LAPORAN KEGIATAN
"RAPAT DI DALAM KANTOR (RDK)MENILIK REGULASI PEMILIHAN DI ACEH: ANTARA HIRARKHISITAS
DAN KEISTIMEWAAN "
(Senin, 7 September 2020 di Kantor Panwaslih Provinsi Aceh)
PANITIA PENGAWAS PEMILIHANPROVINSI ACEH
2019
LAPORAN KEGIATANTENTANG
RAPAT DI DALAM KANTOR (RDK)MENILIK REGULASI PEMILIHAN DI ACEH: ANTARA HIRARKHISITAS
DAN KEISTIMEWAAN
A. PENDAHULUAN
Penanganan Pelanggaran merupakan tugas Bawaslu sebagai upaya
penegakan hukum terhadap tindakan yang bertentangan, melanggar, atau
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait Pemilu atau
Pemilihan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota sebagaimana telah diubah dengan Perpu Nomor 2
Tahun 2020.
Berbeda dengan provinsi lain, lembaga pengawas pemilihan di Provinsi Aceh
terdapat dua lembaga pengawas yang dibentuk oleh undang-undang yang
berbeda. Panwaslih Provinsi Aceh dibentuk dengan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 yang bersifat permanen dan Panwaslih Aceh yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang bersifar
sementara (ad hoc). Dualisme lembaga tersebut tentu menyebabkan
kewenangan mengawasi menjadi sumir termasuk kewenangan penanganan
pelanggaran,
Putusan MK Nomor 66/PUU-XV/2017 Menyatakan Pasal 571 huruf d
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Menyatakan
Permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 557 dengan kata
lain MK telah membatalkan pencabutan pasal 57 huruf (d) dalam UU 7
tahun 2017 Sehingga dapat dipahami bahwa Pencabutan pasal 57 dan
pasal 60 ayat (1), ayat (2) serta ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 dalam UU 7 tahun 2017 telah dibatalkan oleh MK, dengan kata lain
pasal 57 dan pasal 60 ayat (1), ayat (2) serta ayat (4) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 masih tetap berlaku. Impilkasi dari putusan MK ini
adalah penyebutan kelembagaan Pemilu di Aceh tetap mengikuti
penyebutan seperti tersebut dalam pasal 57 dan Pasal 60 UU 11 tahun
2006, sehingga nomenklatur Bawaslu disebut Panwaslih, namun tetap
menjadi bagian dari kelembagaan Pemilu secara nasional.
Putusannya MK Nomor 97/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Rezim
Pemilu dan Rezim Pilkada tidak lah sama sehingga jika dikorelasikan
bahwa Panwaslih yang dibentuk berdasarkan UU 11 tahun 2006 hanya
berwenang mengawasi Pemilihan Kepala Daearah sebagaimana telah
disebutkan secara tegas dalam pasal 61 ayat 1 huruf (a) dan huruf (b).
Putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019 memberikan penafsiran baru
mengenai apa yang dimaksud dengan Panwaslu tingkat kabupaten/kota
yang sebelumnya bersifat Ad hoc (sementara) sehingga dapat langsung
dilaksanakan sebagai lembaga permanen sesuai legalitas berdasarkan UU
Pemilu 7/2017 dengan telah dinyatakan bahwa frasa Panwaslu
Kabupaten/Kota dimaknai Bawaslu Kabupaten/Kota.
Dualisme lembaga pengawas dalam mengawasi jalannya Pilkada Serentak
di Aceh bukanlah sebuah keinginan, dengan mempertimbangkan efesiensi
waktu, kinerja dan anggaran. Karena jika salah satu unsur penyelenggara
Pilkada dihadapkan pada ketidak pastian hukum mengenai status ganda
kelembagaan serta legitimasi Panwaslih Provinsi dan Panwaslih
Kabupaten/Kota akan menjadikan penanganan pelanggran pemilihan tidak
maksimal, namun kita berharap untuk pelaksanaan Pilkada Aceh
terakomodir dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pilkada dan
Perubahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Untuk memperoleh pemahaman yang kritis dan akademis, Panwaslih
Provinsi Aceh memandang perlu melakukan RDK Kepastian Hukum
Dualisme Lembaga Pengawas Pemilihan di Aceh.
B. TUJUAN
Kegiatan RDK ini bertujuan untuk:
1. Menemukan konstruksi hukum yang memeberi kepastian bagi
lembaga pengawas pemilihan di Aceh dalam menjalankan
kewenangannya.
2. Menyusun stategi pencegahan pelanggaran pemilihan yang efektif.
C. OUTPUT KEGIATAN
Output yang ingin dicapai dalam kegiatan ini adalah adanya konstrusi
hukum yang memeberi kepastian bagi lembaga pengawas pemilihan untuk
mewujudkan Pemilihan yang berkualitas di Aceh.
D. BENTUK DAN METODE KEGIATAN
Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk Rapat di dalam kantor dengan
metode Focus Group Discussion yang :
1. Pemaparan Materi; Pemaparan materi singkat untuk memberi
pemahaman dan pokok-pokok pikiran tentang tema yang dimaksud.
2. Diskusi Interaktif; sharing pemahaman, pengalaman dan masukan
dari seluruh peserta yang juga merupakan narasumber dalam
kegiatan ini.
E. WAKTU DAN TEMPAT
Rapat teknis tersebut akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal : Senin, 07 September 2020
Pukul : 16.00 s/d Selesai
Tempat : Kantor Panwaslih Provinsi Aceh
F. NARASUMBER/PEMATERI DAN PESERTA
1. Narasumber kegiatan RDK ini diisi oleh Akademisi
2. Peserta kegiatan RDK ini berjumlah 30 orang yang berasal dari
Panwaslih Provinsi Aceh, Panwaslih Kabupaten/Kota, Akademisi,
Mahasiswa Peserta Debat Konstitusi dan Staf Panwaslih Provinsi
Aceh.
G. AGENDA KEGIATAN
Senin, 07 September 2020
Waktu(Wib) Acara Materi Narasumber Moderator/
Petugas1 2 3 4 5
16.00 s.d16.15 WIB
RegistrasiPeserta danPembukaan
Acara
PEMBUKAANFahrul Rizha
Yusuf Panitia
16.15 s.d17.00 WIB
Materi I
Kepastian HukumKewenanganPenangananPelanggaranPemilihan di Aceh
Khairil Akbar,SH. MH.
(DosenFakultasHukumUnsyiah)
Moderator
17.00 s/d17.50 WIB
Diskusi Diskusi Interaktif Panitia
17.50 s.d18.00 WIB
Penutupan - - Panitia
H. PEMBIAYAAN
Pembiayaan kegiatan RDK Refleksi Penanganan Pelanggaran dalam
Menyongsong Pilkada 2022 ini dibebankan kepada DIPA Panitia
Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Aceh Tahun 2020.
I. PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Senin, 7 September 2020 yang
dihadiri oleh 30 Peserta dari Panwaslih Kabupaten/Kota, Akademisi,
Praktisi hukum, LSM dan Staf Panwaslih Provinsi Aceh. diawali dengan
Registrasi Peserta yang dilanjutkan dengan Sambutan dan Pembukaan oleh
Fahrul Rizha Yususf (Koordinator Penanganan Pelanggaran). Kemudian
Acara dilanjutkan dengan Sesi Materi yang yang diisi oleh Khairil Akbar,
S.HI. M.H. (Dosem Fakultas Hukum Unsyiah). Adapun komposisi kegiatan
ini adalah sebagai berikut:
A. Sambutan dan PembukaanSambutan yang disampaikan oleh Fahrul Rizha Yususf selaku
Koordinator Penanganan Pelanggaran Panwaslih Provinsi Aceh, dalam
sambutannya disampaikan bahwa di tahun 2019, Bawaslu Aceh
tepatnya pasal 55 UU pemilu disebut Panwaslih Provinsi Aceh sebagai
hirarkhi dari Bawaslu.
Pelaksaan Pemilu mengacu pada UU 7 tahun 2019 dan peraturan
teknis Pebawaslu. Dalam pelaksanaan Pemilu di Aceh beberapa
kekhususan menjadi khas seperti wajib mampu baca Al-Quran, adanya
partai lokal dan jumlah kursi DPRA 125% yaitu 81 kursi.
Adanya UUPA merupaka hikmah dari MOu Helsinki, pada masanya
UUPA merupakan UU yang maju sehingga menjadi contoh bagi
nasional. Qanun sebagai pelaksanan teknis UUPA dalam
penyelenggaraan pemilihan bayak menimbulkan multi tafsi dan
benturan dengan peraturan Bawaslu.
Dalam pelaksaan rekomendasi kepada instansi terkait dapat dianulir
dengan telaah sehingga tidak ditindaklanjuti. Sepaya untuk
mendapatkan sebuat kepastian hukum, kita mendorong agar tidak ada
dualisme pengawas sehingga menimbulkan kepastian hukum dimana
kita mengenal sistim politik hukum yang hanya mengakui satu
pengawas pemilu
B. Penyampaian MateriMateri disampaikan oleh Khairil Akbar, S.HI. M.H. yang merupakan
Dosem Fakultas Hukum Unsyiah dengan judul materi “Menilik Regulasi
Pemilihan Di Aceh: Antara Hirarkhisitas Dan Keistimewaan”
Penyampaian materi ini dipandu oleh Moderator Sri Mulyani (Kabag.
Penanganan Pelanggaran, Penyelesaian Sengketa dan Hukum), dalam
kesempatan ini beliau menyampaikan beberapa point penting, yakni:
1. Konflik Aceh – RI Melahirkan
Secara konstitusional, berdasarkan Pasal 18B UUD NRI 1945,
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang.
4 bidang keistimewaan: Syariat Islam, Adat Istiadat, Pendidikan,
dan Peran Ulama (MPU) (UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh)
Konflik GAM dan RI berakhir damai yang ditandai dengan
penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) di Helsinki. MoU
Helsinki mempertegas keistimewaan Aceh sembari menambahnya
dengan beberapa keistimewaan lain seperti keberadaan LWN,
Simbol, Lambang, dan Bendera, Parpol Lokal, dan lainnya. (UU
11/2006 tentang Pemerintahan Aceh). Dalam UU ini pulalah Pemilu dan
Pemilihan, atau KIP dan Panwaslih disebutkan.
2. Beberapa hal tentang KIP dan Panwaslih dalam UUPA
Komisi Independen PemilihanAceh
Panitia PengawasPemilihan
1. Terdiri dari 4 pasal yang detail
(dari Pasal 56 s.d Pasal 59).
2. Tidak hanya
menyelenggarakan Pemilihan,
juga menyelenggarakan
Pemilu.
3. Keanggotaannya diusulkan
oleh DPRA/KK melalui sistem
penjaringan oleh lembaga
independent dan ad hoc,
ditetapkan oleh KPU, dan
diresmikan oleh
Gubernur/Bupati yang terdiri
dari 7 orang untuk Provinsi,
dan 5 orang untuk
Kabupaten/Kota.
4. Pengaturan lebih tentang
pembentukan, mekanisme
kerja, dan masa kerja tim
independent diatur dengan
qanun.
1. Terdiri dari 4 yang tidak
detail.
2. Hanya mengawasi Pemilihan
dan bersifat ad hoc.
3. Panwaslih dibentuk oleh
Panitian Pengawas Nasional
(sekarang Bawaslu) yang
anggotanya diusul oleh
DPRA/KK.
4. Hal-hal yang belum diatur
dalam Undang-Undang ini
mengenai pengawasan
pemilihan berpedoman
kepada ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Tidak ada satu pasalpun yang memberi delegasi kepada Qanun untuk
mengatur tentang Penyelenggara Pemilu maupun Pemilihan di Aceh.
3. Qanun Parlok VS Qanun Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan
Qanun Parlok Qanun Penyelenggara Pemilu danPemilihan
1. Panitia Pengawas Pemilihan 1. Panitia Pengawas Pemilihandisingkat Panwaslih
disingkat Panwaslu dan ad-hoc
2. Mengawasi Pemilu
3. Dibentuk oleh Bawaslu
2. Mengawasi Pemilu danPemilihan
3. Dibentuk oleh Bawaslu dandiusulkan oleh DPRA/DPRK
Qanun ini tidak konsisten dalampenyebutan nama namunmengikuti keadaan saat itu
Qanun ini berupaya mengikutiputusan MK atas JR UU 7/2017namun yang terjadi malahpertentangan demi pertentangan,baik terhadap UUPA maupunterhadap UU lainnya
4. Asas Preferensi Hukum
Asas preferensi ini digunakan ketika terjadi konflik norma. Hanya
saja, di negara yang terdapat mekanisme pengujian perundang-
undangan, terdapat pula asas praduga keabsahan yang kerap
dimanfaatkan untuk tidak menaati prinsip dan/ atau perundang –
undangan yang lebih tinggi, lebih khusus, atau lebih baru.
Lex superior derogat legi inferiori
undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan/
menyampingkan undang-undang yang lebih rendah
Lex specialis derogat legi generali
undang-undang yang bersifat khusus mengalahkan/
menyampingkan undang-undang yang bersifat umum
Lex posteriori derogat legi priori
undang-undang yang baru mengalahkan/ menyampingkan
undang-undang yang lama.
Lex Specialis Sistematis
Kriteria dari spesialitas sistematis ini adalah objek pengaturan
dari definisi umum diatur lebih lengkap dalam kerangka
ketentuan khusus. Prinsip ini menjelaskan bahwa ketika terjadi
suatu pertentangan antara UU khusus dengan UU yang juga
khusus, maka berlaku UU yang pengaturannya lebih lengkap
dan rinci. Dengan kata lain, yang harus diperhatikan adalah
objek yang sedang dibicarakan. Sekiranya objkenya adalah
tanah, maka UU Agraria adalah yang lebih khusus. Begitupun
sekiranya yang dibicarakan adalah Pemilu atau Pemilihan,
maka UU Pemilu atau Pemilihanlah yang lebih khusus atau
menjadi lex specialis sistematis.
5. Pemilu dan Pemilihan Bukan Keistimewaan Aceh Karena:
Tidak disebutkan secara tegas dalam UUPA. Pengaturannya dalam
UUPA ternyata sekadar untuk menjawab persoalan saat itu. Hal ini
bisa dilacak pada teks MoU Helsinki yang menyebutkan waktu
pelaksanaannya.
Berbeda dengan Parlok yang memang dikehendaki keberadaannya,
baik untuk Pemilu terdekat kala itu, maupun untuk Pemilu yang
akan datang.
Putusan MK terkait dengan pengembalian pasal-pasal dalam UUPA
yang dicabut oleh UU Pemilu tidak mengindikasikan bahwa Pemilu
dan Pemilihan di Aceh merupakan keistimewaan. MK boleh jadi
sekadar ingin meneguhkan bahwa prosedur dalam pembentukan
perundang-undangan adalah penting.
UU Pemilu dan Pilkada merupakan lex specialis atau specialis
sistematis atas UU khusus lainnya ketika berbicara tentang Pemilu
dan Pilkada (Pemilihan). Karenanya UU Pemilu dan Pilkada tentu
mengenyampingkan UUPA.
Qanun berada di bawah UU yang secara hierarkis harus
dikesampingkan. Bahkan UUPA tidak pernah mendelegasikan
pengaturan Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan melalui Qanun.
Putusan MK yang menjadikan Bawaslu yang eksis sekarang
sebagai Pengawas dalam Pilkada (Pemilihan) menjadi hukum
terbaru (lex posteriori) yang mengenyamping UU lama (lex periori),
termasuk terhadap Qanun 6/2018.
Sesi DiskusiRamzi Murzikin (Dosen UIN Ar-Raniry)Pada tahun 2015, 2016 dan 2015. DPRA menghimpun DPRK untuk
mengaminkan pembentukan Panwaslih Aceh. Sehingga pada April 2016
terbentuklah Panwaslih Aceh
Anggaran pengawasan hanya ada di provinsi sehingga hanya hidup dengan
pengelolaan dana hibah. Bawaslu RI sangat hati2 melihat persoalan ini di
Aceh. Salah satunya terkait pembentukan sengketa lembaga
Beberapa alternative dilaksankan
1. Pengawasan Pemilihan di Aceh dilakukan oleh Bawaslu Provinsi Aceh
berdasarkan UU No. 15 Tahun 2011 dan UU No. 10 Tahun 2016,
2. Pengawasan Pemilihan di Aceh dilakukan oleh Pengawas Pemilihan
Aceh berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006,
3. Pengawasan Pemilihan di Aceh dilakukan oleh Bawaslu Provinsi Aceh
ditambah dengan 2 orang Panwaslih Aceh hasil seleksi DPRA dan
4. Pengawasan Pemilihan di Aceh dilakukan oleh Pengawas Pemilihan
Aceh berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006. Sementara hal-hal yang
berkaitan dengan tugas pengawasan yang belum diatur dalam UU
Nomor 11 Tahun 2006 dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi Aceh.
Muzakkir (Panwaslih Pidie Jaya)Dalam pasal 22E memisahkan pengaturan Pemilu dengan Pilkada sehingga
lahirlah UU PIlkada.
Dengan adanya putusan MK, bahwa MK telah menyatakan rezim Pemilu
dan Pemilihan merupakan sama . termasuk MK dinilai tidak konsisten
dalam penentuan regulasi yang berbeda dengan UUD. Begitu juga dengan
RUU yang tidak lagi memisahkan Pemilu dan Pemilihan melaiinkan
mengatur Pemilu lokal dan Pemilu nasional. Terkait Qanun Aceh yang juga
mengatur rezim pemilu dan pemilihan masih terpisah sehingga ada
penyebuta Panwaslih permanen dan ad hoc, namun dalam qanun
perubahan menjadikan panwas adhoc menjadi permanen. UU 7 tidak
mencabut kewenangan perekrutan terhadap peengawas di Aceh.
Bahwa pengawas pemilihan di aceh masi terjadi dualisme sehingga menjadi
tugas kita bersama untuk mencari kepastian hukum terkait kelembagaan
pengawas pemilihan di Aceh
Ely Safrida (Panwaslih Kota Banda Aceh)Tidak lagi berbicara siapa yang melaksanakan pengawasan di kotota banda
aceh. Dalam RDPU dengan DPRK menyatakan bahwa kesiapan mereka
dalam melaksanakan Pilkda di tahun 2022, begitu juga kita dari Panwas
menyatakan kesiapan jika kami ditunjuk untuk mengawasi pemilihan.
Yang menajdi persoalan tidak ada kepastian huku siapa yang menjadi.
Namun utnk saat ini belum ada ketentuan yang jelas dalam pelaksanaan
pilkada
Adam Sani (Panwaslih Nagan Raya)Ini merupakan masalah yang lama dalam pelaksanaan pilkada di aceh. Kita
berada dalam kondisi politik yang berubah-ubah begitu juga dengan
peraturan yang dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi politik.
Melihat kondisi politik sekarang. Muncul pertanyaan besar siapa yang
mengawasi pelaksaan pilkada di Aceh.
Ali Nurdin (Panwaslih Gayo Lues)Berkaitan dengan UU Pemilu dan UUPA ada beberapa perubahan
pengaturan dan peruhana kewenangan kelembagaan dengan
dipermanenkannya pengawas Pemnilu Kab/Kota.
Ada beberapa perbedaan dalam hal penyelenggara dan regulasi yang
mengatur. Diharapkan di DPRA segera mengatur regulasi yang menjadi
tumpuan baik bagi peserta maupun penyelenggaran pemilihan di Aceh.
Agus Saputra (Panwaslih Langsa)Beberapa carut marut regulasi pemilihan di Aceh baik penyelenggaranya
dan pelaksanaannya.
UUPA hanya mengatur 4 kekhususan dalam MoU, kanum karena
banyaknya pekerjaan rumah pasca MOU termasuk penyelengaraan
pemilihan. UUPA tidak bersifat spesialis tidak akuh denga UU Pemilu dan
Pemiluhan, karena UUPA bersifat sama dengan UU Pemerintah Daerah.
Secara teknis. Beberapa pasal 35 dan 36 Qanun 6 Tahun 2018. Terjadi
parado yang menyatakan permanen dan adhoc
Ini kesempatan dimana kita ingin mencari titik temu. Negara sudah
menghabiskan anggaran yang cukup banyak untuk meningkatkan
kapasitas kita namun dengan adanya rekrut yang baru secara adhoc
menunjukkan bahwa tidak tepat.
Dengan direkrutnya panwas oleh DPR sehingga anggota panwas harus
merebut perhatian DPR untuk keberlangsungan lembaga baik secara
anggaran dan independensi. Dengan adanya aturan yang tidak jelas dengan
tidak adannya konsuldasi ke DPRA membuat masyarakat dirugikan dan
membuat penyelenggara bingung.
Imam Mufakkir (Staf Panwaslih Provinsi Aceh)MK tidak memiliki kewenangan eksekutiar sehingga tidak dapat
memastikan bahwa putusan MK itu dilaksanakan.
Baiknya kembali kepada tujuan hukum, dengan pelaksanaan pemilihan
yang demokratis. Bagaimana kita bisa memastika integritas dan netralitas
jika pengawasnya dilaksankan oleh peserta pemilihan.
Zahlus Pasha (Dosen UIN Ar-Raniry)Konsep lembaga penyelenggaran pemilu yang dibangun oleh UUPA dan UU
Pemilu jauh berbeda, hal ini berpengaruh pada kondisi UU itu dibentuk
dimana UUPA dibentuk dalam keadaan tergesa-gesa dan ketika itu masih
mengacu pada UU yang lama.
Paradigma yang dibangun oleh DPRA adalah paradigma penyelenggara
pemilu yang lama. Pada saat itu ada kekhawatiran yang mendalam bahwa
kekuasaan penentuan penyelenggara pemilu ada di legislative (legislative
heavy) sehingga di usulkan bahwa penyelenggara pemilu ditentukan oleh
DPRA
Zulkifli (Advokat)Ketika ada carut marut dalam suatun kondisi seperti saat ini, sebenarnya
yang perlu dilihat adalah penarikan benang merah atau solusi dari kondisi
saat ini, misalnya pengajuan ke Sengketa Lembaga Negara (SKLN)
Askalani (GeRAK Aceh)Bicara soal keputusan politik, tentu tidak hitam putih. Bawaslu Provinsi
dan Bawaslu Kab/Kota memahami jika rekrutmen Panwas ad hoc adalah
bentuk dari pemanfaatan relasi politik, dari segi kenetralan memang sudah
tidak ada. Kemudian dari sisi anggaran, efesiensi penyelenggara pemilihan
dapat dicapai dengan diserahkannya pengawasan kepada kawan-kawan
yang sudah ada hari ini. Harus ada satu kesepakatan dari Bawaslu Prov
dan Kab/Kota untuk mengusulkan kepada Bawaslu RI agar di Pilkada 2022
tetap Bawaslu permanen yang menangani
Baiman Fadhli (Panwaslih Aceh Selatan)Saya akan mencoba memberikan pendapat diluar dari saya sebagai
penyelenggara, cita-cita qanun tidak mungkin dipangkas secara sepihak.
Perlu dijelaskan kepada masyarakat secara luas kondisi seperti sekarang
ini. Saya sepakat bahwa aceh tidak memiliki kekhususan pemilu seperti
yang dimiliki oleh DKI Jakarta. Qanun pilkada (6/2018) saat ini sudah
daluarsa, harusnya para akademisi kampus yang mendorong ada
pembaharuan terhadap qanun ini. Ada penegasan bahwa sebenarnya kita
mau kemana arahnya, dan arah ini harusnya di dorong oleh masyarakat
luar, bukan internal Bawaslu. Sehingga tidak ada kesan adanya
kepentingan dari Bawaslu Permanen.
Risnawati (Koalisi Perempuan Indonesia Aceh)Rekrutmen penyelenggara memang lebih baik diserahkan kepada nasional,
tidak kepada legislatif daerah. Keterlibatan perempuan juga harusnya lebih
di tingkatkan.
Safwani (Panwaslih Aceh Utara)UUPA pada hari ini berada di posisi yang sangat sengkarus begitu juga
dengan UU karena aturannya sudah banyak sekali. Kita berharap public
dan kita semua dapat mendorong pemerintah dalam menyusun peraturan
dapat menyelesaikan masalah.
UUPA hanya bersifat khusus secara territorial namun tidak khusus secara
kewenangan penyelenggara Pemilu. UUPA hari ini masih memiliki
kewenangan membentuk panwaslih walaupu hasilnya tidak bermanfaat.
Putusan MK 48 tidak menyinggung sama sekali tentang Aceh. Sehingga
kewenangan Aceh masih mengacu pada Putusan MK 66 yang memberi
kewenangan.
Panwaslih adhoc sudah tidak relefansi dalam melaksanakan peemilihan
baik dari segi anggaran dan kewenangnnya. Pembentukan panwas Adhok
benar2 tidak relevan dan efektif.
Raihal Fajri (Katahati Institute)Berbicara kepastian hukum juga berkaitan dengan keberanian termasuk
memberikan nama.
Kalau melangar keputusan MK maka dapat dianggap makar karena
melanggar keputusan lembaga Negara tertinggi. Kita seharusnya menfollow
up keputusan MK. Tetapi dengan kita memakan baju Bawaslu artinya kita
sudah mengakui.
Konsekuensi UUPA tetap bertahan meski terjadi beberapa perubahan. Perlu
adanya perbaikan. Dinamikan politik nasional tidak menagkui adanya
UUPA yang juga berbicara kewenangan kepemiluan.
Berbicara soal kedaulatan aceh dengan adanya UUPA, maka kewenangan
itu akan hilang satu persatu. Berbicara kewenagan Aceh juga berbicara
konsekuensi konflik.
Desi Safnita (Panwaslih Bireuen)Sejatinya tidak terjadinya konflik dalam hal regulasi. Baik lembaga edhock
dan permanen mengacu pada ketentuan masing-masing. Namun muncul
konflik dengan munculnya qanun 6 tahun 2018 yang mengatur
kewenangan pelangwasan Pemilu dan bersifat permanen.
Pengaturan UU Pilkada dan UUPA tidak ada terjadi benturan hukum.
Kalupun ada benturan hukum harus ada pengujian Qanun ke MA.
Mukhtar (Panwaslih Pidie)Antara hirakhi dan keistimewaan ada kaitannya dengan penyelenggaraan
Pemilihan di Aceh.
Berkatan dengan pilkada pada 2022, kami siap mengawasi pilkada tersebut
namun jika kewenangan itu tidak diberikan kami juga tidak cemburu.
Seharusnya, UUPA sudah waktunya direvisi, agar kesesuainnya dapat
dikejar. Bukan hal mustahil untuk hal tersebut.
Marhami (Panwaslih Aceh Besar)Harusnya ada pengujian terhadap Qanun terkait Pilkada ke Mahkamah
Agung
Titik Demokrasi IndonesiaKonflik regulasi adalah hasil dari lobi-lobi politik. Kita tidak dapat
membendung aspirasi politik lokal.
Hafid (MaTA Aceh)Dengan adanya semberautan ini, banyak tahapan yang terlewatkan,
seharusnya pengawasan sudah dilakukan terlebih dahulu.
Dalam kasus money politik, bagaimana prose itu dilakukan dalam hal
kewenangan saja masih belum pasti. Polimik ini muncul di ujung. Seperti
pembahasan anggaran yang muncul menjelang pengesahan.
Mumpung masih ada waktu, hal ini perlu dibicarakan untuk
penyelesaiannya.
Yulis (Staf Panwaslih Provinsi Aceh)UUPA sudah sampai pada titik tua, sehingga perlu pembaharuan. Muncul
beberapa konflik apabila ini tidak diselesaikan.
Closing StatementPemateriPerlu digaris bawaslih bahwa bukan melihat bahka kita dapat menerima
UUPA atau tidak atau atkut akan tergerus. Tetapi kita perlu melihat
keistimewaan dalam UUPA apakah dalam penyelenggaraan pemilu benar
istimewa.
Fahrul Rizha YususfBukan persolana bahwa kewenangan ini harus kami miliki, namun ini
menjadi roll model yang mejadi pendidikan hukum.
Ada beberapa aturan hukum yang tidak dapat digukan karena berbenturan
dengan aturan nasional, seperti gugatan PHP yang diselesaikan oleh MA
berdasarkan UUPA namun berdasarkan UU Pemilihan diselesaikan oleh
MA.
Jagan ada lagi dualisme, semoga lembaga pengawas pemilihan menjadi
satu sipapaun yang pantas mengawasi tetaplah dilaksanakan sesuai
dengan aturan.
J. PENUTUPAN
Demikian laparan kegiatan ini disusun sebagai sebagai
pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud. Atas
perhatian dan dukungan dari berbagai pihak kami ucapkan terima kasih.
KABAG. PENANGANAN PELANGGARAN,PENYELESAIAN SENGKETA PROSES, DAN HUKUM
PANWASLIH PROVINSI ACEH
DTO.
SRI MULYANI, S.H.NIP. 19741227 200012 2 001
DOKUMENTASI KEGIATAN
Penyampaian Sambutan Oleh Fahrul Rizha Yusuf (Kordiv. PenangananPelanggaran Panwaslih Provinsi Aceh)
Penyampaian Materi oleh Khairil Akbar, S.HI. M.H