita SN non relaps dan relaps jarang
mempunyai prognosis yang baik, sedangkan penderita relaps sering
dan dependen steroid merupakan kasus sulit yang mempunyai risiko
besar untuk memperoleh efek samping steroid. SN resisten steroid
mempunyai prognosis yang paling buruk.
Pada SN sekunder, prognosis tergantung pada penyakit primer
yang menyertainya.Pada nefropati diabetik, besarnya proteinuria
berhubungan langsung tingkat mortalitas.Biasanya, ada respon yang
baik terhadap blockade angiotensin, dengan penurunan proteinuria,
dan level subnefrotik.Jarang terjadi remisi nyata. Resiko penyakit
kardiovaskular meningkat seiring penurunan fungsi ginjal, beberapa
pasienakan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal.
Pada amiloidosis primer, prognosis tidak baik, bahkan dengan
kemoterapi intensif. Pada amiloidosis sekunder, remisi penyebab
utama, seperti rheumatoid arthritis, diikuti dengan remisi amiloidosis
dan ini berhubungan dengan SN.
2.4 Glomerulonefritis
Merupakan penyakit peradangan bilateral yang bermanifestasi sebagai
proteinuria dan hematuria. Lesi teruama di glomerulus tetapi seluruh nefron
pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal
kronik.
a. Glomerulonefritis akut
Terjadi setelah infeksi streptococcus pada tenggorokan atau
kadang-kadang pada kulit sesudah elaten 1 sampai 2 minggu. Organisme
penyebab : streptococcus beta haemolitikus. Diduga terdapat suatu
antibodi yang ditujukan terhadap antigen khusus yang merupakan unsur
membran plasma streptococcus spesifik.
Terbentuk komplek antigen antibodi dalam darah dan bersirkulasi
ke dalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis
terperangkap dalam membran basalis. Komplemen akan terfiksasi
mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit (PMN) dan
trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisozim
yang merusak endotel dan membran basalis glomerulus. Respon yang
terjadi timbul proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium
dan selanjutny sel-sel epitel.
Semakin meningkatnya kebocoran kapiler glomerulus
menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urin yang
sedang dibentuk oleh ginjal sebagai proteinuria dan hematuria. 2
APSGN
Usia : 3-7 tahun
Gambaran klinis
Hematuria, proteinuria,oelah, anoreksia dan oliguria, edema dan
hipertensi. Gejala sistemik rasa lelah,anoreksia an kadang demam, sakit
kepala, mual, dan muntah. Terjadi peningkatan ASO (Antibodi terhadap
streptococcus).
Pemeriksaan makroskopik : silindruria, eritrosit dan selinder eritrosit, berat
jenis meningkat dan azotemia.
Pengobatan : Penisilin, tetapi karena sudah banyak yang resisten
digunakan ampisilin. 2
b. Glomerulonefritis Progresif Cepat (RPGN)
Disebut juga sebagai glomerulusnefritis crensentik. Merupakan
penyakit injal fulminan. Terdapat hematuria, proteinuria dan aZotemia
progresif cepat sehingga akan mengakibatkan kematian dalam jangka
waktu 2 tahun. Sindrom good pasture pada laki-laki muda, akut disertai
erdarahan paru an hemoptisis. Ditandai dengan penurunan fungsi ginjal
yang cepat dan progrsif disertai oliguria berat dan kematian gagal ginjal
dalam beberapa minggu-bulan. Gambaran histologinya adanaya bulan
sabit disebagian besar GN, proliferasi sel epitel parietal di kapsula
bowman dan sebagian oleh sebukan limfosit dan makrofag. Ada 3 tipe
RPGN :
CrGN tipe 1 ( Anti GBM (Glomerular asement membran)
- Idiopatik’
- Goodpasture
CrGN tipe II (Komplek imun)
- Idiopatik
- LSE
- Pasca infeksi
- Purpura henoch schonlein
CrGN tipe III (pausi imun) terkait ANCA (Antibiotik antisitoplasma
netrofil)
- Idiopatik
- Granulomatosis Wegener
- Poliartritis mikroskopik
c. Glomerulonefritis Kronik
CGN ditandai dengan kerusakan glomeruluus secara progresif
lambat akibat glomerulonefritis yang sedang berlangsung lama. Tidak
berhubungan dengan APSGN/RPGN cenderung timbul tanpa diketahui
asal usulnya dan biasanya baru ditemukan pada stadium lanjut ketika
timbul insufiensi ginjal.
2.5 Blackwater Fever
a. Defenisi
Blackwater fever merupakan komplikasi dari malaria di mana sel-
sel darah merah pecah dalam aliran darah (hemolisis),lalu melepaskan
hemoglobin langsung ke pembuluh darah dan ke dalam urin, dan sering
menyebabkan gagal ginjal.
b. Etiologi
Penyebab hemolitik pada penyakit ini tidak diketahui (terutama
karena hemolisis intravaskular). Ada kerusakan yang cepat dan besar pada
sel darah merah dengan produksi hemoglobinemia (hemoglobin dalam
darah, tetapi di luar sel-sel darah merah atau bukan dalam sel-sel darah
merahnya), hemoglobinuria (hemoglobin dalam urin), ikterus intens,
anuria (melewati kurang dari 50 mililiter urin dalam hari), dan akhirnya
kematian pada sebagian besar kasus.
Penjelasan yang paling mungkin untuk blackwater fever adalah
reaksi autoimun tampaknya disebabkan oleh interaksi dari parasit malaria
dan penggunaan kina. Blackwater fever disebabkan oleh parasitasi berat
sel darah merah dengan Plasmodium falciparum. setidaknya ada satu
kasus, bagaimanapun, Plasmodium vivax dikaitkan dengan Blackwater
fever yang merupakan komplikasi serius dari malaria, tetapi malaria
serebral memiliki tingkat kematian lebih tinggi. Blackwater fever jauh
kurang umum hari ini daripada sebelum 1950. Mungkin kina berperan
dalam memicu kondisi, dan obat ini tidak lagi umum digunakan untuk
profilaksis malaria. Kina tetap penting untuk pengobatan malaria kecuali
bila parasit resisten terhadap klorokuin, masalah yang telah meningkat
sejak tahun 1990.
c. Gejala Klinis
Onset kejadian dalam beberapa hari dapat terjadi menggigil, kaku,
demam tinggi, sakit kuning (ikterus), muntah, anemia progresif cepat, dan
urin berwarna merah atau hitam gelap.
d. Pengobatan
Pengobatan adalah dengan kemoterapi antimalaria, cairan intravena
dan kadang-kadang perawatan pendukung seperti perawatan intensif dan
dialisis.
2.6 Malaria
a. Definisi
Malaria adalah suatu penyakit protozoa dari genus Plasmodium
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Dapat
ditularkan langsung melalui tranfusi darah, jarum suntik serta ibu hamil.
b. Etiologi
Agent penyakit malaria adalah genus plasmodia, family
plasmodiidae, dan order Coccidiidae. Ada empat jenis parasit malaria,
yaitu:
1) Plasmodium falciparum
Menyebabkan malaria falciparum atau malaria tertiana yang
maligna (ganas) atau dikenal dengan nama lain sebagai malaria
tropika yang menyebabkan demam setiap hari.
2) P. vivax
Menyebabkan malaria vivax atau disebut juga malaria tertiana
benigna (jinak).
3) P. malariae
Menyebabkan malaria kuartana atau malaria malariae.
4) P. ovale
Jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di Afrika dan
Pasifik Barat, menyebabkan malaria ovale.
Seorang penderita dapat dihinggapi oleh lebih dari satu jenis
plasmodium. Infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed
infection). Biasanya paling banyak dua jenis parasit, yakni campuran
antara P. falciparum dengan P. vivax atau P. malariae. Kadang-kadang
dijumpai tiga jenis parasit sekaligus, meskipun hal ini jarang sekali
terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah yang tinggi angka
penularannya.
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi malaria atau waktu antara gigitan nyamuk dan
munculnya gejala klinis sekitar 7-14 hari untuk P. falciparum, 8-14
hari untukP. vivax dan P. ovale, dan 7-30 hari untuk P. malariae. Masa
inkubasi ini dapat memanjang antara 8-10 bulan terutama pada
beberapa strain P. vivax di daerah tropis. Pada infeksi melalui transfusi
darah, masa inkubasi tergantung pada jumlah parasit yang masuk dan
biasanya singkat tetapi mungkin sampai 2 bulan. Dosis pengobatan
yang tidak adekuat seperti pemberian profilaksis yang tidak tepat dapat
menyebabkan memanjangnya masa inkubasi.
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium demam malaria pada penderita dengan
melakulan pemeriksaan darah tepi secara mikroskopis merupakan
standar emas (gold standard). Pemeriksaan mikroskop dilakukan
dengan membuat tetes tebal (thick-smear) atau dengan hapusan darah
tipis (thin-smear). Tetes tebal dilakukan untuk menentukan diagnosis
malaria secara cepat, tetapi belum dapat ditentukan spesies parasit
Plasmodium. Hapusan darah tipis dapat digunakan untuk menentukan
spesies parasit penyebab malaria.
Asal sediaan darah dapat berasal dari kegiatan Active Case
Detection (ACD) yaitu pencarian penderita seacara aktif oleh petugas-
petugas kesehatan; sediaan darah yang berasal dari kegiatan Passive
Case Detection (PCD) yang merupakan pencarian penderita secara
pasif (menunggu datangnya penderita) oleh petugas kesehatan di
rumah sakit dan Puskesmas; sediaan darah yang berasal dari kegiatan
Contact survey dan follow up dan sediaan darah yang berasal dari
kegiatan survei malaria seperti malariometric survey dan mass blood
survey (Depkes, 2006).
Diagnosis defenitif malaria ditegakkan dengan ditemukannya
parasit Plasmodium dalam darah penderita. Pemeriksaan mikroskopis
yang dilakukan satu kali dan memberikan hasil negatif, tidak
menyingkirkan diagnosis demam malaria. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan serial dengan interval antar pemeriksaan satu hari.
Sediaan darah tebal terdiri dari tumpukan sediaan darah merah ,
volume darah yang diambil yaitu darah kapiler (finger prick) sebanyak
1,0 mikroliter untuk sediaan darah tipis dan 3,0-5,0 mikroliter untuk
sediaan darah tebal. Mikroskopis sediaan darah tebal dan tipis
merupakan pemeriksaan yang terpenting. Interpretasi pemeriksaan
miroskopis yang terbaik adalah berdasarkan perhitungan dengan
identifikasi parasit yang tepat (Warrell, 2002).
e. Diagnosis Malaria
Diagnosis malaria pada umumnya didasarkan pada manifestasi
klinis, uji imunoserologis dan ditemukannya parasit Plasmodium di
dalam penderita malaria. Dikarenakan manifestasi klinis malaria tidak
khas dan menyerupai penyakit infeksi lain seperti demam dengue dan
demam tifoid, sehingga menyulitkan para klinisi untuk mendiagnosis
malaria dengan hanya mengandalkan pengamatan manifestasi klinis
saja, untuk itu diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang
diagnosis malaria sedini mungkin. Hal ini penting mengingat infeksi
oleh Plasmodium, terutama Plasmodium .falsiparum dapat
berkembang dengan cepat (Purwaningsih, 2000)
Diagnosis demam malaria secara garis besar digolongkan menjadi
2 kelompok yaitu pemeriksaan mikroskopis, termasuk menggunakan
Quantitative Buffy Coat (QBC) dan uji imunoserologis untuk
menditeksi antigen spesifik atau antibodi spesifik terhadap
Plasmodium dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR).
Penelitian terbaru telah mengembangkan metode diagnostik yang
dapat diperbandingkan dengan metode yang lazim (konvensional).
WHO bersama para ilmuwan, ahli laboratorik, serta peklinik
mengembangkan alat uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic
Test/RDTs) yang mudah dilakukan, tepat, sensitif, dan sesuai biaya
(cost-effective). Rapid test merupakan cara mendeteksi antigen malaria
dengan dipstick. Hasil rapid test dapat diketahui dalam waktu 10 menit
dan tidak memerlukan mikroskop.
Sebagian besar RDTs malaria berdasarkan asas imunokromatografi
yang menggunakan antibodi monoklonal yaitu HRP-2 (Histidine Rich
Protein) untuk Plasmodium falciparum dan pLDH (parasite Lactate
Dehydrogenase) sebagai indikator infeksi dari Plasmodium vivax
(Makler 1998 dan Mason, 2002).
Beberapa kit antigen yang sudah tersedia saat ini antara lain
antigen histidine rich protein-2 (HRP-2), enzim parasite lactate
dehidrogenase (p-LDH) dan antigen pan-malarial. Antigen HRP2
(histidine rich protein 2) dihasilkan oleh trofozoit dan gametosit muda
P. falsiparum. Jenis pemeriksaannya antara lain PF test, ICT test dan
paracheck.
Penelitian di berbagai negara memperlihatkan sensitivitas rapid test
untuk antigen HRP2 antara 84-100% dan spesifisitas 82,5-97%. Salah
satu kekurangan tes antigen HRP2 adalah hasil positif palsu dari orang
yang sudah berhasil diobati walaupun parasitnya tidak ditemukan lagi
secara mikroskopik dalam darah. Penyebabnya antara lain faktor
rheumatoid, sisa antigen HRP2 yang diproduksi stadium gametosit
muda atau mungkin stadium aseksual P. falsiparum tidak seluruhnya
tereliminasi oleh obat yang diberikan (Sutanto, 2005).
Enzim parasite Lactate Dehidrogenase (p-LDH) diproduksi oleh
bentuk aseksual dan seksual keempat spesies Plasmodium. Kelemahan
pemeriksaan ini adalah kurang sensitif bila jumlah parasit <100/ul
darah dan tidak dapat mendeteksi infeksi campur (Sutanto, 2005).
2.7 Analisa Gas Darah
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi oksigenasi sel atau jaringan
adalah jumlah oksigen yang terkandung dalam darah. Tekanan gas darah
tersebut dapat diukur dengan menganalisa darah arteri secara langsung atau
melalui pulse oksimetri dengan melihat saturasi hemoglobin. Analisa gas
darah (AGD) telah banyak digunakan untuk mengukur pH, PaO2, dan PCO2.
Akan tetapi, makna dari hasil pengukuran tersebut tergantung pada
kemampuan dokter untuk menginterpretasikannya.
AGD biasanya diambil dari arteri radialis, meskipun dapat juga dari arteri
lainnya seperti arteri femoralis. Pengambilan darah arteri dapat berakibat
spasme, kloting intralumen, perdarahan, dan hematoma yang pada akhirnya
akan menimbulkan obstruksi arteri bagian distal. Hal ini tidak terjadi jika
arteri yang ditusuk memiliki kolateral yang cukup. Arteri radialis lebih dipilih
karena memiliki cukup kolateral untuk menghindari terjadinya obstruksi
dibandingkan dengan arteri brakhialis atau femoralis. Selain itu, letak arteri
radialis lebih superfisial, mudah diraba dan difiksasi. Darah arteri diambil
sebanyak 3 ml pada spuit yang sebelumnya telah diberikan heparin 0,2 ml.
Sampel darah yang telah diambil harus terbebas dari gelembung udara dan
dianalisa secepatnya. Hal ini disebabkan komponen seluler pada sampel masih
aktif bermetabolisme, sehingga akan mempengaruhi tekanan gas.
Interpretasi Hasil AGD
Secara singkat, hasil AGD terdiri atas komponen:
a. pH atau ion H+, menggambarkan apakah pasien mengalami asidosis atau
alkalosis. Nilai normal pH berkisar antara 7,35 sampai 7,45.
b. PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah
menggambarkan hipoksemia dan pasien tidak bernafas dengan adekuat.
PO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan perlunya pemberian oksigen
tambahan. Kadar normal PO2 adalah 80-100 mmHg
c. PCO2, menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat metabolisme
normal, PCO2 dipengaruhi sepenuhnya oleh ventilasi. PCO2 yang tinggi
menggambarkan hipoventilasi dan begitu pula sebaliknya. Pada kondisi
gangguan metabolisme, PCO2 dapat menjadi abnormal sebagai
kompensasi keadaan metabolik. Nilai normal PCO2 adalah 35-45 mmHg
d. HCO3-, menggambarkan apakah telah terjadi gangguan metabolisme,
seperti ketoasidosis. Nilai yang rendah menggambarkan asidosis metabolik
dan begitu pula sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi abnormal ketika
ginjal mengkompensasi gangguan pernafasan agar pH kembali dalam
rentang yang normal. Kadar HCO3- normal berada dalam rentang 22-26
mmol/l
e. Base excess (BE), menggambarkan jumlah asam atau basa kuat yang harus
ditambahkan dalam mmol/l untuk membuat darah memiliki pH 7,4 pada
kondisi PCO2 = 40 mmHg dengan Hb 5,5 g/dl dan suhu 37C0. BE bernilai
positif menunjukkan kondisi alkalosis metabolik dan sebaliknya, BE
bernilai negatif menunjukkan kondisi asidosis metabolik. Nilai normal BE
adalah -2 sampai 2 mmol/l.
f. Saturasi O2, menggambarkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen.
Nilai normalnya adalah 95-98 %
Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan menjadi empat keadaan
yang menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam darah yaitu:
Asidosis respiratorik
Adalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2 tinggi dan kadar
HCO3- juga tinggi sebagai kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis
tersebut. Ventilasi alveolar yang inadekuat dapat terjadi pada keadaan seperti
kegagalan otot pernafasan, gangguan pusat pernafasan, atau intoksikasi obat.
Kondisi lain yang juga dapat meningkatkan PCO2 adalah keadaan
hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan
ekskresi H+ dan retensi bikarbonat. Setelah terjadi kompensasi, PCO2 akan
kembali ke tingkat yang normal.
Alkalosis respiratorik
Perubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2 sehingga pH
meningkat. Kondisi ini sering terjadi pada keadaan hiperventilasi, sehingga
banyak CO2 yang dilepaskan melalui ekspirasi. Penting bagi dokter untuk
menentukan penyebab hiperventilasi tersebut apakah akibat hipoksia arteri
atau kelainan paru-paru, dengan memeriksa PaO2. Penyebab hiperventilasi
lain diantaranya adalah nyeri hebat, cemas, dan iatrogenik akibat ventilator.
Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan ekskresi bikarbonat dan K+
jika proses sudah kronik.
Asidosis Metabolik
Ditandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga pH menjadi turun.
Biasanya disebabkan oleh kelainan metabolik seperti meningkatnya kadar
asam organik dalam darah atau ekskresi HCO3- berlebihan. Pada kondisi ini,
paru-paru akan memberi respon yang cepat dengan melakukan hiperventilasi
sehingga kadar PCO2 turun. Terlihat sebagai pernafasan kussmaul. Pemberian
ventilasi untuk memperbaiki pola pernafasan justru akan berbahaya, karena
menghambat kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis. Untuk mengetahui
penyebab asidosis metabolik, dapat dilakukan penghitungan anion gap melalui
rumus
(Na+ + K+) – (HCO3- + Cl-)
Batas normal anion gap adalah 10 – 12 mmol/l. Rentang normal ini harus
disesuaikan pada pasien dengan hipoalbumin atau hipofosfatemi untuk
mencegah terjadinya asidosis dengan anion gap yang lebih. Koreksi tersebut
dihitung dengan memodifikasi rumus diatas menjadi
(Na+ + K+) – (HCO3- + Cl-) – (0,2 x albumin g/dl + 1,5 x fosfat mmol/l)
Asidosis dengan peningkatan anion gap, disebabkan oleh adanya asam-asam
organik lain seperti laktat, keton, salisilat, atau etanol. Asidosis laktat biasanya
akibat berkurangnya suplai oksigen atau berkurangnya perfusi, sehingga
terjadilah metabolisme anaerob dengan hasil sampingan berupa laktat. Pada
keadaan gagal ginjal, ginjal tidak mampu mengeluarkan asam-asam organik
sehingga terjadi asidosis dengan peningkatan anion gap.
Asidosis dengan anion gap yang normal disebabkan oleh hiperkloremia dan
kehilangan bikarbonat atau retensi H+. Contohnya pada renal tubular asidosis,
gangguan GIT (diare berat), fistula ureter, terapi acetazolamide, dan yang
paling sering adalah akibat pemberian infus NaCl berlebihan.
Alkalosis metabolik
Adalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang meningkat pula.
Adanya peningkatan PCO2 menunjukkan terjadinya kompensasi dari paru-
paru. Penyebab yang paling sering adalah iatrogenik akibat pemberian siuretik
(terutama furosemid), hipokalemia, atau hipovolemia kronik dimana ginjal
mereabsorpsi sodium dan mengekskresikan H+, kehilangan asam melalui GIT
bagian atas, dan pemberian HCO3- atau prekursornya (laktat atau asetat)
secara berlebihan. Persisten metabolik alkalosis biasanya berkaitan dengan
gangguan ginjal, karena biasanya ginjal dapat mengkompensasi kondisi
alkalosis metabolik.
3 Studi Kasus
a. Mengapa tn. S mengalami sesak nafas?
tn. S sesak nafas karena ia mengalami sindrom alkalosis metabolik
sehingga menyebabkan kelebihan dari kadar HCO3- akibatnya jumlah
untuk mengkompensasi hal tersebut paru-paru akan menahan jumlah
CO2 sehingga tn. S kekurangan O2.
b. Mengapa air kencing tn. S berwarna merah kehitaman?
Karena proses hemolisis sel darah merah dalam aliran darah akibat
parasit dari malaria sehingga hemoglobin yang terkandung dari dalam
darah di filtrasi lewat urin dan dikeluarkan melalui urin. Kencingnya
berwarna merah kehitaman disebabkan pecahnya sel darah merah di
dalam tubuh sehingga warnanya lebih kehitaman.
c. Mengapa tn. S tidak buang air kecil 1 hari sebelumnya?
tn. S tidak buang air kecil dikarenakan kerusakan dari struktur ginjal
menyebabkan pengeluaran urin berkurang bahkan tidak ada (anuria).
d. Bagaimana perbedaan gagal ginjal akut dan kronis?
Perbedaan gagal ginjal akut dan kronis dapat dilihat dari
klasifikasinya, terutama pada ginjal akut yang merupakan serangan
awal dari gagal ginjal, jika terus terjadi berulang hingga terjadi
penurunan fungsi yang irreversible dapat dikatakan kronik, juga dapat
kita lihat dari klasifikasi waktu terjadinya sudah berapa lama.
e. Bagaimana perbedaan gagal ginjal, glomerulonefritis dan
blackwater fever?
Gagal ginjal adalah penurunan fungsi ginjal (penurunan proses filtrasi
dari ginjal,
Glomerulonefritis merupakan kerusakan dari nefron akibat infeksi
bakteri yang nantinya juga dapat mengakibatkan gagal ginjal jika tidak
ditangani.
Blackwater fever merupakan komplikasi dari parasit malaria yang
berada dalam aliran darah sehingga memecah struktur dari sel darah
merah. Akibat dari reaksi antigen-antibodi dari parasit dan imunitas
dalam tubuh jika telah berada di ginjal nantinya juga dapat
menyebabkan gagal ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
Alvin .C, 2008. Harrison : Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.
Anonim. 2012. “Risk Factro”. http://www.mayoclinic.com/health/kidney-
failure/DS00280/DSECTION=risk-factors diakses tanggal 30 April 2013.
Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL,Fauci AS, Longo
DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor.Harrison’s principle of
internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.
Bruneel F, Gachot B, Wolff M, et al. (2002). "[Blackwater fever]". Presse
médicale (Paris, France : 1983) (in French) 31 (28): 1329–34..
Bruneel, F; Gachot, B; Wolff, M; Bedos, JP; Regnier, B; Danis, M; Vachon, F
(2002). "Blackwater fever". Presse medicale (Paris, France : 1983) 31 (28):
1329–34.
Fletcher S, Dhrampal A. Acid-Base Balance and Arterial Blood Gas Analysis.
Surgery 2003; 7:61-5
Hubble SMA. Acid-Base and Blood Gas Analysis. Anesthesia and Intensive Care
Medicine 2007; 11: 471-3.
Kaplan L, Frangos S. Clinical review: acid–base abnormalities in the intensive
care unit – part II. Crit Care 2005; 9: 198–203.
Kellum J. Clinical review: reunification of acid–base physiology. Crit Care 2005;
9: 500–7.
Kellum JA. Determinants of blood pH in health and disease. Crit Care 2000; 4: 6–
14.
Katongole-Mbidde E, Banura C, Kizito A (1988-03-19). "Blackwater fever caused
by Plasmodium vivax infection in the acquired immune deficiency
syndrome". Br Med J (Clin Res Ed) 296 (6625): 827.
Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time
for change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87.
Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al.
Acute kidney injury network: report of an initiative toimprove outcomes in
acute kidney injury. Critical Care. 2007,11:R31.
Orlando Regional Healthcare. Interpretation of Arterial Blood Gas. Orlando
Regional Healthcare. 2004. p 4
Robbins dan Kumar.2011. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC
Price, Wilson.2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta : EGC
Sinto, Robert dan Ginova Nainggolan.2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan
Klinis dan Tata Laksana. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Maj Kedokt Indon, Volum: 60,
Nomor: 2, Pebruari
Williams AJ. ABC of Oxygen: Assessing and Interpreting Arterial Blood Gases
and Acid-Base Balance. BMJ 1998; 317: 1213-16