-
1
LAPORAN TEKNIK
INKUBASI SKALA TERBATAS PRODUKSI BIBIT DAN TEPUNG
UBI KAYU KAYA BETA-KAROTEN DAN PROTEIN BAHAN
BAKU INDUSTRI MAKANAN SEHAT
NAMA NIP
AHMAD FATHONI, M.Eng : 198307172010121001
Dr. N. SRI HARTATI, M.Si : 196912261993032001
NUR KARTIKA INDAH M., STP *) : 198703302010122001
NANANG TARYANA : 196503311985031003
PUSAT PENELITIAN BIOTEKNOLOGI
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
JL. RAYA BOGOR KM. 46, CIBINONG, BOGOR, JAWA BARAT
*) BALAI BESAR PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
JL. K.S. TUBUN NO. 5, SUBANG, JAWA BARAT
2012
-
2
INKUBASI SKALA TERBATAS PRODUKSI BIBIT DAN TEPUNG
UBI KAYU KAYA BETA-KAROTEN DAN PROTEIN BAHAN
BAKU INDUSTRI MAKANAN SEHAT
Ahmad Fathoni, N. Sri Hartati, Nur Kartika Indah Mayasti*, Nanang
Taryana.
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong
*) Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI Subang
Email: [email protected]
ABSTRAK
Ubi kayu bernutrisi unggul seperti kaya beta-karoten dan protein
merupakan salah satu komoditas pangan non beras yang memiliki potensi
untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif guna mendukung
ketahanan pangan di Indonesia. Dalam rangka pengembangan ubi kayu
dengan karakteristik tersebut diperlukan teknologi inovatif yang mampu
meningkatkan produktivitas tanaman, kualitas hasil dan bahkan nilai
tambah produknya seperti tepung atau pati. Dalam penelitian ini, digunakan
dua genotip ubi kayu unggul yang memiliki kandungan beta-karoten dan
protein tinggi yaitu Mentega 2 dan Adira 1. Upaya peningkatkan
-
3
produktivitas ubi kayu dilakukan melalui aplikasi pupuk organik hayati
(POH) LIPI Beyonic StarTmik@Lob dengan dosis 25 ml/L sedangkan
inovasi teknologi pascapanen pengolahan hasil untuk memperoleh tepung
ubi kayu kaya beta-karoten dan protein dilakukan melalui optimasi
teknologi penepungan dengan variasi jenis bahan perendam (Asam
Askorbat 0.3%, Sodium Bisulfit 0.3% dan Gum Arab:Dextrin (1:1) 8%)
dan suhu pengeringan (40C dan 50C) untuk mempertahankan kandungan
nutrisi tepung sehingga meningkatkan nilai tambah produknya sebagai
pangan fungsional. Inovasi teknologi tersebut diharapkan mampu
diaplikasikan (alih teknologi) di industri penepungan untuk produksi tepung
ubi kayu kaya beta-karoten dan protein skala komersial dan diminati dalam
hal keunggulan nutrisinya. Hasil panen ubi kayu genotip Mentega 2 umur 8
bulan menunjukkan bahwa penggunaan POH mampu meningkatkan berat
umbi rata-rata per tanaman hingga 26% (1614.75 gram) dibandingkan
dengan ubi kayu tanpa POH (1279.32 gram). Hasil analisa beta-karoten dan
protein pada produk tepung yang stabil (penurunannya dibanding umbi
segar paling rendah) dan tinggi diperoleh dari perlakuan menggunakan
bahan Sodium bisulfit dengan pengeringan pada suhu 40C. Kadar beta-
karoten dan protein dalam umbi segar berkisar 8.05g/g dan 3.59%, dan
tepung hasil optimasi dengan sodium bisulfit sebesar 9.44 g/g dan 2.41%.
Kadar beta-karoten dan protein dalam tepung mengalami penurunan yang
-
4
cukup signifikan menjadi 4.15 g/g dan 1.9% dengan menggunakan asam
askorbat sebagai bahan perendam. Pada tahap alih teknologi, melalui
kerjasama dengan UKM, dilakukan modifikasi metode penepungan yang
disesuaikan dengan kondisi proses yang dimiliki industri yaitu pada tahap
pembuatan chip ubi kayu dan pengeringan. Hasil analisa beta-karoten dan
protein dalam tepung hasil yang di proses di mitra usaha menunjukkan
penurunan beta-karoten yang sangat signifikan mencapai 55.82 % atau dari
4.21 g/g pada umbi segar menjadi 1.86 g/g pada tepung.
Kata kunci: Ubi kayu, tepung ubi kayu, beta-karoten, protein, ketahanan
pangan, inovasi teknologi.
ABSTRACT
Superior cassava (Manihot esculenta Crantz.) comprising high beta-
carotene and protein is one of non-rice food commodity which has potential
to be developed as alternative food to support food security in Indonesia. In
the development of cassava with those characteristics, innovative
technologies are required for improvement of cassava productivity, product
quality and added value of product such as cassava flour or starch. In this
research, two superior genotype of cassava; Mentega 2 and Adira 1
-
5
containing high beta-carotene and protein were used. The improvement of
cassava productivity was done by applying organic fertilizer technology
(POH) Beyonic StarTmik@Lob with 25ml/L dose and innovation on post
harvest technology to obtain high beta-carotene cassava flour was carried
out by optimizing on cassava flour process using various protecting agent
such as Ascorbic acid 0.3%, Sodium bisulfit 0.3% and Gum Arabic:
Dextrin (1:1) 8% and at two different drying temperature level 40C and
50C so that it can improve added value of cassava flour as functional food.
This innovation is supposed to be applicable in the cassava flour industry
for mass production to produce high beta-carotene and protein cassava
flour. Yield of fresh tuber harvested from 8-months cassava genotype
Mentega 2 showed that the use of organic fertilizer (POH) could increase
tuber productivity up to 26% (1614.75 gram) higher than that obtained from
cassava production without POH (1279.32 gram). In the optimation of
cassava flour process, the best result in maintaining beta-carotene and
protein content in flour were obtained using sodium bisulfit and at 40C
drying temperature. Beta -carotene and protein content of fresh tuber were
8.05 g/g and 3.59% and cassava flour were 9.44 g/g and 2.41%.
Conversely, beta-carotene and protein in flour were significantly decreased
to 4.15 g/g and 1.9% when using ascorbic acid in the process. In
technology transfer process, there are 1several modifications on method
-
6
due to the technical challenges in industry such as on cassava chip making
and drying process. The result showed that beta-carotene content in flour
(1.86 g/g) decreased dramatically (55.82%) compared to fresh tuber
content (4.21g/g).
Keywords: Cassava (Manihot esculenta Crantz), Cassava flour, beta-
Carotene, Protein, Food security and Technology Innovation.
-
7
PENDAHULUAN
Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu komoditas
pertanian jenis umbi-umbian yang penting di Indonesia baik sebagai
sumber pangan, pakan maupun bahan baku berbagai industri makanan. Hal
ini disebabkan karena tanaman ubi kayu mempunyai beberapa keunggulan
dibandingkan dengan tanaman pangan lain, diantaranya dapat tumbuh d i
lahan kering dan kurang subur serta memiliki daya tahan terhadap penyakit
relatif tinggi.
Saat ini tingkat kebutuhan ubi kayu di Indonesia terus meningkat baik
yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan maupun bahan baku berbagai
industri. Di sisi lain, produksi ubi kayu di Indonesia belum sepenuhnya
dapat memenuhi kebutuhan tersebut sehingga Indonesia masih tercatat
sebagai negara pengimpor ubi kayu terbesar pada tahun 2012 (FAO, 2012).
Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan produktivitas
tanaman ubi kayu dan nilai tambah (added value) dari ubi kayu dengan
mengolah menjadi beranekaragam produk.
Alternatif pengolahan umbi ubi kayu yang sedang digalakkan oleh
pemerintah adalah pengolahan umbi ubi kayu menjadi tepung ubi kayu.
Dalam bidang industri tepung dan pangan, ubi kayu mempunyai potensi
yang besar. Pengembangan industri tepung ubi kayu dalam penguatan
ketahanan pangan mempunyai potensi yang besar, selain mempunyai
-
8
kandungan kalori yang lebih besar daripada beras, tepung ini juga
mengandung (dalam setiap 100 g) Ca (84 mg) dan Fe (1 mg) yang baik
untuk kesehatan (Bantacut, 2009).
Tepung ubi kayu (kasava) adalah tepung yang dihasilkan dari
penghancuran (penepungan) umbi ubi kayu yang telah dikeringkan.
Kemampuan substitusi tepung ubi kayu pada mie dan kue kering/biskuit
mencapai 50%, pada roti 25%, dan pada produk cake dapat mengganti
100% terigu (Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).
Teknologi invatif memegang peranan penting dalam rangka
pengembangan ubi kayu yang meliputi teknologi pra-panen, pascapanen
dan pengolahan hasil. Menurut Wargiono et al. (2000), beberapa
persyaratan untuk memilih stek batang sebagai bibit adalah sebagai berikut;
(a) berasal dari varietas murni dan jelas asal usulnya, (b) stek berasal dari
batang bagian tengah berumur 7-12 bulan, (c) diameter stek 1,5-4,0 cm dan
panjang stek 15-25 cm dengan 5-10 mata tunas/stek, (d) tidak terinfeksi
hama (penggerek dan cacing) dan penyakit (cendawan, bahteri, dan virus),
(e) tidak rusak secara fisik dan fisiologis. Kebutuhan bibit tergantung jarak
tanam/populasi (8.000-20.000 stek per ha), makin lebar jarak
tanam/populasi rendah, makin sedikit kebutuhan stek/bibit, demikian
sebaliknya.
-
9
Pemilihan varietas disesuaikan dengan peruntukannya di pasar.
Inovasi teknologi budidaya ubi kayu dan penggunaan jenis atau varietas ubi
kayu yang memiliki kadar nutrisi unggul akan sangat bermanfaat dalam
meningkatkan produktivitas tanaman dan bagi ketersedian sumber bahan
pangan berkualitas (Ratnaningsih et al. 2010). Diantara komponen nutrisi
yang penting adalah beta-karoten sebagai prekursor vitamin A, protein dan
mineral. Vitamin A sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan, reproduksi, kesehatan kulit, membran mukosa dan
kesehatan mata yang berhubungan dengan penglihatan. Beberapa penelitian
dalam bidang kesehatan menunjukkan adanya kasus defisiensi vitamin A
yang membahayakan seperti yang ditemukan di Indonesia (Semba, et al.,
2002) dan juga di negara lain seperti Tanzania (Mosha, 1999). Berdasarkan
data WHO saat ini kasus defisiensi vitamin A terdapat di 118 negara
(Wasanwisut, 2009).
Hartati (2012) melaporkan bahwa proses pengolahan umbi menjadi
tepung sangat mempengaruhi kandungan nutrisi dalam produk tepung ubi
kayu, dimana kandungan nutrisi dalam tepung mengalami penurunan yang
signifikan dibandingkan dengan umbi segar. Sehingga, inovasi teknologi
pascapanen dan pengolahan hasil sangat penting guna mempertahankan
kualitas produk dan bahkan meningkatkan nilai tambah produk olahannya.
-
10
Adapun tujuan kegiatan ini antara lain menerapkan inovasi teknologi
budidaya ubi kayu menggunakan pupuk organik hayati (POH) LIPI
Beyonic StarTmik@Lob dalam upaya meningkatkan produktivitas
tanaman, melakukan optimasi teknologi penepungan ubi kayu yang mampu
mempertahankan nilai kandungan nutrisi terutama beta-karoten dan protein
dalam produk tepung ubi kayu dan melakukan alih teknologi kepada
industri penepungan yang berperan sebagai mitra dalam kegiatan.
Analisa beta-karoten dan protein dalam tepung ubi kayu dilakukan
pada tahap optimasi penepungan di laboratorium dan tahap penepungan
hasil panen di mitra untuk mengevaluasi metode yang diperoleh dari hasil
optimasi teknologi. Selain itu, produk tepung yang dihasilkan dimanfaatkan
sebagai bahan baku makanan olahan seperti mie, kue kering, cake dan lain
sebagainya. Diharapkan dengan hasil inovasi teknologi budidaya dan
penepungan ubi kayu ini, ubi kayu sebagai salah satu komoditas yang
sangat potensial untuk dikembangkan dapat dimanfaatkan lebih luas oleh
masyarakat dalam mendukung ketahanan pangan melalui diversifikasi
pangan.
-
11
2. BAHAN DAN CARA KERJA
2.1. Teknologi Budi Daya Ubi kayu
Kegiatan ini merupakan optimalisasi budidaya yang mencakup beberapa
kegiatan sebagai berikut:
1. Pemilihan jenis ubi kayu unggul
Dalam kegiatan ini dipilih dua jenis ubi kayu yang memiliki
kandungan nutrisi; beta-karoten dan protein tinggi yaitu genotip lokal
Mentega 2 dan Varietas Adira 1 (Gambar 1a-b) yang disesuaikan dengan
peruntukannya sebagai bahan pangan atau bahan baku industri makanan
sehat. Kedua jenis ubi kayu ini merupakan koleksi kebun plasma nutfah
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.
Gambar 1. Jenis ubi kayu beta-karoten dan protein tinggi. Mentega 2 umur
6 bulan (a) dan Adira 1 umur 6 bulan (b).
-
12
2. Aplikasi Pupuk Organik Hayati (POH) LIPI
Pada kegiatan inkubasi ini dilakukan uji coba pupuk organik hayati
LIPI Beyonic StarTmik@lob hasil kerjasama dengan Pusinov dan Pusat
Penelitian Biologi (Gambar 2). Ini merupakan uji coba pertama yang
dilakukan karena sebelumnya POH ini belum pernah diaplikasikan pada
budidaya ubi kayu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini standar
penggunaan POH mengacu pada metode yang sudah ada.
Gambar 2. Pupuk Organik Hayati LIPI Beyonic StarTmik@Lob
Aplikasi POH pada ubi kayu mencakup beberapa tahap yaitu
pemotongan, pelukaan dan perendaman batang atau stek sebelum tanam,
penyiraman POH ke media tanah 3 hari sebelum tanam dan penyiraman
atau pemupukan secara berkala setiap 2 bulan sekali. Takaran yang
digunakan juga berbeda pada saat perendaman dan penyiraman yaitu 100
-
13
ml/L dan 25 m/L. Volume pemberian POH sebanyak 10 ml per tanaman
dan ditingkatkan menjadi sekitar 100 ml pada saat umur tanaman mencapai
4-5 bulan.
Langkah pertama yaitu mempersiapkan media tanah yang akan
ditanami dengan pupuk kandang, lalu 3 hari sebelum tanam, diber i POH
dengan dosis 25ml/L sebanyak kurang lebih 10 ml. Kemudian pada saat
akan penanaman, batang ubi kayu dipotong sesuai kebutuhan dan dilukai
pada bagian pangkal stek lalu direndam dalam larutan POH 100 ml/L
selama 2 jam (Gambar 3). Langkah terakhir adalah penanaman stek ubi
kayu pada lubang tanam yang sudah dipersiapkan. Untuk mengetahui
pengaruh POH pada pertumbuhan tanaman dan produksi ubi kayu,
beberapa parameter yang meliputi karakteristik akar, tinggi batang,
diameter batang dan daun diamati secara berkala.
Gambar 3. Aplikasi POH LIPI pada ubi kayu. Pemotongan batang ubi kayu
(a), Pelukaan bagian pangkal (tanam) (b), pembuatan larutan
-
14
POH dan perendaman stek (c) dan Penanaman stek dalam
polibag dan langsung ke lahan (d).
3. Persiapan lahan
Lahan yang digunakan merupakan lahan semak belukar dengan
kerapatan tinggi sehingga perlu diolah terlebih dahulu (Gambar 4).
Persiapan lahan dimulai dengan pembabatan dan pembakaran semak
belukar, penyemprotan herbisida dan diteruskan dengan pengolahan lahan.
Gambar 4. Persiapan lahan baru. Lahan sebelum pembabatan (a),
Pembabatan lahan (b) dan pembakaran semak belukar (c).
4. Pengolahan lahan dan sampling tanah
Lahan diolah secara intensif atau menyeluruh tidak pada bagian
tanam saja. Luas total lahan yang diolah adalah 3000 m2
yang terbagi ke
dalam 2 lokasi yang berbeda masing-masing dengan luas 2000 m2
dan 1000
m2
(Gambar 5a-b). Setelah selesai pengolahan, lahan dibiarkan beberapa
-
15
hari terlebih dahulu lalu dilanjutkan dengan pemberian pupuk kandang pada
3 hari sebelum tanam.
Gambar 5. Pengolahan lahan dengan luas lahan 2000 m2
(a) dan 1000 m2
(b).
Pada saat pengolahan lahan, tanah diambil pada titik-titik yang sudah
ditentukan untuk dilakukan analisa kandungan hara dalam tanah (Gambar
6).
Gambar 6. Sampling tanah untuk dianalisa kandungan hara dalam tanah.
-
16
5. Pemupukan sebelum tanam
Sebelum penanaman stek, dilakukan pemberian pupuk kandang pada
3 hari sebelum tanam dengan ukuran sekitar 500 gram per lubang tanam
(Gambar 7).
Gambar 7. Pemberian pupuk kandang sebelum tanam.
6. Penanaman bibit ubi kayu
Bibit ubi kayu (Mentega 2 dan Adira 1) yang ditanam memiliki
perlakuan pra-tanam yang berbeda-beda. Bibit Mentega 2 sebelum tanam
sudah dipersiapkann terlebih dahulu dalam polibag; bibit umur 1 bulan
ditanam pada blok A dan umur 2 bulan ditanam pada blok B. Sedangkan
bibit Adira 1 langsung ditanam stek ke lahan yang sudah siap (Gambar 8).
Hal ini dikarenakan adanya kendala pengadaan lahan pada saat kegiatan
berjalan sehingga bibit ubi kayu genotip Mentega 2 yang sudah siap
kemudian ditanam dalam polibag.
-
17
Stek dan bibit ubi kayu ditanam tegak lurus dengan jarak antar
barisan tanaman berkisar antara 80 cm-120 cm dan jarak dalam barisan
sekitar 60 cm-100 cm.
Gambar 8. Penanaman bibit ubi kayu. Mentega 2 Blok A (a), Mentega 2
Blok B (b) dan Adira 1 (c).
7. Pemupukan NPK
Pemupukan dilakukan secara tugal 5-10 cm disamping tanaman.
Pemupukan NPK yang pertama dilakukan 5 hari setelah tanam dengan
takaran N:P:K = 1/3:1:1/3 atau Urea 50 Kg : TSP 75 Kg : KCl 50 Kg per
hektar sebagai pemupukan dasar (Gambar 9a). Pada saat tanaman berumur
3-4 bulan, pemupuka NPK dilakukan dengan takaran N:P:K = 2/3:0:2/3
atau Urea 85 Kg : 0 : KCl 85 Kg sebagai pemupukan susulan (Gambar 9b).
-
18
Gambar 9. Pemupukan NPK; pemupukan dasar 5 hari setelah tanam (a) dan
pemupukan susulan 2 bulan sekali setelah pemupukan dasar (b).
8. Pemupukan Pupuk Organik Hayati (POH)
Pemberian atau pemupukan dengan POH dilakukan paad beberapa
tahap:
a. Pada saat perendaman stek sebelum tanam dengan dosis 100 ml/L
b. Pada saat umur tanaman antara 1-3 bulan dengan dosis 25 ml/L
dan volume penyiraman sekitar 10 ml.
c. Pada saat umur tanaman antara 4-5 bulan dengan dosis 25 ml/L
dan volume penyiraman sekitar 100 ml.
9. Pengolahan tanah pasca-tanam (Pengguludan)
Pengguludan atau pembentukan bedengan ini dapat dilakukan
sebelum atau setelah penanaman. Pada kegiatan ini, pengguludan dilakukan
-
19
3 minggu setelah penanaman. Tujuan utama pembentukan bedengan atau
pengguludan ini adalah untuk memudahkan dalam pemeliharaan tanaman
seperti saat penyiangan.
10. Penyulaman dan pengamatan daya tahan hidup tanaman ubi
kayu.
Bibit yang mati atau tumbuh tidak normal, segera dilakukan
penyulaman, yaitu dengan cara mencabut dan menggantikan dengan bibit
yang baru atau cadangan atau dengan sisa bibit yang tersedia. Waktu
penyulaman dilakukan 1-3 minggu setelah tanam agar pertumbuhan
seragam. Penyulaman dilakukan pada pagi hari atau sore hari, saat cuaca
tidak panas.
Pengamatan terhadap tanaman yang bertahan hidup atau yang mati
(survival observation) dilakukan selama 4 bulan setelah tanam untuk
mengetahui daya adaptasi dan tumbuh genotip atau varietas ubi kayu yang
ditanam.
11. Penyiangan dan pemangkasan tunas
Peyiangan untuk membuang gulma dan tanaman pengganggu lainnya
dilakukan menggunakan alat (sabit). Kegiatan ini biasa dilakukan 2-3 bulan
sekali namun juga menyesuaikan dengan kondisi gulma yang ada.
-
20
Sedangkan untuk kegiatan pemangkasan tunas berlebihan dilakukan saat
tanaman berumur 1-2 bulan dengan menyisakan 2 tunas per tanaman.
12. Pengairan
Meskipun ubi kayu termasuk tanaman yang toleran terhadap
kekeringan namun pada saat tanam hingga umur sekitar 3 bulan dibutukan
air yang cukup agar dapat tumbuh secara optimal. Dalam hal ini pola tanam
menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan dimana penanaman ubi
kayu yang baik dilakukan pada musim hujan dimana kebutuhan air dapat
tercukupi dari air hujan. Selain itu juga dapat mengurani biaya penyiraman
yang dilakukan secara manual jika tidak ada hujan.
13. Pengendalian hama dan penyakit
Hama Utama yang menyerang ubi kayu adalah penggerek
batang/pemakan batang (Xylentrhopus sp) dan penggerek/pemakan daun
(Tetranychus bimaculatus). Cara pengendaliannya adalah (1) pencelupan
stek ke dalam larutan insektisida (selama 5 menit), (2) sanitasi kebun
dengan membersihkan tanaman dari gulma, (3) menanam dengan varietas
toleran, (4) pengendalian dengan insektisida secara pemantauan, yaitu
apabila ada serangan baru dilakukan penyemprotan.
-
21
Penyakit utama yang menyerang ubi kayu adalah bercak daun bakteri
(Xanthomonas manihotis atau Cassava Bagterial Blight/CBB), layu bakteri
(Pseudomonas solanacearum E.F. Smith), bercak daun coklat (Cercospora
heningsii) dan bercak daun konsentris (Phoma phyllostica). Cara
pengendaliannya adalah (1) menaman varietas yang tahan, (2)
mencabut/memusnahkan tanaman sakit), (3) penggunaan jarak tanam yang
lebar, dan (4) melakukan sanitasi kebun dengan membersihkan tanaman
dari tumbuhan penggunggu (gulma).
14. Panen
Ubi kayu dapat dipanen pada saat pertumbuhan daun mulai
berkurang, warna daun mulai menguning, dan banyak yang rontok. Umur
panen 6-8 bulan untuk varietas Genjah (berumur pendek) dan 9-12 bulan
untuk varietas Dalam (berumur panjang). Dalam pemanenan ubi kayu
diusahakan umbi tidak rusak. Hal ini sangat penting untuk daya simpan
umbi yang lebih lama.
2.2. Inovasi Teknologi Penepungan Ubi Kayu
Inovasi teknologi penepungan dibagi menjadi 2 tahap yaitu tahap
pertama; optimasi teknologi (metode) penepungan ubi kayu dan tahap
-
22
kedua; uji metode hasil optimasi dan uji masa simpan tepung dalam
kemasan.
2.2.1. Tahap pertama: Optimasi teknologi penepungan ubi kayu
Kegiatan optimasi teknologi penepungan dilakukan di Laboratorium
PPP dan Unit Pengolahan Sari Buah B2PTTG-LIPI, Subang.
1. Bahan yang digunakan dalam penelitian :
- Bahan baku utama : Ubi kayu varietas Adira 1 dari Bioteknologi
LIPI, Cibinong sebanyak 50 Kg
- Bahan baku tambahan (perendaman) : natrium metabisulfit,
asam askorbat, maltodekstrin-gum arab
2. Peralatan proses penepungan (Gambar terlampir):
a. Timbangan
b. Pisau
c. Baskom
d. Kabinet dyer
e. Cross better mill
f. Grinder
g. Vibrator screen dengan tingkat kehalusan tepung/mesh 60
-
23
3. Diagram alir proses penepungan:
Ubi Kayu/singkong hasil panen
Analisa beta Karoten, Protein
Pencucian ubi kayu untuk menghilangkan
tanah dan pengotor lainnya
Pemotongan umbi menjadi beberapa
bagian (pengecilan ukuran)
Treaming dan pengupasan kulit singkong
Pencucian untuk menghilangkan getah umbi
Blanching uap (70 oC), 10 menit (in-aktivasi enzim)
Pengirisan umbi (2-4 mm) menjadi chip
Perlakuan bahan perendam 1, 2, dan 3
Pengepresan menggunakan hidrolik pres
Pengeringan (cabinet dryer) pada suhu 40 oC, 50 oC
dan Energi surya hingga kering (kadar air maks. 12%)
standar SNI tepung tapioka 01-2997-1996
Penepungan dengan disk mill dan pengayakan tepung
dengan vibrator screen pada mesh yang diinginkan (60)
Produk (tepung ubi kayu)
Analisa beta Karoten, Protein
Diagram 1. Proses optimasi teknologi penepungan ubi kayu kaya beta-
karoten dan protein tahap pertama.
-
24
4. Rancangan percobaan optimasi penepungan ubi kayu
Tabel 1. Rancangan percobaan penepungan ubi kayu dengan variasi bahan
perendam dan suhu pengering.
nb : Masing-masing perlakuan dibuat 2x ulangan
2.2.2. Uji metode hasil optimasi dan uji masa simpan tepung
dalam kemasan.
Pada optimasi penepunngan tahap kedua ini bertujuan untuk menguji
metode terbaik hasil optimasi penepungan tahap pertama (Diagram 1)
menggunakan jenis ubi kayu yang berbeda yaitu genotip lokal Mentega 2.
Untuk melakukan uji kestabilan kandungan nutrisi dalam kemasan, produk
hasil penepungan dikemas dalam kemasan (standing pouch) dengan
komposisi Alumunium. Produk tepung disimpan selama 3 bulan dan
dilakukan analisa beta-karoten dan protein setiap bulan di Laboratorium
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia.
-
25
Ubi Kayu hasil panen
Pencucian ubi kayu untuk menghilangkan
tanah dan pengotor lainnya
Trimming dan pengupasan kulit singkong
Pencucian untuk menghilangkan getah umbi
Pengirisan umbi (2-4 mm) menjadi chip
Blanching uap (70 oC), 10 menit (in-aktivasi enzim)
Perendaman as. Askorbat 0.3%, 30 menit
Pengeringan (cabinet dryer) pada suhu 40oC selama 12
jam hingga kering (kadar air maks. 12%) standar SNI
tepung tapioka 01-2997-1996
Penepungan dengan disk mill dan pengayakan tepung
dengan vibrator screen pada mesh yang diinginkan (60)
Produk (tepung ubi kayu)
Pengemasan
standing pouch 250 g
Penyimpanan tepung pada suhu ruang
(uji kestabilan nutrisi)
Produk akhir dalam kemasan
Diagram 2. Proses penepungan ubi kayu kaya beta-karoten dan protein
tahap kedua (metode optimum)
-
26
2.3. Transfer teknologi di PT. RAP Bioenergy
PT. RAP Bioenergy merupakan industri pembuatan tepung tapioka
yang terletak di daerah Sentul. Dalam kegiatan ini berperan sebagai mitra
penepungan yang membantu dalam upaya alih teknologi penepungan dari
skala laboratorium ke skala industri.
Ubi kayu yang diproses menjadi tepung merupakan hasil panen dari
kegiatan inkubasi yaitu Genotipe Mentega 2 dan Varietas Adira 1. Prinsip
dari alih teknologi atau transfer teknologi ini adalah penerapan proses
penepungan tahap kedua (Diagram 2) di industri. Beberapa hal disesuaikan
dengan kondisi di lapangan (industri) seperti pada proses pembuatan chip
dan pengeringan.
2.4. Jenis pengamatan dan analisa dalam penelitian
2.4.1. Pengamatan daya tahan hidup tanaman
Pengamatan daya tahan hidup tanaman ubi kayu dilakukan setiap
bulan hingga tanaman berumur 4 bulan. Total tanaman ubi kayu yang
diamati berjumlah 3000 tanaman yang terdiri atas Mentega 2 sejumlah
2000 tanaman dan Adira 1 berjumlah 1000.
-
27
2.4.2. Pengaruh POH terhadap pertumbuhan tanaman ubi kayu
Untuk mengetahui pengaruh penggunaan POH terhadap pertumbuhan
ubi kayu di lahan, dilakukan pengamatan secara berkala setiap 2 bulan
sekali atau tiga kali dalam satu musim tanam yaitu pada saat tanaman
berumur 2, 4 dan 6 bulan. Jumlah tanaman yang diamati sebanyak 300
tanaman yang terdiri dari Mentega 2 blok A (100), Mentega 2 blok B (100)
dan Adira 1 (100). Adapun variabel yang diamati meliputi tinggi tanaman
(cm), diameter batang (mm) dan jumlah daun.
2.4.3. Pengaruh POH terhadap pembentukan umbi
Penggunaan pupuk cair organik hayati (POH) ini bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas melalui pembentukan umbi yang lebih baik
(jumlah dan berat) pada ubi kayu. Untuk mengetahui pengaruh POH
terhadap pembentukan umbi ubi kayu pada kedua jenis ubi kayu di atas,
setiap plot pada perlakuan POH dan non POH diambil 2 sampel yaitu
tanaman terkecil dan terbesar sehingga total ada 20 sampel untuk setiap
perlakuan
-
28
2.4.4. Pengaruh POH terhadap kandungan pati dalam umbi
Karakter lain yang diamati selain batang dan umbi, pada pengamatan
6 BST dilakukan analisa kadar pati untuk mengetahui apakah terdapat
pengaruh POH dalam kandugan pati.
2.4.5. Analis kadar nutrisi; beta karoten dan protein serta
standar mutu tepung ubi kayu
Analisis kadar beta-karoten dilakukan di Laboratorium Balai
Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia menggunakanmetoda
spektrofotometri (Nielsen, 1995), sedangkan kadar protein dilakukan
dengan metode Kjehldal (AOAC, 1978). Standar mutu tepung ubi kayu
pengujiannya dilakukan di Laboratorium B2PTTG LIPI Subang.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Inovasi teknologi budi daya ubi kayu
3.1.1. Daya tahan hidup tanaman
Secara umum, hasil pengamatan daya hidup bibit tanaman ubi kayu
selama empat bulan setelah tanam menunjukkan kedua jenis ubi kayu;
genotip Mentega 2 dan varietas Adira 1 memiliki daya tahan hidup tinggi
dan mampu beradaptasi pada lahan kering atau curah hujan rendah yang
-
29
Pers
en
tase h
idup (%
)
ditunjukkan dengan persentase hidup tanaman yang tinggi hingga empat
bulan setelah tanam (Grafik 1).
140 Pengmatan I
Pengamatan II
120 Pengamatan III
Pengamatan IV
100
80
60
40
20
0
Mentega 2 (A) Mentega 2 (B) Adira 1
Genotipe
Grafik 1. Persentase hidup pada empat bulan setelah tanam (BST); genotip
Mentega 2 (A) umur 5 bulan, Mentega 2 (B) umur 6 bulan dan
varietas Adira 1 umur 4 bulan.
Pada pengamatan bulan ke empat setelah tanam, persentase tertinggi
yaitu 99.5% pada genotipe Mentega 2 blok A atau 5 tanaman mati dari total
tanaman sebanyak 1000 dan varietas Adira 1 juga memiliki persentase
hidup sama besar dengan Mentega 2 blok A. Sedangkan pada genotipe
Mentega 2 blok B jumlah tanaman yang mati lebih banyak yaitu 13
tanaman dari total jumlah tanaman 1000, sehingga persentase hidupnya
lebih rendah yaitu 98.7% (Grafik 1). Kematian pada tanaman disebabkan
-
30
karena layu dan kering karena curah hujan yang rendah pada awal tanam.
Sedangkan tingginya tingkat kematian pada genotip Mentega 2 blok B
dimungkinkan karena pada saat penanaman di lahan umur bibit dalam
polibag sudah mencapai 2 bulan dengan tinggi tanaman berkisar antara 25-
30 cm, sehingga beberapa tanaman layu dan mati saat proses adaptasi
dengan kondisi lingkungan cukup kering. Pola tanam pada curah hujan
sangat rendah menjadi kendala utama dalam pertumbuhan bibit ubi kayu
sehingga menyebabkan tingkat kematian pada tanaman lebih tinggi.
3.1.2. Pengaruh POH terhadap pertumbuhan tanaman ubi kayu
Hasil pengamatan pada 6 BST menunjukkan fluktuasi pertumbuhan
(tinggi dan diameter batang) pada setiap blok tanaman ubi kayu baik
Mentega 2 dan Adira 1 antara perlakuan POH dan non POH. Meskipun
genotip Adira 1 berumur lebih muda dari genotip Mentega 2, namun
memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik (Grafik 2a-b). Umur tanaman
ubi kayu bervariasi dimana genotip Mentega 2 blok A berumur 7 bulan,
Mentega 2 pada blok B berumur 8 bulan dan Adira 1 berumur 6 bulan.
Pengaruh penggunaan POH pada pertumbuhan tanaman ubi kayu
secara umum dapat dilihat dari nilai rata-rata tinggi tanaman dan diameter
batang antara perlakuan POH (A1,A3, A5, B2 dan B4) dan non POH
(A2,A4, B1,B3 dan B5) yang ditunjukkan pada Grafik 3a-c.
-
31
Nila
i ra
ta-r
ata
tin
gg
i bata
ng
(c
m),
dia
mete
r bata
ng (m
m)
Nila
i ra
ta-r
ata
tin
ggi ba
tang (
cm
),
dia
mete
r b
ata
ng (
mm
)
a)
400 Tinggi tanaman (cm) a Diameter batang (mm)
300
200
100
0
A1 A2 A3 A4 A5 B1 B2 B3 B4 B5
Blok Pertanaman
b)
400 Tinggi tanaman (cm)
Diameter batang (mm)
300
200
100
0
A1 A2 A3 A4 A5 B1 B2 B3 B4 B5
Blok pertanaman
Grafik 2. Pertumbuhan tanaman ubi kayu 6 BST. Mentega 2 blok A umur 7
bulan (a), Mentega 2 blok B umur 8 bulan (a) dan Adira 1 blok A
dan B umur 6 bulan(b). Perlakuan POH (A1, A3, A5, B2 dan B4)
dan non POH (A2, A4, B1, B3 dan B5).
-
32
Nila
i ra
ta-r
ata
tin
gg
i ta
nam
an
da
n d
iam
ete
r b
ata
ng
Nila
i ra
ta-r
ata
tin
ggi ta
na
man
da
n d
iam
ete
r ba
tan
g
a)
350
300
Mentega 2 blok A
Tinggi tanaman
Diameter batang
250
200
150
100
50
0
POH non POH
Perlakuan
b)
350
300
Mentega 2 blok B
Tinggi tanaman
Diameter batang
250
200
150
100
50
0
POH non POH
Perlakuan
-
33
Nila
i ra
ta-r
ata
tin
gg
i tan
am
an
da
n d
iam
ete
r b
ata
ng
c)
350
300
Adira 1
Tinggi tanaman
Diameter batang
250
200
150
100
50
0
POH non POH
Perlakuan
Grafik 3. Pengaruh perlakuan POH pada pertumbuhan (tinggi tanaman dan
diameter batang) tanaman ubi kayu. Genotip Mentega 2 blok A
umur 7 bulan (a), Genotip Mentega 2 blok B umur 8 bulan (b),
Genotip Adira 1 umur 6 bulan (c).
Pada genotip Mentega 2 blok A (3a), nilai rata-rata tinggi tanaman
pada perlakuan POH (234.52 cm) lebih tinggi dibandingkan dengan non
POH (219.67 cm), akan tetapi pada genotip Mentega 2 blok B (3b) nilai
rata-rata tinggi tanaman pada perlakuan POH (214.3) lebih rendah
dibanding dengan non POH (223.75 cm). Pertumbuhan tanaman dengan
perlakuan POH yang lebih rendah juga terjadi pada genotip Adira 1 (3c)
-
34
yaitu 252.5 cm dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman non POH yaitu
261.34 cm. Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor seperti jenis ubi kayu,
pola tanam, metode tanam atau kandungan hara dalam tanah yang ber beda.
3.1.3. Pengaruh POH terhadap pembentukan umbi ubi kayu
Dari hasil pengamatan jumlah, panjang dan diameter umbi ubi kayu
Mentega 2 blok A dan blok B, secara statistik penggunaan POH tidak
memiliki pengaruh yang signifikan (Grafik 4a-b). Pada blok A (Grafik 4a),
diameter rata-rata umbi perlakuan POH lebih besar (50.8 mm)
dibandingkan non POH (46.7 mm) namun jumlah total dan panjang umbi
rata-rata POH lebih kecil (5.5 dan 25.5 cm) dibandingkan non POH (6.5
dan 40.25 cm). Pada blok B (Grafik 3b), pengaruh pemberian POH secara
berkala setiap 2 bulan sekali terlihat pada panjang umbi (36 cm) yang lebih
besar dibandingkan dengan panjang umbi non POH (29.25 cm). Sedangkan
pada jumlah total umbi rata-rata per pohon dan diameter umbinya masih
lebih rendah (5.75 dan 47.5 cm) dibandingkan dengan umbi non POH (6.25
dan 49.2 cm).
-
35
Nila
i rata
-ra
ta k
ara
kte
r u
mb
i Me
nte
ga
2 b
lok B
N
ilai r
ata
-rata
ka
rakte
r u
mbi M
ente
ga 2
blo
k A
a)
100
80
Jml total umbi
Panjang umbi (cm)
Diameter umbi (mm)
60
40
20
0
POH non POH
Perlakuan
b)
100
Jumlah total umbi
Panjang umbi (cm)
80 Diameter umbi (mm)
60
40
20
0
POH non-POH
Perlakuan
Grafik 4. Pengaruh POH terhadap karakter umbi ubi kayu; jumlah, panjang
dan diameter umbi ubi kayu Genotip Mentega 2 blok A (a) dan
blok B (b).
-
36
Nila
i rata
-rata
kara
kte
r um
bi u
bi k
ayu A
dira 1
Pada genotip Adira 1, pengaruh penggunaan POH ini juga tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah umbi, panjang dan
diameter umbi (Grafik 5).
100
80
Jml total umbi
Panjang umbi (cm)
Diameter umbi (mm)
60
40
20
0
POH non POH
Perlakuan
Grafik 5. Pengaruh POH terhadap karakter umbi ubi kayu; jumlah, panjang
dan diameter umbi ubi kayu Genotip Adira 1.
Jumlah rata-rata umbi POH juga lebih rendah (7.5) dibandingkan
dengan umbi non POH (8.5), sedangkan panjang umbi rata-rata hampir
sama yaitu 36.4 (POH) dan 36.6 (non POH). Diameter umbi pada perlakuan
POH memiliki nilai rata-rata lebih besar sedikit (32.85 mm) dibandingkan
dengan diameter umbi non POH (31.99 mm).
-
37
3.1.4. Pengaruh POH pada kadar pati umbi
Pada pengamatan 6 BST ini, selain karakter morfologi tanaman dan
umbi, juga dilakukan analisa kadar pati pada umbi umur 6 bulan (Adira 1),
7 bulan (Mentega 2 blok A) dan 8 bulan (Mentega 2 blok B) untuk
mengetahui apakah ada pengaruh dan berapa besar perbedaan nilai kadar
pati pada perlakuan POH dan non POH atau umur umbi yang berbeda.
Adapun persentase pati umbi dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
berat pati gram Persentase pati % = Berat umbi kupas gram
x 100%
Umbi yang diperoleh dari pengamatan karakter umbi saat pengamatan,
diambil 3 pohon untuk setiap perlakuan POH dan non POH.
Hasil analisa pati menunjukkan kandungan rata-rata pati pada umbi
Mentega 2 baik yang berumur 7 dan 8 bulan tidak ada perbedaan dimana
kadar pati rata-rata berkisar antara 15-20%. Pada genotip Mentega 2 blok A
(Grafik 6a), penggunaan POH memiliki pengaruh yang cukup signifikan
terhadap berat umbi rata-rata per pohon yaitu 916.70 gram dibandingkan
dengan berat rata-rata umbi non POH yaitu 466.70 gram. Hasil ini
diperkirakan akan meningkat lagi pada tanaman yang akan dipanen pada
umur tanaman 9-10 bulan. Namun hasil analisa kadar pati menunjukkan
hubungan yang berbanding terbalik dimana kadar pati umbi POH lebih
rendah (16.85%) dibandingkan dengan kadar pati umbi non POH (20.36%).
-
38
1 2
Be
rat
um
bi
ku
pas (
gra
m)
Pe
rse
nta
se p
ati (
%)
Pada genotip Mentega 2 blok B yang berumur 8 bulan, menunjukkan
hasil produksi umbi yang lebih rendah dibandingkan pada blok A yang
berumur 7 bulan. Pengaruh pemberian POH pun tidak memberikan
pengaruh yang sama pada blok A. Berat umbi kupas rata-rata umbi POH
yaitu 466.70 gram lebih rendah dibandingkan dengan berat rata-rata umbi
kupas pada umbi non POH yaitu 800 gram per pohon. Rendahnya nilai
berat rata-rata umbi ini disebabkan karena beberapa faktor seperti umbi
yang sebagian sudah busuk di tanah saat panen dan banyak daging umbi
yang terbuang karena tidak bagus.
Pada analisa kadar pati menunjukkan hasil yang sama pada blok B
dimana kadar pati pada umbi POH lebih rendah (17.42%) dibanding kadar
pati pada umbi non POH (21.12%) (Grafik 6b).
a) 2500
2000
30
Berat umbi kupas
persen pati 25
20
1500
15
1000
10
500
5
0
POH non POH
Perlakuan
0
POH non POH
-
39
1 2
Bera
t um
bi
kupas (
gra
m)
Pers
enta
se
pati (
%)
2500
b)
2000
30
Berat umbi kupas
Persentase pati 25
20
1500
15
1000
10
500
5
0
POH non POH
Perlakuan
0
POH non POH
Grafik 6. Kadar pati pada genotip Mentega 2 blok A (umur 7 bulan, metode
tanam: perendaman stek ke dalam POH sebelum tanam, 1 bulan
dalam polibag) (a) dan genotip Mentega 2 blok B (umur 8 bulan,
metode tanam: tanpa perendaman stek ke dalam POH, 2 bulan
dalam polibag) (b).
Pada genotip Adira 1 yang berumur 6 bulan, berat umbi kupas rata-
rata pada umbi POH lebih tinggi (1620 gram per pohon) dibandingkan
dengan berat umbi kupas non POH (1020 gram per pohon) (Grafik 7).
Seperti pada genotip Mentega 2 blok A, meskipun berat umbi kupas lebih
tinggi namun hasil analisa kadar pati menunjukkan nilai yang lebih rendah
(16.43%) dibandingkan dengan kadar pati umbi non POH (18.32%).
-
40
1 2
Bera
t um
bi kupas (
gra
m)
Pers
enta
se
pati (
%)
2500
2000
30
Berat umbi kupas (gram)
Persen pati
25
20
1500
15
1000
10
500
5
0
POH non POH
Perlakuan
0
POH non POH
Grafik 7. Kadar pati pada genotip Adira 1 (umur 6 bulan, metode tanam:
perendaman stek ke dalam larutan POH, stek tanam langsung ke
lahan).
Penelitian lebih lanjut mengenai aplikasi POH perlu dilakukan dalam
upaya meningkatkan produktivitas umbi ubi kayu. POH memiliki potensi
untuk dapat meningkatkan produksi umbi namun disisi lain kadar pati lebih
rendah lebih rendah dibandingkan dengan umbi non POH. Hipotesa ini
masih diperlukan penelitian dan data yang lebih detail tentang pengaruh
POH terhadap produksi umbi dan kadar pati dalam umbi.
3.1.5. Pengaruh POH terhadap hasil panen ubi kayu
Kegiatan panen ini dibagi menjadi 2 tahap; tahap pertama (awal bulan
Desember 2012) dan tahap kedua (awal bulan Februari 2013). Hal ini
dilakukan karena belum cukupnya umur tanaman ubi kayu untuk dipanen
-
41
dimana umur tanaman pada awal bulan Desember untuk Adira 1 adalah 6
bulan, Mentega 2 blok A adalah 7 bulan dan 8 bulan untuk Mentega 2 blok
B. Sedangkan umur panen tanaman ubi kayu diharapkan pada kisaran umur
10-12 bulan agar diperoleh produksi dan kualitas umbi yang bagus.
Pada tahap pertama, jumlah total tanaman yang dipanen sekitar 80
tanaman yang terbagi dalam 5 blok atau sekitar 16 tanaman setiap blok.
Sedangkan tanaman ubi kayu yang lainnya akan dipanen pada awal bulan
Februari 2013. Dari total tanaman yang dipanen, dilakukan pengamatan
terhadap jumlah umbi dan berat umbi (gram) untuk mengetahui pengaruh
penggunaan POH pada produksi umbi ubi kayu. Umbi hasil panen
ditimbang semua sebelum dibawa ke mitra penepungan (PT. RAP
Bioenergy) untuk pemrosesan lebih lanjut menjadi tepung ubi kayu
menggunakan metode yang telah ditentukan (hasil optimasi penepungan di
B2PTTG LIPI Subang).
Hasil panen tahap pertama menunjukkan adanya pengaruh
penggunaan POH yang cukup signifikan terhadap berat umbi (gram)
meskipun jumlah umbi hampir sama antara perlakuan POH dan non POH
(Grafik 8). Hal ini mengindikasikan bahwa POH yang digunakan memiliki
potensi untuk meningkatkan produktivitas umbi (berat umbi). Berat total
umbi yang diperoleh pada panen tahap pertama adalah 116.55 Kg dari total
80 tanaman yang dipanen. Setelah umbi hasil panen dikemas dalam karung
-
42
1 2
Nila
i ra
ta-r
ata
ju
mla
h um
bi
pe
r ta
na
ma
n
Nila
i ra
ta-r
ata
b
era
t um
bi
per
tan
am
an
dan ditimbang, umbi dibawa ke tempat penepungan di mitra usaha
penepungan (PT. RAP Bioenergy) dan sebagian dianalisa kandungan beta-
karoten dan protein.
20
Jumlah umbi
Berat umbi (gram)
4000
15 3000
10 2000
5 1000
0
POH non POH
0
POH non POH
Perlakuan
Grafik 8. Nilai rata-rata jumlah umbi dan berat umbi (gram) dalam satu
pohon hasil panen tahap pertama.
3.2. Inovasi teknologi penepungan ubi kayu
3.2.1. Optimasi penepungan tahap pertama
Optimasi proses penepungan ini dimulai dengan mempersiapkan
sampel umbi segar yang diambil dari lapang. Sebanyak kurang lebih 1 Kg
umbi segar dianalisa kandungan beta-karoten dan proteinnya di Balai
-
43
Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia sebelum diproses menjadi
tepung. Dari hasil analisa pada umbi segar diperoleh beta-karoten dan
protein adalah 8.05 g/g dan 3.859%. Kemudian hasil ini akan
dibandingkan dengan hasil analisa beta-karoten dan protein pada sampel
tepung hasil optimasi.
Tepung ubi kayu hasil optimasi dianalisa kandungan beta-karoten dan
protein, selain itu juga dikarakterisasi melalui warna dan bau (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil analisa beta-karoten dan protein tepung hasil optimasi
Kode
No
sampel
Warna Bau
beta-
Karoten
(g/g)
Protein
(%)
1 A1B1 Putih Gaplek 4.92 2.0906
2 A1B2 Putih
kekuningan
Gaplek 7.19 2.2934
3 A2B1 Merah muda Gaplek >
A1B1
3.55 2.0199
4 A2B2 Merah muda Gaplek >
A1B1
4.15 1.8953
5 A3B1 Putih
kekuningan
Hampir tidak
berbau
9.85 2.0246
6 A3B2 Putih Hampir tidak 9.44 2.4116
-
44
kekuningan berbau
7 A4B1 Putih > A1B1 Tengik 7.69 2.0526
8 A4B2 Putih
kekuningan
Gaplek
A1B1
< 8.97 1.7999
(dianalisa oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor, 2012)
Dari hasil analisa tepung hasil optimasi bahan perendam dan suhu
pengering, sampel yang memiliki kandungan beta-karoten tertinggi
dibandingkan sampel tepung lainnya baik sampel perlakuan perendaman
bahan kimia maupun air, diperoleh pada sampel A3B1 dan A3B2 dimana
bahan perendam yang digunakan adalah sodium metabisulfit 0.3% yaitu
9.85 g/g dan 9.44 g/g. Hasil ini jika dibandingkan dengan sampel umbi
segar sebelum diolah menjadi tepung terdapat fluktuasi pada kandungan
beta-karoten dimana pada produk tepung A3B1 dan A3B2 memiliki
kandungan lebih tinggi dibandingkan sampel umbi segar. Hasil ini
(fluktuasi) dapat terjadi karena sampel umbi dan tepung yang dianalisa
berasal dari umbi yang berbeda dalam satu genotip atau varietas. Sementara
kandungan terendah pada sampel A2B1 dan A2B2 yaitu 3.55 g/g dan 4.15
g/g dengan bahan perendam asam askorbat (Grafik 9). Kandungan protein
tertinggi diperoleh pada sampel A3B2 yaitu 2.4116% dengan bahan
perendam Sodium metabisulfit 0.3% dan suhu pengeringan 40 C.
-
45
Kan
du
nga
n b
eta
-kar
ote
n
(g/
g) d
an p
rote
in (
%)
12 beta karoten
10 (mikrogram/gram) protein (%)
8
6
4
2
0
Sampel
Grafik 9. Hasil analisa beta-karoten dan protein tepung hasil optimasi tahap
pertama
Dari hasil analisa warna dan bau, sampel A3B1 dan A3B2 memiliki
warna putih kekuningan dan hampir tidak berbau gaplek dibandingkan
sampel kontrol yaitu dengan bahan perendam menggunakan air yaitu A1B1
dan A1B2 berwarna putih yang menandakan kandungan beta-karoten dalam
tepung mengalami penurunan dan bau khas gaplek serta 2 (dua) sampel
perlakuan lainnya seperti pada perlakuan menggunakan asam askorbat,
warna tepung menjadi merah muda (Gambar 10). Jadi berdasarkan hasil
analisa tepung hasil optimasi, sampel dengan perlakuan bahan perendam
sodium metabisultif 0.3% dan suhu pengeringan 40 C memiliki hasil yang
terbaik dari perlakuan yang lainnya. Sementara itu, pengeringan dengan
menggunakan energi surya (panas matahari) tidak berhasil karena
-
46
memerlukan waktu pengeringan yang lebih lama antara 3-4 hari sehingga
chip ubi kayu banyak yang berjamur.
Gambar 10. Tepung ubi kayu hasil optimasi tahap pertama. Urutan dari
bawah ke atas yaitu A1B1&A1B2, A2B1&A2B2,
A3B1&A3B2 dan A4B1&A4B2.
3.2.2. Optimasi penepungan tahap kedua
Pada optimasi penepungan tahap kedua, sampel umbi segar diproses
(tepung) menggunakan metode optimum menggunakan bahan perendam
Sodium bisulfit 0.3% pada suhu pengeringan 40 C. Kemudian produk
tepung yang dihasilkan selain dianalisa kandungan beta-karoten dan
protein, juga dianalisa mutu tepung dan juga dilakukan uji kestabilan
kandungan nutrisi tepung menggunakan kemasan aluminium.
-
47
Sampel umbi segar yang digunakan adalah Mentega 2 yang berumur
sekitar 9 bulan dengan kandungan beta-karoten 4.20 g/g. Tepung yang
dihasilkan menggunakan metode optimasi tahap pertama menunjukkan
kestabilan kandungan beta-karoten yaitu 4.66 g/g. Pada uji simpan tepung
dalam kemasan bulan pertama dan kedua juga menunjukkan kestabilan
beta-karoten dalam tepung yaitu 4.24 g/g atau persentase penurunan
sekitar 9% dan 3.23 g/g atau 30.69% (Grafik 10). Hasil ini membuktikan
bahwa metode optimasi penepungan menggunakan perlakuan bahan
perendan 0.3% Sodium bisulfit pada suhu 40 C sangat efektif untuk
mempertahankan atau meminimalkan persentase kehilangan kandungan
nutrisi terutama beta-karoten dan protein dalam tepung ubi kayu serta
penggunaan kemasan berbahan alumunium (Gambar 11) mampu
mempertahankan beta-karoten dalam tepung hingga kedua.
Gambar 11. Tepung dalam kemasan berbahan alumunium
-
48
Kan
du
nga
n b
eta
-kar
ote
n (
g/g)
d
an p
rote
in (%
)
5
4
3
2 beta karoten (mikrogram/g)
1 Protein (%)
0
Umbi Tepung (0)
Tepung
(1)
Tepung
(2)
Sampel
Grafik 10. Hasil analisa beta-karoten dan protein tepung ubi kayu hasil
optimasi penepungan tahap kedua dan uji simpan pada bulan
kedua (Desember 2012).
3.3. Alih teknologi ke mitra usaha, PT. RAP Bioenergy
Umbi hasil panen (116.5 Kg) disortir terlebih dahulu sebelum
diproses lanjut menjadi tepung ubi kayu di PT. RAP. Bioenergy. Hasil
sortir umbi hasil panen yang diperoleh Sekitar 104 Kg. Secara umum
proses penepungan ubi kayu meliputi pengupasan, pencucian, perendaman
air panas dan bahan perlakuan, pembuatan chip ubi kayu, pengeringan dan
penggilingan menjadi tepung. Adapun metode yang digunakan merupakan
hasil optimasi metode atau teknologi yang sudah dilakukan di B2PTTG
LIPI Subang menggunakan variasi bahan perendam dan suhu pengering
untuk menjaga kandungan nutrisi terutama beta karoten dan protein dalam
-
49
tepung ubi kayu dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan
kondisi di lapang terutama dalam proses pengeringan (Diagram 3).
3.3.1. Pengupasan
Proses ini dilakukan untuk menghilangkan kulit umbi sebelum
diproses menjadi tepung. Pada proses pengupasan ini akan terjadi
penyusutan berat umbi (kullit umbi) dimana rata-rata ubi kayu mengalami
penurunan berat umbi sekitar 20-25%. Namun pada hasil panen kali ini,
penuruan berat yang terjadi sangat besar hingga mencapai 44.23%. Hal ini
disebabkan karena banyak bagian pangkal umbi yang kondisinya kurang
bagus sehingga dibuang. Proses pengupasan dilakukan oleh 4 orang secara
manual selama 50 menit.
3.3.2. Pencucian
Proses pencucian dilakukan segera setelah pengupasan dan direndam
dalam air untuk mengurangi kontak dengan udara yang dapat
mempengaruhi kandungan nutrisi khususnya beta karoten dalam umbi.
Kendala dalam pencucian ini belum tersedianya tempat pencucian atau
ember besar yang mampu menampung hasil kupasan secara langsung
sehingga kontak udara dapat benar-benar diminimalkan.
-
50
3.3.3. Pemotongan umbi dan perendaman dalam air panas
Setelah selesai pengupasan dan pencucian, umbi lalu dipotong
menjadi beberapa bagian untuk membuat ukuran lebih kecil. Setelah itu,
potongan umbi direndam menggunakan air panas pada suhu + 70oC selama
sekitar 10 menit. Proses ini dikenal dengan istilah blanching yang bertujuan
untuk menginaktivasi enzim dan menstabilkan bahan pangan melawan
perusakan selama penyimpanan jangka panjang. Proses Blanching dapat
dilakukan menggunakan air panas atau uap panas pada suhu suhu + 70oC.
Adapun kendala dalam tahap ini adalah penyediaan air panas atau
pemasakan air yang terlalu lama karena menggunakan kompor gas yang
kecil. Untuk selanjutnya perlu dilakukan peningkatan untuk tahap ini agar
dapat memasak air dalam kuantitas yang besar dan waktunya lebih cepat.
3.3.4. Pembuatan chip ubi kayu
Tahap berikutnya yaitu pembuatan chip ubi kayu yang dilakukan
secara manual dan dikerjakann oleh 5 orang selama kurang lebih 2 jam.
Pembentukan chip umbi bertujuan untuk membantu dalam proses
pengeringan umbi sehingga bisa lebih cepat. Ukuran (tipis) chip diharapkan
tipis kurang dari 4 mm agar lebih cepat kering karena pengeringan
menggunakan bantuan panas matahari rentan terhadap kontaminasi jamur
yang dapat tumbuh pada chip umbi.
-
51
Pembuatan chip secara manual menggunakan alat parut dan
dikerjakan oleh 5 tenaga kerja selama kurang lebih 2 jam untuk 58 Kg umbi
kupas. Hal dianggap kurang efisien dalam aspek tenaga kerja dan waktu
yang diperlukan sehingga untuk proses penepungan berikutnya dengan
jumlah yang lebih besar diharapkan dapat menggunakan mesin pemotong
atau slicer untuk mempermudah pembuatan chip umbi. Dari 58 Kg umbi
hasil kupas diperoleh sebanyak 52.2 Kg chip umbi, rendemen 90%.
3.3.5. Perendaman chip umbi
Proses perendaman dilakukan menggunakan bahan sodium bisulfit
0.3% selama 30 menit (hasil optimasi penepungan oleh B2PTTG LIPI
Subang). Tahap ini merupakan tahap yang krusial dalam penepungan ubi
kayu dimana reaksi bisulfit dengan kelompok karbonil dari gula pereduksi
serta komponen lain yang berperan dalam pencoklatan dapat berlangsung
secara balik (reversible). Dengan demikian proses pencoklatan dapat
dihambat melalui reaksi reversible oleh bisulfit .
.
-
52
Ubi Kayu hasil panen
Triming, Pengupasan ubi kayu dan perendaman dalam air
Pencucian umbi kupas dan pemotongan
umbi menjadi ukuran lebih kecil
Perendaman dalam air (70 oC) Blanching , 10 menit
(in-aktivasi enzim) Pengirisan
umbi menjadi chip
Perendaman Sodium bisulfit 0.3%, 30 menit
Pengeringan dengan bantuan panas sinar matahari
(desain rumah kaca)
Penepungan dan pengayakan tepung
Produk (tepung ubi kayu)
Produk akhir dalam kemasan Makanan olahan
Diagram 3. Proses penepungan ubi kayu di PT. RAP Bioenergy
3.3.6. Pengeringan chip umbi
Selain perendaman bahan sulfit, pengeringan juga menjadi salah satu
faktor yang penting dalam menentukan kualitas dari produk tepung yang
dihasilkan. Struktur beta karoten yang mudah mengalami oksidasi dan peka
terhadap cahaya, maka diperlukan sebuah sistem pengering yang sesuai.
Pada saat optimasi metode penepungan di B2PTTG LIPI Subang,
-
53
pengeringan dilakukan menggunakan cabinet dryer dimana kontak udara
dan cahaya dapat diminimalkan. Akan tetapi sistem pengering tersebut
tidak dapat diaplikasikan di industry tingkat menengah atau UKM karena
memerlukan biaya pengadaan yang besar. Dan kondisi riil di lapangan
bahwa pengeringan hanya menggunakan bantuan panas sinar matahari.
Pada proses ini, sistem pengering didesain sedemikian rupa sehingga
kontak langsung dengan cahaya sinar matahari sangat diminimalkan.
Pengeringan menggunakan sistem panas matahari ini memiliki beberapa
kelemahan seperti lama waktu pengeringan dapat menyebabkan
kontaminasi jamur pada chip yang dikeringkan, waktu pengeringan yang
lama juga dikhawatirkan dapat mempengaruhi kandungan nutrisi pada
umbi.
Pengeringan chip pada proses ini membutuhkan waktu selama 4 hari
karena musim hujan menyebabkan intensitas panas matahari sangat
berkurang. Dari total 52.2 Kg chip umbi diperoleh 17 Kg chip kering
(32.18%). Sebanyak 0.2 Kg dibuang karena sudah mengalami kontaminasi
jamur. Jadi hanya 16.8 Kg chip kering diproses lebih lanjut menjadi tepung
ubi kayu.
3.3.7. Penggilingan chip atau penepungan
Pembuatan tepung dari chip kering dilakukan menggunakan alat
penggilingann di PT. RAP Bioenergy. Sebanyak 16.5 Kg tepung ubi kayu
-
54
diperoleh dari total 16.8 Kg yang diproses menjadi tepung. Sehingga
rendemen tepung ubi kayu sebesar 28.4% dihitung berdasarkan berat umbi
kupas. Hasil tepung yang diperoleh sebagian dianalisa kandungan nutrisi,
dikemas dan diolah menjadi makanan olahan.
3.3.8. Analisa beta-karoten dan protein hasil penepungan di PT.
RAP Bioenergy
Hasil analisa beta-karoten dan protein produk tepung hasil
penepungan di mitra, PT. RAP Bioenergy menunjukkan penurunan sebesar
55.82% dari 4.21 g/g (umbi segar) menjadi 1.86 g/g (tepung). Sedangkan
kandungan protein dalam tepung relatif lebih stabil atau tidak mengalami
penurunan yang signifikan seperti pada beta-karoten. Protein dalam tepung
mengalami penurunan sebesar 18.43% atau 3.69% (umbi segar) menjadi
3.01 % (tepung) (Grafik 12).
Tingginya persentase beta-karoten yang hilang dalam tepung
kemungkinan besar diakibatkan dari proses pengeringan yang dilakukan di
mitra usaha, PT. RAP Bioenergy. Proses pengeringan chip ubi kayu
menggunakan bantuan panas sinar matahari memiliki beberapa kelemahan
yang krusial dalam proses penepungan ini yaitu waktu penepungan yang
lebih lama sekitar 3-4 hari dan hal tersebut menyebabkan chip ubi kayu
terkena paparan cahaya dan udara bebas yang lebih lama juga dibandingkan
dengan proses pengeringan (optimasi) menggunakan cabinet dryer dimana
-
55
Kan
du
nga
n b
eta
-kar
ote
n (
g/g)
d
an p
rote
in (
%)
waktu pengeringan yang dibutuhkan hanya 22 jam dan kontak langsung
dengan udara bebas sangat terbatas. Sedangkan beta-karoten merupakan
senyawa rangkap yang peka terhadap cahaya dan oksigen (reaksi oksidasi)
yang dapat merusak struktur beta-karoten.
5 beta karoten (mikrogram/gram)
4 protein (%)
3
2
1
0
Umbi Tepung
Sampel
Grafik 12. Analisa beta-karoten dan protein umbi ubi kayu Mentega 2 umur
8 bulan dan tepung hasil pengolahan di PT. RAP Bioenergy.
Dari hasil di atas, diperlukan suatu langkah penting untuk mengatasi
kendala yang ada di industry agar proses berikutnya dapat memperoleh
hasil yang lebih baik. Jadi, analisa dan penanganan terhadap kendala
teknologi yang ada di industri menjadi faktor yang menentukan
keberhasilan alih teknologi dari skala laboratorium ke industri.
-
56
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. KESIMPULAN
1. Pada teknologi budidaya ubi kayu, aplikasi pupuk organik hayati
(POH) LIPI Beyonic StarTmik@Lob efektif untuk meningkatkan
produktivitas ubi kayu.
2. Pada optimasi teknologi penepungan melalui inovasi perlakuan
bahan perendam dan suhu pengeringan saat proses penepungan
diperoleh bahwa sodium bisulfit dan suhu 40 C merupakan bahan
perendam dan suhu pengeringan yang mampu mengurangi
persentase kehilangan beta-karoten dan protein dalam tepung ubi
kayu.
3. Modifikasi pada proses pembuatan chip dan proses pengeringan
yang dilakukan di mitra usaha penepungan, PT. RAP Bioenergy
meningkatkan persentase kehilangan beta-karoten secara signifikan.
4.2. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada aplikasi POH Beyonic
StartMik@Lob untuk memperoleh hasil yang optimum.
2. Kendala teknologi yang terdapat di mitra usaha penepungan seperti
sistem pembuatan chip dan pengeringan yang lebih efisien perlu
segera dicarikan alternatif teknologi untuk mengatasinya.
-
57
5. DAFTAR PUSTAKA
AOAC Official Method 978.04. Nitrogen (total) (Crode Protein) inPlants.
Kjeldahl Methods. 1978. Final Action
Hartati, N.S., Fathoni A., Rahman N., Sudarmonowati E., 2012,
Karakteristik Komposisi Nutrisi dan Daya Mengembang Tepung
Umbi Ubi Kayu Untuk Mendukung Industri Pangan Olahan,
Prosiding kegiatan WNPG X LIPI.
Mosha, T.C., Laswai, H.S., Mtebe, K., Paulo, A.B. 1999. Control of
vitamin A deficiency disorders through fortification of cassava flour
with red palm oil: a case study of Kigoma district, Tanzania. Ecol-
food-nutr. 37(6): 569-593.
Nielsen, S.S, 1995. Introduction to The Chemical Analysis of Food. Chapman and Hall. New York. USA
Sasaki T, Matsuki J. 1998. Effect of Wheat Starch Structure on Swelling Power. Cereal Chem. 75(4):525-529.
Semba, RD., Yuniar, Y., Gamble MV, Natadisastra G, Muhilal. 2002.
Assessment of vitamin A status of preschool children in Indonesia
using plasma retinol-binding protein. J Trop Pediatr. 2002.
Suhendra Z., 2012, Produksi singkong berlimpah, kok Indonesia malah
impor, http://finance.detik.com, di akses pada tanggal 11 Desember
2012.
Ratnaningsih, Permana A, Richana N . 2010. Pembuatan tepung komposit
dari jagung, ubikayu, ubijalar dan terigu (lokal dan impor) untuk
produk mi. Prosiding Pekan Serealia Nasional.
Wargiono J, Harnoto, Hidajat J.R. dan Yusuf M., 2000. Teknologi Produksi
Benih Ubikayu dan Ubijalar. Puslitbangtan, Badan Litbang
Pertanian. 59p.
Wasantwisut, E. 2009. Recommendations for Monitoring and Evaluating
Vitamin A Programs: Outcome Indicators. Proceedings of the XX
International Vitamin A Consultative Group Meeting.
-
58
6. LAMPIRAN FOTO
6.1. Pertumbuhan tanaman
a. Pada saat tanam
a.1. Ubi kayu genotip Mentega 2 umur 1 bulan di polibag
a.2. Ubi kayu genotip Mentega 2 umur 2 bulan di polibag
-
59
a.3. Ubi kayu varietas Adira 1, tanam stek langsung ke lahan
b. Pertumbuhan tanaman ubi kayu pada 1 Bulan Setelah Tanam
(BST), Mentega 2 (kiri) dan Adira 1 (kanan)
-
60
c. Pertumbuhan tanaman ubi kayu pada 2 BST, Mentega 2 (kiri) dan
Adira 1 (kanan)
d. Pertumbuhan tanaman ubi kayu pada 3 BST, Mentega 2 (kiri) dan
Adira 1 (kanan)
-
61
e. Pertumbuhan tanaman ubi kayu pada 4 BST, Mentega 2 (kiri) dan
Adira 1 (kanan)
f. Pertumbuhan tanaman ubi kayu pada 5 BST, Mentega 2 (kiri) dan
Adira 1 (kanan)
g. Pertumbuhan tanaman ubi kayu pada 6 BST, Mentega 2 (kiri) dan
Adira 1 (kanan)
-
62
6.2. Pengamatan karakter umbi ubi kayu
a. Genotipe Mentega 2 Blok A umur tanaman 2 bulan (1 BST)
b. Genotipe Mentega 2 Blok B umur tanaman 3 bulan (1 BST)
-
63
c. Varietas Adira 1 Blok A umur tanaman 1 bulan (1 BST)
d. Varietas Adira 1 Blok B umur tanaman 1 bulan (1 BST)
-
64
e. Genotip Mentega 2 blok A (umur 5 bulan) 4 BST
f. Genotip Mentega 2 blok B (umur 6 bulan) 4 BST
g. Varietas Adira 1 (umur 4 bulan) 4 BST
-
65
h. Genotip Mentega 2 (umur 7 bulan) 6 BST (a), Mentega 2 non POH
(b), Mentega 2 (POH) dan Adira 1 umur 6 bulan (POH)
a b
c d
-
66
6.3. Alat-alat penepungan di B2PTTG LIPI Subang
a. Alat slicer
b. Gambar cabinet dryer
-
67
c. KPES (Kamar Pengering Energi Surya)
d. Alat penepungan
-
68
e. Ayakan dengan ukuran mesh: 60
-
69
6.3. Proses penepungan di B2PTTG LIPI Subang
a. Penimbangan singkong
b. Pengupasan, pencucian dan perendaman air, umbi singkong kupas.
Pemotongan singkong menjadi beberapa bagian (3 atau 4 bagian
tergantung dari panjang bahan)
-
70
c. Bleanching uap suhu 70 0C selama 10 menit
d. Pengirisan umbi menggunakan slicer (bentuk irisan serut).
-
71
e. Perlakuan Perendaman (perlakuan direndam selama 30 menit)
Perlakuan : 1 kg singkong kupas direndam dalam larutan kontrol
(air 3 liter)
Perlakuan : 1 kg singkong kupas direndam dalam larutan sulfit (air
3 liter dan sulfit 0,3 %)
Perlakuan : 1 kg singkong kupas direndam dalam larutan asam
askorbat (air 3 liter dan asam askorbat 0,3 %)
Perlakuan : 1 kg singkong kupas direndam dalam larutan dekstrin
dan gum arab (air 3 liter dan dekstrin : gum arab 1:1 8 %).
-
72
f. Pengeringan menggunakan kabinet dryer dan sun dryer
g. Penepungan menggunakan blender atau cross better mill
h. Pengayakan tepung menggunakan vibrator screen mesh 60
-
73
i. Pengemasan dalam toples
j. Pengepakan dan pengiriman untuk uji/analisa betakaroten dan
protein
-
74
6.4. Alih Teknologi; proses penepungan di PT. RAP Bioenergy
a. Penimbangan umbi dan persiapan pengupasan
-
75
b. Pengupasan, pencucian dan pemotongan umbi
-
76
c. Penimbangan umbi kupas dan proses blanching (perendaman air
panas)
-
77
d. Pembuatan chip ubi kayu
-
78
e. Perendaman chip ke dalam larutan bisulfit
-
79
f. Pengeringan chip
-
80
g. Chip kering dan sortir chip berjamur
-
81
h. Penepungan
-
82
i. Penyerahan produk tepung oleh PT. RAP Bioenergy P2
Bioteknologi LIPI