Download - LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013
LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013
UNIT PELAKSANA TEKNIS
BALAI BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
BIOMATERIAL
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
Editor:
Ismail Budiman
Ari Kusumaningtyas
UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Cibinong 2013
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................... i
Pertumbuhan dan Viabilitas Jamur Entomopatogen yang Diproduksi Secara
Massal pada Substrat Beras .............................................................................. 1
Pengaruh Ekstrak Kayu Bawang (Scorodocarpus Borneensis) pada
Perlakuan Tanah (Soil Treatment) .................................................................... 5
Efikasi Asam Oleat Hasil Isolasi dari Ekstrak Biji Bintaro (Cerbera
Manghas) Terhadap Rayap Tanah Coptotermes Gestroi Wasmann dan
Rayap Kayu Kering Cryptotermes Cynocephalus Ligh ................................... 10
Pretreatment Naoh dan Hidrolisis Enzimatis pada Ampas Tebu ..................... 18
Pengaruh Pretreatment Ca(Oh)2 dan Hidrolisis Enzimatis Terhadap Produksi
Gula Pereduksi pada Ampas Tebu ................................................................... 29
Sintesis Sodium Lignosulfonat dari Limbah Lignin Pretreatment Ampas
Tebu .................................................................................................................. 41
Physical and Mechanical Properties Of Polylactic Acid-Filled Chitin and
Chitosan Composites ........................................................................................ 46
Characteristics Of Composites From Recycled Polypropelene and Three
Kinds Of Indonesian Bamboos Fiber .............................................................. 51
Pengaruh Rasio Air dengan Bahan Pengikat pada Autoclaved Aerated
Concrete (Aac) Berbasis Limbah Cangkang Kerang ....................................... 58
Mechanical Properties and Chemical Changes Of Mahoni Wood (Swietenia
Mahagoni) By Close System Compression Hot Press Machine....................... 64
Karakteristik Kayu Kompresi dengan Metode Close System Compression
(Csc) pada Kondisi Kering ............................................................................... 72
Pengaruh Waktu Pengepresan Terhadap Perubahan Komponen Kimia Kayu
Durian Kompresi Skala Pemakaian .................................................................. 79
Teknologi Pertanian Organik Untuk Biovillage ............................................... 87
Pemanfaatan Komposit Serat Alam Untuk Media Tanam Vertikal ................. 92
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 1
PERTUMBUHAN DAN VIABILITAS JAMUR ENTOMOPATOGEN YANG
DIPRODUKSI SECARA MASSAL PADA SUBSTRAT BERAS
Deni Zulfiana
UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan viabilitas beberapa
jamur entomopatogen yang diproduksi secara massal pada media substrat beras melalui
fermentasi padat selama 14 hari. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa jamur
entomopatogen Metarhizium sp., Beauveria sp., dan Humicola menunjukan
pertumbuhan yang baik pada media beras dibandingkan dengan Nomurea sp. dan
Phaecylomyces sp. Hal ini berdasarkan pada pengamatan daya kecambah, jumlah
konidia dan viabilitas konidia jamur.
Kata kunci: Jamur entomopatogen, substrat beras, konidia, viabilitas
PENDAHULUAN
Jamur entomopatogen seperti Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana,
Phaecilomyces sp., dan Nomurea rileyi adalah patogen terhadap lebih dari 40 spesies
serangga hama baik hama pertanian, vektor penyakit, hama gudang dan hama rumah
tangga. Seperti pemanfaatan jamur entomopatogen untuk mengendalikan berbagai
beberapa jenis hama yang menyerang kubis, belalang, aphid, beberapa jenis hama
gudang, hama penggerek buah kopi, hama rayap, penggerek batang tebu, dan hama
wereng coklat, Nilaparvata lugens. (Butt et al. 1994; Brinkmann et al. 1997; Sun et al.
2003).
Mekanisme infeksi jamur terhadap serangga diawali pada saat jamur yang dalam
bentuk spora atau konidia menempel pada permukaan tubuh serangga. Konidia tersebut
menempel pada lapisan dinding atau kulit luar (integumen) serangga. Pada kondisi suhu
dan kelembaban yang sesuai, konidia akan tumbuh dan menembus tubuh serangga.
Jamur akan memperbanyak diri di dalam sebuh serangga sehingga tubuh serangga
tertutup miselium yang berupa benang-benang halus. Dalam bentuk seperti ini
diistilahkan sebagai propagul. Penetrasi jamur ke dalam tubuh serangga bisa melalui
proses mekanis dan kimia. Hal tersebut terjadi karena jamur memproduksi enzim
tertentu seperti enzim kitinase, glukanase, dan protease yang dapat meluruhkan kulit
luar serangga, kemudian setelah konidia tumbuh, miselium akan mengeluarkan
senyawa aktif yang bersifat antibiosis yang dapat bersifat racun atau menghambat
proses metabolisme di dalam sel serangga. Lacey, 1997)
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan jamur
entomopatogen yaitu mudah menginfeksi serangga target, tidak membunuh serangga
bukan hama, mempunyai banyak strain, dan aman terhadap lingkungan (Butt, 1994; St
Leger et al. 1992).
Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui cara untuk memperbanyak
jamur entomopatogen untuk produksi secara massal, antara lain dengan cara fermentasi
2 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
cair (subemerged culture), submerged conidia, miselium kering (serta dengan
perbanyakan konidia pada media cair (Ferron 1978). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pertumbuhan dan viabilitas beberapa jamur entomopatogen yang
diproduksi secara massal pada media substrat beras melalui fermentasi padat.
BAHAN DAN METODOLOGI
Perbanyakan jamur entomopatogen pada medi PDB (potato dextrose broth)
Jamur entomopatogen yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi
dari Laboratorium Mikrobiologi, UPT. BPP. Biomaterial-LIPI. Jamur yang dibiakkan
pada PDA (potato dextrosa agar) sebanyak satu loop penuh dengan kerapatan konidia
kira-kira 107 konidia/ml dipindahkan ke dalam botol yang berisi 50 ml media PDB.
Mulut botol media PDB yang telah diisi dengan jamur kemudian ditutup dengan
aluminium foil, biakan kemudian digoyang pada 150 rpm selama 12 jam dan
diinkubasikan selama 3 hari. Pertumbuhan jamur pada media PDB diamati secara
visual.
Persiapan media substrat pertumbuhan jamur entomopatogen
Beras dibersihkan/dicuci kemuadian direbus sampai setengah matang dan sedikit
lunak dalam dandang selama 20 menit. Sebanyak 300 g beras dimasukkan ke dalam
kantong plastik, kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada 121 oC
selama 15 menit. Kemudian dibiarkan dingin selama ±12 jam. Selanjutnya sebanyak 10
ml biakan jamur dalam media PDB (setelah 3 hari inkubasi) diinokulasikan ke dalam
kantong plastik berisi substrat beras. Kantong berisi biakan ini kemudian ditutup dan
distapler. Selanjutnya diinkubasi dalam suhu ruang selama 14 hari, sampai substrat
ditutupi oleh miselium jamur. Biakan dalam kantong plastik ini diperiksa setiap 2 hari
sekali sambil diaduk-aduk secara steril. Setelah 14 hari biakan pada substrat dipanen.
Sebagian digunakan untuk analisis jumlah konidia dan viabilitas konidia, sisanya
dioven pada suhu 60 oC selama 3 hari, dan diblender untuk dikemas sebagai tepung
konidia.
Untuk analisis konidia, setiap kantong dari masing-masing media substrat
diambil sebanyak 10 g, diaduk dengan 90 ml air steril dan ditambahkan 0,05% tween,
kemudian diamati:
a. Persentase perkecambahan konidia (daya kecambah) diketahui dengan cara
mengambil suspensi biakan dengan densitas 100 konidia yang dituangkan ke
dalam petridis yang berisi media PDA dan diinkubasikan pada suhu kamar.
Masing-masing suspensi biakan diulang tiga kali, persentase perkecambahan
konidia dihitung setelah 24 jam.
b. Jumlah konidia/g substrat/ml diamati melalui pengenceran secara berseri. Jumlah
konidia g substrat/ml dihitung menggunakan haemacytometer.
c. Viabilitas konidia diamati dengan cara 0,1 ml suspensi konidia dari pengenceran
105 dituangkan dan diratakan pada petridis steril. Media PDA pada temperatur 45
oC dituangkan ke dalam petridis yang telah berisi suspensi konidia dan
diinkubasikan selama 5 hari pada suhu kamar. Viabilitas konidia dihitung
berdasarkan jumlah konidia yang tumbuh berupa koloni pada media PDA dalam
petridis.
Data dari persentase perkecambahan spora, jumlah konidia per g substrat/ml
dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jamur entomopatogen yang ditumbuhkan media substrat beras menunjukan
pertumbuhan yang cukup baik selama masa 14 hari inkubasi. Pertumbuhan
Metarhizium, Humicola dan Beauveria pada media substrat beras terlihat lebih baik
karena seluruh permukaan substrat tertutup miselium dibanding Nomurea dan
Phaecilomyces yang hanya sebagian substrat tertutup oleh miselium jamur.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 1. Tepung konodia jamur entomopatogen yang ditumbuhkan pada substrat
beras. (a) Metarhizium (b) Beauveria (c) Humicola (d) Nomurea, dan (e)
Phaecilomyces
Jamur Metarizium, Humicola dan Beauveria yang dibiakkan pada substrat beras
memiliki jumlah konidia per g substrat yang nyata lebih banyak dengan daya kecambah
dan viabilitas yang nyata lebih tinggi dibandingkan jamur Nomurea dan Phaecilomyces
yang dibiakkan pada substrat yang sama (Tabel 1).
Tabel 1. Daya kecambah jamur entomopatogen, jumlah konidia/g substrat dan
viabilitas konidia/ml yang dibiakkan pada substrat beras
Jenis jamur Daya kecambah
(%)
Jumlah konidia
(%)
Viabilitas konidia
x105 konidia/ml
Metarhizium sp. 83,75 a 2,6 x 108 a 24,6 a
Humicola sp. 79,45 a 1,87 x 108 a 16,4 a
Beaveria sp. 33,67 a 1,20 x 106 b 4,7 b
Nomurea sp. 25,00 a 4,86 x 105 b 1,5 b
Paecilomyces sp. 22,67 a 3,35 x 105 b 1,02 b
Tingginya daya kecambah, jumlah konidia, dan viabilitas jamur Metarhizium,
Humicola dan Beauveria pada beras, karena beras mengandung cukup karbohidrat dan
protein yang dibutuhkan oleh ketiga jamur tersebut untuk perkecambahan, pertumbuhan
dan sporulasinya, sehingga pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dua jenis jamur
entomopatogen lain. Hasil penelitian Junianto & Semangun (2000) memperoleh konidia
2,7 x 1010
konidia/g substrat dengan masa panen 10 hari. Tingkat perkecambahan akan
tinggi (95–100%).
4 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Penggunaan bahan berkarbohidrat dan protein tinggi akan mendorong
pertumbuhan vegetatif jamur. Komposisi hara media mempengaruhi produksi
mikotoxin jamur entomopatogen dan media terbaik untuk memroduksi racun proteolitik
kompleks harus mengandung karbohidrat, yeast ekstrak dan ekstrak daun.
KESIMPULAN
Media beras merupakan substrat yang bagus untuk produksi secara massal jamur
entomopatogen Metarhizium sp. Humicola sp. dan Beauveria sp.
DAFTAR PUSTAKA
Brinkmann, M.A., B.W. Fuller, and M.B. Hildret. 1997. Effect of Beauveria bassiana
on migratory grasshoppers (Orthoptera: Acrididae) in spraytower bioassay. J.
Agric. Entomol. 14:121-127.
Butt, T.M., L. Ibrahim, B.W. Ball, and S.J. Clark. 1994. Pathogenicity of the
entomogenous fung Metarrhizium anisopliae and Beauveria bassiana against
crucifer pests and honey bee. Biocontrol Sci. Technol. 4:207-214.
Ferron, P. 1978. Biological control of insect pest by entomogenous fungi. Annu. Rev.
Entomol. 23:409- 442.
Junianto Y.D. dan H. Semangun. 2000. Susu skim dan Monosodium glutamat sebagai
media pensuspensi dalam pengering bekuan spora B. bassiana. J. Pelita
Perkebunan 11(2)
Lacey, L.A. 1997. Initial handling and diagnosis of diseases insect. In Lacey, L.A.
(Ed.). Biological Tech- niques. Manual of techniques in Insect Pathology.
Academic Press. London. p.1–30.
St. Leger, R.J., Allee, L. L., May, B., Staples, R. C., and Roberts, D. W. 1992. World
wide distribution of genetic variation among isolates of Beuveria spp. Mycol.
Res. 96:1007-1015.
Sun. J., J.R. Fuxa and G. Henderson. 2003. Effect of virulence, sporulation and
temperature on Metarhizium anisopliae and Beuveria bassiana labo- ratory
transmission in Coptotermes formosanus. Interv. Pathol. 84:38-46.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 5
PENGARUH EKSTRAK KAYU BAWANG (SCORODOCARPUS BORNEENSIS)
PADA PERLAKUAN TANAH (SOIL TREATMENT)
Didi Tarmadi1, Ikhsan Guswenrivo
1, Deni Zulfiana
1, Ngatiman
2, Sulaeman Yusuf
1
1)
UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911
e-mail: [email protected]
2)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa
Jl. A. Wahab Syahranie No. 68 Sempaja Selatan, Samarinda, Kalimantan Timur
ABSTRAK
Perlakuan/peracunan tanah (soil treatment) masih menjadi solusi terbaik dalam
kegiatan proteksi bangunan terhadap serangan rayap tanah. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui keampuhan ekstrak kayu bawang (Scorodocarpus borneensis) pada
perlakukan/peracunan tanah. Pengujian mengacu pada Standar JWPA No. 13-1992.
Ekstrak kulit dan daun kayu bawang dengan konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8%
diaplikasikan pada pasir kemudian diaplikasikan pada botol ‘H’. Hasil pengujian
menunjukkan bawah ekstrak kayu Bawang pada konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8%
tergolong ke dalam kriteria tidak andal sehingga aktivitas termitisidal nya tidak sesuai
pada parlakuan/peracunan tanah.
Kata kunci: Perlakuan/peracunan tanah, kayu Bawang (Scorodocarpus
borneensis),rayap tanah Coptotermes gestroi
PENDAHULUAN
Sampai saat ini proteksi bangunan merupakan treatment yang masih sangat
diperlukan mengingat komponen selulosa masih menjadi material utama dalam
bangunan. Secara alami materil selulosa tersebut merupakan sumber makanan serangga
perusak bangunan seperti rayap tanah. Indonesia dengan iklim tropisnya menjadi
habitat yang sangat cocok sebagai tempat perkembangbiakan rayap. Tak kurang 200
jenis rayap dikenal di Indonesia. Ditaksir kerugian ekonomis akibat serangan rayap
mencapai 200 milyar/pertahun (Prasetiyo dan Yusuf, 2004).
Kegiatan proteksi bangunan terhadap serangan rayap salah satunya yang umum
dilakukan yaitu soil treatment (perlakuan tanah). Dimana bahan termitisida diinjeksi ke
area sekitar bangunan sehingga akan tercipta chemical barrier sehingga rayap tanah
tidak bisa masuk ke dalam bangunan dan material selulosa dalam bangunan tersebut
aman terhadap serangan rayap tanah dalam jangka waktu tertentu. Soil treatment masih
umum digunakan mengingat kayu masih dipakai sebagai komponen utama bangunan.
Dan kayu yang digunakan umumnya berkeawetan sedang sampai rendah. Hal ini karena
supply kayu berkeawetan tinggi dari hutan alam atau hutan rakyat sudah semakin
langka dan harganya mahal. Pemanfaatan kayu berkeawetan rendah memiliki
konsekuensi fatal yaitu rentah terhadap serangan rayap tanah.
Bahan termitisida yang beredar dipasaran umumnya bahan kimia. Bahan kimia
tersebut akan berkontak langsung dengan tanah saat ditaburkan atau diinjeksi. Sehingga
6 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
dikhawatirkan bahan kimia tersebut dapat mencemari lingkungan dan membahayakan
kesehatan manusia. Sehingga perlu dicari alternatif bahan termitisida yang lebih ramah
terhadap lingungan. Penelitian terhadap ekstrak bahan alam yang memiliki aktivitas
termitisidal sedang gencar dilakukan sebagai upaya mensubstitusi bahan termitisida
kimia dan mencari alternatif teknologi proteksi bangunan yang lebih aman terhadap
manusia dan lingkungan. Beberapa bahan ekstrak yang telah diteliti sebagai soil
treatment diantaranya ekstrak biji Bintaro (Cerbera manghas L) biji Pinang (Areca
catechu L) dan daun Saga (Tarmadi et al. 2010). Kayu Bawang salah satu jenis tanaman
yang banyak ditemui di Kalimantan. Menurut penelitian Sudrajat (2012), ekstrak kayu
Bawang memiliki aktivitas yang tinggi terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus
dan memiliki peluang untuk dikembangan sebagai termitisida alami. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keampuhan ekstrak kayu Bawang pada
perlakuan/peracunan tanah (soil treatment)
METODE PENELITIAN
1. Prosedur Ekstraksi
Kulit dan daun kayu Bawang yang diperoleh dari Kalimantan Timur terlebih
dahulu dikeringkan dan dihaluskan menjadi serbuk dengan ukuran 40 mesh. Masing-
masing serbuk kering seberat 150 g diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode
maserasi. Ekstrasi dilakukan selama empat kali untuk mendapatan larutan ekstrak
maksimal. Larutan ekstrak kemudian dievaporator pada suhu 40 oC kemudian
dikeringkan di atas waterbath untuk mendapatkan ekstrak kering.
2. Prosedur pengujian
Prosedur pengujian mengacu pada standard JWPA (Japan Wood Preserving
Association) no. 13 tahun 1992. Ekstrak kasar kulit dan daun kayu Bawang dengan
konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8% dicampur merata dengan pasir (berukuran lolos
saringan 20 mesh). Pasir kemudian diangin-angin lalu dikeringkan. Pasir yang telah
diberi perlakuan kemudian dimasukkan ke dalam tabung gelas dengan diameter 1.5 cm
dan panjang 5 cm secara horisontal. Tabung tersebut dihubungkan dengan botol gelas
berdiameter 5 cm di bagian kanan dan kiri yang telah diisi dengan pasir. Pada salah
satu sisi gelas diisi dengan rayap pekerja dari jenis Coptotermes gestroi sebanyak 200
ekor sedangkan di sisi lain diletakkan umpan kayu karet sehingga diharapkan rayap
akan menuju makanan yang sebelumnya harus melalui pasir yang telah diberi
perlakuan. Unit-unit gelas tersebut disimpan ke dalam tempat yang gelap bersuhu 28
2C dengan kelembaban di atas 85 %.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 7
Gambar 1. Gelas uji penetrasi horisontal (sumber JWPA No. 13-1992)
3. Pengamatan dan Kriteria efikasi
Pengamatan dilakukan setiap dua hari selama 21 hari untuk mengetahui panjang
penetrasi yang dilakukan oleh rayap. Persentase penetrasi rayap tanah terhadap panjang
pasir contoh uji dihitung dengan rumus :
Persen Penetrasi = ( P / Po ) x 100%, dimana :
P = panjang penetrasi rayap pada tanah/pasir contoh uji (mm)
Po = panjang tanah/pasir contoh uji (mm)
Kriteria efikasi contoh uji terhadap rayap pada perlakuan pasir dibuat berdasarkan
kriteria keandalan seperti tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria efikasi berdasarkan kepada panjang penetrasi rayap masuk ke dalam
pasir yang telah diberi perlakuan bahan kimia. (Sumber : JWPA standard No.
13-1992)
Panjang Penetrasi
(cm)
Skor Kriteria Keandalan
0,0 0 Sangat Tinggi
0,1 - 1,0 1 Tinggi
1,1 - 2,0 2 Sedang
2,1 - 3,0 3 Rendah
> 3,0 4 Tidak andal
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ukuran panjang penetrasi rayap terhadap pasir yang diberi perlakuan ekstrak
dengan tingkat konsentrasi tertentu yang diaplikasikan dalam sumbu horizontal botol H
menjadi variabel yang sangat penting dalam penilaian kriteria keandalan. Semakin
rendah penetrasi maka semakin andal ekstrak tersebut. Kriteria keandalan akan
menentukkan lamanya proteksi bahan ekstrak tersebut melindungi bangunan dari
serangan rayap tanah.
8 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Panjang penetrasi dari ekstrak kasar kayu Bawang disajikan pada Tabel 2. Pada
ekstrak kulit kayu Bawang dengan konsentrasi 2%, 4% dan 6%, rayap tanah
Coptotremes gestroi mampu menembus pasir perlakuan pada pengamatan hari kedua,
sedangkan pada konsentrasi 8%, rayap hanya membutuhkan waktu selama enam hari
untuk menembus pasir perlakuan. Hal senada terlihat pada ekstrak daun. Rayap mampu
menembus pasir perlakuan dengan konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8% pada hari kedua
pengamatan.
Tabel 2. Panjang penetrasi rayap pada pasir yang telah diberi perlakuan ekstrak kasar
kulit dan daun kayu Bawang.
Karakteristik senyawa bioaktif yang terkandung di dalam ekstrak kayu Bawang
tidak tergolong ke dalam racun kontak. Pada perlakuan/peracuanan tanah senyawa
bioaktif yang sesuai yaitu yaitu memiliki karakteristik sebagai repelen atau racun
kontak. Senyawa bioaktif tersebut menjadi hambatan (barrier) bagi rayap tanah
Coptotermes gestroi untuk menembus pasir. Senyawa bioaktif ini menyebabkan
kematian pada rayap ketika melakukan aktivitas penetrasi. Senyawa bioaktif yang
bersifat repelen akan memaksa rayap kembali ke salah satu botol H yang tidak ada
makanan sehingga perlahan-lahan rayap akan mati. Kematian rayap tanah yang menjadi
indikator penunjang keberhasilan pada peracunan tanah tidak menunjukkan hasil yang
bagus (Tabel 3). Sampai dengan enam hari pengamatan, kematian rayap pada ekstrak
kulit dan daun kayu Bawang, menunjukkan nilai yang sama dengan kontrol.
Tabel 3. Persentase mortalitas rayap sampai dengan 6 hari pengamatan
Jenis Bahan Ekstrak Konsentrasi (%) Mortalitas (%)
Kulit
2 2
4 2,54
6 3
8 4
Daun
2 2
4 2
6 2,89
8 2,93
Kontrol 0 2
H2 H4 H6 H8 H10 H12 H14 H16 H18 H20 H21
2 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
4 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
6 87,33 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
8 51,33 72,67 100 100 100 100 100 100 100 100 100
2 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
4 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
6 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
8 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Kontrol 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Jenis Bahan
Ekstrak
Konsentrasi
(%)
Persentase penetrasi pada pengamatan hari ke-
Kulit
Daun
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 9
Dari Tabel 4 terlihat dengan jelas kriteria keandalan dari masing-masing jenis
ekstrak dan konsentrasinya. Ekstrak kulit dan daun Bawang pada semua konsentrasi
yang diuji tergolong ke dalam kriteria tidak andal. Hal ini menunjukkan bawak ekstrak
kasar kulit dan daun kayu Bawang tidak dapat mencegah serangan rayap tanah,
sehingga aktivitas termitisidalnya tidak cocok pada peracunan tanah.
Tabel 4. Kriteria keandalan ekstrak kulit dan daun kayu Bawang
Jenis Bahan
Ekstrak
Konsentrasi
(%)
Panjang
Penetrasi (Cm)
Persentase
Penetrasi Skor
Kriteria
Keandalan
Kulit
2 5 100 4 Tidak andal
4 5 100 4 Tidak andal
6 5 100 4 Tidak andal
8 5 100 4 Tidak andal
Daun
2 5 100 4 Tidak andal
4 5 100 4 Tidak andal
6 5 100 4 Tidak andal
8 5 100 4 Tidak andal
Kontrol 0 5 100 4 Tidak andal
KESIMPULAN
Ekstrak kulit dan daun kayu Bawang pada konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8%
tergolong ke dalam kriteria keandalan tidak andal, sehingga aktivitas termitisidalnya
tidak cocok pada perlakuan tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim . 1992. Japan Wood Preserving Asociation, Japan.
Prasetiyo, K.W. dan S. Yusuf. 2004. Mencegah dan Membasmi Rayap secara Ramah
Lingkungan dan Kimia. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Sudrajat. 2012. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA BIOAKTIF ZAT
EKSTRAKTIF TUMBUHAN KAYU BAWANG (Scorodocarpus borneensis
Becc) SEBAGAI TERMISIDA RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus
Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae). Mulawarman Scientifie (11): 219-227.
Tarmadi, D., M. Ismayati, K.H. Setiawan, S. Yusuf. 2011. Evaluasi Aktivitas Ekstrak
Bahan Alam pada Perlakuan Tanah (Soil Treatment). Prosiding Seminar
Nasional XIII Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Bali, 10-11
November 2010
10 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
EFIKASI ASAM OLEAT HASIL ISOLASI DARI EKSTRAK BIJI BINTARO
(CERBERA MANGHAS) TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES
GESTROI WASMANN DAN RAYAP KAYU KERING CRYPTOTERMES
CYNOCEPHALUS LIGHT
Didi Tarmadi, Ikhsan Guswenrivo, Deni Zulfiana, Sulaeman Yusuf
UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian terhadap pemanfaatan ekstrak bahan alam sebagai biotermitisida
semakin meningkat seiiring dengan dampak negatif termitisda konvensional terhadap
lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi asam oleat yang diisolasi
dari biji Bintaro terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann dan rayap kayu
kering Cryptotermes cynocephalus Light. Identifikasi asam oleat menggunakan Gas
Chromatography (GC-MS) and Nuclear magnetic resonance spectroscopy (NMR). Dari
hasil tahapan kromatografi kolom diperoleh 10 sub fraksi dan rendemen paling tinggi
terdapat pada sub fraksi 3. Hasil analisis kandungan senyawa kimia pada sub fraksi 3
diketahui sebagai asam oleat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa asam oleat
yang diisolasi dari biji Bintaro memberikan pengaruh yang rendah terhadap tingkat
mortalitas rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus. Walaupun
demikian asam oleat dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan rayap tanah C.
gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus.
Kata kunci: Cerbera manghas, Coptotermes gestroi, Cryptotermes cynocephalus
PENDAHULUAN
Rayap tanah khususnya Coptotermes gestroi merupakan hama pertanian dan
perkebunan yang memiliki sebaran yang luas (Jenkins et al. 2007). Kerugian akibat
serangan rayap tanah di Amerika Serikat mencapai US$5 juta pertahun (Peterson 2010).
Penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya tersebut secara luas untuk aplikasi pertanian
maupun pemukiman, tentunya sangat membahayakan kesehatan manusia dan
lingkungan (Wright et al. 1994). Pengendalian menggunakan insektisida konvensional
telah menimbulkan masalah yaitu pengaruh terhadap lingkungan dan resistensi
sehingga perlu dicari alternatif bahan yang lebih ramah lingkungan (Yoon et al. 2007).
Salah satu alternatif pengendalian yaitu menggunakan ekstrak herbal dari tanaman obat
tertentu (Promsiri et al. 2008). Tanaman memiliki potensi sebagai bahan alternatif
pengendalian serangga karena didalamnya terkandung senyawa kimia yang bersifat
bioaktif (Wink 1993).
Binatro (Cerbera manghas) merupakan pohon beracun dari famili Apocynacea.
yang menyebabkan 10% kasus keracunan di Kerala India (Gaillard et al. 2004).
Mengandung dua cardenolide yang diidentifikasi dari akar C. manghas sebagai agent
antiproliferatif dan antiestrogenik ketika dievaluasi terhadap sel kanker usus besar
manusia (Chang et al. 2000). Dalam buah juga terkandung tanghinigenin dan neriifolin
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 11
masuk dalam kelas steroid sebagai cardiac glycoside yang bersifat antikanker (Wang et
al. 2010; Zhao et al. 2011). Cerbera manghas bersifat toksik terhadap organisme hama
seperti rayap tanah Coptotermes gestori (Tarmadi et al. 2010), hama tanamana
perkebunan Eurema spp (Utami 2010), serangga hama gudang Sitophilus oryzae
(Tarmadi et al. 2013). Ekstrak metanol C. odollam menunjukkan aktivitas anti jamur
yang tinggi terhadap Trametes versicolor, Pycnoporus sanguineus, dan Schizophyllum
commune (Hashim et al. 2009).
Asam oleat merupakan asam lemak terbanyak penyusun trigliserida minyak biji
Bintaro yaitu sebesar 36,46% (Endriana 2007). Asam lemak yang diisolasi dari biji
Nimba memiliki bersifat toksik terhadap larva nyamuk Aedes aegypti dengan nilai
LC50 = 78, 45 ppm. Asam oleat dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Dilika et al.
2000). Menurut Rahuman et al. 2008, asam oleat dan asam oleic cukup mematikan
terhadap larva Aedes aegypti L. (LC50 8.80, 18.20 and LC90 35.39, 96.33 ppm),
Anopheles stephensi Liston (LC50 9.79, 11.49 and LC90 37.42, 47.35 ppm), and Culex
quinquefasciatus Say (LC50 7.66, 27.24 and LC90 30.71, 70.38 ppm).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi asam oleat yang diisolasi dari
biji Bintaro terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann dan rayap kayu kering
Cryptotermes cynocephalus Light.
METODE PENELITIAN
Isolasi asam oleat
Sebanyak 2000 gram ekstrak kering biji bintaro diekstraksi menggunakan pelarut
metanol dengan metode maserasi. 175 gram ekstrak kering hasil ekstraksi kemudian
ditambahkan aquades sampai diperoleh 300 ml ekstrak. Ekstrak kemudian dimasukkan
dalam corong pisah 1000 ml dan diekstraksi dengan pelarut berikutnya yaitu n-heksana
sebanyak 300 ml (1:1). Ekstrak dalam corong pisah dikocok agar aquades dan n-
heksana berinterksi lalu diamkan beberapa saat sampai ada pemisahan yang jelas antara
kedua pelarut. Pada tahap ini diperoleh fraksi terlarut n-heksana dan tidak terlarutnya.
Fraksi tidak terlarut diekstraksi kembali dengan pelarut berikutnya yaitu etil asetat.
Tahap ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh ekstrak n-heksana dan etil asetat
yang jernih. Larutan ekstrak hasil fraksinasi kemudian dievaporasi menggunakan
rotavapor pada suhu 40 oC kemudian dikeringkan di atas waterbath untuk mendapatkan
ekstrak kering.
Delapan gram ekstrak kering fraksi etil asetat dimasukkan ke dalam kolom
kromatografi. Eleun yang digunakan yaitu kombinasi pelarut n-heksan dan kloroform.
Dengan perbandingan n-heksan dan kloroform (100:0, 50:1, 25:1, 10:1, 9:1, 8:1, 7:1,
6:1, 5:1, 4:1, 3:1, 2:1, 1:1, 1:2, 1:3, 1:4, 1:5, 1:6, 1:7, 1:8, 1:9, 1:10, 1:25, 1:50, 0:100)
Selanjutnya ekstrak yang keluar dari kolom ditampung tiap 20 ml dalam botol.
Senyawa dalam tiap botol dilihat spotnya dengan KLT, Senyawa yang memiliki nilai Rf
yang sama disatukan menjadi satu fraksi. Dari kegiatan kromatografi kolom didapatkan
10 sub fraksi. Asam oleat diperoleh dari sub fraksi 3 (senyawa tunggal). Identifikasi
senyawa asam olet menggunakan GC-MS.
12 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Uji bioassay terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi
Uji bioassay dilakukan dengan mengujikan larutan asam oleat yang telah
ditentukan konsentrasinya yaitu 1%, 2%, 3%, 4% (w/v). Sebanyak 50 ekor rayap
pekerja dan 5 ekor rayap prajurit dari jenis Coptotermes gestroi serta paper disc
(sebagai umpan) yang telah ditetesi larutan asam oleat dimasukkan bersama-sama ke
dalam cawan petri yang telah dilapisi plaster paris setebal 3 mm. Sebelum diumpankan,
paper disc yang telah ditetesi larutan asam oleat terlebih dahulu divaccum di desikator
selama 6 jam untuk menghilangkan pelarut. Pada penelitian ini menggunakan metode
umpan paksa (forced feeding test) rayap dipaksa memakan paper disc yang telah
ditetesi oleh ekstrak. Pengamatan dilakukan setiap dua hari selama 14 hari. Data yang
diamati yaitu persentase mortalitas rayap dan persentase kehilangan berat paper disc.
Uji bioassay terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light
Pengujian mengacu pada Standar Nasional Indonesia, SNI 01-7207-2006,
dengan menggunakan metode forced-feeding test (metode umpan paksa). Larutan asam
oleat dengan konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4% (w/v) dilaburkan pada seluruh permukaan
kayu karet (Hevea brasiliensis) dengan ukuran (5 x 2,5 x 2) cm. Kayu uji kemudian
diangin-anginkan selama 15 hari pada suhu kamar sampai menjadi kering udara
kembali. Pada salah satu sisi terlebar dari masing-masing kayu uji dipasangkan tabung
gelas/pipa kaca berdiameter 1,8 cm dan tinggi 4 cm. Selanjutnya, 50 ekor kasta pekerja
rayap kayu kering yang sehat dan aktif dimasukkan ke dalam tabung gelas tersebut.
Lubang tabung gelas yang satu lagi disumbat dengan kapas (Gambar 2). Unit
perlakuan yang sudah berisi rayap tersebut kemudian disimpan di tempat gelap.
Pengamatan dilakukan setiap dua hari selama 14 hari. Data yang diamati yaitu
persentase mortalitas rayap dan persentase kehilangan berat kayu uji.
Gambar 1. Skema uji pengujian rayap kayu kering
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan identifikasi asam oleat
Dari hasil tahapan kromatografi kolom didapatkan 10 sub fraksi dengan tingkat
rendemen yang bervariasi (Tabel 1). Dari Tabel 1 terlihat bahwa rendemen terbanyak
terdapat pada sub fraksi 3 yaitu sebesar 0,95 %. Setelah dilakukan analisis awal
menggunakan KLT, sub fraksi 3 memiliki senyawa tunggal, sedangkan sub fraksi
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 13
lainnya masih mengandung beberapa senyawa. Selanjutnya dari sub fraksi 3 dilanjutkan
analisis kandungan senyawa kimia menggunakan GC-MS dan NMR.
Tabel 1. Rendemen sub fraksi
Sub fraksi Rendemen (%)
fraksi 1 0,218
fraksi 2 0,389
fraksi 3 0,95
fraksi 4 0,301
fraksi 5 0,389
fraksi 6 0,212
fraksi 7 0,478
fraksi 8 0,376
fraksi 9 0,218
Fraksi 10 0,297
Berdasarkan hasil pengukuran spektrum 1H-NMR (CDCl3, 500 MHz),
H 0,88 (t, J = 7,2 Hz)
merupakan gugus metil (-CH3), dan metilen (CH2 H 1,25-1,31 (24H, 12 x CH2,
bs), 1,63 (2H, CH2, qintet, J = 7,1 Hz), 2,01 (bd, CH2, J = 5,4 Hz) dan 2,34 (CH2, t, J =
H 5,35 (m, J =
3,9 Hz). Berdasarkan hasil ini diduga merupakan asam oleat, dengan rumus molekul
C18H34O2 (BM 282,46).
Gambar 2. Spektrum 1H-NMR
-CH3
14 x CH2
CH2 CH2 CH2 HC=CH
14 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
O
OH
oleic acid Gambar 3. Struktur Molekul Asam oleat
Dugaan tersebut diperkuat dengan hasil pengukuran 13
C-NMR terlihat adanya
C 180,54 (- C 130,21 dan
C 14,30 (CH3) dan gugus metilen (CH2) pada dC
antara 22,88; 24,87; 29,26-29,88 dan 32,13.
Gambar 4. Spektrum
13C-NMR
Disamping itu bila dibandingkan data spektrum asam oleat hasil presiksi,
menunjukkan adanya kesamaan/kemiripan nilai geseran kimianya maka dapat
disimpulkan bahwa senyawa tersebut adalah asam oleat.
Hasil uji bioassay efikasi asam oleat terhadap rayap tanah C. gestroi dan rayap
kayu kering C. cynocephalus
Tabel 2 menunjukkan tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi setelah memakan
paper disc yang ditetesi larutan asam oleat dengan variasi konsentrasi yang diuji. Dari
Tabel 2 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi memberikan pengaruh terhadap
mortalitas rayap tanah C. gestroi. Semakin tinggi konsentrasi maka semakin tinggi
-COOH HC=CH CH2 -CH3
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 15
mortalitas rayap tanah C. gestroi. Pada konsentrasi tertinggi (4 %) memberikan tingkat
mortalitas sebesar 33 % sampai dengan akhir pengamatan, sedangkan pada konsentrasi
1%, 2% dan 3% hanya menyebabkan tingkat mortalitas dibawah 30%. Pada perlakukan
kontrol, tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi sebesar 19,33% sampai dengan akhir
pengamatan. Hal ini mengindikasikan bahwa, asam oleat memberikan pengaruh yang
rendah terhadap mortalitas rayap tanah C. gestroi.
Tabel 2. Mortalitas rayap tanah C. gestroi selama 14 hari pengamatan
Tabel 3 menunjukkan tingkat mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus
setelah terpapar asam oleat dengan variasi konsentrasi yang diuji. Dari Tabel 3 terlihat
bahwa pada konsentrasi terbesar yaitu 4% hanya memberikan persentase tingkat
mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus sebesar 15,33 %. Pada konsentrasi 1%,
2% dan 3%, menyebabkan tingkat mortalitas dibawah 15%. Hal ini mengindikasikan
bahwa asam oleat memberikan pengaruh yang rendah terhadap mortalitas rayap kayu
kering C. cynocephalus.
Tabel 3. Mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus selama 14 hari pengamatan
Tabel 4. Persentase penuruan berat sampel uji selama 14 hari pengujian
Concentration
Weight loss (%)
Subterranean termite Dry wood termite C.
cynocephalus C. gestroi
Methanol
solvent 50,00±2,71 1,68±0,20
Untrated 49,57±4,85 1,83±0,05
1% 49,84±7,82 1,60±0,14
2% 48,54±2,57 1,56±0,10
3% 42,30±3,02 1,44±0,13
4% 36,80±2,92 1,25±0,16
2 4 6 8 10 12 14
Methanol solvent 5,33± 1,15 9,33±1,15 13,33±3,06 16,00±0,00 18,00±2,00 18,00±2,00 18,00±2,00
Untreated 6,67±1,15 10,00±2,00 14,67±1,15 17,33±1,15 18,67±2,31 19,33±1,15 19,33±1,15
1 6,67±1,15 10,67±1,15 14,00±2,00 18,00±2,00 18,67±1,15 19,33±1,15 20,00±0,00
2 6,67±1,15 11,33±1,15 15,33±3,06 18,67±1,15 19,33±1,15 20,67±2,31 21,33±1,15
3 8,00±2,00 13,33±1,15 19,33±1,15 21,33±1,15 24,67±1,15 26,00±0,00 30,00±2,00
4 9,33±1,15 19,33±1,15 21,33±1,15 24,67±2,31 27,33±2,31 30,67±1,15 33,33±1,15
Concentration
(%)
Daily Termite Mortality Percentage (Mean±Sdev)
2 4 6 8 10 12 14
Methanol solvent 1,33±1,15 2,67±1,15 5,33±1,15 6,67±2,31 9,33±2,31 10,00±2,00 10,67±1,15
Untreated 0,67±1,15 1,33±1,15 3,33±1,15 4,67±1,15 6,67±1,15 8,00±0,00 8,67±1,15
1 0,67±1,15 0,67±1,15 2,00±2,00 4,00±2,00 7,33±1,15 8,67±1,15 10,00±0,00
2 0,67±1,15 1,33±1,15 2,00±0,00 4,67±1,15 8,00±2,00 10,67±1.15 11,33±1.15
3 1,33±1,15 2,67±1,15 4,00±0,00 5,33±1,15 8,67±3,06 11,33±1,15 12,67±1,15
4 2,00±0,00 3,33±1,15 5,33±1,15 7,33±1,15 8,67±1,15 13,33±1,15 15,33±1,15
Concentration
(%)
Daily Termite Mortality Percentage (Mean±Sdev)
16 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Tingkat konsumsi rayap terhadap sampel uji menjadi salah satu parameter yang
diamati dalam penelitian ini. Besarnya tingkat konsumsi rayap terhadap paper disc dan
kayu yang telah diberi perlakuan asam oleat dinyatakan dalam persentase penurunan
berat. Persentase penurunan berat menjadi indikator yang sangat penting karena
berpengaruh terhadap efektivitas asam oleat terhadap rayap tanah C. gestroi daan C.
cynocephalus. Penurunan berat paper disc akibat peningkatan konsentrasi ekstrak
menunjukkan penambahan ekstrak memberikan peningkatan ketahanan paper disc
terhadap serangan rayap (Fallah 2005). Tabel 4 menunjukkan persentase penurunan
berat sampel uji yang telah diberi perlakuan asam oleat kemudian diumpankan terhadap
rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus. Dari Tabel 4 terlihat
bahwa terdapat kecendrungan penuruan persentase penurunan berat paper sampel uji
seiring dengan peningkatan konsentrasi baik pada uji terhadap rayap tanah C. gestroi
maupun rayap kayu kering C. cynocephalus. Jika dibandingkan dengan kontrol,
pemberian perlakukan asam oleat memberikan pengaruh terhadap penurunan
persentase penurunan berat. Walaupun pengaruhnya tidak terlalu signifikan tetapi dapat
diasumsikan bahwa asam oleat dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan rayap
tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus.
KESIMPULAN
Asam oleat yang diisolasi dari biji Bintaro memberikan pengaruh yang rendah
terhadap tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C.
cynocephalus. Walaupun demikian asam oleat dapat meningkatkan ketahanan terhadap
serangan rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus.
DAFTAR PUSTAKA
Chang LC, Joell JG, Krishna PL, Lumonadio L, Norman RF, John MP, A. Douglas K.
2000. Activity-Guided Isolation of Constituents of Cerbera manghas with
Antiproliferative and Antiestrogenic Activities. Bioorganic & Medicinal
Chemistry Letters. 10 2431-2434
Endriana D. 2007. Sintesis Biodiesel (metil ester) dari Minyak Biji Bintaro (Cerbera
manghas ) Hasil Ekstraksi. Kimia MIPA-UI, depok.
Falah, S., T. Katayama, Mulyaningrum. 2005. Utilization of Bark Extractives from
Some Tropical Hardwoods as Natural Wood Preservatives: Termitidial Activities
of Extractives from Barks of Some Tropical Hardwoods. Proceeding of the 6th
International Wood Science Symposium. Bali, August, 29-31. pp. 323-328
Gillard Y, Ananthasankaran, K Fabien B. 2004. Cerbera odollam: a ‘suicide tree’ and
cause of death in the state of Kerala, India. J. Ethnopharmacology .95 123–126
Hashim R, Boon JG, Sulaiman O, Kawamura F, Lee CY. 2009. Evaluation of the
decay resistance properties of Cerbera odollam extracts and their influence on
properties of particleboard. International Biodeterioration & Biodegradation 63:
1013–1017
Jenkins TC, Jones SC, Lee CY, Forschler BT, Chen Z,Martinez GL, Gallagher NT,
Brown G, Neal M,Thistleton B, Kleinschmidt S. (2007). Phylogeography
illuminates maternal origins of exotic Coptotermes gestroi (Isoptera:
Rhinotermitidae). Molecular Phylogenetics and Evolution 42, 612–621
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 17
Peterson C. Considerations of Soil-Applied Insecticides for Termite Control. Outlooks
Pest. Manag. 2010; 21: 89 93.
Promsiri S, Amara N, Maleeya K, Usavadee T. 2006. Evaluations of larvicidal activity
of medicinal plant extractsto Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) and other effects
ona non target fish. Insect Science. 13: 179-188.
Tarmadi D, M. ismayati, KH. Setiawan, S. Yusuf. 2010. Antitermite activitiy of
Carbera manghas L seeds extracts. Proceeding of The 7th Pacific Rim Termite
Research Group. Singapura, 1-2 Maret 2010.
Tarmadi D, Guswenrivo I, Prianto AH, Yusuf S. 2013. The effect of Cerbera manghas
(Apocynaceae) Seed Extract against Storage Product Pest Sitophilus oryzae
(Coleoptera: Curculionidae). Proceeding of The 2th International Symposium of
Sustainable Humanosphere. Bandung, 29 August 2012.
Utami S. 2010. Aktivitas Insektisida Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) Terhadap Hama
Eurema spp. Pada Skala Laboratorium. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7:
211-220.
Wang GF, Yue WG, Bo F, Liang L, Cai GH, Bing HJ. 2010. Tanghinigenin from seeds
of Cerbera manghas L. induces apoptosis in human promyelocytic leukemia HL-
60 cells. Environmental Toxicology and Pharmacology. 30 31–36
Wink, M., 1993. Production and application of phytochemicals from an agricultural
perspective. In: van Beek, T.A., Breteler, H. (Eds.), Phytochemistry and
Agriculture, Vol. 34. Clarendon, Oxford, UK, pp. 171–213
Wright, C.G., R.B. Leidy and H.E. Dupree, Jr. 1994. Chlorpyrifos in the air and soil of
houses eight years after its application for termite control. Bull. Environ. Contam.
Toxicol. 52(1):131-134
Yoon C, SH. Kang, SA. Jang, YJ. Kim, GH. Kim. 2007. Reppelent efficacy of Caraway
and Grapefruit Oils for Sitphilus oryzae (Colepotera: Curculionidae). Journal of
Asia-Pacific Entomol. 10(3): 263-267
Zhao Q, Yuewei G, Bo F, Liang L, Caiguo H, Binghua J. 2011. Neriifolin from seeds of
Cerbera manghas L. induces cell cycle arrest and apoptosis in human
hepatocellular carcinoma HepG2 cells. Fitoterapia .82 735–741.
18 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
PRETREATMENT NaOH DAN HIDROLISIS ENZIMATIS PADA AMPAS
TEBU
Triyani Fajriutami*, Widya Fatriasari, Raden Permana Budi Laksana, dan Euis
Hermiati
UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Bioetanol dari biomassa lignoselulosa yang merupakan bioetanol generasi
kedua masih terus dikembangkan dan diteliti secara mendalam. Kandungan serat yang
tinggi dan ketersediaan limbah ampas tebu yang besar menjadikan alternatif
pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku bioetanol cukup strategis dan
menjanjikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment
NaOH encer pada kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin ampas tebu serta terhadap
gula pereduksi yang dihasilkan secara hidrolisis enzimatis untuk produksi bioetanol.
Hasil pretreatment dengan NaOH dan waktu pemanasan pada ampas tebu
mempengaruhi kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan ligninnya. Pada
penelitian ini, pretreatment NaOH 1% dengan lama pemanasan 60 menit di suhu 121°C
dilanjutkan hidrolisis selulase 10 FPU/g menghasilkan gula pereduksi sebanyak 33.97
g/100 g ampas tebu atau sekitar 43% gula pereduksi dari penghitungan teori jumlah
maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari ampas tebu.
Kata kunci: Ampas tebu, pretreatment NaOH, gula pereduksi, hidrolisis enzim
PENDAHULUAN
Salah satu penelitian bioenergi yang ditekuni saat ini adalah bioetanol dari
biomassa lignoselulosa yang merupakan bioetanol generasi kedua. Generasi pertama
bioetanol bersumber dari pati yang umumnya merupakan bahan pangan bagi penduduk
dunia. Generasi pertama tersebut menciptakan beberapa masalah, diantaranya
terganggunya ketersediaan pangan dan kenaikan harga pangan dunia. Oleh karena itu,
dikembangkan penelitian untuk mengkonversi bahan lain selain pangan, misalnya
lignoselulosa, menjadi bioetanol. Di dalam penerapan transportasi, bahan bakar etanol
yang terbuat dari bahan lignoselulosa mengurangi 91% emisi gas rumah kaca
dibandingkan bahan bakar fosil, sedangkan bahan bakar etanol yang terbuat dari pati
jagung hanya mengurangi 22% emisi gas rumah kaca (Menon and Rao, 2012).
Salah satu sumber biomassa lignoselulosa yang potensial di dunia adalah ampas
tebu. Di Indonesia, produksi tebu nasional adalah 33 juta ton/tahun dan terdapat 58
pabrik gula dengan kapasitas giling total 195.622 ton tebu per hari (TTH) (Hermiati et
al., 2010). Jumlah ampas tebu yang dihasilkan dalam pengolahan nira tebu cukup besar,
yaitu sekitar 35 - 40% dari bobot tebu dengan kandungan air 48 - 52%, gula 2.5 - 6%,
dan serat 44 - 48%. Kandungan serat yang tinggi dan ketersediaan limbah ampas tebu
yang besar menjadikan alternatif pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku bioetanol
cukup strategis dan menjanjikan (Hambali et al., 2007).
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 19
Proses konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol memerlukan beberapa
tahap, yaitu pretreatment, hidrolisis selulosa menjadi gula sederhana dan fermentasi
gula sederhana menjadi etanol. Pretreatment bertujuan untuk menghilangkan lignin,
mengurangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan. Tahap ini dinilai
sebagai tahap yang paling mahal. Oleh karena itu, pretreatment merupakan tantangan
utama dalam proses konversi lignoselulosa menjadi bioetanol (Hermiati et al., 2010).
Karena beragamnya bahan lignoselulosa, penelitian proses pretreatment masih terbuka
lebar. Pretreatment dapat dilakukan secara mekanik, kimia, biologi, dan kombinasi dari
cara tersebut (Sun and Cheng, 2002).
Penelitian kali ini menggunakan larutan NaOH yang menurut penelitian
sebelumnya menunjukkan hasil yang cukup baik. Sudiyani et al., (2010) melaporkan
bahwa pretreatment alkali (NaOH 1N) pada tandan kosong kelapa sawit lebih mampu
menghilangkan lignin dibandingkan dengan asam dan persen kehilangan lignin yang
optimal adalah 45,8%. Nlewem and Thrash Jr. (2010) membandingkan pretreatment
terhadap switchgrass dengan 0,5-10% NaOH, 80-90°C, 1 jam; asam sulfat 0,5-6%,
121°C, 1 jam; dan air panas 100°C, 1 jam. Hasilnya adalah konsentrasi gula lebih tinggi
diperoleh pada pretreatment NaOH 0.5% dibandingkan dengan lainnya. McIntosh and
Vancov (2011) melaporkan bahwa kisaran delignifikasi jerami gandum sebesar 33-72%
pada suhu 121°C dengan menggunakan konsentrasi 0,75-2% NaOH.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment NaOH
encer pada kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin ampas tebu serta terhadap gula
pereduksi yang dihasilkan secara hidrolisis enzimatis untuk produksi bioetanol.
BAHAN DAN METODE
Persiapan Bahan Baku
Ampas tebu diperoleh dari pabrik gula di Subang, Jawa Barat yang kemudian
dikeringkan, digiling, dan disaring sehingga berukuran 40-60 mesh. Sebelum digunakan
untuk proses selanjutnya, ampas tebu tersebut disimpan dalam wadah yang tertutup
rapat.
Pretreatment
Larutan NaOH dipersiapkan dengan variasi konsentrasi 1%, 2% dan 3% (b/v).
Selanjutnya 10 gram ampas tebu yang sudah diketahui kadar airnya dimasukkan dalam
labu erlenmeyer volume 250 ml dan ditambahkan 150 ml larutan NaOH atau 150 ml air
suling sebagai pembanding. Kemudian labu tersebut dipanaskan selama 30, 60, dan 90
menit dalam pemanas bertekanan (autoclave) pada suhu 121°C. Setelah pemanasan
selesai, sampel disaring untuk memisahkan pulp ampas tebu dengan limbah cairnya.
Pulp ampas tebu dibilas beberapa kali dengan air suling untuk menetralkan pH-nya.
Sebagian pulp ampas tebu yang sudah netral dikeringkan di oven 60°C selama 3 hari,
dan sebagian lainnya tetap disimpan basah dalam lemari pembeku sebelum digunakan
untuk proses hidrolisis enzimatis.
Hidrolisis enzimatis
Hidrolisis enzimatis pada penelitian ini menggunakan enzim selulase komersial
(Meicellase dari Meiji Seika, Jepang) dengan aktifitas enzim 200 FPU/g. Larutan buffer
sodium sitrat 0.05 M, pH 5 disiapkan sebagai pelarut enzim selulase. Sebanyak 1 gram
Meicellase dilarutkan dalam larutan buffer sodium sitrat hingga volume 100 ml,
sehingga didapatkan konsentrasi larutan stok enzim selulase 2 FPU/ml.
20 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Proses hidrolisis dilakukan terhadap ampas tebu setelah proses pretreatment
NaOH. Sebanyak 0.1 g pulp ampas tebu (berat kering) ditimbang dalam botol vial
volume 20 ml. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan buffer sodium sitrat dan 0.1 ml
larutan sodium azide 20 mg/ml. Setelah itu, ditambahkan larutan stok enzim selulase
0.5 ml (untuk konsentrasi enzim 10 FPU/g) atau 1 ml (untuk konsentrasi enzim 20
FPU/g). Larutan buffer sodium sitrat ditambahkan kembali sampai dengan berat total
campuran mencapai 10 g. Persiapan yang sama dilakukan juga untuk kontrol buffer
(tanpa substrat dan tanpa penambahan enzim selulase) dan kontrol enzim (tanpa
substrat). Proses hidrolisis dilakukan dalam shaking incubator 150 rpm pada suhu 50°C
selama 48 jam. Posisi vial diletakkan secara horisontal untuk memperluas kontak
substrat dengan enzim.
Analisa
Ampas tebu sebelum pretreatment dianalisa komponen kimianya meliputi kadar
air, kadar abu, kadar ekstraktif, kadar lignin, kadar hemiselulosa dan kadar alfaselulosa.
Struktur sel ampas tebu dianalisa menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM)
dengan perbesaran 2000 kali (15kV, WD 11 mm). Analisa gugus fungsi ampas tebu
dilakukan dengan Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectometric. Sebanyak 4 mg
serbuk ampas tebu dicampur dengan 200 mg KBr (kalium bromida) dimasukkan dalam
tempat pembuat pelet selanjutnya diberi tekanan 5000 psi. Spetrum direkam
menggunakan ABB FTIR MB3000 dengan resolusi 16 cm-1
dan 5 scan tiap sampel
dengan kisaran frekuensi 4000-500 cm-1
.
Pulp ampas tebu setelah pretreatment yang sudah dikeringkan di oven 60°C
dianalisa komponen kimianya meliputi kadar air, kadar ekstraktif, dan kadar ligninnya.
Kemudian dilakukan penghitungan kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan
kehilangan lignin. Analisa SEM dan FTIR dilakukan terhadap pulp ampas tebu setelah
pretreatment yang dikeringkan dengan pengering beku (freeze dryer).
Filtrat hasil hidrolisis enzimatis dinalisa gula pereduksinya menggunakan metode
Nelson-Somogyi. Gula pereduksi substrat dihitung setelah dikurangi dengan gula
pereduksi pada kontrol buffer dan kontrol enzim.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komponen kimia ampas tebu sebelum proses pretreatment dapat dilihat pada
Tabel 1. Komponen terbesar pada ampas tebu adalah alfaselulosa, yaitu 41.35%.
Alfaselulosa merupakan polimer glukosa yang menjadikan ampas tebu berpotensi besar
sebagai sumber gula untuk produksi bioetanol. Namun, untuk memaksimalkan produksi
gula pada bahan lignoselulosa seperti ampas tebu, diperlukan proses penghilangan
lignin atau delignifikasi terlebih dahulu.
Tabel 1. Komponen kimia ampas tebu sebelum pretreatment
No Komponen Persentase (% berat kering)
1 Alfaselulosa 41.35
2 Hemiselulosa 31.11
3 Lignin 20.16
4 Ekstraktif 8.73
5 Abu 1.47
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 21
Pada penelitian ini, setelah ampas tebu diberi perlakuan NaOH, kehilangan lignin
dan kehilangan ekstraktif dihitung berdasarkan kehilangan berat rata-rata ampas tebu.
Gambar 1 memperlihatkan pengaruh konsentrasi larutan NaOH dan waktu pemanasan
terhadap kehilangan berat ampas tebu. Konsentrasi NaOH berpengaruh terhadap
kehilangan berat ampas tebu (p<0.05). Penggunaan larutan NaOH 1% sebagai
pengganti air mengurangi berat ampas tebu sebanyak 10-20 kali lipat pada proses
pretreatment. Berdasarkan perhitungan uji lanjut, pengaruh konsentrasi NaOH yang
menghasilkan perbedaan nyata kehilangan berat ampas tebu tersebut hanya terjadi
antara konsentrasi 1% NaOH dan 3% NaOH.
Salah satu yang mengurangi berat ampas tebu adalah kehilangan ekstraktif.
Gambar 2 memperlihatkan kehilangan ekstraktif ampas tebu setelah proses
pretreatment. Kehilangan ekstraktif ini dipengaruhi oleh penggunaan NaOH (p<0.05).
Pelarut NaOH dengan konsentrasi sama dengan atau lebih dari 2% mampu mengurangi
kandungan ekstraktif lebih banyak dibandingkan dengan pelarut air. Namun kehilangan
ekstraktif tidak berbeda nyata hanya dengan menaikkan konsentrasi NaOH sampai
dengan 3%.
Gambar 1. Kehilangan berat ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan
pemanas bertekanan pada suhu 121°C
Gambar 2. Kehilangan ekstraktif ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan
pemanas bertekanan pada suhu 121°C
Waktu pemanasan juga mempengaruhi kehilangan berat, kehilangan ekstraktif,
dan kehilangan lignin pada ampas tebu setelah pretreatment NaOH (p<0.05). Lama
pemanasan 60 menit mengurangi komponen lebih banyak dibandingkan 30 menit.
Namun, memperpanjang waktu selama 90 menit tidak menyebabkan perbedaan nyata
terhadap kehilangan komponen ampas tebu.
22 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Kehilangan lignin merupakan salah satu indikator terpenting dalam penilaian
efektifitas sebuah metode pretreatment. Gambar 3 memperlihatkan pengaruh
konsentrasi larutan NaOH dan waktu pemanasan terhadap kehilangan lignin ampas
tebu. Kehilangan lignin sangat dipengaruhi oleh penggunaan NaOH dibandingkan air
(p<0.05). Semakin besar konsentrasi NaOH yang digunakan, semakin banyak
kehilangan lignin ampas tebu.
Analisa SEM dilakukan pada ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment
dengan air dan NaOH 3%. Ampas tebu awal terlihat permukaannya sedikit terkoyak
akibat proses penggilingan (Gambar 4a). Namun lignin masih berikatan dengan
karbohidrat sehingga serat ampas tebu masih dominan terlihat rata. Kemudian serat
ampas tebu memperlihatkan pola yang berbeda setelah diberi perlakuan dengan air dan
NaOH. Dengan menggunakan pelarut air, serat ampas tebu hanya menerima perlakuan
fisik, oleh karena itu permukaan ampas tebu yang makin terkoyak dan pecah (Gambar
4b). Sedangkan pretreatment NaOH memperlihatkan bahwa kerusakan serat ampas
tebu dimulai dari permukaan ke dalam sehingga diharapkan ikatan struktur
lignoselulosa mulai terbuka dan menyediakan permukaan yang semakin luas untuk
reaksi hidrolisis enzimatis berikutnya (Gambar 4c).
Gambar 3. Kehilangan lignin ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan
pemanas bertekanan pada suhu 121°C
Gambar 4. Hasil analisa SEM (Scanning Electron Microscope) penampang melintang
ampas tebu: (a) sebelum pretreatment, (b) setelah pretreatment dengan air
pada suhu 121°C, dan (c) setelah pretreatment dengan NaOH 3% pada
suhu 121°C
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 23
Tabel 2. Lateral order indeks (LOI) ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment
A1427 (kristalin) A897 (amorf) LOI
Ampas tebu awal 0.640 0.350 1.829
Ampas tebu pretreatment air 1.020 0.920 1.109
Ampas tebu pretreatment NaOH 1.070 0.880 1.216
Perubahan struktur ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment juga dianalisa
dengan FTIR. Lateral Order Index (LOI) merupakan rasio antara jumlah selulosa
kristalin dan amorf yang merupakan sifat terpenting pada lignoselulosa yang
menyebabkan serat selulosa resisten terhadap enzim selulosa. Nilai LOI ini sebagai
pendekatan sifat kristalinitas selulosa. Tabel 2 memperlihatkan terjadinya penurunan
LOI setelah ampas tebu diberi perlakuan dengan air dan NaOH pada suhu 121°C. Hal
ini mungkin disebabkan oleh terjadinya perusakan daerah kristalin selulosa serta
pembesaran rasio pori-pori dan bagian dalam daerah permukaan, dimana akan
memperbaiki digestibilitas enzim dalam proses hidrolisis. Penurunan LOI pada
pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan dengan pretreatment NaOH
(33.51%) yang mengindikasikan pola degradasi yang berbeda dimana pretreatment
dengan air mungkin lebih bersifat mengkonversi struktur kristalin pada selulosa
dibandingkan dengan NaOH. Hal ini karena pretreatment NaOH lebih menyerang
polimer lignin.
Umumnya, bilangan gelombang 1509, 1464 dan 1422 cm-1
pada spektrum FTIR
identik dengan struktur lignin (Sun et al., 2003). Gambar 5a menunjukkan spektrum
FTIR ampas tebu awal. Sedangkan Gambar 5b dan Gambar 5c menunjukkan spektrum
FTIR setelah pretreatment air dan NaOH 3% secara berurutan. Berdasarkan spektrum
FTIR tersebut tampak jelas bahwa karakteristik puncak lignin dapat ditemukan di
sampel tanpa dan dengan perlakuan pada bilangan gelombang 1250 cm-1
(11) untuk unit
guaiasil dan 1327 cm-1
(10) untuk unit siringil. Tabel 3 menunjukkan bahwa rasio
siringil/ guaiasil pada ampas tebu dengan perlakuan NaOH lebih besar dibandingkan
dengan perlakuan air. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan NaOH meningkatkan
laju delignifikasi pada ampas tebu.
Tabel 3. Rasio siringil/ guaiasil pada ampas tebu dengan pretreatment NaOH dan air
Unit Propana
Lignin
Tinggi puncak
Ampas tebu awal Ampas tebu-NaOH Ampas tebu-Air
Siringil (10) 0.70 1.15 1.20
Guaiasil (11) 0.78 1.03 1.29
Rasio S/G 0.89 1.12 0.93
24 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Gambar 5. Spektrum FTIR pada ampas tebu: (a) sebelum pretreatment; (b) setelah
pretreatment dengan air pada suhu 121°C; (c) setelah pretreatment dengan
NaOH 3% pada suhu 121°C
Gugus fungsional yang teridentifikasi pada ampas tebu sebelum dan sesudah
pretreatment dapat dilihat pada Tabel 4. Tampak bahwa pretreatment NaOH dan air
menyebabkan kehilangan beberapa gugus fungsional. Selain itu terjadi perbedaan
intensitas pada masing-masing gugus fungsional yang teridentifikasi. Pretreatment
dengan NaOH dan air menyebabkan peningkatan absorbansi dan luas area dan lebar
puncak pada bilangan gelombang 3410 cm-1
yang berkaitan dengan regangan dari
gugus OH. Hal ini mengindikasikan pelemahan ikatan intra dan intermolekul pada
gugus OH dan menurunnya kristalinitas (Goshadrou et al., 2011). Pretreatment NaOH
menyebabkan terjadinya kehilangan gugus fungsi C=O pada hemiselulosa, sedangkan
pretreatment dengan air berpengaruh terhadap kehilangan gugus fungsi C-H pada
selulosa dan hemiselulosa.
Setelah diberi perlakuan pendahuluan, pulp ampas tebu yang dihasilkan
dihidrolisis secara enzimatis dengan enzim selulase. Rendemen gula pereduksi per 100
g ampas tebu kering dapat dilihat pada Gambar 6 (untuk konsentrasi enzim selulase 10
FPU/g) dan Gambar 7 (untuk konsentrasi enzim selulase 20 FPU/g). Dengan waktu
inkubasi 48 jam selama proses hidrolisis, peningkatan konsentrasi enzim dari 10 FPU/g
menjadi 20 FPU/g tidak berbeda secara nyata terhadap rendemen gula pereduksi
(p>0.05). Perlakuan pretreatment sebelum hidrolisis dengan penambahan konsentrasi
NaOH sampai dengan 3% serta lama pemanasan pretreatment sampai dengan 90 menit
juga tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen gula pereduksi (p>0.05).
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 25
Tabel 4. Karakterisasi bilangan gelombang FTIR pada ampas tebu
Gambar 6. Pengaruh pretreatment NaOH terhadap rendemen gula pereduksi per 100
gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 10 FPU/g selama 48
jam pada suhu 50°C
Raw Water NaOH
1 3410 3410 3410O-H (H-bonded) stretching; Vibration,O(3)H---O(3)
intermolecular in cellulose
Pandey and Pitman, 2003; Isroi et al 2012; Lai
and Idris et al 2013; Nomanbhay et al. 2013;
Corrales et al 2012
2 2916 2901 2901 C-H alifatic axial deformation Corrales et al. 2012
C-H stretching in methyl and metylene group Nomanbhay et al. 2013
3 1728 1728 - Unconjugated C=O in xylans (hemicellulose) Pandey and Pitman, 2003
4 1659 1651 1636 C=O,C=C, Absorbed O-H and conjugated C=O Lai and Idris 2013
Conjugated p-substituted aryl ketone in lignin Isroi et al. 2012
5 1605 - - C-Ph vibration Carroles et al. 2012
6 - 1597 - Aromatic skeletal vibration in lignin plus C=O stretch Pandey and Pitman 2003;Nomanbhay et al. 2013
S > G; G condensed > G etherified Isroi et al. 2012
7 1443 1443 - C=O (in ring) 2 bands Lai and Idris 2013
8 - - 1435C-H alifatik angular deformation,, C-H deformation in
lignin and carbohydrate
Corrales et al 2012; Pandey and Pitman 2003; Lai
and Idris 2013
9 1381 - 1373 C-H deformation in cellulose and hemicellulose Lai and Idris 2013; Pandey and Pitman, 2003
10 1327 1327 1327 C-H vibration in cellulose Pandey and Pitman, 2003
C1-O vibration in syringyl derivates Lai and Idris 2013
11 1250 1250 1257 C-O of guaiacyl units and C-O strech in lignin and xylan Pandey and Pitman, 2003; He et al. 2008
C-O stretching of phenol Corrales et al. 2012
12 1165 1165 1165 O-H stretching of secondary alcohol; Corrales et al. 2012
C-O-C vibration in anomeric regions of hemicellulose, C-
C plus C-O plusHe et al. 2012; Isroi et al. 2012
13 1111 1111 1111 C-O-C stretching , β-xylan Corrales et al. 2012; He et al. 2008
14 1041 1041 1034 C-O stretch in cellulose and hemicellulose Pandey and Pitman, 2003
15 903 903 895C-H deformation in cellulose o β-glicosidic linkages
between the sugar units
Nelson and O'Connor,1964; Pandey and Pitman
2003
Lai and Idris 2013; Corrales et al. 2012;
Nomanbhay et al. 2013
16 833 - - C-H vibration Cheng et al. 2013
No
Pretreatment
Functional Groups References
Wave number (cm-1)
26 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Gambar 7. Pengaruh pretreatment NaOH terhadap rendemen gula pereduksi per 100
gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 20 FPU/g selama 48
jam pada suhu 50°C
Perubahan signifikan jumlah rendemen gula pereduksi berlaku jika
membandingkan pelarut yang digunakan, yaitu air dan NaOH (p<0.05). Delignifikasi
ampas tebu oleh NaOH yang menghasilkan kehilangan lignin 63-78% diikuti proses
hidrolisis enzim selulase menghasilkan rendemen gula pereduksi 28-39 g/100 g ampas
tebu kering. Sedangkan delignifikasi oleh air yang menghasilkan kehilangan lignin 0.1-
4% menghasilkan rendemen gula pereduksi yang juga rendah, yaitu 2-3 g/100 g ampas
tebu kering.
Secara teori, konversi ampas tebu menjadi gula pereduksi dengan 100% derajat
hidrolisis dapat menghasilkan sekitar 80 g gula pereduksi/100 g ampas tebu kering.
Oleh karena itu, pretreatment NaOH encer pada penelitian kali ini menghasilkan sekitar
31-50% gula pereduksi dari penghitungan teori jumlah maksimal gula pereduksi yang
dapat dikonversi dari ampas tebu.
KESIMPULAN
Penggunaan larutan NaOH dan lama pemanasan berpengaruh terhadap
kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan lignin pada proses pretreatment
ampas tebu. Namun, untuk mengefisienkan proses pretreatment, cukup menggunakan
NaOH 1% dan waktu pemanasan 60 menit pada suhu 121°C.
Penurunan LOI pada pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan dengan
pretreatment NaOH (33.51%) yang mengindikasikan pola degradasi yang berbeda
dimana pretreatment dengan air mungkin lebih bersifat mengkonversi struktur kristalin
pada selulosa dibandingkan dengan NaOH. Sedangkan pretreatment NaOH lebih
menyerang polimer lignin dibandingkan dengan selulosa. Rasio siringil/ guaiasil pada
ampas tebu dengan perlakuan NaOH lebih besar dibandingkan dengan perlakuan air
yang menunjukkan bahwa perlakuan NaOH meningkatkan laju delignifikasi pada
ampas tebu. Pretreatment NaOH menyebabkan terjadinya kehilangan gugus fungsi
C=O pada hemiselulosa, sedangkan pretreatment dengan air berpengaruh terhadap
kehilangan gugus fungsi C-H pada selulosa dan hemiselulosa.
Dengan waktu inkubasi 48 jam selama proses hidrolisis, konsentrasi enzim
Meicellase yang dapat dipilih adalah 10 FPU/g dibandingkan 20 FPU/g sebagai
efisiensi proses. Pada penelitian ini, pretreatment NaOH 1% dengan lama pemanasan
60 menit di suhu 121°C dilanjutkan hidrolisis selulase 10 FPU/g menghasilkan gula
pereduksi sebanyak 33.97 g/100 g ampas tebu atau sekitar 43% gula pereduksi dari
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 27
penghitungan teori jumlah maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari ampas
tebu.
SARAN
Untuk meningkatkan rendemen gula pereduksi, penelitian lebih lanjut dapat
diutamakan pada proses hidrolisis ampas tebu setelah pretreatment NaOH, misalnya
dengan optimalisasi kondisi hidrolisis. Untuk mendukung data pretreatment NaOH
perlu dilakukan analisa lebih lengkap tentang kehilangan selulosa dan hemiselulosa.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami sangat menghargai kerja sama Sudarmanto dan Rizky Rissa Bella dalam
menyelesaikan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Cheng, D., S. Jiang, and Q. Zhang. 2013. Effect of hydrothermal treatment with
different aqueous solutions on the mold resistance of Moso bamboo with
chemical and FTIR analysis. BioResources 8(1): 371-382.
Corrales, R.C.N.R., F.M.T. Mendes, C.C. Perrone, C. Santana, W. de Souza, Y. Abud,
E. da Silva Bon and V. Ferreira-Leitao. 2012. Structural evaluation of sugar cane
bagasse steam pretreated in presence of CO2 and SO2. Biotechnology for Biofuel
5(36): 1-8.
Goshadrou, A., K. Karimi, and M.J. Taherzadeh. 2011. Improvement of sweet sorghum
bagasse hydrolysis by alkali and acidic pretreatment. Wood Renewable Energy
Congress 374-380, 8-13 May 2011, Linkoping Sweden.
Hambali, E., S. Mudjalipah, A.H. Tambunan, A.W. Pattiwiri, dan R. Hendroko. 2007.
Teknologi Bioenergi: Biodiesel, Bioetanol, Biogas, Pure Plant Oil, Biobriket, dan
Bio-Oil. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta.
He, Y., Y. Pang, Y. Liu, X. Li, and K. Wang. 2008. Physicochemical characterization
of rice straw pretreated with sodium hydroxide in the solid state for enhancing
biogas production. Energy and Fuel 22(4): 2775–2781.
Hermiati, E, D. Mangunwidjaja, T.C. Sunarti, O. Suparno, dan B. Prasetya. 2010.
Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol.
Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 121-130.
Isroi, M.M. Ishola, R. Milati, S. Syamsiah, M.N. Cahyanto, C. Niklason and M.J.
Taherzadeh. 2012. Structural changes of oil palm empty fruit bunch (OPEFB)
after fungal and phosporic acid pretreatment. Molecules 17: 14995-15012.
Lai, Long-Wee and A. Idris. 2013. Disruption of oil palm trunks and fronds by
microwave-alkali pretreatment. BioResources 8(2): 2792-2804.
McIntosh, S. and T. Vancov. 2011. Optimisation of dilute alkaline pretreatment for
enzymatic saccharification of wheat straw. Biomass and Bioenergy 35: 3094-
3103.
Menon, V. and M. Rao. 2012. Trends in bioconversion of lignocellulose: Biofuels,
platform chemicals & biorefinery concept. Progress in Energy and Combustion
Science. doi:10.1016/j.pecs.2012.02.002.
28 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Nelson, M.L., and R.T. O’Connor. 1964. Relation of certain infrared bands to cellulose
crystallinity and crystal lattice type. Part II a new infrared ratio for estimation of
crystallinity in cellululoses I and II. J.Appl.Polym.Sci 8: 1325-1341.
Nlewem, K.C. and M.E. Thrash Jr. 2010. Comparison of different pretreatment
methods based on residual lignin effect on the enzymatic hydrolysis of
switchgrass. Bioresource Technology 101: 5426–5430.
Nomanbhay, S.M., R. Hussain, and K. Palanisamy. 2013. Microwave-assisted alkaline
pretreatment and microwave assisted enzymatic saccarification of oil palm empty
fruit bunch fiber for enhanced fermentable sugar yield. Journal of Sustainable
Bioenergy System 3: 7-17.
Pandey, K.K. and A.J. Pitman. 2003. FTIR studies of the changes in wood chemistry
following decay by brown-rot and white-rot fungi. International
Biodeterioration and Biodegradation 52: 51-160.
Sudiyani, Y., K.C. Sembiring, H. Hendarsyah dan S. Alawiyah. 2010. Pengolahan awal
dengan basa NaOH dan sakarifikasi enzimatis serat tandan kosong kelapa sawit
(TKKS) untuk produksi etanol. Menara Perkebunan 78(2): 73-77.
Sun, Y. and J. Cheng. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol
production: a review. Bioresource Technology 83: 1–11.
Sun, J.X., X.F. Sun, R.C. Sun, F. Paul, and S.B. Mark. 2003. Inhomogeneities in the
chemical structure of sugarcane bagasse lignin. J.Agric.Food.Chem 51: 6719-
6729.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 29
PENGARUH PRETREATMENT Ca(OH)2 DAN HIDROLISIS ENZIMATIS
TERHADAP PRODUKSI GULA PEREDUKSI PADA AMPAS TEBU
Triyani Fajriutami*, Widya Fatriasari, Raden Permana Budi Laksana, dan Euis
Hermiati
UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Harga bioetanol yang masih mahal menjadi permasalahan utama saat ini. Untuk
skala besar produksi bioetanol, bahan baku yang melimpah dan murah akan lebih
disukai oleh industri. Ampas tebu merupakan limbah lignoselulosa yang sangat
potensial sebagai bahan baku bietanol yang berkelanjutan di dunia. Penelitian ini
menggunakan Ca(OH)2 karena keuntungannya adalah tidak mahal dan aman untuk
digunakan. Pretreatment Ca(OH)2 dengan konsentrasi 0.2 g/g ampas tebu dengan
waktu pemanasan 60 menit pada suhu 121°C untuk dilanjutkan dengan hidrolisis enzim
selulase selama 48 jam pada suhu 50°C menghasilkan gula pereduksi sebanyak 25.12
g/100 g ampas tebu yang setara dengan 31.4% dari penghitungan teori gula pereduksi
maksimal dari ampas tebu.
Kata kunci: Ampas tebu, pretreatment Ca(OH)2, gula pereduksi, hidrolisis enzim
PENDAHULUAN
Solusi untuk menghadapi kelangkaan energi fosil pada masa mendatang adalah
pengembangan bioenergi. Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2012-2050 menetapkan
bahwa peran energi baru dan terbarukan tahun 2025 minimal 25% dan tahun 2050
minimal 40%. Sedangkan peranan minyak bumi akan dikurangi menjadi kurang dari
25% di tahun 2025 dan kurang dari 20% di tahun 2050 (ESDM, 2012).
Harga bioetanol yang masih mahal menjadi permasalahan utama saat ini. Untuk
skala besar produksi bioetanol, bahan baku yang melimpah dan murah akan lebih
disukai oleh industri. Biomassa lignoselulosa dapat digunakan sebagai alternatif bahan
baku untuk produksi bioetanol. Ketika menggunakan pati atau molase, bahan baku
tersebut menghabiskan sekitar 40-70% biaya produksi (Dalgaard et al., 2006;
Sendelius, 2005; Quintero et al., 2008). Limbah industri pertanian, dalam penelitian ini
adalah ampas tebu, diharapkan mampu menjadi salah satu bahan baku yang melimpah
dan murah sehingga dapat mengurangi biaya produksi bioetanol.
Ampas tebu merupakan limbah lignoselulosa yang sangat potensial sebagai
bahan baku bietanol yang berkelanjutan di dunia. Indonesia pun memiliki banyak
pabrik gula tebu yang dikelola oleh Negara (PT Perkebunan Nusantara/PTPN) maupun
swasta. Produksi gula selalu meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan Dirjen
Perkebunan pada tahun 2009, produksi tebu nasional adalah 33 juta ton/tahun dan saat
ini terdapat 58 pabrik gula dengan kapasitas giling total 195.622 ton tebu per hari.
Sementara itu, data P3GI pada tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat 15 perusahaan
dengan 62 pabrik gula dengan jumlah tebu yang digiling 29,911 juta ton. Berdasarkan
30 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
data P3GI tersebut, dilakukan perhitungan mengikuti metoda Badger dengan asumsi
ampas tebu kering 10% dari tebu giling, kadar selulosa (glukan) dan hemiselulosa
(xilan) ampas tebu masing-masing 40% dan 20%, efisiensi sakarifikasi glukan dan xilan
masing-masing 76% dan 90%, serta efisiensi fermentasi glukosa dan xilosa masing-
masing 75% dan 50%. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa potensi etanol yang
dapat dihasilkan berkisar 467-112.552 kL/tahun dan potensi total untuk seluruh
Indonesia adalah 614.827 kL/tahun (Hermiati et al., 2010).
Pretreatment Ca(OH)2 merupakan metode kimia dan seperti perlakuan alkali
lainnya, efek pretreatment ini adalah menghilangkan lignin. Selain itu, grup asetil
dihilangkan yang akan meningkatkan digestibilitas dan menghilangkan inhibitor
komponen dalam fermentasi etanol. Pretreatment Ca(OH)2 menawarkan tiga
keuntungan dibanding pretreatment lainnya, yaitu tidak banyak mendegradasi selulosa
dan hemiselulosa, tidak mahal sehingga bisa diaplikasikan pada produksi energi tidak
terbarukan dan bahan kimia, dan aman untuk digunakan (Sierra et al., 2009).
Pretreatment Ca(OH)2 dilakukan pada kisaran suhu 25-200°C dengan selang
waktu jam sampai mingguan. Pretreatment Ca(OH)2 dibagi menjadi 3 kategori
berdasarkan lama waktunya, yaitu pretreatment jangka panjang (1-8 minggu),
pretreatment jangka pendek (1-24 jam), dan pretreatment sederhana (1 jam dalam air
mendidih) (Sierra et al., 2009). Beberapa laporan penelitian yang menghasilkan kondisi
optimum penggunaan basa Ca(OH)2 pada pretreatment lignoselulosa, yaitu
pretreatment switchgrass dengan kisaran suhu 100–120°C selama 2 jam (Chang et al.,
1997); dan corn stover dengan suhu 120°C selama 4 jam (Kaar and Holtzapple, 2000).
Kim and Holtzapple (2005) juga melaporkan bahwa delignifikasi corn stover sampai
dengan 57.8%, 66.2%, 80.9%, dan 87.5% pada suhu 25, 35, 45, dan 55°C selama 16
minggu perlakuan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment Ca(OH)2
pada kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin ampas tebu serta terhadap gula pereduksi
yang dihasilkan secara hidrolisis enzimatis untuk produksi bioetanol.
BAHAN DAN METODE
Ampas tebu dari pabrik gula di Subang, Jawa Barat dikeringkan, digiling, dan
disaring sehingga berukuran 40-60 mesh. Ampas tebu tersebut mengandung 41.35%
alfaselulosa, 31.11% hemiselulosa, 20.16% lignin, 8.73% ekstraktif dan 1.47% abu.
Ampas tebu disimpan dalam wadah tertutup rapat sebelum digunakan.
Pretreatment dilakukan dengan menimbang 10 gram ampas tebu yang sudah
diketahui kadar airnya kemudian dimasukkan dalam labu erlenmeyer volume 250 ml.
Konsentrasi Ca(OH)2 yang digunakan adalah 0.1, 0.2 dan 0.3 g/g ampas tebu. Oleh
karena itu, serbuk Ca(OH)2 ditimbang sebanyak 1 gram, 2 gram dan 3 gram untuk
dicampurkan bersama ampas tebu yang sudah ditimbang sebelumnya. Kemudian
ditambahkan air sebanyak 15 g/g ampas tebu atau 150 g air. Diasumsikan berat jenis air
adalah 1 g/ml, sehingga air yang ditambahkan ke dalam campuran adalah 150 ml.
Sebagai pembanding hanya ditambahkan 150 ml air bersama dengan ampas tebu.
Kemudian labu tersebut dipanaskan selama 30, 60, dan 90 menit dalam pemanas
bertekanan (autoclave) pada suhu 121°C. Setelah pemanasan selesai, sampel disaring
untuk memisahkan pulp ampas tebu dengan limbah cairnya. Pulp ampas tebu dibilas
beberapa kali dengan air suling untuk menetralkan pH-nya. Sebagian pulp ampas tebu
yang sudah netral dikeringkan di oven 60°C selama 3 hari, dan sebagian lainnya tetap
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 31
disimpan basah dalam lemari pembeku sebelum digunakan untuk proses hidrolisis
enzimatis. Pulp ampas tebu kering dianalisa komponen kimianya meliputi kadar air,
kadar ekstraktif, dan kadar ligninnya. Kemudian dilakukan penghitungan kehilangan
berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan lignin. Analisa SEM dan FTIR dilakukan
terhadap pulp ampas tebu basah yang dikeringkan dengan pengering beku (freeze
dryer). Struktur sel ampas tebu dianalisa menggunakan Scanning Electron Microscope
(SEM) dengan perbesaran 2000 kali (15kV, WD 11 mm). Persiapan analisa FTIR
dilakukan dengan mencampur 4 mg serbuk ampas tebu dicampur dengan 200 mg KBr
(kalium bromida) dimasukkan dalam tempat pembuat pelet selanjutnya diberi tekanan
5000 psi. Spetrum direkam menggunakan ABB FTIR MB3000 dengan resolusi 16 cm-1
dan 5 scan tiap sampel dengan kisaran frekuensi 4000-400 cm-1
.
Hidrolisis enzimatis pada penelitian ini menggunakan enzim selulase komersial
(Meicellase dari Meiji Seika, Jepang) dengan aktifitas enzim 200 FPU/g. Larutan buffer
sodium sitrat 0.05 M, pH 5 disiapkan sebagai pelarut enzim selulase. Sebanyak 1 gram
Meicellase dilarutkan dalam larutan buffer sodium sitrat hingga volume 100 ml,
sehingga didapatkan konsentrasi larutan stok enzim selulase 2 FPU/ml. Proses hidrolisis
dilakukan terhadap ampas tebu setelah proses pretreatment Ca(OH)2. Sebanyak 0.1 g
pulp ampas tebu (berat kering) ditimbang dalam botol vial volume 20 ml. Kemudian
ditambahkan 5 ml larutan buffer sodium sitrat dan 0.1 ml larutan sodium azide 20
mg/ml. Setelah itu, ditambahkan larutan stok enzim selulase 0.5 ml (untuk konsentrasi
enzim 10 FPU/g) atau 1 ml (untuk konsentrasi enzim 20 FPU/g). Larutan buffer sodium
sitrat ditambahkan kembali sampai dengan berat total campuran mencapai 10 g.
Persiapan yang sama dilakukan juga untuk kontrol buffer (tanpa substrat dan tanpa
penambahan enzim selulase) dan kontrol enzim (tanpa substrat). Proses hidrolisis
dilakukan dalam shaking incubator 150 rpm pada suhu 50°C selama 48 jam. Posisi vial
diletakkan secara horisontal untuk memperluas kontak substrat dengan enzim.
Kemudian filtrat hasil hidrolisis dinalisa gula pereduksinya menggunakan metode
Nelson-Somogyi. Gula pereduksi substrat dihitung setelah dikurangi dengan gula
pereduksi kontrol buffer dan kontrol enzim.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Ca(OH)2 secara signifikan mengurangi berat, kandungan ekstraktif, dan
lignin pada ampas tebu dibandingkan dengan air (p<0.05). Namun peningkatan
konsentrasi Ca(OH)2 dari 0.1 g/g sampai dengan 0.3 g/g tidak berpengaruh terhadap
kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin pada ampas tebu (p>0.05).
Lama pemanasan juga mempengaruhi kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin
pada ampas tebu (p<0.05). Kehilangan komponen ampas tebu tersebut paling banyak
terjadi setelah pemanasan 60 menit pada temperatur 121°C.
Gambar 1 memperlihatkan pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap kehilangan
berat pada ampas tebu. Setelah pemanasan 60 menit, kehilangan ampas tebu sebesar
2.40% jika hanya dengan perlakuan air. Dengan perlakuan Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu
selama 60 menit, kehilangan berat ampas tebu sebanyak 19.53%.
32 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Gambar 1. Kehilangan berat ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan
pemanas bertekanan pada suhu 121°C
Gambar 2 menunjukkan pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap kehilangan
ekstraktif ampas tebu. Setelah pemanasan 60 menit, ampas tebu berkurang kandungan
ekstraktifnya sebesar 78.77% jika diberi perlakuan air, sedangkan jika diberi perlakuan
Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu maka kehilangan ekstraktifnya sebanyak 89.39%.
Gambar 2. Kehilangan ekstraktif ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan
pemanas bertekanan pada suhu 121°C
Seperti alkali lainnya, perlakuan Ca(OH)2 akan berdampak pada kehilangan
lignin bahan lignoselulosa. Gambar 3 memperlihatkan pengaruh pretreatment Ca(OH)2
terhadap kehilangan lignin pada ampas tebu. Setelah pemanasan 60 menit, kehilangan
lignin dengan perlakuan Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu mampu mengurangi lignin
sebanyak 25.65% pada ampas tebu. Walaupun Ca(OH)2 cukup selektif dalam
mendegradasi lignin, dibandingkan dengan NaOH misalnya, degradasi beberapa jenis
karbohidrat juga terjadi. Namun, pada pretreatment jangka pendek, telah dibuktikan
bahwa karbohidrat masih banyak yang bisa dipertahankan pada pretreatment Ca(OH)2
(Sierra et al., 2009).
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 33
Gambar 3. Kehilangan lignin ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan
pemanas bertekanan pada suhu 121°C
Dapat dilihat pada hasil analisa struktur serat ampas tebu pada Gambar 4.
Lubang-lubang yang terdapat pada struktur serat setelah pretreatment Ca(OH)2
(Gambar 4c) menunjukkan adanya degradasi hemiselulosa, akibat dari rusaknya ikatan
lignin dan hemiselulosa yang mulai terjadi.
Perubahan struktur ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment juga dianalisa
dengan FTIR. Lateral Order Index (LOI) merupakan rasio antara jumlah selulosa
kristalin dan amorf yang merupakan sifat terpenting pada lignoselulosa yang
menyebabkan serat selulosa resisten terhadap enzim selulosa. Nilai LOI ini sebagai
pendekatan sifat kristalinitas selulosa. Absorbansi pada bilangan gelombang 1427 dan
898 cm-1
sebagai ciri selulosa dapat digunakan untuk mempelajari perubahan
kristalinitas selulosa. Tabel 1 menunjukkan terjadi penurunan LOI setelah ampas tebu
diberi perlakuan dengan air dan Ca(OH)2 pada suhu 121°C. Hal ini mungkin
disebabkan oleh terjadinya perusakan daerah kristalin selulosa serta pembesaran rasio
pori-pori dan bagian dalam daerah permukaan, dimana akan memperbaiki digestibilitas
enzim dalam proses hidrolisis. Pembesaran pori-pori tersebut akibat dari aktifitas
pemecahan gugus ester pada ikatan silang antara lignin dan xylan (Tarkow and Feist,
1969). Penurunan LOI pada pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan
dengan pretreatment Ca(OH)2 (36.74%) yang mengindikasikan pola degradasi yang
berbeda. Seperti perlakuan NaOH di penelitian sebelumnya, pretreatment dengan air
mungkin lebih bersifat mengkonversi struktur kristalin pada selulosa dibandingkan
dengan alkali. Hal ini karena pretreatment alkali lebih menyerang polimer lignin
dibandingkan dengan selulosa.
Tabel 1. Lateral order indeks (LOI) ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment
A1427 (kristalin) A897 (amorf) LOI
Ampas tebu awal 0.640 0.350 1.829
Ampas tebu pretreatment air 1.020 0.920 1.109
Ampas tebu pretreatment Ca(OH)2 1.290 1.110 1.162
34 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Gambar 4. Hasil analisa SEM (Scanning Electron Microscope) penampang melintang
ampas tebu: (a) sebelum pretreatment, (b) setelah pretreatment dengan air
pada suhu 121°C, dan (c) setelah pretreatment dengan Ca(OH)2 0.3 g/g
pada suhu 121°C
Umumnya, bilangan gelombang 1509, 1464 dan 1422 cm-1
pada spektrum FTIR
identik dengan struktur lignin (Sun et al., 2003). Ampas tebu yang termasuk dalam
kelompok rumput-rumputan mengandung tiga kelompok lignin yaitu unit guaiasil
propana yang mengandung satu gugus metoksil, unit siringil propana dengan dua gugus
metoksil dan para-coumaryl alkohol tanpa gugus metoksil. Besar kandungan unit lignin
tersebut pada umumnya adalah 40% guaiasil, 40% siringil dan 20% para-coumaryl
alkohol. Gambar 5a menunjukkan spektrum FTIR ampas tebu awal. Sedangkan Gambar
5b dan Gambar 5c menunjukkan spektrum FTIR setelah pretreatment air dan Ca(OH)2
0.3 g/g ampas tebu secara berurutan. Berdasarkan spektrum FTIR tersebut tampak jelas
bahwa karakteristik puncak lignin dapat ditemukan di sampel tanpa dan dengan
perlakuan pada bilangan gelombang 1250 cm-1
(11) untuk unit guaiasil dan 1327 cm-1
(10) untuk unit siringil.
Perbandingan siringil dan guaiasil (Rasio S/G) dapat digunakan untuk melihat
pola degradasi unit penyusun polimer lignin lebih dalam dimana makin tinggi rasio s/g
menunjukkan peningkatan laju delignifikasi. Jumlah gugus metoksil pada unit siringil
yang menyebabkan proses substitusi dengan gugus lain terjadi lebih mudah. Rasio s/g
pada ampas tebu dengan perlakuan Ca(OH)2 lebih besar dibandingkan dengan
perlakuan air (Tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan alkali meningkatkan
laju delignifikasi pada ampas tebu.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 35
Gambar 5. Spektrum FTIR pada ampas ebu: (a) sebelum pretreatment; (b) setelah
pretreatment dengan air pada suhu 121°C; (c) setelah pretreatment dengan
Ca(OH)2 0.3 g/g ampas tebu pada suhu 121°C
Tabel 2. Rasio siringil/ guaiasil ampas tebu dengan pretreatment Ca(OH)2 dan air
Unit Propana Lignin Tinggi puncak
Ampas tebu awal Ampas tebu-Ca(OH)2 Ampas tebu-Air
Siringil (10) 0.70 1.39 1.20
Guaiasil (11) 0.78 1.30 1.29
Rasio S/G 0.89 1.07 0.93
Gugus fungsional yang teridentifikasi pada ampas tebu sebelum dan sesudah
pretreatment dapat dilihat pada Tabel 3. Tampak bahwa pretreatment Ca(OH)2 dan air
menyebabkan kehilangan beberapa gugus fungsional. Selain itu terjadi perbedaan
intensitas pada masing-masing gugus fungsional yang teridentifikasi. Absorbansi yang
lebar pada bilangan gelombang 3394-3390 cm-1
berkaitan dengan gugus OH, sedangkan
bilangan gelombang 2900-2800 cm-1
menunjukkan regangan O-H (Wang et al., 2007).
Pretreatment dengan Ca(OH)2 dan air menyebabkan peningkatan absorbansi dan luas
area dan lebar puncak pada bilangan gelombang 3410 cm-1
yang berkaitan dengan
regangan dari gugus OH. Hal ini mengindikasikan pelemahan ikatan intra dan
intermolekul pada gugus OH dan menurunnya kristalinitas (Goshadrou et al., 2011)
36 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Tabel 3. Karakterisasi bilangan gelombang FTIR pada ampas tebu
Pretreatment Ca(OH)2, seperti halnya pretreatment NaOH pada penelitian
sebelumnya, menyebabkan terjadinya kehilangan gugus fungsi C=O pada
hemiselulosa(3), sedangkan pretreatment dengan air berpengaruh terhadap kehilangan
gugus fungsi C-H pada selulosa dan hemiselulosa (9). Gugus fungsi C-O-C dalam
hemiselulosa dan C-H dalam selulosa tetap ada dalam ampas tebu setelah pretreatment
air dan Ca(OH)2, hanya terjadi perbedaan tingkat intensitas diantara perlakuan. Hal ini
karena dalam aktifitas penyerangan polimer lignin, pretreatment juga menyebabkan
terjadinya kehilangan karbohidrat terutama hemiselulosa. Struktur rantai bercabang
pada hemiselulosa dan derajat polimerisasi yang lebih rendah pada hemiselulosa
menyebabkan polimer ini lebih mudah terdegradasi dibandingkan dengan selulosa yang
didominasi struktur kristalin.
Rendemen gula pereduksi per 100 g ampas tebu kering dapat dilihat pada
Gambar 6 (untuk konsentrasi enzim selulase 10 FPU/g) dan Gambar 7 (untuk
Raw WaterCa(OH
)2
1 3410 3410 3410O-H (H-bonded) stretching; Vibration,O(3)H---O(3)
intermolecular in cellulose
Pandey and Pitman, 2003; Isroi et al 2012; Lai
and Idris et al 2013; Nomanbhay et al. 2013;
Corrales et al 2012
2 2916 2901 2901 C-H alifatic axial deformation Corrales et al. 2012
C-H stretching in methyl and metylene group Nomanbhay et al. 2013
3 1728 1728 - Unconjugated C=O in xylans (hemicellulose) Pandey and Pitman, 2003
4 1659 1651 1636 C=O,C=C, Absorbed O-H and conjugated C=O Lai and Idris 2013
Conjugated p-substituted aryl ketone in lignin Isroi et al. 2012
5 1605 - - C-Ph vibration Carroles et al. 2012
6 - 1597 1597 Aromatic skeletal vibration in lignin plus C=O stretch Pandey and Pitman 2003;Nomanbhay et al. 2013
S > G; G condensed > G etherified Isroi et al. 2012
7 1443 1443 - C=O (in ring) 2 bands Lai and Idris 2013
8 - - 1427C-H alifatik angular deformation,, C-H deformation in
lignin and carbohydrate
Corrales et al 2012; Pandey and Pitman 2003; Lai
and Idris 2013
9 1381 - 1373 C-H deformation in cellulose and hemicellulose Lai and Idris 2013; Pandey and Pitman, 2003
10 1327 1327 1327 C-H vibration in cellulose Pandey and Pitman, 2003
C1-O vibration in syringyl derivates Lai and Idris 2013
11 1250 1250 1250 C-O of guaiacyl units and C-O strech in lignin and xylan Pandey and Pitman, 2003; He et al. 2008
C-O stretching of phenol Corrales et al. 2012
12 1165 1165 1165 O-H stretching of secondary alcohol; Corrales et al. 2012
C-O-C vibration in anomeric regions of hemicellulose, C-
C plus C-O plusHe et al. 2012; Isroi et al. 2012
13 1111 1111 1111 C-O-C stretching , β-xylan Corrales et al. 2012; He et al. 2008
14 1041 1041 1034 C-O stretch in cellulose and hemicellulose Pandey and Pitman, 2003
15 903 903 895C-H deformation in cellulose o β-glicosidic linkages
between the sugar units
Nelson and O'Connor,1964; Pandey and Pitman
2003
Lai and Idris 2013; Corrales et al. 2012;
Nomanbhay et al. 2013
16 833 - - C-H vibration Cheng et al. 2013
No
Pretreatment
Functional Groups References
Wave number (cm-1)
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 37
konsentrasi enzim selulase 20 FPU/g). Dengan waktu inkubasi 48 jam selama proses
hidrolisis, konsentrasi enzim selulase 20 FPU/g menghasilkan gula pereduksi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi 10 FPU/g (p<0.05). Perlakuan
pretreatment sebelum hidrolisis dengan penambahan konsentrasi Ca(OH)2 berpengaruh
nyata terhadap gula pereduksi yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi Ca(OH)2
yang digunakan maka gula pereduksinya semakin tinggi. Sedangkan waktu pemanasan
saat pretreatment tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen gula pereduksi (p>0.05).
Gambar 6. Pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap rendemen gula pereduksi per
100 gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 10 FPU/g selama
48 jam pada suhu 50°C
Gambar 7. Pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap rendemen gula pereduksi per
100 gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 20 FPU/g selama
48 jam pada suhu 50°C
Perubahan signifikan jumlah rendemen gula pereduksi juga berlaku jika
membandingkan pelarut yang digunakan, yaitu air dan Ca(OH)2 (p<0.05). Delignifikasi
ampas tebu oleh Ca(OH)2 yang menghasilkan kehilangan lignin 3.8-29.6% diikuti
proses hidrolisis enzim selulase menghasilkan rendemen gula pereduksi 16-29 g/100 g
ampas tebu kering.
Secara teori, konversi ampas tebu menjadi gula pereduksi dengan 100% derajat
hidrolisis dapat menghasilkan sekitar 80 g gula pereduksi/100 g ampas tebu kering.
Oleh karena itu, pretreatment Ca(OH)2 pada penelitian kali ini menghasilkan sekitar
20-36% gula pereduksi dari penghitungan teori jumlah maksimal gula pereduksi yang
dapat dikonversi dari ampas tebu.
38 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
KESIMPULAN
Pengaruh Ca(OH)2 dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C secara
signifikan mengurangi berat, kandungan ekstraktif, dan lignin pada ampas tebu
dibandingkan dengan air. Setelah pemanasan 60 menit, kehilangan lignin dengan
perlakuan Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu mampu mengurangi lignin sebanyak 25.65%
pada ampas tebu.
Penurunan LOI pada pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan dengan
pretreatment Ca(OH)2 (36.74%). Begitu juga rasio s/g pretreatment Ca(OH)2 lebih
besar dibandingkan air. Hal ini menunjukkan laju delignifikasi Ca(OH)2 cukup
menjanjikan seperti halnya laju delignifikasi di pretreatment NaOH pada penelitian
sebelumnya dengan waktu dan suhu yang sama.
Dengan waktu inkubasi 48 jam selama proses hidrolisis, konsentrasi enzim
selulase 20 FPU/g menghasilkan gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
konsentrasi 10 FPU/g pada ampas tebu yang telah diberi pretreatment Ca(OH)2. Oleh
karena itu, berdasarkan profil delignifikasi sebelumnya, dapat dipilih Ca(OH)2 dengan
konsentrasi 0.2 g/g ampas tebu dengan waktu pemanasan 60 menit pada suhu 121°C
untuk dilanjutkan dengan hidrolisis enzim selulase selama 48 jam pada suhu 50°C.
Kondisi perlakuan tersebut akan menghasilkan gula pereduksi sebanyak 25.12 g/100 g
ampas tebu yang setara dengan 31.4% dari penghitungan teori gula pereduksi maksimal
dari ampas tebu.
SARAN
Pretreatment Ca(OH)2 merupakan pretreatment alkali yang memiliki banyak
keuntungan. Oleh karena itu perlu dioptimalkan kondisi pretreatment yang tepat untuk
ampas tebu menggunakan Ca(OH)2. Kondisi yang perlu diteliti lebih lanjut adalah
pemilihan temperatur dan waktu pretreatment. Kemudian setelah itu optimalisasi
hidrolisis enzim selulase juga perlu dikembangkan. Oleh karena itu perlu dianalisa
kandungan selulosa dan hemiselulosa ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment
Ca(OH)2.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami sangat menghargai kerja sama Sudarmanto dan Rizky Rissa Bella dalam
menyelesaikan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Chang, V.S, B. Burr, M.T. Holtzapple. 1997. Lime pretreatment of switchgrass,
Applied Biochemistry and Biotechnology 63-65:3-19.
Cheng, D., S. Jiang, and Q. Zhang. 2013. Effect of hydrothermal treatment with
different aqueous solutions on the mold resistance of Moso bamboo with
chemical and FTIR analysis. BioResources 8(1): 371-382.
Corrales, R.C.N.R., F.M.T. Mendes, C.C. Perrone, C. Santana, W. de Souza, Y. Abud,
E. da Silva Bon and V. Ferreira-Leitao. 2012. Structural evaluation of sugar cane
bagasse steam pretreated in presence of CO2 and SO2. Biotechnology for Biofuel
5(36): 1-8.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 39
Dalgaard, T., U. Jorgensen, J.E. Olesen, E.S. Jensen, and E.S. Kristensen. 2006.
Looking at biofuels and bioenergy. Science 312, pp 1743.
ESDM. 2012. 10 Jawaban Kenaikan Harga BBM. http://prokum.esdm.go.id/Lain-
lain/10%20Jawaban%20Kenaikan%20Harga%20BBM.pdf (diakses tanggal 26
Oktober 2012).
Goshadrou, A., K. Karimi, and M.J. Taherzadeh. 2011. Improvement of sweet sorghum
bagasse hydrolysis by alkali and acidic pretreatment. Wood Renewable Energy
Congress 374-380, 8-13 May 2011, Linkoping Sweden.
He, Y., Y. Pang, Y. Liu, X. Li, and K. Wang. 2008. Physicochemical characterization
of rice straw pretreated with sodium hydroxide in the solid state for enhancing
biogas production. Energy and Fuel 22(4): 2775–2781.
Hermiati, E, D. Mangunwidjaja, T.C. Sunarti, O. Suparno, dan B. Prasetya. 2010.
Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol.
Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 121-130.
Isroi, M.M. Ishola, R. Milati, S. Syamsiah, M.N. Cahyanto, C. Niklason and M.J.
Taherzadeh. 2012. Structural changes of oil palm empty fruit bunch (OPEFB)
after fungal and phosporic acid pretreatment. Molecules 17: 14995-15012.
Kaar, W.E and M.T. Holtzapple. 2000. Using lime pretreatment to facilitate the enzyme
hydrolysis of corn stover. Biomass and Bioenergy 18(3):189-199.
Kim, S. and M.T. Holtzapple. 2005. Lime pretreatment and enzymatic hydrolysis of
corn stover. Bioresource Technology 96:1994–2006.
Lai, L. and A. Idris. 2013. Disruption of oil palm trunks and fronds by microwave-
alkali pretreatment. BioResources 8(2): 2792-2804.
Nelson, M.L., and R.T. O’Connor. 1964. Relation of certain infrared bands to cellulose
crystallinity and crystal lattice type. Part II a new infrared ratio for estimation of
crystallinity in cellululoses I and II. J.Appl.Polym.Sci 8: 1325-1341.
Nomanbhay, S.M., R. Hussain, and K. Palanisamy. 2013. Microwave-assisted alkaline
pretreatment and microwave assisted enzymatic saccarification of oil palm empty
fruit bunch fiber for enhanced fermentable sugar yield. Journal of Sustainable
Bioenergy System 3: 7-17.
Pandey, K.K. and A.J. Pitman. 2003. FTIR studies of the changes in wood chemistry
following decay by brown-rot and white-rot fungi. International
Biodeterioration and Biodegradation 52: 51-160.
Quintero, J.A., M.I. Montoya, O.J. Sánchez, O.H. Giraldo, and C.A. Cardona. 2008.
Fuel ethanol production from sugarcane and corn: Comparative analysis for a
Colombian case. Energy 33, pp 385–399.
Sendelius, J, 2005. Steam pretreatment optimisation for sugarcane bagasse in
bioethanol production. Master of Science Thesis. Department of Chemical
Engineering, Lund University, Sweden.
http://www.chemeng.lth.se/exjobb/063.pdf (diakses tanggal 19 September 2011).
Sierra, R., C.B. Granda, and M.T. Holtzapple. 2009. Chapter 9: Lime Pretreatment.
Biofuels: Methods and Protocols. Methods in Molecular Biology, vol. 581.
Jonathan R. Mielenz (ed.). Humana Press, a part of Springer Science+Business
Media.
Sun, J.X., X.F. Sun, R.C. Sun, F. Paul, and S.B. Mark. 2003. Inhomogeneities in the
chemical structure of sugarcane bagasse lignin. J.Agric.Food.Chem 51: 6719-
6729.
40 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Tarkow, H. and W. Feist. 1969. A mechanism for improving the digestibility of
lignocellulosic materials with dilute alkali and liquid amonia.
Adv.Chem.Ser.95:197-218.
Wang, L.L., G.T. Han, Y.M. Zhang. 2007. Comparative study of composition, structure
and properties of Apocynum venetum fibers under different pretreatments.
Carbohydrate Polymer 69:391-397.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 41
SINTESIS SODIUM LIGNOSULFONAT DARI LIMBAH LIGNIN
PRETREATMENT AMPAS TEBU
Fitria*, Widya Fatriasari, Faizatul Falah, Triyani Fajriutami dan Euis Hermiati
UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Studi pemanfaatan limbah cair pengolahan ampas tebu menjadi lignosulfonat
telah dilakukan. Lignin dari lindi hitam yang berasal dari perlakuan alkali NaOH
terhadap ampas tebu ini diisolasi dan selanjutnya diproses menjadi sodium
lignosulfonat. Dari 9 jenis perlakuan pendahuluan pada ampas tebu menggunakan
kombinasi perlakuan alkali NaOH dengan konsentrasi 1%, 2% dan 3 % serta lama
pemanasan 30, 60 dan 90 menit di dalam autoclave, dilakukan proses isolasi lignin pada
lindi hitam yang dihasilkan dan selanjutnya sodium lignosulfonat disintesis dari lignin
ini. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi alkali dan lama
pemanasan, semakin besar kadar lignin yang didapatkan. Analisis spektroskopi FTIR
menunjukkan bahwa sodium lignosulfonat yang dihasilkan memiliki kualitas yang lebih
baik daripada sodium lignosulfonat komersil.
Kata kunci: lignin, sodium lignosulfonat, pretreatment ampas tebu
PENDAHULUAN
Salah satu tantangan terbesar dari produksi bioetanol dari bahan lignoselulosa
adalah penggunaan limbah yang terbuang dari keseluruhan proses. Oleh karena itu
berkembang strategi produksi bioetanol dari ampas tebu bersama dengan
pengembangan konsep biorefinery. Biorefinery merupakan suatu proses produksi
berbagai produk kimiawi dan biofuel dari suatu biomassa dengan teknologi ramah
lingkungan yang menghasilkan sedikit limbah (Li et al., 2008). Konsep ini dapat
diterapkan pada proses konversi ampas tebu menjadi bioetanol.
Hasil samping dari proses produksi bioetanol dapat langsung digunakan atau
dikonversi dengan cara kimiawi, enzimatik atau biologis. Beberapa manfaat dari konsep
biorefinary ini adalah meningkatkan nilai tambah produk samping, meningkatkan nilai
ekonomis lignoselulosa, meminimalkan penggunaan air dan mengurangi
ketergantungan terhadap produk berbahan dasar minyak bumi. Biorefinery menawarkan
peluang ekonomi baru untuk industri pertanian dan kimia dengan menghasilkan
bermacam-macam produk kimia, bahan bakar transportasi, dan energi (FitzPatrick et
al., 2010). Konsep biorefinery digunakan oleh Rabelo et al. (2011) untuk
mengintegrasikan proses produksi bioetanol dari ampas tebu dengan produksi biogas.
Mariano et al. (2012) menerapkan biorefinery tebu untuk menghasilkan gula, etanol dan
butanol.
Limbah buangan lignin bila tidak dimanfaatkan dapat mencemari lingkungan
karena sulit terdegradasi dalam kondisi anaerob (Ahring and Westermann, 2007). Pada
umumnya sebagian lignin dibakar untuk menyediakan panas dan kelistrikan pada
proses, dan sisanya dijual sebagai produk samping untuk bahan bakar (Galbe and
42 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Zacchi, 2007) atau sebagai campuran atau pengikat (binder) dalam pakan ternak
(ruminansia).
Salah satu usaha untuk memanfaatkan limbah cair yang mengandung lignin
adalah dengan memanfaatkannya sebagai bahan perekat kayu atau mereaksikannya
dengan senyawa bisulfit sehingga menjadi lignosulfonat yang secara luas dikenal
sebagai bahan tambahan pada semen, pupuk, paper coating, dan lain-lain. Proses
sulfonasi pada lignin mengubah sifat hidrofilitas dari lignin yang kurang polar dengan
memasukkan gugus sulfonat yang lebih polar dari gugus hidroksil. Hal ini
menyebabkan meningkatnya sifat hidrofilitas dan menjadikan lignosulfonat larut dalam
air.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengisolasi lignin yang terdapat dalam limbah
pretreatment alkali (lindi hitam) terhadap ambas tebu dan selanjutnya disulfonasi untuk
menghasilkan sodium lignosulfonat. Sehingga dapat diketahui pengaruh beda perlakuan
pendahuluan ini terhadap rendemen padatan limbah, rendemen lignin dan karakter
sodium lignosulfonat yang dihasilkan.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair (lindi hitam)
pretreatment ampas tebu pada penelitian sebelumnya. Pretreatment ampas tebu tersebut
dilakukan dengan mencampur 10 gram ampas tebu yang sudah diketahui kadar airnya
dan ditambahkan 150 ml larutan NaOH 1%, 2% dan 3% (b/v) dengan lama waktu
pemanasan dalam autoclave selama 30, 60 dan 90 menit.
Metode isolasi lignin mengacu pada Falah (2012). Dalam proses isolasi lignin,
sebanyak 100 ml lindi hitam pretreatment ampas tebu dimasukkan ke dalam gelas
beaker 300 ml kemudian ditetesi dengan H2SO4 2 N hingga pH 2 di atas stirrer plate.
Selanjutnya larutan ini dibiarkan selama 24 jam hingga mengendap kemudian disaring
menggunakan kertas saring. Hasil saringannya dilarutkan kembali dengan NaOH 1 N
dan selanjutnya ditetesi kembali dengan H2SO4 2N hingga pH 2, didiamkan selama 24
jam hingga terbentuk endapan. Berikutnya disaring dengan kertas saring dan
dikeringkan dalam oven suhu 60°C hingga berat konstan. Rendemen lignin yang
dihasilkan dihitung berdasarkan berat padatan lindi hitam.
Proses sintesis sodium lignosulfonat dilakukan dengan mencampur serbuk lignin
hasil isolasi lindi hitam (hasil perlakuan NaOH 3% selama 30 menit pemanasan) dan
NaHSO3 dengan perbandingan 2:1, kemudian ditambahkan air suling sebanyak 30 ml
per gram lignin (Sirait dkk, 2013). Dalam hal ini, 2.501 g serbuk lignin dicampur
dengan 0.93 ml larutan NaHSO3 (1 L = 1.34 kg), ditambah dengan 75 ml air suling
dalam erlenmeyer 100 ml, dengan pH diatur antara 5-7 dengan penambahan NaOH
15%. Campuran ini diaduk selama 3 jam pada suhu 100°C di atas hot plate stirrer.
Selanjutnya larutan ini disaring dengan kertas saring dan dioven pada suhu 60°C hingga
berat konstan. Rendemen sodium lignosulfonat yang dihasilkan dihitung dari masukan
lignin dan NaHSO3 awal.
Spektroskopi FTIR dilakukan terhadap lignin N330 (lignin hasil isolasi limbah
pretreatment NaOH 3% selama 30 menit), SLS N330 (sodium lignosulfonat dari lignin
N330) dan sodium lignosulfonat (SLS) komersial (Borresperse NA produksi
Borregaard LignoTech, Norway). Sebanyak 4 mg sampel dicampur dengan 200 mg
KBr (kalium bromida) dimasukkan dalam tempat pembuat pelet selanjutnya diberi
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 43
tekanan 5000 psi. Spetrum direkam menggunakan ABB FTIR MB3000 dengan resolusi
16 cm-1
dan 5 scan tiap sampel dengan kisaran frekuensi 4000-400 cm-1
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar padatan tertinggi terdapat pada lindi hitam
hasil perlakuan ampas tebu dengan NaOH 3% selama 90 menit pemanasan dengan
autoclave, sedangkan kadar padatan terendah dimiliki oleh lindi hitam hasil perlakuan
NaOH 1 % selama 30 menit dengan autoclave. Selain itu, dapat dilihat adanya
kecenderungan peningkatan kadar padatan dengan semakin besarnya konsentrasi NaOH
dan lama pemanasan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh makin banyaknya struktur
lignoselulosa ampas tebu yang terombak dengan makin tingginya konsentrasi alkali dan
makin lamanya pemanasan. Dengan makin lama waktu pemanasan, penetrasi larutan ini
semakin dalam ke dalam sel ampas tebu, yang mengakibatkan tidak hanya struktur
lignin yang terombak namun holoselulosa kemungkinan juga makin banyak terombak.
Pada akhirnya, komponen yang terdegradasi ini membuat kadar padatan dalam lindi
makin meningkat.
Gambar 1. Kadar padatan dan rendemen lignin dari lindi hitam tiap perlakuan
pendahuluan (Nxy=NaOH x% dengan waktu pemanasan autoclave y
menit)
Untuk rendemen lignin, Gambar 1 memperlihatkan kecenderungan yang cukup
unik, yaitu nilainya tinggi pada konsentrasi alkali rendah dan waktu pemanasan pendek
kemudian berfluktuasi hingga meningkat lagi pada konsentrasi alkali tinggi. Hal ini
disebabkan dengan makin tingginya konsentrasi alkali dan makin lamanya pemanasan,
struktur sel yang terombak tidak hanya lignin namun juga struktur selulosa dan
hemiselulosa, terutama struktur hemiselulosa. Dengan demikian, kadar padatan pada
lindi hitam akan semakin tinggi namun persentase lignin secara keseluruhan akan
berkurang. Adapun bila dilihat berdasarkan berat lignin yang berhasil diisolasi per 100
ml lindi hitam, cenderung bahwa lignin yang diperoleh tetap meningkat dengan
semakin besarnya konsentrasi alkali dan lama pemanasan yang dapat dilihat pada
Gambar 2.
Rendemen sodium lignosulfonat yang disintesis dari lignin yang diisolasi dari
lindi hitam dengan perlakuan NaOH 3% dengan pemanasan 30 adalah 73%. Hasil ini
cukup positif dan berada dalam kisaran rendemen SLS seperti yang dilakukan oleh
Sirait dkk (2013).
44 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Gambar 2. Kadar lignin dari lindi hitam tiap perlakuan pendahuluan
(Nxy=NaOH x% dengan waktu pemanasan autoclave y menit)
Perbandingan spektrum FTIR lignin N330, SLS N330 dan SLS komersial dapat
dilihat pada Gambar 3. Spektrum FTIR menggambarkan hampir semua karakteristik
pita serapan pada struktur kimia yang berbeda. Analisis ini dilakukan untuk melihat
terjadinya proses sulfonasi pada sintesis SLS.
Gambar 3. Spektrum FTIR lignin N330, sodium lignosulfonat N330 dan sodium
lignosulfonat komersial
Dari hasil analisis spektroskopi FTIR secara umum terlihat bahwa kualitas SLS
N330 lebih baik dari pada SLS komersial dimana intensitas gugus sulfonat (SO3) pada
SLS N330 lebih tinggi dibandingkan dengan SLS komersial (1120-1230 cm-1
) serta
intensitas vibrasi cincin aromatic-nya pada bilangan gelombang 1512 cm-1
juga lebih
tinggi dibandingkan pada SLS komersial. Pada Gambar 4 dapat dilihat secara visual
lignin N330, SLS N330 dan SLS komersial.
KESIMPULAN
Semakin tinggi konsentrasi dan semakin lama waktu pemanasan pada
pretreatment NaOH pada ampas tebu, semakin besar total padatan dan kadar lignin
yang diperoleh. Kualitas SLS dari hasil isolasi lindi hitam lebih baik dari pada SLS
komersial.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 45
Gambar 4. Lignin N330 (kiri), sodium lignosulfonat N330 (tengah), dan sodium
lignosulfonat komersial (kanan)
SARAN
Untuk selanjutnya perlu dilakukan uji kemurnian sodium lignosulfonat untuk
mengetahui efektifitas proses sintesis yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahring, B.K. and P. Westermann. 2007. Coproduction of Bioethanol with Other
Biofuels. Advance Biochemical Engineering/Biotechnology 108, pp 289-302.
Falah, F. 2012. Pemanfaatan limbah lignin dari proses pembuatan bioetanol dari TKKS
sebagai bahan aditif pada mortar. Tesis. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia.
Depok.
Fitzpatrick, M., P. Champagne, M.F. Cunningham, and R.A. Whitney. 2010. A
biorefinery processing perspective: treatment of lignocellulosic materials for the
production of value-added products. Bioresource Technology 101, pp 8915-8922.
Galbe, M. and G. Zacchi. 2007. Pretreatment of Lignocellulosic Materials for Efficient
Bioethanol Production. Advance Biochemical Engineering/Biotechnology 108,
pp 41-65.
Li, Y., M. Horsman, N. Wu, C.Q. Lan and N.D. Calero. 2008. Biocatalysis and
Bioreactor Design: Biofuels from Microalgae. Biotechnol. Prog. 24, pp. 815-820.
Mariano, A.P., M.O.S. Dias, T.L. Junqueira, M.P. Cunha, A. Bonomi, and R.M. Filho.
2012. Butanol production in a first-generation Brazilian sugarcane biorefinery:
technical aspects and economics of greenfield projects. Bioresource Technology,
doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.biortech.2012.09.109
Rabelo, S.C., H. Carrere, R. Maciel Filho, and A.C. Costa. 2011. Production of
bioethanol, methane and heat from sugarcane bagasse in a biorefinery concept.
Bioresource Technology 102, pp 7887–7895.
Sirait, JPR., N. Sihombing, Z. Masyithah, 2013. Pengaruh suhu dan kecepatan
pengadukan pada proses pembuatan surfaktan natrium lignosulfonat dari
tempurung kelapa. Jurnal teknik kimia USU, vol. 2 no. 1. Pp. 21-25
46 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
PHYSICAL AND MECHANICAL PROPERTIES OF POLYLACTIC ACID-
FILLED CHITIN AND CHITOSAN COMPOSITES
Kurnia Wiji Prasetiyo*, Lisman Suryanegara and Subyakto
Research & Development Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences,
Cibinong Science Center, Cibinong-Bogor 16911, Indonesia
*Corresponding author: [email protected]
ABSTRACT
Polylactic acid (PLA) is a kind of biodegradable materials with low toxicity and
excellent biocompatibility. PLA has a great potential to replace petroleum-based
plastics due to its high stiffness and strength. Among many biodegradable polyesters,
PLA has attracted the most attention because it is not only higly biodegradable, but can
also be derived from renewable natural resources susch as corn starch. In addition, PLA
can be processed using similar equipments that used for convential plastics such as
polypropylene (PP). However, the drawbacks of PLA are low toughness. The purpose
of this research was to examine the effect of added chitin and chitosan filler on the
physical and mechanical properties of composites. PLA was mixed with chitin and
chitosan in acetone. After well mixed, the mixture was dried at room temperature for 24
hours followed by drying in oven at 55 C for 12 hours. The physical properties of
composites were evaluated by light microscope and the mechanical properties by
Universal Testing Machine (UTM). Result showed that the tensile strength and
elongation at break decreased but the tensile modulus of the composites increased with
increasing chitin and chitosan filler.
Keywords: polylactic acid, chitin, chitosan, composites, physical and mechanical
properties
INTRODUCTION
Polylactid acid (PLA) as a high strength, high modulus polymer has received
much attention in the research of alternative biodegradable and biocompatible polymers
produced from renewable resources. This fact is responsible for a growing interest in
PLA for many applications, as it is expected to reduce an impact on the environment
caused by the production and utilization of petrochemical polymers [1].
Amorphous PLA is rigid and brittle due to the high glass transition temperature
(Tg) in the range of 50-60o C. So below this temperature, the low deformation at break
limits the application of PLA materials. Therefore, considerable efforts have been made
to improve the ability to plastic deformation. Some chemical modifications with
plasticizers have been done to improve the flexibility of PLA for example citrate ester
[2], polypropelene glycol (PPG) [3], triacetine [4], oligomeric lactic acid and glycerol
[5]. However, the addition of plasticizers generally deteriorates the precious strength
and modulus of PLA.
Chitin and chitosan polymers are natural aminopolysaccharides having unique
structures, multidimentional properties, highly sophisticated functions and wide ranging
applications in biomedical and other industrial areas [6]. Some researchs have been
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 47
done to improve the properties of thermoplastic composites for example with chitin and
chitosan as filler. According Husseisyah et al [7], chitosan as filler with chemical
modification by acrylic acid could be increased Young’s modulus of PP composites.
Therefore, the addition of chitin and chitosan as filler be expected to improve the
properties of PLA composites with chemical treatment by acetone solvent.
The aims of this research was to investigate the characteristics of amorphous
polylactid acid composites with chitin and chitosan as filler also chemical treatment
with acetone solvent.
MATERIALS AND METHODS
Amorphous polylactid acid (PLA) used in this study was of injection molding
grade from Japan with code number H4060D. Chitin was obtained from Japan and
chitosan was industrial grade obtained from PT. Biotech Surindo Cirebon Indonesia
with degree of deacetylation (DD) of 90%. Technical acetone solution was used in this
study.
Almost 45 g (90% w/w) amorphous PLA was dissolved in 350 ml aceton
solution at room temperature. The mixture was mechanically stirred for 4 hours in order
to make it homogenous. After homogenous, the chitin or chitosan powder was added
with concentration is 10% w/w (5 g). Mixing was continued for another 1 hour at
overhead stirrer. After well mixed, the mixture was casted in the mold and dried at
room temperature for 24 hours followed by drying in oven at 55o C for 12 hours. Than,
the mixture was kneaded in laboplastomill at 140o C, 40 rpm for 10 minutes.
Samples of composites were molded in a electrically heated hydraulic press at
140o C, 1 MPa for 15 minutes. In this study was made chitin-amorphous PLA
composites without dissolved in acetone solution previously. The mixture was direct
kneaded in laboplastomill at same procedures. The physical properties of composites
were evaluated by light microscope and the mechanical properties by Universal Testing
Machine (UTM) according to ASTM D-638 and ASTM D-790.
RESULTS AND DISCUSSION
Phisically, all the material of thermoplastics composites has been mixed during
mixing process in laboplastomill. But, the results of imaging with light microscope for
PLA-chitin or chitosan composites still visible white spots from chitin and chitosan
powder that has not decomposed perfectly (Figure 1: middle and right).
Figure 1. Composites of pure amorphus PLA (left), amorphus PLA + chitin (middle)
and amorphus PLA + chitosan (right) at light microscope (50x)
48 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
The phenomenon of persistence from chitin and chitosan spots at composites
related to the decomposition temperature of chitin and chitosan itself which results from
concerning thermogravimetric analysis (TGA) test for chitin and chitosan are
approximately 270o C-320
o C [8]. So, the mixing and hot pressing temparature at 140
o
C have not been able to melt and composed chitin or chitosan powder completely.
According Kaban [9], chitin and chitosan tends to decompose rather than melt at the
time of heating.
Figure 2 shows the effect of chitin and chitosan filler on the tensile strength of
PLA composites. The results exhibit that with adding of polymer filler the tensile
strength of composites decreased than pure PLA. Results of the test showed that
composites with chitin 5% by unsolved in aceton-direct kneading posses the highest
tensile strength which is 42,3 MPa and the lowest is chitosan 5% by dissolved in
aceton-kneading with approximately 24,6 MPa. This might be due to poor interfacial
bonding between filler and matrix polymer. The chemical treatment of chitin and
chitosan with solved in aceton have not been able to improve the tensile strength of
composites significantly. The tensile strength of composites with direct kneading and
unsolved in aceton are higher than other treatments.
Figure 2. Tensile strength histogram of composites
According Husseinsyah et al. [10], the higher of chitosan percentage could be
reduced the tensile strength of composites. Chitin or chitosan as filler could be reduced
the stiffning and decreased deformability of composites so this condition related to the
tensile strength of composites.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 49
Figure 3. Tensile modulus histogram of composites
The tensile modulus (MOE) is one of the most important mechanical properties
of composites. MOE describe the stiffness of materials. The higher MOE the higher
stiffness of materials. Results of the test showed that composites with chitin 5% by
unsolved in aceton-direct kneading posses the highest MOE which is 3,50 GPa and the
lowest is chitosan 5% by dissolved in aceton-kneading with approximately 3,08 GPa
(Figure 3). Adding the filler chitin and chemical treatment by aceton could improved of
composites than other processes. Though unsignificant, it is believed that the
modification of chitin and chitosan with aceton had a positive effect on the tensile
modulus because of reduced agglomeration and increased interfacial adhesion between
chitin or chitosan and the PLA matrix.
The effect of chitin and chitosan fillers adding on the elongation of composites is
given in Figure 4. Adding the chitin and chitosan fillers and chemical treatment by
aceton significantly reduced the elongation of composites than pure PLA. Results of the
test showed that composites with chitin 5% by unsolved in aceton-direct kneading
posses the highest elongation which is 3,14% and the lowest is chitosan 5% by
dissolved in aceton-kneading with approximately 2,61%.
Figure 4. Elongation histogram of composites
This observation might be due to the stiffning effect of chitin or chitosan and
decreased deformability of a rigid interface between filler and PLA matrix. Adding
50 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
chitin or chitosan fillers and chemical treatment by aceton solvent resulted in good
stress propagation and improved the tensile modulus but made the composites more
brittle than the PLA matrix. This condition has been influenced for the elongation of
composites because of the composites ductility made decreased.
CONCLUSION
Physically, composites with chitin and chitosan fillers have in good stress
propagation but made more brittle than the PLA matrix. As for the effect of chemical
treatment with aceton solvent and adding of chitin and chitosan fillers has improved the
tensile modulus, but reduced the tensile strength and the elongation of composites
though unsignificant. The increased tensile modulus was attributed to improved
interfacial adhesion between chitin or chitosan filler and the amorphous PLA matrix.
ACKNOWLEDGMENTS
This work was supported by Competitive Program of Indonesian Institute of
Sciences 2013. This paper is also a part of the outcome of the DIPA Program of LIPI
2013: The Manufacture of Bionanocomposites Based on Microfibril Cellulose for Raw
Materials Industry.
REFERENCES
[1] Yu L, Dean K. 2006. Polymer blends and composites from renewable resources.
Prog Polymer Science. 31: 576-602.
[2] Labrecque LV., Dave RA., and Gross RA. 1997. Citrate esters as plasticizers for
poly(lactid acid). Journal Appl Polymer Science. 66: 1507-1513.
[3] Kulinski Z., Piorkowska E., and Gadzinowska K. 2006. Plasticization of poly (L-
lactide) with poly(propelene glycol). Biomacromolecules. 7: 2128-2135.
[4] Ljunberg N., and Wesslen B. 2005. Preparation and properties of plasticized
poly(lactid acid) films. Biomacromolecules. 6: 1789-1796.
[5] Martin O., and Ave’rous L. 2001. Poly(lactid acid): Plasticization and properties
of biodegradable multiphase systems. Polymer. 42: 6209-6219.
[6] Muzzarelli RAA, Muzzarelli C. 2005. Chitosan chemistry: relevance to the
biomedical sciences. Advanced Polymer Science. 186: 151-209.
[7] Husseinsyah, S., Amri, F., Husin, K., and Ismail, H. 2011. Mechanical and
thermal properties of chitosan-filled polypropylene composites: The effect of
acrylic acid. Journal of vinyl and additive techology.
[8] Prasetiyo, KW. 2012. Polypropelene Substitution by Chitosan on Polypropelene-
Empty Fruit Bunch Fiber of Oil Palm Microfibril Thermoplastic Composites.
Thesis: Post Graduate of IPB.
[9] Kaban. 2009. Chemical Modification of Chitosan and Product Application.
Inagural Speech: Noth Sumatra University-Medan.
[10] Husseinsyah, S., Amri, F., and Husin, K. 2010. Chemical modification of
chitosan-filled polypropylene (PP) composites: The effect of 3-
Aminopropyltriethoxysilane on mechanical and thermal properties. International
Journal of Polymeric Materials, 60:429-440
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 51
CHARACTERISTICS OF COMPOSITES FROM RECYCLED
POLYPROPELENE AND THREE KINDS OF INDONESIAN BAMBOOS
FIBER
Kurnia Wiji Prasetiyo1*
, Lilik Astari1 and M. Yusram Massijaya
2
1R&D Unit for Biomatetials, Indonesian Institute of Sciences, Jalan Raya Bogor KM
46 Cibinong Bogor Indonesia 2Forest Product Departmen, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University,
Dramaga, Bogor Indonesia
ABSTRACT
Plastic composite can be defined as a composite that contains natural fibers and
thermosets or thermoplastics materials. Natural fibers, for example from bamboo,
generally utilize as reinforce and filler that able to enhance the strength and stiffness of
composites. Besides, natural fibers are low cost, lightweight and recycleable. This
research was conducted to investigate the effect of bamboo species variation and ratio
of recycled polypropelene with bamboo fiber to the characteristics of composites.
Three species of bamboo that used were Bamboo Betung, Bamboo Sembilang and
Bamboo Kuning. Bamboo clum were reduced in size and sieved with disc mill into
pass through 40 mesh. Composition of recycled polypropelene and bamboo fiber were
50:50, mixed materials were molded in circle form, 14 cm diameter and 3 mm thickness
with target density 1,0 g/cm3. The materials then hot pressed at 185⁰C, 1 MPa for 15
minutes. Mechanical properties of composites were tested according to ASTM D 638
and ASTM D 790.
Keywords: plastic composites, bamboo species, ratio of recycled polypropelene :
bamboo fiber, mechanical properties
INTRODUCTION
The decerese of live quality is occur globally, this situation demands an effort to
minimize the degradation of nature that usually caused by plastic wastes. Ashori[1]
mentioned that from 34,12 million tons wastes from urban area in Indonesia around
3,17 million tons are plastic wastes. That’s huge number of plastic waste forecasted
contaminate soil and water in the future. The case above is serious problem that
urgently need preventation and solution. The enomous number of plastic wastes is a
great potency as a raw material for plastic composites. Recycled polypropelene (RPP)
that gained from plastic wastes can be occupied to substitute pure plastics such as
polypropelene (PP).
Plastic composites or well-known with wood plastic composites (WPC) is a
green material or green composites that have a wide potencies in usage and
sustainable. Plastic composites could be defined as a composite that contains natural
fiber (wood and non-wood) with thermosets or thermoplastics materials. Nowadays,
condition of WPC industries as the supplier for furniture products, household and
pipes experience a problem in lack of availability of wood as raw material polymer
petroleum based. Those conditions encourage the utilization of non-wood natural fiber
52 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
as a filler to replace wood fiber and recycled PP to substitute pure PP. Non-wood fiber
are abundant and easy to gather as well as RPP, this is a beneficial conditions.
Furthermore, the utilization of non-wood fiber and RPP assisting the effort to prevent
deforestration and decrease the consumption of petroleum.
The term WPCs refers to any composites that contain plant including wood and
non-wood fibers and thermosets or thermoplastics. Thermosets are plastics that, once
cured, cannot be melted by repeating. These include resins such as epoxies and
phenolics, plastics with which the forest products industry is most familiar.
Thermoplastics are plastics that can be repeatedly melted. This property allows other
materials, such as wood fibers, to be mixed with the plastic to form a composite
product. Polypropylene (PP), polyethylene (PE) and polyvinyl chloride (PVC) are the
widely used thermoplastics for WPCs and currently they are very common in
building, construction, furniture and automotive products[2]
.
The possibility of using recycled materials in the development of composites is
very attractive, especially with respect to the large quantity of wood fiber/plastic waste
generated daily. Waste paper can meet all the requirements in order to replace
inorganic fillers in thermoplastic composites. Advantages associated with bio-
composite products include lighter weight and improved acoustic, impact and heat
reformability properties-all at a cost less than that of comparable products made from
plastics alone. In addition these composites may possibly be reclaimed and recycled for
the production of second-generation composites[3]
.
One of the non-wood natural fiber as substitution for wood fiber for WPC is
bamboo which is lignocellulosic materials. Bamboo are abundant in nature, easy to
grown and a kind of fast growing plant. According to Dransfield and Widjaja[4]
, there
are 60 species of bamboo from around 200 species in South East Asia. Bamboo are
grow and adapt with almost all type of soil except soil with high alkali, desert and
swamp. In Indonesia bamboo are commonly found in dry and open space area, spread
from low land to about 300 meter above sea level. In the world bamboo are
vegetation with very fast growing time this is due to bamboo have uniquely dependt-
rhizome system where in a day bamboo able to grow about 60 cm (24 inch) even more,
depend on the conditions of soil and climatology of the area.
The aims of this research was to investigate the characteristics of plastics
recycled polypropelene composites with non-wood natural fibers from 3 kinds of
bamboo: Bamboo Betung (Dendrocalamus asper Backer), Bamboo Sembilang
(Dendrocalamus giganteus) and Bamboo Kuning (Bambusa vulgaris Schrad).
MATERIALS AND METHODS
Bamboo materials gained from bamboo collection of R&D Unit for Biomaterials,
Indonesia Institute of Science, Cibinong, Bogor. The bamboo are those with age about
2-3 years. There were 3 kinds of bamboo : Bamboo Betung, Bamboo Sembilang and
Bamboo Kuning. Bamboo had been cutted and processed with ring flaker, so that
results into particle of bamboo. Bamboo chips then air dried, followed by milled using
disc mill until the particle size passed through 40 mesh and held at 60 mesh. Powder
then oven dried at 60⁰C until the water content 5% reached.
Polymer occupied on this research are recycled polypropelene (RPP) with ratio
between RPP and bamboo powder are 50 : 50 (%) based on weight. The form of
composite samples are circle with diameter 14 cm, thickness 3 mm, target of density 1,0
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 53
g/cm3
. Composites were hot pressed at 185⁰C with gradually pressure for 15 minutes.
After hot pressed, composites cooled in steel plat in order to gain the excellent surface.
Composites conditioned at room temperature for 2 weeks. Following this, composites
cutted into samples testing and tested for its mechanical properties according to ASTM
D 638 and ASTM D 790.
(A)
(B)
(C)
Figure 1. Composites from recycled polypropelene and three kinds of Indonesian
bamboos fiber : Sembilang (A), Betung (B) and Kuning (C)
RESULTS AND DISCUSSION
Modulus of Elasticity (MOE)
Modulus of elasticity (MOE) is one of the most important from mechanical
properties of composites. MOE describe the stiffness of materials. The higher MOE
means the higher stiffness of materials. Results of the test showed that Bamboo Betung
posses the highest MOE which is 2,63 GPa and the lowest is Bamboo Kuning with
approximately 2,02 GPa (Figures 2).
54 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Figure 2. Modulus of elasticity from composites
Flexural Strength (FS).
Flexural strength (FS) is an indicator for the composites strength to hold the
load. Diagram below shows that Bamboo Betung is the highest FS with about 36,17
MPa and Bamboo Kuning is the lowest with 25,37 MPa.
Figure 3. Flexural strength from composites
Tensile Strength
Similar to MOE and MOR, for tensile strength WPC from Bamboo Betung in
the first position of the highest value is 10,26 MPa than Bamboo Sembilang WPC is
8,28 MPa and Bamboo Kuning WPC is 4,74 MPa. This indicate that Bamboo Betung
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 55
able to hold load better than both Bamboo Kuning and Bamboo Sembilang. This might
be due to good interfacial bonding between Bamboo Betung fiber and matrix polimer
RPP than Bamboo Kuning and Bamboo Sembilang fibers as filler at composites.
Figure 4. Tensile strength from composites
Elongation
From the diagram it is clearly shown that Bamboo Betung samples have the
highest elongation for about 7,58%. Bamboo Sembilang WPC posses inconsiderable
difference from Bamboo Betung which is 7,01% and Bamboo Kuning is the lowest
with approximately 4,84%.
Figure 5. Elongation from composites
56 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
From the data above composites with natural fiber from Bamboo Betung have the
best mechanical properties of composites among 3 kinds of bamboo that utilize in this
research. Physical properties such as density and bamboo age are some of main
consideration in determine particular bamboo species as raw materials for
biocomposite.
Wahab et al.[5]
mentioned that bamboo properties such as age, moisure content,
internode diameter, internode length and basic density are main factors to determine
bamboo for various applications and chemical treatments. Moreover, a critical
parameter that affected plastic composites strength is a density of fiber or dust fiber. As
known that, dust of bamboo betung have higher density and larger structure compared
to Bamboo Sembilang dan Bamboo Kuning. Hassine et al., Migneault et al.,Sain et
al.[6-8]
mentioned that some factors such as fiber dimension, chemical compositions,
density, thickness, amount and type of bonding agent could influenced the strength of
plastic composites.
All bamboos that occupied in this research was approxymately 10 year in age,
thus the bamboo are sufficient in term of age. The higher results shown by composite
with Bamboo Betung (Dendrocalamus asper) probably affected by properties of its cell
walls. Gritsch, Kleist and Murphy[9]
investigated Bamboo Betung’s cell wall properties
and found that cell wall of Bamboo Betung is multilayered which is different from the
others bamboo.
CONCLUSION
Plastics composites made from recycled polypropelene and Bamboo Betung fiber
presents higher mechanical properties (MOE, flexural strength, tensile strength and
elongation) compared to plastics composites from Bamboo Sembilang and Bamboo
Kuning. The differences are influenced by density of Bamboo Betung that relatively
higher than Bamboo Sembilang and Kuning. To conclude, the difference of density and
species of bamboo closely related to the mechanical properties of plastic composites
that comprises of recycled PP and dusty-fiber of three species bamboo.
REFERENCES
[1] Ashori, A. Review Paper : Wood-plastics composites as promising green-
composites for automotive industries. Bioresource Technology. 2008, 99, 4661–
4667.
[2] Panthapulakkal, S., Zereshkian, A., and Sain, M. Preparation and characterization
of wheat straw fibers for reinforcing application injection molded thermoplastic
composites. Bioresource Technology. 2006, 97 (2), 265–272.
[3] Ashori, A and Amir Nourbaksh. Characteristics of wood–fiber plastic composites
made of recycled materials. Waste Management. 2009, 29, 1291–1295.
[4] Dransfield, S. and Widjaja, E. A., eds. Plant resources of South-east Asia, no. 7:
Bamboos. Prosea, Bogor, Indonesia. 1995.
[5] Wahab, R., Mohamed, A., Mustafa, M.T., and Hassan, A. Physical properties and
anatomical properties of cultivated bamboo (Bambusa vulgaris Schrad.) culms.
Journal of Biological Science. 2009, 9 (7), 753-759.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 57
[6] Hassine, B., Ahmed K., Patrick P., and Alain C. Effects of fiber characteristics
on the physical and mechanical properties of wood plastic composites.
Composites: Part A, 2009, 40: 1975–1981.
[7] Migneault, S., Ahmed K., Fouad E., Abdelkader C., Karl E., and Michael
P.Wolcott. Effects of processing method and fiber size on the structure and
properties of wood–plastic composites. Composites: Part A. 2009, 40: 80–85.
[8] Sain, M., Suhara, P., Law, S. and Bouilloux, A. Interface modification and
mechanical properties of natural fiber-polyolefin composite products. Journal of
Reinforced Plastics and Composites. 2005, 24 (2): 121–130.
[9] Gritsch, C.S., Kleist, G. and Murphy, R.J. Development changes in cell wall
structure of phloem fiber of bamboo Dendrocalamus asper. Annals of Botany.
2004, 94: 497-505.
58 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
PENGARUH RASIO AIR DENGAN BAHAN PENGIKAT PADA AUTOCLAVED
AERATED CONCRETE (AAC) BERBASIS LIMBAH CANGKANG KERANG
UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911
ABSTRAK
Salah satu permasalahan yang ada saat sekarang ini adalah kebutuhan akan batu
bata sebagai bahan dinding pada bangunan. Proses pembakaran batu bata merupakan
salah satu sumber gas CO2 yang pada akhirnya mengakibatkan efek rumah kaca dan
menimbulkan pemanasan global, oleh karena itu perlu dicari material yang dapat
digunakan sebagai pengganti tanah liat pada produksi bata. Limbah serbuk kulit kerang
memiliki sifat bahan seperti pozzolan karena mengandung senyawa kapur (CaO),
alumina (Al2O3) dan senyawa silikat (SiO2) sehingga berpotensi untuk dikembangkan
menjadi bahan campuran beton. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh
rasio air dengan bahan pengikat (semen dan serbuk kerang) terhadap sifat-sifat
karakterisasi dan juga nilai kekuatannya. Dalam penelitian ini beton ringan aerasi
(AAC) dibuat dengan menggunakan bahan serbuk kulit kerang sebagai pengikat
pengganti semen. Pembuatan dan pengujian beton ringan dilakukan pada skala
laboratorium dengan sampel benda uji 5 x 5 x 5 cm dengan komposisi 40 persen bahan
pengikat, 60 persen bahan pasir dan hydrogen peroxide bersama dengan cacium
hypocloride sebagai bahan peng-aerasi. Rasio air dengan bahan pengikat yang dipakai
adalah sebesar 0,55 dan 0,65. Sedangkan untuk proses pengerasan beton ringan aerasi
dilakukan dengan steam uap bertekanan dengan menggunakan autoclave selama 1 jam.
Pengujian density dan kuat tekan dilakukan pada umur 7, 21 dan 28 hari. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa AAC dengan menggunakan rasio larutan Hydrogen
Peroxide dan bahan pengikat 0,55 menghasilkan kuat tekan yang lebih besar daripada
kuat tekan yang dihasilkan oleh AAC dengan menggunakan rasio larutan Hydrogen
Peroxide dan bahan pengikat sebesar 0,65. Density yang dihasilkan pada kedua
komposisi tidak berbeda jauh, sehingga rasio perbandingan antara larutan Hydrogen
peroxide dengan bahan pengikat tidak berpengaruh terhadap density yang dihasilkan.
Kata kunci: beton ringan aerasi (AAC), autoclave, kuat tekan, density, serbuk kerang
PENDAHULUAN
AAC pertama kali dikembangkan di Swedia pada tahun 1923, kemudian
dikembangkan lagi oleh Joseph Hebel di Jerman pada tahun 1943. Di Indonesia sendiri
AAC mulai dikenal pada tahun 1995, dengan berdirinya PT Hebel Indonesia di
Karawang Timur, Jawa Barat.
AAC mempunyai sifat yang ramah lingkungan, tahan lama, kuat, mudah
dibentuk, efisien dan berdaya guna tinggi. Autoclaved Aerated Concrete atau disebut
juga beton aerasi adalah beton dengan campuran antara semen, pasir, air dan buih.
Tujuan dari penggunaan buih disini adalah untuk membuat rongga-rongga udara yang
dapat menghasilkan pori-pori halus pada beton. AAC dapat dibuat dengan berbagai
cara, antara lain dengan menggunakan agregat ringan (fly ash, batu apung, expanded
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 59
polystyrene/EPS dan lain-lain), campuran antara semen, silika atau pozolan dengan
cairan kimia penghasil gelembunga udara.
Beton aerasi (AAC) memiliki pori sekitar 50 – 70 % yang berupa rongga-rongga
udara , hal ini membuat beton aerasi memiliki density kurang dari 1.200 kg/m3.
Kelebihan dari penggunaan beton ringan antara lain memiliki berat jenis yang sangat
kecil dibandingkan dengan beton normal pada umumnya; mudah dalam pemasangan,
sangat bagus untuk peredaman panas dan peredaman suara, serta waktu konstruksi akan
berlangsung dengan cepat.
Chemical aerated agent yang dapat digunakan dalam pembuatan AAC
diantaranya : serbuk alumina (Alumunium powder), Hydrogen Peroxide dan bleaching
powder. Pada penelitian ini, menggunakan gabungan Hydrogen Peroxide dan Bleacing
Powder yang berupa kaporit sebagai chemical aerated agent.
Penelitian ini menggunakan limbah cangkang kerang sebagai bahan pengganti
semen Portland untuk memperoleh pembiayaan beton yang lebih ekonomis dan ramah
lingkungan. Pemilihan serbuk kerang sebagai pengganti Semen Portland, dikarenakan
dalam serbuk kerang mengandung senyawa kapur yaitu CaO, sehingga diharapkan
dapat bereaksi dengan chemical aerated agent membentuk gelembung oksigen dalam
adukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio air dengan bahan
pengikat terhadap karakteristik dan kekuatan AAC. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat menghasilkan AAC yang lebih ramah lingkungan.
BAHAN DAN METODE
1. Bahan Penelitian
Bahan-bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari serbuk
kerang, semen Portland, pasir, Hydrogen Peroxide (H2O2), Kalsium Hipoklorit dan air.
Limbah cangkang kerang terlebih dahulu dihaluskan menjadi serbuk kerang. Penelitian
ini menggunakan serbuk kerang yang lolos saringan No. 100, semen Portland Tipe I
yang dikenal dengan Ordinary Portland Cement dan pasir dengan BJ 2,4 gr/cm3.
Sebelumnya pasir diayak dengan menggunakan saringan No.20 dan tertahan pada
saringan No.40. Bahan pengaerasi dalam penelitian ini adalah larutan Hydrogen
Peroxide dengan kadar 10%.
2. Metode Penelitian
Pembuatan AAC skala laboratorium ini menggunakan benda uji berbentuk kubus
dengan ukuran 5 x 5 x 5 cm, dengan komposisi campuran 60% agregat halus dan 40%
bahan pengikat yang terdiri dari semen dan serbuk kerang. Rasio larutan Hydrogen
Peroxide dan bahan pengikat (binder) sebanyak 0,55 dan 0,65 serta penambahan bahan
additive Kalsium Hipoklorit sebanyak 3% dari berat total campuran yang bertujuan
untuk meningkatkan gelembung oksigen dan homogenitas dalam campuran. Variable
serbuk kerang yang digunakan sebagai pengganti semen adalah interval 5% terhadap
berat total campuran. Mix design penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
60 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Tabel 1. Mix Design dengan rasio larutan Hydrogen Perokside dan bahan pengikat 0,55 Ca(OCL)2
Kaporit
gr gr % gr ml gr
1 1800 1200 0 0 660 90
2 1800 1050 5 150 660 90
3 1800 900 10 300 660 90
4 1800 750 15 450 660 90
Serbuk KerangNo
Pasir Semen H2O2
Tabel 2. Mix Design dengan rasio larutan Hydrogen Perokside dan bahan pengikat 0,65
Ca(OCL)2
Kaporit
gr gr % gr ml gr
1 1800 1200 0 0 780 90
2 1800 1050 5 150 780 90
3 1800 900 10 300 780 90
4 1800 750 15 450 780 90
Pasir Semen Serbuk kerang H2O2No
Pasir, dan Semen Portland terlebih dahulu dicampur dalam mixer selama 1 menit,
setelah itu serbuk kerang dicampur dalam mixer sampai tercampur dengan rata.
Kemudian ditambahkan dengan Kalsium Hipoklorit, larutan Hydrogen Peroxide dan
aduk rata sampai adonan tercampur serta mengalami pengembangan volume. Adukan
kemudian dimasukkan ke dalam cetakan kubus ukuran 5 x 5 x 5 cm sambil dipadatkan.
Adukan didiamkan selama 24 jam kemudian dikeluarkan dari cetakan. Selanjutnya
kubus-kubus tersebut dimasukkan ke dalam autoclave selama 1 jam dengan tekanan
0,05 – 0,14 Mpa dan suhu autoclave sekitar 108 – 1260C. Setelah 1 jam, kubus-kubus
tersebut dikeluarkan dari autoclave dan didinginkan sampai waktu pengujian yaitu
ketika kubus-kubus tersebut berumur 7, 21 dan 28 hari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengujian Kuat Tekan
Berdasarkan European Norm, kelas kuat tekan AAC dapat dibagi menjadi (prEN
12602,1999 ; Tasdemir et all, 2002) :
Jenis AAC 1,5 AAC 2 AAC 2,5 AAC 3 AAC 3,5
Kuat Tekan (Mpa) 1,5 2 2,5 3 3,5
Jenis AAC 4 AAC 4,5 AAC 5 AAC 6 AAC 7
Kuat Tekan (Mpa) 4 4,5 5 6 7
Sedangkan menurut RILEM, Klasifikasi AAC berdasarkan kuat tekan dapat dibedakan
menjadi (RILEM, 1993 p.4):
Sifat Rendah Medium Tinggi
Kuat Tekan (Mpa) ˂ 1,8 1,8 – 4,0 ˃ 4,0
Modulus Young ˂ 900 900 - 2500 ˃ 2500
Density 200 - 400 300 - 600 500 - 1000
Thermal Conductivity ( dry) (W/m K) ˂ 0,1 0,01 – 0,14 ˃ 0,12
Gambar 1 menunjukkan bahwa kuat tekan yang dihasilkan menghasilkan kuat
tekan pada umur 28 hari rata-rata diatas 4 Mpa. Berdasarkan European Norms, AAC
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 61
berbasis serbuk kerang termasuk ke dalam Kelas kuat AAC jenis AAC 4 sampai AAC
7. Namun berdasarkan RILEM, AAC berbasis serbuk kerang termasuk ke dalam jenis
AAC Tinggi dengan kuat tekan melebihi 4 Mpa.
Berdasarkan grafik yang dihasilkan persentase serbuk kerang sebesar 7 persen
menghasilkan kuat tekan maksimum untuk rasio larutan Hydrogen Peroxide dengan
bahan pengikat sebesar 0,65 dan 0,55. Pada Gambar 1.B terlihat bahwa pada umur 7
hari, setiap komposisi AAC menghasilkan kuat tekan rata-rata yang tidak jauh berbeda.
Keempat komposisi menghasilkan kuat tekan rata-rata sebesar 6 MPa. Kenaikan kuat
tekan rata-rata pada umur 21 dan 28 hari tidak terlalu tinggi, rata-rata kenaikannya
sebesar 1 Mpa pada masing-masing komposisi campuran maupun komposisi rasio
larutan Hydrogen peroxide dengan bahan pengikat.
(a)
(b)
Gambar 1. Hasil Pengujian Kuat Tekan berdasarkan persentase serbuk kerang yang
digunakan dengan rasio larutan Hydrogen Peroxide dengan bahan pengikat
sebesar (A) 0,55 dan (B) 0,65
Gambar 2.A menunjukkan grafik kenaikan kuat tekan rata-rata yang dihasilkan
AAC dengan menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide sebesar 0,55. Dari grafik
diatas dapat terlihat bahwa pada umur 7 hari, pada persentase serbuk kerang sebesar
0%, 5% dan 15% menghasilkan kuat tekan rata-rata yang sama, yaitu sekitar 6 Mpa.
Setelah umur 14 hari, kuat tekan rata-rata yang dihasilkan pada persentase serbuk
kerang 0%, 5%, dan 15% sudah maksimal dan tidak terjadi kenaikan kuat tekan. Hal ini
dimungkinkan karena air yang terjebak dalam AAC sudah menguap dan menghasilkan
rongga-rongga udara. Pada umur 14 hari kuat tekan rata-rata tertinggi dihasilkan oleh
komposisi dengan persentase serbuk kerang 0% (Kontrol). Hal ini menunjukkan bahwa
penggantian serbuk kerang pada komposisi dengan rasio larutan Hydrogen Peroxide
tidak berpengaruh pada peningkatan kuat tekan AAC.
Gambar 2.B memperlihatkan grafik kenaikan kuat tekan rata-rata pada rasio
larutan Hydrogen Peroxide sebesar 0,65. Pada gambar ini memperlihatkan bahwa kuat
tekan rata-rata tertinggi pada umur 7 hari dihasilkan oleh komposisi campuran yang
menggunakan 10% serbuk kerang sebagai penganti semen Portland. Namun pada umur
21 dan 28 hari, kuat tekan rata-rata tertinggi terjadi pada komposisi 5% serbuk kerang.
Pada komposisi 15% serbuk kerang, di umur 21 hari kuat tekannya sudah mencapai
maksimal. Hal ini terlihat dengan tidak adanya pengaruh umur terhadap penambahan
nilai kuat tekannya setelah umur 21 hari. Serbuk kerang sebagai pengganti Semen
Portland pada rasio larutan Hydrogen Peroxide sebesar 0,65, dapat menghasilkan kuat
tekan yang melebihi kuat tekan yang menggunakan Sement Portland sebagai bahan
pengikatnya.
62 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
(a)
(b)
Gambar 2. Hasil Pengujian Kuat Tekan berdasarkan umur AAC dengan rasio larutan
Hydrogen Peroxide dengan bahan pengikat sebesar (A) 0,65 dan (B) 0,55
Hasil pengujian density untuk kedua rasio larutan Hydrogen Peroxide dapat
dilihat pada Gambar 3. Pada Gambar 3.A dan Gambar 3.B terlihat bahwa density AAC
yang dihasilkan pada setiap komposisi, di setiap umur pengujian tidak jauh berbeda.
Semua density yang dihasilkan rata-rata di bawah 1800 kg/m3, hal ini menunjukkan
bahwa AAC dalam penelitian ini termasuk jenis beton ringan. Namun pada komposisi
AAC menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide dengan bahan pengikat sebesar
0,55, density yang dihasilkan pada umur 14 hari lebih rendah daripada umur 7 hari, 21
hari dan 28 hari. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pemadatan yang kurang ataupun
karena adanya rongga-rongga udara yang terjadi lebih besar. Density yang dihasilkan
pada kedua komposisi lebih besar dari density yang disarankan oleh RILEM yaitu
sebesar 500 – 1000 kg/m3, sedangkan density yang dihasilkan oleh kedua komposisi
berkisar antara 1400 – 1500 kg/m3.
Density dipengaruhi oleh dengan rasio air dan semen dari sebuah campuran,
karena rasio air dan semen ini sangat berpengaruh terhadap penguapan yang terjadi
pada beton (Aldoson, 2006). Pada penelitian ini rasio lautan Hydrogen Peroxide dan
bahan pengikat 0,55 menghasilkan density lebih besar daripada rasio Hydrogen
Peroxide dan bahan pengikat 0,66 pada umur 7 hari yaitu 1600 kg/m3. Hal ini terjadi
karena pada umur 7 hari air belum menguap semuanya sehingga masih terjebak dalam
adukan.
(a)
(b)
Gambar 3. Hasil Pengujian Kuat Tekan berdasarkan umur AAC dengan rasio larutan
Hydrogen Peroxide dengan bahan pengikat sebesar (A) 0,55 dan (B) 0,65
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 63
KESIMPULAN
Hasil pengujian menunjukkan bahwa AAC dengan komposisi 60% agregat halus
(pasir) dan 40% bahan pengikat (semen Portland dan atau serbuk kerang) dengan
menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide dan bahan pengikat sebesar 0,55
menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan AAC yang
menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide dan bahan pengikat sebesar 0,65. Kuat
tekan rata-rata tertinggi didapat pada komposisi 0% serbuk kerang yaitu sebesar 8,73
MPa. Density yang dihasilkan berkisar 1400 – 1600 kg/m3, dibawah density beton
ringgan yang disyaratkan.
DAFTAR PUSTAKA
prEN 12602, 1999. “Prefabricated Reinforced Components of Autoclaved Aerated
Concrete”. Februari, 128 pp.
RILEM, 1993. Recommended practice – RILEM Technical Commities : 78-MCA and
51 – ALC. Autoclaved Aerated Concrete – Properties, Testing and Design. S.
Aroni, G.J. de Groot, M. J. Robinson, G. Svanholm and F.H. Wittman ed. Taylor
& Francis Group, London and New York.
Tasdemir, C. & N. Ertokat., (2002), “Gazbetonum Fiziksel ve Mekanik Ozellikleri
Uzerine Bir Degerlendir, in” Proceedings of 1 Ulusal Yapi Malzemesi Kongresi
ve Sergisi, Vol. (2) pp. 425 – 437.
Aldolsun, Simge (2006), “ A Study on Material Properties of Autoclaved Aerated
Concrete (AAC) and Its Complementary Wall Elements : Their Compatibility in
Contemporary and Historocal Wall Sections”. Master Thesis, Graduate School of
Natural and Applied Sciences, Middle East Techical University, Turki
64 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
MECHANICAL PROPERTIES AND CHEMICAL CHANGES OF MAHONI
WOOD (SWIETENIA MAHAGONI) BY CLOSE SYSTEM COMPRESSION
HOT PRESS MACHINE
W. Dwianto1, T. Darmawan
1, D.S. Adi
1, Y. Amin
1, I. Wahyuni
1, Fitria
1, M. Karina
2
1 Research and Development Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences,
Cibinong Science Center, Jl. Raya
Bogor Km.46, Bogor 16911, Indonesia 2 Research Center for Physics, Indonesian Institute of Sciences, Jl. Cisitu 21/154,
Bandung 40135, Indonesia
This paper deals with mechanical properties of compressed wood by Close
System Compression (CSC) and its chemical component changes. A conventional hot
press was equipped with an air-tight seal frame placed between the two hot plates of the
machine. The wood with high moisture content was laid in the CSC and pressed. The
trapped wood moisture produced steam and acted as a self steam treatment. Previous
study showed that permanent fixation by a conventional hot press could be achieved at
a heating temperature of 180ºC for 20h and accompanied by a great reduction of
mechanical properties of the compressed wood. On the other hand, that for steam
treatment in an autoclave was achieved at 180ºC for 10 min and no marked decrease in
the modulus of rupture was observed. The wood species used in this research was
Mahoni (Swietenia mahagoni), with 0.39 ~ 0.42 g/cm3 density and 61% moisture
content. The wood specimens were cut into 30 cm (L) x 2 cm (T) x 2 cm (R) and
compressed into 50% of their initial thickness in radial direction inside the CSC at 160,
180, and 200ºC for 10 and 20 min. Chemical components of 40 ~ 60 mesh wood
powder were also analyzed to observe the changes of their holocellulose, α-celulose,
lignin and extractives contents. The result showed that the density of the compressed
woods increased between 0.58 ~ 0.81 g/ cm3; fixation was achieved at 180ºC for 20 min
with recovery of set (RS) of 0.36% and mechanical properties increased by 50%
compression level. However, mechanical properties decreased with the increasing of
temperature and time. It also revealed that holocellulose and α-cellulose decreased
around 13 ~ 33% and 1 ~ 10%, respectively. Therefore, we considered that the fixation
of compressive deformation by CSC resulted from the release of internal stresses stored
in the cell wall by a structural change in the cellulose and partial hydrolysis of
hemicelluloses due to their degradations.
Keywords: compressed wood, CSC, fixation, mechanical properties, chemical changes
INTRODUCTION
Compressed wood intends to enhance its surface hardness and strength through
the increasing of its density. Compression process of wood could be devided into three
stages, i.e softening, deforming dan fixing [1].
When a compressed wet wood specimen is dried under restraint, the stress
gradually decreases until it disappears and the wood is fixed in the deformed state.
However, the fixation of deformation is impermanent [2]
, because it can be almost
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 65
completely reversed by boiling. Therefore, permanent fixation of deformation is
required to utilize compressed wood.
Many attempts have been made to fix the compressive deformation of wood
permanently. Resin treatments in which impregnated resins are polymerized during the
deformation stage of wood [3][4][5]
and chemical modifications of compressed wood [6][7]
are some of the effective methods of fixing.
Heat treatment, i.e. heating of wood under dry conditions at high temperatures, is
another effective method of fixing. Seborg et al. [8]
reported that solid wood could be
compressed to a densified-product known as Staypak. Inoue and Norimoto [9]
investigated the permanent fixation of compressive deformation of Sugi (Cryptomeria
japonica D. Don) wood by heat treatment under dry conditions. They reported that
permanent fixation could be achieved at heating temperature of 180ºC for 20h, 200ºC
for 5h or 220ºC for 3h. Heat treatment can be performed easily using a conventional hot
press and is of practical use for small-scale production. Unfortunately, not only it takes
a long time to achieve complete fixation, it also causes a great reduction of mechanical
properties of the compressed wood.
Steam treatment, i.e. heating of wet wood or having high moisture content at high
temperatures, is also an effective method of fixing the compressive deformation of
wood. Steaming is performed in an autoclave [10]
or using a hot press equipped with an
airtight seal [11].
Inoue et al. [10]
compressed wood under restraint at vapor pressures of 9
to 20 kgf/cm2 in an autoclave. They reported that permanent fixation was achieved at
180ºC for 10 min or at 200ºC for 1 min. They also observed no effect of steam
treatment on fixation for dry specimens by using a hot press equipped with an airtight
seal [11]
, and concluded that the moisture content of the wood affected fixation. No
marked decrease in the modulus of rupture or drastic color changes, which were seen
following heat treatment of wood, were observed with steam treatment.
Ito et al. [12]
attempted to mold Sugi logs to squares and to fix the shape
permanently by steaming using a pressure vessel in which a press cylinder was
installed. They reported that sufficient fixation was achieved by steaming at 200ºC for 3
min. They concluded that fixation was caused by a structural change in the cellulose [13]
.
Hsu et al. [14]
increased dimensional stability by pre steaming fibers at 200ºC for 3 to 4
min before compressing them into fiberboards. They suggested that steam treatment
could cause partial hydrolysis of hemicelluloses without any apparent changes in the
cellulose or lignin content which markedly increased the compressibility of wood and
in turn significantly reduced the build-up of internal stresses in composites during hot
pressing. These results suggested that the mechanism of fixation was an increase in
cellulose crystallinity and release of internal stresses stored in the cell wall during
compression by partial hydrolysis of hemicelluloses.
Although complete fixation can be achieved by steaming in a very short time, the
apparatus is expensive and the operation is difficult. This problem can be solved by
Close System Compression (CSC) method. A conventional hot press is equipped with
an air-tight seal frame placed between the two hot plates of the machine. The wood
with high moisture content is laid in the CSC frame and pressed. The trapped wood
moisture will produce steam and act as self steam treatment [11]
.
Amin and Dwianto [15]
reported that wood compressed by using CSC method at
180ºC temperature for 30 min with vapor pressure of 9.5 kg/cm2 was still recovered to
a 8.92% from its initial thickness and lost 12.79% of its weight. Moisture content of the
wood, pressing temperature and time, and vapor pressure has an effect on the
66 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
decreasing of recovery of set (RS). It needed 180ºC temperature and 10 kg/cm2 vapor
pressure to get the permanent fixation. Therefore, it was necessary to add water to
produce the steam pressure besides the one that was produced from the evaporation of
wood moisture content.
Wood is lignocellulosic material which is susceptible against thermal
degradation. Steam treatment inside the CSC frame is needed to fix the deformation,
though it causes degradation of its chemical components. Amin dan Dwianto [15]
stated
that weight loss of compressed wood by CSC method was higher than that by heat
treatment [16]
, because heated wood in wet condition had more degraded wood chemical
components. However, how much the degradation of its chemical components has been
not yet known.
This paper deals with mechanical properties of compressed wood by CSC
method and its chemical component changes. The aim of this research was to observe
the changes of its holocellulose, α-celulose, lignin and extractive contents and the
decreasing of mechanical properties at the fixation state.
MATERIALS AND METHODS
The wood species used in this research was Mahoni (Swietenia mahagoni), with
0.39 ~ 0.42 g/cm3 density (average = 0.41 g/ cm
3) and 61% moisture content. The wood
specimens were cut into 30 cm in longitudinal (L) x 2 cm in tangential (T) x 2 cm in
radial (R) and compressed into 50% of their initial thickness in R direction inside the
CSC frame at 160, 180 and 200ºC for 10 and 20 min. The compressed wood specimens
were then dried at 60ºC under restraint for 24h.
Density and fixation measurements were conducted based on their oven dried
weight. The wood specimen size was 2 cm (L) x 2 cm (T) x 1 cm (R). Fixation level
was calculated by a formulation as follows [9]
:
RS (%) = [(Tr – Tc) / (To – Tc)] x 100,
where To = thickness of wood specimen before compression (mm), Tc = thickness after
compression (mm), dan Tr = thickness after boiling for 30 min. (mm).
Static bending tests were done by using Universal Testing Machine (UTM)
according to ASTM D 143-94 [17]
. The wood specimen size after compression was 30
cm (L) x 2 cm (T) x 1 cm (R).
Chemical components of 40 ~ 60 mesh wood powder were also analyzed based
on Mokushitsu Kagaku Jiken Manual [18]
to observe the changes of their holocellulose,
α-celulose, lignin and extractives contents. Chemical components of initial wood and
after treatments were then compared to obtain the percentage of loss.
RESULTS AND DISCUSSION
Physical Properties
The results show that density of compressed woods were between 0.58 ~ 0.81 g/
cm3 (average = 0.69 g/ cm
3), increased almost 2-fold compared to the average density
of uncompressed wood. Narrowing of wood pores by the compression caused the
increase of wood density [19]
. These results fitted the experiments done by Murhofiq [20]
that 50% compression increased the density of agathis wood from 0.41 g/ cm3 to 0.79 g/
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 67
cm3 and sengon wood from 0.23 g/ cm
3 to 0.48 g/ cm
3. Sulistyono
[21] also observed that
the density of agathis wood increased between 0.43 ~ 0.46 g/ cm3 to 0.70 ~ 0.85 g/ cm
3
by 50% compression.
RS decreased with the increasing pressing temperature and time. Fixation state
has been achieved at 180ºC temperature for 20 min, resulting in RS = 0.36%. This
result was better than the previous research done by Amin and Dwianto [15]
. This was
due to the vapour pressure inside CSC frame was maintained at 10 kg/cm2. However,
the compressed woods were damaged at 200ºC because pressing time to reach fixation
at this temperature was shorter [10][12]
.
Mechanical Properties
The results of static bending tests were shown by Modulus of Elasticity (MOE) and
Modulus of Rupture (MOR) values (Figure 1).
Figure 1. MOE and MOR values of compressed wood by CSC method with various
pressing temperatures and times.
By 50% compression, MOE and MOR values increased more than 2-fold
compared to the uncompressed wood. Besides as the effect of the increase of wood
density, these values were probably due to the partly formed crystalline cellulose [22]
.
The highest MOE value was achieved at pressing temperature of 180ºC for 10 min,
while the highest MOR value was reached at pressing temperature of 160ºC for 10 min.
However, the values declined with the increase of pressing temperature and time,
especially at 200ºC temperature. The decline of MOE and MOR values indicated the
starting degradations of chemical components of wood occurred. MOE dan MOR
values at the fixation state were 114.3 x 103 kg/cm2 and 830.9 kg/cm
2, respectively.
Chemical Component Analysis
Wood chemical component analysis of holocellulose, α-cellulose, lignin and
extractive content are given in Table 1. It can be seen that the higher the temperature
and the longer the pressing time, the lower holocellulose content. According to Fengel
and Wegener [23]
, when lignin is removed from wood, the holocellulose represents the
amount of cellulose and hemicellulose. The low level of the holocellulose was
suspected as the effect of thermal degradation of hemicellulose since the content of α-
cellulose did not significantly change.
68 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Hsu et al. [14]
stated that the steam treatment can cause wood fixation due to the
hydrolysis of hemicellulose. Hemicellulose has a lower degree of polymerization
compared to cellulose [24]
, and has lower and unstable molecular chains that are easily
degraded by heat. Besides, hemicellulose is a polymer consisted of six carbon sugars
such as mannose, galactose, glucose and 4-O-methyl-D-glucuronic acid, and five
carbon sugars such as xylose and arabinose [25][26]
. Therefore, as the pressure and
pressing time increase, the sugar polymer chains of hemicellulose will be broken and
turn into simple sugars. These simple sugars will become more unstable against
temperature which leads to the excessive degradation.
The decrease of α-cellulose at fixation state, at the temperature of 180ºC for 20
min, was 10.52% of the initial, where the degraded part was suspected to be its
amorphous region. At the same time, the holocellulose was degraded for 33.17% of the
initial, in which most of this was its hemicellulose fraction.
It is assumed that the fixation occured was due to the removal of some of OH-
functional group that decreased the ability of wood cellulose to bind water
(hygroscopicity). This removal of some hemicellulose fraction would lead the
contiguous cellulose components to link to each other or to form new chemical bond,
i.e. ether linkage [24]
. Actually, the α-cellulose fraction did not degrade significantly
since it has long molecular chain with high degree of polymerization [24]
that makes it
resistant to heat degradation under 200ºC.
Table 1. Wood chemical component analysis
Chemical
components
Control
(%)
160ºC 180ºC 200ºC
10' 20' 10' 20' 10' 20'
Holocellulose 77.6 66.8 66.43 58.57 51.86 55.72 53.84
α-cellulose 47.89 44.12 45.76 45.34 42.85 47.11 47.84
Lignin 26.1 35.31 34.28 35.88 35.36 33.95 33.99
Extractive content 4.98 4.61 4.53 5.96 7.64 8.69 10.61
To clarify the mechanism of the permanent fixation of compressive deformation
of wood by high temperature steaming, the stress relaxation and stress-strain
relationships in the radial compression for Sugi wood has been measured under steam at
temperatures up to 200ºC by Dwianto [27][28]
. The relationship between the residual
stress and RS at the end of relaxation measurements could be expressed by a single
curve regardless of time and temperature. This fact proved that the permanent fixation
of compressive deformation was resulted from the release of stresses stored in the cell
wall polymers by their degradation.
Table 1 also shows that the lignin content increases with increasing pressing
temperature and time. This trend of increasing lignin content is relatively similar to the
research conducted by Akyildiz et al. [29]
. The same result was also uncovered by
Fengel and Wegener [23]
that the lignin content remains constant in a wide temperature
range and will increase at the temperature above 140 ~ 150ºC. At temperature above
200ºC, lignin will be degraded while at the temperature below 200ºC, it will only
soften. Glassy transition of lignin occurs at temperature of 130 ~ 150ºC [25]
. Lignin is
thermoplastic, which will soften at its glass transition temperature and will harden
below that temperature.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 69
The extractive content will increase with the increase of pressing temperature and
time. This contradicts the existing theory. Extractives are extraneous components that
are not included as the integral part of cell wall, but they settle in cell cavities and
penetrate into the micro cavities of cell wall [24]
. Therefore, the extractives would be
vanished from cell cavities and micro cavities of cell wall due to the effect of pressing
and steam pressure in the CSC. Moisture content of wood in CSC method will be
transformed into high pressure hot steam. This hot steam will diffuse into the inner part
of wood structure [30]
that will trigger steam pressure (internal vapour pressure) in wood
cell cavities [31]
. As a consequence, the extractives in cell cavities will be force out of
the wood. Apart from this, this hot treatment will cause chemical composition
change of the extractives that will evaporate out of the wood, especially the unsaturated
compounds, fats and fatty acids [23]
.
The increase of extractive quantification on that table is estimated as the soluble
compound that was dissolved in alcohol-benzene solution from hemicellulose
degradation, not extractives. As mentioned before, hemicellulose tends to degrade into
simple sugars due to the split of molecular linkage caused by heat. Sugars, oils, resins,
waxs, fats, starch, colour pigments, etc are included in extractives dissolved in neutral
solvents [24]
. As a result, the broken linkage in hemicellulose will lead to the formation
of simple sugars dissolved in alcohol-benzene. However, further study is needed to
confirm these compounds.
CONCLUSION
The density of woods compressed into 50% of their initial thickness almost
increased by 2-fold, i.e. from the average of 0.41 g/ cm3 to 0.69 g/ cm
3.
The increase of pressing temperature and time decreased the value of RS.
Fixation was achieved for the specimen pressed at temperature of 180ºC for 20 min,
with RS value of 0.36%.
With 50% compression level, the values of MOE and MOR increased more than
2-fold compared to the initial values. The MOE and MOR values at fixation state were
114.3 x 103 kg/cm2 and 830.9 kg/cm
2, respectively.
The decrease of α-cellulose content at fixation state was 10.52% of the initial
which was assumed to be its amorphous region. At the same time, the degraded
holocellulose was 33.17% of the initial with most of it was hemicellulose. It also
revealed that holocellulose and α-cellulose decreased around 13 ~ 33% and 1 ~ 10%,
respectively. Therefore, we considered that the fixation of compressive deformation by
CSC was resulted from the release of internal stresses stored in the cell wall by a
structural change in the cellulose and partial hydrolysis of hemicelluloses due to their
degradations.
REFERENCES
[1] Grill J., Norimoto M. Compression of wood at high temperature, COST 508-
Wood Mechanics, Workshop on Plasticity and Damage, University of Limerick,
Ireland, April 1–2, 1993.
[2] Norimoto, M.; Gril, J. J. Microwave Power and Electromagnetic Energy 1989, 24
(4), 203–212.
70 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
[3] Stamm, A.J.; Seborg, R.M. Resin-treated, laminated, compressed wood. Trans.
Am. Inst. Chern. Eng. 1941, 37, 385–397.
[4] Inoue, M.; Norimoto, M.; Otsuka, Y.; Yamada, T. Surface compression of
coniferous lumber II: Permanent set of the surface compression wood by a low
molecular weight phenolic resin and some physical properties of the products.
Mokuzai Gakkaishi 1991, 37 (3), 227–233.
[5] Itoh, T.; Ishihara, S. Mokuzai Gakkaishi 1997, 43 (1), 52–60.
[6] Fujimoto, H. New Zealand FRI Bull. 1992, 176, 87–96.
[7] Inoue, M.; Minato, K.; Norimoto, M. Mokuzai Gakkaishi 1994, 40 (9), 931–936.
[8] Seborg, R.M.; Millet, M.A.; Stamm, A.J. Heat-stabilized compressed wood,
Staypak. Mech. Eng. 1945, 67 (1), 25–31.
[9] Inoue, M.; Norimoto, M. Permanen fixation of compressive deformation in wood
by heat treatment. Wood Research and Technical Notes 1991, 27, 31–40.
[10] Inoue, M.; Norimoto, M.; Tanahashi, M.; Rowell, R.M. Steam or heat fixation of
compressed wood. Wood and Fiber Science 1993, 25 (3), 224–235.
[11] Inoue, M.; Norimoto, M. The Proceedings of the International Symposium on the
Utilization of Fast-Growing Trees. China Forestry Publishing House, Beijing
1994, 56–64.
[12] Ito, Y.; Tanahashi, M.; Shigematsu, M.; Shinoda, Y.; Ohta, C. Holzforchung
1998, 52 (2), 211–216.
[13] Ito, Y.; Tanahashi, M.; Shigematsu, M.; Shinoda, Y. Compresive-molding of
wood by high-pressure steam treatment: Part 2. Mechanism of permanent
fixation. Holzforchung, 1998, 52 (2), 217–221.
[14] Hsu, W.E.; Schwald, W.; Schwald, J; Shields. J.A. Chemical and physical
changes for producing dimensionally stable wood-based composites. Part I:
Steam pretreatment. Wood Sci. Technol. 1988, 22, 281–289.
[15] Amin, Y.; Dwianto, W. Temperature and steam pressure dependency on the
fixation of compressed wood by close system compression. Journal of Tropical
Wood Science and Technology 2006, 4 (2), 55–60.
[16] Dwianto, W.; Inoue, M.; Norimoto, M. Fixation of compressive deformation of
wood by heat treatment. Mokuzai Gakkaishi 1997, 43 (4), 303–309.
[17] American Standard Testing Method (ASTM). D143-94 : Standard Test Methods
for Small Clear Specimens of Timber, 2005.
[18] Mokushitsu Kagaku Jiken Manual, Japan Wood Research Society Publisher,
2000.
[19] Darwis, A.; Dwianto, W.; Wahyudi, I. Fixation of Agathis and Gmelina densified
woods at radial directions and observation of their anatomical structure.
Proceedings of the First International Symposium of Indonesian Wood Research
Society. Bogor. 2009, 71–78
[20] Murhofiq, S. Pengaruh pemadatan arah radial disertai suhu tinggi terhadap sifat
fisis dan mekanis kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salisb) dan Sengon
(Paraserianthes falcataria (l.) Nielsen). Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Unpublished, 2000 (In
Indonesian).
[21] Sulistyono; Nugroho, N.; Surjokusumo, S. Teknik Rekayasa Pemadatan Kayu II:
Sifat fisis dan mekanis kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salibs) terpadatkan
dalam konstruksi bangunan. Buletin Teknik Pertanian 2003, 17 (1) (In
Indonesian).
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 71
[22] Hartono, R. Peningkatan kualitas batang Kelapa Sawit bagian dalam dengan
close system compression dan kompregnasi phenol formaldehyde. Program Studi
Ilmu Pengetahuan dan Kehutanan. Program Pascasarjana IPB. Thesis Doktor.
Unpublished, 2011.
[23] Fengel D., Wegener, G. Wood, Chemistry, Ultrastructure, Reactions. New York.
De Gruyter, 1984.
[24] Prawirohatmodjo, S. Kimia Kayu. Diktat Kuliah Kimia Kayu Mahasiswa Jurusan
Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 1996 (In Indonesian).
[25] Biermann, C.J. Hand Book of Pulping and Papermaking. Second Edition.
Academic Press. California. USA, 1996.
[26] Marsoem, S. N. Pulp dan Kertas. Bahan Kuliah Mahasiswa Jurusan Teknologi
Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005 (In
Indonesian).
[27] Dwianto, W.; Morooka, T.; Norimoto, M. 1998c. A Method of Measuring
Viscoelastic Properties of Wood under High-Temperature and High-Pressure
Steam Conditions. Mokuzai Gakkaishi 44 (2): 77-81.
[28] Dwianto, W.; Morooka, T.; Norimoto, M.; Kitajima, T. Stress relaxation of Sugi
(Cryptomeriajaponica D. Don) wood in radial compression under high-
temperature steam. Holzforschung 1999, 53 (5), 541–546.
[29] Akyildiz, H.M.; Ates, S.; Osdemir, H. Technological and chemical properties of
heat treated Anatolian Black Pine wood. African Journal of Biotechnology 2009,
8 (11), 2565–2572.
[30] Kawai, S.; Sasaki, H. Steam injection compressing technology. Proc. of the First
International Wood Science Seminar. Kyoto. Japan, 1996.
[31] Krisdianto. Aplikasi teknologi microwave dalam meningkatkan kualitas kayu.
Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan. Bogor, 2004 (In Indonesian).
72 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
KARAKTERISTIK KAYU KOMPRESI DENGAN
METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION (CSC) PADA KONDISI KERING
Teguh Darmawan*, Danang Sudarwoko Adi, Yusup Amin, Ika Wahyuni, dan
Wahyu Dwianto
UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911
*E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Alat Close System Compression (CSC) menerapkan teknik pemadatan kayu
dengan memanfaatkan kadar air tinggi yang tersimpan dalam kayu sebagai sumber uap.
Kadar air kayu yang tinggi tersebut dapat membantu pelunakan dan fiksasi kayu
kompresi. Namun pada kondisi pelunakkan dan diberikan pembebanan berupa suhu dan
tekanan dari luar yang tinggi, seringkali menghasilkan kayu kompresi yang kurang baik
atau bahkan terjadi kerusakan. Pemadatan kayu kering dan perlakuan uap lebih lanjut
dapat dijadikan alternatif proses densifikasi kayu. Untuk mendapatkan kayu kompresi
dengan nilai Recovery of Set (RS) optimum, penggunaan kayu kering membutuhkan
perlakuan uap yang lebih lama apabila dibandingkan dengan metode CSC pada kondisi
kayu basah. Namun, penggunaan kayu kering menghasilkan kayu kompresi yang lebih
baik dilihat dari target tebal dan pengamatan visual kayu kompresi yang dihasilkan.
Kata kunci : Kayu kompresi, Close Sytem Compression (CSC), Recovery of set (RS).
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan sifat kayu dapat dilakukan dengan memampatkan kayu
sehingga kerapatan kayunya meningkat. Teknik pemadatan kayu pada umumnya
diterapkan untuk meningkatkan kualitas dari jenis kayu berkerapatan rendah-sedang,
dimana jenis-jenis kayu tersebut biasanya memiliki nilai sifat mekanis yang rendah.
Permasalahan utama dalam pemadatan kayu adalah fiksasi atau stabilitas dimensi dari
pengaruh kondisi kelembaban udara, air, ataupun kondisi lingkungan lainnya. Oleh
karena itu, studi tentang teknologi dan mekanisme fiksasi kayu kompresi terus
dikembangkan. Menurut Morsing (2000), ada tiga mekanisme memperbaiki atau
mempertahankan kayu kompresi, yaitu mencegah terjadinya pelunakan kayu kompresi
dengan mengubah higroskopisitas dinding sel sehingga dinding sel tidak dapat diakses
air, membentuk ikatan silang kovalen antara komponen kayu di dalam kayu kompresi,
dan merelaksasi tegangan yang tersimpan di dalam mikrofibril dan polimer matriks
selama kompresi.
Mendeformasi kayu melalui kompresi harus dilakukan pada di atas suhu transisi
glass (Tg) dari komponen dinding sel kayu, sehingga tidak terjadi kerusakan. Selama
proses kompresi, daerah kristal dari mikrofibril bersifat elastis. Energi regangan elastis
disimpan dalam makromolekul selulosa, dan pelepasan energi ini dianggap
menyebabkan pemulihan tebal. Selain itu, diyakini bahwa selama proses tersebut,
tegangan internal juga terbentuk dan disimpan dalam amorphous hemiselulosa dan
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 73
lignin dan semi-kristal selulosa (Dwianto et al. 1998, Dwianto et al. 1999, Fang et al.
2012)
Inoue et al. (1993) menyatakan bahwa fiksasi dapat dicapai dengan perlakuan
uap lanjut pada suhu 200 oC selama 1 menit atau 180
oC selama 8 menit. Reynolds
(2004) menyimpulkan bahwa pengembangan tebal bisa secara signifikan dikurangi
dengan perlakuan uap jenuh pada suhu 200 oC. Sebuah studi oleh Dwianto et al. (1999)
menunjukkan bahwa pemulihan tekanan deformasi (recovery of compressive
deformation) menurun dengan perlakuan uap dan selama 10 menit pada suhu 200 oC
terjadi relaksasi tegangan. Navi dan Heger (2004) melaporkan bahwa fiksasi kayu
kompresi dapat diperoleh dengan memberikan perlakuan berbagai kondisi uap jenuh,
yaitu 165 oC selama 30 menit, 190
oC selama 8 menit, atau 200
oC selama 2 menit.
Teknik pemadatan kayu dengan memanfaatkan kadar air yang tersimpan dalam kayu
basah sebagai sumber uap, diterapkan pada alat Close System Compression (CSC).
Terdapat tiga tahapan dalam metode ini, yaitu (1) Proses pelunakan, kayu dalam
kondisi titik jenuh air (TJS) di panaskan di atas suhu Tg di dalam alat CSC di antara
pelat hotpress, (2) Pengempaan, kayu yang sudah mulai melunak dimampatkan secara
perlahan sampai target ketebalan tercapai dan alat CSC tertutup, (3) Proses Fiksasi,
perlakuan uap dengan memanfaatkan kadar air yang tersimpan dalam kayu.
Karena kondisi kayu yang terlalu lunak dan karakteristik mekanik yang rendah,
perlakuan tekanan dan suhu tinggi seringkali menghasilkan kayu kompresi dengan
bentuk dan ukuran yang kurang baik, atau bahkan terjadi kerusakan. Selain itu,
perlakuan uap dapat mengakibatkan kehilangan berat pada kayu kompresi yang
dihasilkan. Pemberian tekanan uap dan suhu yang semakin tinggi dengan metode CSC
mengakibatkan kehilangan berat yang semakin tinggi (Amin et al. 2006). Menurut Adi
(2009) proses pemadatan kayu dengan metode CSC mengakibatkan terdegradasinya
komponen kimia kayu yaitu hemiselulosa antara 13-33% dan α-selulosa 1-10%.
Terdegradasinya komponen penyusun kayu akibat perlakuan tekanan uap yang terlalu
tinggi diindikasikan sebagai salah satu penyebab kerusakan kayu kompresi yang
dihasilkan. Penelitian ini berkaitan dengan pengamatan karakteristik kayu dari kayu
kompresi yang di kempa panas pada kondisi kering dan dilanjutkan dengan perlakuan
uap pada chamber CSC dibandingkan dengan pembuatan kayu kompresi pada kondisi
basah atau (TJS) dengan metode CSC.
Bahan dan Metode
Contoh uji menggunakan kayu sengon (Albizia falcataria L. Nielsen) bebas cacat
dengan ukuran 50 mm (longitudinal) x 50 mm (tangensial) x 40mm (radial). Pemadatan
kayu dilakukan pada arah radial sebesar 50 % atau dengan target tebal 20 mm. Contoh
uji memiliki kerapatan kering oven ± 0.23 g/cm3.
Proses Kompresi Kayu Kering
Pada kondisi kering oven, dilakukan pengukuran untuk mendapatkan tebal (to),
berat (wo), dan kerapatan (bjo). Pemadatan kayu dilakukan dengan kempa panas dengan
suhu 170 oC. Sebelum contoh uji dikempa, terlebih dahulu diberikan pemanasan awal
selama 10 menit dengan cara meletakkan di antara pelat. Pengempaan dilakukan selama
30 menit setelah target ketebalan tercapai. Selanjutnya contoh uji kayu dimasukan ke
dalam desikator untuk meminimalisir kontak langsung dengan udara ruang. Contoh uji
yang telah dikompresi (kondisi setting) diberikan perlakuan uap lebih lanjut didalam
alat CSC yang dikempa panas. Air dimasukkan ke dalam alat CSC sebagai sumber uap,
74 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
dengan suhu 170 dan 180 oC selama 15, 30, 45, dan 60 menit. Selanjutnya dioven pada
suhu 105 oC selama 24 jam dan dilakukan pengukuran tebal (tc), berat (wc).
Proses Kompresi Kayu Basah
Pengukuran awal dilakukan seperti pada contoh uji kompresi kondisi kayu
kering. Selanjutnya contoh uji direndam air sampai kadar air ± 125 %. Proses
pemadatan kayu dilakukan dengan metode CSC pada suhu 180 oC selama 30 menit.
Selanjutnya dikering ovenkan dan dilakukan pengukuran tebal (tc), berat (wc).
Pengujian
Karakteristik kayu kompresi yang diamati diantaranya pengamatan tebal dan
peningkatan kerapatan dilakukan pada kondisi kering oven. Sedangkan untuk
mengetahui fiksasi atau nilai rasio Recovery of Set (RS), kayu kompresi direbus ke
dalam air mendidih (± 100 oC) selama 60 menit, dan dikeringkan dengan oven pada
suhu 105 oC selama 24 jam. Selanjutnya diukur pengembangan tebalnya (tr).
Nilai rasio RS dihitung dengan menggunakan rumus:
RS = tr-tc
to-tc 100 ( )
Sedangkan rasio kehilangan berat (WL) dihitung dengan rumus :
WL = wo-wc
wo 100 ( )
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyimpangan Ketebalan Secara visual perlakuan uap pada suhu dan waktu yang sama (180
oC, 30 menit)
menghasilkan kayu kompresi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 a dan b. Secara
umum kayu kompresi dari kondisi kering menghasilkan bentuk dan ukuran yang lebih
baik. Perlakuan uap dengan suhu dan tekanan juga dapat mengakibatkan kerusakan
kayu kompresi (Gambar 1 c).
Gambar 1. Hasil kayu kompresi dari kayu (a) kering, (b) basah, dan (c) kerusakan
kayu kompresi dengan metode CSC pada kondisi kayu basah.
Ukuran tebal dari contoh uji kayu kompresi setelah perlakuan uap ditunjukkan
pada Gambar 2. Perlakuan panas memberikan pengaruh pada target ketebalan yang
dihasilkan, baik contoh uji pada dari kondisi kering maupun basah. Contoh uji kayu
kompresi dengan metode CSC yang menggunakan kayu basah memiliki ukuran tebal
yang lebih kecil atau terjadi penyimpangan ketebalan yang lebih besar, dan penggunaan
kayu kering menghasikan kayu kompresi dengan ketebalan lebih mendekati ketebalan
yang ditargetkan.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 75
Gambar 2. Ukuran tebal hasil kayu kompresi
Dalam kondisi basah (TJS), kayu akan cenderung lebih mudah melunak.
Peningkatan suhu dan atau kadar air kayu akan melunakkan struktur kayu (Lenth and
Kamke 2001), sehingga komponen-komponen polimer amorphous kayu berada pada
kondisi di atas suhu Tg dan berarti bahwa kayu berada dalam keadaan melunak (Lenth
and Haslett 2003; Dwianto et al. 1999). Kawai (1996), Krisdianto (2004) dalam Amin
dan Dwianto (2006) memaparkan bahwa kadar air kayu yang berubah menjadi uap
panas dapat terdifusi ke bagian dalam struktur kayu, sehingga akan menimbulkan
tekanan uap (internal vapour pressure) di dalam rongga sel kayu. Dengan demikian
kadar air yang lebih tinggi membantu terbentuknya kondisi lunak yang lebih cepat
sejalan dengan tekanan uap yang semakin tinggi. Kayu yang melunak dan di dalam
ruang bertekanan dan panas yang tinggi, mengakibatkan kayu terdeformasi melebihi
dari ketebalan yang ditentukan dan juga dapat mengakibatkan kerusakan kayu kompresi
(Gambar 1. b, c). Hal tersebut juga disebabkan oleh penggunaan contoh uji dari jenis
kayu dengan kerapatan rendah, yang pada umumnya memiliki dinding sel tipis.
Peningkatan Kerapatan Kayu (BJ)
Pembebanan pada permukaan kayu akan mendesak dinding sel dan pori-pori
kayu lebih rapat sehingga kayu akan menjadi lebih padat. Pada contoh uji yang
menggunakan kayu basah menghasilkan nilai kerapatan lebih tinggi dengan nilai lebih
dari 0.45 g/cm2 atau naik sekitar 117 % dari kerapatan awal (Gambar 3).
Gambar 3. Peningkatan kerapatan kayu kompresi.
76 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Sedangkan perlakuan suhu dan lama pengempaan pada contoh uji yang
menggunakan kayu kering terjadi BJ rata-rata sebesar 102% untuk suhu 170 oC dan 95
% untuk perlakuan suhu 180 oC. Metode CSC yang menggunakan kayu kondisi basah
mampu memampatkan kayu melebihi target ketebalan yang ditetapkan. Hal tersebut
menjadi faktor utama peningkatan BJ yang lebih tinggi dibanding BJ dari kayu
kompresi dari kayu kondisi kering baik pada perlakuan suhu 170 oC maupun 180
oC.
Rasio Recovery of Set (RS)
Perlakuan uap dengan perbedaan suhu dan waktu pada proses pembuatan kayu
kompresi baik dengan metode CSC dengan menggunakan kayu basah maupun yang
menggunakan kayu kering mampu menghasilkan kayu kompresi yang permanen. Nilai
RS ditunjukkan pada Gambar 4. Pada penggunaan kayu kering, perlakuan suhu 170 oC
membutuhkan waktu lebih dari 60 menit untuk mencapai fiksasi, dan untuk suhu 180 oC membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit. Sedangkan penggunaan metode CSC
pada kayu basah suhu 180 oC dengan waktu pengempaan 30 menit lebih dari cukup
untuk menjadikan fiksasi pada kayu kompresi. Proses fiksasi dengan menggunakan uap
secara umum lebih cepat apabila dibandingkan dengan perlakuan dengan pemanasan
oven dengan suhu yang sama atau lebih pada tekanan udara ruang. Darwis et al. (2009)
dengan perlakuan panas (oven) 180 oC selama 20 jam belum mendapatkan kayu
kompresi yang bersifat permanen.
Perbedaan suhu yang diberikan akan menentukan kecepatan terbentuknya
tekanan uap di dalam ruang CSC. Pada suhu lebih rendah, akan membentuk tekanan
uap yang lebih rendah, sehingga relaksasi tegangan yang terjadi cenderung lebih lama
Pada penggunaan kayu kering, perlakuan suhu 170 oC membutuhkan waktu lebih
dari 60 menit untuk mencapai fiksasi, dan untuk suhu 180 oC membutuhkan waktu
kurang lebih 45 menit. Sedangkan penggunaan metode CSC pada kayu basah,
perlakuan suhu 180 oC dengan waktu pengempaan 30 menit lebih dari cukup untuk
menjadikan fiksasi kayu kompresi yang permanen.
Gambar 4. Rasio recovery of Set (RS)
Kehilangan Berat (WL)
Perlakuan uap pada proses pemadatan kayu akan mengakibatkan WL pada kayu
kompresi yang dihasilkan. Sebagian komposisi kimia kayu akan terdegradasi akibat
perlakuan panas dan uap yang diberikan. Amin dan Dwianto (2006) mencatat bahwa
densifikasi kayu dengan metode CSC pada kondisi kayu jenuh serat mengakibatkan
kehilangan berat 7.2 - 12.7 %. Adi et al. (2009) melaporkan bahwa penggunaan metode
RS
(%)
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 77
CSC mendegradasi hemiselulosa antara 13 - 33% dan α-selulosa 1 - 10% pada kayu
Mahoni (Swietenia mahagoni).
Pengaruh suhu dan lama perlakuan uap pada proses pemadatan kayu terhadap
nilai WL ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Kehilangan berat.
Pada penggunaan kayu kering, semakin lama perlakuan uap dan semakin tinggi
suhu terjadi WL yang semakin tinggi. Pengunaan kayu basah terjadi WL yang lebih
tinggi sebesar 6,8 % pada kondisi suhu dan lama perlakuan uap yang sama (180 oC, 30
menit) apabila dibandingkan dengan kayu kering sebesar 4,7 %. Namun pada kondisi
perlakuan tersebut, kayu kompresi dari kayu kering belum terjadi fiksasi (Gambar 4).
KESIMPULAN
Memadatkan kayu pada kondisi kering dan perlakuan uap lebih lanjut dapat
dijadikan alternatif proses densifikasi kayu. Densifikasi kayu kering membutuhkan
perlakuan uap yang lebih lama apabila dibandingkan dengan proses densifikasi kayu
metode CSC pada kayu basah. Namun, penggunaan kayu kering menghasilkan kayu
kompresi yang lebih baik dilihat dari hasil target tebal dan pengamatan visual kayu
kompresi yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, D. S., I. Wahyuni, Y. Amin, T. Darmawan, W. Dwianto. 2009. Degradasi
Komponen Kimia Kayu Akibat Proses Densifikasi Kayu dengan Metode Close
Sytem Compression (CSC). Prosiding Simposium Nasional I FTHH, Bogor 30-
31 Oktober 2009.197-202.
Amin, Y. dan W. Dwianto. 2006. Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap Air terhadap
Fiksasi Kayu Kompresi dengan menggunakan Close System Compression.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 4(2) : 55 – 60
Darwis, A.; W, Dwianto, I. Wahyudi. 2009 Fixation of Agathis and Gmelina Densified
Woods at Radial Directions and Observation of their Anatomical Strukture.
Proceedings of the1st International Symposium of Indonesian Wood Research
Society. Bogor. 71:78
Dwianto, W.; M Norimoto; T Morooka; F Tanaka; M Inoue; Y Liu. 1998. Holz Roh
Werkst. 56:403
WL
(%
)
78 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Dwianto, W.; T Morooka; M Norimoto; T Kitajima. 1999. Stress relaxation of Sugi
(Cryptomeria japonica D.Don) wood in radial compression. Holzforschung
53(5):541–546.
Fang, C.H.; N Mariotti, A Cloutier, A Koubaa, P Blanchet. 2012. Densification of wood
veneers by compression combined with heat and steam. Eur. J. Wood Prod.
70:155–163
Inoue M, M Norimoto, M Tanahashi, Rowell RM. 1993. Steam or heat fixation of
compressed wood. Wood Fib Sci. 25:224–235
Kawai, S and H. Sasaki. 1996. Steam Injection Compressing Technology. Proc. of the
First International Wood Science Seminar. Kyoto. Japan
Krisdianto. 2004. Aplikasi Teknologi Microwave dalam Meningkatkan Kualitas Kayu.
Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan. Bogor
Lenth CA, A.N. Haslett (2003) Moisture uptake patterns in pressure steaming of
Radiata Pine. Holz als Roh- und Werkstoff 61:444–448
Lenth CA, Kamke FA. 2001. Moisture dependent softening behavior of wood. Wood
and Fiber Sci 33(3):492–507
Morsing, N. 2000. Densification of wood. The influence of hygrothermal treatment on
compression of beech perpendicular to the grain. PhD thesis. Technical
University of Denmark. Department of structural engineering and materials.
Navi, P.; Heger, F. 2004. Combined densification and Thermo-Hydro-Mechanical
processing of wood. Mater Res Society Bull, 332–336.
Reynolds, M.S. 2004. Hydro-thermal stabilization of wood-based materials. Master
thesis, Virginia Tech
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 79
PENGARUH WAKTU PENGEPRESAN TERHADAP PERUBAHAN
KOMPONEN KIMIA KAYU DURIAN KOMPRESI SKALA PEMAKAIAN
Ika Wahyuni, Danang S. Adi, Teguh Darmawan, Sudarmanto, Wahyu Dwianto
UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI
ABSTRACT
This study evaluated the effect of pressing time on chemical composition of full-
scale compressed wood. It is also concerned on the changes of wood chemical
components within the wood after compression. The full-scale compression process of
Durian (Durio zibetinus) wood into 33 % and 50 % of their initial thickness had
successfully been done by utilizing the full scale compression machine. Wood blocks
with dimension 4 m (L) 12 cm (R) 12 cm (T) were compressed in a radial direction
at 180C for two different time levels (60 and 120 min). Wet chemical analysis was
conducted following the relevant Mokushitsu Kagaku Jiken Manual. The results
showed that the pressing time generally affected the changes of chemical composition
within Durian compressed wood; however, it was quite significant. The alcohol-
benzene solubility content decreased (12 %) due to evaporation. Holocellulose
decreased considerably (6368 %) as an effect of hemicellulose degradation, while
lignin increased by 3637 %. As a result of thermal existence (180 C) and longer
pressing time (120 min), lignin and alcohol-benzene solubility contents in wood surface
were higher than in the middle part, proving that there were lignin movement and
extractive evaporation within compressed wood.
Keywords: Durian, full-scale, compression, compressed wood, chemical
components.
PENDAHULUAN
Kayu kurang dikenal (lesser-known species) dan kayu hutan rakyat umumnya
memiliki sifat fisik-mekanik yang lebih rendah dari pada kayu-kayu komersial. Kayu
ini masih sedikit mendapat perhatian untuk dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai
tinggi, seperti halnya bahan konstruksi atau lantai kayu. Oleh karena itu, untuk
mengoptimalkan penggunaannya, kualitas jenis kayu rakyat ini perlu ditingkatkan
terlebih dahulu dengan suatu teknologi yang tepat.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas kayu adalah
dengan proses densifikasi kayu. Teknologi ini merupakan teknik pengempaan/
pengepresan kayu utuh (solid) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kayu
(kekerasan dan kekuatan). Teknik ini dapat diterapkan pada jenis-jenis kayu cepat
tumbuh yang pada umumnya berkualitas rendah (Amin et al. 2007). Tahun 2009, telah
dilakukan rancang bangun mesin kempa skala pemakaian (full-scale compression
machine) di UPT Balitbang Biomaterial LIPI dan telah dilakukan uji proses pembuatan
dan karakterisasi kayu kompresi skala pemakaian terhadap kayu Sengon
(Paraserianthes falcataria) dan Randu (Ceiba pentandra) berukuran 400 cm (P) 12
cm (L) 12 cm (T) dengan perlakuan suhu 180 C dan waktu kempa 60 menit. Hasil
uji coba dan karakterisasi pembuatan kayu kompresi skala pemakaian menunjukkan
80 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
bahwa pembuatan produk kayu kompresi berbahan baku kayu Sengon dengan target
kompresi 50% memberikan hasil yang terbaik (Amin 2011). Akan tetapi masih perlu
dilakukan penelitian lanjut untuk mendapatkan metode dan formulasi perlakuan yang
tepat agar dapat meningkatkan produktifitas mesin dan meningkatkan kualitas produk
kayu kompresi skala pemakaian, terutama dalam hal kestabilan dimensi (fixation) kayu
kompresi.
Parameter penting yang mempengaruhi keberhasilan proses densifikasi kayu
diantaranya adalah suhu dan waktu pengempaan (Arinana dan Diba 2009). Salah satu
cara meningkatkan kestabilan dimensi kayu kompresi dapat diperoleh dengan memberi
perlakuan panas (heat treatment) selama jangka waktu tertentu. Inoue et al. (1991)
mencoba meningkatkan kestabilan dimensi dengan memanaskan kayu Sugi
(Cryptomeria japonica) pada kondisi kering dalam kondisi kayu terkompresi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemulihan tebal kayu kompresi dipengaruhi oleh suhu
dan waktu pemanasan.
Dinding sel kayu merupakan bahan berlignoselulosa yang terdiri dari tiga
komponen polimer, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Umumnya, komponen
kimia tersebut akan stabil pada perlakuan suhu sampai 100 C selama 48 jam (Fengel
dan Wegener, 1995). Pada perlakuan suhu di atas itu maka akan mulai terjadi
perubahan struktur kimia kayu yang disebabkan oleh reaksi autokatalisis dalam dinding
sel (Grinins et al. 2012). Windeisen et al. (2007) dalam Cademartori et al. (2013),
menyatakan bahwa perubahan struktur kayu oleh perlakuan suhu dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah suhu, waktu pemanasan, jenis spesimen dan kondisi
perlakuan (Cademartori et al. 2013).
Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan uji coba densifikasi kayu Durian
skala pemakaian dengan perlakuan suhu 180 C pada kondisi kering dan waktu kempa
selama 60 dan 120 menit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
perlakuan suhu dan waktu kempa terhadap perubahan komponen kimia di dalam kayu
kompresi skala pemakaian, sehingga dapat diperoleh kombinasi perlakuan yang
optimal.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Penelitian ini menggunakan kayu Durian (Durio zibetinus) dengan kerapatan
0,47 0,56 g/cm3. Pemotongan kayu dilakukan sedemikian sehingga diperoleh
potongan berbentuk balok tangensial berukuran panjang 400 cm; lebar 12 cm; dan tebal
12 cm. Kemudian balok-balok tersebut dikering-udarakan sampai kadar airnya berkisar
14 ~ 18 %.
Proses Densifikasi
Modifikasi kayu dilakukan dengan menggunakan Alat Kompresi Kayu Skala
Pemakaian, dengan ukuran 415 cm x 70 cm x 10 cm (Gambar 1) dan suhu modifikasi
180 C (dengan waktu pengempaan 60 dan 120 menit).
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 81
Gambar 1. Full-Scale Wood Compression Machine.
Proses densifikasi kayu skala pemakaian pada penelitian ini meliputi empat
tahap, yaitu : (1) pengkondisian mesin dengan mengatur suhu plat pada 180 C; (2)
pelunakan kayu (softening) dengan cara pemberian perlakuan panas (heat treatment)
pada suhu 180 C selama 1 jam terhadap balok kayu yang akan dipadatkan; (3)
densifikasi kayu Durian (forming) pada arah radial (R), dengan metode kering, target
densifikasi 33% (tebal 8 cm) dan 50% (tebal 6 cm), serta waktu kempa 60 dan 120
menit ; (4) penurunan suhu.
Analisis Komponen Kimia Kayu
Contoh uji untuk analisis komponen kimia kayu diambil dari bagian ujung dari
balok kayu. Kemudian analisis kimia kayu kontrol dan kayu hasil densifikasi dilakukan
dengan sampel berupa serbuk berukuran 40 ~ 60 mesh berdasarkan posisi seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Persiapan contoh uji serbuk dan analisis komponen kimia kayu.
Pada Gambar 2, huruf A menunjukkan posisi permukaan atas, B adalah posisi
inti/tengah, dan C adalah posisi permukaan bawah. Pengujian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh waktu kompresi terhadap distribusi komponen kimia dalam kayu
82 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
kompresi skala pemakaian. Parameter yang diamati adalah kadar ekstraktif terlarut
dalam alkohol-benzena, holoselulosa, -selulosa, dan lignin berdasarkan standar
Mokushitsu Kagaku Jiken Manual (2000).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Waktu Pengempaan
Hasil rata-rata analisis komponen kimia kayu Durian kompresi yang terdiri
dari ekstraktif terlarut dalam alkohol-benzena, lignin, holoselulosa, dan -selulosa
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi komponen kimia kayu Durian kompresi.
Perlakuan
Target (%)/
Waktu (min)
Komponen kayu (%)
Ekstraktif terlarut
alkohol-benzena Lignin Holoselulosa -selulosa
Kontrol 3,84 32,32 68,04 39,46
D33/60 1,90 36,41 68,34 39,82
D33/120 2,07 36,54 63,20 31,17
D50/60 1,39 37,80 65,22 37,81
D50/120 1,26 37,44 64,56 40,48
Keterangan: D33 = Durian, target kompresi 33 %
D50 = Durian, target kompresi 50 %
Tabel 1 menunjukkan bahwa adanya perlakuan suhu dan waktu kempa telah
menimbulkan perubahan komposisi komponen kimia dalam kayu Durian kompresi jika
dibandingkan dengan kayu yang tidak diberi perlakuan.
Kandungan zat ekstraktif yang terlarut dalam alkohol-benzena pada kayu Durian
kompresi mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kayu kontrol. Nilai
kandungan zat ekstraktif terendah (1,26 %) terjadi pada saat pengempaan selama 120
menit dengan suhu 180 C dan target kompresi 50 %. Hal ini sesuai dengan teori yang
ada, karena zat ekstraktif bukan merupakan bagian integral dinding sel melainkan
hanya komponen luar (extraneous components), sehingga akan mudah dipisahkan dari
dinding sel (Prawirohatmodjo, 1996). Oleh karena itu, umumnya zat ekstraktif akan
terdegradasi atau menguap dengan mudah selama perlakuan panas (Ates, 2009;
Grinins, 2012). Semakin lama waktu kempa, maka kayu akan semakin lama terpapar
oleh panas, akibatnya semakin banyak zat ekstraktif terdegradasi. Oleh karena itu, nilai
kandungan zat ekstraktif dalam kayu Durian kompresi akan semakin rendah jika
dibandingkan dengan kayu kontrol.
Perubahan kandungan holoselulosa memiliki korelasi yang negatif dengan
bertambah-lamanya waktu kempa. Semakin lama waktu kempa maka kandungan
holoselulosa dalam kayu Durian kompresi semakin rendah, baik D33 maupun D50.
Kandungan holoselulosa terendah ditemukan pada kayu D33 yang dikempa selama 120
menit, yaitu sebesar 63,20 %. Menurut Prawirohatmodjo (1996), holoselulosa
menggambarkan fraksi karbohidrat total yang di dalamnya terkandung hemiselulosa.
Penurunan kadar holoselulosa ini kemungkinan besar disebabkan oleh menurunnya
kandungan hemiselulosa akibat perlakuan panas (Adi et al.2009; Gonzales-Pena et al.
2009; Ates et al. 2009; Cademartori et al. 2013). Goldstein (1991) dalam Gonzales-
Pena et al. (2009) menyatakan bahwa hemiselulosa ini merupakan karbohidrat yang
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 83
paling rentan terhadap perlakuan panas dan akan terdegradasi lebih dulu dibandingkan
selulosa karena strukturnya yang amorf dan memiliki berat molekul lebih rendah
daripada selulosa.
Hasil analisis komponen kimia pada Tabel 1 secara umum menunjukkan bahwa
kandungan -selulosa kayu Durian kompresi tidak berbeda signifikan dari kayu
kontrol. Hal ini dapat dikaitkan dengan strukturnya yang kristalin sehingga lebih stabil
terhadap perlakuan panas (Esteves dan Pereira 2009). Pada D33/120 dan D50/60
kandungan -selulosa dalam kayu kompresi menurun jika dibandingkan kayu kontrol
(39,46 %), berturut-turut 31,17 % dan 37,81 % . Fenomena ini serupa dengan
penelitian densifikasi kayu Mahoni (Adi et al. 2009), hal ini diduga karena adanya
bagian amorf dari selulosa yang terdegradasi.
Kandungan lignin kayu Durian kompresi meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu pengempaan. Nilai tertinggi diperoleh pada kayu Durian kompresi
dengan target kompresi 50 % selama 120 menit, yaitu sebesar 37,80 %. Hal ini
menunjukkan bahwa lignin merupakan komponen kimia kayu yang paling stabil baik
terhadap perlakuan panas maupun waktu kempa. Kenaikan nilai Klason lignin ini
disebabkan degradasi dari hemiselulosa dan selulosa yang berstruktur amorf sehingga
proporsi lignin seolah-olah naik (Boonstra dan Tjeerdsna 2006). Dilaporkan pula bahwa
kenaikan kandungan lignin dapat disebabkan oleh reaksi polikondensasi lignin dengan
komponen dinding sel yang lain menghasilkan ikatan silang (cross-linking) dan
meningkatkan kandungan lignin. Pendapat lain menyatakan bahwa analisa lignin
dengan metode Klason memungkinkan ada beberapa produk degradasi karbohidrat
kayu yang tertahan dalam fraksi lignin, sehingga kandungan lignin meningkat (Yildiz et
al. 2006).
Distribusi Komponen Kimia pada Balok Kayu Kompresi Skala Pemakaian
Pada penelitian ini, proses kompresi dilakukan pada kondisi kering dengan
menggunakan mesin kompresi skala pemakaian yang dilengkapi dengan plat hot press.
Untuk mencapai keadaan fiksasi maka kayu Durian diberi perlakuan panas (180 C)
dan waktu kempa (60 dan 120 menit). Gambar 3 menunjukkan distribusi komponen
kimia pada balok kayu kompresi skala pemakaian dalam rangka untuk mengetahui
pengaruh kompresi terhadap perubahan komponen kimia pada balok kayu Durian
kompresi.
Ka
da
r (
%)
Komponen kimia
D33 (60 mnt)
Posisi A
D33 (60 mnt)
Posisi B
D33 (60 mnt)
Posisi C
Ka
da
r (
%)
Komponen kimia
D33 (120 mnt)
Posisi A
D33 (120 mnt)
Posisi B
D33 (120 mnt)
Posisi C
84 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Gambar 3. Grafik distribusi komponen kima pada balok kayu Durian kompresi
Gambar 3 menunjukkan secara umum bahwa nilai zat ekstraktif terlarut dalam
alkohol-benzena di dalam balok kayu Durian kompresi masih relatif seragam yaitu
berkisar antara 1,832,27 %. Akan tetapi setelah pemanasan selama 120 menit mulai
terlihat bahwa nilai zat ekstraktif di bagian permukaan atas kayu kompresi lebih tinggi
jika dibandingkan dengan bagian tengah dan bawah. Nilai kandungan zat ekstraktif
tertinggi terjadi pada permukaan atas kayu Durian yang dikompresi dengan target 50 %
selama 120 menit. Hal ini menguatkan pernyataan sebelumnya bahwa zat ekstraktif
merupakan komponen luar yang akan menguap dengan mudah selama proses kompresi
dengan perlakuan panas.
Fenomena serupa juga terjadi pada nilai lignin di bagian permukaan kayu yang
lebih tinggi jika dibandingkan bagian tengah. Hal ini disebabkan dengan perlakuan
suhu 180 C belum cukup membuat lignin terdegradasi. Adi et al. (2009) menyatakan
bahwa pada lignin hanya akan mengalami pelunakan pada suhu perlakuan di bawah 200
C. Hasil ini sesuai dengan penelitian densifikasi parsial dari kayu Akasia dan Agatis
dengan perlakuan panas pada suhu 170 C, 180 C, dan 190 C (Hadiyane, 2011).
Penulis menyatakan bahwa proses kompresi mampu merelokasi lignin dari bagian
dalam ke bagian permukaan. Phuong, Shida, dan Saito (2007) menyatakan bahwa
relokasi lignin ini mulai terjadi pada suhu perlakuan 160 C.
Gambar 4 menunjukkan bahwa distribusi komponen holoselulosa di bagian
permukaan dan bagian tengah tidak terlalu berbeda secara signifikan. Hanya pada balok
kayu Durian yang dikompresi dengan target 50 % selama 120 menit, nilai kandungan
holoselulosa di bagian tengah lebih tinggi daripada di bagian permukaan, yaitu sebesar
67,10 %. Hal ini mungkin disebabkan pada bagian permukaan lebih banyak
hemiselulosa yang terdegradasi akibat langsung bersentuhan dengan plat hot press,
sehingga lebih banyak terpapar dengan panas.
KESIMPULAN
Secara umum perlakuan suhu dan waktu kempa pada penelitian ini
mengakibatkan perubahan komponen kimia kayu kompresi. Semakin lama waktu
pengepresan maka akan semakin lama kayu terpapar oleh panas, sehingga komponen
kimia yang terdegradasi akan semakin besar. Penurunan kandungan zat ekstraktif yang
larut dalam alkohol-benzena (12 %) adalah akibat penguapan zat tersebut. Kandungan
holoselulosa juga menurun (6368 %) jika dibandingkan dengan kayu yang tidak
Ka
da
r (
%)
Komponen kima
D50 (60 mnt)
Posisi A
D50 (60 mnt)
Posisi B
D50 (60 mnt)
Posisi C
Ka
da
r (
%)
Komponen kimia
D50 (120 mnt)
Posisi A
D50 (120 mnt)
Posisi B
D50 (120 mnt)
Posisi C
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 85
dikompresi karena adanya degradasi hemiselulosa. Sedangkan nilai lignin kayu Durian
kompresi meningkat menjadi 3637 % terkait dengan adanya degradasi holoselulosa.
Selain itu, perlakuan panas dan (180 C) dan waktu kempa yang lebih lama (120 min)
menyebabkan terjadinya pergerakan lignin dan penguapan zat ekstraktif sehingga
kandungan keduanya di bagian permukaan lebih tinggi daripada di bagian tengah.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa parameter proses berupa
suhu kempa 180 C dan waktu kempa 60 dan 120 menit belum memberikan perubahan
komponen kimia kayu kompresi skala pemakaian secara signifikan sehingga
berpengaruh pada tingkat fiksasi kayu kompresi. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan parameter proses yang dapat memberikan
tingkat fiksasi yang optimal dari produk kayu kompresi skala pemakaian.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, D.S., Wahyuni, I., Amin, Y., Darmawan, T., Dwianto, W. 2009. Prosiding
Simposium Nasional I Forum Teknologi Hasil Hutan(FTHH). 30-31 Oktober
2009. Bogor, Indonesia.
Amin, Y., Darmawan, T., Wahyuni, I., Dwianto, W. 2007. Pengaruh Perendaman dalam
NaOH terhadap Fiksasi Kayu Kompresi dengan Menggunakan Close System
Compression. 2007. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu
Indonesia X, Pontianak.
Amin, Y. 2011. Uji Proses Pembuatan dan Karakterisasi Kayu Kompresi Skala
Pemakaian. Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI.
Arinana, Diba, F. 2009. Kualitas Kayu Pulai (Alstonia scholaris) Terdensifikasi (Sifat
Fisis, Mekanis, dan Keawetan). Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 2 (2): 78-
88.
Ates, S., Akyildiz, M. H., Ozdemir, H. 2009. Effects of Heat Treatment On Calabrian
Pine (Pinus brutia Ten.) Wood. BioResources 4 (3): 1032-1043.
Boonstra, M. J., Tjeerdsma, B. 2006. Chemical Analysis of Heat Treated Softwoods.
Holz als Roh-und Werkstoff 64: 204-211.
Cademartori, P. H. G., dos Santos, P. S. B., Serrano, L., Labidi, J., Gatto, D. A. 2013.
Effect of thermal treatment on physicochemical properties of Gympie messmate
wood. Industrial Crops and Products 45: 360-366.
Esteves, B. M., Pereira, H. M. 2009. Wood Modification By Heat Treatment: A
Review. BioResources 4 (1): 370-404.
Fengel, D., Wegener, G. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Terjemahan
Harjono Sastrohamijoyo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Gonzales-Pena, M. M., Curling, S. F., Hale, M. D. C. 2009. On the effect of heat on the
chemical composition and dimensions of thermally-modified wood. Polymer
Degradation and Stability 94(12): 2184-2193
Grinins, J., Andersons, B., Biziks, V., Andersone, I., Dobele, G. 2013. Analytical
pyrolysis as an instrument to study the chemical transformations of
hydrothermally modified wood. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 103:
36-41.
Hadiyane, A., Coto, Z., Wahyudi, I., Febrianto, F., Pari, G. 2011. Perubahan Komponen
Kimia Kayu Terpadatkan Secara Parsial. Prosiding Seminar Nasional Mapeki
XIV. 2 November 2011. Yogyakarta, Indonesia.
86 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Inoue, M., Norimoto, M. 1991. Permanent Fixation of Compressive Deformation of
Wood. Proceedings of the International Symposium on Chemical Modification of
Wood. May 17-18. Kyoto, Japan.
Mokushitsu Kagaku Jiken Manual, 2000, Japan Wood Research Society Publisher.
Phuong , L.X., Shida , S., Saito , Y., 2007. Effects of heat treatment on brittleness of
Styrax tonkinensis wood. J Wood Sci, 53: 181-186.
Prawirohatmodjo, S., Prof.,Dr., 1996. Kimia Kayu. Diktat Kuliah Kimia Kayu
Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Universitas
Gadjah Mada (Untuk Kalangan Sendiri). Yogyakarta.
Yildiz, S., Gezer, E. D., Yildiz, U. C. 2006. Mechanical and Chemical Behavior of
Spruce Wood Modified by Heat. Build. Environ. 41(12): 1762-1765
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 87
TEKNOLOGI PERTANIAN ORGANIK UNTUK BIOVILLAGE
Arief Heru Prianto, Helbert, Lisman Suryanegara, Ari K. Anggita SP
UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911
ABSTRAK
Biovillage merupakan konsep pengembangan wilayah yang diarahkan untuk
mengatasi masalah pembangunan pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui usaha kemandirian dan kegiatan perekonomian masyarakat desa.
Komponen biovillage antara lain mobilisasi sosial, pembentukan kelompok/komunitas,
perencanaan aktivitas, diklat/training, monitoring dan evaluasi serta
networking/jaringan. Pengembangan biovillage dapat dilakukan dengan implementasi
teknologi yang memanfaatkan sumber daya alam setempat. Dalam pemanfaatan sumber
daya alam setempat, khususnya bidang pertanian diperlukan suatu teknologi yang dapat
menjamin keberlangsungan proses produksi/budidaya yang mandiri dan berkelanjutan
serta ramah lingkungan. Salah satu teknologi pertanian yang dapat memberikan solusi
untuk permasalahan ini adalah teknologi pertanian organik. Paket teknologi pertanian
organik harus bisa meningkatkan kesuburan tanah, baik dalam sifat fisik, kimia,
maupun biologi tanah. Untuk itu dalam penelitian ini akan diimplementasikan paket
teknologi pertanian organik yang meliputi paket produksi kompos hayati, pupuk
organik cair, maupun nutrisi untuk pengembangan biovillage.
Pengembangan biovillage dilakukan dengan membentuk suatu unit usaha kecil
sebagai implementor teknologi hasil penelitian dalam hal ini untuk memproduksi dan
agen penyedia pupuk organik. Produk ini akan dimanfaatkan oleh komunitas pertanian
organik. Komunitas ini diharapkan dapat memanfaatkan secara optimal teknologi
pertanian organik, sehingga perlu dilakukan pelatihan pemanfaatan paket teknologi
tersebut. Agar terjadi sustainability kegiatan ekonomi ini perlu dijamin akses market
dan penyediaan bahan baku produksi serta akses terhadap lembaga keuangan.
Pada penelitian ini, akan dibuat model biovillage berbasis pertanian organik
dengan komponen utama yang akan dibentuk adalah unit pemasok bahan baku, unit
produksi pupuk organik, dan komunitas pertanian organik.
Kata kunci: biovillage, system teknologi pertanian organik.
PENDAHULUAN
Biovillage merupakan konsep pengembangan wilayah yang ditujukan untuk
mengatasi masalah pembangunan pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui usaha kemandirian dan kegiatan perekonomian masyarakat desa.
Pengembangan biovillage yaitu dengan memanfaatkan sumberdaya alam daerah
tersebut. Untuk menjamin keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya alam yang efisien
dan ramah lingkungan, maka perlu diperkenalkan kepada masyarakat tentang pertanian
organik. Pertanian organik dapat didefenisikan sebagai sistem pengelolaan produksi
pertanian yang holistik yang mendorong dan meningkatkan kesehatan agro-ekosistem,
termasuk biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah, dengan menekankan
88 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
pada penggunaan input dari dalam dan menggunakan cara-cara mekanis, biologis dan
kultural. Dalam sistem pertanian organik masukan (input) dari luar (eksternal) akan
dikurangi dengan cara tidak menggunakan pupuk kimia buatan, pestisida dan bahan-
bahan sintetis lainnya. Mikroba tanah dimanfaatkan untuk meningkatkan dan
mempertahankan kesuburan tanah karena mampu melakukan daur ulang hara,
menghasilkan senyawa-senyawa berguna bagi tanah dan tanaman.
Keberhasilan konsep biovillage dengan pertanian organik harus
mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu. Teknologi pertanian organik
memanfaatkan mikroorganisme yang akan digunakan sebagai biofertilizer dan
biokontrol.Transfer teknologi tersebut harus dilakukan kepada petani agar mereka
mandiri akan pupuk organik hayati dan pengendali hama yang ramah lingkungan
Permasalahan teknologi pertanian organik tersebut merupakan kendala bagi
petani yang mempunyai keterbatasan penguasaan teknologi untuk memproduksi pupuk
hayati dan biokontrol pada skala perbanyakan. Melalui kegiatan ini, UPT Balai Litbang
Biomaterial LIPI mendeseminasikan teknologi produksi pupuk organik dan aplikasinya
pada tanaman padi dan hortikultura
POKOK PERMASALAHAN
Lahan pertanian untuk tanaman sayuran di desa Mlatiharjo terbatas, dilain pihak
tenaga kerja wanita di desa Mlatiharjo yang tergabung dalam Komunitas Wanita Tani
(KWT) mempunyai potensi yang besar. Wanita - wanita tani ini sangat antusias dalam
kegiatan pertanian organik dalam greenhouse. Kegiatan pertanian organik ini harus
tidak mengganggu aktifitas mereka sebagai ibu rumahtangga.
METODE KEGIATAN
Metode pada kegiatan biovillage di desa Mlatiharjo dilakukan melalui beberapa
tahap. Tahap pertama dilakukan sosialisasi kegiatan konsep biovillage pada masyarakat
desa. Tahap kedua dilakukan produksi indukan miroba yang terdiri atas Lactobacillus,
Azotobacter, Rhizobium, Pseudomonas, dan Aspergillus niger. Starter untuk produksi
pupuk organik diperbanyak masing-masing pada media yang sesuai dengan
mikrobanya. Tahap ketiga adalah pembuatan unit produksi pupuk organik cair dan
padat sebagai penunjang pertanian organik yang dikelola oleh warga masyarakat.
Sebelum dibuatkan unit produksi pupuk organik, dilakukan pelatihan pembuatan pupuk
organik sebagai transfer teknologi kepada warga masyarakat. Alih teknologi ini sangat
penting untuk mendukung keberlangsungan kegiatan yaitu dengan meningkatkan
kemandirian masyarakat akan kebutuhan pupuk. Tahap terakhir yaitu aplikasi pupuk
organik pada tanaman oleh Komunitas wanita tani dilakukan dengan konsep
vertikulture dalam greenhouse. Siklus penanaman berikutnya secara terus menerus
akan disiapkan oleh BUMDes (Badan Usaha Milik Desa)
Sosialisasi kegiatan
Sosialisasi ditingkat aparat desa dan masyarakat telah dilakukan agar mereka
lebih memahami tujuan dari kegiatan dan keberlangsungan biovillage ke depannya.
Sosialisasi kegiatan meliputi konsep kegiatan biovillage, aplikasi pupuk organik dalam
budidaya organik, dan budidaya sayuran dengan teknik vertikultur. Budidaya sayuran
secara vertikultur dilakukan dalam grenhouse berukuran 4x3 meter persegi. Warga yang
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 89
memiliki halaman yang mencukupi dan bersedia lahannya ditempati greenhouse ada 40
keluarga.
Produksi mikrobia
Produksi mikroba dimulai dari perbanyakan indukan (stock culture) yang terdiri
dari 5 isolat yaitu : Pseudomonas sp., Lactobacillus sp., Azotobacter sp., Rhizobium
sp.n dan Aspergillus niger. Kelima isolat ini diperbanyak dengan media yang sesuai
untuk mendapatkan pre-culture. Masing-masing pre-culture diperbanyak dalam
fermentor sehingga diperoleh starter. Starter ini yang digunakan unit usaha pupuk
organik di desa Mlatihardjo untuk memproduksi pupuk organik.
Biakan mikrobia
Produksi starter
Pelatihan
Untuk mewujudkan komunitas biovillage mandiri yang berkelanjutan, diperlukan
alih teknologi kepada masyarakat melalui pelatihan-pelatihan diantaranya pelatihan
teknologi pembuatan pupuk dan budidaya sayuran secara vertikultur. Pelatihan ini
bertujuan untuk memberikan keahlian yang dibutuhkan untuk membangun kemandirian
dan meningkatkan pendapatan. Pelatihan dapat mengubah cara pandang masyarakat
akan pertanian yang lebih sehat, ramah lingkungan dan dapat memanfaatkan lahan
sempit disekitar rumah untuk vertikultur.
Pelatihan teknologi diperlukan untuk menginisiasi masyarakat dengan teknologi
baru yang mampu membantu meningkatkan efisiensi pekerjaan, meningkatkan
produktivitas, meningkatkan daya saing, dan meningkatkan harga jual yang berdampak
pada peningkatan pendapatan masyarakat.
Pelatihan pembuatan POC
90 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Pada kasus pelatihan pada hortikultur biovillage, maka pelatihan teknologi yang
diberikan antara lain pelatihan dasar mengenai teknologi yang dapat meningkatkan
produktivitas tanaman melalui pupuk yang diproduksi secara mandiri, teknologi
pencegahan hama, hingga teknologi pengolahan hasil panen yang dapat menjaga mutu
produk baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga dapat meningkatkan harga jual
produk.
Aplikasi pupuk organik
Dalam aplikasi pupuk organik dalam pertanian organik, telah dilakukan
sosialisasi mengenai pertanian organik kepada petani dan petugas penyuluh lapangan di
desa Mlatiharjo, Demak. Bersamaan dengan itu, dilakukan penanaman sayuran di desa
tersebut sebagai tempat aplikasi pupuk organik yang dihasilkan. Budidaya sayuran
dilakukan dalam greenhouse ukuran 4x3 m2 sebanyak 40 buah greenhouse. Greenhouse
ini menggunakan pupuk organik yang dihasilkan dari pelatihan sebelumnya.
Pengendalian hama dilakukan dengan biokontrol diproduksi di tingkat petani pelaksana.
Agar melengkapi organik village yang sedang dikembangkan, pupuk organik
yang dihasilkan akan diaplikasikan pada budidaya hortikultura.
STRATEGI PENGEMBANGAN
Pengembangan biovillage kedepan dilakukan dengan membentuk suatu unit
usaha kecil sebagai implementor teknologi pupuk hayati, yaitu menjamin kebutuhan
masyarakat petani akan pupuk hayati. Produk pupuk organik diharapkan dapat terus
Produksi POC
POC “Biomat” yang dipakai petani
Greenhouse dihalaman rumah
Tanaman dalam greenhouse
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 91
dimanfaatkan masyarakat petani secara berkesinambungan, sehingga supervisi kualitas
pupuk organik yang dihasilkan terus dikontrol oleh UPT. Balai litbang Biomaterial.
Dimasa datang perlu dilakukan kerjasama dengan litbang daerah sehingga lebih dekat
untuk melakukan koordinasi dengan mereka. Akses masyarakat petani terhadap bahan
baku dan pasar harus selalu mendapat perhatian.
Kapasitas maksimal produksi produksi pupuk organik cair di desa Mlatihardjo
sebesar 4000 liter per bulan. Kapasitas yang cukup besar tersebut dapat dimanfaatkan
oleh lahan seluas 400 Ha, dengan luas lahan desa disekitar Mlatihardjo yang sekitar 105
Ha maka pupuk cair tersebut sudah cukup untuk dimanfaatkan pada desa sekitar.
PEMANFAATAN HASIL
Pupuk organik cair dan padat telah diproduksi secara mandiri oleh petani di desa
Mlatihardjo. Produksi yang cukup besar membuat stok pupuk berlebih sehinggga
mereka sudah menularkan keterampilannya pada petani pada desa lainnya. Penggunaan
pupuk organik cair dan padat telah dirasakan memberikan pengaruh positif pada
pertumbuhan tanaman. Petani merasakan manfaat dari penggunaan pupuk organik
sehingga produksi pupuk organik terus dilakukan.
KESIMPULAN
Keberhasilan pertanian organik untuk bioviilage dipengaruhi oleh banyak faktor
diantaranya kesiapan teknologi, antusiasme masyarakat desa, aparat pemerintah desa,
dan dukungan pemerintah daerah. Teknologi yang akan diseminasikan dalam biovillage
harus dapat menggunakan sumberdaya alam yang tersedia di desa tersebut. Pelatihan
pembuatan pupuk organik mutlak diperlukan untuk menambah kemandirian
sumberdaya manusia desa akan teknologi pembuatan pupuk. Setelah masyarakat petani
merasakan manfaat dari kegiatan tersebut, mereka lebih antusias untuk melanjutkan
pertanian organiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Chopra, S., and Meindl, P. (2001). Supply chain management-Strategy, planning, and
operations. New Jersey - Prentice-Hall.
LPDB-KUMKM.2011. Peraturan Direksi Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi
dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Nomor- 011/Per/Lpdb/2011tentang
Petunjuk Teknis Pemberian Pinjaman Kepada Usaha Kecil dan Menengah.
Jakarta.
Swaminathan, M.S.. 2006. Biovillage programme at Kodathur (Pondicherry). India-
AMM Prints.
Swaminathan, M.S.. 2004. Ecoenterprises for Sustainable Livelihoods. India- AMM
Prints.
Pkapbn.KEM dan PPKF 2013 Disampaikan Kepada DPR RI.2012.
http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/edef-konten
92 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
PEMANFAATAN KOMPOSIT SERAT ALAM UNTUK MEDIA TANAM
VERTIKAL
Mohamad Gopar, Ismadi, Sudarmanto, Fazhar Akbar
UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911
ABSTRAK
Konsep vertical garden city (sistem taman vertikal) merupakan sebuah tren baru
dewasa ini didalam dunia arsitektur tata ruang perkotaan (landscaping) dan dapat
diaplikasikan dalam skala perumahan pada daerah sub-urban. Salah satu permasalahan
yang ada pada pengembangan sistem ini adalah material untuk media tanam. Modul
atau media tanam, umumnya terbuat dari bahan polimer seperti polipropilena atau
bahan sintetis geo-tekstil. Disamping bahan sintetis tersebut, bahan alam seperti pohon
pakis (Cycas rumphii miq) dapat dijadikan sebagai modul media tanam vertikal.
Namun, bahan-bahan tersebut cenderung tidak ramah lingkungan, mahal, bahkan
tanaman pakis merupakan pohon konservasi yang dilindungi pemerintah. Oleh karena
itu, diperlukan alternatif media tanam yang dapat mensubstitusi material konvensional
yang ada. Pada penelitian ini dibuat sebuah modul media tanam vertikal yang terbuat
dari serat alam yaitu pelepah kelapa sawit dan bambu. Teknologi yang dikembangkan
merupakan teknologi pembuatan papan komposit namun dengan kerapatan (densitas)
yang rendah sehingga morfologi media yang dihasilkan identik dengan modul media
tanam vertikal dari batang pakis. Bahan yang digunakan adalah partikel bambu dan
pelepah kelapa sawit yang sebelumnya dilakukan perlakuan rendaman dalam air selama
2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu baru dibuat komposit dengan kerapatan 0.4 g/cm3.
Perekat yang digunakan adalah Phenol formaldehyde (PF) dengan konsentrasi 12%.
Campuran serat dan perekat dikempa panas dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 2 cm pada
suhu 1400C selama 20 menit. Papan komposit diuji sifat mekaniknya dengan
menggunakan acuan standar JIS A-5908. Jenis tanaman yang diujicobakan berupa
tanaman pangan dan tanaman hias. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi
komposit serat alam sebagai media tanam vertikal yang memenuhi kebutuhan pasar
seperti karakteristik kekuatan, ketahanan terhadap kondisi lingkungan, estetika serta
kelayakan ekonomis. Dampak lain yang diharapkan dari penelitian ini adalah
peningkatan nilai ekonomi limbah pertanian, pengembangan sistem pertanian modern
(garden agriculture) serta menciptakan lingkungan yang asri dan nyaman.
Kata kunci : sistem tanam vertikal, media tanam, pelepah kelapa sawit dan bambu,
komposit.
PENDAHULUAN
Pertumbuhan pembangunan perkotaan di negara maju yang kian pesat
mengakibatkan daerah perkotaan semakin kehilangan area hijau nya. Keberadaan ruang
terbuka hijau di tengah perkotaan menjadi sesuatu yang langka. Sebagai contoh Kota
Jakarta, ruang terbuka hijau pada tahun 1983 berkisar 32185.9 hektar (50.2%) dan pada
tahun 2002 menjadi berkisar 9430.6 hektar (14.7%). Dalam kurun waktu 19 tahun turun
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 93
berkisar -22755.3 hektar (-159.0 %) dari luas yang ada. Sebagian besar digunakan
sebagai areal urban, dimana urban mengalami kenaikan berkisar 24411.0 hektar (72.7
%). (Suwargana, 2005).
Kondisi pemukiman yang padat memiliki andil negatif dalam kehidupan
perkotaan seperti terbatasnya persediaan udara bersih, pemanasan lingkungan, hingga
percepatan tingkat strees masyarakat. Untuk itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengoptimalkan tersedianya ruang terbuka hijau di daerah pemukiman perkotaan.
Upaya tersebut antara lain melalui penghijauan sisi-sisi kosong dalam lanskape
perkotaan seperti dinding bangunan, jalur pedestrian, lahan sempit, interior
mall/perkantoran, kawasan perumahan bahkan baliho iklan (Taman Vertikal V-ga,
2011).
Pada tahun 1994, seorang botaniawan, Patrick Blanc memperkenalkan konsep
taman vertical modern; yaitu membuat sebuah taman untuk memanfaatkan lahan
kosong yang tidak mungkin ditanami oleh tanaman/pohon pada mulanya. Konsep
tanam vertikal selain diterapkan untuk dekorasi pertamanan, dapat pula dijadikan
sebagai konsep pertanian modern. Konsep ini ditawarkan sebagai solusi semakin
sempitnya lahan pertanian di daerah perkotaan. Sistem pertanian ini sudah banyak
dikembangkan di negara-negara maju. Investasi per-m2 untuk satu sistem taman vertikal
pada tahun 2007 dapat mencapai US$ 2,500 s.d. 10,000 (Cochrane, 2010). Hal ini
memacu inovasi-inovasi teknologi untuk menekan biaya produksi. Saat ini diperkirakan
untuk per-m2 diperlukan biaya US$ 125 s.d 150 atau sekitar 1 juta hingga 4 juta rupiah.
Komponen utama dalam sistem tanam vertikal adalah jenis tanaman, media
tanam dan sistem modul. Pada makalah ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian
tentang Vertical Greening Module (VGM). Agar tanaman dapat tumbuh dengan baik
dan sehat, dilakukan penanaman dengan bibit didalam kotak VGM yang telah diisi
dengan media tanam. Apabila tanaman telah cukup umur, kotak VGM siap dibawa
ketempat pemasangan pilaster (tiang penggantung) beserta sistim drainasenya di lokasi
yang akan dibuat taman vertikal.
Sebagai upaya menekan biaya produksi instalasi taman vertikal, dalam penelitian
ini dilakukan substitusi media tanam yang terbuat dari bahan polimer dan serat sintetis
dengan sebuah desain modul yang terbuat dari papan serat yang terbuat dari serat alam
(biokomposit).
Keuntungan pemakaian serat alam dibandingkan serat sintetis maupun plastik
antara lain bersifat renewable, bisa didaur ulang (recyclable), tidak berbahaya bagi
lingkungan, memiliki sifat mekanis lebih baik, tidak menyebabkan abrasi pada alat, dan
harganya lebih murah (Mohanty et al. 2002, Oksman et al. 2003, Wambua et al. 2003
dan Zimmermann et al. 2004) serta densitas yang lebih rendah. Dengan memanfaatkan
limbah perkebunan, diharapkan upaya ini dapat menjadi solusi penanganan limbah,
meningkatkan nilai ekonomi serta menurunkan biaya produksi VGM.
METODE DAN BAHAN
Pelepah kelapa sawit dan sagu yang masih basah dibersihkan dari daun-daun
yang terikut. Pelepah kemudian di pipihkan dengan menggunakan bamboo crusher
sehingga pelepah terpipihkan dan sebagian cairan yang terkandung pada pelepah akan
terpisahkan. Serat pelepah kelapa sawit kemudian dipotong-potong menjadi ukuran 5-6
cm mempergunakan mesin Drum Chipper. Serat hasil mesin Drum Chipper
dimasukkan pada mesin Ring Flaker sehingga diperoleh serat yang lebih seragam. Serat
94 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven, dengan temperatur 75oCatau
dijemur hingga kadar airnya -+5%. Serat kering disimpan dalam kantong plastik kedap
udara untuk kegiatan penelitian selanjutnya. Pada penelitian ini serat kering dilakukan
perlakuan rendaman selama 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu kemuadian dikeringkan
dalam oven pada suhu 75oC atau dijemur hingga kadar airnya -+5%.
Bambu betung basah dengan umur tanam 5 tahun dipotong-potong dengan
ukuran kurang lebih 2 meter kemudian dibelah dua untuk bambu berdiameter kecil (<7
cm) yang berdiameter besar (>7 cm) dibelah empat. Bambu setelah dibelah kemudian
dipipihkan dengan menggunakan bamboo crusher sehingga diperoleh serat bambu.
Serat kemudian dipotong-potong dengan ukuran 5-6 cm dengan menggunakan mesin
Drum Chipper. Serat hasil mesin Drum Chipper dimasukkan pada mesin Ring Flaker
sehingga diperoleh serat yang lebih seragam. Serat yang diperoleh kemudian
dikeringkan dalam oven, dengan temperatur 75oC atau dijemur hingga kadar airnya -
+5%. Serat kering disimpan dalam plastic kedap udara untuk kegiatan penelitian
selanjutnya. Pada penelitian ini serat kering dilakukan perlakuan rendaman selama 2
minggu; 4 minggu dan 6 minggu kemuadian dikeringkan dalam oven pada suhu 75oC
atau dijemur hinggakadarairnya -+5%.
Perekat yang digunakan adalah phenol formaldehyde (PF) sebanyak 12%
berdasarkan berat kering bahan baku. Pencampuran perekat dan serat alam dilakukan
dengan mempergunakan spray gun di dalam wadah rotary drum. Kerapatan dari modul
panel komposit yang dibuat adalah 0.4 g/cm3. Selanjutnya campuran serat dan perekat
dikempa panas pada suhu 1400C selama 20 menit di dalam cetakan 40 cm x 40 cm x 3
cm. Selanjutnya sampel diuji fisik mekaniknya dengan mengacu standar JIS A 5908-
2003. Jenis tanaman yang diujicobakan berupa tanaman tanaman hias.
Panel komposit untuk uji tanam dibuat modul media tanam vertikal yaitu panel
dicetak dengan cetakan yang salah satu permukaannya dibuat beralurl. Cetakan tersebut
berbahan aluminium dengan panjang 155 cm, lebar 55 cm dan beralur dengan
kedalaman alur 1,5 cm. Untuk mendapatkan modul tanaman vertikal dengan ketebalan
3,5 cm, digunakan pembatas /stopper. Setelah dikempa panas, komposit tersebut
dirapihkan dengan dipotong keempat sisi pinggirnya. Ukuran yang diinginkan adalah
panjang 150 cm dan lebar 48 cm. Selanjutnya untuk menyesuaikan dengan kondisi
penanaman, modul komposit untuk tanaman vertikal dilubangi dengan diameter 10 mm
dan jarak 10 cm. Lubang ini digunakan sebagai tempat meletakkan tanaman. Letak
lubang-lubang pada modul komposit menyesuaikan dengan pola-pola tanaman yang
diinginkan, sehingga membentuk pola gambar yang indah.
Proses selanjutnya yang dilakukan untuk mendapatkan modul tanaman vertikal
adalah seting modul pada bingkai. Bingkai yang digunakan berbahan baja ringan
galvanis dengan ukuran panjang 150 cm, lebar 49 cm dan tebal 4 cm. Modul komposit
yang telah berpola pada bidang belakang (bagian berprofil) dibungkus dengan filter
geotextile kemudian dimasukkan pada bingkai plat baja ringan. Lapisan geotextile ini
berfungsi sebagai alas/filter cairan hara dari kompos.
Proses selanjutnya adalah pengisian modul tanaman vertikal dengan media tanam
yang berupa kompos dan pupuk organik. Selanjutnya modul tanaman vertika disiram
air dan ditanami sesuai pola warna tanaman yang diinginkan.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 95
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi Fisik Mekanik
Kuat Lentur (MOR)
Nilai kuat lentur dari papan komposit serat pelepah kelapa sawit dan serat bambu
berkisar pada angka 0,85 – 2,68 MPa. Nilai tertinggi diperoleh papan komposit serat
bambu yang direndam 4 minggu sedangkan nilai terendah diperoleh papan komposit
dari serat pepelepah kelapa sawit yang direndam 4 minggu. Hasil selengkapnya dapat
dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Grafik MOR vs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat
Berdasarkan data pada Gambar 1 nilai kuat lentur dari papan komposit serat
pelepah kelapasawit dengan penambahan waktu rendam cenderung turun kemudian
naik lagi dan papan komposit serat bambu cenderung naik kemudian turun. Hal ini
menujukkan bahwa penambahan waktu rendam mempengaruhi ikatan antara serat
dengan perekat Phenol Formaldehyde (PF) Berdasarkan data pada Ganbar 1 Nilai MOR
untuk papan komposit dari serat bambu yang direndam 4 minggu bernilai optimal.
Penambahan waktu rendam memberi pengaruh negatif terhadap nilai MOR. Jika dilihat
dari serat yang dipakai papan komposit dengan serat bambu memiliki nilai MOR yang
lebih baik jika dibandingkan dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit.
Modulus Elastisitas (MOE)
Nilai modulus elastisitas dari papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit dan
serat bambu berkisar pada angka 88,59 – 222,26 Mpa. Nilai tertinggi diperoleh papan
komposit dari serat bambu yang direndam selama 2 minggu sedangkan nilai terendah
diperoleh papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit yang direndam 4 minggu.
Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
96 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Gambar 2. Grafik MOEvs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat
Berdasarkan data pada Ganbar 2 Nilai MOE untuk papan komposit dari serat
bambu yang direndam 2 minggu bernilai optimal. Penambahan waktu rendam memberi
pengaruh negatif terhadap nilai MOE. Jika dilihat dari serat yang dipakai papan
komposit dengan serat bambu memiliki nilai MOE yang lebih baik jika dibandingkan
dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit.
Thickness Swelling
Nilai pengembangan tebal dari papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit
dan serat bambu berkisar pada angka 6,36 – 14,26 %. Nilai tertinggi diperoleh papan
komposit dari serat pelepah kelapa sawit yang direndam selama 6 minggu sedangkan
nilai terendah diperoleh papan komposit dari serat bambu yang direndam 4 minggu.
Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
Gambar 3. Grafik TS vs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat.
Berdasarkan data pada Ganbar 3 Nilai TS untuk papan komposit dari serat bambu
yang direndam 4 minggu bernilai terendah yang paling bagus. Penambahan waktu
rendam memberi pengaruh negatif terhadap nilai TS. Jika dilihat dari serat yang dipakai
papan komposit dengan serat bambu memiliki nilai TS yang lebih baik jika
dibandingkan dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit.
Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 97
Karakterisasi Kualitatif
Untuk modul media tanam telah dicoba ditanami tanaman hias. Uji coba tanam
pada modul media tanam ditunjukkan oleh Gambar 4 dan Gambar 5. Dari uji tanam
tersebut diketahui bahwa modul tanaman vertical dari bahan serat bambu yang direndam 2
minggu; 4 minggu dan 6 minggu, tanaman bisa tumbuh bagus hingga waktu tanam dua
bulan, sedangkan dari uji tanam pada modul dari bahan pelepah kelapa sawit yang
direndam 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu setelah seminggu mati kemudian ditanami lagi
seminggu kemudian mati, kemudian ditanami lagi sudah bisa tumbuh bagus hingga waktu
tanam dua bulan (Gambar 5).
(a) (b) (c)
Gambar 4. Uji coba penanaman ; usia tanam 3 minggu. (a) serat bambu direndam 2
minggu; (b) serat bambu direndam 4 minggu; (c) serat bambu direndam 6
minggu.
(a) (b) (c)
Gambar 5. Uji coba penanaman ; usia tanam 3 minggu. (a) serat pelepah kelapa sawit
direndam 2 minggu; (b) serat pelepah kelapa sawit direndam 4 minggu; (c)
serat pelepah kelapa sawit direndam 6 minggu.
Dari Gambar 5 dan gambar 6 terlihat bahwa dalam masa tanam +- 3 minggu, modul
media tanam dari serat bambu memiliki kemampuan tanam yang bagus. Dan modul media
tanam dari serat pelepah kelapa sawit memiliki mampu tanam yang rendah.
Dari hasil uji coba tanam, terlihat bahwa semakin semakin lama direndam makin
bagus tingkat pertumbuhannya.
98 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI
Meskipun semua komposit yang dibuat bisa ditanami akan tetapi yang lebih
bagus yang memiliki nilai MOR yang tertinggi dan yang memiliki nilai TS terendah.
Papan komposit yang akan diproduksi untuk modul media tanam vertikal serat bambu
sebelum di cetak jadi komposit direndam air dahulu selama 4 minggu.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa papan komposit serat alam
dapat dimanfaatkan sebagai media tanam vertikal. Perlakuan terbaik secara mekanik
dan memenuhi syarat untuk penanaman adalah perlakuan perendaman serat bambu
selama 4 minggu. Untuk meningkatkan kekuatan mekanik papan komposit, dapat
dilakukan dengan pembuatan penampang papan komposit yang berprofil atau beralur.
DAFTAR PUSTAKA
Cochrane T, 2010, Growing up the wall, The Guru, 36, pp. 04-06
Mohanty, A.K., Misra, M., Drzal, L.T. 2002. Sustainable bio-composites from
renewable resources: Opportunities and challenges in the green materials world.
J. Polymers and the Environment, 10 (1/2): 19-26.
Oksman, K., Skrifvas, M., Selin, J.F. 2003. Natural fibers as reinforcement in
polylactic acid (PLA) composites. Composites Science and Technology 63: 1317-
1324.
Suwargana, N. dan Susanto Deteksi Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Teknik
Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Di DKI Jakarta). Pertemuan Ilmiah Tahunan
MAPIN XIV Surabaya, 14 – 15 September 2005.
Taman vertikal V-ga,2010/11, http://www.facebook.com/pages/Taman-Vertikal-V-
ga/125313897553090.
Wambua, P., Ivens, J., Verpoest, I. 2003. Natural Fibres: Can They Replace Glass In
Fibre Reinforced Plastics. Composites Science and Technology 63: 1259-1264.
Zimmermann, T., Pohler, E., Geiger, T. 2004. Cellulose fibrils for polymer
reinforcement. Advanced Engineering Materials 6 (9): 754-761.